Kamis, 05 Desember 2024

Kajian Filsafat: Pancasila sebagai Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia

 Kajian Filsafat: Pancasila sebagai Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia


1.           Pendahuluan

Pancasila merupakan dasar negara Republik Indonesia yang mengandung nilai-nilai filosofis, ideologis, dan historis yang penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai hasil perenungan mendalam para pendiri bangsa, Pancasila bukan hanya sekadar pedoman formalitas kenegaraan, tetapi juga jiwa dan kepribadian bangsa yang merefleksikan kebhinnekaan Indonesia. Di tengah berbagai tantangan globalisasi dan perubahan zaman, kajian filosofis mengenai Pancasila menjadi sangat penting untuk memastikan bahwa nilai-nilainya tetap relevan dalam menjawab kebutuhan masyarakat dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Pada awal perumusan Pancasila, Indonesia menghadapi tantangan berat untuk menyatukan wilayah dan masyarakat yang sangat majemuk. Sebagai sebuah konsep, Pancasila tidak hanya menjadi dasar konstitusional negara, tetapi juga menjadi panduan moral yang membangun harmoni di tengah perbedaan suku, agama, dan budaya. Para pendiri bangsa, seperti Soekarno dan Mohammad Hatta, menyadari pentingnya sebuah dasar negara yang mampu mengakomodasi pluralitas masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, Pancasila dirumuskan dengan prinsip-prinsip universal yang dapat diterima oleh seluruh rakyat Indonesia, tanpa mengabaikan kekhasan nilai-nilai lokal dan budaya yang telah ada sebelumnya.[1]

Dalam perspektif filsafat, Pancasila memiliki arti yang mendalam karena ia menghubungkan dimensi metafisik (hubungan manusia dengan Tuhan), etika (hubungan manusia dengan sesama), dan estetika (harmoni kehidupan sosial).[2] Dengan demikian, Pancasila bukan hanya sekadar kumpulan sila, tetapi juga cerminan dari inti nilai-nilai kehidupan yang luhur dan berakar pada tradisi bangsa Indonesia. Kajian ini bertujuan untuk mendalami Pancasila sebagai dasar negara dengan pendekatan filosofis, menganalisis nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, serta mengevaluasi relevansinya dalam menghadapi tantangan kontemporer.

Kajian tentang Pancasila sebagai dasar negara menjadi semakin relevan di tengah ancaman ideologi transnasional, fragmentasi sosial, dan disintegrasi nilai-nilai kebangsaan. Dengan mendalami Pancasila, kita dapat memahami kembali esensinya sebagai fondasi yang menyatukan bangsa Indonesia. Artikel ini diharapkan dapat memberikan kontribusi ilmiah dan pemahaman komprehensif mengenai Pancasila dari perspektif filsafat sebagai dasar negara NKRI.


Catatan Kaki

[1]              Soekarno, Lahirnya Pancasila, dalam Pidato di Depan BPUPKI 1 Juni 1945 (Jakarta: Balai Pustaka, 1945), hlm. 10.

[2]              Notonagoro, Pancasila Secara Ilmiah dan Populer (Jakarta: Pantjuran Tujuh, 1967), hlm. 23.


2.           Konsep Dasar Filsafat dan Negara

Dalam konteks filsafat, dasar negara adalah landasan fundamental yang memberikan arah bagi keberadaan, struktur, dan tujuan sebuah negara. Filsafat sebagai ilmu yang bersifat reflektif dan kritis membantu membedah konsep dasar negara tidak hanya dari segi legalistik, tetapi juga nilai-nilai moral, etis, dan metafisik yang menjadi inti dari keberlangsungan sebuah masyarakat politik. Dalam hal ini, dasar negara berfungsi sebagai pedoman nilai dan ideologi yang mengikat seluruh warga negara dalam suatu tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.[3]

Secara filosofis, dasar negara merujuk pada nilai-nilai ontologis yang mencerminkan hakikat manusia dan masyarakat. Negara tidak hanya dipandang sebagai entitas politik, tetapi juga sebagai manifestasi nilai-nilai yang mendukung kehidupan bersama yang harmonis. Plato dalam The Republic mengemukakan bahwa keadilan adalah prinsip utama yang harus menopang kehidupan negara.[4] Hal ini sejalan dengan pemikiran Aristoteles yang memandang negara sebagai komunitas tertinggi yang bertujuan mencapai kebaikan bersama (common good).[5] Dalam konteks Indonesia, Pancasila mengintegrasikan nilai-nilai universal tersebut dengan kearifan lokal untuk menciptakan dasar negara yang sesuai dengan karakteristik bangsa.

Dasar negara juga bersifat teleologis, yakni mengarahkan negara kepada tujuan yang ingin dicapai. Dalam pandangan filsafatpolitik modern, John Locke dan Montesquieu mengemukakan bahwa negara harus menjamin hak-hak dasar warga negara, seperti kebebasan dan keadilan.[6] Prinsip ini tercermin dalam Pancasila yang tidak hanya mengedepankan keadilan sosial (Sila Kelima), tetapi juga menegaskan perlunya demokrasi yang berbasis musyawarah (Sila Keempat). Dengan demikian, Pancasila mengakomodasi nilai-nilai modern dalam filsafat politik, sambil tetap mengutamakan identitas dan kepribadian bangsa Indonesia.

Selain itu, dasar negara tidak terlepas dari aspek ideologis. Ideologi adalah sistem gagasan yang memberikan arah dan justifikasi atas tindakan negara. Louis Althusser memandang ideologi sebagai instrumen yang memungkinkan negara berfungsi secara efektif dalam mengorganisasi masyarakat.[7] Dalam konteks ini, Pancasila bukan hanya sekadar panduan teoretis, tetapi juga menjadi ideologi negara yang hidup dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia.

Pancasila, dengan lima silanya, mengintegrasikan nilai-nilai religius, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial. Nilai-nilai ini tidak hanya memiliki landasan historis, tetapi juga filsafat yang mendalam. Sebagai dasar negara, Pancasila menjadi cerminan dari upaya bangsa Indonesia untuk menjadikan negara sebagai instrumen yang mendukung kehidupan yang bermartabat bagi seluruh warganya.


Catatan Kaki

[3]              Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm. 15.

[4]              Plato, The Republic, diterjemahkan oleh Desmond Lee (London: Penguin Classics, 2007), hlm. 45.

[5]              Aristotle, Politics, diterjemahkan oleh C.D.C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1998), hlm. 17.

[6]              John Locke, Second Treatise of Government, diterjemahkan oleh C.B. Macpherson (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1980), hlm. 8.

[7]              Louis Althusser, Ideology and Ideological State Apparatuses, dalam Lenin and Philosophy and Other Essays (New York: Monthly Review Press, 1971), hlm. 123.


3.           Sejarah dan Latar Belakang Pancasila

Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia memiliki akar historis yang mendalam dan kontekstual. Proses perumusannya tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan melalui diskusi panjang yang melibatkan berbagai pandangan dan kepentingan dari tokoh-tokoh bangsa. Momentum sejarah ini mencerminkan usaha kolektif para pendiri negara dalam menggali nilai-nilai yang mampu menyatukan bangsa Indonesia yang majemuk.

3.1.       Proses Perumusan Pancasila

Proses perumusan Pancasila dimulai pada sidang pertama Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 29 Mei hingga 1 Juni 1945. Dalam sidang ini, para anggota membahas dasar negara yang akan menjadi fondasi Republik Indonesia. Salah satu momen penting adalah pidato Ir. Soekarno pada 1 Juni 1945, yang dikenal sebagai lahirnya konsep Pancasila. Dalam pidatonya, Soekarno mengusulkan lima sila: Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau Perikemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan yang Berkebudayaan.[8]

Selain Soekarno, tokoh-tokoh seperti Mohammad Yamin dan Dr. Soepomo juga memberikan kontribusi penting. Mohammad Yamin, dalam pidatonya pada 29 Mei 1945, mengemukakan lima asas dasar negara yang meliputi peri kebangsaan, peri kemanusiaan, peri ketuhanan, peri kerakyatan, dan kesejahteraan rakyat.[9] Sementara itu, Dr. Soepomo menekankan konsep negara integralistik yang menempatkan negara sebagai representasi dari kehendak rakyat secara kolektif.[10] Perdebatan ini menunjukkan bahwa Pancasila merupakan hasil kompromi antara berbagai ideologi, nilai budaya, dan tradisi bangsa Indonesia.

3.2.       Akar Historis Pancasila

Secara historis, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila tidak sepenuhnya baru. Mereka berakar pada budaya dan kehidupan masyarakat Indonesia yang telah ada jauh sebelum penjajahan. Tradisi gotong royong, musyawarah, dan kearifan lokal lainnya menjadi landasan awal yang kemudian dirumuskan menjadi sila-sila dalam Pancasila. Nilai-nilai ini mencerminkan kepribadian bangsa yang toleran, religius, dan mengedepankan harmoni sosial.[11]

Selain itu, latar belakang Pancasila juga dipengaruhi oleh perkembangan ideologi modern pada awal abad ke-20, seperti nasionalisme, sosialisme, dan demokrasi. Pergerakan kebangsaan Indonesia, termasuk organisasi seperti Budi Utomo, Sarekat Islam, dan Muhammadiyah, turut memperkaya wawasan para pendiri bangsa dalam merumuskan dasar negara.[12] Pancasila pada akhirnya berhasil mengintegrasikan nilai-nilai lokal dan modern, menjadikannya sebagai dasar negara yang unik dan kontekstual.

3.3.       Pancasila sebagai Solusi Kebhinnekaan

Konteks historis Indonesia yang majemuk, baik dari segi agama, suku, maupun budaya, menjadikan Pancasila sebagai pilihan yang ideal untuk menyatukan bangsa. Dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945, Pancasila resmi disahkan sebagai dasar negara setelah melalui kompromi penting, termasuk perubahan sila pertama dari "Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa."[13] Perubahan ini mencerminkan semangat inklusivitas dan persatuan di tengah perbedaan.


Catatan Kaki

[8]              Soekarno, Lahirnya Pancasila, dalam Pidato di Depan BPUPKI 1 Juni 1945 (Jakarta: Balai Pustaka, 1945), hlm. 12.

[9]              Mohammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1971), hlm. 45.

[10]          Dr. Soepomo, Pidato dalam Sidang BPUPKI, 31 Mei 1945, dalam Risalah Sidang BPUPKI-PPKI (Jakarta: Sekretariat Negara, 1995), hlm. 95.

[11]          Notonagoro, Pancasila Secara Ilmiah dan Populer (Jakarta: Pantjuran Tujuh, 1967), hlm. 31.

[12]          Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1992), hlm. 210.

[13]          Risalah Sidang BPUPKI-PPKI, (Jakarta: Sekretariat Negara, 1995), hlm. 139.


4.           Analisis Filosofis Pancasila

Pancasila sebagai dasar negara tidak hanya memiliki dimensi historis, tetapi juga mengandung nilai-nilai filosofis yang mendalam. Kelima sila dalam Pancasila mencerminkan prinsip-prinsip dasar yang menyatukan ontologi (hakikat keberadaan), epistemologi (cara memperoleh pengetahuan), dan aksiologi (nilai dan tujuan) bangsa Indonesia. Analisis filosofis terhadap setiap sila menunjukkan kedalaman makna yang dapat diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.


4.1.       Filsafat Ketuhanan (Sila Pertama)

Sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, memiliki kedudukan istimewa sebagai landasan spiritual dan moral dalam sistem kenegaraan Indonesia. Secara filosofis, sila ini mencerminkan hubungan antara negara dan nilai-nilai transendental, yang menjadi fondasi etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Filsafat Ketuhanan dalam sila pertama tidak hanya menegaskan pengakuan terhadap Tuhan, tetapi juga menekankan inklusivitas dan harmoni dalam keberagaman keyakinan masyarakat Indonesia.

4.1.1.    Ontologi Ketuhanan Yang Maha Esa

Secara ontologis, Ketuhanan Yang Maha Esa mengakui keberadaan Tuhan sebagai sumber segala sesuatu dan pusat dari nilai-nilai moral. Pemikiran ini sesuai dengan pandangan teologis dan metafisik yang menempatkan Tuhan sebagai "Ens Realissimum" atau keberadaan yang paling sempurna, sebagaimana dirumuskan dalam filsafat Immanuel Kant.[14] Dalam konteks Pancasila, pengakuan terhadap Ketuhanan tidak terbatas pada satu agama atau kepercayaan, tetapi mencerminkan prinsip universal yang menghormati keberagaman pandangan tentang Tuhan.

Indonesia, dengan latar belakang pluralitas agama, mengembangkan konsep Ketuhanan yang tidak bersifat eksklusif. Notonagoro menjelaskan bahwa sila pertama Pancasila mengintegrasikan nilai-nilai Ketuhanan yang bersifat nasionalis, menghindari dominasi agama tertentu, tetapi tetap memegang teguh nilai-nilai spiritual yang menjadi dasar moralitas bangsa.[15] Dengan demikian, sila pertama menjadi titik temu antara nilai-nilai religius dan nasionalisme.

4.1.2.    Epistemologi Ketuhanan Yang Maha Esa

Dalam epistemologi, sila pertama menekankan pentingnya dialog antaragama sebagai cara untuk memahami nilai-nilai Ketuhanan. Konsep ini sejalan dengan gagasan Hans Küng tentang "Ethics of World Religions," yang menekankan bahwa agama-agama memiliki nilai universal yang dapat menjadi landasan etika global.[16] Dalam kerangka Pancasila, dialog dan toleransi menjadi cara memperoleh hikmah dari keragaman keyakinan, sehingga nilai Ketuhanan menjadi kekuatan pemersatu, bukan pemecah.

Sila pertama juga mendorong pendidikan dan pengetahuan tentang agama yang bersifat inklusif. Hal ini bertujuan menciptakan masyarakat yang tidak hanya memahami agama mereka sendiri, tetapi juga mampu menghormati keyakinan orang lain. Dengan demikian, Ketuhanan dalam Pancasila mencerminkan pendekatan epistemologi yang berbasis pada toleransi, pemahaman, dan dialog.

4.1.3.    Aksiologi Ketuhanan Yang Maha Esa

Dari perspektif aksiologi, sila pertama memiliki tujuan untuk menciptakan harmoni sosial yang didasarkan pada nilai-nilai spiritual. Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi landasan bagi kehidupan yang berkeadaban, di mana tindakan dan kebijakan negara harus mencerminkan nilai-nilai keadilan, kasih sayang, dan kemanusiaan yang diajarkan oleh berbagai agama.[17]

Aksiologi sila ini juga terlihat dalam kerangka hukum dan konstitusi Indonesia. Sebagai contoh, Pasal 29 Ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa "Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa," yang menunjukkan bahwa nilai-nilai Ketuhanan menjadi pedoman dalam membentuk peraturan perundang-undangan.[18] Namun, implementasi nilai Ketuhanan harus tetap menghormati hak-hak individu untuk memilih dan menjalankan keyakinannya masing-masing, sebagaimana diatur dalam Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945.

4.1.4.    Implementasi Ketuhanan Yang Maha Esa

Implementasi sila pertama mencakup berbagai aspek kehidupan, seperti:

1)                  Hubungan Antaragama:

Pemerintah mendorong kerukunan antarumat beragama melalui kebijakan yang adil dan tidak diskriminatif.[19]

2)                  Pendidikan Agama:

Sistem pendidikan di Indonesia mewajibkan pelajaran agama sebagai bagian dari kurikulum nasional, namun tetap menghormati kebebasan beragama.[20]

3)                  Hukum dan Kebijakan:

Kebijakan negara mencerminkan nilai-nilai Ketuhanan yang inklusif, seperti pengakuan terhadap agama-agama besar yang diakui oleh pemerintah.

Melalui implementasi ini, sila pertama menjadi kekuatan moral yang mendasari kehidupan berbangsa dan bernegara, serta memberikan arah bagi terciptanya masyarakat yang damai, adil, dan berkeadaban.


4.2.       Filsafat Kemanusiaan (Sila Kedua)

Sila kedua Pancasila, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, mencerminkan nilai-nilai humanisme universal yang menempatkan manusia sebagai makhluk bermartabat. Secara filosofis, sila ini mencakup penghormatan terhadap hak asasi manusia, keadilan sosial, dan peradaban yang menjunjung tinggi etika dan moralitas. Dalam konteks filsafat, sila ini menghubungkan dimensi individu dan kolektif dalam upaya mewujudkan masyarakat yang harmonis dan berkeadaban.


4.2.1.    Ontologi Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

Secara ontologis, sila kedua menegaskan bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki martabat dan hak yang setara. Pandangan ini sejalan dengan gagasan Immanuel Kant yang menyatakan bahwa manusia adalah tujuan akhir (end in itself) dan tidak boleh diperlakukan semata sebagai alat.[21] Dalam Pancasila, martabat manusia dipahami sebagai hakikat yang melekat pada setiap individu, terlepas dari latar belakang agama, budaya, atau suku.

Dalam konteks Indonesia, sila ini mengakui keragaman manusia sebagai realitas ontologis yang harus dihormati. Notonagoro menekankan bahwa nilai kemanusiaan dalam Pancasila bersumber pada pandangan hidup bangsa Indonesia yang mengedepankan gotong royong, rasa hormat, dan solidaritas.[22] Dengan demikian, sila ini menjadi dasar bagi kehidupan yang menjunjung tinggi penghormatan terhadap hak dan kewajiban manusia.


4.2.2.    Epistemologi Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

Dari sudut pandang epistemologi, sila kedua menekankan pentingnya pemahaman dan penghormatan terhadap martabat manusia melalui pendidikan, dialog, dan musyawarah. Humanisme dalam sila ini tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga praktis, dengan mendorong sikap saling memahami dan bekerja sama di antara individu yang berbeda latar belakang.[23]

Prinsip epistemologi sila ini juga mengacu pada kesadaran kolektif untuk memerangi diskriminasi, penindasan, dan eksploitasi. Pendidikan menjadi sarana utama dalam membangun masyarakat yang menghormati nilai-nilai kemanusiaan. Dalam Pancasila, pendidikan bukan hanya bertujuan untuk mencetak individu yang cerdas secara intelektual, tetapi juga yang berkeadilan dan berkeadaban.[24]


4.2.3.    Aksiologi Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

Secara aksiologis, sila kedua bertujuan untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang adil dan bermoral. Konsep keadilan yang dimaksud mencakup aspek distributif (pembagian hak dan kewajiban secara proporsional) dan retributif (penegakan hukum yang adil).[25] Selain itu, peradaban yang beradab mencerminkan tatanan masyarakat yang didasarkan pada nilai-nilai etika, estetika, dan spiritualitas.

Kemanusiaan yang adil dan beradab juga berarti bahwa bangsa Indonesia harus menghormati hak-hak dasar individu, termasuk kebebasan berpendapat, kebebasan beragama, dan kebebasan dari penindasan. Pasal 28A hingga 28J UUD 1945 yang menjamin hak asasi manusia adalah implementasi langsung dari nilai-nilai sila kedua ini.[26]


4.2.4.    Implementasi Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

Implementasi sila kedua dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melibatkan berbagai aspek, di antaranya:

1)                  Hak Asasi Manusia:

Negara berkewajiban melindungi hak asasi setiap warga negara tanpa diskriminasi, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.[27]

2)                  Pemberantasan Ketidakadilan:

Kebijakan negara diarahkan untuk mengurangi ketimpangan sosial dan memastikan bahwa setiap individu memiliki akses yang sama terhadap sumber daya ekonomi, pendidikan, dan kesehatan.

3)                  Pendidikan Kemanusiaan:

Sistem pendidikan nasional dirancang untuk membentuk manusia Indonesia yang memiliki empati, toleransi, dan kemampuan untuk menghormati keberagaman.

Dalam konteks global, sila kedua juga mendukung partisipasi aktif Indonesia dalam menjaga perdamaian dunia. Hal ini tercermin dalam politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif, serta komitmen terhadap misi perdamaian internasional melalui PBB.


Kesimpulan

Sila kedua Pancasila mengandung nilai-nilai kemanusiaan yang universal, tetapi diimplementasikan sesuai dengan konteks budaya dan karakter bangsa Indonesia. Melalui penghormatan terhadap martabat manusia, keadilan sosial, dan etika moral, sila ini menjadi landasan bagi terciptanya masyarakat Indonesia yang beradab dan bermartabat.


4.3.       Filsafat Persatuan (Sila Ketiga)

Sila ketiga Pancasila, Persatuan Indonesia, merupakan fondasi utama bagi keutuhan bangsa yang majemuk. Secara filosofis, sila ini mencerminkan nilai-nilai integrasi nasional yang bertumpu pada kesadaran kolektif untuk hidup bersama dalam perbedaan. Dalam konteks filsafat, persatuan bukan sekadar aspek politis atau geografis, tetapi juga dimensi etis dan ontologis yang mendalam.


4.3.1.    Ontologi Persatuan Indonesia

Ontologi sila ketiga menempatkan persatuan sebagai hakikat eksistensi bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia dipahami bukan sekadar kumpulan individu atau komunitas, tetapi sebuah entitas yang utuh dengan semangat kebersamaan.[28] Pemikiran ini sejalan dengan pandangan filsafat integralistik yang dikemukakan oleh Dr. Soepomo, yang melihat negara sebagai satu kesatuan yang mencerminkan kehendak kolektif masyarakat.[29]

Persatuan dalam Pancasila bukan berarti meniadakan perbedaan, tetapi mengharmonisasikan keragaman menjadi kekuatan bersama. Notonagoro menekankan bahwa sila ini berakar pada kearifan lokal bangsa Indonesia, seperti gotong royong dan musyawarah, yang mengajarkan pentingnya solidaritas di tengah kebhinekaan.[30] Dengan demikian, ontologi persatuan Indonesia adalah keberadaan yang berlandaskan pada kebersamaan, bukan homogenitas.


4.3.2.    Epistemologi Persatuan Indonesia

Epistemologi sila ketiga berakar pada kesadaran akan keberagaman yang menjadi ciri khas Indonesia. Pemahaman tentang nilai persatuan dicapai melalui dialog, pendidikan, dan pengalaman kolektif. Pemikiran ini sejalan dengan gagasan Jurgen Habermas tentang komunikasi deliberatif, di mana pemahaman bersama tercapai melalui interaksi yang setara dan saling menghormati.[31]

Dalam konteks Pancasila, epistemologi persatuan memerlukan upaya untuk memahami dan menghormati keragaman agama, budaya, bahasa, dan adat istiadat. Pendidikan Pancasila menjadi sarana utama dalam menanamkan kesadaran ini sejak dini, sehingga generasi penerus bangsa memahami bahwa persatuan Indonesia adalah kebutuhan bersama yang tidak dapat ditawar.


4.3.3.    Aksiologi Persatuan Indonesia

Secara aksiologis, sila ketiga bertujuan menciptakan harmoni sosial di tengah keragaman bangsa. Nilai persatuan mengajarkan bahwa konflik yang muncul akibat perbedaan harus diselesaikan melalui dialog dan musyawarah, bukan dengan kekerasan.[32] Aksiologi ini mencerminkan cita-cita bersama bangsa Indonesia untuk hidup dalam damai, toleransi, dan solidaritas.

Persatuan juga memiliki dimensi praktis yang tercermin dalam sistem politik dan hukum Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai wujud konkret dari persatuan bangsa.[33] Selain itu, kebijakan nasional seperti pengembangan daerah otonomi mencerminkan upaya untuk menjaga keseimbangan antara keutuhan nasional dan keberagaman lokal.


4.3.4.    Implementasi Persatuan Indonesia

Implementasi sila ketiga melibatkan berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara:

1)                  Pendidikan Persatuan:

Kurikulum nasional mencakup pendidikan kewarganegaraan dan Pancasila yang bertujuan membentuk kesadaran kolektif akan pentingnya persatuan.[34]

2)                  Kerukunan Antarbangsa:

Persatuan Indonesia tidak hanya berlaku di dalam negeri, tetapi juga tercermin dalam politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif, dengan tujuan menjaga perdamaian dunia.[35]

3)                  Pemajuan Wilayah Terpencil:

Kebijakan pembangunan nasional diarahkan untuk mengurangi kesenjangan antardaerah, sehingga seluruh wilayah Indonesia merasa menjadi bagian dari persatuan bangsa.


4.3.5.    Tantangan dan Relevansi Persatuan Indonesia

Meski persatuan adalah nilai fundamental, tantangan terhadap sila ketiga tetap ada. Ancaman separatisme, konflik horizontal, dan pengaruh ideologi transnasional dapat mengganggu keutuhan bangsa. Untuk itu, diperlukan strategi yang adaptif dalam memperkuat nilai persatuan, seperti memperkuat pendidikan karakter, mempromosikan toleransi, dan meningkatkan keadilan sosial.

Sila ketiga tetap relevan dalam menghadapi era globalisasi yang cenderung menciptakan fragmentasi identitas. Dengan mengedepankan nilai persatuan, Indonesia dapat menjaga integritas nasional sambil tetap terbuka terhadap dinamika global.


Kesimpulan

Filsafat persatuan dalam sila ketiga Pancasila adalah landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis yang mengintegrasikan keberagaman bangsa Indonesia ke dalam satu kesatuan yang harmonis. Persatuan bukan sekadar konsep formal, tetapi juga nilai praktis yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, baik di tingkat individu maupun kolektif.


4.4.       Filsafat Demokrasi (Sila Keempat)

Sila keempat Pancasila, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, menegaskan prinsip demokrasi khas Indonesia yang berakar pada nilai-nilai musyawarah dan mufakat. Secara filosofis, sila ini mencerminkan pandangan bahwa kekuasaan negara berasal dari rakyat, dikelola dengan kebijaksanaan, dan bertujuan untuk mewujudkan keadilan sosial. Demokrasi dalam konteks Pancasila tidak hanya mengacu pada praktik prosedural, tetapi juga mengandung nilai-nilai etika yang menjunjung tinggi keharmonisan, keadilan, dan kesejahteraan bersama.


4.4.1.    Ontologi Demokrasi Pancasila

Secara ontologis, sila keempat menempatkan rakyat sebagai sumber kedaulatan dan legitimasi kekuasaan negara.[36] Pandangan ini selaras dengan konsep demokrasi dalam filsafat politik modern, seperti yang dikemukakan oleh Jean-Jacques Rousseau dalam The Social Contract, bahwa kekuasaan berasal dari kehendak umum (general will).[37] Dalam Pancasila, demokrasi tidak bersifat liberal individualistik, tetapi integralistik, di mana individu dan masyarakat dipandang sebagai satu kesatuan yang saling melengkapi.[38]

Musyawarah dan mufakat menjadi landasan ontologis demokrasi Pancasila, yang berbeda dengan demokrasi mayoritarian. Sistem ini mencerminkan nilai kearifan lokal bangsa Indonesia, seperti yang ditemukan dalam tradisi adat nusantara, di mana keputusan diambil berdasarkan konsensus bersama demi kepentingan kolektif.


4.4.2.    Epistemologi Demokrasi Pancasila

Epistemologi sila keempat menekankan pentingnya kebijaksanaan (hikmat kebijaksanaan) dalam proses pengambilan keputusan. Kebijaksanaan dalam demokrasi Pancasila mengacu pada penggunaan akal budi, pengalaman, dan pertimbangan moral untuk mencapai kesepakatan yang adil.[39]

Dalam kerangka epistemologi ini, demokrasi tidak hanya tentang proses memilih pemimpin, tetapi juga tentang dialog, diskusi, dan musyawarah yang melibatkan berbagai pihak. Konsep ini sejalan dengan pandangan Jurgen Habermas tentang demokrasi deliberatif, yang menekankan pentingnya komunikasi dan rasionalitas dalam pengambilan keputusan.[40] Dalam konteks Indonesia, pendidikan politik dan partisipasi aktif masyarakat menjadi instrumen utama untuk meningkatkan kualitas demokrasi.


4.4.3.    Aksiologi Demokrasi Pancasila

Secara aksiologis, sila keempat bertujuan menciptakan kehidupan yang harmonis dan berkeadilan melalui partisipasi aktif rakyat dalam pengambilan keputusan politik. Demokrasi Pancasila mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban, sehingga setiap warga negara memiliki tanggung jawab untuk berkontribusi pada kesejahteraan bersama.[41]

Prinsip permusyawaratan/representasi dalam sila ini juga bertujuan untuk menghindari konflik kepentingan dan dominasi kelompok tertentu. Dalam praktiknya, nilai ini diwujudkan melalui sistem perwakilan rakyat, seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang berfungsi sebagai wadah untuk menyalurkan aspirasi rakyat.[42]


4.4.4.    Implementasi Demokrasi Pancasila

Implementasi sila keempat mencakup berbagai aspek, antara lain:

1)                  Musyawarah dalam Pengambilan Keputusan:

Musyawarah menjadi prinsip utama dalam berbagai tingkat pemerintahan, seperti dalam rapat desa, legislatif, hingga sidang kabinet.

2)                  Sistem Perwakilan:

Demokrasi Pancasila diterapkan melalui sistem perwakilan yang menjunjung prinsip keadilan dan keberagaman. Hal ini tercermin dalam struktur keanggotaan DPR yang mencerminkan pluralitas bangsa.[43]

3)                  Partisipasi Publik:

Pendidikan politik dan pelibatan masyarakat dalam proses demokrasi, seperti pemilu dan musyawarah desa, bertujuan untuk memperkuat legitimasi demokrasi.


4.4.5.    Tantangan Demokrasi Pancasila

Meskipun demokrasi Pancasila memiliki landasan filosofis yang kuat, tantangan tetap ada. Ancaman korupsi, politisasi agama, dan rendahnya partisipasi politik masyarakat dapat menghambat implementasi sila ini. Untuk itu, penguatan pendidikan politik, penegakan hukum, dan pembangunan budaya musyawarah yang sehat menjadi langkah penting dalam menghadapi tantangan tersebut.


Kesimpulan

Filsafat demokrasi dalam sila keempat Pancasila menegaskan pentingnya nilai-nilai musyawarah, kebijaksanaan, dan partisipasi rakyat dalam sistem kenegaraan. Demokrasi Pancasila tidak hanya bersifat prosedural, tetapi juga substansial, dengan tujuan menciptakan kehidupan yang adil, harmonis, dan berkeadaban.


4.5.       Filsafat Keadilan Sosial (Sila Kelima)

Sila kelima Pancasila, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, menegaskan tujuan utama kehidupan bernegara: mewujudkan keadilan dalam berbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Secara filosofis, sila ini mengandung nilai-nilai yang berorientasi pada pemerataan, kesejahteraan bersama, dan perlindungan terhadap hak-hak setiap individu maupun kelompok. Filsafat keadilan sosial dalam sila kelima tidak hanya mencerminkan prinsip keadilan distributif, tetapi juga melibatkan keadilan retributif dan komutatif yang berlandaskan pada nilai-nilai kemanusiaan.


4.5.1.    Ontologi Keadilan Sosial

Ontologi sila kelima menempatkan keadilan sebagai hakikat hubungan antarindividu dalam masyarakat. Dalam pandangan Aristoteles, keadilan adalah virtue yang mendasari hubungan manusia untuk memberikan "kepada masing-masing apa yang menjadi haknya."[44] Dalam konteks Pancasila, keadilan sosial tidak hanya mencakup keadilan antarindividu, tetapi juga keadilan struktural yang bertujuan mengurangi kesenjangan sosial-ekonomi yang ada di masyarakat.[45]

Notonagoro menjelaskan bahwa keadilan sosial dalam Pancasila adalah wujud dari keseimbangan antara hak dan kewajiban setiap warga negara, dengan mengedepankan tanggung jawab kolektif untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik bagi semua.[46] Hal ini mencerminkan prinsip keadilan yang holistik, di mana kepentingan individu dan masyarakat saling melengkapi.


4.5.2.    Epistemologi Keadilan Sosial

Epistemologi sila kelima bertumpu pada cara memperoleh pengetahuan tentang keadilan melalui pengalaman, dialog, dan kajian terhadap realitas sosial. Konsep ini sejalan dengan gagasan John Rawls dalam A Theory of Justice, yang menekankan pentingnya "tirai ketidaktahuan" (veil of ignorance) untuk mencapai kebijakan yang adil tanpa bias terhadap kelompok tertentu.[47]

Dalam demokrasi Pancasila, epistemologi keadilan sosial melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan distribusi sumber daya dan peluang. Pendidikan menjadi instrumen utama untuk menanamkan kesadaran akan pentingnya keadilan sosial, baik pada tingkat individu maupun kolektif.


4.5.3.    Aksiologi Keadilan Sosial

Aksiologi sila kelima menekankan nilai-nilai yang bertujuan menciptakan kesejahteraan dan kesetaraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Nilai-nilai tersebut mencakup:

1)                  Pemerataan Ekonomi:

Mengurangi kesenjangan antara kelompok kaya dan miskin melalui kebijakan redistributif, seperti pajak progresif, subsidi, dan bantuan sosial.[48]

2)                  Pemberdayaan Masyarakat:

Meningkatkan kapasitas masyarakat miskin dan marjinal melalui akses pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan.

3)                  Kesejahteraan Bersama:

Mewujudkan common good yang mencakup kepentingan individu dan kolektif, seperti pembangunan infrastruktur dan layanan publik yang merata.[49]

Aksiologi ini mencerminkan etika keadilan yang tidak hanya bersifat legal-formal, tetapi juga substantif, dengan tujuan menciptakan kehidupan yang bermartabat bagi seluruh rakyat Indonesia.


4.5.4.    Implementasi Keadilan Sosial

Implementasi sila kelima diwujudkan melalui berbagai kebijakan dan program yang bertujuan menciptakan pemerataan dan kesejahteraan bersama:

1)                  Kebijakan Ekonomi:

Program-program seperti subsidi, redistribusi tanah melalui reforma agraria, dan pembangunan daerah tertinggal adalah bentuk konkret dari nilai keadilan sosial.[50]

2)                  Kesejahteraan Sosial:

Jaminan sosial, seperti BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan, merupakan upaya negara untuk melindungi hak-hak warga negara yang kurang mampu.

3)                  Pemberantasan Kemiskinan:

Program pemerintah seperti Program Keluarga Harapan (PKH) bertujuan mengurangi kemiskinan secara berkelanjutan.

Keadilan sosial juga terlihat dalam kebijakan pembangunan yang berfokus pada keberlanjutan lingkungan, seperti upaya mengurangi kerusakan alam dan memberikan akses yang adil terhadap sumber daya alam.


4.5.5.    Tantangan dan Relevansi Keadilan Sosial

Meski nilai keadilan sosial telah menjadi tujuan utama, pelaksanaannya menghadapi berbagai tantangan, seperti:

1)                  Kesenjangan Sosial-Ekonomi:

Perbedaan antara daerah maju dan tertinggal masih menjadi hambatan dalam menciptakan keadilan yang merata.

2)                  Korupsi dan Penyalahgunaan Kekuasaan:

Praktik korupsi merugikan masyarakat miskin dan menghambat distribusi sumber daya.

3)                  Globalisasi:

Tantangan dari ekonomi global sering kali memperlebar kesenjangan sosial, terutama bagi kelompok yang tidak memiliki daya saing.

Untuk menghadapi tantangan tersebut, diperlukan upaya penguatan sistem hukum, transparansi dalam pengelolaan anggaran, dan pembangunan berkelanjutan yang berorientasi pada keadilan.


Kesimpulan

Filsafat keadilan sosial dalam sila kelima Pancasila mencerminkan komitmen bangsa Indonesia untuk menciptakan kehidupan yang adil, sejahtera, dan bermartabat bagi seluruh rakyat. Dengan pendekatan ontologis, epistemologis, dan aksiologis, sila ini tidak hanya menjadi cita-cita, tetapi juga pedoman konkret dalam membangun masyarakat yang inklusif dan berkeadilan.


Keseluruhan Makna Filosofis

Pancasila, dalam analisis filosofis, adalah sistem nilai yang terintegrasi, di mana setiap sila saling melengkapi dan memperkuat. Pancasila mencerminkan pandangan dunia (worldview) bangsa Indonesia yang mengutamakan keseimbangan antara individualitas dan kolektivitas, spiritualitas dan rasionalitas, serta tradisi dan modernitas. Dengan pendekatan filosofis, Pancasila dapat terus relevan sebagai panduan nilai dalam menghadapi tantangan zaman.

Catatan Kaki

[14]          Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, diterjemahkan oleh Paul Guyer dan Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), hlm. 632.

[15]          Notonagoro, Pancasila Secara Ilmiah dan Populer (Jakarta: Pantjuran Tujuh, 1967), hlm. 17.

[16]          Hans Küng, Global Responsibility: In Search of a New World Ethic (New York: Continuum, 1991), hlm. 58.

[17]          Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm. 44.

[18]          Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 29 Ayat (1) dan (2).

[19]          Departemen Agama RI, Panduan Kerukunan Umat Beragama (Jakarta: Departemen Agama RI, 2011), hlm. 23.

[20]          Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kurikulum 2013 Pendidikan Agama dan Budi Pekerti (Jakarta: Kemendikbud, 2013), hlm. 5.

[21]          Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, diterjemahkan oleh Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), hlm. 37.

[22]          Notonagoro, Pancasila Secara Ilmiah dan Populer (Jakarta: Pantjuran Tujuh, 1967), hlm. 23.

[23]          Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm. 56.

[24]          Ki Hajar Dewantara, Pendidikan dan Kebudayaan (Yogyakarta: Taman Siswa, 1961), hlm. 12.

[25]          John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge: Harvard University Press, 1971), hlm. 65.

[26]          Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 28A-28J.

[27]          Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 1 Ayat (3).

[28]          Notonagoro, Pancasila Secara Ilmiah dan Populer (Jakarta: Pantjuran Tujuh, 1967), hlm. 29.

[29]          Dr. Soepomo, Pidato dalam Sidang BPUPKI, 31 Mei 1945, dalam Risalah Sidang BPUPKI-PPKI (Jakarta: Sekretariat Negara, 1995), hlm. 95.

[30]          Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973), hlm. 131.

[31]          Jurgen Habermas, Between Facts and Norms (Cambridge: Polity Press, 1996), hlm. 327.

[32]          Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm. 49.

[33]          Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 1 Ayat (1).

[34]          Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kurikulum 2013 Pendidikan Kewarganegaraan (Jakarta: Kemendikbud, 2013), hlm. 17.

[35]          Departemen Luar Negeri RI, Politik Luar Negeri Indonesia (Jakarta: Kemlu RI, 2020), hlm. 12.

[36]          Notonagoro, Pancasila Secara Ilmiah dan Populer (Jakarta: Pantjuran Tujuh, 1967), hlm. 35.

[37]          Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract, diterjemahkan oleh G.D.H. Cole (London: Penguin Classics, 1968), hlm. 45.

[38]          Dr. Soepomo, Pidato dalam Sidang BPUPKI, 31 Mei 1945, dalam Risalah Sidang BPUPKI-PPKI (Jakarta: Sekretariat Negara, 1995), hlm. 101.

[39]          Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm. 72.

[40]          Jurgen Habermas, Between Facts and Norms (Cambridge: Polity Press, 1996), hlm. 287.

[41]          Soekarno, Lahirnya Pancasila, dalam Pidato di Depan BPUPKI 1 Juni 1945 (Jakarta: Balai Pustaka, 1945), hlm. 15.

[42]          Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 22C dan 22D.

[43]          UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, Pasal 5 Ayat (1).

[44]          Aristotle, Nicomachean Ethics, diterjemahkan oleh Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1999), hlm. 113.

[45]          John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge: Harvard University Press, 1971), hlm. 52.

[46]          Notonagoro, Pancasila Secara Ilmiah dan Populer (Jakarta: Pantjuran Tujuh, 1967), hlm. 41.

[47]          Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm. 80.

[48]          UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Pasal 28.

[49]          Ki Hajar Dewantara, Pendidikan dan Kebudayaan (Yogyakarta: Taman Siswa, 1961), hlm. 29.

[50]          Kementerian Sosial RI, Program Keluarga Harapan: Upaya Meningkatkan Kesejahteraan Sosial (Jakarta: Kemensos RI, 2020), hlm. 15.


5.           Pancasila sebagai Ideologi Negara

Sebagai ideologi negara, Pancasila merupakan pandangan hidup bangsa Indonesia yang memberikan arah dan pedoman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Ideologi Pancasila berbeda dari ideologi-ideologi besar dunia, seperti liberalisme, sosialisme, atau komunisme, karena ia berakar pada nilai-nilai lokal yang sesuai dengan karakter dan budaya bangsa Indonesia. Dengan sifatnya yang dinamis dan terbuka, Pancasila mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman tanpa kehilangan esensi nilai-nilainya.


5.1.       Pengertian dan Karakteristik Ideologi Pancasila

Dalam pengertian dasar, ideologi adalah sistem gagasan atau nilai-nilai yang menjadi pedoman bagi kehidupan masyarakat dalam mencapai tujuan tertentu.[51] Pancasila sebagai ideologi negara mengandung nilai-nilai dasar yang mencakup aspek ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial.[52]

Karakteristik utama ideologi Pancasila adalah:

1)                  Berakar pada Budaya Bangsa:

Pancasila digali dari nilai-nilai luhur yang hidup dalam masyarakat Indonesia, seperti gotong royong, musyawarah, dan toleransi.[53]

2)                  Inklusif dan Universal:

Pancasila mampu mengakomodasi keberagaman masyarakat Indonesia, baik dari segi agama, suku, maupun budaya, tanpa kehilangan relevansi universalnya.[54]

3)                  Pragmatis dan Dinamis:

Pancasila bukan doktrin kaku, tetapi pedoman yang dapat disesuaikan dengan perkembangan sosial, ekonomi, dan politik.


5.2.       Perbandingan Pancasila dengan Ideologi Lain

Pancasila memiliki keunikan tersendiri yang membedakannya dari ideologi-ideologi besar dunia:

1)                  Liberalisme:

Liberalisme menekankan kebebasan individu dan minimnya campur tangan negara. Berbeda dengan itu, Pancasila menempatkan keseimbangan antara hak individu dan kepentingan kolektif, dengan tetap menjaga harmoni sosial.[55]

2)                  Sosialisme:

Sosialisme mengutamakan kepemilikan kolektif atas alat-alat produksi, sementara Pancasila mengedepankan keadilan sosial yang tidak menghilangkan hak kepemilikan individu.[56]

3)                  Komunisme:

Komunisme bertujuan menciptakan masyarakat tanpa kelas melalui penghapusan kepemilikan pribadi. Pancasila menolak ekstremitas ini dengan tetap menghormati hak-hak individu dalam kerangka keadilan sosial.

Dengan mengintegrasikan elemen-elemen terbaik dari ideologi-ideologi tersebut, Pancasila menawarkan pendekatan yang moderat dan relevan untuk kehidupan bangsa Indonesia.


5.3.       Fungsi Pancasila sebagai Ideologi Negara

Sebagai ideologi negara, Pancasila memiliki fungsi utama sebagai berikut:

1)                  Pedoman Kehidupan Berbangsa dan Bernegara:

Pancasila menjadi dasar dalam penyusunan undang-undang, kebijakan publik, dan tata kelola pemerintahan.[57]

2)                  Pemersatu Bangsa:

Pancasila menyatukan keberagaman bangsa Indonesia dalam satu bingkai NKRI, sehingga menjadi alat pemersatu yang efektif.[58]

3)                  Pemberi Arah dan Tujuan:

Pancasila memberikan arah bagi pembangunan nasional dengan menempatkan nilai-nilai dasar seperti keadilan sosial dan kemanusiaan sebagai tujuan akhir.


5.4.       Tantangan Pancasila sebagai Ideologi Negara

Meskipun Pancasila memiliki kekuatan filosofis dan kultural, tantangan dalam implementasinya tetap ada, di antaranya:

1)                  Ancaman Ideologi Transnasional:

Radikalisme dan ideologi asing yang tidak sesuai dengan Pancasila menjadi tantangan besar bagi keutuhan bangsa.[59]

2)                  Kesenjangan Sosial dan Ekonomi:

Ketimpangan sosial dapat melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap implementasi nilai-nilai Pancasila.

3)                  Kurangnya Pemahaman Masyarakat:

Pemahaman yang dangkal terhadap nilai-nilai Pancasila dapat menyebabkan penerapan yang kurang konsisten.

Untuk mengatasi tantangan tersebut, diperlukan penguatan pendidikan Pancasila, penegakan hukum yang berkeadilan, dan kebijakan pembangunan yang berpihak pada rakyat.


Kesimpulan

Sebagai ideologi negara, Pancasila adalah solusi unik yang dirancang sesuai dengan karakteristik bangsa Indonesia. Dengan sifatnya yang inklusif, dinamis, dan moderat, Pancasila tidak hanya menjadi pedoman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi juga berpotensi menjadi kontribusi Indonesia dalam dialog ideologis di tingkat global.


Catatan Kaki

[51]          Karl Mannheim, Ideology and Utopia (London: Routledge, 1936), hlm. 48.

[52]          Notonagoro, Pancasila Secara Ilmiah dan Populer (Jakarta: Pantjuran Tujuh, 1967), hlm. 15.

[53]          Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm. 20.

[54]          Clifford Geertz, The Religion of Java (Chicago: University of Chicago Press, 1960), hlm. 189.

[55]          John Stuart Mill, On Liberty (London: Longman, 1859), hlm. 33.

[56]          Karl Marx, The Communist Manifesto, diterjemahkan oleh Samuel Moore (London: Penguin Books, 1967), hlm. 78.

[57]          Undang-Undang Dasar 1945, Pembukaan Alinea Keempat.

[58]          Risalah Sidang BPUPKI-PPKI, (Jakarta: Sekretariat Negara, 1995), hlm. 87.

[59]          Azyumardi Azra, Islam, State, and Democracy in Indonesia (Jakarta: The Asia Foundation, 2006), hlm. 44.


6.           Tantangan dan Relevansi Pancasila

Sebagai dasar negara dan ideologi bangsa Indonesia, Pancasila telah menjadi pedoman utama dalam menjaga keutuhan dan kestabilan negara. Namun, tantangan dalam implementasinya terus berkembang seiring dengan dinamika sosial, politik, ekonomi, dan budaya baik di tingkat nasional maupun global. Meskipun demikian, Pancasila tetap relevan karena nilai-nilainya yang inklusif dan universal mampu menjadi solusi bagi berbagai persoalan bangsa.

1.1.       Tantangan Pancasila

Beberapa tantangan yang dihadapi dalam pengamalan Pancasila adalah:

1)                  Radikalisme dan Intoleransi

Salah satu ancaman utama terhadap Pancasila adalah berkembangnya paham radikal dan intoleran yang tidak sejalan dengan nilai-nilai kebhinekaan. Paham-paham ini berpotensi mengancam persatuan bangsa dan menciptakan segregasi sosial berdasarkan agama, ras, atau ideologi.[60]

2)                  Kesenjangan Sosial-Ekonomi

Ketimpangan ekonomi yang masih tinggi di Indonesia menjadi tantangan besar bagi sila kelima Pancasila, yaitu keadilan sosial. Ketimpangan ini menciptakan perasaan ketidakadilan yang dapat melemahkan kohesi sosial dan kepercayaan masyarakat terhadap negara.[61]

3)                  Globalisasi dan Pengaruh Budaya Asing

Globalisasi membawa arus informasi dan budaya yang dapat menggeser nilai-nilai lokal, termasuk nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Generasi muda, misalnya, rentan terhadap pengaruh budaya asing yang dapat melemahkan rasa nasionalisme.[62]

4)                  Kurangnya Pemahaman terhadap Pancasila

Pendidikan Pancasila yang tidak maksimal di berbagai tingkatan pendidikan menyebabkan lemahnya pemahaman masyarakat terhadap nilai-nilai Pancasila. Hal ini berdampak pada rendahnya pengamalan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.[63]

5)                  Korupsi dan Penegakan Hukum yang Lemah

Praktik korupsi dan lemahnya penegakan hukum bertentangan dengan nilai-nilai keadilan sosial dan demokrasi yang diusung Pancasila. Korupsi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.[64]


1.2.       Relevansi Pancasila

Di tengah berbagai tantangan tersebut, Pancasila tetap relevan sebagai solusi untuk menjaga keutuhan bangsa dan menghadapi tantangan global. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila memberikan arah bagi pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif:

1)                  Sebagai Solusi Pluralisme

Pancasila menjadi fondasi penting dalam mengelola keberagaman bangsa. Nilai-nilai seperti toleransi (sila pertama), persatuan (sila ketiga), dan keadilan sosial (sila kelima) memberikan pedoman bagi kehidupan bermasyarakat yang harmonis.[65]

2)                  Sebagai Pedoman Etika dan Moral

Pancasila berfungsi sebagai pedoman moral dalam membangun masyarakat yang bermartabat. Dalam era globalisasi yang sering kali menekankan materialisme, Pancasila mengingatkan pentingnya keseimbangan antara aspek spiritual dan material.[66]

3)                  Sebagai Dasar Pembangunan Nasional

Nilai-nilai Pancasila menjadi acuan dalam penyusunan kebijakan pembangunan nasional yang berkeadilan dan berorientasi pada kesejahteraan bersama.[67] Pancasila memberikan kerangka untuk menciptakan pembangunan yang tidak hanya mengejar pertumbuhan ekonomi, tetapi juga mengutamakan pemerataan dan keberlanjutan.

4)                  Sebagai Benteng terhadap Pengaruh Ideologi Asing

Di tengah gempuran ideologi transnasional seperti neoliberalisme, komunisme, dan fundamentalisme agama, Pancasila menjadi benteng ideologis yang mampu menjaga identitas dan kedaulatan bangsa.[68]


1.3.       Strategi Penguatan Pancasila

Untuk menghadapi tantangan dan memastikan relevansi Pancasila, diperlukan langkah-langkah strategis:

1)                  Penguatan Pendidikan Pancasila:

Pendidikan nilai-nilai Pancasila harus ditanamkan sejak dini di semua jenjang pendidikan, dengan pendekatan yang lebih kreatif dan kontekstual.[69]

2)                  Penegakan Hukum yang Tegas:

Pemerintah harus menegakkan hukum secara adil untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap negara, sesuai dengan prinsip keadilan sosial.[70]

3)                  Peningkatan Kesejahteraan Sosial:

Kebijakan yang fokus pada pengurangan kesenjangan ekonomi dan peningkatan akses terhadap layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan harus menjadi prioritas.[71]

4)                  Peningkatan Kesadaran Nasionalisme:

Kampanye nasionalisme yang positif, berbasis nilai Pancasila, harus terus digalakkan untuk memperkuat rasa cinta tanah air.


Kesimpulan

Tantangan yang dihadapi Pancasila mencerminkan kompleksitas masyarakat modern, tetapi relevansi Pancasila tetap tidak tergantikan. Sebagai ideologi yang bersifat terbuka, inklusif, dan berorientasi pada kesejahteraan bersama, Pancasila memberikan solusi komprehensif bagi persoalan bangsa. Penguatan nilai-nilai Pancasila dalam setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi kunci untuk menjaga integritas dan kedaulatan Indonesia di tengah tantangan global.


Catatan Kaki

[60]          Azyumardi Azra, Islam, State, and Democracy in Indonesia (Jakarta: The Asia Foundation, 2006), hlm. 55.

[61]          BPS RI, Laporan Indeks Kesenjangan Ekonomi Indonesia 2022 (Jakarta: Badan Pusat Statistik, 2022), hlm. 12.

[62]          Anthony Giddens, Runaway World: How Globalisation is Reshaping Our Lives (London: Profile Books, 1999), hlm. 45.

[63]          Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Evaluasi Implementasi Pendidikan Pancasila (Jakarta: Kemendikbud, 2021), hlm. 30.

[64]          Transparency International Indonesia, Indeks Persepsi Korupsi 2023 (Jakarta: TII, 2023), hlm. 18.

[65]          Notonagoro, Pancasila Secara Ilmiah dan Populer (Jakarta: Pantjuran Tujuh, 1967), hlm. 27.

[66]          Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm. 39.

[67]          Bappenas RI, RPJMN 2020-2024 (Jakarta: Bappenas, 2020), hlm. 42.

[68]          Mochtar Kusumaatmadja, Konsepsi Hukum dalam Pembangunan (Bandung: Alumni, 1986), hlm. 78.

[69]          UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3.

[70]          Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 1 Ayat (3).

[71]          Kementerian Sosial RI, Program Keluarga Harapan: Upaya Meningkatkan Kesejahteraan Sosial (Jakarta: Kemensos RI, 2023), hlm. 22.


7.           Kesimpulan

Pancasila sebagai dasar negara Kesatuan Republik Indonesia adalah fondasi filosofis, ideologis, dan praktis yang memberikan arah bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Digali dari nilai-nilai luhur budaya bangsa dan disusun oleh para pendiri negara, Pancasila mencerminkan keunikan Indonesia sebagai bangsa yang majemuk. Dengan lima sila yang terintegrasi, Pancasila menjawab kebutuhan dasar manusia dalam dimensi spiritual, kemanusiaan, kebangsaan, demokrasi, dan keadilan sosial.

Secara filosofis, Pancasila bukan hanya merupakan konsep normatif, tetapi juga cerminan pandangan hidup bangsa yang mengintegrasikan dimensi ontologis, epistemologis, dan aksiologis.[72] Sila pertama hingga kelima saling melengkapi, menciptakan harmoni antara kepentingan individu dan kolektif. Sebagai ideologi, Pancasila menawarkan pendekatan moderat dan inklusif, menjadikannya relevan dalam menghadapi tantangan globalisasi dan perubahan sosial.

Pancasila memiliki fungsi vital dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya mampu menjadi alat pemersatu bangsa di tengah keberagaman agama, suku, budaya, dan bahasa.[73] Dalam praktiknya, Pancasila memberikan pedoman bagi penyusunan undang-undang, kebijakan publik, dan pelaksanaan pemerintahan yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat.

Namun, implementasi Pancasila tidak lepas dari tantangan, seperti radikalisme, kesenjangan sosial, lemahnya penegakan hukum, dan pengaruh ideologi asing.[74] Untuk itu, penguatan pendidikan Pancasila, penerapan nilai-nilai keadilan sosial, dan penguatan integritas nasional menjadi langkah strategis dalam mengatasi hambatan tersebut.

Di tengah tantangan modern, Pancasila tetap relevan sebagai solusi untuk membangun bangsa yang berkeadilan, berdaulat, dan bermartabat. Sebagai dasar negara, Pancasila tidak hanya menjadi pedoman bagi penyelenggara negara, tetapi juga menjadi jiwa dan kepribadian bangsa yang menginspirasi kehidupan sehari-hari. Dengan menerapkan nilai-nilainya, bangsa Indonesia dapat terus menjaga persatuan dan mencapai tujuan nasional sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.[75]

Kesimpulannya, Pancasila adalah anugerah besar bagi bangsa Indonesia. Nilai-nilainya yang universal dan fleksibel memberikan harapan bagi terciptanya tatanan masyarakat yang harmonis dan sejahtera. Dalam perspektif filsafat, ideologi, dan praksis, Pancasila adalah kunci bagi kelangsungan NKRI di tengah dinamika zaman.


Catatan Kaki

[72]          Notonagoro, Pancasila Secara Ilmiah dan Populer (Jakarta: Pantjuran Tujuh, 1967), hlm. 13.

[73]          Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm. 25.

[74]          Azyumardi Azra, Islam, State, and Democracy in Indonesia (Jakarta: The Asia Foundation, 2006), hlm. 65.

[75]          Undang-Undang Dasar 1945, Pembukaan Alinea Keempat.


Lampiran

 

Daftar Buku Rujukan untuk Kajian Filsafat tentang "Pancasila sebagai Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia"

1)                 Notonagoro. Pancasila Secara Ilmiah dan Populer. Jakarta: Pantjuran Tujuh, 1967.

o     Buku ini membahas Pancasila secara ilmiah, dengan pendekatan filosofis, historis, dan praktis.

2)                 Franz Magnis-Suseno. Etika Politik: Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: Gramedia, 1992.

o     Buku ini mengupas prinsip moral politik dalam kaitannya dengan Pancasila sebagai ideologi dan etika politik.

3)                 Soekarno. Lahirnya Pancasila. Dalam Pidato di Depan BPUPKI 1 Juni 1945. Jakarta: Balai Pustaka, 1945.

o     Buku ini menyajikan pidato sejarah Soekarno tentang gagasan awal lahirnya Pancasila.

4)                 Mohammad Yamin. Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1971.

o     Membahas kontribusi pemikiran Mohammad Yamin dalam perumusan Pancasila.

5)                 Dr. Soepomo. Pidato dalam Sidang BPUPKI. Dalam Risalah Sidang BPUPKI-PPKI. Jakarta: Sekretariat Negara, 1995.

o     Pidato ini menguraikan konsep integralistik yang berpengaruh dalam sila ketiga dan keempat.

6)                 Azyumardi Azra. Islam, State, and Democracy in Indonesia. Jakarta: The Asia Foundation, 2006.

o     Buku ini mengkaji hubungan antara Islam dan demokrasi dalam kerangka Pancasila.

7)                 Clifford Geertz. The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books, 1973.

o     Buku ini relevan untuk memahami konteks antropologis dan budaya Pancasila.

8)                 Ki Hajar Dewantara. Pendidikan dan Kebudayaan. Yogyakarta: Taman Siswa, 1961.

o     Buku ini menghubungkan pendidikan dan nilai-nilai kebudayaan yang relevan dengan Pancasila.

9)                 Jurgen Habermas. Between Facts and Norms. Cambridge: Polity Press, 1996.

o     Buku ini membahas demokrasi deliberatif yang sejalan dengan nilai musyawarah Pancasila.

10)             John Rawls. A Theory of Justice. Cambridge: Harvard University Press, 1971.

o     Buku ini menjadi referensi untuk memahami konsep keadilan sosial dalam sila kelima.

11)             Immanuel Kant. Groundwork of the Metaphysics of Morals. Diterjemahkan oleh Mary Gregor. Cambridge: Cambridge University Press, 1997.

o     Buku ini membahas nilai moral universal yang relevan dengan sila kedua.

12)             Anthony Giddens. Runaway World: How Globalisation is Reshaping Our Lives. London: Profile Books, 1999.

o     Buku ini menjelaskan tantangan globalisasi terhadap ideologi lokal seperti Pancasila.

13)             Karl Mannheim. Ideology and Utopia. London: Routledge, 1936.

o     Buku ini memberikan wawasan tentang peran ideologi dalam masyarakat.

14)             Karl Marx dan Friedrich Engels. The Communist Manifesto. Diterjemahkan oleh Samuel Moore. London: Penguin Books, 1967.

o     Buku ini relevan untuk memahami perbedaan ideologi komunisme dengan Pancasila.

15)             John Stuart Mill. On Liberty. London: Longman, 1859.

o     Buku ini memberikan wawasan tentang kebebasan individu yang sejalan dengan demokrasi Pancasila.

16)             Mochtar Kusumaatmadja. Konsepsi Hukum dalam Pembangunan. Bandung: Alumni, 1986.

o     Buku ini mengkaji hubungan antara hukum, pembangunan, dan Pancasila.

17)             Risalah Sidang BPUPKI-PPKI. Jakarta: Sekretariat Negara, 1995.

o     Dokumen sejarah resmi yang menjadi sumber utama kajian tentang lahirnya Pancasila.

18)             Bung Hatta. Menuju Negara Hukum. Jakarta: LP3ES, 1976.

o     Buku ini membahas pandangan Bung Hatta tentang dasar negara dan Pancasila.

19)             Bung Hatta. Demokrasi Kita. Jakarta: Tintamas, 1977.

o     Buku ini mengulas pemikiran demokrasi dalam konteks Pancasila.

20)             Sartono Kartodirdjo. Pengantar Sejarah Indonesia Baru. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1992.

o     Buku ini memberikan konteks historis yang relevan dengan perumusan Pancasila.


Daftar Pustaka

Aristoteles. Nicomachean Ethics. Diterjemahkan oleh Terence Irwin. Indianapolis: Hackett Publishing Company, 1999.

Azyumardi Azra. Islam, State, and Democracy in Indonesia. Jakarta: The Asia Foundation, 2006.

BPS RI. Laporan Indeks Kesenjangan Ekonomi Indonesia 2022. Jakarta: Badan Pusat Statistik, 2022.

Clifford Geertz. The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books, 1973.

Clifford Geertz. The Religion of Java. Chicago: University of Chicago Press, 1960.

Franz Magnis-Suseno. Etika Politik: Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: Gramedia, 1992.

Giddens, Anthony. Runaway World: How Globalisation is Reshaping Our Lives. London: Profile Books, 1999.

Hans Küng. Global Responsibility: In Search of a New World Ethic. New York: Continuum, 1991.

Jean-Jacques Rousseau. The Social Contract. Diterjemahkan oleh G.D.H. Cole. London: Penguin Classics, 1968.

John Rawls. A Theory of Justice. Cambridge: Harvard University Press, 1971.

John Stuart Mill. On Liberty. London: Longman, 1859.

Karl Mannheim. Ideology and Utopia. London: Routledge, 1936.

Karl Marx. The Communist Manifesto. Diterjemahkan oleh Samuel Moore. London: Penguin Books, 1967.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Evaluasi Implementasi Pendidikan Pancasila. Jakarta: Kemendikbud, 2021.

Kementerian Sosial RI. Program Keluarga Harapan: Upaya Meningkatkan Kesejahteraan Sosial. Jakarta: Kemensos RI, 2023.

Mochtar Kusumaatmadja. Konsepsi Hukum dalam Pembangunan. Bandung: Alumni, 1986.

Notonagoro. Pancasila Secara Ilmiah dan Populer. Jakarta: Pantjuran Tujuh, 1967.

Soekarno. Lahirnya Pancasila. Dalam Pidato di Depan BPUPKI 1 Juni 1945. Jakarta: Balai Pustaka, 1945.

Transparency International Indonesia. Indeks Persepsi Korupsi 2023. Jakarta: TII, 2023.

Undang-Undang Dasar 1945, Pasal-Pasal dan Pembukaan.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Risalah Sidang BPUPKI-PPKI. Jakarta: Sekretariat Negara, 1995.


 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar