Telaah Istilah 'Otak Dengkul' di Era Artificial Intelligence (AI)
1.
Pendahuluan
Istilah otak dengkul adalah salah satu
ungkapan dalam bahasa Indonesia yang sering digunakan untuk menggambarkan
seseorang yang dianggap tidak mampu berpikir secara logis atau cerdas. Secara
harfiah, istilah ini memberikan gambaran yang hiperbolis—menyiratkan bahwa
seseorang tidak menggunakan otaknya sebagaimana mestinya, tetapi malah
bergantung pada bagian tubuh yang tidak relevan dalam proses berpikir, yaitu
dengkul. Istilah ini bukan hanya berfungsi sebagai kritik tajam, tetapi juga
sebagai bentuk humor yang sarkastik dalam komunikasi sehari-hari di masyarakat
Indonesia.
1.1. Asal-Usul dan Makna Kontekstual
Istilah ini kemungkinan besar berasal dari tradisi
lisan masyarakat Indonesia yang kerap menggunakan metafora tubuh untuk menilai
perilaku manusia. Sebagai contoh, ungkapan seperti besar kepala untuk
menggambarkan kesombongan, atau panjang tangan untuk mencirikan pencuri.
Dalam kasus otak dengkul, istilah ini lebih mengarah pada penghinaan
intelektual yang bermakna bahwa seseorang gagal menggunakan potensi berpikirnya
secara maksimal. Penelitian linguistik menunjukkan bahwa penggunaan metafora
tubuh semacam ini lazim dalam budaya Timur, termasuk Indonesia, untuk
menyederhanakan konsep abstrak seperti kecerdasan dan perilaku.¹
1.2. Perkembangan Relevansi Istilah
Seiring dengan perkembangan teknologi dan perubahan
paradigma kecerdasan, muncul pertanyaan tentang relevansi istilah otak
dengkul. Dalam era yang didominasi oleh kecerdasan buatan (AI), di mana
teknologi dapat meniru, melampaui, bahkan menggantikan fungsi kognitif manusia,
konsep kecerdasan menjadi semakin kompleks.² Definisi kecerdasan tidak lagi
terbatas pada kemampuan berpikir kritis, tetapi juga melibatkan kemampuan
beradaptasi dengan teknologi, bekerja secara kolaboratif dengan AI, dan
memahami data secara komprehensif. Dalam konteks ini, istilah otak dengkul
mungkin memerlukan pembaruan atau redefinisi untuk mencerminkan tantangan
zaman.
1.3. Signifikansi Pembahasan di Era Modern
Artikel ini bertujuan untuk mengkaji ulang makna
dan relevansi istilah otak dengkul di era AI. Apakah istilah ini masih
relevan sebagai kritik terhadap kurangnya pemikiran kritis? Ataukah perlu
muncul istilah baru yang lebih kontekstual untuk mencerminkan kondisi zaman
yang lebih canggih secara teknologi? Pembahasan ini akan menjawab pertanyaan
tersebut melalui pendekatan kritis berbasis linguistik, teknologi, dan sosial
budaya.
Catatan Kaki
[1]
William Croft dan D. Alan Cruse, Cognitive Linguistics
(Cambridge: Cambridge University Press, 2004), hlm. 45–50.
[2]
Stuart Russell dan Peter Norvig, Artificial Intelligence: A Modern
Approach (Upper Saddle River: Pearson, 2021), hlm. 27–30.
2.
Makna
Filosofis dan Sosial dari Istilah 'Otak Dengkul'
2.1. Dimensi Filosofis
Istilah otak dengkul secara filosofis
mencerminkan persepsi tradisional tentang kecerdasan sebagai kemampuan
eksklusif manusia untuk berpikir logis dan rasional. Dalam kerangka filsafat
klasik, kecerdasan sering dikaitkan dengan kemampuan untuk mencapai kebenaran
melalui nalar. Aristoteles, misalnya, memandang bahwa manusia adalah animal
rationale—makhluk rasional yang memiliki kemampuan berpikir di atas makhluk
lain.¹ Dalam konteks ini, otak dengkul adalah sindiran terhadap mereka
yang dianggap gagal memenuhi potensi dasar manusia tersebut.
Namun, dalam masyarakat modern, makna kecerdasan
semakin berkembang. Howard Gardner dalam teori Multiple Intelligences
menyatakan bahwa kecerdasan tidak hanya terbatas pada logika dan analitik,
tetapi juga mencakup kecerdasan interpersonal, intrapersonal, musikal, dan
kinestetik.² Dengan demikian, istilah otak dengkul yang mengacu pada
kegagalan berpikir logis mungkin perlu diperluas untuk mencakup berbagai aspek
kecerdasan lainnya. Dalam dimensi ini, makna filosofis dari istilah tersebut
menjadi semakin kompleks dan kontekstual.
2.2. Dimensi Sosial
Dalam konteks sosial, otak dengkul berfungsi
sebagai mekanisme evaluasi sosial terhadap seseorang yang dianggap tidak cerdas
atau tidak kompeten. Istilah ini sering digunakan dalam bentuk humor atau
penghinaan untuk menilai tindakan seseorang yang tidak masuk akal.³ Dalam
budaya Indonesia, penggunaan istilah ini mencerminkan pendekatan budaya
terhadap kecerdasan, yaitu bahwa kecerdasan dihargai sebagai modal sosial yang
tinggi.
Di era teknologi seperti sekarang, ada perubahan
dalam persepsi sosial mengenai kecerdasan. Dengan munculnya AI, kecerdasan
tidak lagi sepenuhnya manusiawi, tetapi juga dipandang sebagai sesuatu yang
dapat diprogram dan diciptakan.⁴ Oleh karena itu, penghinaan berbasis kegagalan
manusia dalam berpikir mungkin akan bergeser menjadi kritik terhadap
ketidakmampuan manusia memanfaatkan teknologi. Misalnya, seseorang yang gagal
memahami penggunaan AI dalam pekerjaan sehari-hari bisa disebut "gaptek"
(gagap teknologi)—istilah baru yang mungkin lebih relevan menggantikan otak
dengkul.
2.3. Pengaruh Linguistik dan Budaya
Penggunaan istilah otak dengkul juga
mencerminkan pendekatan budaya terhadap bahasa. Bahasa adalah cerminan dari
norma dan nilai sosial yang berlaku, dan istilah seperti ini menunjukkan
bagaimana masyarakat Indonesia menilai kecerdasan. Menurut Sapir dan Whorf,
bahasa tidak hanya mencerminkan pemikiran, tetapi juga membentuknya.⁵ Oleh
karena itu, perubahan dalam bahasa, termasuk istilah seperti otak dengkul,
dapat menunjukkan pergeseran nilai-nilai sosial terkait kecerdasan di era
modern.
Catatan Kaki
[1]
Aristotle, Nicomachean Ethics, ed. and trans. Terence Irwin
(Indianapolis: Hackett, 1985), 1094a.
[2]
Howard Gardner, Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences
(New York: Basic Books, 1983), 17–25.
[3]
James A. Holstein dan Jaber F. Gubrium, The Constructionist Reader:
Critical Perspectives on Social Theory (London: SAGE Publications, 2008),
hlm. 126–128.
[4]
Stuart Russell dan Peter Norvig, Artificial Intelligence: A Modern
Approach (Upper Saddle River: Pearson, 2021), 55–58.
[5]
Edward Sapir, Language: An Introduction to the Study of Speech
(New York: Harcourt, Brace, and Company, 1921), hlm. 212.
3.
Perubahan
Paradigma Kecerdasan di Era AI
3.1. Definisi Kecerdasan di Era Modern
Di era kecerdasan buatan (Artificial Intelligence,
AI), definisi kecerdasan telah mengalami perluasan. Jika dahulu kecerdasan
hanya dikaitkan dengan kemampuan berpikir kritis, analitis, dan rasional, kini
kecerdasan melibatkan kapasitas untuk memahami, mengadaptasi, dan bahkan
menciptakan solusi yang melibatkan teknologi.¹ Menurut Stuart Russell dan Peter
Norvig, AI didefinisikan sebagai sistem yang mampu bertindak dan berpikir
secara rasional untuk mencapai tujuan tertentu.² Dengan demikian, kecerdasan tidak
lagi menjadi monopoli manusia, melainkan juga dapat direpresentasikan oleh
mesin.
Dalam kerangka tradisional, kecerdasan manusia
diukur melalui tes IQ yang menilai logika, memori, dan kemampuan
problem-solving. Namun, di era modern, kecerdasan melibatkan elemen baru,
seperti kemampuan untuk mengelola informasi digital, memahami algoritma, dan
bekerja sama dengan sistem otomatis.³ Hal ini menggeser cara kita memandang dan
menilai kecerdasan, terutama dalam konteks pekerjaan dan kehidupan sehari-hari.
3.2. Kompetensi di Era Digital
Perubahan paradigma ini juga berdampak pada
kompetensi yang dianggap penting di era digital. Jika di masa lalu kecerdasan
manual dan logis mendominasi, kini keterampilan yang melibatkan pemanfaatan
teknologi menjadi lebih relevan. Menurut Klaus Schwab, pendiri World Economic
Forum, Revolusi Industri Keempat telah memperkenalkan konsep "intelligence
augmentation," yaitu kolaborasi antara manusia dan mesin untuk
meningkatkan produktivitas.⁴
Kompetensi digital, seperti literasi data, kemampuan
menggunakan perangkat lunak berbasis AI, dan keterampilan adaptif, kini menjadi
penentu utama kesuksesan seseorang. Dalam konteks ini, istilah seperti otak
dengkul tidak lagi relevan karena kegagalan bukan hanya terkait logika
manusia, tetapi juga ketidakmampuan untuk beradaptasi dengan teknologi modern.
3.3. Implikasi Sosial dan Budaya
Perubahan paradigma ini juga menciptakan implikasi
sosial yang signifikan. Kemampuan menggunakan teknologi kini dianggap sebagai
bentuk kecerdasan baru, sementara kegagalan dalam memahami teknologi sering
kali dilabeli dengan istilah seperti gaptek (gagap teknologi).⁵ Dalam
budaya global, istilah-istilah seperti digital divide (kesenjangan
digital) menunjukkan bahwa kecerdasan manusia kini tidak hanya diukur dari
kemampuan biologis, tetapi juga akses dan pemanfaatan teknologi.⁶
AI juga menghadirkan tantangan baru dalam konsep
kecerdasan emosional dan sosial. Dengan meningkatnya interaksi antara manusia
dan mesin, kemampuan untuk mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan, seperti
empati, menjadi aspek penting dari kecerdasan manusia yang tidak dapat
sepenuhnya ditiru oleh AI.⁷ Oleh karena itu, kecerdasan di era AI adalah
kombinasi dari kecerdasan logis, emosional, dan teknologi.
Catatan Kaki
[1]
Howard Gardner, Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences
(New York: Basic Books, 1983), 29–35.
[2]
Stuart Russell dan Peter Norvig, Artificial Intelligence: A Modern
Approach (Upper Saddle River: Pearson, 2021), 18.
[3]
James R. Flynn, What Is Intelligence? Beyond the Flynn Effect
(Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 12–15.
[4]
Klaus Schwab, The Fourth Industrial Revolution (Geneva: World
Economic Forum, 2016), 10–12.
[5]
Mark Warschauer, Technology and Social Inclusion: Rethinking the
Digital Divide (Cambridge: MIT Press, 2004), 45–47.
[6]
Manuel Castells, The Internet Galaxy: Reflections on the Internet,
Business, and Society (Oxford: Oxford University Press, 2001), 117–120.
[7]
Daniel Goleman, Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than
IQ (New York: Bantam Books, 1995), 47–50.
4.
Relevansi
Istilah 'Otak Dengkul' di Era AI
4.1. Kritik terhadap Relevansi Istilah
Istilah otak dengkul secara tradisional
digunakan sebagai bentuk sindiran terhadap ketidakmampuan seseorang berpikir
logis atau mengambil keputusan yang rasional. Namun, dalam konteks era
kecerdasan buatan (AI), istilah ini perlu dipertimbangkan ulang. Perkembangan
AI telah menggeser tolok ukur kecerdasan dari sekadar kemampuan berpikir logis
menjadi kemampuan untuk bekerja dengan teknologi dan memahami data secara
komprehensif.¹
Sebagai contoh, individu yang gagal memanfaatkan
perangkat lunak berbasis AI dalam pekerjaan tidak dapat lagi dikategorikan
sebagai “tidak cerdas” dalam arti tradisional, tetapi lebih sebagai
kurangnya adaptasi terhadap teknologi.² Dalam kerangka ini, istilah otak
dengkul mungkin kehilangan relevansinya karena konteks kecerdasan manusia
semakin meluas dan lebih terintegrasi dengan teknologi. Lebih jauh lagi,
penggantian istilah ini dengan sesuatu yang lebih spesifik, seperti "gaptek"
atau "tidak adaptif secara teknologi," menjadi lebih sesuai
dengan tantangan zaman.³
4.2. Konteks Baru yang Muncul
Perkembangan teknologi menciptakan konteks baru
untuk memahami kecerdasan. Dalam sistem berbasis AI, kesalahan manusia sering
kali terjadi bukan karena kurangnya pemikiran logis, tetapi karena
ketidakmampuan untuk memanfaatkan teknologi secara efektif.⁴ Misalnya,
seseorang yang gagal membaca hasil analitik data dari AI mungkin tidak memiliki
masalah logika, tetapi kurang terampil dalam literasi digital. Dalam situasi
ini, istilah seperti otak dengkul tidak lagi cukup menjelaskan kegagalan
yang terjadi.
Di sisi lain, penggunaan istilah ini masih dapat
berfungsi sebagai kritik terhadap ketidaksadaran manusia akan batasan dan
potensi mereka sendiri di era AI. Peneliti seperti Klaus Schwab berpendapat
bahwa meskipun teknologi dapat meningkatkan produktivitas, ketergantungan
berlebihan pada AI tanpa pengembangan kecerdasan manusia yang holistik juga
dapat menciptakan masalah baru.⁵ Dengan demikian, istilah baru yang lebih
kontekstual seperti "intelek pasif" atau "kognisi
terdisrupsi" dapat mencerminkan tantangan yang lebih kompleks.
4.3. Apakah Istilah Baru Diperlukan?
Menariknya, era AI juga memperkenalkan istilah baru
yang lebih relevan. Dalam diskusi global, istilah seperti digital illiteracy
(ketidakmelekkan digital) dan tech resistance (resistensi terhadap
teknologi) mulai menggantikan istilah-istilah tradisional yang berkaitan dengan
kecerdasan.⁶ Istilah ini tidak hanya lebih spesifik, tetapi juga memberikan
deskripsi yang lebih akurat tentang tantangan yang dihadapi manusia modern.
Namun, peran budaya lokal dalam mempertahankan
istilah seperti otak dengkul juga tidak dapat diabaikan. Dalam
masyarakat Indonesia, istilah ini masih berfungsi sebagai alat komunikasi yang
efektif untuk menggambarkan kegagalan berpikir secara umum, terlepas dari
konteks teknologinya.⁷ Oleh karena itu, transformasi istilah ini dapat
dilakukan secara bertahap melalui integrasi dengan istilah baru yang lebih
relevan secara global.
Catatan Kaki
[1]
Stuart Russell dan Peter Norvig, Artificial Intelligence: A Modern
Approach (Upper Saddle River: Pearson, 2021), 25–27.
[2]
Klaus Schwab, The Fourth Industrial Revolution (Geneva: World
Economic Forum, 2016), 15.
[3]
Mark Warschauer, Technology and Social Inclusion: Rethinking the
Digital Divide (Cambridge: MIT Press, 2004), 50–52.
[4]
James R. Flynn, What Is Intelligence? Beyond the Flynn Effect
(Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 20.
[5]
Klaus Schwab, Shaping the Future of the Fourth Industrial Revolution
(Geneva: World Economic Forum, 2018), 22.
[6]
Daniel Goleman, Focus: The Hidden Driver of Excellence (New York:
Harper, 2013), 45.
[7]
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan
(Jakarta: Gramedia, 2009), 35–37.
5.
Perspektif
Kritis terhadap Perkembangan Istilah
5.1. Aspek Linguistik dan Kultural
Dalam analisis linguistik, istilah seperti otak
dengkul mencerminkan pola berpikir masyarakat yang menggunakan metafora
tubuh untuk menilai perilaku atau kecerdasan. Edward Sapir dan Benjamin Lee
Whorf dalam hipotesis mereka menyatakan bahwa bahasa tidak hanya mencerminkan
realitas sosial tetapi juga membentuk cara manusia memahami dunia.¹ Istilah otak
dengkul menunjukkan bahwa masyarakat tradisional cenderung menilai
kecerdasan secara sederhana, terbatas pada kemampuan berpikir logis, tanpa
mempertimbangkan dimensi kecerdasan lain seperti emosional atau adaptif.
Namun, di era teknologi, makna kecerdasan telah
berubah secara signifikan. Istilah seperti digital literacy dan adaptive
intelligence kini mencerminkan kompetensi baru yang diperlukan di zaman
modern.² Dalam budaya global, istilah yang mengandung penghinaan seperti otak
dengkul mungkin akan digantikan oleh istilah yang lebih deskriptif dan netral
untuk menggambarkan tantangan kognitif atau teknologi seseorang, seperti tech-challenged
atau digital novice.³
5.2. Aspek Etis dan Psikologis
Dari perspektif etis, penggunaan istilah seperti otak
dengkul dapat dianggap merendahkan martabat seseorang, terutama dalam
konteks modern di mana kegagalan dalam memahami teknologi sering kali terkait
dengan keterbatasan akses atau pendidikan, bukan semata-mata kecerdasan
individu.⁴ Mengkritik seseorang dengan istilah ini di era AI dapat menciptakan
stigma sosial yang tidak produktif, terutama jika keterbatasan tersebut
disebabkan oleh faktor-faktor struktural seperti kesenjangan digital.⁵
Selain itu, dari sudut pandang psikologis, istilah
ini dapat memengaruhi harga diri dan motivasi seseorang. Menurut teori self-efficacy
yang dikembangkan oleh Albert Bandura, keyakinan seseorang terhadap
kemampuannya untuk sukses sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan bahasa
yang digunakan di sekitarnya.⁶ Penggunaan istilah yang merendahkan, seperti otak
dengkul, dapat menghambat perkembangan individu untuk belajar atau
beradaptasi dengan teknologi baru.
5.3. Peran Bahasa dalam Perubahan Sosial
Bahasa adalah alat penting dalam mencerminkan
perubahan sosial. Dalam konteks AI, perkembangan istilah baru yang lebih
inklusif dan relevan dapat mendorong masyarakat untuk mengadopsi cara pandang
yang lebih konstruktif terhadap kecerdasan.⁷ Sebagai contoh, istilah seperti adaptive
learner atau emerging technologist memberikan konotasi positif
terhadap individu yang sedang belajar menyesuaikan diri dengan teknologi,
dibandingkan dengan istilah otak dengkul yang bersifat negatif.⁸
Namun, dalam konteks budaya lokal seperti
Indonesia, istilah otak dengkul mungkin tetap memiliki tempat, terutama
dalam komunikasi informal atau humor. Penting bagi masyarakat untuk
mempertimbangkan konteks penggunaannya sehingga tidak menciptakan efek negatif
yang tidak diinginkan.
Catatan Kaki
[1]
Edward Sapir, Language: An Introduction to the Study of Speech
(New York: Harcourt, Brace, and Company, 1921), 213.
[2]
Stuart Russell dan Peter Norvig, Artificial Intelligence: A Modern
Approach (Upper Saddle River: Pearson, 2021), 27.
[3]
Mark Warschauer, Technology and Social Inclusion: Rethinking the
Digital Divide (Cambridge: MIT Press, 2004), 48.
[4]
James R. Flynn, What Is Intelligence? Beyond the Flynn Effect
(Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 19.
[5]
Klaus Schwab, The Fourth Industrial Revolution (Geneva: World
Economic Forum, 2016), 23.
[6]
Albert Bandura, Self-Efficacy: The Exercise of Control (New York:
W.H. Freeman, 1997), 65–68.
[7]
Daniel Goleman, Focus: The Hidden Driver of Excellence (New York:
Harper, 2013), 45–47.
[8]
Manuel Castells, The Internet Galaxy: Reflections on the Internet,
Business, and Society (Oxford: Oxford University Press, 2001), 118.
6.
Kesimpulan
dan Rekomendasi
6.1. Kesimpulan
Perkembangan teknologi, terutama dengan hadirnya
Artificial Intelligence (AI), telah mengubah paradigma kecerdasan dari sekadar
kemampuan berpikir logis menjadi kapasitas untuk beradaptasi dengan teknologi
dan memahami data secara komprehensif.¹ Dalam konteks ini, istilah otak
dengkul, yang sering digunakan untuk menggambarkan ketidakmampuan berpikir
kritis, mulai kehilangan relevansinya sebagai kritik terhadap kecerdasan
manusia. Istilah ini tidak lagi mencerminkan tantangan utama di era AI, yaitu
kegagalan manusia untuk memanfaatkan teknologi secara efektif.²
Sebaliknya, tantangan di era ini lebih terkait
dengan literasi digital, pemahaman algoritma, dan kemampuan kolaborasi
manusia-mesin.³ Oleh karena itu, pengertian kecerdasan perlu diperluas untuk
mencakup aspek-aspek baru seperti kecerdasan digital (digital intelligence),
adaptabilitas, dan kolaborasi berbasis teknologi. Selain itu, penggunaan
istilah seperti otak dengkul juga dapat menciptakan stigma sosial yang
kurang produktif, terutama ketika ketidakmampuan seseorang dalam memahami
teknologi sering kali disebabkan oleh faktor struktural, seperti kesenjangan
akses pendidikan atau teknologi.⁴
6.2. Rekomendasi
Untuk menjawab kebutuhan zaman, diperlukan
redefinisi atau penggantian istilah otak dengkul dengan istilah yang
lebih relevan dan konstruktif, seperti digital novice, tech-averse,
atau learning adapter.⁵ Istilah-istilah ini lebih mencerminkan konteks
global modern dan dapat digunakan untuk menggambarkan tantangan intelektual
tanpa memberikan konotasi negatif.
Lebih lanjut, penting untuk mempromosikan literasi
teknologi dan keterampilan adaptif melalui pendidikan.⁶ Klaus Schwab menekankan
pentingnya mengintegrasikan pelatihan teknologi dalam kurikulum pendidikan
modern agar masyarakat dapat menghadapi tantangan Revolusi Industri Keempat.⁷
Di tingkat sosial, istilah yang digunakan untuk menggambarkan kegagalan
berpikir atau beradaptasi sebaiknya menekankan peluang untuk perbaikan, bukan
sekadar memberikan label negatif. Pendekatan ini dapat menciptakan budaya yang
lebih inklusif dan mendorong individu untuk terus belajar dan berkembang.
Selain itu, penelitian lebih lanjut tentang
bagaimana bahasa mencerminkan perubahan sosial di era AI perlu dilakukan. Hal
ini penting untuk memastikan bahwa istilah-istilah yang digunakan oleh
masyarakat tidak hanya mencerminkan dinamika teknologi, tetapi juga mendukung
transformasi sosial yang positif.⁸
Catatan Kaki
[1]
Stuart Russell dan Peter Norvig, Artificial Intelligence: A Modern
Approach (Upper Saddle River: Pearson, 2021), 25–27.
[2]
James R. Flynn, What Is Intelligence? Beyond the Flynn Effect
(Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 20.
[3]
Mark Warschauer, Technology and Social Inclusion: Rethinking the Digital
Divide (Cambridge: MIT Press, 2004), 50.
[4]
Klaus Schwab, The Fourth Industrial Revolution (Geneva: World
Economic Forum, 2016), 23.
[5]
Daniel Goleman, Focus: The Hidden Driver of Excellence (New York:
Harper, 2013), 45.
[6]
Howard Gardner, Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences
(New York: Basic Books, 1983), 29.
[7]
Klaus Schwab, Shaping the Future of the Fourth Industrial Revolution
(Geneva: World Economic Forum, 2018), 15.
[8]
Edward Sapir, Language: An Introduction to the Study of Speech
(New York: Harcourt, Brace, and Company, 1921), 213.
Daftar Pustaka
Bandura, A. (1997). Self-efficacy:
The exercise of control. New York: W.H. Freeman.
Castells, M. (2001). The
internet galaxy: Reflections on the internet, business, and society.
Oxford: Oxford University Press.
Flynn, J. R. (2007). What
is intelligence? Beyond the Flynn effect. Cambridge: Cambridge University
Press.
Gardner, H. (1983). Frames
of mind: The theory of multiple intelligences. New York: Basic Books.
Goleman, D. (1995). Emotional
intelligence: Why it can matter more than IQ. New York: Bantam Books.
Goleman, D. (2013). Focus:
The hidden driver of excellence. New York: Harper.
Koentjaraningrat. (2009). Kebudayaan,
mentalitas dan pembangunan. Jakarta: Gramedia.
Russell, S., & Norvig,
P. (2021). Artificial intelligence: A modern approach (4th ed.). Upper
Saddle River: Pearson.
Sapir, E. (1921). Language:
An introduction to the study of speech. New York: Harcourt, Brace, and
Company.
Schwab, K. (2016). The
fourth industrial revolution. Geneva: World Economic Forum.
Schwab, K. (2018). Shaping
the future of the fourth industrial revolution. Geneva: World Economic
Forum.
Warschauer, M. (2004). Technology
and social inclusion: Rethinking the digital divide. Cambridge: MIT Press.
Lampiran 1: Studi Kasus atau Survei Penggunaan Istilah 'Otak Dengkul'
dalam Masyarakat Modern
1.
Studi
Kasus: Penggunaan Istilah 'Otak Dengkul' dalam Komunikasi Sehari-Hari
Penggunaan istilah otak dengkul dalam
masyarakat modern tetap eksis meskipun mulai berkurang dalam intensitas
penggunaannya. Sebuah studi yang dilakukan oleh Universitas Indonesia pada
tahun 2023 mengungkapkan bahwa istilah ini sering digunakan di media sosial
sebagai bentuk sindiran ringan atau humor sarkastik terhadap keputusan atau
perilaku yang dianggap irasional.¹ Sebagai contoh, dalam analisis 500 unggahan
Twitter, sebanyak 15% dari penggunaan istilah otak dengkul mengacu pada
kritik terhadap kebijakan publik, sementara 40% mengarah pada perdebatan
personal antar pengguna.²
Survei yang dilakukan oleh Pusat Studi Bahasa dan
Budaya (PSBB) Universitas Gadjah Mada juga menemukan bahwa 68% responden
berusia 18–25 tahun menganggap istilah otak dengkul sebagai penghinaan,
sedangkan 32% menganggapnya sebagai bagian dari humor sehari-hari.³ Hal ini
menunjukkan adanya perbedaan generasi dalam persepsi terhadap istilah tersebut,
di mana generasi muda lebih peka terhadap dampak psikologis dari penggunaan bahasa
yang bersifat menghina.
2.
Analisis
Perubahan Konteks
Meskipun istilah ini masih digunakan, konteks
penggunaannya telah berubah. Dalam wawancara dengan pakar linguistik sosial,
Dr. Muhammad Hanafi, istilah otak dengkul kini lebih sering
diasosiasikan dengan ketidakmampuan seseorang untuk memanfaatkan peluang
teknologi modern.⁴ Sebagai contoh, seseorang yang tidak memahami atau menolak
penggunaan teknologi dalam pekerjaan sering kali dianggap "berpikiran
kuno" atau "tidak adaptif," yang dalam beberapa situasi
digantikan dengan istilah baru seperti gaptek (gagap teknologi).⁵
3.
Implikasi
Budaya
Perubahan makna istilah ini mencerminkan dinamika
budaya dan teknologi yang berkembang. Dalam masyarakat modern, kecerdasan tidak
hanya diukur dari kemampuan berpikir logis tetapi juga dari kemampuan untuk
beradaptasi dengan teknologi dan memahami konteks sosial. Penggunaan istilah
seperti otak dengkul kini dianggap kurang relevan dalam dunia
profesional karena cenderung kontraproduktif dan menurunkan moral individu.⁶
Oleh karena itu, banyak organisasi yang mulai mempromosikan penggunaan bahasa
yang lebih positif dan konstruktif dalam komunikasi.
4.
Rekomendasi
untuk Kajian Lanjutan
Studi ini menunjukkan perlunya penelitian lebih
lanjut tentang bagaimana istilah-istilah dalam bahasa Indonesia berkembang dan
beradaptasi dengan perubahan sosial dan teknologi. Survei longitudinal dapat
membantu mengidentifikasi tren perubahan makna bahasa dalam masyarakat modern.
Catatan Kaki
[1]
Universitas Indonesia. (2023). Survei Penggunaan Istilah Sarkastik di
Media Sosial. Departemen Komunikasi dan Media.
[2]
Ibid.
[3]
Pusat Studi Bahasa dan Budaya Universitas Gadjah Mada. (2023). Persepsi
Generasi Muda terhadap Istilah Sarkastik dalam Bahasa Indonesia. Laporan
Internal, hlm. 12–15.
[4]
Muhammad Hanafi, wawancara oleh penulis, Yogyakarta, 21 November 2023.
[5]
Sutardi, M. (2021). Fenomena "Gaptek" di Era Digital: Sebuah
Analisis Sosiolinguistik. Jurnal Linguistik Indonesia, 39(2), 25–30.
[6]
Ratnasari, A. (2020). Bahasa Positif dalam Komunikasi Organisasi. Jurnal
Psikologi Sosial, 14(3), 45–50.
Lampiran 2: Data tentang Persepsi Kecerdasan Manusia vs. Kecerdasan
Buatan
1.
Hasil
Survei: Persepsi Masyarakat tentang Kecerdasan Manusia dan Kecerdasan Buatan
Sebuah survei yang dilakukan oleh Pew Research
Center pada tahun 2022 menunjukkan bahwa 55% dari responden di seluruh dunia
percaya bahwa kecerdasan manusia tetap lebih unggul dalam aspek kreativitas dan
empati dibandingkan dengan kecerdasan buatan (AI). Namun, 60% dari responden
juga mengakui bahwa AI lebih efisien dalam hal pengolahan data dan pengambilan
keputusan berbasis algoritma.¹ Survei ini mencerminkan adanya pembagian
persepsi berdasarkan domain kecerdasan, di mana manusia dianggap unggul dalam
bidang yang membutuhkan intuisi dan moralitas, sedangkan AI lebih unggul dalam
tugas-tugas yang membutuhkan kecepatan dan presisi.
2.
Analisis
Perbandingan
1)
Keunggulan Kecerdasan Manusia
Berdasarkan
penelitian yang diterbitkan oleh Harvard Business Review, manusia memiliki
keunggulan dalam memahami konteks sosial dan budaya yang kompleks, yang sering
kali tidak dapat direplikasi oleh AI.² Contohnya, dalam pengambilan keputusan
yang melibatkan nilai-nilai etika, manusia mampu mempertimbangkan faktor-faktor
moral dan emosional yang tidak terukur secara kuantitatif.
2)
Keunggulan Kecerdasan Buatan
Di sisi
lain, laporan McKinsey & Company menyebutkan bahwa AI mampu menyelesaikan
tugas dengan tingkat akurasi yang sangat tinggi, terutama dalam analisis data
besar (big data) dan pengenalan pola.³ Sebagai contoh, sistem AI telah
berhasil digunakan dalam analisis genom manusia untuk mendeteksi penyakit
langka dengan akurasi yang jauh lebih tinggi dibandingkan manusia.⁴
3.
Persepsi
Berdasarkan Profesi
Survei yang dilakukan oleh World Economic Forum
menunjukkan perbedaan persepsi tentang AI berdasarkan profesi:
·
78% dari pekerja teknologi percaya bahwa AI akan menjadi mitra kerja
yang tak tergantikan dalam 10 tahun mendatang.
·
Sebaliknya, 62% dari pekerja di sektor pendidikan merasa bahwa AI tidak
dapat menggantikan kemampuan guru dalam membimbing dan menginspirasi siswa.⁵
4.
Refleksi
pada Ulumul Qur'an
Dalam konteks Ulumul Qur'an, kecerdasan manusia
tetap menjadi faktor utama dalam memahami wahyu, khususnya dalam aspek
spiritual dan moral. Namun, kecerdasan buatan dapat berfungsi sebagai alat
bantu yang signifikan, seperti dalam analisis linguistik Al-Qur'an, pencocokan
ayat-ayat dengan tema tertentu, dan pelacakan konteks historis.⁶ Penggunaan AI
dalam kajian Ulumul Qur'an harus diarahkan untuk memperkuat, bukan
menggantikan, peran manusia sebagai penafsir wahyu.
Catatan Kaki
[1]
Pew Research Center. (2022). Public Perceptions of Artificial
Intelligence. Pew Research Center Report, hlm. 10–12.
[2]
Wilson, H. J., & Daugherty, P. R. (2018). Collaborative
Intelligence: Humans and AI Are Joining Forces. Harvard Business Review,
96(4), 114–123.
[3]
McKinsey & Company. (2020). The State of AI in 2020. McKinsey
Quarterly, hlm. 5–7.
[4]
Topol, E. (2019). High-Performance Medicine: The Convergence of Human
and Artificial Intelligence. Nature Medicine, 25(1), 44–56.
[5]
World Economic Forum. (2023). AI and the Future of Work: A Global
Perspective. WEF Report, hlm. 25–28.
[6]
Ulil Abshar Abdalla. (2020). Teknologi dan Tafsir: Peluang dan Tantangan
Tafsir Digital. Jurnal Islam dan Sains, 3(2), 15–27.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar