Joyful
Learning
Integrasi Pendekatan Ilmiah,
Filosofis, dan Islami dalam Pendidikan
Alihkan ke: Pendekatan Deep Learning.
Abstrak
Artikel ini membahas konsep joyful learning
(kesenangan dalam belajar) sebagai pendekatan pendidikan yang menekankan
suasana belajar yang menyenangkan, bermakna, dan memotivasi peserta didik. Kajian
ini disusun secara ilmiah, filosofis, dan islami dengan memadukan perspektif
teori pendidikan Barat, teori kognitif, serta pandangan Islam tentang belajar. Dalam perspektif Barat, joyful
learning dikaitkan dengan teori konstruktivisme (Piaget, Vygotsky),
humanisme (Maslow, Rogers), dan pembelajaran kontekstual (Ausubel, Johnson).
Sementara itu, perspektif Islam menegaskan pentingnya belajar dengan suasana
yang menumbuhkan kebahagiaan, keikhlasan, dan adab, sebagaimana ditekankan oleh
Al-Ghazali, Ibn Khaldun, serta tuntunan Al-Qur’an dan Hadis. Lebih jauh, artikel
ini juga menguraikan praktik joyful learning dalam pendidikan melalui
penerapan strategi inovatif seperti pembelajaran berbasis proyek, pendekatan
kontekstual, integrasi teknologi, hingga penguatan relasi guru-siswa. Dengan
demikian, joyful learning tidak hanya berfungsi sebagai strategi
pedagogis, tetapi juga sebagai landasan etis dan spiritual dalam menciptakan
proses pendidikan yang bermakna, membahagiakan, serta relevan dengan kebutuhan
abad ke-21 sekaligus sejalan dengan nilai-nilai Islam.
Kata kunci: joyful
learning, kesenangan belajar, konstruktivisme, humanisme, pendidikan Islam,
strategi pembelajaran.
PEMBAHASAN
Joyful Learning sebagai
Strategi Pendidikan Bermakna dalam Konteks Abad ke-21
1.
Pendahuluan
Pendidikan pada
hakikatnya merupakan proses pengembangan potensi manusia secara menyeluruh,
baik aspek kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Namun, dalam praktiknya
sering kali proses pembelajaran dipersepsikan sebagai sesuatu yang membebani
peserta didik karena lebih menekankan aspek kognitif semata dan mengabaikan
faktor afektif serta emosional. Padahal, menurut pendekatan psikologi
pendidikan, keberhasilan pembelajaran sangat dipengaruhi oleh kondisi emosional
peserta didik. Suasana
belajar yang penuh tekanan cenderung menurunkan motivasi, menghambat
kreativitas, dan mengurangi kemampuan berpikir kritis siswa.¹
Sejalan dengan hal tersebut, muncul konsep joyful
learning (pembelajaran yang menyenangkan) yang menekankan pentingnya
menghadirkan pengalaman belajar yang positif, interaktif, dan menggembirakan
bagi peserta didik. Konsep ini berpijak pada teori humanistik yang mengutamakan
motivasi intrinsik, rasa aman, dan keterpenuhan kebutuhan psikologis sebagai
dasar tercapainya pembelajaran yang efektif.² Selain itu, pendekatan
konstruktivis juga menegaskan bahwa pengetahuan akan lebih bermakna apabila
dibangun melalui pengalaman aktif, kolaboratif, dan disertai dengan
keterlibatan emosional yang positif.³
Lebih jauh, penelitian dalam bidang neurosains
menunjukkan bahwa emosi positif seperti rasa gembira, antusias, dan bahagia
dapat merangsang pelepasan dopamin di otak yang berfungsi meningkatkan
perhatian, memori, serta kemampuan pemecahan masalah.⁴ Dengan demikian, joyful
learning bukan sekadar gagasan normatif, melainkan memiliki dasar ilmiah
yang kuat untuk menciptakan suasana belajar yang efektif, kreatif, dan
menyenangkan.
Footnotes
[1]
David Ausubel, Educational Psychology: A Cognitive
View (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1968), 14–15.
[2]
Abraham H. Maslow, Motivation and Personality,
3rd ed. (New York: Harper & Row, 1987), 45–47.
[3]
Lev Vygotsky, Mind in Society: The Development of
Higher Psychological Processes, ed. Michael Cole et al. (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1978), 79–80.
[4]
Judy Willis, Research-Based Strategies to Ignite
Student Learning: Insights from a Neurologist and Classroom Teacher
(Alexandria, VA: ASCD, 2006), 28–30.
2.
Pengertian Joyful
Learning
Joyful learning
secara terminologis dapat dipahami sebagai pendekatan pembelajaran yang
menekankan terciptanya suasana belajar yang menyenangkan, penuh makna, dan
memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif tanpa merasa terbebani.¹
Dalam perspektif psikologi pendidikan, joyful learning hadir sebagai
antitesis dari proses belajar yang monoton, kaku, dan berorientasi pada hafalan
semata.²
Menurut Bobbi
DePorter, pembelajaran yang menyenangkan mengaktifkan seluruh potensi otak,
mengintegrasikan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik melalui suasana
positif yang mendorong motivasi intrinsik peserta didik.³ Sementara itu, Hosnan
menegaskan bahwa joyful learning tidak hanya berfokus pada kegembiraan
sesaat, tetapi juga pada keterlibatan intelektual, emosional, dan sosial siswa
dalam proses pembelajaran.⁴
Lebih jauh, konsep
ini memiliki kaitan erat dengan teori konstruktivisme yang menekankan
pentingnya keterlibatan aktif siswa dalam membangun pengetahuan berdasarkan
pengalaman dan interaksi sosial.⁵ Dengan demikian, joyful learning dapat
dipandang sebagai pendekatan holistik yang tidak hanya memperhatikan transfer
pengetahuan, tetapi juga kesejahteraan emosional dan pengembangan kepribadian
peserta didik.
Footnotes
[1]
H. Douglas Brown, Principles of Language Learning
and Teaching, 5th ed. (White Plains, NY: Pearson Longman, 2007), 87.
[2]
David Ausubel, Educational Psychology: A Cognitive
View (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1968), 15.
[3]
Bobbi DePorter and Mike Hernacki, Quantum Learning:
Unleashing the Genius in You (New York: Dell Publishing, 1992), 34–36.
[4]
Hosnan, Pendekatan Saintifik dan Kontekstual dalam
Pembelajaran Abad 21: Kunci Sukses Implementasi Kurikulum 2013 (Bogor:
Ghalia Indonesia, 2014), 65.
[5]
Lev Vygotsky, Mind in Society: The Development of
Higher Psychological Processes, ed. Michael Cole et al. (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1978), 79–80.
3.
Landasan Ilmiah
Konsep joyful learning memiliki dasar
yang kuat dalam berbagai teori psikologi pendidikan, konstruktivisme, dan
neurosains. Pertama, dari perspektif psikologi humanistik, tokoh seperti
Abraham Maslow dan Carl Rogers menekankan bahwa pembelajaran akan optimal jika
kebutuhan dasar siswa terpenuhi, termasuk kebutuhan akan rasa aman, dihargai,
dan kebahagiaan.¹ Apabila suasana belajar berlangsung menyenangkan, motivasi
intrinsik siswa akan tumbuh sehingga proses internalisasi pengetahuan menjadi
lebih efektif.²
Kedua, dalam kerangka teori konstruktivisme,
Piaget dan Vygotsky menjelaskan bahwa peserta didik membangun pengetahuan
melalui pengalaman, interaksi, serta keterlibatan aktif dengan lingkungan.³
Dalam hal ini, kondisi emosional positif—seperti rasa gembira, antusias, dan
nyaman—merupakan faktor penting yang memperkuat proses konstruksi pengetahuan.⁴
Ketiga, temuan dalam bidang neurosains
pendidikan mengungkapkan bahwa emosi positif dapat merangsang produksi
dopamin di otak, yang berperan dalam meningkatkan fokus, kreativitas, serta
kemampuan memori jangka panjang.⁵ Dengan demikian, pendekatan joyful
learning tidak hanya memiliki nilai pedagogis, tetapi juga basis ilmiah
yang relevan dalam meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar siswa.
Footnotes
[1]
Abraham H. Maslow, Motivation and Personality,
3rd ed. (New York: Harper & Row, 1987), 45–47.
[2]
Carl R. Rogers, Freedom to Learn, 3rd ed.
(Columbus, OH: Merrill Publishing Company, 1983), 106–108.
[3]
Jean Piaget, The Psychology of Intelligence,
trans. Malcolm Piercy and D.E. Berlyne (London: Routledge & Kegan Paul,
1950), 62–64.
[4]
Lev Vygotsky, Mind in Society: The Development of
Higher Psychological Processes, ed. Michael Cole et al. (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1978), 79–81.
[5]
Judy Willis, Research-Based Strategies to Ignite
Student Learning: Insights from a Neurologist and Classroom Teacher
(Alexandria, VA: ASCD, 2006), 28–30.
4.
Dimensi Filosofis
Secara filosofis, joyful
learning dapat dipahami dalam kerangka pemikiran mengenai hakikat belajar,
tujuan pendidikan, serta relasi antara pengetahuan dan kebahagiaan manusia.
Dalam filsafat pendidikan, belajar bukan sekadar proses transfer informasi,
melainkan suatu pengalaman eksistensial yang membentuk pribadi manusia secara
utuh.¹ John Dewey, salah satu tokoh filsafat pendidikan progresif, menekankan
bahwa pendidikan harus berlandaskan pada pengalaman yang bermakna, demokratis,
dan menyenangkan agar siswa mampu mengaitkan pengetahuan dengan kehidupan
nyata.²
Lebih jauh, filsafat
humanistik menegaskan bahwa kebahagiaan dalam belajar merupakan bagian dari
upaya aktualisasi diri. Menurut Carl Rogers, suasana belajar yang penuh
kebebasan, keterbukaan, dan penghargaan terhadap perasaan siswa akan melahirkan
proses pembelajaran yang otentik dan bermakna.³ Dengan kata lain, joyful
learning menegaskan nilai etis bahwa pendidikan tidak boleh menjadi sarana
represi, melainkan ruang dialogis yang memerdekakan dan membahagiakan manusia.
Dalam konteks epistemologi, joyful learning
juga berhubungan dengan pencarian kebenaran yang dilakukan secara bebas,
kritis, dan kreatif. Paulo Freire menekankan bahwa pendidikan harus membebaskan
dari “kebudayaan bisu” melalui dialog yang hidup dan membangkitkan kesadaran
kritis.⁴ Hal ini selaras dengan prinsip bahwa belajar yang menyenangkan bukan
berarti dangkal, tetapi justru mendalam karena melibatkan aspek kognitif,
afektif, dan moral secara terpadu.
Dengan demikian, dimensi filosofis joyful
learning menegaskan bahwa pendidikan seharusnya menjadi proses yang
menghadirkan makna, kebahagiaan, serta kebebasan berpikir bagi peserta didik.
Pendekatan ini tidak hanya relevan secara pedagogis, tetapi juga menyentuh
aspek ontologis (hakikat manusia sebagai pencari ilmu), epistemologis (cara
memperoleh pengetahuan), dan aksiologis (nilai etis dalam pendidikan).
Footnotes
[1]
Nel Noddings, Philosophy of Education, 3rd ed.
(Boulder, CO: Westview Press, 2012), 45–47.
[2]
John Dewey, Democracy and Education: An
Introduction to the Philosophy of Education (New York: Macmillan, 1916),
207–209.
[3]
Carl R. Rogers, Freedom to Learn, 3rd ed.
(Columbus, OH: Merrill Publishing Company, 1983), 106–108.
[4]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans.
Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 2000), 72–74.
5.
Perspektif Islam
Dalam perspektif
Islam, proses belajar dipandang sebagai ibadah sekaligus jalan menuju
kebahagiaan dunia dan akhirat. Al-Qur’an
berulang kali menekankan pentingnya menuntut ilmu dengan penuh kesungguhan dan
keterbukaan hati. Allah Swt. berfirman: “…Katakanlah: Adakah sama
orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”
(Q.S. Az-Zumar [39]: 9). Ayat ini menunjukkan bahwa ilmu tidak hanya
meningkatkan martabat manusia, tetapi juga menghadirkan kebahagiaan batin
melalui cahaya pengetahuan.¹
Metode pendidikan Nabi Muhammad Saw pun
menggambarkan prinsip joyful learning. Beliau sering menggunakan
pendekatan penuh kasih sayang, kelembutan, dan dialogis dalam mengajarkan
agama, sehingga para sahabat merasa senang menerima ilmu.² Ibn Khaldun dalam Muqaddimah
juga menegaskan bahwa pendidikan yang keras, penuh tekanan, atau represif dapat
merusak perkembangan akal, melemahkan semangat, serta menghambat kreativitas
peserta didik.³ Oleh karena itu, Islam mendorong terciptanya suasana belajar
yang menyenangkan, penuh hikmah, dan selaras dengan fitrah manusia.
Selain itu, konsep ta‘lim dalam tradisi
Islam tidak hanya bermakna transfer pengetahuan, melainkan juga tarbiyah
(pembinaan) dan ta’dib (penanaman adab).⁴ Belajar yang disertai
kegembiraan menjadikan ilmu lebih mudah dihayati dan diamalkan. Hal ini sesuai
dengan hadis Rasulullah Saw: “Sesungguhnya Allah itu lembut dan menyukai
kelembutan dalam segala urusan.” (HR. Muslim). Hadis ini mengisyaratkan
bahwa kelembutan—termasuk dalam proses mendidik—akan melahirkan suasana yang
lebih menyenangkan dan efektif.⁵
Dengan demikian, perspektif Islam menegaskan
bahwa joyful learning sejalan dengan prinsip rahmatan lil-‘alamin, yaitu
menghadirkan kasih sayang, kebahagiaan, dan manfaat bagi umat manusia. Belajar
yang menyenangkan tidak hanya memperkuat aspek kognitif, tetapi juga
menghidupkan dimensi spiritual dan moral yang merupakan tujuan utama pendidikan
Islam.
Footnotes
[1]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya
(Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2005), 457.
[2]
Muhammad al-Ghazali, As-Sunnah an-Nabawiyyah baina
Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadith (Kairo: Dar as-Syuruq, 1989), 112–113.
[3]
Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to
History, trans. Franz Rosenthal, 2nd ed. (Princeton, NJ: Princeton
University Press, 1967), 356–357.
[4]
Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of
Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education
(Kuala Lumpur: ISTAC, 1991), 22–23.
[5]
Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, Kitab
al-Birr wa al-Silah, no. 2593.
6.
Praktik Joyful
Learning dalam Pendidikan
Penerapan joyful
learning dalam pendidikan menuntut guru untuk menciptakan suasana belajar
yang kondusif, kreatif, dan partisipatif. Praktik ini tidak hanya bertujuan
menghadirkan hiburan, tetapi juga memastikan keterlibatan kognitif, afektif,
dan psikomotorik peserta didik.¹ Hal ini dapat diwujudkan melalui berbagai
strategi pembelajaran yang menekankan pengalaman, kolaborasi, dan relevansi
dengan kehidupan sehari-hari.
Pertama, guru dapat
menggunakan permainan edukatif (educational games) atau ice breaking
untuk menumbuhkan motivasi dan mengurangi ketegangan.² Kedua, penerapan project-based
learning memungkinkan siswa belajar melalui aktivitas nyata yang mendorong
kreativitas, kerja sama, dan tanggung jawab.³ Ketiga, penggunaan pembelajaran
kontekstual (contextual teaching and learning) membantu siswa memahami
keterkaitan antara materi pelajaran dengan kehidupan nyata, sehingga
menumbuhkan rasa ingin tahu dan kegembiraan dalam belajar.⁴
Selain itu, guru
dapat menciptakan suasana yang menyenangkan melalui penggunaan humor sehat,
pemberian penghargaan (reward) yang konstruktif, serta membangun hubungan
interpersonal yang positif antara guru dan siswa.⁵ Dalam konteks Islam,
praktik ini sejalan dengan prinsip hikmah dan mau‘izhah hasanah
dalam mengajar, yaitu menyampaikan ilmu dengan cara yang lembut, relevan, dan
penuh kasih sayang, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah Saw.⁶
Dengan demikian,
praktik joyful learning dalam pendidikan menuntut integrasi antara
metode yang inovatif, suasana emosional yang positif, dan nilai-nilai moral
yang menuntun peserta didik untuk belajar dengan semangat, kebahagiaan, serta
kesadaran akan makna dari ilmu yang dipelajari.
Footnotes
[1]
Hosnan, Pendekatan Saintifik dan Kontekstual dalam
Pembelajaran Abad 21: Kunci Sukses Implementasi Kurikulum 2013 (Bogor:
Ghalia Indonesia, 2014), 65.
[2]
H. Douglas Brown, Principles of Language Learning
and Teaching, 5th ed. (White Plains, NY: Pearson Longman, 2007), 89.
[3]
Thomas Markham et al., Project Based Learning
Handbook (Novato, CA: Buck Institute for Education, 2003), 4–6.
[4]
Elaine B. Johnson, Contextual Teaching and
Learning: What It Is and Why It’s Here to Stay (Thousand Oaks, CA: Corwin
Press, 2002), 25–27.
[5]
Bobbi DePorter and Mike Hernacki, Quantum Learning:
Unleashing the Genius in You (New York: Dell Publishing, 1992), 37–38.
[6]
Muhammad al-Ghazali, As-Sunnah an-Nabawiyyah baina
Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadith (Kairo: Dar as-Syuruq, 1989), 112–113.
7.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian
sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa joyful learning merupakan pendekatan
pembelajaran yang menekankan keterlibatan emosional positif, interaksi yang
menyenangkan, serta pengalaman belajar yang bermakna.¹ Konsep ini berakar pada
teori humanistik yang menekankan pentingnya motivasi intrinsik dan suasana aman
dalam belajar, serta teori konstruktivisme yang memandang pengetahuan sebagai
hasil interaksi aktif antara peserta didik dengan lingkungan.²
Selain itu, temuan
neurosains menegaskan bahwa suasana hati yang gembira dapat meningkatkan fungsi
kognitif, memori, dan kreativitas peserta didik.³ Hal ini menjadikan joyful
learning bukan sekadar ideal normatif, melainkan memiliki dasar ilmiah yang
kuat dalam meningkatkan efektivitas pembelajaran.
Dari dimensi
filosofis, joyful learning menegaskan bahwa pendidikan bukan hanya
transmisi pengetahuan, tetapi juga proses eksistensial yang membahagiakan,
membebaskan, dan memanusiakan manusia.⁴ Perspektif Islam pun memperkuat hal ini
dengan menekankan bahwa belajar harus dilaksanakan dalam suasana penuh hikmah,
kelembutan, dan kasih sayang, sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw.⁵
Dengan demikian, joyful
learning dapat dipandang sebagai pendekatan integratif yang menyatukan
aspek ilmiah, filosofis, dan religius. Praktiknya menuntut kreativitas guru
dalam menciptakan suasana belajar yang positif, variatif, dan relevan dengan
kehidupan nyata, sehingga tujuan pendidikan dapat tercapai secara optimal, baik
dalam dimensi intelektual, emosional, maupun spiritual.
Footnotes
[1]
H. Douglas Brown, Principles of Language Learning
and Teaching, 5th ed. (White Plains, NY: Pearson Longman, 2007), 87.
[2]
Jean Piaget, The Psychology of Intelligence,
trans. Malcolm Piercy and D.E. Berlyne (London: Routledge & Kegan Paul,
1950), 62–64; Abraham H. Maslow, Motivation and Personality, 3rd ed.
(New York: Harper & Row, 1987), 45–47.
[3]
Judy Willis, Research-Based Strategies to Ignite
Student Learning: Insights from a Neurologist and Classroom Teacher
(Alexandria, VA: ASCD, 2006), 28–30.
[4]
John Dewey, Democracy and Education: An
Introduction to the Philosophy of Education (New York: Macmillan, 1916),
207–209.
[5]
Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to
History, trans. Franz Rosenthal, 2nd ed. (Princeton, NJ: Princeton
University Press, 1967), 356–357; Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim,
Kitab al-Birr wa al-Silah, no. 2593.
Daftar Pustaka
Al-Attas, S. M. N. (1991). The concept of education in Islam:
A framework for an Islamic philosophy of education. Kuala Lumpur:
International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC).
Al-Ghazali, M. (1989). As-sunnah
an-nabawiyyah baina ahl al-fiqh wa ahl al-hadith. Kairo: Dar al-Syuruq.
Ausubel, D. P. (1968). Educational
psychology: A cognitive view. New York: Holt, Rinehart and Winston.
Brown, H. D. (2007). Principles of
language learning and teaching (5th ed.). White Plains, NY: Pearson
Longman.
DePorter, B., & Hernacki, M.
(1992). Quantum learning: Unleashing the genius in you. New York: Dell
Publishing.
Departemen Agama Republik Indonesia.
(2005). Al-Qur’an dan terjemahannya. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf
Al-Qur’an.
Dewey, J. (1916). Democracy and
education: An introduction to the philosophy of education. New York:
Macmillan.
Hosnan. (2014). Pendekatan
saintifik dan kontekstual dalam pembelajaran abad 21: Kunci sukses implementasi
kurikulum 2013. Bogor: Ghalia Indonesia.
Ibn Khaldun. (1967). The
muqaddimah: An introduction to history (F. Rosenthal, Trans.; 2nd ed.).
Princeton, NJ: Princeton University Press.
Johnson, E. B. (2002). Contextual
teaching and learning: What it is and why it’s here to stay. Thousand Oaks,
CA: Corwin Press.
Markham, T., Larmer, J., &
Ravitz, J. (2003). Project based learning handbook. Novato, CA: Buck
Institute for Education.
Maslow, A. H. (1987). Motivation
and personality (3rd ed.). New York: Harper & Row.
Muslim ibn al-Hajjaj. (n.d.). Sahih
Muslim. Kitab al-Birr wa al-Silah, no. 2593.
Noddings, N. (2012). Philosophy of
education (3rd ed.). Boulder, CO: Westview Press.
Piaget, J. (1950). The psychology
of intelligence (M. Piercy & D. E. Berlyne, Trans.). London: Routledge
& Kegan Paul.
Rogers, C. R. (1983). Freedom to
learn (3rd ed.). Columbus, OH: Merrill Publishing Company.
Vygotsky, L. S. (1978). Mind in
society: The development of higher psychological processes (M. Cole, V.
John-Steiner, S. Scribner, & E. Souberman, Eds.). Cambridge, MA: Harvard
University Press.
Willis, J. (2006). Research-based
strategies to ignite student learning: Insights from a neurologist and
classroom teacher. Alexandria, VA: ASCD.
Freire, P. (2000). Pedagogy of the
oppressed (M. B. Ramos, Trans.). New York: Continuum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar