Dikotomi Kendali
Antara Kebebasan Batin dan
Batasan Hidup
Alihkan ke: Filsafat Stoikisme.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif
prinsip Dikotomi Kendali dalam Stoikisme sebagai salah satu pilar utama
filsafat praktis yang berfokus pada pembedaan antara hal-hal yang berada dalam
kendali manusia dan hal-hal yang berada di luar kendali. Dengan merujuk pada
pemikiran Epictetus, Seneca, dan Marcus Aurelius, artikel ini menjelaskan
bagaimana dikotomi kendali berakar pada landasan filosofis Stoik, terutama
gagasan tentang Logos, prohairesis, dan oikeiosis.
Pembahasan menyoroti bagaimana prinsip ini diaplikasikan dalam kehidupan
sehari-hari, manfaat psikologisnya dalam mengurangi kecemasan dan membangun
daya lenting, serta manfaat etisnya dalam meneguhkan kebajikan sebagai
satu-satunya kebaikan sejati. Artikel ini juga menguraikan kritik terhadap dikotomi
kendali, seperti risiko salah tafsir yang dapat mendorong sikap pasif dan
keberatan mengenai sifat binernya yang terlalu sederhana. Untuk itu,
interpretasi modern seperti “trikotomi kendali” ditawarkan sebagai
pendekatan yang lebih realistis. Analisis menunjukkan bahwa dikotomi kendali
tetap relevan dalam menghadapi tantangan dunia kontemporer—mulai dari tekanan
profesional, pendidikan, media sosial, hingga krisis global—serta memiliki
hubungan erat dengan psikologi modern, khususnya terapi kognitif.
Kesimpulannya, dikotomi kendali bukan hanya doktrin etika kuno, tetapi seni
hidup yang mampu memberikan kebebasan batin, ketenangan jiwa, dan arah moral
dalam menghadapi keterbatasan hidup.
Kata Kunci: Stoikisme;
dikotomi kendali; Epictetus; Seneca; Marcus Aurelius; prohairesis; Logos;
kebebasan batin; psikologi kognitif; etika kuno.
PEMBAHASAN
Dikotomi Kendali dalam
Stoikisme
1.
Pendahuluan
Stoikisme kerap dipahami sebagai filsafat praktis yang menuntun manusia
menuju eudaimonia (kebahagiaan yang berlandas kebajikan) melalui latihan
rasional dan disiplin batin. Salah satu pilar utamanya ialah “dikotomi
kendali”—pembedaan tajam antara hal-hal yang berada “di bawah kuasa kita”
dan hal-hal yang tidak. Epictetus membuka Enchiridion dengan kalimat
terkenal: “Sebagian hal berada di bawah kuasa kita dan sebagian lainnya
tidak,” seraya menegaskan bahwa opini, dorongan, keinginan, dan penilaian
termasuk wilayah yang dapat kita kelola, sedangkan tubuh, reputasi, dan
kedudukan berada di luar kuasa kita.¹ Dengan menetapkan batas ini sejak awal,
Stoikisme menstrukturkan etika sebagai seni memilih fokus: energi moral
dipusatkan pada pembentukan pertimbangan benar (orthos logos) dan
tindakan yang selaras kebajikan, bukan pada pengendalian keadaan eksternal yang
kontingen.
Secara sistematis, dikotomi kendali tertanam
dalam arsitektur tiga serangkai doktrin Stoa: logika, fisika, dan etika. Etika
Stoik menegaskan bahwa kebajikan adalah satu-satunya kebaikan sejati, sementara
hal-hal eksternal bersifat indifferent (adiaphora) terhadap kebahagiaan;
karenanya, pusat tanggung jawab moral diletakkan pada prohairesis—kemampuan
memilih dan menilai—bukan pada hasil lahiriah.² Pandangan ini menjelaskan
mengapa penataan batin melalui akal (logos) menjadi prioritas:
kebahagiaan diperoleh lewat penilaian yang tepat dan tindakan bajik, meskipun
dunia tetap sarat ketidakpastian.
Tradisi Stoa Romawi—terutama Epictetus,
Seneca, dan Marcus Aurelius—mengembangkan dikotomi kendali sebagai pedoman
hidup sehari-hari. Marcus, misalnya, mencatat bahwa rintangan dapat “diolah”
oleh pikiran sehingga “yang menghalangi tindakan mendorong tindakan; yang
menghadang justru menjadi jalan.”³ Pernyataan ini bukan ajakan untuk
pasrah, melainkan strategi etis: ketika faktor eksternal menghambat aksi,
disposisi batin—niat lurus, penilaian jernih, dan kesiapan beradaptasi—tetap
berada dalam lingkup kendali. Dengan
demikian, Stoikisme memadukan penerimaan terhadap nasib (amor fati)
dengan agency yang tegas pada ranah internal.
Dalam praktiknya, dikotomi kendali berfungsi sebagai perangkat higienis
bagi jiwa: ia menyaring sumber kecemasan dengan memisahkan “peristiwa”
dari “penilaian atas peristiwa.” Epictetus menegaskan, “Manusia
gelisah bukan oleh hal-hal itu sendiri, melainkan oleh pandangannya tentang
hal-hal itu.”⁴ Rumus ini mengubah cara kita merespons kritik, kegagalan,
atau kehilangan: fokus dialihkan dari kontrol atas hasil menuju kontrol atas
penilaian, niat, dan tindakan. Di sini, ketenangan (ataraxia) dan
keteguhan jiwa (apatheia) bukanlah kebekuan emosional, melainkan buah
dari kebiasaan menilai secara proporsional dan bertindak seturut kebajikan.
Relevansi dikotomi kendali juga tampak dalam
psikologi modern. Pendekatan kognitif-perilaku (CBT) dan REBT kerap merujuk
Epictetus untuk menjelaskan bahwa emosi problematik berakar pada keyakinan dan
penilaian yang keliru—sebuah afinitas konseptual yang didokumentasikan dalam
kajian ilmiah dan sejarah intelektual psikoterapi kognitif.⁵ Lebih jauh, riset
tentang locus of control sejak Rotter menunjukkan bahwa keyakinan
seseorang mengenai sumber kendali (internal vs. eksternal) berkorelasi dengan
berbagai luaran psikososial—sejalan dengan intuisi Stoik bahwa fokus kendali
internal memperkuat daya lenting.⁶ Tentu saja, Stoikisme bukan terapetik
klinis; namun, korespondensi gagasan memperjelas mengapa dikotomi kendali
efektif sebagai heuristik etis dan psikoedukatif.
Dengan latar demikian, artikel ini
bertujuan: (1) mengurai konsep dasar dikotomi kendali dalam kerangka
metafisika-etika Stoa; (2) menelusuri elaborasinya dalam karya Epictetus,
Seneca, dan Marcus; (3) menampilkan implikasi praktisnya bagi pengelolaan emosi
dan pengambilan keputusan; (4) mengkritisi potensi salah tafsir—misalnya,
tuduhan bahwa dikotomi kendali mendorong kepasifan sosial—serta memperjelas
batas dan nuansanya; dan (5) menunjukkan relevansi kontemporer, termasuk
dialognya dengan psikologi kognitif. Dengan menggabungkan telaah teks klasik
dan literatur sekunder yang kredibel, pembahasan diharapkan memberi kerangka
konseptual yang kokoh sekaligus terapan yang realistis dalam menghadapi
ketidakpastian hidup modern.
Footnotes
[1]
Epictetus, Handbook (Enchiridion), trans.
Nicholas White (Indianapolis: Hackett, 1983), 1.1, akses 25 Agustus 2025.
[2]
M. Durand, “Stoicism,” Stanford
Encyclopedia of Philosophy (2023), akses 25 Agustus 2025.
[3]
Marcus Aurelius, Meditations, Buku V,
trans. A. S. L. Farquharson, Wikisource, akses 25 Agustus 2025. Lihat
juga edisi George Long di MIT Classics.
[4]
Epictetus, Enchiridion, §5, Project
Gutenberg (terj. Elizabeth Carter), akses 25 Agustus 2025.
[5]
Donald Robertson, The
Philosophy of Cognitive-Behavioural Therapy (CBT): Stoic Philosophy as Rational
and Cognitive Psychotherapy (London: Karnac, 2010), akses 25
Agustus 2025; lihat juga A. E. Cavanna, “The Western
origins of mindfulness therapy in ancient Rome,” PMC
(2023), akses 25 Agustus 2025.
[6]
Julian B. Rotter, “Generalized
Expectancies for Internal versus External Control of Reinforcement,” Psychological
Monographs: General and Applied 80 (1966): 1–28, akses 25 Agustus 2025.
2.
Konsep Dasar
Dikotomi Kendali
Dikotomi kendali merupakan salah satu prinsip paling mendasar sekaligus
paling terkenal dalam Stoikisme. Prinsip ini berakar dari ajaran Epictetus yang
menegaskan bahwa kehidupan manusia terbagi dalam dua ranah: hal-hal yang berada
di bawah kuasa kita (ta eph’ hêmin) dan hal-hal yang tidak berada di
bawah kuasa kita (ta ouk eph’ hêmin).¹ Dalam Enchiridion, ia
menyatakan secara eksplisit: “Beberapa hal berada dalam kuasa kita, dan
beberapa lainnya tidak.”² Pernyataan ini menjadi fondasi etika Stoik, sebab
menentukan batas jelas antara apa yang dapat dikendalikan oleh kehendak manusia
dan apa yang sepenuhnya bergantung pada faktor eksternal.
2.1. Hal-hal
yang berada dalam kendali kita
Stoikisme memandang bahwa pikiran, penilaian, kehendak (prohairesis),
keinginan, serta tindakan moral adalah wilayah kendali penuh manusia.³
Epictetus menyebut aspek-aspek ini sebagai “milik kita yang sejati,”
karena tidak dapat diambil oleh siapapun atau keadaan apapun.⁴ Dengan kata
lain, kualitas batiniah—yakni bagaimana kita menilai suatu peristiwa dan
bagaimana kita meresponsnya—sepenuhnya merupakan tanggung jawab individu.
2.2. Hal-hal
yang berada di luar kendali kita
Sebaliknya, segala sesuatu yang bergantung pada kondisi eksternal
seperti tubuh, kekayaan, kedudukan sosial, opini orang lain, cuaca, penyakit,
hingga kematian, digolongkan sebagai hal-hal di luar kendali kita.⁵ Bagi Stoik,
status hal-hal eksternal ini adalah indifferents (adiaphora)—tidak
menentukan nilai moral seseorang.⁶ Meski bisa dianggap “preferable”
(misalnya, kesehatan lebih baik daripada sakit), nilai sejatinya tidak
menyentuh kebajikan sebagai kebaikan tunggal yang sejati.
2.3. Tujuan
dari pembedaan ini
Pembedaan antara hal-hal yang dapat dan tidak dapat dikendalikan
dimaksudkan untuk menuntun manusia menuju kebebasan batin. Dengan hanya
memusatkan perhatian pada wilayah yang dapat dikendalikan, seseorang akan
terhindar dari kekecewaan dan kegelisahan akibat hal-hal eksternal yang
berubah-ubah dan tak menentu.⁷ Sebaliknya, jika seseorang menggantungkan
kebahagiaannya pada faktor luar, ia akan rentan terhadap penderitaan yang
konstan, karena dunia eksternal berada di luar jangkauan kehendaknya.
2.4. Implikasi
etis
Prinsip dikotomi kendali mengandung dimensi etis yang kuat: hanya
penilaian dan tindakan berdasarkan rasio yang menentukan apakah seseorang bajik
atau tidak.⁸ Dengan demikian, kebebasan sejati menurut Stoikisme bukanlah
kemampuan untuk menguasai dunia luar, melainkan kemampuan untuk menguasai diri
sendiri. Inilah yang membedakan Stoikisme dari pandangan hedonistik atau
materialistik: kebahagiaan sejati (eudaimonia) tidak bertumpu pada
kepemilikan benda atau pencapaian eksternal, melainkan pada disposisi batin
yang selaras dengan akal dan kebajikan.⁹
Dengan fondasi ini, dikotomi kendali menjadi semacam “peta moral” yang
membimbing manusia dalam menghadapi situasi hidup sehari-hari: apakah sebuah
masalah termasuk dalam kendali kita (sehingga memerlukan usaha dan tanggung
jawab moral) atau di luar kendali kita (sehingga harus diterima dengan lapang
dada). Prinsip sederhana ini justru memberikan kerangka yang kuat bagi
Stoikisme untuk mengajarkan seni hidup dalam keterbatasan, sekaligus menemukan
kebebasan sejati di dalam diri.
Footnotes
[1]
A. A. Long, Epictetus: A Stoic and Socratic Guide
to Life (Oxford: Clarendon Press, 2002), 101.
[2]
Epictetus, Enchiridion, trans. Nicholas P.
White (Indianapolis: Hackett, 1983), 1.1.
[3]
Pierre Hadot, The Inner Citadel: The Meditations of
Marcus Aurelius, trans. Michael Chase (Cambridge, MA: Harvard University
Press, 1998), 83.
[4]
Epictetus, Discourses, I.1, trans. Robin Hard
(London: Everyman, 1995).
[5]
Lawrence C. Becker, A New Stoicism (Princeton:
Princeton University Press, 1998), 24–25.
[6]
Julia Annas, The Morality of Happiness (Oxford:
Oxford University Press, 1993), 149.
[7]
Donald Robertson, Stoicism and the Art of Happiness
(London: Hodder & Stoughton, 2013), 45–47.
[8]
Brad Inwood and Lloyd P. Gerson, Hellenistic
Philosophy: Introductory Readings (Indianapolis: Hackett, 1997), 192.
[9]
Martha C. Nussbaum, The Therapy of Desire: Theory
and Practice in Hellenistic Ethics (Princeton: Princeton University Press,
1994), 360.
3.
Landasan Filosofis
dalam Stoikisme
Dikotomi kendali tidak dapat dilepaskan
dari kerangka filsafat menyeluruh yang dibangun oleh aliran Stoa. Para filsuf
Stoik membagi filsafat ke dalam tiga cabang utama: logika, fisika, dan etika.¹
Struktur ini tidak berdiri terpisah, melainkan saling menopang. Logika
memberikan kerangka berpikir rasional, fisika menjelaskan tatanan kosmos
sebagai sistem yang diatur oleh Logos, dan etika mengajarkan bagaimana
manusia hidup selaras dengan tatanan tersebut.² Dalam konteks ini, dikotomi
kendali merupakan aplikasi etis yang lahir dari pemahaman kosmologis dan
rasionalitas Stoik.
3.1. Logos
sebagai Rasionalitas Kosmik
Stoikisme memandang alam semesta
sebagai organisme rasional yang diatur oleh Logos—hukum ilahi yang
menembus seluruh realitas.³ Logos dipahami sebagai prinsip keteraturan
yang menjamin bahwa segala sesuatu terjadi sesuai dengan tatanan kosmik. Karena itu, menerima hal-hal yang
berada di luar kendali kita berarti mengakui keterbatasan manusia di hadapan
keteraturan kosmos. Marcus Aurelius menegaskan bahwa setiap peristiwa adalah
bagian dari “jaring sebab” universal yang dikehendaki oleh alam.⁴ Dengan
demikian, sikap Stoik bukanlah bentuk pasrah tanpa arah, melainkan penerimaan
rasional terhadap struktur alam semesta.
3.2. Prohairesis
dan Kebajikan
Epictetus menekankan bahwa yang sepenuhnya ada di bawah kendali manusia
adalah prohairesis—kapasitas untuk memilih, menilai, dan mengarahkan
kehendak.⁵ Di sinilah letak kebebasan sejati: bukan pada penguasaan eksternal,
tetapi pada keselarasan antara kehendak dengan akal universal (Logos).
Pierre Hadot menyebut prohairesis sebagai “benteng batin”
(citadel intérieur) yang tidak dapat ditembus oleh kekuatan eksternal.⁶ Prinsip
ini mendasari keyakinan Stoik bahwa kebajikan (aretē) adalah satu-satunya
kebaikan sejati, sedangkan semua yang lain bersifat netral (adiaphora).⁷
Dengan menempatkan kendali pada ranah batin, Stoikisme mengajarkan bahwa nilai
moral seseorang ditentukan oleh pilihan rasionalnya, bukan oleh hasil luar yang
penuh kontingensi.
3.3. Oikeiosis
dan Posisi Manusia dalam Kosmos
Selain itu, konsep oikeiosis—proses pengenalan diri dan
keterhubungan dengan orang lain—memberi dasar etis bagi praktik dikotomi
kendali.⁸ Stoik berpendapat bahwa sejak lahir manusia memiliki naluri untuk
melindungi diri, kemudian berkembang menjadi kesadaran akan keterhubungan dengan
keluarga, masyarakat, hingga kosmos.⁹ Karena manusia merupakan bagian dari
keseluruhan, menerima apa yang tidak dapat dikendalikan adalah bagian dari
hidup selaras dengan tatanan universal.¹⁰ Dengan demikian, praktik dikotomi kendali
tidak sekadar soal psikologis, tetapi juga kosmologis: manusia menemukan
kebebasan batin justru ketika ia mengakui posisinya dalam keteraturan kosmik.
3.4. Implikasi
Etis-Filosofis
Dari landasan filosofis ini tampak jelas bahwa dikotomi kendali bukan
sekadar strategi praktis menghadapi stres, melainkan konsekuensi logis dari
sistem Stoik secara keseluruhan. Etika Stoik berakar pada pengakuan akan
rasionalitas kosmos, prioritas kebajikan atas hal eksternal, serta kesadaran
akan keterhubungan manusia dengan dunia. Dengan kerangka itu, Stoikisme
menuntut manusia untuk mengarahkan kehendaknya kepada hal-hal yang benar-benar
berada di bawah kendali, sembari menerima segala sesuatu yang ditentukan oleh
hukum kosmos.¹¹ Inilah fondasi filosofis yang membuat dikotomi kendali menjadi
prinsip abadi dalam filsafat praktis.
Footnotes
[1]
Diogenes Laertius, Lives of Eminent Philosophers,
VII.39, trans. R. D. Hicks (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1925),
192.
[2]
A. A. Long and D. N. Sedley, The Hellenistic
Philosophers, vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 347–48.
[3]
John Sellars, Stoicism (Berkeley: University of
California Press, 2006), 32–34.
[4]
Marcus Aurelius, Meditations, IV.40, trans. A.
S. L. Farquharson (Oxford: Oxford University Press, 1944).
[5]
Epictetus, Discourses, I.1, trans. Robin Hard
(London: Everyman, 1995), 11.
[6]
Pierre Hadot, The Inner Citadel: The Meditations of
Marcus Aurelius, trans. Michael Chase (Cambridge, MA: Harvard University
Press, 1998), 83.
[7]
Julia Annas, The Morality of Happiness (Oxford:
Oxford University Press, 1993), 149.
[8]
Troels Engberg-Pedersen, The Stoic Theory of
Oikeiosis (Aarhus: Aarhus University Press, 1990), 57–58.
[9]
Cicero, On
Ends (De Finibus Bonorum et Malorum), III.62, trans. H. Rackham (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1914).
[10]
Anthony A. Long, Stoic Studies (Cambridge:
Cambridge University Press, 1996), 174.
[11]
Lawrence C. Becker, A New Stoicism (Princeton:
Princeton University Press, 1998), 24–27.
4.
Perspektif Para
Filosof Stoik
Prinsip dikotomi kendali memperoleh
bobot dan bentuknya yang paling jelas melalui pemikiran tiga tokoh besar Stoa
Romawi: Epictetus, Seneca, dan Marcus Aurelius.
Masing-masing filsuf mengartikulasikan prinsip ini dengan nuansa yang berbeda,
sesuai konteks kehidupan dan latar belakang mereka, namun tetap berakar pada
keyakinan bersama bahwa kebebasan sejati hanya terletak pada kendali batin.
4.1. Epictetus:
Kebebasan dalam Prohairesis
Epictetus (55–135 M), seorang mantan
budak yang kemudian menjadi filsuf, memberikan penekanan paling kuat pada
dikotomi kendali. Dalam Enchiridion, ia membuka ajarannya dengan kalimat
bahwa sebagian hal berada dalam kuasa kita, sementara sebagian lain tidak.¹
Hal-hal yang berada di bawah kuasa manusia adalah prohairesis—kemampuan
memilih, menilai, dan mengarahkan kehendak.² Menurutnya, hanya wilayah inilah
yang menentukan kebajikan dan kebahagiaan sejati. Segala sesuatu di luar prohairesis
dianggap bukan milik sejati kita, sehingga bila digantungkan pada faktor
eksternal, manusia akan terjerat dalam penderitaan.³ Epictetus mengajarkan
bahwa kebebasan seorang budak sekalipun tetap utuh, sejauh ia mampu menjaga
penilaiannya tetap rasional dan selaras dengan Logos.⁴
4.2. Seneca:
Menerima Nasib dan Menguasai Diri
Lucius Annaeus Seneca (4 SM–65 M), seorang negarawan, penulis,
sekaligus penasihat kaisar Nero, memandang dikotomi kendali melalui perspektif amor
fati—cinta terhadap nasib.⁵ Dalam surat-surat moralnya (Epistulae
Morales ad Lucilium), ia berulang kali menekankan bahwa ketenangan jiwa
hanya mungkin bila kita membedakan dengan jelas apa yang dapat dikendalikan dan
apa yang harus diterima.⁶ Bagi Seneca, penderitaan bukanlah akibat dari nasib
itu sendiri, melainkan dari sikap manusia yang menolak takdir. Ia menulis, “Seseorang
tidak menderita karena hal-hal yang menimpanya, melainkan karena pandangannya
terhadap hal-hal itu.”⁷ Pandangan ini menempatkan kendali diri sebagai
pusat etika praktis: manusia bijak bukanlah ia yang mengubah dunia sesuai
keinginannya, melainkan ia yang mampu menyesuaikan kehendaknya dengan jalan
alam.⁸
4.3. Marcus
Aurelius: Praktik Reflektif Seorang Kaisar
Marcus Aurelius (121–180 M), kaisar Romawi sekaligus filsuf,
mempraktikkan prinsip dikotomi kendali dalam situasi paling kompleks: memimpin
sebuah imperium di tengah peperangan dan wabah. Dalam Meditations, ia
menulis refleksi pribadi untuk mengingatkan dirinya agar tidak terjebak pada
hal-hal di luar kendali.⁹ Ia menegaskan bahwa dunia dikuasai oleh hukum kosmik
(Logos), sehingga segala peristiwa harus diterima sebagai bagian dari
tatanan alam.¹⁰ Namun, yang tetap berada dalam kendali manusia adalah pikiran,
penilaian, dan tindakan yang sesuai dengan kebajikan.¹¹ Marcus mengajak dirinya
untuk melihat hambatan bukan sebagai penghalang, tetapi sebagai jalan untuk
bertumbuh: “Apa yang menghalangi tindakan menjadi tindakan itu sendiri; yang
menghadang justru menjadi jalan.”¹²
4.4. Sintesis
Pandangan Tiga Tokoh
Epictetus menekankan kebebasan batin
melalui prohairesis, Seneca mengajarkan penerimaan penuh terhadap takdir
(amor fati), sementara Marcus Aurelius menampilkan refleksi praktis
seorang pemimpin yang hidup di bawah tekanan sejarah. Meski berbeda gaya,
ketiganya menegaskan hal yang sama: kebahagiaan sejati tidak ditentukan oleh
kondisi eksternal, melainkan oleh kemampuan manusia untuk mengarahkan kehendak,
menilai dengan akal, dan bertindak sesuai kebajikan. Prinsip ini meneguhkan dikotomi kendali
sebagai jantung Stoikisme, baik dalam konteks kehidupan pribadi, sosial, maupun
politik.¹³
Footnotes
[1]
Epictetus, Enchiridion, trans. Nicholas P.
White (Indianapolis: Hackett, 1983), 1.1.
[2]
A. A. Long, Epictetus: A Stoic and Socratic Guide
to Life (Oxford: Clarendon Press, 2002), 101–102.
[3]
Epictetus, Discourses, I.1, trans. Robin Hard
(London: Everyman, 1995).
[4]
John Sellars, Stoicism (Berkeley: University of
California Press, 2006), 107.
[5]
Seneca, On the Shortness of Life, trans. C. D.
N. Costa (London: Penguin, 1997), 13–14.
[6]
Seneca, Epistulae Morales ad Lucilium, Letter
71, trans. Richard M. Gummere (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1917).
[7]
Seneca, Epistulae
Morales, Letter 85, ibid.
[8]
Martha C. Nussbaum, The Therapy of Desire: Theory
and Practice in Hellenistic Ethics (Princeton: Princeton University Press,
1994), 369.
[9]
Marcus Aurelius, Meditations, IV.3, trans.
Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002).
[10]
Marcus Aurelius, Meditations, VI.36, ibid.
[11]
Pierre Hadot, The Inner Citadel: The Meditations of
Marcus Aurelius, trans. Michael Chase (Cambridge, MA: Harvard University
Press, 1998), 84–85.
[12]
Marcus Aurelius, Meditations, V.20, trans. A.
S. L. Farquharson (Oxford: Oxford University Press, 1944).
[13]
Lawrence C. Becker, A New Stoicism (Princeton:
Princeton University Press, 1998), 27.
5.
Dikotomi Kendali dalam Kehidupan Sehari-hari
Prinsip dikotomi kendali dalam Stoikisme bukan hanya konsep teoritis,
tetapi panduan praktis yang dirancang untuk membantu manusia menghadapi
tantangan sehari-hari. Epictetus sendiri menegaskan bahwa filsafat sejati
bukanlah retorika spekulatif, melainkan “cara hidup” (way of life) yang
mengarahkan tindakan nyata.¹ Dengan memisahkan hal-hal yang berada dalam
kendali kita dari hal-hal yang berada di luar kendali kita, Stoikisme
menyediakan kerangka berpikir yang dapat mengurangi kecemasan, menumbuhkan
ketenangan, dan memperkuat daya lenting (resilience) dalam kehidupan
sehari-hari.
5.1. Menghadapi
Kritik dan Opini Orang Lain
Dalam interaksi sosial, manusia sering terganggu oleh opini atau
penilaian orang lain. Stoikisme mengingatkan bahwa reputasi, penghargaan, atau
celaan termasuk kategori yang tidak dapat kita kendalikan.² Yang berada dalam
kendali kita hanyalah sikap dan respons terhadap opini tersebut. Marcus
Aurelius menulis, “Jika engkau tersinggung oleh perkataan orang lain,
ingatlah bahwa engkau sendiri yang memberi kuasa kepada perkataan itu untuk
menyakitimu.”³ Dengan demikian, kritik dapat dijadikan sarana refleksi atau
diabaikan bila tidak relevan, tanpa harus merusak ketenangan batin.
5.2. Menghadapi
Kehilangan dan Kegagalan
Kehidupan sarat dengan kehilangan:
harta, kesehatan, bahkan orang-orang yang dicintai. Bagi Stoik, kehilangan
adalah bagian dari hukum kosmos yang tidak dapat dihindari. Seneca menekankan
bahwa manusia harus selalu mengingat kefanaan segala sesuatu (memento mori)
agar tidak terkejut ketika kehilangan benar-benar datang.⁴ Melalui latihan ini,
seseorang belajar menerima kematian atau kegagalan sebagai fakta alamiah, bukan
tragedi personal. Epictetus menyarankan praktik premeditatio malorum—membayangkan
hal-hal buruk yang mungkin terjadi—agar seseorang lebih siap secara emosional
saat peristiwa itu benar-benar datang.⁵
5.3. Praktik
Latihan Stoik (Askesis)
Para filsuf Stoa merekomendasikan berbagai latihan praktis untuk
menginternalisasi dikotomi kendali:
1)
Premeditatio malorum:
membayangkan kemungkinan buruk untuk melatih kesiapan mental.⁶
2)
Journaling:
sebagaimana dilakukan Marcus Aurelius dalam Meditations, yakni menulis
refleksi harian untuk menilai pikiran dan tindakan.⁷
3)
Meditasi rasional:
meninjau kembali penilaian agar tidak terjebak pada emosi yang tidak
proporsional.⁸
Latihan-latihan ini menunjukkan bahwa dikotomi kendali bukan sekadar
teori etis, melainkan metode disiplin diri yang terus-menerus dipraktikkan.
5.4. Aplikasi
dalam Dunia Modern
Relevansi dikotomi kendali semakin
nyata dalam konteks modern yang penuh ketidakpastian—baik dalam dunia kerja,
pendidikan, maupun kehidupan digital. Penelitian psikologi kontemporer
menunjukkan bahwa fokus pada kendali internal berhubungan dengan tingkat
kesejahteraan psikologis yang lebih tinggi.⁹ Konsep locus of control
dalam psikologi, misalnya, menjelaskan bahwa individu dengan orientasi kendali
internal lebih resilien dalam menghadapi stres dibanding mereka yang bergantung
pada kendali eksternal.¹⁰ Tidak mengherankan bila banyak psikoterapis
kognitif—seperti Albert Ellis dan Aaron T. Beck—mengadopsi prinsip Stoik,
termasuk gagasan bahwa penderitaan lebih banyak disebabkan oleh penilaian
subjektif dibanding oleh fakta obyektif.¹¹
Kesimpulan Praktis
Dalam kehidupan sehari-hari, dikotomi
kendali bekerja sebagai “filter rasional” yang membantu manusia menilai mana
yang harus diperjuangkan dan mana yang harus diterima. Dengan demikian, prinsip
ini tidak hanya membimbing seseorang untuk hidup lebih tenang, tetapi juga
lebih efektif, karena energi mental difokuskan pada hal-hal yang benar-benar
bisa diubah. Stoikisme, melalui dikotomi kendali, memberikan seni hidup
praktis: membebaskan diri dari ilusi penguasaan total atas dunia, sekaligus
memperkuat kendali atas dunia batin yang sesungguhnya menentukan kualitas hidup
manusia.¹²
Footnotes
[1]
Pierre Hadot, Philosophy as a Way of Life,
trans. Michael Chase (Oxford: Blackwell, 1995), 83.
[2]
Epictetus, Discourses, I.25, trans. Robin Hard
(London: Everyman, 1995).
[3]
Marcus Aurelius, Meditations, IV.7, trans.
Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002).
[4]
Seneca, On the Shortness of Life, trans. C. D.
N. Costa (London: Penguin, 1997), 16.
[5]
Epictetus, Enchiridion, 21, trans. Nicholas
White (Indianapolis: Hackett, 1983).
[6]
William B. Irvine, A Guide to the Good Life: The
Ancient Art of Stoic Joy (Oxford: Oxford University Press, 2009), 78.
[7]
Marcus Aurelius, Meditations, II.1, trans.
Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002).
[8]
Donald Robertson, Stoicism and the Art of Happiness
(London: Hodder & Stoughton, 2013), 54.
[9]
Ryan Holiday and Stephen Hanselman, The Daily
Stoic: 366 Meditations on Wisdom, Perseverance, and the Art of Living (New
York: Penguin, 2016), xxvii–xxix.
[10]
Julian B. Rotter, “Generalized Expectancies for
Internal versus External Control of Reinforcement,” Psychological
Monographs: General and Applied 80 (1966): 1–28.
[11]
Donald Robertson, The Philosophy of
Cognitive-Behavioural Therapy (CBT): Stoic Philosophy as Rational and Cognitive
Psychotherapy (London: Karnac, 2010), 33–34.
[12]
Lawrence C. Becker, A New Stoicism (Princeton:
Princeton University Press, 1998), 27–28.
6.
Manfaat Psikologis
dan Etis
Prinsip dikotomi kendali dalam Stoikisme memiliki dampak mendalam, baik
secara psikologis maupun etis. Dengan menekankan fokus pada hal-hal yang dapat
kita kendalikan dan melepaskan keterikatan pada hal-hal di luar kendali,
Stoikisme menawarkan strategi yang membentuk ketahanan batin, ketenangan jiwa,
sekaligus kerangka moral yang kokoh.
6.1. Manfaat
Psikologis: Mengurangi Stres dan Kecemasan
Salah satu manfaat psikologis utama dari penerapan dikotomi kendali
adalah berkurangnya stres dan kecemasan. Epictetus menegaskan bahwa penderitaan
manusia lebih banyak disebabkan oleh penilaian terhadap peristiwa, bukan oleh
peristiwa itu sendiri.¹ Pandangan ini kemudian menjadi inspirasi bagi psikologi
modern, khususnya terapi kognitif. Aaron T. Beck dan Albert Ellis, pendiri
Cognitive Behavioral Therapy (CBT) dan Rational Emotive Behavior Therapy
(REBT), mengakui pengaruh pemikiran Stoik dalam asumsi dasar mereka: emosi
negatif timbul bukan karena fakta, tetapi karena interpretasi kita terhadap
fakta tersebut.² Dengan demikian, prinsip Stoik ini sejalan dengan intervensi
psikologis modern yang terbukti efektif mengurangi depresi, kecemasan, dan
stres.³
6.2. Ataraxia
dan Apatheia: Ketenangan dan Keteguhan Jiwa
Stoikisme menekankan pencapaian ataraxia
(ketenangan batin) dan apatheia (keteguhan jiwa).⁴ Ataraxia
dicapai ketika seseorang berhenti mengikat kebahagiaannya pada kondisi
eksternal yang fluktuatif, sedangkan apatheia adalah hasil dari
kemampuan mengendalikan respons emosional terhadap hal-hal di luar kuasa.
Seneca menggambarkan orang bijak sebagai mereka yang “tidak terguncang oleh
nasib, baik ketika ia memberi maupun ketika ia mengambil.”⁵ Sikap ini tidak
berarti menolak emosi, melainkan melatih agar emosi tidak mendominasi penilaian
rasional.
6.3. Daya
Lenting (Resilience) dan Pengelolaan Kehilangan
Latihan Stoik seperti premeditatio
malorum dan kesadaran akan kefanaan (memento mori) melatih individu
untuk menghadapi kehilangan tanpa keterpurukan berlebihan.⁶ Dengan membayangkan
kemungkinan buruk sebelum terjadi, seseorang tidak lagi rentan terhadap kejutan
emosional ketika kenyataan menimpanya. Hasilnya adalah daya lenting psikologis
yang lebih kuat: individu dapat bangkit lebih cepat dari kegagalan, kehilangan,
atau penderitaan. Prinsip
ini menjadikan Stoikisme tidak hanya relevan pada konteks personal, tetapi juga
dalam situasi krisis kolektif, seperti pandemi atau konflik sosial.⁷
6.4. Manfaat
Etis: Kebajikan sebagai Satu-satunya Kebaikan Sejati
Secara etis, dikotomi kendali menegaskan bahwa kebajikan (aretē)—yakni
hidup sesuai akal dan kehendak baik—adalah satu-satunya kebaikan sejati.⁸
Hal-hal eksternal seperti kesehatan, kekayaan, atau reputasi hanyalah indifferents
yang nilainya tidak menentukan kualitas moral seseorang. Marcus Aurelius dalam Meditations
berulang kali menekankan bahwa nilai seorang manusia diukur dari keselarasan
pikirannya dengan Logos, bukan dari keberuntungan atau penderitaan yang
dialaminya.⁹ Prinsip ini membebaskan individu dari ketergantungan pada
pengakuan eksternal dan mengarahkan fokus pada pembentukan karakter moral.
6.5. Keterhubungan
dengan Kehidupan Sosial
Meskipun Stoikisme menekankan kebebasan batin, ia tidak mengajarkan
isolasi. Konsep oikeiosis—proses keterhubungan diri dengan orang
lain—menunjukkan bahwa sikap menerima hal-hal di luar kendali bukanlah alasan
untuk bersikap pasif, melainkan untuk bertindak adil sesuai kapasitas kita.¹⁰
Dengan demikian, manfaat etis dikotomi kendali terletak pada keseimbangan
antara penerimaan rasional terhadap nasib dan komitmen moral untuk tetap
berbuat kebajikan dalam lingkup kendali kita.
Sintesis
Dengan menggabungkan manfaat psikologis dan etis, dikotomi kendali
menjelma sebagai prinsip hidup yang holistik. Secara psikologis, ia menumbuhkan
ketenangan, mengurangi kecemasan, dan membangun daya lenting. Secara etis, ia
meneguhkan kebajikan sebagai pusat kehidupan moral. Sinergi ini menjadikan
Stoikisme tidak hanya sebuah filsafat kuno, tetapi juga terapi hidup yang
relevan bagi manusia modern yang menghadapi tekanan, ketidakpastian, dan
kompleksitas sosial.¹¹
Footnotes
[1]
Epictetus, Enchiridion, trans. Nicholas White
(Indianapolis: Hackett, 1983), §5.
[2]
Albert Ellis, Reason and Emotion in Psychotherapy
(New York: Lyle Stuart, 1962), 35–36.
[3]
Donald Robertson, The Philosophy of
Cognitive-Behavioural Therapy (CBT): Stoic Philosophy as Rational and Cognitive
Psychotherapy (London: Karnac, 2010), 42–44.
[4]
A. A. Long, Hellenistic Philosophy: Stoics,
Epicureans, Sceptics (Berkeley: University of California Press, 1986), 202.
[5]
Seneca, Epistulae Morales ad Lucilium, Letter
71, trans. Richard M. Gummere (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1917).
[6]
William B. Irvine, A Guide to the Good Life: The
Ancient Art of Stoic Joy (Oxford: Oxford University Press, 2009), 78.
[7]
Ryan Holiday, The Obstacle Is the Way: The Timeless
Art of Turning Trials into Triumph (New York: Portfolio, 2014), 23–24.
[8]
Julia Annas, The Morality of Happiness (Oxford:
Oxford University Press, 1993), 148–49.
[9]
Marcus Aurelius, Meditations, VI.36, trans.
Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002).
[10]
Troels Engberg-Pedersen, The Stoic Theory of
Oikeiosis (Aarhus: Aarhus University Press, 1990), 61–62.
[11]
Lawrence C. Becker, A New Stoicism (Princeton:
Princeton University Press, 1998), 27–28.
7.
Kritik dan Batasan
Dikotomi Kendali
Meskipun dikotomi kendali merupakan prinsip paling dikenal dalam
Stoikisme dan menawarkan manfaat besar secara psikologis maupun etis, gagasan
ini tidak luput dari kritik. Beberapa ahli menilai bahwa prinsip tersebut, jika
dipahami secara kaku, mengandung keterbatasan konseptual dan praktis yang perlu
diperhatikan.
7.1. Potensi
Kesalahpahaman: Pasif terhadap Ketidakadilan
Salah satu kritik yang sering muncul
adalah tuduhan bahwa dikotomi kendali dapat mendorong sikap pasif terhadap
ketidakadilan sosial atau politik.¹ Jika segala sesuatu di luar kendali
dianggap indifferents, bukankah itu berarti seseorang tidak perlu
berusaha memperbaiki kondisi sosial yang timpang? Kritikus berpendapat bahwa
Stoikisme bisa disalahartikan sebagai pembenaran bagi status quo yang tidak
adil.² Namun, para pembela Stoik menekankan bahwa dikotomi kendali tidak
menghapus tanggung jawab sosial; justru, ia menekankan bahwa tugas moral
manusia adalah bertindak adil sejauh ia mampu, meskipun hasil akhirnya berada
di luar kendali.³
7.2. Dikotomi
atau Spektrum?
Kritik lain berhubungan dengan sifat “biner” dari dikotomi
kendali. Sejumlah filsuf modern menilai bahwa membagi realitas hanya menjadi
dua kategori—sepenuhnya dapat dikendalikan dan sepenuhnya di luar
kendali—terlalu menyederhanakan kenyataan.⁴ Dalam banyak kasus, kendali manusia
bersifat parsial: misalnya, kesehatan bergantung pada gaya hidup (sebagian
dalam kendali), tetapi juga pada faktor genetik dan lingkungan (di luar
kendali).⁵ Karenanya, beberapa sarjana kontemporer mengusulkan pemahaman yang
lebih spektral daripada biner, yakni adanya “zona abu-abu” yang menuntut
strategi kendali yang lebih fleksibel.⁶
7.3. Kritik
dari Tradisi Filosofis Lain
Tradisi filsafat lain juga menyoroti keterbatasan Stoikisme. Dari
perspektif eksistensialisme, misalnya, Jean-Paul Sartre menekankan kebebasan
radikal manusia dalam menentukan makna hidupnya, sehingga pandangan Stoik
dianggap kurang menekankan kreativitas eksistensial dan terlalu menekankan
penerimaan.⁷ Dari sudut pandang Buddhisme, Stoikisme dinilai tetap terlalu
berfokus pada kendali rasional, sementara Buddhisme menekankan pelepasan total
dari keterikatan dan ilusi diri.⁸ Kritik ini menunjukkan bahwa dikotomi kendali
mungkin belum sepenuhnya menjawab kompleksitas eksistensi manusia yang tidak
hanya rasional, tetapi juga emosional dan spiritual.
7.4. Batasan
Kontekstual dan Historis
Sebagian pengkaji menekankan bahwa
Stoikisme lahir dalam konteks dunia kuno yang berbeda dari tantangan dunia
modern.⁹ Stoik Romawi berbicara dalam kerangka masyarakat yang hierarkis dan
fatalistik, di mana “nasib” (fatum) dipandang sebagai bagian dari
tatanan kosmik yang tak terelakkan.¹⁰ Dalam dunia modern yang ditandai oleh
perubahan cepat, sains, dan teknologi, konsep dikotomi kendali perlu diadaptasi
agar tidak jatuh pada sikap fatalistik, melainkan tetap memberi ruang bagi
inovasi, kebebasan individu, dan perjuangan kolektif untuk perubahan sosial.¹¹
7.5. Reinterpretasi
Modern: Dari Dikotomi ke Trikotomi
Beberapa penulis kontemporer, seperti
William Irvine, mencoba merevisi konsep klasik ini menjadi “trikotomi
kendali”: (1) hal-hal yang sepenuhnya dapat kita kendalikan, (2) hal-hal
yang sepenuhnya di luar kendali, dan (3) hal-hal yang sebagian dalam kendali.¹²
Model ini dianggap lebih realistis untuk situasi modern, seperti menjaga
kesehatan atau merencanakan karier. Dengan menambahkan kategori ketiga, prinsip Stoik menjadi lebih
fleksibel dan aplikatif tanpa kehilangan esensi dasarnya.
Sintesis
Kritik-kritik ini menyoroti bahwa meskipun dikotomi kendali merupakan
prinsip sederhana yang sangat berguna, penerapannya harus disertai
kebijaksanaan interpretatif. Jika dipahami secara kaku, ia bisa menjerumuskan
pada pasivitas atau fatalisme. Namun, jika didekati secara reflektif, ia tetap
menjadi pedoman etis yang kuat untuk membedakan mana yang harus diperjuangkan
dan mana yang harus diterima dengan lapang dada. Dengan demikian, dikotomi
kendali bukanlah resep mutlak, melainkan kerangka reflektif yang perlu
dilengkapi dengan nuansa, konteks, dan kesadaran historis.¹³
Footnotes
[1]
Martha C. Nussbaum, The Therapy of Desire: Theory
and Practice in Hellenistic Ethics (Princeton: Princeton University Press,
1994), 369.
[2]
Richard Sorabji, Emotion and Peace of Mind: From
Stoic Agitation to Christian Temptation (Oxford: Oxford University Press,
2000), 52–53.
[3]
Lawrence C. Becker, A New Stoicism (Princeton:
Princeton University Press, 1998), 26.
[4]
John Sellars, Stoicism (Berkeley: University of
California Press, 2006), 119.
[5]
Donald Robertson, Stoicism and the Art of Happiness
(London: Hodder & Stoughton, 2013), 48.
[6]
Margaret R. Graver, Stoicism and Emotion
(Chicago: University of Chicago Press, 2007), 95–96.
[7]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans.
Hazel Barnes (New York: Philosophical Library, 1956), 29–31.
[8]
Damien Keown, Buddhism: A Very Short Introduction
(Oxford: Oxford University Press, 1996), 88.
[9]
Anthony A. Long, Stoic Studies (Cambridge:
Cambridge University Press, 1996), 180.
[10]
Cicero, On Fate, trans. H. Rackham (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 1942), 20.
[11]
Massimo Pigliucci, How to Be a Stoic: Using Ancient
Philosophy to Live a Modern Life (New York: Basic Books, 2017), 112.
[12]
William B. Irvine, A Guide to the Good Life: The
Ancient Art of Stoic Joy (Oxford: Oxford University Press, 2009), 76–79.
[13]
Pierre Hadot, Philosophy as a Way of Life,
trans. Michael Chase (Oxford: Blackwell, 1995), 91.
8.
Relevansi dalam
Konteks Modern
Meskipun lahir lebih dari dua ribu
tahun yang lalu, prinsip dikotomi kendali dalam Stoikisme tetap memiliki daya
guna yang luar biasa di tengah kompleksitas kehidupan modern. Dunia kontemporer ditandai oleh
percepatan teknologi, ketidakpastian global, serta tekanan psikologis dan
sosial yang intens. Dalam konteks ini, pembedaan Stoik antara hal-hal yang
berada dalam kendali kita dan yang tidak, menjadi sebuah strategi rasional
untuk menjaga ketenangan batin sekaligus efektivitas tindakan.
8.1. Dalam
Dunia Kerja dan Profesionalisme
Lingkungan kerja modern sering kali sarat dengan tekanan, baik berupa
target kinerja, kompetisi, maupun faktor eksternal seperti kondisi ekonomi.
Prinsip Stoik mengajarkan bahwa seorang profesional harus memusatkan perhatian
pada usaha, integritas, dan kualitas kerja—hal-hal yang berada dalam
kendalinya—alih-alih pada hasil akhir yang dipengaruhi banyak variabel di luar
kuasa.¹ Strategi ini bukan hanya mengurangi stres, tetapi juga meningkatkan
fokus dan produktivitas, karena energi mental tidak terbuang pada kecemasan
tentang hal-hal yang tak dapat dikendalikan.²
8.2. Dalam
Pendidikan dan Pengembangan Diri
Stoikisme juga relevan dalam dunia pendidikan. Guru maupun pelajar
dihadapkan pada tantangan berupa standar penilaian, tekanan sosial, dan hasil
ujian. Dengan menerapkan dikotomi kendali, fokus diarahkan pada proses belajar,
disiplin, dan usaha konsisten—daripada hanya pada hasil akhir.³ Pandangan ini
selaras dengan gagasan growth mindset dalam psikologi pendidikan, yang
menekankan pentingnya upaya dan strategi ketimbang sekadar pencapaian instan.⁴
8.3. Era
Digital dan Media Sosial
Dalam era media sosial, individu sering kali terjebak pada kecemasan
mengenai “likes,” komentar, dan citra publik. Semua hal ini sejatinya
berada di luar kendali penuh seseorang. Marcus Aurelius sudah menasihati agar
tidak menjadikan opini orang lain sebagai ukuran diri, sebuah nasihat yang
tampak relevan dalam konteks digital saat ini.⁵ Dengan menginternalisasi
dikotomi kendali, pengguna media sosial dapat membebaskan diri dari
ketergantungan pada validasi eksternal dan lebih menekankan pada nilai serta
konten yang bermakna.⁶
8.4. Dalam
Menghadapi Krisis Global
Krisis kontemporer seperti pandemi, perubahan iklim, dan konflik
internasional menunjukkan betapa banyak aspek kehidupan yang berada di luar
kendali individu. Namun, Stoikisme mengingatkan bahwa setiap orang masih
memiliki kendali atas responsnya: kepatuhan pada protokol kesehatan, gaya hidup
ramah lingkungan, serta keterlibatan dalam aksi sosial yang bermakna.⁷ Dengan
demikian, dikotomi kendali tidak berarti sikap pasrah, tetapi justru mendorong
tindakan konkret pada ruang lingkup kendali personal dan kolektif.
8.5. Kesehatan
Mental dan Psikologi Modern
Prinsip Stoik semakin mendapat relevansi dalam psikologi modern. Terapi
kognitif (CBT) banyak mengadopsi gagasan Epictetus bahwa “manusia menderita
bukan karena peristiwa, tetapi karena pandangannya tentang peristiwa.”⁸ Di
tengah meningkatnya angka depresi dan kecemasan global, dikotomi kendali dapat
menjadi alat bantu praktis dalam mengelola ekspektasi dan membangun
resiliensi.⁹ Penelitian kontemporer juga menunjukkan bahwa individu dengan locus
of control internal cenderung lebih mampu mengatasi tekanan hidup dibanding
mereka yang berorientasi eksternal.¹⁰
Sintesis
Relevansi dikotomi kendali dalam konteks modern terletak pada
kemampuannya memberi keseimbangan antara penerimaan dan tindakan. Ia
mengajarkan bahwa manusia tidak perlu menanggung beban mustahil untuk menguasai
segala hal, melainkan cukup mengarahkan energi pada apa yang benar-benar dapat
diubah. Dalam dunia yang ditandai oleh ketidakpastian dan kompleksitas, prinsip
sederhana ini tetap menjadi panduan abadi: seni hidup dengan tenang tanpa
kehilangan komitmen moral untuk bertindak.¹¹
Footnotes
[1]
Ryan Holiday, The Obstacle Is the Way: The Timeless
Art of Turning Trials into Triumph (New York: Portfolio, 2014), 37.
[2]
Donald Robertson, Stoicism and the Art of Happiness
(London: Hodder & Stoughton, 2013), 102.
[3]
Pierre Hadot, Philosophy as a Way of Life,
trans. Michael Chase (Oxford: Blackwell, 1995), 91.
[4]
Carol S. Dweck, Mindset: The New Psychology of
Success (New York: Random House, 2006), 47–48.
[5]
Marcus Aurelius, Meditations, VI.30, trans.
Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002).
[6]
Massimo Pigliucci, How to Be a Stoic: Using Ancient
Philosophy to Live a Modern Life (New York: Basic Books, 2017), 114.
[7]
Lawrence C. Becker, A New Stoicism (Princeton:
Princeton University Press, 1998), 205.
[8]
Epictetus, Enchiridion, §5, trans. Nicholas
White (Indianapolis: Hackett, 1983).
[9]
Donald Robertson, The Philosophy of
Cognitive-Behavioural Therapy (CBT) (London: Karnac, 2010), 56–57.
[10]
Julian B. Rotter, “Generalized Expectancies for
Internal versus External Control of Reinforcement,” Psychological
Monographs: General and Applied 80 (1966): 1–28.
[11]
Martha C. Nussbaum, The Therapy of Desire: Theory
and Practice in Hellenistic Ethics (Princeton: Princeton University Press,
1994), 389.
9.
Penutup
Dikotomi kendali merupakan salah satu
prinsip inti Stoikisme yang menunjukkan kedalaman filsafat ini sebagai panduan
hidup. Dengan membedakan
hal-hal yang berada dalam kendali kita (prohairesis) dan yang berada di
luar kendali, Stoikisme menghadirkan kerangka etis sekaligus psikologis yang
kokoh. Epictetus menekankan bahwa kebebasan sejati hanya mungkin ketika manusia
menguasai penilaiannya sendiri, bukan ketika ia berusaha mengendalikan dunia
luar.¹ Seneca melengkapi perspektif ini dengan gagasan amor fati—cinta
pada nasib—yang mendorong penerimaan penuh terhadap takdir tanpa kehilangan
komitmen pada kebajikan.² Marcus Aurelius, melalui refleksi pribadinya,
memperlihatkan bagaimana prinsip tersebut tetap relevan bahkan bagi seorang
kaisar yang menghadapi beban kepemimpinan dan krisis besar.³
Secara psikologis, dikotomi kendali menumbuhkan ketenangan (ataraxia)
dan keteguhan jiwa (apatheia), dengan mengajarkan bahwa penderitaan
tidak bersumber pada peristiwa itu sendiri, melainkan pada penilaian kita
terhadapnya.⁴ Pandangan ini selaras dengan temuan psikologi modern, terutama Cognitive
Behavioral Therapy (CBT), yang mengadopsi banyak inspirasi dari
Epictetus dan para filsuf Stoik.⁵ Dengan demikian, Stoikisme berhasil melintasi
batas zaman: dari dunia kuno hingga dunia modern, ia tetap relevan sebagai
strategi mengatasi stres, kecemasan, dan ketidakpastian hidup.
Namun demikian, berbagai kritik menunjukkan bahwa dikotomi kendali
tidak boleh dipahami secara kaku. Sebagian kalangan mengingatkan bahwa jika
diterapkan tanpa nuansa, ia bisa disalahartikan sebagai pembenaran untuk sikap
pasif terhadap ketidakadilan.⁶ Oleh karena itu, reinterpretasi modern—seperti
gagasan “trikotomi kendali”—menawarkan pemahaman yang lebih kontekstual,
dengan mengakui adanya wilayah parsial dalam kendali manusia.⁷ Dengan
pendekatan ini, prinsip Stoik tetap dapat dijalankan secara realistis dalam
menghadapi tantangan kontemporer.
Pada akhirnya, dikotomi kendali bukan sekadar teori etika, melainkan
seni hidup yang memadukan kebijaksanaan dan keberanian. Ia menuntun manusia
untuk memusatkan energi pada hal-hal yang benar-benar dapat diubah, sambil
menerima dengan lapang dada apa yang berada di luar kuasa.⁸ Dalam dunia modern
yang penuh ketidakpastian—dari tekanan kerja, media sosial, hingga krisis
global—prinsip ini menawarkan jalan menuju kebebasan batin, keteguhan moral,
dan kebijaksanaan praktis. Dengan demikian, Stoikisme tetap menjadi sumber
inspirasi abadi bagi manusia yang mencari ketenangan sejati di tengah
keterbatasan hidup.⁹
Footnotes
[1]
Epictetus, Enchiridion, trans. Nicholas White
(Indianapolis: Hackett, 1983), §1.
[2]
Seneca, On the Shortness of Life, trans. C. D.
N. Costa (London: Penguin, 1997), 18.
[3]
Marcus Aurelius, Meditations, V.20, trans. A.
S. L. Farquharson (Oxford: Oxford University Press, 1944).
[4]
Margaret R. Graver, Stoicism and Emotion
(Chicago: University of Chicago Press, 2007), 103.
[5]
Donald Robertson, The Philosophy of
Cognitive-Behavioural Therapy (CBT): Stoic Philosophy as Rational and Cognitive
Psychotherapy (London: Karnac, 2010), 42–44.
[6]
Martha C. Nussbaum, The Therapy of Desire: Theory
and Practice in Hellenistic Ethics (Princeton: Princeton University Press,
1994), 369.
[7]
William B. Irvine, A Guide to the Good Life: The
Ancient Art of Stoic Joy (Oxford: Oxford University Press, 2009), 76–79.
[8]
John Sellars, Stoicism (Berkeley: University of
California Press, 2006), 121.
[9]
Pierre Hadot, Philosophy as a Way of Life,
trans. Michael Chase (Oxford: Blackwell, 1995), 92.
Daftar Pustaka
Annas, J. (1993). The morality of
happiness. Oxford University Press.
Becker, L. C. (1998). A new
Stoicism. Princeton University Press.
Cicero. (1914). On ends (De finibus bonorum et malorum) (H.
Rackham, Trans.). Harvard University Press.
Cicero. (1942). On fate (H.
Rackham, Trans.). Harvard University Press.
Diogenes Laertius. (1925). Lives
of eminent philosophers (R. D. Hicks, Trans.). Harvard University Press.
Dweck, C. S. (2006). Mindset: The
new psychology of success. Random House.
Ellis, A. (1962). Reason and
emotion in psychotherapy. Lyle
Stuart.
Engberg-Pedersen, T. (1990). The Stoic theory of oikeiosis.
Aarhus University Press.
Epictetus. (1983). Enchiridion
(N. P. White, Trans.). Hackett.
Epictetus. (1995). Discourses
(R. Hard, Trans.). Everyman.
Graver, M. R. (2007). Stoicism and
emotion. University of Chicago Press.
Hadot, P. (1995). Philosophy as a
way of life (M. Chase, Trans.). Blackwell.
Hadot, P. (1998). The inner
citadel: The meditations of Marcus Aurelius (M. Chase, Trans.). Harvard
University Press.
Holiday, R. (2014). The obstacle
is the way: The timeless art of turning trials into triumph. Portfolio.
Holiday, R., & Hanselman, S.
(2016). The daily Stoic: 366 meditations on wisdom, perseverance, and the
art of living. Penguin.
Irvine, W. B. (2009). A guide to
the good life: The ancient art of Stoic joy. Oxford University Press.
Long, A. A. (1986). Hellenistic
philosophy: Stoics, Epicureans, Sceptics. University of California Press.
Long, A. A. (1996). Stoic studies.
Cambridge University Press.
Long, A. A. (2002). Epictetus: A
Stoic and Socratic guide to life. Clarendon Press.
Long, A. A., & Sedley, D. N.
(1987). The Hellenistic philosophers (Vol. 1). Cambridge University
Press.
Marcus Aurelius. (1944). Meditations
(A. S. L. Farquharson, Trans.). Oxford University Press.
Marcus Aurelius. (2002). Meditations
(G. Hays, Trans.). Modern Library.
Nussbaum, M. C. (1994). The
therapy of desire: Theory and practice in Hellenistic ethics. Princeton
University Press.
Pigliucci, M. (2017). How to be a
Stoic: Using ancient philosophy to live a modern life. Basic Books.
Robertson, D. (2010). The
philosophy of cognitive-behavioural therapy (CBT): Stoic philosophy as rational
and cognitive psychotherapy. Karnac.
Robertson, D. (2013). Stoicism and
the art of happiness. Hodder & Stoughton.
Rotter, J. B. (1966). Generalized
expectancies for internal versus external control of reinforcement. Psychological Monographs: General
and Applied, 80(1), 1–28.
Sartre, J.-P. (1956). Being and
nothingness (H. Barnes, Trans.). Philosophical Library.
Sellars, J. (2006). Stoicism.
University of California Press.
Seneca. (1917). Epistulae morales
ad Lucilium (R. M. Gummere, Trans.). Harvard University Press.
Seneca. (1997). On the shortness
of life (C. D. N. Costa, Trans.). Penguin.
Sorabji, R. (2000). Emotion and
peace of mind: From Stoic agitation to Christian temptation. Oxford
University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar