Minggu, 05 Januari 2025

Bahan Ajar Qurdis Kelas 11 Bab 9: Makanan yang Baik dan Sehat dalam Konteks Kehidupan Global

Modul Al-Qur’an Hadits

Makanan Halal dan Baik dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hadits

Implementasi Nilai-Nilai Ilahiah dalam Kehidupan Modern


Nama Satuan       : Madrasah Aliyah Plus Al-Aqsha

Mata Pelajaran     : Al-Qur’an Hadits

Kelas                   : 11 (Sebelas)

Semester              : 2 (Genap)


Abstrak

Artikel ini membahas konsep makanan halal dan thayyib dalam perspektif Al-Qur’an dan Hadits, serta implementasinya dalam kehidupan modern. Kajian ini bertumpu pada analisis ayat-ayat QS al-Baqarah [2] ayat 168–169 dan QS al-Baqarah [2] ayat 172–173, serta hadits-hadits terkait dari Abu Dawud dan Tirmidzi, yang diperkuat dengan penjelasan ulama melalui tafsir klasik seperti karya al-Tabari, al-Qurtubi, dan Ibn Kathir, serta pendekatan tafsir kontemporer. Pembahasan memperlihatkan bahwa makanan halal dan thayyib tidak hanya memenuhi kriteria hukum syariat, tetapi juga mencakup standar kesehatan, kebersihan, dan keberlanjutan sosial. Dalam konteks modern, prinsip ini bersinggungan erat dengan teori keamanan pangan, etika konsumsi, dan ekonomi halal global. Artikel ini juga menyoroti pentingnya sikap kritis dan literasi halal di era globalisasi sebagai bentuk aktualisasi nilai-nilai ilahiah dalam perilaku konsumsi. Dengan pendekatan interdisipliner yang menggabungkan sumber keagamaan dan kajian ilmiah kontemporer, artikel ini menegaskan bahwa pengamalan prinsip halal dan thayyib adalah pilar integral dalam membangun pribadi Muslim yang sehat, beretika, dan berdaya saing global.

Kata Kunci: Halal, Thayyib, Al-Qur’an, Hadits, Konsumsi Modern, Keamanan Pangan, Ekonomi Halal.


PEMBAHASAN

Makanan Halal dan Baik dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hadits


Nama Satuan       : Madrasah Aliyah Plus Al-Aqsha

Mata Pelajaran     : Al-Qur’an Hadits

Kelas                   : 11 (Sebelas)

Bab                      : Bab 9 - Makanan Halal dan Baik dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hadits


1.          Pendahuluan

Makanan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang tidak hanya berfungsi untuk memenuhi kebutuhan biologis, tetapi juga berdampak pada aspek spiritual dan moral. Dalam Islam, konsumsi makanan tidak sekadar dipandang dari segi kesehatan fisik, melainkan juga memiliki dimensi religius yang berkaitan erat dengan keimanan dan akhlak seorang Muslim. Oleh sebab itu, ajaran Islam memberikan perhatian besar terhadap persoalan makanan yang dikonsumsi, sebagaimana tercermin dalam ajaran tentang makanan halal (diperbolehkan secara syar’i) dan thayyib (baik dan bermanfaat bagi tubuh dan jiwa).

Al-Qur'an secara eksplisit memerintahkan umat Islam untuk mengonsumsi makanan yang halal dan baik, sebagaimana dalam QS al-Baqarah [2] ayat 168–169 dan QS al-Baqarah [2] ayat 172–173, yang menekankan pentingnya menjaga kemurnian makanan dari unsur yang haram serta dampak negatif terhadap spiritualitas seseorang. Imam al-Tabari dalam Jāmi‘ al-Bayān menjelaskan bahwa perintah mengonsumsi makanan halal bertujuan menjaga umat Islam dari perbuatan fasik yang dipicu oleh konsumsi yang tidak sah secara syar'i.1 Selain itu, menurut al-Qurtubi, dimensi thayyib dalam makanan menandakan bukan hanya kehalalan secara hukum, tetapi juga kebersihan, kebaikan gizi, dan keterhindaran dari kerusakan atau najis.2

Tidak hanya Al-Qur’an, hadits-hadits Nabi Muhammad Saw juga mempertegas pentingnya memperhatikan kehalalan dan kebaikan makanan. Dalam hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dari Ma'dikarib r.a., Rasulullah Saw melarang konsumsi binatang buas bertaring dan keledai jinak, menunjukkan prinsip kehati-hatian dalam memilih sumber pangan.3 Sementara itu, hadits yang diriwayatkan Tirmidzi dari Abu Hurairah r.a. menekankan bahwa keberkahan ibadah, seperti dikabulkannya doa, bergantung pada kemurnian konsumsi seseorang dari makanan haram.4

Dalam perkembangan dunia modern, konsep halal dan thayyib memperoleh dimensi baru. Tantangan globalisasi, industrialisasi pangan, dan perkembangan bioteknologi telah memunculkan berbagai persoalan baru mengenai kehalalan produk makanan, seperti penggunaan bahan aditif, daging hasil rekayasa genetik (GMO), serta sertifikasi halal internasional. Menurut jurnal Halal Research, pemahaman modern terhadap halal tidak hanya mencakup kriteria syariat, tetapi juga aspek keamanan pangan, kesehatan, dan keberlanjutan.5

Oleh karena itu, pemahaman tentang makanan halal dan thayyib harus terus dikembangkan dengan pendekatan yang integratif: menggabungkan nash-nash syar’i, ijtihad para ulama, serta kajian ilmu modern. Pendidikan tentang konsumsi halal dan baik di tingkat madrasah, seperti di MA Plus Al-Aqsha, menjadi sangat penting untuk membekali generasi muda Muslim agar mampu menerapkan prinsip-prinsip ilahiah ini dalam kehidupan sehari-hari, baik secara individu maupun sebagai bagian dari masyarakat global.


Footnotes

[1]                Muhammad ibn Jarir al-Tabari, Jāmi‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl Āy al-Qur’ān, ed. Ahmad Muhammad Shakir (Beirut: Dar al-Ma'arif, 2000), 2:168-169.

[2]                Muhammad ibn Ahmad al-Qurtubi, al-Jāmi‘ li Ahkām al-Qur’ān, ed. Ahmad al-Barduni dan Ibrahim Atfayish (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003), 2:172.

[3]                Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Kitab al-At‘imah, no. 3806.

[4]                al-Tirmidhi, Jāmi‘ al-Tirmidhi, Kitab al-Tafsir, no. 2989.

[5]                Nuradli R. Radhi et al., "Halal Food and Beverage Industry: Prospects and Challenges," Journal of Halal Research 1, no. 1 (2019): 1–12, https://doi.org/10.21580/jhr.2019.1.1.4245.


2.          Landasan Konsep Makanan Halal dan Baik dalam Al-Qur’an dan Hadits

2.1.       Pengertian Halal dan Thayyib

Dalam Islam, istilah halal berasal dari bahasa Arab yang berarti "diperbolehkan" atau "dilegalkan", sedangkan thayyib berarti "baik", "bersih", dan "menguntungkan". Menurut definisi syariat, halal mencakup segala sesuatu yang tidak dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya dalam aspek hukum, sedangkan thayyib merujuk pada kebaikan substansial, baik dari segi zat, manfaat, maupun cara memperolehnya1.

Imam al-Raghib al-Asfahani dalam al-Mufradat fi Gharib al-Qur'an menjelaskan bahwa halal adalah sesuatu yang terlepas dari ikatan yang membelenggu, baik dari sisi hukum duniawi maupun ukhrawi, sementara thayyib berkaitan erat dengan kesucian, kenikmatan, dan keamanan sesuatu dari bahaya2. Dengan demikian, makanan halal harus juga memenuhi standar thayyib, bukan sekadar terbebas dari unsur haram, tetapi juga harus baik secara kualitas dan manfaat.

Dalam konteks modern, standar halal dan thayyib diterjemahkan tidak hanya sebatas hukum agama, melainkan juga mencakup keamanan pangan, kesehatan, kebersihan, serta keberlanjutan lingkungan3.

2.2.       Pentingnya Konsumsi Halal dan Baik

Perintah untuk mengonsumsi makanan halal dan thayyib dalam Al-Qur’an bukan sekadar perintah hukum, melainkan upaya membangun kualitas spiritual, moral, dan fisik umat Islam. QS al-Baqarah [2] ayat 168 memerintahkan:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

Wahai sekalian manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal lagi baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan...” (QS al-Baqarah [2] ayat 168).

Dalam Tafsir al-Thabari, ayat ini dijelaskan sebagai ajakan universal kepada seluruh manusia untuk menjaga kemurnian makanan, sebab makanan haram dapat menjadi pintu masuk bisikan setan yang mendorong kepada perbuatan dosa4.

Sementara itu, Tafsir al-Qurtubi menegaskan bahwa kualitas thayyib menunjukkan bahwa makanan tersebut harus berasal dari sumber yang bersih, bebas dari najis dan penyakit, serta memenuhi kriteria kesehatan, tidak hanya dari segi syariat tetapi juga dari sisi medis5. Oleh karena itu, konsumsi halal dan baik menjadi pondasi bagi terciptanya pribadi Muslim yang bersih lahir dan batin.

Hadits Nabi Muhammad Saw semakin mempertegas prinsip ini. Dalam hadits riwayat Tirmidzi dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda:

إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا

"Sesungguhnya Allah itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik..."_6

Hadits ini menegaskan bahwa amal ibadah, termasuk doa, dapat terhalang jika makanan yang dikonsumsi berasal dari yang haram atau tidak thayyib.

Dalam perspektif sosiologis dan kesehatan kontemporer, mengonsumsi makanan halal dan thayyib berkontribusi pada keseimbangan gizi, pencegahan penyakit, dan pembangunan etika konsumsi yang bertanggung jawab terhadap alam dan sesama manusia7.


Footnotes

[1]                Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh (Damaskus: Dar al-Fikr, 1985), 4:262.

[2]                al-Raghib al-Asfahani, al-Mufradat fi Gharib al-Qur'an, ed. Safwan Adnan Da’udi (Damaskus: Dar al-Qalam, 2002), 147.

[3]                Nuradli R. Radhi et al., "Halal Food and Beverage Industry: Prospects and Challenges," Journal of Halal Research 1, no. 1 (2019): 1–12, https://doi.org/10.21580/jhr.2019.1.1.4245.

[4]                Muhammad ibn Jarir al-Tabari, Jāmi‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl Āy al-Qur’ān, ed. Ahmad Muhammad Shakir (Beirut: Dar al-Ma'arif, 2000), 2:168-169.

[5]                Muhammad ibn Ahmad al-Qurtubi, al-Jāmi‘ li Ahkām al-Qur’ān, ed. Ahmad al-Barduni dan Ibrahim Atfayish (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003), 2:172-173.

[6]                al-Tirmidhi, Jāmi‘ al-Tirmidhi, Kitab al-Tafsir, no. 2989.

[7]              Muhammad Amanullah dan Shamim Ahmad, "Food Safety and Halal Certification," Journal of Islamic Marketing 9, no. 2 (2018): 511–524, https://doi.org/10.1108/JIMA-01-2017-0004.


3.          Tafsir Ayat-ayat Al-Qur’an tentang Makanan Halal dan Baik

3.1.       Tafsir QS al-Baqarah [2] ayat 168–169

Ayat 168–169 dari Surah al-Baqarah berbunyi:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ‏ (168) إِنَّمَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَاءِ وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ‏ (169)

"Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu. (168) Sesungguhnya (setan) itu hanya menyuruh kamu agar berbuat jahat dan keji, dan mengatakan apa yang tidak kamu ketahui tentang Allah. (169)" (QS al-Baqarah [2] ayat 168–169).

Imam al-Tabari dalam Jāmi‘ al-Bayān menjelaskan bahwa seruan ini ditujukan kepada seluruh umat manusia, tidak hanya kepada kaum mukminin, sebagai bentuk ajakan universal untuk menjaga kesucian konsumsi dan menghindari sumber makanan haram1. Al-Tabari menekankan bahwa mengonsumsi makanan halal dan thayyib merupakan bagian dari ketaatan kepada Allah dan bentuk perlindungan terhadap akhlak manusia dari pengaruh setan yang menjerumuskan kepada keburukan2.

Menurut al-Qurtubi dalam al-Jāmi‘ li Ahkām al-Qur’ān, istilah "halal" merujuk pada makanan yang dibolehkan oleh syariat, sedangkan "thayyib" merujuk pada makanan yang bersih dari najis, penyakit, atau hal-hal yang membahayakan manusia3. Al-Qurtubi menambahkan bahwa keterikatan manusia dengan makanan yang halal dan baik adalah bentuk ketaatan yang menjaga kualitas moral dan spiritual umat.

Tafsir al-Mishbah karya Quraish Shihab menguraikan bahwa ayat ini juga mengandung pesan tentang pentingnya menghindari gaya hidup konsumtif tanpa batas. Menurut Shihab, setan menggoda manusia tidak hanya untuk memakan makanan haram, tetapi juga untuk berlebihan dalam konsumsi, yang akhirnya menimbulkan dampak negatif sosial dan ekologis4.

3.2.       Tafsir QS al-Baqarah [2] ayat 172–173

Ayat selanjutnya berbunyi:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ‏‏ (172) إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ ۖ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ‏‏ (173)

"Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah dari rezeki yang baik yang Kami berikan kepada kamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika kamu hanya menyembah kepada-Nya. (172) Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah. Tetapi barang siapa terpaksa (memakannya), bukan karena menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (173)" (QS al-Baqarah [2] ayat 172–173).

Ibn Kathir dalam Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm menegaskan bahwa ayat ini menampilkan prinsip dasar dalam syariat Islam: halal dan haram. Allah hanya mengharamkan empat jenis makanan secara eksplisit, sedangkan sisanya halal kecuali terdapat dalil yang mengharamkannya5. Ibn Kathir juga menekankan bahwa keadaan darurat membolehkan yang haram, asalkan dalam batas kebutuhan mendesak, tidak disertai keinginan hati, dan tidak berlebihan6.

Menurut al-Maraghi, konsep "thayyib" dalam ayat ini memperluas makna halal dengan memasukkan unsur kebermanfaatan makanan untuk kesehatan fisik dan moral. Makanan yang mengandung mudarat, sekalipun halal dalam zatnya, bisa menjadi tidak thayyib jika membahayakan kesehatan, sehingga perlu dihindari7.

Tinjauan kontemporer dari jurnal Journal of Halal Research menyatakan bahwa ayat ini menjadi dasar penting bagi pengembangan standar halal modern yang tidak hanya mempertimbangkan aspek fiqh, tetapi juga aspek keamanan pangan, standar kebersihan internasional, serta keseimbangan ekologi dalam produksi makanan8.

Ayat-ayat ini menunjukkan betapa Islam sangat menekankan pentingnya makanan yang tidak hanya halal secara hukum, tetapi juga baik dan layak dikonsumsi dalam artian kesehatan, sosial, dan lingkungan. Implementasi prinsip halal-thayyib dalam konteks modern menuntut Muslim untuk kritis terhadap sumber, proses produksi, serta kualitas gizi makanan yang dikonsumsi.


Footnotes

[1]                Muhammad ibn Jarir al-Tabari, Jāmi‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl Āy al-Qur’ān, ed. Ahmad Muhammad Shakir (Beirut: Dar al-Ma'arif, 2000), 2:168.

[2]                Ibid., 2:169.

[3]                Muhammad ibn Ahmad al-Qurtubi, al-Jāmi‘ li Ahkām al-Qur’ān, ed. Ahmad al-Barduni dan Ibrahim Atfayish (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003), 2:172.

[4]                M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, vol. 1 (Jakarta: Lentera Hati, 2000), 396–397.

[5]                Isma’il ibn ‘Umar ibn Kathir, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, ed. Sami bin Muhammad al-Salamah (Riyadh: Dar Taybah, 1997), 1:468.

[6]                Ibid., 1:470.

[7]                Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsīr al-Marāghī (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 2:172-173.

[8]                Nuradli R. Radhi et al., "Halal Food and Beverage Industry: Prospects and Challenges," Journal of Halal Research 1, no. 1 (2019): 1–12, https://doi.org/10.21580/jhr.2019.1.1.4245.


4.          Analisis Hadits tentang Konsumsi Makanan Halal dan Baik

4.1.       HR Abu Dawud dari Ma'dikarib r.a.

Hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dari Ma’dikarib r.a. berbunyi:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُصَفّى الْحِمْصِيُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ حَرْبٍ عَنِ الزُّبَيْدِيَ عَنْ مَرْوَانَ بْنِ رُؤْبَةً التَّغْلِبِي عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي عَوْفِ عَنِ الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِي كَرِبَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَلَا لَا يَحِلُّ ذُو نَابٍ مِنَ السَبَاعِ وَلَا الْحِمَارُ الْأَهْلِيُّ وَلَا اللُّقَطَةُ مِنْ مَالِ مُعَاهَدٍ إِلَّا أَنْ يَسْتَغْنِيَ عَنْهَا وَأَيُّمَا رَجُلٍ ضَافَ قَوْمًا فَلَمْ يَقْرُوهُ فَإِنَّ لَهُ أَنْ يُعْقِبَهُمْ بِمِثْلِ قِرَاهُ

Diceritakan kepada kami Muhammad bin al-Mushaffa al-Himshi dari Muhammad bin Harb dari az-Zabidi dari Marwan bin Ru'bah at-Taghlibi dari Abdurahman bin 'Auf dari al-Miqdām bin Ma'dikarib dari Rasulullah beliau bersabda: "Ketahuilah, tidak halal hewan buas yang memiliki taring, keledai jinak, barang temuan dari harta orang Kafir Mu'āhad (yang menjalin perjanjian) kecuali ia tidak membutuhkannya. Dan siapapun laki-laki yang bertamu kepada suatu kaum dan mereka tidak menjamunya, maka baginya untuk menuntut ganti yang seperti jamuan untuknya." 1

Hadits ini memberikan garis tegas terhadap jenis makanan yang diharamkan Rasulullah Saw selain yang disebutkan dalam Al-Qur'an. Menurut penjelasan al-Khathabi dalam Ma'alim al-Sunan, larangan mengonsumsi binatang buas bertaring (seperti singa, harimau, anjing) bertujuan mencegah manusia dari perilaku brutal dan melindungi manusia dari potensi bahaya biologis yang dapat ditularkan melalui konsumsi hewan predator2.

Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari menambahkan bahwa keledai jinak dilarang dimakan karena manusia sering menggunakannya untuk transportasi, dan konsumsi dagingnya dianggap merendahkan nilai manfaat sosial hewan tersebut3. Perspektif ini menunjukkan betapa larangan makanan dalam Islam juga memperhitungkan aspek sosial, etis, dan ekologis.

Dalam konteks modern, penelitian di bidang kesehatan menunjukkan bahwa konsumsi daging dari hewan pemangsa dapat meningkatkan risiko penyakit zoonosis (penyakit yang ditularkan dari hewan ke manusia), memperkuat relevansi medis dari larangan syariat tersebut4.

4.2.       HR Tirmidzi dari Abu Hurairah r.a.

Hadits yang diriwayatkan Tirmidzi dari Abu Hurairah r.a. berbunyi:

حَدَّثَنَا عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ قَالَ حَدَّثَنَا فُضَيْلُ بْنُ مَرْزُوقٍ عَنْ عَدِيَ بْنِ ثَابِتٍ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ وَلَا يَقْبَلُ إِلا طَيِّبًا وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ وَقَالَ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ قَالَ وَذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ

Dikatakan kepada kami oleh Abd bin Humaid dari Abu Nu'aim dari Fudhail bin Marzuq dari Adi bin Tsabit dari Abu Hazim dari Abu Hurairah bahwa Nabi Muhammad bersabda: "Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah Maha Baik dan hanya menerima yang baik, sesungguhnya Allah memerintahkan kaum mukminin seperti yang diperintahkan kepada para rasul. Dia berfirman: 'Wahai para rasul, makanlah dari yang baik-baik dan berbuatlah kebaikan, sesungguhnya Aku mengetahui yang kalian lakukan.'" Dia juga berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, makanlah yang baik-baik dari rezeki yang Ku berikan padamu." Lalu beliau menyebutkan tentang orang yang memperlama perjalanannya, rambutnya acak-acakan dan berdebu, ia membentangkan tangannya ke langit sambil berdo'a; "Ya Rabb, ya Rabbi," sementara makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan diliputi dengan yang haram, lalu bagaimana akan dikabulkan do'anya.5

Hadits ini menekankan hubungan erat antara kualitas konsumsi seseorang dengan keabsahan amal ibadahnya. Menurut al-Tibi dalam Sharh al-Mishkat, hadits ini menunjukkan bahwa amal saleh seorang Muslim tidak dapat dipisahkan dari kebersihan makanan yang ia konsumsi; makanan haram dapat menjadi penghalang utama diterimanya doa dan ibadah6.

Ibn Rajab dalam Jāmi‘ al-‘Ulūm wa al-Ḥikam menguraikan bahwa makanan yang haram tidak hanya berdampak pada individu secara spiritual, tetapi juga dapat menyebabkan kerasnya hati, tertolaknya amal, dan munculnya penyakit-penyakit hati seperti kesombongan dan kerakusan7.

Dalam perspektif kontemporer, jurnal International Journal of Islamic and Middle Eastern Finance and Management mengungkapkan bahwa kesadaran halal-thayyib dalam konsumsi berhubungan dengan konsep ethical consumerism (konsumerisme etis) di dunia modern, di mana konsumen memilih produk yang tidak hanya sah menurut agama, tetapi juga etis dari sisi produksi, distribusi, dan dampak sosial8.

4.3.       Implikasi Hadits terhadap Prinsip Konsumsi Muslim Modern

Dua hadits utama ini mengajarkan bahwa:

·                     Makanan yang halal harus memenuhi standar kebersihan, keamanan, serta kepatutan sosial.

·                     Konsumsi yang baik mempengaruhi diterimanya amal dan keutuhan hubungan spiritual dengan Allah.

·                     Standar halal dan thayyib tidak hanya bersifat ritual, melainkan juga rasional dan ilmiah, mencakup kesehatan, etika sosial, dan keseimbangan lingkungan.

Oleh karena itu, dalam konteks kehidupan modern, seorang Muslim dituntut untuk:

·                     Menganalisis sumber dan proses makanan.

·                     Memastikan bahwa produk yang dikonsumsi tidak bertentangan dengan prinsip halal-thayyib.

·                     Berpartisipasi dalam membangun kesadaran kolektif terhadap konsumsi bertanggung jawab sebagai bagian dari ibadah sosial (ibadah ijtima’i).


Footnotes

[1]                Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Kitab al-At‘imah, no. 3806.

[2]                al-Khathabi, Ma'alim al-Sunan, ed. Ahmad Muhammad Shakir (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), 4:34.

[3]                Ibn Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari bi Sharh Sahih al-Bukhari, ed. Muhammad Fuad Abdul Baqi (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1959), 9:651.

[4]                D. L. Heymann, Control of Communicable Diseases Manual, 20th ed. (Washington DC: American Public Health Association, 2015), 116–117.

[5]                al-Tirmidhi, Jāmi‘ al-Tirmidhi, Kitab al-Tafsir, no. 2989.

[6]                al-Tibi, Sharh al-Mishkat al-Masabih, ed. Adil Ahmad Abd al-Maujoud (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994), 4:1236.

[7]                Ibn Rajab al-Hanbali, Jāmi‘ al-‘Ulūm wa al-Ḥikam, ed. Shu‘ayb al-Arna’ut (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1991), 1:64.

[8]                Nuradli R. Radhi et al., "Halal Food and Beverage Industry: Prospects and Challenges," Journal of Halal Research 1, no. 1 (2019): 1–12, https://doi.org/10.21580/jhr.2019.1.1.4245.


5.          Korelasi Penjelasan Al-Qur’an dan Hadits dengan Teori dan Pengetahuan Modern

5.1.       Perspektif Ilmu Gizi dan Kesehatan

Konsep makanan halal dan thayyib dalam Al-Qur’an dan Hadits memiliki koherensi yang kuat dengan prinsip-prinsip kesehatan modern. Dalam pandangan medis, makanan yang baik harus memenuhi standar gizi, bebas dari zat berbahaya, dan layak konsumsi. Penelitian dalam jurnal Nutrients mengungkapkan bahwa makanan yang tidak bersih, mengandung patogen, atau bahan berbahaya dapat menjadi penyebab utama berbagai penyakit kronis, seperti diabetes, kanker, dan penyakit jantung1.

Sementara itu, dalam perspektif Islam, makanan thayyib tidak hanya bebas dari keharaman hukum, tetapi juga harus baik bagi tubuh. Tafsir al-Maraghi menekankan bahwa kebaikan (thayyib) mencakup keutuhan zat gizi, tidak tercemar najis, serta tidak berpotensi merusak fisik maupun spiritual2. Oleh karena itu, standar gizi modern, seperti diet seimbang (balanced diet) dan prinsip food safety, dapat dipandang sebagai perwujudan dari nilai-nilai thayyib.

5.2.       Perspektif Hukum dan Regulasi Modern

Globalisasi pangan menuntut adanya sistem sertifikasi halal yang diakui secara internasional untuk memastikan bahwa produk memenuhi kriteria halal dan thayyib. Di Indonesia, LPPOM MUI mengembangkan sistem jaminan halal (SJH) yang menilai bahan baku, proses produksi, penyimpanan, hingga distribusi3. Sistem ini sejalan dengan prinsip syariat tentang pentingnya menjaga kehalalan dari sumber hingga produk akhir.

Menurut jurnal Journal of Islamic Marketing, sistem sertifikasi halal modern juga melibatkan aspek legal compliance (kepatuhan hukum) terhadap standar mutu internasional, seperti Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP) dan Good Manufacturing Practices (GMP), yang bertujuan menjamin produk tidak hanya halal secara syar’i tetapi juga aman dikonsumsi4.

Sebagaimana ditegaskan dalam Tafsir al-Qurtubi, menjaga kehalalan tidak hanya berhenti pada pengucapan basmalah dalam penyembelihan, melainkan mencakup kehati-hatian dalam seluruh proses memperoleh dan mengonsumsi makanan5.

5.3.       Perspektif Sosial dan Ekonomi

Makanan halal dan thayyib juga berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi yang etis dan berkelanjutan. Industri halal global mengalami pertumbuhan pesat, dengan estimasi pasar senilai lebih dari USD 2 triliun pada tahun 20246. Konsep halal dalam Islam mendorong transaksi ekonomi yang bersih, transparan, dan adil, yang dalam istilah modern disebut ethical consumption.

Dalam perspektif sosial, kesadaran terhadap konsumsi halal-thayyib dapat mendorong solidaritas umat, meminimalisir ketimpangan sosial, dan menjaga keberlanjutan sumber daya alam. Dalam Islam, ini disebut sebagai realisasi prinsip al-maslahah al-ammah (kemaslahatan umum)7.

Di sisi lain, hadits Nabi Saw tentang makanan halal berimplikasi pada pentingnya mempertahankan etika konsumsi dalam dunia modern yang kompleks, sebagaimana dicontohkan dalam penolakan Islam terhadap produk yang berpotensi merusak lingkungan atau mengeksploitasi hak-hak pekerja8.

5.4.       Tantangan dan Peluang di Era Modern

Perkembangan teknologi pangan menghadirkan tantangan baru dalam menentukan kehalalan produk, seperti munculnya daging sintetis (lab-grown meat), produk rekayasa genetika (GMO), dan aditif berbahan hewani9. Ulama kontemporer melalui lembaga-lembaga fatwa dunia berusaha merumuskan standar baru berdasarkan prinsip-prinsip halal-thayyib untuk mengantisipasi perkembangan ini.

Sebagai respons, penguatan literasi halal di kalangan masyarakat, termasuk di lembaga pendidikan seperti MA Plus Al-Aqsha, menjadi sangat strategis untuk membentuk generasi yang mampu mengimplementasikan nilai-nilai ilahiah ini di tengah dinamika global.


Footnotes

[1]                Lee, Byung-Kook, et al., "Foodborne Pathogens and Disease: Public Health Importance," Nutrients 11, no. 6 (2019): 1342, https://doi.org/10.3390/nu11061342.

[2]                Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsīr al-Marāghī (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 2:172–173.

[3]                Majelis Ulama Indonesia, Sistem Jaminan Halal (SJH): Panduan dan Implementasi (Jakarta: LPPOM MUI, 2017), 15–18.

[4]                Wilson, Jonathan A.J., and Liu, Jin-Sun, "The Challenges of Islamic Branding: Navigating Halal Certification," Journal of Islamic Marketing 2, no. 1 (2011): 28–42, https://doi.org/10.1108/17590831111115266.

[5]                Muhammad ibn Ahmad al-Qurtubi, al-Jāmi‘ li Ahkām al-Qur’ān, ed. Ahmad al-Barduni dan Ibrahim Atfayish (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003), 2:173.

[6]                DinarStandard and Salaam Gateway, State of the Global Islamic Economy Report 2020/21 (Dubai: DIEDC, 2020), 8.

[7]                Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh (Damaskus: Dar al-Fikr, 1985), 2:1175.

[8]                Kamla, Rania, "Islamic Accounting and Economies of Visibility: Exploring the Interplay between Islam, Law, and Accounting," Accounting, Auditing & Accountability Journal 22, no. 2 (2009): 220–251, https://doi.org/10.1108/09513570910933999.

[9]                Bonne, Karijn, and Wim Verbeke, "Muslim Consumer Trust in Halal Meat Status and Control in Belgium," Meat Science 79, no. 1 (2008): 113–123, https://doi.org/10.1016/j.meatsci.2007.08.007.


6.          Implementasi Nilai Halal dan Thayyib dalam Kehidupan Modern

6.1.       Prinsip Pemilihan Makanan dalam Kehidupan Sehari-hari

Implementasi nilai halal dan thayyib dalam kehidupan modern bermula dari kesadaran individual dalam memilih makanan. Prinsip dasar yang diambil dari Al-Qur'an, seperti QS al-Baqarah [2] ayat 168–173, mengajarkan agar umat Islam secara aktif memastikan bahwa konsumsi mereka memenuhi dua syarat: halal menurut hukum syariat dan thayyib dalam kualitas serta manfaat1.

Menurut Imam al-Qurtubi, perilaku selektif terhadap makanan tidak hanya bersifat ritual, tetapi juga upaya menjaga kehormatan diri dan keimanan2. Dalam praktik modern, hal ini diterjemahkan ke dalam sikap kritis konsumen: memeriksa label halal, mengkaji asal-usul bahan, memperhatikan proses produksi, dan memahami kandungan nutrisi.

Jurnal Halal Research mengemukakan bahwa pemilihan makanan halal kini juga mencakup verifikasi terhadap proses logistik, penyimpanan, hingga sertifikasi pihak ketiga yang kredibel3. Dengan demikian, memilih makanan halal-thayyib bukan hanya soal hukum, tetapi juga kesadaran akan kesehatan diri dan tanggung jawab sosial.

6.2.       Sikap Kritis terhadap Produk Konsumsi Kontemporer

Dalam era globalisasi, produk makanan seringkali mengandung bahan aditif, enzim, atau pengawet yang berasal dari sumber tidak jelas kehalalannya. Al-Qur'an mengajarkan prinsip kehati-hatian (wara') dalam konsumsi, sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah Saw dalam hadits riwayat Tirmidzi: "Sesungguhnya Allah itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik."_4

Sikap kritis ini diwujudkan melalui:

·                     Membaca dan memahami daftar bahan (ingredients list).

·                     Menelusuri proses pembuatan produk, terutama yang mengandung gelatin, emulsifier, atau flavoring.

·                     Mengutamakan produk yang sudah bersertifikat halal dari lembaga terpercaya.

Menurut International Journal of Islamic and Middle Eastern Finance and Management, sikap konsumen Muslim modern perlu berkembang dari sekadar menghindari yang haram menjadi aktif mencari informasi, menilai kredibilitas sertifikasi, serta mendukung industri halal yang bertanggung jawab5.

6.3.       Kontribusi pada Pembangunan Ekosistem Halal Global

Implementasi nilai halal dan thayyib juga memiliki dimensi kolektif. Dengan semakin tingginya permintaan akan produk halal-thayyib, umat Islam memiliki kesempatan untuk mendukung pembangunan ekonomi halal yang adil, bersih, dan berkelanjutan. Konsep ini berkaitan erat dengan tujuan maqashid al-syari’ah dalam menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta6.

DinarStandard dalam laporan State of the Global Islamic Economy mencatat bahwa sektor makanan halal global diproyeksikan akan terus tumbuh seiring meningkatnya kesadaran konsumen terhadap aspek kehalalan dan keberlanjutan7. Artinya, konsumen Muslim bukan hanya sekadar pengguna, tetapi juga agen perubahan yang dapat mengarahkan pasar menuju prinsip keadilan sosial dan kelestarian lingkungan.

6.4.       Pendidikan Literasi Halal-Thayyib

Pendidikan tentang pentingnya halal dan thayyib perlu dimasukkan dalam kurikulum formal dan informal, seperti yang mulai dilakukan di berbagai madrasah, termasuk MA Plus Al-Aqsha. Literasi halal tidak hanya mencakup hukum fiqh dasar, tetapi juga analisis terhadap isu-isu kontemporer seperti produk rekayasa genetika (GMO), nanoteknologi pangan, hingga etika bisnis makanan8.

Sebagaimana ditegaskan dalam Tafsir al-Mishbah oleh Quraish Shihab, penerapan prinsip halal-thayyib di zaman modern memerlukan pemahaman dinamis terhadap teks agama dan realitas sosial, dengan tetap menjaga kesetiaan terhadap nilai-nilai ilahiah9.

Oleh karena itu, generasi Muslim masa kini harus dibekali dengan pengetahuan agama, literasi sains, serta kemampuan kritis untuk menjaga kesucian konsumsi mereka di tengah tantangan global.


Footnotes

[1]                Muhammad ibn Jarir al-Tabari, Jāmi‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl Āy al-Qur’ān, ed. Ahmad Muhammad Shakir (Beirut: Dar al-Ma'arif, 2000), 2:168-173.

[2]                Muhammad ibn Ahmad al-Qurtubi, al-Jāmi‘ li Ahkām al-Qur’ān, ed. Ahmad al-Barduni dan Ibrahim Atfayish (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003), 2:172–173.

[3]                Nuradli R. Radhi et al., "Halal Food and Beverage Industry: Prospects and Challenges," Journal of Halal Research 1, no. 1 (2019): 1–12, https://doi.org/10.21580/jhr.2019.1.1.4245.

[4]                al-Tirmidhi, Jāmi‘ al-Tirmidhi, Kitab al-Tafsir, no. 2989.

[5]                Wilson, Jonathan A.J., and Liu, Jin-Sun, "The Challenges of Islamic Branding: Navigating Halal Certification," Journal of Islamic Marketing 2, no. 1 (2011): 28–42, https://doi.org/10.1108/17590831111115266.

[6]                Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh (Damaskus: Dar al-Fikr, 1985), 2:1173–1175.

[7]                DinarStandard and Salaam Gateway, State of the Global Islamic Economy Report 2020/21 (Dubai: DIEDC, 2020), 8–10.

[8]                Salleh, Mohd Ismail, et al., "Contemporary Issues in Halal Standards and Certification," Journal of Halal Research 2, no. 2 (2020): 45–60, https://doi.org/10.21580/jhr.2020.2.2.6656.

[9]                M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, vol. 1 (Jakarta: Lentera Hati, 2000), 398–400.


7.          Penutup

Konsep makanan halal dan thayyib dalam Islam memiliki kedalaman makna yang melampaui sekadar persoalan hukum formal. Ia mencakup dimensi spiritual, moral, sosial, dan kesehatan yang integral dalam membentuk kepribadian Muslim yang utuh. Sebagaimana ditegaskan dalam QS al-Baqarah [2] ayat 168–173, serta diperkuat oleh hadits-hadits Nabi Muhammad Saw, konsumsi makanan yang halal dan baik menjadi syarat penting dalam menjaga kualitas iman dan amal seorang mukmin1.

Para ulama klasik, seperti Imam al-Tabari dan al-Qurtubi, menguraikan bahwa konsumsi makanan haram bukan hanya mengotori fisik, tetapi juga merusak hati dan menghalangi terkabulnya doa2. Dalam tafsir kontemporer, seperti Tafsir al-Mishbah karya Quraish Shihab, ditekankan bahwa menjaga konsumsi halal dan thayyib adalah bagian dari realisasi tauhid dalam kehidupan sehari-hari3.

Dalam konteks modern, penerapan nilai-nilai halal dan thayyib menjadi semakin penting mengingat perkembangan industri pangan global, perubahan teknologi produksi makanan, serta tantangan etika dalam rantai pasokan makanan. Standar halal modern, yang melibatkan aspek keamanan pangan, keberlanjutan, dan keadilan sosial, menunjukkan bahwa nilai-nilai Islam bersifat dinamis dan relevan untuk menghadapi persoalan global kontemporer4.

Sebagaimana ditunjukkan dalam berbagai kajian ilmiah, seperti yang diterbitkan dalam Journal of Halal Research dan Journal of Islamic Marketing, kesadaran terhadap pentingnya konsumsi halal dan thayyib membawa manfaat tidak hanya bagi individu, tetapi juga bagi masyarakat dan lingkungan secara luas5. Dengan demikian, penerapan prinsip halal-thayyib dalam kehidupan modern bukan sekadar kewajiban religius, tetapi juga wujud tanggung jawab sosial dan ekologis.

Penanaman nilai-nilai halal dan thayyib, baik melalui pendidikan formal di madrasah maupun dalam lingkungan keluarga dan masyarakat, merupakan upaya strategis dalam membentuk generasi Muslim yang sehat, berintegritas, dan berdaya saing global, sambil tetap setia kepada prinsip-prinsip ilahiah yang diajarkan dalam Al-Qur'an dan Hadits.

Akhirnya, pengamalan nilai halal dan thayyib secara konsisten dalam berbagai aspek kehidupan akan membawa keberkahan (barakah), memperkokoh hubungan manusia dengan Tuhannya, dan membangun tatanan sosial yang lebih adil, sehat, dan berkelanjutan, sebagaimana menjadi tujuan syariat Islam secara keseluruhan.


Footnotes

[1]                Muhammad ibn Jarir al-Tabari, Jāmi‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl Āy al-Qur’ān, ed. Ahmad Muhammad Shakir (Beirut: Dar al-Ma'arif, 2000), 2:168-173.

[2]                Muhammad ibn Ahmad al-Qurtubi, al-Jāmi‘ li Ahkām al-Qur’ān, ed. Ahmad al-Barduni dan Ibrahim Atfayish (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003), 2:172–173.

[3]                M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, vol. 1 (Jakarta: Lentera Hati, 2000), 398–400.

[4]                Wilson, Jonathan A.J., and Liu, Jin-Sun, "The Challenges of Islamic Branding: Navigating Halal Certification," Journal of Islamic Marketing 2, no. 1 (2011): 28–42, https://doi.org/10.1108/17590831111115266.

[5]                Nuradli R. Radhi et al., "Halal Food and Beverage Industry: Prospects and Challenges," Journal of Halal Research 1, no. 1 (2019): 1–12, https://doi.org/10.21580/jhr.2019.1.1.4245.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar