Belajar dalam Batas
Antara Keterbatasan Manusia
dan Kuasa Ilahi
Alihkan ke: Perintah
Berpikir dalam Al-Qur’an.
Abstrak
Artikel ini membahas konsep belajar dalam perspektif Islam yang
menekankan kesadaran akan keterbatasan manusia dan ketergantungan penuh kepada
kehendak Allah Swt sebagai sumber segala ilmu. Dengan pendekatan teologis dan
epistemologis, artikel ini menguraikan bagaimana seorang Muslim harus memadukan
usaha belajar dengan keyakinan terhadap takdir Ilahi, serta menata motivasi
belajar berdasarkan prinsip tauhid. Selain itu, dibahas pula etika belajar yang
meliputi ikhlas, tawadhu’, dan husnuzan kepada Allah, yang menjadi pondasi
spiritual dalam proses menuntut ilmu. Sikap berlepas diri dari hasil belajar
dan berserah diri kepada kehendak Allah menjadi refleksi penting agar ilmu yang
diperoleh membawa keberkahan dan bukan sekadar kebanggaan duniawi. Artikel ini
diharapkan dapat memperkuat pemahaman bahwa belajar bukan hanya aktivitas
intelektual, tetapi juga ibadah yang mengharuskan kesadaran dan ketundukan
total kepada Allah sebagai pemberi ilmu dan petunjuk.
Kata kunci: Belajar,
Keterbatasan Manusia, Kuasa Ilahi, Tauhid, Etika Belajar, Ikhlas, Tawadhu’,
Husnuzan, Takdir, Ilmu dalam Islam.
PEMBAHASAN
Belajar dalam Keterbatasan
Manusia dan Kuasa Ilahi
1.
Pendahuluan
Belajar merupakan aktivitas fundamental dalam kehidupan manusia, baik
sebagai individu maupun anggota masyarakat. Dalam pandangan umum, belajar kerap
dikaitkan dengan kecerdasan, daya ingat, dan kerja keras seseorang. Namun,
dalam perspektif teologis Islam, proses belajar memiliki dimensi yang jauh
lebih dalam: ia bukan sekadar proses kognitif, tetapi juga spiritual. Manusia
belajar bukan hanya karena ia mampu, melainkan karena Allah memberikan
kemampuan untuk memahami.
Kesadaran akan keterbatasan manusia dalam proses belajar menjadi titik
tolak yang penting. Al-Qur’an secara eksplisit menegaskan bahwa manusia
diciptakan dalam keadaan tidak mengetahui apa-apa. Firman Allah dalam Surah
An-Nahl [16] ayat 78 menyatakan, “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut
ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberimu
pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur.” Ayat ini
menggarisbawahi bahwa pengetahuan bukan berasal dari diri manusia sendiri,
melainkan merupakan karunia dari Allah yang diberikan melalui
instrumen-instrumen tertentu, seperti akal, penglihatan, dan pendengaran.
Dalam konteks ini, proses belajar bukanlah upaya mutlak manusia,
melainkan bentuk ikhtiar yang bergantung pada kehendak Allah. Seorang Muslim
tidak cukup hanya mengandalkan potensi biologis seperti kecerdasan dan ingatan,
tetapi juga memohon pertolongan Allah agar diberikan pemahaman. Hal ini
sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Musa `alayhissalam dalam doanya yang terekam
dalam Surah Taha [20] ayat 25–28: “Ya Tuhanku, lapangkanlah dadaku,
dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, agar
mereka mengerti perkataanku.” Doa ini menunjukkan bahwa bahkan seorang nabi
pun tetap memohon kemudahan dari Allah dalam menyampaikan dan memahami ilmu.
Lebih jauh, para ulama klasik seperti Imam Asy-Syafi’i pun mengakui
bahwa kemampuan dalam memahami ilmu adalah semata-mata pemberian Allah. Dalam
syair terkenalnya, beliau berkata: “Aku mengadu kepada Waki' tentang
buruknya hafalanku, lalu ia menasihatiku untuk meninggalkan maksiat. Dan ia
mengatakan, sesungguhnya ilmu adalah cahaya, dan cahaya Allah tidak diberikan
kepada pelaku maksiat.” Ungkapan ini menunjukkan bahwa kualitas rohani
seseorang berpengaruh terhadap kemudahan atau kesulitan dalam memahami ilmu.
Di tengah arus modernisme yang sering mengagung-agungkan potensi
manusia secara otonom, pandangan seperti ini tampak kontras. Namun, justru di
sinilah letak kekayaan epistemologis Islam: bahwa ilmu tidak dipisahkan dari
iman dan takdir. Keterbatasan bukan penghalang untuk belajar, melainkan
pengingat bahwa ada kuasa yang lebih tinggi yang menentukan siapa yang akan
diberi pemahaman dan siapa yang tidak.
Dengan demikian, belajar dalam Islam bukan sekadar proses rasional,
tetapi juga bentuk ibadah yang berpijak pada kerendahan hati. Seorang penuntut
ilmu tidak boleh takabur dengan kemampuannya, karena hakikatnya ia tidak
memiliki apa-apa kecuali yang telah diberikan oleh Allah. Kesadaran ini
menjadikan belajar sebagai jalan penghambaan, bukan jalan kesombongan. Maka,
menyadari batas diri bukanlah kelemahan, melainkan kekuatan yang membuka pintu
ketergantungan total kepada Yang Maha Mengetahui.
2.
Kesadaran Akan Keterbatasan Manusia
Kesadaran akan keterbatasan adalah fondasi penting dalam proses
pencarian ilmu. Dalam perspektif Islam, manusia tidak diciptakan sebagai
makhluk yang sempurna secara mutlak, melainkan sebagai makhluk yang memiliki
potensi namun dibatasi oleh ruang, waktu, akal, dan kehendak Allah. Al-Qur’an
mengajarkan dengan tegas bahwa pengetahuan manusia sangat terbatas. Firman
Allah dalam Surah Al-Isra’ [17] ayat 85 menyatakan, “Dan mereka
bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah, 'Ruh itu termasuk urusan Tuhanku,
dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.’” Ayat ini
memperlihatkan bahwa meskipun manusia diberi potensi untuk mengetahui, cakupan
ilmunya tetap sangat kecil dibandingkan ilmu Allah yang Mahaluas.
Keterbatasan manusia dalam memahami realitas juga ditegaskan dalam Surah
Al-Baqarah [02] ayat 32 ketika para malaikat berkata, “Maha Suci Engkau,
kami tidak memiliki pengetahuan kecuali apa yang Engkau ajarkan kepada kami.”
Ini bukan hanya pengakuan malaikat, tetapi juga cerminan bagi manusia agar
tidak sombong dengan pengetahuan yang diperoleh, karena pada hakikatnya semua
ilmu bersumber dari Allah. Pengakuan ini menjadi dasar epistemologi Islam yang
menempatkan Allah sebagai sumber utama segala ilmu.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menegaskan bahwa akal
manusia ibarat mata yang hanya bisa melihat jika dibantu oleh cahaya. Tanpa
cahaya, mata tidak berguna; demikian pula akal, tanpa petunjuk dari Allah, ia
tidak mampu mencapai kebenaran sejati. Maka, keterbatasan akal tidak membuat manusia
harus berhenti berpikir, tetapi menjadikan akal tunduk kepada wahyu dan
petunjuk Ilahi sebagai rambu-rambu dalam mencari kebenaran.
Kesadaran ini juga menjadi kunci kerendahan hati dalam proses menuntut
ilmu. Para ulama salaf senantiasa mengingatkan agar penuntut ilmu tidak merasa
cukup dengan apa yang telah ia pelajari. Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu
pernah berkata, “Orang yang paling banyak ilmunya adalah orang yang paling
sadar bahwa ilmunya masih sedikit.” Perkataan ini menunjukkan bahwa semakin
dalam seseorang menyelami ilmu, semakin ia sadar bahwa masih banyak hal yang
belum ia pahami.
Di sisi lain, keterbatasan manusia juga berkaitan dengan sifat lalai
dan lupa. Dalam Al-Qur’an, Nabi Musa `alayhissalam pernah berkata kepada Nabi
Khidr, “Dan janganlah engkau menghukumku karena kelupaanku...” (QS. Al-Kahfi
[18] ayat 73). Ini adalah pengakuan bahwa bahkan seorang nabi pun bisa lupa,
sebagai tanda bahwa manusia tidak bisa sepenuhnya bergantung pada daya ingat
atau kecerdasan pribadi.
Dengan demikian, kesadaran akan keterbatasan manusia bukanlah bentuk
keputusasaan, tetapi sebuah fondasi spiritual dan intelektual yang menjadikan
proses belajar lebih jujur, rendah hati, dan bertawakkal. Seorang penuntut ilmu
tidak memulai proses belajarnya dari kesombongan intelektual, melainkan dari
pengakuan bahwa ia tidak tahu, sebagaimana ungkapan Imam Malik rahimahullah
ketika menjawab banyak pertanyaan dengan kalimat, “La adri” (saya tidak
tahu). Ketidaktahuan bukan aib, tetapi justru titik awal dari ilmu yang sejati.
3.
Motivasi Belajar Berbasis Tauhid
Dalam pandangan Islam, motivasi belajar yang
sejati tidak berdiri di atas landasan ambisi pribadi semata, melainkan berakar
pada keimanan kepada Allah Swt. Tauhid —
yakni pengesaan Allah dalam setiap aspek kehidupan — menjadi poros utama yang
menggerakkan seorang Muslim untuk menuntut ilmu. Maka, belajar bukan sekadar
aktivitas intelektual, tetapi juga bentuk ibadah dan ketaatan kepada perintah
Ilahi.
Al-Qur’an menegaskan urgensi ilmu dalam kerangka tauhid melalui berbagai
ayat. Salah satu yang paling fundamental adalah firman Allah dalam Surah
Al-Mujadilah [58] ayat 11: “Allah akan meninggikan orang-orang yang
beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.”
Ayat ini tidak hanya menekankan keutamaan ilmu, tetapi juga mengaitkannya
dengan iman, menunjukkan bahwa ilmu yang benar adalah ilmu yang dilandasi oleh
keimanan kepada Allah.
Tauhid mendorong manusia untuk menyadari bahwa segala ilmu berasal dari
Allah, dan bahwa Allah-lah yang membuka pintu pemahaman kepada siapa pun yang
dikehendaki-Nya. Dalam Surah Al-Baqarah [02] ayat 2 disebutkan, “Kitab
(Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang
bertakwa.” Petunjuk (hidayah) ini tidak dapat dicapai semata-mata dengan
kecerdasan, tetapi dengan kesucian hati dan keimanan yang lurus. Seorang
penuntut ilmu yang bertauhid akan senantiasa menyandarkan keberhasilan
belajarnya pada kehendak Allah, bukan pada kapabilitas dirinya semata.
Motivasi belajar berbasis tauhid juga mencakup pemurnian niat (ikhlas).
Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa menuntut ilmu yang seharusnya
diniatkan karena Allah, tetapi ia menuntutnya hanya untuk memperoleh bagian
dari dunia, maka ia tidak akan mencium aroma surga.” (HR. Abu Dawud dan
Ahmad). Hadis ini menjadi peringatan keras agar ilmu tidak dijadikan alat
kesombongan atau alat mengejar kedudukan, tetapi sebagai sarana untuk mengenal
dan mendekatkan diri kepada Allah.
Belajar dalam kerangka tauhid juga mengandung unsur tawakkal —
berserah diri kepada Allah dalam proses memahami ilmu. Ini tercermin dalam doa
yang diajarkan Rasulullah Saw: “Ya Allah, ajarkanlah aku apa yang bermanfaat
bagiku, dan berilah aku manfaat dari apa yang Engkau ajarkan kepadaku, dan
tambahkanlah aku ilmu.” (HR. Tirmidzi). Doa ini menggambarkan bahwa seorang
penuntut ilmu yang bertauhid tidak hanya belajar dengan usahanya, tetapi juga
dengan keyakinan bahwa pemahaman adalah pemberian Allah.
Di sisi lain, tauhid menjauhkan manusia dari
rasa ujub dan takabbur. Seseorang yang memahami bahwa seluruh ilmu adalah
titipan dari Allah tidak akan menyombongkan diri karena ilmu yang ia kuasai.
Sebaliknya, ia akan merasa semakin hina di hadapan Allah ketika makin banyak
mengetahui rahasia ciptaan-Nya. Inilah yang dialami oleh Nabi Ibrahim
`alayhissalam ketika bermunajat: “...Tuhanku adalah yang telah menciptakan
aku, dan Dialah yang memberi petunjuk kepadaku; dan Dialah yang memberi makan
dan minum kepadaku; dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku.”
(QS. Asy-Syu’ara [26] ayat 78–80). Semuanya dikembalikan kepada Allah, termasuk
kemampuan berpikir dan memahami ilmu.
Motivasi belajar yang dilandasi tauhid
menjadikan setiap aktivitas keilmuan bernilai ibadah. Belajar bukan hanya
sarana untuk memperoleh penghidupan, tetapi menjadi jalan untuk menguatkan
iman, meningkatkan ketaqwaan, dan memperbaiki amal. Maka, penuntut ilmu yang
bertauhid akan selalu menata niat, menjaga akhlak dalam belajar, serta
merendahkan hati di hadapan Allah dan sesama makhluk-Nya. Inilah yang
membedakan antara ilmu yang diberkahi dan ilmu yang hanya menjadi beban dunia.
4.
Antara Usaha dan Takdir: Memahami Paradoks
Salah satu persoalan mendalam yang sering
dihadapi oleh penuntut ilmu beriman adalah bagaimana memahami relasi antara
usaha pribadi dan takdir Ilahi dalam proses belajar. Dalam ajaran Islam,
keduanya bukanlah dua konsep yang saling meniadakan, tetapi justru saling
melengkapi dalam satu kesatuan yang harmonis. Usaha (ikhtiar) adalah kewajiban
manusia, sedangkan hasil akhirnya tetap berada dalam domain kekuasaan Allah Swt,
sebagai bagian dari takdir-Nya yang bijaksana.
Al-Qur’an menegaskan pentingnya ikhtiar
dalam banyak ayat. Dalam Surah
An-Najm [53] ayat 39 Allah berfirman, “Dan bahwa manusia hanya
memperoleh apa yang telah diusahakannya.” Ayat ini menegaskan bahwa setiap
manusia berkewajiban untuk berusaha dan berikhtiar sesuai kapasitasnya. Dalam
konteks belajar, ini berarti seseorang harus membaca, menghafal, mengkaji,
berdiskusi, dan terus-menerus menyempurnakan proses pembelajarannya. Tidak
dibenarkan secara syar'i apabila seseorang meninggalkan proses belajar dengan
alasan "semuanya sudah ditentukan oleh takdir."
Namun, Islam juga menempatkan takdir (qadar)
sebagai bagian integral dari keimanan. Sebagaimana dalam Hadits Jibril,
Rasulullah Saw menjelaskan bahwa iman yang sempurna mencakup "iman
kepada qadar yang baik maupun yang buruk." Dalam konteks keilmuan, ini
berarti bahwa setelah seluruh usaha dilakukan, seorang Muslim harus menyerahkan
hasilnya kepada kehendak Allah. Ada kalanya seseorang telah belajar keras
tetapi tetap belum memahami satu materi, dan ada pula yang tampak mudah dalam
menangkap ilmu meskipun usahanya biasa saja. Semua itu adalah bagian dari
ketentuan Allah yang tidak selalu dapat dijelaskan dengan logika sebab-akibat
manusiawi.
Konsep ini membentuk suatu paradoks: manusia
diperintahkan untuk berusaha maksimal, tetapi pada saat yang sama diajarkan
untuk tidak menggantungkan harapan sepenuhnya kepada hasil. Rasulullah Saw
bersabda, “Bersungguh-sungguhlah dalam hal yang bermanfaat bagimu, minta
tolonglah kepada Allah dan jangan lemah. Jika engkau tertimpa sesuatu, jangan
katakan ‘seandainya aku lakukan ini atau itu’, tetapi katakanlah: ‘Qaddarallahu
wa ma syaa’a fa‘al (Allah telah menakdirkan dan apa yang Dia kehendaki pasti
terjadi).’” (HR. Muslim). Hadis ini menjadi prinsip emas dalam
menyeimbangkan ikhtiar dan tawakkal: tetap berusaha, tetapi pasrah dan rela
terhadap hasilnya.
Para ulama salaf pun menegaskan bahwa usaha
tidak boleh dijadikan ukuran mutlak keberhasilan. Imam Ibn Qayyim al-Jawziyyah
menjelaskan dalam Madarij as-Salikin bahwa sebab (asbab) hanyalah
sarana, bukan jaminan. Manusia diperintahkan menempuh sebab-sebab duniawi,
tetapi ia harus sadar bahwa efek dari sebab-sebab itu sepenuhnya dikendalikan
oleh kehendak Allah. Maka, seorang penuntut ilmu tidak boleh menggantungkan
keberhasilan belajarnya semata pada metode, guru, atau kecerdasannya, melainkan
harus menggabungkan usaha yang maksimal dengan kebergantungan total kepada
Allah.
Pemahaman ini memberikan ketenangan
spiritual. Seseorang yang mengalami kesulitan dalam belajar tidak lantas putus
asa, sebab ia sadar bahwa hasil bukan sepenuhnya dalam kendalinya. Ia tidak
menilai dirinya gagal hanya karena belum menguasai satu cabang ilmu.
Sebaliknya, orang yang berhasil pun tidak boleh sombong, karena ia tahu
keberhasilan itu bukan semata karena dirinya, melainkan karena Allah
menghendakinya. Inilah bentuk keadilan spiritual yang diajarkan oleh Islam:
bahwa nilai seseorang tidak ditentukan oleh hasil akhirnya, tetapi oleh
kesungguhan dan keikhlasannya dalam berproses.
Dengan demikian, memahami relasi antara
usaha dan takdir dalam belajar bukanlah bentuk kontradiksi, tetapi justru
membentuk keseimbangan yang utuh. Ikhtiar menjadikan manusia bertanggung jawab,
sedangkan iman kepada takdir menjadikan ia berserah dan lapang dada. Dalam
bingkai tauhid, keduanya menjelma menjadi ibadah yang mengokohkan semangat
belajar sekaligus memelihara kerendahan hati di hadapan Ilahi.
5.
Etika Belajar bagi
Muslim: Ikhlas, Tawadhu’, dan Husnuzan kepada Allah
Etika dalam belajar bukan sekadar pelengkap, melainkan ruh utama yang
menjadikan aktivitas menuntut ilmu bernilai ibadah. Dalam Islam, belajar tidak
hanya dimaknai sebagai aktivitas mental atau intelektual, tetapi juga sebagai
bentuk penghambaan kepada Allah. Oleh karena itu, penuntut ilmu yang baik harus
menghiasi dirinya dengan adab dan etika yang luhur. Tiga di antara nilai utama
tersebut adalah: ikhlas, tawadhu’, dan husnuzan kepada
Allah.
5.1. Ikhlas:
Menata Niat karena Allah
Ikhlas merupakan syarat utama diterimanya amal, termasuk amal menuntut
ilmu. Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya setiap amal tergantung pada
niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan.”
(HR. Bukhari dan Muslim). Dalam konteks belajar, ini berarti bahwa ilmu harus
dicari semata-mata karena Allah — untuk mendekatkan diri kepada-Nya, menunaikan
kewajiban sebagai hamba, serta memberi manfaat kepada sesama. Belajar demi
popularitas, pangkat, atau tujuan duniawi semata justru dapat merusak
keberkahan ilmu yang diperoleh.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin mengingatkan bahwa orang
yang menuntut ilmu untuk berdebat, mencari pujian, atau mengungguli orang lain
akan termasuk dalam golongan yang merugi. Sebaliknya, mereka yang ikhlas karena
Allah akan diberi ilmu yang bermanfaat dan mendekatkannya kepada amal. Ikhlas
juga menjadi pelindung dari kekecewaan: bila seseorang belajar karena Allah,
maka kegagalan dalam mengingat atau memahami suatu materi tidak akan
menjadikannya putus asa, karena ia yakin bahwa Allah menilai niat dan usaha,
bukan semata hasil.
5.2. Tawadhu’:
Rendah Hati di Hadapan Ilmu dan Manusia
Tawadhu’ — rendah hati — adalah adab yang sangat dijunjung tinggi dalam
menuntut ilmu. Seorang Muslim yang belajar dengan penuh keikhlasan tidak akan
merasa lebih tinggi karena ilmunya, melainkan semakin tunduk dan sadar akan
keterbatasannya. Al-Qur’an dalam Surah Al-Isra’ [17] ayat 37 melarang
manusia berjalan dengan sombong di muka bumi, karena kesombongan adalah
cerminan dari kelalaian terhadap hakikat diri sebagai hamba.
Ulama salaf memberikan banyak contoh ketawadhu’an dalam menuntut ilmu.
Imam Malik, seorang ulama besar Madinah, sering mengatakan “La adri”
(saya tidak tahu) ketika ditanya tentang suatu hal, meskipun beliau adalah
mujtahid terkemuka. Ini menunjukkan bahwa tawadhu’ tidak berkurang karena
kedudukan keilmuan, tetapi justru meningkat seiring bertambahnya ilmu.
Tawadhu’ juga tampak dalam sikap hormat kepada guru, tidak menyela
penjelasan, dan tidak membantah dengan arogan. Ilmu tidak akan menancap dalam
hati yang sombong. Imam Syafi’i pernah berkata, “Aku membuka lembaran di
hadapan guruku dengan pelan, karena aku tidak ingin lembaran itu menimbulkan
suara dan mengganggu beliau.” Ketawadhu’an seperti ini bukan hanya
menunjukkan adab, tetapi juga menjadi wasilah keberkahan ilmu.
5.3. Husnuzan
kepada Allah: Berbaik Sangka dalam Proses Belajar
Menuntut ilmu adalah proses panjang yang tak selalu mudah. Dalam
perjalanannya, seseorang bisa saja merasa lambat dalam memahami, kesulitan
dalam menghafal, atau bahkan mengalami kegagalan. Di sinilah pentingnya husnuzan
— berbaik sangka — kepada Allah. Seorang penuntut ilmu yang bertauhid harus
yakin bahwa segala proses yang ia lalui berada dalam pengaturan Allah yang Maha
Bijaksana, dan bahwa setiap kesulitan menyimpan hikmah.
Allah berfirman dalam Surah Al-Baqarah [02] ayat 286: “Allah
tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” Ayat ini
memberikan ketenangan bagi mereka yang sedang berjuang dalam menuntut ilmu.
Tidak ada kegagalan yang sia-sia, selama seseorang terus berikhtiar dan menjaga
prasangka baik kepada Allah. Bahkan, kesulitan bisa jadi adalah cara Allah
mendidik hati agar lebih sabar, tawakal, dan rendah hati.
Rasulullah Saw juga bersabda, “Allah berfirman: ‘Aku tergantung pada
prasangka hamba-Ku terhadap-Ku.’” (HR. Bukhari dan Muslim). Maka, siapa
yang berprasangka bahwa Allah akan memudahkan pemahaman, memperkuat hafalan,
dan memberi jalan keluar dalam belajar — ia akan mendapati sesuai harapannya,
insyaAllah.
Dengan mengintegrasikan ikhlas, tawadhu’,
dan husnuzan dalam proses belajar, seorang Muslim menjadikan aktivitas
intelektualnya sebagai ibadah yang bernilai tinggi di sisi Allah. Ilmu yang
dicari tidak hanya bermanfaat untuk kehidupan dunia, tetapi juga mengantarkan
pada kemuliaan akhirat. Etika ini membentuk karakter penuntut ilmu yang utuh:
cerdas secara intelektual, mulia secara spiritual, dan berakhlak secara sosial.
6.
Refleksi Diri: Berlepas Diri dari Hasil,
Berserah pada Kehendak Allah
Dalam perjalanan menuntut ilmu, ada satu
sikap mendasar yang harus dimiliki oleh setiap Muslim, yakni kemampuan untuk berlepas
diri dari hasil dan berserah diri secara total kepada kehendak Allah Swt.
Hal ini bukan berarti menafikan usaha atau pasrah tanpa tindakan, tetapi
menjadi bentuk kedewasaan spiritual: menyadari bahwa hasil akhir dari setiap
ikhtiar adalah milik Allah, bukan hak prerogatif manusia.
Al-Qur’an berulang kali menegaskan bahwa
kekuasaan atas hasil terletak pada Allah. Dalam Surah Ali ‘Imran [03]
ayat 160, Allah berfirman: “Jika Allah menolong kamu, maka tidak ada yang
dapat mengalahkanmu; tetapi jika Allah membiarkan kamu, maka siapa yang akan
menolong kamu selain dari-Nya?” Ayat ini mengajarkan bahwa keberhasilan,
termasuk dalam memahami ilmu, bukan semata-mata hasil kecerdasan, kerja keras,
atau ketekunan, melainkan karena pertolongan Allah. Maka, hasil tidak boleh
dijadikan tolok ukur kebermaknaan usaha; yang paling bernilai adalah ketaatan
dalam prosesnya.
Konsep ini diperkuat oleh hadis
Rasulullah Saw: “Bersungguh-sungguhlah dalam hal yang bermanfaat bagimu,
minta tolonglah kepada Allah, dan jangan lemah. Jika engkau tertimpa sesuatu,
jangan katakan: ‘Seandainya aku lakukan ini atau itu,’ tetapi katakanlah:
‘Qaddarallahu wa ma syaa’a fa‘al (Allah telah menakdirkan dan apa yang Dia
kehendaki pasti terjadi).’” (HR. Muslim). Hadis ini mengajarkan bahwa
setelah semua usaha dilakukan, seorang Muslim harus siap menerima apapun
hasilnya dengan ridha dan husnuzan kepada Allah.
Para ulama pun memberi teladan dalam hal
ini. Imam Abu Hanifah, seorang ulama besar dalam bidang fikih, pernah berkata, “Aku
tidak pernah merasa bangga dengan jawabanku, karena bisa jadi yang benar adalah
yang aku tinggalkan, dan yang salah adalah yang aku pilih.” Ucapan ini
mencerminkan kerendahan hati dan kesadaran bahwa keberhasilan menjawab atau
memahami suatu persoalan ilmiah tidak serta-merta menunjukkan kehebatan
pribadi, melainkan merupakan limpahan taufik dari Allah.
Sikap berlepas diri dari hasil juga membantu
seseorang menjaga kejernihan hati. Ketika berhasil memahami suatu ilmu, ia
tidak menjadi sombong. Ketika gagal menguasai satu bidang, ia tidak terjatuh
dalam keputusasaan. Dalam kedua keadaan itu, ia tetap tenang karena tahu bahwa
Allah tidak menilai dari hasil akhir, tetapi dari niat dan keikhlasan dalam
usaha. Sebagaimana firman-Nya dalam Surah At-Taghabun [64] ayat 11: “Tidak
ada suatu musibah pun yang menimpa kecuali dengan izin Allah. Dan barang siapa
beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya.”
Berserah kepada kehendak Allah juga
memperkuat dimensi ibadah dalam belajar. Menuntut ilmu menjadi sarana
mendekatkan diri kepada-Nya, bukan sekadar mencari prestasi akademik. Doa-doa
para ulama dalam menuntut ilmu mencerminkan hal ini. Imam Ibn Rajab menyebut
bahwa doa yang penuh kejujuran dan ketergantungan kepada Allah adalah kunci
pembuka ilmu, bahkan lebih penting dari kecakapan logika.
Dengan demikian, refleksi diri yang mendalam
membawa seorang penuntut ilmu kepada sikap spiritual yang matang: ia berusaha
maksimal, tetapi tidak tergantung secara mutlak pada hasil; ia belajar dengan
tekun, tetapi tidak menggantungkan nilai dirinya pada pemahaman atau gelar; ia
mengembalikan segalanya kepada Allah sambil tetap menjaga adab dan semangat.
Inilah bentuk penghambaan sejati dalam ilmu: tidak menuntut hasil, hanya
berharap ridha Allah.
7.
Penutup
Belajar dalam Islam bukan semata-mata
aktivitas intelektual, tetapi sebuah bentuk pengabdian spiritual yang berpijak
pada kesadaran akan keterbatasan manusia dan keyakinan akan kekuasaan Allah Swt.
Seorang penuntut ilmu yang
beriman tidak meletakkan proses belajarnya di atas kepercayaan buta kepada
potensi akalnya sendiri, melainkan menyandarkannya kepada kehendak dan izin
Allah. Hal ini menjadi prinsip dasar dalam Islam, sebagaimana tercermin dalam
firman Allah, “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan
tidak mengetahui sesuatu pun…” (QS. An-Nahl [16] ayat 78). Dari
ketidaktahuan inilah manusia memulai perjalanan mencari ilmu, dengan kesadaran
bahwa seluruh pemahaman adalah karunia, bukan pencapaian murni.
Paradigma tauhid dalam belajar mendorong setiap Muslim untuk memulai
proses belajarnya dengan niat yang ikhlas, melandasinya dengan usaha
yang sungguh-sungguh, dan menyudahinya dengan tawakkal yang utuh.
Dengan demikian, penuntut ilmu akan menjaga adab, merendahkan hati, dan tidak
silau oleh hasil akademik. Seperti nasihat Imam Asy-Syafi’i, “Ilmu tidak
akan diberikan kepadamu hingga engkau memberikan seluruh dirimu kepadanya.”
Namun, bahkan setelah seseorang mencurahkan seluruh dirinya dalam proses
belajar, ia tetap harus berserah, karena pemahaman dan keberhasilan tetap dalam
genggaman Allah.
Kesadaran ini memberikan keseimbangan antara
semangat dan ketenangan. Di satu sisi, ia membangkitkan tekad dan kedisiplinan
untuk terus menuntut ilmu meskipun mengalami kegagalan, sebab yang dilihat oleh
Allah adalah niat dan proses. Di sisi lain, ia juga menjaga hati dari penyakit
takabbur dan ujub, sebab keberhasilan dalam belajar bukan milik pribadi,
melainkan amanah dari Allah. Bahkan, sebagaimana para ulama salaf ajarkan, ilmu
yang bermanfaat adalah ilmu yang menghantarkan pada amal, bukan sekadar pemahaman
kognitif.
Di tengah dunia modern yang sering
menuhankan logika dan produktivitas, konsep “belajar dalam batas”
menjadi pengingat penting bahwa ilmu sejati tidak dapat dipisahkan dari aspek
spiritual. Dalam Islam, ilmu bukan tujuan akhir, tetapi jalan menuju Allah.
Maka, hasil belajar — apakah seseorang berhasil memahami atau tidak — bukanlah
parameter keberhasilan sejati. Yang dinilai adalah keikhlasan dalam niat,
kesungguhan dalam usaha, kerendahan hati dalam proses, dan kerelaan menerima
ketetapan-Nya.
Akhirnya, sikap beriman dalam menuntut ilmu
mengajarkan kita untuk selalu berkata sebagaimana para malaikat berkata dalam
Al-Qur’an: “Maha Suci Engkau, tidak ada ilmu bagi kami kecuali apa yang
telah Engkau ajarkan kepada kami.” (QS. Al-Baqarah [02] ayat 32). Dengan
kalimat ini, seorang penuntut ilmu menutup setiap pelajaran bukan dengan
kebanggaan, tetapi dengan syukur — dan dengan harapan bahwa ilmu yang diperoleh
menjadi sebab turunnya keberkahan dan keridhaan Allah.
Daftar Pustaka
Al-Ghazali, A. H. M. (2006). Ihya’ Ulumuddin (The Revival
of Religious Sciences). Islamic Book Trust.
Al-Qur’an dan Terjemahannya. (2008).
Departemen Agama Republik Indonesia.
Ibn Rajab Al-Hanbali, M. (2001). Jami’ Al-Ulum wal-Hikam
(Collection of Knowledge and Wisdom). Dar Al-Fikr.
Ibn Qayyim Al-Jawziyyah, M. (1997). Madarij
As-Salikin (The Steps of the Seekers). Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah.
Nasr, S. H. (2003). Islamic
Science: An Illustrated Study. World Wisdom, Inc.
Rahman, F. (1980). Islam and
Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. University of
Chicago Press.
Saeed, A. (2006). Interpreting the
Qur’an: Towards a Contemporary Approach. Routledge.
Sardar, Z. (2011). Reading the
Qur’an: The Contemporary Relevance of the Sacred Text of Islam. Oxford
University Press.
Syafi’i, I. (1997). Al-Risalah
(The Epistle). In R. A. Nicholson (Ed. & Trans.), Treatise on Islamic
Jurisprudence. Islamic Texts Society.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar