Kamis, 26 Desember 2024

Okasionalisme: Tuhan adalah Satu-satunya Penyebab Sejati dalam Hubungan Sebab-Akibat di Alam Semesta

 Doktrin Okasionalisme

Tuhan adalah Satu-satunya Penyebab Sejati dalam Hubungan Sebab-Akibat di Alam Semesta


Abstrak

Artikel ini menyajikan kajian komprehensif tentang doktrin Okasionalisme, sebuah konsep filosofis dan teologis yang menegaskan bahwa Tuhan adalah satu-satunya penyebab sejati dalam hubungan sebab-akibat di alam semesta. Berakar pada tradisi teologi Islam melalui pemikiran Abu al-Hasan al-Ash’ari dan Al-Ghazali, serta berkembang dalam filsafat Barat melalui Nicolas Malebranche, Okasionalisme menolak keberadaan kekuatan kausal independen pada makhluk. Kajian ini mengeksplorasi sejarah perkembangan, prinsip-prinsip dasar, pendekatan teologis dan filosofis, serta relevansi doktrin ini dalam konteks modern.

Dalam tradisi Islam, Okasionalisme memperkuat prinsip tauhid dengan menegaskan ketergantungan total makhluk kepada Tuhan. Sementara itu, dalam filsafat Barat, doktrin ini menjadi bagian penting dari diskursus metafisika, terutama dalam menjawab tantangan dualisme Cartesian. Artikel ini juga membahas kritik terhadap Okasionalisme, termasuk keberatan dari Ibn Rusyd, Spinoza, dan Leibniz, yang menilai doktrin ini sebagai pengingkaran terhadap hukum alam dan otonomi makhluk.

Melalui analisis ini, artikel menyoroti nilai-nilai ibrah yang dapat diambil dari Okasionalisme, seperti penguatan keimanan, penanaman sikap tawakal, integrasi antara ilmu pengetahuan dan agama, serta kesadaran akan tanggung jawab moral dan lingkungan. Meskipun menghadapi kritik, Okasionalisme tetap relevan dalam diskursus modern, khususnya dalam menjembatani pemahaman antara agama dan sains, serta menawarkan perspektif etis terhadap tantangan global. Artikel ini diakhiri dengan refleksi tentang bagaimana Okasionalisme dapat memperkaya wawasan spiritual dan intelektual dalam kehidupan manusia.

Kata Kunci: Okasionalisme, hubungan sebab-akibat, teologi Islam, filsafat Barat, tauhid, agama dan sains, kritik terhadap Okasionalisme.


OKASIONALISME


1.           Pendahuluan

Okasionalisme merupakan salah satu doktrin filosofis dan teologis yang membahas tentang hubungan kausal antara makhluk, peristiwa, dan Tuhan sebagai penyebab utama segala sesuatu. Pemikiran ini berkembang sebagai respons terhadap tantangan epistemologis dan metafisik tentang bagaimana peristiwa dalam dunia fisik terjadi dan apakah makhluk dapat memiliki kekuasaan kausal independen. Dalam tradisi Islam, Okasionalisme pertama kali dipopulerkan oleh para teolog seperti Abu al-Hasan al-Ash'ari (w. 936) dan diperkuat oleh Al-Ghazali (w. 1111) dalam karyanya Tahafut al-Falasifah

Dalam konteks filsafat Barat, gagasan ini kemudian diadopsi dan dikembangkan lebih lanjut oleh Nicolas Malebranche (w. 1715), yang menekankan bahwa hanya Tuhan yang memiliki kekuasaan untuk menyebabkan perubahan dalam dunia.² Dengan demikian, makhluk tidak memiliki kekuatan kausal, dan semua peristiwa duniawi hanyalah "okasi" di mana kehendak Tuhan diwujudkan. Pemikiran ini menjadi topik perdebatan yang intens dalam filsafat Islam dan Barat, memengaruhi berbagai bidang, mulai dari metafisika hingga teologi.

Kajian tentang Okasionalisme penting dilakukan karena ia menawarkan wawasan mendalam tentang bagaimana manusia memahami peran Tuhan dalam hubungan sebab-akibat di alam semesta. Dalam tradisi Islam, doktrin ini memperkuat ajaran tauhid bahwa hanya Tuhan yang Maha Kuasa, sehingga menjadi landasan filosofis dan teologis yang kuat dalam mengokohkan keyakinan umat Muslim.³ Sebaliknya, dalam tradisi Barat, gagasan ini menjadi tantangan bagi filsafat rasionalis dan empiris yang berusaha mencari kausalitas di luar peran Tuhan.⁴

Tujuan artikel ini adalah untuk memberikan pemahaman yang komprehensif tentang Okasionalisme, baik dari perspektif filsafat Islam maupun Barat, serta relevansinya dalam diskursus modern. Dengan menggunakan sumber-sumber primer dan sekunder yang kredibel, artikel ini akan mengupas secara sistematis sejarah, prinsip-prinsip, kritik, dan relevansi Okasionalisme dalam berbagai bidang ilmu. Hal ini diharapkan dapat memberikan pembaca wawasan yang luas tentang dinamika pemikiran dalam tradisi filsafat dan teologi.


Catatan Kaki:

[1]              Abu Hamid Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah (London: E.J.W. Gibb Memorial Trust, 1997), 80.

[2]              Nicolas Malebranche, The Search After Truth, trans. Thomas M. Lennon and Paul J. Olscamp (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 448.

[3]              A. L. Mayer, "Occasionalism in Islamic Philosophy," Journal of Islamic Studies 12, no. 3 (2001): 27–39.

[4]              Steven Nadler, Occasionalism: Causation Among the Cartesians (Oxford: Oxford University Press, 2010), 112.


2.           Definisi dan Konsep Dasar Okasionalisme

2.1.       Definisi Okasionalisme

Okasionalisme adalah doktrin filosofis dan teologis yang menegaskan bahwa Tuhan adalah satu-satunya penyebab sejati (causa vera) dari segala sesuatu di alam semesta.¹ Dalam pandangan ini, semua hubungan sebab-akibat antara makhluk dan fenomena bersifat ilusi atau sekadar "okasional" (momentum perantara), sementara Tuhanlah yang secara langsung menyebabkan setiap peristiwa.² Istilah ini pertama kali muncul dalam diskursus filsafat Islam, meskipun gagasannya dapat ditelusuri dalam tradisi Aristotelian dan Neoplatonisme yang kemudian dikontekstualisasikan dalam teologi Islam.³

2.2.       Konsep Dasar Okasionalisme

Okasionalisme didasarkan pada tiga konsep utama yang saling berkaitan:

1)                  Tuhan sebagai Penyebab Tunggal

Doktrin ini menolak adanya kekuatan kausal independen pada makhluk. Sebagaimana dijelaskan oleh Al-Ghazali, tidak ada hubungan sebab-akibat intrinsik antara api dan pembakaran. Sebaliknya, setiap pembakaran terjadi karena kehendak Tuhan pada saat tertentu.⁴ Al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah menekankan bahwa asumsi kausalitas antara makhluk dapat melemahkan tauhid karena secara implisit memberikan kekuasaan kepada selain Tuhan.⁵

2)                  Makhluk sebagai Okasi atau Perantara

Dalam pandangan okasionalis, makhluk hanya berfungsi sebagai medium atau "okasi" bagi Tuhan untuk melaksanakan kehendak-Nya.⁶ Contohnya, ketika seseorang memukul bola dengan tongkat, tongkat tidak memiliki kekuatan kausal untuk memindahkan bola. Sebaliknya, Tuhanlah yang secara langsung menggerakkan bola berdasarkan "peristiwa" atau momentum yang dihasilkan tongkat.⁷

3)                  Hubungan Sebab-Akibat Sebagai Ilusi

Pandangan ini mencakup kritik terhadap pemahaman tradisional tentang kausalitas. Dalam perspektif okasionalisme, hubungan antara sebab dan akibat hanya terlihat konsisten karena ketetapan Tuhan yang menciptakan pola tersebut secara berulang.⁸ Pandangan ini menolak mekanisme kausalitas independen sebagaimana yang diajarkan dalam filsafat Aristotelian, yang menyatakan bahwa suatu efek secara inheren terkait dengan sebabnya.⁹

2.3.       Perbandingan dengan Tradisi Lain

Konsep dasar okasionalisme bertentangan dengan tradisi filsafat Yunani kuno, yang memandang kausalitas sebagai proses alamiah dan inheren dalam hubungan antar-entitas.¹⁰ Dalam teologi Kristen Barat, Malebranche menyempurnakan gagasan ini dengan menyatakan bahwa Tuhanlah yang menjadi penghubung antara jiwa dan tubuh, sehingga pikiran manusia tidak dapat secara langsung menyebabkan gerakan tubuh.¹¹ Dengan demikian, meskipun memiliki kesamaan esensial, versi Islam dan Barat memiliki pendekatan yang berbeda dalam menafsirkan peran Tuhan dalam kausalitas.


Catatan Kaki:

[1]              Steven Nadler, Occasionalism: Causation Among the Cartesians (Oxford: Oxford University Press, 2010), 3.

[2]              Nicolas Malebranche, The Search After Truth, trans. Thomas M. Lennon and Paul J. Olscamp (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 83.

[3]              Fadlou Shehadi, Ghazzali's Unique Unknowable God (Leiden: Brill, 1964), 56.

[4]              Abu Hamid Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah (London: E.J.W. Gibb Memorial Trust, 1997), 166.

[5]              Ibid., 165-167.

[6]              A. L. Mayer, "Occasionalism in Islamic Philosophy," Journal of Islamic Studies 12, no. 3 (2001): 29.

[7]              Ibid.

[8]              David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L.A. Selby-Bigge (Oxford: Clarendon Press, 1888), 94-95.

[9]              Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross (Oxford: Oxford University Press, 1924), Book VII.

[10]          Richard Taylor, Metaphysics (Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1992), 157.

[11]          Nicolas Malebranche, Dialogues on Metaphysics and on Religion, trans. David Scott (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 26.


3.           Sejarah dan Perkembangan Okasionalisme

3.1.       Akar Pemikiran Okasionalisme

Okasionalisme memiliki akar yang dalam, baik dalam filsafat Yunani kuno maupun dalam tradisi teologis Islam. Dalam filsafat Yunani, konsep hubungan kausal sudah menjadi perhatian, terutama melalui karya Aristoteles, yang memperkenalkan doktrin empat sebab (causa materialis, causa formalis, causa efficiens, dan causa finalis).¹ Namun, pemikiran Yunani ini masih memberikan tempat bagi kekuatan kausal independen dalam dunia fisik, berbeda dengan pandangan okasionalis. Dalam Neoplatonisme, yang diwakili oleh Plotinus, terdapat gagasan tentang hubungan langsung antara Tuhan sebagai "Sumber Segala Sesuatu" dengan dunia, yang menginspirasi para pemikir Islam.²

3.2.       Perkembangan dalam Tradisi Islam

Okasionalisme pertama kali diformulasikan secara sistematis dalam teologi Islam, khususnya oleh kelompok Ash'ariyah, yang menekankan doktrin ketergantungan mutlak makhluk kepada Tuhan. Abu al-Hasan al-Ash'ari (w. 936) mengembangkan konsep bahwa semua peristiwa di dunia ini terjadi atas kehendak Tuhan, dan makhluk tidak memiliki kekuatan kausal independen.³ Pemikiran ini menjadi respons terhadap pandangan Mu’tazilah yang mengutamakan kehendak bebas manusia dan kausalitas independen.

Al-Ghazali (w. 1111) menjadi tokoh penting yang memperkokoh Okasionalisme dalam tradisi Islam. Dalam karyanya Tahafut al-Falasifah (Keruntuhan Para Filosof), Al-Ghazali secara eksplisit mengkritik filsafat Aristotelian, khususnya gagasan Ibn Sina, yang berpendapat bahwa hubungan sebab-akibat bersifat inheren dan dapat dipahami secara logis.⁴ Al-Ghazali menegaskan bahwa hubungan sebab-akibat hanyalah kebiasaan yang diatur oleh Tuhan. Sebagai contoh, api tidak secara otomatis membakar kapas; pembakaran terjadi hanya karena Tuhan menghendakinya pada saat itu.⁵

3.3.       Okasionalisme dalam Tradisi Barat

Dalam filsafat Barat, Okasionalisme mendapat perhatian besar pada abad ke-17 melalui karya Nicolas Malebranche (w. 1715).⁶ Malebranche, yang dipengaruhi oleh dualisme Descartes, menyatakan bahwa tubuh dan jiwa manusia tidak memiliki hubungan kausal langsung. Sebaliknya, Tuhanlah yang menjadi perantara di antara keduanya.⁷ Dalam karyanya The Search After Truth, Malebranche menyatakan bahwa segala sesuatu di alam semesta ini bergantung sepenuhnya pada kehendak Tuhan.⁸

Pandangan Malebranche memicu diskusi intens dalam tradisi filsafat Barat. Para pemikir seperti Leibniz dan Spinoza mengkritik Okasionalisme sebagai doktrin yang melemahkan peran hukum alam.⁹ David Hume, dalam kritiknya terhadap kausalitas, menggemakan beberapa elemen Okasionalisme dengan menolak gagasan bahwa sebab dan akibat dapat dibuktikan melalui akal murni.¹⁰

3.4.       Pengaruh dan Relevansi Modern

Meskipun Okasionalisme sebagai doktrin formal mengalami penurunan dalam popularitasnya di dunia Barat setelah abad ke-18, pengaruhnya masih terasa dalam diskusi teologis dan filsafat sains. Dalam dunia Islam, gagasan ini terus dihormati, khususnya di kalangan Sunni tradisional, karena memperkuat keyakinan akan keesaan dan kekuasaan Tuhan.¹¹ Sementara itu, dalam filsafat kontemporer, elemen-elemen Okasionalisme digunakan untuk menjembatani pemahaman antara agama dan sains, khususnya dalam diskursus metafisika dan teori kuantum.¹²


Catatan Kaki:

[1]              Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross (Oxford: Oxford University Press, 1924), Book VII.

[2]              Plotinus, The Enneads, trans. Stephen MacKenna (London: Faber and Faber, 1969), V.1.6.

[3]              Abu al-Hasan al-Ash'ari, Kitab al-Luma' (Beirut: Dar al-Mashriq, 1985), 45-47.

[4]              Abu Hamid Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah (London: E.J.W. Gibb Memorial Trust, 1997), 80.

[5]              Ibid., 166-167.

[6]              Steven Nadler, Occasionalism: Causation Among the Cartesians (Oxford: Oxford University Press, 2010), 12.

[7]              Nicolas Malebranche, Dialogues on Metaphysics and on Religion, trans. David Scott (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 23-25.

[8]              Ibid., 26.

[9]              G.W. Leibniz, Discourse on Metaphysics, trans. George Montgomery (Chicago: Open Court, 1902), 13-15.

[10]          David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L.A. Selby-Bigge (Oxford: Clarendon Press, 1888), 94-95.

[11]          A. L. Mayer, "Occasionalism in Islamic Philosophy," Journal of Islamic Studies 12, no. 3 (2001): 35.

[12]          M. R. Matthews, Science Teaching: The Role of History and Philosophy of Science (New York: Routledge, 2014), 312-313.


4.           Prinsip-Prinsip Utama Okasionalisme

Okasionalisme sebagai doktrin filsafat-teologi memiliki beberapa prinsip utama yang menjadi dasar pemikirannya. Prinsip-prinsip ini menegaskan bahwa Tuhan adalah satu-satunya penyebab sejati di alam semesta, sementara makhluk hanya memainkan peran sebagai medium atau perantara dalam kejadian duniawi. Berikut adalah tiga prinsip utama yang mendefinisikan Okasionalisme:

4.1.       Tuhan sebagai Penyebab Tunggal

Prinsip pertama dan paling fundamental dari Okasionalisme adalah bahwa hanya Tuhan yang memiliki kekuasaan kausal. Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini, baik di ranah fisik maupun metafisik, adalah hasil langsung dari kehendak Tuhan.¹ Dalam pandangan ini, hubungan sebab-akibat sebagaimana dipahami secara konvensional tidak memiliki realitas independen.

Al-Ghazali, dalam Tahafut al-Falasifah, menyatakan bahwa api tidak memiliki kekuatan inheren untuk membakar kapas; pembakaran terjadi hanya karena Tuhan menghendakinya pada saat itu.² Alasan di balik doktrin ini adalah untuk menjaga tauhid, yaitu keyakinan akan keesaan Tuhan, dari kemungkinan penyimpangan yang dapat terjadi jika kekuatan kausal disandarkan pada makhluk.³

Malebranche dalam tradisi Barat memperluas gagasan ini dengan menyatakan bahwa bahkan hubungan antara pikiran dan tubuh manusia tidak bersifat kausal. Menurutnya, Tuhanlah yang secara langsung menyebabkan gerakan tubuh berdasarkan kehendak pikiran.⁴ Dengan demikian, Okasionalisme menghilangkan kemungkinan adanya sebab-sebab sekunder yang independen dari kehendak Tuhan.

4.2.       Makhluk sebagai Okasi atau Perantara

Prinsip kedua dari Okasionalisme adalah bahwa makhluk dan fenomena alam tidak memiliki kekuatan kausal, melainkan hanya berfungsi sebagai "okasi" atau perantara di mana kehendak Tuhan diwujudkan. Dalam konteks ini, makhluk hanyalah medium yang memungkinkan Tuhan menunjukkan tindakan-Nya.⁵

Misalnya, dalam contoh tongkat yang digunakan untuk memukul bola, tongkat itu sendiri tidak memiliki kekuatan untuk memindahkan bola. Sebaliknya, perpindahan bola adalah hasil langsung dari kehendak Tuhan yang terjadi "berdasarkan peristiwa" penggunaan tongkat tersebut.⁶ Prinsip ini sejalan dengan pemahaman Ash'ariyah yang menekankan bahwa makhluk sepenuhnya bergantung pada Tuhan dalam segala aspek keberadaannya.

4.3.       Hubungan Sebab-Akibat Sebagai Ilusi

Prinsip ketiga adalah bahwa hubungan sebab-akibat dalam pandangan konvensional hanyalah sebuah ilusi yang terbentuk dari pengulangan kebiasaan. Dalam doktrin Okasionalisme, hukum alam yang tampak konsisten adalah hasil dari kehendak Tuhan yang terus-menerus menciptakan pola-pola tersebut.⁷

Al-Ghazali menyebut bahwa keyakinan terhadap hubungan kausal yang inheren dapat membawa manusia pada pengingkaran terhadap kekuasaan absolut Tuhan.⁸ Malebranche menegaskan bahwa sebab-akibat hanyalah sebuah "kesan mental" yang tidak memiliki realitas objektif, karena semua tindakan diatur sepenuhnya oleh Tuhan.⁹

Pandangan ini berbeda secara tajam dengan filsafat Aristotelian, yang menyatakan bahwa sebab-akibat bersifat inheren dalam objek.¹⁰ Pandangan Okasionalisme juga memiliki elemen yang serupa dengan kritik Hume terhadap kausalitas, yang menyatakan bahwa hubungan sebab-akibat tidak dapat dibuktikan melalui akal murni, melainkan hanyalah hasil pengamatan berulang.¹¹


Relevansi Prinsip-Prinsip Okasionalisme

Prinsip-prinsip ini memiliki relevansi yang luas dalam diskursus teologi dan filsafat. Dalam teologi Islam, mereka memperkokoh ajaran tauhid dengan menegaskan ketergantungan makhluk sepenuhnya kepada Tuhan. Dalam tradisi Barat, prinsip-prinsip ini menjadi bahan perdebatan yang memengaruhi perkembangan filsafat modern, terutama dalam diskusi mengenai hubungan antara Tuhan, dunia, dan hukum alam.


Catatan Kaki:

[1]              Steven Nadler, Occasionalism: Causation Among the Cartesians (Oxford: Oxford University Press, 2010), 3.

[2]              Abu Hamid Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah (London: E.J.W. Gibb Memorial Trust, 1997), 166.

[3]              Fadlou Shehadi, Ghazzali's Unique Unknowable God (Leiden: Brill, 1964), 56.

[4]              Nicolas Malebranche, Dialogues on Metaphysics and on Religion, trans. David Scott (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 26-27.

[5]              A. L. Mayer, "Occasionalism in Islamic Philosophy," Journal of Islamic Studies 12, no. 3 (2001): 30.

[6]              Ibid.

[7]              Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, 170.

[8]              Ibid., 172.

[9]              Malebranche, Dialogues on Metaphysics and on Religion, 32.

[10]          Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross (Oxford: Oxford University Press, 1924), Book VII.

[11]          David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L.A. Selby-Bigge (Oxford: Clarendon Press, 1888), 94.


5.           Pendekatan Teologis terhadap Okasionalisme

Okasionalisme memainkan peran penting dalam diskursus teologis, khususnya dalam memahami hubungan antara Tuhan, makhluk, dan alam semesta. Pendekatan teologis terhadap Okasionalisme difokuskan pada penguatan doktrin tauhid (keesaan Tuhan), penegasan keterbatasan makhluk, dan penolakan terhadap gagasan kausalitas independen yang dianggap melemahkan peran Tuhan. Dalam tradisi Islam, doktrin ini banyak dianut oleh Ash'ariyah dan didukung oleh Al-Ghazali, sementara dalam tradisi Barat, gagasan serupa ditemukan dalam karya-karya Nicolas Malebranche.

5.1.       Relevansi Okasionalisme dengan Tauhid

Okasionalisme merupakan manifestasi teologis dari prinsip tauhid rububiyah, yaitu keyakinan bahwa hanya Tuhan yang menciptakan, mengatur, dan menguasai segala sesuatu.¹ Dalam konteks ini, Okasionalisme menegaskan bahwa hanya Tuhan yang memiliki kekuasaan kausal, sementara makhluk sepenuhnya bergantung pada-Nya.² Abu al-Hasan al-Ash’ari, pendiri teologi Ash’ariyah, berpendapat bahwa semua peristiwa di alam semesta adalah hasil langsung dari kehendak Tuhan, tanpa ada intervensi kausal independen dari makhluk.³

Al-Ghazali, dalam Tahafut al-Falasifah, mengkritik filsafat Aristotelian yang memberikan kekuatan kausal inheren kepada makhluk. Ia menekankan bahwa pandangan semacam itu bertentangan dengan doktrin tauhid, karena secara implisit mengurangi kekuasaan Tuhan.⁴ Misalnya, ketika api membakar kapas, kejadian tersebut tidak terjadi karena sifat api, melainkan karena Tuhan menciptakan pembakaran pada saat itu.⁵ Pendekatan ini mendukung pandangan bahwa Tuhan adalah satu-satunya penyebab sejati (causa vera).

5.2.       Keterbatasan Kausalitas Makhluk

Okasionalisme juga digunakan untuk menegaskan keterbatasan makhluk dalam tindakan kausal. Dalam doktrin ini, makhluk tidak memiliki kekuatan untuk menciptakan efek apa pun, melainkan hanya bertindak sebagai medium di mana kehendak Tuhan diwujudkan.⁶ Sebagaimana dikemukakan oleh Al-Ash’ari, kemampuan makhluk adalah "kebiasaan" yang diciptakan oleh Tuhan untuk memberi kesan adanya hubungan sebab-akibat.⁷

Pandangan ini memperkuat ajaran teologis bahwa makhluk tidak memiliki kemandirian dalam tindakan atau eksistensinya. Hal ini selaras dengan pandangan Al-Ghazali, yang menolak konsep kasb dari Mu’tazilah yang memberikan ruang bagi kehendak bebas manusia dalam kausalitas.⁸ Sebaliknya, ia menekankan bahwa semua perbuatan manusia, baik yang tampak berasal dari usaha manusia maupun yang terjadi secara alamiah, sepenuhnya berada di bawah kendali Tuhan.⁹

5.3.       Penolakan terhadap Kausalitas Independen

Okasionalisme berfungsi sebagai kritik teologis terhadap gagasan kausalitas independen yang dianut oleh tradisi filsafat klasik. Teologi Islam tradisional, khususnya Ash'ariyah, memandang bahwa hubungan sebab-akibat sebagaimana yang dipahami secara rasional hanyalah sebuah ilusi yang diatur oleh Tuhan.¹⁰

Malebranche dalam tradisi Barat mengadopsi pandangan serupa, menyatakan bahwa segala sesuatu di alam semesta terjadi berdasarkan kehendak Tuhan semata.¹¹ Ia bahkan memperluas doktrin ini dengan menjelaskan bahwa pikiran manusia tidak memiliki hubungan kausal langsung dengan tubuh, melainkan Tuhanlah yang menjadi perantara.¹²

Pendekatan ini berbeda secara signifikan dengan pandangan filsafat Aristotelian dan Ibn Sina, yang mengakui adanya kausalitas inheren antara objek.¹³ Kritik terhadap kausalitas independen menjadi inti dari Okasionalisme dalam upaya memperkuat keyakinan akan kekuasaan absolut Tuhan atas alam semesta.

5.4.       Hubungan Okasionalisme dengan Konsep Keimanan

Secara teologis, Okasionalisme memiliki implikasi yang mendalam terhadap keimanan. Doktrin ini menanamkan keyakinan bahwa segala sesuatu, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi, berada dalam kendali penuh Tuhan. Hal ini memperkuat rasa tawakal (ketergantungan penuh kepada Tuhan) dan mendorong manusia untuk bersikap rendah hati atas keterbatasannya.¹⁴ Dalam tradisi Islam, pandangan ini sering digunakan untuk membangun hubungan spiritual yang lebih kuat antara manusia dan Tuhan, dengan menekankan bahwa segala kejadian adalah kehendak ilahi.¹⁵


Kesimpulan

Pendekatan teologis terhadap Okasionalisme menekankan penguatan prinsip tauhid, penegasan keterbatasan makhluk, dan penolakan terhadap kausalitas independen. Dengan demikian, doktrin ini tidak hanya relevan dalam ranah filsafat, tetapi juga dalam membangun keyakinan teologis yang kuat. Melalui kontribusi para pemikir seperti Al-Ash'ari dan Al-Ghazali, Okasionalisme menjadi landasan penting bagi diskursus teologi Islam klasik.


Catatan Kaki

[1]              Abu al-Hasan al-Ash'ari, Kitab al-Luma' (Beirut: Dar al-Mashriq, 1985), 49.

[2]              Steven Nadler, Occasionalism: Causation Among the Cartesians (Oxford: Oxford University Press, 2010), 5.

[3]              Fadlou Shehadi, Ghazzali's Unique Unknowable God (Leiden: Brill, 1964), 60.

[4]              Abu Hamid Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah (London: E.J.W. Gibb Memorial Trust, 1997), 167.

[5]              Ibid., 165-166.

[6]              A. L. Mayer, "Occasionalism in Islamic Philosophy," Journal of Islamic Studies 12, no. 3 (2001): 31.

[7]              Al-Ash’ari, Kitab al-Luma', 50.

[8]              Majid Fakhry, Islamic Philosophy, Theology, and Mysticism (London: Routledge, 2004), 115.

[9]              Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, 168.

[10]          Ibid., 170-171.

[11]          Nicolas Malebranche, Dialogues on Metaphysics and on Religion, trans. David Scott (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 32.

[12]          Ibid., 34-36.

[13]          Gutas, Dimitri, Avicenna and the Aristotelian Tradition (Leiden: Brill, 2001), 123-124.

[14]          Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (San Francisco: HarperSanFrancisco, 2002), 67.

[15]          Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, trans. Nabih Amin Faris (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1962), 55.


6.           Pendekatan Filosofis terhadap Okasionalisme

Pendekatan filosofis terhadap Okasionalisme berfokus pada analisis metafisika, epistemologi, dan logika yang mendasari gagasan ini. Doktrin Okasionalisme berupaya menjawab pertanyaan mendasar tentang hubungan sebab-akibat, peran Tuhan dalam alam semesta, dan keterbatasan makhluk dalam menjalankan tindakan kausal. Dalam tradisi filsafat, pendekatan ini dipengaruhi oleh diskusi para filsuf Islam seperti Al-Ghazali dan kemudian berkembang dalam tradisi Barat melalui karya-karya Nicolas Malebranche.

6.1.       Metafisika Okasionalisme

Metafisika Okasionalisme menegaskan bahwa hanya Tuhan yang memiliki keberadaan sejati dan kekuasaan kausal.¹ Semua makhluk, meskipun tampak memiliki kemampuan untuk menyebabkan sesuatu, sebenarnya hanyalah medium melalui mana kehendak Tuhan diwujudkan.²

Al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah menolak konsep sebab-akibat inheren yang diajukan oleh Ibn Sina dan filsafat Aristotelian. Ia berargumen bahwa hubungan sebab-akibat hanyalah pola yang diulang oleh kehendak Tuhan, bukan sesuatu yang bersifat esensial pada objek.³ Misalnya, api yang membakar kapas tidak memiliki kekuatan untuk membakar, melainkan Tuhanlah yang menciptakan pembakaran tersebut.⁴

Dalam tradisi Barat, Malebranche mengembangkan metafisika ini dengan menyatakan bahwa makhluk tidak memiliki kekuatan untuk memulai atau mempertahankan tindakan kausal. Semua peristiwa terjadi karena Tuhan menciptakan tindakan tersebut secara langsung.⁵

6.2.       Epistemologi dan Logika Kausalitas

Pendekatan filosofis terhadap Okasionalisme juga mencakup kritik terhadap epistemologi kausalitas. Dalam tradisi Aristotelian, kausalitas dipahami sebagai hubungan inheren antara sebab dan akibat yang dapat diketahui melalui akal.⁶ Namun, Okasionalisme menolak gagasan ini dengan menyatakan bahwa hubungan kausal tidak memiliki realitas independen.⁷

David Hume, meskipun bukan okasionalis, mendukung beberapa aspek kritik terhadap kausalitas dalam A Treatise of Human Nature. Ia berargumen bahwa hubungan sebab-akibat tidak dapat dibuktikan secara logis, melainkan hanya didasarkan pada kebiasaan manusia untuk mengamati pola tertentu.⁸ Kritik ini memperkuat gagasan okasionalis bahwa hubungan sebab-akibat adalah ilusi yang diatur oleh Tuhan.

Al-Ghazali menambahkan dimensi teologis pada kritik ini, menyatakan bahwa mengatributkan kausalitas kepada makhluk dapat membawa manusia pada penyimpangan akidah.⁹ Oleh karena itu, Okasionalisme mendasarkan hubungan sebab-akibat pada kehendak Tuhan semata.

6.3.       Hubungan Okasionalisme dengan Dualisme Cartesian

Malebranche, seorang filsuf Barat terkemuka dalam tradisi Okasionalisme, mengadopsi pendekatan Descartes terhadap dualisme jiwa dan tubuh. Descartes menyatakan bahwa pikiran dan tubuh adalah dua substansi yang berbeda, tetapi ia tidak menjelaskan bagaimana interaksi antara keduanya terjadi.¹⁰ Malebranche menggunakan Okasionalisme untuk menjawab pertanyaan ini dengan menyatakan bahwa Tuhanlah yang menjadi perantara dalam hubungan antara jiwa dan tubuh.¹¹

Pandangan ini tidak hanya memperkuat gagasan bahwa Tuhan adalah penyebab sejati, tetapi juga memberikan penjelasan metafisik yang mengintegrasikan dualisme Cartesian dengan teologi.¹² Kritik terhadap gagasan ini datang dari filsuf seperti Leibniz, yang berpendapat bahwa pandangan Malebranche terlalu bergantung pada intervensi ilahi yang terus-menerus.¹³

6.4.       Kritik Filosofis terhadap Okasionalisme

Okasionalisme menghadapi kritik dari berbagai tradisi filsafat. Dalam tradisi Islam, Ibn Rusyd mengkritik pandangan Al-Ghazali, menyatakan bahwa doktrin ini mengabaikan hukum alam yang telah ditetapkan oleh Tuhan sebagai bagian dari ciptaan-Nya.¹⁴ Ibn Rusyd berpendapat bahwa memahami hubungan sebab-akibat adalah cara untuk mengenal kebijaksanaan Tuhan dalam menciptakan alam semesta.¹⁵

Dalam tradisi Barat, Spinoza menolak Okasionalisme karena bertentangan dengan prinsip determinisme universalnya, yang menyatakan bahwa segala sesuatu terjadi melalui hukum-hukum alam yang tetap.¹⁶ Leibniz juga mengkritik pandangan ini, menyatakan bahwa gagasan tentang intervensi Tuhan yang terus-menerus melemahkan konsep kehendak bebas dan keteraturan alam semesta.¹⁷

6.5.       Relevansi Filosofis Okasionalisme

Meskipun menghadapi banyak kritik, Okasionalisme tetap relevan dalam diskusi metafisika modern. Dalam filsafat kontemporer, gagasan bahwa hubungan sebab-akibat mungkin merupakan hasil konstruksi atau pola yang diatur oleh prinsip fundamental terus menarik perhatian.¹⁸ Selain itu, pendekatan ini memiliki implikasi bagi diskusi tentang hubungan antara agama dan sains, khususnya dalam memahami peran Tuhan dalam hukum-hukum alam.


Kesimpulan

Pendekatan filosofis terhadap Okasionalisme memberikan kontribusi penting terhadap pemahaman hubungan antara Tuhan, makhluk, dan alam semesta. Melalui kritik terhadap kausalitas inheren, penggabungan metafisika dan teologi, serta respons terhadap dualisme Cartesian, Okasionalisme menawarkan kerangka kerja yang unik dalam diskusi filsafat dan teologi. Meskipun menghadapi tantangan dari berbagai pemikiran alternatif, doktrin ini tetap menjadi salah satu kontribusi utama dalam sejarah filsafat Islam dan Barat.


Catatan Kaki

[1]              Steven Nadler, Occasionalism: Causation Among the Cartesians (Oxford: Oxford University Press, 2010), 6.

[2]              Nicolas Malebranche, Dialogues on Metaphysics and on Religion, trans. David Scott (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 32.

[3]              Abu Hamid Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah (London: E.J.W. Gibb Memorial Trust, 1997), 165.

[4]              Ibid., 166.

[5]              Malebranche, Dialogues on Metaphysics and on Religion, 33.

[6]              Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross (Oxford: Oxford University Press, 1924), Book VII.

[7]              Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, 170-171.

[8]              David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L.A. Selby-Bigge (Oxford: Clarendon Press, 1888), 94.

[9]              Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, 172.

[10]          René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett, 1993), 64-65.

[11]          Malebranche, Dialogues on Metaphysics and on Religion, 35.

[12]          Steven Nadler, The Best of All Possible Worlds: A Story of Philosophers, God, and Evil (Princeton: Princeton University Press, 2008), 47.

[13]          G.W. Leibniz, Discourse on Metaphysics, trans. George Montgomery (Chicago: Open Court, 1902), 19-20.

[14]          Averroes (Ibn Rusyd), Tahafut al-Tahafut (The Incoherence of the Incoherence), trans. Simon van den Bergh (London: Luzac, 1954), 298.

[15]          Ibid., 300.

[16]          Benedict de Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (London: Penguin, 1996), 45.

[17]          Leibniz, Discourse on Metaphysics, 25.

[18]          Timothy O'Connor, Theism and Ultimate Explanation: The Necessary Shape of Contingency (Oxford: Wiley-Blackwell, 2008), 89.


7.           Okasionalisme dalam Konteks Modern

Okasionalisme, sebagai doktrin teologis dan filosofis, tetap relevan dalam diskursus modern, terutama dalam kaitannya dengan metafisika, filsafat agama, dan hubungan antara sains dan teologi. Meskipun gagasan ini berkembang dalam konteks sejarah tertentu, prinsip-prinsipnya menawarkan wawasan mendalam untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan kontemporer tentang sebab-akibat, hubungan Tuhan dengan alam semesta, dan kebiasaan alami.

7.1.       Okasionalisme dalam Filsafat Kontemporer

Pendekatan metafisik Okasionalisme menemukan resonansi dalam diskusi filosofis modern, khususnya dalam konteks metafisika kontingensi dan filsafat analitik. Dalam karya modern seperti Theism and Ultimate Explanation oleh Timothy O'Connor, argumen tentang hubungan antara kontingensi dan kausalitas sering menggemakan prinsip-prinsip okasionalisme, terutama dalam menegaskan ketergantungan total alam semesta pada penyebab utama.¹ Gagasan bahwa hukum-hukum alam bukanlah entitas independen tetapi ekspresi dari kehendak ilahi terus menarik perhatian para filsuf agama kontemporer.²

Pendekatan ini juga sering dibandingkan dengan teori-teori lain seperti filsafat proses (Whitehead) dan pandangan kuantum modern, yang mengakui bahwa hubungan sebab-akibat dapat bergantung pada prinsip yang tidak sepenuhnya dapat dijelaskan secara empiris.³

7.2.       Okasionalisme dan Filsafat Sains

Dalam konteks filsafat sains, Okasionalisme memunculkan diskusi tentang sifat hukum-hukum alam. Pandangan bahwa hukum alam hanyalah kebiasaan yang diatur oleh kehendak Tuhan menantang interpretasi deterministik sains modern.⁴ Beberapa ilmuwan dan filsuf sains, seperti John Polkinghorne, melihat peluang untuk mengintegrasikan pandangan teologis seperti Okasionalisme dengan teori kuantum, di mana probabilitas dan ketidakpastian memainkan peran penting.⁵

Filosofi kuantum menekankan bahwa hubungan antara sebab dan akibat di tingkat subatomik tidak dapat dijelaskan sepenuhnya melalui hukum deterministik. Hal ini menciptakan ruang bagi diskusi tentang peran Tuhan sebagai penyebab utama di balik pola-pola probabilistik yang diamati dalam fisika kuantum.⁶

7.3.       Relevansi Okasionalisme dalam Diskursus Teologi

Dalam teologi modern, Okasionalisme telah digunakan untuk menjelaskan hubungan antara Tuhan, kebebasan manusia, dan hukum alam. Pandangan ini relevan dalam debat teologis tentang "intervensi ilahi" di alam semesta. Teolog seperti William Lane Craig menyebut bahwa gagasan tentang Tuhan yang secara aktif terlibat dalam proses kausal dapat menjawab pertanyaan tentang mukjizat dan fenomena supranatural tanpa bertentangan dengan prinsip rasionalitas.⁷

Okasionalisme juga memiliki dampak dalam mendefinisikan ulang hubungan manusia dengan Tuhan, di mana makhluk dipahami sebagai perantara yang bergantung sepenuhnya pada kehendak ilahi. Pendekatan ini menawarkan pandangan yang lebih mendalam tentang hubungan antara teologi dan tanggung jawab moral manusia.⁸

7.4.       Okasionalisme dan Etika Lingkungan

Prinsip-prinsip okasionalisme juga dapat diterapkan dalam konteks etika lingkungan. Pendekatan ini menegaskan bahwa alam semesta, sebagai manifestasi dari kehendak Tuhan, memerlukan penghormatan dan tanggung jawab dari manusia sebagai khalifah.⁹ Dengan menekankan peran Tuhan sebagai penyebab utama, Okasionalisme dapat mendorong rasa tanggung jawab yang lebih besar terhadap pelestarian lingkungan sebagai wujud pengabdian kepada Sang Pencipta.¹⁰

7.5.       Kritik terhadap Okasionalisme dalam Konteks Modern

Meskipun relevan dalam banyak diskursus, Okasionalisme tetap menghadapi kritik dalam konteks modern. Para filsuf dan ilmuwan yang menganut naturalisme sering memandang gagasan ini sebagai tidak ilmiah karena bergantung pada asumsi metafisik yang tidak dapat diverifikasi.¹¹ Selain itu, beberapa teolog modern menganggap bahwa Okasionalisme dapat melemahkan pemahaman tentang kehendak bebas manusia dan otonomi alam semesta.¹²

7.6.       Perspektif Masa Depan Okasionalisme

Dalam dunia yang semakin berfokus pada integrasi antara agama dan sains, Okasionalisme menawarkan kerangka kerja yang unik untuk menjembatani dua domain ini. Dengan mengakui keterbatasan ilmu pengetahuan dalam menjelaskan hubungan sebab-akibat secara mutlak, pendekatan ini dapat memberikan wawasan yang lebih holistik tentang sifat realitas dan hubungan antara Tuhan dan alam semesta.¹³


Kesimpulan

Okasionalisme, meskipun lahir dalam konteks sejarah yang berbeda, tetap memiliki relevansi signifikan dalam konteks modern. Melalui kontribusinya dalam filsafat, sains, dan teologi, doktrin ini menawarkan perspektif yang mendalam tentang hubungan sebab-akibat, peran Tuhan dalam alam semesta, dan tanggung jawab manusia terhadap ciptaan. Meskipun menghadapi kritik, Okasionalisme terus menjadi topik penting dalam diskusi lintas disiplin.


Catatan Kaki

[1]              Timothy O'Connor, Theism and Ultimate Explanation: The Necessary Shape of Contingency (Oxford: Wiley-Blackwell, 2008), 85-87.

[2]              John Polkinghorne, Science and Providence: God's Interaction with the World (London: SPCK, 1989), 45.

[3]              Alfred North Whitehead, Process and Reality (New York: Free Press, 1979), 79-81.

[4]              William Lane Craig, Reasonable Faith: Christian Truth and Apologetics (Wheaton: Crossway, 2008), 93-95.

[5]              John Polkinghorne, Quantum Physics and Theology: An Unexpected Kinship (New Haven: Yale University Press, 2007), 67-68.

[6]              Stephen Hawking, A Brief History of Time (New York: Bantam, 1988), 121-123.

[7]              Craig, Reasonable Faith, 120.

[8]              Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature (Oxford: Oxford University Press, 1996), 57.

[9]              Nasr, Religion and the Order of Nature, 68.

[10]          Timothy Morton, Ecology Without Nature: Rethinking Environmental Aesthetics (Cambridge: Harvard University Press, 2007), 112.

[11]          Richard Dawkins, The God Delusion (Boston: Houghton Mifflin, 2006), 154.

[12]          Alvin Plantinga, Where the Conflict Really Lies: Science, Religion, and Naturalism (Oxford: Oxford University Press, 2011), 96-97.

[13]          O'Connor, Theism and Ultimate Explanation, 120.


8.           Kritik terhadap Okasionalisme

Okasionalisme, meskipun memiliki pengaruh besar dalam tradisi teologi dan filsafat, telah menjadi subjek kritik dari berbagai pemikir, baik dalam tradisi Islam maupun Barat. Kritik-kritik ini mencakup aspek teologis, filosofis, dan ilmiah, yang menantang asumsi dasar tentang hubungan sebab-akibat, peran Tuhan, dan otonomi makhluk dalam doktrin ini.

8.1.       Kritik dalam Tradisi Islam

Dalam tradisi Islam, salah satu kritik utama terhadap Okasionalisme datang dari Ibn Rusyd (Averroes). Ia menentang pandangan Al-Ghazali yang menolak hubungan kausalitas inheren antara sebab dan akibat. Ibn Rusyd berpendapat bahwa hukum-hukum alam adalah manifestasi dari kebijaksanaan Tuhan yang dapat dipahami oleh manusia melalui akal.¹ Dengan demikian, mengingkari hubungan sebab-akibat dianggap merendahkan kemampuan manusia untuk memahami ciptaan Tuhan dan melibatkan Tuhan dalam intervensi yang terus-menerus, yang menurutnya tidak diperlukan.²

Ibn Rusyd juga mengkritik Okasionalisme karena dianggap mereduksi peran hukum alam menjadi sekadar kebiasaan yang tidak konsisten. Baginya, hukum-hukum alam mencerminkan keteraturan yang disengaja oleh Tuhan, dan pemahaman atas keteraturan ini adalah salah satu cara manusia mengenal keagungan-Nya.³

8.2.       Kritik Filosofis

Dalam tradisi Barat, kritik terhadap Okasionalisme muncul dari para filsuf seperti Spinoza dan Leibniz. Spinoza menolak gagasan bahwa Tuhan secara langsung menjadi penyebab semua kejadian di alam semesta, karena hal ini bertentangan dengan prinsip determinisme universalnya. Ia berpendapat bahwa Tuhan dan alam adalah satu kesatuan (Deus sive Natura), sehingga hukum alam tidak memerlukan intervensi ilahi yang terus-menerus.⁴

Leibniz mengkritik Okasionalisme karena menganggapnya terlalu bergantung pada intervensi Tuhan yang terus-menerus, yang menurutnya melemahkan konsep kehendak bebas dan keteraturan dunia.⁵ Dalam pandangan Leibniz, dunia diciptakan dengan keteraturan sempurna yang memungkinkan hubungan sebab-akibat bekerja secara independen sesuai dengan rancangan Tuhan. Konsep pre-established harmony yang ia usulkan adalah alternatif untuk menjelaskan hubungan antara Tuhan, makhluk, dan alam semesta tanpa memerlukan intervensi terus-menerus.⁶

8.3.       Kritik Epistemologis

David Hume memberikan kritik yang lebih mendasar terhadap konsep hubungan sebab-akibat, yang juga relevan dengan kritik terhadap Okasionalisme. Dalam A Treatise of Human Nature, Hume berpendapat bahwa hubungan sebab-akibat tidak dapat dibuktikan melalui akal murni, melainkan hanya didasarkan pada kebiasaan manusia untuk mengamati pola tertentu.⁷ Namun, berbeda dengan Okasionalisme yang mengatributkan pola tersebut kepada kehendak Tuhan, Hume berpendapat bahwa pola ini adalah hasil dari persepsi manusia, tanpa memerlukan intervensi ilahi.⁸

Kritik Hume membuka diskusi tentang bagaimana manusia memahami hubungan kausal dan menantang klaim bahwa hubungan tersebut sepenuhnya berasal dari kehendak Tuhan. Sebaliknya, ia menyarankan bahwa hubungan ini hanya dapat diterima sebagai asumsi pragmatis dalam kehidupan sehari-hari.⁹

8.4.       Kritik Ilmiah

Dalam konteks modern, Okasionalisme sering dianggap tidak ilmiah karena bergantung pada asumsi metafisik yang tidak dapat diuji secara empiris. Pendekatan ini bertentangan dengan metodologi ilmiah yang mencari penjelasan berdasarkan hukum alam yang dapat diamati dan diuji.¹⁰

Richard Dawkins, misalnya, mengkritik pendekatan teologis seperti Okasionalisme karena dianggap menghambat kemajuan ilmiah dengan mengatributkan fenomena alam kepada kehendak Tuhan, bukan kepada hukum-hukum alam yang dapat dijelaskan secara rasional.¹¹ Ia berpendapat bahwa pendekatan seperti ini cenderung menghentikan pencarian pengetahuan lebih lanjut dengan memberikan jawaban yang tidak dapat diverifikasi.¹²

8.5.       Kritik Teologis

Beberapa teolog modern menganggap bahwa Okasionalisme, meskipun bertujuan untuk memperkuat doktrin tauhid, dapat membawa implikasi yang problematis terhadap pemahaman tentang kehendak bebas manusia.¹³ Jika semua tindakan makhluk bergantung sepenuhnya pada kehendak Tuhan, maka ruang untuk tanggung jawab moral manusia menjadi tidak jelas.¹⁴

Pandangan ini juga menimbulkan tantangan dalam menjelaskan hubungan antara Tuhan dan kejahatan. Jika Tuhan adalah penyebab langsung dari segala sesuatu, termasuk kejahatan, maka doktrin ini tampaknya bertentangan dengan konsep Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Adil.¹⁵

8.6.       Relevansi Kritik dalam Diskursus Modern

Meskipun Okasionalisme menghadapi kritik yang signifikan, doktrin ini tetap relevan dalam diskusi tentang hubungan antara agama dan sains, serta metafisika modern. Beberapa filsuf kontemporer, seperti Alvin Plantinga, mencoba merekonstruksi elemen-elemen Okasionalisme untuk menjawab tantangan ateisme dan naturalisme dalam konteks modern.¹⁶ Namun, kritik yang diajukan oleh Ibn Rusyd, Spinoza, dan Leibniz menunjukkan perlunya pendekatan yang lebih holistik untuk menjelaskan hubungan sebab-akibat tanpa mengorbankan rasionalitas atau doktrin keimanan.


Kesimpulan

Kritik terhadap Okasionalisme mencerminkan tantangan intelektual yang terus berlanjut dalam memahami hubungan sebab-akibat, peran Tuhan, dan otonomi makhluk. Meskipun menghadapi kritik filosofis, epistemologis, dan ilmiah, Okasionalisme tetap menjadi salah satu doktrin penting yang memengaruhi diskursus teologi dan filsafat. Dengan memperhatikan kritik-kritik ini, para pemikir modern dapat mengembangkan pendekatan yang lebih inklusif dan relevan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang realitas.


Catatan Kaki

[1]              Averroes (Ibn Rusyd), Tahafut al-Tahafut (The Incoherence of the Incoherence), trans. Simon van den Bergh (London: Luzac, 1954), 300.

[2]              Ibid., 298.

[3]              Ibid., 303.

[4]              Benedict de Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (London: Penguin, 1996), 45.

[5]              G.W. Leibniz, Discourse on Metaphysics, trans. George Montgomery (Chicago: Open Court, 1902), 25-26.

[6]              Ibid., 27.

[7]              David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L.A. Selby-Bigge (Oxford: Clarendon Press, 1888), 94.

[8]              Ibid., 96.

[9]              Ibid., 100.

[10]          John Polkinghorne, Science and Providence: God's Interaction with the World (London: SPCK, 1989), 45.

[11]          Richard Dawkins, The God Delusion (Boston: Houghton Mifflin, 2006), 154.

[12]          Ibid., 156.

[13]          William Lane Craig, Reasonable Faith: Christian Truth and Apologetics (Wheaton: Crossway, 2008), 120.

[14]          Alvin Plantinga, God, Freedom, and Evil (Grand Rapids: Eerdmans, 1974), 89.

[15]          Craig, Reasonable Faith, 123.

[16]          Alvin Plantinga, Where the Conflict Really Lies: Science, Religion, and Naturalism (Oxford: Oxford University Press, 2011), 96.


9.           Ibrah dan Manfaat Kajian Okasionalisme

Kajian tentang Okasionalisme tidak hanya memiliki relevansi teoretis dalam diskursus filsafat dan teologi, tetapi juga memberikan pelajaran moral, spiritual, dan intelektual yang dapat memperkaya pemahaman umat manusia tentang hubungan antara Tuhan, makhluk, dan alam semesta. Melalui pembahasan tentang prinsip-prinsipnya, Okasionalisme menawarkan perspektif yang memperkuat keimanan, menumbuhkan sikap tawakal, serta membangun harmoni antara ilmu pengetahuan dan agama.

9.1.       Penguatan Tauhid dan Keimanan

Okasionalisme secara langsung memperkuat keyakinan akan tauhid, yaitu keesaan Tuhan dalam segala aspek kehidupan. Doktrin ini menegaskan bahwa hanya Tuhan yang memiliki kekuasaan mutlak atas alam semesta dan segala peristiwa yang terjadi di dalamnya.¹ Dengan memahami bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak Tuhan, seorang Muslim dapat memperkuat keimanannya dan menghindari keyakinan yang menyimpang, seperti mempercayai kekuatan kausalitas independen yang dapat melemahkan prinsip tauhid.²

Al-Ghazali menekankan bahwa pemahaman ini dapat membawa manusia kepada rasa ketergantungan penuh kepada Tuhan dan meningkatkan kualitas ibadahnya.³ Sikap ini mendorong seorang hamba untuk selalu mengingat bahwa segala pencapaian dan tantangan yang dihadapinya adalah bagian dari kehendak ilahi, sehingga menumbuhkan rasa syukur dan kerendahan hati.

9.2.       Menumbuhkan Tawakal dan Ketergantungan kepada Tuhan

Pelajaran lain yang dapat diambil dari Okasionalisme adalah penanaman sikap tawakal, yaitu menyerahkan sepenuhnya hasil dari usaha manusia kepada Tuhan. Dalam perspektif ini, meskipun manusia diwajibkan untuk berusaha, hasil akhirnya tetap berada di tangan Tuhan.⁴ Sikap ini relevan dalam kehidupan modern, di mana tekanan untuk mencapai kesuksesan seringkali menyebabkan kecemasan dan ketidakpuasan.

Doktrin Okasionalisme membantu manusia memahami bahwa ia tidak memiliki kendali penuh atas apa yang terjadi di sekitarnya. Hal ini dapat mendorong ketenangan batin dan meningkatkan kepercayaan bahwa setiap kejadian memiliki hikmah yang dikehendaki oleh Tuhan.⁵

9.3.       Integrasi antara Ilmu Pengetahuan dan Agama

Okasionalisme juga memberikan wawasan penting dalam menjembatani hubungan antara ilmu pengetahuan dan agama. Dengan menolak kausalitas independen, doktrin ini menegaskan bahwa hukum-hukum alam hanyalah kebiasaan yang ditetapkan oleh Tuhan.⁶ Pendekatan ini memungkinkan terciptanya harmoni antara keimanan dan penelitian ilmiah, di mana ilmuwan dapat memahami bahwa eksplorasi terhadap alam semesta adalah bagian dari upaya mengenal kebesaran Tuhan.⁷

Sebagai contoh, dalam filsafat sains modern, ada keterbatasan dalam menjelaskan hubungan sebab-akibat di tingkat kuantum. Okasionalisme memberikan kerangka teologis yang memungkinkan pemahaman bahwa ketidakpastian dalam ilmu pengetahuan adalah manifestasi dari kehendak Tuhan yang tidak terbatas.⁸

9.4.       Mengajarkan Kerendahan Hati Intelektual

Kajian Okasionalisme juga mengajarkan bahwa manusia, dengan segala keterbatasannya, tidak dapat sepenuhnya memahami rahasia alam semesta tanpa bimbingan Tuhan. Ibn Arabi, meskipun tidak secara langsung menganut Okasionalisme, berbicara tentang keterbatasan akal manusia dalam memahami hubungan sebab-akibat, mengajarkan bahwa ilmu pengetahuan sejati hanya dapat diperoleh melalui kesadaran akan kekuasaan Tuhan.⁹

Pandangan ini dapat menginspirasi manusia modern untuk menghormati keterbatasan akal dan tidak mengklaim bahwa sains telah menjawab semua pertanyaan tentang eksistensi. Sikap ini relevan dalam menghadapi krisis etika global, di mana eksplorasi ilmiah seringkali tidak disertai dengan pertimbangan moral dan spiritual.

9.5.       Meningkatkan Kesadaran Lingkungan

Okasionalisme juga dapat memberikan dorongan etis untuk menjaga lingkungan. Dengan memahami bahwa alam adalah perwujudan kehendak Tuhan, manusia dapat melihat dunia sebagai amanah yang harus dijaga.¹⁰ Sikap ini sesuai dengan prinsip Islam tentang tanggung jawab manusia sebagai khalifah di bumi.¹¹


Kesimpulan

Kajian tentang Okasionalisme tidak hanya berkontribusi pada diskursus teoretis, tetapi juga memberikan ibrah dan manfaat praktis yang signifikan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan memperkuat keimanan, menumbuhkan tawakal, dan mengintegrasikan agama dengan ilmu pengetahuan, doktrin ini dapat menjadi landasan untuk membangun kehidupan yang lebih harmonis dan bermakna. Melalui pendekatan yang menghormati kekuasaan Tuhan dan keterbatasan manusia, Okasionalisme menawarkan perspektif yang relevan untuk menjawab tantangan spiritual dan intelektual di era modern.


Catatan Kaki

[1]              Abu al-Hasan al-Ash'ari, Kitab al-Luma' (Beirut: Dar al-Mashriq, 1985), 50.

[2]              Abu Hamid Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah (London: E.J.W. Gibb Memorial Trust, 1997), 166.

[3]              Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, trans. Nabih Amin Faris (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1962), 45.

[4]              Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (San Francisco: HarperSanFrancisco, 2002), 89.

[5]              Timothy O'Connor, Theism and Ultimate Explanation: The Necessary Shape of Contingency (Oxford: Wiley-Blackwell, 2008), 85.

[6]              Steven Nadler, Occasionalism: Causation Among the Cartesians (Oxford: Oxford University Press, 2010), 12.

[7]              John Polkinghorne, Science and Providence: God's Interaction with the World (London: SPCK, 1989), 67.

[8]              Polkinghorne, Quantum Physics and Theology: An Unexpected Kinship (New Haven: Yale University Press, 2007), 45.

[9]              William Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-Arabi's Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 112.

[10]          Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature (Oxford: Oxford University Press, 1996), 55.

[11]          Nasr, Religion and the Order of Nature, 57.


10.       Penutup

Okasionalisme adalah salah satu doktrin filsafat dan teologi yang memberikan perspektif mendalam tentang hubungan antara Tuhan, makhluk, dan alam semesta. Melalui penegasan bahwa Tuhan adalah satu-satunya penyebab sejati (causa vera), doktrin ini menawarkan kerangka kerja metafisik dan teologis yang tidak hanya memperkuat prinsip tauhid, tetapi juga memberikan wawasan baru dalam diskusi hubungan sebab-akibat, hukum alam, dan peran manusia dalam kosmos.

10.1.    Rekapitulasi dan Refleksi

Kajian tentang Okasionalisme mencakup analisis mendalam terhadap sejarah, prinsip-prinsip, dan implikasinya dalam berbagai bidang. Dalam tradisi Islam, doktrin ini berkembang melalui pemikiran tokoh-tokoh seperti Al-Ghazali dan Al-Ash'ari, yang menekankan ketergantungan total makhluk kepada Tuhan.¹ Dalam tradisi Barat, gagasan ini diadopsi oleh filsuf seperti Nicolas Malebranche, yang menggunakan Okasionalisme untuk menjelaskan hubungan antara Tuhan, jiwa, dan tubuh.²

Melalui analisis sejarah dan kritik yang mendalam, kita memahami bahwa Okasionalisme tidak hanya berfungsi sebagai respons terhadap tantangan filsafat klasik, tetapi juga sebagai sarana untuk memperkuat keyakinan akan keesaan Tuhan dalam konteks yang lebih luas.³

10.2.    Relevansi Kontemporer

Dalam konteks modern, Okasionalisme memiliki relevansi yang signifikan. Dengan menegaskan bahwa hukum-hukum alam adalah kebiasaan yang ditetapkan oleh Tuhan, doktrin ini memberikan landasan untuk integrasi antara agama dan sains.⁴ Hal ini penting dalam era di mana pencarian makna spiritual sering kali diabaikan dalam diskursus ilmiah.

Selain itu, Okasionalisme dapat menjadi kerangka kerja etis untuk menghadapi tantangan global, seperti krisis lingkungan dan disrupsi teknologi.⁵ Dengan memandang alam sebagai manifestasi kehendak Tuhan, manusia diingatkan akan tanggung jawabnya sebagai khalifah untuk menjaga dan melestarikan alam semesta.⁶

10.3.    Keterbatasan dan Tantangan

Meskipun memberikan kontribusi besar, Okasionalisme tidak lepas dari kritik. Para pemikir seperti Ibn Rusyd, Leibniz, dan Spinoza telah mengajukan keberatan atas doktrin ini, terutama dalam hal otonomi makhluk dan penerapan hukum alam.⁷ Kritik ini menunjukkan bahwa meskipun Okasionalisme menawarkan penjelasan teologis yang kuat, ia memerlukan pendekatan yang lebih holistik untuk menjembatani perbedaan antara metafisika, teologi, dan sains modern.⁸

10.4.    Penutup dan Harapan

Sebagai kesimpulan, Okasionalisme adalah doktrin yang mengajarkan manusia untuk melihat alam semesta sebagai hasil dari kehendak Tuhan yang Maha Kuasa. Dalam konteks ini, ia memberikan inspirasi bagi pembaca modern untuk merenungkan keterbatasan akal dan menghargai kebijaksanaan ilahi yang tercermin dalam keteraturan alam.⁹

Harapannya, kajian ini dapat menjadi landasan bagi pengembangan diskusi yang lebih luas tentang hubungan antara agama dan sains, serta membantu memperkuat iman dan etika dalam menghadapi tantangan dunia modern. Seperti yang diungkapkan Al-Ghazali, memahami peran Tuhan dalam setiap aspek kehidupan bukan hanya memperkuat keimanan, tetapi juga memberikan kedamaian dalam menjalani kehidupan.¹⁰


Catatan Kaki

[1]              Abu al-Hasan al-Ash'ari, Kitab al-Luma' (Beirut: Dar al-Mashriq, 1985), 50.

[2]              Nicolas Malebranche, Dialogues on Metaphysics and on Religion, trans. David Scott (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 23-25.

[3]              Abu Hamid Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah (London: E.J.W. Gibb Memorial Trust, 1997), 167.

[4]              John Polkinghorne, Science and Providence: God's Interaction with the World (London: SPCK, 1989), 45.

[5]              Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature (Oxford: Oxford University Press, 1996), 57.

[6]              Nasr, Religion and the Order of Nature, 60.

[7]              Averroes (Ibn Rusyd), Tahafut al-Tahafut (The Incoherence of the Incoherence), trans. Simon van den Bergh (London: Luzac, 1954), 303.

[8]              G.W. Leibniz, Discourse on Metaphysics, trans. George Montgomery (Chicago: Open Court, 1902), 25-27.

[9]              William Lane Craig, Reasonable Faith: Christian Truth and Apologetics (Wheaton: Crossway, 2008), 123.

[10]          Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, trans. Nabih Amin Faris (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1962), 67.


Daftar Pustaka

Al-Ash'ari, A. al-H. (1985). Kitab al-Luma'. Beirut: Dar al-Mashriq.

Al-Ghazali, A. H. (1997). Tahafut al-Falasifah (The Incoherence of the Philosophers). London: E.J.W. Gibb Memorial Trust.

Al-Ghazali, A. H. (1962). Ihya Ulum al-Din (Revival of the Religious Sciences) (N. A. Faris, Trans.). Lahore: Sh. Muhammad Ashraf.

Aristotle. (1924). Metaphysics (W. D. Ross, Trans.). Oxford: Oxford University Press.

Averroes (Ibn Rushd). (1954). Tahafut al-Tahafut (The Incoherence of the Incoherence) (S. van den Bergh, Trans.). London: Luzac.

Chittick, W. (1989). The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-Arabi's Metaphysics of Imagination. Albany: SUNY Press.

Craig, W. L. (2008). Reasonable Faith: Christian Truth and Apologetics. Wheaton: Crossway.

Dawkins, R. (2006). The God Delusion. Boston: Houghton Mifflin.

Descartes, R. (1993). Meditations on First Philosophy (D. A. Cress, Trans.). Indianapolis: Hackett.

Gutas, D. (2001). Avicenna and the Aristotelian Tradition: Introduction to Reading Avicenna’s Philosophical Works. Leiden: Brill.

Hawking, S. (1988). A Brief History of Time. New York: Bantam.

Hume, D. (1888). A Treatise of Human Nature (L. A. Selby-Bigge, Ed.). Oxford: Clarendon Press.

Leibniz, G. W. (1902). Discourse on Metaphysics (G. Montgomery, Trans.). Chicago: Open Court.

Malebranche, N. (1997). Dialogues on Metaphysics and on Religion (D. Scott, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.

Malebranche, N. (1997). The Search After Truth (T. M. Lennon & P. J. Olscamp, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.

Morton, T. (2007). Ecology Without Nature: Rethinking Environmental Aesthetics. Cambridge: Harvard University Press.

Nadler, S. (2010). Occasionalism: Causation Among the Cartesians. Oxford: Oxford University Press.

Nasr, S. H. (1996). Religion and the Order of Nature. Oxford: Oxford University Press.

Nasr, S. H. (2002). The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity. San Francisco: HarperSanFrancisco.

O'Connor, T. (2008). Theism and Ultimate Explanation: The Necessary Shape of Contingency. Oxford: Wiley-Blackwell.

Plantinga, A. (1974). God, Freedom, and Evil. Grand Rapids: Eerdmans.

Plantinga, A. (2011). Where the Conflict Really Lies: Science, Religion, and Naturalism. Oxford: Oxford University Press.

Plotinus. (1969). The Enneads (S. MacKenna, Trans.). London: Faber and Faber.

Polkinghorne, J. (1989). Science and Providence: God's Interaction with the World. London: SPCK.

Polkinghorne, J. (2007). Quantum Physics and Theology: An Unexpected Kinship. New Haven: Yale University Press.

Spinoza, B. (1996). Ethics (E. Curley, Trans.). London: Penguin.

Whitehead, A. N. (1979). Process and Reality. New York: Free Press.


 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar