Selasa, 17 Desember 2024

Empat Aliran Filsafat Utama

Empat Aliran Filsafat Utama

Stoisisme, Epikureanisme, Skeptisisme, dan Neoplatonisme


Alihkan ke: Fisafat Helenistik, Aliran-Aliran dalam Filsafat.

Stoisisme, Epikureanisme, Skeptisisme, dan Neoplatonisme.


Abstrak

Artikel "Empat Aliran Filsafat Utama" membahas empat aliran filsafat yang berpengaruh dalam sejarah pemikiran, yaitu Stoisisme, Epikureanisme, Skeptisisme, dan Neoplatonisme. Stoisisme menekankan kebajikan dan hidup selaras dengan alam; Epikureanisme berfokus pada pencapaian kebahagiaan melalui kenikmatan sederhana; Skeptisisme meragukan klaim pengetahuan absolut; dan Neoplatonisme mengajarkan realitas tertinggi sebagai sumber segala sesuatu. Keempat aliran ini telah mempengaruhi pemikiran etis, epistemologis, dan metafisik dalam tradisi intelektual Barat dan Timur, serta pemikiran modern.

Kata kunci: Stoisisme, Epikureanisme, Skeptisisme, Neoplatonisme, filsafat, etika, epistemologi, metafisika.


PEMBAHASAN

Empat Aliran Filsafat Utama


1.           Pendahuluan

Filsafat, sebagai upaya manusia untuk memahami hakikat realitas, pengetahuan, dan kebahagiaan, telah memainkan peran penting dalam perkembangan pemikiran manusia sejak zaman kuno. Berbagai aliran filsafat muncul sebagai respons terhadap tantangan intelektual dan etis pada zamannya. Di antara aliran-aliran filsafat yang paling berpengaruh dalam sejarah pemikiran adalah Stoisisme, Epikureanisme, Skeptisisme, dan Neoplatonisme. Keempat aliran ini lahir dari tradisi filsafat Yunani-Romawi yang mendominasi periode Hellenistik dan awal era Kekaisaran Romawi, suatu periode ketika manusia mulai mencari jawaban tentang bagaimana hidup yang baik dan bagaimana memahami realitas tertinggi.

Stoisisme menekankan pentingnya kebajikan, ketabahan, dan penerimaan terhadap hukum alam. Dalam filsafat ini, kebahagiaan dicapai dengan hidup selaras dengan logos (rasionalitas universal) dan menjaga apatheia atau kebebasan dari emosi yang merusak1. Sementara itu, Epikureanisme memfokuskan kebahagiaan pada ketenangan batin (ataraxia) dan kebebasan dari rasa sakit (aponia), melalui kehidupan yang sederhana dan bijaksana. Kedua aliran ini, meskipun berbeda dalam pendekatan, menawarkan solusi terhadap krisis moral yang dihadapi masyarakat pada masa itu2.

Berbeda dengan dua aliran sebelumnya, Skeptisisme menawarkan pendekatan radikal dengan meragukan segala klaim kebenaran. Diperkenalkan oleh Pyrrho dari Elis, Skeptisisme menekankan epoché (penangguhan penilaian) sebagai jalan untuk mencapai kedamaian batin. Bagi para skeptis, klaim pengetahuan absolut adalah mustahil, dan dengan hidup dalam ketidaktahuan, manusia dapat mencapai kebebasan dari kecemasan3.

Di sisi lain, Neoplatonisme muncul sebagai aliran yang berakar kuat pada pemikiran Plato. Dikembangkan oleh Plotinus pada abad ke-3 Masehi, aliran ini berfokus pada metafisika spiritual, di mana realitas tertinggi adalah The One (Sang Satu) yang merupakan sumber dari segala sesuatu. Melalui proses emanasi, jiwa manusia diharapkan dapat kembali kepada The One melalui kontemplasi dan pemurnian spiritual4.

Keempat aliran ini tidak hanya memengaruhi filsafat klasik tetapi juga membentuk kerangka pemikiran etis, epistemologis, dan metafisik dalam tradisi intelektual Barat, Timur, serta pemikiran modern. Pengaruhnya terlihat jelas dalam perkembangan agama-agama besar seperti Kristen dan Islam, serta dalam pemikiran ilmiah modern yang menekankan keraguan sistematis sebagai metode pencarian kebenaran. Dengan memahami keempat aliran filsafat ini, kita dapat merefleksikan nilai-nilai kebijaksanaan kuno yang tetap relevan dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan kontemporer.


Catatan Kaki

[1]                Zeno dari Citium, Fragments of Stoic Philosophy, terjemahan oleh J.M. Rist (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), hlm. 23-26.

[2]                Epikuros, Letter to Menoeceus dalam The Epicurus Reader, terjemahan oleh Brad Inwood dan L.P. Gerson (Indianapolis: Hackett Publishing, 1994), hlm. 29-34.

[3]                Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism, terjemahan oleh R.G. Bury (Cambridge: Harvard University Press, 1933), hlm. 15-20.

[4]                Plotinus, Enneads, terjemahan oleh A.H. Armstrong (Cambridge: Harvard University Press, 1966), hlm. 38-45.


2.           Aliran 1: Stoisisme

2.2.       Asal-Usul dan Sejarah

Stoisisme lahir di Yunani sekitar abad ke-3 SM, ketika Zeno dari Citium (334–262 SM) mendirikan sekolah filsafat di Stoa Poikile (serambi berpilar) di Athena. Zeno, yang awalnya dipengaruhi oleh ajaran Sokrates dan Cynicism, merumuskan filsafat Stoisisme sebagai sistem etika praktis yang bertujuan mencapai kebahagiaan melalui kebajikan dan hidup selaras dengan alam1.

Seiring waktu, Stoisisme berkembang dan menyebar ke dunia Romawi, di mana filsafat ini mencapai puncaknya berkat tokoh-tokoh seperti Seneca, seorang negarawan dan penulis; Epictetus, seorang budak yang menjadi filsuf terkemuka; dan Marcus Aurelius, seorang kaisar yang dikenal melalui karya meditasinya. Di era ini, Stoisisme bertransformasi menjadi filosofi moral praktis yang memengaruhi kehidupan individu dan kebijakan negara2.

2.3.       Konsep Utama

Stoisisme menekankan bahwa kebahagiaan (eudaimonia) dapat dicapai dengan hidup selaras dengan logos, yaitu rasionalitas universal yang mengatur alam semesta. Inti dari ajaran ini terletak pada tiga pilar utama:

2.3.1.    Hidup Sesuai dengan Alam

Stoisisme percaya bahwa alam memiliki keteraturan yang rasional. Manusia, sebagai bagian dari alam, harus hidup selaras dengan logos untuk mencapai kebajikan dan ketenangan batin3.

2.3.2.    Apatheia (Ketidakbergantungan Emosi)

Menurut kaum Stoik, emosi negatif seperti marah, sedih, dan ketakutan muncul dari penilaian yang salah terhadap realitas. Dengan memahami apa yang berada dalam kendali kita dan apa yang tidak, seseorang dapat mencapai apatheia, yaitu kebebasan dari emosi yang destruktif. Epictetus menyatakan:

“Kita tidak dapat mengendalikan peristiwa eksternal, tetapi kita dapat mengendalikan sikap kita terhadapnya”4.

2.3.3.    Kebajikan sebagai Satu-Satunya Kebaikan

Stoisisme menekankan bahwa kebajikan (virtue) adalah satu-satunya kebaikan sejati, sementara kekayaan, status, dan kesehatan dianggap sebagai “indiferens” yang netral. Kebajikan ini meliputi kebijaksanaan, keberanian, pengendalian diri, dan keadilan5.

2.4.       Tokoh-Tokoh Penting

·                     Zeno dari Citium:

Pendiri Stoisisme, ia menekankan pentingnya hidup selaras dengan logos dan menolak kekayaan materi sebagai sumber kebahagiaan.

·                     Seneca:

Melalui karyanya seperti Letters to Lucilius, Seneca mengajarkan Stoisisme sebagai pedoman hidup praktis yang mengutamakan ketenangan batin dan kebijaksanaan dalam menghadapi kesulitan hidup6.

·                     Epictetus:

Ajaran Epictetus, yang dicatat oleh muridnya Arrian dalam Enchiridion, menekankan kebebasan individu melalui pengendalian diri dan pemisahan antara hal-hal yang dapat kita kendalikan dan yang tidak7.

·                     Marcus Aurelius:

Dalam karyanya Meditations, Marcus Aurelius mempraktikkan Stoisisme sebagai pedoman untuk kepemimpinan yang adil dan kehidupan yang penuh kebajikan di tengah kesulitan sebagai seorang kaisar8.

2.5.       Pengaruh dalam Pemikiran Modern

Stoisisme tidak hanya memengaruhi pemikiran klasik tetapi juga memiliki relevansi kuat di era modern. Filsafat ini menginspirasi metode terapi modern seperti Cognitive Behavioral Therapy (CBT) yang menekankan pengendalian pikiran dan emosi negatif9. Konsep Stoik tentang penerimaan terhadap realitas dan fokus pada hal-hal yang dapat dikendalikan telah diaplikasikan dalam pengembangan pribadi, mindfulness, dan filosofi kepemimpinan. Tokoh-tokoh modern seperti Ryan Holiday dan William B. Irvine telah merevitalisasi Stoisisme sebagai panduan praktis untuk menghadapi tantangan hidup sehari-hari.


Catatan Kaki

[1]                Zeno dari Citium, Fragments of Stoic Philosophy, ed. J.M. Rist (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), hlm. 17-20.

[2]                Long, A.A., Hellenistic Philosophy: Stoics, Epicureans, Sceptics (Berkeley: University of California Press, 1986), hlm. 105-110.

[3]                Hadot, Pierre, The Inner Citadel: The Meditations of Marcus Aurelius, terj. Michael Chase (Cambridge: Harvard University Press, 1998), hlm. 31-35.

[4]                Epictetus, The Enchiridion, terjemahan W.A. Oldfather (Indianapolis: Hackett Publishing, 1995), hlm. 12.

[5]                Becker, Lawrence, A New Stoicism (Princeton: Princeton University Press, 1998), hlm. 45-49.

[6]                Seneca, Letters from a Stoic, terj. Robin Campbell (London: Penguin Classics, 1969), hlm. 54-58.

[7]                Arrian, The Discourses of Epictetus, terj. George Long (London: Macmillan, 1895), hlm. 20-23.

[8]                Marcus Aurelius, Meditations, terjemahan Gregory Hays (New York: Modern Library, 2002), hlm. 15-17.

[9]                Robertson, Donald, The Philosophy of Cognitive-Behavioral Therapy: Stoic Philosophy as Rational and Cognitive Psychotherapy (London: Karnac Books, 2010), hlm. 65-70.


3.           Aliran 2: Epikureanisme

3.2.       Asal-Usul dan Sejarah

Epikureanisme merupakan aliran filsafat yang didirikan oleh Epikuros (341–270 SM) pada abad ke-4 SM. Sekolah ini dikenal sebagai The Garden (Taman) karena Epikuros mendirikan komunitas filosofisnya di taman pribadi di luar Athena. Tidak seperti akademi Plato atau stoa milik Zeno, The Garden bersifat inklusif dan menerima semua kalangan, termasuk perempuan dan budak1.

Epikureanisme berkembang sebagai respons terhadap keresahan manusia dalam menghadapi kehidupan yang penuh ketidakpastian, baik dari segi moral maupun metafisika. Epikuros menekankan bahwa filsafat harus memberikan kebahagiaan praktis dan menghilangkan rasa takut, khususnya terhadap kematian dan intervensi para dewa2.

Setelah kematian Epikuros, filsafatnya diteruskan oleh murid-muridnya dan diabadikan dalam puisi filosofis terkenal karya Lucretius, De Rerum Natura (Hakikat Alam Semesta). Karya ini menjadi jembatan utama yang membawa pemikiran Epikureanisme ke dunia Romawi3.

3.3.       Konsep Utama

Epikureanisme memfokuskan pada pencarian kebahagiaan melalui prinsip-prinsip rasional dan kehidupan yang sederhana. Ajaran ini mencakup beberapa konsep utama:

3.3.1.    Ataraxia (Ketenangan Batin)

Kebahagiaan sejati diperoleh melalui ataraxia, yaitu kebebasan dari kecemasan dan ketenangan batin. Epikuros menegaskan bahwa ketakutan terhadap para dewa dan kematian adalah hambatan utama bagi kebahagiaan manusia. Ia menyatakan:

"Kematian bukanlah apa-apa bagi kita, sebab selama kita hidup, kematian tidak ada; dan ketika kematian datang, kita sudah tidak ada lagi."_4

3.3.2.    Aponia (Bebas dari Rasa Sakit)

Kebahagiaan juga dicapai dengan aponia, kebebasan dari penderitaan fisik dan mental. Epikuros menganjurkan gaya hidup sederhana, menghindari keinginan berlebihan, dan menikmati kesenangan dalam bentuk yang moderat5.

3.3.3.    Hedonisme Rasional

Meskipun Epikureanisme dikenal sebagai ajaran “hedonis,” Epikuros membedakan antara kesenangan jangka pendek yang merugikan dan kesenangan yang bijaksana. Kesenangan tertinggi adalah ketenangan batin yang dicapai dengan memenuhi kebutuhan dasar dan menghindari nafsu yang berlebihan6.

3.3.4.    Pandangan Tentang Alam dan Dewa

Epikuros mengadopsi pandangan materialisme Demokritos, di mana alam semesta terdiri dari atom-atom yang bergerak dalam ruang hampa. Dewa-dewa, menurut Epikuros, memang ada tetapi tidak campur tangan dalam kehidupan manusia, sehingga manusia tidak perlu takut terhadap murka ilahi7.

3.4.       Tokoh-Tokoh Penting

·                     Epikuros:

Pendiri Epikureanisme, yang menekankan kebahagiaan sebagai tujuan utama kehidupan dan menganjurkan kehidupan sederhana serta rasional.

·                     Lucretius:

Filsuf Romawi yang menyebarkan ajaran Epikureanisme melalui karya De Rerum Natura. Lucretius menjelaskan atomisme dan menyanggah ketakutan akan kematian melalui pendekatan ilmiah8.

3.5.       Pengaruh dalam Pemikiran Modern

Epikureanisme memiliki pengaruh besar dalam sejarah pemikiran Barat, khususnya dalam menekankan kebahagiaan individu melalui kebebasan dari ketakutan dan penderitaan. Di era modern, filsafat ini memberikan dasar bagi pemikiran sekuler dan etika utilitarian. Pemikir seperti John Stuart Mill mengadaptasi konsep kebahagiaan Epikurean sebagai keseimbangan antara kesenangan dan penghindaran penderitaan9.

Selain itu, prinsip materialisme Epikuros menginspirasi perkembangan ilmu pengetahuan dan pendekatan ilmiah terhadap alam semesta. Pandangannya tentang kebebasan dari agama dogmatis memengaruhi gerakan Pencerahan di Eropa dan menjadi dasar bagi sekularisme modern10.


Catatan Kaki

[1]                Long, A.A., Hellenistic Philosophy: Stoics, Epicureans, Sceptics (Berkeley: University of California Press, 1986), hlm. 103-105.

[2]                Epikuros, Letter to Menoeceus dalam The Epicurus Reader, terjemahan Brad Inwood dan L.P. Gerson (Indianapolis: Hackett Publishing, 1994), hlm. 28-30.

[3]                Lucretius, De Rerum Natura, terjemahan Leonard C. (Cambridge: Harvard University Press, 1924), hlm. 15-20.

[4]                Epikuros, Principal Doctrines, terjemahan Cyril Bailey (Oxford: Oxford University Press, 1926), hlm. 12.

[5]                O'Keefe, Tim, Epicureanism (New York: Routledge, 2010), hlm. 45-50.

[6]                Sedley, David, Lucretius and the Transformation of Greek Wisdom (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), hlm. 89-93.

[7]                Warren, James, Facing Death: Epicurus and His Critics (Oxford: Oxford University Press, 2004), hlm. 60-65.

[8]                Lucretius, De Rerum Natura, hlm. 38-40.

[9]                Mill, John Stuart, Utilitarianism (London: Parker, Son, and Bourn, 1863), hlm. 10-15.

[10]             Stephen Greenblatt, The Swerve: How the World Became Modern (New York: W.W. Norton & Company, 2011), hlm. 110-115.


4.           Aliran 3: Skeptisisme

4.2.       Asal-Usul dan Sejarah

Skeptisisme sebagai aliran filsafat berkembang di Yunani Kuno sekitar abad ke-3 SM. Aliran ini dipelopori oleh Pyrrho dari Elis (360–270 SM), yang dianggap sebagai bapak Skeptisisme. Pyrrho, setelah berinteraksi dengan filsafat Timur selama perjalanannya bersama Aleksander Agung, mulai meragukan kemampuan manusia untuk mencapai kebenaran mutlak1.

Skeptisisme awal dikenal sebagai Pyrrhonisme, yang menekankan penangguhan penilaian (epoché) untuk mencapai kedamaian batin (ataraxia). Aliran ini kemudian dikembangkan oleh Sextus Empiricus (abad ke-2 M), seorang dokter dan filsuf Yunani, melalui karya-karyanya seperti Outlines of Pyrrhonism yang menjadi sumber utama pemahaman tentang Skeptisisme2.

Selain Pyrrhonisme, Skeptisisme juga berkembang dalam Akademi Platonis yang dipimpin oleh Arkesilaos (316–241 SM) dan Karneades (214–129 SM). Mereka menolak klaim pengetahuan yang pasti dan berargumentasi bahwa kebenaran absolut tidak dapat dicapai3.

4.3.       Konsep Utama

Skeptisisme berfokus pada keraguan terhadap klaim kebenaran dan penangguhan penilaian sebagai respons terhadap ketidakpastian dunia. Konsep utamanya meliputi:

4.3.1.    Epoché (Penangguhan Penilaian)

Skeptis percaya bahwa setiap argumen memiliki argumen tandingan yang sama kuatnya. Oleh karena itu, manusia harus menangguhkan penilaian (epoché) agar tidak terjebak dalam dogmatisme. Menurut Pyrrho:

“Kita tidak dapat memastikan apa pun, sehingga lebih baik menahan diri dari memberi penilaian.”_4

4.3.2.    Ataraxia (Ketenangan Batin)

Dengan menangguhkan penilaian, seseorang dapat mencapai ataraxia, yaitu keadaan bebas dari kecemasan. Sextus Empiricus menulis bahwa skeptis mencapai ketenangan karena tidak terjebak dalam pertarungan klaim kebenaran5.

4.3.3.    Penolakan Dogmatisme

Skeptisisme menolak semua bentuk dogmatisme, baik dalam filsafat maupun agama. Skeptis menantang klaim pengetahuan mutlak dari aliran-aliran seperti Stoisisme dan Epikureanisme, dengan menunjukkan bahwa indra manusia dan akal budi tidak dapat sepenuhnya diandalkan6.

4.3.4.    Kritik terhadap Pengetahuan

Sextus Empiricus membagi Skeptisisme dalam kritik terhadap tiga bidang pengetahuan: logika, fisika, dan etika. Logika dianggap tidak dapat memberikan metode pasti untuk mencapai kebenaran; fisika tidak dapat menjelaskan hakikat realitas; dan etika bergantung pada persepsi subjektif manusia7.

4.4.       Tokoh-Tokoh Penting

·                     Pyrrho dari Elis:

Pelopor Skeptisisme yang memperkenalkan konsep epoché sebagai cara mencapai kebahagiaan melalui penangguhan penilaian.

·                     Arkesilaos dan Karneades:

Pemimpin Akademi Platonis yang mengembangkan skeptisisme akademik dengan meragukan klaim pengetahuan yang bersifat mutlak8.

·                     Sextus Empiricus:

Filsuf Skeptisisme Pyrrhonis yang mendokumentasikan ajaran Skeptisisme dalam Outlines of Pyrrhonism dan memberikan argumen sistematis tentang keraguan9.

4.5.       Pengaruh dalam Pemikiran Modern

Skeptisisme memberikan fondasi bagi pemikiran kritis dan metode ilmiah modern. Pemikiran skeptis menginspirasi René Descartes dalam pencarian kebenaran melalui keraguan metodis (cogito ergo sum)10. Selain itu, Skeptisisme memengaruhi empirisisme modern melalui pemikir seperti David Hume, yang menolak klaim pengetahuan apriori dan menekankan pengalaman inderawi sebagai dasar pengetahuan11.

Dalam konteks kontemporer, Skeptisisme juga relevan dalam menilai klaim ilmu pengetahuan, agama, dan politik. Pendekatan skeptis mendorong pemikiran kritis, kerendahan hati intelektual, dan sikap non-dogmatis terhadap informasi yang beredar di era modern.


Catatan Kaki

[1]                Long, A.A., Hellenistic Philosophy: Stoics, Epicureans, Sceptics (Berkeley: University of California Press, 1986), hlm. 117-120.

[2]                Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism, terjemahan R.G. Bury (Cambridge: Harvard University Press, 1933), hlm. 10-15.

[3]                Brittain, Charles, Philo of Larissa: The Last of the Academic Sceptics (Oxford: Oxford University Press, 2001), hlm. 45-50.

[4]                Pyrrho dari Elis, Fragments and Testimonies, dalam J. Annas dan J. Barnes (ed.), The Modes of Scepticism (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), hlm. 23.

[5]                Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism, hlm. 30-35.

[6]                Hankinson, R.J., The Sceptics (London: Routledge, 1995), hlm. 75-80.

[7]                Bett, Richard, Sextus Empiricus: Against the Ethicists (Oxford: Clarendon Press, 1997), hlm. 55-60.

[8]                Striker, Gisela, Essays on Hellenistic Epistemology and Ethics (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), hlm. 103-107.

[9]                Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism, hlm. 40-45.

[10]             Descartes, René, Meditations on First Philosophy, terjemahan John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), hlm. 18-20.

[11]             Hume, David, An Enquiry Concerning Human Understanding (Oxford: Oxford University Press, 1999), hlm. 15-19.


5.           Aliran 4: Neoplatonisme

5.2.       Asal-Usul dan Sejarah

Neoplatonisme adalah aliran filsafat yang muncul pada abad ke-3 M sebagai pengembangan dari pemikiran Plato. Aliran ini dipelopori oleh Plotinus (204–270 M), seorang filsuf Yunani yang belajar di Alexandria dan kemudian mendirikan sekolah di Roma. Ajaran Plotinus dihimpun oleh muridnya, Porphyry, dalam enam karya utama yang dikenal sebagai Enneads1.

Neoplatonisme muncul sebagai respons terhadap krisis spiritual dan intelektual di dunia Romawi akhir. Filosofi ini menggabungkan elemen metafisika Plato dengan pengaruh Aristotelian, Stoisisme, dan tradisi mistisisme Timur. Plotinus menyusun sistem pemikiran yang berfokus pada realitas tertinggi, The One (Sang Satu), sebagai sumber dari segala keberadaan2.

Setelah Plotinus, pemikiran Neoplatonis dilanjutkan oleh tokoh-tokoh seperti Porphyry, Iamblichus, dan Proclus, serta memengaruhi perkembangan filsafat dalam tradisi Kristen, Islam, dan Yahudi di Abad Pertengahan3.

5.3.       Konsep Utama

Neoplatonisme berfokus pada hierarki realitas dan perjalanan spiritual jiwa manusia kembali kepada sumbernya. Konsep utamanya meliputi:

5.3.1.    The One (Sang Satu)

The One adalah realitas tertinggi yang absolut, tidak terbatas, dan transenden. The One adalah sumber dari segala sesuatu, namun tidak dapat dipahami secara langsung oleh akal manusia. Plotinus menggambarkan The One sebagai “kesempurnaan mutlak” yang melampaui keberadaan itu sendiri4.

5.3.2.    Emanasi

Plotinus mengajarkan bahwa segala sesuatu berasal dari The One melalui proses emanasi, di mana realitas mengalir keluar dari yang tertinggi menuju tingkat-tingkat yang lebih rendah. Emanasi ini melibatkan tiga tingkat utama5:

1)                  The One (Sang Satu): Sumber mutlak segala sesuatu.

2)                  Nous (Akal Universal): Representasi pikiran atau kesadaran yang memikirkan segala ide.

3)                  Psyche (Jiwa): Jiwa kosmis yang menghubungkan dunia materi dengan realitas spiritual.

5.3.3.    Kembalinya Jiwa

Jiwa manusia, yang terperangkap dalam dunia materi, memiliki tujuan untuk kembali kepada The One melalui kontemplasi dan pemurnian spiritual. Plotinus menekankan bahwa dengan meninggalkan keterikatan duniawi dan melalui penghayatan hidup yang bijaksana, jiwa dapat mencapai persatuan mistis dengan The One6.

5.3.4.    Penolakan terhadap Dunia Materi

Neoplatonisme memandang dunia materi sebagai tingkat realitas yang paling rendah, karena bersifat tidak sempurna dan jauh dari The One. Dunia ini hanyalah pantulan reduktif dari realitas yang lebih tinggi7.

5.4.       Tokoh-Tokoh Penting

·                     Plotinus: Pendiri Neoplatonisme, yang menyusun ajaran tentang emanasi dan hierarki realitas dalam Enneads.

·                     Porphyry: Murid Plotinus yang mengatur dan menyebarkan ajaran gurunya serta mengaitkan Neoplatonisme dengan agama.

·                     Iamblichus: Mengembangkan aspek teurgi (ritual mistik) dalam Neoplatonisme, memberikan dimensi religius yang lebih kuat.

·                     Proclus: Filsuf Neoplatonis terakhir yang menyusun sistem hierarki realitas yang lebih kompleks dan memengaruhi pemikiran abad pertengahan8.

5.5.       Pengaruh dalam Pemikiran Modern

Neoplatonisme memiliki pengaruh besar dalam berbagai tradisi intelektual dan spiritual di dunia:

1)                  Filsafat Kristen

Neoplatonisme memengaruhi teologi Kristen awal, terutama pemikiran Agustinus dari Hippo (354–430 M). Agustinus mengadaptasi konsep The One sebagai Tuhan dan mengaitkan hierarki realitas Plotinus dengan ajaran Kristen9.

2)                  Filsafat Islam

Pemikir Islam seperti Al-Farabi, Avicenna (Ibnu Sina), dan Suhrawardi memasukkan gagasan Neoplatonis tentang emanasi dan hierarki realitas dalam kosmologi Islam. Konsep ini juga memengaruhi mistisisme dalam tradisi Sufi10.

3)                  Renaisans

Pada masa Renaisans, Neoplatonisme dihidupkan kembali oleh tokoh seperti Marsilio Ficino, yang menerjemahkan karya-karya Plotinus dan mengintegrasikannya dengan humanisme Renaisans11.

4)                  Filsafat Kontemporer

Neoplatonisme tetap relevan dalam diskusi metafisika dan spiritualitas kontemporer, khususnya dalam filsafat idealisme dan fenomenologi.


Catatan Kaki

[1]                Plotinus, The Enneads, terjemahan Stephen MacKenna (New York: Larson Publications, 1991), hlm. 12-15.

[2]                Armstrong, A.H., Plotinus (Cambridge: Harvard University Press, 1966), hlm. 35-40.

[3]                Dillon, John, The Middle Platonists (Ithaca: Cornell University Press, 1996), hlm. 85-88.

[4]                Plotinus, The Enneads, hlm. 22-25.

[5]                Rist, John M., Plotinus: The Road to Reality (Cambridge: Cambridge University Press, 1967), hlm. 48-51.

[6]                Hadot, Pierre, Plotinus or the Simplicity of Vision, terjemahan Michael Chase (Chicago: University of Chicago Press, 1993), hlm. 60-65.

[7]                Wallis, R.T., Neoplatonism (London: Duckworth, 1972), hlm. 70-73.

[8]                Proclus, The Elements of Theology, terjemahan E.R. Dodds (Oxford: Clarendon Press, 1963), hlm. 10-12.

[9]                Augustine, Confessions, terjemahan Henry Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 1991), hlm. 85-90.

[10]             Nasr, Seyyed Hossein, Science and Civilization in Islam (Cambridge: Harvard University Press, 1968), hlm. 113-118.

[11]             Kristeller, Paul Oskar, Renaissance Thought and Its Sources (New York: Columbia University Press, 1979), hlm. 55-60.


6.           Perbandingan Keempat Aliran

Empat aliran filsafat utama dari tradisi Yunani-Romawi, yakni Stoisisme, Epikureanisme, Skeptisisme, dan Neoplatonisme, muncul sebagai respons terhadap krisis moral, intelektual, dan spiritual di era Hellenistik dan Kekaisaran Romawi. Meskipun berbeda dalam pendekatan dan fokus, keempat aliran ini memiliki tujuan serupa: mencapai kebahagiaan, ketenangan batin, dan pemahaman tentang realitas tertinggi. Bagian ini akan membandingkan konsep utama dari keempat aliran tersebut secara sistematis.

6.1.       Perbandingan Konsep Utama

6.2.1.    Tujuan Hidup

·                     Stoisisme: Hidup selaras dengan logos dan kebajikan. Kebahagiaan dicapai melalui apatheia (ketidakbergantungan emosi).1

·                     Epikureanisme: Ketenangan batin (ataraxia) dan bebas dari rasa sakit (aponia) melalui hidup sederhana.2

·                     Skeptisisme: Kedamaian batin (ataraxia) melalui epoché (penangguhan penilaian) terhadap semua klaim kebenaran.3

·                     Neoplatonisme: Penyatuan jiwa dengan The One melalui kontemplasi dan pemurnian spiritual.4

6.2.2.    Pandangan tentang Kebahagiaan

·                     Stoisisme: Kebahagiaan melalui pengendalian emosi, kebijaksanaan, dan penerimaan terhadap takdir.5

·                     Epikureanisme: Kebahagiaan diperoleh dengan kesenangan moderat, bebas dari ketakutan dan keinginan berlebih.6

·                     Skeptisisme: Kebahagiaan sebagai hasil dari menangguhkan penilaian dan menerima ketidaktahuan.7

·                     Neoplatonisme: Kebahagiaan sejati adalah kembalinya jiwa kepada sumber tertinggi, The One.8

6.2.3.    Pandangan terhadap Realitas

·                     Stoisisme: Alam bersifat rasional dan teratur sesuai logos (hukum alam universal).9

·                     Epikureanisme: Alam bersifat material dan terdiri dari atom-atom yang bergerak dalam ruang kosong.10

·                     Skeptisisme: Realitas tidak dapat diketahui secara pasti; kebenaran bersifat relatif.11

·                     Neoplatonisme: Realitas tertinggi adalah The One, yang emanasi membentuk hierarki realitas.12

6.2.4.    Pendekatan terhadap Tuhan

·                     Stoisisme: Tuhan adalah rasionalitas kosmis yang mengatur alam semesta.13

·                     Epikureanisme: Dewa-dewa ada, tetapi tidak campur tangan dalam kehidupan manusia.14

·                     Skeptisisme: Tidak mengambil posisi tentang keberadaan Tuhan (agnostisisme).15

·                     Neoplatonisme: Tuhan sebagai The One, sumber segala sesuatu yang transenden dan absolut.16

6.2.5.    Sikap terhadap Dunia Materi

·                     Stoisisme: Dunia materi adalah bagian dari hukum alam dan harus diterima dengan tabah.17

·                     Epikureanisme: Dunia materi adalah sumber kesenangan sederhana dan kebebasan dari penderitaan.18

·                     Skeptisisme: Dunia materi tidak dapat memberikan pengetahuan pasti dan harus diragukan.19

·                     Neoplatonisme: Dunia materi adalah refleksi tidak sempurna dari realitas spiritual.20

6.2.       Kesamaan dan Perbedaan Utama

1)                  Tujuan Hidup

Kesamaan: Semua aliran bertujuan mencapai kebahagiaan dan ketenangan batin, meskipun dengan pendekatan yang berbeda.

Perbedaan:

(*) Stoisisme menekankan kebajikan dan pengendalian emosi.

(*) Epikureanisme fokus pada kesenangan sederhana dan bebas dari rasa sakit.

(*) Skeptisisme mencapai kebahagiaan melalui keraguan dan penangguhan penilaian.

(*) Neoplatonisme mengarahkan tujuan hidup pada penyatuan spiritual dengan The One.

2)                  Pandangan terhadap Realitas

Kesamaan: Semua aliran menyadari adanya keterbatasan manusia dalam memahami realitas secara mutlak.

Perbedaan:

(*) Stoisisme mengakui rasionalitas alam.

(*) Epikureanisme memandang realitas sebagai atomisme material.

(*) Skeptisisme meragukan segala klaim kebenaran tentang realitas.

(*) Neoplatonisme melihat realitas sebagai emanasi dari The One.

3)                  Pendekatan terhadap Ketuhanan

Stoisisme dan Neoplatonisme memandang Tuhan sebagai entitas rasional dan tertinggi yang mengatur keberadaan.

Epikureanisme meyakini keberadaan dewa-dewa, namun menolak intervensi mereka dalam kehidupan manusia.

Skeptisisme bersikap agnostik dan tidak memihak dalam perdebatan teologis.

4)                  Pandangan terhadap Dunia Materi

Neoplatonisme memandang dunia materi sebagai inferior dan tidak sempurna.

Epikureanisme melihat dunia materi sebagai sumber kebahagiaan sederhana.

Stoisisme mengajarkan penerimaan terhadap dunia materi sebagai bagian dari logos.

Skeptisisme meragukan nilai epistemologis dari dunia materi.

6.3.       Signifikansi Pemikiran Keempat Aliran

Keempat aliran ini memberikan kontribusi signifikan terhadap perkembangan pemikiran filosofis dan spiritual. Stoisisme dan Epikureanisme berfokus pada kehidupan praktis dengan solusi etis untuk mencapai kebahagiaan individu. Sementara itu, Skeptisisme membangun fondasi kritis yang memengaruhi metode ilmiah modern. Neoplatonisme memberikan landasan metafisika yang mendalam, yang memengaruhi teologi Kristen, Islam, dan mistisisme.


Catatan Kaki

[1]                Long, A.A., Hellenistic Philosophy: Stoics, Epicureans, Sceptics (Berkeley: University of California Press, 1986), hlm. 105-110.

[2]                Epikuros, Letter to Menoeceus dalam The Epicurus Reader, terjemahan Brad Inwood dan L.P. Gerson (Indianapolis: Hackett Publishing, 1994), hlm. 28-30.

[3]                Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism, terjemahan R.G. Bury (Cambridge: Harvard University Press, 1933), hlm. 12-15.

[4]                Plotinus, The Enneads, terjemahan Stephen MacKenna (New York: Larson Publications, 1991), hlm. 22-25.

[5]                Seneca, Letters from a Stoic, terjemahan Robin Campbell (London: Penguin Classics, 1969), hlm. 54-58.

[6]                Lucretius, De Rerum Natura, terjemahan Leonard C. (Cambridge: Harvard University Press, 1924), hlm. 38-40.

[7]                Pyrrho dari Elis, Fragments and Testimonies, dalam J. Annas dan J. Barnes (ed.), The Modes of Scepticism (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), hlm. 23.

[8]                Armstrong, A.H., Plotinus (Cambridge: Harvard University Press, 1966), hlm. 35-40.

[9]                Rist, John M., Stoic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), hlm. 45-48.

[10]             Sedley, David, Epicurus and His Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1976), hlm. 52-55.

[11]             Hankinson, R.J., The Sceptics (London: Routledge, 1995), hlm. 75-80.

[12]             Wallis, R.T., Neoplatonism (London: Duckworth, 1972), hlm. 70-73.

[13]             Long, Hellenistic Philosophy, hlm. 108-110.

[14]             Epikuros, Principal Doctrines, hlm. 15-18.

[15]             Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism, hlm. 30-35.

[16]             Proclus, The Elements of Theology, terjemahan E.R. Dodds (Oxford: Clarendon Press, 1963), hlm. 10-12.

[17]             Becker, Lawrence, A New Stoicism (Princeton: Princeton University Press, 1998), hlm. 50-55.

[18]             O’Keefe, Tim, Epicureanism (New York: Routledge, 2010), hlm. 60-63.

[19]             Striker, Gisela, Essays on Hellenistic Epistemology and Ethics (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), hlm. 95-98.

[20]             Plotinus, The Enneads, hlm. 48-50.


7.           Penutup

Filsafat Hellenistik dan Romawi melalui empat aliran utamanya —Stoisisme, Epikureanisme, Skeptisisme, dan Neoplatonisme— menawarkan kontribusi signifikan dalam memahami kebahagiaan, realitas, dan etika hidup. Masing-masing aliran memberikan perspektif unik yang menjawab tantangan moral, intelektual, dan spiritual pada masa itu, yang ternyata masih relevan hingga hari ini.

Stoisisme, dengan ajarannya tentang hidup sesuai dengan rasionalitas alam dan prinsip apatheia (ketidakbergantungan emosi), memberikan solusi praktis bagi manusia untuk menghadapi berbagai kesulitan hidup. Dengan menekankan kebajikan sebagai kebaikan tertinggi, Stoisisme mengajarkan penerimaan terhadap takdir dan pengendalian diri sebagai kunci kebahagiaan1.

Di sisi lain, Epikureanisme menekankan ketenangan batin (ataraxia) dan kebebasan dari rasa sakit (aponia) melalui kesederhanaan hidup. Epikuros mengajarkan bahwa kebahagiaan dapat diraih dengan menyeimbangkan kesenangan rasional dan menjauhkan diri dari kecemasan, terutama yang berasal dari rasa takut terhadap kematian dan intervensi ilahi2.

Skeptisisme, melalui ajaran epoché (penangguhan penilaian) dan kritiknya terhadap klaim kebenaran mutlak, memberikan pendekatan kritis yang mendorong manusia untuk bersikap rendah hati dalam pengetahuan. Sextus Empiricus menegaskan bahwa keraguan, jika dipraktikkan dengan konsisten, dapat mengarahkan seseorang kepada kedamaian batin yang bebas dari konflik epistemologis3.

Sementara itu, Neoplatonisme membawa pemikiran ke tingkat metafisik yang lebih tinggi dengan menyatakan bahwa realitas tertinggi adalah The One (Sang Satu), sumber dari segala sesuatu. Plotinus menekankan perjalanan spiritual jiwa manusia yang terperangkap dalam dunia materi untuk kembali kepada The One melalui kontemplasi dan pemurnian4.

7.1.       Relevansi Kontemporer

Konsep-konsep yang ditawarkan oleh keempat aliran ini memiliki relevansi luar biasa dalam dunia modern yang dipenuhi oleh tantangan materialisme, ketidakpastian hidup, dan pencarian makna.

1)                  Stoisisme telah mengalami kebangkitan dalam praktik pengembangan pribadi dan manajemen stres modern. Pemikiran tokoh seperti Seneca dan Marcus Aurelius telah menginspirasi pendekatan seperti Cognitive Behavioral Therapy (CBT)5 serta strategi kepemimpinan yang berfokus pada ketahanan mental.

2)                  Epikureanisme mengajarkan pentingnya hidup sederhana dan rasional, menjauh dari hedonisme berlebihan. Dalam era konsumerisme, prinsip ini memberikan panduan praktis menuju keseimbangan hidup dan kebahagiaan sejati6.

3)                  Skeptisisme relevan dalam metode ilmiah modern dan pemikiran kritis. Dengan sikap skeptis yang sehat, manusia dapat menilai informasi dengan objektivitas di tengah era disinformasi dan polarisasi7.

4)                  Neoplatonisme menawarkan refleksi mendalam tentang spiritualitas dan hakikat keberadaan, yang membantu manusia menemukan kedamaian dalam pemahaman transendental tentang kehidupan. Pemikiran ini juga memengaruhi mistisisme dalam berbagai tradisi agama, termasuk Kristen, Islam, dan Yahudi8.

7.2.       Kesimpulan

Empat aliran filsafat ini, meskipun muncul dalam konteks zaman kuno, telah berhasil melampaui batas ruang dan waktu. Nilai-nilai seperti kebajikan, keseimbangan hidup, keraguan kritis, dan pemurnian spiritual menjadi warisan berharga yang dapat diterapkan dalam kehidupan modern. Dengan memahami pemikiran Stoisisme, Epikureanisme, Skeptisisme, dan Neoplatonisme, manusia dapat menemukan landasan untuk mencapai kebahagiaan, ketenangan batin, serta pemahaman yang lebih dalam tentang realitas tertinggi.

Dalam dunia yang semakin kompleks, ajaran dari keempat aliran ini mengingatkan kita bahwa kebahagiaan sejati tidak terletak pada materi, dogma, atau ambisi berlebih, melainkan pada harmoni dengan diri sendiri, alam, dan prinsip-prinsip yang lebih tinggi. Seperti yang diajarkan Plotinus:

“Tidak ada yang lebih penting daripada kembali kepada sumber kita, sebab di sanalah segala sesuatu dimulai.”9


Catatan Kaki

[1]                Long, A.A., Hellenistic Philosophy: Stoics, Epicureans, Sceptics (Berkeley: University of California Press, 1986), hlm. 105-110.

[2]                Epikuros, Letter to Menoeceus dalam The Epicurus Reader, terjemahan Brad Inwood dan L.P. Gerson (Indianapolis: Hackett Publishing, 1994), hlm. 28-30.

[3]                Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism, terjemahan R.G. Bury (Cambridge: Harvard University Press, 1933), hlm. 40-45.

[4]                Plotinus, The Enneads, terjemahan Stephen MacKenna (New York: Larson Publications, 1991), hlm. 22-25.

[5]                Robertson, Donald, Stoicism and the Art of Happiness (London: Hodder & Stoughton, 2013), hlm. 50-55.

[6]                O’Keefe, Tim, Epicureanism (New York: Routledge, 2010), hlm. 45-50.

[7]                Hankinson, R.J., The Sceptics (London: Routledge, 1995), hlm. 75-80.

[8]                Armstrong, A.H., Plotinus (Cambridge: Harvard University Press, 1966), hlm. 60-65.

[9]                Plotinus, The Enneads, hlm. 85.


Daftar Pustaka

Armstrong, A. H. (1966). Plotinus. Cambridge: Harvard University Press.

Becker, L. (1998). A new Stoicism. Princeton: Princeton University Press.

Brittain, C. (2001). Philo of Larissa: The last of the academic sceptics. Oxford: Oxford University Press.

Descartes, R. (1996). Meditations on first philosophy (J. Cottingham, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.

Dillon, J. (1996). The middle Platonists. Ithaca: Cornell University Press.

Epictetus. (1995). The Enchiridion (W. A. Oldfather, Trans.). Indianapolis: Hackett Publishing.

Epikuros. (1994). Letter to Menoeceus. In B. Inwood & L. P. Gerson (Eds.), The Epicurus Reader. Indianapolis: Hackett Publishing.

Hadot, P. (1993). Plotinus or the simplicity of vision (M. Chase, Trans.). Chicago: University of Chicago Press.

Hankinson, R. J. (1995). The sceptics. London: Routledge.

Kristeller, P. O. (1979). Renaissance thought and its sources. New York: Columbia University Press.

Long, A. A. (1986). Hellenistic philosophy: Stoics, Epicureans, sceptics. Berkeley: University of California Press.

Lucretius. (1924). De rerum natura (L. Leonard, Trans.). Cambridge: Harvard University Press.

Mill, J. S. (1863). Utilitarianism. London: Parker, Son, and Bourn.

Nasr, S. H. (1968). Science and civilization in Islam. Cambridge: Harvard University Press.

O'Keefe, T. (2010). Epicureanism. New York: Routledge.

Plotinus. (1991). The Enneads (S. MacKenna, Trans.). New York: Larson Publications.

Proclus. (1963). The elements of theology (E. R. Dodds, Trans.). Oxford: Clarendon Press.

Robertson, D. (2013). Stoicism and the art of happiness. London: Hodder & Stoughton.

Rist, J. M. (1967). Plotinus: The road to reality. Cambridge: Cambridge University Press.

Rist, J. M. (1969). Stoic philosophy. Cambridge: Cambridge University Press.

Sedley, D. (1976). Epicurus and his philosophy. Cambridge: Cambridge University Press.

Sextus Empiricus. (1933). Outlines of Pyrrhonism (R. G. Bury, Trans.). Cambridge: Harvard University Press.

Stephen, G. (2011). The swerve: How the world became modern. New York: W. W. Norton & Company.

Striker, G. (1996). Essays on Hellenistic epistemology and ethics. Cambridge: Cambridge University Press.

Wallis, R. T. (1972). Neoplatonism. London: Duckworth.

Warren, J. (2004). Facing death: Epicurus and his critics. Oxford: Oxford University Press.


Lampiran: Kutipan Puisi Filosofis dari Karya Lucretius - De Rerum Natura

Judul: De Rerum Natura (Hakikat Alam Semesta)

Penulis: Titus Lucretius Carus (99–55 SM)


1)           Bahasa Latin (Teks Asli)

Nil igitur mors est ad nos neque pertinet hilum, 

quandoquidem natura animi mortalis habetur. 

et velut anteacto nil tempore sensimus aegri, 

ad confligendum venientibus undique Poenis, 

omnia cum belli trepido concussa tumultu 

horrida contremuere sub altis aetheris oris, 

in dubioque fuere utrorum ad regna cadendum 

omnibus humanis esset terraque marique, 

sic, ubi non erimus, cum corporis atque animai 

discidium fuerit, quibus e sumus uniter apti, 

scilicet haud nobis quicquam, qui non erimus tum, 

accidere omnino poterit sensumque moveri, 

non si terra mari miscebitur et mare caelo. 

2)           Terjemahan Bahasa Indonesia

"Jadi kematian sama sekali bukan apa-apa bagi kita,

karena sifat jiwa adalah fana.

Seperti sebelum kita lahir, kita tak merasakan penderitaan apa pun,

meskipun ancaman peperangan datang dari segala penjuru,

ketika seluruh dunia terguncang oleh kekacauan perang,

dan gemetar di bawah langit yang luas.

Kita tidak merasakan apa-apa saat itu,

seperti saat kita mati nanti: ketika tubuh dan jiwa terpisah,

dua elemen yang membentuk kita dalam kesatuan ini.

Karena itu, saat kita sudah tiada, tidak ada sesuatu pun yang akan menimpa kita,

sebab kita tidak lagi ada untuk merasakan apa pun,

bahkan jika bumi menyatu dengan laut dan laut dengan langit."

3)           Penjelasan Maksud Puisi

Puisi ini mencerminkan inti pemikiran Epikureanisme tentang kematian dan ketenangan batin (ataraxia). Lucretius menyampaikan gagasan bahwa kematian bukanlah sesuatu yang harus ditakuti karena ketika seseorang mati, ia tidak akan lagi memiliki kesadaran atau perasaan untuk merasakan penderitaan atau kekhawatiran apa pun.

Poin-poin Utama:

1)                  Kematian sebagai Ketiadaan Kesadaran:

Lucretius menjelaskan bahwa kematian adalah kondisi di mana jiwa (yang bersifat material dan fana) dan tubuh terpisah. Dengan demikian, tidak ada kesadaran yang tersisa, mirip dengan keadaan kita sebelum lahir.

2)                  Menghilangkan Ketakutan terhadap Kematian:

Banyak orang merasa takut akan kematian karena mereka membayangkan penderitaan atau pengalaman negatif di alam baka. Namun, menurut filsafat Epikurean, ketakutan ini tidak berdasar karena setelah mati, kita tidak memiliki perasaan untuk menderita atau menyadari apa pun.

3)                  Analogi Kondisi Sebelum Lahir:

Lucretius membandingkan kematian dengan keadaan sebelum kita dilahirkan. Pada masa itu, kita tidak ada dan tidak merasakan penderitaan. Demikian pula, saat kita mati, kita kembali ke ketiadaan, sehingga ketakutan terhadap kematian adalah tidak rasional.

4)                  Penerimaan terhadap Alam:

Puisi ini juga mencerminkan pandangan materialisme Epikurean bahwa alam semesta berjalan sesuai hukum-hukum alam tanpa campur tangan ilahi. Kematian hanyalah bagian dari siklus alam semesta.


Kesimpulan

Puisi ini mengajak manusia untuk menjalani hidup dengan lebih tenang, bebas dari ketakutan yang tidak rasional akan kematian. Dengan menyadari bahwa kematian hanyalah ketiadaan kesadaran, seseorang dapat fokus pada hidup di masa sekarang dan menikmati kebahagiaan sederhana yang ditawarkan oleh kehidupan, sebagaimana ditekankan dalam ajaran Epikureanisme.

Pemikiran Lucretius dalam De Rerum Natura masih relevan hingga hari ini, terutama dalam memberikan perspektif filosofis untuk mengatasi kecemasan eksistensial yang sering dirasakan manusia modern.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar