Pseudo-Science
Telaah Kritis terhadap Klaim Ilmiah yang Menyesatkan
dalam Perspektif Epistemologi dan Etika Keilmuan
Alihkan ke: Ilmu Pengetahuan.
Abstrak
Artikel ini membahas fenomena pseudo-science
(ilmu semu) secara komprehensif melalui pendekatan epistemologis dan etika keilmuan.
Pseudo-science merujuk pada klaim atau praktik yang mengatasnamakan
sains namun tidak memenuhi kriteria ilmiah yang sahih, seperti falsifiabilitas,
verifikasi empiris, dan keterbukaan terhadap kritik. Melalui analisis terhadap
pemikiran tokoh-tokoh penting seperti Karl Popper, Thomas Kuhn, Paul Thagard,
dan Mario Bunge, artikel ini menegaskan bahwa pseudo-science bukan hanya
pengetahuan yang keliru, tetapi juga bentuk penyimpangan metodologis dan etis.
Artikel ini juga mengidentifikasi contoh-contoh pseudo-science populer
seperti astrologi, homeopati, teori bumi datar, dan praktik supranatural
berkedok ilmiah. Dampak negatif pseudo-science dibahas dalam konteks
pendidikan, kesehatan, dan kehidupan sosial-politik. Di bagian akhir, artikel
ini mengusulkan strategi penanggulangan melalui literasi sains, pendidikan
kritis, peran aktif akademisi, serta penguatan etika keilmuan sebagai benteng
terhadap disinformasi dan penyalahgunaan sains. Dengan pendekatan
interdisipliner ini, diharapkan artikel ini dapat menjadi kontribusi dalam
memperkuat kesadaran ilmiah di tengah masyarakat yang semakin kompleks dan
rawan manipulasi informasi.
Kata Kunci: pseudo-science, epistemologi, etika keilmuan,
falsifiabilitas, literasi sains, disinformasi, filsafat ilmu.
PEMBAHASAN
Pseudo-Science dalam Perspektif Epistemologi dan Etika
Keilmuan
1.
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang Masalah
Ilmu pengetahuan
merupakan hasil akumulasi sistematis dari upaya manusia dalam memahami realitas
melalui observasi, eksperimen, dan penalaran rasional. Di dalam proses ini,
ilmu tidak hanya menyediakan pengetahuan faktual, tetapi juga kerangka kerja
metodologis yang memungkinkan pengujian dan pembenaran terhadap klaim-klaim
yang diajukan. Namun, dalam perkembangannya, tidak semua yang mengaku sebagai “ilmu” benar-benar
memenuhi kriteria keilmuan yang sahih. Berbagai pandangan dan praktik yang
mengklaim dirinya sebagai “ilmiah” namun gagal dalam memenuhi standar
metode ilmiah dikenal dengan istilah pseudo-science atau ilmu semu.
Fenomena pseudo-science
tidak sekadar menjadi isu epistemologis, tetapi juga telah menimbulkan dampak
sosial, politik, dan budaya yang signifikan. Di tengah maraknya informasi
digital dan kemudahan akses terhadap berbagai sumber pengetahuan, pseudo-science
dengan mudah menyusup ke dalam ruang publik dan dipercaya secara luas, meskipun
tidak memiliki dasar ilmiah yang kokoh. Misalnya, kepercayaan terhadap
astrologi, homeopati, teori bumi datar, dan praktik supranatural berkedok
ilmiah masih banyak ditemukan di berbagai lapisan masyarakat modern. Hal ini
menciptakan kondisi yang membingungkan antara sains sejati dengan klaim-klaim
yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara rasional maupun empiris.
Karl R. Popper,
seorang filsuf ilmu terkemuka, menegaskan bahwa perbedaan mendasar antara sains
dan pseudo-science
terletak pada prinsip falsifiabilitas. Suatu teori dapat disebut ilmiah jika
memungkinkan untuk diuji dan berpotensi dibuktikan salah. Sementara pseudo-science
cenderung kebal terhadap pengujian dan selalu mencari pembenaran atas klaimnya,
bukan upaya untuk membantah atau mengoreksi dirinya sendiri.1
Kondisi ini
memunculkan keprihatinan terhadap lemahnya literasi sains di kalangan
masyarakat, serta menuntut adanya upaya sistematis untuk membedakan antara
sains dan pseudo-science.
Dalam konteks inilah, kajian terhadap pseudo-science menjadi penting,
bukan hanya sebagai studi kritis atas fenomena keilmuan, tetapi juga sebagai
upaya etis untuk menjaga integritas ilmu pengetahuan dari penyalahgunaan dan
manipulasi.
1.2.
Rumusan Masalah
1)
Apa yang dimaksud dengan pseudo-science
dan bagaimana ia berbeda dari ilmu sejati?
2)
Apa saja karakteristik utama dari pseudo-science?
3)
Apa dampak sosial, budaya, dan
epistemologis dari penyebaran pseudo-science?
4)
Bagaimana pendekatan filosofis dan
etika keilmuan dapat membantu menanggulangi fenomena ini?
1.3.
Tujuan Penulisan
Tulisan ini
bertujuan untuk:
·
Menjelaskan konsep dasar
dan karakteristik pseudo-science.
·
Mengidentifikasi
contoh-contoh pseudo-science yang beredar di masyarakat.
·
Menganalisis pseudo-science
dari sudut pandang epistemologi dan etika keilmuan.
·
Menawarkan strategi
literasi kritis untuk menangkal pengaruh pseudo-science dalam
kehidupan masyarakat modern.
1.4.
Metodologi Kajian
Kajian ini
menggunakan pendekatan filsafat ilmu dan epistemologi,
dengan metode studi pustaka terhadap berbagai sumber primer dan sekunder yang
relevan, termasuk karya-karya Karl Popper, Paul Thagard, Mario Bunge, dan
literatur akademik lain yang membahas masalah demarkasi antara sains dan pseudo-science.
Analisis dilakukan secara kritis dan komparatif untuk mengidentifikasi
karakteristik filosofis, logis, dan etis dari fenomena pseudo-science.
Catatan Kaki
[1]
Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery (London:
Routledge, 2002), 18–19.
2.
Landasan
Teoretis
2.1.
Pengertian Ilmu Pengetahuan (Science)
Secara umum, ilmu
pengetahuan (sains) dapat dipahami sebagai suatu sistem pengetahuan yang
diperoleh melalui metode ilmiah, dengan tujuan untuk memahami, menjelaskan, dan
memprediksi fenomena alam maupun sosial secara rasional dan objektif. Ciri
utama dari sains terletak pada penerapan metode ilmiah yang mencakup observasi
sistematis, perumusan hipotesis, eksperimen terkontrol, serta analisis data
untuk menghasilkan kesimpulan yang dapat diverifikasi dan diuji ulang.1
Karl Popper
menyatakan bahwa ilmu pengetahuan sejati adalah pengetahuan yang bersifat tentatif,
selalu terbuka terhadap koreksi dan penolakan. Dalam pandangannya, sains bukan
sekadar kumpulan fakta, tetapi proses dinamis yang berkembang melalui upaya
membantah teori yang ada (falsifikasi), bukan sekadar membenarkannya.2
Teori yang tidak dapat diuji secara empiris dan tidak terbuka terhadap
kemungkinan untuk dibuktikan salah, menurut Popper, bukanlah sains melainkan pseudo-science.
Sementara itu,
Thomas S. Kuhn menekankan pentingnya konteks historis dan sosial dalam
perkembangan ilmu. Ia memperkenalkan konsep “paradigma” sebagai kerangka
berpikir dominan dalam satu periode ilmiah. Ilmu pengetahuan, menurut Kuhn,
tidak berkembang secara linier, melainkan melalui revolusi paradigma, yakni
perubahan besar dalam cara pandang ilmuwan terhadap suatu bidang kajian.3
Dengan demikian,
ilmu pengetahuan merupakan hasil dari interaksi antara metode empiris, nalar
logis, dan dinamika komunitas ilmiah yang menjaga validitas serta objektivitas
pengetahuan yang dihasilkan.
2.2.
Epistemologi Ilmu
Epistemologi, atau
teori pengetahuan, merupakan cabang filsafat yang mengkaji hakikat, asal-usul,
batas, dan validitas pengetahuan. Dalam konteks keilmuan, epistemologi menjadi
fondasi dalam menilai apakah suatu klaim pengetahuan memenuhi kriteria ilmiah
atau tidak. Hal ini penting untuk membedakan antara pengetahuan yang sahih
(justified true belief) dan klaim yang bersifat spekulatif atau keliru.
Beberapa prinsip
dasar epistemologi ilmu yang relevan dalam membedakan sains dari pseudo-science
antara lain:
1)
Empirisme
Pengetahuan ilmiah harus berbasis pada observasi
empiris dan pengalaman inderawi. Metode ilmiah menuntut data yang dapat diuji
secara objektif, sehingga tidak bergantung pada keyakinan pribadi atau otoritas
tertentu.4
2)
Rasionalitas
Proses berpikir ilmiah harus logis, konsisten,
dan bebas dari kontradiksi internal. Rasionalitas memungkinkan adanya koherensi
dalam teori dan hubungan sebab-akibat yang dapat ditelusuri secara sistematis.5
3)
Falsifiabilitas
Seperti telah disebutkan, falsifiabilitas adalah
kemampuan suatu teori untuk diuji dan kemungkinan untuk dibuktikan salah.
Prinsip ini menjadikan sains bersifat terbuka terhadap revisi dan perbaikan
terus-menerus.6
4)
Replikasi dan Verifikasi
Pengetahuan ilmiah harus dapat diuji ulang
(replikasi) oleh peneliti lain dan mendapatkan hasil yang serupa. Ini menjadi
indikator objektivitas dan kebenaran intersubjektif dalam ilmu pengetahuan.7
Epistemologi juga
menilai klaim-klaim yang bersifat metafisik, mistis, atau dogmatis yang sering
kali muncul dalam pseudo-science, dan menunjukkan
bahwa klaim-klaim semacam itu tidak dapat diuji melalui metode ilmiah yang sahih.
Oleh karena itu, pemahaman epistemologi ilmu menjadi instrumen penting dalam
menyaring dan mengevaluasi validitas suatu klaim yang mengaku sebagai “ilmiah”.
Catatan Kaki
[1]
Peter Godfrey-Smith, Theory and Reality: An Introduction to the
Philosophy of Science (Chicago: University of Chicago Press, 2003), 2–5.
[2]
Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery (London:
Routledge, 2002), 18–22.
[3]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd
ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 10–11.
[4]
Mario Bunge, Scientific Research: Strategy and Philosophy
(Berlin: Springer, 1967), 31–35.
[5]
Paul R. Thagard, “Why Astrology Is a Pseudoscience,” PSA:
Proceedings of the Biennial Meeting of the Philosophy of Science Association
(1978): 228–230.
[6]
Karl R. Popper, Conjectures and Refutations: The Growth of
Scientific Knowledge (New York: Routledge, 2002), 37–39.
[7]
Ian Hacking, Representing and Intervening: Introductory Topics in
the Philosophy of Natural Science (Cambridge: Cambridge University Press,
1983), 34–36.
3.
Pseudo-Science:
Definisi dan Karakteristik
3.1.
Pengertian Pseudo-Science
Istilah pseudo-science
berasal dari dua kata, yaitu “pseudo” yang berarti palsu atau semu, dan
“science” yang berarti ilmu. Maka secara etimologis, pseudo-science
berarti “ilmu semu” atau “ilmu palsu” — yaitu klaim, kepercayaan,
atau praktik yang mengaku sebagai ilmiah, namun tidak memenuhi standar metode
ilmiah yang valid. Meskipun tampak menggunakan istilah dan pendekatan ilmiah, pseudo-science
sering kali gagal dalam aspek-aspek fundamental seperti pengujian empiris,
falsifikasi, dan keterbukaan terhadap kritik.
Karl Popper adalah
salah satu tokoh awal yang menaruh perhatian besar terhadap pembeda antara
sains dan pseudo-science.
Ia menggunakan konsep falsifiabilitas sebagai
kriteria demarkasi: sebuah teori dianggap ilmiah jika memungkinkan untuk
dibuktikan salah melalui observasi atau eksperimen. Jika suatu teori tidak
dapat diuji atau selalu mencari pembenaran, maka ia tergolong pseudo-scientific.1
Misalnya, Popper menyebut psikoanalisis Freud dan astrologi sebagai pseudo-science
karena keduanya tidak memberikan peluang untuk diuji secara objektif dan tidak
dapat dibantah meskipun data yang ditemukan bertentangan.2
Paul Thagard, dalam
artikelnya yang berpengaruh “Why Astrology Is a Pseudoscience”,
menawarkan kriteria demarkasi yang lebih komprehensif. Ia menyatakan bahwa
suatu teori dapat disebut pseudo-science jika: (1) teori
tersebut tidak berkembang seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan; (2) teori
itu gagal dalam memecahkan masalah yang menjadi tujuannya; dan (3) komunitas
pendukungnya tidak terbuka terhadap evaluasi dan kritik yang rasional.3
Dengan demikian, pseudo-science
tidak hanya mencakup teori atau klaim yang tidak ilmiah, tetapi juga sikap,
metode, dan struktur komunitasnya yang menolak prinsip-prinsip dasar keilmuan.
3.2.
Ciri-Ciri Utama Pseudo-Science
Para filsuf ilmu dan
peneliti telah mengidentifikasi sejumlah karakteristik khas yang membedakan pseudo-science
dari sains sejati. Di antara ciri-ciri tersebut adalah:
1)
Tidak Dapat Difalsifikasi
(Non-falsifiable)
Teori pseudo-scientific dirancang
sedemikian rupa sehingga selalu tampak benar, apa pun bukti yang dihadirkan.
Tidak ada eksperimen atau data yang dapat menyangkalnya secara meyakinkan. Ini
bertentangan dengan prinsip dasar sains yang menuntut keterbukaan terhadap
kemungkinan kesalahan.4
2)
Mengandalkan Klaim Anekdot
dan Testimoni Pribadi
Bukti dalam pseudo-science sering
bersifat subyektif dan tidak terverifikasi, seperti pengalaman pribadi, kesaksian
individu, atau kepercayaan tradisional. Ini jelas bertentangan dengan prinsip
objektivitas dalam sains.5
3)
Kurangnya Mekanisme
Koreksi Mandiri
Ilmu pengetahuan berkembang melalui kritik,
revisi teori, dan perbaikan terus-menerus. Sebaliknya, pseudo-science
cenderung bersifat dogmatis dan menolak koreksi, bahkan ketika dihadapkan pada
data yang kontradiktif.6
4)
Bahasa Ilmiah yang Kabur
dan Impresif
Banyak klaim pseudo-science menggunakan
istilah ilmiah secara tidak tepat atau mengesankan, namun tanpa penjelasan
metodologis yang jelas. Tujuannya lebih untuk memikat audiens awam daripada
menjelaskan fenomena secara jujur dan terbuka.7
5)
Tidak Diakui oleh
Komunitas Ilmiah Resmi
Klaim pseudo-scientific umumnya tidak
dipublikasikan di jurnal ilmiah terakreditasi, tidak diuji melalui peer-review,
dan tidak mendapatkan pengakuan dari institusi ilmiah yang sah.
6)
Klaim yang Luar Biasa
tanpa Bukti Luar Biasa
Carl Sagan pernah menyatakan bahwa “extraordinary
claims require extraordinary evidence.” Dalam pseudo-science,
klaim luar biasa sering tidak disertai bukti yang setara, bahkan cenderung
menghindari proses pembuktian sama sekali.8
Karakteristik-karakteristik
ini menunjukkan bahwa pseudo-science pada hakikatnya
tidak hanya gagal memenuhi kriteria keilmuan, tetapi juga membahayakan karena
sering mengecoh publik dengan kedok ilmiah yang menyesatkan.
Catatan Kaki
[1]
Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery (London:
Routledge, 2002), 18–22.
[2]
Karl R. Popper, Conjectures and Refutations: The Growth of Scientific
Knowledge (New York: Routledge, 2002), 34–36.
[3]
Paul R. Thagard, “Why Astrology Is a Pseudoscience,” PSA:
Proceedings of the Biennial Meeting of the Philosophy of Science Association
(1978): 223–234.
[4]
Mario Bunge, Demarcating Science from Pseudoscience (Berlin:
Springer, 2018), 12–13.
[5]
Michael Shermer, Why People Believe Weird Things: Pseudoscience,
Superstition, and Other Confusions of Our Time (New York: Henry Holt,
2002), 45–47.
[6]
Massimo Pigliucci and Maarten Boudry, eds., Philosophy of
Pseudoscience: Reconsidering the Demarcation Problem (Chicago: University
of Chicago Press, 2013), 22–25.
[7]
Alan Sokal and Jean Bricmont, Fashionable Nonsense: Postmodern
Intellectuals’ Abuse of Science (New York: Picador, 1998), 5–6.
[8]
Carl Sagan, The Demon-Haunted World: Science as a Candle in the
Dark (New York: Random House, 1996), 210.
4.
Contoh-Contoh
Pseudo-Science Populer
Meskipun pseudo-science
sering dikritik dan ditolak oleh komunitas ilmiah, nyatanya ia tetap memiliki
daya tarik kuat di tengah masyarakat. Beberapa praktik dan kepercayaan yang
tergolong pseudo-scientific
bahkan memiliki pengikut yang luas dan kerap dipraktikkan secara terbuka.
Berikut ini adalah beberapa contoh menonjol dari pseudo-science yang populer di
berbagai belahan dunia.
4.1.
Astrologi
Astrologi adalah
kepercayaan bahwa posisi dan pergerakan benda-benda langit seperti bintang dan
planet memiliki pengaruh langsung terhadap kepribadian, perilaku, dan nasib
manusia. Meskipun astrologi menggunakan istilah-istilah astronomi dan sering
disajikan dalam bentuk grafik seperti horoskop, praktik ini tidak memiliki
dasar empiris yang dapat diuji secara ilmiah. Studi-studi statistik dan
eksperimen terkontrol secara konsisten gagal menemukan korelasi signifikan
antara posisi benda langit dan perilaku manusia.1
Paul Thagard
menjadikan astrologi sebagai studi kasus utama dalam mendefinisikan pseudo-science.
Ia menyoroti bahwa astrologi gagal memperbaharui dirinya sesuai dengan
perkembangan ilmu, tidak dapat memecahkan masalah secara konsisten, dan
komunitas pendukungnya tidak memiliki mekanisme evaluasi kritis sebagaimana
sains sejati.2
4.2.
Homeopati
Homeopati adalah
sistem pengobatan alternatif yang didasarkan pada prinsip “like cures like”
(yang serupa menyembuhkan yang serupa) dan penggunaan zat dalam konsentrasi yang
sangat rendah atau bahkan mendekati nol (dilusi ekstrem). Klaim homeopati
menyatakan bahwa zat yang menyebabkan gejala pada orang sehat dapat
menyembuhkan gejala serupa pada orang sakit jika diberikan dalam dosis yang
sangat kecil.3
Namun, berbagai
studi ilmiah telah menunjukkan bahwa efektivitas homeopati tidak melebihi efek
plasebo. Selain itu, konsep dilusi ekstrem yang digunakan dalam homeopati
bertentangan dengan hukum dasar kimia dan fisika, karena pada tingkat tertentu
tidak lagi terdapat molekul aktif dalam larutan tersebut.4 British
Medical Association bahkan secara terbuka menyatakan bahwa homeopati “tidak
memiliki dasar ilmiah dan tidak boleh didanai dengan dana publik.”_5
4.3.
Teori Bumi Datar (Flat Earth Theory)
Meskipun bukti
empiris dan observasi astronomis modern telah membuktikan bentuk bulat (geoid)
bumi secara meyakinkan sejak ribuan tahun lalu, keyakinan bahwa bumi itu datar
masih bertahan hingga kini. Para penganut teori bumi datar menolak bukti
observasional seperti foto satelit, hukum gravitasi, dan fenomena horizon,
serta cenderung mengedepankan teori konspirasi bahwa lembaga ilmiah global
telah memanipulasi informasi.6
Teori ini bukan
hanya tidak ilmiah, tetapi juga antitesis terhadap semangat ilmiah karena
menolak semua bentuk verifikasi empiris yang bertentangan dengan keyakinan
mereka. Penolakan terhadap prinsip-prinsip dasar fisika dan astronomi
menunjukkan bahwa penganutnya mengabaikan keseluruhan kerangka rasionalitas
ilmiah.7
4.4.
Ilmu Supranatural Berkedok Ilmiah
Bentuk lain dari pseudo-science
yang banyak ditemui di masyarakat adalah klaim-klaim supranatural yang
disajikan dalam kemasan ilmiah. Contohnya termasuk “terapi energi”, “deteksi
aura”, “pengobatan dengan bioenergi”, hingga “mesin
pengubah frekuensi pikiran.” Praktik-praktik ini sering kali menggunakan
istilah teknis seperti “frekuensi”, “gelombang otak”, atau “medan
energi” secara sembarangan dan tidak sesuai konteks ilmiah.8
Fenomena ini
memperlihatkan bagaimana bahasa sains digunakan untuk melegitimasi klaim-klaim
metafisik yang tidak dapat diuji atau diverifikasi secara empiris. Alan Sokal
menyebut praktik semacam ini sebagai penyalahgunaan istilah ilmiah demi
menciptakan kesan otoritatif, padahal secara epistemologis tidak memiliki dasar
sama sekali.9
4.5.
Pseudo-Psikologi dan Tes Kepribadian Palsu
Berbagai bentuk “psikologi
populer” yang tidak berbasis pada riset ilmiah namun diklaim dapat
menganalisis kepribadian manusia juga termasuk dalam kategori pseudo-science.
Salah satu contohnya adalah tes kepribadian berbasis golongan darah,
yang secara luas diyakini di beberapa negara seperti Jepang dan Korea Selatan.
Meskipun tidak ada bukti ilmiah yang mendukung klaim hubungan antara golongan
darah dan sifat kepribadian, keyakinan ini masih banyak dipertahankan.10
Contoh lainnya
adalah penggunaan tes seperti MBTI (Myers-Briggs Type Indicator)
yang meskipun populer, mendapat banyak kritik dari komunitas psikologi akademik
karena reliabilitas dan validitasnya yang lemah, serta tidak didasarkan pada
teori psikologi modern yang dapat diuji secara empiris.11
Catatan Kaki
[1]
Geoffrey Dean, Ivan W. Kelly, and David Voas, “Astrology,” in The
Routledge Handbook of Pseudoscience, ed. Massimo Pigliucci and Maarten
Boudry (London: Routledge, 2018), 21–25.
[2]
Paul R. Thagard, “Why Astrology Is a Pseudoscience,” PSA:
Proceedings of the Biennial Meeting of the Philosophy of Science Association
(1978): 227–234.
[3]
Edzard Ernst, Homeopathy: The Undiluted Facts (New York:
Springer, 2016), 12–14.
[4]
Shang, Aijing, et al. “Are the clinical effects of homeopathy placebo
effects? Comparative study of placebo-controlled trials of homeopathy and
allopathy.” The Lancet 366, no. 9487 (2005): 726–732.
[5]
British Medical Association, Alternative Medicine: Report of the
BMA’s Board of Science and Education (London: BMA, 1993), 24.
[6]
Christine Garwood, Flat Earth: The History of an Infamous Idea
(New York: Thomas Dunne Books, 2007), 190–194.
[7]
Lee McIntyre, Respecting Truth: Willful Ignorance in the Internet
Age (New York: Routledge, 2015), 49–52.
[8]
Michael Shermer, The Believing Brain (New York: Times Books,
2011), 156–159.
[9]
Alan Sokal and Jean Bricmont, Fashionable Nonsense: Postmodern
Intellectuals’ Abuse of Science (New York: Picador, 1998), 9–11.
[10]
Satoshi Kanazawa and Jody L. Kovar, “Why Beautiful People Are More
Intelligent,” Intelligence 32, no. 3 (2004): 227–243.
[11]
Adam Grant, “Goodbye to MBTI, the Fad That Won’t Die,” Psychology
Today, September 18, 2013.
5.
Analisis
Epistemologis dan Filosofis
Kajian terhadap pseudo-science
tidak dapat dilepaskan dari analisis epistemologis dan filosofis, karena pada
dasarnya persoalan utama yang dihadirkan oleh pseudo-science adalah persoalan
tentang validitas pengetahuan. Di sinilah filsafat ilmu mengambil peran
penting, terutama dalam membedakan antara klaim yang bersifat ilmiah dan klaim
yang sekadar menyerupai ilmu. Beberapa tokoh utama dalam filsafat ilmu telah
mengajukan berbagai pendekatan yang membantu menjelaskan batas antara sains dan
pseudo-science.
5.1.
Perspektif Karl Popper: Falsifiabilitas sebagai
Kriteria Demarkasi
Karl Popper
(1902–1994) adalah salah satu filsuf ilmu paling berpengaruh dalam abad ke-20.
Ia memperkenalkan konsep falsifiabilitas sebagai
kriteria pembeda utama antara sains dan pseudo-science. Menurut Popper,
suatu teori atau klaim dapat dianggap ilmiah jika dan hanya jika teori tersebut
dapat diuji secara empiris dan berpotensi dibuktikan salah (falsifiable).1
Popper mengkritik
teori-teori seperti psikoanalisis Freudian dan astrologi karena, menurutnya,
teori-teori tersebut bersifat "tak terkalahkan" oleh fakta
empiris: segala sesuatu yang terjadi dianggap selalu sesuai dengan teori,
sehingga tidak ada ruang untuk menyatakan bahwa teori itu salah. Hal ini
berbeda dari sains sejati, seperti relativitas Einstein, yang membuat prediksi
spesifik dan terbuka terhadap pengujian.2
Dengan demikian, pseudo-science
sering kali gagal melewati ujian falsifiabilitas karena dirancang sedemikian
rupa untuk tidak pernah bisa dibantah, menjadikannya tertutup terhadap koreksi
dan kemajuan ilmiah.
5.2.
Kritik Thomas Kuhn terhadap Ilmu Normal dan
Paradigma
Thomas S. Kuhn dalam
karyanya The
Structure of Scientific Revolutions mengkritisi gagasan bahwa sains
berkembang secara linier dan kumulatif. Ia memperkenalkan konsep paradigma,
yakni kerangka konseptual yang mendasari praktik ilmiah pada masa tertentu.
Menurut Kuhn, perkembangan ilmu berjalan melalui fase-fase: ilmu normal,
krisis, revolusi ilmiah, dan lahirnya paradigma baru.3
Dalam konteks pseudo-science,
konsep Kuhn membantu menjelaskan mengapa suatu kelompok bisa bertahan dalam
sistem kepercayaannya meskipun bertentangan dengan paradigma ilmiah dominan.
Komunitas pseudo-scientific
sering beroperasi dalam "paradigma" sendiri yang tertutup
terhadap anomali dan kritik, mirip dengan fase “ilmu normal” dalam
kerangka Kuhn, namun tanpa mekanisme untuk transisi paradigma berbasis
rasionalitas dan bukti.4
5.3.
Penilaian Paul Thagard terhadap Pseudo-Science
sebagai “Bad Science”
Paul Thagard
menawarkan pendekatan yang lebih fungsional dalam membedakan sains dari pseudo-science.
Ia menyatakan bahwa pseudo-science bukan hanya “non-science”
tetapi merupakan bentuk dari “bad science”, yakni praktik
yang gagal mengikuti metode ilmiah dan tidak berkembang sesuai dengan kemajuan
ilmu.5
Dalam artikelnya
yang berpengaruh, Thagard memberikan tiga kriteria untuk mendeteksi pseudo-science:
1)
Teori tidak mengalami perkembangan
bila dibandingkan teori lain dalam ranah yang sama.
2)
Ia terus mengalami kegagalan dalam
memecahkan masalah.
3)
Ia memiliki komunitas pendukung
yang tidak terbuka terhadap evaluasi alternatif atau kritik dari luar.6
Kriteria ini
menekankan bahwa pseudo-science adalah fenomena
epistemologis sekaligus sosial, karena mencakup bagaimana komunitas keilmuan
(atau pseudo-keilmuan) berfungsi dan bereaksi terhadap kritik.
5.4.
Posisi Pseudo-Science dalam Hirarki Pengetahuan
Dalam filsafat ilmu,
pengetahuan dapat diklasifikasikan dalam beberapa kategori: ilmu pengetahuan
ilmiah (scientific
knowledge), pengetahuan non-ilmiah (non-scientific knowledge), dan
pengetahuan semu (pseudo-scientific knowledge). Ilmu
sejati ditandai oleh penggunaan metode ilmiah yang ketat dan terbuka terhadap
revisi. Pengetahuan non-ilmiah (seperti seni, agama, atau filsafat) meskipun
tidak empiris, tetap memiliki nilai dan legitimasi tersendiri.
Namun pseudo-science
menempati posisi problematik karena mengklaim sebagai “ilmu” tetapi
tidak memenuhi kriteria epistemologis yang sahih. Ia bukan hanya non-ilmiah,
melainkan menyesatkan karena menyamarkan dirinya dalam bentuk dan bahasa
ilmiah. Mario Bunge menyebut pseudo-science sebagai “penyakit
epistemologis” karena berusaha mengecoh dengan menggunakan simbol dan
metode ilmiah secara keliru.7
Kesimpulan Sementara
Dari perspektif
epistemologi dan filsafat ilmu, pseudo-science bukan sekadar
kekeliruan pengetahuan, melainkan bentuk penyimpangan terhadap prinsip dasar
pencarian kebenaran ilmiah. Ia tertutup terhadap kritik, tidak dapat diuji,
tidak berkembang, dan cenderung dogmatis. Analisis dari Popper, Kuhn, Thagard,
dan Bunge memberikan alat evaluasi yang sangat bermanfaat untuk membedakan
antara pengetahuan yang sahih dan yang hanya menyerupai sains dari segi
tampilan, namun kosong dari segi substansi.
Catatan Kaki
[1]
Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery (London:
Routledge, 2002), 18–22.
[2]
Karl R. Popper, Conjectures and Refutations: The Growth of
Scientific Knowledge (New York: Routledge, 2002), 34–36.
[3]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd
ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 10–11.
[4]
Ian Hacking, Representing and Intervening: Introductory Topics in
the Philosophy of Natural Science (Cambridge: Cambridge University Press,
1983), 45–47.
[5]
Paul R. Thagard, “Why Astrology Is a Pseudoscience,” PSA: Proceedings
of the Biennial Meeting of the Philosophy of Science Association (1978):
227–234.
[6]
Ibid., 230–233.
[7]
Mario Bunge, Demarcating Science from Pseudoscience (Berlin:
Springer, 2018), 9–12.
6.
Dampak
Negatif Pseudo-Science
Keberadaan pseudo-science
bukan sekadar masalah akademik atau konseptual, tetapi membawa konsekuensi
nyata dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Klaim-klaim yang menyesatkan,
meskipun dikemas dalam bentuk yang tampak ilmiah, dapat merusak pemahaman
rasional, mengganggu pengambilan keputusan publik, dan bahkan membahayakan
keselamatan manusia. Berikut ini adalah beberapa dampak negatif pseudo-science
yang signifikan dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan kehidupan
sosial-politik.
6.1.
Dalam Dunia Pendidikan
Salah satu dampak
paling mencolok dari pseudo-science adalah kerusakannya
terhadap proses pendidikan, terutama ketika ide-ide tidak ilmiah disusupkan ke
dalam kurikulum atau materi ajar. Ketika siswa diperkenalkan dengan
konsep-konsep seperti astrologi, teori bumi datar, atau penciptaan instan tanpa
pendekatan ilmiah, mereka kehilangan kemampuan untuk berpikir kritis dan
membedakan antara opini dengan fakta berbasis bukti.1
Michael Shermer
menyatakan bahwa pseudo-science mengaburkan batas
antara pengetahuan dan kepercayaan, serta menghambat pengembangan pola pikir
ilmiah yang berbasis pada skeptisisme rasional dan verifikasi empiris.2
Dalam jangka panjang, hal ini dapat menyebabkan generasi muda menjadi rentan
terhadap hoaks, teori konspirasi, dan propaganda anti-sains.
Lebih jauh, Mario
Bunge memperingatkan bahwa pendidikan yang membiarkan pseudo-science
tumbuh tanpa kritik berarti mencetak masyarakat yang mudah dibohongi dan tidak
mampu mengambil keputusan berdasarkan alasan yang rasional.3
6.2.
Dalam Dunia Kesehatan
Di bidang kesehatan,
pseudo-science
dapat menimbulkan kerugian serius, bahkan hingga mengancam nyawa. Klaim
pengobatan alternatif yang tidak terbukti secara ilmiah—seperti homeopati,
terapi magnetik, atau penyembuhan energi—sering menggantikan intervensi medis
yang berbasis bukti. Akibatnya, pasien bisa kehilangan kesempatan untuk
mendapatkan pengobatan yang efektif.4
Studi dalam jurnal The
Lancet menemukan bahwa banyak terapi pseudo-scientific tidak lebih
efektif dari plasebo, namun tetap populer karena didorong oleh promosi media,
testimoni personal, atau persepsi “alami dan aman.”_5 Dalam
kasus ekstrem, penolakan terhadap vaksin (yang sering didorong oleh pseudo-science)
telah menyebabkan wabah penyakit yang seharusnya dapat dicegah, seperti campak
dan polio.6
Etika keilmuan
mengharuskan para praktisi dan pengambil kebijakan untuk bertindak berdasarkan
bukti yang kuat demi keselamatan publik. Mengabaikan prinsip ini demi
keuntungan ekonomi atau pengaruh ideologis merupakan bentuk pengkhianatan
terhadap tanggung jawab ilmiah.
6.3.
Dalam Kehidupan Sosial dan Politik
Pseudo-science
juga memainkan peran destruktif dalam kehidupan sosial dan politik. Di era
media digital dan algoritma media sosial, teori-teori pseudo-scientific
seperti bumi datar, konspirasi 5G, atau manipulasi cuaca oleh elit global
dengan cepat menyebar dan menciptakan echo chamber yang memperkuat
kepercayaan tanpa dasar.7
Lee McIntyre dalam
bukunya Post-Truth
menjelaskan bahwa pseudo-science merupakan bagian
dari lanskap pasca-kebenaran, di mana klaim emosional dan narasi ideologis
lebih dipercaya dibandingkan fakta dan data.8 Akibatnya, masyarakat
menjadi terfragmentasi, kebijakan publik terdistorsi, dan kepercayaan terhadap
institusi ilmiah melemah.
Selain itu, pseudo-science
kerap digunakan untuk membenarkan diskriminasi atau supremasi kelompok
tertentu. Misalnya, teori rasial palsu yang pernah diklaim “ilmiah”
digunakan untuk mendukung praktik kolonialisme dan apartheid.9
Kesimpulan Sementara
Dampak negatif pseudo-science
sangat luas dan mendalam. Ia tidak hanya menghambat kemajuan pengetahuan,
tetapi juga mengancam integritas moral, sosial, dan politik masyarakat. Oleh
karena itu, diperlukan pendekatan sistematis melalui pendidikan kritis,
kebijakan berbasis sains, dan etika keilmuan untuk membendung pengaruh pseudo-science
yang menyesatkan.
Catatan Kaki
[1]
Eugenie C. Scott, Evolution vs. Creationism: An Introduction
(Berkeley: University of California Press, 2009), 88–90.
[2]
Michael Shermer, Why People Believe Weird Things: Pseudoscience,
Superstition, and Other Confusions of Our Time (New York: Henry Holt,
2002), 50–53.
[3]
Mario Bunge, Demarcating Science from Pseudoscience (Berlin:
Springer, 2018), 22–24.
[4]
Edzard Ernst, Homeopathy: The Undiluted Facts (New York:
Springer, 2016), 17–18.
[5]
Aijing Shang et al., “Are the Clinical Effects of Homeopathy Placebo
Effects? Comparative Study of Placebo-Controlled Trials of Homeopathy and
Allopathy,” The Lancet 366, no. 9487 (2005): 726–732.
[6]
Maya Goldenberg, “Public Misunderstanding of Science? Reframing the
Problem of Vaccine Hesitancy,” Perspectives on Science 24, no. 5
(2016): 552–576.
[7]
Whitney Phillips and Ryan M. Milner, You Are Here: A Field Guide
for Navigating Polarized Speech, Conspiracy Theories, and Our Polluted Media
Landscape (Cambridge, MA: MIT Press, 2021), 103–105.
[8]
Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge, MA: MIT Press, 2018),
17–20.
[9]
Nancy Leys Stepan, The Idea of Race in Science: Great Britain,
1800–1960 (London: Palgrave Macmillan, 1982), 112–115.
7.
Strategi
Menanggulangi Pseudo-Science
Menanggulangi pseudo-science
bukanlah tugas yang mudah, mengingat penyebarannya sering kali dibalut dengan
retorika ilmiah yang menarik, didorong oleh media sosial, serta mempermainkan
sisi emosional dan kebutuhan spiritual masyarakat. Oleh karena itu, strategi
yang digunakan harus bersifat multidimensi: mencakup aspek pendidikan,
komunikasi publik, kebijakan, dan etika profesi ilmiah. Berikut ini adalah
beberapa strategi yang dapat diterapkan secara sistematis untuk membendung penyebaran
pseudo-science
dalam masyarakat modern.
7.1.
Meningkatkan Literasi Sains dan Literasi Media
Langkah fundamental
dalam menghadapi pseudo-science adalah memperkuat literasi
sains di berbagai lapisan masyarakat. Literasi sains bukan
hanya tentang mengetahui fakta-fakta ilmiah, tetapi lebih pada kemampuan untuk
memahami bagaimana sains bekerja: apa itu metode ilmiah, bagaimana teori diuji,
dan bagaimana klaim pengetahuan divalidasi.1 Literasi ini membantu
individu mengevaluasi klaim ilmiah secara kritis dan membedakan mana yang
bersumber dari penelitian sahih dan mana yang tidak.
Selain itu, literasi
media juga menjadi penting dalam era digital. Masyarakat perlu
dilatih untuk mengenali bias, propaganda, dan disinformasi yang sering
dibungkus dalam tampilan profesional. Proyek-proyek seperti MediaWise,
News
Literacy Project, dan inisiatif UNESCO dalam edukasi informasi
adalah contoh penting dari upaya global meningkatkan ketahanan terhadap hoaks
dan klaim pseudo-scientific.2
7.2.
Pendidikan Kritis dan Logika Ilmiah Sejak Dini
Strategi jangka
panjang yang paling efektif adalah membangun kurikulum pendidikan yang
menekankan nalar kritis, logika
formal, dan epistemologi ilmiah sejak
tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Dalam konteks ini, siswa perlu
diajarkan untuk mempertanyakan, menganalisis bukti, mengenali sesat pikir (fallacies),
dan memahami struktur argumen yang valid.3
Massimo Pigliucci
menyatakan bahwa melatih kemampuan berpikir kritis akan memperkecil kemungkinan
seseorang terjebak dalam “kepastian palsu” yang ditawarkan oleh pseudo-science,
karena ia telah terbiasa menilai informasi secara objektif dan skeptis (dalam
arti ilmiah).4
7.3.
Peran Aktif Akademisi dan Lembaga Ilmiah
Akademisi memiliki
tanggung jawab moral dan sosial untuk terlibat dalam komunikasi publik,
tidak hanya dalam forum ilmiah tertutup, tetapi juga di ruang-ruang sosial
tempat pseudo-science
berkembang. Hal ini mencakup keterlibatan dalam diskusi publik, penulisan
populer, media sosial, serta program literasi sains yang terbuka bagi masyarakat
umum.5
Lembaga ilmiah
seperti universitas, lembaga riset, dan badan penjamin mutu pendidikan juga
harus memiliki mekanisme klarifikasi dan tanggapan ilmiah
terhadap isu-isu yang menyebar di masyarakat. Ini termasuk pelurusan informasi melalui
kanal resmi, kerja sama dengan media, serta pembentukan pusat edukasi dan
pengaduan publik terkait sains dan teknologi.6
7.4.
Etika Keilmuan dan Tanggung Jawab Sosial
Ilmuwan
Penanggulangan pseudo-science
juga mensyaratkan integritas dari dalam dunia akademik itu sendiri. Ketika
ilmuwan tergoda untuk menyederhanakan, melebih-lebihkan, atau bahkan
memanipulasi data demi popularitas atau dana riset, maka batas antara sains dan
pseudo-science
menjadi kabur. Karena itu, penguatan kode etik ilmiah menjadi penting.7
Ilmuwan harus
senantiasa menjunjung nilai-nilai seperti kejujuran, keterbukaan terhadap
kritik, dan ketepatan metodologis. Menurut Mario Bunge, sains sejati bukan
hanya persoalan pengetahuan, tetapi juga persoalan etika: komitmen terhadap
kebenaran, bukan keuntungan atau kekuasaan.8
Kesimpulan Sementara
Pseudo-science
hanya bisa dilawan dengan pendekatan yang strategis dan berkelanjutan. Literasi
sains, pendidikan kritis, keterlibatan ilmuwan, dan penguatan etika akademik
harus berjalan beriringan untuk membentuk masyarakat yang tangguh terhadap
disinformasi. Dalam dunia yang kian kompleks dan penuh manipulasi, komitmen
terhadap prinsip-prinsip keilmuan bukan hanya kebutuhan akademik, tetapi
keharusan moral untuk menjaga nalar dan kemanusiaan.
Catatan Kaki
[1]
John Ziman, Real Science: What It Is, and What It Means
(Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 12–14.
[2]
UNESCO, Media and Information Literacy Curriculum for Teachers
(Paris: UNESCO, 2011), 19–22.
[3]
Theodore Schick Jr. and Lewis Vaughn, How to Think About Weird
Things: Critical Thinking for a New Age, 7th ed. (New York: McGraw-Hill,
2013), 35–38.
[4]
Massimo Pigliucci, Nonsense on Stilts: How to Tell Science from
Bunk (Chicago: University of Chicago Press, 2010), 210–213.
[5]
Bruce V. Lewenstein, “Science and the Media,” in Handbook of Public
Communication of Science and Technology, ed. Massimiano Bucchi and Brian
Trench (London: Routledge, 2008), 55–69.
[6]
National Academies of Sciences, Engineering, and Medicine, Communicating
Science Effectively: A Research Agenda (Washington, DC: The National
Academies Press, 2017), 75–78.
[7]
Robert Merton, “The Normative Structure of Science,” in The
Sociology of Science: Theoretical and Empirical Investigations (Chicago:
University of Chicago Press, 1973), 267–278.
[8]
Mario Bunge, Scientific Research: Strategy and Philosophy
(Berlin: Springer, 1967), 12–13.
8.
Penutup
8.1.
Kesimpulan
Pseudo-science
merupakan ancaman epistemologis yang nyata terhadap integritas ilmu
pengetahuan. Ia tidak hanya bersembunyi di balik istilah-istilah ilmiah yang
menyesatkan, tetapi juga menyusup ke berbagai aspek kehidupan sosial, mulai
dari pendidikan, kesehatan, hingga kebijakan publik. Melalui kajian ini, dapat
disimpulkan bahwa pseudo-science ditandai oleh
ketiadaan falsifiabilitas, ketidakmampuan untuk berkembang, dan resistensi
terhadap evaluasi kritis yang merupakan esensi dari praktik ilmiah yang sahih.1
Dari sisi filsafat
ilmu, tokoh-tokoh seperti Karl Popper, Thomas Kuhn, Paul Thagard, dan Mario
Bunge memberikan fondasi teoretis yang kuat untuk membedakan antara sains dan pseudo-science.
Falsifiabilitas (Popper), dinamika paradigma (Kuhn), indikator
sosial-epistemologis (Thagard), dan kehati-hatian dalam penggunaan istilah
ilmiah (Bunge), semuanya memperlihatkan bahwa pseudo-science adalah bentuk
penyimpangan serius dalam produksi dan penyebaran pengetahuan.2
Dalam konteks etika
keilmuan, pseudo-science
mencederai tanggung jawab moral ilmuwan dan merusak kepercayaan publik terhadap
ilmu. Hal ini tidak hanya mengancam kredibilitas komunitas akademik, tetapi
juga membahayakan masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada informasi dan
keputusan berbasis sains.3
8.2.
Rekomendasi
Berdasarkan analisis
yang telah dilakukan, beberapa rekomendasi strategis dapat diajukan:
1)
Pendidikan Ilmiah dan Kritis
Sejak Dini
Pemerintah dan institusi pendidikan perlu
mengintegrasikan kurikulum yang menekankan pada pemahaman metode ilmiah,
kemampuan berpikir kritis, dan kesadaran epistemologis. Hal ini penting untuk
membentuk generasi yang rasional dan tahan terhadap disinformasi.4
2)
Penguatan Peran Ilmuwan
dalam Komunikasi Publik
Ilmuwan dan akademisi harus lebih aktif
menjembatani ilmu dan masyarakat luas, dengan bahasa yang inklusif dan mudah
dipahami. Ketidakhadiran ilmuwan dalam ruang publik sering kali diisi oleh
suara-suara pseudo-scientific yang lebih agresif.5
3)
Etika Keilmuan yang Tegas
dan Teguh
Perlu ditegakkan standar etika penelitian dan
publikasi yang ketat untuk mencegah penyalahgunaan keilmuan demi kepentingan
ekonomi, politik, atau ideologis. Kode etik ini harus diterapkan tidak hanya
secara formal, tetapi juga sebagai budaya ilmiah yang hidup dan berkembang.6
4)
Kolaborasi Lintas Sektor
dalam Melawan Disinformasi
Kolaborasi antara akademisi, jurnalis,
pemerintah, dan lembaga swadaya masyarakat diperlukan untuk menghadapi pseudo-science
yang bersifat sistemik. Upaya ini termasuk literasi digital, penindakan
terhadap informasi palsu, dan kampanye publik berbasis sains.7
Penutup Akhir
Menanggulangi pseudo-science
bukan hanya urusan para ilmuwan, tetapi tanggung jawab kolektif seluruh
masyarakat yang mencintai kebenaran. Dalam dunia yang dibanjiri informasi dan
kabur batas antara fakta dan opini, kemampuan untuk berpikir ilmiah adalah
benteng terakhir dari akal sehat. Maka menjaga sains dari ancaman pseudo-science
adalah bagian dari perjuangan menjaga kemanusiaan itu sendiri.
Catatan Kaki
[1]
Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery (London:
Routledge, 2002), 18–22.
[2]
Paul R. Thagard, “Why Astrology Is a Pseudoscience,” PSA:
Proceedings of the Biennial Meeting of the Philosophy of Science Association
(1978): 227–234; Mario Bunge, Demarcating Science from Pseudoscience
(Berlin: Springer, 2018), 9–12.
[3]
Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge, MA: MIT Press, 2018),
42–45.
[4]
Massimo Pigliucci, Nonsense on Stilts: How to Tell Science from
Bunk (Chicago: University of Chicago Press, 2010), 210–213.
[5]
Bruce V. Lewenstein, “Science and the Media,” in Handbook of Public
Communication of Science and Technology, ed. Massimiano Bucchi and Brian
Trench (London: Routledge, 2008), 55–69.
[6]
Robert K. Merton, “The Normative Structure of Science,” in The
Sociology of Science (Chicago: University of Chicago Press, 1973),
267–278.
[7]
National Academies of Sciences, Engineering, and Medicine, Communicating
Science Effectively: A Research Agenda (Washington, DC: The National
Academies Press, 2017), 75–78.
Daftar Pustaka
Bunge, M. (1967). Scientific research: Strategy
and philosophy. Springer.
Bunge, M. (2018). Demarcating science from
pseudoscience. Springer.
Dean, G., Kelly, I. W., & Voas, D. (2018).
Astrology. In M. Pigliucci & M. Boudry (Eds.), The Routledge handbook of
pseudoscience (pp. 21–25). Routledge.
Ernst, E. (2016). Homeopathy: The undiluted
facts. Springer.
Garwood, C. (2007). Flat earth: The history of
an infamous idea. Thomas Dunne Books.
Goldenberg, M. (2016). Public misunderstanding of
science? Reframing the problem of vaccine hesitancy. Perspectives on Science,
24(5), 552–576. https://doi.org/10.1162/POSC_a_00223
Hacking, I. (1983). Representing and
intervening: Introductory topics in the philosophy of natural science.
Cambridge University Press.
Kanazawa, S., & Kovar, J. L. (2004). Why beautiful
people are more intelligent. Intelligence, 32(3), 227–243. https://doi.org/10.1016/j.intell.2004.03.003
Kuhn, T. S. (1970). The structure of scientific
revolutions (2nd ed.). University of Chicago Press.
Lewenstein, B. V. (2008). Science and the media. In
M. Bucchi & B. Trench (Eds.), Handbook of public communication of
science and technology (pp. 55–69). Routledge.
McIntyre, L. (2015). Respecting truth: Willful
ignorance in the internet age. Routledge.
McIntyre, L. (2018). Post-truth. MIT Press.
Merton, R. K. (1973). The normative structure of
science. In The sociology of science: Theoretical and empirical
investigations (pp. 267–278). University of Chicago Press.
National Academies of Sciences, Engineering, and
Medicine. (2017). Communicating science effectively: A research agenda.
The National Academies Press. https://doi.org/10.17226/23674
Phillips, W., & Milner, R. M. (2021). You
are here: A field guide for navigating polarized speech, conspiracy theories,
and our polluted media landscape. MIT Press.
Pigliucci, M. (2010). Nonsense on stilts: How to
tell science from bunk. University of Chicago Press.
Pigliucci, M., & Boudry, M. (Eds.). (2013). Philosophy
of pseudoscience: Reconsidering the demarcation problem. University of
Chicago Press.
Popper, K. R. (2002a). The logic of scientific
discovery (Routledge Classics ed.). Routledge. (Original work published
1934)
Popper, K. R. (2002b). Conjectures and
refutations: The growth of scientific knowledge. Routledge.
Sagan, C. (1996). The demon-haunted world:
Science as a candle in the dark. Random House.
Schick Jr., T., & Vaughn, L. (2013). How to
think about weird things: Critical thinking for a new age (7th ed.).
McGraw-Hill.
Scott, E. C. (2009). Evolution vs. creationism:
An introduction (2nd ed.). University of California Press.
Shang, A., Huwiler-Müntener, K., Nartey, L., Juni,
P., Dörig, S., Sterne, J. A. C., Pewsner, D., & Egger, M. (2005). Are the
clinical effects of homeopathy placebo effects? Comparative study of
placebo-controlled trials of homeopathy and allopathy. The Lancet,
366(9487), 726–732. https://doi.org/10.1016/S0140-6736(05)67177-2
Shermer, M. (2002). Why people believe weird
things: Pseudoscience, superstition, and other confusions of our time (Rev.
and expanded ed.). Henry Holt.
Shermer, M. (2011). The believing brain: From
ghosts and gods to politics and conspiracies—How we construct beliefs and
reinforce them as truths. Times Books.
Sokal, A., & Bricmont, J. (1998). Fashionable
nonsense: Postmodern intellectuals' abuse of science. Picador.
Stepan, N. L. (1982). The idea of race in
science: Great Britain, 1800–1960. Palgrave Macmillan.
Thagard, P. R. (1978). Why astrology is a
pseudoscience. PSA: Proceedings of the Biennial Meeting of the Philosophy of
Science Association, 1978, 223–234. https://doi.org/10.1086/psaprocbienmeetp.1978.1.9780226788547
UNESCO. (2011). Media and information literacy
curriculum for teachers. United Nations Educational, Scientific and
Cultural Organization. https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000192971
Ziman, J. (2000). Real science: What it is, and
what it means. Cambridge University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar