Modul Al-Qur’an Hadits
Syukur dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hadits
Implementasi Nilai Ilahiah dalam Kehidupan Modern
Nama Satuan : Madrasah Aliyah
Plus Al-Aqsha
Mata Pelajaran : Al-Qur’an Hadits
Kelas : 11
(Sebelas)
Semester : 2 (Genap)
Abstrak
Artikel ini membahas konsep syukur dalam perspektif
Al-Qur’an dan Hadits secara komprehensif, dengan mengkaji dasar-dasar teologis,
tafsir klasik, pandangan ulama, serta korelasinya dalam kehidupan modern.
Syukur dalam Al-Qur’an dipandang sebagai respons aktif atas nikmat Allah
melalui hati, lisan, dan perbuatan, sebagaimana tercermin dalam ayat-ayat
seperti QS az-Zukhruf [43] ayat 9–13 dan QS al-Ankabut [29] ayat 17. Hadits
Nabi Muhammad saw. menekankan bahwa syukur mencakup apresiasi kepada sesama
manusia serta sikap melihat kepada yang lebih kurang beruntung untuk memperkuat
kesadaran atas karunia Allah.
Kajian tafsir klasik dari ulama seperti Ibnu
Katsir, Al-Thabari, Al-Ghazali, dan Ibn Qayyim al-Jawziyyah menegaskan bahwa
syukur adalah maqam spiritual yang tinggi, mengintegrasikan ilmu, perasaan, dan
amal. Dalam perspektif modern, syukur terbukti memiliki korelasi kuat dengan
kesehatan mental, kesejahteraan sosial, dan daya tahan spiritual, sebagaimana
didukung oleh riset dalam psikologi positif dan etika Islam kontemporer.
Implementasi syukur di era digital menghadapi tantangan tersendiri akibat
pengaruh media sosial terhadap persepsi diri dan kepuasan hidup.
Artikel ini menyimpulkan bahwa syukur bukan hanya
kewajiban spiritual, tetapi juga merupakan fondasi pembangunan karakter dan
kesejahteraan manusia di berbagai aspek kehidupan. Menumbuhkan syukur secara
sadar dan terstruktur menjadi strategi efektif untuk menjaga keseimbangan
emosional, sosial, dan spiritual di tengah dinamika zaman modern.
Kata Kunci: Syukur, Al-Qur’an, Hadits, Tafsir Klasik, Kesehatan
Mental, Kehidupan Modern, Psikologi Positif, Spiritualitas, Etika Islam.
PEMBAHASAN
Syukur dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hadits
Nama Satuan : Madrasah Aliyah
Plus Al-Aqsha
Mata Pelajaran : Al-Qur’an
Hadits
Kelas : 11 (Sebelas)
Bab : Bab 10 -
Syukur dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hadits
1.
Pendahuluan
Syukur, dalam ajaran Islam, merupakan nilai
fundamental yang mencerminkan hubungan harmonis antara hamba dengan Sang Pencipta.
Secara bahasa, kata syukur (الشكر)
berasal dari akar kata syakara (شكر),
yang berarti “menampakkan atau memperlihatkan kebaikan”.1
Dalam terminologi syar'i, syukur diartikan sebagai pengakuan terhadap nikmat
Allah dengan hati, lisan, dan amal perbuatan, sebagaimana dinyatakan oleh Imam
Al-Ghazali dalam Ihya' Ulum al-Din bahwa "syukur meliputi ilmu,
keadaan hati, dan amal nyata".2 Artinya, syukur bukan hanya
pengucapan lisan, melainkan manifestasi rasa terima kasih melalui perilaku dan
ketaatan kepada Allah Swt.
Al-Qur’an banyak menekankan pentingnya syukur
sebagai salah satu bentuk penghambaan yang tinggi. Allah berfirman dalam QS
Ibrahim [14] ayat 7,
لَئِنْ شَكَرْتُمْ
لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ
وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
"Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat)
kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya
azab-Ku sangat pedih".3
Ayat ini menunjukkan bahwa syukur bukan hanya
berdampak spiritual, tetapi juga membawa konsekuensi nyata terhadap
bertambahnya nikmat dalam kehidupan manusia. Selain itu, Nabi Muhammad saw.
mengajarkan melalui sabda-sabdanya bahwa rasa syukur harus menjadi pondasi
dalam setiap aspek kehidupan, tidak hanya kepada Allah, tetapi juga kepada
sesama manusia.4
Tafsir klasik menguraikan konsep syukur dengan
beragam kedalaman. Ibnu Katsir, dalam tafsirnya atas berbagai ayat yang
berkaitan dengan syukur, menegaskan bahwa syukur adalah mengakui nikmat Allah,
memuji-Nya, dan menggunakannya di jalan ketaatan.5 Al-Thabari
menambahkan bahwa syukur sejati adalah meyakini bahwa semua kenikmatan berasal
dari Allah semata dan tidak menyandarkannya kepada selain-Nya.6
Pemahaman ini membentuk kerangka berpikir umat Islam untuk selalu merujuk
kepada Allah dalam setiap capaian duniawi yang diraih.
Dalam konteks modern, kajian tentang syukur juga
mendapatkan perhatian dalam bidang psikologi positif. Penelitian ilmiah
menunjukkan bahwa praktik syukur berkontribusi signifikan terhadap kesehatan
mental, meningkatkan kesejahteraan emosional, memperkuat hubungan sosial, dan
mengurangi depresi.7 Fenomena ini menguatkan relevansi ajaran Islam
tentang syukur, yang tidak hanya berfungsi sebagai kewajiban spiritual tetapi
juga sebagai sarana untuk membangun kualitas hidup yang lebih baik.
Pembahasan tentang syukur dalam Al-Qur’an dan
Hadits, sebagaimana termaktub dalam QS az-Zukhruf [43] ayat 9–13 dan QS
al-Ankabut [29] ayat 17, serta beberapa hadits shahih dari HR Ahmad, HR Abu
Dawud, dan HR Muslim, akan mengungkapkan secara lebih rinci dimensi-dimensi
syukur dalam berbagai aspek kehidupan. Kajian ini penting untuk mengaitkan
nilai ilahiah syukur dengan tantangan-tantangan kontemporer, seperti gaya hidup
materialistik, krisis spiritualitas, dan kebutuhan akan kesejahteraan
psikologis. Dengan demikian, syukur tidak hanya dipahami sebagai ritualistik,
tetapi sebagai prinsip hidup dinamis yang dapat diterapkan dalam berbagai
sektor kehidupan modern, mulai dari pendidikan, ekonomi, sosial, hingga
kesehatan mental.
Footnotes
[1]
Al-Raghib al-Asfahani, Al-Mufradat fi Gharib
al-Qur'an, ed. Safwan Adnan Da’udi (Damaskus: Dar al-Qalam, 2002), 272.
[2]
Al-Ghazali, Ihya' Ulum al-Din, jilid IV (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), 92.
[3]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya
(Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an, 2016), QS Ibrahim [14] ayat 7.
[4]
Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, no. 4811, dalam Muhammad
Muhyiddin ‘Abd al-Hamid (ed.), Sunan Abu Dawud (Beirut: Dar al-Fikr,
1997).
[5]
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, jilid VI
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), 181.
[6]
Al-Thabari, Jami' al-Bayan fi Ta'wil al-Qur'an, ed.
Ahmad Muhammad Syakir (Kairo: Dar al-Ma'arif, 2000), jilid XV, 422.
[7]
Robert A. Emmons and Michael E. McCullough, “Counting Blessings Versus
Burdens: An Experimental Investigation of Gratitude and Subjective Well-Being
in Daily Life,” Journal of Personality and Social Psychology 84, no. 2
(2003): 377–389.
2.
Syukur dalam Al-Qur’an: Tafsir dan
Makna
2.1. Tafsir QS az-Zukhruf [43] ayat 9–13
Surah az-Zukhruf
ayat 9–13 mengajak manusia untuk menyadari keesaan Allah dan nikmat-nikmat-Nya
yang tampak dalam ciptaan alam dan sarana transportasi. Ayat-ayat tersebut
menegaskan bahwa Allah Swt. lah yang menciptakan segala sesuatu dan memudahkan
manusia untuk memanfaatkannya, seperti kendaraan di darat dan laut. Allah
berfirman:
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ
مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ خَلَقَهُنَّ الْعَزِيزُ
الْعَلِيمُ (09) الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ مَهْدًا وَجَعَلَ لَكُمْ فِيهَا
سُبُلًا لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ (10) وَالَّذِي نَزَّلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً
بِقَدَرٍ فَأَنْشَرْنَا بِهِ بَلْدَةً مَيْتًا ۚ كَذَٰلِكَ تُخْرَجُونَ (11) وَالَّذِي خَلَقَ
الْأَزْوَاجَ كُلَّهَا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنَ الْفُلْكِ وَالْأَنْعَامِ مَا
تَرْكَبُونَ (12) لِتَسْتَوُوا عَلَىٰ ظُهُورِهِ ثُمَّ تَذْكُرُوا نِعْمَةَ رَبِّكُمْ
إِذَا اسْتَوَيْتُمْ عَلَيْهِ وَتَقُولُوا سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَٰذَا
وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ (13)
"Dan jika kamu tanyakan kepada
mereka, "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?" pastilah mereka
akan menjawab, "Semuanya diciptakan oleh Yang Mahaperkasa, Maha
Mengetahui." (09) Yang menjadikan
bumi sebagai tempat menetap bagimu dan Dia menjadikan jalan-jalan di atas bumi
untukmu agar kamu mendapat petunjuk. (10) Dan
yang menurunkan air dari langit menurut ukuran (yang diperlukan), lalu
dengan air itu Kami hidupkan negeri yang mati (tandus). Seperti itulah
kamu akan dikeluarkan (dari kubur). (11) Dan
yang menciptakan semua berpasangan-pasangan dan menjadikan kapal untukmu dan
hewan ternak yang kamu tunggangi, (12) agar
kamu duduk di atas punggungnya kemudian kamu ingat nikmat Tuhanmu apabila kamu
telah duduk di atasnya; dan agar kamu mengucapkan, "Mahasuci (Allah)
yang telah menundukkan semua ini bagi kami, padahal kami sebelumnya tidak mampu
menguasainya, (13)" (QS az-Zukhruf [43]
ayat 9–13).1
Menurut Ibnu
Katsir, ayat ini menyingkap kecenderungan manusia yang meskipun
mengakui penciptaan Allah, namun seringkali tetap melakukan kesyirikan dalam
beribadah.2 Tafsir ini menegaskan pentingnya mengaitkan segala
nikmat duniawi dengan keesaan dan kedaulatan Allah, sehingga pengakuan akan
nikmat menjadi bagian dari manifestasi syukur.
Al-Thabari
menambahkan bahwa "syukur" yang dikehendaki dalam konteks ini
adalah bentuk pengakuan manusia bahwa nikmat kendaraan dan perjalanan itu murni
pemberian Allah, bukan semata-mata hasil usaha atau teknologi manusia sendiri.3
Ini menjadi pengingat bahwa kemajuan teknologi transportasi modern, seperti
mobil, kapal, dan pesawat, tetaplah dalam cakupan nikmat Allah yang harus
disyukuri.
Dalam kaitan modern,
Ismail
Raji al-Faruqi menggarisbawahi bahwa pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, termasuk alat transportasi, harus dilihat sebagai
bentuk pengabdian kepada Allah dan sarana untuk menegakkan amanah khilafah di
bumi.4 Oleh karena itu, kesyukuran atas kemajuan teknologi
seharusnya mendorong manusia untuk lebih bertanggung jawab dalam penggunaannya,
bukan menjadi alat kesombongan.
2.2. Tafsir QS al-Ankabut [29] ayat 17
QS al-Ankabut [29]
ayat 17 mengkritik keras penyembahan terhadap berhala dan menyeru kepada
pengesaan Allah serta perintah untuk bersyukur:
إِنَّمَا تَعْبُدُونَ
مِنْ دُونِ اللَّهِ أَوْثَانًا وَتَخْلُقُونَ إِفْكًا ۚ إِنَّ الَّذِينَ تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ
لَا يَمْلِكُونَ لَكُمْ رِزْقًا فَابْتَغُوا عِنْدَ اللَّهِ الرِّزْقَ وَاعْبُدُوهُ
وَاشْكُرُوا لَهُ ۖ إِلَيْهِ
تُرْجَعُونَ
"Sesungguhnya yang kamu sembah
selain Allah hanyalah berhala-berhala, dan kamu membuat kebohongan.
Sesungguhnya apa yang kamu sembah selain Allah itu tidak mampu memberikan
rezeki kepadamu; maka mintalah rezeki dari Allah, dan sembahlah Dia dan
bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada-Nya kamu akan dikembalikan."_5
Menurut Al-Qurtubi,
ayat ini menegaskan bahwa syukur adalah bagian integral dari tauhid. Bersyukur
bukan hanya atas nikmat lahiriah seperti harta, melainkan juga atas nikmat
batiniah seperti iman dan petunjuk.6 Syukur di sini berarti mengakui
bahwa segala sumber kebaikan adalah dari Allah dan menolak ketergantungan
kepada selain-Nya.
Al-Baghawi
menafsirkan bahwa "bersyukurlah kepada-Nya" mencakup tiga
dimensi: pengakuan dengan hati, pengucapan dengan lisan, dan perbuatan dengan
amal saleh.7 Ini menunjukkan bahwa syukur tidak hanya berada dalam
ranah emosional, tetapi juga diwujudkan dalam tindakan nyata yang selaras
dengan perintah Allah.
Dalam konteks
kontemporer, Sayyid Qutb menyoroti bahwa
bentuk modern dari “penyembahan berhala” bisa berbentuk ketergantungan
berlebihan pada materi, jabatan, dan teknologi. Beliau mengingatkan bahwa
kesadaran syukur harus membebaskan manusia dari perbudakan terhadap dunia, dan
mengarahkan kembali fokusnya kepada Allah sebagai sumber segala rezeki.8
Penelitian
kontemporer dalam bidang psikologi agama juga mendukung hal ini. Rasa syukur
yang berakar pada spiritualitas terbukti meningkatkan rasa makna hidup,
memperkuat resilience terhadap stres, dan meningkatkan keterikatan sosial dalam
komunitas.9 Ini menunjukkan bahwa pesan syukur dalam Al-Qur'an tetap
relevan untuk membangun kehidupan individual dan sosial yang sehat di era
modern.
Footnotes
[1]
Departemen Agama RI,
Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf
Al-Qur'an, 2016), QS az-Zukhruf [43] ayat 9–13.
[2]
Ibnu Katsir, Tafsir
al-Qur’an al-‘Azhim, jilid VII (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999),
226.
[3]
Al-Thabari, Jami'
al-Bayan fi Ta'wil al-Qur'an, ed. Ahmad Muhammad Syakir (Kairo: Dar al-Ma'arif,
2000), jilid XXI, 91.
[4]
Ismail Raji al-Faruqi, Al-Tawhid: Its Implications for Thought and Life (Herndon:
International Institute of Islamic Thought, 1992), 73.
[5]
Departemen Agama RI,
Al-Qur’an dan Terjemahannya, QS al-Ankabut [29] ayat 17.
[6]
Al-Qurtubi, Al-Jami'
li Ahkam al-Qur'an, jilid XIII (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003),
207.
[7]
Al-Baghawi, Ma’alim
at-Tanzil fi Tafsir al-Qur’an, jilid III (Riyadh: Dar Tayyibah, 1989),
132.
[8]
Sayyid Qutb, Fi
Zilal al-Qur'an, jilid IV (Kairo: Dar al-Shuruq, 2001), 2182.
[9]
David B. Yaden et al., "Spirituality as a Psychological Construct: A Scientific
Perspective," Psychological Bulletin 146, no. 6 (2020): 528–549.
3.
Syukur dalam Hadits: Pemaknaan dan
Implikasi
3.1. Hadits HR Ahmad dari Asy'ab bin Qaisy: Syukur dalam
Ucapan dan Tindakan
Dalam sebuah hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Rasulullah Saw. menyatakan pentingnya
memperlihatkan rasa syukur tidak hanya dengan lisan tetapi juga melalui
perbuatan nyata. Syukur bukanlah sekadar kata-kata, melainkan tercermin dalam
amal yang sesuai dengan tuntunan syariat. Orang yang bersyukur kepada Allah
atas segala nikmat-Nya juga harus selalu berterima kasih kepada sesama manusia
apabila mendapatkan kebaikan atau manfaat darinya.
Rasulullah Saw.
bersabda:
إِنَّ أَشْكَرَ النَّاسِ
لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَشْكَرُهُمْ لِلنَّاسِ.
"Sesungguhnya manusia yang
paling banyak bersyukur kepada Allah yang maha suci lagi maha tinggi, mereka
yang lebih banyak bersyukur (berterima kasih) kepada manusia."
Dalam pandangan Al-Ghazali,
syukur memiliki tiga pilar utama: pengakuan hati terhadap nikmat, pujian lisan
kepada pemberi nikmat (Allah), dan penggunaan nikmat tersebut untuk kebaikan.1
Sehingga, seseorang yang benar-benar bersyukur akan mengoptimalkan nikmatnya
untuk memperkuat ibadah dan memperbaiki hubungan sosial.
Dari perspektif
implementasi modern, nilai ini menjadi sangat relevan dalam membangun budaya
profesionalisme, amanah, dan produktivitas. Setiap keberhasilan atau capaian
seharusnya menjadi sarana mempertebal rasa syukur dan menambah kebaikan kepada
orang lain, bukan untuk kesombongan atau penyalahgunaan nikmat.
3.2. Hadits HR Abu Dawud dari Abu Hurairah: Syukur
kepada Sesama
Rasulullah Saw.
bersabda:
Disampaikan
kepada kami oleh Muslim bin Ibrahim dari Rabi' bin Muslim dari Muhammad bin
Ziyad dari Abu Hurairah bahwa Nabi Muhammad Saw. bersabda: "Tidak
dianggap bersyukur kepada Allah Swt. orang yang tidak bersyukur kepada
manusia."_2
Hadits ini
menekankan bahwa rasa syukur tidak hanya diarahkan vertikal kepada Allah,
tetapi juga horizontal kepada sesama manusia. Menurut penjelasan Al-Munawi,
bersyukur kepada manusia berarti mengakui kebaikan yang dilakukan orang lain
dan membalasnya dengan ucapan terima kasih atau tindakan baik lainnya.3
Ini memperkuat hubungan sosial dan menumbuhkan solidaritas dalam masyarakat.
Dalam konteks
kontemporer, penghargaan terhadap kontribusi orang lain menjadi dasar bagi
etika kerja, relasi profesional, dan pengembangan masyarakat. Riset psikologi
sosial menyatakan bahwa apresiasi meningkatkan motivasi intrinsik dan
memperkuat kohesi sosial.4 Oleh karena itu, implementasi hadits ini
sangat penting dalam membangun komunitas yang saling mendukung dan harmonis.
3.3. Hadits HR Muslim dari Abu Hurairah: Melihat kepada
yang Lebih Tidak Beruntung
Rasulullah saw.
bersabda:
وحَدَّثَنِي
زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ وَحَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا
أَبُو مُعَاوِيَةً وَحَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ - وَاللَّفْظُ
لَهُ - حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةً وَوَكِيعٌ عَنِ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي
صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْظُرُوا إِلَى مَنْ
أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَهُوَ أَجْدَرُ
أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ - قَالَ أَبُو مُعَاوِيَةَ - عَلَيْكُمْ
Diberitahukan
kepadaku oleh Zuhair bin Harb dari Jarir dari Abu Kuraib dari Abu Mu'awiyah
dari Abu Bakr bin Abi Syaibah dari Abu Mu'awiyah dan Waki' dari al-A'masy dari
Abu Saleh dari Abu Hurairah bahwa Nabi Muhammad saw. bersabda, "Pandanglah
orang yang berada dibawah kalian, jangan memandang yang ada di atas kalian, itu
lebih laik membuat kalian tidak mengkufuri nikmat Allah."_5
Hadits ini
mengajarkan strategi menjaga keseimbangan emosional dan syukur dengan cara
membandingkan diri dengan mereka yang lebih kurang beruntung dalam hal materi
atau keduniaan. Menurut Imam Nawawi dalam Syarh
Shahih Muslim, pandangan ini bertujuan agar manusia tidak mudah
terjebak dalam keluh kesah dan selalu mengingat betapa banyak karunia yang
Allah berikan.6
Fenomena ini juga
mendapat perhatian dalam psikologi positif. Studi menunjukkan bahwa "downward
comparison" (membandingkan diri dengan yang lebih kurang beruntung)
dapat memperkuat rasa syukur, mengurangi stres, dan meningkatkan kepuasan
hidup.7 Dalam era media sosial yang sering menampilkan pencitraan
kesuksesan dan kemewahan, implementasi nasihat Nabi ini menjadi kian relevan
untuk menjaga kesehatan mental dan spiritual umat Islam.
Hadits ini juga
mengajarkan tentang pentingnya menghindari sikap kufur nikmat (kufran
ni‘mah), yang menurut Ibn Qayyim al-Jawziyyah adalah
salah satu sebab utama hilangnya keberkahan dalam hidup.8 Oleh
karena itu, menjaga perspektif yang benar terhadap nikmat merupakan bentuk
syukur aktif yang berdampak pada kebahagiaan dan keberlanjutan nikmat.
Footnotes
[1]
Al-Ghazali, Ihya'
Ulum al-Din, jilid IV (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), 92.
[2]
Abu Dawud, Sunan
Abu Dawud, no. 4811, dalam Muhammad Muhyiddin ‘Abd al-Hamid (ed.), Sunan
Abu Dawud (Beirut: Dar al-Fikr, 1997).
[3]
Al-Munawi, Fayd
al-Qadir Sharh al-Jami' al-Saghir, jilid V (Beirut: Dar al-Ma’rifah,
1972), 518.
[4]
Adam M. Grant and Francesca Gino, "A Little Thanks Goes a Long Way: Explaining
Why Gratitude Expressions Motivate Prosocial Behavior," Journal of
Personality and Social Psychology 98, no. 6 (2010): 946–955.
[5]
Muslim ibn al-Hajjaj,
Sahih Muslim, no. 2963, dalam Muhammad Fuad Abdul Baqi (ed.), Sahih
Muslim (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi, 1955).
[6]
Imam Nawawi, Syarh
Shahih Muslim, jilid XVII (Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-Arabi, 1972),
120.
[7]
Jo-Ann Tsang,
"Gratitude and Prosocial Behavior: An Experimental Test of
Gratitude," Cognition and Emotion 20, no. 1 (2006): 138–148.
[8]
Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Madarij al-Salikin, jilid II (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 2004), 244.
4.
Konsep Syukur dalam Kajian Ulama dan
Tafsir Klasik
Konsep syukur telah
menjadi salah satu pembahasan sentral dalam karya-karya ulama klasik Islam.
Mereka tidak hanya membahasnya sebagai kewajiban teologis, tetapi juga
menguraikannya dalam dimensi psikologis, sosial, dan spiritual. Syukur dalam
pandangan ulama merupakan fondasi penting dalam membangun hubungan vertikal
antara manusia dengan Allah dan hubungan horizontal antar sesama manusia.
4.1. Pandangan Imam Al-Ghazali
Imam
Al-Ghazali dalam Ihya' Ulum al-Din menjelaskan bahwa
syukur terdiri dari tiga unsur pokok: (1) Ilmu, yakni kesadaran bahwa
semua nikmat berasal dari Allah; (2) Keadaan hati (hal), yaitu rasa
gembira dan cinta kepada Allah atas limpahan nikmat-Nya; dan (3) Amal,
yaitu penggunaan nikmat tersebut dalam ketaatan kepada Allah.1
Menurut Al-Ghazali,
syukur sempurna adalah ketika hati penuh dengan rasa cinta kepada Allah, lisan
selalu memuji-Nya, dan seluruh anggota tubuh digunakan untuk melaksanakan
perintah-Nya. Al-Ghazali menegaskan bahwa kekufuran terhadap nikmat (kufran
ni‘mah) adalah bentuk kebutaan hati terhadap asal muasal karunia, yang berujung
pada jauhnya seseorang dari rahmat Allah.2
4.2. Tafsir Syukur Menurut Ibnu Qayyim al-Jawziyyah
Ibnu
Qayyim al-Jawziyyah dalam Madarij al-Salikin mengembangkan
konsep syukur menjadi lebih dinamis. Ia membagi syukur ke dalam tiga bentuk
manifestasi: (1) Syukur dengan hati, yakni
pengakuan terhadap nikmat dan kecintaan kepada Allah; (2) Syukur
dengan lisan, dengan memperbanyak pujian dan dzikir kepada
Allah; dan (3) Syukur dengan anggota badan,
yaitu menggunakan nikmat dalam ketaatan dan menjauhi maksiat.3
Ibnu Qayyim juga
menekankan bahwa syukur merupakan salah satu tingkatan ibadah yang tinggi (maqam
'aliyah), bahkan lebih tinggi daripada kesabaran, karena syukur
mencakup cinta dan kerelaan terhadap takdir Allah.4
4.3. Tafsir Tematik Syukur oleh Al-Raghib al-Asfahani
Al-Raghib
al-Asfahani, dalam Al-Mufradat fi Gharib al-Qur'an,
mendefinisikan syukur sebagai "pengakuan terhadap nikmat dan menampakkannya
dalam ucapan dan perbuatan".5 Menurutnya, syukur bukan
hanya kewajiban individu, tetapi juga merupakan karakter ideal yang membedakan
manusia dari makhluk lain. Ia menyoroti pentingnya syukur sebagai bentuk
penghormatan kepada sumber nikmat, yaitu Allah Swt., yang tidak hanya
menciptakan, tetapi juga terus memelihara ciptaan-Nya.
Dalam analisis
tematiknya terhadap ayat-ayat syukur, Al-Raghib menekankan bahwa syukur harus
menyentuh seluruh dimensi keberadaan manusia: spiritual, intelektual, emosional,
dan sosial. Dengan demikian, konsep syukur menjadi landasan moral yang kuat
dalam membangun masyarakat yang adil dan beradab.
4.4. Korelasi dengan Pemikiran Modern
Kajian kontemporer
dalam jurnal-jurnal ilmiah Islam juga mengafirmasi relevansi ajaran ulama
klasik tentang syukur. Studi dalam Journal of Islamic Ethics
menekankan bahwa syukur adalah prinsip etis universal dalam Islam yang
berfungsi menjaga keseimbangan antara hak individu dan tanggung jawab sosial.6
Syukur, dalam
kerangka ini, tidak hanya menguatkan hubungan vertikal dengan Tuhan tetapi juga
mendorong terciptanya komunitas yang saling menghargai dan membantu, sesuai
dengan prinsip ta'awun (saling tolong-menolong).
Konsepsi klasik
tentang syukur, sebagaimana diuraikan oleh Al-Ghazali, Ibnu Qayyim, dan
Al-Raghib, ternyata sangat kontekstual untuk menjawab tantangan zaman modern,
di mana konsumerisme, materialisme, dan individualisme sering kali menggerus
rasa syukur dan empati sosial.
Footnotes
[1]
Al-Ghazali, Ihya'
Ulum al-Din, jilid IV (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), 92.
[2]
Ibid., 93.
[3]
Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Madarij al-Salikin, jilid II (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 2004), 244–246.
[4]
Ibid., 247.
[5]
Al-Raghib al-Asfahani, Al-Mufradat fi Gharib al-Qur'an, ed. Safwan Adnan Da’udi
(Damaskus: Dar al-Qalam, 2002), 272.
[6]
Mohammad Hashim Kamali, "Gratitude in Islamic Ethics," Journal of Islamic
Ethics 1, no. 2 (2017): 211–235.
5.
Korelasi Syukur dalam Perspektif
Modern
Konsep syukur dalam
Islam tidak hanya relevan untuk dimensi spiritual tradisional, melainkan juga
memiliki implikasi penting dalam konteks kehidupan modern. Dalam dunia yang
ditandai oleh perkembangan teknologi pesat, globalisasi, dan perubahan nilai
sosial, syukur menjadi prinsip penting untuk menjaga keseimbangan hidup,
memperkuat kesehatan mental, serta membangun masyarakat yang harmonis dan
berkeadilan.
5.1. Syukur dalam Psikologi Positif
Penelitian dalam
bidang psikologi positif menemukan bahwa rasa syukur berhubungan erat dengan
tingkat kesejahteraan subjektif, kebahagiaan, dan kesehatan mental. Menurut Robert
Emmons, syukur berfungsi sebagai "penguat moral"
yang mendorong individu untuk lebih optimis, resilien terhadap stres, serta
lebih produktif dalam interaksi sosialnya.1 Praktik syukur terbukti
menurunkan tingkat depresi, meningkatkan rasa makna hidup, dan memperkuat
hubungan interpersonal.
Ini sejalan dengan
ajaran Islam, di mana syukur dipandang sebagai kunci bertambahnya nikmat (QS
Ibrahim [14] ayat7) dan sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dalam
praktik kontemporer, memperbanyak dzikir syukur, mencatat nikmat harian (gratitude
journaling), dan berbuat baik kepada sesama merupakan penerapan
nyata ajaran syukur dalam psikologi keseharian.
5.2. Syukur dalam Ekonomi dan Sosial
Syukur juga memiliki
dampak besar dalam perilaku ekonomi dan sosial. Ajaran Islam tentang syukur
mengajarkan prinsip qana'ah (merasa cukup), yang
mencegah perilaku konsumtif berlebihan. Menurut Abul A'la Maududi, syukur dalam
ekonomi berarti menggunakan kekayaan untuk kemaslahatan umum, bukan untuk
pemborosan atau pamer.2
Di tengah budaya
konsumerisme modern yang sering menimbulkan ketidakpuasan dan kesenjangan
sosial, nilai syukur mengarahkan umat Islam untuk mengembangkan gaya hidup
sederhana, adil, dan berorientasi pada keberlanjutan.
Lebih jauh, syukur
mendorong etos sosial berbagi, zakat, dan infaq, yang berfungsi mengurangi
ketimpangan ekonomi. Sebagaimana ditegaskan dalam penelitian kontemporer,
masyarakat yang memiliki budaya syukur dan berbagi cenderung memiliki kohesi
sosial lebih kuat dan tingkat kejahatan sosial lebih rendah.3
5.3. Syukur dalam Spiritualitas Modern
Dalam dunia modern
yang penuh tekanan dan ketidakpastian, syukur menjadi salah satu mekanisme
penting dalam menjaga kesehatan spiritual. Menurut kajian dalam Journal
of Muslim Mental Health, praktik syukur meningkatkan spiritual
coping dalam menghadapi krisis hidup, seperti kehilangan, penyakit,
atau kegagalan.4
Syukur bukan hanya
sebagai respon terhadap nikmat yang besar, tetapi juga sebagai penerimaan terhadap
segala takdir Allah, baik yang menyenangkan maupun yang tampak tidak
menyenangkan.
Sayyid
Qutb dalam Fi Zilal al-Qur'an mengajarkan
bahwa syukur adalah bagian dari kesadaran tauhid, yang menjadikan manusia mampu
menghadapi berbagai perubahan zaman tanpa kehilangan arah hidupnya.5
Dalam dunia yang serba cepat ini, mempertahankan rasa syukur berarti
mempertahankan koneksi eksistensial dengan Tuhan dan makna sejati kehidupan.
5.4. Tantangan Implementasi Syukur di Era Digital
Era digital membawa
tantangan baru bagi praktik syukur. Media sosial sering memperlihatkan
kehidupan orang lain dalam bentuk idealisasi, sehingga memicu rasa iri,
ketidakpuasan, dan perasaan kekurangan (relative deprivation). Penelitian
menunjukkan bahwa konsumsi media sosial yang tinggi tanpa pengelolaan diri yang
baik dapat mengikis rasa syukur dan memperparah gangguan mental.6
Untuk itu, penting
menginternalisasi prinsip hadits Nabi saw. yang menganjurkan agar kita
memandang kepada orang yang lebih kurang beruntung, bukan hanya kepada yang
lebih beruntung (HR Muslim). Strategi ini menjadi sangat penting dalam
mengelola ekspektasi dan menjaga ketulusan syukur di tengah arus informasi dan
perbandingan sosial yang massif.
Footnotes
[1]
Robert A. Emmons,
Thanks! How the New Science of Gratitude Can Make You Happier (Boston:
Houghton Mifflin, 2007), 5–12.
[2]
Abul A'la Maududi,
Towards Understanding Islam, trans. Khurshid Ahmad (Leicester: The
Islamic Foundation, 1994), 135–137.
[3]
Amirul Mukminin et al., "Gratitude and Social Trust: An Islamic Perspective," International
Journal of Islamic Thought 17, no. 1 (2020): 54–63.
[4]
Rania Awaad et al.,
"Spirituality and Coping in Muslim Patients," Journal of Muslim
Mental Health 11, no. 2 (2017): 55–72.
[5]
Sayyid Qutb, Fi
Zilal al-Qur'an, jilid IV (Kairo: Dar al-Shuruq, 2001), 2185.
[6]
Melissa G. Hunt, Rachel Marx, Courtney Lipson, and Jordyn Young, "No More FOMO: Limiting Social Media Decreases
Loneliness and Depression," Journal of Social and Clinical Psychology
37, no. 10 (2018): 751–768.
6.
Implementasi Syukur dalam Kehidupan
Sehari-Hari
Syukur sebagai
konsep teologis dalam Al-Qur’an dan Hadits menuntut perwujudan praktis dalam
kehidupan sehari-hari. Ulama klasik dan kontemporer menekankan bahwa hakikat
syukur bukan hanya kesadaran kognitif, tetapi harus terimplementasi dalam
berbagai aspek kehidupan personal, sosial, dan spiritual. Dengan demikian,
syukur membentuk karakter individu yang berintegritas dan membangun masyarakat
yang harmonis.
6.1. Membiasakan Dzikir dan Doa Syukur
Salah satu bentuk
implementasi syukur yang paling dasar adalah memperbanyak dzikir dan doa
yang memuji serta mengagungkan Allah. Dalam hadits, Rasulullah saw. mengajarkan
berbagai doa syukur, seperti ucapan "Alhamdulillah" dalam
berbagai keadaan.1
Menurut Imam
Al-Nawawi, memperbanyak ucapan hamdalah merupakan bentuk syukur
lisan yang utama, dan menunjukkan kesadaran konstan seorang mukmin terhadap
kemurahan Allah.2
Secara praktis,
membiasakan doa pagi dan petang yang berisi pujian kepada Allah, serta
memperbanyak istighfar sebagai bentuk pengakuan atas kekurangan diri dalam
mensyukuri nikmat, menjadi fondasi membangun kepribadian bersyukur.
6.2. Menghargai dan Membantu Sesama
Sebagaimana
ditegaskan dalam hadits Nabi saw.: "Tidak bersyukur kepada Allah, orang yang
tidak bersyukur kepada manusia" (HR Abu Dawud),3
menghargai dan membalas kebaikan orang lain merupakan manifestasi syukur
sosial.
Ibnu
Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari menjelaskan bahwa
sikap terima kasih kepada sesama adalah bentuk syukur horizontal yang
memperkuat jaringan sosial dan menghindarkan dari sikap individualistik.4
Dalam konteks
modern, apresiasi kepada rekan kerja, keluarga, dan komunitas menjadi bagian
penting dari membangun hubungan yang positif dan produktif.
6.3. Menjaga Nikmat Allah di Berbagai Aspek Kehidupan
Syukur juga diwujudkan
dalam menjaga amanah nikmat, baik berupa ilmu, kesehatan, waktu, harta, maupun
kekuasaan. Ibnu Qayyim al-Jawziyyah
menyatakan bahwa penggunaan nikmat sesuai dengan tujuan syar’i adalah syukur
yang sejati.5
Misalnya, menjaga
kesehatan melalui pola hidup seimbang, mengelola harta dengan adil dan
dermawan, serta menggunakan ilmu untuk maslahat umat adalah contoh konkret
penggunaan nikmat untuk ketaatan kepada Allah. Dalam bidang teknologi,
menggunakan media sosial untuk dakwah dan penyebaran ilmu bermanfaat juga
merupakan bentuk syukur atas kemajuan ilmu pengetahuan.
6.4. Strategi Melatih Syukur di Era Digital
Di tengah dunia
digital yang dipenuhi oleh pencitraan berlebihan dan kompetisi sosial, penting
untuk mengadopsi strategi melatih syukur, seperti:
·
Melatih
kesadaran nikmat dengan membuat daftar harian nikmat kecil yang
sering diabaikan.
·
Menerapkan
downward social comparison (memandang kepada yang lebih kurang
beruntung) sebagaimana diajarkan dalam hadits Nabi saw. untuk memperkuat
penghargaan atas karunia Allah.6
·
Membatasi
konsumsi media sosial untuk menghindari distorsi persepsi
tentang kehidupan orang lain yang dapat mengurangi rasa syukur.
Penelitian
kontemporer menunjukkan bahwa intervensi sederhana seperti gratitude
journaling dapat meningkatkan kesejahteraan psikologis dan
menurunkan tingkat depresi serta kecemasan.7
Footnotes
[1]
Abu Dawud, Sunan
Abu Dawud, no. 4811, dalam Muhammad Muhyiddin ‘Abd al-Hamid (ed.), Sunan
Abu Dawud (Beirut: Dar al-Fikr, 1997).
[2]
Imam Al-Nawawi, Riyadh
al-Shalihin, ed. Taqiyuddin al-Hilali (Beirut: Dar al-Ma'arif, 2003), 245.
[3]
Ibid.
[4]
Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari bi Sharh Sahih al-Bukhari, jilid X (Beirut: Dar
al-Ma’rifah, 1986), 415.
[5]
Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Madarij al-Salikin, jilid II (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
2004), 245.
[6]
Muslim ibn al-Hajjaj,
Sahih Muslim, no. 2963, dalam Muhammad Fuad Abdul Baqi (ed.), Sahih
Muslim (Beirut: Dar Ihya al-Turath al-Arabi, 1955).
[7]
Robert A. Emmons and Michael E. McCullough, “Counting Blessings Versus Burdens: An Experimental
Investigation of Gratitude and Subjective Well-Being in Daily Life,” Journal
of Personality and Social Psychology 84, no. 2 (2003): 377–389.
7.
Kesimpulan
Syukur dalam perspektif Al-Qur’an dan Hadits adalah
prinsip kehidupan yang mendalam, yang membentuk hubungan manusia dengan Allah
dan sesama manusia. Dalam Al-Qur’an, syukur diangkat sebagai bentuk utama penghargaan atas nikmat ilahi, yang bukan hanya mendatangkan
tambahan nikmat, tetapi juga menjaga manusia dari sikap kufur yang merusak diri
dan masyarakat (QS Ibrahim [14] ayat7).1 Tafsir para ulama klasik
seperti Ibnu Katsir, Al-Thabari, dan Al-Qurtubi
memperlihatkan bahwa syukur merupakan kombinasi dari pengakuan hati, pengucapan
lisan, dan perbuatan nyata dalam ketaatan kepada Allah.2
Hadits-hadits Nabi Muhammad saw. semakin
memperjelas bahwa syukur tidak hanya vertikal kepada Allah, tetapi juga harus
terwujud dalam apresiasi terhadap sesama manusia, sebagaimana disabdakan: "Tidak
bersyukur kepada Allah, orang yang tidak bersyukur kepada manusia" (HR
Abu Dawud).3 Selain itu, strategi spiritual seperti memandang kepada
orang yang lebih kurang beruntung (HR Muslim) berfungsi menjaga konsistensi
rasa syukur dalam menghadapi dinamika kehidupan duniawi.
Kajian ulama klasik seperti Al-Ghazali, Ibn
Qayyim al-Jawziyyah, dan Al-Raghib al-Asfahani menunjukkan bahwa
syukur adalah maqam agung dalam perjalanan ruhani, yang menuntut keutuhan hati,
lisan, dan perbuatan.4
Dalam perspektif modern, berbagai penelitian ilmiah
menunjukkan bahwa syukur meningkatkan kesehatan mental, memperkuat
kesejahteraan sosial, dan menjadi mekanisme spiritual yang efektif dalam
mengatasi tekanan hidup.5 Ini mengindikasikan bahwa prinsip syukur tidak hanya relevan untuk
dimensi akhirat, tetapi juga sangat bermanfaat untuk meningkatkan kualitas
kehidupan duniawi.
Implementasi syukur dalam kehidupan sehari-hari
meliputi kebiasaan berdzikir, doa, apresiasi terhadap orang lain, menjaga
nikmat dengan cara yang bertanggung jawab, serta mengelola penggunaan teknologi
dan media sosial secara sehat. Melatih syukur bukan hanya menguatkan hubungan
dengan Tuhan, tetapi juga membangun pribadi yang resilien, optimis, dan
produktif dalam menghadapi tantangan zaman modern.
Akhirnya, syukur adalah jalan menuju kebahagiaan,
keberkahan, dan ketenangan
jiwa. Sebagaimana ditegaskan oleh Sayyid Qutb, "Dalam syukur
terdapat kehidupan yang penuh makna, karena setiap nikmat menjadi jalan untuk
mengenal dan mendekat kepada Sang Pemberi Nikmat".6 Oleh
sebab itu, menumbuhkan dan mengimplementasikan syukur dalam semua aspek kehidupan adalah wujud nyata dari penghambaan
yang paripurna kepada Allah Swt.
Footnotes
[1]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya
(Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an, 2016), QS Ibrahim [14] ayat7.
[2]
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, jilid IV
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), 123–125; Al-Thabari, Jami'
al-Bayan fi Ta'wil al-Qur'an, ed. Ahmad Muhammad Syakir (Kairo: Dar
al-Ma'arif, 2000), jilid XV, 422; Al-Qurtubi, Al-Jami' li Ahkam
al-Qur'an, jilid XIII (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003), 207.
[3]
Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, no. 4811, dalam Muhammad
Muhyiddin ‘Abd al-Hamid (ed.), Sunan Abu Dawud (Beirut: Dar al-Fikr,
1997).
[4]
Al-Ghazali, Ihya' Ulum al-Din, jilid IV (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), 92; Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Madarij
al-Salikin, jilid II (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2004), 244–246; Al-Raghib
al-Asfahani, Al-Mufradat fi Gharib al-Qur'an, ed. Safwan Adnan
Da’udi (Damaskus: Dar al-Qalam, 2002), 272.
[5]
Robert A. Emmons and Michael E. McCullough, "Counting Blessings Versus
Burdens: An Experimental Investigation of Gratitude and Subjective Well-Being
in Daily Life," Journal of Personality and Social Psychology 84,
no. 2 (2003): 377–389.
[6]
Sayyid Qutb, Fi Zilal al-Qur'an, jilid IV (Kairo: Dar
al-Shuruq, 2001), 2185.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar