Selasa, 24 Desember 2024

Kajian Komprehensif tentang Istilah 'Otak Dengkul' di Era Artificial Intelligence (AI)

Telaah Istilah 'Otak Dengkul' di Era Artificial Intelligence (AI)


1.           Pendahuluan

Istilah otak dengkul adalah salah satu ungkapan dalam bahasa Indonesia yang sering digunakan untuk menggambarkan seseorang yang dianggap tidak mampu berpikir secara logis atau cerdas. Secara harfiah, istilah ini memberikan gambaran yang hiperbolis—menyiratkan bahwa seseorang tidak menggunakan otaknya sebagaimana mestinya, tetapi malah bergantung pada bagian tubuh yang tidak relevan dalam proses berpikir, yaitu dengkul. Istilah ini bukan hanya berfungsi sebagai kritik tajam, tetapi juga sebagai bentuk humor yang sarkastik dalam komunikasi sehari-hari di masyarakat Indonesia.

1.1.       Asal-Usul dan Makna Kontekstual

Istilah ini kemungkinan besar berasal dari tradisi lisan masyarakat Indonesia yang kerap menggunakan metafora tubuh untuk menilai perilaku manusia. Sebagai contoh, ungkapan seperti besar kepala untuk menggambarkan kesombongan, atau panjang tangan untuk mencirikan pencuri. Dalam kasus otak dengkul, istilah ini lebih mengarah pada penghinaan intelektual yang bermakna bahwa seseorang gagal menggunakan potensi berpikirnya secara maksimal. Penelitian linguistik menunjukkan bahwa penggunaan metafora tubuh semacam ini lazim dalam budaya Timur, termasuk Indonesia, untuk menyederhanakan konsep abstrak seperti kecerdasan dan perilaku.¹

1.2.       Perkembangan Relevansi Istilah

Seiring dengan perkembangan teknologi dan perubahan paradigma kecerdasan, muncul pertanyaan tentang relevansi istilah otak dengkul. Dalam era yang didominasi oleh kecerdasan buatan (AI), di mana teknologi dapat meniru, melampaui, bahkan menggantikan fungsi kognitif manusia, konsep kecerdasan menjadi semakin kompleks.² Definisi kecerdasan tidak lagi terbatas pada kemampuan berpikir kritis, tetapi juga melibatkan kemampuan beradaptasi dengan teknologi, bekerja secara kolaboratif dengan AI, dan memahami data secara komprehensif. Dalam konteks ini, istilah otak dengkul mungkin memerlukan pembaruan atau redefinisi untuk mencerminkan tantangan zaman.

1.3.       Signifikansi Pembahasan di Era Modern

Artikel ini bertujuan untuk mengkaji ulang makna dan relevansi istilah otak dengkul di era AI. Apakah istilah ini masih relevan sebagai kritik terhadap kurangnya pemikiran kritis? Ataukah perlu muncul istilah baru yang lebih kontekstual untuk mencerminkan kondisi zaman yang lebih canggih secara teknologi? Pembahasan ini akan menjawab pertanyaan tersebut melalui pendekatan kritis berbasis linguistik, teknologi, dan sosial budaya.


Catatan Kaki

[1]              William Croft dan D. Alan Cruse, Cognitive Linguistics (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), hlm. 45–50.

[2]              Stuart Russell dan Peter Norvig, Artificial Intelligence: A Modern Approach (Upper Saddle River: Pearson, 2021), hlm. 27–30.


2.           Makna Filosofis dan Sosial dari Istilah 'Otak Dengkul'

2.1.       Dimensi Filosofis

Istilah otak dengkul secara filosofis mencerminkan persepsi tradisional tentang kecerdasan sebagai kemampuan eksklusif manusia untuk berpikir logis dan rasional. Dalam kerangka filsafat klasik, kecerdasan sering dikaitkan dengan kemampuan untuk mencapai kebenaran melalui nalar. Aristoteles, misalnya, memandang bahwa manusia adalah animal rationale—makhluk rasional yang memiliki kemampuan berpikir di atas makhluk lain.¹ Dalam konteks ini, otak dengkul adalah sindiran terhadap mereka yang dianggap gagal memenuhi potensi dasar manusia tersebut.

Namun, dalam masyarakat modern, makna kecerdasan semakin berkembang. Howard Gardner dalam teori Multiple Intelligences menyatakan bahwa kecerdasan tidak hanya terbatas pada logika dan analitik, tetapi juga mencakup kecerdasan interpersonal, intrapersonal, musikal, dan kinestetik.² Dengan demikian, istilah otak dengkul yang mengacu pada kegagalan berpikir logis mungkin perlu diperluas untuk mencakup berbagai aspek kecerdasan lainnya. Dalam dimensi ini, makna filosofis dari istilah tersebut menjadi semakin kompleks dan kontekstual.

2.2.       Dimensi Sosial

Dalam konteks sosial, otak dengkul berfungsi sebagai mekanisme evaluasi sosial terhadap seseorang yang dianggap tidak cerdas atau tidak kompeten. Istilah ini sering digunakan dalam bentuk humor atau penghinaan untuk menilai tindakan seseorang yang tidak masuk akal.³ Dalam budaya Indonesia, penggunaan istilah ini mencerminkan pendekatan budaya terhadap kecerdasan, yaitu bahwa kecerdasan dihargai sebagai modal sosial yang tinggi.

Di era teknologi seperti sekarang, ada perubahan dalam persepsi sosial mengenai kecerdasan. Dengan munculnya AI, kecerdasan tidak lagi sepenuhnya manusiawi, tetapi juga dipandang sebagai sesuatu yang dapat diprogram dan diciptakan.⁴ Oleh karena itu, penghinaan berbasis kegagalan manusia dalam berpikir mungkin akan bergeser menjadi kritik terhadap ketidakmampuan manusia memanfaatkan teknologi. Misalnya, seseorang yang gagal memahami penggunaan AI dalam pekerjaan sehari-hari bisa disebut "gaptek" (gagap teknologi)—istilah baru yang mungkin lebih relevan menggantikan otak dengkul.

2.3.       Pengaruh Linguistik dan Budaya

Penggunaan istilah otak dengkul juga mencerminkan pendekatan budaya terhadap bahasa. Bahasa adalah cerminan dari norma dan nilai sosial yang berlaku, dan istilah seperti ini menunjukkan bagaimana masyarakat Indonesia menilai kecerdasan. Menurut Sapir dan Whorf, bahasa tidak hanya mencerminkan pemikiran, tetapi juga membentuknya.⁵ Oleh karena itu, perubahan dalam bahasa, termasuk istilah seperti otak dengkul, dapat menunjukkan pergeseran nilai-nilai sosial terkait kecerdasan di era modern.


Catatan Kaki

[1]              Aristotle, Nicomachean Ethics, ed. and trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett, 1985), 1094a.

[2]              Howard Gardner, Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences (New York: Basic Books, 1983), 17–25.

[3]              James A. Holstein dan Jaber F. Gubrium, The Constructionist Reader: Critical Perspectives on Social Theory (London: SAGE Publications, 2008), hlm. 126–128.

[4]              Stuart Russell dan Peter Norvig, Artificial Intelligence: A Modern Approach (Upper Saddle River: Pearson, 2021), 55–58.

[5]              Edward Sapir, Language: An Introduction to the Study of Speech (New York: Harcourt, Brace, and Company, 1921), hlm. 212.


3.           Perubahan Paradigma Kecerdasan di Era AI

3.1.       Definisi Kecerdasan di Era Modern

Di era kecerdasan buatan (Artificial Intelligence, AI), definisi kecerdasan telah mengalami perluasan. Jika dahulu kecerdasan hanya dikaitkan dengan kemampuan berpikir kritis, analitis, dan rasional, kini kecerdasan melibatkan kapasitas untuk memahami, mengadaptasi, dan bahkan menciptakan solusi yang melibatkan teknologi.¹ Menurut Stuart Russell dan Peter Norvig, AI didefinisikan sebagai sistem yang mampu bertindak dan berpikir secara rasional untuk mencapai tujuan tertentu.² Dengan demikian, kecerdasan tidak lagi menjadi monopoli manusia, melainkan juga dapat direpresentasikan oleh mesin.

Dalam kerangka tradisional, kecerdasan manusia diukur melalui tes IQ yang menilai logika, memori, dan kemampuan problem-solving. Namun, di era modern, kecerdasan melibatkan elemen baru, seperti kemampuan untuk mengelola informasi digital, memahami algoritma, dan bekerja sama dengan sistem otomatis.³ Hal ini menggeser cara kita memandang dan menilai kecerdasan, terutama dalam konteks pekerjaan dan kehidupan sehari-hari.

3.2.       Kompetensi di Era Digital

Perubahan paradigma ini juga berdampak pada kompetensi yang dianggap penting di era digital. Jika di masa lalu kecerdasan manual dan logis mendominasi, kini keterampilan yang melibatkan pemanfaatan teknologi menjadi lebih relevan. Menurut Klaus Schwab, pendiri World Economic Forum, Revolusi Industri Keempat telah memperkenalkan konsep "intelligence augmentation," yaitu kolaborasi antara manusia dan mesin untuk meningkatkan produktivitas.⁴

Kompetensi digital, seperti literasi data, kemampuan menggunakan perangkat lunak berbasis AI, dan keterampilan adaptif, kini menjadi penentu utama kesuksesan seseorang. Dalam konteks ini, istilah seperti otak dengkul tidak lagi relevan karena kegagalan bukan hanya terkait logika manusia, tetapi juga ketidakmampuan untuk beradaptasi dengan teknologi modern.

3.3.       Implikasi Sosial dan Budaya

Perubahan paradigma ini juga menciptakan implikasi sosial yang signifikan. Kemampuan menggunakan teknologi kini dianggap sebagai bentuk kecerdasan baru, sementara kegagalan dalam memahami teknologi sering kali dilabeli dengan istilah seperti gaptek (gagap teknologi).⁵ Dalam budaya global, istilah-istilah seperti digital divide (kesenjangan digital) menunjukkan bahwa kecerdasan manusia kini tidak hanya diukur dari kemampuan biologis, tetapi juga akses dan pemanfaatan teknologi.⁶

AI juga menghadirkan tantangan baru dalam konsep kecerdasan emosional dan sosial. Dengan meningkatnya interaksi antara manusia dan mesin, kemampuan untuk mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan, seperti empati, menjadi aspek penting dari kecerdasan manusia yang tidak dapat sepenuhnya ditiru oleh AI.⁷ Oleh karena itu, kecerdasan di era AI adalah kombinasi dari kecerdasan logis, emosional, dan teknologi.


Catatan Kaki

[1]              Howard Gardner, Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences (New York: Basic Books, 1983), 29–35.

[2]              Stuart Russell dan Peter Norvig, Artificial Intelligence: A Modern Approach (Upper Saddle River: Pearson, 2021), 18.

[3]              James R. Flynn, What Is Intelligence? Beyond the Flynn Effect (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 12–15.

[4]              Klaus Schwab, The Fourth Industrial Revolution (Geneva: World Economic Forum, 2016), 10–12.

[5]              Mark Warschauer, Technology and Social Inclusion: Rethinking the Digital Divide (Cambridge: MIT Press, 2004), 45–47.

[6]              Manuel Castells, The Internet Galaxy: Reflections on the Internet, Business, and Society (Oxford: Oxford University Press, 2001), 117–120.

[7]              Daniel Goleman, Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ (New York: Bantam Books, 1995), 47–50.


4.           Relevansi Istilah 'Otak Dengkul' di Era AI

4.1.       Kritik terhadap Relevansi Istilah

Istilah otak dengkul secara tradisional digunakan sebagai bentuk sindiran terhadap ketidakmampuan seseorang berpikir logis atau mengambil keputusan yang rasional. Namun, dalam konteks era kecerdasan buatan (AI), istilah ini perlu dipertimbangkan ulang. Perkembangan AI telah menggeser tolok ukur kecerdasan dari sekadar kemampuan berpikir logis menjadi kemampuan untuk bekerja dengan teknologi dan memahami data secara komprehensif.¹

Sebagai contoh, individu yang gagal memanfaatkan perangkat lunak berbasis AI dalam pekerjaan tidak dapat lagi dikategorikan sebagai “tidak cerdas” dalam arti tradisional, tetapi lebih sebagai kurangnya adaptasi terhadap teknologi.² Dalam kerangka ini, istilah otak dengkul mungkin kehilangan relevansinya karena konteks kecerdasan manusia semakin meluas dan lebih terintegrasi dengan teknologi. Lebih jauh lagi, penggantian istilah ini dengan sesuatu yang lebih spesifik, seperti "gaptek" atau "tidak adaptif secara teknologi," menjadi lebih sesuai dengan tantangan zaman.³

4.2.       Konteks Baru yang Muncul

Perkembangan teknologi menciptakan konteks baru untuk memahami kecerdasan. Dalam sistem berbasis AI, kesalahan manusia sering kali terjadi bukan karena kurangnya pemikiran logis, tetapi karena ketidakmampuan untuk memanfaatkan teknologi secara efektif.⁴ Misalnya, seseorang yang gagal membaca hasil analitik data dari AI mungkin tidak memiliki masalah logika, tetapi kurang terampil dalam literasi digital. Dalam situasi ini, istilah seperti otak dengkul tidak lagi cukup menjelaskan kegagalan yang terjadi.

Di sisi lain, penggunaan istilah ini masih dapat berfungsi sebagai kritik terhadap ketidaksadaran manusia akan batasan dan potensi mereka sendiri di era AI. Peneliti seperti Klaus Schwab berpendapat bahwa meskipun teknologi dapat meningkatkan produktivitas, ketergantungan berlebihan pada AI tanpa pengembangan kecerdasan manusia yang holistik juga dapat menciptakan masalah baru.⁵ Dengan demikian, istilah baru yang lebih kontekstual seperti "intelek pasif" atau "kognisi terdisrupsi" dapat mencerminkan tantangan yang lebih kompleks.

4.3.       Apakah Istilah Baru Diperlukan?

Menariknya, era AI juga memperkenalkan istilah baru yang lebih relevan. Dalam diskusi global, istilah seperti digital illiteracy (ketidakmelekkan digital) dan tech resistance (resistensi terhadap teknologi) mulai menggantikan istilah-istilah tradisional yang berkaitan dengan kecerdasan.⁶ Istilah ini tidak hanya lebih spesifik, tetapi juga memberikan deskripsi yang lebih akurat tentang tantangan yang dihadapi manusia modern.

Namun, peran budaya lokal dalam mempertahankan istilah seperti otak dengkul juga tidak dapat diabaikan. Dalam masyarakat Indonesia, istilah ini masih berfungsi sebagai alat komunikasi yang efektif untuk menggambarkan kegagalan berpikir secara umum, terlepas dari konteks teknologinya.⁷ Oleh karena itu, transformasi istilah ini dapat dilakukan secara bertahap melalui integrasi dengan istilah baru yang lebih relevan secara global.


Catatan Kaki

[1]              Stuart Russell dan Peter Norvig, Artificial Intelligence: A Modern Approach (Upper Saddle River: Pearson, 2021), 25–27.

[2]              Klaus Schwab, The Fourth Industrial Revolution (Geneva: World Economic Forum, 2016), 15.

[3]              Mark Warschauer, Technology and Social Inclusion: Rethinking the Digital Divide (Cambridge: MIT Press, 2004), 50–52.

[4]              James R. Flynn, What Is Intelligence? Beyond the Flynn Effect (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 20.

[5]              Klaus Schwab, Shaping the Future of the Fourth Industrial Revolution (Geneva: World Economic Forum, 2018), 22.

[6]              Daniel Goleman, Focus: The Hidden Driver of Excellence (New York: Harper, 2013), 45.

[7]              Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia, 2009), 35–37.


5.           Perspektif Kritis terhadap Perkembangan Istilah

5.1.       Aspek Linguistik dan Kultural

Dalam analisis linguistik, istilah seperti otak dengkul mencerminkan pola berpikir masyarakat yang menggunakan metafora tubuh untuk menilai perilaku atau kecerdasan. Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf dalam hipotesis mereka menyatakan bahwa bahasa tidak hanya mencerminkan realitas sosial tetapi juga membentuk cara manusia memahami dunia.¹ Istilah otak dengkul menunjukkan bahwa masyarakat tradisional cenderung menilai kecerdasan secara sederhana, terbatas pada kemampuan berpikir logis, tanpa mempertimbangkan dimensi kecerdasan lain seperti emosional atau adaptif.

Namun, di era teknologi, makna kecerdasan telah berubah secara signifikan. Istilah seperti digital literacy dan adaptive intelligence kini mencerminkan kompetensi baru yang diperlukan di zaman modern.² Dalam budaya global, istilah yang mengandung penghinaan seperti otak dengkul mungkin akan digantikan oleh istilah yang lebih deskriptif dan netral untuk menggambarkan tantangan kognitif atau teknologi seseorang, seperti tech-challenged atau digital novice

5.2.       Aspek Etis dan Psikologis

Dari perspektif etis, penggunaan istilah seperti otak dengkul dapat dianggap merendahkan martabat seseorang, terutama dalam konteks modern di mana kegagalan dalam memahami teknologi sering kali terkait dengan keterbatasan akses atau pendidikan, bukan semata-mata kecerdasan individu.⁴ Mengkritik seseorang dengan istilah ini di era AI dapat menciptakan stigma sosial yang tidak produktif, terutama jika keterbatasan tersebut disebabkan oleh faktor-faktor struktural seperti kesenjangan digital.⁵

Selain itu, dari sudut pandang psikologis, istilah ini dapat memengaruhi harga diri dan motivasi seseorang. Menurut teori self-efficacy yang dikembangkan oleh Albert Bandura, keyakinan seseorang terhadap kemampuannya untuk sukses sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan bahasa yang digunakan di sekitarnya.⁶ Penggunaan istilah yang merendahkan, seperti otak dengkul, dapat menghambat perkembangan individu untuk belajar atau beradaptasi dengan teknologi baru.

5.3.       Peran Bahasa dalam Perubahan Sosial

Bahasa adalah alat penting dalam mencerminkan perubahan sosial. Dalam konteks AI, perkembangan istilah baru yang lebih inklusif dan relevan dapat mendorong masyarakat untuk mengadopsi cara pandang yang lebih konstruktif terhadap kecerdasan.⁷ Sebagai contoh, istilah seperti adaptive learner atau emerging technologist memberikan konotasi positif terhadap individu yang sedang belajar menyesuaikan diri dengan teknologi, dibandingkan dengan istilah otak dengkul yang bersifat negatif.⁸

Namun, dalam konteks budaya lokal seperti Indonesia, istilah otak dengkul mungkin tetap memiliki tempat, terutama dalam komunikasi informal atau humor. Penting bagi masyarakat untuk mempertimbangkan konteks penggunaannya sehingga tidak menciptakan efek negatif yang tidak diinginkan.


Catatan Kaki

[1]              Edward Sapir, Language: An Introduction to the Study of Speech (New York: Harcourt, Brace, and Company, 1921), 213.

[2]              Stuart Russell dan Peter Norvig, Artificial Intelligence: A Modern Approach (Upper Saddle River: Pearson, 2021), 27.

[3]              Mark Warschauer, Technology and Social Inclusion: Rethinking the Digital Divide (Cambridge: MIT Press, 2004), 48.

[4]              James R. Flynn, What Is Intelligence? Beyond the Flynn Effect (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 19.

[5]              Klaus Schwab, The Fourth Industrial Revolution (Geneva: World Economic Forum, 2016), 23.

[6]              Albert Bandura, Self-Efficacy: The Exercise of Control (New York: W.H. Freeman, 1997), 65–68.

[7]              Daniel Goleman, Focus: The Hidden Driver of Excellence (New York: Harper, 2013), 45–47.

[8]              Manuel Castells, The Internet Galaxy: Reflections on the Internet, Business, and Society (Oxford: Oxford University Press, 2001), 118.


6.           Kesimpulan dan Rekomendasi

6.1.       Kesimpulan

Perkembangan teknologi, terutama dengan hadirnya Artificial Intelligence (AI), telah mengubah paradigma kecerdasan dari sekadar kemampuan berpikir logis menjadi kapasitas untuk beradaptasi dengan teknologi dan memahami data secara komprehensif.¹ Dalam konteks ini, istilah otak dengkul, yang sering digunakan untuk menggambarkan ketidakmampuan berpikir kritis, mulai kehilangan relevansinya sebagai kritik terhadap kecerdasan manusia. Istilah ini tidak lagi mencerminkan tantangan utama di era AI, yaitu kegagalan manusia untuk memanfaatkan teknologi secara efektif.²

Sebaliknya, tantangan di era ini lebih terkait dengan literasi digital, pemahaman algoritma, dan kemampuan kolaborasi manusia-mesin.³ Oleh karena itu, pengertian kecerdasan perlu diperluas untuk mencakup aspek-aspek baru seperti kecerdasan digital (digital intelligence), adaptabilitas, dan kolaborasi berbasis teknologi. Selain itu, penggunaan istilah seperti otak dengkul juga dapat menciptakan stigma sosial yang kurang produktif, terutama ketika ketidakmampuan seseorang dalam memahami teknologi sering kali disebabkan oleh faktor struktural, seperti kesenjangan akses pendidikan atau teknologi.⁴

6.2.       Rekomendasi

Untuk menjawab kebutuhan zaman, diperlukan redefinisi atau penggantian istilah otak dengkul dengan istilah yang lebih relevan dan konstruktif, seperti digital novice, tech-averse, atau learning adapter.⁵ Istilah-istilah ini lebih mencerminkan konteks global modern dan dapat digunakan untuk menggambarkan tantangan intelektual tanpa memberikan konotasi negatif.

Lebih lanjut, penting untuk mempromosikan literasi teknologi dan keterampilan adaptif melalui pendidikan.⁶ Klaus Schwab menekankan pentingnya mengintegrasikan pelatihan teknologi dalam kurikulum pendidikan modern agar masyarakat dapat menghadapi tantangan Revolusi Industri Keempat.⁷ Di tingkat sosial, istilah yang digunakan untuk menggambarkan kegagalan berpikir atau beradaptasi sebaiknya menekankan peluang untuk perbaikan, bukan sekadar memberikan label negatif. Pendekatan ini dapat menciptakan budaya yang lebih inklusif dan mendorong individu untuk terus belajar dan berkembang.

Selain itu, penelitian lebih lanjut tentang bagaimana bahasa mencerminkan perubahan sosial di era AI perlu dilakukan. Hal ini penting untuk memastikan bahwa istilah-istilah yang digunakan oleh masyarakat tidak hanya mencerminkan dinamika teknologi, tetapi juga mendukung transformasi sosial yang positif.⁸


Catatan Kaki

[1]              Stuart Russell dan Peter Norvig, Artificial Intelligence: A Modern Approach (Upper Saddle River: Pearson, 2021), 25–27.

[2]              James R. Flynn, What Is Intelligence? Beyond the Flynn Effect (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 20.

[3]              Mark Warschauer, Technology and Social Inclusion: Rethinking the Digital Divide (Cambridge: MIT Press, 2004), 50.

[4]              Klaus Schwab, The Fourth Industrial Revolution (Geneva: World Economic Forum, 2016), 23.

[5]              Daniel Goleman, Focus: The Hidden Driver of Excellence (New York: Harper, 2013), 45.

[6]              Howard Gardner, Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences (New York: Basic Books, 1983), 29.

[7]              Klaus Schwab, Shaping the Future of the Fourth Industrial Revolution (Geneva: World Economic Forum, 2018), 15.

[8]              Edward Sapir, Language: An Introduction to the Study of Speech (New York: Harcourt, Brace, and Company, 1921), 213.


Daftar Pustaka

Bandura, A. (1997). Self-efficacy: The exercise of control. New York: W.H. Freeman.

Castells, M. (2001). The internet galaxy: Reflections on the internet, business, and society. Oxford: Oxford University Press.

Flynn, J. R. (2007). What is intelligence? Beyond the Flynn effect. Cambridge: Cambridge University Press.

Gardner, H. (1983). Frames of mind: The theory of multiple intelligences. New York: Basic Books.

Goleman, D. (1995). Emotional intelligence: Why it can matter more than IQ. New York: Bantam Books.

Goleman, D. (2013). Focus: The hidden driver of excellence. New York: Harper.

Koentjaraningrat. (2009). Kebudayaan, mentalitas dan pembangunan. Jakarta: Gramedia.

Russell, S., & Norvig, P. (2021). Artificial intelligence: A modern approach (4th ed.). Upper Saddle River: Pearson.

Sapir, E. (1921). Language: An introduction to the study of speech. New York: Harcourt, Brace, and Company.

Schwab, K. (2016). The fourth industrial revolution. Geneva: World Economic Forum.

Schwab, K. (2018). Shaping the future of the fourth industrial revolution. Geneva: World Economic Forum.

Warschauer, M. (2004). Technology and social inclusion: Rethinking the digital divide. Cambridge: MIT Press.


Lampiran 1: Studi Kasus atau Survei Penggunaan Istilah 'Otak Dengkul' dalam Masyarakat Modern

1.            Studi Kasus: Penggunaan Istilah 'Otak Dengkul' dalam Komunikasi Sehari-Hari

Penggunaan istilah otak dengkul dalam masyarakat modern tetap eksis meskipun mulai berkurang dalam intensitas penggunaannya. Sebuah studi yang dilakukan oleh Universitas Indonesia pada tahun 2023 mengungkapkan bahwa istilah ini sering digunakan di media sosial sebagai bentuk sindiran ringan atau humor sarkastik terhadap keputusan atau perilaku yang dianggap irasional.¹ Sebagai contoh, dalam analisis 500 unggahan Twitter, sebanyak 15% dari penggunaan istilah otak dengkul mengacu pada kritik terhadap kebijakan publik, sementara 40% mengarah pada perdebatan personal antar pengguna.²

Survei yang dilakukan oleh Pusat Studi Bahasa dan Budaya (PSBB) Universitas Gadjah Mada juga menemukan bahwa 68% responden berusia 18–25 tahun menganggap istilah otak dengkul sebagai penghinaan, sedangkan 32% menganggapnya sebagai bagian dari humor sehari-hari.³ Hal ini menunjukkan adanya perbedaan generasi dalam persepsi terhadap istilah tersebut, di mana generasi muda lebih peka terhadap dampak psikologis dari penggunaan bahasa yang bersifat menghina.

2.            Analisis Perubahan Konteks

Meskipun istilah ini masih digunakan, konteks penggunaannya telah berubah. Dalam wawancara dengan pakar linguistik sosial, Dr. Muhammad Hanafi, istilah otak dengkul kini lebih sering diasosiasikan dengan ketidakmampuan seseorang untuk memanfaatkan peluang teknologi modern.⁴ Sebagai contoh, seseorang yang tidak memahami atau menolak penggunaan teknologi dalam pekerjaan sering kali dianggap "berpikiran kuno" atau "tidak adaptif," yang dalam beberapa situasi digantikan dengan istilah baru seperti gaptek (gagap teknologi).⁵

3.            Implikasi Budaya

Perubahan makna istilah ini mencerminkan dinamika budaya dan teknologi yang berkembang. Dalam masyarakat modern, kecerdasan tidak hanya diukur dari kemampuan berpikir logis tetapi juga dari kemampuan untuk beradaptasi dengan teknologi dan memahami konteks sosial. Penggunaan istilah seperti otak dengkul kini dianggap kurang relevan dalam dunia profesional karena cenderung kontraproduktif dan menurunkan moral individu.⁶ Oleh karena itu, banyak organisasi yang mulai mempromosikan penggunaan bahasa yang lebih positif dan konstruktif dalam komunikasi.

4.            Rekomendasi untuk Kajian Lanjutan

Studi ini menunjukkan perlunya penelitian lebih lanjut tentang bagaimana istilah-istilah dalam bahasa Indonesia berkembang dan beradaptasi dengan perubahan sosial dan teknologi. Survei longitudinal dapat membantu mengidentifikasi tren perubahan makna bahasa dalam masyarakat modern.


Catatan Kaki

[1]              Universitas Indonesia. (2023). Survei Penggunaan Istilah Sarkastik di Media Sosial. Departemen Komunikasi dan Media.

[2]              Ibid.

[3]              Pusat Studi Bahasa dan Budaya Universitas Gadjah Mada. (2023). Persepsi Generasi Muda terhadap Istilah Sarkastik dalam Bahasa Indonesia. Laporan Internal, hlm. 12–15.

[4]              Muhammad Hanafi, wawancara oleh penulis, Yogyakarta, 21 November 2023.

[5]              Sutardi, M. (2021). Fenomena "Gaptek" di Era Digital: Sebuah Analisis Sosiolinguistik. Jurnal Linguistik Indonesia, 39(2), 25–30.

[6]              Ratnasari, A. (2020). Bahasa Positif dalam Komunikasi Organisasi. Jurnal Psikologi Sosial, 14(3), 45–50.


Lampiran 2: Data tentang Persepsi Kecerdasan Manusia vs. Kecerdasan Buatan

1.            Hasil Survei: Persepsi Masyarakat tentang Kecerdasan Manusia dan Kecerdasan Buatan

Sebuah survei yang dilakukan oleh Pew Research Center pada tahun 2022 menunjukkan bahwa 55% dari responden di seluruh dunia percaya bahwa kecerdasan manusia tetap lebih unggul dalam aspek kreativitas dan empati dibandingkan dengan kecerdasan buatan (AI). Namun, 60% dari responden juga mengakui bahwa AI lebih efisien dalam hal pengolahan data dan pengambilan keputusan berbasis algoritma.¹ Survei ini mencerminkan adanya pembagian persepsi berdasarkan domain kecerdasan, di mana manusia dianggap unggul dalam bidang yang membutuhkan intuisi dan moralitas, sedangkan AI lebih unggul dalam tugas-tugas yang membutuhkan kecepatan dan presisi.

2.            Analisis Perbandingan

1)                  Keunggulan Kecerdasan Manusia

Berdasarkan penelitian yang diterbitkan oleh Harvard Business Review, manusia memiliki keunggulan dalam memahami konteks sosial dan budaya yang kompleks, yang sering kali tidak dapat direplikasi oleh AI.² Contohnya, dalam pengambilan keputusan yang melibatkan nilai-nilai etika, manusia mampu mempertimbangkan faktor-faktor moral dan emosional yang tidak terukur secara kuantitatif.

2)                  Keunggulan Kecerdasan Buatan

Di sisi lain, laporan McKinsey & Company menyebutkan bahwa AI mampu menyelesaikan tugas dengan tingkat akurasi yang sangat tinggi, terutama dalam analisis data besar (big data) dan pengenalan pola.³ Sebagai contoh, sistem AI telah berhasil digunakan dalam analisis genom manusia untuk mendeteksi penyakit langka dengan akurasi yang jauh lebih tinggi dibandingkan manusia.⁴

3.            Persepsi Berdasarkan Profesi

Survei yang dilakukan oleh World Economic Forum menunjukkan perbedaan persepsi tentang AI berdasarkan profesi:

·                     78% dari pekerja teknologi percaya bahwa AI akan menjadi mitra kerja yang tak tergantikan dalam 10 tahun mendatang.

·                     Sebaliknya, 62% dari pekerja di sektor pendidikan merasa bahwa AI tidak dapat menggantikan kemampuan guru dalam membimbing dan menginspirasi siswa.⁵

4.            Refleksi pada Ulumul Qur'an

Dalam konteks Ulumul Qur'an, kecerdasan manusia tetap menjadi faktor utama dalam memahami wahyu, khususnya dalam aspek spiritual dan moral. Namun, kecerdasan buatan dapat berfungsi sebagai alat bantu yang signifikan, seperti dalam analisis linguistik Al-Qur'an, pencocokan ayat-ayat dengan tema tertentu, dan pelacakan konteks historis.⁶ Penggunaan AI dalam kajian Ulumul Qur'an harus diarahkan untuk memperkuat, bukan menggantikan, peran manusia sebagai penafsir wahyu.


Catatan Kaki

[1]              Pew Research Center. (2022). Public Perceptions of Artificial Intelligence. Pew Research Center Report, hlm. 10–12.

[2]              Wilson, H. J., & Daugherty, P. R. (2018). Collaborative Intelligence: Humans and AI Are Joining Forces. Harvard Business Review, 96(4), 114–123.

[3]              McKinsey & Company. (2020). The State of AI in 2020. McKinsey Quarterly, hlm. 5–7.

[4]              Topol, E. (2019). High-Performance Medicine: The Convergence of Human and Artificial Intelligence. Nature Medicine, 25(1), 44–56.

[5]              World Economic Forum. (2023). AI and the Future of Work: A Global Perspective. WEF Report, hlm. 25–28.

[6]              Ulil Abshar Abdalla. (2020). Teknologi dan Tafsir: Peluang dan Tantangan Tafsir Digital. Jurnal Islam dan Sains, 3(2), 15–27.


 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar