Konsep Apatheia
Kebebasan Emosional sebagai
Jalan Menuju Ketenangan Jiwa
Alihkan ke: Filsafat Stoikisme.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif
konsep apatheia dalam tradisi Stoikisme, yaitu kondisi kebebasan
emosional yang ditandai dengan terbebasnya individu dari dominasi emosi
destruktif (pathē) tanpa meniadakan afek sehat (eupatheiai). Kajian ini dimulai dengan menjelaskan latar
belakang historis dan konseptual Stoikisme, kemudian menelaah akar filosofis
apatheia dari Socrates, Plato, Aristoteles, hingga sistematisasi oleh Zeno,
Cleanthes, dan Chrysippus. Selanjutnya, artikel menguraikan relasi apatheia dengan
emosi melalui teori kognitif Stoik tentang afek, menyoroti perbedaan antara
emosi negatif yang bersifat keliru secara penilaian dan afek positif yang
selaras dengan rasio.
Dalam bagian praktis, artikel menunjukkan bagaimana apatheia diwujudkan
melalui latihan mental Stoik (askēsis), refleksi diri, premeditatio
malorum, dan prinsip dikotomi kendali, dengan teladan nyata dari Seneca,
Epictetus, dan Marcus Aurelius. Perbandingan dengan konsep serupa—ataraxia
dalam Epikureanisme, apatheia dalam tradisi Kristen awal, dan upekkhā
dalam Buddhisme—menunjukkan
kesamaan universal dalam pencarian ketenangan batin, meski dengan landasan
metafisik berbeda. Artikel ini juga menyoroti kritik dan tantangan terhadap apatheia,
termasuk tuduhan represi emosional dan keterbatasannya dalam konteks psikologi
modern.
Pada akhirnya, artikel menegaskan bahwa
apatheia tetap relevan dalam dunia kontemporer. Dalam menghadapi stres,
kecemasan, dan tekanan sosial digital, apatheia dapat dipahami sebagai kerangka
filosofis yang selaras dengan regulasi emosi modern dan praktik mindfulness.
Dengan tafsir yang tepat—sebagai pengendalian, bukan penolakan emosi—apatheia
menjadi jembatan antara kebijaksanaan kuno dan kebutuhan eksistensial manusia
modern dalam mencari ketenangan jiwa dan integritas moral.
Kata Kunci: Stoikisme;
Apatheia; Emosi; Kebebasan Batin; Eudaimonia; Filosofi Helenistik; Regulasi
Emosi; Mindfulness.
PEMBAHASAN
prinsip Apatheia dalam Filsafat
Stoikisme
1.
Pendahuluan
Stoikisme—sebuah aliran filsafat yang lahir di Athena pada awal abad
ke-3 SM—menempatkan etika sebagai puncak filsafat dengan tujuan akhir eudaimonia
(kehidupan baik/berkembang) melalui kebajikan (virtue).¹ Dalam tradisi ini,
filsafat bukan sekadar spekulasi teoretis, melainkan “terapi” bagi jiwa yang
menata penilaian, hasrat, dan tindakan sehari-hari agar selaras dengan rasio
dan tatanan kosmik (logos).² Karenanya, Stoikisme menawarkan seperangkat
disiplin—di antaranya disiplin penilaian, tindakan, dan keinginan—yang
memampukan manusia menjaga ketenangan batin di tengah ketidakpastian.³
Di jantung program etis Stoikisme terdapat konsep apatheia (ketidakbergantungan
emosi), yakni kebebasan dari dominasi emosi yang mengganggu penilaian
rasional (seperti amarah, ketakutan, dan kesedihan). Apatheia bukanlah “apatis”
dalam pengertian modern—bukan ketumpulan afektif atau ketiadaan rasa—melainkan
kemahiran mengelola reaksi emosional agar tidak menaklukkan penilaian dan
tindakan yang baik.⁴ Para Stoik memahami emosi bermasalah (pathē)
sebagai penilaian keliru yang “menilai berlebihan” hal-hal di luar kendali atau
menilai sesuatu sebagai baik/buruk secara tak proporsional.⁵ Karena itu,
pembenahan emosi berlangsung melalui pembenahan penilaian—discipline of
assent—yakni seni memberi atau menahan persetujuan terhadap impresi agar
tetap sesuai nalar.⁶
Pembedaan penting lain yang sering terlewat dalam pembacaan populer
adalah bahwa para Stoik tidak menafikan emosi secara total. Mereka mengakui
keberadaan eupatheiai (afek yang sehat/terarah oleh nalar)—seperti
sukacita yang berbasis kebajikan, kehendak baik terhadap yang bermoral, dan
kewaspadaan rasional—sebagai ekspresi afektif yang selaras dengan hidup
bijaksana.⁷ Dengan demikian, apatheia menyasar pembubaran pathē
(emosi yang korup secara kognitif), bukan pembekuan kehidupan afektif manusia.⁸
Di tingkat praksis, ideal apatheia berkelindan dengan latihan-latihan
Stoik (askēsis) yang bersifat sederhana namun konsisten, seperti refleksi diri,
premeditatio malorum (mengantisipasi kemungkinan buruk agar tak
mengejutkan jiwa), dan yang paling terkenal, dikotomi kendali
(membedakan dengan tegas apa yang ada dan tidak ada dalam kuasa kita).⁹ Melalui
latihan-latihan ini, subjek Stoik menata kembali relasi antara penilaian dan
dunia: ia menerima peristiwa di luar kendali sebagai indiferensia
(indifferents) serta memusatkan energi moral pada apa yang sungguh bergantung
padanya—yaitu penilaian lurus, intensi baik, dan tindakan berbasis kebajikan.¹⁰
Relevansi apatheia menjadi kian jelas
dalam konteks kontemporer yang ditandai ledakan rangsangan, ketidakpastian, dan
tekanan psiko-sosial. Kecemasan dan reaktivitas emosional mudah meningkat
ketika penilaian kita—sering tanpa disadari—mengizinkan hal-hal eksternal
(opini, berita, metrik sosial) menentukan kondisi batin. Berbagai telaah
mutakhir tentang Stoikisme menunjukkan bahwa koreksi penilaian—alih-alih
represi afek—merupakan kunci pengelolaan emosi yang tahan uji, sebuah wawasan
yang beresonansi dengan temuan psikologi moral dan filsafat emosi modern.¹¹
Pada saat yang sama, para pengkaji klasik mengingatkan agar pembacaan modern
terhadap Stoikisme tetap akurat: apatheia tidak identik dengan pengosongan
emosi, tetapi transformasi kognitif-afektif yang membuat afek tunduk pada
kebijaksanaan praktis.¹²
Bertolak dari latar di atas, artikel ini
bertujuan: (1) menjernihkan makna apatheia dalam terminologi Stoik (dan
membedakannya dari “apatis” modern), (2) memetakan landasan
metafisik-psikologisnya (relasi dengan logos, pathē, dan eupatheiai),
(3) menjelaskan perangkat praksis yang menopang pembentukan apatheia, serta (4)
menimbang kritik dan relevansinya bagi kehidupan modern—termasuk dalam
pendidikan karakter, kepemimpinan, dan manajemen diri. Untuk mencapai tujuan
tersebut, pembahasan akan menggabungkan pembacaan terhadap sumber primer
(Epictetus, Seneca, Marcus Aurelius) dengan kajian sekunder otoritatif dalam
studi Stoa.¹³ Dengan kerangka demikian, diharapkan pembaca memperoleh pemahaman
yang utuh: apatheia sebagai ideal etis yang realistis dan terlatih,
bukan sebagai retret emosional, melainkan sebagai kecakapan bernalar yang
memampukan jiwa bertindak lurus di tengah dunia yang tak sepenuhnya dapat
dikendalikan.¹⁴
Footnotes
[1]
Diogenes Laertius, Lives of
Eminent Philosophers, vol. 2, trans. R. D. Hicks (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1925), 7.1–7.2; A. A. Long dan D. N. Sedley, The
Hellenistic Philosophers, vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press,
1987), 353–70.
[2]
Martha C. Nussbaum, The
Therapy of Desire: Theory and Practice in Hellenistic Ethics (Princeton,
NJ: Princeton University Press, 1994), 13–19.
[3]
Pierre Hadot, The Inner
Citadel: The Meditations of Marcus Aurelius, trans. Michael Chase
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1998), 83–108.
[4]
John Sellars, Stoicism
(Berkeley: University of California Press, 2009), 104–9.
[5]
Margaret R. Graver, Stoicism
and Emotion (Chicago: University of Chicago Press, 2007), 40–58.
[6]
Hadot, The Inner Citadel,
88–96.
[7]
Tad Brennan, The Stoic Life:
Emotions, Duties, and Fate (Oxford: Oxford University Press, 2005), 69–86;
Graver, Stoicism and Emotion, 159–77.
[8]
A. A. Long, Stoic Studies
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 206–18.
[9]
Seneca, “On Anger,” dalam Seneca:
Moral and Political Essays, ed. John M. Cooper dan J. F. Procopé
(Cambridge: Cambridge University Press, 1995), 1.7–1.9; Epictetus, Enchiridion,
trans. Nicholas P. White (Indianapolis: Hackett, 1983), §1–§5.
[10]
Epictetus, Discourses and
Selected Writings, trans. Robert Dobbin (London: Penguin, 2008), 1.1;
Marcus Aurelius, Meditations, trans. Gregory Hays (New York: Modern
Library, 2002), 4.3–4.
[11]
Graver, Stoicism and Emotion,
189–206; Nussbaum, The Therapy of Desire, 391–428.
[12]
Sellars, Stoicism, 110–15;
Long, Stoic Studies, 219–30.
[13]
Lihat kombinasi sumber primer dan
sekunder berikut: Epictetus, Enchiridion; Seneca, Moral and Political
Essays; Marcus Aurelius, Meditations; serta Hadot, Nussbaum, Long,
Graver, Brennan, dan Sellars (daftar lengkap tercantum pada catatan
sebelumnya).
[14]
Hadot, The Inner Citadel,
111–18; Marcus Aurelius, Meditations, 7.54; Epictetus, Discourses,
3.12.
2.
Konsep
Dasar Apatheia dalam Stoikisme
Konsep apatheia menempati posisi
fundamental dalam etika Stoik. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani a-
(tidak) dan pathos (emosi, hasrat, penderitaan), yang secara harfiah
berarti “ketiadaan emosi”.¹ Namun, dalam konteks Stoikisme, pengertiannya jauh
lebih subtil dan filosofis. Para Stoik tidak bermaksud meniadakan seluruh aspek
emosional kehidupan manusia, melainkan menekankan ketidakbergantungan
pada emosi destruktif yang lahir dari penilaian keliru.² Apatheia, dengan
demikian, merupakan suatu kondisi psikologis dan moral di mana seseorang tidak
lagi dikuasai oleh emosi negatif (pathē), melainkan mengarahkan
kehidupannya sesuai dengan rasio (logos) dan kebajikan (aretē).³
2.1. Distingsi dengan “Apatis” Modern
Sering kali terjadi kesalahpahaman ketika
apatheia dipadankan dengan “apatis” dalam arti modern, yaitu ketidakpedulian,
kelesuan, atau ketiadaan kepekaan emosional. Para filsuf Stoik menolak gambaran
ini.⁴ Apatheia justru merupakan tanda kematangan moral: seseorang mampu
merasakan emosi secara sehat, tetapi tidak membiarkan dirinya dikendalikan
olehnya. Stoikisme menegaskan bahwa “emosi bukanlah musuh,” melainkan penilaian
keliru terhadap apa yang dianggap baik atau buruk di luar kendali kita.⁵ Oleh
sebab itu, apatheia lebih tepat dipahami sebagai kebebasan emosional,
bukan sebagai “ketiadaan rasa”.
2.2. Apatheia sebagai Kebebasan dari Pathē
Bagi Stoik, pathē (emosi yang korup)
mencakup amarah, kesedihan, ketakutan, dan hasrat berlebihan—semua dipandang
sebagai distorsi kognitif yang mengganggu penilaian rasional.⁶ Apatheia adalah
kebebasan dari dominasi pathē, bukan pembekuan seluruh emosi. Para
filsuf Stoik bahkan mengakui keberadaan eupatheiai (afek sehat), yaitu
emosi yang sejalan dengan kebajikan, seperti kegembiraan yang timbul dari hidup
sesuai rasio, atau kewaspadaan yang berakar pada penilaian bijak.⁷ Dengan
demikian, apatheia tidak menghapus afek, tetapi mereformasinya agar tunduk pada
kebajikan.
2.3. Hubungan dengan Eudaimonia
Tujuan akhir etika Stoik adalah eudaimonia
(hidup baik atau bahagia), dan apatheia dianggap sebagai kondisi yang
memungkinkan tercapainya tujuan tersebut.⁸ Seseorang tidak akan pernah mencapai
ketenangan sejati selama dirinya bergantung pada hal-hal eksternal yang rapuh,
seperti status sosial, kekayaan, atau opini orang lain. Apatheia menuntun
manusia untuk membatasi penilaian pada apa yang ada dalam kendali dirinya—yakni
pemikiran, kehendak, dan tindakan yang berlandaskan kebajikan.⁹ Dengan cara
ini, kebahagiaan tidak lagi bergantung pada hal-hal eksternal, tetapi bertumpu
pada integritas batin.
2.4. Apatheia sebagai Disiplin Rasional
Epictetus menekankan bahwa manusia berkuasa
penuh atas penilaian dan respons batinnya, bukan atas peristiwa eksternal.¹⁰
Marcus Aurelius juga menulis bahwa gangguan emosional hanya terjadi jika
seseorang memilih untuk menilai sebuah peristiwa sebagai “celaka” atau
“buruk”.¹¹ Oleh karena itu, apatheia adalah latihan disiplin rasional: menahan
persetujuan terhadap impresi keliru, dan hanya menerima penilaian yang sesuai
dengan alam dan rasio.¹² Inilah inti dari “ketenangan batin Stoik”—sebuah
disposisi mental yang bebas dari gejolak emosional, tetapi tetap peka terhadap
kebajikan.
Dengan demikian, apatheia bukanlah ketiadaan rasa, melainkan
bentuk tertinggi dari kebebasan moral: kemampuan untuk tetap teguh, rasional,
dan selaras dengan kebajikan di tengah arus emosi yang kerap menguasai manusia.
Ia menjadi fondasi bagi seluruh etika Stoik, karena tanpa apatheia, pencarian
manusia akan kebahagiaan sejati (eudaimonia) akan terus diguncang oleh
ketergantungan pada hal-hal yang rapuh dan di luar kendali.
Footnotes
[1]
Diogenes Laertius, Lives of
Eminent Philosophers, vol. 2, trans. R. D. Hicks (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1925), 7.1.
[2]
Pierre Hadot, The Inner
Citadel: The Meditations of Marcus Aurelius, trans. Michael Chase
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1998), 85–87.
[3]
John Sellars, Stoicism
(Berkeley: University of California Press, 2009), 104–7.
[4]
Martha C. Nussbaum, The
Therapy of Desire: Theory and Practice in Hellenistic Ethics (Princeton,
NJ: Princeton University Press, 1994), 394–95.
[5]
Margaret R. Graver, Stoicism
and Emotion (Chicago: University of Chicago Press, 2007), 40–44.
[6]
A. A. Long dan D. N. Sedley, The
Hellenistic Philosophers, vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press,
1987), 410–15.
[7]
Tad Brennan, The Stoic Life:
Emotions, Duties, and Fate (Oxford: Oxford University Press, 2005), 68–72.
[8]
Anthony A. Long, Stoic Studies
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 207–10.
[9]
Seneca, On the Shortness of
Life, trans. C. D. N. Costa (London: Penguin, 1997), 3–4.
[10]
Epictetus, Enchiridion,
trans. Nicholas P. White (Indianapolis: Hackett, 1983), §1.
[11]
Marcus Aurelius, Meditations,
trans. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002), 5.16.
[12]
Hadot, The Inner Citadel,
92–96.
3.
Landasan
Filosofis Apatheia
Konsep apatheia dalam Stoikisme tidak muncul dalam ruang hampa,
melainkan dibangun di atas warisan filsafat Yunani sebelumnya, serta
disistematisasi oleh para pendiri Stoa dan penerusnya. Pemahaman mendalam
tentang fondasi filosofis ini membantu memperjelas mengapa apatheia menjadi
salah satu pilar utama dalam etika Stoik.
3.1. Akar Pemikiran Pra-Stoik: Socrates, Plato, dan
Aristoteles
Socrates, yang banyak dikenal melalui karya Plato, menekankan pentingnya
mengendalikan nafsu dan menata jiwa melalui pengetahuan yang benar. Ia
berpendapat bahwa tidak ada seorang pun yang berbuat jahat dengan sadar,
melainkan karena ketidaktahuan—sebuah pandangan yang membuka jalan bagi
anggapan bahwa pengendalian diri merupakan buah dari penilaian rasional.¹ Plato
kemudian menekankan konsep harmoni jiwa dalam Republic, di mana bagian
rasional harus mengendalikan bagian penuh nafsu dan emosi.² Aristoteles, meski
tidak mengajarkan apatheia, memandang sophrosynē (moderasi) sebagai
kebajikan, yakni kemampuan mengatur emosi agar tidak berlebihan atau kurang.³
Dengan demikian, Stoikisme mewarisi tradisi panjang filsafat Yunani yang
menekankan pengendalian diri, namun melangkah lebih jauh dengan menuntut
pembebasan total dari dominasi emosi yang tidak rasional.
3.2. Kontribusi Zeno dari Citium dan Para Stoik Awal
Zeno dari Citium (±334–262 SM), pendiri Stoa, membangun sistem etika
yang menempatkan hidup sesuai alam (homologoumenos tē phusei zēn)
sebagai prinsip utama.⁴ Bagi Zeno, hidup sesuai alam berarti hidup selaras
dengan rasio kosmik (logos), dan hanya dengan menundukkan diri pada
tatanan rasional inilah manusia mencapai kebajikan.⁵ Dalam kerangka ini,
apatheia dipahami sebagai syarat mutlak: seseorang tidak dapat hidup selaras
dengan alam jika masih diperbudak oleh emosi yang keliru.⁶ Cleanthes, murid
Zeno, menguatkan gagasan ini melalui Hymn to Zeus, yang menggambarkan logos
ilahi sebagai hukum yang menata kosmos, di mana manusia bijak harus
menyesuaikan dirinya.⁷ Chrysippus, filsuf Stoik ketiga yang terkenal sebagai
“arsitek sistem” Stoikisme, memperhalus analisis emosional: baginya, emosi
adalah bentuk penilaian kognitif yang keliru (false judgment).⁸ Karena
itu, apatheia hanya dapat dicapai melalui latihan intelektual untuk menata
penilaian agar sesuai dengan rasio.⁹
3.3. Apatheia dan Hubungannya dengan Logos
Stoikisme bersifat monistik: seluruh realitas dipahami sebagai
manifestasi dari satu prinsip rasional universal, logos.¹⁰ Manusia
sebagai makhluk rasional memiliki bagian dari logos ini di dalam
dirinya—yaitu rasio. Dengan demikian, tugas manusia adalah hidup sesuai dengan logos
internal yang sekaligus harmonis dengan logos kosmik.¹¹ Apatheia muncul
sebagai konsekuensi logis: jika manusia tunduk pada tatanan rasional semesta,
maka ia harus bebas dari penilaian emosional yang keliru, sebab emosi yang
destruktif menunjukkan ketidaksesuaian dengan nalar universal.¹² Dengan kata
lain, apatheia bukanlah sekadar strategi psikologis, melainkan prinsip
metafisik yang menghubungkan manusia dengan struktur rasional kosmos.
3.4.
Sintesis Etika dan Fisika dalam Stoikisme
Landasan filosofis apatheia tidak dapat
dilepaskan dari keterkaitan erat antara fisika dan etika dalam Stoikisme. Bagi
para Stoik, etika (bagaimana hidup benar) hanya dapat dipahami melalui fisika
(struktur kosmos) dan logika (alat penalaran).¹³ Dengan menerima bahwa alam
semesta diatur oleh hukum rasional yang tak tergoyahkan (heimarmenē atau
takdir), manusia diarahkan untuk menyesuaikan kehendaknya dengan hukum itu.¹⁴
Apatheia, dalam kerangka ini, adalah sikap batin yang selaras dengan hukum
kosmos: menerima peristiwa eksternal sebagaimana adanya, tanpa gejolak
emosional yang lahir dari penilaian salah.¹⁵
Dengan demikian, landasan filosofis apatheia dalam Stoikisme bertumpu
pada tiga hal: (1) warisan filsafat Yunani sebelumnya yang menekankan
pengendalian diri; (2) sistematisasi Zeno, Cleanthes, dan Chrysippus yang
menegaskan bahwa emosi adalah kesalahan penilaian rasional; dan (3) integrasi
dengan doktrin logos sebagai hukum kosmik yang menuntut manusia untuk
hidup sesuai alam. Melalui fondasi ini, apatheia dipahami bukan sekadar sikap
psikologis, tetapi sebagai prinsip etis-metafisis yang meneguhkan keselarasan
manusia dengan rasio universal.
Footnotes
[1]
Plato, Apology, trans. G.
M. A. Grube (Indianapolis: Hackett, 2002), 25d–26a.
[2]
Plato, Republic, trans. C.
D. C. Reeve (Indianapolis: Hackett, 2004), 439d–441c.
[3]
Aristotle, Nicomachean Ethics,
trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett, 1999), II.6, 1106b–1107a.
[4]
Diogenes Laertius, Lives of
Eminent Philosophers, vol. 2, trans. R. D. Hicks (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1925), 7.87–88.
[5]
A. A. Long, Hellenistic
Philosophy: Stoics, Epicureans, Sceptics (London: Duckworth, 1974), 158–61.
[6]
John Sellars, Stoicism
(Berkeley: University of California Press, 2009), 108–10.
[7]
Cleanthes, Hymn to Zeus,
in C. R. Haines, Stoic and Epicurean (Cambridge, MA: Harvard University
Press, 1916), 307–13.
[8]
Margaret R. Graver, Stoicism
and Emotion (Chicago: University of Chicago Press, 2007), 39–44.
[9]
Tad Brennan, The Stoic Life:
Emotions, Duties, and Fate (Oxford: Oxford University Press, 2005), 55–58.
[10]
Marcus Aurelius, Meditations,
trans. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002), 4.40.
[11]
Pierre Hadot, The Inner
Citadel: The Meditations of Marcus Aurelius, trans. Michael Chase
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1998), 106–10.
[12]
Anthony A. Long, Stoic Studies
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 207–12.
[13]
A. A. Long dan D. N. Sedley, The
Hellenistic Philosophers, vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press,
1987), 394–97.
[14]
Chrysippus, frag. dalam Cicero, On
Fate, trans. H. Rackham (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1942),
39–45.
[15]
Seneca, On Providence, in Seneca:
Dialogues and Essays, trans. John Davie (Oxford: Oxford University Press,
2007), 1–2.
4.
Apatheia
dan Relasi dengan Emosi
Konsep apatheia dalam Stoikisme tidak dapat dipahami tanpa
menguraikan bagaimana para filsuf Stoa mendefinisikan dan mengklasifikasikan
emosi (pathē). Bagi para Stoik, emosi bukanlah sekadar gejolak perasaan,
melainkan bentuk judgment atau penilaian kognitif tentang sesuatu yang
dianggap baik atau buruk.¹ Oleh karena itu, hubungan apatheia dengan emosi
bersifat dialektis: apatheia bukanlah penolakan total terhadap perasaan,
melainkan pembebasan diri dari penilaian keliru yang melahirkan emosi
destruktif.
4.1. Klasifikasi Emosi Menurut Stoikisme
Para filsuf Stoik membedakan antara emosi yang bersifat merusak (pathē)
dan afek sehat yang selaras dengan kebajikan (eupatheiai). Chrysippus,
tokoh utama dalam sistematisasi Stoikisme, menyebut pathē sebagai
“penilaian berlebihan” (hyperbolē kriseōs), yakni evaluasi yang keliru
terhadap hal-hal eksternal.² Stoikisme mengenali empat kategori utama pathē:
1)
Keinginan (epithymia) – hasrat
berlebihan terhadap sesuatu yang dianggap baik.
2)
Kegembiraan (hēdonē) –
kegembiraan yang lahir dari persepsi keliru tentang sesuatu yang “baik”.
3)
Ketakutan (phobos) –
antisipasi terhadap sesuatu yang dianggap buruk.
4)
Kesedihan (lypē) –
perasaan kehilangan atas sesuatu yang dianggap buruk menimpa diri.³
Dalam kerangka ini, emosi dianggap salah
bukan karena intensitasnya semata, melainkan karena didasarkan pada penilaian
yang tidak sesuai dengan rasio dan hukum kosmik.⁴
4.2. Peran Eupatheiai (Afek Positif)
Berbeda dari pathē, para Stoik memperkenalkan kategori eupatheiai
sebagai bentuk afek yang sehat dan terarah oleh nalar. Menurut Diogenes
Laertius, afek-afek ini meliputi:
·
Kegembiraan (chara) –
kesenangan yang rasional, lahir dari kebajikan.
·
Kehendak (boulēsis) –
hasrat rasional terhadap apa yang benar-benar baik.
·
Kewaspadaan (eulabeia) –
bentuk antisipasi rasional terhadap sesuatu yang perlu dihindari.⁵
Dengan demikian, Stoikisme tidak menolak
seluruh emosi, melainkan membedakan mana yang berbasis pada penilaian rasional
(afek sehat) dan mana yang berakar pada kesesatan penilaian.⁶ Apatheia berarti
bebas dari pathē, namun tetap membuka ruang bagi eupatheiai
sebagai ekspresi emosional yang selaras dengan kebijaksanaan.
4.3. Emosi sebagai Penilaian (Cognitive Theory of
Emotions)
Teori emosi dalam Stoikisme sering disebut sebagai cognitive theory
of emotions. Margaret Graver menjelaskan bahwa, menurut para Stoik, emosi
adalah hasil dari assent (persetujuan batin) terhadap impresi tertentu.⁷
Misalnya, seseorang marah bukan hanya karena menerima rangsangan eksternal,
tetapi karena ia menilai bahwa dirinya diperlakukan tidak adil dan bahwa
membalas dendam adalah baik.⁸ Jika penilaian ini keliru, maka muncullah pathē.
Sebaliknya, dengan melatih diri untuk hanya menyetujui impresi yang sesuai
dengan rasio, seseorang dapat menghindari emosi destruktif.
4.4. Apatheia sebagai Transformasi, Bukan Penekanan
Emosi
Penting ditekankan bahwa apatheia bukanlah represi atau penghapusan
emosi, melainkan transformasi melalui penilaian yang benar.⁹ Seneca menegaskan
bahwa orang bijak bukanlah “batu tanpa perasaan,” melainkan individu yang
memiliki emosi yang terkendali dan tidak merusak.¹⁰ Marcus Aurelius juga
menulis bahwa penderitaan emosional muncul hanya jika kita menilai suatu
peristiwa sebagai celaka; jika penilaian itu diubah, maka emosi pun teratasi.¹¹
Apatheia, dengan demikian, adalah hasil dari rasionalisasi kehidupan
emosional—suatu kebebasan batin yang memungkinkan manusia merasakan tanpa
diperbudak olehnya.
Implikasi Etis
Relasi apatheia dengan emosi menggarisbawahi tujuan etika Stoik:
membentuk manusia yang kuat, stabil, dan rasional dalam menghadapi pasang-surut
kehidupan. Dengan mencapai apatheia, seseorang tidak lagi dikendalikan oleh pathē,
tetapi mampu menyalurkan afek sehat (eupatheiai) yang memperkaya
kehidupan moral.¹² Hubungan ini menjadikan apatheia sebagai prinsip yang tidak
hanya psikologis, tetapi juga etis—fondasi bagi kebajikan dan kebahagiaan
sejati (eudaimonia).
Footnotes
[1]
Martha C. Nussbaum, The
Therapy of Desire: Theory and Practice in Hellenistic Ethics (Princeton,
NJ: Princeton University Press, 1994), 391–94.
[2]
A. A. Long dan D. N. Sedley, The
Hellenistic Philosophers, vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press,
1987), 410–12.
[3]
Diogenes Laertius, Lives of
Eminent Philosophers, vol. 2, trans. R. D. Hicks (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1925), 7.110–11.
[4]
Tad Brennan, The Stoic Life:
Emotions, Duties, and Fate (Oxford: Oxford University Press, 2005), 49–52.
[5]
Diogenes Laertius, Lives of
Eminent Philosophers, 7.116; cf. Long, Hellenistic Philosophy,
164–65.
[6]
John Sellars, Stoicism
(Berkeley: University of California Press, 2009), 112–15.
[7]
Margaret R. Graver, Stoicism
and Emotion (Chicago: University of Chicago Press, 2007), 40–44.
[8]
Seneca, On Anger, dalam Seneca:
Moral and Political Essays, ed. John M. Cooper dan J. F. Procopé
(Cambridge: Cambridge University Press, 1995), 1.7–1.9.
[9]
Pierre Hadot, The Inner
Citadel: The Meditations of Marcus Aurelius, trans. Michael Chase
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1998), 90–92.
[10]
Seneca, On the Shortness of
Life, trans. C. D. N. Costa (London: Penguin, 1997), 8.3.
[11]
Marcus Aurelius, Meditations,
trans. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002), 5.16.
[12]
Anthony A. Long, Stoic Studies
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 210–13.
5.
Apatheia
dalam Praktik Kehidupan Stoik
Konsep apatheia tidak hanya berhenti pada tataran teoretis,
melainkan menjadi prinsip yang harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.
Para filsuf Stoik, baik dari kalangan pendiri maupun penerusnya, menekankan
pentingnya latihan praktis (askēsis) untuk melatih diri agar terbebas
dari dominasi emosi destruktif.¹ Melalui disiplin spiritual dan moral ini,
apatheia menjadi tujuan yang dapat dicapai melalui kebiasaan hidup yang
konsisten, bukan hanya ideal abstrak.
5.1. Latihan Mental (Askēsis)
Para Stoik mengembangkan berbagai latihan
mental yang bertujuan menata pikiran agar selaras dengan rasio dan hukum alam.
Pierre Hadot menyebut latihan-latihan ini sebagai “praktik spiritual” (exercices
spirituels) yang menyiapkan jiwa untuk menghadapi kesulitan hidup tanpa
kehilangan ketenangan.² Salah satu bentuknya adalah refleksi diri—melalui
catatan harian atau dialog batin—yang membantu seseorang menilai kesalahan
penilaiannya serta memperbaiki diri secara terus-menerus.³ Seneca, misalnya,
menganjurkan untuk setiap malam mengulas tindakan yang telah dilakukan, agar
kesalahan bisa diperbaiki dan tidak diulang.⁴
5.2. Premeditatio Malorum (Antisipasi Terhadap
Kemungkinan Buruk)
Salah satu teknik khas Stoik adalah premeditatio malorum, yaitu
membayangkan kemungkinan buruk yang dapat menimpa di masa depan agar tidak
mengejutkan jiwa ketika hal itu benar-benar terjadi.⁵ Epictetus menekankan
bahwa seseorang harus selalu mengingat bahwa orang yang dicintai, harta benda,
atau kesehatan adalah fana, sehingga kehilangan tidak akan menimbulkan gejolak
emosional yang berlebihan.⁶ Dengan membiasakan diri terhadap kemungkinan
terburuk, individu membangun ketahanan batin yang menjadikannya lebih siap
menerima kenyataan apa adanya.
5.3. Dikotomi Kendali (Dichotomy of Control)
Salah satu prinsip praktis paling terkenal dalam Stoikisme adalah
pembedaan antara hal-hal yang berada dalam kendali kita dan yang berada di luar
kendali kita.⁷ Epictetus dalam Enchiridion menyatakan bahwa hanya
penilaian, kehendak, dan tindakan kita sendiri yang benar-benar berada di bawah
kuasa kita, sedangkan hal-hal eksternal seperti reputasi, kekayaan, atau
kesehatan bukanlah bagian dari kendali kita.⁸ Dengan memahami batas ini, seseorang
tidak lagi membuang energi pada hal-hal yang tidak bisa diubah, melainkan
memusatkan perhatian pada kebajikan sebagai satu-satunya kebaikan sejati.
Prinsip inilah yang secara langsung menopang tercapainya apatheia.
5.4. Teladan Praktis dari Filsuf Stoik
Para tokoh Stoik bukan hanya berbicara, tetapi juga mencontohkan praktik
apatheia dalam hidup mereka. Seneca, dalam surat-surat moralnya, menggambarkan
sikap tabah menghadapi pengasingan, sakit, dan ancaman politik.⁹ Epictetus,
yang hidup sebagai mantan budak, menekankan bahwa kebebasan sejati bukan
ditentukan oleh status sosial, melainkan oleh kemampuan menjaga batin dari
gejolak emosi.¹⁰ Sementara itu, Marcus Aurelius, sebagai kaisar Romawi,
menunjukkan bahwa apatheia dapat diterapkan bahkan di tengah beban kekuasaan
dan peperangan, dengan menegaskan bahwa penderitaan emosional muncul hanya jika
kita memilih untuk menilainya demikian.¹¹
5.5. Apatheia sebagai Gaya Hidup
Berdasarkan latihan-latihan di atas, jelas bahwa apatheia tidak sekadar
teori etika, melainkan gaya hidup (bios) yang harus dipraktikkan
terus-menerus.¹² Hidup Stoik berarti menjadikan kebajikan sebagai pusat
orientasi, melatih penilaian melalui refleksi, membiasakan diri terhadap
kemungkinan buruk, serta menerima segala hal di luar kendali dengan tenang.
Praktik-praktik ini menuntun individu menuju kebebasan batin, yakni kemampuan
untuk merespons dunia dengan kejernihan tanpa diperbudak oleh emosi destruktif.¹³
Footnotes
[1]
John Sellars, Stoicism
(Berkeley: University of California Press, 2009), 118–20.
[2]
Pierre Hadot, Philosophy as a
Way of Life, trans. Michael Chase (Oxford: Blackwell, 1995), 83–89.
[3]
Hadot, The Inner Citadel: The
Meditations of Marcus Aurelius, trans. Michael Chase (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1998), 91–94.
[4]
Seneca, Moral Letters to
Lucilius, trans. Richard M. Gummere (Cambridge, MA: Harvard University
Press, 1917), Letter 83.
[5]
William B. Irvine, A Guide to
the Good Life: The Ancient Art of Stoic Joy (New York: Oxford University
Press, 2009), 65–70.
[6]
Epictetus, Enchiridion,
trans. Nicholas P. White (Indianapolis: Hackett, 1983), §3.
[7]
Anthony A. Long, Stoic Studies
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 210–13.
[8]
Epictetus, Enchiridion,
§1.
[9]
Seneca, On the Shortness of
Life, trans. C. D. N. Costa (London: Penguin, 1997), 7–9.
[10]
Epictetus, Discourses,
trans. Robert Dobbin (London: Penguin, 2008), 1.1–1.4.
[11]
Marcus Aurelius, Meditations,
trans. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002), 5.16; 7.68.
[12]
Hadot, Philosophy as a Way of
Life, 272–75.
[13]
Nussbaum, The Therapy of
Desire: Theory and Practice in Hellenistic Ethics (Princeton, NJ: Princeton
University Press, 1994), 394–97.
6.
Perbandingan
dengan Konsep Serupa
Konsep apatheia dalam Stoikisme
memiliki kemiripan dengan gagasan-gagasan ketenangan batin dalam berbagai
tradisi filsafat maupun spiritual lain. Meski setiap tradisi memiliki nuansa
tersendiri, persamaan dan perbedaan ini memperkaya pemahaman tentang bagaimana
manusia berupaya mencapai kebebasan emosional. Tiga perbandingan utama yang
sering disoroti adalah dengan konsep ataraxia dalam Epikureanisme, apatheia
dalam tradisi Kristen awal, dan upekkhā (keseimbangan batin) dalam
Buddhisme.
6.1. Apatheia Stoik dan Ataraxia Epikurean
Epikureanisme, sebagai salah satu filsafat Helenistik sezaman dengan
Stoikisme, menekankan pencapaian ataraxia, yaitu keadaan batin yang
tenang, bebas dari rasa takut dan penderitaan.¹ Baik ataraxia maupun apatheia
berorientasi pada kebebasan dari gangguan emosional, tetapi titik tekan
keduanya berbeda. Epikureanisme berusaha mengurangi penderitaan dengan
mengendalikan keinginan (desire) dan menghindari rasa takut, terutama terhadap
para dewa dan kematian.² Sebaliknya, Stoikisme menekankan kebebasan batin melalui
penilaian rasional terhadap apa yang ada dan tidak ada dalam kendali manusia.³
Dengan demikian, ataraxia lebih bersifat hedonistik-terapeutik,
sedangkan apatheia bersifat etis-kognitif, karena berakar pada
pengendalian penilaian rasional.⁴
6.2. Apatheia dalam Tradisi Kristen Awal
Konsep apatheia juga diadopsi dan ditransformasikan oleh para
Bapa Gereja dalam tradisi monastik Kristen awal, terutama oleh Evagrius
Ponticus (abad ke-4 M).⁵ Dalam kerangka ini, apatheia tidak lagi
dipahami semata sebagai kebebasan rasional dari emosi negatif, melainkan
sebagai kemurnian hati yang memungkinkan seseorang bersatu dengan Tuhan.⁶
Evagrius menggambarkan apatheia sebagai “keadaan jiwa yang sehat, bebas
dari gairah yang salah arah, dan terbuka bagi kasih ilahi.”⁷ Meskipun secara
terminologi sama, makna apatheia Kristen lebih religius-spiritual
daripada filosofis-etis dalam Stoikisme. Namun keduanya sama-sama menekankan
latihan batin untuk membebaskan manusia dari keterikatan emosional yang
merusak.
6.3. Apatheia dan Upekkhā dalam Buddhisme
Dalam tradisi Buddhis, terutama dalam kerangka brahmavihāra
(empat kediaman luhur), terdapat konsep upekkhā atau equanimity, yang
sering disejajarkan dengan apatheia.⁸ Upekkhā adalah keadaan batin yang
seimbang, tidak terguncang oleh suka atau duka, dan memandang semua makhluk
dengan keseimbangan tanpa diskriminasi.⁹ Sama seperti apatheia, upekkhā
menekankan ketenangan batin di tengah perubahan dunia. Namun, perbedaannya
terletak pada landasan metafisik: Buddhisme berangkat dari doktrin
ketidak-kekalan (anicca) dan tanpa-aku (anattā), sedangkan
Stoikisme bertolak dari rasionalitas kosmik (logos).¹⁰ Dengan demikian,
keduanya mengajarkan keseimbangan batin, tetapi dari horizon metafisik dan
metodologi latihan yang berbeda.
Titik Temu dan Perbedaan
Perbandingan di atas menunjukkan bahwa hampir semua tradisi besar
mengakui perlunya kebebasan dari gejolak emosional demi mencapai kebahagiaan
sejati. Namun, Stoikisme dengan apatheia menekankan dimensi rasional-etis,
Epikureanisme dengan ataraxia menekankan dimensi hedonistik-terapeutik,
Kristen awal dengan apatheia menekankan dimensi spiritual-religius, dan
Buddhisme dengan upekkhā menekankan dimensi kontemplatif-metafisik.¹¹
Keseluruhannya memperlihatkan bahwa pencarian manusia akan ketenangan batin
adalah universal, meskipun jalannya beragam.
Footnotes
[1]
Epicurus, Letter to Menoeceus,
trans. Cyril Bailey (Oxford: Oxford University Press, 1926), 123–25.
[2]
Martha C. Nussbaum, The
Therapy of Desire: Theory and Practice in Hellenistic Ethics (Princeton,
NJ: Princeton University Press, 1994), 105–10.
[3]
Epictetus, Enchiridion,
trans. Nicholas P. White (Indianapolis: Hackett, 1983), §1–§5.
[4]
John Sellars, Stoicism
(Berkeley: University of California Press, 2009), 118–22.
[5]
Columba Stewart, Evagrius
Ponticus: The Praktikos and Chapters on Prayer (Kalamazoo, MI: Cistercian
Publications, 1981), 15–17.
[6]
Ibid., 21–23.
[7]
Augustine Casiday, Evagrius
Ponticus (London: Routledge, 2006), 63–66.
[8]
Bhikkhu Bodhi, The Noble
Eightfold Path: Way to the End of Suffering (Kandy: Buddhist Publication
Society, 1984), 86–87.
[9]
Walpola Rahula, What the
Buddha Taught (New York: Grove Press, 1974), 54–56.
[10]
Damien Keown, Buddhism: A Very
Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 1996), 44–47.
[11]
Pierre Hadot, Philosophy as a
Way of Life, trans. Michael Chase (Oxford: Blackwell, 1995), 108–12.
7.
Kritik dan Tantangan terhadap Konsep Apatheia
Walaupun apatheia menjadi pilar
penting dalam etika Stoik, konsep ini tidak luput dari kritik dan tantangan,
baik dari perspektif filsafat maupun psikologi modern. Kritik tersebut terutama
menyangkut tiga hal: (1) risiko salah tafsir sebagai “ketidakpedulian” atau
represi emosi, (2) pertanyaan mengenai kelayakan psikologis dalam menghadapi
kompleksitas emosi manusia, dan (3) keterbatasan relevansi dalam konteks sosial
dan relasional modern.
7.1. Risiko Salah Tafsir: Apatheia sebagai
“Ketidakpedulian”
Salah satu kritik utama adalah kesalahpahaman populer yang menyamakan
apatheia dengan apatisme.¹ Para kritikus menilai bahwa jika diartikan secara
harfiah sebagai “ketiadaan emosi”, apatheia tampak mengandaikan kehidupan tanpa
kehangatan emosional—sesuatu yang dianggap tidak manusiawi.² Martha Nussbaum,
misalnya, menilai bahwa upaya Stoik untuk menghapus emosi tertentu dapat
terlihat sebagai sikap “dingin” yang mengabaikan nilai moral dari simpati,
belas kasih, atau cinta.³ Pandangan ini menantang asumsi bahwa kebebasan
emosional identik dengan keutamaan.
7.2.
Kritik Psikologis: Apakah Emosi Dapat atau Perlu
Dihapus?
Psikologi modern memandang emosi sebagai
bagian integral dari fungsi kognitif dan sosial manusia. Teori emosi
kontemporer, seperti yang dikemukakan Antonio Damasio, menegaskan bahwa emosi
memiliki peran penting dalam pengambilan keputusan dan pembentukan identitas
moral.⁴ Dengan demikian, upaya Stoik untuk “membebaskan diri dari emosi”
dianggap problematis, karena emosi tidak selalu destruktif; justru sering kali
menjadi sumber motivasi etis.⁵ Margaret Graver menanggapi hal ini dengan
menunjukkan bahwa Stoik sejatinya tidak menghapus semua emosi, melainkan
membedakan antara pathē (emosi keliru) dan eupatheiai (afek
sehat).⁶ Namun, kritik tetap bertahan bahwa konsep apatheia terlalu menekankan
aspek kognitif, sehingga kurang memberi ruang bagi peran konstruktif emosi
dalam pengalaman manusia.
7.3. Tantangan Praktis dalam Kehidupan Sosial
Dalam konteks modern, tantangan lain muncul
terkait hubungan sosial. Apatheia dipandang berpotensi menimbulkan jarak
emosional yang dapat melemahkan empati dan solidaritas sosial.⁷ Jika seseorang
berusaha terlalu keras untuk tidak diganggu oleh emosi, ia mungkin tampak tidak
peka terhadap penderitaan orang lain. Hal ini menimbulkan pertanyaan: dapatkah
seorang Stoik yang mengejar apatheia benar-benar berperan sebagai anggota
komunitas yang penuh kasih? Seneca mencoba menjawab kritik ini dengan menekankan
bahwa orang bijak tetap memiliki kasih sayang yang rasional, tetapi tidak
sampai kehilangan ketenangan batin.⁸ Namun, tetap ada keraguan apakah ideal
tersebut dapat dipraktikkan tanpa jatuh ke dalam “detasemen emosional” yang
berlebihan.
7.4. Relevansi Kontemporer dan Adaptasi Modern
Meskipun ada kritik, sejumlah pemikir modern melihat nilai dalam konsep
apatheia jika dipahami secara tepat. Beberapa penelitian psikologi kognitif
menunjukkan bahwa regulasi emosi—yaitu kemampuan mengelola reaksi emosional
secara sadar—adalah kunci kesehatan mental.⁹ Hal ini sejalan dengan
interpretasi Stoik bahwa apatheia bukanlah represi, melainkan pengendalian yang
rasional.¹⁰ Namun tantangannya adalah menyesuaikan konsep ini dengan pemahaman
modern bahwa emosi, termasuk yang negatif, dapat berfungsi sebagai sinyal
adaptif yang penting.¹¹ Oleh karena itu, apatheia perlu dibaca bukan sebagai
penghapusan emosi, melainkan sebagai upaya menata respons emosional agar
selaras dengan kebajikan dan rasionalitas.
Evaluasi Filosofis
Secara filosofis, kritik terhadap apatheia mencerminkan ketegangan
klasik antara rasionalisme dan afektifisme: apakah kehidupan baik ditentukan
sepenuhnya oleh rasio, ataukah emosi memiliki peran intrinsik dalam
kebahagiaan? Nussbaum berargumen bahwa belas kasih (compassion) adalah
komponen esensial moralitas, sehingga penghapusan emosi tertentu justru dapat
mengikis nilai kemanusiaan.¹² Sebaliknya, pembela Stoik menegaskan bahwa
apatheia tidak menolak kasih atau empati, tetapi menolak distorsi kognitif yang
membuat emosi berubah menjadi pathē.¹³ Dengan demikian, kritik terhadap
apatheia menantang para pemikir modern untuk membaca ulang konsep ini secara
lebih bernuansa, bukan secara literal.
Footnotes
[1]
John Sellars, Stoicism
(Berkeley: University of California Press, 2009), 115–18.
[2]
A. A. Long, Stoic Studies
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 210–13.
[3]
Martha C. Nussbaum, Upheavals
of Thought: The Intelligence of Emotions (Cambridge: Cambridge University
Press, 2001), 375–80.
[4]
Antonio Damasio, Descartes’
Error: Emotion, Reason, and the Human Brain (New York: Avon Books, 1994),
245–50.
[5]
Ronald de Sousa, The
Rationality of Emotion (Cambridge, MA: MIT Press, 1987), 173–77.
[6]
Margaret R. Graver, Stoicism
and Emotion (Chicago: University of Chicago Press, 2007), 159–63.
[7]
Charles Taylor, Sources of the
Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge, MA: Harvard University
Press, 1989), 125–28.
[8]
Seneca, On Clemency,
trans. John W. Basore (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1932), 2.3.
[9]
James J. Gross, “Emotion
Regulation: Affective, Cognitive, and Social Consequences,” Psychophysiology
39, no. 3 (2002): 281–91.
[10]
Pierre Hadot, The Inner
Citadel: The Meditations of Marcus Aurelius, trans. Michael Chase
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1998), 92–95.
[11]
Paul Ekman, Emotions Revealed:
Recognizing Faces and Feelings to Improve Communication and Emotional Life
(New York: Times Books, 2003), 31–33.
[12]
Nussbaum, Upheavals of Thought,
401–4.
[13]
Graver, Stoicism and Emotion,
190–95.
8.
Relevansi
Apatheia dalam Konteks Modern
Konsep apatheia, meskipun lahir dalam
konteks filsafat Helenistik lebih dari dua ribu tahun lalu, tetap memiliki daya
tarik kuat dalam dunia modern yang ditandai oleh tekanan psikologis,
instabilitas sosial, dan ledakan informasi. Tantangan kontemporer seperti stres
kerja, kecemasan eksistensial, hingga distraksi digital, membuat gagasan
kebebasan emosional ala Stoikisme semakin relevan. Dalam kerangka ini, apatheia
dapat dipahami sebagai strategi manajemen diri yang menekankan regulasi
kognitif atas emosi, sejalan dengan pendekatan psikologi modern sekaligus
memberi alternatif etis dalam menghadapi kompleksitas zaman.
8.1. Apatheia dan Regulasi Emosi dalam Psikologi Modern
Psikologi kognitif modern banyak menekankan pentingnya emotion
regulation atau regulasi emosi—yakni kemampuan mengelola pengalaman
emosional agar tetap adaptif.¹ Model regulasi emosi yang dikembangkan James
Gross, misalnya, menunjukkan bahwa cara kita menilai sebuah situasi memengaruhi
intensitas dan jenis emosi yang muncul.² Hal ini sangat dekat dengan teori
Stoik bahwa emosi lahir dari penilaian (judgment), sehingga apatheia
beresonansi dengan strategi cognitive reappraisal dalam psikologi.³
Dengan demikian, apatheia dapat dipandang sebagai pendahulu historis dari teori
modern tentang bagaimana kognisi membentuk emosi.
8.2. Relevansi Apatheia dalam Menghadapi Stres dan
Kecemasan
Dalam kehidupan kontemporer, stres dan kecemasan sering muncul akibat
ketidakpastian global, perubahan sosial, dan tekanan performa. Apatheia
mengajarkan bahwa kita hanya perlu memusatkan perhatian pada apa yang ada dalam
kendali kita, sementara peristiwa eksternal harus diterima dengan tenang.⁴
Pendekatan ini terbukti selaras dengan praktik mindfulness modern yang
banyak digunakan dalam terapi stres dan kecemasan.⁵ Misalnya, dengan
mempraktikkan prinsip dikotomi kendali, individu dapat mengurangi beban emosional
akibat fokus pada hal-hal yang tidak bisa diubah, sehingga meningkatkan
resiliensi.⁶
8.3.
Apatheia dalam Dunia Digital dan Media Sosial
Ledakan media sosial telah menciptakan
fenomena baru berupa emotional contagion (penularan emosi) dan toxic
comparison (perbandingan sosial yang merusak).⁷ Apatheia menawarkan
kerangka untuk tetap menjaga kebebasan batin dengan tidak membiarkan opini
publik atau pencapaian orang lain mendominasi penilaian diri. Marcus Aurelius
menekankan bahwa nilai kita tidak ditentukan oleh opini orang lain, melainkan
oleh keselarasan dengan kebajikan.⁸ Prinsip ini sangat relevan ketika manusia
modern menghadapi tekanan “validasi eksternal” melalui likes, komentar,
atau standar kesuksesan artifisial yang sering kali memicu kecemasan.
8.4.
Apatheia dalam Kepemimpinan dan Pendidikan Karakter
Konsep apatheia juga memiliki implikasi luas
bagi kepemimpinan dan pendidikan. Pemimpin yang berpegang pada prinsip apatheia
mampu mengambil keputusan dengan tenang, tidak terjebak dalam amarah atau
ketakutan, serta fokus pada kebaikan bersama.⁹ Dalam pendidikan karakter,
apatheia dapat ditanamkan sebagai keterampilan mengelola emosi dan menghadapi
tekanan sosial tanpa kehilangan integritas.¹⁰ Hal ini sejalan dengan upaya
kontemporer membangun emotional intelligence (kecerdasan emosional), di
mana ketenangan dan kejernihan berpikir dianggap sebagai kualitas utama
individu yang matang secara moral.
8.5. Keterbatasan dan Adaptasi Konsep
Meski relevan, penerapan apatheia dalam konteks modern membutuhkan
adaptasi. Kritik psikologis menegaskan bahwa emosi memiliki fungsi sosial dan
moral yang tidak dapat diabaikan.¹¹ Oleh karena itu, apatheia tidak bisa dibaca
secara ekstrem sebagai penolakan emosi, melainkan harus dipahami sebagai
pengendalian dan transformasi emosi agar sesuai dengan kebijaksanaan praktis.¹²
Dalam arti ini, apatheia dapat diposisikan sebagai kerangka filsafat praktis
yang melengkapi pendekatan psikologi modern, bukan menggantikannya.
Refleksi Akhir
Dengan demikian, apatheia memiliki relevansi yang mendalam dalam
dunia modern: sebagai strategi pengelolaan emosi, penangkal stres, pelindung
dari pengaruh negatif media sosial, serta fondasi bagi kepemimpinan dan
pendidikan karakter. Jika ditafsirkan dengan tepat—bukan sebagai “kebekuan
emosional” tetapi sebagai “kebebasan batin dari dominasi emosi
destruktif”—apatheia menawarkan jalan menuju ketenangan jiwa yang tetap aktual
di tengah hiruk pikuk peradaban kontemporer.¹³
Footnotes
[1]
James J. Gross, “Emotion
Regulation: Past, Present, Future,” Cognition and Emotion 13, no. 5
(1999): 551–73.
[2]
Ibid., 553–55.
[3]
Margaret R. Graver, Stoicism
and Emotion (Chicago: University of Chicago Press, 2007), 40–44.
[4]
Epictetus, Enchiridion,
trans. Nicholas P. White (Indianapolis: Hackett, 1983), §1–§5.
[5]
Jon Kabat-Zinn, Full
Catastrophe Living: Using the Wisdom of Your Body and Mind to Face Stress,
Pain, and Illness (New York: Bantam Dell, 1990), 145–50.
[6]
William B. Irvine, A Guide to
the Good Life: The Ancient Art of Stoic Joy (New York: Oxford University
Press, 2009), 65–70.
[7]
Adam Kramer et al., “Experimental
Evidence of Massive-Scale Emotional Contagion through Social Networks,” Proceedings
of the National Academy of Sciences 111, no. 24 (2014): 8788–90.
[8]
Marcus Aurelius, Meditations,
trans. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002), 6.30.
[9]
Pierre Hadot, The Inner
Citadel: The Meditations of Marcus Aurelius, trans. Michael Chase
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1998), 93–95.
[10]
Daniel Goleman, Emotional
Intelligence (New York: Bantam Books, 1995), 33–36.
[11]
Antonio Damasio, Descartes’
Error: Emotion, Reason, and the Human Brain (New York: Avon Books, 1994),
245–50.
[12]
John Sellars, Stoicism
(Berkeley: University of California Press, 2009), 118–22.
[13]
Nussbaum, The Therapy of
Desire: Theory and Practice in Hellenistic Ethics (Princeton, NJ: Princeton
University Press, 1994), 394–97.
9.
Penutup
Kajian mengenai apatheia dalam Stoikisme menunjukkan bahwa
prinsip ini merupakan inti dari upaya filsafat Helenistik untuk membentuk
manusia yang tangguh secara batin, selaras dengan rasio, dan bebas dari
dominasi emosi destruktif. Para Stoik, sejak Zeno hingga Marcus Aurelius,
memandang apatheia bukan sebagai ketiadaan rasa, melainkan kebebasan dari pathē—emosi
yang lahir dari penilaian keliru—serta keterarahan pada eupatheiai
sebagai ekspresi afektif yang sehat dan rasional.¹ Dengan demikian, apatheia
adalah kondisi batin yang memungkinkan tercapainya eudaimonia atau
kebahagiaan sejati, karena individu tidak lagi diperbudak oleh hal-hal
eksternal, melainkan berpusat pada kebajikan sebagai satu-satunya kebaikan
hakiki.²
Secara filosofis, landasan apatheia tertanam dalam kosmologi Stoik yang
berpusat pada logos sebagai hukum rasional kosmos.³ Manusia, dengan
partisipasi rasionalnya, dituntut hidup sesuai alam, yang berarti menata
penilaian agar selaras dengan tatanan universal.⁴ Apatheia di sini tampil bukan
hanya sebagai disposisi psikologis, tetapi juga sebagai ekspresi metafisik dari
keharmonisan antara jiwa manusia dan struktur kosmik.
Dalam praktik, apatheia diwujudkan melalui disiplin mental (askēsis),
refleksi diri, premeditatio malorum, serta penerapan prinsip dikotomi
kendali.⁵ Para filsuf Stoik sendiri memberikan teladan nyata: Seneca dalam
menghadapi kesulitan politik, Epictetus dalam keterbatasan status sosialnya,
dan Marcus Aurelius dalam menjalankan tanggung jawab sebagai kaisar.⁶
Praktik-praktik ini menunjukkan bahwa apatheia dapat dihidupi dalam berbagai
kondisi, baik dalam kesederhanaan maupun kekuasaan.
Namun, konsep ini tidak lepas dari kritik.
Sejumlah filsuf modern, seperti Martha Nussbaum, menyoroti risiko apatheia
dipahami sebagai represi emosional atau ketidakpedulian terhadap relasi
sosial.⁷ Psikologi modern pun menegaskan bahwa emosi memiliki fungsi penting
dalam pengambilan keputusan dan relasi moral.⁸ Kritik ini memperingatkan agar
apatheia tidak dipahami secara ekstrem, tetapi sebagai transformasi emosi
melalui rasionalitas, bukan penghapusan total.
Meski demikian, relevansi apatheia tetap kuat dalam dunia modern. Dalam
menghadapi stres, kecemasan, serta tekanan media sosial, apatheia menawarkan
kerangka praktis untuk mengelola emosi melalui pengendalian penilaian dan
penerimaan terhadap hal-hal yang berada di luar kendali.⁹ Hal ini sejalan
dengan strategi regulasi emosi dalam psikologi kognitif dan praktik mindfulness,
serta memiliki implikasi positif bagi kepemimpinan dan pendidikan karakter.¹⁰
Dengan demikian, apatheia adalah sebuah warisan filosofis yang
tetap hidup dan kontekstual. Ia bukanlah seruan untuk menjadi “dingin” atau
“tak berperasaan,” melainkan ajakan untuk membebaskan diri dari dominasi emosi
destruktif demi menjalani kehidupan yang bijaksana, stabil, dan penuh
integritas.¹¹ Dalam dunia yang penuh ketidakpastian, apatheia dapat berfungsi
sebagai jangkar batin yang menuntun manusia menuju ketenangan jiwa, sekaligus
sebagai jembatan antara kebijaksanaan kuno dan kebutuhan eksistensial manusia
modern.¹²
Footnotes
[1]
Margaret R. Graver, Stoicism
and Emotion (Chicago: University of Chicago Press, 2007), 159–63.
[2]
Seneca, On the Shortness of
Life, trans. C. D. N. Costa (London: Penguin, 1997), 3–4.
[3]
A. A. Long, Stoic Studies
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 207–12.
[4]
Diogenes Laertius, Lives of
Eminent Philosophers, vol. 2, trans. R. D. Hicks (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1925), 7.87–88.
[5]
Pierre Hadot, Philosophy as a
Way of Life, trans. Michael Chase (Oxford: Blackwell, 1995), 83–89.
[6]
Marcus Aurelius, Meditations,
trans. Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002), 5.16; Epictetus, Discourses,
trans. Robert Dobbin (London: Penguin, 2008), 1.1.
[7]
Martha C. Nussbaum, Upheavals
of Thought: The Intelligence of Emotions (Cambridge: Cambridge University
Press, 2001), 375–80.
[8]
Antonio Damasio, Descartes’
Error: Emotion, Reason, and the Human Brain (New York: Avon Books, 1994),
245–50.
[9]
William B. Irvine, A Guide to
the Good Life: The Ancient Art of Stoic Joy (New York: Oxford University
Press, 2009), 65–70.
[10]
Daniel Goleman, Emotional
Intelligence (New York: Bantam Books, 1995), 33–36.
[11]
John Sellars, Stoicism
(Berkeley: University of California Press, 2009), 115–18.
[12]
Pierre Hadot, The Inner
Citadel: The Meditations of Marcus Aurelius, trans. Michael Chase
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1998), 111–14.
Daftar Pustaka
Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T. Irwin, Trans.).
Hackett.
Augustine, C. (2006). Evagrius Ponticus. Routledge.
Bodhi, B. (1984). The noble eightfold path: Way to the end of
suffering. Buddhist Publication Society.
Brennan, T. (2005). The Stoic life: Emotions, duties, and fate.
Oxford University Press.
Casiday, A. (2006). Evagrius Ponticus. Routledge.
Chrysippus. (1942). On fate (H. Rackham, Trans.). Harvard
University Press.
Cleanthes. (1916). Hymn to Zeus (C. R. Haines, Trans.). In Stoic
and Epicurean. Harvard University Press.
Damasio, A. (1994). Descartes’ error: Emotion, reason, and the human
brain. Avon Books.
De Sousa, R. (1987). The rationality of emotion. MIT Press.
Diogenes Laertius. (1925). Lives of eminent philosophers (Vol. 2,
R. D. Hicks, Trans.). Harvard University Press.
Epicurus. (1926). Letter to Menoeceus (C. Bailey, Trans.). Oxford
University Press.
Epictetus. (1983). Enchiridion (N. P. White, Trans.). Hackett.
Epictetus. (2008). Discourses and selected writings (R. Dobbin,
Trans.). Penguin.
Goleman, D. (1995). Emotional intelligence. Bantam Books.
Graver, M. R. (2007). Stoicism and emotion. University of Chicago
Press.
Gross, J. J. (1999). Emotion regulation: Past, present, future. Cognition and Emotion, 13(5),
551–573.
Gross, J. J. (2002). Emotion regulation: Affective, cognitive, and
social consequences. Psychophysiology, 39(3), 281–291.
Hadot, P. (1995). Philosophy as a way of life (M. Chase, Trans.).
Blackwell.
Hadot, P. (1998). The inner citadel: The meditations of Marcus
Aurelius (M. Chase, Trans.). Harvard University Press.
Irvine, W. B. (2009). A guide to the good life: The ancient art of
Stoic joy. Oxford University Press.
Kabat-Zinn, J. (1990). Full catastrophe living: Using the wisdom of
your body and mind to face stress, pain, and illness. Bantam Dell.
Keown, D. (1996). Buddhism: A very short introduction. Oxford
University Press.
Kramer, A. D. I., Guillory, J. E., & Hancock, J. T. (2014).
Experimental evidence of massive-scale emotional contagion through social
networks. Proceedings of the National Academy of Sciences, 111(24), 8788–8790.
Long, A. A. (1974). Hellenistic philosophy: Stoics, Epicureans,
Sceptics. Duckworth.
Long, A. A. (1996). Stoic studies. Cambridge University Press.
Long, A. A., & Sedley, D. N. (1987). The Hellenistic philosophers
(Vol. 1). Cambridge University Press.
Marcus Aurelius. (2002). Meditations (G. Hays, Trans.). Modern
Library.
Nussbaum, M. C. (1994). The therapy of desire: Theory and practice in
Hellenistic ethics. Princeton University Press.
Nussbaum, M. C. (2001). Upheavals of thought: The intelligence of
emotions. Cambridge University Press.
Plato. (2002). Apology (G. M. A. Grube, Trans.). Hackett.
Plato. (2004). Republic (C. D. C. Reeve, Trans.). Hackett.
Rahula, W. (1974). What the Buddha taught. Grove Press.
Seneca. (1917). Moral letters to Lucilius (R. M. Gummere,
Trans.). Harvard University Press.
Seneca. (1932). On clemency (J. W. Basore, Trans.). Harvard
University Press.
Seneca. (1995). On anger. In J. M. Cooper & J. F. Procopé
(Eds.), Seneca: Moral and political essays. Cambridge University Press.
Seneca. (1997). On the shortness of life (C. D. N. Costa,
Trans.). Penguin.
Seneca. (2007). On providence. In J. Davie (Trans.), Seneca:
Dialogues and essays. Oxford University Press.
Sellars, J. (2009). Stoicism. University of California Press.
Stewart, C. (1981). Evagrius Ponticus: The Praktikos and chapters on
prayer. Cistercian Publications.
Taylor, C. (1989). Sources of the self: The making of the modern
identity. Harvard University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar