Jumat, 27 Desember 2024

Fitnah Kubro: Tragedi Politik di Era Khalifah Utsman bin Affan dan Implikasinya bagi Sejarah Islam

 FITNAH KUBRO

 

“Tragedi Politik di Era Khalifah Utsman bin Affan dan Implikasinya bagi Sejarah Islam”


1.           Pendahuluan

Fitnah Kubro, yang secara harfiah berarti "fitnah besar," adalah salah satu peristiwa paling memilukan dalam sejarah Islam. Peristiwa ini merujuk pada serangkaian kekacauan politik dan sosial yang berujung pada pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan, pemimpin ketiga umat Islam setelah Rasulullah Saw. Tragedi ini tidak hanya menandai awal dari era ketidakstabilan politik di kalangan umat Islam, tetapi juga menjadi titik awal perpecahan yang melahirkan berbagai kelompok politik dan teologis dalam sejarah Islam.

Dalam konteks sejarah Islam, istilah "fitnah" merujuk pada ujian, cobaan, atau konflik yang memiliki potensi untuk mengganggu stabilitas keimanan dan persatuan umat. Sebagaimana disebutkan oleh Al-Qur'an, fitnah dapat memicu kerusakan besar dalam masyarakat apabila tidak ditangani dengan kebijaksanaan dan keadilan (QS Al-Anfal [08] ayat 25).¹ Peristiwa Fitnah Kubro bukan hanya sekadar ujian kepemimpinan, tetapi juga merupakan tragedi yang membuka jalan bagi perselisihan besar antara kelompok-kelompok Muslim.

Khalifah Utsman bin Affan, yang dikenal dengan julukan Dzunnurain karena menikahi dua putri Rasulullah Saw., adalah seorang pemimpin yang banyak berjasa dalam memperluas wilayah Islam dan memperkuat administrasi negara. Namun, masa pemerintahannya menghadapi tantangan yang berat akibat perubahan sosial dan politik yang terjadi seiring dengan berkembangnya kekuasaan Islam.² Sebagian masyarakat menganggap kebijakan Khalifah Utsman terlalu lunak, terutama dalam hal pengangkatan pejabat dari keluarganya, yang dipersepsikan sebagai nepotisme. Hal ini menimbulkan ketidakpuasan di kalangan rakyat, yang akhirnya memicu pemberontakan.

Fitnah Kubro memberikan dampak jangka panjang bagi sejarah Islam. Tragedi ini menjadi awal dari konflik politik dan teologis yang melibatkan berbagai kelompok, seperti Syiah dan Khawarij.³ Oleh karena itu, mempelajari peristiwa ini secara komprehensif sangat penting untuk memahami dinamika kepemimpinan dalam Islam dan bagaimana umat Islam dapat mengelola konflik dengan lebih bijak.

Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengupas secara mendalam latar belakang, kronologi, dan dampak Fitnah Kubro berdasarkan referensi yang kredibel, baik dari sumber-sumber klasik seperti Tarikh at-Tabari maupun kajian modern. Dengan demikian, diharapkan pembaca dapat memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang peristiwa ini dan mengambil pelajaran darinya untuk menjaga persatuan dan stabilitas umat Islam di masa kini.


Catatan Kaki

[1]              Al-Qur'an, Surah Al-Anfal 8:25.

[2]              Al-Mubarakpuri, Safi-ur-Rahman. Ar-Raheeq Al-Makhtum (The Sealed Nectar). Riyadh: Darussalam, 1996, 546.

[3]              Momen, Moojan. An Introduction to Shi'i Islam: The History and Doctrines of Twelver Shi'ism. New Haven: Yale University Press, 1985, 34-35.


2.           Latar Belakang Fitnah Kubro

2.1.       Kondisi Sosial dan Politik di Masa Khalifah Utsman bin Affan

Khalifah Utsman bin Affan memimpin umat Islam dalam periode kejayaan, ditandai dengan perluasan wilayah Islam yang meliputi Persia, Mesir, dan Afrika Utara. Ekspansi ini membawa Islam pada tingkat kekuasaan yang belum pernah dicapai sebelumnya. Namun, bersama dengan keberhasilan tersebut, muncul tantangan baru dalam hal pengelolaan pemerintahan yang kompleks. Khalifah Utsman menghadapi tantangan besar untuk memadukan beragam kelompok etnis, suku, dan budaya di bawah satu pemerintahan Islam.¹

Salah satu kebijakan kontroversial Khalifah Utsman adalah pengangkatan kerabatnya dari Bani Umayyah pada posisi-posisi strategis pemerintahan. Di antaranya, Marwan bin Hakam yang diangkat sebagai sekretaris Khalifah dan Abdullah bin Sa'ad bin Abi Sarh sebagai gubernur Mesir.² Kebijakan ini memicu tuduhan nepotisme di kalangan umat, terutama dari kelompok yang merasa tidak mendapatkan hak yang adil dalam pembagian kekuasaan.³ Kelompok-kelompok ini menganggap pengangkatan pejabat dari kalangan keluarga dekat sebagai bentuk monopoli kekuasaan.

Selain itu, pengelolaan sumber daya ekonomi yang berpusat di Madinah menciptakan ketimpangan sosial. Distribusi ghanimah (harta rampasan perang) dan tanah-tanah hasil ekspansi dianggap tidak adil oleh beberapa pihak, terutama mereka yang berada di wilayah-wilayah baru Islam seperti Kufah dan Mesir.⁴ Ketidakpuasan ini menciptakan suasana ketegangan sosial yang mudah dimanipulasi oleh pihak-pihak yang ingin memecah belah umat.

2.2.       Faktor-Faktor Penyebab Kekacauan

Sejarah mencatat bahwa Fitnah Kubro tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan merupakan akumulasi dari berbagai persoalan yang melibatkan dinamika politik, sosial, dan ekonomi. Salah satu penyebab utama adalah keberadaan kelompok-kelompok tertentu yang sengaja memanfaatkan situasi untuk kepentingan politik mereka. Tokoh seperti Abdullah bin Saba, seorang Yahudi yang memeluk Islam, dituduh menyebarkan ide-ide provokatif dengan tujuan menggulingkan kekhalifahan.⁵ Abdullah bin Saba dan pengikutnya menuduh Khalifah Utsman menyimpang dari ajaran Islam dan memulai propaganda yang menyulut pemberontakan di beberapa wilayah penting, termasuk Mesir, Basrah, dan Kufah.

Tuduhan-tuduhan terhadap Khalifah Utsman tidak hanya mencakup aspek politik, tetapi juga aspek keagamaan. Beberapa pemberontak menuduh Utsman telah melakukan inovasi (bid'ah) dalam agama, seperti membakar mushaf Al-Qur'an yang berbeda dengan mushaf standar hasil kodifikasi di masa kekhalifahannya. Namun, kebijakan ini sebenarnya bertujuan untuk menyatukan bacaan umat Islam demi menghindari perselisihan.⁶ Sayangnya, kebijakan tersebut dipelintir sebagai tindakan otoriter oleh para pemberontak.

Selain itu, penyebaran surat-surat rahasia yang mengandung tuduhan palsu terhadap Khalifah Utsman juga menjadi alat utama dalam menciptakan kekacauan. Surat-surat ini ditulis atas nama Utsman atau pejabat pemerintahannya, padahal dibuat oleh kelompok-kelompok pemberontak. Surat-surat ini berhasil membakar amarah rakyat dan menggerakkan mereka untuk mengepung Madinah.⁷


Catatan Kaki

[1]              Al-Tabari, The History of al-Tabari, Vol. XV: The Crisis of the Early Caliphate, terj. R. Stephen Humphreys (Albany: State University of New York Press, 1990), 41.

[2]              Wilferd Madelung, The Succession to Muhammad: A Study of the Early Caliphate (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 89.

[3]              Al-Baladhuri, Futuh al-Buldan (The Origins of the Islamic State), terj. Philip Khuri Hitti (New York: Columbia University Press, 1916), 253-254.

[4]              Hugh Kennedy, The Prophet and the Age of the Caliphates (London: Longman, 1986), 73-74.

[5]              Moojan Momen, An Introduction to Shi'i Islam: The History and Doctrines of Twelver Shi'ism (New Haven: Yale University Press, 1985), 50-51.

[6]              Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari bi Sharh Sahih al-Bukhari (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1379 H), 451.

[7]              G. R. Hawting, The First Dynasty of Islam: The Umayyad Caliphate AD 661-750 (London: Routledge, 1986), 12.


3.           Kronologi Peristiwa Fitnah Kubro

3.1.       Awal Mula Ketegangan

Peristiwa Fitnah Kubro dimulai dengan meningkatnya ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan. Kritik terhadap Utsman tidak hanya datang dari masyarakat umum, tetapi juga dari beberapa sahabat Rasulullah Saw. yang merasa kebijakan-kebijakan tertentu tidak mencerminkan keadilan.¹ Keputusan Utsman untuk mengangkat kerabatnya dari Bani Umayyah ke posisi-posisi strategis pemerintahan dianggap sebagai nepotisme, sebuah isu yang menjadi katalisator utama kekacauan.²

Di Kufah, Basrah, dan Mesir—pusat-pusat politik Islam yang berkembang—muncul gerakan protes yang dipimpin oleh para provokator seperti Abdullah bin Saba. Abdullah bin Saba memainkan peran penting dalam menyebarkan propaganda yang menentang Utsman, menuduh Khalifah telah menyimpang dari ajaran Islam.³ Melalui jaringannya, ia menyebarkan surat-surat rahasia yang berisi tuduhan terhadap Utsman, memprovokasi rakyat untuk memberontak. Surat-surat ini, yang sering kali memuat kebohongan, membakar emosi masyarakat di wilayah-wilayah tersebut.⁴

3.2.       Pemberontakan Terbuka

Pada tahun 35 H (656 M), protes-protes sporadis berubah menjadi pemberontakan terbuka. Pemberontak dari Mesir, Basrah, dan Kufah bergerak menuju Madinah, membawa serta tuntutan untuk mencopot pejabat-pejabat yang dianggap tidak kompeten.⁵ Khalifah Utsman, yang terkenal dengan kelembutannya, memilih jalan damai dalam menghadapi pemberontak. Ia tidak mengerahkan pasukan untuk melawan mereka, bahkan ketika mereka mulai mengepung rumahnya.⁶

Pengepungan rumah Utsman berlangsung selama beberapa minggu. Selama periode ini, beberapa sahabat terkemuka, termasuk Ali bin Abi Thalib, mencoba menengahi konflik. Ali bahkan mengirimkan anak-anaknya, Hasan dan Husain, untuk menjaga rumah Utsman dan melindunginya dari serangan pemberontak.⁷ Namun, pemberontak tetap bersikeras pada tuntutan mereka, bahkan menghalangi suplai air masuk ke rumah Khalifah.

3.3.       Pembunuhan Khalifah Utsman

Puncak dari Fitnah Kubro terjadi ketika pemberontak berhasil menerobos rumah Khalifah Utsman. Pada hari Jumat, di bulan Dzulhijjah 35 H, Khalifah Utsman dibunuh secara tragis saat sedang membaca Al-Qur'an di rumahnya.⁸ Salah satu riwayat menyebutkan bahwa Utsman membaca Surah Al-Baqarah ayat 137 ketika darahnya mengenai mushaf yang ia baca.⁹

Pembunuhan Khalifah Utsman adalah peristiwa yang mengguncang umat Islam. Banyak sahabat terkemuka mengecam tindakan ini sebagai pelanggaran besar terhadap ajaran Islam.¹⁰ Setelah kematian Utsman, Madinah diliputi kekacauan, dan umat Islam terpecah dalam menghadapi situasi ini. Pembunuhan tersebut tidak hanya mengakhiri era kekhalifahan Utsman tetapi juga membuka jalan bagi konflik politik yang lebih besar, termasuk Perang Jamal dan Perang Shiffin.


Catatan Kaki

[1]              Al-Tabari, The History of al-Tabari, Vol. XV: The Crisis of the Early Caliphate, terj. R. Stephen Humphreys (Albany: State University of New York Press, 1990), 43.

[2]              Wilferd Madelung, The Succession to Muhammad: A Study of the Early Caliphate (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 91.

[3]              Moojan Momen, An Introduction to Shi'i Islam: The History and Doctrines of Twelver Shi'ism (New Haven: Yale University Press, 1985), 52.

[4]              Hugh Kennedy, The Prophet and the Age of the Caliphates (London: Longman, 1986), 75.

[5]              Al-Baladhuri, Ansab al-Ashraf, terj. Moshe Sharon (Jerusalem: Hebrew University, 1970), 331.

[6]              Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari bi Sharh Sahih al-Bukhari (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1379 H), 460.

[7]              G. R. Hawting, The First Dynasty of Islam: The Umayyad Caliphate AD 661-750 (London: Routledge, 1986), 14.

[8]              Al-Baladhuri, Ansab al-Ashraf, 335.

[9]              Ibn Kathir, Al-Bidayah wan-Nihayah (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), 7:190.

[10]          Al-Tabari, The History of al-Tabari, Vol. XV, 45.


4.           Dampak dan Implikasi Fitnah Kubro

4.1.       Perpecahan Politik dan Sosial

Peristiwa Fitnah Kubro meninggalkan dampak besar terhadap struktur politik dan sosial umat Islam. Pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan tidak hanya mengakhiri masa kepemimpinan yang damai, tetapi juga menjadi awal dari perpecahan politik yang mengakar dalam sejarah Islam.¹

Setelah pembunuhan Utsman, umat Islam terpecah menjadi beberapa kelompok yang saling bersaing. Salah satu dampak utamanya adalah munculnya konflik antara pendukung Ali bin Abi Thalib dan pihak yang menuntut balas atas kematian Utsman, dipimpin oleh Aisyah, Thalhah, dan Zubair.² Ketegangan ini akhirnya memicu Perang Jamal (656 M), yang merupakan konflik besar pertama dalam sejarah Islam pasca-Rasulullah Saw.³

Tak lama setelah itu, Perang Shiffin (657 M) antara Ali dan Muawiyah bin Abu Sufyan, gubernur Syam, semakin memperkuat polarisasi di kalangan umat Islam. Perpecahan ini melahirkan tiga kelompok besar:

1)                  Ahlus Sunnah, yang mendukung pemerintahan sah.

2)                  Khawarij, yang menolak kepemimpinan baik Ali maupun Muawiyah.

3)                  Syiah, yang mendukung kepemimpinan Ali dan keturunannya secara eksklusif.⁴

Polarisasi ini terus berlanjut sepanjang sejarah Islam dan memengaruhi dinamika politik serta teologis di berbagai belahan dunia Islam.


4.2.       Dampak Keagamaan dan Teologis

Dampak lain dari Fitnah Kubro adalah munculnya berbagai interpretasi teologis yang berhubungan dengan konsep kepemimpinan (imamah) dan legitimasi politik dalam Islam. Perpecahan teologis ini berakar pada pertanyaan fundamental tentang siapa yang berhak memimpin umat Islam dan bagaimana proses pemilihannya.⁵

Dalam tradisi Ahlus Sunnah Wal Jamaah, peristiwa Fitnah Kubro dipahami sebagai ujian besar yang mengharuskan umat untuk kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah Saw. untuk menghindari perpecahan lebih lanjut. Para ulama Sunni menekankan pentingnya persatuan umat Islam di bawah kepemimpinan yang sah, terlepas dari ketidaksempurnaan individu pemimpin tersebut.⁶

Sementara itu, tradisi Syiah menjadikan peristiwa ini sebagai pembenaran atas pandangan mereka bahwa kepemimpinan harus berada di tangan Ahlul Bait (keluarga Rasulullah), khususnya Ali bin Abi Thalib dan keturunannya.⁷ Pemahaman ini memperkuat identitas teologis Syiah sebagai kelompok yang menuntut keadilan dan kepemimpinan ilahiah.

Khawarij, di sisi lain, menolak klaim legitimasi dari kedua pihak dan mengembangkan pandangan ekstrem bahwa kepemimpinan harus hanya diberikan kepada individu yang paling suci dan memenuhi standar Islam yang ketat.⁸


4.3.       Pelajaran dan Ibrah dari Fitnah Kubro

Tragedi Fitnah Kubro memberikan pelajaran penting bagi umat Islam tentang bahaya perpecahan dan pentingnya menjaga keadilan dalam pemerintahan. Salah satu ibrah terbesar dari peristiwa ini adalah bahwa ketidakadilan, baik yang nyata maupun persepsional, dapat menjadi pemicu utama konflik.⁹

Pelajaran lain yang dapat diambil adalah pentingnya transparansi dan komunikasi antara pemimpin dan rakyat. Khalifah Utsman, meskipun terkenal dengan kedermawanannya, sering kali dianggap kurang komunikatif dalam menjelaskan kebijakan-kebijakan kontroversialnya, sehingga menciptakan kesalahpahaman di kalangan masyarakat.¹⁰

Umat Islam masa kini dapat mengambil hikmah dari peristiwa ini dengan menjadikan persatuan sebagai prioritas utama dalam menghadapi perbedaan. Para ulama juga menekankan pentingnya bersikap bijak dalam menyikapi isu-isu politik agar tidak jatuh ke dalam konflik yang merugikan umat secara keseluruhan.¹¹


Catatan Kaki

[1]              Al-Tabari, The History of al-Tabari, Vol. XV: The Crisis of the Early Caliphate, terj. R. Stephen Humphreys (Albany: State University of New York Press, 1990), 46.

[2]              Wilferd Madelung, The Succession to Muhammad: A Study of the Early Caliphate (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 115.

[3]              Hugh Kennedy, The Prophet and the Age of the Caliphates (London: Longman, 1986), 77.

[4]              G. R. Hawting, The First Dynasty of Islam: The Umayyad Caliphate AD 661-750 (London: Routledge, 1986), 15.

[5]              Moojan Momen, An Introduction to Shi'i Islam: The History and Doctrines of Twelver Shi'ism (New Haven: Yale University Press, 1985), 55.

[6]              Al-Baghdadi, Abdul Qahir. Al-Farq bayn al-Firaq (Beirut: Dar al-Jil, 1993), 111.

[7]              Momen, An Introduction to Shi'i Islam, 56.

[8]              Al-Baladhuri, Ansab al-Ashraf, terj. Moshe Sharon (Jerusalem: Hebrew University, 1970), 341.

[9]              Al-Ghazali, Abu Hamid. Ihya Ulum al-Din (Cairo: Dar al-Kutub al-‘Arabiyya, 1967), 3:72.

[10]          Ibn Kathir, Al-Bidayah wan-Nihayah (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), 7:192.

[11]          Al-Qaradhawi, Yusuf. Fiqh al-Jihad (Cairo: Maktabah Wahbah, 2009), 1:256.


5.           Pendekatan Analisis Historis

5.1.       Perspektif Historis

Pendekatan historis dalam memahami Fitnah Kubro berfokus pada analisis kronologis peristiwa, pemeriksaan aktor-aktor yang terlibat, dan pengaruh sosial-politik yang terjadi. Sebagai peristiwa penting dalam sejarah Islam, Fitnah Kubro sering dianggap sebagai awal dari perpecahan besar dalam politik Islam yang berdampak hingga saat ini.

Sebagian besar sumber utama yang digunakan untuk merekonstruksi peristiwa ini berasal dari karya-karya sejarah Islam klasik, seperti Tarikh al-Tabari, yang dianggap sebagai salah satu catatan paling detail dan menyeluruh.¹ Namun, penting untuk memahami bahwa karya ini dan sumber sejenisnya sering kali menyertakan narasi yang bercampur antara fakta sejarah dan opini atau bias narator. Oleh karena itu, sejarawan modern, seperti Wilferd Madelung dalam The Succession to Muhammad, menekankan perlunya analisis kritis terhadap sumber-sumber ini.²

Madelung, misalnya, mencatat bahwa perpecahan dalam komunitas Muslim setelah wafatnya Utsman tidak hanya disebabkan oleh konflik pribadi tetapi juga oleh perubahan struktural dalam masyarakat Islam, termasuk ketegangan antara kelompok-kelompok Arab Quraisy dan non-Quraisy yang semakin signifikan setelah perluasan wilayah Islam.³

Selain itu, sumber-sumber modern juga menyoroti pentingnya faktor sosial-ekonomi dalam memahami Fitnah Kubro. Hugh Kennedy dalam The Prophet and the Age of the Caliphates menunjukkan bahwa ketidakpuasan terhadap pemerintahan Utsman sebagian besar berasal dari kebijakan distribusi ghanimah dan tanah, yang dianggap menguntungkan kaum elit Quraisy.⁴ Perspektif ini memperkaya analisis dengan menghubungkan peristiwa ini dengan perubahan sosial yang lebih luas dalam masyarakat Islam awal.

5.2.       Perspektif Keagamaan

Pendekatan keagamaan dalam menganalisis Fitnah Kubro berfokus pada bagaimana peristiwa ini dipahami dalam kerangka ajaran Islam, terutama dalam kaitannya dengan konsep kepemimpinan (imamah) dan persatuan umat. Dalam tradisi Sunni, Fitnah Kubro dianggap sebagai ujian besar bagi umat Islam yang menuntut kembalinya umat kepada prinsip-prinsip Al-Qur'an dan Sunnah. Ulama Sunni seperti Ibn Taymiyyah menyatakan bahwa Fitnah Kubro adalah peringatan tentang bahaya fitnah yang dapat menghancurkan persatuan umat dan pentingnya menaati pemimpin yang sah meskipun memiliki kekurangan.⁵

Sebaliknya, tradisi Syiah melihat peristiwa ini sebagai bukti kegagalan sistem kekhalifahan yang tidak melibatkan Ahlul Bait dalam kepemimpinan. Menurut pandangan Syiah, pembunuhan Utsman dan perpecahan yang terjadi setelahnya adalah hasil dari penyimpangan umat dari otoritas ilahiah yang telah ditetapkan melalui Rasulullah kepada Ali bin Abi Thalib dan keturunannya.⁶ Pendekatan ini memperkuat keyakinan teologis Syiah terhadap konsep imamah sebagai institusi yang tidak hanya politis tetapi juga spiritual.

Pendekatan teologis juga mencakup kajian terhadap riwayat-riwayat hadis yang berkaitan dengan Fitnah Kubro. Hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim mencatat peringatan Rasulullah Saw. tentang akan datangnya fitnah di akhir zaman yang melibatkan pertumpahan darah di antara umat Islam sendiri.⁷ Hadis-hadis ini sering digunakan sebagai peringatan dan pelajaran untuk menjaga persatuan umat dalam menghadapi perbedaan pendapat.

5.3.       Relevansi dalam Konteks Modern

Analisis historis terhadap Fitnah Kubro juga relevan dalam konteks modern, khususnya dalam memahami dinamika konflik politik dan sektarian di dunia Islam. Pelajaran dari peristiwa ini menunjukkan bahwa konflik yang berakar pada ketidakadilan, ketimpangan ekonomi, dan mismanajemen pemerintahan dapat dengan cepat berkembang menjadi krisis besar yang merusak persatuan umat.⁸

Sejarawan modern menekankan bahwa memahami konteks sejarah ini tidak hanya penting untuk mengenang masa lalu, tetapi juga untuk mencegah pengulangan konflik serupa di masa kini. Dalam bukunya Fiqh al-Sirah, Muhammad Sa'id Ramadan al-Buthi menyarankan umat Islam untuk menjadikan peristiwa Fitnah Kubro sebagai pelajaran tentang pentingnya dialog, keadilan, dan transparansi dalam kepemimpinan.⁹


Catatan Kaki

[1]              Al-Tabari, The History of al-Tabari, Vol. XV: The Crisis of the Early Caliphate, terj. R. Stephen Humphreys (Albany: State University of New York Press, 1990), 50-52.

[2]              Wilferd Madelung, The Succession to Muhammad: A Study of the Early Caliphate (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 89.

[3]              Madelung, The Succession to Muhammad, 93.

[4]              Hugh Kennedy, The Prophet and the Age of the Caliphates (London: Longman, 1986), 79.

[5]              Ibn Taymiyyah, Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyyah (Cairo: Dar al-Hadith, 1996), 4:237.

[6]              Moojan Momen, An Introduction to Shi'i Islam: The History and Doctrines of Twelver Shi'ism (New Haven: Yale University Press, 1985), 58.

[7]              Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Kitab al-Fitan, No. 3606.

[8]              Kennedy, The Prophet and the Age of the Caliphates, 85.

[9]              Muhammad Sa'id Ramadan al-Buthi, Fiqh al-Sirah: Understanding the Life of the Prophet Muhammad (Damascus: Dar al-Fikr, 1995), 205.


6.           Kesimpulan

Fitnah Kubro adalah salah satu peristiwa paling kritis dalam sejarah Islam, yang tidak hanya mencerminkan kompleksitas sosial dan politik di masa itu, tetapi juga memberikan pelajaran berharga bagi umat Islam di segala zaman. Tragedi yang berujung pada pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan merupakan hasil dari akumulasi berbagai faktor, termasuk kebijakan pemerintahan yang kontroversial, ketegangan sosial, serta manipulasi oleh kelompok-kelompok tertentu yang memanfaatkan ketidakpuasan masyarakat.¹

Secara politis, Fitnah Kubro membuka pintu bagi perpecahan yang berdampak pada kelangsungan kekhalifahan Islam. Konflik yang terjadi setelah wafatnya Utsman, seperti Perang Jamal dan Perang Shiffin, menunjukkan betapa rapuhnya persatuan umat ketika rasa keadilan dan transparansi dalam pemerintahan dipertanyakan.² Perselisihan ini tidak hanya berpengaruh pada struktur politik, tetapi juga melahirkan berbagai kelompok dengan pandangan teologis yang berbeda, seperti Khawarij, Syiah, dan Ahlus Sunnah.³

Dari perspektif teologis, Fitnah Kubro menjadi pengingat pentingnya menjaga persatuan umat di tengah perbedaan pendapat. Islam menekankan nilai-nilai keadilan, musyawarah, dan kepatuhan kepada pemimpin yang sah selama mereka memimpin sesuai dengan syariat.⁴ Ulama klasik seperti Ibn Taymiyyah menekankan bahwa fitnah dapat dihindari apabila pemimpin dan rakyat sama-sama berkomitmen pada prinsip-prinsip Islam.⁵

Tragedi ini juga memberikan ibrah (pelajaran) bahwa ketidakadilan, baik yang nyata maupun yang dipersepsikan, dapat menjadi pemicu utama konflik. Oleh karena itu, penting bagi pemimpin untuk menjalankan pemerintahan dengan keadilan, transparansi, dan memperhatikan aspirasi rakyat. Selain itu, umat Islam sebagai kolektif harus bijaksana dalam menyikapi isu-isu yang berpotensi memecah belah persatuan.⁶

Pada akhirnya, pembelajaran dari Fitnah Kubro relevan dalam konteks modern, khususnya dalam menghadapi tantangan konflik politik dan sektarian di dunia Islam. Pemahaman yang mendalam tentang peristiwa ini tidak hanya membantu umat Islam mengenang sejarah, tetapi juga mendorong mereka untuk mencegah pengulangan kesalahan yang sama. Seperti yang dinyatakan oleh Muhammad Sa'id Ramadan al-Buthi dalam Fiqh al-Sirah, menjaga persatuan umat harus menjadi prioritas utama setiap individu Muslim, terlepas dari perbedaan politik dan mazhab.⁷

Dengan demikian, Fitnah Kubro adalah sebuah peringatan yang abadi tentang bahaya perpecahan dan pentingnya merawat persatuan umat Islam. Semoga pelajaran dari peristiwa ini dapat menjadi panduan untuk membangun masyarakat yang lebih adil, harmonis, dan sesuai dengan nilai-nilai Islam.


Catatan Kaki

[1]              Al-Tabari, The History of al-Tabari, Vol. XV: The Crisis of the Early Caliphate, terj. R. Stephen Humphreys (Albany: State University of New York Press, 1990), 50-53.

[2]              Wilferd Madelung, The Succession to Muhammad: A Study of the Early Caliphate (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 119-121.

[3]              Hugh Kennedy, The Prophet and the Age of the Caliphates (London: Longman, 1986), 77-79.

[4]              Al-Baghdadi, Abdul Qahir. Al-Farq bayn al-Firaq (Beirut: Dar al-Jil, 1993), 113.

[5]              Ibn Taymiyyah, Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyyah (Cairo: Dar al-Hadith, 1996), 4:240.

[6]              Ibn Kathir, Al-Bidayah wan-Nihayah (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), 7:192.

[7]              Muhammad Sa'id Ramadan al-Buthi, Fiqh al-Sirah: Understanding the Life of the Prophet Muhammad (Damascus: Dar al-Fikr, 1995), 209-210.


Daftar Pustaka

Al-Baghdadi, A. Q. (1993). Al-Farq bayn al-Firaq. Beirut: Dar al-Jil.

Al-Baladhuri, A. H. (1970). Ansab al-Ashraf (Trans. Moshe Sharon). Jerusalem: Hebrew University.

Al-Bukhari, M. I. (1997). Sahih al-Bukhari. Kitab al-Fitan. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

Al-Ghazali, A. H. (1967). Ihya Ulum al-Din (Vol. 3). Cairo: Dar al-Kutub al-‘Arabiyya.

Al-Tabari, M. J. (1990). The History of al-Tabari, Vol. XV: The Crisis of the Early Caliphate (Trans. R. Stephen Humphreys). Albany: State University of New York Press.

Al-Taymiyyah, I. (1996). Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyyah (Vol. 4). Cairo: Dar al-Hadith.

Al-Buthi, M. S. R. (1995). Fiqh al-Sirah: Understanding the Life of the Prophet Muhammad. Damascus: Dar al-Fikr.

Ibn Hajar al-Asqalani. (1379 H). Fath al-Bari bi Sharh Sahih al-Bukhari. Beirut: Dar al-Ma’rifah.

Ibn Kathir, I. (2001). Al-Bidayah wan-Nihayah (Vol. 7). Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

Kennedy, H. (1986). The Prophet and the Age of the Caliphates. London: Longman.

Madelung, W. (1997). The Succession to Muhammad: A Study of the Early Caliphate. Cambridge: Cambridge University Press.

Momen, M. (1985). An Introduction to Shi'i Islam: The History and Doctrines of Twelver Shi'ism. New Haven: Yale University Press.

Sa’id, M. R. A.-B. (2009). Fiqh al-Jihad. Cairo: Maktabah Wahbah.


 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar