Kajian Filsafat: Pancasila sebagai Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia
1.
Pendahuluan
Pancasila merupakan dasar negara Republik Indonesia
yang mengandung nilai-nilai filosofis, ideologis, dan historis yang penting
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai hasil perenungan mendalam para
pendiri bangsa, Pancasila bukan hanya sekadar pedoman formalitas kenegaraan,
tetapi juga jiwa dan kepribadian bangsa yang merefleksikan kebhinnekaan
Indonesia. Di tengah berbagai tantangan globalisasi dan perubahan zaman, kajian
filosofis mengenai Pancasila menjadi sangat penting untuk memastikan bahwa
nilai-nilainya tetap relevan dalam menjawab kebutuhan masyarakat dan menjaga
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pada awal perumusan Pancasila, Indonesia menghadapi
tantangan berat untuk menyatukan wilayah dan masyarakat yang sangat majemuk.
Sebagai sebuah konsep, Pancasila tidak hanya menjadi dasar konstitusional
negara, tetapi juga menjadi panduan moral yang membangun harmoni di tengah
perbedaan suku, agama, dan budaya. Para pendiri bangsa, seperti Soekarno dan
Mohammad Hatta, menyadari pentingnya sebuah dasar negara yang mampu
mengakomodasi pluralitas masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, Pancasila
dirumuskan dengan prinsip-prinsip universal yang dapat diterima oleh seluruh
rakyat Indonesia, tanpa mengabaikan kekhasan nilai-nilai lokal dan budaya yang
telah ada sebelumnya.[1]
Dalam perspektif filsafat, Pancasila memiliki arti
yang mendalam karena ia menghubungkan dimensi metafisik (hubungan manusia
dengan Tuhan), etika (hubungan manusia dengan sesama), dan estetika (harmoni
kehidupan sosial).[2] Dengan demikian, Pancasila bukan hanya sekadar
kumpulan sila, tetapi juga cerminan dari inti nilai-nilai kehidupan yang luhur
dan berakar pada tradisi bangsa Indonesia. Kajian ini bertujuan untuk mendalami
Pancasila sebagai dasar negara dengan pendekatan filosofis, menganalisis
nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, serta mengevaluasi relevansinya dalam
menghadapi tantangan kontemporer.
Kajian tentang Pancasila sebagai dasar negara
menjadi semakin relevan di tengah ancaman ideologi transnasional, fragmentasi
sosial, dan disintegrasi nilai-nilai kebangsaan. Dengan mendalami Pancasila,
kita dapat memahami kembali esensinya sebagai fondasi yang menyatukan bangsa
Indonesia. Artikel ini diharapkan dapat memberikan kontribusi ilmiah dan
pemahaman komprehensif mengenai Pancasila dari perspektif filsafat sebagai
dasar negara NKRI.
Catatan Kaki
[1]
Soekarno, Lahirnya Pancasila, dalam Pidato di Depan BPUPKI 1
Juni 1945 (Jakarta: Balai Pustaka, 1945), hlm. 10.
[2]
Notonagoro, Pancasila Secara Ilmiah dan Populer (Jakarta:
Pantjuran Tujuh, 1967), hlm. 23.
2.
Konsep
Dasar Filsafat dan Negara
Dalam konteks filsafat, dasar negara adalah
landasan fundamental yang memberikan arah bagi keberadaan, struktur, dan tujuan
sebuah negara. Filsafat sebagai ilmu yang bersifat reflektif dan kritis
membantu membedah konsep dasar negara tidak hanya dari segi legalistik, tetapi
juga nilai-nilai moral, etis, dan metafisik yang menjadi inti dari
keberlangsungan sebuah masyarakat politik. Dalam hal ini, dasar negara
berfungsi sebagai pedoman nilai dan ideologi yang mengikat seluruh warga negara
dalam suatu tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.[3]
Secara filosofis, dasar negara merujuk pada nilai-nilai
ontologis yang mencerminkan hakikat manusia dan masyarakat. Negara tidak hanya
dipandang sebagai entitas politik, tetapi juga sebagai manifestasi nilai-nilai
yang mendukung kehidupan bersama yang harmonis. Plato dalam The Republic
mengemukakan bahwa keadilan adalah prinsip utama yang harus menopang kehidupan
negara.[4] Hal ini sejalan dengan pemikiran Aristoteles yang
memandang negara sebagai komunitas tertinggi yang bertujuan mencapai kebaikan
bersama (common good).[5] Dalam konteks Indonesia, Pancasila
mengintegrasikan nilai-nilai universal tersebut dengan kearifan lokal untuk
menciptakan dasar negara yang sesuai dengan karakteristik bangsa.
Dasar negara juga bersifat teleologis, yakni
mengarahkan negara kepada tujuan yang ingin dicapai. Dalam pandangan filsafatpolitik modern, John Locke dan Montesquieu mengemukakan bahwa negara harus
menjamin hak-hak dasar warga negara, seperti kebebasan dan keadilan.[6]
Prinsip ini tercermin dalam Pancasila yang tidak hanya mengedepankan keadilan
sosial (Sila Kelima), tetapi juga menegaskan perlunya demokrasi yang berbasis
musyawarah (Sila Keempat). Dengan demikian, Pancasila mengakomodasi nilai-nilai
modern dalam filsafat politik, sambil tetap mengutamakan identitas dan
kepribadian bangsa Indonesia.
Selain itu, dasar negara tidak terlepas dari aspek
ideologis. Ideologi adalah sistem gagasan yang memberikan arah dan justifikasi
atas tindakan negara. Louis Althusser memandang ideologi sebagai instrumen yang
memungkinkan negara berfungsi secara efektif dalam mengorganisasi masyarakat.[7]
Dalam konteks ini, Pancasila bukan hanya sekadar panduan teoretis, tetapi juga
menjadi ideologi negara yang hidup dan diimplementasikan dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat Indonesia.
Pancasila, dengan lima silanya, mengintegrasikan
nilai-nilai religius, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial.
Nilai-nilai ini tidak hanya memiliki landasan historis, tetapi juga filsafat
yang mendalam. Sebagai dasar negara, Pancasila menjadi cerminan dari upaya
bangsa Indonesia untuk menjadikan negara sebagai instrumen yang mendukung
kehidupan yang bermartabat bagi seluruh warganya.
Catatan Kaki
[3]
Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Modern (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm. 15.
[4]
Plato, The Republic, diterjemahkan oleh Desmond Lee (London:
Penguin Classics, 2007), hlm. 45.
[5]
Aristotle, Politics, diterjemahkan oleh C.D.C. Reeve
(Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1998), hlm. 17.
[6]
John Locke, Second Treatise of Government, diterjemahkan oleh
C.B. Macpherson (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1980), hlm. 8.
[7]
Louis Althusser, Ideology and Ideological State Apparatuses,
dalam Lenin and Philosophy and Other Essays (New York: Monthly Review Press,
1971), hlm. 123.
3.
Sejarah
dan Latar Belakang Pancasila
Pancasila sebagai
dasar negara Republik Indonesia memiliki akar historis yang mendalam dan
kontekstual. Proses perumusannya tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan
melalui diskusi panjang yang melibatkan berbagai pandangan dan kepentingan dari tokoh-tokoh bangsa. Momentum
sejarah ini mencerminkan usaha kolektif para pendiri negara dalam menggali
nilai-nilai yang mampu menyatukan bangsa Indonesia yang majemuk.
3.1.
Proses Perumusan Pancasila
Proses perumusan
Pancasila dimulai pada sidang pertama Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 29 Mei hingga 1 Juni 1945. Dalam sidang
ini, para anggota membahas dasar negara yang akan menjadi fondasi Republik Indonesia.
Salah satu momen penting adalah pidato Ir. Soekarno pada 1 Juni 1945, yang
dikenal sebagai lahirnya konsep Pancasila. Dalam pidatonya, Soekarno mengusulkan lima sila: Kebangsaan Indonesia,
Internasionalisme atau Perikemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan
Sosial, dan Ketuhanan yang Berkebudayaan.[8]
Selain Soekarno,
tokoh-tokoh seperti Mohammad Yamin dan Dr. Soepomo juga memberikan kontribusi
penting. Mohammad Yamin, dalam pidatonya pada 29 Mei 1945, mengemukakan lima
asas dasar negara yang meliputi peri kebangsaan, peri kemanusiaan, peri
ketuhanan, peri kerakyatan, dan kesejahteraan rakyat.[9] Sementara
itu, Dr. Soepomo menekankan konsep negara integralistik yang menempatkan negara sebagai representasi dari kehendak
rakyat secara kolektif.[10] Perdebatan ini menunjukkan bahwa
Pancasila merupakan hasil kompromi antara berbagai ideologi, nilai budaya, dan
tradisi bangsa Indonesia.
3.2.
Akar Historis Pancasila
Secara historis,
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila tidak sepenuhnya baru. Mereka berakar
pada budaya dan kehidupan masyarakat Indonesia yang telah ada jauh sebelum
penjajahan. Tradisi gotong royong, musyawarah, dan kearifan lokal lainnya
menjadi landasan awal yang kemudian dirumuskan menjadi sila-sila dalam
Pancasila. Nilai-nilai ini mencerminkan kepribadian bangsa yang toleran,
religius, dan mengedepankan harmoni sosial.[11]
Selain itu, latar
belakang Pancasila juga dipengaruhi oleh perkembangan ideologi modern pada awal
abad ke-20, seperti nasionalisme, sosialisme, dan demokrasi. Pergerakan
kebangsaan Indonesia, termasuk
organisasi seperti Budi Utomo, Sarekat Islam, dan Muhammadiyah, turut
memperkaya wawasan para pendiri bangsa dalam merumuskan dasar negara.[12]
Pancasila pada akhirnya berhasil mengintegrasikan nilai-nilai lokal dan modern,
menjadikannya sebagai dasar negara yang unik dan kontekstual.
3.3.
Pancasila sebagai Solusi Kebhinnekaan
Konteks historis
Indonesia yang majemuk, baik dari segi agama, suku, maupun budaya, menjadikan
Pancasila sebagai pilihan yang ideal untuk menyatukan bangsa. Dalam sidang
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945, Pancasila
resmi disahkan sebagai dasar negara setelah melalui kompromi penting, termasuk
perubahan sila pertama dari "Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" menjadi "Ketuhanan Yang
Maha Esa."[13] Perubahan ini mencerminkan semangat
inklusivitas dan persatuan di tengah perbedaan.
Catatan Kaki
[8]
Soekarno, Lahirnya Pancasila, dalam Pidato
di Depan BPUPKI 1 Juni 1945 (Jakarta: Balai Pustaka, 1945), hlm.
12.
[9]
Mohammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945
(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1971), hlm. 45.
[10]
Dr. Soepomo, Pidato
dalam Sidang BPUPKI, 31 Mei 1945, dalam Risalah Sidang BPUPKI-PPKI
(Jakarta: Sekretariat Negara, 1995), hlm. 95.
[11]
Notonagoro, Pancasila Secara Ilmiah dan Populer
(Jakarta: Pantjuran Tujuh, 1967), hlm. 31.
[12]
Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1992), hlm. 210.
[13]
Risalah Sidang BPUPKI-PPKI, (Jakarta: Sekretariat Negara, 1995),
hlm. 139.
4.
Analisis
Filosofis Pancasila
Pancasila sebagai
dasar negara tidak hanya memiliki dimensi historis, tetapi juga mengandung
nilai-nilai filosofis yang mendalam. Kelima sila dalam Pancasila mencerminkan
prinsip-prinsip dasar yang menyatukan ontologi (hakikat keberadaan), epistemologi (cara
memperoleh pengetahuan), dan aksiologi (nilai dan tujuan)
bangsa Indonesia. Analisis filosofis terhadap setiap sila menunjukkan kedalaman
makna yang dapat diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
4.1.
Filsafat Ketuhanan (Sila Pertama)
Sila pertama
Pancasila, Ketuhanan
Yang Maha Esa, memiliki kedudukan istimewa sebagai landasan
spiritual dan moral dalam sistem kenegaraan Indonesia. Secara filosofis, sila
ini mencerminkan hubungan antara negara dan nilai-nilai transendental, yang
menjadi fondasi etika dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Filsafat Ketuhanan dalam sila pertama tidak hanya menegaskan
pengakuan terhadap Tuhan, tetapi juga menekankan inklusivitas dan harmoni dalam
keberagaman keyakinan masyarakat Indonesia.
4.1.1.
Ontologi Ketuhanan Yang Maha Esa
Secara ontologis, Ketuhanan
Yang Maha Esa mengakui keberadaan Tuhan sebagai sumber segala
sesuatu dan pusat dari nilai-nilai moral. Pemikiran ini sesuai dengan pandangan
teologis dan metafisik yang menempatkan Tuhan sebagai "Ens
Realissimum" atau keberadaan yang paling sempurna, sebagaimana dirumuskan dalam filsafat Immanuel Kant.[14]
Dalam konteks Pancasila, pengakuan terhadap Ketuhanan tidak terbatas pada satu
agama atau kepercayaan, tetapi mencerminkan prinsip universal yang menghormati
keberagaman pandangan tentang Tuhan.
Indonesia, dengan
latar belakang pluralitas agama, mengembangkan konsep Ketuhanan yang tidak
bersifat eksklusif. Notonagoro menjelaskan bahwa sila pertama Pancasila
mengintegrasikan nilai-nilai Ketuhanan yang bersifat nasionalis, menghindari
dominasi agama tertentu, tetapi tetap memegang teguh nilai-nilai spiritual yang
menjadi dasar moralitas bangsa.[15] Dengan demikian, sila pertama
menjadi titik temu antara nilai-nilai religius dan nasionalisme.
4.1.2.
Epistemologi Ketuhanan Yang Maha Esa
Dalam epistemologi,
sila pertama menekankan pentingnya dialog antaragama sebagai cara untuk
memahami nilai-nilai Ketuhanan. Konsep ini sejalan dengan gagasan Hans Küng
tentang "Ethics of World Religions," yang menekankan
bahwa agama-agama memiliki nilai universal yang dapat menjadi landasan etika
global.[16] Dalam kerangka Pancasila, dialog dan toleransi menjadi
cara memperoleh hikmah dari keragaman keyakinan, sehingga nilai Ketuhanan
menjadi kekuatan pemersatu, bukan pemecah.
Sila pertama juga
mendorong pendidikan dan pengetahuan tentang agama yang bersifat inklusif. Hal
ini bertujuan menciptakan masyarakat yang tidak hanya memahami agama mereka
sendiri, tetapi juga mampu menghormati keyakinan orang lain. Dengan demikian,
Ketuhanan dalam Pancasila mencerminkan pendekatan epistemologi yang berbasis
pada toleransi, pemahaman, dan dialog.
4.1.3.
Aksiologi Ketuhanan Yang Maha Esa
Dari perspektif
aksiologi, sila pertama memiliki tujuan untuk menciptakan harmoni sosial yang
didasarkan pada nilai-nilai spiritual. Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi
landasan bagi kehidupan yang berkeadaban, di mana tindakan dan kebijakan negara harus mencerminkan
nilai-nilai keadilan, kasih sayang, dan kemanusiaan yang diajarkan oleh
berbagai agama.[17]
Aksiologi sila ini
juga terlihat dalam kerangka hukum dan konstitusi Indonesia. Sebagai contoh,
Pasal 29 Ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa "Negara berdasar atas
Ketuhanan Yang Maha Esa," yang menunjukkan bahwa nilai-nilai Ketuhanan
menjadi pedoman dalam membentuk peraturan perundang-undangan.[18]
Namun, implementasi nilai Ketuhanan harus tetap menghormati hak-hak individu
untuk memilih dan menjalankan keyakinannya masing-masing, sebagaimana diatur
dalam Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945.
4.1.4.
Implementasi Ketuhanan Yang Maha Esa
Implementasi sila pertama mencakup berbagai
aspek kehidupan, seperti:
1)
Hubungan
Antaragama:
Pemerintah mendorong kerukunan antarumat
beragama melalui kebijakan yang adil dan tidak diskriminatif.[19]
2)
Pendidikan
Agama:
Sistem pendidikan di Indonesia
mewajibkan pelajaran agama sebagai bagian dari kurikulum nasional, namun tetap
menghormati kebebasan beragama.[20]
3)
Hukum
dan Kebijakan:
Kebijakan negara mencerminkan
nilai-nilai Ketuhanan yang inklusif, seperti pengakuan terhadap agama-agama
besar yang diakui oleh pemerintah.
Melalui implementasi
ini, sila pertama menjadi kekuatan moral yang mendasari kehidupan berbangsa dan bernegara, serta memberikan arah bagi
terciptanya masyarakat yang damai, adil, dan berkeadaban.
4.2.
Filsafat Kemanusiaan (Sila Kedua)
Sila kedua
Pancasila, Kemanusiaan
yang Adil dan Beradab, mencerminkan nilai-nilai humanisme universal
yang menempatkan manusia sebagai makhluk bermartabat. Secara filosofis, sila
ini mencakup penghormatan terhadap hak asasi manusia, keadilan sosial, dan
peradaban yang menjunjung tinggi etika
dan moralitas. Dalam konteks filsafat, sila ini menghubungkan dimensi individu
dan kolektif dalam upaya mewujudkan masyarakat yang harmonis dan berkeadaban.
4.2.1.
Ontologi Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Secara ontologis,
sila kedua menegaskan bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki martabat dan
hak yang setara. Pandangan ini sejalan dengan gagasan Immanuel Kant yang
menyatakan bahwa manusia adalah tujuan akhir (end in itself) dan tidak boleh
diperlakukan semata sebagai
alat.[21] Dalam Pancasila, martabat manusia dipahami sebagai hakikat
yang melekat pada setiap individu, terlepas dari latar belakang agama, budaya,
atau suku.
Dalam konteks
Indonesia, sila ini mengakui keragaman manusia sebagai realitas ontologis yang
harus dihormati. Notonagoro menekankan bahwa nilai kemanusiaan dalam Pancasila
bersumber pada pandangan hidup bangsa Indonesia yang mengedepankan gotong
royong, rasa hormat, dan
solidaritas.[22] Dengan demikian, sila ini menjadi dasar bagi
kehidupan yang menjunjung tinggi penghormatan terhadap hak dan kewajiban
manusia.
4.2.2.
Epistemologi Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Dari sudut pandang
epistemologi, sila kedua menekankan pentingnya pemahaman dan penghormatan
terhadap martabat manusia melalui pendidikan, dialog, dan musyawarah. Humanisme
dalam sila ini tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga praktis, dengan
mendorong sikap saling memahami dan bekerja sama di antara individu yang
berbeda latar belakang.[23]
Prinsip epistemologi
sila ini juga mengacu pada kesadaran kolektif untuk memerangi diskriminasi,
penindasan, dan eksploitasi. Pendidikan menjadi sarana utama dalam membangun
masyarakat yang menghormati nilai-nilai
kemanusiaan. Dalam Pancasila, pendidikan bukan hanya bertujuan untuk mencetak
individu yang cerdas secara intelektual, tetapi juga yang berkeadilan dan
berkeadaban.[24]
4.2.3.
Aksiologi Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Secara aksiologis,
sila kedua bertujuan untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang adil dan
bermoral. Konsep keadilan yang dimaksud mencakup aspek distributif (pembagian hak dan kewajiban secara proporsional) dan
retributif (penegakan hukum yang adil).[25] Selain itu, peradaban
yang beradab mencerminkan tatanan masyarakat yang didasarkan pada nilai-nilai
etika, estetika, dan spiritualitas.
Kemanusiaan yang
adil dan beradab juga berarti bahwa bangsa Indonesia harus menghormati hak-hak
dasar individu, termasuk kebebasan berpendapat,
kebebasan beragama, dan kebebasan dari penindasan. Pasal 28A hingga 28J UUD
1945 yang menjamin hak asasi manusia adalah implementasi langsung dari
nilai-nilai sila kedua ini.[26]
4.2.4.
Implementasi Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Implementasi sila
kedua dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melibatkan berbagai aspek, di antaranya:
1)
Hak
Asasi Manusia:
Negara berkewajiban melindungi hak asasi
setiap warga negara tanpa diskriminasi, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.[27]
2)
Pemberantasan
Ketidakadilan:
Kebijakan negara diarahkan untuk
mengurangi ketimpangan sosial dan memastikan bahwa setiap individu memiliki
akses yang sama terhadap sumber daya ekonomi, pendidikan, dan kesehatan.
3)
Pendidikan
Kemanusiaan:
Sistem pendidikan nasional dirancang
untuk membentuk manusia Indonesia yang memiliki empati, toleransi, dan
kemampuan untuk menghormati keberagaman.
Dalam konteks
global, sila kedua juga mendukung partisipasi aktif Indonesia dalam menjaga
perdamaian dunia. Hal ini tercermin dalam politik luar negeri Indonesia yang
bebas dan aktif, serta komitmen terhadap misi perdamaian internasional melalui
PBB.
Kesimpulan
Sila kedua Pancasila
mengandung nilai-nilai kemanusiaan yang universal, tetapi diimplementasikan
sesuai dengan konteks budaya dan karakter bangsa Indonesia. Melalui
penghormatan terhadap martabat manusia, keadilan sosial, dan etika moral, sila ini menjadi landasan bagi
terciptanya masyarakat Indonesia yang beradab dan bermartabat.
4.3.
Filsafat Persatuan (Sila Ketiga)
Sila ketiga
Pancasila, Persatuan
Indonesia, merupakan fondasi utama bagi keutuhan bangsa yang
majemuk. Secara filosofis, sila ini mencerminkan nilai-nilai integrasi nasional
yang bertumpu pada kesadaran kolektif untuk hidup bersama dalam perbedaan.
Dalam konteks filsafat, persatuan bukan sekadar aspek politis atau geografis,
tetapi juga dimensi etis dan ontologis yang mendalam.
4.3.1.
Ontologi Persatuan Indonesia
Ontologi sila ketiga
menempatkan persatuan sebagai hakikat eksistensi bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia dipahami bukan sekadar
kumpulan individu atau komunitas, tetapi sebuah entitas yang utuh dengan
semangat kebersamaan.[28] Pemikiran ini sejalan dengan pandangan
filsafat integralistik yang dikemukakan oleh Dr. Soepomo, yang melihat negara
sebagai satu kesatuan yang mencerminkan kehendak kolektif masyarakat.[29]
Persatuan dalam
Pancasila bukan berarti meniadakan perbedaan, tetapi mengharmonisasikan
keragaman menjadi kekuatan bersama. Notonagoro menekankan bahwa sila ini
berakar pada kearifan lokal bangsa Indonesia, seperti gotong royong dan musyawarah, yang mengajarkan pentingnya
solidaritas di tengah kebhinekaan.[30] Dengan demikian, ontologi
persatuan Indonesia adalah keberadaan yang berlandaskan pada kebersamaan, bukan
homogenitas.
4.3.2.
Epistemologi Persatuan Indonesia
Epistemologi sila
ketiga berakar pada kesadaran akan keberagaman yang menjadi ciri khas
Indonesia. Pemahaman tentang nilai persatuan dicapai melalui dialog,
pendidikan, dan pengalaman kolektif. Pemikiran ini sejalan dengan gagasan
Jurgen Habermas tentang komunikasi deliberatif, di mana pemahaman bersama
tercapai melalui interaksi yang setara dan saling menghormati.[31]
Dalam konteks
Pancasila, epistemologi persatuan memerlukan upaya untuk memahami dan
menghormati keragaman agama, budaya, bahasa, dan adat istiadat. Pendidikan
Pancasila menjadi sarana utama dalam menanamkan kesadaran ini sejak dini,
sehingga generasi penerus bangsa memahami
bahwa persatuan Indonesia adalah kebutuhan bersama yang tidak dapat ditawar.
4.3.3.
Aksiologi Persatuan Indonesia
Secara aksiologis,
sila ketiga bertujuan menciptakan harmoni sosial di tengah keragaman bangsa.
Nilai persatuan mengajarkan bahwa konflik yang muncul akibat perbedaan harus
diselesaikan melalui dialog dan musyawarah, bukan dengan kekerasan.[32]
Aksiologi ini mencerminkan cita-cita bersama
bangsa Indonesia untuk hidup dalam damai, toleransi, dan solidaritas.
Persatuan juga
memiliki dimensi praktis yang tercermin dalam sistem politik dan hukum
Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bentuk Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) sebagai wujud konkret dari persatuan bangsa.[33] Selain itu, kebijakan nasional
seperti pengembangan daerah otonomi mencerminkan upaya untuk menjaga
keseimbangan antara keutuhan nasional dan keberagaman lokal.
4.3.4.
Implementasi Persatuan Indonesia
Implementasi sila
ketiga melibatkan berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara:
1)
Pendidikan
Persatuan:
Kurikulum nasional mencakup pendidikan
kewarganegaraan dan Pancasila yang bertujuan membentuk kesadaran kolektif akan
pentingnya persatuan.[34]
2)
Kerukunan
Antarbangsa:
Persatuan Indonesia tidak hanya berlaku
di dalam negeri, tetapi juga tercermin dalam politik luar negeri Indonesia yang
bebas dan aktif, dengan tujuan menjaga perdamaian dunia.[35]
3)
Pemajuan
Wilayah Terpencil:
Kebijakan pembangunan nasional diarahkan
untuk mengurangi kesenjangan antardaerah, sehingga seluruh wilayah Indonesia
merasa menjadi bagian dari persatuan bangsa.
4.3.5.
Tantangan dan Relevansi Persatuan Indonesia
Meski persatuan
adalah nilai fundamental, tantangan terhadap sila ketiga tetap ada. Ancaman separatisme, konflik
horizontal, dan pengaruh ideologi transnasional dapat mengganggu keutuhan
bangsa. Untuk itu, diperlukan strategi yang adaptif dalam memperkuat nilai
persatuan, seperti memperkuat pendidikan karakter, mempromosikan toleransi, dan
meningkatkan keadilan sosial.
Sila ketiga tetap
relevan dalam menghadapi era globalisasi yang cenderung menciptakan fragmentasi identitas. Dengan mengedepankan nilai
persatuan, Indonesia dapat menjaga integritas nasional sambil tetap terbuka
terhadap dinamika global.
Kesimpulan
Filsafat persatuan
dalam sila ketiga Pancasila adalah landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis
yang mengintegrasikan keberagaman bangsa Indonesia ke dalam satu kesatuan yang
harmonis. Persatuan bukan sekadar konsep
formal, tetapi juga nilai praktis yang harus diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari, baik di tingkat individu maupun kolektif.
4.4.
Filsafat Demokrasi (Sila Keempat)
Sila keempat
Pancasila, Kerakyatan
yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan,
menegaskan prinsip demokrasi khas Indonesia yang berakar pada nilai-nilai
musyawarah dan mufakat. Secara filosofis, sila ini mencerminkan pandangan bahwa
kekuasaan negara berasal dari rakyat, dikelola dengan kebijaksanaan, dan
bertujuan untuk mewujudkan keadilan sosial. Demokrasi dalam konteks Pancasila tidak hanya mengacu pada praktik
prosedural, tetapi juga mengandung nilai-nilai etika yang menjunjung tinggi
keharmonisan, keadilan, dan kesejahteraan bersama.
4.4.1.
Ontologi Demokrasi Pancasila
Secara ontologis,
sila keempat menempatkan rakyat sebagai sumber kedaulatan dan legitimasi
kekuasaan negara.[36] Pandangan ini selaras dengan konsep demokrasi
dalam filsafat politik modern, seperti yang dikemukakan oleh Jean-Jacques
Rousseau dalam The Social Contract, bahwa
kekuasaan berasal dari kehendak umum
(general
will).[37] Dalam Pancasila, demokrasi tidak bersifat
liberal individualistik, tetapi integralistik, di mana individu dan masyarakat
dipandang sebagai satu kesatuan yang saling melengkapi.[38]
Musyawarah dan
mufakat menjadi landasan ontologis demokrasi Pancasila, yang berbeda dengan demokrasi mayoritarian.
Sistem ini mencerminkan nilai kearifan lokal bangsa Indonesia, seperti yang
ditemukan dalam tradisi adat nusantara, di mana keputusan diambil berdasarkan
konsensus bersama demi kepentingan kolektif.
4.4.2.
Epistemologi Demokrasi Pancasila
Epistemologi sila
keempat menekankan pentingnya kebijaksanaan (hikmat kebijaksanaan) dalam proses
pengambilan keputusan. Kebijaksanaan dalam demokrasi Pancasila mengacu pada
penggunaan akal budi, pengalaman, dan pertimbangan moral untuk mencapai
kesepakatan yang adil.[39]
Dalam kerangka
epistemologi ini, demokrasi tidak hanya tentang proses memilih pemimpin, tetapi
juga tentang dialog, diskusi, dan musyawarah yang melibatkan berbagai pihak. Konsep ini sejalan dengan
pandangan Jurgen Habermas tentang demokrasi deliberatif, yang menekankan
pentingnya komunikasi dan rasionalitas dalam pengambilan keputusan.[40]
Dalam konteks Indonesia, pendidikan politik dan partisipasi aktif masyarakat
menjadi instrumen utama untuk meningkatkan kualitas demokrasi.
4.4.3.
Aksiologi Demokrasi Pancasila
Secara aksiologis,
sila keempat bertujuan menciptakan kehidupan yang harmonis dan berkeadilan
melalui partisipasi aktif rakyat dalam pengambilan keputusan politik. Demokrasi Pancasila mengutamakan keseimbangan
antara hak dan kewajiban, sehingga setiap warga negara memiliki tanggung jawab
untuk berkontribusi pada kesejahteraan bersama.[41]
Prinsip
permusyawaratan/representasi dalam sila ini juga bertujuan untuk menghindari
konflik kepentingan dan dominasi kelompok tertentu. Dalam praktiknya, nilai ini diwujudkan melalui
sistem perwakilan rakyat, seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang berfungsi sebagai wadah untuk menyalurkan
aspirasi rakyat.[42]
4.4.4.
Implementasi Demokrasi Pancasila
Implementasi sila keempat mencakup berbagai aspek, antara
lain:
1)
Musyawarah
dalam Pengambilan Keputusan:
Musyawarah menjadi prinsip utama dalam
berbagai tingkat pemerintahan, seperti dalam rapat desa, legislatif, hingga
sidang kabinet.
2)
Sistem
Perwakilan:
Demokrasi Pancasila diterapkan melalui
sistem perwakilan yang menjunjung prinsip keadilan dan keberagaman. Hal ini
tercermin dalam struktur keanggotaan DPR yang mencerminkan pluralitas bangsa.[43]
3)
Partisipasi
Publik:
Pendidikan politik dan pelibatan
masyarakat dalam proses demokrasi, seperti pemilu dan musyawarah desa,
bertujuan untuk memperkuat legitimasi demokrasi.
4.4.5.
Tantangan Demokrasi Pancasila
Meskipun demokrasi
Pancasila memiliki landasan filosofis yang kuat, tantangan tetap ada. Ancaman
korupsi, politisasi agama, dan rendahnya partisipasi politik masyarakat dapat
menghambat implementasi sila ini. Untuk itu, penguatan pendidikan politik, penegakan hukum, dan pembangunan
budaya musyawarah yang sehat menjadi langkah penting dalam menghadapi tantangan
tersebut.
Kesimpulan
Filsafat demokrasi dalam sila keempat Pancasila menegaskan
pentingnya nilai-nilai musyawarah, kebijaksanaan, dan partisipasi rakyat dalam
sistem kenegaraan. Demokrasi Pancasila tidak hanya bersifat prosedural, tetapi
juga substansial, dengan tujuan menciptakan kehidupan yang adil, harmonis, dan
berkeadaban.
4.5.
Filsafat Keadilan Sosial (Sila Kelima)
Sila kelima
Pancasila, Keadilan
Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, menegaskan tujuan utama
kehidupan bernegara: mewujudkan keadilan dalam berbagai aspek kehidupan sosial,
ekonomi, dan politik. Secara filosofis, sila ini mengandung nilai-nilai yang
berorientasi pada pemerataan, kesejahteraan
bersama, dan perlindungan terhadap hak-hak setiap individu maupun kelompok.
Filsafat keadilan sosial dalam sila kelima tidak hanya mencerminkan prinsip
keadilan distributif, tetapi juga melibatkan keadilan retributif dan komutatif
yang berlandaskan pada nilai-nilai kemanusiaan.
4.5.1.
Ontologi Keadilan Sosial
Ontologi sila kelima
menempatkan keadilan sebagai hakikat hubungan antarindividu dalam masyarakat.
Dalam pandangan Aristoteles, keadilan adalah virtue yang mendasari hubungan
manusia untuk memberikan "kepada
masing-masing apa yang menjadi haknya."[44] Dalam konteks
Pancasila, keadilan sosial tidak hanya mencakup keadilan antarindividu, tetapi
juga keadilan struktural yang bertujuan mengurangi kesenjangan sosial-ekonomi
yang ada di masyarakat.[45]
Notonagoro
menjelaskan bahwa keadilan sosial dalam Pancasila adalah wujud dari
keseimbangan antara hak dan kewajiban setiap warga negara, dengan mengedepankan
tanggung jawab kolektif untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik bagi semua.[46] Hal ini
mencerminkan prinsip keadilan yang holistik, di mana kepentingan individu dan
masyarakat saling melengkapi.
4.5.2.
Epistemologi Keadilan Sosial
Epistemologi sila
kelima bertumpu pada cara memperoleh pengetahuan tentang keadilan melalui
pengalaman, dialog, dan kajian terhadap realitas sosial. Konsep ini sejalan
dengan gagasan John Rawls dalam A Theory of Justice, yang
menekankan pentingnya "tirai ketidaktahuan" (veil of
ignorance) untuk mencapai kebijakan yang adil tanpa bias terhadap
kelompok tertentu.[47]
Dalam demokrasi
Pancasila, epistemologi keadilan sosial melibatkan partisipasi masyarakat dalam
proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan distribusi sumber daya dan peluang. Pendidikan menjadi
instrumen utama untuk menanamkan kesadaran akan pentingnya keadilan sosial,
baik pada tingkat individu maupun kolektif.
4.5.3.
Aksiologi Keadilan Sosial
Aksiologi sila
kelima menekankan nilai-nilai yang bertujuan menciptakan kesejahteraan dan kesetaraan bagi seluruh
rakyat Indonesia. Nilai-nilai tersebut mencakup:
1)
Pemerataan
Ekonomi:
Mengurangi kesenjangan antara kelompok
kaya dan miskin melalui kebijakan redistributif, seperti pajak progresif,
subsidi, dan bantuan sosial.[48]
2)
Pemberdayaan
Masyarakat:
Meningkatkan kapasitas masyarakat miskin
dan marjinal melalui akses pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan.
3)
Kesejahteraan
Bersama:
Mewujudkan common good yang mencakup kepentingan
individu dan kolektif, seperti pembangunan infrastruktur dan layanan publik
yang merata.[49]
Aksiologi ini
mencerminkan etika keadilan yang tidak hanya bersifat legal-formal, tetapi juga
substantif, dengan tujuan menciptakan kehidupan yang bermartabat bagi seluruh
rakyat Indonesia.
4.5.4.
Implementasi Keadilan Sosial
Implementasi sila kelima diwujudkan melalui berbagai kebijakan
dan program yang bertujuan menciptakan pemerataan dan kesejahteraan bersama:
1)
Kebijakan
Ekonomi:
Program-program seperti subsidi,
redistribusi tanah melalui reforma agraria, dan pembangunan daerah tertinggal
adalah bentuk konkret dari nilai keadilan sosial.[50]
2)
Kesejahteraan
Sosial:
Jaminan sosial, seperti BPJS Kesehatan
dan Ketenagakerjaan, merupakan upaya negara untuk melindungi hak-hak warga
negara yang kurang mampu.
3)
Pemberantasan
Kemiskinan:
Program pemerintah seperti Program
Keluarga Harapan (PKH) bertujuan mengurangi kemiskinan secara
berkelanjutan.
Keadilan sosial juga
terlihat dalam kebijakan pembangunan yang berfokus pada keberlanjutan
lingkungan, seperti upaya mengurangi kerusakan alam dan memberikan akses yang adil terhadap sumber daya alam.
4.5.5.
Tantangan dan Relevansi Keadilan Sosial
Meski nilai keadilan
sosial telah menjadi tujuan utama, pelaksanaannya menghadapi berbagai tantangan, seperti:
1)
Kesenjangan
Sosial-Ekonomi:
Perbedaan antara daerah maju dan
tertinggal masih menjadi hambatan dalam menciptakan keadilan yang merata.
2)
Korupsi
dan Penyalahgunaan Kekuasaan:
Praktik korupsi merugikan masyarakat
miskin dan menghambat distribusi sumber daya.
3)
Globalisasi:
Tantangan dari ekonomi global sering
kali memperlebar kesenjangan sosial, terutama bagi kelompok yang tidak memiliki
daya saing.
Untuk menghadapi
tantangan tersebut, diperlukan upaya penguatan sistem hukum, transparansi dalam
pengelolaan anggaran, dan pembangunan berkelanjutan
yang berorientasi pada keadilan.
Kesimpulan
Filsafat keadilan
sosial dalam sila kelima Pancasila mencerminkan komitmen bangsa Indonesia untuk
menciptakan kehidupan yang adil, sejahtera, dan bermartabat bagi seluruh rakyat. Dengan pendekatan ontologis,
epistemologis, dan aksiologis, sila ini tidak hanya menjadi cita-cita, tetapi
juga pedoman konkret dalam membangun masyarakat yang inklusif dan berkeadilan.
Keseluruhan Makna Filosofis
Pancasila, dalam analisis
filosofis, adalah sistem nilai yang terintegrasi, di mana setiap sila saling
melengkapi dan memperkuat. Pancasila mencerminkan pandangan dunia (worldview)
bangsa Indonesia yang mengutamakan keseimbangan antara individualitas dan
kolektivitas, spiritualitas dan rasionalitas, serta tradisi dan modernitas.
Dengan pendekatan filosofis,
Pancasila dapat terus relevan sebagai panduan nilai dalam menghadapi tantangan
zaman.
Catatan Kaki
[14]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason,
diterjemahkan oleh Paul Guyer dan Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge
University Press, 1998), hlm. 632.
[15]
Notonagoro, Pancasila Secara Ilmiah dan Populer
(Jakarta: Pantjuran Tujuh, 1967), hlm. 17.
[16]
Hans Küng, Global Responsibility: In Search of a New World
Ethic (New York: Continuum, 1991), hlm. 58.
[17]
Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Modern (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm. 44.
[18]
Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 29 Ayat (1) dan (2).
[19]
Departemen Agama RI, Panduan Kerukunan Umat Beragama
(Jakarta: Departemen Agama RI, 2011), hlm. 23.
[20] Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kurikulum 2013 Pendidikan Agama dan Budi Pekerti (Jakarta: Kemendikbud, 2013), hlm. 5.
[21]
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals,
diterjemahkan oleh Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997),
hlm. 37.
[22]
Notonagoro, Pancasila Secara Ilmiah dan Populer
(Jakarta: Pantjuran Tujuh, 1967), hlm. 23.
[23]
Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Modern (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm. 56.
[24]
Ki Hajar Dewantara, Pendidikan dan Kebudayaan
(Yogyakarta: Taman Siswa, 1961), hlm. 12.
[25]
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge:
Harvard University Press, 1971), hlm. 65.
[26]
Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 28A-28J.
[27] Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 1 Ayat (3).
[28]
Notonagoro, Pancasila Secara Ilmiah dan Populer
(Jakarta: Pantjuran Tujuh, 1967), hlm. 29.
[29]
Dr. Soepomo, Pidato
dalam Sidang BPUPKI, 31 Mei 1945, dalam Risalah Sidang BPUPKI-PPKI
(Jakarta: Sekretariat Negara, 1995), hlm. 95.
[30]
Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (New
York: Basic Books, 1973), hlm. 131.
[31]
Jurgen Habermas, Between Facts and Norms (Cambridge:
Polity Press, 1996), hlm. 327.
[32]
Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Modern (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm. 49.
[33]
Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 1 Ayat (1).
[34]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kurikulum
2013 Pendidikan Kewarganegaraan (Jakarta: Kemendikbud, 2013), hlm.
17.
[35] Departemen Luar Negeri RI, Politik Luar Negeri Indonesia (Jakarta: Kemlu RI, 2020), hlm. 12.
[36]
Notonagoro, Pancasila Secara Ilmiah dan Populer
(Jakarta: Pantjuran Tujuh, 1967), hlm. 35.
[37]
Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract, diterjemahkan
oleh G.D.H. Cole (London: Penguin Classics, 1968), hlm. 45.
[38]
Dr. Soepomo, Pidato
dalam Sidang BPUPKI, 31 Mei 1945, dalam Risalah Sidang BPUPKI-PPKI
(Jakarta: Sekretariat Negara, 1995), hlm. 101.
[39]
Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Modern (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm. 72.
[40]
Jurgen Habermas, Between Facts and Norms (Cambridge:
Polity Press, 1996), hlm. 287.
[41]
Soekarno, Lahirnya Pancasila, dalam Pidato
di Depan BPUPKI 1 Juni 1945 (Jakarta: Balai Pustaka, 1945), hlm.
15.
[42]
Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 22C dan 22D.
[43] UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, Pasal 5 Ayat (1).
[44]
Aristotle, Nicomachean Ethics, diterjemahkan
oleh Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1999), hlm. 113.
[45]
John Rawls, A Theory
of Justice (Cambridge: Harvard University Press, 1971), hlm. 52.
[46]
Notonagoro, Pancasila Secara Ilmiah dan Populer
(Jakarta: Pantjuran Tujuh, 1967), hlm. 41.
[47]
Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Modern (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm. 80.
[48]
UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Pasal 28.
[49]
Ki Hajar Dewantara, Pendidikan
dan Kebudayaan (Yogyakarta: Taman Siswa, 1961), hlm. 29.
[50] Kementerian Sosial RI, Program Keluarga Harapan: Upaya Meningkatkan Kesejahteraan Sosial (Jakarta: Kemensos RI, 2020), hlm. 15.
5.
Pancasila
sebagai Ideologi Negara
Sebagai ideologi
negara, Pancasila merupakan pandangan hidup bangsa Indonesia yang memberikan
arah dan pedoman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Ideologi Pancasila
berbeda dari ideologi-ideologi besar dunia,
seperti liberalisme, sosialisme, atau komunisme, karena ia berakar pada nilai-nilai
lokal yang sesuai dengan karakter dan budaya bangsa Indonesia. Dengan sifatnya
yang dinamis dan terbuka, Pancasila mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan
zaman tanpa kehilangan esensi nilai-nilainya.
5.1.
Pengertian dan Karakteristik Ideologi Pancasila
Dalam pengertian
dasar, ideologi adalah sistem gagasan atau nilai-nilai yang menjadi pedoman
bagi kehidupan masyarakat dalam mencapai tujuan tertentu.[51] Pancasila sebagai ideologi negara mengandung
nilai-nilai dasar yang mencakup aspek ketuhanan, kemanusiaan, persatuan,
demokrasi, dan keadilan sosial.[52]
Karakteristik utama ideologi Pancasila adalah:
1)
Berakar
pada Budaya Bangsa:
Pancasila digali dari nilai-nilai luhur
yang hidup dalam masyarakat Indonesia, seperti gotong royong, musyawarah, dan toleransi.[53]
2)
Inklusif
dan Universal:
Pancasila mampu mengakomodasi
keberagaman masyarakat Indonesia, baik dari segi agama, suku, maupun budaya,
tanpa kehilangan relevansi universalnya.[54]
3)
Pragmatis
dan Dinamis:
Pancasila bukan doktrin kaku, tetapi
pedoman yang dapat disesuaikan dengan perkembangan sosial, ekonomi, dan
politik.
5.2.
Perbandingan Pancasila dengan Ideologi Lain
Pancasila memiliki
keunikan tersendiri yang membedakannya dari ideologi-ideologi besar dunia:
1)
Liberalisme:
Liberalisme menekankan kebebasan
individu dan minimnya campur tangan negara. Berbeda dengan itu, Pancasila
menempatkan keseimbangan antara hak individu dan kepentingan kolektif, dengan
tetap menjaga harmoni sosial.[55]
2)
Sosialisme:
Sosialisme mengutamakan kepemilikan
kolektif atas alat-alat produksi, sementara Pancasila mengedepankan keadilan
sosial yang tidak menghilangkan hak kepemilikan individu.[56]
3)
Komunisme:
Komunisme bertujuan menciptakan
masyarakat tanpa kelas melalui penghapusan kepemilikan pribadi. Pancasila
menolak ekstremitas ini dengan tetap menghormati hak-hak individu dalam
kerangka keadilan sosial.
Dengan
mengintegrasikan elemen-elemen terbaik dari ideologi-ideologi tersebut, Pancasila menawarkan pendekatan yang moderat
dan relevan untuk kehidupan bangsa Indonesia.
5.3.
Fungsi Pancasila sebagai Ideologi Negara
Sebagai ideologi negara, Pancasila memiliki fungsi
utama sebagai berikut:
1)
Pedoman
Kehidupan Berbangsa dan Bernegara:
Pancasila menjadi dasar dalam penyusunan
undang-undang, kebijakan publik, dan tata kelola pemerintahan.[57]
2)
Pemersatu
Bangsa:
Pancasila menyatukan keberagaman bangsa
Indonesia dalam satu bingkai NKRI, sehingga menjadi alat pemersatu yang
efektif.[58]
3)
Pemberi
Arah dan Tujuan:
Pancasila memberikan arah bagi
pembangunan nasional dengan menempatkan nilai-nilai dasar seperti keadilan
sosial dan kemanusiaan sebagai tujuan akhir.
5.4.
Tantangan Pancasila sebagai Ideologi Negara
Meskipun Pancasila memiliki kekuatan filosofis dan
kultural, tantangan dalam implementasinya tetap ada, di antaranya:
1)
Ancaman Ideologi
Transnasional:
Radikalisme dan ideologi asing yang
tidak sesuai dengan Pancasila menjadi tantangan besar bagi keutuhan bangsa.[59]
2)
Kesenjangan
Sosial dan Ekonomi:
Ketimpangan sosial dapat melemahkan
kepercayaan masyarakat terhadap implementasi nilai-nilai Pancasila.
3)
Kurangnya
Pemahaman Masyarakat:
Pemahaman yang dangkal terhadap
nilai-nilai Pancasila dapat menyebabkan penerapan yang kurang konsisten.
Untuk mengatasi
tantangan tersebut, diperlukan penguatan pendidikan Pancasila, penegakan hukum yang berkeadilan, dan
kebijakan pembangunan yang berpihak pada rakyat.
Kesimpulan
Sebagai ideologi
negara, Pancasila adalah solusi unik yang dirancang sesuai dengan karakteristik
bangsa Indonesia. Dengan sifatnya yang inklusif, dinamis, dan moderat, Pancasila
tidak hanya menjadi pedoman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi juga
berpotensi menjadi kontribusi Indonesia dalam dialog ideologis di tingkat
global.
Catatan Kaki
[51]
Karl Mannheim, Ideology
and Utopia (London: Routledge, 1936), hlm. 48.
[52]
Notonagoro, Pancasila Secara Ilmiah dan Populer
(Jakarta: Pantjuran Tujuh, 1967), hlm. 15.
[53]
Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Modern (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm. 20.
[54]
Clifford Geertz, The Religion of Java (Chicago:
University of Chicago Press, 1960), hlm. 189.
[55]
John Stuart Mill, On
Liberty (London: Longman, 1859), hlm. 33.
[56]
Karl Marx, The Communist Manifesto,
diterjemahkan oleh Samuel Moore (London: Penguin Books, 1967), hlm. 78.
[57]
Undang-Undang Dasar 1945, Pembukaan Alinea Keempat.
[58]
Risalah Sidang BPUPKI-PPKI, (Jakarta: Sekretariat Negara, 1995),
hlm. 87.
[59]
Azyumardi Azra, Islam, State, and Democracy in Indonesia
(Jakarta: The Asia Foundation, 2006), hlm. 44.
6.
Tantangan
dan Relevansi Pancasila
Sebagai dasar negara
dan ideologi bangsa Indonesia, Pancasila telah menjadi pedoman utama dalam
menjaga keutuhan dan kestabilan negara. Namun, tantangan dalam implementasinya
terus berkembang seiring dengan dinamika sosial, politik, ekonomi, dan budaya baik
di tingkat nasional maupun global. Meskipun demikian, Pancasila tetap relevan
karena nilai-nilainya yang
inklusif dan universal mampu menjadi solusi bagi berbagai persoalan bangsa.
1.1.
Tantangan Pancasila
Beberapa tantangan yang dihadapi dalam pengamalan Pancasila
adalah:
1)
Radikalisme dan
Intoleransi
Salah satu ancaman utama terhadap Pancasila
adalah berkembangnya paham radikal dan intoleran yang tidak sejalan dengan
nilai-nilai kebhinekaan. Paham-paham ini berpotensi mengancam persatuan bangsa
dan menciptakan segregasi sosial berdasarkan agama, ras, atau ideologi.[60]
2)
Kesenjangan
Sosial-Ekonomi
Ketimpangan ekonomi yang masih tinggi di
Indonesia menjadi tantangan besar bagi sila kelima Pancasila, yaitu keadilan
sosial. Ketimpangan ini menciptakan perasaan ketidakadilan yang dapat
melemahkan kohesi sosial dan kepercayaan masyarakat terhadap negara.[61]
3)
Globalisasi dan
Pengaruh Budaya Asing
Globalisasi membawa arus informasi dan budaya
yang dapat menggeser nilai-nilai lokal, termasuk nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila. Generasi muda, misalnya, rentan terhadap pengaruh budaya asing
yang dapat melemahkan rasa nasionalisme.[62]
4)
Kurangnya Pemahaman
terhadap Pancasila
Pendidikan Pancasila yang tidak maksimal di
berbagai tingkatan pendidikan menyebabkan lemahnya pemahaman masyarakat
terhadap nilai-nilai Pancasila. Hal ini berdampak pada rendahnya pengamalan
Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.[63]
5)
Korupsi dan Penegakan
Hukum yang Lemah
Praktik korupsi dan lemahnya penegakan hukum
bertentangan dengan nilai-nilai keadilan sosial dan demokrasi yang diusung
Pancasila. Korupsi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.[64]
1.2.
Relevansi Pancasila
Di tengah berbagai tantangan tersebut, Pancasila tetap relevan
sebagai solusi untuk menjaga keutuhan bangsa dan menghadapi tantangan global.
Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila memberikan arah bagi pembangunan yang berkelanjutan dan
inklusif:
1)
Sebagai Solusi
Pluralisme
Pancasila menjadi fondasi penting dalam mengelola
keberagaman bangsa. Nilai-nilai seperti toleransi (sila pertama), persatuan
(sila ketiga), dan keadilan sosial (sila kelima) memberikan pedoman bagi
kehidupan bermasyarakat yang harmonis.[65]
2)
Sebagai Pedoman Etika
dan Moral
Pancasila berfungsi sebagai pedoman moral dalam
membangun masyarakat yang bermartabat. Dalam era globalisasi yang sering kali
menekankan materialisme, Pancasila mengingatkan pentingnya keseimbangan antara
aspek spiritual dan material.[66]
3)
Sebagai Dasar
Pembangunan Nasional
Nilai-nilai Pancasila menjadi acuan dalam penyusunan
kebijakan pembangunan nasional yang berkeadilan dan berorientasi pada
kesejahteraan bersama.[67] Pancasila memberikan kerangka untuk
menciptakan pembangunan yang tidak hanya mengejar pertumbuhan ekonomi, tetapi
juga mengutamakan pemerataan dan keberlanjutan.
4)
Sebagai Benteng
terhadap Pengaruh Ideologi Asing
Di tengah gempuran ideologi transnasional seperti
neoliberalisme, komunisme, dan fundamentalisme agama, Pancasila menjadi benteng
ideologis yang mampu menjaga identitas dan kedaulatan bangsa.[68]
1.3.
Strategi Penguatan Pancasila
Untuk menghadapi
tantangan dan memastikan relevansi Pancasila, diperlukan langkah-langkah strategis:
1)
Penguatan
Pendidikan Pancasila:
Pendidikan nilai-nilai Pancasila harus ditanamkan
sejak dini di semua jenjang pendidikan, dengan pendekatan yang lebih kreatif
dan kontekstual.[69]
2)
Penegakan
Hukum yang Tegas:
Pemerintah harus menegakkan hukum secara adil
untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap negara, sesuai dengan prinsip
keadilan sosial.[70]
3)
Peningkatan
Kesejahteraan Sosial:
Kebijakan yang fokus pada pengurangan kesenjangan
ekonomi dan peningkatan akses terhadap layanan dasar seperti pendidikan,
kesehatan, dan pekerjaan harus menjadi prioritas.[71]
4)
Peningkatan
Kesadaran Nasionalisme:
Kampanye nasionalisme yang positif, berbasis
nilai Pancasila, harus terus digalakkan untuk memperkuat rasa cinta tanah air.
Kesimpulan
Tantangan yang
dihadapi Pancasila mencerminkan kompleksitas masyarakat modern, tetapi
relevansi Pancasila tetap tidak tergantikan. Sebagai ideologi yang bersifat
terbuka, inklusif, dan berorientasi pada kesejahteraan bersama, Pancasila
memberikan solusi komprehensif bagi persoalan bangsa. Penguatan nilai-nilai Pancasila dalam setiap aspek kehidupan
berbangsa dan bernegara menjadi kunci untuk menjaga integritas dan kedaulatan
Indonesia di tengah tantangan global.
Catatan Kaki
[60]
Azyumardi Azra, Islam, State, and Democracy in Indonesia
(Jakarta: The Asia Foundation, 2006), hlm. 55.
[61]
BPS RI, Laporan
Indeks Kesenjangan Ekonomi Indonesia 2022 (Jakarta: Badan Pusat
Statistik, 2022), hlm. 12.
[62]
Anthony Giddens, Runaway World: How Globalisation is Reshaping
Our Lives (London: Profile Books, 1999), hlm. 45.
[63]
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Evaluasi
Implementasi Pendidikan Pancasila (Jakarta: Kemendikbud, 2021),
hlm. 30.
[64]
Transparency International Indonesia, Indeks Persepsi Korupsi 2023
(Jakarta: TII, 2023), hlm. 18.
[65]
Notonagoro, Pancasila Secara Ilmiah dan Populer
(Jakarta: Pantjuran Tujuh, 1967), hlm. 27.
[66]
Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Modern (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm. 39.
[67]
Bappenas RI, RPJMN 2020-2024 (Jakarta: Bappenas,
2020), hlm. 42.
[68]
Mochtar Kusumaatmadja, Konsepsi Hukum dalam Pembangunan
(Bandung: Alumni, 1986), hlm. 78.
[69]
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3.
[70]
Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 1 Ayat (3).
[71]
Kementerian Sosial RI, Program Keluarga Harapan: Upaya Meningkatkan
Kesejahteraan Sosial (Jakarta: Kemensos RI, 2023), hlm. 22.
7.
Kesimpulan
Pancasila sebagai dasar negara Kesatuan Republik
Indonesia adalah fondasi filosofis, ideologis, dan praktis yang memberikan arah
bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Digali dari nilai-nilai luhur budaya
bangsa dan disusun oleh para pendiri negara, Pancasila mencerminkan keunikan Indonesia
sebagai bangsa yang majemuk. Dengan lima sila yang terintegrasi, Pancasila
menjawab kebutuhan dasar manusia dalam dimensi spiritual, kemanusiaan,
kebangsaan, demokrasi, dan keadilan sosial.
Secara filosofis, Pancasila bukan hanya merupakan
konsep normatif, tetapi juga cerminan pandangan hidup bangsa yang
mengintegrasikan dimensi ontologis, epistemologis, dan aksiologis.[72]
Sila pertama hingga kelima saling melengkapi, menciptakan harmoni antara
kepentingan individu dan kolektif. Sebagai ideologi, Pancasila menawarkan
pendekatan moderat dan inklusif, menjadikannya relevan dalam menghadapi
tantangan globalisasi dan perubahan sosial.
Pancasila memiliki fungsi vital dalam menjaga
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Nilai-nilai yang terkandung
di dalamnya mampu menjadi alat pemersatu bangsa di tengah keberagaman agama,
suku, budaya, dan bahasa.[73] Dalam praktiknya, Pancasila memberikan
pedoman bagi penyusunan undang-undang, kebijakan publik, dan pelaksanaan
pemerintahan yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat.
Namun, implementasi Pancasila tidak lepas dari
tantangan, seperti radikalisme, kesenjangan sosial, lemahnya penegakan hukum,
dan pengaruh ideologi asing.[74] Untuk itu, penguatan pendidikan
Pancasila, penerapan nilai-nilai keadilan sosial, dan penguatan integritas
nasional menjadi langkah strategis dalam mengatasi hambatan tersebut.
Di tengah tantangan modern, Pancasila tetap relevan
sebagai solusi untuk membangun bangsa yang berkeadilan, berdaulat, dan
bermartabat. Sebagai dasar negara, Pancasila tidak hanya menjadi pedoman bagi
penyelenggara negara, tetapi juga menjadi jiwa dan kepribadian bangsa yang
menginspirasi kehidupan sehari-hari. Dengan menerapkan nilai-nilainya, bangsa
Indonesia dapat terus menjaga persatuan dan mencapai tujuan nasional
sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.[75]
Kesimpulannya, Pancasila adalah anugerah besar bagi
bangsa Indonesia. Nilai-nilainya yang universal dan fleksibel memberikan
harapan bagi terciptanya tatanan masyarakat yang harmonis dan sejahtera. Dalam
perspektif filsafat, ideologi, dan praksis, Pancasila adalah kunci bagi
kelangsungan NKRI di tengah dinamika zaman.
Catatan Kaki
[72]
Notonagoro, Pancasila Secara Ilmiah dan Populer (Jakarta:
Pantjuran Tujuh, 1967), hlm. 13.
[73]
Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Modern (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm. 25.
[74]
Azyumardi Azra, Islam, State, and Democracy in Indonesia
(Jakarta: The Asia Foundation, 2006), hlm. 65.
[75]
Undang-Undang Dasar 1945, Pembukaan Alinea Keempat.
Lampiran
Daftar
Buku Rujukan untuk Kajian Filsafat tentang "Pancasila sebagai Dasar
Negara Kesatuan Republik Indonesia"
1)
Notonagoro. Pancasila
Secara Ilmiah dan Populer. Jakarta: Pantjuran Tujuh, 1967.
o
Buku ini membahas Pancasila secara ilmiah, dengan pendekatan filosofis,
historis, dan praktis.
2)
Franz Magnis-Suseno. Etika
Politik: Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: Gramedia, 1992.
o
Buku ini mengupas prinsip moral politik dalam kaitannya dengan Pancasila
sebagai ideologi dan etika politik.
3)
Soekarno. Lahirnya
Pancasila. Dalam Pidato di Depan BPUPKI 1 Juni 1945. Jakarta: Balai
Pustaka, 1945.
o
Buku ini menyajikan pidato sejarah Soekarno tentang gagasan awal
lahirnya Pancasila.
4)
Mohammad Yamin. Naskah
Persiapan Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1971.
o
Membahas kontribusi pemikiran Mohammad Yamin dalam perumusan Pancasila.
5)
Dr. Soepomo. Pidato
dalam Sidang BPUPKI. Dalam Risalah Sidang BPUPKI-PPKI. Jakarta:
Sekretariat Negara, 1995.
o
Pidato ini menguraikan konsep integralistik yang berpengaruh dalam sila
ketiga dan keempat.
6)
Azyumardi Azra. Islam,
State, and Democracy in Indonesia. Jakarta: The Asia Foundation, 2006.
o
Buku ini mengkaji hubungan antara Islam dan demokrasi dalam kerangka
Pancasila.
7)
Clifford Geertz. The
Interpretation of Cultures. New York: Basic Books, 1973.
o
Buku ini relevan untuk memahami konteks antropologis dan budaya
Pancasila.
8)
Ki Hajar Dewantara. Pendidikan
dan Kebudayaan. Yogyakarta: Taman Siswa, 1961.
o
Buku ini menghubungkan pendidikan dan nilai-nilai kebudayaan yang
relevan dengan Pancasila.
9)
Jurgen Habermas. Between
Facts and Norms. Cambridge: Polity Press, 1996.
o
Buku ini membahas demokrasi deliberatif yang sejalan dengan nilai
musyawarah Pancasila.
10)
John Rawls. A Theory
of Justice. Cambridge: Harvard University Press, 1971.
o
Buku ini menjadi referensi untuk memahami konsep keadilan sosial dalam
sila kelima.
11)
Immanuel Kant. Groundwork
of the Metaphysics of Morals. Diterjemahkan oleh Mary Gregor. Cambridge:
Cambridge University Press, 1997.
o
Buku ini membahas nilai moral universal yang relevan dengan sila kedua.
12)
Anthony Giddens. Runaway
World: How Globalisation is Reshaping Our Lives. London: Profile Books,
1999.
o
Buku ini menjelaskan tantangan globalisasi terhadap ideologi lokal
seperti Pancasila.
13)
Karl Mannheim. Ideology
and Utopia. London: Routledge, 1936.
o
Buku ini memberikan wawasan tentang peran ideologi dalam masyarakat.
14)
Karl Marx dan Friedrich Engels. The Communist Manifesto. Diterjemahkan oleh Samuel Moore.
London: Penguin Books, 1967.
o
Buku ini relevan untuk memahami perbedaan ideologi komunisme dengan
Pancasila.
15)
John Stuart Mill. On
Liberty. London: Longman, 1859.
o
Buku ini memberikan wawasan tentang kebebasan individu yang sejalan
dengan demokrasi Pancasila.
16)
Mochtar Kusumaatmadja. Konsepsi Hukum dalam Pembangunan. Bandung: Alumni, 1986.
o
Buku ini mengkaji hubungan antara hukum, pembangunan, dan Pancasila.
17)
Risalah Sidang BPUPKI-PPKI. Jakarta: Sekretariat Negara, 1995.
o
Dokumen sejarah resmi yang menjadi sumber utama kajian tentang lahirnya
Pancasila.
18)
Bung Hatta. Menuju
Negara Hukum. Jakarta: LP3ES, 1976.
o
Buku ini membahas pandangan Bung Hatta tentang dasar negara dan
Pancasila.
19)
Bung Hatta. Demokrasi
Kita. Jakarta: Tintamas, 1977.
o
Buku ini mengulas pemikiran demokrasi dalam konteks Pancasila.
20)
Sartono Kartodirdjo. Pengantar
Sejarah Indonesia Baru. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1992.
o
Buku ini memberikan konteks historis yang relevan dengan perumusan
Pancasila.
Daftar Pustaka
Aristoteles. Nicomachean Ethics. Diterjemahkan
oleh Terence Irwin. Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1999.
Azyumardi Azra. Islam, State, and Democracy in
Indonesia. Jakarta: The Asia Foundation, 2006.
BPS RI. Laporan Indeks Kesenjangan Ekonomi
Indonesia 2022. Jakarta: Badan Pusat Statistik, 2022.
Clifford Geertz. The Interpretation of Cultures.
New York: Basic Books, 1973.
Clifford Geertz. The Religion of Java.
Chicago: University of Chicago Press, 1960.
Franz Magnis-Suseno. Etika Politik: Prinsip
Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: Gramedia, 1992.
Giddens, Anthony. Runaway World: How
Globalisation is Reshaping Our Lives. London: Profile Books, 1999.
Hans Küng. Global Responsibility: In Search of a
New World Ethic. New York: Continuum, 1991.
Jean-Jacques Rousseau. The Social Contract.
Diterjemahkan oleh G.D.H. Cole. London: Penguin Classics, 1968.
John Rawls. A Theory of Justice. Cambridge:
Harvard University Press, 1971.
John Stuart Mill. On Liberty. London:
Longman, 1859.
Karl Mannheim. Ideology and Utopia. London:
Routledge, 1936.
Karl Marx. The Communist Manifesto.
Diterjemahkan oleh Samuel Moore. London: Penguin Books, 1967.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Evaluasi
Implementasi Pendidikan Pancasila. Jakarta: Kemendikbud, 2021.
Kementerian Sosial RI. Program Keluarga Harapan:
Upaya Meningkatkan Kesejahteraan Sosial. Jakarta: Kemensos RI, 2023.
Mochtar Kusumaatmadja. Konsepsi Hukum dalam
Pembangunan. Bandung: Alumni, 1986.
Notonagoro. Pancasila Secara Ilmiah dan Populer.
Jakarta: Pantjuran Tujuh, 1967.
Soekarno. Lahirnya Pancasila. Dalam Pidato
di Depan BPUPKI 1 Juni 1945. Jakarta: Balai Pustaka, 1945.
Transparency International Indonesia. Indeks
Persepsi Korupsi 2023. Jakarta: TII, 2023.
Undang-Undang Dasar 1945, Pasal-Pasal dan
Pembukaan.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia.
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional.
Risalah Sidang BPUPKI-PPKI. Jakarta: Sekretariat Negara, 1995.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar