Modul Al-Qur’an Hadits
Makanan Halal dan Baik dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hadits
Implementasi Nilai-Nilai Ilahiah dalam Kehidupan Modern
Nama Satuan : Madrasah Aliyah
Plus Al-Aqsha
Mata Pelajaran : Al-Qur’an Hadits
Kelas : 11
(Sebelas)
Semester : 2 (Genap)
Abstrak
Artikel ini membahas konsep makanan halal dan
thayyib dalam perspektif Al-Qur’an dan Hadits, serta implementasinya dalam
kehidupan modern. Kajian ini bertumpu pada analisis ayat-ayat QS al-Baqarah [2]
ayat 168–169 dan QS al-Baqarah [2] ayat 172–173, serta hadits-hadits terkait
dari Abu Dawud dan Tirmidzi, yang diperkuat dengan penjelasan ulama melalui
tafsir klasik seperti karya al-Tabari, al-Qurtubi, dan Ibn Kathir, serta
pendekatan tafsir kontemporer. Pembahasan memperlihatkan bahwa makanan halal
dan thayyib tidak hanya memenuhi kriteria hukum syariat, tetapi juga mencakup
standar kesehatan, kebersihan, dan keberlanjutan sosial. Dalam konteks modern,
prinsip ini bersinggungan erat dengan teori keamanan pangan, etika konsumsi,
dan ekonomi halal global. Artikel ini juga menyoroti pentingnya sikap kritis
dan literasi halal di era globalisasi sebagai bentuk aktualisasi nilai-nilai
ilahiah dalam perilaku konsumsi. Dengan pendekatan interdisipliner yang menggabungkan
sumber keagamaan dan kajian ilmiah kontemporer, artikel ini menegaskan bahwa
pengamalan prinsip halal dan thayyib adalah pilar integral dalam membangun
pribadi Muslim yang sehat, beretika, dan berdaya saing global.
Kata Kunci: Halal, Thayyib, Al-Qur’an, Hadits, Konsumsi Modern,
Keamanan Pangan, Ekonomi Halal.
PEMBAHASAN
Makanan Halal dan Baik dalam Perspektif Al-Qur’an dan
Hadits
Nama Satuan : Madrasah Aliyah
Plus Al-Aqsha
Mata Pelajaran : Al-Qur’an
Hadits
Kelas : 11 (Sebelas)
Bab : Bab 9 - Makanan
Halal dan Baik dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hadits
1.
Pendahuluan
Makanan merupakan salah satu
kebutuhan dasar manusia yang tidak hanya berfungsi untuk memenuhi kebutuhan
biologis, tetapi juga berdampak pada aspek spiritual dan moral. Dalam Islam,
konsumsi makanan tidak sekadar dipandang dari segi kesehatan fisik, melainkan
juga memiliki dimensi religius yang berkaitan erat dengan keimanan dan akhlak
seorang Muslim. Oleh sebab itu, ajaran Islam memberikan perhatian besar
terhadap persoalan makanan yang dikonsumsi, sebagaimana tercermin dalam ajaran
tentang makanan halal (diperbolehkan
secara syar’i) dan thayyib (baik dan
bermanfaat bagi tubuh dan jiwa).
Al-Qur'an secara eksplisit
memerintahkan umat Islam untuk mengonsumsi makanan yang halal dan baik,
sebagaimana dalam QS al-Baqarah [2] ayat 168–169 dan QS al-Baqarah [2] ayat
172–173, yang menekankan pentingnya menjaga kemurnian makanan dari unsur yang
haram serta dampak negatif terhadap spiritualitas seseorang. Imam al-Tabari
dalam Jāmi‘ al-Bayān menjelaskan bahwa perintah mengonsumsi makanan
halal bertujuan menjaga umat Islam dari perbuatan fasik yang dipicu oleh
konsumsi yang tidak sah secara syar'i.1 Selain itu, menurut
al-Qurtubi, dimensi thayyib dalam makanan menandakan bukan hanya
kehalalan secara hukum, tetapi juga kebersihan, kebaikan gizi, dan
keterhindaran dari kerusakan atau najis.2
Tidak hanya Al-Qur’an,
hadits-hadits Nabi Muhammad Saw juga mempertegas pentingnya memperhatikan
kehalalan dan kebaikan makanan. Dalam hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dari
Ma'dikarib r.a., Rasulullah Saw melarang konsumsi binatang buas bertaring dan
keledai jinak, menunjukkan prinsip kehati-hatian dalam memilih sumber pangan.3
Sementara itu, hadits yang diriwayatkan Tirmidzi dari Abu Hurairah r.a.
menekankan bahwa keberkahan ibadah, seperti dikabulkannya doa, bergantung pada
kemurnian konsumsi seseorang dari makanan haram.4
Dalam perkembangan dunia
modern, konsep halal dan thayyib memperoleh dimensi baru. Tantangan
globalisasi, industrialisasi pangan, dan perkembangan bioteknologi telah
memunculkan berbagai persoalan baru mengenai kehalalan produk makanan, seperti
penggunaan bahan aditif, daging hasil rekayasa genetik (GMO), serta sertifikasi
halal internasional. Menurut jurnal Halal Research, pemahaman modern
terhadap halal tidak hanya mencakup kriteria syariat, tetapi juga aspek
keamanan pangan, kesehatan, dan keberlanjutan.5
Oleh karena itu, pemahaman
tentang makanan halal dan thayyib harus terus dikembangkan dengan pendekatan
yang integratif: menggabungkan nash-nash syar’i, ijtihad para ulama, serta
kajian ilmu modern. Pendidikan tentang konsumsi halal dan baik di tingkat
madrasah, seperti di MA Plus Al-Aqsha, menjadi sangat penting untuk membekali
generasi muda Muslim agar mampu menerapkan prinsip-prinsip ilahiah ini dalam
kehidupan sehari-hari, baik secara individu maupun sebagai bagian dari
masyarakat global.
Footnotes
[1]
Muhammad ibn Jarir al-Tabari, Jāmi‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl Āy
al-Qur’ān, ed. Ahmad Muhammad Shakir (Beirut: Dar al-Ma'arif, 2000),
2:168-169.
[2]
Muhammad ibn Ahmad al-Qurtubi, al-Jāmi‘ li Ahkām al-Qur’ān,
ed. Ahmad al-Barduni dan Ibrahim Atfayish (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
2003), 2:172.
[3]
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Kitab al-At‘imah, no. 3806.
[4]
al-Tirmidhi, Jāmi‘ al-Tirmidhi, Kitab al-Tafsir, no. 2989.
[5]
Nuradli R. Radhi et al., "Halal Food and Beverage Industry:
Prospects and Challenges," Journal of Halal Research 1, no. 1
(2019): 1–12, https://doi.org/10.21580/jhr.2019.1.1.4245.
2.
Landasan Konsep Makanan Halal dan
Baik dalam Al-Qur’an dan Hadits
2.1.
Pengertian Halal dan
Thayyib
Dalam Islam, istilah halal berasal dari bahasa Arab yang
berarti "diperbolehkan" atau "dilegalkan",
sedangkan thayyib
berarti "baik", "bersih", dan "menguntungkan".
Menurut definisi syariat, halal mencakup segala sesuatu yang tidak dilarang
oleh Allah dan Rasul-Nya dalam aspek hukum, sedangkan thayyib merujuk pada
kebaikan substansial, baik dari segi zat, manfaat, maupun cara memperolehnya1.
Imam al-Raghib al-Asfahani
dalam al-Mufradat fi Gharib al-Qur'an menjelaskan bahwa halal adalah
sesuatu yang terlepas dari ikatan yang membelenggu, baik dari sisi hukum
duniawi maupun ukhrawi, sementara thayyib berkaitan erat dengan kesucian,
kenikmatan, dan keamanan sesuatu dari bahaya2. Dengan demikian,
makanan halal harus juga memenuhi standar thayyib, bukan sekadar terbebas dari
unsur haram, tetapi juga harus baik secara kualitas dan manfaat.
Dalam konteks modern, standar
halal dan thayyib diterjemahkan tidak hanya sebatas hukum agama, melainkan juga
mencakup keamanan pangan, kesehatan, kebersihan, serta keberlanjutan lingkungan3.
2.2.
Pentingnya Konsumsi
Halal dan Baik
Perintah untuk mengonsumsi
makanan halal dan thayyib dalam Al-Qur’an bukan sekadar perintah hukum,
melainkan upaya membangun kualitas spiritual, moral, dan fisik umat Islam. QS
al-Baqarah [2] ayat 168 memerintahkan:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ
كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ
الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Wahai sekalian manusia!
Makanlah dari (makanan) yang halal lagi baik yang terdapat di bumi, dan
janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan...” (QS al-Baqarah [2] ayat
168).
Dalam Tafsir al-Thabari,
ayat ini dijelaskan sebagai ajakan universal kepada seluruh manusia untuk
menjaga kemurnian makanan, sebab makanan haram dapat menjadi pintu masuk
bisikan setan yang mendorong kepada perbuatan dosa4.
Sementara itu, Tafsir
al-Qurtubi menegaskan bahwa kualitas thayyib menunjukkan bahwa makanan
tersebut harus berasal dari sumber yang bersih, bebas dari najis dan penyakit,
serta memenuhi kriteria kesehatan, tidak hanya dari segi syariat tetapi juga
dari sisi medis5. Oleh karena itu, konsumsi halal dan baik menjadi
pondasi bagi terciptanya pribadi Muslim yang bersih lahir dan batin.
Hadits Nabi Muhammad Saw
semakin mempertegas prinsip ini. Dalam hadits riwayat Tirmidzi dari Abu Hurairah,
Rasulullah Saw bersabda:
إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ
لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا
"Sesungguhnya Allah
itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik..."_6
Hadits ini menegaskan bahwa
amal ibadah, termasuk doa, dapat terhalang jika makanan yang dikonsumsi berasal
dari yang haram atau tidak thayyib.
Dalam perspektif sosiologis
dan kesehatan kontemporer, mengonsumsi makanan halal dan thayyib berkontribusi
pada keseimbangan gizi, pencegahan penyakit, dan pembangunan etika konsumsi
yang bertanggung jawab terhadap alam dan sesama manusia7.
Footnotes
[1]
Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh (Damaskus:
Dar al-Fikr, 1985), 4:262.
[2]
al-Raghib al-Asfahani, al-Mufradat fi Gharib al-Qur'an, ed.
Safwan Adnan Da’udi (Damaskus: Dar al-Qalam, 2002), 147.
[3]
Nuradli R. Radhi et al., "Halal Food and Beverage Industry:
Prospects and Challenges," Journal of Halal Research 1, no. 1
(2019): 1–12, https://doi.org/10.21580/jhr.2019.1.1.4245.
[4]
Muhammad ibn Jarir al-Tabari, Jāmi‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl Āy
al-Qur’ān, ed. Ahmad Muhammad Shakir (Beirut: Dar al-Ma'arif, 2000),
2:168-169.
[5]
Muhammad ibn Ahmad al-Qurtubi, al-Jāmi‘ li Ahkām al-Qur’ān,
ed. Ahmad al-Barduni dan Ibrahim Atfayish (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
2003), 2:172-173.
[6]
al-Tirmidhi, Jāmi‘ al-Tirmidhi, Kitab al-Tafsir, no. 2989.
[7]
Muhammad
Amanullah dan Shamim Ahmad, "Food Safety and Halal Certification," Journal
of Islamic Marketing 9, no. 2 (2018): 511–524, https://doi.org/10.1108/JIMA-01-2017-0004.
3.
Tafsir Ayat-ayat Al-Qur’an tentang
Makanan Halal dan Baik
3.1.
Tafsir QS al-Baqarah
[2] ayat 168–169
Ayat 168–169 dari Surah al-Baqarah
berbunyi:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ
كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ
الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ (168) إِنَّمَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَاءِ وَأَنْ تَقُولُوا
عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ (169)
"Wahai manusia! Makanlah dari (makanan)
yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti
langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu. (168) Sesungguhnya (setan) itu hanya
menyuruh kamu agar berbuat jahat dan keji, dan mengatakan apa yang tidak kamu
ketahui tentang Allah. (169)"
(QS al-Baqarah [2] ayat 168–169).
Imam al-Tabari dalam Jāmi‘
al-Bayān menjelaskan bahwa seruan ini ditujukan kepada seluruh umat
manusia, tidak hanya kepada kaum mukminin, sebagai bentuk ajakan universal
untuk menjaga kesucian konsumsi dan menghindari sumber makanan haram1.
Al-Tabari menekankan bahwa mengonsumsi makanan halal dan thayyib merupakan
bagian dari ketaatan kepada Allah dan bentuk perlindungan terhadap akhlak
manusia dari pengaruh setan yang menjerumuskan kepada keburukan2.
Menurut al-Qurtubi dalam al-Jāmi‘
li Ahkām al-Qur’ān, istilah "halal" merujuk pada makanan yang
dibolehkan oleh syariat, sedangkan "thayyib" merujuk pada makanan
yang bersih dari najis, penyakit, atau hal-hal yang membahayakan manusia3.
Al-Qurtubi menambahkan bahwa keterikatan manusia dengan makanan yang halal dan
baik adalah bentuk ketaatan yang menjaga kualitas moral dan spiritual umat.
Tafsir al-Mishbah karya
Quraish Shihab menguraikan bahwa ayat ini juga mengandung pesan tentang
pentingnya menghindari gaya hidup konsumtif tanpa batas. Menurut Shihab, setan
menggoda manusia tidak hanya untuk memakan makanan haram, tetapi juga untuk
berlebihan dalam konsumsi, yang akhirnya menimbulkan dampak negatif sosial dan
ekologis4.
3.2.
Tafsir QS al-Baqarah
[2] ayat 172–173
Ayat selanjutnya berbunyi:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ
كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ (172) إِنَّمَا حَرَّمَ
عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ
لِغَيْرِ اللَّهِ ۖ فَمَنِ
اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (173)
"Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah dari rezeki yang baik
yang Kami berikan kepada kamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika kamu hanya
menyembah kepada-Nya. (172) Sesungguhnya Dia
hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih
dengan (menyebut nama) selain Allah. Tetapi barang siapa terpaksa (memakannya),
bukan karena menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka
tidak ada dosa baginya. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (173)" (QS al-Baqarah [2] ayat
172–173).
Ibn Kathir dalam Tafsīr
al-Qur’ān al-‘Aẓīm menegaskan bahwa ayat ini menampilkan prinsip dasar
dalam syariat Islam: halal dan haram. Allah hanya mengharamkan empat jenis
makanan secara eksplisit, sedangkan sisanya halal kecuali terdapat dalil yang
mengharamkannya5. Ibn Kathir juga menekankan bahwa keadaan darurat
membolehkan yang haram, asalkan dalam batas kebutuhan mendesak, tidak disertai
keinginan hati, dan tidak berlebihan6.
Menurut al-Maraghi, konsep
"thayyib" dalam ayat ini memperluas makna halal dengan
memasukkan unsur kebermanfaatan makanan untuk kesehatan fisik dan moral.
Makanan yang mengandung mudarat, sekalipun halal dalam zatnya, bisa menjadi
tidak thayyib jika membahayakan kesehatan, sehingga perlu dihindari7.
Tinjauan kontemporer dari
jurnal Journal of Halal Research menyatakan bahwa ayat ini menjadi
dasar penting bagi pengembangan standar halal modern yang tidak hanya
mempertimbangkan aspek fiqh, tetapi juga aspek keamanan pangan, standar
kebersihan internasional, serta keseimbangan ekologi dalam produksi makanan8.
Ayat-ayat ini menunjukkan
betapa Islam sangat menekankan pentingnya makanan yang tidak hanya halal secara
hukum, tetapi juga baik dan layak dikonsumsi dalam artian kesehatan, sosial,
dan lingkungan. Implementasi prinsip halal-thayyib dalam konteks modern
menuntut Muslim untuk kritis terhadap sumber, proses produksi, serta kualitas
gizi makanan yang dikonsumsi.
Footnotes
[1]
Muhammad ibn Jarir al-Tabari, Jāmi‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl Āy
al-Qur’ān, ed. Ahmad Muhammad Shakir (Beirut: Dar al-Ma'arif, 2000),
2:168.
[3]
Muhammad ibn Ahmad al-Qurtubi, al-Jāmi‘ li Ahkām al-Qur’ān,
ed. Ahmad al-Barduni dan Ibrahim Atfayish (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
2003), 2:172.
[4]
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian
al-Qur’an, vol. 1 (Jakarta: Lentera Hati, 2000), 396–397.
[5]
Isma’il ibn ‘Umar ibn Kathir, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, ed.
Sami bin Muhammad al-Salamah (Riyadh: Dar Taybah, 1997), 1:468.
[7]
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsīr al-Marāghī (Beirut: Dar
al-Fikr, 1993), 2:172-173.
[8]
Nuradli R. Radhi et al., "Halal Food and Beverage Industry:
Prospects and Challenges," Journal of Halal Research 1, no. 1
(2019): 1–12, https://doi.org/10.21580/jhr.2019.1.1.4245.
4.
Analisis Hadits tentang Konsumsi
Makanan Halal dan Baik
4.1.
HR Abu Dawud dari
Ma'dikarib r.a.
Hadits yang diriwayatkan Abu
Dawud dari Ma’dikarib r.a. berbunyi:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ
بْنُ الْمُصَفّى الْحِمْصِيُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ حَرْبٍ عَنِ
الزُّبَيْدِيَ عَنْ مَرْوَانَ بْنِ رُؤْبَةً التَّغْلِبِي عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ
بْنِ أَبِي عَوْفِ عَنِ الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِي كَرِبَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَلَا لَا يَحِلُّ ذُو نَابٍ مِنَ
السَبَاعِ وَلَا الْحِمَارُ الْأَهْلِيُّ وَلَا اللُّقَطَةُ مِنْ مَالِ مُعَاهَدٍ
إِلَّا أَنْ يَسْتَغْنِيَ عَنْهَا وَأَيُّمَا رَجُلٍ ضَافَ
قَوْمًا فَلَمْ يَقْرُوهُ فَإِنَّ لَهُ أَنْ يُعْقِبَهُمْ بِمِثْلِ قِرَاهُ
Diceritakan kepada kami Muhammad bin al-Mushaffa
al-Himshi dari Muhammad bin Harb dari az-Zabidi dari Marwan bin Ru'bah
at-Taghlibi dari Abdurahman bin 'Auf dari al-Miqdām bin Ma'dikarib dari
Rasulullah beliau bersabda: "Ketahuilah, tidak halal hewan buas yang
memiliki taring, keledai jinak, barang temuan dari harta orang Kafir Mu'āhad
(yang menjalin perjanjian) kecuali ia tidak membutuhkannya. Dan siapapun
laki-laki yang bertamu kepada suatu kaum dan mereka tidak menjamunya, maka
baginya untuk menuntut ganti yang seperti jamuan untuknya." 1
Hadits ini memberikan garis
tegas terhadap jenis makanan yang diharamkan Rasulullah Saw selain yang
disebutkan dalam Al-Qur'an. Menurut penjelasan al-Khathabi dalam Ma'alim
al-Sunan, larangan mengonsumsi binatang buas bertaring (seperti singa,
harimau, anjing) bertujuan mencegah manusia dari perilaku brutal dan melindungi
manusia dari potensi bahaya biologis yang dapat ditularkan melalui konsumsi
hewan predator2.
Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fath
al-Bari menambahkan bahwa keledai jinak dilarang dimakan karena manusia
sering menggunakannya untuk transportasi, dan konsumsi dagingnya dianggap
merendahkan nilai manfaat sosial hewan tersebut3. Perspektif ini
menunjukkan betapa larangan makanan dalam Islam juga memperhitungkan aspek
sosial, etis, dan ekologis.
Dalam konteks modern,
penelitian di bidang kesehatan menunjukkan bahwa konsumsi daging dari hewan
pemangsa dapat meningkatkan risiko penyakit zoonosis (penyakit yang ditularkan
dari hewan ke manusia), memperkuat relevansi medis dari larangan syariat
tersebut4.
4.2.
HR Tirmidzi dari Abu
Hurairah r.a.
Hadits yang diriwayatkan
Tirmidzi dari Abu Hurairah r.a. berbunyi:
حَدَّثَنَا عَبْدُ بْنُ
حُمَيْدٍ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ قَالَ حَدَّثَنَا فُضَيْلُ بْنُ
مَرْزُوقٍ عَنْ عَدِيَ بْنِ ثَابِتٍ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ
إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ وَلَا يَقْبَلُ إِلا طَيِّبًا وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ
الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ
كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
وَقَالَ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ
قَالَ وَذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ
إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالحَرَامِ
فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ
Dikatakan kepada kami oleh Abd bin Humaid dari
Abu Nu'aim dari Fudhail bin Marzuq dari Adi bin Tsabit dari Abu Hazim dari Abu
Hurairah bahwa Nabi Muhammad bersabda: "Wahai sekalian manusia,
sesungguhnya Allah Maha Baik dan hanya menerima yang baik, sesungguhnya Allah
memerintahkan kaum mukminin seperti yang diperintahkan kepada para rasul. Dia
berfirman: 'Wahai para rasul, makanlah dari yang baik-baik dan
berbuatlah kebaikan, sesungguhnya Aku mengetahui yang kalian lakukan.'"
Dia juga berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, makanlah yang
baik-baik dari rezeki yang Ku berikan padamu." Lalu beliau menyebutkan
tentang orang yang memperlama perjalanannya, rambutnya acak-acakan dan berdebu,
ia membentangkan tangannya ke langit sambil berdo'a; "Ya Rabb, ya Rabbi,"
sementara makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan diliputi
dengan yang haram, lalu bagaimana akan dikabulkan do'anya.5
Hadits ini menekankan
hubungan erat antara kualitas konsumsi seseorang dengan keabsahan amal
ibadahnya. Menurut al-Tibi dalam Sharh al-Mishkat, hadits ini
menunjukkan bahwa amal saleh seorang Muslim tidak dapat dipisahkan dari
kebersihan makanan yang ia konsumsi; makanan haram dapat menjadi penghalang
utama diterimanya doa dan ibadah6.
Ibn Rajab dalam Jāmi‘
al-‘Ulūm wa al-Ḥikam menguraikan bahwa makanan yang haram tidak hanya
berdampak pada individu secara spiritual, tetapi juga dapat menyebabkan
kerasnya hati, tertolaknya amal, dan munculnya penyakit-penyakit hati seperti
kesombongan dan kerakusan7.
Dalam perspektif kontemporer,
jurnal International Journal of Islamic and Middle Eastern Finance and
Management mengungkapkan bahwa kesadaran halal-thayyib dalam konsumsi
berhubungan dengan konsep ethical consumerism (konsumerisme etis) di
dunia modern, di mana konsumen memilih produk yang tidak hanya sah menurut
agama, tetapi juga etis dari sisi produksi, distribusi, dan dampak sosial8.
4.3.
Implikasi Hadits
terhadap Prinsip Konsumsi Muslim Modern
Dua hadits utama ini
mengajarkan bahwa:
·
Makanan yang halal harus
memenuhi standar kebersihan, keamanan, serta kepatutan sosial.
·
Konsumsi yang baik
mempengaruhi diterimanya amal dan keutuhan hubungan spiritual dengan Allah.
·
Standar halal dan thayyib
tidak hanya bersifat ritual, melainkan juga rasional dan ilmiah, mencakup
kesehatan, etika sosial, dan keseimbangan lingkungan.
Oleh karena itu, dalam
konteks kehidupan modern, seorang Muslim dituntut untuk:
·
Menganalisis sumber dan
proses makanan.
·
Memastikan bahwa produk
yang dikonsumsi tidak bertentangan dengan prinsip halal-thayyib.
·
Berpartisipasi dalam
membangun kesadaran kolektif terhadap konsumsi bertanggung jawab sebagai bagian
dari ibadah sosial (ibadah ijtima’i).
Footnotes
[1]
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Kitab al-At‘imah, no. 3806.
[2]
al-Khathabi, Ma'alim al-Sunan, ed. Ahmad Muhammad Shakir
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), 4:34.
[3]
Ibn Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari bi Sharh Sahih al-Bukhari,
ed. Muhammad Fuad Abdul Baqi (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1959), 9:651.
[4]
D. L. Heymann, Control of Communicable Diseases Manual, 20th
ed. (Washington DC: American Public Health Association, 2015), 116–117.
[5]
al-Tirmidhi, Jāmi‘ al-Tirmidhi, Kitab al-Tafsir, no. 2989.
[6]
al-Tibi, Sharh al-Mishkat al-Masabih, ed. Adil Ahmad Abd
al-Maujoud (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994), 4:1236.
[7]
Ibn Rajab al-Hanbali, Jāmi‘ al-‘Ulūm wa al-Ḥikam, ed. Shu‘ayb
al-Arna’ut (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1991), 1:64.
[8]
Nuradli R. Radhi et al., "Halal Food and Beverage Industry:
Prospects and Challenges," Journal of Halal Research 1, no. 1 (2019):
1–12, https://doi.org/10.21580/jhr.2019.1.1.4245.
5.
Korelasi Penjelasan Al-Qur’an dan
Hadits dengan Teori dan Pengetahuan Modern
5.1.
Perspektif Ilmu Gizi
dan Kesehatan
Konsep makanan halal
dan thayyib dalam Al-Qur’an dan Hadits memiliki koherensi yang kuat
dengan prinsip-prinsip kesehatan modern. Dalam pandangan medis, makanan yang
baik harus memenuhi standar gizi, bebas dari zat berbahaya, dan layak konsumsi.
Penelitian dalam jurnal Nutrients mengungkapkan bahwa makanan yang
tidak bersih, mengandung patogen, atau bahan berbahaya dapat menjadi penyebab
utama berbagai penyakit kronis, seperti diabetes, kanker, dan penyakit jantung1.
Sementara itu, dalam
perspektif Islam, makanan thayyib tidak hanya bebas dari keharaman hukum,
tetapi juga harus baik bagi tubuh. Tafsir al-Maraghi menekankan bahwa kebaikan
(thayyib) mencakup keutuhan zat gizi, tidak tercemar najis, serta
tidak berpotensi merusak fisik maupun spiritual2. Oleh karena itu,
standar gizi modern, seperti diet seimbang (balanced diet) dan prinsip food
safety, dapat dipandang sebagai perwujudan dari nilai-nilai thayyib.
5.2.
Perspektif Hukum dan
Regulasi Modern
Globalisasi pangan menuntut
adanya sistem sertifikasi halal yang diakui secara internasional untuk
memastikan bahwa produk memenuhi kriteria halal dan thayyib. Di Indonesia,
LPPOM MUI mengembangkan sistem jaminan halal (SJH) yang menilai bahan baku,
proses produksi, penyimpanan, hingga distribusi3. Sistem ini sejalan
dengan prinsip syariat tentang pentingnya menjaga kehalalan dari sumber hingga
produk akhir.
Menurut jurnal Journal of
Islamic Marketing, sistem sertifikasi halal modern juga melibatkan aspek
legal compliance (kepatuhan hukum) terhadap standar mutu internasional, seperti
Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP) dan Good Manufacturing
Practices (GMP), yang bertujuan menjamin produk tidak hanya halal secara syar’i
tetapi juga aman dikonsumsi4.
Sebagaimana ditegaskan dalam Tafsir
al-Qurtubi, menjaga kehalalan tidak hanya berhenti pada pengucapan
basmalah dalam penyembelihan, melainkan mencakup kehati-hatian dalam seluruh
proses memperoleh dan mengonsumsi makanan5.
5.3.
Perspektif Sosial
dan Ekonomi
Makanan halal dan thayyib
juga berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi yang etis dan berkelanjutan.
Industri halal global mengalami pertumbuhan pesat, dengan estimasi pasar
senilai lebih dari USD 2 triliun pada tahun 20246. Konsep halal
dalam Islam mendorong transaksi ekonomi yang bersih, transparan, dan adil, yang
dalam istilah modern disebut ethical consumption.
Dalam perspektif sosial,
kesadaran terhadap konsumsi halal-thayyib dapat mendorong solidaritas umat,
meminimalisir ketimpangan sosial, dan menjaga keberlanjutan sumber daya alam.
Dalam Islam, ini disebut sebagai realisasi prinsip al-maslahah al-ammah
(kemaslahatan umum)7.
Di sisi lain, hadits Nabi Saw
tentang makanan halal berimplikasi pada pentingnya mempertahankan etika
konsumsi dalam dunia modern yang kompleks, sebagaimana dicontohkan dalam
penolakan Islam terhadap produk yang berpotensi merusak lingkungan atau
mengeksploitasi hak-hak pekerja8.
5.4.
Tantangan dan
Peluang di Era Modern
Perkembangan teknologi pangan
menghadirkan tantangan baru dalam menentukan kehalalan produk, seperti
munculnya daging sintetis (lab-grown meat), produk rekayasa genetika (GMO), dan
aditif berbahan hewani9. Ulama kontemporer melalui lembaga-lembaga
fatwa dunia berusaha merumuskan standar baru berdasarkan prinsip-prinsip
halal-thayyib untuk mengantisipasi perkembangan ini.
Sebagai respons, penguatan
literasi halal di kalangan masyarakat, termasuk di lembaga pendidikan seperti MA
Plus Al-Aqsha, menjadi sangat strategis untuk membentuk generasi yang mampu
mengimplementasikan nilai-nilai ilahiah ini di tengah dinamika global.
Footnotes
[1]
Lee, Byung-Kook, et al., "Foodborne Pathogens and Disease: Public
Health Importance," Nutrients 11, no. 6 (2019): 1342, https://doi.org/10.3390/nu11061342.
[2]
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsīr al-Marāghī (Beirut: Dar
al-Fikr, 1993), 2:172–173.
[3]
Majelis Ulama Indonesia, Sistem Jaminan Halal (SJH): Panduan dan
Implementasi (Jakarta: LPPOM MUI, 2017), 15–18.
[4]
Wilson, Jonathan A.J., and Liu, Jin-Sun, "The Challenges of
Islamic Branding: Navigating Halal Certification," Journal of Islamic
Marketing 2, no. 1 (2011): 28–42, https://doi.org/10.1108/17590831111115266.
[5]
Muhammad ibn Ahmad al-Qurtubi, al-Jāmi‘ li Ahkām al-Qur’ān,
ed. Ahmad al-Barduni dan Ibrahim Atfayish (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
2003), 2:173.
[6]
DinarStandard and Salaam Gateway, State of the Global Islamic
Economy Report 2020/21 (Dubai: DIEDC, 2020), 8.
[7]
Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh (Damaskus:
Dar al-Fikr, 1985), 2:1175.
[8]
Kamla, Rania, "Islamic Accounting and Economies of Visibility:
Exploring the Interplay between Islam, Law, and Accounting," Accounting,
Auditing & Accountability Journal 22, no. 2 (2009): 220–251, https://doi.org/10.1108/09513570910933999.
[9]
Bonne, Karijn, and Wim Verbeke, "Muslim Consumer Trust in Halal
Meat Status and Control in Belgium," Meat Science 79, no. 1
(2008): 113–123, https://doi.org/10.1016/j.meatsci.2007.08.007.
6.
Implementasi Nilai Halal dan Thayyib
dalam Kehidupan Modern
6.1.
Prinsip Pemilihan
Makanan dalam Kehidupan Sehari-hari
Implementasi nilai halal
dan thayyib dalam kehidupan modern bermula dari kesadaran individual
dalam memilih makanan. Prinsip dasar yang diambil dari Al-Qur'an, seperti QS
al-Baqarah [2] ayat 168–173, mengajarkan agar umat Islam secara aktif
memastikan bahwa konsumsi mereka memenuhi dua syarat: halal menurut hukum
syariat dan thayyib dalam kualitas serta manfaat1.
Menurut Imam al-Qurtubi,
perilaku selektif terhadap makanan tidak hanya bersifat ritual, tetapi juga
upaya menjaga kehormatan diri dan keimanan2. Dalam praktik modern,
hal ini diterjemahkan ke dalam sikap kritis konsumen: memeriksa label halal,
mengkaji asal-usul bahan, memperhatikan proses produksi, dan memahami kandungan
nutrisi.
Jurnal Halal Research
mengemukakan bahwa pemilihan makanan halal kini juga mencakup verifikasi
terhadap proses logistik, penyimpanan, hingga sertifikasi pihak ketiga yang
kredibel3. Dengan demikian, memilih makanan halal-thayyib bukan
hanya soal hukum, tetapi juga kesadaran akan kesehatan diri dan tanggung jawab
sosial.
6.2.
Sikap Kritis
terhadap Produk Konsumsi Kontemporer
Dalam era globalisasi, produk
makanan seringkali mengandung bahan aditif, enzim, atau pengawet yang berasal
dari sumber tidak jelas kehalalannya. Al-Qur'an mengajarkan prinsip
kehati-hatian (wara') dalam konsumsi, sebagaimana ditegaskan oleh
Rasulullah Saw dalam hadits riwayat Tirmidzi: "Sesungguhnya Allah itu
baik dan tidak menerima kecuali yang baik."_4
Sikap kritis ini diwujudkan
melalui:
·
Membaca dan memahami daftar
bahan (ingredients list).
·
Menelusuri proses pembuatan
produk, terutama yang mengandung gelatin, emulsifier, atau flavoring.
·
Mengutamakan produk yang
sudah bersertifikat halal dari lembaga terpercaya.
Menurut International
Journal of Islamic and Middle Eastern Finance and Management, sikap
konsumen Muslim modern perlu berkembang dari sekadar menghindari yang haram
menjadi aktif mencari informasi, menilai kredibilitas sertifikasi, serta
mendukung industri halal yang bertanggung jawab5.
6.3.
Kontribusi pada Pembangunan
Ekosistem Halal Global
Implementasi nilai halal dan
thayyib juga memiliki dimensi kolektif. Dengan semakin tingginya permintaan
akan produk halal-thayyib, umat Islam memiliki kesempatan untuk mendukung
pembangunan ekonomi halal yang adil, bersih, dan berkelanjutan. Konsep ini
berkaitan erat dengan tujuan maqashid al-syari’ah dalam menjaga agama,
jiwa, akal, keturunan, dan harta6.
DinarStandard dalam laporan State
of the Global Islamic Economy mencatat bahwa sektor makanan halal global
diproyeksikan akan terus tumbuh seiring meningkatnya kesadaran konsumen
terhadap aspek kehalalan dan keberlanjutan7. Artinya, konsumen
Muslim bukan hanya sekadar pengguna, tetapi juga agen perubahan yang dapat
mengarahkan pasar menuju prinsip keadilan sosial dan kelestarian lingkungan.
6.4.
Pendidikan Literasi
Halal-Thayyib
Pendidikan tentang pentingnya
halal dan thayyib perlu dimasukkan dalam kurikulum formal dan informal, seperti
yang mulai dilakukan di berbagai madrasah, termasuk MA Plus Al-Aqsha. Literasi
halal tidak hanya mencakup hukum fiqh dasar, tetapi juga analisis terhadap
isu-isu kontemporer seperti produk rekayasa genetika (GMO), nanoteknologi
pangan, hingga etika bisnis makanan8.
Sebagaimana ditegaskan dalam Tafsir
al-Mishbah oleh Quraish Shihab, penerapan prinsip halal-thayyib di zaman
modern memerlukan pemahaman dinamis terhadap teks agama dan realitas sosial,
dengan tetap menjaga kesetiaan terhadap nilai-nilai ilahiah9.
Oleh karena itu, generasi
Muslim masa kini harus dibekali dengan pengetahuan agama, literasi sains, serta
kemampuan kritis untuk menjaga kesucian konsumsi mereka di tengah tantangan
global.
Footnotes
[1]
Muhammad ibn Jarir al-Tabari, Jāmi‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl Āy
al-Qur’ān, ed. Ahmad Muhammad Shakir (Beirut: Dar al-Ma'arif, 2000),
2:168-173.
[2]
Muhammad ibn Ahmad al-Qurtubi, al-Jāmi‘ li Ahkām al-Qur’ān,
ed. Ahmad al-Barduni dan Ibrahim Atfayish (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
2003), 2:172–173.
[3]
Nuradli R. Radhi et al., "Halal Food and Beverage Industry:
Prospects and Challenges," Journal of Halal Research 1, no. 1
(2019): 1–12, https://doi.org/10.21580/jhr.2019.1.1.4245.
[4]
al-Tirmidhi, Jāmi‘ al-Tirmidhi, Kitab al-Tafsir, no. 2989.
[5]
Wilson, Jonathan A.J., and Liu, Jin-Sun, "The Challenges of
Islamic Branding: Navigating Halal Certification," Journal of Islamic
Marketing 2, no. 1 (2011): 28–42, https://doi.org/10.1108/17590831111115266.
[6]
Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh (Damaskus:
Dar al-Fikr, 1985), 2:1173–1175.
[7]
DinarStandard and Salaam Gateway, State of the Global Islamic
Economy Report 2020/21 (Dubai: DIEDC, 2020), 8–10.
[8]
Salleh, Mohd Ismail, et al., "Contemporary Issues in Halal
Standards and Certification," Journal of Halal Research 2, no. 2
(2020): 45–60, https://doi.org/10.21580/jhr.2020.2.2.6656.
[9]
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian
al-Qur’an, vol. 1 (Jakarta: Lentera Hati, 2000), 398–400.
7.
Penutup
Konsep makanan halal dan
thayyib dalam Islam memiliki kedalaman makna yang melampaui sekadar persoalan
hukum formal. Ia mencakup dimensi spiritual, moral, sosial, dan kesehatan yang
integral dalam membentuk kepribadian Muslim yang utuh. Sebagaimana ditegaskan
dalam QS al-Baqarah [2] ayat 168–173, serta diperkuat oleh hadits-hadits Nabi
Muhammad Saw, konsumsi makanan yang halal dan baik menjadi syarat penting dalam
menjaga kualitas iman dan amal seorang mukmin1.
Para ulama klasik, seperti
Imam al-Tabari dan al-Qurtubi, menguraikan bahwa konsumsi makanan haram bukan
hanya mengotori fisik, tetapi juga merusak hati dan menghalangi terkabulnya doa2.
Dalam tafsir kontemporer, seperti Tafsir al-Mishbah karya Quraish
Shihab, ditekankan bahwa menjaga konsumsi halal dan thayyib adalah bagian dari
realisasi tauhid dalam kehidupan sehari-hari3.
Dalam konteks modern,
penerapan nilai-nilai halal dan thayyib menjadi semakin penting mengingat
perkembangan industri pangan global, perubahan teknologi produksi makanan,
serta tantangan etika dalam rantai pasokan makanan. Standar halal modern, yang
melibatkan aspek keamanan pangan, keberlanjutan, dan keadilan sosial,
menunjukkan bahwa nilai-nilai Islam bersifat dinamis dan relevan untuk
menghadapi persoalan global kontemporer4.
Sebagaimana ditunjukkan dalam
berbagai kajian ilmiah, seperti yang diterbitkan dalam Journal of Halal
Research dan Journal of Islamic Marketing, kesadaran terhadap
pentingnya konsumsi halal dan thayyib membawa manfaat tidak hanya bagi
individu, tetapi juga bagi masyarakat dan lingkungan secara luas5.
Dengan demikian, penerapan prinsip halal-thayyib dalam kehidupan modern bukan
sekadar kewajiban religius, tetapi juga wujud tanggung jawab sosial dan
ekologis.
Penanaman nilai-nilai halal
dan thayyib, baik melalui pendidikan formal di madrasah maupun dalam lingkungan
keluarga dan masyarakat, merupakan upaya strategis dalam membentuk generasi
Muslim yang sehat, berintegritas, dan berdaya saing global, sambil tetap setia
kepada prinsip-prinsip ilahiah yang diajarkan dalam Al-Qur'an dan Hadits.
Akhirnya, pengamalan nilai
halal dan thayyib secara konsisten dalam berbagai aspek kehidupan akan membawa
keberkahan (barakah), memperkokoh hubungan manusia dengan Tuhannya,
dan membangun tatanan sosial yang lebih adil, sehat, dan berkelanjutan,
sebagaimana menjadi tujuan syariat Islam secara keseluruhan.
Footnotes
[1]
Muhammad ibn Jarir al-Tabari, Jāmi‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl Āy
al-Qur’ān, ed. Ahmad Muhammad Shakir (Beirut: Dar al-Ma'arif, 2000),
2:168-173.
[2]
Muhammad ibn Ahmad al-Qurtubi, al-Jāmi‘ li Ahkām al-Qur’ān,
ed. Ahmad al-Barduni dan Ibrahim Atfayish (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
2003), 2:172–173.
[3]
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian
al-Qur’an, vol. 1 (Jakarta: Lentera Hati, 2000), 398–400.
[4]
Wilson, Jonathan A.J., and Liu, Jin-Sun, "The Challenges of
Islamic Branding: Navigating Halal Certification," Journal of Islamic
Marketing 2, no. 1 (2011): 28–42, https://doi.org/10.1108/17590831111115266.
[5]
Nuradli R. Radhi et al., "Halal Food and Beverage Industry:
Prospects and Challenges," Journal of Halal Research 1, no. 1
(2019): 1–12, https://doi.org/10.21580/jhr.2019.1.1.4245.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar