Kajian Filsafat: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945)
1.
Pendahuluan
1.1.
Latar Belakang
Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) merupakan hasil perjuangan panjang
bangsa Indonesia dalam merumuskan sebuah konstitusi yang mampu mengakomodasi
kebutuhan bernegara dan menjaga kedaulatan bangsa. UUD 1945 pertama kali
dirumuskan oleh para tokoh bangsa melalui sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) pada tahun 1945. Dokumen ini tidak hanya menjadi landasan
hukum, tetapi juga mencerminkan aspirasi luhur rakyat Indonesia untuk membangun
masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Dalam perspektif filsafat hukum, UUD 1945 tidak hanya dilihat sebagai aturan normatif, tetapi juga
sebagai manifestasi dari nilai-nilai moral dan etis yang menjadi dasar
kehidupan bernegara. Konstitusi ini merefleksikan bagaimana hukum menjadi alat
untuk mencapai tujuan hidup bersama, yakni keadilan dan kesejahteraan sosial,
sebagaimana tercermin dalam Pembukaan UUD 1945 yang sarat dengan
prinsip-prinsip universal dan keadilan.¹
1.2.
Rumusan Masalah
Kajian ini bertujuan untuk
menjawab beberapa pertanyaan mendasar:
1)
Bagaimana UUD 1945 berperan
sebagai konstitusi dan hukum dasar tertinggi di Indonesia?
2)
Bagaimana perspektif
filsafat hukum dapat digunakan untuk memahami UUD 1945 sebagai landasan
kehidupan berbangsa dan bernegara?
3)
Apa relevansi UUD 1945
dalam menghadapi tantangan modernitas, globalisasi, dan perkembangan teknologi?
Rumusan masalah ini penting
untuk mengkaji ulang kedudukan UUD 1945 sebagai konstitusi yang tidak hanya
bersifat legalistik, tetapi juga filosofis, yang menjadi pedoman kehidupan
negara dalam jangka panjang.²
1.3.
Tujuan Penulisan
Tujuan artikel ini adalah
untuk:
1)
Menguraikan sejarah,
konsep, dan peran UUD 1945 sebagai hukum dasar tertinggi di Indonesia.
2)
Membahas UUD 1945 dalam
perspektif filsafat hukum, dengan menyoroti aspek moral, etis, dan teleologis.
3)
Menganalisis relevansi UUD
1945 dalam konteks perkembangan zaman, khususnya dalam era digital dan
globalisasi.
Dengan pendekatan filsafat hukum, pembahasan ini diharapkan mampu memberikan wawasan yang mendalam tentang
nilai fundamental UUD 1945 dan perannya dalam membangun tatanan negara yang
adil dan demokratis.³
Catatan Kaki
[1]
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi
dan Konstitusionalisme Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2010),
hlm. 25-30.
[2]
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum,
Masyarakat, dan Pembinaan Hukum Nasional (Bandung: Alumni, 2002),
hlm. 15-20.
[3]
Satjipto Rahardjo, Hukum
dalam Perspektif Sosiologi (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010),
hlm. 55-60.
2.
Sejarah dan
Perkembangan UUD 1945
2.1.
Proses Perumusan dan Pengesahan
Sejarah perumusan UUD 1945
dimulai dengan pembentukan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) pada 29 April 1945 oleh pemerintah pendudukan Jepang. Dalam
sidang pertama BPUPKI (29 Mei–1 Juni 1945), muncul gagasan dasar negara yang
disampaikan oleh Soekarno, Mohammad Yamin, dan Soepomo. Pidato Soekarno pada 1
Juni 1945 melahirkan konsep dasar negara yang kemudian dikenal sebagai
Pancasila.¹
Setelah sidang pertama,
BPUPKI membentuk Panitia Sembilan yang bertugas merumuskan dokumen dasar
negara. Hasilnya adalah Piagam Jakarta yang menjadi cikal bakal Pembukaan UUD
1945.² Namun, untuk menjaga persatuan, frase "dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" dalam Piagam Jakarta diubah menjadi
"Ketuhanan Yang Maha Esa" pada sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945.³ Pada hari yang sama, UUD 1945 secara
resmi disahkan sebagai konstitusi negara.
2.2.
Perubahan dan Amandemen
Meskipun dirancang sebagai
konstitusi sementara, UUD 1945 bertahan lama karena situasi politik yang tidak
stabil pada masa awal kemerdekaan. Setelah pemberlakuan Konstitusi RIS 1949 dan
UUDS 1950, UUD 1945 kembali diberlakukan melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959,
dengan alasan untuk mengembalikan stabilitas dan kesatuan negara.⁴
Era reformasi menjadi titik
penting dalam sejarah UUD 1945. Antara 1999 hingga 2002, UUD 1945 mengalami
empat kali amandemen. Perubahan ini dilakukan untuk menyesuaikan dengan
dinamika demokrasi dan kebutuhan modern.⁵ Beberapa aspek penting hasil
amandemen meliputi:
·
Pembentukan Dewan
Perwakilan Daerah (DPD).
·
Penguatan peran Mahkamah
Konstitusi.
·
Pembatasan masa jabatan
presiden dan wakil presiden.⁶
Amandemen ini mengubah wajah
UUD 1945 dari konstitusi yang singkat dan sentralistik menjadi lebih demokratis
dan desentralistik, namun tetap mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara.
2.3.
Dinamika Pelaksanaan
Pelaksanaan UUD 1945
mengalami berbagai dinamika sejak kemerdekaan. Pada masa Orde Lama, UUD 1945
sering digunakan sebagai alat legitimasi kekuasaan. Masa Orde Baru di bawah
Soeharto lebih menonjolkan stabilitas politik dengan menekankan asas
sentralisme, namun sering mengabaikan prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.⁷
Era reformasi membawa
perubahan signifikan dengan menempatkan UUD 1945 sebagai instrumen yang
menjamin demokrasi, hak asasi manusia, dan keadilan sosial. Namun, tantangan
tetap ada, terutama dalam upaya konsistensi penerapan prinsip-prinsip
konstitusi di tengah dinamika politik yang kompleks.⁸
Catatan Kaki
[1]
Mohammad Hatta, Menuju
Negara Hukum (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 15-20.
[2]
Yudi Latif, Negara
Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila
(Jakarta: Gramedia, 2011), hlm. 103-105.
[3]
Adnan Buyung Nasution, Aspirasi
Pemerintahan Konstitusional di Indonesia (Jakarta: Grafiti, 1992),
hlm. 62.
[4]
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi
dan Konstitusionalisme Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2010),
hlm. 40-45.
[5]
Budiardjo Miriam, Dasar-Dasar
Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009), hlm. 50-55.
[6]
Harjono, Konstitusi
sebagai Rumah Bangsa (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008), hlm. 20-30.
[7]
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum,
Masyarakat, dan Pembinaan Hukum Nasional (Bandung: Alumni, 2002),
hlm. 100-105.
[8]
Satjipto Rahardjo, Hukum
dalam Perspektif Sosiologi (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010),
hlm. 80-85.
3.
UUD 1945 Sebagai
Konstitusi dan Hukum Dasar Tertinggi
3.1.
Makna Konstitusi dalam Perspektif Filsafat
Hukum
Dalam filsafat hukum,
konstitusi adalah cerminan dari kehendak bersama suatu bangsa untuk mewujudkan
keadilan, ketertiban, dan kesejahteraan. Hans Kelsen, dalam teori Pure
Theory of Law, menyatakan bahwa konstitusi adalah norma dasar (Grundnorm)
yang menjadi sumber legitimasi seluruh norma hukum di bawahnya.¹ UUD 1945,
sebagai konstitusi Indonesia, memegang posisi ini dengan menempatkan Pancasila
sebagai nilai dasar yang melandasi seluruh sistem hukum nasional.²
Sebagai hukum dasar
tertinggi, UUD 1945 tidak hanya berfungsi sebagai aturan normatif, tetapi juga
memiliki dimensi filosofis yang menggambarkan nilai-nilai moral dan ideologi
bangsa. Dalam konteks Indonesia, Pancasila menjadi landasan filosofis yang
memberikan makna substantif pada setiap pasal UUD 1945. Hal ini menjadikan UUD
1945 bukan sekadar dokumen hukum, tetapi juga "konstitusi hidup"
yang harus terus berkembang seiring dengan kebutuhan bangsa.³
3.2.
Kedudukan UUD 1945 dalam Tata Hukum Indonesia
UUD 1945 merupakan puncak
hierarki hukum di Indonesia, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 7 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. Semua peraturan di bawahnya, termasuk undang-undang,
peraturan pemerintah, hingga peraturan daerah, harus sesuai dan tidak boleh
bertentangan dengan UUD 1945.⁴
Prinsip supremasi UUD 1945
ini juga didukung oleh pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) yang berfungsi
menjaga agar undang-undang yang dibuat oleh legislatif tetap sesuai dengan
konstitusi.⁵ Keberadaan MK memperkuat peran UUD 1945 sebagai landasan hukum
tertinggi yang menjadi tolok ukur keabsahan seluruh produk hukum di Indonesia.
3.3.
UUD 1945 sebagai Refleksi Nilai Pancasila
Sebagai dasar negara,
Pancasila adalah ideologi yang menginspirasi setiap pasal dalam UUD 1945. Hal
ini terlihat jelas dalam Pembukaan UUD 1945 yang memuat lima prinsip dasar
Pancasila: Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial.⁶
Hubungan antara Pancasila dan
UUD 1945 bersifat integral. Pancasila menjadi sumber nilai, sedangkan UUD 1945
adalah instrumen yang mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam bentuk aturan yang
konkret. Misalnya:
·
Prinsip demokrasi Pancasila
diwujudkan melalui kedaulatan rakyat yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (2).
·
Prinsip keadilan sosial
tercermin dalam Pasal 33 tentang perekonomian nasional.⁷
Dalam perspektif filsafat,
UUD 1945 dengan Pancasila sebagai landasannya menggambarkan pandangan
teleologis bahwa hukum tidak hanya bertujuan untuk menjaga ketertiban, tetapi
juga untuk mencapai cita-cita moral dan sosial yang luhur.
Catatan Kaki
[1]
Hans Kelsen, General
Theory of Law and State (Cambridge: Harvard University Press,
1945), hlm. 124-130.
[2]
Yudi Latif, Negara
Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila
(Jakarta: Gramedia, 2011), hlm. 95-100.
[3]
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi
dan Konstitusionalisme Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2010),
hlm. 55-60.
[4]
Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pasal 7 Ayat (1).
[5]
Harjono, Konstitusi
sebagai Rumah Bangsa (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008), hlm. 45-50.
[6]
Notonagoro, Pancasila
Secara Ilmiah Populer (Jakarta: Pantjuran Tudjuh, 1967), hlm. 30-35.
[7]
Mohammad Hatta, Kumpulan
Pidato dan Tulisan (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 75-80.
4.
UUD 1945 dalam
Perspektif Filsafat
4.1.
Filsafat Hukum Positivisme dan Implementasi UUD
1945
Dalam filsafat hukum positivisme,
hukum dipandang sebagai sistem norma yang bersifat otonom, terlepas dari nilai
moral atau keadilan. Pandangan ini menekankan pentingnya kepastian hukum
sebagai elemen utama. Hans Kelsen, sebagai tokoh utama positivisme hukum,
menyatakan bahwa sebuah konstitusi adalah norma dasar yang memberikan
legitimasi pada seluruh aturan hukum di bawahnya.¹ Dalam konteks UUD 1945,
konstitusi ini berfungsi sebagai pedoman utama yang mengatur seluruh tata hukum
di Indonesia.
Positivisme dalam penerapan
UUD 1945 tercermin dari proses legislasi yang memastikan bahwa setiap peraturan
perundang-undangan harus sesuai dengan hierarki hukum, sebagaimana diatur dalam
Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. Namun, pendekatan positivisme ini menghadapi kritik karena
cenderung mengabaikan nilai-nilai moral dan keadilan yang seharusnya menjadi
inti dari sebuah konstitusi.²
4.2.
Pendekatan Humanisme dalam UUD 1945
Humanisme dalam filsafat hukum memandang manusia sebagai pusat dari segala peraturan hukum. Pendekatan
ini menekankan pentingnya penghormatan terhadap martabat manusia dan hak asasi
manusia.³ Dalam konteks UUD 1945, nilai-nilai humanisme tercermin dalam
berbagai pasal, seperti:
·
Pasal 28A-28J tentang Hak
Asasi Manusia yang mengakui dan melindungi hak-hak dasar setiap individu.
·
Pasal 27 ayat (2) yang
menegaskan hak setiap warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak.
Nilai-nilai humanisme ini
menunjukkan bahwa UUD 1945 tidak hanya mengatur hubungan antara negara dan
warga negara, tetapi juga berfungsi sebagai sarana untuk mewujudkan kehidupan
yang bermartabat bagi seluruh rakyat Indonesia.⁴ Perspektif ini menempatkan
hukum sebagai alat untuk mencapai keadilan sosial dan kesejahteraan manusia,
sesuai dengan tujuan negara yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
4.3.
Aspek Teleologis dan Etis dalam UUD 1945
Pendekatan teleologis dalam
filsafat hukum memandang hukum sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu,
seperti keadilan, kesejahteraan, atau kedamaian.⁵ Dalam hal ini, UUD 1945
memiliki visi yang jelas untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur.
Tujuan ini tercermin dalam Pembukaan UUD 1945, yang menyatakan tekad bangsa
Indonesia untuk "melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia."
Aspek etis dalam UUD 1945
terlihat dalam integrasi nilai-nilai Pancasila, yang menekankan harmoni antara
hak dan kewajiban, serta pentingnya kebersamaan dalam mencapai tujuan negara.
Misalnya, Pasal 33 menekankan pengelolaan ekonomi nasional berdasarkan asas
kekeluargaan, yang merupakan cerminan etika kolektivisme khas Indonesia.⁶
4.4.
Kritik dan Tantangan
Meskipun UUD 1945
mencerminkan berbagai perspektif filosofis, pelaksanaannya sering kali
menghadapi tantangan. Kritik utama datang dari kegagalan beberapa pihak dalam
memahami nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam UUD 1945.⁷ Selain itu,
tantangan globalisasi dan perubahan sosial menuntut konstitusi ini untuk terus
relevan dan adaptif, tanpa kehilangan esensi filosofisnya.
Catatan Kaki
[1]
Hans Kelsen, Pure
Theory of Law (Berkeley: University of California Press, 1967),
hlm. 124-130.
[2]
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi
dan Konstitusionalisme Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2010),
hlm. 60-65.
[3]
Satjipto Rahardjo, Hukum
dalam Perspektif Sosial (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), hlm.
80-85.
[4]
Yudi Latif, Negara
Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila
(Jakarta: Gramedia, 2011), hlm. 105-110.
[5]
Gustav Radbruch, Rechtsphilosophie
(Stuttgart: Koehler, 1950), hlm. 12-15.
[6]
Notonagoro, Pancasila
secara Ilmiah Populer (Jakarta: Pantjuran Tudjuh, 1967), hlm.
50-55.
[7]
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum,
Masyarakat, dan Pembinaan Hukum Nasional (Bandung: Alumni, 2002),
hlm. 115-120.
5.
Tantangan dan
Relevansi UUD 1945 di Era Modern
5.1.
Problematika Hukum dan Politik
Salah satu tantangan utama
dalam pelaksanaan UUD 1945 di era modern adalah ketidaksesuaian antara
prinsip-prinsip konstitusi dengan praktik politik dan hukum yang terjadi.
Meskipun UUD 1945 telah diamandemen untuk mengakomodasi nilai-nilai demokrasi,
pelanggaran terhadap prinsip supremasi hukum dan kedaulatan rakyat masih sering
terjadi.¹
Contohnya adalah korupsi di
kalangan pejabat negara yang melemahkan kepercayaan publik terhadap institusi
hukum.² Fenomena ini menunjukkan adanya kesenjangan antara norma yang diatur
dalam UUD 1945, seperti prinsip keadilan sosial (Pasal 33 dan Pasal 34), dengan
implementasi di lapangan. Di samping itu, intervensi politik dalam proses hukum
sering kali mencederai independensi lembaga penegak hukum seperti Mahkamah
Konstitusi.³
5.2.
Konstitusi di Era Digital dan Globalisasi
Era digital dan globalisasi membawa
tantangan baru bagi UUD 1945, khususnya dalam hal perlindungan hak asasi
manusia dan kedaulatan negara. Teknologi informasi, seperti media sosial,
memiliki dampak besar terhadap proses demokrasi dan tata kelola pemerintahan.
Namun, regulasi yang mengatur penggunaan teknologi tersebut belum sepenuhnya
diintegrasikan dalam kerangka hukum nasional yang merujuk pada UUD 1945.⁴
Misalnya, perlindungan data
pribadi, yang menjadi isu utama di era digital, belum memiliki landasan hukum
yang kuat. Hal ini berpotensi melanggar Pasal 28G ayat (1) yang menjamin hak
atas perlindungan pribadi. Selain itu, globalisasi ekonomi menimbulkan
tantangan terhadap Pasal 33 UUD 1945, yang menekankan pengelolaan ekonomi
nasional berdasarkan asas kekeluargaan, karena ekonomi digital sering kali
dikuasai oleh perusahaan multinasional.⁵
5.3.
Peran UUD 1945 dalam Mewujudkan Good Governance
Good governance, yang
meliputi transparansi, akuntabilitas, partisipasi publik, dan supremasi hukum,
menjadi tuntutan utama di era modern. Prinsip-prinsip ini sejalan dengan
cita-cita yang terkandung dalam UUD 1945, khususnya dalam upaya menciptakan
pemerintahan yang bersih dan bertanggung jawab.⁶
Namun, pelaksanaan good
governance di Indonesia masih menemui banyak hambatan, seperti rendahnya partisipasi
masyarakat dalam proses pengambilan keputusan dan kurangnya transparansi dalam
pengelolaan keuangan negara. Prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana diatur dalam
Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sering kali tidak diwujudkan secara maksimal,
terutama dalam kebijakan yang memengaruhi kepentingan publik.⁷
Untuk menghadapi tantangan
ini, penting bagi pemerintah untuk mengembangkan mekanisme pengawasan yang
lebih efektif, memperkuat akuntabilitas lembaga negara, dan meningkatkan
literasi hukum di kalangan masyarakat agar nilai-nilai UUD 1945 dapat
diimplementasikan secara konsisten.
5.4.
UUD 1945 sebagai Konstitusi yang Adaptif
Keunggulan UUD 1945 sebagai
konstitusi terletak pada fleksibilitasnya untuk disesuaikan dengan kebutuhan
zaman. Empat kali amandemen yang dilakukan antara 1999 dan 2002 menunjukkan
bahwa konstitusi ini dapat berkembang tanpa kehilangan esensi filosofisnya.⁸
Namun, fleksibilitas ini juga menuntut kehati-hatian agar perubahan tidak
merusak nilai-nilai dasar yang menjadi jiwa konstitusi, yaitu Pancasila.⁹
Catatan Kaki
[1]
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi
dan Konstitusionalisme Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2010),
hlm. 85-90.
[2]
Transparency International
Indonesia, Corruption
Perception Index 2022 (Jakarta: TII, 2022), hlm. 15-18.
[3]
Bivitri Susanti, Peradilan
Konstitusi di Indonesia (Jakarta: HUMA, 2015), hlm. 65-70.
[4]
Ali Wardhana, Hukum
Siber di Era Digital (Jakarta: Gramedia, 2019), hlm. 45-50.
[5]
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum,
Masyarakat, dan Pembinaan Hukum Nasional (Bandung: Alumni, 2002),
hlm. 110-115.
[6]
UNDP, Governance
for Sustainable Development (New York: UNDP, 2016), hlm. 23-25.
[7]
Satjipto Rahardjo, Hukum
dalam Perspektif Sosial (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), hlm.
95-100.
[8]
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar
Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009), hlm. 125-130.
[9]
Yudi Latif, Negara
Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila
(Jakarta: Gramedia, 2011), hlm. 120-125.
6.
Kesimpulan dan
Rekomendasi
6.1.
Kesimpulan
Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) merupakan fondasi utama yang mengatur
kehidupan bernegara di Indonesia. Sebagai konstitusi dan hukum dasar tertinggi,
UUD 1945 memiliki kedudukan yang strategis dalam membentuk tata kelola
pemerintahan, menjamin hak asasi manusia, serta menciptakan masyarakat yang
adil dan makmur.¹
Dari perspektif filsafat hukum, UUD 1945 tidak hanya berfungsi sebagai dokumen legalistik, tetapi juga
sebagai cerminan nilai-nilai moral dan ideologis bangsa. Pendekatan teleologis,
humanisme, dan positivisme yang terkandung dalam UUD 1945 menunjukkan bahwa
konstitusi ini dirancang untuk mencapai tujuan luhur negara, yakni keadilan
sosial dan kesejahteraan bersama.² Namun, tantangan seperti dinamika politik,
globalisasi, dan era digital menguji relevansi dan efektivitas pelaksanaan UUD
1945 dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.³
Di sisi lain, amandemen UUD
1945 menjadi bukti fleksibilitas konstitusi ini dalam menyesuaikan diri dengan
kebutuhan zaman, tanpa kehilangan esensi filosofisnya yang berlandaskan pada
Pancasila. Meski demikian, penting untuk memastikan bahwa perubahan tersebut
tetap menjaga prinsip-prinsip dasar yang terkandung dalam UUD 1945 sebagai
pedoman kehidupan bernegara.⁴
6.2.
Rekomendasi
Untuk memperkuat peran UUD
1945 dalam menjawab tantangan era modern, beberapa rekomendasi yang dapat
diberikan adalah sebagai berikut:
1)
Peningkatan Pemahaman
Konstitusi
o Pemerintah dan lembaga pendidikan perlu meningkatkan literasi
konstitusi di kalangan masyarakat melalui program pendidikan kewarganegaraan
yang berbasis nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Hal ini bertujuan untuk
memperkuat kesadaran masyarakat terhadap hak dan kewajibannya dalam kehidupan
bernegara.⁵
2)
Penguatan Supremasi
Hukum
o Supremasi hukum harus ditegakkan secara konsisten untuk
memastikan bahwa seluruh peraturan dan kebijakan pemerintah selaras dengan UUD
1945. Lembaga penegak hukum, seperti Mahkamah Konstitusi, harus tetap
independen dalam menjalankan fungsi judicial review terhadap undang-undang.⁶
3)
Penyempurnaan Regulasi
di Era Digital
o Dalam menghadapi perkembangan teknologi informasi, diperlukan
penyesuaian kerangka hukum nasional yang berlandaskan UUD 1945. Misalnya,
mempercepat pengesahan undang-undang perlindungan data pribadi untuk melindungi
hak warga negara sebagaimana diatur dalam Pasal 28G ayat (1).⁷
4)
Penguatan Nilai-Nilai
Pancasila
o Dalam menghadapi globalisasi, nilai-nilai Pancasila harus terus
diinternalisasi dalam proses legislasi dan kebijakan negara. Hal ini penting
untuk menjaga identitas nasional sekaligus memastikan bahwa konstitusi tetap
relevan dalam mengatur berbagai aspek kehidupan.⁸
5)
Peningkatan
Transparansi dan Partisipasi Publik
o Untuk mewujudkan prinsip kedaulatan rakyat, pemerintah harus
memperkuat mekanisme partisipasi publik dalam pengambilan keputusan. Hal ini
sesuai dengan prinsip demokrasi konstitusional yang diatur dalam Pasal 1 ayat
(2) UUD 1945.⁹
Catatan Kaki
[1]
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi
dan Konstitusionalisme Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2010),
hlm. 20-25.
[2]
Yudi Latif, Negara
Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila
(Jakarta: Gramedia, 2011), hlm. 130-135.
[3]
Satjipto Rahardjo, Hukum
dalam Perspektif Sosial (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), hlm.
85-90.
[4]
Budiardjo Miriam, Dasar-Dasar
Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009), hlm. 150-155.
[5]
Mohammad Hatta, Menuju
Negara Hukum (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 90-95.
[6]
Harjono, Konstitusi
sebagai Rumah Bangsa (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008), hlm. 35-40.
[7]
Ali Wardhana, Hukum
Siber di Era Digital (Jakarta: Gramedia, 2019), hlm. 60-65.
[8]
Notonagoro, Pancasila
Secara Ilmiah Populer (Jakarta: Pantjuran Tudjuh, 1967), hlm.
80-85.
[9]
Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 1 Ayat (2).
Daftar Buku Rujukan
Berikut adalah daftar buku
yang relevan untuk mendalami kajian filsafat tentang Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) sebagai
konstitusi dan hukum dasar tertinggi:
a.
Buku Umum tentang Konstitusi dan UUD 1945
1)
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi
dan Konstitusionalisme Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2010).
o Buku ini membahas konsep dasar konstitusi, sejarah UUD 1945,
serta implementasinya dalam tata hukum Indonesia.
2)
Adnan Buyung Nasution, Aspirasi
Pemerintahan Konstitusional di Indonesia (Jakarta: Grafiti, 1992).
o Karya klasik yang membahas sejarah dan dinamika pemerintahan
konstitusional Indonesia dari perspektif hukum.
3)
Bivitri Susanti, Peradilan
Konstitusi di Indonesia (Jakarta: HUMA, 2015).
o Buku ini fokus pada peran Mahkamah Konstitusi dalam menjaga
supremasi UUD 1945.
b.
Buku Filsafat Hukum
4)
Hans Kelsen, Pure Theory of
Law (Berkeley: University of California Press, 1967).
o Buku ini memperkenalkan teori hukum murni yang relevan untuk
memahami UUD 1945 sebagai norma dasar.
5)
Satjipto Rahardjo, Hukum dalam
Perspektif Sosial (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010).
o Membahas hukum dari perspektif sosiologi dan filsafat, termasuk
penerapan nilai-nilai etis dalam hukum.
6)
Gustav Radbruch, Rechtsphilosophie
(Stuttgart: Koehler, 1950).
o Karya ini menjelaskan teori teleologis hukum, yang relevan untuk
menganalisis aspek tujuan UUD 1945.
c.
Buku tentang Pancasila dan Nilai Dasar UUD 1945
7)
Yudi Latif, Negara Paripurna:
Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia,
2011).
o Buku ini menguraikan hubungan antara Pancasila dan UUD 1945
dalam konteks historis dan filosofis.
8)
Notonagoro, Pancasila secara
Ilmiah Populer (Jakarta: Pantjuran Tudjuh, 1967).
o Referensi penting untuk memahami nilai-nilai Pancasila sebagai
dasar negara yang mendasari UUD 1945.
9)
Mohammad Hatta, Menuju Negara
Hukum (Jakarta: Bulan Bintang, 1975).
o Buku ini membahas gagasan negara hukum dan relevansinya dalam
pelaksanaan UUD 1945.
d.
Buku tentang Tantangan UUD 1945 di Era Modern
10)
Ali Wardhana, Hukum Siber di
Era Digital (Jakarta: Gramedia, 2019).
o Membahas tantangan hukum nasional, termasuk UUD 1945, dalam
menghadapi era digital.
11)
Transparency International
Indonesia, Corruption Perception Index 2022 (Jakarta: TII, 2022).
o Sumber ini dapat digunakan untuk menganalisis relevansi UUD 1945
dalam konteks pemberantasan korupsi.
12)
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar
Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009).
o Buku ini menguraikan prinsip-prinsip politik yang mendukung implementasi
konstitusi demokratis.
Daftar Pustaka
Ali Wardhana. Hukum Siber di Era Digital.
Jakarta: Gramedia, 2019.
Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi dan
Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009.
Harjono. Konstitusi sebagai Rumah Bangsa.
Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008.
Hatta, Mohammad. Menuju Negara Hukum.
Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Kelsen, Hans. General Theory of Law and State.
Cambridge: Harvard University Press, 1945.
Kelsen, Hans. Pure Theory of Law. Berkeley:
University of California Press, 1967.
Kusumaatmadja, Mochtar. Hukum, Masyarakat, dan
Pembinaan Hukum Nasional. Bandung: Alumni, 2002.
Latif, Yudi. Negara Paripurna: Historisitas,
Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Jakarta: Gramedia, 2011.
Nasution, Adnan Buyung. Aspirasi Pemerintahan
Konstitusional di Indonesia. Jakarta: Grafiti, 1992.
Notonagoro. Pancasila Secara Ilmiah Populer.
Jakarta: Pantjuran Tudjuh, 1967.
Rahardjo, Satjipto. Hukum dalam Perspektif
Sosial. Yogyakarta: Genta Publishing, 2010.
Radbruch, Gustav. Rechtsphilosophie.
Stuttgart: Koehler, 1950.
Transparency International Indonesia. Corruption
Perception Index 2022. Jakarta: TII, 2022.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
UNDP. Governance for Sustainable Development.
New York: UNDP, 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar