Salafiyah Ibn Taymiyyah
“Sejarah, Pemikiran, dan
Pengaruhnya dalam Islam”
Alihkan ke- Wahabi: Muhammad bin Abdul Wahab
Relasi dan Independensi antara
Salafiyah dan Wahabiyah
Salafiyah dan Wahabiyah sering dianggap saling
terkait karena kesamaan dalam misi pemurnian Islam. Namun, keduanya memiliki
konteks historis, doktrinal, dan dinamika sosial-politik yang berbeda. Salafiyah
adalah gerakan Islam yang lebih luas, berakar pada upaya kembali kepada
Al-Qur'an dan Hadis sebagaimana dipahami oleh generasi Salafus Shalih (tiga
generasi awal Islam). Gerakan ini menekankan tauhid murni, menjauhi bid'ah, dan
berusaha membersihkan praktik Islam dari pengaruh yang dianggap menyimpang. Di
sisi lain, Wahabiyah adalah sebuah gerakan spesifik yang lahir di jazirah Arab
pada abad ke-18 melalui pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab (1703–1792) yang
bekerja sama dengan Dinasti Saud untuk menyebarkan ajarannya secara politik dan
agama di wilayah Najd dan sekitarnya.¹
Relasi antara Wahabiyah dan Salafiyah dapat dilihat
dalam doktrin-doktrin teologis mereka yang beririsan, terutama dalam penekanan
pada tauhid. Wahabiyah sering dianggap sebagai cabang atau manifestasi dari
Salafiyah karena keduanya mendasarkan ajarannya pada prinsip-prinsip Salafus
Shalih.² Namun, Salafiyah lebih luas cakupannya dan tidak terbatas pada konteks
geografis atau historis tertentu. Wahabiyah, di sisi lain, memiliki konteks
politik yang spesifik sebagai mitra Dinasti Saud dalam membentuk negara Arab
Saudi modern.³
Meskipun Wahabiyah sering dikaitkan dengan
Salafiyah, penting untuk mencatat bahwa tidak semua Salafi menyetujui metode
Wahabi. Beberapa tokoh Salafiyah kontemporer mengkritik pendekatan Wahabi yang
dianggap terlalu keras dalam penegakan hukum dan dalam sikap terhadap
praktik-praktik lokal seperti tasawuf.⁴ Sebaliknya, para pendukung Wahabi lebih
sering menggunakan istilah "Salafi" untuk menggambarkan diri mereka sendiri,
sehingga mengaburkan garis perbedaan antara keduanya. Hal ini menciptakan
dinamika unik di mana Wahabiyah sering menjadi sinonim dengan Salafiyah di mata
publik, meskipun secara konseptual, Wahabiyah hanya salah satu cabang dari
gerakan Salafiyah.⁵
Independensi Salafiyah sebagai gerakan lebih luas
terlihat dari keberagaman manifestasi Salafiyah di berbagai dunia Islam,
termasuk di Mesir, Yaman, dan Afrika Utara, yang tidak semuanya mengikuti
pendekatan keras Wahabi. Salafiyah kontemporer memiliki spektrum mulai dari
Salafi yang lebih moderat hingga yang sangat konservatif.⁶ Sebaliknya,
Wahabiyah tetap terikat dengan konteks dan karakteristik Najd serta
keterlibatan politiknya dengan kerajaan Arab Saudi, yang sering memengaruhi
cara pandang dunia terhadap gerakan ini.⁷
Dengan demikian, meskipun Wahabiyah dapat dianggap
sebagai bagian dari Salafiyah, keduanya memiliki elemen independen yang
menjadikan mereka berbeda secara ideologis, historis, dan sosiologis.
Catatan Kaki
[1]
Hamid Algar, Wahhabism: A Critical Essay (Oneonta, NY: Islamic
Publications International, 2002), 14–15.
[2]
Natana J. DeLong-Bas, Wahhabi Islam: From Revival and Reform to
Global Jihad (New York: Oxford University Press, 2004), 27.
[3]
John L. Esposito, Islam and Politics (Syracuse, NY: Syracuse
University Press, 1998), 45.
[4]
Quintan Wiktorowicz, "Anatomy of the Salafi Movement," Studies
in Conflict & Terrorism 29, no. 3 (2006): 207–239.
[5]
Bernard Haykel, "On the Nature of Salafi Thought and Action,"
in Global Salafism: Islam’s New Religious Movement, ed. Roel Meijer (New
York: Columbia University Press, 2009), 40.
[6]
Madawi Al-Rasheed, Contest of Saudi Arabia (New York: Cambridge
University Press, 2010), 57.
[7]
David Commins, The Wahhabi Mission and Saudi Arabia (London: I.B.
Tauris, 2006), 79–80.
PEMBAHASAN
Salafiyah: Pemikiran Ibn
Taymiyyah
1.
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang Topik
Salafiyah merupakan salah satu konsep penting dalam
Islam yang merujuk pada pemahaman dan praktik keagamaan yang berpijak pada
ajaran para salaf (generasi awal Islam), yakni para sahabat, tabi'in, dan tabi'
tabi'in. Pemikiran Salafiyah, seperti yang dirumuskan oleh Ibn Taymiyyah
(661-728 H/1263-1328 M), menekankan pentingnya kembali kepada Al-Quran dan
Sunnah dengan cara yang sesuai dengan pemahaman generasi pertama Islam.¹
Kemunculan Ibn Taymiyyah sebagai salah satu tokoh
sentral dalam pembaruan pemikiran Islam tidak dapat dilepaskan dari konteks
sejarahnya. Ibn Taymiyyah hidup pada masa kejatuhan Kekhalifahan Abbasiyah
akibat serangan Mongol dan kondisi umat Islam yang menghadapi tantangan
internal berupa maraknya penyimpangan akidah, bid‘ah, dan taqlid buta.² Dalam
situasi ini, Ibn Taymiyyah menawarkan Salafiyah sebagai solusi untuk
mengembalikan kejayaan Islam melalui pemurnian akidah dan reformasi sosial.³
1.2. Rumusan Masalah
Melalui artikel ini, beberapa pertanyaan utama yang
akan dijawab adalah:
1)
Apa yang dimaksud dengan Salafiyah menurut Ibn Taymiyyah?
2)
Bagaimana Ibn Taymiyyah membangun konsep pemikiran Salafiyah?
3)
Apa dampak dan pengaruh pemikiran Salafiyah terhadap perkembangan Islam,
baik pada masanya maupun di era modern?
Topik ini relevan untuk dikaji mengingat pentingnya
memahami pendekatan Ibn Taymiyyah dalam menyikapi persoalan-persoalan umat
Islam, yang terus menjadi rujukan dalam kajian keislaman hingga kini. Sebagai
salah satu ulama yang sering kali dianggap kontroversial, Ibn Taymiyyah tidak
hanya memberikan kontribusi besar terhadap diskursus teologis, tetapi juga
memengaruhi gerakan-gerakan Islam yang lahir setelahnya.⁴
Catatan Kaki
[1]
Ibn Taymiyyah, Majmu‘ al-Fatawa, ed. Abdul Rahman bin Muhammad
bin Qasim (Riyadh: Dar al-Fikr, 1981), 1:20.
[2]
Ahmad Amin, Fajr al-Islam (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1969),
256.
[3]
Muhammad Abu Zahrah, Ibn Taymiyyah: Hayatuhu wa ‘Asruhu, Ara’uhu wa
Fiqhuhu (Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958), 130.
[4]
Muhammad bin Abdul Wahhab, Kitab al-Tauhid, ed. Salih al-Fawzan
(Riyadh: Dar al-Salafiyyah, 1992), 15.
2.
Pengertian
dan Sejarah Salafiyah
2.1. Definisi Salafiyah
Salafiyah adalah istilah yang merujuk pada
pemahaman dan praktik Islam berdasarkan Al-Quran dan Sunnah dengan mengikuti
metode generasi salaf, yaitu para sahabat, tabi’in, dan tabi’ tabi’in.¹ Dalam
terminologi Islam, istilah salaf berarti “pendahulu” atau “leluhur,”
dan secara khusus mengacu kepada generasi terbaik umat Islam sebagaimana
dijelaskan dalam hadis Nabi Muhammad Saw., “Sebaik-baik manusia adalah
generasiku, kemudian generasi setelahnya, kemudian generasi setelahnya.”²
Oleh karena itu, Salafiyah menekankan pentingnya kembali kepada otentisitas
Islam sebagaimana yang dipahami oleh generasi awal tanpa mencampurkannya dengan
unsur-unsur bid‘ah atau inovasi yang tidak memiliki dasar dalam ajaran Islam.³
Ibn Taymiyyah mendefinisikan Salafiyah sebagai
metode untuk menafsirkan teks-teks syar’i secara literal sesuai dengan
pemahaman salaf. Ia menolak interpretasi alegoris (ta’wil) yang tidak memiliki
dasar dari Al-Quran, Sunnah, atau ijma’ para sahabat.⁴ Bagi Ibn Taymiyyah,
Salafiyah adalah jalan menuju pemurnian akidah dan praktik Islam yang benar,
karena mengikuti jalan para salaf berarti mengikuti petunjuk Allah dan
Rasul-Nya.⁵
2.2. Sejarah Awal Salafiyah
Pemikiran Salafiyah dapat ditelusuri sejak masa
Khulafaurasyidin, ketika para sahabat Nabi berpegang teguh pada ajaran yang
murni. Namun, perkembangan pemikiran ini menjadi semakin penting ketika
munculnya berbagai aliran teologis dan filosofis seperti Mu’tazilah, Khawarij,
dan Syiah yang menantang ajaran Islam ortodoks. Ulama seperti Imam Ahmad bin
Hanbal menjadi tokoh sentral dalam mempertahankan akidah salaf melalui
perjuangan melawan paham Mu’tazilah dalam kasus Mihnah (pengujian akidah) di
abad ke-9 M.⁶
Ibn Taymiyyah, yang hidup pada abad ke-13 M,
membangkitkan kembali konsep Salafiyah dalam konteks yang lebih sistematis.
Situasi politik dan sosial yang kacau pada masanya, termasuk invasi Mongol dan
kejatuhan Baghdad, memunculkan kebutuhan untuk merumuskan kembali identitas
Islam yang kuat dan murni.⁷ Dalam karya-karyanya seperti Majmu‘ al-Fatawa
dan Al-Aqidah Al-Wasithiyyah, Ibn Taymiyyah menekankan perlunya merujuk
pada Al-Quran dan Sunnah dengan pemahaman generasi salaf sebagai jalan untuk
menyatukan umat Islam.⁸
Selain itu, Ibn Taymiyyah juga menolak pengaruh
filsafat Yunani dan ilmu kalam yang dianggapnya telah mencemari kemurnian
Islam.⁹ Ia berpendapat bahwa pendekatan rasional semata dalam memahami agama
hanya akan menjauhkan umat dari ajaran Islam yang murni. Dengan demikian,
Salafiyah yang ia bangun bukan hanya sebagai metode teologis, tetapi juga
sebagai gerakan pembaruan untuk menghadapi tantangan intelektual dan spiritual
umat Islam pada masanya.¹⁰
Catatan Kaki
[1]
Ibn Taymiyyah, Majmu‘ al-Fatawa, ed. Abdul Rahman bin Muhammad
bin Qasim (Riyadh: Dar al-Fikr, 1981), 3:12.
[2]
Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Kitab
al-Fadha’il, Bab 7, Hadis no. 2652.
[3]
Muhammad Abu Zahrah, Ibn Taymiyyah: Hayatuhu wa ‘Asruhu, Ara’uhu wa
Fiqhuhu (Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958), 102.
[4]
Ibn Taymiyyah, Dar’ Ta’arud al-‘Aql wa al-Naql, ed. Muhammad
Rashad Salim (Riyadh: Imam Muhammad Ibn Saud Islamic University, 1979), 1:81.
[5]
Ahmad Amin, Zuhur al-Islam (Cairo: Dar al-Kutub al-Misriyyah,
1954), 3:124.
[6]
Jonathan A.C. Brown, Hadith: Muhammad’s Legacy in the Medieval and
Modern World (Oxford: Oneworld, 2009), 129.
[7]
Ira Lapidus, A History of Islamic Societies (Cambridge: Cambridge
University Press, 2002), 232.
[8]
Ibn Taymiyyah, Al-Aqidah Al-Wasithiyyah, ed. Salih bin Muhammad
Al-Luhaydan (Riyadh: Maktabah al-Rushd, 2005), 21.
[9]
George Makdisi, Ibn Taymiyya: A Sufi of the Qadiriya Order
(London: Oxford University Press, 1973), 65.
[10]
Henri Laoust, Essai sur les doctrines sociales et politiques de
Taqi-d-Din Ahmad b. Taymiyya (Cairo: Institut Français d'Archéologie
Orientale, 1939), 87.
3.
Ibn
Taymiyyah dan Perkembangan Salafiyah
3.1. Biografi Singkat Ibn Taymiyyah
Ibn Taymiyyah, bernama lengkap Taqi al-Din Ahmad
bin Abdul Halim al-Harrani al-Hanbali, lahir pada 661 H/1263 M di Harran,
wilayah yang kini masuk dalam perbatasan Turki.¹ Pada usia dini, keluarganya
pindah ke Damaskus untuk menghindari invasi Mongol. Di Damaskus, Ibn Taymiyyah
mendapatkan pendidikan mendalam dalam berbagai disiplin ilmu Islam, termasuk
fikih, tafsir, hadits, dan bahasa Arab, di bawah bimbingan ulama terkemuka.²
Konteks sosial dan politik yang dihadapi Ibn
Taymiyyah sangat memengaruhi pemikirannya. Kekacauan akibat invasi Mongol,
kelemahan kekhalifahan, dan maraknya penyimpangan akidah menjadikan Ibn
Taymiyyah sangat berfokus pada upaya pemurnian Islam.³ Ia tidak hanya seorang
ulama, tetapi juga seorang aktivis sosial yang memperjuangkan keadilan, seperti
ketika ia menentang pembayaran upeti kepada Mongol dan memimpin jihad melawan
mereka.⁴
3.2. Konsep Pemikiran Salafiyah
Ibn Taymiyyah adalah salah satu ulama yang
merumuskan konsep Salafiyah secara sistematis. Menurutnya, Salafiyah adalah
metode beragama yang berpijak pada Al-Quran, Sunnah, dan pemahaman generasi
salaf. Ia menekankan tiga prinsip utama dalam konsep Salafiyah:
1)
Tauhid yang Murni
Ibn
Taymiyyah membagi tauhid menjadi tiga aspek utama: tauhid rububiyah (mengakui
Allah sebagai Pencipta), tauhid uluhiyah (menyembah Allah semata), dan tauhid
asma’ wa sifat (mengimani nama dan sifat Allah sebagaimana disebutkan dalam
Al-Quran dan Sunnah tanpa melakukan tahrif, ta’til, takyif, atau tamtsil).⁵ Ia
menentang keras praktik syirik seperti tawassul yang menyimpang dan ziarah
kubur dengan niat beribadah.⁶
2)
Penolakan terhadap Bid‘ah
Ibn
Taymiyyah menolak segala bentuk inovasi dalam agama yang tidak memiliki dasar
dari Al-Quran dan Sunnah. Bid‘ah dianggap sebagai penyebab utama kemunduran
umat Islam.⁷
3)
Metodologi Tafsir
Ibn Taymiyyah
menolak penggunaan ilmu kalam dan pendekatan filsafat dalam menafsirkan teks
agama. Sebaliknya, ia mengedepankan pendekatan literal (zahir) dan menekankan
pentingnya merujuk kepada tafsir salaf.⁸
3.3. Strategi Dakwah Ibn Taymiyyah
Dalam upayanya menyebarkan ajaran Salafiyah, Ibn
Taymiyyah menggunakan berbagai strategi, di antaranya:
1)
Penulisan Karya Ilmiah
Ibn
Taymiyyah meninggalkan warisan intelektual yang besar, seperti Majmu‘
al-Fatawa, Al-Aqidah Al-Wasithiyyah, dan Minhaj al-Sunnah
al-Nabawiyyah.⁹ Karya-karyanya tidak hanya membahas akidah, tetapi juga
hukum Islam, politik, dan sosial.
2)
Debat dan Dialog
Ibn
Taymiyyah dikenal sering berdebat dengan kelompok Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan
Sufi ekstremis untuk mempertahankan akidah Salafiyah. Salah satu perdebatan
terkenalnya adalah menentang doktrin hulul (inkarnasi Tuhan dalam makhluk) yang
diajarkan oleh sebagian sufi.¹⁰
3)
Kepemimpinan dalam Krisis
Ibn
Taymiyyah mengambil peran sebagai pemimpin umat dalam menghadapi ancaman
eksternal, seperti invasi Mongol. Ia menegaskan bahwa jihad melawan penguasa
zalim yang mengaku Muslim tetapi tidak menerapkan syariat adalah wajib.¹¹
Catatan Kaki
[1]
Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Madarij al-Salikin, ed. Muhammad Hammad
(Cairo: Dar al-Hadith, 2005), 1:12.
[2]
Henri Laoust, Essai sur les doctrines sociales et politiques de
Taqi-d-Din Ahmad b. Taymiyya (Cairo: Institut Français d'Archéologie
Orientale, 1939), 22.
[3]
Ira Lapidus, A History of Islamic Societies (Cambridge: Cambridge
University Press, 2002), 232.
[4]
Ahmad Amin, Zuhur al-Islam (Cairo: Dar al-Kutub al-Misriyyah,
1954), 3:124.
[5]
Ibn Taymiyyah, Kitab al-Tauhid, ed. Muhammad Rashid Salim
(Riyadh: Maktabah al-Rushd, 1997), 12.
[6]
Muhammad Abu Zahrah, Ibn Taymiyyah: Hayatuhu wa ‘Asruhu, Ara’uhu wa
Fiqhuhu (Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958), 112.
[7]
Ibn Taymiyyah, Al-Istiqamah, ed. Muhammad al-Khudari (Riyadh: Dar
al-Hadith, 1996), 32.
[8]
George Makdisi, Ibn Taymiyya: A Sufi of the Qadiriya Order
(London: Oxford University Press, 1973), 65.
[9]
Ibn Taymiyyah, Majmu‘ al-Fatawa, ed. Abdul Rahman bin Muhammad
bin Qasim (Riyadh: Dar al-Fikr, 1981), 4:25.
[10]
Henri Laoust, Essai sur les doctrines sociales et politiques de
Taqi-d-Din Ahmad b. Taymiyya (Cairo: Institut Français d'Archéologie
Orientale, 1939), 88.
[11]
Ira Lapidus, A History of Islamic Societies (Cambridge: Cambridge
University Press, 2002), 233.
4.
Salafiyah
Ibn Taymiyyah dalam Perspektif Teologi Islam
4.1. Pandangan Ibn Taymiyyah terhadap Ilmu Kalam
Ibn Taymiyyah memiliki pandangan yang sangat kritis
terhadap ilmu kalam, yaitu disiplin ilmu yang mengandalkan logika dan filsafat
dalam memahami akidah Islam.¹ Menurutnya, ilmu kalam cenderung menjauhkan umat
Islam dari ajaran yang murni karena memasukkan unsur-unsur pemikiran asing,
seperti filsafat Yunani, ke dalam teologi Islam.² Ia berpendapat bahwa
penggunaan logika semata dalam memahami sifat-sifat Allah berpotensi
menimbulkan kerancuan dan kontradiksi dengan teks-teks Al-Quran dan Sunnah.³
Dalam karyanya, Dar’ Ta’arud al-‘Aql wa al-Naql,
Ibn Taymiyyah menolak dikotomi antara akal dan wahyu yang sering dikemukakan
oleh ahli kalam.⁴ Ia menegaskan bahwa akal harus tunduk kepada wahyu dan tidak
boleh mendahuluinya, karena wahyu adalah sumber kebenaran mutlak.⁵ Ibn
Taymiyyah mengkritik keras kelompok Mu‘tazilah yang terlalu mengagungkan akal
dan kelompok Asy‘ariyah yang ia anggap tidak konsisten dalam penggunaan
logika.⁶
4.2. Konsep Tauhid Ibn Taymiyyah
Dalam teologi Islam, Ibn Taymiyyah dikenal karena
penjelasannya yang mendalam tentang konsep tauhid. Ia membagi tauhid menjadi
tiga aspek utama:
1)
Tauhid Rububiyah:
Mengakui
Allah sebagai satu-satunya Pencipta, Pemelihara, dan Pengatur alam semesta. Ibn
Taymiyyah menjelaskan bahwa tauhid rububiyah diterima oleh semua manusia secara
fitrah, bahkan oleh orang-orang kafir.⁷
2)
Tauhid Uluhiyah:
Mengesakan
Allah dalam ibadah. Ibn Taymiyyah menekankan bahwa tauhid uluhiyah adalah inti
dari dakwah para nabi dan bahwa penyimpangan dalam tauhid ini, seperti syirik,
adalah penyebab utama kebinasaan manusia.⁸
3)
Tauhid Asma’ wa Sifat:
Mengimani
nama dan sifat Allah sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran dan Sunnah tanpa
melakukan tahrif (penyimpangan makna), ta’til (menafikan sifat), takyif
(mempertanyakan bagaimana sifat itu), atau tamtsil (menyerupakan sifat
Allah dengan makhluk).⁹
Ibn Taymiyyah secara khusus menolak penafsiran
alegoris (ta’wil) terhadap sifat-sifat Allah yang dilakukan oleh sebagian
kelompok ahli kalam.¹⁰ Baginya, sifat-sifat Allah harus dipahami sesuai dengan
makna zahir teks, sebagaimana dipahami oleh generasi salaf.¹¹
4.3. Peran Akidah Salafiyah dalam Kehidupan Umat
Ibn Taymiyyah menekankan bahwa akidah Salafiyah
bukan hanya merupakan aspek teoretis, tetapi juga harus diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari umat Islam.¹² Ia menganggap bahwa penerapan tauhid secara
benar akan menghasilkan masyarakat yang berkeadilan, harmonis, dan tunduk pada
syariat Allah.¹³
Menurut Ibn Taymiyyah, salah satu implikasi dari
akidah Salafiyah adalah jihad dalam membela Islam.¹⁴ Ia menegaskan bahwa jihad
bukan hanya berarti perang fisik, tetapi juga mencakup upaya intelektual untuk
melawan penyimpangan pemikiran yang mengancam kemurnian Islam.¹⁵ Selain itu,
Ibn Taymiyyah juga menyerukan pentingnya amar ma’ruf nahi munkar sebagai
kewajiban kolektif umat Islam dalam menjaga kemurnian agama dan memperbaiki
masyarakat.¹⁶
Catatan Kaki
[1]
Ibn Taymiyyah, Dar’ Ta’arud al-‘Aql wa al-Naql, ed. Muhammad
Rashad Salim (Riyadh: Imam Muhammad Ibn Saud Islamic University, 1979), 1:51.
[2]
Henri Laoust, Essai sur les doctrines sociales et politiques de
Taqi-d-Din Ahmad b. Taymiyya (Cairo: Institut Français d'Archéologie
Orientale, 1939), 112.
[3]
Ahmad Amin, Zuhur al-Islam (Cairo: Dar al-Kutub al-Misriyyah,
1954), 3:214.
[4]
Ibn Taymiyyah, Dar’ Ta’arud al-‘Aql wa al-Naql, 1:72.
[5]
George Makdisi, Ibn Taymiyya: A Sufi of the Qadiriya Order
(London: Oxford University Press, 1973), 93.
[6]
Jonathan A.C. Brown, Misquoting Muhammad: The Challenge and Choices
of Interpreting the Prophet’s Legacy (Oxford: Oneworld Publications, 2014),
187.
[7]
Ibn Taymiyyah, Kitab al-Tauhid, ed. Muhammad Rashid Salim
(Riyadh: Maktabah al-Rushd, 1997), 21.
[8]
Muhammad Abu Zahrah, Ibn Taymiyyah: Hayatuhu wa ‘Asruhu, Ara’uhu wa
Fiqhuhu (Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958), 134.
[9]
Ibn Taymiyyah, Majmu‘ al-Fatawa, ed. Abdul Rahman bin Muhammad
bin Qasim (Riyadh: Dar al-Fikr, 1981), 3:89.
[10]
George Makdisi, Ibn Taymiyya: A Sufi of the Qadiriya Order, 82.
[11]
Ibn Taymiyyah, Al-Aqidah Al-Wasithiyyah, ed. Salih bin Muhammad
Al-Luhaydan (Riyadh: Maktabah al-Rushd, 2005), 14.
[12]
Muhammad Abu Zahrah, Ibn Taymiyyah: Hayatuhu wa ‘Asruhu, Ara’uhu wa
Fiqhuhu, 162.
[13]
Ira Lapidus, A History of Islamic Societies (Cambridge: Cambridge
University Press, 2002), 233.
[14]
Ibn Taymiyyah, Al-Siyasah al-Shar‘iyyah fi Islah al-Ra‘i wa
al-Ra‘iyyah (Cairo: Dar al-Hadith, 1997), 45.
[15]
Henri Laoust, Essai sur les doctrines sociales et politiques de
Taqi-d-Din Ahmad b. Taymiyya, 87.
[16]
Ibn Taymiyyah, Amar Ma‘ruf Nahi Munkar, ed. Muhammad al-Khudari
(Cairo: Dar al-Salam, 1996), 15.
5.
Pengaruh
Salafiyah Ibn Taymiyyah dalam Sejarah Islam
5.1. Pengaruh terhadap Ulama dan Gerakan Islam
Pemikiran Ibn Taymiyyah tentang Salafiyah memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap ulama dan gerakan Islam di berbagai zaman.
Setelah wafatnya, ajaran-ajarannya diteruskan oleh murid-muridnya, seperti Ibn
Qayyim al-Jawziyyah, yang menyebarluaskan pemikiran-pemikiran tersebut melalui
karya-karyanya.¹ Ibn Qayyim, misalnya, memperluas konsep tauhid dan
penolakannya terhadap bid‘ah dalam buku-buku seperti Madarij al-Salikin
dan Ighathat al-Lahfan.²
Pada abad ke-18, Muhammad bin Abdul Wahhab, seorang
ulama dari Najd, menghidupkan kembali ajaran Salafiyah Ibn Taymiyyah melalui
gerakan reformasi yang dikenal sebagai Wahhabiyah.³ Gerakan ini mengadopsi
banyak prinsip Ibn Taymiyyah, seperti pemurnian tauhid, penolakan terhadap
praktik syirik, dan penekanan pada kembali kepada Al-Quran dan Sunnah sesuai
pemahaman salaf. Wahhabiyah kemudian menjadi kekuatan besar dalam pembentukan
Kerajaan Arab Saudi.⁴
Selain itu, ide-ide Ibn Taymiyyah juga
menginspirasi banyak gerakan Islam kontemporer, seperti Jamaat-e-Islami di Asia
Selatan yang didirikan oleh Abul A'la Maududi dan Ikhwanul Muslimin di Mesir
yang dipimpin oleh Hasan al-Banna.⁵ Meskipun tidak sepenuhnya identik, kedua
gerakan ini menekankan pentingnya penerapan syariat Islam dalam kehidupan
individu dan masyarakat, konsep yang selaras dengan visi Ibn Taymiyyah tentang
Islam sebagai sistem yang holistik.⁶
5.2. Hubungan dengan Wahhabiyah
Wahhabiyah, yang sering dianggap sebagai penerus
langsung Salafiyah Ibn Taymiyyah, mengadopsi banyak prinsipnya, termasuk
pendekatan literal terhadap Al-Quran dan Sunnah, serta perlawanan terhadap
tradisi Sufi yang dianggap menyimpang.⁷ Muhammad bin Abdul Wahhab sering
mengutip karya Ibn Taymiyyah untuk mendukung argumen-argumen teologisnya,
terutama dalam hal menentang praktik-praktik seperti tawassul dan tabarruk.⁸
Pengaruh Ibn Taymiyyah dapat dilihat dalam kitab Kitab al-Tauhid, karya
utama Muhammad bin Abdul Wahhab, yang mengacu pada banyak ide Ibn Taymiyyah
mengenai kemurnian tauhid.⁹
5.3. Relevansi dalam Konteks Modern
Pemikiran Salafiyah Ibn Taymiyyah tetap relevan
dalam menjawab tantangan kontemporer umat Islam, terutama dalam menghadapi
pengaruh sekularisme, modernisme, dan globalisasi.¹⁰ Banyak intelektual Muslim
yang menggunakan metode Ibn Taymiyyah dalam membangun argumen teologis dan
sosial yang sesuai dengan kebutuhan zaman.¹¹ Misalnya, para ulama kontemporer
seperti Sayyid Qutb mengadopsi prinsip-prinsip Ibn Taymiyyah dalam menekankan
pentingnya kedaulatan Allah (hakimiyyah) dan menolak segala bentuk hukum yang
tidak berasal dari syariat.¹²
Namun, pengaruh Ibn Taymiyyah juga tidak luput dari
kontroversi, terutama terkait dengan interpretasi Salafiyah yang dianggap
eksklusif dan keras oleh sebagian pihak.¹³ Beberapa kelompok ekstremis
mengklaim inspirasi dari Ibn Taymiyyah untuk membenarkan tindakan mereka,
meskipun banyak ulama berpendapat bahwa tindakan-tindakan tersebut bertentangan
dengan prinsip-prinsip Salafiyah yang sejati.¹⁴
Catatan Kaki
[1]
Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Madarij al-Salikin, ed. Muhammad Rashid
Salim (Cairo: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), 1:15.
[2]
Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Ighathat al-Lahfan fi Masayid al-Shaytan,
ed. Muhammad al-Khudari (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2007), 2:92.
[3]
Muhammad bin Abdul Wahhab, Kitab al-Tauhid, ed. Salih al-Fawzan
(Riyadh: Dar al-Salafiyyah, 1992), 5.
[4]
George Rentz, Wahhabism and Saudi Arabia (Oxford: Oxford
University Press, 1972), 14.
[5]
Hasan al-Banna, Risalat al-Ta‘lim (Cairo: Dar al-Da’wah, 1984),
27.
[6]
Abul A’la Maududi, Towards Understanding Islam, trans. Zafar
Ishaq Ansari (Lahore: Islamic Publications, 1998), 42.
[7]
Henri Laoust, Essai sur les doctrines sociales et politiques de
Taqi-d-Din Ahmad b. Taymiyya (Cairo: Institut Français d'Archéologie
Orientale, 1939), 78.
[8]
Muhammad bin Abdul Wahhab, Kitab al-Tauhid, 19.
[9]
Ibid.
[10]
Muhammad Abu Zahrah, Ibn Taymiyyah: Hayatuhu wa ‘Asruhu, Ara’uhu wa
Fiqhuhu (Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958), 204.
[11]
Jonathan A.C. Brown, Misquoting Muhammad: The Challenge and Choices
of Interpreting the Prophet’s Legacy (Oxford: Oneworld Publications, 2014),
221.
[12]
Sayyid Qutb, Fi Zilal al-Quran, ed. Muhammad al-Mawardi (Cairo:
Dar al-Shuruq, 1979), 2:24.
[13]
Ira Lapidus, A History of Islamic Societies (Cambridge: Cambridge
University Press, 2002), 251.
[14]
Khaled Abou El Fadl, The Great Theft: Wrestling Islam from the
Extremists (New York: HarperSanFrancisco, 2005), 89.
6.
Kritik
dan Kontroversi
6.1. Kritik Terhadap Pemikiran Ibn Taymiyyah
Pemikiran Ibn Taymiyyah tentang Salafiyah tidak
luput dari kritik, baik dari ulama sezaman maupun generasi berikutnya. Salah
satu kritik utama berasal dari ulama Asy‘ariyah dan Maturidiyah, yang memandang
pendekatan literal Ibn Taymiyyah terhadap sifat-sifat Allah sebagai bentuk
tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk).¹ Mereka menilai bahwa Ibn Taymiyyah
tidak memberikan ruang yang memadai bagi interpretasi alegoris (ta’wil) yang
telah diterima secara luas dalam teologi Sunni.²
Selain itu, Ibn Taymiyyah juga dikritik karena
pandangannya yang dianggap ekstrem terhadap bid‘ah. Banyak ulama Syafi‘iyah dan
Malikiyah, seperti Al-Subki dan Ibn Hajar al-Haytami, menolak keras pandangan
Ibn Taymiyyah yang menggeneralisasi semua praktik baru dalam agama sebagai
bid‘ah yang sesat.³ Sebagai contoh, Ibn Hajar al-Haytami menyebut Ibn Taymiyyah
sebagai “seseorang yang pemikirannya membingungkan umat.”⁴
Ibn Taymiyyah juga menghadapi perlawanan dalam
masalah ziarah kubur. Pandangannya yang melarang ziarah ke makam Nabi Muhammad
Saw. tanpa niat khusus untuk berdoa kepada Allah dianggap terlalu ketat dan
menimbulkan kontroversi besar di kalangan ulama.⁵ Beberapa ulama menyebutnya
sebagai bentuk penghinaan terhadap tradisi Islam yang telah berlangsung lama.⁶
6.2. Kontroversi dalam Pemahaman Salafiyah
Pemikiran Ibn Taymiyyah tentang Salafiyah juga
telah memicu berbagai interpretasi yang berujung pada kontroversi. Sebagian
pihak, terutama kelompok-kelompok ekstremis, mengklaim bahwa ajaran Ibn
Taymiyyah mendukung pendekatan eksklusif dan keras dalam beragama.⁷ Misalnya,
pemikiran Ibn Taymiyyah tentang jihad sering kali disalahgunakan oleh kelompok
radikal untuk membenarkan aksi kekerasan terhadap pemerintah Muslim yang
dianggap tidak menerapkan syariat secara murni.⁸ Namun, banyak ulama modern
seperti Khaled Abou El Fadl menegaskan bahwa Ibn Taymiyyah sebenarnya tidak
mendukung ekstremisme, melainkan mengedepankan pendekatan yang kontekstual dan
berbasis ijtihad.⁹
Salah satu aspek yang kontroversial adalah
pandangan Ibn Taymiyyah tentang pemberontakan terhadap pemimpin Muslim. Dalam
beberapa karyanya, ia menegaskan bahwa jihad melawan pemimpin yang zalim dapat
dibenarkan dalam kondisi tertentu.¹⁰ Pandangan ini telah menjadi dasar argumen
bagi beberapa kelompok oposisi politik di dunia Muslim modern, yang mengklaim
bahwa mereka meneruskan semangat reformasi Ibn Taymiyyah.¹¹
6.3. Respons terhadap Kritik
Ibn Taymiyyah secara aktif membela pandangannya
dalam berbagai karya tulisnya. Dalam Dar’ Ta‘arud al-‘Aql wa al-Naql, ia
menjelaskan bahwa pendekatan literal terhadap teks Al-Quran dan Sunnah tidak
berarti melakukan tasybih, melainkan memahami sifat-sifat Allah sebagaimana
yang dikehendaki oleh syariat tanpa menambah atau mengurangi maknanya.¹²
Selain itu, Ibn Taymiyyah juga menegaskan bahwa
kritik terhadap bid‘ah bukan berarti menolak segala bentuk inovasi secara
total, melainkan hanya menentang inovasi yang berkaitan dengan akidah dan
ibadah tanpa dasar yang jelas dalam Al-Quran dan Sunnah.¹³ Ia berargumen bahwa
kebanyakan kritik terhadapnya muncul dari kesalahpahaman atau penyalahartian
pandangannya.¹⁴
Catatan Kaki
[1]
Al-Subki, Shifa’ al-Siqam fi Ziyarah Khayr al-Anam (Cairo: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003), 15.
[2]
Ibn Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari Sharh Sahih al-Bukhari, ed.
Muhammad Fu’ad Abdul Baqi (Cairo: Dar al-Ma‘rifah, 1987), 3:90.
[3]
Ibn Hajar al-Haytami, Al-Fatawa al-Hadithiyyah (Cairo: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1970), 130.
[4]
Ibid., 132.
[5]
Muhammad Abu Zahrah, Ibn Taymiyyah: Hayatuhu wa ‘Asruhu, Ara’uhu wa
Fiqhuhu (Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958), 178.
[6]
George Makdisi, Ibn Taymiyya: A Sufi of the Qadiriya Order
(London: Oxford University Press, 1973), 81.
[7]
Henri Laoust, Essai sur les doctrines sociales et politiques de
Taqi-d-Din Ahmad b. Taymiyya (Cairo: Institut Français d'Archéologie
Orientale, 1939), 117.
[8]
Khaled Abou El Fadl, The Great Theft: Wrestling Islam from the
Extremists (New York: HarperSanFrancisco, 2005), 92.
[9]
Ibid., 94.
[10]
Ibn Taymiyyah, Al-Siyasah al-Shar‘iyyah fi Islah al-Ra‘i wa
al-Ra‘iyyah (Cairo: Dar al-Hadith, 1997), 65.
[11]
Ira Lapidus, A History of Islamic Societies (Cambridge: Cambridge
University Press, 2002), 254.
[12]
Ibn Taymiyyah, Dar’ Ta’arud al-‘Aql wa al-Naql, ed. Muhammad
Rashad Salim (Riyadh: Imam Muhammad Ibn Saud Islamic University, 1979), 1:61.
[13]
Ibn Taymiyyah, Majmu‘ al-Fatawa, ed. Abdul Rahman bin Muhammad
bin Qasim (Riyadh: Dar al-Fikr, 1981), 4:89.
[14]
Ibid., 4:91.
7.
Kesimpulan
dan Penutup
7.1. Rangkuman Utama
Salafiyah yang dirumuskan oleh Ibn Taymiyyah
merupakan upaya sistematis untuk memurnikan ajaran Islam dengan kembali kepada
Al-Quran dan Sunnah sesuai pemahaman generasi salaf.¹ Dalam menghadapi
tantangan teologis dan sosial pada masanya, Ibn Taymiyyah memberikan penekanan
pada prinsip-prinsip tauhid, penolakan terhadap bid‘ah, dan pentingnya memahami
teks agama secara literal.²
Pemikiran Salafiyah Ibn Taymiyyah tidak hanya
berdampak pada zamannya, tetapi juga membentuk dasar bagi banyak gerakan Islam
di kemudian hari, seperti Wahhabiyah dan berbagai gerakan reformasi Islam
modern.³ Warisannya mencakup pandangan teologis yang jelas dan aplikatif, metode
dakwah yang efektif, serta komitmen untuk menjaga kemurnian agama dari pengaruh
luar.⁴ Namun, pandangannya juga menimbulkan kontroversi dan kritik, terutama
dari ulama yang memiliki pendekatan berbeda terhadap teologi Islam.⁵
7.2. Implikasi bagi Studi Islam
Studi tentang Salafiyah Ibn Taymiyyah penting tidak
hanya untuk memahami pemikiran teologisnya, tetapi juga untuk mengevaluasi
bagaimana pendekatannya dapat diterapkan dalam menjawab tantangan kontemporer
umat Islam. Pendekatan Ibn Taymiyyah yang mengedepankan pemahaman literal,
kontekstual, dan ijtihad independen menawarkan model alternatif bagi umat Islam
yang ingin memahami agama secara mendalam.⁶
Namun, penerapan pemikiran Ibn Taymiyyah harus
dilakukan dengan hati-hati, mengingat beberapa interpretasi ekstrem terhadap
ajarannya dapat menimbulkan kesalahpahaman atau penyalahgunaan.⁷ Ulama dan
cendekiawan perlu mengkaji warisannya secara komprehensif dan obyektif agar
pemikiran tersebut dapat digunakan untuk membangun masyarakat yang harmonis dan
taat syariat.⁸
7.3. Penutup
Salafiyah Ibn Taymiyyah adalah bagian integral dari
tradisi intelektual Islam yang terus relevan hingga hari ini. Dengan menekankan
prinsip-prinsip Islam yang murni, ia menawarkan solusi terhadap berbagai
penyimpangan teologis dan sosial yang dihadapi umat.⁹ Meski menimbulkan
perdebatan, pemikiran Ibn Taymiyyah telah memberikan kontribusi besar dalam
membentuk kerangka teologi dan praktik Islam yang berbasis pada prinsip-prinsip
yang jelas dan tegas.¹⁰
Kajian mendalam terhadap Salafiyah Ibn Taymiyyah
bukan hanya relevan bagi dunia akademik, tetapi juga penting dalam membangun
pemahaman keislaman yang inklusif dan kontekstual di era modern. Dengan
demikian, pemikiran Ibn Taymiyyah tetap menjadi sumber inspirasi bagi umat
Islam dalam menjaga keutuhan akidah dan syariat.¹¹
Catatan Kaki
[1]
Ibn Taymiyyah, Majmu‘ al-Fatawa, ed. Abdul Rahman bin Muhammad
bin Qasim (Riyadh: Dar al-Fikr, 1981), 3:20.
[2]
Muhammad Abu Zahrah, Ibn Taymiyyah: Hayatuhu wa ‘Asruhu, Ara’uhu wa
Fiqhuhu (Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958), 135.
[3]
George Rentz, Wahhabism and Saudi Arabia (Oxford: Oxford
University Press, 1972), 14.
[4]
Henri Laoust, Essai sur les doctrines sociales et politiques de
Taqi-d-Din Ahmad b. Taymiyya (Cairo: Institut Français d'Archéologie
Orientale, 1939), 78.
[5]
Ibn Hajar al-Haytami, Al-Fatawa al-Hadithiyyah (Cairo: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1970), 132.
[6]
Ira Lapidus, A History of Islamic Societies (Cambridge: Cambridge
University Press, 2002), 251.
[7]
Khaled Abou El Fadl, The Great Theft: Wrestling Islam from the
Extremists (New York: HarperSanFrancisco, 2005), 94.
[8]
Jonathan A.C. Brown, Misquoting Muhammad: The Challenge and Choices
of Interpreting the Prophet’s Legacy (Oxford: Oneworld Publications, 2014),
221.
[9]
Ibn Taymiyyah, Dar’ Ta’arud al-‘Aql wa al-Naql, ed. Muhammad
Rashad Salim (Riyadh: Imam Muhammad Ibn Saud Islamic University, 1979), 1:45.
[10]
Muhammad bin Abdul Wahhab, Kitab al-Tauhid, ed. Salih al-Fawzan
(Riyadh: Dar al-Salafiyyah, 1992), 19.
[11]
Henri Laoust, Essai sur les doctrines sociales et politiques de
Taqi-d-Din Ahmad b. Taymiyya, 87.
Daftar Pustaka
Books:
Abou El Fadl, K. (2005). The great theft:
Wrestling Islam from the extremists. HarperSanFrancisco.
Amin, A. (1954). Zuhur al-Islam (Vol. 3).
Cairo: Dar al-Kutub al-Misriyyah.
Brown, J. A. C. (2009). Hadith: Muhammad's
legacy in the medieval and modern world. Oxford: Oneworld.
Brown, J. A. C. (2014). Misquoting Muhammad: The
challenge and choices of interpreting the Prophet’s legacy. Oxford:
Oneworld Publications.
Ibn Hajar al-Asqalani. (1987). Fath al-Bari
Sharh Sahih al-Bukhari (M. F. Abdul Baqi, Ed.). Cairo: Dar al-Ma‘rifah.
Ibn Hajar al-Haytami. (1970). Al-Fatawa
al-Hadithiyyah. Cairo: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Ibn Qayyim al-Jawziyyah. (2005). Madarij
al-Salikin (M. Rashid Salim, Ed.). Cairo: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Ibn Qayyim al-Jawziyyah. (2007). Ighathat
al-Lahfan fi Masayid al-Shaytan (M. al-Khudari, Ed.). Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah.
Ibn Taymiyyah. (1979). Dar’ ta’arud al-‘aql wa
al-naql (M. R. Salim, Ed.). Riyadh: Imam Muhammad Ibn Saud Islamic
University.
Ibn Taymiyyah. (1981). Majmu‘ al-Fatawa (A.
R. bin M. bin Qasim, Ed.). Riyadh: Dar al-Fikr.
Ibn Taymiyyah. (1996). Al-Siyasah al-shar‘iyyah
fi islah al-ra‘i wa al-ra‘iyyah. Cairo: Dar al-Hadith.
Ibn Taymiyyah. (2005). Al-Aqidah Al-Wasithiyyah
(S. M. Al-Luhaydan, Ed.). Riyadh: Maktabah al-Rushd.
Laoust, H. (1939). Essai sur les doctrines
sociales et politiques de Taqi-d-Din Ahmad b. Taymiyya. Cairo: Institut
Français d'Archéologie Orientale.
Lapidus, I. M. (2002). A history of Islamic
societies (2nd ed.). Cambridge: Cambridge University Press.
Makdisi, G. (1973). Ibn Taymiyya: A Sufi of the
Qadiriya order. London: Oxford University Press.
Rentz, G. (1972). Wahhabism and Saudi Arabia.
Oxford: Oxford University Press.
Zahrah, M. A. (1958). Ibn Taymiyyah: Hayatuhu wa
‘asruhu, ara’uhu wa fiqhuhu. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi.
Articles and Chapters:
Maududi, A. A. (1998). Towards understanding
Islam (Z. I. Ansari, Trans.). Lahore: Islamic Publications.
Qutb, S. (1979). Fi Zilal al-Quran (Vol. 2).
Cairo: Dar al-Shuruq.
Al-Subki. (2003). Shifa’ al-siqam fi ziyarah
khayr al-anam. Cairo: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Translated Works:
Muhammad bin Abdul Wahhab. (1992). Kitab
al-Tauhid (S. Al-Fawzan, Ed.). Riyadh: Dar al-Salafiyyah.
Lampiran: Daftar Kitab Rujukan
1)
Ibn Taymiyyah
(1263–1328 M)
·
Majmu‘ al-Fatawa
Kompilasi
fatwa-fatwa Ibn Taymiyyah yang membahas berbagai aspek Islam, seperti akidah,
fikih, politik, dan sosial. Kitab ini menjadi rujukan utama untuk memahami
konsep tauhid, penolakan terhadap bid‘ah, serta pandangan Ibn Taymiyyah
terhadap isu-isu kontemporer pada masanya.
·
Al-Aqidah Al-Wasithiyyah
Kitab yang
menjelaskan akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah, menekankan tauhid murni, dan
menguraikan tentang nama dan sifat Allah sesuai dengan pemahaman salaf. Kitab
ini sering digunakan sebagai rujukan untuk studi akidah.
·
Dar’ Ta’arud al-‘Aql wa al-Naql
Buku
monumental ini membahas hubungan antara akal dan wahyu. Ibn Taymiyyah menolak
keunggulan akal atas wahyu dan membela prinsip bahwa wahyu memiliki otoritas
tertinggi dalam Islam.
·
Kitab al-Tauhid
Sebuah karya
yang menekankan pentingnya tauhid uluhiyah dan rububiyah serta menolak berbagai
bentuk syirik dan tawassul yang tidak sesuai syariat.
·
Al-Siyasah al-Shar‘iyyah fi Islah al-Ra‘i wa al-Ra‘iyyah
Kitab ini
membahas prinsip-prinsip politik Islam, termasuk hubungan antara penguasa dan
rakyat, serta pentingnya menegakkan syariat untuk menciptakan keadilan sosial.
2)
Ibn Qayyim
al-Jawziyyah (1292–1350 M)
·
Madarij al-Salikin
Kitab ini
merupakan tafsir mendalam dari ayat Iyyaka na‘budu wa iyyaka nasta‘in
dalam Al-Fatihah, yang menguraikan perjalanan spiritual seorang Muslim menuju
tauhid yang murni.
·
Ighathat al-Lahfan fi Masayid al-Shaytan
Buku yang
membahas tipu daya setan dalam menyesatkan umat Islam, serta solusi yang
ditawarkan untuk menjaga keimanan.
3)
Imam Ahmad bin
Hanbal (780–855 M)
·
Musnad Ahmad bin Hanbal
Kompilasi
hadis yang sering dijadikan rujukan dalam memahami dalil-dalil tentang ajaran
Salafiyah, khususnya dalam bidang akidah dan praktik ibadah.
4)
Imam Abu Ja‘far
al-Tahawi (843–935 M)
·
Al-Aqidah al-Tahawiyyah
Sebuah
risalah akidah yang menjadi rujukan penting bagi Ahlus Sunnah wal Jamaah,
mendasari banyak pemikiran Ibn Taymiyyah terkait akidah salaf.
5)
Imam al-Barbahari
(w. 941 M)
·
Syarh al-Sunnah
Kitab ini
membahas prinsip-prinsip akidah dan sunnah yang dipahami oleh generasi salaf,
termasuk kritik terhadap bid‘ah.
6)
Imam al-Darimi
(797–869 M)
·
Al-Radd ‘ala al-Jahmiyyah
Karya yang
membantah doktrin Jahmiyyah terkait sifat Allah, memberikan dasar bagi konsep
tauhid asma’ wa sifat yang dikembangkan oleh Ibn Taymiyyah.
7)
Imam al-Bukhari
(810–870 M)
·
Sahih al-Bukhari
Koleksi
hadis sahih yang menjadi landasan penting dalam pemahaman akidah salaf,
terutama dalam hal sifat Allah dan hubungan manusia dengan Allah.
8)
Imam Muslim bin
al-Hajjaj (815–875 M)
·
Sahih Muslim
Salah satu
koleksi hadis sahih yang sering dirujuk oleh Ibn Taymiyyah dalam menjelaskan
akidah dan hukum-hukum Islam.
9)
Imam Ibn al-Jawzi
(1116–1201 M)
·
Talbis Iblis
Sebuah karya
yang membahas berbagai penyimpangan dalam agama Islam, terutama praktik-praktik
bid‘ah, dengan kritik yang tajam dan mendalam.
10)
Imam Ibn Kathir
(1301–1373 M)
·
Tafsir al-Qur’an al-‘Azim
Tafsir yang
mendalam dan berlandaskan metode salaf dalam menafsirkan Al-Quran. Ibn
Taymiyyah sering mengutip pandangan Ibn Kathir terkait tafsir literal ayat-ayat
Al-Quran.
Penjelasan:
Kitab-kitab di atas memberikan fondasi penting
dalam memahami pemikiran Salafiyah Ibn Taymiyyah dan pengaruhnya dalam sejarah
Islam. Sebagian besar karya ini ditulis oleh Ibn Taymiyyah sendiri atau oleh
ulama salaf lainnya yang memberikan dasar bagi pengembangan pemikiran beliau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar