Kamis, 05 Desember 2024

Kajian Filsafat: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945)

 Kajian Filsafat: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945)


1.           Pendahuluan

1.1.       Latar Belakang

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) merupakan hasil perjuangan panjang bangsa Indonesia dalam merumuskan sebuah konstitusi yang mampu mengakomodasi kebutuhan bernegara dan menjaga kedaulatan bangsa. UUD 1945 pertama kali dirumuskan oleh para tokoh bangsa melalui sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tahun 1945. Dokumen ini tidak hanya menjadi landasan hukum, tetapi juga mencerminkan aspirasi luhur rakyat Indonesia untuk membangun masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.

Dalam perspektif filsafat hukum, UUD 1945 tidak hanya dilihat sebagai aturan normatif, tetapi juga sebagai manifestasi dari nilai-nilai moral dan etis yang menjadi dasar kehidupan bernegara. Konstitusi ini merefleksikan bagaimana hukum menjadi alat untuk mencapai tujuan hidup bersama, yakni keadilan dan kesejahteraan sosial, sebagaimana tercermin dalam Pembukaan UUD 1945 yang sarat dengan prinsip-prinsip universal dan keadilan.¹

1.2.       Rumusan Masalah

Kajian ini bertujuan untuk menjawab beberapa pertanyaan mendasar:

1)                  Bagaimana UUD 1945 berperan sebagai konstitusi dan hukum dasar tertinggi di Indonesia?

2)                  Bagaimana perspektif filsafat hukum dapat digunakan untuk memahami UUD 1945 sebagai landasan kehidupan berbangsa dan bernegara?

3)                  Apa relevansi UUD 1945 dalam menghadapi tantangan modernitas, globalisasi, dan perkembangan teknologi?

Rumusan masalah ini penting untuk mengkaji ulang kedudukan UUD 1945 sebagai konstitusi yang tidak hanya bersifat legalistik, tetapi juga filosofis, yang menjadi pedoman kehidupan negara dalam jangka panjang.²

1.3.       Tujuan Penulisan

Tujuan artikel ini adalah untuk:

1)                  Menguraikan sejarah, konsep, dan peran UUD 1945 sebagai hukum dasar tertinggi di Indonesia.

2)                  Membahas UUD 1945 dalam perspektif filsafat hukum, dengan menyoroti aspek moral, etis, dan teleologis.

3)                  Menganalisis relevansi UUD 1945 dalam konteks perkembangan zaman, khususnya dalam era digital dan globalisasi.

Dengan pendekatan filsafat hukum, pembahasan ini diharapkan mampu memberikan wawasan yang mendalam tentang nilai fundamental UUD 1945 dan perannya dalam membangun tatanan negara yang adil dan demokratis.³


Catatan Kaki

[1]              Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 25-30.

[2]              Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat, dan Pembinaan Hukum Nasional (Bandung: Alumni, 2002), hlm. 15-20.

[3]              Satjipto Rahardjo, Hukum dalam Perspektif Sosiologi (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), hlm. 55-60.


2.           Sejarah dan Perkembangan UUD 1945

2.1.       Proses Perumusan dan Pengesahan

Sejarah perumusan UUD 1945 dimulai dengan pembentukan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 29 April 1945 oleh pemerintah pendudukan Jepang. Dalam sidang pertama BPUPKI (29 Mei–1 Juni 1945), muncul gagasan dasar negara yang disampaikan oleh Soekarno, Mohammad Yamin, dan Soepomo. Pidato Soekarno pada 1 Juni 1945 melahirkan konsep dasar negara yang kemudian dikenal sebagai Pancasila.¹

Setelah sidang pertama, BPUPKI membentuk Panitia Sembilan yang bertugas merumuskan dokumen dasar negara. Hasilnya adalah Piagam Jakarta yang menjadi cikal bakal Pembukaan UUD 1945.² Namun, untuk menjaga persatuan, frase "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" dalam Piagam Jakarta diubah menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa" pada sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945.³ Pada hari yang sama, UUD 1945 secara resmi disahkan sebagai konstitusi negara.

2.2.       Perubahan dan Amandemen

Meskipun dirancang sebagai konstitusi sementara, UUD 1945 bertahan lama karena situasi politik yang tidak stabil pada masa awal kemerdekaan. Setelah pemberlakuan Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950, UUD 1945 kembali diberlakukan melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dengan alasan untuk mengembalikan stabilitas dan kesatuan negara.⁴

Era reformasi menjadi titik penting dalam sejarah UUD 1945. Antara 1999 hingga 2002, UUD 1945 mengalami empat kali amandemen. Perubahan ini dilakukan untuk menyesuaikan dengan dinamika demokrasi dan kebutuhan modern.⁵ Beberapa aspek penting hasil amandemen meliputi:

·                     Pembentukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

·                     Penguatan peran Mahkamah Konstitusi.

·                     Pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden.⁶

Amandemen ini mengubah wajah UUD 1945 dari konstitusi yang singkat dan sentralistik menjadi lebih demokratis dan desentralistik, namun tetap mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara.

2.3.       Dinamika Pelaksanaan

Pelaksanaan UUD 1945 mengalami berbagai dinamika sejak kemerdekaan. Pada masa Orde Lama, UUD 1945 sering digunakan sebagai alat legitimasi kekuasaan. Masa Orde Baru di bawah Soeharto lebih menonjolkan stabilitas politik dengan menekankan asas sentralisme, namun sering mengabaikan prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.⁷

Era reformasi membawa perubahan signifikan dengan menempatkan UUD 1945 sebagai instrumen yang menjamin demokrasi, hak asasi manusia, dan keadilan sosial. Namun, tantangan tetap ada, terutama dalam upaya konsistensi penerapan prinsip-prinsip konstitusi di tengah dinamika politik yang kompleks.⁸


Catatan Kaki

[1]              Mohammad Hatta, Menuju Negara Hukum (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 15-20.

[2]              Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), hlm. 103-105.

[3]              Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia (Jakarta: Grafiti, 1992), hlm. 62.

[4]              Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 40-45.

[5]              Budiardjo Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009), hlm. 50-55.

[6]              Harjono, Konstitusi sebagai Rumah Bangsa (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008), hlm. 20-30.

[7]              Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat, dan Pembinaan Hukum Nasional (Bandung: Alumni, 2002), hlm. 100-105.

[8]              Satjipto Rahardjo, Hukum dalam Perspektif Sosiologi (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), hlm. 80-85.


3.           UUD 1945 Sebagai Konstitusi dan Hukum Dasar Tertinggi

3.1.       Makna Konstitusi dalam Perspektif Filsafat Hukum

Dalam filsafat hukum, konstitusi adalah cerminan dari kehendak bersama suatu bangsa untuk mewujudkan keadilan, ketertiban, dan kesejahteraan. Hans Kelsen, dalam teori Pure Theory of Law, menyatakan bahwa konstitusi adalah norma dasar (Grundnorm) yang menjadi sumber legitimasi seluruh norma hukum di bawahnya.¹ UUD 1945, sebagai konstitusi Indonesia, memegang posisi ini dengan menempatkan Pancasila sebagai nilai dasar yang melandasi seluruh sistem hukum nasional.²

Sebagai hukum dasar tertinggi, UUD 1945 tidak hanya berfungsi sebagai aturan normatif, tetapi juga memiliki dimensi filosofis yang menggambarkan nilai-nilai moral dan ideologi bangsa. Dalam konteks Indonesia, Pancasila menjadi landasan filosofis yang memberikan makna substantif pada setiap pasal UUD 1945. Hal ini menjadikan UUD 1945 bukan sekadar dokumen hukum, tetapi juga "konstitusi hidup" yang harus terus berkembang seiring dengan kebutuhan bangsa.³

3.2.       Kedudukan UUD 1945 dalam Tata Hukum Indonesia

UUD 1945 merupakan puncak hierarki hukum di Indonesia, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Semua peraturan di bawahnya, termasuk undang-undang, peraturan pemerintah, hingga peraturan daerah, harus sesuai dan tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945.⁴

Prinsip supremasi UUD 1945 ini juga didukung oleh pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) yang berfungsi menjaga agar undang-undang yang dibuat oleh legislatif tetap sesuai dengan konstitusi.⁵ Keberadaan MK memperkuat peran UUD 1945 sebagai landasan hukum tertinggi yang menjadi tolok ukur keabsahan seluruh produk hukum di Indonesia.

3.3.       UUD 1945 sebagai Refleksi Nilai Pancasila

Sebagai dasar negara, Pancasila adalah ideologi yang menginspirasi setiap pasal dalam UUD 1945. Hal ini terlihat jelas dalam Pembukaan UUD 1945 yang memuat lima prinsip dasar Pancasila: Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial.⁶

Hubungan antara Pancasila dan UUD 1945 bersifat integral. Pancasila menjadi sumber nilai, sedangkan UUD 1945 adalah instrumen yang mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam bentuk aturan yang konkret. Misalnya:

·                     Prinsip demokrasi Pancasila diwujudkan melalui kedaulatan rakyat yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (2).

·                     Prinsip keadilan sosial tercermin dalam Pasal 33 tentang perekonomian nasional.⁷

Dalam perspektif filsafat, UUD 1945 dengan Pancasila sebagai landasannya menggambarkan pandangan teleologis bahwa hukum tidak hanya bertujuan untuk menjaga ketertiban, tetapi juga untuk mencapai cita-cita moral dan sosial yang luhur.


Catatan Kaki

[1]              Hans Kelsen, General Theory of Law and State (Cambridge: Harvard University Press, 1945), hlm. 124-130.

[2]              Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), hlm. 95-100.

[3]              Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 55-60.

[4]              Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pasal 7 Ayat (1).

[5]              Harjono, Konstitusi sebagai Rumah Bangsa (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008), hlm. 45-50.

[6]              Notonagoro, Pancasila Secara Ilmiah Populer (Jakarta: Pantjuran Tudjuh, 1967), hlm. 30-35.

[7]              Mohammad Hatta, Kumpulan Pidato dan Tulisan (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 75-80.


4.           UUD 1945 dalam Perspektif Filsafat

4.1.       Filsafat Hukum Positivisme dan Implementasi UUD 1945

Dalam filsafat hukum positivisme, hukum dipandang sebagai sistem norma yang bersifat otonom, terlepas dari nilai moral atau keadilan. Pandangan ini menekankan pentingnya kepastian hukum sebagai elemen utama. Hans Kelsen, sebagai tokoh utama positivisme hukum, menyatakan bahwa sebuah konstitusi adalah norma dasar yang memberikan legitimasi pada seluruh aturan hukum di bawahnya.¹ Dalam konteks UUD 1945, konstitusi ini berfungsi sebagai pedoman utama yang mengatur seluruh tata hukum di Indonesia.

Positivisme dalam penerapan UUD 1945 tercermin dari proses legislasi yang memastikan bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus sesuai dengan hierarki hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Namun, pendekatan positivisme ini menghadapi kritik karena cenderung mengabaikan nilai-nilai moral dan keadilan yang seharusnya menjadi inti dari sebuah konstitusi.²

4.2.       Pendekatan Humanisme dalam UUD 1945

Humanisme dalam filsafat hukum memandang manusia sebagai pusat dari segala peraturan hukum. Pendekatan ini menekankan pentingnya penghormatan terhadap martabat manusia dan hak asasi manusia.³ Dalam konteks UUD 1945, nilai-nilai humanisme tercermin dalam berbagai pasal, seperti:

·                     Pasal 28A-28J tentang Hak Asasi Manusia yang mengakui dan melindungi hak-hak dasar setiap individu.

·                     Pasal 27 ayat (2) yang menegaskan hak setiap warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak.

Nilai-nilai humanisme ini menunjukkan bahwa UUD 1945 tidak hanya mengatur hubungan antara negara dan warga negara, tetapi juga berfungsi sebagai sarana untuk mewujudkan kehidupan yang bermartabat bagi seluruh rakyat Indonesia.⁴ Perspektif ini menempatkan hukum sebagai alat untuk mencapai keadilan sosial dan kesejahteraan manusia, sesuai dengan tujuan negara yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.

4.3.       Aspek Teleologis dan Etis dalam UUD 1945

Pendekatan teleologis dalam filsafat hukum memandang hukum sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu, seperti keadilan, kesejahteraan, atau kedamaian.⁵ Dalam hal ini, UUD 1945 memiliki visi yang jelas untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur. Tujuan ini tercermin dalam Pembukaan UUD 1945, yang menyatakan tekad bangsa Indonesia untuk "melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia."

Aspek etis dalam UUD 1945 terlihat dalam integrasi nilai-nilai Pancasila, yang menekankan harmoni antara hak dan kewajiban, serta pentingnya kebersamaan dalam mencapai tujuan negara. Misalnya, Pasal 33 menekankan pengelolaan ekonomi nasional berdasarkan asas kekeluargaan, yang merupakan cerminan etika kolektivisme khas Indonesia.⁶

4.4.       Kritik dan Tantangan

Meskipun UUD 1945 mencerminkan berbagai perspektif filosofis, pelaksanaannya sering kali menghadapi tantangan. Kritik utama datang dari kegagalan beberapa pihak dalam memahami nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam UUD 1945.⁷ Selain itu, tantangan globalisasi dan perubahan sosial menuntut konstitusi ini untuk terus relevan dan adaptif, tanpa kehilangan esensi filosofisnya.


Catatan Kaki

[1]              Hans Kelsen, Pure Theory of Law (Berkeley: University of California Press, 1967), hlm. 124-130.

[2]              Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 60-65.

[3]              Satjipto Rahardjo, Hukum dalam Perspektif Sosial (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), hlm. 80-85.

[4]              Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), hlm. 105-110.

[5]              Gustav Radbruch, Rechtsphilosophie (Stuttgart: Koehler, 1950), hlm. 12-15.

[6]              Notonagoro, Pancasila secara Ilmiah Populer (Jakarta: Pantjuran Tudjuh, 1967), hlm. 50-55.

[7]              Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat, dan Pembinaan Hukum Nasional (Bandung: Alumni, 2002), hlm. 115-120.


5.           Tantangan dan Relevansi UUD 1945 di Era Modern

5.1.       Problematika Hukum dan Politik

Salah satu tantangan utama dalam pelaksanaan UUD 1945 di era modern adalah ketidaksesuaian antara prinsip-prinsip konstitusi dengan praktik politik dan hukum yang terjadi. Meskipun UUD 1945 telah diamandemen untuk mengakomodasi nilai-nilai demokrasi, pelanggaran terhadap prinsip supremasi hukum dan kedaulatan rakyat masih sering terjadi.¹

Contohnya adalah korupsi di kalangan pejabat negara yang melemahkan kepercayaan publik terhadap institusi hukum.² Fenomena ini menunjukkan adanya kesenjangan antara norma yang diatur dalam UUD 1945, seperti prinsip keadilan sosial (Pasal 33 dan Pasal 34), dengan implementasi di lapangan. Di samping itu, intervensi politik dalam proses hukum sering kali mencederai independensi lembaga penegak hukum seperti Mahkamah Konstitusi.³

5.2.       Konstitusi di Era Digital dan Globalisasi

Era digital dan globalisasi membawa tantangan baru bagi UUD 1945, khususnya dalam hal perlindungan hak asasi manusia dan kedaulatan negara. Teknologi informasi, seperti media sosial, memiliki dampak besar terhadap proses demokrasi dan tata kelola pemerintahan. Namun, regulasi yang mengatur penggunaan teknologi tersebut belum sepenuhnya diintegrasikan dalam kerangka hukum nasional yang merujuk pada UUD 1945.⁴

Misalnya, perlindungan data pribadi, yang menjadi isu utama di era digital, belum memiliki landasan hukum yang kuat. Hal ini berpotensi melanggar Pasal 28G ayat (1) yang menjamin hak atas perlindungan pribadi. Selain itu, globalisasi ekonomi menimbulkan tantangan terhadap Pasal 33 UUD 1945, yang menekankan pengelolaan ekonomi nasional berdasarkan asas kekeluargaan, karena ekonomi digital sering kali dikuasai oleh perusahaan multinasional.⁵

5.3.       Peran UUD 1945 dalam Mewujudkan Good Governance

Good governance, yang meliputi transparansi, akuntabilitas, partisipasi publik, dan supremasi hukum, menjadi tuntutan utama di era modern. Prinsip-prinsip ini sejalan dengan cita-cita yang terkandung dalam UUD 1945, khususnya dalam upaya menciptakan pemerintahan yang bersih dan bertanggung jawab.⁶

Namun, pelaksanaan good governance di Indonesia masih menemui banyak hambatan, seperti rendahnya partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan dan kurangnya transparansi dalam pengelolaan keuangan negara. Prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sering kali tidak diwujudkan secara maksimal, terutama dalam kebijakan yang memengaruhi kepentingan publik.⁷

Untuk menghadapi tantangan ini, penting bagi pemerintah untuk mengembangkan mekanisme pengawasan yang lebih efektif, memperkuat akuntabilitas lembaga negara, dan meningkatkan literasi hukum di kalangan masyarakat agar nilai-nilai UUD 1945 dapat diimplementasikan secara konsisten.

5.4.       UUD 1945 sebagai Konstitusi yang Adaptif

Keunggulan UUD 1945 sebagai konstitusi terletak pada fleksibilitasnya untuk disesuaikan dengan kebutuhan zaman. Empat kali amandemen yang dilakukan antara 1999 dan 2002 menunjukkan bahwa konstitusi ini dapat berkembang tanpa kehilangan esensi filosofisnya.⁸ Namun, fleksibilitas ini juga menuntut kehati-hatian agar perubahan tidak merusak nilai-nilai dasar yang menjadi jiwa konstitusi, yaitu Pancasila.⁹


Catatan Kaki

[1]              Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 85-90.

[2]              Transparency International Indonesia, Corruption Perception Index 2022 (Jakarta: TII, 2022), hlm. 15-18.

[3]              Bivitri Susanti, Peradilan Konstitusi di Indonesia (Jakarta: HUMA, 2015), hlm. 65-70.

[4]              Ali Wardhana, Hukum Siber di Era Digital (Jakarta: Gramedia, 2019), hlm. 45-50.

[5]              Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat, dan Pembinaan Hukum Nasional (Bandung: Alumni, 2002), hlm. 110-115.

[6]              UNDP, Governance for Sustainable Development (New York: UNDP, 2016), hlm. 23-25.

[7]              Satjipto Rahardjo, Hukum dalam Perspektif Sosial (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), hlm. 95-100.

[8]              Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009), hlm. 125-130.

[9]              Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), hlm. 120-125.


6.           Kesimpulan dan Rekomendasi

6.1.       Kesimpulan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) merupakan fondasi utama yang mengatur kehidupan bernegara di Indonesia. Sebagai konstitusi dan hukum dasar tertinggi, UUD 1945 memiliki kedudukan yang strategis dalam membentuk tata kelola pemerintahan, menjamin hak asasi manusia, serta menciptakan masyarakat yang adil dan makmur.¹

Dari perspektif filsafat hukum, UUD 1945 tidak hanya berfungsi sebagai dokumen legalistik, tetapi juga sebagai cerminan nilai-nilai moral dan ideologis bangsa. Pendekatan teleologis, humanisme, dan positivisme yang terkandung dalam UUD 1945 menunjukkan bahwa konstitusi ini dirancang untuk mencapai tujuan luhur negara, yakni keadilan sosial dan kesejahteraan bersama.² Namun, tantangan seperti dinamika politik, globalisasi, dan era digital menguji relevansi dan efektivitas pelaksanaan UUD 1945 dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.³

Di sisi lain, amandemen UUD 1945 menjadi bukti fleksibilitas konstitusi ini dalam menyesuaikan diri dengan kebutuhan zaman, tanpa kehilangan esensi filosofisnya yang berlandaskan pada Pancasila. Meski demikian, penting untuk memastikan bahwa perubahan tersebut tetap menjaga prinsip-prinsip dasar yang terkandung dalam UUD 1945 sebagai pedoman kehidupan bernegara.⁴

6.2.       Rekomendasi

Untuk memperkuat peran UUD 1945 dalam menjawab tantangan era modern, beberapa rekomendasi yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:

1)                  Peningkatan Pemahaman Konstitusi

o     Pemerintah dan lembaga pendidikan perlu meningkatkan literasi konstitusi di kalangan masyarakat melalui program pendidikan kewarganegaraan yang berbasis nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Hal ini bertujuan untuk memperkuat kesadaran masyarakat terhadap hak dan kewajibannya dalam kehidupan bernegara.⁵

2)                  Penguatan Supremasi Hukum

o     Supremasi hukum harus ditegakkan secara konsisten untuk memastikan bahwa seluruh peraturan dan kebijakan pemerintah selaras dengan UUD 1945. Lembaga penegak hukum, seperti Mahkamah Konstitusi, harus tetap independen dalam menjalankan fungsi judicial review terhadap undang-undang.⁶

3)                  Penyempurnaan Regulasi di Era Digital

o     Dalam menghadapi perkembangan teknologi informasi, diperlukan penyesuaian kerangka hukum nasional yang berlandaskan UUD 1945. Misalnya, mempercepat pengesahan undang-undang perlindungan data pribadi untuk melindungi hak warga negara sebagaimana diatur dalam Pasal 28G ayat (1).⁷

4)                  Penguatan Nilai-Nilai Pancasila

o     Dalam menghadapi globalisasi, nilai-nilai Pancasila harus terus diinternalisasi dalam proses legislasi dan kebijakan negara. Hal ini penting untuk menjaga identitas nasional sekaligus memastikan bahwa konstitusi tetap relevan dalam mengatur berbagai aspek kehidupan.⁸

5)                  Peningkatan Transparansi dan Partisipasi Publik

o     Untuk mewujudkan prinsip kedaulatan rakyat, pemerintah harus memperkuat mekanisme partisipasi publik dalam pengambilan keputusan. Hal ini sesuai dengan prinsip demokrasi konstitusional yang diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945.⁹


Catatan Kaki

[1]              Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 20-25.

[2]              Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), hlm. 130-135.

[3]              Satjipto Rahardjo, Hukum dalam Perspektif Sosial (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), hlm. 85-90.

[4]              Budiardjo Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009), hlm. 150-155.

[5]              Mohammad Hatta, Menuju Negara Hukum (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 90-95.

[6]              Harjono, Konstitusi sebagai Rumah Bangsa (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008), hlm. 35-40.

[7]              Ali Wardhana, Hukum Siber di Era Digital (Jakarta: Gramedia, 2019), hlm. 60-65.

[8]              Notonagoro, Pancasila Secara Ilmiah Populer (Jakarta: Pantjuran Tudjuh, 1967), hlm. 80-85.

[9]              Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 1 Ayat (2).


Daftar Buku Rujukan

Berikut adalah daftar buku yang relevan untuk mendalami kajian filsafat tentang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) sebagai konstitusi dan hukum dasar tertinggi:


a.            Buku Umum tentang Konstitusi dan UUD 1945

1)                  Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2010).

o     Buku ini membahas konsep dasar konstitusi, sejarah UUD 1945, serta implementasinya dalam tata hukum Indonesia.

2)                  Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia (Jakarta: Grafiti, 1992).

o     Karya klasik yang membahas sejarah dan dinamika pemerintahan konstitusional Indonesia dari perspektif hukum.

3)                  Bivitri Susanti, Peradilan Konstitusi di Indonesia (Jakarta: HUMA, 2015).

o     Buku ini fokus pada peran Mahkamah Konstitusi dalam menjaga supremasi UUD 1945.


b.            Buku Filsafat Hukum

4)                  Hans Kelsen, Pure Theory of Law (Berkeley: University of California Press, 1967).

o     Buku ini memperkenalkan teori hukum murni yang relevan untuk memahami UUD 1945 sebagai norma dasar.

5)                  Satjipto Rahardjo, Hukum dalam Perspektif Sosial (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010).

o     Membahas hukum dari perspektif sosiologi dan filsafat, termasuk penerapan nilai-nilai etis dalam hukum.

6)                  Gustav Radbruch, Rechtsphilosophie (Stuttgart: Koehler, 1950).

o     Karya ini menjelaskan teori teleologis hukum, yang relevan untuk menganalisis aspek tujuan UUD 1945.


c.            Buku tentang Pancasila dan Nilai Dasar UUD 1945

7)                  Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011).

o     Buku ini menguraikan hubungan antara Pancasila dan UUD 1945 dalam konteks historis dan filosofis.

8)                  Notonagoro, Pancasila secara Ilmiah Populer (Jakarta: Pantjuran Tudjuh, 1967).

o     Referensi penting untuk memahami nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara yang mendasari UUD 1945.

9)                  Mohammad Hatta, Menuju Negara Hukum (Jakarta: Bulan Bintang, 1975).

o     Buku ini membahas gagasan negara hukum dan relevansinya dalam pelaksanaan UUD 1945.


d.            Buku tentang Tantangan UUD 1945 di Era Modern

10)              Ali Wardhana, Hukum Siber di Era Digital (Jakarta: Gramedia, 2019).

o     Membahas tantangan hukum nasional, termasuk UUD 1945, dalam menghadapi era digital.

11)              Transparency International Indonesia, Corruption Perception Index 2022 (Jakarta: TII, 2022).

o     Sumber ini dapat digunakan untuk menganalisis relevansi UUD 1945 dalam konteks pemberantasan korupsi.

12)              Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009).

o     Buku ini menguraikan prinsip-prinsip politik yang mendukung implementasi konstitusi demokratis.


Daftar Pustaka

 

Ali Wardhana. Hukum Siber di Era Digital. Jakarta: Gramedia, 2019.

Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009.

Harjono. Konstitusi sebagai Rumah Bangsa. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008.

Hatta, Mohammad. Menuju Negara Hukum. Jakarta: Bulan Bintang, 1975.

Kelsen, Hans. General Theory of Law and State. Cambridge: Harvard University Press, 1945.

Kelsen, Hans. Pure Theory of Law. Berkeley: University of California Press, 1967.

Kusumaatmadja, Mochtar. Hukum, Masyarakat, dan Pembinaan Hukum Nasional. Bandung: Alumni, 2002.

Latif, Yudi. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Jakarta: Gramedia, 2011.

Nasution, Adnan Buyung. Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia. Jakarta: Grafiti, 1992.

Notonagoro. Pancasila Secara Ilmiah Populer. Jakarta: Pantjuran Tudjuh, 1967.

Rahardjo, Satjipto. Hukum dalam Perspektif Sosial. Yogyakarta: Genta Publishing, 2010.

Radbruch, Gustav. Rechtsphilosophie. Stuttgart: Koehler, 1950.

Transparency International Indonesia. Corruption Perception Index 2022. Jakarta: TII, 2022.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

UNDP. Governance for Sustainable Development. New York: UNDP, 2016.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar