Sabtu, 21 Desember 2024

Yahudi dalam Perspektif Al-Qur'an Berdasarkan Petunjuk Tafsir Klasik dan Penjelasan Ulama

 Yahudi dalam Perspektif Al-Qur'an

Berdasarkan Petunjuk Tafsir Klasik dan Penjelasan Ulama


1.           Pendahuluan

Kajian tentang golongan Yahudi dalam perspektif Al-Qur'an merupakan salah satu topik yang penting untuk dipahami secara mendalam, terutama dalam konteks dinamika hubungan antarumat beragama dan sejarah perkembangan peradaban manusia. Al-Qur'an secara eksplisit menyebutkan Yahudi dalam berbagai ayat dengan karakteristik, kisah, serta pelajaran moral yang sangat berharga bagi umat Islam. Untuk memahami secara komprehensif bagaimana Al-Qur'an menggambarkan Yahudi, pendekatan berbasis tafsir klasik dan penjelasan ulama menjadi sangat relevan, mengingat tafsir klasik menyajikan penjelasan otoritatif berdasarkan keilmuan dan tradisi Islam yang kuat.

1.1.       Latar Belakang Pentingnya Kajian

Kajian ini memiliki urgensi karena istilah Yahudi tidak hanya menunjuk pada satu golongan agama tertentu, tetapi juga terkait dengan aspek historis, teologis, dan sosiologis. Dalam Al-Qur'an, Yahudi sering diasosiasikan dengan Bani Israil, yakni umat yang diberikan kitab Taurat oleh Allah Swt. Namun, Al-Qur'an juga menyoroti perilaku Yahudi, baik yang positif seperti ketaatan sebagian mereka kepada Taurat (QS. Al-Maidah [05] ayat 44), maupun yang negatif seperti pelanggaran terhadap janji Allah (QS. Al-Baqarah [02] ayat 100) dan pengubahan ayat-ayat Taurat (QS. Al-Baqarah [02] ayat 79). Penjelasan ini memperlihatkan bahwa Yahudi dalam Al-Qur'an tidak dapat dipahami hanya dalam satu dimensi saja, melainkan harus mencakup berbagai aspek berdasarkan ayat-ayat Al-Qur'an dan penafsiran ulama.

1.2.       Tujuan Kajian

Artikel ini bertujuan menjawab tiga pertanyaan utama:

1)                  Siapakah golongan yang disebut dengan Yahudi dalam Al-Qur'an?

2)                  Bagaimana Al-Qur'an menilai orang-orang Yahudi?

3)                  Apakah istilah Yahudi yang sekarang memiliki maksud yang sama dengan yang disebutkan dalam Al-Qur'an?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, artikel ini akan menggunakan pendekatan tafsir klasik seperti Tafsir Al-Thabari, Tafsir Al-Qurthubi, dan Tafsir Ibnu Katsir yang telah menjadi rujukan otoritatif dalam studi Islam. Pendekatan ini juga diperkuat dengan pendapat ulama klasik dan kontemporer untuk memastikan pemahaman yang holistik dan kontekstual.

1.3.       Metode Kajian

Pendekatan yang digunakan dalam artikel ini adalah metode tafsir maudhū‘i (tematik), yaitu mengumpulkan ayat-ayat yang relevan tentang Yahudi dalam Al-Qur'an, kemudian menafsirkan ayat-ayat tersebut berdasarkan pendapat para mufasir klasik. Penafsiran ini tidak hanya mencakup analisis teks, tetapi juga mempertimbangkan konteks sejarah dan latar belakang turunnya ayat (asbāb an-nuzūl) yang dijelaskan oleh ulama seperti Al-Wahidi dalam Asbāb an-Nuzūl.

Kajian ini juga mempertimbangkan perbedaan antara Yahudi dalam konteks Al-Qur'an dan Yahudi dalam pemahaman modern, yang sering kali memiliki dimensi politik, etnis, atau budaya yang tidak sepenuhnya identik dengan deskripsi dalam Al-Qur'an. Sebagai contoh, Al-Qur'an berbicara tentang Yahudi sebagai kelompok yang memiliki hubungan dengan kitab suci Taurat, sementara istilah Yahudi modern sering mencakup identitas etnis dan nasional yang lebih luas.

1.4.       Relevansi Kajian

Dengan pendekatan ini, diharapkan artikel ini tidak hanya memberikan pemahaman mendalam tentang golongan Yahudi dalam Al-Qur'an, tetapi juga memberikan wawasan tentang bagaimana umat Islam dapat mengambil pelajaran (ibrah) dari ayat-ayat tersebut. Penekanan pada keilmuan berbasis tafsir klasik juga penting untuk memastikan interpretasi yang otoritatif dan tidak menyimpang dari tradisi Islam.

Catatan Kaki

[1]              Al-Qur'an, QS. Al-Baqarah: 79.

[2]              Muhammad bin Jarir Al-Thabari, Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān, Juz 1, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 2001), hlm. 202.

[3]              Abu Abdullah Al-Qurthubi, Al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān, Juz 2, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2006), hlm. 47.

[4]              Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’ān al-‘Aẓīm, Juz 1, (Riyadh: Darussalam, 2000), hlm. 150.

[5]              Al-Wahidi, Asbāb an-Nuzūl, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), hlm. 45.


2.           Definisi dan Identifikasi Golongan Yahudi dalam Al-Qur'an

2.1.       Makna Istilah "Yahudi" dalam Bahasa dan Terminologi Al-Qur'an

Istilah Yahudi berasal dari akar kata h-w-d dalam bahasa Arab, yang memiliki berbagai makna, termasuk "kembali" atau "bertaubat". Dalam Al-Qur'an, istilah ini merujuk kepada golongan tertentu yang memiliki hubungan dengan Bani Israil dan Taurat. Tafsir Al-Thabari menjelaskan bahwa Yahudi adalah nama yang diberikan kepada orang-orang yang mengikuti ajaran Musa as. dan Taurat setelah peristiwa penyembahan anak sapi, sebagai tanda kembalinya mereka kepada Allah Swt (QS. Al-Baqarah [02] ayat 54).¹

وَإِذْ قَالَ مُوسَىٰ لِقَوْمِهِ يَا قَوْمِ إِنَّكُمْ ظَلَمْتُمْ أَنْفُسَكُمْ بِاتِّخَاذِكُمُ الْعِجْلَ فَتُوبُوا إِلَىٰ بَارِئِكُمْ فَاقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ عِنْدَ بَارِئِكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ ۚ

Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: "Hai kaumku, sesungguhnya kamu telah menganiaya dirimu sendiri karena kamu telah menjadikan anak lembu (sembahanmu), maka bertaubatlah kepada Tuhan yang menjadikan kamu dan bunuhlah dirimu. Hal itu adalah lebih baik bagimu pada sisi Tuhan yang menjadikan kamu; maka Allah akan menerima taubatmu.".

Ulama seperti Al-Raghib Al-Asfahani dalam Al-Mufradat fi Gharib Al-Qur'an juga menegaskan bahwa istilah Yahudi menunjukkan identitas keagamaan yang spesifik, yaitu mereka yang menjadi Ahli Kitab dan diberi petunjuk dalam Taurat, meskipun kemudian banyak di antara mereka menyimpang dari ajaran tersebut.²

2.2.       Golongan Yahudi sebagai Ahli Kitab

Dalam Al-Qur'an, Yahudi sering diasosiasikan dengan Ahli Kitab, yaitu kelompok yang menerima kitab suci sebelum Al-Qur'an. Al-Qur'an mengakui keberadaan kitab Taurat sebagai wahyu yang diturunkan kepada Nabi Musa as., sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Maidah [05] ayat 44:

إِنَّا أَنْزَلْنَا التَّوْرَاةَ فِيهَا هُدًى وَنُورٌ

Artinya: "Sesungguhnya Kami telah menurunkan Taurat, di dalamnya ada petunjuk dan cahaya..."³

Namun, Al-Qur'an juga menyoroti bagaimana sebagian orang Yahudi melanggar isi kitab tersebut, mengubah ayat-ayatnya, dan menutup-nutupi kebenaran (QS. Al-Baqarah [02] ayat 75, 79). Tafsir Ibnu Katsir menambahkan bahwa ayat ini menunjukkan sifat sebagian Yahudi yang sering mengubah teks Taurat sesuai keinginan mereka, meskipun mereka mengetahui kebenaran kitab tersebut.⁴

أَفَتَطْمَعُونَ أَنْ يُؤْمِنُوا لَكُمْ وَقَدْ كَانَ فَرِيقٌ مِنْهُمْ يَسْمَعُونَ كَلَامَ اللَّهِ ثُمَّ يُحَرِّفُونَهُ مِنْ بَعْدِ مَا عَقَلُوهُ وَهُمْ يَعْلَمُونَ

Artinya: “Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui?” (QS. Al-Baqarah [02] ayat 75)

فَوَيْلٌ لِلَّذِينَ يَكْتُبُونَ الْكِتَابَ بِأَيْدِيهِمْ ثُمَّ يَقُولُونَ هَٰذَا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ لِيَشْتَرُوا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا ۖ فَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا كَتَبَتْ أَيْدِيهِمْ وَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا يَكْسِبُونَ

Artinya: “Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya; "Ini dari Allah", (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Baqarah [02] ayat 79)

Sebagai Ahli Kitab, Yahudi memiliki posisi khusus dalam Islam, terutama dalam hal interaksi sosial dan hukum. Misalnya, Islam mengizinkan pernikahan dengan perempuan Ahli Kitab dan menghalalkan makanan mereka (QS. Al-Maidah [05] ayat 5). Tafsir Al-Qurthubi menjelaskan bahwa ini adalah bentuk penghormatan terhadap kitab suci mereka, meskipun umat Islam tetap diajarkan untuk berhati-hati terhadap penyimpangan yang dilakukan sebagian dari mereka.⁵

الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ ۖ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ ۖ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ ۗ

Artinya: “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.

2.3.       Perbedaan Yahudi dalam Konteks Zaman Rasulullah Saw. dan Masa Kini

Yahudi dalam konteks Al-Qur'an terutama merujuk kepada komunitas keagamaan yang tinggal di jazirah Arab, seperti di Madinah (Bani Qainuqa, Bani Nadhir, dan Bani Quraizhah). Mereka memiliki hubungan sejarah yang erat dengan Bani Israil, sebagai keturunan Nabi Ya'qub as. Namun, dalam konteks modern, istilah "Yahudi" sering kali mencakup dimensi etnis, budaya, dan politik, seperti yang tercermin dalam Zionisme.

Al-Qur'an menyoroti Yahudi sebagai umat yang diberi banyak karunia, termasuk kitab Taurat, tetapi juga mengkritik penyimpangan mereka. Tafsir Al-Baghawi menegaskan bahwa kritik Al-Qur'an terhadap Yahudi tidak berlaku untuk semua individu Yahudi, melainkan kepada mereka yang melanggar ajaran Taurat dan melakukan kezaliman.⁶

Perbedaan ini penting untuk dipahami agar umat Islam dapat membedakan antara Yahudi sebagai golongan keagamaan di masa lalu dan realitas Yahudi modern yang lebih kompleks. Misalnya, banyak orang Yahudi saat ini yang tidak lagi mengikuti ajaran Taurat secara religius, tetapi tetap mengidentifikasi diri sebagai Yahudi secara etnis. Hal ini berbeda dengan deskripsi Yahudi dalam Al-Qur'an yang berpusat pada identitas keagamaan.


Catatan Kaki

[1]              Muhammad bin Jarir Al-Thabari, Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān, Juz 1, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 2001), hlm. 202.

[2]              Al-Raghib Al-Asfahani, Al-Mufradat fi Gharib Al-Qur'an, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2005), hlm. 55.

[3]              Al-Qur'an, QS. Al-Maidah: 44.

[4]              Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’ān al-‘Aẓīm, Juz 1, (Riyadh: Darussalam, 2000), hlm. 300.

[5]              Abu Abdullah Al-Qurthubi, Al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān, Juz 6, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2006), hlm. 110.

[6]              Al-Baghawi, Ma‘ālim at-Tanzīl, Juz 1, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), hlm. 145.


3.           Penilaian Al-Qur'an terhadap Orang-Orang Yahudi

3.1.       Ayat-Ayat tentang Karakteristik dan Perilaku Orang Yahudi

Al-Qur'an secara tegas menggambarkan berbagai karakteristik orang-orang Yahudi, baik yang mencerminkan kebaikan maupun pelanggaran mereka terhadap ajaran Allah. Dalam QS. Al-Maidah [05] ayat 44, Allah menyebutkan bahwa Taurat adalah kitab yang menjadi sumber petunjuk dan cahaya bagi orang Yahudi:

إِنَّا أَنْزَلْنَا التَّوْرَاةَ فِيهَا هُدًى وَنُورٌ

Artinya: "Sesungguhnya Kami telah menurunkan Taurat, di dalamnya ada petunjuk dan cahaya..."¹

Ayat ini menunjukkan bahwa sebagian orang Yahudi, khususnya para nabi dan pengikut setia mereka, mematuhi perintah Taurat dan hidup dalam ketaatan kepada Allah. Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan bahwa mereka yang mematuhi Taurat mendapatkan kehormatan sebagai pemimpin umat di masanya.²

Namun, banyak ayat Al-Qur'an yang juga mengkritik keras perilaku sebagian Yahudi. Dalam QS. Al-Baqarah [02] ayat 79, Al-Qur'an mengecam mereka yang mengubah kitab suci dan menjualnya dengan harga murah:

فَوَيْلٌ لِلَّذِينَ يَكْتُبُونَ الْكِتَابَ بِأَيْدِيهِمْ ثُمَّ يَقُولُونَ هَٰذَا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ لِيَشْتَرُوا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا ۖ

Artinya: "Maka celakalah orang-orang yang menulis kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu mengatakan: ‘Ini dari Allah’, untuk menjualnya dengan harga yang murah."³

Menurut Al-Thabari, ayat ini merujuk pada tindakan sebagian orang Yahudi yang memalsukan Taurat demi keuntungan duniawi, sehingga menyesatkan umat dari kebenaran.⁴

Al-Qur'an juga menyoroti sifat keras kepala dan pembangkangan mereka terhadap perintah Allah, seperti dalam QS. Al-Baqarah [02] ayat 55–56, ketika mereka meminta untuk melihat Allah secara langsung, tetapi kemudian dihukum dengan kematian sebagai peringatan atas kesombongan mereka.⁵ Al-Qurthubi dalam tafsirnya menegaskan bahwa kisah ini adalah pelajaran bagi umat Islam agar tidak meniru kesalahan mereka dalam mempertanyakan kekuasaan Allah.⁶

وَإِذْ قُلْتُمْ يَا مُوسَىٰ لَنْ نُؤْمِنَ لَكَ حَتَّىٰ نَرَى اللَّهَ جَهْرَةً فَأَخَذَتْكُمُ الصَّاعِقَةُ وَأَنْتُمْ تَنْظُرُونَ  (55) ثُمَّ بَعَثْنَاكُمْ مِنْ بَعْدِ مَوْتِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (56)

Artinya: “Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: "Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang, karena itu kamu disambar halilintar, sedang kamu menyaksikannya". {55} Setelah itu Kami bangkitkan kamu sesudah kamu mati, supaya kamu bersyukur. {56}”

3.2.       Tafsir Klasik tentang Ayat-Ayat Terkait Yahudi

Para mufasir klasik memberikan penjelasan yang mendalam tentang ayat-ayat yang berkaitan dengan Yahudi, baik dalam hal pujian maupun celaan. Berikut adalah beberapa penafsiran penting:

·                     Tafsir Positif:

Dalam QS. Al-Maidah [05] ayat 69, Al-Qur'an menyebutkan bahwa di antara orang Yahudi ada yang tetap beriman kepada Allah dan hari akhir serta beramal saleh:

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالصَّابِئُونَ وَالنَّصَارَىٰ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

Artinya: "Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, Shabi’in, dan Nasrani—barang siapa beriman kepada Allah, hari akhir, dan beramal saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati."

Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat ini merujuk kepada segelintir Yahudi yang benar-benar mengikuti ajaran Taurat dan tidak menyimpang dari perintah Allah.⁷

·                     Tafsir Negatif:

Sebaliknya, QS. Al-Ma’idah [05] ayat 13 mencatat bahwa sebagian besar orang Yahudi sering kali melanggar janji mereka kepada Allah:

فَبِمَا نَقْضِهِمْ مِيثَاقَهُمْ لَعَنَّاهُمْ وَجَعَلْنَا قُلُوبَهُمْ قَاسِيَةً ۖ

Artinya: "Maka disebabkan mereka melanggar perjanjian, Kami melaknat mereka dan menjadikan hati mereka keras..."

Al-Baghawi menafsirkan bahwa pelanggaran ini termasuk tindakan mengubah isi Taurat, pembunuhan para nabi, dan pembangkangan terhadap hukum Allah.⁸

3.3.       Pelajaran Moral dan Hikmah untuk Umat Islam

Al-Qur'an menyebutkan kisah-kisah tentang Yahudi sebagai peringatan dan pelajaran moral bagi umat Islam. Dalam QS. An-Nisa [04] ayat 32, umat Islam diajarkan untuk menjauhi sifat-sifat tercela seperti iri hati, pelanggaran perjanjian, dan pengubahan kebenaran demi keuntungan duniawi.

وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ ۚ

Artinya: “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain.

Tafsir Al-Qurthubi menegaskan bahwa kritik terhadap Yahudi bukanlah bentuk permusuhan mutlak, melainkan pelajaran agar umat Islam memperkuat keimanan dan akhlak mereka.⁹

Di sisi lain, Al-Qur'an juga menekankan pentingnya berlaku adil, bahkan terhadap musuh. Dalam QS. Al-Maidah [05] ayat 8, Allah berfirman:

وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ

Artinya: "Janganlah kebencian kalian terhadap suatu kaum membuat kalian berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena keadilan itu lebih dekat kepada takwa."

Hal ini mengajarkan umat Islam untuk tidak terpengaruh oleh prasangka atau kebencian ketika berinteraksi dengan orang Yahudi atau kelompok lainnya.


Catatan Kaki

[1]              Al-Qur'an, QS. Al-Maidah: 44.

[2]              Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’ān al-‘Aẓīm, Juz 2, (Riyadh: Darussalam, 2000), hlm. 100.

[3]              Al-Qur'an, QS. Al-Baqarah: 79.

[4]              Muhammad bin Jarir Al-Thabari, Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān, Juz 1, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 2001), hlm. 250.

[5]              Al-Qur'an, QS. Al-Baqarah: 55–56.

[6]              Abu Abdullah Al-Qurthubi, Al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān, Juz 1, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2006), hlm. 150.

[7]              Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’ān al-‘Aẓīm, Juz 2, hlm. 120.

[8]              Al-Baghawi, Ma‘ālim at-Tanzīl, Juz 2, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), hlm. 45.

[9]              Abu Abdullah Al-Qurthubi, Al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān, Juz 6, hlm. 200.


4.           Perbandingan Istilah Yahudi dalam Al-Qur'an dan Konteks Kontemporer

4.1.       Kesamaan dan Perbedaan Istilah Yahudi

Dalam Al-Qur'an, istilah Yahudi merujuk kepada kelompok yang memiliki hubungan erat dengan Nabi Musa as. dan kitab Taurat. Mereka adalah bagian dari Bani Israil yang telah menerima petunjuk dari Allah Swt. Dalam QS. Al-Baqarah [02] ayat 47, Allah berfirman:

يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ اذْكُرُوا نِعْمَتِيَ الَّتِي أَنْعَمْتُ عَلَيْكُمْ وَأَنِّي فَضَّلْتُكُمْ عَلَى الْعَالَمِينَ

Artinya: "Wahai Bani Israil, ingatlah nikmat-Ku yang telah Aku berikan kepadamu dan Aku telah melebihkan kamu atas segala umat (di masa itu)."¹

Tafsir Al-Qurthubi menjelaskan bahwa kelebihan yang diberikan kepada Bani Israil meliputi pengutusan banyak nabi di kalangan mereka, kitab suci Taurat, dan mukjizat-mukjizat yang luar biasa.² Namun, istilah Yahudi dalam Al-Qur'an lebih spesifik kepada komunitas agama yang mengikuti ajaran Musa as., berbeda dengan pengertian modern yang sering kali mencakup dimensi etnis dan politik.

Dalam konteks kontemporer, istilah "Yahudi" lebih luas cakupannya, tidak hanya mencakup komunitas keagamaan tetapi juga kelompok etnis dan budaya. Dalam dunia modern, istilah Yahudi sering dikaitkan dengan Zionisme, gerakan politik yang muncul pada abad ke-19 untuk mendirikan negara Yahudi di Palestina.³ Perbedaan ini menandakan bahwa istilah Yahudi dalam Al-Qur'an lebih terkait dengan dimensi teologis dan keagamaan daripada dengan dimensi nasionalisme atau politik yang menjadi ciri khas Yahudi modern.

4.2.       Analisis Keterangan Ulama tentang Yahudi Modern

Para ulama klasik tidak membahas konsep Yahudi sebagai identitas etnis atau politik karena hal ini tidak relevan pada masa mereka. Fokus ulama klasik adalah pada Yahudi sebagai Ahli Kitab dan umat yang diberi kitab Taurat. Misalnya, Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyebutkan bahwa Al-Qur'an berbicara tentang perilaku mereka dalam konteks keagamaan, seperti pelanggaran terhadap hukum Taurat dan penolakan mereka terhadap para nabi.⁴

Ulama kontemporer seperti Sayyid Qutb dalam Fi Zilal al-Qur'an menyoroti perubahan makna Yahudi dalam era modern. Menurutnya, Yahudi masa kini telah jauh dari identitas spiritual mereka yang berbasis pada kitab Taurat, dan banyak di antara mereka yang mengidentifikasi diri berdasarkan garis keturunan atau afiliasi politik.⁵ Hal ini berbeda dengan deskripsi dalam Al-Qur'an, yang selalu mengaitkan Yahudi dengan ajaran Taurat dan keimanan kepada Allah.

4.3.       Implikasi terhadap Pemahaman Islam tentang Yahudi Modern

Perbedaan konsep Yahudi dalam Al-Qur'an dan dunia modern memiliki implikasi yang signifikan terhadap bagaimana umat Islam memahami dan berinteraksi dengan mereka. Dalam Al-Qur'an, Yahudi disebut sebagai Ahli Kitab yang memiliki kedudukan khusus, seperti halalnya makanan mereka dan diizinkannya pernikahan dengan perempuan mereka (QS. Al-Maidah [05] ayat 5). Namun, hal ini berlaku dalam konteks keagamaan, yaitu mereka yang benar-benar mengikuti ajaran Taurat.⁶

الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ ۖ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ ۖ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ ۗ

Artinya: “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.

Dalam dunia modern, di mana identitas Yahudi lebih sering ditentukan oleh faktor etnis atau politik, pendekatan yang diambil umat Islam harus memperhatikan konteks sosial dan historis. Al-Qur'an mengajarkan umat Islam untuk berlaku adil terhadap semua kelompok, termasuk Yahudi, tanpa mengabaikan pelajaran dari kisah-kisah mereka dalam Al-Qur'an (QS. Al-Maidah [05] ayat 8). Tafsir Al-Baghawi menekankan bahwa umat Islam harus menghindari sifat-sifat tercela yang dicontohkan oleh sebagian Yahudi dalam Al-Qur'an, tetapi tidak boleh berlaku zalim kepada siapa pun, termasuk Yahudi modern.⁷

وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ

Artinya: "Janganlah kebencian kalian terhadap suatu kaum membuat kalian berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena keadilan itu lebih dekat kepada takwa."


Catatan Kaki

[1]              Al-Qur'an, QS. Al-Baqarah: 47.

[2]              Abu Abdullah Al-Qurthubi, Al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān, Juz 2, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2006), hlm. 75.

[3]              Howard M. Sachar, A History of Israel: From the Rise of Zionism to Our Time, (New York: Alfred A. Knopf, 2007), hlm. 12.

[4]              Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’ān al-‘Aẓīm, Juz 1, (Riyadh: Darussalam, 2000), hlm. 350.

[5]              Sayyid Qutb, Fi Zilal al-Qur'an, Juz 1, (Kairo: Dar al-Syuruq, 1980), hlm. 211.

[6]              Al-Qur'an, QS. Al-Maidah: 5.

[7]              Al-Baghawi, Ma‘ālim at-Tanzīl, Juz 2, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), hlm. 70.


5.           Penutup

Kajian tentang Yahudi dalam perspektif Al-Qur'an berdasarkan tafsir klasik dan penjelasan ulama memberikan wawasan yang mendalam mengenai identitas, karakteristik, dan perilaku golongan ini sebagaimana disebutkan dalam kitab suci. Al-Qur'an menyebut Yahudi dengan kedudukan yang unik sebagai Ahli Kitab, umat yang diberi kitab Taurat, dan penerima karunia Allah yang besar, tetapi juga sering dikritik karena penyimpangan mereka dari ajaran tersebut.¹

5.1.       Rangkuman Jawaban atas Tiga Pertanyaan Utama

·                     Siapakah golongan Yahudi dalam Al-Qur'an?

Yahudi dalam Al-Qur'an merujuk kepada Bani Israil yang menerima kitab Taurat dan mengikuti ajaran Nabi Musa as. Tafsir klasik seperti Jāmi‘ al-Bayān karya Al-Thabari menyebut bahwa Yahudi pada masa Al-Qur'an diturunkan mencakup komunitas keagamaan yang memiliki hubungan sejarah dengan para nabi.²

·                     Bagaimana Al-Qur'an menilai orang-orang Yahudi?

Al-Qur'an memberikan penilaian berimbang: memuji mereka yang tetap beriman kepada Allah dan kitab-Nya, tetapi mengecam keras mereka yang melanggar perjanjian, mengubah kitab suci, dan membangkang kepada para nabi. Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan bahwa kisah-kisah ini adalah pelajaran bagi umat Islam agar tidak mengulangi kesalahan yang sama.³

·                     Apakah istilah Yahudi yang sekarang memiliki maksud yang sama dengan yang disebutkan dalam Al-Qur'an?

Istilah Yahudi dalam Al-Qur'an lebih terkait dengan aspek teologis dan keagamaan, sedangkan dalam konteks modern, istilah ini mencakup dimensi etnis, budaya, dan politik. Ulama kontemporer seperti Sayyid Qutb menekankan pentingnya memahami konteks ini untuk menghindari generalisasi yang tidak tepat.⁴

5.2.       Pelajaran Penting dari Kajian Ini

Al-Qur'an memberikan kisah-kisah tentang Yahudi tidak hanya sebagai penggambaran sejarah, tetapi juga sebagai peringatan moral bagi umat Islam. Sifat-sifat negatif seperti iri hati, pembangkangan, dan mengubah kebenaran demi kepentingan pribadi harus dihindari. Sebaliknya, sifat ketaatan kepada Allah dan keimanan yang teguh sebagaimana ditunjukkan oleh sebagian kecil Yahudi dalam Al-Qur'an harus menjadi teladan. Tafsir Al-Qurthubi menekankan bahwa pelajaran ini adalah cermin bagi umat Islam untuk memperbaiki akhlak dan hubungan mereka dengan Allah.⁵

5.3.       Relevansi Kajian terhadap Konteks Kontemporer

Kajian ini juga memberikan panduan penting untuk memahami hubungan umat Islam dengan Yahudi modern. Al-Qur'an mengajarkan umat Islam untuk bersikap adil dalam segala situasi, termasuk dalam hubungan dengan Yahudi, tanpa mengabaikan pelajaran dari sejarah. Dalam QS. Al-Mumtahanah [60] ayat 8, Allah memerintahkan untuk tidak berbuat zalim kepada siapa pun yang tidak memusuhi agama.⁶

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

Artinya: “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”

Sikap ini relevan dalam konteks dunia modern yang kompleks, di mana identitas Yahudi mencakup berbagai dimensi, termasuk agama, budaya, dan politik. Umat Islam harus membedakan antara kritik terhadap tindakan politis tertentu, seperti Zionisme, dengan penghormatan kepada prinsip-prinsip keadilan yang diajarkan Islam.⁷

5.4.       Harapan untuk Kajian Lanjutan

Sebagai penutup, kajian ini diharapkan menjadi awal bagi penelitian yang lebih mendalam tentang hubungan Islam dengan Ahli Kitab secara umum dan Yahudi secara khusus. Umat Islam perlu memahami ayat-ayat Al-Qur'an tentang Yahudi dalam konteks yang lebih luas, termasuk aspek sejarah, budaya, dan sosial. Pendekatan berbasis tafsir klasik dan pemikiran ulama kontemporer dapat memberikan fondasi yang kuat untuk membangun hubungan yang konstruktif dan damai dengan semua komunitas.


Catatan Kaki

[1]              Al-Qur'an, QS. Al-Baqarah: 47; QS. Al-Maidah: 44.

[2]              Muhammad bin Jarir Al-Thabari, Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān, Juz 1, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 2001), hlm. 200.

[3]              Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’ān al-‘Aẓīm, Juz 2, (Riyadh: Darussalam, 2000), hlm. 300.

[4]              Sayyid Qutb, Fi Zilal al-Qur'an, Juz 1, (Kairo: Dar al-Syuruq, 1980), hlm. 211.

[5]              Abu Abdullah Al-Qurthubi, Al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān, Juz 6, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2006), hlm. 200.

[6]              Al-Qur'an, QS. Al-Mumtahanah: 8.

[7]              Howard M. Sachar, A History of Israel: From the Rise of Zionism to Our Time, (New York: Alfred A. Knopf, 2007), hlm. 50.


Daftar Pustaka

Al-Qur'an Al-Karim.

Al-Asfahani, A. R. (2005). Al-Mufradat fi Gharib Al-Qur'an. Beirut: Dar al-Ma’rifah.

Al-Baghawi, H. M. (1997). Ma‘ālim at-Tanzīl. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

Al-Qurthubi, A. A. (2006). Al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān (Vol. 6). Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

Al-Thabari, M. J. (2001). Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān. Kairo: Dar al-Ma’arif.

Ibnu Katsir, I. U. (2000). Tafsir al-Qur’ān al-‘Aẓīm. Riyadh: Darussalam.

Qutb, S. (1980). Fi Zilal al-Qur'an (Vol. 1). Kairo: Dar al-Syuruq.

Sachar, H. M. (2007). A History of Israel: From the Rise of Zionism to Our Time. New York: Alfred A. Knopf.

Wahidi, A. H. (1994). Asbāb an-Nuzūl. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.


Lampiran: Silsilah Yahudi

Yahudi secara historis dan teologis merujuk kepada keturunan Bani Israil, yakni anak cucu Nabi Ya’qub as., yang memiliki gelar "Israel". Silsilah ini mencerminkan garis keturunan yang berawal dari Nabi Ibrahim as., yang disebut sebagai bapak para nabi. Berikut adalah penjelasan silsilah Yahudi secara lebih mendalam berdasarkan sumber-sumber kredibel:

1.            Nabi Ibrahim as. dan Asal-Usul Bani Israil

Nabi Ibrahim as. adalah tokoh sentral dalam tradisi Yahudi, Nasrani, dan Islam. Beliau memiliki dua anak utama:

·                     Nabi Ishaq as.

Dari Nabi Ishaq as., lahirlah Nabi Ya’qub as., yang kemudian diberi gelar Israel. Dari keturunan Ya’qub inilah lahir dua belas suku Bani Israil yang menjadi cikal bakal bangsa Yahudi.¹

·                     Nabi Ismail as.

Nabi Ismail as., anak Nabi Ibrahim as. dari Hajar, menjadi leluhur bangsa Arab, termasuk Rasulullah Muhammad Saw. Dengan demikian, Yahudi dan Arab memiliki hubungan kekerabatan melalui Nabi Ibrahim as.²

2.            Nabi Ya’qub as. dan Dua Belas Suku Bani Israil

Nabi Ya’qub as. memiliki dua belas anak yang menjadi kepala suku atau pendiri dua belas suku Bani Israil:

·                     Anak-anaknya termasuk Yusuf, Yehuda, Benjamin, dan lainnya.³

·                     Nama Yehuda (Judah) menjadi asal nama Yahudi, merujuk kepada salah satu suku terbesar dari Bani Israil. Suku ini juga memainkan peran penting dalam sejarah Yahudi, khususnya dalam era kerajaan Nabi Daud as. dan Nabi Sulaiman as.⁴

3.            Kehidupan Bani Israil di Mesir dan Era Nabi Musa as.

Bani Israil hidup di Mesir selama beberapa abad setelah Nabi Yusuf as. menduduki posisi penting di pemerintahan Mesir. Namun, setelah wafatnya Nabi Yusuf as., mereka menjadi bangsa yang diperbudak oleh Firaun. Dalam konteks ini, Nabi Musa as. diutus untuk membebaskan mereka dari perbudakan, membawa mereka keluar dari Mesir, dan memberikan kitab Taurat sebagai pedoman hidup mereka.⁵

4.            Hubungan Yahudi dengan Taurat

Dalam Al-Qur'an, Yahudi disebut sebagai umat yang diberi Taurat sebagai petunjuk dan cahaya (QS. Al-Maidah [05] ayat 44). Namun, mereka juga sering digambarkan sebagai umat yang melanggar perintah Allah dan mengubah isi kitab tersebut (QS. Al-Baqarah [02] ayat 79).⁶

إِنَّا أَنْزَلْنَا التَّوْرَاةَ فِيهَا هُدًى وَنُورٌ

Artinya: "Sesungguhnya Kami telah menurunkan Taurat, di dalamnya ada petunjuk dan cahaya..."³

فَوَيْلٌ لِلَّذِينَ يَكْتُبُونَ الْكِتَابَ بِأَيْدِيهِمْ ثُمَّ يَقُولُونَ هَٰذَا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ لِيَشْتَرُوا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا

Artinya: “Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya; "Ini dari Allah", (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu.” (QS. Al-Baqarah [02] ayat 79)

5.            Penyebaran dan Diaspora Yahudi

Setelah masa Nabi Musa as., Yahudi mengalami berbagai fase sejarah, termasuk:

·                     Kerajaan Daud dan Sulaiman.

Era ini dianggap sebagai puncak kejayaan Yahudi dalam sejarah keagamaan mereka.

·                     Pengasingan di Babilonia.

Setelah dihancurkannya Bait Suci pertama, banyak Yahudi yang diasingkan ke Babilonia.

·                     Kembali ke Palestina dan Pembangunan Kembali Bait Suci.

Setelah masa pembuangan, mereka kembali ke Palestina dan membangun kembali Bait Suci kedua, yang kemudian dihancurkan oleh Romawi.⁷

6.            Yahudi dalam Konteks Modern

Dalam konteks modern, istilah Yahudi tidak hanya mencakup keturunan biologis dari Bani Israil, tetapi juga mencakup identitas keagamaan dan budaya. Sebagian besar komunitas Yahudi hari ini mengidentifikasi diri berdasarkan tradisi dan hukum agama Yahudi yang berkembang pasca era Taurat.⁸


Catatan Kaki

[1]              Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa al-Nihayah, Juz 1, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), hlm. 234.

[2]              Muhammad bin Jarir Al-Thabari, Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān, Juz 1, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 2001), hlm. 200.

[3]              Al-Qur'an, QS. Yusuf: 4; QS. Al-Ankabut: 27.

[4]              Al-Raghib Al-Asfahani, Al-Mufradat fi Gharib Al-Qur'an, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2005), hlm. 55.

[5]              Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’ān al-‘Aẓīm, Juz 2, (Riyadh: Darussalam, 2000), hlm. 320.

[6]              Al-Qur'an, QS. Al-Maidah: 44; QS. Al-Baqarah: 79.

[7]              Howard M. Sachar, A History of Israel: From the Rise of Zionism to Our Time, (New York: Alfred A. Knopf, 2007), hlm. 22.

[8]              Sayyid Qutb, Fi Zilal al-Qur'an, Juz 1, (Kairo: Dar al-Syuruq, 1980), hlm. 211.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar