Senin, 11 Agustus 2025

Iman kepada Kitab-Kitab Allah: Kajian Lengkap Kitab dan Suhuf yang Diterima Para Nabi

Iman kepada Kitab-Kitab Allah

Kajian Lengkap Kitab dan Suhuf yang Diterima Para Nabi


Alihkan ke: Ulumul Qur’an.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif konsep iman kepada kitab-kitab Allah sebagai salah satu rukun iman dalam ajaran Islam. Kajian dimulai dari landasan teologis yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadis, kemudian menguraikan secara rinci empat kitab yang wajib diimani, yaitu Taurat, Zabur, Injil, dan Al-Qur’an, beserta sejarah pewahyuan, fungsi, dan isi pokoknya. Selain itu, artikel ini membahas Suhuf (lembaran wahyu) yang diberikan kepada nabi-nabi tertentu, perbedaan mendasar antara kitab dan suhuf, serta hikmah diturunkannya keduanya bagi umat manusia. Pembahasan juga menekankan konsekuensi praktis dari iman kepada kitab-kitab Allah, termasuk sikap menghormati wahyu, mengambil petunjuk darinya, dan menjaga kemurnian ajaran. Dengan mengacu pada sumber-sumber primer dan sekunder yang kredibel, artikel ini diharapkan memberikan gambaran utuh dan mendalam tentang posisi kitab dan suhuf dalam kerangka keimanan Islam, sekaligus meneguhkan keyakinan terhadap kebenaran wahyu Ilahi yang bersifat universal dan abadi.

Kata Kunci: Iman, Kitab-Kitab Allah, Suhuf, Wahyu, Taurat, Zabur, Injil, Al-Qur’an, Rukun Iman.


PEMBAHASAN

Kitab dan Suhuf yang Diterima Para Nabi


1.           Pendahuluan

Iman kepada kitab-kitab Allah merupakan salah satu rukun iman yang wajib diyakini oleh setiap Muslim, sebagaimana ditegaskan dalam hadits Jibril yang diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa iman mencakup keyakinan kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan takdir baik maupun buruk. Dalam ajaran Islam, beriman kepada kitab-kitab Allah berarti meyakini sepenuhnya bahwa Allah telah menurunkan wahyu kepada para nabi dan rasul-Nya sebagai pedoman hidup umat manusia, baik dalam bentuk kitab yang utuh maupun suhuf (lembaran wahyu).

Kitab-kitab Allah berfungsi sebagai sumber petunjuk (hudan) dan pembeda antara yang benar dan yang salah (furqān). Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah [2] ayat 2 bahwa Al-Qur’an adalah petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa, sementara dalam QS. Al-Maidah [5] ayat 48 ditegaskan bahwa kepada setiap umat telah diturunkan kitab sebagai pedoman, dan Al-Qur’an datang sebagai penyempurna dan penjaga kebenaran kitab-kitab sebelumnya. Hal ini menunjukkan kesinambungan misi kerasulan dari Nabi Adam ‘alaihissalam hingga Nabi Muhammad Saw.

Perbedaan antara kitab dan suhuf juga penting untuk dipahami. Kitab umumnya berisi kumpulan hukum, akidah, dan pedoman hidup yang lengkap, sementara suhuf biasanya berisi wahyu dalam bentuk lembaran-lembaran berisi pesan moral atau tuntunan tertentu. Contoh kitab adalah Taurat yang diberikan kepada Nabi Musa ‘alaihissalam, sedangkan contoh suhuf adalah lembaran wahyu yang diberikan kepada Nabi Ibrahim ‘alaihissalam.

Memahami sejarah dan isi pokok kitab-kitab serta suhuf yang diturunkan Allah memiliki beberapa tujuan penting. Pertama, agar umat Islam dapat meneladani nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, meskipun kitab selain Al-Qur’an sudah mengalami perubahan atau distorsi oleh tangan manusia. Kedua, agar tumbuh kesadaran bahwa wahyu Allah selalu relevan di setiap zaman dan menjadi penopang moralitas umat manusia. Ketiga, untuk memperkuat keyakinan bahwa Al-Qur’an sebagai kitab terakhir memiliki keistimewaan karena dijamin keasliannya oleh Allah (QS. Al-Hijr [15] ayat 9).

Dengan demikian, pembahasan mengenai kitab-kitab yang wajib diimani dan nabi-nabi yang menerimanya, baik dalam bentuk kitab maupun suhuf, bukan sekadar kajian sejarah, melainkan bagian dari penguatan iman yang bersifat praktis dan teologis. Pemahaman yang benar terhadap hal ini akan membantu seorang Muslim untuk menghargai warisan wahyu, mengamalkan ajaran yang masih terjaga, serta memupuk rasa syukur kepada Allah yang telah menurunkan petunjuk bagi umat manusia di sepanjang sejarah peradaban.


2.           Landasan Teologis Iman kepada Kitab-Kitab Allah

Iman kepada kitab-kitab Allah memiliki dasar teologis yang kuat dalam ajaran Islam, yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad Saw. Keimanan ini merupakan bagian integral dari rukun iman, sehingga pengingkarannya berarti keluar dari lingkaran akidah yang benar.

2.1.       Dalil dari Al-Qur’an

Al-Qur’an secara tegas menyebutkan kewajiban beriman kepada kitab-kitab Allah. Dalam QS. Al-Baqarah [2] ayat 285, Allah menyebutkan bahwa Rasul Saw dan orang-orang beriman mempercayai semua kitab yang diturunkan oleh-Nya, tanpa membeda-bedakan antara satu dengan yang lain. Hal ini menegaskan bahwa sikap seorang Muslim harus inklusif dalam menerima seluruh kitab Allah, baik yang diturunkan kepada para nabi terdahulu maupun kepada Nabi Muhammad Saw.

Allah juga berfirman dalam QS. An-Nisa [4] ayat 136, menyeru orang-orang beriman untuk mempercayai Allah, Rasul-Nya, kitab yang diturunkan kepada Rasul terakhir, dan kitab-kitab yang sebelumnya. Ayat ini tidak hanya menegaskan keimanan terhadap Al-Qur’an, tetapi juga mengikat seorang Muslim untuk mengakui kebenaran wahyu yang Allah turunkan sebelum Al-Qur’an, meskipun kitab-kitab tersebut telah mengalami perubahan isi oleh tangan manusia.

2.2.       Dalil dari Sunnah Nabi Saw

Hadits Jibril yang diriwayatkan oleh Imam Muslim menjadi landasan utama dalam memahami rukun iman. Dalam hadits tersebut, Nabi Saw menjelaskan bahwa iman mencakup keyakinan kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan takdir. Keberadaan “kitab-kitab” dalam susunan rukun iman menunjukkan posisinya yang fundamental dalam membentuk akidah seorang Muslim.

Selain itu, terdapat hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, di mana Rasulullah Saw bersabda bahwa para nabi adalah bersaudara seayah, agama mereka satu, dan di antara mereka diberikan kitab dan syariat tertentu. Hadits ini mengisyaratkan bahwa wahyu dalam bentuk kitab merupakan tanda kerasulan dan petunjuk bagi umat di setiap zamannya.

2.3.       Makna “Beriman” terhadap Kitab-Kitab Allah

Beriman kepada kitab-kitab Allah tidak cukup hanya mengakui keberadaannya, tetapi mencakup beberapa aspek penting:

·                     Membenarkan bahwa kitab-kitab tersebut benar-benar diturunkan oleh Allah kepada para nabi-Nya.

·                     Memahami ajaran pokok yang terkandung di dalamnya, terutama prinsip tauhid, ibadah, akhlak, dan hukum.

·                     Mengamalkan isi Al-Qur’an secara menyeluruh, karena ia merupakan kitab terakhir yang masih terjaga dari perubahan.

·                     Menghormati kitab-kitab terdahulu dan mengambil pelajaran darinya, dengan tetap menyadari bahwa keaslian teksnya tidak lagi terjamin.

2.4.       Keterkaitan dengan Konsep Wahyu

Dalam pandangan Islam, kitab-kitab Allah adalah wahyu yang terhimpun dan terdokumentasi secara utuh, berbeda dengan bentuk wahyu yang disampaikan secara lisan atau melalui ilham. Konsep ini ditegaskan dalam QS. Al-Maidah [5] ayat 48 bahwa setiap umat memiliki syariat dan jalan hidup yang Allah tetapkan melalui kitab mereka, dan Al-Qur’an hadir sebagai penyempurna serta penguji kebenaran kitab-kitab sebelumnya.

Dengan demikian, landasan teologis iman kepada kitab-kitab Allah bukan hanya sekadar keyakinan pasif, tetapi sebuah pengakuan aktif yang meliputi pembenaran, pemahaman, penghormatan, dan pengamalan terhadap wahyu Allah sesuai dengan tuntunan yang berlaku bagi umat Nabi Muhammad Saw. Sikap ini memastikan bahwa iman seorang Muslim selaras dengan prinsip tauhid dan kesatuan misi kerasulan sejak awal sejarah manusia hingga akhir zaman.


3.           Kitab-Kitab yang Wajib Diimani dalam Islam

Dalam ajaran Islam, ada empat kitab utama yang wajib diimani oleh setiap Muslim, yaitu Taurat, Zabur, Injil, dan Al-Qur’an. Keempat kitab ini diturunkan Allah kepada para nabi-Nya sebagai pedoman hidup bagi umat pada zamannya. Meskipun kitab-kitab selain Al-Qur’an telah mengalami perubahan dan distorsi, kewajiban beriman kepadanya tetap berlaku dalam pengertian mengakui bahwa kitab-kitab tersebut berasal dari Allah dan membawa ajaran tauhid yang benar ketika pertama kali diturunkan.

3.1.       Kitab Taurat Þ Nabi Musa ‘alaihissalam

Kitab Taurat adalah wahyu yang Allah turunkan kepada Nabi Musa ‘alaihissalam sebagai pedoman hidup bagi Bani Israil. Allah menyebutkan keberadaan Taurat secara tegas dalam Al-Qur’an, di antaranya pada QS. Al-Maidah [5] ayat 44, yang menjelaskan bahwa di dalamnya terdapat petunjuk (hudan) dan cahaya (nūr) yang menjadi pedoman hukum bagi para nabi Bani Israil serta ulama mereka. Hal ini menunjukkan bahwa Taurat pada mulanya adalah kitab suci yang memuat ajaran ilahi yang murni, dimaksudkan untuk menuntun umat kepada jalan kebenaran.

Taurat diturunkan dalam bahasa Ibrani, bahasa yang digunakan oleh bangsa Bani Israil pada masa Nabi Musa. Secara isi, Taurat memuat ajaran tauhid yang menegaskan keesaan Allah, perintah untuk beribadah hanya kepada-Nya, aturan-aturan ibadah seperti shalat dan puasa, hukum-hukum sosial yang mengatur kehidupan bermasyarakat, serta larangan-larangan terhadap perbuatan maksiat dan penyembahan berhala. Kitab ini juga memuat kisah-kisah umat terdahulu yang berfungsi sebagai pelajaran moral dan pengingat bagi generasi berikutnya.

Dalam Al-Qur’an, Taurat disebut berulang kali sebagai kitab yang membenarkan wahyu sebelumnya dan menjadi rujukan hukum bagi umat yang menerimanya. QS. As-Saff [61] ayat 6 menyebutkan bahwa Nabi Musa menyampaikan kabar gembira tentang kedatangan seorang rasul setelahnya, yang merujuk kepada Nabi Muhammad Saw. Hal ini menunjukkan kesinambungan misi kenabian yang diemban oleh semua nabi.

Namun, dari perspektif sejarah, Taurat yang asli tidak lagi dapat dijumpai dalam bentuk murninya. Perubahan terjadi karena penyimpangan teks dan penafsiran yang dilakukan oleh sebagian pengikutnya, sebagaimana dikritik dalam QS. Al-Baqarah [2] ayat 79, yang menyebut adanya pihak yang menulis kitab dengan tangan mereka sendiri lalu mengklaimnya sebagai wahyu Allah demi keuntungan duniawi. Meski demikian, prinsip-prinsip ajaran pokoknya —terutama tauhid dan akhlak— tetap diakui sebagai bagian dari wahyu Allah yang sejati.

Dalam konteks iman seorang Muslim, beriman kepada Taurat berarti mengakui bahwa kitab tersebut benar-benar diturunkan oleh Allah kepada Nabi Musa, mempercayai bahwa ia mengandung petunjuk dan cahaya pada masa turunnya, serta memahami bahwa keberlakuan hukum-hukumnya telah digantikan dan disempurnakan oleh syariat Al-Qur’an. Sikap ini menjaga keseimbangan antara penghormatan terhadap wahyu terdahulu dan pengamalan wahyu terakhir yang masih terjaga keasliannya.

3.2.       Kitab Zabur Þ Nabi Dawud ‘alaihissalam

Kitab Zabur adalah wahyu yang Allah turunkan kepada Nabi Dawud ‘alaihissalam sebagai salah satu bentuk petunjuk bagi Bani Israil. Penyebutan Zabur dalam Al-Qur’an dapat ditemukan antara lain pada QS. Al-Isra [17] ayat 55, di mana Allah menegaskan bahwa Dia telah memberikan Zabur kepada Dawud. Penyebutan ini menempatkan Zabur sebagai kitab suci yang memiliki kedudukan penting dalam rangkaian wahyu Allah kepada umat manusia.

Zabur diturunkan dalam bahasa Ibrani, bahasa yang juga digunakan dalam Kitab Taurat. Berbeda dengan kitab-kitab suci lainnya, Zabur tidak berfokus pada hukum-hukum syariat secara rinci, melainkan pada doa-doa, pujian kepada Allah, nasihat moral, dan nyanyian rohani yang menguatkan keimanan. Kitab ini berfungsi sebagai pengingat spiritual, mengajak umat untuk senantiasa bersyukur, bersabar, dan memelihara ketakwaan kepada Allah.

Secara isi, Zabur dikenal berisi bait-bait hikmah yang mengajarkan pentingnya hubungan hati dengan Allah. Nabi Dawud ‘alaihissalam, sebagai penerima Zabur, dianugerahi suara yang merdu sehingga ayat-ayat Zabur dibacakan dengan penuh keindahan dan menyentuh hati pendengar. Hal ini sesuai dengan penjelasan dalam QS. Shad [38] ayat 17–20, yang menggambarkan keutamaan Nabi Dawud dalam kekuatan iman, keadilan, dan ibadahnya.

Dari sisi historis, Zabur yang asli diyakini telah mengalami perubahan dan pencampuran dengan tulisan-tulisan manusia, mirip dengan nasib kitab suci lainnya sebelum Al-Qur’an. Meskipun demikian, esensi pesan-pesan moral dan pujian kepada Allah yang terkandung di dalamnya tetap diakui sebagai bagian dari wahyu ilahi yang pernah diturunkan.

Bagi seorang Muslim, beriman kepada Kitab Zabur berarti meyakini bahwa Allah benar-benar menurunkannya kepada Nabi Dawud, mengakui kebenaran ajaran yang dibawanya pada masa itu, dan memahami bahwa fungsi hukum serta panduan praktis dalam syariat telah disempurnakan oleh Al-Qur’an. Dengan cara ini, seorang Muslim tetap menghormati Zabur sebagai bagian dari rangkaian wahyu Allah, tanpa mengabaikan bahwa hanya Al-Qur’an yang terjamin kemurniannya hingga akhir zaman.

3.3.       Kitab Injil Þ Nabi ‘Isa ‘alaihissalam

Kitab Injil adalah wahyu yang Allah turunkan kepada Nabi ‘Isa ‘alaihissalam sebagai petunjuk bagi Bani Israil pada masanya. Penyebutan Injil dalam Al-Qur’an terdapat di antaranya pada QS. Al-Maidah [5] ayat 46, yang menegaskan bahwa Allah menurunkan Injil sebagai kitab yang mengandung petunjuk (hudan) dan cahaya (nūr), membenarkan Taurat yang telah ada sebelumnya, serta memberikan bimbingan dan nasihat bagi orang-orang bertakwa. Hal ini menempatkan Injil dalam rangkaian wahyu Allah yang saling menguatkan dan menyempurnakan misi kenabian sebelumnya.

Injil diturunkan dalam bahasa Aram, bahasa yang digunakan oleh Nabi ‘Isa dan masyarakat di wilayah Palestina pada saat itu. Isi pokok Injil mencakup ajaran tauhid yang murni, seruan untuk beribadah hanya kepada Allah, penguatan nilai-nilai akhlak seperti kasih sayang, kejujuran, dan kesederhanaan, serta pembaruan ajaran Taurat yang telah diselewengkan oleh sebagian pengikutnya. Salah satu pesan penting Injil yang disebut dalam QS. As-Saff [61] ayat 6 adalah kabar gembira tentang kedatangan seorang rasul sesudah Nabi ‘Isa, yaitu Nabi Muhammad Saw.

Berbeda dengan Taurat yang memuat banyak aturan hukum terperinci, Injil lebih menekankan pada pembinaan spiritual, pembaharuan iman, dan penekanan pada akhlak yang luhur. Nabi ‘Isa ‘alaihissalam diutus bukan untuk menghapus seluruh hukum Taurat, tetapi untuk meluruskannya kembali sesuai wahyu Allah yang asli, sebagaimana dijelaskan dalam QS. Ali ‘Imran [3] ayat 50.

Namun, Injil yang asli saat ini tidak lagi dapat ditemukan dalam bentuk murni sebagaimana diturunkan kepada Nabi ‘Isa. Teks yang ada sekarang merupakan kumpulan tulisan dari para pengikut dan murid-muridnya, yang baru disusun beberapa dekade setelah beliau diangkat ke langit. Al-Qur’an mengkritik perubahan ini dalam QS. Al-Baqarah [2] ayat 79, yang menyebut adanya pihak yang menulis kitab dengan tangan mereka sendiri dan mengklaimnya sebagai wahyu Allah demi keuntungan duniawi.

Bagi seorang Muslim, beriman kepada Kitab Injil berarti meyakini bahwa Allah benar-benar menurunkannya kepada Nabi ‘Isa, mengakui bahwa ia mengandung petunjuk dan cahaya pada masa turunnya, serta memahami bahwa hukum dan ajarannya telah disempurnakan oleh Al-Qur’an. Dengan sikap ini, seorang Muslim menghormati Injil sebagai bagian dari wahyu Allah yang sah, sambil meyakini bahwa hanya Al-Qur’an yang terpelihara keasliannya hingga akhir zaman.

3.4.       Kitab Al-Qur’an Þ Nabi Muhammad Saw

Al-Qur’an adalah kitab suci terakhir yang Allah turunkan kepada Nabi Muhammad Saw sebagai penyempurna dan penutup seluruh wahyu sebelumnya. Penegasan mengenai turunnya Al-Qur’an dapat ditemukan dalam QS. Al-Baqarah [2] ayat 2 yang menyebutnya sebagai petunjuk (hudā) bagi orang-orang bertakwa, serta dalam QS. Al-Furqan [25] ayat 1 yang menegaskan bahwa Al-Qur’an adalah pembeda (al-furqān) antara kebenaran dan kebatilan.

Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab yang fasih dan memiliki keindahan bahasa yang tiada banding. Wahyu ini disampaikan secara berangsur-angsur selama 23 tahun, menyesuaikan kondisi dan kebutuhan umat pada masa itu. Proses turunnya dimulai pada malam Lailatul Qadar di bulan Ramadan, sebagaimana ditegaskan dalam QS. Al-Qadr [97] ayat 1 dan QS. Al-Baqarah [2] ayat 185.

Isi Al-Qur’an mencakup seluruh aspek kehidupan: aqidah, ibadah, akhlak, muamalah, serta hukum-hukum syariat yang mengatur hubungan manusia dengan Allah dan sesamanya. Al-Qur’an juga membenarkan dan meluruskan ajaran kitab-kitab sebelumnya yang telah mengalami distorsi, sebagaimana disebut dalam QS. Al-Ma’idah [5] ayat 48. Keunikan Al-Qur’an terletak pada jaminan Allah akan kemurniannya hingga akhir zaman, sebagaimana ditegaskan dalam QS. Al-Hijr [15] ayat 9 bahwa Allah sendiri yang menurunkannya dan akan menjaganya dari perubahan.

Secara fungsi, Al-Qur’an adalah petunjuk bagi seluruh umat manusia (QS. Al-Baqarah [2] ayat 185), pembawa rahmat (QS. Al-Isra [17] ayat 82), dan pedoman yang relevan sepanjang masa. Selain itu, Al-Qur’an memiliki sifat sebagai mukjizat terbesar Nabi Muhammad Saw yang tidak dapat ditandingi oleh karya manusia dalam keindahan bahasa, kedalaman makna, dan kebenaran isinya, sebagaimana diisyaratkan dalam QS. Yunus [10] ayat 38.

Bagi seorang Muslim, beriman kepada Al-Qur’an berarti meyakini sepenuhnya bahwa ia adalah wahyu Allah yang sempurna dan terakhir, tidak ada kitab suci lagi setelahnya, serta wajib menjadikannya sebagai pedoman hidup dalam segala aspek. Mengimani Al-Qur’an juga mencakup kewajiban untuk membaca, memahami, mengamalkan, dan mendakwahkan isi kandungannya sebagai bentuk penghambaan kepada Allah.


Kesimpulan

Beriman kepada keempat kitab ini berarti mengakui bahwa semuanya berasal dari Allah, memahami ajaran pokoknya, dan mengamalkan isi Al-Qur’an sebagai pedoman terakhir yang masih terjaga kemurniannya. Sikap ini memastikan kesinambungan iman seorang Muslim terhadap seluruh wahyu Allah, sekaligus menegaskan bahwa misi kerasulan sejak Nabi Adam ‘alaihissalam hingga Nabi Muhammad Saw memiliki tujuan yang sama, yaitu mengajak manusia untuk menyembah Allah semata dan menjalani kehidupan sesuai petunjuk-Nya.


4.           Suhuf (Lembaran Wahyu) dalam Islam

Dalam ajaran Islam, selain kitab-kitab besar yang diturunkan kepada para rasul, terdapat pula wahyu Allah yang disampaikan dalam bentuk suhuf (jamak dari shahifah), yaitu lembaran-lembaran wahyu yang berisi ajaran tertentu. Suhuf umumnya tidak setebal kitab dan berisi tuntunan pokok atau petunjuk khusus yang Allah berikan kepada seorang nabi untuk disampaikan kepada kaumnya. Penyebutan tentang suhuf dapat ditemukan di dalam Al-Qur’an, di antaranya dalam QS. Al-A’la [87] ayat 18–19 yang menyebut “shuhuf Ibrāhīm wa Mūsā” (lembaran-lembaran Ibrahim dan Musa), serta QS. An-Najm [53] ayat 36–37 yang menegaskan keberadaan suhuf yang diberikan kepada Nabi Musa dan Nabi Ibrahim.

Perbedaan mendasar antara kitab dan suhuf terletak pada cakupan dan format penyampaiannya. Kitab umumnya merupakan kumpulan wahyu yang luas, memuat ajaran akidah, syariat, dan panduan hidup secara terperinci, sementara suhuf lebih ringkas dan fokus pada ajaran-ajaran pokok atau prinsip moral. Dalam sejarah kenabian, suhuf sering kali diturunkan pada masa awal misi kenabian atau untuk umat yang jumlahnya lebih kecil, sedangkan kitab diberikan untuk risalah yang lebih luas dan berlaku lebih lama.

Para ulama menjelaskan bahwa ada beberapa nabi yang menerima suhuf, di antaranya:

1)                  Nabi Ibrahim ‘alaihissalam – Al-Qur’an secara eksplisit menyebutkan bahwa beliau menerima suhuf. Riwayat-riwayat menyebut suhuf Ibrahim berisi nasihat-nasihat, hikmah, dan tuntunan akhlak serta tauhid yang murni, menegaskan perintah untuk menjauhi syirik dan berlaku adil.

2)                  Nabi Musa ‘alaihissalam – Selain Taurat, beliau juga menerima suhuf yang diyakini berisi petunjuk sebelum penurunan Taurat secara lengkap.

3)                  Nabi Adam ‘alaihissalam – Sebagian riwayat menyebut beliau menerima sejumlah suhuf yang berisi pedoman awal bagi manusia, meskipun detail isinya tidak dijelaskan secara rinci dalam Al-Qur’an.

4)                  Nabi Syits dan Nabi Idris ‘alaihimas-salam – Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa mereka menerima suhuf, yang isinya berupa nasihat, hukum moral, dan petunjuk ibadah.

Fungsi utama suhuf adalah sebagai panduan hidup yang langsung bersumber dari wahyu Allah, meskipun penyampaiannya mungkin bersifat lebih singkat dan praktis. Keberadaan suhuf menegaskan bahwa risalah Allah kepada umat manusia berlangsung secara berkesinambungan sejak masa awal peradaban hingga diturunkannya kitab-kitab besar.

Mengimani suhuf berarti meyakini bahwa Allah benar-benar menurunkannya kepada nabi-nabi tersebut, menghormati isinya sebagai bagian dari wahyu yang sah, dan memahami bahwa ajaran-ajaran pokoknya selaras dengan prinsip tauhid dan kebenaran yang dibawa oleh kitab-kitab Allah lainnya. Bagi seorang Muslim, sikap ini adalah bagian integral dari iman kepada kitab-kitab Allah sebagaimana yang diperintahkan dalam rukun iman.


5.           Perbedaan antara Kitab dan Suhuf

Dalam ajaran Islam, wahyu Allah yang disampaikan kepada para nabi terbagi dalam dua bentuk utama, yaitu kitab dan suhuf. Keduanya sama-sama merupakan firman Allah yang diwahyukan kepada para nabi dan rasul, namun memiliki karakteristik yang berbeda baik dari segi bentuk, isi, maupun cakupan ajaran. Memahami perbedaan ini penting untuk memberikan gambaran yang utuh mengenai ragam wahyu yang menjadi bagian dari rukun iman.

5.1.       Dari segi bentuk dan cakupan

Kitab adalah kumpulan wahyu Allah yang disusun secara utuh dan lengkap dalam bentuk yang lebih luas, memuat ajaran akidah, ibadah, akhlak, dan hukum secara rinci. Kitab umumnya menjadi pegangan utama bagi suatu umat dalam jangka waktu panjang, bahkan lintas generasi. Contohnya adalah Taurat, Zabur, Injil, dan Al-Qur’an yang masing-masing berfungsi sebagai pedoman hidup umat pada zamannya.

Suhuf, di sisi lain, berbentuk lembaran-lembaran wahyu yang bersifat lebih ringkas dan tematik. Isinya biasanya berupa prinsip-prinsip pokok, nasihat, atau perintah moral yang menjadi pedoman dasar bagi umat tertentu, sering kali pada tahap awal misi kenabian.

5.2.       Dari segi isi dan detail ajaran

Kitab memuat aturan hukum (syariat) yang komprehensif, termasuk tata cara ibadah, ketentuan halal-haram, serta panduan sosial dan moral yang lengkap. Al-Qur’an, misalnya, memuat ayat-ayat yang mengatur aspek teologis, ritual, sosial, ekonomi, dan politik.

Suhuf cenderung memuat petunjuk moral, prinsip ketauhidan, dan peringatan tanpa detail hukum yang kompleks. Misalnya, suhuf yang diterima Nabi Ibrahim berisi hikmah, nasihat, dan seruan untuk berbuat adil serta menjauhi perbuatan dosa.

5.3.       Dari segi periode keberlakuan

Kitab memiliki periode keberlakuan yang relatif lebih lama karena diturunkan untuk menjadi panduan hidup lengkap bagi suatu umat. Al-Qur’an bahkan bersifat abadi dan berlaku untuk seluruh umat manusia hingga akhir zaman.

Suhuf memiliki masa keberlakuan yang lebih terbatas, biasanya untuk satu komunitas atau periode tertentu sebelum datangnya kitab yang lebih lengkap.

5.4.       Dari segi jumlah dan penerima

Jumlah kitab yang wajib diimani dalam Islam ada empat, sedangkan suhuf diberikan kepada lebih banyak nabi, meskipun tidak semuanya diketahui secara pasti jumlahnya. Berdasarkan riwayat, suhuf diberikan antara lain kepada Nabi Adam, Nabi Syits, Nabi Idris, Nabi Ibrahim, dan Nabi Musa.

5.5.       Dari segi pelestarian

Kitab umumnya lebih terdokumentasi dan terjaga, terutama Al-Qur’an yang dilestarikan melalui hafalan dan penulisan sejak masa Nabi Muhammad. Suhuf, karena bentuknya yang ringkas dan masa keberlakuannya singkat, sering kali tidak diwariskan dalam bentuk teks yang luas dikenal oleh generasi setelahnya.

Dengan memahami perbedaan ini, seorang Muslim dapat lebih menghargai variasi bentuk wahyu yang Allah turunkan. Kitab dan suhuf sama-sama mengandung kebenaran ilahi, namun perbedaan format dan cakupannya menunjukkan kebijaksanaan Allah dalam menyampaikan petunjuk sesuai kebutuhan umat pada masanya, hingga akhirnya disempurnakan dalam Al-Qur’an yang menjadi penutup segala wahyu.


6.           Hikmah Diturunkannya Kitab dan Suhuf

Penurunan kitab dan suhuf kepada para nabi merupakan bagian dari rahmat Allah yang agung kepada umat manusia. Wahyu tersebut menjadi pedoman hidup yang mengarahkan manusia menuju jalan yang benar dan menjauhkannya dari kesesatan. Setiap kitab dan suhuf memiliki peran penting yang saling melengkapi dalam membimbing umat sesuai konteks zaman dan kebutuhan mereka.

6.1.       Menegakkan Tauhid dan Menghapus Kesyirikan

Kitab dan suhuf diturunkan untuk menegakkan prinsip tauhid sebagai inti ajaran semua nabi. Allah mengutus para rasul membawa wahyu untuk menyeru umat agar hanya menyembah-Nya, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an bahwa setiap rasul membawa pesan yang sama: "Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut" (QS. An-Nahl [16] ayat 36). Dengan ini, wahyu berfungsi sebagai benteng dari kemusyrikan yang merusak fitrah manusia.

6.2.       Memberikan Petunjuk Hidup yang Lengkap

Wahyu berfungsi sebagai manual kehidupan yang menjelaskan cara beribadah, berinteraksi sosial, bertransaksi, hingga mengatur hubungan manusia dengan alam. Kitab yang lengkap seperti Al-Qur’an memuat seluruh prinsip hukum, akhlak, dan keimanan, sementara suhuf memberikan petunjuk ringkas yang disesuaikan dengan kebutuhan umat tertentu. Tanpa wahyu, manusia cenderung terombang-ambing oleh hawa nafsu dan budaya yang menyesatkan.

6.3.       Menjadi Sumber Hukum dan Keadilan

Kitab dan suhuf memuat ketentuan hukum yang menegakkan keadilan, melindungi hak asasi manusia, dan mencegah kezaliman. Misalnya, Taurat mengatur hukum-hukum detail untuk Bani Israil, dan Al-Qur’an menyempurnakannya dengan prinsip universal yang berlaku hingga akhir zaman. Hukum dalam wahyu mengajarkan keseimbangan antara hak Allah dan hak sesama manusia.

6.4.       Menguji Ketaatan dan Keimanan Manusia

Penurunan wahyu juga merupakan ujian bagi manusia—apakah mereka menerima dan mengamalkannya dengan ikhlas atau menolak dan berpaling. Hal ini sesuai dengan firman Allah bahwa wahyu diturunkan agar jelas siapa yang benar-benar mengikuti petunjuk dan siapa yang menentangnya (QS. Al-Baqarah [02] ayat 2-5).

6.5.       Menjadi Bukti Kenabian dan Mukjizat

Kitab dan suhuf berfungsi sebagai bukti kerasulan para nabi. Keindahan bahasa, kebenaran isi, serta kesesuaian dengan fitrah manusia menjadi tanda bahwa wahyu tersebut berasal dari Allah. Al-Qur’an, misalnya, menantang manusia untuk membuat tandingan satu surat pun seperti yang ada di dalamnya (QS. Al-Baqarah [02] ayat 23), dan hingga kini tantangan tersebut tidak terpenuhi.

6.6.       Menyempurnakan dan Melengkapi Wahyu Sebelumnya

Suhuf dan kitab terdahulu menjadi langkah-langkah awal penyampaian syariat, yang kemudian disempurnakan melalui kitab-kitab selanjutnya. Al-Qur’an sebagai penutup wahyu berfungsi mengoreksi penyimpangan yang terjadi dalam kitab sebelumnya dan mengokohkan kebenaran inti yang telah disampaikan oleh para nabi terdahulu (QS. Al-Maidah [05] ayat 48).

6.7.       Menjaga Manusia dari Kehancuran Moral

Ajaran dalam kitab dan suhuf mengajarkan akhlak mulia seperti kejujuran, amanah, kesabaran, dan kasih sayang. Nilai-nilai ini menjaga masyarakat dari dekadensi moral yang berpotensi menimbulkan kehancuran sosial.

Dengan demikian, hikmah diturunkannya kitab dan suhuf mencakup aspek teologis, moral, hukum, dan sosial. Wahyu Allah bukan hanya pedoman spiritual, tetapi juga sistem kehidupan yang komprehensif. Hal ini menunjukkan betapa besar kasih sayang dan perhatian Allah terhadap hamba-hamba-Nya, membimbing mereka dari kegelapan menuju cahaya yang hakiki.


7.           Konsekuensi Iman kepada Kitab-Kitab Allah

Iman kepada kitab-kitab Allah bukan hanya pengakuan lisan atau pengetahuan intelektual semata, tetapi keyakinan yang diiringi pengamalan nyata dalam kehidupan. Keyakinan ini melahirkan sejumlah konsekuensi yang harus terwujud pada diri seorang Muslim.

7.1.       Menerima Seluruh Isi Kitab sebagai Kebenaran Mutlak

Seorang mukmin wajib meyakini bahwa seluruh isi kitab yang diturunkan Allah, dalam bentuk asli dan murninya, adalah kebenaran yang sempurna. Al-Qur’an menegaskan bahwa orang beriman berkata: “Kami beriman kepada Allah, kepada apa yang diturunkan kepada kami, dan kepada apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’qub, dan anak cucunya, serta kepada apa yang diberikan kepada Musa, Isa, dan para nabi dari Tuhan mereka” (QS. Al-Baqarah [02] ayat 136). Ini menuntut penerimaan tanpa memilah atau menolak sebagian wahyu.

7.2.       Mengamalkan Petunjuk Kitab yang Berlaku

Bagi umat Nabi Muhammad Saw, konsekuensi iman kepada kitab-kitab Allah adalah mengamalkan seluruh ajaran Al-Qur’an sebagai kitab terakhir dan penyempurna wahyu. Kitab-kitab terdahulu diimani kebenarannya dalam bentuk asli, tetapi syariatnya tidak lagi berlaku kecuali yang dikukuhkan dalam Al-Qur’an. Hal ini sejalan dengan prinsip syumuliyyah (kesempurnaan) Islam yang mencakup semua aspek kehidupan.

7.3.       Menghormati dan Tidak Merendahkan Kitab-Kitab Allah

Menghina, merendahkan, atau memperolok isi kitab Allah adalah bentuk kekufuran. Oleh karena itu, seorang mukmin menjaga sikap hormat terhadap kitab suci, baik secara fisik maupun ajarannya. Rasulullah Saw melarang mempermainkan ayat-ayat Allah (QS. At-Taubah [09] ayat 65-66) dan memerintahkan menjunjung tinggi kehormatan wahyu.

7.4.       Mengakui Kesatuan Ajaran Para Nabi

Iman kepada kitab-kitab Allah mengharuskan keyakinan bahwa semua nabi membawa ajaran yang sama dalam pokok akidah, meskipun berbeda dalam rincian syariat. Seorang Muslim tidak boleh membeda-bedakan para rasul dalam arti menolak sebagian dan menerima sebagian lainnya (QS. An-Nisa’ [04] ayat 150-151). Dengan demikian, lahirlah pandangan universal yang mengakui kesinambungan risalah dari Adam hingga Muhammad Saw.

7.5.       Menjaga Kemurnian dan Mengajarkan Isi Kitab yang Benar

Konsekuensi lain adalah kewajiban menjaga kemurnian Al-Qur’an dengan membacanya sesuai kaidah, mengajarkannya kepada generasi berikutnya, dan membela kebenarannya dari penyelewengan. Rasulullah Saw menegaskan bahwa sebaik-baik umat adalah yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya.

7.6.       Menolak dan Meluruskan Penyelewengan Isi Kitab

Sejak masa lalu, sebagian manusia telah mengubah atau menyelewengkan isi kitab wahyu, seperti yang disebutkan Allah dalam QS. Al-Baqarah [02] ayat 79. Seorang Muslim wajib menolak penyelewengan tersebut, sekaligus menyampaikan kebenaran isi wahyu yang masih terjaga, terutama melalui Al-Qur’an.

7.7.       Menjadikan Wahyu Sebagai Standar Hidup

Iman kepada kitab-kitab Allah mengharuskan seorang Muslim menimbang seluruh aspek kehidupannya—keyakinan, ibadah, muamalah, dan akhlak—berdasarkan wahyu Allah. Standar benar dan salah, halal dan haram, baik dan buruk, harus bersumber dari kitab Allah, bukan dari hawa nafsu atau budaya semata.

7.8.       Menumbuhkan Rasa Syukur atas Petunjuk Allah

Kesadaran bahwa kitab-kitab dan suhuf merupakan bentuk kasih sayang Allah melahirkan rasa syukur yang diwujudkan dengan membaca, memahami, mengamalkan, dan mendakwahkan ajarannya. Rasa syukur ini menjadi bukti nyata keimanan, sebagaimana pesan Al-Qur’an bahwa petunjuk-Nya adalah nikmat yang harus dijaga (QS. Al-Maidah [05] ayat 3).

Dengan demikian, iman kepada kitab-kitab Allah membawa konsekuensi yang luas, mencakup aspek keyakinan, pengamalan, penghormatan, dan tanggung jawab moral. Seorang Muslim yang benar-benar mengimani kitab Allah akan memposisikannya sebagai sumber utama petunjuk hidup dan pembeda antara kebenaran dan kebatilan.


8.           Penutup

Iman kepada kitab-kitab Allah merupakan salah satu pilar pokok dalam Rukun Iman yang meneguhkan hubungan manusia dengan wahyu Ilahi. Keyakinan ini tidak sekadar pengakuan formal, melainkan kesadaran mendalam bahwa petunjuk hidup sejati bersumber dari Allah melalui wahyu yang diturunkan kepada para nabi dan rasul. Kitab-kitab seperti Taurat, Zabur, Injil, dan Al-Qur’an, serta suhuf yang diterima oleh nabi-nabi tertentu, semuanya merupakan rangkaian komunikasi ilahi yang bertujuan membimbing umat manusia menuju tauhid, kebenaran, dan kebahagiaan abadi.

Al-Qur’an sebagai kitab terakhir menegaskan kesatuan pesan para nabi, menyempurnakan syariat sebelumnya, dan menjamin keterpeliharaannya hingga akhir zaman (QS. Al-Hijr [15] ayat 9). Hal ini menunjukkan bahwa meskipun kitab-kitab terdahulu telah mengalami perubahan dan distorsi, prinsip-prinsip pokok ajaran yang dibawanya tetap menjadi bagian dari kebenaran yang harus diimani. Dengan memahami perbedaan antara kitab dan suhuf, seorang Muslim dapat lebih menghargai variasi bentuk wahyu yang Allah berikan sesuai kebutuhan umat pada masanya.

Hikmah diturunkannya kitab dan suhuf mencakup petunjuk moral, hukum, dan spiritual yang relevan sepanjang zaman, memberikan panduan agar manusia tidak tersesat oleh hawa nafsu atau pengaruh kebudayaan yang menyimpang. Kesadaran ini menuntut sikap penerimaan penuh, pengamalan konsisten, penghormatan terhadap wahyu, dan tanggung jawab untuk menjaganya dari penyelewengan.

Akhirnya, iman kepada kitab-kitab Allah menumbuhkan sikap hidup yang berlandaskan pada wahyu, membentuk pandangan dunia yang terpadu antara keyakinan dan tindakan. Ia juga meneguhkan rasa syukur kepada Allah atas anugerah petunjuk yang sempurna, serta memotivasi umat Islam untuk terus mempelajari, mengajarkan, dan mendakwahkan pesan Ilahi. Dengan demikian, iman kepada kitab-kitab Allah bukan hanya pondasi akidah, tetapi juga kompas moral dan spiritual yang mengarahkan langkah manusia menuju ridha dan rahmat-Nya.


Daftar Pustaka

Sumber-sumber dari Al-Qur’an

·                     Al-Qur’an. (n.d.). Surah Al-Maidah 5:44, 5:46, 48; Al-Baqarah 2:2; Al-Hijr 15:9.

·                     Al-Qur’an. (n.d.). Surah An-Nisa’ 4:136; Al-Baqarah 2:285; Al-Maidah 5:44, 5:46; As-Saff 61:6; Al-Hijr 15:9; Al-Furqan 25:1; Al-Qadr 97:1; Al-Baqarah 2:185; Al-Maidah 5:48; Al-Isra 17:55; Shad 38:17–20; Ali Imran 3:50; Al-Hijr 15:9; Al-Maidah 5:48.

Sumber-sumber mengenai Hadits Jibril dan Rukun Iman

·                     Belajarislam.web.id. (n.d.). Hadits Jibril – Islam, Iman, Ihsan dan Hari Kiamat. Retrieved from portal Islam online (belajarislam.web.id)

·                     Almanhaj.or.id. (n.d.). Syarah Hadits Jibril tentang Islam, Iman dan Ihsan. Retrieved from Almanhaj website (Media Islam Salafiyyah)

Sumber-sumber ilmiah terkait exegesis dan preservasi Al-Qur’an

·                     Wikipedia contributors. (2025, month unknown). Al Hejr. Wikipedia. Retrieved from Wikipedia articles containing exegesis including Ibn Kathir commentary on 15:9 (Wikipedia)


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar