Yahudi dalam Perspektif Al-Qur'an
1.
Pendahuluan
Kajian tentang golongan Yahudi dalam perspektif
Al-Qur'an merupakan salah satu topik yang penting untuk dipahami secara
mendalam, terutama dalam konteks dinamika hubungan antarumat beragama dan
sejarah perkembangan peradaban manusia. Al-Qur'an secara eksplisit menyebutkan
Yahudi dalam berbagai ayat dengan karakteristik, kisah, serta pelajaran moral
yang sangat berharga bagi umat Islam. Untuk memahami secara komprehensif
bagaimana Al-Qur'an menggambarkan Yahudi, pendekatan berbasis tafsir klasik dan
penjelasan ulama menjadi sangat relevan, mengingat tafsir klasik menyajikan
penjelasan otoritatif berdasarkan keilmuan dan tradisi Islam yang kuat.
1.1. Latar Belakang Pentingnya Kajian
Kajian ini memiliki urgensi karena istilah Yahudi
tidak hanya menunjuk pada satu golongan agama tertentu, tetapi juga terkait
dengan aspek historis, teologis, dan sosiologis. Dalam Al-Qur'an, Yahudi sering
diasosiasikan dengan Bani Israil, yakni umat yang diberikan kitab Taurat oleh
Allah Swt. Namun, Al-Qur'an juga menyoroti perilaku Yahudi, baik yang positif
seperti ketaatan sebagian mereka kepada Taurat (QS. Al-Maidah [05] ayat 44),
maupun yang negatif seperti pelanggaran terhadap janji Allah (QS. Al-Baqarah
[02] ayat 100) dan pengubahan ayat-ayat Taurat (QS. Al-Baqarah [02] ayat 79).
Penjelasan ini memperlihatkan bahwa Yahudi dalam Al-Qur'an tidak dapat dipahami
hanya dalam satu dimensi saja, melainkan harus mencakup berbagai aspek
berdasarkan ayat-ayat Al-Qur'an dan penafsiran ulama.
1.2. Tujuan Kajian
Artikel ini bertujuan menjawab tiga pertanyaan
utama:
1)
Siapakah golongan yang disebut dengan Yahudi dalam Al-Qur'an?
2)
Bagaimana Al-Qur'an menilai orang-orang Yahudi?
3)
Apakah istilah Yahudi yang sekarang memiliki maksud yang sama dengan
yang disebutkan dalam Al-Qur'an?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut,
artikel ini akan menggunakan pendekatan tafsir klasik seperti Tafsir
Al-Thabari, Tafsir Al-Qurthubi, dan Tafsir Ibnu Katsir yang
telah menjadi rujukan otoritatif dalam studi Islam. Pendekatan ini juga
diperkuat dengan pendapat ulama klasik dan kontemporer untuk memastikan
pemahaman yang holistik dan kontekstual.
1.3. Metode Kajian
Pendekatan yang digunakan dalam artikel ini adalah
metode tafsir maudhū‘i (tematik), yaitu mengumpulkan ayat-ayat yang relevan
tentang Yahudi dalam Al-Qur'an, kemudian menafsirkan ayat-ayat tersebut
berdasarkan pendapat para mufasir klasik. Penafsiran ini tidak hanya mencakup
analisis teks, tetapi juga mempertimbangkan konteks sejarah dan latar belakang
turunnya ayat (asbāb an-nuzūl) yang dijelaskan oleh ulama seperti
Al-Wahidi dalam Asbāb an-Nuzūl.
Kajian ini juga mempertimbangkan perbedaan antara
Yahudi dalam konteks Al-Qur'an dan Yahudi dalam pemahaman modern, yang sering
kali memiliki dimensi politik, etnis, atau budaya yang tidak sepenuhnya identik
dengan deskripsi dalam Al-Qur'an. Sebagai contoh, Al-Qur'an berbicara tentang
Yahudi sebagai kelompok yang memiliki hubungan dengan kitab suci Taurat,
sementara istilah Yahudi modern sering mencakup identitas etnis dan nasional
yang lebih luas.
1.4. Relevansi Kajian
Dengan pendekatan ini, diharapkan artikel ini tidak
hanya memberikan pemahaman mendalam tentang golongan Yahudi dalam Al-Qur'an,
tetapi juga memberikan wawasan tentang bagaimana umat Islam dapat mengambil
pelajaran (ibrah) dari ayat-ayat tersebut. Penekanan pada keilmuan
berbasis tafsir klasik juga penting untuk memastikan interpretasi yang
otoritatif dan tidak menyimpang dari tradisi Islam.
Catatan Kaki
[1]
Al-Qur'an, QS. Al-Baqarah: 79.
[2]
Muhammad bin Jarir Al-Thabari, Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān,
Juz 1, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 2001), hlm. 202.
[3]
Abu Abdullah Al-Qurthubi, Al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān, Juz 2,
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2006), hlm. 47.
[4]
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’ān al-‘Aẓīm, Juz 1, (Riyadh:
Darussalam, 2000), hlm. 150.
[5]
Al-Wahidi, Asbāb an-Nuzūl, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,
1994), hlm. 45.
2.
Definisi
dan Identifikasi Golongan Yahudi dalam Al-Qur'an
2.1. Makna Istilah "Yahudi" dalam
Bahasa dan Terminologi Al-Qur'an
Istilah Yahudi
berasal dari akar kata h-w-d dalam bahasa Arab, yang
memiliki berbagai makna, termasuk "kembali" atau "bertaubat".
Dalam Al-Qur'an, istilah ini merujuk kepada golongan tertentu yang memiliki
hubungan dengan Bani Israil dan Taurat. Tafsir Al-Thabari menjelaskan bahwa Yahudi
adalah nama yang diberikan kepada orang-orang yang mengikuti ajaran Musa as.
dan Taurat setelah peristiwa penyembahan anak sapi, sebagai tanda kembalinya
mereka kepada Allah Swt (QS. Al-Baqarah [02] ayat 54).¹
وَإِذْ قَالَ مُوسَىٰ لِقَوْمِهِ يَا قَوْمِ إِنَّكُمْ
ظَلَمْتُمْ أَنْفُسَكُمْ بِاتِّخَاذِكُمُ الْعِجْلَ فَتُوبُوا إِلَىٰ بَارِئِكُمْ
فَاقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ عِنْدَ بَارِئِكُمْ فَتَابَ
عَلَيْكُمْ ۚ
Artinya: “Dan
(ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: "Hai kaumku,
sesungguhnya kamu telah menganiaya dirimu sendiri karena kamu telah menjadikan
anak lembu (sembahanmu), maka bertaubatlah kepada Tuhan yang menjadikan
kamu dan bunuhlah dirimu. Hal itu adalah lebih baik bagimu pada sisi Tuhan yang
menjadikan kamu; maka Allah akan menerima taubatmu.".”
Ulama seperti
Al-Raghib Al-Asfahani dalam Al-Mufradat fi Gharib Al-Qur'an
juga menegaskan bahwa istilah Yahudi menunjukkan identitas
keagamaan yang spesifik, yaitu mereka yang menjadi Ahli Kitab dan diberi
petunjuk dalam Taurat, meskipun
kemudian banyak di antara mereka menyimpang dari ajaran tersebut.²
2.2. Golongan Yahudi sebagai Ahli Kitab
Dalam Al-Qur'an,
Yahudi sering diasosiasikan dengan Ahli Kitab, yaitu kelompok yang menerima
kitab suci sebelum Al-Qur'an.
Al-Qur'an mengakui keberadaan kitab Taurat sebagai wahyu yang diturunkan kepada
Nabi Musa as., sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Maidah [05] ayat 44:
إِنَّا أَنْزَلْنَا التَّوْرَاةَ فِيهَا هُدًى وَنُورٌ
Artinya: "Sesungguhnya
Kami telah menurunkan Taurat, di dalamnya ada petunjuk dan cahaya..."³
Namun, Al-Qur'an
juga menyoroti bagaimana sebagian orang Yahudi melanggar isi kitab tersebut,
mengubah ayat-ayatnya, dan menutup-nutupi kebenaran (QS. Al-Baqarah [02] ayat
75, 79). Tafsir Ibnu Katsir menambahkan bahwa ayat ini menunjukkan sifat
sebagian Yahudi yang sering mengubah teks Taurat sesuai keinginan mereka, meskipun mereka mengetahui kebenaran
kitab tersebut.⁴
أَفَتَطْمَعُونَ أَنْ يُؤْمِنُوا لَكُمْ وَقَدْ كَانَ
فَرِيقٌ مِنْهُمْ يَسْمَعُونَ كَلَامَ اللَّهِ ثُمَّ يُحَرِّفُونَهُ مِنْ بَعْدِ
مَا عَقَلُوهُ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
Artinya: “Apakah
kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, padahal segolongan dari
mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka
memahaminya, sedang mereka mengetahui?” (QS. Al-Baqarah [02] ayat 75)
فَوَيْلٌ لِلَّذِينَ يَكْتُبُونَ الْكِتَابَ بِأَيْدِيهِمْ
ثُمَّ يَقُولُونَ هَٰذَا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ لِيَشْتَرُوا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا ۖ
فَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا كَتَبَتْ أَيْدِيهِمْ وَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا يَكْسِبُونَ
Artinya: “Maka
kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al Kitab dengan tangan
mereka sendiri, lalu dikatakannya; "Ini dari Allah", (dengan
maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka
kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang ditulis oleh tangan
mereka sendiri, dan kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang
mereka kerjakan.” (QS. Al-Baqarah [02] ayat 79)
Sebagai Ahli Kitab,
Yahudi memiliki posisi khusus dalam Islam, terutama dalam hal interaksi sosial
dan hukum. Misalnya, Islam mengizinkan pernikahan dengan perempuan Ahli Kitab
dan menghalalkan makanan mereka (QS. Al-Maidah [05] ayat 5). Tafsir Al-Qurthubi
menjelaskan bahwa ini adalah bentuk
penghormatan terhadap kitab suci mereka, meskipun umat Islam tetap diajarkan
untuk berhati-hati terhadap penyimpangan yang dilakukan sebagian dari mereka.⁵
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ ۖ
وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ ۖ
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ
مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ
مُسَافِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ ۗ
Artinya: “Pada
hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang
yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi
mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan
diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan
di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah
membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud
berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.”
2.3. Perbedaan Yahudi dalam Konteks Zaman Rasulullah
Saw. dan Masa Kini
Yahudi dalam konteks
Al-Qur'an terutama merujuk kepada komunitas keagamaan yang tinggal di jazirah
Arab, seperti di Madinah (Bani Qainuqa, Bani Nadhir, dan Bani Quraizhah).
Mereka memiliki hubungan sejarah yang erat dengan Bani Israil, sebagai
keturunan Nabi Ya'qub as. Namun, dalam konteks modern, istilah "Yahudi"
sering kali mencakup dimensi etnis, budaya, dan politik, seperti yang tercermin
dalam Zionisme.
Al-Qur'an menyoroti
Yahudi sebagai umat yang diberi banyak karunia, termasuk kitab Taurat, tetapi
juga mengkritik penyimpangan mereka. Tafsir Al-Baghawi menegaskan bahwa kritik
Al-Qur'an terhadap Yahudi tidak berlaku untuk semua individu Yahudi, melainkan
kepada mereka yang melanggar ajaran Taurat dan melakukan kezaliman.⁶
Perbedaan ini
penting untuk dipahami agar umat Islam dapat membedakan antara Yahudi sebagai
golongan keagamaan di masa lalu dan realitas Yahudi modern yang lebih kompleks.
Misalnya, banyak orang Yahudi saat ini yang tidak lagi mengikuti ajaran Taurat
secara religius, tetapi tetap mengidentifikasi diri sebagai Yahudi secara
etnis. Hal ini berbeda dengan deskripsi Yahudi dalam Al-Qur'an yang berpusat
pada identitas keagamaan.
Catatan Kaki
[1]
Muhammad bin Jarir
Al-Thabari, Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān,
Juz 1, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 2001), hlm. 202.
[2]
Al-Raghib Al-Asfahani, Al-Mufradat
fi Gharib Al-Qur'an, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2005), hlm. 55.
[3]
Al-Qur'an, QS. Al-Maidah:
44.
[4]
Ibnu Katsir, Tafsir
al-Qur’ān al-‘Aẓīm, Juz 1, (Riyadh: Darussalam, 2000), hlm. 300.
[5]
Abu Abdullah Al-Qurthubi, Al-Jāmi‘
li Aḥkām al-Qur’ān, Juz 6, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,
2006), hlm. 110.
[6]
Al-Baghawi, Ma‘ālim
at-Tanzīl, Juz 1, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), hlm.
145.
3.
Penilaian
Al-Qur'an terhadap Orang-Orang Yahudi
3.1. Ayat-Ayat tentang Karakteristik dan Perilaku Orang
Yahudi
Al-Qur'an secara
tegas menggambarkan berbagai karakteristik orang-orang Yahudi, baik yang
mencerminkan kebaikan maupun pelanggaran mereka terhadap ajaran Allah. Dalam
QS. Al-Maidah [05] ayat 44, Allah menyebutkan bahwa Taurat adalah kitab yang
menjadi sumber petunjuk dan cahaya bagi orang Yahudi:
إِنَّا أَنْزَلْنَا التَّوْرَاةَ فِيهَا هُدًى وَنُورٌ
Artinya: "Sesungguhnya
Kami telah menurunkan Taurat, di dalamnya ada petunjuk dan cahaya..."¹
Ayat ini menunjukkan
bahwa sebagian orang Yahudi, khususnya para nabi dan pengikut setia mereka,
mematuhi perintah Taurat dan hidup dalam ketaatan kepada Allah. Tafsir Ibnu
Katsir menjelaskan bahwa mereka yang mematuhi Taurat mendapatkan kehormatan
sebagai pemimpin umat di masanya.²
Namun, banyak ayat
Al-Qur'an yang juga mengkritik keras perilaku sebagian Yahudi. Dalam QS.
Al-Baqarah [02] ayat 79, Al-Qur'an mengecam mereka yang mengubah kitab suci dan
menjualnya dengan harga murah:
فَوَيْلٌ لِلَّذِينَ يَكْتُبُونَ الْكِتَابَ بِأَيْدِيهِمْ
ثُمَّ يَقُولُونَ هَٰذَا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ لِيَشْتَرُوا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا ۖ
Artinya: "Maka
celakalah orang-orang yang menulis kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu
mengatakan: ‘Ini dari Allah’, untuk menjualnya dengan harga yang murah."³
Menurut Al-Thabari,
ayat ini merujuk pada tindakan sebagian orang Yahudi yang memalsukan Taurat
demi keuntungan duniawi, sehingga menyesatkan umat dari kebenaran.⁴
Al-Qur'an juga
menyoroti sifat keras kepala dan pembangkangan mereka terhadap perintah Allah,
seperti dalam QS. Al-Baqarah [02] ayat 55–56, ketika mereka meminta untuk
melihat Allah secara langsung, tetapi kemudian dihukum dengan kematian sebagai
peringatan atas kesombongan mereka.⁵ Al-Qurthubi dalam tafsirnya menegaskan
bahwa kisah ini adalah pelajaran bagi umat Islam agar tidak meniru kesalahan
mereka dalam mempertanyakan kekuasaan Allah.⁶
وَإِذْ قُلْتُمْ يَا مُوسَىٰ لَنْ نُؤْمِنَ لَكَ حَتَّىٰ
نَرَى اللَّهَ جَهْرَةً فَأَخَذَتْكُمُ الصَّاعِقَةُ وَأَنْتُمْ تَنْظُرُونَ (55)
ثُمَّ بَعَثْنَاكُمْ مِنْ بَعْدِ مَوْتِكُمْ
لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (56)
Artinya: “Dan
(ingatlah), ketika kamu berkata: "Hai Musa, kami tidak akan beriman
kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang, karena itu kamu disambar
halilintar, sedang kamu menyaksikannya". {55} Setelah itu Kami
bangkitkan kamu sesudah kamu mati, supaya kamu bersyukur. {56}”
3.2. Tafsir Klasik tentang Ayat-Ayat Terkait Yahudi
Para mufasir klasik memberikan
penjelasan yang mendalam tentang ayat-ayat yang berkaitan dengan Yahudi, baik
dalam hal pujian maupun celaan. Berikut adalah beberapa penafsiran penting:
·
Tafsir Positif:
Dalam QS. Al-Maidah [05] ayat 69, Al-Qur'an
menyebutkan bahwa di antara orang Yahudi ada yang tetap beriman kepada Allah
dan hari akhir serta beramal saleh:
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا
وَالَّذِينَ هَادُوا وَالصَّابِئُونَ وَالنَّصَارَىٰ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ
يَحْزَنُونَ
Artinya: "Sesungguhnya
orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, Shabi’in, dan Nasrani—barang
siapa beriman kepada Allah, hari akhir, dan beramal saleh, maka tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati."
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat ini merujuk
kepada segelintir Yahudi yang benar-benar mengikuti ajaran Taurat dan tidak
menyimpang dari perintah Allah.⁷
·
Tafsir Negatif:
Sebaliknya, QS. Al-Ma’idah [05] ayat 13 mencatat
bahwa sebagian besar orang Yahudi sering kali melanggar janji mereka kepada
Allah:
فَبِمَا نَقْضِهِمْ مِيثَاقَهُمْ
لَعَنَّاهُمْ وَجَعَلْنَا قُلُوبَهُمْ قَاسِيَةً ۖ
Artinya: "Maka disebabkan mereka
melanggar perjanjian, Kami melaknat mereka dan menjadikan hati mereka
keras..."
Al-Baghawi menafsirkan bahwa pelanggaran ini
termasuk tindakan mengubah isi Taurat, pembunuhan para nabi, dan pembangkangan
terhadap hukum Allah.⁸
3.3. Pelajaran Moral dan Hikmah untuk Umat Islam
Al-Qur'an
menyebutkan kisah-kisah tentang Yahudi sebagai peringatan dan pelajaran moral
bagi umat Islam. Dalam QS. An-Nisa [04] ayat 32, umat Islam diajarkan untuk
menjauhi sifat-sifat tercela seperti iri hati, pelanggaran perjanjian, dan
pengubahan kebenaran demi keuntungan duniawi.
وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا
فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ ۚ
Artinya: “Dan
janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian
kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain.”
Tafsir Al-Qurthubi
menegaskan bahwa kritik terhadap Yahudi bukanlah bentuk permusuhan mutlak,
melainkan pelajaran agar umat Islam memperkuat keimanan dan akhlak mereka.⁹
Di sisi lain,
Al-Qur'an juga menekankan pentingnya berlaku adil, bahkan terhadap musuh. Dalam
QS. Al-Maidah [05] ayat 8, Allah berfirman:
وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا
تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا
هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ
Artinya: "Janganlah
kebencian kalian terhadap suatu kaum membuat kalian berlaku tidak adil. Berlaku
adillah, karena keadilan itu lebih dekat kepada takwa."
Hal ini mengajarkan
umat Islam untuk tidak terpengaruh oleh prasangka atau kebencian ketika
berinteraksi dengan orang Yahudi atau kelompok lainnya.
Catatan Kaki
[1]
Al-Qur'an, QS. Al-Maidah:
44.
[2]
Ibnu Katsir, Tafsir
al-Qur’ān al-‘Aẓīm, Juz 2, (Riyadh: Darussalam, 2000), hlm. 100.
[3]
Al-Qur'an, QS. Al-Baqarah:
79.
[4]
Muhammad bin Jarir
Al-Thabari, Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān,
Juz 1, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 2001), hlm. 250.
[5]
Al-Qur'an, QS. Al-Baqarah:
55–56.
[6]
Abu Abdullah Al-Qurthubi, Al-Jāmi‘
li Aḥkām al-Qur’ān, Juz 1, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,
2006), hlm. 150.
[7]
Ibnu Katsir, Tafsir
al-Qur’ān al-‘Aẓīm, Juz 2, hlm. 120.
[8]
Al-Baghawi, Ma‘ālim
at-Tanzīl, Juz 2, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), hlm.
45.
[9]
Abu Abdullah Al-Qurthubi, Al-Jāmi‘
li Aḥkām al-Qur’ān, Juz 6, hlm. 200.
4.
Perbandingan
Istilah Yahudi dalam Al-Qur'an dan Konteks Kontemporer
4.1. Kesamaan dan Perbedaan Istilah Yahudi
Dalam Al-Qur'an,
istilah Yahudi
merujuk kepada kelompok yang memiliki hubungan erat dengan Nabi Musa as. dan
kitab Taurat. Mereka adalah bagian dari Bani Israil yang telah menerima
petunjuk dari Allah Swt. Dalam QS. Al-Baqarah [02] ayat 47, Allah berfirman:
يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ اذْكُرُوا نِعْمَتِيَ الَّتِي
أَنْعَمْتُ عَلَيْكُمْ وَأَنِّي فَضَّلْتُكُمْ عَلَى الْعَالَمِينَ
Artinya: "Wahai
Bani Israil, ingatlah nikmat-Ku yang telah Aku berikan kepadamu dan Aku telah
melebihkan kamu atas segala umat (di masa itu)."¹
Tafsir Al-Qurthubi
menjelaskan bahwa kelebihan yang diberikan kepada Bani Israil meliputi
pengutusan banyak nabi di kalangan mereka, kitab suci Taurat, dan
mukjizat-mukjizat yang luar biasa.² Namun, istilah Yahudi dalam Al-Qur'an lebih
spesifik kepada komunitas agama yang mengikuti ajaran Musa as., berbeda dengan
pengertian modern yang sering kali mencakup dimensi etnis dan politik.
Dalam konteks
kontemporer, istilah "Yahudi" lebih luas cakupannya, tidak
hanya mencakup komunitas keagamaan tetapi juga kelompok etnis dan budaya. Dalam
dunia modern, istilah Yahudi sering dikaitkan dengan Zionisme, gerakan politik
yang muncul pada abad ke-19 untuk mendirikan negara Yahudi di Palestina.³
Perbedaan ini menandakan bahwa istilah Yahudi dalam Al-Qur'an lebih terkait
dengan dimensi teologis dan keagamaan daripada dengan dimensi nasionalisme atau
politik yang menjadi ciri khas Yahudi modern.
4.2. Analisis Keterangan Ulama tentang Yahudi Modern
Para ulama klasik
tidak membahas konsep Yahudi sebagai identitas etnis atau politik karena hal
ini tidak relevan pada masa mereka. Fokus ulama klasik adalah pada Yahudi
sebagai Ahli Kitab dan umat yang diberi kitab Taurat. Misalnya, Ibnu Katsir
dalam tafsirnya menyebutkan bahwa Al-Qur'an berbicara tentang perilaku mereka
dalam konteks keagamaan, seperti pelanggaran terhadap hukum Taurat dan
penolakan mereka terhadap para nabi.⁴
Ulama kontemporer
seperti Sayyid Qutb dalam Fi Zilal al-Qur'an menyoroti
perubahan makna Yahudi dalam era modern. Menurutnya, Yahudi masa kini telah
jauh dari identitas spiritual mereka yang berbasis pada kitab Taurat, dan
banyak di antara mereka yang mengidentifikasi diri berdasarkan garis keturunan
atau afiliasi politik.⁵ Hal ini berbeda dengan deskripsi dalam Al-Qur'an, yang
selalu mengaitkan Yahudi dengan ajaran Taurat dan keimanan kepada Allah.
4.3. Implikasi terhadap Pemahaman Islam tentang Yahudi
Modern
Perbedaan konsep
Yahudi dalam Al-Qur'an dan dunia modern memiliki implikasi yang signifikan
terhadap bagaimana umat Islam memahami dan berinteraksi dengan mereka. Dalam
Al-Qur'an, Yahudi disebut sebagai Ahli Kitab yang memiliki kedudukan khusus,
seperti halalnya makanan mereka dan diizinkannya pernikahan dengan perempuan
mereka (QS. Al-Maidah [05] ayat 5). Namun, hal ini berlaku dalam konteks
keagamaan, yaitu mereka yang benar-benar mengikuti ajaran Taurat.⁶
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ ۖ
وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ ۖ
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ
مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ
مُسَافِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ ۗ
Artinya: “Pada
hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang
yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi
mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan
diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan
di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah
membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud
berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.
Dalam dunia modern,
di mana identitas Yahudi lebih sering ditentukan oleh faktor etnis atau
politik, pendekatan yang diambil umat Islam harus memperhatikan konteks sosial
dan historis. Al-Qur'an mengajarkan umat Islam untuk berlaku adil terhadap
semua kelompok, termasuk Yahudi, tanpa mengabaikan pelajaran dari kisah-kisah
mereka dalam Al-Qur'an (QS. Al-Maidah [05] ayat 8). Tafsir Al-Baghawi
menekankan bahwa umat Islam harus menghindari sifat-sifat tercela yang
dicontohkan oleh sebagian Yahudi dalam Al-Qur'an, tetapi tidak boleh berlaku
zalim kepada siapa pun, termasuk Yahudi modern.⁷
وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا
تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا
هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ
Artinya: "Janganlah
kebencian kalian terhadap suatu kaum membuat kalian berlaku tidak adil. Berlaku
adillah, karena keadilan itu lebih dekat kepada takwa."
Catatan Kaki
[1]
Al-Qur'an, QS. Al-Baqarah:
47.
[2]
Abu Abdullah Al-Qurthubi, Al-Jāmi‘
li Aḥkām al-Qur’ān, Juz 2, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,
2006), hlm. 75.
[3]
Howard M. Sachar, A
History of Israel: From the Rise of Zionism to Our Time, (New York:
Alfred A. Knopf, 2007), hlm. 12.
[4]
Ibnu Katsir, Tafsir
al-Qur’ān al-‘Aẓīm, Juz 1, (Riyadh: Darussalam, 2000), hlm. 350.
[5]
Sayyid Qutb, Fi Zilal
al-Qur'an, Juz 1, (Kairo: Dar al-Syuruq, 1980), hlm. 211.
[6]
Al-Qur'an, QS. Al-Maidah:
5.
[7]
Al-Baghawi, Ma‘ālim
at-Tanzīl, Juz 2, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), hlm.
70.
5.
Penutup
Kajian tentang
Yahudi dalam perspektif Al-Qur'an berdasarkan tafsir klasik dan penjelasan
ulama memberikan wawasan yang mendalam mengenai identitas, karakteristik, dan
perilaku golongan ini sebagaimana disebutkan dalam kitab suci. Al-Qur'an
menyebut Yahudi dengan kedudukan yang unik sebagai Ahli Kitab, umat yang diberi
kitab Taurat, dan penerima karunia Allah yang besar, tetapi juga sering
dikritik karena penyimpangan mereka dari ajaran tersebut.¹
5.1. Rangkuman Jawaban atas Tiga Pertanyaan Utama
·
Siapakah golongan
Yahudi dalam Al-Qur'an?
Yahudi dalam Al-Qur'an merujuk kepada Bani Israil
yang menerima kitab Taurat dan mengikuti ajaran Nabi Musa as. Tafsir klasik
seperti Jāmi‘ al-Bayān karya Al-Thabari menyebut bahwa Yahudi pada
masa Al-Qur'an diturunkan mencakup komunitas keagamaan yang memiliki hubungan
sejarah dengan para nabi.²
·
Bagaimana Al-Qur'an
menilai orang-orang Yahudi?
Al-Qur'an memberikan penilaian berimbang: memuji
mereka yang tetap beriman kepada Allah dan kitab-Nya, tetapi mengecam keras
mereka yang melanggar perjanjian, mengubah kitab suci, dan membangkang kepada
para nabi. Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan bahwa kisah-kisah ini adalah
pelajaran bagi umat Islam agar tidak mengulangi kesalahan yang sama.³
·
Apakah istilah
Yahudi yang sekarang memiliki maksud yang sama dengan yang disebutkan dalam
Al-Qur'an?
Istilah Yahudi dalam Al-Qur'an lebih terkait
dengan aspek teologis dan keagamaan, sedangkan dalam konteks modern, istilah
ini mencakup dimensi etnis, budaya, dan politik. Ulama kontemporer seperti
Sayyid Qutb menekankan pentingnya memahami konteks ini untuk menghindari
generalisasi yang tidak tepat.⁴
5.2. Pelajaran Penting dari Kajian Ini
Al-Qur'an memberikan
kisah-kisah tentang Yahudi tidak hanya sebagai penggambaran sejarah, tetapi
juga sebagai peringatan moral bagi umat Islam. Sifat-sifat negatif seperti iri
hati, pembangkangan, dan mengubah kebenaran demi kepentingan pribadi harus
dihindari. Sebaliknya, sifat ketaatan kepada Allah dan keimanan yang teguh
sebagaimana ditunjukkan oleh sebagian kecil Yahudi dalam Al-Qur'an harus
menjadi teladan. Tafsir Al-Qurthubi menekankan bahwa pelajaran ini adalah
cermin bagi umat Islam untuk memperbaiki akhlak dan hubungan mereka dengan
Allah.⁵
5.3. Relevansi Kajian terhadap Konteks Kontemporer
Kajian ini juga
memberikan panduan penting untuk memahami hubungan umat Islam dengan Yahudi
modern. Al-Qur'an mengajarkan umat Islam untuk bersikap adil dalam segala
situasi, termasuk dalam hubungan dengan Yahudi, tanpa mengabaikan pelajaran
dari sejarah. Dalam QS. Al-Mumtahanah [60] ayat 8, Allah memerintahkan untuk
tidak berbuat zalim kepada siapa pun yang tidak memusuhi agama.⁶
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ
يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ
تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
Artinya: “Allah
tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang
yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari
negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”
Sikap ini relevan
dalam konteks dunia modern yang kompleks, di mana identitas Yahudi mencakup
berbagai dimensi, termasuk agama, budaya, dan politik. Umat Islam harus
membedakan antara kritik terhadap tindakan politis tertentu, seperti Zionisme,
dengan penghormatan kepada prinsip-prinsip keadilan yang diajarkan Islam.⁷
5.4. Harapan untuk Kajian Lanjutan
Sebagai penutup,
kajian ini diharapkan menjadi awal bagi penelitian yang lebih mendalam tentang
hubungan Islam dengan Ahli Kitab secara umum dan Yahudi secara khusus. Umat
Islam perlu memahami ayat-ayat Al-Qur'an tentang Yahudi dalam konteks yang
lebih luas, termasuk aspek sejarah, budaya, dan sosial. Pendekatan berbasis
tafsir klasik dan pemikiran ulama kontemporer dapat memberikan fondasi yang
kuat untuk membangun hubungan yang konstruktif dan damai dengan semua
komunitas.
Catatan Kaki
[1]
Al-Qur'an, QS. Al-Baqarah:
47; QS. Al-Maidah: 44.
[2]
Muhammad bin Jarir
Al-Thabari, Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān,
Juz 1, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 2001), hlm. 200.
[3]
Ibnu Katsir, Tafsir
al-Qur’ān al-‘Aẓīm, Juz 2, (Riyadh: Darussalam, 2000), hlm. 300.
[4]
Sayyid Qutb, Fi Zilal
al-Qur'an, Juz 1, (Kairo: Dar al-Syuruq, 1980), hlm. 211.
[5]
Abu Abdullah Al-Qurthubi, Al-Jāmi‘
li Aḥkām al-Qur’ān, Juz 6, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,
2006), hlm. 200.
[6]
Al-Qur'an, QS.
Al-Mumtahanah: 8.
[7]
Howard M. Sachar, A
History of Israel: From the Rise of Zionism to Our Time, (New York:
Alfred A. Knopf, 2007), hlm. 50.
Daftar Pustaka
Al-Qur'an Al-Karim.
Al-Asfahani, A. R. (2005). Al-Mufradat fi Gharib
Al-Qur'an. Beirut: Dar al-Ma’rifah.
Al-Baghawi, H. M. (1997). Ma‘ālim at-Tanzīl.
Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
Al-Qurthubi, A. A. (2006). Al-Jāmi‘ li Aḥkām
al-Qur’ān (Vol. 6). Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
Al-Thabari, M. J. (2001). Jāmi‘ al-Bayān fī
Ta’wīl al-Qur’ān. Kairo: Dar al-Ma’arif.
Ibnu Katsir, I. U. (2000). Tafsir al-Qur’ān
al-‘Aẓīm. Riyadh: Darussalam.
Qutb, S. (1980). Fi Zilal al-Qur'an (Vol.
1). Kairo: Dar al-Syuruq.
Sachar, H. M. (2007). A History of Israel: From
the Rise of Zionism to Our Time. New York: Alfred A. Knopf.
Wahidi, A. H. (1994). Asbāb an-Nuzūl.
Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
Lampiran: Silsilah Yahudi
Yahudi secara
historis dan teologis merujuk kepada keturunan Bani Israil, yakni anak cucu Nabi
Ya’qub as., yang memiliki gelar "Israel". Silsilah ini
mencerminkan garis keturunan yang berawal dari Nabi Ibrahim as., yang disebut
sebagai bapak para nabi. Berikut adalah penjelasan silsilah Yahudi secara lebih
mendalam berdasarkan sumber-sumber kredibel:
1.
Nabi Ibrahim as. dan Asal-Usul Bani Israil
Nabi Ibrahim as.
adalah tokoh sentral dalam tradisi Yahudi, Nasrani, dan Islam. Beliau memiliki
dua anak utama:
·
Nabi Ishaq as.
Dari Nabi Ishaq as., lahirlah Nabi Ya’qub as.,
yang kemudian diberi gelar Israel. Dari keturunan Ya’qub inilah lahir
dua belas suku Bani Israil yang menjadi cikal bakal bangsa Yahudi.¹
·
Nabi Ismail as.
Nabi Ismail as., anak Nabi Ibrahim as. dari
Hajar, menjadi leluhur bangsa Arab, termasuk Rasulullah Muhammad Saw. Dengan
demikian, Yahudi dan Arab memiliki hubungan kekerabatan melalui Nabi Ibrahim
as.²
2.
Nabi Ya’qub as. dan Dua Belas Suku Bani Israil
Nabi Ya’qub as.
memiliki dua belas anak yang menjadi kepala suku atau pendiri dua belas suku
Bani Israil:
·
Anak-anaknya termasuk
Yusuf, Yehuda, Benjamin, dan lainnya.³
·
Nama Yehuda (Judah)
menjadi asal nama Yahudi, merujuk kepada salah satu
suku terbesar dari Bani Israil. Suku ini juga memainkan peran penting dalam
sejarah Yahudi, khususnya dalam era kerajaan Nabi Daud as. dan Nabi Sulaiman
as.⁴
3.
Kehidupan Bani Israil di Mesir dan Era Nabi
Musa as.
Bani Israil hidup di
Mesir selama beberapa abad setelah Nabi Yusuf as. menduduki posisi penting di
pemerintahan Mesir. Namun, setelah wafatnya Nabi Yusuf as., mereka menjadi
bangsa yang diperbudak oleh Firaun. Dalam konteks ini, Nabi Musa as. diutus
untuk membebaskan mereka dari perbudakan, membawa mereka keluar dari Mesir, dan
memberikan kitab Taurat sebagai pedoman hidup mereka.⁵
4.
Hubungan Yahudi dengan Taurat
Dalam Al-Qur'an,
Yahudi disebut sebagai umat yang diberi Taurat sebagai petunjuk dan cahaya (QS.
Al-Maidah [05] ayat 44). Namun, mereka juga sering digambarkan sebagai umat
yang melanggar perintah Allah dan mengubah isi kitab tersebut (QS. Al-Baqarah
[02] ayat 79).⁶
إِنَّا أَنْزَلْنَا التَّوْرَاةَ فِيهَا هُدًى وَنُورٌ
Artinya: "Sesungguhnya
Kami telah menurunkan Taurat, di dalamnya ada petunjuk dan cahaya..."³
فَوَيْلٌ لِلَّذِينَ يَكْتُبُونَ الْكِتَابَ بِأَيْدِيهِمْ
ثُمَّ يَقُولُونَ هَٰذَا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ لِيَشْتَرُوا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا
Artinya: “Maka
kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al Kitab dengan tangan
mereka sendiri, lalu dikatakannya; "Ini dari Allah", (dengan
maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu.”
(QS. Al-Baqarah [02] ayat 79)
5.
Penyebaran dan Diaspora Yahudi
Setelah masa Nabi
Musa as., Yahudi mengalami berbagai fase sejarah, termasuk:
·
Kerajaan
Daud dan Sulaiman.
Era ini dianggap sebagai puncak kejayaan
Yahudi dalam sejarah keagamaan mereka.
·
Pengasingan
di Babilonia.
Setelah dihancurkannya Bait Suci
pertama, banyak Yahudi yang diasingkan ke Babilonia.
·
Kembali
ke Palestina dan Pembangunan Kembali Bait Suci.
Setelah masa pembuangan, mereka kembali
ke Palestina dan membangun kembali Bait Suci kedua, yang kemudian dihancurkan
oleh Romawi.⁷
6.
Yahudi dalam Konteks Modern
Dalam konteks
modern, istilah Yahudi tidak hanya mencakup keturunan biologis dari Bani
Israil, tetapi juga mencakup identitas keagamaan dan budaya. Sebagian besar
komunitas Yahudi hari ini mengidentifikasi diri berdasarkan tradisi dan hukum
agama Yahudi yang berkembang pasca era Taurat.⁸
Catatan Kaki
[1]
Ibnu Katsir, Al-Bidayah
wa al-Nihayah, Juz 1, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997),
hlm. 234.
[2]
Muhammad bin Jarir
Al-Thabari, Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān,
Juz 1, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 2001), hlm. 200.
[3]
Al-Qur'an, QS. Yusuf: 4;
QS. Al-Ankabut: 27.
[4]
Al-Raghib Al-Asfahani, Al-Mufradat
fi Gharib Al-Qur'an, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2005), hlm. 55.
[5]
Ibnu Katsir, Tafsir
al-Qur’ān al-‘Aẓīm, Juz 2, (Riyadh: Darussalam, 2000), hlm. 320.
[6]
Al-Qur'an, QS. Al-Maidah:
44; QS. Al-Baqarah: 79.
[7]
Howard M. Sachar, A
History of Israel: From the Rise of Zionism to Our Time, (New York:
Alfred A. Knopf, 2007), hlm. 22.
[8]
Sayyid Qutb, Fi Zilal
al-Qur'an, Juz 1, (Kairo: Dar al-Syuruq, 1980), hlm. 211.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar