Kebahagiaan dalam Keharmonisan dengan Alam
Prinsip Dasar Stoikisme
tentang Eudaimonia dan Tatanan Kosmik
Alihkan ke: Filsafat Stoikisme.
Abstrak
Artikel ini membahas konsep kebahagiaan (eudaimonia)
dalam filsafat Stoikisme dengan menekankan prinsip hidup selaras dengan alam
sebagai dasar etis dan kosmologis. Stoikisme memahami kebahagiaan sejati bukan sebagai ketiadaan tantangan
hidup, melainkan kemampuan menata penilaian, kehendak, dan emosi agar selaras
dengan tatanan kosmik yang rasional (logos). Pembahasan dimulai dengan
penjelasan tentang eudaimonia sebagai telos, dilanjutkan dengan uraian
mengenai kosmos sebagai tatanan rasional yang diatur oleh logos dan pronoia,
serta peran manusia sebagai makhluk rasional-sosial dalam kosmopolis.
Selanjutnya, artikel ini mengulas pengelolaan emosi melalui konsep apatheia
dan eupatheiai, serta praktik harian seperti telaah diri, antisipasi
tantangan, dan view from above sebagai bentuk askesis. Perspektif
sosial Stoikisme ditegaskan melalui gagasan oikeiōsis dan lingkaran
kepedulian yang meluas menuju solidaritas kosmopolitan. Relevansi kontemporer
dibahas dalam kaitannya dengan terapi kognitif modern (CBT/REBT), ketahanan
batin, etika sosial, serta kesadaran ekologis. Dengan demikian, Stoikisme
menghadirkan kerangka filsafat praktis yang menghubungkan kebajikan,
keteraturan kosmik, dan tanggung jawab sosial sebagai jalan menuju ketenangan
jiwa dan kebahagiaan sejati.
Kata Kunci: Stoikisme;
Eudaimonia; Keharmonisan dengan Alam; Logos; Apatheia; Oikeiōsis;
Kosmopolis; Etika; CBT; Filsafat Praktis.
PEMBAHASAN
Prinsip Kebahagiaan dalam
Keharmonisan dengan Alam dalan Filsafat Stoikisme
1.
Pendahuluan
Stoikisme—sebuah mazhab filsafat Helenistik yang didirikan Zeno dari
Kition di serambi berlukis (Stoa Poikilē) sekitar awal abad ke-3
SM—menawarkan kerangka etika yang terhubung erat dengan pandangan metafisik
tentang alam semesta yang tertib dan rasional (logos). Dalam tradisi
ini, kebahagiaan (eudaimonia) tidak diidentikkan dengan akumulasi
kenikmatan atau ketiadaan tantangan, melainkan dengan hidup “selaras dengan
alam” (homologoumenōs tē physei zēn) melalui pembinaan kebajikan.¹
Prinsip tersebut memberi orientasi praktis: manusia mencapai hidup baik ketika
cara berpikir, bertindak, dan merasakan selaras dengan tatanan rasional kosmos
sekaligus kodrat rasional manusia.²
Stoikisme klasik menyatukan tiga cabang filsafat—logika, fisika, dan
etika—sebagai satu kesatuan organis: logika bagaikan dinding kebun, etika
buahnya, dan fisika tanah/ pohon yang menumbuhkannya (varian lain menyamakannya
dengan telur atau tubuh makhluk hidup).³ Skema ini menegaskan bahwa etika Stoik
(tujuan hidup dan kebajikan) tak bisa dipahami tanpa fisika Stoik (pandangan
tentang alam/ketuhanan sebagai logos yang meresapi kosmos). Karena itu,
“hidup sesuai alam” memiliki dua dimensi yang terpadu: sesuai alam semesta
(kosmos rasional) dan sesuai alam manusia (makhluk rasional dan
sosial).⁴
Dalam tataran etika, para Stoik
mendefinisikan tujuan hidup sebagai “hidup sejalan dengan alam”—yang
berarti hidup sejalan dengan rasionalitas universal dan dengan rasionalitas
kita sendiri. Konsep oikeiōsis (pengakraban/penghayatan diri)
menjelaskan perkembangan moral dari kepedulian diri menuju kehendak baik untuk
sesama dalam cosmopolis (kota semesta), sehingga kebajikan (kearifan,
keberanian, keadilan, pengendalian diri) menjadi modus hidup yang “tepat”
bagi makhluk rasional.⁵ Dengan demikian, kebajikan adalah satu-satunya kebaikan
yang sejati dan cukup bagi kebahagiaan; hal-hal eksternal (kesehatan, reputasi,
harta) dipandang sebagai “indiferens” yang nilainya tergantung
penggunaan rasionalnya.⁶
Sumber primer Stoik memperkaya tesis
tersebut. Marcus Aurelius menegaskan bahwa “akal” yang mengatur kosmos
tidak membuat apa pun dengan jahat; segala sesuatu “terjadi dan
disempurnakan” menurut rasionalitas itu—sebuah dasar bagi sikap menerima
tatanan peristiwa sebagai bagian dari keseluruhan.⁷ Epiktetos membuka Enchiridion
dengan pembedaan normatif yang terkenal antara hal-hal “yang berada dalam
kuasa kita” (penilaian, kehendak, dorongan) dan hal-hal “yang tidak
berada dalam kuasa kita” (tubuh, harta, reputasi). Pembedaan ini
menerjemahkan harmoni dengan alam ke dalam disiplin praktis keseharian:
mengarahkan perhatian pada apa yang benar-benar termasuk ranah tanggung jawab
rasional kita.⁸ Seneca, dalam De Vita Beata, mengartikulasikan
kebahagiaan sebagai hidup yang menuruti nalar yang lurus—yakni hidup berbudi (virtus)
yang sejalan dengan kodrat alam.⁹
Dari sini tampak bahwa Stoikisme tidak
menafikan emosi, melainkan menata kualitasnya. Tujuan etisnya adalah apatheia—bukan
mati rasa, melainkan kebebasan dari gejolak destruktif—agar penilaian rasional
memimpin respons terhadap peristiwa yang berada di luar kuasa kita. Pendekatan
ini selaras dengan gagasan Pierre Hadot tentang “filsafat sebagai cara hidup”:
latihan-latihan rohani (askēsis) yang membentuk perhatian, perspektif
kosmik, dan disposisi moral untuk hidup sesuai alam.¹⁰
Relevansi prinsip “harmoni dengan alam”
melampaui konteks kuno. Di ranah personal, ia menawarkan kerangka ketahanan
batin terhadap stres, kehilangan, dan ketidakpastian—dengan menata keinginan
sesuai yang berada dalam kuasa rasional kita. Di ranah sosial-ekologis, doktrin
oikeiōsis dan cosmopolis mengilhami etos tanggung jawab terhadap
sesama manusia dan—dalam pembacaan kontemporer—kepekaan etika lingkungan yang
mengakui keterkaitan organis antara diri dan kosmos.¹¹ Dengan demikian, artikel
ini bertujuan memetakan bagaimana “keharmonisan dengan alam” menjadi landasan eudaimonia
Stoik: mulai dari kerangka metafisik-etisnya, perangkat praksisnya, hingga
implikasi sosial-ekologisnya bagi dunia modern.
Footnotes
[1]
Michael Durand, “Stoicism,” The
Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2023), ed. Edward N. Zalta, URL:
plato.stanford.edu/entries/stoicism/.
[2]
“Stoic Ethics,” Internet
Encyclopedia of Philosophy, diakses 25 Agustus 2025, menyatakan bahwa
tujuan hidup adalah “living in agreement with nature.”
[3]
Diogenes Laertius, Lives of
the Eminent Philosophers, trans. R. D. Hicks (London: Heinemann, 1925),
7.39–41 (analogi kebun/telur/tubuh).
[4]
A. A. Long dan D. N. Sedley, The
Hellenistic Philosophers (Cambridge: Cambridge University Press, 1987),
frag. LS 26–57 (pembagian dan saling-ketergantungan etika-fisika-logika).
[5]
Routledge Encyclopedia of
Philosophy, “Stoicism: oikeiōsis” (bagian tematik), diakses 25 Agustus 2025;
bandingkan Durand, “Stoicism,” SEP (oikeiōsis dan cosmopolis).
[6]
Rachana Kamtekar, “Marcus
Aurelius,” The Stanford Encyclopedia of Philosophy (2010), menyimpulkan
garis besar etika Stoik bahwa kebajikan satu-satunya kebaikan; bandingkan IEP,
“Stoic Ethics.”
[7]
Marcus Aurelius, Meditations,
6.1, trans. (public domain) di MIT Classics / Project Gutenberg.
[8]
Epictetus, Enchiridion, 1,
trans. (public domain) di MIT Classics / Scaife Viewer.
[9]
Seneca, De Vita Beata (On
the Happy Life), dalam Minor Dialogs (Bohn’s Classical Library),
trans. Aubrey Stewart (London: George Bell & Sons, 1900), passim (mis.
§§3–4, 8–9).
[10]
Pierre Hadot, Philosophy as a
Way of Life: Spiritual Exercises from Socrates to Foucault, trans. Michael
Chase (Oxford: Blackwell, 1995), khususnya bab tentang latihan Stoik dan
“perspektif dari atas.”
[11]
Pauline Kleingeld,
“Cosmopolitanism,” The Stanford Encyclopedia of Philosophy (2002; rev.
var.), dan Simon Shogry, “Stoic Cosmopolitanism and Environmental Ethics,”
dalam Ancient Philosophy and Environmental Ethics (draf bab, 2020).
2.
Konsep
Eudaimonia dalam Stoikisme
2.1. Definisi eudaimonia dan tujuan hidup (telos)
Dalam kerangka etika kuno, Stoikisme mendefinisikan eudaimonia
(kebahagiaan/kebahagiaan ruhani) sebagai hidup “dalam keselarasan” (living
in agreement) yang, sejak Cleanthes, dirumuskan lebih lengkap sebagai “hidup
selaras dengan alam”. Rumusan telos ini menegaskan bahwa hidup baik adalah
hidup yang koheren (homologoumenôs), bebas dari pertentangan batin,
serta tunduk pada rasionalitas kosmik (logos). Dengan demikian, eudaimonia
Stoik bukanlah kondisi bebas tantangan, melainkan keberhasilan hidup yang
selaras dengan rasionalitas alam semesta dan kodrat manusia yang rasional.¹
2.2.
Dua makna “alam”: kosmik dan manusiawi
Bagi para Stoik, “alam” memiliki dua
lingkup terpadu. Pertama, alam semesta: kosmos yang rasional, teratur,
dan providensial; karenanya, keselarasan menuntut attunement akal
manusia dengan logos kosmik. Kedua, alam manusia: kodrat khas
manusia adalah rasio; maka “hidup menurut alam” berarti
mengaktualkan rasionalitas kita sebagai ciri esensial kemanusiaan. Dengan
kerangka ganda ini, telos Stoik memadukan koherensi batin dan keteraturan
kosmik: orang bahagia adalah yang menilai, memilih, dan bertindak sebagaimana
“hukum rasional semesta” menuntun.²
2.3.
Teori nilai Stoik: kebajikan sebagai satu-satunya
kebaikan
Tesis aksialogis Stoik yang paling khas
adalah: kebajikan (hikmah, keadilan, keberanian, pengendalian diri) merupakan
satu-satunya kebaikan yang sungguh bermanfaat bagi manusia dan cukup
untuk eudaimonia; sebaliknya, kejahatan hanyalah vice
(kebalikan kebajikan). Hal-hal eksternal—kesehatan, harta, reputasi,
kedudukan—diklasifikasikan sebagai indiferens (adiaphora): tidak
baik atau buruk pada dirinya sendiri karena nilainya bergantung pada penggunaan
rasional.³ Posisi ini menegaskan otonomi etis: mutu hidup ditentukan oleh
keunggulan rasional (kebajikan), bukan oleh variabel keberuntungan.⁴
2.4.
Preferred indifferents, kathekon, dan rasionalitas
praksis
Walau indiferens tidak menentukan
kebahagiaan, Stoik arus utama membedakan indiferens yang “diutamakan” (proēgmena—mis.
kesehatan, reputasi) dari yang “tidak diutamakan” (sakit, kemiskinan).
Memilih yang “menurut alam” biasanya rasional, namun keberhasilan
memperoleh atau kehilangan indiferens tetap tidak menambah atau
mengurangi eudaimonia. Di sinilah konsep tindakan yang layak/tepat
(kathekon) bekerja: tindakan yang dapat dipertanggungjawabkan oleh
alasan yang baik; dan pada puncaknya, tindakan sempurna (katorthōma)
adalah tindakan serba konsisten dari jiwa yang bajik.⁵
2.5.
Oikeiōsis: dari pemeliharaan diri menuju kosmopolis
Stoik menjelaskan perkembangan moral dengan
doktrin oikeiōsis (pengakraban/ “appropriation”). Secara
naluriah, setiap makhluk merawat konstitusinya; pada manusia, ketika rasio
matang, “diri” yang kita cintai bertransformasi—dari tubuh ke jiwa
rasional. Dari sini, kepedulian meluas secara rasional ke keluarga dan
akhirnya ke komunitas manusia semesta (cosmopolis). Proses inilah
yang menautkan self-regard dan tanggung jawab sosial di bawah
hukum rasional universal.⁶
2.6. Prohairesis dan kedaulatan batin
Dimensi praksis eudaimonia diringkas
Epiktetos di Enchiridion 1: hal-hal “dalam kuasa kita”
(penilaian, kehendak, dorongan) dibedakan dari yang “di luar kuasa kita”
(tubuh, harta, reputasi). Kedaulatan batin ini—prohairesis—adalah poros
disiplin Stoik untuk menilai dan merespons peristiwa sesuai alam, sehingga
kebahagiaan tidak tergantung pada kontingensi eksternal.⁷
2.7.
Afeksi: dari pathē menuju eupatheiai
Stoik tidak meniadakan seluruh emosi; mereka
membedakan gejolak emosional yang keliru penilaiannya (pathē:
duka, takut, nafsu, nikmat berlebih) dari afeksi yang baik (eupatheiai:
sukacita, kehati-hatian, kehendak). Orientasi ini mengarah pada apatheia—kebebasan
dari gejolak destruktif—agar penilaian rasional memimpin. Eudaimonia
karenanya berkelindan dengan kejernihan kognitif yang mengarahkan afeksi secara
tepat.⁸
2.8.
Keutuhan kebajikan dan ideal sang bijak
Stoik menegaskan kesatuan kebajikan:
memiliki satu kebajikan berarti memiliki semuanya, karena masing-masing adalah bentuk
pengetahuan tentang apa yang pantas dipilih/ dihindari. Ideal sang bijak
(jarang, namun normatif) memandu kemajuan moral (prokopē): semakin
konsisten rasio memerintah, semakin teguh eudaimonia tercapai, sekalipun
di tengah kehilangan atau derita.⁹
Ringkasan Bab
Secara konseptual, eudaimonia Stoik
adalah keunggulan rasional yang konsisten: hidup yang setuju dengan akal
semesta dan kodrat manusia. Secara praksis, ia menuntut disiplin penilaian
(prohairesis), orientasi tindakan melalui kathekon, dan penataan
afeksi. Secara sosial-kosmologis, ia mewujud sebagai kewargaan kosmis
dan tanggung jawab terhadap sesama. Bab-bab selanjutnya akan menurunkan
kerangka ini ke ranah praksis, kosmologi Stoik tentang logos, serta
relevansi personal-ekologisnya bagi dunia modern.
Footnotes
[1]
Marion Durand, Simon Shogry, dan
Dirk Baltzly, “Stoicism,” The Stanford Encyclopedia of Philosophy,
Spring 2023, ed. Edward N. Zalta dan Uri Nodelman.
[2]
“Stoic Ethics,” Internet
Encyclopedia of Philosophy, diakses 25 Agustus 2025.
[3]
Durand, Shogry, dan Baltzly,
“Stoicism,” SEP (bagian 4.2–4.3); bandingkan “Stoic Ethics,” IEP (bagian 3).
[4]
Lih. Durand, Shogry, dan Baltzly,
“Stoicism,” SEP (tesis aksialogis: hanya kebajikan yang benar-benar bermanfaat
dan cukup untuk kebahagiaan).
[5]
“Stoic Ethics,” IEP (bagian 3–4)
tentang indifferents, proēgmena, kathekon/katorthōma;
juga SEP, “Stoicism,” bagian 4.3.
[6]
Durand, Shogry, dan Baltzly,
“Stoicism,” SEP (bagian 4.6 dan 5.1–5.2) mengenai oikeiōsis dan
kosmopolitanisme; “Stoic Ethics,” IEP (bagian 2).
[7]
Epiktetos, Enchiridion 1,
terj. Elizabeth Carter (edisi daring Project Gutenberg); bandingkan The
Internet Classics Archive (MIT) untuk rumusan serupa.
[8]
“Stoic Ethics,” IEP (bagian 5)
tentang pathē dan eupatheiai.
[9]
“Stoic Ethics,” IEP (bagian 3, 5)
mengenai kesatuan kebajikan; Durand, Shogry, dan Baltzly, “Stoicism,” SEP
(bagian 4.2).
3.
Alam sebagai Tatanan Kosmik dalam Stoikisme
3.1.
Kerangka umum: kosmos yang rasional, hidup, dan
imanen
Dalam fisika Stoik, alam (physis)
dipahami sebagai kosmos yang rasional dan hidup; logos (rasio ilahi)
imanen di dalamnya sebagai prinsip aktif, sementara materi menjadi
prinsip pasif yang dibentuk. Karena hanya yang bertubuh (somata) dapat
bertindak/ditindak, Stoik menyatakan “hanya yang bertubuh yang
sungguh-sungguh ada (exist)”, sedangkan empat hal inkorporeal—waktu,
tempat, kekosongan (void), dan lekta (yang-terkatakan)—“subsist”
dengan status ontologis berbeda. Kerangka ini menegaskan monisme korporealis
Stoik dan memadukan ontologi, kosmologi, dan teologi alamiah.¹
3.2.
Pneuma, tonos, dan gradasi daya pengikat kosmos
Prinsip aktif beroperasi melalui pneuma
(“nafas” atau hembusan panas-ilahi) yang meresapi semua benda. Pneuma
memiliki gerak serentak “ke luar” (memberi kualitas/kuantitas) dan “ke
dalam” (menyatukan/mengikat), yang oleh sumber-sumber kuno dipahami sebagai
ketegangan (tonos). Karena intensitas tonos-nya
bervariasi, pneuma hadir dalam gradasi: dari koesi benda mati (hexis),
daya tumbuh pada makhluk hidup (physis), jiwa (psychē)
pada hewan/manusia, hingga rasionalitas pengendali (hegemonikon)—itulah
sebabnya kosmos dipandang sebagai organisme hidup yang tunggal.²
3.3.
Logos dan pronoia: ketertiban serta penyelenggaraan
ilahi
Sebagai prinsip rasional yang menyusun dan
menuntun kosmos, logos juga identik dengan penyelenggaraan (pronoia).
Sumber primer memperlihatkan gambaran ini secara puitis—misalnya “Himne
kepada Zeus” karya Cleanthes yang memuji satu ilah yang “mengemudikan
alam menurut hukum.”³ Sementara itu, sumber Latin (Cicero) menyampaikan
argumen Stoik bahwa prinsip pengatur dunia harus cerdas/rasional,
sehingga tatanan kosmos bukan kebetulan buta melainkan hasil providensi
rasional.⁴
3.4. Sympatheia: keterjalinan universal
Karena pneuma satu dan sama merasuki semua
hal, para Stoik berbicara tentang keterhubungan universal (sympatheia):
bagian-bagian kosmos saling memengaruhi dalam jejaring kausal yang tunggal,
seperti organ-organ dalam satu tubuh. Tradisi ini terekam, antara lain, dalam Cicero,
De Divinatione II, yang menyinggung sympatheia (istilah
Yunani dicantumkan) sebagai dasar keterkaitan fenomena alam dan, bagi sebagian
Stoik, sebagai penjelasan mengapa “tanda-tanda” dapat dibaca.⁵ (Bahwa sympatheia
mengandaikan kosmos-organisme juga dianalisis dalam studi kontemporer.)⁶
3.5.
Heimarmenē (takdir) dan kompatibilisme kausal
Ketertiban kosmis berwujud jaringan
sebab-akibat universal (heimarmenē, “takdir”). Namun Stoik bukan
fatalis pasif: kebebasan berada pada persetujuan akal (assent)
terhadap kesan, sehingga tanggung jawab moral tetap utuh. Klasik dalam tradisi
ini adalah gagasan “ko-fatum” (co-fated): peristiwa “A” (sembuh)
difatalkan bersama perbuatan rasional “B” (berobat), sehingga tindakan
manusia adalah mata-rantai kausal di dalam takdir—bukan sesuatu yang sia-sia.⁷
3.6.
Siklus kosmik: ekpyrōsis dan pembaruan dunia (serta
perdebatan)
Fisikawan Stoik awal
(Zeno–Cleanthes–Chrysippos) umumnya mengajarkan siklus kosmik: dunia
mengalami konflagrasi (ekpyrōsis), lalu terlahir kembali
dalam tatanan identik yang terbaik. Bukti tekstual tentang peran Cleanthes
dalam kosmogoni siklik—meski sulit dan tak langsung—dibahas dalam studi
filologis mutakhir.⁸ Namun, beberapa Stoik kemudian (mis. Panaetius)
menolak ekpyrōsis dan memodifikasi kosmologi ortodoks; hal ini dicatat
dalam kajian rujukan (termasuk entri SEP).⁹
Implikasi etis dari fisika
Stoik
Jika kosmos adalah satu organisme
rasional yang diperintah logos, maka “hidup sesuai alam”
berarti membenahi penilaian, kehendak, dan tindakan agar selaras dengan
hukum rasional semesta sekaligus kodrat rasional manusia. Fisika Stoik—pneuma
yang menyatukan, sympatheia yang menjalin, pronoia yang menuntun,
serta heimarmenē yang menstrukturkan—memberi landasan metafisik
bagi etika: kebajikan adalah cara berpartisipasi sadar dalam tatanan kosmik
itu. Dengan kerangka ini, eudaimonia menjadi buah harmoni dengan alam
yang bukan pasrah, melainkan rasional, aktif, dan bertanggung jawab.¹⁰
Footnotes
[1]
Marion Durand, Simon Shogry, dan
Dirk Baltzly, “Stoicism,”
The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2023), ed. Edward N. Zalta
dan Uri Nodelman, diakses 25 Agustus 2025.
[2]
Ibid.; “Stoic Philosophy of Mind,” Internet
Encyclopedia of Philosophy, diakses 25 Agustus 2025.
[3]
Cleanthes, “Hymn to Zeus,”
terj. Inggris, The Hymn of Cleanthes: Greek Text translated into English
(London: SPCK, 1921), arsip daring, diakses 25 Agustus 2025.
[4]
Marcus Tullius Cicero, De
Natura Deorum, Loeb Classical Library 268, bk. II (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1933), khususnya bagian yang menegaskan prinsip pengatur
dunia yang rasional; lihat juga terjemahan digital Loeb, diakses 25 Agustus
2025.
[5]
Cicero, De
Divinatione, bk. II, terj. Inggris (LacusCurtius), diakses 25 Agustus
2025.
[6]
Peter T. Struck, “Posidonius and
Other Stoics on Extra-Sensory Knowledge,” dalam Divination and Human Nature
(Princeton: Princeton University Press, 2016), bab 3 (pembahasan sympatheia
dalam kosmologi Stoik).
[7]
Tim O’Keefe, “Ancient Theories of
Freedom and Determinism,” The Stanford Encyclopedia of Philosophy
(2020), bagian tentang determinisme Stoik dan kompatibilisme (ko-fatum),
diakses 25 Agustus 2025.
[8]
Benjamin Harriman, “A Note on
Cleanthes and Early Stoic Cosmogony,” Mnemosyne 74, no. 4 (2021):
533–552; versi akses terbuka, diakses 25 Agustus 2025.
[9]
Durand, Shogry, dan Baltzly,
“Stoicism,” SEP (bagian siklus dunia), mencatat penolakan ekpyrōsis oleh
Panaetius; bandingkan juga kajian sekunder tentang Boethus/Panaetius.
[10]
Lihat Durand, Shogry, dan
Baltzly, “Stoicism,” SEP; serta “Stoic Ethics,” Internet Encyclopedia of
Philosophy, diakses 25 Agustus 2025, untuk hubungan fisika-etika (hidup
sesuai alam) dalam sistem Stoik.
4.
Kehidupan
Selaras dengan Alam
4.1.
Apa arti “hidup selaras dengan alam” dalam praktik?
Bagi para Stoa, “hidup selaras dengan
alam” (ὁμολογουμένως τῇ φύσει ζῆν) bukan semboyan abstrak, melainkan patokan
bertindak sehari-hari: menata kemauan, pilihan, dan penilaian agar konsisten
dengan rasionalitas kosmos serta kodrat manusia sebagai makhluk berakal.¹
Dengan bahasa etika Stoa, yang “baik” hanyalah kebajikan; hal
lain—kesehatan, reputasi, harta—adalah “indiferens” (adiaphora) yang dipilih
atau ditolak sejauh mendukung perikehidupan yang sesuai dengan alam, dan
selalu “dengan syarat” (hupexairesis)—yakni tunduk pada tatanan
ilahi-alamiah.² Konsepsi ini mengikat fisika (pandangan tentang alam yang
teratur dan providensial) dengan etika (pilihan yang tepat), sehingga harmoni
pribadi niscaya terkait harmoni kosmik.³
4.2.
Tiga disiplin: mengoperasionalkan harmoni alam
dalam diri
Epiktetos merumuskan tiga topoi
(disiplin latihan) yang mengartikulasikan “hidup menurut alam” ke dalam
kebiasaan batin: (i) hasrat/ aversi (orexis/ekklisis)—menertibkan apa
yang kita mau dan hindari; (ii) dorongan bertindak (hormê)—menentukan tindakan
yang layak (kathekon); dan (iii) persetujuan
(synkatathesis)—mengelola penilaian/assent atas kesan.⁴ Disiplin ini dipaparkan
sebagai jenjang pembinaan moral, bukan sekadar peta teori; ia menyiapkan subjek
agar responsnya selaras dengan kodrat rasionalnya dan dengan tatanan alam.⁵
4.3.
“Dikotomi kendali” dan kebebasan batin
Pembeda paling praktis yang ditekankan
Epiktetos adalah: ada hal di bawah kendali kita (pendapat, keinginan,
penilaian, kehendak) dan ada yang bukan (tubuh, reputasi, harta).
Mengikat kesejahteraan pada hal-hal yang bukan kuasa kita melahirkan
keresahan; menambatkannya pada kehendak yang lurus menghasilkan kemerdekaan
batin.⁶ Rumusan ini menata disiplin hasrat dan persetujuan sekaligus, sebagai
cara hidup yang “mengikuti alam” karena tunduk pada struktur kausal
kosmos sambil menjaga otonomi rasio.⁷
4.4.
Memilih yang “layak” (kathekon) di tengah
indifferents
Dalam pengambilan keputusan konkret, yang
relevan bukan mengejar indifferents, melainkan menimbang
indifferents sebagai “bahan mentah” kebajikan dan memilih tindakan yang layak
bagi situasi, peran, dan manusia lain. Tradisi Stoa menyusun pedoman “fungsi
yang semestinya” (περὶ καθῆκον)—dari Panaetios hingga dipopulerkan Cicero
dalam De Officiis—untuk membimbing deliberasi ini.⁸ Karena hidup itu
sosial, adakalanya orang bajik memilih indifferents yang kurang
menguntungkan bagi dirinya (bahkan pengorbanan jiwa) demi proporsi yang adil
bagi pihak lain.⁹
4.5.
Peran, relasi, dan kosmopolis
Hidup menurut alam juga berarti hidup sesuai
peran (anak, orang tua, warga, pendidik) dan relasi dekat-jauh yang
membentuk diri. Dalam kosmologi Stoa yang memandang semua manusia berbagi
rasionalitas yang sama, keadilan menuntut perhatian meluas dari lingkaran
diri-keluarga ke komunitas, negara, hingga seluruh umat manusia—gagasan kosmopolis.¹⁰
Hierokles menggambarkannya sebagai “lingkar-lingkar kepedulian” yang ditarik
makin rapat ke pusat diri.¹¹ Di tataran batin, Marcus Aurelius menegaskan: “Kita
dijadikan untuk bekerja sama … bertindak saling melawan adalah
bertentangan dengan alam.”¹²
4.6.
Praktik-praktik asketik: membiasakan perspektif
alam
Harmoni dengan alam dipelihara lewat praktik
harian yang menata persepsi:
·
Antisipasi pagi: Marcus
menyarankan menyiapkan batin menghadapi manusia yang “sulit” sebagai
bagian dari tatanan alam—cara meminimalkan kejutan dan memaksimalkan niat
baik.¹³
·
Klausul reservasi:
lakukan apa pun “dengan syarat”—jika tidak terhalang, jika
alam mengizinkan—agar kehendak selalu tunduk pada rasionalitas kosmos.¹⁴
·
Telaah malam: Seneca
menganjurkan pemeriksaan diri setiap malam—meninjau pikiran dan
perbuatan—untuk meluruskan kebiasaan batin.¹⁵
·
View from above:
membayangkan diri dari sudut pandang kosmik untuk merelatifkan keluh-kesah dan
menyelaraskan diri dengan ordo naturae.¹⁶
4.7.
Ketahanan emosi sebagai hasil selaras dengan alam
Karena emosi buruk (pathê) lahir dari
penilaian keliru, terapi Stoa menarget penilaian: latih diri membedakan
“kesan” dan “persetujuan”, serta gunakan setiap peristiwa sebagai
kesempatan mengaktualkan kebajikan—fortitudo saat sakit, sophrosynê
saat tergoda, praotês saat dihina.¹⁷ Dengan demikian, penderitaan
emosional mereda bukan karena dunia berubah, tetapi karena rasio kembali
menjadi ukuran sesuai kodrat.¹⁸
Implikasi sosial-ekologis
(catatan)
Secara klasik, kosmopolitanisme Stoa
berfokus pada kewajiban antarmanusia dalam “kota semesta”.¹⁹ Banyak
penafsir modern menilai kerangka ini kompatibel dengan kepedulian ekologis
karena kosmos dipahami sebagai organisme rasional yang saling-terhubung;
kendati demikian, komitmen ekologis eksplisit adalah pengembangan kontemporer,
bukan doktrin baku Stoa kuno.²⁰
Footnotes
[1]
“Stoicism,” Stanford
Encyclopedia of Philosophy (SEP), bagian 4.1–4.3.
[2]
Ibid., bagian 4.3 (tentang
indifferents dan “reservations”).
[3]
Ibid., bagian 1.2 (keterpaduan fisika–etika).
[4]
John Sellars, “Revisiting the
Three Topoi in Dissertationes 3.2,” Aitia (2022).
[5]
“Epictetus,” SEP (revisi 16 Juli 2025), terutama 4.7 (self-cultivation)
dan 5 (metode pendidikan).
[6]
Epiktetos, Enchiridion §1,
terj. Elizabeth Carter, Internet Classics Archive.
[7]
“Epictetus,” SEP, 4.3–4.5
(prohairesis, “use of impressions”).
[8]
“Stoicism,” SEP, 4.4
(deliberation; tradisi Peri Kathêkontôn serta hubungan dengan Cicero De
Officiis).
[9]
Ibid. (contoh pengorbanan diri sebagai kathekon dalam kondisi
tertentu).
[10]
Ibid., 4.5 (kosmopolitanisme).
[11]
Lihat pembahasan Hierokles dan
“lingkar kepedulian” sebagai elaborasi oikeiôsis di “Stoicism,” SEP,
4.6.
[12]
Marcus Aurelius, Meditations
2.1, terj. di Lexundria.
[13]
Ibid., 2.1 (renungan pagi tentang
watak orang lain).
[14]
Epiktetos, Enchiridion §2
(“dengan reservasi”).
[15]
Seneca, De Ira 3.36 (latihan telaah malam), terj. Robert A.
Kaster (2010), PDF kuliah Princeton.
[16]
Marcus Aurelius, Meditations
7.47 dan 4.23 (sudut pandang kosmik), Lexundria.
[17]
Epiktetos, Enchiridion §10
(mengubah setiap peristiwa menjadi latihan kebajikan).
[18]
“Epictetus,” SEP, 4.5
(penyesuaian emosional melalui penilaian).
[19]
Pauline Kleingeld & Eric
Brown, “Cosmopolitanism,” SEP.
[20]
Bandingkan penjelasan SEP ttg.
kosmopolis (cat. 19) dengan perluasan modern atas oikeiôsis dan sympatheia
dalam literatur kontemporer (mis. Eric Brown, “The Stoic Invention of Cosmopolitan Politics”).
5.
Kebahagiaan
dan Pengelolaan Emosi
5.1.
Emosi menurut Stoa: penilaian yang keliru, bukan
“letupan buta”
Dalam psikologi Stoa, emosi buruk (pathē)
didefinisikan sebagai dorongan (impulse) yang berlebihan dan tidak taat pada
nalar—yakni gerak jiwa yang bertentangan dengan alam.¹ Lebih jauh,
Stoa menganalisis pathē secara kognitivis: setiap emosi
melibatkan (i) penilaian nilai yang keliru—menganggap sesuatu yang hadir/akan
hadir sebagai kebaikan/keburukan padahal sekadar indiferens—dan
(ii) penilaian tindak lanjut yang keliru (apa yang “pantas” dilakukan
sebagai respons).² Para Stoa juga membedakan empat genus emosi: duka (lupē)
atas keburukan yang hadir; takut (phobos) atas keburukan masa
depan; nafsu/hasrat (epithumia) atas kebaikan masa depan; dan
nikmat/“suka cita” tak terdidik (hēdonē) atas kebaikan hadir.³
Keseluruhan skema ini menjelaskan mengapa pathē menghalangi eudaimonia:
ia memutus “arus hidup yang baik” yang selaras dengan logos.⁴
5.2. Apatheia ≠ mati rasa: menuju eupatheiai
Tujuan terapi Stoa bukan menumpulkan rasa,
melainkan menyehatkan penilaian hingga jiwa mencapai kebebasan dari gejolak
destruktif (apatheia). Berbarengan, Stoa mengakui “emosi baik”
(eupatheiai)—misalnya sukacita (chara), kehendak/hasrat
lurus (boulēsis), dan kehati-hatian (eulabeia)—yang
lahir dari penilaian tepat tentang nilai.⁵ Dengan demikian, kebajikan
melahirkan struktur afeksi yang selaras dengan alam, bukan kekosongan afektif.⁶
5.3.
Kebahagiaan sebagai otonomi batin: dari kesan (phantasia)
ke persetujuan (synkatathesis)
Karena emosi berakar pada assent/persetujuan
terhadap kesan, latihan utama Stoa adalah mengatur persetujuan:
menghentikan “yes otomatis” pada kesan yang menyesatkan dan menilai
ulangnya menurut nalar. Di sini berfungsi apa yang populer sebagai “dikotomi
kendali”: hal dalam kuasa kita (penilaian, kehendak, hasrat) vs hal di
luar kuasa (tubuh, reputasi, harta).⁷ Menggantungkan kebahagiaan pada yang di
luar kuasa pasti melahirkan keresahan; menambatkannya pada kehendak
rasional menghasilkan kemerdekaan batin—fondasi bagi eudaimonia.⁸
5.4. Latihan-latihan terapi batin (askēsis) untuk menata
emosi
Tradisi Stoa menyajikan serangkaian praktik
harian yang menyehatkan penilaian sehingga afeksi turut tertata:
·
Antisipasi pagi (Marcus, Meditations
2.1): siapkan batin menghadapi manusia “sulit” sebagai bagian dari
tatanan alam—cara mencegah surprise afektif dan menumbuhkan belas-kasih
rasional.⁹
·
Klausul reservasi (with
reservation): lakukan segala sesuatu “jika alam mengizinkan”, agar
kehendak tunduk pada logos kosmik dan tidak terseret frustasi ketika hal
eksternal berubah.¹⁰
·
Telaah malam (Seneca, De
Ira 3.36): memeriksa seluruh hari—memuji atau menegur diri—untuk memperbaiki
kebiasaan penilaian dan memadamkan bara pathē.¹¹
·
“Pandangan dari atas”
(Marcus, Meditations 7.47): mengambil sudut pandang kosmik untuk
mengecilkan obsesi diri dan merelatifkan stimulan emosi.¹²
·
Antisipasi kemalangan
(Seneca, Epistulae 91): “mengirim pikiran maju” menghadapi
kemungkinan terburuk—bukan demi suram, tetapi vaksinasi kognitif agar
tak terguncang saat musibah benar-benar tiba.¹³ (Istilah Latin premeditatio
malorum bersifat modern; teks Seneca memuat prinsipnya.)
Praktik-praktik ini merupakan contoh “filsafat
sebagai cara hidup” (Hadot): latihan rohani yang menata perspektif,
perhatian, dan kehendak agar selaras dengan alam—bukan hanya pengetahuan
teoretis.¹⁴
5.5.
Mengelola marah dan duka: koreksi penilaian, bukan
represi membabi buta
Amarah bagi Stoa adalah
penilaian yang menempatkan “penghinaan” sebagai keburukan yang
mengharuskan pembalasan; terapi utamanya ialah menunda persetujuan,
memeriksa proposisi nilai, dan bertindak dengan kathekon (yang pantas)
daripada impuls balasan. Seneca menutup De Ira dengan latihan telaah
diri malam hari sebagai penawar akumulasi bara marah.¹⁵ Pada duka,
Stoa membedakan “kejutan awal” yang wajar dan pemeliharaan duka yang
menjadi kebiasaan buruk; terapi konsolasi diarahkan untuk menata ulang
penilaian agar selaras dengan ordo alam.¹⁶
5.6.
Emosi sosial dan kosmopolis: dari oikeiōsis ke
kebaikan bersama
Hidup selaras dengan alam juga menata afeksi
sosial. Karena manusia berbagi rasio yang sama, kebajikan menuntun pada kerja
sama dan kebajikan welas-asih (philanthrōpia) ketimbang sinisme.
Marcus menulis: “Kita dijadikan untuk bekerja sama…” (2.1)—formulasi
yang memandu transmutasi emosi liar menjadi kebaikan-welas yang sesuai
peran kita sebagai warga cosmopolis.¹⁷
Catatan relevansi
kontemporer
Literatur modern sering menautkan praktik
Stoa (restrukturisasi penilaian, examination, view from above)
dengan Cognitive Behavioral Therapy (CBT). Walau tidak identik, garis
pengaruh diakui luas: Epiktetos (Ench. 1) kerap dikutip para pelopor CBT
(Ellis/ Beck), dan komunitas akademik kontemporer mencatat kebangkitan Stoa
sebagai filsafat praktis abad ke-21.¹⁸
Footnotes
[1]
Marion Durand, Simon Shogry, dan
Dirk Baltzly, “Stoicism,” The Stanford Encyclopedia of Philosophy (20
Januari 2023), §4.7 “Passions.”
[2]
Ibid., §4.7 (analisis kognitivis pathē:
salah nilai + salah respons).
[3]
Ibid., §4.7 (empat genus emosi;
Stobaios 65A).
[4]
Ibid., §4.7 (konflik dengan
“right reason”/hukum rasional Zeus dan “good flow of life”).
[5]
“Epictetus (55–135 CE),” Internet
Encyclopedia of Philosophy, bagian “Eudaimonia: apatheia, eupatheiai,
ataraxia.”
[6]
Durand–Shogry–Baltzly,
“Stoicism,” SEP, §4.2–4.3 (kebajikan sebagai syarat cukup kebahagiaan; penautan
etika–fisika).
[7]
Epictetus, Enchiridion §1
(terj. MIT Classics/Sacred Texts).
[8]
Durand–Shogry–Baltzly,
“Stoicism,” SEP, §2.9 (assent/kuasa rasional) dan §4.1–4.2.
[9]
Marcus Aurelius, Meditations
2.1 (terj. George Long, Lexundria).
[10]
Durand–Shogry–Baltzly,
“Stoicism,” SEP, §4.3 (praktik “reservations” dalam memilih indiferens).
[11]
Seneca, De Ira 3.36, terj. R. A. Kaster (On Anger, PDF).
[12]
Marcus Aurelius, Meditations
7.47 (Lexundria).
[13]
Seneca, Epistulae Morales
91 (Wikisource); bandingkan pembahasan istilah modern “premeditatio malorum”
dalam literatur sekunder.
[14]
Pierre Hadot, Philosophy as a
Way of Life: Spiritual Exercises from Socrates to Foucault (Oxford:
Blackwell, 1995).
[15]
Seneca, De Ira 3.36 (latihan telaah malam).
[16]
Seneca, Consolation to the
Bereaved (tradisi konsolasi Stoa terhadap duka).
[17]
Marcus Aurelius, Meditations
2.1 (imperatif kerja sama sebagai hukum alam manusia).
[18]
“Stoicism,” Internet
Encyclopedia of Philosophy (kebangkitan Stoa & keterkaitannya dengan
CBT).
6.
Keharmonisan dengan Alam dalam Perspektif Etika
Sosial
6.1.
Kosmopolis dan Hukum Alam
Bagi para Stoa, “hidup selaras dengan
alam” bukan sekadar ajaran etika individual, melainkan horizon politis:
manusia adalah warga kosmopolis, satu “kota semesta” yang diikat
oleh logos dan hukum alam (lex naturae). Marcus Aurelius
menegaskan bahwa manusia “dijadikan untuk bekerjasama” (geared for
cooperation), maka bertindak saling melukai “bertentangan dengan alam.”¹
Dalam bingkai yang sama, Cicero—mengadopsi Stoa—menyatakan bahwa ada “satu
keadilan esensial” dan “satu hukum” yang merupakan rasio lurus
yang memerintah dan melarang; hukum ini menegakkan keadilan yang menyemen
masyarakat, dan tanpanya tidak ada tatanan politik yang autentik.² Dari sini,
harmoni dengan alam segera bermakna: tunduk pada rasionalitas semesta yang
sama-sama mengikat semua manusia dalam tatanan moral yang lebih tinggi daripada
sekadar kebiasaan lokal.³
6.2.
Oikeiōsis dan lingkaran kepedulian
Stoa menjelaskan keterikatan sosial lewat doktrin oikeiōsis—gerak
dari “yang-milik-kita” menuju perluasan afinitas. Hierokles
menggambarkannya sebagai “lingkaran konsentris”: dari diri, keluarga,
tetangga, warga kota, sebangsa, hingga seluruh umat manusia; tugas etis kita
ialah “menarik lingkaran-lingkaran luar semakin dekat.”⁴ Konsep ini
bukan soal kasih tak berpembedaan, melainkan landasan tindakan yang pantas
(kathēkon) sesuai peran dan kedekatan, sambil tetap menjaga horizon
kosmopolit.⁵ Dengan demikian, keharmonisan dengan alam menuntun pada praktik
memperluas empati secara bertahap—dari rumah hingga kemanusiaan—sejalan dengan
rasionalitas bersama umat manusia.⁶
6.3.
Keadilan, kewargaan, dan solidaritas
Cicero (mewakili Stoa Romawi) merumuskan kaidah kewajiban sosial: “kita
tidak dilahirkan untuk diri sendiri; tanah air dan sahabat memiliki bagian atas
diri kita,” dan “manusia dilahirkan demi manusia—untuk saling menolong.”⁷
Keadilan karenanya bertumpu pada itikad baik dan kewajiban mencegah
ketidakadilan, bukan sekadar menghindari melukai.⁸ Marcus Aurelius melapiskan
prinsip yang sama ke dalam asas solidaritas: “yang tidak baik bagi kawanan
lebah tidak baik bagi seekor lebah.”⁹ Di sini, harmoni dengan alam berarti
mengikat kepentingan diri pada kebaikan bersama (common good); kebajikan
pribadi tidak dapat bertentangan dengan kesejahteraan komunitas.
6.4.
“Kota Tuhan” dan kewargaan semesta
Dalam tradisi Stoa kemudian—terutama dibaca melalui Epiktetos—manusia
dipahami sebagai “warga kota besar milik Tuhan,” sehingga kewargaan etis
melampaui polis dan negara.¹⁰ Pandangan ini tidak menghapus loyalitas lokal,
tetapi mengurutkannya di bawah standar kosmik: bertindak sebagai warga kosmos
menuntut kontribusi untuk perayaan hidup bersama (metafora “festival”
Epiktetos), yakni partisipasi aktif dalam kemaslahatan sosial sesuai peran yang
rasional.¹¹
6.5.
Kebajikan sosial dalam praktik peran (kathēkonta)
Stoa menolak dikotomi “publik vs privat”
yang menyingkirkan tanggung jawab sosial—kathēkonta selalu mengacu pada
relasi. Karena itu, sejak Musonius Rufus (tentang pernikahan dan keluarga)
hingga Epiktetos (tentang peran warga), kebajikan dipraktikkan lewat
tugas-tugas peran yang dijalankan selaras dengan alam manusia sebagai makhluk
rasional-sosial.¹² Prinsip ini nyata dalam ajaran “gunakan apa yang dalam
kuasa kita demi yang sesuai-alam” dan “hidup untuk memberi andil bagi
pergaulan manusia.”¹³
6.6.
Martabat manusia dan kritik atas dominasi
Kompas etika sosial Stoa juga tampak dalam
humanisasi relasi kuasa. Seneca, misalnya, menulis bahwa “kita bagian dari
satu tubuh besar; alam melahirkan kita saling berkerabat,” lalu mengajak
menolong sesama dan mencontohkan analogi “lengkung batu” (arch) yang
saling menyangga—gambaran kuat tentang kohesi sosial.¹⁴ Dalam surat lain, ia
menegur dehumanisasi di rumah tangga Romawi: “mereka memang budak—tidak: manusia;
… nafasnya sama, hidupnya sama, matinya sama.”¹⁵ Meski Seneca tidak
membatalkan institusi perbudakan, penekanan pada kesetaraan kodrati dan
keakraban sosial memperlihatkan bagaimana “hidup sesuai alam” mengoreksi
praktik yang merendahkan martabat.¹⁶
6.7.
Batas dan peluang: dari antroposentrisme ke etika
lingkungan
Satu batas penting: kosmopolitanisme Stoa
klasik antroposentris—keanggotaan penuh kosmopolis diatribusikan pada
makhluk rasional; ini membuat relasi moral langsung pada hewan-tumbuhan kurang
ditegaskan.¹⁷ Namun fondasi fisika Stoa tentang simpati kosmik (sympatheia)—interkoneksi
semua hal—serta apresiasi akan keindahan alam memberi jalan untuk
justifikasi pelestarian lingkungan sebagai kebaikan manusiawi dan bagian
dari hidup bajik.¹⁸ Bacaan kontemporer menunjukkan, sekalipun antroposentris,
Stoa menyediakan argumen kuat untuk perlindungan alam sejauh itu menopang
eudaimonia manusia dan keutuhan komunitas rasional.¹⁹
Implikasi kontemporer
Ditarik ke ranah kini, prinsip “selaras dengan alam” menumbuhkan mandat
sosial-politik yang konkret: (a) kebijakan publik harus sejalan dengan hukum
alam rasional—keadilan substantif, bukan sekadar legalitas;²⁰ (b)
solidaritas lintas batas—migrasi, kemanusiaan, dan keadilan global—berpijak
pada oikeiōsis yang memperluas lingkaran kepedulian;²¹ (c) ruang digital
sebagai agora baru menuntut kathēkonta berupa tutur etis, berbagi
informasi benar, dan menolong yang rentan;²² serta (d) etika lingkungan yang
selaras dengan simpati kosmik: konservasi dan tata kelola sumber daya sebagai
bentuk rasionalisasi kepentingan bersama (the swarm).²³ Dengan begitu,
kebahagiaan Stoik—eudaimonia—menyatu dengan praktik kebajikan sosial: menjadi
warga yang adil, kooperatif, dan berbelarasa di bawah hukum alam universal.
Footnotes
[1]
Marcus Aurelius, Meditations, 2.1, trans.
George Long, Lexundria, diakses 25 Agustus 2025.
[2]
Marcus Tullius Cicero, De Legibus (On Laws), I.42 dan I.151, terj.
Francis Barham, ToposText/Online Library of Liberty, diakses 25 Agustus 2025.
[3]
Stanford Encyclopedia of
Philosophy, “Stoicism,”
ed. Malte P. Durand (2023),
bagian interkoneksi fisika-etika Stoa, diakses 25 Agustus 2025.
[4]
Ilaria Ramelli dan David Konstan,
Hierocles the Stoic:
Elements of Ethics, Fragments and Excerpts (Atlanta: SBL, 2009), lihat
fragmen tentang “concentric circles”; ringkasannya dalam BMCR 2012.03.04,
diakses 25 Agustus 2025.
[5]
Ralph Wedgwood, “Hierocles’ Concentric Circles,” PhilPapers
(2023), menafsirkan gambar lingkaran sebagai panduan kathēkon, bukan
egalitarianisme buta, diakses 25 Agustus 2025.
[6]
Stanford Encyclopedia of
Philosophy, “Cosmopolitanism,”
ed. Pauline Kleingeld
(2002/edisi daring), bagian tentang kosmopolitanisme Stoa, diakses 25 Agustus
2025.
[7]
Cicero, De Officiis (On Duties), I.22,
terj. Walter Miller, ToposText (Lacus Curtius), diakses 25 Agustus 2025.
[8]
Ibid., I.23 (tentang good
faith dan mencegah ketidakadilan).
[9]
Marcus Aurelius, Meditations, 6.54, trans. George
Long, Lexundria, diakses 25 Agustus 2025.
[10]
“Epictetus,” Internet Encyclopedia of Philosophy,
rujukan Discourses 3.22.4 (trans. Hard) soal “God’s great city of the
universe,” diakses 25 Agustus 2025.
[11]
Ibid. (metafora “festival” dan kewargaan kosmik). (iep.utm.edu)
[12]
Musonius Rufus, Lectures
(XIII A) tentang pernikahan dan kebersalingan; terj. dalam Diotíma/Thestoiclife
(akses terbuka), diakses 25 Agustus 2025; Epictetus, Discourses 1.1;
1.13, ed. MIT Classics, diakses 25 Agustus 2025.
[13]
Epictetus, Discourses,
prinsip menggunakan yang “dalam kuasa kita” sesuai alam; lihat MIT Classics,
diakses 25 Agustus 2025.
[14]
Seneca, Epistulae
Morales, Surat 95, §§52–53 (analog “satu tubuh besar” dan “lengkung
batu”), terj. R.M. Gummere, Wikisource, diakses 25 Agustus 2025.
[15]
Seneca, Epistulae Morales, Surat 47,
§10: “mereka budak—tidak: manusia … nafasnya sama, hidupnya sama, matinya
sama,” terj. Gummere, Wikisource, diakses 25 Agustus 2025.
[16]
A.G. Long, “Seneca
on Human Rights in De Beneficiis 3,” Apeiron (2021), menyorot
kesetaraan kodrati dalam norma antar-manusia, diakses 25 Agustus 2025.
[17]
Routledge Encyclopedia of
Philosophy, entri “Stoicism—oikeiōsis,”
catatan bahwa afinitas moral berakar pada rasionalitas bersama manusia
(membatasi kewajiban langsung pada makhluk non-rasional), diakses 25 Agustus
2025.
[18]
Simon Shogry, “Stoic
Cosmopolitanism and Environmental Ethics” (2020), menilai justifikasi Stoa
bagi pelestarian alam melalui kebaikan manusiawi (termasuk apresiasi keindahan
alam), diakses 25 Agustus 2025.
[19]
E.D. Protopapadakis, “The Stoic Notion of Cosmic Sympathy
in Contemporary Environmental Ethics” (2012), PhilArchive, diakses
25 Agustus 2025.
[20]
Cicero, De Legibus,
I.20–I.47 (kerangka natural-law bagi hukum sipil), ToposText, diakses 25
Agustus 2025.
[21]
Lihat catatan 4–7 tentang oikeiōsis dan kosmopolitanisme Stoa.
[22]
Bandingkan “kewargaan kosmik” Epiktetos dengan imperatif partisipasi
sosial rasional—IEP, Epictetus.
[23]
Marcus Aurelius, Meditations,
6.54 (metafora kawanan lebah), Lexundria.
7.
Bab
VI – Relevansi dalam Konteks Modern
7.1.
Kebangkitan Stoikisme sebagai filsafat praktis
Dua dekade terakhir menyaksikan kebangkitan
Stoikisme sebagai “filsafat untuk hidup” yang menekankan latihan batin (askēsis)—seperti
view from above, peninjauan diri harian, dan penataan kehendak—alih-alih
pengetahuan teoretis semata (Hadot). Di ranah ensiklopedis, IEP juga mencatat
kebangkitan Stoikisme awal abad ke-21 serta asosiasinya dengan pendekatan
psikologis kontemporer.
7.2.
Jembatan dengan psikologi modern (REBT/CBT)
Albert Ellis—perintis Rational Emotive Behavior Therapy (REBT)—secara
eksplisit mengutip Epiktetos: “People are disturbed not by things,
but by the view they take of them”, dan menjadikannya prinsip edukasi bagi
klien. Aaron T. Beck, pelopor Cognitive Therapy (CT), mengakui akar
filosofis kuno (termasuk Stoa) bahwa kognisi menentukan respons
emosi—kerangka yang kemudian berkembang menjadi CBT. Implikasi
praktisnya jelas: intervensi emosional dimulai dari koreksi penilaian.
7.3.
Bukti empiris intervensi berbasis-Stoa
Program komunitas Modern Stoicism—termasuk Stoic Week (7
hari) dan Stoic Mindfulness and Resilience Training (SMRT) (4
minggu)—secara konsisten melaporkan peningkatan kesejahteraan subjektif
peserta. Laporan-laporan terbaru (2021–2024) menunjukkan perbaikan pada indeks
WHO well-being, life satisfaction, flourishing, dan keseimbangan
afek; sebuah impact case study (REF 2021, UK) merangkum SMRT 2020
dengan peningkatan ±12% (resiliensi), 13% (flourishing), dan 15%
(kepuasan hidup). Walau berbasis self-report dan bukan uji
acak-terkontrol, konsistensi temuan lintas kohort cukup kuat untuk menyimpulkan
efek positif moderat terhadap kebugaran psikologis harian.
7.4.
Pendidikan dan profesi kesehatan: resiliensi &
empati
Dalam pendidikan kedokteran, studi mixed-methods (BMC Medical
Education, 2022) menemukan pelatihan berbasis-Stoa meningkatkan resiliensi
dan (secara kualitatif) empati mahasiswa; teknik kunci meliputi
visualisasi negatif, Stoic mindfulness, dan latihan perspektif. Ini
memberi alasan pedagogis untuk mengintegrasikan latihan Stoa dalam kurikulum
profesional bertekanan tinggi.
7.5.
Dunia kerja & kepemimpinan
Riset organisasi mulai memetakan dampak
prinsip Stoa pada performa tim dan kepemimpinan. Studi korelasional (MDPI,
2023) mendapati beberapa postulat Stoa berkaitan dengan kinerja tim proyek;
di sisi konseptual, Stoikisme diajukan sebagai kerangka kepemimpinan
keberlanjutan dalam sistem sosial-ekologis kompleks (2025). Temuan ini
masih dini—kombinasi bukti kuantitatif dan konseptual—tetapi menunjuk pada
kegunaan Stoikisme untuk ketenangan, kejelasan nilai, dan pengambilan keputusan
berprinsip.
7.6.
Etika sosial-ekologis: dari kosmopolis ke
kepedulian lingkungan
Secara klasik, kosmopolitanisme Stoa antroposentris—hanya
makhluk rasional yang menjadi anggota kosmopolis—namun tetap memungkinkan justifikasi
pelestarian lingkungan sejauh menopang kebaikan manusiawi (termasuk
apresiasi keindahan alam). Bacaan kontemporer (Shogry) menunjukkan cara
menafsirkan simpati kosmik dan oikeiōsis untuk dasar etika lingkungan
masa kini; telaah lain (Protopapadakis) menegaskan keterbatasan antroposentris
itu sambil menunjukkan jembatan ke teori ekologi holistik modern.
7.7.
Menjaga agar “Stoik” ≠ “membatu”: peringatan
penerapan
Di budaya kerja modern, “stoic”
sering disalahpahami sebagai represi emosi. Literatur manajemen
menekankan perlunya kelincahan emosional—mengakui emosi sambil tetap
bertindak bernalar—alih-alih topeng ketabahan yang kaku. Ini selaras dengan
Stoa klasik yang membedakan pathē destruktif dari afeksi sehat (eupatheiai).
Kotak alat Stoik untuk
abad ke-21 (aplikasi singkat, berbasis sumber klasik)
·
Antisipasi pagi:
memetakan tantangan sosial yang mungkin muncul hari ini (Marcus, Med.
2.1) untuk mencegah kejutan afektif dan menyiapkan niat baik.
·
View from above (Hadot;
Marcus, Med. 7.47): memperluas perspektif kosmik guna merelatifkan stres
dan mengikat diri pada ordo alam.
·
Premeditatio malorum (prinsipnya
pada Seneca, Ep. 91): simulasi rasional skenario buruk demi
kesiapsiagaan batin.
·
Telaah malam:
peninjauan diri untuk menyempurnakan penilaian dan kebiasaan. (Bandingkan
praktik Seneca tentang evaluasi harian pada De Ira 3.36).
Footnotes
[1]
Pierre Hadot, Philosophy as a
Way of Life: Spiritual Exercises from Socrates to Foucault (Oxford:
Blackwell, 1995), bab “The View from Above,” akses daring, diakses 25 Agustus
2025.
[2]
“Stoicism,” Internet Encyclopedia of Philosophy,
diakses 25 Agustus 2025.
[3]
Albert Ellis, Reason and
Emotion in Psychotherapy (New York: Lyle Stuart, 1962); lihat juga
ringkasan kurikuler REBT yang mengutip Epiktetos dalam SAGE, Theories
Focusing on Client Thoughts (2016), 234–, diakses 25 Agustus 2025.
[4]
Aaron T. Beck, Cognitive
Therapy and the Emotional Disorders (New York: International Universities
Press, 1976); bandingkan A. E. Cavanna, “The Western Origins of Mindfulness
Therapy in Ancient Rome,” Brain and Neuroscience Advances (2023), akses
PubMed Central, diakses 25 Agustus 2025.
[5]
Tim LeBon, Stoic Week 2021
Results (Modern Stoicism, 2022), PDF; Tim LeBon, “Report on Stoic Week
2024,” ModernStoicism.com, 14 Desember 2024; Impact Case Study
REF2021 (UK) “Modern Stoicism,” yang merangkum hasil SMRT 2020
(peningkatan 12–15%), diakses 25 Agustus 2025.
[6]
M. E. L. Brown dkk., “Can Stoic
Training Develop Medical Student Empathy and Resilience? A Mixed-Methods
Study,” BMC Medical Education 22 (2022), akses PubMed Central, diakses
25 Agustus 2025.
[7]
N. Moreno-Monsalve dkk.,
“High-Performance Project Teams: Analysis from the Stoic Perspective,” Sustainability
15, no. 22 (2023): 16095; Chrystie Watson, “The Stoic Practice of
Sustainability Leadership in Complex Social-Ecological Systems,” Leadership
(2025) (naskah konseptual), keduanya diakses 25 Agustus 2025.
[8]
Simon Shogry, “Stoic
Cosmopolitanism and Environmental Ethics,” dalam The Routledge Handbook of
Hellenistic Philosophy, ed. Kelly Arenson (London: Routledge, 2020), akses
naskah, diakses 25 Agustus 2025; Evangelos D. Protopapadakis, “The Stoic Notion
of Cosmic Sympathy in Contemporary Environmental Ethics,” PhilArchive
(2012), diakses 25 Agustus 2025.
[9]
Marcus Aurelius, Meditations
2.1 dan 7.47, terj. George
Long, Lexundria, diakses 25 Agustus 2025; Seneca, Epistulae Morales 91
dan De Ira (pengantar Kaster), diakses 25 Agustus 2025.
8.
Penutup
Artikel ini menunjukkan bahwa kebahagiaan (eudaimonia) dalam
Stoikisme berakar pada keselarasan dengan alam—baik alam kosmik yang
tertib oleh logos maupun alam manusia sebagai makhluk
rasional-sosial. Formula telos “hidup sejalan/ selaras dengan alam”
menegaskan keutuhan sistem Stoa: fisika tentang kosmos yang providensial
menopang etika tentang kebajikan sebagai satu-satunya kebaikan sejati dan cukup
bagi kebahagiaan.¹ Rumusan ini tidak menghapus realitas tantangan, melainkan
menata cara manusia menilai dan merespons tantangan itu sesuai
rasionalitas semesta dan kodratnya sendiri.²
Dengan kerangka nilai yang menempatkan kebajikan (kearifan, keadilan,
keberanian, pengendalian diri) sebagai patokan, hal-hal eksternal—kesehatan,
reputasi, kedudukan, harta—diklasifikasikan sebagai indifferents: boleh
dipilih atau ditolak sejauh mendukung tindakan yang “tepat” (kathēkon),
tetapi tidak pernah menjadi penentu eudaimonia.³ Perspektif ini
melahirkan otonomi batin: sumber kebahagiaan tidak terletak pada apa yang di
luar kuasa kita, melainkan pada konsistensi pilihan bernalar (prohairesis)
terhadap yang berada di dalam kuasa kita—penilaian, kehendak, dan dorongan
bertindak.⁴
Di bidang afeksi, Stoikisme menawarkan
terapi kognitif-etik yang khas. Emosi destruktif (pathē) dipahami
sebagai hasil penilaian keliru tentang nilai (menganggap indiferens
sebagai kebaikan/kejahatan mutlak) dan penilaian tindakan yang menyimpang;
karenanya, pengelolaan emosi berpusat pada disiplin persetujuan (synkatathesis).⁵
Tujuan etisnya bukan kebekuan perasaan, melainkan kebebasan dari gejolak
destruktif (apatheia) serta terbukanya afeksi baik (eupatheiai),
seperti sukacita yang lahir dari penilaian benar.⁶ Di sini praktik-praktik
harian—antisipasi pagi, view from above, telaah malam, dan klausul “dengan
reservasi”—berfungsi sebagai latihan pembiasaan diri agar cara pandang dan
tindakan selaras dengan tatanan alam.⁷
Keselarasan dengan alam juga memiliki
dimensi etika sosial. Melalui doktrin oikeiōsis dan
gambaran lingkar-lingkar kepedulian Hierokles, Stoikisme memadukan
perhatian terhadap diri dengan perluasan tanggung jawab menuju keluarga,
komunitas, dan akhirnya kemanusiaan—kosmopolis.⁸ Para Stoa Romawi
(Cicero, Seneca) dan Marcus Aurelius menekankan bahwa manusia “dijadikan
untuk bekerja sama”; keadilan dan belas-kasih rasional adalah wujud harmoni
dengan kodrat sosial kita.⁹ Sementara fisika Stoa tentang sympatheia
(keterjalinan universal) dan pronoia (penyelenggaraan) memberi konteks
metafisik bagi kewargaan kosmik, ajaran tanggung jawab tetap
dipertahankan melalui gagasan tindakan yang “terkofatalkan” bersama (co-fated):
determinisme kosmik kompatibel dengan kebebasan assents dan akuntabilitas
moral.¹⁰
Dalam konteks kontemporer, warisan Stoa
tetap relevan. Di tingkat personal, penataan penilaian selaras dengan alam
menopang ketahanan batin di tengah ketidakpastian. Di tingkat sosial,
kosmopolitanisme Stoa memotivasi solidaritas lintas-batas dan kepedulian pada kebaikan
bersama. Di tingkat ekologis, pembacaan modern atas sympatheia dan oikeiōsis
memberi argumen untuk merawat lingkungan sebagai prasyarat kehidupan manusia
yang baik dan berakal—kendati Stoa klasik memang antroposentris.¹¹ Akhirnya,
jembatan dengan psikologi modern (REBT/CBT) memperlihatkan bahwa inti “hidup
selaras dengan alam”—yakni merapikan kognisi agar tindakan selaras
dengan rasio dan realitas—mampu diterjemahkan ke teknik praktis yang dapat
dilatih.¹²
Singkatnya, kebahagiaan Stoik bukan
pelarian dari dunia, tetapi cara berada di dalam dunia yang terlatih:
mempertemukan rasionalitas kosmos dengan rasionalitas manusia melalui
kebajikan, mengubah peristiwa—baik maupun buruk—menjadi bahan baku karakter,
serta menyalurkan otonomi batin ke dalam kewargaan kosmis yang adil dan penuh
welas. Inilah makna “keharmonisan dengan alam” sebagai landasan eudaimonia:
ketenangan yang aktif, kejernihan yang berbelarasa, dan kegigihan yang
berprinsip.
Footnotes
[1]
A. A. Long dan D. N. Sedley, The
Hellenistic Philosophers, vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press,
1987), frag. LS 63–67 (telos “hidup selaras dengan alam”); Dirk Baltzly,
“Stoicism,” The Stanford Encyclopedia of Philosophy (ed. Edward N.
Zalta), rev. terkini, bagian etika–fisika.
[2]
Marcus Aurelius, Meditations,
2.1 dan 6.54, terj. George Long (London: George Bell, 1862) — tentang kerja
sama sebagai “sesuai alam” dan perspektif sosial-kosmologis manusia; Cicero, De
Finibus Bonorum et Malorum, III (Cambridge, MA: Harvard University Press,
Loeb, 1914).
[3]
Brad Inwood dan Lloyd P. Gerson, The
Stoics Reader: Selected Writings and Testimonia, 2nd ed. (Indianapolis:
Hackett, 2008), bagian tentang indifferents, proēgmena, dan kathēkon;
Internet Encyclopedia of Philosophy, “Stoic Ethics,” bagian 3–4.
[4]
Epictetus, Enchiridion,
§1–2, dalam The Discourses and Manual, terj. W. A. Oldfather (Cambridge,
MA: Harvard University Press, Loeb, 1925); Susanne Bobzien, Determinism and
Freedom in Stoic Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 1998), bab 3
(prohairesis dan tanggung jawab).
[5]
Inwood–Gerson, Stoics Reader,
bagian Stobaeus dan Galen tentang analisis kognitif emosi; Dirk Baltzly,
“Stoicism,” SEP, §“Passions.”
[6]
Stoic Ethics, IEP,
bagian “apatheia” dan eupatheiai; Cicero, Tusculan Disputations,
IV (Cambridge, MA: Harvard University Press, Loeb, 1927), tentang terapi
afektif dalam tradisi Stoa.
[7]
Pierre Hadot, Philosophy as a
Way of Life: Spiritual Exercises from Socrates to Foucault, terj. Michael
Chase (Oxford: Blackwell, 1995), bab “The View from Above”; Seneca, De Ira
3.36, terj. R. A. Kaster (Oxford: Oxford University Press, 2010).
[8]
Ilaria L. E. Ramelli dan David
Konstan, Hierocles the Stoic: Elements of Ethics, Fragments, and Excerpts
(Atlanta: SBL, 2009), fragmen tentang “lingkar-lingkar kepedulian”;
Inwood–Gerson, Stoics Reader, bagian oikeiōsis.
[9]
Cicero, De Officiis,
I.22–23 (Cambridge, MA: Harvard University Press, Loeb, 1913); Marcus Aurelius,
Meditations 6.54.
[10]
Cleanthes, “Hymn to Zeus,” dalam Early
Stoic Fragments, ed. dan terj. A. A. Long (Cambridge: Cambridge University
Press, 1987); Susanne Bobzien, Determinism and Freedom, bab 4
(ko-fatum/compatibilism Stoa).
[11]
Simon Shogry, “Stoic
Cosmopolitanism and Environmental Ethics,” dalam The Routledge Handbook of
Hellenistic Philosophy, ed. Kelly Arenson (London: Routledge, 2020);
Evangelos D. Protopapadakis, “The Stoic Notion of Cosmic Sympathy in
Contemporary Environmental Ethics,” Philosophical Inquiries 4, no. 1
(2012): 97–115.
[12]
Albert Ellis, Reason and
Emotion in Psychotherapy (New York: Lyle Stuart, 1962), 36–37; Aaron T.
Beck, Cognitive Therapy and the Emotional Disorders (New York:
International Universities Press, 1976); untuk kajian historis-filosofis, lihat
juga John Sellars, Stoicism (Berkeley: University of California Press,
2014), bab 6.
Daftar Pustaka
Beck, A. T. (1976). Cognitive therapy and the emotional disorders.
International Universities Press.
Bobzien, S. (1998). Determinism and freedom in Stoic philosophy.
Oxford University Press.
Cicero, M. T. (1913). De officiis (W. Miller, Trans.). Loeb
Classical Library. Harvard University Press.
Cicero, M. T. (1914). De finibus bonorum
et malorum (H. Rackham, Trans.). Loeb Classical Library. Harvard University Press.
Cicero, M. T. (1927). Tusculan disputations (J. E. King, Trans.).
Loeb Classical Library. Harvard University Press.
Cicero, M. T. (1933). De natura deorum (H.
Rackham, Trans.). Loeb
Classical Library. Harvard University Press.
Cicero, M. T. (n.d.). De
legibus (F. Barham, Trans.). Online
Library of Liberty.
Cleanthes. (1921). Hymn to Zeus (J. H. Bartlett, Trans.). SPCK.
Durand, M., Shogry, S., & Baltzly, D. (2023). Stoicism. In E.
N. Zalta & U. Nodelman (Eds.), The Stanford encyclopedia
of philosophy (Fall 2023 ed.). Stanford University.
Ellis, A. (1962). Reason and emotion in psychotherapy. Lyle
Stuart.
Epictetus. (1925). The discourses and manual (Enchiridion) (W. A.
Oldfather, Trans.). Loeb Classical Library. Harvard University Press.
Hadot, P. (1995). Philosophy as a way of life: Spiritual exercises
from Socrates to Foucault (M. Chase, Trans.). Blackwell.
Hierocles. (2009). Hierocles the Stoic: Elements of ethics,
fragments, and excerpts (I. Ramelli & D. Konstan, Eds. & Trans.).
Society of Biblical Literature.
Inwood, B., & Gerson, L. P. (2008). The Stoics reader: Selected
writings and testimonia (2nd ed.). Hackett Publishing.
Kamtekar, R. (2010). Marcus Aurelius. In E. N. Zalta (Ed.), The
Stanford encyclopedia of philosophy (Fall 2010 ed.). Stanford University.
Long, A. A., & Sedley, D. N. (1987). The Hellenistic philosophers
(Vols. 1–2). Cambridge University Press.
Marcus Aurelius. (1862). Meditations (G. Long, Trans.). George
Bell & Sons. (Available at Lexundria: https://lexundria.com)
Protopapadakis, E. D. (2012). The Stoic notion of cosmic sympathy in
contemporary environmental ethics. Philosophical Inquiries, 4(1),
97–115.
Seneca. (1900). On the happy life (De vita beata) (A. Stewart,
Trans.). George Bell & Sons.
Seneca. (1917–1925). Moral letters to Lucilius (Epistulae morales)
(R. M. Gummere, Trans.). Loeb Classical Library. Harvard University Press.
Seneca. (2010). On anger (De ira) (R. A. Kaster, Trans.). Oxford
University Press.
Shogry, S. (2020). Stoic cosmopolitanism and environmental ethics. In K.
Arenson (Ed.), The Routledge handbook of Hellenistic philosophy (pp.
326–340). Routledge.
Sellars, J. (2014). Stoicism. University of California Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar