Jumat, 27 Desember 2024

Wahabi: Sejarah, Pemikiran, dan Kontroversi dalam Perspektif Islam

 WAHABI

“Sejarah, Pemikiran, dan Kontroversi dalam Perspektif Islam”


Alihkan ke- Salafiyah: Ibn Taymiyyah


Relasi dan Independensi antara Salafiyah dan Wahabiyah

Salafiyah dan Wahabiyah sering dianggap saling terkait karena kesamaan dalam misi pemurnian Islam. Namun, keduanya memiliki konteks historis, doktrinal, dan dinamika sosial-politik yang berbeda. Salafiyah adalah gerakan Islam yang lebih luas, berakar pada upaya kembali kepada Al-Qur'an dan Hadis sebagaimana dipahami oleh generasi Salafus Shalih (tiga generasi awal Islam). Gerakan ini menekankan tauhid murni, menjauhi bid'ah, dan berusaha membersihkan praktik Islam dari pengaruh yang dianggap menyimpang. Di sisi lain, Wahabiyah adalah sebuah gerakan spesifik yang lahir di jazirah Arab pada abad ke-18 melalui pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab (1703–1792) yang bekerja sama dengan Dinasti Saud untuk menyebarkan ajarannya secara politik dan agama di wilayah Najd dan sekitarnya.¹

Relasi antara Wahabiyah dan Salafiyah dapat dilihat dalam doktrin-doktrin teologis mereka yang beririsan, terutama dalam penekanan pada tauhid. Wahabiyah sering dianggap sebagai cabang atau manifestasi dari Salafiyah karena keduanya mendasarkan ajarannya pada prinsip-prinsip Salafus Shalih.² Namun, Salafiyah lebih luas cakupannya dan tidak terbatas pada konteks geografis atau historis tertentu. Wahabiyah, di sisi lain, memiliki konteks politik yang spesifik sebagai mitra Dinasti Saud dalam membentuk negara Arab Saudi modern.³

Meskipun Wahabiyah sering dikaitkan dengan Salafiyah, penting untuk mencatat bahwa tidak semua Salafi menyetujui metode Wahabi. Beberapa tokoh Salafiyah kontemporer mengkritik pendekatan Wahabi yang dianggap terlalu keras dalam penegakan hukum dan dalam sikap terhadap praktik-praktik lokal seperti tasawuf.⁴ Sebaliknya, para pendukung Wahabi lebih sering menggunakan istilah "Salafi" untuk menggambarkan diri mereka sendiri, sehingga mengaburkan garis perbedaan antara keduanya. Hal ini menciptakan dinamika unik di mana Wahabiyah sering menjadi sinonim dengan Salafiyah di mata publik, meskipun secara konseptual, Wahabiyah hanya salah satu cabang dari gerakan Salafiyah.⁵

Independensi Salafiyah sebagai gerakan lebih luas terlihat dari keberagaman manifestasi Salafiyah di berbagai dunia Islam, termasuk di Mesir, Yaman, dan Afrika Utara, yang tidak semuanya mengikuti pendekatan keras Wahabi. Salafiyah kontemporer memiliki spektrum mulai dari Salafi yang lebih moderat hingga yang sangat konservatif.⁶ Sebaliknya, Wahabiyah tetap terikat dengan konteks dan karakteristik Najd serta keterlibatan politiknya dengan kerajaan Arab Saudi, yang sering memengaruhi cara pandang dunia terhadap gerakan ini.⁷

Dengan demikian, meskipun Wahabiyah dapat dianggap sebagai bagian dari Salafiyah, keduanya memiliki elemen independen yang menjadikan mereka berbeda secara ideologis, historis, dan sosiologis.


Catatan Kaki

[1]              Hamid Algar, Wahhabism: A Critical Essay (Oneonta, NY: Islamic Publications International, 2002), 14–15.

[2]              Natana J. DeLong-Bas, Wahhabi Islam: From Revival and Reform to Global Jihad (New York: Oxford University Press, 2004), 27.

[3]              John L. Esposito, Islam and Politics (Syracuse, NY: Syracuse University Press, 1998), 45.

[4]              Quintan Wiktorowicz, "Anatomy of the Salafi Movement," Studies in Conflict & Terrorism 29, no. 3 (2006): 207–239.

[5]              Bernard Haykel, "On the Nature of Salafi Thought and Action," in Global Salafism: Islam’s New Religious Movement, ed. Roel Meijer (New York: Columbia University Press, 2009), 40.

[6]              Madawi Al-Rasheed, Contest of Saudi Arabia (New York: Cambridge University Press, 2010), 57.

[7]              David Commins, The Wahhabi Mission and Saudi Arabia (London: I.B. Tauris, 2006), 79–80.


PEMBAHASAN

Wahabi: Pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab


1.           Pendahuluan

Wahabi adalah salah satu gerakan reformasi Islam yang muncul pada abad ke-18 di Jazirah Arab, yang berupaya mengembalikan ajaran Islam kepada kemurnian tauhid sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah Muhammad Saw. Gerakan ini dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab (1703–1792), seorang ulama yang lahir di Najd, kawasan yang pada waktu itu dikenal dengan tradisi keislaman yang bercampur dengan praktik-praktik lokal yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam murni. Ajarannya memengaruhi lanskap politik, sosial, dan keagamaan, terutama melalui kemitraannya dengan Keluarga Saud yang kemudian membentuk dasar negara Arab Saudi modern.¹

Lahirnya gerakan Wahabi tidak dapat dilepaskan dari konteks sosio-historis di mana umat Islam di Jazirah Arab saat itu menghadapi tantangan berupa kebodohan, penyimpangan akidah, dan lemahnya otoritas keagamaan.² Muhammad bin Abdul Wahab memandang bahwa penyebab utama kemunduran umat Islam adalah menjamurnya praktik-praktik bid’ah, syirik, dan takhayul yang telah menyusup ke dalam masyarakat. Hal ini mendorongnya untuk menyerukan pemurnian akidah Islam berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis, dengan penafsiran yang ketat dan literal.³

Namun, gerakan ini tidak lepas dari kontroversi. Di satu sisi, Wahabi dipuji karena semangatnya dalam memurnikan akidah dan menghapus praktik-praktik yang dianggap menyimpang. Di sisi lain, Wahabi dikritik oleh sejumlah kalangan karena dianggap terlalu kaku, literal, dan eksklusif dalam memahami ajaran Islam. Kritikusnya menilai pendekatan ini mengabaikan dimensi sejarah dan budaya yang beragam dalam umat Islam.⁴

Dalam dunia Islam, Wahabi telah memicu diskusi luas tentang otoritas keagamaan, penafsiran teks suci, dan bagaimana Islam harus diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, memahami Wahabi secara objektif adalah penting untuk menjembatani perbedaan dan memperkaya pemahaman tentang keragaman pemikiran dalam Islam. Artikel ini bertujuan memberikan penjelasan komprehensif tentang Wahabi dengan menggunakan referensi dari sumber-sumber yang kredibel, baik dari tulisan Muhammad bin Abdul Wahab sendiri maupun dari analisis para sejarawan dan ulama terkemuka.⁵


Catatan Kaki

¹ David Commins, The Wahhabi Mission and Saudi Arabia (New York: I.B. Tauris, 2009), 5.

² John L. Esposito, Islam: The Straight Path (Oxford: Oxford University Press, 2011), 105.

³ Muhammad bin Abdul Wahhab, Kitab al-Tauhid, diterjemahkan oleh Ismail Raji al-Faruqi (Riyadh: Darussalam, 1996), 7.

⁴ Hamid Algar, Wahhabism: A Critical Essay (Oneonta: Islamic Publications International, 2002), 12.

⁵ Natana J. Delong-Bas, Wahhabi Islam: From Revival and Reform to Global Jihad (Oxford: Oxford University Press, 2004), 3.


2.           Asal-usul Wahabi

Gerakan Wahabi berakar pada kehidupan dan pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab (1703–1792), seorang ulama dari Najd, Jazirah Arab. Ia lahir di desa Uyainah, dalam keluarga yang memiliki tradisi keilmuan Islam. Ayahnya, Abdul Wahab, adalah seorang qadhi (hakim Islam), yang mendidiknya dalam ilmu agama sejak usia muda. Muhammad bin Abdul Wahab kemudian melanjutkan studinya ke berbagai pusat keilmuan di Hijaz, Irak, dan Suriah, di mana ia mendalami tafsir Al-Qur'an, hadis, dan fiqh dari berbagai mazhab.¹

2.1.       Kondisi Sosial dan Agama di Najd

Pada masa itu, masyarakat Najd, seperti banyak wilayah lain di dunia Islam, dipenuhi dengan praktik-praktik lokal yang bercampur dengan ajaran Islam. Ritual-ritual yang dianggap mengandung unsur syirik, seperti penyembahan makam, penggunaan jimat, dan permohonan kepada selain Allah, menjadi hal yang lumrah.² Muhammad bin Abdul Wahab memandang fenomena ini sebagai penyimpangan serius dari ajaran tauhid, yang menurutnya merupakan inti dari Islam. Ia berpendapat bahwa kemunduran umat Islam disebabkan oleh penyimpangan tersebut dan menyerukan kembalinya umat kepada tauhid yang murni.³

2.2.       Formulasi Pemikiran dan Perjalanan Dakwah

Muhammad bin Abdul Wahab mulai menyusun gagasannya dalam berbagai karya, yang paling terkenal adalah Kitab al-Tauhid.⁴ Dalam buku ini, ia menekankan pentingnya memurnikan ibadah hanya kepada Allah dan menjauhi segala bentuk syirik. Ia juga mengkritik keras praktek-praktek yang ia pandang sebagai bid’ah (inovasi dalam agama) yang tidak memiliki dasar dari Al-Qur'an dan Sunnah.

Setelah kembali ke Najd, Muhammad bin Abdul Wahab memulai dakwahnya di kampung halaman. Awalnya, ia mendapatkan dukungan dari penguasa lokal di Uyainah, namun kemudian menghadapi penolakan karena gagasannya yang kontroversial. Hal ini memaksanya berpindah ke kota Diriyah, di mana ia bertemu dengan Muhammad bin Saud, pemimpin suku yang memiliki ambisi politik.⁵

2.3.       Aliansi Wahabi-Saud

Kemitraan antara Muhammad bin Abdul Wahab dan Muhammad bin Saud menjadi titik balik dalam perkembangan gerakan Wahabi. Aliansi ini didasarkan pada kesepakatan bahwa Wahabi akan menyediakan legitimasi keagamaan bagi kekuasaan politik keluarga Saud, sementara keluarga Saud akan mendukung penyebaran ajaran Wahabi.⁶ Kolaborasi ini menjadi fondasi bagi berdirinya negara Saudi pertama pada tahun 1744, yang menjadi basis penyebaran ajaran Wahabi ke berbagai wilayah Jazirah Arab.

2.4.       Reaksi Awal terhadap Gerakan Wahabi

Sejak awal, gerakan Wahabi menghadapi resistensi dari banyak pihak. Ulama tradisional dan masyarakat yang telah lama mempraktikkan tradisi lokal menolak ajaran yang dianggap terlalu kaku dan radikal. Bahkan, beberapa ulama menulis risalah untuk membantah pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab, yang mereka pandang sebagai ancaman bagi pluralitas pemikiran Islam.⁷

Melalui kemitraannya dengan Keluarga Saud, Wahabi berkembang menjadi sebuah gerakan yang bukan hanya keagamaan, tetapi juga politik, yang memengaruhi tatanan di Jazirah Arab hingga saat ini.


Catatan Kaki

¹ Hamid Algar, Wahhabism: A Critical Essay (Oneonta: Islamic Publications International, 2002), 5.

² David Commins, The Wahhabi Mission and Saudi Arabia (New York: I.B. Tauris, 2009), 12.

³ John L. Esposito, Islam: The Straight Path (Oxford: Oxford University Press, 2011), 106.

⁴ Muhammad bin Abdul Wahhab, Kitab al-Tauhid, diterjemahkan oleh Ismail Raji al-Faruqi (Riyadh: Darussalam, 1996), 10.

⁵ Natana J. Delong-Bas, Wahhabi Islam: From Revival and Reform to Global Jihad (Oxford: Oxford University Press, 2004), 18.

⁶ David Dean Commins, The Wahhabi Mission and Saudi Arabia (London: I.B. Tauris, 2009), 20.

⁷ R. Stephen Humphreys, Islamic History: A Framework for Inquiry (Princeton: Princeton University Press, 1991), 150.


3.           Ajaran dan Pemikiran Wahabi

Gerakan Wahabi berlandaskan pada penekanan terhadap tauhid (keesaan Allah) sebagai inti dari ajaran Islam, sesuai dengan pandangan Muhammad bin Abdul Wahab. Dalam karya utamanya, Kitab al-Tauhid, ia menguraikan berbagai bentuk tauhid dan menekankan bahwa setiap bentuk ibadah hanya boleh ditujukan kepada Allah.¹ Gerakan ini juga menolak keras praktik-praktik yang dianggap sebagai syirik (menyekutukan Allah), bid’ah (inovasi dalam agama), dan khurafat (takhayul), yang menurutnya telah merusak kemurnian Islam.²

3.1.       Tauhid sebagai Inti Ajaran

Menurut Wahabi, tauhid memiliki tiga aspek utama:

1)                  Tauhid Rububiyah (keyakinan bahwa Allah adalah satu-satunya pencipta dan pengatur alam semesta).

2)                  Tauhid Uluhiyah (keyakinan bahwa hanya Allah yang berhak disembah dan dimohonkan pertolongan).

3)                  Tauhid Asma wa Sifat (keyakinan pada nama-nama dan sifat-sifat Allah sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an dan Hadis, tanpa penakwilan, penyerupaan, atau pengingkaran).³

Muhammad bin Abdul Wahab memandang bahwa sebagian besar umat Islam pada masanya telah menyimpang dari tauhid uluhiyah dengan melakukan praktik-praktik seperti tawassul (berdoa melalui perantara) dan tabarruk (mencari berkah dari objek tertentu).⁴

3.2.       Penolakan terhadap Syirik, Bid’ah, dan Khurafat

Wahabi menganggap syirik sebagai dosa terbesar yang menghapus semua amal ibadah. Ia menentang keras praktik ziarah kubur dengan niat meminta syafaat dari orang yang telah meninggal, karena dianggap menyamai penyembahan berhala.⁵ Bid’ah, atau inovasi dalam agama, juga menjadi fokus kritiknya. Praktik-praktik seperti perayaan Maulid Nabi, bacaan tahlil, dan doa bersama setelah salat berjamaah dianggap tidak memiliki dasar dalam Al-Qur'an atau Sunnah.⁶

3.3.       Metode Penafsiran Teks Suci

Dalam memahami Al-Qur'an dan Hadis, Wahabi menggunakan pendekatan tekstualis yang ketat, menghindari takwil (interpretasi alegoris) kecuali dalam kasus yang sangat jelas. Mereka menolak praktik interpretasi yang dianggap spekulatif atau menyimpang dari makna literal.⁷

3.4.       Pengaruh Pemikiran Ibnu Taimiyah

Ajaran Wahabi dipengaruhi oleh pemikiran Ibnu Taimiyah (1263–1328), seorang ulama Hanbali yang juga menekankan pemurnian tauhid dan menentang praktik-praktik yang dianggap syirik dan bid’ah. Muhammad bin Abdul Wahab sering merujuk pada karya-karya Ibnu Taimiyah, seperti Kitab al-Istiqamah dan Majmu' Fatawa, dalam mengembangkan argumennya.⁸

3.5.       Implikasi Sosial dan Politik

Pemikiran Wahabi tidak hanya bersifat teologis tetapi juga membawa implikasi sosial dan politik. Gerakan ini menekankan pentingnya amar ma’ruf nahi munkar (menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran) dalam membangun masyarakat yang sesuai dengan ajaran Islam.⁹ Pemerintah yang tidak menjalankan syariat Islam secara murni sering dikritik oleh pendukung Wahabi.


Catatan Kaki

[1]              ¹ Muhammad bin Abdul Wahhab, Kitab al-Tauhid, diterjemahkan oleh Ismail Raji al-Faruqi (Riyadh: Darussalam, 1996), 5–8.

[2]              ² Hamid Algar, Wahhabism: A Critical Essay (Oneonta: Islamic Publications International, 2002), 12.

[3]              ³ Natana J. Delong-Bas, Wahhabi Islam: From Revival and Reform to Global Jihad (Oxford: Oxford University Press, 2004), 20.

[4]              ⁴ David Commins, The Wahhabi Mission and Saudi Arabia (New York: I.B. Tauris, 2009), 35.

[5]              ⁵ John L. Esposito, Islam: The Straight Path (Oxford: Oxford University Press, 2011), 108.

[6]              ⁶ R. Stephen Humphreys, Islamic History: A Framework for Inquiry (Princeton: Princeton University Press, 1991), 155.

[7]              ⁷ David Dean Commins, The Wahhabi Mission and Saudi Arabia (London: I.B. Tauris, 2009), 45.

[8]              ⁸ Ibn Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, vol. 1, ed. Abdul Rahman bin Qasim (Riyadh: Maktabah al-Maarif, 1981), 35.

[9]              ⁹ Hamid Algar, Wahhabism: A Critical Essay (Oneonta: Islamic Publications International, 2002), 15.


4.           Penyebaran dan Pengaruh Wahabi

Gerakan Wahabi berkembang pesat setelah aliansi antara Muhammad bin Abdul Wahab dan Muhammad bin Saud pada tahun 1744. Kolaborasi ini menciptakan fondasi bagi negara Saudi pertama, yang menjadi basis penyebaran ajaran Wahabi di Jazirah Arab. Melalui dukungan politik dan militer, Wahabi tidak hanya menjadi gerakan keagamaan, tetapi juga kekuatan politik yang dominan.¹

4.1.       Penyebaran di Jazirah Arab

Pada paruh kedua abad ke-18, Wahabi mulai menyebarkan ajarannya di berbagai wilayah Jazirah Arab, sering kali melalui pendekatan militer. Dalam kampanye militernya, para pengikut Wahabi menaklukkan daerah-daerah yang dianggap terkontaminasi oleh praktik-praktik syirik, seperti ziarah kubur dan pemujaan makam. Kota-kota seperti Riyadh dan Al-Hasa menjadi pusat penyebaran Wahabi, di mana ajaran ini diterapkan secara ketat.²

Pada tahun 1802, pengikut Wahabi menyerang Karbala, kota suci Syiah di Irak, menghancurkan makam Imam Husain, dan mengutuk praktik ziarah kubur yang mereka anggap sebagai bentuk penyimpangan. Peristiwa ini menimbulkan reaksi keras dari komunitas Syiah dan memperkuat kontroversi di sekitar gerakan Wahabi.³

4.2.       Kebangkitan Kembali Wahabi dan Negara Saudi Modern

Setelah kekalahan sementara pada awal abad ke-19 oleh Kekhalifahan Ottoman, Wahabi kembali bangkit melalui dukungan Keluarga Saud. Pada tahun 1932, berdirinya Kerajaan Arab Saudi di bawah kepemimpinan Abdul Aziz Al Saud menandai fase baru dalam penyebaran ajaran Wahabi.⁴ Pemerintah Saudi menjadikan Wahabi sebagai doktrin resmi negara dan menggunakan sumber daya ekonomi dari minyak untuk mendukung penyebaran ajaran ini secara global.

4.3.       Peran Lembaga Keagamaan

Arab Saudi mendirikan berbagai lembaga keagamaan untuk menyebarkan ajaran Wahabi, seperti Liga Muslim Dunia (Rabitat al-Alam al-Islami) dan Universitas Islam Madinah. Lembaga-lembaga ini memberikan beasiswa kepada mahasiswa dari seluruh dunia untuk belajar di Arab Saudi, yang kemudian menjadi duta penyebaran Wahabi di negara asal mereka.⁵

Selain itu, distribusi literatur Islam yang bercorak Wahabi, termasuk terjemahan kitab Kitab al-Tauhid dan karya-karya Muhammad bin Abdul Wahab, dilakukan secara masif. Proyek ini didukung oleh kekayaan minyak yang memungkinkan Arab Saudi untuk mencetak dan menyebarkan buku-buku ini secara gratis di seluruh dunia.⁶

4.4.       Pengaruh Global Wahabi

Wahabi mendapatkan pengaruh yang signifikan di berbagai belahan dunia, terutama di Asia Selatan, Asia Tenggara, dan Afrika. Melalui lembaga keagamaan dan filantropi, ajaran Wahabi diadopsi oleh sejumlah kelompok Islam, terutama yang berbasis pada puritanisme dan pemurnian akidah. Namun, pengaruh ini tidak selalu diterima dengan baik. Di banyak negara, Wahabi dikritik karena dianggap mendukung sikap intoleransi terhadap tradisi lokal dan keragaman Islam.⁷

Di era modern, Wahabi sering dikaitkan dengan berbagai gerakan Islamis yang lebih keras. Beberapa analis berpendapat bahwa ajaran Wahabi memberikan kerangka teologis bagi gerakan-gerakan ekstremis, meskipun pemerintah Saudi secara resmi menolak keterkaitan tersebut.⁸


Catatan Kaki

[1]              ¹ David Commins, The Wahhabi Mission and Saudi Arabia (New York: I.B. Tauris, 2009), 23.

[2]              ² John L. Esposito, Islam: The Straight Path (Oxford: Oxford University Press, 2011), 109.

[3]              ³ Hamid Algar, Wahhabism: A Critical Essay (Oneonta: Islamic Publications International, 2002), 15.

[4]              ⁴ Madawi Al-Rasheed, A History of Saudi Arabia (Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 45.

[5]              ⁵ Natana J. Delong-Bas, Wahhabi Islam: From Revival and Reform to Global Jihad (Oxford: Oxford University Press, 2004), 89.

[6]              ⁶ David Dean Commins, The Wahhabi Mission and Saudi Arabia (London: I.B. Tauris, 2009), 67.

[7]              ⁷ Hamid Dabashi, Islamic Liberation Theology: Resisting the Empire (London: Routledge, 2008), 120.

[8]              ⁸ Thomas Hegghammer, Jihad in Saudi Arabia: Violence and Pan-Islamism since 1979 (Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 55.


5.           Kontroversi dan Kritik terhadap Wahabi

Sejak awal kemunculannya, Wahabi telah menjadi subjek kontroversi yang terus berlangsung hingga hari ini. Gerakan ini mendapatkan dukungan luas dari pengikutnya karena dianggap berhasil memurnikan akidah Islam, tetapi juga menuai kritik tajam dari berbagai kelompok Islam lainnya, termasuk ulama tradisional Sunni, Syiah, dan bahkan dari kalangan akademisi non-Muslim.¹

5.1.       Kritik Teologis

Banyak ulama Sunni tradisional menolak pendekatan Wahabi terhadap Islam, terutama penafsiran literal terhadap teks-teks suci dan penolakan terhadap praktik-praktik yang mereka anggap sebagai syirik atau bid’ah.² Para kritikus menilai bahwa pandangan Wahabi terlalu kaku dan mengabaikan kekayaan tradisi intelektual Islam, seperti takwil dan ijma' (konsensus ulama).³

Sebagai contoh, dalam pandangan Wahabi, ziarah kubur, tawassul (berdoa melalui perantara), dan perayaan Maulid Nabi dianggap sebagai praktik yang menyimpang. Namun, bagi banyak komunitas Islam, praktik-praktik ini merupakan bagian integral dari kehidupan spiritual yang tidak bertentangan dengan tauhid. Hal ini menjadi salah satu titik utama perbedaan antara Wahabi dan kelompok Sunni tradisional, seperti Asy’ariyah dan Maturidiyah.⁴

5.2.       Kritik dari Kelompok Syiah

Kelompok Syiah adalah salah satu kritikus paling vokal terhadap Wahabi. Mereka memandang Wahabi sebagai ancaman terhadap pluralitas Islam dan menyalahkan Wahabi atas penghancuran situs-situs suci di Hijaz, seperti makam keluarga Rasulullah Saw dan sahabat-sahabat beliau.⁵ Serangan Wahabi terhadap Karbala pada tahun 1802, yang melibatkan penghancuran makam Imam Husain, dianggap sebagai tindakan penghinaan terhadap simbol-simbol suci Syiah.⁶

5.3.       Tuduhan Radikalisme

Wahabi sering dikaitkan dengan munculnya gerakan-gerakan Islam radikal di abad ke-20 dan ke-21. Beberapa analis berpendapat bahwa ajaran Wahabi yang berfokus pada pemurnian akidah dan amar ma’ruf nahi munkar memberikan kerangka ideologis bagi kelompok-kelompok ekstremis, seperti Al-Qaeda dan ISIS.⁷ Meskipun pemerintah Arab Saudi secara resmi menyangkal hubungan dengan kelompok-kelompok ini, doktrin Wahabi sering digunakan oleh ekstremis sebagai dasar legitimasi teologis.

Namun, para pendukung Wahabi menolak tuduhan ini dan menyatakan bahwa gerakan mereka tidak mendukung kekerasan dan hanya berfokus pada dakwah damai untuk memurnikan Islam.⁸

5.4.       Kritik Sosial dan Budaya

Kritik terhadap Wahabi juga datang dari sudut pandang sosial dan budaya. Banyak kalangan menilai Wahabi telah mereduksi Islam menjadi serangkaian aturan ketat yang mengabaikan dimensi spiritual, estetika, dan budaya.⁹ Wahabi dianggap menolak tradisi lokal yang telah lama menjadi bagian dari warisan Islam di berbagai wilayah, seperti seni musik, tarian, dan sastra yang bernuansa religius.

Di wilayah seperti Afrika Utara dan Asia Tenggara, penyebaran Wahabi sering kali memicu konflik dengan komunitas Muslim lokal yang memiliki tradisi keagamaan yang lebih inklusif.¹⁰

5.5.       Reaksi terhadap Kritik

Dalam menanggapi kritik, para pendukung Wahabi menegaskan bahwa gerakan ini hanyalah upaya untuk mengembalikan umat Islam kepada ajaran murni berdasarkan Al-Qur'an dan Sunnah. Mereka menyatakan bahwa banyak tuduhan terhadap Wahabi didasarkan pada kesalahpahaman atau propaganda dari pihak-pihak yang berkepentingan.¹¹


Catatan Kaki

[1]              ¹ John L. Esposito, Islam: The Straight Path (Oxford: Oxford University Press, 2011), 108.

[2]              ² Hamid Algar, Wahhabism: A Critical Essay (Oneonta: Islamic Publications International, 2002), 12.

[3]              ³ Muhammad Abu Zahra, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah (Cairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1999), 129.

[4]              ⁴ David Commins, The Wahhabi Mission and Saudi Arabia (New York: I.B. Tauris, 2009), 30.

[5]              ⁵ Vali Nasr, The Shia Revival: How Conflicts Within Islam Will Shape the Future (New York: Norton, 2007), 45.

[6]              ⁶ Madawi Al-Rasheed, A History of Saudi Arabia (Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 38.

[7]              ⁷ Thomas Hegghammer, Jihad in Saudi Arabia: Violence and Pan-Islamism since 1979 (Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 55.

[8]              ⁸ Natana J. Delong-Bas, Wahhabi Islam: From Revival and Reform to Global Jihad (Oxford: Oxford University Press, 2004), 90.

[9]              ⁹ Hamid Dabashi, Islamic Liberation Theology: Resisting the Empire (London: Routledge, 2008), 118.

[10]          ¹⁰ Azyumardi Azra, Islam in the Indonesian World: An Account of Institutional Development (Bandung: Mizan, 2006), 65.

[11]          ¹¹ David Dean Commins, The Wahhabi Mission and Saudi Arabia (London: I.B. Tauris, 2009), 67.


6.           Dinamika Modern Wahabi

Dalam era modern, Wahabi mengalami berbagai transformasi, baik dalam ranah teologis, sosial, maupun politik. Sebagai ideologi keagamaan resmi Arab Saudi, Wahabi memainkan peran signifikan dalam membentuk kebijakan domestik dan hubungan internasional negara tersebut. Namun, dinamika globalisasi, tantangan modernitas, dan kritik internasional terhadap doktrin Wahabi telah memaksa gerakan ini untuk menyesuaikan pendekatannya terhadap dunia yang terus berubah.¹

6.1.       Wahabi sebagai Ideologi Resmi Arab Saudi

Pada abad ke-20, Wahabi mencapai puncak pengaruhnya melalui aliansi politik dengan Kerajaan Arab Saudi, yang didirikan pada tahun 1932. Pemerintah Saudi menjadikan Wahabi sebagai fondasi ideologis negara dan membangun lembaga-lembaga keagamaan yang mempromosikan doktrin ini di dalam dan luar negeri.²

Melalui lembaga seperti Dewan Ulama Senior (Hay’at Kibar al-Ulama) dan Kementerian Urusan Islam, Wahabi menjadi kerangka dasar untuk menentukan hukum dan kebijakan di Arab Saudi. Implementasi hukum syariah yang didasarkan pada interpretasi Wahabi mencakup pelarangan praktik-praktik tertentu, seperti musik publik dan perayaan tradisional yang tidak dianggap islami.³

6.2.       Penyebaran Global Wahabi

Dengan kekayaan minyak yang melimpah sejak era 1970-an, Arab Saudi mendanai proyek-proyek besar untuk menyebarkan ajaran Wahabi secara global. Masjid, sekolah, dan pusat kajian Islam yang didanai oleh Arab Saudi bermunculan di berbagai negara, terutama di dunia Muslim. Lembaga-lembaga seperti Liga Muslim Dunia (Rabitat al-Alam al-Islami) memainkan peran penting dalam mendistribusikan literatur Wahabi dan mendukung dakwah di seluruh dunia.⁴

Di Asia Tenggara, Afrika, dan Eropa, doktrin Wahabi sering kali diadopsi oleh komunitas Muslim yang mencari pemurnian keagamaan. Namun, pengaruh ini tidak selalu diterima dengan baik, terutama di negara-negara dengan tradisi Islam lokal yang lebih inklusif dan toleran.⁵

6.3.       Tantangan Modernitas

Modernitas membawa tantangan besar bagi Wahabi, terutama dalam menghadapi isu-isu seperti hak asasi manusia, kesetaraan gender, dan pluralisme agama. Interpretasi Wahabi terhadap syariah sering kali dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai modern. Sebagai contoh, pelarangan wanita mengemudi di Arab Saudi, yang sebelumnya didasarkan pada pandangan ulama Wahabi, akhirnya dicabut pada tahun 2018 setelah mendapat tekanan domestik dan internasional.⁶

Selain itu, kebijakan reformasi sosial-ekonomi yang diprakarsai oleh Putra Mahkota Mohammed bin Salman, seperti Visi 2030, mengisyaratkan upaya untuk mengurangi peran Wahabi dalam kehidupan publik. Pembatasan terhadap kekuasaan Polisi Syariah dan pembukaan ruang bagi hiburan modern menunjukkan pergeseran kebijakan yang signifikan di Arab Saudi.⁷

6.4.       Kritik Internasional terhadap Wahabi

Setelah serangan 11 September 2001, Wahabi menjadi sorotan internasional karena beberapa pelaku serangan berasal dari Arab Saudi dan terpapar ajaran Wahabi. Gerakan ini sering dikaitkan dengan ekstremisme Islam, meskipun pemerintah Saudi secara resmi menyangkal tuduhan tersebut.⁸ Banyak kritikus menganggap Wahabi sebagai penyebab radikalisasi di beberapa komunitas Muslim karena doktrinnya yang eksklusif dan keras terhadap pluralitas keagamaan.⁹

6.5.       Upaya Reposisi dan Reformasi

Dalam menghadapi kritik global, Arab Saudi telah mencoba memoderasi citra Wahabi di tingkat internasional. Lembaga-lembaga keagamaan di bawah kontrol pemerintah didorong untuk menyampaikan pesan-pesan Islam yang lebih toleran.¹⁰ Selain itu, pemerintah Saudi mulai memperluas hubungan dengan negara-negara non-Muslim, termasuk mendukung dialog antaragama.

Namun, para kritikus tetap skeptis terhadap reformasi ini, menilai bahwa upaya tersebut lebih bersifat kosmetik daripada substantif.¹¹


Catatan Kaki

[1]              ¹ John L. Esposito, Islam: The Straight Path (Oxford: Oxford University Press, 2011), 109.

[2]              ² Madawi Al-Rasheed, A History of Saudi Arabia (Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 72.

[3]              ³ Hamid Algar, Wahhabism: A Critical Essay (Oneonta: Islamic Publications International, 2002), 22.

[4]              ⁴ David Dean Commins, The Wahhabi Mission and Saudi Arabia (London: I.B. Tauris, 2009), 87.

[5]              ⁵ Azyumardi Azra, Islam in the Indonesian World: An Account of Institutional Development (Bandung: Mizan, 2006), 89.

[6]              ⁶ Natana J. Delong-Bas, Wahhabi Islam: From Revival and Reform to Global Jihad (Oxford: Oxford University Press, 2004), 110.

[7]              ⁷ Madawi Al-Rasheed, Vision 2030 and Saudi Arabia's Social Contract: A New Generation and New Politics? (Washington: Brookings Institution, 2018), 15.

[8]              ⁸ Thomas Hegghammer, Jihad in Saudi Arabia: Violence and Pan-Islamism since 1979 (Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 57.

[9]              ⁹ Hamid Dabashi, Islamic Liberation Theology: Resisting the Empire (London: Routledge, 2008), 125.

[10]          ¹⁰ David Commins, The Wahhabi Mission and Saudi Arabia (New York: I.B. Tauris, 2009), 99.

[11]          ¹¹ Madawi Al-Rasheed, A History of Saudi Arabia (Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 85.


7.           Kesimpulan

Gerakan Wahabi, yang muncul di Najd pada abad ke-18, merupakan salah satu fenomena penting dalam sejarah Islam modern. Dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab, gerakan ini bertujuan memurnikan akidah Islam dari apa yang dianggap sebagai syirik, bid’ah, dan khurafat. Dengan dukungan Keluarga Saud, Wahabi berkembang dari sekadar gerakan keagamaan menjadi kekuatan politik yang memengaruhi lanskap sosial, budaya, dan agama di Jazirah Arab dan dunia Islam secara lebih luas.¹

Ajaran Wahabi yang berfokus pada tauhid murni telah menghasilkan dampak positif dalam upaya pemurnian ajaran Islam di beberapa komunitas.² Namun, pendekatannya yang kaku, literal, dan eksklusif terhadap teks-teks suci memunculkan kritik dari berbagai kelompok Islam lainnya.³ Tradisi Sunni tradisional, komunitas Syiah, dan sebagian besar intelektual Muslim menilai Wahabi terlalu mengabaikan aspek spiritual, historis, dan budaya dalam Islam.⁴

Di tingkat global, Wahabi memainkan peran signifikan dalam menyebarkan ajaran Islam dengan dukungan finansial dari Arab Saudi. Namun, upaya ini tidak lepas dari kontroversi, terutama setelah Wahabi sering dikaitkan dengan ideologi radikal yang menjadi dasar gerakan ekstremisme di beberapa negara.⁵ Reformasi internal di Arab Saudi pada era modern, terutama sejak diperkenalkannya Visi 2030, menunjukkan adanya upaya untuk memoderasi pendekatan Wahabi dalam menghadapi tantangan modernitas.⁶

Kesimpulan yang dapat diambil dari pembahasan ini adalah bahwa Wahabi, seperti gerakan Islam lainnya, merupakan respons terhadap konteks sosial dan sejarah tertentu.⁷ Di satu sisi, ia merepresentasikan upaya untuk memurnikan ajaran Islam sesuai dengan prinsip dasar tauhid. Di sisi lain, ia menunjukkan bagaimana interpretasi keagamaan dapat membawa dampak sosial dan politik yang luas. Bagi umat Islam saat ini, penting untuk mendekati Wahabi dengan sikap objektif, memahami akar pemikirannya tanpa mengabaikan kritik yang relevan, dan mengambil hikmah dari keberagaman tradisi Islam sebagai kekayaan intelektual yang harus dihormati.⁸

Sebagai bagian dari dinamika pemikiran Islam, Wahabi mengingatkan kita akan pentingnya menjaga keseimbangan antara ketegasan terhadap prinsip agama dan keterbukaan terhadap tradisi lokal serta tantangan zaman.⁹ Diskusi yang sehat dan ilmiah tentang Wahabi dapat menjadi sarana untuk memperkaya wawasan umat Islam, tanpa menciptakan polarisasi yang merugikan persatuan umat.¹⁰


Catatan Kaki

[1]              ¹ Hamid Algar, Wahhabism: A Critical Essay (Oneonta: Islamic Publications International, 2002), 5.

[2]              ² Muhammad bin Abdul Wahhab, Kitab al-Tauhid, diterjemahkan oleh Ismail Raji al-Faruqi (Riyadh: Darussalam, 1996), 7.

[3]              ³ David Commins, The Wahhabi Mission and Saudi Arabia (New York: I.B. Tauris, 2009), 30.

[4]              ⁴ John L. Esposito, Islam: The Straight Path (Oxford: Oxford University Press, 2011), 108.

[5]              ⁵ Thomas Hegghammer, Jihad in Saudi Arabia: Violence and Pan-Islamism since 1979 (Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 55.

[6]              ⁶ Madawi Al-Rasheed, Vision 2030 and Saudi Arabia's Social Contract: A New Generation and New Politics? (Washington: Brookings Institution, 2018), 15.

[7]              ⁷ Hamid Dabashi, Islamic Liberation Theology: Resisting the Empire (London: Routledge, 2008), 118.

[8]              ⁸ Natana J. Delong-Bas, Wahhabi Islam: From Revival and Reform to Global Jihad (Oxford: Oxford University Press, 2004), 120.

[9]              ⁹ Azyumardi Azra, Islam in the Indonesian World: An Account of Institutional Development (Bandung: Mizan, 2006), 65.

[10]          ¹⁰ David Dean Commins, The Wahhabi Mission and Saudi Arabia (London: I.B. Tauris, 2009), 99.


Daftar Pustaka (APA Style)

Algar, H. (2002). Wahhabism: A critical essay. Oneonta, NY: Islamic Publications International.

Al-Rasheed, M. (2010). A history of Saudi Arabia (2nd ed.). Cambridge: Cambridge University Press.

Al-Rasheed, M. (2018). Vision 2030 and Saudi Arabia's social contract: A new generation and new politics?. Washington, DC: Brookings Institution.

Azra, A. (2006). Islam in the Indonesian world: An account of institutional development. Bandung: Mizan.

Commins, D. (2009). The Wahhabi mission and Saudi Arabia. New York: I.B. Tauris.

Dabashi, H. (2008). Islamic liberation theology: Resisting the empire. London: Routledge.

Delong-Bas, N. J. (2004). Wahhabi Islam: From revival and reform to global jihad. Oxford: Oxford University Press.

Esposito, J. L. (2011). Islam: The straight path (4th ed.). Oxford: Oxford University Press.

Hegghammer, T. (2010). Jihad in Saudi Arabia: Violence and pan-Islamism since 1979. Cambridge: Cambridge University Press.

Ibn Taimiyah. (1981). Majmu’ al-Fatawa (Vol. 1, A. R. bin Qasim, Ed.). Riyadh: Maktabah al-Maarif.

Muhammad bin Abdul Wahhab. (1996). Kitab al-Tauhid (I. R. al-Faruqi, Trans.). Riyadh: Darussalam.

Nasr, V. (2007). The Shia revival: How conflicts within Islam will shape the future. New York: Norton.

Zahra, M. A. (1999). Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah. Cairo: Dar al-Fikr al-Arabi.


LampiranL Daftar Kitab Rujukan

Berikut adalah daftar kitab yang relevan untuk menelusuri pemikiran Wahabi, lengkap dengan informasi penulis, masa hidup, dan penjelasan singkat tentang isinya:


1)                 Kitab al-Tauhid

·            Penulis: Muhammad bin Abdul Wahab (1703–1792)

·            Penjelasan: Kitab ini merupakan karya utama Muhammad bin Abdul Wahab yang berisi penjelasan tentang konsep tauhid, syirik, dan amalan-amalan yang dianggap bertentangan dengan prinsip tauhid. Buku ini menjadi landasan teologis bagi gerakan Wahabi.

2)                 Mukhtasar Sirat al-Rasul

·            Penulis: Muhammad bin Abdul Wahab (1703–1792)

·            Penjelasan: Sebuah kitab yang merangkum perjalanan hidup Nabi Muhammad Saw, dengan fokus pada upaya pemurnian akidah dan dakwah yang dilakukan Rasulullah.

3)                 Majmu' al-Fatawa

·            Penulis: Ibnu Taimiyah (1263–1328)

·            Penjelasan: Kumpulan fatwa dari Ibnu Taimiyah, seorang ulama Hanbali yang sangat memengaruhi pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab. Kitab ini membahas berbagai isu akidah, ibadah, dan hukum Islam.

4)                 Kitab Kashf al-Shubuhat

·            Penulis: Muhammad bin Abdul Wahab (1703–1792)

·            Penjelasan: Kitab ini menjelaskan berbagai syubhat (kesalahpahaman) yang sering menjadi dalih untuk praktik-praktik yang dianggap syirik. Penulis menyajikan argumen berdasarkan Al-Qur'an dan Hadis.

5)                 Fath al-Majid Syarh Kitab al-Tauhid

·            Penulis: Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh (1780–1869)

·            Penjelasan: Syarah atau penjelasan dari kitab Kitab al-Tauhid karya Muhammad bin Abdul Wahab. Kitab ini memperluas pembahasan tentang tauhid dengan referensi yang lebih mendalam.

6)                 Taqrib al-Tadmuriyyah

·            Penulis: Ibnu Taimiyah (1263–1328)

·            Penjelasan: Kitab ini berfokus pada konsep tauhid asma wa sifat, yang menjadi salah satu pilar penting dalam teologi Wahabi. Ibnu Taimiyah menekankan pentingnya memahami nama-nama dan sifat-sifat Allah sesuai teks Al-Qur'an dan Hadis tanpa penakwilan.

7)                 Ad-Durar as-Saniyyah fi al-Ajwibah an-Najdiyyah

·            Penulis: Kumpulan ulama Najd (abad ke-18–19)

·            Penjelasan: Kompilasi fatwa ulama-ulama Wahabi di Najd, yang membahas berbagai isu teologis, seperti tauhid, syirik, dan hukum Islam. Kitab ini mencerminkan penerapan ajaran Wahabi di Jazirah Arab.

8)                 Al-Ushul Ats-Tsalatsah

·            Penulis: Muhammad bin Abdul Wahab (1703–1792)

·            Penjelasan: Kitab ini menjelaskan tiga landasan utama yang harus dipahami oleh setiap Muslim: mengenal Allah, mengenal agama Islam, dan mengenal Rasul-Nya.

9)                 Ar-Risalah al-Hanbaliyah

·            Penulis: Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahab (1751–1829)

·            Penjelasan: Sebuah risalah yang mendalami ajaran Hanbali dengan perspektif Wahabi. Kitab ini menjelaskan hubungan antara mazhab Hanbali dan gerakan Wahabi.

10)             Al-Ihtijaj bi al-Qur'an wa as-Sunnah

·            Penulis: Muhammad bin Abdul Wahab (1703–1792)

·            Penjelasan: Kitab ini berisi argumen-argumen Muhammad bin Abdul Wahab yang mendasarkan pandangannya pada Al-Qur'an dan Sunnah untuk menolak praktik-praktik yang dianggap bertentangan dengan tauhid.


Catatan:

Kitab-kitab ini mencerminkan pemikiran inti Wahabi, baik dari segi teologi maupun aplikasinya. Bagi peneliti yang ingin memahami gerakan ini secara mendalam, kitab-kitab tersebut menyediakan perspektif langsung dari para pendirinya dan ulama yang mendukung gerakan ini.


 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar