Senin, 09 Desember 2024

Non-Ilmu: Kajian Kritis terhadap Batasan Pengetahuan Ilmiah

Non-Ilmu

Kajian Kritis terhadap Batasan Pengetahuan Ilmiah


Alihkan ke: Ilmu Pengetahuan.


Abstrak

Artikel ini membahas konsep “non-ilmu” dalam perspektif epistemologi dan filsafat ilmu sebagai bagian dari upaya memahami batas-batas pengetahuan ilmiah. Dalam tradisi filsafat ilmu, perdebatan mengenai demarkasi antara ilmu dan non-ilmu telah berlangsung lama, mulai dari pendekatan falsifikasionisme Karl Popper hingga kritik postmodern Paul Feyerabend. Kajian ini menunjukkan bahwa bentuk-bentuk pengetahuan yang tidak termasuk dalam kategori ilmiah—seperti kepercayaan religius, kebijaksanaan lokal, intuisi estetis, hingga tradisi budaya—tidak serta-merta dapat dianggap tidak sahih. Sebaliknya, dalam banyak konteks, “non-ilmu” memiliki nilai epistemik, sosial, dan kultural yang penting. Melalui pendekatan kajian pustaka terhadap literatur ilmiah dan filosofis, artikel ini menyoroti keragaman kategori non-ilmu, perdebatan filosofis seputar legitimasi epistemologisnya, serta relevansi dan implikasi praktisnya dalam bidang pendidikan, kebudayaan, dan pembangunan pengetahuan. Hasil kajian ini merekomendasikan paradigma epistemologis yang lebih inklusif dan transdisipliner sebagai upaya menyikapi kompleksitas realitas kontemporer.

Kata Kunci: Non-ilmu, epistemologi, filsafat ilmu, falsifikasi, pluralisme epistemik, pseudo-science, pendidikan, kearifan lokal.


PEMBAHASAN

Konsep Non-Ilmu dalam Perspektif Epistemologi dan Filsafat Ilmu


1.           Pendahuluan

Dalam perjalanan sejarah intelektual umat manusia, ilmu pengetahuan telah menempati posisi sentral sebagai instrumen rasional untuk memahami realitas. Ilmu berkembang bukan hanya sebagai kumpulan pengetahuan, tetapi juga sebagai sistem metodologis yang didasarkan pada rasionalitas, empirisme, dan logika. Dalam konteks inilah muncul kebutuhan untuk membedakan antara apa yang disebut sebagai ilmu dan apa yang berada di luar atau di luar batasannya, yang oleh sebagian kalangan disebut sebagai “non-ilmu”.

Konsep “non-ilmu” menjadi penting untuk dikaji karena berkaitan langsung dengan batasan epistemologis dalam membedakan pengetahuan yang dapat diuji secara ilmiah dengan pengetahuan yang bersifat spekulatif, normatif, atau transenden. Secara umum, “non-ilmu” merujuk pada segala bentuk pengetahuan yang tidak memenuhi kriteria keilmuan, baik dari segi metode, validasi empiris, maupun logika rasional. Hal ini mencakup bidang-bidang seperti mitos, intuisi, kepercayaan, seni, agama, dan bahkan metafisika dalam pengertiannya yang paling luas.¹

Diskursus mengenai batasan antara ilmu dan non-ilmu telah menjadi perhatian utama dalam filsafat ilmu, khususnya sejak abad ke-20 ketika muncul perdebatan tentang “garis demarkasi” (demarcation line) — yaitu usaha untuk menetapkan batas jelas antara ilmu dan pseudo-ilmu. Karl Popper, salah satu tokoh penting dalam filsafat ilmu, menegaskan bahwa kriteria utama keilmuan adalah falsifiabilitas, yakni kemampuan suatu teori untuk diuji dan berpotensi disangkal oleh bukti empiris.² Berdasarkan pendekatan ini, setiap pengetahuan yang tidak bisa diuji secara empiris dan tidak terbuka terhadap falsifikasi, berada di luar wilayah ilmu — dan dengan demikian masuk dalam kategori non-ilmu.

Namun, tidak semua filsuf ilmu sepakat dengan pendekatan Popper. Thomas S. Kuhn, melalui konsep paradigm shift, menunjukkan bahwa perkembangan ilmu tidak selalu linear dan objektif, melainkan sangat dipengaruhi oleh kerangka paradigma yang dianut komunitas ilmiah.³ Imre Lakatos dan Paul Feyerabend bahkan lebih radikal dalam menyoroti kompleksitas dan relativitas metode ilmiah.⁴ Feyerabend, misalnya, menolak adanya metode ilmiah yang baku dan menyatakan bahwa kemajuan ilmu seringkali terjadi justru karena pelanggaran terhadap aturan metodologis yang mapan.⁵ Oleh karena itu, upaya untuk menggambarkan “non-ilmu” tidaklah sesederhana membuat daftar hitam pengetahuan, melainkan harus dilihat dalam konteks historis, sosiologis, dan filosofis.

Dalam realitas sosial dan budaya kontemporer, kehadiran non-ilmu tidak dapat diabaikan. Kepercayaan populer, praktik pseudoscientific, keyakinan keagamaan, dan bahkan narasi-narasi spiritual atau tradisional tetap memainkan peran dalam membentuk persepsi masyarakat tentang kebenaran. Hal ini menimbulkan pertanyaan kritis: apakah semua bentuk pengetahuan yang tidak ilmiah harus ditolak? Ataukah perlu ada ruang dalam epistemologi untuk mengakui keberadaan non-scientific ways of knowing yang juga sahih dalam konteksnya masing-masing?

Melalui kajian ini, penulis berupaya mengangkat kembali wacana tentang “non-ilmu” sebagai bagian dari diskursus epistemologi dan filsafat ilmu. Kajian ini bertujuan untuk menjelaskan batas-batas antara ilmu dan non-ilmu, mengevaluasi validitas konseptualnya, serta menyoroti implikasinya dalam ranah sosial, pendidikan, dan kebudayaan. Dengan pendekatan filosofis dan telaah literatur ilmiah, diharapkan pembahasan ini dapat memperluas pemahaman pembaca terhadap dinamika kompleks antara ilmu, non-ilmu, dan bentuk-bentuk pengetahuan alternatif lainnya.


Footnotes

[1]                Alan F. Chalmers, What Is This Thing Called Science? (Indianapolis: Hackett Publishing, 2013), 19–21.

[2]                Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery, trans. by Hans Freeman (London: Routledge, 2002), 40–41.

[3]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 4th ed. (Chicago: University of Chicago Press, 2012), 77–91.

[4]                Imre Lakatos, The Methodology of Scientific Research Programmes (Cambridge: Cambridge University Press, 1978), 3–15.

[5]                Paul Feyerabend, Against Method, 4th ed. (London: Verso, 2010), xv–xvii.


2.           Kerangka Teoretis dan Kajian Literatur

2.1.       Pengertian Ilmu dan Kriteria Keilmuan

Ilmu dalam pengertian modern sering didefinisikan sebagai sistem pengetahuan yang diperoleh melalui metode empiris, rasional, dan sistematis, yang dapat diverifikasi secara objektif.1 Ilmu bersandar pada metodologi ilmiah yang melibatkan observasi, eksperimentasi, hipotesis, verifikasi, dan generalisasi.2 Dalam tradisi Barat, upaya untuk membedakan antara ilmu dan selain ilmu dikenal sebagai masalah demarkasi (demarcation problem), yakni pencarian kriteria yang dapat memisahkan secara tegas antara ilmu yang sahih dengan pseudo-ilmu atau bahkan non-ilmu.

Karl Popper adalah tokoh sentral dalam perdebatan ini. Ia menolak verifikasi sebagai dasar validitas ilmu dan menggantinya dengan prinsip falsifikasi, yakni bahwa teori ilmiah harus dapat diuji dan berpotensi disangkal oleh fakta.3 Baginya, jika suatu teori tidak dapat dibuktikan salah (unfalsifiable), maka teori tersebut tidak ilmiah. Sebagai contoh, astrologi dan psikoanalisis sering dikritik karena tidak memenuhi prinsip falsifiabilitas ini.4

Namun, kriteria Popper mendapat kritik dari Thomas S. Kuhn yang berpendapat bahwa ilmu tidak berkembang melalui penolakan teori lama secara langsung, melainkan melalui pergantian paradigma dalam komunitas ilmiah.5 Kuhn memperkenalkan konsep normal science dan scientific revolution untuk menjelaskan bahwa ilmu lebih bersifat historis dan sosiologis daripada logis dan universal.

Imre Lakatos mencoba menyatukan pandangan Popper dan Kuhn dengan menyusun kerangka research programmes yang bersifat progresif atau degeneratif.6 Sedangkan Paul Feyerabend menolak keberadaan metodologi ilmiah yang baku dan menyatakan bahwa "anything goes" dalam sejarah ilmu.7 Feyerabend mengkritik dominasi sains sebagai bentuk "scientific chauvinism" yang dapat mengesampingkan bentuk-bentuk pengetahuan lain seperti mitos, seni, dan agama.

2.2.       Konsep “Non-Ilmu” dalam Wacana Epistemologi

Dalam kerangka epistemologi, “non-ilmu” dapat diartikan sebagai bentuk pengetahuan yang tidak memenuhi syarat-syarat keilmuan sebagaimana ditetapkan oleh tradisi positivistik atau kritis-rasionalis. Namun, pengertian ini bukan berarti bahwa non-ilmu tidak memiliki nilai epistemik sama sekali. Sebaliknya, banyak tradisi intelektual dan kultural yang mengakui eksistensi pengetahuan non-ilmiah sebagai bagian dari cara manusia memahami dunia.

Menurut Stephen Toulmin, ilmu tidak berdiri di atas landasan yang benar-benar objektif dan netral, melainkan dipengaruhi oleh konteks retoris, sosial, dan budaya.8 Maka dari itu, kategori “non-ilmu” seringkali muncul bukan karena ketiadaan rasionalitas, melainkan karena keberbedaan dalam cara pendekatan terhadap realitas. Agama, seni, dan filsafat metafisika misalnya, meskipun tidak menggunakan metode ilmiah, tetap menawarkan bentuk pemahaman mendalam tentang eksistensi, makna, dan nilai.

Sejumlah sarjana juga membedakan antara non-scientific knowledge (pengetahuan non-ilmiah) dengan pseudo-scientific knowledge (pengetahuan semu).9 Yang pertama merujuk pada pengetahuan yang sah dalam konteksnya sendiri namun tidak ilmiah (seperti intuisi atau wahyu), sedangkan yang kedua merujuk pada klaim-klaim yang menyaru sebagai ilmu padahal tidak memenuhi prinsip-prinsip ilmiah.

2.3.       Ilmu, Non-Ilmu, dan Integrasi Pengetahuan

Dalam studi epistemologi Islam, muncul gagasan tentang integrasi ilmu (al-‘ilm) yang mencakup ilmu empiris, rasional, dan intuitif atau ilham. Al-Ghazali, misalnya, mengakui keabsahan pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman spiritual sebagai bentuk makrifah, yang meskipun tidak dapat diuji secara empiris, namun tetap memiliki landasan epistemik yang kuat.10

Senada dengan itu, Ibn Khaldun dalam Muqaddimah-nya membedakan antara ilmu rasional (‘aqlī) dan ilmu tradisional (naqlī), dan menekankan bahwa keduanya sama-sama penting dalam memahami realitas manusia dan masyarakat.11 Dengan demikian, konsep “non-ilmu” dalam perspektif Islam tidak serta-merta dianggap sebagai sesuatu yang inferior, melainkan sebagai bagian dari spektrum pengetahuan yang lebih luas.


Footnotes

[1]                Richard Burian, "Scientific Knowledge," in The Routledge Companion to Philosophy of Science, ed. Stathis Psillos and Martin Curd (London: Routledge, 2008), 241–253.

[2]                Peter Godfrey-Smith, Theory and Reality: An Introduction to the Philosophy of Science (Chicago: University of Chicago Press, 2003), 9–12.

[3]                Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery, trans. by Hans Freeman (London: Routledge, 2002), 40–41.

[4]                Sven Ove Hansson, "Science and Pseudo-Science," Stanford Encyclopedia of Philosophy, 2017, https://plato.stanford.edu/entries/pseudo-science/.

[5]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 4th ed. (Chicago: University of Chicago Press, 2012), 77–91.

[6]                Imre Lakatos, The Methodology of Scientific Research Programmes (Cambridge: Cambridge University Press, 1978), 3–15.

[7]                Paul Feyerabend, Against Method, 4th ed. (London: Verso, 2010), xv–xvii.

[8]                Stephen Toulmin, Human Understanding: The Collective Use and Evolution of Concepts (Princeton: Princeton University Press, 1972), 123–129.

[9]                Massimo Pigliucci and Maarten Boudry, Philosophy of Pseudoscience: Reconsidering the Demarcation Problem (Chicago: University of Chicago Press, 2013), 5–18.

[10]             Al-Ghazālī, Mīzān al-‘Amal, ed. Sulaymān Dunyā (Kairo: Dār al-Ma‘ārif, 1964), 233–240.

[11]             Ibn Khaldūn, The Muqaddimah: An Introduction to History, trans. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 1967), 299–306.


3.           Kategori dan Contoh-Contoh “Non-Ilmu”

Konsep “non-ilmu” mencakup ragam bentuk pengetahuan atau kepercayaan yang tidak memenuhi kriteria keilmuan sebagaimana ditetapkan dalam kerangka epistemologi modern. Pengetahuan semacam ini tidak tunduk pada prinsip verifikasi empiris, falsifikasi, dan objektivitas metodologis. Meski demikian, non-ilmu tetap memiliki peran signifikan dalam kehidupan manusia, baik dalam ranah pribadi, sosial, maupun kultural. Dalam konteks ini, penting untuk mengkategorikan berbagai bentuk non-ilmu agar dapat dipahami secara lebih sistematis.

3.1.       Pengetahuan Non-Ilmiah dalam Kehidupan Sehari-Hari

Salah satu bentuk paling umum dari non-ilmu adalah pengetahuan sehari-hari (common sense knowledge) atau pengetahuan pra-ilmiah. Pengetahuan ini diperoleh melalui pengalaman langsung, intuisi, atau warisan budaya, dan sering kali digunakan untuk membuat keputusan praktis dalam kehidupan.1 Meskipun tidak diuji secara sistematis, pengetahuan ini bersifat fungsional dan berguna dalam konteks tertentu.

Sebagai contoh, kepercayaan tradisional mengenai waktu bercocok tanam atau penggunaan ramuan herbal dalam pengobatan sering kali tidak memiliki dukungan empiris dalam arti ilmiah, namun tetap dipercaya dan dipraktikkan karena efektivitas yang dirasakan secara kolektif.2 Pengetahuan seperti ini tidak dapat digolongkan sebagai pseudo-science karena tidak mengklaim dirinya ilmiah, melainkan merupakan bentuk “non-ilmu” yang hidup dalam struktur budaya masyarakat.

3.2.       Pseudo-Science dan Pseudo-Knowledge

Kategori lain dari non-ilmu adalah pseudo-science atau ilmu semu, yaitu klaim-klaim yang menggunakan bahasa atau tampilan ilmiah namun tidak memenuhi syarat-syarat dasar keilmuan. Ciri khas pseudo-science antara lain adalah tidak dapat diuji secara falsifikatif, bergantung pada testimoni anekdotal, tidak berkembang melalui proses peer-review, serta sering kali bersifat dogmatis.3

Contoh populer dari pseudo-science meliputi astrologi, numerologi, homeopati ekstrem, dan teori konspirasi yang menyamar sebagai analisis ilmiah. Sven Ove Hansson menyatakan bahwa pseudo-science “menggunakan retorika ilmiah untuk mengecoh, bukan untuk mengungkap kebenaran.”_4 Berbeda dari pengetahuan tradisional, pseudo-science justru sering mengklaim sebagai sains yang lebih benar atau lebih unggul dari sains konvensional, sehingga menimbulkan kebingungan epistemologis di masyarakat.

3.3.       Pengetahuan dalam Agama, Seni, dan Etika

Pengetahuan dalam bidang agama, seni, dan etika juga termasuk dalam kategori non-ilmu, namun memiliki status epistemik tersendiri. Pengetahuan keagamaan misalnya, didasarkan pada wahyu, iman, dan pengalaman spiritual. Meskipun tidak dapat diuji secara empiris, banyak masyarakat dan peradaban yang menganggapnya sebagai sumber pengetahuan yang sah dan bahkan tertinggi.5 Dalam tradisi filsafat Islam, pengetahuan semacam ini dikategorikan sebagai ‘ilm ladunī atau ma‘rifah, yang menekankan dimensi batiniah dan transenden dari pengetahuan.6

Demikian pula, seni mengandung jenis pengetahuan estetis (aesthetic knowledge) yang tidak bisa dinilai melalui logika formal atau metode eksperimen, tetapi melalui pengalaman langsung, intuisi, dan empati.7 Sedangkan dalam etika, pengetahuan normatif tentang benar dan salah bersandar pada nilai-nilai yang tidak bisa diverifikasi secara ilmiah, meskipun tetap dapat diperdebatkan secara rasional.

Karena itulah, ilmuwan kontemporer seperti Michael Polanyi menekankan pentingnya tacit knowledge, yakni pengetahuan implisit yang tidak dapat sepenuhnya diekspresikan dalam proposisi ilmiah tetapi tetap esensial dalam praktik ilmu pengetahuan itu sendiri.8 Ini menunjukkan bahwa bahkan dalam sains, terdapat wilayah pengetahuan non-ilmiah yang tidak dapat diabaikan.


Footnotes

[1]                Nicholas Rescher, Epistemology: An Introduction to the Theory of Knowledge (Albany: State University of New York Press, 2003), 45–47.

[2]                Massimo Pigliucci and Maarten Boudry, eds., Philosophy of Pseudoscience: Reconsidering the Demarcation Problem (Chicago: University of Chicago Press, 2013), 12–17.

[3]                Sven Ove Hansson, "Science and Pseudo-Science," Stanford Encyclopedia of Philosophy, 2017, https://plato.stanford.edu/entries/pseudo-science/.

[4]                Paul R. Gross and Norman Levitt, Higher Superstition: The Academic Left and Its Quarrels with Science (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1997), 27–30.

[5]                William P. Alston, Perceiving God: The Epistemology of Religious Experience (Ithaca: Cornell University Press, 1991), 33–36.

[6]                Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, vol. 3 (Beirut: Dār al-Ma‘rifah, n.d.), 17–20.

[7]                Nelson Goodman, Languages of Art: An Approach to a Theory of Symbols (Indianapolis: Hackett, 1976), 58–63.

[8]                Michael Polanyi, The Tacit Dimension (Chicago: University of Chicago Press, 2009), 4–7.


4.           Perdebatan Filosofis tentang “Non-Ilmu”

Perbincangan mengenai “non-ilmu” tidak dapat dilepaskan dari perdebatan mendalam dalam ranah filsafat ilmu, khususnya terkait masalah demarkasi dan kriteria keabsahan pengetahuan. Filsuf-filsuf ilmu modern hingga kontemporer memperdebatkan bagaimana membedakan ilmu dari bukan ilmu (non-science), serta apakah bentuk-bentuk pengetahuan di luar sains memiliki nilai epistemologis yang sah. Perdebatan ini mencerminkan dinamika antara pendekatan rasional-positivistik dengan pendekatan historis, sosiologis, dan bahkan relativistik terhadap ilmu.

4.1.       Kritik terhadap Ilmu oleh Filsuf Postmodern

Salah satu kritik paling tajam terhadap sains modern datang dari Paul Feyerabend, yang dalam karyanya Against Method menyatakan bahwa tidak ada satu pun metode ilmiah universal yang dapat digunakan untuk membedakan antara ilmu dan non-ilmu. Ia berargumen bahwa kemajuan ilmu pengetahuan sering kali terjadi karena pelanggaran terhadap aturan-aturan metodologis yang mapan.¹ Feyerabend menyimpulkan bahwa prinsip “anything goes” (apa saja boleh) justru lebih realistis dalam menggambarkan dinamika perkembangan ilmu.²

Feyerabend juga menyoroti bahwa dominasi sains dalam masyarakat modern telah menjadikan ilmu sebagai bentuk ideologi baru yang menyingkirkan bentuk-bentuk pengetahuan alternatif seperti tradisi, agama, dan budaya lokal.³ Kritik ini menantang anggapan bahwa sains adalah satu-satunya cara yang sah untuk memperoleh pengetahuan (epistemic monism), dan membuka ruang bagi legitimasi epistemologi non-ilmiah.

Sementara itu, Jean-François Lyotard dalam The Postmodern Condition menyatakan bahwa narasi besar (grand narratives) tentang kemajuan, sains, dan rasionalitas telah kehilangan legitimasi.⁴ Ia menunjukkan bahwa pengetahuan tidak lagi bisa dipusatkan hanya pada sains, karena masyarakat postmodern justru menunjukkan keberagaman bentuk pengetahuan yang bersifat lokal, partikular, dan tidak universal.

4.2.       Posisi “Non-Ilmu” dalam Peta Keilmuan Modern

Dalam konteks ini, “non-ilmu” tidak lagi semata-mata dianggap sebagai pengetahuan yang inferior atau keliru, tetapi sebagai bagian dari spektrum pengetahuan yang sah secara sosial dan kultural. Filsuf seperti Hilary Putnam menolak dikotomi keras antara “fakta” dan “nilai” yang sering dipertahankan oleh positivisme logis.⁵ Putnam menekankan bahwa pengetahuan ilmiah tidak bebas nilai, dan bahwa aspek normatif hadir bahkan dalam sains yang paling empiris sekalipun.

Demikian pula, Thomas Kuhn melalui konsep paradigma dan pergeseran revolusioner menunjukkan bahwa apa yang dianggap ilmiah sangat tergantung pada konsensus komunitas ilmiah dalam suatu periode tertentu.⁶ Hal ini berarti bahwa batas antara ilmu dan non-ilmu bisa berubah seiring waktu dan tidak bersifat tetap. Bahkan banyak teori yang dulunya dianggap sebagai pseudo-science, kemudian diakui sebagai ilmu setelah terjadi perubahan paradigma — contohnya adalah teori kontinen Alfred Wegener yang semula ditolak namun akhirnya menjadi dasar teori tektonik lempeng.⁷

Bruno Latour, dalam pendekatan sosiologi ilmu, juga mengkritik anggapan bahwa ilmu bersifat netral dan objektif. Ia menunjukkan bagaimana proses produksi ilmu melibatkan interaksi kompleks antara ilmuwan, institusi, teknologi, dan kekuasaan.⁸ Ini mengaburkan batas antara sains dan non-sains, serta menunjukkan bahwa “keilmuan” adalah konstruksi sosial yang dinegosiasikan secara terus-menerus.

4.3.       Implikasi Epistemologis: Menggeser Makna “Kebenaran”

Perdebatan tentang non-ilmu pada akhirnya menggugah pertanyaan yang lebih mendasar: apa itu kebenaran? Dalam epistemologi kontemporer, terdapat kesadaran bahwa kebenaran tidak selalu bermakna korespondensi objektif antara pernyataan dan realitas empiris, melainkan juga dapat berarti koherensi, utilitas, atau keterterimaan antar-subjektif.⁹ Dengan demikian, bentuk-bentuk non-ilmu seperti keyakinan religius, intuisi estetis, dan tradisi lokal bisa dianggap sahih dalam konteks epistemologisnya masing-masing.

Sebagai akibatnya, para filsuf dan ilmuwan kini mulai mempertimbangkan pendekatan pluralisme epistemologis, yaitu pengakuan bahwa terdapat banyak cara sah untuk mengetahui dunia, dan tidak semuanya harus tunduk pada kriteria keilmuan yang ketat.¹⁰ Pluralisme ini membuka jalan bagi dialog antara sains dan bentuk-bentuk pengetahuan lain, serta menempatkan “non-ilmu” dalam posisi yang lebih konstruktif ketimbang sekadar sebagai objek penolakan ilmiah.


Footnotes

[1]                Paul Feyerabend, Against Method, 4th ed. (London: Verso, 2010), xv–xvii.

[2]                Ibid., 7–15.

[3]                Ibid., 31–33.

[4]                Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), xxiv–xxv.

[5]                Hilary Putnam, The Collapse of the Fact/Value Dichotomy and Other Essays (Cambridge: Harvard University Press, 2002), 5–8.

[6]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 4th ed. (Chicago: University of Chicago Press, 2012), 150–159.

[7]                Naomi Oreskes, Plate Tectonics: An Insider's History of the Modern Theory of the Earth (Boulder: Westview Press, 2001), 23–30.

[8]                Bruno Latour and Steve Woolgar, Laboratory Life: The Construction of Scientific Facts (Princeton: Princeton University Press, 1986), 40–42.

[9]                Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 170–172.

[10]             Sandra Harding, Whose Science? Whose Knowledge?: Thinking from Women's Lives (Ithaca: Cornell University Press, 1991), 110–115.


5.           Relevansi dan Implikasi Kajian “Non-Ilmu”

Kajian terhadap “non-ilmu” bukan sekadar upaya mendefinisikan batas epistemik antara ilmu dan selain ilmu, melainkan menyentuh dimensi praksis yang luas dalam berbagai bidang kehidupan. Mengingat bahwa manusia tidak hanya hidup dalam tatanan rasional-empiris, melainkan juga dalam dimensi simbolik, spiritual, dan kultural, maka memahami peran dan kedudukan “non-ilmu” menjadi relevan secara filosofis, sosial, dan pedagogis. Gagasan ini berdampak luas terhadap epistemologi, pendidikan, kebudayaan, bahkan kebijakan publik.

5.1.       Implikasi Epistemologis: Menuju Paradigma Pengetahuan yang Inklusif

Salah satu kontribusi utama dari kajian non-ilmu adalah mendorong pengembangan paradigma epistemologis yang lebih inklusif dan reflektif. Kritik terhadap dominasi positivisme dan rasionalisme menegaskan bahwa ilmu bukan satu-satunya jalan untuk memahami kenyataan. Pluralisme epistemik memungkinkan pengakuan atas validitas bentuk-bentuk pengetahuan non-ilmiah yang sebelumnya dianggap inferior atau irasional.¹

Menurut Basarab Nicolescu dalam Manifesto of Transdisciplinarity, pengetahuan harus melampaui dikotomi antara ilmu dan non-ilmu serta dibuka ke arah dimensi transpersonal, spiritual, dan budaya.² Ia menekankan bahwa transdisiplinaritas menuntut keterbukaan terhadap berbagai “level of Reality” yang tidak bisa dijangkau hanya melalui metode ilmiah konvensional.

Kesadaran ini penting karena banyak persoalan kontemporer—seperti krisis ekologis, degradasi moral, dan ketimpangan sosial—tidak bisa diselesaikan hanya dengan pendekatan ilmiah-teknologis, tetapi membutuhkan kontribusi dari etika, agama, dan nilai-nilai kemanusiaan.³

5.2.       Implikasi dalam Dunia Pendidikan

Dalam ranah pendidikan, pengakuan terhadap “non-ilmu” memunculkan kebutuhan untuk meninjau ulang pendekatan pedagogis yang terlalu saintifik dan teknokratik. Kurikulum modern yang terlalu menekankan sains dan teknologi seringkali mengabaikan dimensi nilai, kebijaksanaan tradisional, dan pengalaman spiritual.⁴

Menurut Nel Noddings, pendidikan seharusnya tidak hanya mengajarkan "what is" tetapi juga "what ought to be".⁵ Oleh karena itu, pengetahuan moral, estetika, dan spiritual yang tidak selalu dapat dikuantifikasi tetap harus diberi ruang dalam proses pembelajaran. Pendidikan yang menghargai non-ilmu dapat membentuk manusia utuh (whole person) yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara emosional dan spiritual.

Di Indonesia, pendekatan integratif seperti “pendidikan karakter” dan “pendidikan berbasis kearifan lokal” adalah contoh konkret bagaimana non-ilmu dapat diposisikan secara produktif dalam sistem pendidikan.⁶ Pendekatan ini tidak bertentangan dengan sains, tetapi justru melengkapinya.

5.3.       Implikasi Sosial dan Kultural

Dalam ranah sosial dan budaya, non-ilmu memainkan peran penting dalam membentuk identitas kolektif, nilai-nilai bersama, dan kohesi sosial. Pengetahuan tradisional, narasi agama, dan sistem simbolik masyarakat lokal sering menjadi sumber makna yang menopang keberlanjutan komunitas.⁷

Namun, dalam masyarakat modern, banyak bentuk non-ilmu yang dilecehkan atau didegradasi atas nama rasionalitas ilmiah. Hal ini menimbulkan alienasi dan krisis makna di tengah masyarakat.⁸ Maka, penting untuk mengembangkan pendekatan dialogis antara ilmu dan non-ilmu agar keduanya tidak saling menegasikan, tetapi saling melengkapi dalam membangun masyarakat yang beradab.

Pengetahuan non-ilmiah seperti kepercayaan spiritual, mitologi, dan nilai adat tidak dapat direduksi menjadi “kebodohan” hanya karena tidak dapat dibuktikan secara ilmiah. Sebaliknya, mereka harus dibaca sebagai warisan epistemik yang mengandung kebijaksanaan kontekstual.⁹ Dalam hal ini, “non-ilmu” justru berfungsi sebagai pengimbang terhadap hegemoni logika instrumen yang sering mengabaikan nilai kemanusiaan.


Footnotes

[1]                Sandra Harding, Is Science Multicultural? Postcolonialisms, Feminisms, and Epistemologies (Bloomington: Indiana University Press, 1998), 116–118.

[2]                Basarab Nicolescu, Manifesto of Transdisciplinarity, trans. Karen-Claire Voss (Albany: State University of New York Press, 2002), 20–23.

[3]                Fritjof Capra, The Hidden Connections: A Science for Sustainable Living (New York: Anchor Books, 2004), 6–9.

[4]                David Carr, “Character and Moral Education: A Neo-Aristotelian Approach,” British Journal of Educational Studies 55, no. 4 (2007): 369–389.

[5]                Nel Noddings, Caring: A Relational Approach to Ethics and Moral Education (Berkeley: University of California Press, 2013), 54–55.

[6]                A. Malik Fadjar, Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal (Yogyakarta: LKiS, 2004), 29–31.

[7]                Boaventura de Sousa Santos, Epistemologies of the South: Justice Against Epistemicide (London: Routledge, 2014), 73–76.

[8]                Zygmunt Bauman, Liquid Modernity (Cambridge: Polity Press, 2000), 44–47.

[9]                Edward Shils, “Tradition,” Comparative Studies in Society and History 13, no. 2 (1971): 122–159.


6.           Simpulan dan Rekomendasi

6.1.       Simpulan

Kajian terhadap konsep “non-ilmu” dalam perspektif epistemologi dan filsafat ilmu menunjukkan bahwa batas antara ilmu dan non-ilmu bukanlah sesuatu yang kaku dan absolut, melainkan bersifat historis, sosial, dan filosofis. Gagasan klasik seperti falsifiabilitas Popper memberikan kerangka penting dalam membedakan ilmu dari pseudo-ilmu, tetapi tidak cukup untuk menjelaskan keberagaman bentuk pengetahuan yang berkembang dalam masyarakat.¹

Perkembangan filsafat ilmu pasca-positivistik melalui kontribusi tokoh-tokoh seperti Kuhn, Lakatos, Feyerabend, dan Lyotard menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan bukanlah aktivitas yang sepenuhnya objektif, bebas nilai, dan netral, tetapi merupakan konstruksi historis yang dipengaruhi oleh paradigma, konteks sosial, dan bahkan kekuasaan.² Dengan demikian, kategori “non-ilmu” tidak dapat secara serta-merta disamakan dengan irasionalitas atau kekeliruan, melainkan harus dipahami dalam konteks epistemologi yang lebih luas dan inklusif.

Pengetahuan non-ilmiah seperti kepercayaan religius, intuisi, pengalaman estetis, tradisi lokal, dan etika, memiliki kontribusi penting dalam memperkaya cara manusia memahami dunia. Dalam banyak kasus, bentuk-bentuk “non-ilmu” ini melengkapi dan bahkan memperhalus pendekatan sains yang sering kali terlalu reduktif dan teknis.³ Karenanya, mengakui eksistensi non-ilmu bukan berarti merelatifkan kebenaran, tetapi justru memperluas cakrawala epistemologis agar lebih manusiawi dan kontekstual.⁴

6.2.       Rekomendasi

Berdasarkan temuan dan argumentasi yang telah dikemukakan, terdapat beberapa rekomendasi strategis yang dapat diajukan untuk merespons urgensi kajian “non-ilmu” dalam konteks keilmuan kontemporer:

1)                  Mendorong Pluralisme Epistemologis dalam Pendidikan dan Akademik

Institusi pendidikan dan lembaga riset perlu mengembangkan pendekatan epistemologis yang menghargai keragaman cara mengetahui. Ini termasuk membuka ruang bagi diskusi lintas ilmu, dialog antara sains dan agama, serta mengintegrasikan kearifan lokal dalam kurikulum.⁵

2)                  Menjaga Keseimbangan antara Kritik dan Apresiasi terhadap Non-Ilmu

Penting untuk tetap bersikap kritis terhadap bentuk pseudo-ilmu yang merugikan masyarakat (misalnya hoaks medis atau konspirasi anti-sains), namun juga perlu mengembangkan sikap apresiatif terhadap bentuk pengetahuan non-ilmiah yang memiliki nilai fungsional, spiritual, atau kultural.⁶

3)                  Mengembangkan Kajian Interdisipliner dan Transdisipliner

Pengembangan kajian interdisipliner dan transdisipliner dapat menjadi jalan keluar untuk menghindari fragmentasi ilmu. Dalam semangat ini, non-ilmu bukan dilihat sebagai lawan ilmu, tetapi sebagai mitra dialog yang dapat memperkaya pemahaman multidimensional terhadap realitas.⁷

4)                  Menyusun Kerangka Kebijakan Berbasis Kearifan Epistemik Lokal

Pemerintah dan pembuat kebijakan dapat memanfaatkan pengetahuan non-ilmiah yang hidup di masyarakat sebagai bagian dari strategi pembangunan berbasis kearifan lokal, terutama dalam bidang kesehatan, pertanian, dan lingkungan.⁸

Dengan pendekatan yang lebih reflektif dan terbuka, kajian tentang non-ilmu dapat berkontribusi dalam membangun ekosistem pengetahuan yang lebih utuh, berkeadaban, dan relevan dengan kompleksitas kehidupan manusia kontemporer.


Footnotes

[1]                Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery, trans. by Hans Freeman (London: Routledge, 2002), 40–41.

[2]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 4th ed. (Chicago: University of Chicago Press, 2012), 150–159; Paul Feyerabend, Against Method, 4th ed. (London: Verso, 2010), xv–xvii.

[3]                Michael Polanyi, The Tacit Dimension (Chicago: University of Chicago Press, 2009), 4–7.

[4]                Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 170–172.

[5]                Sandra Harding, Whose Science? Whose Knowledge?: Thinking from Women's Lives (Ithaca: Cornell University Press, 1991), 110–115.

[6]                Sven Ove Hansson, "Science and Pseudo-Science," Stanford Encyclopedia of Philosophy, 2017, https://plato.stanford.edu/entries/pseudo-science/.

[7]                Basarab Nicolescu, Manifesto of Transdisciplinarity, trans. Karen-Claire Voss (Albany: SUNY Press, 2002), 20–25.

[8]                Boaventura de Sousa Santos, Epistemologies of the South: Justice Against Epistemicide (London: Routledge, 2014), 85–88.


Daftar Pustaka

Al-Ghazālī. (n.d.). Iḥyā’ ‘ulūm al-dīn (Vol. 3). Beirut: Dār al-Ma‘rifah.

Al-Ghazālī. (1964). Mīzān al-‘amal (S. Dunyā, Ed.). Kairo: Dār al-Ma‘ārif.

Bauman, Z. (2000). Liquid modernity. Cambridge: Polity Press.

Carr, D. (2007). Character and moral education: A Neo-Aristotelian approach. British Journal of Educational Studies, 55(4), 369–389. https://doi.org/10.1111/j.1467-8527.2007.00382.x

Capra, F. (2004). The hidden connections: A science for sustainable living. New York: Anchor Books.

Chalmers, A. F. (2013). What is this thing called science? (4th ed.). Indianapolis: Hackett Publishing.

de Sousa Santos, B. (2014). Epistemologies of the South: Justice against epistemicide. London: Routledge.

Fadjar, A. M. (2004). Pendidikan berbasis kearifan lokal. Yogyakarta: LKiS.

Feyerabend, P. (2010). Against method (4th ed.). London: Verso.

Godfrey-Smith, P. (2003). Theory and reality: An introduction to the philosophy of science. Chicago: University of Chicago Press.

Goodman, N. (1976). Languages of art: An approach to a theory of symbols. Indianapolis: Hackett.

Gross, P. R., & Levitt, N. (1997). Higher superstition: The academic left and its quarrels with science. Baltimore: Johns Hopkins University Press.

Harding, S. (1991). Whose science? Whose knowledge?: Thinking from women's lives. Ithaca: Cornell University Press.

Harding, S. (1998). Is science multicultural? Postcolonialisms, feminisms, and epistemologies. Bloomington: Indiana University Press.

Hansson, S. O. (2017). Science and pseudo-science. In Stanford Encyclopedia of Philosophy. https://plato.stanford.edu/entries/pseudo-science/

Ibn Khaldūn. (1967). The Muqaddimah: An introduction to history (F. Rosenthal, Trans.). Princeton: Princeton University Press.

Kuhn, T. S. (2012). The structure of scientific revolutions (4th ed.). Chicago: University of Chicago Press.

Lakatos, I. (1978). The methodology of scientific research programmes. Cambridge: Cambridge University Press.

Latour, B., & Woolgar, S. (1986). Laboratory life: The construction of scientific facts. Princeton: Princeton University Press.

Lyotard, J.-F. (1984). The postmodern condition: A report on knowledge (G. Bennington & B. Massumi, Trans.). Minneapolis: University of Minnesota Press.

Nicolescu, B. (2002). Manifesto of transdisciplinarity (K.-C. Voss, Trans.). Albany: State University of New York Press.

Noddings, N. (2013). Caring: A relational approach to ethics and moral education (2nd ed.). Berkeley: University of California Press.

Oreskes, N. (2001). Plate tectonics: An insider's history of the modern theory of the Earth. Boulder: Westview Press.

Pigliucci, M., & Boudry, M. (Eds.). (2013). Philosophy of pseudoscience: Reconsidering the demarcation problem. Chicago: University of Chicago Press.

Polanyi, M. (2009). The tacit dimension. Chicago: University of Chicago Press.

Popper, K. R. (2002). The logic of scientific discovery (H. Freeman, Trans.). London: Routledge.

Putnam, H. (2002). The collapse of the fact/value dichotomy and other essays. Cambridge: Harvard University Press.

Rescher, N. (2003). Epistemology: An introduction to the theory of knowledge. Albany: State University of New York Press.

Rorty, R. (1979). Philosophy and the mirror of nature. Princeton: Princeton University Press.

Shils, E. (1971). Tradition. Comparative Studies in Society and History, 13(2), 122–159. https://doi.org/10.1017/S0010417500006123

Toulmin, S. (1972). Human understanding: The collective use and evolution of concepts. Princeton: Princeton University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar