Minggu, 05 Januari 2025

Bahan Ajar Qurdis Kelas 11 Bab 8: Etos Kerja Pribadi Muslim

Etos Kerja dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hadits

Keseimbangan Spiritual dan Profesionalisme dalam Islam


Alihkan ke: Etika Profesi, Dinamika Morale, Kepemimpinan.


Nama Satuan       : Madrasah Aliyah Plus Al-Aqsha

Mata Pelajaran     : Al-Qur’an Hadits

Kelas                   : 11 (Sebelas)


Abstrak

Artikel ini mengkaji paradigma Islam tentang ibadah dan etos kerja dengan pendekatan tekstual dan kontekstual terhadap Qs. al-Jumu‘ah [62] ayat 9–11, Qs. al-Qashash [28] ayat 77, serta dua hadis riwayat Ibnu Majah yang menekankan kemandirian dan keutamaan bekerja. Melalui analisis tafsir klasik (seperti karya al-Ṭabarī, Ibn Kathīr, dan al-Qurṭubī), syarah hadis, serta jurnal ilmiah kontemporer, artikel ini menemukan bahwa Islam menempatkan kerja sebagai bagian integral dari ibadah yang bernilai spiritual dan sosial. Kerja dalam Islam bukan sekadar aktivitas ekonomi, tetapi juga manifestasi pengabdian kepada Allah dan tanggung jawab sosial terhadap keluarga dan umat.

Dengan mengintegrasikan nilai-nilai religius dan profesional, Islam menawarkan paradigma kerja yang seimbang antara orientasi ukhrawi dan produktivitas duniawi. Artikel ini juga menampilkan implementasi praktis dalam bentuk studi kasus tokoh inspiratif, integrasi pendidikan karakter di Madrasah Aliyah, serta pengembangan ekonomi berbasis pesantren. Kesimpulannya, ajaran Islam mengenai ibadah dan etos kerja sangat relevan dalam menjawab tantangan modern seperti krisis moral kerja, ketergantungan ekonomi, dan lemahnya tanggung jawab sosial. Nilai-nilai Qur’ani dan Nabawi ini perlu dibumikan melalui pendidikan, dakwah, dan pembangunan sistem sosial yang adil dan produktif.

Kata Kunci: Ibadah; Etos Kerja Islami; Al-Qur’an; Hadits; Profesionalisme; Kemandirian; Pendidikan Madrasah; Tanggung Jawab Sosial.


PEMBAHASAN

Ibadah dan Etos Kerja dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hadits


Nama Satuan       : Madrasah Aliyah Plus Al-Aqsha

Mata Pelajaran     : Al-Qur’an Hadits

Kelas                   : 11 (Sebelas)

Bab                      : Bab 8 - Etos Kerja Pribadi Muslim


1.           Pendahuluan

Islam sebagai agama yang paripurna (al-dīn al-kāmil) tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan (ḥabl min Allāh), tetapi juga dengan sesama manusia dan lingkungan sosialnya (ḥabl min al-nās). Dalam konsepsi Islam, nilai-nilai spiritualitas tidak berdiri sendiri, melainkan menyatu dengan amal perbuatan, termasuk dalam konteks bekerja, mencari nafkah, dan berkontribusi pada kemaslahatan umum. Oleh karena itu, Islam menempatkan kerja sebagai bagian integral dari ibadah, selama dilakukan dengan niat yang benar, cara yang halal, dan tujuan yang maslahat.

Konsep ini ditegaskan dalam berbagai ayat al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad saw., yang menunjukkan bahwa pengabdian kepada Allah tidak terlepas dari usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya secara mandiri dan produktif. Salah satu bentuk nyata dari ibadah yang aktif adalah bekerja dengan tangan sendiri, sebagaimana dalam hadits: "Tidak ada seseorang yang memakan makanan yang lebih baik daripada hasil jerih payah tangannya sendiri." (HR Ibnu Majah). Hadits ini tidak hanya mengandung anjuran moral, tetapi juga mencerminkan sistem nilai yang mendorong umat Islam untuk membangun kemandirian ekonomi dan martabat diri.

Ayat-ayat al-Qur’an seperti QS al-Jumu‘ah [62] ayat 9–11 dan QS al-Qashash [28] ayat 77 memperlihatkan paradigma keseimbangan (tawāzun) antara urusan akhirat dan dunia. Dalam QS al-Jumu‘ah, umat Islam diperintahkan untuk segera melaksanakan shalat Jumat saat azan dikumandangkan, namun setelah selesai shalat, mereka didorong untuk kembali menyebar di muka bumi guna mencari karunia Allah. Ini menjadi bukti bahwa aktivitas ekonomi dan ibadah saling melengkapi, bukan saling menegasikan satu sama lain.1

Tantangan modern seperti meningkatnya pengangguran, krisis etos kerja di kalangan generasi muda, serta kecenderungan budaya instan, menuntut revitalisasi nilai-nilai Islam mengenai kerja dan tanggung jawab. Dalam konteks pendidikan, khususnya pada jenjang Madrasah Aliyah, pembelajaran Al-Qur’an dan Hadits tentang ibadah dan etos kerja menjadi sangat strategis dalam membentuk generasi yang tidak hanya saleh secara ritual, tetapi juga produktif, mandiri, dan berdaya saing di tengah perubahan global.

Kajian terhadap QS al-Qashash [28] ayat 77 menegaskan pentingnya membangun kehidupan duniawi tanpa melupakan orientasi ukhrawi. Ayat ini relevan untuk meluruskan persepsi keliru yang sering menganggap dunia dan akhirat sebagai dua kutub yang bertentangan. Justru dalam Islam, kehidupan dunia adalah ladang untuk menanam amal yang akan dipanen di akhirat.2 Dengan demikian, kerja keras, produktivitas, dan tanggung jawab sosial merupakan bagian tak terpisahkan dari misi keislaman seorang hamba.

Artikel ini bertujuan untuk menganalisis nilai-nilai ibadah dan kerja dalam ajaran Islam berdasarkan kajian teks Al-Qur’an dan hadits, yang dikontekstualisasikan dengan realitas kehidupan masa kini. Penekanan akan diberikan pada pentingnya integrasi antara spiritualitas dan profesionalisme sebagai karakter utama insan Muslim modern.


Footnotes

[1]                Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, ed. Sāmī ibn Muḥammad Salāmah (Riyadh: Dār Ṭayyibah, 1999), 4:369; M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, vol. 13 (Jakarta: Lentera Hati, 2005), 355–356.

[2]                Al-Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān, ed. Aḥmad Shākir (Beirut: Dār al-Ma‘ārif, 1984), 20:108–109; Ahmad Wahib, “Paradigma Dunia-Akhirat dalam Islam: Suatu Kajian Teologis Terhadap QS al-Qashash Ayat 77,” Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadis 23, no. 1 (2022): 33–50.


2.           QS al-Jumu‘ah [62] ayat 9–11 – Ibadah dan Tanggung Jawab Ekonomi

2.1.       Teks dan Terjemahan Ayat

QS al-Jumu‘ah [62] ayat 9–11

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ “9” فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “10” وَإِذَا رَأَوْا تِجَارَةً أَوْ لَهْوًا انْفَضُّوا إِلَيْهَا وَتَرَكُوكَ قَائِمًا ۚ قُلْ مَا عِنْدَ اللَّهِ خَيْرٌ مِنَ اللَّهْوِ وَمِنَ التِّجَارَةِ ۚ وَاللَّهُ خَيْرُ الرَّازِقِينَ”11”

"Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (9) Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (10) Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah: "Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan", dan Allah Sebaik-baik Pemberi rezeki. (11)" (QS al-Jumu`ah [62] ayat 9-10).

2.2.       Tafsir dan Penjelasan Ulama

2.2.1.    Perintah Menghadiri Salat Jumat dan Meninggalkan Aktivitas Ekonomi

Ayat 9 menegaskan kewajiban bagi umat Islam untuk segera menghadiri salat Jumat dan meninggalkan aktivitas jual beli saat azan dikumandangkan. Menurut Imam al-Ṭabarī, perintah ini menunjukkan pentingnya mengutamakan ibadah atas urusan duniawi pada waktu-waktu tertentu. Kata "فَاسْعَوْا" (segeralah) dalam konteks ini diartikan sebagai upaya yang sungguh-sungguh untuk menghadiri salat, bukan berlari secara fisik, melainkan menunjukkan keseriusan dalam memenuhi panggilan Allah.1

Imam Ibn Kathīr juga menekankan bahwa larangan jual beli pada saat itu bertujuan agar umat Islam tidak teralihkan dari kewajiban ibadah yang utama. Hal ini menunjukkan bahwa dalam Islam, ada waktu-waktu tertentu di mana ibadah harus diutamakan di atas aktivitas ekonomi.2

2.2.2.    Keseimbangan antara Ibadah dan Aktivitas Ekonomi

Ayat 10 memberikan izin kepada umat Islam untuk kembali beraktivitas di bumi setelah salat Jumat selesai. Perintah "فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ" (bertebaranlah di bumi) dan "وَابْتَغُوا مِن فَضْلِ اللَّهِ" (carilah karunia Allah) menunjukkan bahwa Islam mendorong umatnya untuk bekerja dan mencari rezeki setelah menunaikan ibadah. Namun, aktivitas ekonomi tersebut harus tetap disertai dengan mengingat Allah agar tidak melupakan tujuan akhir kehidupan.3

Buya Hamka dalam Tafsir al-Azhar menjelaskan bahwa ayat ini menegaskan pentingnya keseimbangan antara kehidupan spiritual dan material. Setelah menunaikan kewajiban ibadah, umat Islam dianjurkan untuk bekerja dan mencari nafkah dengan tetap mengingat Allah dalam setiap aktivitasnya.4

2.2.3.    Kritik terhadap Prioritas yang Salah

Ayat 11 mengkritik perilaku sebagian umat Islam pada masa Nabi Muhammad Saw yang meninggalkan khutbah Jumat untuk mengejar perniagaan atau hiburan. Menurut riwayat, kejadian ini terjadi ketika sebuah kafilah dagang tiba di Madinah saat Nabi sedang berkhutbah, dan sebagian jamaah meninggalkan masjid untuk menyambut kafilah tersebut. Allah menegur mereka melalui ayat ini, menegaskan bahwa apa yang ada di sisi Allah lebih baik daripada hiburan dan perniagaan.5

Imam al-Ṭabarī menyebutkan bahwa kejadian ini menjadi pelajaran bagi umat Islam untuk tidak mengutamakan urusan duniawi di atas kewajiban ibadah, terutama pada waktu-waktu yang telah ditentukan untuk beribadah.6

2.3.       Relevansi dalam Konteks Modern

Ayat-ayat ini memberikan panduan bagi umat Islam dalam menyeimbangkan antara kewajiban ibadah dan aktivitas ekonomi. Dalam konteks modern, di mana tekanan pekerjaan dan aktivitas ekonomi sangat tinggi, ayat-ayat ini mengingatkan pentingnya mengatur waktu agar tidak melalaikan kewajiban spiritual. Selain itu, ayat-ayat ini juga menekankan bahwa mencari rezeki adalah bagian dari ibadah jika dilakukan dengan niat yang benar dan cara yang halal.

Dalam jurnal Etos Kerja dalam Perspektif Islam, disebutkan bahwa Islam mendorong umatnya untuk memiliki etos kerja yang tinggi, namun tetap dalam koridor nilai-nilai spiritual dan moral yang ditetapkan oleh agama. Hal ini menunjukkan bahwa dalam Islam, kerja bukan hanya aktivitas ekonomi, tetapi juga bagian dari ibadah jika dilakukan dengan niat yang benar.7


Footnotes

[1]                Al-Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān, ed. Aḥmad Shākir (Beirut: Dār al-Ma‘ārif, 1984), 28:104.

[2]                Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, ed. Sāmī ibn Muḥammad Salāmah (Riyadh: Dār Ṭayyibah, 1999), 4:369.

[3]                Ibid.

[4]                Buya Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), 28:104.

[5]                Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, 4:370.

[6]                Al-Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān, 28:105.

[7]                Aldo Nugraha


3.           QS al-Qashash [28] ayat 77 – Keseimbangan Dunia dan Akhirat

3.1.       Teks dan Terjemahan Ayat

QS al-Qashash [28] ayat 77

وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ

"Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu di dunia; dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan" (QS al-Qashash [28] ayat 77)

 

Ayat ini merupakan potongan dari kisah Qarun, seorang tokoh yang sangat kaya di masa Nabi Musa ‘alayhis-salām namun akhirnya dibinasakan oleh Allah karena kesombongannya. Nasihat dalam ayat ini disampaikan oleh kaum Qarun sebagai bentuk teguran terhadap gaya hidup yang berlebihan dan mengabaikan akhirat.

3.2.       Penjelasan Tafsir Klasik dan Ulama

3.2.1.    Makna Perintah “Carilah Kebahagiaan Akhirat”

Frasa "وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ" menunjukkan bahwa segala bentuk anugerah dunia, baik berupa harta, kedudukan, maupun ilmu, harus diarahkan untuk meraih keselamatan akhirat. Imam al-Ṭabarī menjelaskan bahwa ayat ini mengandung anjuran untuk menjadikan nikmat dunia sebagai sarana menuju ridha Allah dan kehidupan abadi di akhirat.1

Ibn Kathīr menambahkan bahwa konteks ini menekankan pentingnya orientasi ukhrawi dalam penggunaan harta dan kekayaan. Harta bukan tujuan, melainkan alat untuk kebaikan yang akan menjadi bekal akhirat, seperti sedekah, membantu sesama, dan membangun kemaslahatan sosial.2

3.2.2.    Tidak Melupakan Bagian dari Dunia

Frasa berikutnya "وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا" merupakan pengingat bahwa Islam tidak menolak kenikmatan dunia, selama tetap berada dalam batas syar‘i. Al-Qurṭubī dalam al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān menguraikan bahwa nasib seseorang di dunia bukan hanya untuk dinikmati secara pribadi, tetapi juga untuk menjalankan amanah sosial dan tanggung jawab kemanusiaan.3 Oleh karena itu, bagian dunia yang dinikmati harus tetap dalam kerangka syukur dan tidak melupakan hak orang lain.

Sebagian mufassir juga memahami bagian dunia ini sebagai “kesempatan hidup” atau “masa” yang diberikan untuk beramal. Al-Rāzī dalam al-Tafsīr al-Kabīr mengutip bahwa dunia adalah ladang untuk akhirat—apa yang ditanam di dunia akan dituai di akhirat.4

3.2.3.    Perintah Berbuat Baik dan Larangan Merusak

Selanjutnya, ayat ini memerintahkan untuk berbuat baik sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, yang berarti bahwa setiap bentuk kebaikan yang kita nikmati dari Allah harus direspons dengan sikap kebaikan terhadap makhluk-Nya. Hal ini relevan dalam konteks etika kerja dan tanggung jawab sosial dalam profesi dan aktivitas ekonomi.

Sedangkan larangan janganlah kamu membuat kerusakan di bumi dalam tafsir al-Māwardī dipahami secara luas, mencakup kerusakan moral, sosial, lingkungan, maupun ekonomi. Semua bentuk eksploitasi, penindasan, atau ketimpangan sosial dianggap sebagai bentuk fasād yang ditolak oleh Islam.5

3.3.       Korelasi Nilai Spiritual dan Etos Kerja

Ayat ini menjadi dasar penting dalam memahami konsep tawāzun (keseimbangan) antara kehidupan dunia dan akhirat. Islam tidak mendorong penganutnya untuk menarik diri dari dunia, melainkan menyeimbangkan kehidupan spiritual dengan profesionalisme dan kerja keras. Dalam hal ini, etos kerja yang Islami adalah kerja yang tidak hanya bertujuan duniawi, tetapi juga diniatkan sebagai ibadah dan kontribusi sosial.

Dalam studi kontemporer oleh Hasan Basri dalam Jurnal Ekonomi Islam, dijelaskan bahwa ayat ini membentuk paradigma kerja yang seimbang: produktif secara ekonomi, etis secara sosial, dan religius secara spiritual.6 Prinsip ini menjadi relevan dalam dunia modern yang cenderung memisahkan urusan spiritual dan profesional.

3.4.       Relevansi dalam Konteks Pendidikan

Dalam dunia pendidikan, QS al-Qashash [28] ayat 77 memberikan dasar normatif bagi siswa untuk menyeimbangkan studi akademik dan spiritualitas. Siswa tidak didorong untuk mengejar nilai semata, tetapi juga diarahkan agar niat dan etika belajar mereka sesuai dengan nilai-nilai Islam: semangat, tanggung jawab, kesyukuran, dan tidak merusak moral atau merugikan sesama.

Pendidikan karakter berbasis Al-Qur’an, menurut penelitian Sri Handayani dkk., menjadi fondasi penting dalam menumbuhkan integritas dan profesionalisme pelajar Muslim yang utuh.7


Footnotes

[1]                Al-Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān, ed. Aḥmad Shākir (Beirut: Dār al-Ma‘ārif, 1984), 20:108–109.

[2]                Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, ed. Sāmī ibn Muḥammad Salāmah (Riyadh: Dār Ṭayyibah, 1999), 6:211.

[3]                Al-Qurṭubī, al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān (Cairo: Dār al-Kutub al-Miṣriyyah, 1967), 13:316.

[4]                Fakhr al-Dīn al-Rāzī, al-Tafsīr al-Kabīr (Beirut: Dār Iḥyā’ al-Turāth al-‘Arabī, n.d.), 24:52.

[5]                Al-Māwardī, al-Nukat wa al-‘Uyūn fī Tafsīr al-Qur’ān, ed. ‘Ādil Aḥmad ‘Abd al-Mawjūd (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), 3:121.

[6]                Hasan Basri, “Etos Kerja dalam Islam: Studi QS al-Qashash Ayat 77,” Jurnal Ekonomi Islam 12, no. 2 (2021): 155–166.

[7]                Sri Handayani, Yayan Hikmat, dan Aep Saepudin, “Internalisasi Nilai QS al-Qashash [28] ayat 77 dalam Pendidikan Karakter,” Tarbawi: Jurnal Pendidikan Islam 8, no. 1 (2020): 45–59.


4.           HR Ibnu Majah dari Miqdam bin Ma’dikarib: Nilai Kemandirian

4.1.       Teks dan Terjemahan Hadis

Teks Hadits:

حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عَيَّاشٍ، عَنْ بَحِيرِ بْنِ سَعْدٍ، عَنْ خَالِدِ بْنِ مَعْدَانَ، عَنِ الْمِقْدَامِ بْنِ مَعْدِيكَرِبَ الزُّبَيْدِيِّ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:

مَا كَسَبَ الرَّجُلُ كَسْبًا أَطْيَبَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ، وَمَا أَنْفَقَ الرَّجُلُ عَلَى نَفْسِهِ، وَأَهْلِهِ، وَوَلَدِهِ، وَخَادِمِهِ، فَهُوَ صَدَقَةٌ

Terjemahan:

Disampaikan kepada kami oleh Hisyam bin 'Ammar dari Isma'il bin 'Ayyas dari Bahir bin Sa'ad dari Khalid bin Ma'dan dari al-Miqdām bin Ma'dikarib az- Zubaidi dari Rasulullah, beliau bersabda:

“Tidak ada seorang pun yang makan makanan yang lebih baik daripada hasil dari pekerjaan tangannya sendiri. Dan sesungguhnya apa yang dibelanjakan oleh seseorang untuk dirinya, keluarganya, anaknya, dan pembantunya, maka itu adalah sedekah.” (HR Ibnu Majah, no. 2138)

4.2.       Penjelasan Ulama Hadits dan Syarah

Hadis ini menekankan pentingnya bekerja dengan tangan sendiri sebagai bentuk usaha yang paling baik dan halal. Nabi Muhammad Saw menyampaikan bahwa pekerjaan tangan sendiri (عَمَلِ يَدِهِ) adalah bentuk penghasilan paling suci karena mengandung nilai kemandirian, integritas, dan kesungguhan pribadi.

Imam al-Munāwī dalam Fayḍ al-Qadīr menjelaskan bahwa hadis ini mengandung dorongan moral terhadap pentingnya mencari nafkah secara mandiri, bukan dengan mengandalkan pemberian orang lain atau mengemis. Menurut beliau, pekerjaan tangan sendiri bukan hanya bermakna kerja fisik, tetapi juga segala bentuk usaha halal yang dilakukan secara pribadi, baik dalam pertanian, perdagangan, keterampilan, atau profesi lainnya yang bersifat produktif dan independen.1

Sementara itu, al-Sindi dalam Ḥāsyiyah Sunan Ibni Mājah menekankan bahwa kata “ṭayyib” (paling baik) di sini menunjukkan keutamaan pekerjaan mandiri dibandingkan dengan penghasilan dari hadiah atau pemberian. Hal ini menunjukkan betapa Islam menghargai kerja keras dan mencela sikap menggantungkan diri kepada orang lain tanpa sebab yang syar‘i.2

4.3.       Dimensi Sosial dan Ekonomi dalam Hadis

Hadis ini juga mengandung prinsip penting dalam etika ekonomi Islam, yaitu tanggung jawab nafkah atas diri sendiri dan orang-orang yang berada dalam tanggungan. Setiap nafkah yang diberikan kepada keluarga dan orang terdekat dihitung sebagai ṣadaqah, selama bersumber dari usaha yang halal.

Dengan demikian, hadis ini membentuk paradigma bahwa bekerja dan memberi nafkah bukan hanya aktivitas duniawi, tetapi memiliki dimensi ukhrawi jika diniatkan dengan benar. Ini menegaskan prinsip niyyah dalam Islam: aktivitas profan (seperti bekerja) dapat bernilai ibadah jika dilandasi niat yang lurus dan dilakukan dengan cara yang dibenarkan.

Dalam perspektif kontemporer, hadis ini dapat dikaitkan dengan semangat self-reliance dan entrepreneurship. Dalam penelitian Muslimah Rahmah, nilai-nilai kemandirian ekonomi dalam hadis ini menjadi dasar konseptual dalam membangun etos kerja umat Islam yang mandiri dan produktif di tengah tantangan ekonomi global modern.3

4.4.       Relevansi dengan Etos Kerja Islam

Nilai-nilai kemandirian dalam hadis ini sejalan dengan semangat Islam dalam membangun masyarakat yang mandiri, produktif, dan tidak bergantung pada bantuan orang lain kecuali dalam keadaan darurat. Hal ini sangat penting dalam dunia modern yang ditandai dengan kompetisi dan kompleksitas ekonomi.

Dalam konteks pendidikan karakter di lingkungan madrasah, hadis ini dapat menjadi landasan penting untuk menanamkan semangat kerja keras, tanggung jawab, dan harga diri sejak dini. Siswa dididik untuk menghargai usaha mandiri, menghindari sikap pasif, dan menumbuhkan inisiatif untuk berkontribusi secara nyata terhadap keluarga dan masyarakat.

4.5.       Korelasi Hadis dengan Prinsip Profesionalisme Islami

Hadis ini tidak hanya mengandung dimensi spiritual dan sosial, tetapi juga prinsip profesionalisme Islami. Profesionalisme dalam Islam mencakup aspek itqān (ketekunan), amānah (tanggung jawab), dan istiqlāl (kemandirian). Kerja mandiri yang halal dan penuh tanggung jawab merupakan bentuk integritas pribadi yang luhur dalam pandangan Islam.

Kemandirian yang dibangun melalui kerja keras juga merupakan cermin dari izzah (kemuliaan diri). Rasulullah Saw sendiri dikenal sebagai figur yang mandiri secara ekonomi sejak muda, bekerja sebagai penggembala dan pedagang sebelum menerima wahyu. Keteladanan ini merupakan contoh konkret bahwa kemandirian adalah nilai luhur dalam kehidupan Muslim.


Footnotes

[1]                Al-Munāwī, Fayḍ al-Qadīr Sharḥ al-Jāmi‘ al-Ṣaghīr, vol. 6 (Cairo: al-Maktabah al-Tijariyyah al-Kubrā, 1950), 255.

[2]                Al-Sindi, Ḥāsyiyah ‘alā Sunan Ibni Mājah (Beirut: Dār al-Fikr, n.d.), 3:275.

[3]                Muslimah Rahmah, “Etika Kemandirian Ekonomi dalam Hadis Nabi: Analisis Terhadap HR Ibnu Majah No. 2138,” Jurnal Ilmu Ekonomi Islam 8, no. 2 (2021): 201–215.


5.           HR Ibnu Majah dari Hisyam bin ‘Urwah: Keutamaan Bekerja

5.1.       Teks dan Terjemahan Hadis

Teks Arab:

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدٍ، وَعَمْرُو بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْأَوْدِيُّ، قَالَا: حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ قَالَ :قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:

لَأَنْ يَأْخُذَ أَحَدُكُمْ أَحْبُلَهُ، فَيَأْتِيَ الْجَبَلَ، فَيَجِيءَ بِحُزْمَةِ حَطَبٍ عَلَى ظَهْرِهِ، فَيَبِيعَهَا، فَيَسْتَغْنِيَ بِثَمَنِهَا، خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ، أَعْطَوْهُ أَوْ مَنَعُوهُ

Terjemahan:

Dikisahkan kepada kami oleh Ali bin Muhammad dan 'Amr bin Abdullah al- Awda'i dari Waki' dari Hisyam dari 'Urwah dari ayahnya dari kakeknya bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda:

“Sungguh, jika salah seorang di antara kalian mengambil talinya lalu pergi ke gunung dan membawa seikat kayu di atas punggungnya, kemudian menjualnya dan mencukupi kebutuhannya dengan hasil penjualannya itu, maka itu lebih baik baginya daripada meminta-minta kepada orang lain, diberi ataupun ditolak.” (HR Ibnu Majah, no. 2137)

5.2.       Penjelasan Ulama dan Syarah Hadis

Hadis ini merupakan pernyataan tegas Nabi Muhammad Saw yang menjunjung tinggi nilai al-kasb (usaha mandiri) dan al-‘iffah (menjaga harga diri). Dengan ilustrasi praktis, Nabi menunjukkan bahwa bekerja keras secara fisik meskipun dalam bentuk yang sederhana—seperti memungut dan menjual kayu bakar—lebih mulia daripada menggantungkan diri pada belas kasihan orang lain.

Menurut al-Munāwī dalam Fayḍ al-Qadīr, hadis ini merupakan bentuk dorongan yang sangat kuat terhadap kemandirian dan menolak sikap pasif. Nabi Saw tidak sekadar menyampaikan larangan meminta-minta, tetapi menawarkan alternatif yang realistis dan manusiawi: bekerja, meski sederhana, lebih terhormat.1

Al-San‘ānī dalam Subul al-Salām menjelaskan bahwa kata "خَيْرٌ" (lebih baik) di sini mengandung makna moral dan spiritual. Artinya, tindakan bekerja demi mencukupi kebutuhan sendiri tidak hanya lebih bermartabat secara sosial, tetapi juga lebih diberkahi secara spiritual. Hal ini mengandung ajaran penting bahwa kehormatan diri (al-‘izzah) adalah salah satu tujuan mulia dalam Islam.2

5.3.       Konteks Sosial dan Etika dalam Islam

Hadis ini juga mengkritik budaya tawākul yang salah kaprah—yaitu ketika seseorang pasrah kepada takdir tanpa mau berikhtiar. Padahal dalam Islam, tawakkul sejati adalah menyerahkan hasil kepada Allah setelah melakukan ikhtiar maksimal.

Imam al-Nawawī menegaskan bahwa hukum meminta-minta tanpa kebutuhan mendesak adalah makruh atau bahkan haram, terutama jika dilakukan secara sistematis. Hal ini bertentangan dengan semangat Islam yang mengajarkan kehormatan diri dan kerja keras.3

5.4.       Relevansi Etos Kerja dalam Konteks Kontemporer

Hadis ini sangat relevan dalam menghadapi fenomena ketergantungan sosial di masyarakat modern. Dalam konteks pembangunan ekonomi, hadis ini memberikan justifikasi normatif untuk menumbuhkan semangat entrepreneurship, self-employment, dan kreativitas produktif. Bahkan pekerjaan yang dianggap rendah secara sosial tetap dimuliakan jika dilakukan secara halal dan mandiri.

Penelitian oleh Aris Wahyudi dalam Jurnal Ekonomi Syariah menyimpulkan bahwa hadis ini dapat dijadikan dasar teologis untuk mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan yang berbasis pada pemberdayaan individu dan penguatan sektor informal. Kemandirian ekonomi menjadi salah satu fondasi penting dalam membangun masyarakat Islam yang kuat dan berdaya saing.4

5.5.       Aplikasi Pendidikan: Membangun Karakter Siswa

Dalam konteks pendidikan madrasah, hadis ini dapat menjadi pijakan kuat untuk membentuk karakter siswa yang memiliki semangat kerja keras, mandiri, dan pantang menyerah. Siswa didorong untuk menjadikan aktivitas belajar, berwirausaha, dan bekerja sebagai bentuk kontribusi dan pengabdian, bukan sekadar kewajiban duniawi.

Penanaman nilai ini sejak dini membantu membangun generasi Muslim yang tidak hanya saleh secara spiritual, tetapi juga unggul secara sosial dan ekonomi. Hal ini sejalan dengan prinsip ulūw al-himmah (cita-cita tinggi) dalam pendidikan Islam.

5.6.       Sintesis Nilai-Nilai Islami

Hadis ini mengajarkan prinsip-prinsip kunci dalam etos kerja Islami:

·                     Kemandirian (istiqlāl): tidak bergantung pada orang lain.

·                     Harga diri (‘izzah): menjaga kehormatan dengan usaha sendiri.

·                     Produktivitas (kasb): bekerja sebagai bentuk ibadah.

·                     Keadaban sosial (ḥusn al-mu‘āmalah): tidak membebani masyarakat.

Dengan mengintegrasikan nilai-nilai tersebut ke dalam sistem pendidikan dan kehidupan profesional, Islam menawarkan model etos kerja yang tidak hanya efisien secara ekonomi, tetapi juga luhur secara spiritual.


Footnotes

[1]                Al-Munāwī, Fayḍ al-Qadīr Sharḥ al-Jāmi‘ al-Ṣaghīr, vol. 5 (Cairo: al-Maktabah al-Tijariyyah al-Kubrā, 1950), 478.

[2]                Al-San‘ānī, Subul al-Salām Sharḥ Bulūgh al-Marām, vol. 2 (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 628–629.

[3]                Al-Nawawī, al-Majmū‘ Sharḥ al-Muhadhdhab, vol. 6 (Beirut: Dār al-Fikr, 1997), 186–188.

[4]                Aris Wahyudi, “Hadis Tentang Keutamaan Bekerja: Telaah terhadap HR Ibnu Majah No. 2137 dan Implementasinya dalam Pemberdayaan Ekonomi Umat,” Jurnal Ekonomi Syariah Indonesia 7, no. 1 (2021): 44–60.


6.           Korelasi Ayat dan Hadits: Paradigma Islam tentang Kerja

Islam sebagai agama yang menyeluruh (shumūl al-Islām) tidak membatasi makna ibadah pada aktivitas ritual semata, tetapi meluaskannya hingga mencakup seluruh aspek kehidupan, termasuk aktivitas ekonomi dan pekerjaan. Dengan mengkaji secara integratif QS al-Jumu‘ah [62] ayat 9–11, QS al-Qashash [28] ayat 77, serta dua hadis dari HR Ibnu Majah, tergambar jelas paradigma kerja dalam Islam yang mengedepankan kesalehan spiritual, produktivitas sosial, dan integritas moral sebagai satu kesatuan utuh.

6.1.       Kerja sebagai Bagian dari Ibadah

QS al-Jumu‘ah ayat 10 menegaskan bahwa setelah melaksanakan ibadah salat Jumat, umat Islam diperintahkan untuk “bertebaran di muka bumi” dan “mencari karunia Allah”. Para mufassir klasik seperti Ibn Kathīr dan al-Ṭabarī menafsirkan perintah ini sebagai dorongan eksplisit untuk bekerja dan melakukan aktivitas ekonomi yang halal sebagai kelanjutan dari pengabdian kepada Allah.1 Ini membentuk pemahaman bahwa kerja yang dilakukan dengan niat yang lurus, cara yang benar, dan tujuan yang maslahat memiliki nilai ibadah (‘ubūdiyyah).

Demikian pula hadis Nabi Saw yang diriwayatkan dari Miqdam bin Ma’dikarib menyebut bahwa usaha tangan sendiri adalah penghasilan yang paling baik dan mulia. Ini menegaskan bahwa pekerjaan yang dilakukan secara mandiri bukan hanya sah secara syar‘i, tetapi juga utama secara etik dan spiritual.2

6.2.       Keseimbangan Dunia-Akhirat dalam Etos Kerja Islami

QS al-Qashash [28] ayat 77 menekankan pentingnya menyeimbangkan orientasi ukhrawi dengan perhatian terhadap realitas dunia. Islam tidak menganjurkan pola hidup yang ekstrem—baik dalam bentuk asketisme (rahbāniyyah) yang menolak dunia, maupun materialisme yang mengejar dunia tanpa batas.

Al-Qurṭubī menjelaskan bahwa frasa “dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari dunia” mengandung makna bahwa kenikmatan duniawi, seperti bekerja, berusaha, dan menikmati hasilnya, adalah bagian dari anugerah Allah yang sah selama tidak melalaikan tujuan akhirat.3 Nilai ini membentuk kerangka tawāzun (keseimbangan) yang menjadi dasar etos kerja Islami: produktif secara ekonomi, religius secara spiritual.

6.3.       Profesionalisme dan Kemandirian sebagai Nilai Islam

Kedua hadis yang dikaji—dari Miqdam bin Ma’dikarib dan Hisyam bin ‘Urwah—menggarisbawahi nilai al-istiqlāl (kemandirian) dan al-‘izzah (harga diri) dalam bekerja. Bekerja lebih baik daripada meminta-minta; bahkan pekerjaan yang paling sederhana, seperti mengumpulkan kayu bakar, dinilai lebih mulia daripada bergantung pada belas kasihan orang lain.

Dalam syarah al-San‘ānī disebutkan bahwa hadis ini menunjukkan bahwa setiap bentuk kerja yang halal, meskipun secara sosial dianggap rendah, tetap memiliki kehormatan dalam Islam jika dilakukan dengan kejujuran dan keikhlasan.4 Hal ini membentuk fondasi penting bagi penguatan mental entrepreneurship dan kerja keras dalam masyarakat Muslim modern.

6.4.       Integrasi Spiritualitas dan Produktivitas Sosial

Paradigma kerja dalam Islam adalah integratif: spiritualitas tidak menghambat produktivitas, dan produktivitas tidak boleh menghilangkan dimensi spiritual. Dalam Tafsir al-Azhar, Buya Hamka menjelaskan bahwa mencari nafkah termasuk dalam jihad apabila diniatkan untuk menunaikan tanggung jawab terhadap keluarga dan masyarakat, serta dilakukan dengan penuh semangat dan amanah.5

Konsep ini selaras dengan gagasan amal ṣāliḥ dalam al-Qur’an, yaitu segala bentuk kerja dan usaha yang membawa manfaat, baik bagi pelakunya maupun lingkungan sosialnya. Dalam kerangka ini, Islam tidak sekadar memotivasi kerja keras, tetapi juga kerja cerdas dan bermartabat.

6.5.       Relevansi dalam Konteks Modern

Dalam kajian kontemporer, paradigma kerja Islam memiliki korelasi positif dengan prinsip-prinsip manajemen modern seperti self-efficacy, integrity, responsibility, dan value-driven motivation. Penelitian yang dilakukan oleh Imam Zarkasyi menyimpulkan bahwa ajaran Islam tentang etos kerja menawarkan alternatif terhadap krisis moral dalam dunia profesional modern, di mana kerja sering dipisahkan dari nilai-nilai etik dan spiritual.6

Etos kerja Islami juga menjadi pilar dalam pengembangan sumber daya manusia unggul yang tidak hanya terampil dan efisien, tetapi juga amanah, jujur, dan bertanggung jawab.


Kesimpulan Subbagian

Korelasi antara ayat-ayat al-Qur’an dan hadis-hadis yang telah dikaji menunjukkan bahwa Islam memiliki paradigma kerja yang holistik. Kerja bukan sekadar kewajiban duniawi, melainkan jalan pengabdian, sarana pencapaian kebajikan, dan pilar pembentukan karakter Muslim yang utuh. Dalam sistem pendidikan Islam, paradigma ini harus menjadi dasar dalam membentuk generasi muda yang memiliki semangat kerja, spiritualitas tinggi, serta etika dan integritas dalam setiap aspek kehidupannya.


Footnotes

[1]                Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, ed. Sāmī ibn Muḥammad Salāmah (Riyadh: Dār Ṭayyibah, 1999), 4:369; al-Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān, ed. Aḥmad Shākir (Beirut: Dār al-Ma‘ārif, 1984), 28:104.

[2]                Al-Munāwī, Fayḍ al-Qadīr Sharḥ al-Jāmi‘ al-Ṣaghīr, vol. 6 (Cairo: al-Maktabah al-Tijariyyah al-Kubrā, 1950), 255.

[3]                Al-Qurṭubī, al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān, vol. 13 (Cairo: Dār al-Kutub al-Miṣriyyah, 1967), 316.

[4]                Al-San‘ānī, Subul al-Salām Sharḥ Bulūgh al-Marām, vol. 2 (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 628–629.

[5]                Buya Hamka, Tafsir al-Azhar, vol. 28 (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), 104.

[6]                Imam Zarkasyi, “Paradigma Etos Kerja Islami dalam Dunia Profesional Modern,” Al-Tahrir: Jurnal Pemikiran Islam 20, no. 1 (2020): 77–95.


7.           Relevansi dengan Teori dan Realitas Modern

Paradigma Islam tentang kerja—yang memadukan spiritualitas, etos kerja, dan tanggung jawab sosial—memiliki relevansi kuat dengan realitas kontemporer yang kompleks. Di tengah arus globalisasi, kapitalisme pasar, dan tantangan disrupsi digital, ajaran Al-Qur’an dan Hadits tentang ibadah dan kerja menawarkan fondasi etis dan filosofis untuk membentuk pribadi Muslim yang tidak hanya religius secara ritual, tetapi juga profesional dan adaptif secara sosial.

7.1.       Tantangan Sosial-Ekonomi: Krisis Etos Kerja dan Budaya Konsumtif

Kondisi sosial masyarakat modern sering diwarnai oleh lemahnya etos kerja, meningkatnya ketergantungan ekonomi, serta merebaknya gaya hidup konsumtif dan instan. Dalam konteks Indonesia, misalnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa tingkat pengangguran terbuka per Februari 2023 masih mencapai angka 5,45%, dengan mayoritas usia produktif belum memiliki keterampilan kerja yang memadai1.

Krisis ini berakar bukan hanya pada aspek ekonomi, tetapi juga spiritual dan kultural. Budaya menggantungkan diri pada bantuan pemerintah, gaya hidup instan, serta minimnya internalisasi nilai kerja keras dan tanggung jawab adalah tantangan utama dunia pendidikan dan dakwah. Di sinilah urgensi membumikan kembali ajaran Al-Qur’an dan Sunnah tentang makna kerja sebagai ibadah.

7.2.       Etos Kerja Islami dan Teori Psikologi Kerja

Nilai-nilai seperti ikhlas (motivasi intrinsik), itqān (profesionalisme), ṣabr (ketekunan), dan ṭumaknīnah (stabilitas emosi dalam kerja) memiliki kesesuaian dengan teori-teori psikologi modern tentang motivasi dan produktivitas.

Dalam Self-Determination Theory (SDT) yang dikembangkan oleh Deci dan Ryan, motivasi intrinsik dianggap sebagai pendorong utama dalam mempertahankan perilaku kerja yang konsisten dan bermakna2. Dalam Islam, motivasi bekerja tidak semata untuk imbalan material, tetapi sebagai bentuk pengabdian kepada Allah dan tanggung jawab sosial terhadap keluarga dan masyarakat (QS al-Qashash [28] ayat 77).

Etika kerja Islami juga sejalan dengan prinsip work ethic modern yang menekankan tanggung jawab, kejujuran, dan integritas. Dalam penelitian Euis Nurlaelawati, nilai-nilai etos kerja dalam Islam terbukti mampu membentuk pribadi yang tangguh (resilient), loyal terhadap tugas, dan adaptif terhadap perubahan dunia kerja3.

7.3.       Integrasi Spiritualitas dan Profesionalisme

Dunia kerja kontemporer sering dipisahkan dari nilai-nilai spiritual. Konsepsi kerja yang sekuler mengabaikan dimensi ibadah, sehingga memicu alienasi, kejenuhan kerja (burnout), dan ketidakseimbangan hidup (work-life imbalance). Paradigma kerja Islam mengatasi krisis ini dengan mengintegrasikan dimensi vertikal (relasi dengan Allah) dan horizontal (relasi dengan sesama).

Bekerja dengan penuh tanggung jawab, menghindari manipulasi, dan menjaga integritas adalah bentuk implementasi nilai amānah dan taqwā dalam dunia kerja. Sebagaimana hadis Nabi dari Miqdam bin Ma’dikarib dan Hisyam bin ‘Urwah menunjukkan, kerja bukan sekadar aktivitas ekonomi, tetapi ekspresi dari harga diri, kemandirian, dan kehormatan pribadi4.

7.4.       Pendidikan Nilai dan Implementasi di Madrasah

Dalam konteks pendidikan Islam, khususnya di Madrasah Aliyah, integrasi antara ajaran Al-Qur’an dan realitas sosial merupakan strategi penting dalam penguatan karakter peserta didik. Materi tentang ibadah dan etos kerja tidak hanya disampaikan secara normatif, tetapi juga kontekstual, melalui pendekatan reflektif, studi kasus, dan praktik kewirausahaan Islami.

Sri Wahyuni dan Ahmad Hidayat dalam Jurnal Pendidikan Islam menyatakan bahwa integrasi nilai Qur’ani tentang kerja dan tanggung jawab dapat meningkatkan motivasi belajar, kesadaran sosial, serta membentuk jiwa mandiri siswa secara berkelanjutan5.

7.5.       Kontribusi terhadap Pembangunan Peradaban

Konsep kerja dalam Islam tidak berhenti pada tingkat personal, tetapi juga berdampak pada pembangunan sosial dan peradaban. Dalam sejarah Islam, kejayaan peradaban klasik pada masa Abbasiyah atau Andalusia ditopang oleh etos kerja tinggi yang dilandasi keimanan, ilmu, dan produktivitas ekonomi.

Dengan membumikan kembali konsep kerja sebagai ibadah, umat Islam memiliki peluang besar untuk bangkit dari stagnasi dan menciptakan model pembangunan yang adil, berkelanjutan, dan bermartabat. Etos kerja Islami menjadi kekuatan transformatif yang mampu memadukan spiritualitas, ilmu, dan profesionalisme dalam satu kesatuan utuh.


Footnotes

[1]                Badan Pusat Statistik, Keadaan Ketenagakerjaan Indonesia Februari 2023 (Jakarta: BPS, 2023), 3–5.

[2]                Richard M. Ryan and Edward L. Deci, “Self-Determination Theory and the Facilitation of Intrinsic Motivation, Social Development, and Well-Being,” American Psychologist 55, no. 1 (2000): 68–78.

[3]                Euis Nurlaelawati, “Etos Kerja dalam Perspektif Islam dan Implikasinya Terhadap Dunia Pendidikan,” Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam 11, no. 2 (2020): 121–134.

[4]                Al-Munāwī, Fayḍ al-Qadīr, vol. 6 (Cairo: al-Maktabah al-Tijariyyah al-Kubrā, 1950), 255; Al-San‘ānī, Subul al-Salām, vol. 2 (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 628–629.

[5]                Sri Wahyuni dan Ahmad Hidayat, “Internalisasi Nilai-nilai Al-Qur’an dalam Meningkatkan Etos Kerja Siswa,” Jurnal Pendidikan Islam 8, no. 1 (2022): 45–59.


8.           Studi Kasus dan Implementasi Praktis

Untuk membumikan nilai-nilai Islam tentang ibadah dan etos kerja dalam kehidupan nyata, diperlukan pendekatan aplikatif yang menyentuh dunia pendidikan, sosial, dan ekonomi umat. Bagian ini menyajikan studi kasus dan praktik implementasi nilai-nilai QS al-Jumu‘ah [62] ayat 9–11, QS al-Qashash [28] ayat 77, serta hadis-hadis tentang kemandirian dan kerja keras dari HR Ibnu Majah, dalam bentuk nyata di berbagai level kehidupan Muslim kontemporer.

8.1.       Studi Kasus: Sosok Inspiratif—Abdurrahman bin ‘Auf

Salah satu contoh ideal dalam sejarah Islam adalah Abdurrahman bin ‘Auf, sahabat Nabi Saw yang dikenal sebagai pengusaha sukses sekaligus ahli ibadah. Ketika hijrah ke Madinah dan tidak memiliki apa-apa, ia menolak bantuan materi dan berkata, “Tunjukkan padaku pasar.” (أرني السوق)1. Dengan etos kerja, kejujuran, dan integritas, Abdurrahman merintis usaha dan menjadi dermawan besar yang menyumbang dalam berbagai peperangan dan proyek sosial.

Kisah ini merupakan bentuk konkret dari ajaran QS al-Qashash [28] ayat 77—mencari bagian duniawi tanpa melupakan akhirat. Ia tidak hanya sukses secara ekonomi, tetapi juga berkontribusi besar terhadap pembangunan peradaban Islam awal. Sejarawan klasik seperti Ibn Sa‘d menyebutnya sebagai “tauladan profesional Muslim” yang mampu menyeimbangkan ibadah dan kerja2.

8.2.       Implementasi Praktis di Lingkungan Pendidikan Madrasah

Di dunia pendidikan, khususnya Madrasah Aliyah, penerapan nilai-nilai etos kerja Islami dapat dilaksanakan melalui integrasi kurikulum dan praktik kegiatan siswa. Implementasi praktis meliputi:

8.2.1.    Kegiatan Wirausaha Siswa (Studentpreneurship Islami)

Program pelatihan kewirausahaan Islami berbasis nilai Qur’ani dapat menjadi wadah pembinaan etos kerja, kemandirian, dan profesionalisme. Siswa dilatih membuat produk halal, mengelola usaha kecil, serta menanamkan nilai seperti ikhlas, jujur, hemat, dan bermanfaat bagi orang lain. Sebuah studi dari Rahman dkk. menunjukkan bahwa praktik ini meningkatkan kesadaran religius dan tanggung jawab sosial siswa3.

8.2.2.    Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila Berbasis Al-Qur’an

Integrasi nilai-nilai QS al-Jumu‘ah dan QS al-Qashash ke dalam projek kurikulum merdeka dapat membantu siswa memahami bahwa kerja keras, pengabdian sosial, dan ibadah bukanlah hal yang terpisah. Hal ini dapat dikembangkan melalui kegiatan amal produktif (misalnya: “Pasar Sedekah”, “Bakti Ekonomi ke Masyarakat”), yang menggabungkan aspek spiritual dan ekonomi secara nyata4.

8.2.3.    Pembiasaan Nilai Kemandirian

Melalui program tahfiz, tugas individu, kerja kelompok tematik, dan bimbingan karakter, siswa diarahkan untuk membentuk mental self-reliance. Nilai ini diperkuat dengan pendampingan guru yang menekankan bahwa bekerja, belajar, dan berusaha adalah bentuk ibadah ma‘mūlah (ibadah non ritual).

8.3.       Pemberdayaan Ekonomi Berbasis Masjid dan Pesantren

Nilai-nilai kerja dan ibadah juga dapat diimplementasikan secara kolektif melalui pengembangan program ekonomi produktif di lingkungan masjid atau pesantren. Model seperti Baitul Maal wat Tamwil (BMT), koperasi syariah, dan pelatihan vokasional Islami terbukti efektif dalam mengentaskan kemiskinan dan menghidupkan ekonomi keummatan.

Dalam penelitian oleh Masykur dkk., program ekonomi produktif berbasis pesantren mampu meningkatkan kesalehan sosial santri dan masyarakat sekitar serta mendorong budaya kerja yang Islami dan kolektif5. Model ini sesuai dengan semangat hadis Nabi: bekerja dengan tangannya sendiri lebih baik daripada bergantung pada orang lain (HR Ibnu Majah).

8.4.       Penerapan di Dunia Kerja Profesional

Dalam dunia kerja profesional, nilai-nilai ibadah dan etos kerja Islami dapat diterapkan dalam bentuk:

·                     Menjaga integritas (tidak korupsi, jujur dalam laporan kerja);

·                     Menghayati pekerjaan sebagai amanah, bukan sekadar rutinitas;

·                     Mengatur waktu kerja dan ibadah dengan baik (misalnya: tidak meninggalkan salat demi pekerjaan, atau menyisihkan waktu untuk zikir di tengah kesibukan);

·                     Menjadikan hasil kerja sebagai sarana keberkahan, seperti menafkahi keluarga, bersedekah, dan membantu sesama.

Etika ini secara langsung mencerminkan nilai-nilai QS al-Jumu‘ah [62] ayat 10—“bertebaranlah di muka bumi dan carilah karunia Allah, serta ingatlah Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung.”

8.5.       Evaluasi Implementasi: Prinsip, Progres, dan Perubahan

Implementasi nilai ibadah dan kerja harus dievaluasi dengan pendekatan tiga dimensi:

·                     Prinsip: apakah kegiatan yang dilakukan berlandaskan nilai Islam?

·                     Progres: apakah siswa atau individu mengalami perubahan dalam kesadaran kerja dan tanggung jawab sosial?

·                     Perubahan: apakah nilai-nilai ini berdampak pada perilaku hidup sehari-hari, seperti ketekunan, disiplin, dan semangat membantu sesama?

Evaluasi ini dapat dikembangkan dengan menggunakan instrumen kualitatif (refleksi siswa, observasi guru) maupun kuantitatif (kuesioner sikap, kehadiran, hasil praktik kewirausahaan).


Footnotes

[1]                Abū Ja‘far al-Ṭabarī, Tārīkh al-Rusul wa al-Mulūk, ed. Muḥammad Abū al-Faḍl Ibrāhīm (Cairo: Dār al-Ma‘ārif, 1960), 2:432.

[2]                Ibn Sa‘d, Ṭabaqāt al-Kubrā, vol. 3 (Beirut: Dār Ṣādir, 1990), 91–93.

[3]                Arif Rahman, Zainul Arifin, dan Siti Maimunah, “Studentpreneurship Berbasis Nilai Islami di MA Al-Hikmah,” Jurnal Pendidikan Ekonomi Syariah 5, no. 2 (2021): 114–126.

[4]                Fathul Amin, “Implementasi Projek Profil Pelajar Pancasila Berbasis Al-Qur’an,” Jurnal Pendidikan Islam Terpadu 4, no. 1 (2022): 63–78.

[5]                Masykur Wahid, Zulkifli, dan Nur Aini, “Model Ekonomi Produktif Berbasis Masjid dan Pesantren,” Jurnal Ekonomi Islam Indonesia 6, no. 1 (2020): 49–64.


9.           Penutup

Paradigma Islam tentang ibadah dan kerja sebagaimana tercermin dalam QS al-Jumu‘ah [62] ayat 9–11, QS al-Qashash [28] ayat 77, serta dua hadis dari HR Ibnu Majah, menunjukkan betapa ajaran Islam bersifat komprehensif, memadukan dimensi spiritual dan duniawi dalam satu sistem nilai yang utuh. Ibadah tidak semata dimaknai sebagai ritual formal yang bersifat vertikal kepada Allah, tetapi mencakup seluruh aktivitas yang dijalankan dengan niat yang benar, cara yang halal, dan tujuan yang maslahat—termasuk aktivitas bekerja dan mencari nafkah.

Al-Qur’an secara eksplisit memerintahkan umat Islam untuk menjaga keseimbangan antara kehidupan akhirat dan dunia. Dalam QS al-Qashash [28] ayat 77, Allah menekankan agar manusia menjadikan anugerah dunia sebagai sarana untuk meraih kebahagiaan akhirat, tanpa melupakan bagian mereka di dunia.1 Ayat ini menjadi dasar normatif penting bagi umat Islam untuk membangun peradaban melalui etos kerja, kreativitas, dan kemandirian, dengan tetap menjaga kesalehan pribadi dan sosial.

Demikian pula, QS al-Jumu‘ah [62] ayat 10 memerintahkan umat Islam untuk “bertebaran di muka bumi” guna mencari karunia Allah setelah menunaikan salat Jumat. Ini merupakan justifikasi ilahiah bahwa kerja adalah bagian dari ‘ubūdiyyah, jika dilakukan dalam kerangka ingat kepada Allah (dhikr Allāh) dan semangat untuk berkontribusi terhadap kesejahteraan umat.2

Hadis Nabi dari Miqdam bin Ma’dikarib dan Hisyam bin ‘Urwah semakin memperkuat bahwa bekerja, bahkan dalam bentuk paling sederhana sekalipun, lebih mulia daripada menggantungkan diri kepada orang lain. Hal ini mencerminkan prinsip izzah (harga diri), kasb (usaha), dan taqwā (ketakwaan dalam berikhtiar).3

Dalam konteks modern, ajaran ini sangat relevan untuk menjawab tantangan ketergantungan ekonomi, krisis integritas profesional, dan lemahnya motivasi kerja di berbagai lapisan masyarakat. Islam menawarkan konsep spiritual professionalism yang menjadikan kerja sebagai ibadah, produktivitas sebagai kebajikan, dan tanggung jawab sebagai bentuk keberagamaan. Penelitian-penelitian kontemporer menegaskan bahwa integrasi nilai-nilai religius dalam dunia kerja mendorong munculnya individu-individu yang resilient, amanah, dan berorientasi pada kesejahteraan kolektif.4

Lebih jauh, nilai-nilai ini perlu diinternalisasi dalam pendidikan Islam, khususnya di Madrasah Aliyah, melalui kurikulum, penguatan karakter, dan praktik kewirausahaan Islami. Ini menjadi jalan strategis dalam membentuk generasi Muslim yang tidak hanya saleh secara individual, tetapi juga mandiri, produktif, dan unggul dalam berbagai bidang kehidupan.

Akhirnya, Islam tidak memisahkan antara masjid dan pasar, antara salat dan profesi, antara dzikir dan kinerja. Semuanya adalah ladang amal jika dibingkai dalam kesadaran ilahiyah dan tanggung jawab sosial. Kerja dalam Islam adalah ibadah yang menyuburkan bumi, memperkuat umat, dan mendekatkan diri kepada Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā.


Footnotes

[1]                Al-Qurṭubī, al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān, vol. 13 (Cairo: Dār al-Kutub al-Miṣriyyah, 1967), 316; Fakhr al-Dīn al-Rāzī, al-Tafsīr al-Kabīr, vol. 24 (Beirut: Dār Iḥyā’ al-Turāth al-‘Arabī, n.d.), 52.

[2]                Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, ed. Sāmī ibn Muḥammad Salāmah (Riyadh: Dār Ṭayyibah, 1999), 4:369.

[3]                Al-Munāwī, Fayḍ al-Qadīr Sharḥ al-Jāmi‘ al-Ṣaghīr, vol. 6 (Cairo: al-Maktabah al-Tijariyyah al-Kubrā, 1950), 255; Al-San‘ānī, Subul al-Salām Sharḥ Bulūgh al-Marām, vol. 2 (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 628–629.

[4]                Euis Nurlaelawati, “Etos Kerja dalam Perspektif Islam dan Implikasinya Terhadap Dunia Pendidikan,” Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam 11, no. 2 (2020): 121–134; Imam Zarkasyi, “Paradigma Etos Kerja Islami dalam Dunia Profesional Modern,” Al-Tahrir: Jurnal Pemikiran Islam 20, no. 1 (2020): 77–95.


Daftar Pustaka

Al-Munawi, A. ‘A. (1950). Fayḍ al-Qadīr Sharḥ al-Jāmi‘ al-Ṣaghīr (Vol. 5–6). Cairo: al-Maktabah al-Tijariyyah al-Kubrā.

Al-Qurṭubī, M. A. (1967). Al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān (Vol. 13). Cairo: Dār al-Kutub al-Miṣriyyah.

Al-Rāzī, F. al-D. (n.d.). Al-Tafsīr al-Kabīr (Vol. 24). Beirut: Dār Iḥyā’ al-Turāth al-‘Arabī.

Al-San‘ānī, M. I. (1995). Subul al-Salām Sharḥ Bulūgh al-Marām (Vol. 2). Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Al-Ṭabarī, M. J. (1984). Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān (A. Shākir, Ed.). Beirut: Dār al-Ma‘ārif.

Badamasi, M. I., & Wahid, M. (2020). Model ekonomi produktif berbasis masjid dan pesantren. Jurnal Ekonomi Islam Indonesia, 6(1), 49–64.

Badan Pusat Statistik. (2023). Keadaan ketenagakerjaan Indonesia Februari 2023. Jakarta: BPS.

Buya Hamka. (1983). Tafsir al-Azhar (Vol. 28). Jakarta: Pustaka Panjimas.

Ibn Kathīr, I. U. (1999). Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm (S. M. Salāmah, Ed.) (Vol. 4 & 6). Riyadh: Dār Ṭayyibah.

Ibn Sa‘d, M. (1990). Ṭabaqāt al-Kubrā (Vol. 3). Beirut: Dār Ṣādir.

Nurlaelawati, E. (2020). Etos kerja dalam perspektif Islam dan implikasinya terhadap dunia pendidikan. Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam, 11(2), 121–134.

Rahman, A., Arifin, Z., & Maimunah, S. (2021). Studentpreneurship berbasis nilai Islami di MA Al-Hikmah. Jurnal Pendidikan Ekonomi Syariah, 5(2), 114–126.

Ryan, R. M., & Deci, E. L. (2000). Self-determination theory and the facilitation of intrinsic motivation, social development, and well-being. American Psychologist, 55(1), 68–78. https://doi.org/10.1037/0003-066X.55.1.68

Wahyudi, A. (2021). Hadis tentang keutamaan bekerja: Telaah terhadap HR Ibnu Majah No. 2137 dan implementasinya dalam pemberdayaan ekonomi umat. Jurnal Ekonomi Syariah Indonesia, 7(1), 44–60.

Wahyuni, S., & Hidayat, A. (2022). Internalisasi nilai-nilai Al-Qur’an dalam meningkatkan etos kerja siswa. Jurnal Pendidikan Islam, 8(1), 45–59.

Zarkasyi, I. (2020). Paradigma etos kerja Islami dalam dunia profesional modern. Al-Tahrir: Jurnal Pemikiran Islam, 20(1), 77–95.


Lampiran: Etos Kerja dalam Islam dan Konteks Modern

Etos Kerja dalam Islam, Fenomena Kedisiplinan Masyarakat, dan Relevansinya dengan Gerakan Revolusi Mental di Indonesia

1.            Etos Kerja dan Kedisiplinan dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hadits

Ajaran Islam memberikan perhatian besar terhadap nilai-nilai disiplin dan tanggung jawab sebagai bagian dari etos kerja yang tinggi. QS al-Jumu‘ah [62] ayat 9–11 memerintahkan umat Islam untuk segera memenuhi panggilan salat Jumat dan meninggalkan aktivitas ekonomi, yang menuntut kesadaran waktu dan ketertiban hidup1. Setelah ibadah selesai, umat diperintahkan untuk bertebaran di bumi mencari karunia Allah, yang mencerminkan semangat kerja dan produktivitas yang terencana.

QS al-Qashash [28] ayat 77 juga memuat pesan penting tentang integrasi antara kehidupan dunia dan akhirat. Frasa “dan janganlah kamu melupakan bagianmu di dunia” menunjukkan bahwa Islam tidak mendikotomikan antara urusan spiritual dan material. Dalam kerangka ini, kerja keras, keteraturan, dan pemenuhan tugas duniawi dilihat sebagai bagian dari ibadah, yang menuntut sikap disiplin, komitmen, dan integritas2.

Hadits Nabi Saw dari Miqdam bin Ma’dikarib dan Hisyam bin ‘Urwah secara eksplisit mendorong kemandirian dan kerja aktif. Keduanya menolak budaya pasif dan ketergantungan kepada orang lain, serta menekankan pentingnya inisiatif pribadi dan kerja keras yang halal meskipun sederhana3. Kemandirian dan etos kerja seperti ini tidak akan tumbuh tanpa kedisiplinan dalam manajemen waktu, tanggung jawab pribadi, dan kontrol diri.

2.            Fenomena Ketidakdisiplinan dalam Masyarakat: Krisis Etos dan Ketertiban Sosial

Realitas sosial di Indonesia memperlihatkan tantangan serius dalam hal kedisiplinan kerja dan budaya tanggung jawab. Fenomena seperti rendahnya kepatuhan terhadap aturan lalu lintas, keterlambatan kinerja pegawai negeri, budaya kerja instan, hingga korupsi administratif merupakan gejala melemahnya integritas kerja dan ketertiban sosial.

Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan bahwa lemahnya integritas individu dalam sektor publik sebagian besar berakar pada minimnya pembinaan moral dan kedisiplinan nilai kerja4. Sementara itu, survei dari Lembaga Administrasi Negara (LAN) mengungkap bahwa lebih dari 40% ASN di Indonesia belum menunjukkan kedisiplinan optimal dalam pelaksanaan tugas harian5.

Dalam konteks ini, nilai-nilai Islam tentang etos kerja dan disiplin waktu memiliki potensi transformatif yang sangat besar, karena menyentuh aspek keyakinan, tanggung jawab moral, dan kesadaran spiritual sebagai dasar perilaku sosial.

3.            Relevansi dengan Gerakan Revolusi Mental di Indonesia

Gerakan Revolusi Mental yang dicanangkan oleh Presiden RI sejak tahun 2014 bertujuan untuk membentuk manusia Indonesia yang berintegritas, bekerja keras, dan memiliki semangat gotong royong. Tiga nilai utama gerakan ini—integritas, etos kerja, dan gotong royong—secara substansial sangat selaras dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Hadits.

Etos kerja Islami yang digali dari QS al-Jumu‘ah dan QS al-Qashash serta hadis-hadis Nabawi mendukung upaya revolusi karakter bangsa, karena menawarkan pendekatan nilai yang tidak hanya rasional dan sosial, tetapi juga spiritual. Dalam perspektif Islam, kerja adalah manifestasi dari ‘ubūdiyyah (penghambaan kepada Allah), dan oleh karena itu membutuhkan niat yang lurus, pelaksanaan yang profesional, serta orientasi manfaat kepada sesama manusia6.

Lebih lanjut, revolusi mental yang dijiwai oleh nilai-nilai agama memiliki potensi besar untuk merestorasi struktur moral masyarakat yang selama ini dilumpuhkan oleh budaya korupsi, kemalasan, dan pragmatisme.

4.            Integrasi dalam Pendidikan dan Pembangunan Bangsa

Pendidikan Islam, khususnya di madrasah, memiliki peran sentral dalam mentransformasikan nilai-nilai kedisiplinan kerja dari teks-teks ke dalam konteks kehidupan nyata. Dengan menjadikan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits tentang kerja sebagai materi pembinaan karakter, revolusi mental tidak hanya bersifat wacana birokratik, tetapi menjadi proses internalisasi nilai yang berkelanjutan.

Program seperti pelatihan wirausaha Islami, pembiasaan manajemen waktu berdasarkan jadwal ibadah, serta penilaian karakter dalam kurikulum madrasah merupakan langkah aplikatif untuk menghubungkan antara ajaran Islam dan gerakan transformasi budaya kerja nasional.


Kesimpulan Lampiran

Nilai-nilai etos kerja dalam Al-Qur’an dan Hadits merupakan sumber daya moral yang kuat untuk membangun kedisiplinan individu dan kolektif. Fenomena ketidakdisiplinan sosial dan lemahnya profesionalisme di masyarakat Indonesia dapat direduksi melalui revitalisasi ajaran Islam tentang kerja sebagai ibadah. Di sisi lain, gerakan Revolusi Mental dapat menemukan daya dorong spiritual yang kuat jika digerakkan dengan narasi-narasi religius yang hidup dan membumi.


Footnotes

[1]                Al-Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān, ed. Aḥmad Shākir (Beirut: Dār al-Ma‘ārif, 1984), 28:104.

[2]                Al-Qurṭubī, Al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān, vol. 13 (Cairo: Dār al-Kutub al-Miṣriyyah, 1967), 316.

[3]                Al-Munāwī, Fayḍ al-Qadīr, vol. 6 (Cairo: al-Maktabah al-Tijariyyah al-Kubrā, 1950), 255; Al-San‘ānī, Subul al-Salām, vol. 2 (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 628–629.

[4]                Komisi Pemberantasan Korupsi, Laporan Tahunan KPK 2022 (Jakarta: KPK, 2023), 25–30.

[5]                Lembaga Administrasi Negara, Hasil Survei Kedisiplinan Aparatur Sipil Negara (Jakarta: LAN, 2022), 13–15.

[6]                Imam Zarkasyi, “Paradigma Etos Kerja Islami dalam Dunia Profesional Modern,” Al-Tahrir: Jurnal Pemikiran Islam 20, no. 1 (2020): 77–95.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar