WAHABI
“Sejarah, Pemikiran, dan
Kontroversi dalam Perspektif Islam”
Alihkan ke- Salafiyah: Ibn Taymiyyah
Relasi dan Independensi antara
Salafiyah dan Wahabiyah
Salafiyah dan Wahabiyah sering dianggap saling
terkait karena kesamaan dalam misi pemurnian Islam. Namun, keduanya memiliki
konteks historis, doktrinal, dan dinamika sosial-politik yang berbeda. Salafiyah
adalah gerakan Islam yang lebih luas, berakar pada upaya kembali kepada
Al-Qur'an dan Hadis sebagaimana dipahami oleh generasi Salafus Shalih (tiga
generasi awal Islam). Gerakan ini menekankan tauhid murni, menjauhi bid'ah, dan
berusaha membersihkan praktik Islam dari pengaruh yang dianggap menyimpang. Di
sisi lain, Wahabiyah adalah sebuah gerakan spesifik yang lahir di jazirah Arab
pada abad ke-18 melalui pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab (1703–1792) yang
bekerja sama dengan Dinasti Saud untuk menyebarkan ajarannya secara politik dan
agama di wilayah Najd dan sekitarnya.¹
Relasi antara Wahabiyah dan Salafiyah dapat dilihat
dalam doktrin-doktrin teologis mereka yang beririsan, terutama dalam penekanan
pada tauhid. Wahabiyah sering dianggap sebagai cabang atau manifestasi dari
Salafiyah karena keduanya mendasarkan ajarannya pada prinsip-prinsip Salafus
Shalih.² Namun, Salafiyah lebih luas cakupannya dan tidak terbatas pada konteks
geografis atau historis tertentu. Wahabiyah, di sisi lain, memiliki konteks
politik yang spesifik sebagai mitra Dinasti Saud dalam membentuk negara Arab
Saudi modern.³
Meskipun Wahabiyah sering dikaitkan dengan
Salafiyah, penting untuk mencatat bahwa tidak semua Salafi menyetujui metode
Wahabi. Beberapa tokoh Salafiyah kontemporer mengkritik pendekatan Wahabi yang
dianggap terlalu keras dalam penegakan hukum dan dalam sikap terhadap
praktik-praktik lokal seperti tasawuf.⁴ Sebaliknya, para pendukung Wahabi lebih
sering menggunakan istilah "Salafi" untuk menggambarkan diri mereka sendiri,
sehingga mengaburkan garis perbedaan antara keduanya. Hal ini menciptakan
dinamika unik di mana Wahabiyah sering menjadi sinonim dengan Salafiyah di mata
publik, meskipun secara konseptual, Wahabiyah hanya salah satu cabang dari
gerakan Salafiyah.⁵
Independensi Salafiyah sebagai gerakan lebih luas
terlihat dari keberagaman manifestasi Salafiyah di berbagai dunia Islam,
termasuk di Mesir, Yaman, dan Afrika Utara, yang tidak semuanya mengikuti
pendekatan keras Wahabi. Salafiyah kontemporer memiliki spektrum mulai dari
Salafi yang lebih moderat hingga yang sangat konservatif.⁶ Sebaliknya,
Wahabiyah tetap terikat dengan konteks dan karakteristik Najd serta
keterlibatan politiknya dengan kerajaan Arab Saudi, yang sering memengaruhi
cara pandang dunia terhadap gerakan ini.⁷
Dengan demikian, meskipun Wahabiyah dapat dianggap
sebagai bagian dari Salafiyah, keduanya memiliki elemen independen yang
menjadikan mereka berbeda secara ideologis, historis, dan sosiologis.
Catatan Kaki
[1]
Hamid Algar, Wahhabism: A Critical Essay (Oneonta, NY: Islamic
Publications International, 2002), 14–15.
[2]
Natana J. DeLong-Bas, Wahhabi Islam: From Revival and Reform to
Global Jihad (New York: Oxford University Press, 2004), 27.
[3]
John L. Esposito, Islam and Politics (Syracuse, NY: Syracuse
University Press, 1998), 45.
[4]
Quintan Wiktorowicz, "Anatomy of the Salafi Movement," Studies
in Conflict & Terrorism 29, no. 3 (2006): 207–239.
[5]
Bernard Haykel, "On the Nature of Salafi Thought and Action,"
in Global Salafism: Islam’s New Religious Movement, ed. Roel Meijer (New
York: Columbia University Press, 2009), 40.
[6]
Madawi Al-Rasheed, Contest of Saudi Arabia (New York: Cambridge
University Press, 2010), 57.
[7]
David Commins, The Wahhabi Mission and Saudi Arabia (London: I.B.
Tauris, 2006), 79–80.
PEMBAHASAN
Wahabi: Pemikiran Muhammad
bin Abdul Wahab
1.
Pendahuluan
Wahabi adalah salah satu gerakan reformasi Islam
yang muncul pada abad ke-18 di Jazirah Arab, yang berupaya mengembalikan ajaran
Islam kepada kemurnian tauhid sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah
Muhammad Saw. Gerakan ini dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab (1703–1792),
seorang ulama yang lahir di Najd, kawasan yang pada waktu itu dikenal dengan
tradisi keislaman yang bercampur dengan praktik-praktik lokal yang dianggap
menyimpang dari ajaran Islam murni. Ajarannya memengaruhi lanskap politik, sosial,
dan keagamaan, terutama melalui kemitraannya dengan Keluarga Saud yang kemudian
membentuk dasar negara Arab Saudi modern.¹
Lahirnya gerakan Wahabi tidak dapat dilepaskan dari
konteks sosio-historis di mana umat Islam di Jazirah Arab saat itu menghadapi
tantangan berupa kebodohan, penyimpangan akidah, dan lemahnya otoritas
keagamaan.² Muhammad bin Abdul Wahab memandang bahwa penyebab utama kemunduran
umat Islam adalah menjamurnya praktik-praktik bid’ah, syirik, dan takhayul yang
telah menyusup ke dalam masyarakat. Hal ini mendorongnya untuk menyerukan
pemurnian akidah Islam berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis, dengan penafsiran yang
ketat dan literal.³
Namun, gerakan ini tidak lepas dari kontroversi. Di
satu sisi, Wahabi dipuji karena semangatnya dalam memurnikan akidah dan
menghapus praktik-praktik yang dianggap menyimpang. Di sisi lain, Wahabi
dikritik oleh sejumlah kalangan karena dianggap terlalu kaku, literal, dan
eksklusif dalam memahami ajaran Islam. Kritikusnya menilai pendekatan ini
mengabaikan dimensi sejarah dan budaya yang beragam dalam umat Islam.⁴
Dalam dunia Islam, Wahabi telah memicu diskusi luas
tentang otoritas keagamaan, penafsiran teks suci, dan bagaimana Islam harus
diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, memahami Wahabi secara
objektif adalah penting untuk menjembatani perbedaan dan memperkaya pemahaman
tentang keragaman pemikiran dalam Islam. Artikel ini bertujuan memberikan
penjelasan komprehensif tentang Wahabi dengan menggunakan referensi dari
sumber-sumber yang kredibel, baik dari tulisan Muhammad bin Abdul Wahab sendiri
maupun dari analisis para sejarawan dan ulama terkemuka.⁵
Catatan Kaki
¹ David Commins, The Wahhabi Mission and Saudi Arabia (New York:
I.B. Tauris, 2009), 5.
² John L. Esposito, Islam: The Straight Path (Oxford: Oxford
University Press, 2011), 105.
³ Muhammad bin Abdul Wahhab, Kitab al-Tauhid, diterjemahkan oleh
Ismail Raji al-Faruqi (Riyadh: Darussalam, 1996), 7.
⁴ Hamid Algar, Wahhabism: A Critical Essay (Oneonta: Islamic
Publications International, 2002), 12.
⁵ Natana J. Delong-Bas, Wahhabi Islam: From Revival and Reform to
Global Jihad (Oxford: Oxford University Press, 2004), 3.
2.
Asal-usul
Wahabi
Gerakan Wahabi berakar pada kehidupan dan pemikiran
Muhammad bin Abdul Wahab (1703–1792), seorang ulama dari Najd, Jazirah Arab. Ia
lahir di desa Uyainah, dalam keluarga yang memiliki tradisi keilmuan Islam.
Ayahnya, Abdul Wahab, adalah seorang qadhi (hakim Islam), yang mendidiknya dalam
ilmu agama sejak usia muda. Muhammad bin Abdul Wahab kemudian melanjutkan
studinya ke berbagai pusat keilmuan di Hijaz, Irak, dan Suriah, di mana ia
mendalami tafsir Al-Qur'an, hadis, dan fiqh dari berbagai mazhab.¹
2.1. Kondisi Sosial dan Agama di Najd
Pada masa itu, masyarakat Najd, seperti banyak
wilayah lain di dunia Islam, dipenuhi dengan praktik-praktik lokal yang
bercampur dengan ajaran Islam. Ritual-ritual yang dianggap mengandung unsur
syirik, seperti penyembahan makam, penggunaan jimat, dan permohonan kepada
selain Allah, menjadi hal yang lumrah.² Muhammad bin Abdul Wahab memandang
fenomena ini sebagai penyimpangan serius dari ajaran tauhid, yang menurutnya
merupakan inti dari Islam. Ia berpendapat bahwa kemunduran umat Islam
disebabkan oleh penyimpangan tersebut dan menyerukan kembalinya umat kepada
tauhid yang murni.³
2.2. Formulasi Pemikiran dan Perjalanan Dakwah
Muhammad bin Abdul Wahab mulai menyusun gagasannya
dalam berbagai karya, yang paling terkenal adalah Kitab al-Tauhid.⁴
Dalam buku ini, ia menekankan pentingnya memurnikan ibadah hanya kepada Allah
dan menjauhi segala bentuk syirik. Ia juga mengkritik keras praktek-praktek
yang ia pandang sebagai bid’ah (inovasi dalam agama) yang tidak memiliki dasar
dari Al-Qur'an dan Sunnah.
Setelah kembali ke Najd, Muhammad bin Abdul Wahab
memulai dakwahnya di kampung halaman. Awalnya, ia mendapatkan dukungan dari
penguasa lokal di Uyainah, namun kemudian menghadapi penolakan karena
gagasannya yang kontroversial. Hal ini memaksanya berpindah ke kota Diriyah, di
mana ia bertemu dengan Muhammad bin Saud, pemimpin suku yang memiliki ambisi
politik.⁵
2.3. Aliansi Wahabi-Saud
Kemitraan antara Muhammad bin Abdul Wahab dan
Muhammad bin Saud menjadi titik balik dalam perkembangan gerakan Wahabi.
Aliansi ini didasarkan pada kesepakatan bahwa Wahabi akan menyediakan
legitimasi keagamaan bagi kekuasaan politik keluarga Saud, sementara keluarga
Saud akan mendukung penyebaran ajaran Wahabi.⁶ Kolaborasi ini menjadi fondasi
bagi berdirinya negara Saudi pertama pada tahun 1744, yang menjadi basis
penyebaran ajaran Wahabi ke berbagai wilayah Jazirah Arab.
2.4. Reaksi Awal terhadap Gerakan Wahabi
Sejak awal, gerakan Wahabi menghadapi resistensi
dari banyak pihak. Ulama tradisional dan masyarakat yang telah lama mempraktikkan
tradisi lokal menolak ajaran yang dianggap terlalu kaku dan radikal. Bahkan,
beberapa ulama menulis risalah untuk membantah pemikiran Muhammad bin Abdul
Wahab, yang mereka pandang sebagai ancaman bagi pluralitas pemikiran Islam.⁷
Melalui kemitraannya dengan Keluarga Saud, Wahabi
berkembang menjadi sebuah gerakan yang bukan hanya keagamaan, tetapi juga
politik, yang memengaruhi tatanan di Jazirah Arab hingga saat ini.
Catatan Kaki
¹ Hamid
Algar, Wahhabism: A Critical Essay (Oneonta: Islamic Publications
International, 2002), 5.
² David
Commins, The Wahhabi Mission and Saudi Arabia (New York: I.B. Tauris,
2009), 12.
³ John L.
Esposito, Islam: The Straight Path (Oxford: Oxford University Press,
2011), 106.
⁴ Muhammad
bin Abdul Wahhab, Kitab al-Tauhid, diterjemahkan oleh Ismail Raji
al-Faruqi (Riyadh: Darussalam, 1996), 10.
⁵ Natana J.
Delong-Bas, Wahhabi Islam: From Revival and Reform to Global Jihad
(Oxford: Oxford University Press, 2004), 18.
⁶ David Dean
Commins, The Wahhabi Mission and Saudi Arabia (London: I.B. Tauris,
2009), 20.
⁷ R. Stephen
Humphreys, Islamic History: A Framework for Inquiry (Princeton:
Princeton University Press, 1991), 150.
3.
Ajaran
dan Pemikiran Wahabi
Gerakan Wahabi berlandaskan pada penekanan terhadap
tauhid (keesaan Allah) sebagai inti dari ajaran Islam, sesuai dengan pandangan
Muhammad bin Abdul Wahab. Dalam karya utamanya, Kitab al-Tauhid, ia
menguraikan berbagai bentuk tauhid dan menekankan bahwa setiap bentuk ibadah
hanya boleh ditujukan kepada Allah.¹ Gerakan ini juga menolak keras
praktik-praktik yang dianggap sebagai syirik (menyekutukan Allah), bid’ah
(inovasi dalam agama), dan khurafat (takhayul), yang menurutnya telah merusak
kemurnian Islam.²
3.1. Tauhid sebagai Inti Ajaran
Menurut Wahabi, tauhid memiliki tiga aspek utama:
1)
Tauhid Rububiyah (keyakinan
bahwa Allah adalah satu-satunya pencipta dan pengatur alam semesta).
2)
Tauhid Uluhiyah (keyakinan
bahwa hanya Allah yang berhak disembah dan dimohonkan pertolongan).
3)
Tauhid Asma wa Sifat (keyakinan
pada nama-nama dan sifat-sifat Allah sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an dan
Hadis, tanpa penakwilan, penyerupaan, atau pengingkaran).³
Muhammad bin Abdul Wahab memandang bahwa sebagian
besar umat Islam pada masanya telah menyimpang dari tauhid uluhiyah dengan
melakukan praktik-praktik seperti tawassul (berdoa melalui perantara) dan
tabarruk (mencari berkah dari objek tertentu).⁴
3.2. Penolakan terhadap Syirik, Bid’ah, dan Khurafat
Wahabi menganggap syirik sebagai dosa terbesar yang
menghapus semua amal ibadah. Ia menentang keras praktik ziarah kubur dengan
niat meminta syafaat dari orang yang telah meninggal, karena dianggap menyamai
penyembahan berhala.⁵ Bid’ah, atau inovasi dalam agama, juga menjadi fokus
kritiknya. Praktik-praktik seperti perayaan Maulid Nabi, bacaan tahlil, dan doa
bersama setelah salat berjamaah dianggap tidak memiliki dasar dalam Al-Qur'an
atau Sunnah.⁶
3.3. Metode Penafsiran Teks Suci
Dalam memahami Al-Qur'an dan Hadis, Wahabi
menggunakan pendekatan tekstualis yang ketat, menghindari takwil (interpretasi
alegoris) kecuali dalam kasus yang sangat jelas. Mereka menolak praktik
interpretasi yang dianggap spekulatif atau menyimpang dari makna literal.⁷
3.4. Pengaruh Pemikiran Ibnu Taimiyah
Ajaran Wahabi dipengaruhi oleh pemikiran Ibnu
Taimiyah (1263–1328), seorang ulama Hanbali yang juga menekankan pemurnian
tauhid dan menentang praktik-praktik yang dianggap syirik dan bid’ah. Muhammad
bin Abdul Wahab sering merujuk pada karya-karya Ibnu Taimiyah, seperti Kitab
al-Istiqamah dan Majmu' Fatawa, dalam mengembangkan argumennya.⁸
3.5. Implikasi Sosial dan Politik
Pemikiran Wahabi tidak hanya bersifat teologis
tetapi juga membawa implikasi sosial dan politik. Gerakan ini menekankan
pentingnya amar ma’ruf nahi munkar (menyeru kepada kebaikan dan mencegah
kemungkaran) dalam membangun masyarakat yang sesuai dengan ajaran Islam.⁹
Pemerintah yang tidak menjalankan syariat Islam secara murni sering dikritik
oleh pendukung Wahabi.
Catatan Kaki
[1]
¹ Muhammad bin Abdul Wahhab, Kitab al-Tauhid, diterjemahkan oleh
Ismail Raji al-Faruqi (Riyadh: Darussalam, 1996), 5–8.
[2]
² Hamid Algar, Wahhabism: A Critical Essay (Oneonta: Islamic
Publications International, 2002), 12.
[3]
³ Natana J. Delong-Bas, Wahhabi Islam: From Revival and Reform to
Global Jihad (Oxford: Oxford University Press, 2004), 20.
[4]
⁴ David Commins, The Wahhabi Mission and Saudi Arabia (New York:
I.B. Tauris, 2009), 35.
[5]
⁵ John L. Esposito, Islam: The Straight Path (Oxford: Oxford
University Press, 2011), 108.
[6]
⁶ R. Stephen Humphreys, Islamic History: A Framework for Inquiry
(Princeton: Princeton University Press, 1991), 155.
[7]
⁷ David Dean Commins, The Wahhabi Mission and Saudi Arabia
(London: I.B. Tauris, 2009), 45.
[8]
⁸ Ibn Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, vol. 1, ed. Abdul Rahman bin
Qasim (Riyadh: Maktabah al-Maarif, 1981), 35.
[9]
⁹ Hamid Algar, Wahhabism: A Critical Essay (Oneonta: Islamic
Publications International, 2002), 15.
4.
Penyebaran
dan Pengaruh Wahabi
Gerakan Wahabi berkembang pesat setelah aliansi
antara Muhammad bin Abdul Wahab dan Muhammad bin Saud pada tahun 1744.
Kolaborasi ini menciptakan fondasi bagi negara Saudi pertama, yang menjadi
basis penyebaran ajaran Wahabi di Jazirah Arab. Melalui dukungan politik dan
militer, Wahabi tidak hanya menjadi gerakan keagamaan, tetapi juga kekuatan
politik yang dominan.¹
4.1. Penyebaran di Jazirah Arab
Pada paruh kedua abad ke-18, Wahabi mulai
menyebarkan ajarannya di berbagai wilayah Jazirah Arab, sering kali melalui
pendekatan militer. Dalam kampanye militernya, para pengikut Wahabi menaklukkan
daerah-daerah yang dianggap terkontaminasi oleh praktik-praktik syirik, seperti
ziarah kubur dan pemujaan makam. Kota-kota seperti Riyadh dan Al-Hasa menjadi
pusat penyebaran Wahabi, di mana ajaran ini diterapkan secara ketat.²
Pada tahun 1802, pengikut Wahabi menyerang Karbala,
kota suci Syiah di Irak, menghancurkan makam Imam Husain, dan mengutuk praktik
ziarah kubur yang mereka anggap sebagai bentuk penyimpangan. Peristiwa ini
menimbulkan reaksi keras dari komunitas Syiah dan memperkuat kontroversi di
sekitar gerakan Wahabi.³
4.2. Kebangkitan Kembali Wahabi dan Negara Saudi Modern
Setelah kekalahan sementara pada awal abad ke-19 oleh
Kekhalifahan Ottoman, Wahabi kembali bangkit melalui dukungan Keluarga Saud.
Pada tahun 1932, berdirinya Kerajaan Arab Saudi di bawah kepemimpinan Abdul
Aziz Al Saud menandai fase baru dalam penyebaran ajaran Wahabi.⁴ Pemerintah
Saudi menjadikan Wahabi sebagai doktrin resmi negara dan menggunakan sumber
daya ekonomi dari minyak untuk mendukung penyebaran ajaran ini secara global.
4.3. Peran Lembaga Keagamaan
Arab Saudi mendirikan berbagai lembaga keagamaan
untuk menyebarkan ajaran Wahabi, seperti Liga Muslim Dunia (Rabitat al-Alam
al-Islami) dan Universitas Islam Madinah. Lembaga-lembaga ini memberikan
beasiswa kepada mahasiswa dari seluruh dunia untuk belajar di Arab Saudi, yang
kemudian menjadi duta penyebaran Wahabi di negara asal mereka.⁵
Selain itu, distribusi literatur Islam yang
bercorak Wahabi, termasuk terjemahan kitab Kitab al-Tauhid dan
karya-karya Muhammad bin Abdul Wahab, dilakukan secara masif. Proyek ini
didukung oleh kekayaan minyak yang memungkinkan Arab Saudi untuk mencetak dan
menyebarkan buku-buku ini secara gratis di seluruh dunia.⁶
4.4. Pengaruh Global Wahabi
Wahabi mendapatkan pengaruh yang signifikan di
berbagai belahan dunia, terutama di Asia Selatan, Asia Tenggara, dan Afrika.
Melalui lembaga keagamaan dan filantropi, ajaran Wahabi diadopsi oleh sejumlah
kelompok Islam, terutama yang berbasis pada puritanisme dan pemurnian akidah.
Namun, pengaruh ini tidak selalu diterima dengan baik. Di banyak negara, Wahabi
dikritik karena dianggap mendukung sikap intoleransi terhadap tradisi lokal dan
keragaman Islam.⁷
Di era modern, Wahabi sering dikaitkan dengan
berbagai gerakan Islamis yang lebih keras. Beberapa analis berpendapat bahwa
ajaran Wahabi memberikan kerangka teologis bagi gerakan-gerakan ekstremis,
meskipun pemerintah Saudi secara resmi menolak keterkaitan tersebut.⁸
Catatan Kaki
[1]
¹ David Commins, The Wahhabi Mission and Saudi Arabia (New York:
I.B. Tauris, 2009), 23.
[2]
² John L. Esposito, Islam: The Straight Path (Oxford: Oxford
University Press, 2011), 109.
[3]
³ Hamid Algar, Wahhabism: A Critical Essay (Oneonta: Islamic
Publications International, 2002), 15.
[4]
⁴ Madawi Al-Rasheed, A History of Saudi Arabia (Cambridge:
Cambridge University Press, 2010), 45.
[5]
⁵ Natana J. Delong-Bas, Wahhabi Islam: From Revival and Reform to
Global Jihad (Oxford: Oxford University Press, 2004), 89.
[6]
⁶ David Dean Commins, The Wahhabi Mission and Saudi Arabia
(London: I.B. Tauris, 2009), 67.
[7]
⁷ Hamid Dabashi, Islamic Liberation Theology: Resisting the Empire
(London: Routledge, 2008), 120.
[8]
⁸ Thomas Hegghammer, Jihad in Saudi Arabia: Violence and Pan-Islamism
since 1979 (Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 55.
5.
Kontroversi
dan Kritik terhadap Wahabi
Sejak awal kemunculannya, Wahabi telah menjadi
subjek kontroversi yang terus berlangsung hingga hari ini. Gerakan ini
mendapatkan dukungan luas dari pengikutnya karena dianggap berhasil memurnikan
akidah Islam, tetapi juga menuai kritik tajam dari berbagai kelompok Islam
lainnya, termasuk ulama tradisional Sunni, Syiah, dan bahkan dari kalangan
akademisi non-Muslim.¹
5.1. Kritik Teologis
Banyak ulama Sunni tradisional menolak pendekatan
Wahabi terhadap Islam, terutama penafsiran literal terhadap teks-teks suci dan
penolakan terhadap praktik-praktik yang mereka anggap sebagai syirik atau
bid’ah.² Para kritikus menilai bahwa pandangan Wahabi terlalu kaku dan
mengabaikan kekayaan tradisi intelektual Islam, seperti takwil dan ijma'
(konsensus ulama).³
Sebagai contoh, dalam pandangan Wahabi, ziarah
kubur, tawassul (berdoa melalui perantara), dan perayaan Maulid Nabi dianggap
sebagai praktik yang menyimpang. Namun, bagi banyak komunitas Islam,
praktik-praktik ini merupakan bagian integral dari kehidupan spiritual yang
tidak bertentangan dengan tauhid. Hal ini menjadi salah satu titik utama
perbedaan antara Wahabi dan kelompok Sunni tradisional, seperti Asy’ariyah dan
Maturidiyah.⁴
5.2. Kritik dari Kelompok Syiah
Kelompok Syiah adalah salah satu kritikus paling
vokal terhadap Wahabi. Mereka memandang Wahabi sebagai ancaman terhadap
pluralitas Islam dan menyalahkan Wahabi atas penghancuran situs-situs suci di
Hijaz, seperti makam keluarga Rasulullah Saw dan sahabat-sahabat beliau.⁵
Serangan Wahabi terhadap Karbala pada tahun 1802, yang melibatkan penghancuran
makam Imam Husain, dianggap sebagai tindakan penghinaan terhadap simbol-simbol
suci Syiah.⁶
5.3. Tuduhan Radikalisme
Wahabi sering dikaitkan dengan munculnya
gerakan-gerakan Islam radikal di abad ke-20 dan ke-21. Beberapa analis
berpendapat bahwa ajaran Wahabi yang berfokus pada pemurnian akidah dan amar
ma’ruf nahi munkar memberikan kerangka ideologis bagi kelompok-kelompok
ekstremis, seperti Al-Qaeda dan ISIS.⁷ Meskipun pemerintah Arab Saudi secara
resmi menyangkal hubungan dengan kelompok-kelompok ini, doktrin Wahabi sering digunakan
oleh ekstremis sebagai dasar legitimasi teologis.
Namun, para pendukung Wahabi menolak tuduhan ini
dan menyatakan bahwa gerakan mereka tidak mendukung kekerasan dan hanya
berfokus pada dakwah damai untuk memurnikan Islam.⁸
5.4. Kritik Sosial dan Budaya
Kritik terhadap Wahabi juga datang dari sudut
pandang sosial dan budaya. Banyak kalangan menilai Wahabi telah mereduksi Islam
menjadi serangkaian aturan ketat yang mengabaikan dimensi spiritual, estetika,
dan budaya.⁹ Wahabi dianggap menolak tradisi lokal yang telah lama menjadi
bagian dari warisan Islam di berbagai wilayah, seperti seni musik, tarian, dan
sastra yang bernuansa religius.
Di wilayah seperti Afrika Utara dan Asia Tenggara,
penyebaran Wahabi sering kali memicu konflik dengan komunitas Muslim lokal yang
memiliki tradisi keagamaan yang lebih inklusif.¹⁰
5.5. Reaksi terhadap Kritik
Dalam menanggapi kritik, para pendukung Wahabi
menegaskan bahwa gerakan ini hanyalah upaya untuk mengembalikan umat Islam
kepada ajaran murni berdasarkan Al-Qur'an dan Sunnah. Mereka menyatakan bahwa
banyak tuduhan terhadap Wahabi didasarkan pada kesalahpahaman atau propaganda
dari pihak-pihak yang berkepentingan.¹¹
Catatan Kaki
[1]
¹ John L. Esposito, Islam: The Straight Path (Oxford: Oxford
University Press, 2011), 108.
[2]
² Hamid Algar, Wahhabism: A Critical Essay (Oneonta: Islamic
Publications International, 2002), 12.
[3]
³ Muhammad Abu Zahra, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah (Cairo: Dar
al-Fikr al-Arabi, 1999), 129.
[4]
⁴ David Commins, The Wahhabi Mission and Saudi Arabia (New York:
I.B. Tauris, 2009), 30.
[5]
⁵ Vali Nasr, The Shia Revival: How Conflicts Within Islam Will Shape
the Future (New York: Norton, 2007), 45.
[6]
⁶ Madawi Al-Rasheed, A History of Saudi Arabia (Cambridge:
Cambridge University Press, 2010), 38.
[7]
⁷ Thomas Hegghammer, Jihad in Saudi Arabia: Violence and Pan-Islamism
since 1979 (Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 55.
[8]
⁸ Natana J. Delong-Bas, Wahhabi Islam: From Revival and Reform to
Global Jihad (Oxford: Oxford University Press, 2004), 90.
[9]
⁹ Hamid Dabashi, Islamic Liberation Theology: Resisting the Empire
(London: Routledge, 2008), 118.
[10]
¹⁰ Azyumardi Azra, Islam in the Indonesian World: An Account of
Institutional Development (Bandung: Mizan, 2006), 65.
[11]
¹¹ David Dean Commins, The Wahhabi Mission and Saudi Arabia
(London: I.B. Tauris, 2009), 67.
6.
Dinamika
Modern Wahabi
Dalam era modern, Wahabi mengalami berbagai
transformasi, baik dalam ranah teologis, sosial, maupun politik. Sebagai
ideologi keagamaan resmi Arab Saudi, Wahabi memainkan peran signifikan dalam
membentuk kebijakan domestik dan hubungan internasional negara tersebut. Namun,
dinamika globalisasi, tantangan modernitas, dan kritik internasional terhadap
doktrin Wahabi telah memaksa gerakan ini untuk menyesuaikan pendekatannya
terhadap dunia yang terus berubah.¹
6.1. Wahabi sebagai Ideologi Resmi Arab Saudi
Pada abad ke-20, Wahabi mencapai puncak pengaruhnya
melalui aliansi politik dengan Kerajaan Arab Saudi, yang didirikan pada tahun
1932. Pemerintah Saudi menjadikan Wahabi sebagai fondasi ideologis negara dan
membangun lembaga-lembaga keagamaan yang mempromosikan doktrin ini di dalam dan
luar negeri.²
Melalui lembaga seperti Dewan Ulama Senior (Hay’at
Kibar al-Ulama) dan Kementerian Urusan Islam, Wahabi menjadi kerangka dasar
untuk menentukan hukum dan kebijakan di Arab Saudi. Implementasi hukum syariah
yang didasarkan pada interpretasi Wahabi mencakup pelarangan praktik-praktik
tertentu, seperti musik publik dan perayaan tradisional yang tidak dianggap
islami.³
6.2. Penyebaran Global Wahabi
Dengan kekayaan minyak yang melimpah sejak era
1970-an, Arab Saudi mendanai proyek-proyek besar untuk menyebarkan ajaran
Wahabi secara global. Masjid, sekolah, dan pusat kajian Islam yang didanai oleh
Arab Saudi bermunculan di berbagai negara, terutama di dunia Muslim.
Lembaga-lembaga seperti Liga Muslim Dunia (Rabitat al-Alam al-Islami)
memainkan peran penting dalam mendistribusikan literatur Wahabi dan mendukung
dakwah di seluruh dunia.⁴
Di Asia Tenggara, Afrika, dan Eropa, doktrin Wahabi
sering kali diadopsi oleh komunitas Muslim yang mencari pemurnian keagamaan.
Namun, pengaruh ini tidak selalu diterima dengan baik, terutama di
negara-negara dengan tradisi Islam lokal yang lebih inklusif dan toleran.⁵
6.3. Tantangan Modernitas
Modernitas membawa tantangan besar bagi Wahabi,
terutama dalam menghadapi isu-isu seperti hak asasi manusia, kesetaraan gender,
dan pluralisme agama. Interpretasi Wahabi terhadap syariah sering kali dianggap
tidak sesuai dengan nilai-nilai modern. Sebagai contoh, pelarangan wanita
mengemudi di Arab Saudi, yang sebelumnya didasarkan pada pandangan ulama
Wahabi, akhirnya dicabut pada tahun 2018 setelah mendapat tekanan domestik dan
internasional.⁶
Selain itu, kebijakan reformasi sosial-ekonomi yang
diprakarsai oleh Putra Mahkota Mohammed bin Salman, seperti Visi 2030,
mengisyaratkan upaya untuk mengurangi peran Wahabi dalam kehidupan publik.
Pembatasan terhadap kekuasaan Polisi Syariah dan pembukaan ruang bagi hiburan
modern menunjukkan pergeseran kebijakan yang signifikan di Arab Saudi.⁷
6.4. Kritik Internasional terhadap Wahabi
Setelah serangan 11 September 2001, Wahabi menjadi
sorotan internasional karena beberapa pelaku serangan berasal dari Arab Saudi
dan terpapar ajaran Wahabi. Gerakan ini sering dikaitkan dengan ekstremisme
Islam, meskipun pemerintah Saudi secara resmi menyangkal tuduhan tersebut.⁸
Banyak kritikus menganggap Wahabi sebagai penyebab radikalisasi di beberapa
komunitas Muslim karena doktrinnya yang eksklusif dan keras terhadap pluralitas
keagamaan.⁹
6.5. Upaya Reposisi dan Reformasi
Dalam menghadapi kritik global, Arab Saudi telah
mencoba memoderasi citra Wahabi di tingkat internasional. Lembaga-lembaga
keagamaan di bawah kontrol pemerintah didorong untuk menyampaikan pesan-pesan
Islam yang lebih toleran.¹⁰ Selain itu, pemerintah Saudi mulai memperluas
hubungan dengan negara-negara non-Muslim, termasuk mendukung dialog antaragama.
Namun, para kritikus tetap skeptis terhadap
reformasi ini, menilai bahwa upaya tersebut lebih bersifat kosmetik daripada
substantif.¹¹
Catatan Kaki
[1]
¹ John L. Esposito, Islam: The Straight Path (Oxford: Oxford
University Press, 2011), 109.
[2]
² Madawi Al-Rasheed, A History of Saudi Arabia (Cambridge:
Cambridge University Press, 2010), 72.
[3]
³ Hamid Algar, Wahhabism: A Critical Essay (Oneonta: Islamic
Publications International, 2002), 22.
[4]
⁴ David Dean Commins, The Wahhabi Mission and Saudi Arabia
(London: I.B. Tauris, 2009), 87.
[5]
⁵ Azyumardi Azra, Islam in the Indonesian World: An Account of Institutional
Development (Bandung: Mizan, 2006), 89.
[6]
⁶ Natana J. Delong-Bas, Wahhabi Islam: From Revival and Reform to
Global Jihad (Oxford: Oxford University Press, 2004), 110.
[7]
⁷ Madawi Al-Rasheed, Vision 2030 and Saudi Arabia's Social Contract:
A New Generation and New Politics? (Washington: Brookings Institution,
2018), 15.
[8]
⁸ Thomas Hegghammer, Jihad in Saudi Arabia: Violence and Pan-Islamism
since 1979 (Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 57.
[9]
⁹ Hamid Dabashi, Islamic Liberation Theology: Resisting the Empire
(London: Routledge, 2008), 125.
[10]
¹⁰ David Commins, The Wahhabi Mission and Saudi Arabia (New York:
I.B. Tauris, 2009), 99.
[11]
¹¹ Madawi Al-Rasheed, A History of Saudi Arabia (Cambridge:
Cambridge University Press, 2010), 85.
7.
Kesimpulan
Gerakan Wahabi, yang muncul di Najd pada abad
ke-18, merupakan salah satu fenomena penting dalam sejarah Islam modern.
Dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab, gerakan ini bertujuan memurnikan
akidah Islam dari apa yang dianggap sebagai syirik, bid’ah, dan khurafat.
Dengan dukungan Keluarga Saud, Wahabi berkembang dari sekadar gerakan keagamaan
menjadi kekuatan politik yang memengaruhi lanskap sosial, budaya, dan agama di
Jazirah Arab dan dunia Islam secara lebih luas.¹
Ajaran Wahabi yang berfokus pada tauhid murni telah
menghasilkan dampak positif dalam upaya pemurnian ajaran Islam di beberapa
komunitas.² Namun, pendekatannya yang kaku, literal, dan eksklusif terhadap
teks-teks suci memunculkan kritik dari berbagai kelompok Islam lainnya.³
Tradisi Sunni tradisional, komunitas Syiah, dan sebagian besar intelektual
Muslim menilai Wahabi terlalu mengabaikan aspek spiritual, historis, dan budaya
dalam Islam.⁴
Di tingkat global, Wahabi memainkan peran
signifikan dalam menyebarkan ajaran Islam dengan dukungan finansial dari Arab
Saudi. Namun, upaya ini tidak lepas dari kontroversi, terutama setelah Wahabi
sering dikaitkan dengan ideologi radikal yang menjadi dasar gerakan ekstremisme
di beberapa negara.⁵ Reformasi internal di Arab Saudi pada era modern, terutama
sejak diperkenalkannya Visi 2030, menunjukkan adanya upaya untuk memoderasi
pendekatan Wahabi dalam menghadapi tantangan modernitas.⁶
Kesimpulan yang dapat diambil dari pembahasan ini
adalah bahwa Wahabi, seperti gerakan Islam lainnya, merupakan respons terhadap
konteks sosial dan sejarah tertentu.⁷ Di satu sisi, ia merepresentasikan upaya
untuk memurnikan ajaran Islam sesuai dengan prinsip dasar tauhid. Di sisi lain,
ia menunjukkan bagaimana interpretasi keagamaan dapat membawa dampak sosial dan
politik yang luas. Bagi umat Islam saat ini, penting untuk mendekati Wahabi
dengan sikap objektif, memahami akar pemikirannya tanpa mengabaikan kritik yang
relevan, dan mengambil hikmah dari keberagaman tradisi Islam sebagai kekayaan
intelektual yang harus dihormati.⁸
Sebagai bagian dari dinamika pemikiran Islam,
Wahabi mengingatkan kita akan pentingnya menjaga keseimbangan antara ketegasan
terhadap prinsip agama dan keterbukaan terhadap tradisi lokal serta tantangan
zaman.⁹ Diskusi yang sehat dan ilmiah tentang Wahabi dapat menjadi sarana untuk
memperkaya wawasan umat Islam, tanpa menciptakan polarisasi yang merugikan
persatuan umat.¹⁰
Catatan Kaki
[1]
¹ Hamid Algar, Wahhabism: A Critical Essay (Oneonta: Islamic
Publications International, 2002), 5.
[2]
² Muhammad bin Abdul Wahhab, Kitab al-Tauhid, diterjemahkan oleh
Ismail Raji al-Faruqi (Riyadh: Darussalam, 1996), 7.
[3]
³ David Commins, The Wahhabi Mission and Saudi Arabia (New York:
I.B. Tauris, 2009), 30.
[4]
⁴ John L. Esposito, Islam: The Straight Path (Oxford: Oxford
University Press, 2011), 108.
[5]
⁵ Thomas Hegghammer, Jihad in Saudi Arabia: Violence and Pan-Islamism
since 1979 (Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 55.
[6]
⁶ Madawi Al-Rasheed, Vision 2030 and Saudi Arabia's Social Contract:
A New Generation and New Politics? (Washington: Brookings Institution,
2018), 15.
[7]
⁷ Hamid Dabashi, Islamic Liberation Theology: Resisting the Empire
(London: Routledge, 2008), 118.
[8]
⁸ Natana J. Delong-Bas, Wahhabi Islam: From Revival and Reform to
Global Jihad (Oxford: Oxford University Press, 2004), 120.
[9]
⁹ Azyumardi Azra, Islam in the Indonesian World: An Account of
Institutional Development (Bandung: Mizan, 2006), 65.
[10]
¹⁰ David Dean Commins, The Wahhabi Mission and Saudi Arabia
(London: I.B. Tauris, 2009), 99.
Daftar Pustaka (APA Style)
Algar, H. (2002). Wahhabism:
A critical essay. Oneonta, NY: Islamic Publications International.
Al-Rasheed, M. (2010). A
history of Saudi Arabia (2nd ed.). Cambridge: Cambridge University Press.
Al-Rasheed, M. (2018). Vision
2030 and Saudi Arabia's social contract: A new generation and new politics?.
Washington, DC: Brookings Institution.
Azra, A. (2006). Islam
in the Indonesian world: An account of institutional development. Bandung:
Mizan.
Commins, D. (2009). The
Wahhabi mission and Saudi Arabia. New York: I.B. Tauris.
Dabashi, H. (2008). Islamic
liberation theology: Resisting the empire. London: Routledge.
Delong-Bas, N. J. (2004). Wahhabi
Islam: From revival and reform to global jihad. Oxford: Oxford University
Press.
Esposito, J. L. (2011). Islam:
The straight path (4th ed.). Oxford: Oxford University Press.
Hegghammer, T. (2010). Jihad
in Saudi Arabia: Violence and pan-Islamism since 1979. Cambridge:
Cambridge University Press.
Ibn Taimiyah. (1981). Majmu’
al-Fatawa (Vol. 1, A. R. bin Qasim, Ed.). Riyadh: Maktabah al-Maarif.
Muhammad bin Abdul Wahhab.
(1996). Kitab al-Tauhid (I. R. al-Faruqi, Trans.). Riyadh: Darussalam.
Nasr, V. (2007). The
Shia revival: How conflicts within Islam will shape the future. New York:
Norton.
Zahra, M. A. (1999). Tarikh
al-Mazahib al-Islamiyyah. Cairo: Dar al-Fikr al-Arabi.
LampiranL Daftar Kitab Rujukan
Berikut adalah daftar kitab yang relevan untuk
menelusuri pemikiran Wahabi, lengkap dengan informasi penulis, masa hidup, dan
penjelasan singkat tentang isinya:
1)
Kitab al-Tauhid
·
Penulis: Muhammad
bin Abdul Wahab (1703–1792)
·
Penjelasan: Kitab ini
merupakan karya utama Muhammad bin Abdul Wahab yang berisi penjelasan tentang
konsep tauhid, syirik, dan amalan-amalan yang dianggap bertentangan dengan
prinsip tauhid. Buku ini menjadi landasan teologis bagi gerakan Wahabi.
2)
Mukhtasar Sirat al-Rasul
·
Penulis: Muhammad
bin Abdul Wahab (1703–1792)
·
Penjelasan: Sebuah
kitab yang merangkum perjalanan hidup Nabi Muhammad Saw, dengan fokus pada
upaya pemurnian akidah dan dakwah yang dilakukan Rasulullah.
3)
Majmu' al-Fatawa
·
Penulis: Ibnu
Taimiyah (1263–1328)
·
Penjelasan: Kumpulan
fatwa dari Ibnu Taimiyah, seorang ulama Hanbali yang sangat memengaruhi
pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab. Kitab ini membahas berbagai isu akidah,
ibadah, dan hukum Islam.
4)
Kitab Kashf al-Shubuhat
·
Penulis: Muhammad
bin Abdul Wahab (1703–1792)
·
Penjelasan: Kitab ini
menjelaskan berbagai syubhat (kesalahpahaman) yang sering menjadi dalih untuk
praktik-praktik yang dianggap syirik. Penulis menyajikan argumen berdasarkan
Al-Qur'an dan Hadis.
5)
Fath al-Majid Syarh Kitab al-Tauhid
·
Penulis: Abdurrahman
bin Hasan Alu Syaikh (1780–1869)
·
Penjelasan: Syarah
atau penjelasan dari kitab Kitab al-Tauhid karya Muhammad bin Abdul
Wahab. Kitab ini memperluas pembahasan tentang tauhid dengan referensi yang
lebih mendalam.
6)
Taqrib al-Tadmuriyyah
·
Penulis: Ibnu Taimiyah
(1263–1328)
·
Penjelasan: Kitab ini
berfokus pada konsep tauhid asma wa sifat, yang menjadi salah satu pilar
penting dalam teologi Wahabi. Ibnu Taimiyah menekankan pentingnya memahami
nama-nama dan sifat-sifat Allah sesuai teks Al-Qur'an dan Hadis tanpa
penakwilan.
7)
Ad-Durar as-Saniyyah fi al-Ajwibah an-Najdiyyah
·
Penulis: Kumpulan
ulama Najd (abad ke-18–19)
·
Penjelasan: Kompilasi
fatwa ulama-ulama Wahabi di Najd, yang membahas berbagai isu teologis, seperti
tauhid, syirik, dan hukum Islam. Kitab ini mencerminkan penerapan ajaran Wahabi
di Jazirah Arab.
8)
Al-Ushul Ats-Tsalatsah
·
Penulis: Muhammad
bin Abdul Wahab (1703–1792)
·
Penjelasan: Kitab ini
menjelaskan tiga landasan utama yang harus dipahami oleh setiap Muslim:
mengenal Allah, mengenal agama Islam, dan mengenal Rasul-Nya.
9)
Ar-Risalah al-Hanbaliyah
·
Penulis: Abdullah
bin Muhammad bin Abdul Wahab (1751–1829)
·
Penjelasan: Sebuah
risalah yang mendalami ajaran Hanbali dengan perspektif Wahabi. Kitab ini
menjelaskan hubungan antara mazhab Hanbali dan gerakan Wahabi.
10)
Al-Ihtijaj bi al-Qur'an wa as-Sunnah
·
Penulis: Muhammad
bin Abdul Wahab (1703–1792)
·
Penjelasan: Kitab ini
berisi argumen-argumen Muhammad bin Abdul Wahab yang mendasarkan pandangannya
pada Al-Qur'an dan Sunnah untuk menolak praktik-praktik yang dianggap
bertentangan dengan tauhid.
Catatan:
Kitab-kitab ini mencerminkan pemikiran inti Wahabi,
baik dari segi teologi maupun aplikasinya. Bagi peneliti yang ingin memahami
gerakan ini secara mendalam, kitab-kitab tersebut menyediakan perspektif
langsung dari para pendirinya dan ulama yang mendukung gerakan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar