Senin, 02 Desember 2024

Filsafat Teknologi: Sebuah Kajian Filsafat Teknologi

Filsafat Teknologi

Sebuah Kajian Filsafat Teknologi


Alihkan ke: Cabang-Cabang Filsafat.


Abstrak

Artikel ini menyajikan kajian komprehensif mengenai filsafat teknologi sebagai cabang reflektif dalam memahami peran, makna, dan implikasi keberadaan teknologi dalam kehidupan manusia modern. Melalui pendekatan multidimensional—ontologis, epistemologis, etis, antropologis, sosial, ekologis, dan digital—artikel ini menelaah bagaimana teknologi tidak sekadar hadir sebagai instrumen netral, tetapi sebagai kekuatan transformasional yang membentuk struktur realitas, relasi sosial, dan orientasi nilai manusia. Berbagai pemikiran dari tokoh-tokoh seperti Martin Heidegger, Carl Mitcham, Don Ihde, Jacques Ellul, Luciano Floridi, dan Peter-Paul Verbeek dikaji untuk menunjukkan dinamika pemahaman filosofis terhadap teknologi dari masa klasik hingga era digital. Dalam konteks tantangan kontemporer—mulai dari krisis ekologis, dominasi algoritma, hingga ancaman dehumanisasi oleh kecerdasan buatan—filsafat teknologi menjadi panggilan reflektif untuk mempertanyakan kembali apa artinya menjadi manusia di tengah dunia yang semakin terteknologisasi. Artikel ini juga menekankan pentingnya arah baru filsafat teknologi yang lebih interdisipliner, partisipatif, dan berorientasi pada keadilan sosial serta keberlanjutan ekologis.

Kata Kunci: Filsafat Teknologi; Ontologi; Etika Teknologi; Era Digital; Kecerdasan Buatan; Ekologi; Agensi Manusia; Mediasi Teknologis; Kritik Sosial; Keberlanjutan.


PEMBAHASAN

Menimbang Peran Teknologi dalam Kehidupan Manusia


1.           Pendahuluan

Teknologi telah menjadi bagian integral dari kehidupan manusia modern. Dari perangkat komunikasi digital hingga sistem kecerdasan buatan, teknologi tidak hanya mengubah cara manusia bekerja dan berinteraksi, tetapi juga mengonstruksi ulang cara manusia memahami realitas, identitas, dan nilai-nilai sosial. Dalam konteks ini, filsafat teknologi hadir sebagai bidang pemikiran kritis yang bertujuan memahami secara mendalam hakikat, fungsi, dan implikasi teknologi terhadap kehidupan manusia secara ontologis, epistemologis, etis, dan sosial.

Filsafat teknologi tidak hanya bertanya "apa itu teknologi?" secara definisional, tetapi juga mempertanyakan "apa makna dari keberadaan teknologi dalam kehidupan manusia?" dan "apa akibat dari penggunaannya terhadap dunia dan tatanan moral manusia?" Dalam pandangan Carl Mitcham, filsafat teknologi mencakup dua pendekatan utama: pendekatan analitis (instrumentalis dan substantivis) dan pendekatan reflektif, yang mencoba memahami teknologi sebagai bagian dari praksis manusia dan struktur sosial1.

Perkembangan teknologi yang sangat pesat dewasa ini — terutama dalam bidang informasi, komunikasi, kecerdasan buatan, dan bioteknologi — telah melampaui kerangka instrumen netral. Teknologi kini tidak hanya menjadi alat bantu, tetapi juga aktor yang memediasi tindakan dan bahkan membentuk cara berpikir dan bertindak manusia. Don Ihde, seorang pemikir fenomenologis dalam filsafat teknologi, menunjukkan bahwa teknologi secara aktif membentuk relasi subjek-objek dalam dunia, melalui apa yang disebut dengan “mediasi teknologis”2.

Di sisi lain, kritik terhadap dominasi teknologi juga muncul dari pemikir seperti Martin Heidegger, yang memperingatkan bahwa teknologi modern telah menciptakan pola pikir enframing atau Gestell, yaitu cara pandang yang mereduksi dunia dan manusia menjadi sekadar sumber daya yang dapat dieksploitasi3. Heidegger menegaskan bahwa pemahaman terhadap esensi teknologi tidak dapat hanya dilihat dari segi manfaat praktisnya, tetapi harus dikaji dari cara teknologi mengungkap dan menyingkap realitas (aletheia) secara tertentu.

Urgensi filsafat teknologi semakin relevan ketika melihat konsekuensi sosial, ekologis, dan etis dari perkembangan teknologi. Masalah seperti surveillance capitalism, krisis iklim akibat sistem industri berbasis teknologi eksploitatif, hingga ancaman dehumanisasi dalam era kecerdasan buatan, merupakan problem kontemporer yang tidak cukup dijawab oleh ilmu teknis semata. Oleh karena itu, pendekatan filosofis dibutuhkan untuk melakukan refleksi kritis dan normatif atas arah perkembangan teknologi tersebut.

Artikel ini bertujuan untuk menelaah secara komprehensif peran dan makna teknologi dalam kehidupan manusia dengan pendekatan filsafat. Kajian ini tidak hanya mengulas konsep-konsep dasar dalam filsafat teknologi, tetapi juga membedah dimensi historis, ontologis, epistemologis, etis, dan sosial dari teknologi, serta merumuskan tantangan dan tanggung jawab moral manusia di tengah arus perkembangan teknologi yang kian kompleks.


Footnotes

[1]                Carl Mitcham, Thinking through Technology: The Path between Engineering and Philosophy (Chicago: University of Chicago Press, 1994), 38–45.

[2]                Don Ihde, Technology and the Lifeworld: From Garden to Earth (Bloomington: Indiana University Press, 1990), 75–80.

[3]                Martin Heidegger, The Question Concerning Technology and Other Essays, trans. William Lovitt (New York: Harper & Row, 1977), 19–35.


2.           Pengertian dan Ruang Lingkup Filsafat Teknologi

Filsafat teknologi merupakan cabang filsafat yang berupaya mengkaji secara kritis hakikat teknologi, eksistensinya dalam kehidupan manusia, serta implikasinya terhadap pengetahuan, etika, budaya, dan lingkungan. Secara umum, filsafat teknologi menelaah pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang apa itu teknologi, bagaimana teknologi memengaruhi manusia dan masyarakat, serta bagaimana manusia seharusnya bersikap terhadap perkembangan teknologi tersebut.

Carl Mitcham, dalam karyanya yang dianggap sebagai tonggak penting dalam bidang ini, membedakan empat pendekatan dalam memandang teknologi: (1) teknologi sebagai objek; (2) teknologi sebagai pengetahuan; (3) teknologi sebagai aktivitas; dan (4) teknologi sebagai cara keberadaan dalam dunia1. Pendekatan ini menunjukkan bahwa teknologi bukanlah semata-mata peralatan atau alat bantu, tetapi juga mencakup dimensi intelektual dan eksistensial yang menyatu dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, teknologi tidak dapat direduksi menjadi sekadar alat yang netral, melainkan merupakan bentuk praksis manusia yang kompleks dan bermuatan nilai.

Secara historis, istilah "teknologi" berasal dari bahasa Yunani techne, yang berarti keterampilan atau keahlian dalam membuat sesuatu, dan logos, yang berarti wacana atau pengetahuan2. Pada masa Yunani Kuno, techne sering dikaitkan dengan seni dan kerajinan, sedangkan episteme merujuk pada pengetahuan teoritis. Namun dalam konteks modern, teknologi telah mengalami transformasi makna menjadi sistem produksi, pengendalian, dan pemrosesan informasi dalam skala luas.

Filsafat teknologi mencakup beberapa ruang lingkup utama, di antaranya:

1)                  Dimensi Ontologis

Menelaah keberadaan teknologi sebagai entitas: apakah teknologi bersifat netral atau memiliki kecenderungan otonom yang membentuk kembali relasi manusia dengan dunia.

2)                  Dimensi Epistemologis

Mengkaji hubungan antara teknologi dan pengetahuan: bagaimana teknologi berperan dalam produksi, distribusi, dan validasi pengetahuan, terutama dalam sains dan teknik.

3)                  Dimensi Etis

Menganalisis dampak moral dan tanggung jawab manusia terhadap penggunaan teknologi: mulai dari bioetika, rekayasa genetika, hingga kecerdasan buatan dan privasi digital.

4)                  Dimensi Sosial dan Budaya

Membahas bagaimana teknologi mempengaruhi struktur masyarakat, budaya, politik, dan cara manusia berelasi satu sama lain.

5)                  Dimensi Ekologis

Merefleksikan bagaimana teknologi berkontribusi terhadap kerusakan atau pelestarian lingkungan, serta bagaimana pendekatan berkelanjutan dapat dikembangkan melalui teknologi hijau.

Menurut Don Ihde, filsafat teknologi bukanlah suatu sistem tertutup, melainkan medan refleksi terbuka yang terus berevolusi seiring dengan perubahan lanskap teknologi itu sendiri3. Hal ini menjadikan filsafat teknologi relevan tidak hanya sebagai wacana akademik, tetapi juga sebagai kerangka reflektif dan normatif dalam menjawab tantangan-tantangan kontemporer.

Dengan demikian, filsafat teknologi merupakan lensa kritis yang memungkinkan manusia tidak hanya menggunakan teknologi, tetapi juga memahami dan mempertanggungjawabkan keberadaannya. Ia tidak sekadar menjelaskan cara kerja teknologi, tetapi juga mengevaluasi makna, tujuan, dan arah perkembangannya dalam konteks nilai-nilai kemanusiaan.


Footnotes

[1]                Carl Mitcham, Thinking through Technology: The Path between Engineering and Philosophy (Chicago: University of Chicago Press, 1994), 153–161.

[2]                Hans Achterhuis, American Philosophy of Technology: The Empirical Turn, trans. Robert P. Crease (Bloomington: Indiana University Press, 2001), 15.

[3]                Don Ihde, Philosophy of Technology: An Introduction (New York: Paragon House, 1993), 9–14.


3.           Sejarah Perkembangan Filsafat Teknologi

Filsafat teknologi sebagai bidang kajian sistematis tergolong relatif muda dibandingkan cabang-cabang filsafat lainnya. Namun, refleksi filosofis terhadap teknologi sesungguhnya telah berlangsung sejak zaman klasik, dan terus mengalami perkembangan signifikan, terutama pada era modern dan kontemporer, seiring dengan transformasi peradaban manusia akibat kemajuan teknologi.

3.1.       Akar Klasik: Yunani Kuno

Refleksi awal mengenai teknologi dapat ditelusuri dalam pemikiran filsuf-filsuf Yunani, khususnya Plato dan Aristoteles. Dalam karya-karya Plato, teknologi—dalam bentuk techne—dipahami sebagai keterampilan produksi atau kemampuan membuat sesuatu sesuai dengan prinsip tertentu1. Namun, bagi Plato, techne tetap diposisikan lebih rendah dibanding episteme (pengetahuan sejati), karena hanya berkaitan dengan dunia indrawi yang berubah-ubah.

Sementara itu, Aristoteles mengembangkan pandangan yang lebih sistematis tentang techne sebagai salah satu bentuk logos yang rasional. Ia membedakan antara techne (keterampilan membuat), episteme (pengetahuan teoritis), dan phronesis (kebijaksanaan praktis). Bagi Aristoteles, techne adalah bentuk pengetahuan yang terarah pada produksi, tetapi tetap tunduk pada prinsip kausalitas dan tujuan tertentu (telos)2.

3.2.       Abad Pertengahan dan Awal Modern

Pada Abad Pertengahan, refleksi terhadap teknologi lebih banyak ditundukkan dalam kerangka teologi. Teknologi dianggap sebagai bagian dari ars humana yang dianugerahkan oleh Tuhan untuk membantu manusia mengolah ciptaan. Pandangan ini memunculkan apresiasi terhadap teknologi sebagai bentuk partisipasi manusia dalam memelihara alam, namun masih berada di bawah dominasi nilai-nilai religius.

Perubahan signifikan terjadi pada zaman Renaisans dan Abad Pencerahan. Di era ini, teknologi mulai dipahami dalam kerangka rasionalisme dan kemajuan. Tokoh seperti Francis Bacon memandang ilmu dan teknologi sebagai sarana utama untuk menaklukkan alam dan meningkatkan kualitas hidup manusia. Bacon bahkan menyatakan bahwa “pengetahuan adalah kekuatan” (knowledge is power) dan menyerukan pengembangan scientia operativa—ilmu yang langsung terarah pada produksi teknologi3.

3.3.       Revolusi Industri dan Teknologi Modern

Revolusi Industri menjadi titik balik yang menandai transformasi besar dalam hubungan antara manusia dan teknologi. Teknologi tidak lagi dipahami sebagai keterampilan perorangan, tetapi sebagai sistem produksi massal yang melibatkan mesin, tenaga kerja, dan kapital dalam skala besar. Hal ini mengarah pada munculnya sistem teknokratis yang mengintegrasikan sains, teknik, dan ekonomi.

Namun, perkembangan ini tidak lepas dari kritik. Di awal abad ke-20, filsuf-filsuf seperti Oswald Spengler dan Max Weber mulai menyuarakan keprihatinan terhadap dominasi rasionalitas teknis yang mengancam nilai-nilai spiritual dan etika. Weber menyebut gejala ini sebagai “kandungan besi” (iron cage) dari rasionalisasi modern4.

3.4.       Abad ke-20: Fondasi Filsafat Teknologi sebagai Disiplin

Filsafat teknologi sebagai disiplin akademis yang berdiri sendiri mulai terbentuk pada paruh kedua abad ke-20, terutama di negara-negara Barat. Tokoh penting seperti Martin Heidegger menjadi salah satu pelopor refleksi eksistensial terhadap teknologi. Dalam esainya yang berjudul Die Frage nach der Technik (The Question Concerning Technology), Heidegger menegaskan bahwa bahaya terbesar dari teknologi modern bukan pada alatnya, tetapi pada cara pandang (Gestell) yang menyelubungi realitas dan mereduksi segala sesuatu menjadi sekadar sumber daya5.

Kritik serupa dikemukakan oleh Jacques Ellul, yang melihat bahwa teknologi memiliki kecenderungan otonom dan tidak dapat lagi dikendalikan oleh manusia. Ia menyebut ini sebagai l'automatisme technologique—suatu logika internal dalam teknologi yang berkembang dengan sendirinya tanpa memperhitungkan nilai-nilai etis atau sosial6.

Pada saat yang sama, muncul pula pendekatan-pendekatan yang lebih positif dan konstruktif, seperti dalam karya Don Ihde yang mengembangkan analisis fenomenologis terhadap relasi antara manusia dan teknologi. Ihde menggarisbawahi bahwa teknologi merupakan mediasi antara subjek dan dunia, bukan sekadar instrumen netral, melainkan agen aktif yang membentuk pengalaman manusia7.

3.5.       Era Kontemporer: Filsafat Teknologi dalam Dunia Digital

Memasuki abad ke-21, perkembangan teknologi informasi, kecerdasan buatan, bioteknologi, dan sistem siber-fisik telah memperluas cakrawala filsafat teknologi. Isu-isu seperti transhumanisme, otomatisasi, etika algoritma, pengawasan digital, dan keberlanjutan ekologis menjadi fokus kajian baru. Para filsuf seperti Nick Bostrom dan Shoshana Zuboff turut berkontribusi dalam mengkritisi arah perkembangan teknologi dan dampaknya terhadap eksistensi manusia dan struktur sosial8.

Dengan demikian, sejarah filsafat teknologi menunjukkan transformasi dari refleksi moral dan metafisik tentang techne, menjadi analisis kritis terhadap sistem teknologi modern, hingga refleksi kontemporer terhadap era post-digital dan masa depan kemanusiaan.


Footnotes

[1]                Plato, Republic, trans. G.M.A. Grube, rev. C.D.C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 596–598.

[2]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), Book VI, 1139b–1141b.

[3]                Francis Bacon, Novum Organum, ed. Lisa Jardine and Michael Silverthorne (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 45.

[4]                Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, trans. Talcott Parsons (New York: Scribner, 1958), 181.

[5]                Martin Heidegger, The Question Concerning Technology and Other Essays, trans. William Lovitt (New York: Harper & Row, 1977), 3–35.

[6]                Jacques Ellul, The Technological Society, trans. John Wilkinson (New York: Vintage Books, 1964), 80–95.

[7]                Don Ihde, Technology and the Lifeworld: From Garden to Earth (Bloomington: Indiana University Press, 1990), 35–57.

[8]                Nick Bostrom, Superintelligence: Paths, Dangers, Strategies (Oxford: Oxford University Press, 2014), 14–29; Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 45–68.


4.           Dimensi Ontologis Teknologi

Dimensi ontologis dalam filsafat teknologi berkaitan dengan pertanyaan mendasar mengenai hakikat keberadaan teknologi itu sendiri. Apakah teknologi hanyalah alat netral buatan manusia? Apakah ia memiliki eksistensi yang independen dan otonom? Bagaimana keberadaan teknologi mengubah struktur realitas dan relasi manusia dengan dunia?

Secara tradisional, teknologi sering dipahami sebagai ekstensi dari kemampuan manusia untuk mengontrol alam. Dalam kerangka ini, teknologi bersifat instrumental dan subordinatif, yakni sebagai perpanjangan tangan manusia dalam mencapai tujuan-tujuan praktis. Pandangan ini berpijak pada asumsi bahwa teknologi tidak memiliki nilai atau arah intrinsik, melainkan nilai ditentukan oleh bagaimana manusia menggunakannya1.

Namun, filsafat kontemporer mempertanyakan asumsi netralitas teknologi tersebut. Salah satu tokoh yang secara radikal menggugat pandangan instrumental ini adalah Martin Heidegger. Dalam esainya Die Frage nach der Technik, Heidegger berargumen bahwa esensi teknologi bukanlah sesuatu yang teknis, melainkan cara tertentu manusia memperlihatkan (revealing) dunia. Teknologi modern, menurutnya, melibatkan bentuk penyingkapan realitas yang ia sebut sebagai Gestell (kerangka). Dalam Gestell, segala sesuatu — termasuk manusia — dipandang semata-mata sebagai sumber daya yang siap dieksploitasi (standing-reserve)2.

Dengan demikian, teknologi modern tidak hanya menyajikan alat, tetapi juga mengonstruksi cara pandang terhadap dunia. Heidegger menegaskan bahwa inilah bahaya sejati dari teknologi: bukan pada alatnya, melainkan pada cara berpikir yang dibentuk olehnya, yakni reduksionisme teknis terhadap segala sesuatu3.

Pandangan ontologis lainnya muncul dari Jacques Ellul, yang mengembangkan gagasan autonomisme teknologi. Ellul menekankan bahwa teknologi memiliki logika internal dan irama perkembangannya sendiri yang tak lagi tunduk pada kehendak moral atau sosial manusia. Teknologi, menurut Ellul, menjadi kekuatan otonom yang bergerak maju karena prinsip efisiensi, bukan karena kebutuhan manusiawi atau nilai etis4.

Sementara itu, Gilbert Simondon, dalam pendekatannya yang lebih positif terhadap teknologi, melihat teknologi sebagai entitas yang memiliki “mode of being” tersendiri. Dalam bukunya Du mode d'existence des objets techniques, Simondon menyatakan bahwa artefak teknologi tidak bisa dipahami hanya sebagai objek buatan, tetapi sebagai sistem yang mengalami evolusi fungsional dan memiliki dinamika ontologis internal. Ia menekankan pentingnya memahami teknologi secara transindividuasi, yaitu sebagai proses yang memediasi antara manusia dan dunia melalui integrasi antara individu, teknik, dan masyarakat5.

Pendekatan fenomenologis yang dikembangkan oleh Don Ihde juga menawarkan sudut pandang ontologis yang bernuansa. Ihde memperkenalkan konsep technological mediation, di mana teknologi menjadi medium antara manusia dan dunia. Dalam perspektif ini, eksistensi teknologi tidak dapat dipisahkan dari cara ia memediasi persepsi dan tindakan manusia. Ihde menolak dikotomi antara teknologi sebagai entitas otonom dan alat netral, dan menggantinya dengan pemahaman relasional antara manusia dan artefak teknologi6.

Secara keseluruhan, dimensi ontologis teknologi menunjukkan bahwa teknologi bukan hanya entitas eksternal atau perpanjangan tangan manusia, tetapi memiliki modus keberadaan tersendiri yang aktif membentuk realitas, persepsi, dan relasi manusia. Teknologi bukan hanya alat, melainkan juga struktur ontologis yang meredefinisi cara manusia hadir dalam dunia.


Footnotes

[1]                Carl Mitcham, Thinking through Technology: The Path between Engineering and Philosophy (Chicago: University of Chicago Press, 1994), 22–29.

[2]                Martin Heidegger, The Question Concerning Technology and Other Essays, trans. William Lovitt (New York: Harper & Row, 1977), 12–23.

[3]                Ibid., 26–28.

[4]                Jacques Ellul, The Technological Society, trans. John Wilkinson (New York: Vintage Books, 1964), 99–114.

[5]                Gilbert Simondon, On the Mode of Existence of Technical Objects, trans. Cecile Malaspina and John Rogove (Minneapolis: Univocal Publishing, 2017), 9–15.

[6]                Don Ihde, Technology and the Lifeworld: From Garden to Earth (Bloomington: Indiana University Press, 1990), 45–62.


5.           Dimensi Epistemologis Teknologi

Dimensi epistemologis dari filsafat teknologi berkaitan dengan pertanyaan tentang bagaimana teknologi mempengaruhi, memediasi, dan bahkan membentuk proses penciptaan, pengorganisasian, dan penyebaran pengetahuan. Teknologi tidak hanya menjadi alat bantu dalam kegiatan ilmiah, tetapi juga berperan dalam membentuk struktur epistemik itu sendiri—yakni bagaimana kita tahu sesuatu, apa yang dianggap sebagai pengetahuan sahih, serta bagaimana validitas dan otoritas pengetahuan itu dikonstruksi.

Secara tradisional, epistemologi membedakan antara dua bentuk pengetahuan: episteme (pengetahuan teoritis) dan techne (pengetahuan praktis atau keterampilan). Dalam dunia modern, batas antara keduanya semakin kabur seiring dengan berkembangnya teknologi sebagai bentuk pengetahuan yang bersifat operasional dan aplikatif. Dalam hal ini, teknologi tidak hanya menjadi hasil dari ilmu pengetahuan, tetapi juga merupakan prasyarat bagi berkembangnya pengetahuan ilmiah itu sendiri1.

Francis Bacon telah menekankan pentingnya scientia operativa—pengetahuan yang menghasilkan efektivitas praktis melalui eksperimen dan manipulasi alam. Dalam pandangannya, pengetahuan sejati adalah pengetahuan yang dapat menghasilkan kekuasaan teknologis atas alam2. Gagasan ini menjadi dasar dari paradigma modern bahwa teknologi bukan sekadar penerapan ilmu, tetapi sekaligus sebagai bentuk pembentuk ilmu itu sendiri.

Dalam perkembangan kontemporer, Bruno Latour dan pendekatan actor-network theory (ANT) secara radikal mengaburkan dikotomi antara ilmu dan teknologi. Latour berargumen bahwa teknologi bukan sekadar medium netral, melainkan agen epistemik yang turut serta dalam proses produksi pengetahuan ilmiah. Dalam laboratorium ilmiah, artefak teknologis seperti mikroskop, komputer, dan sensor bukan hanya membantu, tetapi juga secara aktif membentuk cara data dikumpulkan, dianalisis, dan ditafsirkan3.

Sejalan dengan itu, Don Ihde melalui pendekatan fenomenologi teknologi menunjukkan bahwa instrumen teknologis mengubah cara manusia melihat dan memahami dunia. Ihde memperkenalkan konsep hermeneutic relations, yakni situasi di mana teknologi menjadi media interpretatif antara subjek dan objek pengetahuan. Teknologi, dalam hal ini, menjadi co-constitutive terhadap pengalaman epistemik manusia4.

Perkembangan teknologi digital, seperti kecerdasan buatan (AI), big data, dan algoritma, juga menimbulkan tantangan epistemologis baru. Dalam sistem berbasis algoritma, validitas pengetahuan seringkali tidak lagi diukur berdasarkan argumentasi logis atau prinsip empiris, melainkan berdasarkan pola-pola statistik yang dihasilkan dari kumpulan data besar. Hal ini menimbulkan pertanyaan kritis: siapa yang menentukan kebenaran dalam era digital—manusia atau mesin?5

Lebih lanjut, Andrew Feenberg mengkritisi kecenderungan positivistik dalam teknologi modern yang cenderung mengabaikan konteks sosial dan nilai dalam produksi pengetahuan teknis. Ia menyerukan pendekatan critical theory of technology, di mana teknologi dipandang sebagai medan perjuangan interpretasi yang tidak netral secara politik maupun epistemik6.

Dari berbagai pendekatan tersebut, dapat disimpulkan bahwa teknologi memiliki peran ganda dalam epistemologi: sebagai alat bantu yang memperluas kapasitas kognitif manusia, sekaligus sebagai kerangka yang membatasi dan membentuk kemungkinan-kemungkinan epistemik tertentu. Maka, refleksi epistemologis atas teknologi menjadi penting tidak hanya untuk memahami bagaimana kita mengetahui sesuatu, tetapi juga untuk menyadari bagaimana struktur teknologi mengarahkan pengetahuan yang kita hasilkan dan anggap sahih.


Footnotes

[1]                Carl Mitcham, Thinking through Technology: The Path between Engineering and Philosophy (Chicago: University of Chicago Press, 1994), 97–103.

[2]                Francis Bacon, The New Organon, ed. Lisa Jardine and Michael Silverthorne (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 33–34.

[3]                Bruno Latour, Science in Action: How to Follow Scientists and Engineers through Society (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1987), 174–187.

[4]                Don Ihde, Instrumental Realism: The Interface between Philosophy of Science and Philosophy of Technology (Bloomington: Indiana University Press, 1991), 25–40.

[5]                Luciano Floridi, The Fourth Revolution: How the Infosphere is Reshaping Human Reality (Oxford: Oxford University Press, 2014), 91–102.

[6]                Andrew Feenberg, Questioning Technology (London: Routledge, 1999), 13–21.


6.           Dimensi Etis dalam Filsafat Teknologi

Dimensi etis dalam filsafat teknologi berkaitan erat dengan pertanyaan normatif mengenai bagaimana manusia seharusnya menggunakan dan mengembangkan teknologi, serta apa konsekuensi moral dari tindakan tersebut. Seiring dengan pesatnya inovasi dalam bidang seperti kecerdasan buatan, bioteknologi, automasi industri, dan digitalisasi kehidupan, isu-isu etis menjadi semakin kompleks dan mendesak untuk dikaji secara filosofis dan lintas disipliner.

Secara historis, teknologi seringkali dipandang sebagai alat netral, di mana nilai moral hanya ditentukan oleh niat dan tindakan pengguna. Pandangan ini dikenal sebagai etika instrumentalis, yang menekankan bahwa moralitas terletak pada pengguna teknologi, bukan pada teknologi itu sendiri1. Namun, banyak filsuf kontemporer menolak netralitas ini. Mereka menegaskan bahwa teknologi memiliki struktur dan implikasi yang secara inheren dapat mendorong atau menghambat tindakan etis, tergantung pada bagaimana teknologi tersebut dirancang, diterapkan, dan diintegrasikan ke dalam kehidupan manusia.

Hans Jonas, dalam karyanya yang berpengaruh The Imperative of Responsibility, menyatakan bahwa tanggung jawab etis manusia terhadap dampak teknologi harus diperluas hingga meliputi generasi masa depan dan kelestarian planet. Ia merumuskan prinsip kehati-hatian (precautionary principle) sebagai bentuk etika baru yang sesuai untuk menghadapi konsekuensi jangka panjang dari teknologi modern2. Menurut Jonas, manusia saat ini memiliki kekuatan teknologi yang sangat besar, tetapi tidak diimbangi dengan kemampuan etis yang memadai untuk mengendalikannya.

Persoalan etis juga sangat mencolok dalam bidang bioteknologi dan rekayasa genetika. Isu tentang kloning manusia, modifikasi genetik, dan teknologi reproduksi buatan mengundang pertanyaan tentang batas-batas intervensi manusia terhadap kodrat biologis. Filsuf Jürgen Habermas memperingatkan bahwa manipulasi genetik dapat merusak otonomi moral manusia, karena generasi yang “direkayasa” tidak memiliki kesempatan untuk menentukan eksistensinya sendiri3.

Dalam konteks teknologi informasi dan algoritma, muncul isu etika baru terkait privasi, keadilan algoritmik, dan pengawasan digital. Shoshana Zuboff memperkenalkan istilah surveillance capitalism untuk menggambarkan bagaimana perusahaan teknologi memanfaatkan data personal secara masif untuk keuntungan ekonomi tanpa persetujuan etis dari subjek data4. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan tentang kebebasan individu, manipulasi perilaku, dan akuntabilitas teknologi digital.

Sementara itu, etika kecerdasan buatan (AI ethics) menjadi medan kajian baru yang sangat dinamis. Isu-isu seperti bias algoritma, tanggung jawab hukum terhadap keputusan AI, serta potensi penggantian tenaga kerja manusia oleh sistem otomatis menjadi sorotan utama. Nick Bostrom mengingatkan akan bahaya eksistensial dari superintelligence, yakni sistem AI yang melampaui kecerdasan manusia dan dapat bertindak di luar kendali manusia jika tidak dirancang dengan prinsip etis yang kokoh5.

Dalam menanggapi kompleksitas ini, para pemikir seperti Andrew Feenberg mengusulkan pendekatan demokratisasi teknologi, yakni perlunya partisipasi publik dalam merancang dan mengatur perkembangan teknologi agar selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan6. Teknologi tidak boleh dibiarkan berkembang semata-mata oleh logika pasar atau efisiensi teknis, melainkan harus tunduk pada prinsip keadilan, kebajikan, dan keberlanjutan.

Etika teknologi dengan demikian tidak hanya berkutat pada pertanyaan tentang “boleh atau tidak boleh”, tetapi juga mencakup analisis struktural atas bagaimana teknologi membentuk dan dibentuk oleh kondisi sosial, politik, dan ekologis. Ia menuntut bentuk etika yang responsif, transformatif, dan kontekstual—yang tidak hanya melindungi manusia dari bahaya teknologi, tetapi juga mengarahkan teknologi pada tujuan-tujuan luhur kemanusiaan.


Footnotes

[1]                Carl Mitcham, Thinking through Technology: The Path between Engineering and Philosophy (Chicago: University of Chicago Press, 1994), 56–60.

[2]                Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age, trans. Hans Jonas (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 11–18.

[3]                Jürgen Habermas, The Future of Human Nature, trans. Hella Beister and William Rehg (Cambridge: Polity Press, 2003), 34–40.

[4]                Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power (New York: PublicAffairs, 2019), 94–112.

[5]                Nick Bostrom, Superintelligence: Paths, Dangers, Strategies (Oxford: Oxford University Press, 2014), 115–137.

[6]                Andrew Feenberg, Transforming Technology: A Critical Theory Revisited (Oxford: Oxford University Press, 2002), 67–72.


7.           Dimensi Antropologis dan Sosial

Dimensi antropologis dan sosial dalam filsafat teknologi berfokus pada bagaimana teknologi memengaruhi hakikat manusia dan dinamika masyarakat. Teknologi tidak hanya berperan sebagai instrumen yang membantu manusia dalam mengatasi keterbatasan biologis dan alamiah, melainkan juga menjadi kekuatan transformasional yang membentuk identitas, relasi sosial, dan struktur kehidupan kolektif.

Secara antropologis, teknologi telah lama dipahami sebagai perpanjangan tubuh dan kemampuan manusia. Marshall McLuhan, dalam karya klasiknya Understanding Media, menyebut teknologi sebagai “ekstensi manusia” (extensions of man)—yakni bentuk-bentuk perpanjangan organ manusia, seperti roda sebagai ekstensi kaki, telepon sebagai ekstensi suara, atau komputer sebagai ekstensi sistem saraf1. Namun, McLuhan juga memperingatkan bahwa ekstensi teknologi membawa dampak balik terhadap manusia, yakni efek amputasi: ketika suatu fungsi digantikan oleh teknologi, fungsi organik manusia justru melemah.

Dalam pandangan yang lebih kontemporer, Donna Haraway melalui esainya yang berjudul A Cyborg Manifesto menyatakan bahwa batas-batas antara manusia, hewan, dan mesin telah menjadi kabur. Haraway memperkenalkan konsep “cyborg”—entitas hibrida antara organisme dan mesin—untuk mengkritisi esensialisme identitas dan menunjukkan bahwa eksistensi manusia modern telah menjadi teknologis secara inheren2. Dalam konteks ini, teknologi tidak lagi menjadi sekadar alat eksternal, melainkan bagian integral dari konstruksi diri dan eksistensi manusia.

Secara sosial, teknologi membentuk jaringan relasi kekuasaan, produksi, dan komunikasi dalam masyarakat. Bruno Latour, dalam teori actor-network, menggarisbawahi bahwa artefak teknologi bukanlah objek pasif, melainkan aktor sosial yang memiliki agensi dalam jaringan aksi bersama manusia3. Misalnya, infrastruktur jalan, algoritma pencarian, dan desain arsitektural memiliki dampak sosial yang nyata terhadap perilaku, keputusan, dan interaksi sosial.

Selain itu, Langdon Winner mengajukan tesis penting bahwa artefak teknologi memiliki “muatan politik” (political loadings). Ia menunjukkan bahwa teknologi bukan hanya hasil netral dari kebutuhan teknis, tetapi seringkali mengandung keputusan politik yang memengaruhi siapa yang berkuasa, siapa yang dirugikan, dan bagaimana struktur sosial terbentuk. Contohnya adalah desain jalan raya yang secara sengaja dibangun dengan ketinggian tertentu agar tidak dapat dilalui oleh bus umum, yang berdampak pada akses masyarakat miskin4.

Dalam masyarakat kontemporer yang sangat tergantung pada teknologi informasi, dimensi sosial teknologi semakin kompleks. Sistem media digital telah mengubah pola komunikasi, membentuk komunitas daring, dan menciptakan ruang sosial virtual yang sangat memengaruhi kesadaran kolektif. Di satu sisi, teknologi menghadirkan peluang partisipasi dan konektivitas; di sisi lain, ia juga menimbulkan masalah keterasingan (alienation), disinformasi, dan segmentasi sosial yang ekstrem5.

Lebih jauh, teknologi telah menjadi kekuatan hegemonik dalam pembentukan tatanan global. Dalam konteks globalisasi, dominasi perusahaan teknologi besar (big tech) tidak hanya menciptakan ketimpangan akses dan kontrol informasi, tetapi juga menimbulkan ketergantungan struktural di berbagai sektor kehidupan masyarakat, mulai dari ekonomi, pendidikan, hingga politik. Teknologi, dengan demikian, menjadi arena pertarungan antara kekuasaan dan pembebasan.

Dengan melihat realitas ini, filsafat teknologi dalam dimensi antropologis dan sosial berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar: Apa artinya menjadi manusia dalam dunia yang sarat teknologi? Bagaimana teknologi membentuk pola relasi sosial dan budaya? Dan, apakah manusia masih memiliki otonomi di tengah sistem teknologi yang kian kompleks dan otonom?


Footnotes

[1]                Marshall McLuhan, Understanding Media: The Extensions of Man (Cambridge, MA: MIT Press, 1994), 6–15.

[2]                Donna Haraway, Simians, Cyborgs, and Women: The Reinvention of Nature (New York: Routledge, 1991), 149–181.

[3]                Bruno Latour, Reassembling the Social: An Introduction to Actor-Network-Theory (Oxford: Oxford University Press, 2005), 63–86.

[4]                Langdon Winner, “Do Artifacts Have Politics?” in The Whale and the Reactor: A Search for Limits in an Age of High Technology (Chicago: University of Chicago Press, 1986), 19–39.

[5]                Sherry Turkle, Alone Together: Why We Expect More from Technology and Less from Each Other (New York: Basic Books, 2011), 11–34.


8.           Teknologi dan Lingkungan

Hubungan antara teknologi dan lingkungan merupakan salah satu medan paling krusial dalam kajian filsafat teknologi kontemporer. Teknologi modern, khususnya sejak Revolusi Industri, telah menjadi kekuatan dominan dalam eksploitasi alam. Mesin uap, pembakaran bahan fosil, dan sistem produksi massal telah meningkatkan kapasitas manusia untuk mengeksploitasi sumber daya, namun sekaligus memicu krisis ekologis global seperti perubahan iklim, deforestasi, pencemaran air dan udara, serta hilangnya keanekaragaman hayati.

Filsuf teknologi Martin Heidegger telah memberikan kritik mendalam terhadap cara teknologi modern memperlakukan alam. Dalam konsep Gestell atau "enframing", Heidegger menjelaskan bahwa teknologi memaksa dunia tampil sebagai “standing-reserve” (Bestand), yakni sekumpulan sumber daya yang tersedia untuk dieksploitasi tanpa nilai intrinsik1. Pandangan ini mengindikasikan bahwa hubungan instrumental antara manusia dan alam telah menjadi bentuk dominan dalam peradaban modern, di mana alam dilihat bukan sebagai mitra hidup, tetapi sebagai objek penaklukan.

Kritik terhadap konsekuensi ekologis dari teknologi juga dikemukakan oleh Jacques Ellul, yang menekankan bahwa teknologi berkembang berdasarkan prinsip efisiensi dan otomatisasi tanpa memperhitungkan nilai-nilai ekologis atau sosial2. Dalam pandangan Ellul, perkembangan teknologi berlangsung dalam logika yang otonom dan tidak tunduk pada pertimbangan moral, sehingga hanya intervensi etis dan politik yang dapat mengarahkan teknologi pada tujuan yang lebih berkelanjutan.

Menanggapi persoalan ini, berkembanglah pendekatan ekoteknologi—suatu kerangka reflektif yang bertujuan untuk menyelaraskan kemajuan teknologi dengan prinsip-prinsip keberlanjutan ekologis. Dalam kerangka ini, teknologi tidak ditolak secara mutlak, tetapi diarahkan untuk memperbaiki kerusakan lingkungan dan membangun hubungan harmonis antara manusia dan alam. Anders Pape Møller dan Timothy O’Riordan, misalnya, mengusulkan pentingnya ecological modernization, yakni upaya mereformasi teknologi agar ramah lingkungan melalui efisiensi energi, energi terbarukan, dan desain sistem produksi yang rendah emisi3.

Namun demikian, pendekatan reformis ini juga dikritik oleh pemikir deep ecology seperti Arne Naess, yang menyatakan bahwa upaya teknologis memperbaiki kerusakan lingkungan tetap bersifat antroposentris. Naess menyerukan perlunya perubahan paradigma dari pendekatan teknosentris menuju kesadaran ekosentris, di mana alam memiliki nilai hakiki yang harus dihormati, bukan sekadar dinilai berdasarkan manfaatnya bagi manusia4.

Perkembangan terbaru menunjukkan bahwa teknologi juga memiliki potensi besar sebagai alat mitigasi krisis ekologis. Contohnya adalah pengembangan energi surya dan angin, teknologi penangkap karbon (carbon capture), sistem pertanian presisi, dan arsitektur hijau. Namun, muncul pula kekhawatiran bahwa solusi-solusi teknologi ini justru memperkuat logika technological fix—keyakinan bahwa semua masalah ekologis dapat diselesaikan semata-mata dengan lebih banyak teknologi, tanpa menyentuh akar struktural dari konsumsi berlebih dan sistem ekonomi eksploitatif5.

Filsafat teknologi dalam dimensi ekologis tidak hanya menekankan pentingnya inovasi teknis, tetapi juga mendesak perlunya etika lingkungan dan perubahan cara pandang terhadap alam. Andrew Light dan Holmes Rolston III menekankan bahwa teknologi harus diarahkan oleh prinsip moral ekologis yang mengakui interdependensi antara manusia dan alam sebagai satu sistem kehidupan yang integral6.

Dengan demikian, dimensi ini memperlihatkan bahwa refleksi filosofis atas teknologi harus melibatkan pertimbangan ekologis yang mendalam. Teknologi dapat menjadi penyebab sekaligus solusi krisis lingkungan, tergantung pada bagaimana ia dikembangkan, dikendalikan, dan disematkan dalam visi etis yang memuliakan kehidupan bersama di bumi.


Footnotes

[1]                Martin Heidegger, The Question Concerning Technology and Other Essays, trans. William Lovitt (New York: Harper & Row, 1977), 12–23.

[2]                Jacques Ellul, The Technological Society, trans. John Wilkinson (New York: Vintage Books, 1964), 109–121.

[3]                Timothy O’Riordan and James J. L. Turner, “An Ecological Modernisation Perspective,” in Sustainable Environmental Management: Principles and Practice, ed. R. K. Turner (London: Belhaven Press, 1993), 45–62.

[4]                Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle: Outline of an Ecosophy, trans. David Rothenberg (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 27–31.

[5]                David W. Orr, The Nature of Design: Ecology, Culture, and Human Intention (Oxford: Oxford University Press, 2002), 58–70.

[6]                Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 165–172; Andrew Light, “Ecological Restoration and the Culture of Nature: A Pragmatic Perspective,” in Ecological Restoration, vol. 15, no. 1 (1997): 19–25.


9.           Filsafat Teknologi di Era Digital

Era digital telah membawa pergeseran paradigma besar dalam kajian filsafat teknologi. Jika pada masa sebelumnya teknologi dipahami sebagai alat fisik atau sistem mekanis, maka kini teknologi merasuk ke dalam bentuk digital yang bersifat tidak kasatmata namun sangat menentukan struktur kehidupan manusia modern. Kecerdasan buatan, big data, algoritma, internet of things (IoT), blockchain, dan realitas virtual bukan hanya inovasi teknis, tetapi juga membentuk cara berpikir, bertindak, dan menjadi manusia.

Filsafat teknologi di era digital mengkaji bagaimana teknologi informasi dan komunikasi (TIK) mengubah ontologi manusia, epistemologi pengetahuan, dan struktur etika dalam masyarakat. Teknologi digital, menurut Luciano Floridi, telah menciptakan infosphere—lingkungan realitas baru di mana perbedaan antara dunia online dan offline semakin tidak relevan. Ia menyebut kondisi ini sebagai the fourth revolution, setelah Copernicus, Darwin, dan Freud, karena kembali merelatifkan posisi manusia dalam kosmos1.

Di dalam infosphere, manusia tidak hanya menggunakan teknologi, tetapi juga menjadi entitas informasi itu sendiri—dimediasi, dimonitor, dan dikomodifikasi melalui data. Fenomena ini menciptakan tantangan filosofis baru terkait identitas, privasi, dan agensi. Shoshana Zuboff, dalam karyanya yang berpengaruh The Age of Surveillance Capitalism, mengkritik cara perusahaan teknologi mengumpulkan dan mengeksploitasi data personal untuk keuntungan ekonomi. Menurutnya, praktik ini membentuk bentuk kapitalisme baru yang mengorbankan kebebasan dan martabat individu2.

Teknologi algoritmik yang mengatur media sosial, mesin pencari, dan sistem rekomendasi juga menimbulkan konsekuensi epistemologis yang serius. Algoritma tidak netral—mereka mengarahkan perhatian, membentuk opini publik, dan bahkan memanipulasi perilaku melalui personalisasi ekstrem. Cathy O’Neil dalam bukunya Weapons of Math Destruction menunjukkan bagaimana algoritma dapat mereproduksi bias struktural dan diskriminasi sosial jika tidak diaudit secara etis3.

Dalam ranah etika, perkembangan kecerdasan buatan (AI) menghadirkan pertanyaan tentang tanggung jawab moral, otonomi sistem, dan hubungan manusia-mesin. Apakah sistem AI dapat diberi tanggung jawab hukum? Bagaimana kita menjamin bahwa keputusan yang diambil oleh AI—misalnya dalam sistem peradilan, kesehatan, atau finansial—adil dan dapat dipertanggungjawabkan? Nick Bostrom memperingatkan akan bahaya eksistensial dari superintelligence, yakni sistem AI yang jauh lebih cerdas dari manusia dan dapat bertindak di luar kendali jika tidak dirancang dengan kerangka etika yang kokoh4.

Di sisi lain, filsafat teknologi digital juga membuka wacana tentang transhumanisme, yaitu gagasan bahwa manusia dapat (dan seharusnya) ditingkatkan melalui teknologi—baik secara fisik, intelektual, maupun moral. Tokoh-tokoh seperti Ray Kurzweil percaya bahwa teknologi akan membawa umat manusia menuju singularity, momen ketika kecerdasan mesin dan manusia menyatu5. Namun, banyak filsuf memperingatkan bahwa transhumanisme dapat mengaburkan makna kemanusiaan dan menciptakan ketimpangan sosial baru antara mereka yang “diperkuat” secara teknologi dan yang tidak.

Filsafat teknologi digital juga semakin menekankan pentingnya desain etis (ethical design) dan human-centered computing. Peter-Paul Verbeek, misalnya, menyarankan pendekatan technological mediation ethics, yaitu etika yang memperhitungkan bagaimana teknologi secara konkret memediasi tindakan dan pilihan manusia, dan karenanya harus dirancang dengan prinsip moral sejak awal6.

Dengan demikian, filsafat teknologi di era digital tidak hanya bersifat deskriptif, tetapi juga normatif dan transformatif. Ia bertugas mengevaluasi konsekuensi mendalam dari digitalisasi terhadap kebebasan, kesetaraan, kebenaran, dan kemanusiaan itu sendiri. Pertanyaan-pertanyaan besar—siapa yang mengendalikan data?, apa arti menjadi manusia dalam masyarakat algoritmik?, dan bagaimana teknologi dapat diarahkan untuk tujuan keadilan dan keberlanjutan?—semakin menjadi pusat refleksi filsafat kontemporer.


Footnotes

[1]                Luciano Floridi, The Fourth Revolution: How the Infosphere is Reshaping Human Reality (Oxford: Oxford University Press, 2014), 6–12.

[2]                Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power (New York: PublicAffairs, 2019), 62–89.

[3]                Cathy O’Neil, Weapons of Math Destruction: How Big Data Increases Inequality and Threatens Democracy (New York: Crown Publishing, 2016), 43–58.

[4]                Nick Bostrom, Superintelligence: Paths, Dangers, Strategies (Oxford: Oxford University Press, 2014), 115–149.

[5]                Ray Kurzweil, The Singularity Is Near: When Humans Transcend Biology (New York: Viking, 2005), 9–23.

[6]                Peter-Paul Verbeek, Moralizing Technology: Understanding and Designing the Morality of Things (Chicago: University of Chicago Press, 2011), 89–101.


10.       Kritik dan Arah Masa Depan Filsafat Teknologi

Filsafat teknologi sebagai cabang filsafat kontemporer telah berkembang dari refleksi metafisik atas techne menuju analisis kritis terhadap peran teknologi dalam membentuk dunia modern. Namun demikian, sejumlah kritik juga dilayangkan terhadap arah dan metode filsafat teknologi itu sendiri. Sebagian kritik berangkat dari kebutuhan untuk mengatasi bias-bias teoretis, keterbatasan pendekatan reflektif, dan tantangan kontekstual di era digital dan ekologis.

10.1.    Kritik terhadap Pendekatan Klasik dan Determinisme

Salah satu kritik utama datang dari kalangan yang menilai bahwa filsafat teknologi cenderung terlalu deterministik dan abstrak. Pemikir seperti Langdon Winner dan Andrew Feenberg menyatakan bahwa pendekatan klasik—seperti milik Martin Heidegger atau Jacques Ellul—terlalu pesimistis dan menyajikan teknologi sebagai kekuatan otonom yang tidak bisa dikendalikan oleh manusia1. Akibatnya, potensi emansipatoris teknologi dalam konteks sosial dan politik sering terabaikan.

Feenberg menawarkan alternatif berupa teori kritis teknologi yang menolak dikotomi antara teknologi sebagai alat netral dan teknologi sebagai entitas yang mendominasi manusia. Ia menegaskan bahwa teknologi bersifat kontingen—dapat dirancang, ditafsirkan ulang, dan diintervensi secara sosial. Oleh karena itu, masyarakat harus dilibatkan secara demokratis dalam proses desain dan penggunaan teknologi untuk menciptakan sistem yang lebih adil2.

10.2.    Kritik terhadap Bias Barat dan Kurangnya Perspektif Global

Kritik lainnya menyoroti dominasi perspektif Barat dalam diskursus filsafat teknologi. Sebagian besar kerangka teoritis berasal dari pemikir Eropa dan Amerika Utara, dengan minimnya representasi dari tradisi filsafat non-Barat, termasuk perspektif Islam, Hindu, Buddhis, atau filsafat Afrika. Hal ini dapat menimbulkan bias epistemologis dalam memahami teknologi yang dikembangkan dalam konteks global yang sangat beragam3.

Filsuf seperti Yuk Hui mencoba menjembatani hal ini melalui konsep cosmotechnics, yakni pendekatan yang menggabungkan kosmologi lokal dengan praktik teknologi. Dalam karyanya The Question Concerning Technology in China, Hui menunjukkan bahwa setiap kebudayaan memiliki pandangan ontologis sendiri terhadap alam, waktu, dan teknologi. Maka, masa depan filsafat teknologi harus membuka diri terhadap pluralitas epistemik dan praktik teknologi lintas budaya4.

10.3.    Kritik terhadap Kurangnya Keterlibatan Praktis

Selain itu, sebagian kalangan juga menyoroti minimnya kontribusi filsafat teknologi terhadap desain, rekayasa, dan kebijakan publik. Pendekatan yang terlalu teoretis dianggap gagal menjangkau dunia praktik yang nyata. Oleh sebab itu, muncul dorongan untuk mengembangkan pendekatan philosophy of technology-in-practice yang melibatkan filsuf dalam proses desain sistem teknologi dan pembuatan kebijakan berbasis etika5.

Peter-Paul Verbeek mengembangkan pendekatan technological mediation ethics sebagai respons atas kebutuhan ini. Ia menyerukan agar para filsuf, perancang, dan insinyur bekerja sama dalam menciptakan teknologi yang tidak hanya fungsional, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai etis seperti keadilan, kebebasan, dan keberlanjutan6.

10.4.    Arah Masa Depan: Interdisiplinaritas dan Keadilan Teknologis

Masa depan filsafat teknologi kemungkinan besar akan semakin bersifat interdisipliner, mengintegrasikan filsafat dengan studi sains dan teknologi (STS), ilmu komputer, desain etis, dan kebijakan publik. Kebutuhan untuk menanggapi tantangan global seperti krisis iklim, ketimpangan digital, dan otomatisasi ekonomi menuntut refleksi filosofis yang tidak hanya kritis, tetapi juga solutif dan kolaboratif.

Selain itu, munculnya isu-isu baru seperti etika AI, hak digital, teknologi militer, dan transhumanisme menunjukkan bahwa filsafat teknologi tidak boleh stagnan. Ia harus terus membuka diri terhadap perubahan epistemologis dan ontologis yang dibawa oleh revolusi teknologi. Helen Nissenbaum menyatakan bahwa pendekatan keadilan teknologi harus menjadi fokus utama, agar teknologi tidak memperkuat ketimpangan sosial, melainkan menjadi instrumen pembebasan dan pemberdayaan7.

Dengan demikian, arah masa depan filsafat teknologi bergeser dari sekadar kontemplasi menjadi praksis—membangun jembatan antara etika, desain, politik, dan spiritualitas demi menjawab tantangan zaman. Ia bukan hanya berurusan dengan “apa adanya” teknologi, tetapi juga dengan “apa yang seharusnya” menjadi.


Footnotes

[1]                Langdon Winner, The Whale and the Reactor: A Search for Limits in an Age of High Technology (Chicago: University of Chicago Press, 1986), 52–60.

[2]                Andrew Feenberg, Transforming Technology: A Critical Theory Revisited (Oxford: Oxford University Press, 2002), 15–30.

[3]                Adam Briggle and Carl Mitcham, Ethics and Science: An Introduction (Cambridge: Cambridge University Press, 2012), 172–178.

[4]                Yuk Hui, The Question Concerning Technology in China: An Essay in Cosmotechnics (Falmouth: Urbanomic, 2016), 37–49.

[5]                Shannon Vallor, Technology and the Virtues: A Philosophical Guide to a Future Worth Wanting (Oxford: Oxford University Press, 2016), 109–123.

[6]                Peter-Paul Verbeek, Moralizing Technology: Understanding and Designing the Morality of Things (Chicago: University of Chicago Press, 2011), 114–128.

[7]                Helen Nissenbaum, Privacy in Context: Technology, Policy, and the Integrity of Social Life (Stanford: Stanford University Press, 2009), 191–205.


11.       Kesimpulan

Filsafat teknologi, sebagaimana telah dipaparkan dalam kajian ini, merupakan medan refleksi yang sangat penting dalam memahami transformasi kehidupan manusia di era modern dan postmodern. Ia tidak sekadar berurusan dengan pemahaman teknis mengenai alat dan sistem, tetapi menyentuh aspek-aspek mendalam dari keberadaan manusia, struktur sosial, etika, epistemologi, dan kosmologi yang melekat dalam perkembangan teknologi.

Kajian ini menunjukkan bahwa teknologi bukanlah entitas netral atau instrumen pasif sebagaimana diasumsikan dalam pandangan instrumentalis klasik. Sebaliknya, seperti yang ditegaskan oleh Martin Heidegger, teknologi modern membentuk cara melihat dunia, di mana realitas ditransformasikan menjadi sumber daya yang siap dieksploitasi dalam kerangka efisiensi teknis1. Hal ini menimbulkan implikasi ontologis dan etis yang serius, terutama ketika manusia tidak lagi memosisikan dirinya sebagai penjaga dunia, melainkan sebagai penakluk totalitas keberadaan.

Di sisi lain, filsuf-filsuf seperti Carl Mitcham, Don Ihde, dan Andrew Feenberg telah memperluas ruang lingkup refleksi dengan menunjukkan bahwa teknologi berperan aktif dalam mediasi relasi manusia dengan dunia dan bahwa ia dapat diarahkan melalui proses demokratisasi dan desain etis2. Teknologi bukan hanya fakta, tetapi juga konstruksi sosial dan nilai yang dapat dipengaruhi oleh tindakan kolektif dan kesadaran kritis.

Masuknya era digital semakin mempertegas urgensi filsafat teknologi. Dalam infosphere yang dikemukakan oleh Luciano Floridi, manusia hidup di dunia yang dimediasi secara digital, di mana identitas, agensi, dan kebenaran dikonstruksi melalui algoritma dan jaringan data3. Fenomena surveillance capitalism yang dikritik oleh Shoshana Zuboff, serta ancaman bias dan ketidakadilan dalam sistem kecerdasan buatan yang diungkap oleh Cathy O’Neil, memperlihatkan bahwa masalah teknologi tidak lagi bersifat teknis semata, tetapi juga moral dan politis4.

Lebih jauh, dimensi ekologis dari teknologi menunjukkan bahwa relasi manusia dengan alam tidak dapat dipisahkan dari cara manusia menggunakan dan mengembangkan teknologi. Krisis iklim dan kerusakan lingkungan bukan sekadar dampak tidak langsung, tetapi juga refleksi dari cara berpikir teknosentris yang tidak memperhitungkan keseimbangan ekosistem5. Dalam konteks ini, pendekatan ekosentris seperti yang diajukan oleh Arne Naess, serta inisiatif teknologi hijau dan ecological modernization, menjadi bagian penting dari upaya filsafat untuk mengarahkan kembali orientasi teknologi kepada keberlanjutan kehidupan.

Maka, arah masa depan filsafat teknologi ditentukan oleh kemampuannya untuk bersifat interdisipliner, kontekstual, dan partisipatif. Ia harus keluar dari ruang kontemplasi teoretis yang eksklusif, dan masuk ke dalam ranah desain, kebijakan publik, serta advokasi sosial. Sebagaimana dinyatakan oleh Peter-Paul Verbeek, tantangan masa kini bukan lagi sekadar mengkritisi teknologi, tetapi ikut serta dalam proses pembentukan moralitas melalui desain teknologi itu sendiri6.

Dengan seluruh kompleksitasnya, filsafat teknologi menawarkan suatu ruang refleksi yang memungkinkan manusia untuk tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi juga subjek etis yang mampu mengarahkan teknologi kepada kebaikan bersama. Di tengah arus revolusi digital, otomatisasi, dan krisis ekologis, filsafat teknologi merupakan panggilan untuk kembali pada pertanyaan paling mendasar: Apa artinya menjadi manusia dalam dunia yang semakin dipenuhi oleh teknologi?.


Footnotes

[1]                Martin Heidegger, The Question Concerning Technology and Other Essays, trans. William Lovitt (New York: Harper & Row, 1977), 12–23.

[2]                Carl Mitcham, Thinking through Technology: The Path between Engineering and Philosophy (Chicago: University of Chicago Press, 1994), 56–63; Don Ihde, Technology and the Lifeworld: From Garden to Earth (Bloomington: Indiana University Press, 1990), 35–57; Andrew Feenberg, Transforming Technology: A Critical Theory Revisited (Oxford: Oxford University Press, 2002), 15–30.

[3]                Luciano Floridi, The Fourth Revolution: How the Infosphere is Reshaping Human Reality (Oxford: Oxford University Press, 2014), 6–14.

[4]                Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power (New York: PublicAffairs, 2019), 45–68; Cathy O’Neil, Weapons of Math Destruction: How Big Data Increases Inequality and Threatens Democracy (New York: Crown Publishing, 2016), 43–58.

[5]                Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle: Outline of an Ecosophy, trans. David Rothenberg (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 27–31.

[6]                Peter-Paul Verbeek, Moralizing Technology: Understanding and Designing the Morality of Things (Chicago: University of Chicago Press, 2011), 89–101.


Daftar Pustaka

Bacon, F. (2000). The new organon (L. Jardine & M. Silverthorne, Eds.). Cambridge University Press.

Bostrom, N. (2014). Superintelligence: Paths, dangers, strategies. Oxford University Press.

Briggle, A., & Mitcham, C. (2012). Ethics and science: An introduction. Cambridge University Press.

Ellul, J. (1964). The technological society (J. Wilkinson, Trans.). Vintage Books.

Feenberg, A. (2002). Transforming technology: A critical theory revisited. Oxford University Press.

Feenberg, A. (1999). Questioning technology. Routledge.

Floridi, L. (2014). The fourth revolution: How the infosphere is reshaping human reality. Oxford University Press.

Habermas, J. (2003). The future of human nature (H. Beister & W. Rehg, Trans.). Polity Press.

Heidegger, M. (1977). The question concerning technology and other essays (W. Lovitt, Trans.). Harper & Row.

Hui, Y. (2016). The question concerning technology in China: An essay in cosmotechnics. Urbanomic.

Ihde, D. (1990). Technology and the lifeworld: From garden to earth. Indiana University Press.

Ihde, D. (1991). Instrumental realism: The interface between philosophy of science and philosophy of technology. Indiana University Press.

Jonas, H. (1984). The imperative of responsibility: In search of an ethics for the technological age. University of Chicago Press.

Kurzweil, R. (2005). The singularity is near: When humans transcend biology. Viking.

Latour, B. (1987). Science in action: How to follow scientists and engineers through society. Harvard University Press.

Latour, B. (2005). Reassembling the social: An introduction to actor-network-theory. Oxford University Press.

Light, A. (1997). Ecological restoration and the culture of nature: A pragmatic perspective. Ecological Restoration, 15(1), 19–25.

McLuhan, M. (1994). Understanding media: The extensions of man. MIT Press. (Original work published 1964)

Mitcham, C. (1994). Thinking through technology: The path between engineering and philosophy. University of Chicago Press.

Naess, A. (1989). Ecology, community and lifestyle: Outline of an ecosophy (D. Rothenberg, Trans.). Cambridge University Press.

Nissenbaum, H. (2009). Privacy in context: Technology, policy, and the integrity of social life. Stanford University Press.

O’Neil, C. (2016). Weapons of math destruction: How big data increases inequality and threatens democracy. Crown Publishing.

Orr, D. W. (2002). The nature of design: Ecology, culture, and human intention. Oxford University Press.

O’Riordan, T., & Turner, J. J. L. (1993). An ecological modernisation perspective. In R. K. Turner (Ed.), Sustainable environmental management: Principles and practice (pp. 45–62). Belhaven Press.

Plato. (1992). Republic (G. M. A. Grube, Trans., & C. D. C. Reeve, Rev.). Hackett Publishing.

Rolston, H. III. (1988). Environmental ethics: Duties to and values in the natural world. Temple University Press.

Simondon, G. (2017). On the mode of existence of technical objects (C. Malaspina & J. Rogove, Trans.). Univocal Publishing.

Turkle, S. (2011). Alone together: Why we expect more from technology and less from each other. Basic Books.

Vallor, S. (2016). Technology and the virtues: A philosophical guide to a future worth wanting. Oxford University Press.

Verbeek, P.-P. (2011). Moralizing technology: Understanding and designing the morality of things. University of Chicago Press.

Weber, M. (1958). The Protestant ethic and the spirit of capitalism (T. Parsons, Trans.). Scribner. (Original work published 1905)

Winner, L. (1986). The whale and the reactor: A search for limits in an age of high technology. University of Chicago Press.

Zuboff, S. (2019). The age of surveillance capitalism: The fight for a human future at the new frontier of power. PublicAffairs.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar