Iman kepada Kitab-Kitab Allah
Kajian Lengkap Kitab dan Suhuf
yang Diterima Para Nabi
Alihkan ke: Ulumul
Qur’an.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif
konsep iman kepada kitab-kitab Allah sebagai salah satu rukun iman dalam ajaran
Islam. Kajian dimulai dari landasan
teologis yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadis, kemudian menguraikan secara
rinci empat kitab yang wajib diimani, yaitu Taurat, Zabur, Injil, dan
Al-Qur’an, beserta sejarah pewahyuan, fungsi, dan isi pokoknya. Selain itu, artikel
ini membahas Suhuf (lembaran wahyu) yang diberikan kepada nabi-nabi tertentu,
perbedaan mendasar antara kitab dan suhuf, serta hikmah diturunkannya keduanya
bagi umat manusia. Pembahasan juga menekankan konsekuensi praktis dari iman
kepada kitab-kitab Allah, termasuk sikap menghormati wahyu, mengambil petunjuk
darinya, dan menjaga kemurnian ajaran. Dengan mengacu pada sumber-sumber primer
dan sekunder yang kredibel, artikel ini diharapkan memberikan gambaran utuh dan
mendalam tentang posisi kitab dan suhuf dalam kerangka keimanan Islam,
sekaligus meneguhkan keyakinan terhadap kebenaran wahyu Ilahi yang bersifat
universal dan abadi.
Kata Kunci: Iman,
Kitab-Kitab Allah, Suhuf, Wahyu, Taurat, Zabur, Injil, Al-Qur’an, Rukun Iman.
PEMBAHASAN
Kitab dan Suhuf yang Diterima Para Nabi
1.
Pendahuluan
Iman kepada kitab-kitab Allah merupakan
salah satu rukun iman yang wajib diyakini oleh setiap Muslim, sebagaimana
ditegaskan dalam hadits Jibril yang diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa iman
mencakup keyakinan kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,
rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan takdir baik maupun buruk. Dalam ajaran Islam, beriman kepada kitab-kitab
Allah berarti meyakini sepenuhnya bahwa Allah telah menurunkan wahyu kepada
para nabi dan rasul-Nya sebagai pedoman hidup umat manusia, baik dalam bentuk kitab
yang utuh maupun suhuf (lembaran wahyu).
Kitab-kitab Allah berfungsi sebagai
sumber petunjuk (hudan) dan pembeda antara yang benar dan yang salah (furqān).
Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah [2] ayat 2 bahwa Al-Qur’an adalah petunjuk
bagi orang-orang yang bertakwa, sementara dalam QS. Al-Maidah [5] ayat 48
ditegaskan bahwa kepada setiap umat telah diturunkan kitab sebagai pedoman, dan
Al-Qur’an datang sebagai penyempurna dan penjaga kebenaran kitab-kitab
sebelumnya. Hal ini menunjukkan kesinambungan misi kerasulan dari Nabi Adam
‘alaihissalam hingga Nabi Muhammad Saw.
Perbedaan antara kitab dan suhuf juga
penting untuk dipahami. Kitab umumnya berisi kumpulan hukum, akidah, dan
pedoman hidup yang lengkap, sementara suhuf biasanya berisi wahyu dalam
bentuk lembaran-lembaran berisi pesan moral
atau tuntunan tertentu. Contoh kitab adalah Taurat yang diberikan kepada Nabi
Musa ‘alaihissalam, sedangkan contoh suhuf adalah lembaran wahyu yang diberikan
kepada Nabi Ibrahim ‘alaihissalam.
Memahami sejarah dan isi pokok
kitab-kitab serta suhuf yang diturunkan Allah memiliki beberapa tujuan penting.
Pertama, agar umat Islam dapat meneladani nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya, meskipun kitab selain Al-Qur’an sudah mengalami perubahan atau
distorsi oleh tangan manusia. Kedua, agar tumbuh kesadaran bahwa wahyu Allah
selalu relevan di setiap zaman dan menjadi penopang moralitas umat manusia.
Ketiga, untuk memperkuat keyakinan bahwa Al-Qur’an sebagai kitab terakhir
memiliki keistimewaan karena dijamin keasliannya oleh Allah (QS. Al-Hijr [15]
ayat 9).
Dengan demikian, pembahasan mengenai
kitab-kitab yang wajib diimani dan nabi-nabi yang menerimanya, baik dalam
bentuk kitab maupun suhuf, bukan sekadar kajian sejarah, melainkan bagian dari
penguatan iman yang bersifat praktis dan teologis. Pemahaman yang benar
terhadap hal ini akan membantu seorang Muslim untuk menghargai warisan wahyu,
mengamalkan ajaran yang masih terjaga, serta memupuk rasa syukur kepada Allah
yang telah menurunkan petunjuk bagi umat manusia di sepanjang sejarah
peradaban.
2.
Landasan Teologis
Iman kepada Kitab-Kitab Allah
Iman kepada kitab-kitab Allah memiliki
dasar teologis yang kuat dalam ajaran Islam, yang bersumber dari Al-Qur’an dan
Sunnah Nabi Muhammad Saw. Keimanan ini merupakan bagian integral dari rukun
iman, sehingga pengingkarannya berarti keluar dari lingkaran akidah yang benar.
2.1.
Dalil dari Al-Qur’an
Al-Qur’an secara tegas menyebutkan
kewajiban beriman kepada kitab-kitab Allah. Dalam QS. Al-Baqarah [2] ayat 285,
Allah menyebutkan bahwa Rasul Saw dan orang-orang beriman mempercayai semua
kitab yang diturunkan oleh-Nya, tanpa membeda-bedakan antara satu dengan yang
lain. Hal ini menegaskan bahwa sikap seorang Muslim harus inklusif dalam
menerima seluruh kitab Allah, baik yang diturunkan kepada para nabi terdahulu
maupun kepada Nabi Muhammad Saw.
Allah juga berfirman dalam QS. An-Nisa
[4] ayat 136, menyeru orang-orang beriman untuk mempercayai Allah, Rasul-Nya,
kitab yang diturunkan kepada Rasul terakhir, dan kitab-kitab yang sebelumnya.
Ayat ini tidak hanya menegaskan keimanan terhadap Al-Qur’an, tetapi juga
mengikat seorang Muslim untuk mengakui kebenaran wahyu yang Allah turunkan
sebelum Al-Qur’an, meskipun kitab-kitab tersebut telah mengalami perubahan isi
oleh tangan manusia.
2.2.
Dalil dari Sunnah
Nabi Saw
Hadits Jibril yang diriwayatkan oleh
Imam Muslim menjadi landasan utama dalam memahami rukun iman. Dalam hadits
tersebut, Nabi Saw menjelaskan bahwa iman mencakup keyakinan kepada Allah,
malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan takdir.
Keberadaan “kitab-kitab” dalam susunan rukun iman menunjukkan posisinya yang
fundamental dalam membentuk akidah seorang Muslim.
Selain itu, terdapat hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad, di mana Rasulullah Saw bersabda bahwa para nabi
adalah bersaudara seayah, agama mereka satu, dan di antara mereka diberikan
kitab dan syariat tertentu. Hadits ini mengisyaratkan bahwa wahyu dalam bentuk
kitab merupakan tanda kerasulan dan petunjuk bagi umat di setiap zamannya.
2.3.
Makna “Beriman”
terhadap Kitab-Kitab Allah
Beriman kepada kitab-kitab Allah tidak
cukup hanya mengakui keberadaannya, tetapi mencakup beberapa aspek penting:
·
Membenarkan bahwa
kitab-kitab tersebut benar-benar diturunkan oleh Allah kepada para nabi-Nya.
·
Memahami ajaran
pokok yang terkandung di dalamnya, terutama prinsip tauhid, ibadah, akhlak, dan
hukum.
·
Mengamalkan isi
Al-Qur’an secara menyeluruh, karena ia merupakan kitab terakhir yang masih
terjaga dari perubahan.
·
Menghormati
kitab-kitab terdahulu dan mengambil pelajaran darinya, dengan tetap menyadari
bahwa keaslian teksnya tidak lagi terjamin.
2.4.
Keterkaitan dengan
Konsep Wahyu
Dalam pandangan Islam, kitab-kitab
Allah adalah wahyu yang terhimpun dan terdokumentasi secara utuh, berbeda
dengan bentuk wahyu yang disampaikan secara lisan atau melalui ilham. Konsep
ini ditegaskan dalam QS. Al-Maidah [5] ayat 48 bahwa setiap umat memiliki
syariat dan jalan hidup yang Allah tetapkan melalui kitab mereka, dan Al-Qur’an hadir sebagai penyempurna
serta penguji kebenaran kitab-kitab sebelumnya.
Dengan demikian, landasan teologis iman
kepada kitab-kitab Allah bukan hanya sekadar keyakinan pasif, tetapi sebuah pengakuan aktif yang meliputi
pembenaran, pemahaman, penghormatan, dan pengamalan terhadap wahyu Allah sesuai
dengan tuntunan yang berlaku bagi umat Nabi Muhammad Saw. Sikap ini memastikan
bahwa iman seorang Muslim selaras dengan prinsip tauhid dan kesatuan misi
kerasulan sejak awal sejarah manusia hingga akhir zaman.
3.
Kitab-Kitab yang
Wajib Diimani dalam Islam
Dalam ajaran Islam, ada empat kitab utama yang wajib diimani oleh setiap
Muslim, yaitu Taurat, Zabur, Injil, dan Al-Qur’an. Keempat kitab ini diturunkan
Allah kepada para nabi-Nya sebagai pedoman hidup bagi umat pada zamannya.
Meskipun kitab-kitab selain Al-Qur’an telah mengalami perubahan dan distorsi,
kewajiban beriman kepadanya tetap berlaku dalam pengertian mengakui bahwa
kitab-kitab tersebut berasal dari Allah dan membawa ajaran tauhid yang benar
ketika pertama kali diturunkan.
3.1. Kitab
Taurat Þ Nabi Musa ‘alaihissalam
Kitab Taurat adalah wahyu yang Allah
turunkan kepada Nabi Musa ‘alaihissalam sebagai pedoman hidup bagi Bani Israil.
Allah menyebutkan keberadaan Taurat secara tegas dalam Al-Qur’an, di antaranya
pada QS. Al-Maidah [5] ayat 44, yang menjelaskan bahwa di dalamnya terdapat
petunjuk (hudan) dan cahaya (nūr) yang menjadi pedoman hukum bagi para nabi
Bani Israil serta ulama mereka. Hal ini menunjukkan bahwa Taurat pada mulanya
adalah kitab suci yang memuat ajaran ilahi yang murni, dimaksudkan untuk
menuntun umat kepada jalan kebenaran.
Taurat diturunkan dalam bahasa Ibrani,
bahasa yang digunakan oleh bangsa Bani Israil pada masa Nabi Musa. Secara isi,
Taurat memuat ajaran tauhid yang menegaskan keesaan Allah, perintah untuk
beribadah hanya kepada-Nya, aturan-aturan ibadah seperti shalat dan puasa,
hukum-hukum sosial yang mengatur kehidupan bermasyarakat, serta
larangan-larangan terhadap perbuatan maksiat dan penyembahan berhala. Kitab ini
juga memuat kisah-kisah umat terdahulu yang berfungsi sebagai pelajaran moral dan pengingat bagi generasi berikutnya.
Dalam Al-Qur’an, Taurat disebut
berulang kali sebagai kitab yang membenarkan wahyu sebelumnya dan menjadi
rujukan hukum bagi umat yang menerimanya. QS. As-Saff [61] ayat 6 menyebutkan
bahwa Nabi Musa menyampaikan kabar gembira tentang kedatangan seorang rasul
setelahnya, yang merujuk kepada Nabi Muhammad Saw. Hal ini menunjukkan
kesinambungan misi kenabian yang diemban oleh semua nabi.
Namun, dari perspektif sejarah, Taurat
yang asli tidak lagi dapat dijumpai dalam bentuk murninya. Perubahan terjadi
karena penyimpangan teks dan penafsiran yang dilakukan oleh sebagian
pengikutnya, sebagaimana dikritik dalam QS. Al-Baqarah [2] ayat 79, yang
menyebut adanya pihak yang menulis kitab dengan tangan mereka sendiri lalu
mengklaimnya sebagai wahyu Allah demi keuntungan duniawi. Meski demikian,
prinsip-prinsip ajaran pokoknya
—terutama tauhid dan akhlak— tetap diakui sebagai bagian dari wahyu Allah yang
sejati.
Dalam konteks iman seorang Muslim,
beriman kepada Taurat berarti mengakui bahwa kitab tersebut benar-benar
diturunkan oleh Allah kepada Nabi Musa, mempercayai bahwa ia mengandung
petunjuk dan cahaya pada masa turunnya, serta memahami bahwa keberlakuan hukum-hukumnya
telah digantikan dan disempurnakan oleh syariat Al-Qur’an. Sikap ini menjaga
keseimbangan antara penghormatan terhadap wahyu terdahulu dan pengamalan wahyu
terakhir yang masih terjaga keasliannya.
3.2.
Kitab Zabur Þ Nabi Dawud ‘alaihissalam
Kitab Zabur adalah wahyu yang Allah
turunkan kepada Nabi Dawud ‘alaihissalam sebagai salah satu bentuk petunjuk
bagi Bani Israil. Penyebutan Zabur dalam Al-Qur’an dapat ditemukan antara lain
pada QS. Al-Isra [17] ayat 55, di mana Allah menegaskan bahwa Dia telah memberikan Zabur kepada Dawud. Penyebutan ini
menempatkan Zabur sebagai kitab suci yang memiliki kedudukan penting dalam
rangkaian wahyu Allah kepada umat manusia.
Zabur diturunkan dalam bahasa Ibrani,
bahasa yang juga digunakan dalam Kitab Taurat. Berbeda dengan kitab-kitab suci
lainnya, Zabur tidak berfokus pada hukum-hukum syariat secara rinci, melainkan pada doa-doa, pujian kepada
Allah, nasihat moral, dan nyanyian rohani yang menguatkan keimanan. Kitab ini
berfungsi sebagai pengingat spiritual, mengajak umat untuk senantiasa
bersyukur, bersabar, dan memelihara ketakwaan kepada Allah.
Secara isi, Zabur dikenal berisi bait-bait hikmah yang mengajarkan pentingnya
hubungan hati dengan Allah. Nabi Dawud ‘alaihissalam, sebagai penerima Zabur,
dianugerahi suara yang merdu sehingga ayat-ayat Zabur dibacakan dengan penuh
keindahan dan menyentuh hati pendengar. Hal ini sesuai dengan penjelasan dalam
QS. Shad [38] ayat 17–20, yang menggambarkan keutamaan Nabi Dawud dalam
kekuatan iman, keadilan, dan ibadahnya.
Dari sisi historis, Zabur yang asli
diyakini telah mengalami perubahan dan pencampuran dengan tulisan-tulisan
manusia, mirip dengan nasib kitab suci lainnya sebelum Al-Qur’an. Meskipun
demikian, esensi pesan-pesan moral dan pujian kepada Allah yang terkandung di dalamnya tetap diakui sebagai bagian
dari wahyu ilahi yang pernah diturunkan.
Bagi seorang Muslim, beriman kepada
Kitab Zabur berarti meyakini bahwa Allah benar-benar menurunkannya kepada Nabi
Dawud, mengakui kebenaran ajaran yang dibawanya pada masa itu, dan memahami
bahwa fungsi hukum serta panduan praktis dalam syariat telah disempurnakan oleh
Al-Qur’an. Dengan cara ini,
seorang Muslim tetap menghormati Zabur sebagai bagian dari rangkaian wahyu
Allah, tanpa mengabaikan bahwa hanya Al-Qur’an yang terjamin kemurniannya
hingga akhir zaman.
3.3.
Kitab Injil Þ Nabi ‘Isa ‘alaihissalam
Kitab Injil adalah wahyu yang Allah
turunkan kepada Nabi ‘Isa ‘alaihissalam sebagai petunjuk bagi Bani Israil pada
masanya. Penyebutan Injil dalam Al-Qur’an terdapat di antaranya pada QS.
Al-Maidah [5] ayat 46, yang menegaskan bahwa Allah menurunkan Injil sebagai
kitab yang mengandung petunjuk (hudan) dan cahaya (nūr), membenarkan Taurat
yang telah ada sebelumnya, serta memberikan bimbingan dan nasihat bagi
orang-orang bertakwa. Hal ini menempatkan Injil dalam rangkaian wahyu Allah
yang saling menguatkan dan menyempurnakan misi kenabian sebelumnya.
Injil diturunkan dalam bahasa Aram,
bahasa yang digunakan oleh Nabi ‘Isa dan masyarakat di wilayah Palestina pada
saat itu. Isi pokok Injil mencakup ajaran tauhid yang murni, seruan untuk
beribadah hanya kepada Allah, penguatan nilai-nilai akhlak seperti kasih
sayang, kejujuran, dan kesederhanaan, serta pembaruan ajaran Taurat yang telah
diselewengkan oleh sebagian pengikutnya.
Salah satu pesan penting Injil yang disebut dalam QS. As-Saff [61] ayat 6
adalah kabar gembira tentang kedatangan seorang rasul sesudah Nabi ‘Isa, yaitu
Nabi Muhammad Saw.
Berbeda dengan Taurat yang memuat
banyak aturan hukum terperinci, Injil lebih menekankan pada pembinaan
spiritual, pembaharuan iman, dan penekanan pada akhlak yang luhur. Nabi ‘Isa ‘alaihissalam diutus bukan
untuk menghapus seluruh hukum Taurat, tetapi untuk meluruskannya kembali sesuai
wahyu Allah yang asli, sebagaimana dijelaskan dalam QS. Ali ‘Imran [3] ayat 50.
Namun, Injil yang asli saat ini tidak
lagi dapat ditemukan dalam bentuk murni sebagaimana diturunkan kepada Nabi
‘Isa. Teks yang ada sekarang
merupakan kumpulan tulisan dari para pengikut dan murid-muridnya, yang baru
disusun beberapa dekade setelah beliau diangkat ke langit. Al-Qur’an
mengkritik perubahan ini dalam QS. Al-Baqarah [2] ayat 79, yang menyebut adanya
pihak yang menulis kitab dengan tangan mereka sendiri dan mengklaimnya sebagai
wahyu Allah demi keuntungan duniawi.
Bagi seorang Muslim, beriman kepada
Kitab Injil berarti meyakini bahwa Allah benar-benar menurunkannya kepada Nabi
‘Isa, mengakui bahwa ia mengandung petunjuk dan cahaya pada masa turunnya,
serta memahami bahwa hukum dan ajarannya telah disempurnakan oleh Al-Qur’an.
Dengan sikap ini, seorang Muslim menghormati Injil sebagai bagian dari wahyu
Allah yang sah, sambil meyakini bahwa hanya Al-Qur’an yang terpelihara
keasliannya hingga akhir zaman.
3.4.
Kitab Al-Qur’an Þ Nabi Muhammad Saw
Al-Qur’an adalah kitab suci terakhir
yang Allah turunkan kepada Nabi Muhammad Saw sebagai penyempurna dan penutup
seluruh wahyu sebelumnya. Penegasan mengenai turunnya Al-Qur’an dapat ditemukan
dalam QS. Al-Baqarah [2] ayat 2 yang menyebutnya sebagai petunjuk (hudā) bagi
orang-orang bertakwa, serta dalam QS. Al-Furqan [25] ayat 1 yang menegaskan
bahwa Al-Qur’an adalah pembeda (al-furqān) antara kebenaran dan kebatilan.
Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab
yang fasih dan memiliki keindahan bahasa yang tiada banding. Wahyu ini disampaikan secara berangsur-angsur
selama 23 tahun, menyesuaikan kondisi dan kebutuhan umat pada masa itu. Proses
turunnya dimulai pada malam Lailatul Qadar di bulan Ramadan, sebagaimana
ditegaskan dalam QS. Al-Qadr [97] ayat 1 dan QS. Al-Baqarah [2] ayat 185.
Isi Al-Qur’an mencakup seluruh aspek kehidupan: aqidah, ibadah, akhlak,
muamalah, serta hukum-hukum syariat yang mengatur hubungan manusia dengan Allah
dan sesamanya. Al-Qur’an juga membenarkan dan meluruskan ajaran kitab-kitab
sebelumnya yang telah mengalami distorsi, sebagaimana disebut dalam QS.
Al-Ma’idah [5] ayat 48. Keunikan Al-Qur’an terletak pada jaminan Allah akan
kemurniannya hingga akhir zaman, sebagaimana ditegaskan dalam QS. Al-Hijr [15]
ayat 9 bahwa Allah sendiri yang menurunkannya dan akan menjaganya dari
perubahan.
Secara fungsi, Al-Qur’an adalah petunjuk bagi seluruh umat manusia (QS.
Al-Baqarah [2] ayat 185), pembawa rahmat (QS. Al-Isra [17] ayat 82), dan
pedoman yang relevan sepanjang masa. Selain itu, Al-Qur’an memiliki sifat
sebagai mukjizat terbesar Nabi Muhammad Saw yang tidak dapat ditandingi oleh
karya manusia dalam
keindahan bahasa, kedalaman makna, dan kebenaran isinya, sebagaimana
diisyaratkan dalam QS. Yunus [10] ayat 38.
Bagi seorang Muslim, beriman kepada Al-Qur’an berarti meyakini
sepenuhnya bahwa ia adalah wahyu Allah yang sempurna dan terakhir, tidak ada
kitab suci lagi setelahnya, serta wajib menjadikannya
sebagai pedoman hidup dalam segala aspek. Mengimani Al-Qur’an juga mencakup
kewajiban untuk membaca, memahami, mengamalkan, dan mendakwahkan isi
kandungannya sebagai bentuk penghambaan kepada Allah.
Kesimpulan
Beriman kepada keempat kitab ini berarti mengakui bahwa semuanya berasal
dari Allah, memahami ajaran pokoknya, dan mengamalkan isi Al-Qur’an sebagai
pedoman terakhir yang masih terjaga kemurniannya. Sikap ini memastikan
kesinambungan iman seorang Muslim terhadap seluruh wahyu Allah, sekaligus
menegaskan bahwa misi kerasulan sejak Nabi Adam ‘alaihissalam hingga Nabi
Muhammad Saw memiliki tujuan yang sama, yaitu mengajak manusia untuk menyembah
Allah semata dan menjalani kehidupan sesuai petunjuk-Nya.
4.
Suhuf (Lembaran
Wahyu) dalam Islam
Dalam ajaran Islam, selain kitab-kitab
besar yang diturunkan kepada para rasul, terdapat pula wahyu Allah yang
disampaikan dalam bentuk suhuf (jamak dari shahifah), yaitu
lembaran-lembaran wahyu yang berisi ajaran tertentu. Suhuf umumnya tidak
setebal kitab dan berisi tuntunan pokok atau petunjuk khusus yang Allah berikan
kepada seorang nabi untuk disampaikan kepada kaumnya. Penyebutan tentang suhuf
dapat ditemukan di dalam Al-Qur’an, di antaranya dalam QS. Al-A’la [87] ayat
18–19 yang menyebut “shuhuf Ibrāhīm wa Mūsā” (lembaran-lembaran
Ibrahim dan Musa), serta QS. An-Najm [53] ayat 36–37 yang menegaskan
keberadaan suhuf yang diberikan kepada Nabi Musa dan Nabi Ibrahim.
Perbedaan mendasar antara kitab dan suhuf terletak pada cakupan dan
format penyampaiannya. Kitab umumnya merupakan kumpulan wahyu yang luas, memuat
ajaran akidah, syariat, dan panduan hidup secara
terperinci, sementara suhuf lebih ringkas dan fokus pada ajaran-ajaran pokok
atau prinsip moral. Dalam sejarah kenabian, suhuf sering kali diturunkan pada
masa awal misi kenabian atau untuk umat yang jumlahnya lebih kecil, sedangkan
kitab diberikan untuk risalah yang lebih luas dan berlaku lebih lama.
Para ulama menjelaskan bahwa ada beberapa nabi yang menerima suhuf, di antaranya:
1)
Nabi Ibrahim ‘alaihissalam – Al-Qur’an secara eksplisit
menyebutkan bahwa beliau menerima suhuf. Riwayat-riwayat menyebut suhuf Ibrahim
berisi nasihat-nasihat, hikmah, dan tuntunan akhlak serta tauhid yang murni,
menegaskan perintah untuk menjauhi syirik dan berlaku adil.
2)
Nabi Musa ‘alaihissalam – Selain Taurat, beliau juga
menerima suhuf yang diyakini berisi petunjuk sebelum penurunan Taurat secara
lengkap.
3)
Nabi Adam ‘alaihissalam – Sebagian riwayat menyebut
beliau menerima sejumlah suhuf yang berisi pedoman awal bagi manusia, meskipun
detail isinya tidak dijelaskan secara rinci dalam Al-Qur’an.
4)
Nabi Syits dan Nabi Idris ‘alaihimas-salam – Dalam beberapa riwayat
disebutkan bahwa mereka menerima suhuf, yang isinya berupa nasihat, hukum
moral, dan petunjuk ibadah.
Fungsi utama suhuf adalah sebagai panduan hidup yang langsung bersumber
dari wahyu Allah, meskipun
penyampaiannya mungkin bersifat lebih singkat dan praktis. Keberadaan suhuf
menegaskan bahwa risalah Allah kepada umat manusia berlangsung secara
berkesinambungan sejak masa awal peradaban hingga diturunkannya kitab-kitab
besar.
Mengimani suhuf berarti meyakini bahwa Allah benar-benar
menurunkannya kepada nabi-nabi tersebut, menghormati isinya sebagai bagian dari
wahyu yang sah, dan memahami bahwa ajaran-ajaran pokoknya selaras dengan
prinsip tauhid dan kebenaran yang dibawa oleh kitab-kitab Allah lainnya. Bagi
seorang Muslim, sikap ini adalah bagian integral dari iman kepada kitab-kitab
Allah sebagaimana yang diperintahkan dalam rukun iman.
5.
Perbedaan antara
Kitab dan Suhuf
Dalam ajaran Islam, wahyu Allah yang disampaikan kepada para nabi
terbagi dalam dua bentuk utama, yaitu kitab dan suhuf. Keduanya
sama-sama merupakan firman Allah yang diwahyukan kepada para nabi dan rasul,
namun memiliki karakteristik yang berbeda baik dari segi bentuk, isi, maupun
cakupan ajaran. Memahami perbedaan ini penting untuk memberikan gambaran yang utuh mengenai ragam wahyu yang menjadi bagian dari rukun iman.
5.1.
Dari segi bentuk dan
cakupan
Kitab adalah kumpulan wahyu Allah yang disusun secara utuh dan lengkap
dalam bentuk yang lebih luas, memuat ajaran akidah, ibadah, akhlak, dan hukum
secara rinci. Kitab umumnya menjadi pegangan utama bagi suatu umat dalam jangka
waktu panjang, bahkan lintas generasi. Contohnya adalah Taurat, Zabur, Injil,
dan Al-Qur’an yang masing-masing berfungsi sebagai pedoman hidup umat pada
zamannya.
Suhuf, di sisi lain, berbentuk lembaran-lembaran wahyu yang bersifat
lebih ringkas dan tematik. Isinya biasanya berupa prinsip-prinsip pokok,
nasihat, atau perintah moral yang menjadi pedoman dasar bagi umat tertentu,
sering kali pada tahap awal misi kenabian.
5.2. Dari segi
isi dan detail ajaran
Kitab memuat aturan hukum (syariat)
yang komprehensif, termasuk tata cara ibadah, ketentuan halal-haram, serta panduan sosial dan
moral yang lengkap. Al-Qur’an,
misalnya, memuat ayat-ayat yang mengatur aspek teologis, ritual, sosial,
ekonomi, dan politik.
Suhuf cenderung memuat petunjuk moral, prinsip ketauhidan, dan
peringatan tanpa detail hukum yang kompleks. Misalnya, suhuf yang diterima Nabi
Ibrahim berisi hikmah, nasihat, dan seruan untuk berbuat adil serta menjauhi
perbuatan dosa.
5.3.
Dari segi periode
keberlakuan
Kitab memiliki periode keberlakuan yang relatif lebih lama karena
diturunkan untuk menjadi panduan hidup lengkap bagi suatu umat. Al-Qur’an
bahkan bersifat abadi dan berlaku untuk seluruh umat manusia hingga akhir
zaman.
Suhuf memiliki masa keberlakuan yang lebih terbatas, biasanya untuk
satu komunitas atau periode tertentu sebelum datangnya kitab yang lebih
lengkap.
5.4.
Dari segi jumlah dan
penerima
Jumlah kitab yang wajib diimani dalam Islam ada empat, sedangkan suhuf
diberikan kepada lebih banyak nabi, meskipun tidak semuanya diketahui secara
pasti jumlahnya. Berdasarkan riwayat, suhuf diberikan antara lain kepada Nabi
Adam, Nabi Syits, Nabi Idris, Nabi Ibrahim, dan Nabi Musa.
5.5.
Dari segi
pelestarian
Kitab umumnya lebih terdokumentasi dan terjaga, terutama Al-Qur’an yang
dilestarikan melalui hafalan dan penulisan sejak masa Nabi Muhammad. Suhuf,
karena bentuknya yang ringkas dan masa keberlakuannya singkat, sering kali
tidak diwariskan dalam bentuk teks yang luas dikenal oleh generasi setelahnya.
Dengan memahami perbedaan ini, seorang Muslim dapat lebih menghargai
variasi bentuk wahyu yang Allah turunkan. Kitab dan suhuf sama-sama mengandung
kebenaran ilahi, namun perbedaan format dan cakupannya menunjukkan
kebijaksanaan Allah dalam menyampaikan petunjuk sesuai kebutuhan umat pada
masanya, hingga akhirnya disempurnakan dalam Al-Qur’an yang menjadi penutup
segala wahyu.
6.
Hikmah Diturunkannya
Kitab dan Suhuf
Penurunan kitab dan suhuf kepada para nabi merupakan bagian dari rahmat
Allah yang agung kepada umat manusia. Wahyu tersebut menjadi pedoman hidup yang
mengarahkan manusia menuju jalan yang benar dan menjauhkannya dari kesesatan.
Setiap kitab dan suhuf memiliki peran penting yang saling melengkapi dalam
membimbing umat sesuai konteks zaman dan kebutuhan mereka.
6.1.
Menegakkan Tauhid
dan Menghapus Kesyirikan
Kitab dan suhuf diturunkan untuk menegakkan prinsip tauhid sebagai inti
ajaran semua nabi. Allah mengutus para rasul membawa wahyu untuk menyeru umat
agar hanya menyembah-Nya, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an bahwa setiap
rasul membawa pesan yang sama: "Sembahlah Allah dan jauhilah
thaghut" (QS. An-Nahl [16] ayat 36). Dengan ini, wahyu berfungsi
sebagai benteng dari kemusyrikan yang merusak fitrah manusia.
6.2.
Memberikan Petunjuk
Hidup yang Lengkap
Wahyu berfungsi sebagai manual kehidupan yang menjelaskan cara
beribadah, berinteraksi sosial, bertransaksi, hingga mengatur hubungan manusia
dengan alam. Kitab yang lengkap seperti Al-Qur’an memuat seluruh prinsip hukum,
akhlak, dan keimanan, sementara suhuf memberikan petunjuk ringkas yang
disesuaikan dengan kebutuhan umat tertentu. Tanpa wahyu, manusia cenderung
terombang-ambing oleh hawa nafsu dan budaya yang menyesatkan.
6.3.
Menjadi Sumber Hukum
dan Keadilan
Kitab dan suhuf memuat ketentuan hukum yang menegakkan keadilan,
melindungi hak asasi manusia, dan mencegah kezaliman. Misalnya, Taurat mengatur
hukum-hukum detail untuk Bani Israil, dan Al-Qur’an menyempurnakannya dengan
prinsip universal yang berlaku hingga akhir zaman. Hukum dalam wahyu
mengajarkan keseimbangan antara hak Allah dan hak sesama manusia.
6.4.
Menguji Ketaatan dan
Keimanan Manusia
Penurunan wahyu juga merupakan ujian
bagi manusia—apakah mereka menerima dan mengamalkannya dengan ikhlas atau
menolak dan berpaling. Hal ini sesuai dengan firman Allah bahwa wahyu diturunkan agar jelas
siapa yang benar-benar mengikuti petunjuk dan siapa yang menentangnya (QS. Al-Baqarah
[02] ayat 2-5).
6.5.
Menjadi Bukti
Kenabian dan Mukjizat
Kitab dan suhuf berfungsi sebagai bukti kerasulan para nabi. Keindahan
bahasa, kebenaran isi, serta kesesuaian dengan fitrah manusia menjadi tanda
bahwa wahyu tersebut berasal
dari Allah. Al-Qur’an, misalnya, menantang manusia untuk membuat tandingan satu
surat pun seperti yang ada di dalamnya (QS. Al-Baqarah [02] ayat 23), dan hingga kini tantangan tersebut tidak
terpenuhi.
6.6.
Menyempurnakan dan
Melengkapi Wahyu Sebelumnya
Suhuf dan kitab terdahulu menjadi
langkah-langkah awal penyampaian syariat, yang kemudian disempurnakan melalui
kitab-kitab selanjutnya. Al-Qur’an sebagai penutup wahyu berfungsi mengoreksi
penyimpangan yang terjadi dalam kitab sebelumnya dan mengokohkan kebenaran inti
yang telah disampaikan oleh para nabi terdahulu (QS. Al-Maidah [05] ayat 48).
6.7.
Menjaga Manusia dari
Kehancuran Moral
Ajaran dalam kitab dan suhuf
mengajarkan akhlak mulia seperti kejujuran, amanah, kesabaran, dan kasih
sayang. Nilai-nilai ini
menjaga masyarakat dari dekadensi moral yang berpotensi menimbulkan kehancuran
sosial.
Dengan demikian, hikmah diturunkannya kitab dan suhuf mencakup aspek
teologis, moral, hukum, dan sosial. Wahyu Allah bukan hanya
pedoman spiritual, tetapi juga sistem kehidupan yang komprehensif. Hal ini
menunjukkan betapa besar kasih sayang dan perhatian Allah terhadap
hamba-hamba-Nya, membimbing mereka dari kegelapan menuju cahaya yang hakiki.
7.
Konsekuensi Iman
kepada Kitab-Kitab Allah
Iman kepada kitab-kitab Allah bukan
hanya pengakuan lisan atau pengetahuan intelektual semata, tetapi keyakinan
yang diiringi pengamalan nyata dalam kehidupan.
Keyakinan ini melahirkan
sejumlah konsekuensi yang harus terwujud pada diri seorang Muslim.
7.1.
Menerima Seluruh Isi
Kitab sebagai Kebenaran Mutlak
Seorang mukmin wajib meyakini bahwa seluruh isi kitab yang diturunkan
Allah, dalam bentuk asli dan murninya, adalah kebenaran yang sempurna.
Al-Qur’an menegaskan bahwa orang beriman berkata: “Kami beriman kepada
Allah, kepada apa yang diturunkan kepada kami, dan kepada apa yang diturunkan
kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’qub, dan anak cucunya, serta kepada apa yang
diberikan kepada Musa, Isa, dan para nabi dari Tuhan mereka” (QS. Al-Baqarah
[02] ayat 136). Ini menuntut penerimaan tanpa memilah atau menolak sebagian
wahyu.
7.2.
Mengamalkan Petunjuk
Kitab yang Berlaku
Bagi umat Nabi Muhammad Saw,
konsekuensi iman kepada kitab-kitab Allah adalah mengamalkan seluruh ajaran
Al-Qur’an sebagai kitab terakhir dan penyempurna wahyu. Kitab-kitab terdahulu diimani kebenarannya
dalam bentuk asli, tetapi syariatnya tidak lagi berlaku kecuali yang dikukuhkan
dalam Al-Qur’an. Hal ini sejalan dengan prinsip syumuliyyah
(kesempurnaan) Islam yang mencakup semua aspek kehidupan.
7.3. Menghormati
dan Tidak Merendahkan Kitab-Kitab Allah
Menghina, merendahkan, atau memperolok isi kitab Allah adalah bentuk
kekufuran. Oleh karena itu, seorang mukmin menjaga sikap hormat terhadap kitab
suci, baik secara fisik maupun ajarannya. Rasulullah Saw melarang mempermainkan
ayat-ayat Allah (QS. At-Taubah [09] ayat 65-66) dan memerintahkan menjunjung
tinggi kehormatan wahyu.
7.4.
Mengakui Kesatuan
Ajaran Para Nabi
Iman kepada kitab-kitab Allah
mengharuskan keyakinan bahwa semua nabi membawa ajaran yang sama dalam pokok
akidah, meskipun berbeda dalam rincian syariat. Seorang Muslim tidak boleh membeda-bedakan
para rasul dalam arti menolak sebagian dan menerima sebagian lainnya (QS. An-Nisa’
[04] ayat 150-151). Dengan demikian, lahirlah pandangan universal yang mengakui
kesinambungan risalah dari Adam hingga Muhammad Saw.
7.5. Menjaga
Kemurnian dan Mengajarkan Isi Kitab yang Benar
Konsekuensi lain adalah kewajiban
menjaga kemurnian Al-Qur’an dengan membacanya sesuai kaidah, mengajarkannya
kepada generasi berikutnya, dan membela kebenarannya dari penyelewengan.
Rasulullah Saw menegaskan bahwa sebaik-baik umat adalah yang belajar Al-Qur’an
dan mengajarkannya.
7.6. Menolak
dan Meluruskan Penyelewengan Isi Kitab
Sejak masa lalu, sebagian manusia telah
mengubah atau menyelewengkan isi kitab wahyu, seperti yang disebutkan Allah
dalam QS. Al-Baqarah [02] ayat 79. Seorang Muslim wajib menolak penyelewengan
tersebut, sekaligus menyampaikan kebenaran isi wahyu yang masih terjaga, terutama melalui
Al-Qur’an.
7.7.
Menjadikan Wahyu
Sebagai Standar Hidup
Iman kepada kitab-kitab Allah
mengharuskan seorang Muslim menimbang seluruh aspek kehidupannya—keyakinan,
ibadah, muamalah, dan akhlak—berdasarkan wahyu Allah. Standar benar dan salah,
halal dan haram, baik dan buruk, harus bersumber dari kitab Allah, bukan dari
hawa nafsu atau budaya semata.
7.8. Menumbuhkan
Rasa Syukur atas Petunjuk Allah
Kesadaran bahwa kitab-kitab dan suhuf
merupakan bentuk kasih sayang Allah melahirkan rasa syukur yang diwujudkan
dengan membaca, memahami, mengamalkan, dan mendakwahkan ajarannya. Rasa syukur ini menjadi bukti nyata
keimanan, sebagaimana pesan Al-Qur’an bahwa petunjuk-Nya adalah nikmat yang
harus dijaga (QS. Al-Maidah [05] ayat 3).
Dengan demikian, iman kepada
kitab-kitab Allah membawa konsekuensi yang luas, mencakup aspek keyakinan,
pengamalan, penghormatan, dan tanggung jawab moral. Seorang Muslim yang benar-benar mengimani kitab Allah akan memposisikannya
sebagai sumber utama petunjuk hidup dan pembeda antara kebenaran dan kebatilan.
8.
Penutup
Iman kepada kitab-kitab Allah merupakan
salah satu pilar pokok dalam Rukun Iman yang meneguhkan hubungan manusia dengan
wahyu Ilahi. Keyakinan ini tidak sekadar pengakuan formal, melainkan kesadaran
mendalam bahwa petunjuk
hidup sejati bersumber dari Allah melalui wahyu yang diturunkan kepada para nabi dan rasul. Kitab-kitab seperti
Taurat, Zabur, Injil, dan Al-Qur’an, serta suhuf yang diterima oleh nabi-nabi
tertentu, semuanya merupakan rangkaian komunikasi ilahi yang bertujuan
membimbing umat manusia menuju tauhid, kebenaran, dan kebahagiaan abadi.
Al-Qur’an sebagai kitab terakhir
menegaskan kesatuan pesan para nabi, menyempurnakan syariat sebelumnya, dan
menjamin keterpeliharaannya hingga akhir zaman (QS. Al-Hijr [15] ayat 9). Hal
ini menunjukkan bahwa meskipun kitab-kitab terdahulu telah mengalami perubahan
dan distorsi, prinsip-prinsip pokok ajaran yang dibawanya tetap menjadi bagian
dari kebenaran yang harus diimani. Dengan memahami perbedaan antara kitab dan suhuf, seorang Muslim dapat lebih
menghargai variasi bentuk wahyu yang Allah berikan sesuai kebutuhan umat pada
masanya.
Hikmah diturunkannya kitab dan suhuf
mencakup petunjuk moral, hukum, dan spiritual yang relevan sepanjang zaman, memberikan panduan agar
manusia tidak tersesat oleh hawa nafsu atau pengaruh kebudayaan yang
menyimpang. Kesadaran ini menuntut sikap penerimaan penuh, pengamalan
konsisten, penghormatan terhadap wahyu, dan tanggung jawab untuk menjaganya
dari penyelewengan.
Akhirnya, iman kepada kitab-kitab Allah
menumbuhkan sikap hidup yang berlandaskan pada wahyu, membentuk pandangan dunia
yang terpadu antara keyakinan dan tindakan. Ia juga meneguhkan rasa syukur
kepada Allah atas anugerah petunjuk yang sempurna, serta memotivasi umat Islam
untuk terus mempelajari, mengajarkan, dan mendakwahkan pesan Ilahi. Dengan
demikian, iman kepada kitab-kitab Allah bukan hanya pondasi akidah, tetapi juga
kompas moral dan spiritual yang mengarahkan langkah manusia menuju ridha dan rahmat-Nya.
Daftar Pustaka
Sumber-sumber dari Al-Qur’an
·
Al-Qur’an. (n.d.). Surah
Al-Maidah 5:44, 5:46, 48; Al-Baqarah 2:2; Al-Hijr 15:9.
·
Al-Qur’an. (n.d.). Surah
An-Nisa’ 4:136; Al-Baqarah 2:285; Al-Maidah 5:44, 5:46; As-Saff
61:6; Al-Hijr 15:9; Al-Furqan 25:1; Al-Qadr 97:1; Al-Baqarah
2:185; Al-Maidah 5:48; Al-Isra 17:55; Shad 38:17–20; Ali
Imran 3:50; Al-Hijr 15:9; Al-Maidah 5:48.
Sumber-sumber mengenai Hadits Jibril dan Rukun Iman
·
Belajarislam.web.id. (n.d.). Hadits
Jibril – Islam, Iman, Ihsan dan Hari Kiamat. Retrieved from portal Islam
online (belajarislam.web.id)
·
Almanhaj.or.id. (n.d.). Syarah
Hadits Jibril tentang Islam, Iman dan Ihsan. Retrieved from Almanhaj
website (Media
Islam Salafiyyah)
Sumber-sumber ilmiah terkait exegesis dan preservasi Al-Qur’an
·
Wikipedia contributors.
(2025, month unknown). Al Hejr. Wikipedia. Retrieved from
Wikipedia articles containing exegesis including Ibn Kathir commentary on 15:9
(Wikipedia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar