Senin, 09 Desember 2024

Pseudo-Science: Telaah Kritis terhadap Klaim Ilmiah yang Menyesatkan dalam Perspektif Epistemologi dan Etika Keilmuan

Pseudo-Science

Telaah Kritis terhadap Klaim Ilmiah yang Menyesatkan dalam Perspektif Epistemologi dan Etika Keilmuan


Alihkan ke: Ilmu Pengetahuan.


Abstrak

Artikel ini membahas fenomena pseudo-science (ilmu semu) secara komprehensif melalui pendekatan epistemologis dan etika keilmuan. Pseudo-science merujuk pada klaim atau praktik yang mengatasnamakan sains namun tidak memenuhi kriteria ilmiah yang sahih, seperti falsifiabilitas, verifikasi empiris, dan keterbukaan terhadap kritik. Melalui analisis terhadap pemikiran tokoh-tokoh penting seperti Karl Popper, Thomas Kuhn, Paul Thagard, dan Mario Bunge, artikel ini menegaskan bahwa pseudo-science bukan hanya pengetahuan yang keliru, tetapi juga bentuk penyimpangan metodologis dan etis. Artikel ini juga mengidentifikasi contoh-contoh pseudo-science populer seperti astrologi, homeopati, teori bumi datar, dan praktik supranatural berkedok ilmiah. Dampak negatif pseudo-science dibahas dalam konteks pendidikan, kesehatan, dan kehidupan sosial-politik. Di bagian akhir, artikel ini mengusulkan strategi penanggulangan melalui literasi sains, pendidikan kritis, peran aktif akademisi, serta penguatan etika keilmuan sebagai benteng terhadap disinformasi dan penyalahgunaan sains. Dengan pendekatan interdisipliner ini, diharapkan artikel ini dapat menjadi kontribusi dalam memperkuat kesadaran ilmiah di tengah masyarakat yang semakin kompleks dan rawan manipulasi informasi.

Kata Kunci: pseudo-science, epistemologi, etika keilmuan, falsifiabilitas, literasi sains, disinformasi, filsafat ilmu.


PEMBAHASAN

Pseudo-Science dalam Perspektif Epistemologi dan Etika Keilmuan


1.           Pendahuluan

1.1.       Latar Belakang Masalah

Ilmu pengetahuan merupakan hasil akumulasi sistematis dari upaya manusia dalam memahami realitas melalui observasi, eksperimen, dan penalaran rasional. Di dalam proses ini, ilmu tidak hanya menyediakan pengetahuan faktual, tetapi juga kerangka kerja metodologis yang memungkinkan pengujian dan pembenaran terhadap klaim-klaim yang diajukan. Namun, dalam perkembangannya, tidak semua yang mengaku sebagai “ilmu” benar-benar memenuhi kriteria keilmuan yang sahih. Berbagai pandangan dan praktik yang mengklaim dirinya sebagai “ilmiah” namun gagal dalam memenuhi standar metode ilmiah dikenal dengan istilah pseudo-science atau ilmu semu.

Fenomena pseudo-science tidak sekadar menjadi isu epistemologis, tetapi juga telah menimbulkan dampak sosial, politik, dan budaya yang signifikan. Di tengah maraknya informasi digital dan kemudahan akses terhadap berbagai sumber pengetahuan, pseudo-science dengan mudah menyusup ke dalam ruang publik dan dipercaya secara luas, meskipun tidak memiliki dasar ilmiah yang kokoh. Misalnya, kepercayaan terhadap astrologi, homeopati, teori bumi datar, dan praktik supranatural berkedok ilmiah masih banyak ditemukan di berbagai lapisan masyarakat modern. Hal ini menciptakan kondisi yang membingungkan antara sains sejati dengan klaim-klaim yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara rasional maupun empiris.

Karl R. Popper, seorang filsuf ilmu terkemuka, menegaskan bahwa perbedaan mendasar antara sains dan pseudo-science terletak pada prinsip falsifiabilitas. Suatu teori dapat disebut ilmiah jika memungkinkan untuk diuji dan berpotensi dibuktikan salah. Sementara pseudo-science cenderung kebal terhadap pengujian dan selalu mencari pembenaran atas klaimnya, bukan upaya untuk membantah atau mengoreksi dirinya sendiri.1

Kondisi ini memunculkan keprihatinan terhadap lemahnya literasi sains di kalangan masyarakat, serta menuntut adanya upaya sistematis untuk membedakan antara sains dan pseudo-science. Dalam konteks inilah, kajian terhadap pseudo-science menjadi penting, bukan hanya sebagai studi kritis atas fenomena keilmuan, tetapi juga sebagai upaya etis untuk menjaga integritas ilmu pengetahuan dari penyalahgunaan dan manipulasi.

1.2.       Rumusan Masalah

1)                  Apa yang dimaksud dengan pseudo-science dan bagaimana ia berbeda dari ilmu sejati?

2)                  Apa saja karakteristik utama dari pseudo-science?

3)                  Apa dampak sosial, budaya, dan epistemologis dari penyebaran pseudo-science?

4)                  Bagaimana pendekatan filosofis dan etika keilmuan dapat membantu menanggulangi fenomena ini?

1.3.       Tujuan Penulisan

Tulisan ini bertujuan untuk:

·                     Menjelaskan konsep dasar dan karakteristik pseudo-science.

·                     Mengidentifikasi contoh-contoh pseudo-science yang beredar di masyarakat.

·                     Menganalisis pseudo-science dari sudut pandang epistemologi dan etika keilmuan.

·                     Menawarkan strategi literasi kritis untuk menangkal pengaruh pseudo-science dalam kehidupan masyarakat modern.

1.4.       Metodologi Kajian

Kajian ini menggunakan pendekatan filsafat ilmu dan epistemologi, dengan metode studi pustaka terhadap berbagai sumber primer dan sekunder yang relevan, termasuk karya-karya Karl Popper, Paul Thagard, Mario Bunge, dan literatur akademik lain yang membahas masalah demarkasi antara sains dan pseudo-science. Analisis dilakukan secara kritis dan komparatif untuk mengidentifikasi karakteristik filosofis, logis, dan etis dari fenomena pseudo-science.


Catatan Kaki

[1]                Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 2002), 18–19.


2.           Landasan Teoretis

2.1.       Pengertian Ilmu Pengetahuan (Science)

Secara umum, ilmu pengetahuan (sains) dapat dipahami sebagai suatu sistem pengetahuan yang diperoleh melalui metode ilmiah, dengan tujuan untuk memahami, menjelaskan, dan memprediksi fenomena alam maupun sosial secara rasional dan objektif. Ciri utama dari sains terletak pada penerapan metode ilmiah yang mencakup observasi sistematis, perumusan hipotesis, eksperimen terkontrol, serta analisis data untuk menghasilkan kesimpulan yang dapat diverifikasi dan diuji ulang.1

Karl Popper menyatakan bahwa ilmu pengetahuan sejati adalah pengetahuan yang bersifat tentatif, selalu terbuka terhadap koreksi dan penolakan. Dalam pandangannya, sains bukan sekadar kumpulan fakta, tetapi proses dinamis yang berkembang melalui upaya membantah teori yang ada (falsifikasi), bukan sekadar membenarkannya.2 Teori yang tidak dapat diuji secara empiris dan tidak terbuka terhadap kemungkinan untuk dibuktikan salah, menurut Popper, bukanlah sains melainkan pseudo-science.

Sementara itu, Thomas S. Kuhn menekankan pentingnya konteks historis dan sosial dalam perkembangan ilmu. Ia memperkenalkan konsep “paradigma” sebagai kerangka berpikir dominan dalam satu periode ilmiah. Ilmu pengetahuan, menurut Kuhn, tidak berkembang secara linier, melainkan melalui revolusi paradigma, yakni perubahan besar dalam cara pandang ilmuwan terhadap suatu bidang kajian.3

Dengan demikian, ilmu pengetahuan merupakan hasil dari interaksi antara metode empiris, nalar logis, dan dinamika komunitas ilmiah yang menjaga validitas serta objektivitas pengetahuan yang dihasilkan.

2.2.       Epistemologi Ilmu

Epistemologi, atau teori pengetahuan, merupakan cabang filsafat yang mengkaji hakikat, asal-usul, batas, dan validitas pengetahuan. Dalam konteks keilmuan, epistemologi menjadi fondasi dalam menilai apakah suatu klaim pengetahuan memenuhi kriteria ilmiah atau tidak. Hal ini penting untuk membedakan antara pengetahuan yang sahih (justified true belief) dan klaim yang bersifat spekulatif atau keliru.

Beberapa prinsip dasar epistemologi ilmu yang relevan dalam membedakan sains dari pseudo-science antara lain:

1)                  Empirisme

Pengetahuan ilmiah harus berbasis pada observasi empiris dan pengalaman inderawi. Metode ilmiah menuntut data yang dapat diuji secara objektif, sehingga tidak bergantung pada keyakinan pribadi atau otoritas tertentu.4

2)                  Rasionalitas

Proses berpikir ilmiah harus logis, konsisten, dan bebas dari kontradiksi internal. Rasionalitas memungkinkan adanya koherensi dalam teori dan hubungan sebab-akibat yang dapat ditelusuri secara sistematis.5

3)                  Falsifiabilitas

Seperti telah disebutkan, falsifiabilitas adalah kemampuan suatu teori untuk diuji dan kemungkinan untuk dibuktikan salah. Prinsip ini menjadikan sains bersifat terbuka terhadap revisi dan perbaikan terus-menerus.6

4)                  Replikasi dan Verifikasi

Pengetahuan ilmiah harus dapat diuji ulang (replikasi) oleh peneliti lain dan mendapatkan hasil yang serupa. Ini menjadi indikator objektivitas dan kebenaran intersubjektif dalam ilmu pengetahuan.7

Epistemologi juga menilai klaim-klaim yang bersifat metafisik, mistis, atau dogmatis yang sering kali muncul dalam pseudo-science, dan menunjukkan bahwa klaim-klaim semacam itu tidak dapat diuji melalui metode ilmiah yang sahih. Oleh karena itu, pemahaman epistemologi ilmu menjadi instrumen penting dalam menyaring dan mengevaluasi validitas suatu klaim yang mengaku sebagai “ilmiah”.


Catatan Kaki

[1]                Peter Godfrey-Smith, Theory and Reality: An Introduction to the Philosophy of Science (Chicago: University of Chicago Press, 2003), 2–5.

[2]                Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 2002), 18–22.

[3]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 10–11.

[4]                Mario Bunge, Scientific Research: Strategy and Philosophy (Berlin: Springer, 1967), 31–35.

[5]                Paul R. Thagard, “Why Astrology Is a Pseudoscience,” PSA: Proceedings of the Biennial Meeting of the Philosophy of Science Association (1978): 228–230.

[6]                Karl R. Popper, Conjectures and Refutations: The Growth of Scientific Knowledge (New York: Routledge, 2002), 37–39.

[7]                Ian Hacking, Representing and Intervening: Introductory Topics in the Philosophy of Natural Science (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 34–36.


3.           Pseudo-Science: Definisi dan Karakteristik

3.1.       Pengertian Pseudo-Science

Istilah pseudo-science berasal dari dua kata, yaitu “pseudo” yang berarti palsu atau semu, dan “science” yang berarti ilmu. Maka secara etimologis, pseudo-science berarti “ilmu semu” atau “ilmu palsu” — yaitu klaim, kepercayaan, atau praktik yang mengaku sebagai ilmiah, namun tidak memenuhi standar metode ilmiah yang valid. Meskipun tampak menggunakan istilah dan pendekatan ilmiah, pseudo-science sering kali gagal dalam aspek-aspek fundamental seperti pengujian empiris, falsifikasi, dan keterbukaan terhadap kritik.

Karl Popper adalah salah satu tokoh awal yang menaruh perhatian besar terhadap pembeda antara sains dan pseudo-science. Ia menggunakan konsep falsifiabilitas sebagai kriteria demarkasi: sebuah teori dianggap ilmiah jika memungkinkan untuk dibuktikan salah melalui observasi atau eksperimen. Jika suatu teori tidak dapat diuji atau selalu mencari pembenaran, maka ia tergolong pseudo-scientific.1 Misalnya, Popper menyebut psikoanalisis Freud dan astrologi sebagai pseudo-science karena keduanya tidak memberikan peluang untuk diuji secara objektif dan tidak dapat dibantah meskipun data yang ditemukan bertentangan.2

Paul Thagard, dalam artikelnya yang berpengaruh “Why Astrology Is a Pseudoscience”, menawarkan kriteria demarkasi yang lebih komprehensif. Ia menyatakan bahwa suatu teori dapat disebut pseudo-science jika: (1) teori tersebut tidak berkembang seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan; (2) teori itu gagal dalam memecahkan masalah yang menjadi tujuannya; dan (3) komunitas pendukungnya tidak terbuka terhadap evaluasi dan kritik yang rasional.3

Dengan demikian, pseudo-science tidak hanya mencakup teori atau klaim yang tidak ilmiah, tetapi juga sikap, metode, dan struktur komunitasnya yang menolak prinsip-prinsip dasar keilmuan.

3.2.       Ciri-Ciri Utama Pseudo-Science

Para filsuf ilmu dan peneliti telah mengidentifikasi sejumlah karakteristik khas yang membedakan pseudo-science dari sains sejati. Di antara ciri-ciri tersebut adalah:

1)                  Tidak Dapat Difalsifikasi (Non-falsifiable)

Teori pseudo-scientific dirancang sedemikian rupa sehingga selalu tampak benar, apa pun bukti yang dihadirkan. Tidak ada eksperimen atau data yang dapat menyangkalnya secara meyakinkan. Ini bertentangan dengan prinsip dasar sains yang menuntut keterbukaan terhadap kemungkinan kesalahan.4

2)                  Mengandalkan Klaim Anekdot dan Testimoni Pribadi

Bukti dalam pseudo-science sering bersifat subyektif dan tidak terverifikasi, seperti pengalaman pribadi, kesaksian individu, atau kepercayaan tradisional. Ini jelas bertentangan dengan prinsip objektivitas dalam sains.5

3)                  Kurangnya Mekanisme Koreksi Mandiri

Ilmu pengetahuan berkembang melalui kritik, revisi teori, dan perbaikan terus-menerus. Sebaliknya, pseudo-science cenderung bersifat dogmatis dan menolak koreksi, bahkan ketika dihadapkan pada data yang kontradiktif.6

4)                  Bahasa Ilmiah yang Kabur dan Impresif

Banyak klaim pseudo-science menggunakan istilah ilmiah secara tidak tepat atau mengesankan, namun tanpa penjelasan metodologis yang jelas. Tujuannya lebih untuk memikat audiens awam daripada menjelaskan fenomena secara jujur dan terbuka.7

5)                  Tidak Diakui oleh Komunitas Ilmiah Resmi

Klaim pseudo-scientific umumnya tidak dipublikasikan di jurnal ilmiah terakreditasi, tidak diuji melalui peer-review, dan tidak mendapatkan pengakuan dari institusi ilmiah yang sah.

6)                  Klaim yang Luar Biasa tanpa Bukti Luar Biasa

Carl Sagan pernah menyatakan bahwa “extraordinary claims require extraordinary evidence.” Dalam pseudo-science, klaim luar biasa sering tidak disertai bukti yang setara, bahkan cenderung menghindari proses pembuktian sama sekali.8

Karakteristik-karakteristik ini menunjukkan bahwa pseudo-science pada hakikatnya tidak hanya gagal memenuhi kriteria keilmuan, tetapi juga membahayakan karena sering mengecoh publik dengan kedok ilmiah yang menyesatkan.


Catatan Kaki

[1]                Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 2002), 18–22.

[2]                Karl R. Popper, Conjectures and Refutations: The Growth of Scientific Knowledge (New York: Routledge, 2002), 34–36.

[3]                Paul R. Thagard, “Why Astrology Is a Pseudoscience,” PSA: Proceedings of the Biennial Meeting of the Philosophy of Science Association (1978): 223–234.

[4]                Mario Bunge, Demarcating Science from Pseudoscience (Berlin: Springer, 2018), 12–13.

[5]                Michael Shermer, Why People Believe Weird Things: Pseudoscience, Superstition, and Other Confusions of Our Time (New York: Henry Holt, 2002), 45–47.

[6]                Massimo Pigliucci and Maarten Boudry, eds., Philosophy of Pseudoscience: Reconsidering the Demarcation Problem (Chicago: University of Chicago Press, 2013), 22–25.

[7]                Alan Sokal and Jean Bricmont, Fashionable Nonsense: Postmodern Intellectuals’ Abuse of Science (New York: Picador, 1998), 5–6.

[8]                Carl Sagan, The Demon-Haunted World: Science as a Candle in the Dark (New York: Random House, 1996), 210.


4.           Contoh-Contoh Pseudo-Science Populer

Meskipun pseudo-science sering dikritik dan ditolak oleh komunitas ilmiah, nyatanya ia tetap memiliki daya tarik kuat di tengah masyarakat. Beberapa praktik dan kepercayaan yang tergolong pseudo-scientific bahkan memiliki pengikut yang luas dan kerap dipraktikkan secara terbuka. Berikut ini adalah beberapa contoh menonjol dari pseudo-science yang populer di berbagai belahan dunia.

4.1.       Astrologi

Astrologi adalah kepercayaan bahwa posisi dan pergerakan benda-benda langit seperti bintang dan planet memiliki pengaruh langsung terhadap kepribadian, perilaku, dan nasib manusia. Meskipun astrologi menggunakan istilah-istilah astronomi dan sering disajikan dalam bentuk grafik seperti horoskop, praktik ini tidak memiliki dasar empiris yang dapat diuji secara ilmiah. Studi-studi statistik dan eksperimen terkontrol secara konsisten gagal menemukan korelasi signifikan antara posisi benda langit dan perilaku manusia.1

Paul Thagard menjadikan astrologi sebagai studi kasus utama dalam mendefinisikan pseudo-science. Ia menyoroti bahwa astrologi gagal memperbaharui dirinya sesuai dengan perkembangan ilmu, tidak dapat memecahkan masalah secara konsisten, dan komunitas pendukungnya tidak memiliki mekanisme evaluasi kritis sebagaimana sains sejati.2

4.2.       Homeopati

Homeopati adalah sistem pengobatan alternatif yang didasarkan pada prinsip “like cures like” (yang serupa menyembuhkan yang serupa) dan penggunaan zat dalam konsentrasi yang sangat rendah atau bahkan mendekati nol (dilusi ekstrem). Klaim homeopati menyatakan bahwa zat yang menyebabkan gejala pada orang sehat dapat menyembuhkan gejala serupa pada orang sakit jika diberikan dalam dosis yang sangat kecil.3

Namun, berbagai studi ilmiah telah menunjukkan bahwa efektivitas homeopati tidak melebihi efek plasebo. Selain itu, konsep dilusi ekstrem yang digunakan dalam homeopati bertentangan dengan hukum dasar kimia dan fisika, karena pada tingkat tertentu tidak lagi terdapat molekul aktif dalam larutan tersebut.4 British Medical Association bahkan secara terbuka menyatakan bahwa homeopati “tidak memiliki dasar ilmiah dan tidak boleh didanai dengan dana publik.”_5

4.3.       Teori Bumi Datar (Flat Earth Theory)

Meskipun bukti empiris dan observasi astronomis modern telah membuktikan bentuk bulat (geoid) bumi secara meyakinkan sejak ribuan tahun lalu, keyakinan bahwa bumi itu datar masih bertahan hingga kini. Para penganut teori bumi datar menolak bukti observasional seperti foto satelit, hukum gravitasi, dan fenomena horizon, serta cenderung mengedepankan teori konspirasi bahwa lembaga ilmiah global telah memanipulasi informasi.6

Teori ini bukan hanya tidak ilmiah, tetapi juga antitesis terhadap semangat ilmiah karena menolak semua bentuk verifikasi empiris yang bertentangan dengan keyakinan mereka. Penolakan terhadap prinsip-prinsip dasar fisika dan astronomi menunjukkan bahwa penganutnya mengabaikan keseluruhan kerangka rasionalitas ilmiah.7

4.4.       Ilmu Supranatural Berkedok Ilmiah

Bentuk lain dari pseudo-science yang banyak ditemui di masyarakat adalah klaim-klaim supranatural yang disajikan dalam kemasan ilmiah. Contohnya termasuk “terapi energi”, “deteksi aura”, “pengobatan dengan bioenergi”, hingga “mesin pengubah frekuensi pikiran.” Praktik-praktik ini sering kali menggunakan istilah teknis seperti “frekuensi”, “gelombang otak”, atau “medan energi” secara sembarangan dan tidak sesuai konteks ilmiah.8

Fenomena ini memperlihatkan bagaimana bahasa sains digunakan untuk melegitimasi klaim-klaim metafisik yang tidak dapat diuji atau diverifikasi secara empiris. Alan Sokal menyebut praktik semacam ini sebagai penyalahgunaan istilah ilmiah demi menciptakan kesan otoritatif, padahal secara epistemologis tidak memiliki dasar sama sekali.9

4.5.       Pseudo-Psikologi dan Tes Kepribadian Palsu

Berbagai bentuk “psikologi populer” yang tidak berbasis pada riset ilmiah namun diklaim dapat menganalisis kepribadian manusia juga termasuk dalam kategori pseudo-science. Salah satu contohnya adalah tes kepribadian berbasis golongan darah, yang secara luas diyakini di beberapa negara seperti Jepang dan Korea Selatan. Meskipun tidak ada bukti ilmiah yang mendukung klaim hubungan antara golongan darah dan sifat kepribadian, keyakinan ini masih banyak dipertahankan.10

Contoh lainnya adalah penggunaan tes seperti MBTI (Myers-Briggs Type Indicator) yang meskipun populer, mendapat banyak kritik dari komunitas psikologi akademik karena reliabilitas dan validitasnya yang lemah, serta tidak didasarkan pada teori psikologi modern yang dapat diuji secara empiris.11


Catatan Kaki

[1]                Geoffrey Dean, Ivan W. Kelly, and David Voas, “Astrology,” in The Routledge Handbook of Pseudoscience, ed. Massimo Pigliucci and Maarten Boudry (London: Routledge, 2018), 21–25.

[2]                Paul R. Thagard, “Why Astrology Is a Pseudoscience,” PSA: Proceedings of the Biennial Meeting of the Philosophy of Science Association (1978): 227–234.

[3]                Edzard Ernst, Homeopathy: The Undiluted Facts (New York: Springer, 2016), 12–14.

[4]                Shang, Aijing, et al. “Are the clinical effects of homeopathy placebo effects? Comparative study of placebo-controlled trials of homeopathy and allopathy.” The Lancet 366, no. 9487 (2005): 726–732.

[5]                British Medical Association, Alternative Medicine: Report of the BMA’s Board of Science and Education (London: BMA, 1993), 24.

[6]                Christine Garwood, Flat Earth: The History of an Infamous Idea (New York: Thomas Dunne Books, 2007), 190–194.

[7]                Lee McIntyre, Respecting Truth: Willful Ignorance in the Internet Age (New York: Routledge, 2015), 49–52.

[8]                Michael Shermer, The Believing Brain (New York: Times Books, 2011), 156–159.

[9]                Alan Sokal and Jean Bricmont, Fashionable Nonsense: Postmodern Intellectuals’ Abuse of Science (New York: Picador, 1998), 9–11.

[10]             Satoshi Kanazawa and Jody L. Kovar, “Why Beautiful People Are More Intelligent,” Intelligence 32, no. 3 (2004): 227–243.

[11]             Adam Grant, “Goodbye to MBTI, the Fad That Won’t Die,” Psychology Today, September 18, 2013.


5.           Analisis Epistemologis dan Filosofis

Kajian terhadap pseudo-science tidak dapat dilepaskan dari analisis epistemologis dan filosofis, karena pada dasarnya persoalan utama yang dihadirkan oleh pseudo-science adalah persoalan tentang validitas pengetahuan. Di sinilah filsafat ilmu mengambil peran penting, terutama dalam membedakan antara klaim yang bersifat ilmiah dan klaim yang sekadar menyerupai ilmu. Beberapa tokoh utama dalam filsafat ilmu telah mengajukan berbagai pendekatan yang membantu menjelaskan batas antara sains dan pseudo-science.

5.1.       Perspektif Karl Popper: Falsifiabilitas sebagai Kriteria Demarkasi

Karl Popper (1902–1994) adalah salah satu filsuf ilmu paling berpengaruh dalam abad ke-20. Ia memperkenalkan konsep falsifiabilitas sebagai kriteria pembeda utama antara sains dan pseudo-science. Menurut Popper, suatu teori atau klaim dapat dianggap ilmiah jika dan hanya jika teori tersebut dapat diuji secara empiris dan berpotensi dibuktikan salah (falsifiable).1

Popper mengkritik teori-teori seperti psikoanalisis Freudian dan astrologi karena, menurutnya, teori-teori tersebut bersifat "tak terkalahkan" oleh fakta empiris: segala sesuatu yang terjadi dianggap selalu sesuai dengan teori, sehingga tidak ada ruang untuk menyatakan bahwa teori itu salah. Hal ini berbeda dari sains sejati, seperti relativitas Einstein, yang membuat prediksi spesifik dan terbuka terhadap pengujian.2

Dengan demikian, pseudo-science sering kali gagal melewati ujian falsifiabilitas karena dirancang sedemikian rupa untuk tidak pernah bisa dibantah, menjadikannya tertutup terhadap koreksi dan kemajuan ilmiah.

5.2.       Kritik Thomas Kuhn terhadap Ilmu Normal dan Paradigma

Thomas S. Kuhn dalam karyanya The Structure of Scientific Revolutions mengkritisi gagasan bahwa sains berkembang secara linier dan kumulatif. Ia memperkenalkan konsep paradigma, yakni kerangka konseptual yang mendasari praktik ilmiah pada masa tertentu. Menurut Kuhn, perkembangan ilmu berjalan melalui fase-fase: ilmu normal, krisis, revolusi ilmiah, dan lahirnya paradigma baru.3

Dalam konteks pseudo-science, konsep Kuhn membantu menjelaskan mengapa suatu kelompok bisa bertahan dalam sistem kepercayaannya meskipun bertentangan dengan paradigma ilmiah dominan. Komunitas pseudo-scientific sering beroperasi dalam "paradigma" sendiri yang tertutup terhadap anomali dan kritik, mirip dengan fase “ilmu normal” dalam kerangka Kuhn, namun tanpa mekanisme untuk transisi paradigma berbasis rasionalitas dan bukti.4

5.3.       Penilaian Paul Thagard terhadap Pseudo-Science sebagai “Bad Science”

Paul Thagard menawarkan pendekatan yang lebih fungsional dalam membedakan sains dari pseudo-science. Ia menyatakan bahwa pseudo-science bukan hanya “non-science” tetapi merupakan bentuk dari “bad science”, yakni praktik yang gagal mengikuti metode ilmiah dan tidak berkembang sesuai dengan kemajuan ilmu.5

Dalam artikelnya yang berpengaruh, Thagard memberikan tiga kriteria untuk mendeteksi pseudo-science:

1)                  Teori tidak mengalami perkembangan bila dibandingkan teori lain dalam ranah yang sama.

2)                  Ia terus mengalami kegagalan dalam memecahkan masalah.

3)                  Ia memiliki komunitas pendukung yang tidak terbuka terhadap evaluasi alternatif atau kritik dari luar.6

Kriteria ini menekankan bahwa pseudo-science adalah fenomena epistemologis sekaligus sosial, karena mencakup bagaimana komunitas keilmuan (atau pseudo-keilmuan) berfungsi dan bereaksi terhadap kritik.

5.4.       Posisi Pseudo-Science dalam Hirarki Pengetahuan

Dalam filsafat ilmu, pengetahuan dapat diklasifikasikan dalam beberapa kategori: ilmu pengetahuan ilmiah (scientific knowledge), pengetahuan non-ilmiah (non-scientific knowledge), dan pengetahuan semu (pseudo-scientific knowledge). Ilmu sejati ditandai oleh penggunaan metode ilmiah yang ketat dan terbuka terhadap revisi. Pengetahuan non-ilmiah (seperti seni, agama, atau filsafat) meskipun tidak empiris, tetap memiliki nilai dan legitimasi tersendiri.

Namun pseudo-science menempati posisi problematik karena mengklaim sebagai “ilmu” tetapi tidak memenuhi kriteria epistemologis yang sahih. Ia bukan hanya non-ilmiah, melainkan menyesatkan karena menyamarkan dirinya dalam bentuk dan bahasa ilmiah. Mario Bunge menyebut pseudo-science sebagai “penyakit epistemologis” karena berusaha mengecoh dengan menggunakan simbol dan metode ilmiah secara keliru.7


Kesimpulan Sementara

Dari perspektif epistemologi dan filsafat ilmu, pseudo-science bukan sekadar kekeliruan pengetahuan, melainkan bentuk penyimpangan terhadap prinsip dasar pencarian kebenaran ilmiah. Ia tertutup terhadap kritik, tidak dapat diuji, tidak berkembang, dan cenderung dogmatis. Analisis dari Popper, Kuhn, Thagard, dan Bunge memberikan alat evaluasi yang sangat bermanfaat untuk membedakan antara pengetahuan yang sahih dan yang hanya menyerupai sains dari segi tampilan, namun kosong dari segi substansi.


Catatan Kaki

[1]                Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 2002), 18–22.

[2]                Karl R. Popper, Conjectures and Refutations: The Growth of Scientific Knowledge (New York: Routledge, 2002), 34–36.

[3]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 10–11.

[4]                Ian Hacking, Representing and Intervening: Introductory Topics in the Philosophy of Natural Science (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 45–47.

[5]                Paul R. Thagard, “Why Astrology Is a Pseudoscience,” PSA: Proceedings of the Biennial Meeting of the Philosophy of Science Association (1978): 227–234.

[6]                Ibid., 230–233.

[7]                Mario Bunge, Demarcating Science from Pseudoscience (Berlin: Springer, 2018), 9–12.


6.           Dampak Negatif Pseudo-Science

Keberadaan pseudo-science bukan sekadar masalah akademik atau konseptual, tetapi membawa konsekuensi nyata dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Klaim-klaim yang menyesatkan, meskipun dikemas dalam bentuk yang tampak ilmiah, dapat merusak pemahaman rasional, mengganggu pengambilan keputusan publik, dan bahkan membahayakan keselamatan manusia. Berikut ini adalah beberapa dampak negatif pseudo-science yang signifikan dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan kehidupan sosial-politik.

6.1.       Dalam Dunia Pendidikan

Salah satu dampak paling mencolok dari pseudo-science adalah kerusakannya terhadap proses pendidikan, terutama ketika ide-ide tidak ilmiah disusupkan ke dalam kurikulum atau materi ajar. Ketika siswa diperkenalkan dengan konsep-konsep seperti astrologi, teori bumi datar, atau penciptaan instan tanpa pendekatan ilmiah, mereka kehilangan kemampuan untuk berpikir kritis dan membedakan antara opini dengan fakta berbasis bukti.1

Michael Shermer menyatakan bahwa pseudo-science mengaburkan batas antara pengetahuan dan kepercayaan, serta menghambat pengembangan pola pikir ilmiah yang berbasis pada skeptisisme rasional dan verifikasi empiris.2 Dalam jangka panjang, hal ini dapat menyebabkan generasi muda menjadi rentan terhadap hoaks, teori konspirasi, dan propaganda anti-sains.

Lebih jauh, Mario Bunge memperingatkan bahwa pendidikan yang membiarkan pseudo-science tumbuh tanpa kritik berarti mencetak masyarakat yang mudah dibohongi dan tidak mampu mengambil keputusan berdasarkan alasan yang rasional.3

6.2.       Dalam Dunia Kesehatan

Di bidang kesehatan, pseudo-science dapat menimbulkan kerugian serius, bahkan hingga mengancam nyawa. Klaim pengobatan alternatif yang tidak terbukti secara ilmiah—seperti homeopati, terapi magnetik, atau penyembuhan energi—sering menggantikan intervensi medis yang berbasis bukti. Akibatnya, pasien bisa kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pengobatan yang efektif.4

Studi dalam jurnal The Lancet menemukan bahwa banyak terapi pseudo-scientific tidak lebih efektif dari plasebo, namun tetap populer karena didorong oleh promosi media, testimoni personal, atau persepsi “alami dan aman.”_5 Dalam kasus ekstrem, penolakan terhadap vaksin (yang sering didorong oleh pseudo-science) telah menyebabkan wabah penyakit yang seharusnya dapat dicegah, seperti campak dan polio.6

Etika keilmuan mengharuskan para praktisi dan pengambil kebijakan untuk bertindak berdasarkan bukti yang kuat demi keselamatan publik. Mengabaikan prinsip ini demi keuntungan ekonomi atau pengaruh ideologis merupakan bentuk pengkhianatan terhadap tanggung jawab ilmiah.

6.3.       Dalam Kehidupan Sosial dan Politik

Pseudo-science juga memainkan peran destruktif dalam kehidupan sosial dan politik. Di era media digital dan algoritma media sosial, teori-teori pseudo-scientific seperti bumi datar, konspirasi 5G, atau manipulasi cuaca oleh elit global dengan cepat menyebar dan menciptakan echo chamber yang memperkuat kepercayaan tanpa dasar.7

Lee McIntyre dalam bukunya Post-Truth menjelaskan bahwa pseudo-science merupakan bagian dari lanskap pasca-kebenaran, di mana klaim emosional dan narasi ideologis lebih dipercaya dibandingkan fakta dan data.8 Akibatnya, masyarakat menjadi terfragmentasi, kebijakan publik terdistorsi, dan kepercayaan terhadap institusi ilmiah melemah.

Selain itu, pseudo-science kerap digunakan untuk membenarkan diskriminasi atau supremasi kelompok tertentu. Misalnya, teori rasial palsu yang pernah diklaim “ilmiah” digunakan untuk mendukung praktik kolonialisme dan apartheid.9


Kesimpulan Sementara

Dampak negatif pseudo-science sangat luas dan mendalam. Ia tidak hanya menghambat kemajuan pengetahuan, tetapi juga mengancam integritas moral, sosial, dan politik masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan sistematis melalui pendidikan kritis, kebijakan berbasis sains, dan etika keilmuan untuk membendung pengaruh pseudo-science yang menyesatkan.


Catatan Kaki

[1]                Eugenie C. Scott, Evolution vs. Creationism: An Introduction (Berkeley: University of California Press, 2009), 88–90.

[2]                Michael Shermer, Why People Believe Weird Things: Pseudoscience, Superstition, and Other Confusions of Our Time (New York: Henry Holt, 2002), 50–53.

[3]                Mario Bunge, Demarcating Science from Pseudoscience (Berlin: Springer, 2018), 22–24.

[4]                Edzard Ernst, Homeopathy: The Undiluted Facts (New York: Springer, 2016), 17–18.

[5]                Aijing Shang et al., “Are the Clinical Effects of Homeopathy Placebo Effects? Comparative Study of Placebo-Controlled Trials of Homeopathy and Allopathy,” The Lancet 366, no. 9487 (2005): 726–732.

[6]                Maya Goldenberg, “Public Misunderstanding of Science? Reframing the Problem of Vaccine Hesitancy,” Perspectives on Science 24, no. 5 (2016): 552–576.

[7]                Whitney Phillips and Ryan M. Milner, You Are Here: A Field Guide for Navigating Polarized Speech, Conspiracy Theories, and Our Polluted Media Landscape (Cambridge, MA: MIT Press, 2021), 103–105.

[8]                Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge, MA: MIT Press, 2018), 17–20.

[9]                Nancy Leys Stepan, The Idea of Race in Science: Great Britain, 1800–1960 (London: Palgrave Macmillan, 1982), 112–115.


7.           Strategi Menanggulangi Pseudo-Science

Menanggulangi pseudo-science bukanlah tugas yang mudah, mengingat penyebarannya sering kali dibalut dengan retorika ilmiah yang menarik, didorong oleh media sosial, serta mempermainkan sisi emosional dan kebutuhan spiritual masyarakat. Oleh karena itu, strategi yang digunakan harus bersifat multidimensi: mencakup aspek pendidikan, komunikasi publik, kebijakan, dan etika profesi ilmiah. Berikut ini adalah beberapa strategi yang dapat diterapkan secara sistematis untuk membendung penyebaran pseudo-science dalam masyarakat modern.

7.1.       Meningkatkan Literasi Sains dan Literasi Media

Langkah fundamental dalam menghadapi pseudo-science adalah memperkuat literasi sains di berbagai lapisan masyarakat. Literasi sains bukan hanya tentang mengetahui fakta-fakta ilmiah, tetapi lebih pada kemampuan untuk memahami bagaimana sains bekerja: apa itu metode ilmiah, bagaimana teori diuji, dan bagaimana klaim pengetahuan divalidasi.1 Literasi ini membantu individu mengevaluasi klaim ilmiah secara kritis dan membedakan mana yang bersumber dari penelitian sahih dan mana yang tidak.

Selain itu, literasi media juga menjadi penting dalam era digital. Masyarakat perlu dilatih untuk mengenali bias, propaganda, dan disinformasi yang sering dibungkus dalam tampilan profesional. Proyek-proyek seperti MediaWise, News Literacy Project, dan inisiatif UNESCO dalam edukasi informasi adalah contoh penting dari upaya global meningkatkan ketahanan terhadap hoaks dan klaim pseudo-scientific.2

7.2.       Pendidikan Kritis dan Logika Ilmiah Sejak Dini

Strategi jangka panjang yang paling efektif adalah membangun kurikulum pendidikan yang menekankan nalar kritis, logika formal, dan epistemologi ilmiah sejak tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Dalam konteks ini, siswa perlu diajarkan untuk mempertanyakan, menganalisis bukti, mengenali sesat pikir (fallacies), dan memahami struktur argumen yang valid.3

Massimo Pigliucci menyatakan bahwa melatih kemampuan berpikir kritis akan memperkecil kemungkinan seseorang terjebak dalam “kepastian palsu” yang ditawarkan oleh pseudo-science, karena ia telah terbiasa menilai informasi secara objektif dan skeptis (dalam arti ilmiah).4

7.3.       Peran Aktif Akademisi dan Lembaga Ilmiah

Akademisi memiliki tanggung jawab moral dan sosial untuk terlibat dalam komunikasi publik, tidak hanya dalam forum ilmiah tertutup, tetapi juga di ruang-ruang sosial tempat pseudo-science berkembang. Hal ini mencakup keterlibatan dalam diskusi publik, penulisan populer, media sosial, serta program literasi sains yang terbuka bagi masyarakat umum.5

Lembaga ilmiah seperti universitas, lembaga riset, dan badan penjamin mutu pendidikan juga harus memiliki mekanisme klarifikasi dan tanggapan ilmiah terhadap isu-isu yang menyebar di masyarakat. Ini termasuk pelurusan informasi melalui kanal resmi, kerja sama dengan media, serta pembentukan pusat edukasi dan pengaduan publik terkait sains dan teknologi.6

7.4.       Etika Keilmuan dan Tanggung Jawab Sosial Ilmuwan

Penanggulangan pseudo-science juga mensyaratkan integritas dari dalam dunia akademik itu sendiri. Ketika ilmuwan tergoda untuk menyederhanakan, melebih-lebihkan, atau bahkan memanipulasi data demi popularitas atau dana riset, maka batas antara sains dan pseudo-science menjadi kabur. Karena itu, penguatan kode etik ilmiah menjadi penting.7

Ilmuwan harus senantiasa menjunjung nilai-nilai seperti kejujuran, keterbukaan terhadap kritik, dan ketepatan metodologis. Menurut Mario Bunge, sains sejati bukan hanya persoalan pengetahuan, tetapi juga persoalan etika: komitmen terhadap kebenaran, bukan keuntungan atau kekuasaan.8


Kesimpulan Sementara

Pseudo-science hanya bisa dilawan dengan pendekatan yang strategis dan berkelanjutan. Literasi sains, pendidikan kritis, keterlibatan ilmuwan, dan penguatan etika akademik harus berjalan beriringan untuk membentuk masyarakat yang tangguh terhadap disinformasi. Dalam dunia yang kian kompleks dan penuh manipulasi, komitmen terhadap prinsip-prinsip keilmuan bukan hanya kebutuhan akademik, tetapi keharusan moral untuk menjaga nalar dan kemanusiaan.


Catatan Kaki

[1]                John Ziman, Real Science: What It Is, and What It Means (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 12–14.

[2]                UNESCO, Media and Information Literacy Curriculum for Teachers (Paris: UNESCO, 2011), 19–22.

[3]                Theodore Schick Jr. and Lewis Vaughn, How to Think About Weird Things: Critical Thinking for a New Age, 7th ed. (New York: McGraw-Hill, 2013), 35–38.

[4]                Massimo Pigliucci, Nonsense on Stilts: How to Tell Science from Bunk (Chicago: University of Chicago Press, 2010), 210–213.

[5]                Bruce V. Lewenstein, “Science and the Media,” in Handbook of Public Communication of Science and Technology, ed. Massimiano Bucchi and Brian Trench (London: Routledge, 2008), 55–69.

[6]                National Academies of Sciences, Engineering, and Medicine, Communicating Science Effectively: A Research Agenda (Washington, DC: The National Academies Press, 2017), 75–78.

[7]                Robert Merton, “The Normative Structure of Science,” in The Sociology of Science: Theoretical and Empirical Investigations (Chicago: University of Chicago Press, 1973), 267–278.

[8]                Mario Bunge, Scientific Research: Strategy and Philosophy (Berlin: Springer, 1967), 12–13.


8.           Penutup

8.1.       Kesimpulan

Pseudo-science merupakan ancaman epistemologis yang nyata terhadap integritas ilmu pengetahuan. Ia tidak hanya bersembunyi di balik istilah-istilah ilmiah yang menyesatkan, tetapi juga menyusup ke berbagai aspek kehidupan sosial, mulai dari pendidikan, kesehatan, hingga kebijakan publik. Melalui kajian ini, dapat disimpulkan bahwa pseudo-science ditandai oleh ketiadaan falsifiabilitas, ketidakmampuan untuk berkembang, dan resistensi terhadap evaluasi kritis yang merupakan esensi dari praktik ilmiah yang sahih.1

Dari sisi filsafat ilmu, tokoh-tokoh seperti Karl Popper, Thomas Kuhn, Paul Thagard, dan Mario Bunge memberikan fondasi teoretis yang kuat untuk membedakan antara sains dan pseudo-science. Falsifiabilitas (Popper), dinamika paradigma (Kuhn), indikator sosial-epistemologis (Thagard), dan kehati-hatian dalam penggunaan istilah ilmiah (Bunge), semuanya memperlihatkan bahwa pseudo-science adalah bentuk penyimpangan serius dalam produksi dan penyebaran pengetahuan.2

Dalam konteks etika keilmuan, pseudo-science mencederai tanggung jawab moral ilmuwan dan merusak kepercayaan publik terhadap ilmu. Hal ini tidak hanya mengancam kredibilitas komunitas akademik, tetapi juga membahayakan masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada informasi dan keputusan berbasis sains.3

8.2.       Rekomendasi

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, beberapa rekomendasi strategis dapat diajukan:

1)                  Pendidikan Ilmiah dan Kritis Sejak Dini

Pemerintah dan institusi pendidikan perlu mengintegrasikan kurikulum yang menekankan pada pemahaman metode ilmiah, kemampuan berpikir kritis, dan kesadaran epistemologis. Hal ini penting untuk membentuk generasi yang rasional dan tahan terhadap disinformasi.4

2)                  Penguatan Peran Ilmuwan dalam Komunikasi Publik

Ilmuwan dan akademisi harus lebih aktif menjembatani ilmu dan masyarakat luas, dengan bahasa yang inklusif dan mudah dipahami. Ketidakhadiran ilmuwan dalam ruang publik sering kali diisi oleh suara-suara pseudo-scientific yang lebih agresif.5

3)                  Etika Keilmuan yang Tegas dan Teguh

Perlu ditegakkan standar etika penelitian dan publikasi yang ketat untuk mencegah penyalahgunaan keilmuan demi kepentingan ekonomi, politik, atau ideologis. Kode etik ini harus diterapkan tidak hanya secara formal, tetapi juga sebagai budaya ilmiah yang hidup dan berkembang.6

4)                  Kolaborasi Lintas Sektor dalam Melawan Disinformasi

Kolaborasi antara akademisi, jurnalis, pemerintah, dan lembaga swadaya masyarakat diperlukan untuk menghadapi pseudo-science yang bersifat sistemik. Upaya ini termasuk literasi digital, penindakan terhadap informasi palsu, dan kampanye publik berbasis sains.7


Penutup Akhir

Menanggulangi pseudo-science bukan hanya urusan para ilmuwan, tetapi tanggung jawab kolektif seluruh masyarakat yang mencintai kebenaran. Dalam dunia yang dibanjiri informasi dan kabur batas antara fakta dan opini, kemampuan untuk berpikir ilmiah adalah benteng terakhir dari akal sehat. Maka menjaga sains dari ancaman pseudo-science adalah bagian dari perjuangan menjaga kemanusiaan itu sendiri.


Catatan Kaki

[1]                Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 2002), 18–22.

[2]                Paul R. Thagard, “Why Astrology Is a Pseudoscience,” PSA: Proceedings of the Biennial Meeting of the Philosophy of Science Association (1978): 227–234; Mario Bunge, Demarcating Science from Pseudoscience (Berlin: Springer, 2018), 9–12.

[3]                Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge, MA: MIT Press, 2018), 42–45.

[4]                Massimo Pigliucci, Nonsense on Stilts: How to Tell Science from Bunk (Chicago: University of Chicago Press, 2010), 210–213.

[5]                Bruce V. Lewenstein, “Science and the Media,” in Handbook of Public Communication of Science and Technology, ed. Massimiano Bucchi and Brian Trench (London: Routledge, 2008), 55–69.

[6]                Robert K. Merton, “The Normative Structure of Science,” in The Sociology of Science (Chicago: University of Chicago Press, 1973), 267–278.

[7]                National Academies of Sciences, Engineering, and Medicine, Communicating Science Effectively: A Research Agenda (Washington, DC: The National Academies Press, 2017), 75–78.


Daftar Pustaka

Bunge, M. (1967). Scientific research: Strategy and philosophy. Springer.

Bunge, M. (2018). Demarcating science from pseudoscience. Springer.

Dean, G., Kelly, I. W., & Voas, D. (2018). Astrology. In M. Pigliucci & M. Boudry (Eds.), The Routledge handbook of pseudoscience (pp. 21–25). Routledge.

Ernst, E. (2016). Homeopathy: The undiluted facts. Springer.

Garwood, C. (2007). Flat earth: The history of an infamous idea. Thomas Dunne Books.

Goldenberg, M. (2016). Public misunderstanding of science? Reframing the problem of vaccine hesitancy. Perspectives on Science, 24(5), 552–576. https://doi.org/10.1162/POSC_a_00223

Hacking, I. (1983). Representing and intervening: Introductory topics in the philosophy of natural science. Cambridge University Press.

Kanazawa, S., & Kovar, J. L. (2004). Why beautiful people are more intelligent. Intelligence, 32(3), 227–243. https://doi.org/10.1016/j.intell.2004.03.003

Kuhn, T. S. (1970). The structure of scientific revolutions (2nd ed.). University of Chicago Press.

Lewenstein, B. V. (2008). Science and the media. In M. Bucchi & B. Trench (Eds.), Handbook of public communication of science and technology (pp. 55–69). Routledge.

McIntyre, L. (2015). Respecting truth: Willful ignorance in the internet age. Routledge.

McIntyre, L. (2018). Post-truth. MIT Press.

Merton, R. K. (1973). The normative structure of science. In The sociology of science: Theoretical and empirical investigations (pp. 267–278). University of Chicago Press.

National Academies of Sciences, Engineering, and Medicine. (2017). Communicating science effectively: A research agenda. The National Academies Press. https://doi.org/10.17226/23674

Phillips, W., & Milner, R. M. (2021). You are here: A field guide for navigating polarized speech, conspiracy theories, and our polluted media landscape. MIT Press.

Pigliucci, M. (2010). Nonsense on stilts: How to tell science from bunk. University of Chicago Press.

Pigliucci, M., & Boudry, M. (Eds.). (2013). Philosophy of pseudoscience: Reconsidering the demarcation problem. University of Chicago Press.

Popper, K. R. (2002a). The logic of scientific discovery (Routledge Classics ed.). Routledge. (Original work published 1934)

Popper, K. R. (2002b). Conjectures and refutations: The growth of scientific knowledge. Routledge.

Sagan, C. (1996). The demon-haunted world: Science as a candle in the dark. Random House.

Schick Jr., T., & Vaughn, L. (2013). How to think about weird things: Critical thinking for a new age (7th ed.). McGraw-Hill.

Scott, E. C. (2009). Evolution vs. creationism: An introduction (2nd ed.). University of California Press.

Shang, A., Huwiler-Müntener, K., Nartey, L., Juni, P., Dörig, S., Sterne, J. A. C., Pewsner, D., & Egger, M. (2005). Are the clinical effects of homeopathy placebo effects? Comparative study of placebo-controlled trials of homeopathy and allopathy. The Lancet, 366(9487), 726–732. https://doi.org/10.1016/S0140-6736(05)67177-2

Shermer, M. (2002). Why people believe weird things: Pseudoscience, superstition, and other confusions of our time (Rev. and expanded ed.). Henry Holt.

Shermer, M. (2011). The believing brain: From ghosts and gods to politics and conspiracies—How we construct beliefs and reinforce them as truths. Times Books.

Sokal, A., & Bricmont, J. (1998). Fashionable nonsense: Postmodern intellectuals' abuse of science. Picador.

Stepan, N. L. (1982). The idea of race in science: Great Britain, 1800–1960. Palgrave Macmillan.

Thagard, P. R. (1978). Why astrology is a pseudoscience. PSA: Proceedings of the Biennial Meeting of the Philosophy of Science Association, 1978, 223–234. https://doi.org/10.1086/psaprocbienmeetp.1978.1.9780226788547

UNESCO. (2011). Media and information literacy curriculum for teachers. United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization. https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000192971

Ziman, J. (2000). Real science: What it is, and what it means. Cambridge University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar