Meaningful Learning
Konsep, Prinsip, dan Implikasi
dalam Pendidikan
Alihkan ke: Pendekatan Deep Learning.
Abstrak
Artikel ini membahas konsep Meaningful Learning
atau pembelajaran bermakna sebagai salah satu pendekatan penting dalam dunia
pendidikan modern. Dimulai dengan pendahuluan yang menyoroti urgensi
pembelajaran bermakna dalam menghadapi tantangan global, artikel ini
menjelaskan pengertian Meaningful Learning menurut teori David P.
Ausubel, serta prinsip-prinsip utama yang melandasinya, seperti keterhubungan
konsep baru dengan pengetahuan yang telah dimiliki, relevansi konteks, dan
keterlibatan aktif siswa. Selanjutnya, dibahas jenis-jenis Meaningful
Learning, meliputi pembelajaran konseptual, representasional, dan
proposisional. Artikel ini juga menguraikan strategi implementasi yang melibatkan peta
konsep, pembelajaran berbasis masalah, dan pembelajaran kooperatif. Selain itu,
dipaparkan kelebihan dan kekurangan Meaningful Learning, yang menekankan
pada pengembangan pemahaman mendalam, tetapi juga menuntut kesiapan guru dan
siswa. Implikasi dalam pendidikan ditinjau dari perspektif perencanaan
kurikulum, desain pembelajaran, serta evaluasi berbasis kompetensi. Penutup
artikel menegaskan bahwa Meaningful Learning merupakan pendekatan yang
relevan, aplikatif, dan transformatif dalam mengembangkan potensi siswa, baik
dalam aspek kognitif maupun afektif, sehingga layak menjadi pijakan penting
dalam praktik pendidikan kontemporer.
Kata Kunci: Meaningful
Learning, pembelajaran bermakna, Ausubel, peta konsep, pembelajaran berbasis
masalah, pendidikan
PEMBAHASAN
Meaningful Learning sebagai Pendekatan Pembelajaran
Transformatif
1.
Pendahuluan
Dalam dunia
pendidikan, salah satu tantangan utama adalah bagaimana pengetahuan yang
diperoleh peserta didik dapat dipahami secara mendalam dan bertahan lama, bukan
sekadar dihafalkan secara mekanis. Model pembelajaran tradisional yang
menekankan rote learning (hafalan) sering kali dianggap kurang efektif
karena hanya menghasilkan pengetahuan jangka pendek yang mudah dilupakan dan
sulit diaplikasikan dalam konteks kehidupan nyata.¹ Oleh karena itu, para ahli
pendidikan berupaya mencari pendekatan yang lebih menekankan pemahaman
konseptual dan relevansi pengetahuan.
Salah satu teori yang
sangat berpengaruh dalam hal ini adalah konsep Meaningful Learning
(pembelajaran bermakna) yang dikembangkan oleh psikolog pendidikan David P.
Ausubel pada tahun 1960-an.² Ausubel menekankan bahwa pembelajaran yang efektif
hanya dapat terjadi apabila informasi baru dihubungkan secara substantif dengan
struktur kognitif yang telah dimiliki peserta didik.³ Dengan demikian,
pengetahuan baru tidak berdiri sendiri, melainkan terintegrasi ke dalam
kerangka pengetahuan sebelumnya sehingga lebih mudah dipahami, diingat, dan
diterapkan.
Konsep ini juga memberikan kritik terhadap
dominasi pembelajaran hafalan yang kerap terjadi di sekolah-sekolah. Ausubel
menegaskan bahwa tugas utama guru bukan hanya menyampaikan informasi, melainkan
membantu siswa mengaitkan pengetahuan baru dengan apa yang sudah mereka
ketahui.⁴ Prinsip ini menjadikan Meaningful Learning sangat relevan
dalam membangun pendidikan yang berorientasi pada pemahaman mendalam, pemecahan
masalah, serta kemampuan berpikir kritis di tengah kompleksitas pengetahuan
modern.
Footnotes
[1]
John W. Santrock, Educational Psychology, 6th
ed. (New York: McGraw-Hill, 2011), 246.
[2]
David P. Ausubel, Educational Psychology: A
Cognitive View (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1968), 127.
[3]
David P. Ausubel, Joseph D. Novak, and Helen Hanesian,
Educational Psychology: A Cognitive View, 2nd ed. (New York: Holt,
Rinehart and Winston, 1978), 163.
[4]
Jeanne Ellis Ormrod, Human Learning, 7th ed.
(New York: Pearson, 2020), 135.
2.
Pengertian
Meaningful Learning
Meaningful
Learning atau pembelajaran bermakna merupakan suatu konsep yang pertama
kali diperkenalkan oleh David P. Ausubel pada tahun 1960-an sebagai bagian dari
psikologi pendidikan kognitif.¹ Menurut Ausubel, pembelajaran bermakna terjadi
apabila informasi atau pengetahuan baru dihubungkan secara substantif dan
non-arbitrer dengan konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitif
individu.² Dengan kata lain, materi baru tidak hanya dihafalkan, tetapi
diintegrasikan ke dalam pengetahuan yang sudah dimiliki sehingga dapat
dipahami, diingat dalam jangka panjang, dan diaplikasikan dalam berbagai
situasi.³
Ausubel membedakan
pembelajaran bermakna dari pembelajaran hafalan (rote learning). Dalam
pembelajaran hafalan, siswa hanya mengingat informasi tanpa mengaitkannya
dengan pengetahuan sebelumnya, sehingga pengetahuan tersebut cenderung cepat
hilang dan sulit ditransfer.⁴ Sebaliknya, dalam pembelajaran bermakna, siswa
mengaitkan informasi baru dengan kerangka konseptual yang sudah ada, sehingga
terbentuk jejaring pengetahuan yang lebih kuat dan fleksibel.⁵
Selain itu, Ausubel
menekankan bahwa kebermaknaan pembelajaran tidak hanya bergantung pada materi
yang diajarkan, tetapi juga pada niat peserta didik untuk belajar secara
bermakna.⁶ Oleh karena itu, Meaningful Learning mengandaikan adanya
kesiapan kognitif (pengetahuan awal) serta motivasi intrinsik dari peserta
didik. Konsep ini kemudian diperluas oleh Joseph D. Novak melalui pengembangan concept
mapping sebagai strategi untuk memvisualisasikan hubungan antar-konsep
dalam struktur kognitif.⁷
Dengan demikian, Meaningful
Learning dapat dipahami sebagai suatu proses pembelajaran yang menekankan
integrasi pengetahuan baru ke dalam struktur kognitif yang sudah ada, dengan
tujuan menghasilkan pemahaman yang mendalam, daya ingat jangka panjang, serta
kemampuan aplikasi pengetahuan dalam konteks nyata.
Footnotes
[1]
David P. Ausubel, Educational Psychology: A
Cognitive View (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1968), 127.
[2]
David P. Ausubel, Joseph D. Novak, and Helen Hanesian,
Educational Psychology: A Cognitive View, 2nd ed. (New York: Holt,
Rinehart and Winston, 1978), 163.
[3]
Jeanne Ellis Ormrod, Human Learning, 7th ed.
(New York: Pearson, 2020), 135.
[4]
John W. Santrock, Educational Psychology, 6th
ed. (New York: McGraw-Hill, 2011), 246.
[5]
Ausubel, Novak, and Hanesian, Educational
Psychology: A Cognitive View, 165.
[6]
Ormrod, Human Learning, 136.
[7]
Joseph D. Novak and D. Bob Gowin, Learning How to
Learn (Cambridge: Cambridge University Press, 1984), 15.
3.
Prinsip-Prinsip
Utama Meaningful Learning
Menurut David P.
Ausubel, terdapat sejumlah prinsip dasar yang menentukan terjadinya
pembelajaran bermakna. Prinsip-prinsip
ini menekankan pentingnya keterhubungan antara pengetahuan baru dengan struktur
kognitif yang sudah dimiliki peserta didik, serta kesiapan internal siswa dalam
memproses informasi.¹
3.1. Keterkaitan
Pengetahuan Baru dengan Pengetahuan Lama
Prinsip utama pembelajaran bermakna adalah
bahwa informasi baru harus dihubungkan secara substantif dengan konsep yang
sudah ada dalam struktur kognitif siswa.² Tanpa adanya pengetahuan awal (prior
knowledge), pengetahuan baru akan berdiri sendiri dan cenderung hanya
dihafalkan, bukan dipahami.³
3.2. Kebermaknaan
Potensial Materi
Materi pembelajaran harus memiliki
kebermaknaan logis, yaitu isi materi bersifat teratur, konsisten, dan relevan
dengan konsep lain.⁴ Jika materi bersifat arbitrer atau tidak terhubung dengan
struktur kognitif, maka ia akan sulit dipahami secara bermakna.⁵
3.3. Kesiapan
Kognitif Peserta Didik
Agar pembelajaran bermakna dapat terjadi,
peserta didik perlu memiliki pengetahuan awal yang memadai untuk dijadikan
sebagai “jangkar” dalam mengaitkan informasi baru.⁶ Hal ini sejalan dengan
pandangan konstruktivis bahwa pemahaman berkembang melalui interaksi antara
pengetahuan lama dan pengalaman belajar baru.⁷
3.4. Niat dan
Motivasi untuk Belajar Secara Bermakna
Selain kesiapan kognitif, siswa juga harus
memiliki niat dan motivasi untuk belajar dengan tujuan memahami, bukan sekadar
menghafal.⁸ Ausubel menekankan bahwa meskipun materi dan kondisi pembelajaran
telah disusun agar bermakna, jika siswa memilih untuk menghafal tanpa usaha
mengaitkan dengan pengetahuan yang ada, maka pembelajaran bermakna tidak akan
tercapai.⁹
Dengan keempat prinsip ini, Meaningful
Learning menjadi suatu proses pembelajaran yang menekankan keterkaitan,
relevansi, dan motivasi, sehingga mampu menghasilkan pemahaman yang mendalam
serta daya ingat jangka panjang.
Footnotes
[1]
David P. Ausubel, Educational Psychology: A
Cognitive View (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1968), 127.
[2]
David P. Ausubel, Joseph D. Novak, and Helen Hanesian,
Educational Psychology: A Cognitive View, 2nd ed. (New York: Holt,
Rinehart and Winston, 1978), 163.
[3]
Jeanne Ellis Ormrod, Human Learning, 7th ed.
(New York: Pearson, 2020), 135.
[4]
Ausubel, Novak, and Hanesian, Educational
Psychology: A Cognitive View, 165.
[5]
John W. Santrock, Educational Psychology, 6th
ed. (New York: McGraw-Hill, 2011), 246.
[6]
Ormrod, Human Learning, 136.
[7]
Lev Vygotsky, Mind in Society: The Development of
Higher Psychological Processes, ed. Michael Cole et al. (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1978), 84.
[8]
Jeanne Ellis Ormrod, Educational Psychology:
Developing Learners, 9th ed. (New York: Pearson, 2020), 187.
[9]
Ausubel, Educational Psychology: A Cognitive View,
130.
4.
Jenis Meaningful
Learning
David P. Ausubel
membedakan Meaningful Learning (pembelajaran bermakna) ke dalam beberapa
jenis berdasarkan cara informasi baru dihubungkan dengan pengetahuan yang sudah
ada dalam struktur kognitif.¹ Klasifikasi ini penting karena menunjukkan
bagaimana proses internal siswa dalam mengintegrasikan pengetahuan baru
berlangsung. Secara umum, terdapat tiga jenis utama pembelajaran bermakna.
4.1.
Representational
Learning (Pembelajaran Representasional)
Pembelajaran
representasional terjadi ketika individu menghubungkan simbol atau kata dengan
objek atau konsep yang diwakilinya.² Misalnya, anak belajar bahwa kata “kucing”
mewakili hewan berbulu yang biasa dipelihara. Pada tahap ini, siswa tidak hanya
menghafal kata, tetapi memahami keterkaitannya dengan objek nyata.³
4.2.
Conceptual Learning
(Pembelajaran Konseptual)
Pembelajaran
konseptual terjadi ketika siswa membentuk atau memahami konsep baru berdasarkan
konsep yang sudah dimiliki.⁴ Misalnya, setelah memahami konsep “hewan berkaki
empat” dan “hewan menyusui,” siswa kemudian dapat mengaitkannya untuk memahami
konsep “mamalia.”⁵ Jenis ini sangat penting karena memungkinkan terbentuknya
kerangka pengetahuan yang lebih kompleks.
4.3.
Propositional
Learning (Pembelajaran Proposisional)
Pembelajaran
proposisional terjadi ketika siswa memahami makna dari kalimat atau pernyataan
yang lebih kompleks, bukan sekadar kata atau konsep.⁶ Misalnya, kalimat “air
mendidih pada suhu 100°C di permukaan laut” tidak hanya dipahami kata per kata,
tetapi juga makna hubungan antar-konsep di dalamnya.⁷ Dengan proposisional,
siswa dapat menarik hubungan logis dan mengembangkan pemahaman mendalam
terhadap fenomena.
Ketiga jenis Meaningful
Learning ini menunjukkan bahwa proses belajar tidak bersifat tunggal,
tetapi bertingkat dari representasi sederhana hingga pemahaman proposisional
yang lebih kompleks. Ausubel menegaskan bahwa pembelajaran bermakna pada level
apapun tetap menuntut keterkaitan substantif dengan struktur kognitif yang
sudah ada.⁸
Footnotes
[1]
David P. Ausubel, Educational Psychology: A
Cognitive View (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1968), 129.
[2]
David P. Ausubel, Joseph D. Novak, and Helen Hanesian,
Educational Psychology: A Cognitive View, 2nd ed. (New York: Holt,
Rinehart and Winston, 1978), 163.
[3]
Jeanne Ellis Ormrod, Human Learning, 7th ed.
(New York: Pearson, 2020), 138.
[4]
Ausubel, Educational Psychology: A Cognitive View,
130.
[5]
John W. Santrock, Educational Psychology, 6th
ed. (New York: McGraw-Hill, 2011), 247.
[6]
Ausubel, Novak, and Hanesian, Educational
Psychology: A Cognitive View, 165.
[7]
Ormrod, Human Learning, 139.
[8]
Ausubel, Educational Psychology: A Cognitive View,
131.
5.
Strategi
Implementasi Meaningful Learning
Agar Meaningful
Learning dapat tercapai secara optimal, diperlukan strategi pembelajaran
yang dirancang untuk membantu peserta didik mengaitkan informasi baru dengan
struktur kognitif yang telah dimiliki.¹ Ausubel menekankan bahwa keberhasilan
pembelajaran bermakna sangat dipengaruhi oleh cara guru menyajikan materi serta
kondisi internal siswa.² Berikut beberapa strategi implementasi yang sering
digunakan dalam praktik pendidikan.
5.1.
Advance Organizer
Konsep advance
organizer diperkenalkan oleh Ausubel sebagai kerangka konseptual yang
disajikan sebelum mempelajari materi baru.³ Fungsinya adalah menjembatani
antara pengetahuan awal yang dimiliki siswa dengan pengetahuan baru yang akan
dipelajari.⁴ Misalnya, guru dapat memberikan peta konsep atau ringkasan umum
sebelum masuk ke detail materi.
5.2.
Concept Mapping
(Pemetaan Konsep)
Joseph D. Novak
mengembangkan concept mapping sebagai alat untuk memvisualisasikan
hubungan antar-konsep.⁵ Peta konsep membantu siswa melihat keterkaitan
pengetahuan lama dan baru secara hierarkis, sehingga memperkuat keterpaduan
struktur kognitif.⁶
5.3.
Pengalaman Belajar
Kontekstual
Pembelajaran bermakna
akan lebih efektif apabila materi dikaitkan dengan situasi nyata yang relevan
dengan kehidupan siswa.⁷ Strategi ini dikenal dengan contextual learning,
yang memungkinkan siswa memahami bagaimana teori dapat diterapkan dalam
praktik.
5.4. Diskusi
Reflektif dan Tanya Jawab
Melalui diskusi reflektif, guru dapat
mengaktifkan pengetahuan awal siswa serta memberikan kesempatan untuk
membandingkan, mengklarifikasi, dan mengaitkan konsep baru dengan pengalaman
mereka.⁸ Hal ini memperkuat proses internalisasi pengetahuan.
5.5. Penggunaan
Analogi dan Contoh Konkret
Guru juga dapat menggunakan analogi atau
contoh konkret untuk memudahkan siswa memahami konsep abstrak.⁹ Analogi
berfungsi sebagai jembatan kognitif yang mempermudah keterhubungan antara
pengetahuan baru dan yang sudah dimiliki.
Dengan strategi-strategi ini, guru berperan
bukan hanya sebagai penyampai informasi, tetapi sebagai fasilitator yang
membimbing siswa dalam membangun keterhubungan pengetahuan secara bermakna.
Footnotes
[1]
Jeanne Ellis Ormrod, Human Learning, 7th ed.
(New York: Pearson, 2020), 140.
[2]
David P. Ausubel, Educational Psychology: A
Cognitive View (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1968), 127.
[3]
Ausubel, Joseph D. Novak, and Helen Hanesian, Educational
Psychology: A Cognitive View, 2nd ed. (New York: Holt, Rinehart and
Winston, 1978), 170.
[4]
John W. Santrock, Educational Psychology, 6th
ed. (New York: McGraw-Hill, 2011), 248.
[5]
Joseph D. Novak and D. Bob Gowin, Learning How to
Learn (Cambridge: Cambridge University Press, 1984), 17.
[6]
Ormrod, Human Learning, 141.
[7]
Elaine B. Johnson, Contextual Teaching and
Learning: What It Is and Why It’s Here to Stay (Thousand Oaks, CA: Corwin
Press, 2002), 25.
[8]
Santrock, Educational Psychology, 249.
[9]
Ormrod, Educational Psychology: Developing Learners,
9th ed. (New York: Pearson, 2020), 189.
6.
Kelebihan dan
Kekurangan Meaningful Learning
6.1.
Kelebihan
Teori Meaningful
Learning memiliki sejumlah keunggulan yang menjadikannya relevan dalam
praktik pendidikan modern. Pertama, pembelajaran bermakna memungkinkan
pengetahuan yang diperoleh siswa bertahan lebih lama dalam ingatan jangka
panjang dibandingkan dengan hafalan mekanis.¹ Hal ini terjadi karena
pengetahuan baru diintegrasikan ke dalam struktur kognitif yang sudah ada.
Kedua, Meaningful
Learning meningkatkan kemampuan transfer pengetahuan.² Siswa yang belajar
secara bermakna lebih mudah menggunakan pengetahuan dalam konteks baru, baik
untuk pemecahan masalah maupun pengambilan keputusan.³
Ketiga, pendekatan
ini mendorong pengembangan keterampilan berpikir kritis karena siswa dilatih
untuk menghubungkan, menganalisis, dan mengevaluasi informasi, bukan sekadar
mengingatnya.⁴ Dengan demikian, Meaningful Learning lebih sesuai dengan
tuntutan pendidikan abad ke-21 yang menekankan critical thinking, problem
solving, dan lifelong learning.
6.2.
Kekurangan
Meskipun memiliki
banyak keunggulan, Meaningful Learning juga menghadapi beberapa
keterbatasan. Pertama, prosesnya membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan
pembelajaran hafalan, karena guru harus merancang strategi agar siswa dapat
mengaitkan pengetahuan lama dengan yang baru.⁵
Kedua, pendekatan ini menuntut kesiapan
kognitif siswa. Jika siswa tidak memiliki pengetahuan awal yang memadai, maka
pembelajaran bermakna sulit terwujud.⁶
Ketiga, implementasinya memerlukan
keterampilan pedagogis yang tinggi dari guru. Tidak semua pendidik terbiasa
menggunakan strategi seperti advance organizer atau concept mapping,
sehingga efektivitasnya bisa berkurang.⁷
Dengan demikian, meskipun Meaningful
Learning menawarkan pendekatan yang unggul untuk membangun pemahaman
mendalam, penerapannya harus mempertimbangkan kondisi peserta didik, kesiapan
guru, serta alokasi waktu pembelajaran.
Footnotes
[1]
David P. Ausubel, Educational Psychology: A
Cognitive View (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1968), 131.
[2]
Jeanne Ellis Ormrod, Human Learning, 7th ed.
(New York: Pearson, 2020), 142.
[3]
John W. Santrock, Educational Psychology, 6th
ed. (New York: McGraw-Hill, 2011), 249.
[4]
Joseph D. Novak and D. Bob Gowin, Learning How to
Learn (Cambridge: Cambridge University Press, 1984), 21.
[5]
Ormrod, Educational Psychology: Developing Learners,
9th ed. (New York: Pearson, 2020), 190.
[6]
Ausubel, Joseph D. Novak, and Helen Hanesian, Educational
Psychology: A Cognitive View, 2nd ed. (New York: Holt, Rinehart and
Winston, 1978), 165.
[7]
Elaine B. Johnson, Contextual Teaching and
Learning: What It Is and Why It’s Here to Stay (Thousand Oaks, CA: Corwin
Press, 2002), 28.
7.
Implikasi dalam
Pendidikan
Konsep Meaningful
Learning yang dikembangkan Ausubel memiliki implikasi yang luas dalam dunia
pendidikan, baik dalam aspek kurikulum, pedagogi, maupun evaluasi pembelajaran.
7.1.
Implikasi terhadap
Kurikulum
Kurikulum perlu
disusun secara sistematis dengan memperhatikan keterkaitan antar-konsep, bukan
hanya menyajikan informasi secara terpisah.¹ Hal ini berarti materi pelajaran
harus disusun secara hierarkis, dari konsep yang bersifat umum menuju yang
lebih spesifik, sehingga memudahkan siswa mengintegrasikan pengetahuan baru
dengan kerangka konseptual yang telah mereka miliki.²
7.2.
Implikasi terhadap
Peran Guru
Dalam pembelajaran
bermakna, guru berperan sebagai fasilitator yang membantu siswa mengaitkan
pengetahuan baru dengan pengetahuan awal.³ Guru tidak sekadar menyampaikan
informasi, melainkan perlu menggunakan strategi seperti advance organizer,
concept mapping, diskusi reflektif, dan contoh kontekstual agar
pengetahuan lebih mudah dipahami.⁴ Dengan demikian, guru dituntut memiliki
keterampilan pedagogis dan kreativitas dalam merancang pengalaman belajar.
7.3.
Implikasi terhadap
Peran Siswa
Peserta didik tidak
lagi diposisikan sebagai penerima pasif informasi, melainkan sebagai subjek
aktif yang membangun pengetahuan melalui keterhubungan antar-konsep.⁵ Hal ini
menuntut adanya motivasi intrinsik, kesiapan kognitif, serta keterlibatan aktif
dalam proses pembelajaran.⁶
7.4.
Implikasi terhadap
Evaluasi Pembelajaran
Evaluasi dalam Meaningful
Learning tidak boleh hanya berfokus pada aspek hafalan, tetapi harus
menilai pemahaman konseptual dan kemampuan transfer pengetahuan.⁷ Model asesmen
autentik, seperti performance assessment, project-based learning,
atau studi kasus, lebih sesuai untuk mengukur sejauh mana siswa benar-benar
memahami dan dapat menerapkan pengetahuan.⁸
Secara keseluruhan,
penerapan Meaningful Learning menuntut perubahan paradigma dalam
pendidikan: dari pengajaran yang berpusat pada guru dan hafalan menuju
pembelajaran yang berpusat pada pemahaman, keterhubungan pengetahuan, serta
pengembangan keterampilan berpikir tingkat tinggi.
Footnotes
[1]
David P. Ausubel, Educational Psychology: A
Cognitive View (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1968), 131.
[2]
Ausubel, Joseph D. Novak, and Helen Hanesian, Educational
Psychology: A Cognitive View, 2nd ed. (New York: Holt, Rinehart and
Winston, 1978), 170.
[3]
Jeanne Ellis Ormrod, Human Learning, 7th ed.
(New York: Pearson, 2020), 140.
[4]
Joseph D. Novak and D. Bob Gowin, Learning How to
Learn (Cambridge: Cambridge University Press, 1984), 17.
[5]
John W. Santrock, Educational Psychology, 6th
ed. (New York: McGraw-Hill, 2011), 249.
[6]
Ormrod, Educational Psychology: Developing Learners,
9th ed. (New York: Pearson, 2020), 189.
[7]
Elaine B. Johnson, Contextual Teaching and
Learning: What It Is and Why It’s Here to Stay (Thousand Oaks, CA: Corwin
Press, 2002), 35.
[8]
Grant Wiggins and Jay McTighe, Understanding by
Design, Expanded 2nd ed. (Alexandria, VA: Association for Supervision and
Curriculum Development, 2005), 152.
8.
Penutup
Meaningful
Learning yang dikembangkan oleh David P. Ausubel memberikan kontribusi
penting dalam memahami bagaimana proses pembelajaran dapat berlangsung secara
efektif dan tahan lama.¹ Inti dari teori ini adalah bahwa pengetahuan baru
harus dihubungkan secara substantif dengan struktur kognitif yang telah
dimiliki siswa, sehingga pengetahuan tidak hanya dihafalkan tetapi dipahami dan
dapat diaplikasikan.²
Pendekatan ini
menekankan bahwa pembelajaran sejati tidak hanya terletak pada transfer
informasi dari guru ke siswa, melainkan pada proses internalisasi pengetahuan
melalui keterhubungan konseptual.³ Oleh karena itu, Meaningful Learning
menjadi dasar penting dalam pendidikan modern yang berorientasi pada pemahaman
mendalam, berpikir kritis, serta kemampuan pemecahan masalah.
Namun demikian,
penerapan Meaningful Learning juga menuntut komitmen tinggi dari guru
dalam merancang pembelajaran yang relevan, serta kesiapan kognitif dan motivasi
dari siswa untuk belajar secara aktif.⁴ Dalam konteks ini, guru berperan
sebagai fasilitator yang menciptakan kondisi belajar yang memungkinkan siswa
mengaitkan pengetahuan lama dengan pengetahuan baru melalui strategi seperti advance
organizer, concept mapping, dan pembelajaran kontekstual.⁵
Dengan segala
kelebihan dan tantangannya, Meaningful Learning tetap relevan sebagai
landasan filosofis dan praktis dalam membangun sistem pendidikan yang
menekankan pemahaman, kebermaknaan, serta penguasaan pengetahuan yang dapat
diaplikasikan dalam kehidupan nyata.⁶
Footnotes
[1]
David P. Ausubel, Educational Psychology: A
Cognitive View (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1968), 127.
[2]
David P. Ausubel, Joseph D. Novak, and Helen Hanesian,
Educational Psychology: A Cognitive View, 2nd ed. (New York: Holt,
Rinehart and Winston, 1978), 163.
[3]
Jeanne Ellis Ormrod, Human Learning, 7th ed.
(New York: Pearson, 2020), 140.
[4]
John W. Santrock, Educational Psychology, 6th
ed. (New York: McGraw-Hill, 2011), 248.
[5]
Joseph D. Novak and D. Bob Gowin, Learning How to
Learn (Cambridge: Cambridge University Press, 1984), 17.
[6]
Grant Wiggins and Jay McTighe, Understanding by
Design, Expanded 2nd ed. (Alexandria, VA: Association for Supervision and
Curriculum Development, 2005), 152.
Daftar Pustaka
Ausubel, D. P. (1968). Educational
psychology: A cognitive view. New York, NY: Holt, Rinehart and Winston.
Ausubel, D. P., Novak, J. D., &
Hanesian, H. (1978). Educational psychology: A cognitive view (2nd ed.).
New York, NY: Holt, Rinehart and Winston.
Mayer, R. E. (2002). Rote versus
meaningful learning. Theory into Practice, 41(4), 226–232. https://doi.org/10.1207/s15430421tip4104_4
Novak, J. D., & Gowin, D. B.
(1984). Learning how to learn. Cambridge, UK: Cambridge University
Press.
Ormrod, J. E. (2020). Human
learning (7th ed.). New York, NY: Pearson.
Santrock, J. W. (2011). Educational
psychology (6th ed.). New York, NY: McGraw-Hill.
Wiggins, G., & McTighe, J.
(2005). Understanding by design (Expanded 2nd ed.). Alexandria, VA:
Association for Supervision and Curriculum Development.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar