FITNAH KUBRO
“Tragedi Politik di Era
Khalifah Utsman bin Affan dan Implikasinya bagi Sejarah Islam”
1.
Pendahuluan
Fitnah Kubro, yang secara harfiah berarti "fitnah besar," adalah
salah satu peristiwa paling memilukan dalam sejarah Islam. Peristiwa ini
merujuk pada serangkaian kekacauan politik dan sosial yang berujung pada
pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan, pemimpin ketiga umat Islam setelah
Rasulullah Saw. Tragedi ini tidak hanya menandai awal dari era ketidakstabilan
politik di kalangan umat Islam, tetapi juga menjadi titik awal perpecahan yang
melahirkan berbagai kelompok politik dan teologis dalam sejarah Islam.
Dalam konteks sejarah Islam, istilah "fitnah"
merujuk pada ujian, cobaan, atau konflik yang memiliki potensi untuk mengganggu
stabilitas keimanan dan persatuan umat. Sebagaimana disebutkan oleh Al-Qur'an,
fitnah dapat memicu kerusakan besar dalam masyarakat apabila tidak ditangani
dengan kebijaksanaan dan keadilan (QS Al-Anfal [08] ayat 25).¹ Peristiwa Fitnah
Kubro bukan hanya sekadar ujian kepemimpinan, tetapi juga merupakan tragedi
yang membuka jalan bagi perselisihan besar antara kelompok-kelompok Muslim.
Khalifah Utsman bin Affan, yang dikenal dengan
julukan Dzunnurain karena menikahi dua putri Rasulullah Saw., adalah
seorang pemimpin yang banyak berjasa dalam memperluas wilayah Islam dan
memperkuat administrasi negara. Namun, masa pemerintahannya menghadapi
tantangan yang berat akibat perubahan sosial dan politik yang terjadi seiring
dengan berkembangnya kekuasaan Islam.² Sebagian masyarakat menganggap kebijakan
Khalifah Utsman terlalu lunak, terutama dalam hal pengangkatan pejabat dari
keluarganya, yang dipersepsikan sebagai nepotisme. Hal ini menimbulkan
ketidakpuasan di kalangan rakyat, yang akhirnya memicu pemberontakan.
Fitnah Kubro memberikan dampak jangka panjang bagi
sejarah Islam. Tragedi ini menjadi awal dari konflik politik dan teologis yang
melibatkan berbagai kelompok, seperti Syiah dan Khawarij.³ Oleh karena itu,
mempelajari peristiwa ini secara komprehensif sangat penting untuk memahami
dinamika kepemimpinan dalam Islam dan bagaimana umat Islam dapat mengelola
konflik dengan lebih bijak.
Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengupas
secara mendalam latar belakang, kronologi, dan dampak Fitnah Kubro
berdasarkan referensi yang kredibel, baik dari sumber-sumber klasik seperti Tarikh
at-Tabari maupun kajian modern. Dengan demikian, diharapkan pembaca dapat
memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang peristiwa ini dan mengambil
pelajaran darinya untuk menjaga persatuan dan stabilitas umat Islam di masa
kini.
Catatan Kaki
[1]
Al-Qur'an, Surah Al-Anfal 8:25.
[2]
Al-Mubarakpuri, Safi-ur-Rahman. Ar-Raheeq Al-Makhtum (The Sealed
Nectar). Riyadh: Darussalam, 1996, 546.
[3]
Momen, Moojan. An Introduction to Shi'i Islam: The History and
Doctrines of Twelver Shi'ism. New Haven: Yale University Press, 1985,
34-35.
2.
Latar
Belakang Fitnah Kubro
2.1.
Kondisi
Sosial dan Politik di Masa Khalifah Utsman bin Affan
Khalifah Utsman bin
Affan memimpin umat Islam dalam periode kejayaan, ditandai dengan perluasan
wilayah Islam yang meliputi Persia, Mesir, dan Afrika Utara. Ekspansi ini
membawa Islam pada tingkat kekuasaan yang belum pernah dicapai sebelumnya. Namun, bersama dengan
keberhasilan tersebut, muncul tantangan baru dalam hal pengelolaan pemerintahan
yang kompleks. Khalifah Utsman menghadapi tantangan besar untuk memadukan beragam kelompok etnis, suku, dan
budaya di bawah satu pemerintahan Islam.¹
Salah satu kebijakan
kontroversial Khalifah Utsman adalah pengangkatan kerabatnya dari Bani Umayyah
pada posisi-posisi strategis pemerintahan. Di antaranya, Marwan bin Hakam yang
diangkat sebagai sekretaris
Khalifah dan Abdullah bin Sa'ad bin Abi Sarh sebagai gubernur Mesir.² Kebijakan
ini memicu tuduhan nepotisme di kalangan umat, terutama dari kelompok yang
merasa tidak mendapatkan hak yang adil dalam pembagian kekuasaan.³
Kelompok-kelompok ini menganggap pengangkatan
pejabat dari kalangan keluarga dekat sebagai bentuk monopoli kekuasaan.
Selain itu,
pengelolaan sumber daya ekonomi yang berpusat di Madinah menciptakan
ketimpangan sosial. Distribusi ghanimah (harta rampasan perang) dan tanah-tanah hasil ekspansi dianggap tidak adil
oleh beberapa pihak, terutama mereka yang berada di wilayah-wilayah baru Islam
seperti Kufah dan Mesir.⁴ Ketidakpuasan ini menciptakan suasana ketegangan
sosial yang mudah dimanipulasi oleh pihak-pihak yang ingin memecah belah umat.
2.2.
Faktor-Faktor
Penyebab Kekacauan
Sejarah mencatat
bahwa Fitnah Kubro tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan merupakan akumulasi
dari berbagai persoalan yang melibatkan dinamika politik, sosial, dan ekonomi.
Salah satu penyebab utama adalah keberadaan
kelompok-kelompok tertentu yang sengaja memanfaatkan situasi untuk kepentingan
politik mereka. Tokoh seperti Abdullah bin Saba, seorang Yahudi yang memeluk
Islam, dituduh menyebarkan ide-ide provokatif dengan tujuan menggulingkan
kekhalifahan.⁵ Abdullah bin Saba dan pengikutnya menuduh Khalifah Utsman
menyimpang dari ajaran Islam dan memulai propaganda yang menyulut pemberontakan
di beberapa wilayah penting, termasuk Mesir, Basrah, dan Kufah.
Tuduhan-tuduhan
terhadap Khalifah Utsman tidak hanya mencakup aspek politik, tetapi juga aspek
keagamaan. Beberapa pemberontak menuduh Utsman telah melakukan inovasi (bid'ah) dalam agama, seperti
membakar mushaf Al-Qur'an yang berbeda dengan mushaf standar hasil kodifikasi
di masa kekhalifahannya. Namun, kebijakan ini sebenarnya bertujuan untuk
menyatukan bacaan umat Islam demi menghindari perselisihan.⁶ Sayangnya,
kebijakan tersebut dipelintir sebagai tindakan otoriter oleh para pemberontak.
Selain itu,
penyebaran surat-surat rahasia yang mengandung tuduhan palsu terhadap Khalifah
Utsman juga menjadi alat utama dalam menciptakan kekacauan. Surat-surat ini
ditulis atas nama Utsman atau pejabat pemerintahannya,
padahal dibuat oleh kelompok-kelompok pemberontak. Surat-surat ini berhasil
membakar amarah rakyat dan menggerakkan mereka untuk mengepung Madinah.⁷
Catatan Kaki
[1]
Al-Tabari, The
History of al-Tabari, Vol. XV: The Crisis of the Early Caliphate,
terj. R. Stephen Humphreys (Albany: State University of New York Press, 1990),
41.
[2]
Wilferd Madelung, The
Succession to Muhammad: A Study of the Early Caliphate (Cambridge:
Cambridge University Press, 1997), 89.
[3]
Al-Baladhuri, Futuh
al-Buldan (The Origins of the Islamic State), terj. Philip Khuri
Hitti (New York: Columbia University Press, 1916), 253-254.
[4]
Hugh Kennedy, The
Prophet and the Age of the Caliphates (London: Longman, 1986),
73-74.
[5]
Moojan Momen, An
Introduction to Shi'i Islam: The History and Doctrines of Twelver Shi'ism
(New Haven: Yale University Press, 1985), 50-51.
[6]
Ibn Hajar al-Asqalani, Fath
al-Bari bi Sharh Sahih al-Bukhari (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1379
H), 451.
[7]
G. R. Hawting, The
First Dynasty of Islam: The Umayyad Caliphate AD 661-750 (London:
Routledge, 1986), 12.
3.
Kronologi
Peristiwa Fitnah Kubro
3.1.
Awal
Mula Ketegangan
Peristiwa Fitnah
Kubro dimulai dengan meningkatnya ketidakpuasan terhadap kebijakan
pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan. Kritik terhadap Utsman tidak hanya
datang dari masyarakat umum, tetapi juga dari beberapa sahabat Rasulullah Saw. yang merasa kebijakan-kebijakan tertentu
tidak mencerminkan keadilan.¹ Keputusan Utsman untuk mengangkat kerabatnya dari
Bani Umayyah ke posisi-posisi strategis pemerintahan dianggap sebagai
nepotisme, sebuah isu yang menjadi katalisator utama kekacauan.²
Di Kufah, Basrah,
dan Mesir—pusat-pusat politik Islam yang berkembang—muncul gerakan protes yang
dipimpin oleh para provokator seperti Abdullah bin Saba. Abdullah bin Saba
memainkan peran penting dalam menyebarkan propaganda yang menentang Utsman,
menuduh Khalifah telah menyimpang dari ajaran Islam.³ Melalui jaringannya, ia menyebarkan surat-surat
rahasia yang berisi tuduhan terhadap Utsman, memprovokasi rakyat untuk
memberontak. Surat-surat ini, yang sering kali memuat kebohongan, membakar
emosi masyarakat di wilayah-wilayah tersebut.⁴
3.2.
Pemberontakan
Terbuka
Pada tahun 35 H (656
M), protes-protes sporadis berubah menjadi pemberontakan terbuka. Pemberontak
dari Mesir, Basrah, dan Kufah bergerak menuju Madinah, membawa serta tuntutan
untuk mencopot pejabat-pejabat yang dianggap tidak kompeten.⁵ Khalifah Utsman,
yang terkenal dengan kelembutannya,
memilih jalan damai dalam menghadapi pemberontak. Ia tidak mengerahkan pasukan
untuk melawan mereka, bahkan ketika mereka mulai mengepung rumahnya.⁶
Pengepungan rumah
Utsman berlangsung selama beberapa minggu. Selama periode ini, beberapa sahabat
terkemuka, termasuk Ali bin Abi Thalib, mencoba menengahi konflik. Ali bahkan
mengirimkan anak-anaknya, Hasan dan Husain, untuk menjaga rumah Utsman dan
melindunginya dari serangan pemberontak.⁷ Namun, pemberontak tetap bersikeras
pada tuntutan mereka, bahkan menghalangi suplai air masuk ke rumah Khalifah.
3.3.
Pembunuhan
Khalifah Utsman
Puncak dari Fitnah
Kubro terjadi ketika pemberontak berhasil menerobos rumah Khalifah
Utsman. Pada hari Jumat, di bulan Dzulhijjah 35 H, Khalifah Utsman dibunuh
secara tragis saat sedang membaca Al-Qur'an di rumahnya.⁸ Salah satu riwayat menyebutkan bahwa Utsman membaca
Surah Al-Baqarah ayat 137 ketika darahnya mengenai mushaf yang ia baca.⁹
Pembunuhan Khalifah
Utsman adalah peristiwa yang mengguncang umat Islam. Banyak sahabat terkemuka
mengecam tindakan ini sebagai pelanggaran besar terhadap ajaran Islam.¹⁰
Setelah kematian Utsman, Madinah diliputi kekacauan, dan umat Islam terpecah
dalam menghadapi situasi ini. Pembunuhan
tersebut tidak hanya mengakhiri era kekhalifahan Utsman tetapi juga membuka
jalan bagi konflik politik yang lebih besar, termasuk Perang Jamal dan Perang
Shiffin.
Catatan Kaki
[1]
Al-Tabari, The
History of al-Tabari, Vol. XV: The Crisis of the Early Caliphate,
terj. R. Stephen Humphreys (Albany: State University of New York Press, 1990),
43.
[2]
Wilferd Madelung, The
Succession to Muhammad: A Study of the Early Caliphate (Cambridge:
Cambridge University Press, 1997), 91.
[3]
Moojan Momen, An
Introduction to Shi'i Islam: The History and Doctrines of Twelver Shi'ism
(New Haven: Yale University Press, 1985), 52.
[4]
Hugh Kennedy, The
Prophet and the Age of the Caliphates (London: Longman, 1986), 75.
[5]
Al-Baladhuri, Ansab
al-Ashraf, terj. Moshe Sharon (Jerusalem: Hebrew University, 1970),
331.
[6]
Ibn Hajar al-Asqalani, Fath
al-Bari bi Sharh Sahih al-Bukhari (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1379
H), 460.
[7]
G. R. Hawting, The
First Dynasty of Islam: The Umayyad Caliphate AD 661-750 (London:
Routledge, 1986), 14.
[8]
Al-Baladhuri, Ansab
al-Ashraf, 335.
[9]
Ibn Kathir, Al-Bidayah
wan-Nihayah (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), 7:190.
[10]
Al-Tabari, The
History of al-Tabari, Vol. XV, 45.
4.
Dampak
dan Implikasi Fitnah Kubro
4.1.
Perpecahan
Politik dan Sosial
Peristiwa Fitnah
Kubro meninggalkan dampak besar terhadap struktur politik dan
sosial umat Islam. Pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan tidak hanya mengakhiri masa kepemimpinan yang damai,
tetapi juga menjadi awal dari perpecahan politik yang mengakar dalam sejarah
Islam.¹
Setelah pembunuhan
Utsman, umat Islam terpecah menjadi beberapa kelompok yang saling bersaing.
Salah satu dampak utamanya adalah munculnya konflik antara pendukung Ali bin Abi Thalib dan pihak yang
menuntut balas atas kematian Utsman, dipimpin oleh Aisyah, Thalhah, dan
Zubair.² Ketegangan ini akhirnya memicu Perang Jamal (656 M), yang
merupakan konflik besar pertama dalam sejarah Islam pasca-Rasulullah Saw.³
Tak lama setelah
itu, Perang Shiffin (657 M) antara Ali dan Muawiyah bin Abu Sufyan, gubernur Syam, semakin memperkuat polarisasi
di kalangan umat Islam. Perpecahan ini melahirkan tiga kelompok besar:
1)
Ahlus
Sunnah, yang mendukung pemerintahan sah.
2)
Khawarij,
yang menolak kepemimpinan baik Ali maupun Muawiyah.
3)
Syiah,
yang mendukung kepemimpinan Ali dan keturunannya secara eksklusif.⁴
Polarisasi ini terus
berlanjut sepanjang sejarah Islam dan memengaruhi dinamika politik serta teologis di berbagai belahan dunia Islam.
4.2.
Dampak
Keagamaan dan Teologis
Dampak lain dari Fitnah
Kubro adalah munculnya berbagai interpretasi teologis yang
berhubungan dengan konsep kepemimpinan (imamah) dan legitimasi politik dalam Islam. Perpecahan teologis ini
berakar pada pertanyaan fundamental tentang siapa yang berhak memimpin umat
Islam dan bagaimana proses pemilihannya.⁵
Dalam tradisi Ahlus
Sunnah Wal Jamaah, peristiwa Fitnah Kubro dipahami sebagai ujian
besar yang mengharuskan umat untuk kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah
Rasulullah Saw. untuk menghindari perpecahan lebih lanjut. Para ulama Sunni
menekankan pentingnya persatuan umat Islam di bawah kepemimpinan yang sah, terlepas dari ketidaksempurnaan
individu pemimpin tersebut.⁶
Sementara itu,
tradisi Syiah menjadikan peristiwa ini sebagai pembenaran atas pandangan mereka
bahwa kepemimpinan harus berada di tangan Ahlul Bait (keluarga Rasulullah),
khususnya Ali bin Abi Thalib dan keturunannya.⁷ Pemahaman ini memperkuat
identitas teologis Syiah sebagai kelompok yang menuntut keadilan dan
kepemimpinan ilahiah.
Khawarij, di sisi
lain, menolak klaim legitimasi dari kedua pihak dan mengembangkan pandangan
ekstrem bahwa kepemimpinan harus hanya diberikan kepada individu yang paling suci dan memenuhi standar Islam yang
ketat.⁸
4.3.
Pelajaran
dan Ibrah dari Fitnah Kubro
Tragedi Fitnah
Kubro memberikan pelajaran penting bagi umat Islam tentang bahaya perpecahan dan pentingnya menjaga
keadilan dalam pemerintahan. Salah satu ibrah terbesar dari peristiwa ini
adalah bahwa ketidakadilan, baik yang nyata maupun persepsional, dapat menjadi
pemicu utama konflik.⁹
Pelajaran lain yang
dapat diambil adalah pentingnya transparansi dan komunikasi antara pemimpin dan
rakyat. Khalifah Utsman, meskipun terkenal dengan kedermawanannya, sering kali
dianggap kurang komunikatif dalam menjelaskan kebijakan-kebijakan
kontroversialnya, sehingga menciptakan kesalahpahaman di kalangan masyarakat.¹⁰
Umat Islam masa kini
dapat mengambil hikmah dari peristiwa ini dengan menjadikan persatuan sebagai
prioritas utama dalam menghadapi perbedaan. Para ulama juga menekankan
pentingnya bersikap bijak dalam menyikapi isu-isu politik agar tidak jatuh ke
dalam konflik yang merugikan
umat secara keseluruhan.¹¹
Catatan Kaki
[1]
Al-Tabari, The
History of al-Tabari, Vol. XV: The Crisis of the Early Caliphate,
terj. R. Stephen Humphreys (Albany: State University of New York Press, 1990),
46.
[2]
Wilferd Madelung, The
Succession to Muhammad: A Study of the Early Caliphate (Cambridge:
Cambridge University Press, 1997), 115.
[3]
Hugh Kennedy, The
Prophet and the Age of the Caliphates (London: Longman, 1986), 77.
[4]
G. R. Hawting, The
First Dynasty of Islam: The Umayyad Caliphate AD 661-750 (London:
Routledge, 1986), 15.
[5]
Moojan Momen, An
Introduction to Shi'i Islam: The History and Doctrines of Twelver Shi'ism
(New Haven: Yale University Press, 1985), 55.
[6]
Al-Baghdadi, Abdul Qahir. Al-Farq
bayn al-Firaq (Beirut: Dar al-Jil, 1993), 111.
[7]
Momen, An
Introduction to Shi'i Islam, 56.
[8]
Al-Baladhuri, Ansab
al-Ashraf, terj. Moshe Sharon (Jerusalem: Hebrew University, 1970),
341.
[9]
Al-Ghazali, Abu Hamid. Ihya
Ulum al-Din (Cairo: Dar al-Kutub al-‘Arabiyya, 1967), 3:72.
[10]
Ibn Kathir, Al-Bidayah
wan-Nihayah (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), 7:192.
[11]
Al-Qaradhawi, Yusuf. Fiqh
al-Jihad (Cairo: Maktabah Wahbah, 2009), 1:256.
5.
Pendekatan
Analisis Historis
5.1.
Perspektif
Historis
Pendekatan historis
dalam memahami Fitnah Kubro berfokus pada analisis
kronologis peristiwa, pemeriksaan aktor-aktor yang terlibat, dan pengaruh
sosial-politik yang terjadi. Sebagai peristiwa
penting dalam sejarah Islam, Fitnah Kubro sering dianggap
sebagai awal dari perpecahan besar dalam politik Islam yang berdampak hingga
saat ini.
Sebagian besar
sumber utama yang digunakan untuk merekonstruksi peristiwa ini berasal dari
karya-karya sejarah Islam klasik, seperti Tarikh al-Tabari, yang dianggap
sebagai salah satu catatan paling detail dan menyeluruh.¹ Namun, penting untuk memahami bahwa karya ini dan
sumber sejenisnya sering kali menyertakan narasi yang bercampur antara fakta
sejarah dan opini atau bias narator. Oleh karena itu, sejarawan modern, seperti
Wilferd Madelung dalam The Succession to Muhammad,
menekankan perlunya analisis kritis terhadap sumber-sumber ini.²
Madelung, misalnya,
mencatat bahwa perpecahan dalam komunitas Muslim setelah wafatnya Utsman tidak
hanya disebabkan oleh konflik pribadi tetapi juga oleh perubahan struktural dalam
masyarakat Islam, termasuk ketegangan antara kelompok-kelompok Arab Quraisy dan
non-Quraisy yang semakin signifikan
setelah perluasan wilayah Islam.³
Selain itu,
sumber-sumber modern juga menyoroti pentingnya faktor sosial-ekonomi dalam
memahami Fitnah
Kubro. Hugh Kennedy dalam The Prophet and the Age of the Caliphates
menunjukkan bahwa ketidakpuasan terhadap pemerintahan Utsman sebagian besar
berasal dari kebijakan distribusi ghanimah dan tanah, yang dianggap
menguntungkan kaum elit
Quraisy.⁴ Perspektif ini memperkaya analisis dengan menghubungkan peristiwa ini
dengan perubahan sosial yang lebih luas dalam masyarakat Islam awal.
5.2.
Perspektif
Keagamaan
Pendekatan keagamaan
dalam menganalisis Fitnah Kubro berfokus pada
bagaimana peristiwa ini dipahami dalam kerangka ajaran Islam, terutama dalam
kaitannya dengan konsep kepemimpinan (imamah) dan persatuan umat. Dalam tradisi Sunni, Fitnah
Kubro dianggap sebagai ujian besar bagi umat Islam yang menuntut
kembalinya umat kepada prinsip-prinsip Al-Qur'an dan Sunnah. Ulama Sunni
seperti Ibn Taymiyyah menyatakan bahwa Fitnah Kubro adalah peringatan
tentang bahaya fitnah yang dapat menghancurkan persatuan umat dan pentingnya
menaati pemimpin yang sah meskipun memiliki kekurangan.⁵
Sebaliknya, tradisi
Syiah melihat peristiwa ini sebagai bukti kegagalan sistem kekhalifahan yang tidak melibatkan Ahlul Bait dalam
kepemimpinan. Menurut pandangan Syiah, pembunuhan Utsman dan perpecahan yang
terjadi setelahnya adalah hasil dari penyimpangan umat dari otoritas ilahiah
yang telah ditetapkan melalui Rasulullah kepada Ali bin Abi Thalib dan keturunannya.⁶ Pendekatan ini memperkuat
keyakinan teologis Syiah terhadap konsep imamah sebagai institusi yang tidak
hanya politis tetapi juga spiritual.
Pendekatan teologis
juga mencakup kajian terhadap riwayat-riwayat hadis yang berkaitan dengan Fitnah
Kubro. Hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam
Muslim mencatat peringatan Rasulullah Saw. tentang akan datangnya fitnah di
akhir zaman yang melibatkan
pertumpahan darah di antara umat Islam sendiri.⁷ Hadis-hadis ini sering
digunakan sebagai peringatan dan pelajaran untuk menjaga persatuan umat dalam
menghadapi perbedaan pendapat.
5.3.
Relevansi
dalam Konteks Modern
Analisis historis
terhadap Fitnah
Kubro juga relevan dalam konteks modern, khususnya dalam memahami
dinamika konflik politik dan sektarian di dunia Islam. Pelajaran dari peristiwa ini menunjukkan bahwa konflik
yang berakar pada ketidakadilan, ketimpangan ekonomi, dan mismanajemen
pemerintahan dapat dengan cepat berkembang menjadi krisis besar yang merusak
persatuan umat.⁸
Sejarawan modern
menekankan bahwa memahami konteks sejarah ini tidak hanya penting untuk mengenang masa lalu, tetapi juga untuk
mencegah pengulangan konflik serupa di masa kini. Dalam bukunya Fiqh
al-Sirah, Muhammad Sa'id Ramadan al-Buthi menyarankan umat Islam
untuk menjadikan peristiwa Fitnah Kubro sebagai pelajaran
tentang pentingnya dialog, keadilan, dan transparansi dalam kepemimpinan.⁹
Catatan Kaki
[1]
Al-Tabari, The
History of al-Tabari, Vol. XV: The Crisis of the Early Caliphate,
terj. R. Stephen Humphreys (Albany: State University of New York Press, 1990),
50-52.
[2]
Wilferd Madelung, The
Succession to Muhammad: A Study of the Early Caliphate (Cambridge:
Cambridge University Press, 1997), 89.
[3]
Madelung, The
Succession to Muhammad, 93.
[4]
Hugh Kennedy, The
Prophet and the Age of the Caliphates (London: Longman, 1986), 79.
[5]
Ibn Taymiyyah, Minhaj
al-Sunnah al-Nabawiyyah (Cairo: Dar al-Hadith, 1996), 4:237.
[6]
Moojan Momen, An
Introduction to Shi'i Islam: The History and Doctrines of Twelver Shi'ism
(New Haven: Yale University Press, 1985), 58.
[7]
Al-Bukhari, Sahih
al-Bukhari, Kitab al-Fitan, No. 3606.
[8]
Kennedy, The
Prophet and the Age of the Caliphates, 85.
[9]
Muhammad Sa'id Ramadan
al-Buthi, Fiqh
al-Sirah: Understanding the Life of the Prophet Muhammad (Damascus:
Dar al-Fikr, 1995), 205.
6.
Kesimpulan
Fitnah Kubro adalah salah satu peristiwa paling kritis dalam sejarah Islam, yang
tidak hanya mencerminkan kompleksitas sosial dan politik di masa itu, tetapi
juga memberikan pelajaran berharga bagi umat Islam di segala zaman. Tragedi
yang berujung pada pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan merupakan hasil dari
akumulasi berbagai faktor, termasuk kebijakan pemerintahan yang kontroversial,
ketegangan sosial, serta manipulasi oleh kelompok-kelompok tertentu yang
memanfaatkan ketidakpuasan masyarakat.¹
Secara politis, Fitnah Kubro membuka pintu
bagi perpecahan yang berdampak pada kelangsungan kekhalifahan Islam. Konflik
yang terjadi setelah wafatnya Utsman, seperti Perang Jamal dan Perang
Shiffin, menunjukkan betapa rapuhnya persatuan umat ketika rasa keadilan
dan transparansi dalam pemerintahan dipertanyakan.² Perselisihan ini tidak
hanya berpengaruh pada struktur politik, tetapi juga melahirkan berbagai
kelompok dengan pandangan teologis yang berbeda, seperti Khawarij, Syiah, dan
Ahlus Sunnah.³
Dari perspektif teologis, Fitnah Kubro
menjadi pengingat pentingnya menjaga persatuan umat di tengah perbedaan
pendapat. Islam menekankan nilai-nilai keadilan, musyawarah, dan kepatuhan
kepada pemimpin yang sah selama mereka memimpin sesuai dengan syariat.⁴ Ulama
klasik seperti Ibn Taymiyyah menekankan bahwa fitnah dapat dihindari apabila
pemimpin dan rakyat sama-sama berkomitmen pada prinsip-prinsip Islam.⁵
Tragedi ini juga memberikan ibrah (pelajaran) bahwa
ketidakadilan, baik yang nyata maupun yang dipersepsikan, dapat menjadi pemicu
utama konflik. Oleh karena itu, penting bagi pemimpin untuk menjalankan
pemerintahan dengan keadilan, transparansi, dan memperhatikan aspirasi rakyat.
Selain itu, umat Islam sebagai kolektif harus bijaksana dalam menyikapi isu-isu
yang berpotensi memecah belah persatuan.⁶
Pada akhirnya, pembelajaran dari Fitnah Kubro
relevan dalam konteks modern, khususnya dalam menghadapi tantangan konflik
politik dan sektarian di dunia Islam. Pemahaman yang mendalam tentang peristiwa
ini tidak hanya membantu umat Islam mengenang sejarah, tetapi juga mendorong
mereka untuk mencegah pengulangan kesalahan yang sama. Seperti yang dinyatakan
oleh Muhammad Sa'id Ramadan al-Buthi dalam Fiqh al-Sirah, menjaga
persatuan umat harus menjadi prioritas utama setiap individu Muslim, terlepas
dari perbedaan politik dan mazhab.⁷
Dengan demikian, Fitnah Kubro adalah sebuah
peringatan yang abadi tentang bahaya perpecahan dan pentingnya merawat
persatuan umat Islam. Semoga pelajaran dari peristiwa ini dapat menjadi panduan
untuk membangun masyarakat yang lebih adil, harmonis, dan sesuai dengan
nilai-nilai Islam.
Catatan Kaki
[1]
Al-Tabari, The History of al-Tabari, Vol. XV: The Crisis of the Early
Caliphate, terj. R. Stephen Humphreys (Albany: State University of New York
Press, 1990), 50-53.
[2]
Wilferd Madelung, The Succession to Muhammad: A Study of the Early
Caliphate (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 119-121.
[3]
Hugh Kennedy, The Prophet and the Age of the Caliphates (London:
Longman, 1986), 77-79.
[4]
Al-Baghdadi, Abdul Qahir. Al-Farq bayn al-Firaq (Beirut: Dar
al-Jil, 1993), 113.
[5]
Ibn Taymiyyah, Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyyah (Cairo: Dar
al-Hadith, 1996), 4:240.
[6]
Ibn Kathir, Al-Bidayah wan-Nihayah (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 2001), 7:192.
[7]
Muhammad Sa'id Ramadan al-Buthi, Fiqh al-Sirah: Understanding the
Life of the Prophet Muhammad (Damascus: Dar al-Fikr, 1995), 209-210.
Daftar Pustaka
Al-Baghdadi, A. Q. (1993). Al-Farq bayn al-Firaq.
Beirut: Dar al-Jil.
Al-Baladhuri, A. H. (1970). Ansab al-Ashraf
(Trans. Moshe Sharon). Jerusalem: Hebrew University.
Al-Bukhari, M. I. (1997). Sahih al-Bukhari.
Kitab al-Fitan. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
Al-Ghazali, A. H. (1967). Ihya Ulum al-Din
(Vol. 3). Cairo: Dar al-Kutub al-‘Arabiyya.
Al-Tabari, M. J. (1990). The History of
al-Tabari, Vol. XV: The Crisis of the Early Caliphate (Trans. R. Stephen
Humphreys). Albany: State University of New York Press.
Al-Taymiyyah, I. (1996). Minhaj al-Sunnah
al-Nabawiyyah (Vol. 4). Cairo: Dar al-Hadith.
Al-Buthi, M. S. R. (1995). Fiqh al-Sirah:
Understanding the Life of the Prophet Muhammad. Damascus: Dar al-Fikr.
Ibn Hajar al-Asqalani. (1379 H). Fath al-Bari bi
Sharh Sahih al-Bukhari. Beirut: Dar al-Ma’rifah.
Ibn Kathir, I. (2001). Al-Bidayah wan-Nihayah
(Vol. 7). Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
Kennedy, H. (1986). The Prophet and the Age of the
Caliphates. London: Longman.
Madelung, W. (1997). The Succession to Muhammad:
A Study of the Early Caliphate. Cambridge: Cambridge University Press.
Momen, M. (1985). An Introduction to Shi'i
Islam: The History and Doctrines of Twelver Shi'ism. New Haven: Yale
University Press.
Sa’id, M. R. A.-B. (2009). Fiqh al-Jihad.
Cairo: Maktabah Wahbah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar