Sabtu, 28 Desember 2024

Mendalami Dualisme Non-Kartesian: Perspektif Filsafat Kontemporer

 Mendalami Dualisme Non-Kartesian

“Perspektif Filsafat Kontemporer”

Alihkan ke-Dualisme Cartesian


Abstrak

Artikel ini mengeksplorasi dualisme non-Kartesian sebagai pendekatan alternatif dalam memahami hubungan pikiran dan tubuh, yang berbeda dari dualisme Cartesian tradisional. Dualisme non-Kartesian menawarkan perspektif yang lebih integratif, dengan mengakui hubungan dinamis antara dimensi fisik dan non-fisik. Artikel ini membahas definisi, konsep dasar, dan kontribusi para tokoh kunci seperti Gottfried Wilhelm Leibniz, John Eccles, Karl Popper, David Chalmers, dan Henry Stapp. Selain itu, implikasinya dalam filsafat pikiran, neurosains, filsafat agama, serta etika juga diulas secara komprehensif.

Pendekatan ini menekankan bahwa fenomena kesadaran, termasuk pengalaman subjektif (qualia), tidak dapat direduksi menjadi aktivitas fisik semata. Namun, dualisme non-Kartesian menghadapi kritik yang signifikan, terutama terkait dengan masalah kausalitas dan kurangnya bukti empiris yang mendukung interaksi antara entitas fisik dan non-fisik. Meski demikian, gagasan ini tetap relevan dalam upaya memahami kompleksitas kesadaran manusia dan sifat eksistensi. Artikel ini menyimpulkan bahwa dualisme non-Kartesian tidak hanya memberikan alternatif teoritis, tetapi juga mendorong diskusi lintas disiplin yang berpotensi memperluas wawasan dalam filsafat dan ilmu pengetahuan modern.

Kata Kunci: Dualisme non-Kartesian, filsafat pikiran, kesadaran, neurosains, interaksionisme, qualia.


1.           Pendahuluan

1.1.       Latar Belakang

Dualisme merupakan salah satu konsep paling berpengaruh dalam filsafat, terutama dalam memahami hubungan antara pikiran dan tubuh. Secara historis, gagasan ini pertama kali dipopulerkan oleh René Descartes dalam pemikiran Cartesian yang memisahkan substansi pikiran (res cogitans) dari substansi materi (res extensa).¹ Dualisme Cartesian menegaskan bahwa pikiran bersifat immaterial, sedangkan tubuh bersifat material.² Namun, pendekatan Cartesian menuai kritik karena dianggap terlalu menyederhanakan hubungan kompleks antara pikiran dan tubuh, terutama dalam menjelaskan bagaimana keduanya dapat saling berinteraksi.³

Sebagai respons terhadap keterbatasan dualisme Cartesian, lahirlah dualisme non-Kartesian yang menawarkan pendekatan lebih fleksibel dalam memahami hubungan pikiran dan tubuh.⁴ Berbeda dengan Cartesian, dualisme non-Kartesian menolak pemisahan radikal antara pikiran dan tubuh, dan cenderung mengakui hubungan yang lebih integratif antara keduanya.⁵ Dualisme ini juga membuka ruang bagi pengaruh filsafat modern dan ilmu pengetahuan kontemporer, seperti ilmu kognitif dan fisika kuantum, dalam memahami fenomena kesadaran.⁶

1.2.       Tujuan Artikel

Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan konsep dualisme non-Kartesian secara komprehensif, termasuk bagaimana pendekatan ini berbeda dari dualisme Cartesian. Dengan menganalisis berbagai perspektif filosofis dan mengacu pada referensi-referensi yang kredibel, artikel ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih luas tentang kontribusi dualisme non-Kartesian dalam filsafat kontemporer.

1.3.       Relevansi

Pemahaman tentang dualisme non-Kartesian penting karena memberikan alternatif dalam diskursus filsafat pikiran yang sering kali didominasi oleh materialisme dan monisme.⁷ Dualisme non-Kartesian juga relevan dalam konteks perkembangan ilmu pengetahuan, seperti neuroscience, yang mempelajari hubungan antara aktivitas otak dan kesadaran manusia.⁸ Selain itu, pendekatan ini dapat memperkaya diskusi filsafat agama tentang jiwa dan keberadaan manusia di dunia.⁹


Catatan Kaki (Chicago Manual of Style):

[1]              René Descartes, Meditations on First Philosophy, ed. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 21.

[2]              John Cottingham, Cartesian Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2000), 45.

[3]              Gilbert Ryle, The Concept of Mind (London: Hutchinson, 1949), 15–20.

[4]              William Hasker, The Emergent Self (Ithaca: Cornell University Press, 1999), 37–38.

[5]              David Chalmers, The Conscious Mind: In Search of a Fundamental Theory (New York: Oxford University Press, 1996), 103.

[6]              Henry P. Stapp, Mindful Universe: Quantum Mechanics and the Participating Observer (Berlin: Springer, 2007), 89.

[7]              Daniel Dennett, Consciousness Explained (Boston: Little, Brown and Company, 1991), 45.

[8]              Antonio Damasio, The Feeling of What Happens: Body and Emotion in the Making of Consciousness (New York: Harcourt Brace, 1999), 201–203.

[9]              Keith Ward, Religion and Human Nature (Oxford: Oxford University Press, 1998), 112–115.


2.           Dasar Teoretis Dualisme

2.1.       Definisi Dualisme

Dualisme adalah teori filsafat yang menjelaskan hubungan antara pikiran (mind) dan tubuh (body) sebagai dua entitas yang berbeda.¹ Pemikiran ini sering kali menjadi inti dalam filsafat pikiran dan metafisika, yang mempertanyakan sifat dasar realitas manusia dan eksistensinya.² Dalam dualisme, pikiran dianggap sebagai entitas non-fisik yang tidak dapat direduksi menjadi proses biologis semata, sementara tubuh merupakan entitas fisik yang tunduk pada hukum materi.³

2.2.       Dualisme Cartesian

Dualisme Cartesian pertama kali diperkenalkan oleh René Descartes dalam karya monumentalnya, Meditations on First Philosophy. Descartes mendefinisikan pikiran sebagai "substansi berpikir" (res cogitans) dan tubuh sebagai "substansi yang memiliki dimensi" (res extensa).⁴ Pandangan ini menghasilkan dikotomi tajam antara pikiran yang tidak berwujud dan tubuh yang berwujud, serta menimbulkan pertanyaan mendasar: bagaimana dua substansi yang sangat berbeda ini dapat berinteraksi?⁵ Descartes mencoba menjelaskan interaksi ini melalui kelenjar pineal di otak, meskipun teori ini kemudian ditentang oleh para filsuf dan ilmuwan karena kurangnya dasar empiris.⁶

Kelebihan dualisme Cartesian adalah kemampuannya menjelaskan pengalaman subjektif manusia, seperti kesadaran dan kehendak bebas, yang sulit dijelaskan oleh materialisme.⁷ Namun, model ini juga menuai kritik, terutama dari para pendukung materialisme yang berpendapat bahwa semua fenomena mental dapat dijelaskan melalui proses otak.⁸

2.3.       Lahirnya Dualisme Non-Kartesian

Dualisme non-Kartesian muncul sebagai respons terhadap keterbatasan dan kritik terhadap dualisme Cartesian. Filsuf seperti Gottfried Wilhelm Leibniz, John Eccles, dan David Chalmers menyumbangkan pendekatan yang lebih integratif terhadap hubungan pikiran dan tubuh.⁹ Dualisme non-Kartesian cenderung menolak pemisahan radikal antara pikiran dan tubuh serta menawarkan model yang lebih koheren dalam menjelaskan interaksi keduanya.¹⁰ Sebagai contoh, dualisme aspek ganda (dual-aspect theory) yang dikembangkan oleh Spinoza dan diteruskan oleh filsuf kontemporer seperti Thomas Nagel, mengusulkan bahwa pikiran dan tubuh adalah aspek yang berbeda dari substansi yang sama.¹¹

Selain itu, pengaruh ilmu pengetahuan modern, seperti fisika kuantum, juga telah memperkaya pendekatan non-Kartesian ini.¹² Konsep kesadaran sebagai fenomena emergen dari proses fisik dan non-fisik menjadi inti dari dualisme ini.¹³


Catatan Kaki (Chicago Manual of Style):

[1]              Howard Robinson, "Dualism," in The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2020 Edition), ed. Edward N. Zalta, https://plato.stanford.edu/entries/dualism/.

[2]              John Cottingham, Cartesian Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2000), 12–13.

[3]              David Chalmers, The Conscious Mind: In Search of a Fundamental Theory (New York: Oxford University Press, 1996), 125–126.

[4]              René Descartes, Meditations on First Philosophy, ed. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 25–27.

[5]              Paul Churchland, Matter and Consciousness (Cambridge: MIT Press, 1984), 13–15.

[6]              Gilbert Ryle, The Concept of Mind (London: Hutchinson, 1949), 8–12.

[7]              William Hasker, The Emergent Self (Ithaca: Cornell University Press, 1999), 15–16.

[8]              Daniel Dennett, Consciousness Explained (Boston: Little, Brown and Company, 1991), 22–23.

[9]              Gottfried Wilhelm Leibniz, Monadology, trans. George Montgomery (London: Oxford University Press, 1916), 45.

[10]          Henry P. Stapp, Mindful Universe: Quantum Mechanics and the Participating Observer (Berlin: Springer, 2007), 75–77.

[11]          Thomas Nagel, Mind and Cosmos: Why the Materialist Neo-Darwinian Conception of Nature Is Almost Certainly False (New York: Oxford University Press, 2012), 10–12.

[12]          Penrose, Roger. Shadows of the Mind: A Search for the Missing Science of Consciousness (New York: Oxford University Press, 1994), 65.

[13]          Antonio Damasio, The Feeling of What Happens: Body and Emotion in the Making of Consciousness (New York: Harcourt Brace, 1999), 87.


3.           Konsep Dasar Dualisme Non-Kartesian

3.1.       Definisi dan Ciri Khas

Dualisme non-Kartesian adalah pendekatan dalam filsafat pikiran yang mempertimbangkan hubungan pikiran dan tubuh dengan lebih integratif daripada pendekatan Cartesian.¹ Berbeda dengan dualisme Cartesian yang menegaskan perbedaan radikal antara substansi pikiran dan substansi tubuh, dualisme non-Kartesian melihat keduanya sebagai aspek yang saling terkait dan berinteraksi secara dinamis.² Pendekatan ini menolak pandangan bahwa pikiran sepenuhnya terpisah dari tubuh, tetapi tetap mengakui bahwa keduanya tidak identik atau dapat direduksi satu sama lain.³

Ciri utama dualisme non-Kartesian adalah fokus pada hubungan dan fenomena emergen. Misalnya, kesadaran dianggap sebagai hasil interaksi kompleks antara proses fisik dan non-fisik.⁴ Model ini juga sering mengakomodasi pendekatan interdisipliner, termasuk masukan dari ilmu pengetahuan modern seperti neuroscience dan fisika kuantum.⁵

3.2.       Varian Dualisme Non-Kartesian

Dualisme non-Kartesian memiliki beberapa varian utama, di antaranya:

1)                  Interaksionisme:

Dikembangkan oleh filsuf seperti John Eccles, interaksionisme berargumen bahwa pikiran dan tubuh saling memengaruhi secara kausal meskipun berbeda dalam sifat.⁶ Interaksi ini diyakini terjadi melalui mekanisme yang belum sepenuhnya dipahami, tetapi diakui dalam beberapa teori neuroscientific modern.⁷

2)                  Epifenomenalisme:

Varian ini menyatakan bahwa pikiran muncul sebagai efek samping dari proses fisik di otak, tanpa kemampuan untuk memengaruhi aktivitas fisik.⁸ Meski mengakui keberadaan pengalaman mental, epifenomenalisme menempatkannya sebagai hasil pasif dari proses biologis.⁹

3)                  Dual-aspect Theory (Teori Aspek Ganda):

Teori ini, yang memiliki akar pada pemikiran Baruch Spinoza, menyatakan bahwa pikiran dan tubuh adalah dua aspek dari substansi yang sama.¹⁰ Filsuf kontemporer seperti Thomas Nagel memperluas gagasan ini dengan menekankan bahwa pengalaman subjektif manusia (qualia) adalah bagian penting yang tidak dapat dijelaskan secara fisik semata.¹¹

3.3.       Argumen-argumen Utama

Dualisme non-Kartesian menawarkan beberapa argumen kunci untuk mendukung validitasnya:

·                     Kesadaran sebagai Fenomena Emergen:

Salah satu argumen penting adalah bahwa kesadaran tidak dapat direduksi menjadi aktivitas fisik otak semata.¹² Sebaliknya, ia merupakan fenomena emergen yang muncul dari interaksi kompleks antara proses biologis dan entitas non-fisik.¹³

·                     Kritik terhadap Reduksionisme Materialis:

Pendukung dualisme non-Kartesian sering menentang pandangan materialis yang mencoba menjelaskan semua fenomena mental sebagai produk otak. Mereka menekankan bahwa pengalaman subjektif (seperti rasa sakit, cinta, atau keindahan) tidak dapat sepenuhnya dipahami melalui analisis fisik.¹⁴


Catatan Kaki

[1]              Howard Robinson, "Dualism," in The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2020 Edition), ed. Edward N. Zalta, https://plato.stanford.edu/entries/dualism/.

[2]              John Cottingham, Cartesian Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2000), 14–16.

[3]              David Chalmers, The Conscious Mind: In Search of a Fundamental Theory (New York: Oxford University Press, 1996), 140.

[4]              William Hasker, The Emergent Self (Ithaca: Cornell University Press, 1999), 45–46.

[5]              Henry P. Stapp, Mindful Universe: Quantum Mechanics and the Participating Observer (Berlin: Springer, 2007), 95.

[6]              John C. Eccles and Karl R. Popper, The Self and Its Brain: An Argument for Interactionism (New York: Springer International, 1977), 34–36.

[7]              Roger Penrose, The Emperor's New Mind: Concerning Computers, Minds, and the Laws of Physics (Oxford: Oxford University Press, 1989), 390.

[8]              Thomas Huxley, "On the Hypothesis That Animals Are Automata," Nature 10 (1874): 362–366.

[9]              Jaegwon Kim, Mind in a Physical World: An Essay on the Mind-Body Problem and Mental Causation (Cambridge: MIT Press, 1998), 89.

[10]          Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (London: Penguin Books, 1996), 11–12.

[11]          Thomas Nagel, Mind and Cosmos: Why the Materialist Neo-Darwinian Conception of Nature Is Almost Certainly False (New York: Oxford University Press, 2012), 10–13.

[12]          Antonio Damasio, The Feeling of What Happens: Body and Emotion in the Making of Consciousness (New York: Harcourt Brace, 1999), 115–117.

[13]          David Chalmers, The Conscious Mind, 145–147.

[14]          Daniel Dennett, Consciousness Explained (Boston: Little, Brown and Company, 1991), 45–46.


4.           Tokoh-tokoh Kunci dalam Dualisme Non-Kartesian

4.1.       Gottfried Wilhelm Leibniz

Leibniz adalah salah satu tokoh awal yang memformulasikan konsep-konsep dasar yang menjadi inspirasi dualisme non-Kartesian. Dalam Monadology, ia mengajukan gagasan bahwa realitas terdiri atas monad, yaitu entitas non-fisik yang mencakup dimensi mental dan fisik.¹ Monad tidak berinteraksi secara langsung, melainkan beroperasi berdasarkan "harmoni yang telah ditentukan sebelumnya" (pre-established harmony), yang disusun oleh Tuhan.² Dengan gagasan ini, Leibniz menolak dualisme Cartesian dan menggantinya dengan pendekatan yang lebih holistik, di mana pikiran dan tubuh merupakan ekspresi dari substansi yang sama.³

4.2.       John Eccles dan Karl Popper

John Eccles, seorang ahli neurofisiologi, bekerja sama dengan filsuf Karl Popper untuk mengembangkan model interaksionisme modern. Dalam The Self and Its Brain, mereka berpendapat bahwa pikiran dan otak adalah dua entitas yang berbeda tetapi saling memengaruhi.⁴ Eccles menggunakan bukti neuroscientific untuk mendukung argumennya bahwa kesadaran manusia tidak dapat direduksi menjadi aktivitas neurologis semata.⁵ Ia mengidentifikasi "unit-unit dendritik" di otak sebagai titik di mana interaksi antara pikiran dan tubuh dapat terjadi.⁶

Popper menambahkan dimensi filosofis dengan menekankan peran kesadaran dalam memahami realitas.⁷ Bagi Popper, dualisme non-Kartesian adalah cara untuk mengakomodasi pengalaman subjektif manusia tanpa mengorbankan integritas penjelasan ilmiah.⁸

4.3.       David Chalmers

David Chalmers adalah salah satu tokoh kontemporer yang memopulerkan pendekatan dualisme non-Kartesian melalui teori tentang "hard problem of consciousness."⁹ Dalam The Conscious Mind, Chalmers berpendapat bahwa kesadaran tidak dapat dijelaskan sepenuhnya oleh sains fisik karena ia melibatkan fenomena subjektif yang tidak dapat direduksi, seperti pengalaman (qualia).¹⁰ Chalmers memperkenalkan konsep dualisme properti (property dualism), yang menyatakan bahwa pikiran dan tubuh adalah dua sifat berbeda dari substansi yang sama.¹¹

Chalmers juga mengeksplorasi kemungkinan hubungan antara kesadaran dan mekanika kuantum, sebuah pendekatan yang semakin relevan dalam diskusi tentang dualisme non-Kartesian.¹²

4.4.       Henry Stapp

Henry Stapp membawa perspektif unik dalam dualisme non-Kartesian dengan mengintegrasikan fisika kuantum. Dalam Mindful Universe, Stapp berpendapat bahwa kesadaran memainkan peran penting dalam proses pengamatan kuantum, di mana pilihan pengamat memengaruhi hasil pengukuran.¹³ Dengan pendekatan ini, Stapp menyelaraskan antara filsafat pikiran dan fisika modern, yang mendukung gagasan bahwa pikiran memiliki pengaruh kausal pada realitas fisik.¹⁴


Catatan Kaki

[1]              Gottfried Wilhelm Leibniz, Monadology, trans. George Montgomery (London: Oxford University Press, 1916), 23–26.

[2]              Ibid., 45.

[3]              Donald Rutherford, Leibniz and the Rational Order of Nature (Cambridge: Cambridge University Press, 1995), 88–91.

[4]              John C. Eccles and Karl R. Popper, The Self and Its Brain: An Argument for Interactionism (New York: Springer International, 1977), 11–14.

[5]              Eccles, The Neurophysiological Basis of Mind: The Principles of Neurophysiology (Oxford: Clarendon Press, 1953), 56–57.

[6]              Ibid., 112.

[7]              Karl Popper, Objective Knowledge: An Evolutionary Approach (Oxford: Clarendon Press, 1972), 34–36.

[8]              Ibid., 45.

[9]              David Chalmers, The Conscious Mind: In Search of a Fundamental Theory (New York: Oxford University Press, 1996), 20–22.

[10]          Ibid., 105–106.

[11]          Ibid., 140–142.

[12]          Roger Penrose, The Emperor's New Mind: Concerning Computers, Minds, and the Laws of Physics (Oxford: Oxford University Press, 1989), 398–399.

[13]          Henry P. Stapp, Mindful Universe: Quantum Mechanics and the Participating Observer (Berlin: Springer, 2007), 75–76.

[14]          Ibid., 89.


5.           Implikasi Dualisme Non-Kartesian dalam Filsafat Kontemporer

5.1.       Filsafat Pikiran

Dualisme non-Kartesian telah memberikan kontribusi signifikan dalam filsafat pikiran, khususnya dalam memahami fenomena kesadaran.¹ Pendekatan ini menekankan bahwa kesadaran tidak dapat direduksi menjadi proses fisik semata, seperti yang diasumsikan oleh materialisme reduksionis.² Sebaliknya, dualisme non-Kartesian menganggap kesadaran sebagai fenomena emergen yang membutuhkan pendekatan multidimensional untuk dipahami.³ David Chalmers, misalnya, memperkenalkan konsep hard problem of consciousness, yaitu tantangan untuk menjelaskan bagaimana pengalaman subjektif (qualia) muncul dari aktivitas otak.⁴

Dualisme non-Kartesian juga relevan dalam diskusi tentang kehendak bebas. Dengan mengakui adanya dimensi non-fisik dalam diri manusia, pendekatan ini mendukung pandangan bahwa manusia memiliki kebebasan untuk bertindak di luar determinisme fisik.⁵

5.2.       Ilmu Kognitif dan Neurosains

Dalam ilmu kognitif dan neurosains, dualisme non-Kartesian menawarkan paradigma baru untuk memahami hubungan antara otak dan pikiran.⁶ Model interaksionisme yang dikembangkan oleh John Eccles menunjukkan bahwa kesadaran manusia tidak sepenuhnya ditentukan oleh aktivitas neural, melainkan merupakan hasil interaksi antara entitas mental dan fisik.⁷ Penelitian dalam bidang ini semakin banyak menggunakan teknologi seperti pencitraan resonansi magnetik fungsional (fMRI) untuk mengeksplorasi bagaimana aktivitas otak terkait dengan pengalaman mental.⁸

Sebagai contoh, Henry Stapp memanfaatkan fisika kuantum untuk menjelaskan bagaimana kesadaran dapat memengaruhi proses pengambilan keputusan melalui mekanisme probabilitas kuantum.⁹ Pendekatan ini membuka ruang bagi integrasi ilmu pengetahuan dengan filsafat dalam memahami kesadaran secara lebih mendalam.¹⁰

5.3.       Filsafat Agama

Dualisme non-Kartesian juga berdampak pada filsafat agama, khususnya dalam diskusi tentang keberadaan jiwa dan kehidupan setelah kematian.¹¹ Dengan mengakui adanya entitas non-fisik yang independen dari tubuh, dualisme ini memberikan landasan filosofis bagi kepercayaan akan jiwa yang tidak hancur oleh kematian.¹² Pemikiran ini relevan dengan tradisi agama yang mengajarkan keabadian jiwa, seperti Islam, Kristen, dan Hindu.¹³

Gagasan tentang dual-aspect theory, misalnya, telah digunakan oleh para filsuf agama untuk menjelaskan bagaimana pengalaman spiritual dapat dipahami sebagai interaksi antara dimensi fisik dan metafisik manusia.¹⁴

5.4.       Etika dan Moralitas

Dalam bidang etika, dualisme non-Kartesian memberikan penekanan pada pentingnya dimensi non-fisik manusia dalam pengambilan keputusan moral.¹⁵ Dengan mengakui keberadaan kesadaran dan kehendak bebas, pendekatan ini mendukung pandangan bahwa manusia bertanggung jawab atas tindakannya.¹⁶ Model ini juga memungkinkan diskusi yang lebih kaya tentang nilai-nilai moral, karena tidak terbatas pada perspektif biologis atau deterministik.¹⁷


Catatan Kaki

[1]              David Chalmers, The Conscious Mind: In Search of a Fundamental Theory (New York: Oxford University Press, 1996), 125–127.

[2]              Jaegwon Kim, Mind in a Physical World: An Essay on the Mind-Body Problem and Mental Causation (Cambridge: MIT Press, 1998), 67.

[3]              William Hasker, The Emergent Self (Ithaca: Cornell University Press, 1999), 45–47.

[4]              David Chalmers, The Conscious Mind, 20–22.

[5]              Karl Popper, Objective Knowledge: An Evolutionary Approach (Oxford: Clarendon Press, 1972), 34–36.

[6]              Antonio Damasio, The Feeling of What Happens: Body and Emotion in the Making of Consciousness (New York: Harcourt Brace, 1999), 78–80.

[7]              John C. Eccles and Karl R. Popper, The Self and Its Brain: An Argument for Interactionism (New York: Springer International, 1977), 90.

[8]              Roger Penrose, The Emperor's New Mind: Concerning Computers, Minds, and the Laws of Physics (Oxford: Oxford University Press, 1989), 340.

[9]              Henry P. Stapp, Mindful Universe: Quantum Mechanics and the Participating Observer (Berlin: Springer, 2007), 75.

[10]          Ibid., 89.

[11]          Keith Ward, Religion and Human Nature (Oxford: Oxford University Press, 1998), 102–105.

[12]          Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (London: Penguin Books, 1996), 50.

[13]          William Lane Craig, Reasonable Faith: Christian Truth and Apologetics (Wheaton: Crossway, 2008), 56.

[14]          Thomas Nagel, Mind and Cosmos: Why the Materialist Neo-Darwinian Conception of Nature Is Almost Certainly False (New York: Oxford University Press, 2012), 25.

[15]          Gilbert Ryle, The Concept of Mind (London: Hutchinson, 1949), 22.

[16]          Paul Churchland, Matter and Consciousness (Cambridge: MIT Press, 1984), 23.

[17]          Daniel Dennett, Freedom Evolves (New York: Viking, 2003), 104–106.


6.           Kritik terhadap Dualisme Non-Kartesian

6.1.       Kritik Filosofis

Dualisme non-Kartesian, meskipun menawarkan pendekatan yang lebih fleksibel dibandingkan dualisme Cartesian, tetap menghadapi berbagai kritik filosofis. Salah satu kritik utama berasal dari para pendukung materialisme yang berpendapat bahwa semua fenomena mental, termasuk kesadaran, dapat dijelaskan secara materialis tanpa perlu mengasumsikan entitas non-fisik.¹ Daniel Dennett, misalnya, menyebut teori dualisme sebagai "cerita rakyat" yang tidak sesuai dengan realitas empiris.²

Selain itu, banyak filsuf menyoroti masalah ontologi yang melekat dalam dualisme non-Kartesian. Jika pikiran dan tubuh dianggap sebagai aspek yang berbeda dari substansi yang sama (seperti dalam dual-aspect theory), maka muncul pertanyaan tentang bagaimana dua aspek ini dapat dipisahkan secara jelas tanpa menimbulkan kontradiksi.³ Kritikus seperti Jaegwon Kim berpendapat bahwa dualisme non-Kartesian gagal menjelaskan mekanisme kausal antara pikiran dan tubuh secara memadai, sehingga menjadi tidak lebih koheren dibandingkan dualisme Cartesian.⁴

6.2.       Kritik Ilmiah

Dari sudut pandang ilmiah, dualisme non-Kartesian sering dikritik karena kurangnya bukti empiris yang mendukung gagasan interaksi antara entitas fisik dan non-fisik.⁵ Dalam neurosains, tidak ada bukti yang secara jelas menunjukkan keberadaan entitas non-fisik yang dapat berinteraksi dengan otak.⁶ Sebagai contoh, penelitian pencitraan otak seperti fMRI hanya menunjukkan aktivitas fisik yang dapat diamati, tanpa adanya indikasi tentang interaksi non-fisik yang diusulkan oleh model interaksionis.⁷

Henry Stapp dan pendukung pendekatan kuantum telah berusaha untuk memberikan landasan ilmiah bagi dualisme dengan menggunakan fisika kuantum. Namun, pendekatan ini juga menghadapi kritik. Sebagian besar fisikawan berpendapat bahwa interpretasi kuantum yang digunakan untuk menjelaskan hubungan pikiran dan tubuh tidak memiliki dasar eksperimental yang cukup kuat dan lebih bersifat spekulatif.⁸

6.3.       Masalah Penjelasan Kausalitas

Salah satu tantangan terbesar bagi dualisme non-Kartesian adalah masalah kausalitas. Bagaimana entitas non-fisik dapat memengaruhi entitas fisik tanpa melanggar hukum kekekalan energi dalam fisika?⁹ Kritikus sering menunjuk pada kesulitan ini sebagai alasan untuk menolak dualisme, karena tidak ada mekanisme yang jelas untuk menjelaskan interaksi tersebut.¹⁰

Penjelasan yang diajukan oleh John Eccles, yang menyebutkan "unit dendritik" sebagai titik interaksi pikiran dan tubuh, juga dianggap tidak memadai karena kurangnya bukti eksperimental.¹¹ Sebagai hasilnya, banyak peneliti lebih memilih pendekatan monistik, seperti materialisme atau panpsikisme, untuk menjelaskan hubungan pikiran-tubuh.¹²

6.4.       Tanggapan dan Pembelaan

Meskipun kritik ini cukup kuat, para pendukung dualisme non-Kartesian memberikan tanggapan bahwa kesadaran adalah fenomena unik yang tidak dapat dijelaskan secara memadai oleh pendekatan materialis.¹³ Mereka juga berpendapat bahwa kekurangan bukti empiris tidak berarti gagasan dualisme salah, melainkan menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan saat ini masih terbatas dalam memahami kompleksitas hubungan pikiran-tubuh.¹⁴

David Chalmers, misalnya, menekankan bahwa hard problem of consciousness tetap menjadi tantangan besar bagi materialisme.¹⁵ Dengan demikian, dualisme non-Kartesian tetap relevan sebagai kerangka teoritis yang membuka jalan bagi eksplorasi lebih lanjut tentang kesadaran.¹⁶


Catatan Kaki

[1]              Jaegwon Kim, Mind in a Physical World: An Essay on the Mind-Body Problem and Mental Causation (Cambridge: MIT Press, 1998), 67.

[2]              Daniel Dennett, Consciousness Explained (Boston: Little, Brown and Company, 1991), 36–37.

[3]              Howard Robinson, "Dualism," in The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2020 Edition), ed. Edward N. Zalta, https://plato.stanford.edu/entries/dualism/.

[4]              Jaegwon Kim, Physicalism, or Something Near Enough (Princeton: Princeton University Press, 2005), 99–100.

[5]              Paul Churchland, Matter and Consciousness (Cambridge: MIT Press, 1984), 14–15.

[6]              Antonio Damasio, Descartes' Error: Emotion, Reason, and the Human Brain (New York: Harper Collins, 1994), 86–87.

[7]              Roger Penrose, Shadows of the Mind: A Search for the Missing Science of Consciousness (New York: Oxford University Press, 1994), 90–91.

[8]              Henry P. Stapp, Mindful Universe: Quantum Mechanics and the Participating Observer (Berlin: Springer, 2007), 99–101.

[9]              Karl Popper and John Eccles, The Self and Its Brain: An Argument for Interactionism (New York: Springer International, 1977), 110.

[10]          Jaegwon Kim, Mind in a Physical World, 88–90.

[11]          Eccles and Popper, The Self and Its Brain, 34.

[12]          David Skrbina, Panpsychism in the West (Cambridge: MIT Press, 2005), 120.

[13]          David Chalmers, The Conscious Mind: In Search of a Fundamental Theory (New York: Oxford University Press, 1996), 145–147.

[14]          William Hasker, The Emergent Self (Ithaca: Cornell University Press, 1999), 56–57.

[15]          David Chalmers, The Conscious Mind, 120.

[16]          Thomas Nagel, Mind and Cosmos: Why the Materialist Neo-Darwinian Conception of Nature Is Almost Certainly False (New York: Oxford University Press, 2012), 22.


7.           Kesimpulan

Dualisme non-Kartesian menghadirkan perspektif baru yang relevan dalam diskursus filsafat pikiran dan metafisika, terutama dalam menjelaskan hubungan kompleks antara pikiran dan tubuh.¹ Berbeda dengan dualisme Cartesian, pendekatan ini mengusulkan model yang lebih fleksibel, yang mengakui adanya keterkaitan dinamis antara dimensi fisik dan non-fisik.² Dengan dukungan dari para filsuf seperti Gottfried Wilhelm Leibniz, John Eccles, Karl Popper, dan David Chalmers, dualisme non-Kartesian berhasil menawarkan landasan konseptual yang mampu menjawab beberapa keterbatasan materialisme reduksionis.³

Salah satu kekuatan utama dualisme non-Kartesian terletak pada kemampuannya menjelaskan fenomena kesadaran sebagai sesuatu yang unik dan tidak dapat direduksi.⁴ Gagasan seperti hard problem of consciousness oleh Chalmers dan teori aspek ganda dari Spinoza menunjukkan bahwa pengalaman subjektif manusia tidak dapat sepenuhnya dipahami melalui kerangka materialis.⁵ Selain itu, upaya mengintegrasikan temuan ilmu pengetahuan modern, seperti dalam neurosains dan fisika kuantum, menambah dimensi ilmiah pada pendekatan ini.⁶

Namun, dualisme non-Kartesian juga tidak luput dari kritik. Tantangan terbesar berasal dari masalah kausalitas dan kurangnya bukti empiris yang mendukung interaksi antara entitas fisik dan non-fisik.⁷ Selain itu, skeptisisme terhadap interpretasi kuantum yang mendukung dualisme menunjukkan bahwa teori ini masih membutuhkan penguatan lebih lanjut agar dapat diterima secara luas dalam komunitas ilmiah.⁸

Meskipun demikian, dualisme non-Kartesian tetap relevan dalam eksplorasi lanjutan tentang kesadaran, filsafat agama, dan etika. Dengan terus berkembangnya ilmu pengetahuan dan filsafat, pendekatan ini berpotensi memberikan wawasan baru yang dapat menjembatani pemahaman tentang fenomena pikiran dan tubuh yang kompleks.⁹ Oleh karena itu, dualisme non-Kartesian tidak hanya menjadi model teoritis alternatif, tetapi juga katalis penting dalam diskusi lintas disiplin yang menjanjikan pemahaman yang lebih dalam tentang sifat eksistensi manusia.¹⁰


Catatan Kaki (Chicago Manual of Style):

[1]              Howard Robinson, "Dualism," in The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2020 Edition), ed. Edward N. Zalta, https://plato.stanford.edu/entries/dualism/.

[2]              David Chalmers, The Conscious Mind: In Search of a Fundamental Theory (New York: Oxford University Press, 1996), 125–127.

[3]              John C. Eccles and Karl R. Popper, The Self and Its Brain: An Argument for Interactionism (New York: Springer International, 1977), 11–14.

[4]              William Hasker, The Emergent Self (Ithaca: Cornell University Press, 1999), 37.

[5]              Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (London: Penguin Books, 1996), 25.

[6]              Henry P. Stapp, Mindful Universe: Quantum Mechanics and the Participating Observer (Berlin: Springer, 2007), 89.

[7]              Jaegwon Kim, Mind in a Physical World: An Essay on the Mind-Body Problem and Mental Causation (Cambridge: MIT Press, 1998), 88–90.

[8]              Roger Penrose, Shadows of the Mind: A Search for the Missing Science of Consciousness (New York: Oxford University Press, 1994), 75–77.

[9]              Keith Ward, Religion and Human Nature (Oxford: Oxford University Press, 1998), 112–115.

[10]          Thomas Nagel, Mind and Cosmos: Why the Materialist Neo-Darwinian Conception of Nature Is Almost Certainly False (New York: Oxford University Press, 2012), 10–12.


Daftar Pustaka

Chalmers, D. (1996). The conscious mind: In search of a fundamental theory. New York: Oxford University Press.

Churchland, P. (1984). Matter and consciousness. Cambridge: MIT Press.

Damasio, A. (1994). Descartes' error: Emotion, reason, and the human brain. New York: Harper Collins.

Damasio, A. (1999). The feeling of what happens: Body and emotion in the making of consciousness. New York: Harcourt Brace.

Dennett, D. (1991). Consciousness explained. Boston: Little, Brown and Company.

Dennett, D. (2003). Freedom evolves. New York: Viking.

Eccles, J. C., & Popper, K. R. (1977). The self and its brain: An argument for interactionism. New York: Springer International.

Hasker, W. (1999). The emergent self. Ithaca: Cornell University Press.

Kim, J. (1998). Mind in a physical world: An essay on the mind-body problem and mental causation. Cambridge: MIT Press.

Kim, J. (2005). Physicalism, or something near enough. Princeton: Princeton University Press.

Leibniz, G. W. (1916). Monadology (G. Montgomery, Trans.). London: Oxford University Press.

Nagel, T. (2012). Mind and cosmos: Why the materialist neo-Darwinian conception of nature is almost certainly false. New York: Oxford University Press.

Penrose, R. (1989). The emperor's new mind: Concerning computers, minds, and the laws of physics. Oxford: Oxford University Press.

Penrose, R. (1994). Shadows of the mind: A search for the missing science of consciousness. New York: Oxford University Press.

Popper, K. R. (1972). Objective knowledge: An evolutionary approach. Oxford: Clarendon Press.

Robinson, H. (2020). Dualism. In E. N. Zalta (Ed.), The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2020 Edition). Retrieved from https://plato.stanford.edu/entries/dualism/

Ryle, G. (1949). The concept of mind. London: Hutchinson.

Spinoza, B. (1996). Ethics (E. Curley, Trans.). London: Penguin Books.

Stapp, H. P. (2007). Mindful universe: Quantum mechanics and the participating observer. Berlin: Springer.

Ward, K. (1998). Religion and human nature. Oxford: Oxford University Press.


 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar