Minggu, 05 Januari 2025

Bahan Ajar Qurdis Kelas 11 Bab 10: Syukur dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hadits

Modul Al-Qur’an Hadits

Syukur dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hadits

Implementasi Nilai Ilahiah dalam Kehidupan Modern


Nama Satuan       : Madrasah Aliyah Plus Al-Aqsha

Mata Pelajaran     : Al-Qur’an Hadits

Kelas                   : 11 (Sebelas)

Semester              : 2 (Genap)


Abstrak

Artikel ini membahas konsep syukur dalam perspektif Al-Qur’an dan Hadits secara komprehensif, dengan mengkaji dasar-dasar teologis, tafsir klasik, pandangan ulama, serta korelasinya dalam kehidupan modern. Syukur dalam Al-Qur’an dipandang sebagai respons aktif atas nikmat Allah melalui hati, lisan, dan perbuatan, sebagaimana tercermin dalam ayat-ayat seperti QS az-Zukhruf [43] ayat 9–13 dan QS al-Ankabut [29] ayat 17. Hadits Nabi Muhammad saw. menekankan bahwa syukur mencakup apresiasi kepada sesama manusia serta sikap melihat kepada yang lebih kurang beruntung untuk memperkuat kesadaran atas karunia Allah.

Kajian tafsir klasik dari ulama seperti Ibnu Katsir, Al-Thabari, Al-Ghazali, dan Ibn Qayyim al-Jawziyyah menegaskan bahwa syukur adalah maqam spiritual yang tinggi, mengintegrasikan ilmu, perasaan, dan amal. Dalam perspektif modern, syukur terbukti memiliki korelasi kuat dengan kesehatan mental, kesejahteraan sosial, dan daya tahan spiritual, sebagaimana didukung oleh riset dalam psikologi positif dan etika Islam kontemporer. Implementasi syukur di era digital menghadapi tantangan tersendiri akibat pengaruh media sosial terhadap persepsi diri dan kepuasan hidup.

Artikel ini menyimpulkan bahwa syukur bukan hanya kewajiban spiritual, tetapi juga merupakan fondasi pembangunan karakter dan kesejahteraan manusia di berbagai aspek kehidupan. Menumbuhkan syukur secara sadar dan terstruktur menjadi strategi efektif untuk menjaga keseimbangan emosional, sosial, dan spiritual di tengah dinamika zaman modern.

Kata Kunci: Syukur, Al-Qur’an, Hadits, Tafsir Klasik, Kesehatan Mental, Kehidupan Modern, Psikologi Positif, Spiritualitas, Etika Islam.


PEMBAHASAN

Syukur dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hadits


Nama Satuan       : Madrasah Aliyah Plus Al-Aqsha

Mata Pelajaran     : Al-Qur’an Hadits

Kelas                   : 11 (Sebelas)

Bab                      : Bab 10 - Syukur dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hadits


1.          Pendahuluan

Syukur, dalam ajaran Islam, merupakan nilai fundamental yang mencerminkan hubungan harmonis antara hamba dengan Sang Pencipta. Secara bahasa, kata syukur (الشكر) berasal dari akar kata syakara (شكر), yang berarti “menampakkan atau memperlihatkan kebaikan”.1 Dalam terminologi syar'i, syukur diartikan sebagai pengakuan terhadap nikmat Allah dengan hati, lisan, dan amal perbuatan, sebagaimana dinyatakan oleh Imam Al-Ghazali dalam Ihya' Ulum al-Din bahwa "syukur meliputi ilmu, keadaan hati, dan amal nyata".2 Artinya, syukur bukan hanya pengucapan lisan, melainkan manifestasi rasa terima kasih melalui perilaku dan ketaatan kepada Allah Swt.

Al-Qur’an banyak menekankan pentingnya syukur sebagai salah satu bentuk penghambaan yang tinggi. Allah berfirman dalam QS Ibrahim [14] ayat 7,

لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

"Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".3

Ayat ini menunjukkan bahwa syukur bukan hanya berdampak spiritual, tetapi juga membawa konsekuensi nyata terhadap bertambahnya nikmat dalam kehidupan manusia. Selain itu, Nabi Muhammad saw. mengajarkan melalui sabda-sabdanya bahwa rasa syukur harus menjadi pondasi dalam setiap aspek kehidupan, tidak hanya kepada Allah, tetapi juga kepada sesama manusia.4

Tafsir klasik menguraikan konsep syukur dengan beragam kedalaman. Ibnu Katsir, dalam tafsirnya atas berbagai ayat yang berkaitan dengan syukur, menegaskan bahwa syukur adalah mengakui nikmat Allah, memuji-Nya, dan menggunakannya di jalan ketaatan.5 Al-Thabari menambahkan bahwa syukur sejati adalah meyakini bahwa semua kenikmatan berasal dari Allah semata dan tidak menyandarkannya kepada selain-Nya.6 Pemahaman ini membentuk kerangka berpikir umat Islam untuk selalu merujuk kepada Allah dalam setiap capaian duniawi yang diraih.

Dalam konteks modern, kajian tentang syukur juga mendapatkan perhatian dalam bidang psikologi positif. Penelitian ilmiah menunjukkan bahwa praktik syukur berkontribusi signifikan terhadap kesehatan mental, meningkatkan kesejahteraan emosional, memperkuat hubungan sosial, dan mengurangi depresi.7 Fenomena ini menguatkan relevansi ajaran Islam tentang syukur, yang tidak hanya berfungsi sebagai kewajiban spiritual tetapi juga sebagai sarana untuk membangun kualitas hidup yang lebih baik.

Pembahasan tentang syukur dalam Al-Qur’an dan Hadits, sebagaimana termaktub dalam QS az-Zukhruf [43] ayat 9–13 dan QS al-Ankabut [29] ayat 17, serta beberapa hadits shahih dari HR Ahmad, HR Abu Dawud, dan HR Muslim, akan mengungkapkan secara lebih rinci dimensi-dimensi syukur dalam berbagai aspek kehidupan. Kajian ini penting untuk mengaitkan nilai ilahiah syukur dengan tantangan-tantangan kontemporer, seperti gaya hidup materialistik, krisis spiritualitas, dan kebutuhan akan kesejahteraan psikologis. Dengan demikian, syukur tidak hanya dipahami sebagai ritualistik, tetapi sebagai prinsip hidup dinamis yang dapat diterapkan dalam berbagai sektor kehidupan modern, mulai dari pendidikan, ekonomi, sosial, hingga kesehatan mental.


Footnotes

[1]                Al-Raghib al-Asfahani, Al-Mufradat fi Gharib al-Qur'an, ed. Safwan Adnan Da’udi (Damaskus: Dar al-Qalam, 2002), 272.

[2]                Al-Ghazali, Ihya' Ulum al-Din, jilid IV (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), 92.

[3]                Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an, 2016), QS Ibrahim [14] ayat 7.

[4]                Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, no. 4811, dalam Muhammad Muhyiddin ‘Abd al-Hamid (ed.), Sunan Abu Dawud (Beirut: Dar al-Fikr, 1997).

[5]                Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, jilid VI (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), 181.

[6]                Al-Thabari, Jami' al-Bayan fi Ta'wil al-Qur'an, ed. Ahmad Muhammad Syakir (Kairo: Dar al-Ma'arif, 2000), jilid XV, 422.

[7]                Robert A. Emmons and Michael E. McCullough, “Counting Blessings Versus Burdens: An Experimental Investigation of Gratitude and Subjective Well-Being in Daily Life,” Journal of Personality and Social Psychology 84, no. 2 (2003): 377–389.


2.          Syukur dalam Al-Qur’an: Tafsir dan Makna

2.1.       Tafsir QS az-Zukhruf [43] ayat 9–13

Surah az-Zukhruf ayat 9–13 mengajak manusia untuk menyadari keesaan Allah dan nikmat-nikmat-Nya yang tampak dalam ciptaan alam dan sarana transportasi. Ayat-ayat tersebut menegaskan bahwa Allah Swt. lah yang menciptakan segala sesuatu dan memudahkan manusia untuk memanfaatkannya, seperti kendaraan di darat dan laut. Allah berfirman:

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ خَلَقَهُنَّ الْعَزِيزُ الْعَلِيمُ‏ (09) الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ مَهْدًا وَجَعَلَ لَكُمْ فِيهَا سُبُلًا لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ (10) وَالَّذِي نَزَّلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً بِقَدَرٍ فَأَنْشَرْنَا بِهِ بَلْدَةً مَيْتًا ۚ كَذَٰلِكَ تُخْرَجُونَ‏ (11) وَالَّذِي خَلَقَ الْأَزْوَاجَ كُلَّهَا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنَ الْفُلْكِ وَالْأَنْعَامِ مَا تَرْكَبُونَ‏ (12) لِتَسْتَوُوا عَلَىٰ ظُهُورِهِ ثُمَّ تَذْكُرُوا نِعْمَةَ رَبِّكُمْ إِذَا اسْتَوَيْتُمْ عَلَيْهِ وَتَقُولُوا سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَٰذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ‏  (13)

"Dan jika kamu tanyakan kepada mereka, "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?" pastilah mereka akan menjawab, "Semuanya diciptakan oleh Yang Mahaperkasa, Maha Mengetahui." (09) Yang menjadikan bumi sebagai tempat menetap bagimu dan Dia menjadikan jalan-jalan di atas bumi untukmu agar kamu mendapat petunjuk. (10) Dan yang menurunkan air dari langit menurut ukuran (yang diperlukan), lalu dengan air itu Kami hidupkan negeri yang mati (tandus). Seperti itulah kamu akan dikeluarkan (dari kubur). (11) Dan yang menciptakan semua berpasangan-pasangan dan menjadikan kapal untukmu dan hewan ternak yang kamu tunggangi, (12) agar kamu duduk di atas punggungnya kemudian kamu ingat nikmat Tuhanmu apabila kamu telah duduk di atasnya; dan agar kamu mengucapkan, "Mahasuci (Allah) yang telah menundukkan semua ini bagi kami, padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya, (13)" (QS az-Zukhruf [43] ayat 9–13).1

Menurut Ibnu Katsir, ayat ini menyingkap kecenderungan manusia yang meskipun mengakui penciptaan Allah, namun seringkali tetap melakukan kesyirikan dalam beribadah.2 Tafsir ini menegaskan pentingnya mengaitkan segala nikmat duniawi dengan keesaan dan kedaulatan Allah, sehingga pengakuan akan nikmat menjadi bagian dari manifestasi syukur.

Al-Thabari menambahkan bahwa "syukur" yang dikehendaki dalam konteks ini adalah bentuk pengakuan manusia bahwa nikmat kendaraan dan perjalanan itu murni pemberian Allah, bukan semata-mata hasil usaha atau teknologi manusia sendiri.3 Ini menjadi pengingat bahwa kemajuan teknologi transportasi modern, seperti mobil, kapal, dan pesawat, tetaplah dalam cakupan nikmat Allah yang harus disyukuri.

Dalam kaitan modern, Ismail Raji al-Faruqi menggarisbawahi bahwa pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk alat transportasi, harus dilihat sebagai bentuk pengabdian kepada Allah dan sarana untuk menegakkan amanah khilafah di bumi.4 Oleh karena itu, kesyukuran atas kemajuan teknologi seharusnya mendorong manusia untuk lebih bertanggung jawab dalam penggunaannya, bukan menjadi alat kesombongan.

2.2.       Tafsir QS al-Ankabut [29] ayat 17

QS al-Ankabut [29] ayat 17 mengkritik keras penyembahan terhadap berhala dan menyeru kepada pengesaan Allah serta perintah untuk bersyukur:

إِنَّمَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَوْثَانًا وَتَخْلُقُونَ إِفْكًا ۚ إِنَّ الَّذِينَ تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ لَا يَمْلِكُونَ لَكُمْ رِزْقًا فَابْتَغُوا عِنْدَ اللَّهِ الرِّزْقَ وَاعْبُدُوهُ وَاشْكُرُوا لَهُ ۖ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ

"Sesungguhnya yang kamu sembah selain Allah hanyalah berhala-berhala, dan kamu membuat kebohongan. Sesungguhnya apa yang kamu sembah selain Allah itu tidak mampu memberikan rezeki kepadamu; maka mintalah rezeki dari Allah, dan sembahlah Dia dan bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada-Nya kamu akan dikembalikan."_5

Menurut Al-Qurtubi, ayat ini menegaskan bahwa syukur adalah bagian integral dari tauhid. Bersyukur bukan hanya atas nikmat lahiriah seperti harta, melainkan juga atas nikmat batiniah seperti iman dan petunjuk.6 Syukur di sini berarti mengakui bahwa segala sumber kebaikan adalah dari Allah dan menolak ketergantungan kepada selain-Nya.

Al-Baghawi menafsirkan bahwa "bersyukurlah kepada-Nya" mencakup tiga dimensi: pengakuan dengan hati, pengucapan dengan lisan, dan perbuatan dengan amal saleh.7 Ini menunjukkan bahwa syukur tidak hanya berada dalam ranah emosional, tetapi juga diwujudkan dalam tindakan nyata yang selaras dengan perintah Allah.

Dalam konteks kontemporer, Sayyid Qutb menyoroti bahwa bentuk modern dari “penyembahan berhala” bisa berbentuk ketergantungan berlebihan pada materi, jabatan, dan teknologi. Beliau mengingatkan bahwa kesadaran syukur harus membebaskan manusia dari perbudakan terhadap dunia, dan mengarahkan kembali fokusnya kepada Allah sebagai sumber segala rezeki.8

Penelitian kontemporer dalam bidang psikologi agama juga mendukung hal ini. Rasa syukur yang berakar pada spiritualitas terbukti meningkatkan rasa makna hidup, memperkuat resilience terhadap stres, dan meningkatkan keterikatan sosial dalam komunitas.9 Ini menunjukkan bahwa pesan syukur dalam Al-Qur'an tetap relevan untuk membangun kehidupan individual dan sosial yang sehat di era modern.


Footnotes

[1]                Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an, 2016), QS az-Zukhruf [43] ayat 9–13.

[2]                Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, jilid VII (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), 226.

[3]                Al-Thabari, Jami' al-Bayan fi Ta'wil al-Qur'an, ed. Ahmad Muhammad Syakir (Kairo: Dar al-Ma'arif, 2000), jilid XXI, 91.

[4]                Ismail Raji al-Faruqi, Al-Tawhid: Its Implications for Thought and Life (Herndon: International Institute of Islamic Thought, 1992), 73.

[5]                Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, QS al-Ankabut [29] ayat 17.

[6]                Al-Qurtubi, Al-Jami' li Ahkam al-Qur'an, jilid XIII (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003), 207.

[7]                Al-Baghawi, Ma’alim at-Tanzil fi Tafsir al-Qur’an, jilid III (Riyadh: Dar Tayyibah, 1989), 132.

[8]                Sayyid Qutb, Fi Zilal al-Qur'an, jilid IV (Kairo: Dar al-Shuruq, 2001), 2182.

[9]                David B. Yaden et al., "Spirituality as a Psychological Construct: A Scientific Perspective," Psychological Bulletin 146, no. 6 (2020): 528–549.


3.          Syukur dalam Hadits: Pemaknaan dan Implikasi

3.1.       Hadits HR Ahmad dari Asy'ab bin Qaisy: Syukur dalam Ucapan dan Tindakan

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Rasulullah Saw. menyatakan pentingnya memperlihatkan rasa syukur tidak hanya dengan lisan tetapi juga melalui perbuatan nyata. Syukur bukanlah sekadar kata-kata, melainkan tercermin dalam amal yang sesuai dengan tuntunan syariat. Orang yang bersyukur kepada Allah atas segala nikmat-Nya juga harus selalu berterima kasih kepada sesama manusia apabila mendapatkan kebaikan atau manfaat darinya.

Rasulullah Saw. bersabda:

إِنَّ أَشْكَرَ النَّاسِ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَشْكَرُهُمْ لِلنَّاسِ.

"Sesungguhnya manusia yang paling banyak bersyukur kepada Allah yang maha suci lagi maha tinggi, mereka yang lebih banyak bersyukur (berterima kasih) kepada manusia."

Dalam pandangan Al-Ghazali, syukur memiliki tiga pilar utama: pengakuan hati terhadap nikmat, pujian lisan kepada pemberi nikmat (Allah), dan penggunaan nikmat tersebut untuk kebaikan.1 Sehingga, seseorang yang benar-benar bersyukur akan mengoptimalkan nikmatnya untuk memperkuat ibadah dan memperbaiki hubungan sosial.

Dari perspektif implementasi modern, nilai ini menjadi sangat relevan dalam membangun budaya profesionalisme, amanah, dan produktivitas. Setiap keberhasilan atau capaian seharusnya menjadi sarana mempertebal rasa syukur dan menambah kebaikan kepada orang lain, bukan untuk kesombongan atau penyalahgunaan nikmat.

3.2.       Hadits HR Abu Dawud dari Abu Hurairah: Syukur kepada Sesama

Rasulullah Saw. bersabda:

حَدَّثَنَا مُسْلِمُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ حَدَّثَنَا الرَّبِيعُ بْنُ مُسْلِمٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ زِيَادٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَشْكُرُ اللَّهَ مَنْ لَا يَشْكُرُ النَّاسَ

Disampaikan kepada kami oleh Muslim bin Ibrahim dari Rabi' bin Muslim dari Muhammad bin Ziyad dari Abu Hurairah bahwa Nabi Muhammad Saw. bersabda: "Tidak dianggap bersyukur kepada Allah Swt. orang yang tidak bersyukur kepada manusia."_2

Hadits ini menekankan bahwa rasa syukur tidak hanya diarahkan vertikal kepada Allah, tetapi juga horizontal kepada sesama manusia. Menurut penjelasan Al-Munawi, bersyukur kepada manusia berarti mengakui kebaikan yang dilakukan orang lain dan membalasnya dengan ucapan terima kasih atau tindakan baik lainnya.3 Ini memperkuat hubungan sosial dan menumbuhkan solidaritas dalam masyarakat.

Dalam konteks kontemporer, penghargaan terhadap kontribusi orang lain menjadi dasar bagi etika kerja, relasi profesional, dan pengembangan masyarakat. Riset psikologi sosial menyatakan bahwa apresiasi meningkatkan motivasi intrinsik dan memperkuat kohesi sosial.4 Oleh karena itu, implementasi hadits ini sangat penting dalam membangun komunitas yang saling mendukung dan harmonis.

3.3.       Hadits HR Muslim dari Abu Hurairah: Melihat kepada yang Lebih Tidak Beruntung

Rasulullah saw. bersabda:

وحَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ وَحَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةً وَحَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ - وَاللَّفْظُ لَهُ - حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةً وَوَكِيعٌ عَنِ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ - قَالَ أَبُو مُعَاوِيَةَ - عَلَيْكُمْ

Diberitahukan kepadaku oleh Zuhair bin Harb dari Jarir dari Abu Kuraib dari Abu Mu'awiyah dari Abu Bakr bin Abi Syaibah dari Abu Mu'awiyah dan Waki' dari al-A'masy dari Abu Saleh dari Abu Hurairah bahwa Nabi Muhammad saw. bersabda, "Pandanglah orang yang berada dibawah kalian, jangan memandang yang ada di atas kalian, itu lebih laik membuat kalian tidak mengkufuri nikmat Allah."_5

Hadits ini mengajarkan strategi menjaga keseimbangan emosional dan syukur dengan cara membandingkan diri dengan mereka yang lebih kurang beruntung dalam hal materi atau keduniaan. Menurut Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim, pandangan ini bertujuan agar manusia tidak mudah terjebak dalam keluh kesah dan selalu mengingat betapa banyak karunia yang Allah berikan.6

Fenomena ini juga mendapat perhatian dalam psikologi positif. Studi menunjukkan bahwa "downward comparison" (membandingkan diri dengan yang lebih kurang beruntung) dapat memperkuat rasa syukur, mengurangi stres, dan meningkatkan kepuasan hidup.7 Dalam era media sosial yang sering menampilkan pencitraan kesuksesan dan kemewahan, implementasi nasihat Nabi ini menjadi kian relevan untuk menjaga kesehatan mental dan spiritual umat Islam.

Hadits ini juga mengajarkan tentang pentingnya menghindari sikap kufur nikmat (kufran ni‘mah), yang menurut Ibn Qayyim al-Jawziyyah adalah salah satu sebab utama hilangnya keberkahan dalam hidup.8 Oleh karena itu, menjaga perspektif yang benar terhadap nikmat merupakan bentuk syukur aktif yang berdampak pada kebahagiaan dan keberlanjutan nikmat.


Footnotes

[1]                Al-Ghazali, Ihya' Ulum al-Din, jilid IV (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), 92.

[2]                Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, no. 4811, dalam Muhammad Muhyiddin ‘Abd al-Hamid (ed.), Sunan Abu Dawud (Beirut: Dar al-Fikr, 1997).

[3]                Al-Munawi, Fayd al-Qadir Sharh al-Jami' al-Saghir, jilid V (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1972), 518.

[4]                Adam M. Grant and Francesca Gino, "A Little Thanks Goes a Long Way: Explaining Why Gratitude Expressions Motivate Prosocial Behavior," Journal of Personality and Social Psychology 98, no. 6 (2010): 946–955.

[5]                Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, no. 2963, dalam Muhammad Fuad Abdul Baqi (ed.), Sahih Muslim (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi, 1955).

[6]                Imam Nawawi, Syarh Shahih Muslim, jilid XVII (Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-Arabi, 1972), 120.

[7]                Jo-Ann Tsang, "Gratitude and Prosocial Behavior: An Experimental Test of Gratitude," Cognition and Emotion 20, no. 1 (2006): 138–148.

[8]                Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Madarij al-Salikin, jilid II (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2004), 244.


4.          Konsep Syukur dalam Kajian Ulama dan Tafsir Klasik

Konsep syukur telah menjadi salah satu pembahasan sentral dalam karya-karya ulama klasik Islam. Mereka tidak hanya membahasnya sebagai kewajiban teologis, tetapi juga menguraikannya dalam dimensi psikologis, sosial, dan spiritual. Syukur dalam pandangan ulama merupakan fondasi penting dalam membangun hubungan vertikal antara manusia dengan Allah dan hubungan horizontal antar sesama manusia.

4.1.       Pandangan Imam Al-Ghazali

Imam Al-Ghazali dalam Ihya' Ulum al-Din menjelaskan bahwa syukur terdiri dari tiga unsur pokok: (1) Ilmu, yakni kesadaran bahwa semua nikmat berasal dari Allah; (2) Keadaan hati (hal), yaitu rasa gembira dan cinta kepada Allah atas limpahan nikmat-Nya; dan (3) Amal, yaitu penggunaan nikmat tersebut dalam ketaatan kepada Allah.1

Menurut Al-Ghazali, syukur sempurna adalah ketika hati penuh dengan rasa cinta kepada Allah, lisan selalu memuji-Nya, dan seluruh anggota tubuh digunakan untuk melaksanakan perintah-Nya. Al-Ghazali menegaskan bahwa kekufuran terhadap nikmat (kufran ni‘mah) adalah bentuk kebutaan hati terhadap asal muasal karunia, yang berujung pada jauhnya seseorang dari rahmat Allah.2

4.2.       Tafsir Syukur Menurut Ibnu Qayyim al-Jawziyyah

Ibnu Qayyim al-Jawziyyah dalam Madarij al-Salikin mengembangkan konsep syukur menjadi lebih dinamis. Ia membagi syukur ke dalam tiga bentuk manifestasi: (1) Syukur dengan hati, yakni pengakuan terhadap nikmat dan kecintaan kepada Allah; (2) Syukur dengan lisan, dengan memperbanyak pujian dan dzikir kepada Allah; dan (3) Syukur dengan anggota badan, yaitu menggunakan nikmat dalam ketaatan dan menjauhi maksiat.3

Ibnu Qayyim juga menekankan bahwa syukur merupakan salah satu tingkatan ibadah yang tinggi (maqam 'aliyah), bahkan lebih tinggi daripada kesabaran, karena syukur mencakup cinta dan kerelaan terhadap takdir Allah.4

4.3.       Tafsir Tematik Syukur oleh Al-Raghib al-Asfahani

Al-Raghib al-Asfahani, dalam Al-Mufradat fi Gharib al-Qur'an, mendefinisikan syukur sebagai "pengakuan terhadap nikmat dan menampakkannya dalam ucapan dan perbuatan".5 Menurutnya, syukur bukan hanya kewajiban individu, tetapi juga merupakan karakter ideal yang membedakan manusia dari makhluk lain. Ia menyoroti pentingnya syukur sebagai bentuk penghormatan kepada sumber nikmat, yaitu Allah Swt., yang tidak hanya menciptakan, tetapi juga terus memelihara ciptaan-Nya.

Dalam analisis tematiknya terhadap ayat-ayat syukur, Al-Raghib menekankan bahwa syukur harus menyentuh seluruh dimensi keberadaan manusia: spiritual, intelektual, emosional, dan sosial. Dengan demikian, konsep syukur menjadi landasan moral yang kuat dalam membangun masyarakat yang adil dan beradab.

4.4.       Korelasi dengan Pemikiran Modern

Kajian kontemporer dalam jurnal-jurnal ilmiah Islam juga mengafirmasi relevansi ajaran ulama klasik tentang syukur. Studi dalam Journal of Islamic Ethics menekankan bahwa syukur adalah prinsip etis universal dalam Islam yang berfungsi menjaga keseimbangan antara hak individu dan tanggung jawab sosial.6

Syukur, dalam kerangka ini, tidak hanya menguatkan hubungan vertikal dengan Tuhan tetapi juga mendorong terciptanya komunitas yang saling menghargai dan membantu, sesuai dengan prinsip ta'awun (saling tolong-menolong).

Konsepsi klasik tentang syukur, sebagaimana diuraikan oleh Al-Ghazali, Ibnu Qayyim, dan Al-Raghib, ternyata sangat kontekstual untuk menjawab tantangan zaman modern, di mana konsumerisme, materialisme, dan individualisme sering kali menggerus rasa syukur dan empati sosial.


Footnotes

[1]                Al-Ghazali, Ihya' Ulum al-Din, jilid IV (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), 92.

[2]                Ibid., 93.

[3]                Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Madarij al-Salikin, jilid II (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2004), 244–246.

[4]                Ibid., 247.

[5]                Al-Raghib al-Asfahani, Al-Mufradat fi Gharib al-Qur'an, ed. Safwan Adnan Da’udi (Damaskus: Dar al-Qalam, 2002), 272.

[6]                Mohammad Hashim Kamali, "Gratitude in Islamic Ethics," Journal of Islamic Ethics 1, no. 2 (2017): 211–235.


5.          Korelasi Syukur dalam Perspektif Modern

Konsep syukur dalam Islam tidak hanya relevan untuk dimensi spiritual tradisional, melainkan juga memiliki implikasi penting dalam konteks kehidupan modern. Dalam dunia yang ditandai oleh perkembangan teknologi pesat, globalisasi, dan perubahan nilai sosial, syukur menjadi prinsip penting untuk menjaga keseimbangan hidup, memperkuat kesehatan mental, serta membangun masyarakat yang harmonis dan berkeadilan.

5.1.       Syukur dalam Psikologi Positif

Penelitian dalam bidang psikologi positif menemukan bahwa rasa syukur berhubungan erat dengan tingkat kesejahteraan subjektif, kebahagiaan, dan kesehatan mental. Menurut Robert Emmons, syukur berfungsi sebagai "penguat moral" yang mendorong individu untuk lebih optimis, resilien terhadap stres, serta lebih produktif dalam interaksi sosialnya.1 Praktik syukur terbukti menurunkan tingkat depresi, meningkatkan rasa makna hidup, dan memperkuat hubungan interpersonal.

Ini sejalan dengan ajaran Islam, di mana syukur dipandang sebagai kunci bertambahnya nikmat (QS Ibrahim [14] ayat7) dan sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dalam praktik kontemporer, memperbanyak dzikir syukur, mencatat nikmat harian (gratitude journaling), dan berbuat baik kepada sesama merupakan penerapan nyata ajaran syukur dalam psikologi keseharian.

5.2.       Syukur dalam Ekonomi dan Sosial

Syukur juga memiliki dampak besar dalam perilaku ekonomi dan sosial. Ajaran Islam tentang syukur mengajarkan prinsip qana'ah (merasa cukup), yang mencegah perilaku konsumtif berlebihan. Menurut Abul A'la Maududi, syukur dalam ekonomi berarti menggunakan kekayaan untuk kemaslahatan umum, bukan untuk pemborosan atau pamer.2

Di tengah budaya konsumerisme modern yang sering menimbulkan ketidakpuasan dan kesenjangan sosial, nilai syukur mengarahkan umat Islam untuk mengembangkan gaya hidup sederhana, adil, dan berorientasi pada keberlanjutan.

Lebih jauh, syukur mendorong etos sosial berbagi, zakat, dan infaq, yang berfungsi mengurangi ketimpangan ekonomi. Sebagaimana ditegaskan dalam penelitian kontemporer, masyarakat yang memiliki budaya syukur dan berbagi cenderung memiliki kohesi sosial lebih kuat dan tingkat kejahatan sosial lebih rendah.3

5.3.       Syukur dalam Spiritualitas Modern

Dalam dunia modern yang penuh tekanan dan ketidakpastian, syukur menjadi salah satu mekanisme penting dalam menjaga kesehatan spiritual. Menurut kajian dalam Journal of Muslim Mental Health, praktik syukur meningkatkan spiritual coping dalam menghadapi krisis hidup, seperti kehilangan, penyakit, atau kegagalan.4

Syukur bukan hanya sebagai respon terhadap nikmat yang besar, tetapi juga sebagai penerimaan terhadap segala takdir Allah, baik yang menyenangkan maupun yang tampak tidak menyenangkan.

Sayyid Qutb dalam Fi Zilal al-Qur'an mengajarkan bahwa syukur adalah bagian dari kesadaran tauhid, yang menjadikan manusia mampu menghadapi berbagai perubahan zaman tanpa kehilangan arah hidupnya.5 Dalam dunia yang serba cepat ini, mempertahankan rasa syukur berarti mempertahankan koneksi eksistensial dengan Tuhan dan makna sejati kehidupan.

5.4.       Tantangan Implementasi Syukur di Era Digital

Era digital membawa tantangan baru bagi praktik syukur. Media sosial sering memperlihatkan kehidupan orang lain dalam bentuk idealisasi, sehingga memicu rasa iri, ketidakpuasan, dan perasaan kekurangan (relative deprivation). Penelitian menunjukkan bahwa konsumsi media sosial yang tinggi tanpa pengelolaan diri yang baik dapat mengikis rasa syukur dan memperparah gangguan mental.6

Untuk itu, penting menginternalisasi prinsip hadits Nabi saw. yang menganjurkan agar kita memandang kepada orang yang lebih kurang beruntung, bukan hanya kepada yang lebih beruntung (HR Muslim). Strategi ini menjadi sangat penting dalam mengelola ekspektasi dan menjaga ketulusan syukur di tengah arus informasi dan perbandingan sosial yang massif.


Footnotes

[1]                Robert A. Emmons, Thanks! How the New Science of Gratitude Can Make You Happier (Boston: Houghton Mifflin, 2007), 5–12.

[2]                Abul A'la Maududi, Towards Understanding Islam, trans. Khurshid Ahmad (Leicester: The Islamic Foundation, 1994), 135–137.

[3]                Amirul Mukminin et al., "Gratitude and Social Trust: An Islamic Perspective," International Journal of Islamic Thought 17, no. 1 (2020): 54–63.

[4]                Rania Awaad et al., "Spirituality and Coping in Muslim Patients," Journal of Muslim Mental Health 11, no. 2 (2017): 55–72.

[5]                Sayyid Qutb, Fi Zilal al-Qur'an, jilid IV (Kairo: Dar al-Shuruq, 2001), 2185.

[6]                Melissa G. Hunt, Rachel Marx, Courtney Lipson, and Jordyn Young, "No More FOMO: Limiting Social Media Decreases Loneliness and Depression," Journal of Social and Clinical Psychology 37, no. 10 (2018): 751–768.


6.          Implementasi Syukur dalam Kehidupan Sehari-Hari

Syukur sebagai konsep teologis dalam Al-Qur’an dan Hadits menuntut perwujudan praktis dalam kehidupan sehari-hari. Ulama klasik dan kontemporer menekankan bahwa hakikat syukur bukan hanya kesadaran kognitif, tetapi harus terimplementasi dalam berbagai aspek kehidupan personal, sosial, dan spiritual. Dengan demikian, syukur membentuk karakter individu yang berintegritas dan membangun masyarakat yang harmonis.

6.1.       Membiasakan Dzikir dan Doa Syukur

Salah satu bentuk implementasi syukur yang paling dasar adalah memperbanyak dzikir dan doa yang memuji serta mengagungkan Allah. Dalam hadits, Rasulullah saw. mengajarkan berbagai doa syukur, seperti ucapan "Alhamdulillah" dalam berbagai keadaan.1

Menurut Imam Al-Nawawi, memperbanyak ucapan hamdalah merupakan bentuk syukur lisan yang utama, dan menunjukkan kesadaran konstan seorang mukmin terhadap kemurahan Allah.2

Secara praktis, membiasakan doa pagi dan petang yang berisi pujian kepada Allah, serta memperbanyak istighfar sebagai bentuk pengakuan atas kekurangan diri dalam mensyukuri nikmat, menjadi fondasi membangun kepribadian bersyukur.

6.2.       Menghargai dan Membantu Sesama

Sebagaimana ditegaskan dalam hadits Nabi saw.: "Tidak bersyukur kepada Allah, orang yang tidak bersyukur kepada manusia" (HR Abu Dawud),3 menghargai dan membalas kebaikan orang lain merupakan manifestasi syukur sosial.

Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari menjelaskan bahwa sikap terima kasih kepada sesama adalah bentuk syukur horizontal yang memperkuat jaringan sosial dan menghindarkan dari sikap individualistik.4

Dalam konteks modern, apresiasi kepada rekan kerja, keluarga, dan komunitas menjadi bagian penting dari membangun hubungan yang positif dan produktif.

6.3.       Menjaga Nikmat Allah di Berbagai Aspek Kehidupan

Syukur juga diwujudkan dalam menjaga amanah nikmat, baik berupa ilmu, kesehatan, waktu, harta, maupun kekuasaan. Ibnu Qayyim al-Jawziyyah menyatakan bahwa penggunaan nikmat sesuai dengan tujuan syar’i adalah syukur yang sejati.5

Misalnya, menjaga kesehatan melalui pola hidup seimbang, mengelola harta dengan adil dan dermawan, serta menggunakan ilmu untuk maslahat umat adalah contoh konkret penggunaan nikmat untuk ketaatan kepada Allah. Dalam bidang teknologi, menggunakan media sosial untuk dakwah dan penyebaran ilmu bermanfaat juga merupakan bentuk syukur atas kemajuan ilmu pengetahuan.

6.4.       Strategi Melatih Syukur di Era Digital

Di tengah dunia digital yang dipenuhi oleh pencitraan berlebihan dan kompetisi sosial, penting untuk mengadopsi strategi melatih syukur, seperti:

·                     Melatih kesadaran nikmat dengan membuat daftar harian nikmat kecil yang sering diabaikan.

·                     Menerapkan downward social comparison (memandang kepada yang lebih kurang beruntung) sebagaimana diajarkan dalam hadits Nabi saw. untuk memperkuat penghargaan atas karunia Allah.6

·                     Membatasi konsumsi media sosial untuk menghindari distorsi persepsi tentang kehidupan orang lain yang dapat mengurangi rasa syukur.

Penelitian kontemporer menunjukkan bahwa intervensi sederhana seperti gratitude journaling dapat meningkatkan kesejahteraan psikologis dan menurunkan tingkat depresi serta kecemasan.7


Footnotes

[1]                Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, no. 4811, dalam Muhammad Muhyiddin ‘Abd al-Hamid (ed.), Sunan Abu Dawud (Beirut: Dar al-Fikr, 1997).

[2]                Imam Al-Nawawi, Riyadh al-Shalihin, ed. Taqiyuddin al-Hilali (Beirut: Dar al-Ma'arif, 2003), 245.

[3]                Ibid.

[4]                Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari bi Sharh Sahih al-Bukhari, jilid X (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1986), 415.

[5]                Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Madarij al-Salikin, jilid II (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2004), 245.

[6]                Muslim ibn al-Hajjaj, Sahih Muslim, no. 2963, dalam Muhammad Fuad Abdul Baqi (ed.), Sahih Muslim (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi, 1955).

[7]                Robert A. Emmons and Michael E. McCullough, “Counting Blessings Versus Burdens: An Experimental Investigation of Gratitude and Subjective Well-Being in Daily Life,” Journal of Personality and Social Psychology 84, no. 2 (2003): 377–389.


7.          Kesimpulan

Syukur dalam perspektif Al-Qur’an dan Hadits adalah prinsip kehidupan yang mendalam, yang membentuk hubungan manusia dengan Allah dan sesama manusia. Dalam Al-Qur’an, syukur diangkat sebagai bentuk utama penghargaan atas nikmat ilahi, yang bukan hanya mendatangkan tambahan nikmat, tetapi juga menjaga manusia dari sikap kufur yang merusak diri dan masyarakat (QS Ibrahim [14] ayat7).1 Tafsir para ulama klasik seperti Ibnu Katsir, Al-Thabari, dan Al-Qurtubi memperlihatkan bahwa syukur merupakan kombinasi dari pengakuan hati, pengucapan lisan, dan perbuatan nyata dalam ketaatan kepada Allah.2

Hadits-hadits Nabi Muhammad saw. semakin memperjelas bahwa syukur tidak hanya vertikal kepada Allah, tetapi juga harus terwujud dalam apresiasi terhadap sesama manusia, sebagaimana disabdakan: "Tidak bersyukur kepada Allah, orang yang tidak bersyukur kepada manusia" (HR Abu Dawud).3 Selain itu, strategi spiritual seperti memandang kepada orang yang lebih kurang beruntung (HR Muslim) berfungsi menjaga konsistensi rasa syukur dalam menghadapi dinamika kehidupan duniawi.

Kajian ulama klasik seperti Al-Ghazali, Ibn Qayyim al-Jawziyyah, dan Al-Raghib al-Asfahani menunjukkan bahwa syukur adalah maqam agung dalam perjalanan ruhani, yang menuntut keutuhan hati, lisan, dan perbuatan.4

Dalam perspektif modern, berbagai penelitian ilmiah menunjukkan bahwa syukur meningkatkan kesehatan mental, memperkuat kesejahteraan sosial, dan menjadi mekanisme spiritual yang efektif dalam mengatasi tekanan hidup.5 Ini mengindikasikan bahwa prinsip syukur tidak hanya relevan untuk dimensi akhirat, tetapi juga sangat bermanfaat untuk meningkatkan kualitas kehidupan duniawi.

Implementasi syukur dalam kehidupan sehari-hari meliputi kebiasaan berdzikir, doa, apresiasi terhadap orang lain, menjaga nikmat dengan cara yang bertanggung jawab, serta mengelola penggunaan teknologi dan media sosial secara sehat. Melatih syukur bukan hanya menguatkan hubungan dengan Tuhan, tetapi juga membangun pribadi yang resilien, optimis, dan produktif dalam menghadapi tantangan zaman modern.

Akhirnya, syukur adalah jalan menuju kebahagiaan, keberkahan, dan ketenangan jiwa. Sebagaimana ditegaskan oleh Sayyid Qutb, "Dalam syukur terdapat kehidupan yang penuh makna, karena setiap nikmat menjadi jalan untuk mengenal dan mendekat kepada Sang Pemberi Nikmat".6 Oleh sebab itu, menumbuhkan dan mengimplementasikan syukur dalam semua aspek kehidupan adalah wujud nyata dari penghambaan yang paripurna kepada Allah Swt.


Footnotes

[1]                Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an, 2016), QS Ibrahim [14] ayat7.

[2]                Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, jilid IV (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), 123–125; Al-Thabari, Jami' al-Bayan fi Ta'wil al-Qur'an, ed. Ahmad Muhammad Syakir (Kairo: Dar al-Ma'arif, 2000), jilid XV, 422; Al-Qurtubi, Al-Jami' li Ahkam al-Qur'an, jilid XIII (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003), 207.

[3]                Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, no. 4811, dalam Muhammad Muhyiddin ‘Abd al-Hamid (ed.), Sunan Abu Dawud (Beirut: Dar al-Fikr, 1997).

[4]                Al-Ghazali, Ihya' Ulum al-Din, jilid IV (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), 92; Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Madarij al-Salikin, jilid II (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2004), 244–246; Al-Raghib al-Asfahani, Al-Mufradat fi Gharib al-Qur'an, ed. Safwan Adnan Da’udi (Damaskus: Dar al-Qalam, 2002), 272.

[5]                Robert A. Emmons and Michael E. McCullough, "Counting Blessings Versus Burdens: An Experimental Investigation of Gratitude and Subjective Well-Being in Daily Life," Journal of Personality and Social Psychology 84, no. 2 (2003): 377–389.

[6]                Sayyid Qutb, Fi Zilal al-Qur'an, jilid IV (Kairo: Dar al-Shuruq, 2001), 2185.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar