Selasa, 26 Agustus 2025

Pengendalian Diri (Sôphrosynê): Fondasi Etis Kehidupan Rasional

Pengendalian Diri (Sôphrosynê)

Fondasi Etis Kehidupan Rasional


Alihkan ke: Filsafat Stoikisme.


Abstrak

Artikel ini membahas konsep sôphrosynê atau pengendalian diri sebagai salah satu dari empat kebajikan utama dalam filsafat Stoikisme, dengan menekankan kedudukannya sebagai fondasi etis dan psikologis dalam kehidupan rasional. Kajian dimulai dengan menelusuri akar historis sôphrosynê dalam filsafat Yunani klasik, terutama pada pemikiran Plato dan Aristoteles, sebelum dikembangkan lebih lanjut oleh Zeno, Chrysippus, Epictetus, dan Marcus Aurelius. Dari perspektif etis, pengendalian diri dipahami sebagai mekanisme yang menjaga agar tindakan manusia senantiasa selaras dengan akal (logos) dan kebajikan (aretê). Dari sisi psikologis, ia berfungsi sebagai regulasi emosi yang melindungi jiwa dari dominasi nafsu (pathê) dan gangguan batin.

Pembahasan artikel ini juga menyoroti peran pengendalian diri dalam relasi sosial dan kehidupan politik, di mana sôphrosynê menjadi pilar penting bagi perdamaian, keadilan, dan kepemimpinan yang bermoral. Lebih jauh, relevansi konsep ini dalam konteks modern ditunjukkan melalui tantangan budaya konsumtif, distraksi digital, serta krisis kesehatan mental, yang dapat diatasi dengan prinsip moderasi dan disiplin batin Stoik. Selain itu, keterkaitan sôphrosynê dengan praktik terapi kognitif modern menegaskan universalitas dan daya tahannya lintas zaman. Dengan demikian, pengendalian diri dalam Stoikisme bukan hanya kebajikan individual, melainkan juga instrumen moral-sosial yang relevan bagi kehidupan manusia kontemporer.

Kata Kunci: Stoikisme, sôphrosynê, pengendalian diri, kebajikan, etika, psikologi, Marcus Aurelius, Epictetus.


PEMBAHASAN

Pengendalian Diri (Sôphrosynê) dalam Stoikisme


1.           Pendahuluan

Stoikisme, salah satu aliran filsafat terbesar dari dunia Yunani-Romawi, telah lama dikenal sebagai filsafat praktis yang menekankan pada pencapaian ketenangan batin (ataraxia) dan kebahagiaan sejati (eudaimonia) melalui kehidupan yang selaras dengan rasio dan alam. Zeno dari Citium, pendirinya, menekankan bahwa hidup yang baik tidak ditentukan oleh kekayaan atau kekuasaan, melainkan oleh kemampuan manusia untuk hidup sesuai dengan kebajikan (aretê) sebagai prinsip moral tertinggi.¹ Dari empat kebajikan utama yang menjadi fondasi Stoikisme—kebijaksanaan (sophia), keberanian (andreia), keadilan (dikaiosynê), dan pengendalian diri (sôphrosynê)—konsep pengendalian diri menempati posisi sentral karena menjadi penopang bagi terwujudnya ketiga kebajikan lainnya.²

Pengendalian diri (sôphrosynê) dalam Stoikisme dipahami sebagai kemampuan untuk menahan diri dari dorongan berlebihan, mengendalikan hawa nafsu, serta menjaga stabilitas emosi agar tindakan senantiasa dituntun oleh akal sehat.³ Bagi para filsuf Stoik, manusia yang tidak mampu mengendalikan emosi akan terombang-ambing oleh kemarahan, keserakahan, dan ketakutan, yang pada akhirnya menjauhkannya dari kehidupan yang rasional dan harmonis. Hal ini sejalan dengan pandangan Plato dalam Republic, di mana sôphrosynê diidentifikasi sebagai harmoni antara bagian rasional dan irasional dalam jiwa, serta menjadi syarat terciptanya keadilan dan ketertiban moral.⁴

Dalam tradisi Romawi, Marcus Aurelius melalui karyanya Meditations menekankan urgensi menjaga kestabilan batin dengan menguasai diri sendiri, bukan membiarkan diri dikuasai oleh emosi eksternal. Ia menulis bahwa "kebahagiaan hidup bergantung pada kualitas pikiran kita," yang berarti bahwa disiplin diri merupakan prasyarat utama untuk membangun kebebasan batin.⁵ Epictetus, seorang filsuf Stoik lainnya, menambahkan bahwa manusia tidak dapat mengendalikan peristiwa eksternal, tetapi sepenuhnya dapat mengendalikan respons internal melalui pengendalian diri.⁶ Pandangan ini memperlihatkan bahwa sôphrosynê tidak hanya merupakan kebajikan moral, tetapi juga strategi eksistensial untuk bertahan menghadapi ketidakpastian hidup.

Kajian mengenai pengendalian diri dalam Stoikisme menjadi penting karena relevansinya tidak hanya pada konteks klasik, tetapi juga dalam menghadapi tantangan modern. Di tengah dunia yang dipenuhi godaan konsumerisme, distraksi digital, serta tekanan emosional akibat kompetisi dan ketidakpastian sosial, gagasan tentang sôphrosynê menawarkan fondasi etis untuk membangun kehidupan yang lebih terarah dan rasional.⁷ Dengan demikian, artikel ini akan membahas secara mendalam konsep sôphrosynê dari perspektif Stoikisme, landasan filosofis-historisnya, aplikasinya dalam kehidupan, serta relevansinya dalam konteks kontemporer.


Footnotes

[1]                Diogenes Laertius, Lives of Eminent Philosophers, trans. R.D. Hicks (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1925), 7.87.

[2]                Anthony A. Long dan David N. Sedley, The Hellenistic Philosophers (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 394.

[3]                Brad Inwood, Ethics and Human Action in Early Stoicism (Oxford: Clarendon Press, 1985), 141–143.

[4]                Plato, Republic, trans. G.M.A. Grube, revised by C.D.C. Reeve (Indianapolis: Hackett, 1992), 430e–432a.

[5]                Marcus Aurelius, Meditations, trans. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2003), 4.3.

[6]                Epictetus, Discourses and Selected Writings, trans. Robert Dobbin (London: Penguin Classics, 2008), 1.1.

[7]                Donald Robertson, Stoicism and the Art of Happiness (London: Routledge, 2013), 58–60.


2.                Konsep Dasar Pengendalian Diri dalam Stoikisme

Pengendalian diri (sôphrosynê) merupakan salah satu kebajikan utama dalam filsafat Stoikisme yang berfungsi sebagai landasan untuk menjaga harmoni batin dan keteraturan moral. Para filsuf Stoik menekankan bahwa hidup yang baik hanya dapat dicapai jika manusia mampu menundukkan dorongan emosional dan nafsu yang berlebihan di bawah kendali akal (logos).¹ Dalam konteks ini, pengendalian diri tidak dipahami sebagai penekanan mutlak terhadap emosi, melainkan sebagai kemampuan mengarahkan emosi agar sesuai dengan rasio.² Dengan demikian, sôphrosynê bukan sekadar menahan diri, tetapi lebih pada pengelolaan diri sehingga tindakan manusia konsisten dengan kebajikan.

Secara etimologis, istilah sôphrosynê dalam bahasa Yunani kuno mengandung makna “akal sehat” atau “kewarasan,” yang berhubungan dengan kemampuan menjaga keseimbangan antara dorongan jasmani dan tuntunan akal.³ Dalam kerangka Stoikisme, keseimbangan ini dicapai ketika individu dapat menerima takdir alamiah (physis) tanpa kehilangan otonomi moralnya.⁴ Hal ini selaras dengan prinsip Stoik bahwa kebahagiaan sejati (eudaimonia) tidak bergantung pada kondisi eksternal, melainkan pada disposisi batin yang terkendali dan seimbang.

Pengendalian diri dalam Stoikisme juga memiliki dimensi rasional dan etis yang erat kaitannya dengan pemahaman tentang logos. Para filsuf Stoik berpendapat bahwa logos adalah prinsip rasional yang menjiwai alam semesta, dan manusia sebagai makhluk rasional dituntut untuk hidup selaras dengannya.⁵ Oleh karena itu, sôphrosynê dapat dipandang sebagai bentuk konkret keteraturan batin yang memungkinkan manusia untuk sejalan dengan tatanan kosmos. Tanpa pengendalian diri, manusia cenderung dikuasai oleh nafsu (pathê), yang oleh kaum Stoik dianggap sebagai bentuk “penyakit jiwa” yang menjauhkan seseorang dari kebajikan.⁶

Selain itu, sôphrosynê juga berfungsi sebagai jembatan antara kebajikan lain dalam Stoikisme. Tanpa pengendalian diri, kebijaksanaan (sophia) akan kehilangan ketegasan aplikatifnya, keadilan (dikaiosynê) akan mudah tergoyahkan oleh kepentingan pribadi, dan keberanian (andreia) akan berisiko berubah menjadi keberanian buta.⁷ Dengan kata lain, pengendalian diri adalah penopang yang memastikan agar setiap kebajikan dapat dijalankan secara konsisten dalam kehidupan nyata.

Marcus Aurelius menegaskan pentingnya kestabilan emosi sebagai wujud pengendalian diri dengan menyatakan bahwa “seseorang menjadi tak terkalahkan ketika ia menolak tunduk pada emosi yang tidak pantas.”⁸ Sementara itu, Epictetus menekankan bahwa kebebasan sejati bukanlah kebebasan dari kondisi eksternal, melainkan kemampuan untuk menguasai diri dalam menghadapi segala situasi.⁹ Pernyataan ini memperlihatkan bahwa sôphrosynê dalam Stoikisme tidak hanya bernilai moral, tetapi juga berfungsi sebagai dasar praktis untuk mencapai kebebasan batin (eleutheria).

Dari uraian ini, jelas bahwa sôphrosynê adalah kebajikan fundamental dalam Stoikisme yang memungkinkan manusia untuk hidup secara rasional, etis, dan harmonis. Ia tidak sekadar berfungsi sebagai pengekangan terhadap dorongan emosional, tetapi juga sebagai keterampilan eksistensial yang membentuk manusia menjadi pribadi yang berkeutamaan. Dengan pengendalian diri, individu dapat menjalani hidup selaras dengan alam semesta, menjaga integritas moral, dan meraih kebahagiaan yang autentik.


Footnotes

[1]                Brad Inwood, Ethics and Human Action in Early Stoicism (Oxford: Clarendon Press, 1985), 138.

[2]                Julia Annas, The Morality of Happiness (Oxford: Oxford University Press, 1993), 410.

[3]                A.A. Long, Hellenistic Philosophy: Stoics, Epicureans, Sceptics (London: Duckworth, 1986), 201.

[4]                John M. Cooper, Pursuits of Wisdom: Six Ways of Life in Ancient Philosophy from Socrates to Plotinus (Princeton: Princeton University Press, 2012), 168.

[5]                Anthony A. Long dan David N. Sedley, The Hellenistic Philosophers (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 395.

[6]                Martha C. Nussbaum, The Therapy of Desire: Theory and Practice in Hellenistic Ethics (Princeton: Princeton University Press, 1994), 394.

[7]                Christopher Gill, The Structured Self in Hellenistic and Roman Thought (Oxford: Oxford University Press, 2006), 213.

[8]                Marcus Aurelius, Meditations, trans. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2003), 6.30.

[9]              Epictetus, Discourses and Selected Writings, trans. Robert Dobbin (London: Penguin Classics, 2008), 1.1.


3.                Landasan Filosofis dan Historis

Konsep sôphrosynê (pengendalian diri) dalam Stoikisme tidak lahir dalam ruang hampa, melainkan berakar pada tradisi filsafat Yunani kuno yang lebih luas. Akar pemikiran ini dapat ditelusuri sejak masa awal filsafat Yunani, terutama dalam karya Plato dan Aristoteles, sebelum kemudian ditransformasi dan diperdalam oleh para filsuf Stoik. Dengan demikian, memahami sôphrosynê dalam Stoikisme menuntut pengkajian historis terhadap kesinambungan dan pergeseran maknanya di sepanjang tradisi filsafat klasik.

3.1.       Akar Konsep dalam Filsafat Yunani Awal

Dalam filsafat Yunani, sôphrosynê awalnya dimaknai sebagai "kesederhanaan" atau "moderasi," suatu sikap menjaga keseimbangan diri dalam menghadapi dorongan hasrat dan kesenangan. Plato dalam Republic menyebut sôphrosynê sebagai harmoni antara bagian rasional, penuh semangat (thumos), dan penuh nafsu (epithumia) dalam jiwa manusia.¹ Tanpa harmoni tersebut, jiwa manusia akan tercerai-berai dan kehilangan keteraturannya. Aristoteles dalam Nicomachean Ethics memandang sôphrosynê sebagai kebajikan etis yang berkaitan dengan pengaturan hasrat, khususnya dalam kaitannya dengan kesenangan jasmani.² Dengan kata lain, pengendalian diri merupakan syarat bagi tercapainya kehidupan berkeutamaan (aretê) dan kebahagiaan sejati (eudaimonia).

3.2.       Transformasi dalam Stoikisme Awal

Kaum Stoik awal, seperti Zeno dari Citium dan Chrysippus, mengadopsi sekaligus memperluas konsep sôphrosynê. Mereka menekankan bahwa pengendalian diri tidak hanya menyangkut pengaturan hasrat jasmani, tetapi mencakup keseluruhan disposisi jiwa yang selaras dengan akal (logos).³ Chrysippus bahkan menegaskan bahwa emosi berlebihan (pathê) merupakan hasil dari penilaian yang keliru, dan hanya melalui sôphrosynê manusia dapat membebaskan diri dari keterikatan emosional yang merusak.⁴ Dalam kerangka ini, pengendalian diri bukan sekadar moderasi, melainkan bentuk kebijaksanaan praktis yang menuntun manusia pada keteraturan batin dan keselarasan dengan tatanan kosmik.

3.3.       Perkembangan dalam Tradisi Romawi

Ketika Stoikisme berkembang di dunia Romawi, tokoh-tokoh seperti Seneca, Epictetus, dan Marcus Aurelius menekankan dimensi praktis dari sôphrosynê. Seneca melihat pengendalian diri sebagai benteng terhadap godaan eksternal, menulis bahwa "tidak ada perbudakan yang lebih menyedihkan daripada diperbudak oleh nafsu sendiri."⁵ Epictetus mengajarkan bahwa pengendalian diri memungkinkan manusia untuk membedakan antara hal-hal yang berada dalam kendali dan yang tidak, sehingga tidak terjebak dalam penderitaan yang sia-sia.⁶ Marcus Aurelius, dalam Meditations, menegaskan bahwa kestabilan emosi adalah dasar bagi kebebasan batin dan keharmonisan hidup.⁷ Dengan demikian, dalam Stoikisme Romawi, sôphrosynê menjadi tidak hanya kebajikan moral, tetapi juga metode praktis untuk bertahan menghadapi realitas sosial-politik yang penuh tekanan.

3.4.       Relasi dengan Kebajikan Lain dalam Stoikisme

Dalam sistem etika Stoik, sôphrosynê tidak berdiri sendiri, melainkan berhubungan erat dengan tiga kebajikan utama lainnya: kebijaksanaan (sophia), keadilan (dikaiosynê), dan keberanian (andreia). Tanpa pengendalian diri, kebijaksanaan tidak dapat dipraktikkan secara konsisten; tanpa pengendalian diri, keadilan akan dikompromikan oleh nafsu; dan tanpa pengendalian diri, keberanian dapat berubah menjadi kecerobohan.⁸ Dengan demikian, secara historis maupun filosofis, sôphrosynê dipandang sebagai penyangga utama yang memungkinkan kebajikan lain dijalankan dengan seimbang.

Dari perspektif historis, terlihat bahwa meskipun konsep sôphrosynê telah dikenal dalam tradisi Yunani sebelum Stoikisme, kaum Stoik memberikan elaborasi yang khas: mereka menempatkan pengendalian diri sebagai inti dari kehidupan rasional dan harmonis. Transformasi ini memperlihatkan kesinambungan sekaligus kebaruan, yang menjadikan sôphrosynê sebagai pilar penting dalam filsafat moral klasik dan relevan hingga zaman modern.


Footnotes

[1]                Plato, Republic, trans. G.M.A. Grube, revised by C.D.C. Reeve (Indianapolis: Hackett, 1992), 430e–432a.

[2]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett, 1999), 1118a–1119b.

[3]                Anthony A. Long and David N. Sedley, The Hellenistic Philosophers (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 395.

[4]                Brad Inwood, Ethics and Human Action in Early Stoicism (Oxford: Clarendon Press, 1985), 144–146.

[5]                Seneca, Letters from a Stoic, trans. Robin Campbell (London: Penguin Classics, 2004), Letter 47.17.

[6]                Epictetus, Discourses and Selected Writings, trans. Robert Dobbin (London: Penguin Classics, 2008), 1.1.

[7]                Marcus Aurelius, Meditations, trans. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2003), 6.30.

[8]                Christopher Gill, The Structured Self in Hellenistic and Roman Thought (Oxford: Oxford University Press, 2006), 213.


4.                Pengendalian Diri dalam Karya Marcus Aurelius dan Epictetus

Pengendalian diri (sôphrosynê) merupakan tema sentral dalam karya-karya para filsuf Stoik, khususnya Marcus Aurelius dan Epictetus. Kedua tokoh ini mewakili dua perspektif khas dalam tradisi Stoik: Aurelius sebagai kaisar Romawi yang menghadapi tekanan politik dan militer, serta Epictetus sebagai seorang mantan budak yang menekankan kebebasan batin melalui filsafat. Meskipun latar belakang mereka berbeda, keduanya sama-sama menempatkan pengendalian diri sebagai kebajikan fundamental untuk mencapai ketenangan jiwa dan kebebasan sejati.

4.1.       Marcus Aurelius dan Kestabilan Emosi dalam Meditations

Dalam Meditations, Marcus Aurelius menekankan pentingnya menjaga kestabilan batin dengan menguasai diri, bukan membiarkan diri dikuasai oleh keadaan eksternal. Ia menulis bahwa kebahagiaan hidup manusia sepenuhnya ditentukan oleh kualitas pikirannya, bukan oleh kondisi luar.¹ Bagi Aurelius, pengendalian diri adalah bentuk latihan batin (askêsis) yang melibatkan pengamatan terus-menerus terhadap pikiran dan emosi, agar manusia tetap selaras dengan rasio dan hukum alam (logos).²

Lebih jauh, Aurelius sering menasihati dirinya untuk tidak terjerat oleh amarah maupun kesedihan. Ia menyadari bahwa emosi negatif lahir dari penilaian subjektif yang keliru terhadap peristiwa eksternal.³ Oleh karena itu, sôphrosynê berfungsi sebagai benteng moral yang menjaga jiwa tetap teguh di tengah gejolak politik, peperangan, maupun pengkhianatan. Pengendalian diri baginya adalah syarat mutlak bagi seorang pemimpin agar dapat memerintah dengan adil, rasional, dan tanpa dominasi hawa nafsu.⁴

4.2.       Epictetus dan Kebebasan Batin melalui Pengendalian Diri

Berbeda dengan Aurelius, Epictetus—dalam Discourses dan Enchiridion—lebih menekankan aspek praktis dari pengendalian diri sebagai kunci untuk meraih kebebasan sejati (eleutheria). Menurutnya, manusia tidak memiliki kuasa atas dunia luar, tetapi sepenuhnya berkuasa atas sikap dan respons batinnya.⁵ Dengan demikian, pengendalian diri merupakan sarana untuk membedakan antara hal-hal yang berada dalam kendali (ta eph’ hêmin) dan hal-hal yang berada di luar kendali (ta ouk eph’ hêmin).⁶

Epictetus mengibaratkan hidup seperti sebuah permainan peran: manusia tidak dapat memilih peran yang diberikan oleh takdir, tetapi dapat memilih bagaimana menjalankan peran tersebut dengan bermartabat.⁷ Dalam kerangka ini, sôphrosynê adalah kemampuan untuk menahan diri dari keluhan, ketakutan, atau hasrat berlebihan, sekaligus mengarahkan jiwa agar tetap tenang meski berhadapan dengan penderitaan atau kehilangan. Bagi Epictetus, hanya dengan menguasai diri seseorang dapat membebaskan diri dari perbudakan nafsu dan mencapai kehidupan yang benar-benar bebas.⁸

4.3.       Kesamaan dan Perbedaan Pendekatan

Meskipun berbeda latar belakang, terdapat kesamaan mendasar antara Aurelius dan Epictetus dalam menekankan bahwa pengendalian diri adalah kunci untuk menjaga integritas moral. Keduanya melihat sôphrosynê sebagai cara untuk menghadapi penderitaan dengan ketenangan dan menjalani hidup selaras dengan rasio. Namun, pendekatan Aurelius lebih menekankan pada tanggung jawab sosial dan politik sebagai seorang kaisar, sedangkan Epictetus menyoroti kebebasan batin individu yang terlepas dari kondisi eksternal.⁹

Perbedaan perspektif ini justru memperkaya pemahaman tentang sôphrosynê dalam Stoikisme. Aurelius menunjukkan relevansinya bagi kepemimpinan dan kehidupan publik, sementara Epictetus menegaskan dimensi eksistensial pengendalian diri sebagai jalan menuju otonomi moral. Keduanya mengonfirmasi bahwa sôphrosynê adalah kebajikan yang melampaui batas sosial, mampu membimbing manusia baik dalam ruang privat maupun publik, dari istana kekaisaran hingga kehidupan seorang budak.


Footnotes

[1]                Marcus Aurelius, Meditations, trans. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2003), 4.3.

[2]                Pierre Hadot, The Inner Citadel: The Meditations of Marcus Aurelius, trans. Michael Chase (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1998), 83–84.

[3]                Marcus Aurelius, Meditations, 8.47.

[4]                Donald Robertson, How to Think Like a Roman Emperor: The Stoic Philosophy of Marcus Aurelius (New York: St. Martin’s Press, 2019), 122–125.

[5]                Epictetus, Discourses and Selected Writings, trans. Robert Dobbin (London: Penguin Classics, 2008), 1.1.

[6]                Epictetus, Enchiridion, trans. Nicholas P. White (Indianapolis: Hackett, 1983), §1.

[7]                Epictetus, Discourses, 1.29.

[8]                A.A. Long, Epictetus: A Stoic and Socratic Guide to Life (Oxford: Clarendon Press, 2002), 101–103.

[9]                John Sellars, Stoicism (Berkeley: University of California Press, 2006), 108–110.


5.                Dimensi Etis dan Psikologis

Pengendalian diri (sôphrosynê) dalam Stoikisme bukan hanya kebajikan moral, melainkan juga sebuah disposisi psikologis yang membentuk fondasi kehidupan manusia yang rasional dan harmonis. Dari perspektif etika, sôphrosynê berfungsi sebagai mekanisme yang memastikan bahwa tindakan manusia selalu sejalan dengan akal (logos) dan kebajikan (aretê). Dari sisi psikologis, pengendalian diri dipandang sebagai regulasi emosi yang melindungi jiwa dari ketidakstabilan, penderitaan, dan kehancuran moral. Dengan demikian, dimensi etis dan psikologis sôphrosynê saling terkait erat, menegaskan bahwa filsafat Stoik merupakan sebuah terapi moral sekaligus terapi jiwa.

5.1.       Dimensi Etis: Sôphrosynê sebagai Penuntun Moral

Kaum Stoik menegaskan bahwa semua kebajikan berakar pada rasio, dan pengendalian diri adalah bentuk nyata dari ketaatan terhadap prinsip rasional tersebut.¹ Dengan menguasai diri, manusia tidak membiarkan dirinya dikuasai oleh nafsu (pathê), yang oleh Stoik dianggap sebagai bentuk “penyakit jiwa.”² Dalam kerangka etis, sôphrosynê menjamin bahwa keputusan moral tidak didasarkan pada dorongan impulsif, melainkan pada pertimbangan rasional yang sejalan dengan hukum alam.³

Hal ini menegaskan posisi sôphrosynê sebagai fondasi dari kebajikan lainnya. Keberanian tanpa pengendalian diri akan berubah menjadi kecerobohan; keadilan tanpa pengendalian diri akan tergelincir menjadi kesewenang-wenangan; dan kebijaksanaan tanpa pengendalian diri tidak akan menemukan bentuk praktisnya.⁴ Dengan kata lain, secara etis, pengendalian diri bukan sekadar kebajikan tambahan, tetapi sebuah syarat keberlanjutan dari keseluruhan kehidupan bermoral dalam Stoikisme.

5.2.       Dimensi Psikologis: Sôphrosynê sebagai Regulasi Emosi

Stoikisme juga memandang sôphrosynê sebagai strategi untuk mencapai kesehatan jiwa. Epictetus menekankan bahwa penderitaan emosional lahir bukan dari peristiwa itu sendiri, melainkan dari penilaian subjektif yang kita berikan terhadapnya.⁵ Oleh karena itu, pengendalian diri berfungsi untuk menata kembali penilaian (judgment) sehingga emosi negatif tidak berkembang menjadi gangguan batin. Dengan pengendalian diri, manusia dapat mengubah respons internal terhadap keadaan eksternal, sehingga tercapai ketenangan (ataraxia).

Marcus Aurelius juga menekankan aspek psikologis ini dengan menulis bahwa “jiwa menjadi tenteram ketika tidak terganggu oleh keinginan berlebihan dan tetap setia pada kewajibannya.”⁶ Pandangan ini mengaitkan pengendalian diri dengan konsep kesehatan jiwa modern, khususnya dalam bidang psikologi kognitif. Beberapa sarjana modern, seperti Martha Nussbaum, bahkan menyebut filsafat Stoik sebagai bentuk awal dari cognitive therapy yang berfungsi mengoreksi cara berpikir dan menata emosi manusia.⁷

5.3.       Integrasi Etis dan Psikologis: Jalan Menuju Eudaimonia

Ketika dimensi etis dan psikologis sôphrosynê digabungkan, terbentuklah kerangka utuh untuk mencapai eudaimonia atau kebahagiaan sejati. Etika Stoik mengajarkan bahwa hidup yang baik hanya mungkin jika manusia menjaga kebajikan; sedangkan psikologi Stoik menunjukkan bahwa kestabilan emosi adalah prasyarat bagi keberlangsungan kebajikan itu sendiri.⁸ Dengan demikian, sôphrosynê tidak hanya menuntun manusia menuju tindakan yang benar, tetapi juga membentuk kondisi jiwa yang stabil dan sehat, yang pada akhirnya menjadi dasar bagi kehidupan yang harmonis.


Footnotes

[1]                A.A. Long, Hellenistic Philosophy: Stoics, Epicureans, Sceptics (London: Duckworth, 1986), 201.

[2]                Brad Inwood, Ethics and Human Action in Early Stoicism (Oxford: Clarendon Press, 1985), 144–146.

[3]                John M. Cooper, Pursuits of Wisdom: Six Ways of Life in Ancient Philosophy from Socrates to Plotinus (Princeton: Princeton University Press, 2012), 168.

[4]                Christopher Gill, The Structured Self in Hellenistic and Roman Thought (Oxford: Oxford University Press, 2006), 213.

[5]                Epictetus, Discourses and Selected Writings, trans. Robert Dobbin (London: Penguin Classics, 2008), 1.1.

[6]                Marcus Aurelius, Meditations, trans. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2003), 6.30.

[7]                Martha C. Nussbaum, The Therapy of Desire: Theory and Practice in Hellenistic Ethics (Princeton: Princeton University Press, 1994), 394–395.

[8]                Donald Robertson, Stoicism and the Art of Happiness (London: Routledge, 2013), 58–60.


6.                Pengendalian Diri dan Relasi Sosial

Stoikisme tidak hanya menekankan kehidupan batin yang tenang, tetapi juga menempatkan manusia sebagai makhluk sosial (zôon politikon) yang terikat dalam jaringan kewajiban moral terhadap sesama.¹ Dalam konteks ini, pengendalian diri (sôphrosynê) memiliki fungsi etis yang melampaui dimensi individual: ia menjadi fondasi penting untuk membangun relasi sosial yang harmonis, adil, dan rasional. Seorang Stoik sejati tidak hanya menguasai dirinya untuk mencapai ketenangan batin, tetapi juga agar dapat berkontribusi positif dalam kehidupan bersama.

6.1.       Menahan Amarah dalam Interaksi Sosial

Salah satu perwujudan nyata sôphrosynê adalah kemampuan menahan amarah dalam interaksi dengan orang lain. Seneca dalam De Ira menegaskan bahwa amarah adalah emosi destruktif yang menghancurkan hubungan antarindividu maupun tatanan masyarakat.² Pengendalian diri memungkinkan manusia menghadapi konflik tanpa terjebak dalam kekerasan emosional, sehingga perbedaan dapat diselesaikan melalui rasio, bukan ledakan nafsu.³ Dalam masyarakat, hal ini berarti sôphrosynê menjadi pilar bagi perdamaian sosial dan keteraturan hukum.

6.2.       Mengendalikan Keserakahan dan Hawa Nafsu

Selain amarah, Stoikisme juga menyoroti keserakahan dan dorongan hawa nafsu sebagai ancaman utama bagi keharmonisan sosial. Epictetus menekankan bahwa keserakahan muncul dari ketidakmampuan membedakan antara kebutuhan nyata dan hasrat yang berlebihan.⁴ Dengan pengendalian diri, individu belajar untuk hidup sederhana (autarkeia) dan tidak merugikan orang lain demi memenuhi kepentingan pribadi. Marcus Aurelius bahkan mengingatkan dirinya untuk selalu berbuat adil, tidak dikuasai oleh keuntungan atau ambisi yang mengorbankan kepentingan bersama.⁵ Dengan demikian, sôphrosynê berfungsi sebagai pengendali egoisme demi terciptanya relasi sosial yang sehat.

6.3.       Pengendalian Diri dalam Kehidupan Publik dan Politik

Sebagai kaisar, Marcus Aurelius menyadari bahwa pengendalian diri merupakan prasyarat moral bagi seorang pemimpin. Tanpa pengendalian diri, kekuasaan akan mudah berubah menjadi tirani. Ia menulis dalam Meditations bahwa seorang pemimpin harus menjaga diri dari kesombongan, kerakusan, dan dendam, karena hal-hal tersebut mengikis keadilan dan merusak kepercayaan rakyat.⁶ Pengendalian diri di sini bukan hanya kebajikan pribadi, tetapi juga tanggung jawab sosial-politik yang berdampak pada stabilitas negara.

Bagi masyarakat luas, Stoikisme menekankan bahwa setiap individu adalah bagian dari komunitas kosmopolitan, yaitu kosmopolis, di mana semua manusia dipandang sebagai warga dunia yang setara.⁷ Dengan menguasai diri, seseorang dapat menahan kecenderungan diskriminatif, mengedepankan keadilan, dan memperlakukan orang lain dengan martabat yang sama.

6.4.       Harmoni Sosial melalui Sôphrosynê

Pada akhirnya, pengendalian diri berperan sebagai jembatan antara kehidupan moral individu dan keteraturan sosial. Dengan menundukkan hawa nafsu, manusia mampu berinteraksi secara adil, menunaikan kewajiban sosial, dan menghormati hak orang lain.⁸ Dalam pandangan Stoik, masyarakat yang diwarnai oleh sôphrosynê adalah masyarakat yang bebas dari dominasi emosi kolektif yang merusak, seperti kemarahan massa atau keserakahan ekonomi. Dengan kata lain, pengendalian diri bukan hanya menjaga ketenangan individu, tetapi juga menjadi landasan bagi terciptanya harmoni sosial.


Footnotes

[1]                A.A. Long, Stoic Studies (Berkeley: University of California Press, 1996), 207.

[2]                Seneca, On Anger (De Ira), trans. John W. Basore (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1928), 1.1.

[3]                Martha C. Nussbaum, The Therapy of Desire: Theory and Practice in Hellenistic Ethics (Princeton: Princeton University Press, 1994), 402.

[4]                Epictetus, Discourses and Selected Writings, trans. Robert Dobbin (London: Penguin Classics, 2008), 3.7.

[5]                Marcus Aurelius, Meditations, trans. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2003), 6.30.

[6]                Pierre Hadot, The Inner Citadel: The Meditations of Marcus Aurelius, trans. Michael Chase (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1998), 143–145.

[7]                John Sellars, Stoicism (Berkeley: University of California Press, 2006), 118–120.

[8]                Christopher Gill, The Structured Self in Hellenistic and Roman Thought (Oxford: Oxford University Press, 2006), 214.


7.                Relevansi dalam Konteks Modern

Meskipun lahir lebih dari dua milenium yang lalu, gagasan Stoikisme tentang pengendalian diri (sôphrosynê) tetap memiliki relevansi besar dalam kehidupan modern. Dunia kontemporer ditandai oleh dinamika sosial, politik, dan psikologis yang kompleks: konsumerisme global, tekanan kompetitif, distraksi digital, serta meningkatnya gangguan kesehatan mental. Dalam konteks ini, sôphrosynê menghadirkan kerangka filosofis sekaligus praktis yang membantu manusia menjaga keseimbangan batin, mengendalikan emosi, dan membangun kehidupan yang lebih rasional.

7.1.       Tantangan Konsumerisme dan Budaya Instan

Era modern menghadirkan godaan yang jauh lebih besar dibandingkan zaman Yunani-Romawi, terutama melalui budaya konsumsi dan teknologi digital. Jean Twenge, misalnya, menunjukkan bahwa generasi modern menghadapi tingkat kecemasan yang lebih tinggi akibat paparan media sosial dan tekanan budaya instan.¹ Dalam situasi ini, sôphrosynê dapat menjadi prinsip moderasi yang mengajarkan individu untuk menahan diri dari keserakahan konsumtif dan mengendalikan kebutuhan palsu yang ditawarkan oleh kapitalisme modern.² Dengan menghidupi pengendalian diri, individu mampu membedakan antara kebutuhan yang rasional dan hasrat yang diciptakan oleh industri hiburan dan iklan.

7.2.       Sôphrosynê dan Kesehatan Mental

Stoikisme sering dipandang sebagai bentuk awal dari cognitive behavioral therapy (CBT), yang menekankan bahwa penderitaan emosional berasal dari cara kita menilai suatu peristiwa, bukan dari peristiwa itu sendiri.³ Dalam psikologi modern, prinsip ini terbukti efektif dalam terapi depresi, kecemasan, dan stres. Donald Robertson berpendapat bahwa praktik Stoik, termasuk pengendalian diri, membantu membentuk kebiasaan berpikir yang sehat melalui refleksi rasional dan disiplin mental.⁴ Dengan demikian, sôphrosynê bukan hanya kebajikan moral, tetapi juga alat psikoterapi yang relevan bagi kesejahteraan psikologis manusia modern.

7.3.       Kepemimpinan dan Etika Publik

Dalam dunia politik dan bisnis yang sarat dengan krisis moral, sôphrosynê menjadi kebajikan penting bagi para pemimpin. Jim Collins dalam studinya tentang kepemimpinan menyebut bahwa pemimpin sejati adalah mereka yang mampu mengendalikan ego, menahan ambisi pribadi, dan mengutamakan kepentingan kolektif.⁵ Hal ini sejalan dengan ajaran Marcus Aurelius yang menekankan pentingnya menjaga diri dari kesombongan, dendam, dan kerakusan dalam mengelola kekuasaan.⁶ Dengan demikian, pengendalian diri bukan hanya persoalan pribadi, tetapi juga fondasi bagi etika sosial-politik yang sehat.

7.4.       Mindfulness dan Stoikisme dalam Kehidupan Sehari-hari

Kebangkitan minat terhadap filsafat praktis, termasuk Stoikisme, terlihat jelas dalam berbagai gerakan mindfulness modern. Ryan Holiday, misalnya, dalam The Daily Stoic mengadaptasi prinsip Stoik, termasuk sôphrosynê, sebagai panduan praktis menghadapi kesibukan dan tekanan hidup modern.⁷ Pengendalian diri di sini dipraktikkan melalui refleksi harian, meditasi, dan pengelolaan emosi dalam situasi sulit. Kehadiran Stoikisme dalam budaya populer membuktikan bahwa nilai-nilai klasik tetap relevan sebagai panduan etis dan psikologis di tengah dunia yang serba cepat.

7.5.       Relevansi Universal Sôphrosynê

Akhirnya, sôphrosynê dalam konteks modern tidak hanya berfungsi sebagai alat moral individual, tetapi juga sebagai nilai universal yang dapat diterapkan dalam berbagai bidang: pendidikan, psikologi, kepemimpinan, dan kehidupan sosial. Ia menegaskan pentingnya menata diri sebelum menata dunia, serta mengingatkan manusia bahwa kebahagiaan sejati tidak ditentukan oleh materi atau kekuasaan, melainkan oleh kemampuan untuk menguasai diri sendiri.⁸


Footnotes

[1]                Jean M. Twenge, iGen: Why Today’s Super-Connected Kids Are Growing Up Less Rebellious, More Tolerant, Less Happy—and Completely Unprepared for Adulthood (New York: Atria Books, 2017), 102–105.

[2]                Martha C. Nussbaum, The Therapy of Desire: Theory and Practice in Hellenistic Ethics (Princeton: Princeton University Press, 1994), 398.

[3]                A.A. Long, Stoic Studies (Berkeley: University of California Press, 1996), 222.

[4]                Donald Robertson, Stoicism and the Art of Happiness (London: Routledge, 2013), 58–60.

[5]                Jim Collins, Good to Great: Why Some Companies Make the Leap… and Others Don’t (New York: HarperBusiness, 2001), 30–32.

[6]                Marcus Aurelius, Meditations, trans. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2003), 6.30.

[7]                Ryan Holiday and Stephen Hanselman, The Daily Stoic: 366 Meditations on Wisdom, Perseverance, and the Art of Living (New York: Portfolio/Penguin, 2016), 12–15.

[8]                John Sellars, Stoicism (Berkeley: University of California Press, 2006), 123.


8.                Penutup

Pengendalian diri (sôphrosynê) dalam tradisi Stoikisme terbukti bukan sekadar kebajikan tambahan, melainkan fondasi etis yang menopang keseluruhan kerangka moral filsafat ini. Sejak akar pemikiran Yunani kuno dalam karya Plato dan Aristoteles hingga elaborasi khas para filsuf Stoik seperti Zeno, Chrysippus, Epictetus, dan Marcus Aurelius, sôphrosynê selalu dipahami sebagai syarat utama bagi kehidupan rasional dan bermoral.¹ Ia menjadi benteng terhadap dominasi nafsu (pathê) yang dianggap sebagai penyakit jiwa, sekaligus menjadi penuntun manusia untuk hidup selaras dengan rasio dan hukum alam semesta (logos).²

Dari perspektif etis, sôphrosynê memastikan bahwa tindakan manusia tidak dikendalikan oleh impuls, melainkan diarahkan oleh kebajikan.³ Dari sisi psikologis, pengendalian diri membantu manusia menjaga kestabilan emosi dan mencapai kebebasan batin.⁴ Integrasi kedua dimensi ini menjadikan sôphrosynê bukan hanya sarana pencapaian kebajikan individual, tetapi juga instrumen penting bagi kehidupan sosial dan politik yang harmonis. Marcus Aurelius menunjukkan bahwa pengendalian diri merupakan syarat moral bagi kepemimpinan yang adil, sementara Epictetus menekankan bahwa ia adalah jalan menuju otonomi dan kebebasan sejati.⁵

Relevansi sôphrosynê semakin nyata dalam konteks modern. Di tengah budaya konsumtif, tekanan digital, dan meningkatnya gangguan kesehatan mental, kebajikan ini menjadi prinsip universal untuk menata hidup dengan rasional dan sederhana.⁶ Prinsip pengendalian diri Stoik bahkan beresonansi dengan pendekatan psikologi kognitif modern dan terapi perilaku, menunjukkan daya tahannya lintas zaman dan disiplin.⁷

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sôphrosynê adalah kebajikan yang melintasi batas sejarah, budaya, dan konteks. Ia adalah fondasi kehidupan etis yang menuntun manusia pada kebahagiaan sejati (eudaimonia), baik sebagai individu maupun anggota komunitas kosmopolitan.⁸ Melalui pengendalian diri, manusia bukan hanya mampu menguasai dirinya, tetapi juga berkontribusi pada harmoni sosial dan kelestarian moral. Hal ini menunjukkan bahwa ajaran Stoik mengenai pengendalian diri tetap relevan sebagai panduan hidup rasional dan bermakna, dari dunia kuno hingga era modern.


Footnotes

[1]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett, 1999), 1118a–1119b.

[2]                Brad Inwood, Ethics and Human Action in Early Stoicism (Oxford: Clarendon Press, 1985), 144–146.

[3]                A.A. Long and David N. Sedley, The Hellenistic Philosophers (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 395.

[4]                Martha C. Nussbaum, The Therapy of Desire: Theory and Practice in Hellenistic Ethics (Princeton: Princeton University Press, 1994), 394–395.

[5]                Marcus Aurelius, Meditations, trans. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2003), 6.30; Epictetus, Discourses and Selected Writings, trans. Robert Dobbin (London: Penguin Classics, 2008), 1.1.

[6]                Jean M. Twenge, iGen (New York: Atria Books, 2017), 102–105.

[7]                Donald Robertson, Stoicism and the Art of Happiness (London: Routledge, 2013), 58–60.

[8]                John Sellars, Stoicism (Berkeley: University of California Press, 2006), 123.


Daftar Pustaka

Annas, J. (1993). The morality of happiness. Oxford University Press.

Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T. Irwin, Trans., 2nd ed.). Hackett.

Collins, J. (2001). Good to great: Why some companies make the leap... and others don’t. HarperBusiness.

Cooper, J. M. (2012). Pursuits of wisdom: Six ways of life in ancient philosophy from Socrates to Plotinus. Princeton University Press.

Diogenes Laertius. (1925). Lives of eminent philosophers (R. D. Hicks, Trans.). Harvard University Press.

Epictetus. (1983). Enchiridion (N. P. White, Trans.). Hackett.

Epictetus. (2008). Discourses and selected writings (R. Dobbin, Trans.). Penguin Classics.

Gill, C. (2006). The structured self in Hellenistic and Roman thought. Oxford University Press.

Hadot, P. (1998). The inner citadel: The meditations of Marcus Aurelius (M. Chase, Trans.). Harvard University Press.

Holiday, R., & Hanselman, S. (2016). The daily stoic: 366 meditations on wisdom, perseverance, and the art of living. Portfolio/Penguin.

Inwood, B. (1985). Ethics and human action in early Stoicism. Clarendon Press.

Long, A. A. (1986). Hellenistic philosophy: Stoics, Epicureans, Sceptics. Duckworth.

Long, A. A. (1996). Stoic studies. University of California Press.

Long, A. A. (2002). Epictetus: A Stoic and Socratic guide to life. Clarendon Press.

Long, A. A., & Sedley, D. N. (1987). The Hellenistic philosophers. Cambridge University Press.

Marcus Aurelius. (2003). Meditations (G. Hays, Trans.). Modern Library.

Nussbaum, M. C. (1994). The therapy of desire: Theory and practice in Hellenistic ethics. Princeton University Press.

Plato. (1992). Republic (G. M. A. Grube, Trans., rev. C. D. C. Reeve). Hackett.

Robertson, D. (2013). Stoicism and the art of happiness. Routledge.

Robertson, D. (2019). How to think like a Roman emperor: The Stoic philosophy of Marcus Aurelius. St. Martin’s Press.

Sellars, J. (2006). Stoicism. University of California Press.

Seneca. (1928). On anger (De Ira) (J. W. Basore, Trans.). Harvard University Press.

Seneca. (2004). Letters from a Stoic (R. Campbell, Trans.). Penguin Classics.

Twenge, J. M. (2017). iGen: Why today’s super-connected kids are growing up less rebellious, more tolerant, less happy—and completely unprepared for adulthood. Atria Books.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar