Keadilan (Dikaiosynê)
Fondasi Etis Hubungan Manusia
dan Tatanan Kosmik
Alihkan ke: Filsafat Stoikisme.
Abstrak
Artikel ini membahas konsep dikaiosynê
(keadilan) dalam kerangka filsafat Stoikisme sebagai salah satu dari empat
kebajikan utama yang membentuk fondasi kehidupan bajik. Berangkat dari konteks
filsafat Yunani klasik—mulai dari pemikiran Plato tentang harmoni jiwa dan
polis hingga teori keadilan distributif dan korektif Aristoteles—kajian ini
menunjukkan bagaimana para filsuf Stoik mengembangkan pemahaman yang lebih
universal. Dalam pandangan Stoik, keadilan tidak hanya bersifat sosial, tetapi
juga kosmik: ia merupakan ekspresi hidup selaras dengan logos dan
hukum alam yang rasional serta abadi. Artikel ini menguraikan dimensi etis
keadilan sebagai penghormatan terhadap martabat manusia, pemenuhan kewajiban
sosial melalui kathêkonta, serta pengakuan kesetaraan universal yang
dipertegas melalui konsep oikeiôsis dan kosmopolitanisme. Selanjutnya,
dibahas pula dimensi kosmologis keadilan sebagai partisipasi manusia dalam
harmoni kosmos, yang menjadikan keadilan sebagai kebajikan ontologis dan bukan
sekadar norma positif. Analisis
ini menunjukkan relevansi keadilan Stoik dalam konteks modern, khususnya dalam
pengembangan gagasan hak asasi manusia, kepemimpinan etis, solidaritas
kosmopolitan, serta etika ekologis. Dengan demikian, dikaiosynê dalam
Stoikisme tetap aktual sebagai fondasi etis bagi kehidupan manusia kontemporer
yang dihadapkan pada tantangan global.
Kata Kunci: Stoikisme; Keadilan; Dikaiosynê;
Logos;
Hukum Alam; Oikeiôsis; Kosmopolitanisme; Hak
Asasi Manusia; Etika Sosial; Etika Kosmik.
PEMBAHASAN
Keadilan (Dikaiosynê) dalam
Stoikisme
1.
Pendahuluan
Keadilan (dikaiosynê) menempati posisi
sentral dalam etika Stoik sebagai salah satu dari empat kebajikan utama yang
membentuk karakter manusia bajik bersama kebijaksanaan (sophia),
keberanian (andreia), dan pengendalian diri (sôphrosynê). Dalam
kerangka Stoik, kebajikan bukan sekadar sifat moral yang berdiri sendiri,
melainkan ekspresi hidup rasional yang selaras dengan logos—tatanan
rasional kosmik yang menstrukturkan realitas.¹ Oleh karena itu, keadilan tidak
dipahami hanya sebagai seperangkat aturan positif, melainkan sebagai disposisi
rasional yang menuntun manusia bertindak benar terhadap sesama sebagai makhluk
sosial-rasional, sekaligus anggota dari kosmos yang tertib.²
Secara konseptual, dikaiosynê dalam
tradisi filsafat Yunani Kuno memiliki landasan luas—dari pembahasan Plato dan
Aristoteles hingga formulasinya yang khas di tangan para Stoik. Plato
mengaitkan keadilan dengan harmoni internal jiwa dan tatanan polis, sementara
Aristoteles menekankan keadilan distributif dan korektif dalam praktik sosial.³
Para Stoik melanjutkan diskursus ini dengan menegaskan bahwa keadilan adalah
keselarasan kehendak manusia dengan hukum alam (natural law) yang
bersifat universal dan mengikat semua rasional makhluk.⁴ Dengan demikian,
keadilan Stoik memiliki dimensi metafisik—bersumber pada logos—dan
dimensi praksis—terwujud dalam tindakan yang pantas (kathêkon) terhadap
orang lain.⁵
Antropologi moral Stoik memulai dari tesis
bahwa manusia adalah zôon logikon kai koinônikon—makhluk rasional dan
bersosial. Marcus Aurelius menegaskan bahwa manusia “diciptakan untuk
bekerja sama,” sehingga tindakan adil merupakan konsekuensi dari kodrat
sosial-rasional tersebut.⁶ Epictetus, pada gilirannya, menafsirkan
kewajiban-kewajiban etis melalui peran-peran relasional (anak, warga, pemimpin,
tetangga), di mana keadilan menuntun pemenuhan peran secara tepat dan
konsisten.⁷ Dengan kata lain, keadilan Stoik bersifat relasional: ia mengatur
cara kita memperlakukan orang lain dengan hormat (respect) dan
kepedulian (concern), seraya menjaga integritas diri sebagai agen
rasional.
Salah satu doktrin kunci yang menopang keadilan
dalam Stoikisme adalah oikeiôsis—proses “pengakraban” atau appropriation
di mana manusia secara bertahap memperluas lingkar keterikatan dari diri
sendiri menuju keluarga, komunitas, hingga seluruh umat manusia.⁸ Model “lingkar-lingkar
konsentris” Hierocles menggambarkan dorongan etis untuk “menarik”
lingkar terluar lebih dekat ke pusat, sehingga tercapai solidaritas universal.⁹
Melalui oikeiôsis, keadilan menjadi praksis pengakuan atas keserupaan
rasional dan martabat bersama, bukan semata kontrak sosial yang kontingen.
Dimensi kosmologis keadilan tampil jelas dalam
kosmopolitanisme Stoik. Zeno—pendiri Stoa—dan para penerusnya membayangkan
komunitas politik ideal yang melampaui batas-batas polis, berlandaskan logos
dan hukum alam yang sama bagi semua manusia.¹⁰ Cleanthes, dalam “Hymn to
Zeus,” memuji rasionalitas kosmos sebagai sumber tata moral; mematuhi logos
berarti hidup adil di hadapan tatanan ilahi-kosmologis.¹¹ Gagasan ini
menggemakan relasi erat antara keadilan, hukum alam, dan kewargaan kosmik (kosmopolitês)
yang kelak memengaruhi tradisi hukum alam Romawi dan pemikiran Cicero.¹²
Dalam tataran praksis, keadilan Stoik
mengarahkan tindakan konkret: menahan diri dari merugikan orang lain, menepati
janji, menunaikan kewajiban, dan memberikan tiap orang apa yang menjadi haknya.
Cicero—yang banyak menafsirkan Stoik—menempatkan iustitia dan beneficentia
sebagai fondasi tindakan benar, menekankan perlindungan terhadap yang lemah dan
larangan mengambil keuntungan dari kerugian orang lain.¹³ Seneca menambahkan
dimensi politik keadilan dalam nasihatnya bagi penguasa: kekuasaan yang bajik
ditandai oleh keadilan dan belas kasih (clementia) yang menjaga
kesejahteraan umum.¹⁴ Dengan begitu, keadilan Stoik mengikat ranah privat dan
publik sekaligus.
Dibandingkan konsep keadilan modern yang kerap
diformulasikan melalui kerangka institusional (misalnya keadilan sebagai
kewajaran prosedural atau distributif), keadilan Stoik berangkat dari
pembentukan karakter (virtue
ethics) dan mendesakkan konsistensi rasional dalam tindakan—baik
pada level individu maupun lembaga.¹⁵ Literatur mutakhir menegaskan bahwa
normativitas Stoik “berbasis alam” (normativity of nature):
kebajikan, termasuk keadilan, mengekspresikan keselarasan praktis dengan
rasionalitas dunia.¹⁶ Karena itu, keadilan Stoik relevan bagi diskursus
kontemporer tentang hak, kewajiban, dan tanggung jawab global—mulai dari etika
kepemimpinan, kebijakan publik, hingga isu-isu kosmopolitan seperti migrasi,
kemiskinan, dan krisis iklim—sepanjang ia dibaca sebagai etika karakter yang
berorientasi pada kebaikan bersama.
Artikel ini bertujuan: (1) merumuskan konsep
dasar dikaiosynê dalam tradisi Stoik dan landasan metafisiknya pada logos;
(2) menguraikan kerangka antropologis dan sosial keadilan melalui oikeiôsis,
peran, dan kathêkonta; (3) menampilkan dimensi kosmopolitan keadilan
dalam kaitannya dengan hukum alam; serta (4) menilai relevansinya bagi
perdebatan etika dan politik modern. Metodologinya menggabungkan pembacaan
sumber primer Yunani-Romawi (Zeno—sebagaimana direkonstruksi dalam testimoni,
Cleanthes, Chrysippus, Hierocles, Cicero, Seneca, Epictetus, Marcus Aurelius)
dan sumber sekunder mutakhir (Long & Sedley; Inwood & Gerson; Brennan;
Vogt; Annas), dengan pendekatan analitis-komparatif untuk menautkan dimensi
normatif, kosmologis, dan praksis.¹⁷ Kerangka ini diharapkan memberi fondasi
konseptual yang kokoh bagi kajian lanjutan pada bab-bab berikutnya.
Footnotes
[1]
A. A. Long dan David N. Sedley, The
Hellenistic Philosophers, 2 jilid (Cambridge: Cambridge University Press,
1987), khususnya jilid 1, bagian “Stoic Ethics.”
[2]
Brad Inwood dan Lloyd P. Gerson, The
Stoics Reader: Selected Writings and Testimonia, ed. ke-2 (Indianapolis:
Hackett, 2008), 129–147.
[3]
Plato, Republic, terj. C. D.
C. Reeve (Indianapolis: Hackett, 2004), bk. IV; Aristoteles, Nicomachean
Ethics, terj. Terence Irwin, ed. ke-3 (Indianapolis: Hackett, 2019), bk. V.
[4]
Katja Maria Vogt, Law, Reason,
and the Cosmic City: Political Philosophy in the Early Stoa (Oxford: Oxford
University Press, 2012), 1–28.
[5]
Inwood dan Gerson, The Stoics
Reader, 115–128 (testimonia tentang kathêkon).
[6]
Marcus Aurelius, Meditations,
terj. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002), bk. VI dan IX.
[7]
Epictetus, Discourses, Fragments,
Handbook, terj. Robin Hard (Oxford: Oxford University Press, 2014),
terutama Discourses I–II tentang peran dan kewajiban.
[8]
A. A. Long, Stoic Studies
(Berkeley: University of California Press, 1996), 170–193.
[9]
Hierocles, Elements of Ethics,
Fragments and Excerpts, terj. Ilaria Ramelli dan David Konstan (Atlanta:
Society of Biblical Literature, 2009), 90–110.
[10]
John M. Cooper, “Moral Theory and
the Foundations of Ethics,” dalam Reason and Emotion (Princeton:
Princeton University Press, 1999), 410–433; lihat juga rekonstruksi Zeno dalam
Long dan Sedley, The Hellenistic Philosophers, jilid 1.
[11]
Cleanthes, “Hymn to Zeus,” dalam
Inwood dan Gerson, The Stoics Reader, 32–35.
[12]
Cicero, De Legibus, terj.
Clinton Walker Keyes (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1928), bk. I; bandingkan De
Finibus III untuk pembacaan Stoik atas summum bonum.
[13]
Cicero, De Officiis, terj.
Walter Miller (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1913), bk. I.
[14]
Seneca, De Clementia, terj.
Susanna Braund (Oxford: Oxford University Press, 2009), bk. I–II.
[15]
Julia Annas, The Morality of
Happiness (Oxford: Oxford University Press, 1993), 160–205.
[16]
Katja Maria Vogt, The Normativity
of Nature: Essays on Kant and Stoic Ethics (Oxford: Oxford University
Press, 2012), 17–44.
[17]
Tad Brennan, The Stoic Life:
Emotions, Duties, and Fate (Oxford: Oxford University Press, 2005); Inwood
dan Gerson, The Stoics Reader; Long dan Sedley, The Hellenistic
Philosophers.
2.
Konsep Dasar Keadilan
(Dikaiosynê) dalam Filsafat Yunani
Konsep keadilan (dikaiosynê) merupakan
salah satu tema sentral dalam filsafat Yunani Kuno yang menjadi fondasi bagi
pengembangan etika dan teori politik Barat. Secara etimologis, kata dikaiosynê
berasal dari akar kata dikê, yang berarti “keadilan” atau “ketertiban,”
dan pada mulanya berkaitan dengan norma kosmik maupun hukum adat yang mengatur
kehidupan masyarakat.¹ Dengan demikian, sejak awal gagasan keadilan tidak hanya
dipahami sebagai urusan hukum positif, melainkan juga sebagai prinsip universal
yang menopang keteraturan sosial dan kosmik.
2.1. Keadilan dalam Pemikiran Pra-Sokratik
Sebelum Plato dan Aristoteles, gagasan
mengenai keadilan telah tersirat dalam pemikiran para filsuf Pra-Sokratik.
Anaximander, misalnya, memahami hukum kosmik sebagai mekanisme “pembalasan”
(tisis) yang menjaga keseimbangan dunia.² Demikian pula Herakleitos
menegaskan bahwa keadilan inheren dalam logos yang mengatur perubahan
dan konflik, di mana pertentangan justru menghasilkan harmoni kosmik.³
Pandangan ini meletakkan dasar bahwa keadilan tidak sekadar norma sosial,
tetapi terkait erat dengan keteraturan kosmos itu sendiri.
2.2. Plato: Keadilan sebagai Harmoni Jiwa dan Negara
Plato memberikan salah satu formulasi paling
berpengaruh tentang keadilan dalam Politeia (Republic). Bagi
Plato, keadilan adalah kondisi di mana setiap bagian jiwa—rasional, berani, dan
nafsu—berfungsi sesuai kodratnya, sehingga tercapai harmoni internal.⁴ Analogi
ini diperluas ke ranah politik: keadilan dalam negara terwujud ketika setiap
kelas sosial (penguasa, penjaga, dan produsen) menjalankan perannya dengan baik
tanpa melampaui batas.⁵ Dengan demikian, keadilan adalah prinsip tatanan yang
menjamin keseimbangan, bukan semata tindakan individual.
Plato juga menolak definisi keadilan
semata-mata sebagai “memberikan setiap orang apa yang menjadi haknya,”
sebagaimana dikemukakan oleh Polemarchus, maupun sebagai “kepentingan pihak
yang lebih kuat,” sebagaimana disodorkan oleh Thrasymachus.⁶ Melalui
dialog-dialektika, Plato berupaya menunjukkan bahwa keadilan sejati melampaui
relativisme politik dan merujuk pada tatanan ideal yang bersumber dari ide
Kebaikan (to agathon).⁷
2.3. Aristoteles: Keadilan Distributif dan Korektif
Aristoteles, dalam Etika Nikomakea,
mengembangkan konsep keadilan yang lebih praktis dengan membedakannya menjadi
keadilan umum (dikaiosynê holê aretê)—yang mencakup keseluruhan praktik
kebajikan dalam kehidupan sosial—dan keadilan khusus (meristikê), yang
terbagi atas keadilan distributif dan korektif.⁸ Keadilan distributif berkaitan
dengan pembagian kehormatan atau sumber daya berdasarkan proporsionalitas,
sedangkan keadilan korektif mengatur pemulihan keseimbangan dalam hubungan
timbal balik, seperti dalam kontrak atau tindak pidana.⁹
Bagi Aristoteles, keadilan bersifat
relasional: ia mengatur interaksi antarindividu dan komunitas sehingga
masing-masing menerima perlakuan yang pantas. Dengan menekankan prinsip
proporsionalitas, Aristoteles menolak kesetaraan mutlak, tetapi menegaskan bahwa
distribusi harus sesuai dengan kontribusi dan kelayakan moral.¹⁰ Pandangan ini
menandai pergeseran penting dari gagasan kosmik Plato menuju kerangka etika
sosial yang lebih konkret.
2.4. Dari Polis ke Kosmopolis: Keadilan sebagai Fondasi
Universal
Baik Plato maupun Aristoteles menekankan
pentingnya keadilan sebagai kebajikan sosial yang melekat pada kehidupan polis
Yunani. Namun, mereka tetap melihat keadilan dalam horizon komunitas politik
terbatas.¹¹ Ide ini kemudian diperluas oleh para filsuf Hellenistik, terutama
Stoik, yang menafsirkan dikaiosynê bukan hanya sebagai tatanan internal
polis, melainkan juga sebagai prinsip universal yang mengikat seluruh umat
manusia.¹²
Dengan demikian, perkembangan konsep keadilan
dalam filsafat Yunani menunjukkan transisi dari gagasan kosmik (Pra-Sokratik),
menuju model normatif ideal (Plato), hingga kerangka etika sosial-praktis
(Aristoteles), yang kemudian memberi dasar konseptual bagi formulasi Stoik
tentang keadilan sebagai hukum alam (natural law) dan kewajiban
kosmopolitan.
Footnotes
[1]
Henry George Liddell dan Robert
Scott, A Greek-English Lexicon, ed. revisi (Oxford: Clarendon Press,
1996), 429–430.
[2]
Jonathan Barnes, Early Greek
Philosophy (London: Penguin, 2001), 51–54.
[3]
Heraclitus, Fragments, terj.
T. M. Robinson (Toronto: University of Toronto Press, 1987), frag. 80, 94.
[4]
Plato, Republic, terj. C. D.
C. Reeve (Indianapolis: Hackett, 2004), 433a–434c.
[5]
Ibid., 435a–441c.
[6]
Ibid., 331c–336a.
[7]
Ibid., 504d–509b.
[8]
Aristoteles, Nicomachean Ethics,
terj. Terence Irwin, ed. ke-3 (Indianapolis: Hackett, 2019), V.1–2.
[9]
Ibid., V.3–5.
[10]
Richard Kraut, Aristotle:
Political Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2002), 133–142.
[11]
Mogens Herman Hansen, Polis: An
Introduction to the Ancient Greek City-State (Oxford: Oxford University
Press, 2006), 109–123.
[12]
Katja Maria Vogt, Law, Reason,
and the Cosmic City: Political Philosophy in the Early Stoa (Oxford: Oxford
University Press, 2012), 13–21.
3.
Keadilan dalam
Kerangka Stoikisme
Dalam filsafat Stoik, dikaiosynê
(keadilan) menempati posisi fundamental sebagai salah satu dari empat kebajikan
utama yang mendefinisikan kehidupan bajik (virtuous life). Bersama
dengan kebijaksanaan (sophia), keberanian (andreia), dan
pengendalian diri (sôphrosynê), keadilan membentuk fondasi etika Stoik
yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya serta dengan kosmos secara
keseluruhan.¹ Bagi para Stoik, kebajikan bukan sekadar sikap moral partikular,
melainkan bentuk keselarasan hidup dengan logos—rasionalitas kosmik yang
menstrukturkan alam semesta.² Dengan demikian, keadilan dalam Stoikisme tidak
dapat dipisahkan dari pandangan metafisik dan kosmologis mereka.
3.1. Keadilan sebagai Ekspresi Hidup Selaras dengan Logos
Stoikisme memandang bahwa seluruh realitas
diatur oleh logos, prinsip rasional dan ilahi yang menembus alam
semesta.³ Hidup bajik berarti hidup sesuai dengan logos, dan keadilan
merupakan manifestasi sosial dari prinsip tersebut. Chrysippos, salah seorang
filsuf utama Stoa, menegaskan bahwa keadilan adalah bagian dari rasionalitas
praktis, karena manusia, sebagai makhluk rasional, terikat untuk memperlakukan
sesama dengan hormat dan tanpa melukai.⁴ Dengan demikian, keadilan adalah
keteraturan moral yang berakar pada keteraturan kosmik.
3.2. Relasi Keadilan dengan Tiga Kebajikan Lainnya
Para Stoik menekankan bahwa empat kebajikan
utama saling terkait dan tidak dapat dipisahkan.⁵ Kebijaksanaan menyediakan
pengetahuan untuk membedakan yang adil dari yang tidak; keberanian memastikan
teguhnya komitmen untuk bertindak adil bahkan dalam kesulitan; pengendalian
diri menjaga agar dorongan egoistik tidak mengorbankan kepentingan orang lain.
Tanpa keadilan, kebajikan lain kehilangan dimensi sosialnya; sebaliknya, tanpa
kebijaksanaan, keberanian, dan pengendalian diri, keadilan tidak dapat diwujudkan
secara konsisten.⁶
3.3. Keadilan sebagai Prinsip Relasional dan Sosial
Stoikisme memandang manusia sebagai zôon
logikon kai koinônikon—makhluk rasional sekaligus sosial.⁷ Dari kodrat
sosial inilah muncul kewajiban untuk berlaku adil terhadap sesama. Hierocles,
seorang Stoik pertengahan, mengembangkan konsep oikeiôsis, yakni proses
“pengakraban” yang memperluas lingkar kepedulian manusia dari diri
sendiri, keluarga, komunitas, hingga seluruh umat manusia.⁸ Melalui oikeiôsis,
keadilan dipahami sebagai pengakuan dan penghormatan atas kesamaan rasionalitas
pada semua manusia.
Epictetus menekankan dimensi praktis keadilan
dengan mengaitkannya pada peran-peran sosial yang dijalani seseorang.⁹ Sebagai
anak, warga negara, atau pemimpin, individu terikat pada kewajiban moral
tertentu, dan keadilan berarti memenuhi kewajiban-kewajiban tersebut sesuai
dengan peran yang melekat. Dengan demikian, keadilan Stoik bersifat kontekstual
namun universal: ia berlaku dalam setiap relasi manusiawi, sekaligus menegaskan
kesetaraan ontologis semua manusia sebagai bagian dari kosmos rasional.
3.4. Keadilan, Hukum Alam, dan Kosmopolitanisme
Zeno dari Citium, pendiri Stoa, merumuskan
ideal kosmopolitanisme: bahwa semua manusia adalah warga dunia (kosmopolitês),
tunduk pada hukum alam yang sama.¹⁰ Dari sinilah lahir gagasan keadilan
universal yang melampaui batas polis Yunani. Cleanthes, murid Zeno, dalam “Hymn
to Zeus” menggambarkan keadilan sebagai kepatuhan terhadap hukum ilahi yang
mengatur kosmos.¹¹ Chrysippos kemudian mengartikulasikan bahwa hukum sejati
adalah “rasio kosmik yang menyebar dalam segala hal,” sehingga keadilan
manusiawi merupakan pantulan dari hukum alam yang universal.¹²
Cicero, yang dipengaruhi pemikiran Stoik,
menyatakan dalam De Legibus dan De Officiis bahwa keadilan
bersumber dari hukum alam yang abadi dan rasional, bukan dari kesepakatan atau
dekret negara.¹³ Dengan demikian, keadilan Stoik memberi dasar konseptual bagi
gagasan hukum alam dan hak universal yang kelak menjadi inspirasi dalam
filsafat hukum Romawi maupun tradisi modern tentang hak asasi manusia.
3.5. Dimensi Praktis Keadilan Stoik
Meskipun berakar pada metafisika logos,
keadilan dalam Stoikisme bersifat sangat praktis. Seneca menegaskan bahwa
penguasa yang adil adalah mereka yang menggunakan kekuasaan dengan clementia
(belas kasih) dan menolak kesewenang-wenangan.¹⁴ Marcus Aurelius, dalam Meditations,
berulang kali menekankan bahwa hidup sesuai kodrat berarti hidup demi kebaikan
bersama, sebab manusia “diciptakan untuk bekerja sama.”¹⁵ Dengan
demikian, keadilan Stoik beroperasi dalam kehidupan sehari-hari: menepati
janji, menghormati hak orang lain, dan menghindari perilaku yang merugikan
sesama.
Kesimpulan Sementara
Keadilan dalam kerangka Stoikisme bukan
sekadar norma hukum atau kontrak sosial, melainkan ekspresi dari hidup selaras
dengan tatanan rasional kosmos. Ia menuntun manusia untuk bertindak benar dalam
relasi sosial, memperluas kepedulian terhadap sesama melalui oikeiôsis,
serta mendasarkan kewajiban moral pada hukum alam yang universal. Dengan
demikian, dikaiosynê Stoik menghubungkan dimensi kosmologis, etis, dan
praksis dalam satu kesatuan yang utuh.
Footnotes
[1]
A. A. Long dan David N. Sedley, The
Hellenistic Philosophers, 2 jilid (Cambridge: Cambridge University Press,
1987), I.356–360.
[2]
Brad Inwood dan Lloyd P. Gerson, The
Stoics Reader: Selected Writings and Testimonia, ed. ke-2 (Indianapolis:
Hackett, 2008), 113–125.
[3]
Cleanthes, “Hymn to Zeus,” dalam
Inwood dan Gerson, The Stoics Reader, 32–35.
[4]
Tad Brennan, The Stoic Life:
Emotions, Duties, and Fate (Oxford: Oxford University Press, 2005), 63–70.
[5]
Julia Annas, The Morality of
Happiness (Oxford: Oxford University Press, 1993), 160–165.
[6]
Long, Stoic Studies
(Berkeley: University of California Press, 1996), 189–194.
[7]
Marcus Aurelius, Meditations,
terj. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002), VI.44.
[8]
Hierocles, Elements of Ethics,
Fragments and Excerpts, terj. Ilaria Ramelli dan David Konstan (Atlanta:
Society of Biblical Literature, 2009), 90–108.
[9]
Epictetus, Discourses, Fragments,
Handbook, terj. Robin Hard (Oxford: Oxford University Press, 2014), I.2;
II.10.
[10]
Katja Maria Vogt, Law, Reason,
and the Cosmic City: Political Philosophy in the Early Stoa (Oxford: Oxford
University Press, 2012), 18–26.
[11]
Cleanthes, “Hymn to Zeus,” dalam
Inwood dan Gerson, The Stoics Reader, 32–35.
[12]
Long dan Sedley, The Hellenistic
Philosophers, I.314–315.
[13]
Cicero, De Officiis, terj.
Walter Miller (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1913), I.12–17; De
Legibus, terj. Clinton W. Keyes (Cambridge, MA: Harvard University Press,
1928), I.6–7.
[14]
Seneca, De Clementia, terj.
Susanna Braund (Oxford: Oxford University Press, 2009), I.3–4.
[15]
Marcus Aurelius, Meditations,
VI.7; IX.23.
4.
Dimensi Etis Keadilan
dalam Stoikisme
Keadilan (dikaiosynê) dalam kerangka
Stoikisme tidak semata-mata merupakan prinsip hukum atau politik, melainkan
terutama kebajikan etis yang mengatur perilaku manusia dalam relasi sosial. Ia
menuntut agar individu memperlakukan orang lain dengan penghormatan,
kepedulian, dan tanpa melukai, sehingga tercapai harmoni dalam komunitas
manusia.¹ Etika Stoik menekankan bahwa keadilan bukanlah aturan eksternal yang
dipaksakan, melainkan disposisi batiniah yang lahir dari keselarasan dengan logos
dan kodrat sosial manusia.² Dengan demikian, dimensi etis keadilan dalam
Stoikisme mencakup pengakuan martabat sesama, tanggung jawab terhadap
komunitas, serta keterikatan moral yang universal.
4.1. Penghormatan dan Kepedulian terhadap Sesama
Stoikisme menegaskan bahwa setiap manusia,
sebagai makhluk rasional, memiliki nilai moral yang sama. Marcus Aurelius,
misalnya, menulis bahwa “kita diciptakan untuk bekerja sama seperti tangan,
kaki, dan kelopak mata” sehingga tindakan yang merugikan orang lain adalah
penyangkalan terhadap kodrat manusia sendiri.³ Dari sini lahir kewajiban etis
untuk memperlakukan sesama dengan hormat (respect) dan kepedulian (concern).
Epictetus bahkan menegaskan bahwa orang bijak tidak akan menyakiti, menghina,
atau menipu orang lain, karena semua manusia berbagi kodrat rasional yang
sama.⁴
Keadilan dalam dimensi ini juga menuntut sikap
aktif dalam membantu sesama. Cicero, yang banyak dipengaruhi pemikiran Stoik,
menyatakan bahwa “dasar keadilan adalah tidak merugikan siapa pun, kecuali
untuk membela diri, dan menggunakan sumber daya untuk kebaikan bersama.”⁵
Prinsip ini menekankan bahwa keadilan tidak berhenti pada larangan, tetapi juga
mencakup kewajiban positif untuk menolong dan berbagi.
4.2. Keadilan sebagai Pengakuan Kesetaraan dalam Komunitas
Manusia
Salah satu fondasi etis Stoik adalah konsep oikeiôsis,
yaitu proses pengakraban diri yang berkembang dari kepedulian terhadap diri
sendiri menuju kepedulian terhadap keluarga, komunitas, hingga seluruh umat
manusia.⁶ Hierocles menggambarkan proses ini dengan lingkaran konsentris: dari
pusat diri, manusia “menarik” lingkar-lingkar luar lebih dekat, sehingga
setiap orang diakui sebagai bagian dari komunitas moral yang sama.⁷ Dari
perspektif ini, keadilan bukan sekadar distribusi yang seimbang, tetapi juga
pengakuan akan kesetaraan moral universal yang melampaui sekat etnis, bangsa,
maupun kelas sosial.
Prinsip ini memiliki konsekuensi praktis:
seorang Stoik sejati akan memandang budak dan bangsawan dengan martabat yang
sama, karena keduanya adalah manifestasi dari rasionalitas kosmik.⁸ Pandangan
ini sangat radikal bagi dunia kuno yang didominasi oleh hierarki sosial yang
kaku. Dengan
demikian, keadilan Stoik adalah fondasi kosmopolitanisme etis yang memperluas
solidaritas kemanusiaan.
4.3. Keadilan dan Kewajiban Peran Sosial
Stoikisme memandang kehidupan etis sebagai
pemenuhan kewajiban (kathêkonta) sesuai dengan peran sosial yang
dijalani individu. Epictetus menekankan bahwa seseorang harus bertindak sesuai
dengan perannya—baik sebagai anak, saudara, warga negara, maupun pemimpin—dan
keadilan berarti menunaikan kewajiban-kewajiban ini dengan setia.⁹ Misalnya,
seorang ayah yang adil memenuhi tanggung jawabnya terhadap anak-anaknya;
seorang warga negara yang adil menghormati hukum yang selaras dengan
rasionalitas alam; seorang pemimpin yang adil menggunakan kekuasaannya untuk
kebaikan bersama.
Keadilan dalam Stoikisme karenanya bersifat
relasional: ia bukan abstraksi metafisik semata, melainkan kewajiban nyata
dalam konteks interaksi sosial.¹⁰ Dengan memadukan kesadaran kosmik dan peran
praktis, Stoikisme memberikan kerangka etis yang menyeluruh bagi kehidupan
moral manusia.
4.4. Keadilan sebagai Disposisi Batiniah, Bukan Sekadar
Kepatuhan Eksternal
Berbeda dengan pandangan legalistik yang
menekankan kepatuhan pada aturan eksternal, Stoikisme melihat keadilan sebagai
kebajikan internal. Seneca menegaskan bahwa “keadilan bukanlah hasil
ketakutan terhadap hukuman, melainkan lahir dari keinginan jiwa untuk melakukan
yang benar.”¹¹ Pandangan ini menempatkan keadilan sebagai ekspresi karakter
yang terbentuk melalui latihan kebajikan, bukan sekadar kepatuhan formal.
Dengan demikian, keadilan Stoik berakar pada
integritas moral: ia menuntut konsistensi antara pemahaman rasional dan
tindakan nyata. Hal ini membuat keadilan lebih dari sekadar norma sosial—ia
adalah fondasi etis yang menjiwai seluruh kehidupan.
Kesimpulan Sementara
Dimensi etis keadilan dalam Stoikisme
menegaskan bahwa manusia, sebagai makhluk sosial-rasional, memiliki kewajiban
untuk memperlakukan sesama dengan hormat, mengakui kesetaraan moral, dan
menunaikan kewajiban peran sosial. Keadilan dipahami sebagai disposisi batiniah
yang lahir dari keselarasan dengan logos, bukan semata-mata ketaatan
pada hukum positif. Dengan demikian, Stoikisme menghadirkan keadilan sebagai
kebajikan universal yang mengikat relasi antarmanusia, sekaligus memperkokoh
harmoni kosmos.
Footnotes
[1]
Brad Inwood dan Lloyd P. Gerson, The
Stoics Reader: Selected Writings and Testimonia, ed. ke-2 (Indianapolis:
Hackett, 2008), 113–115.
[2]
A. A. Long dan David N. Sedley, The
Hellenistic Philosophers, 2 jilid (Cambridge: Cambridge University Press,
1987), I.356–360.
[3]
Marcus Aurelius, Meditations,
terj. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002), VI.44.
[4]
Epictetus, Discourses, Fragments,
Handbook, terj. Robin Hard (Oxford: Oxford University Press, 2014), I.2.
[5]
Cicero, De Officiis, terj.
Walter Miller (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1913), I.7–12.
[6]
A. A. Long, Stoic Studies
(Berkeley: University of California Press, 1996), 170–193.
[7]
Hierocles, Elements of Ethics,
Fragments and Excerpts, terj. Ilaria Ramelli dan David Konstan (Atlanta:
Society of Biblical Literature, 2009), 90–110.
[8]
Richard Sorabji, Animal Minds and
Human Morals: The Origins of the Western Debate (Ithaca: Cornell University
Press, 1993), 129–135.
[9]
Epictetus, Discourses, I.9;
II.10.
[10]
Julia Annas, The Morality of
Happiness (Oxford: Oxford University Press, 1993), 161–166.
[11]
Seneca, De Vita Beata, terj.
John W. Basore
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1932), XV.
5.
Keadilan dan Kewajiban
Sosial
Stoikisme memahami keadilan (dikaiosynê)
bukan semata sebagai norma moral individual, melainkan sebagai kebajikan yang
memiliki dimensi sosial yang luas. Karena manusia dipandang sebagai makhluk rasional
sekaligus sosial (zôon logikon kai koinônikon), maka tindakan adil
mencakup keterlibatan dalam kehidupan komunitas serta pemenuhan kewajiban
terhadap sesama.¹ Dengan kata lain, keadilan Stoik mengikat individu pada
tanggung jawab sosial, politik, dan kosmopolitan yang melampaui kepentingan
diri sendiri.
5.1. Peran Keadilan dalam Kehidupan Sosial dan Politik
Dalam etika Stoik, kehidupan manusia tidak
pernah terlepas dari jaringan relasi sosial. Seneca menegaskan bahwa “kita
dilahirkan untuk komunitas; kebersamaan adalah kodrat kita” sehingga
kewajiban etis tidak bisa dipisahkan dari kehidupan bersama.² Oleh karena itu,
keadilan bukan hanya melarang tindakan merugikan orang lain, tetapi juga
menuntut kontribusi aktif bagi kebaikan masyarakat.
Cicero, yang banyak menafsirkan gagasan Stoik,
menekankan bahwa iustitia adalah fondasi hukum dan politik.³ Bagi
Cicero, negara tidak dapat berdiri tanpa keadilan, karena keadilan adalah
pengikat yang menjaga kesatuan dan kepercayaan di antara warga. Perspektif ini
menegaskan keterhubungan erat antara keadilan Stoik dan konsep kewajiban
sosial-politik.
5.2. Manusia sebagai Warga Dunia (Kosmopolitês)
Zeno dari Citium, pendiri Stoa, merumuskan
ideal kosmopolitanisme dengan menyatakan bahwa semua manusia adalah warga dunia
(kosmopolitês), tunduk pada hukum alam yang universal.⁴ Pandangan ini
menekankan bahwa keadilan tidak boleh dibatasi oleh batas politik polis atau
negara, melainkan berlaku bagi seluruh umat manusia. Cleanthes, dalam “Hymn
to Zeus,” memuji logos sebagai hukum kosmik yang menyatukan semua
makhluk rasional dalam satu tatanan.⁵
Hierocles mengembangkan pandangan ini melalui
konsep oikeiôsis, di mana manusia memperluas lingkar kepedulian dari
keluarga ke komunitas, hingga pada akhirnya ke seluruh umat manusia.⁶ Keadilan
dalam kerangka ini berarti kewajiban untuk memperlakukan semua manusia sebagai
sesama warga kosmos, yang memiliki martabat dan hak yang setara.
5.3. Keadilan dalam Praktik Kewajiban Sehari-hari
Stoikisme menekankan pentingnya kathêkonta
(tindakan pantas) sebagai bentuk konkret keadilan. Epictetus menegaskan bahwa
setiap individu, sesuai dengan perannya (anak, orang tua, pemimpin, warga
negara), memiliki kewajiban moral tertentu yang harus dipenuhi demi terjaganya
keharmonisan sosial.⁷ Misalnya, seorang pemimpin yang adil tidak memerintah
demi kepentingan pribadi, melainkan untuk kesejahteraan rakyat; seorang warga
negara yang adil menaati hukum yang selaras dengan rasionalitas kosmik.
Marcus Aurelius, sebagai kaisar sekaligus
filsuf Stoik, menjadi contoh konkret bagaimana keadilan dipraktikkan dalam
ranah politik. Dalam Meditations, ia menulis bahwa tugas penguasa adalah
“hidup untuk kepentingan bersama” dan “bertindak demi keadilan, bukan
demi pujian.”⁸ Dengan demikian, keadilan berfungsi sebagai norma etis yang
menuntun kepemimpinan dan tata masyarakat.
5.4. Keadilan dan Solidaritas Universal
Dimensi sosial dari keadilan Stoik menekankan
solidaritas universal yang mengatasi sekat kelas, status, maupun
kewarganegaraan. Seneca dalam De Vita Beata menegaskan bahwa manusia
yang bijak melihat “semua orang sebagai saudara,” sebab semua berasal
dari satu asal kosmik.⁹ Pandangan ini menolak diskriminasi dan menekankan
kewajiban etis untuk melindungi yang lemah dan tidak berdaya.
Dengan demikian, keadilan Stoik bukan hanya
aturan tentang hubungan formal dalam polis, melainkan etos kosmopolitan yang
memandang seluruh umat manusia sebagai bagian dari satu komunitas moral.
Prinsip ini kemudian berpengaruh pada tradisi hukum Romawi dan pada
perkembangan konsep hukum alam (natural law), yang kelak menjadi
landasan penting bagi gagasan modern tentang hak asasi manusia.¹⁰
Kesimpulan Sementara
Keadilan dalam Stoikisme adalah kebajikan yang
menuntun manusia untuk memenuhi kewajiban sosial, baik dalam kehidupan
sehari-hari, dalam relasi politik, maupun dalam horizon kosmopolitan. Ia
mendasari keterlibatan aktif manusia dalam masyarakat, mengarahkan pemimpin
untuk memerintah dengan adil, dan memperluas solidaritas ke seluruh umat
manusia. Dengan demikian, dikaiosynê dalam kerangka Stoik meneguhkan
bahwa etika individual tidak dapat dipisahkan dari tanggung jawab sosial dan
politik yang lebih luas.
Footnotes
[1]
A. A. Long dan David N. Sedley, The
Hellenistic Philosophers, 2 jilid (Cambridge: Cambridge University Press,
1987), I.357.
[2]
Seneca, Epistulae Morales ad
Lucilium, terj. Richard M. Gummere (Cambridge, MA: Harvard University
Press, 1917), Ep. 95.52.
[3]
Cicero, De Officiis, terj.
Walter Miller (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1913), I.7–12.
[4]
Katja Maria Vogt, Law, Reason,
and the Cosmic City: Political Philosophy in the Early Stoa (Oxford: Oxford
University Press, 2012), 18–26.
[5]
Cleanthes, “Hymn to Zeus,” dalam
Brad Inwood dan Lloyd P. Gerson, The Stoics Reader: Selected Writings and
Testimonia, ed. ke-2 (Indianapolis: Hackett, 2008), 32–35.
[6]
Hierocles, Elements of Ethics,
Fragments and Excerpts, terj. Ilaria Ramelli dan David Konstan (Atlanta:
Society of Biblical Literature, 2009), 90–110.
[7]
Epictetus, Discourses, Fragments,
Handbook, terj. Robin Hard (Oxford: Oxford University Press, 2014), I.2;
II.10.
[8]
Marcus Aurelius, Meditations,
terj. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002), VI.7; IX.23.
[9]
Seneca, De Vita Beata, terj.
John W. Basore
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1932), 20–22.
[10]
Cicero, De Legibus, terj.
Clinton Walker Keyes (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1928), I.6–7;
lihat pula Anthony J. Lisska, Philosophy and Law in the Middle Ages: The
Legacy of Scholasticism (London: Routledge, 2016), 35–42.
6.
Keadilan dan Tatanan
Kosmik
Dalam filsafat Stoik, keadilan (dikaiosynê)
tidak dapat dilepaskan dari pemahaman tentang kosmos sebagai tatanan rasional
yang diatur oleh logos. Para Stoik meyakini bahwa alam semesta adalah
organisme hidup yang rasional dan ilahi, di mana semua makhluk berpartisipasi
dalam keteraturan yang sama.¹ Oleh karena itu, keadilan tidak hanya bersifat
sosial, tetapi juga kosmik: ia merefleksikan keterlibatan manusia dalam harmoni
universal.
6.1. Keadilan dan Hukum Alam (Natural Law)
Salah satu kontribusi besar Stoikisme dalam
sejarah filsafat adalah pengembangan konsep hukum alam (lex naturalis).
Chrysippos menegaskan bahwa hukum sejati adalah “rasio kosmik yang menembus
segala sesuatu” dan berlaku secara universal bagi semua makhluk rasional.²
Keadilan, dalam kerangka ini, berarti hidup sesuai dengan hukum alam yang sama,
bukan sekadar menaati hukum positif buatan manusia.
Cicero, yang banyak dipengaruhi pemikiran
Stoik, menegaskan bahwa “hukum adalah akal budi yang benar, sesuai dengan
alam, universal, tidak berubah, dan abadi.”³ Pernyataan ini menunjukkan
bahwa keadilan tidak bergantung pada kesepakatan politik, tetapi berakar pada
keteraturan kosmik yang bersifat rasional. Dengan demikian, keadilan Stoik
memiliki fondasi metafisis yang jauh melampaui relativisme budaya atau hukum.
6.2. Keadilan sebagai Partisipasi dalam Harmoni Kosmos
Kosmos bagi para Stoik adalah polis
universal, tempat semua manusia berperan sebagai warga negara (kosmopolitês).⁴
Hidup adil berarti menunaikan kewajiban kita sebagai anggota komunitas kosmik
tersebut. Cleanthes, dalam Hymn to Zeus, menyatakan bahwa seluruh
makhluk hidup “menurut jalan yang telah Engkau tetapkan” dan bahwa
keadilan lahir dari kepatuhan pada logos ilahi yang mengatur kosmos.⁵
Dengan demikian, keadilan manusiawi dipahami sebagai refleksi dari keteraturan
alam semesta.
Marcus Aurelius menegaskan bahwa tindakan adil
bukan hanya bermanfaat bagi orang lain, tetapi juga selaras dengan kodrat
kosmos: “Apa yang tidak sesuai dengan kebaikan umum, tidak sesuai dengan
kosmos.”⁶ Pandangan ini memperlihatkan dimensi kosmik dari keadilan:
keadilan bukan hanya kewajiban sosial, tetapi juga bentuk partisipasi manusia
dalam rasionalitas universal.
6.3. Keadilan sebagai Jembatan antara Etika dan Kosmologi
Dalam kerangka Stoik, keadilan menghubungkan
dua ranah: etika dan kosmologi. Etika Stoik mengajarkan bahwa tujuan hidup
manusia adalah eudaimonia (kebahagiaan sejati), yang hanya dapat dicapai
dengan hidup sesuai dengan alam (homologoumenos tē phusei zēn).⁷ Karena
alam bersifat rasional dan tertib, hidup adil berarti menyelaraskan tindakan
manusia dengan struktur kosmos itu sendiri.
Pandangan ini menjadikan keadilan bukan
sekadar aturan moral, melainkan kebajikan ontologis: ia adalah cara manusia
mengintegrasikan dirinya dalam harmoni kosmik.⁸ Inilah sebabnya mengapa
keadilan Stoik dianggap abadi dan universal—ia tidak lahir dari kesepakatan
manusia, melainkan dari tatanan kosmos yang lebih tinggi.
6.4. Implikasi Kosmologis terhadap Kehidupan Sosial
Dimensi kosmik dari keadilan memiliki
implikasi nyata bagi kehidupan sosial dan politik. Dengan memahami dirinya
sebagai bagian dari kosmos, manusia dituntut untuk memperlakukan sesama sebagai
rekan warga kosmik dengan martabat yang sama. Hierocles, melalui gagasan oikeiôsis,
menekankan bahwa kewajiban moral kita semakin meluas seiring kesadaran kosmik
yang berkembang.⁹ Dengan demikian, keadilan mengikat manusia pada solidaritas
universal yang melampaui batas polis atau negara.
Prinsip ini kelak memengaruhi tradisi hukum
Romawi dan, melalui Cicero serta filsuf skolastik, menjadi salah satu dasar
bagi perkembangan gagasan modern tentang hak asasi manusia.¹⁰
Kesimpulan Sementara
Keadilan dalam Stoikisme bukan hanya norma
sosial, melainkan ekspresi partisipasi manusia dalam tatanan kosmik yang
rasional. Sebagai hukum alam, keadilan bersifat universal, abadi, dan mengikat
semua makhluk rasional. Melalui keterlibatan dalam harmoni kosmos, manusia
menunaikan kewajibannya terhadap sesama sekaligus menyelaraskan diri dengan logos
ilahi. Dengan demikian, dikaiosynê Stoik adalah kebajikan yang
menyatukan etika, hukum, dan kosmologi dalam satu kesatuan yang utuh.
Footnotes
[1]
A. A. Long, Stoic Studies
(Berkeley: University of California Press, 1996), 179–183.
[2]
Long dan David N. Sedley, The
Hellenistic Philosophers, 2 jilid (Cambridge: Cambridge University Press,
1987), I.314–315.
[3]
Cicero, De Legibus, terj.
Clinton W. Keyes (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1928), I.6–7.
[4]
Katja Maria Vogt, Law, Reason,
and the Cosmic City: Political Philosophy in the Early Stoa (Oxford: Oxford
University Press, 2012), 19–24.
[5]
Cleanthes, “Hymn to Zeus,” dalam
Brad Inwood dan Lloyd P. Gerson, The Stoics Reader: Selected Writings and
Testimonia, ed. ke-2 (Indianapolis: Hackett, 2008), 32–35.
[6]
Marcus Aurelius, Meditations,
terj. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002), VI.7; IX.23.
[7]
Epictetus, Discourses, Fragments,
Handbook, terj. Robin Hard (Oxford: Oxford University Press, 2014), I.4;
III.24.
[8]
Julia Annas, The Morality of
Happiness (Oxford: Oxford University Press, 1993), 161–170.
[9]
Hierocles, Elements of Ethics,
Fragments and Excerpts, terj. Ilaria Ramelli dan David Konstan (Atlanta:
Society of Biblical Literature, 2009), 92–110.
[10]
Anthony J. Lisska, Philosophy and
Law in the Middle Ages: The Legacy of Scholasticism (London: Routledge,
2016), 40–44.
7.
Relevansi
Keadilan Stoik dalam Konteks Modern
Meskipun Stoikisme berkembang lebih dari dua
milenium lalu, gagasan tentang keadilan (dikaiosynê) tetap memiliki
relevansi yang signifikan bagi perdebatan etika, politik, dan hukum
kontemporer. Keadilan Stoik, yang berakar pada keselarasan dengan logos
dan hukum alam universal, memberikan kerangka normatif yang melampaui batas
komunitas lokal dan menegaskan kewajiban moral terhadap seluruh umat manusia.
Dalam dunia modern yang ditandai oleh globalisasi, pluralitas, serta tantangan
keadilan sosial dan ekologis, prinsip-prinsip Stoik dapat dibaca kembali untuk
memperkuat pemahaman kita tentang tanggung jawab kolektif.
7.1. Keadilan Stoik dan Hak Asasi Manusia
Konsep Stoik tentang hukum alam (natural
law)—yang menyatakan bahwa keadilan bersifat universal, abadi, dan
rasional—menjadi salah satu fondasi filosofis bagi gagasan hak asasi manusia
modern.¹ Cicero, yang banyak menafsirkan gagasan Stoik, menegaskan bahwa hukum
sejati adalah akal budi yang selaras dengan alam dan tidak dapat dihapuskan
oleh dekret penguasa.² Pandangan ini memiliki resonansi dengan Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia (1948), yang menegaskan martabat dan kesetaraan
semua manusia.
Dalam konteks ini, keadilan Stoik dapat
membantu memperkuat basis moral bagi advokasi hak-hak universal, khususnya
dalam menghadapi pelanggaran HAM, diskriminasi, dan eksploitasi. Dengan
menekankan kesatuan umat manusia dalam kosmos, Stoikisme menyediakan kerangka
etis yang transnasional dan kosmopolitan.³
7.2. Keadilan Stoik dan Etika Sosial-Politik Kontemporer
Keadilan dalam Stoikisme juga relevan dalam
ranah etika sosial dan politik modern. Epictetus menekankan bahwa keadilan
menuntut pemenuhan kewajiban sesuai dengan peran sosial individu.⁴ Pandangan
ini dapat diterapkan pada isu-isu modern seperti kepemimpinan etis,
pemerintahan yang berintegritas, serta tanggung jawab sosial perusahaan.
Marcus Aurelius memberikan teladan
kepemimpinan berbasis keadilan dengan menekankan bahwa penguasa sejati
memerintah demi kepentingan umum, bukan untuk keuntungan pribadi.⁵ Prinsip ini
selaras dengan tuntutan demokrasi modern terhadap transparansi, akuntabilitas,
dan keadilan distributif dalam kebijakan publik. Dalam dunia politik
kontemporer yang kerap diwarnai oleh pragmatisme kekuasaan, ajaran Stoik
menawarkan paradigma moral yang meneguhkan integritas.
7.3. Keadilan Stoik dan Isu Global Kontemporer
Keadilan Stoik juga memiliki relevansi dalam
menghadapi persoalan global, seperti migrasi, kemiskinan, dan krisis
lingkungan. Prinsip oikeiôsis, yang menekankan perluasan lingkar
kepedulian dari diri sendiri ke seluruh umat manusia, mendorong solidaritas
kosmopolitan yang dapat menjadi landasan etis bagi kebijakan global.⁶
Dalam isu lingkungan, pandangan Stoik bahwa
kosmos adalah tatanan rasional yang harus dihormati membuka ruang bagi etika
ekologi. Keadilan tidak hanya dipahami sebagai relasi antarmanusia, tetapi juga
sebagai kewajiban menjaga harmoni kosmos yang mencakup makhluk hidup dan alam.⁷
Dengan demikian, Stoikisme dapat memperkaya diskursus keadilan ekologis yang
semakin mendesak dalam konteks perubahan iklim.
7.4. Keadilan Stoik dan Filsafat Kontemporer
Pemikiran kontemporer, seperti teori keadilan
John Rawls, menekankan aspek prosedural dan distributif keadilan dalam kerangka
institusional.⁸ Berbeda dengan itu, Stoikisme menekankan keadilan sebagai
kebajikan karakter, yaitu disposisi batiniah untuk memperlakukan orang lain
secara benar. Namun,
keduanya dapat dipandang saling melengkapi: keadilan Stoik memberi fondasi etis
personal yang menopang struktur keadilan institusional modern.
Selain itu, gagasan kosmopolitan Stoik tentang
kewargaan dunia beresonansi dengan pemikiran filsuf kontemporer seperti Martha
Nussbaum, yang mengembangkan konsep keadilan global berbasis martabat manusia
universal.⁹ Dengan demikian, Stoikisme dapat berperan sebagai sumber inspirasi
etika lintas budaya yang menekankan kesatuan moral umat manusia.
Kesimpulan Sementara
Relevansi keadilan Stoik dalam konteks modern
terletak pada kemampuannya untuk menjembatani etika individu, solidaritas
sosial, dan tanggung jawab global. Dengan menekankan keadilan sebagai kebajikan
universal yang berakar pada hukum alam, Stoikisme menghadirkan kerangka moral
yang dapat memperkuat wacana hak asasi manusia, kepemimpinan etis, serta
solidaritas kosmopolitan. Selain itu, dengan membuka perspektif ekologis,
keadilan Stoik juga memberi dasar filosofis untuk menghadapi krisis global yang
melibatkan bukan hanya manusia, tetapi juga kosmos secara keseluruhan.
Footnotes
[1]
A. A. Long, Stoic Studies
(Berkeley: University of California Press, 1996), 180–185.
[2]
Cicero, De Legibus, terj.
Clinton W. Keyes (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1928), I.6–7.
[3]
Katja Maria Vogt, Law, Reason,
and the Cosmic City: Political Philosophy in the Early Stoa (Oxford: Oxford
University Press, 2012), 33–38.
[4]
Epictetus, Discourses, Fragments,
Handbook, terj. Robin Hard (Oxford: Oxford University Press, 2014), I.2;
II.10.
[5]
Marcus Aurelius, Meditations,
terj. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002), VI.7; IX.23.
[6]
Hierocles, Elements of Ethics,
Fragments and Excerpts, terj. Ilaria Ramelli dan David Konstan (Atlanta:
Society of Biblical Literature, 2009), 92–110.
[7]
Julia Annas, The Morality of
Happiness (Oxford: Oxford University Press, 1993), 167–172.
[8]
John Rawls, A Theory of Justice,
rev. ed. (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999), 52–60.
[9]
Martha C. Nussbaum, Frontiers of
Justice: Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 2006), 20–30.
8.
Penutup
Kajian mengenai dikaiosynê (keadilan)
dalam Stoikisme memperlihatkan bahwa kebajikan ini memiliki cakupan yang lebih
luas daripada sekadar norma hukum atau etika sosial biasa. Stoikisme memaknai
keadilan sebagai kebajikan fundamental yang menghubungkan manusia dengan
sesamanya sekaligus dengan tatanan kosmik yang rasional.¹ Dengan dasar ini,
keadilan Stoik menuntut penghormatan terhadap martabat manusia, pengakuan
kesetaraan moral universal, dan kesediaan untuk menunaikan kewajiban sosial
serta kosmopolitan.
Dari sisi historis, keadilan Stoik lahir dalam
kontinuitas sekaligus perbedaan dengan tradisi Yunani sebelumnya. Plato
menekankan keadilan sebagai harmoni jiwa dan polis, sementara Aristoteles
menyoroti dimensi distributif dan korektif dalam kehidupan sosial.² Para Stoik
kemudian melangkah lebih jauh dengan menegaskan bahwa keadilan adalah ekspresi
dari hidup sesuai dengan logos dan hukum alam yang bersifat universal.³
Dengan demikian, Stoikisme menghadirkan kerangka konseptual yang menjembatani
etika individual, norma sosial, dan kosmologi.
Dalam dimensi praksis, keadilan Stoik menuntut
pemenuhan kewajiban sesuai dengan peran sosial individu (kathêkonta),
keterlibatan dalam komunitas, serta kesetiaan pada prinsip kosmopolitanisme.⁴
Hierocles, dengan gagasan oikeiôsis, mengingatkan bahwa keadilan
bukanlah sebatas kewajiban terhadap lingkar terdekat, tetapi harus meluas
hingga mencakup seluruh umat manusia.⁵ Dengan demikian, keadilan adalah bentuk
konkret solidaritas universal.
Relevansi gagasan ini dalam konteks modern
tampak pada beberapa bidang. Pertama, dalam ranah hak asasi manusia, keadilan
Stoik dapat menjadi fondasi filosofis bagi pengakuan martabat dan kesetaraan
manusia yang universal.⁶ Kedua, dalam ranah sosial-politik, keadilan Stoik
menekankan kepemimpinan etis, tanggung jawab publik, dan tata hukum yang
berakar pada akal budi, bukan sekadar konsensus politik.⁷ Ketiga, dalam konteks
global, prinsip keadilan Stoik memperkuat gagasan kosmopolitanisme, solidaritas
lintas bangsa, serta etika ekologis yang mendesak di tengah krisis lingkungan.⁸
Pada akhirnya, keadilan Stoik mengajarkan
bahwa kebajikan bukanlah instrumen eksternal yang ditentukan oleh hukum positif
semata, melainkan disposisi batiniah yang lahir dari keselarasan dengan
rasionalitas kosmos. Seneca menegaskan bahwa keadilan sejati tidak didorong
oleh rasa takut akan hukuman, melainkan oleh dorongan jiwa untuk melakukan yang
benar.⁹ Perspektif ini tetap relevan hingga kini, mengingatkan bahwa tanpa
fondasi moral yang kuat, hukum dan institusi akan kehilangan legitimasi.
Dengan demikian, dikaiosynê dalam
Stoikisme tetap aktual sebagai fondasi etis bagi kehidupan manusia modern: ia
menyatukan dimensi individual, sosial, politik, dan kosmologis dalam satu
kerangka kebajikan universal yang menuntun manusia menuju kehidupan yang
selaras dengan kodrat dan harmoni kosmos.
Footnotes
[1]
A. A. Long dan David N. Sedley, The
Hellenistic Philosophers, 2 jilid (Cambridge: Cambridge University Press,
1987), I.356–360.
[2]
Plato, Republic, terj. C. D.
C. Reeve (Indianapolis: Hackett, 2004), 433a–434c; Aristoteles, Nicomachean
Ethics, terj. Terence Irwin, ed. ke-3 (Indianapolis: Hackett, 2019), V.1–5.
[3]
Katja Maria Vogt, Law, Reason,
and the Cosmic City: Political Philosophy in the Early Stoa (Oxford: Oxford
University Press, 2012), 18–26.
[4]
Epictetus, Discourses, Fragments,
Handbook, terj. Robin Hard (Oxford: Oxford University Press, 2014), I.2;
II.10.
[5]
Hierocles, Elements of Ethics,
Fragments and Excerpts, terj. Ilaria Ramelli dan David Konstan (Atlanta:
Society of Biblical Literature, 2009), 90–110.
[6]
Cicero, De Legibus, terj.
Clinton W. Keyes (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1928), I.6–7.
[7]
Marcus Aurelius, Meditations,
terj. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002), VI.7; IX.23.
[8]
Martha C. Nussbaum, Frontiers of
Justice: Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 2006), 20–30.
[9]
Seneca, De Vita Beata, terj.
John W. Basore
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1932), XV.
Daftar
Pustaka
Annas, J. (1993). The
morality of happiness. Oxford University Press.
Aristotle. (2019). Nicomachean
ethics (T. Irwin, Trans.; 3rd ed.). Hackett Publishing.
Barnes, J. (2001). Early
Greek philosophy. Penguin.
Brennan, T. (2005). The
Stoic life: Emotions, duties, and fate. Oxford University Press.
Cicero. (1913). De
officiis (W. Miller, Trans.). Harvard University Press.
Cicero. (1928). De
legibus (C. W. Keyes, Trans.). Harvard University Press.
Cleanthes. (2008). Hymn to
Zeus. In B. Inwood & L. P. Gerson (Eds.), The Stoics reader: Selected
writings and testimonia (2nd ed., pp. 32–35). Hackett Publishing.
Epictetus. (2014). Discourses,
fragments, handbook (R. Hard, Trans.). Oxford University Press.
Heraclitus. (1987). Fragments
(T. M. Robinson, Trans.). University of Toronto Press.
Hierocles. (2009). Elements
of ethics, fragments and excerpts (I. Ramelli & D. Konstan, Trans.).
Society of Biblical Literature.
Kraut, R. (2002). Aristotle:
Political philosophy. Oxford University Press.
Liddell, H. G., &
Scott, R. (1996). A Greek–English lexicon (Rev. ed.). Clarendon Press.
Lisska, A. J. (2016). Philosophy
and law in the Middle Ages: The legacy of scholasticism. Routledge.
Long, A. A. (1996). Stoic
studies. University of California Press.
Long, A. A., & Sedley,
D. N. (1987). The Hellenistic philosophers (Vols. 1–2). Cambridge
University Press.
Marcus Aurelius. (2002). Meditations
(G. Hays, Trans.). Modern Library.
Nussbaum, M. C. (2006). Frontiers
of justice: Disability, nationality, species membership. Harvard
University Press.
Plato. (2004). Republic
(C. D. C. Reeve, Trans.). Hackett Publishing.
Rawls, J. (1999). A
theory of justice (Rev. ed.). Harvard University Press.
Seneca. (1932). De vita
beata (J. W. Basore, Trans.). Harvard University Press.
Seneca. (1917). Epistulae
morales ad Lucilium (R. M. Gummere, Trans.). Harvard University Press.
Seneca. (2009). De
clementia (S. Braund, Trans.). Oxford University Press.
Sorabji, R. (1993). Animal
minds and human morals: The origins of the Western debate. Cornell
University Press.
Vogt, K. M. (2012). Law,
reason, and the cosmic city: Political philosophy in the early Stoa.
Oxford University Press.
Vogt, K. M. (2012). The
normativity of nature: Essays on Kant and Stoic ethics. Oxford University
Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar