Senin, 18 Agustus 2025

Kafir dalam Perspektif Al-Qur’an: Telaah Etimologis, Terminologis, dan Kontekstual antara Periode Makah dan Madinah

Kafir dalam Perspektif Al-Qur’an

Telaah Etimologis, Terminologis, dan Kontekstual antara Periode Makah dan Madinah


Alihkan ke: Ulumul Qur’an.


Abstrak

Artikel ini membahas istilah kafir dalam Al-Qur’an melalui telaah etimologis, terminologis, dan kontekstual dengan meninjau perbedaan periode Makah dan Madinah. Secara etimologis, kata kafir berarti menutup atau menolak kebenaran, sedangkan secara terminologis merujuk pada individu atau kelompok yang menolak iman kepada Allah dan kerasulan Muhammad Saw. Melalui pendekatan historis, penelitian ini menunjukkan bahwa kategori dan tipologi kafir pada periode Makah lebih dominan menampilkan sikap penentangan kaum musyrik Quraisy yang berbasis pada tradisi paganisme, sedangkan pada periode Madinah lebih kompleks dengan hadirnya kaum Yahudi, Nasrani, dan kaum munafik yang menentang Islam secara ideologis, politis, maupun sosial. Analisis ini menemukan persamaan karakteristik berupa penolakan terhadap ajaran tauhid dan kebenaran wahyu, namun terdapat perbedaan dalam bentuk perlawanan dan motif penentangan. Studi ini juga menekankan relevansi pemahaman istilah kafir dalam konteks kontemporer, yakni perlunya membedakan dimensi teologis dengan dimensi sosial agar istilah tersebut tidak digunakan secara diskriminatif, melainkan tetap berpijak pada nilai-nilai universal Islam yang menjunjung keadilan, kebebasan beragama, dan penghormatan terhadap kemanusiaan.

Kata Kunci: Kafir, Al-Qur’an, Makah, Madinah, Etimologi, Konteks Historis, Tafsir.


PEMBAHASAN

Istilah Kafir dalam Al-Qur’an


1.           Pendahuluan

1.1.       Latar Belakang

Istilah kafir merupakan salah satu istilah kunci dalam Al-Qur’an yang sering digunakan untuk merujuk pada individu atau kelompok yang menolak keimanan kepada Allah Swt, mengingkari ajaran para nabi, atau berpaling dari kebenaran yang telah dijelaskan. Kata ini dan derivasinya muncul dalam berbagai bentuk sebanyak lebih dari 500 kali dalam Al-Qur’an, menandakan signifikansi teologis dan dakwahnya (al-Farmawi, 2003). Namun, pemahaman terhadap istilah ini tidak dapat dilepaskan dari dimensi bahasa, sejarah pewahyuan, serta konteks sosial-politik tempat ayat-ayat tersebut diturunkan.

Secara etimologis, istilah kafir berasal dari akar kata k-f-r yang berarti “menutupi” atau “menyembunyikan”. Dalam bentuk dasarnya, kata ini semula digunakan untuk menyebut para petani yang menutup benih dalam tanah (al-kāfir al-zāri‘, QS. Al-Hadid [57] ayat 20). Namun, dalam perkembangan maknanya dalam Al-Qur’an, kufr mengacu pada tindakan menutupi atau mengingkari kebenaran iman kepada Allah dan risalah-Nya (Ibn Faris, Maqayis al-Lughah). Secara terminologis, para ulama membedakan berbagai bentuk kekufuran seperti kufr juhud (pengingkaran), kufr ‘inad (penolakan karena kesombongan), kufr nifaq (kemunafikan), dan kufr i‘rad (pembangkangan), sebagaimana dijelaskan oleh al-Ghazali dalam al-Iqtisad fi al-I‘tiqad dan Ibn Qayyim al-Jauziyyah dalam Madarij al-Salikin.

Kata kafir mengalami perubahan nuansa dan cakupan makna yang signifikan ketika ditinjau dalam dua fase utama dakwah Rasulullah Saw, yaitu periode Makah dan periode Madinah. Pada masa Makah, Nabi Muhammad Saw menghadapi kaum musyrikin Quraisy yang menolak seruan tauhid dan kerasulan secara terang-terangan. Ayat-ayat yang turun pada periode ini banyak menyoroti aspek spiritual, ancaman neraka, serta upaya pembuktian keesaan Allah dan kebenaran risalah (Nasr, 2003). Kafir Makah biasanya digambarkan sebagai penentang dakwah secara terbuka, yang menolak bukan karena ketidaktahuan, melainkan karena kesombongan dan kekhawatiran akan hilangnya kekuasaan sosial (lihat QS. Al-Muddatsir [74] ayat 24-25 dan QS. An-Nazi‘at [79] ayat 17-24).

Sementara itu, pada periode Madinah, tantangan dakwah Rasulullah mengalami pergeseran dari permusuhan yang frontal menjadi lebih kompleks dan politis. Di Madinah, Nabi berhadapan dengan berbagai kelompok seperti kaum munafik, Yahudi, dan kabilah-kabilah Arab yang memiliki relasi politik dengan umat Islam. Kafir pada periode ini tidak hanya tampak sebagai musuh luar, tetapi juga hadir dalam bentuk internal seperti kemunafikan (nifaq), yaitu penampakan iman secara lahir namun menyimpan kekufuran dalam hati (lihat QS. Al-Baqarah [02] ayat 8-10 dan QS. At-Taubah [09] ayat 64-67). Tafsir al-Razi menegaskan bahwa kekufuran dalam konteks ini lebih terselubung dan penuh intrik karena dipengaruhi oleh dinamika politik dan aliansi antar suku.

Oleh karena itu, pemahaman terhadap istilah kafir tidak boleh dilepaskan dari konteks historis dan sosiologis turunnya wahyu. Tanpa pendekatan kontekstual, istilah ini dapat disalahpahami dan disalahgunakan dalam wacana sosial-keagamaan modern, misalnya untuk menjustifikasi intoleransi atau kekerasan terhadap pihak yang berbeda keyakinan. Pendekatan kontekstual seperti yang dikembangkan oleh Fazlur Rahman dalam Major Themes of the Qur’an dan Abdullah Saeed dalam Reading the Qur’an in the Twenty-First Century menekankan perlunya membedakan antara makna normatif dan kontekstual dari istilah-istilah Al-Qur’an, termasuk kafir.

Dalam dunia yang semakin plural dan majemuk, kajian terhadap istilah kafir menjadi sangat penting tidak hanya untuk pemurnian pemahaman teologis, tetapi juga untuk menciptakan wacana keislaman yang inklusif, bijaksana, dan sesuai dengan misi Islam sebagai rahmat bagi semesta alam (QS. Al-Anbiya’ [21] ayat 107). Dengan memahami secara cermat perbedaan karakteristik kafir pada dua periode dakwah Rasulullah, umat Islam dapat mengambil pelajaran tentang strategi dakwah yang relevan dan penuh hikmah.

1.2.       Rumusan Masalah

1)                  Bagaimana makna etimologis dan terminologis istilah kafir dalam Al-Qur’an?

2)                  Apa saja karakteristik utama kafir pada periode Makah dan Madinah?

3)                  Bagaimana persamaan dan perbedaan antara kafir Makah dan kafir Madinah ditinjau dari segi konteks dan ayat-ayat yang relevan?

1.3.       Tujuan Penulisan

·                     Menjelaskan makna kafir secara linguistik dan syar‘i.

·                     Menganalisis konteks kekufuran dalam dua periode dakwah Nabi Saw.

·                     Memberikan pemahaman yang adil dan berimbang tentang penggunaan istilah kafir dalam Al-Qur’an.

1.4.       Manfaat Penulisan

Tulisan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap khazanah studi tafsir kontekstual, menjadi acuan dalam pendidikan keagamaan yang moderat, serta membantu masyarakat memahami penggunaan istilah kafir secara proporsional agar tidak terjebak dalam sikap eksklusif maupun diskriminatif terhadap pihak yang berbeda keyakinan.


2.           Kajian Etimologis Istilah Kafir

2.1.       Akar Kata dan Asal-usul Etimologis

Secara etimologis, istilah kāfir (كَافِر) dalam bahasa Arab berasal dari akar kata k-f-r (كَفَرَ) yang secara harfiah berarti “menutupi”, “menyembunyikan”, atau “mengubur sesuatu”. Raghib al-Asfahani dalam al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an menjelaskan bahwa kata kufr pada asalnya digunakan untuk menyebut tindakan menutupi sesuatu dengan sesuatu yang lain, seperti petani yang menutupi benih dengan tanah. Oleh sebab itu, dalam Al-Qur’an, kata kāfirīn (orang-orang kafir) juga digunakan dalam konteks pertanian:

"Kamathali ghaythin a‘jaba al-kuffāra nabātuhu" (QS. Al-Hadid [57] ayat 20)

Dalam ayat ini, kata al-kuffār dimaknai sebagai “petani” yang menutupi benih di dalam tanah, bukan sebagai penolak iman. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan akar kata k-f-r secara linguistik tidak selalu berkonotasi teologis, melainkan sangat kontekstual dan multiguna.

Ibn Faris dalam Maqayis al-Lughah menjelaskan bahwa semua derivasi dari akar k-f-r berkaitan dengan makna “penutupan” atau “pengingkaran terhadap sesuatu yang semestinya diakui secara terbuka”. Dalam konteks agama, istilah ini kemudian bergeser menjadi “menutup kebenaran” atau “mengingkari nikmat dan risalah Allah”. Dengan demikian, kafir secara etimologis menunjuk pada seseorang yang menolak atau menyembunyikan kebenaran setelah kebenaran itu tampak jelas baginya.

2.2.       Derivasi dan Variasi Bentuk Kata

Dalam Al-Qur’an, kata kufr muncul dalam berbagai bentuk gramatikal, seperti:

·                     Fi‘il madhi (kata kerja lampau): kafarū (mereka telah kafir),

"Inna alladzīna kafarū sawā’un ‘alayhim..." (QS. Al-Baqarah [02] ayat 6)

·                     Fi‘il mudhari‘ (kata kerja kini/masa depan): yakfurūna,

"Yastahibbūna al-hayāta ad-dunyā ‘alā al-ākhirah wa yashuddūna ‘an sabīlillāh wa yabghūnahā ‘iwajan. Ūlāika fī dhalālin ba‘īd." (QS. Ibrahim [14] ayat 3)

·                     Isim fa‘il (pelaku): kāfir atau kāfirīn,

"Wa mā Rabbuka bi-ghāfilin ‘ammā ya‘malu al-kāfirūn" (QS. Al-An‘am [06] ayat 132)

·                     Masdar (kata dasar): kufr,

"Wa man lam yahkum bimā anzala Allāh fa-ulāika hum al-kāfirūn" (QS. Al-Ma’idah [05] ayat 44)

Keberagaman bentuk ini menunjukkan bahwa istilah kafir bukan hanya menunjuk kepada identitas statis, melainkan juga kepada proses, sikap, dan perilaku yang berlawanan dengan keimanan. Menurut al-Zamakhsyari dalam al-Kasysyaf, penggunaan kata-kata tersebut mengindikasikan tingkatan-tingkatan kekufuran dari yang bersifat pasif hingga aktif.

2.3.       Pemaknaan dalam Peradaban Arab Jahiliyah

Dalam masyarakat Arab pra-Islam, kata kafir secara umum tidak dipakai dalam pengertian religius, tetapi lebih merujuk pada makna literal “menutup” atau “tidak membalas kebaikan”, misalnya terhadap orang yang tidak bersyukur (lihat Lisan al-‘Arab oleh Ibn Manzur). Bahkan, seseorang yang tidak mensyukuri bantuan atau pemberian disebut sebagai “kāfir ni‘mah”, yaitu pengingkar nikmat.

Namun setelah Al-Qur’an diturunkan, istilah ini mengalami transformasi makna menjadi konsep teologis yang merujuk pada mereka yang secara sadar menolak iman kepada Allah, menolak kebenaran risalah para nabi, atau melakukan bentuk-bentuk pengingkaran setelah penjelasan yang nyata. Dalam tafsir al-Tabari, istilah kafir merujuk pada seseorang yang secara sadar dan sengaja menolak petunjuk, bukan karena ketidaktahuan, tetapi karena keangkuhan atau kebencian terhadap kebenaran.

2.4.       Perbandingan dengan Istilah Sejenis

Dalam Al-Qur’an, terdapat beberapa istilah lain yang memiliki keterkaitan semantik dengan kafir, antara lain:

·                     Fasiq (orang yang keluar dari ketaatan)

·                     Munafiq (orang yang berpura-pura beriman)

·                     Mushrik (orang yang mempersekutukan Allah)

Meskipun makna-makna ini sering tumpang tindih, tidak semua orang musyrik disebut kafir dalam konteks ayat tertentu, dan tidak semua fasiq otomatis keluar dari Islam secara mutlak. Al-Qur’an menggunakan istilah-istilah tersebut secara kontekstual, tergantung pada perbuatan dan sikap hati orang tersebut terhadap risalah Islam (lihat QS. At-Tawbah [09] ayat 67 dan QS. Al-Ma’idah [05] ayat 44-47).


Kesimpulan Sementara

Secara etimologis, kafir mengandung makna dasar “menutupi” atau “mengingkari”, yang kemudian berkembang menjadi istilah teologis dalam Al-Qur’an untuk menyebut mereka yang secara sadar menolak atau menutup diri dari kebenaran Islam. Perubahan makna ini terjadi seiring dengan perkembangan dakwah Islam dan konteks wahyu. Pemahaman etimologis yang tepat menjadi fondasi penting untuk memahami kompleksitas istilah ini dalam pemakaian terminologis dan kontekstual yang akan dibahas dalam bab-bab selanjutnya.


3.           Definisi Terminologis Kafir dalam Al-Qur’an

3.1.       Pengertian Terminologis Kafir dalam Al-Qur’an

Secara terminologis, istilah kāfir dalam Al-Qur’an merujuk kepada individu atau kelompok yang secara sadar menolak untuk mengimani Allah Swt, risalah para nabi, dan kebenaran yang telah datang kepada mereka. Penolakan ini bukan karena ketidaktahuan murni, melainkan merupakan tindakan yang disengaja, disertai penolakan hati dan sikap permusuhan terhadap kebenaran. Al-Ghazali dalam al-Iqtisād fi al-I‘tiqād menyebut kufr sebagai bentuk “tażdzīb al-dīn” (penghinaan terhadap agama) yang muncul dari pengingkaran terhadap kebenaran yang telah sampai dengan hujjah (bukti) yang jelas.

Dalam kerangka tafsir, Al-Raghib al-Asfahani membedakan antara kufr dalam makna umum dan khusus. Dalam makna umum, kufr mencakup segala bentuk penolakan terhadap nikmat Allah, baik dalam bentuk keingkaran verbal, sikap hati, maupun perilaku. Sedangkan dalam makna khusus, kufr dipahami sebagai kebalikan dari iman, yakni tidak mempercayai Allah, kerasulan Muhammad Saw, dan hari akhir. Al-Qur’an menegaskan:

“Inna alladzīna kafarū sawaa’un ‘alayhim a-andzartahum am lam tundzirhum lā yu’minūn” (QS. Al-Baqarah [02] ayat 6)

Ayat ini menggambarkan kondisi hati yang tertutup akibat kekufuran yang terus-menerus, sehingga peringatan tidak lagi berdampak bagi mereka.

3.2.       Bentuk-Bentuk Kekufuran dalam Al-Qur’an

Para ulama dan mufassir mengklasifikasikan kekufuran ke dalam beberapa bentuk berdasarkan nash Al-Qur’an dan fenomena historis dalam dakwah Nabi Muhammad Saw. Di antara bentuk-bentuk utama kufr adalah:

1)                  Kufr Juhūd (kekufuran karena pengingkaran)

Yaitu menolak kebenaran setelah mengetahuinya secara jelas. Inilah bentuk kekufuran Firaun yang disebut dalam QS. An-Naml [27] ayat 14:

“Wa jahadū bihā wastaiqanathā anfusuhum...”

Mereka mengingkari dengan lisan padahal hati mereka yakin kebenarannya.

2)                  Kufr ‘Inād (kekufuran karena kesombongan atau pembangkangan)

Kekufuran ini terjadi bukan karena tidak tahu, tetapi karena enggan menerima kebenaran. Contoh utamanya adalah kaum musyrikin Quraisy yang menyaksikan kejujuran Nabi, namun tetap menolak karena keangkuhan sosial (lihat QS. Sad [38] ayat 5-6).

3)                  Kufr Nifāq (kekufuran dalam bentuk kemunafikan)

Orang yang menampakkan keimanan tetapi menyembunyikan kekufuran. Mereka disebut dalam Al-Qur’an sebagai:

“Wa minan-nāsi man yaqūlu āmannā billāh wa bil-yawmil-ākhir wa mā hum bi-mu’minīn”

(QS. Al-Baqarah [02] ayat 8)

4)                  Kufr I‘rādh (kekufuran karena berpaling dari kebenaran)

Yaitu tidak mau peduli terhadap wahyu, tidak mempelajarinya, dan tidak menaruh perhatian sama sekali. Ini ditegaskan dalam QS. Al-Ahqaf [46] ayat 3:

“Wa hum ‘an āyātinā mu‘ridūn”

5)                  Kufr Ni‘mah (pengingkaran terhadap nikmat Allah)

Kekufuran ini bersifat moral dan spiritual, ketika seseorang tidak bersyukur atas nikmat yang Allah berikan. QS. Ibrahim [14] ayat 7 menyebutkan:

“La’in syakartum la-azīdannakum wa la’in kafartum inna ‘adzābī la-syadīd”

Klasifikasi ini ditegaskan oleh Ibn Qayyim al-Jauziyyah dalam Madarij al-Sālikīn bahwa kufr bukanlah satu bentuk tunggal, tetapi mencakup dimensi intelektual, spiritual, dan sosial, yang masing-masing memiliki dampak teologis yang berbeda.

3.3.       Istilah Kafir dalam Hubungan dengan Konsep Iman

Dalam Al-Qur’an, istilah kāfir berfungsi sebagai lawan dari mu’min (orang beriman). Hubungan ini tidak hanya bersifat oposisi biner, tetapi menunjukkan perbedaan dalam orientasi hidup, worldview, dan respons terhadap wahyu. Oleh karena itu, orang kafir dalam terminologi Al-Qur’an bukan semata-mata orang non-Muslim dalam pengertian identitas formal, melainkan mereka yang secara sadar dan sengaja menolak iman setelah datangnya keterangan yang jelas. Dalam QS. An-Nisa’ [04] ayat 115 ditegaskan:

“Wa man yusyāqqiqir-rasūla min ba‘di mā tabayyana lahu al-hudā wa yattabi‘ ghayra sabīlil-mu’minīn... fa ula’ika nuwallī mā tawallā wa nushlihi jahannama”

Di sinilah pentingnya memahami konteks pewahyuan dan perbedaan respons terhadap dakwah Rasulullah. Seseorang yang belum pernah menerima dakwah Islam dengan jelas tidak secara otomatis disebut sebagai kafir dalam terminologi syar‘i, sebagaimana dijelaskan oleh al-Ghazali dan al-Razi dalam pembahasan mengenai ahl al-fatrah (orang yang hidup dalam masa kekosongan risalah).

3.4.       Konsekuensi Teologis dan Sosial

Dalam kerangka keimanan, status kafir memiliki konsekuensi serius karena berhubungan langsung dengan keselamatan akhirat. Namun dalam aspek sosial, tidak semua bentuk kekufuran menuntut permusuhan terbuka. Al-Qur’an membedakan antara kafir harbi (yang memusuhi Islam) dan kafir dzimmi (non-Muslim yang hidup damai dalam masyarakat Islam). QS. Al-Mumtahanah: 8 menegaskan:

“Lā yanhākumullāhu ‘ani alladzīna lam yuqātilūkum fī ad-dīn wa lam yukhrijūkum min diyārikum an tabarrūhum wa tuqsithū ilayhim...”

Ayat ini menunjukkan bahwa status kafir tidak secara otomatis menjadikan seseorang sebagai musuh umat Islam.


Kesimpulan Sementara

Pemaknaan terminologis terhadap istilah kafir dalam Al-Qur’an tidak bisa disamaratakan. Ia memiliki dimensi-dimensi spiritual, moral, politis, dan sosial yang berbeda-beda tergantung konteks pewahyuan. Dengan memahami klasifikasi bentuk-bentuk kekufuran dan makna teologisnya secara tepat, umat Islam dapat bersikap lebih bijak, adil, dan kontekstual dalam menghadapi keragaman keyakinan di masyarakat, sekaligus menghindari sikap generalisasi dan ekstremisme. Pembahasan selanjutnya akan mengkaji konteks konkret istilah kafir dalam periode Makah dan Madinah.


4.           Kategori dan Tipologi Kafir dalam Al-Qur’an

Istilah kafir dalam Al-Qur’an tidak selalu digunakan dalam satu makna tunggal atau bersifat mutlak. Penggunaan istilah ini sangat bergantung pada konteks pewahyuan, kondisi sosiologis, dan bentuk penolakan terhadap risalah Islam. Oleh karena itu, para ulama dan mufassir mengembangkan pendekatan kategoris terhadap makna kafir, dengan membagi istilah ini ke dalam berbagai tipologi berdasarkan sikap, tujuan, dan relasi orang-orang kafir terhadap umat Islam dan risalah kenabian. Tipologi ini penting untuk menghindari generalisasi dan penyeragaman yang dapat berujung pada sikap intoleran atau kekerasan atas nama agama.

4.1.       Kategori Kafir Berdasarkan Sikap dan Tujuan

4.1.1.    Kafir Musyrik

Kafir musyrik adalah mereka yang mempersekutukan Allah dengan makhluk lain, baik melalui penyembahan berhala, keyakinan politeistik, maupun doktrin ketuhanan yang tidak murni. Tipologi ini banyak ditemukan dalam konteks dakwah Nabi Muhammad Saw di Makah. QS. Al-Kafirun [109] ayat 1–6 menjadi salah satu ayat yang secara tegas menunjukkan sikap kompromi nol terhadap penyembahan bersama:

"Lā a‘budu mā ta‘budūn..."

Musyrikin Makah mengingkari ajaran tauhid bukan semata karena ketidaktahuan, tetapi karena warisan tradisional dan kepentingan kekuasaan sosial (Tafsir al-Razi, QS. Al-Kafirun). Dalam banyak kasus, mereka menolak risalah Nabi dengan alasan mempertahankan status quo dan otoritas suku.

4.1.2.    Kafir Ahli Kitab

Kategori ini mencakup orang-orang Yahudi dan Nasrani yang memiliki kitab suci sebelumnya namun menolak kenabian Muhammad Saw dan ajaran Al-Qur’an. Dalam QS. Al-Bayyinah [98] ayat 1, mereka disebutkan bersama kaum musyrik sebagai pihak yang tetap dalam kekufuran meskipun telah datang bukti nyata:

"Lam yakunilladzīna kafarū min ahlil-kitābi wal-musyrikīna munfakkīna ḥattā ta’tiyahumul-bayyinah"

Al-Qur’an membedakan perlakuan terhadap Ahli Kitab dibanding musyrikin Arab karena adanya dimensi kedekatan teologis. Namun, ketika mereka bersikap permusuhan, sebagaimana kaum Yahudi Bani Quraizhah di Madinah, maka mereka tetap digolongkan sebagai kafir yang memerangi (lihat QS. Al-Hasyr [59] ayat 11–14 dan penjelasan Ibn Katsir).

4.1.3.    Kafir Munafiq

Kafir jenis ini merujuk pada orang-orang yang secara lahiriah menyatakan keislaman, namun menyembunyikan kekufuran dalam hati mereka. Golongan ini muncul secara dominan di Madinah, ketika Islam mulai memiliki kekuatan sosial dan politik. Mereka disebutkan secara rinci dalam QS. Al-Baqarah [02] ayat 8–10 dan QS. At-Tawbah [09] ayat 67:

"Wa minan-nāsi man yaqūlu āmannā billāhi wa bil-yawmil-ākhir wa mā hum bi-mu’minīn"

Munafik merupakan bentuk kekufuran yang sangat berbahaya karena tersembunyi, penuh makar, dan seringkali membahayakan stabilitas internal umat Islam (Tafsir al-Qurthubi). Abdullah bin Ubay bin Salul adalah contoh nyata dari tokoh munafik yang menghasut dan memprovokasi umat Islam dari dalam.

4.1.4.    Kafir Harbi

Kafir harbi adalah mereka yang secara aktif memerangi kaum Muslimin, memusuhi dakwah Islam, dan berusaha menghalangi penyebarannya. Mereka tidak hanya menolak ajaran Islam, tetapi juga melakukan penindasan dan agresi. QS. Al-Baqarah [02] ayat 190–193 menyatakan:

"Wa qātilū fī sabīlillāhi alladzīna yuqātilūnakum..."

Menurut ulama fikih seperti Imam al-Syafi‘i dan al-Mawardi, perlakuan terhadap kafir harbi berbeda dengan kafir damai, karena mereka menjadi ancaman nyata terhadap eksistensi umat Islam.

4.1.5.    Kafir Dzimmi

Kafir dzimmi adalah non-Muslim yang hidup damai dalam pemerintahan Islam dan tunduk pada hukum Islam yang berlaku dengan membayar jizyah. Mereka dilindungi secara hukum dan tidak boleh dizalimi. QS. At-Tawbah [09] ayat 29 menyatakan:

"Qātilū alladzīna lā yu’minūna billāhi wa lā bil-yawmil-ākhir... hatta yu‘ṭū al-jizyata ‘an yadin wa hum ṣāghirūn"

Dalam tafsir al-Jassas (Ahkam al-Qur’an), dijelaskan bahwa ayat ini tidak menyeru pembunuhan terhadap non-Muslim secara membabi buta, tetapi merujuk pada regulasi hukum dalam kondisi peperangan atau setelah penaklukan wilayah.

4.1.6.    Kafir Musta’man dan Mu‘ahad

Kafir musta’man adalah non-Muslim yang mendapatkan perlindungan keamanan secara temporer dari negara Islam, sedangkan kafir mu‘ahad adalah mereka yang terikat perjanjian damai. QS. At-Tawbah [09] ayat 4 memberikan ketentuan terhadap orang-orang musyrik yang tidak melanggar perjanjian:

"Illalladzīna ‘āhadthum minal musyrikīn tsumma lam yanquṣūkum syai’an..."

Ayat ini menunjukkan bahwa Islam mengakui perjanjian sebagai dasar hubungan antaragama, dan menghormati komitmen damai selama tidak dikhianati.

4.2.       Dimensi Teologis dan Sosial dari Tipologi Kafir

Pembagian ini tidak semata-mata bersifat teologis, tetapi juga sangat terkait dengan realitas sosial-politik dalam masyarakat Arab pada masa pewahyuan. Dalam konteks tersebut, kekufuran tidak selalu diukur dari status keyakinan batiniah semata, tetapi juga dari tindakan dan sikap terhadap risalah Islam dan umatnya. Hal ini ditegaskan oleh al-Maturidi dalam Ta’wilat Ahl al-Sunnah, bahwa hukum terhadap orang kafir tidak boleh hanya didasarkan pada label, melainkan juga pada sikap aktual terhadap umat Islam.

Pendekatan tipologis ini mencegah pemaknaan tunggal terhadap istilah kafir dan mendorong sikap yang lebih kontekstual dan adil dalam memahami Al-Qur’an. Dalam masyarakat plural hari ini, pemahaman semacam ini membantu membangun relasi antarumat yang lebih damai, dengan tetap menjaga prinsip iman dan loyalitas terhadap akidah Islam.


Kesimpulan Sementara

Al-Qur’an tidak menyamaratakan semua orang kafir, melainkan mengklasifikasikannya berdasarkan sikap mereka terhadap Allah, Nabi Muhammad Saw, dan umat Islam. Tipologi ini mencakup kafir musyrik, ahli kitab, munafik, harbi, dzimmi, musta’man, dan mu‘ahad. Masing-masing memiliki konsekuensi hukum dan etika yang berbeda dalam Islam. Pemahaman yang cermat terhadap kategori ini menjadi dasar penting untuk menyikapi keberagaman umat manusia secara adil dan tidak ekstrem, sesuai dengan prinsip Islam yang menghormati hak-hak non-Muslim dalam batas yang telah digariskan syariat.


5.           Konteks Historis Dakwah Rasulullah Saw Periode Makah

Periode Makah dalam sejarah dakwah Rasulullah Saw merupakan fase awal yang berlangsung kurang lebih selama tiga belas tahun (610–622 M). Fase ini ditandai dengan turunnya wahyu pertama di Gua Hira, yaitu QS. al-‘Alaq [96] ayat 1–5, yang menandai dimulainya misi kerasulan Muhammad Saw. Fokus utama dakwah pada periode ini adalah penanaman prinsip tauhid, penghapusan praktik syirik, serta pembentukan akidah yang kokoh pada komunitas kecil Muslim yang baru lahir. Konteks historis inilah yang sangat memengaruhi penggunaan dan penekanan istilah kafir dalam Al-Qur’an Makkiyah.

Secara sosiologis, masyarakat Makah ketika itu didominasi oleh sistem tribal Quraisy yang kental dengan nilai kekerabatan, perdagangan, dan penguasaan ekonomi melalui pemeliharaan Ka‘bah. Pola kehidupan mereka juga sarat dengan praktik politeisme, penyembahan berhala, serta ritual-ritual yang diwarisi dari nenek moyang. Dalam kerangka inilah, istilah kafir muncul terutama untuk menggambarkan sikap orang-orang yang menolak dakwah tauhid Rasulullah dengan alasan mempertahankan tradisi leluhur (QS. Luqman [31] ayat 21) dan kepentingan ekonomi yang terkait erat dengan keberlangsungan penyembahan berhala (QS. al-An‘am [6] ayat 137).

Perlawanan terhadap dakwah Islam pada periode Makah bersifat sistematis. Para pemuka Quraisy menolak kebenaran risalah Islam bukan semata karena alasan intelektual, tetapi juga politis dan ekonomis. Al-Qur’an mencatat sikap keras kepala ini dalam QS. al-Anbiya’ [21] ayat 36 dan QS. al-Mulk [67] ayat 6, di mana orang-orang kafir digambarkan mengejek Nabi dan menolak ancaman azab akhirat. Dengan demikian, istilah kafir dalam periode Makah erat kaitannya dengan bentuk penolakan terhadap keesaan Allah dan pengingkaran terhadap risalah yang dibawa oleh Muhammad Saw.

Dalam literatur tafsir, al-Tabari menegaskan bahwa ayat-ayat Makkiyah lebih menitikberatkan pada aspek peringatan (inzar) kepada orang-orang kafir Quraisy, dengan menampilkan ancaman azab bagi yang tetap membangkang. Sementara itu, al-Qurthubi menambahkan bahwa penekanan retorika pada periode Makah cenderung bersifat eskatologis, yakni mengingatkan tentang kebangkitan, hari kiamat, dan balasan bagi orang kafir (QS. al-Ghashiyah [88] ayat 2–7). Pola ini mencerminkan strategi dakwah yang bertujuan mengguncang kesadaran teologis masyarakat Arab yang skeptis terhadap konsep kehidupan setelah mati.

Selain itu, secara historis kelompok kafir di Makah dapat dipetakan ke dalam dua tipe besar: pertama, mereka yang secara terbuka menentang Rasulullah, seperti Abu Lahab dan Abu Jahal, yang digambarkan dalam QS. al-Lahab [111] ayat 1–5; kedua, mereka yang menolak secara pasif dengan tetap menjaga tradisi leluhur, meski tanpa menunjukkan permusuhan terang-terangan. Kedua tipe ini sama-sama dilabeli sebagai kafir dalam konteks Makkiyah karena menolak mengakui keesaan Allah dan kerasulan Muhammad Saw.

Dengan demikian, konteks historis dakwah periode Makah memperlihatkan bahwa istilah kafir digunakan terutama untuk mendeskripsikan orang-orang Quraisy yang menentang Islam dari aspek keyakinan dan ideologi. Fokus penggunaan istilah ini masih bersifat teologis, menekankan perbedaan fundamental antara iman dan kufur, tanpa menyentuh aspek relasi politik dan hukum sebagaimana berkembang pada periode Madinah. Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman istilah kafir dalam fase Makah harus selalu dikaitkan dengan latar sosio-historis masyarakat Quraisy dan tujuan utama dakwah Rasulullah, yaitu penanaman akidah tauhid yang murni.


6.           Karakteristik Kafir Makah

Karakteristik kaum kafir Makah sebagaimana tergambar dalam Al-Qur’an periode Makkiyah tidak hanya merefleksikan aspek teologis penolakan terhadap tauhid, tetapi juga dimensi sosial, politik, dan psikologis masyarakat Quraisy. Ayat-ayat Makkiyah menekankan pada penggambaran sikap batiniah mereka yang mengingkari kebenaran risalah Nabi Muhammad Saw sekaligus perilaku lahiriah yang menunjukkan permusuhan terbuka terhadap dakwah Islam.

Pertama, keras kepala dan fanatisme terhadap tradisi leluhur. Kaum kafir Makah seringkali menolak dakwah Rasulullah dengan alasan bahwa ajaran Islam bertentangan dengan praktik nenek moyang mereka. Al-Qur’an merekam hal ini dalam QS. al-Zukhruf [43] ayat 22–23, di mana mereka berkata, “Sesungguhnya kami mendapati nenek moyang kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.” Fanatisme buta terhadap tradisi ini menunjukkan resistensi kultural yang kuat, di mana kebenaran tidak ditentukan oleh dalil rasional, melainkan oleh legitimasi warisan leluhur.

Kedua, kesombongan sosial dan politik. Sebagian besar pemuka Quraisy adalah elite ekonomi yang menguasai perdagangan dan peran strategis dalam pemeliharaan Ka‘bah. Mereka merasa status sosial dan politiknya terancam jika mengikuti ajaran Nabi Muhammad Saw. Al-Qur’an menggambarkan arogansi ini dalam QS. al-Mu’minun [23] ayat 24 dan QS. Saba’ [34] ayat 34, yang menampilkan potret orang-orang kaya dan terpandang menolak dakwah para nabi karena khawatir kehilangan kedudukan.

Ketiga, sikap mendustakan ayat-ayat Allah. Karakteristik kafir Makah juga terlihat dalam kebiasaan mereka mendustakan wahyu yang dibacakan Rasulullah. QS. al-An‘am [6] ayat 33–34 menegaskan bahwa mereka tidak mendustakan Nabi secara personal, melainkan menolak kebenaran yang dibawa. Hal ini menunjukkan bahwa kekafiran mereka bukan karena ketidakpahaman, tetapi karena sikap keras hati dan ketakutan terhadap implikasi sosial-politik dari ajaran tauhid.

Keempat, ejekan, intimidasi, dan pelecehan terhadap Nabi dan kaum Muslimin. Kaum kafir Makah menjadikan dakwah Islam sebagai bahan olok-olok. QS. al-Hijr [15] ayat 6 mencatat ejekan mereka, “Hai orang yang diturunkan al-Dzikr kepadanya, sesungguhnya engkau benar-benar orang gila.” Selain ejekan verbal, mereka juga melakukan penyiksaan fisik terhadap para sahabat yang lemah, seperti Bilal bin Rabah, Yasir, dan Sumayyah. Al-Qur’an menyinggung karakter keras mereka dalam QS. al-Buruj [85] ayat 10 tentang siksa bagi orang-orang beriman.

Kelima, kedustaan dan permintaan mukjizat yang berlebihan. Karakteristik lain yang sering disebut dalam ayat-ayat Makkiyah adalah tuntutan kaum kafir agar Nabi menunjukkan mukjizat material sebagai syarat iman. QS. al-Isra’ [17] ayat 90–93 menggambarkan permintaan mereka yang berlebihan, seperti menjadikan gunung-gunung terbelah, mendatangkan sungai-sungai, hingga menurunkan malaikat. Hal ini menunjukkan sikap tidak tulus mencari kebenaran, melainkan mencari-cari alasan untuk terus dalam kekafiran.

Keenam, pengingkaran terhadap kehidupan akhirat. Mayoritas orang Quraisy menolak konsep kebangkitan setelah mati. QS. Qaf [50] ayat 3 menuturkan ucapan mereka, “Apakah kami akan dikembalikan kepada kehidupan semula setelah menjadi tanah? Itu adalah pengembalian yang mustahil.” Pandangan materialistis ini menjadi ciri dominan kekafiran mereka, karena ajaran Islam menekankan keyakinan pada kehidupan akhirat sebagai konsekuensi iman.

Ketujuh, permusuhan aktif terhadap dakwah Islam. Karakteristik terakhir yang menonjol adalah upaya kaum kafir Makah menghalangi orang-orang untuk beriman. QS. al-An‘am [6] ayat 26 menyebutkan bahwa mereka bukan hanya menolak kebenaran untuk diri mereka sendiri, tetapi juga berusaha menghalangi orang lain dari jalan Allah. Ini menjadi bukti bahwa kekafiran pada periode Makah bukanlah sekadar pilihan individu, tetapi sebuah proyek kolektif untuk mempertahankan status quo.

Dengan demikian, karakteristik kafir Makah dalam Al-Qur’an Makkiyah mencerminkan kombinasi antara fanatisme tradisi, kesombongan sosial, kedustaan terhadap wahyu, penolakan terhadap eskatologi, serta upaya sistematis menentang dakwah Islam. Semua karakteristik ini memperlihatkan bahwa istilah kafir pada periode Makah lebih menitikberatkan pada aspek ideologis dan teologis, yaitu pengingkaran terhadap tauhid dan kerasulan, yang sekaligus berdampak pada perlawanan sosial dan politik terhadap komunitas Muslim awal.


7.           Konteks Historis Dakwah Rasulullah Saw Periode Madinah

Hijrah Rasulullah Saw dari Makkah ke Madinah pada tahun 622 M menandai fase baru dalam sejarah dakwah Islam. Jika periode Makkah ditandai dengan dakwah yang berfokus pada penanaman tauhid dan kesabaran menghadapi penindasan Quraisy, maka periode Madinah merupakan fase pembentukan masyarakat Islam yang berdaulat secara politik, sosial, dan hukum. Di Madinah, Rasulullah tidak hanya berperan sebagai nabi dan rasul, tetapi juga sebagai kepala negara, panglima perang, sekaligus pemimpin masyarakat multikultural (Watt, 1956).

Madinah pada masa itu merupakan kota yang plural. Penduduknya terdiri atas kaum Muhajirin (yang hijrah dari Makkah), kaum Anshar (suku Aus dan Khazraj), serta kelompok-kelompok Yahudi (Bani Qaynuqa’, Bani Nadhir, Bani Quraizhah) dan sebagian komunitas Nasrani. Selain itu, terdapat pula orang-orang munafik yang secara lahiriah mengaku Islam, namun batinnya menolak dan bahkan berusaha melemahkan posisi umat Islam (Ibn Hisham, Sirah Nabawiyyah). Keberagaman sosial ini membuat Rasulullah Saw harus menata kehidupan masyarakat dengan strategi dakwah yang berbeda dibandingkan di Makkah.

Salah satu langkah penting adalah penyusunan Piagam Madinah, sebuah perjanjian sosial-politik yang berfungsi sebagai konstitusi pertama bagi masyarakat Madinah. Piagam ini mengatur hubungan antar kelompok, menjamin kebebasan beragama, serta menegaskan posisi Rasulullah sebagai pemimpin tertinggi. Kaum Muslimin, Yahudi, dan komunitas lainnya diikat dalam kesepakatan untuk saling melindungi dan menjaga perdamaian kota (Hamidullah, 1975). Namun, meskipun secara formal terikat dengan perjanjian, dalam praktiknya sebagian kelompok Yahudi beberapa kali melanggar kesepakatan dan bersekongkol dengan musuh Islam, sehingga memicu konflik-konflik militer, seperti perang dengan Bani Qaynuqa’, Bani Nadhir, dan Bani Quraizhah.

Di sisi lain, periode Madinah juga ditandai dengan perubahan strategi dakwah. Jika di Makkah ayat-ayat Al-Qur’an lebih banyak menekankan aspek tauhid, kesabaran, dan janji kehidupan akhirat, maka di Madinah turun ayat-ayat yang berkaitan dengan syariat, hukum sosial, politik, ekonomi, dan aturan perang. Konsep “kafir” pun berkembang dalam spektrum yang lebih luas. Istilah ini tidak hanya merujuk pada kaum musyrikin yang menolak tauhid, tetapi juga mencakup kelompok-kelompok yang melanggar perjanjian, memusuhi Islam, atau berpura-pura beriman (QS. Al-Baqarah [2] ayat 6-10; QS. Al-Munafiqun [63] ayat 1-4). Dengan demikian, definisi dan konteks istilah kafir pada periode Madinah menjadi lebih kompleks dan berlapis.

Peristiwa-peristiwa besar seperti Perang Badar (624 M), Uhud (625 M), dan Khandaq (627 M) memperlihatkan bagaimana posisi kaum kafir, baik Quraisy maupun sekutu Yahudi, menjadi ancaman eksternal terhadap eksistensi negara Madinah. Sementara itu, kaum munafik berperan sebagai ancaman internal yang berusaha merusak kesatuan umat. Al-Qur’an kemudian menurunkan ayat-ayat yang secara khusus menyinggung karakteristik dan strategi mereka, menegaskan perbedaan antara “kafir luar” (Quraisy dan sekutunya) dan “kafir dalam” (munafik) yang menjadi duri dalam tubuh umat Islam (QS. Al-Nisa’ [4] ayat 138-141).

Dengan demikian, konteks historis dakwah periode Madinah menunjukkan transformasi dari dakwah spiritual di Makkah menjadi dakwah integral yang mencakup dimensi sosial-politik. Istilah kafir dalam Al-Qur’an pada fase ini tidak lagi sekadar menunjuk pada penolakan terhadap tauhid, melainkan mencakup bentuk pengkhianatan politik, permusuhan terbuka, hingga kemunafikan yang mengancam stabilitas masyarakat Islam.


8.           Karakteristik Kafir Madinah

Berbeda dengan kondisi di Makkah, istilah kafir pada periode Madinah memiliki cakupan yang lebih kompleks karena masyarakat Madinah terdiri dari berbagai kelompok dengan latar belakang agama, politik, dan kepentingan yang beragam. Dalam konteks ini, Al-Qur’an tidak hanya berbicara tentang penolakan terhadap tauhid, tetapi juga menyoroti dimensi sosial-politik dari kekufuran yang berhubungan dengan pengkhianatan, permusuhan, serta kemunafikan (Watt, 1956; Madigan, 2001).

Secara umum, karakteristik kafir Madinah dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori utama:

1)                  Kaum Yahudi yang Ingkar dan Pengkhianat Perjanjian

Komunitas Yahudi di Madinah awalnya terikat dalam Piagam Madinah yang mengatur kerukunan antar kelompok. Namun, sejumlah kelompok Yahudi seperti Bani Qaynuqa’, Bani Nadhir, dan Bani Quraizhah melakukan pelanggaran perjanjian dan bersekutu dengan musuh Islam, khususnya Quraisy, dalam upaya melemahkan posisi Rasulullah Saw dan umat Islam. Al-Qur’an menyinggung sifat mereka yang gemar menolak kebenaran meski mengetahuinya, serta kecenderungan melakukan makar dan tipu daya (QS. Al-Baqarah [2] ayat 75–79; QS. Al-Maidah [5] ayat 82). Sikap mereka menunjukkan bahwa kekufuran di Madinah bukan hanya berupa penolakan akidah, tetapi juga pengkhianatan politik dan sosial (Ibn Hisham, Sirah Nabawiyyah).

2)                  Kaum Munafik

Salah satu ciri khas periode Madinah adalah munculnya kelompok munafik, dipimpin oleh Abdullah bin Ubay bin Salul. Mereka menampilkan diri sebagai Muslim, namun diam-diam melemahkan barisan umat Islam, menyebarkan keraguan, dan bahkan berkolaborasi dengan musuh. Al-Qur’an secara khusus menurunkan surat Al-Munafiqun [63] untuk menggambarkan sifat mereka: dusta, pengecut, oportunis, dan selalu mencari keuntungan dari dua pihak. Kaum munafik menjadi bentuk “kekufuran terselubung” yang lebih berbahaya dibandingkan permusuhan terbuka karena mereka berada di dalam tubuh masyarakat Islam sendiri (QS. Al-Nisa’ [4] ayat 138-141).

3)                  Kaum Musyrikin Quraisy dan Sekutunya

Meski secara geografis berbasis di Makkah, kafir Quraisy tetap menjadi musuh utama umat Islam pada periode Madinah. Perang Badar, Uhud, dan Khandaq memperlihatkan bahwa kekufuran dalam konteks ini diekspresikan melalui permusuhan militer, aliansi politik, dan propaganda yang mengancam eksistensi negara Madinah. Al-Qur’an menegaskan bahwa mereka yang terus-menerus memerangi Islam, menolak berdamai, dan berupaya menghancurkan umat diposisikan sebagai kafir yang jelas permusuhannya (QS. Al-Anfal [8] ayat 36; QS. Al-Tawbah [9] ayat 12-14).

4)                  Kafir dalam Ranah Sosial-Politik

Istilah kafir di Madinah tidak lagi sekadar menunjuk pada keyakinan teologis, tetapi juga menyentuh aspek politik. Mereka yang mengingkari perjanjian, melakukan konspirasi, atau menghalangi tegaknya hukum Allah digolongkan sebagai kafir dalam arti sikap, meski secara formal beragama samawi. Hal ini terlihat dalam penggambaran Al-Qur’an mengenai orang-orang yang “menukar ayat Allah dengan harga yang sedikit” (QS. Al-Baqarah [2] ayat 174), yaitu praktik manipulasi agama demi kepentingan politik dan duniawi (Rippin, 1993).

Dengan demikian, karakteristik kafir Madinah sangat berlapis: ada yang kafir secara teologis (menolak risalah Islam), kafir secara politis (pengkhianat perjanjian dan pelaku makar), serta kafir secara moral (munafik yang berpura-pura beriman). Kompleksitas inilah yang menjadikan periode Madinah berbeda dengan Makkah. Jika di Makkah kekufuran bersifat terbuka dan frontal, maka di Madinah ia hadir dalam bentuk infiltrasi, diplomasi, dan pengkhianatan yang menuntut kewaspadaan dan respon strategis dari umat Islam.


9.           Persamaan dan Perbedaan antara Kafir Makkah dan Kafir Madinah

Dalam telaah Al-Qur’an, istilah kafir mengalami perkembangan makna seiring perubahan konteks dakwah Rasulullah Saw. Periode Makkah dan Madinah menghadirkan medan sosial, politik, dan teologis yang berbeda, sehingga karakter kafir di kedua fase tersebut pun memiliki persamaan sekaligus perbedaan mendasar. Pemahaman terhadap perbandingan ini sangat penting agar tidak menyederhanakan istilah kafir secara monolitik, melainkan memandangnya sesuai dengan dinamika wahyu dan realitas sejarah (Izutsu, 2002; Madigan, 2001).

9.1.       Persamaan antara Kafir Makkah dan Kafir Madinah

1)                  Penolakan terhadap Tauhid dan Risalah Nabi

Baik di Makkah maupun Madinah, inti dari kekufuran adalah penolakan terhadap ajaran tauhid dan kerasulan Muhammad Saw. Kaum Quraisy Makkah menolak risalah dengan alasan tradisi leluhur (QS. Al-Zukhruf [43] ayat 22–23), sementara sebagian Yahudi dan munafik di Madinah menolak meskipun mengetahui tanda-tanda kebenaran risalah (QS. Al-Baqarah [2] ayat 89). Dengan demikian, penolakan terhadap kebenaran tetap menjadi esensi kekufuran di kedua konteks.

2)                  Permusuhan terhadap Islam dan Umat Muslim

Kafir Makkah melakukan penyiksaan, pengusiran, dan embargo terhadap kaum Muslim, sedangkan kafir Madinah melakukan makar politik, pengkhianatan perjanjian, serta aliansi militer dengan musuh Islam. Meski berbeda bentuk, keduanya sama-sama menunjukkan sikap aktif melawan Islam (Watt, 1956).

3)                  Penggunaan Agama untuk Kepentingan Duniawi

Baik di Makkah maupun Madinah, terdapat praktik penyalahgunaan agama untuk legitimasi. Quraisy menjadikan berhala sebagai simbol kepentingan ekonomi-politik di sekitar Ka’bah (Peters, 1994), sementara sebagian Yahudi Madinah menyelewengkan kitab suci demi kepentingan politik dan keuntungan pribadi (QS. Al-Baqarah [2] ayat 79, 174).

9.2.       Perbedaan antara Kafir Makkah dan Kafir Madinah

1)                  Sifat Kekufuran

þ Makkah: Kekufuran bersifat terbuka dan frontal. Orang-orang kafir Quraisy secara terang-terangan menyatakan penentangan, menolak dakwah, dan menyiksa pengikut Nabi. Identitas kafir di Makkah jelas terlihat secara sosial.

þ Madinah: Kekufuran lebih kompleks dan berlapis. Ia tidak hanya berupa penolakan teologis, tetapi juga muncul dalam bentuk politik, pengkhianatan, bahkan kemunafikan. Ada kelompok yang secara formal masuk Islam namun menyembunyikan penentangan di balik identitas Muslim (QS. Al-Munafiqun [63] ayat 1).

2)                  Komposisi Sosial dan Latar Belakang

þ Makkah: Didominasi kaum musyrik Quraisy yang mengandalkan tradisi nenek moyang dan kepentingan ekonomi di sekitar Ka’bah (Watt, 1956).

þ Madinah: Lebih heterogen, terdiri dari Yahudi (Bani Qaynuqa’, Nadhir, dan Quraizhah), kaum munafik, serta sekutu musyrikin dari luar. Kekufuran di Madinah muncul dari interaksi antaragama, politik lokal, dan rivalitas sosial.

3)                  Dimensi Politik

þ Makkah: Penentangan kafir Quraisy belum menyentuh bentuk kenegaraan karena Islam masih minoritas. Permusuhan lebih berupa tekanan sosial dan ekonomi.

þ Madinah: Kekufuran memiliki konsekuensi politik dan militer. Dengan berdirinya negara Madinah, kafir ditandai pula oleh pelanggaran terhadap Piagam Madinah, pengkhianatan perjanjian, dan peperangan (QS. Al-Tawbah [9] ayat 12–14).

4)                  Respon Wahyu

þ Makkah: Al-Qur’an lebih menekankan aspek teologis dan spiritual, menegakkan dasar iman, tauhid, dan kesabaran dalam menghadapi tekanan (QS. Al-Ankabut [29] ayat 2–3).

þ Madinah: Al-Qur’an memberikan pedoman menghadapi pengkhianatan, perang, dan kemunafikan, serta mengatur relasi sosial-politik umat (QS. Al-Maidah [5] ayat 51–82).


Sintesis

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa istilah kafir di kedua periode sama-sama merujuk pada sikap penolakan kebenaran dan permusuhan terhadap Islam, namun konteks dan manifestasinya berbeda. Di Makkah, kekufuran identik dengan penentangan teologis dan sosial yang terang-terangan. Di Madinah, kekufuran lebih kompleks: selain menolak kebenaran, ia juga mencakup dimensi politik, pengkhianatan perjanjian, serta kemunafikan.

Dengan demikian, pemahaman tentang kafir dalam Al-Qur’an harus dilihat secara kontekstual. Jika periode Makkah menekankan kesabaran dalam menghadapi penindasan, maka periode Madinah mengajarkan kewaspadaan politik, strategi sosial, dan penguatan umat dalam menghadapi musuh yang lebih variatif.


10.       Relevansi Pemahaman Istilah Kafir dalam Konteks Kontemporer

Pembahasan mengenai istilah kafir dalam Al-Qur’an tidak hanya penting untuk memahami dinamika dakwah Rasulullah Saw pada periode Makah dan Madinah, tetapi juga relevan dalam konteks masyarakat kontemporer yang semakin plural, multikultural, dan global. Istilah ini seringkali menjadi bahan polemik, baik dalam diskursus akademik maupun wacana sosial keagamaan. Sebagian pihak memahami istilah kafir secara tekstual tanpa mempertimbangkan konteks historis, sementara sebagian lain cenderung menafsirkannya secara inklusif dengan mempertimbangkan nilai-nilai universal kemanusiaan yang terkandung dalam Al-Qur’an (Nasr, 2002).

Dalam konteks globalisasi, ketika interaksi antaragama semakin intens, pemahaman yang tepat terhadap istilah kafir menjadi krusial untuk mencegah kesalahpahaman, stereotip, atau bahkan konflik. Al-Qur’an secara jelas menegaskan adanya perbedaan iman antara Muslim dan non-Muslim, namun pada saat yang sama juga mengajarkan prinsip kebebasan beragama: “Tidak ada paksaan dalam agama...” (Q.S. al-Baqarah [2] ayat 256). Ayat ini menegaskan bahwa penggunaan istilah kafir tidak boleh dilepaskan dari prinsip toleransi, keadilan, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia (Esack, 1997).

Selain itu, penting untuk membedakan antara istilah kafir dalam pengertian teologis dengan penggunaannya dalam interaksi sosial. Dalam ranah teologis, istilah kafir berkaitan dengan status keimanan seseorang menurut akidah Islam. Namun, dalam konteks sosial, Rasulullah Saw mencontohkan hubungan yang penuh etika dan keadilan dengan non-Muslim, termasuk dengan kafir yang hidup berdampingan di Madinah. Piagam Madinah menjadi bukti nyata bahwa meskipun ada perbedaan iman, umat Islam dituntut untuk membangun relasi sosial-politik yang harmonis dengan kelompok lain (Watt, 1956).

Dalam era modern, pemahaman ini perlu ditegaskan agar umat Islam tidak terjebak dalam ekstremisme yang mengkafirkan pihak lain secara serampangan. Penelitian kontemporer menunjukkan bahwa salah satu akar radikalisme adalah kesalahpahaman terhadap istilah kafir yang dipersempit maknanya semata-mata pada label negatif, tanpa memahami konteks Al-Qur’an yang lebih luas (Saeed, 2006). Oleh karena itu, pendekatan tafsir kontekstual yang mempertimbangkan asbāb al-nuzūl (sebab turunnya ayat), konteks sejarah, serta tujuan moral universal Islam menjadi kunci dalam memahami istilah ini secara proporsional.

Relevansi pemahaman kafir dalam konteks kekinian juga menegaskan perlunya membangun teologi kerukunan, yakni suatu cara pandang yang mengakui perbedaan iman namun tetap menghargai martabat kemanusiaan semua individu. Dengan demikian, istilah kafir tidak dipahami sebagai alat untuk merendahkan, melainkan sebagai kategori teologis yang berfungsi untuk menegaskan identitas keimanan, sekaligus membuka ruang bagi etika sosial yang inklusif, adil, dan damai.


11.       Penutup

Kajian mengenai istilah kafir dalam Al-Qur’an melalui pendekatan etimologis, terminologis, dan kontekstual antara periode Makah dan Madinah menunjukkan bahwa istilah ini tidak dapat dipahami secara statis dan ahistoris. Pada periode Makah, istilah kafir lebih banyak diarahkan kepada kaum musyrik Quraisy yang menolak seruan tauhid dan melakukan penindasan terhadap umat Islam. Penekanannya bersifat teologis dan spiritual, dengan orientasi untuk mempertegas identitas iman kaum Muslimin sekaligus memberi peringatan tentang konsekuensi penolakan terhadap kebenaran wahyu (Ibn Kathir, 1999).

Sementara itu, pada periode Madinah, penggunaan istilah kafir berkembang dalam ranah sosial, politik, dan hukum. Konteks masyarakat Madinah yang plural dengan kehadiran Yahudi, Nasrani, dan kelompok munafik menuntut adanya diferensiasi makna serta strategi dakwah yang lebih kompleks. Piagam Madinah yang dirancang Rasulullah Saw menegaskan bahwa meskipun terdapat perbedaan akidah, non-Muslim tetap diakui hak-haknya sebagai bagian dari masyarakat politik yang harus dijaga keharmonisannya (Watt, 1956). Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan istilah kafir tidak dimaksudkan untuk mendiskriminasi secara sosial, melainkan untuk menegaskan perbedaan teologis dalam kerangka dakwah Islam (Nasr, 2002).

Persamaan antara kafir Makah dan kafir Madinah terletak pada inti penolakannya terhadap risalah Islam, sedangkan perbedaannya menyangkut bentuk manifestasi, motivasi, serta respon yang diberikan Rasulullah Saw terhadap mereka. Pemahaman atas hal ini memberikan gambaran bahwa Al-Qur’an mengajarkan fleksibilitas dalam penggunaan istilah kafir, selalu disesuaikan dengan kondisi sosial dan kebutuhan dakwah saat itu (Saeed, 2006).

Dalam konteks kontemporer, pemaknaan kafir harus diarahkan pada penguatan identitas keimanan umat Islam sekaligus dipahami dalam kerangka etika sosial yang menjunjung tinggi keadilan, toleransi, dan penghormatan terhadap kebebasan beragama. Kesalahpahaman dalam memahami istilah ini berpotensi menimbulkan eksklusivisme yang meruncing pada radikalisme. Oleh karena itu, pendekatan tafsir kontekstual dengan memperhatikan asbāb al-nuzūl, kondisi historis, dan nilai-nilai universal Islam menjadi jalan tengah yang paling tepat (Esack, 1997).

Dengan demikian, kesimpulan dari penelitian ini menegaskan bahwa istilah kafir dalam Al-Qur’an bukan sekadar label, melainkan konsep teologis yang kaya nuansa, bergantung pada konteks wahyu diturunkan. Relevansi pemahaman ini di era modern terletak pada kemampuan umat Islam untuk menyeimbangkan keteguhan akidah dengan etika sosial yang damai dan inklusif, sebagaimana telah dicontohkan Rasulullah Saw di Madinah.


Daftar Pustaka

Esack, F. (1997). Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity against Oppression. Oxford: Oneworld Publications.

Ibn Kathir, I. (1999). Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm (Vols. 1–8). Riyadh: Dār Ṭayyibah.

Nasr, S. H. (2002). The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity. New York: HarperCollins.

Saeed, A. (2006). Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary Approach. London: Routledge.

Watt, W. M. (1956). Muhammad at Medina. Oxford: Oxford University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar