Senin, 11 Agustus 2025

Belajar dalam Batas: Antara Keterbatasan Manusia dan Kuasa Ilahi

Belajar dalam Batas

Antara Keterbatasan Manusia dan Kuasa Ilahi


Alihkan ke: Perintah Berpikir dalam Al-Qur’an.


Abstrak

Artikel ini membahas konsep belajar dalam perspektif Islam yang menekankan kesadaran akan keterbatasan manusia dan ketergantungan penuh kepada kehendak Allah Swt sebagai sumber segala ilmu. Dengan pendekatan teologis dan epistemologis, artikel ini menguraikan bagaimana seorang Muslim harus memadukan usaha belajar dengan keyakinan terhadap takdir Ilahi, serta menata motivasi belajar berdasarkan prinsip tauhid. Selain itu, dibahas pula etika belajar yang meliputi ikhlas, tawadhu’, dan husnuzan kepada Allah, yang menjadi pondasi spiritual dalam proses menuntut ilmu. Sikap berlepas diri dari hasil belajar dan berserah diri kepada kehendak Allah menjadi refleksi penting agar ilmu yang diperoleh membawa keberkahan dan bukan sekadar kebanggaan duniawi. Artikel ini diharapkan dapat memperkuat pemahaman bahwa belajar bukan hanya aktivitas intelektual, tetapi juga ibadah yang mengharuskan kesadaran dan ketundukan total kepada Allah sebagai pemberi ilmu dan petunjuk.

Kata kunci: Belajar, Keterbatasan Manusia, Kuasa Ilahi, Tauhid, Etika Belajar, Ikhlas, Tawadhu’, Husnuzan, Takdir, Ilmu dalam Islam.


PEMBAHASAN

Belajar dalam Keterbatasan Manusia dan Kuasa Ilahi


1.           Pendahuluan

Belajar merupakan aktivitas fundamental dalam kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun anggota masyarakat. Dalam pandangan umum, belajar kerap dikaitkan dengan kecerdasan, daya ingat, dan kerja keras seseorang. Namun, dalam perspektif teologis Islam, proses belajar memiliki dimensi yang jauh lebih dalam: ia bukan sekadar proses kognitif, tetapi juga spiritual. Manusia belajar bukan hanya karena ia mampu, melainkan karena Allah memberikan kemampuan untuk memahami.

Kesadaran akan keterbatasan manusia dalam proses belajar menjadi titik tolak yang penting. Al-Qur’an secara eksplisit menegaskan bahwa manusia diciptakan dalam keadaan tidak mengetahui apa-apa. Firman Allah dalam Surah An-Nahl [16] ayat 78 menyatakan, “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur.” Ayat ini menggarisbawahi bahwa pengetahuan bukan berasal dari diri manusia sendiri, melainkan merupakan karunia dari Allah yang diberikan melalui instrumen-instrumen tertentu, seperti akal, penglihatan, dan pendengaran.

Dalam konteks ini, proses belajar bukanlah upaya mutlak manusia, melainkan bentuk ikhtiar yang bergantung pada kehendak Allah. Seorang Muslim tidak cukup hanya mengandalkan potensi biologis seperti kecerdasan dan ingatan, tetapi juga memohon pertolongan Allah agar diberikan pemahaman. Hal ini sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Musa `alayhissalam dalam doanya yang terekam dalam Surah Taha [20] ayat 25–28: “Ya Tuhanku, lapangkanlah dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, agar mereka mengerti perkataanku.” Doa ini menunjukkan bahwa bahkan seorang nabi pun tetap memohon kemudahan dari Allah dalam menyampaikan dan memahami ilmu.

Lebih jauh, para ulama klasik seperti Imam Asy-Syafi’i pun mengakui bahwa kemampuan dalam memahami ilmu adalah semata-mata pemberian Allah. Dalam syair terkenalnya, beliau berkata: “Aku mengadu kepada Waki' tentang buruknya hafalanku, lalu ia menasihatiku untuk meninggalkan maksiat. Dan ia mengatakan, sesungguhnya ilmu adalah cahaya, dan cahaya Allah tidak diberikan kepada pelaku maksiat.” Ungkapan ini menunjukkan bahwa kualitas rohani seseorang berpengaruh terhadap kemudahan atau kesulitan dalam memahami ilmu.

Di tengah arus modernisme yang sering mengagung-agungkan potensi manusia secara otonom, pandangan seperti ini tampak kontras. Namun, justru di sinilah letak kekayaan epistemologis Islam: bahwa ilmu tidak dipisahkan dari iman dan takdir. Keterbatasan bukan penghalang untuk belajar, melainkan pengingat bahwa ada kuasa yang lebih tinggi yang menentukan siapa yang akan diberi pemahaman dan siapa yang tidak.

Dengan demikian, belajar dalam Islam bukan sekadar proses rasional, tetapi juga bentuk ibadah yang berpijak pada kerendahan hati. Seorang penuntut ilmu tidak boleh takabur dengan kemampuannya, karena hakikatnya ia tidak memiliki apa-apa kecuali yang telah diberikan oleh Allah. Kesadaran ini menjadikan belajar sebagai jalan penghambaan, bukan jalan kesombongan. Maka, menyadari batas diri bukanlah kelemahan, melainkan kekuatan yang membuka pintu ketergantungan total kepada Yang Maha Mengetahui.


2.           Kesadaran Akan Keterbatasan Manusia

Kesadaran akan keterbatasan adalah fondasi penting dalam proses pencarian ilmu. Dalam perspektif Islam, manusia tidak diciptakan sebagai makhluk yang sempurna secara mutlak, melainkan sebagai makhluk yang memiliki potensi namun dibatasi oleh ruang, waktu, akal, dan kehendak Allah. Al-Qur’an mengajarkan dengan tegas bahwa pengetahuan manusia sangat terbatas. Firman Allah dalam Surah Al-Isra’ [17] ayat 85 menyatakan, “Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah, 'Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.’” Ayat ini memperlihatkan bahwa meskipun manusia diberi potensi untuk mengetahui, cakupan ilmunya tetap sangat kecil dibandingkan ilmu Allah yang Mahaluas.

Keterbatasan manusia dalam memahami realitas juga ditegaskan dalam Surah Al-Baqarah [02] ayat 32 ketika para malaikat berkata, “Maha Suci Engkau, kami tidak memiliki pengetahuan kecuali apa yang Engkau ajarkan kepada kami.” Ini bukan hanya pengakuan malaikat, tetapi juga cerminan bagi manusia agar tidak sombong dengan pengetahuan yang diperoleh, karena pada hakikatnya semua ilmu bersumber dari Allah. Pengakuan ini menjadi dasar epistemologi Islam yang menempatkan Allah sebagai sumber utama segala ilmu.

Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menegaskan bahwa akal manusia ibarat mata yang hanya bisa melihat jika dibantu oleh cahaya. Tanpa cahaya, mata tidak berguna; demikian pula akal, tanpa petunjuk dari Allah, ia tidak mampu mencapai kebenaran sejati. Maka, keterbatasan akal tidak membuat manusia harus berhenti berpikir, tetapi menjadikan akal tunduk kepada wahyu dan petunjuk Ilahi sebagai rambu-rambu dalam mencari kebenaran.

Kesadaran ini juga menjadi kunci kerendahan hati dalam proses menuntut ilmu. Para ulama salaf senantiasa mengingatkan agar penuntut ilmu tidak merasa cukup dengan apa yang telah ia pelajari. Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Orang yang paling banyak ilmunya adalah orang yang paling sadar bahwa ilmunya masih sedikit.” Perkataan ini menunjukkan bahwa semakin dalam seseorang menyelami ilmu, semakin ia sadar bahwa masih banyak hal yang belum ia pahami.

Di sisi lain, keterbatasan manusia juga berkaitan dengan sifat lalai dan lupa. Dalam Al-Qur’an, Nabi Musa `alayhissalam pernah berkata kepada Nabi Khidr, “Dan janganlah engkau menghukumku karena kelupaanku...” (QS. Al-Kahfi [18] ayat 73). Ini adalah pengakuan bahwa bahkan seorang nabi pun bisa lupa, sebagai tanda bahwa manusia tidak bisa sepenuhnya bergantung pada daya ingat atau kecerdasan pribadi.

Dengan demikian, kesadaran akan keterbatasan manusia bukanlah bentuk keputusasaan, tetapi sebuah fondasi spiritual dan intelektual yang menjadikan proses belajar lebih jujur, rendah hati, dan bertawakkal. Seorang penuntut ilmu tidak memulai proses belajarnya dari kesombongan intelektual, melainkan dari pengakuan bahwa ia tidak tahu, sebagaimana ungkapan Imam Malik rahimahullah ketika menjawab banyak pertanyaan dengan kalimat, “La adri” (saya tidak tahu). Ketidaktahuan bukan aib, tetapi justru titik awal dari ilmu yang sejati.


3.           Motivasi Belajar Berbasis Tauhid

Dalam pandangan Islam, motivasi belajar yang sejati tidak berdiri di atas landasan ambisi pribadi semata, melainkan berakar pada keimanan kepada Allah Swt. Tauhid — yakni pengesaan Allah dalam setiap aspek kehidupan — menjadi poros utama yang menggerakkan seorang Muslim untuk menuntut ilmu. Maka, belajar bukan sekadar aktivitas intelektual, tetapi juga bentuk ibadah dan ketaatan kepada perintah Ilahi.

Al-Qur’an menegaskan urgensi ilmu dalam kerangka tauhid melalui berbagai ayat. Salah satu yang paling fundamental adalah firman Allah dalam Surah Al-Mujadilah [58] ayat 11: “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” Ayat ini tidak hanya menekankan keutamaan ilmu, tetapi juga mengaitkannya dengan iman, menunjukkan bahwa ilmu yang benar adalah ilmu yang dilandasi oleh keimanan kepada Allah.

Tauhid mendorong manusia untuk menyadari bahwa segala ilmu berasal dari Allah, dan bahwa Allah-lah yang membuka pintu pemahaman kepada siapa pun yang dikehendaki-Nya. Dalam Surah Al-Baqarah [02] ayat 2 disebutkan, “Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.” Petunjuk (hidayah) ini tidak dapat dicapai semata-mata dengan kecerdasan, tetapi dengan kesucian hati dan keimanan yang lurus. Seorang penuntut ilmu yang bertauhid akan senantiasa menyandarkan keberhasilan belajarnya pada kehendak Allah, bukan pada kapabilitas dirinya semata.

Motivasi belajar berbasis tauhid juga mencakup pemurnian niat (ikhlas). Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa menuntut ilmu yang seharusnya diniatkan karena Allah, tetapi ia menuntutnya hanya untuk memperoleh bagian dari dunia, maka ia tidak akan mencium aroma surga.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad). Hadis ini menjadi peringatan keras agar ilmu tidak dijadikan alat kesombongan atau alat mengejar kedudukan, tetapi sebagai sarana untuk mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah.

Belajar dalam kerangka tauhid juga mengandung unsur tawakkal — berserah diri kepada Allah dalam proses memahami ilmu. Ini tercermin dalam doa yang diajarkan Rasulullah Saw: “Ya Allah, ajarkanlah aku apa yang bermanfaat bagiku, dan berilah aku manfaat dari apa yang Engkau ajarkan kepadaku, dan tambahkanlah aku ilmu.” (HR. Tirmidzi). Doa ini menggambarkan bahwa seorang penuntut ilmu yang bertauhid tidak hanya belajar dengan usahanya, tetapi juga dengan keyakinan bahwa pemahaman adalah pemberian Allah.

Di sisi lain, tauhid menjauhkan manusia dari rasa ujub dan takabbur. Seseorang yang memahami bahwa seluruh ilmu adalah titipan dari Allah tidak akan menyombongkan diri karena ilmu yang ia kuasai. Sebaliknya, ia akan merasa semakin hina di hadapan Allah ketika makin banyak mengetahui rahasia ciptaan-Nya. Inilah yang dialami oleh Nabi Ibrahim `alayhissalam ketika bermunajat: “...Tuhanku adalah yang telah menciptakan aku, dan Dialah yang memberi petunjuk kepadaku; dan Dialah yang memberi makan dan minum kepadaku; dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku.” (QS. Asy-Syu’ara [26] ayat 78–80). Semuanya dikembalikan kepada Allah, termasuk kemampuan berpikir dan memahami ilmu.

Motivasi belajar yang dilandasi tauhid menjadikan setiap aktivitas keilmuan bernilai ibadah. Belajar bukan hanya sarana untuk memperoleh penghidupan, tetapi menjadi jalan untuk menguatkan iman, meningkatkan ketaqwaan, dan memperbaiki amal. Maka, penuntut ilmu yang bertauhid akan selalu menata niat, menjaga akhlak dalam belajar, serta merendahkan hati di hadapan Allah dan sesama makhluk-Nya. Inilah yang membedakan antara ilmu yang diberkahi dan ilmu yang hanya menjadi beban dunia.


4.           Antara Usaha dan Takdir: Memahami Paradoks

Salah satu persoalan mendalam yang sering dihadapi oleh penuntut ilmu beriman adalah bagaimana memahami relasi antara usaha pribadi dan takdir Ilahi dalam proses belajar. Dalam ajaran Islam, keduanya bukanlah dua konsep yang saling meniadakan, tetapi justru saling melengkapi dalam satu kesatuan yang harmonis. Usaha (ikhtiar) adalah kewajiban manusia, sedangkan hasil akhirnya tetap berada dalam domain kekuasaan Allah Swt, sebagai bagian dari takdir-Nya yang bijaksana.

Al-Qur’an menegaskan pentingnya ikhtiar dalam banyak ayat. Dalam Surah An-Najm [53] ayat 39 Allah berfirman, “Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya.” Ayat ini menegaskan bahwa setiap manusia berkewajiban untuk berusaha dan berikhtiar sesuai kapasitasnya. Dalam konteks belajar, ini berarti seseorang harus membaca, menghafal, mengkaji, berdiskusi, dan terus-menerus menyempurnakan proses pembelajarannya. Tidak dibenarkan secara syar'i apabila seseorang meninggalkan proses belajar dengan alasan "semuanya sudah ditentukan oleh takdir."

Namun, Islam juga menempatkan takdir (qadar) sebagai bagian integral dari keimanan. Sebagaimana dalam Hadits Jibril, Rasulullah Saw menjelaskan bahwa iman yang sempurna mencakup "iman kepada qadar yang baik maupun yang buruk." Dalam konteks keilmuan, ini berarti bahwa setelah seluruh usaha dilakukan, seorang Muslim harus menyerahkan hasilnya kepada kehendak Allah. Ada kalanya seseorang telah belajar keras tetapi tetap belum memahami satu materi, dan ada pula yang tampak mudah dalam menangkap ilmu meskipun usahanya biasa saja. Semua itu adalah bagian dari ketentuan Allah yang tidak selalu dapat dijelaskan dengan logika sebab-akibat manusiawi.

Konsep ini membentuk suatu paradoks: manusia diperintahkan untuk berusaha maksimal, tetapi pada saat yang sama diajarkan untuk tidak menggantungkan harapan sepenuhnya kepada hasil. Rasulullah Saw bersabda, “Bersungguh-sungguhlah dalam hal yang bermanfaat bagimu, minta tolonglah kepada Allah dan jangan lemah. Jika engkau tertimpa sesuatu, jangan katakan ‘seandainya aku lakukan ini atau itu’, tetapi katakanlah: ‘Qaddarallahu wa ma syaa’a fa‘al (Allah telah menakdirkan dan apa yang Dia kehendaki pasti terjadi).’” (HR. Muslim). Hadis ini menjadi prinsip emas dalam menyeimbangkan ikhtiar dan tawakkal: tetap berusaha, tetapi pasrah dan rela terhadap hasilnya.

Para ulama salaf pun menegaskan bahwa usaha tidak boleh dijadikan ukuran mutlak keberhasilan. Imam Ibn Qayyim al-Jawziyyah menjelaskan dalam Madarij as-Salikin bahwa sebab (asbab) hanyalah sarana, bukan jaminan. Manusia diperintahkan menempuh sebab-sebab duniawi, tetapi ia harus sadar bahwa efek dari sebab-sebab itu sepenuhnya dikendalikan oleh kehendak Allah. Maka, seorang penuntut ilmu tidak boleh menggantungkan keberhasilan belajarnya semata pada metode, guru, atau kecerdasannya, melainkan harus menggabungkan usaha yang maksimal dengan kebergantungan total kepada Allah.

Pemahaman ini memberikan ketenangan spiritual. Seseorang yang mengalami kesulitan dalam belajar tidak lantas putus asa, sebab ia sadar bahwa hasil bukan sepenuhnya dalam kendalinya. Ia tidak menilai dirinya gagal hanya karena belum menguasai satu cabang ilmu. Sebaliknya, orang yang berhasil pun tidak boleh sombong, karena ia tahu keberhasilan itu bukan semata karena dirinya, melainkan karena Allah menghendakinya. Inilah bentuk keadilan spiritual yang diajarkan oleh Islam: bahwa nilai seseorang tidak ditentukan oleh hasil akhirnya, tetapi oleh kesungguhan dan keikhlasannya dalam berproses.

Dengan demikian, memahami relasi antara usaha dan takdir dalam belajar bukanlah bentuk kontradiksi, tetapi justru membentuk keseimbangan yang utuh. Ikhtiar menjadikan manusia bertanggung jawab, sedangkan iman kepada takdir menjadikan ia berserah dan lapang dada. Dalam bingkai tauhid, keduanya menjelma menjadi ibadah yang mengokohkan semangat belajar sekaligus memelihara kerendahan hati di hadapan Ilahi.


5.           Etika Belajar bagi Muslim: Ikhlas, Tawadhu’, dan Husnuzan kepada Allah

Etika dalam belajar bukan sekadar pelengkap, melainkan ruh utama yang menjadikan aktivitas menuntut ilmu bernilai ibadah. Dalam Islam, belajar tidak hanya dimaknai sebagai aktivitas mental atau intelektual, tetapi juga sebagai bentuk penghambaan kepada Allah. Oleh karena itu, penuntut ilmu yang baik harus menghiasi dirinya dengan adab dan etika yang luhur. Tiga di antara nilai utama tersebut adalah: ikhlas, tawadhu’, dan husnuzan kepada Allah.

5.1.       Ikhlas: Menata Niat karena Allah

Ikhlas merupakan syarat utama diterimanya amal, termasuk amal menuntut ilmu. Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya setiap amal tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam konteks belajar, ini berarti bahwa ilmu harus dicari semata-mata karena Allah — untuk mendekatkan diri kepada-Nya, menunaikan kewajiban sebagai hamba, serta memberi manfaat kepada sesama. Belajar demi popularitas, pangkat, atau tujuan duniawi semata justru dapat merusak keberkahan ilmu yang diperoleh.

Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin mengingatkan bahwa orang yang menuntut ilmu untuk berdebat, mencari pujian, atau mengungguli orang lain akan termasuk dalam golongan yang merugi. Sebaliknya, mereka yang ikhlas karena Allah akan diberi ilmu yang bermanfaat dan mendekatkannya kepada amal. Ikhlas juga menjadi pelindung dari kekecewaan: bila seseorang belajar karena Allah, maka kegagalan dalam mengingat atau memahami suatu materi tidak akan menjadikannya putus asa, karena ia yakin bahwa Allah menilai niat dan usaha, bukan semata hasil.

5.2.       Tawadhu’: Rendah Hati di Hadapan Ilmu dan Manusia

Tawadhu’ — rendah hati — adalah adab yang sangat dijunjung tinggi dalam menuntut ilmu. Seorang Muslim yang belajar dengan penuh keikhlasan tidak akan merasa lebih tinggi karena ilmunya, melainkan semakin tunduk dan sadar akan keterbatasannya. Al-Qur’an dalam Surah Al-Isra’ [17] ayat 37 melarang manusia berjalan dengan sombong di muka bumi, karena kesombongan adalah cerminan dari kelalaian terhadap hakikat diri sebagai hamba.

Ulama salaf memberikan banyak contoh ketawadhu’an dalam menuntut ilmu. Imam Malik, seorang ulama besar Madinah, sering mengatakan “La adri” (saya tidak tahu) ketika ditanya tentang suatu hal, meskipun beliau adalah mujtahid terkemuka. Ini menunjukkan bahwa tawadhu’ tidak berkurang karena kedudukan keilmuan, tetapi justru meningkat seiring bertambahnya ilmu.

Tawadhu’ juga tampak dalam sikap hormat kepada guru, tidak menyela penjelasan, dan tidak membantah dengan arogan. Ilmu tidak akan menancap dalam hati yang sombong. Imam Syafi’i pernah berkata, “Aku membuka lembaran di hadapan guruku dengan pelan, karena aku tidak ingin lembaran itu menimbulkan suara dan mengganggu beliau.” Ketawadhu’an seperti ini bukan hanya menunjukkan adab, tetapi juga menjadi wasilah keberkahan ilmu.

5.3.       Husnuzan kepada Allah: Berbaik Sangka dalam Proses Belajar

Menuntut ilmu adalah proses panjang yang tak selalu mudah. Dalam perjalanannya, seseorang bisa saja merasa lambat dalam memahami, kesulitan dalam menghafal, atau bahkan mengalami kegagalan. Di sinilah pentingnya husnuzan — berbaik sangka — kepada Allah. Seorang penuntut ilmu yang bertauhid harus yakin bahwa segala proses yang ia lalui berada dalam pengaturan Allah yang Maha Bijaksana, dan bahwa setiap kesulitan menyimpan hikmah.

Allah berfirman dalam Surah Al-Baqarah [02] ayat 286: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” Ayat ini memberikan ketenangan bagi mereka yang sedang berjuang dalam menuntut ilmu. Tidak ada kegagalan yang sia-sia, selama seseorang terus berikhtiar dan menjaga prasangka baik kepada Allah. Bahkan, kesulitan bisa jadi adalah cara Allah mendidik hati agar lebih sabar, tawakal, dan rendah hati.

Rasulullah Saw juga bersabda, “Allah berfirman: ‘Aku tergantung pada prasangka hamba-Ku terhadap-Ku.’” (HR. Bukhari dan Muslim). Maka, siapa yang berprasangka bahwa Allah akan memudahkan pemahaman, memperkuat hafalan, dan memberi jalan keluar dalam belajar — ia akan mendapati sesuai harapannya, insyaAllah.


Dengan mengintegrasikan ikhlas, tawadhu’, dan husnuzan dalam proses belajar, seorang Muslim menjadikan aktivitas intelektualnya sebagai ibadah yang bernilai tinggi di sisi Allah. Ilmu yang dicari tidak hanya bermanfaat untuk kehidupan dunia, tetapi juga mengantarkan pada kemuliaan akhirat. Etika ini membentuk karakter penuntut ilmu yang utuh: cerdas secara intelektual, mulia secara spiritual, dan berakhlak secara sosial.


6.           Refleksi Diri: Berlepas Diri dari Hasil, Berserah pada Kehendak Allah

Dalam perjalanan menuntut ilmu, ada satu sikap mendasar yang harus dimiliki oleh setiap Muslim, yakni kemampuan untuk berlepas diri dari hasil dan berserah diri secara total kepada kehendak Allah Swt. Hal ini bukan berarti menafikan usaha atau pasrah tanpa tindakan, tetapi menjadi bentuk kedewasaan spiritual: menyadari bahwa hasil akhir dari setiap ikhtiar adalah milik Allah, bukan hak prerogatif manusia.

Al-Qur’an berulang kali menegaskan bahwa kekuasaan atas hasil terletak pada Allah. Dalam Surah Ali ‘Imran [03] ayat 160, Allah berfirman: “Jika Allah menolong kamu, maka tidak ada yang dapat mengalahkanmu; tetapi jika Allah membiarkan kamu, maka siapa yang akan menolong kamu selain dari-Nya?” Ayat ini mengajarkan bahwa keberhasilan, termasuk dalam memahami ilmu, bukan semata-mata hasil kecerdasan, kerja keras, atau ketekunan, melainkan karena pertolongan Allah. Maka, hasil tidak boleh dijadikan tolok ukur kebermaknaan usaha; yang paling bernilai adalah ketaatan dalam prosesnya.

Konsep ini diperkuat oleh hadis Rasulullah Saw: “Bersungguh-sungguhlah dalam hal yang bermanfaat bagimu, minta tolonglah kepada Allah, dan jangan lemah. Jika engkau tertimpa sesuatu, jangan katakan: ‘Seandainya aku lakukan ini atau itu,’ tetapi katakanlah: ‘Qaddarallahu wa ma syaa’a fa‘al (Allah telah menakdirkan dan apa yang Dia kehendaki pasti terjadi).’” (HR. Muslim). Hadis ini mengajarkan bahwa setelah semua usaha dilakukan, seorang Muslim harus siap menerima apapun hasilnya dengan ridha dan husnuzan kepada Allah.

Para ulama pun memberi teladan dalam hal ini. Imam Abu Hanifah, seorang ulama besar dalam bidang fikih, pernah berkata, “Aku tidak pernah merasa bangga dengan jawabanku, karena bisa jadi yang benar adalah yang aku tinggalkan, dan yang salah adalah yang aku pilih.” Ucapan ini mencerminkan kerendahan hati dan kesadaran bahwa keberhasilan menjawab atau memahami suatu persoalan ilmiah tidak serta-merta menunjukkan kehebatan pribadi, melainkan merupakan limpahan taufik dari Allah.

Sikap berlepas diri dari hasil juga membantu seseorang menjaga kejernihan hati. Ketika berhasil memahami suatu ilmu, ia tidak menjadi sombong. Ketika gagal menguasai satu bidang, ia tidak terjatuh dalam keputusasaan. Dalam kedua keadaan itu, ia tetap tenang karena tahu bahwa Allah tidak menilai dari hasil akhir, tetapi dari niat dan keikhlasan dalam usaha. Sebagaimana firman-Nya dalam Surah At-Taghabun [64] ayat 11: “Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa kecuali dengan izin Allah. Dan barang siapa beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya.”

Berserah kepada kehendak Allah juga memperkuat dimensi ibadah dalam belajar. Menuntut ilmu menjadi sarana mendekatkan diri kepada-Nya, bukan sekadar mencari prestasi akademik. Doa-doa para ulama dalam menuntut ilmu mencerminkan hal ini. Imam Ibn Rajab menyebut bahwa doa yang penuh kejujuran dan ketergantungan kepada Allah adalah kunci pembuka ilmu, bahkan lebih penting dari kecakapan logika.

Dengan demikian, refleksi diri yang mendalam membawa seorang penuntut ilmu kepada sikap spiritual yang matang: ia berusaha maksimal, tetapi tidak tergantung secara mutlak pada hasil; ia belajar dengan tekun, tetapi tidak menggantungkan nilai dirinya pada pemahaman atau gelar; ia mengembalikan segalanya kepada Allah sambil tetap menjaga adab dan semangat. Inilah bentuk penghambaan sejati dalam ilmu: tidak menuntut hasil, hanya berharap ridha Allah.


7.           Penutup

Belajar dalam Islam bukan semata-mata aktivitas intelektual, tetapi sebuah bentuk pengabdian spiritual yang berpijak pada kesadaran akan keterbatasan manusia dan keyakinan akan kekuasaan Allah Swt. Seorang penuntut ilmu yang beriman tidak meletakkan proses belajarnya di atas kepercayaan buta kepada potensi akalnya sendiri, melainkan menyandarkannya kepada kehendak dan izin Allah. Hal ini menjadi prinsip dasar dalam Islam, sebagaimana tercermin dalam firman Allah, “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun…” (QS. An-Nahl [16] ayat 78). Dari ketidaktahuan inilah manusia memulai perjalanan mencari ilmu, dengan kesadaran bahwa seluruh pemahaman adalah karunia, bukan pencapaian murni.

Paradigma tauhid dalam belajar mendorong setiap Muslim untuk memulai proses belajarnya dengan niat yang ikhlas, melandasinya dengan usaha yang sungguh-sungguh, dan menyudahinya dengan tawakkal yang utuh. Dengan demikian, penuntut ilmu akan menjaga adab, merendahkan hati, dan tidak silau oleh hasil akademik. Seperti nasihat Imam Asy-Syafi’i, “Ilmu tidak akan diberikan kepadamu hingga engkau memberikan seluruh dirimu kepadanya.” Namun, bahkan setelah seseorang mencurahkan seluruh dirinya dalam proses belajar, ia tetap harus berserah, karena pemahaman dan keberhasilan tetap dalam genggaman Allah.

Kesadaran ini memberikan keseimbangan antara semangat dan ketenangan. Di satu sisi, ia membangkitkan tekad dan kedisiplinan untuk terus menuntut ilmu meskipun mengalami kegagalan, sebab yang dilihat oleh Allah adalah niat dan proses. Di sisi lain, ia juga menjaga hati dari penyakit takabbur dan ujub, sebab keberhasilan dalam belajar bukan milik pribadi, melainkan amanah dari Allah. Bahkan, sebagaimana para ulama salaf ajarkan, ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang menghantarkan pada amal, bukan sekadar pemahaman kognitif.

Di tengah dunia modern yang sering menuhankan logika dan produktivitas, konsep “belajar dalam batas” menjadi pengingat penting bahwa ilmu sejati tidak dapat dipisahkan dari aspek spiritual. Dalam Islam, ilmu bukan tujuan akhir, tetapi jalan menuju Allah. Maka, hasil belajar — apakah seseorang berhasil memahami atau tidak — bukanlah parameter keberhasilan sejati. Yang dinilai adalah keikhlasan dalam niat, kesungguhan dalam usaha, kerendahan hati dalam proses, dan kerelaan menerima ketetapan-Nya.

Akhirnya, sikap beriman dalam menuntut ilmu mengajarkan kita untuk selalu berkata sebagaimana para malaikat berkata dalam Al-Qur’an: “Maha Suci Engkau, tidak ada ilmu bagi kami kecuali apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami.” (QS. Al-Baqarah [02] ayat 32). Dengan kalimat ini, seorang penuntut ilmu menutup setiap pelajaran bukan dengan kebanggaan, tetapi dengan syukur — dan dengan harapan bahwa ilmu yang diperoleh menjadi sebab turunnya keberkahan dan keridhaan Allah.


Daftar Pustaka

Al-Ghazali, A. H. M. (2006). Ihya’ Ulumuddin (The Revival of Religious Sciences). Islamic Book Trust.

Al-Qur’an dan Terjemahannya. (2008). Departemen Agama Republik Indonesia.

Ibn Rajab Al-Hanbali, M. (2001). Jami’ Al-Ulum wal-Hikam (Collection of Knowledge and Wisdom). Dar Al-Fikr.

Ibn Qayyim Al-Jawziyyah, M. (1997). Madarij As-Salikin (The Steps of the Seekers). Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah.

Nasr, S. H. (2003). Islamic Science: An Illustrated Study. World Wisdom, Inc.

Rahman, F. (1980). Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. University of Chicago Press.

Saeed, A. (2006). Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary Approach. Routledge.

Sardar, Z. (2011). Reading the Qur’an: The Contemporary Relevance of the Sacred Text of Islam. Oxford University Press.

Syafi’i, I. (1997). Al-Risalah (The Epistle). In R. A. Nicholson (Ed. & Trans.), Treatise on Islamic Jurisprudence. Islamic Texts Society.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar