Kafir dalam Perspektif Al-Qur’an
Telaah Etimologis,
Terminologis, dan Kontekstual antara Periode Makah dan Madinah
Alihkan ke: Ulumul
Qur’an.
Abstrak
Artikel
ini membahas istilah kafir dalam Al-Qur’an melalui telaah etimologis,
terminologis, dan kontekstual dengan meninjau perbedaan periode Makah dan
Madinah. Secara etimologis, kata kafir berarti menutup atau menolak
kebenaran, sedangkan secara terminologis merujuk pada individu atau kelompok
yang menolak iman kepada Allah dan kerasulan Muhammad Saw. Melalui pendekatan historis, penelitian ini
menunjukkan bahwa kategori dan tipologi kafir pada periode Makah lebih
dominan menampilkan sikap penentangan kaum musyrik Quraisy yang berbasis pada
tradisi paganisme, sedangkan pada periode Madinah lebih kompleks dengan
hadirnya kaum Yahudi, Nasrani, dan kaum munafik yang menentang Islam secara ideologis,
politis, maupun sosial. Analisis ini menemukan persamaan
karakteristik berupa penolakan terhadap ajaran tauhid dan kebenaran wahyu,
namun terdapat perbedaan dalam bentuk perlawanan dan motif penentangan. Studi
ini juga menekankan relevansi pemahaman istilah kafir dalam konteks
kontemporer, yakni perlunya membedakan dimensi teologis dengan dimensi sosial
agar istilah tersebut tidak digunakan secara diskriminatif, melainkan tetap
berpijak pada nilai-nilai universal Islam yang menjunjung keadilan, kebebasan
beragama, dan penghormatan terhadap kemanusiaan.
Kata Kunci: Kafir,
Al-Qur’an, Makah, Madinah, Etimologi, Konteks Historis, Tafsir.
PEMBAHASAN
Istilah Kafir dalam Al-Qur’an
1.
Pendahuluan
1.1. Latar
Belakang
Istilah kafir merupakan salah satu istilah kunci dalam Al-Qur’an
yang sering digunakan untuk merujuk pada individu atau kelompok yang menolak
keimanan kepada Allah Swt, mengingkari ajaran para nabi, atau berpaling dari
kebenaran yang telah dijelaskan. Kata ini dan derivasinya muncul dalam berbagai
bentuk sebanyak lebih dari 500 kali dalam Al-Qur’an, menandakan signifikansi
teologis dan dakwahnya (al-Farmawi, 2003). Namun, pemahaman terhadap istilah
ini tidak dapat dilepaskan dari dimensi bahasa, sejarah pewahyuan, serta
konteks sosial-politik tempat ayat-ayat tersebut diturunkan.
Secara etimologis, istilah kafir berasal dari akar kata k-f-r
yang berarti “menutupi” atau “menyembunyikan”. Dalam bentuk
dasarnya, kata ini semula digunakan untuk menyebut para petani yang menutup
benih dalam tanah (al-kāfir al-zāri‘, QS. Al-Hadid [57] ayat 20). Namun,
dalam perkembangan maknanya dalam Al-Qur’an, kufr mengacu pada tindakan
menutupi atau mengingkari kebenaran iman kepada Allah dan risalah-Nya (Ibn
Faris, Maqayis al-Lughah). Secara terminologis, para ulama membedakan
berbagai bentuk kekufuran seperti kufr juhud (pengingkaran), kufr
‘inad (penolakan karena kesombongan), kufr nifaq (kemunafikan), dan kufr
i‘rad (pembangkangan), sebagaimana dijelaskan oleh al-Ghazali dalam al-Iqtisad
fi al-I‘tiqad dan Ibn Qayyim al-Jauziyyah dalam Madarij al-Salikin.
Kata kafir mengalami perubahan nuansa dan cakupan makna yang
signifikan ketika ditinjau dalam dua fase utama dakwah Rasulullah Saw, yaitu
periode Makah dan periode Madinah. Pada masa Makah, Nabi Muhammad Saw menghadapi
kaum musyrikin Quraisy yang menolak seruan tauhid dan kerasulan secara
terang-terangan. Ayat-ayat yang turun pada periode ini banyak menyoroti aspek
spiritual, ancaman neraka, serta upaya pembuktian keesaan Allah dan kebenaran
risalah (Nasr, 2003). Kafir Makah biasanya digambarkan sebagai penentang dakwah
secara terbuka, yang menolak bukan karena ketidaktahuan, melainkan karena
kesombongan dan kekhawatiran akan hilangnya kekuasaan sosial (lihat QS. Al-Muddatsir
[74] ayat 24-25 dan QS. An-Nazi‘at [79] ayat 17-24).
Sementara itu, pada periode Madinah, tantangan dakwah Rasulullah
mengalami pergeseran dari permusuhan yang frontal menjadi lebih kompleks dan
politis. Di Madinah, Nabi berhadapan dengan berbagai kelompok seperti kaum
munafik, Yahudi, dan kabilah-kabilah Arab yang memiliki relasi politik dengan
umat Islam. Kafir pada periode ini tidak hanya tampak sebagai musuh luar,
tetapi juga hadir dalam bentuk internal seperti kemunafikan (nifaq),
yaitu penampakan iman secara lahir namun menyimpan kekufuran dalam hati (lihat
QS. Al-Baqarah [02] ayat 8-10 dan QS. At-Taubah [09] ayat 64-67). Tafsir
al-Razi menegaskan bahwa kekufuran dalam konteks ini lebih terselubung dan
penuh intrik karena dipengaruhi oleh dinamika politik dan aliansi antar suku.
Oleh karena itu, pemahaman terhadap istilah kafir tidak boleh
dilepaskan dari konteks historis dan sosiologis turunnya wahyu. Tanpa
pendekatan kontekstual, istilah ini dapat disalahpahami dan disalahgunakan
dalam wacana sosial-keagamaan modern, misalnya untuk menjustifikasi intoleransi
atau kekerasan terhadap pihak yang berbeda keyakinan. Pendekatan kontekstual
seperti yang dikembangkan oleh Fazlur Rahman dalam Major Themes of the
Qur’an dan Abdullah Saeed dalam Reading the Qur’an in the Twenty-First
Century menekankan perlunya membedakan antara makna normatif dan
kontekstual dari istilah-istilah Al-Qur’an, termasuk kafir.
Dalam dunia yang semakin plural dan majemuk, kajian terhadap istilah kafir
menjadi sangat penting tidak hanya untuk pemurnian pemahaman teologis, tetapi
juga untuk menciptakan wacana keislaman yang inklusif, bijaksana, dan sesuai
dengan misi Islam sebagai rahmat bagi semesta alam (QS. Al-Anbiya’ [21] ayat
107). Dengan memahami secara cermat perbedaan karakteristik kafir pada dua
periode dakwah Rasulullah, umat Islam dapat mengambil pelajaran tentang
strategi dakwah yang relevan dan penuh hikmah.
1.2. Rumusan
Masalah
1)
Bagaimana makna etimologis
dan terminologis istilah kafir dalam Al-Qur’an?
2)
Apa saja karakteristik utama kafir pada
periode Makah dan Madinah?
3)
Bagaimana persamaan dan perbedaan antara kafir
Makah dan kafir Madinah ditinjau dari segi konteks dan ayat-ayat yang relevan?
1.3. Tujuan
Penulisan
·
Menjelaskan makna kafir secara
linguistik dan syar‘i.
·
Menganalisis konteks kekufuran dalam dua
periode dakwah Nabi Saw.
·
Memberikan pemahaman yang adil dan berimbang
tentang penggunaan istilah kafir dalam Al-Qur’an.
1.4. Manfaat
Penulisan
Tulisan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap khazanah
studi tafsir kontekstual, menjadi acuan dalam pendidikan keagamaan yang
moderat, serta membantu masyarakat memahami penggunaan istilah kafir
secara proporsional agar tidak terjebak dalam sikap eksklusif maupun
diskriminatif terhadap pihak yang berbeda keyakinan.
2.
Kajian
Etimologis Istilah Kafir
2.1. Akar Kata
dan Asal-usul Etimologis
Secara etimologis, istilah kāfir (كَافِر)
dalam bahasa Arab berasal dari akar kata k-f-r (كَفَرَ)
yang secara harfiah berarti “menutupi”, “menyembunyikan”, atau “mengubur
sesuatu”. Raghib al-Asfahani dalam al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an
menjelaskan bahwa kata kufr pada asalnya digunakan untuk menyebut
tindakan menutupi sesuatu dengan sesuatu yang lain, seperti petani yang
menutupi benih dengan tanah. Oleh sebab itu, dalam Al-Qur’an, kata kāfirīn
(orang-orang kafir) juga digunakan dalam konteks pertanian:
"Kamathali ghaythin a‘jaba al-kuffāra nabātuhu" (QS. Al-Hadid
[57] ayat 20)
Dalam ayat ini, kata al-kuffār
dimaknai sebagai “petani” yang menutupi benih di dalam tanah, bukan sebagai
penolak iman. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan akar kata k-f-r
secara linguistik tidak selalu berkonotasi teologis, melainkan sangat
kontekstual dan multiguna.
Ibn Faris dalam Maqayis al-Lughah
menjelaskan bahwa semua derivasi dari akar k-f-r berkaitan dengan makna
“penutupan” atau “pengingkaran terhadap sesuatu yang semestinya
diakui secara terbuka”. Dalam konteks agama, istilah ini kemudian bergeser
menjadi “menutup kebenaran” atau “mengingkari nikmat dan risalah
Allah”. Dengan demikian, kafir secara etimologis menunjuk pada
seseorang yang menolak atau menyembunyikan kebenaran setelah kebenaran itu
tampak jelas baginya.
2.2. Derivasi
dan Variasi Bentuk Kata
Dalam Al-Qur’an, kata kufr muncul
dalam berbagai bentuk gramatikal, seperti:
·
Fi‘il madhi (kata
kerja lampau): kafarū (mereka telah kafir),
"Inna alladzīna kafarū sawā’un ‘alayhim..." (QS. Al-Baqarah
[02] ayat 6)
·
Fi‘il mudhari‘ (kata
kerja kini/masa depan): yakfurūna,
"Yastahibbūna al-hayāta ad-dunyā ‘alā al-ākhirah wa yashuddūna ‘an
sabīlillāh wa yabghūnahā ‘iwajan. Ūlāika fī dhalālin ba‘īd." (QS. Ibrahim [14] ayat 3)
·
Isim fa‘il (pelaku): kāfir
atau kāfirīn,
"Wa mā
Rabbuka bi-ghāfilin ‘ammā ya‘malu al-kāfirūn" (QS. Al-An‘am [06] ayat 132)
·
Masdar (kata
dasar): kufr,
"Wa man
lam yahkum bimā anzala Allāh fa-ulāika hum al-kāfirūn" (QS. Al-Ma’idah
[05] ayat 44)
Keberagaman bentuk ini menunjukkan bahwa istilah kafir bukan
hanya menunjuk kepada identitas statis, melainkan juga kepada proses, sikap,
dan perilaku yang berlawanan dengan keimanan. Menurut al-Zamakhsyari dalam al-Kasysyaf,
penggunaan kata-kata tersebut mengindikasikan tingkatan-tingkatan kekufuran
dari yang bersifat pasif hingga aktif.
2.3. Pemaknaan
dalam Peradaban Arab Jahiliyah
Dalam masyarakat Arab pra-Islam, kata kafir secara umum tidak
dipakai dalam pengertian religius, tetapi lebih merujuk pada makna literal “menutup”
atau “tidak membalas kebaikan”, misalnya terhadap orang yang tidak
bersyukur (lihat Lisan al-‘Arab oleh Ibn Manzur). Bahkan, seseorang yang tidak
mensyukuri bantuan atau pemberian disebut sebagai “kāfir ni‘mah”, yaitu
pengingkar nikmat.
Namun setelah Al-Qur’an diturunkan, istilah ini mengalami transformasi
makna menjadi konsep teologis yang merujuk pada mereka yang secara sadar
menolak iman kepada Allah, menolak kebenaran risalah para nabi, atau melakukan
bentuk-bentuk pengingkaran setelah penjelasan yang nyata. Dalam tafsir
al-Tabari, istilah kafir merujuk pada seseorang yang secara sadar dan
sengaja menolak petunjuk, bukan karena ketidaktahuan, tetapi karena keangkuhan
atau kebencian terhadap kebenaran.
2.4. Perbandingan
dengan Istilah Sejenis
Dalam Al-Qur’an, terdapat beberapa istilah lain yang memiliki
keterkaitan semantik dengan kafir, antara lain:
·
Fasiq (orang
yang keluar dari ketaatan)
·
Munafiq (orang
yang berpura-pura beriman)
·
Mushrik (orang
yang mempersekutukan Allah)
Meskipun makna-makna ini sering tumpang
tindih, tidak semua orang musyrik disebut kafir dalam konteks ayat
tertentu, dan tidak semua fasiq otomatis keluar dari Islam secara
mutlak. Al-Qur’an menggunakan istilah-istilah tersebut secara kontekstual,
tergantung pada perbuatan dan sikap hati orang tersebut terhadap risalah Islam
(lihat QS. At-Tawbah [09] ayat 67 dan QS. Al-Ma’idah [05] ayat 44-47).
Kesimpulan Sementara
Secara etimologis, kafir mengandung
makna dasar “menutupi” atau “mengingkari”, yang kemudian
berkembang menjadi istilah teologis dalam Al-Qur’an untuk menyebut mereka yang
secara sadar menolak atau menutup diri dari kebenaran Islam. Perubahan makna
ini terjadi seiring dengan perkembangan dakwah Islam dan konteks wahyu.
Pemahaman etimologis yang tepat menjadi fondasi penting untuk memahami
kompleksitas istilah ini dalam pemakaian terminologis dan kontekstual yang akan
dibahas dalam bab-bab selanjutnya.
3.
Definisi Terminologis Kafir dalam Al-Qur’an
3.1. Pengertian
Terminologis Kafir dalam Al-Qur’an
Secara terminologis, istilah kāfir
dalam Al-Qur’an merujuk kepada individu atau kelompok yang secara sadar menolak
untuk mengimani Allah Swt, risalah para nabi, dan kebenaran yang telah datang
kepada mereka. Penolakan ini bukan karena ketidaktahuan murni, melainkan
merupakan tindakan yang disengaja, disertai penolakan hati dan sikap permusuhan
terhadap kebenaran. Al-Ghazali dalam al-Iqtisād fi al-I‘tiqād menyebut kufr
sebagai bentuk “tażdzīb al-dīn” (penghinaan terhadap agama) yang muncul dari
pengingkaran terhadap kebenaran yang telah sampai dengan hujjah (bukti) yang
jelas.
Dalam kerangka tafsir, Al-Raghib al-Asfahani
membedakan antara kufr dalam makna umum dan khusus. Dalam makna umum, kufr
mencakup segala bentuk penolakan terhadap nikmat Allah, baik dalam bentuk
keingkaran verbal, sikap hati, maupun perilaku. Sedangkan dalam makna khusus, kufr
dipahami sebagai kebalikan dari iman, yakni tidak mempercayai Allah,
kerasulan Muhammad Saw, dan hari akhir. Al-Qur’an menegaskan:
“Inna alladzīna kafarū sawaa’un ‘alayhim a-andzartahum am lam tundzirhum
lā yu’minūn” (QS. Al-Baqarah [02] ayat 6)
Ayat ini menggambarkan kondisi hati yang
tertutup akibat kekufuran yang terus-menerus, sehingga peringatan tidak lagi
berdampak bagi mereka.
3.2. Bentuk-Bentuk
Kekufuran dalam Al-Qur’an
Para ulama dan mufassir mengklasifikasikan
kekufuran ke dalam beberapa bentuk berdasarkan nash Al-Qur’an dan fenomena
historis dalam dakwah Nabi Muhammad Saw. Di antara bentuk-bentuk utama kufr
adalah:
1)
Kufr Juhūd (kekufuran karena pengingkaran)
Yaitu menolak kebenaran setelah mengetahuinya secara jelas. Inilah bentuk kekufuran Firaun yang disebut dalam
QS. An-Naml [27] ayat 14:
“Wa jahadū
bihā wastaiqanathā anfusuhum...”
Mereka mengingkari dengan lisan padahal hati mereka yakin kebenarannya.
2)
Kufr ‘Inād (kekufuran
karena kesombongan atau pembangkangan)
Kekufuran ini terjadi bukan karena tidak tahu, tetapi karena enggan
menerima kebenaran. Contoh utamanya adalah kaum musyrikin Quraisy yang
menyaksikan kejujuran Nabi, namun tetap menolak karena keangkuhan sosial (lihat
QS. Sad [38] ayat 5-6).
3)
Kufr Nifāq (kekufuran dalam bentuk kemunafikan)
Orang yang menampakkan keimanan tetapi menyembunyikan kekufuran. Mereka disebut dalam Al-Qur’an sebagai:
“Wa
minan-nāsi man yaqūlu āmannā billāh wa bil-yawmil-ākhir wa mā hum bi-mu’minīn”
(QS. Al-Baqarah
[02] ayat 8)
4)
Kufr I‘rādh (kekufuran karena berpaling dari kebenaran)
Yaitu tidak
mau peduli terhadap wahyu, tidak mempelajarinya, dan tidak menaruh perhatian
sama sekali. Ini ditegaskan dalam QS. Al-Ahqaf [46] ayat 3:
“Wa hum ‘an
āyātinā mu‘ridūn”
5)
Kufr Ni‘mah (pengingkaran terhadap nikmat Allah)
Kekufuran
ini bersifat moral dan spiritual, ketika seseorang tidak bersyukur atas nikmat
yang Allah berikan. QS. Ibrahim [14] ayat 7 menyebutkan:
“La’in
syakartum la-azīdannakum wa la’in kafartum inna ‘adzābī la-syadīd”
Klasifikasi ini ditegaskan oleh Ibn Qayyim al-Jauziyyah dalam Madarij
al-Sālikīn bahwa kufr bukanlah satu bentuk tunggal, tetapi mencakup
dimensi intelektual, spiritual, dan sosial, yang masing-masing memiliki dampak
teologis yang berbeda.
3.3. Istilah
Kafir dalam Hubungan dengan Konsep Iman
Dalam Al-Qur’an, istilah kāfir berfungsi sebagai lawan dari mu’min
(orang beriman). Hubungan ini tidak hanya bersifat oposisi biner, tetapi
menunjukkan perbedaan dalam orientasi hidup, worldview, dan respons terhadap
wahyu. Oleh karena itu, orang kafir dalam terminologi Al-Qur’an bukan
semata-mata orang non-Muslim dalam pengertian identitas formal, melainkan
mereka yang secara sadar dan sengaja menolak iman setelah datangnya keterangan
yang jelas. Dalam QS. An-Nisa’ [04] ayat 115 ditegaskan:
“Wa man
yusyāqqiqir-rasūla min ba‘di mā tabayyana lahu al-hudā wa yattabi‘ ghayra
sabīlil-mu’minīn... fa ula’ika nuwallī mā tawallā wa nushlihi jahannama”
Di sinilah pentingnya memahami konteks pewahyuan dan perbedaan respons
terhadap dakwah Rasulullah. Seseorang yang belum pernah menerima dakwah Islam
dengan jelas tidak secara otomatis disebut sebagai kafir dalam
terminologi syar‘i, sebagaimana dijelaskan oleh al-Ghazali dan al-Razi dalam
pembahasan mengenai ahl al-fatrah (orang yang hidup dalam masa
kekosongan risalah).
3.4. Konsekuensi
Teologis dan Sosial
Dalam kerangka keimanan, status kafir
memiliki konsekuensi serius karena berhubungan langsung dengan keselamatan
akhirat. Namun dalam aspek sosial, tidak semua bentuk kekufuran menuntut
permusuhan terbuka. Al-Qur’an membedakan antara kafir harbi (yang
memusuhi Islam) dan kafir dzimmi (non-Muslim yang hidup damai dalam
masyarakat Islam). QS. Al-Mumtahanah: 8 menegaskan:
“Lā yanhākumullāhu ‘ani alladzīna lam yuqātilūkum fī ad-dīn wa lam
yukhrijūkum min diyārikum an tabarrūhum wa tuqsithū ilayhim...”
Ayat ini menunjukkan bahwa status kafir
tidak secara otomatis menjadikan seseorang sebagai musuh umat Islam.
Kesimpulan Sementara
Pemaknaan terminologis terhadap istilah kafir
dalam Al-Qur’an tidak bisa disamaratakan. Ia memiliki dimensi-dimensi
spiritual, moral, politis, dan sosial yang berbeda-beda tergantung konteks
pewahyuan. Dengan memahami klasifikasi bentuk-bentuk kekufuran dan makna
teologisnya secara tepat, umat Islam dapat bersikap lebih bijak, adil, dan
kontekstual dalam menghadapi keragaman keyakinan di masyarakat, sekaligus
menghindari sikap generalisasi dan ekstremisme. Pembahasan selanjutnya akan
mengkaji konteks konkret istilah kafir dalam periode Makah dan Madinah.
4.
Kategori dan Tipologi Kafir dalam Al-Qur’an
Istilah kafir dalam Al-Qur’an tidak
selalu digunakan dalam satu makna tunggal atau bersifat mutlak. Penggunaan
istilah ini sangat bergantung pada konteks pewahyuan, kondisi sosiologis, dan
bentuk penolakan terhadap risalah Islam. Oleh karena itu, para ulama dan mufassir
mengembangkan pendekatan kategoris terhadap makna kafir, dengan membagi
istilah ini ke dalam berbagai tipologi berdasarkan sikap, tujuan, dan relasi
orang-orang kafir terhadap umat Islam dan risalah kenabian. Tipologi ini
penting untuk menghindari generalisasi dan penyeragaman yang dapat berujung
pada sikap intoleran atau kekerasan atas nama agama.
4.1. Kategori
Kafir Berdasarkan Sikap dan Tujuan
4.1.1. Kafir Musyrik
Kafir musyrik adalah mereka yang
mempersekutukan Allah dengan makhluk lain, baik melalui penyembahan berhala,
keyakinan politeistik, maupun doktrin ketuhanan yang tidak murni. Tipologi ini
banyak ditemukan dalam konteks dakwah Nabi Muhammad Saw di Makah. QS. Al-Kafirun
[109] ayat 1–6 menjadi salah satu ayat yang secara tegas menunjukkan sikap
kompromi nol terhadap penyembahan bersama:
"Lā a‘budu mā ta‘budūn..."
Musyrikin Makah mengingkari ajaran tauhid
bukan semata karena ketidaktahuan, tetapi karena warisan tradisional dan
kepentingan kekuasaan sosial (Tafsir al-Razi, QS. Al-Kafirun). Dalam banyak
kasus, mereka menolak risalah Nabi dengan alasan mempertahankan status quo dan
otoritas suku.
4.1.2. Kafir Ahli Kitab
Kategori ini mencakup orang-orang Yahudi dan
Nasrani yang memiliki kitab suci sebelumnya namun menolak kenabian Muhammad Saw
dan ajaran Al-Qur’an. Dalam QS. Al-Bayyinah [98] ayat 1, mereka disebutkan
bersama kaum musyrik sebagai pihak yang tetap dalam kekufuran meskipun telah
datang bukti nyata:
"Lam yakunilladzīna kafarū min ahlil-kitābi wal-musyrikīna
munfakkīna ḥattā ta’tiyahumul-bayyinah"
Al-Qur’an membedakan perlakuan terhadap Ahli
Kitab dibanding musyrikin Arab karena adanya dimensi kedekatan teologis. Namun,
ketika mereka bersikap permusuhan, sebagaimana kaum Yahudi Bani Quraizhah di
Madinah, maka mereka tetap digolongkan sebagai kafir yang memerangi (lihat QS. Al-Hasyr
[59] ayat 11–14 dan penjelasan Ibn Katsir).
4.1.3. Kafir Munafiq
Kafir jenis ini merujuk pada orang-orang
yang secara lahiriah menyatakan keislaman, namun menyembunyikan kekufuran dalam
hati mereka. Golongan ini muncul secara dominan di Madinah, ketika Islam mulai
memiliki kekuatan sosial dan politik. Mereka disebutkan secara rinci dalam QS. Al-Baqarah
[02] ayat 8–10 dan QS. At-Tawbah [09] ayat 67:
"Wa minan-nāsi man yaqūlu āmannā billāhi wa bil-yawmil-ākhir wa mā
hum bi-mu’minīn"
Munafik merupakan bentuk kekufuran yang
sangat berbahaya karena tersembunyi, penuh makar, dan seringkali membahayakan
stabilitas internal umat Islam (Tafsir al-Qurthubi). Abdullah bin Ubay bin
Salul adalah contoh nyata dari tokoh munafik yang menghasut dan memprovokasi
umat Islam dari dalam.
4.1.4. Kafir Harbi
Kafir harbi adalah mereka yang secara aktif
memerangi kaum Muslimin, memusuhi dakwah Islam, dan berusaha menghalangi
penyebarannya. Mereka tidak hanya menolak ajaran Islam, tetapi juga melakukan
penindasan dan agresi. QS. Al-Baqarah [02] ayat 190–193 menyatakan:
"Wa qātilū fī sabīlillāhi alladzīna yuqātilūnakum..."
Menurut ulama fikih seperti Imam al-Syafi‘i
dan al-Mawardi, perlakuan terhadap kafir harbi berbeda dengan kafir damai,
karena mereka menjadi ancaman nyata terhadap eksistensi umat Islam.
4.1.5. Kafir Dzimmi
Kafir dzimmi adalah non-Muslim yang hidup damai dalam pemerintahan Islam
dan tunduk pada hukum Islam yang berlaku dengan membayar jizyah. Mereka
dilindungi secara hukum dan tidak boleh dizalimi. QS. At-Tawbah [09] ayat 29
menyatakan:
"Qātilū alladzīna lā yu’minūna billāhi wa lā bil-yawmil-ākhir...
hatta yu‘ṭū al-jizyata ‘an yadin wa hum ṣāghirūn"
Dalam tafsir al-Jassas (Ahkam al-Qur’an),
dijelaskan bahwa ayat ini tidak menyeru pembunuhan terhadap non-Muslim secara
membabi buta, tetapi merujuk pada regulasi hukum dalam kondisi peperangan atau
setelah penaklukan wilayah.
4.1.6. Kafir Musta’man dan
Mu‘ahad
Kafir musta’man adalah non-Muslim yang
mendapatkan perlindungan keamanan secara temporer dari negara Islam, sedangkan
kafir mu‘ahad adalah mereka yang terikat perjanjian damai. QS. At-Tawbah [09]
ayat 4 memberikan ketentuan terhadap orang-orang musyrik yang tidak melanggar
perjanjian:
"Illalladzīna ‘āhadthum minal musyrikīn tsumma lam yanquṣūkum
syai’an..."
Ayat ini menunjukkan bahwa Islam mengakui
perjanjian sebagai dasar hubungan antaragama, dan menghormati komitmen damai
selama tidak dikhianati.
4.2. Dimensi
Teologis dan Sosial dari Tipologi Kafir
Pembagian ini tidak semata-mata bersifat
teologis, tetapi juga sangat terkait dengan realitas sosial-politik dalam
masyarakat Arab pada masa pewahyuan. Dalam konteks tersebut, kekufuran tidak
selalu diukur dari status keyakinan batiniah semata, tetapi juga dari tindakan
dan sikap terhadap risalah Islam dan umatnya. Hal ini ditegaskan oleh
al-Maturidi dalam Ta’wilat Ahl al-Sunnah, bahwa hukum terhadap orang
kafir tidak boleh hanya didasarkan pada label, melainkan juga pada sikap aktual
terhadap umat Islam.
Pendekatan tipologis ini mencegah pemaknaan
tunggal terhadap istilah kafir dan mendorong sikap yang lebih
kontekstual dan adil dalam memahami Al-Qur’an. Dalam masyarakat plural hari
ini, pemahaman semacam ini membantu membangun relasi antarumat yang lebih
damai, dengan tetap menjaga prinsip iman dan loyalitas terhadap akidah Islam.
Kesimpulan Sementara
Al-Qur’an tidak menyamaratakan semua orang
kafir, melainkan mengklasifikasikannya berdasarkan sikap mereka terhadap Allah,
Nabi Muhammad Saw, dan umat Islam. Tipologi ini mencakup kafir musyrik, ahli
kitab, munafik, harbi, dzimmi, musta’man, dan mu‘ahad. Masing-masing memiliki
konsekuensi hukum dan etika yang berbeda dalam Islam. Pemahaman yang cermat
terhadap kategori ini menjadi dasar penting untuk menyikapi keberagaman umat
manusia secara adil dan tidak ekstrem, sesuai dengan prinsip Islam yang
menghormati hak-hak non-Muslim dalam batas yang telah digariskan syariat.
5.
Konteks
Historis Dakwah Rasulullah Saw Periode Makah
Periode Makah dalam sejarah dakwah Rasulullah Saw merupakan fase awal
yang berlangsung kurang lebih selama tiga belas tahun (610–622 M). Fase ini
ditandai dengan turunnya wahyu pertama di Gua Hira, yaitu QS. al-‘Alaq [96]
ayat 1–5, yang menandai dimulainya misi kerasulan Muhammad Saw. Fokus
utama dakwah pada periode ini adalah penanaman prinsip tauhid, penghapusan
praktik syirik, serta pembentukan akidah yang kokoh pada komunitas kecil Muslim
yang baru lahir. Konteks historis inilah yang sangat memengaruhi penggunaan dan
penekanan istilah kafir dalam Al-Qur’an Makkiyah.
Secara sosiologis, masyarakat Makah ketika
itu didominasi oleh sistem tribal Quraisy yang kental dengan nilai kekerabatan,
perdagangan, dan penguasaan ekonomi melalui pemeliharaan Ka‘bah. Pola kehidupan
mereka juga sarat dengan praktik politeisme, penyembahan berhala, serta
ritual-ritual yang diwarisi dari nenek moyang. Dalam kerangka inilah, istilah kafir
muncul terutama untuk menggambarkan sikap orang-orang yang menolak dakwah
tauhid Rasulullah dengan alasan mempertahankan tradisi leluhur (QS. Luqman [31]
ayat 21) dan kepentingan ekonomi yang terkait erat dengan keberlangsungan
penyembahan berhala (QS. al-An‘am [6] ayat 137).
Perlawanan terhadap dakwah Islam pada periode Makah bersifat sistematis.
Para pemuka Quraisy menolak kebenaran risalah Islam bukan semata karena alasan
intelektual, tetapi juga politis dan ekonomis. Al-Qur’an mencatat sikap keras
kepala ini dalam QS. al-Anbiya’ [21] ayat 36 dan QS. al-Mulk [67] ayat 6, di
mana orang-orang kafir digambarkan mengejek Nabi dan menolak ancaman azab
akhirat. Dengan demikian, istilah kafir dalam periode Makah erat
kaitannya dengan bentuk penolakan terhadap keesaan Allah dan pengingkaran
terhadap risalah yang dibawa oleh Muhammad Saw.
Dalam literatur tafsir, al-Tabari menegaskan bahwa ayat-ayat Makkiyah
lebih menitikberatkan pada aspek peringatan (inzar) kepada orang-orang
kafir Quraisy, dengan menampilkan ancaman azab bagi yang tetap membangkang.
Sementara itu, al-Qurthubi menambahkan bahwa penekanan retorika pada periode
Makah cenderung bersifat eskatologis, yakni mengingatkan tentang kebangkitan,
hari kiamat, dan balasan bagi orang kafir (QS. al-Ghashiyah [88] ayat 2–7). Pola ini
mencerminkan strategi dakwah yang bertujuan mengguncang kesadaran teologis
masyarakat Arab yang skeptis terhadap konsep kehidupan setelah mati.
Selain itu, secara historis kelompok kafir
di Makah dapat dipetakan ke dalam dua tipe besar: pertama, mereka yang secara
terbuka menentang Rasulullah, seperti Abu Lahab dan Abu Jahal, yang digambarkan
dalam QS. al-Lahab [111] ayat 1–5; kedua, mereka yang menolak secara pasif
dengan tetap menjaga tradisi leluhur, meski tanpa menunjukkan permusuhan
terang-terangan. Kedua tipe ini sama-sama dilabeli sebagai kafir dalam konteks
Makkiyah karena menolak mengakui keesaan Allah dan kerasulan Muhammad Saw.
Dengan demikian, konteks historis dakwah
periode Makah memperlihatkan bahwa istilah kafir digunakan terutama
untuk mendeskripsikan orang-orang Quraisy yang menentang Islam dari aspek
keyakinan dan ideologi. Fokus penggunaan istilah ini masih bersifat teologis,
menekankan perbedaan fundamental antara iman dan kufur, tanpa menyentuh aspek
relasi politik dan hukum sebagaimana berkembang pada periode Madinah. Hal ini
menunjukkan bahwa pemahaman istilah kafir dalam fase Makah harus selalu
dikaitkan dengan latar sosio-historis masyarakat Quraisy dan tujuan utama
dakwah Rasulullah, yaitu penanaman akidah tauhid yang murni.
6.
Karakteristik
Kafir Makah
Karakteristik kaum kafir Makah sebagaimana tergambar dalam Al-Qur’an
periode Makkiyah tidak hanya merefleksikan aspek teologis penolakan terhadap
tauhid, tetapi juga dimensi sosial, politik, dan psikologis masyarakat Quraisy.
Ayat-ayat Makkiyah menekankan pada penggambaran sikap batiniah mereka yang
mengingkari kebenaran risalah Nabi Muhammad Saw sekaligus perilaku lahiriah
yang menunjukkan permusuhan terbuka terhadap dakwah Islam.
Pertama, keras kepala dan fanatisme
terhadap tradisi leluhur. Kaum kafir Makah seringkali menolak dakwah
Rasulullah dengan alasan bahwa ajaran Islam bertentangan dengan praktik nenek
moyang mereka. Al-Qur’an merekam hal ini dalam QS. al-Zukhruf [43] ayat 22–23,
di mana mereka berkata, “Sesungguhnya kami mendapati nenek moyang kami
menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak
mereka.” Fanatisme buta terhadap tradisi ini menunjukkan resistensi
kultural yang kuat, di mana kebenaran tidak ditentukan oleh dalil rasional,
melainkan oleh legitimasi warisan leluhur.
Kedua, kesombongan sosial dan politik.
Sebagian besar pemuka Quraisy adalah elite ekonomi yang menguasai perdagangan
dan peran strategis dalam pemeliharaan Ka‘bah. Mereka merasa status sosial dan
politiknya terancam jika mengikuti ajaran Nabi Muhammad Saw. Al-Qur’an
menggambarkan arogansi ini dalam QS. al-Mu’minun [23] ayat 24 dan QS. Saba’ [34]
ayat 34, yang menampilkan potret orang-orang kaya dan terpandang menolak dakwah
para nabi karena khawatir kehilangan kedudukan.
Ketiga, sikap mendustakan ayat-ayat Allah. Karakteristik kafir
Makah juga terlihat dalam kebiasaan mereka mendustakan wahyu yang dibacakan
Rasulullah. QS. al-An‘am [6] ayat 33–34 menegaskan bahwa mereka tidak mendustakan
Nabi secara personal, melainkan menolak kebenaran yang dibawa. Hal ini
menunjukkan bahwa kekafiran mereka bukan karena ketidakpahaman, tetapi karena
sikap keras hati dan ketakutan terhadap implikasi sosial-politik dari ajaran
tauhid.
Keempat, ejekan, intimidasi, dan
pelecehan terhadap Nabi dan kaum Muslimin. Kaum kafir Makah menjadikan
dakwah Islam sebagai bahan olok-olok. QS. al-Hijr [15] ayat 6 mencatat ejekan
mereka, “Hai orang yang diturunkan al-Dzikr kepadanya, sesungguhnya engkau
benar-benar orang gila.” Selain ejekan verbal, mereka juga melakukan
penyiksaan fisik terhadap para sahabat yang lemah, seperti Bilal bin Rabah,
Yasir, dan Sumayyah. Al-Qur’an menyinggung karakter keras mereka dalam QS.
al-Buruj [85] ayat 10 tentang siksa bagi orang-orang beriman.
Kelima, kedustaan dan permintaan mukjizat
yang berlebihan. Karakteristik lain yang sering disebut dalam ayat-ayat
Makkiyah adalah tuntutan kaum kafir agar Nabi menunjukkan mukjizat material
sebagai syarat iman. QS. al-Isra’ [17] ayat 90–93 menggambarkan permintaan
mereka yang berlebihan, seperti menjadikan gunung-gunung terbelah, mendatangkan
sungai-sungai, hingga menurunkan malaikat. Hal ini menunjukkan sikap tidak
tulus mencari kebenaran, melainkan mencari-cari alasan untuk terus dalam
kekafiran.
Keenam, pengingkaran terhadap kehidupan
akhirat. Mayoritas orang Quraisy menolak konsep kebangkitan setelah mati.
QS. Qaf [50] ayat 3 menuturkan ucapan mereka, “Apakah kami akan dikembalikan
kepada kehidupan semula setelah menjadi tanah? Itu adalah pengembalian yang
mustahil.” Pandangan materialistis ini menjadi ciri dominan kekafiran
mereka, karena ajaran Islam menekankan keyakinan pada kehidupan akhirat sebagai
konsekuensi iman.
Ketujuh, permusuhan aktif terhadap dakwah Islam. Karakteristik
terakhir yang menonjol adalah upaya kaum kafir Makah menghalangi orang-orang
untuk beriman. QS. al-An‘am [6] ayat 26 menyebutkan bahwa mereka bukan hanya
menolak kebenaran untuk diri mereka sendiri, tetapi juga berusaha menghalangi
orang lain dari jalan Allah. Ini menjadi bukti bahwa kekafiran pada periode
Makah bukanlah sekadar pilihan individu, tetapi sebuah proyek kolektif untuk
mempertahankan status quo.
Dengan demikian, karakteristik kafir Makah
dalam Al-Qur’an Makkiyah mencerminkan kombinasi antara fanatisme tradisi,
kesombongan sosial, kedustaan terhadap wahyu, penolakan terhadap eskatologi,
serta upaya sistematis menentang dakwah Islam. Semua karakteristik ini
memperlihatkan bahwa istilah kafir pada periode Makah lebih
menitikberatkan pada aspek ideologis dan teologis, yaitu pengingkaran terhadap
tauhid dan kerasulan, yang sekaligus berdampak pada perlawanan sosial dan
politik terhadap komunitas Muslim awal.
7.
Konteks
Historis Dakwah Rasulullah Saw Periode Madinah
Hijrah Rasulullah Saw dari Makkah ke Madinah pada tahun 622 M menandai
fase baru dalam sejarah dakwah Islam. Jika periode Makkah ditandai dengan
dakwah yang berfokus pada penanaman tauhid dan kesabaran menghadapi penindasan
Quraisy, maka periode Madinah merupakan fase pembentukan masyarakat Islam yang
berdaulat secara politik, sosial, dan hukum. Di Madinah, Rasulullah tidak hanya
berperan sebagai nabi dan rasul, tetapi juga sebagai kepala negara, panglima
perang, sekaligus pemimpin masyarakat multikultural (Watt, 1956).
Madinah pada masa itu merupakan kota yang plural. Penduduknya terdiri
atas kaum Muhajirin (yang hijrah dari Makkah), kaum Anshar (suku Aus dan
Khazraj), serta kelompok-kelompok Yahudi (Bani Qaynuqa’, Bani Nadhir, Bani
Quraizhah) dan sebagian komunitas Nasrani. Selain itu, terdapat pula orang-orang munafik yang secara lahiriah
mengaku Islam, namun batinnya menolak dan bahkan berusaha melemahkan posisi umat Islam (Ibn Hisham, Sirah
Nabawiyyah). Keberagaman sosial ini membuat Rasulullah Saw harus menata kehidupan
masyarakat dengan strategi dakwah yang berbeda dibandingkan di Makkah.
Salah satu langkah penting adalah penyusunan Piagam Madinah,
sebuah perjanjian sosial-politik yang berfungsi sebagai konstitusi pertama bagi
masyarakat Madinah. Piagam ini mengatur hubungan antar kelompok, menjamin kebebasan
beragama, serta menegaskan posisi Rasulullah sebagai pemimpin tertinggi. Kaum
Muslimin, Yahudi, dan komunitas lainnya diikat dalam kesepakatan untuk saling
melindungi dan menjaga perdamaian kota (Hamidullah, 1975). Namun, meskipun
secara formal terikat dengan perjanjian, dalam praktiknya sebagian kelompok
Yahudi beberapa kali melanggar kesepakatan dan bersekongkol dengan musuh Islam,
sehingga memicu konflik-konflik militer, seperti perang dengan Bani Qaynuqa’,
Bani Nadhir, dan Bani Quraizhah.
Di sisi lain, periode Madinah juga ditandai
dengan perubahan strategi dakwah. Jika di Makkah ayat-ayat Al-Qur’an
lebih banyak menekankan aspek tauhid, kesabaran, dan janji kehidupan akhirat,
maka di Madinah turun ayat-ayat yang berkaitan dengan syariat, hukum sosial,
politik, ekonomi, dan aturan perang. Konsep “kafir” pun berkembang dalam
spektrum yang lebih luas. Istilah ini tidak hanya merujuk pada kaum musyrikin
yang menolak tauhid, tetapi juga mencakup kelompok-kelompok yang melanggar
perjanjian, memusuhi Islam, atau berpura-pura beriman (QS. Al-Baqarah [2] ayat
6-10; QS. Al-Munafiqun [63] ayat 1-4). Dengan demikian, definisi dan konteks
istilah kafir pada periode Madinah menjadi lebih kompleks dan berlapis.
Peristiwa-peristiwa besar seperti Perang
Badar (624 M), Uhud (625 M), dan Khandaq (627 M) memperlihatkan bagaimana
posisi kaum kafir, baik Quraisy maupun sekutu Yahudi, menjadi ancaman eksternal
terhadap eksistensi negara Madinah. Sementara itu, kaum munafik berperan
sebagai ancaman internal yang berusaha merusak kesatuan umat. Al-Qur’an
kemudian menurunkan ayat-ayat yang secara khusus menyinggung karakteristik dan
strategi mereka, menegaskan perbedaan antara “kafir luar” (Quraisy dan
sekutunya) dan “kafir dalam” (munafik) yang menjadi duri dalam tubuh
umat Islam (QS. Al-Nisa’ [4] ayat 138-141).
Dengan demikian, konteks historis dakwah
periode Madinah menunjukkan transformasi dari dakwah spiritual di Makkah
menjadi dakwah integral yang mencakup dimensi sosial-politik. Istilah kafir
dalam Al-Qur’an pada fase ini tidak lagi sekadar menunjuk pada penolakan
terhadap tauhid, melainkan mencakup bentuk pengkhianatan politik, permusuhan
terbuka, hingga kemunafikan yang mengancam stabilitas masyarakat Islam.
8.
Karakteristik
Kafir Madinah
Berbeda dengan kondisi di Makkah, istilah kafir pada periode
Madinah memiliki cakupan yang lebih kompleks karena masyarakat Madinah terdiri
dari berbagai kelompok dengan latar belakang agama, politik, dan kepentingan
yang beragam. Dalam konteks ini, Al-Qur’an tidak hanya berbicara tentang
penolakan terhadap tauhid, tetapi juga menyoroti dimensi sosial-politik dari
kekufuran yang berhubungan dengan pengkhianatan, permusuhan, serta kemunafikan
(Watt, 1956; Madigan, 2001).
Secara umum, karakteristik kafir Madinah
dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori utama:
1)
Kaum Yahudi yang Ingkar
dan Pengkhianat Perjanjian
Komunitas Yahudi di Madinah awalnya terikat dalam Piagam Madinah
yang mengatur kerukunan antar kelompok. Namun, sejumlah kelompok Yahudi seperti
Bani Qaynuqa’, Bani Nadhir, dan Bani Quraizhah melakukan pelanggaran perjanjian
dan bersekutu dengan musuh Islam, khususnya Quraisy, dalam upaya melemahkan
posisi Rasulullah Saw dan umat Islam. Al-Qur’an menyinggung sifat mereka yang
gemar menolak kebenaran meski mengetahuinya, serta kecenderungan melakukan
makar dan tipu daya (QS. Al-Baqarah [2] ayat 75–79; QS. Al-Maidah [5] ayat 82).
Sikap mereka menunjukkan bahwa kekufuran di Madinah bukan hanya berupa
penolakan akidah, tetapi juga pengkhianatan politik dan sosial (Ibn Hisham, Sirah
Nabawiyyah).
2)
Kaum Munafik
Salah satu
ciri khas periode Madinah adalah munculnya kelompok munafik, dipimpin oleh
Abdullah bin Ubay bin Salul. Mereka menampilkan diri sebagai Muslim, namun
diam-diam melemahkan barisan umat Islam, menyebarkan keraguan, dan bahkan
berkolaborasi dengan musuh. Al-Qur’an secara khusus menurunkan surat
Al-Munafiqun [63] untuk menggambarkan sifat mereka: dusta, pengecut, oportunis,
dan selalu mencari keuntungan dari dua pihak. Kaum munafik menjadi bentuk “kekufuran
terselubung” yang lebih berbahaya dibandingkan permusuhan terbuka karena
mereka berada di dalam tubuh masyarakat Islam sendiri (QS. Al-Nisa’ [4] ayat
138-141).
3)
Kaum Musyrikin Quraisy dan Sekutunya
Meski secara
geografis berbasis di Makkah, kafir Quraisy tetap menjadi musuh utama umat
Islam pada periode Madinah. Perang Badar, Uhud, dan Khandaq
memperlihatkan bahwa kekufuran dalam konteks ini diekspresikan melalui
permusuhan militer, aliansi politik, dan propaganda yang mengancam eksistensi
negara Madinah. Al-Qur’an menegaskan bahwa mereka yang terus-menerus memerangi
Islam, menolak berdamai, dan berupaya menghancurkan umat diposisikan sebagai
kafir yang jelas permusuhannya (QS. Al-Anfal [8] ayat 36; QS. Al-Tawbah [9] ayat 12-14).
4)
Kafir dalam Ranah Sosial-Politik
Istilah
kafir di Madinah tidak lagi sekadar menunjuk pada keyakinan teologis, tetapi
juga menyentuh aspek politik. Mereka yang mengingkari perjanjian, melakukan
konspirasi, atau menghalangi tegaknya hukum Allah digolongkan sebagai kafir
dalam arti sikap, meski secara formal beragama samawi. Hal ini terlihat dalam
penggambaran Al-Qur’an mengenai orang-orang yang “menukar ayat Allah dengan
harga yang sedikit” (QS. Al-Baqarah [2] ayat 174), yaitu praktik manipulasi
agama demi kepentingan politik dan duniawi (Rippin, 1993).
Dengan demikian, karakteristik kafir Madinah sangat berlapis: ada yang
kafir secara teologis (menolak risalah Islam), kafir secara politis
(pengkhianat perjanjian dan pelaku makar), serta kafir secara moral (munafik
yang berpura-pura beriman). Kompleksitas inilah yang menjadikan periode Madinah
berbeda dengan Makkah. Jika di Makkah kekufuran bersifat terbuka dan frontal,
maka di Madinah ia hadir dalam bentuk infiltrasi, diplomasi, dan pengkhianatan
yang menuntut kewaspadaan dan respon strategis dari umat Islam.
9.
Persamaan dan Perbedaan antara Kafir Makkah dan
Kafir Madinah
Dalam telaah Al-Qur’an, istilah kafir mengalami perkembangan
makna seiring perubahan konteks dakwah Rasulullah Saw. Periode
Makkah dan Madinah menghadirkan medan sosial, politik, dan teologis yang
berbeda, sehingga karakter kafir di kedua fase tersebut pun memiliki persamaan
sekaligus perbedaan mendasar. Pemahaman terhadap perbandingan ini sangat
penting agar tidak menyederhanakan istilah kafir secara monolitik,
melainkan memandangnya sesuai dengan dinamika wahyu dan realitas sejarah
(Izutsu, 2002; Madigan, 2001).
9.1. Persamaan
antara Kafir Makkah dan Kafir Madinah
1)
Penolakan terhadap Tauhid
dan Risalah Nabi
Baik di Makkah maupun Madinah, inti dari kekufuran adalah penolakan
terhadap ajaran tauhid dan kerasulan Muhammad Saw. Kaum Quraisy Makkah menolak
risalah dengan alasan tradisi leluhur (QS. Al-Zukhruf [43] ayat 22–23),
sementara sebagian Yahudi dan munafik di Madinah menolak meskipun mengetahui
tanda-tanda kebenaran risalah (QS. Al-Baqarah [2] ayat 89). Dengan demikian,
penolakan terhadap kebenaran tetap menjadi esensi kekufuran di kedua konteks.
2)
Permusuhan terhadap Islam
dan Umat Muslim
Kafir Makkah melakukan penyiksaan, pengusiran, dan embargo terhadap kaum
Muslim, sedangkan kafir Madinah melakukan makar politik, pengkhianatan
perjanjian, serta aliansi militer dengan musuh Islam. Meski berbeda bentuk,
keduanya sama-sama menunjukkan sikap aktif melawan Islam (Watt, 1956).
3)
Penggunaan Agama untuk
Kepentingan Duniawi
Baik di Makkah maupun Madinah, terdapat praktik penyalahgunaan agama
untuk legitimasi. Quraisy menjadikan berhala sebagai simbol kepentingan
ekonomi-politik di sekitar Ka’bah (Peters, 1994), sementara sebagian Yahudi
Madinah menyelewengkan kitab suci demi kepentingan politik dan keuntungan
pribadi (QS. Al-Baqarah
[2] ayat 79, 174).
9.2. Perbedaan
antara Kafir Makkah dan Kafir Madinah
1)
Sifat Kekufuran
þ Makkah:
Kekufuran bersifat terbuka
dan frontal. Orang-orang kafir Quraisy secara terang-terangan menyatakan
penentangan, menolak dakwah, dan menyiksa pengikut Nabi. Identitas kafir di Makkah jelas terlihat secara
sosial.
þ Madinah:
Kekufuran lebih kompleks dan berlapis. Ia tidak hanya berupa penolakan
teologis, tetapi juga muncul dalam bentuk politik, pengkhianatan, bahkan
kemunafikan. Ada kelompok yang secara formal masuk Islam namun menyembunyikan penentangan di balik
identitas Muslim (QS. Al-Munafiqun
[63] ayat 1).
2)
Komposisi Sosial dan Latar Belakang
þ Makkah: Didominasi kaum musyrik Quraisy yang mengandalkan tradisi nenek moyang
dan kepentingan ekonomi di sekitar Ka’bah (Watt, 1956).
þ Madinah: Lebih heterogen, terdiri dari Yahudi (Bani Qaynuqa’, Nadhir, dan
Quraizhah), kaum munafik, serta sekutu musyrikin dari luar. Kekufuran
di Madinah muncul dari interaksi antaragama, politik lokal, dan rivalitas
sosial.
3)
Dimensi Politik
þ Makkah: Penentangan kafir Quraisy belum menyentuh bentuk kenegaraan karena
Islam masih minoritas. Permusuhan lebih berupa tekanan sosial dan ekonomi.
þ Madinah:
Kekufuran memiliki konsekuensi politik dan militer. Dengan berdirinya negara
Madinah, kafir ditandai pula oleh pelanggaran terhadap Piagam Madinah, pengkhianatan perjanjian, dan
peperangan (QS. Al-Tawbah [9]
ayat 12–14).
4)
Respon Wahyu
þ Makkah: Al-Qur’an lebih menekankan aspek teologis dan
spiritual, menegakkan dasar iman, tauhid, dan kesabaran dalam menghadapi
tekanan (QS. Al-Ankabut [29] ayat 2–3).
þ Madinah:
Al-Qur’an memberikan pedoman menghadapi pengkhianatan, perang, dan kemunafikan,
serta mengatur relasi sosial-politik umat (QS. Al-Maidah [5] ayat 51–82).
Sintesis
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa istilah kafir di kedua
periode sama-sama merujuk pada sikap penolakan kebenaran dan permusuhan
terhadap Islam, namun konteks dan manifestasinya berbeda. Di
Makkah, kekufuran identik dengan penentangan teologis dan sosial yang
terang-terangan. Di Madinah, kekufuran lebih kompleks: selain menolak
kebenaran, ia juga mencakup dimensi politik, pengkhianatan perjanjian, serta
kemunafikan.
Dengan demikian, pemahaman tentang kafir
dalam Al-Qur’an harus dilihat secara kontekstual. Jika periode Makkah
menekankan kesabaran dalam menghadapi penindasan, maka periode Madinah
mengajarkan kewaspadaan politik, strategi sosial, dan penguatan umat dalam
menghadapi musuh yang lebih variatif.
10.
Relevansi Pemahaman Istilah Kafir dalam Konteks
Kontemporer
Pembahasan mengenai istilah kafir dalam Al-Qur’an tidak hanya
penting untuk memahami dinamika dakwah Rasulullah Saw pada periode Makah dan
Madinah, tetapi juga relevan dalam konteks masyarakat kontemporer yang semakin
plural, multikultural, dan global. Istilah ini seringkali menjadi bahan
polemik, baik dalam diskursus akademik maupun wacana sosial keagamaan. Sebagian
pihak memahami istilah kafir secara tekstual tanpa mempertimbangkan konteks
historis, sementara sebagian lain cenderung menafsirkannya secara inklusif
dengan mempertimbangkan nilai-nilai universal kemanusiaan yang terkandung dalam
Al-Qur’an (Nasr, 2002).
Dalam konteks globalisasi, ketika interaksi
antaragama semakin intens, pemahaman yang tepat terhadap istilah kafir
menjadi krusial untuk mencegah kesalahpahaman, stereotip, atau bahkan konflik.
Al-Qur’an secara jelas menegaskan adanya perbedaan iman antara Muslim dan
non-Muslim, namun pada saat yang sama juga mengajarkan prinsip kebebasan
beragama: “Tidak ada paksaan dalam agama...” (Q.S. al-Baqarah [2] ayat
256). Ayat ini menegaskan bahwa penggunaan istilah kafir tidak boleh dilepaskan
dari prinsip toleransi, keadilan, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia
(Esack, 1997).
Selain itu, penting untuk membedakan antara
istilah kafir dalam pengertian teologis dengan penggunaannya dalam
interaksi sosial. Dalam ranah teologis, istilah kafir berkaitan dengan status
keimanan seseorang menurut akidah Islam. Namun, dalam konteks sosial,
Rasulullah Saw mencontohkan hubungan yang penuh etika dan keadilan dengan
non-Muslim, termasuk dengan kafir yang hidup berdampingan di Madinah. Piagam
Madinah menjadi bukti nyata bahwa meskipun ada perbedaan iman, umat Islam
dituntut untuk membangun relasi sosial-politik yang harmonis dengan kelompok
lain (Watt, 1956).
Dalam era modern, pemahaman ini perlu
ditegaskan agar umat Islam tidak terjebak dalam ekstremisme yang mengkafirkan
pihak lain secara serampangan. Penelitian kontemporer menunjukkan bahwa salah
satu akar radikalisme adalah kesalahpahaman terhadap istilah kafir yang
dipersempit maknanya semata-mata pada label negatif, tanpa memahami konteks
Al-Qur’an yang lebih luas (Saeed, 2006). Oleh karena itu, pendekatan tafsir
kontekstual yang mempertimbangkan asbāb al-nuzūl (sebab turunnya ayat),
konteks sejarah, serta tujuan moral universal Islam menjadi kunci dalam
memahami istilah ini secara proporsional.
Relevansi pemahaman kafir dalam konteks
kekinian juga menegaskan perlunya membangun teologi kerukunan, yakni suatu cara
pandang yang mengakui perbedaan iman namun tetap menghargai martabat
kemanusiaan semua individu. Dengan demikian, istilah kafir tidak dipahami
sebagai alat untuk merendahkan, melainkan sebagai kategori teologis yang
berfungsi untuk menegaskan identitas keimanan, sekaligus membuka ruang bagi
etika sosial yang inklusif, adil, dan damai.
11. Penutup
Kajian mengenai istilah kafir dalam Al-Qur’an melalui pendekatan
etimologis, terminologis, dan kontekstual antara periode Makah dan Madinah
menunjukkan bahwa istilah ini tidak dapat dipahami secara statis dan ahistoris.
Pada periode Makah, istilah kafir lebih banyak diarahkan kepada kaum
musyrik Quraisy yang menolak seruan tauhid dan melakukan penindasan terhadap
umat Islam. Penekanannya bersifat teologis dan spiritual, dengan orientasi untuk
mempertegas identitas iman kaum Muslimin sekaligus memberi peringatan tentang
konsekuensi penolakan terhadap kebenaran wahyu (Ibn Kathir, 1999).
Sementara itu, pada periode Madinah,
penggunaan istilah kafir berkembang dalam ranah sosial, politik, dan
hukum. Konteks masyarakat Madinah yang plural dengan kehadiran Yahudi, Nasrani,
dan kelompok munafik menuntut adanya diferensiasi makna serta strategi dakwah
yang lebih kompleks. Piagam Madinah yang dirancang Rasulullah Saw menegaskan
bahwa meskipun terdapat perbedaan akidah, non-Muslim tetap diakui hak-haknya
sebagai bagian dari masyarakat politik yang harus dijaga keharmonisannya (Watt,
1956). Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan istilah kafir tidak
dimaksudkan untuk mendiskriminasi secara sosial, melainkan untuk menegaskan
perbedaan teologis dalam kerangka dakwah Islam (Nasr, 2002).
Persamaan antara kafir Makah dan kafir
Madinah terletak pada inti penolakannya terhadap risalah Islam, sedangkan
perbedaannya menyangkut bentuk manifestasi, motivasi, serta respon yang
diberikan Rasulullah Saw terhadap mereka. Pemahaman atas hal ini memberikan
gambaran bahwa Al-Qur’an mengajarkan fleksibilitas dalam penggunaan istilah kafir,
selalu disesuaikan dengan kondisi sosial dan kebutuhan dakwah saat itu (Saeed,
2006).
Dalam konteks kontemporer, pemaknaan kafir
harus diarahkan pada penguatan identitas keimanan umat Islam sekaligus dipahami
dalam kerangka etika sosial yang menjunjung tinggi keadilan, toleransi, dan
penghormatan terhadap kebebasan beragama. Kesalahpahaman dalam memahami istilah
ini berpotensi menimbulkan eksklusivisme yang meruncing pada radikalisme. Oleh
karena itu, pendekatan tafsir kontekstual dengan memperhatikan asbāb
al-nuzūl, kondisi historis, dan nilai-nilai universal Islam menjadi jalan
tengah yang paling tepat (Esack, 1997).
Dengan demikian, kesimpulan dari penelitian
ini menegaskan bahwa istilah kafir dalam Al-Qur’an bukan sekadar label,
melainkan konsep teologis yang kaya nuansa, bergantung pada konteks wahyu
diturunkan. Relevansi pemahaman ini di era modern terletak pada kemampuan umat
Islam untuk menyeimbangkan keteguhan akidah dengan etika sosial yang damai dan
inklusif, sebagaimana telah dicontohkan Rasulullah Saw di Madinah.
Daftar Pustaka
Esack, F. (1997). Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic
Perspective of Interreligious Solidarity against Oppression. Oxford:
Oneworld Publications.
Ibn Kathir, I. (1999). Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm (Vols. 1–8).
Riyadh: Dār Ṭayyibah.
Nasr, S. H. (2002). The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity.
New York: HarperCollins.
Saeed, A. (2006). Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary
Approach. London: Routledge.
Watt, W. M. (1956). Muhammad at Medina. Oxford: Oxford University
Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar