Selasa, 26 Agustus 2025

Keadilan (Dikaiosynê): Fondasi Etis Hubungan Manusia dan Tatanan Kosmik

Keadilan (Dikaiosynê)

Fondasi Etis Hubungan Manusia dan Tatanan Kosmik


Alihkan ke: Filsafat Stoikisme.


Abstrak

Artikel ini membahas konsep dikaiosynê (keadilan) dalam kerangka filsafat Stoikisme sebagai salah satu dari empat kebajikan utama yang membentuk fondasi kehidupan bajik. Berangkat dari konteks filsafat Yunani klasik—mulai dari pemikiran Plato tentang harmoni jiwa dan polis hingga teori keadilan distributif dan korektif Aristoteles—kajian ini menunjukkan bagaimana para filsuf Stoik mengembangkan pemahaman yang lebih universal. Dalam pandangan Stoik, keadilan tidak hanya bersifat sosial, tetapi juga kosmik: ia merupakan ekspresi hidup selaras dengan logos dan hukum alam yang rasional serta abadi. Artikel ini menguraikan dimensi etis keadilan sebagai penghormatan terhadap martabat manusia, pemenuhan kewajiban sosial melalui kathêkonta, serta pengakuan kesetaraan universal yang dipertegas melalui konsep oikeiôsis dan kosmopolitanisme. Selanjutnya, dibahas pula dimensi kosmologis keadilan sebagai partisipasi manusia dalam harmoni kosmos, yang menjadikan keadilan sebagai kebajikan ontologis dan bukan sekadar norma positif. Analisis ini menunjukkan relevansi keadilan Stoik dalam konteks modern, khususnya dalam pengembangan gagasan hak asasi manusia, kepemimpinan etis, solidaritas kosmopolitan, serta etika ekologis. Dengan demikian, dikaiosynê dalam Stoikisme tetap aktual sebagai fondasi etis bagi kehidupan manusia kontemporer yang dihadapkan pada tantangan global.

Kata Kunci: Stoikisme; Keadilan; Dikaiosynê; Logos; Hukum Alam; Oikeiôsis; Kosmopolitanisme; Hak Asasi Manusia; Etika Sosial; Etika Kosmik.


PEMBAHASAN

Keadilan (Dikaiosynê) dalam Stoikisme


1.           Pendahuluan

Keadilan (dikaiosynê) menempati posisi sentral dalam etika Stoik sebagai salah satu dari empat kebajikan utama yang membentuk karakter manusia bajik bersama kebijaksanaan (sophia), keberanian (andreia), dan pengendalian diri (sôphrosynê). Dalam kerangka Stoik, kebajikan bukan sekadar sifat moral yang berdiri sendiri, melainkan ekspresi hidup rasional yang selaras dengan logos—tatanan rasional kosmik yang menstrukturkan realitas.¹ Oleh karena itu, keadilan tidak dipahami hanya sebagai seperangkat aturan positif, melainkan sebagai disposisi rasional yang menuntun manusia bertindak benar terhadap sesama sebagai makhluk sosial-rasional, sekaligus anggota dari kosmos yang tertib.²

Secara konseptual, dikaiosynê dalam tradisi filsafat Yunani Kuno memiliki landasan luas—dari pembahasan Plato dan Aristoteles hingga formulasinya yang khas di tangan para Stoik. Plato mengaitkan keadilan dengan harmoni internal jiwa dan tatanan polis, sementara Aristoteles menekankan keadilan distributif dan korektif dalam praktik sosial.³ Para Stoik melanjutkan diskursus ini dengan menegaskan bahwa keadilan adalah keselarasan kehendak manusia dengan hukum alam (natural law) yang bersifat universal dan mengikat semua rasional makhluk.⁴ Dengan demikian, keadilan Stoik memiliki dimensi metafisik—bersumber pada logos—dan dimensi praksis—terwujud dalam tindakan yang pantas (kathêkon) terhadap orang lain.⁵

Antropologi moral Stoik memulai dari tesis bahwa manusia adalah zôon logikon kai koinônikon—makhluk rasional dan bersosial. Marcus Aurelius menegaskan bahwa manusia “diciptakan untuk bekerja sama,” sehingga tindakan adil merupakan konsekuensi dari kodrat sosial-rasional tersebut.⁶ Epictetus, pada gilirannya, menafsirkan kewajiban-kewajiban etis melalui peran-peran relasional (anak, warga, pemimpin, tetangga), di mana keadilan menuntun pemenuhan peran secara tepat dan konsisten.⁷ Dengan kata lain, keadilan Stoik bersifat relasional: ia mengatur cara kita memperlakukan orang lain dengan hormat (respect) dan kepedulian (concern), seraya menjaga integritas diri sebagai agen rasional.

Salah satu doktrin kunci yang menopang keadilan dalam Stoikisme adalah oikeiôsis—proses “pengakraban” atau appropriation di mana manusia secara bertahap memperluas lingkar keterikatan dari diri sendiri menuju keluarga, komunitas, hingga seluruh umat manusia.⁸ Model “lingkar-lingkar konsentris” Hierocles menggambarkan dorongan etis untuk “menarik” lingkar terluar lebih dekat ke pusat, sehingga tercapai solidaritas universal.⁹ Melalui oikeiôsis, keadilan menjadi praksis pengakuan atas keserupaan rasional dan martabat bersama, bukan semata kontrak sosial yang kontingen.

Dimensi kosmologis keadilan tampil jelas dalam kosmopolitanisme Stoik. Zeno—pendiri Stoa—dan para penerusnya membayangkan komunitas politik ideal yang melampaui batas-batas polis, berlandaskan logos dan hukum alam yang sama bagi semua manusia.¹⁰ Cleanthes, dalam “Hymn to Zeus,” memuji rasionalitas kosmos sebagai sumber tata moral; mematuhi logos berarti hidup adil di hadapan tatanan ilahi-kosmologis.¹¹ Gagasan ini menggemakan relasi erat antara keadilan, hukum alam, dan kewargaan kosmik (kosmopolitês) yang kelak memengaruhi tradisi hukum alam Romawi dan pemikiran Cicero.¹²

Dalam tataran praksis, keadilan Stoik mengarahkan tindakan konkret: menahan diri dari merugikan orang lain, menepati janji, menunaikan kewajiban, dan memberikan tiap orang apa yang menjadi haknya. Cicero—yang banyak menafsirkan Stoik—menempatkan iustitia dan beneficentia sebagai fondasi tindakan benar, menekankan perlindungan terhadap yang lemah dan larangan mengambil keuntungan dari kerugian orang lain.¹³ Seneca menambahkan dimensi politik keadilan dalam nasihatnya bagi penguasa: kekuasaan yang bajik ditandai oleh keadilan dan belas kasih (clementia) yang menjaga kesejahteraan umum.¹⁴ Dengan begitu, keadilan Stoik mengikat ranah privat dan publik sekaligus.

Dibandingkan konsep keadilan modern yang kerap diformulasikan melalui kerangka institusional (misalnya keadilan sebagai kewajaran prosedural atau distributif), keadilan Stoik berangkat dari pembentukan karakter (virtue ethics) dan mendesakkan konsistensi rasional dalam tindakan—baik pada level individu maupun lembaga.¹⁵ Literatur mutakhir menegaskan bahwa normativitas Stoik “berbasis alam” (normativity of nature): kebajikan, termasuk keadilan, mengekspresikan keselarasan praktis dengan rasionalitas dunia.¹⁶ Karena itu, keadilan Stoik relevan bagi diskursus kontemporer tentang hak, kewajiban, dan tanggung jawab global—mulai dari etika kepemimpinan, kebijakan publik, hingga isu-isu kosmopolitan seperti migrasi, kemiskinan, dan krisis iklim—sepanjang ia dibaca sebagai etika karakter yang berorientasi pada kebaikan bersama.

Artikel ini bertujuan: (1) merumuskan konsep dasar dikaiosynê dalam tradisi Stoik dan landasan metafisiknya pada logos; (2) menguraikan kerangka antropologis dan sosial keadilan melalui oikeiôsis, peran, dan kathêkonta; (3) menampilkan dimensi kosmopolitan keadilan dalam kaitannya dengan hukum alam; serta (4) menilai relevansinya bagi perdebatan etika dan politik modern. Metodologinya menggabungkan pembacaan sumber primer Yunani-Romawi (Zeno—sebagaimana direkonstruksi dalam testimoni, Cleanthes, Chrysippus, Hierocles, Cicero, Seneca, Epictetus, Marcus Aurelius) dan sumber sekunder mutakhir (Long & Sedley; Inwood & Gerson; Brennan; Vogt; Annas), dengan pendekatan analitis-komparatif untuk menautkan dimensi normatif, kosmologis, dan praksis.¹⁷ Kerangka ini diharapkan memberi fondasi konseptual yang kokoh bagi kajian lanjutan pada bab-bab berikutnya.


Footnotes

[1]                A. A. Long dan David N. Sedley, The Hellenistic Philosophers, 2 jilid (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), khususnya jilid 1, bagian “Stoic Ethics.”

[2]                Brad Inwood dan Lloyd P. Gerson, The Stoics Reader: Selected Writings and Testimonia, ed. ke-2 (Indianapolis: Hackett, 2008), 129–147.

[3]                Plato, Republic, terj. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett, 2004), bk. IV; Aristoteles, Nicomachean Ethics, terj. Terence Irwin, ed. ke-3 (Indianapolis: Hackett, 2019), bk. V.

[4]                Katja Maria Vogt, Law, Reason, and the Cosmic City: Political Philosophy in the Early Stoa (Oxford: Oxford University Press, 2012), 1–28.

[5]                Inwood dan Gerson, The Stoics Reader, 115–128 (testimonia tentang kathêkon).

[6]                Marcus Aurelius, Meditations, terj. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002), bk. VI dan IX.

[7]                Epictetus, Discourses, Fragments, Handbook, terj. Robin Hard (Oxford: Oxford University Press, 2014), terutama Discourses I–II tentang peran dan kewajiban.

[8]                A. A. Long, Stoic Studies (Berkeley: University of California Press, 1996), 170–193.

[9]                Hierocles, Elements of Ethics, Fragments and Excerpts, terj. Ilaria Ramelli dan David Konstan (Atlanta: Society of Biblical Literature, 2009), 90–110.

[10]             John M. Cooper, “Moral Theory and the Foundations of Ethics,” dalam Reason and Emotion (Princeton: Princeton University Press, 1999), 410–433; lihat juga rekonstruksi Zeno dalam Long dan Sedley, The Hellenistic Philosophers, jilid 1.

[11]             Cleanthes, “Hymn to Zeus,” dalam Inwood dan Gerson, The Stoics Reader, 32–35.

[12]             Cicero, De Legibus, terj. Clinton Walker Keyes (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1928), bk. I; bandingkan De Finibus III untuk pembacaan Stoik atas summum bonum.

[13]             Cicero, De Officiis, terj. Walter Miller (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1913), bk. I.

[14]             Seneca, De Clementia, terj. Susanna Braund (Oxford: Oxford University Press, 2009), bk. I–II.

[15]             Julia Annas, The Morality of Happiness (Oxford: Oxford University Press, 1993), 160–205.

[16]             Katja Maria Vogt, The Normativity of Nature: Essays on Kant and Stoic Ethics (Oxford: Oxford University Press, 2012), 17–44.

[17]             Tad Brennan, The Stoic Life: Emotions, Duties, and Fate (Oxford: Oxford University Press, 2005); Inwood dan Gerson, The Stoics Reader; Long dan Sedley, The Hellenistic Philosophers.


2.           Konsep Dasar Keadilan (Dikaiosynê) dalam Filsafat Yunani

Konsep keadilan (dikaiosynê) merupakan salah satu tema sentral dalam filsafat Yunani Kuno yang menjadi fondasi bagi pengembangan etika dan teori politik Barat. Secara etimologis, kata dikaiosynê berasal dari akar kata dikê, yang berarti “keadilan” atau “ketertiban,” dan pada mulanya berkaitan dengan norma kosmik maupun hukum adat yang mengatur kehidupan masyarakat.¹ Dengan demikian, sejak awal gagasan keadilan tidak hanya dipahami sebagai urusan hukum positif, melainkan juga sebagai prinsip universal yang menopang keteraturan sosial dan kosmik.

2.1.       Keadilan dalam Pemikiran Pra-Sokratik

Sebelum Plato dan Aristoteles, gagasan mengenai keadilan telah tersirat dalam pemikiran para filsuf Pra-Sokratik. Anaximander, misalnya, memahami hukum kosmik sebagai mekanisme “pembalasan” (tisis) yang menjaga keseimbangan dunia.² Demikian pula Herakleitos menegaskan bahwa keadilan inheren dalam logos yang mengatur perubahan dan konflik, di mana pertentangan justru menghasilkan harmoni kosmik.³ Pandangan ini meletakkan dasar bahwa keadilan tidak sekadar norma sosial, tetapi terkait erat dengan keteraturan kosmos itu sendiri.

2.2.       Plato: Keadilan sebagai Harmoni Jiwa dan Negara

Plato memberikan salah satu formulasi paling berpengaruh tentang keadilan dalam Politeia (Republic). Bagi Plato, keadilan adalah kondisi di mana setiap bagian jiwa—rasional, berani, dan nafsu—berfungsi sesuai kodratnya, sehingga tercapai harmoni internal.⁴ Analogi ini diperluas ke ranah politik: keadilan dalam negara terwujud ketika setiap kelas sosial (penguasa, penjaga, dan produsen) menjalankan perannya dengan baik tanpa melampaui batas.⁵ Dengan demikian, keadilan adalah prinsip tatanan yang menjamin keseimbangan, bukan semata tindakan individual.

Plato juga menolak definisi keadilan semata-mata sebagai “memberikan setiap orang apa yang menjadi haknya,” sebagaimana dikemukakan oleh Polemarchus, maupun sebagai “kepentingan pihak yang lebih kuat,” sebagaimana disodorkan oleh Thrasymachus.⁶ Melalui dialog-dialektika, Plato berupaya menunjukkan bahwa keadilan sejati melampaui relativisme politik dan merujuk pada tatanan ideal yang bersumber dari ide Kebaikan (to agathon).⁷

2.3.       Aristoteles: Keadilan Distributif dan Korektif

Aristoteles, dalam Etika Nikomakea, mengembangkan konsep keadilan yang lebih praktis dengan membedakannya menjadi keadilan umum (dikaiosynê holê aretê)—yang mencakup keseluruhan praktik kebajikan dalam kehidupan sosial—dan keadilan khusus (meristikê), yang terbagi atas keadilan distributif dan korektif.⁸ Keadilan distributif berkaitan dengan pembagian kehormatan atau sumber daya berdasarkan proporsionalitas, sedangkan keadilan korektif mengatur pemulihan keseimbangan dalam hubungan timbal balik, seperti dalam kontrak atau tindak pidana.⁹

Bagi Aristoteles, keadilan bersifat relasional: ia mengatur interaksi antarindividu dan komunitas sehingga masing-masing menerima perlakuan yang pantas. Dengan menekankan prinsip proporsionalitas, Aristoteles menolak kesetaraan mutlak, tetapi menegaskan bahwa distribusi harus sesuai dengan kontribusi dan kelayakan moral.¹⁰ Pandangan ini menandai pergeseran penting dari gagasan kosmik Plato menuju kerangka etika sosial yang lebih konkret.

2.4.       Dari Polis ke Kosmopolis: Keadilan sebagai Fondasi Universal

Baik Plato maupun Aristoteles menekankan pentingnya keadilan sebagai kebajikan sosial yang melekat pada kehidupan polis Yunani. Namun, mereka tetap melihat keadilan dalam horizon komunitas politik terbatas.¹¹ Ide ini kemudian diperluas oleh para filsuf Hellenistik, terutama Stoik, yang menafsirkan dikaiosynê bukan hanya sebagai tatanan internal polis, melainkan juga sebagai prinsip universal yang mengikat seluruh umat manusia.¹²

Dengan demikian, perkembangan konsep keadilan dalam filsafat Yunani menunjukkan transisi dari gagasan kosmik (Pra-Sokratik), menuju model normatif ideal (Plato), hingga kerangka etika sosial-praktis (Aristoteles), yang kemudian memberi dasar konseptual bagi formulasi Stoik tentang keadilan sebagai hukum alam (natural law) dan kewajiban kosmopolitan.


Footnotes

[1]                Henry George Liddell dan Robert Scott, A Greek-English Lexicon, ed. revisi (Oxford: Clarendon Press, 1996), 429–430.

[2]                Jonathan Barnes, Early Greek Philosophy (London: Penguin, 2001), 51–54.

[3]                Heraclitus, Fragments, terj. T. M. Robinson (Toronto: University of Toronto Press, 1987), frag. 80, 94.

[4]                Plato, Republic, terj. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett, 2004), 433a–434c.

[5]                Ibid., 435a–441c.

[6]                Ibid., 331c–336a.

[7]                Ibid., 504d–509b.

[8]                Aristoteles, Nicomachean Ethics, terj. Terence Irwin, ed. ke-3 (Indianapolis: Hackett, 2019), V.1–2.

[9]                Ibid., V.3–5.

[10]             Richard Kraut, Aristotle: Political Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2002), 133–142.

[11]             Mogens Herman Hansen, Polis: An Introduction to the Ancient Greek City-State (Oxford: Oxford University Press, 2006), 109–123.

[12]             Katja Maria Vogt, Law, Reason, and the Cosmic City: Political Philosophy in the Early Stoa (Oxford: Oxford University Press, 2012), 13–21.


3.           Keadilan dalam Kerangka Stoikisme

Dalam filsafat Stoik, dikaiosynê (keadilan) menempati posisi fundamental sebagai salah satu dari empat kebajikan utama yang mendefinisikan kehidupan bajik (virtuous life). Bersama dengan kebijaksanaan (sophia), keberanian (andreia), dan pengendalian diri (sôphrosynê), keadilan membentuk fondasi etika Stoik yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya serta dengan kosmos secara keseluruhan.¹ Bagi para Stoik, kebajikan bukan sekadar sikap moral partikular, melainkan bentuk keselarasan hidup dengan logos—rasionalitas kosmik yang menstrukturkan alam semesta.² Dengan demikian, keadilan dalam Stoikisme tidak dapat dipisahkan dari pandangan metafisik dan kosmologis mereka.

3.1.       Keadilan sebagai Ekspresi Hidup Selaras dengan Logos

Stoikisme memandang bahwa seluruh realitas diatur oleh logos, prinsip rasional dan ilahi yang menembus alam semesta.³ Hidup bajik berarti hidup sesuai dengan logos, dan keadilan merupakan manifestasi sosial dari prinsip tersebut. Chrysippos, salah seorang filsuf utama Stoa, menegaskan bahwa keadilan adalah bagian dari rasionalitas praktis, karena manusia, sebagai makhluk rasional, terikat untuk memperlakukan sesama dengan hormat dan tanpa melukai.⁴ Dengan demikian, keadilan adalah keteraturan moral yang berakar pada keteraturan kosmik.

3.2.       Relasi Keadilan dengan Tiga Kebajikan Lainnya

Para Stoik menekankan bahwa empat kebajikan utama saling terkait dan tidak dapat dipisahkan.⁵ Kebijaksanaan menyediakan pengetahuan untuk membedakan yang adil dari yang tidak; keberanian memastikan teguhnya komitmen untuk bertindak adil bahkan dalam kesulitan; pengendalian diri menjaga agar dorongan egoistik tidak mengorbankan kepentingan orang lain. Tanpa keadilan, kebajikan lain kehilangan dimensi sosialnya; sebaliknya, tanpa kebijaksanaan, keberanian, dan pengendalian diri, keadilan tidak dapat diwujudkan secara konsisten.⁶

3.3.       Keadilan sebagai Prinsip Relasional dan Sosial

Stoikisme memandang manusia sebagai zôon logikon kai koinônikon—makhluk rasional sekaligus sosial.⁷ Dari kodrat sosial inilah muncul kewajiban untuk berlaku adil terhadap sesama. Hierocles, seorang Stoik pertengahan, mengembangkan konsep oikeiôsis, yakni proses “pengakraban” yang memperluas lingkar kepedulian manusia dari diri sendiri, keluarga, komunitas, hingga seluruh umat manusia.⁸ Melalui oikeiôsis, keadilan dipahami sebagai pengakuan dan penghormatan atas kesamaan rasionalitas pada semua manusia.

Epictetus menekankan dimensi praktis keadilan dengan mengaitkannya pada peran-peran sosial yang dijalani seseorang.⁹ Sebagai anak, warga negara, atau pemimpin, individu terikat pada kewajiban moral tertentu, dan keadilan berarti memenuhi kewajiban-kewajiban tersebut sesuai dengan peran yang melekat. Dengan demikian, keadilan Stoik bersifat kontekstual namun universal: ia berlaku dalam setiap relasi manusiawi, sekaligus menegaskan kesetaraan ontologis semua manusia sebagai bagian dari kosmos rasional.

3.4.       Keadilan, Hukum Alam, dan Kosmopolitanisme

Zeno dari Citium, pendiri Stoa, merumuskan ideal kosmopolitanisme: bahwa semua manusia adalah warga dunia (kosmopolitês), tunduk pada hukum alam yang sama.¹⁰ Dari sinilah lahir gagasan keadilan universal yang melampaui batas polis Yunani. Cleanthes, murid Zeno, dalam “Hymn to Zeus” menggambarkan keadilan sebagai kepatuhan terhadap hukum ilahi yang mengatur kosmos.¹¹ Chrysippos kemudian mengartikulasikan bahwa hukum sejati adalah “rasio kosmik yang menyebar dalam segala hal,” sehingga keadilan manusiawi merupakan pantulan dari hukum alam yang universal.¹²

Cicero, yang dipengaruhi pemikiran Stoik, menyatakan dalam De Legibus dan De Officiis bahwa keadilan bersumber dari hukum alam yang abadi dan rasional, bukan dari kesepakatan atau dekret negara.¹³ Dengan demikian, keadilan Stoik memberi dasar konseptual bagi gagasan hukum alam dan hak universal yang kelak menjadi inspirasi dalam filsafat hukum Romawi maupun tradisi modern tentang hak asasi manusia.

3.5.       Dimensi Praktis Keadilan Stoik

Meskipun berakar pada metafisika logos, keadilan dalam Stoikisme bersifat sangat praktis. Seneca menegaskan bahwa penguasa yang adil adalah mereka yang menggunakan kekuasaan dengan clementia (belas kasih) dan menolak kesewenang-wenangan.¹⁴ Marcus Aurelius, dalam Meditations, berulang kali menekankan bahwa hidup sesuai kodrat berarti hidup demi kebaikan bersama, sebab manusia “diciptakan untuk bekerja sama.”¹⁵ Dengan demikian, keadilan Stoik beroperasi dalam kehidupan sehari-hari: menepati janji, menghormati hak orang lain, dan menghindari perilaku yang merugikan sesama.

Kesimpulan Sementara

Keadilan dalam kerangka Stoikisme bukan sekadar norma hukum atau kontrak sosial, melainkan ekspresi dari hidup selaras dengan tatanan rasional kosmos. Ia menuntun manusia untuk bertindak benar dalam relasi sosial, memperluas kepedulian terhadap sesama melalui oikeiôsis, serta mendasarkan kewajiban moral pada hukum alam yang universal. Dengan demikian, dikaiosynê Stoik menghubungkan dimensi kosmologis, etis, dan praksis dalam satu kesatuan yang utuh.


Footnotes

[1]                A. A. Long dan David N. Sedley, The Hellenistic Philosophers, 2 jilid (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), I.356–360.

[2]                Brad Inwood dan Lloyd P. Gerson, The Stoics Reader: Selected Writings and Testimonia, ed. ke-2 (Indianapolis: Hackett, 2008), 113–125.

[3]                Cleanthes, “Hymn to Zeus,” dalam Inwood dan Gerson, The Stoics Reader, 32–35.

[4]                Tad Brennan, The Stoic Life: Emotions, Duties, and Fate (Oxford: Oxford University Press, 2005), 63–70.

[5]                Julia Annas, The Morality of Happiness (Oxford: Oxford University Press, 1993), 160–165.

[6]                Long, Stoic Studies (Berkeley: University of California Press, 1996), 189–194.

[7]                Marcus Aurelius, Meditations, terj. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002), VI.44.

[8]                Hierocles, Elements of Ethics, Fragments and Excerpts, terj. Ilaria Ramelli dan David Konstan (Atlanta: Society of Biblical Literature, 2009), 90–108.

[9]                Epictetus, Discourses, Fragments, Handbook, terj. Robin Hard (Oxford: Oxford University Press, 2014), I.2; II.10.

[10]             Katja Maria Vogt, Law, Reason, and the Cosmic City: Political Philosophy in the Early Stoa (Oxford: Oxford University Press, 2012), 18–26.

[11]             Cleanthes, “Hymn to Zeus,” dalam Inwood dan Gerson, The Stoics Reader, 32–35.

[12]             Long dan Sedley, The Hellenistic Philosophers, I.314–315.

[13]             Cicero, De Officiis, terj. Walter Miller (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1913), I.12–17; De Legibus, terj. Clinton W. Keyes (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1928), I.6–7.

[14]             Seneca, De Clementia, terj. Susanna Braund (Oxford: Oxford University Press, 2009), I.3–4.

[15]             Marcus Aurelius, Meditations, VI.7; IX.23.


4.           Dimensi Etis Keadilan dalam Stoikisme

Keadilan (dikaiosynê) dalam kerangka Stoikisme tidak semata-mata merupakan prinsip hukum atau politik, melainkan terutama kebajikan etis yang mengatur perilaku manusia dalam relasi sosial. Ia menuntut agar individu memperlakukan orang lain dengan penghormatan, kepedulian, dan tanpa melukai, sehingga tercapai harmoni dalam komunitas manusia.¹ Etika Stoik menekankan bahwa keadilan bukanlah aturan eksternal yang dipaksakan, melainkan disposisi batiniah yang lahir dari keselarasan dengan logos dan kodrat sosial manusia.² Dengan demikian, dimensi etis keadilan dalam Stoikisme mencakup pengakuan martabat sesama, tanggung jawab terhadap komunitas, serta keterikatan moral yang universal.

4.1.       Penghormatan dan Kepedulian terhadap Sesama

Stoikisme menegaskan bahwa setiap manusia, sebagai makhluk rasional, memiliki nilai moral yang sama. Marcus Aurelius, misalnya, menulis bahwa “kita diciptakan untuk bekerja sama seperti tangan, kaki, dan kelopak mata” sehingga tindakan yang merugikan orang lain adalah penyangkalan terhadap kodrat manusia sendiri.³ Dari sini lahir kewajiban etis untuk memperlakukan sesama dengan hormat (respect) dan kepedulian (concern). Epictetus bahkan menegaskan bahwa orang bijak tidak akan menyakiti, menghina, atau menipu orang lain, karena semua manusia berbagi kodrat rasional yang sama.⁴

Keadilan dalam dimensi ini juga menuntut sikap aktif dalam membantu sesama. Cicero, yang banyak dipengaruhi pemikiran Stoik, menyatakan bahwa “dasar keadilan adalah tidak merugikan siapa pun, kecuali untuk membela diri, dan menggunakan sumber daya untuk kebaikan bersama.”⁵ Prinsip ini menekankan bahwa keadilan tidak berhenti pada larangan, tetapi juga mencakup kewajiban positif untuk menolong dan berbagi.

4.2.       Keadilan sebagai Pengakuan Kesetaraan dalam Komunitas Manusia

Salah satu fondasi etis Stoik adalah konsep oikeiôsis, yaitu proses pengakraban diri yang berkembang dari kepedulian terhadap diri sendiri menuju kepedulian terhadap keluarga, komunitas, hingga seluruh umat manusia.⁶ Hierocles menggambarkan proses ini dengan lingkaran konsentris: dari pusat diri, manusia “menarik” lingkar-lingkar luar lebih dekat, sehingga setiap orang diakui sebagai bagian dari komunitas moral yang sama.⁷ Dari perspektif ini, keadilan bukan sekadar distribusi yang seimbang, tetapi juga pengakuan akan kesetaraan moral universal yang melampaui sekat etnis, bangsa, maupun kelas sosial.

Prinsip ini memiliki konsekuensi praktis: seorang Stoik sejati akan memandang budak dan bangsawan dengan martabat yang sama, karena keduanya adalah manifestasi dari rasionalitas kosmik.⁸ Pandangan ini sangat radikal bagi dunia kuno yang didominasi oleh hierarki sosial yang kaku. Dengan demikian, keadilan Stoik adalah fondasi kosmopolitanisme etis yang memperluas solidaritas kemanusiaan.

4.3.       Keadilan dan Kewajiban Peran Sosial

Stoikisme memandang kehidupan etis sebagai pemenuhan kewajiban (kathêkonta) sesuai dengan peran sosial yang dijalani individu. Epictetus menekankan bahwa seseorang harus bertindak sesuai dengan perannya—baik sebagai anak, saudara, warga negara, maupun pemimpin—dan keadilan berarti menunaikan kewajiban-kewajiban ini dengan setia.⁹ Misalnya, seorang ayah yang adil memenuhi tanggung jawabnya terhadap anak-anaknya; seorang warga negara yang adil menghormati hukum yang selaras dengan rasionalitas alam; seorang pemimpin yang adil menggunakan kekuasaannya untuk kebaikan bersama.

Keadilan dalam Stoikisme karenanya bersifat relasional: ia bukan abstraksi metafisik semata, melainkan kewajiban nyata dalam konteks interaksi sosial.¹⁰ Dengan memadukan kesadaran kosmik dan peran praktis, Stoikisme memberikan kerangka etis yang menyeluruh bagi kehidupan moral manusia.

4.4.       Keadilan sebagai Disposisi Batiniah, Bukan Sekadar Kepatuhan Eksternal

Berbeda dengan pandangan legalistik yang menekankan kepatuhan pada aturan eksternal, Stoikisme melihat keadilan sebagai kebajikan internal. Seneca menegaskan bahwa “keadilan bukanlah hasil ketakutan terhadap hukuman, melainkan lahir dari keinginan jiwa untuk melakukan yang benar.”¹¹ Pandangan ini menempatkan keadilan sebagai ekspresi karakter yang terbentuk melalui latihan kebajikan, bukan sekadar kepatuhan formal.

Dengan demikian, keadilan Stoik berakar pada integritas moral: ia menuntut konsistensi antara pemahaman rasional dan tindakan nyata. Hal ini membuat keadilan lebih dari sekadar norma sosial—ia adalah fondasi etis yang menjiwai seluruh kehidupan.


Kesimpulan Sementara

Dimensi etis keadilan dalam Stoikisme menegaskan bahwa manusia, sebagai makhluk sosial-rasional, memiliki kewajiban untuk memperlakukan sesama dengan hormat, mengakui kesetaraan moral, dan menunaikan kewajiban peran sosial. Keadilan dipahami sebagai disposisi batiniah yang lahir dari keselarasan dengan logos, bukan semata-mata ketaatan pada hukum positif. Dengan demikian, Stoikisme menghadirkan keadilan sebagai kebajikan universal yang mengikat relasi antarmanusia, sekaligus memperkokoh harmoni kosmos.


Footnotes

[1]                Brad Inwood dan Lloyd P. Gerson, The Stoics Reader: Selected Writings and Testimonia, ed. ke-2 (Indianapolis: Hackett, 2008), 113–115.

[2]                A. A. Long dan David N. Sedley, The Hellenistic Philosophers, 2 jilid (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), I.356–360.

[3]                Marcus Aurelius, Meditations, terj. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002), VI.44.

[4]                Epictetus, Discourses, Fragments, Handbook, terj. Robin Hard (Oxford: Oxford University Press, 2014), I.2.

[5]                Cicero, De Officiis, terj. Walter Miller (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1913), I.7–12.

[6]                A. A. Long, Stoic Studies (Berkeley: University of California Press, 1996), 170–193.

[7]                Hierocles, Elements of Ethics, Fragments and Excerpts, terj. Ilaria Ramelli dan David Konstan (Atlanta: Society of Biblical Literature, 2009), 90–110.

[8]                Richard Sorabji, Animal Minds and Human Morals: The Origins of the Western Debate (Ithaca: Cornell University Press, 1993), 129–135.

[9]                Epictetus, Discourses, I.9; II.10.

[10]             Julia Annas, The Morality of Happiness (Oxford: Oxford University Press, 1993), 161–166.

[11]             Seneca, De Vita Beata, terj. John W. Basore (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1932), XV.


5.           Keadilan dan Kewajiban Sosial

Stoikisme memahami keadilan (dikaiosynê) bukan semata sebagai norma moral individual, melainkan sebagai kebajikan yang memiliki dimensi sosial yang luas. Karena manusia dipandang sebagai makhluk rasional sekaligus sosial (zôon logikon kai koinônikon), maka tindakan adil mencakup keterlibatan dalam kehidupan komunitas serta pemenuhan kewajiban terhadap sesama.¹ Dengan kata lain, keadilan Stoik mengikat individu pada tanggung jawab sosial, politik, dan kosmopolitan yang melampaui kepentingan diri sendiri.

5.1.       Peran Keadilan dalam Kehidupan Sosial dan Politik

Dalam etika Stoik, kehidupan manusia tidak pernah terlepas dari jaringan relasi sosial. Seneca menegaskan bahwa “kita dilahirkan untuk komunitas; kebersamaan adalah kodrat kita” sehingga kewajiban etis tidak bisa dipisahkan dari kehidupan bersama.² Oleh karena itu, keadilan bukan hanya melarang tindakan merugikan orang lain, tetapi juga menuntut kontribusi aktif bagi kebaikan masyarakat.

Cicero, yang banyak menafsirkan gagasan Stoik, menekankan bahwa iustitia adalah fondasi hukum dan politik.³ Bagi Cicero, negara tidak dapat berdiri tanpa keadilan, karena keadilan adalah pengikat yang menjaga kesatuan dan kepercayaan di antara warga. Perspektif ini menegaskan keterhubungan erat antara keadilan Stoik dan konsep kewajiban sosial-politik.

5.2.       Manusia sebagai Warga Dunia (Kosmopolitês)

Zeno dari Citium, pendiri Stoa, merumuskan ideal kosmopolitanisme dengan menyatakan bahwa semua manusia adalah warga dunia (kosmopolitês), tunduk pada hukum alam yang universal.⁴ Pandangan ini menekankan bahwa keadilan tidak boleh dibatasi oleh batas politik polis atau negara, melainkan berlaku bagi seluruh umat manusia. Cleanthes, dalam “Hymn to Zeus,” memuji logos sebagai hukum kosmik yang menyatukan semua makhluk rasional dalam satu tatanan.⁵

Hierocles mengembangkan pandangan ini melalui konsep oikeiôsis, di mana manusia memperluas lingkar kepedulian dari keluarga ke komunitas, hingga pada akhirnya ke seluruh umat manusia.⁶ Keadilan dalam kerangka ini berarti kewajiban untuk memperlakukan semua manusia sebagai sesama warga kosmos, yang memiliki martabat dan hak yang setara.

5.3.       Keadilan dalam Praktik Kewajiban Sehari-hari

Stoikisme menekankan pentingnya kathêkonta (tindakan pantas) sebagai bentuk konkret keadilan. Epictetus menegaskan bahwa setiap individu, sesuai dengan perannya (anak, orang tua, pemimpin, warga negara), memiliki kewajiban moral tertentu yang harus dipenuhi demi terjaganya keharmonisan sosial.⁷ Misalnya, seorang pemimpin yang adil tidak memerintah demi kepentingan pribadi, melainkan untuk kesejahteraan rakyat; seorang warga negara yang adil menaati hukum yang selaras dengan rasionalitas kosmik.

Marcus Aurelius, sebagai kaisar sekaligus filsuf Stoik, menjadi contoh konkret bagaimana keadilan dipraktikkan dalam ranah politik. Dalam Meditations, ia menulis bahwa tugas penguasa adalah “hidup untuk kepentingan bersama” dan “bertindak demi keadilan, bukan demi pujian.”⁸ Dengan demikian, keadilan berfungsi sebagai norma etis yang menuntun kepemimpinan dan tata masyarakat.

5.4.       Keadilan dan Solidaritas Universal

Dimensi sosial dari keadilan Stoik menekankan solidaritas universal yang mengatasi sekat kelas, status, maupun kewarganegaraan. Seneca dalam De Vita Beata menegaskan bahwa manusia yang bijak melihat “semua orang sebagai saudara,” sebab semua berasal dari satu asal kosmik.⁹ Pandangan ini menolak diskriminasi dan menekankan kewajiban etis untuk melindungi yang lemah dan tidak berdaya.

Dengan demikian, keadilan Stoik bukan hanya aturan tentang hubungan formal dalam polis, melainkan etos kosmopolitan yang memandang seluruh umat manusia sebagai bagian dari satu komunitas moral. Prinsip ini kemudian berpengaruh pada tradisi hukum Romawi dan pada perkembangan konsep hukum alam (natural law), yang kelak menjadi landasan penting bagi gagasan modern tentang hak asasi manusia.¹⁰


Kesimpulan Sementara

Keadilan dalam Stoikisme adalah kebajikan yang menuntun manusia untuk memenuhi kewajiban sosial, baik dalam kehidupan sehari-hari, dalam relasi politik, maupun dalam horizon kosmopolitan. Ia mendasari keterlibatan aktif manusia dalam masyarakat, mengarahkan pemimpin untuk memerintah dengan adil, dan memperluas solidaritas ke seluruh umat manusia. Dengan demikian, dikaiosynê dalam kerangka Stoik meneguhkan bahwa etika individual tidak dapat dipisahkan dari tanggung jawab sosial dan politik yang lebih luas.


Footnotes

[1]                A. A. Long dan David N. Sedley, The Hellenistic Philosophers, 2 jilid (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), I.357.

[2]                Seneca, Epistulae Morales ad Lucilium, terj. Richard M. Gummere (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1917), Ep. 95.52.

[3]                Cicero, De Officiis, terj. Walter Miller (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1913), I.7–12.

[4]                Katja Maria Vogt, Law, Reason, and the Cosmic City: Political Philosophy in the Early Stoa (Oxford: Oxford University Press, 2012), 18–26.

[5]                Cleanthes, “Hymn to Zeus,” dalam Brad Inwood dan Lloyd P. Gerson, The Stoics Reader: Selected Writings and Testimonia, ed. ke-2 (Indianapolis: Hackett, 2008), 32–35.

[6]                Hierocles, Elements of Ethics, Fragments and Excerpts, terj. Ilaria Ramelli dan David Konstan (Atlanta: Society of Biblical Literature, 2009), 90–110.

[7]                Epictetus, Discourses, Fragments, Handbook, terj. Robin Hard (Oxford: Oxford University Press, 2014), I.2; II.10.

[8]                Marcus Aurelius, Meditations, terj. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002), VI.7; IX.23.

[9]                Seneca, De Vita Beata, terj. John W. Basore (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1932), 20–22.

[10]             Cicero, De Legibus, terj. Clinton Walker Keyes (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1928), I.6–7; lihat pula Anthony J. Lisska, Philosophy and Law in the Middle Ages: The Legacy of Scholasticism (London: Routledge, 2016), 35–42.


6.           Keadilan dan Tatanan Kosmik

Dalam filsafat Stoik, keadilan (dikaiosynê) tidak dapat dilepaskan dari pemahaman tentang kosmos sebagai tatanan rasional yang diatur oleh logos. Para Stoik meyakini bahwa alam semesta adalah organisme hidup yang rasional dan ilahi, di mana semua makhluk berpartisipasi dalam keteraturan yang sama.¹ Oleh karena itu, keadilan tidak hanya bersifat sosial, tetapi juga kosmik: ia merefleksikan keterlibatan manusia dalam harmoni universal.

6.1.       Keadilan dan Hukum Alam (Natural Law)

Salah satu kontribusi besar Stoikisme dalam sejarah filsafat adalah pengembangan konsep hukum alam (lex naturalis). Chrysippos menegaskan bahwa hukum sejati adalah “rasio kosmik yang menembus segala sesuatu” dan berlaku secara universal bagi semua makhluk rasional.² Keadilan, dalam kerangka ini, berarti hidup sesuai dengan hukum alam yang sama, bukan sekadar menaati hukum positif buatan manusia.

Cicero, yang banyak dipengaruhi pemikiran Stoik, menegaskan bahwa “hukum adalah akal budi yang benar, sesuai dengan alam, universal, tidak berubah, dan abadi.”³ Pernyataan ini menunjukkan bahwa keadilan tidak bergantung pada kesepakatan politik, tetapi berakar pada keteraturan kosmik yang bersifat rasional. Dengan demikian, keadilan Stoik memiliki fondasi metafisis yang jauh melampaui relativisme budaya atau hukum.

6.2.       Keadilan sebagai Partisipasi dalam Harmoni Kosmos

Kosmos bagi para Stoik adalah polis universal, tempat semua manusia berperan sebagai warga negara (kosmopolitês).⁴ Hidup adil berarti menunaikan kewajiban kita sebagai anggota komunitas kosmik tersebut. Cleanthes, dalam Hymn to Zeus, menyatakan bahwa seluruh makhluk hidup “menurut jalan yang telah Engkau tetapkan” dan bahwa keadilan lahir dari kepatuhan pada logos ilahi yang mengatur kosmos.⁵ Dengan demikian, keadilan manusiawi dipahami sebagai refleksi dari keteraturan alam semesta.

Marcus Aurelius menegaskan bahwa tindakan adil bukan hanya bermanfaat bagi orang lain, tetapi juga selaras dengan kodrat kosmos: “Apa yang tidak sesuai dengan kebaikan umum, tidak sesuai dengan kosmos.”⁶ Pandangan ini memperlihatkan dimensi kosmik dari keadilan: keadilan bukan hanya kewajiban sosial, tetapi juga bentuk partisipasi manusia dalam rasionalitas universal.

6.3.       Keadilan sebagai Jembatan antara Etika dan Kosmologi

Dalam kerangka Stoik, keadilan menghubungkan dua ranah: etika dan kosmologi. Etika Stoik mengajarkan bahwa tujuan hidup manusia adalah eudaimonia (kebahagiaan sejati), yang hanya dapat dicapai dengan hidup sesuai dengan alam (homologoumenos tē phusei zēn).⁷ Karena alam bersifat rasional dan tertib, hidup adil berarti menyelaraskan tindakan manusia dengan struktur kosmos itu sendiri.

Pandangan ini menjadikan keadilan bukan sekadar aturan moral, melainkan kebajikan ontologis: ia adalah cara manusia mengintegrasikan dirinya dalam harmoni kosmik.⁸ Inilah sebabnya mengapa keadilan Stoik dianggap abadi dan universal—ia tidak lahir dari kesepakatan manusia, melainkan dari tatanan kosmos yang lebih tinggi.

6.4.       Implikasi Kosmologis terhadap Kehidupan Sosial

Dimensi kosmik dari keadilan memiliki implikasi nyata bagi kehidupan sosial dan politik. Dengan memahami dirinya sebagai bagian dari kosmos, manusia dituntut untuk memperlakukan sesama sebagai rekan warga kosmik dengan martabat yang sama. Hierocles, melalui gagasan oikeiôsis, menekankan bahwa kewajiban moral kita semakin meluas seiring kesadaran kosmik yang berkembang.⁹ Dengan demikian, keadilan mengikat manusia pada solidaritas universal yang melampaui batas polis atau negara.

Prinsip ini kelak memengaruhi tradisi hukum Romawi dan, melalui Cicero serta filsuf skolastik, menjadi salah satu dasar bagi perkembangan gagasan modern tentang hak asasi manusia.¹⁰


Kesimpulan Sementara

Keadilan dalam Stoikisme bukan hanya norma sosial, melainkan ekspresi partisipasi manusia dalam tatanan kosmik yang rasional. Sebagai hukum alam, keadilan bersifat universal, abadi, dan mengikat semua makhluk rasional. Melalui keterlibatan dalam harmoni kosmos, manusia menunaikan kewajibannya terhadap sesama sekaligus menyelaraskan diri dengan logos ilahi. Dengan demikian, dikaiosynê Stoik adalah kebajikan yang menyatukan etika, hukum, dan kosmologi dalam satu kesatuan yang utuh.


Footnotes

[1]                A. A. Long, Stoic Studies (Berkeley: University of California Press, 1996), 179–183.

[2]                Long dan David N. Sedley, The Hellenistic Philosophers, 2 jilid (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), I.314–315.

[3]                Cicero, De Legibus, terj. Clinton W. Keyes (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1928), I.6–7.

[4]                Katja Maria Vogt, Law, Reason, and the Cosmic City: Political Philosophy in the Early Stoa (Oxford: Oxford University Press, 2012), 19–24.

[5]                Cleanthes, “Hymn to Zeus,” dalam Brad Inwood dan Lloyd P. Gerson, The Stoics Reader: Selected Writings and Testimonia, ed. ke-2 (Indianapolis: Hackett, 2008), 32–35.

[6]                Marcus Aurelius, Meditations, terj. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002), VI.7; IX.23.

[7]                Epictetus, Discourses, Fragments, Handbook, terj. Robin Hard (Oxford: Oxford University Press, 2014), I.4; III.24.

[8]                Julia Annas, The Morality of Happiness (Oxford: Oxford University Press, 1993), 161–170.

[9]                Hierocles, Elements of Ethics, Fragments and Excerpts, terj. Ilaria Ramelli dan David Konstan (Atlanta: Society of Biblical Literature, 2009), 92–110.

[10]             Anthony J. Lisska, Philosophy and Law in the Middle Ages: The Legacy of Scholasticism (London: Routledge, 2016), 40–44.


7.           Relevansi Keadilan Stoik dalam Konteks Modern

Meskipun Stoikisme berkembang lebih dari dua milenium lalu, gagasan tentang keadilan (dikaiosynê) tetap memiliki relevansi yang signifikan bagi perdebatan etika, politik, dan hukum kontemporer. Keadilan Stoik, yang berakar pada keselarasan dengan logos dan hukum alam universal, memberikan kerangka normatif yang melampaui batas komunitas lokal dan menegaskan kewajiban moral terhadap seluruh umat manusia. Dalam dunia modern yang ditandai oleh globalisasi, pluralitas, serta tantangan keadilan sosial dan ekologis, prinsip-prinsip Stoik dapat dibaca kembali untuk memperkuat pemahaman kita tentang tanggung jawab kolektif.

7.1.       Keadilan Stoik dan Hak Asasi Manusia

Konsep Stoik tentang hukum alam (natural law)—yang menyatakan bahwa keadilan bersifat universal, abadi, dan rasional—menjadi salah satu fondasi filosofis bagi gagasan hak asasi manusia modern.¹ Cicero, yang banyak menafsirkan gagasan Stoik, menegaskan bahwa hukum sejati adalah akal budi yang selaras dengan alam dan tidak dapat dihapuskan oleh dekret penguasa.² Pandangan ini memiliki resonansi dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948), yang menegaskan martabat dan kesetaraan semua manusia.

Dalam konteks ini, keadilan Stoik dapat membantu memperkuat basis moral bagi advokasi hak-hak universal, khususnya dalam menghadapi pelanggaran HAM, diskriminasi, dan eksploitasi. Dengan menekankan kesatuan umat manusia dalam kosmos, Stoikisme menyediakan kerangka etis yang transnasional dan kosmopolitan.³

7.2.       Keadilan Stoik dan Etika Sosial-Politik Kontemporer

Keadilan dalam Stoikisme juga relevan dalam ranah etika sosial dan politik modern. Epictetus menekankan bahwa keadilan menuntut pemenuhan kewajiban sesuai dengan peran sosial individu.⁴ Pandangan ini dapat diterapkan pada isu-isu modern seperti kepemimpinan etis, pemerintahan yang berintegritas, serta tanggung jawab sosial perusahaan.

Marcus Aurelius memberikan teladan kepemimpinan berbasis keadilan dengan menekankan bahwa penguasa sejati memerintah demi kepentingan umum, bukan untuk keuntungan pribadi.⁵ Prinsip ini selaras dengan tuntutan demokrasi modern terhadap transparansi, akuntabilitas, dan keadilan distributif dalam kebijakan publik. Dalam dunia politik kontemporer yang kerap diwarnai oleh pragmatisme kekuasaan, ajaran Stoik menawarkan paradigma moral yang meneguhkan integritas.

7.3.       Keadilan Stoik dan Isu Global Kontemporer

Keadilan Stoik juga memiliki relevansi dalam menghadapi persoalan global, seperti migrasi, kemiskinan, dan krisis lingkungan. Prinsip oikeiôsis, yang menekankan perluasan lingkar kepedulian dari diri sendiri ke seluruh umat manusia, mendorong solidaritas kosmopolitan yang dapat menjadi landasan etis bagi kebijakan global.⁶

Dalam isu lingkungan, pandangan Stoik bahwa kosmos adalah tatanan rasional yang harus dihormati membuka ruang bagi etika ekologi. Keadilan tidak hanya dipahami sebagai relasi antarmanusia, tetapi juga sebagai kewajiban menjaga harmoni kosmos yang mencakup makhluk hidup dan alam.⁷ Dengan demikian, Stoikisme dapat memperkaya diskursus keadilan ekologis yang semakin mendesak dalam konteks perubahan iklim.

7.4.       Keadilan Stoik dan Filsafat Kontemporer

Pemikiran kontemporer, seperti teori keadilan John Rawls, menekankan aspek prosedural dan distributif keadilan dalam kerangka institusional.⁸ Berbeda dengan itu, Stoikisme menekankan keadilan sebagai kebajikan karakter, yaitu disposisi batiniah untuk memperlakukan orang lain secara benar. Namun, keduanya dapat dipandang saling melengkapi: keadilan Stoik memberi fondasi etis personal yang menopang struktur keadilan institusional modern.

Selain itu, gagasan kosmopolitan Stoik tentang kewargaan dunia beresonansi dengan pemikiran filsuf kontemporer seperti Martha Nussbaum, yang mengembangkan konsep keadilan global berbasis martabat manusia universal.⁹ Dengan demikian, Stoikisme dapat berperan sebagai sumber inspirasi etika lintas budaya yang menekankan kesatuan moral umat manusia.


Kesimpulan Sementara

Relevansi keadilan Stoik dalam konteks modern terletak pada kemampuannya untuk menjembatani etika individu, solidaritas sosial, dan tanggung jawab global. Dengan menekankan keadilan sebagai kebajikan universal yang berakar pada hukum alam, Stoikisme menghadirkan kerangka moral yang dapat memperkuat wacana hak asasi manusia, kepemimpinan etis, serta solidaritas kosmopolitan. Selain itu, dengan membuka perspektif ekologis, keadilan Stoik juga memberi dasar filosofis untuk menghadapi krisis global yang melibatkan bukan hanya manusia, tetapi juga kosmos secara keseluruhan.


Footnotes

[1]                A. A. Long, Stoic Studies (Berkeley: University of California Press, 1996), 180–185.

[2]                Cicero, De Legibus, terj. Clinton W. Keyes (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1928), I.6–7.

[3]                Katja Maria Vogt, Law, Reason, and the Cosmic City: Political Philosophy in the Early Stoa (Oxford: Oxford University Press, 2012), 33–38.

[4]                Epictetus, Discourses, Fragments, Handbook, terj. Robin Hard (Oxford: Oxford University Press, 2014), I.2; II.10.

[5]                Marcus Aurelius, Meditations, terj. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002), VI.7; IX.23.

[6]                Hierocles, Elements of Ethics, Fragments and Excerpts, terj. Ilaria Ramelli dan David Konstan (Atlanta: Society of Biblical Literature, 2009), 92–110.

[7]                Julia Annas, The Morality of Happiness (Oxford: Oxford University Press, 1993), 167–172.

[8]                John Rawls, A Theory of Justice, rev. ed. (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1999), 52–60.

[9]                Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2006), 20–30.


8.           Penutup

Kajian mengenai dikaiosynê (keadilan) dalam Stoikisme memperlihatkan bahwa kebajikan ini memiliki cakupan yang lebih luas daripada sekadar norma hukum atau etika sosial biasa. Stoikisme memaknai keadilan sebagai kebajikan fundamental yang menghubungkan manusia dengan sesamanya sekaligus dengan tatanan kosmik yang rasional.¹ Dengan dasar ini, keadilan Stoik menuntut penghormatan terhadap martabat manusia, pengakuan kesetaraan moral universal, dan kesediaan untuk menunaikan kewajiban sosial serta kosmopolitan.

Dari sisi historis, keadilan Stoik lahir dalam kontinuitas sekaligus perbedaan dengan tradisi Yunani sebelumnya. Plato menekankan keadilan sebagai harmoni jiwa dan polis, sementara Aristoteles menyoroti dimensi distributif dan korektif dalam kehidupan sosial.² Para Stoik kemudian melangkah lebih jauh dengan menegaskan bahwa keadilan adalah ekspresi dari hidup sesuai dengan logos dan hukum alam yang bersifat universal.³ Dengan demikian, Stoikisme menghadirkan kerangka konseptual yang menjembatani etika individual, norma sosial, dan kosmologi.

Dalam dimensi praksis, keadilan Stoik menuntut pemenuhan kewajiban sesuai dengan peran sosial individu (kathêkonta), keterlibatan dalam komunitas, serta kesetiaan pada prinsip kosmopolitanisme.⁴ Hierocles, dengan gagasan oikeiôsis, mengingatkan bahwa keadilan bukanlah sebatas kewajiban terhadap lingkar terdekat, tetapi harus meluas hingga mencakup seluruh umat manusia.⁵ Dengan demikian, keadilan adalah bentuk konkret solidaritas universal.

Relevansi gagasan ini dalam konteks modern tampak pada beberapa bidang. Pertama, dalam ranah hak asasi manusia, keadilan Stoik dapat menjadi fondasi filosofis bagi pengakuan martabat dan kesetaraan manusia yang universal.⁶ Kedua, dalam ranah sosial-politik, keadilan Stoik menekankan kepemimpinan etis, tanggung jawab publik, dan tata hukum yang berakar pada akal budi, bukan sekadar konsensus politik.⁷ Ketiga, dalam konteks global, prinsip keadilan Stoik memperkuat gagasan kosmopolitanisme, solidaritas lintas bangsa, serta etika ekologis yang mendesak di tengah krisis lingkungan.⁸

Pada akhirnya, keadilan Stoik mengajarkan bahwa kebajikan bukanlah instrumen eksternal yang ditentukan oleh hukum positif semata, melainkan disposisi batiniah yang lahir dari keselarasan dengan rasionalitas kosmos. Seneca menegaskan bahwa keadilan sejati tidak didorong oleh rasa takut akan hukuman, melainkan oleh dorongan jiwa untuk melakukan yang benar.⁹ Perspektif ini tetap relevan hingga kini, mengingatkan bahwa tanpa fondasi moral yang kuat, hukum dan institusi akan kehilangan legitimasi.

Dengan demikian, dikaiosynê dalam Stoikisme tetap aktual sebagai fondasi etis bagi kehidupan manusia modern: ia menyatukan dimensi individual, sosial, politik, dan kosmologis dalam satu kerangka kebajikan universal yang menuntun manusia menuju kehidupan yang selaras dengan kodrat dan harmoni kosmos.


Footnotes

[1]                A. A. Long dan David N. Sedley, The Hellenistic Philosophers, 2 jilid (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), I.356–360.

[2]                Plato, Republic, terj. C. D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett, 2004), 433a–434c; Aristoteles, Nicomachean Ethics, terj. Terence Irwin, ed. ke-3 (Indianapolis: Hackett, 2019), V.1–5.

[3]                Katja Maria Vogt, Law, Reason, and the Cosmic City: Political Philosophy in the Early Stoa (Oxford: Oxford University Press, 2012), 18–26.

[4]                Epictetus, Discourses, Fragments, Handbook, terj. Robin Hard (Oxford: Oxford University Press, 2014), I.2; II.10.

[5]                Hierocles, Elements of Ethics, Fragments and Excerpts, terj. Ilaria Ramelli dan David Konstan (Atlanta: Society of Biblical Literature, 2009), 90–110.

[6]                Cicero, De Legibus, terj. Clinton W. Keyes (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1928), I.6–7.

[7]                Marcus Aurelius, Meditations, terj. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002), VI.7; IX.23.

[8]                Martha C. Nussbaum, Frontiers of Justice: Disability, Nationality, Species Membership (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2006), 20–30.

[9]                Seneca, De Vita Beata, terj. John W. Basore (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1932), XV.


Daftar Pustaka

Annas, J. (1993). The morality of happiness. Oxford University Press.

Aristotle. (2019). Nicomachean ethics (T. Irwin, Trans.; 3rd ed.). Hackett Publishing.

Barnes, J. (2001). Early Greek philosophy. Penguin.

Brennan, T. (2005). The Stoic life: Emotions, duties, and fate. Oxford University Press.

Cicero. (1913). De officiis (W. Miller, Trans.). Harvard University Press.

Cicero. (1928). De legibus (C. W. Keyes, Trans.). Harvard University Press.

Cleanthes. (2008). Hymn to Zeus. In B. Inwood & L. P. Gerson (Eds.), The Stoics reader: Selected writings and testimonia (2nd ed., pp. 32–35). Hackett Publishing.

Epictetus. (2014). Discourses, fragments, handbook (R. Hard, Trans.). Oxford University Press.

Heraclitus. (1987). Fragments (T. M. Robinson, Trans.). University of Toronto Press.

Hierocles. (2009). Elements of ethics, fragments and excerpts (I. Ramelli & D. Konstan, Trans.). Society of Biblical Literature.

Kraut, R. (2002). Aristotle: Political philosophy. Oxford University Press.

Liddell, H. G., & Scott, R. (1996). A Greek–English lexicon (Rev. ed.). Clarendon Press.

Lisska, A. J. (2016). Philosophy and law in the Middle Ages: The legacy of scholasticism. Routledge.

Long, A. A. (1996). Stoic studies. University of California Press.

Long, A. A., & Sedley, D. N. (1987). The Hellenistic philosophers (Vols. 1–2). Cambridge University Press.

Marcus Aurelius. (2002). Meditations (G. Hays, Trans.). Modern Library.

Nussbaum, M. C. (2006). Frontiers of justice: Disability, nationality, species membership. Harvard University Press.

Plato. (2004). Republic (C. D. C. Reeve, Trans.). Hackett Publishing.

Rawls, J. (1999). A theory of justice (Rev. ed.). Harvard University Press.

Seneca. (1932). De vita beata (J. W. Basore, Trans.). Harvard University Press.

Seneca. (1917). Epistulae morales ad Lucilium (R. M. Gummere, Trans.). Harvard University Press.

Seneca. (2009). De clementia (S. Braund, Trans.). Oxford University Press.

Sorabji, R. (1993). Animal minds and human morals: The origins of the Western debate. Cornell University Press.

Vogt, K. M. (2012). Law, reason, and the cosmic city: Political philosophy in the early Stoa. Oxford University Press.

Vogt, K. M. (2012). The normativity of nature: Essays on Kant and Stoic ethics. Oxford University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar