Dakwah dalam Perspektif
Al-Qur'an dan Hadits
Nama Satuan :
Madrasah Aliyah Plus Al-Aqsha
Mata Pelajaran :
Al-Qur’an Hadits
Kelas :
12 (Dua belas)
Abstrak
Dakwah merupakan salah satu kewajiban utama dalam
Islam yang bertujuan mengajak manusia kepada kebaikan dan menjauhkan mereka
dari kemungkaran. Artikel ini mengkaji konsep dakwah dalam perspektif Al-Qur'an
dan Hadits, dengan analisis mendalam terhadap QS an-Nahl (16) ayat 125, QS
asy-Syu'ara' (26) ayat 214-216, QS al-Hijr (15) ayat 94-96, serta hadits Nabi
yang menyebutkan pahala bagi mereka yang menunjukkan kebaikan. Pendekatan yang
digunakan meliputi tafsir klasik, seperti karya Ibnu Katsir dan al-Qurtubi,
serta pandangan ulama seperti al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah, yang relevan dengan
dakwah modern. Kajian ini juga mencakup tantangan dakwah kontemporer, seperti
sekularisme, Islamofobia, dan pemanfaatan teknologi informasi untuk
menyampaikan pesan Islam secara lebih luas. Artikel ini menyimpulkan bahwa
dakwah harus dilakukan dengan hikmah, nasihat yang baik, dan dialog yang santun, sebagaimana dicontohkan Rasulullah saw., serta mengintegrasikan metode
klasik dan kontemporer untuk efektivitas yang optimal.
Kata Kunci: Dakwah, Al-Qur'an, Hadits, Hikmah, Tafsir Klasik,
Teknologi Informasi, Tantangan Kontemporer.
PEMBAHASAN
Dakwah dalam Perspektif
Al-Qur'an dan Hadits
1.
Pendahuluan
Dakwah merupakan
salah satu aktivitas utama dalam Islam yang bertujuan menyampaikan ajaran agama
kepada individu maupun masyarakat agar memahami, mengamalkan, dan menyebarkan
nilai-nilai kebaikan. Kata dakwah berasal dari bahasa Arab (da‘ā-yad‘ū),
yang berarti "mengajak" atau "menyeru". Dalam
terminologi Islam, dakwah adalah proses menyeru manusia kepada jalan Allah
berdasarkan petunjuk Al-Qur'an dan Hadits. Aktivitas ini tidak hanya menjadi
tugas para nabi, tetapi juga kewajiban
setiap Muslim sesuai dengan kapasitasnya. Firman Allah dalam QS Ali Imran (3)
ayat 104 menyebutkan: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan
umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah
dari yang munkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.”1
Sejarah dakwah Islam
dimulai sejak masa Nabi Muhammad saw., yang menerima wahyu pertama di Gua Hira.
Rasulullah memulai dakwahnya secara sembunyi-sembunyi, sesuai perintah Allah
dalam QS asy-Syu'ara (26) ayat 214-216. Fase ini berfungsi untuk menguatkan
keimanan pengikut awal Islam sebelum memasuki dakwah secara terang-terangan
sebagaimana diperintahkan dalam QS al-Hijr (15) ayat 94: “Maka
sampaikanlah secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu)
dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.”2
Strategi dakwah Nabi menunjukkan fleksibilitas metode dalam menyampaikan ajaran
Islam, mulai dari pendekatan personal hingga publik, yang menjadi contoh bagi
umat Islam sepanjang zaman.
Dakwah memiliki
dimensi penting dalam kehidupan umat Islam. Aktivitas ini tidak hanya
berorientasi pada ibadah, tetapi juga berperan dalam pembentukan masyarakat
yang berakhlak mulia. Sebagai contoh, dakwah Rasulullah di Madinah berfungsi
untuk mempererat persaudaraan antara kaum Anshar dan Muhajirin, sehingga
tercipta masyarakat yang damai dan harmonis3.
Dalam konteks modern, dakwah juga memainkan peran strategis dalam menjawab
tantangan sosial, seperti degradasi moral, sekularisme, dan hedonisme. Oleh
karena itu, memahami konsep dakwah dalam perspektif Al-Qur’an dan Hadits
menjadi sangat penting agar umat Islam dapat melaksanakan dakwah dengan cara
yang sesuai dengan tuntunan syariat.
Artikel ini
bertujuan untuk mengkaji konsep dakwah berdasarkan kajian komprehensif terhadap
ayat-ayat Al-Qur’an, hadits, serta pandangan ulama klasik dan kontemporer.
Pembahasan meliputi kewajiban berdakwah, metode dakwah secara sembunyi-sembunyi dan terang-terangan, serta
motivasi dakwah sebagaimana dijelaskan dalam hadits. Dengan demikian, pembaca
diharapkan dapat memahami esensi dakwah secara mendalam dan menerapkannya dalam
kehidupan sehari-hari sesuai konteks zaman.
Footnotes
[1]
Al-Qur’an, QS Ali Imran (3): 104. Lihat juga: Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir
al-Qur’an al-‘Azhim, Juz 2, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003.
[2]
Al-Qur’an, QS al-Hijr (15): 94. Referensi penjelasan ayat: al-Qurtubi, al-Jami‘
li Ahkam al-Qur’an, Juz 10, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006.
[3]
Ibnu Hisham, Sirah Nabawiyah, ed. Mustafa as-Saqqa, Juz 2,
Kairo: Dar al-Fikr, 1998.
2.
Konsep Dakwah dalam Islam
2.1. Definisi Dakwah
Secara bahasa, dakwah
berasal dari akar kata Arab da‘ā-yad‘ū, yang berarti "memanggil",
"mengundang", atau "mengajak". Dalam konteks
syariat, dakwah didefinisikan sebagai aktivitas menyeru manusia kepada Allah
dengan hikmah, pelajaran yang baik, dan dialog yang santun1.
Para ulama memberikan pengertian yang beragam sesuai fokus pembahasannya. Imam
al-Ghazali, misalnya, menyatakan bahwa dakwah adalah proses menuntun manusia
menuju kebenaran berdasarkan ajaran Islam2.
Sementara itu, dalam konteks modern, dakwah sering dimaknai sebagai penyebaran
nilai-nilai Islam untuk memperbaiki kondisi individu dan masyarakat3.
Dakwah memiliki
cakupan luas, mencakup aspek aqidah, ibadah, akhlak, hingga hubungan sosial. Aktivitas ini bertujuan
membawa manusia kepada kebenaran dan menghindarkan mereka dari kesesatan,
sebagaimana ditegaskan dalam QS an-Nahl (16) ayat 125: “Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih
mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui
siapa yang mendapat petunjuk.”4
2.2.
Landasan Syariat Dakwah
Dakwah bukanlah aktivitas
opsional, melainkan kewajiban yang memiliki landasan kuat dalam syariat Islam.
Dasar utama dakwah adalah Al-Qur'an dan Hadits. Di dalam Al-Qur'an, Allah Swt memerintahkan
umat Islam untuk menyeru kepada kebajikan dan mencegah kemungkaran, sebagaimana
disebutkan dalam QS Ali Imran (3) ayat 104: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan
umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah
dari yang munkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.”5
Selain itu, dalam
Hadits, Rasulullah saw. bersabda: “Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat.”
(HR Bukhari)6.
Hadits ini menunjukkan bahwa dakwah adalah tanggung jawab setiap Muslim, sesuai dengan kemampuan dan
pemahamannya.
2.3.
Urgensi Dakwah dalam Islam
Dakwah memiliki
peran strategis dalam menjaga kemurnian agama dan memperbaiki kondisi umat. Dalam sejarah Islam, dakwah
menjadi pondasi utama dalam penyebaran agama Islam ke berbagai belahan dunia.
Aktivitas dakwah Nabi Muhammad saw. di Makkah dan Madinah menjadi contoh
teladan yang tak lekang oleh zaman. Dakwah beliau di Makkah, misalnya,
mengajarkan pentingnya keteguhan iman dalam menghadapi penolakan dan tantangan7.
Sedangkan dakwah di Madinah menekankan pembentukan masyarakat Islami yang
harmonis8.
Pada era modern,
dakwah memiliki peran penting dalam menghadapi tantangan global, seperti
sekularisme, materialisme, dan hedonisme. Dakwah dapat menjadi sarana untuk
memperbaiki moral individu, menanamkan nilai-nilai keislaman, dan menciptakan
harmoni di tengah keberagaman. Oleh karena itu, dakwah harus dilaksanakan
dengan metode yang sesuai dengan perkembangan zaman tanpa meninggalkan
prinsip-prinsip syariat.
Footnotes
[1]
Ibnu Manzur, Lisan al-‘Arab, Juz 8, Beirut: Dar Sadir, 1994.
[2]
Al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din, Juz 2, Beirut: Dar al-Ma‘rifah,
1980.
[3]
Muhammad al-Buthi, Fiqh al-Da‘wah ila Allah, Beirut: Dar
al-Fikr, 1997, hlm. 21.
[4]
Al-Qur’an, QS an-Nahl (16): 125. Penjelasan tafsir: Ibnu Katsir, Tafsir
al-Qur’an al-‘Azhim, Juz 4, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003.
[5]
Al-Qur’an, QS Ali Imran (3): 104. Referensi tambahan: al-Qurtubi, al-Jami‘
li Ahkam al-Qur’an, Juz 3, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006.
[6]
Hadits riwayat Bukhari, Kitab al-‘Ilm, no. 3461.
[7]
Ibnu Hisham, Sirah Nabawiyah, Juz 1, Kairo: Dar al-Fikr, 1998.
[8]
Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Beirut: Dar al-Fikr, 1988, hlm. 212.
3.
Analisis QS an-Nahl (16) Ayat 125 tentang
Kewajiban Berdakwah
3.1.
Teks dan Terjemah Ayat
QS an-Nahl (16) ayat 125 berbunyi:
ادْعُ
إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ
بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ
بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Artinya: “Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah, pelajaran yang baik, dan
bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang
lebih mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.”1
Ayat ini memberikan
pedoman penting tentang metode dakwah yang efektif dan penuh kebijaksanaan.
Allah Swt menegaskan tiga metode utama dalam berdakwah, yaitu hikmah,
mau‘izhah hasanah (pelajaran yang baik), dan mujadalah bil-lati hiya ahsan
(debat dengan cara yang baik). Ketiga metode ini menjadi dasar strategi dakwah
Islam sepanjang zaman.
3.2.
Tafsir Ayat
3.2.1.
Hikmah
dalam Dakwah
Istilah hikmah
dalam ayat ini merujuk pada kebijaksanaan dalam memilih waktu, tempat, dan cara
penyampaian dakwah2.
Menurut Ibnu Katsir, hikmah adalah kemampuan menyampaikan dakwah sesuai tingkat
pemahaman dan kondisi mad‘u
(objek dakwah)3.
Sementara itu, al-Qurtubi menambahkan bahwa hikmah mencakup ilmu, akhlak, dan
kelembutan dalam berdakwah4.
Dalam konteks modern, hikmah dapat diterjemahkan sebagai pendekatan yang
relevan dengan situasi sosial, budaya, dan teknologi yang ada.
3.2.2.
Mau‘izhah
Hasanah
Mau‘izhah hasanah berarti pelajaran atau nasihat yang baik dan menyentuh
hati. Penjelasan ini diberikan oleh Imam al-Baghawi dalam tafsirnya, di mana ia
menyatakan bahwa mau‘izhah
adalah ajakan yang penuh kasih sayang, menghindari kekerasan, dan menekankan
pada kelembutan5.
Dakwah dengan mau‘izhah hasanah lebih efektif
dalam menarik hati manusia, terutama yang sedang mencari kebenaran.
3.2.3.
Mujadalah
bil-Lati Hiya Ahsan
Mujadalah
atau debat dengan cara yang baik merupakan metode dakwah yang digunakan ketika
berhadapan dengan perbedaan pandangan atau argumen. Penjelasan ath-Thabari
menyebutkan bahwa debat dalam Islam harus dilakukan dengan santun, tanpa
menyerang atau merendahkan pihak lain6.
Rasulullah saw. memberikan contoh terbaik dalam menghadapi kaum musyrik Quraisy
dan ahli kitab melalui dialog yang santun dan logis, seperti tercatat dalam
sejarah dakwah beliau.
3.3.
Implikasi Ayat dalam Dakwah Kontemporer
Ayat ini relevan
untuk diaplikasikan dalam dakwah era modern. Hikmah dapat diwujudkan melalui
dakwah berbasis teknologi seperti media sosial, podcast, atau webinar yang
menarik perhatian generasi muda. Mau‘izhah hasanah dapat diterapkan
dengan menyampaikan konten dakwah yang inspiratif, seperti kisah para nabi atau
solusi praktis terhadap masalah kehidupan sehari-hari. Sementara itu, mujadalah bil-lati hiya ahsan
sangat diperlukan dalam menjawab isu-isu kontroversial, seperti Islamofobia,
dengan pendekatan dialogis yang intelektual dan beradab.
Selain itu, ayat ini
menegaskan pentingnya mengenali kondisi audiens dakwah. Dakwah yang tidak
mempertimbangkan psikologi dan budaya masyarakat
dapat menimbulkan resistensi7.
Oleh karena itu, dakwah yang berlandaskan QS an-Nahl [16] ayat 125 adalah
dakwah yang fleksibel, kontekstual, dan tetap berada dalam bingkai syariat.
Footnotes
[1]
Al-Qur’an, QS an-Nahl (16) ayat 125. Lihat juga: Departemen Agama RI, Al-Qur’an
dan Terjemahnya, Jakarta: Penerbit Al-Qur'an al-Karim, 2002.
[2]
Ibnu Manzur, Lisan al-‘Arab, Juz 12, Beirut: Dar Sadir, 1994,
hlm. 155.
[3]
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Juz 4, Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003.
[4]
Al-Qurtubi, al-Jami‘ li Ahkam al-Qur’an, Juz 10, Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006.
[5]
Al-Baghawi, Ma‘alim at-Tanzil, Juz 3, Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1987.
[6]
Ath-Thabari, Jami‘ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, Juz 14,
Kairo: Dar al-Ma‘arif, 2001.
[7]
Syed Naquib al-Attas, Islam and Secularism, Kuala Lumpur:
ISTAC, 1993, hlm. 63-64.
4.
Dakwah secara Sembunyi-Sembunyi dalam QS
asy-Syu'ara’ (26) Ayat 214-216
4.1.
Teks dan Terjemah Ayat
QS asy-Syu'ara’ (26) ayat 214-216 berbunyi:
وَأَنْذِرْ
عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ (214) وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ
الْمُؤْمِنِينَ (215) فَإِنْ عَصَوْكَ فَقُلْ إِنِّي بَرِيءٌ مِمَّا
تَعْمَلُونَ (216)
Artinya:“Dan
berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat, () dan rendahkanlah
dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman. Jika
mereka mendurhakaimu maka katakanlah: "Sesungguhnya aku tidak bertanggung
jawab terhadap apa yang kamu kerjakan";1
Ayat-ayat ini turun
pada periode awal dakwah Rasulullah saw., ketika beliau diperintahkan untuk
menyampaikan risalah Islam secara personal kepada keluarga dan kerabat
dekatnya. Dakwah pada tahap ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi untuk
membangun landasan yang kuat bagi penyebaran Islam selanjutnya.
4.2.
Tafsir Ayat
4.2.1.
Dakwah
kepada Kerabat Terdekat (Ayat 214)
Ayat ini
memerintahkan Rasulullah saw. untuk memulai dakwahnya dari lingkup keluarga dan
kerabat terdekat. Dalam tafsir Ibnu Katsir, ayat ini dijelaskan sebagai
perintah untuk menyampaikan risalah Islam secara eksklusif kepada orang-orang
yang memiliki hubungan kekerabatan dengan Nabi Muhammad saw.2.
Hal ini sesuai dengan prinsip dakwah yang menekankan pentingnya dimulai dari
lingkaran terdekat sebelum meluas ke masyarakat umum. Rasulullah melaksanakan
perintah ini dengan mengumpulkan keluarga Bani Hasyim dan Bani Muthalib di
rumah Abu Thalib untuk menyampaikan ajakan kepada Islam3.
4.2.2.
Merendahkan
Diri kepada Pengikut yang Beriman (Ayat 215)
Ayat ini memuat
perintah kepada Rasulullah saw. untuk bersikap rendah hati terhadap orang-orang
yang menerima dakwahnya. Menurut al-Qurtubi, hal ini menunjukkan bahwa seorang
da’i harus memperlakukan pengikutnya dengan kasih sayang, kelembutan, dan
menghargai keyakinan mereka4.
Sikap ini penting untuk menjaga loyalitas dan semangat para pengikut awal
Islam, yang pada masa itu menghadapi banyak tekanan dan ancaman dari kaum
musyrikin.
4.2.3.
Berlepas
Diri dari Kemaksiatan (Ayat 216)
Ayat ini memberikan
pedoman bagi seorang da’i untuk tetap tegas dalam menghadapi penolakan.
Ath-Thabari menjelaskan bahwa jika kerabat atau siapa pun yang diajak berdakwah
menolak dan tetap melakukan perbuatan dosa, seorang da’i harus menyatakan
sikapnya dengan jelas, bahwa ia tidak bertanggung jawab atas perbuatan mereka5.
Sikap ini menunjukkan konsistensi da’i dalam menjaga prinsip Islam tanpa
terpengaruh oleh tekanan sosial atau keluarga.
4.3.
Pelajaran dari Fase Dakwah Sembunyi-Sembunyi
4.3.1.
Dimulai
dari yang Terdekat
Dakwah Rasulullah
saw. pada fase sembunyi-sembunyi memberikan pelajaran penting tentang strategi
penyebaran Islam. Sebagai langkah awal, fokus pada keluarga dan sahabat dekat
bertujuan untuk membangun basis pendukung yang solid6.
Contohnya adalah Abu Bakar ash-Shiddiq, yang kemudian menjadi salah satu pilar
utama dakwah Rasulullah dengan mengajak tokoh-tokoh penting seperti Utsman bin
Affan, Abdurrahman bin Auf, dan Zubair bin Awwam7.
4.3.2.
Kesabaran
dan Keteguhan Hati
Dakwah secara
sembunyi-sembunyi juga menunjukkan pentingnya kesabaran dalam menghadapi
tantangan. Rasulullah saw. terus berusaha menyampaikan risalah Islam dengan
bijaksana, meskipun banyak yang menolak, termasuk sebagian kerabat dekatnya
seperti Abu Lahab8.
Kesabaran ini menjadi teladan bagi para da’i dalam menghadapi resistensi dari
lingkungan sekitar.
4.3.3.
Kelembutan
dan Ketegasan
Sikap lembut
terhadap pengikut dan tegas terhadap penolakan menjadi ciri khas dakwah
Rasulullah. Dua sikap ini menciptakan keseimbangan dalam dakwah sehingga
memberikan dampak positif, baik dalam menguatkan pengikut maupun menjaga
prinsip Islam di tengah tantangan yang ada.
4.4.
Relevansi untuk Dakwah Masa Kini
Fase dakwah sembunyi-sembunyi
memberikan pelajaran berharga bagi dakwah kontemporer. Di era modern, dakwah
juga sering dimulai dari lingkup keluarga, komunitas kecil, atau kelompok
tertentu sebelum menjangkau audiens yang lebih luas. Misalnya, penggunaan grup
diskusi online atau komunitas kecil untuk memulai pembahasan agama secara
mendalam adalah bentuk modern dari dakwah personal9.
Footnotes
[1]
Al-Qur’an, QS asy-Syu’ara’ (26): 214-216. Lihat juga: Departemen Agama
RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Penerbit Al-Qur'an al-Karim,
2002.
[2]
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Juz 5, Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003.
[3]
Ibnu Hisham, Sirah Nabawiyah, ed. Mustafa as-Saqqa, Juz 1,
Kairo: Dar al-Fikr, 1998.
[4]
Al-Qurtubi, al-Jami‘ li Ahkam al-Qur’an, Juz 13, Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006.
[5]
Ath-Thabari, Jami‘ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, Juz 19,
Kairo: Dar al-Ma‘arif, 2001.
[6]
Al-Buthi, Fiqh al-Sirah an-Nabawiyah, Beirut: Dar al-Fikr,
2004, hlm. 41.
[7]
Muhammad Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Ar-Raheeq al-Makhtum,
Riyadh: Maktabah Darus Salam, 1996.
[8]
Ibnu Sa‘ad, Tabaqat al-Kubra, Juz 1, Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1990.
[9]
Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Da‘wah ila Allah, Doha: Markaz
Buhuts al-Islamiyah, 2011, hlm. 23-25.
5.
Dakwah secara Terang-Terangan dalam QS al-Hijr
(15) Ayat 94-96
5.1.
Teks dan Terjemah Ayat
QS al-Hijr (15) ayat 94-96 berbunyi:
فَاصْدَعْ
بِمَا تُؤْمَرُ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ (94) إِنَّا كَفَيْنَاكَ
الْمُسْتَهْزِئِينَ (95) الَّذِينَ يَجْعَلُونَ
مَعَ اللَّهِ إِلَٰهًا آخَرَ ۚ فَسَوْفَ يَعْلَمُونَ
(96)
Artinya: “Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik. (94) Sesungguhnya Kami memelihara kamu daripada (kejahatan) orang-orang yang memperolok-olokkan (kamu), (95) (Yaitu) orang-orang yang menganggap adanya tuhan yang lain di samping Allah; maka mereka kelak akan mengetahui (akibat-akibatnya). (96)”1
Ayat-ayat ini turun
sebagai perintah Allah kepada Rasulullah saw. untuk memulai dakwah secara
terbuka, setelah sebelumnya menjalankan dakwah secara sembunyi-sembunyi. Ini
adalah momen penting dalam perjalanan dakwah Nabi, karena menjadi awal dari
konfrontasi langsung dengan kaum Quraisy yang selama ini menolak ajaran Islam.
5.2.
Tafsir Ayat
5.2.1.
Perintah
untuk Dakwah secara Terang-Terangan (Ayat 94)
Kata faṣda‘
berasal dari akar kata ṣad‘, yang berarti memecah sesuatu
hingga terlihat jelas2.
Dalam konteks ayat ini, faṣda‘ bimā tu’maru berarti
menyampaikan perintah Allah secara tegas dan tanpa ragu. Menurut tafsir Ibnu
Katsir, ayat ini adalah perintah kepada Nabi Muhammad saw. untuk menyatakan
ajaran Islam secara terang-terangan kepada masyarakat Makkah, meskipun akan
menghadapi perlawanan3.
Al-Qurtubi
menambahkan bahwa dakwah terang-terangan adalah tahapan penting dalam
penyebaran Islam, karena bertujuan untuk menantang tradisi jahiliyah yang sudah
mendarah daging di kalangan masyarakat Arab4.
Dakwah ini melibatkan deklarasi publik tentang keesaan Allah (tauhid) dan penolakan
terhadap kemusyrikan.
5.2.2.
Perlindungan
Allah terhadap Rasulullah (Ayat 95)
Ayat ini memberikan
jaminan kepada Rasulullah saw. bahwa Allah akan melindungi beliau dari
musuh-musuh yang memperolok atau mencemooh dakwahnya. Ath-Thabari menjelaskan
bahwa janji perlindungan ini menjadi penguat bagi Nabi untuk tetap tegar
menghadapi tekanan dan intimidasi dari kaum Quraisy5.
Dalam sejarah, perlindungan ini terlihat dari berbagai peristiwa, seperti
keberanian Rasulullah menghadapi ejekan Abu Lahab dan kawan-kawannya yang gagal
menggoyahkan keimanan beliau6.
5.2.3.
Ancaman
kepada Orang-Orang Musyrik (Ayat 96)
Ayat ini
mengingatkan bahwa orang-orang musyrik yang mempersekutukan Allah akan
menghadapi konsekuensi dari perbuatan mereka. Menurut al-Baghawi, ancaman ini
menunjukkan bahwa kezaliman dan kesombongan mereka tidak akan bertahan lama,
dan kebenaran Islam pada akhirnya akan menang7.
5.3.
Pelajaran dari Fase Dakwah Terang-Terangan
5.3.1.
Ketegasan
dalam Menyampaikan Kebenaran
Fase dakwah terang-terangan
mengajarkan pentingnya keberanian dan ketegasan dalam menyampaikan ajaran
Islam. Rasulullah saw. menunjukkan teladan ini dengan menyampaikan ajaran Islam
di tempat-tempat umum seperti pasar Ukaz dan sekitar Ka’bah, meskipun
menghadapi perlawanan sengit8.
5.3.2.
Kesabaran
dalam Menghadapi Penolakan
Meskipun menghadapi
ejekan, ancaman, dan bahkan kekerasan fisik, Rasulullah saw. tetap sabar dan istiqamah.
Beliau memahami bahwa dakwah adalah proses panjang yang membutuhkan keteguhan
hati dan perlindungan dari Allah9.
5.3.3.
Pentingnya
Kepercayaan kepada Allah
Janji Allah dalam
ayat 95 menjadi pengingat bahwa seorang da’i harus memiliki keyakinan penuh
kepada Allah sebagai pelindung. Dalam konteks dakwah kontemporer, keyakinan ini
penting untuk menghadapi tantangan seperti stigma sosial atau Islamofobia.
5.4.
Relevansi untuk Dakwah Masa Kini
Dakwah secara
terang-terangan dapat diterapkan dalam konteks modern melalui berbagai platform
publik, seperti media sosial, seminar, dan aksi sosial. Namun, seperti yang
dicontohkan Rasulullah saw., dakwah harus tetap berpegang pada prinsip hikmah
dan kelembutan. Tantangan berupa kritik atau ejekan tidak boleh menyurutkan
semangat seorang da’i. Sebaliknya, tantangan tersebut harus menjadi motivasi
untuk terus menyampaikan kebenaran Islam secara luas dan penuh percaya diri10.
Footnotes
[1]
Al-Qur’an, QS al-Hijr (15): 94-96. Lihat juga: Departemen Agama RI, Al-Qur’an
dan Terjemahnya, Jakarta: Penerbit Al-Qur'an al-Karim, 2002.
[2]
Ibnu Manzur, Lisan al-‘Arab, Juz 3, Beirut: Dar Sadir, 1994.
[3]
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Juz 5, Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003.
[4]
Al-Qurtubi, al-Jami‘ li Ahkam al-Qur’an, Juz 14, Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006.
[5]
Ath-Thabari, Jami‘ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, Juz 17,
Kairo: Dar al-Ma‘arif, 2001.
[6]
Ibnu Hisham, Sirah Nabawiyah, Juz 1, Kairo: Dar al-Fikr, 1998.
[7]
Al-Baghawi, Ma‘alim at-Tanzil, Juz 5, Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1987.
[8]
Muhammad Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Ar-Raheeq al-Makhtum,
Riyadh: Maktabah Darus Salam, 1996.
[9]
Al-Buthi, Fiqh al-Sirah an-Nabawiyah, Beirut: Dar al-Fikr,
2004, hlm. 69-71.
[10]
Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Da‘wah ila Allah, Doha: Markaz
Buhuts al-Islamiyah, 2011, hlm. 35-37.
6.
Motivasi Dakwah dalam Hadits
6.1.
Hadits HR Muslim dari Abu Hurairah
Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. berbunyi:
Artinya: “Barangsiapa
yang menunjukkan kepada kebaikan, maka dia akan mendapatkan pahala seperti
pahala orang yang melakukannya.” (HR Muslim, no. 1893)1.
Hadits ini menjadi
salah satu motivasi utama bagi umat Islam dalam berdakwah. Rasulullah saw.
menegaskan bahwa peran seorang da’i bukan hanya menyampaikan pesan, tetapi juga
mendapatkan pahala dari kebaikan yang diamalkan oleh orang yang diajak menuju
jalan Allah. Hal ini menjadikan dakwah sebagai amal yang tidak hanya
berorientasi duniawi, tetapi juga memiliki nilai akhirat yang besar.
6.2.
Penjelasan Hadits
6.2.1.
Makna
“Menunjukkan kepada Kebaikan”
Kata dalālah
dalam hadits ini berarti "menunjukkan" atau "memberi
petunjuk". Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan
bahwa yang dimaksud dengan menunjukkan kepada kebaikan adalah segala bentuk
ajakan, baik melalui lisan, perbuatan, maupun teladan2.
Dakwah dalam konteks ini tidak terbatas pada pidato atau ceramah, tetapi juga
mencakup aktivitas sehari-hari yang menginspirasi orang lain untuk berbuat
baik.
6.2.2.
Pahala
yang Sama
Menurut
al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi, pahala yang
diberikan kepada da’i bukanlah mengurangi pahala dari orang yang melakukan
kebaikan tersebut3.
Artinya, Allah melipatgandakan ganjaran untuk setiap amal baik yang
dilaksanakan, baik bagi pelaku maupun motivatornya. Hal ini menunjukkan betapa
besar nilai dakwah dalam pandangan Islam.
6.2.3.
Kaitannya
dengan Dakwah
Hadits ini
menekankan bahwa dakwah bukan hanya kewajiban, tetapi juga jalan untuk
memperoleh keberkahan dan pahala yang terus mengalir. Dalam sebuah hadits lain,
Rasulullah saw. bersabda:
“Jika
Allah memberikan hidayah kepada seseorang melalui kamu, itu lebih baik bagimu
daripada unta merah.” (HR Bukhari, no. 2942)4.
Unta merah adalah harta yang sangat berharga pada masa itu, yang menegaskan
bahwa nilai dakwah lebih besar daripada keuntungan duniawi.
6.3.
Inspirasi dari Hadits untuk Dakwah Modern
6.3.1.
Dakwah
sebagai Investasi Akhirat
Hadits ini
mengajarkan bahwa dakwah adalah amal jariyah yang pahalanya terus mengalir.
Dalam konteks modern, ini dapat diartikan sebagai upaya menciptakan konten
dakwah yang relevan, seperti video, tulisan, atau aplikasi Islami yang dapat
diakses oleh banyak orang5.
6.3.2.
Pentingnya
Memberi Teladan
Dakwah tidak hanya
dilakukan melalui kata-kata, tetapi juga perbuatan. Sebagaimana dijelaskan oleh
al-Ghazali dalam Ihya ‘Ulum al-Din, teladan seorang
da’i seringkali lebih efektif daripada nasihat verbal6.
Dalam era globalisasi, seorang Muslim yang menunjukkan akhlak Islami di tempat
kerja, sekolah, atau komunitasnya menjadi bentuk dakwah yang sangat bermakna.
6.3.3.
Kesinambungan
Amal Kebaikan
Hadits ini juga
menekankan pentingnya kesinambungan dakwah. Ketika seseorang menginspirasi
orang lain untuk berbuat baik, amal tersebut dapat berkembang menjadi rantai
kebaikan yang tak terputus. Dalam konteks ini, seorang da’i harus selalu
memperbaharui ilmunya agar dapat memberikan panduan yang sesuai dengan
kebutuhan zaman7.
6.4.
Relevansi Hadits dalam Menghadapi Tantangan
Dakwah
6.4.1.
Menghadapi
Stigma Sosial
Bagi seorang da’i
modern, tantangan seperti stigma terhadap Islam atau dakwah dapat dihadapi
dengan kembali kepada spirit hadits ini. Keyakinan bahwa setiap ajakan kepada
kebaikan akan diganjar pahala membantu menjaga semangat dalam menghadapi
tantangan8.
6.4.2.
Meningkatkan
Kualitas Dakwah
Hadits ini juga
menjadi pengingat bahwa kualitas dakwah harus diutamakan. Pahala besar yang
dijanjikan Allah kepada da’i seharusnya memotivasi mereka untuk meningkatkan
ilmu, metode, dan pendekatan dakwah agar lebih efektif dan sesuai dengan
tuntutan masyarakat9.
Footnotes
[1]
Muslim bin Hajjaj al-Naysaburi, Shahih Muslim, Kitab
al-Imarah, no. 1893.
[2]
Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, Juz 13,
Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 2003.
[3]
Al-Mubarakfuri, Tuhfatul Ahwadzi, Juz 3, Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 2001.
[4]
Muhammad bin Isma‘il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Kitab
Fadha’il al-Sahabah, no. 2942.
[5]
Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Da‘wah ila Allah, Doha: Markaz
Buhuts al-Islamiyah, 2011, hlm. 41.
[6]
Al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din, Juz 4, Beirut: Dar al-Ma‘rifah,
1980, hlm. 20.
[7]
Syed Naquib al-Attas, Islam and Secularism, Kuala Lumpur:
ISTAC, 1993, hlm. 89.
[8]
Hasan al-Banna, Risalah al-Da‘wah wa al-Du‘at, Kairo: Dar
al-Turath al-Islami, 1989, hlm. 57.
[9]
Muhammad Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Ar-Raheeq al-Makhtum,
Riyadh: Maktabah Darus Salam, 1996.
7.
Perspektif Ulama dan Jurnal Ilmiah Islami
tentang Dakwah
7.1.
Pandangan Ulama Klasik tentang Dakwah
7.1.1.
Imam
al-Ghazali
Imam al-Ghazali
dalam Ihya
‘Ulum al-Din menegaskan bahwa dakwah merupakan kewajiban setiap
Muslim yang memiliki ilmu dan kemampuan untuk mengajarkan agama1.
Ia menggarisbawahi pentingnya pendekatan yang lembut dan hikmah dalam
berdakwah, seraya menghindari metode yang dapat menimbulkan kebencian atau
resistensi. Al-Ghazali juga menekankan bahwa dakwah harus dimulai dari
pembenahan diri da’i agar pesan yang disampaikan memiliki keberkahan dan dampak
yang nyata2.
7.1.2.
Ibnu
Taimiyah
Ibnu Taimiyah dalam Majmu‘
al-Fatawa menyebut dakwah sebagai salah satu bentuk jihad terbesar
di jalan Allah3.
Menurutnya, dakwah tidak hanya mencakup ajakan kepada kebaikan, tetapi juga
melibatkan penegakan keadilan sosial dan upaya melawan kebatilan. Dakwah harus
disampaikan dengan kebijaksanaan, menggunakan argumen yang kuat berdasarkan
Al-Qur'an, Hadits, dan akal sehat4.
7.1.3.
Ibnu
Katsir
Dalam tafsirnya,
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa dakwah Rasulullah saw. adalah contoh terbaik dari
keseimbangan antara hikmah, nasihat, dan mujadalah (dialog yang baik)5.
Ia menyoroti bahwa dakwah yang efektif adalah dakwah yang dapat menyentuh hati
manusia dengan cara yang sesuai dengan kondisi sosial, psikologis, dan budaya
masyarakat.
7.2.
Kajian dari Jurnal Ilmiah Islami
7.2.1.
Dakwah
dan Pendidikan Islam
Dalam artikel jurnal
Islamic
Studies (2020), dijelaskan bahwa dakwah melalui pendidikan adalah
salah satu metode paling efektif untuk membangun generasi yang memahami dan
mengamalkan Islam6.
Pendidikan formal, seperti sekolah dan universitas, serta pendidikan nonformal
melalui halaqah dan kajian keislaman, dapat menjadi media utama dalam menyampaikan
pesan Islam secara sistematis.
7.2.2.
Pemanfaatan
Teknologi dalam Dakwah
Menurut artikel
dalam International
Journal of Islamic Thought (2021), teknologi informasi telah
membuka peluang besar untuk memperluas cakupan dakwah7.
Media sosial, aplikasi Islami, dan platform video seperti YouTube menjadi alat
yang dapat menjangkau jutaan orang dengan cepat dan efektif. Namun, penelitian
ini juga menekankan pentingnya etika dalam berdakwah melalui teknologi untuk
menghindari penyebaran informasi yang tidak valid.
7.2.3.
Tantangan
Dakwah Kontemporer
Artikel yang
diterbitkan dalam Journal of Islamic Studies (2019)
menyebutkan bahwa tantangan dakwah saat ini meliputi sekularisasi, hedonisme,
dan maraknya Islamofobia8.
Penelitian ini menyoroti perlunya penguatan kapasitas da’i, baik dalam bidang
ilmu agama maupun keterampilan komunikasi, untuk menghadapi tantangan tersebut.
7.3.
Keselarasan antara Dakwah Klasik dan
Kontemporer
7.3.1.
Prinsip
Dakwah yang Abadi
Prinsip-prinsip
dakwah yang diajarkan oleh ulama klasik, seperti hikmah, nasihat yang baik, dan
mujadalah, tetap relevan dalam dakwah modern. Sebagai contoh, metode yang
digunakan oleh Rasulullah saw. untuk berdialog dengan ahli kitab dapat
diaplikasikan dalam konteks dialog antaragama saat ini9.
7.3.2.
Integrasi
Metode Dakwah
Metode dakwah klasik
yang mengutamakan sentuhan personal dapat dikombinasikan dengan pendekatan
kontemporer berbasis teknologi. Sebagai contoh, halaqah tradisional dapat
diperluas melalui platform online seperti Zoom atau Google Meet, memungkinkan
akses yang lebih luas tanpa kehilangan esensi interaksi personal.
7.3.3.
Pentingnya
Penelitian Ilmiah dalam Dakwah
Ulama dan da’i masa
kini perlu merujuk pada penelitian ilmiah untuk memahami dinamika sosial dan kultural
masyarakat. Dengan demikian, dakwah dapat disampaikan secara kontekstual dan
efektif, tanpa kehilangan nilai-nilai syariat.
7.4.
untuk Dakwah Masa Kini
1)
Peningkatan Kompetensi
Da’i
Ulama dan da’i perlu dilengkapi dengan pendidikan
yang komprehensif, baik dalam bidang ilmu agama maupun keterampilan teknologi.
2)
Pemanfaatan Media
Digital
Platform digital harus dimanfaatkan secara
maksimal untuk menyampaikan dakwah dengan pesan yang jelas, menarik, dan sesuai
dengan etika Islam.
3)
Pendekatan
Multikultural
Dakwah harus disesuaikan dengan keanekaragaman
budaya dan kebutuhan masyarakat, dengan tetap menjaga prinsip-prinsip Islam.
Footnotes
[1]
Al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din, Juz 2, Beirut: Dar al-Ma‘rifah,
1980.
[3]
Ibnu Taimiyah, Majmu‘ al-Fatawa, Juz 28, Madinah: Maktabah
al-Malik Fahd, 1997.
[5]
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Juz 4, Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003.
[6]
Ali, Muhammad. "Islamic Education as a Tool for Dakwah," Islamic
Studies Journal, Vol. 20, No. 3 (2020), hlm. 45-60.
[7]
Ahmad, Syed. "Digitalization of Dakwah: Opportunities and
Challenges," International Journal of Islamic Thought, Vol. 10
(2021), hlm. 89-95.
[8]
Karim, Hasan. "Contemporary Challenges of Islamic Preaching,"
Journal of Islamic Studies, Vol. 25, No. 2 (2019), hlm. 15-27.
[9]
Al-Mubarakfuri, Muhammad. Ar-Raheeq al-Makhtum, Riyadh: Darus
Salam, 1996, hlm. 212-215.
8.
Kesimpulan dan Rekomendasi
8.1.
Kesimpulan
Dakwah merupakan
salah satu kewajiban utama dalam Islam, yang bertujuan untuk mengajak manusia
menuju kebaikan dan menjauhkan mereka dari kemungkaran. Sebagaimana ditegaskan
dalam QS an-Nahl (16) ayat 125, dakwah harus dilakukan dengan hikmah, nasihat yang baik, dan dialog yang santun. Fase-fase dakwah Rasulullah saw., baik
secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, memberikan pelajaran strategis
tentang pentingnya memahami kondisi masyarakat dan menerapkan metode yang tepat1.
Hadits Nabi saw.
yang menyebutkan bahwa orang yang menunjukkan kebaikan akan mendapatkan pahala
yang sama dengan pelakunya (HR Muslim, no. 1893) menunjukkan bahwa dakwah
memiliki nilai akhirat yang besar2.
Oleh karena itu, dakwah tidak hanya menjadi kewajiban, tetapi juga jalan untuk
meraih keberkahan dan pahala yang terus mengalir. Perspektif ulama klasik
seperti al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah menegaskan pentingnya integritas da’i,
pendekatan yang lembut, dan penguasaan ilmu34.
Di era modern,
dakwah menghadapi tantangan baru seperti globalisasi, digitalisasi, dan
Islamofobia. Namun, dengan memanfaatkan teknologi informasi dan pendekatan yang
relevan, dakwah dapat disampaikan secara lebih efektif tanpa meninggalkan
prinsip-prinsip syariat5.
8.2.
Rekomendasi
8.2.1.
Peningkatan
Kompetensi Da’i
Para da’i harus
dibekali dengan pemahaman yang mendalam tentang ilmu agama dan isu-isu
kontemporer. Pelatihan dalam bidang teknologi, komunikasi, dan budaya menjadi
kebutuhan penting agar dakwah dapat menjangkau audiens yang lebih luas. Seperti
yang ditegaskan oleh Yusuf al-Qaradawi, seorang da’i harus memiliki ilmu yang
luas, akhlak yang baik, dan kemampuan beradaptasi dengan kondisi masyarakat6.
8.2.2.
Pemanfaatan
Teknologi Digital untuk Dakwah
Media sosial,
aplikasi Islami, dan platform digital lainnya harus dimanfaatkan secara maksimal
untuk menyampaikan pesan Islam. Konten dakwah yang menarik, berbasis bukti, dan
sesuai dengan etika Islam dapat menjangkau generasi muda yang semakin terhubung
dengan dunia digital7.
8.2.3.
Dakwah
Multikultural dan Kontekstual
Pendekatan dakwah
harus disesuaikan dengan latar belakang budaya dan kebutuhan masyarakat.
Sebagai contoh, dakwah di wilayah urban mungkin membutuhkan pendekatan yang
berbeda dibandingkan dengan wilayah pedesaan. Hal ini penting untuk memastikan
pesan dakwah dapat diterima dengan baik tanpa menghilangkan esensi ajaran Islam8.
8.2.4.
Kolaborasi
dan Penelitian Dakwah
Dakwah tidak hanya
menjadi tanggung jawab individu, tetapi juga lembaga keagamaan dan akademik.
Kolaborasi antara ulama, akademisi, dan profesional di berbagai bidang dapat
menghasilkan strategi dakwah yang lebih komprehensif. Penelitian tentang metode
dan tantangan dakwah juga perlu terus dilakukan untuk menghadapi dinamika
masyarakat9.
8.2.5.
Menjaga
Etika dalam Berdakwah
Seorang da’i harus
menjaga akhlak dan etika dalam menyampaikan dakwah. Pendekatan yang kasar atau
menyerang dapat menimbulkan resistensi dan membahayakan citra Islam.
Sebagaimana disampaikan oleh Rasulullah saw., dakwah harus dilakukan dengan
kelembutan, sebagaimana beliau bersabda: “Sesungguhnya kelembutan tidak ada pada sesuatu
kecuali akan menghiasinya, dan tidak dicabut dari sesuatu kecuali akan
mencorengnya.” (HR Muslim, no. 2594)10.
Footnotes
[1]
Al-Qur’an, QS an-Nahl (16): 125. Lihat juga: Ibnu Katsir, Tafsir
al-Qur’an al-‘Azhim, Juz 4, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003.
[2]
Muslim bin Hajjaj al-Naysaburi, Shahih Muslim, Kitab
al-Imarah, no. 1893.
[3]
Al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din, Juz 2, Beirut: Dar al-Ma‘rifah,
1980.
[4]
Ibnu Taimiyah, Majmu‘ al-Fatawa, Juz 28, Madinah: Maktabah
al-Malik Fahd, 1997.
[5]
Ahmad, Syed. "Digitalization of Dakwah: Opportunities and
Challenges," International Journal of Islamic Thought, Vol. 10
(2021), hlm. 89-95.
[6]
Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Da‘wah ila Allah, Doha: Markaz
Buhuts al-Islamiyah, 2011, hlm. 41-43.
[7]
Ali, Muhammad. "Islamic Education as a Tool for Dakwah," Islamic
Studies Journal, Vol. 20, No. 3 (2020), hlm. 45-60.
[8]
Hasan al-Banna, Risalah al-Da‘wah wa al-Du‘at, Kairo: Dar
al-Turath al-Islami, 1989, hlm. 63-65.
[9]
Karim, Hasan. "Contemporary Challenges of Islamic Preaching,"
Journal of Islamic Studies, Vol. 25, No. 2 (2019), hlm. 15-27.
[10]
Muslim bin Hajjaj al-Naysaburi, Shahih Muslim, Kitab al-Birr
wa al-Shilah, no. 2594.
Daftar Pustaka
Al-Banna, H. (1989). Risalah al-Da‘wah wa
al-Du‘at. Kairo: Dar al-Turath al-Islami.
Al-Baghawi, M. H. (1987). Ma‘alim at-Tanzil.
Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Al-Ghazali, A. H. (1980). Ihya ‘Ulum al-Din
(Juz 2). Beirut: Dar al-Ma‘rifah.
Al-Mubarakfuri, M. S. (1996). Ar-Raheeq
al-Makhtum. Riyadh: Darus Salam.
Ali, M. (2020). Islamic Education as a Tool for
Dakwah. Islamic Studies Journal, 20(3), 45-60.
Ath-Thabari, M. J. (2001). Jami‘ al-Bayan fi
Tafsir al-Qur’an (Juz 17). Kairo: Dar al-Ma‘arif.
Hasan, K. (2019). Contemporary Challenges of
Islamic Preaching. Journal of Islamic Studies, 25(2), 15-27.
Ibnu Hisham, M. (1998). Sirah Nabawiyah (Juz
1). Kairo: Dar al-Fikr.
Ibnu Katsir, I. (2003). Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim
(Juz 4). Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Ibnu Manzur, M. I. (1994). Lisan al-‘Arab
(Juz 3). Beirut: Dar Sadir.
Ibnu Sa‘ad, M. (1990). Tabaqat al-Kubra (Juz
1). Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Ibnu Taimiyah, A. (1997). Majmu‘ al-Fatawa
(Juz 28). Madinah: Maktabah al-Malik Fahd.
Muslim, M. H. (2003). Shahih Muslim (Kitab
al-Imarah). Beirut: Dar al-Ma‘rifah.
Syed, A. (2021). Digitalization of Dakwah:
Opportunities and Challenges. International Journal of Islamic Thought, 10,
89-95.
Yusuf al-Qaradawi, Y. (2011). Fiqh al-Da‘wah ila
Allah. Doha: Markaz Buhuts al-Islamiyah.
Lampiran 1: Keterkaitan Ayat dan Hadits
Dakwah merupakan
aktivitas utama yang diperintahkan dalam Islam, baik melalui ayat-ayat
Al-Qur’an maupun hadits-hadits Rasulullah saw. Perintah ini tidak hanya
menekankan pentingnya dakwah sebagai kewajiban, tetapi juga memberikan panduan
tentang metode dan prinsip dakwah yang efektif.
1.
Perintah Dakwah dalam Al-Qur’an
QS an-Nahl (16) ayat
125 menyatakan:
“Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah, pelajaran yang baik, dan
bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang
lebih mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.”[1]
Ayat ini memberikan
tiga pedoman utama dalam berdakwah: menggunakan hikmah, memberikan pelajaran
yang baik, dan berdialog dengan cara yang santun. Hikmah mencakup kebijaksanaan
dalam memilih waktu, cara, dan konteks dakwah. Pelajaran yang baik merujuk pada
nasihat yang menyentuh hati dan sesuai dengan kondisi psikologis audiens.
Sementara itu, dialog yang santun adalah cara menyampaikan kebenaran tanpa
kekerasan atau penghinaan.
2.
Penguatan dalam Hadits Nabi
Hadits Nabi saw.
yang diriwayatkan oleh Muslim berbunyi:
“Barangsiapa
yang menunjukkan kepada kebaikan, maka dia akan mendapatkan pahala seperti
pahala orang yang melakukannya.”[2]
Hadits ini
memperkuat perintah dakwah dalam Al-Qur’an dengan memberikan motivasi kepada
umat Islam untuk menyampaikan kebaikan. Rasulullah saw. menegaskan bahwa pahala
dakwah tidak hanya berhenti pada orang yang melakukan kebaikan, tetapi juga
mengalir kepada orang yang menjadi penyebab terjadinya kebaikan tersebut. Hal
ini menjadikan dakwah sebagai salah satu amal jariyah yang pahalanya terus
mengalir.
3.
Keterkaitan Antara Ayat dan Hadits
Keterkaitan QS
an-Nahl (16) ayat 125 dengan hadits di atas terletak pada esensi dakwah sebagai
jalan menuju kebaikan universal. Ayat tersebut memberikan panduan metodologi
dakwah yang santun dan bijaksana, sedangkan hadits memberikan motivasi berupa
pahala yang besar bagi siapa pun yang terlibat dalam aktivitas dakwah. Kedua
sumber ini menunjukkan bahwa dakwah tidak hanya merupakan kewajiban, tetapi
juga sebuah peluang besar untuk mendekatkan diri kepada Allah dan memberikan
manfaat kepada sesama manusia.
Keterkaitan lain
terlihat dalam perintah QS asy-Syu’ara’ (26) ayat 214-216, yang memerintahkan
Rasulullah saw. untuk memulai dakwah dari kerabat terdekat. Hadits Nabi,
seperti sabdanya: “Sampaikanlah dariku walau satu ayat”
(HR Bukhari), mempertegas pentingnya menyampaikan pesan Islam, bahkan dalam
lingkup kecil sekalipun[3].
Ayat dan hadits ini menekankan bahwa dakwah dimulai dari komunitas terdekat
sebelum meluas ke khalayak yang lebih besar.
4.
Relevansi Ayat dan Hadits untuk Dakwah Masa
Kini
Kombinasi perintah
dalam ayat dan motivasi dari hadits menjadi dasar bagi dakwah kontemporer.
Dalam konteks modern, hikmah dapat diterjemahkan sebagai penggunaan teknologi
informasi dan media sosial untuk menjangkau audiens yang lebih luas. Pelajaran
yang baik dan dialog yang santun menjadi landasan etika dalam menyampaikan
pesan Islam, terutama di tengah tantangan global seperti Islamofobia dan
sekularisme. Dakwah tidak hanya menjadi tanggung jawab individu, tetapi juga
komunitas, dengan mengikuti prinsip-prinsip yang telah digariskan oleh
Al-Qur’an dan hadits.
Lampiran 2: Takhrij Hadits
Takhrij Hadits yang Dimuat dalam Artikel
1.
Hadits Pertama:
Teks Hadits:
“Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan,
maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang melakukannya.”
Sumber Hadits:
Shahih Muslim, Kitab al-Imarah, Bab
Fadhilah Dalalah ‘ala al-Khair wa al-Ta‘awun ‘ala al-Birr wa al-Taqwa, No.
1893.
Matn Hadits:
"مَنْ دَلَّ
عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ."
Sanad Hadits:
Dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi
Muhammad saw., beliau bersabda demikian.
Status Hadits:
Shahih, diriwayatkan oleh Imam Muslim
dalam Shahih
Muslim tanpa pertentangan sanad dan matan di kalangan ahli hadits.
Konteks Hadits:
Hadits ini memotivasi umat Islam untuk
aktif dalam menyampaikan kebaikan, baik melalui ucapan, perbuatan, maupun
teladan. Hal ini sesuai dengan tujuan dakwah dalam Islam, yakni menuntun
manusia kepada kebenaran.
2.
Hadits Kedua:
Teks Hadits:
“Sampaikanlah dariku walau satu ayat. Dan
berbicaralah tentang Bani Israil tanpa merasa bersalah. Namun, barang siapa yang
berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia menyiapkan tempat
duduknya di neraka.”
Sumber Hadits:
Shahih Bukhari, Kitab al-‘Ilm, Bab
Balighu ‘anni walau Ayah, No. 3461.
Matn Hadits:
"بَلِّغُوا
عَنِّي وَلَوْ آيَةً، وَحَدِّثُوا عَنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلَا حَرَجَ، وَمَنْ
كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ."
Sanad Hadits:
Dari Abdullah bin Amr bin al-‘Ash r.a.,
dari Nabi Muhammad saw., beliau bersabda demikian.
Status Hadits:
Shahih, diriwayatkan oleh Imam Bukhari
dalam Shahih
al-Bukhari. Tidak ada kelemahan dalam sanad dan matannya diterima
oleh mayoritas ulama hadits.
Konteks Hadits:
Hadits ini menegaskan bahwa setiap
Muslim memiliki kewajiban untuk menyampaikan ajaran Islam sesuai dengan
kapasitas dan pemahamannya. Pesan ini sejalan dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang
mendorong umat Islam untuk berdakwah dengan cara yang bijaksana dan penuh
hikmah.
3.
Hadits Ketiga:
Teks Hadits:
“Sesungguhnya kelembutan tidak ada pada sesuatu
kecuali akan menghiasinya, dan tidak dicabut dari sesuatu kecuali akan
mencorengnya.”
Sumber Hadits:
Shahih Muslim, Kitab al-Birr wa
al-Shilah, Bab Fadhilah al-Rifq, No. 2594.
Matn Hadits:
إِنَّ الرِّفْقَ لَا
يَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلَّا زَانَهُ وَلَا يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا شَانَهُ
Sanad Hadits:
Dari Aisyah r.a., dari Nabi Muhammad
saw., beliau bersabda demikian.
Status Hadits:
Shahih, diriwayatkan oleh Imam Muslim
dalam Shahih
Muslim. Tidak ada cacat dalam sanadnya dan diterima sebagai dalil
oleh jumhur ulama.
Konteks Hadits:
Hadits ini mengajarkan bahwa kelembutan
adalah elemen penting dalam berdakwah. Dalam konteks dakwah kontemporer,
prinsip ini relevan untuk menjaga etika dalam menyampaikan pesan Islam,
terutama dalam menghadapi audiens yang memiliki perbedaan pandangan.
Kesimpulan Takhrij
Ketiga hadits
yang dimuat dalam artikel memiliki status shahih dan telah dicatat dalam
kitab-kitab utama hadits, yakni Shahih Bukhari dan Shahih
Muslim. Kesahihan sanad dan matan menunjukkan bahwa hadits-hadits
ini dapat dijadikan landasan yang kuat dalam pembahasan dakwah, baik secara
konseptual maupun praktikal.
[1]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta:
Penerbit Al-Qur'an al-Karim, 2002), QS an-Nahl (16) ayat 125.
[2]
Muslim bin Hajjaj al-Naysaburi, Shahih Muslim (Beirut: Dar
al-Ma‘rifah, 2003), Kitab al-Imarah, no. 1893.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar