Kamis, 26 Desember 2024

Salafiyah Ibn Taymiyyah: Sejarah, Pemikiran, dan Pengaruhnya dalam Islam

 Salafiyah Ibn Taymiyyah

“Sejarah, Pemikiran, dan Pengaruhnya dalam Islam”


Alihkan ke- WahabiMuhammad bin Abdul Wahab


Relasi dan Independensi antara Salafiyah dan Wahabiyah

Salafiyah dan Wahabiyah sering dianggap saling terkait karena kesamaan dalam misi pemurnian Islam. Namun, keduanya memiliki konteks historis, doktrinal, dan dinamika sosial-politik yang berbeda. Salafiyah adalah gerakan Islam yang lebih luas, berakar pada upaya kembali kepada Al-Qur'an dan Hadis sebagaimana dipahami oleh generasi Salafus Shalih (tiga generasi awal Islam). Gerakan ini menekankan tauhid murni, menjauhi bid'ah, dan berusaha membersihkan praktik Islam dari pengaruh yang dianggap menyimpang. Di sisi lain, Wahabiyah adalah sebuah gerakan spesifik yang lahir di jazirah Arab pada abad ke-18 melalui pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab (1703–1792) yang bekerja sama dengan Dinasti Saud untuk menyebarkan ajarannya secara politik dan agama di wilayah Najd dan sekitarnya.¹

Relasi antara Wahabiyah dan Salafiyah dapat dilihat dalam doktrin-doktrin teologis mereka yang beririsan, terutama dalam penekanan pada tauhid. Wahabiyah sering dianggap sebagai cabang atau manifestasi dari Salafiyah karena keduanya mendasarkan ajarannya pada prinsip-prinsip Salafus Shalih.² Namun, Salafiyah lebih luas cakupannya dan tidak terbatas pada konteks geografis atau historis tertentu. Wahabiyah, di sisi lain, memiliki konteks politik yang spesifik sebagai mitra Dinasti Saud dalam membentuk negara Arab Saudi modern.³

Meskipun Wahabiyah sering dikaitkan dengan Salafiyah, penting untuk mencatat bahwa tidak semua Salafi menyetujui metode Wahabi. Beberapa tokoh Salafiyah kontemporer mengkritik pendekatan Wahabi yang dianggap terlalu keras dalam penegakan hukum dan dalam sikap terhadap praktik-praktik lokal seperti tasawuf.⁴ Sebaliknya, para pendukung Wahabi lebih sering menggunakan istilah "Salafi" untuk menggambarkan diri mereka sendiri, sehingga mengaburkan garis perbedaan antara keduanya. Hal ini menciptakan dinamika unik di mana Wahabiyah sering menjadi sinonim dengan Salafiyah di mata publik, meskipun secara konseptual, Wahabiyah hanya salah satu cabang dari gerakan Salafiyah.⁵

Independensi Salafiyah sebagai gerakan lebih luas terlihat dari keberagaman manifestasi Salafiyah di berbagai dunia Islam, termasuk di Mesir, Yaman, dan Afrika Utara, yang tidak semuanya mengikuti pendekatan keras Wahabi. Salafiyah kontemporer memiliki spektrum mulai dari Salafi yang lebih moderat hingga yang sangat konservatif.⁶ Sebaliknya, Wahabiyah tetap terikat dengan konteks dan karakteristik Najd serta keterlibatan politiknya dengan kerajaan Arab Saudi, yang sering memengaruhi cara pandang dunia terhadap gerakan ini.⁷

Dengan demikian, meskipun Wahabiyah dapat dianggap sebagai bagian dari Salafiyah, keduanya memiliki elemen independen yang menjadikan mereka berbeda secara ideologis, historis, dan sosiologis.


Catatan Kaki

[1]              Hamid Algar, Wahhabism: A Critical Essay (Oneonta, NY: Islamic Publications International, 2002), 14–15.

[2]              Natana J. DeLong-Bas, Wahhabi Islam: From Revival and Reform to Global Jihad (New York: Oxford University Press, 2004), 27.

[3]              John L. Esposito, Islam and Politics (Syracuse, NY: Syracuse University Press, 1998), 45.

[4]              Quintan Wiktorowicz, "Anatomy of the Salafi Movement," Studies in Conflict & Terrorism 29, no. 3 (2006): 207–239.

[5]              Bernard Haykel, "On the Nature of Salafi Thought and Action," in Global Salafism: Islam’s New Religious Movement, ed. Roel Meijer (New York: Columbia University Press, 2009), 40.

[6]              Madawi Al-Rasheed, Contest of Saudi Arabia (New York: Cambridge University Press, 2010), 57.

[7]              David Commins, The Wahhabi Mission and Saudi Arabia (London: I.B. Tauris, 2006), 79–80.


PEMBAHASAN

Salafiyah: Pemikiran Ibn Taymiyyah


1.           Pendahuluan

1.1.       Latar Belakang Topik

Salafiyah merupakan salah satu konsep penting dalam Islam yang merujuk pada pemahaman dan praktik keagamaan yang berpijak pada ajaran para salaf (generasi awal Islam), yakni para sahabat, tabi'in, dan tabi' tabi'in. Pemikiran Salafiyah, seperti yang dirumuskan oleh Ibn Taymiyyah (661-728 H/1263-1328 M), menekankan pentingnya kembali kepada Al-Quran dan Sunnah dengan cara yang sesuai dengan pemahaman generasi pertama Islam.¹

Kemunculan Ibn Taymiyyah sebagai salah satu tokoh sentral dalam pembaruan pemikiran Islam tidak dapat dilepaskan dari konteks sejarahnya. Ibn Taymiyyah hidup pada masa kejatuhan Kekhalifahan Abbasiyah akibat serangan Mongol dan kondisi umat Islam yang menghadapi tantangan internal berupa maraknya penyimpangan akidah, bid‘ah, dan taqlid buta.² Dalam situasi ini, Ibn Taymiyyah menawarkan Salafiyah sebagai solusi untuk mengembalikan kejayaan Islam melalui pemurnian akidah dan reformasi sosial.³

1.2.       Rumusan Masalah

Melalui artikel ini, beberapa pertanyaan utama yang akan dijawab adalah:

1)                 Apa yang dimaksud dengan Salafiyah menurut Ibn Taymiyyah?

2)                 Bagaimana Ibn Taymiyyah membangun konsep pemikiran Salafiyah?

3)                 Apa dampak dan pengaruh pemikiran Salafiyah terhadap perkembangan Islam, baik pada masanya maupun di era modern?

Topik ini relevan untuk dikaji mengingat pentingnya memahami pendekatan Ibn Taymiyyah dalam menyikapi persoalan-persoalan umat Islam, yang terus menjadi rujukan dalam kajian keislaman hingga kini. Sebagai salah satu ulama yang sering kali dianggap kontroversial, Ibn Taymiyyah tidak hanya memberikan kontribusi besar terhadap diskursus teologis, tetapi juga memengaruhi gerakan-gerakan Islam yang lahir setelahnya.⁴

Catatan Kaki

[1]              Ibn Taymiyyah, Majmu‘ al-Fatawa, ed. Abdul Rahman bin Muhammad bin Qasim (Riyadh: Dar al-Fikr, 1981), 1:20.

[2]              Ahmad Amin, Fajr al-Islam (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1969), 256.

[3]              Muhammad Abu Zahrah, Ibn Taymiyyah: Hayatuhu wa ‘Asruhu, Ara’uhu wa Fiqhuhu (Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958), 130.

[4]              Muhammad bin Abdul Wahhab, Kitab al-Tauhid, ed. Salih al-Fawzan (Riyadh: Dar al-Salafiyyah, 1992), 15.


2.           Pengertian dan Sejarah Salafiyah

2.1.       Definisi Salafiyah

Salafiyah adalah istilah yang merujuk pada pemahaman dan praktik Islam berdasarkan Al-Quran dan Sunnah dengan mengikuti metode generasi salaf, yaitu para sahabat, tabi’in, dan tabi’ tabi’in.¹ Dalam terminologi Islam, istilah salaf berarti “pendahulu” atau “leluhur,” dan secara khusus mengacu kepada generasi terbaik umat Islam sebagaimana dijelaskan dalam hadis Nabi Muhammad Saw., “Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian generasi setelahnya, kemudian generasi setelahnya.”² Oleh karena itu, Salafiyah menekankan pentingnya kembali kepada otentisitas Islam sebagaimana yang dipahami oleh generasi awal tanpa mencampurkannya dengan unsur-unsur bid‘ah atau inovasi yang tidak memiliki dasar dalam ajaran Islam.³

Ibn Taymiyyah mendefinisikan Salafiyah sebagai metode untuk menafsirkan teks-teks syar’i secara literal sesuai dengan pemahaman salaf. Ia menolak interpretasi alegoris (ta’wil) yang tidak memiliki dasar dari Al-Quran, Sunnah, atau ijma’ para sahabat.⁴ Bagi Ibn Taymiyyah, Salafiyah adalah jalan menuju pemurnian akidah dan praktik Islam yang benar, karena mengikuti jalan para salaf berarti mengikuti petunjuk Allah dan Rasul-Nya.⁵

2.2.       Sejarah Awal Salafiyah

Pemikiran Salafiyah dapat ditelusuri sejak masa Khulafaurasyidin, ketika para sahabat Nabi berpegang teguh pada ajaran yang murni. Namun, perkembangan pemikiran ini menjadi semakin penting ketika munculnya berbagai aliran teologis dan filosofis seperti Mu’tazilah, Khawarij, dan Syiah yang menantang ajaran Islam ortodoks. Ulama seperti Imam Ahmad bin Hanbal menjadi tokoh sentral dalam mempertahankan akidah salaf melalui perjuangan melawan paham Mu’tazilah dalam kasus Mihnah (pengujian akidah) di abad ke-9 M.⁶

Ibn Taymiyyah, yang hidup pada abad ke-13 M, membangkitkan kembali konsep Salafiyah dalam konteks yang lebih sistematis. Situasi politik dan sosial yang kacau pada masanya, termasuk invasi Mongol dan kejatuhan Baghdad, memunculkan kebutuhan untuk merumuskan kembali identitas Islam yang kuat dan murni.⁷ Dalam karya-karyanya seperti Majmu‘ al-Fatawa dan Al-Aqidah Al-Wasithiyyah, Ibn Taymiyyah menekankan perlunya merujuk pada Al-Quran dan Sunnah dengan pemahaman generasi salaf sebagai jalan untuk menyatukan umat Islam.⁸

Selain itu, Ibn Taymiyyah juga menolak pengaruh filsafat Yunani dan ilmu kalam yang dianggapnya telah mencemari kemurnian Islam.⁹ Ia berpendapat bahwa pendekatan rasional semata dalam memahami agama hanya akan menjauhkan umat dari ajaran Islam yang murni. Dengan demikian, Salafiyah yang ia bangun bukan hanya sebagai metode teologis, tetapi juga sebagai gerakan pembaruan untuk menghadapi tantangan intelektual dan spiritual umat Islam pada masanya.¹⁰

Catatan Kaki

[1]              Ibn Taymiyyah, Majmu‘ al-Fatawa, ed. Abdul Rahman bin Muhammad bin Qasim (Riyadh: Dar al-Fikr, 1981), 3:12.

[2]              Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Kitab al-Fadha’il, Bab 7, Hadis no. 2652.

[3]              Muhammad Abu Zahrah, Ibn Taymiyyah: Hayatuhu wa ‘Asruhu, Ara’uhu wa Fiqhuhu (Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958), 102.

[4]              Ibn Taymiyyah, Dar’ Ta’arud al-‘Aql wa al-Naql, ed. Muhammad Rashad Salim (Riyadh: Imam Muhammad Ibn Saud Islamic University, 1979), 1:81.

[5]              Ahmad Amin, Zuhur al-Islam (Cairo: Dar al-Kutub al-Misriyyah, 1954), 3:124.

[6]              Jonathan A.C. Brown, Hadith: Muhammad’s Legacy in the Medieval and Modern World (Oxford: Oneworld, 2009), 129.

[7]              Ira Lapidus, A History of Islamic Societies (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 232.

[8]              Ibn Taymiyyah, Al-Aqidah Al-Wasithiyyah, ed. Salih bin Muhammad Al-Luhaydan (Riyadh: Maktabah al-Rushd, 2005), 21.

[9]              George Makdisi, Ibn Taymiyya: A Sufi of the Qadiriya Order (London: Oxford University Press, 1973), 65.

[10]          Henri Laoust, Essai sur les doctrines sociales et politiques de Taqi-d-Din Ahmad b. Taymiyya (Cairo: Institut Français d'Archéologie Orientale, 1939), 87.


3.           Ibn Taymiyyah dan Perkembangan Salafiyah

3.1.       Biografi Singkat Ibn Taymiyyah

Ibn Taymiyyah, bernama lengkap Taqi al-Din Ahmad bin Abdul Halim al-Harrani al-Hanbali, lahir pada 661 H/1263 M di Harran, wilayah yang kini masuk dalam perbatasan Turki.¹ Pada usia dini, keluarganya pindah ke Damaskus untuk menghindari invasi Mongol. Di Damaskus, Ibn Taymiyyah mendapatkan pendidikan mendalam dalam berbagai disiplin ilmu Islam, termasuk fikih, tafsir, hadits, dan bahasa Arab, di bawah bimbingan ulama terkemuka.²

Konteks sosial dan politik yang dihadapi Ibn Taymiyyah sangat memengaruhi pemikirannya. Kekacauan akibat invasi Mongol, kelemahan kekhalifahan, dan maraknya penyimpangan akidah menjadikan Ibn Taymiyyah sangat berfokus pada upaya pemurnian Islam.³ Ia tidak hanya seorang ulama, tetapi juga seorang aktivis sosial yang memperjuangkan keadilan, seperti ketika ia menentang pembayaran upeti kepada Mongol dan memimpin jihad melawan mereka.⁴

3.2.       Konsep Pemikiran Salafiyah

Ibn Taymiyyah adalah salah satu ulama yang merumuskan konsep Salafiyah secara sistematis. Menurutnya, Salafiyah adalah metode beragama yang berpijak pada Al-Quran, Sunnah, dan pemahaman generasi salaf. Ia menekankan tiga prinsip utama dalam konsep Salafiyah:

1)                  Tauhid yang Murni

Ibn Taymiyyah membagi tauhid menjadi tiga aspek utama: tauhid rububiyah (mengakui Allah sebagai Pencipta), tauhid uluhiyah (menyembah Allah semata), dan tauhid asma’ wa sifat (mengimani nama dan sifat Allah sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran dan Sunnah tanpa melakukan tahrif, ta’til, takyif, atau tamtsil).⁵ Ia menentang keras praktik syirik seperti tawassul yang menyimpang dan ziarah kubur dengan niat beribadah.⁶

2)                  Penolakan terhadap Bid‘ah

Ibn Taymiyyah menolak segala bentuk inovasi dalam agama yang tidak memiliki dasar dari Al-Quran dan Sunnah. Bid‘ah dianggap sebagai penyebab utama kemunduran umat Islam.⁷

3)                  Metodologi Tafsir

Ibn Taymiyyah menolak penggunaan ilmu kalam dan pendekatan filsafat dalam menafsirkan teks agama. Sebaliknya, ia mengedepankan pendekatan literal (zahir) dan menekankan pentingnya merujuk kepada tafsir salaf.⁸

3.3.       Strategi Dakwah Ibn Taymiyyah

Dalam upayanya menyebarkan ajaran Salafiyah, Ibn Taymiyyah menggunakan berbagai strategi, di antaranya:

1)                  Penulisan Karya Ilmiah

Ibn Taymiyyah meninggalkan warisan intelektual yang besar, seperti Majmu‘ al-Fatawa, Al-Aqidah Al-Wasithiyyah, dan Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyyah.⁹ Karya-karyanya tidak hanya membahas akidah, tetapi juga hukum Islam, politik, dan sosial.

2)                  Debat dan Dialog

Ibn Taymiyyah dikenal sering berdebat dengan kelompok Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Sufi ekstremis untuk mempertahankan akidah Salafiyah. Salah satu perdebatan terkenalnya adalah menentang doktrin hulul (inkarnasi Tuhan dalam makhluk) yang diajarkan oleh sebagian sufi.¹⁰

3)                  Kepemimpinan dalam Krisis

Ibn Taymiyyah mengambil peran sebagai pemimpin umat dalam menghadapi ancaman eksternal, seperti invasi Mongol. Ia menegaskan bahwa jihad melawan penguasa zalim yang mengaku Muslim tetapi tidak menerapkan syariat adalah wajib.¹¹

Catatan Kaki

[1]              Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Madarij al-Salikin, ed. Muhammad Hammad (Cairo: Dar al-Hadith, 2005), 1:12.

[2]              Henri Laoust, Essai sur les doctrines sociales et politiques de Taqi-d-Din Ahmad b. Taymiyya (Cairo: Institut Français d'Archéologie Orientale, 1939), 22.

[3]              Ira Lapidus, A History of Islamic Societies (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 232.

[4]              Ahmad Amin, Zuhur al-Islam (Cairo: Dar al-Kutub al-Misriyyah, 1954), 3:124.

[5]              Ibn Taymiyyah, Kitab al-Tauhid, ed. Muhammad Rashid Salim (Riyadh: Maktabah al-Rushd, 1997), 12.

[6]              Muhammad Abu Zahrah, Ibn Taymiyyah: Hayatuhu wa ‘Asruhu, Ara’uhu wa Fiqhuhu (Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958), 112.

[7]              Ibn Taymiyyah, Al-Istiqamah, ed. Muhammad al-Khudari (Riyadh: Dar al-Hadith, 1996), 32.

[8]              George Makdisi, Ibn Taymiyya: A Sufi of the Qadiriya Order (London: Oxford University Press, 1973), 65.

[9]              Ibn Taymiyyah, Majmu‘ al-Fatawa, ed. Abdul Rahman bin Muhammad bin Qasim (Riyadh: Dar al-Fikr, 1981), 4:25.

[10]          Henri Laoust, Essai sur les doctrines sociales et politiques de Taqi-d-Din Ahmad b. Taymiyya (Cairo: Institut Français d'Archéologie Orientale, 1939), 88.

[11]          Ira Lapidus, A History of Islamic Societies (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 233.


4.           Salafiyah Ibn Taymiyyah dalam Perspektif Teologi Islam

4.1.       Pandangan Ibn Taymiyyah terhadap Ilmu Kalam

Ibn Taymiyyah memiliki pandangan yang sangat kritis terhadap ilmu kalam, yaitu disiplin ilmu yang mengandalkan logika dan filsafat dalam memahami akidah Islam.¹ Menurutnya, ilmu kalam cenderung menjauhkan umat Islam dari ajaran yang murni karena memasukkan unsur-unsur pemikiran asing, seperti filsafat Yunani, ke dalam teologi Islam.² Ia berpendapat bahwa penggunaan logika semata dalam memahami sifat-sifat Allah berpotensi menimbulkan kerancuan dan kontradiksi dengan teks-teks Al-Quran dan Sunnah.³

Dalam karyanya, Dar’ Ta’arud al-‘Aql wa al-Naql, Ibn Taymiyyah menolak dikotomi antara akal dan wahyu yang sering dikemukakan oleh ahli kalam.⁴ Ia menegaskan bahwa akal harus tunduk kepada wahyu dan tidak boleh mendahuluinya, karena wahyu adalah sumber kebenaran mutlak.⁵ Ibn Taymiyyah mengkritik keras kelompok Mu‘tazilah yang terlalu mengagungkan akal dan kelompok Asy‘ariyah yang ia anggap tidak konsisten dalam penggunaan logika.⁶

4.2.       Konsep Tauhid Ibn Taymiyyah

Dalam teologi Islam, Ibn Taymiyyah dikenal karena penjelasannya yang mendalam tentang konsep tauhid. Ia membagi tauhid menjadi tiga aspek utama:

1)                  Tauhid Rububiyah:

Mengakui Allah sebagai satu-satunya Pencipta, Pemelihara, dan Pengatur alam semesta. Ibn Taymiyyah menjelaskan bahwa tauhid rububiyah diterima oleh semua manusia secara fitrah, bahkan oleh orang-orang kafir.⁷

2)                  Tauhid Uluhiyah:

Mengesakan Allah dalam ibadah. Ibn Taymiyyah menekankan bahwa tauhid uluhiyah adalah inti dari dakwah para nabi dan bahwa penyimpangan dalam tauhid ini, seperti syirik, adalah penyebab utama kebinasaan manusia.⁸

3)                  Tauhid Asma’ wa Sifat:

Mengimani nama dan sifat Allah sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran dan Sunnah tanpa melakukan tahrif (penyimpangan makna), ta’til (menafikan sifat), takyif (mempertanyakan bagaimana sifat itu), atau tamtsil (menyerupakan sifat Allah dengan makhluk).⁹

Ibn Taymiyyah secara khusus menolak penafsiran alegoris (ta’wil) terhadap sifat-sifat Allah yang dilakukan oleh sebagian kelompok ahli kalam.¹⁰ Baginya, sifat-sifat Allah harus dipahami sesuai dengan makna zahir teks, sebagaimana dipahami oleh generasi salaf.¹¹

4.3.       Peran Akidah Salafiyah dalam Kehidupan Umat

Ibn Taymiyyah menekankan bahwa akidah Salafiyah bukan hanya merupakan aspek teoretis, tetapi juga harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari umat Islam.¹² Ia menganggap bahwa penerapan tauhid secara benar akan menghasilkan masyarakat yang berkeadilan, harmonis, dan tunduk pada syariat Allah.¹³

Menurut Ibn Taymiyyah, salah satu implikasi dari akidah Salafiyah adalah jihad dalam membela Islam.¹⁴ Ia menegaskan bahwa jihad bukan hanya berarti perang fisik, tetapi juga mencakup upaya intelektual untuk melawan penyimpangan pemikiran yang mengancam kemurnian Islam.¹⁵ Selain itu, Ibn Taymiyyah juga menyerukan pentingnya amar ma’ruf nahi munkar sebagai kewajiban kolektif umat Islam dalam menjaga kemurnian agama dan memperbaiki masyarakat.¹⁶

Catatan Kaki

[1]              Ibn Taymiyyah, Dar’ Ta’arud al-‘Aql wa al-Naql, ed. Muhammad Rashad Salim (Riyadh: Imam Muhammad Ibn Saud Islamic University, 1979), 1:51.

[2]              Henri Laoust, Essai sur les doctrines sociales et politiques de Taqi-d-Din Ahmad b. Taymiyya (Cairo: Institut Français d'Archéologie Orientale, 1939), 112.

[3]              Ahmad Amin, Zuhur al-Islam (Cairo: Dar al-Kutub al-Misriyyah, 1954), 3:214.

[4]              Ibn Taymiyyah, Dar’ Ta’arud al-‘Aql wa al-Naql, 1:72.

[5]              George Makdisi, Ibn Taymiyya: A Sufi of the Qadiriya Order (London: Oxford University Press, 1973), 93.

[6]              Jonathan A.C. Brown, Misquoting Muhammad: The Challenge and Choices of Interpreting the Prophet’s Legacy (Oxford: Oneworld Publications, 2014), 187.

[7]              Ibn Taymiyyah, Kitab al-Tauhid, ed. Muhammad Rashid Salim (Riyadh: Maktabah al-Rushd, 1997), 21.

[8]              Muhammad Abu Zahrah, Ibn Taymiyyah: Hayatuhu wa ‘Asruhu, Ara’uhu wa Fiqhuhu (Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958), 134.

[9]              Ibn Taymiyyah, Majmu‘ al-Fatawa, ed. Abdul Rahman bin Muhammad bin Qasim (Riyadh: Dar al-Fikr, 1981), 3:89.

[10]          George Makdisi, Ibn Taymiyya: A Sufi of the Qadiriya Order, 82.

[11]          Ibn Taymiyyah, Al-Aqidah Al-Wasithiyyah, ed. Salih bin Muhammad Al-Luhaydan (Riyadh: Maktabah al-Rushd, 2005), 14.

[12]          Muhammad Abu Zahrah, Ibn Taymiyyah: Hayatuhu wa ‘Asruhu, Ara’uhu wa Fiqhuhu, 162.

[13]          Ira Lapidus, A History of Islamic Societies (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 233.

[14]          Ibn Taymiyyah, Al-Siyasah al-Shar‘iyyah fi Islah al-Ra‘i wa al-Ra‘iyyah (Cairo: Dar al-Hadith, 1997), 45.

[15]          Henri Laoust, Essai sur les doctrines sociales et politiques de Taqi-d-Din Ahmad b. Taymiyya, 87.

[16]          Ibn Taymiyyah, Amar Ma‘ruf Nahi Munkar, ed. Muhammad al-Khudari (Cairo: Dar al-Salam, 1996), 15.


5.           Pengaruh Salafiyah Ibn Taymiyyah dalam Sejarah Islam

5.1.       Pengaruh terhadap Ulama dan Gerakan Islam

Pemikiran Ibn Taymiyyah tentang Salafiyah memiliki pengaruh yang signifikan terhadap ulama dan gerakan Islam di berbagai zaman. Setelah wafatnya, ajaran-ajarannya diteruskan oleh murid-muridnya, seperti Ibn Qayyim al-Jawziyyah, yang menyebarluaskan pemikiran-pemikiran tersebut melalui karya-karyanya.¹ Ibn Qayyim, misalnya, memperluas konsep tauhid dan penolakannya terhadap bid‘ah dalam buku-buku seperti Madarij al-Salikin dan Ighathat al-Lahfan

Pada abad ke-18, Muhammad bin Abdul Wahhab, seorang ulama dari Najd, menghidupkan kembali ajaran Salafiyah Ibn Taymiyyah melalui gerakan reformasi yang dikenal sebagai Wahhabiyah.³ Gerakan ini mengadopsi banyak prinsip Ibn Taymiyyah, seperti pemurnian tauhid, penolakan terhadap praktik syirik, dan penekanan pada kembali kepada Al-Quran dan Sunnah sesuai pemahaman salaf. Wahhabiyah kemudian menjadi kekuatan besar dalam pembentukan Kerajaan Arab Saudi.⁴

Selain itu, ide-ide Ibn Taymiyyah juga menginspirasi banyak gerakan Islam kontemporer, seperti Jamaat-e-Islami di Asia Selatan yang didirikan oleh Abul A'la Maududi dan Ikhwanul Muslimin di Mesir yang dipimpin oleh Hasan al-Banna.⁵ Meskipun tidak sepenuhnya identik, kedua gerakan ini menekankan pentingnya penerapan syariat Islam dalam kehidupan individu dan masyarakat, konsep yang selaras dengan visi Ibn Taymiyyah tentang Islam sebagai sistem yang holistik.⁶

5.2.       Hubungan dengan Wahhabiyah

Wahhabiyah, yang sering dianggap sebagai penerus langsung Salafiyah Ibn Taymiyyah, mengadopsi banyak prinsipnya, termasuk pendekatan literal terhadap Al-Quran dan Sunnah, serta perlawanan terhadap tradisi Sufi yang dianggap menyimpang.⁷ Muhammad bin Abdul Wahhab sering mengutip karya Ibn Taymiyyah untuk mendukung argumen-argumen teologisnya, terutama dalam hal menentang praktik-praktik seperti tawassul dan tabarruk.⁸ Pengaruh Ibn Taymiyyah dapat dilihat dalam kitab Kitab al-Tauhid, karya utama Muhammad bin Abdul Wahhab, yang mengacu pada banyak ide Ibn Taymiyyah mengenai kemurnian tauhid.⁹

5.3.       Relevansi dalam Konteks Modern

Pemikiran Salafiyah Ibn Taymiyyah tetap relevan dalam menjawab tantangan kontemporer umat Islam, terutama dalam menghadapi pengaruh sekularisme, modernisme, dan globalisasi.¹⁰ Banyak intelektual Muslim yang menggunakan metode Ibn Taymiyyah dalam membangun argumen teologis dan sosial yang sesuai dengan kebutuhan zaman.¹¹ Misalnya, para ulama kontemporer seperti Sayyid Qutb mengadopsi prinsip-prinsip Ibn Taymiyyah dalam menekankan pentingnya kedaulatan Allah (hakimiyyah) dan menolak segala bentuk hukum yang tidak berasal dari syariat.¹²

Namun, pengaruh Ibn Taymiyyah juga tidak luput dari kontroversi, terutama terkait dengan interpretasi Salafiyah yang dianggap eksklusif dan keras oleh sebagian pihak.¹³ Beberapa kelompok ekstremis mengklaim inspirasi dari Ibn Taymiyyah untuk membenarkan tindakan mereka, meskipun banyak ulama berpendapat bahwa tindakan-tindakan tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip Salafiyah yang sejati.¹⁴

Catatan Kaki

[1]              Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Madarij al-Salikin, ed. Muhammad Rashid Salim (Cairo: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), 1:15.

[2]              Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Ighathat al-Lahfan fi Masayid al-Shaytan, ed. Muhammad al-Khudari (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2007), 2:92.

[3]              Muhammad bin Abdul Wahhab, Kitab al-Tauhid, ed. Salih al-Fawzan (Riyadh: Dar al-Salafiyyah, 1992), 5.

[4]              George Rentz, Wahhabism and Saudi Arabia (Oxford: Oxford University Press, 1972), 14.

[5]              Hasan al-Banna, Risalat al-Ta‘lim (Cairo: Dar al-Da’wah, 1984), 27.

[6]              Abul A’la Maududi, Towards Understanding Islam, trans. Zafar Ishaq Ansari (Lahore: Islamic Publications, 1998), 42.

[7]              Henri Laoust, Essai sur les doctrines sociales et politiques de Taqi-d-Din Ahmad b. Taymiyya (Cairo: Institut Français d'Archéologie Orientale, 1939), 78.

[8]              Muhammad bin Abdul Wahhab, Kitab al-Tauhid, 19.

[9]              Ibid.

[10]          Muhammad Abu Zahrah, Ibn Taymiyyah: Hayatuhu wa ‘Asruhu, Ara’uhu wa Fiqhuhu (Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958), 204.

[11]          Jonathan A.C. Brown, Misquoting Muhammad: The Challenge and Choices of Interpreting the Prophet’s Legacy (Oxford: Oneworld Publications, 2014), 221.

[12]          Sayyid Qutb, Fi Zilal al-Quran, ed. Muhammad al-Mawardi (Cairo: Dar al-Shuruq, 1979), 2:24.

[13]          Ira Lapidus, A History of Islamic Societies (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 251.

[14]          Khaled Abou El Fadl, The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists (New York: HarperSanFrancisco, 2005), 89.


6.           Kritik dan Kontroversi

6.1.       Kritik Terhadap Pemikiran Ibn Taymiyyah

Pemikiran Ibn Taymiyyah tentang Salafiyah tidak luput dari kritik, baik dari ulama sezaman maupun generasi berikutnya. Salah satu kritik utama berasal dari ulama Asy‘ariyah dan Maturidiyah, yang memandang pendekatan literal Ibn Taymiyyah terhadap sifat-sifat Allah sebagai bentuk tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk).¹ Mereka menilai bahwa Ibn Taymiyyah tidak memberikan ruang yang memadai bagi interpretasi alegoris (ta’wil) yang telah diterima secara luas dalam teologi Sunni.²

Selain itu, Ibn Taymiyyah juga dikritik karena pandangannya yang dianggap ekstrem terhadap bid‘ah. Banyak ulama Syafi‘iyah dan Malikiyah, seperti Al-Subki dan Ibn Hajar al-Haytami, menolak keras pandangan Ibn Taymiyyah yang menggeneralisasi semua praktik baru dalam agama sebagai bid‘ah yang sesat.³ Sebagai contoh, Ibn Hajar al-Haytami menyebut Ibn Taymiyyah sebagai “seseorang yang pemikirannya membingungkan umat.”⁴

Ibn Taymiyyah juga menghadapi perlawanan dalam masalah ziarah kubur. Pandangannya yang melarang ziarah ke makam Nabi Muhammad Saw. tanpa niat khusus untuk berdoa kepada Allah dianggap terlalu ketat dan menimbulkan kontroversi besar di kalangan ulama.⁵ Beberapa ulama menyebutnya sebagai bentuk penghinaan terhadap tradisi Islam yang telah berlangsung lama.⁶

6.2.       Kontroversi dalam Pemahaman Salafiyah

Pemikiran Ibn Taymiyyah tentang Salafiyah juga telah memicu berbagai interpretasi yang berujung pada kontroversi. Sebagian pihak, terutama kelompok-kelompok ekstremis, mengklaim bahwa ajaran Ibn Taymiyyah mendukung pendekatan eksklusif dan keras dalam beragama.⁷ Misalnya, pemikiran Ibn Taymiyyah tentang jihad sering kali disalahgunakan oleh kelompok radikal untuk membenarkan aksi kekerasan terhadap pemerintah Muslim yang dianggap tidak menerapkan syariat secara murni.⁸ Namun, banyak ulama modern seperti Khaled Abou El Fadl menegaskan bahwa Ibn Taymiyyah sebenarnya tidak mendukung ekstremisme, melainkan mengedepankan pendekatan yang kontekstual dan berbasis ijtihad.⁹

Salah satu aspek yang kontroversial adalah pandangan Ibn Taymiyyah tentang pemberontakan terhadap pemimpin Muslim. Dalam beberapa karyanya, ia menegaskan bahwa jihad melawan pemimpin yang zalim dapat dibenarkan dalam kondisi tertentu.¹⁰ Pandangan ini telah menjadi dasar argumen bagi beberapa kelompok oposisi politik di dunia Muslim modern, yang mengklaim bahwa mereka meneruskan semangat reformasi Ibn Taymiyyah.¹¹

6.3.       Respons terhadap Kritik

Ibn Taymiyyah secara aktif membela pandangannya dalam berbagai karya tulisnya. Dalam Dar’ Ta‘arud al-‘Aql wa al-Naql, ia menjelaskan bahwa pendekatan literal terhadap teks Al-Quran dan Sunnah tidak berarti melakukan tasybih, melainkan memahami sifat-sifat Allah sebagaimana yang dikehendaki oleh syariat tanpa menambah atau mengurangi maknanya.¹²

Selain itu, Ibn Taymiyyah juga menegaskan bahwa kritik terhadap bid‘ah bukan berarti menolak segala bentuk inovasi secara total, melainkan hanya menentang inovasi yang berkaitan dengan akidah dan ibadah tanpa dasar yang jelas dalam Al-Quran dan Sunnah.¹³ Ia berargumen bahwa kebanyakan kritik terhadapnya muncul dari kesalahpahaman atau penyalahartian pandangannya.¹⁴

Catatan Kaki

[1]              Al-Subki, Shifa’ al-Siqam fi Ziyarah Khayr al-Anam (Cairo: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003), 15.

[2]              Ibn Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari Sharh Sahih al-Bukhari, ed. Muhammad Fu’ad Abdul Baqi (Cairo: Dar al-Ma‘rifah, 1987), 3:90.

[3]              Ibn Hajar al-Haytami, Al-Fatawa al-Hadithiyyah (Cairo: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1970), 130.

[4]              Ibid., 132.

[5]              Muhammad Abu Zahrah, Ibn Taymiyyah: Hayatuhu wa ‘Asruhu, Ara’uhu wa Fiqhuhu (Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958), 178.

[6]              George Makdisi, Ibn Taymiyya: A Sufi of the Qadiriya Order (London: Oxford University Press, 1973), 81.

[7]              Henri Laoust, Essai sur les doctrines sociales et politiques de Taqi-d-Din Ahmad b. Taymiyya (Cairo: Institut Français d'Archéologie Orientale, 1939), 117.

[8]              Khaled Abou El Fadl, The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists (New York: HarperSanFrancisco, 2005), 92.

[9]              Ibid., 94.

[10]          Ibn Taymiyyah, Al-Siyasah al-Shar‘iyyah fi Islah al-Ra‘i wa al-Ra‘iyyah (Cairo: Dar al-Hadith, 1997), 65.

[11]          Ira Lapidus, A History of Islamic Societies (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 254.

[12]          Ibn Taymiyyah, Dar’ Ta’arud al-‘Aql wa al-Naql, ed. Muhammad Rashad Salim (Riyadh: Imam Muhammad Ibn Saud Islamic University, 1979), 1:61.

[13]          Ibn Taymiyyah, Majmu‘ al-Fatawa, ed. Abdul Rahman bin Muhammad bin Qasim (Riyadh: Dar al-Fikr, 1981), 4:89.

[14]          Ibid., 4:91.


7.           Kesimpulan dan Penutup

7.1.       Rangkuman Utama

Salafiyah yang dirumuskan oleh Ibn Taymiyyah merupakan upaya sistematis untuk memurnikan ajaran Islam dengan kembali kepada Al-Quran dan Sunnah sesuai pemahaman generasi salaf.¹ Dalam menghadapi tantangan teologis dan sosial pada masanya, Ibn Taymiyyah memberikan penekanan pada prinsip-prinsip tauhid, penolakan terhadap bid‘ah, dan pentingnya memahami teks agama secara literal.²

Pemikiran Salafiyah Ibn Taymiyyah tidak hanya berdampak pada zamannya, tetapi juga membentuk dasar bagi banyak gerakan Islam di kemudian hari, seperti Wahhabiyah dan berbagai gerakan reformasi Islam modern.³ Warisannya mencakup pandangan teologis yang jelas dan aplikatif, metode dakwah yang efektif, serta komitmen untuk menjaga kemurnian agama dari pengaruh luar.⁴ Namun, pandangannya juga menimbulkan kontroversi dan kritik, terutama dari ulama yang memiliki pendekatan berbeda terhadap teologi Islam.⁵

7.2.       Implikasi bagi Studi Islam

Studi tentang Salafiyah Ibn Taymiyyah penting tidak hanya untuk memahami pemikiran teologisnya, tetapi juga untuk mengevaluasi bagaimana pendekatannya dapat diterapkan dalam menjawab tantangan kontemporer umat Islam. Pendekatan Ibn Taymiyyah yang mengedepankan pemahaman literal, kontekstual, dan ijtihad independen menawarkan model alternatif bagi umat Islam yang ingin memahami agama secara mendalam.⁶

Namun, penerapan pemikiran Ibn Taymiyyah harus dilakukan dengan hati-hati, mengingat beberapa interpretasi ekstrem terhadap ajarannya dapat menimbulkan kesalahpahaman atau penyalahgunaan.⁷ Ulama dan cendekiawan perlu mengkaji warisannya secara komprehensif dan obyektif agar pemikiran tersebut dapat digunakan untuk membangun masyarakat yang harmonis dan taat syariat.⁸

7.3.       Penutup

Salafiyah Ibn Taymiyyah adalah bagian integral dari tradisi intelektual Islam yang terus relevan hingga hari ini. Dengan menekankan prinsip-prinsip Islam yang murni, ia menawarkan solusi terhadap berbagai penyimpangan teologis dan sosial yang dihadapi umat.⁹ Meski menimbulkan perdebatan, pemikiran Ibn Taymiyyah telah memberikan kontribusi besar dalam membentuk kerangka teologi dan praktik Islam yang berbasis pada prinsip-prinsip yang jelas dan tegas.¹⁰

Kajian mendalam terhadap Salafiyah Ibn Taymiyyah bukan hanya relevan bagi dunia akademik, tetapi juga penting dalam membangun pemahaman keislaman yang inklusif dan kontekstual di era modern. Dengan demikian, pemikiran Ibn Taymiyyah tetap menjadi sumber inspirasi bagi umat Islam dalam menjaga keutuhan akidah dan syariat.¹¹

Catatan Kaki

[1]              Ibn Taymiyyah, Majmu‘ al-Fatawa, ed. Abdul Rahman bin Muhammad bin Qasim (Riyadh: Dar al-Fikr, 1981), 3:20.

[2]              Muhammad Abu Zahrah, Ibn Taymiyyah: Hayatuhu wa ‘Asruhu, Ara’uhu wa Fiqhuhu (Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958), 135.

[3]              George Rentz, Wahhabism and Saudi Arabia (Oxford: Oxford University Press, 1972), 14.

[4]              Henri Laoust, Essai sur les doctrines sociales et politiques de Taqi-d-Din Ahmad b. Taymiyya (Cairo: Institut Français d'Archéologie Orientale, 1939), 78.

[5]              Ibn Hajar al-Haytami, Al-Fatawa al-Hadithiyyah (Cairo: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1970), 132.

[6]              Ira Lapidus, A History of Islamic Societies (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 251.

[7]              Khaled Abou El Fadl, The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists (New York: HarperSanFrancisco, 2005), 94.

[8]              Jonathan A.C. Brown, Misquoting Muhammad: The Challenge and Choices of Interpreting the Prophet’s Legacy (Oxford: Oneworld Publications, 2014), 221.

[9]              Ibn Taymiyyah, Dar’ Ta’arud al-‘Aql wa al-Naql, ed. Muhammad Rashad Salim (Riyadh: Imam Muhammad Ibn Saud Islamic University, 1979), 1:45.

[10]          Muhammad bin Abdul Wahhab, Kitab al-Tauhid, ed. Salih al-Fawzan (Riyadh: Dar al-Salafiyyah, 1992), 19.

[11]          Henri Laoust, Essai sur les doctrines sociales et politiques de Taqi-d-Din Ahmad b. Taymiyya, 87.


Daftar Pustaka

Books:

Abou El Fadl, K. (2005). The great theft: Wrestling Islam from the extremists. HarperSanFrancisco.

Amin, A. (1954). Zuhur al-Islam (Vol. 3). Cairo: Dar al-Kutub al-Misriyyah.

Brown, J. A. C. (2009). Hadith: Muhammad's legacy in the medieval and modern world. Oxford: Oneworld.

Brown, J. A. C. (2014). Misquoting Muhammad: The challenge and choices of interpreting the Prophet’s legacy. Oxford: Oneworld Publications.

Ibn Hajar al-Asqalani. (1987). Fath al-Bari Sharh Sahih al-Bukhari (M. F. Abdul Baqi, Ed.). Cairo: Dar al-Ma‘rifah.

Ibn Hajar al-Haytami. (1970). Al-Fatawa al-Hadithiyyah. Cairo: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Ibn Qayyim al-Jawziyyah. (2005). Madarij al-Salikin (M. Rashid Salim, Ed.). Cairo: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Ibn Qayyim al-Jawziyyah. (2007). Ighathat al-Lahfan fi Masayid al-Shaytan (M. al-Khudari, Ed.). Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Ibn Taymiyyah. (1979). Dar’ ta’arud al-‘aql wa al-naql (M. R. Salim, Ed.). Riyadh: Imam Muhammad Ibn Saud Islamic University.

Ibn Taymiyyah. (1981). Majmu‘ al-Fatawa (A. R. bin M. bin Qasim, Ed.). Riyadh: Dar al-Fikr.

Ibn Taymiyyah. (1996). Al-Siyasah al-shar‘iyyah fi islah al-ra‘i wa al-ra‘iyyah. Cairo: Dar al-Hadith.

Ibn Taymiyyah. (2005). Al-Aqidah Al-Wasithiyyah (S. M. Al-Luhaydan, Ed.). Riyadh: Maktabah al-Rushd.

Laoust, H. (1939). Essai sur les doctrines sociales et politiques de Taqi-d-Din Ahmad b. Taymiyya. Cairo: Institut Français d'Archéologie Orientale.

Lapidus, I. M. (2002). A history of Islamic societies (2nd ed.). Cambridge: Cambridge University Press.

Makdisi, G. (1973). Ibn Taymiyya: A Sufi of the Qadiriya order. London: Oxford University Press.

Rentz, G. (1972). Wahhabism and Saudi Arabia. Oxford: Oxford University Press.

Zahrah, M. A. (1958). Ibn Taymiyyah: Hayatuhu wa ‘asruhu, ara’uhu wa fiqhuhu. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi.

Articles and Chapters:

Maududi, A. A. (1998). Towards understanding Islam (Z. I. Ansari, Trans.). Lahore: Islamic Publications.

Qutb, S. (1979). Fi Zilal al-Quran (Vol. 2). Cairo: Dar al-Shuruq.

Al-Subki. (2003). Shifa’ al-siqam fi ziyarah khayr al-anam. Cairo: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Translated Works:

Muhammad bin Abdul Wahhab. (1992). Kitab al-Tauhid (S. Al-Fawzan, Ed.). Riyadh: Dar al-Salafiyyah.


Lampiran: Daftar Kitab Rujukan

1)           Ibn Taymiyyah (1263–1328 M)

·            Majmu‘ al-Fatawa

Kompilasi fatwa-fatwa Ibn Taymiyyah yang membahas berbagai aspek Islam, seperti akidah, fikih, politik, dan sosial. Kitab ini menjadi rujukan utama untuk memahami konsep tauhid, penolakan terhadap bid‘ah, serta pandangan Ibn Taymiyyah terhadap isu-isu kontemporer pada masanya.

·            Al-Aqidah Al-Wasithiyyah

Kitab yang menjelaskan akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah, menekankan tauhid murni, dan menguraikan tentang nama dan sifat Allah sesuai dengan pemahaman salaf. Kitab ini sering digunakan sebagai rujukan untuk studi akidah.

·            Dar’ Ta’arud al-‘Aql wa al-Naql

Buku monumental ini membahas hubungan antara akal dan wahyu. Ibn Taymiyyah menolak keunggulan akal atas wahyu dan membela prinsip bahwa wahyu memiliki otoritas tertinggi dalam Islam.

·            Kitab al-Tauhid

Sebuah karya yang menekankan pentingnya tauhid uluhiyah dan rububiyah serta menolak berbagai bentuk syirik dan tawassul yang tidak sesuai syariat.

·            Al-Siyasah al-Shar‘iyyah fi Islah al-Ra‘i wa al-Ra‘iyyah

Kitab ini membahas prinsip-prinsip politik Islam, termasuk hubungan antara penguasa dan rakyat, serta pentingnya menegakkan syariat untuk menciptakan keadilan sosial.

2)           Ibn Qayyim al-Jawziyyah (1292–1350 M)

·            Madarij al-Salikin

Kitab ini merupakan tafsir mendalam dari ayat Iyyaka na‘budu wa iyyaka nasta‘in dalam Al-Fatihah, yang menguraikan perjalanan spiritual seorang Muslim menuju tauhid yang murni.

·            Ighathat al-Lahfan fi Masayid al-Shaytan

Buku yang membahas tipu daya setan dalam menyesatkan umat Islam, serta solusi yang ditawarkan untuk menjaga keimanan.

3)           Imam Ahmad bin Hanbal (780–855 M)

·            Musnad Ahmad bin Hanbal

Kompilasi hadis yang sering dijadikan rujukan dalam memahami dalil-dalil tentang ajaran Salafiyah, khususnya dalam bidang akidah dan praktik ibadah.

4)           Imam Abu Ja‘far al-Tahawi (843–935 M)

·            Al-Aqidah al-Tahawiyyah

Sebuah risalah akidah yang menjadi rujukan penting bagi Ahlus Sunnah wal Jamaah, mendasari banyak pemikiran Ibn Taymiyyah terkait akidah salaf.

5)           Imam al-Barbahari (w. 941 M)

·            Syarh al-Sunnah

Kitab ini membahas prinsip-prinsip akidah dan sunnah yang dipahami oleh generasi salaf, termasuk kritik terhadap bid‘ah.

6)           Imam al-Darimi (797–869 M)

·            Al-Radd ‘ala al-Jahmiyyah

Karya yang membantah doktrin Jahmiyyah terkait sifat Allah, memberikan dasar bagi konsep tauhid asma’ wa sifat yang dikembangkan oleh Ibn Taymiyyah.

7)           Imam al-Bukhari (810–870 M)

·            Sahih al-Bukhari

Koleksi hadis sahih yang menjadi landasan penting dalam pemahaman akidah salaf, terutama dalam hal sifat Allah dan hubungan manusia dengan Allah.

8)           Imam Muslim bin al-Hajjaj (815–875 M)

·            Sahih Muslim

Salah satu koleksi hadis sahih yang sering dirujuk oleh Ibn Taymiyyah dalam menjelaskan akidah dan hukum-hukum Islam.

9)           Imam Ibn al-Jawzi (1116–1201 M)

·            Talbis Iblis

Sebuah karya yang membahas berbagai penyimpangan dalam agama Islam, terutama praktik-praktik bid‘ah, dengan kritik yang tajam dan mendalam.

10)        Imam Ibn Kathir (1301–1373 M)

·            Tafsir al-Qur’an al-‘Azim

Tafsir yang mendalam dan berlandaskan metode salaf dalam menafsirkan Al-Quran. Ibn Taymiyyah sering mengutip pandangan Ibn Kathir terkait tafsir literal ayat-ayat Al-Quran.


Penjelasan:

Kitab-kitab di atas memberikan fondasi penting dalam memahami pemikiran Salafiyah Ibn Taymiyyah dan pengaruhnya dalam sejarah Islam. Sebagian besar karya ini ditulis oleh Ibn Taymiyyah sendiri atau oleh ulama salaf lainnya yang memberikan dasar bagi pengembangan pemikiran beliau.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar