Doktrin Okasionalisme
Abstrak
Artikel ini menyajikan kajian
komprehensif tentang doktrin Okasionalisme, sebuah konsep filosofis dan
teologis yang menegaskan bahwa Tuhan adalah satu-satunya penyebab sejati dalam
hubungan sebab-akibat di alam semesta. Berakar pada tradisi teologi Islam
melalui pemikiran Abu al-Hasan al-Ash’ari dan Al-Ghazali, serta berkembang
dalam filsafat Barat melalui Nicolas Malebranche, Okasionalisme menolak
keberadaan kekuatan kausal independen pada makhluk. Kajian ini mengeksplorasi
sejarah perkembangan, prinsip-prinsip dasar, pendekatan teologis dan filosofis,
serta relevansi doktrin ini dalam konteks modern.
Dalam tradisi Islam,
Okasionalisme memperkuat prinsip tauhid dengan menegaskan
ketergantungan total makhluk kepada Tuhan. Sementara itu, dalam filsafat Barat,
doktrin ini menjadi bagian penting dari diskursus metafisika, terutama dalam
menjawab tantangan dualisme Cartesian. Artikel ini juga membahas kritik
terhadap Okasionalisme, termasuk keberatan dari Ibn Rusyd, Spinoza, dan
Leibniz, yang menilai doktrin ini sebagai pengingkaran terhadap hukum alam dan
otonomi makhluk.
Melalui analisis ini, artikel
menyoroti nilai-nilai ibrah yang dapat diambil dari Okasionalisme, seperti
penguatan keimanan, penanaman sikap tawakal, integrasi antara ilmu pengetahuan
dan agama, serta kesadaran akan tanggung jawab moral dan lingkungan. Meskipun
menghadapi kritik, Okasionalisme tetap relevan dalam diskursus modern,
khususnya dalam menjembatani pemahaman antara agama dan sains, serta menawarkan
perspektif etis terhadap tantangan global. Artikel ini diakhiri dengan refleksi
tentang bagaimana Okasionalisme dapat memperkaya wawasan spiritual dan
intelektual dalam kehidupan manusia.
Kata Kunci:
Okasionalisme, hubungan sebab-akibat, teologi Islam, filsafat Barat, tauhid,
agama dan sains, kritik terhadap Okasionalisme.
OKASIONALISME
1.
Pendahuluan
Okasionalisme merupakan salah satu doktrin
filosofis dan teologis yang membahas tentang hubungan kausal antara makhluk, peristiwa,
dan Tuhan sebagai penyebab utama segala sesuatu. Pemikiran ini berkembang
sebagai respons terhadap tantangan epistemologis dan metafisik tentang
bagaimana peristiwa dalam dunia fisik terjadi dan apakah makhluk dapat memiliki
kekuasaan kausal independen. Dalam tradisi Islam, Okasionalisme pertama kali
dipopulerkan oleh para teolog seperti Abu al-Hasan al-Ash'ari (w. 936) dan
diperkuat oleh Al-Ghazali (w. 1111) dalam karyanya Tahafut al-Falasifah.¹
Dalam konteks filsafat Barat, gagasan ini kemudian
diadopsi dan dikembangkan lebih lanjut oleh Nicolas Malebranche (w. 1715), yang
menekankan bahwa hanya Tuhan yang memiliki kekuasaan untuk menyebabkan
perubahan dalam dunia.² Dengan demikian, makhluk tidak memiliki kekuatan
kausal, dan semua peristiwa duniawi hanyalah "okasi" di mana
kehendak Tuhan diwujudkan. Pemikiran ini menjadi topik perdebatan yang intens
dalam filsafat Islam dan Barat, memengaruhi berbagai bidang, mulai dari
metafisika hingga teologi.
Kajian tentang Okasionalisme penting dilakukan karena
ia menawarkan wawasan mendalam tentang bagaimana manusia memahami peran Tuhan
dalam hubungan sebab-akibat di alam semesta. Dalam tradisi Islam, doktrin ini
memperkuat ajaran tauhid bahwa hanya Tuhan yang Maha Kuasa, sehingga menjadi
landasan filosofis dan teologis yang kuat dalam mengokohkan keyakinan umat
Muslim.³ Sebaliknya, dalam tradisi Barat, gagasan ini menjadi tantangan bagi
filsafat rasionalis dan empiris yang berusaha mencari kausalitas di luar peran
Tuhan.⁴
Tujuan artikel ini adalah untuk memberikan
pemahaman yang komprehensif tentang Okasionalisme, baik dari perspektif
filsafat Islam maupun Barat, serta relevansinya dalam diskursus modern. Dengan
menggunakan sumber-sumber primer dan sekunder yang kredibel, artikel ini akan
mengupas secara sistematis sejarah, prinsip-prinsip, kritik, dan relevansi
Okasionalisme dalam berbagai bidang ilmu. Hal ini diharapkan dapat memberikan
pembaca wawasan yang luas tentang dinamika pemikiran dalam tradisi filsafat dan
teologi.
Catatan Kaki:
[1]
Abu Hamid Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah (London: E.J.W. Gibb
Memorial Trust, 1997), 80.
[2]
Nicolas Malebranche, The Search After Truth, trans. Thomas M.
Lennon and Paul J. Olscamp (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 448.
[3]
A. L. Mayer, "Occasionalism in Islamic Philosophy," Journal
of Islamic Studies 12, no. 3 (2001): 27–39.
[4]
Steven Nadler, Occasionalism: Causation Among the Cartesians
(Oxford: Oxford University Press, 2010), 112.
2.
Definisi
dan Konsep Dasar Okasionalisme
2.1. Definisi Okasionalisme
Okasionalisme adalah doktrin filosofis dan teologis
yang menegaskan bahwa Tuhan adalah satu-satunya penyebab sejati (causa vera)
dari segala sesuatu di alam semesta.¹ Dalam pandangan ini, semua hubungan
sebab-akibat antara makhluk dan fenomena bersifat ilusi atau sekadar "okasional"
(momentum perantara), sementara Tuhanlah yang secara langsung menyebabkan
setiap peristiwa.² Istilah ini pertama kali muncul dalam diskursus filsafat
Islam, meskipun gagasannya dapat ditelusuri dalam tradisi Aristotelian dan
Neoplatonisme yang kemudian dikontekstualisasikan dalam teologi Islam.³
2.2. Konsep Dasar Okasionalisme
Okasionalisme didasarkan pada tiga konsep utama
yang saling berkaitan:
1)
Tuhan sebagai Penyebab Tunggal
Doktrin ini
menolak adanya kekuatan kausal independen pada makhluk. Sebagaimana dijelaskan
oleh Al-Ghazali, tidak ada hubungan sebab-akibat intrinsik antara api dan
pembakaran. Sebaliknya, setiap pembakaran terjadi karena kehendak Tuhan pada
saat tertentu.⁴ Al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah menekankan bahwa
asumsi kausalitas antara makhluk dapat melemahkan tauhid karena secara implisit
memberikan kekuasaan kepada selain Tuhan.⁵
2)
Makhluk sebagai Okasi atau Perantara
Dalam
pandangan okasionalis, makhluk hanya berfungsi sebagai medium atau "okasi"
bagi Tuhan untuk melaksanakan kehendak-Nya.⁶ Contohnya, ketika seseorang
memukul bola dengan tongkat, tongkat tidak memiliki kekuatan kausal untuk
memindahkan bola. Sebaliknya, Tuhanlah yang secara langsung menggerakkan bola
berdasarkan "peristiwa" atau momentum yang dihasilkan
tongkat.⁷
3)
Hubungan Sebab-Akibat Sebagai Ilusi
Pandangan
ini mencakup kritik terhadap pemahaman tradisional tentang kausalitas. Dalam
perspektif okasionalisme, hubungan antara sebab dan akibat hanya terlihat
konsisten karena ketetapan Tuhan yang menciptakan pola tersebut secara
berulang.⁸ Pandangan ini menolak mekanisme kausalitas independen sebagaimana
yang diajarkan dalam filsafat Aristotelian, yang menyatakan bahwa suatu efek
secara inheren terkait dengan sebabnya.⁹
2.3. Perbandingan dengan Tradisi Lain
Konsep dasar okasionalisme bertentangan dengan
tradisi filsafat Yunani kuno, yang memandang kausalitas sebagai proses alamiah
dan inheren dalam hubungan antar-entitas.¹⁰ Dalam teologi Kristen Barat,
Malebranche menyempurnakan gagasan ini dengan menyatakan bahwa Tuhanlah yang
menjadi penghubung antara jiwa dan tubuh, sehingga pikiran manusia tidak dapat
secara langsung menyebabkan gerakan tubuh.¹¹ Dengan demikian, meskipun memiliki
kesamaan esensial, versi Islam dan Barat memiliki pendekatan yang berbeda dalam
menafsirkan peran Tuhan dalam kausalitas.
Catatan Kaki:
[1]
Steven Nadler, Occasionalism: Causation Among the Cartesians
(Oxford: Oxford University Press, 2010), 3.
[2]
Nicolas Malebranche, The Search After Truth, trans. Thomas M.
Lennon and Paul J. Olscamp (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 83.
[3]
Fadlou Shehadi, Ghazzali's Unique Unknowable God (Leiden: Brill,
1964), 56.
[4]
Abu Hamid Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah (London: E.J.W. Gibb
Memorial Trust, 1997), 166.
[5]
Ibid., 165-167.
[6]
A. L. Mayer, "Occasionalism in Islamic Philosophy," Journal
of Islamic Studies 12, no. 3 (2001): 29.
[7]
Ibid.
[8]
David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L.A. Selby-Bigge
(Oxford: Clarendon Press, 1888), 94-95.
[9]
Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross (Oxford: Oxford
University Press, 1924), Book VII.
[10]
Richard Taylor, Metaphysics (Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall,
1992), 157.
[11]
Nicolas Malebranche, Dialogues on Metaphysics and on Religion,
trans. David Scott (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 26.
3.
Sejarah
dan Perkembangan Okasionalisme
3.1. Akar Pemikiran Okasionalisme
Okasionalisme memiliki akar yang dalam, baik dalam
filsafat Yunani kuno maupun dalam tradisi teologis Islam. Dalam filsafat
Yunani, konsep hubungan kausal sudah menjadi perhatian, terutama melalui karya
Aristoteles, yang memperkenalkan doktrin empat sebab (causa materialis, causa
formalis, causa efficiens, dan causa finalis).¹ Namun, pemikiran
Yunani ini masih memberikan tempat bagi kekuatan kausal independen dalam dunia
fisik, berbeda dengan pandangan okasionalis. Dalam Neoplatonisme, yang diwakili
oleh Plotinus, terdapat gagasan tentang hubungan langsung antara Tuhan sebagai
"Sumber Segala Sesuatu" dengan dunia, yang menginspirasi para
pemikir Islam.²
3.2. Perkembangan dalam Tradisi Islam
Okasionalisme pertama kali diformulasikan secara
sistematis dalam teologi Islam, khususnya oleh kelompok Ash'ariyah, yang
menekankan doktrin ketergantungan mutlak makhluk kepada Tuhan. Abu al-Hasan
al-Ash'ari (w. 936) mengembangkan konsep bahwa semua peristiwa di dunia ini
terjadi atas kehendak Tuhan, dan makhluk tidak memiliki kekuatan kausal
independen.³ Pemikiran ini menjadi respons terhadap pandangan Mu’tazilah yang
mengutamakan kehendak bebas manusia dan kausalitas independen.
Al-Ghazali (w. 1111) menjadi tokoh penting yang
memperkokoh Okasionalisme dalam tradisi Islam. Dalam karyanya Tahafut
al-Falasifah (Keruntuhan Para Filosof), Al-Ghazali secara eksplisit
mengkritik filsafat Aristotelian, khususnya gagasan Ibn Sina, yang berpendapat
bahwa hubungan sebab-akibat bersifat inheren dan dapat dipahami secara logis.⁴
Al-Ghazali menegaskan bahwa hubungan sebab-akibat hanyalah kebiasaan yang
diatur oleh Tuhan. Sebagai contoh, api tidak secara otomatis membakar kapas;
pembakaran terjadi hanya karena Tuhan menghendakinya pada saat itu.⁵
3.3. Okasionalisme dalam Tradisi Barat
Dalam filsafat Barat, Okasionalisme mendapat
perhatian besar pada abad ke-17 melalui karya Nicolas Malebranche (w. 1715).⁶
Malebranche, yang dipengaruhi oleh dualisme Descartes, menyatakan bahwa tubuh
dan jiwa manusia tidak memiliki hubungan kausal langsung. Sebaliknya, Tuhanlah
yang menjadi perantara di antara keduanya.⁷ Dalam karyanya The Search After
Truth, Malebranche menyatakan bahwa segala sesuatu di alam semesta ini
bergantung sepenuhnya pada kehendak Tuhan.⁸
Pandangan Malebranche memicu diskusi intens dalam
tradisi filsafat Barat. Para pemikir seperti Leibniz dan Spinoza mengkritik
Okasionalisme sebagai doktrin yang melemahkan peran hukum alam.⁹ David Hume,
dalam kritiknya terhadap kausalitas, menggemakan beberapa elemen Okasionalisme
dengan menolak gagasan bahwa sebab dan akibat dapat dibuktikan melalui akal
murni.¹⁰
3.4. Pengaruh dan Relevansi Modern
Meskipun Okasionalisme sebagai doktrin formal
mengalami penurunan dalam popularitasnya di dunia Barat setelah abad ke-18,
pengaruhnya masih terasa dalam diskusi teologis dan filsafat sains. Dalam dunia
Islam, gagasan ini terus dihormati, khususnya di kalangan Sunni tradisional,
karena memperkuat keyakinan akan keesaan dan kekuasaan Tuhan.¹¹ Sementara itu,
dalam filsafat kontemporer, elemen-elemen Okasionalisme digunakan untuk
menjembatani pemahaman antara agama dan sains, khususnya dalam diskursus
metafisika dan teori kuantum.¹²
Catatan Kaki:
[1]
Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross (Oxford: Oxford
University Press, 1924), Book VII.
[2]
Plotinus, The Enneads, trans. Stephen MacKenna (London: Faber and
Faber, 1969), V.1.6.
[3]
Abu al-Hasan al-Ash'ari, Kitab al-Luma' (Beirut: Dar al-Mashriq,
1985), 45-47.
[4]
Abu Hamid Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah (London: E.J.W. Gibb
Memorial Trust, 1997), 80.
[5]
Ibid., 166-167.
[6]
Steven Nadler, Occasionalism: Causation Among the Cartesians
(Oxford: Oxford University Press, 2010), 12.
[7]
Nicolas Malebranche, Dialogues on Metaphysics and on Religion,
trans. David Scott (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 23-25.
[8]
Ibid., 26.
[9]
G.W. Leibniz, Discourse on Metaphysics, trans. George Montgomery
(Chicago: Open Court, 1902), 13-15.
[10]
David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L.A. Selby-Bigge
(Oxford: Clarendon Press, 1888), 94-95.
[11]
A. L. Mayer, "Occasionalism in Islamic Philosophy," Journal
of Islamic Studies 12, no. 3 (2001): 35.
[12]
M. R. Matthews, Science Teaching: The Role of History and Philosophy
of Science (New York: Routledge, 2014), 312-313.
4.
Prinsip-Prinsip
Utama Okasionalisme
Okasionalisme sebagai doktrin filsafat-teologi
memiliki beberapa prinsip utama yang menjadi dasar pemikirannya. Prinsip-prinsip
ini menegaskan bahwa Tuhan adalah satu-satunya penyebab sejati di alam semesta,
sementara makhluk hanya memainkan peran sebagai medium atau perantara dalam
kejadian duniawi. Berikut adalah tiga prinsip utama yang mendefinisikan
Okasionalisme:
4.1. Tuhan sebagai Penyebab Tunggal
Prinsip pertama dan paling fundamental dari
Okasionalisme adalah bahwa hanya Tuhan yang memiliki kekuasaan kausal. Segala
sesuatu yang terjadi di dunia ini, baik di ranah fisik maupun metafisik, adalah
hasil langsung dari kehendak Tuhan.¹ Dalam pandangan ini, hubungan sebab-akibat
sebagaimana dipahami secara konvensional tidak memiliki realitas independen.
Al-Ghazali, dalam Tahafut al-Falasifah,
menyatakan bahwa api tidak memiliki kekuatan inheren untuk membakar kapas; pembakaran
terjadi hanya karena Tuhan menghendakinya pada saat itu.² Alasan di balik
doktrin ini adalah untuk menjaga tauhid, yaitu keyakinan akan keesaan Tuhan,
dari kemungkinan penyimpangan yang dapat terjadi jika kekuatan kausal
disandarkan pada makhluk.³
Malebranche dalam tradisi Barat memperluas gagasan
ini dengan menyatakan bahwa bahkan hubungan antara pikiran dan tubuh manusia
tidak bersifat kausal. Menurutnya, Tuhanlah yang secara langsung menyebabkan
gerakan tubuh berdasarkan kehendak pikiran.⁴ Dengan demikian, Okasionalisme
menghilangkan kemungkinan adanya sebab-sebab sekunder yang independen dari
kehendak Tuhan.
4.2. Makhluk sebagai Okasi atau Perantara
Prinsip kedua dari Okasionalisme adalah bahwa
makhluk dan fenomena alam tidak memiliki kekuatan kausal, melainkan hanya
berfungsi sebagai "okasi" atau perantara di mana kehendak
Tuhan diwujudkan. Dalam konteks ini, makhluk hanyalah medium yang memungkinkan
Tuhan menunjukkan tindakan-Nya.⁵
Misalnya, dalam contoh tongkat yang digunakan untuk
memukul bola, tongkat itu sendiri tidak memiliki kekuatan untuk memindahkan
bola. Sebaliknya, perpindahan bola adalah hasil langsung dari kehendak Tuhan
yang terjadi "berdasarkan peristiwa" penggunaan tongkat
tersebut.⁶ Prinsip ini sejalan dengan pemahaman Ash'ariyah yang menekankan
bahwa makhluk sepenuhnya bergantung pada Tuhan dalam segala aspek
keberadaannya.
4.3. Hubungan Sebab-Akibat Sebagai Ilusi
Prinsip ketiga adalah bahwa hubungan sebab-akibat
dalam pandangan konvensional hanyalah sebuah ilusi yang terbentuk dari pengulangan
kebiasaan. Dalam doktrin Okasionalisme, hukum alam yang tampak konsisten adalah
hasil dari kehendak Tuhan yang terus-menerus menciptakan pola-pola tersebut.⁷
Al-Ghazali menyebut bahwa keyakinan terhadap
hubungan kausal yang inheren dapat membawa manusia pada pengingkaran terhadap
kekuasaan absolut Tuhan.⁸ Malebranche menegaskan bahwa sebab-akibat hanyalah
sebuah "kesan mental" yang tidak memiliki realitas objektif,
karena semua tindakan diatur sepenuhnya oleh Tuhan.⁹
Pandangan ini berbeda secara tajam dengan filsafat
Aristotelian, yang menyatakan bahwa sebab-akibat bersifat inheren dalam
objek.¹⁰ Pandangan Okasionalisme juga memiliki elemen yang serupa dengan kritik
Hume terhadap kausalitas, yang menyatakan bahwa hubungan sebab-akibat tidak
dapat dibuktikan melalui akal murni, melainkan hanyalah hasil pengamatan
berulang.¹¹
Relevansi Prinsip-Prinsip Okasionalisme
Prinsip-prinsip ini memiliki relevansi yang luas
dalam diskursus teologi dan filsafat. Dalam teologi Islam, mereka memperkokoh
ajaran tauhid dengan menegaskan ketergantungan makhluk sepenuhnya kepada Tuhan.
Dalam tradisi Barat, prinsip-prinsip ini menjadi bahan perdebatan yang
memengaruhi perkembangan filsafat modern, terutama dalam diskusi mengenai
hubungan antara Tuhan, dunia, dan hukum alam.
Catatan Kaki:
[1]
Steven Nadler, Occasionalism: Causation Among the Cartesians
(Oxford: Oxford University Press, 2010), 3.
[2]
Abu Hamid Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah (London: E.J.W. Gibb
Memorial Trust, 1997), 166.
[3]
Fadlou Shehadi, Ghazzali's Unique Unknowable God (Leiden: Brill,
1964), 56.
[4]
Nicolas Malebranche, Dialogues on Metaphysics and on Religion,
trans. David Scott (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 26-27.
[5]
A. L. Mayer, "Occasionalism in Islamic Philosophy," Journal
of Islamic Studies 12, no. 3 (2001): 30.
[6]
Ibid.
[7]
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, 170.
[8]
Ibid., 172.
[9]
Malebranche, Dialogues on Metaphysics and on Religion, 32.
[10]
Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross (Oxford: Oxford
University Press, 1924), Book VII.
[11]
David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L.A. Selby-Bigge
(Oxford: Clarendon Press, 1888), 94.
5.
Pendekatan
Teologis terhadap Okasionalisme
Okasionalisme memainkan peran penting dalam
diskursus teologis, khususnya dalam memahami hubungan antara Tuhan, makhluk,
dan alam semesta. Pendekatan teologis terhadap Okasionalisme difokuskan pada
penguatan doktrin tauhid (keesaan Tuhan), penegasan keterbatasan
makhluk, dan penolakan terhadap gagasan kausalitas independen yang dianggap
melemahkan peran Tuhan. Dalam tradisi Islam, doktrin ini banyak dianut oleh
Ash'ariyah dan didukung oleh Al-Ghazali, sementara dalam tradisi Barat, gagasan
serupa ditemukan dalam karya-karya Nicolas Malebranche.
5.1. Relevansi Okasionalisme dengan Tauhid
Okasionalisme merupakan manifestasi teologis dari
prinsip tauhid rububiyah, yaitu keyakinan bahwa hanya Tuhan yang
menciptakan, mengatur, dan menguasai segala sesuatu.¹ Dalam konteks ini,
Okasionalisme menegaskan bahwa hanya Tuhan yang memiliki kekuasaan kausal,
sementara makhluk sepenuhnya bergantung pada-Nya.² Abu al-Hasan al-Ash’ari,
pendiri teologi Ash’ariyah, berpendapat bahwa semua peristiwa di alam semesta
adalah hasil langsung dari kehendak Tuhan, tanpa ada intervensi kausal independen
dari makhluk.³
Al-Ghazali, dalam Tahafut al-Falasifah,
mengkritik filsafat Aristotelian yang memberikan kekuatan kausal inheren kepada
makhluk. Ia menekankan bahwa pandangan semacam itu bertentangan dengan doktrin
tauhid, karena secara implisit mengurangi kekuasaan Tuhan.⁴ Misalnya, ketika
api membakar kapas, kejadian tersebut tidak terjadi karena sifat api, melainkan
karena Tuhan menciptakan pembakaran pada saat itu.⁵ Pendekatan ini mendukung
pandangan bahwa Tuhan adalah satu-satunya penyebab sejati (causa vera).
5.2. Keterbatasan Kausalitas Makhluk
Okasionalisme juga digunakan untuk menegaskan
keterbatasan makhluk dalam tindakan kausal. Dalam doktrin ini, makhluk tidak
memiliki kekuatan untuk menciptakan efek apa pun, melainkan hanya bertindak
sebagai medium di mana kehendak Tuhan diwujudkan.⁶ Sebagaimana dikemukakan oleh
Al-Ash’ari, kemampuan makhluk adalah "kebiasaan" yang
diciptakan oleh Tuhan untuk memberi kesan adanya hubungan sebab-akibat.⁷
Pandangan ini memperkuat ajaran teologis bahwa
makhluk tidak memiliki kemandirian dalam tindakan atau eksistensinya. Hal ini
selaras dengan pandangan Al-Ghazali, yang menolak konsep kasb dari
Mu’tazilah yang memberikan ruang bagi kehendak bebas manusia dalam kausalitas.⁸
Sebaliknya, ia menekankan bahwa semua perbuatan manusia, baik yang tampak
berasal dari usaha manusia maupun yang terjadi secara alamiah, sepenuhnya
berada di bawah kendali Tuhan.⁹
5.3. Penolakan terhadap Kausalitas Independen
Okasionalisme berfungsi sebagai kritik teologis
terhadap gagasan kausalitas independen yang dianut oleh tradisi filsafat
klasik. Teologi Islam tradisional, khususnya Ash'ariyah, memandang bahwa
hubungan sebab-akibat sebagaimana yang dipahami secara rasional hanyalah sebuah
ilusi yang diatur oleh Tuhan.¹⁰
Malebranche dalam tradisi Barat mengadopsi
pandangan serupa, menyatakan bahwa segala sesuatu di alam semesta terjadi
berdasarkan kehendak Tuhan semata.¹¹ Ia bahkan memperluas doktrin ini dengan
menjelaskan bahwa pikiran manusia tidak memiliki hubungan kausal langsung
dengan tubuh, melainkan Tuhanlah yang menjadi perantara.¹²
Pendekatan ini berbeda secara signifikan dengan
pandangan filsafat Aristotelian dan Ibn Sina, yang mengakui adanya kausalitas
inheren antara objek.¹³ Kritik terhadap kausalitas independen menjadi inti dari
Okasionalisme dalam upaya memperkuat keyakinan akan kekuasaan absolut Tuhan
atas alam semesta.
5.4. Hubungan Okasionalisme dengan Konsep Keimanan
Secara teologis, Okasionalisme memiliki implikasi
yang mendalam terhadap keimanan. Doktrin ini menanamkan keyakinan bahwa segala
sesuatu, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi, berada dalam kendali penuh
Tuhan. Hal ini memperkuat rasa tawakal (ketergantungan penuh kepada Tuhan) dan
mendorong manusia untuk bersikap rendah hati atas keterbatasannya.¹⁴ Dalam
tradisi Islam, pandangan ini sering digunakan untuk membangun hubungan
spiritual yang lebih kuat antara manusia dan Tuhan, dengan menekankan bahwa
segala kejadian adalah kehendak ilahi.¹⁵
Kesimpulan
Pendekatan teologis terhadap Okasionalisme
menekankan penguatan prinsip tauhid, penegasan keterbatasan makhluk, dan
penolakan terhadap kausalitas independen. Dengan demikian, doktrin ini tidak
hanya relevan dalam ranah filsafat, tetapi juga dalam membangun keyakinan
teologis yang kuat. Melalui kontribusi para pemikir seperti Al-Ash'ari dan
Al-Ghazali, Okasionalisme menjadi landasan penting bagi diskursus teologi Islam
klasik.
Catatan Kaki
[1]
Abu al-Hasan al-Ash'ari, Kitab al-Luma' (Beirut: Dar al-Mashriq,
1985), 49.
[2]
Steven Nadler, Occasionalism: Causation Among the Cartesians
(Oxford: Oxford University Press, 2010), 5.
[3]
Fadlou Shehadi, Ghazzali's Unique Unknowable God (Leiden: Brill,
1964), 60.
[4]
Abu Hamid Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah (London: E.J.W. Gibb
Memorial Trust, 1997), 167.
[5]
Ibid., 165-166.
[6]
A. L. Mayer, "Occasionalism in Islamic Philosophy," Journal
of Islamic Studies 12, no. 3 (2001): 31.
[7]
Al-Ash’ari, Kitab al-Luma', 50.
[8]
Majid Fakhry, Islamic Philosophy, Theology, and Mysticism
(London: Routledge, 2004), 115.
[9]
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, 168.
[10]
Ibid., 170-171.
[11]
Nicolas Malebranche, Dialogues on Metaphysics and on Religion,
trans. David Scott (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 32.
[12]
Ibid., 34-36.
[13]
Gutas, Dimitri, Avicenna and the Aristotelian Tradition (Leiden:
Brill, 2001), 123-124.
[14]
Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity
(San Francisco: HarperSanFrancisco, 2002), 67.
[15]
Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, trans. Nabih Amin Faris (Lahore:
Sh. Muhammad Ashraf, 1962), 55.
6.
Pendekatan
Filosofis terhadap Okasionalisme
Pendekatan filosofis terhadap Okasionalisme
berfokus pada analisis metafisika, epistemologi, dan logika yang mendasari
gagasan ini. Doktrin Okasionalisme berupaya menjawab pertanyaan mendasar
tentang hubungan sebab-akibat, peran Tuhan dalam alam semesta, dan keterbatasan
makhluk dalam menjalankan tindakan kausal. Dalam tradisi filsafat, pendekatan
ini dipengaruhi oleh diskusi para filsuf Islam seperti Al-Ghazali dan kemudian
berkembang dalam tradisi Barat melalui karya-karya Nicolas Malebranche.
6.1. Metafisika Okasionalisme
Metafisika Okasionalisme menegaskan bahwa hanya
Tuhan yang memiliki keberadaan sejati dan kekuasaan kausal.¹ Semua makhluk,
meskipun tampak memiliki kemampuan untuk menyebabkan sesuatu, sebenarnya
hanyalah medium melalui mana kehendak Tuhan diwujudkan.²
Al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah
menolak konsep sebab-akibat inheren yang diajukan oleh Ibn Sina dan filsafat
Aristotelian. Ia berargumen bahwa hubungan sebab-akibat hanyalah pola yang
diulang oleh kehendak Tuhan, bukan sesuatu yang bersifat esensial pada objek.³
Misalnya, api yang membakar kapas tidak memiliki kekuatan untuk membakar,
melainkan Tuhanlah yang menciptakan pembakaran tersebut.⁴
Dalam tradisi Barat, Malebranche mengembangkan
metafisika ini dengan menyatakan bahwa makhluk tidak memiliki kekuatan untuk
memulai atau mempertahankan tindakan kausal. Semua peristiwa terjadi karena
Tuhan menciptakan tindakan tersebut secara langsung.⁵
6.2. Epistemologi dan Logika Kausalitas
Pendekatan filosofis terhadap Okasionalisme juga
mencakup kritik terhadap epistemologi kausalitas. Dalam tradisi Aristotelian,
kausalitas dipahami sebagai hubungan inheren antara sebab dan akibat yang dapat
diketahui melalui akal.⁶ Namun, Okasionalisme menolak gagasan ini dengan
menyatakan bahwa hubungan kausal tidak memiliki realitas independen.⁷
David Hume, meskipun bukan okasionalis, mendukung
beberapa aspek kritik terhadap kausalitas dalam A Treatise of Human Nature.
Ia berargumen bahwa hubungan sebab-akibat tidak dapat dibuktikan secara logis,
melainkan hanya didasarkan pada kebiasaan manusia untuk mengamati pola
tertentu.⁸ Kritik ini memperkuat gagasan okasionalis bahwa hubungan
sebab-akibat adalah ilusi yang diatur oleh Tuhan.
Al-Ghazali menambahkan dimensi teologis pada kritik
ini, menyatakan bahwa mengatributkan kausalitas kepada makhluk dapat membawa
manusia pada penyimpangan akidah.⁹ Oleh karena itu, Okasionalisme mendasarkan
hubungan sebab-akibat pada kehendak Tuhan semata.
6.3. Hubungan Okasionalisme dengan Dualisme Cartesian
Malebranche, seorang filsuf Barat terkemuka dalam
tradisi Okasionalisme, mengadopsi pendekatan Descartes terhadap dualisme jiwa
dan tubuh. Descartes menyatakan bahwa pikiran dan tubuh adalah dua substansi
yang berbeda, tetapi ia tidak menjelaskan bagaimana interaksi antara keduanya
terjadi.¹⁰ Malebranche menggunakan Okasionalisme untuk menjawab pertanyaan ini
dengan menyatakan bahwa Tuhanlah yang menjadi perantara dalam hubungan antara
jiwa dan tubuh.¹¹
Pandangan ini tidak hanya memperkuat gagasan bahwa
Tuhan adalah penyebab sejati, tetapi juga memberikan penjelasan metafisik yang
mengintegrasikan dualisme Cartesian dengan teologi.¹² Kritik terhadap gagasan
ini datang dari filsuf seperti Leibniz, yang berpendapat bahwa pandangan
Malebranche terlalu bergantung pada intervensi ilahi yang terus-menerus.¹³
6.4. Kritik Filosofis terhadap Okasionalisme
Okasionalisme menghadapi kritik dari berbagai
tradisi filsafat. Dalam tradisi Islam, Ibn Rusyd mengkritik pandangan
Al-Ghazali, menyatakan bahwa doktrin ini mengabaikan hukum alam yang telah
ditetapkan oleh Tuhan sebagai bagian dari ciptaan-Nya.¹⁴ Ibn Rusyd berpendapat
bahwa memahami hubungan sebab-akibat adalah cara untuk mengenal kebijaksanaan
Tuhan dalam menciptakan alam semesta.¹⁵
Dalam tradisi Barat, Spinoza menolak Okasionalisme
karena bertentangan dengan prinsip determinisme universalnya, yang menyatakan
bahwa segala sesuatu terjadi melalui hukum-hukum alam yang tetap.¹⁶ Leibniz
juga mengkritik pandangan ini, menyatakan bahwa gagasan tentang intervensi
Tuhan yang terus-menerus melemahkan konsep kehendak bebas dan keteraturan alam
semesta.¹⁷
6.5. Relevansi Filosofis Okasionalisme
Meskipun menghadapi banyak kritik, Okasionalisme
tetap relevan dalam diskusi metafisika modern. Dalam filsafat kontemporer,
gagasan bahwa hubungan sebab-akibat mungkin merupakan hasil konstruksi atau
pola yang diatur oleh prinsip fundamental terus menarik perhatian.¹⁸ Selain
itu, pendekatan ini memiliki implikasi bagi diskusi tentang hubungan antara
agama dan sains, khususnya dalam memahami peran Tuhan dalam hukum-hukum alam.
Kesimpulan
Pendekatan filosofis terhadap Okasionalisme
memberikan kontribusi penting terhadap pemahaman hubungan antara Tuhan,
makhluk, dan alam semesta. Melalui kritik terhadap kausalitas inheren,
penggabungan metafisika dan teologi, serta respons terhadap dualisme Cartesian,
Okasionalisme menawarkan kerangka kerja yang unik dalam diskusi filsafat dan
teologi. Meskipun menghadapi tantangan dari berbagai pemikiran alternatif,
doktrin ini tetap menjadi salah satu kontribusi utama dalam sejarah filsafat
Islam dan Barat.
Catatan Kaki
[1]
Steven Nadler, Occasionalism: Causation Among the Cartesians
(Oxford: Oxford University Press, 2010), 6.
[2]
Nicolas Malebranche, Dialogues on Metaphysics and on Religion,
trans. David Scott (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 32.
[3]
Abu Hamid Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah (London: E.J.W. Gibb
Memorial Trust, 1997), 165.
[4]
Ibid., 166.
[5]
Malebranche, Dialogues on Metaphysics and on Religion, 33.
[6]
Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross (Oxford: Oxford
University Press, 1924), Book VII.
[7]
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, 170-171.
[8]
David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L.A. Selby-Bigge
(Oxford: Clarendon Press, 1888), 94.
[9]
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, 172.
[10]
René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. Donald A.
Cress (Indianapolis: Hackett, 1993), 64-65.
[11]
Malebranche, Dialogues on Metaphysics and on Religion, 35.
[12]
Steven Nadler, The Best of All Possible Worlds: A Story of
Philosophers, God, and Evil (Princeton: Princeton University Press, 2008),
47.
[13]
G.W. Leibniz, Discourse on Metaphysics, trans. George Montgomery
(Chicago: Open Court, 1902), 19-20.
[14]
Averroes (Ibn Rusyd), Tahafut al-Tahafut (The Incoherence of the
Incoherence), trans. Simon van den Bergh (London: Luzac, 1954), 298.
[15]
Ibid., 300.
[16]
Benedict de Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (London:
Penguin, 1996), 45.
[17]
Leibniz, Discourse on Metaphysics, 25.
[18]
Timothy O'Connor, Theism and Ultimate Explanation: The Necessary
Shape of Contingency (Oxford: Wiley-Blackwell, 2008), 89.
7.
Okasionalisme
dalam Konteks Modern
Okasionalisme, sebagai doktrin teologis dan
filosofis, tetap relevan dalam diskursus modern, terutama dalam kaitannya
dengan metafisika, filsafat agama, dan hubungan antara sains dan teologi.
Meskipun gagasan ini berkembang dalam konteks sejarah tertentu,
prinsip-prinsipnya menawarkan wawasan mendalam untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan kontemporer tentang sebab-akibat, hubungan Tuhan dengan
alam semesta, dan kebiasaan alami.
7.1. Okasionalisme dalam Filsafat Kontemporer
Pendekatan metafisik Okasionalisme menemukan
resonansi dalam diskusi filosofis modern, khususnya dalam konteks metafisika
kontingensi dan filsafat analitik. Dalam karya modern seperti Theism and
Ultimate Explanation oleh Timothy O'Connor, argumen tentang hubungan antara
kontingensi dan kausalitas sering menggemakan prinsip-prinsip okasionalisme,
terutama dalam menegaskan ketergantungan total alam semesta pada penyebab utama.¹
Gagasan bahwa hukum-hukum alam bukanlah entitas independen tetapi ekspresi dari
kehendak ilahi terus menarik perhatian para filsuf agama kontemporer.²
Pendekatan ini juga sering dibandingkan dengan
teori-teori lain seperti filsafat proses (Whitehead) dan pandangan kuantum
modern, yang mengakui bahwa hubungan sebab-akibat dapat bergantung pada prinsip
yang tidak sepenuhnya dapat dijelaskan secara empiris.³
7.2. Okasionalisme dan Filsafat Sains
Dalam konteks filsafat sains, Okasionalisme memunculkan
diskusi tentang sifat hukum-hukum alam. Pandangan bahwa hukum alam hanyalah
kebiasaan yang diatur oleh kehendak Tuhan menantang interpretasi deterministik
sains modern.⁴ Beberapa ilmuwan dan filsuf sains, seperti John Polkinghorne,
melihat peluang untuk mengintegrasikan pandangan teologis seperti Okasionalisme
dengan teori kuantum, di mana probabilitas dan ketidakpastian memainkan peran
penting.⁵
Filosofi kuantum menekankan bahwa hubungan antara
sebab dan akibat di tingkat subatomik tidak dapat dijelaskan sepenuhnya melalui
hukum deterministik. Hal ini menciptakan ruang bagi diskusi tentang peran Tuhan
sebagai penyebab utama di balik pola-pola probabilistik yang diamati dalam
fisika kuantum.⁶
7.3. Relevansi Okasionalisme dalam Diskursus Teologi
Dalam teologi modern, Okasionalisme telah digunakan
untuk menjelaskan hubungan antara Tuhan, kebebasan manusia, dan hukum alam.
Pandangan ini relevan dalam debat teologis tentang "intervensi ilahi"
di alam semesta. Teolog seperti William Lane Craig menyebut bahwa gagasan
tentang Tuhan yang secara aktif terlibat dalam proses kausal dapat menjawab
pertanyaan tentang mukjizat dan fenomena supranatural tanpa bertentangan dengan
prinsip rasionalitas.⁷
Okasionalisme juga memiliki dampak dalam
mendefinisikan ulang hubungan manusia dengan Tuhan, di mana makhluk dipahami
sebagai perantara yang bergantung sepenuhnya pada kehendak ilahi. Pendekatan
ini menawarkan pandangan yang lebih mendalam tentang hubungan antara teologi
dan tanggung jawab moral manusia.⁸
7.4. Okasionalisme dan Etika Lingkungan
Prinsip-prinsip okasionalisme juga dapat diterapkan
dalam konteks etika lingkungan. Pendekatan ini menegaskan bahwa alam semesta,
sebagai manifestasi dari kehendak Tuhan, memerlukan penghormatan dan tanggung
jawab dari manusia sebagai khalifah.⁹ Dengan menekankan peran Tuhan sebagai
penyebab utama, Okasionalisme dapat mendorong rasa tanggung jawab yang lebih
besar terhadap pelestarian lingkungan sebagai wujud pengabdian kepada Sang
Pencipta.¹⁰
7.5. Kritik terhadap Okasionalisme dalam Konteks Modern
Meskipun relevan dalam banyak diskursus,
Okasionalisme tetap menghadapi kritik dalam konteks modern. Para filsuf dan
ilmuwan yang menganut naturalisme sering memandang gagasan ini sebagai tidak
ilmiah karena bergantung pada asumsi metafisik yang tidak dapat diverifikasi.¹¹
Selain itu, beberapa teolog modern menganggap bahwa Okasionalisme dapat
melemahkan pemahaman tentang kehendak bebas manusia dan otonomi alam semesta.¹²
7.6. Perspektif Masa Depan Okasionalisme
Dalam dunia yang semakin berfokus pada integrasi
antara agama dan sains, Okasionalisme menawarkan kerangka kerja yang unik untuk
menjembatani dua domain ini. Dengan mengakui keterbatasan ilmu pengetahuan
dalam menjelaskan hubungan sebab-akibat secara mutlak, pendekatan ini dapat
memberikan wawasan yang lebih holistik tentang sifat realitas dan hubungan
antara Tuhan dan alam semesta.¹³
Kesimpulan
Okasionalisme, meskipun lahir dalam konteks sejarah
yang berbeda, tetap memiliki relevansi signifikan dalam konteks modern. Melalui
kontribusinya dalam filsafat, sains, dan teologi, doktrin ini menawarkan
perspektif yang mendalam tentang hubungan sebab-akibat, peran Tuhan dalam alam
semesta, dan tanggung jawab manusia terhadap ciptaan. Meskipun menghadapi
kritik, Okasionalisme terus menjadi topik penting dalam diskusi lintas
disiplin.
Catatan Kaki
[1]
Timothy O'Connor, Theism and Ultimate Explanation: The Necessary
Shape of Contingency (Oxford: Wiley-Blackwell, 2008), 85-87.
[2]
John Polkinghorne, Science and Providence: God's Interaction with the
World (London: SPCK, 1989), 45.
[3]
Alfred North Whitehead, Process and Reality (New York: Free
Press, 1979), 79-81.
[4]
William Lane Craig, Reasonable Faith: Christian Truth and Apologetics
(Wheaton: Crossway, 2008), 93-95.
[5]
John Polkinghorne, Quantum Physics and Theology: An Unexpected
Kinship (New Haven: Yale University Press, 2007), 67-68.
[6]
Stephen Hawking, A Brief History of Time (New York: Bantam,
1988), 121-123.
[7]
Craig, Reasonable Faith, 120.
[8]
Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature (Oxford:
Oxford University Press, 1996), 57.
[9]
Nasr, Religion and the Order of Nature, 68.
[10]
Timothy Morton, Ecology Without Nature: Rethinking Environmental
Aesthetics (Cambridge: Harvard University Press, 2007), 112.
[11]
Richard Dawkins, The God Delusion (Boston: Houghton Mifflin,
2006), 154.
[12]
Alvin Plantinga, Where the Conflict Really Lies: Science, Religion,
and Naturalism (Oxford: Oxford University Press, 2011), 96-97.
[13]
O'Connor, Theism and Ultimate Explanation, 120.
8.
Kritik
terhadap Okasionalisme
Okasionalisme, meskipun memiliki pengaruh besar
dalam tradisi teologi dan filsafat, telah menjadi subjek kritik dari berbagai
pemikir, baik dalam tradisi Islam maupun Barat. Kritik-kritik ini mencakup
aspek teologis, filosofis, dan ilmiah, yang menantang asumsi dasar tentang
hubungan sebab-akibat, peran Tuhan, dan otonomi makhluk dalam doktrin ini.
8.1. Kritik dalam Tradisi Islam
Dalam tradisi Islam, salah satu kritik utama
terhadap Okasionalisme datang dari Ibn Rusyd (Averroes). Ia menentang pandangan
Al-Ghazali yang menolak hubungan kausalitas inheren antara sebab dan akibat.
Ibn Rusyd berpendapat bahwa hukum-hukum alam adalah manifestasi dari
kebijaksanaan Tuhan yang dapat dipahami oleh manusia melalui akal.¹ Dengan
demikian, mengingkari hubungan sebab-akibat dianggap merendahkan kemampuan
manusia untuk memahami ciptaan Tuhan dan melibatkan Tuhan dalam intervensi yang
terus-menerus, yang menurutnya tidak diperlukan.²
Ibn Rusyd juga mengkritik Okasionalisme karena
dianggap mereduksi peran hukum alam menjadi sekadar kebiasaan yang tidak
konsisten. Baginya, hukum-hukum alam mencerminkan keteraturan yang disengaja
oleh Tuhan, dan pemahaman atas keteraturan ini adalah salah satu cara manusia
mengenal keagungan-Nya.³
8.2. Kritik Filosofis
Dalam tradisi Barat, kritik terhadap Okasionalisme
muncul dari para filsuf seperti Spinoza dan Leibniz. Spinoza menolak gagasan
bahwa Tuhan secara langsung menjadi penyebab semua kejadian di alam semesta,
karena hal ini bertentangan dengan prinsip determinisme universalnya. Ia
berpendapat bahwa Tuhan dan alam adalah satu kesatuan (Deus sive Natura),
sehingga hukum alam tidak memerlukan intervensi ilahi yang terus-menerus.⁴
Leibniz mengkritik Okasionalisme karena
menganggapnya terlalu bergantung pada intervensi Tuhan yang terus-menerus, yang
menurutnya melemahkan konsep kehendak bebas dan keteraturan dunia.⁵ Dalam
pandangan Leibniz, dunia diciptakan dengan keteraturan sempurna yang
memungkinkan hubungan sebab-akibat bekerja secara independen sesuai dengan
rancangan Tuhan. Konsep pre-established harmony yang ia usulkan adalah
alternatif untuk menjelaskan hubungan antara Tuhan, makhluk, dan alam semesta
tanpa memerlukan intervensi terus-menerus.⁶
8.3. Kritik Epistemologis
David Hume memberikan kritik yang lebih mendasar
terhadap konsep hubungan sebab-akibat, yang juga relevan dengan kritik terhadap
Okasionalisme. Dalam A Treatise of Human Nature, Hume berpendapat bahwa
hubungan sebab-akibat tidak dapat dibuktikan melalui akal murni, melainkan
hanya didasarkan pada kebiasaan manusia untuk mengamati pola tertentu.⁷ Namun,
berbeda dengan Okasionalisme yang mengatributkan pola tersebut kepada kehendak
Tuhan, Hume berpendapat bahwa pola ini adalah hasil dari persepsi manusia,
tanpa memerlukan intervensi ilahi.⁸
Kritik Hume membuka diskusi tentang bagaimana
manusia memahami hubungan kausal dan menantang klaim bahwa hubungan tersebut
sepenuhnya berasal dari kehendak Tuhan. Sebaliknya, ia menyarankan bahwa
hubungan ini hanya dapat diterima sebagai asumsi pragmatis dalam kehidupan
sehari-hari.⁹
8.4. Kritik Ilmiah
Dalam konteks modern, Okasionalisme sering dianggap
tidak ilmiah karena bergantung pada asumsi metafisik yang tidak dapat diuji
secara empiris. Pendekatan ini bertentangan dengan metodologi ilmiah yang
mencari penjelasan berdasarkan hukum alam yang dapat diamati dan diuji.¹⁰
Richard Dawkins, misalnya, mengkritik pendekatan
teologis seperti Okasionalisme karena dianggap menghambat kemajuan ilmiah
dengan mengatributkan fenomena alam kepada kehendak Tuhan, bukan kepada
hukum-hukum alam yang dapat dijelaskan secara rasional.¹¹ Ia berpendapat bahwa
pendekatan seperti ini cenderung menghentikan pencarian pengetahuan lebih
lanjut dengan memberikan jawaban yang tidak dapat diverifikasi.¹²
8.5. Kritik Teologis
Beberapa teolog modern menganggap bahwa Okasionalisme,
meskipun bertujuan untuk memperkuat doktrin tauhid, dapat membawa implikasi
yang problematis terhadap pemahaman tentang kehendak bebas manusia.¹³ Jika
semua tindakan makhluk bergantung sepenuhnya pada kehendak Tuhan, maka ruang
untuk tanggung jawab moral manusia menjadi tidak jelas.¹⁴
Pandangan ini juga menimbulkan tantangan dalam
menjelaskan hubungan antara Tuhan dan kejahatan. Jika Tuhan adalah penyebab
langsung dari segala sesuatu, termasuk kejahatan, maka doktrin ini tampaknya
bertentangan dengan konsep Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Adil.¹⁵
8.6. Relevansi Kritik dalam Diskursus Modern
Meskipun Okasionalisme menghadapi kritik yang
signifikan, doktrin ini tetap relevan dalam diskusi tentang hubungan antara
agama dan sains, serta metafisika modern. Beberapa filsuf kontemporer, seperti
Alvin Plantinga, mencoba merekonstruksi elemen-elemen Okasionalisme untuk
menjawab tantangan ateisme dan naturalisme dalam konteks modern.¹⁶ Namun,
kritik yang diajukan oleh Ibn Rusyd, Spinoza, dan Leibniz menunjukkan perlunya
pendekatan yang lebih holistik untuk menjelaskan hubungan sebab-akibat tanpa
mengorbankan rasionalitas atau doktrin keimanan.
Kesimpulan
Kritik terhadap Okasionalisme mencerminkan
tantangan intelektual yang terus berlanjut dalam memahami hubungan
sebab-akibat, peran Tuhan, dan otonomi makhluk. Meskipun menghadapi kritik
filosofis, epistemologis, dan ilmiah, Okasionalisme tetap menjadi salah satu
doktrin penting yang memengaruhi diskursus teologi dan filsafat. Dengan
memperhatikan kritik-kritik ini, para pemikir modern dapat mengembangkan
pendekatan yang lebih inklusif dan relevan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan
fundamental tentang realitas.
Catatan Kaki
[1]
Averroes (Ibn Rusyd), Tahafut al-Tahafut (The Incoherence of the
Incoherence), trans. Simon van den Bergh (London: Luzac, 1954), 300.
[2]
Ibid., 298.
[3]
Ibid., 303.
[4]
Benedict de Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (London:
Penguin, 1996), 45.
[5]
G.W. Leibniz, Discourse on Metaphysics, trans. George Montgomery
(Chicago: Open Court, 1902), 25-26.
[6]
Ibid., 27.
[7]
David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L.A. Selby-Bigge
(Oxford: Clarendon Press, 1888), 94.
[8]
Ibid., 96.
[9]
Ibid., 100.
[10]
John Polkinghorne, Science and Providence: God's Interaction with the
World (London: SPCK, 1989), 45.
[11]
Richard Dawkins, The God Delusion (Boston: Houghton Mifflin,
2006), 154.
[12]
Ibid., 156.
[13]
William Lane Craig, Reasonable Faith: Christian Truth and Apologetics
(Wheaton: Crossway, 2008), 120.
[14]
Alvin Plantinga, God, Freedom, and Evil (Grand Rapids: Eerdmans,
1974), 89.
[15]
Craig, Reasonable Faith, 123.
[16]
Alvin Plantinga, Where the Conflict Really Lies: Science, Religion,
and Naturalism (Oxford: Oxford University Press, 2011), 96.
9.
Ibrah
dan Manfaat Kajian Okasionalisme
Kajian tentang Okasionalisme tidak hanya memiliki
relevansi teoretis dalam diskursus filsafat dan teologi, tetapi juga memberikan
pelajaran moral, spiritual, dan intelektual yang dapat memperkaya pemahaman
umat manusia tentang hubungan antara Tuhan, makhluk, dan alam semesta. Melalui
pembahasan tentang prinsip-prinsipnya, Okasionalisme menawarkan perspektif yang
memperkuat keimanan, menumbuhkan sikap tawakal, serta membangun harmoni antara
ilmu pengetahuan dan agama.
9.1. Penguatan Tauhid dan Keimanan
Okasionalisme secara langsung memperkuat keyakinan
akan tauhid, yaitu keesaan Tuhan dalam segala aspek kehidupan. Doktrin ini
menegaskan bahwa hanya Tuhan yang memiliki kekuasaan mutlak atas alam semesta
dan segala peristiwa yang terjadi di dalamnya.¹ Dengan memahami bahwa segala
sesuatu terjadi atas kehendak Tuhan, seorang Muslim dapat memperkuat
keimanannya dan menghindari keyakinan yang menyimpang, seperti mempercayai
kekuatan kausalitas independen yang dapat melemahkan prinsip tauhid.²
Al-Ghazali menekankan bahwa pemahaman ini dapat
membawa manusia kepada rasa ketergantungan penuh kepada Tuhan dan meningkatkan
kualitas ibadahnya.³ Sikap ini mendorong seorang hamba untuk selalu mengingat
bahwa segala pencapaian dan tantangan yang dihadapinya adalah bagian dari
kehendak ilahi, sehingga menumbuhkan rasa syukur dan kerendahan hati.
9.2. Menumbuhkan Tawakal dan Ketergantungan kepada Tuhan
Pelajaran lain yang dapat diambil dari
Okasionalisme adalah penanaman sikap tawakal, yaitu menyerahkan sepenuhnya
hasil dari usaha manusia kepada Tuhan. Dalam perspektif ini, meskipun manusia
diwajibkan untuk berusaha, hasil akhirnya tetap berada di tangan Tuhan.⁴ Sikap
ini relevan dalam kehidupan modern, di mana tekanan untuk mencapai kesuksesan
seringkali menyebabkan kecemasan dan ketidakpuasan.
Doktrin Okasionalisme membantu manusia memahami
bahwa ia tidak memiliki kendali penuh atas apa yang terjadi di sekitarnya. Hal
ini dapat mendorong ketenangan batin dan meningkatkan kepercayaan bahwa setiap
kejadian memiliki hikmah yang dikehendaki oleh Tuhan.⁵
9.3. Integrasi antara Ilmu Pengetahuan dan Agama
Okasionalisme juga memberikan wawasan penting dalam
menjembatani hubungan antara ilmu pengetahuan dan agama. Dengan menolak
kausalitas independen, doktrin ini menegaskan bahwa hukum-hukum alam hanyalah
kebiasaan yang ditetapkan oleh Tuhan.⁶ Pendekatan ini memungkinkan terciptanya
harmoni antara keimanan dan penelitian ilmiah, di mana ilmuwan dapat memahami
bahwa eksplorasi terhadap alam semesta adalah bagian dari upaya mengenal
kebesaran Tuhan.⁷
Sebagai contoh, dalam filsafat sains modern, ada
keterbatasan dalam menjelaskan hubungan sebab-akibat di tingkat kuantum.
Okasionalisme memberikan kerangka teologis yang memungkinkan pemahaman bahwa
ketidakpastian dalam ilmu pengetahuan adalah manifestasi dari kehendak Tuhan
yang tidak terbatas.⁸
9.4. Mengajarkan Kerendahan Hati Intelektual
Kajian Okasionalisme juga mengajarkan bahwa
manusia, dengan segala keterbatasannya, tidak dapat sepenuhnya memahami rahasia
alam semesta tanpa bimbingan Tuhan. Ibn Arabi, meskipun tidak secara langsung
menganut Okasionalisme, berbicara tentang keterbatasan akal manusia dalam
memahami hubungan sebab-akibat, mengajarkan bahwa ilmu pengetahuan sejati hanya
dapat diperoleh melalui kesadaran akan kekuasaan Tuhan.⁹
Pandangan ini dapat menginspirasi manusia modern
untuk menghormati keterbatasan akal dan tidak mengklaim bahwa sains telah
menjawab semua pertanyaan tentang eksistensi. Sikap ini relevan dalam
menghadapi krisis etika global, di mana eksplorasi ilmiah seringkali tidak
disertai dengan pertimbangan moral dan spiritual.
9.5. Meningkatkan Kesadaran Lingkungan
Okasionalisme juga dapat memberikan dorongan etis
untuk menjaga lingkungan. Dengan memahami bahwa alam adalah perwujudan kehendak
Tuhan, manusia dapat melihat dunia sebagai amanah yang harus dijaga.¹⁰ Sikap
ini sesuai dengan prinsip Islam tentang tanggung jawab manusia sebagai khalifah
di bumi.¹¹
Kesimpulan
Kajian tentang Okasionalisme tidak hanya
berkontribusi pada diskursus teoretis, tetapi juga memberikan ibrah dan manfaat
praktis yang signifikan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan memperkuat
keimanan, menumbuhkan tawakal, dan mengintegrasikan agama dengan ilmu
pengetahuan, doktrin ini dapat menjadi landasan untuk membangun kehidupan yang
lebih harmonis dan bermakna. Melalui pendekatan yang menghormati kekuasaan
Tuhan dan keterbatasan manusia, Okasionalisme menawarkan perspektif yang
relevan untuk menjawab tantangan spiritual dan intelektual di era modern.
Catatan Kaki
[1]
Abu al-Hasan al-Ash'ari, Kitab al-Luma' (Beirut: Dar al-Mashriq,
1985), 50.
[2]
Abu Hamid Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah (London: E.J.W. Gibb
Memorial Trust, 1997), 166.
[3]
Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, trans. Nabih Amin Faris (Lahore:
Sh. Muhammad Ashraf, 1962), 45.
[4]
Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity
(San Francisco: HarperSanFrancisco, 2002), 89.
[5]
Timothy O'Connor, Theism and Ultimate Explanation: The Necessary
Shape of Contingency (Oxford: Wiley-Blackwell, 2008), 85.
[6]
Steven Nadler, Occasionalism: Causation Among the Cartesians
(Oxford: Oxford University Press, 2010), 12.
[7]
John Polkinghorne, Science and Providence: God's Interaction with the
World (London: SPCK, 1989), 67.
[8]
Polkinghorne, Quantum Physics and Theology: An Unexpected Kinship
(New Haven: Yale University Press, 2007), 45.
[9]
William Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-Arabi's
Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 112.
[10]
Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature (Oxford:
Oxford University Press, 1996), 55.
[11]
Nasr, Religion and the Order of Nature, 57.
10. Penutup
Okasionalisme adalah salah satu doktrin filsafat
dan teologi yang memberikan perspektif mendalam tentang hubungan antara Tuhan,
makhluk, dan alam semesta. Melalui penegasan bahwa Tuhan adalah satu-satunya
penyebab sejati (causa vera), doktrin ini menawarkan kerangka kerja
metafisik dan teologis yang tidak hanya memperkuat prinsip tauhid,
tetapi juga memberikan wawasan baru dalam diskusi hubungan sebab-akibat, hukum
alam, dan peran manusia dalam kosmos.
10.1. Rekapitulasi dan Refleksi
Kajian tentang Okasionalisme mencakup analisis
mendalam terhadap sejarah, prinsip-prinsip, dan implikasinya dalam berbagai
bidang. Dalam tradisi Islam, doktrin ini berkembang melalui pemikiran
tokoh-tokoh seperti Al-Ghazali dan Al-Ash'ari, yang menekankan ketergantungan
total makhluk kepada Tuhan.¹ Dalam tradisi Barat, gagasan ini diadopsi oleh
filsuf seperti Nicolas Malebranche, yang menggunakan Okasionalisme untuk
menjelaskan hubungan antara Tuhan, jiwa, dan tubuh.²
Melalui analisis sejarah dan kritik yang mendalam,
kita memahami bahwa Okasionalisme tidak hanya berfungsi sebagai respons
terhadap tantangan filsafat klasik, tetapi juga sebagai sarana untuk memperkuat
keyakinan akan keesaan Tuhan dalam konteks yang lebih luas.³
10.2. Relevansi Kontemporer
Dalam konteks modern, Okasionalisme memiliki
relevansi yang signifikan. Dengan menegaskan bahwa hukum-hukum alam adalah
kebiasaan yang ditetapkan oleh Tuhan, doktrin ini memberikan landasan untuk
integrasi antara agama dan sains.⁴ Hal ini penting dalam era di mana pencarian
makna spiritual sering kali diabaikan dalam diskursus ilmiah.
Selain itu, Okasionalisme dapat menjadi kerangka
kerja etis untuk menghadapi tantangan global, seperti krisis lingkungan dan
disrupsi teknologi.⁵ Dengan memandang alam sebagai manifestasi kehendak Tuhan,
manusia diingatkan akan tanggung jawabnya sebagai khalifah untuk menjaga dan
melestarikan alam semesta.⁶
10.3. Keterbatasan dan Tantangan
Meskipun memberikan kontribusi besar, Okasionalisme
tidak lepas dari kritik. Para pemikir seperti Ibn Rusyd, Leibniz, dan Spinoza
telah mengajukan keberatan atas doktrin ini, terutama dalam hal otonomi makhluk
dan penerapan hukum alam.⁷ Kritik ini menunjukkan bahwa meskipun Okasionalisme
menawarkan penjelasan teologis yang kuat, ia memerlukan pendekatan yang lebih
holistik untuk menjembatani perbedaan antara metafisika, teologi, dan sains
modern.⁸
10.4. Penutup dan Harapan
Sebagai kesimpulan, Okasionalisme adalah doktrin
yang mengajarkan manusia untuk melihat alam semesta sebagai hasil dari kehendak
Tuhan yang Maha Kuasa. Dalam konteks ini, ia memberikan inspirasi bagi pembaca
modern untuk merenungkan keterbatasan akal dan menghargai kebijaksanaan ilahi
yang tercermin dalam keteraturan alam.⁹
Harapannya, kajian ini dapat menjadi landasan bagi
pengembangan diskusi yang lebih luas tentang hubungan antara agama dan sains,
serta membantu memperkuat iman dan etika dalam menghadapi tantangan dunia
modern. Seperti yang diungkapkan Al-Ghazali, memahami peran Tuhan dalam setiap
aspek kehidupan bukan hanya memperkuat keimanan, tetapi juga memberikan
kedamaian dalam menjalani kehidupan.¹⁰
Catatan Kaki
[1]
Abu al-Hasan al-Ash'ari, Kitab al-Luma' (Beirut: Dar al-Mashriq,
1985), 50.
[2]
Nicolas Malebranche, Dialogues on Metaphysics and on Religion,
trans. David Scott (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 23-25.
[3]
Abu Hamid Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah (London: E.J.W. Gibb
Memorial Trust, 1997), 167.
[4]
John Polkinghorne, Science and Providence: God's Interaction with the
World (London: SPCK, 1989), 45.
[5]
Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature (Oxford:
Oxford University Press, 1996), 57.
[6]
Nasr, Religion and the Order of Nature, 60.
[7]
Averroes (Ibn Rusyd), Tahafut al-Tahafut (The Incoherence of the
Incoherence), trans. Simon van den Bergh (London: Luzac, 1954), 303.
[8]
G.W. Leibniz, Discourse on Metaphysics, trans. George Montgomery
(Chicago: Open Court, 1902), 25-27.
[9]
William Lane Craig, Reasonable Faith: Christian Truth and Apologetics
(Wheaton: Crossway, 2008), 123.
[10]
Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, trans. Nabih Amin Faris (Lahore:
Sh. Muhammad Ashraf, 1962), 67.
Daftar Pustaka
Al-Ash'ari, A. al-H. (1985). Kitab al-Luma'.
Beirut: Dar al-Mashriq.
Al-Ghazali, A. H. (1997). Tahafut al-Falasifah
(The Incoherence of the Philosophers). London: E.J.W. Gibb Memorial Trust.
Al-Ghazali, A. H. (1962). Ihya Ulum al-Din
(Revival of the Religious Sciences) (N. A. Faris, Trans.). Lahore: Sh. Muhammad
Ashraf.
Aristotle. (1924). Metaphysics (W. D. Ross,
Trans.). Oxford: Oxford University Press.
Averroes (Ibn Rushd). (1954). Tahafut al-Tahafut
(The Incoherence of the Incoherence) (S. van den Bergh, Trans.). London: Luzac.
Chittick, W. (1989). The Sufi Path of Knowledge:
Ibn al-Arabi's Metaphysics of Imagination. Albany: SUNY Press.
Craig, W. L. (2008). Reasonable Faith: Christian
Truth and Apologetics. Wheaton: Crossway.
Dawkins, R. (2006). The God Delusion.
Boston: Houghton Mifflin.
Descartes, R. (1993). Meditations on First
Philosophy (D. A. Cress, Trans.). Indianapolis: Hackett.
Gutas, D. (2001). Avicenna and the Aristotelian
Tradition: Introduction to Reading Avicenna’s Philosophical Works. Leiden:
Brill.
Hawking, S. (1988). A Brief History of Time.
New York: Bantam.
Hume, D. (1888). A Treatise of Human Nature
(L. A. Selby-Bigge, Ed.). Oxford: Clarendon Press.
Leibniz, G. W. (1902). Discourse on Metaphysics
(G. Montgomery, Trans.). Chicago: Open Court.
Malebranche, N. (1997). Dialogues on Metaphysics
and on Religion (D. Scott, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.
Malebranche, N. (1997). The Search After Truth
(T. M. Lennon & P. J. Olscamp, Trans.). Cambridge: Cambridge University
Press.
Morton, T. (2007). Ecology Without Nature:
Rethinking Environmental Aesthetics. Cambridge: Harvard University Press.
Nadler, S. (2010). Occasionalism: Causation
Among the Cartesians. Oxford: Oxford University Press.
Nasr, S. H. (1996). Religion and the Order of
Nature. Oxford: Oxford University Press.
Nasr, S. H. (2002). The Heart of Islam: Enduring
Values for Humanity. San Francisco: HarperSanFrancisco.
O'Connor, T. (2008). Theism and Ultimate
Explanation: The Necessary Shape of Contingency. Oxford: Wiley-Blackwell.
Plantinga, A. (1974). God, Freedom, and Evil.
Grand Rapids: Eerdmans.
Plantinga, A. (2011). Where the Conflict Really
Lies: Science, Religion, and Naturalism. Oxford: Oxford University Press.
Plotinus. (1969). The Enneads (S. MacKenna,
Trans.). London: Faber and Faber.
Polkinghorne, J. (1989). Science and Providence:
God's Interaction with the World. London: SPCK.
Polkinghorne, J. (2007). Quantum Physics and
Theology: An Unexpected Kinship. New Haven: Yale University Press.
Spinoza, B. (1996). Ethics (E. Curley,
Trans.). London: Penguin.
Whitehead, A. N. (1979). Process and Reality.
New York: Free Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar