Non-Ilmu
Kajian Kritis terhadap Batasan Pengetahuan Ilmiah
Alihkan ke: Ilmu Pengetahuan.
Abstrak
Artikel ini membahas konsep “non-ilmu” dalam
perspektif epistemologi dan filsafat ilmu sebagai bagian dari upaya memahami
batas-batas pengetahuan ilmiah. Dalam tradisi filsafat ilmu, perdebatan
mengenai demarkasi antara ilmu dan non-ilmu telah berlangsung lama, mulai dari
pendekatan falsifikasionisme Karl Popper hingga kritik postmodern Paul
Feyerabend. Kajian ini menunjukkan bahwa bentuk-bentuk pengetahuan yang tidak
termasuk dalam kategori ilmiah—seperti kepercayaan religius, kebijaksanaan
lokal, intuisi estetis, hingga tradisi budaya—tidak serta-merta dapat dianggap
tidak sahih. Sebaliknya, dalam banyak konteks, “non-ilmu” memiliki nilai
epistemik, sosial, dan kultural yang penting. Melalui pendekatan kajian pustaka
terhadap literatur ilmiah dan filosofis, artikel ini menyoroti keragaman
kategori non-ilmu, perdebatan filosofis seputar legitimasi epistemologisnya,
serta relevansi dan implikasi praktisnya dalam bidang pendidikan, kebudayaan,
dan pembangunan pengetahuan. Hasil kajian ini merekomendasikan paradigma
epistemologis yang lebih inklusif dan transdisipliner sebagai upaya menyikapi
kompleksitas realitas kontemporer.
Kata Kunci: Non-ilmu, epistemologi, filsafat ilmu,
falsifikasi, pluralisme epistemik, pseudo-science, pendidikan, kearifan lokal.
PEMBAHASAN
Konsep Non-Ilmu dalam Perspektif Epistemologi dan
Filsafat Ilmu
1.
Pendahuluan
Dalam perjalanan
sejarah intelektual umat manusia, ilmu pengetahuan telah menempati posisi
sentral sebagai instrumen rasional untuk memahami realitas. Ilmu berkembang
bukan hanya sebagai kumpulan pengetahuan, tetapi juga sebagai sistem
metodologis yang didasarkan pada rasionalitas, empirisme, dan logika. Dalam konteks
inilah muncul kebutuhan untuk membedakan antara apa yang disebut sebagai ilmu
dan apa yang berada di luar atau di luar batasannya, yang oleh sebagian
kalangan disebut sebagai “non-ilmu”.
Konsep “non-ilmu”
menjadi penting untuk dikaji karena berkaitan langsung dengan batasan
epistemologis dalam membedakan pengetahuan yang dapat diuji secara ilmiah
dengan pengetahuan yang bersifat spekulatif, normatif, atau transenden. Secara
umum, “non-ilmu” merujuk pada segala bentuk pengetahuan yang tidak memenuhi
kriteria keilmuan, baik dari segi metode, validasi empiris, maupun logika
rasional. Hal ini mencakup bidang-bidang seperti mitos, intuisi, kepercayaan,
seni, agama, dan bahkan metafisika dalam pengertiannya yang paling luas.¹
Diskursus mengenai
batasan antara ilmu dan non-ilmu telah menjadi perhatian utama dalam filsafat
ilmu, khususnya sejak abad ke-20 ketika muncul perdebatan tentang “garis
demarkasi” (demarcation line) — yaitu usaha untuk menetapkan batas jelas antara
ilmu dan pseudo-ilmu. Karl Popper, salah satu tokoh penting dalam filsafat
ilmu, menegaskan bahwa kriteria utama keilmuan adalah falsifiabilitas, yakni
kemampuan suatu teori untuk diuji dan berpotensi disangkal oleh bukti empiris.²
Berdasarkan pendekatan ini, setiap pengetahuan yang tidak bisa diuji secara
empiris dan tidak terbuka terhadap falsifikasi, berada di luar wilayah ilmu —
dan dengan demikian masuk dalam kategori non-ilmu.
Namun, tidak semua
filsuf ilmu sepakat dengan pendekatan Popper. Thomas S. Kuhn, melalui konsep paradigm
shift, menunjukkan bahwa perkembangan ilmu tidak selalu linear dan
objektif, melainkan sangat dipengaruhi oleh kerangka paradigma yang dianut
komunitas ilmiah.³ Imre Lakatos dan Paul Feyerabend bahkan lebih radikal dalam
menyoroti kompleksitas dan relativitas metode ilmiah.⁴ Feyerabend, misalnya,
menolak adanya metode ilmiah yang baku dan menyatakan bahwa kemajuan ilmu
seringkali terjadi justru karena pelanggaran terhadap aturan metodologis yang
mapan.⁵ Oleh karena itu, upaya untuk menggambarkan “non-ilmu” tidaklah
sesederhana membuat daftar hitam pengetahuan, melainkan harus dilihat dalam
konteks historis, sosiologis, dan filosofis.
Dalam realitas
sosial dan budaya kontemporer, kehadiran non-ilmu tidak dapat diabaikan.
Kepercayaan populer, praktik pseudoscientific, keyakinan keagamaan, dan bahkan
narasi-narasi spiritual atau tradisional tetap memainkan peran dalam membentuk
persepsi masyarakat tentang kebenaran. Hal ini menimbulkan pertanyaan kritis:
apakah semua bentuk pengetahuan yang tidak ilmiah harus ditolak? Ataukah perlu
ada ruang dalam epistemologi untuk mengakui keberadaan non-scientific
ways of knowing yang juga sahih dalam konteksnya masing-masing?
Melalui kajian ini,
penulis berupaya mengangkat kembali wacana tentang “non-ilmu” sebagai
bagian dari diskursus epistemologi dan filsafat ilmu. Kajian ini bertujuan
untuk menjelaskan batas-batas antara ilmu dan non-ilmu, mengevaluasi validitas
konseptualnya, serta menyoroti implikasinya dalam ranah sosial, pendidikan, dan
kebudayaan. Dengan pendekatan filosofis dan telaah literatur ilmiah, diharapkan
pembahasan ini dapat memperluas pemahaman pembaca terhadap dinamika kompleks
antara ilmu, non-ilmu, dan bentuk-bentuk pengetahuan alternatif lainnya.
Footnotes
[1]
Alan F. Chalmers, What Is This Thing Called Science?
(Indianapolis: Hackett Publishing, 2013), 19–21.
[2]
Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery, trans. by
Hans Freeman (London: Routledge, 2002), 40–41.
[3]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 4th
ed. (Chicago: University of Chicago Press, 2012), 77–91.
[4]
Imre Lakatos, The Methodology of Scientific Research Programmes
(Cambridge: Cambridge University Press, 1978), 3–15.
[5]
Paul Feyerabend, Against Method, 4th ed. (London: Verso,
2010), xv–xvii.
2.
Kerangka
Teoretis dan Kajian Literatur
2.1.
Pengertian Ilmu dan Kriteria Keilmuan
Ilmu dalam
pengertian modern sering didefinisikan sebagai sistem pengetahuan yang
diperoleh melalui metode empiris, rasional, dan sistematis, yang dapat
diverifikasi secara objektif.1 Ilmu bersandar pada metodologi ilmiah
yang melibatkan observasi, eksperimentasi, hipotesis, verifikasi, dan
generalisasi.2 Dalam tradisi Barat, upaya untuk membedakan antara
ilmu dan selain ilmu dikenal sebagai masalah demarkasi (demarcation problem),
yakni pencarian kriteria yang dapat memisahkan secara tegas antara ilmu yang
sahih dengan pseudo-ilmu atau bahkan non-ilmu.
Karl Popper adalah
tokoh sentral dalam perdebatan ini. Ia menolak verifikasi sebagai dasar
validitas ilmu dan menggantinya dengan prinsip falsifikasi, yakni bahwa teori
ilmiah harus dapat diuji dan berpotensi disangkal oleh fakta.3
Baginya, jika suatu teori tidak dapat dibuktikan salah (unfalsifiable), maka
teori tersebut tidak ilmiah. Sebagai contoh, astrologi dan psikoanalisis sering
dikritik karena tidak memenuhi prinsip falsifiabilitas ini.4
Namun, kriteria
Popper mendapat kritik dari Thomas S. Kuhn yang berpendapat bahwa ilmu tidak
berkembang melalui penolakan teori lama secara langsung, melainkan melalui
pergantian paradigma dalam komunitas ilmiah.5 Kuhn memperkenalkan
konsep normal
science dan scientific revolution untuk
menjelaskan bahwa ilmu lebih bersifat historis dan sosiologis daripada logis
dan universal.
Imre Lakatos mencoba
menyatukan pandangan Popper dan Kuhn dengan menyusun kerangka research
programmes yang bersifat progresif atau degeneratif.6
Sedangkan Paul Feyerabend menolak keberadaan metodologi ilmiah yang baku dan
menyatakan bahwa "anything goes" dalam sejarah ilmu.7
Feyerabend mengkritik dominasi sains sebagai bentuk "scientific chauvinism"
yang dapat mengesampingkan bentuk-bentuk pengetahuan lain seperti mitos, seni,
dan agama.
2.2.
Konsep “Non-Ilmu” dalam Wacana Epistemologi
Dalam kerangka
epistemologi, “non-ilmu” dapat diartikan sebagai bentuk pengetahuan yang
tidak memenuhi syarat-syarat keilmuan sebagaimana ditetapkan oleh tradisi
positivistik atau kritis-rasionalis. Namun, pengertian ini bukan berarti bahwa
non-ilmu tidak memiliki nilai epistemik sama sekali. Sebaliknya, banyak tradisi
intelektual dan kultural yang mengakui eksistensi pengetahuan non-ilmiah
sebagai bagian dari cara manusia memahami dunia.
Menurut Stephen
Toulmin, ilmu tidak berdiri di atas landasan yang benar-benar objektif dan
netral, melainkan dipengaruhi oleh konteks retoris, sosial, dan budaya.8
Maka dari itu, kategori “non-ilmu” seringkali muncul bukan karena
ketiadaan rasionalitas, melainkan karena keberbedaan dalam cara pendekatan
terhadap realitas. Agama, seni, dan filsafat metafisika misalnya, meskipun
tidak menggunakan metode ilmiah, tetap menawarkan bentuk pemahaman mendalam
tentang eksistensi, makna, dan nilai.
Sejumlah sarjana
juga membedakan antara non-scientific knowledge
(pengetahuan non-ilmiah) dengan pseudo-scientific knowledge
(pengetahuan semu).9 Yang pertama merujuk pada pengetahuan yang sah
dalam konteksnya sendiri namun tidak ilmiah (seperti intuisi atau wahyu),
sedangkan yang kedua merujuk pada klaim-klaim yang menyaru sebagai ilmu padahal
tidak memenuhi prinsip-prinsip ilmiah.
2.3.
Ilmu, Non-Ilmu, dan Integrasi Pengetahuan
Dalam studi epistemologi
Islam, muncul gagasan tentang integrasi ilmu (al-‘ilm) yang mencakup ilmu
empiris, rasional, dan intuitif atau ilham. Al-Ghazali, misalnya, mengakui
keabsahan pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman spiritual sebagai
bentuk makrifah,
yang meskipun tidak dapat diuji secara empiris, namun tetap memiliki landasan
epistemik yang kuat.10
Senada dengan itu,
Ibn Khaldun dalam Muqaddimah-nya membedakan antara
ilmu rasional (‘aqlī) dan ilmu tradisional (naqlī), dan menekankan bahwa
keduanya sama-sama penting dalam memahami realitas manusia dan masyarakat.11
Dengan demikian, konsep “non-ilmu” dalam perspektif Islam tidak
serta-merta dianggap sebagai sesuatu yang inferior, melainkan sebagai bagian
dari spektrum pengetahuan yang lebih luas.
Footnotes
[1]
Richard Burian, "Scientific Knowledge," in The Routledge
Companion to Philosophy of Science, ed. Stathis Psillos and Martin Curd
(London: Routledge, 2008), 241–253.
[2]
Peter Godfrey-Smith, Theory and Reality: An Introduction to the
Philosophy of Science (Chicago: University of Chicago Press, 2003), 9–12.
[3]
Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery, trans. by
Hans Freeman (London: Routledge, 2002), 40–41.
[4]
Sven Ove Hansson, "Science and Pseudo-Science," Stanford
Encyclopedia of Philosophy, 2017, https://plato.stanford.edu/entries/pseudo-science/.
[5]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 4th
ed. (Chicago: University of Chicago Press, 2012), 77–91.
[6]
Imre Lakatos, The Methodology of Scientific Research Programmes
(Cambridge: Cambridge University Press, 1978), 3–15.
[7]
Paul Feyerabend, Against Method, 4th ed. (London: Verso,
2010), xv–xvii.
[8]
Stephen Toulmin, Human Understanding: The Collective Use and
Evolution of Concepts (Princeton: Princeton University Press, 1972),
123–129.
[9]
Massimo Pigliucci and Maarten Boudry, Philosophy of Pseudoscience:
Reconsidering the Demarcation Problem (Chicago: University of Chicago
Press, 2013), 5–18.
[10]
Al-Ghazālī, Mīzān al-‘Amal, ed. Sulaymān Dunyā (Kairo: Dār
al-Ma‘ārif, 1964), 233–240.
[11]
Ibn Khaldūn, The Muqaddimah: An Introduction to History,
trans. Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 1967), 299–306.
3.
Kategori
dan Contoh-Contoh “Non-Ilmu”
Konsep “non-ilmu”
mencakup ragam bentuk pengetahuan atau kepercayaan yang tidak memenuhi kriteria
keilmuan sebagaimana ditetapkan dalam kerangka epistemologi modern. Pengetahuan
semacam ini tidak tunduk pada prinsip verifikasi empiris, falsifikasi, dan
objektivitas metodologis. Meski demikian, non-ilmu tetap memiliki peran
signifikan dalam kehidupan manusia, baik dalam ranah pribadi, sosial, maupun
kultural. Dalam konteks ini, penting untuk mengkategorikan berbagai bentuk
non-ilmu agar dapat dipahami secara lebih sistematis.
3.1.
Pengetahuan Non-Ilmiah dalam Kehidupan
Sehari-Hari
Salah satu bentuk
paling umum dari non-ilmu adalah pengetahuan sehari-hari (common sense
knowledge) atau pengetahuan pra-ilmiah. Pengetahuan ini diperoleh melalui
pengalaman langsung, intuisi, atau warisan budaya, dan sering kali digunakan
untuk membuat keputusan praktis dalam kehidupan.1 Meskipun tidak
diuji secara sistematis, pengetahuan ini bersifat fungsional dan berguna dalam
konteks tertentu.
Sebagai contoh,
kepercayaan tradisional mengenai waktu bercocok tanam atau penggunaan ramuan
herbal dalam pengobatan sering kali tidak memiliki dukungan empiris dalam arti
ilmiah, namun tetap dipercaya dan dipraktikkan karena efektivitas yang
dirasakan secara kolektif.2 Pengetahuan seperti ini tidak dapat
digolongkan sebagai pseudo-science karena tidak mengklaim dirinya ilmiah,
melainkan merupakan bentuk “non-ilmu” yang hidup dalam struktur budaya
masyarakat.
3.2.
Pseudo-Science dan Pseudo-Knowledge
Kategori lain dari
non-ilmu adalah pseudo-science atau ilmu semu,
yaitu klaim-klaim yang menggunakan bahasa atau tampilan ilmiah namun tidak
memenuhi syarat-syarat dasar keilmuan. Ciri khas pseudo-science antara lain
adalah tidak dapat diuji secara falsifikatif, bergantung pada testimoni
anekdotal, tidak berkembang melalui proses peer-review, serta sering kali
bersifat dogmatis.3
Contoh populer dari
pseudo-science meliputi astrologi, numerologi, homeopati ekstrem, dan teori
konspirasi yang menyamar sebagai analisis ilmiah. Sven Ove Hansson menyatakan
bahwa pseudo-science “menggunakan retorika ilmiah untuk mengecoh, bukan
untuk mengungkap kebenaran.”_4 Berbeda dari pengetahuan
tradisional, pseudo-science justru sering mengklaim sebagai sains yang lebih
benar atau lebih unggul dari sains konvensional, sehingga menimbulkan
kebingungan epistemologis di masyarakat.
3.3.
Pengetahuan dalam Agama, Seni, dan Etika
Pengetahuan dalam
bidang agama, seni, dan etika juga termasuk dalam kategori non-ilmu, namun
memiliki status epistemik tersendiri. Pengetahuan keagamaan misalnya,
didasarkan pada wahyu, iman, dan pengalaman spiritual. Meskipun tidak dapat
diuji secara empiris, banyak masyarakat dan peradaban yang menganggapnya
sebagai sumber pengetahuan yang sah dan bahkan tertinggi.5 Dalam
tradisi filsafat Islam, pengetahuan semacam ini dikategorikan sebagai ‘ilm
ladunī atau ma‘rifah, yang menekankan dimensi
batiniah dan transenden dari pengetahuan.6
Demikian pula, seni
mengandung jenis pengetahuan estetis (aesthetic knowledge) yang tidak bisa
dinilai melalui logika formal atau metode eksperimen, tetapi melalui pengalaman
langsung, intuisi, dan empati.7 Sedangkan dalam etika, pengetahuan
normatif tentang benar dan salah bersandar pada nilai-nilai yang tidak bisa
diverifikasi secara ilmiah, meskipun tetap dapat diperdebatkan secara rasional.
Karena itulah, ilmuwan
kontemporer seperti Michael Polanyi menekankan pentingnya tacit
knowledge, yakni pengetahuan implisit yang tidak dapat sepenuhnya
diekspresikan dalam proposisi ilmiah tetapi tetap esensial dalam praktik ilmu
pengetahuan itu sendiri.8 Ini menunjukkan bahwa bahkan dalam sains,
terdapat wilayah pengetahuan non-ilmiah yang tidak dapat diabaikan.
Footnotes
[1]
Nicholas Rescher, Epistemology: An Introduction to the Theory of
Knowledge (Albany: State University of New York Press, 2003), 45–47.
[2]
Massimo Pigliucci and Maarten Boudry, eds., Philosophy of
Pseudoscience: Reconsidering the Demarcation Problem (Chicago: University
of Chicago Press, 2013), 12–17.
[3]
Sven Ove Hansson, "Science and Pseudo-Science," Stanford
Encyclopedia of Philosophy, 2017, https://plato.stanford.edu/entries/pseudo-science/.
[4]
Paul R. Gross and Norman Levitt, Higher Superstition: The Academic
Left and Its Quarrels with Science (Baltimore: Johns Hopkins University
Press, 1997), 27–30.
[5]
William P. Alston, Perceiving God: The Epistemology of Religious
Experience (Ithaca: Cornell University Press, 1991), 33–36.
[6]
Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, vol. 3 (Beirut: Dār
al-Ma‘rifah, n.d.), 17–20.
[7]
Nelson Goodman, Languages of Art: An Approach to a Theory of
Symbols (Indianapolis: Hackett, 1976), 58–63.
[8]
Michael Polanyi, The Tacit Dimension (Chicago: University of
Chicago Press, 2009), 4–7.
4.
Perdebatan
Filosofis tentang “Non-Ilmu”
Perbincangan
mengenai “non-ilmu” tidak dapat dilepaskan dari perdebatan mendalam
dalam ranah filsafat ilmu, khususnya terkait masalah demarkasi
dan kriteria
keabsahan pengetahuan. Filsuf-filsuf ilmu modern hingga
kontemporer memperdebatkan bagaimana membedakan ilmu dari bukan ilmu (non-science),
serta apakah bentuk-bentuk pengetahuan di luar sains memiliki nilai
epistemologis yang sah. Perdebatan ini mencerminkan dinamika antara pendekatan
rasional-positivistik dengan pendekatan historis, sosiologis, dan bahkan
relativistik terhadap ilmu.
4.1.
Kritik terhadap Ilmu oleh Filsuf Postmodern
Salah satu kritik
paling tajam terhadap sains modern datang dari Paul Feyerabend, yang dalam
karyanya Against
Method menyatakan bahwa tidak ada satu pun metode ilmiah universal
yang dapat digunakan untuk membedakan antara ilmu dan non-ilmu. Ia berargumen
bahwa kemajuan ilmu pengetahuan sering kali terjadi karena pelanggaran terhadap
aturan-aturan metodologis yang mapan.¹ Feyerabend menyimpulkan bahwa prinsip “anything
goes” (apa saja boleh) justru lebih realistis dalam menggambarkan dinamika
perkembangan ilmu.²
Feyerabend juga
menyoroti bahwa dominasi sains dalam masyarakat modern telah menjadikan ilmu
sebagai bentuk ideologi baru yang menyingkirkan bentuk-bentuk pengetahuan
alternatif seperti tradisi, agama, dan budaya lokal.³ Kritik ini menantang
anggapan bahwa sains adalah satu-satunya cara yang sah untuk memperoleh
pengetahuan (epistemic monism), dan membuka
ruang bagi legitimasi epistemologi non-ilmiah.
Sementara itu, Jean-François
Lyotard dalam The Postmodern Condition menyatakan
bahwa narasi besar (grand narratives) tentang kemajuan, sains, dan
rasionalitas telah kehilangan legitimasi.⁴ Ia menunjukkan bahwa pengetahuan
tidak lagi bisa dipusatkan hanya pada sains, karena masyarakat postmodern
justru menunjukkan keberagaman bentuk pengetahuan yang bersifat lokal,
partikular, dan tidak universal.
4.2.
Posisi “Non-Ilmu” dalam Peta Keilmuan Modern
Dalam konteks ini, “non-ilmu”
tidak lagi semata-mata dianggap sebagai pengetahuan yang inferior atau keliru,
tetapi sebagai bagian dari spektrum pengetahuan yang sah secara sosial dan
kultural. Filsuf seperti Hilary Putnam menolak dikotomi
keras antara “fakta” dan “nilai” yang sering dipertahankan oleh
positivisme logis.⁵ Putnam menekankan bahwa pengetahuan ilmiah tidak bebas
nilai, dan bahwa aspek normatif hadir bahkan dalam sains yang paling empiris
sekalipun.
Demikian pula, Thomas
Kuhn melalui konsep paradigma dan pergeseran
revolusioner menunjukkan bahwa apa yang dianggap ilmiah sangat
tergantung pada konsensus komunitas ilmiah dalam suatu periode tertentu.⁶ Hal
ini berarti bahwa batas antara ilmu dan non-ilmu bisa berubah seiring waktu dan
tidak bersifat tetap. Bahkan banyak teori yang dulunya dianggap sebagai
pseudo-science, kemudian diakui sebagai ilmu setelah terjadi perubahan
paradigma — contohnya adalah teori kontinen Alfred Wegener yang semula ditolak
namun akhirnya menjadi dasar teori tektonik lempeng.⁷
Bruno
Latour, dalam pendekatan sosiologi ilmu, juga mengkritik
anggapan bahwa ilmu bersifat netral dan objektif. Ia menunjukkan bagaimana proses
produksi ilmu melibatkan interaksi kompleks antara ilmuwan, institusi,
teknologi, dan kekuasaan.⁸ Ini mengaburkan batas antara sains dan non-sains,
serta menunjukkan bahwa “keilmuan” adalah konstruksi sosial yang
dinegosiasikan secara terus-menerus.
4.3.
Implikasi Epistemologis: Menggeser Makna
“Kebenaran”
Perdebatan tentang
non-ilmu pada akhirnya menggugah pertanyaan yang lebih mendasar: apa itu kebenaran?
Dalam epistemologi kontemporer, terdapat kesadaran bahwa kebenaran tidak selalu
bermakna korespondensi objektif antara pernyataan dan realitas empiris,
melainkan juga dapat berarti koherensi, utilitas,
atau keterterimaan
antar-subjektif.⁹ Dengan demikian, bentuk-bentuk non-ilmu seperti
keyakinan religius, intuisi estetis, dan tradisi lokal bisa dianggap sahih
dalam konteks epistemologisnya masing-masing.
Sebagai akibatnya,
para filsuf dan ilmuwan kini mulai mempertimbangkan pendekatan pluralisme
epistemologis, yaitu pengakuan bahwa terdapat banyak cara sah untuk
mengetahui dunia, dan tidak semuanya harus tunduk pada kriteria keilmuan yang
ketat.¹⁰ Pluralisme ini membuka jalan bagi dialog antara sains dan
bentuk-bentuk pengetahuan lain, serta menempatkan “non-ilmu” dalam
posisi yang lebih konstruktif ketimbang sekadar sebagai objek penolakan ilmiah.
Footnotes
[1]
Paul Feyerabend, Against Method, 4th ed. (London: Verso,
2010), xv–xvii.
[2]
Ibid., 7–15.
[3]
Ibid., 31–33.
[4]
Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on
Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis:
University of Minnesota Press, 1984), xxiv–xxv.
[5]
Hilary Putnam, The Collapse of the Fact/Value Dichotomy and Other
Essays (Cambridge: Harvard University Press, 2002), 5–8.
[6]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 4th
ed. (Chicago: University of Chicago Press, 2012), 150–159.
[7]
Naomi Oreskes, Plate Tectonics: An Insider's History of the Modern
Theory of the Earth (Boulder: Westview Press, 2001), 23–30.
[8]
Bruno Latour and Steve Woolgar, Laboratory Life: The Construction
of Scientific Facts (Princeton: Princeton University Press, 1986), 40–42.
[9]
Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton:
Princeton University Press, 1979), 170–172.
[10]
Sandra Harding, Whose Science? Whose Knowledge?: Thinking from
Women's Lives (Ithaca: Cornell University Press, 1991), 110–115.
5.
Relevansi
dan Implikasi Kajian “Non-Ilmu”
Kajian terhadap “non-ilmu”
bukan sekadar upaya mendefinisikan batas epistemik antara ilmu dan selain ilmu,
melainkan menyentuh dimensi praksis yang luas dalam berbagai bidang kehidupan.
Mengingat bahwa manusia tidak hanya hidup dalam tatanan rasional-empiris,
melainkan juga dalam dimensi simbolik, spiritual, dan kultural, maka memahami
peran dan kedudukan “non-ilmu” menjadi relevan secara filosofis, sosial,
dan pedagogis. Gagasan ini berdampak luas terhadap epistemologi, pendidikan,
kebudayaan, bahkan kebijakan publik.
5.1.
Implikasi Epistemologis: Menuju Paradigma
Pengetahuan yang Inklusif
Salah satu
kontribusi utama dari kajian non-ilmu adalah mendorong pengembangan paradigma
epistemologis yang lebih inklusif dan reflektif. Kritik terhadap dominasi
positivisme dan rasionalisme menegaskan bahwa ilmu bukan satu-satunya jalan
untuk memahami kenyataan. Pluralisme epistemik memungkinkan pengakuan atas
validitas bentuk-bentuk pengetahuan non-ilmiah yang sebelumnya dianggap
inferior atau irasional.¹
Menurut Basarab
Nicolescu dalam Manifesto of Transdisciplinarity,
pengetahuan harus melampaui dikotomi antara ilmu dan non-ilmu serta dibuka ke
arah dimensi transpersonal, spiritual, dan budaya.² Ia menekankan bahwa
transdisiplinaritas menuntut keterbukaan terhadap berbagai “level of Reality”
yang tidak bisa dijangkau hanya melalui metode ilmiah konvensional.
Kesadaran ini
penting karena banyak persoalan kontemporer—seperti krisis ekologis, degradasi
moral, dan ketimpangan sosial—tidak bisa diselesaikan hanya dengan pendekatan
ilmiah-teknologis, tetapi membutuhkan kontribusi dari etika, agama, dan
nilai-nilai kemanusiaan.³
5.2.
Implikasi dalam Dunia Pendidikan
Dalam ranah
pendidikan, pengakuan terhadap “non-ilmu” memunculkan kebutuhan untuk
meninjau ulang pendekatan pedagogis yang terlalu saintifik dan teknokratik.
Kurikulum modern yang terlalu menekankan sains dan teknologi seringkali
mengabaikan dimensi nilai, kebijaksanaan tradisional, dan pengalaman
spiritual.⁴
Menurut Nel
Noddings, pendidikan seharusnya tidak hanya mengajarkan "what is"
tetapi juga "what ought to be".⁵ Oleh karena itu, pengetahuan
moral, estetika, dan spiritual yang tidak selalu dapat dikuantifikasi tetap
harus diberi ruang dalam proses pembelajaran. Pendidikan yang menghargai
non-ilmu dapat membentuk manusia utuh (whole person) yang tidak hanya
cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara emosional dan spiritual.
Di Indonesia,
pendekatan integratif seperti “pendidikan karakter” dan “pendidikan
berbasis kearifan lokal” adalah contoh konkret bagaimana non-ilmu dapat
diposisikan secara produktif dalam sistem pendidikan.⁶ Pendekatan ini tidak
bertentangan dengan sains, tetapi justru melengkapinya.
5.3.
Implikasi Sosial dan Kultural
Dalam ranah sosial
dan budaya, non-ilmu memainkan peran penting dalam membentuk identitas
kolektif, nilai-nilai bersama, dan kohesi sosial. Pengetahuan tradisional,
narasi agama, dan sistem simbolik masyarakat lokal sering menjadi sumber makna
yang menopang keberlanjutan komunitas.⁷
Namun, dalam
masyarakat modern, banyak bentuk non-ilmu yang dilecehkan atau didegradasi atas
nama rasionalitas ilmiah. Hal ini menimbulkan alienasi dan krisis makna di
tengah masyarakat.⁸ Maka, penting untuk mengembangkan pendekatan dialogis
antara ilmu dan non-ilmu agar keduanya tidak saling menegasikan, tetapi saling
melengkapi dalam membangun masyarakat yang beradab.
Pengetahuan
non-ilmiah seperti kepercayaan spiritual, mitologi, dan nilai adat tidak dapat
direduksi menjadi “kebodohan” hanya karena tidak dapat dibuktikan secara
ilmiah. Sebaliknya, mereka harus dibaca sebagai warisan epistemik yang
mengandung kebijaksanaan kontekstual.⁹ Dalam hal ini, “non-ilmu” justru
berfungsi sebagai pengimbang terhadap hegemoni logika instrumen yang sering
mengabaikan nilai kemanusiaan.
Footnotes
[1]
Sandra Harding, Is Science Multicultural? Postcolonialisms,
Feminisms, and Epistemologies (Bloomington: Indiana University Press, 1998),
116–118.
[2]
Basarab Nicolescu, Manifesto of Transdisciplinarity, trans.
Karen-Claire Voss (Albany: State University of New York Press, 2002), 20–23.
[3]
Fritjof Capra, The Hidden Connections: A Science for Sustainable
Living (New York: Anchor Books, 2004), 6–9.
[4]
David Carr, “Character and Moral Education: A Neo-Aristotelian
Approach,” British Journal of Educational Studies 55, no. 4 (2007):
369–389.
[5]
Nel Noddings, Caring: A Relational Approach to Ethics and Moral
Education (Berkeley: University of California Press, 2013), 54–55.
[6]
A. Malik Fadjar, Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal
(Yogyakarta: LKiS, 2004), 29–31.
[7]
Boaventura de Sousa Santos, Epistemologies of the South: Justice
Against Epistemicide (London: Routledge, 2014), 73–76.
[8]
Zygmunt Bauman, Liquid Modernity (Cambridge: Polity Press,
2000), 44–47.
[9]
Edward Shils, “Tradition,” Comparative Studies in Society and
History 13, no. 2 (1971): 122–159.
6.
Simpulan
dan Rekomendasi
6.1.
Simpulan
Kajian terhadap
konsep “non-ilmu” dalam perspektif epistemologi dan filsafat ilmu
menunjukkan bahwa batas antara ilmu dan non-ilmu bukanlah sesuatu yang kaku dan
absolut, melainkan bersifat historis, sosial, dan filosofis. Gagasan klasik
seperti falsifiabilitas Popper memberikan kerangka penting dalam membedakan
ilmu dari pseudo-ilmu, tetapi tidak cukup untuk menjelaskan keberagaman bentuk
pengetahuan yang berkembang dalam masyarakat.¹
Perkembangan
filsafat ilmu pasca-positivistik melalui kontribusi tokoh-tokoh seperti Kuhn,
Lakatos, Feyerabend, dan Lyotard menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan bukanlah
aktivitas yang sepenuhnya objektif, bebas nilai, dan netral, tetapi merupakan
konstruksi historis yang dipengaruhi oleh paradigma, konteks sosial, dan bahkan
kekuasaan.² Dengan demikian, kategori “non-ilmu” tidak dapat secara serta-merta
disamakan dengan irasionalitas atau kekeliruan, melainkan harus dipahami dalam
konteks epistemologi yang lebih luas dan inklusif.
Pengetahuan
non-ilmiah seperti kepercayaan religius, intuisi, pengalaman estetis, tradisi
lokal, dan etika, memiliki kontribusi penting dalam memperkaya cara manusia
memahami dunia. Dalam banyak kasus, bentuk-bentuk “non-ilmu” ini
melengkapi dan bahkan memperhalus pendekatan sains yang sering kali terlalu
reduktif dan teknis.³ Karenanya, mengakui eksistensi non-ilmu bukan berarti
merelatifkan kebenaran, tetapi justru memperluas cakrawala epistemologis agar
lebih manusiawi dan kontekstual.⁴
6.2.
Rekomendasi
Berdasarkan temuan
dan argumentasi yang telah dikemukakan, terdapat beberapa rekomendasi strategis
yang dapat diajukan untuk merespons urgensi kajian “non-ilmu” dalam
konteks keilmuan kontemporer:
1)
Mendorong Pluralisme
Epistemologis dalam Pendidikan dan Akademik
Institusi pendidikan dan lembaga riset perlu
mengembangkan pendekatan epistemologis yang menghargai keragaman cara
mengetahui. Ini termasuk membuka ruang bagi diskusi lintas ilmu, dialog antara
sains dan agama, serta mengintegrasikan kearifan lokal dalam kurikulum.⁵
2)
Menjaga Keseimbangan
antara Kritik dan Apresiasi terhadap Non-Ilmu
Penting untuk tetap bersikap kritis terhadap
bentuk pseudo-ilmu yang merugikan masyarakat (misalnya hoaks medis atau
konspirasi anti-sains), namun juga perlu mengembangkan sikap apresiatif
terhadap bentuk pengetahuan non-ilmiah yang memiliki nilai fungsional,
spiritual, atau kultural.⁶
3)
Mengembangkan Kajian
Interdisipliner dan Transdisipliner
Pengembangan kajian interdisipliner dan
transdisipliner dapat menjadi jalan keluar untuk menghindari fragmentasi ilmu.
Dalam semangat ini, non-ilmu bukan dilihat sebagai lawan ilmu, tetapi sebagai
mitra dialog yang dapat memperkaya pemahaman multidimensional terhadap
realitas.⁷
4)
Menyusun Kerangka
Kebijakan Berbasis Kearifan Epistemik Lokal
Pemerintah dan pembuat kebijakan dapat
memanfaatkan pengetahuan non-ilmiah yang hidup di masyarakat sebagai bagian
dari strategi pembangunan berbasis kearifan lokal, terutama dalam bidang
kesehatan, pertanian, dan lingkungan.⁸
Dengan pendekatan
yang lebih reflektif dan terbuka, kajian tentang non-ilmu dapat berkontribusi
dalam membangun ekosistem pengetahuan yang lebih utuh, berkeadaban, dan relevan
dengan kompleksitas kehidupan manusia kontemporer.
Footnotes
[1]
Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery, trans. by
Hans Freeman (London: Routledge, 2002), 40–41.
[2]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 4th
ed. (Chicago: University of Chicago Press, 2012), 150–159; Paul Feyerabend, Against
Method, 4th ed. (London: Verso, 2010), xv–xvii.
[3]
Michael Polanyi, The Tacit Dimension (Chicago: University of
Chicago Press, 2009), 4–7.
[4]
Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton:
Princeton University Press, 1979), 170–172.
[5]
Sandra Harding, Whose Science? Whose Knowledge?: Thinking from
Women's Lives (Ithaca: Cornell University Press, 1991), 110–115.
[6]
Sven Ove Hansson, "Science and Pseudo-Science," Stanford
Encyclopedia of Philosophy, 2017, https://plato.stanford.edu/entries/pseudo-science/.
[7]
Basarab Nicolescu, Manifesto of Transdisciplinarity, trans.
Karen-Claire Voss (Albany: SUNY Press, 2002), 20–25.
[8]
Boaventura de Sousa Santos, Epistemologies of the South: Justice
Against Epistemicide (London: Routledge, 2014), 85–88.
Daftar Pustaka
Al-Ghazālī. (n.d.). Iḥyā’ ‘ulūm al-dīn (Vol.
3). Beirut: Dār al-Ma‘rifah.
Al-Ghazālī. (1964). Mīzān al-‘amal (S.
Dunyā, Ed.). Kairo: Dār al-Ma‘ārif.
Bauman, Z. (2000). Liquid modernity.
Cambridge: Polity Press.
Carr, D. (2007). Character and moral education: A
Neo-Aristotelian approach. British Journal of Educational Studies, 55(4),
369–389. https://doi.org/10.1111/j.1467-8527.2007.00382.x
Capra, F. (2004). The hidden connections: A
science for sustainable living. New York: Anchor Books.
Chalmers, A. F. (2013). What is this thing
called science? (4th ed.). Indianapolis: Hackett Publishing.
de Sousa Santos, B. (2014). Epistemologies of
the South: Justice against epistemicide. London: Routledge.
Fadjar, A. M. (2004). Pendidikan berbasis
kearifan lokal. Yogyakarta: LKiS.
Feyerabend, P. (2010). Against method (4th
ed.). London: Verso.
Godfrey-Smith, P. (2003). Theory and reality: An
introduction to the philosophy of science. Chicago: University of Chicago
Press.
Goodman, N. (1976). Languages of art: An
approach to a theory of symbols. Indianapolis: Hackett.
Gross, P. R., & Levitt, N. (1997). Higher
superstition: The academic left and its quarrels with science. Baltimore:
Johns Hopkins University Press.
Harding, S. (1991). Whose science? Whose
knowledge?: Thinking from women's lives. Ithaca: Cornell University Press.
Harding, S. (1998). Is science multicultural?
Postcolonialisms, feminisms, and epistemologies. Bloomington: Indiana
University Press.
Hansson, S. O. (2017). Science and pseudo-science.
In Stanford Encyclopedia of Philosophy. https://plato.stanford.edu/entries/pseudo-science/
Ibn Khaldūn. (1967). The Muqaddimah: An
introduction to history (F. Rosenthal, Trans.). Princeton: Princeton
University Press.
Kuhn, T. S. (2012). The structure of scientific
revolutions (4th ed.). Chicago: University of Chicago Press.
Lakatos, I. (1978). The methodology of
scientific research programmes. Cambridge: Cambridge University Press.
Latour, B., & Woolgar, S. (1986). Laboratory
life: The construction of scientific facts. Princeton: Princeton University
Press.
Lyotard, J.-F. (1984). The postmodern condition:
A report on knowledge (G. Bennington & B. Massumi, Trans.).
Minneapolis: University of Minnesota Press.
Nicolescu, B. (2002). Manifesto of
transdisciplinarity (K.-C. Voss, Trans.). Albany: State University of New
York Press.
Noddings, N. (2013). Caring: A relational
approach to ethics and moral education (2nd ed.). Berkeley: University of
California Press.
Oreskes, N. (2001). Plate tectonics: An
insider's history of the modern theory of the Earth. Boulder: Westview
Press.
Pigliucci, M., & Boudry, M. (Eds.). (2013). Philosophy
of pseudoscience: Reconsidering the demarcation problem. Chicago:
University of Chicago Press.
Polanyi, M. (2009). The tacit dimension.
Chicago: University of Chicago Press.
Popper, K. R. (2002). The logic of scientific
discovery (H. Freeman, Trans.). London: Routledge.
Putnam, H. (2002). The collapse of the
fact/value dichotomy and other essays. Cambridge: Harvard University Press.
Rescher, N. (2003). Epistemology: An
introduction to the theory of knowledge. Albany: State University of New
York Press.
Rorty, R. (1979). Philosophy and the mirror of
nature. Princeton: Princeton University Press.
Shils, E. (1971). Tradition. Comparative Studies
in Society and History, 13(2), 122–159. https://doi.org/10.1017/S0010417500006123
Toulmin, S. (1972). Human understanding: The
collective use and evolution of concepts. Princeton: Princeton University
Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar