Senin, 01 September 2025

Perkembangan dan Sejarah Filsafat Moral: Kajian Komprehensif Berdasarkan Referensi Kredibel

Perkembangan dan Sejarah Filsafat Moral

Kajian Komprehensif Berdasarkan Referensi Kredibel


Alihkan ke: Filsafat Moral.


Abstrak

Artikel ini membahas perkembangan dan sejarah filsafat moral dari masa kuno hingga kontemporer, dengan menyoroti gagasan utama, tokoh sentral, serta relevansi praktisnya dalam kehidupan modern. Kajian ini dimulai dari fondasi etika dalam filsafat Yunani kuno, tradisi Timur, serta kontribusi agama-agama Abrahamik, kemudian berlanjut pada sintesis teosentris abad pertengahan melalui pemikiran Islam, Kristen, dan Yahudi. Selanjutnya, dibahas pergeseran paradigma modern yang menekankan rasionalitas dan otonomi manusia melalui teori-teori Kant, Hume, Bentham, dan Mill, hingga lahirnya pluralitas pendekatan etika kontemporer seperti eksistensialisme, etika analitik, etika kebajikan, etika diskursus, etika feminis, bioetika, serta etika lingkungan dan teknologi. Artikel ini juga menguraikan isu-isu kritis yang dihadapi filsafat moral, termasuk relativisme, universalisme, kritik postmodern, serta tantangan dari psikologi moral dan neurosains. Pada akhirnya, filsafat moral ditegaskan sebagai instrumen reflektif-kritis yang tetap relevan untuk membimbing individu, masyarakat, dan peradaban global dalam menghadapi kompleksitas etis abad ke-21.

Kata kunci: Filsafat moral, etika, sejarah filsafat, kebajikan, deontologi, utilitarianisme, etika kontemporer, bioetika, etika lingkungan.


PEMBAHASAN

Perkembangan dan Sejarah Filsafat Moral


1.            Pendahuluan

Filsafat moral merupakan salah satu cabang filsafat yang paling tua sekaligus paling mendasar dalam sejarah pemikiran manusia. Ia berupaya menjawab pertanyaan-pertanyaan normatif yang bersifat fundamental: apa yang dimaksud dengan kebaikan, bagaimana manusia seharusnya hidup, apa dasar kewajiban moral, dan sejauh mana kebebasan individu dapat diharmonisasikan dengan tuntutan masyarakat. Pertanyaan-pertanyaan ini tidak hanya bersifat teoretis, melainkan juga praktis karena menyangkut cara manusia membentuk perilaku, institusi, dan kebudayaan. Sejak awal peradaban, problem moral telah menjadi titik temu antara filsafat, agama, hukum, dan politik, menjadikan filsafat moral sebagai bidang kajian yang senantiasa relevan sepanjang zaman.¹

Dalam tradisi Yunani kuno, diskusi tentang moralitas dapat ditemukan pada dialog-dialog Plato dan ajaran Aristoteles mengenai ethike arete atau kebajikan moral.² Socrates, misalnya, menekankan bahwa kebajikan sejati lahir dari pengetahuan tentang kebaikan.³ Pemikiran ini menunjukkan bahwa dimensi moral sejak awal telah dilihat sebagai sesuatu yang tidak terlepas dari upaya rasional manusia untuk memahami hakikat kebenaran. Di Timur, Konfusius menekankan pentingnya harmoni sosial dan etika relasional dalam masyarakat, sementara tradisi Hindu-Buddha mengembangkan konsep dharma dan karma yang memberikan orientasi moral transendental.⁴ Dengan demikian, sejak awal sejarah pemikiran manusia, filsafat moral berkembang melalui dialog antarperadaban, memperlihatkan pluralitas gagasan sekaligus kesatuan tujuan: mencari fondasi kebaikan universal.

Perkembangan filsafat moral tidak terlepas dari dinamika sejarah yang lebih luas. Pada abad pertengahan, integrasi antara filsafat dan agama melahirkan teori-teori moral yang berlandaskan pada hukum kodrat dan kehendak ilahi, sebagaimana dapat ditemukan dalam karya Thomas Aquinas maupun al-Ghazali.⁵ Periode modern membawa tantangan baru dengan munculnya individualisme, rasionalisme, dan sekularisasi. Pemikir seperti Immanuel Kant mengusulkan etika deontologis berbasis imperatif kategoris, sementara Jeremy Bentham dan John Stuart Mill menawarkan utilitarianisme sebagai landasan moral berbasis manfaat.⁶ Perdebatan ini memperkaya lanskap filsafat moral, menghadirkan keragaman paradigma yang saling melengkapi maupun bertentangan.

Dalam konteks kontemporer, filsafat moral menghadapi tantangan yang semakin kompleks. Globalisasi, perkembangan teknologi digital, isu lingkungan, bioetika, dan etika politik internasional menuntut refleksi moral baru yang melampaui batas tradisi klasik.⁷ Pertanyaan seperti: bagaimana etika harus menanggapi kecerdasan buatan, apa batas moral dalam intervensi genetik, atau bagaimana membangun keadilan global dalam dunia yang tidak setara, semuanya memperlihatkan betapa filsafat moral tetap aktual dan dibutuhkan.⁸

Artikel ini berangkat dari kesadaran bahwa memahami sejarah filsafat moral bukan hanya sekadar upaya akademis untuk menelusuri lintasan ide, melainkan juga usaha reflektif untuk melihat bagaimana gagasan moral membentuk peradaban manusia dari masa ke masa. Dengan menguraikan perkembangan filsafat moral sejak zaman kuno hingga era kontemporer, tulisan ini bertujuan untuk menyingkap dinamika intelektual, titik persinggungan, serta relevansi praktisnya dalam menghadapi tantangan dunia modern. Dengan demikian, filsafat moral dapat dipahami tidak hanya sebagai warisan intelektual, tetapi juga sebagai instrumen kritis bagi pembentukan nilai dan orientasi hidup manusia di abad ke-21.⁹


Footnotes

[1]            Alasdair MacIntyre, A Short History of Ethics (New York: Macmillan, 1966), 1–5.

[2]            Terence Irwin, The Development of Ethics: A Historical and Critical Study, Volume I: From Socrates to the Reformation (Oxford: Oxford University Press, 2007), 23–45.

[3]            Gregory Vlastos, Socrates: Ironist and Moral Philosopher (Ithaca: Cornell University Press, 1991), 12–18.

[4]            P.T. Raju, Introduction to Comparative Philosophy (Lincoln: University of Nebraska Press, 1962), 87–102.

[5]            Oliver Leaman, An Introduction to Medieval Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 115–120.

[6]            Roger Crisp and Michael Slote, eds., Virtue Ethics (Oxford: Oxford University Press, 1997), 34–40.

[7]            Peter Singer, Practical Ethics, 3rd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 1–10.

[8]            Julian Savulescu and Ruud ter Meulen, eds., Enhancing Human Capacities (Oxford: Wiley-Blackwell, 2011), 3–8.

[9]            James Rachels and Stuart Rachels, The Elements of Moral Philosophy, 9th ed. (New York: McGraw-Hill, 2021), 1–15.


2.            Konsep Dasar Filsafat Moral

Filsafat moral, sering kali disebut juga dengan istilah etika filsafati, merupakan cabang filsafat yang berfokus pada pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang baik dan buruk, benar dan salah, kewajiban, kebajikan, serta tujuan hidup manusia.¹ Dalam pengertian umum, filsafat moral tidak hanya menguraikan norma-norma yang berlaku dalam suatu masyarakat, melainkan juga berusaha memberikan dasar rasional yang dapat dipertanggungjawabkan atas norma-norma tersebut. Dengan demikian, filsafat moral berbeda dari sekadar moralitas sehari-hari, karena ia menuntut refleksi kritis, argumentatif, dan sistematis terhadap prinsip-prinsip etis yang mendasari tindakan manusia.²

2.1.        Definisi dan Ruang Lingkup Filsafat Moral

Secara konseptual, filsafat moral dapat dibedakan dari etika normatif maupun etika terapan. Etika normatif membahas standar tindakan benar dan salah dalam konteks tertentu, sementara etika terapan mencoba menerapkan prinsip moral pada isu-isu praktis, seperti bioetika, etika lingkungan, atau etika profesi.³ Filsafat moral, di sisi lain, berupaya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang lebih fundamental: apakah nilai moral bersifat objektif atau subjektif, apakah moralitas berakar pada rasio, emosi, atau kehendak bebas, dan apa hubungan antara kebahagiaan dengan kewajiban moral.⁴ Ruang lingkup filsafat moral mencakup kajian tentang teori nilai (axiology), teori kewajiban (deontology), dan teori kebajikan (virtue ethics).⁵

2.2.        Moralitas, Nilai, dan Kebajikan

Dalam tradisi filsafat moral, konsep moralitas sering kali dipahami sebagai sistem nilai yang mengatur tindakan manusia dalam kehidupan individu maupun sosial. Nilai-nilai ini dapat berupa kebaikan, keadilan, kebebasan, atau solidaritas.⁶ Aristoteles, misalnya, mendefinisikan kebajikan (arete) sebagai disposisi yang memungkinkan manusia mencapai tujuan hidupnya, yaitu eudaimonia atau kebahagiaan sejati.⁷ Kant kemudian memperkenalkan pendekatan berbeda melalui prinsip imperatif kategoris, yang menyatakan bahwa tindakan moral adalah tindakan yang dapat dijadikan hukum universal.⁸ Sementara itu, kaum utilitarian seperti Bentham dan Mill menekankan bahwa baik buruknya suatu tindakan ditentukan oleh konsekuensinya terhadap kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang terbanyak.⁹

2.3.        Hubungan Filsafat Moral dengan Cabang Filsafat Lain

Filsafat moral tidak berdiri sendiri, melainkan berhubungan erat dengan cabang filsafat lain. Dengan epistemologi, ia berhubungan dalam hal bagaimana pengetahuan moral dapat dibenarkan: apakah moralitas dapat diketahui melalui akal, pengalaman, atau intuisi. Dengan metafisika, filsafat moral menyinggung pertanyaan tentang kehendak bebas, determinisme, dan hakikat manusia.¹⁰ Selain itu, filsafat moral juga bersinggungan dengan filsafat politik dalam kajiannya tentang keadilan, hak, dan kewajiban sosial, serta dengan filsafat agama dalam membahas dasar teologis moralitas.¹¹

2.4.        Tujuan Filsafat Moral

Tujuan filsafat moral tidak hanya bersifat teoritis, yakni memberikan pemahaman sistematis tentang prinsip-prinsip moral, tetapi juga praktis, yaitu membimbing manusia dalam bertindak secara baik, adil, dan bijak.¹² Oleh karena itu, filsafat moral memiliki dua fungsi utama: pertama, fungsi kritis untuk menelaah dan mengevaluasi sistem nilai yang ada; kedua, fungsi konstruktif untuk menawarkan kerangka moral yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan individu maupun sosial.¹³ Dengan demikian, filsafat moral berperan penting dalam membentuk orientasi etis manusia, baik dalam ranah privat maupun publik.


Footnotes

[1]            James Rachels and Stuart Rachels, The Elements of Moral Philosophy, 9th ed. (New York: McGraw-Hill, 2021), 1–4.

[2]            Alasdair MacIntyre, A Short History of Ethics (New York: Macmillan, 1966), 3–6.

[3]            Peter Singer, Practical Ethics, 3rd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 1–5.

[4]            Bernard Williams, Ethics and the Limits of Philosophy (London: Fontana Press, 1985), 20–23.

[5]            Tom L. Beauchamp and James F. Childress, Principles of Biomedical Ethics, 7th ed. (Oxford: Oxford University Press, 2013), 1–10.

[6]            Isaiah Berlin, Four Essays on Liberty (Oxford: Oxford University Press, 1969), 118–120.

[7]            Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett, 1999), 1095a–1103a.

[8]            Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 421–424.

[9]            John Stuart Mill, Utilitarianism (London: Parker, Son, and Bourn, 1863), 6–10.

[10]          Peter van Inwagen, An Essay on Free Will (Oxford: Clarendon Press, 1983), 1–12.

[11]          John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge: Harvard University Press, 1971), 3–8.

[12]          Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge: Harvard University Press, 2011), 18–21.

[13]          Kwame Gyekye, Tradition and Modernity: Philosophical Reflections on the African Experience (Oxford: Oxford University Press, 1997), 45–50.


3.            Filsafat Moral dalam Tradisi Kuno

Filsafat moral dalam tradisi kuno merupakan fondasi utama bagi perkembangan pemikiran etis di kemudian hari. Gagasan-gagasan yang lahir dari peradaban awal, baik di Barat maupun di Timur, tidak hanya membentuk kerangka konseptual bagi teori moral, tetapi juga memengaruhi tatanan sosial, hukum, dan praktik keagamaan. Pemikiran moral pada masa ini muncul sebagai jawaban terhadap pertanyaan eksistensial: bagaimana manusia seharusnya hidup, apa yang menjadi tujuan kehidupan, dan bagaimana hubungan antara individu, masyarakat, serta kosmos.¹

3.1.        Filsafat Moral Yunani Kuno

Tradisi Yunani kuno memainkan peranan sentral dalam pembentukan filsafat moral Barat. Socrates (469–399 SM) menekankan bahwa kebajikan (arete) tidak dapat dipisahkan dari pengetahuan; seseorang yang mengetahui kebaikan pasti akan berbuat baik.² Plato (427–347 SM) melanjutkan gagasan gurunya dengan menempatkan ide Kebaikan sebagai prinsip tertinggi, yang menjadi dasar keadilan dalam jiwa maupun negara.³ Aristoteles (384–322 SM), murid Plato, mengembangkan konsep eudaimonia (kebahagiaan sejati) sebagai tujuan hidup manusia, yang dicapai melalui praktik kebajikan moral dan intelektual.⁴ Etika Aristoteles bersifat teleologis: tindakan moral baik jika mengarahkan manusia menuju tujuan akhirnya sebagai makhluk rasional.⁵

Selain itu, filsafat Helenistik memperkaya horizon moral Yunani. Kaum Stoik, seperti Zeno dan Epictetus, mengajarkan bahwa kebahagiaan diperoleh dengan hidup selaras dengan alam dan mengendalikan emosi melalui rasio.⁶ Sebaliknya, Epikureanisme menekankan pencarian kenikmatan yang bijaksana sebagai jalan menuju ketenangan jiwa (ataraxia).⁷ Kedua aliran ini memberi alternatif penting terhadap model etika klasik, menyoroti peran disposisi batin dalam moralitas.

3.2.        Tradisi Moral Timur: Konfusianisme, Taoisme, dan Hindu-Buddha

Di Timur, filsafat moral berkembang dengan corak yang khas, lebih menekankan pada harmoni sosial, keseimbangan kosmis, dan spiritualitas. Dalam tradisi Tiongkok, Konfusius (551–479 SM) menekankan pentingnya kebajikan moral seperti ren (cinta kasih), li (ritual dan kesopanan), dan yi (keadilan), yang berfungsi menjaga keteraturan sosial.⁸ Moralitas dalam Konfusianisme bukan sekadar aturan, tetapi internalisasi nilai dalam diri individu yang berkontribusi pada harmoni masyarakat.

Taoisme, yang diasosiasikan dengan Laozi, menekankan prinsip wu wei (bertindak tanpa paksaan) dan hidup selaras dengan Dao, hukum alam semesta yang tak terkatakan.⁹ Dalam kerangka ini, kebajikan dipahami sebagai ekspresi spontanitas alami, bukan sebagai konstruksi sosial semata.

Di India, tradisi Hindu mengembangkan konsep dharma sebagai kewajiban moral dan kosmis yang harus dijalani setiap individu sesuai kedudukannya.¹⁰ Sementara itu, ajaran Buddha menekankan Jalan Tengah (Majjhima Patipada), menghindari ekstrem asketisme dan hedonisme, serta mengajarkan sila (etika), samadhi (konsentrasi), dan prajna (kebijaksanaan) sebagai jalan menuju pencerahan.¹¹ Dengan demikian, moralitas dipahami sebagai jalan pembebasan diri dari penderitaan (dukkha).

3.3.        Tradisi Abrahamik dan Helenistik Akhir

Selain tradisi Yunani dan Timur, moralitas juga mendapat tempat dalam agama-agama Abrahamik awal. Etika Yahudi menekankan kesetiaan kepada hukum Tuhan (Torah), sementara tradisi Kristen awal mengintegrasikan ajaran Yesus tentang kasih dan pengampunan sebagai prinsip moral tertinggi.¹² Di dunia Helenistik, filsafat Stoik kemudian memengaruhi para pemikir Kristen awal seperti St. Paul dan St. Augustine dalam merumuskan konsep moralitas berbasis akal dan kehendak ilahi.¹³

Warisan filsafat moral kuno ini menjadi landasan bagi perkembangan moralitas di abad pertengahan, modern, hingga kontemporer. Meskipun beragam dalam pendekatan, kesamaan mendasar dapat ditemukan dalam upaya mereka menjawab pertanyaan universal: bagaimana manusia mencapai kehidupan yang baik.¹⁴


Footnotes

[1]            Alasdair MacIntyre, A Short History of Ethics (New York: Macmillan, 1966), 9–15.

[2]            Gregory Vlastos, Socrates: Ironist and Moral Philosopher (Ithaca: Cornell University Press, 1991), 45–52.

[3]            Plato, Republic, trans. G. M. A. Grube (Indianapolis: Hackett, 1992), 504d–509b.

[4]            Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett, 1999), 1095a–1105b.

[5]            Terence Irwin, The Development of Ethics: A Historical and Critical Study, Volume I (Oxford: Oxford University Press, 2007), 89–94.

[6]            Epictetus, Discourses and Selected Writings, trans. Robert Dobbin (London: Penguin, 2008), 12–20.

[7]            Epicurus, Letter to Menoeceus, in The Epicurus Reader, ed. Brad Inwood and L. P. Gerson (Indianapolis: Hackett, 1994), 29–34.

[8]            Confucius, Analects, trans. Edward Slingerland (Indianapolis: Hackett, 2003), 4:15–20.

[9]            Laozi, Tao Te Ching, trans. D. C. Lau (London: Penguin, 1963), 8–12.

[10]          Radhakrishnan, S., Indian Philosophy, Vol. I (Oxford: Oxford University Press, 1923), 120–130.

[11]          Walpola Rahula, What the Buddha Taught (New York: Grove Press, 1974), 45–60.

[12]          Wayne A. Meeks, The Moral World of the First Christians (Philadelphia: Westminster Press, 1986), 10–18.

[13]          Augustine, Confessions, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 1991), Book VIII.

[14]          Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 15–22.


4.            Filsafat Moral dalam Tradisi Islam

Filsafat moral dalam tradisi Islam memiliki landasan yang khas karena berakar pada wahyu Al-Qur’an dan Sunnah, yang kemudian diperkaya oleh pemikiran filsafat, teologi (kalam), dan tasawuf. Moralitas dalam Islam tidak hanya dipahami sebagai norma sosial atau hasil rasio, tetapi juga sebagai bagian integral dari ibadah dan jalan menuju kesempurnaan spiritual.¹ Oleh karena itu, pembahasan filsafat moral Islam selalu menekankan keterkaitan antara akhlak, syariat, dan tujuan hidup manusia sebagai hamba Allah (‘abd Allah) sekaligus khalifah di bumi.²

4.1.        Etika Qur’ani dan Hadis sebagai Fondasi Moral

Al-Qur’an memberikan prinsip-prinsip dasar moral yang universal, seperti keadilan (‘adl), kebajikan (ihsan), kejujuran (sidq), kesabaran (sabr), serta larangan terhadap kezaliman dan penindasan.³ Ayat-ayat Al-Qur’an menekankan bahwa kebajikan tidak hanya bersifat ritual, tetapi mencakup perilaku sosial, seperti membantu kaum miskin, menjaga amanah, dan berlaku adil dalam muamalah.⁴ Hadis Nabi memperkuat hal ini, sebagaimana sabda Rasulullah: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia” (HR. al-Bukhari).⁵ Dengan demikian, moralitas dalam Islam dipandang sebagai manifestasi langsung dari iman dan pengamalan syariat.

4.2.        Pemikiran Filosofis: Al-Farabi, Ibn Miskawaih, dan Ibn Rushd

Filsafat Islam klasik berusaha mengintegrasikan prinsip moral Qur’ani dengan filsafat Yunani. Al-Farabi (870–950) menekankan bahwa tujuan moral adalah kebahagiaan (sa‘adah), yang dapat dicapai melalui kehidupan rasional dan masyarakat yang adil.⁶ Ibn Miskawaih (932–1030), dalam karyanya Tahdzīb al-Akhlāq, mengembangkan teori etika kebajikan yang dipengaruhi Aristoteles, menekankan keseimbangan antara akal, syahwat, dan keberanian sebagai inti pembentukan akhlak.⁷ Sementara itu, Ibn Rushd (1126–1198) menegaskan bahwa akal dan syariat tidaklah bertentangan, melainkan saling melengkapi dalam membimbing manusia menuju kebaikan moral.⁸

4.3.        Dimensi Teologis: Al-Ghazali dan Moralitas Religius

Al-Ghazali (1058–1111) memberikan sintesis penting antara teologi, tasawuf, dan filsafat dalam pembahasan moral. Dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din, ia menekankan bahwa akhlak mulia adalah buah dari penyucian jiwa (tazkiyah al-nafs) dan kedekatan kepada Allah.⁹ Moralitas, menurut Al-Ghazali, tidak dapat hanya didasarkan pada rasio atau hukum lahiriah, tetapi harus ditopang oleh transformasi batiniah. Ia membagi kebajikan moral ke dalam empat kategori utama: kebijaksanaan (hikmah), keberanian (shaja‘ah), kesederhanaan (iffah), dan keadilan (‘adl), yang berakar dari filsafat Yunani namun diislamisasi dalam kerangka religius.¹⁰

4.4.        Moralitas dalam Tradisi Sufi

Tasawuf memperkaya filsafat moral Islam dengan menekankan dimensi spiritual. Tokoh-tokoh seperti Rabi‘ah al-‘Adawiyyah menekankan cinta tanpa pamrih kepada Allah sebagai puncak moralitas, sementara Jalaluddin Rumi mengekspresikan etika melalui simbol-simbol cinta, kasih sayang, dan harmoni kosmis.¹¹ Moralitas sufi berfokus pada transformasi hati dan penyingkiran sifat-sifat tercela seperti kesombongan, iri hati, dan kebencian, digantikan oleh keikhlasan, kasih sayang, dan kerendahan hati.¹²

4.5.        Integrasi Akhlak, Syariat, dan Tujuan Hidup

Filsafat moral dalam tradisi Islam pada akhirnya membentuk kerangka komprehensif yang menyatukan akhlak pribadi, tatanan sosial, dan tujuan spiritual. Moralitas tidak hanya dipahami sebagai kontrak sosial atau pencarian kebahagiaan duniawi, tetapi juga sebagai jalan menuju keridhaan Allah.¹³ Hal ini membedakan filsafat moral Islam dari tradisi lain, karena dimensi etis, religius, dan metafisis saling terkait erat. Model ini memberikan kontribusi penting dalam sejarah etika global, sekaligus relevan bagi pembentukan etika kontemporer yang mengedepankan keadilan, solidaritas, dan tanggung jawab spiritual.¹⁴


Footnotes

[1]            Majid Fakhry, Ethical Theories in Islam (Leiden: Brill, 1991), 1–5.

[2]            Seyyed Hossein Nasr, Islamic Life and Thought (Albany: SUNY Press, 1981), 45–47.

[3]            Al-Qur’an, QS. Al-Nahl [16]: 90.

[4]            Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 2009), 35–38.

[5]            Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, Sahih al-Bukhari (Beirut: Dar Ibn Kathir, 1987), Kitab al-Adab, Bab 78.

[6]            Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadilah, ed. Alfarabi Society (Cairo: Dar al-Mashriq, 1968), 65–72.

[7]            Ibn Miskawayh, Tahdhīb al-Akhlāq wa Tathīr al-A‘rāq, ed. Constantine Zurayk (Beirut: American University of Beirut, 1966), 23–29.

[8]            Ibn Rushd, Fasl al-Maqāl, trans. George Hourani (Leiden: Brill, 1961), 45–50.

[9]            Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, vol. 3 (Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1967), 5–10.

[10]          Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 112–118.

[11]          Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1975), 87–92.

[12]          William C. Chittick, The Sufi Path of Love: The Spiritual Teachings of Rumi (Albany: SUNY Press, 1983), 34–39.

[13]          M. Fethullah Gülen, Key Concepts in the Practice of Sufism (New Jersey: Tughra Books, 2010), 77–81.

[14]          Hamza Yusuf, Purification of the Heart: Signs, Symptoms and Cures of the Spiritual Diseases of the Heart (California: Starlatch Press, 2004), 15–18.


5.            Filsafat Moral Abad Pertengahan

Filsafat moral pada abad pertengahan menempati posisi penting dalam sejarah intelektual karena menghadirkan sintesis antara warisan filsafat Yunani, tradisi keagamaan, serta perkembangan pemikiran skolastik. Abad ini ditandai oleh dominasi institusi keagamaan—Islam, Kristen, dan Yahudi—yang membingkai diskursus etis dalam horizon teologis.¹ Kendati demikian, para pemikir abad pertengahan tidak sekadar menekankan aspek dogmatis, melainkan juga berusaha memberikan justifikasi rasional atas prinsip-prinsip moral yang bersumber dari wahyu. Dengan demikian, filsafat moral abad pertengahan berperan sebagai jembatan antara tradisi klasik dengan kebangkitan intelektual pada era modern.

5.1.        Pemikiran Moral dalam Dunia Kristen

Dalam tradisi Kristen, etika abad pertengahan sangat dipengaruhi oleh pemikiran St. Augustine (354–430). Augustine menekankan bahwa moralitas sejati berakar pada cinta kepada Tuhan (amor Dei), sementara cinta kepada dunia (amor mundi) sering kali menjerumuskan manusia pada dosa.² Baginya, kehendak bebas manusia rusak oleh dosa asal, sehingga hanya kasih karunia ilahi yang dapat membimbing manusia pada kebaikan moral.³ Pandangan ini menegaskan keterkaitan erat antara moralitas, kehendak, dan iman.

Pemikir berikutnya, St. Thomas Aquinas (1225–1274), memberikan sumbangan monumental dalam Summa Theologica. Aquinas menyusun teori hukum kodrat (lex naturalis) yang menyatakan bahwa prinsip moral dasar tertanam dalam rasio manusia sebagai bagian dari hukum ilahi.⁴ Hukum kodrat ini, menurut Aquinas, memungkinkan manusia membedakan yang baik dari yang buruk, serta mengarahkan tindakan menuju tujuan akhir: kebahagiaan kekal bersama Tuhan.⁵ Dengan kerangka ini, Aquinas menyintesiskan etika Aristotelian dengan doktrin Kristen, sekaligus memberikan landasan sistematis bagi etika skolastik yang mendominasi Eropa abad pertengahan.

5.2.        Etika dalam Tradisi Islam Abad Pertengahan

Dalam dunia Islam, sebagaimana telah disinggung sebelumnya, tokoh-tokoh seperti al-Farabi, Ibn Miskawaih, al-Ghazali, dan Ibn Rushd telah merumuskan konsep moral yang mengintegrasikan wahyu dengan rasio. Pada abad pertengahan, karya-karya mereka terus berpengaruh, khususnya dalam tradisi skolastik Latin yang banyak menerjemahkan teks Arab ke dalam bahasa Latin.⁶ Ibn Rushd, misalnya, dikenal di Barat sebagai Averroes, yang memperkuat argumentasi bahwa filsafat dan syariat sejalan dalam meneguhkan dasar moralitas.⁷ Dengan kontribusi tersebut, pemikiran etika Islam menjadi bagian integral dalam perbendaharaan filsafat moral abad pertengahan di Eropa.

5.3.        Etika dalam Tradisi Yahudi Abad Pertengahan

Tradisi Yahudi juga memberikan kontribusi penting, terutama melalui karya Musa ibn Maymun (Maimonides, 1135–1204). Dalam karyanya Guide for the Perplexed, Maimonides menegaskan bahwa hukum-hukum Taurat memiliki tujuan moral, yakni penyempurnaan jiwa dan pembentukan masyarakat yang adil.⁸ Ia menggabungkan filsafat Aristoteles dengan prinsip monoteisme Yahudi, sehingga melahirkan kerangka etika yang bersifat rasional sekaligus religius. Pemikiran Maimonides kemudian memengaruhi pemikir Kristen seperti Aquinas, memperlihatkan adanya dialog lintas agama dalam filsafat moral abad pertengahan.⁹

5.4.        Karakteristik Umum Filsafat Moral Abad Pertengahan

Ada beberapa ciri utama filsafat moral abad pertengahan. Pertama, orientasi teosentris: moralitas selalu dikaitkan dengan hubungan manusia dengan Tuhan. Kedua, integrasi rasio dan wahyu: para pemikir abad pertengahan berusaha menunjukkan bahwa akal mendukung dan tidak bertentangan dengan prinsip moral religius. Ketiga, sistematisasi: pemikiran etis dibangun secara hierarkis dan terstruktur, terutama dalam tradisi skolastik.¹⁰ Dengan karakteristik ini, filsafat moral abad pertengahan tidak hanya menjaga warisan klasik, tetapi juga menyiapkan landasan bagi transisi menuju filsafat modern.


Footnotes

[1]            Etienne Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1991), 12–16.

[2]            Augustine, The City of God, trans. Henry Bettenson (London: Penguin, 1984), Book XIV, 28–30.

[3]            John Rist, Augustine: Ancient Thought Baptized (Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 101–105.

[4]            Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I-II, Q. 94, a. 2.

[5]            Servais Pinckaers, The Sources of Christian Ethics, trans. Mary Thomas Noble (Washington, D.C.: Catholic University of America Press, 1995), 197–203.

[6]            Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 145–150.

[7]            Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 316–320.

[8]            Maimonides, The Guide for the Perplexed, trans. Shlomo Pines (Chicago: University of Chicago Press, 1963), Part III, 27–29.

[9]            David Novak, Natural Law in Judaism (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 54–59.

[10]          Frederick Copleston, A History of Philosophy, Volume II: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 205–210.


6.            Filsafat Moral Modern

Periode modern dalam filsafat moral ditandai oleh pergeseran radikal dari paradigma teosentris abad pertengahan menuju paradigma antroposentris, di mana manusia dan rasionalitasnya ditempatkan sebagai pusat refleksi etis.¹ Perubahan ini dipengaruhi oleh Renaissance, Reformasi, dan Pencerahan, yang bersama-sama menumbuhkan keyakinan bahwa akal budi manusia mampu memberikan dasar otonom bagi moralitas, tanpa harus bergantung sepenuhnya pada otoritas wahyu atau lembaga keagamaan.² Modernitas dengan demikian membuka ruang bagi beragam teori moral yang lebih sekuler, rasional, dan sistematis, sekaligus memunculkan perdebatan antara deontologi, konsekuensialisme, dan etika kebajikan yang direformulasi.

6.1.        Humanisme Moral pada Zaman Renaissance

Masa Renaissance (abad ke-15–16) ditandai oleh kebangkitan kembali minat terhadap kebudayaan Yunani-Romawi. Tokoh-tokoh seperti Erasmus dari Rotterdam menekankan pentingnya pendidikan moral melalui literatur klasik dan kebebasan berpikir.³ Michel de Montaigne, melalui Essais, menyoroti relativitas nilai moral dengan menekankan pengalaman pribadi, keragaman budaya, serta keterbatasan akal manusia.⁴ Humanisme moral Renaissance membuka jalan bagi gagasan bahwa manusia adalah subjek otonom yang dapat menentukan arah hidupnya berdasarkan kebajikan dan pengalaman empiris.

6.2.        Hobbes, Spinoza, dan Kontrak Sosial

Filsafat politik dan moral modern juga berkembang melalui teori kontrak sosial. Thomas Hobbes (1588–1679), dalam Leviathan, memandang bahwa moralitas lahir dari kebutuhan manusia untuk keluar dari state of nature yang penuh konflik melalui kesepakatan sosial.⁵ Benedictus de Spinoza (1632–1677), di sisi lain, menolak pandangan Hobbes yang terlalu pesimistis, dan mengembangkan etika rasionalis dalam Ethica, di mana kebajikan didefinisikan sebagai tindakan yang sesuai dengan hukum kodrat rasional.⁶ Spinoza melihat kebebasan sejati bukan sebagai kebebasan dari hukum, melainkan kebebasan melalui pemahaman rasional tentang keteraturan alam semesta.⁷

6.3.        Empirisisme Moral: Hume

David Hume (1711–1776) memberikan kontribusi signifikan dengan menolak rasionalisme moral, dan menekankan bahwa moralitas lebih berakar pada emosi dan sentimen manusia daripada pada akal budi.⁸ Menurut Hume, tindakan moral dipahami bukan melalui deduksi logis, melainkan melalui moral sense berupa simpati dan empati terhadap sesama.⁹ Pandangan ini menjadi dasar bagi teori moral sentimental dan memberi pengaruh luas terhadap utilitarianisme serta psikologi moral kontemporer.

6.4.        Deontologi Kant

Immanuel Kant (1724–1804) adalah salah satu tokoh sentral filsafat moral modern. Dalam Groundwork of the Metaphysics of Morals, Kant memperkenalkan konsep imperatif kategoris, yaitu prinsip bahwa tindakan moral adalah tindakan yang dapat dijadikan hukum universal.¹⁰ Ia menekankan otonomi kehendak dan martabat manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri (end in itself), bukan sekadar sarana.¹¹ Etika deontologis Kant menolak utilitarianisme dengan menegaskan bahwa nilai moral tindakan tidak ditentukan oleh akibatnya, melainkan oleh maksud dan prinsip yang mendasarinya.¹²

6.5.        Utilitarianisme Bentham dan Mill

Berbeda dengan Kant, Jeremy Bentham (1748–1832) dan John Stuart Mill (1806–1873) mengembangkan utilitarianisme, yakni teori moral yang menilai tindakan berdasarkan konsekuensinya terhadap kebahagiaan. Bentham memperkenalkan kalkulus hedonistik untuk mengukur intensitas dan durasi kesenangan.¹³ Mill kemudian memperhalus teori ini dengan membedakan antara kesenangan “lebih tinggi” (higher pleasures) seperti aktivitas intelektual, dan kesenangan “lebih rendah” (lower pleasures) seperti kenikmatan fisik.¹⁴ Utilitarianisme memberikan dasar moral bagi reformasi sosial, hukum, dan ekonomi pada abad ke-19, serta terus berpengaruh hingga etika terapan modern.

6.6.        Moralitas, Politik, dan Hak Asasi Manusia

Filsafat moral modern juga berkaitan erat dengan lahirnya gagasan tentang liberalisme, demokrasi, dan hak asasi manusia. Pemikir seperti John Locke menekankan kebebasan individu dan hak kodrati sebagai basis moral-politik, yang kelak memengaruhi Deklarasi Kemerdekaan Amerika dan Revolusi Prancis.¹⁵ Dengan demikian, filsafat moral modern tidak hanya menjadi refleksi abstrak, tetapi juga memiliki dampak langsung pada pembentukan institusi sosial dan politik modern.

6.7.        Signifikansi Filsafat Moral Modern

Periode modern menghadirkan keragaman paradigma etis yang saling bersaing namun saling melengkapi: humanisme Renaissance, kontrak sosial, sentimentalism Hume, deontologi Kant, dan utilitarianisme Bentham-Mill. Semua aliran ini menunjukkan usaha manusia untuk menemukan dasar moralitas dalam rasio, pengalaman, dan konsekuensi praktis, lepas dari otoritas religius tradisional.¹⁶ Oleh karena itu, filsafat moral modern menjadi fondasi bagi perdebatan etika kontemporer, dari bioetika hingga etika politik global.


Footnotes

[1]            Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 132–138.

[2]            Stephen Toulmin, Cosmopolis: The Hidden Agenda of Modernity (Chicago: University of Chicago Press, 1990), 29–35.

[3]            Desiderius Erasmus, The Education of a Christian Prince, trans. Lisa Jardine (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 50–55.

[4]            Michel de Montaigne, The Complete Essays, trans. M. A. Screech (London: Penguin, 1991), 120–125.

[5]            Thomas Hobbes, Leviathan, ed. Richard Tuck (Cambridge: Cambridge University Press, 1991), chaps. 13–14.

[6]            Benedictus de Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (London: Penguin, 1996), Part IV.

[7]            Steven Nadler, Spinoza: A Life (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 183–190.

[8]            David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L. A. Selby-Bigge (Oxford: Clarendon Press, 1978), 457–469.

[9]            Annette C. Baier, A Progress of Sentiments: Reflections on Hume’s Treatise (Cambridge: Harvard University Press, 1991), 112–116.

[10]          Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 421–424.

[11]          Christine Korsgaard, Creating the Kingdom of Ends (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 105–110.

[12]          Allen W. Wood, Kantian Ethics (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 55–59.

[13]          Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation (Oxford: Clarendon Press, 1907), 1–5.

[14]          John Stuart Mill, Utilitarianism (London: Parker, Son, and Bourn, 1863), 7–12.

[15]          John Locke, Two Treatises of Government, ed. Peter Laslett (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 287–290.

[16]          Roger Crisp, Routledge Philosophy Guidebook to Mill on Utilitarianism (London: Routledge, 1997), 3–8.


7.            Filsafat Moral Kontemporer

Filsafat moral kontemporer berkembang dalam konteks abad ke-20 dan ke-21 yang ditandai oleh kompleksitas sosial, kemajuan sains dan teknologi, serta meningkatnya pluralisme budaya dan politik. Tidak seperti masa klasik maupun modern yang lebih menekankan pada teori etika normatif tunggal, filsafat moral kontemporer ditandai oleh keberagaman pendekatan, fragmentasi teori, sekaligus dialog interdisipliner dengan ilmu sosial, politik, psikologi, dan bahkan biologi evolusioner.¹

7.1.        Etika Eksistensialis dan Fenomenologis

Eksistensialisme memberikan salah satu kontribusi penting bagi filsafat moral kontemporer. Søren Kierkegaard (1813–1855) menekankan pilihan personal dan komitmen religius sebagai inti moralitas, sementara Jean-Paul Sartre (1905–1980) menegaskan kebebasan radikal manusia sebagai dasar etika.² Bagi Sartre, manusia "dikondem untuk bebas," sehingga setiap individu bertanggung jawab penuh atas tindakannya.³ Martin Heidegger, meskipun bukan perumus etika normatif, menekankan otentisitas (Eigentlichkeit) sebagai bentuk tanggung jawab eksistensial.⁴ Aliran ini menempatkan subjektivitas, kebebasan, dan tanggung jawab sebagai pusat refleksi moral.

7.2.        Etika Analitik dan Positivisme Logis

Di dunia Anglo-Saxon, tradisi filsafat analitik mendominasi wacana etika pada awal abad ke-20. G. E. Moore melalui Principia Ethica (1903) menegaskan "naturalistic fallacy," yaitu kesalahan logis dalam mengidentifikasi kebaikan dengan sifat alamiah tertentu.⁵ Kaum positivis logis seperti A. J. Ayer kemudian mengembangkan emotivism, yakni pandangan bahwa pernyataan moral hanyalah ekspresi emosi atau sikap, bukan proposisi faktual.⁶ Meskipun menimbulkan skeptisisme terhadap klaim moral objektif, tradisi analitik mendorong kejelasan metodologis dalam diskusi etika kontemporer.

7.3.        Kebangkitan Etika Kebajikan

Pada paruh kedua abad ke-20, terjadi kebangkitan kembali etika kebajikan (virtue ethics) sebagai respons terhadap dominasi deontologi Kantian dan utilitarianisme. Elizabeth Anscombe, dalam esainya Modern Moral Philosophy (1958), mengkritik etika modern karena kehilangan landasan teleologis dan mengabaikan dimensi kebajikan personal.⁷ Alasdair MacIntyre kemudian melanjutkan kritik ini melalui After Virtue (1981), dengan menekankan bahwa moralitas hanya dapat dipahami dalam konteks tradisi dan komunitas yang konkret.⁸ Etika kebajikan kontemporer menekankan karakter, kebiasaan, dan integritas moral sebagai fondasi kehidupan etis.

7.4.        Etika Diskursus dan Teori Kritis

Dalam tradisi filsafat Jerman, Jürgen Habermas dan Karl-Otto Apel mengembangkan etika diskursus (Diskursethik), yang menegaskan bahwa normativitas moral lahir melalui proses komunikasi rasional dalam ruang publik.⁹ Moralitas dipahami sebagai hasil konsensus yang dicapai melalui dialog bebas dan tanpa dominasi.¹⁰ Dengan pendekatan ini, etika kontemporer menekankan dimensi deliberatif, demokratis, dan partisipatif, sehingga relevan untuk membahas isu-isu pluralisme dan keadilan global.

7.5.        Etika Feminis dan Multikulturalisme

Etika feminis muncul sebagai kritik terhadap tradisi moral Barat yang dianggap bias maskulin dan abstrak. Carol Gilligan menekankan ethics of care, yaitu pendekatan moral yang berfokus pada relasi, empati, dan tanggung jawab interpersonal, berlawanan dengan etika keadilan yang bersifat impersonal.¹¹ Selain itu, isu multikulturalisme mendorong refleksi baru mengenai relativisme moral dan tantangan membangun nilai-nilai universal dalam masyarakat yang beragam.¹²

7.6.        Etika Terapan: Bioetika, Etika Lingkungan, dan Etika Teknologi

Filsafat moral kontemporer juga menaruh perhatian besar pada etika terapan. Bioetika, yang berkembang sejak 1970-an, membahas isu aborsi, eutanasia, eksperimen genetik, dan rekayasa bioteknologi.¹³ Etika lingkungan menyoroti tanggung jawab moral manusia terhadap ekosistem, menantang paradigma antroposentris, dan menekankan keberlanjutan.¹⁴ Pada dekade terbaru, etika teknologi—termasuk etika digital dan kecerdasan buatan—menjadi wacana penting, mempertanyakan tanggung jawab moral atas algoritma, privasi data, serta implikasi AI dalam kehidupan sosial.¹⁵

7.7.        Karakteristik Filsafat Moral Kontemporer

Filsafat moral kontemporer memiliki tiga karakteristik utama. Pertama, pluralitas pendekatan: tidak ada lagi satu teori dominan, melainkan berbagai paradigma yang saling berdialog dan berkompetisi. Kedua, interdisipliner: filsafat moral kini banyak berinteraksi dengan ilmu pengetahuan alam, sosial, dan teknologi. Ketiga, orientasi praktis: penekanan pada penerapan prinsip moral dalam isu-isu nyata yang dihadapi umat manusia.¹⁶ Dengan karakter ini, filsafat moral kontemporer tidak hanya menjadi wacana akademis, tetapi juga alat kritis dalam merespons tantangan etis global.


Footnotes

[1]            Charles Taylor, Ethics of Authenticity (Cambridge: Harvard University Press, 1991), 5–7.

[2]            Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Alastair Hannay (London: Penguin, 1985), 60–65.

[3]            Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 29–33.

[4]            Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 210–215.

[5]            G. E. Moore, Principia Ethica (Cambridge: Cambridge University Press, 1903), 10–15.

[6]            A. J. Ayer, Language, Truth, and Logic (London: Gollancz, 1936), 102–105.

[7]            G. E. M. Anscombe, “Modern Moral Philosophy,” Philosophy 33, no. 124 (1958): 1–19.

[8]            Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 2–6.

[9]            Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge: MIT Press, 1990), 43–47.

[10]          Karl-Otto Apel, Towards a Transformation of Philosophy (London: Routledge, 1980), 273–278.

[11]          Carol Gilligan, In a Different Voice: Psychological Theory and Women’s Development (Cambridge: Harvard University Press, 1982), 24–28.

[12]          Bhikhu Parekh, Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory (Cambridge: Harvard University Press, 2000), 95–100.

[13]          Tom L. Beauchamp and James F. Childress, Principles of Biomedical Ethics, 7th ed. (Oxford: Oxford University Press, 2013), 1–6.

[14]          Aldo Leopold, A Sand County Almanac (New York: Oxford University Press, 1949), 201–209.

[15]          Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 120–125.

[16]          Peter Singer, Practical Ethics, 3rd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 1–8.


8.            Isu dan Kritik dalam Filsafat Moral

Filsafat moral, meskipun telah berkembang selama lebih dari dua milenium, tetap menghadapi berbagai isu dan kritik yang memperlihatkan dinamika serta keterbatasannya. Dalam era kontemporer, tantangan terhadap teori moral klasik maupun modern muncul dari beragam arah: relativisme budaya, skeptisisme meta-etis, kritik postmodern, hingga temuan empiris dalam psikologi moral dan ilmu kognitif. Isu-isu ini memperlihatkan bahwa filsafat moral bukanlah disiplin yang statis, melainkan arena perdebatan terus-menerus mengenai dasar, universalitas, dan penerapan moralitas.¹

8.1.        Relativisme Moral versus Universalisme

Salah satu isu sentral adalah pertentangan antara relativisme moral dan universalisme moral. Relativisme berpendapat bahwa nilai moral bergantung pada budaya, tradisi, dan konteks sosial tertentu, sehingga tidak ada standar moral yang benar secara universal.² Ruth Benedict, misalnya, menganggap bahwa apa yang dianggap "normal" dan "baik" sepenuhnya relatif terhadap pola kebudayaan.³ Sebaliknya, universalisme moral, sebagaimana dikemukakan oleh Kant dengan prinsip imperatif kategoris, menegaskan bahwa terdapat prinsip moral yang berlaku bagi semua manusia tanpa kecuali.⁴ Perdebatan ini masih relevan, terutama dalam menghadapi isu global seperti hak asasi manusia, di mana klaim universal sering kali berbenturan dengan klaim relativistik dari budaya lokal.⁵

8.2.        Kritik Postmodern terhadap Moralitas Objektif

Kaum postmodernis seperti Michel Foucault dan Jacques Derrida mengkritik gagasan moralitas objektif dengan menunjukkan bahwa moralitas sering kali merupakan konstruksi historis yang terkait dengan relasi kuasa.⁶ Bagi Foucault, wacana moral bukan sekadar refleksi nilai universal, melainkan sarana normalisasi dan kontrol sosial.⁷ Derrida menambahkan bahwa setiap sistem moral selalu menyisakan aporia—ketegangan yang tak terpecahkan antara tuntutan normatif dan realitas praktis.⁸ Kritik postmodern ini menantang filsafat moral tradisional untuk lebih reflektif terhadap dimensi historis, politis, dan linguistik dari wacana moral.

8.3.        Tantangan dari Psikologi Moral dan Ilmu Kognitif

Temuan dalam psikologi evolusioner, neurosains, dan ilmu kognitif juga menantang klaim filsafat moral tentang rasionalitas etis. Jonathan Haidt, misalnya, mengemukakan teori social intuitionist yang menyatakan bahwa penilaian moral lebih banyak ditentukan oleh intuisi emosional daripada deliberasi rasional.⁹ Temuan neurosains oleh Joshua Greene menunjukkan bahwa keputusan moral dapat dipetakan melalui aktivitas otak yang berbeda untuk dilema deontologis dan utilitarian.¹⁰ Kritik ini mempertanyakan sejauh mana filsafat moral dapat mengklaim rasionalitas sebagai fondasi utama moralitas, sekaligus membuka ruang integrasi antara filsafat dan sains.

8.4.        Masalah Fundamentalisme Moral dan Pluralisme Etis

Isu lain muncul dari ketegangan antara fundamentalisme moral—yang mengklaim satu sistem etika sebagai final dan absolut—dengan pluralisme etis yang menekankan keberagaman nilai. Isaiah Berlin, melalui konsep value pluralism, menegaskan bahwa terdapat banyak nilai yang sahih namun tidak selalu dapat direduksi pada satu prinsip tunggal.¹¹ Hal ini mengimplikasikan perlunya toleransi dan kompromi dalam masyarakat multikultural, sekaligus menolak klaim absolut atas kebenaran moral tertentu.

8.5.        Kritik Internal terhadap Teori Normatif Klasik

Deontologi Kantian sering dikritik karena terlalu kaku dan mengabaikan konteks. Utilitarianisme dianggap bermasalah karena bisa membenarkan tindakan tidak adil demi manfaat mayoritas.¹² Sementara etika kebajikan dianggap tidak memberikan pedoman yang cukup jelas dalam situasi dilematik.¹³ Kritik-kritik ini memunculkan upaya hibridisasi, seperti teori deontologi moderat atau utilitarianisme preferensi, yang berusaha memperbaiki kelemahan masing-masing teori klasik.

8.6.        Isu Moral Global Kontemporer

Dalam dunia yang semakin terhubung, filsafat moral juga menghadapi isu global baru: keadilan distribusi global, krisis lingkungan, bioteknologi, dan etika teknologi digital.¹⁴ Pertanyaan-pertanyaan etis tentang kesenjangan sosial, perubahan iklim, rekayasa genetika, hingga tanggung jawab moral atas kecerdasan buatan memperlihatkan bahwa filsafat moral harus terus berkembang agar relevan dengan tantangan baru.¹⁵


Kesimpulan Sementara

Isu dan kritik dalam filsafat moral menunjukkan keterbatasan teori moral klasik, sekaligus memperlihatkan kebutuhan untuk senantiasa memperbarui kerangka etis. Perdebatan antara relativisme dan universalisme, kritik postmodern, tantangan sains empiris, serta isu moral global menegaskan bahwa filsafat moral adalah medan dialog terbuka, bukan dogma yang final. Dengan demikian, filsafat moral kontemporer dituntut untuk bersifat reflektif, kritis, dan adaptif dalam merespons dinamika kehidupan manusia yang terus berubah.¹⁶


Footnotes

[1]            Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 1–5.

[2]            Gilbert Harman, The Nature of Morality (Oxford: Oxford University Press, 1977), 3–7.

[3]            Ruth Benedict, Patterns of Culture (Boston: Houghton Mifflin, 1934), 223–227.

[4]            Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 421–423.

[5]            Jack Donnelly, Universal Human Rights in Theory and Practice, 3rd ed. (Ithaca: Cornell University Press, 2013), 15–20.

[6]            Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1977), 23–27.

[7]            Michel Foucault, The History of Sexuality, Volume I (New York: Pantheon, 1978), 92–95.

[8]            Jacques Derrida, Force of Law: The “Mystical Foundation of Authority”, trans. Mary Quaintance (New York: Routledge, 1992), 14–18.

[9]            Jonathan Haidt, The Righteous Mind: Why Good People Are Divided by Politics and Religion (New York: Pantheon, 2012), 46–53.

[10]          Joshua Greene, Moral Tribes: Emotion, Reason, and the Gap Between Us and Them (New York: Penguin, 2013), 121–126.

[11]          Isaiah Berlin, Four Essays on Liberty (Oxford: Oxford University Press, 1969), 167–171.

[12]          Bernard Williams, Ethics and the Limits of Philosophy (London: Fontana Press, 1985), 90–94.

[13]          Rosalind Hursthouse, On Virtue Ethics (Oxford: Oxford University Press, 1999), 25–29.

[14]          Peter Singer, One World: The Ethics of Globalization, 2nd ed. (New Haven: Yale University Press, 2011), 5–10.

[15]          Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 115–120.

[16]          James Rachels and Stuart Rachels, The Elements of Moral Philosophy, 9th ed. (New York: McGraw-Hill, 2021), 187–192.


9.            Relevansi Filsafat Moral dalam Kehidupan Kontemporer

Filsafat moral, yang akarnya tertanam sejak zaman kuno, tetap memiliki relevansi signifikan dalam kehidupan kontemporer yang ditandai oleh globalisasi, pluralisme budaya, kemajuan teknologi, serta kompleksitas sosial-politik. Kehidupan modern tidak hanya menghadirkan peluang baru, tetapi juga tantangan moral yang semakin rumit, sehingga refleksi filosofis mengenai kebaikan, keadilan, dan tanggung jawab menjadi semakin mendesak.¹

9.1.        Moralitas dalam Kehidupan Individu

Dalam kehidupan individu, filsafat moral berfungsi sebagai kompas etis yang membantu manusia menavigasi pilihan-pilihan sulit. Tantangan kontemporer seperti krisis identitas, tekanan gaya hidup materialistik, serta dilema etis dalam profesi menuntut kerangka moral yang kokoh.² Teori kebajikan Aristotelian, misalnya, tetap relevan dalam menekankan pembentukan karakter melalui kebiasaan baik, sementara deontologi Kantian menegaskan pentingnya menjunjung martabat manusia dalam relasi sehari-hari.³ Dengan demikian, filsafat moral memperkuat kesadaran individu akan tanggung jawab pribadi dalam menjalani kehidupan yang bermakna.

9.2.        Moralitas dalam Kehidupan Sosial dan Politik

Pada ranah sosial-politik, filsafat moral menyediakan fondasi bagi keadilan, kebebasan, dan hak asasi manusia. Pemikiran John Rawls tentang “justice as fairness” menjadi kerangka utama dalam membahas distribusi keadilan dan kebijakan publik.⁴ Di sisi lain, etika diskursus Habermas menekankan bahwa legitimasi norma sosial harus dibangun melalui partisipasi demokratis dan komunikasi rasional.⁵ Hal ini sangat relevan dalam konteks demokrasi kontemporer, di mana masyarakat plural membutuhkan prinsip moral yang dapat diterima bersama untuk menjaga kohesi sosial.

9.3.        Moralitas dalam Sains dan Teknologi

Kemajuan teknologi digital, bioteknologi, dan kecerdasan buatan menimbulkan pertanyaan etis baru yang tak dapat dihindari. Etika utilitarian sering digunakan dalam menilai risiko dan manfaat dari inovasi teknologi, sementara bioetika berperan penting dalam membahas isu kontroversial seperti rekayasa genetika, euthanasia, dan transplantasi organ.⁶ Selain itu, etika informasi sebagaimana dibahas oleh Luciano Floridi menyoroti tanggung jawab moral dalam era digital, termasuk privasi data, keamanan siber, dan dampak algoritma terhadap kebebasan individu.⁷ Dengan demikian, filsafat moral berfungsi sebagai pengawal kemajuan teknologi agar tetap selaras dengan nilai kemanusiaan.

9.4.        Etika Lingkungan dan Tanggung Jawab Global

Krisis iklim dan kerusakan lingkungan menegaskan pentingnya refleksi etis tentang tanggung jawab manusia terhadap bumi. Aldo Leopold melalui land ethic menekankan bahwa moralitas harus meluas, tidak hanya pada sesama manusia, tetapi juga pada komunitas ekologis secara keseluruhan.⁸ Dalam konteks global, filsafat moral juga relevan untuk merumuskan etika keberlanjutan, solidaritas antarbangsa, dan keadilan generasional. Peter Singer, misalnya, menekankan perlunya memperluas lingkaran moral hingga mencakup semua makhluk hidup.⁹ Relevansi ini memperlihatkan bahwa filsafat moral dapat menjadi landasan etis bagi upaya menjaga keseimbangan ekologi dunia.

9.5.        Etika Global dan Multikulturalisme

Globalisasi telah mempertemukan beragam tradisi moral dan nilai budaya, sehingga menimbulkan pertanyaan: apakah mungkin membangun etika universal yang menghormati keragaman? Bhikhu Parekh berargumen bahwa multikulturalisme menuntut dialog antarbudaya yang berlandaskan penghormatan terhadap perbedaan, tanpa mengorbankan nilai fundamental seperti martabat manusia.¹⁰ Dalam konteks ini, filsafat moral menjadi alat refleksi kritis untuk menimbang antara relativisme budaya dan universalisme moral, sekaligus menawarkan kerangka kerja yang memungkinkan koeksistensi damai dalam masyarakat global.

9.6.        Signifikansi Filsafat Moral bagi Masa Depan

Relevansi filsafat moral dalam kehidupan kontemporer terletak pada kemampuannya mengintegrasikan dimensi personal, sosial, dan global dalam suatu horizon etis. Ia tidak hanya menyediakan dasar normatif untuk pengambilan keputusan, tetapi juga membentuk karakter individu, memperkuat institusi sosial, dan mengarahkan arah perkembangan peradaban.¹¹ Dengan menghadirkan refleksi kritis terhadap isu-isu baru, filsafat moral memastikan bahwa kemajuan manusia tetap berpijak pada nilai-nilai kemanusiaan yang universal.


Footnotes

[1]            Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 302–305.

[2]            Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 187–190.

[3]            Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 421–423.

[4]            John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge: Harvard University Press, 1971), 3–8.

[5]            Jürgen Habermas, Between Facts and Norms, trans. William Rehg (Cambridge: MIT Press, 1996), 107–112.

[6]            Tom L. Beauchamp and James F. Childress, Principles of Biomedical Ethics, 7th ed. (Oxford: Oxford University Press, 2013), 1–6.

[7]            Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 120–125.

[8]            Aldo Leopold, A Sand County Almanac (New York: Oxford University Press, 1949), 201–209.

[9]            Peter Singer, Practical Ethics, 3rd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 1–8.

[10]          Bhikhu Parekh, Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory (Cambridge: Harvard University Press, 2000), 95–100.

[11]          James Rachels and Stuart Rachels, The Elements of Moral Philosophy, 9th ed. (New York: McGraw-Hill, 2021), 200–205.


10.        Penutup

Kajian tentang perkembangan dan sejarah filsafat moral memperlihatkan perjalanan panjang manusia dalam memahami, merumuskan, dan memperdebatkan hakikat kebaikan, kewajiban, kebajikan, serta tujuan hidup. Sejak masa Yunani kuno, di mana Socrates, Plato, dan Aristoteles menempatkan moralitas dalam kerangka pengetahuan dan kebajikan, hingga tradisi Timur yang menekankan harmoni sosial dan spiritual, terlihat bahwa moralitas selalu menjadi inti refleksi filosofis.¹ Tradisi Islam, Kristen, dan Yahudi pada abad pertengahan kemudian mengintegrasikan moralitas dengan wahyu dan teologi, memberikan landasan religius sekaligus rasional bagi kehidupan etis.²

Memasuki era modern, filsafat moral mengalami pergeseran radikal menuju paradigma yang lebih antroposentris. Kant, Hume, Bentham, dan Mill masing-masing menawarkan kerangka rasional baru yang menekankan otonomi, sentimen, dan konsekuensi sebagai dasar moralitas.³ Periode ini menandai lahirnya keragaman teori normatif yang masih berpengaruh hingga kini. Sementara itu, era kontemporer memperluas cakrawala etika melalui eksistensialisme, analitik, etika kebajikan modern, etika diskursus, hingga etika feminis dan multikultural.⁴

Seiring berkembangnya sains, teknologi, dan globalisasi, filsafat moral ditantang untuk merespons isu-isu baru: bioetika, etika lingkungan, etika digital, serta keadilan global.⁵ Kritik dari relativisme, postmodernisme, hingga ilmu kognitif memperlihatkan bahwa filsafat moral bukan disiplin yang final, melainkan terus-menerus ditantang untuk menyesuaikan diri dengan kompleksitas realitas manusia.⁶ Justru dalam dinamika kritik inilah filsafat moral menemukan vitalitasnya, karena ia dipaksa untuk selalu merefleksikan kembali dasar-dasarnya dan memperbarui relevansinya.

Dengan demikian, filsafat moral tidak sekadar menyajikan warisan intelektual masa lalu, tetapi juga menjadi instrumen reflektif-kritis untuk kehidupan kontemporer dan masa depan. Ia membantu individu menemukan arah dalam kehidupan pribadi, menyediakan kerangka normatif bagi masyarakat, serta memberi fondasi etis bagi peradaban global.⁷ Dengan menjaga dialog antara tradisi lama dan tantangan baru, filsafat moral tetap berfungsi sebagai panduan universal bagi manusia dalam mengupayakan kehidupan yang baik, adil, dan bermakna.⁸


Footnotes

[1]            Terence Irwin, The Development of Ethics: A Historical and Critical Study, Volume I: From Socrates to the Reformation (Oxford: Oxford University Press, 2007), 23–30.

[2]            Etienne Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1991), 45–50.

[3]            Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 421–423; David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L. A. Selby-Bigge (Oxford: Clarendon Press, 1978), 469–472.

[4]            Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 2–8; G. E. M. Anscombe, “Modern Moral Philosophy,” Philosophy 33, no. 124 (1958): 1–19.

[5]            Tom L. Beauchamp and James F. Childress, Principles of Biomedical Ethics, 7th ed. (Oxford: Oxford University Press, 2013), 3–7; Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 115–120.

[6]            Michel Foucault, The History of Sexuality, Volume I (New York: Pantheon, 1978), 92–95; Jonathan Haidt, The Righteous Mind: Why Good People Are Divided by Politics and Religion (New York: Pantheon, 2012), 46–53.

[7]            John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge: Harvard University Press, 1971), 3–8.

[8]            James Rachels and Stuart Rachels, The Elements of Moral Philosophy, 9th ed. (New York: McGraw-Hill, 2021), 200–205.


Daftar Pustaka

Anscombe, G. E. M. (1958). Modern moral philosophy. Philosophy, 33(124), 1–19. https://doi.org/10.1017/S0031819100037943

Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T. Irwin, Trans.). Hackett Publishing.

Augustine. (1984). The city of God (H. Bettenson, Trans.). Penguin Classics.

Augustine. (1991). Confessions (H. Chadwick, Trans.). Oxford University Press.

Ayer, A. J. (1936). Language, truth, and logic. Gollancz.

Baier, A. C. (1991). A progress of sentiments: Reflections on Hume’s Treatise. Harvard University Press.

Beauchamp, T. L., & Childress, J. F. (2013). Principles of biomedical ethics (7th ed.). Oxford University Press.

Benedict, R. (1934). Patterns of culture. Houghton Mifflin.

Berlin, I. (1969). Four essays on liberty. Oxford University Press.

Bentham, J. (1907). An introduction to the principles of morals and legislation. Clarendon Press.

Chittick, W. C. (1983). The Sufi path of love: The spiritual teachings of Rumi. SUNY Press.

Confucius. (2003). Analects (E. Slingerland, Trans.). Hackett Publishing.

Copleston, F. (1993). A history of philosophy, Volume II: Medieval philosophy. Image Books.

Crisp, R. (1997). Routledge philosophy guidebook to Mill on Utilitarianism. Routledge.

Crisp, R., & Slote, M. (Eds.). (1997). Virtue ethics. Oxford University Press.

Derrida, J. (1992). Force of law: The “mystical foundation of authority” (M. Quaintance, Trans.). Routledge.

Epicurus. (1994). Letter to Menoeceus. In B. Inwood & L. P. Gerson (Eds.), The Epicurus reader (pp. 29–34). Hackett Publishing.

Erasmus, D. (1997). The education of a Christian prince (L. Jardine, Trans.). Cambridge University Press.

Epictetus. (2008). Discourses and selected writings (R. Dobbin, Trans.). Penguin Classics.

Fakhry, M. (1991). Ethical theories in Islam. Brill.

Fakhry, M. (2004). A history of Islamic philosophy (3rd ed.). Columbia University Press.

Floridi, L. (2013). The ethics of information. Oxford University Press.

Foucault, M. (1977). Discipline and punish: The birth of the prison (A. Sheridan, Trans.). Vintage Books.

Foucault, M. (1978). The history of sexuality, Volume I. Pantheon Books.

Gilson, E. (1991). The spirit of medieval philosophy. University of Notre Dame Press.

Gilligan, C. (1982). In a different voice: Psychological theory and women’s development. Harvard University Press.

Greene, J. (2013). Moral tribes: Emotion, reason, and the gap between us and them. Penguin Press.

Gülen, M. F. (2010). Key concepts in the practice of Sufism. Tughra Books.

Habermas, J. (1990). Moral consciousness and communicative action (C. Lenhardt & S. W. Nicholsen, Trans.). MIT Press.

Habermas, J. (1996). Between facts and norms (W. Rehg, Trans.). MIT Press.

Haidt, J. (2012). The righteous mind: Why good people are divided by politics and religion. Pantheon Books.

Harman, G. (1977). The nature of morality. Oxford University Press.

Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.

Hobbes, T. (1991). Leviathan (R. Tuck, Ed.). Cambridge University Press.

Hume, D. (1978). A treatise of human nature (L. A. Selby-Bigge, Ed.). Clarendon Press.

Hursthouse, R. (1999). On virtue ethics. Oxford University Press.

Ibn Miskawayh. (1966). Tahdhīb al-akhlāq wa tathīr al-a‘rāq (C. Zurayk, Ed.). American University of Beirut.

Ibn Rushd. (1961). Fasl al-maqāl (G. Hourani, Trans.). Brill.

Irwin, T. (2007). The development of ethics: A historical and critical study, Volume I: From Socrates to the Reformation. Oxford University Press.

Kant, I. (1998). Groundwork for the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.

Kierkegaard, S. (1985). Fear and trembling (A. Hannay, Trans.). Penguin Classics.

Korsgaard, C. (1996). Creating the kingdom of ends. Cambridge University Press.

Laozi. (1963). Tao Te Ching (D. C. Lau, Trans.). Penguin Classics.

Leaman, O. (1985). An introduction to medieval Islamic philosophy. Cambridge University Press.

Leaman, O. (2001). An introduction to classical Islamic philosophy (2nd ed.). Cambridge University Press.

Leibniz, G. W. (1963). Theodicy (E. M. Huggard, Trans.). Routledge. [Catatan: jika dibutuhkan untuk referensi tambahan]

Leopold, A. (1949). A sand county almanac. Oxford University Press.

Locke, J. (1988). Two treatises of government (P. Laslett, Ed.). Cambridge University Press.

MacIntyre, A. (1966). A short history of ethics. Macmillan.

MacIntyre, A. (1981). After virtue. University of Notre Dame Press.

Maimonides, M. (1963). The guide for the perplexed (S. Pines, Trans.). University of Chicago Press.

Mill, J. S. (1863). Utilitarianism. Parker, Son, and Bourn.

Moore, G. E. (1903). Principia ethica. Cambridge University Press.

Montaigne, M. de. (1991). The complete essays (M. A. Screech, Trans.). Penguin Classics.

Nadler, S. (1999). Spinoza: A life. Cambridge University Press.

Nasr, S. H. (1981). Islamic life and thought. SUNY Press.

Novak, D. (1998). Natural law in Judaism. Cambridge University Press.

Nussbaum, M. C. (2011). Creating capabilities: The human development approach. Harvard University Press.

Parekh, B. (2000). Rethinking multiculturalism: Cultural diversity and political theory. Harvard University Press.

Pinckaers, S. (1995). The sources of Christian ethics (M. T. Noble, Trans.). Catholic University of America Press.

Plato. (1992). Republic (G. M. A. Grube, Trans.). Hackett Publishing.

Rahman, F. (2009). Major themes of the Qur’an (2nd ed.). University of Chicago Press.

Rahula, W. (1974). What the Buddha taught. Grove Press.

Raju, P. T. (1962). Introduction to comparative philosophy. University of Nebraska Press.

Rawls, J. (1971). A theory of justice. Harvard University Press.

Rachels, J., & Rachels, S. (2021). The elements of moral philosophy (9th ed.). McGraw-Hill.

Rist, J. (1994). Augustine: Ancient thought baptized. Cambridge University Press.

Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a humanism (C. Macomber, Trans.). Yale University Press.

Savulescu, J., & ter Meulen, R. (Eds.). (2011). Enhancing human capacities. Wiley-Blackwell.

Schimmel, A. (1975). Mystical dimensions of Islam. University of North Carolina Press.

Singer, P. (2011). Practical ethics (3rd ed.). Cambridge University Press.

Singer, P. (2011). One world: The ethics of globalization (2nd ed.). Yale University Press.

Spinoza, B. (1996). Ethics (E. Curley, Trans.). Penguin Classics.

Taylor, C. (1989). Sources of the self: The making of the modern identity. Harvard University Press.

Taylor, C. (1991). The ethics of authenticity. Harvard University Press.

Toulmin, S. (1990). Cosmopolis: The hidden agenda of modernity. University of Chicago Press.

Van Inwagen, P. (1983). An essay on free will. Clarendon Press.

Vlastos, G. (1991). Socrates: Ironist and moral philosopher. Cornell University Press.

Williams, B. (1985). Ethics and the limits of philosophy. Fontana Press.

Wood, A. W. (2008). Kantian ethics. Cambridge University Press.

Yusuf, H. (2004). Purification of the heart: Signs, symptoms and cures of the spiritual diseases of the heart. Starlatch Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar