Filsafat Teknologi
Sebuah Kajian Filsafat Teknologi
Alihkan ke: Cabang-Cabang Filsafat.
Abstrak
Artikel ini menyajikan kajian komprehensif mengenai
filsafat teknologi sebagai cabang reflektif dalam memahami peran, makna, dan
implikasi keberadaan teknologi dalam kehidupan manusia modern. Melalui
pendekatan multidimensional—ontologis, epistemologis, etis, antropologis,
sosial, ekologis, dan digital—artikel ini menelaah bagaimana teknologi tidak
sekadar hadir sebagai instrumen netral, tetapi sebagai kekuatan
transformasional yang membentuk struktur realitas, relasi sosial, dan orientasi
nilai manusia. Berbagai pemikiran dari tokoh-tokoh seperti Martin Heidegger, Carl
Mitcham, Don Ihde, Jacques Ellul, Luciano Floridi, dan Peter-Paul Verbeek
dikaji untuk menunjukkan dinamika pemahaman filosofis terhadap teknologi dari
masa klasik hingga era digital. Dalam konteks tantangan kontemporer—mulai dari
krisis ekologis, dominasi algoritma, hingga ancaman dehumanisasi oleh
kecerdasan buatan—filsafat teknologi menjadi panggilan reflektif untuk
mempertanyakan kembali apa artinya menjadi manusia di tengah dunia yang semakin
terteknologisasi. Artikel ini juga menekankan pentingnya arah baru filsafat
teknologi yang lebih interdisipliner, partisipatif, dan berorientasi pada
keadilan sosial serta keberlanjutan ekologis.
Kata Kunci: Filsafat Teknologi; Ontologi; Etika Teknologi; Era
Digital; Kecerdasan Buatan; Ekologi; Agensi Manusia; Mediasi Teknologis; Kritik
Sosial; Keberlanjutan.
PEMBAHASAN
Menimbang Peran Teknologi dalam Kehidupan Manusia
1.
Pendahuluan
Teknologi telah
menjadi bagian integral dari kehidupan manusia modern. Dari perangkat
komunikasi digital hingga sistem kecerdasan buatan, teknologi tidak hanya
mengubah cara manusia bekerja dan berinteraksi, tetapi juga mengonstruksi ulang
cara manusia memahami realitas, identitas, dan nilai-nilai sosial. Dalam
konteks ini, filsafat teknologi hadir sebagai bidang pemikiran kritis yang
bertujuan memahami secara mendalam hakikat, fungsi, dan implikasi teknologi
terhadap kehidupan manusia secara ontologis, epistemologis, etis, dan sosial.
Filsafat teknologi
tidak hanya bertanya "apa itu teknologi?" secara definisional,
tetapi juga mempertanyakan "apa makna dari keberadaan teknologi dalam
kehidupan manusia?" dan "apa akibat dari penggunaannya
terhadap dunia dan tatanan moral manusia?" Dalam pandangan Carl
Mitcham, filsafat teknologi mencakup dua pendekatan utama: pendekatan analitis
(instrumentalis dan substantivis) dan pendekatan reflektif, yang mencoba
memahami teknologi sebagai bagian dari praksis manusia dan struktur sosial1.
Perkembangan
teknologi yang sangat pesat dewasa ini — terutama dalam bidang informasi,
komunikasi, kecerdasan buatan, dan bioteknologi — telah melampaui kerangka
instrumen netral. Teknologi kini tidak hanya menjadi alat bantu, tetapi juga
aktor yang memediasi tindakan dan bahkan membentuk cara berpikir dan bertindak
manusia. Don Ihde, seorang pemikir fenomenologis dalam filsafat teknologi,
menunjukkan bahwa teknologi secara aktif membentuk relasi subjek-objek dalam
dunia, melalui apa yang disebut dengan “mediasi teknologis”2.
Di sisi lain, kritik
terhadap dominasi teknologi juga muncul dari pemikir seperti Martin Heidegger,
yang memperingatkan bahwa teknologi modern telah menciptakan pola pikir enframing
atau Gestell,
yaitu cara pandang yang mereduksi dunia dan manusia menjadi sekadar sumber daya
yang dapat dieksploitasi3. Heidegger menegaskan bahwa pemahaman
terhadap esensi teknologi tidak dapat hanya dilihat dari segi manfaat
praktisnya, tetapi harus dikaji dari cara teknologi mengungkap dan menyingkap
realitas (aletheia) secara tertentu.
Urgensi filsafat
teknologi semakin relevan ketika melihat konsekuensi sosial, ekologis, dan etis
dari perkembangan teknologi. Masalah seperti surveillance capitalism, krisis
iklim akibat sistem industri berbasis teknologi eksploitatif, hingga ancaman
dehumanisasi dalam era kecerdasan buatan, merupakan problem kontemporer yang
tidak cukup dijawab oleh ilmu teknis semata. Oleh karena itu, pendekatan
filosofis dibutuhkan untuk melakukan refleksi kritis dan normatif atas arah
perkembangan teknologi tersebut.
Artikel ini
bertujuan untuk menelaah secara komprehensif peran dan makna teknologi dalam
kehidupan manusia dengan pendekatan filsafat. Kajian ini tidak hanya mengulas
konsep-konsep dasar dalam filsafat teknologi, tetapi juga membedah dimensi
historis, ontologis, epistemologis, etis, dan sosial dari teknologi, serta merumuskan
tantangan dan tanggung jawab moral manusia di tengah arus perkembangan
teknologi yang kian kompleks.
Footnotes
[1]
Carl Mitcham, Thinking through Technology: The Path between
Engineering and Philosophy (Chicago: University of Chicago Press, 1994), 38–45.
[2]
Don Ihde, Technology and the Lifeworld: From Garden to Earth
(Bloomington: Indiana University Press, 1990), 75–80.
[3]
Martin Heidegger, The Question Concerning Technology and Other
Essays, trans. William Lovitt (New York: Harper & Row, 1977), 19–35.
2.
Pengertian dan Ruang Lingkup Filsafat Teknologi
Filsafat teknologi
merupakan cabang filsafat yang berupaya mengkaji secara kritis hakikat
teknologi, eksistensinya dalam kehidupan manusia, serta implikasinya terhadap
pengetahuan, etika, budaya, dan lingkungan. Secara umum, filsafat teknologi
menelaah pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang apa itu teknologi, bagaimana
teknologi memengaruhi manusia dan masyarakat, serta bagaimana
manusia seharusnya bersikap terhadap perkembangan teknologi tersebut.
Carl Mitcham, dalam
karyanya yang dianggap sebagai tonggak penting dalam bidang ini, membedakan
empat pendekatan dalam memandang teknologi: (1) teknologi sebagai objek; (2)
teknologi sebagai pengetahuan; (3) teknologi sebagai aktivitas; dan (4)
teknologi sebagai cara keberadaan dalam dunia1. Pendekatan ini
menunjukkan bahwa teknologi bukanlah semata-mata peralatan atau alat bantu,
tetapi juga mencakup dimensi intelektual dan eksistensial yang menyatu dalam
kehidupan manusia. Oleh karena itu, teknologi tidak dapat direduksi menjadi
sekadar alat yang netral, melainkan merupakan bentuk praksis manusia yang
kompleks dan bermuatan nilai.
Secara historis,
istilah "teknologi" berasal dari bahasa Yunani techne,
yang berarti keterampilan atau keahlian dalam membuat sesuatu, dan logos,
yang berarti wacana atau pengetahuan2. Pada masa Yunani Kuno, techne
sering dikaitkan dengan seni dan kerajinan, sedangkan episteme
merujuk pada pengetahuan teoritis. Namun dalam konteks modern, teknologi telah
mengalami transformasi makna menjadi sistem produksi, pengendalian, dan
pemrosesan informasi dalam skala luas.
Filsafat teknologi
mencakup beberapa ruang lingkup utama, di antaranya:
1)
Dimensi Ontologis
Menelaah keberadaan teknologi sebagai entitas:
apakah teknologi bersifat netral atau memiliki kecenderungan otonom yang
membentuk kembali relasi manusia dengan dunia.
2)
Dimensi Epistemologis
Mengkaji hubungan antara teknologi dan
pengetahuan: bagaimana teknologi berperan dalam produksi, distribusi, dan
validasi pengetahuan, terutama dalam sains dan teknik.
3)
Dimensi Etis
Menganalisis dampak moral dan tanggung jawab
manusia terhadap penggunaan teknologi: mulai dari bioetika, rekayasa genetika,
hingga kecerdasan buatan dan privasi digital.
4)
Dimensi Sosial dan Budaya
Membahas bagaimana teknologi mempengaruhi
struktur masyarakat, budaya, politik, dan cara manusia berelasi satu sama lain.
5)
Dimensi Ekologis
Merefleksikan bagaimana teknologi berkontribusi
terhadap kerusakan atau pelestarian lingkungan, serta bagaimana pendekatan
berkelanjutan dapat dikembangkan melalui teknologi hijau.
Menurut Don Ihde,
filsafat teknologi bukanlah suatu sistem tertutup, melainkan medan refleksi
terbuka yang terus berevolusi seiring dengan perubahan lanskap teknologi itu
sendiri3. Hal ini menjadikan filsafat teknologi relevan tidak hanya
sebagai wacana akademik, tetapi juga sebagai kerangka reflektif dan normatif
dalam menjawab tantangan-tantangan kontemporer.
Dengan demikian,
filsafat teknologi merupakan lensa kritis yang memungkinkan manusia tidak hanya
menggunakan
teknologi, tetapi juga memahami dan mempertanggungjawabkan
keberadaannya. Ia tidak sekadar menjelaskan cara kerja teknologi, tetapi juga
mengevaluasi makna, tujuan, dan arah perkembangannya dalam konteks nilai-nilai
kemanusiaan.
Footnotes
[1]
Carl Mitcham, Thinking through Technology: The Path between
Engineering and Philosophy (Chicago: University of Chicago Press, 1994),
153–161.
[2]
Hans Achterhuis, American Philosophy of Technology: The Empirical
Turn, trans. Robert P. Crease (Bloomington: Indiana University Press,
2001), 15.
[3]
Don Ihde, Philosophy of Technology: An Introduction (New York:
Paragon House, 1993), 9–14.
3.
Sejarah Perkembangan Filsafat Teknologi
Filsafat teknologi
sebagai bidang kajian sistematis tergolong relatif muda dibandingkan
cabang-cabang filsafat lainnya. Namun, refleksi filosofis terhadap teknologi
sesungguhnya telah berlangsung sejak zaman klasik, dan terus mengalami
perkembangan signifikan, terutama pada era modern dan kontemporer, seiring
dengan transformasi peradaban manusia akibat kemajuan teknologi.
3.1.
Akar Klasik: Yunani Kuno
Refleksi awal
mengenai teknologi dapat ditelusuri dalam pemikiran filsuf-filsuf Yunani,
khususnya Plato dan Aristoteles. Dalam karya-karya Plato, teknologi—dalam
bentuk techne—dipahami
sebagai keterampilan produksi atau kemampuan membuat sesuatu sesuai dengan
prinsip tertentu1. Namun, bagi Plato, techne
tetap diposisikan lebih rendah dibanding episteme (pengetahuan sejati),
karena hanya berkaitan dengan dunia indrawi yang berubah-ubah.
Sementara itu,
Aristoteles mengembangkan pandangan yang lebih sistematis tentang techne
sebagai salah satu bentuk logos yang rasional. Ia membedakan
antara techne
(keterampilan membuat), episteme (pengetahuan teoritis),
dan phronesis
(kebijaksanaan praktis). Bagi Aristoteles, techne adalah bentuk pengetahuan
yang terarah pada produksi, tetapi tetap tunduk pada prinsip kausalitas dan
tujuan tertentu (telos)2.
3.2.
Abad Pertengahan dan Awal Modern
Pada Abad
Pertengahan, refleksi terhadap teknologi lebih banyak ditundukkan dalam
kerangka teologi. Teknologi dianggap sebagai bagian dari ars
humana yang dianugerahkan oleh Tuhan untuk membantu manusia
mengolah ciptaan. Pandangan ini memunculkan apresiasi terhadap teknologi
sebagai bentuk partisipasi manusia dalam memelihara alam, namun masih berada di
bawah dominasi nilai-nilai religius.
Perubahan signifikan
terjadi pada zaman Renaisans dan Abad Pencerahan. Di era ini, teknologi mulai
dipahami dalam kerangka rasionalisme dan kemajuan. Tokoh seperti Francis Bacon
memandang ilmu dan teknologi sebagai sarana utama untuk menaklukkan alam dan
meningkatkan kualitas hidup manusia. Bacon bahkan menyatakan bahwa “pengetahuan
adalah kekuatan” (knowledge is power) dan menyerukan
pengembangan scientia operativa—ilmu yang
langsung terarah pada produksi teknologi3.
3.3.
Revolusi Industri dan Teknologi
Modern
Revolusi Industri
menjadi titik balik yang menandai transformasi besar dalam hubungan antara
manusia dan teknologi. Teknologi tidak lagi dipahami sebagai keterampilan
perorangan, tetapi sebagai sistem produksi massal yang melibatkan mesin, tenaga
kerja, dan kapital dalam skala besar. Hal ini mengarah pada munculnya sistem
teknokratis yang mengintegrasikan sains, teknik, dan ekonomi.
Namun, perkembangan
ini tidak lepas dari kritik. Di awal abad ke-20, filsuf-filsuf seperti Oswald
Spengler dan Max Weber mulai menyuarakan keprihatinan terhadap dominasi
rasionalitas teknis yang mengancam nilai-nilai spiritual dan etika. Weber menyebut
gejala ini sebagai “kandungan besi” (iron cage) dari rasionalisasi
modern4.
3.4.
Abad ke-20: Fondasi Filsafat
Teknologi sebagai Disiplin
Filsafat teknologi
sebagai disiplin akademis yang berdiri sendiri mulai terbentuk pada paruh kedua
abad ke-20, terutama di negara-negara Barat. Tokoh penting seperti Martin
Heidegger menjadi salah satu pelopor refleksi eksistensial
terhadap teknologi. Dalam esainya yang berjudul Die Frage nach der Technik (The
Question Concerning Technology), Heidegger menegaskan bahwa bahaya
terbesar dari teknologi modern bukan pada alatnya, tetapi pada cara pandang (Gestell)
yang menyelubungi realitas dan mereduksi segala sesuatu menjadi sekadar sumber
daya5.
Kritik serupa
dikemukakan oleh Jacques Ellul, yang melihat
bahwa teknologi memiliki kecenderungan otonom dan tidak dapat lagi dikendalikan
oleh manusia. Ia menyebut ini sebagai l'automatisme technologique—suatu
logika internal dalam teknologi yang berkembang dengan sendirinya tanpa
memperhitungkan nilai-nilai etis atau sosial6.
Pada saat yang sama,
muncul pula pendekatan-pendekatan yang lebih positif dan konstruktif, seperti
dalam karya Don Ihde yang mengembangkan
analisis fenomenologis terhadap relasi antara manusia dan teknologi. Ihde
menggarisbawahi bahwa teknologi merupakan mediasi antara subjek dan dunia,
bukan sekadar instrumen netral, melainkan agen aktif yang membentuk pengalaman
manusia7.
3.5.
Era Kontemporer: Filsafat Teknologi
dalam Dunia Digital
Memasuki abad ke-21,
perkembangan teknologi informasi, kecerdasan buatan, bioteknologi, dan sistem
siber-fisik telah memperluas cakrawala filsafat teknologi. Isu-isu seperti
transhumanisme, otomatisasi, etika algoritma, pengawasan digital, dan
keberlanjutan ekologis menjadi fokus kajian baru. Para filsuf seperti Nick
Bostrom dan Shoshana Zuboff turut
berkontribusi dalam mengkritisi arah perkembangan teknologi dan dampaknya
terhadap eksistensi manusia dan struktur sosial8.
Dengan demikian,
sejarah filsafat teknologi menunjukkan transformasi dari refleksi moral dan
metafisik tentang techne, menjadi analisis kritis
terhadap sistem teknologi modern, hingga refleksi kontemporer terhadap era
post-digital dan masa depan kemanusiaan.
Footnotes
[1]
Plato, Republic, trans. G.M.A. Grube, rev. C.D.C. Reeve
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 596–598.
[2]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), Book VI, 1139b–1141b.
[3]
Francis Bacon, Novum Organum, ed. Lisa Jardine and Michael
Silverthorne (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 45.
[4]
Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism,
trans. Talcott Parsons (New York: Scribner, 1958), 181.
[5]
Martin Heidegger, The Question Concerning Technology and Other
Essays, trans. William Lovitt (New York: Harper & Row, 1977), 3–35.
[6]
Jacques Ellul, The Technological Society, trans. John
Wilkinson (New York: Vintage Books, 1964), 80–95.
[7]
Don Ihde, Technology and the Lifeworld: From Garden to Earth
(Bloomington: Indiana University Press, 1990), 35–57.
[8]
Nick Bostrom, Superintelligence: Paths, Dangers, Strategies
(Oxford: Oxford University Press, 2014), 14–29; Shoshana Zuboff, The Age of
Surveillance Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 45–68.
4.
Dimensi Ontologis Teknologi
Dimensi ontologis
dalam filsafat teknologi berkaitan dengan pertanyaan mendasar mengenai hakikat
keberadaan teknologi itu sendiri. Apakah teknologi hanyalah alat
netral buatan manusia? Apakah ia memiliki eksistensi yang independen dan
otonom? Bagaimana keberadaan teknologi mengubah struktur realitas dan relasi
manusia dengan dunia?
Secara tradisional,
teknologi sering dipahami sebagai ekstensi dari kemampuan manusia untuk
mengontrol alam. Dalam kerangka ini, teknologi bersifat instrumental
dan subordinatif,
yakni sebagai perpanjangan tangan manusia dalam mencapai tujuan-tujuan praktis.
Pandangan ini berpijak pada asumsi bahwa teknologi tidak memiliki nilai atau
arah intrinsik, melainkan nilai ditentukan oleh bagaimana manusia
menggunakannya1.
Namun, filsafat
kontemporer mempertanyakan asumsi netralitas teknologi tersebut. Salah satu
tokoh yang secara radikal menggugat pandangan instrumental ini adalah Martin
Heidegger. Dalam esainya Die Frage nach der Technik,
Heidegger berargumen bahwa esensi teknologi bukanlah sesuatu yang teknis,
melainkan cara tertentu manusia memperlihatkan (revealing) dunia. Teknologi modern,
menurutnya, melibatkan bentuk penyingkapan realitas yang ia sebut sebagai Gestell
(kerangka). Dalam Gestell, segala sesuatu — termasuk
manusia — dipandang semata-mata sebagai sumber daya yang siap dieksploitasi (standing-reserve)2.
Dengan demikian,
teknologi modern tidak hanya menyajikan alat, tetapi juga mengonstruksi cara
pandang terhadap dunia. Heidegger menegaskan bahwa inilah bahaya sejati dari
teknologi: bukan pada alatnya, melainkan pada cara berpikir yang dibentuk
olehnya, yakni reduksionisme teknis terhadap segala sesuatu3.
Pandangan ontologis
lainnya muncul dari Jacques Ellul, yang
mengembangkan gagasan autonomisme teknologi. Ellul
menekankan bahwa teknologi memiliki logika internal dan irama perkembangannya
sendiri yang tak lagi tunduk pada kehendak moral atau sosial manusia.
Teknologi, menurut Ellul, menjadi kekuatan otonom yang bergerak maju karena
prinsip efisiensi, bukan karena kebutuhan manusiawi atau nilai etis4.
Sementara itu, Gilbert
Simondon, dalam pendekatannya yang lebih positif terhadap
teknologi, melihat teknologi sebagai entitas yang memiliki “mode of being”
tersendiri. Dalam bukunya Du mode d'existence des objets techniques,
Simondon menyatakan bahwa artefak teknologi tidak bisa dipahami hanya sebagai
objek buatan, tetapi sebagai sistem yang mengalami evolusi fungsional dan memiliki
dinamika ontologis internal. Ia menekankan pentingnya memahami teknologi secara
transindividuasi,
yaitu sebagai proses yang memediasi antara manusia dan dunia melalui integrasi
antara individu, teknik, dan masyarakat5.
Pendekatan
fenomenologis yang dikembangkan oleh Don Ihde juga menawarkan sudut
pandang ontologis yang bernuansa. Ihde memperkenalkan konsep technological
mediation, di mana teknologi menjadi medium antara manusia dan
dunia. Dalam perspektif ini, eksistensi teknologi tidak dapat dipisahkan dari
cara ia memediasi persepsi dan tindakan manusia. Ihde menolak dikotomi antara
teknologi sebagai entitas otonom dan alat netral, dan menggantinya dengan
pemahaman relasional antara manusia dan artefak teknologi6.
Secara keseluruhan,
dimensi ontologis teknologi menunjukkan bahwa teknologi bukan hanya entitas
eksternal atau perpanjangan tangan manusia, tetapi memiliki modus
keberadaan tersendiri yang aktif membentuk realitas, persepsi, dan
relasi manusia. Teknologi bukan hanya alat, melainkan juga struktur ontologis
yang meredefinisi cara manusia hadir dalam dunia.
Footnotes
[1]
Carl Mitcham, Thinking through Technology: The Path between
Engineering and Philosophy (Chicago: University of Chicago Press, 1994),
22–29.
[2]
Martin Heidegger, The Question Concerning Technology and Other
Essays, trans. William Lovitt (New York: Harper & Row, 1977), 12–23.
[3]
Ibid., 26–28.
[4]
Jacques Ellul, The Technological Society, trans. John
Wilkinson (New York: Vintage Books, 1964), 99–114.
[5]
Gilbert Simondon, On the Mode of Existence of Technical Objects,
trans. Cecile Malaspina and John Rogove (Minneapolis: Univocal Publishing,
2017), 9–15.
[6]
Don Ihde, Technology and the Lifeworld: From Garden to Earth
(Bloomington: Indiana University Press, 1990), 45–62.
5.
Dimensi Epistemologis Teknologi
Dimensi
epistemologis dari filsafat teknologi berkaitan dengan pertanyaan tentang
bagaimana teknologi mempengaruhi, memediasi, dan bahkan membentuk proses
penciptaan, pengorganisasian, dan penyebaran pengetahuan. Teknologi tidak hanya
menjadi alat bantu dalam kegiatan ilmiah, tetapi juga berperan dalam membentuk
struktur epistemik itu sendiri—yakni bagaimana kita tahu sesuatu, apa yang
dianggap sebagai pengetahuan sahih, serta bagaimana validitas dan otoritas
pengetahuan itu dikonstruksi.
Secara tradisional,
epistemologi membedakan antara dua bentuk pengetahuan: episteme
(pengetahuan teoritis) dan techne (pengetahuan praktis atau
keterampilan). Dalam dunia modern, batas antara keduanya semakin kabur seiring
dengan berkembangnya teknologi sebagai bentuk pengetahuan yang bersifat
operasional dan aplikatif. Dalam hal ini, teknologi tidak hanya menjadi hasil
dari ilmu pengetahuan, tetapi juga merupakan prasyarat bagi berkembangnya
pengetahuan ilmiah itu sendiri1.
Francis
Bacon telah menekankan pentingnya scientia operativa—pengetahuan yang
menghasilkan efektivitas praktis melalui eksperimen dan manipulasi alam. Dalam
pandangannya, pengetahuan sejati adalah pengetahuan yang dapat menghasilkan
kekuasaan teknologis atas alam2. Gagasan ini menjadi dasar dari
paradigma modern bahwa teknologi bukan sekadar penerapan ilmu, tetapi sekaligus
sebagai bentuk pembentuk ilmu itu sendiri.
Dalam perkembangan
kontemporer, Bruno Latour dan pendekatan actor-network
theory (ANT) secara radikal mengaburkan dikotomi antara ilmu dan
teknologi. Latour berargumen bahwa teknologi bukan sekadar medium netral,
melainkan agen epistemik yang turut serta dalam proses produksi pengetahuan
ilmiah. Dalam laboratorium ilmiah, artefak teknologis seperti mikroskop,
komputer, dan sensor bukan hanya membantu, tetapi juga secara aktif membentuk
cara data dikumpulkan, dianalisis, dan ditafsirkan3.
Sejalan dengan itu, Don Ihde
melalui pendekatan fenomenologi teknologi menunjukkan bahwa instrumen
teknologis mengubah cara manusia melihat dan memahami dunia. Ihde
memperkenalkan konsep hermeneutic relations, yakni
situasi di mana teknologi menjadi media interpretatif antara subjek dan objek
pengetahuan. Teknologi, dalam hal ini, menjadi co-constitutive terhadap pengalaman
epistemik manusia4.
Perkembangan
teknologi digital, seperti kecerdasan buatan (AI), big data, dan algoritma,
juga menimbulkan tantangan epistemologis baru. Dalam sistem berbasis algoritma,
validitas pengetahuan seringkali tidak lagi diukur berdasarkan argumentasi
logis atau prinsip empiris, melainkan berdasarkan pola-pola statistik yang
dihasilkan dari kumpulan data besar. Hal ini menimbulkan pertanyaan kritis: siapa
yang menentukan kebenaran dalam era digital—manusia atau mesin?5
Lebih lanjut, Andrew
Feenberg mengkritisi kecenderungan positivistik dalam teknologi
modern yang cenderung mengabaikan konteks sosial dan nilai dalam produksi
pengetahuan teknis. Ia menyerukan pendekatan critical theory of technology, di
mana teknologi dipandang sebagai medan perjuangan interpretasi yang tidak
netral secara politik maupun epistemik6.
Dari berbagai
pendekatan tersebut, dapat disimpulkan bahwa teknologi memiliki peran ganda dalam
epistemologi: sebagai alat bantu yang memperluas kapasitas kognitif manusia,
sekaligus sebagai kerangka yang membatasi dan membentuk kemungkinan-kemungkinan
epistemik tertentu. Maka, refleksi epistemologis atas teknologi menjadi penting
tidak hanya untuk memahami bagaimana kita mengetahui sesuatu, tetapi juga untuk
menyadari bagaimana struktur teknologi mengarahkan pengetahuan yang kita
hasilkan dan anggap sahih.
Footnotes
[1]
Carl Mitcham, Thinking through Technology: The Path between Engineering
and Philosophy (Chicago: University of Chicago Press, 1994), 97–103.
[2]
Francis Bacon, The New Organon, ed. Lisa Jardine and Michael
Silverthorne (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 33–34.
[3]
Bruno Latour, Science in Action: How to Follow Scientists and
Engineers through Society (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1987),
174–187.
[4]
Don Ihde, Instrumental Realism: The Interface between Philosophy of
Science and Philosophy of Technology (Bloomington: Indiana University
Press, 1991), 25–40.
[5]
Luciano Floridi, The Fourth Revolution: How the Infosphere is
Reshaping Human Reality (Oxford: Oxford University Press, 2014), 91–102.
[6]
Andrew Feenberg, Questioning Technology (London: Routledge,
1999), 13–21.
6.
Dimensi Etis dalam Filsafat Teknologi
Dimensi etis dalam
filsafat teknologi berkaitan erat dengan pertanyaan normatif mengenai bagaimana
manusia seharusnya menggunakan dan mengembangkan teknologi, serta apa
konsekuensi moral dari tindakan tersebut. Seiring dengan pesatnya
inovasi dalam bidang seperti kecerdasan buatan, bioteknologi, automasi
industri, dan digitalisasi kehidupan, isu-isu etis menjadi semakin kompleks dan
mendesak untuk dikaji secara filosofis dan lintas disipliner.
Secara historis,
teknologi seringkali dipandang sebagai alat netral, di mana nilai moral hanya
ditentukan oleh niat dan tindakan pengguna. Pandangan ini dikenal sebagai etika
instrumentalis, yang menekankan bahwa moralitas terletak pada
pengguna teknologi, bukan pada teknologi itu sendiri1. Namun, banyak
filsuf kontemporer menolak netralitas ini. Mereka menegaskan bahwa teknologi
memiliki struktur dan implikasi yang secara inheren dapat mendorong atau
menghambat tindakan etis, tergantung pada bagaimana teknologi tersebut
dirancang, diterapkan, dan diintegrasikan ke dalam kehidupan manusia.
Hans
Jonas, dalam karyanya yang berpengaruh The
Imperative of Responsibility, menyatakan bahwa tanggung jawab etis
manusia terhadap dampak teknologi harus diperluas hingga meliputi generasi masa
depan dan kelestarian planet. Ia merumuskan prinsip kehati-hatian (precautionary
principle) sebagai bentuk etika baru yang sesuai untuk menghadapi
konsekuensi jangka panjang dari teknologi modern2. Menurut Jonas,
manusia saat ini memiliki kekuatan teknologi yang sangat besar, tetapi tidak
diimbangi dengan kemampuan etis yang memadai untuk mengendalikannya.
Persoalan etis juga
sangat mencolok dalam bidang bioteknologi dan rekayasa genetika.
Isu tentang kloning manusia, modifikasi genetik, dan teknologi reproduksi
buatan mengundang pertanyaan tentang batas-batas intervensi manusia terhadap
kodrat biologis. Filsuf Jürgen Habermas memperingatkan
bahwa manipulasi genetik dapat merusak otonomi moral manusia, karena generasi
yang “direkayasa” tidak memiliki kesempatan untuk menentukan
eksistensinya sendiri3.
Dalam konteks teknologi
informasi dan algoritma, muncul isu etika baru terkait privasi,
keadilan algoritmik, dan pengawasan digital. Shoshana Zuboff memperkenalkan
istilah surveillance
capitalism untuk menggambarkan bagaimana perusahaan teknologi
memanfaatkan data personal secara masif untuk keuntungan ekonomi tanpa
persetujuan etis dari subjek data4. Fenomena ini menimbulkan
pertanyaan tentang kebebasan individu, manipulasi perilaku, dan akuntabilitas
teknologi digital.
Sementara itu, etika
kecerdasan buatan (AI ethics) menjadi medan kajian baru yang
sangat dinamis. Isu-isu seperti bias algoritma, tanggung jawab hukum terhadap
keputusan AI, serta potensi penggantian tenaga kerja manusia oleh sistem
otomatis menjadi sorotan utama. Nick Bostrom mengingatkan akan
bahaya eksistensial dari superintelligence, yakni sistem AI
yang melampaui kecerdasan manusia dan dapat bertindak di luar kendali manusia
jika tidak dirancang dengan prinsip etis yang kokoh5.
Dalam menanggapi
kompleksitas ini, para pemikir seperti Andrew Feenberg mengusulkan
pendekatan demokratisasi
teknologi, yakni perlunya partisipasi publik dalam merancang dan
mengatur perkembangan teknologi agar selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan6.
Teknologi tidak boleh dibiarkan berkembang semata-mata oleh logika pasar atau
efisiensi teknis, melainkan harus tunduk pada prinsip keadilan, kebajikan, dan
keberlanjutan.
Etika teknologi
dengan demikian tidak hanya berkutat pada pertanyaan tentang “boleh atau
tidak boleh”, tetapi juga mencakup analisis struktural atas bagaimana
teknologi membentuk dan dibentuk oleh kondisi sosial, politik, dan ekologis. Ia
menuntut bentuk etika yang responsif, transformatif, dan kontekstual—yang tidak
hanya melindungi manusia dari bahaya teknologi, tetapi juga mengarahkan
teknologi pada tujuan-tujuan luhur kemanusiaan.
Footnotes
[1]
Carl Mitcham, Thinking through Technology: The Path between
Engineering and Philosophy (Chicago: University of Chicago Press, 1994),
56–60.
[2]
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an
Ethics for the Technological Age, trans. Hans Jonas (Chicago: University
of Chicago Press, 1984), 11–18.
[3]
Jürgen Habermas, The Future of Human Nature, trans. Hella
Beister and William Rehg (Cambridge: Polity Press, 2003), 34–40.
[4]
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for
a Human Future at the New Frontier of Power (New York: PublicAffairs,
2019), 94–112.
[5]
Nick Bostrom, Superintelligence: Paths, Dangers, Strategies
(Oxford: Oxford University Press, 2014), 115–137.
[6]
Andrew Feenberg, Transforming Technology: A Critical Theory
Revisited (Oxford: Oxford University Press, 2002), 67–72.
7.
Dimensi Antropologis dan Sosial
Dimensi antropologis
dan sosial dalam filsafat teknologi berfokus pada bagaimana teknologi
memengaruhi hakikat manusia dan dinamika masyarakat. Teknologi tidak hanya
berperan sebagai instrumen yang membantu manusia dalam mengatasi keterbatasan
biologis dan alamiah, melainkan juga menjadi kekuatan transformasional yang
membentuk identitas, relasi sosial, dan struktur kehidupan kolektif.
Secara antropologis,
teknologi telah lama dipahami sebagai perpanjangan tubuh dan kemampuan manusia.
Marshall
McLuhan, dalam karya klasiknya Understanding Media, menyebut
teknologi sebagai “ekstensi manusia” (extensions of man)—yakni
bentuk-bentuk perpanjangan organ manusia, seperti roda sebagai ekstensi kaki,
telepon sebagai ekstensi suara, atau komputer sebagai ekstensi sistem saraf1.
Namun, McLuhan juga memperingatkan bahwa ekstensi teknologi membawa dampak
balik terhadap manusia, yakni efek amputasi: ketika suatu fungsi digantikan
oleh teknologi, fungsi organik manusia justru melemah.
Dalam pandangan yang
lebih kontemporer, Donna Haraway melalui esainya
yang berjudul A Cyborg Manifesto menyatakan bahwa
batas-batas antara manusia, hewan, dan mesin telah menjadi kabur. Haraway
memperkenalkan konsep “cyborg”—entitas hibrida antara organisme dan
mesin—untuk mengkritisi esensialisme identitas dan menunjukkan bahwa eksistensi
manusia modern telah menjadi teknologis secara inheren2. Dalam
konteks ini, teknologi tidak lagi menjadi sekadar alat eksternal, melainkan
bagian integral dari konstruksi diri dan eksistensi manusia.
Secara sosial,
teknologi membentuk jaringan relasi kekuasaan, produksi, dan komunikasi dalam
masyarakat. Bruno Latour, dalam teori actor-network,
menggarisbawahi bahwa artefak teknologi bukanlah objek pasif, melainkan aktor
sosial yang memiliki agensi dalam jaringan aksi bersama manusia3.
Misalnya, infrastruktur jalan, algoritma pencarian, dan desain arsitektural
memiliki dampak sosial yang nyata terhadap perilaku, keputusan, dan interaksi
sosial.
Selain itu, Langdon
Winner mengajukan tesis penting bahwa artefak teknologi
memiliki “muatan politik” (political loadings). Ia menunjukkan
bahwa teknologi bukan hanya hasil netral dari kebutuhan teknis, tetapi
seringkali mengandung keputusan politik yang memengaruhi siapa yang berkuasa,
siapa yang dirugikan, dan bagaimana struktur sosial terbentuk. Contohnya adalah
desain jalan raya yang secara sengaja dibangun dengan ketinggian tertentu agar
tidak dapat dilalui oleh bus umum, yang berdampak pada akses masyarakat miskin4.
Dalam masyarakat
kontemporer yang sangat tergantung pada teknologi informasi, dimensi sosial
teknologi semakin kompleks. Sistem media digital telah mengubah pola
komunikasi, membentuk komunitas daring, dan menciptakan ruang sosial virtual
yang sangat memengaruhi kesadaran kolektif. Di satu sisi, teknologi
menghadirkan peluang partisipasi dan konektivitas; di sisi lain, ia juga
menimbulkan masalah keterasingan (alienation), disinformasi, dan
segmentasi sosial yang ekstrem5.
Lebih jauh,
teknologi telah menjadi kekuatan hegemonik dalam pembentukan tatanan global.
Dalam konteks globalisasi, dominasi perusahaan teknologi besar (big tech) tidak
hanya menciptakan ketimpangan akses dan kontrol informasi, tetapi juga
menimbulkan ketergantungan struktural di berbagai sektor kehidupan masyarakat,
mulai dari ekonomi, pendidikan, hingga politik. Teknologi, dengan demikian,
menjadi arena pertarungan antara kekuasaan dan pembebasan.
Dengan melihat
realitas ini, filsafat teknologi dalam dimensi antropologis dan sosial berusaha
menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar: Apa artinya menjadi manusia dalam dunia yang
sarat teknologi? Bagaimana teknologi membentuk pola relasi sosial
dan budaya? Dan, apakah manusia masih memiliki otonomi di tengah sistem
teknologi yang kian kompleks dan otonom?
Footnotes
[1]
Marshall McLuhan, Understanding Media: The Extensions of Man
(Cambridge, MA: MIT Press, 1994), 6–15.
[2]
Donna Haraway, Simians, Cyborgs, and Women: The Reinvention of
Nature (New York: Routledge, 1991), 149–181.
[3]
Bruno Latour, Reassembling the Social: An Introduction to
Actor-Network-Theory (Oxford: Oxford University Press, 2005), 63–86.
[4]
Langdon Winner, “Do Artifacts Have Politics?” in The Whale and the
Reactor: A Search for Limits in an Age of High Technology (Chicago:
University of Chicago Press, 1986), 19–39.
[5]
Sherry Turkle, Alone Together: Why We Expect More from Technology
and Less from Each Other (New York: Basic Books, 2011), 11–34.
8.
Teknologi dan Lingkungan
Hubungan antara
teknologi dan lingkungan merupakan salah satu medan paling krusial dalam kajian
filsafat teknologi kontemporer. Teknologi modern, khususnya sejak Revolusi
Industri, telah menjadi kekuatan dominan dalam eksploitasi alam. Mesin uap,
pembakaran bahan fosil, dan sistem produksi massal telah meningkatkan kapasitas
manusia untuk mengeksploitasi sumber daya, namun sekaligus memicu krisis
ekologis global seperti perubahan iklim, deforestasi, pencemaran air dan udara,
serta hilangnya keanekaragaman hayati.
Filsuf teknologi Martin
Heidegger telah memberikan kritik mendalam terhadap cara
teknologi modern memperlakukan alam. Dalam konsep Gestell atau "enframing",
Heidegger menjelaskan bahwa teknologi memaksa dunia tampil sebagai “standing-reserve”
(Bestand),
yakni sekumpulan sumber daya yang tersedia untuk dieksploitasi tanpa nilai
intrinsik1. Pandangan ini mengindikasikan bahwa hubungan instrumental
antara manusia dan alam telah menjadi bentuk dominan dalam peradaban modern, di
mana alam dilihat bukan sebagai mitra hidup, tetapi sebagai objek penaklukan.
Kritik terhadap
konsekuensi ekologis dari teknologi juga dikemukakan oleh Jacques
Ellul, yang menekankan bahwa teknologi berkembang berdasarkan
prinsip efisiensi dan otomatisasi tanpa memperhitungkan nilai-nilai ekologis
atau sosial2. Dalam pandangan Ellul, perkembangan teknologi
berlangsung dalam logika yang otonom dan tidak tunduk pada pertimbangan moral,
sehingga hanya intervensi etis dan politik yang dapat mengarahkan teknologi
pada tujuan yang lebih berkelanjutan.
Menanggapi persoalan
ini, berkembanglah pendekatan ekoteknologi—suatu kerangka
reflektif yang bertujuan untuk menyelaraskan kemajuan teknologi dengan
prinsip-prinsip keberlanjutan ekologis. Dalam kerangka ini, teknologi tidak
ditolak secara mutlak, tetapi diarahkan untuk memperbaiki kerusakan lingkungan
dan membangun hubungan harmonis antara manusia dan alam. Anders
Pape Møller dan Timothy O’Riordan, misalnya,
mengusulkan pentingnya ecological modernization, yakni
upaya mereformasi teknologi agar ramah lingkungan melalui efisiensi energi,
energi terbarukan, dan desain sistem produksi yang rendah emisi3.
Namun demikian,
pendekatan reformis ini juga dikritik oleh pemikir deep ecology seperti Arne
Naess, yang menyatakan bahwa upaya teknologis memperbaiki
kerusakan lingkungan tetap bersifat antroposentris. Naess menyerukan perlunya
perubahan paradigma dari pendekatan teknosentris menuju kesadaran ekosentris,
di mana alam memiliki nilai hakiki yang harus dihormati, bukan sekadar dinilai
berdasarkan manfaatnya bagi manusia4.
Perkembangan terbaru
menunjukkan bahwa teknologi juga memiliki potensi besar sebagai alat mitigasi
krisis ekologis. Contohnya adalah pengembangan energi surya dan angin,
teknologi penangkap karbon (carbon capture), sistem pertanian
presisi, dan arsitektur hijau. Namun, muncul pula kekhawatiran bahwa
solusi-solusi teknologi ini justru memperkuat logika technological
fix—keyakinan bahwa semua masalah ekologis dapat diselesaikan
semata-mata dengan lebih banyak teknologi, tanpa menyentuh akar struktural dari
konsumsi berlebih dan sistem ekonomi eksploitatif5.
Filsafat teknologi
dalam dimensi ekologis tidak hanya menekankan pentingnya inovasi teknis, tetapi
juga mendesak perlunya etika lingkungan dan perubahan cara pandang terhadap
alam. Andrew
Light dan Holmes Rolston III menekankan
bahwa teknologi harus diarahkan oleh prinsip moral ekologis yang mengakui
interdependensi antara manusia dan alam sebagai satu sistem kehidupan yang
integral6.
Dengan demikian,
dimensi ini memperlihatkan bahwa refleksi filosofis atas teknologi harus
melibatkan pertimbangan ekologis yang mendalam. Teknologi dapat menjadi
penyebab sekaligus solusi krisis lingkungan, tergantung pada bagaimana ia
dikembangkan, dikendalikan, dan disematkan dalam visi etis yang memuliakan
kehidupan bersama di bumi.
Footnotes
[1]
Martin Heidegger, The Question Concerning Technology and Other
Essays, trans. William Lovitt (New York: Harper & Row, 1977), 12–23.
[2]
Jacques Ellul, The Technological Society, trans. John
Wilkinson (New York: Vintage Books, 1964), 109–121.
[3]
Timothy O’Riordan and James J. L. Turner, “An Ecological Modernisation
Perspective,” in Sustainable Environmental Management: Principles and
Practice, ed. R. K. Turner (London: Belhaven Press, 1993), 45–62.
[4]
Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle: Outline of an
Ecosophy, trans. David Rothenberg (Cambridge: Cambridge University Press,
1989), 27–31.
[5]
David W. Orr, The Nature of Design: Ecology, Culture, and Human
Intention (Oxford: Oxford University Press, 2002), 58–70.
[6]
Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in
the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 165–172;
Andrew Light, “Ecological Restoration and the Culture of Nature: A Pragmatic
Perspective,” in Ecological Restoration, vol. 15, no. 1 (1997): 19–25.
9.
Filsafat Teknologi di Era Digital
Era digital telah
membawa pergeseran paradigma besar dalam kajian filsafat teknologi. Jika pada
masa sebelumnya teknologi dipahami sebagai alat fisik atau sistem mekanis, maka
kini teknologi merasuk ke dalam bentuk digital yang bersifat tidak kasatmata namun
sangat menentukan struktur kehidupan manusia modern. Kecerdasan buatan, big
data, algoritma, internet of things (IoT), blockchain, dan realitas virtual
bukan hanya inovasi teknis, tetapi juga membentuk cara berpikir, bertindak, dan
menjadi manusia.
Filsafat teknologi
di era digital mengkaji bagaimana teknologi informasi dan komunikasi (TIK)
mengubah ontologi manusia, epistemologi pengetahuan, dan struktur etika dalam
masyarakat. Teknologi digital, menurut Luciano Floridi, telah
menciptakan infosphere—lingkungan realitas baru
di mana perbedaan antara dunia online dan offline semakin tidak relevan. Ia
menyebut kondisi ini sebagai the fourth revolution, setelah
Copernicus, Darwin, dan Freud, karena kembali merelatifkan posisi manusia dalam
kosmos1.
Di dalam infosphere,
manusia tidak hanya menggunakan teknologi, tetapi juga menjadi entitas
informasi itu sendiri—dimediasi, dimonitor, dan dikomodifikasi
melalui data. Fenomena ini menciptakan tantangan filosofis baru terkait
identitas, privasi, dan agensi. Shoshana Zuboff, dalam karyanya
yang berpengaruh The Age of Surveillance Capitalism,
mengkritik cara perusahaan teknologi mengumpulkan dan mengeksploitasi data
personal untuk keuntungan ekonomi. Menurutnya, praktik ini membentuk bentuk
kapitalisme baru yang mengorbankan kebebasan dan martabat individu2.
Teknologi algoritmik
yang mengatur media sosial, mesin pencari, dan sistem rekomendasi juga
menimbulkan konsekuensi epistemologis yang serius. Algoritma tidak
netral—mereka mengarahkan perhatian, membentuk opini publik, dan bahkan
memanipulasi perilaku melalui personalisasi ekstrem. Cathy
O’Neil dalam bukunya Weapons of Math Destruction
menunjukkan bagaimana algoritma dapat mereproduksi bias struktural dan
diskriminasi sosial jika tidak diaudit secara etis3.
Dalam ranah etika,
perkembangan kecerdasan buatan (AI)
menghadirkan pertanyaan tentang tanggung jawab moral, otonomi sistem, dan
hubungan manusia-mesin. Apakah sistem AI dapat diberi tanggung jawab hukum?
Bagaimana kita menjamin bahwa keputusan yang diambil oleh AI—misalnya dalam
sistem peradilan, kesehatan, atau finansial—adil dan dapat
dipertanggungjawabkan? Nick Bostrom memperingatkan
akan bahaya eksistensial dari superintelligence, yakni sistem AI
yang jauh lebih cerdas dari manusia dan dapat bertindak di luar kendali jika
tidak dirancang dengan kerangka etika yang kokoh4.
Di sisi lain,
filsafat teknologi digital juga membuka wacana tentang transhumanisme,
yaitu gagasan bahwa manusia dapat (dan seharusnya) ditingkatkan melalui
teknologi—baik secara fisik, intelektual, maupun moral. Tokoh-tokoh seperti Ray
Kurzweil percaya bahwa teknologi akan membawa umat manusia
menuju singularity,
momen ketika kecerdasan mesin dan manusia menyatu5. Namun, banyak
filsuf memperingatkan bahwa transhumanisme dapat mengaburkan makna kemanusiaan
dan menciptakan ketimpangan sosial baru antara mereka yang “diperkuat”
secara teknologi dan yang tidak.
Filsafat teknologi
digital juga semakin menekankan pentingnya desain etis (ethical
design) dan human-centered computing. Peter-Paul
Verbeek, misalnya, menyarankan pendekatan technological
mediation ethics, yaitu etika yang memperhitungkan bagaimana
teknologi secara konkret memediasi tindakan dan pilihan manusia, dan karenanya
harus dirancang dengan prinsip moral sejak awal6.
Dengan demikian,
filsafat teknologi di era digital tidak hanya bersifat deskriptif, tetapi juga
normatif dan transformatif. Ia bertugas mengevaluasi konsekuensi mendalam dari
digitalisasi terhadap kebebasan, kesetaraan, kebenaran, dan kemanusiaan itu
sendiri. Pertanyaan-pertanyaan besar—siapa yang mengendalikan data?, apa arti
menjadi manusia dalam masyarakat algoritmik?, dan bagaimana
teknologi dapat diarahkan untuk tujuan keadilan dan keberlanjutan?—semakin
menjadi pusat refleksi filsafat kontemporer.
Footnotes
[1]
Luciano Floridi, The Fourth Revolution: How the Infosphere is
Reshaping Human Reality (Oxford: Oxford University Press, 2014), 6–12.
[2]
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for
a Human Future at the New Frontier of Power (New York: PublicAffairs,
2019), 62–89.
[3]
Cathy O’Neil, Weapons of Math Destruction: How Big Data Increases
Inequality and Threatens Democracy (New York: Crown Publishing, 2016),
43–58.
[4]
Nick Bostrom, Superintelligence: Paths, Dangers, Strategies
(Oxford: Oxford University Press, 2014), 115–149.
[5]
Ray Kurzweil, The Singularity Is Near: When Humans Transcend
Biology (New York: Viking, 2005), 9–23.
[6]
Peter-Paul Verbeek, Moralizing Technology: Understanding and
Designing the Morality of Things (Chicago: University of Chicago Press,
2011), 89–101.
10.
Kritik dan Arah Masa Depan Filsafat Teknologi
Filsafat teknologi
sebagai cabang filsafat kontemporer telah berkembang dari refleksi metafisik
atas techne
menuju analisis kritis terhadap peran teknologi dalam membentuk dunia modern.
Namun demikian, sejumlah kritik juga dilayangkan terhadap arah dan metode
filsafat teknologi itu sendiri. Sebagian kritik berangkat dari kebutuhan untuk
mengatasi bias-bias teoretis, keterbatasan pendekatan reflektif, dan tantangan
kontekstual di era digital dan ekologis.
10.1.
Kritik terhadap Pendekatan Klasik
dan Determinisme
Salah satu kritik
utama datang dari kalangan yang menilai bahwa filsafat teknologi cenderung
terlalu deterministik dan abstrak. Pemikir seperti Langdon
Winner dan Andrew Feenberg menyatakan
bahwa pendekatan klasik—seperti milik Martin Heidegger atau Jacques
Ellul—terlalu pesimistis dan menyajikan teknologi sebagai kekuatan otonom yang
tidak bisa dikendalikan oleh manusia1.
Akibatnya, potensi emansipatoris teknologi dalam konteks sosial dan politik
sering terabaikan.
Feenberg menawarkan
alternatif berupa teori kritis teknologi yang menolak
dikotomi antara teknologi sebagai alat netral dan teknologi sebagai entitas
yang mendominasi manusia. Ia menegaskan bahwa teknologi bersifat kontingen—dapat
dirancang, ditafsirkan ulang, dan diintervensi secara sosial. Oleh karena itu,
masyarakat harus dilibatkan secara demokratis dalam proses desain dan
penggunaan teknologi untuk menciptakan sistem yang lebih adil2.
10.2.
Kritik terhadap Bias Barat dan
Kurangnya Perspektif Global
Kritik lainnya
menyoroti dominasi perspektif Barat dalam diskursus filsafat teknologi.
Sebagian besar kerangka teoritis berasal dari pemikir Eropa dan Amerika Utara,
dengan minimnya representasi dari tradisi filsafat non-Barat, termasuk
perspektif Islam, Hindu, Buddhis, atau filsafat Afrika. Hal ini dapat
menimbulkan bias epistemologis dalam memahami teknologi yang dikembangkan dalam
konteks global yang sangat beragam3.
Filsuf seperti Yuk Hui
mencoba menjembatani hal ini melalui konsep cosmotechnics, yakni pendekatan
yang menggabungkan kosmologi lokal dengan praktik teknologi. Dalam karyanya The
Question Concerning Technology in China, Hui menunjukkan bahwa
setiap kebudayaan memiliki pandangan ontologis sendiri terhadap alam, waktu,
dan teknologi. Maka, masa depan filsafat teknologi harus membuka diri terhadap
pluralitas epistemik dan praktik teknologi lintas budaya4.
10.3.
Kritik terhadap Kurangnya
Keterlibatan Praktis
Selain itu, sebagian
kalangan juga menyoroti minimnya kontribusi filsafat teknologi terhadap desain,
rekayasa, dan kebijakan publik. Pendekatan yang terlalu teoretis dianggap gagal
menjangkau dunia praktik yang nyata. Oleh sebab itu, muncul dorongan untuk
mengembangkan pendekatan philosophy of technology-in-practice
yang melibatkan filsuf dalam proses desain sistem teknologi dan pembuatan
kebijakan berbasis etika5.
Peter-Paul
Verbeek mengembangkan pendekatan technological mediation ethics
sebagai respons atas kebutuhan ini. Ia menyerukan agar para filsuf, perancang,
dan insinyur bekerja sama dalam menciptakan teknologi yang tidak hanya
fungsional, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai etis seperti keadilan,
kebebasan, dan keberlanjutan6.
10.4.
Arah Masa Depan: Interdisiplinaritas
dan Keadilan Teknologis
Masa depan filsafat teknologi
kemungkinan besar akan semakin bersifat interdisipliner, mengintegrasikan
filsafat dengan studi sains dan teknologi (STS), ilmu komputer, desain etis,
dan kebijakan publik. Kebutuhan untuk menanggapi tantangan global seperti
krisis iklim, ketimpangan digital, dan otomatisasi ekonomi menuntut refleksi
filosofis yang tidak hanya kritis, tetapi juga solutif dan kolaboratif.
Selain itu,
munculnya isu-isu baru seperti etika AI, hak digital, teknologi militer, dan
transhumanisme menunjukkan bahwa filsafat teknologi tidak boleh
stagnan. Ia harus terus membuka diri terhadap perubahan epistemologis dan
ontologis yang dibawa oleh revolusi teknologi. Helen Nissenbaum menyatakan
bahwa pendekatan keadilan teknologi harus menjadi fokus utama, agar teknologi
tidak memperkuat ketimpangan sosial, melainkan menjadi instrumen pembebasan dan
pemberdayaan7.
Dengan demikian,
arah masa depan filsafat teknologi bergeser dari sekadar kontemplasi menjadi
praksis—membangun jembatan antara etika, desain, politik, dan spiritualitas
demi menjawab tantangan zaman. Ia bukan hanya berurusan dengan “apa adanya”
teknologi, tetapi juga dengan “apa yang seharusnya” menjadi.
Footnotes
[1]
Langdon Winner, The Whale and the Reactor: A Search for Limits in
an Age of High Technology (Chicago: University of Chicago Press, 1986),
52–60.
[2]
Andrew Feenberg, Transforming Technology: A Critical Theory
Revisited (Oxford: Oxford University Press, 2002), 15–30.
[3]
Adam Briggle and Carl Mitcham, Ethics and Science: An Introduction
(Cambridge: Cambridge University Press, 2012), 172–178.
[4]
Yuk Hui, The Question Concerning Technology in China: An Essay in
Cosmotechnics (Falmouth: Urbanomic, 2016), 37–49.
[5]
Shannon Vallor, Technology and the Virtues: A Philosophical Guide
to a Future Worth Wanting (Oxford: Oxford University Press, 2016),
109–123.
[6]
Peter-Paul Verbeek, Moralizing Technology: Understanding and
Designing the Morality of Things (Chicago: University of Chicago Press,
2011), 114–128.
[7]
Helen Nissenbaum, Privacy in Context: Technology, Policy, and the
Integrity of Social Life (Stanford: Stanford University Press, 2009),
191–205.
11.
Kesimpulan
Filsafat teknologi,
sebagaimana telah dipaparkan dalam kajian ini, merupakan medan refleksi yang
sangat penting dalam memahami transformasi kehidupan manusia di era modern dan
postmodern. Ia tidak sekadar berurusan dengan pemahaman teknis mengenai alat
dan sistem, tetapi menyentuh aspek-aspek mendalam dari keberadaan manusia,
struktur sosial, etika, epistemologi, dan kosmologi yang melekat dalam
perkembangan teknologi.
Kajian ini
menunjukkan bahwa teknologi bukanlah entitas netral atau instrumen pasif
sebagaimana diasumsikan dalam pandangan instrumentalis klasik. Sebaliknya,
seperti yang ditegaskan oleh Martin Heidegger, teknologi
modern membentuk cara melihat dunia, di mana
realitas ditransformasikan menjadi sumber daya yang siap dieksploitasi dalam
kerangka efisiensi teknis1. Hal ini menimbulkan implikasi ontologis
dan etis yang serius, terutama ketika manusia tidak lagi memosisikan dirinya
sebagai penjaga dunia, melainkan sebagai penakluk totalitas keberadaan.
Di sisi lain,
filsuf-filsuf seperti Carl Mitcham, Don Ihde,
dan Andrew
Feenberg telah memperluas ruang lingkup refleksi dengan
menunjukkan bahwa teknologi berperan aktif dalam mediasi relasi manusia dengan
dunia dan bahwa ia dapat diarahkan melalui proses demokratisasi dan desain etis2.
Teknologi bukan hanya fakta, tetapi juga konstruksi sosial dan nilai yang dapat
dipengaruhi oleh tindakan kolektif dan kesadaran kritis.
Masuknya era digital
semakin mempertegas urgensi filsafat teknologi. Dalam infosphere
yang dikemukakan oleh Luciano Floridi, manusia hidup
di dunia yang dimediasi secara digital, di mana identitas, agensi, dan
kebenaran dikonstruksi melalui algoritma dan jaringan data3.
Fenomena surveillance
capitalism yang dikritik oleh Shoshana Zuboff, serta ancaman
bias dan ketidakadilan dalam sistem kecerdasan buatan yang diungkap oleh Cathy
O’Neil, memperlihatkan bahwa masalah teknologi tidak lagi
bersifat teknis semata, tetapi juga moral dan politis4.
Lebih jauh, dimensi
ekologis dari teknologi menunjukkan bahwa relasi manusia dengan alam tidak
dapat dipisahkan dari cara manusia menggunakan dan mengembangkan teknologi.
Krisis iklim dan kerusakan lingkungan bukan sekadar dampak tidak langsung,
tetapi juga refleksi dari cara berpikir teknosentris yang tidak memperhitungkan
keseimbangan ekosistem5. Dalam konteks ini, pendekatan ekosentris
seperti yang diajukan oleh Arne Naess, serta inisiatif
teknologi hijau dan ecological modernization, menjadi
bagian penting dari upaya filsafat untuk mengarahkan kembali orientasi
teknologi kepada keberlanjutan kehidupan.
Maka, arah masa
depan filsafat teknologi ditentukan oleh kemampuannya untuk bersifat
interdisipliner, kontekstual, dan partisipatif. Ia harus keluar dari ruang
kontemplasi teoretis yang eksklusif, dan masuk ke dalam ranah desain, kebijakan
publik, serta advokasi sosial. Sebagaimana dinyatakan oleh Peter-Paul
Verbeek, tantangan masa kini bukan lagi sekadar mengkritisi
teknologi, tetapi ikut serta dalam proses pembentukan moralitas melalui desain
teknologi itu sendiri6.
Dengan seluruh
kompleksitasnya, filsafat teknologi menawarkan suatu ruang refleksi yang
memungkinkan manusia untuk tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi juga subjek
etis yang mampu mengarahkan teknologi kepada kebaikan bersama. Di
tengah arus revolusi digital, otomatisasi, dan krisis ekologis, filsafat
teknologi merupakan panggilan untuk kembali pada pertanyaan paling mendasar: Apa
artinya menjadi manusia dalam dunia yang semakin dipenuhi oleh teknologi?.
Footnotes
[1]
Martin Heidegger, The Question Concerning Technology and Other
Essays, trans. William Lovitt (New York: Harper & Row, 1977), 12–23.
[2]
Carl Mitcham, Thinking through Technology: The Path between
Engineering and Philosophy (Chicago: University of Chicago Press, 1994),
56–63; Don Ihde, Technology and the Lifeworld: From Garden to Earth
(Bloomington: Indiana University Press, 1990), 35–57; Andrew Feenberg, Transforming
Technology: A Critical Theory Revisited (Oxford: Oxford University Press,
2002), 15–30.
[3]
Luciano Floridi, The Fourth Revolution: How the Infosphere is
Reshaping Human Reality (Oxford: Oxford University Press, 2014), 6–14.
[4]
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for
a Human Future at the New Frontier of Power (New York: PublicAffairs,
2019), 45–68; Cathy O’Neil, Weapons of Math Destruction: How Big Data
Increases Inequality and Threatens Democracy (New York: Crown Publishing,
2016), 43–58.
[5]
Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle: Outline of an
Ecosophy, trans. David Rothenberg (Cambridge: Cambridge University Press,
1989), 27–31.
[6]
Peter-Paul Verbeek, Moralizing Technology: Understanding and
Designing the Morality of Things (Chicago: University of Chicago Press,
2011), 89–101.
Daftar Pustaka
Bacon, F. (2000). The
new organon (L. Jardine & M. Silverthorne, Eds.). Cambridge University
Press.
Bostrom, N. (2014). Superintelligence:
Paths, dangers, strategies. Oxford University Press.
Briggle, A., & Mitcham,
C. (2012). Ethics and science: An introduction. Cambridge University
Press.
Ellul, J. (1964). The
technological society (J. Wilkinson, Trans.). Vintage Books.
Feenberg, A. (2002). Transforming
technology: A critical theory revisited. Oxford University Press.
Feenberg, A. (1999). Questioning
technology. Routledge.
Floridi, L. (2014). The
fourth revolution: How the infosphere is reshaping human reality. Oxford
University Press.
Habermas, J. (2003). The
future of human nature (H. Beister & W. Rehg, Trans.). Polity Press.
Heidegger, M. (1977). The
question concerning technology and other essays (W. Lovitt, Trans.).
Harper & Row.
Hui, Y. (2016). The
question concerning technology in China: An essay in cosmotechnics.
Urbanomic.
Ihde, D. (1990). Technology
and the lifeworld: From garden to earth. Indiana University Press.
Ihde, D. (1991). Instrumental
realism: The interface between philosophy of science and philosophy of
technology. Indiana University Press.
Jonas, H. (1984). The
imperative of responsibility: In search of an ethics for the technological age.
University of Chicago Press.
Kurzweil, R. (2005). The
singularity is near: When humans transcend biology. Viking.
Latour, B. (1987). Science
in action: How to follow scientists and engineers through society. Harvard
University Press.
Latour, B. (2005). Reassembling
the social: An introduction to actor-network-theory. Oxford University
Press.
Light, A. (1997).
Ecological restoration and the culture of nature: A pragmatic perspective. Ecological
Restoration, 15(1), 19–25.
McLuhan, M. (1994). Understanding
media: The extensions of man. MIT Press. (Original work published 1964)
Mitcham, C. (1994). Thinking
through technology: The path between engineering and philosophy.
University of Chicago Press.
Naess, A. (1989). Ecology,
community and lifestyle: Outline of an ecosophy (D. Rothenberg, Trans.).
Cambridge University Press.
Nissenbaum, H. (2009). Privacy
in context: Technology, policy, and the integrity of social life. Stanford
University Press.
O’Neil, C. (2016). Weapons
of math destruction: How big data increases inequality and threatens democracy.
Crown Publishing.
Orr, D. W. (2002). The
nature of design: Ecology, culture, and human intention. Oxford University
Press.
O’Riordan, T., &
Turner, J. J. L. (1993). An ecological modernisation perspective. In R. K.
Turner (Ed.), Sustainable environmental management: Principles and practice
(pp. 45–62). Belhaven Press.
Plato. (1992). Republic
(G. M. A. Grube, Trans., & C. D. C. Reeve, Rev.). Hackett Publishing.
Rolston, H. III. (1988). Environmental
ethics: Duties to and values in the natural world. Temple University
Press.
Simondon, G. (2017). On
the mode of existence of technical objects (C. Malaspina & J. Rogove,
Trans.). Univocal Publishing.
Turkle, S. (2011). Alone
together: Why we expect more from technology and less from each other.
Basic Books.
Vallor, S. (2016). Technology
and the virtues: A philosophical guide to a future worth wanting. Oxford
University Press.
Verbeek, P.-P. (2011). Moralizing
technology: Understanding and designing the morality of things. University
of Chicago Press.
Weber, M. (1958). The
Protestant ethic and the spirit of capitalism (T. Parsons, Trans.).
Scribner. (Original work published 1905)
Winner, L. (1986). The
whale and the reactor: A search for limits in an age of high technology. University
of Chicago Press.
Zuboff, S. (2019). The
age of surveillance capitalism: The fight for a human future at the new
frontier of power. PublicAffairs.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar