Sabtu, 21 Desember 2024

Bahan Ajar Qurdis Kelas 11 Bab 1: Penciptaan Manusia dan Keikhlasan Beribadah

Penciptaan Manusia dan Keikhlasan Beribadah


Nama Satuan       : Madrasah Aliyah Plus Al-Aqsha

Mata Pelajaran     : Al-Qur’an Hadits

Kelas                   : 11 (Sebelas)


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif tentang konsep penciptaan manusia dan keikhlasan beribadah berdasarkan kajian ayat-ayat Al-Qur'an dan hadits, yang didukung oleh pandangan ulama klasik dan penelitian ilmiah modern. Penciptaan manusia, sebagaimana dijelaskan dalam Qs. Al-Mu’minun (23) ayat 12-14, Qs. An-Nahl (16) ayat 78, Qs. Al-Baqarah (2) ayat 30-32, dan Qs. Adz-Dzariyat (51) ayat 56, menunjukkan kebesaran Allah dan tujuan utama keberadaan manusia, yaitu beribadah dengan ikhlas. Proses penciptaan manusia dari tanah hingga menjadi makhluk sempurna memberikan pelajaran tentang asal-usul manusia, pentingnya bersyukur, serta tanggung jawabnya sebagai khalifah di bumi.

Keikhlasan, yang merupakan inti dari ibadah, ditekankan melalui hadits Nabi Saw yang menegaskan bahwa amal tergantung pada niat. Keikhlasan tidak hanya berpengaruh pada hubungan manusia dengan Allah, tetapi juga berdampak positif pada kesehatan mental, sosial, dan spiritual. Artikel ini juga menyoroti tantangan mencapai keikhlasan di era modern, seperti pengaruh riya di media sosial, serta menawarkan solusi berbasis nilai-nilai Islam untuk mengatasinya.

Dengan pendekatan integratif antara teks-teks keagamaan dan analisis ilmiah, artikel ini memberikan wawasan bahwa keikhlasan dalam beribadah adalah kunci menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Selain itu, manusia diajak untuk memaknai penciptaan dirinya sebagai bentuk kasih sayang Allah, sehingga dapat menjalankan tugasnya sebagai hamba Allah dan khalifah di bumi dengan penuh tanggung jawab. Artikel ini bertujuan untuk memotivasi pembaca dalam meningkatkan kualitas ibadah serta menjalani hidup yang bermakna sesuai tuntunan Islam.

Kata Kunci: Penciptaan manusia, keikhlasan, ibadah, khalifah, Al-Qur'an, hadits, kesehatan spiritual.


PEMBAHASAN

Penciptaan Manusia dan Keikhlasan Beribadah


1.           Pendahuluan

Penciptaan manusia merupakan salah satu tema penting dalam Al-Qur’an, yang tidak hanya menunjukkan keagungan Allah sebagai Sang Pencipta, tetapi juga mengingatkan manusia akan asal-usul dan tujuan keberadaannya. Dalam QS. Al-Mu’minun (23) ayat 12-14, Allah menjelaskan proses penciptaan manusia secara bertahap dari tanah, setetes air, segumpal darah, hingga menjadi makhluk sempurna yang dilengkapi dengan akal dan kemampuan untuk menjalankan tugasnya sebagai khalifah di bumi. Hal ini menunjukkan kebesaran Allah dan tujuan hidup manusia yang harus dipahami dengan mendalam. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Adz-Dzariyat (51) ayat 56, tujuan utama penciptaan manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya, yang harus dilakukan dengan ikhlas sebagai manifestasi dari ketundukan total kepada Allah.

Pemahaman tentang penciptaan manusia tidak hanya menguatkan keyakinan akan kebesaran Allah, tetapi juga menjadi landasan bagi manusia untuk menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab. Sebagai khalifah di bumi, manusia dibebani amanah untuk menjaga keseimbangan dan memakmurkan bumi sesuai dengan petunjuk Allah, sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-Baqarah (2) ayat 30-32. Tugas ini tidak hanya memerlukan kecerdasan dan kekuatan fisik, tetapi juga keikhlasan dalam menjalankan peran tersebut untuk mendapatkan ridha Allah.

Keikhlasan beribadah menjadi inti dari tujuan penciptaan manusia. Ibadah yang dilakukan dengan ikhlas tidak hanya diterima oleh Allah, tetapi juga memberikan ketenangan jiwa kepada pelakunya. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah Saw menjelaskan bahwa keikhlasan merupakan syarat diterimanya amal, sebagaimana sabdanya: “Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan apa yang ia niatkan.”1 Dalam hal ini, ikhlas berarti membersihkan niat dari segala bentuk riya dan hanya mengarahkan ibadah kepada Allah semata.

Kajian ini bertujuan untuk menganalisis secara komprehensif ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits terkait penciptaan manusia dan keikhlasan beribadah. Pembahasan akan merujuk pada sumber-sumber kredibel, seperti kitab tafsir klasik, pendapat ulama, dan jurnal ilmiah islami. Dengan pemahaman yang mendalam, diharapkan kajian ini dapat memberikan pencerahan dan motivasi bagi pembaca untuk meningkatkan kualitas ibadahnya, baik secara individu maupun dalam menjalankan tugas kekhalifahan.


Footnotes

[1]              Muslim, Imam. Shahih Muslim, Kitab Al-Imarah, Bab “Innamal A’malu Binniyat”.


2.           Penciptaan Manusia dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hadits

2.1.       Fase Penciptaan Manusia (QS. Al-Mu’minun [23] ayat 12-14)

Firman Allah Swt.:

وَلَقَدْ خَلَقْنَا اْلإِنْسَانَ مِنْ سُلاَلَةٍ مِّنْ طِيْنٍ (12) ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِيْ قَرَارٍ مَّكِيْنٍ (13) ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا آخَرَ فَتَبَارَكَ اللهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِيْنَ (14)

"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. (12) Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). (13) Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah (sesuatu yang melekat), lalu se­gumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu Hilang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Mahasucilah Allah, Pencipta yang paling baik. (14)"

Dalam QS. Al-Mu’minun (23) ayat 12-14, Allah menjelaskan tahapan penciptaan manusia dari bahan dasar yang sederhana hingga menjadi makhluk yang sempurna. Ayat tersebut menyebutkan bahwa manusia diciptakan dari tanah, kemudian menjadi nutfah (setetes air mani), ‘alaqah (segumpal darah), mudghah (segumpal daging), dan akhirnya diberi bentuk serta ruh yang menjadikannya makhluk yang hidup1.

Proses ini menjadi bukti keagungan Allah sebagai Pencipta yang Maha Kuasa. Dalam Tafsir Al-Qurtubi, Imam Al-Qurtubi menjelaskan bahwa penyebutan tahapan ini mengajarkan manusia untuk merenungi asal-usulnya, sehingga tidak berlaku sombong dan tetap tunduk kepada Allah2. Ibnu Katsir menambahkan bahwa penciptaan manusia melalui tahapan ini menunjukkan kehendak Allah yang teratur dan penuh hikmah3.

Penelitian ilmiah modern juga menunjukkan kesesuaian antara deskripsi ini dengan tahapan embriologi yang dikenal saat ini. Keith L. Moore, seorang embriolog terkenal, menyatakan bahwa tahapan perkembangan embrio yang disebutkan dalam Al-Qur’an sangat tepat dan selaras dengan temuan modern4. Hal ini memperkuat keyakinan bahwa Al-Qur’an adalah wahyu Allah yang sempurna.

2.2.       Kesempurnaan Penciptaan Manusia (QS. An-Nahl [16] ayat 78)

Dalam QS. An-Nahl (16) ayat 78, Allah berfirman:

وَاللهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُوْنِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ شَيْئًا وَّجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَاْلأَبْصَارَ وَاْلأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

“Dan Allah mengeluarkan kalian dari perut ibu kalian dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kalian pendengaran, penglihatan, dan hati, agar kalian bersyukur.”

Dalam QS. An-Nahl (16) ayat 78, Allah berfirman: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur.” Ayat ini menggambarkan kesempurnaan penciptaan manusia dengan dilengkapinya organ-organ yang memungkinkan manusia untuk belajar, memahami, dan bersyukur.

Imam Ath-Thabari dalam Tafsir Ath-Thabari menjelaskan bahwa pendengaran disebutkan lebih dahulu karena merupakan pancaindra pertama yang berfungsi setelah kelahiran, dan merupakan salah satu sarana utama manusia menerima ilmu5. Al-Baidhawi menambahkan bahwa penyebutan hati (af’idah) menunjukkan pentingnya peran akal dalam mengolah informasi yang diterima oleh indra6.

2.3.       Manusia Sebagai Khalifah di Bumi (QS. Al-Baqarah [2] ayat 30-32)

Firman Allah Swt.:

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّيْ جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيْفَةً قَالُوْا أَتَجْعَلُ فِيْهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّيْ أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ )30( وَعَلَّمَ آدَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلَائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُوْنِيْ بِأَسْمَاءِ هٰؤُلَاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِيْنَ (31) قَالُوْا سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيْمُ الْحَكِيْمُ (32)

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata, "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau!" Tuhan berfirman, "Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang tidak kalian ketahui." (30) Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat, lalu berfirman, "Sebutkanlah nama benda-benda itu jika kalian memang orang-orang yang benar!" (31) Mereka menjawab, "Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana." (32)

Allah mengangkat manusia sebagai khalifah di bumi, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Baqarah (2) ayat 30-32. Dalam ayat tersebut, para malaikat mempertanyakan kemampuan manusia mengingat potensinya untuk membuat kerusakan, tetapi Allah menegaskan bahwa Dia mengetahui apa yang tidak diketahui oleh malaikat.

Konsep khalifah ini menurut Imam Al-Mawardi dalam Al-Ahkam As-Sulthaniyyah menunjukkan tugas manusia untuk memakmurkan bumi dan menjaga keseimbangannya dengan cara yang sesuai dengan syariat7. Yusuf Al-Qaradawi dalam pemikiran kontemporernya menjelaskan bahwa tanggung jawab ini mencakup aspek spiritual, sosial, dan ekologis8.

2.4.       Tujuan Penciptaan Manusia dan Jin (QS. Adz-Dzariyat [51] ayat 56)

Firman Allah Swt.:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ

"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku."

Dalam QS. Adz-Dzariyat (51) ayat 56, Allah menegaskan bahwa tujuan utama penciptaan manusia dan jin adalah untuk beribadah kepada-Nya. Ibadah ini mencakup segala bentuk ketundukan kepada Allah, baik secara lahir maupun batin, yang dilandasi oleh keikhlasan.

Ibn Taimiyyah dalam Al-‘Ubudiyyah menjelaskan bahwa ibadah yang dimaksud bukan hanya ritual seperti salat dan puasa, tetapi juga seluruh aktivitas yang dilakukan dengan niat untuk mencari ridha Allah9. Hal ini menegaskan bahwa kehidupan manusia sepenuhnya harus diarahkan kepada Allah sebagai Pencipta.

2.5.       Hadits Tentang Penciptaan Manusia dan Hak Allah

Hadits Riwayat Muslim dari Abdillah bin Mas’ud:

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، وَوَكِيعٌ، وَحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللهِ بْنِ نُمَيْرٍ الْهَمْدَانِيُّ - وَاللَّفْظُ لَهُ - حَدَّثَنَا أَبِي، وَأَبُو مُعَاوِيَةَ، وَوَكِيعٌ، قَالُوا: حَدَّثَنَا الْأَعْمَشِ، عَنْ زَيْدِ بْنِ وَهْبٍ، عَنْ عَبْدِ اللهِ، قَالَ حَدَّثَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ الصَّادِقُ الْمَصْدُوقُ إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا ، ثُمَّ يَكُونُ فِي ذَلِكَ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُونُ فِي ذَلِكَ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيهِ الرُّوحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتُبِ رِزْقِهِ، وَأَجَلِهِ، وَعَمَلِهِ، وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيدٌ، فَوَالَّذِي لَا إِلَهَ غَيْرُهُ إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلَّا ذِرَاعٌ، فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ، فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ، فَيَدْخُلُهَا، وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ، حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلَّا ذِرَاعٌ، فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ، فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ، فَيَدْخُلُهَا.

Telah disampaikan kepada kami oleh Abu Bakr bin Abi Syaibah dari Abu Mu’awiyah dan Waki’ dari Muhammad bin Abdullah dari Numair al-Hamdani dari ayahnya, juga dari Abu Mu’waiyah dan Waki’ dari A’masy dari Zaid bin Wahb dari Abdillah bin Mas’ud r.a, bahwasanya ia berkata: Rasulullah Saw. yang dialah orang yang jujur dan terpercaya pernah berkata kepada kami‚ Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan penciptaannya dalam Rahim ibunya selama empat puluh hari (berupa nutfah atau sperma), kemudian menjadi ‘alaqah (segumpal darah/ sesuatu yang melekat) selama waktu itu juga, kemudian menjadi mudghah (segumpal daging) selama waktu itu pula, kemudian Allah mengutus malaikat untuk meniupkan ruh kepadanya dan mencatat empat perkara yang telah ditentukan, yaitu; rezekinya, ajal, amal perbuatan, dan sengsara atau bahagianya. Maka demi Allah yang tiada Tuhan selain-Nya, sesunggguhnya ada seseorang di antara kalian beramal dengan amalan penghuni surga, sehingga tidak ada jarak antara dirinya dengan surga kecuali sehasta saja, namun ketetapan (Allah) mendahuluinya, sehingga ia beramal dengan amalan ahli neraka, maka ia pun masuk neraka. Dan sesunggguhnya ada seseorang di antara kalian beramal dengan amalan penghuni neraka, sehingga tidak ada jarak antara dirinya dengan neraka kecuali sehasta saja, namun ketetapan (Allah) mendahuluinya, sehingga ia beramal dengan amalan ahli surga, maka ia pun masuk surga. (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Dalam HR Muslim, Rasulullah Saw menjelaskan bahwa manusia diciptakan dalam tiga tahap selama 40 hari di dalam rahim: nutfah, ‘alaqah, dan mudghah. Setelah itu, Allah meniupkan ruh ke dalamnya dan menetapkan takdirnya10. Penjelasan ini mempertegas ayat-ayat Al-Qur’an tentang penciptaan manusia.

Adapun HR Al-Bukhari menyebutkan bahwa hak Allah atas manusia adalah agar manusia menyembah-Nya tanpa menyekutukan-Nya, sedangkan hak manusia atas Allah adalah bahwa Dia tidak akan menyiksa mereka jika mereka melaksanakan hak tersebut11. Ini menekankan pentingnya keikhlasan sebagai syarat diterimanya ibadah.


Footnotes

[1]              Qs. Al-Mu’minun [23] ayat 12-14.

[2]              Al-Qurtubi, Imam. Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an, Juz 12.

[3]              Ibnu Katsir, Imam. Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, Juz 3.

[4]              Moore, Keith L. The Developing Human: Clinically Oriented Embryology, edisi ke-8.

[5]              Ath-Thabari, Imam. Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an, Juz 14.

[6]              Al-Baidhawi, Imam. Anwar At-Tanzil wa Asrar At-Ta’wil.

[7]              Al-Mawardi, Imam. Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, Bab Tentang Khalifah.

[8]              Al-Qaradawi, Yusuf. Fiqh Al-Aulawiyat.

[9]              Ibn Taimiyyah, Sheikh. Al-‘Ubudiyyah, Bab Hakikat Ibadah.

[10]          Muslim, Imam. Shahih Muslim, Kitab Al-Qadr.

[11]          Bukhari, Imam. Shahih Al-Bukhari, Kitab Ar-Riqaq.


3.           Keikhlasan Beribadah sebagai Tujuan Penciptaan

3.1.       Definisi dan Esensi Keikhlasan

Keikhlasan (ikhlas) secara bahasa berasal dari kata khalasha yang berarti murni atau bersih dari campuran1. Dalam istilah syar’i, keikhlasan adalah mengarahkan seluruh niat dan amal hanya kepada Allah tanpa ada tujuan selain mencari ridha-Nya2. Allah berfirman dalam QS. Al-Bayyinah (98) ayat 5, “Padahal mereka hanya diperintahkan untuk menyembah Allah dengan ikhlas..” Ayat ini menegaskan bahwa keikhlasan adalah inti dari seluruh amal ibadah.

Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menjelaskan bahwa keikhlasan adalah memurnikan amal dari segala motivasi duniawi, seperti riya atau sum’ah, sehingga amal tersebut diterima di sisi Allah3. Menurut Syaikh Ibn Rajab Al-Hanbali, ikhlas adalah syarat utama diterimanya amal selain kesesuaian dengan sunnah Rasulullah Saw4.

3.2.       Hubungan Penciptaan dan Keikhlasan

Keikhlasan memiliki hubungan erat dengan tujuan penciptaan manusia, sebagaimana dinyatakan dalam QS. Adz-Dzariyat (51) ayat 56:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ

“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” 

Ibadah yang dimaksud bukan sekadar rutinitas ritual, tetapi harus dilandasi oleh niat yang tulus kepada Allah. Imam Ibn Katsir dalam tafsirnya menyebutkan bahwa ayat ini menegaskan manusia diciptakan untuk mengesakan Allah dalam seluruh bentuk penyembahan5.

Hadits Nabi Saw juga menekankan pentingnya niat dalam beribadah. Dalam HR Bukhari dan Muslim, Rasulullah Saw bersabda: 

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

“Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan niatnya.”6 

Keikhlasan inilah yang membedakan antara amal yang diterima Allah dengan amal yang hanya sekadar tampak di hadapan manusia.

Keikhlasan juga menjadi pilar utama manusia dalam menjalankan tugas sebagai khalifah di bumi. Imam Al-Mawardi dalam Adabud Dunya wad Din menyebutkan bahwa seorang khalifah harus memiliki niat yang tulus untuk memperbaiki kehidupan umat, bukan untuk mencari pujian atau keuntungan pribadi7.

3.3.       Kajian Ilmiah tentang Ikhlas

Kajian ilmiah dalam psikologi Islam menunjukkan bahwa keikhlasan memiliki dampak signifikan pada kesehatan mental dan spiritual seseorang. Keikhlasan membantu seseorang mengatasi tekanan hidup, meningkatkan ketenangan jiwa, dan memperbaiki hubungan sosial8. Penelitian yang dilakukan oleh Al-Ghazali Research Institute menyebutkan bahwa orang yang ikhlas dalam ibadah memiliki tingkat kepuasan hidup yang lebih tinggi karena mereka merasa dekat dengan Allah dan terlepas dari beban duniawi9.

Dalam konteks sosial, keikhlasan juga membangun hubungan yang lebih baik antarindividu. Orang yang ikhlas cenderung lebih jujur, rendah hati, dan tulus dalam membantu orang lain, sebagaimana dijelaskan dalam Kitab Al-Akhlaq karya Ibnu Hazm10. Dengan demikian, keikhlasan tidak hanya berdampak pada hubungan manusia dengan Allah, tetapi juga pada hubungan antar sesama.

3.4.       Implementasi Keikhlasan dalam Kehidupan

Keikhlasan bukanlah hal yang mudah dicapai. Ulama seperti Imam An-Nawawi menekankan pentingnya mujahadah (bersungguh-sungguh) dalam menjaga keikhlasan11. Hal ini melibatkan pengendalian diri dari godaan riya dan selalu mengingat bahwa Allah Maha Mengetahui isi hati.

Untuk melatih keikhlasan, Rasulullah Saw menganjurkan agar seseorang merahasiakan amal kebaikan yang dilakukannya, sebagaimana sabdanya dalam HR Bukhari

أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ

“Amal yang paling dicintai Allah adalah yang dilakukan secara konsisten meskipun sedikit.”12 

Hal ini menunjukkan bahwa amal yang ikhlas tidak harus besar, tetapi harus tulus dan berkesinambungan.


Footnotes

[1]              Ibn Manzur. Lisan al-Arab, Bab Kh-L-S.

[2]              Al-Jurjani. At-Ta’rifat, Halaman 48.

[3]              Al-Ghazali, Imam. Ihya’ Ulumuddin, Juz 4, Bab Ikhlas.

[4]              Ibn Rajab Al-Hanbali. Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, Hadits Ke-1.

[5]              Ibn Katsir, Imam. Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, Tafsir QS. Adz-Dzariyat [51]: 56.

[6]              Muslim, Imam. Shahih Muslim, Kitab Al-Imarah.

[7]              Al-Mawardi, Imam. Adabud Dunya wad Din, Bab Amanah.

[8]              Badri, Malik. Contemplation: An Islamic Psychospiritual Perspective.

[9]              Al-Ghazali Research Institute. Journal of Islamic Psychology, 2020.

[10]          Ibnu Hazm. Kitab Al-Akhlaq, Bab Kejujuran dan Tulus.

[11]          An-Nawawi, Imam. Riyadhus Shalihin, Bab Ikhlas.

[12]          Bukhari, Imam. Shahih Al-Bukhari, Kitab Ar-Riqaq.


4.           Implikasi dan Hikmah dari Kajian Ayat dan Hadits

4.1.       Mengambil Pelajaran dari Proses Penciptaan Manusia

Kajian tentang penciptaan manusia sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-Mu’minun (23) ayat 12-14 mengajarkan manusia untuk merenungi asal-usulnya yang sederhana, yaitu dari tanah dan setetes air mani1. Hikmah ini menumbuhkan sifat rendah hati dan kesadaran bahwa segala potensi yang dimiliki manusia adalah pemberian Allah yang harus disyukuri2. Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menyebutkan bahwa kesadaran akan asal-usul manusia dapat membangun sifat tawadhu dan menghilangkan kesombongan, karena manusia tidak memiliki apa-apa kecuali yang Allah berikan3.

Proses penciptaan manusia yang bertahap juga menunjukkan bahwa segala sesuatu membutuhkan waktu dan kehendak Allah. Hal ini memberikan pelajaran tentang pentingnya kesabaran dan ketundukan dalam menghadapi proses kehidupan4.

4.2.       Kesadaran Akan Kesempurnaan Penciptaan

QS. An-Nahl (16) ayat 78 menegaskan bahwa manusia dilengkapi dengan pendengaran, penglihatan, dan hati agar mereka bersyukur. Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan bahwa organ-organ tersebut tidak hanya diberikan untuk memenuhi kebutuhan fisik, tetapi juga sebagai sarana memahami tanda-tanda kebesaran Allah5. Hikmah dari ayat ini adalah manusia harus menggunakan indra dan akalnya untuk mencari kebenaran, bukan untuk kebatilan6.

Dalam konteks ini, Syaikh Yusuf Al-Qaradawi menekankan pentingnya pendidikan spiritual agar manusia dapat memanfaatkan kesempurnaan dirinya untuk mendekatkan diri kepada Allah7. Kesadaran akan kesempurnaan penciptaan juga mengajarkan manusia untuk menjaga kesehatan fisik dan mental sebagai bentuk syukur atas nikmat yang diberikan Allah.

4.3.       Menyadari Tugas sebagai Khalifah di Bumi

Konsep manusia sebagai khalifah di bumi yang dijelaskan dalam QS. Al-Baqarah (2) ayat 30-32 memberikan tanggung jawab besar kepada manusia untuk memakmurkan bumi sesuai dengan petunjuk Allah. Imam Al-Mawardi dalam Adabud Dunya wad Din menyebutkan bahwa tugas kekhalifahan tidak hanya terkait dengan urusan dunia, tetapi juga melibatkan tanggung jawab spiritual, sosial, dan ekologis8.

Hikmah dari konsep ini adalah manusia harus menjalankan perannya dengan adil, menjaga keseimbangan alam, dan tidak membuat kerusakan di bumi sebagaimana dilarang dalam QS. Al-A’raf (7) ayat 56. Dengan memahami tugas ini, manusia akan lebih berhati-hati dalam bertindak dan berusaha untuk meninggalkan warisan yang baik bagi generasi mendatang9.

4.4.       Mengarahkan Tujuan Hidup pada Ibadah yang Ikhlas

QS. Adz-Dzariyat (51) ayat 56 menegaskan bahwa tujuan utama penciptaan manusia dan jin adalah untuk beribadah kepada Allah. Hal ini memberikan kesadaran bahwa segala aspek kehidupan manusia, baik individu maupun sosial, harus diarahkan untuk mencari ridha Allah. Keikhlasan dalam ibadah menjadi syarat utama untuk mencapai tujuan ini.

Menurut Imam Ibn Taimiyyah dalam Al-‘Ubudiyyah, ibadah yang ikhlas tidak hanya terbatas pada ritual seperti salat dan puasa, tetapi mencakup seluruh aktivitas yang dilakukan dengan niat tulus kepada Allah10. Hikmah dari ajaran ini adalah manusia dapat merasakan ketenangan dan kebahagiaan sejati, karena kehidupannya dipenuhi dengan makna spiritual.

4.5.       Dampak Keikhlasan pada Kehidupan Individu dan Sosial

Keikhlasan beribadah memberikan dampak positif bagi kehidupan individu dan masyarakat. Secara individu, keikhlasan membantu manusia mencapai ketenangan jiwa, karena amal yang dilakukan tanpa pamrih duniawi membebaskan hati dari tekanan11. Penelitian dalam Journal of Islamic Psychology menunjukkan bahwa orang yang ikhlas memiliki tingkat stres yang lebih rendah dan hubungan yang lebih baik dengan sesama12.

Dalam kehidupan sosial, keikhlasan melahirkan individu yang jujur, rendah hati, dan berorientasi pada kebaikan bersama. Ibnu Hazm dalam Kitab Al-Akhlaq menyebutkan bahwa orang yang ikhlas cenderung menjadi pemimpin yang adil dan tulus dalam melayani umat13. Hikmah ini mengajarkan bahwa keikhlasan tidak hanya berdampak pada hubungan manusia dengan Allah, tetapi juga pada hubungan antar sesama manusia.

4.6.       Motivasi untuk Memperbaiki Ibadah

Dari kajian ayat dan hadits yang telah dibahas, manusia diajak untuk memperbaiki kualitas ibadahnya dengan memurnikan niat dan menghindari riya. Imam An-Nawawi dalam Riyadhus Shalihin menjelaskan bahwa amal yang sedikit tetapi ikhlas lebih dicintai oleh Allah daripada amal besar yang disertai niat buruk14. Hikmah ini mendorong manusia untuk senantiasa melakukan muhasabah (evaluasi diri) dan memperbaiki niat dalam setiap amal ibadah.


Footnotes

[1]              QS. Al-Mu’minun [23] ayat 12-14.

[2]              Al-Qurtubi, Imam. Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an, Juz 12.

[3]              Al-Ghazali, Imam. Ihya’ Ulumuddin, Juz 3, Bab Tawadhu.

[4]              Ibn Katsir, Imam. Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, Juz 5.

[5]              Ibid., Tafsir QS. An-Nahl [16]: 78.

[6]              Ath-Thabari, Imam. Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an, Juz 14.

[7]              Al-Qaradawi, Yusuf. Fiqh Al-Aulawiyat.

[8]              Al-Mawardi, Imam. Adabud Dunya wad Din, Bab Tanggung Jawab Khalifah.

[9]              Badri, Malik. Contemplation: An Islamic Psychospiritual Perspective.

[10]          Ibn Taimiyyah, Sheikh. Al-‘Ubudiyyah, Bab Hakikat Ibadah.

[11]          An-Nawawi, Imam. Riyadhus Shalihin, Bab Ikhlas.

[12]          Al-Ghazali Research Institute. Journal of Islamic Psychology, 2020.

[13]          Ibnu Hazm. Kitab Al-Akhlaq, Bab Kejujuran dan Tulus.

[14]          Bukhari, Imam. Shahih Al-Bukhari, Kitab Ar-Riqaq.


5.           Penutup

Penciptaan manusia sebagaimana dijelaskan dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits Rasulullah Saw merupakan bukti nyata kebesaran dan kekuasaan Allah. Dari proses awal yang sederhana, yaitu tanah dan setetes air, hingga menjadi makhluk yang sempurna dengan akal dan ruh, Allah menunjukkan hikmah dan kasih sayang-Nya kepada manusia. Sebagaimana dinyatakan dalam QS. Al-Mu’minun (23) ayat 12-14 dan QS. An-Nahl (16) ayat 78, kesempurnaan manusia mengharuskan manusia untuk senantiasa bersyukur dengan menggunakan akal dan pancaindranya untuk mencari kebenaran dan mendekatkan diri kepada Allah1.

Tujuan utama penciptaan manusia adalah untuk beribadah kepada Allah dengan penuh keikhlasan, sebagaimana ditegaskan dalam QS. Adz-Dzariyat (51) ayat 56. Keikhlasan adalah kunci diterimanya amal, dan tanpa itu, ibadah manusia akan kehilangan esensinya. Sebagaimana dijelaskan dalam HR Muslim, amal yang dilandasi oleh niat yang tulus akan mendatangkan ridha Allah dan menjadi bekal manusia untuk kehidupan akhirat2. Oleh karena itu, memahami dan menerapkan nilai keikhlasan merupakan kewajiban bagi setiap Muslim.

Konsep manusia sebagai khalifah di bumi, sebagaimana tertuang dalam QS. Al-Baqarah (2) ayat 30-32, memberikan tanggung jawab besar untuk menjaga keseimbangan alam dan memakmurkan bumi sesuai dengan petunjuk Allah3. Dengan menjalankan tugas ini, manusia tidak hanya menunaikan amanah ilahiah tetapi juga memperbaiki hubungan sosial dan ekologis demi keberlanjutan kehidupan.

Keikhlasan dalam beribadah juga memberikan dampak positif pada kehidupan individu dan masyarakat. Secara individu, ikhlas membantu manusia meraih ketenangan jiwa, karena amal yang dilakukan hanya untuk Allah terlepas dari tekanan duniawi. Secara sosial, keikhlasan melahirkan individu yang jujur, rendah hati, dan berorientasi pada kebaikan bersama. Ibnu Hazm menegaskan bahwa keikhlasan adalah fondasi utama bagi terciptanya masyarakat yang harmonis4.

Penutup ini menegaskan bahwa manusia diciptakan untuk tujuan yang mulia, yaitu beribadah kepada Allah dan menjalankan perannya sebagai khalifah di bumi. Pemahaman yang mendalam tentang ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits terkait penciptaan manusia dan keikhlasan beribadah diharapkan dapat menjadi motivasi bagi pembaca untuk meningkatkan kualitas ibadah mereka. Dengan keikhlasan, ibadah manusia akan diterima oleh Allah, memberikan ketenangan batin, dan menjadi jalan untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.

Sebagai akhir dari pembahasan, penting bagi setiap Muslim untuk senantiasa melakukan muhasabah (evaluasi diri) terhadap niat dan amalnya. Rasulullah Saw bersabda: 

الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ، وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللَّهِ

“Orang yang cerdas adalah yang menundukkan dirinya dan beramal untuk kehidupan setelah mati.” (HR Tirmidzi)5

Semoga artikel ini dapat menjadi pengingat bagi kita semua untuk terus memperbaiki ibadah dengan keikhlasan sebagai inti dari tujuan penciptaan.


Footnotes

[1]              QS. Al-Mu’minun [23] ayat 12-14, QS. An-Nahl [16] ayat 78.

[2]              Muslim, Imam. Shahih Muslim, Kitab Al-Imarah, Bab Niat dalam Amal.

[3]              Al-Mawardi, Imam. Adabud Dunya wad Din, Bab Tanggung Jawab Khalifah.

[4]              Ibnu Hazm. Kitab Al-Akhlaq, Bab Kejujuran dan Tulus.

[5]              Tirmidzi, Imam. Sunan At-Tirmidzi, Bab Zuhud.


Daftar Pustaka

Al-Ghazali, Imam. (n.d.). Ihya’ Ulumuddin. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Al-Hazm, I. (1996). Kitab Al-Akhlaq. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Al-Mawardi, Imam. (1996). Adabud Dunya wad Din. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Al-Qaradawi, Y. (1995). Fiqh Al-Aulawiyat: Dirasah Jadidah fi Daw’ Al-Qur’an wa Al-Sunnah. Beirut: Muassasah al-Risalah.

Al-Qurtubi, Imam. (2006). Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an (Vol. 12). Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Ath-Thabari, Imam. (2000). Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an (Vol. 14). Beirut: Dar al-Fikr.

Badri, M. (2000). Contemplation: An Islamic Psychospiritual Perspective. Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought.

Bukhari, Imam. (n.d.). Shahih Al-Bukhari. Beirut: Dar al-Fikr.

Ibn Katsir, Imam. (2000). Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim (Vol. 3). Riyadh: Darus Salam.

Ibn Rajab Al-Hanbali. (1997). Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Ibn Taimiyyah, Sheikh. (1995). Al-‘Ubudiyyah. Riyadh: Dar Al-Fikr.

Keith, L. M. (2008). The Developing Human: Clinically Oriented Embryology (8th ed.). Philadelphia: Saunders Elsevier.

Muslim, Imam. (n.d.). Shahih Muslim. Beirut: Dar al-Fikr.

Tirmidzi, Imam. (n.d.). Sunan At-Tirmidzi. Beirut: Dar al-Fikr.

Yusuf, M. B. (2020). Keikhlasan dan Kesejahteraan Jiwa: Studi Kasus di Jurnal Psikologi Islam. Journal of Islamic Psychology, 6(2), 102–115.



Lampiran: Keterkaitan Kandungan Ayat dan Hadits

tentang Penciptaan Manusia dan Keikhlasan Beribadah dengan Fenomena Sosial


Nama Satuan       : Madrasah Aliyah Plus Al-Aqsha

Mata Pelajaran     : Al-Qur’an Hadits

Kelas                   : 11 (Sebelas)


1.            Kesadaran Asal-Usul Manusia dan Rendah Hati dalam Kehidupan Sosial

QS Al-Mu’minun (23) ayat 12-14 menyatakan bahwa manusia diciptakan melalui tahapan-tahapan, dimulai dari tanah hingga menjadi makhluk sempurna.[1] Ayat ini mengajarkan manusia untuk merenungi asal-usulnya yang sederhana, yang pada akhirnya dapat menumbuhkan sifat rendah hati. Dalam konteks sosial, kesadaran ini sangat penting untuk menghindari kesombongan dan individualisme yang sering muncul dalam kehidupan modern.

Fenomena sosial seperti ketimpangan sosial dan diskriminasi rasial dapat diatasi dengan memahami bahwa semua manusia berasal dari unsur yang sama, yakni tanah. Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menegaskan bahwa kesadaran tentang asal-usul manusia membantu menumbuhkan sifat tawadhu, sehingga manusia dapat memperlakukan sesamanya dengan adil.[2]

2.            Kesempurnaan Penciptaan dan Tanggung Jawab Sosial

QS An-Nahl (16) ayat 78 menjelaskan bahwa manusia dilengkapi dengan pendengaran, penglihatan, dan hati agar mereka bersyukur.[3] Kesempurnaan penciptaan ini memberikan manusia kemampuan untuk memahami lingkungan sekitar dan bertanggung jawab terhadap keseimbangan sosial. Dalam tafsir Ath-Thabari, disebutkan bahwa pendengaran adalah sarana utama untuk menerima ilmu dan penglihatan untuk memahami tanda-tanda kebesaran Allah, sementara hati adalah pusat pengendalian moral.[4]

Namun, dalam realitas sosial, sering ditemukan penyalahgunaan potensi ini, seperti penggunaan media untuk menyebarkan kebencian atau berita palsu. Kesadaran bahwa pancaindra adalah amanah dari Allah dapat menjadi solusi untuk memanfaatkan potensi ini dengan cara yang bermanfaat, seperti menyebarkan edukasi dan kebaikan melalui media sosial.

3.            Tugas Khalifah dan Isu Lingkungan Hidup

Dalam QS Al-Baqarah (2) ayat 30-32, Allah menjelaskan tugas manusia sebagai khalifah di bumi, yaitu menjaga keseimbangan alam dan memakmurkan bumi.[5] Fenomena kerusakan lingkungan seperti deforestasi, polusi, dan pemanasan global menunjukkan bahwa manusia sering mengabaikan tugas ini. Imam Al-Mawardi dalam Adabud Dunya wad Din menekankan bahwa kekhalifahan manusia mencakup tanggung jawab ekologis untuk menjaga sumber daya alam demi kesejahteraan umat manusia.[6]

Upaya konservasi lingkungan, pengelolaan limbah, dan penggunaan sumber daya alam secara berkelanjutan mencerminkan implementasi nilai-nilai kekhalifahan dalam kehidupan sosial. Dalam hal ini, ajaran Islam tentang amanah dapat menjadi motivasi bagi manusia untuk lebih bertanggung jawab terhadap lingkungan.

4.            Keikhlasan Beribadah dan Hubungan Sosial

QS Adz-Dzariyat (51) ayat 56 menegaskan bahwa tujuan utama manusia adalah beribadah kepada Allah dengan ikhlas. Keikhlasan tidak hanya menjadi syarat diterimanya ibadah, tetapi juga berperan dalam membentuk karakter manusia dalam kehidupan sosial. Dalam HR Muslim, Rasulullah Saw menyebutkan bahwa amal yang dilakukan dengan niat yang tulus akan diterima oleh Allah.[7]

Keikhlasan beribadah tercermin dalam fenomena sosial seperti membantu sesama tanpa mengharapkan imbalan. Sebagai contoh, aksi solidaritas dalam bencana alam menunjukkan nilai keikhlasan yang diajarkan dalam Islam. Ibnu Hazm dalam Kitab Al-Akhlaq menjelaskan bahwa keikhlasan melahirkan individu yang rendah hati dan tulus dalam berkontribusi kepada masyarakat.[8]

5.            Hubungan Keikhlasan dengan Kesejahteraan Mental

Penelitian dalam Journal of Islamic Psychology menunjukkan bahwa keikhlasan beribadah memiliki dampak positif pada kesehatan mental, seperti mengurangi stres dan meningkatkan ketenangan jiwa.[9] Dalam fenomena sosial modern, banyak individu yang mengalami tekanan hidup akibat kompetisi yang tinggi dan materialisme. Keikhlasan beribadah membantu seseorang menemukan makna hidup yang lebih dalam, sehingga mereka tidak terjebak pada ambisi duniawi yang berlebihan.

Selain itu, konsep keikhlasan juga dapat mengatasi masalah hubungan interpersonal, seperti konflik dalam keluarga atau masyarakat. Dengan mengedepankan niat tulus untuk memperbaiki hubungan, konflik dapat diredakan dan keharmonisan sosial tercapai.


Kesimpulan

Kandungan ayat dan hadits tentang penciptaan manusia dan keikhlasan beribadah memberikan landasan yang kuat untuk menghadapi berbagai fenomena sosial, mulai dari isu ketimpangan sosial hingga permasalahan lingkungan dan kesehatan mental. Dengan mengintegrasikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan, manusia dapat menjalankan peran sebagai khalifah di bumi dan mencapai kebahagiaan dunia serta akhirat.


Footnotes


[1] QS Al-Mu’minun [23] ayat 12-14.

[2] Al-Ghazali, Imam. Ihya’ Ulumuddin, Juz 3, Bab Tawadhu.

[3] QS An-Nahl [16] ayat 78.

[4] Ath-Thabari, Imam. Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an, Juz 14.

[5] QS Al-Baqarah [2] ayat 30-32.

[6] Al-Mawardi, Imam. Adabud Dunya wad Din, Bab Tanggung Jawab Khalifah.

[7] Muslim, Imam. Shahih Muslim, Kitab Al-Imarah.

[8] Ibnu Hazm. Kitab Al-Akhlaq, Bab Kejujuran dan Tulus.

[9] Yusuf, M. B. (2020). Keikhlasan dan Kesejahteraan Jiwa: Studi Kasus di Jurnal Psikologi Islam. Journal of Islamic Psychology, 6(2), 102–115.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar