Mendalami Dualisme Non-Kartesian
“Perspektif Filsafat
Kontemporer”
Alihkan ke-Dualisme Cartesian
Abstrak
Artikel ini mengeksplorasi
dualisme non-Kartesian sebagai pendekatan alternatif dalam memahami hubungan
pikiran dan tubuh, yang berbeda dari dualisme Cartesian tradisional. Dualisme
non-Kartesian menawarkan perspektif yang lebih integratif, dengan mengakui
hubungan dinamis antara dimensi fisik dan non-fisik. Artikel ini membahas
definisi, konsep dasar, dan kontribusi para tokoh kunci seperti Gottfried
Wilhelm Leibniz, John Eccles, Karl Popper, David Chalmers, dan Henry Stapp.
Selain itu, implikasinya dalam filsafat pikiran, neurosains, filsafat agama,
serta etika juga diulas secara komprehensif.
Pendekatan ini menekankan
bahwa fenomena kesadaran, termasuk pengalaman subjektif (qualia),
tidak dapat direduksi menjadi aktivitas fisik semata. Namun, dualisme
non-Kartesian menghadapi kritik yang signifikan, terutama terkait dengan
masalah kausalitas dan kurangnya bukti empiris yang mendukung interaksi antara
entitas fisik dan non-fisik. Meski demikian, gagasan ini tetap relevan dalam
upaya memahami kompleksitas kesadaran manusia dan sifat eksistensi. Artikel ini
menyimpulkan bahwa dualisme non-Kartesian tidak hanya memberikan alternatif
teoritis, tetapi juga mendorong diskusi lintas disiplin yang berpotensi
memperluas wawasan dalam filsafat dan ilmu pengetahuan modern.
Kata Kunci:
Dualisme non-Kartesian, filsafat pikiran, kesadaran, neurosains,
interaksionisme, qualia.
1.
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Dualisme merupakan salah satu
konsep paling berpengaruh dalam filsafat, terutama dalam memahami hubungan
antara pikiran dan tubuh. Secara historis, gagasan ini pertama kali
dipopulerkan oleh René Descartes dalam pemikiran Cartesian yang memisahkan
substansi pikiran (res cogitans) dari substansi materi (res extensa).¹
Dualisme Cartesian menegaskan bahwa pikiran bersifat immaterial, sedangkan
tubuh bersifat material.² Namun, pendekatan Cartesian menuai kritik karena
dianggap terlalu menyederhanakan hubungan kompleks antara pikiran dan tubuh,
terutama dalam menjelaskan bagaimana keduanya dapat saling berinteraksi.³
Sebagai respons terhadap
keterbatasan dualisme Cartesian, lahirlah dualisme non-Kartesian yang
menawarkan pendekatan lebih fleksibel dalam memahami hubungan pikiran dan tubuh.⁴
Berbeda dengan Cartesian, dualisme non-Kartesian menolak pemisahan radikal
antara pikiran dan tubuh, dan cenderung mengakui hubungan yang lebih integratif
antara keduanya.⁵ Dualisme ini juga membuka ruang bagi pengaruh filsafat modern
dan ilmu pengetahuan kontemporer, seperti ilmu kognitif dan fisika kuantum,
dalam memahami fenomena kesadaran.⁶
1.2. Tujuan Artikel
Artikel ini bertujuan untuk
menjelaskan konsep dualisme non-Kartesian secara komprehensif, termasuk
bagaimana pendekatan ini berbeda dari dualisme Cartesian. Dengan menganalisis
berbagai perspektif filosofis dan mengacu pada referensi-referensi yang
kredibel, artikel ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih luas
tentang kontribusi dualisme non-Kartesian dalam filsafat kontemporer.
1.3. Relevansi
Pemahaman tentang dualisme
non-Kartesian penting karena memberikan alternatif dalam diskursus filsafat
pikiran yang sering kali didominasi oleh materialisme dan monisme.⁷ Dualisme
non-Kartesian juga relevan dalam konteks perkembangan ilmu pengetahuan, seperti
neuroscience, yang mempelajari hubungan antara aktivitas otak dan kesadaran
manusia.⁸ Selain itu, pendekatan ini dapat memperkaya diskusi filsafat agama
tentang jiwa dan keberadaan manusia di dunia.⁹
Catatan Kaki (Chicago Manual of Style):
[1]
René Descartes, Meditations on First Philosophy, ed. John
Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 21.
[2]
John Cottingham, Cartesian Philosophy (Oxford: Oxford University
Press, 2000), 45.
[3]
Gilbert Ryle, The Concept of Mind (London: Hutchinson, 1949),
15–20.
[4]
William Hasker, The Emergent Self (Ithaca: Cornell University
Press, 1999), 37–38.
[5]
David Chalmers, The Conscious Mind: In Search of a Fundamental Theory
(New York: Oxford University Press, 1996), 103.
[6]
Henry P. Stapp, Mindful Universe: Quantum Mechanics and the
Participating Observer (Berlin: Springer, 2007), 89.
[7]
Daniel Dennett, Consciousness Explained (Boston: Little, Brown
and Company, 1991), 45.
[8]
Antonio Damasio, The Feeling of What Happens: Body and Emotion in the
Making of Consciousness (New York: Harcourt Brace, 1999), 201–203.
[9]
Keith Ward, Religion and Human Nature (Oxford: Oxford University
Press, 1998), 112–115.
2.
Dasar
Teoretis Dualisme
2.1. Definisi Dualisme
Dualisme adalah teori
filsafat yang menjelaskan hubungan antara pikiran (mind) dan tubuh (body)
sebagai dua entitas yang berbeda.¹ Pemikiran ini sering kali menjadi inti dalam
filsafat pikiran dan metafisika, yang mempertanyakan sifat dasar realitas
manusia dan eksistensinya.² Dalam dualisme, pikiran dianggap sebagai entitas
non-fisik yang tidak dapat direduksi menjadi proses biologis semata, sementara
tubuh merupakan entitas fisik yang tunduk pada hukum materi.³
2.2. Dualisme Cartesian
Dualisme Cartesian pertama
kali diperkenalkan oleh René Descartes dalam karya monumentalnya, Meditations
on First Philosophy. Descartes mendefinisikan pikiran sebagai "substansi
berpikir" (res cogitans) dan tubuh sebagai "substansi yang
memiliki dimensi" (res extensa).⁴ Pandangan ini menghasilkan
dikotomi tajam antara pikiran yang tidak berwujud dan tubuh yang berwujud,
serta menimbulkan pertanyaan mendasar: bagaimana dua substansi yang sangat
berbeda ini dapat berinteraksi?⁵ Descartes mencoba menjelaskan interaksi ini
melalui kelenjar pineal di otak, meskipun teori ini kemudian ditentang oleh
para filsuf dan ilmuwan karena kurangnya dasar empiris.⁶
Kelebihan dualisme Cartesian
adalah kemampuannya menjelaskan pengalaman subjektif manusia, seperti kesadaran
dan kehendak bebas, yang sulit dijelaskan oleh materialisme.⁷ Namun, model ini
juga menuai kritik, terutama dari para pendukung materialisme yang berpendapat
bahwa semua fenomena mental dapat dijelaskan melalui proses otak.⁸
2.3. Lahirnya Dualisme Non-Kartesian
Dualisme non-Kartesian muncul
sebagai respons terhadap keterbatasan dan kritik terhadap dualisme Cartesian.
Filsuf seperti Gottfried Wilhelm Leibniz, John Eccles, dan David Chalmers
menyumbangkan pendekatan yang lebih integratif terhadap hubungan pikiran dan
tubuh.⁹ Dualisme non-Kartesian cenderung menolak pemisahan radikal antara
pikiran dan tubuh serta menawarkan model yang lebih koheren dalam menjelaskan
interaksi keduanya.¹⁰ Sebagai contoh, dualisme aspek ganda (dual-aspect theory)
yang dikembangkan oleh Spinoza dan diteruskan oleh filsuf kontemporer seperti
Thomas Nagel, mengusulkan bahwa pikiran dan tubuh adalah aspek yang berbeda
dari substansi yang sama.¹¹
Selain itu, pengaruh ilmu
pengetahuan modern, seperti fisika kuantum, juga telah memperkaya pendekatan
non-Kartesian ini.¹² Konsep kesadaran sebagai fenomena emergen dari proses
fisik dan non-fisik menjadi inti dari dualisme ini.¹³
Catatan Kaki (Chicago Manual of Style):
[1]
Howard Robinson, "Dualism," in The Stanford Encyclopedia of
Philosophy (Fall 2020 Edition), ed. Edward N. Zalta, https://plato.stanford.edu/entries/dualism/.
[2]
John Cottingham, Cartesian Philosophy (Oxford: Oxford University
Press, 2000), 12–13.
[3]
David Chalmers, The Conscious Mind: In Search of a Fundamental Theory
(New York: Oxford University Press, 1996), 125–126.
[4]
René Descartes, Meditations on First Philosophy, ed. John
Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 25–27.
[5]
Paul Churchland, Matter and Consciousness (Cambridge: MIT Press,
1984), 13–15.
[6]
Gilbert Ryle, The Concept of Mind (London: Hutchinson, 1949),
8–12.
[7]
William Hasker, The Emergent Self (Ithaca: Cornell University
Press, 1999), 15–16.
[8]
Daniel Dennett, Consciousness Explained (Boston: Little, Brown
and Company, 1991), 22–23.
[9]
Gottfried Wilhelm Leibniz, Monadology, trans. George Montgomery
(London: Oxford University Press, 1916), 45.
[10]
Henry P. Stapp, Mindful Universe: Quantum Mechanics and the
Participating Observer (Berlin: Springer, 2007), 75–77.
[11]
Thomas Nagel, Mind and Cosmos: Why the Materialist Neo-Darwinian
Conception of Nature Is Almost Certainly False (New York: Oxford University
Press, 2012), 10–12.
[12]
Penrose, Roger. Shadows of the Mind: A Search for the Missing Science
of Consciousness (New York: Oxford University Press, 1994), 65.
[13]
Antonio Damasio, The Feeling of What Happens: Body and Emotion in the
Making of Consciousness (New York: Harcourt Brace, 1999), 87.
3.
Konsep
Dasar Dualisme Non-Kartesian
3.1. Definisi dan Ciri Khas
Dualisme non-Kartesian adalah
pendekatan dalam filsafat pikiran yang mempertimbangkan hubungan pikiran dan
tubuh dengan lebih integratif daripada pendekatan Cartesian.¹ Berbeda dengan
dualisme Cartesian yang menegaskan perbedaan radikal antara substansi pikiran
dan substansi tubuh, dualisme non-Kartesian melihat keduanya sebagai aspek yang
saling terkait dan berinteraksi secara dinamis.² Pendekatan ini menolak
pandangan bahwa pikiran sepenuhnya terpisah dari tubuh, tetapi tetap mengakui
bahwa keduanya tidak identik atau dapat direduksi satu sama lain.³
Ciri utama dualisme
non-Kartesian adalah fokus pada hubungan dan fenomena emergen. Misalnya,
kesadaran dianggap sebagai hasil interaksi kompleks antara proses fisik dan
non-fisik.⁴ Model ini juga sering mengakomodasi pendekatan interdisipliner,
termasuk masukan dari ilmu pengetahuan modern seperti neuroscience dan fisika
kuantum.⁵
3.2. Varian Dualisme Non-Kartesian
Dualisme non-Kartesian
memiliki beberapa varian utama, di antaranya:
1)
Interaksionisme:
Dikembangkan
oleh filsuf seperti John Eccles, interaksionisme berargumen bahwa pikiran dan
tubuh saling memengaruhi secara kausal meskipun berbeda dalam sifat.⁶ Interaksi
ini diyakini terjadi melalui mekanisme yang belum sepenuhnya dipahami, tetapi
diakui dalam beberapa teori neuroscientific modern.⁷
2)
Epifenomenalisme:
Varian ini
menyatakan bahwa pikiran muncul sebagai efek samping dari proses fisik di otak,
tanpa kemampuan untuk memengaruhi aktivitas fisik.⁸ Meski mengakui keberadaan
pengalaman mental, epifenomenalisme menempatkannya sebagai hasil pasif dari
proses biologis.⁹
3)
Dual-aspect Theory (Teori Aspek Ganda):
Teori ini,
yang memiliki akar pada pemikiran Baruch Spinoza, menyatakan bahwa pikiran dan
tubuh adalah dua aspek dari substansi yang sama.¹⁰ Filsuf kontemporer seperti
Thomas Nagel memperluas gagasan ini dengan menekankan bahwa pengalaman
subjektif manusia (qualia) adalah bagian penting yang tidak dapat dijelaskan
secara fisik semata.¹¹
3.3. Argumen-argumen Utama
Dualisme non-Kartesian menawarkan
beberapa argumen kunci untuk mendukung validitasnya:
·
Kesadaran sebagai Fenomena Emergen:
Salah satu
argumen penting adalah bahwa kesadaran tidak dapat direduksi menjadi aktivitas
fisik otak semata.¹² Sebaliknya, ia merupakan fenomena emergen yang muncul dari
interaksi kompleks antara proses biologis dan entitas non-fisik.¹³
·
Kritik terhadap Reduksionisme Materialis:
Pendukung
dualisme non-Kartesian sering menentang pandangan materialis yang mencoba
menjelaskan semua fenomena mental sebagai produk otak. Mereka menekankan bahwa
pengalaman subjektif (seperti rasa sakit, cinta, atau keindahan) tidak dapat
sepenuhnya dipahami melalui analisis fisik.¹⁴
Catatan Kaki
[1]
Howard Robinson, "Dualism," in The Stanford Encyclopedia of
Philosophy (Fall 2020 Edition), ed. Edward N. Zalta, https://plato.stanford.edu/entries/dualism/.
[2]
John Cottingham, Cartesian Philosophy (Oxford: Oxford University
Press, 2000), 14–16.
[3]
David Chalmers, The Conscious Mind: In Search of a Fundamental Theory
(New York: Oxford University Press, 1996), 140.
[4]
William Hasker, The Emergent Self (Ithaca: Cornell University
Press, 1999), 45–46.
[5]
Henry P. Stapp, Mindful Universe: Quantum Mechanics and the
Participating Observer (Berlin: Springer, 2007), 95.
[6]
John C. Eccles and Karl R. Popper, The Self and Its Brain: An
Argument for Interactionism (New York: Springer International, 1977),
34–36.
[7]
Roger Penrose, The Emperor's New Mind: Concerning Computers, Minds,
and the Laws of Physics (Oxford: Oxford University Press, 1989), 390.
[8]
Thomas Huxley, "On the Hypothesis That Animals Are Automata," Nature
10 (1874): 362–366.
[9]
Jaegwon Kim, Mind in a Physical World: An Essay on the Mind-Body
Problem and Mental Causation (Cambridge: MIT Press, 1998), 89.
[10]
Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (London: Penguin
Books, 1996), 11–12.
[11]
Thomas Nagel, Mind and Cosmos: Why the Materialist Neo-Darwinian
Conception of Nature Is Almost Certainly False (New York: Oxford University
Press, 2012), 10–13.
[12]
Antonio Damasio, The Feeling of What Happens: Body and Emotion in the
Making of Consciousness (New York: Harcourt Brace, 1999), 115–117.
[13]
David Chalmers, The Conscious Mind, 145–147.
[14]
Daniel Dennett, Consciousness Explained (Boston: Little, Brown
and Company, 1991), 45–46.
4.
Tokoh-tokoh
Kunci dalam Dualisme Non-Kartesian
4.1. Gottfried Wilhelm Leibniz
Leibniz adalah salah satu
tokoh awal yang memformulasikan konsep-konsep dasar yang menjadi inspirasi
dualisme non-Kartesian. Dalam Monadology, ia mengajukan gagasan bahwa
realitas terdiri atas monad, yaitu entitas non-fisik yang mencakup dimensi
mental dan fisik.¹ Monad tidak berinteraksi secara langsung, melainkan
beroperasi berdasarkan "harmoni yang telah ditentukan sebelumnya"
(pre-established harmony), yang disusun oleh Tuhan.² Dengan gagasan ini,
Leibniz menolak dualisme Cartesian dan menggantinya dengan pendekatan yang
lebih holistik, di mana pikiran dan tubuh merupakan ekspresi dari substansi
yang sama.³
4.2. John Eccles dan Karl Popper
John Eccles, seorang ahli
neurofisiologi, bekerja sama dengan filsuf Karl Popper untuk mengembangkan
model interaksionisme modern. Dalam The Self and Its Brain, mereka
berpendapat bahwa pikiran dan otak adalah dua entitas yang berbeda tetapi
saling memengaruhi.⁴ Eccles menggunakan bukti neuroscientific untuk mendukung
argumennya bahwa kesadaran manusia tidak dapat direduksi menjadi aktivitas
neurologis semata.⁵ Ia mengidentifikasi "unit-unit dendritik"
di otak sebagai titik di mana interaksi antara pikiran dan tubuh dapat
terjadi.⁶
Popper menambahkan dimensi
filosofis dengan menekankan peran kesadaran dalam memahami realitas.⁷ Bagi
Popper, dualisme non-Kartesian adalah cara untuk mengakomodasi pengalaman
subjektif manusia tanpa mengorbankan integritas penjelasan ilmiah.⁸
4.3. David Chalmers
David Chalmers adalah salah
satu tokoh kontemporer yang memopulerkan pendekatan dualisme non-Kartesian
melalui teori tentang "hard problem of consciousness."⁹ Dalam The
Conscious Mind, Chalmers berpendapat bahwa kesadaran tidak dapat dijelaskan
sepenuhnya oleh sains fisik karena ia melibatkan fenomena subjektif yang tidak
dapat direduksi, seperti pengalaman (qualia).¹⁰ Chalmers memperkenalkan konsep
dualisme properti (property dualism), yang menyatakan bahwa pikiran dan
tubuh adalah dua sifat berbeda dari substansi yang sama.¹¹
Chalmers juga mengeksplorasi
kemungkinan hubungan antara kesadaran dan mekanika kuantum, sebuah pendekatan
yang semakin relevan dalam diskusi tentang dualisme non-Kartesian.¹²
4.4. Henry Stapp
Henry Stapp membawa
perspektif unik dalam dualisme non-Kartesian dengan mengintegrasikan fisika
kuantum. Dalam Mindful Universe, Stapp berpendapat bahwa kesadaran
memainkan peran penting dalam proses pengamatan kuantum, di mana pilihan
pengamat memengaruhi hasil pengukuran.¹³ Dengan pendekatan ini, Stapp
menyelaraskan antara filsafat pikiran dan fisika modern, yang mendukung gagasan
bahwa pikiran memiliki pengaruh kausal pada realitas fisik.¹⁴
Catatan Kaki
[1]
Gottfried Wilhelm Leibniz, Monadology, trans. George Montgomery
(London: Oxford University Press, 1916), 23–26.
[2]
Ibid., 45.
[3]
Donald Rutherford, Leibniz and the Rational Order of Nature
(Cambridge: Cambridge University Press, 1995), 88–91.
[4]
John C. Eccles and Karl R. Popper, The Self and Its Brain: An
Argument for Interactionism (New York: Springer International, 1977),
11–14.
[5]
Eccles, The Neurophysiological Basis of Mind: The Principles of
Neurophysiology (Oxford: Clarendon Press, 1953), 56–57.
[6]
Ibid., 112.
[7]
Karl Popper, Objective Knowledge: An Evolutionary Approach
(Oxford: Clarendon Press, 1972), 34–36.
[8]
Ibid., 45.
[9]
David Chalmers, The Conscious Mind: In Search of a Fundamental Theory
(New York: Oxford University Press, 1996), 20–22.
[10]
Ibid., 105–106.
[11]
Ibid., 140–142.
[12]
Roger Penrose, The Emperor's New Mind: Concerning Computers, Minds,
and the Laws of Physics (Oxford: Oxford University Press, 1989), 398–399.
[13]
Henry P. Stapp, Mindful Universe: Quantum Mechanics and the
Participating Observer (Berlin: Springer, 2007), 75–76.
[14]
Ibid., 89.
5.
Implikasi
Dualisme Non-Kartesian dalam Filsafat Kontemporer
5.1. Filsafat Pikiran
Dualisme non-Kartesian telah
memberikan kontribusi signifikan dalam filsafat pikiran, khususnya dalam
memahami fenomena kesadaran.¹ Pendekatan ini menekankan bahwa kesadaran tidak
dapat direduksi menjadi proses fisik semata, seperti yang diasumsikan oleh
materialisme reduksionis.² Sebaliknya, dualisme non-Kartesian menganggap kesadaran
sebagai fenomena emergen yang membutuhkan pendekatan multidimensional untuk
dipahami.³ David Chalmers, misalnya, memperkenalkan konsep hard problem of
consciousness, yaitu tantangan untuk menjelaskan bagaimana pengalaman
subjektif (qualia) muncul dari aktivitas otak.⁴
Dualisme non-Kartesian juga
relevan dalam diskusi tentang kehendak bebas. Dengan mengakui adanya dimensi
non-fisik dalam diri manusia, pendekatan ini mendukung pandangan bahwa manusia
memiliki kebebasan untuk bertindak di luar determinisme fisik.⁵
5.2. Ilmu Kognitif dan Neurosains
Dalam ilmu kognitif dan
neurosains, dualisme non-Kartesian menawarkan paradigma baru untuk memahami
hubungan antara otak dan pikiran.⁶ Model interaksionisme yang dikembangkan oleh
John Eccles menunjukkan bahwa kesadaran manusia tidak sepenuhnya ditentukan
oleh aktivitas neural, melainkan merupakan hasil interaksi antara entitas
mental dan fisik.⁷ Penelitian dalam bidang ini semakin banyak menggunakan
teknologi seperti pencitraan resonansi magnetik fungsional (fMRI) untuk
mengeksplorasi bagaimana aktivitas otak terkait dengan pengalaman mental.⁸
Sebagai contoh, Henry Stapp
memanfaatkan fisika kuantum untuk menjelaskan bagaimana kesadaran dapat
memengaruhi proses pengambilan keputusan melalui mekanisme probabilitas
kuantum.⁹ Pendekatan ini membuka ruang bagi integrasi ilmu pengetahuan dengan
filsafat dalam memahami kesadaran secara lebih mendalam.¹⁰
5.3. Filsafat Agama
Dualisme non-Kartesian juga
berdampak pada filsafat agama, khususnya dalam diskusi tentang keberadaan jiwa
dan kehidupan setelah kematian.¹¹ Dengan mengakui adanya entitas non-fisik yang
independen dari tubuh, dualisme ini memberikan landasan filosofis bagi
kepercayaan akan jiwa yang tidak hancur oleh kematian.¹² Pemikiran ini relevan
dengan tradisi agama yang mengajarkan keabadian jiwa, seperti Islam, Kristen,
dan Hindu.¹³
Gagasan tentang dual-aspect
theory, misalnya, telah digunakan oleh para filsuf agama untuk menjelaskan
bagaimana pengalaman spiritual dapat dipahami sebagai interaksi antara dimensi
fisik dan metafisik manusia.¹⁴
5.4. Etika dan Moralitas
Dalam bidang etika, dualisme
non-Kartesian memberikan penekanan pada pentingnya dimensi non-fisik manusia
dalam pengambilan keputusan moral.¹⁵ Dengan mengakui keberadaan kesadaran dan
kehendak bebas, pendekatan ini mendukung pandangan bahwa manusia bertanggung
jawab atas tindakannya.¹⁶ Model ini juga memungkinkan diskusi yang lebih kaya
tentang nilai-nilai moral, karena tidak terbatas pada perspektif biologis atau
deterministik.¹⁷
Catatan Kaki
[1]
David Chalmers, The Conscious Mind: In Search of a Fundamental Theory
(New York: Oxford University Press, 1996), 125–127.
[2]
Jaegwon Kim, Mind in a Physical World: An Essay on the Mind-Body
Problem and Mental Causation (Cambridge: MIT Press, 1998), 67.
[3]
William Hasker, The Emergent Self (Ithaca: Cornell University
Press, 1999), 45–47.
[4]
David Chalmers, The Conscious Mind, 20–22.
[5]
Karl Popper, Objective Knowledge: An Evolutionary Approach
(Oxford: Clarendon Press, 1972), 34–36.
[6]
Antonio Damasio, The Feeling of What Happens: Body and Emotion in the
Making of Consciousness (New York: Harcourt Brace, 1999), 78–80.
[7]
John C. Eccles and Karl R. Popper, The Self and Its Brain: An
Argument for Interactionism (New York: Springer International, 1977), 90.
[8]
Roger Penrose, The Emperor's New Mind: Concerning Computers, Minds,
and the Laws of Physics (Oxford: Oxford University Press, 1989), 340.
[9]
Henry P. Stapp, Mindful Universe: Quantum Mechanics and the
Participating Observer (Berlin: Springer, 2007), 75.
[10]
Ibid., 89.
[11]
Keith Ward, Religion and Human Nature (Oxford: Oxford University
Press, 1998), 102–105.
[12]
Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (London: Penguin
Books, 1996), 50.
[13]
William Lane Craig, Reasonable Faith: Christian Truth and Apologetics
(Wheaton: Crossway, 2008), 56.
[14]
Thomas Nagel, Mind and Cosmos: Why the Materialist Neo-Darwinian
Conception of Nature Is Almost Certainly False (New York: Oxford University
Press, 2012), 25.
[15]
Gilbert Ryle, The Concept of Mind (London: Hutchinson, 1949), 22.
[16]
Paul Churchland, Matter and Consciousness (Cambridge: MIT Press,
1984), 23.
[17]
Daniel Dennett, Freedom Evolves (New York: Viking, 2003),
104–106.
6.
Kritik
terhadap Dualisme Non-Kartesian
6.1. Kritik Filosofis
Dualisme non-Kartesian,
meskipun menawarkan pendekatan yang lebih fleksibel dibandingkan dualisme
Cartesian, tetap menghadapi berbagai kritik filosofis. Salah satu kritik utama
berasal dari para pendukung materialisme yang berpendapat bahwa semua fenomena
mental, termasuk kesadaran, dapat dijelaskan secara materialis tanpa perlu
mengasumsikan entitas non-fisik.¹ Daniel Dennett, misalnya, menyebut teori
dualisme sebagai "cerita rakyat" yang tidak sesuai dengan
realitas empiris.²
Selain itu, banyak filsuf
menyoroti masalah ontologi yang melekat dalam dualisme non-Kartesian. Jika
pikiran dan tubuh dianggap sebagai aspek yang berbeda dari substansi yang sama
(seperti dalam dual-aspect theory), maka muncul pertanyaan tentang bagaimana
dua aspek ini dapat dipisahkan secara jelas tanpa menimbulkan kontradiksi.³ Kritikus
seperti Jaegwon Kim berpendapat bahwa dualisme non-Kartesian gagal menjelaskan
mekanisme kausal antara pikiran dan tubuh secara memadai, sehingga menjadi
tidak lebih koheren dibandingkan dualisme Cartesian.⁴
6.2. Kritik Ilmiah
Dari sudut pandang ilmiah, dualisme
non-Kartesian sering dikritik karena kurangnya bukti empiris yang mendukung
gagasan interaksi antara entitas fisik dan non-fisik.⁵ Dalam neurosains, tidak
ada bukti yang secara jelas menunjukkan keberadaan entitas non-fisik yang dapat
berinteraksi dengan otak.⁶ Sebagai contoh, penelitian pencitraan otak seperti
fMRI hanya menunjukkan aktivitas fisik yang dapat diamati, tanpa adanya
indikasi tentang interaksi non-fisik yang diusulkan oleh model interaksionis.⁷
Henry Stapp dan pendukung
pendekatan kuantum telah berusaha untuk memberikan landasan ilmiah bagi
dualisme dengan menggunakan fisika kuantum. Namun, pendekatan ini juga
menghadapi kritik. Sebagian besar fisikawan berpendapat bahwa interpretasi
kuantum yang digunakan untuk menjelaskan hubungan pikiran dan tubuh tidak
memiliki dasar eksperimental yang cukup kuat dan lebih bersifat spekulatif.⁸
6.3. Masalah Penjelasan Kausalitas
Salah satu tantangan terbesar
bagi dualisme non-Kartesian adalah masalah kausalitas. Bagaimana entitas
non-fisik dapat memengaruhi entitas fisik tanpa melanggar hukum kekekalan
energi dalam fisika?⁹ Kritikus sering menunjuk pada kesulitan ini sebagai
alasan untuk menolak dualisme, karena tidak ada mekanisme yang jelas untuk
menjelaskan interaksi tersebut.¹⁰
Penjelasan yang diajukan oleh
John Eccles, yang menyebutkan "unit dendritik" sebagai titik
interaksi pikiran dan tubuh, juga dianggap tidak memadai karena kurangnya bukti
eksperimental.¹¹ Sebagai hasilnya, banyak peneliti lebih memilih pendekatan
monistik, seperti materialisme atau panpsikisme, untuk menjelaskan hubungan
pikiran-tubuh.¹²
6.4. Tanggapan dan Pembelaan
Meskipun kritik ini cukup
kuat, para pendukung dualisme non-Kartesian memberikan tanggapan bahwa
kesadaran adalah fenomena unik yang tidak dapat dijelaskan secara memadai oleh
pendekatan materialis.¹³ Mereka juga berpendapat bahwa kekurangan bukti empiris
tidak berarti gagasan dualisme salah, melainkan menunjukkan bahwa ilmu
pengetahuan saat ini masih terbatas dalam memahami kompleksitas hubungan
pikiran-tubuh.¹⁴
David Chalmers, misalnya,
menekankan bahwa hard problem of consciousness tetap menjadi tantangan
besar bagi materialisme.¹⁵ Dengan demikian, dualisme non-Kartesian tetap
relevan sebagai kerangka teoritis yang membuka jalan bagi eksplorasi lebih
lanjut tentang kesadaran.¹⁶
Catatan Kaki
[1]
Jaegwon Kim, Mind in a Physical World: An Essay on the Mind-Body
Problem and Mental Causation (Cambridge: MIT Press, 1998), 67.
[2]
Daniel Dennett, Consciousness Explained (Boston: Little, Brown
and Company, 1991), 36–37.
[3]
Howard Robinson, "Dualism," in The Stanford Encyclopedia of
Philosophy (Fall 2020 Edition), ed. Edward N. Zalta, https://plato.stanford.edu/entries/dualism/.
[4]
Jaegwon Kim, Physicalism, or Something Near Enough (Princeton:
Princeton University Press, 2005), 99–100.
[5]
Paul Churchland, Matter and Consciousness (Cambridge: MIT Press,
1984), 14–15.
[6]
Antonio Damasio, Descartes' Error: Emotion, Reason, and the Human
Brain (New York: Harper Collins, 1994), 86–87.
[7]
Roger Penrose, Shadows of the Mind: A Search for the Missing Science
of Consciousness (New York: Oxford University Press, 1994), 90–91.
[8]
Henry P. Stapp, Mindful Universe: Quantum Mechanics and the Participating
Observer (Berlin: Springer, 2007), 99–101.
[9]
Karl Popper and John Eccles, The Self and Its Brain: An Argument for
Interactionism (New York: Springer International, 1977), 110.
[10]
Jaegwon Kim, Mind in a Physical World, 88–90.
[11]
Eccles and Popper, The Self and Its Brain, 34.
[12]
David Skrbina, Panpsychism in the West (Cambridge: MIT Press,
2005), 120.
[13]
David Chalmers, The Conscious Mind: In Search of a Fundamental Theory
(New York: Oxford University Press, 1996), 145–147.
[14]
William Hasker, The Emergent Self (Ithaca: Cornell University
Press, 1999), 56–57.
[15]
David Chalmers, The Conscious Mind, 120.
[16]
Thomas Nagel, Mind and Cosmos: Why the Materialist Neo-Darwinian
Conception of Nature Is Almost Certainly False (New York: Oxford University
Press, 2012), 22.
7.
Kesimpulan
Dualisme non-Kartesian
menghadirkan perspektif baru yang relevan dalam diskursus filsafat pikiran dan
metafisika, terutama dalam menjelaskan hubungan kompleks antara pikiran dan
tubuh.¹ Berbeda dengan dualisme Cartesian, pendekatan ini mengusulkan model
yang lebih fleksibel, yang mengakui adanya keterkaitan dinamis antara dimensi
fisik dan non-fisik.² Dengan dukungan dari para filsuf seperti Gottfried
Wilhelm Leibniz, John Eccles, Karl Popper, dan David Chalmers, dualisme
non-Kartesian berhasil menawarkan landasan konseptual yang mampu menjawab
beberapa keterbatasan materialisme reduksionis.³
Salah satu kekuatan utama
dualisme non-Kartesian terletak pada kemampuannya menjelaskan fenomena
kesadaran sebagai sesuatu yang unik dan tidak dapat direduksi.⁴ Gagasan seperti
hard problem of consciousness oleh Chalmers dan teori aspek ganda dari
Spinoza menunjukkan bahwa pengalaman subjektif manusia tidak dapat sepenuhnya
dipahami melalui kerangka materialis.⁵ Selain itu, upaya mengintegrasikan
temuan ilmu pengetahuan modern, seperti dalam neurosains dan fisika kuantum,
menambah dimensi ilmiah pada pendekatan ini.⁶
Namun, dualisme non-Kartesian
juga tidak luput dari kritik. Tantangan terbesar berasal dari masalah
kausalitas dan kurangnya bukti empiris yang mendukung interaksi antara entitas
fisik dan non-fisik.⁷ Selain itu, skeptisisme terhadap interpretasi kuantum
yang mendukung dualisme menunjukkan bahwa teori ini masih membutuhkan penguatan
lebih lanjut agar dapat diterima secara luas dalam komunitas ilmiah.⁸
Meskipun demikian, dualisme
non-Kartesian tetap relevan dalam eksplorasi lanjutan tentang kesadaran,
filsafat agama, dan etika. Dengan terus berkembangnya ilmu pengetahuan dan
filsafat, pendekatan ini berpotensi memberikan wawasan baru yang dapat
menjembatani pemahaman tentang fenomena pikiran dan tubuh yang kompleks.⁹ Oleh
karena itu, dualisme non-Kartesian tidak hanya menjadi model teoritis
alternatif, tetapi juga katalis penting dalam diskusi lintas disiplin yang
menjanjikan pemahaman yang lebih dalam tentang sifat eksistensi manusia.¹⁰
Catatan Kaki (Chicago Manual of Style):
[1]
Howard Robinson, "Dualism," in The Stanford Encyclopedia of
Philosophy (Fall 2020 Edition), ed. Edward N. Zalta, https://plato.stanford.edu/entries/dualism/.
[2]
David Chalmers, The Conscious Mind: In Search of a Fundamental Theory
(New York: Oxford University Press, 1996), 125–127.
[3]
John C. Eccles and Karl R. Popper, The Self and Its Brain: An
Argument for Interactionism (New York: Springer International, 1977),
11–14.
[4]
William Hasker, The Emergent Self (Ithaca: Cornell University
Press, 1999), 37.
[5]
Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (London: Penguin
Books, 1996), 25.
[6]
Henry P. Stapp, Mindful Universe: Quantum Mechanics and the
Participating Observer (Berlin: Springer, 2007), 89.
[7]
Jaegwon Kim, Mind in a Physical World: An Essay on the Mind-Body
Problem and Mental Causation (Cambridge: MIT Press, 1998), 88–90.
[8]
Roger Penrose, Shadows of the Mind: A Search for the Missing Science
of Consciousness (New York: Oxford University Press, 1994), 75–77.
[9]
Keith Ward, Religion and Human Nature (Oxford: Oxford University
Press, 1998), 112–115.
[10]
Thomas Nagel, Mind and Cosmos: Why the Materialist Neo-Darwinian
Conception of Nature Is Almost Certainly False (New York: Oxford University
Press, 2012), 10–12.
Daftar Pustaka
Chalmers, D. (1996). The conscious mind: In
search of a fundamental theory. New York: Oxford University Press.
Churchland, P. (1984). Matter and consciousness.
Cambridge: MIT Press.
Damasio, A. (1994). Descartes' error: Emotion,
reason, and the human brain. New York: Harper Collins.
Damasio, A. (1999). The feeling of what happens:
Body and emotion in the making of consciousness. New York: Harcourt Brace.
Dennett, D. (1991). Consciousness explained.
Boston: Little, Brown and Company.
Dennett, D. (2003). Freedom evolves. New
York: Viking.
Eccles, J. C., & Popper, K. R. (1977). The
self and its brain: An argument for interactionism. New York: Springer
International.
Hasker, W. (1999). The emergent self.
Ithaca: Cornell University Press.
Kim, J. (1998). Mind in a physical world: An
essay on the mind-body problem and mental causation. Cambridge: MIT Press.
Kim, J. (2005). Physicalism, or something near
enough. Princeton: Princeton University Press.
Leibniz, G. W. (1916). Monadology (G.
Montgomery, Trans.). London: Oxford University Press.
Nagel, T. (2012). Mind and cosmos: Why the
materialist neo-Darwinian conception of nature is almost certainly false.
New York: Oxford University Press.
Penrose, R. (1989). The emperor's new mind:
Concerning computers, minds, and the laws of physics. Oxford: Oxford
University Press.
Penrose, R. (1994). Shadows of the mind: A
search for the missing science of consciousness. New York: Oxford
University Press.
Popper, K. R. (1972). Objective knowledge: An
evolutionary approach. Oxford: Clarendon Press.
Robinson, H. (2020). Dualism. In E. N. Zalta (Ed.),
The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2020 Edition). Retrieved
from https://plato.stanford.edu/entries/dualism/
Ryle, G. (1949). The concept of mind.
London: Hutchinson.
Spinoza, B. (1996). Ethics (E. Curley,
Trans.). London: Penguin Books.
Stapp, H. P. (2007). Mindful universe: Quantum
mechanics and the participating observer. Berlin: Springer.
Ward, K. (1998). Religion and human nature. Oxford:
Oxford University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar