Senin, 25 Agustus 2025

Kebahagiaan dalam Keharmonisan dengan Alam: Prinsip Dasar Stoikisme tentang Eudaimonia dan Tatanan Kosmik

Kebahagiaan dalam Keharmonisan dengan Alam

Prinsip Dasar Stoikisme tentang Eudaimonia dan Tatanan Kosmik


Alihkan ke: Filsafat Stoikisme.


Abstrak

Artikel ini membahas konsep kebahagiaan (eudaimonia) dalam filsafat Stoikisme dengan menekankan prinsip hidup selaras dengan alam sebagai dasar etis dan kosmologis. Stoikisme memahami kebahagiaan sejati bukan sebagai ketiadaan tantangan hidup, melainkan kemampuan menata penilaian, kehendak, dan emosi agar selaras dengan tatanan kosmik yang rasional (logos). Pembahasan dimulai dengan penjelasan tentang eudaimonia sebagai telos, dilanjutkan dengan uraian mengenai kosmos sebagai tatanan rasional yang diatur oleh logos dan pronoia, serta peran manusia sebagai makhluk rasional-sosial dalam kosmopolis. Selanjutnya, artikel ini mengulas pengelolaan emosi melalui konsep apatheia dan eupatheiai, serta praktik harian seperti telaah diri, antisipasi tantangan, dan view from above sebagai bentuk askesis. Perspektif sosial Stoikisme ditegaskan melalui gagasan oikeiōsis dan lingkaran kepedulian yang meluas menuju solidaritas kosmopolitan. Relevansi kontemporer dibahas dalam kaitannya dengan terapi kognitif modern (CBT/REBT), ketahanan batin, etika sosial, serta kesadaran ekologis. Dengan demikian, Stoikisme menghadirkan kerangka filsafat praktis yang menghubungkan kebajikan, keteraturan kosmik, dan tanggung jawab sosial sebagai jalan menuju ketenangan jiwa dan kebahagiaan sejati.

Kata Kunci: Stoikisme; Eudaimonia; Keharmonisan dengan Alam; Logos; Apatheia; Oikeiōsis; Kosmopolis; Etika; CBT; Filsafat Praktis.


PEMBAHASAN

Prinsip Kebahagiaan dalam Keharmonisan dengan Alam dalan Filsafat Stoikisme


1.           Pendahuluan

Stoikisme—sebuah mazhab filsafat Helenistik yang didirikan Zeno dari Kition di serambi berlukis (Stoa Poikilē) sekitar awal abad ke-3 SM—menawarkan kerangka etika yang terhubung erat dengan pandangan metafisik tentang alam semesta yang tertib dan rasional (logos). Dalam tradisi ini, kebahagiaan (eudaimonia) tidak diidentikkan dengan akumulasi kenikmatan atau ketiadaan tantangan, melainkan dengan hidup “selaras dengan alam” (homologoumenōs tē physei zēn) melalui pembinaan kebajikan.¹ Prinsip tersebut memberi orientasi praktis: manusia mencapai hidup baik ketika cara berpikir, bertindak, dan merasakan selaras dengan tatanan rasional kosmos sekaligus kodrat rasional manusia.²

Stoikisme klasik menyatukan tiga cabang filsafat—logika, fisika, dan etika—sebagai satu kesatuan organis: logika bagaikan dinding kebun, etika buahnya, dan fisika tanah/ pohon yang menumbuhkannya (varian lain menyamakannya dengan telur atau tubuh makhluk hidup).³ Skema ini menegaskan bahwa etika Stoik (tujuan hidup dan kebajikan) tak bisa dipahami tanpa fisika Stoik (pandangan tentang alam/ketuhanan sebagai logos yang meresapi kosmos). Karena itu, “hidup sesuai alam” memiliki dua dimensi yang terpadu: sesuai alam semesta (kosmos rasional) dan sesuai alam manusia (makhluk rasional dan sosial).⁴

Dalam tataran etika, para Stoik mendefinisikan tujuan hidup sebagai “hidup sejalan dengan alam”—yang berarti hidup sejalan dengan rasionalitas universal dan dengan rasionalitas kita sendiri. Konsep oikeiōsis (pengakraban/penghayatan diri) menjelaskan perkembangan moral dari kepedulian diri menuju kehendak baik untuk sesama dalam cosmopolis (kota semesta), sehingga kebajikan (kearifan, keberanian, keadilan, pengendalian diri) menjadi modus hidup yang “tepat” bagi makhluk rasional.⁵ Dengan demikian, kebajikan adalah satu-satunya kebaikan yang sejati dan cukup bagi kebahagiaan; hal-hal eksternal (kesehatan, reputasi, harta) dipandang sebagai “indiferens” yang nilainya tergantung penggunaan rasionalnya.⁶

Sumber primer Stoik memperkaya tesis tersebut. Marcus Aurelius menegaskan bahwa “akal” yang mengatur kosmos tidak membuat apa pun dengan jahat; segala sesuatu “terjadi dan disempurnakan” menurut rasionalitas itu—sebuah dasar bagi sikap menerima tatanan peristiwa sebagai bagian dari keseluruhan.⁷ Epiktetos membuka Enchiridion dengan pembedaan normatif yang terkenal antara hal-hal “yang berada dalam kuasa kita” (penilaian, kehendak, dorongan) dan hal-hal “yang tidak berada dalam kuasa kita” (tubuh, harta, reputasi). Pembedaan ini menerjemahkan harmoni dengan alam ke dalam disiplin praktis keseharian: mengarahkan perhatian pada apa yang benar-benar termasuk ranah tanggung jawab rasional kita.⁸ Seneca, dalam De Vita Beata, mengartikulasikan kebahagiaan sebagai hidup yang menuruti nalar yang lurus—yakni hidup berbudi (virtus) yang sejalan dengan kodrat alam.⁹

Dari sini tampak bahwa Stoikisme tidak menafikan emosi, melainkan menata kualitasnya. Tujuan etisnya adalah apatheia—bukan mati rasa, melainkan kebebasan dari gejolak destruktif—agar penilaian rasional memimpin respons terhadap peristiwa yang berada di luar kuasa kita. Pendekatan ini selaras dengan gagasan Pierre Hadot tentang “filsafat sebagai cara hidup”: latihan-latihan rohani (askēsis) yang membentuk perhatian, perspektif kosmik, dan disposisi moral untuk hidup sesuai alam.¹⁰

Relevansi prinsip “harmoni dengan alam” melampaui konteks kuno. Di ranah personal, ia menawarkan kerangka ketahanan batin terhadap stres, kehilangan, dan ketidakpastian—dengan menata keinginan sesuai yang berada dalam kuasa rasional kita. Di ranah sosial-ekologis, doktrin oikeiōsis dan cosmopolis mengilhami etos tanggung jawab terhadap sesama manusia dan—dalam pembacaan kontemporer—kepekaan etika lingkungan yang mengakui keterkaitan organis antara diri dan kosmos.¹¹ Dengan demikian, artikel ini bertujuan memetakan bagaimana “keharmonisan dengan alam” menjadi landasan eudaimonia Stoik: mulai dari kerangka metafisik-etisnya, perangkat praksisnya, hingga implikasi sosial-ekologisnya bagi dunia modern.


Footnotes

[1]                Michael Durand, “Stoicism,” The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2023), ed. Edward N. Zalta, URL: plato.stanford.edu/entries/stoicism/.

[2]                “Stoic Ethics,” Internet Encyclopedia of Philosophy, diakses 25 Agustus 2025, menyatakan bahwa tujuan hidup adalah “living in agreement with nature.”

[3]                Diogenes Laertius, Lives of the Eminent Philosophers, trans. R. D. Hicks (London: Heinemann, 1925), 7.39–41 (analogi kebun/telur/tubuh).

[4]                A. A. Long dan D. N. Sedley, The Hellenistic Philosophers (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), frag. LS 26–57 (pembagian dan saling-ketergantungan etika-fisika-logika).

[5]                Routledge Encyclopedia of Philosophy, “Stoicism: oikeiōsis” (bagian tematik), diakses 25 Agustus 2025; bandingkan Durand, “Stoicism,” SEP (oikeiōsis dan cosmopolis).

[6]                Rachana Kamtekar, “Marcus Aurelius,” The Stanford Encyclopedia of Philosophy (2010), menyimpulkan garis besar etika Stoik bahwa kebajikan satu-satunya kebaikan; bandingkan IEP, “Stoic Ethics.”

[7]                Marcus Aurelius, Meditations, 6.1, trans. (public domain) di MIT Classics / Project Gutenberg.

[8]                Epictetus, Enchiridion, 1, trans. (public domain) di MIT Classics / Scaife Viewer.

[9]                Seneca, De Vita Beata (On the Happy Life), dalam Minor Dialogs (Bohn’s Classical Library), trans. Aubrey Stewart (London: George Bell & Sons, 1900), passim (mis. §§3–4, 8–9).

[10]             Pierre Hadot, Philosophy as a Way of Life: Spiritual Exercises from Socrates to Foucault, trans. Michael Chase (Oxford: Blackwell, 1995), khususnya bab tentang latihan Stoik dan “perspektif dari atas.”

[11]             Pauline Kleingeld, “Cosmopolitanism,” The Stanford Encyclopedia of Philosophy (2002; rev. var.), dan Simon Shogry, “Stoic Cosmopolitanism and Environmental Ethics,” dalam Ancient Philosophy and Environmental Ethics (draf bab, 2020).


2.           Konsep Eudaimonia dalam Stoikisme

2.1.       Definisi eudaimonia dan tujuan hidup (telos)

Dalam kerangka etika kuno, Stoikisme mendefinisikan eudaimonia (kebahagiaan/kebahagiaan ruhani) sebagai hidup “dalam keselarasan” (living in agreement) yang, sejak Cleanthes, dirumuskan lebih lengkap sebagai “hidup selaras dengan alam”. Rumusan telos ini menegaskan bahwa hidup baik adalah hidup yang koheren (homologoumenôs), bebas dari pertentangan batin, serta tunduk pada rasionalitas kosmik (logos). Dengan demikian, eudaimonia Stoik bukanlah kondisi bebas tantangan, melainkan keberhasilan hidup yang selaras dengan rasionalitas alam semesta dan kodrat manusia yang rasional.¹

2.2.       Dua makna “alam”: kosmik dan manusiawi

Bagi para Stoik, “alam” memiliki dua lingkup terpadu. Pertama, alam semesta: kosmos yang rasional, teratur, dan providensial; karenanya, keselarasan menuntut attunement akal manusia dengan logos kosmik. Kedua, alam manusia: kodrat khas manusia adalah rasio; maka “hidup menurut alam” berarti mengaktualkan rasionalitas kita sebagai ciri esensial kemanusiaan. Dengan kerangka ganda ini, telos Stoik memadukan koherensi batin dan keteraturan kosmik: orang bahagia adalah yang menilai, memilih, dan bertindak sebagaimana “hukum rasional semesta” menuntun.²

2.3.       Teori nilai Stoik: kebajikan sebagai satu-satunya kebaikan

Tesis aksialogis Stoik yang paling khas adalah: kebajikan (hikmah, keadilan, keberanian, pengendalian diri) merupakan satu-satunya kebaikan yang sungguh bermanfaat bagi manusia dan cukup untuk eudaimonia; sebaliknya, kejahatan hanyalah vice (kebalikan kebajikan). Hal-hal eksternal—kesehatan, harta, reputasi, kedudukan—diklasifikasikan sebagai indiferens (adiaphora): tidak baik atau buruk pada dirinya sendiri karena nilainya bergantung pada penggunaan rasional.³ Posisi ini menegaskan otonomi etis: mutu hidup ditentukan oleh keunggulan rasional (kebajikan), bukan oleh variabel keberuntungan.⁴

2.4.       Preferred indifferents, kathekon, dan rasionalitas praksis

Walau indiferens tidak menentukan kebahagiaan, Stoik arus utama membedakan indiferens yang “diutamakan” (proēgmena—mis. kesehatan, reputasi) dari yang “tidak diutamakan” (sakit, kemiskinan). Memilih yang “menurut alam” biasanya rasional, namun keberhasilan memperoleh atau kehilangan indiferens tetap tidak menambah atau mengurangi eudaimonia. Di sinilah konsep tindakan yang layak/tepat (kathekon) bekerja: tindakan yang dapat dipertanggungjawabkan oleh alasan yang baik; dan pada puncaknya, tindakan sempurna (katorthōma) adalah tindakan serba konsisten dari jiwa yang bajik.⁵

2.5.       Oikeiōsis: dari pemeliharaan diri menuju kosmopolis

Stoik menjelaskan perkembangan moral dengan doktrin oikeiōsis (pengakraban/ “appropriation”). Secara naluriah, setiap makhluk merawat konstitusinya; pada manusia, ketika rasio matang, “diri” yang kita cintai bertransformasi—dari tubuh ke jiwa rasional. Dari sini, kepedulian meluas secara rasional ke keluarga dan akhirnya ke komunitas manusia semesta (cosmopolis). Proses inilah yang menautkan self-regard dan tanggung jawab sosial di bawah hukum rasional universal.⁶

2.6.       Prohairesis dan kedaulatan batin

Dimensi praksis eudaimonia diringkas Epiktetos di Enchiridion 1: hal-hal “dalam kuasa kita” (penilaian, kehendak, dorongan) dibedakan dari yang “di luar kuasa kita” (tubuh, harta, reputasi). Kedaulatan batin ini—prohairesis—adalah poros disiplin Stoik untuk menilai dan merespons peristiwa sesuai alam, sehingga kebahagiaan tidak tergantung pada kontingensi eksternal.⁷

2.7.       Afeksi: dari pathē menuju eupatheiai

Stoik tidak meniadakan seluruh emosi; mereka membedakan gejolak emosional yang keliru penilaiannya (pathē: duka, takut, nafsu, nikmat berlebih) dari afeksi yang baik (eupatheiai: sukacita, kehati-hatian, kehendak). Orientasi ini mengarah pada apatheia—kebebasan dari gejolak destruktif—agar penilaian rasional memimpin. Eudaimonia karenanya berkelindan dengan kejernihan kognitif yang mengarahkan afeksi secara tepat.⁸

2.8.       Keutuhan kebajikan dan ideal sang bijak

Stoik menegaskan kesatuan kebajikan: memiliki satu kebajikan berarti memiliki semuanya, karena masing-masing adalah bentuk pengetahuan tentang apa yang pantas dipilih/ dihindari. Ideal sang bijak (jarang, namun normatif) memandu kemajuan moral (prokopē): semakin konsisten rasio memerintah, semakin teguh eudaimonia tercapai, sekalipun di tengah kehilangan atau derita.⁹


Ringkasan Bab

Secara konseptual, eudaimonia Stoik adalah keunggulan rasional yang konsisten: hidup yang setuju dengan akal semesta dan kodrat manusia. Secara praksis, ia menuntut disiplin penilaian (prohairesis), orientasi tindakan melalui kathekon, dan penataan afeksi. Secara sosial-kosmologis, ia mewujud sebagai kewargaan kosmis dan tanggung jawab terhadap sesama. Bab-bab selanjutnya akan menurunkan kerangka ini ke ranah praksis, kosmologi Stoik tentang logos, serta relevansi personal-ekologisnya bagi dunia modern.


Footnotes

[1]                Marion Durand, Simon Shogry, dan Dirk Baltzly, “Stoicism,” The Stanford Encyclopedia of Philosophy, Spring 2023, ed. Edward N. Zalta dan Uri Nodelman.

[2]                “Stoic Ethics,” Internet Encyclopedia of Philosophy, diakses 25 Agustus 2025.

[3]                Durand, Shogry, dan Baltzly, “Stoicism,” SEP (bagian 4.2–4.3); bandingkan “Stoic Ethics,” IEP (bagian 3).

[4]                Lih. Durand, Shogry, dan Baltzly, “Stoicism,” SEP (tesis aksialogis: hanya kebajikan yang benar-benar bermanfaat dan cukup untuk kebahagiaan).

[5]                “Stoic Ethics,” IEP (bagian 3–4) tentang indifferents, proēgmena, kathekon/katorthōma; juga SEP, “Stoicism,” bagian 4.3.

[6]                Durand, Shogry, dan Baltzly, “Stoicism,” SEP (bagian 4.6 dan 5.1–5.2) mengenai oikeiōsis dan kosmopolitanisme; “Stoic Ethics,” IEP (bagian 2).

[7]                Epiktetos, Enchiridion 1, terj. Elizabeth Carter (edisi daring Project Gutenberg); bandingkan The Internet Classics Archive (MIT) untuk rumusan serupa.

[8]                “Stoic Ethics,” IEP (bagian 5) tentang pathē dan eupatheiai.

[9]                “Stoic Ethics,” IEP (bagian 3, 5) mengenai kesatuan kebajikan; Durand, Shogry, dan Baltzly, “Stoicism,” SEP (bagian 4.2).


3.           Alam sebagai Tatanan Kosmik dalam Stoikisme

3.1.       Kerangka umum: kosmos yang rasional, hidup, dan imanen

Dalam fisika Stoik, alam (physis) dipahami sebagai kosmos yang rasional dan hidup; logos (rasio ilahi) imanen di dalamnya sebagai prinsip aktif, sementara materi menjadi prinsip pasif yang dibentuk. Karena hanya yang bertubuh (somata) dapat bertindak/ditindak, Stoik menyatakan “hanya yang bertubuh yang sungguh-sungguh ada (exist)”, sedangkan empat hal inkorporeal—waktu, tempat, kekosongan (void), dan lekta (yang-terkatakan)—“subsist” dengan status ontologis berbeda. Kerangka ini menegaskan monisme korporealis Stoik dan memadukan ontologi, kosmologi, dan teologi alamiah.¹

3.2.       Pneuma, tonos, dan gradasi daya pengikat kosmos

Prinsip aktif beroperasi melalui pneuma (“nafas” atau hembusan panas-ilahi) yang meresapi semua benda. Pneuma memiliki gerak serentak “ke luar” (memberi kualitas/kuantitas) dan “ke dalam” (menyatukan/mengikat), yang oleh sumber-sumber kuno dipahami sebagai ketegangan (tonos). Karena intensitas tonos-nya bervariasi, pneuma hadir dalam gradasi: dari koesi benda mati (hexis), daya tumbuh pada makhluk hidup (physis), jiwa (psychē) pada hewan/manusia, hingga rasionalitas pengendali (hegemonikon)—itulah sebabnya kosmos dipandang sebagai organisme hidup yang tunggal.²

3.3.       Logos dan pronoia: ketertiban serta penyelenggaraan ilahi

Sebagai prinsip rasional yang menyusun dan menuntun kosmos, logos juga identik dengan penyelenggaraan (pronoia). Sumber primer memperlihatkan gambaran ini secara puitis—misalnya “Himne kepada Zeus” karya Cleanthes yang memuji satu ilah yang “mengemudikan alam menurut hukum.”³ Sementara itu, sumber Latin (Cicero) menyampaikan argumen Stoik bahwa prinsip pengatur dunia harus cerdas/rasional, sehingga tatanan kosmos bukan kebetulan buta melainkan hasil providensi rasional.⁴

3.4.       Sympatheia: keterjalinan universal

Karena pneuma satu dan sama merasuki semua hal, para Stoik berbicara tentang keterhubungan universal (sympatheia): bagian-bagian kosmos saling memengaruhi dalam jejaring kausal yang tunggal, seperti organ-organ dalam satu tubuh. Tradisi ini terekam, antara lain, dalam Cicero, De Divinatione II, yang menyinggung sympatheia (istilah Yunani dicantumkan) sebagai dasar keterkaitan fenomena alam dan, bagi sebagian Stoik, sebagai penjelasan mengapa “tanda-tanda” dapat dibaca.⁵ (Bahwa sympatheia mengandaikan kosmos-organisme juga dianalisis dalam studi kontemporer.)⁶

3.5.       Heimarmenē (takdir) dan kompatibilisme kausal

Ketertiban kosmis berwujud jaringan sebab-akibat universal (heimarmenē, “takdir”). Namun Stoik bukan fatalis pasif: kebebasan berada pada persetujuan akal (assent) terhadap kesan, sehingga tanggung jawab moral tetap utuh. Klasik dalam tradisi ini adalah gagasan “ko-fatum” (co-fated): peristiwa “A” (sembuh) difatalkan bersama perbuatan rasional “B” (berobat), sehingga tindakan manusia adalah mata-rantai kausal di dalam takdir—bukan sesuatu yang sia-sia.⁷

3.6.       Siklus kosmik: ekpyrōsis dan pembaruan dunia (serta perdebatan)

Fisikawan Stoik awal (Zeno–Cleanthes–Chrysippos) umumnya mengajarkan siklus kosmik: dunia mengalami konflagrasi (ekpyrōsis), lalu terlahir kembali dalam tatanan identik yang terbaik. Bukti tekstual tentang peran Cleanthes dalam kosmogoni siklik—meski sulit dan tak langsung—dibahas dalam studi filologis mutakhir.⁸ Namun, beberapa Stoik kemudian (mis. Panaetius) menolak ekpyrōsis dan memodifikasi kosmologi ortodoks; hal ini dicatat dalam kajian rujukan (termasuk entri SEP).⁹


Implikasi etis dari fisika Stoik

Jika kosmos adalah satu organisme rasional yang diperintah logos, maka “hidup sesuai alam” berarti membenahi penilaian, kehendak, dan tindakan agar selaras dengan hukum rasional semesta sekaligus kodrat rasional manusia. Fisika Stoik—pneuma yang menyatukan, sympatheia yang menjalin, pronoia yang menuntun, serta heimarmenē yang menstrukturkan—memberi landasan metafisik bagi etika: kebajikan adalah cara berpartisipasi sadar dalam tatanan kosmik itu. Dengan kerangka ini, eudaimonia menjadi buah harmoni dengan alam yang bukan pasrah, melainkan rasional, aktif, dan bertanggung jawab.¹⁰


Footnotes

[1]                Marion Durand, Simon Shogry, dan Dirk Baltzly, “Stoicism,” The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2023), ed. Edward N. Zalta dan Uri Nodelman, diakses 25 Agustus 2025.

[2]                Ibid.; “Stoic Philosophy of Mind,” Internet Encyclopedia of Philosophy, diakses 25 Agustus 2025.

[3]                Cleanthes, “Hymn to Zeus,” terj. Inggris, The Hymn of Cleanthes: Greek Text translated into English (London: SPCK, 1921), arsip daring, diakses 25 Agustus 2025.

[4]                Marcus Tullius Cicero, De Natura Deorum, Loeb Classical Library 268, bk. II (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1933), khususnya bagian yang menegaskan prinsip pengatur dunia yang rasional; lihat juga terjemahan digital Loeb, diakses 25 Agustus 2025.

[5]                Cicero, De Divinatione, bk. II, terj. Inggris (LacusCurtius), diakses 25 Agustus 2025.

[6]                Peter T. Struck, “Posidonius and Other Stoics on Extra-Sensory Knowledge,” dalam Divination and Human Nature (Princeton: Princeton University Press, 2016), bab 3 (pembahasan sympatheia dalam kosmologi Stoik).

[7]                Tim O’Keefe, “Ancient Theories of Freedom and Determinism,” The Stanford Encyclopedia of Philosophy (2020), bagian tentang determinisme Stoik dan kompatibilisme (ko-fatum), diakses 25 Agustus 2025.

[8]                Benjamin Harriman, “A Note on Cleanthes and Early Stoic Cosmogony,” Mnemosyne 74, no. 4 (2021): 533–552; versi akses terbuka, diakses 25 Agustus 2025.

[9]                Durand, Shogry, dan Baltzly, “Stoicism,” SEP (bagian siklus dunia), mencatat penolakan ekpyrōsis oleh Panaetius; bandingkan juga kajian sekunder tentang Boethus/Panaetius.

[10]             Lihat Durand, Shogry, dan Baltzly, “Stoicism,” SEP; serta “Stoic Ethics,” Internet Encyclopedia of Philosophy, diakses 25 Agustus 2025, untuk hubungan fisika-etika (hidup sesuai alam) dalam sistem Stoik.


4.           Kehidupan Selaras dengan Alam

4.1.       Apa arti “hidup selaras dengan alam” dalam praktik?

Bagi para Stoa, “hidup selaras dengan alam” (ὁμολογουμένως τῇ φύσει ζῆν) bukan semboyan abstrak, melainkan patokan bertindak sehari-hari: menata kemauan, pilihan, dan penilaian agar konsisten dengan rasionalitas kosmos serta kodrat manusia sebagai makhluk berakal.¹ Dengan bahasa etika Stoa, yang “baik” hanyalah kebajikan; hal lain—kesehatan, reputasi, harta—adalah “indiferens” (adiaphora) yang dipilih atau ditolak sejauh mendukung perikehidupan yang sesuai dengan alam, dan selalu “dengan syarat” (hupexairesis)—yakni tunduk pada tatanan ilahi-alamiah.² Konsepsi ini mengikat fisika (pandangan tentang alam yang teratur dan providensial) dengan etika (pilihan yang tepat), sehingga harmoni pribadi niscaya terkait harmoni kosmik.³

4.2.       Tiga disiplin: mengoperasionalkan harmoni alam dalam diri

Epiktetos merumuskan tiga topoi (disiplin latihan) yang mengartikulasikan “hidup menurut alam” ke dalam kebiasaan batin: (i) hasrat/ aversi (orexis/ekklisis)—menertibkan apa yang kita mau dan hindari; (ii) dorongan bertindak (hormê)—menentukan tindakan yang layak (kathekon); dan (iii) persetujuan (synkatathesis)—mengelola penilaian/assent atas kesan.⁴ Disiplin ini dipaparkan sebagai jenjang pembinaan moral, bukan sekadar peta teori; ia menyiapkan subjek agar responsnya selaras dengan kodrat rasionalnya dan dengan tatanan alam.⁵

4.3.       “Dikotomi kendali” dan kebebasan batin

Pembeda paling praktis yang ditekankan Epiktetos adalah: ada hal di bawah kendali kita (pendapat, keinginan, penilaian, kehendak) dan ada yang bukan (tubuh, reputasi, harta). Mengikat kesejahteraan pada hal-hal yang bukan kuasa kita melahirkan keresahan; menambatkannya pada kehendak yang lurus menghasilkan kemerdekaan batin.⁶ Rumusan ini menata disiplin hasrat dan persetujuan sekaligus, sebagai cara hidup yang “mengikuti alam” karena tunduk pada struktur kausal kosmos sambil menjaga otonomi rasio.⁷

4.4.       Memilih yang “layak” (kathekon) di tengah indifferents

Dalam pengambilan keputusan konkret, yang relevan bukan mengejar indifferents, melainkan menimbang indifferents sebagai “bahan mentah” kebajikan dan memilih tindakan yang layak bagi situasi, peran, dan manusia lain. Tradisi Stoa menyusun pedoman “fungsi yang semestinya” (περὶ καθῆκον)—dari Panaetios hingga dipopulerkan Cicero dalam De Officiis—untuk membimbing deliberasi ini.⁸ Karena hidup itu sosial, adakalanya orang bajik memilih indifferents yang kurang menguntungkan bagi dirinya (bahkan pengorbanan jiwa) demi proporsi yang adil bagi pihak lain.⁹

4.5.       Peran, relasi, dan kosmopolis

Hidup menurut alam juga berarti hidup sesuai peran (anak, orang tua, warga, pendidik) dan relasi dekat-jauh yang membentuk diri. Dalam kosmologi Stoa yang memandang semua manusia berbagi rasionalitas yang sama, keadilan menuntut perhatian meluas dari lingkaran diri-keluarga ke komunitas, negara, hingga seluruh umat manusia—gagasan kosmopolis.¹⁰ Hierokles menggambarkannya sebagai “lingkar-lingkar kepedulian” yang ditarik makin rapat ke pusat diri.¹¹ Di tataran batin, Marcus Aurelius menegaskan: “Kita dijadikan untuk bekerja sama … bertindak saling melawan adalah bertentangan dengan alam.”¹²

4.6.       Praktik-praktik asketik: membiasakan perspektif alam

Harmoni dengan alam dipelihara lewat praktik harian yang menata persepsi:

·                     Antisipasi pagi: Marcus menyarankan menyiapkan batin menghadapi manusia yang “sulit” sebagai bagian dari tatanan alam—cara meminimalkan kejutan dan memaksimalkan niat baik.¹³

·                     Klausul reservasi: lakukan apa pun “dengan syarat”—jika tidak terhalang, jika alam mengizinkan—agar kehendak selalu tunduk pada rasionalitas kosmos.¹⁴

·                     Telaah malam: Seneca menganjurkan pemeriksaan diri setiap malam—meninjau pikiran dan perbuatan—untuk meluruskan kebiasaan batin.¹⁵

·                     View from above: membayangkan diri dari sudut pandang kosmik untuk merelatifkan keluh-kesah dan menyelaraskan diri dengan ordo naturae.¹⁶

4.7.       Ketahanan emosi sebagai hasil selaras dengan alam

Karena emosi buruk (pathê) lahir dari penilaian keliru, terapi Stoa menarget penilaian: latih diri membedakan “kesan” dan “persetujuan”, serta gunakan setiap peristiwa sebagai kesempatan mengaktualkan kebajikan—fortitudo saat sakit, sophrosynê saat tergoda, praotês saat dihina.¹⁷ Dengan demikian, penderitaan emosional mereda bukan karena dunia berubah, tetapi karena rasio kembali menjadi ukuran sesuai kodrat.¹⁸


Implikasi sosial-ekologis (catatan)

Secara klasik, kosmopolitanisme Stoa berfokus pada kewajiban antarmanusia dalam “kota semesta”.¹⁹ Banyak penafsir modern menilai kerangka ini kompatibel dengan kepedulian ekologis karena kosmos dipahami sebagai organisme rasional yang saling-terhubung; kendati demikian, komitmen ekologis eksplisit adalah pengembangan kontemporer, bukan doktrin baku Stoa kuno.²⁰


Footnotes

[1]                “Stoicism,” Stanford Encyclopedia of Philosophy (SEP), bagian 4.1–4.3.

[2]                Ibid., bagian 4.3 (tentang indifferents dan “reservations”).

[3]                Ibid., bagian 1.2 (keterpaduan fisika–etika).

[4]                John Sellars, “Revisiting the Three Topoi in Dissertationes 3.2,” Aitia (2022).

[5]                “Epictetus,” SEP (revisi 16 Juli 2025), terutama 4.7 (self-cultivation) dan 5 (metode pendidikan).

[6]                Epiktetos, Enchiridion §1, terj. Elizabeth Carter, Internet Classics Archive.

[7]                “Epictetus,” SEP, 4.3–4.5 (prohairesis, “use of impressions”).

[8]                “Stoicism,” SEP, 4.4 (deliberation; tradisi Peri Kathêkontôn serta hubungan dengan Cicero De Officiis).

[9]                Ibid. (contoh pengorbanan diri sebagai kathekon dalam kondisi tertentu).

[10]             Ibid., 4.5 (kosmopolitanisme).

[11]             Lihat pembahasan Hierokles dan “lingkar kepedulian” sebagai elaborasi oikeiôsis di “Stoicism,” SEP, 4.6.

[12]             Marcus Aurelius, Meditations 2.1, terj. di Lexundria.

[13]             Ibid., 2.1 (renungan pagi tentang watak orang lain).

[14]             Epiktetos, Enchiridion §2 (“dengan reservasi”).

[15]             Seneca, De Ira 3.36 (latihan telaah malam), terj. Robert A. Kaster (2010), PDF kuliah Princeton.

[16]             Marcus Aurelius, Meditations 7.47 dan 4.23 (sudut pandang kosmik), Lexundria.

[17]             Epiktetos, Enchiridion §10 (mengubah setiap peristiwa menjadi latihan kebajikan).

[18]             “Epictetus,” SEP, 4.5 (penyesuaian emosional melalui penilaian).

[19]             Pauline Kleingeld & Eric Brown, “Cosmopolitanism,” SEP.

[20]          Bandingkan penjelasan SEP ttg. kosmopolis (cat. 19) dengan perluasan modern atas oikeiôsis dan sympatheia dalam literatur kontemporer (mis. Eric Brown, “The Stoic Invention of Cosmopolitan Politics”).


5.           Kebahagiaan dan Pengelolaan Emosi

5.1.       Emosi menurut Stoa: penilaian yang keliru, bukan “letupan buta”

Dalam psikologi Stoa, emosi buruk (pathē) didefinisikan sebagai dorongan (impulse) yang berlebihan dan tidak taat pada nalar—yakni gerak jiwa yang bertentangan dengan alam.¹ Lebih jauh, Stoa menganalisis pathē secara kognitivis: setiap emosi melibatkan (i) penilaian nilai yang keliru—menganggap sesuatu yang hadir/akan hadir sebagai kebaikan/keburukan padahal sekadar indiferens—dan (ii) penilaian tindak lanjut yang keliru (apa yang “pantas” dilakukan sebagai respons).² Para Stoa juga membedakan empat genus emosi: duka (lupē) atas keburukan yang hadir; takut (phobos) atas keburukan masa depan; nafsu/hasrat (epithumia) atas kebaikan masa depan; dan nikmat/“suka cita” tak terdidik (hēdonē) atas kebaikan hadir.³ Keseluruhan skema ini menjelaskan mengapa pathē menghalangi eudaimonia: ia memutus “arus hidup yang baik” yang selaras dengan logos.⁴

5.2.       Apatheia ≠ mati rasa: menuju eupatheiai

Tujuan terapi Stoa bukan menumpulkan rasa, melainkan menyehatkan penilaian hingga jiwa mencapai kebebasan dari gejolak destruktif (apatheia). Berbarengan, Stoa mengakui “emosi baik” (eupatheiai)—misalnya sukacita (chara), kehendak/hasrat lurus (boulēsis), dan kehati-hatian (eulabeia)—yang lahir dari penilaian tepat tentang nilai.⁵ Dengan demikian, kebajikan melahirkan struktur afeksi yang selaras dengan alam, bukan kekosongan afektif.⁶

5.3.       Kebahagiaan sebagai otonomi batin: dari kesan (phantasia) ke persetujuan (synkatathesis)

Karena emosi berakar pada assent/persetujuan terhadap kesan, latihan utama Stoa adalah mengatur persetujuan: menghentikan “yes otomatis” pada kesan yang menyesatkan dan menilai ulangnya menurut nalar. Di sini berfungsi apa yang populer sebagai “dikotomi kendali”: hal dalam kuasa kita (penilaian, kehendak, hasrat) vs hal di luar kuasa (tubuh, reputasi, harta).⁷ Menggantungkan kebahagiaan pada yang di luar kuasa pasti melahirkan keresahan; menambatkannya pada kehendak rasional menghasilkan kemerdekaan batin—fondasi bagi eudaimonia.⁸

5.4.       Latihan-latihan terapi batin (askēsis) untuk menata emosi

Tradisi Stoa menyajikan serangkaian praktik harian yang menyehatkan penilaian sehingga afeksi turut tertata:

·                     Antisipasi pagi (Marcus, Meditations 2.1): siapkan batin menghadapi manusia “sulit” sebagai bagian dari tatanan alam—cara mencegah surprise afektif dan menumbuhkan belas-kasih rasional.⁹

·                     Klausul reservasi (with reservation): lakukan segala sesuatu “jika alam mengizinkan”, agar kehendak tunduk pada logos kosmik dan tidak terseret frustasi ketika hal eksternal berubah.¹⁰

·                     Telaah malam (Seneca, De Ira 3.36): memeriksa seluruh hari—memuji atau menegur diri—untuk memperbaiki kebiasaan penilaian dan memadamkan bara pathē.¹¹

·                     “Pandangan dari atas” (Marcus, Meditations 7.47): mengambil sudut pandang kosmik untuk mengecilkan obsesi diri dan merelatifkan stimulan emosi.¹²

·                     Antisipasi kemalangan (Seneca, Epistulae 91): “mengirim pikiran maju” menghadapi kemungkinan terburuk—bukan demi suram, tetapi vaksinasi kognitif agar tak terguncang saat musibah benar-benar tiba.¹³ (Istilah Latin premeditatio malorum bersifat modern; teks Seneca memuat prinsipnya.)

Praktik-praktik ini merupakan contoh “filsafat sebagai cara hidup” (Hadot): latihan rohani yang menata perspektif, perhatian, dan kehendak agar selaras dengan alam—bukan hanya pengetahuan teoretis.¹⁴

5.5.       Mengelola marah dan duka: koreksi penilaian, bukan represi membabi buta

Amarah bagi Stoa adalah penilaian yang menempatkan “penghinaan” sebagai keburukan yang mengharuskan pembalasan; terapi utamanya ialah menunda persetujuan, memeriksa proposisi nilai, dan bertindak dengan kathekon (yang pantas) daripada impuls balasan. Seneca menutup De Ira dengan latihan telaah diri malam hari sebagai penawar akumulasi bara marah.¹⁵ Pada duka, Stoa membedakan “kejutan awal” yang wajar dan pemeliharaan duka yang menjadi kebiasaan buruk; terapi konsolasi diarahkan untuk menata ulang penilaian agar selaras dengan ordo alam.¹⁶

5.6.       Emosi sosial dan kosmopolis: dari oikeiōsis ke kebaikan bersama

Hidup selaras dengan alam juga menata afeksi sosial. Karena manusia berbagi rasio yang sama, kebajikan menuntun pada kerja sama dan kebajikan welas-asih (philanthrōpia) ketimbang sinisme. Marcus menulis: “Kita dijadikan untuk bekerja sama…” (2.1)—formulasi yang memandu transmutasi emosi liar menjadi kebaikan-welas yang sesuai peran kita sebagai warga cosmopolis.¹⁷


Catatan relevansi kontemporer

Literatur modern sering menautkan praktik Stoa (restrukturisasi penilaian, examination, view from above) dengan Cognitive Behavioral Therapy (CBT). Walau tidak identik, garis pengaruh diakui luas: Epiktetos (Ench. 1) kerap dikutip para pelopor CBT (Ellis/ Beck), dan komunitas akademik kontemporer mencatat kebangkitan Stoa sebagai filsafat praktis abad ke-21.¹⁸


Footnotes

[1]                Marion Durand, Simon Shogry, dan Dirk Baltzly, “Stoicism,” The Stanford Encyclopedia of Philosophy (20 Januari 2023), §4.7 “Passions.”

[2]                Ibid., §4.7 (analisis kognitivis pathē: salah nilai + salah respons).

[3]                Ibid., §4.7 (empat genus emosi; Stobaios 65A).

[4]                Ibid., §4.7 (konflik dengan “right reason”/hukum rasional Zeus dan “good flow of life”).

[5]                “Epictetus (55–135 CE),” Internet Encyclopedia of Philosophy, bagian “Eudaimonia: apatheia, eupatheiai, ataraxia.”

[6]                Durand–Shogry–Baltzly, “Stoicism,” SEP, §4.2–4.3 (kebajikan sebagai syarat cukup kebahagiaan; penautan etika–fisika).

[7]                Epictetus, Enchiridion §1 (terj. MIT Classics/Sacred Texts).

[8]                Durand–Shogry–Baltzly, “Stoicism,” SEP, §2.9 (assent/kuasa rasional) dan §4.1–4.2.

[9]                Marcus Aurelius, Meditations 2.1 (terj. George Long, Lexundria).

[10]             Durand–Shogry–Baltzly, “Stoicism,” SEP, §4.3 (praktik “reservations” dalam memilih indiferens).

[11]             Seneca, De Ira 3.36, terj. R. A. Kaster (On Anger, PDF).

[12]             Marcus Aurelius, Meditations 7.47 (Lexundria).

[13]             Seneca, Epistulae Morales 91 (Wikisource); bandingkan pembahasan istilah modern “premeditatio malorum” dalam literatur sekunder.

[14]             Pierre Hadot, Philosophy as a Way of Life: Spiritual Exercises from Socrates to Foucault (Oxford: Blackwell, 1995).

[15]             Seneca, De Ira 3.36 (latihan telaah malam).

[16]             Seneca, Consolation to the Bereaved (tradisi konsolasi Stoa terhadap duka).

[17]             Marcus Aurelius, Meditations 2.1 (imperatif kerja sama sebagai hukum alam manusia).

[18]             “Stoicism,” Internet Encyclopedia of Philosophy (kebangkitan Stoa & keterkaitannya dengan CBT).


6.           Keharmonisan dengan Alam dalam Perspektif Etika Sosial

6.1.       Kosmopolis dan Hukum Alam

Bagi para Stoa, “hidup selaras dengan alam” bukan sekadar ajaran etika individual, melainkan horizon politis: manusia adalah warga kosmopolis, satu “kota semesta” yang diikat oleh logos dan hukum alam (lex naturae). Marcus Aurelius menegaskan bahwa manusia “dijadikan untuk bekerjasama” (geared for cooperation), maka bertindak saling melukai “bertentangan dengan alam.”¹ Dalam bingkai yang sama, Cicero—mengadopsi Stoa—menyatakan bahwa ada “satu keadilan esensial” dan “satu hukum” yang merupakan rasio lurus yang memerintah dan melarang; hukum ini menegakkan keadilan yang menyemen masyarakat, dan tanpanya tidak ada tatanan politik yang autentik.² Dari sini, harmoni dengan alam segera bermakna: tunduk pada rasionalitas semesta yang sama-sama mengikat semua manusia dalam tatanan moral yang lebih tinggi daripada sekadar kebiasaan lokal.³

6.2.       Oikeiōsis dan lingkaran kepedulian

Stoa menjelaskan keterikatan sosial lewat doktrin oikeiōsis—gerak dari “yang-milik-kita” menuju perluasan afinitas. Hierokles menggambarkannya sebagai “lingkaran konsentris”: dari diri, keluarga, tetangga, warga kota, sebangsa, hingga seluruh umat manusia; tugas etis kita ialah “menarik lingkaran-lingkaran luar semakin dekat.”⁴ Konsep ini bukan soal kasih tak berpembedaan, melainkan landasan tindakan yang pantas (kathēkon) sesuai peran dan kedekatan, sambil tetap menjaga horizon kosmopolit.⁵ Dengan demikian, keharmonisan dengan alam menuntun pada praktik memperluas empati secara bertahap—dari rumah hingga kemanusiaan—sejalan dengan rasionalitas bersama umat manusia.⁶

6.3.       Keadilan, kewargaan, dan solidaritas

Cicero (mewakili Stoa Romawi) merumuskan kaidah kewajiban sosial: “kita tidak dilahirkan untuk diri sendiri; tanah air dan sahabat memiliki bagian atas diri kita,” dan “manusia dilahirkan demi manusia—untuk saling menolong.”⁷ Keadilan karenanya bertumpu pada itikad baik dan kewajiban mencegah ketidakadilan, bukan sekadar menghindari melukai.⁸ Marcus Aurelius melapiskan prinsip yang sama ke dalam asas solidaritas: “yang tidak baik bagi kawanan lebah tidak baik bagi seekor lebah.”⁹ Di sini, harmoni dengan alam berarti mengikat kepentingan diri pada kebaikan bersama (common good); kebajikan pribadi tidak dapat bertentangan dengan kesejahteraan komunitas.

6.4.       “Kota Tuhan” dan kewargaan semesta

Dalam tradisi Stoa kemudian—terutama dibaca melalui Epiktetos—manusia dipahami sebagai “warga kota besar milik Tuhan,” sehingga kewargaan etis melampaui polis dan negara.¹⁰ Pandangan ini tidak menghapus loyalitas lokal, tetapi mengurutkannya di bawah standar kosmik: bertindak sebagai warga kosmos menuntut kontribusi untuk perayaan hidup bersama (metafora “festival” Epiktetos), yakni partisipasi aktif dalam kemaslahatan sosial sesuai peran yang rasional.¹¹

6.5.       Kebajikan sosial dalam praktik peran (kathēkonta)

Stoa menolak dikotomi “publik vs privat” yang menyingkirkan tanggung jawab sosial—kathēkonta selalu mengacu pada relasi. Karena itu, sejak Musonius Rufus (tentang pernikahan dan keluarga) hingga Epiktetos (tentang peran warga), kebajikan dipraktikkan lewat tugas-tugas peran yang dijalankan selaras dengan alam manusia sebagai makhluk rasional-sosial.¹² Prinsip ini nyata dalam ajaran “gunakan apa yang dalam kuasa kita demi yang sesuai-alam” dan “hidup untuk memberi andil bagi pergaulan manusia.”¹³

6.6.       Martabat manusia dan kritik atas dominasi

Kompas etika sosial Stoa juga tampak dalam humanisasi relasi kuasa. Seneca, misalnya, menulis bahwa “kita bagian dari satu tubuh besar; alam melahirkan kita saling berkerabat,” lalu mengajak menolong sesama dan mencontohkan analogi “lengkung batu” (arch) yang saling menyangga—gambaran kuat tentang kohesi sosial.¹⁴ Dalam surat lain, ia menegur dehumanisasi di rumah tangga Romawi: “mereka memang budak—tidak: manusia; … nafasnya sama, hidupnya sama, matinya sama.”¹⁵ Meski Seneca tidak membatalkan institusi perbudakan, penekanan pada kesetaraan kodrati dan keakraban sosial memperlihatkan bagaimana “hidup sesuai alam” mengoreksi praktik yang merendahkan martabat.¹⁶

6.7.       Batas dan peluang: dari antroposentrisme ke etika lingkungan

Satu batas penting: kosmopolitanisme Stoa klasik antroposentris—keanggotaan penuh kosmopolis diatribusikan pada makhluk rasional; ini membuat relasi moral langsung pada hewan-tumbuhan kurang ditegaskan.¹⁷ Namun fondasi fisika Stoa tentang simpati kosmik (sympatheia)—interkoneksi semua hal—serta apresiasi akan keindahan alam memberi jalan untuk justifikasi pelestarian lingkungan sebagai kebaikan manusiawi dan bagian dari hidup bajik.¹⁸ Bacaan kontemporer menunjukkan, sekalipun antroposentris, Stoa menyediakan argumen kuat untuk perlindungan alam sejauh itu menopang eudaimonia manusia dan keutuhan komunitas rasional.¹⁹


Implikasi kontemporer

Ditarik ke ranah kini, prinsip “selaras dengan alam” menumbuhkan mandat sosial-politik yang konkret: (a) kebijakan publik harus sejalan dengan hukum alam rasional—keadilan substantif, bukan sekadar legalitas;²⁰ (b) solidaritas lintas batas—migrasi, kemanusiaan, dan keadilan global—berpijak pada oikeiōsis yang memperluas lingkaran kepedulian;²¹ (c) ruang digital sebagai agora baru menuntut kathēkonta berupa tutur etis, berbagi informasi benar, dan menolong yang rentan;²² serta (d) etika lingkungan yang selaras dengan simpati kosmik: konservasi dan tata kelola sumber daya sebagai bentuk rasionalisasi kepentingan bersama (the swarm).²³ Dengan begitu, kebahagiaan Stoik—eudaimonia—menyatu dengan praktik kebajikan sosial: menjadi warga yang adil, kooperatif, dan berbelarasa di bawah hukum alam universal.


Footnotes

[1]                Marcus Aurelius, Meditations, 2.1, trans. George Long, Lexundria, diakses 25 Agustus 2025.

[2]                Marcus Tullius Cicero, De Legibus (On Laws), I.42 dan I.151, terj. Francis Barham, ToposText/Online Library of Liberty, diakses 25 Agustus 2025.

[3]                Stanford Encyclopedia of Philosophy, “Stoicism,” ed. Malte P. Durand (2023), bagian interkoneksi fisika-etika Stoa, diakses 25 Agustus 2025.

[4]                Ilaria Ramelli dan David Konstan, Hierocles the Stoic: Elements of Ethics, Fragments and Excerpts (Atlanta: SBL, 2009), lihat fragmen tentang “concentric circles”; ringkasannya dalam BMCR 2012.03.04, diakses 25 Agustus 2025.

[5]                Ralph Wedgwood, “Hierocles’ Concentric Circles,” PhilPapers (2023), menafsirkan gambar lingkaran sebagai panduan kathēkon, bukan egalitarianisme buta, diakses 25 Agustus 2025.

[6]                Stanford Encyclopedia of Philosophy, “Cosmopolitanism,” ed. Pauline Kleingeld (2002/edisi daring), bagian tentang kosmopolitanisme Stoa, diakses 25 Agustus 2025.

[7]                Cicero, De Officiis (On Duties), I.22, terj. Walter Miller, ToposText (Lacus Curtius), diakses 25 Agustus 2025.

[8]                Ibid., I.23 (tentang good faith dan mencegah ketidakadilan).

[9]                Marcus Aurelius, Meditations, 6.54, trans. George Long, Lexundria, diakses 25 Agustus 2025.

[10]             “Epictetus,” Internet Encyclopedia of Philosophy, rujukan Discourses 3.22.4 (trans. Hard) soal “God’s great city of the universe,” diakses 25 Agustus 2025.

[11]             Ibid. (metafora “festival” dan kewargaan kosmik). (iep.utm.edu)

[12]             Musonius Rufus, Lectures (XIII A) tentang pernikahan dan kebersalingan; terj. dalam Diotíma/Thestoiclife (akses terbuka), diakses 25 Agustus 2025; Epictetus, Discourses 1.1; 1.13, ed. MIT Classics, diakses 25 Agustus 2025.

[13]             Epictetus, Discourses, prinsip menggunakan yang “dalam kuasa kita” sesuai alam; lihat MIT Classics, diakses 25 Agustus 2025.

[14]             Seneca, Epistulae Morales, Surat 95, §§52–53 (analog “satu tubuh besar” dan “lengkung batu”), terj. R.M. Gummere, Wikisource, diakses 25 Agustus 2025.

[15]             Seneca, Epistulae Morales, Surat 47, §10: “mereka budak—tidak: manusia … nafasnya sama, hidupnya sama, matinya sama,” terj. Gummere, Wikisource, diakses 25 Agustus 2025.

[16]             A.G. Long, “Seneca on Human Rights in De Beneficiis 3,” Apeiron (2021), menyorot kesetaraan kodrati dalam norma antar-manusia, diakses 25 Agustus 2025.

[17]             Routledge Encyclopedia of Philosophy, entri “Stoicism—oikeiōsis,” catatan bahwa afinitas moral berakar pada rasionalitas bersama manusia (membatasi kewajiban langsung pada makhluk non-rasional), diakses 25 Agustus 2025.

[18]             Simon Shogry, “Stoic Cosmopolitanism and Environmental Ethics” (2020), menilai justifikasi Stoa bagi pelestarian alam melalui kebaikan manusiawi (termasuk apresiasi keindahan alam), diakses 25 Agustus 2025.

[19]             E.D. Protopapadakis, “The Stoic Notion of Cosmic Sympathy in Contemporary Environmental Ethics” (2012), PhilArchive, diakses 25 Agustus 2025.

[20]             Cicero, De Legibus, I.20–I.47 (kerangka natural-law bagi hukum sipil), ToposText, diakses 25 Agustus 2025.

[21]             Lihat catatan 4–7 tentang oikeiōsis dan kosmopolitanisme Stoa.

[22]             Bandingkan “kewargaan kosmik” Epiktetos dengan imperatif partisipasi sosial rasional—IEP, Epictetus.

[23]             Marcus Aurelius, Meditations, 6.54 (metafora kawanan lebah), Lexundria.


7.           Bab VI – Relevansi dalam Konteks Modern

7.1.       Kebangkitan Stoikisme sebagai filsafat praktis

Dua dekade terakhir menyaksikan kebangkitan Stoikisme sebagai “filsafat untuk hidup” yang menekankan latihan batin (askēsis)—seperti view from above, peninjauan diri harian, dan penataan kehendak—alih-alih pengetahuan teoretis semata (Hadot). Di ranah ensiklopedis, IEP juga mencatat kebangkitan Stoikisme awal abad ke-21 serta asosiasinya dengan pendekatan psikologis kontemporer.

7.2.       Jembatan dengan psikologi modern (REBT/CBT)

Albert Ellis—perintis Rational Emotive Behavior Therapy (REBT)—secara eksplisit mengutip Epiktetos: “People are disturbed not by things, but by the view they take of them”, dan menjadikannya prinsip edukasi bagi klien. Aaron T. Beck, pelopor Cognitive Therapy (CT), mengakui akar filosofis kuno (termasuk Stoa) bahwa kognisi menentukan respons emosi—kerangka yang kemudian berkembang menjadi CBT. Implikasi praktisnya jelas: intervensi emosional dimulai dari koreksi penilaian.

7.3.       Bukti empiris intervensi berbasis-Stoa

Program komunitas Modern Stoicism—termasuk Stoic Week (7 hari) dan Stoic Mindfulness and Resilience Training (SMRT) (4 minggu)—secara konsisten melaporkan peningkatan kesejahteraan subjektif peserta. Laporan-laporan terbaru (2021–2024) menunjukkan perbaikan pada indeks WHO well-being, life satisfaction, flourishing, dan keseimbangan afek; sebuah impact case study (REF 2021, UK) merangkum SMRT 2020 dengan peningkatan ±12% (resiliensi), 13% (flourishing), dan 15% (kepuasan hidup). Walau berbasis self-report dan bukan uji acak-terkontrol, konsistensi temuan lintas kohort cukup kuat untuk menyimpulkan efek positif moderat terhadap kebugaran psikologis harian.

7.4.       Pendidikan dan profesi kesehatan: resiliensi & empati

Dalam pendidikan kedokteran, studi mixed-methods (BMC Medical Education, 2022) menemukan pelatihan berbasis-Stoa meningkatkan resiliensi dan (secara kualitatif) empati mahasiswa; teknik kunci meliputi visualisasi negatif, Stoic mindfulness, dan latihan perspektif. Ini memberi alasan pedagogis untuk mengintegrasikan latihan Stoa dalam kurikulum profesional bertekanan tinggi.

7.5.       Dunia kerja & kepemimpinan

Riset organisasi mulai memetakan dampak prinsip Stoa pada performa tim dan kepemimpinan. Studi korelasional (MDPI, 2023) mendapati beberapa postulat Stoa berkaitan dengan kinerja tim proyek; di sisi konseptual, Stoikisme diajukan sebagai kerangka kepemimpinan keberlanjutan dalam sistem sosial-ekologis kompleks (2025). Temuan ini masih dini—kombinasi bukti kuantitatif dan konseptual—tetapi menunjuk pada kegunaan Stoikisme untuk ketenangan, kejelasan nilai, dan pengambilan keputusan berprinsip.

7.6.       Etika sosial-ekologis: dari kosmopolis ke kepedulian lingkungan

Secara klasik, kosmopolitanisme Stoa antroposentris—hanya makhluk rasional yang menjadi anggota kosmopolis—namun tetap memungkinkan justifikasi pelestarian lingkungan sejauh menopang kebaikan manusiawi (termasuk apresiasi keindahan alam). Bacaan kontemporer (Shogry) menunjukkan cara menafsirkan simpati kosmik dan oikeiōsis untuk dasar etika lingkungan masa kini; telaah lain (Protopapadakis) menegaskan keterbatasan antroposentris itu sambil menunjukkan jembatan ke teori ekologi holistik modern.

7.7.       Menjaga agar “Stoik” ≠ “membatu”: peringatan penerapan

Di budaya kerja modern, “stoic” sering disalahpahami sebagai represi emosi. Literatur manajemen menekankan perlunya kelincahan emosional—mengakui emosi sambil tetap bertindak bernalar—alih-alih topeng ketabahan yang kaku. Ini selaras dengan Stoa klasik yang membedakan pathē destruktif dari afeksi sehat (eupatheiai).


Kotak alat Stoik untuk abad ke-21 (aplikasi singkat, berbasis sumber klasik)

·                     Antisipasi pagi: memetakan tantangan sosial yang mungkin muncul hari ini (Marcus, Med. 2.1) untuk mencegah kejutan afektif dan menyiapkan niat baik.

·                     View from above (Hadot; Marcus, Med. 7.47): memperluas perspektif kosmik guna merelatifkan stres dan mengikat diri pada ordo alam.

·                     Premeditatio malorum (prinsipnya pada Seneca, Ep. 91): simulasi rasional skenario buruk demi kesiapsiagaan batin.

·                     Telaah malam: peninjauan diri untuk menyempurnakan penilaian dan kebiasaan. (Bandingkan praktik Seneca tentang evaluasi harian pada De Ira 3.36).


Footnotes

[1]                Pierre Hadot, Philosophy as a Way of Life: Spiritual Exercises from Socrates to Foucault (Oxford: Blackwell, 1995), bab “The View from Above,” akses daring, diakses 25 Agustus 2025.

[2]                “Stoicism,” Internet Encyclopedia of Philosophy, diakses 25 Agustus 2025.

[3]                Albert Ellis, Reason and Emotion in Psychotherapy (New York: Lyle Stuart, 1962); lihat juga ringkasan kurikuler REBT yang mengutip Epiktetos dalam SAGE, Theories Focusing on Client Thoughts (2016), 234–, diakses 25 Agustus 2025.

[4]                Aaron T. Beck, Cognitive Therapy and the Emotional Disorders (New York: International Universities Press, 1976); bandingkan A. E. Cavanna, “The Western Origins of Mindfulness Therapy in Ancient Rome,” Brain and Neuroscience Advances (2023), akses PubMed Central, diakses 25 Agustus 2025.

[5]                Tim LeBon, Stoic Week 2021 Results (Modern Stoicism, 2022), PDF; Tim LeBon, “Report on Stoic Week 2024,” ModernStoicism.com, 14 Desember 2024; Impact Case Study REF2021 (UK) “Modern Stoicism,” yang merangkum hasil SMRT 2020 (peningkatan 12–15%), diakses 25 Agustus 2025.

[6]                M. E. L. Brown dkk., “Can Stoic Training Develop Medical Student Empathy and Resilience? A Mixed-Methods Study,” BMC Medical Education 22 (2022), akses PubMed Central, diakses 25 Agustus 2025.

[7]                N. Moreno-Monsalve dkk., “High-Performance Project Teams: Analysis from the Stoic Perspective,” Sustainability 15, no. 22 (2023): 16095; Chrystie Watson, “The Stoic Practice of Sustainability Leadership in Complex Social-Ecological Systems,” Leadership (2025) (naskah konseptual), keduanya diakses 25 Agustus 2025.

[8]                Simon Shogry, “Stoic Cosmopolitanism and Environmental Ethics,” dalam The Routledge Handbook of Hellenistic Philosophy, ed. Kelly Arenson (London: Routledge, 2020), akses naskah, diakses 25 Agustus 2025; Evangelos D. Protopapadakis, “The Stoic Notion of Cosmic Sympathy in Contemporary Environmental Ethics,” PhilArchive (2012), diakses 25 Agustus 2025.

[9]                Marcus Aurelius, Meditations 2.1 dan 7.47, terj. George Long, Lexundria, diakses 25 Agustus 2025; Seneca, Epistulae Morales 91 dan De Ira (pengantar Kaster), diakses 25 Agustus 2025.


8.           Penutup

Artikel ini menunjukkan bahwa kebahagiaan (eudaimonia) dalam Stoikisme berakar pada keselarasan dengan alam—baik alam kosmik yang tertib oleh logos maupun alam manusia sebagai makhluk rasional-sosial. Formula telos “hidup sejalan/ selaras dengan alam” menegaskan keutuhan sistem Stoa: fisika tentang kosmos yang providensial menopang etika tentang kebajikan sebagai satu-satunya kebaikan sejati dan cukup bagi kebahagiaan.¹ Rumusan ini tidak menghapus realitas tantangan, melainkan menata cara manusia menilai dan merespons tantangan itu sesuai rasionalitas semesta dan kodratnya sendiri.²

Dengan kerangka nilai yang menempatkan kebajikan (kearifan, keadilan, keberanian, pengendalian diri) sebagai patokan, hal-hal eksternal—kesehatan, reputasi, kedudukan, harta—diklasifikasikan sebagai indifferents: boleh dipilih atau ditolak sejauh mendukung tindakan yang “tepat” (kathēkon), tetapi tidak pernah menjadi penentu eudaimonia.³ Perspektif ini melahirkan otonomi batin: sumber kebahagiaan tidak terletak pada apa yang di luar kuasa kita, melainkan pada konsistensi pilihan bernalar (prohairesis) terhadap yang berada di dalam kuasa kita—penilaian, kehendak, dan dorongan bertindak.⁴

Di bidang afeksi, Stoikisme menawarkan terapi kognitif-etik yang khas. Emosi destruktif (pathē) dipahami sebagai hasil penilaian keliru tentang nilai (menganggap indiferens sebagai kebaikan/kejahatan mutlak) dan penilaian tindakan yang menyimpang; karenanya, pengelolaan emosi berpusat pada disiplin persetujuan (synkatathesis).⁵ Tujuan etisnya bukan kebekuan perasaan, melainkan kebebasan dari gejolak destruktif (apatheia) serta terbukanya afeksi baik (eupatheiai), seperti sukacita yang lahir dari penilaian benar.⁶ Di sini praktik-praktik harian—antisipasi pagi, view from above, telaah malam, dan klausul “dengan reservasi”—berfungsi sebagai latihan pembiasaan diri agar cara pandang dan tindakan selaras dengan tatanan alam.⁷

Keselarasan dengan alam juga memiliki dimensi etika sosial. Melalui doktrin oikeiōsis dan gambaran lingkar-lingkar kepedulian Hierokles, Stoikisme memadukan perhatian terhadap diri dengan perluasan tanggung jawab menuju keluarga, komunitas, dan akhirnya kemanusiaan—kosmopolis.⁸ Para Stoa Romawi (Cicero, Seneca) dan Marcus Aurelius menekankan bahwa manusia “dijadikan untuk bekerja sama”; keadilan dan belas-kasih rasional adalah wujud harmoni dengan kodrat sosial kita.⁹ Sementara fisika Stoa tentang sympatheia (keterjalinan universal) dan pronoia (penyelenggaraan) memberi konteks metafisik bagi kewargaan kosmik, ajaran tanggung jawab tetap dipertahankan melalui gagasan tindakan yang “terkofatalkan” bersama (co-fated): determinisme kosmik kompatibel dengan kebebasan assents dan akuntabilitas moral.¹⁰

Dalam konteks kontemporer, warisan Stoa tetap relevan. Di tingkat personal, penataan penilaian selaras dengan alam menopang ketahanan batin di tengah ketidakpastian. Di tingkat sosial, kosmopolitanisme Stoa memotivasi solidaritas lintas-batas dan kepedulian pada kebaikan bersama. Di tingkat ekologis, pembacaan modern atas sympatheia dan oikeiōsis memberi argumen untuk merawat lingkungan sebagai prasyarat kehidupan manusia yang baik dan berakal—kendati Stoa klasik memang antroposentris.¹¹ Akhirnya, jembatan dengan psikologi modern (REBT/CBT) memperlihatkan bahwa inti “hidup selaras dengan alam”—yakni merapikan kognisi agar tindakan selaras dengan rasio dan realitas—mampu diterjemahkan ke teknik praktis yang dapat dilatih.¹²

Singkatnya, kebahagiaan Stoik bukan pelarian dari dunia, tetapi cara berada di dalam dunia yang terlatih: mempertemukan rasionalitas kosmos dengan rasionalitas manusia melalui kebajikan, mengubah peristiwa—baik maupun buruk—menjadi bahan baku karakter, serta menyalurkan otonomi batin ke dalam kewargaan kosmis yang adil dan penuh welas. Inilah makna “keharmonisan dengan alam” sebagai landasan eudaimonia: ketenangan yang aktif, kejernihan yang berbelarasa, dan kegigihan yang berprinsip.


Footnotes

[1]                A. A. Long dan D. N. Sedley, The Hellenistic Philosophers, vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), frag. LS 63–67 (telos “hidup selaras dengan alam”); Dirk Baltzly, “Stoicism,” The Stanford Encyclopedia of Philosophy (ed. Edward N. Zalta), rev. terkini, bagian etika–fisika.

[2]                Marcus Aurelius, Meditations, 2.1 dan 6.54, terj. George Long (London: George Bell, 1862) — tentang kerja sama sebagai “sesuai alam” dan perspektif sosial-kosmologis manusia; Cicero, De Finibus Bonorum et Malorum, III (Cambridge, MA: Harvard University Press, Loeb, 1914).

[3]                Brad Inwood dan Lloyd P. Gerson, The Stoics Reader: Selected Writings and Testimonia, 2nd ed. (Indianapolis: Hackett, 2008), bagian tentang indifferents, proēgmena, dan kathēkon; Internet Encyclopedia of Philosophy, “Stoic Ethics,” bagian 3–4.

[4]                Epictetus, Enchiridion, §1–2, dalam The Discourses and Manual, terj. W. A. Oldfather (Cambridge, MA: Harvard University Press, Loeb, 1925); Susanne Bobzien, Determinism and Freedom in Stoic Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 1998), bab 3 (prohairesis dan tanggung jawab).

[5]                Inwood–Gerson, Stoics Reader, bagian Stobaeus dan Galen tentang analisis kognitif emosi; Dirk Baltzly, “Stoicism,” SEP, §“Passions.”

[6]                Stoic Ethics, IEP, bagian “apatheia” dan eupatheiai; Cicero, Tusculan Disputations, IV (Cambridge, MA: Harvard University Press, Loeb, 1927), tentang terapi afektif dalam tradisi Stoa.

[7]                Pierre Hadot, Philosophy as a Way of Life: Spiritual Exercises from Socrates to Foucault, terj. Michael Chase (Oxford: Blackwell, 1995), bab “The View from Above”; Seneca, De Ira 3.36, terj. R. A. Kaster (Oxford: Oxford University Press, 2010).

[8]                Ilaria L. E. Ramelli dan David Konstan, Hierocles the Stoic: Elements of Ethics, Fragments, and Excerpts (Atlanta: SBL, 2009), fragmen tentang “lingkar-lingkar kepedulian”; Inwood–Gerson, Stoics Reader, bagian oikeiōsis.

[9]                Cicero, De Officiis, I.22–23 (Cambridge, MA: Harvard University Press, Loeb, 1913); Marcus Aurelius, Meditations 6.54.

[10]             Cleanthes, “Hymn to Zeus,” dalam Early Stoic Fragments, ed. dan terj. A. A. Long (Cambridge: Cambridge University Press, 1987); Susanne Bobzien, Determinism and Freedom, bab 4 (ko-fatum/compatibilism Stoa).

[11]             Simon Shogry, “Stoic Cosmopolitanism and Environmental Ethics,” dalam The Routledge Handbook of Hellenistic Philosophy, ed. Kelly Arenson (London: Routledge, 2020); Evangelos D. Protopapadakis, “The Stoic Notion of Cosmic Sympathy in Contemporary Environmental Ethics,” Philosophical Inquiries 4, no. 1 (2012): 97–115.

[12]             Albert Ellis, Reason and Emotion in Psychotherapy (New York: Lyle Stuart, 1962), 36–37; Aaron T. Beck, Cognitive Therapy and the Emotional Disorders (New York: International Universities Press, 1976); untuk kajian historis-filosofis, lihat juga John Sellars, Stoicism (Berkeley: University of California Press, 2014), bab 6.


Daftar Pustaka

Beck, A. T. (1976). Cognitive therapy and the emotional disorders. International Universities Press.

Bobzien, S. (1998). Determinism and freedom in Stoic philosophy. Oxford University Press.

Cicero, M. T. (1913). De officiis (W. Miller, Trans.). Loeb Classical Library. Harvard University Press.

Cicero, M. T. (1914). De finibus bonorum et malorum (H. Rackham, Trans.). Loeb Classical Library. Harvard University Press.

Cicero, M. T. (1927). Tusculan disputations (J. E. King, Trans.). Loeb Classical Library. Harvard University Press.

Cicero, M. T. (1933). De natura deorum (H. Rackham, Trans.). Loeb Classical Library. Harvard University Press.

Cicero, M. T. (n.d.). De legibus (F. Barham, Trans.). Online Library of Liberty.

Cleanthes. (1921). Hymn to Zeus (J. H. Bartlett, Trans.). SPCK.

Durand, M., Shogry, S., & Baltzly, D. (2023). Stoicism. In E. N. Zalta & U. Nodelman (Eds.), The Stanford encyclopedia of philosophy (Fall 2023 ed.). Stanford University.

Ellis, A. (1962). Reason and emotion in psychotherapy. Lyle Stuart.

Epictetus. (1925). The discourses and manual (Enchiridion) (W. A. Oldfather, Trans.). Loeb Classical Library. Harvard University Press.

Hadot, P. (1995). Philosophy as a way of life: Spiritual exercises from Socrates to Foucault (M. Chase, Trans.). Blackwell.

Hierocles. (2009). Hierocles the Stoic: Elements of ethics, fragments, and excerpts (I. Ramelli & D. Konstan, Eds. & Trans.). Society of Biblical Literature.

Inwood, B., & Gerson, L. P. (2008). The Stoics reader: Selected writings and testimonia (2nd ed.). Hackett Publishing.

Kamtekar, R. (2010). Marcus Aurelius. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford encyclopedia of philosophy (Fall 2010 ed.). Stanford University.

Long, A. A., & Sedley, D. N. (1987). The Hellenistic philosophers (Vols. 1–2). Cambridge University Press.

Marcus Aurelius. (1862). Meditations (G. Long, Trans.). George Bell & Sons. (Available at Lexundria: https://lexundria.com)

Protopapadakis, E. D. (2012). The Stoic notion of cosmic sympathy in contemporary environmental ethics. Philosophical Inquiries, 4(1), 97–115.

Seneca. (1900). On the happy life (De vita beata) (A. Stewart, Trans.). George Bell & Sons.

Seneca. (1917–1925). Moral letters to Lucilius (Epistulae morales) (R. M. Gummere, Trans.). Loeb Classical Library. Harvard University Press.

Seneca. (2010). On anger (De ira) (R. A. Kaster, Trans.). Oxford University Press.

Shogry, S. (2020). Stoic cosmopolitanism and environmental ethics. In K. Arenson (Ed.), The Routledge handbook of Hellenistic philosophy (pp. 326–340). Routledge.

Sellars, J. (2014). Stoicism. University of California Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar