Penciptaan Manusia dan Keikhlasan Beribadah
Nama Satuan :
Madrasah Aliyah Plus Al-Aqsha
Mata Pelajaran :
Al-Qur’an Hadits
Kelas :
11 (Sebelas)
Abstrak
Artikel ini membahas secara
komprehensif tentang konsep penciptaan manusia dan keikhlasan beribadah
berdasarkan kajian ayat-ayat Al-Qur'an dan hadits, yang didukung oleh pandangan
ulama klasik dan penelitian ilmiah modern. Penciptaan manusia, sebagaimana
dijelaskan dalam Qs. Al-Mu’minun (23) ayat 12-14, Qs. An-Nahl (16) ayat 78, Qs.
Al-Baqarah (2) ayat 30-32, dan Qs. Adz-Dzariyat (51) ayat 56, menunjukkan
kebesaran Allah dan tujuan utama keberadaan manusia, yaitu beribadah dengan
ikhlas. Proses penciptaan manusia dari tanah hingga menjadi makhluk sempurna
memberikan pelajaran tentang asal-usul manusia, pentingnya bersyukur, serta
tanggung jawabnya sebagai khalifah di bumi.
Keikhlasan, yang merupakan
inti dari ibadah, ditekankan melalui hadits Nabi Saw yang menegaskan bahwa amal
tergantung pada niat. Keikhlasan tidak hanya berpengaruh pada hubungan manusia
dengan Allah, tetapi juga berdampak positif pada kesehatan mental, sosial, dan
spiritual. Artikel ini juga menyoroti tantangan mencapai keikhlasan di era
modern, seperti pengaruh riya di media sosial, serta menawarkan solusi berbasis
nilai-nilai Islam untuk mengatasinya.
Dengan pendekatan integratif
antara teks-teks keagamaan dan analisis ilmiah, artikel ini memberikan wawasan
bahwa keikhlasan dalam beribadah adalah kunci menuju kebahagiaan dunia dan
akhirat. Selain itu, manusia diajak untuk memaknai penciptaan dirinya sebagai
bentuk kasih sayang Allah, sehingga dapat menjalankan tugasnya sebagai hamba
Allah dan khalifah di bumi dengan penuh tanggung jawab. Artikel ini bertujuan
untuk memotivasi pembaca dalam meningkatkan kualitas ibadah serta menjalani
hidup yang bermakna sesuai tuntunan Islam.
Kata Kunci: Penciptaan
manusia, keikhlasan, ibadah, khalifah, Al-Qur'an, hadits, kesehatan spiritual.
PEMBAHASAN
Penciptaan Manusia dan
Keikhlasan Beribadah
1.
Pendahuluan
Penciptaan manusia merupakan
salah satu tema penting dalam Al-Qur’an, yang tidak hanya menunjukkan keagungan
Allah sebagai Sang Pencipta, tetapi juga mengingatkan manusia akan asal-usul
dan tujuan keberadaannya. Dalam QS. Al-Mu’minun (23) ayat 12-14, Allah
menjelaskan proses penciptaan manusia secara bertahap dari tanah, setetes air,
segumpal darah, hingga menjadi makhluk sempurna yang dilengkapi dengan akal dan
kemampuan untuk menjalankan tugasnya sebagai khalifah di bumi. Hal ini
menunjukkan kebesaran Allah dan tujuan hidup manusia yang harus dipahami dengan
mendalam. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Adz-Dzariyat (51) ayat 56, tujuan
utama penciptaan manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya, yang harus
dilakukan dengan ikhlas sebagai manifestasi dari ketundukan total kepada Allah.
Pemahaman tentang penciptaan
manusia tidak hanya menguatkan keyakinan akan kebesaran Allah, tetapi juga
menjadi landasan bagi manusia untuk menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung
jawab. Sebagai khalifah di bumi, manusia dibebani amanah untuk menjaga
keseimbangan dan memakmurkan bumi sesuai dengan petunjuk Allah, sebagaimana
dijelaskan dalam QS. Al-Baqarah (2) ayat 30-32. Tugas ini tidak hanya
memerlukan kecerdasan dan kekuatan fisik, tetapi juga keikhlasan dalam
menjalankan peran tersebut untuk mendapatkan ridha Allah.
Keikhlasan beribadah menjadi
inti dari tujuan penciptaan manusia. Ibadah yang dilakukan dengan ikhlas tidak
hanya diterima oleh Allah, tetapi juga memberikan ketenangan jiwa kepada
pelakunya. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah Saw menjelaskan
bahwa keikhlasan merupakan syarat diterimanya amal, sebagaimana sabdanya: “Sesungguhnya
amal itu tergantung pada niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan apa yang
ia niatkan.”1
Dalam hal ini, ikhlas berarti membersihkan niat dari segala bentuk riya dan
hanya mengarahkan ibadah kepada Allah semata.
Kajian ini bertujuan untuk
menganalisis secara komprehensif ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits terkait
penciptaan manusia dan keikhlasan beribadah. Pembahasan akan merujuk pada
sumber-sumber kredibel, seperti kitab tafsir klasik, pendapat ulama, dan jurnal
ilmiah islami. Dengan pemahaman yang mendalam, diharapkan kajian ini dapat
memberikan pencerahan dan motivasi bagi pembaca untuk meningkatkan kualitas
ibadahnya, baik secara individu maupun dalam menjalankan tugas kekhalifahan.
Footnotes
[1]
Muslim, Imam. Shahih Muslim,
Kitab Al-Imarah, Bab “Innamal A’malu Binniyat”.
2.
Penciptaan Manusia dalam Perspektif Al-Qur’an
dan Hadits
2.1.
Fase Penciptaan Manusia (QS. Al-Mu’minun [23] ayat 12-14)
Firman Allah Swt.:
وَلَقَدْ خَلَقْنَا اْلإِنْسَانَ مِنْ سُلاَلَةٍ مِّنْ
طِيْنٍ (12) ثُمَّ
جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِيْ قَرَارٍ مَّكِيْنٍ (13)
ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً
فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ
أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا آخَرَ فَتَبَارَكَ اللهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِيْنَ (14)
"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan
manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. (12) Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang
disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). (13) Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal
darah (sesuatu yang melekat), lalu segumpal darah itu Kami jadikan
segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu
Hilang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia
makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Mahasucilah Allah, Pencipta yang
paling baik. (14)"
Dalam QS. Al-Mu’minun (23) ayat 12-14, Allah menjelaskan tahapan penciptaan manusia dari bahan dasar yang
sederhana hingga menjadi makhluk yang sempurna. Ayat tersebut menyebutkan bahwa
manusia diciptakan dari tanah, kemudian menjadi nutfah (setetes air
mani), ‘alaqah (segumpal darah), mudghah (segumpal daging),
dan akhirnya diberi bentuk serta ruh yang menjadikannya makhluk yang hidup1.
Proses ini menjadi bukti
keagungan Allah sebagai Pencipta yang Maha Kuasa. Dalam Tafsir Al-Qurtubi,
Imam Al-Qurtubi menjelaskan bahwa penyebutan tahapan ini mengajarkan manusia
untuk merenungi asal-usulnya, sehingga tidak berlaku sombong dan tetap tunduk
kepada Allah2.
Ibnu Katsir menambahkan bahwa penciptaan manusia melalui tahapan ini
menunjukkan kehendak Allah yang teratur dan penuh hikmah3.
Penelitian ilmiah modern juga
menunjukkan kesesuaian antara deskripsi ini dengan tahapan embriologi yang
dikenal saat ini. Keith L. Moore, seorang embriolog terkenal, menyatakan bahwa
tahapan perkembangan embrio yang disebutkan dalam Al-Qur’an sangat tepat dan
selaras dengan temuan modern4.
Hal ini memperkuat keyakinan bahwa Al-Qur’an adalah wahyu Allah yang sempurna.
2.2.
Kesempurnaan Penciptaan
Manusia (QS. An-Nahl [16] ayat 78)
Dalam QS. An-Nahl (16) ayat
78, Allah berfirman:
وَاللهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُوْنِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا
تَعْلَمُوْنَ شَيْئًا وَّجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَاْلأَبْصَارَ وَاْلأَفْئِدَةَ
لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
“Dan Allah mengeluarkan
kalian dari perut ibu kalian dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan
Dia memberi kalian pendengaran, penglihatan, dan hati, agar kalian bersyukur.”
Dalam QS. An-Nahl (16) ayat
78, Allah berfirman: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam
keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran,
penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur.” Ayat ini menggambarkan
kesempurnaan penciptaan manusia dengan dilengkapinya organ-organ yang
memungkinkan manusia untuk belajar, memahami, dan bersyukur.
Imam Ath-Thabari dalam Tafsir
Ath-Thabari menjelaskan bahwa pendengaran disebutkan lebih dahulu karena
merupakan pancaindra pertama yang berfungsi setelah kelahiran, dan merupakan
salah satu sarana utama manusia menerima ilmu5.
Al-Baidhawi menambahkan bahwa penyebutan hati (af’idah) menunjukkan
pentingnya peran akal dalam mengolah informasi yang diterima oleh indra6.
2.3.
Manusia Sebagai Khalifah di
Bumi (QS. Al-Baqarah [2] ayat 30-32)
Firman Allah Swt.:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ
إِنِّيْ جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيْفَةً قَالُوْا أَتَجْعَلُ فِيْهَا مَنْ يُفْسِدُ
فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ
قَالَ إِنِّيْ أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ
)30( وَعَلَّمَ
آدَمَ الْأَسْمَاءَ
كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلَائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُوْنِيْ بِأَسْمَاءِ
هٰؤُلَاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِيْنَ (31) قَالُوْا سُبْحَانَكَ
لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيْمُ الْحَكِيْمُ (32)
Ingatlah ketika Tuhanmu
berfirman kepada para malaikat, "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan
seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata, "Mengapa Engkau
hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau!" Tuhan berfirman, "Sesungguhnya Aku
lebih mengetahui apa yang tidak kalian ketahui." (30) Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama
(benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat,
lalu berfirman, "Sebutkanlah nama benda-benda itu jika kalian memang
orang-orang yang benar!" (31) Mereka menjawab, "Mahasuci
Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan
kepada kami, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi
Mahabijaksana." (32)
Allah mengangkat manusia
sebagai khalifah di bumi, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Baqarah (2) ayat
30-32. Dalam ayat tersebut, para malaikat mempertanyakan kemampuan manusia
mengingat potensinya untuk membuat kerusakan, tetapi Allah menegaskan bahwa Dia
mengetahui apa yang tidak diketahui oleh malaikat.
Konsep khalifah ini menurut
Imam Al-Mawardi dalam Al-Ahkam As-Sulthaniyyah menunjukkan tugas
manusia untuk memakmurkan bumi dan menjaga keseimbangannya dengan cara yang
sesuai dengan syariat7.
Yusuf Al-Qaradawi dalam pemikiran kontemporernya menjelaskan bahwa tanggung
jawab ini mencakup aspek spiritual, sosial, dan ekologis8.
2.4.
Tujuan Penciptaan Manusia
dan Jin (QS. Adz-Dzariyat [51] ayat 56)
Firman Allah Swt.:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan
manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku."
Dalam QS. Adz-Dzariyat (51)
ayat 56, Allah menegaskan bahwa tujuan utama penciptaan manusia dan jin adalah
untuk beribadah kepada-Nya. Ibadah ini mencakup segala bentuk ketundukan kepada
Allah, baik secara lahir maupun batin, yang dilandasi oleh keikhlasan.
Ibn Taimiyyah dalam Al-‘Ubudiyyah
menjelaskan bahwa ibadah yang dimaksud bukan hanya ritual seperti salat dan
puasa, tetapi juga seluruh aktivitas yang dilakukan dengan niat untuk mencari
ridha Allah9.
Hal ini menegaskan bahwa kehidupan manusia sepenuhnya harus diarahkan kepada
Allah sebagai Pencipta.
2.5.
Hadits Tentang Penciptaan
Manusia dan Hak Allah
Hadits Riwayat Muslim dari
Abdillah bin Mas’ud:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا أَبُو
مُعَاوِيَةَ، وَوَكِيعٌ، وَحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللهِ بْنِ نُمَيْرٍ الْهَمْدَانِيُّ - وَاللَّفْظُ لَهُ -
حَدَّثَنَا أَبِي، وَأَبُو مُعَاوِيَةَ، وَوَكِيعٌ، قَالُوا: حَدَّثَنَا
الْأَعْمَشِ، عَنْ زَيْدِ بْنِ وَهْبٍ، عَنْ عَبْدِ اللهِ، قَالَ
حَدَّثَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ الصَّادِقُ
الْمَصْدُوقُ إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ
أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا ، ثُمَّ يَكُونُ فِي ذَلِكَ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ،
ثُمَّ يَكُونُ فِي ذَلِكَ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ
الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيهِ الرُّوحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتُبِ
رِزْقِهِ، وَأَجَلِهِ، وَعَمَلِهِ، وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيدٌ،
فَوَالَّذِي لَا إِلَهَ غَيْرُهُ إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ
الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلَّا ذِرَاعٌ،
فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ، فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ،
فَيَدْخُلُهَا، وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ،
حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلَّا ذِرَاعٌ، فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ
الْكِتَابُ، فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ، فَيَدْخُلُهَا.
Telah disampaikan kepada kami oleh Abu Bakr bin
Abi Syaibah dari Abu Mu’awiyah dan Waki’ dari Muhammad bin Abdullah dari Numair al-Hamdani dari ayahnya, juga dari
Abu Mu’waiyah dan Waki’ dari A’masy dari Zaid bin Wahb dari Abdillah bin Mas’ud
r.a, bahwasanya ia berkata: Rasulullah Saw. yang dialah orang yang jujur dan
terpercaya pernah berkata kepada kami‚ Sesungguhnya setiap kalian
dikumpulkan penciptaannya dalam Rahim ibunya selama empat puluh hari
(berupa nutfah atau sperma), kemudian menjadi ‘alaqah (segumpal darah/
sesuatu yang melekat) selama
waktu itu juga, kemudian menjadi mudghah (segumpal daging) selama waktu
itu pula, kemudian Allah mengutus malaikat untuk meniupkan ruh kepadanya dan
mencatat empat perkara yang telah ditentukan, yaitu; rezekinya, ajal, amal
perbuatan, dan sengsara atau bahagianya. Maka demi Allah yang tiada Tuhan
selain-Nya, sesunggguhnya ada seseorang di antara kalian beramal dengan amalan
penghuni surga, sehingga tidak ada jarak antara dirinya dengan surga kecuali
sehasta saja, namun ketetapan (Allah) mendahuluinya, sehingga ia beramal
dengan amalan ahli neraka, maka ia pun masuk neraka. Dan sesunggguhnya ada
seseorang di antara kalian beramal dengan amalan penghuni neraka, sehingga
tidak ada jarak antara dirinya dengan neraka kecuali sehasta saja, namun
ketetapan (Allah) mendahuluinya, sehingga ia beramal dengan amalan ahli
surga, maka ia pun masuk surga. (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Dalam HR Muslim,
Rasulullah Saw menjelaskan bahwa manusia diciptakan dalam tiga tahap selama 40
hari di dalam rahim: nutfah, ‘alaqah, dan mudghah.
Setelah itu, Allah meniupkan ruh ke dalamnya dan menetapkan takdirnya10.
Penjelasan ini mempertegas ayat-ayat Al-Qur’an tentang penciptaan manusia.
Adapun HR Al-Bukhari
menyebutkan bahwa hak Allah atas manusia adalah agar manusia menyembah-Nya
tanpa menyekutukan-Nya, sedangkan hak manusia atas Allah adalah bahwa Dia tidak
akan menyiksa mereka jika mereka melaksanakan hak tersebut11.
Ini menekankan pentingnya keikhlasan sebagai syarat diterimanya ibadah.
Footnotes
[1]
Qs. Al-Mu’minun [23] ayat 12-14.
[2]
Al-Qurtubi, Imam. Al-Jami’ Li
Ahkam Al-Qur’an, Juz 12.
[3]
Ibnu Katsir, Imam. Tafsir
Al-Qur’an Al-‘Azhim, Juz 3.
[4]
Moore, Keith L. The Developing
Human: Clinically Oriented Embryology, edisi ke-8.
[5]
Ath-Thabari, Imam. Jami’
Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an, Juz 14.
[6]
Al-Baidhawi, Imam. Anwar
At-Tanzil wa Asrar At-Ta’wil.
[7]
Al-Mawardi, Imam. Al-Ahkam
As-Sulthaniyyah, Bab Tentang Khalifah.
[8]
Al-Qaradawi, Yusuf. Fiqh
Al-Aulawiyat.
[9]
Ibn Taimiyyah, Sheikh. Al-‘Ubudiyyah,
Bab Hakikat Ibadah.
[10]
Muslim, Imam. Shahih Muslim,
Kitab Al-Qadr.
[11]
Bukhari, Imam. Shahih
Al-Bukhari, Kitab Ar-Riqaq.
3.
Keikhlasan Beribadah sebagai Tujuan Penciptaan
3.1.
Definisi dan Esensi
Keikhlasan
Keikhlasan (ikhlas)
secara bahasa berasal dari kata khalasha yang berarti murni atau
bersih dari campuran1.
Dalam istilah syar’i, keikhlasan adalah mengarahkan seluruh niat dan amal hanya
kepada Allah tanpa ada tujuan selain mencari ridha-Nya2.
Allah berfirman dalam QS. Al-Bayyinah (98) ayat 5, “Padahal mereka hanya
diperintahkan untuk menyembah Allah dengan ikhlas..” Ayat ini menegaskan
bahwa keikhlasan adalah inti dari seluruh amal ibadah.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’
Ulumuddin menjelaskan bahwa keikhlasan adalah memurnikan amal dari segala
motivasi duniawi, seperti riya atau sum’ah, sehingga amal tersebut diterima di
sisi Allah3.
Menurut Syaikh Ibn Rajab Al-Hanbali, ikhlas adalah syarat utama diterimanya
amal selain kesesuaian dengan sunnah Rasulullah Saw4.
3.2.
Hubungan Penciptaan dan
Keikhlasan
Keikhlasan memiliki hubungan erat dengan tujuan penciptaan manusia, sebagaimana dinyatakan dalam QS. Adz-Dzariyat (51) ayat 56:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.”
Ibadah yang dimaksud bukan sekadar
rutinitas ritual, tetapi harus dilandasi oleh niat yang tulus kepada Allah.
Imam Ibn Katsir dalam tafsirnya menyebutkan bahwa ayat ini menegaskan manusia
diciptakan untuk mengesakan Allah dalam seluruh bentuk penyembahan5.
Hadits Nabi Saw juga menekankan pentingnya niat dalam beribadah. Dalam HR Bukhari dan Muslim, Rasulullah Saw bersabda:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا
نَوَى
“Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan niatnya.”6
Keikhlasan inilah yang membedakan antara amal yang diterima Allah dengan amal
yang hanya sekadar tampak di hadapan manusia.
Keikhlasan juga menjadi pilar
utama manusia dalam menjalankan tugas sebagai khalifah di bumi. Imam Al-Mawardi
dalam Adabud Dunya wad Din menyebutkan bahwa seorang khalifah harus
memiliki niat yang tulus untuk memperbaiki kehidupan umat, bukan untuk mencari
pujian atau keuntungan pribadi7.
3.3.
Kajian Ilmiah tentang Ikhlas
Kajian ilmiah dalam psikologi
Islam menunjukkan bahwa keikhlasan memiliki dampak signifikan pada kesehatan
mental dan spiritual seseorang. Keikhlasan membantu seseorang mengatasi tekanan
hidup, meningkatkan ketenangan jiwa, dan memperbaiki hubungan sosial8.
Penelitian yang dilakukan oleh Al-Ghazali Research Institute menyebutkan bahwa
orang yang ikhlas dalam ibadah memiliki tingkat kepuasan hidup yang lebih
tinggi karena mereka merasa dekat dengan Allah dan terlepas dari beban duniawi9.
Dalam konteks sosial,
keikhlasan juga membangun hubungan yang lebih baik antarindividu. Orang yang
ikhlas cenderung lebih jujur, rendah hati, dan tulus dalam membantu orang lain,
sebagaimana dijelaskan dalam Kitab Al-Akhlaq karya Ibnu Hazm10.
Dengan demikian, keikhlasan tidak hanya berdampak pada hubungan manusia dengan
Allah, tetapi juga pada hubungan antar sesama.
3.4.
Implementasi Keikhlasan
dalam Kehidupan
Keikhlasan bukanlah hal yang
mudah dicapai. Ulama seperti Imam An-Nawawi menekankan pentingnya mujahadah
(bersungguh-sungguh) dalam menjaga keikhlasan11.
Hal ini melibatkan pengendalian diri dari godaan riya dan selalu mengingat
bahwa Allah Maha Mengetahui isi hati.
Untuk melatih keikhlasan, Rasulullah Saw menganjurkan agar seseorang merahasiakan amal kebaikan yang dilakukannya, sebagaimana sabdanya dalam HR Bukhari:
أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ
“Amal yang paling dicintai Allah adalah yang dilakukan secara konsisten meskipun sedikit.”12
Hal ini menunjukkan bahwa amal yang ikhlas tidak harus besar, tetapi harus
tulus dan berkesinambungan.
Footnotes
[1]
Ibn Manzur. Lisan al-Arab,
Bab Kh-L-S.
[2]
Al-Jurjani. At-Ta’rifat,
Halaman 48.
[3]
Al-Ghazali, Imam. Ihya’
Ulumuddin, Juz 4, Bab Ikhlas.
[4]
Ibn Rajab Al-Hanbali. Jami’
Al-‘Ulum wa Al-Hikam, Hadits Ke-1.
[5]
Ibn Katsir, Imam. Tafsir
Al-Qur’an Al-‘Azhim, Tafsir QS. Adz-Dzariyat [51]: 56.
[6]
Muslim, Imam. Shahih Muslim,
Kitab Al-Imarah.
[7]
Al-Mawardi, Imam. Adabud Dunya
wad Din, Bab Amanah.
[8]
Badri, Malik. Contemplation:
An Islamic Psychospiritual Perspective.
[9]
Al-Ghazali Research Institute. Journal
of Islamic Psychology, 2020.
[10]
Ibnu Hazm. Kitab Al-Akhlaq,
Bab Kejujuran dan Tulus.
[11]
An-Nawawi, Imam. Riyadhus Shalihin,
Bab Ikhlas.
[12]
Bukhari, Imam. Shahih
Al-Bukhari, Kitab Ar-Riqaq.
4.
Implikasi dan Hikmah dari Kajian Ayat dan
Hadits
4.1.
Mengambil Pelajaran dari
Proses Penciptaan Manusia
Kajian tentang penciptaan
manusia sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-Mu’minun (23) ayat 12-14
mengajarkan manusia untuk merenungi asal-usulnya yang sederhana, yaitu dari
tanah dan setetes air mani1.
Hikmah ini menumbuhkan sifat rendah hati dan kesadaran bahwa segala potensi
yang dimiliki manusia adalah pemberian Allah yang harus disyukuri2.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menyebutkan bahwa kesadaran akan
asal-usul manusia dapat membangun sifat tawadhu dan menghilangkan kesombongan,
karena manusia tidak memiliki apa-apa kecuali yang Allah berikan3.
Proses penciptaan manusia
yang bertahap juga menunjukkan bahwa segala sesuatu membutuhkan waktu dan
kehendak Allah. Hal ini memberikan pelajaran tentang pentingnya kesabaran dan
ketundukan dalam menghadapi proses kehidupan4.
4.2.
Kesadaran Akan Kesempurnaan
Penciptaan
QS. An-Nahl (16) ayat 78
menegaskan bahwa manusia dilengkapi dengan pendengaran, penglihatan, dan hati
agar mereka bersyukur. Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan bahwa organ-organ
tersebut tidak hanya diberikan untuk memenuhi kebutuhan fisik, tetapi juga
sebagai sarana memahami tanda-tanda kebesaran Allah5.
Hikmah dari ayat ini adalah manusia harus menggunakan indra dan akalnya untuk
mencari kebenaran, bukan untuk kebatilan6.
Dalam konteks ini, Syaikh
Yusuf Al-Qaradawi menekankan pentingnya pendidikan spiritual agar manusia dapat
memanfaatkan kesempurnaan dirinya untuk mendekatkan diri kepada Allah7.
Kesadaran akan kesempurnaan penciptaan juga mengajarkan manusia untuk menjaga
kesehatan fisik dan mental sebagai bentuk syukur atas nikmat yang diberikan
Allah.
4.3.
Menyadari Tugas sebagai
Khalifah di Bumi
Konsep manusia sebagai
khalifah di bumi yang dijelaskan dalam QS. Al-Baqarah (2) ayat 30-32 memberikan
tanggung jawab besar kepada manusia untuk memakmurkan bumi sesuai dengan
petunjuk Allah. Imam Al-Mawardi dalam Adabud Dunya wad Din menyebutkan
bahwa tugas kekhalifahan tidak hanya terkait dengan urusan dunia, tetapi juga
melibatkan tanggung jawab spiritual, sosial, dan ekologis8.
Hikmah dari konsep ini adalah
manusia harus menjalankan perannya dengan adil, menjaga keseimbangan alam, dan
tidak membuat kerusakan di bumi sebagaimana dilarang dalam QS. Al-A’raf (7)
ayat 56. Dengan memahami tugas ini, manusia akan lebih berhati-hati dalam
bertindak dan berusaha untuk meninggalkan warisan yang baik bagi generasi
mendatang9.
4.4.
Mengarahkan Tujuan Hidup
pada Ibadah yang Ikhlas
QS. Adz-Dzariyat (51) ayat 56
menegaskan bahwa tujuan utama penciptaan manusia dan jin adalah untuk beribadah
kepada Allah. Hal ini memberikan kesadaran bahwa segala aspek kehidupan
manusia, baik individu maupun sosial, harus diarahkan untuk mencari ridha
Allah. Keikhlasan dalam ibadah menjadi syarat utama untuk mencapai tujuan ini.
Menurut Imam Ibn Taimiyyah
dalam Al-‘Ubudiyyah, ibadah yang ikhlas tidak hanya terbatas pada
ritual seperti salat dan puasa, tetapi mencakup seluruh aktivitas yang
dilakukan dengan niat tulus kepada Allah10.
Hikmah dari ajaran ini adalah manusia dapat merasakan ketenangan dan
kebahagiaan sejati, karena kehidupannya dipenuhi dengan makna spiritual.
4.5.
Dampak Keikhlasan pada
Kehidupan Individu dan Sosial
Keikhlasan beribadah
memberikan dampak positif bagi kehidupan individu dan masyarakat. Secara
individu, keikhlasan membantu manusia mencapai ketenangan jiwa, karena amal
yang dilakukan tanpa pamrih duniawi membebaskan hati dari tekanan11.
Penelitian dalam Journal of Islamic Psychology menunjukkan bahwa orang
yang ikhlas memiliki tingkat stres yang lebih rendah dan hubungan yang lebih
baik dengan sesama12.
Dalam kehidupan sosial,
keikhlasan melahirkan individu yang jujur, rendah hati, dan berorientasi pada
kebaikan bersama. Ibnu Hazm dalam Kitab Al-Akhlaq menyebutkan bahwa
orang yang ikhlas cenderung menjadi pemimpin yang adil dan tulus dalam melayani
umat13.
Hikmah ini mengajarkan bahwa keikhlasan tidak hanya berdampak pada hubungan
manusia dengan Allah, tetapi juga pada hubungan antar sesama manusia.
4.6.
Motivasi untuk Memperbaiki
Ibadah
Dari kajian ayat dan hadits
yang telah dibahas, manusia diajak untuk memperbaiki kualitas ibadahnya dengan
memurnikan niat dan menghindari riya. Imam An-Nawawi dalam Riyadhus
Shalihin menjelaskan bahwa amal yang sedikit tetapi ikhlas lebih dicintai
oleh Allah daripada amal besar yang disertai niat buruk14.
Hikmah ini mendorong manusia untuk senantiasa melakukan muhasabah (evaluasi
diri) dan memperbaiki niat dalam setiap amal ibadah.
Footnotes
[1]
QS. Al-Mu’minun [23] ayat 12-14.
[2]
Al-Qurtubi, Imam. Al-Jami’ Li
Ahkam Al-Qur’an, Juz 12.
[3]
Al-Ghazali, Imam. Ihya’
Ulumuddin, Juz 3, Bab Tawadhu.
[4]
Ibn Katsir, Imam. Tafsir
Al-Qur’an Al-‘Azhim, Juz 5.
[5]
Ibid., Tafsir QS. An-Nahl [16]:
78.
[6]
Ath-Thabari, Imam. Jami’
Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an, Juz 14.
[7]
Al-Qaradawi, Yusuf. Fiqh
Al-Aulawiyat.
[8]
Al-Mawardi, Imam. Adabud Dunya
wad Din, Bab Tanggung Jawab Khalifah.
[9]
Badri, Malik. Contemplation:
An Islamic Psychospiritual Perspective.
[10]
Ibn Taimiyyah, Sheikh. Al-‘Ubudiyyah,
Bab Hakikat Ibadah.
[11]
An-Nawawi, Imam. Riyadhus
Shalihin, Bab Ikhlas.
[12]
Al-Ghazali Research Institute. Journal
of Islamic Psychology, 2020.
[13]
Ibnu Hazm. Kitab Al-Akhlaq,
Bab Kejujuran dan Tulus.
[14]
Bukhari, Imam. Shahih
Al-Bukhari, Kitab Ar-Riqaq.
5.
Penutup
Penciptaan manusia
sebagaimana dijelaskan dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits Rasulullah Saw merupakan
bukti nyata kebesaran dan kekuasaan Allah. Dari proses awal yang sederhana,
yaitu tanah dan setetes air, hingga menjadi makhluk yang sempurna dengan akal
dan ruh, Allah menunjukkan hikmah dan kasih sayang-Nya kepada manusia.
Sebagaimana dinyatakan dalam QS. Al-Mu’minun (23) ayat 12-14 dan QS. An-Nahl
(16) ayat 78, kesempurnaan manusia mengharuskan manusia untuk senantiasa
bersyukur dengan menggunakan akal dan pancaindranya untuk mencari kebenaran dan
mendekatkan diri kepada Allah1.
Tujuan utama penciptaan
manusia adalah untuk beribadah kepada Allah dengan penuh keikhlasan,
sebagaimana ditegaskan dalam QS. Adz-Dzariyat (51) ayat 56. Keikhlasan adalah
kunci diterimanya amal, dan tanpa itu, ibadah manusia akan kehilangan
esensinya. Sebagaimana dijelaskan dalam HR Muslim, amal yang dilandasi
oleh niat yang tulus akan mendatangkan ridha Allah dan menjadi bekal manusia
untuk kehidupan akhirat2.
Oleh karena itu, memahami dan menerapkan nilai keikhlasan merupakan kewajiban
bagi setiap Muslim.
Konsep manusia sebagai
khalifah di bumi, sebagaimana tertuang dalam QS. Al-Baqarah (2) ayat 30-32,
memberikan tanggung jawab besar untuk menjaga keseimbangan alam dan memakmurkan
bumi sesuai dengan petunjuk Allah3.
Dengan menjalankan tugas ini, manusia tidak hanya menunaikan amanah ilahiah
tetapi juga memperbaiki hubungan sosial dan ekologis demi keberlanjutan kehidupan.
Keikhlasan dalam beribadah
juga memberikan dampak positif pada kehidupan individu dan masyarakat. Secara
individu, ikhlas membantu manusia meraih ketenangan jiwa, karena amal yang
dilakukan hanya untuk Allah terlepas dari tekanan duniawi. Secara sosial,
keikhlasan melahirkan individu yang jujur, rendah hati, dan berorientasi pada
kebaikan bersama. Ibnu Hazm menegaskan bahwa keikhlasan adalah fondasi utama
bagi terciptanya masyarakat yang harmonis4.
Penutup ini menegaskan bahwa
manusia diciptakan untuk tujuan yang mulia, yaitu beribadah kepada Allah dan
menjalankan perannya sebagai khalifah di bumi. Pemahaman yang mendalam tentang
ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits terkait penciptaan manusia dan keikhlasan
beribadah diharapkan dapat menjadi motivasi bagi pembaca untuk meningkatkan
kualitas ibadah mereka. Dengan keikhlasan, ibadah manusia akan diterima oleh
Allah, memberikan ketenangan batin, dan menjadi jalan untuk meraih kebahagiaan
dunia dan akhirat.
Sebagai akhir dari pembahasan, penting bagi setiap Muslim untuk senantiasa melakukan muhasabah (evaluasi diri) terhadap niat dan amalnya. Rasulullah Saw bersabda:
الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ،
وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللَّهِ
“Orang yang cerdas adalah yang menundukkan dirinya dan beramal untuk kehidupan setelah mati.” (HR Tirmidzi)5.
Semoga artikel ini dapat menjadi pengingat bagi kita semua untuk terus
memperbaiki ibadah dengan keikhlasan sebagai inti dari tujuan penciptaan.
Footnotes
[1]
QS. Al-Mu’minun [23] ayat 12-14, QS.
An-Nahl [16] ayat 78.
[2]
Muslim, Imam. Shahih Muslim,
Kitab Al-Imarah, Bab Niat dalam Amal.
[3]
Al-Mawardi, Imam. Adabud Dunya
wad Din, Bab Tanggung Jawab Khalifah.
[4]
Ibnu Hazm. Kitab Al-Akhlaq,
Bab Kejujuran dan Tulus.
[5]
Tirmidzi, Imam. Sunan
At-Tirmidzi, Bab Zuhud.
Daftar Pustaka
Al-Ghazali, Imam. (n.d.). Ihya’
Ulumuddin. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Al-Hazm, I. (1996). Kitab
Al-Akhlaq. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Al-Mawardi, Imam. (1996). Adabud
Dunya wad Din. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Al-Qaradawi, Y. (1995). Fiqh
Al-Aulawiyat: Dirasah Jadidah fi Daw’ Al-Qur’an wa Al-Sunnah. Beirut:
Muassasah al-Risalah.
Al-Qurtubi, Imam. (2006). Al-Jami’
Li Ahkam Al-Qur’an (Vol. 12). Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Ath-Thabari, Imam. (2000). Jami’
Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an (Vol. 14). Beirut: Dar al-Fikr.
Badri, M. (2000). Contemplation:
An Islamic Psychospiritual Perspective. Kuala Lumpur: International
Institute of Islamic Thought.
Bukhari, Imam. (n.d.). Shahih
Al-Bukhari. Beirut: Dar al-Fikr.
Ibn Katsir, Imam. (2000). Tafsir
Al-Qur’an Al-‘Azhim (Vol. 3). Riyadh: Darus Salam.
Ibn Rajab Al-Hanbali.
(1997). Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Ibn Taimiyyah, Sheikh.
(1995). Al-‘Ubudiyyah. Riyadh: Dar Al-Fikr.
Keith, L. M. (2008). The
Developing Human: Clinically Oriented Embryology (8th ed.). Philadelphia:
Saunders Elsevier.
Muslim, Imam. (n.d.). Shahih
Muslim. Beirut: Dar al-Fikr.
Tirmidzi, Imam. (n.d.). Sunan
At-Tirmidzi. Beirut: Dar al-Fikr.
Yusuf, M. B. (2020).
Keikhlasan dan Kesejahteraan Jiwa: Studi Kasus di Jurnal Psikologi Islam. Journal
of Islamic Psychology, 6(2), 102–115.
Lampiran: Keterkaitan Kandungan Ayat dan Hadits
tentang Penciptaan Manusia dan Keikhlasan Beribadah dengan Fenomena
Sosial
Nama Satuan :
Madrasah Aliyah Plus Al-Aqsha
Mata Pelajaran :
Al-Qur’an Hadits
Kelas :
11 (Sebelas)
1.
Kesadaran Asal-Usul Manusia dan Rendah Hati
dalam Kehidupan Sosial
QS Al-Mu’minun (23) ayat 12-14
menyatakan bahwa manusia diciptakan melalui tahapan-tahapan, dimulai dari tanah
hingga menjadi makhluk sempurna.[1]
Ayat ini mengajarkan manusia untuk merenungi asal-usulnya yang sederhana, yang
pada akhirnya dapat menumbuhkan sifat rendah hati. Dalam konteks sosial,
kesadaran ini sangat penting untuk menghindari kesombongan dan individualisme
yang sering muncul dalam kehidupan modern.
Fenomena sosial seperti
ketimpangan sosial dan diskriminasi rasial dapat diatasi dengan memahami bahwa
semua manusia berasal dari unsur yang sama, yakni tanah. Imam Al-Ghazali dalam Ihya’
Ulumuddin menegaskan bahwa kesadaran tentang asal-usul manusia membantu
menumbuhkan sifat tawadhu, sehingga manusia dapat memperlakukan sesamanya
dengan adil.[2]
2.
Kesempurnaan Penciptaan dan Tanggung Jawab
Sosial
QS An-Nahl (16) ayat 78
menjelaskan bahwa manusia dilengkapi dengan pendengaran, penglihatan, dan hati
agar mereka bersyukur.[3]
Kesempurnaan penciptaan ini memberikan manusia kemampuan untuk memahami
lingkungan sekitar dan bertanggung jawab terhadap keseimbangan sosial. Dalam
tafsir Ath-Thabari, disebutkan bahwa pendengaran adalah sarana utama untuk
menerima ilmu dan penglihatan untuk memahami tanda-tanda kebesaran Allah,
sementara hati adalah pusat pengendalian moral.[4]
Namun, dalam realitas sosial,
sering ditemukan penyalahgunaan potensi ini, seperti penggunaan media untuk
menyebarkan kebencian atau berita palsu. Kesadaran bahwa pancaindra adalah
amanah dari Allah dapat menjadi solusi untuk memanfaatkan potensi ini dengan
cara yang bermanfaat, seperti menyebarkan edukasi dan kebaikan melalui media
sosial.
3.
Tugas Khalifah dan Isu Lingkungan Hidup
Dalam QS Al-Baqarah (2) ayat
30-32, Allah menjelaskan tugas manusia sebagai khalifah di bumi, yaitu menjaga
keseimbangan alam dan memakmurkan bumi.[5]
Fenomena kerusakan lingkungan seperti deforestasi, polusi, dan pemanasan global
menunjukkan bahwa manusia sering mengabaikan tugas ini. Imam Al-Mawardi dalam Adabud
Dunya wad Din menekankan bahwa kekhalifahan manusia mencakup tanggung
jawab ekologis untuk menjaga sumber daya alam demi kesejahteraan umat manusia.[6]
Upaya konservasi lingkungan,
pengelolaan limbah, dan penggunaan sumber daya alam secara berkelanjutan
mencerminkan implementasi nilai-nilai kekhalifahan dalam kehidupan sosial.
Dalam hal ini, ajaran Islam tentang amanah dapat menjadi motivasi bagi manusia
untuk lebih bertanggung jawab terhadap lingkungan.
4.
Keikhlasan Beribadah dan Hubungan Sosial
QS Adz-Dzariyat (51) ayat 56
menegaskan bahwa tujuan utama manusia adalah beribadah kepada Allah dengan
ikhlas. Keikhlasan tidak hanya menjadi syarat diterimanya ibadah, tetapi juga
berperan dalam membentuk karakter manusia dalam kehidupan sosial. Dalam HR
Muslim, Rasulullah Saw menyebutkan bahwa amal yang dilakukan dengan niat
yang tulus akan diterima oleh Allah.[7]
Keikhlasan beribadah
tercermin dalam fenomena sosial seperti membantu sesama tanpa mengharapkan
imbalan. Sebagai contoh, aksi solidaritas dalam bencana alam menunjukkan nilai
keikhlasan yang diajarkan dalam Islam. Ibnu Hazm dalam Kitab Al-Akhlaq
menjelaskan bahwa keikhlasan melahirkan individu yang rendah hati dan tulus
dalam berkontribusi kepada masyarakat.[8]
5.
Hubungan Keikhlasan dengan Kesejahteraan Mental
Penelitian dalam Journal
of Islamic Psychology menunjukkan bahwa keikhlasan beribadah memiliki
dampak positif pada kesehatan mental, seperti mengurangi stres dan meningkatkan
ketenangan jiwa.[9]
Dalam fenomena sosial modern, banyak individu yang mengalami tekanan hidup
akibat kompetisi yang tinggi dan materialisme. Keikhlasan beribadah membantu
seseorang menemukan makna hidup yang lebih dalam, sehingga mereka tidak
terjebak pada ambisi duniawi yang berlebihan.
Selain itu, konsep keikhlasan
juga dapat mengatasi masalah hubungan interpersonal, seperti konflik dalam
keluarga atau masyarakat. Dengan mengedepankan niat tulus untuk memperbaiki
hubungan, konflik dapat diredakan dan keharmonisan sosial tercapai.
Kesimpulan
Kandungan ayat dan hadits
tentang penciptaan manusia dan keikhlasan beribadah memberikan landasan yang
kuat untuk menghadapi berbagai fenomena sosial, mulai dari isu ketimpangan
sosial hingga permasalahan lingkungan dan kesehatan mental. Dengan
mengintegrasikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan, manusia dapat
menjalankan peran sebagai khalifah di bumi dan mencapai kebahagiaan dunia serta
akhirat.
Footnotes
[1]
QS Al-Mu’minun [23] ayat 12-14.
[2]
Al-Ghazali, Imam. Ihya’ Ulumuddin, Juz 3, Bab
Tawadhu.
[3]
QS An-Nahl [16] ayat 78.
[4]
Ath-Thabari, Imam. Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an,
Juz 14.
[5]
QS Al-Baqarah [2] ayat 30-32.
[6]
Al-Mawardi, Imam. Adabud Dunya wad Din, Bab Tanggung
Jawab Khalifah.
[7]
Muslim, Imam. Shahih Muslim, Kitab Al-Imarah.
[8]
Ibnu Hazm. Kitab
Al-Akhlaq, Bab Kejujuran dan Tulus.
[9]
Yusuf, M. B. (2020). Keikhlasan dan Kesejahteraan Jiwa: Studi Kasus di Jurnal
Psikologi Islam. Journal of Islamic Psychology,
6(2), 102–115.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar