Senin, 25 Agustus 2025

Dikotomi Kendali: Antara Kebebasan Batin dan Batasan Hidup

Dikotomi Kendali

Antara Kebebasan Batin dan Batasan Hidup


Alihkan ke: Filsafat Stoikisme.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif prinsip Dikotomi Kendali dalam Stoikisme sebagai salah satu pilar utama filsafat praktis yang berfokus pada pembedaan antara hal-hal yang berada dalam kendali manusia dan hal-hal yang berada di luar kendali. Dengan merujuk pada pemikiran Epictetus, Seneca, dan Marcus Aurelius, artikel ini menjelaskan bagaimana dikotomi kendali berakar pada landasan filosofis Stoik, terutama gagasan tentang Logos, prohairesis, dan oikeiosis. Pembahasan menyoroti bagaimana prinsip ini diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, manfaat psikologisnya dalam mengurangi kecemasan dan membangun daya lenting, serta manfaat etisnya dalam meneguhkan kebajikan sebagai satu-satunya kebaikan sejati. Artikel ini juga menguraikan kritik terhadap dikotomi kendali, seperti risiko salah tafsir yang dapat mendorong sikap pasif dan keberatan mengenai sifat binernya yang terlalu sederhana. Untuk itu, interpretasi modern seperti “trikotomi kendali” ditawarkan sebagai pendekatan yang lebih realistis. Analisis menunjukkan bahwa dikotomi kendali tetap relevan dalam menghadapi tantangan dunia kontemporer—mulai dari tekanan profesional, pendidikan, media sosial, hingga krisis global—serta memiliki hubungan erat dengan psikologi modern, khususnya terapi kognitif. Kesimpulannya, dikotomi kendali bukan hanya doktrin etika kuno, tetapi seni hidup yang mampu memberikan kebebasan batin, ketenangan jiwa, dan arah moral dalam menghadapi keterbatasan hidup.

Kata Kunci: Stoikisme; dikotomi kendali; Epictetus; Seneca; Marcus Aurelius; prohairesis; Logos; kebebasan batin; psikologi kognitif; etika kuno.


PEMBAHASAN

Dikotomi Kendali dalam Stoikisme


1.           Pendahuluan

Stoikisme kerap dipahami sebagai filsafat praktis yang menuntun manusia menuju eudaimonia (kebahagiaan yang berlandas kebajikan) melalui latihan rasional dan disiplin batin. Salah satu pilar utamanya ialah “dikotomi kendali”—pembedaan tajam antara hal-hal yang berada “di bawah kuasa kita” dan hal-hal yang tidak. Epictetus membuka Enchiridion dengan kalimat terkenal: “Sebagian hal berada di bawah kuasa kita dan sebagian lainnya tidak,” seraya menegaskan bahwa opini, dorongan, keinginan, dan penilaian termasuk wilayah yang dapat kita kelola, sedangkan tubuh, reputasi, dan kedudukan berada di luar kuasa kita.¹ Dengan menetapkan batas ini sejak awal, Stoikisme menstrukturkan etika sebagai seni memilih fokus: energi moral dipusatkan pada pembentukan pertimbangan benar (orthos logos) dan tindakan yang selaras kebajikan, bukan pada pengendalian keadaan eksternal yang kontingen.

Secara sistematis, dikotomi kendali tertanam dalam arsitektur tiga serangkai doktrin Stoa: logika, fisika, dan etika. Etika Stoik menegaskan bahwa kebajikan adalah satu-satunya kebaikan sejati, sementara hal-hal eksternal bersifat indifferent (adiaphora) terhadap kebahagiaan; karenanya, pusat tanggung jawab moral diletakkan pada prohairesis—kemampuan memilih dan menilai—bukan pada hasil lahiriah.² Pandangan ini menjelaskan mengapa penataan batin melalui akal (logos) menjadi prioritas: kebahagiaan diperoleh lewat penilaian yang tepat dan tindakan bajik, meskipun dunia tetap sarat ketidakpastian.

Tradisi Stoa Romawi—terutama Epictetus, Seneca, dan Marcus Aurelius—mengembangkan dikotomi kendali sebagai pedoman hidup sehari-hari. Marcus, misalnya, mencatat bahwa rintangan dapat “diolah” oleh pikiran sehingga “yang menghalangi tindakan mendorong tindakan; yang menghadang justru menjadi jalan.”³ Pernyataan ini bukan ajakan untuk pasrah, melainkan strategi etis: ketika faktor eksternal menghambat aksi, disposisi batin—niat lurus, penilaian jernih, dan kesiapan beradaptasi—tetap berada dalam lingkup kendali. Dengan demikian, Stoikisme memadukan penerimaan terhadap nasib (amor fati) dengan agency yang tegas pada ranah internal.

Dalam praktiknya, dikotomi kendali berfungsi sebagai perangkat higienis bagi jiwa: ia menyaring sumber kecemasan dengan memisahkan “peristiwa” dari “penilaian atas peristiwa.” Epictetus menegaskan, “Manusia gelisah bukan oleh hal-hal itu sendiri, melainkan oleh pandangannya tentang hal-hal itu.”⁴ Rumus ini mengubah cara kita merespons kritik, kegagalan, atau kehilangan: fokus dialihkan dari kontrol atas hasil menuju kontrol atas penilaian, niat, dan tindakan. Di sini, ketenangan (ataraxia) dan keteguhan jiwa (apatheia) bukanlah kebekuan emosional, melainkan buah dari kebiasaan menilai secara proporsional dan bertindak seturut kebajikan.

Relevansi dikotomi kendali juga tampak dalam psikologi modern. Pendekatan kognitif-perilaku (CBT) dan REBT kerap merujuk Epictetus untuk menjelaskan bahwa emosi problematik berakar pada keyakinan dan penilaian yang keliru—sebuah afinitas konseptual yang didokumentasikan dalam kajian ilmiah dan sejarah intelektual psikoterapi kognitif.⁵ Lebih jauh, riset tentang locus of control sejak Rotter menunjukkan bahwa keyakinan seseorang mengenai sumber kendali (internal vs. eksternal) berkorelasi dengan berbagai luaran psikososial—sejalan dengan intuisi Stoik bahwa fokus kendali internal memperkuat daya lenting.⁶ Tentu saja, Stoikisme bukan terapetik klinis; namun, korespondensi gagasan memperjelas mengapa dikotomi kendali efektif sebagai heuristik etis dan psikoedukatif.

Dengan latar demikian, artikel ini bertujuan: (1) mengurai konsep dasar dikotomi kendali dalam kerangka metafisika-etika Stoa; (2) menelusuri elaborasinya dalam karya Epictetus, Seneca, dan Marcus; (3) menampilkan implikasi praktisnya bagi pengelolaan emosi dan pengambilan keputusan; (4) mengkritisi potensi salah tafsir—misalnya, tuduhan bahwa dikotomi kendali mendorong kepasifan sosial—serta memperjelas batas dan nuansanya; dan (5) menunjukkan relevansi kontemporer, termasuk dialognya dengan psikologi kognitif. Dengan menggabungkan telaah teks klasik dan literatur sekunder yang kredibel, pembahasan diharapkan memberi kerangka konseptual yang kokoh sekaligus terapan yang realistis dalam menghadapi ketidakpastian hidup modern.


Footnotes

[1]                Epictetus, Handbook (Enchiridion), trans. Nicholas White (Indianapolis: Hackett, 1983), 1.1, akses 25 Agustus 2025.

[2]                M. Durand, “Stoicism,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (2023), akses 25 Agustus 2025.

[3]                Marcus Aurelius, Meditations, Buku V, trans. A. S. L. Farquharson, Wikisource, akses 25 Agustus 2025. Lihat juga edisi George Long di MIT Classics.

[4]                Epictetus, Enchiridion, §5, Project Gutenberg (terj. Elizabeth Carter), akses 25 Agustus 2025.

[5]                Donald Robertson, The Philosophy of Cognitive-Behavioural Therapy (CBT): Stoic Philosophy as Rational and Cognitive Psychotherapy (London: Karnac, 2010), akses 25 Agustus 2025; lihat juga A. E. Cavanna, “The Western origins of mindfulness therapy in ancient Rome,” PMC (2023), akses 25 Agustus 2025.

[6]                Julian B. Rotter, “Generalized Expectancies for Internal versus External Control of Reinforcement,” Psychological Monographs: General and Applied 80 (1966): 1–28, akses 25 Agustus 2025.


2.           Konsep Dasar Dikotomi Kendali

Dikotomi kendali merupakan salah satu prinsip paling mendasar sekaligus paling terkenal dalam Stoikisme. Prinsip ini berakar dari ajaran Epictetus yang menegaskan bahwa kehidupan manusia terbagi dalam dua ranah: hal-hal yang berada di bawah kuasa kita (ta eph’ hêmin) dan hal-hal yang tidak berada di bawah kuasa kita (ta ouk eph’ hêmin).¹ Dalam Enchiridion, ia menyatakan secara eksplisit: “Beberapa hal berada dalam kuasa kita, dan beberapa lainnya tidak.”² Pernyataan ini menjadi fondasi etika Stoik, sebab menentukan batas jelas antara apa yang dapat dikendalikan oleh kehendak manusia dan apa yang sepenuhnya bergantung pada faktor eksternal.

2.1.       Hal-hal yang berada dalam kendali kita

Stoikisme memandang bahwa pikiran, penilaian, kehendak (prohairesis), keinginan, serta tindakan moral adalah wilayah kendali penuh manusia.³ Epictetus menyebut aspek-aspek ini sebagai “milik kita yang sejati,” karena tidak dapat diambil oleh siapapun atau keadaan apapun.⁴ Dengan kata lain, kualitas batiniah—yakni bagaimana kita menilai suatu peristiwa dan bagaimana kita meresponsnya—sepenuhnya merupakan tanggung jawab individu.

2.2.       Hal-hal yang berada di luar kendali kita

Sebaliknya, segala sesuatu yang bergantung pada kondisi eksternal seperti tubuh, kekayaan, kedudukan sosial, opini orang lain, cuaca, penyakit, hingga kematian, digolongkan sebagai hal-hal di luar kendali kita.⁵ Bagi Stoik, status hal-hal eksternal ini adalah indifferents (adiaphora)—tidak menentukan nilai moral seseorang.⁶ Meski bisa dianggap “preferable” (misalnya, kesehatan lebih baik daripada sakit), nilai sejatinya tidak menyentuh kebajikan sebagai kebaikan tunggal yang sejati.

2.3.       Tujuan dari pembedaan ini

Pembedaan antara hal-hal yang dapat dan tidak dapat dikendalikan dimaksudkan untuk menuntun manusia menuju kebebasan batin. Dengan hanya memusatkan perhatian pada wilayah yang dapat dikendalikan, seseorang akan terhindar dari kekecewaan dan kegelisahan akibat hal-hal eksternal yang berubah-ubah dan tak menentu.⁷ Sebaliknya, jika seseorang menggantungkan kebahagiaannya pada faktor luar, ia akan rentan terhadap penderitaan yang konstan, karena dunia eksternal berada di luar jangkauan kehendaknya.

2.4.       Implikasi etis

Prinsip dikotomi kendali mengandung dimensi etis yang kuat: hanya penilaian dan tindakan berdasarkan rasio yang menentukan apakah seseorang bajik atau tidak.⁸ Dengan demikian, kebebasan sejati menurut Stoikisme bukanlah kemampuan untuk menguasai dunia luar, melainkan kemampuan untuk menguasai diri sendiri. Inilah yang membedakan Stoikisme dari pandangan hedonistik atau materialistik: kebahagiaan sejati (eudaimonia) tidak bertumpu pada kepemilikan benda atau pencapaian eksternal, melainkan pada disposisi batin yang selaras dengan akal dan kebajikan.⁹

Dengan fondasi ini, dikotomi kendali menjadi semacam “peta moral” yang membimbing manusia dalam menghadapi situasi hidup sehari-hari: apakah sebuah masalah termasuk dalam kendali kita (sehingga memerlukan usaha dan tanggung jawab moral) atau di luar kendali kita (sehingga harus diterima dengan lapang dada). Prinsip sederhana ini justru memberikan kerangka yang kuat bagi Stoikisme untuk mengajarkan seni hidup dalam keterbatasan, sekaligus menemukan kebebasan sejati di dalam diri.


Footnotes

[1]                A. A. Long, Epictetus: A Stoic and Socratic Guide to Life (Oxford: Clarendon Press, 2002), 101.

[2]                Epictetus, Enchiridion, trans. Nicholas P. White (Indianapolis: Hackett, 1983), 1.1.

[3]                Pierre Hadot, The Inner Citadel: The Meditations of Marcus Aurelius, trans. Michael Chase (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1998), 83.

[4]                Epictetus, Discourses, I.1, trans. Robin Hard (London: Everyman, 1995).

[5]                Lawrence C. Becker, A New Stoicism (Princeton: Princeton University Press, 1998), 24–25.

[6]                Julia Annas, The Morality of Happiness (Oxford: Oxford University Press, 1993), 149.

[7]                Donald Robertson, Stoicism and the Art of Happiness (London: Hodder & Stoughton, 2013), 45–47.

[8]                Brad Inwood and Lloyd P. Gerson, Hellenistic Philosophy: Introductory Readings (Indianapolis: Hackett, 1997), 192.

[9]                Martha C. Nussbaum, The Therapy of Desire: Theory and Practice in Hellenistic Ethics (Princeton: Princeton University Press, 1994), 360.


3.           Landasan Filosofis dalam Stoikisme

Dikotomi kendali tidak dapat dilepaskan dari kerangka filsafat menyeluruh yang dibangun oleh aliran Stoa. Para filsuf Stoik membagi filsafat ke dalam tiga cabang utama: logika, fisika, dan etika.¹ Struktur ini tidak berdiri terpisah, melainkan saling menopang. Logika memberikan kerangka berpikir rasional, fisika menjelaskan tatanan kosmos sebagai sistem yang diatur oleh Logos, dan etika mengajarkan bagaimana manusia hidup selaras dengan tatanan tersebut.² Dalam konteks ini, dikotomi kendali merupakan aplikasi etis yang lahir dari pemahaman kosmologis dan rasionalitas Stoik.

3.1.       Logos sebagai Rasionalitas Kosmik

Stoikisme memandang alam semesta sebagai organisme rasional yang diatur oleh Logos—hukum ilahi yang menembus seluruh realitas.³ Logos dipahami sebagai prinsip keteraturan yang menjamin bahwa segala sesuatu terjadi sesuai dengan tatanan kosmik. Karena itu, menerima hal-hal yang berada di luar kendali kita berarti mengakui keterbatasan manusia di hadapan keteraturan kosmos. Marcus Aurelius menegaskan bahwa setiap peristiwa adalah bagian dari “jaring sebab” universal yang dikehendaki oleh alam.⁴ Dengan demikian, sikap Stoik bukanlah bentuk pasrah tanpa arah, melainkan penerimaan rasional terhadap struktur alam semesta.

3.2.       Prohairesis dan Kebajikan

Epictetus menekankan bahwa yang sepenuhnya ada di bawah kendali manusia adalah prohairesis—kapasitas untuk memilih, menilai, dan mengarahkan kehendak.⁵ Di sinilah letak kebebasan sejati: bukan pada penguasaan eksternal, tetapi pada keselarasan antara kehendak dengan akal universal (Logos). Pierre Hadot menyebut prohairesis sebagai “benteng batin” (citadel intérieur) yang tidak dapat ditembus oleh kekuatan eksternal.⁶ Prinsip ini mendasari keyakinan Stoik bahwa kebajikan (aretē) adalah satu-satunya kebaikan sejati, sedangkan semua yang lain bersifat netral (adiaphora).⁷ Dengan menempatkan kendali pada ranah batin, Stoikisme mengajarkan bahwa nilai moral seseorang ditentukan oleh pilihan rasionalnya, bukan oleh hasil luar yang penuh kontingensi.

3.3.       Oikeiosis dan Posisi Manusia dalam Kosmos

Selain itu, konsep oikeiosis—proses pengenalan diri dan keterhubungan dengan orang lain—memberi dasar etis bagi praktik dikotomi kendali.⁸ Stoik berpendapat bahwa sejak lahir manusia memiliki naluri untuk melindungi diri, kemudian berkembang menjadi kesadaran akan keterhubungan dengan keluarga, masyarakat, hingga kosmos.⁹ Karena manusia merupakan bagian dari keseluruhan, menerima apa yang tidak dapat dikendalikan adalah bagian dari hidup selaras dengan tatanan universal.¹⁰ Dengan demikian, praktik dikotomi kendali tidak sekadar soal psikologis, tetapi juga kosmologis: manusia menemukan kebebasan batin justru ketika ia mengakui posisinya dalam keteraturan kosmik.

3.4.       Implikasi Etis-Filosofis

Dari landasan filosofis ini tampak jelas bahwa dikotomi kendali bukan sekadar strategi praktis menghadapi stres, melainkan konsekuensi logis dari sistem Stoik secara keseluruhan. Etika Stoik berakar pada pengakuan akan rasionalitas kosmos, prioritas kebajikan atas hal eksternal, serta kesadaran akan keterhubungan manusia dengan dunia. Dengan kerangka itu, Stoikisme menuntut manusia untuk mengarahkan kehendaknya kepada hal-hal yang benar-benar berada di bawah kendali, sembari menerima segala sesuatu yang ditentukan oleh hukum kosmos.¹¹ Inilah fondasi filosofis yang membuat dikotomi kendali menjadi prinsip abadi dalam filsafat praktis.


Footnotes

[1]                Diogenes Laertius, Lives of Eminent Philosophers, VII.39, trans. R. D. Hicks (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1925), 192.

[2]                A. A. Long and D. N. Sedley, The Hellenistic Philosophers, vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 347–48.

[3]                John Sellars, Stoicism (Berkeley: University of California Press, 2006), 32–34.

[4]                Marcus Aurelius, Meditations, IV.40, trans. A. S. L. Farquharson (Oxford: Oxford University Press, 1944).

[5]                Epictetus, Discourses, I.1, trans. Robin Hard (London: Everyman, 1995), 11.

[6]                Pierre Hadot, The Inner Citadel: The Meditations of Marcus Aurelius, trans. Michael Chase (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1998), 83.

[7]                Julia Annas, The Morality of Happiness (Oxford: Oxford University Press, 1993), 149.

[8]                Troels Engberg-Pedersen, The Stoic Theory of Oikeiosis (Aarhus: Aarhus University Press, 1990), 57–58.

[9]                Cicero, On Ends (De Finibus Bonorum et Malorum), III.62, trans. H. Rackham (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1914).

[10]             Anthony A. Long, Stoic Studies (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 174.

[11]             Lawrence C. Becker, A New Stoicism (Princeton: Princeton University Press, 1998), 24–27.


4.           Perspektif Para Filosof Stoik

Prinsip dikotomi kendali memperoleh bobot dan bentuknya yang paling jelas melalui pemikiran tiga tokoh besar Stoa Romawi: Epictetus, Seneca, dan Marcus Aurelius. Masing-masing filsuf mengartikulasikan prinsip ini dengan nuansa yang berbeda, sesuai konteks kehidupan dan latar belakang mereka, namun tetap berakar pada keyakinan bersama bahwa kebebasan sejati hanya terletak pada kendali batin.

4.1.       Epictetus: Kebebasan dalam Prohairesis

Epictetus (55–135 M), seorang mantan budak yang kemudian menjadi filsuf, memberikan penekanan paling kuat pada dikotomi kendali. Dalam Enchiridion, ia membuka ajarannya dengan kalimat bahwa sebagian hal berada dalam kuasa kita, sementara sebagian lain tidak.¹ Hal-hal yang berada di bawah kuasa manusia adalah prohairesis—kemampuan memilih, menilai, dan mengarahkan kehendak.² Menurutnya, hanya wilayah inilah yang menentukan kebajikan dan kebahagiaan sejati. Segala sesuatu di luar prohairesis dianggap bukan milik sejati kita, sehingga bila digantungkan pada faktor eksternal, manusia akan terjerat dalam penderitaan.³ Epictetus mengajarkan bahwa kebebasan seorang budak sekalipun tetap utuh, sejauh ia mampu menjaga penilaiannya tetap rasional dan selaras dengan Logos.⁴

4.2.       Seneca: Menerima Nasib dan Menguasai Diri

Lucius Annaeus Seneca (4 SM–65 M), seorang negarawan, penulis, sekaligus penasihat kaisar Nero, memandang dikotomi kendali melalui perspektif amor fati—cinta terhadap nasib.⁵ Dalam surat-surat moralnya (Epistulae Morales ad Lucilium), ia berulang kali menekankan bahwa ketenangan jiwa hanya mungkin bila kita membedakan dengan jelas apa yang dapat dikendalikan dan apa yang harus diterima.⁶ Bagi Seneca, penderitaan bukanlah akibat dari nasib itu sendiri, melainkan dari sikap manusia yang menolak takdir. Ia menulis, “Seseorang tidak menderita karena hal-hal yang menimpanya, melainkan karena pandangannya terhadap hal-hal itu.”⁷ Pandangan ini menempatkan kendali diri sebagai pusat etika praktis: manusia bijak bukanlah ia yang mengubah dunia sesuai keinginannya, melainkan ia yang mampu menyesuaikan kehendaknya dengan jalan alam.⁸

4.3.       Marcus Aurelius: Praktik Reflektif Seorang Kaisar

Marcus Aurelius (121–180 M), kaisar Romawi sekaligus filsuf, mempraktikkan prinsip dikotomi kendali dalam situasi paling kompleks: memimpin sebuah imperium di tengah peperangan dan wabah. Dalam Meditations, ia menulis refleksi pribadi untuk mengingatkan dirinya agar tidak terjebak pada hal-hal di luar kendali.⁹ Ia menegaskan bahwa dunia dikuasai oleh hukum kosmik (Logos), sehingga segala peristiwa harus diterima sebagai bagian dari tatanan alam.¹⁰ Namun, yang tetap berada dalam kendali manusia adalah pikiran, penilaian, dan tindakan yang sesuai dengan kebajikan.¹¹ Marcus mengajak dirinya untuk melihat hambatan bukan sebagai penghalang, tetapi sebagai jalan untuk bertumbuh: “Apa yang menghalangi tindakan menjadi tindakan itu sendiri; yang menghadang justru menjadi jalan.”¹²

4.4.       Sintesis Pandangan Tiga Tokoh

Epictetus menekankan kebebasan batin melalui prohairesis, Seneca mengajarkan penerimaan penuh terhadap takdir (amor fati), sementara Marcus Aurelius menampilkan refleksi praktis seorang pemimpin yang hidup di bawah tekanan sejarah. Meski berbeda gaya, ketiganya menegaskan hal yang sama: kebahagiaan sejati tidak ditentukan oleh kondisi eksternal, melainkan oleh kemampuan manusia untuk mengarahkan kehendak, menilai dengan akal, dan bertindak sesuai kebajikan. Prinsip ini meneguhkan dikotomi kendali sebagai jantung Stoikisme, baik dalam konteks kehidupan pribadi, sosial, maupun politik.¹³


Footnotes

[1]                Epictetus, Enchiridion, trans. Nicholas P. White (Indianapolis: Hackett, 1983), 1.1.

[2]                A. A. Long, Epictetus: A Stoic and Socratic Guide to Life (Oxford: Clarendon Press, 2002), 101–102.

[3]                Epictetus, Discourses, I.1, trans. Robin Hard (London: Everyman, 1995).

[4]                John Sellars, Stoicism (Berkeley: University of California Press, 2006), 107.

[5]                Seneca, On the Shortness of Life, trans. C. D. N. Costa (London: Penguin, 1997), 13–14.

[6]                Seneca, Epistulae Morales ad Lucilium, Letter 71, trans. Richard M. Gummere (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1917).

[7]                Seneca, Epistulae Morales, Letter 85, ibid.

[8]                Martha C. Nussbaum, The Therapy of Desire: Theory and Practice in Hellenistic Ethics (Princeton: Princeton University Press, 1994), 369.

[9]                Marcus Aurelius, Meditations, IV.3, trans. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002).

[10]             Marcus Aurelius, Meditations, VI.36, ibid.

[11]             Pierre Hadot, The Inner Citadel: The Meditations of Marcus Aurelius, trans. Michael Chase (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1998), 84–85.

[12]             Marcus Aurelius, Meditations, V.20, trans. A. S. L. Farquharson (Oxford: Oxford University Press, 1944).

[13]             Lawrence C. Becker, A New Stoicism (Princeton: Princeton University Press, 1998), 27.


5.           Dikotomi Kendali dalam Kehidupan Sehari-hari

Prinsip dikotomi kendali dalam Stoikisme bukan hanya konsep teoritis, tetapi panduan praktis yang dirancang untuk membantu manusia menghadapi tantangan sehari-hari. Epictetus sendiri menegaskan bahwa filsafat sejati bukanlah retorika spekulatif, melainkan “cara hidup” (way of life) yang mengarahkan tindakan nyata.¹ Dengan memisahkan hal-hal yang berada dalam kendali kita dari hal-hal yang berada di luar kendali kita, Stoikisme menyediakan kerangka berpikir yang dapat mengurangi kecemasan, menumbuhkan ketenangan, dan memperkuat daya lenting (resilience) dalam kehidupan sehari-hari.

5.1.       Menghadapi Kritik dan Opini Orang Lain

Dalam interaksi sosial, manusia sering terganggu oleh opini atau penilaian orang lain. Stoikisme mengingatkan bahwa reputasi, penghargaan, atau celaan termasuk kategori yang tidak dapat kita kendalikan.² Yang berada dalam kendali kita hanyalah sikap dan respons terhadap opini tersebut. Marcus Aurelius menulis, “Jika engkau tersinggung oleh perkataan orang lain, ingatlah bahwa engkau sendiri yang memberi kuasa kepada perkataan itu untuk menyakitimu.”³ Dengan demikian, kritik dapat dijadikan sarana refleksi atau diabaikan bila tidak relevan, tanpa harus merusak ketenangan batin.

5.2.       Menghadapi Kehilangan dan Kegagalan

Kehidupan sarat dengan kehilangan: harta, kesehatan, bahkan orang-orang yang dicintai. Bagi Stoik, kehilangan adalah bagian dari hukum kosmos yang tidak dapat dihindari. Seneca menekankan bahwa manusia harus selalu mengingat kefanaan segala sesuatu (memento mori) agar tidak terkejut ketika kehilangan benar-benar datang.⁴ Melalui latihan ini, seseorang belajar menerima kematian atau kegagalan sebagai fakta alamiah, bukan tragedi personal. Epictetus menyarankan praktik premeditatio malorum—membayangkan hal-hal buruk yang mungkin terjadi—agar seseorang lebih siap secara emosional saat peristiwa itu benar-benar datang.⁵

5.3.       Praktik Latihan Stoik (Askesis)

Para filsuf Stoa merekomendasikan berbagai latihan praktis untuk menginternalisasi dikotomi kendali:

1)                  Premeditatio malorum: membayangkan kemungkinan buruk untuk melatih kesiapan mental.⁶

2)                  Journaling: sebagaimana dilakukan Marcus Aurelius dalam Meditations, yakni menulis refleksi harian untuk menilai pikiran dan tindakan.⁷

3)                  Meditasi rasional: meninjau kembali penilaian agar tidak terjebak pada emosi yang tidak proporsional.⁸

Latihan-latihan ini menunjukkan bahwa dikotomi kendali bukan sekadar teori etis, melainkan metode disiplin diri yang terus-menerus dipraktikkan.

5.4.       Aplikasi dalam Dunia Modern

Relevansi dikotomi kendali semakin nyata dalam konteks modern yang penuh ketidakpastian—baik dalam dunia kerja, pendidikan, maupun kehidupan digital. Penelitian psikologi kontemporer menunjukkan bahwa fokus pada kendali internal berhubungan dengan tingkat kesejahteraan psikologis yang lebih tinggi.⁹ Konsep locus of control dalam psikologi, misalnya, menjelaskan bahwa individu dengan orientasi kendali internal lebih resilien dalam menghadapi stres dibanding mereka yang bergantung pada kendali eksternal.¹⁰ Tidak mengherankan bila banyak psikoterapis kognitif—seperti Albert Ellis dan Aaron T. Beck—mengadopsi prinsip Stoik, termasuk gagasan bahwa penderitaan lebih banyak disebabkan oleh penilaian subjektif dibanding oleh fakta obyektif.¹¹


Kesimpulan Praktis

Dalam kehidupan sehari-hari, dikotomi kendali bekerja sebagai “filter rasional” yang membantu manusia menilai mana yang harus diperjuangkan dan mana yang harus diterima. Dengan demikian, prinsip ini tidak hanya membimbing seseorang untuk hidup lebih tenang, tetapi juga lebih efektif, karena energi mental difokuskan pada hal-hal yang benar-benar bisa diubah. Stoikisme, melalui dikotomi kendali, memberikan seni hidup praktis: membebaskan diri dari ilusi penguasaan total atas dunia, sekaligus memperkuat kendali atas dunia batin yang sesungguhnya menentukan kualitas hidup manusia.¹²


Footnotes

[1]                Pierre Hadot, Philosophy as a Way of Life, trans. Michael Chase (Oxford: Blackwell, 1995), 83.

[2]                Epictetus, Discourses, I.25, trans. Robin Hard (London: Everyman, 1995).

[3]                Marcus Aurelius, Meditations, IV.7, trans. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002).

[4]                Seneca, On the Shortness of Life, trans. C. D. N. Costa (London: Penguin, 1997), 16.

[5]                Epictetus, Enchiridion, 21, trans. Nicholas White (Indianapolis: Hackett, 1983).

[6]                William B. Irvine, A Guide to the Good Life: The Ancient Art of Stoic Joy (Oxford: Oxford University Press, 2009), 78.

[7]                Marcus Aurelius, Meditations, II.1, trans. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002).

[8]                Donald Robertson, Stoicism and the Art of Happiness (London: Hodder & Stoughton, 2013), 54.

[9]                Ryan Holiday and Stephen Hanselman, The Daily Stoic: 366 Meditations on Wisdom, Perseverance, and the Art of Living (New York: Penguin, 2016), xxvii–xxix.

[10]             Julian B. Rotter, “Generalized Expectancies for Internal versus External Control of Reinforcement,” Psychological Monographs: General and Applied 80 (1966): 1–28.

[11]             Donald Robertson, The Philosophy of Cognitive-Behavioural Therapy (CBT): Stoic Philosophy as Rational and Cognitive Psychotherapy (London: Karnac, 2010), 33–34.

[12]             Lawrence C. Becker, A New Stoicism (Princeton: Princeton University Press, 1998), 27–28.


6.           Manfaat Psikologis dan Etis

Prinsip dikotomi kendali dalam Stoikisme memiliki dampak mendalam, baik secara psikologis maupun etis. Dengan menekankan fokus pada hal-hal yang dapat kita kendalikan dan melepaskan keterikatan pada hal-hal di luar kendali, Stoikisme menawarkan strategi yang membentuk ketahanan batin, ketenangan jiwa, sekaligus kerangka moral yang kokoh.

6.1.       Manfaat Psikologis: Mengurangi Stres dan Kecemasan

Salah satu manfaat psikologis utama dari penerapan dikotomi kendali adalah berkurangnya stres dan kecemasan. Epictetus menegaskan bahwa penderitaan manusia lebih banyak disebabkan oleh penilaian terhadap peristiwa, bukan oleh peristiwa itu sendiri.¹ Pandangan ini kemudian menjadi inspirasi bagi psikologi modern, khususnya terapi kognitif. Aaron T. Beck dan Albert Ellis, pendiri Cognitive Behavioral Therapy (CBT) dan Rational Emotive Behavior Therapy (REBT), mengakui pengaruh pemikiran Stoik dalam asumsi dasar mereka: emosi negatif timbul bukan karena fakta, tetapi karena interpretasi kita terhadap fakta tersebut.² Dengan demikian, prinsip Stoik ini sejalan dengan intervensi psikologis modern yang terbukti efektif mengurangi depresi, kecemasan, dan stres.³

6.2.       Ataraxia dan Apatheia: Ketenangan dan Keteguhan Jiwa

Stoikisme menekankan pencapaian ataraxia (ketenangan batin) dan apatheia (keteguhan jiwa).⁴ Ataraxia dicapai ketika seseorang berhenti mengikat kebahagiaannya pada kondisi eksternal yang fluktuatif, sedangkan apatheia adalah hasil dari kemampuan mengendalikan respons emosional terhadap hal-hal di luar kuasa. Seneca menggambarkan orang bijak sebagai mereka yang “tidak terguncang oleh nasib, baik ketika ia memberi maupun ketika ia mengambil.”⁵ Sikap ini tidak berarti menolak emosi, melainkan melatih agar emosi tidak mendominasi penilaian rasional.

6.3.       Daya Lenting (Resilience) dan Pengelolaan Kehilangan

Latihan Stoik seperti premeditatio malorum dan kesadaran akan kefanaan (memento mori) melatih individu untuk menghadapi kehilangan tanpa keterpurukan berlebihan.⁶ Dengan membayangkan kemungkinan buruk sebelum terjadi, seseorang tidak lagi rentan terhadap kejutan emosional ketika kenyataan menimpanya. Hasilnya adalah daya lenting psikologis yang lebih kuat: individu dapat bangkit lebih cepat dari kegagalan, kehilangan, atau penderitaan. Prinsip ini menjadikan Stoikisme tidak hanya relevan pada konteks personal, tetapi juga dalam situasi krisis kolektif, seperti pandemi atau konflik sosial.⁷

6.4.       Manfaat Etis: Kebajikan sebagai Satu-satunya Kebaikan Sejati

Secara etis, dikotomi kendali menegaskan bahwa kebajikan (aretē)—yakni hidup sesuai akal dan kehendak baik—adalah satu-satunya kebaikan sejati.⁸ Hal-hal eksternal seperti kesehatan, kekayaan, atau reputasi hanyalah indifferents yang nilainya tidak menentukan kualitas moral seseorang. Marcus Aurelius dalam Meditations berulang kali menekankan bahwa nilai seorang manusia diukur dari keselarasan pikirannya dengan Logos, bukan dari keberuntungan atau penderitaan yang dialaminya.⁹ Prinsip ini membebaskan individu dari ketergantungan pada pengakuan eksternal dan mengarahkan fokus pada pembentukan karakter moral.

6.5.       Keterhubungan dengan Kehidupan Sosial

Meskipun Stoikisme menekankan kebebasan batin, ia tidak mengajarkan isolasi. Konsep oikeiosis—proses keterhubungan diri dengan orang lain—menunjukkan bahwa sikap menerima hal-hal di luar kendali bukanlah alasan untuk bersikap pasif, melainkan untuk bertindak adil sesuai kapasitas kita.¹⁰ Dengan demikian, manfaat etis dikotomi kendali terletak pada keseimbangan antara penerimaan rasional terhadap nasib dan komitmen moral untuk tetap berbuat kebajikan dalam lingkup kendali kita.


Sintesis

Dengan menggabungkan manfaat psikologis dan etis, dikotomi kendali menjelma sebagai prinsip hidup yang holistik. Secara psikologis, ia menumbuhkan ketenangan, mengurangi kecemasan, dan membangun daya lenting. Secara etis, ia meneguhkan kebajikan sebagai pusat kehidupan moral. Sinergi ini menjadikan Stoikisme tidak hanya sebuah filsafat kuno, tetapi juga terapi hidup yang relevan bagi manusia modern yang menghadapi tekanan, ketidakpastian, dan kompleksitas sosial.¹¹


Footnotes

[1]                Epictetus, Enchiridion, trans. Nicholas White (Indianapolis: Hackett, 1983), §5.

[2]                Albert Ellis, Reason and Emotion in Psychotherapy (New York: Lyle Stuart, 1962), 35–36.

[3]                Donald Robertson, The Philosophy of Cognitive-Behavioural Therapy (CBT): Stoic Philosophy as Rational and Cognitive Psychotherapy (London: Karnac, 2010), 42–44.

[4]                A. A. Long, Hellenistic Philosophy: Stoics, Epicureans, Sceptics (Berkeley: University of California Press, 1986), 202.

[5]                Seneca, Epistulae Morales ad Lucilium, Letter 71, trans. Richard M. Gummere (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1917).

[6]                William B. Irvine, A Guide to the Good Life: The Ancient Art of Stoic Joy (Oxford: Oxford University Press, 2009), 78.

[7]                Ryan Holiday, The Obstacle Is the Way: The Timeless Art of Turning Trials into Triumph (New York: Portfolio, 2014), 23–24.

[8]                Julia Annas, The Morality of Happiness (Oxford: Oxford University Press, 1993), 148–49.

[9]                Marcus Aurelius, Meditations, VI.36, trans. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002).

[10]             Troels Engberg-Pedersen, The Stoic Theory of Oikeiosis (Aarhus: Aarhus University Press, 1990), 61–62.

[11]             Lawrence C. Becker, A New Stoicism (Princeton: Princeton University Press, 1998), 27–28.


7.           Kritik dan Batasan Dikotomi Kendali

Meskipun dikotomi kendali merupakan prinsip paling dikenal dalam Stoikisme dan menawarkan manfaat besar secara psikologis maupun etis, gagasan ini tidak luput dari kritik. Beberapa ahli menilai bahwa prinsip tersebut, jika dipahami secara kaku, mengandung keterbatasan konseptual dan praktis yang perlu diperhatikan.

7.1.       Potensi Kesalahpahaman: Pasif terhadap Ketidakadilan

Salah satu kritik yang sering muncul adalah tuduhan bahwa dikotomi kendali dapat mendorong sikap pasif terhadap ketidakadilan sosial atau politik.¹ Jika segala sesuatu di luar kendali dianggap indifferents, bukankah itu berarti seseorang tidak perlu berusaha memperbaiki kondisi sosial yang timpang? Kritikus berpendapat bahwa Stoikisme bisa disalahartikan sebagai pembenaran bagi status quo yang tidak adil.² Namun, para pembela Stoik menekankan bahwa dikotomi kendali tidak menghapus tanggung jawab sosial; justru, ia menekankan bahwa tugas moral manusia adalah bertindak adil sejauh ia mampu, meskipun hasil akhirnya berada di luar kendali.³

7.2.       Dikotomi atau Spektrum?

Kritik lain berhubungan dengan sifat “biner” dari dikotomi kendali. Sejumlah filsuf modern menilai bahwa membagi realitas hanya menjadi dua kategori—sepenuhnya dapat dikendalikan dan sepenuhnya di luar kendali—terlalu menyederhanakan kenyataan.⁴ Dalam banyak kasus, kendali manusia bersifat parsial: misalnya, kesehatan bergantung pada gaya hidup (sebagian dalam kendali), tetapi juga pada faktor genetik dan lingkungan (di luar kendali).⁵ Karenanya, beberapa sarjana kontemporer mengusulkan pemahaman yang lebih spektral daripada biner, yakni adanya “zona abu-abu” yang menuntut strategi kendali yang lebih fleksibel.⁶

7.3.       Kritik dari Tradisi Filosofis Lain

Tradisi filsafat lain juga menyoroti keterbatasan Stoikisme. Dari perspektif eksistensialisme, misalnya, Jean-Paul Sartre menekankan kebebasan radikal manusia dalam menentukan makna hidupnya, sehingga pandangan Stoik dianggap kurang menekankan kreativitas eksistensial dan terlalu menekankan penerimaan.⁷ Dari sudut pandang Buddhisme, Stoikisme dinilai tetap terlalu berfokus pada kendali rasional, sementara Buddhisme menekankan pelepasan total dari keterikatan dan ilusi diri.⁸ Kritik ini menunjukkan bahwa dikotomi kendali mungkin belum sepenuhnya menjawab kompleksitas eksistensi manusia yang tidak hanya rasional, tetapi juga emosional dan spiritual.

7.4.       Batasan Kontekstual dan Historis

Sebagian pengkaji menekankan bahwa Stoikisme lahir dalam konteks dunia kuno yang berbeda dari tantangan dunia modern.⁹ Stoik Romawi berbicara dalam kerangka masyarakat yang hierarkis dan fatalistik, di mana “nasib” (fatum) dipandang sebagai bagian dari tatanan kosmik yang tak terelakkan.¹⁰ Dalam dunia modern yang ditandai oleh perubahan cepat, sains, dan teknologi, konsep dikotomi kendali perlu diadaptasi agar tidak jatuh pada sikap fatalistik, melainkan tetap memberi ruang bagi inovasi, kebebasan individu, dan perjuangan kolektif untuk perubahan sosial.¹¹

7.5.       Reinterpretasi Modern: Dari Dikotomi ke Trikotomi

Beberapa penulis kontemporer, seperti William Irvine, mencoba merevisi konsep klasik ini menjadi “trikotomi kendali”: (1) hal-hal yang sepenuhnya dapat kita kendalikan, (2) hal-hal yang sepenuhnya di luar kendali, dan (3) hal-hal yang sebagian dalam kendali.¹² Model ini dianggap lebih realistis untuk situasi modern, seperti menjaga kesehatan atau merencanakan karier. Dengan menambahkan kategori ketiga, prinsip Stoik menjadi lebih fleksibel dan aplikatif tanpa kehilangan esensi dasarnya.


Sintesis

Kritik-kritik ini menyoroti bahwa meskipun dikotomi kendali merupakan prinsip sederhana yang sangat berguna, penerapannya harus disertai kebijaksanaan interpretatif. Jika dipahami secara kaku, ia bisa menjerumuskan pada pasivitas atau fatalisme. Namun, jika didekati secara reflektif, ia tetap menjadi pedoman etis yang kuat untuk membedakan mana yang harus diperjuangkan dan mana yang harus diterima dengan lapang dada. Dengan demikian, dikotomi kendali bukanlah resep mutlak, melainkan kerangka reflektif yang perlu dilengkapi dengan nuansa, konteks, dan kesadaran historis.¹³


Footnotes

[1]                Martha C. Nussbaum, The Therapy of Desire: Theory and Practice in Hellenistic Ethics (Princeton: Princeton University Press, 1994), 369.

[2]                Richard Sorabji, Emotion and Peace of Mind: From Stoic Agitation to Christian Temptation (Oxford: Oxford University Press, 2000), 52–53.

[3]                Lawrence C. Becker, A New Stoicism (Princeton: Princeton University Press, 1998), 26.

[4]                John Sellars, Stoicism (Berkeley: University of California Press, 2006), 119.

[5]                Donald Robertson, Stoicism and the Art of Happiness (London: Hodder & Stoughton, 2013), 48.

[6]                Margaret R. Graver, Stoicism and Emotion (Chicago: University of Chicago Press, 2007), 95–96.

[7]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel Barnes (New York: Philosophical Library, 1956), 29–31.

[8]                Damien Keown, Buddhism: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 1996), 88.

[9]                Anthony A. Long, Stoic Studies (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 180.

[10]             Cicero, On Fate, trans. H. Rackham (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1942), 20.

[11]             Massimo Pigliucci, How to Be a Stoic: Using Ancient Philosophy to Live a Modern Life (New York: Basic Books, 2017), 112.

[12]             William B. Irvine, A Guide to the Good Life: The Ancient Art of Stoic Joy (Oxford: Oxford University Press, 2009), 76–79.

[13]             Pierre Hadot, Philosophy as a Way of Life, trans. Michael Chase (Oxford: Blackwell, 1995), 91.


8.           Relevansi dalam Konteks Modern

Meskipun lahir lebih dari dua ribu tahun yang lalu, prinsip dikotomi kendali dalam Stoikisme tetap memiliki daya guna yang luar biasa di tengah kompleksitas kehidupan modern. Dunia kontemporer ditandai oleh percepatan teknologi, ketidakpastian global, serta tekanan psikologis dan sosial yang intens. Dalam konteks ini, pembedaan Stoik antara hal-hal yang berada dalam kendali kita dan yang tidak, menjadi sebuah strategi rasional untuk menjaga ketenangan batin sekaligus efektivitas tindakan.

8.1.       Dalam Dunia Kerja dan Profesionalisme

Lingkungan kerja modern sering kali sarat dengan tekanan, baik berupa target kinerja, kompetisi, maupun faktor eksternal seperti kondisi ekonomi. Prinsip Stoik mengajarkan bahwa seorang profesional harus memusatkan perhatian pada usaha, integritas, dan kualitas kerja—hal-hal yang berada dalam kendalinya—alih-alih pada hasil akhir yang dipengaruhi banyak variabel di luar kuasa.¹ Strategi ini bukan hanya mengurangi stres, tetapi juga meningkatkan fokus dan produktivitas, karena energi mental tidak terbuang pada kecemasan tentang hal-hal yang tak dapat dikendalikan.²

8.2.       Dalam Pendidikan dan Pengembangan Diri

Stoikisme juga relevan dalam dunia pendidikan. Guru maupun pelajar dihadapkan pada tantangan berupa standar penilaian, tekanan sosial, dan hasil ujian. Dengan menerapkan dikotomi kendali, fokus diarahkan pada proses belajar, disiplin, dan usaha konsisten—daripada hanya pada hasil akhir.³ Pandangan ini selaras dengan gagasan growth mindset dalam psikologi pendidikan, yang menekankan pentingnya upaya dan strategi ketimbang sekadar pencapaian instan.⁴

8.3.       Era Digital dan Media Sosial

Dalam era media sosial, individu sering kali terjebak pada kecemasan mengenai “likes,” komentar, dan citra publik. Semua hal ini sejatinya berada di luar kendali penuh seseorang. Marcus Aurelius sudah menasihati agar tidak menjadikan opini orang lain sebagai ukuran diri, sebuah nasihat yang tampak relevan dalam konteks digital saat ini.⁵ Dengan menginternalisasi dikotomi kendali, pengguna media sosial dapat membebaskan diri dari ketergantungan pada validasi eksternal dan lebih menekankan pada nilai serta konten yang bermakna.⁶

8.4.       Dalam Menghadapi Krisis Global

Krisis kontemporer seperti pandemi, perubahan iklim, dan konflik internasional menunjukkan betapa banyak aspek kehidupan yang berada di luar kendali individu. Namun, Stoikisme mengingatkan bahwa setiap orang masih memiliki kendali atas responsnya: kepatuhan pada protokol kesehatan, gaya hidup ramah lingkungan, serta keterlibatan dalam aksi sosial yang bermakna.⁷ Dengan demikian, dikotomi kendali tidak berarti sikap pasrah, tetapi justru mendorong tindakan konkret pada ruang lingkup kendali personal dan kolektif.

8.5.       Kesehatan Mental dan Psikologi Modern

Prinsip Stoik semakin mendapat relevansi dalam psikologi modern. Terapi kognitif (CBT) banyak mengadopsi gagasan Epictetus bahwa “manusia menderita bukan karena peristiwa, tetapi karena pandangannya tentang peristiwa.”⁸ Di tengah meningkatnya angka depresi dan kecemasan global, dikotomi kendali dapat menjadi alat bantu praktis dalam mengelola ekspektasi dan membangun resiliensi.⁹ Penelitian kontemporer juga menunjukkan bahwa individu dengan locus of control internal cenderung lebih mampu mengatasi tekanan hidup dibanding mereka yang berorientasi eksternal.¹⁰


Sintesis

Relevansi dikotomi kendali dalam konteks modern terletak pada kemampuannya memberi keseimbangan antara penerimaan dan tindakan. Ia mengajarkan bahwa manusia tidak perlu menanggung beban mustahil untuk menguasai segala hal, melainkan cukup mengarahkan energi pada apa yang benar-benar dapat diubah. Dalam dunia yang ditandai oleh ketidakpastian dan kompleksitas, prinsip sederhana ini tetap menjadi panduan abadi: seni hidup dengan tenang tanpa kehilangan komitmen moral untuk bertindak.¹¹


Footnotes

[1]                Ryan Holiday, The Obstacle Is the Way: The Timeless Art of Turning Trials into Triumph (New York: Portfolio, 2014), 37.

[2]                Donald Robertson, Stoicism and the Art of Happiness (London: Hodder & Stoughton, 2013), 102.

[3]                Pierre Hadot, Philosophy as a Way of Life, trans. Michael Chase (Oxford: Blackwell, 1995), 91.

[4]                Carol S. Dweck, Mindset: The New Psychology of Success (New York: Random House, 2006), 47–48.

[5]                Marcus Aurelius, Meditations, VI.30, trans. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002).

[6]                Massimo Pigliucci, How to Be a Stoic: Using Ancient Philosophy to Live a Modern Life (New York: Basic Books, 2017), 114.

[7]                Lawrence C. Becker, A New Stoicism (Princeton: Princeton University Press, 1998), 205.

[8]                Epictetus, Enchiridion, §5, trans. Nicholas White (Indianapolis: Hackett, 1983).

[9]                Donald Robertson, The Philosophy of Cognitive-Behavioural Therapy (CBT) (London: Karnac, 2010), 56–57.

[10]             Julian B. Rotter, “Generalized Expectancies for Internal versus External Control of Reinforcement,” Psychological Monographs: General and Applied 80 (1966): 1–28.

[11]             Martha C. Nussbaum, The Therapy of Desire: Theory and Practice in Hellenistic Ethics (Princeton: Princeton University Press, 1994), 389.


9.           Penutup

Dikotomi kendali merupakan salah satu prinsip inti Stoikisme yang menunjukkan kedalaman filsafat ini sebagai panduan hidup. Dengan membedakan hal-hal yang berada dalam kendali kita (prohairesis) dan yang berada di luar kendali, Stoikisme menghadirkan kerangka etis sekaligus psikologis yang kokoh. Epictetus menekankan bahwa kebebasan sejati hanya mungkin ketika manusia menguasai penilaiannya sendiri, bukan ketika ia berusaha mengendalikan dunia luar.¹ Seneca melengkapi perspektif ini dengan gagasan amor fati—cinta pada nasib—yang mendorong penerimaan penuh terhadap takdir tanpa kehilangan komitmen pada kebajikan.² Marcus Aurelius, melalui refleksi pribadinya, memperlihatkan bagaimana prinsip tersebut tetap relevan bahkan bagi seorang kaisar yang menghadapi beban kepemimpinan dan krisis besar.³

Secara psikologis, dikotomi kendali menumbuhkan ketenangan (ataraxia) dan keteguhan jiwa (apatheia), dengan mengajarkan bahwa penderitaan tidak bersumber pada peristiwa itu sendiri, melainkan pada penilaian kita terhadapnya.⁴ Pandangan ini selaras dengan temuan psikologi modern, terutama Cognitive Behavioral Therapy (CBT), yang mengadopsi banyak inspirasi dari Epictetus dan para filsuf Stoik.⁵ Dengan demikian, Stoikisme berhasil melintasi batas zaman: dari dunia kuno hingga dunia modern, ia tetap relevan sebagai strategi mengatasi stres, kecemasan, dan ketidakpastian hidup.

Namun demikian, berbagai kritik menunjukkan bahwa dikotomi kendali tidak boleh dipahami secara kaku. Sebagian kalangan mengingatkan bahwa jika diterapkan tanpa nuansa, ia bisa disalahartikan sebagai pembenaran untuk sikap pasif terhadap ketidakadilan.⁶ Oleh karena itu, reinterpretasi modern—seperti gagasan “trikotomi kendali”—menawarkan pemahaman yang lebih kontekstual, dengan mengakui adanya wilayah parsial dalam kendali manusia.⁷ Dengan pendekatan ini, prinsip Stoik tetap dapat dijalankan secara realistis dalam menghadapi tantangan kontemporer.

Pada akhirnya, dikotomi kendali bukan sekadar teori etika, melainkan seni hidup yang memadukan kebijaksanaan dan keberanian. Ia menuntun manusia untuk memusatkan energi pada hal-hal yang benar-benar dapat diubah, sambil menerima dengan lapang dada apa yang berada di luar kuasa.⁸ Dalam dunia modern yang penuh ketidakpastian—dari tekanan kerja, media sosial, hingga krisis global—prinsip ini menawarkan jalan menuju kebebasan batin, keteguhan moral, dan kebijaksanaan praktis. Dengan demikian, Stoikisme tetap menjadi sumber inspirasi abadi bagi manusia yang mencari ketenangan sejati di tengah keterbatasan hidup.⁹


Footnotes

[1]                Epictetus, Enchiridion, trans. Nicholas White (Indianapolis: Hackett, 1983), §1.

[2]                Seneca, On the Shortness of Life, trans. C. D. N. Costa (London: Penguin, 1997), 18.

[3]                Marcus Aurelius, Meditations, V.20, trans. A. S. L. Farquharson (Oxford: Oxford University Press, 1944).

[4]                Margaret R. Graver, Stoicism and Emotion (Chicago: University of Chicago Press, 2007), 103.

[5]                Donald Robertson, The Philosophy of Cognitive-Behavioural Therapy (CBT): Stoic Philosophy as Rational and Cognitive Psychotherapy (London: Karnac, 2010), 42–44.

[6]                Martha C. Nussbaum, The Therapy of Desire: Theory and Practice in Hellenistic Ethics (Princeton: Princeton University Press, 1994), 369.

[7]                William B. Irvine, A Guide to the Good Life: The Ancient Art of Stoic Joy (Oxford: Oxford University Press, 2009), 76–79.

[8]                John Sellars, Stoicism (Berkeley: University of California Press, 2006), 121.

[9]                Pierre Hadot, Philosophy as a Way of Life, trans. Michael Chase (Oxford: Blackwell, 1995), 92.


Daftar Pustaka

Annas, J. (1993). The morality of happiness. Oxford University Press.

Becker, L. C. (1998). A new Stoicism. Princeton University Press.

Cicero. (1914). On ends (De finibus bonorum et malorum) (H. Rackham, Trans.). Harvard University Press.

Cicero. (1942). On fate (H. Rackham, Trans.). Harvard University Press.

Diogenes Laertius. (1925). Lives of eminent philosophers (R. D. Hicks, Trans.). Harvard University Press.

Dweck, C. S. (2006). Mindset: The new psychology of success. Random House.

Ellis, A. (1962). Reason and emotion in psychotherapy. Lyle Stuart.

Engberg-Pedersen, T. (1990). The Stoic theory of oikeiosis. Aarhus University Press.

Epictetus. (1983). Enchiridion (N. P. White, Trans.). Hackett.

Epictetus. (1995). Discourses (R. Hard, Trans.). Everyman.

Graver, M. R. (2007). Stoicism and emotion. University of Chicago Press.

Hadot, P. (1995). Philosophy as a way of life (M. Chase, Trans.). Blackwell.

Hadot, P. (1998). The inner citadel: The meditations of Marcus Aurelius (M. Chase, Trans.). Harvard University Press.

Holiday, R. (2014). The obstacle is the way: The timeless art of turning trials into triumph. Portfolio.

Holiday, R., & Hanselman, S. (2016). The daily Stoic: 366 meditations on wisdom, perseverance, and the art of living. Penguin.

Irvine, W. B. (2009). A guide to the good life: The ancient art of Stoic joy. Oxford University Press.

Long, A. A. (1986). Hellenistic philosophy: Stoics, Epicureans, Sceptics. University of California Press.

Long, A. A. (1996). Stoic studies. Cambridge University Press.

Long, A. A. (2002). Epictetus: A Stoic and Socratic guide to life. Clarendon Press.

Long, A. A., & Sedley, D. N. (1987). The Hellenistic philosophers (Vol. 1). Cambridge University Press.

Marcus Aurelius. (1944). Meditations (A. S. L. Farquharson, Trans.). Oxford University Press.

Marcus Aurelius. (2002). Meditations (G. Hays, Trans.). Modern Library.

Nussbaum, M. C. (1994). The therapy of desire: Theory and practice in Hellenistic ethics. Princeton University Press.

Pigliucci, M. (2017). How to be a Stoic: Using ancient philosophy to live a modern life. Basic Books.

Robertson, D. (2010). The philosophy of cognitive-behavioural therapy (CBT): Stoic philosophy as rational and cognitive psychotherapy. Karnac.

Robertson, D. (2013). Stoicism and the art of happiness. Hodder & Stoughton.

Rotter, J. B. (1966). Generalized expectancies for internal versus external control of reinforcement. Psychological Monographs: General and Applied, 80(1), 1–28.

Sartre, J.-P. (1956). Being and nothingness (H. Barnes, Trans.). Philosophical Library.

Sellars, J. (2006). Stoicism. University of California Press.

Seneca. (1917). Epistulae morales ad Lucilium (R. M. Gummere, Trans.). Harvard University Press.

Seneca. (1997). On the shortness of life (C. D. N. Costa, Trans.). Penguin.

Sorabji, R. (2000). Emotion and peace of mind: From Stoic agitation to Christian temptation. Oxford University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar