Senin, 06 Januari 2025

Bahan Ajar Qurdis Kelas 12 Bab 5: Dakwah dalam Perspektif Al-Qur'an dan Hadits

Dakwah dalam Perspektif Al-Qur'an dan Hadits 


Nama Satuan       : Madrasah Aliyah Plus Al-Aqsha

Mata Pelajaran     : Al-Qur’an Hadits

Kelas                   : 12 (Dua belas)


Abstrak

Dakwah merupakan salah satu kewajiban utama dalam Islam yang bertujuan mengajak manusia kepada kebaikan dan menjauhkan mereka dari kemungkaran. Artikel ini mengkaji konsep dakwah dalam perspektif Al-Qur'an dan Hadits, dengan analisis mendalam terhadap QS an-Nahl (16) ayat 125, QS asy-Syu'ara' (26) ayat 214-216, QS al-Hijr (15) ayat 94-96, serta hadits Nabi yang menyebutkan pahala bagi mereka yang menunjukkan kebaikan. Pendekatan yang digunakan meliputi tafsir klasik, seperti karya Ibnu Katsir dan al-Qurtubi, serta pandangan ulama seperti al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah, yang relevan dengan dakwah modern. Kajian ini juga mencakup tantangan dakwah kontemporer, seperti sekularisme, Islamofobia, dan pemanfaatan teknologi informasi untuk menyampaikan pesan Islam secara lebih luas. Artikel ini menyimpulkan bahwa dakwah harus dilakukan dengan hikmah, nasihat yang baik, dan dialog yang santun, sebagaimana dicontohkan Rasulullah saw., serta mengintegrasikan metode klasik dan kontemporer untuk efektivitas yang optimal.

Kata Kunci: Dakwah, Al-Qur'an, Hadits, Hikmah, Tafsir Klasik, Teknologi Informasi, Tantangan Kontemporer.


PEMBAHASAN

Dakwah dalam Perspektif Al-Qur'an dan Hadits


1.           Pendahuluan

Dakwah merupakan salah satu aktivitas utama dalam Islam yang bertujuan menyampaikan ajaran agama kepada individu maupun masyarakat agar memahami, mengamalkan, dan menyebarkan nilai-nilai kebaikan. Kata dakwah berasal dari bahasa Arab (da‘ā-yad‘ū), yang berarti "mengajak" atau "menyeru". Dalam terminologi Islam, dakwah adalah proses menyeru manusia kepada jalan Allah berdasarkan petunjuk Al-Qur'an dan Hadits. Aktivitas ini tidak hanya menjadi tugas para nabi, tetapi juga kewajiban setiap Muslim sesuai dengan kapasitasnya. Firman Allah dalam QS Ali Imran (3) ayat 104 menyebutkan: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.”1

Sejarah dakwah Islam dimulai sejak masa Nabi Muhammad saw., yang menerima wahyu pertama di Gua Hira. Rasulullah memulai dakwahnya secara sembunyi-sembunyi, sesuai perintah Allah dalam QS asy-Syu'ara (26) ayat 214-216. Fase ini berfungsi untuk menguatkan keimanan pengikut awal Islam sebelum memasuki dakwah secara terang-terangan sebagaimana diperintahkan dalam QS al-Hijr (15) ayat 94: “Maka sampaikanlah secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.”2 Strategi dakwah Nabi menunjukkan fleksibilitas metode dalam menyampaikan ajaran Islam, mulai dari pendekatan personal hingga publik, yang menjadi contoh bagi umat Islam sepanjang zaman.

Dakwah memiliki dimensi penting dalam kehidupan umat Islam. Aktivitas ini tidak hanya berorientasi pada ibadah, tetapi juga berperan dalam pembentukan masyarakat yang berakhlak mulia. Sebagai contoh, dakwah Rasulullah di Madinah berfungsi untuk mempererat persaudaraan antara kaum Anshar dan Muhajirin, sehingga tercipta masyarakat yang damai dan harmonis3. Dalam konteks modern, dakwah juga memainkan peran strategis dalam menjawab tantangan sosial, seperti degradasi moral, sekularisme, dan hedonisme. Oleh karena itu, memahami konsep dakwah dalam perspektif Al-Qur’an dan Hadits menjadi sangat penting agar umat Islam dapat melaksanakan dakwah dengan cara yang sesuai dengan tuntunan syariat.

Artikel ini bertujuan untuk mengkaji konsep dakwah berdasarkan kajian komprehensif terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, hadits, serta pandangan ulama klasik dan kontemporer. Pembahasan meliputi kewajiban berdakwah, metode dakwah secara sembunyi-sembunyi dan terang-terangan, serta motivasi dakwah sebagaimana dijelaskan dalam hadits. Dengan demikian, pembaca diharapkan dapat memahami esensi dakwah secara mendalam dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari sesuai konteks zaman.


Footnotes

[1]                Al-Qur’an, QS Ali Imran (3): 104. Lihat juga: Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Juz 2, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003.

[2]                Al-Qur’an, QS al-Hijr (15): 94. Referensi penjelasan ayat: al-Qurtubi, al-Jami‘ li Ahkam al-Qur’an, Juz 10, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006.

[3]                Ibnu Hisham, Sirah Nabawiyah, ed. Mustafa as-Saqqa, Juz 2, Kairo: Dar al-Fikr, 1998.


2.           Konsep Dakwah dalam Islam

2.1.       Definisi Dakwah

Secara bahasa, dakwah berasal dari akar kata Arab da‘ā-yad‘ū, yang berarti "memanggil", "mengundang", atau "mengajak". Dalam konteks syariat, dakwah didefinisikan sebagai aktivitas menyeru manusia kepada Allah dengan hikmah, pelajaran yang baik, dan dialog yang santun1. Para ulama memberikan pengertian yang beragam sesuai fokus pembahasannya. Imam al-Ghazali, misalnya, menyatakan bahwa dakwah adalah proses menuntun manusia menuju kebenaran berdasarkan ajaran Islam2. Sementara itu, dalam konteks modern, dakwah sering dimaknai sebagai penyebaran nilai-nilai Islam untuk memperbaiki kondisi individu dan masyarakat3.

Dakwah memiliki cakupan luas, mencakup aspek aqidah, ibadah, akhlak, hingga hubungan sosial. Aktivitas ini bertujuan membawa manusia kepada kebenaran dan menghindarkan mereka dari kesesatan, sebagaimana ditegaskan dalam QS an-Nahl (16) ayat 125: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.”4

2.2.       Landasan Syariat Dakwah

Dakwah bukanlah aktivitas opsional, melainkan kewajiban yang memiliki landasan kuat dalam syariat Islam. Dasar utama dakwah adalah Al-Qur'an dan Hadits. Di dalam Al-Qur'an, Allah Swt memerintahkan umat Islam untuk menyeru kepada kebajikan dan mencegah kemungkaran, sebagaimana disebutkan dalam QS Ali Imran (3) ayat 104: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.”5

Selain itu, dalam Hadits, Rasulullah saw. bersabda: “Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat.” (HR Bukhari)6. Hadits ini menunjukkan bahwa dakwah adalah tanggung jawab setiap Muslim, sesuai dengan kemampuan dan pemahamannya.

2.3.       Urgensi Dakwah dalam Islam

Dakwah memiliki peran strategis dalam menjaga kemurnian agama dan memperbaiki kondisi umat. Dalam sejarah Islam, dakwah menjadi pondasi utama dalam penyebaran agama Islam ke berbagai belahan dunia. Aktivitas dakwah Nabi Muhammad saw. di Makkah dan Madinah menjadi contoh teladan yang tak lekang oleh zaman. Dakwah beliau di Makkah, misalnya, mengajarkan pentingnya keteguhan iman dalam menghadapi penolakan dan tantangan7. Sedangkan dakwah di Madinah menekankan pembentukan masyarakat Islami yang harmonis8.

Pada era modern, dakwah memiliki peran penting dalam menghadapi tantangan global, seperti sekularisme, materialisme, dan hedonisme. Dakwah dapat menjadi sarana untuk memperbaiki moral individu, menanamkan nilai-nilai keislaman, dan menciptakan harmoni di tengah keberagaman. Oleh karena itu, dakwah harus dilaksanakan dengan metode yang sesuai dengan perkembangan zaman tanpa meninggalkan prinsip-prinsip syariat.


Footnotes

[1]                Ibnu Manzur, Lisan al-‘Arab, Juz 8, Beirut: Dar Sadir, 1994.

[2]                Al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din, Juz 2, Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1980.

[3]                Muhammad al-Buthi, Fiqh al-Da‘wah ila Allah, Beirut: Dar al-Fikr, 1997, hlm. 21.

[4]                Al-Qur’an, QS an-Nahl (16): 125. Penjelasan tafsir: Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Juz 4, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003.

[5]                Al-Qur’an, QS Ali Imran (3): 104. Referensi tambahan: al-Qurtubi, al-Jami‘ li Ahkam al-Qur’an, Juz 3, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006.

[6]                Hadits riwayat Bukhari, Kitab al-‘Ilm, no. 3461.

[7]                Ibnu Hisham, Sirah Nabawiyah, Juz 1, Kairo: Dar al-Fikr, 1998.

[8]                Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Beirut: Dar al-Fikr, 1988, hlm. 212.


3.           Analisis QS an-Nahl (16) Ayat 125 tentang Kewajiban Berdakwah

3.1.       Teks dan Terjemah Ayat

QS an-Nahl (16) ayat 125 berbunyi:

ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah, pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.”1

Ayat ini memberikan pedoman penting tentang metode dakwah yang efektif dan penuh kebijaksanaan. Allah Swt menegaskan tiga metode utama dalam berdakwah, yaitu hikmah, mau‘izhah hasanah (pelajaran yang baik), dan mujadalah bil-lati hiya ahsan (debat dengan cara yang baik). Ketiga metode ini menjadi dasar strategi dakwah Islam sepanjang zaman.

3.2.       Tafsir Ayat

3.2.1.    Hikmah dalam Dakwah

Istilah hikmah dalam ayat ini merujuk pada kebijaksanaan dalam memilih waktu, tempat, dan cara penyampaian dakwah2. Menurut Ibnu Katsir, hikmah adalah kemampuan menyampaikan dakwah sesuai tingkat pemahaman dan kondisi mad‘u (objek dakwah)3. Sementara itu, al-Qurtubi menambahkan bahwa hikmah mencakup ilmu, akhlak, dan kelembutan dalam berdakwah4. Dalam konteks modern, hikmah dapat diterjemahkan sebagai pendekatan yang relevan dengan situasi sosial, budaya, dan teknologi yang ada.

3.2.2.    Mau‘izhah Hasanah

Mau‘izhah hasanah berarti pelajaran atau nasihat yang baik dan menyentuh hati. Penjelasan ini diberikan oleh Imam al-Baghawi dalam tafsirnya, di mana ia menyatakan bahwa mau‘izhah adalah ajakan yang penuh kasih sayang, menghindari kekerasan, dan menekankan pada kelembutan5. Dakwah dengan mau‘izhah hasanah lebih efektif dalam menarik hati manusia, terutama yang sedang mencari kebenaran.

3.2.3.    Mujadalah bil-Lati Hiya Ahsan

Mujadalah atau debat dengan cara yang baik merupakan metode dakwah yang digunakan ketika berhadapan dengan perbedaan pandangan atau argumen. Penjelasan ath-Thabari menyebutkan bahwa debat dalam Islam harus dilakukan dengan santun, tanpa menyerang atau merendahkan pihak lain6. Rasulullah saw. memberikan contoh terbaik dalam menghadapi kaum musyrik Quraisy dan ahli kitab melalui dialog yang santun dan logis, seperti tercatat dalam sejarah dakwah beliau.

3.3.       Implikasi Ayat dalam Dakwah Kontemporer

Ayat ini relevan untuk diaplikasikan dalam dakwah era modern. Hikmah dapat diwujudkan melalui dakwah berbasis teknologi seperti media sosial, podcast, atau webinar yang menarik perhatian generasi muda. Mau‘izhah hasanah dapat diterapkan dengan menyampaikan konten dakwah yang inspiratif, seperti kisah para nabi atau solusi praktis terhadap masalah kehidupan sehari-hari. Sementara itu, mujadalah bil-lati hiya ahsan sangat diperlukan dalam menjawab isu-isu kontroversial, seperti Islamofobia, dengan pendekatan dialogis yang intelektual dan beradab.

Selain itu, ayat ini menegaskan pentingnya mengenali kondisi audiens dakwah. Dakwah yang tidak mempertimbangkan psikologi dan budaya masyarakat dapat menimbulkan resistensi7. Oleh karena itu, dakwah yang berlandaskan QS an-Nahl [16] ayat 125 adalah dakwah yang fleksibel, kontekstual, dan tetap berada dalam bingkai syariat.


Footnotes

[1]                Al-Qur’an, QS an-Nahl (16) ayat 125. Lihat juga: Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Penerbit Al-Qur'an al-Karim, 2002.

[2]                Ibnu Manzur, Lisan al-‘Arab, Juz 12, Beirut: Dar Sadir, 1994, hlm. 155.

[3]                Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Juz 4, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003.

[4]                Al-Qurtubi, al-Jami‘ li Ahkam al-Qur’an, Juz 10, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006.

[5]                Al-Baghawi, Ma‘alim at-Tanzil, Juz 3, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1987.

[6]                Ath-Thabari, Jami‘ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, Juz 14, Kairo: Dar al-Ma‘arif, 2001.

[7]                Syed Naquib al-Attas, Islam and Secularism, Kuala Lumpur: ISTAC, 1993, hlm. 63-64.


4.           Dakwah secara Sembunyi-Sembunyi dalam QS asy-Syu'ara’ (26) Ayat 214-216

4.1.       Teks dan Terjemah Ayat

QS asy-Syu'ara’ (26) ayat 214-216 berbunyi:

وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ (214) وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ (215) فَإِنْ عَصَوْكَ فَقُلْ إِنِّي بَرِيءٌ مِمَّا تَعْمَلُونَ (216)

Artinya:“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat, () dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman. Jika mereka mendurhakaimu maka katakanlah: "Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu kerjakan";1

Ayat-ayat ini turun pada periode awal dakwah Rasulullah saw., ketika beliau diperintahkan untuk menyampaikan risalah Islam secara personal kepada keluarga dan kerabat dekatnya. Dakwah pada tahap ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi untuk membangun landasan yang kuat bagi penyebaran Islam selanjutnya.

4.2.       Tafsir Ayat

4.2.1.    Dakwah kepada Kerabat Terdekat (Ayat 214)

Ayat ini memerintahkan Rasulullah saw. untuk memulai dakwahnya dari lingkup keluarga dan kerabat terdekat. Dalam tafsir Ibnu Katsir, ayat ini dijelaskan sebagai perintah untuk menyampaikan risalah Islam secara eksklusif kepada orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan dengan Nabi Muhammad saw.2. Hal ini sesuai dengan prinsip dakwah yang menekankan pentingnya dimulai dari lingkaran terdekat sebelum meluas ke masyarakat umum. Rasulullah melaksanakan perintah ini dengan mengumpulkan keluarga Bani Hasyim dan Bani Muthalib di rumah Abu Thalib untuk menyampaikan ajakan kepada Islam3.

4.2.2.    Merendahkan Diri kepada Pengikut yang Beriman (Ayat 215)

Ayat ini memuat perintah kepada Rasulullah saw. untuk bersikap rendah hati terhadap orang-orang yang menerima dakwahnya. Menurut al-Qurtubi, hal ini menunjukkan bahwa seorang da’i harus memperlakukan pengikutnya dengan kasih sayang, kelembutan, dan menghargai keyakinan mereka4. Sikap ini penting untuk menjaga loyalitas dan semangat para pengikut awal Islam, yang pada masa itu menghadapi banyak tekanan dan ancaman dari kaum musyrikin.

4.2.3.    Berlepas Diri dari Kemaksiatan (Ayat 216)

Ayat ini memberikan pedoman bagi seorang da’i untuk tetap tegas dalam menghadapi penolakan. Ath-Thabari menjelaskan bahwa jika kerabat atau siapa pun yang diajak berdakwah menolak dan tetap melakukan perbuatan dosa, seorang da’i harus menyatakan sikapnya dengan jelas, bahwa ia tidak bertanggung jawab atas perbuatan mereka5. Sikap ini menunjukkan konsistensi da’i dalam menjaga prinsip Islam tanpa terpengaruh oleh tekanan sosial atau keluarga.

4.3.       Pelajaran dari Fase Dakwah Sembunyi-Sembunyi

4.3.1.    Dimulai dari yang Terdekat

Dakwah Rasulullah saw. pada fase sembunyi-sembunyi memberikan pelajaran penting tentang strategi penyebaran Islam. Sebagai langkah awal, fokus pada keluarga dan sahabat dekat bertujuan untuk membangun basis pendukung yang solid6. Contohnya adalah Abu Bakar ash-Shiddiq, yang kemudian menjadi salah satu pilar utama dakwah Rasulullah dengan mengajak tokoh-tokoh penting seperti Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, dan Zubair bin Awwam7.

4.3.2.    Kesabaran dan Keteguhan Hati

Dakwah secara sembunyi-sembunyi juga menunjukkan pentingnya kesabaran dalam menghadapi tantangan. Rasulullah saw. terus berusaha menyampaikan risalah Islam dengan bijaksana, meskipun banyak yang menolak, termasuk sebagian kerabat dekatnya seperti Abu Lahab8. Kesabaran ini menjadi teladan bagi para da’i dalam menghadapi resistensi dari lingkungan sekitar.

4.3.3.    Kelembutan dan Ketegasan

Sikap lembut terhadap pengikut dan tegas terhadap penolakan menjadi ciri khas dakwah Rasulullah. Dua sikap ini menciptakan keseimbangan dalam dakwah sehingga memberikan dampak positif, baik dalam menguatkan pengikut maupun menjaga prinsip Islam di tengah tantangan yang ada.

4.4.       Relevansi untuk Dakwah Masa Kini

Fase dakwah sembunyi-sembunyi memberikan pelajaran berharga bagi dakwah kontemporer. Di era modern, dakwah juga sering dimulai dari lingkup keluarga, komunitas kecil, atau kelompok tertentu sebelum menjangkau audiens yang lebih luas. Misalnya, penggunaan grup diskusi online atau komunitas kecil untuk memulai pembahasan agama secara mendalam adalah bentuk modern dari dakwah personal9.


Footnotes

[1]                Al-Qur’an, QS asy-Syu’ara’ (26): 214-216. Lihat juga: Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Penerbit Al-Qur'an al-Karim, 2002.

[2]                Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Juz 5, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003.

[3]                Ibnu Hisham, Sirah Nabawiyah, ed. Mustafa as-Saqqa, Juz 1, Kairo: Dar al-Fikr, 1998.

[4]                Al-Qurtubi, al-Jami‘ li Ahkam al-Qur’an, Juz 13, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006.

[5]                Ath-Thabari, Jami‘ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, Juz 19, Kairo: Dar al-Ma‘arif, 2001.

[6]                Al-Buthi, Fiqh al-Sirah an-Nabawiyah, Beirut: Dar al-Fikr, 2004, hlm. 41.

[7]                Muhammad Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Ar-Raheeq al-Makhtum, Riyadh: Maktabah Darus Salam, 1996.

[8]                Ibnu Sa‘ad, Tabaqat al-Kubra, Juz 1, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990.

[9]                Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Da‘wah ila Allah, Doha: Markaz Buhuts al-Islamiyah, 2011, hlm. 23-25.


5.           Dakwah secara Terang-Terangan dalam QS al-Hijr (15) Ayat 94-96

5.1.       Teks dan Terjemah Ayat

QS al-Hijr (15) ayat 94-96 berbunyi:

فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ (94)  إِنَّا كَفَيْنَاكَ الْمُسْتَهْزِئِينَ (95) الَّذِينَ يَجْعَلُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَٰهًا آخَرَ ۚ فَسَوْفَ يَعْلَمُونَ (96)

Artinya: “Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik. (94) Sesungguhnya Kami memelihara kamu daripada (kejahatan) orang-orang yang memperolok-olokkan (kamu), (95) (Yaitu) orang-orang yang menganggap adanya tuhan yang lain di samping Allah; maka mereka kelak akan mengetahui (akibat-akibatnya). (96)”1

Ayat-ayat ini turun sebagai perintah Allah kepada Rasulullah saw. untuk memulai dakwah secara terbuka, setelah sebelumnya menjalankan dakwah secara sembunyi-sembunyi. Ini adalah momen penting dalam perjalanan dakwah Nabi, karena menjadi awal dari konfrontasi langsung dengan kaum Quraisy yang selama ini menolak ajaran Islam.

5.2.       Tafsir Ayat

5.2.1.    Perintah untuk Dakwah secara Terang-Terangan (Ayat 94)

Kata faṣda‘ berasal dari akar kata ṣad‘, yang berarti memecah sesuatu hingga terlihat jelas2. Dalam konteks ayat ini, faṣda‘ bimā tu’maru berarti menyampaikan perintah Allah secara tegas dan tanpa ragu. Menurut tafsir Ibnu Katsir, ayat ini adalah perintah kepada Nabi Muhammad saw. untuk menyatakan ajaran Islam secara terang-terangan kepada masyarakat Makkah, meskipun akan menghadapi perlawanan3.

Al-Qurtubi menambahkan bahwa dakwah terang-terangan adalah tahapan penting dalam penyebaran Islam, karena bertujuan untuk menantang tradisi jahiliyah yang sudah mendarah daging di kalangan masyarakat Arab4. Dakwah ini melibatkan deklarasi publik tentang keesaan Allah (tauhid) dan penolakan terhadap kemusyrikan.

5.2.2.    Perlindungan Allah terhadap Rasulullah (Ayat 95)

Ayat ini memberikan jaminan kepada Rasulullah saw. bahwa Allah akan melindungi beliau dari musuh-musuh yang memperolok atau mencemooh dakwahnya. Ath-Thabari menjelaskan bahwa janji perlindungan ini menjadi penguat bagi Nabi untuk tetap tegar menghadapi tekanan dan intimidasi dari kaum Quraisy5. Dalam sejarah, perlindungan ini terlihat dari berbagai peristiwa, seperti keberanian Rasulullah menghadapi ejekan Abu Lahab dan kawan-kawannya yang gagal menggoyahkan keimanan beliau6.

5.2.3.    Ancaman kepada Orang-Orang Musyrik (Ayat 96)

Ayat ini mengingatkan bahwa orang-orang musyrik yang mempersekutukan Allah akan menghadapi konsekuensi dari perbuatan mereka. Menurut al-Baghawi, ancaman ini menunjukkan bahwa kezaliman dan kesombongan mereka tidak akan bertahan lama, dan kebenaran Islam pada akhirnya akan menang7.

5.3.       Pelajaran dari Fase Dakwah Terang-Terangan

5.3.1.    Ketegasan dalam Menyampaikan Kebenaran

Fase dakwah terang-terangan mengajarkan pentingnya keberanian dan ketegasan dalam menyampaikan ajaran Islam. Rasulullah saw. menunjukkan teladan ini dengan menyampaikan ajaran Islam di tempat-tempat umum seperti pasar Ukaz dan sekitar Ka’bah, meskipun menghadapi perlawanan sengit8.

5.3.2.    Kesabaran dalam Menghadapi Penolakan

Meskipun menghadapi ejekan, ancaman, dan bahkan kekerasan fisik, Rasulullah saw. tetap sabar dan istiqamah. Beliau memahami bahwa dakwah adalah proses panjang yang membutuhkan keteguhan hati dan perlindungan dari Allah9.

5.3.3.    Pentingnya Kepercayaan kepada Allah

Janji Allah dalam ayat 95 menjadi pengingat bahwa seorang da’i harus memiliki keyakinan penuh kepada Allah sebagai pelindung. Dalam konteks dakwah kontemporer, keyakinan ini penting untuk menghadapi tantangan seperti stigma sosial atau Islamofobia.

5.4.       Relevansi untuk Dakwah Masa Kini

Dakwah secara terang-terangan dapat diterapkan dalam konteks modern melalui berbagai platform publik, seperti media sosial, seminar, dan aksi sosial. Namun, seperti yang dicontohkan Rasulullah saw., dakwah harus tetap berpegang pada prinsip hikmah dan kelembutan. Tantangan berupa kritik atau ejekan tidak boleh menyurutkan semangat seorang da’i. Sebaliknya, tantangan tersebut harus menjadi motivasi untuk terus menyampaikan kebenaran Islam secara luas dan penuh percaya diri10.


Footnotes

[1]                Al-Qur’an, QS al-Hijr (15): 94-96. Lihat juga: Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Penerbit Al-Qur'an al-Karim, 2002.

[2]                Ibnu Manzur, Lisan al-‘Arab, Juz 3, Beirut: Dar Sadir, 1994.

[3]                Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Juz 5, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003.

[4]                Al-Qurtubi, al-Jami‘ li Ahkam al-Qur’an, Juz 14, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006.

[5]                Ath-Thabari, Jami‘ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, Juz 17, Kairo: Dar al-Ma‘arif, 2001.

[6]                Ibnu Hisham, Sirah Nabawiyah, Juz 1, Kairo: Dar al-Fikr, 1998.

[7]                Al-Baghawi, Ma‘alim at-Tanzil, Juz 5, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1987.

[8]                Muhammad Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Ar-Raheeq al-Makhtum, Riyadh: Maktabah Darus Salam, 1996.

[9]                Al-Buthi, Fiqh al-Sirah an-Nabawiyah, Beirut: Dar al-Fikr, 2004, hlm. 69-71.

[10]             Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Da‘wah ila Allah, Doha: Markaz Buhuts al-Islamiyah, 2011, hlm. 35-37.


6.           Motivasi Dakwah dalam Hadits

6.1.       Hadits HR Muslim dari Abu Hurairah

Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. berbunyi:

Artinya: “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang melakukannya.” (HR Muslim, no. 1893)1.

Hadits ini menjadi salah satu motivasi utama bagi umat Islam dalam berdakwah. Rasulullah saw. menegaskan bahwa peran seorang da’i bukan hanya menyampaikan pesan, tetapi juga mendapatkan pahala dari kebaikan yang diamalkan oleh orang yang diajak menuju jalan Allah. Hal ini menjadikan dakwah sebagai amal yang tidak hanya berorientasi duniawi, tetapi juga memiliki nilai akhirat yang besar.

6.2.       Penjelasan Hadits

6.2.1.    Makna “Menunjukkan kepada Kebaikan

Kata dalālah dalam hadits ini berarti "menunjukkan" atau "memberi petunjuk". Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan menunjukkan kepada kebaikan adalah segala bentuk ajakan, baik melalui lisan, perbuatan, maupun teladan2. Dakwah dalam konteks ini tidak terbatas pada pidato atau ceramah, tetapi juga mencakup aktivitas sehari-hari yang menginspirasi orang lain untuk berbuat baik.

6.2.2.    Pahala yang Sama

Menurut al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi, pahala yang diberikan kepada da’i bukanlah mengurangi pahala dari orang yang melakukan kebaikan tersebut3. Artinya, Allah melipatgandakan ganjaran untuk setiap amal baik yang dilaksanakan, baik bagi pelaku maupun motivatornya. Hal ini menunjukkan betapa besar nilai dakwah dalam pandangan Islam.

6.2.3.    Kaitannya dengan Dakwah

Hadits ini menekankan bahwa dakwah bukan hanya kewajiban, tetapi juga jalan untuk memperoleh keberkahan dan pahala yang terus mengalir. Dalam sebuah hadits lain, Rasulullah saw. bersabda:

“Jika Allah memberikan hidayah kepada seseorang melalui kamu, itu lebih baik bagimu daripada unta merah.” (HR Bukhari, no. 2942)4. Unta merah adalah harta yang sangat berharga pada masa itu, yang menegaskan bahwa nilai dakwah lebih besar daripada keuntungan duniawi.

6.3.       Inspirasi dari Hadits untuk Dakwah Modern

6.3.1.    Dakwah sebagai Investasi Akhirat

Hadits ini mengajarkan bahwa dakwah adalah amal jariyah yang pahalanya terus mengalir. Dalam konteks modern, ini dapat diartikan sebagai upaya menciptakan konten dakwah yang relevan, seperti video, tulisan, atau aplikasi Islami yang dapat diakses oleh banyak orang5.

6.3.2.    Pentingnya Memberi Teladan

Dakwah tidak hanya dilakukan melalui kata-kata, tetapi juga perbuatan. Sebagaimana dijelaskan oleh al-Ghazali dalam Ihya ‘Ulum al-Din, teladan seorang da’i seringkali lebih efektif daripada nasihat verbal6. Dalam era globalisasi, seorang Muslim yang menunjukkan akhlak Islami di tempat kerja, sekolah, atau komunitasnya menjadi bentuk dakwah yang sangat bermakna.

6.3.3.    Kesinambungan Amal Kebaikan

Hadits ini juga menekankan pentingnya kesinambungan dakwah. Ketika seseorang menginspirasi orang lain untuk berbuat baik, amal tersebut dapat berkembang menjadi rantai kebaikan yang tak terputus. Dalam konteks ini, seorang da’i harus selalu memperbaharui ilmunya agar dapat memberikan panduan yang sesuai dengan kebutuhan zaman7.

6.4.       Relevansi Hadits dalam Menghadapi Tantangan Dakwah

6.4.1.    Menghadapi Stigma Sosial

Bagi seorang da’i modern, tantangan seperti stigma terhadap Islam atau dakwah dapat dihadapi dengan kembali kepada spirit hadits ini. Keyakinan bahwa setiap ajakan kepada kebaikan akan diganjar pahala membantu menjaga semangat dalam menghadapi tantangan8.

6.4.2.    Meningkatkan Kualitas Dakwah

Hadits ini juga menjadi pengingat bahwa kualitas dakwah harus diutamakan. Pahala besar yang dijanjikan Allah kepada da’i seharusnya memotivasi mereka untuk meningkatkan ilmu, metode, dan pendekatan dakwah agar lebih efektif dan sesuai dengan tuntutan masyarakat9.


Footnotes

[1]                Muslim bin Hajjaj al-Naysaburi, Shahih Muslim, Kitab al-Imarah, no. 1893.

[2]                Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, Juz 13, Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 2003.

[3]                Al-Mubarakfuri, Tuhfatul Ahwadzi, Juz 3, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001.

[4]                Muhammad bin Isma‘il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Kitab Fadha’il al-Sahabah, no. 2942.

[5]                Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Da‘wah ila Allah, Doha: Markaz Buhuts al-Islamiyah, 2011, hlm. 41.

[6]                Al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din, Juz 4, Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1980, hlm. 20.

[7]                Syed Naquib al-Attas, Islam and Secularism, Kuala Lumpur: ISTAC, 1993, hlm. 89.

[8]                Hasan al-Banna, Risalah al-Da‘wah wa al-Du‘at, Kairo: Dar al-Turath al-Islami, 1989, hlm. 57.

[9]                Muhammad Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Ar-Raheeq al-Makhtum, Riyadh: Maktabah Darus Salam, 1996.


7.           Perspektif Ulama dan Jurnal Ilmiah Islami tentang Dakwah

7.1.       Pandangan Ulama Klasik tentang Dakwah

7.1.1.    Imam al-Ghazali

Imam al-Ghazali dalam Ihya ‘Ulum al-Din menegaskan bahwa dakwah merupakan kewajiban setiap Muslim yang memiliki ilmu dan kemampuan untuk mengajarkan agama1. Ia menggarisbawahi pentingnya pendekatan yang lembut dan hikmah dalam berdakwah, seraya menghindari metode yang dapat menimbulkan kebencian atau resistensi. Al-Ghazali juga menekankan bahwa dakwah harus dimulai dari pembenahan diri da’i agar pesan yang disampaikan memiliki keberkahan dan dampak yang nyata2.

7.1.2.    Ibnu Taimiyah

Ibnu Taimiyah dalam Majmu‘ al-Fatawa menyebut dakwah sebagai salah satu bentuk jihad terbesar di jalan Allah3. Menurutnya, dakwah tidak hanya mencakup ajakan kepada kebaikan, tetapi juga melibatkan penegakan keadilan sosial dan upaya melawan kebatilan. Dakwah harus disampaikan dengan kebijaksanaan, menggunakan argumen yang kuat berdasarkan Al-Qur'an, Hadits, dan akal sehat4.

7.1.3.    Ibnu Katsir

Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir menjelaskan bahwa dakwah Rasulullah saw. adalah contoh terbaik dari keseimbangan antara hikmah, nasihat, dan mujadalah (dialog yang baik)5. Ia menyoroti bahwa dakwah yang efektif adalah dakwah yang dapat menyentuh hati manusia dengan cara yang sesuai dengan kondisi sosial, psikologis, dan budaya masyarakat.

7.2.       Kajian dari Jurnal Ilmiah Islami

7.2.1.    Dakwah dan Pendidikan Islam

Dalam artikel jurnal Islamic Studies (2020), dijelaskan bahwa dakwah melalui pendidikan adalah salah satu metode paling efektif untuk membangun generasi yang memahami dan mengamalkan Islam6. Pendidikan formal, seperti sekolah dan universitas, serta pendidikan nonformal melalui halaqah dan kajian keislaman, dapat menjadi media utama dalam menyampaikan pesan Islam secara sistematis.

7.2.2.    Pemanfaatan Teknologi dalam Dakwah

Menurut artikel dalam International Journal of Islamic Thought (2021), teknologi informasi telah membuka peluang besar untuk memperluas cakupan dakwah7. Media sosial, aplikasi Islami, dan platform video seperti YouTube menjadi alat yang dapat menjangkau jutaan orang dengan cepat dan efektif. Namun, penelitian ini juga menekankan pentingnya etika dalam berdakwah melalui teknologi untuk menghindari penyebaran informasi yang tidak valid.

7.2.3.    Tantangan Dakwah Kontemporer

Artikel yang diterbitkan dalam Journal of Islamic Studies (2019) menyebutkan bahwa tantangan dakwah saat ini meliputi sekularisasi, hedonisme, dan maraknya Islamofobia8. Penelitian ini menyoroti perlunya penguatan kapasitas da’i, baik dalam bidang ilmu agama maupun keterampilan komunikasi, untuk menghadapi tantangan tersebut.

7.3.       Keselarasan antara Dakwah Klasik dan Kontemporer

7.3.1.    Prinsip Dakwah yang Abadi

Prinsip-prinsip dakwah yang diajarkan oleh ulama klasik, seperti hikmah, nasihat yang baik, dan mujadalah, tetap relevan dalam dakwah modern. Sebagai contoh, metode yang digunakan oleh Rasulullah saw. untuk berdialog dengan ahli kitab dapat diaplikasikan dalam konteks dialog antaragama saat ini9.

7.3.2.    Integrasi Metode Dakwah

Metode dakwah klasik yang mengutamakan sentuhan personal dapat dikombinasikan dengan pendekatan kontemporer berbasis teknologi. Sebagai contoh, halaqah tradisional dapat diperluas melalui platform online seperti Zoom atau Google Meet, memungkinkan akses yang lebih luas tanpa kehilangan esensi interaksi personal.

7.3.3.    Pentingnya Penelitian Ilmiah dalam Dakwah

Ulama dan da’i masa kini perlu merujuk pada penelitian ilmiah untuk memahami dinamika sosial dan kultural masyarakat. Dengan demikian, dakwah dapat disampaikan secara kontekstual dan efektif, tanpa kehilangan nilai-nilai syariat.

7.4.       untuk Dakwah Masa Kini

1)                  Peningkatan Kompetensi Da’i

Ulama dan da’i perlu dilengkapi dengan pendidikan yang komprehensif, baik dalam bidang ilmu agama maupun keterampilan teknologi.

2)                  Pemanfaatan Media Digital

Platform digital harus dimanfaatkan secara maksimal untuk menyampaikan dakwah dengan pesan yang jelas, menarik, dan sesuai dengan etika Islam.

3)                  Pendekatan Multikultural

Dakwah harus disesuaikan dengan keanekaragaman budaya dan kebutuhan masyarakat, dengan tetap menjaga prinsip-prinsip Islam.


Footnotes

[1]                Al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din, Juz 2, Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1980.

[2]                Ibid, hlm. 321-325.

[3]                Ibnu Taimiyah, Majmu‘ al-Fatawa, Juz 28, Madinah: Maktabah al-Malik Fahd, 1997.

[4]                Ibid, hlm. 45-48.

[5]                Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Juz 4, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003.

[6]                Ali, Muhammad. "Islamic Education as a Tool for Dakwah," Islamic Studies Journal, Vol. 20, No. 3 (2020), hlm. 45-60.

[7]                Ahmad, Syed. "Digitalization of Dakwah: Opportunities and Challenges," International Journal of Islamic Thought, Vol. 10 (2021), hlm. 89-95.

[8]                Karim, Hasan. "Contemporary Challenges of Islamic Preaching," Journal of Islamic Studies, Vol. 25, No. 2 (2019), hlm. 15-27.

[9]                Al-Mubarakfuri, Muhammad. Ar-Raheeq al-Makhtum, Riyadh: Darus Salam, 1996, hlm. 212-215.


8.           Kesimpulan dan Rekomendasi

8.1.       Kesimpulan

Dakwah merupakan salah satu kewajiban utama dalam Islam, yang bertujuan untuk mengajak manusia menuju kebaikan dan menjauhkan mereka dari kemungkaran. Sebagaimana ditegaskan dalam QS an-Nahl (16) ayat 125, dakwah harus dilakukan dengan hikmah, nasihat yang baik, dan dialog yang santun. Fase-fase dakwah Rasulullah saw., baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, memberikan pelajaran strategis tentang pentingnya memahami kondisi masyarakat dan menerapkan metode yang tepat1.

Hadits Nabi saw. yang menyebutkan bahwa orang yang menunjukkan kebaikan akan mendapatkan pahala yang sama dengan pelakunya (HR Muslim, no. 1893) menunjukkan bahwa dakwah memiliki nilai akhirat yang besar2. Oleh karena itu, dakwah tidak hanya menjadi kewajiban, tetapi juga jalan untuk meraih keberkahan dan pahala yang terus mengalir. Perspektif ulama klasik seperti al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah menegaskan pentingnya integritas da’i, pendekatan yang lembut, dan penguasaan ilmu34.

Di era modern, dakwah menghadapi tantangan baru seperti globalisasi, digitalisasi, dan Islamofobia. Namun, dengan memanfaatkan teknologi informasi dan pendekatan yang relevan, dakwah dapat disampaikan secara lebih efektif tanpa meninggalkan prinsip-prinsip syariat5.


8.2.       Rekomendasi

8.2.1.    Peningkatan Kompetensi Da’i

Para da’i harus dibekali dengan pemahaman yang mendalam tentang ilmu agama dan isu-isu kontemporer. Pelatihan dalam bidang teknologi, komunikasi, dan budaya menjadi kebutuhan penting agar dakwah dapat menjangkau audiens yang lebih luas. Seperti yang ditegaskan oleh Yusuf al-Qaradawi, seorang da’i harus memiliki ilmu yang luas, akhlak yang baik, dan kemampuan beradaptasi dengan kondisi masyarakat6.

8.2.2.    Pemanfaatan Teknologi Digital untuk Dakwah

Media sosial, aplikasi Islami, dan platform digital lainnya harus dimanfaatkan secara maksimal untuk menyampaikan pesan Islam. Konten dakwah yang menarik, berbasis bukti, dan sesuai dengan etika Islam dapat menjangkau generasi muda yang semakin terhubung dengan dunia digital7.

8.2.3.    Dakwah Multikultural dan Kontekstual

Pendekatan dakwah harus disesuaikan dengan latar belakang budaya dan kebutuhan masyarakat. Sebagai contoh, dakwah di wilayah urban mungkin membutuhkan pendekatan yang berbeda dibandingkan dengan wilayah pedesaan. Hal ini penting untuk memastikan pesan dakwah dapat diterima dengan baik tanpa menghilangkan esensi ajaran Islam8.

8.2.4.    Kolaborasi dan Penelitian Dakwah

Dakwah tidak hanya menjadi tanggung jawab individu, tetapi juga lembaga keagamaan dan akademik. Kolaborasi antara ulama, akademisi, dan profesional di berbagai bidang dapat menghasilkan strategi dakwah yang lebih komprehensif. Penelitian tentang metode dan tantangan dakwah juga perlu terus dilakukan untuk menghadapi dinamika masyarakat9.

8.2.5.    Menjaga Etika dalam Berdakwah

Seorang da’i harus menjaga akhlak dan etika dalam menyampaikan dakwah. Pendekatan yang kasar atau menyerang dapat menimbulkan resistensi dan membahayakan citra Islam. Sebagaimana disampaikan oleh Rasulullah saw., dakwah harus dilakukan dengan kelembutan, sebagaimana beliau bersabda: “Sesungguhnya kelembutan tidak ada pada sesuatu kecuali akan menghiasinya, dan tidak dicabut dari sesuatu kecuali akan mencorengnya.” (HR Muslim, no. 2594)10.


Footnotes

[1]                Al-Qur’an, QS an-Nahl (16): 125. Lihat juga: Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Juz 4, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003.

[2]                Muslim bin Hajjaj al-Naysaburi, Shahih Muslim, Kitab al-Imarah, no. 1893.

[3]                Al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din, Juz 2, Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1980.

[4]                Ibnu Taimiyah, Majmu‘ al-Fatawa, Juz 28, Madinah: Maktabah al-Malik Fahd, 1997.

[5]                Ahmad, Syed. "Digitalization of Dakwah: Opportunities and Challenges," International Journal of Islamic Thought, Vol. 10 (2021), hlm. 89-95.

[6]                Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Da‘wah ila Allah, Doha: Markaz Buhuts al-Islamiyah, 2011, hlm. 41-43.

[7]                Ali, Muhammad. "Islamic Education as a Tool for Dakwah," Islamic Studies Journal, Vol. 20, No. 3 (2020), hlm. 45-60.

[8]                Hasan al-Banna, Risalah al-Da‘wah wa al-Du‘at, Kairo: Dar al-Turath al-Islami, 1989, hlm. 63-65.

[9]                Karim, Hasan. "Contemporary Challenges of Islamic Preaching," Journal of Islamic Studies, Vol. 25, No. 2 (2019), hlm. 15-27.

[10]             Muslim bin Hajjaj al-Naysaburi, Shahih Muslim, Kitab al-Birr wa al-Shilah, no. 2594.


Daftar Pustaka

Al-Banna, H. (1989). Risalah al-Da‘wah wa al-Du‘at. Kairo: Dar al-Turath al-Islami.

Al-Baghawi, M. H. (1987). Ma‘alim at-Tanzil. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Al-Ghazali, A. H. (1980). Ihya ‘Ulum al-Din (Juz 2). Beirut: Dar al-Ma‘rifah.

Al-Mubarakfuri, M. S. (1996). Ar-Raheeq al-Makhtum. Riyadh: Darus Salam.

Ali, M. (2020). Islamic Education as a Tool for Dakwah. Islamic Studies Journal, 20(3), 45-60.

Ath-Thabari, M. J. (2001). Jami‘ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an (Juz 17). Kairo: Dar al-Ma‘arif.

Hasan, K. (2019). Contemporary Challenges of Islamic Preaching. Journal of Islamic Studies, 25(2), 15-27.

Ibnu Hisham, M. (1998). Sirah Nabawiyah (Juz 1). Kairo: Dar al-Fikr.

Ibnu Katsir, I. (2003). Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim (Juz 4). Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Ibnu Manzur, M. I. (1994). Lisan al-‘Arab (Juz 3). Beirut: Dar Sadir.

Ibnu Sa‘ad, M. (1990). Tabaqat al-Kubra (Juz 1). Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Ibnu Taimiyah, A. (1997). Majmu‘ al-Fatawa (Juz 28). Madinah: Maktabah al-Malik Fahd.

Muslim, M. H. (2003). Shahih Muslim (Kitab al-Imarah). Beirut: Dar al-Ma‘rifah.

Syed, A. (2021). Digitalization of Dakwah: Opportunities and Challenges. International Journal of Islamic Thought, 10, 89-95.

Yusuf al-Qaradawi, Y. (2011). Fiqh al-Da‘wah ila Allah. Doha: Markaz Buhuts al-Islamiyah.


Lampiran 1: Keterkaitan Ayat dan Hadits

Dakwah merupakan aktivitas utama yang diperintahkan dalam Islam, baik melalui ayat-ayat Al-Qur’an maupun hadits-hadits Rasulullah saw. Perintah ini tidak hanya menekankan pentingnya dakwah sebagai kewajiban, tetapi juga memberikan panduan tentang metode dan prinsip dakwah yang efektif.

1.            Perintah Dakwah dalam Al-Qur’an

QS an-Nahl (16) ayat 125 menyatakan:

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah, pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.”[1]

Ayat ini memberikan tiga pedoman utama dalam berdakwah: menggunakan hikmah, memberikan pelajaran yang baik, dan berdialog dengan cara yang santun. Hikmah mencakup kebijaksanaan dalam memilih waktu, cara, dan konteks dakwah. Pelajaran yang baik merujuk pada nasihat yang menyentuh hati dan sesuai dengan kondisi psikologis audiens. Sementara itu, dialog yang santun adalah cara menyampaikan kebenaran tanpa kekerasan atau penghinaan.

2.            Penguatan dalam Hadits Nabi

Hadits Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Muslim berbunyi:

“Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang melakukannya.”[2]

Hadits ini memperkuat perintah dakwah dalam Al-Qur’an dengan memberikan motivasi kepada umat Islam untuk menyampaikan kebaikan. Rasulullah saw. menegaskan bahwa pahala dakwah tidak hanya berhenti pada orang yang melakukan kebaikan, tetapi juga mengalir kepada orang yang menjadi penyebab terjadinya kebaikan tersebut. Hal ini menjadikan dakwah sebagai salah satu amal jariyah yang pahalanya terus mengalir.

3.            Keterkaitan Antara Ayat dan Hadits

Keterkaitan QS an-Nahl (16) ayat 125 dengan hadits di atas terletak pada esensi dakwah sebagai jalan menuju kebaikan universal. Ayat tersebut memberikan panduan metodologi dakwah yang santun dan bijaksana, sedangkan hadits memberikan motivasi berupa pahala yang besar bagi siapa pun yang terlibat dalam aktivitas dakwah. Kedua sumber ini menunjukkan bahwa dakwah tidak hanya merupakan kewajiban, tetapi juga sebuah peluang besar untuk mendekatkan diri kepada Allah dan memberikan manfaat kepada sesama manusia.

Keterkaitan lain terlihat dalam perintah QS asy-Syu’ara’ (26) ayat 214-216, yang memerintahkan Rasulullah saw. untuk memulai dakwah dari kerabat terdekat. Hadits Nabi, seperti sabdanya: “Sampaikanlah dariku walau satu ayat” (HR Bukhari), mempertegas pentingnya menyampaikan pesan Islam, bahkan dalam lingkup kecil sekalipun[3]. Ayat dan hadits ini menekankan bahwa dakwah dimulai dari komunitas terdekat sebelum meluas ke khalayak yang lebih besar.

4.            Relevansi Ayat dan Hadits untuk Dakwah Masa Kini

Kombinasi perintah dalam ayat dan motivasi dari hadits menjadi dasar bagi dakwah kontemporer. Dalam konteks modern, hikmah dapat diterjemahkan sebagai penggunaan teknologi informasi dan media sosial untuk menjangkau audiens yang lebih luas. Pelajaran yang baik dan dialog yang santun menjadi landasan etika dalam menyampaikan pesan Islam, terutama di tengah tantangan global seperti Islamofobia dan sekularisme. Dakwah tidak hanya menjadi tanggung jawab individu, tetapi juga komunitas, dengan mengikuti prinsip-prinsip yang telah digariskan oleh Al-Qur’an dan hadits.


Lampiran 2: Takhrij Hadits

Takhrij Hadits yang Dimuat dalam Artikel

1.            Hadits Pertama:

Teks Hadits:

“Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang melakukannya.”

Sumber Hadits:

Shahih Muslim, Kitab al-Imarah, Bab Fadhilah Dalalah ‘ala al-Khair wa al-Ta‘awun ‘ala al-Birr wa al-Taqwa, No. 1893.

Matn Hadits:

"مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ."

Sanad Hadits:

Dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi Muhammad saw., beliau bersabda demikian.

Status Hadits:

Shahih, diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih Muslim tanpa pertentangan sanad dan matan di kalangan ahli hadits.

Konteks Hadits:

Hadits ini memotivasi umat Islam untuk aktif dalam menyampaikan kebaikan, baik melalui ucapan, perbuatan, maupun teladan. Hal ini sesuai dengan tujuan dakwah dalam Islam, yakni menuntun manusia kepada kebenaran.


2.            Hadits Kedua:

Teks Hadits:

“Sampaikanlah dariku walau satu ayat. Dan berbicaralah tentang Bani Israil tanpa merasa bersalah. Namun, barang siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia menyiapkan tempat duduknya di neraka.”

Sumber Hadits:

Shahih Bukhari, Kitab al-‘Ilm, Bab Balighu ‘anni walau Ayah, No. 3461.

Matn Hadits:

"بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً، وَحَدِّثُوا عَنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلَا حَرَجَ، وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ."

 

Sanad Hadits:

Dari Abdullah bin Amr bin al-‘Ash r.a., dari Nabi Muhammad saw., beliau bersabda demikian.

Status Hadits:

Shahih, diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih al-Bukhari. Tidak ada kelemahan dalam sanad dan matannya diterima oleh mayoritas ulama hadits.

Konteks Hadits:

Hadits ini menegaskan bahwa setiap Muslim memiliki kewajiban untuk menyampaikan ajaran Islam sesuai dengan kapasitas dan pemahamannya. Pesan ini sejalan dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang mendorong umat Islam untuk berdakwah dengan cara yang bijaksana dan penuh hikmah.


3.            Hadits Ketiga:

Teks Hadits:

“Sesungguhnya kelembutan tidak ada pada sesuatu kecuali akan menghiasinya, dan tidak dicabut dari sesuatu kecuali akan mencorengnya.”

Sumber Hadits:

Shahih Muslim, Kitab al-Birr wa al-Shilah, Bab Fadhilah al-Rifq, No. 2594.

Matn Hadits:

إِنَّ الرِّفْقَ لَا يَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلَّا زَانَهُ وَلَا يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا شَانَهُ

Sanad Hadits:

Dari Aisyah r.a., dari Nabi Muhammad saw., beliau bersabda demikian.

Status Hadits:

Shahih, diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih Muslim. Tidak ada cacat dalam sanadnya dan diterima sebagai dalil oleh jumhur ulama.

Konteks Hadits:

Hadits ini mengajarkan bahwa kelembutan adalah elemen penting dalam berdakwah. Dalam konteks dakwah kontemporer, prinsip ini relevan untuk menjaga etika dalam menyampaikan pesan Islam, terutama dalam menghadapi audiens yang memiliki perbedaan pandangan.


Kesimpulan Takhrij

Ketiga hadits yang dimuat dalam artikel memiliki status shahih dan telah dicatat dalam kitab-kitab utama hadits, yakni Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Kesahihan sanad dan matan menunjukkan bahwa hadits-hadits ini dapat dijadikan landasan yang kuat dalam pembahasan dakwah, baik secara konseptual maupun praktikal.


 

 



[1] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Penerbit Al-Qur'an al-Karim, 2002), QS an-Nahl (16) ayat 125.

[2] Muslim bin Hajjaj al-Naysaburi, Shahih Muslim (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 2003), Kitab al-Imarah, no. 1893.

[3] Muhammad bin Isma‘il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari (Kairo: Dar al-Fikr, 1987), Kitab al-‘Ilm, no. 3461. 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar