Perkembangan dan Sejarah Filsafat Moral
Kajian Komprehensif Berdasarkan Referensi Kredibel
Alihkan ke: Filsafat Moral.
Abstrak
Artikel ini membahas perkembangan dan sejarah filsafat moral dari masa
kuno hingga kontemporer, dengan menyoroti gagasan utama, tokoh sentral, serta
relevansi praktisnya dalam kehidupan modern. Kajian ini dimulai dari fondasi
etika dalam filsafat Yunani kuno, tradisi Timur, serta kontribusi agama-agama
Abrahamik, kemudian berlanjut pada sintesis teosentris abad pertengahan melalui
pemikiran Islam, Kristen, dan Yahudi. Selanjutnya, dibahas pergeseran paradigma
modern yang menekankan rasionalitas dan otonomi manusia melalui teori-teori
Kant, Hume, Bentham, dan Mill, hingga lahirnya pluralitas pendekatan etika
kontemporer seperti eksistensialisme, etika analitik, etika kebajikan, etika
diskursus, etika feminis, bioetika, serta etika lingkungan dan teknologi.
Artikel ini juga menguraikan isu-isu kritis yang dihadapi filsafat moral,
termasuk relativisme, universalisme, kritik postmodern, serta tantangan dari
psikologi moral dan neurosains. Pada akhirnya, filsafat moral ditegaskan
sebagai instrumen reflektif-kritis yang tetap relevan untuk membimbing
individu, masyarakat, dan peradaban global dalam menghadapi kompleksitas etis
abad ke-21.
Kata kunci: Filsafat
moral, etika, sejarah filsafat, kebajikan, deontologi, utilitarianisme, etika
kontemporer, bioetika, etika lingkungan.
PEMBAHASAN
Perkembangan dan Sejarah Filsafat Moral
1.
Pendahuluan
Filsafat moral merupakan salah satu
cabang filsafat yang paling tua sekaligus paling mendasar dalam sejarah
pemikiran manusia. Ia berupaya menjawab pertanyaan-pertanyaan normatif yang
bersifat fundamental: apa yang dimaksud dengan kebaikan, bagaimana manusia
seharusnya hidup, apa dasar kewajiban moral, dan sejauh mana kebebasan individu
dapat diharmonisasikan dengan tuntutan masyarakat. Pertanyaan-pertanyaan ini
tidak hanya bersifat teoretis, melainkan juga praktis karena menyangkut cara
manusia membentuk perilaku, institusi, dan kebudayaan. Sejak awal peradaban,
problem moral telah menjadi titik temu antara filsafat, agama, hukum, dan
politik, menjadikan filsafat moral sebagai bidang kajian yang senantiasa
relevan sepanjang zaman.¹
Dalam tradisi Yunani kuno, diskusi
tentang moralitas dapat ditemukan pada dialog-dialog Plato dan ajaran
Aristoteles mengenai ethike arete atau kebajikan moral.² Socrates,
misalnya, menekankan bahwa kebajikan sejati lahir dari pengetahuan tentang
kebaikan.³ Pemikiran ini menunjukkan bahwa dimensi moral sejak awal telah
dilihat sebagai sesuatu yang tidak terlepas dari upaya rasional manusia untuk
memahami hakikat kebenaran. Di Timur, Konfusius menekankan pentingnya harmoni
sosial dan etika relasional dalam masyarakat, sementara tradisi Hindu-Buddha
mengembangkan konsep dharma dan karma yang memberikan orientasi
moral transendental.⁴ Dengan demikian, sejak awal sejarah pemikiran manusia,
filsafat moral berkembang melalui dialog antarperadaban, memperlihatkan
pluralitas gagasan sekaligus kesatuan tujuan: mencari fondasi kebaikan universal.
Perkembangan filsafat moral tidak
terlepas dari dinamika sejarah yang lebih luas. Pada abad pertengahan,
integrasi antara filsafat dan agama melahirkan teori-teori moral yang
berlandaskan pada hukum kodrat dan kehendak ilahi, sebagaimana dapat ditemukan dalam
karya Thomas Aquinas maupun al-Ghazali.⁵ Periode modern membawa tantangan baru
dengan munculnya individualisme, rasionalisme, dan sekularisasi. Pemikir
seperti Immanuel Kant mengusulkan etika deontologis berbasis imperatif
kategoris, sementara Jeremy Bentham dan John Stuart Mill menawarkan
utilitarianisme sebagai landasan moral berbasis manfaat.⁶ Perdebatan ini
memperkaya lanskap filsafat moral, menghadirkan keragaman paradigma yang saling
melengkapi maupun bertentangan.
Dalam konteks kontemporer, filsafat
moral menghadapi tantangan yang semakin kompleks. Globalisasi, perkembangan
teknologi digital, isu lingkungan, bioetika, dan etika politik internasional
menuntut refleksi moral baru yang melampaui batas tradisi klasik.⁷ Pertanyaan
seperti: bagaimana etika harus menanggapi kecerdasan buatan, apa batas moral
dalam intervensi genetik, atau bagaimana membangun keadilan global dalam dunia
yang tidak setara, semuanya memperlihatkan betapa filsafat moral tetap aktual
dan dibutuhkan.⁸
Artikel ini berangkat dari kesadaran
bahwa memahami sejarah filsafat moral bukan hanya sekadar upaya akademis untuk
menelusuri lintasan ide, melainkan juga usaha reflektif untuk melihat bagaimana
gagasan moral membentuk peradaban manusia dari masa ke masa. Dengan menguraikan
perkembangan filsafat moral sejak zaman kuno hingga era kontemporer, tulisan
ini bertujuan untuk menyingkap dinamika intelektual, titik persinggungan, serta
relevansi praktisnya dalam menghadapi tantangan dunia modern. Dengan demikian, filsafat
moral dapat dipahami tidak hanya sebagai warisan intelektual, tetapi juga
sebagai instrumen kritis bagi pembentukan nilai dan orientasi hidup manusia di
abad ke-21.⁹
Footnotes
[1]
Alasdair MacIntyre, A Short History of Ethics
(New York: Macmillan, 1966), 1–5.
[2]
Terence Irwin, The Development of Ethics: A
Historical and Critical Study, Volume I: From Socrates to the Reformation
(Oxford: Oxford University Press, 2007), 23–45.
[3]
Gregory Vlastos, Socrates: Ironist and Moral
Philosopher (Ithaca: Cornell University Press, 1991), 12–18.
[4]
P.T. Raju, Introduction to Comparative Philosophy
(Lincoln: University of Nebraska Press, 1962), 87–102.
[5]
Oliver Leaman, An Introduction to Medieval Islamic
Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 115–120.
[6]
Roger Crisp and Michael Slote, eds., Virtue Ethics
(Oxford: Oxford University Press, 1997), 34–40.
[7]
Peter Singer, Practical Ethics, 3rd ed.
(Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 1–10.
[8]
Julian Savulescu and Ruud ter Meulen, eds., Enhancing
Human Capacities (Oxford: Wiley-Blackwell, 2011), 3–8.
[9]
James Rachels and Stuart Rachels, The Elements of
Moral Philosophy, 9th ed. (New York: McGraw-Hill, 2021), 1–15.
2.
Konsep
Dasar Filsafat Moral
Filsafat moral, sering kali disebut
juga dengan istilah etika filsafati, merupakan cabang filsafat yang berfokus
pada pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang baik dan buruk, benar dan salah,
kewajiban, kebajikan, serta tujuan hidup manusia.¹ Dalam pengertian umum,
filsafat moral tidak hanya menguraikan norma-norma yang berlaku dalam suatu
masyarakat, melainkan juga berusaha memberikan dasar rasional yang dapat
dipertanggungjawabkan atas norma-norma tersebut. Dengan demikian, filsafat
moral berbeda dari sekadar moralitas sehari-hari, karena ia menuntut refleksi
kritis, argumentatif, dan sistematis terhadap prinsip-prinsip etis yang
mendasari tindakan manusia.²
2.1.
Definisi dan Ruang
Lingkup Filsafat Moral
Secara konseptual, filsafat moral dapat
dibedakan dari etika normatif maupun etika terapan. Etika normatif membahas
standar tindakan benar dan salah dalam konteks tertentu, sementara etika
terapan mencoba menerapkan prinsip moral pada isu-isu praktis, seperti
bioetika, etika lingkungan, atau etika profesi.³ Filsafat moral, di sisi lain,
berupaya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang lebih fundamental: apakah nilai
moral bersifat objektif atau subjektif, apakah moralitas berakar pada rasio,
emosi, atau kehendak bebas, dan apa hubungan antara kebahagiaan dengan kewajiban
moral.⁴ Ruang lingkup filsafat moral mencakup kajian tentang teori nilai (axiology),
teori kewajiban (deontology), dan teori kebajikan (virtue ethics).⁵
2.2.
Moralitas, Nilai,
dan Kebajikan
Dalam tradisi filsafat moral, konsep
moralitas sering kali dipahami sebagai sistem nilai yang mengatur tindakan
manusia dalam kehidupan individu maupun sosial. Nilai-nilai ini dapat berupa
kebaikan, keadilan, kebebasan, atau solidaritas.⁶ Aristoteles, misalnya,
mendefinisikan kebajikan (arete) sebagai disposisi yang memungkinkan
manusia mencapai tujuan hidupnya, yaitu eudaimonia atau kebahagiaan
sejati.⁷ Kant kemudian memperkenalkan pendekatan berbeda melalui prinsip
imperatif kategoris, yang menyatakan bahwa tindakan moral adalah tindakan yang
dapat dijadikan hukum universal.⁸ Sementara itu, kaum utilitarian seperti
Bentham dan Mill menekankan bahwa baik buruknya suatu tindakan ditentukan oleh
konsekuensinya terhadap kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang terbanyak.⁹
2.3.
Hubungan Filsafat
Moral dengan Cabang Filsafat Lain
Filsafat moral tidak berdiri sendiri,
melainkan berhubungan erat dengan cabang filsafat lain. Dengan epistemologi, ia
berhubungan dalam hal bagaimana pengetahuan moral dapat dibenarkan: apakah
moralitas dapat diketahui melalui akal, pengalaman, atau intuisi. Dengan
metafisika, filsafat moral menyinggung pertanyaan tentang kehendak bebas,
determinisme, dan hakikat manusia.¹⁰ Selain itu, filsafat moral juga
bersinggungan dengan filsafat politik dalam kajiannya tentang keadilan, hak,
dan kewajiban sosial, serta dengan filsafat agama dalam membahas dasar teologis
moralitas.¹¹
2.4.
Tujuan Filsafat
Moral
Tujuan filsafat moral tidak hanya
bersifat teoritis, yakni memberikan pemahaman sistematis tentang
prinsip-prinsip moral, tetapi juga praktis, yaitu membimbing manusia dalam
bertindak secara baik, adil, dan bijak.¹² Oleh karena itu, filsafat moral
memiliki dua fungsi utama: pertama, fungsi kritis untuk menelaah dan
mengevaluasi sistem nilai yang ada; kedua, fungsi konstruktif untuk menawarkan
kerangka moral yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan individu maupun
sosial.¹³ Dengan demikian, filsafat moral berperan penting dalam membentuk
orientasi etis manusia, baik dalam ranah privat maupun publik.
Footnotes
[1]
James Rachels and Stuart Rachels, The Elements of
Moral Philosophy, 9th ed. (New York: McGraw-Hill, 2021), 1–4.
[2]
Alasdair MacIntyre, A Short History of Ethics
(New York: Macmillan, 1966), 3–6.
[3]
Peter Singer, Practical Ethics, 3rd ed.
(Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 1–5.
[4]
Bernard Williams, Ethics and the Limits of
Philosophy (London: Fontana Press, 1985), 20–23.
[5]
Tom L. Beauchamp and James F. Childress, Principles
of Biomedical Ethics, 7th ed. (Oxford: Oxford University Press, 2013),
1–10.
[6]
Isaiah Berlin, Four Essays on Liberty (Oxford:
Oxford University Press, 1969), 118–120.
[7]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence
Irwin (Indianapolis: Hackett, 1999), 1095a–1103a.
[8]
Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of
Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
421–424.
[9]
John Stuart Mill, Utilitarianism (London:
Parker, Son, and Bourn, 1863), 6–10.
[10]
Peter van Inwagen, An Essay on Free Will
(Oxford: Clarendon Press, 1983), 1–12.
[11]
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge:
Harvard University Press, 1971), 3–8.
[12]
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The
Human Development Approach (Cambridge: Harvard University Press, 2011),
18–21.
[13]
Kwame Gyekye, Tradition and Modernity:
Philosophical Reflections on the African Experience (Oxford: Oxford
University Press, 1997), 45–50.
3.
Filsafat
Moral dalam Tradisi Kuno
Filsafat moral dalam tradisi kuno merupakan fondasi utama bagi
perkembangan pemikiran etis di kemudian hari. Gagasan-gagasan yang lahir dari
peradaban awal, baik di Barat maupun di Timur, tidak hanya membentuk kerangka
konseptual bagi teori moral, tetapi juga memengaruhi tatanan sosial, hukum, dan
praktik keagamaan. Pemikiran moral pada masa ini muncul sebagai jawaban
terhadap pertanyaan eksistensial: bagaimana manusia seharusnya hidup, apa yang
menjadi tujuan kehidupan, dan bagaimana hubungan antara individu, masyarakat,
serta kosmos.¹
3.1.
Filsafat Moral
Yunani Kuno
Tradisi Yunani kuno memainkan peranan sentral dalam pembentukan filsafat
moral Barat. Socrates (469–399 SM) menekankan bahwa kebajikan (arete)
tidak dapat dipisahkan dari pengetahuan; seseorang yang mengetahui kebaikan
pasti akan berbuat baik.² Plato (427–347 SM) melanjutkan gagasan gurunya dengan
menempatkan ide Kebaikan sebagai prinsip tertinggi, yang menjadi dasar keadilan
dalam jiwa maupun negara.³ Aristoteles (384–322 SM), murid Plato, mengembangkan
konsep eudaimonia (kebahagiaan sejati) sebagai tujuan hidup manusia,
yang dicapai melalui praktik kebajikan moral dan intelektual.⁴ Etika
Aristoteles bersifat teleologis: tindakan moral baik jika mengarahkan manusia
menuju tujuan akhirnya sebagai makhluk rasional.⁵
Selain itu, filsafat Helenistik memperkaya horizon moral Yunani. Kaum
Stoik, seperti Zeno dan Epictetus, mengajarkan bahwa kebahagiaan diperoleh
dengan hidup selaras dengan alam dan mengendalikan emosi melalui rasio.⁶
Sebaliknya, Epikureanisme menekankan pencarian kenikmatan yang bijaksana
sebagai jalan menuju ketenangan jiwa (ataraxia).⁷ Kedua aliran ini
memberi alternatif penting terhadap model etika klasik, menyoroti peran
disposisi batin dalam moralitas.
3.2.
Tradisi Moral Timur:
Konfusianisme, Taoisme, dan Hindu-Buddha
Di Timur, filsafat moral berkembang dengan corak yang khas, lebih
menekankan pada harmoni sosial, keseimbangan kosmis, dan spiritualitas. Dalam
tradisi Tiongkok, Konfusius (551–479 SM) menekankan pentingnya kebajikan moral
seperti ren (cinta kasih), li (ritual dan kesopanan), dan yi
(keadilan), yang berfungsi menjaga keteraturan sosial.⁸ Moralitas dalam
Konfusianisme bukan sekadar aturan, tetapi internalisasi nilai dalam diri
individu yang berkontribusi pada harmoni masyarakat.
Taoisme, yang diasosiasikan dengan Laozi, menekankan prinsip wu wei
(bertindak tanpa paksaan) dan hidup selaras dengan Dao, hukum alam
semesta yang tak terkatakan.⁹ Dalam kerangka ini, kebajikan dipahami sebagai
ekspresi spontanitas alami, bukan sebagai konstruksi sosial semata.
Di India, tradisi Hindu mengembangkan konsep dharma sebagai
kewajiban moral dan kosmis yang harus dijalani setiap individu sesuai
kedudukannya.¹⁰ Sementara itu, ajaran Buddha menekankan Jalan Tengah (Majjhima
Patipada), menghindari ekstrem asketisme dan hedonisme, serta mengajarkan sila
(etika), samadhi (konsentrasi), dan prajna (kebijaksanaan)
sebagai jalan menuju pencerahan.¹¹ Dengan demikian, moralitas dipahami sebagai
jalan pembebasan diri dari penderitaan (dukkha).
3.3.
Tradisi Abrahamik
dan Helenistik Akhir
Selain tradisi Yunani dan Timur, moralitas juga mendapat tempat dalam
agama-agama Abrahamik awal. Etika Yahudi menekankan kesetiaan kepada hukum
Tuhan (Torah), sementara tradisi Kristen awal mengintegrasikan ajaran
Yesus tentang kasih dan pengampunan sebagai prinsip moral tertinggi.¹² Di dunia
Helenistik, filsafat Stoik kemudian memengaruhi para pemikir Kristen awal
seperti St. Paul dan St. Augustine dalam merumuskan konsep moralitas berbasis
akal dan kehendak ilahi.¹³
Warisan filsafat moral kuno ini menjadi landasan bagi perkembangan
moralitas di abad pertengahan, modern, hingga kontemporer. Meskipun beragam
dalam pendekatan, kesamaan mendasar dapat ditemukan dalam upaya mereka menjawab
pertanyaan universal: bagaimana manusia mencapai kehidupan yang baik.¹⁴
Footnotes
[1]
Alasdair MacIntyre, A Short
History of Ethics (New York: Macmillan, 1966), 9–15.
[2]
Gregory Vlastos, Socrates:
Ironist and Moral Philosopher (Ithaca: Cornell University Press, 1991),
45–52.
[3]
Plato, Republic, trans. G.
M. A. Grube (Indianapolis: Hackett, 1992), 504d–509b.
[4]
Aristotle, Nicomachean Ethics,
trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett, 1999), 1095a–1105b.
[5]
Terence Irwin, The Development
of Ethics: A Historical and Critical Study, Volume I (Oxford: Oxford
University Press, 2007), 89–94.
[6]
Epictetus, Discourses and
Selected Writings, trans. Robert Dobbin (London: Penguin, 2008), 12–20.
[7]
Epicurus, Letter to Menoeceus,
in The Epicurus Reader, ed. Brad Inwood and L. P. Gerson (Indianapolis:
Hackett, 1994), 29–34.
[8]
Confucius, Analects,
trans. Edward Slingerland (Indianapolis: Hackett, 2003), 4:15–20.
[9]
Laozi, Tao Te Ching,
trans. D. C. Lau (London: Penguin, 1963), 8–12.
[10]
Radhakrishnan, S., Indian
Philosophy, Vol. I (Oxford: Oxford University Press, 1923), 120–130.
[11]
Walpola Rahula, What the
Buddha Taught (New York: Grove Press, 1974), 45–60.
[12]
Wayne A. Meeks, The Moral
World of the First Christians (Philadelphia: Westminster Press, 1986),
10–18.
[13]
Augustine, Confessions,
trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 1991), Book VIII.
[14]
Charles Taylor, Sources of the
Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge: Harvard University
Press, 1989), 15–22.
4.
Filsafat
Moral dalam Tradisi Islam
Filsafat moral dalam tradisi Islam memiliki landasan yang khas karena
berakar pada wahyu Al-Qur’an dan Sunnah, yang kemudian diperkaya oleh pemikiran
filsafat, teologi (kalam), dan tasawuf. Moralitas dalam Islam tidak
hanya dipahami sebagai norma sosial atau hasil rasio, tetapi juga sebagai
bagian integral dari ibadah dan jalan menuju kesempurnaan spiritual.¹ Oleh
karena itu, pembahasan filsafat moral Islam selalu menekankan keterkaitan
antara akhlak, syariat, dan tujuan hidup manusia sebagai hamba Allah (‘abd
Allah) sekaligus khalifah di bumi.²
4.1.
Etika Qur’ani dan
Hadis sebagai Fondasi Moral
Al-Qur’an memberikan prinsip-prinsip dasar moral yang universal, seperti
keadilan (‘adl), kebajikan (ihsan), kejujuran (sidq),
kesabaran (sabr), serta larangan terhadap kezaliman dan penindasan.³
Ayat-ayat Al-Qur’an menekankan bahwa kebajikan tidak hanya bersifat ritual,
tetapi mencakup perilaku sosial, seperti membantu kaum miskin, menjaga amanah,
dan berlaku adil dalam muamalah.⁴ Hadis Nabi memperkuat hal ini, sebagaimana
sabda Rasulullah: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang
mulia” (HR. al-Bukhari).⁵ Dengan demikian, moralitas dalam Islam dipandang
sebagai manifestasi langsung dari iman dan pengamalan syariat.
4.2.
Pemikiran Filosofis:
Al-Farabi, Ibn Miskawaih, dan Ibn Rushd
Filsafat Islam klasik berusaha mengintegrasikan prinsip moral Qur’ani
dengan filsafat Yunani. Al-Farabi (870–950) menekankan bahwa tujuan moral
adalah kebahagiaan (sa‘adah), yang dapat dicapai melalui kehidupan
rasional dan masyarakat yang adil.⁶ Ibn Miskawaih (932–1030), dalam karyanya Tahdzīb
al-Akhlāq, mengembangkan teori etika kebajikan yang dipengaruhi
Aristoteles, menekankan keseimbangan antara akal, syahwat, dan keberanian
sebagai inti pembentukan akhlak.⁷ Sementara itu, Ibn Rushd (1126–1198) menegaskan
bahwa akal dan syariat tidaklah bertentangan, melainkan saling melengkapi dalam
membimbing manusia menuju kebaikan moral.⁸
4.3.
Dimensi Teologis:
Al-Ghazali dan Moralitas Religius
Al-Ghazali (1058–1111) memberikan sintesis penting antara teologi,
tasawuf, dan filsafat dalam pembahasan moral. Dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din,
ia menekankan bahwa akhlak mulia adalah buah dari penyucian jiwa (tazkiyah
al-nafs) dan kedekatan kepada Allah.⁹ Moralitas, menurut Al-Ghazali, tidak
dapat hanya didasarkan pada rasio atau hukum lahiriah, tetapi harus ditopang
oleh transformasi batiniah. Ia membagi kebajikan moral ke dalam empat kategori
utama: kebijaksanaan (hikmah), keberanian (shaja‘ah),
kesederhanaan (iffah), dan keadilan (‘adl), yang berakar dari
filsafat Yunani namun diislamisasi dalam kerangka religius.¹⁰
4.4.
Moralitas dalam
Tradisi Sufi
Tasawuf memperkaya filsafat moral Islam dengan menekankan dimensi
spiritual. Tokoh-tokoh seperti Rabi‘ah al-‘Adawiyyah menekankan cinta tanpa
pamrih kepada Allah sebagai puncak moralitas, sementara Jalaluddin Rumi
mengekspresikan etika melalui simbol-simbol cinta, kasih sayang, dan harmoni
kosmis.¹¹ Moralitas sufi berfokus pada transformasi hati dan penyingkiran
sifat-sifat tercela seperti kesombongan, iri hati, dan kebencian, digantikan
oleh keikhlasan, kasih sayang, dan kerendahan hati.¹²
4.5.
Integrasi Akhlak,
Syariat, dan Tujuan Hidup
Filsafat moral dalam tradisi Islam pada akhirnya membentuk kerangka
komprehensif yang menyatukan akhlak pribadi, tatanan sosial, dan tujuan
spiritual. Moralitas tidak hanya dipahami sebagai kontrak sosial atau pencarian
kebahagiaan duniawi, tetapi juga sebagai jalan menuju keridhaan Allah.¹³ Hal
ini membedakan filsafat moral Islam dari tradisi lain, karena dimensi etis,
religius, dan metafisis saling terkait erat. Model ini memberikan kontribusi
penting dalam sejarah etika global, sekaligus relevan bagi pembentukan etika
kontemporer yang mengedepankan keadilan, solidaritas, dan tanggung jawab
spiritual.¹⁴
Footnotes
[1]
Majid Fakhry, Ethical Theories
in Islam (Leiden: Brill, 1991), 1–5.
[2]
Seyyed Hossein Nasr, Islamic
Life and Thought (Albany: SUNY Press, 1981), 45–47.
[3]
Al-Qur’an, QS. Al-Nahl [16]: 90.
[4]
Fazlur Rahman, Major Themes of
the Qur’an, 2nd ed. (Chicago: University of Chicago Press, 2009), 35–38.
[5]
Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, Sahih
al-Bukhari (Beirut: Dar Ibn Kathir, 1987), Kitab al-Adab, Bab 78.
[6]
Al-Farabi, Ara’ Ahl al-Madinah
al-Fadilah, ed. Alfarabi Society (Cairo: Dar al-Mashriq, 1968), 65–72.
[7]
Ibn Miskawayh, Tahdhīb
al-Akhlāq wa Tathīr al-A‘rāq, ed. Constantine Zurayk (Beirut: American
University of Beirut, 1966), 23–29.
[8]
Ibn Rushd, Fasl al-Maqāl,
trans. George Hourani (Leiden: Brill, 1961), 45–50.
[9]
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’
‘Ulum al-Din, vol. 3 (Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1967), 5–10.
[10]
Oliver Leaman, An Introduction
to Classical Islamic Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University
Press, 2001), 112–118.
[11]
Annemarie Schimmel, Mystical
Dimensions of Islam (Chapel Hill: University of North Carolina Press,
1975), 87–92.
[12]
William C. Chittick, The Sufi
Path of Love: The Spiritual Teachings of Rumi (Albany: SUNY Press, 1983),
34–39.
[13]
M. Fethullah Gülen, Key
Concepts in the Practice of Sufism (New Jersey: Tughra Books, 2010), 77–81.
[14]
Hamza Yusuf, Purification of
the Heart: Signs, Symptoms and Cures of the Spiritual Diseases of the Heart
(California: Starlatch Press, 2004), 15–18.
5.
Filsafat
Moral Abad Pertengahan
Filsafat moral pada abad pertengahan menempati
posisi penting dalam sejarah intelektual karena menghadirkan sintesis antara
warisan filsafat Yunani, tradisi keagamaan, serta perkembangan pemikiran
skolastik. Abad ini ditandai oleh dominasi institusi keagamaan—Islam, Kristen,
dan Yahudi—yang membingkai diskursus etis dalam horizon teologis.¹ Kendati
demikian, para pemikir abad pertengahan tidak sekadar menekankan aspek
dogmatis, melainkan juga berusaha memberikan justifikasi rasional atas
prinsip-prinsip moral yang bersumber dari wahyu. Dengan demikian, filsafat
moral abad pertengahan berperan sebagai jembatan antara tradisi klasik dengan
kebangkitan intelektual pada era modern.
5.1.
Pemikiran Moral
dalam Dunia Kristen
Dalam tradisi Kristen, etika abad
pertengahan sangat dipengaruhi oleh pemikiran St. Augustine (354–430).
Augustine menekankan bahwa moralitas sejati berakar pada cinta kepada Tuhan (amor
Dei), sementara cinta kepada dunia (amor mundi) sering kali
menjerumuskan manusia pada dosa.² Baginya, kehendak bebas manusia rusak oleh
dosa asal, sehingga hanya kasih karunia ilahi yang dapat membimbing manusia
pada kebaikan moral.³ Pandangan ini menegaskan keterkaitan erat antara
moralitas, kehendak, dan iman.
Pemikir berikutnya, St. Thomas Aquinas
(1225–1274), memberikan sumbangan monumental dalam Summa Theologica.
Aquinas menyusun teori hukum kodrat (lex naturalis) yang menyatakan
bahwa prinsip moral dasar tertanam dalam rasio manusia sebagai bagian dari
hukum ilahi.⁴ Hukum kodrat ini, menurut Aquinas, memungkinkan manusia
membedakan yang baik dari yang buruk, serta mengarahkan tindakan menuju tujuan
akhir: kebahagiaan kekal bersama Tuhan.⁵ Dengan kerangka ini, Aquinas
menyintesiskan etika Aristotelian dengan doktrin Kristen, sekaligus memberikan
landasan sistematis bagi etika skolastik yang mendominasi Eropa abad
pertengahan.
5.2.
Etika dalam Tradisi
Islam Abad Pertengahan
Dalam dunia Islam, sebagaimana telah
disinggung sebelumnya, tokoh-tokoh seperti al-Farabi, Ibn Miskawaih,
al-Ghazali, dan Ibn Rushd telah merumuskan konsep moral yang mengintegrasikan
wahyu dengan rasio. Pada abad pertengahan, karya-karya mereka terus berpengaruh,
khususnya dalam tradisi skolastik Latin yang banyak menerjemahkan teks Arab ke
dalam bahasa Latin.⁶ Ibn Rushd, misalnya, dikenal di Barat sebagai Averroes,
yang memperkuat argumentasi bahwa filsafat dan syariat sejalan dalam meneguhkan
dasar moralitas.⁷ Dengan kontribusi tersebut, pemikiran etika Islam menjadi
bagian integral dalam perbendaharaan filsafat moral abad pertengahan di Eropa.
5.3.
Etika dalam Tradisi
Yahudi Abad Pertengahan
Tradisi Yahudi juga memberikan
kontribusi penting, terutama melalui karya Musa ibn Maymun (Maimonides,
1135–1204). Dalam karyanya Guide for the Perplexed, Maimonides
menegaskan bahwa hukum-hukum Taurat memiliki tujuan moral, yakni penyempurnaan
jiwa dan pembentukan masyarakat yang adil.⁸ Ia menggabungkan filsafat
Aristoteles dengan prinsip monoteisme Yahudi, sehingga melahirkan kerangka
etika yang bersifat rasional sekaligus religius. Pemikiran Maimonides kemudian
memengaruhi pemikir Kristen seperti Aquinas, memperlihatkan adanya dialog
lintas agama dalam filsafat moral abad pertengahan.⁹
5.4.
Karakteristik Umum
Filsafat Moral Abad Pertengahan
Ada beberapa ciri utama filsafat moral
abad pertengahan. Pertama, orientasi teosentris: moralitas selalu dikaitkan
dengan hubungan manusia dengan Tuhan. Kedua, integrasi rasio dan wahyu: para
pemikir abad pertengahan berusaha menunjukkan bahwa akal mendukung dan tidak
bertentangan dengan prinsip moral religius. Ketiga, sistematisasi: pemikiran
etis dibangun secara hierarkis dan terstruktur, terutama dalam tradisi
skolastik.¹⁰ Dengan karakteristik ini, filsafat moral abad pertengahan tidak
hanya menjaga warisan klasik, tetapi juga menyiapkan landasan bagi transisi
menuju filsafat modern.
Footnotes
[1]
Etienne Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy
(Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1991), 12–16.
[2]
Augustine, The City of God, trans. Henry
Bettenson (London: Penguin, 1984), Book XIV, 28–30.
[3]
John Rist, Augustine: Ancient Thought Baptized
(Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 101–105.
[4]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans.
Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947),
I-II, Q. 94, a. 2.
[5]
Servais Pinckaers, The Sources of Christian Ethics,
trans. Mary Thomas Noble (Washington, D.C.: Catholic University of America
Press, 1995), 197–203.
[6]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic
Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 145–150.
[7]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy,
3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 316–320.
[8]
Maimonides, The Guide for the Perplexed, trans.
Shlomo Pines (Chicago: University of Chicago Press, 1963), Part III, 27–29.
[9]
David Novak, Natural Law in Judaism (Cambridge:
Cambridge University Press, 1998), 54–59.
[10]
Frederick Copleston, A History of Philosophy,
Volume II: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 205–210.
6.
Filsafat
Moral Modern
Periode modern dalam filsafat moral
ditandai oleh pergeseran radikal dari paradigma teosentris abad pertengahan
menuju paradigma antroposentris, di mana manusia dan rasionalitasnya
ditempatkan sebagai pusat refleksi etis.¹ Perubahan ini dipengaruhi oleh Renaissance,
Reformasi, dan Pencerahan, yang bersama-sama menumbuhkan keyakinan bahwa akal
budi manusia mampu memberikan dasar otonom bagi moralitas, tanpa harus
bergantung sepenuhnya pada otoritas wahyu atau lembaga keagamaan.² Modernitas
dengan demikian membuka ruang bagi beragam teori moral yang lebih sekuler,
rasional, dan sistematis, sekaligus memunculkan perdebatan antara deontologi,
konsekuensialisme, dan etika kebajikan yang direformulasi.
6.1.
Humanisme Moral pada
Zaman Renaissance
Masa Renaissance (abad ke-15–16)
ditandai oleh kebangkitan kembali minat terhadap kebudayaan Yunani-Romawi.
Tokoh-tokoh seperti Erasmus dari Rotterdam menekankan pentingnya pendidikan
moral melalui literatur klasik dan kebebasan berpikir.³ Michel de Montaigne,
melalui Essais, menyoroti relativitas nilai moral dengan menekankan
pengalaman pribadi, keragaman budaya, serta keterbatasan akal manusia.⁴
Humanisme moral Renaissance membuka jalan bagi gagasan bahwa manusia adalah
subjek otonom yang dapat menentukan arah hidupnya berdasarkan kebajikan dan
pengalaman empiris.
6.2.
Hobbes, Spinoza, dan
Kontrak Sosial
Filsafat politik dan moral modern juga
berkembang melalui teori kontrak sosial. Thomas Hobbes (1588–1679), dalam Leviathan,
memandang bahwa moralitas lahir dari kebutuhan manusia untuk keluar dari state
of nature yang penuh konflik melalui kesepakatan sosial.⁵ Benedictus de
Spinoza (1632–1677), di sisi lain, menolak pandangan Hobbes yang terlalu
pesimistis, dan mengembangkan etika rasionalis dalam Ethica, di mana
kebajikan didefinisikan sebagai tindakan yang sesuai dengan hukum kodrat
rasional.⁶ Spinoza melihat kebebasan sejati bukan sebagai kebebasan dari hukum,
melainkan kebebasan melalui pemahaman rasional tentang keteraturan alam
semesta.⁷
6.3.
Empirisisme Moral:
Hume
David Hume (1711–1776) memberikan
kontribusi signifikan dengan menolak rasionalisme moral, dan menekankan bahwa
moralitas lebih berakar pada emosi dan sentimen manusia daripada pada akal
budi.⁸ Menurut Hume, tindakan moral dipahami bukan melalui deduksi logis,
melainkan melalui moral sense berupa simpati dan empati terhadap
sesama.⁹ Pandangan ini menjadi dasar bagi teori moral sentimental dan memberi
pengaruh luas terhadap utilitarianisme serta psikologi moral kontemporer.
6.4.
Deontologi Kant
Immanuel Kant (1724–1804) adalah salah
satu tokoh sentral filsafat moral modern. Dalam Groundwork of the
Metaphysics of Morals, Kant memperkenalkan konsep imperatif kategoris,
yaitu prinsip bahwa tindakan moral adalah tindakan yang dapat dijadikan hukum
universal.¹⁰ Ia menekankan otonomi kehendak dan martabat manusia sebagai tujuan
pada dirinya sendiri (end in itself), bukan sekadar sarana.¹¹ Etika
deontologis Kant menolak utilitarianisme dengan menegaskan bahwa nilai moral
tindakan tidak ditentukan oleh akibatnya, melainkan oleh maksud dan prinsip
yang mendasarinya.¹²
6.5.
Utilitarianisme
Bentham dan Mill
Berbeda dengan Kant, Jeremy Bentham
(1748–1832) dan John Stuart Mill (1806–1873) mengembangkan utilitarianisme,
yakni teori moral yang menilai tindakan berdasarkan konsekuensinya terhadap
kebahagiaan. Bentham memperkenalkan kalkulus hedonistik untuk mengukur
intensitas dan durasi kesenangan.¹³ Mill kemudian memperhalus teori ini dengan
membedakan antara kesenangan “lebih tinggi”
(higher pleasures) seperti aktivitas intelektual, dan kesenangan “lebih
rendah” (lower pleasures) seperti kenikmatan fisik.¹⁴ Utilitarianisme
memberikan dasar moral bagi reformasi sosial, hukum, dan ekonomi pada abad
ke-19, serta terus berpengaruh hingga etika terapan modern.
6.6.
Moralitas, Politik,
dan Hak Asasi Manusia
Filsafat moral modern juga berkaitan
erat dengan lahirnya gagasan tentang liberalisme, demokrasi, dan hak asasi
manusia. Pemikir seperti John Locke menekankan kebebasan individu dan hak
kodrati sebagai basis moral-politik, yang kelak memengaruhi Deklarasi
Kemerdekaan Amerika dan Revolusi Prancis.¹⁵ Dengan demikian, filsafat moral
modern tidak hanya menjadi refleksi abstrak, tetapi juga memiliki dampak
langsung pada pembentukan institusi sosial dan politik modern.
6.7.
Signifikansi
Filsafat Moral Modern
Periode modern menghadirkan keragaman
paradigma etis yang saling bersaing namun saling melengkapi: humanisme
Renaissance, kontrak sosial, sentimentalism Hume, deontologi Kant, dan
utilitarianisme Bentham-Mill. Semua aliran ini menunjukkan usaha manusia untuk
menemukan dasar moralitas dalam rasio, pengalaman, dan konsekuensi praktis,
lepas dari otoritas religius tradisional.¹⁶ Oleh karena itu, filsafat moral
modern menjadi fondasi bagi perdebatan etika kontemporer, dari bioetika hingga
etika politik global.
Footnotes
[1]
Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of
the Modern Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 132–138.
[2]
Stephen Toulmin, Cosmopolis: The Hidden Agenda of
Modernity (Chicago: University of Chicago Press, 1990), 29–35.
[3]
Desiderius Erasmus, The Education of a Christian
Prince, trans. Lisa Jardine (Cambridge: Cambridge University Press, 1997),
50–55.
[4]
Michel de Montaigne, The Complete Essays,
trans. M. A. Screech (London: Penguin, 1991), 120–125.
[5]
Thomas Hobbes, Leviathan, ed. Richard Tuck
(Cambridge: Cambridge University Press, 1991), chaps. 13–14.
[6]
Benedictus de Spinoza, Ethics, trans. Edwin
Curley (London: Penguin, 1996), Part IV.
[7]
Steven Nadler, Spinoza: A Life (Cambridge:
Cambridge University Press, 1999), 183–190.
[8]
David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L.
A. Selby-Bigge (Oxford: Clarendon Press, 1978), 457–469.
[9]
Annette C. Baier, A Progress of Sentiments:
Reflections on Hume’s Treatise (Cambridge: Harvard University Press, 1991),
112–116.
[10]
Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of
Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
421–424.
[11]
Christine Korsgaard, Creating the Kingdom of Ends
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 105–110.
[12]
Allen W. Wood, Kantian Ethics (Cambridge:
Cambridge University Press, 2008), 55–59.
[13]
Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles
of Morals and Legislation (Oxford: Clarendon Press, 1907), 1–5.
[14]
John Stuart Mill, Utilitarianism (London:
Parker, Son, and Bourn, 1863), 7–12.
[15]
John Locke, Two Treatises of Government, ed.
Peter Laslett (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 287–290.
[16]
Roger Crisp, Routledge Philosophy Guidebook to Mill
on Utilitarianism (London: Routledge, 1997), 3–8.
7.
Filsafat
Moral Kontemporer
Filsafat moral kontemporer berkembang dalam konteks abad ke-20 dan ke-21
yang ditandai oleh kompleksitas sosial, kemajuan sains dan teknologi, serta
meningkatnya pluralisme budaya dan politik. Tidak seperti masa klasik maupun
modern yang lebih menekankan pada teori etika normatif tunggal, filsafat moral
kontemporer ditandai oleh keberagaman pendekatan, fragmentasi teori, sekaligus
dialog interdisipliner dengan ilmu sosial, politik, psikologi, dan bahkan
biologi evolusioner.¹
7.1.
Etika Eksistensialis
dan Fenomenologis
Eksistensialisme memberikan salah satu kontribusi penting bagi filsafat
moral kontemporer. Søren Kierkegaard (1813–1855) menekankan pilihan personal
dan komitmen religius sebagai inti moralitas, sementara Jean-Paul Sartre
(1905–1980) menegaskan kebebasan radikal manusia sebagai dasar etika.² Bagi
Sartre, manusia "dikondem untuk bebas," sehingga setiap individu bertanggung jawab penuh atas
tindakannya.³ Martin Heidegger, meskipun bukan perumus etika normatif,
menekankan otentisitas (Eigentlichkeit) sebagai bentuk tanggung jawab
eksistensial.⁴ Aliran ini menempatkan subjektivitas, kebebasan, dan tanggung
jawab sebagai pusat refleksi moral.
7.2.
Etika Analitik dan
Positivisme Logis
Di dunia Anglo-Saxon, tradisi filsafat analitik mendominasi wacana etika
pada awal abad ke-20. G. E. Moore melalui Principia Ethica (1903)
menegaskan "naturalistic fallacy," yaitu kesalahan logis dalam
mengidentifikasi kebaikan dengan sifat alamiah tertentu.⁵ Kaum positivis logis
seperti A. J. Ayer kemudian mengembangkan emotivism, yakni pandangan
bahwa pernyataan moral hanyalah ekspresi emosi atau sikap, bukan proposisi
faktual.⁶ Meskipun menimbulkan skeptisisme terhadap klaim moral objektif,
tradisi analitik mendorong kejelasan metodologis dalam diskusi etika
kontemporer.
7.3.
Kebangkitan Etika
Kebajikan
Pada paruh kedua abad ke-20, terjadi kebangkitan kembali etika kebajikan
(virtue ethics) sebagai respons terhadap dominasi deontologi Kantian dan
utilitarianisme. Elizabeth Anscombe, dalam esainya Modern Moral Philosophy
(1958), mengkritik etika modern karena kehilangan landasan teleologis dan
mengabaikan dimensi kebajikan personal.⁷ Alasdair MacIntyre kemudian
melanjutkan kritik ini melalui After Virtue (1981), dengan menekankan
bahwa moralitas hanya dapat dipahami dalam konteks tradisi dan komunitas yang konkret.⁸
Etika kebajikan kontemporer menekankan karakter, kebiasaan, dan integritas
moral sebagai fondasi kehidupan etis.
7.4.
Etika Diskursus dan
Teori Kritis
Dalam tradisi filsafat Jerman, Jürgen Habermas dan Karl-Otto Apel
mengembangkan etika diskursus (Diskursethik), yang menegaskan bahwa
normativitas moral lahir melalui proses komunikasi rasional dalam ruang
publik.⁹ Moralitas dipahami sebagai hasil konsensus yang dicapai melalui dialog
bebas dan tanpa dominasi.¹⁰ Dengan pendekatan ini, etika kontemporer menekankan
dimensi deliberatif, demokratis, dan partisipatif, sehingga relevan untuk
membahas isu-isu pluralisme dan keadilan global.
7.5.
Etika Feminis dan
Multikulturalisme
Etika feminis muncul sebagai kritik terhadap tradisi moral Barat yang
dianggap bias maskulin dan abstrak. Carol Gilligan menekankan ethics of care,
yaitu pendekatan moral yang berfokus pada relasi, empati, dan tanggung jawab
interpersonal, berlawanan dengan etika keadilan yang bersifat impersonal.¹¹
Selain itu, isu multikulturalisme mendorong refleksi baru mengenai relativisme
moral dan tantangan membangun nilai-nilai universal dalam masyarakat yang
beragam.¹²
7.6.
Etika Terapan:
Bioetika, Etika Lingkungan, dan Etika Teknologi
Filsafat moral kontemporer juga menaruh perhatian besar pada etika
terapan. Bioetika, yang berkembang sejak 1970-an, membahas isu aborsi,
eutanasia, eksperimen genetik, dan rekayasa bioteknologi.¹³ Etika lingkungan
menyoroti tanggung jawab moral manusia terhadap ekosistem, menantang paradigma
antroposentris, dan menekankan keberlanjutan.¹⁴ Pada dekade terbaru, etika
teknologi—termasuk etika digital dan kecerdasan buatan—menjadi wacana penting,
mempertanyakan tanggung jawab moral atas algoritma, privasi data, serta
implikasi AI dalam kehidupan sosial.¹⁵
7.7.
Karakteristik
Filsafat Moral Kontemporer
Filsafat moral kontemporer memiliki tiga karakteristik utama. Pertama,
pluralitas pendekatan: tidak ada lagi satu teori dominan, melainkan berbagai
paradigma yang saling berdialog dan berkompetisi. Kedua, interdisipliner:
filsafat moral kini banyak berinteraksi dengan ilmu pengetahuan alam, sosial,
dan teknologi. Ketiga, orientasi praktis: penekanan pada penerapan prinsip
moral dalam isu-isu nyata yang dihadapi umat manusia.¹⁶ Dengan karakter ini,
filsafat moral kontemporer tidak hanya menjadi wacana akademis, tetapi juga
alat kritis dalam merespons tantangan etis global.
Footnotes
[1]
Charles Taylor, Ethics of
Authenticity (Cambridge: Harvard University Press, 1991), 5–7.
[2]
Søren Kierkegaard, Fear and
Trembling, trans. Alastair Hannay (London: Penguin, 1985), 60–65.
[3]
Jean-Paul Sartre, Existentialism
Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press,
2007), 29–33.
[4]
Martin Heidegger, Being and
Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper &
Row, 1962), 210–215.
[5]
G. E. Moore, Principia Ethica
(Cambridge: Cambridge University Press, 1903), 10–15.
[6]
A. J. Ayer, Language, Truth,
and Logic (London: Gollancz, 1936), 102–105.
[7]
G. E. M. Anscombe, “Modern Moral
Philosophy,” Philosophy 33, no. 124 (1958): 1–19.
[8]
Alasdair MacIntyre, After
Virtue (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 2–6.
[9]
Jürgen Habermas, Moral
Consciousness and Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and
Shierry Weber Nicholsen (Cambridge: MIT Press, 1990), 43–47.
[10]
Karl-Otto Apel, Towards a
Transformation of Philosophy (London: Routledge, 1980), 273–278.
[11]
Carol Gilligan, In a Different
Voice: Psychological Theory and Women’s Development (Cambridge: Harvard
University Press, 1982), 24–28.
[12]
Bhikhu Parekh, Rethinking
Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory (Cambridge:
Harvard University Press, 2000), 95–100.
[13]
Tom L. Beauchamp and James F.
Childress, Principles of Biomedical Ethics, 7th ed. (Oxford: Oxford
University Press, 2013), 1–6.
[14]
Aldo Leopold, A Sand County
Almanac (New York: Oxford University Press, 1949), 201–209.
[15]
Luciano Floridi, The Ethics of
Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 120–125.
[16]
Peter Singer, Practical Ethics,
3rd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 1–8.
8.
Isu
dan Kritik dalam Filsafat Moral
Filsafat moral, meskipun telah berkembang selama lebih dari dua milenium,
tetap menghadapi berbagai isu dan kritik yang memperlihatkan dinamika serta
keterbatasannya. Dalam era kontemporer, tantangan terhadap teori moral klasik
maupun modern muncul dari beragam arah: relativisme budaya, skeptisisme
meta-etis, kritik postmodern, hingga temuan empiris dalam psikologi moral dan
ilmu kognitif. Isu-isu ini memperlihatkan bahwa filsafat moral bukanlah
disiplin yang statis, melainkan arena perdebatan terus-menerus mengenai dasar,
universalitas, dan penerapan moralitas.¹
8.1.
Relativisme Moral
versus Universalisme
Salah satu isu sentral adalah pertentangan antara relativisme moral dan
universalisme moral. Relativisme berpendapat bahwa nilai moral bergantung pada
budaya, tradisi, dan konteks sosial tertentu, sehingga tidak ada standar moral
yang benar secara universal.² Ruth Benedict, misalnya, menganggap bahwa apa
yang dianggap "normal" dan "baik" sepenuhnya
relatif terhadap pola kebudayaan.³ Sebaliknya, universalisme moral, sebagaimana
dikemukakan oleh Kant dengan prinsip imperatif kategoris, menegaskan bahwa
terdapat prinsip moral yang berlaku bagi semua manusia tanpa kecuali.⁴
Perdebatan ini masih relevan, terutama dalam menghadapi isu global seperti hak
asasi manusia, di mana klaim universal sering kali berbenturan dengan klaim
relativistik dari budaya lokal.⁵
8.2.
Kritik Postmodern
terhadap Moralitas Objektif
Kaum postmodernis seperti Michel Foucault dan Jacques Derrida mengkritik
gagasan moralitas objektif dengan menunjukkan bahwa moralitas sering kali
merupakan konstruksi historis yang terkait dengan relasi kuasa.⁶ Bagi Foucault,
wacana moral bukan sekadar refleksi nilai universal, melainkan sarana
normalisasi dan kontrol sosial.⁷ Derrida menambahkan bahwa setiap sistem moral
selalu menyisakan aporia—ketegangan yang tak terpecahkan antara tuntutan
normatif dan realitas praktis.⁸ Kritik postmodern ini menantang filsafat moral
tradisional untuk lebih reflektif terhadap dimensi historis, politis, dan
linguistik dari wacana moral.
8.3.
Tantangan dari
Psikologi Moral dan Ilmu Kognitif
Temuan dalam psikologi evolusioner, neurosains, dan ilmu kognitif juga
menantang klaim filsafat moral tentang rasionalitas etis. Jonathan Haidt,
misalnya, mengemukakan teori social intuitionist yang menyatakan bahwa
penilaian moral lebih banyak ditentukan oleh intuisi emosional daripada
deliberasi rasional.⁹ Temuan neurosains oleh Joshua Greene menunjukkan bahwa
keputusan moral dapat dipetakan melalui aktivitas otak yang berbeda untuk
dilema deontologis dan utilitarian.¹⁰ Kritik ini mempertanyakan sejauh mana
filsafat moral dapat mengklaim rasionalitas sebagai fondasi utama moralitas,
sekaligus membuka ruang integrasi antara filsafat dan sains.
8.4.
Masalah
Fundamentalisme Moral dan Pluralisme Etis
Isu lain muncul dari ketegangan antara fundamentalisme moral—yang
mengklaim satu sistem etika sebagai final dan absolut—dengan pluralisme etis
yang menekankan keberagaman nilai. Isaiah Berlin, melalui konsep value
pluralism, menegaskan bahwa terdapat banyak nilai yang sahih namun tidak
selalu dapat direduksi pada satu prinsip tunggal.¹¹ Hal ini mengimplikasikan
perlunya toleransi dan kompromi dalam masyarakat multikultural, sekaligus
menolak klaim absolut atas kebenaran moral tertentu.
8.5.
Kritik Internal
terhadap Teori Normatif Klasik
Deontologi Kantian sering dikritik karena terlalu kaku dan mengabaikan
konteks. Utilitarianisme dianggap bermasalah karena bisa membenarkan tindakan
tidak adil demi manfaat mayoritas.¹² Sementara etika kebajikan dianggap tidak
memberikan pedoman yang cukup jelas dalam situasi dilematik.¹³ Kritik-kritik
ini memunculkan upaya hibridisasi, seperti teori deontologi moderat atau
utilitarianisme preferensi, yang berusaha memperbaiki kelemahan masing-masing
teori klasik.
8.6.
Isu Moral Global
Kontemporer
Dalam dunia yang semakin terhubung, filsafat moral juga menghadapi isu
global baru: keadilan distribusi global, krisis lingkungan, bioteknologi, dan
etika teknologi digital.¹⁴ Pertanyaan-pertanyaan etis tentang kesenjangan
sosial, perubahan iklim, rekayasa genetika, hingga tanggung jawab moral atas
kecerdasan buatan memperlihatkan bahwa filsafat moral harus terus berkembang
agar relevan dengan tantangan baru.¹⁵
Kesimpulan Sementara
Isu dan kritik dalam filsafat moral menunjukkan keterbatasan teori moral
klasik, sekaligus memperlihatkan kebutuhan untuk senantiasa memperbarui
kerangka etis. Perdebatan antara relativisme dan universalisme, kritik
postmodern, tantangan sains empiris, serta isu moral global menegaskan bahwa
filsafat moral adalah medan dialog terbuka, bukan dogma yang final. Dengan
demikian, filsafat moral kontemporer dituntut untuk bersifat reflektif, kritis,
dan adaptif dalam merespons dinamika kehidupan manusia yang terus berubah.¹⁶
Footnotes
[1]
Alasdair MacIntyre, After
Virtue (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 1–5.
[2]
Gilbert Harman, The Nature of
Morality (Oxford: Oxford University Press, 1977), 3–7.
[3]
Ruth Benedict, Patterns of
Culture (Boston: Houghton Mifflin, 1934), 223–227.
[4]
Immanuel Kant, Groundwork for
the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge
University Press, 1998), 421–423.
[5]
Jack Donnelly, Universal Human
Rights in Theory and Practice, 3rd ed. (Ithaca: Cornell University Press,
2013), 15–20.
[6]
Michel Foucault, Discipline
and Punish: The Birth of the Prison, trans. Alan Sheridan (New York:
Vintage Books, 1977), 23–27.
[7]
Michel Foucault, The History
of Sexuality, Volume I (New York: Pantheon, 1978), 92–95.
[8]
Jacques Derrida, Force of Law:
The “Mystical Foundation of Authority”, trans. Mary Quaintance (New York:
Routledge, 1992), 14–18.
[9]
Jonathan Haidt, The Righteous
Mind: Why Good People Are Divided by Politics and Religion (New York:
Pantheon, 2012), 46–53.
[10]
Joshua Greene, Moral Tribes:
Emotion, Reason, and the Gap Between Us and Them (New York: Penguin, 2013),
121–126.
[11]
Isaiah Berlin, Four Essays on
Liberty (Oxford: Oxford University Press, 1969), 167–171.
[12]
Bernard Williams, Ethics and
the Limits of Philosophy (London: Fontana Press, 1985), 90–94.
[13]
Rosalind Hursthouse, On Virtue
Ethics (Oxford: Oxford University Press, 1999), 25–29.
[14]
Peter Singer, One World: The
Ethics of Globalization, 2nd ed. (New Haven: Yale University Press, 2011),
5–10.
[15]
Luciano Floridi, The Ethics of
Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 115–120.
[16]
James Rachels and Stuart Rachels,
The Elements of Moral Philosophy, 9th ed. (New York: McGraw-Hill, 2021),
187–192.
9.
Relevansi
Filsafat Moral dalam Kehidupan Kontemporer
Filsafat moral, yang akarnya tertanam
sejak zaman kuno, tetap memiliki relevansi signifikan dalam kehidupan
kontemporer yang ditandai oleh globalisasi, pluralisme budaya, kemajuan
teknologi, serta kompleksitas sosial-politik. Kehidupan modern tidak hanya
menghadirkan peluang baru, tetapi juga tantangan moral yang semakin rumit,
sehingga refleksi filosofis mengenai kebaikan, keadilan, dan tanggung jawab
menjadi semakin mendesak.¹
9.1.
Moralitas dalam
Kehidupan Individu
Dalam kehidupan individu, filsafat
moral berfungsi sebagai kompas etis yang membantu manusia menavigasi pilihan-pilihan
sulit. Tantangan kontemporer seperti krisis identitas, tekanan gaya hidup
materialistik, serta dilema etis dalam profesi menuntut kerangka moral yang
kokoh.² Teori kebajikan Aristotelian, misalnya, tetap relevan dalam menekankan
pembentukan karakter melalui kebiasaan baik, sementara deontologi Kantian
menegaskan pentingnya menjunjung martabat manusia dalam relasi sehari-hari.³
Dengan demikian, filsafat moral memperkuat kesadaran individu akan tanggung
jawab pribadi dalam menjalani kehidupan yang bermakna.
9.2.
Moralitas dalam
Kehidupan Sosial dan Politik
Pada ranah sosial-politik, filsafat
moral menyediakan fondasi bagi keadilan, kebebasan, dan hak asasi manusia.
Pemikiran John Rawls tentang “justice as fairness” menjadi kerangka
utama dalam membahas distribusi keadilan dan kebijakan publik.⁴ Di sisi lain,
etika diskursus Habermas menekankan bahwa legitimasi norma sosial harus
dibangun melalui partisipasi demokratis dan komunikasi rasional.⁵ Hal ini
sangat relevan dalam konteks demokrasi kontemporer, di mana masyarakat plural
membutuhkan prinsip moral yang dapat diterima bersama untuk menjaga kohesi
sosial.
9.3.
Moralitas dalam
Sains dan Teknologi
Kemajuan teknologi digital,
bioteknologi, dan kecerdasan buatan menimbulkan pertanyaan etis baru yang tak
dapat dihindari. Etika utilitarian sering digunakan dalam menilai risiko dan
manfaat dari inovasi teknologi, sementara bioetika berperan penting dalam
membahas isu kontroversial seperti rekayasa genetika, euthanasia, dan
transplantasi organ.⁶ Selain itu, etika informasi sebagaimana dibahas oleh
Luciano Floridi menyoroti tanggung jawab moral dalam era digital, termasuk
privasi data, keamanan siber, dan dampak algoritma terhadap kebebasan
individu.⁷ Dengan demikian, filsafat moral berfungsi sebagai pengawal kemajuan
teknologi agar tetap selaras dengan nilai kemanusiaan.
9.4.
Etika Lingkungan dan
Tanggung Jawab Global
Krisis iklim dan kerusakan lingkungan
menegaskan pentingnya refleksi etis tentang tanggung jawab manusia terhadap
bumi. Aldo Leopold melalui land ethic menekankan bahwa moralitas harus
meluas, tidak hanya pada sesama manusia, tetapi juga pada komunitas ekologis
secara keseluruhan.⁸ Dalam konteks global, filsafat moral juga relevan untuk
merumuskan etika keberlanjutan, solidaritas antarbangsa, dan keadilan
generasional. Peter Singer, misalnya, menekankan perlunya memperluas lingkaran
moral hingga mencakup semua makhluk hidup.⁹ Relevansi ini memperlihatkan bahwa
filsafat moral dapat menjadi landasan etis bagi upaya menjaga keseimbangan
ekologi dunia.
9.5.
Etika Global dan
Multikulturalisme
Globalisasi telah mempertemukan beragam
tradisi moral dan nilai budaya, sehingga menimbulkan pertanyaan: apakah mungkin
membangun etika universal yang menghormati keragaman? Bhikhu Parekh berargumen
bahwa multikulturalisme menuntut dialog antarbudaya yang berlandaskan
penghormatan terhadap perbedaan, tanpa mengorbankan nilai fundamental seperti
martabat manusia.¹⁰ Dalam konteks ini, filsafat moral menjadi alat refleksi
kritis untuk menimbang antara relativisme budaya dan universalisme moral,
sekaligus menawarkan kerangka kerja yang memungkinkan koeksistensi damai dalam
masyarakat global.
9.6.
Signifikansi
Filsafat Moral bagi Masa Depan
Relevansi filsafat moral dalam
kehidupan kontemporer terletak pada kemampuannya mengintegrasikan dimensi
personal, sosial, dan global dalam suatu horizon etis. Ia tidak hanya
menyediakan dasar normatif untuk pengambilan keputusan, tetapi juga membentuk karakter
individu, memperkuat institusi sosial, dan mengarahkan arah perkembangan
peradaban.¹¹ Dengan menghadirkan refleksi kritis terhadap isu-isu baru,
filsafat moral memastikan bahwa kemajuan manusia tetap berpijak pada
nilai-nilai kemanusiaan yang universal.
Footnotes
[1]
Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of
the Modern Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 302–305.
[2]
Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame:
University of Notre Dame Press, 1981), 187–190.
[3]
Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of
Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
421–423.
[4]
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge:
Harvard University Press, 1971), 3–8.
[5]
Jürgen Habermas, Between Facts and Norms,
trans. William Rehg (Cambridge: MIT Press, 1996), 107–112.
[6]
Tom L. Beauchamp and James F. Childress, Principles
of Biomedical Ethics, 7th ed. (Oxford: Oxford University Press, 2013), 1–6.
[7]
Luciano Floridi, The Ethics of Information
(Oxford: Oxford University Press, 2013), 120–125.
[8]
Aldo Leopold, A Sand County Almanac (New York:
Oxford University Press, 1949), 201–209.
[9]
Peter Singer, Practical Ethics, 3rd ed.
(Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 1–8.
[10]
Bhikhu Parekh, Rethinking Multiculturalism:
Cultural Diversity and Political Theory (Cambridge: Harvard University
Press, 2000), 95–100.
[11]
James Rachels and Stuart Rachels, The Elements of
Moral Philosophy, 9th ed. (New York: McGraw-Hill, 2021), 200–205.
10.
Penutup
Kajian tentang perkembangan dan sejarah
filsafat moral memperlihatkan perjalanan panjang manusia dalam memahami,
merumuskan, dan memperdebatkan hakikat kebaikan, kewajiban, kebajikan, serta
tujuan hidup. Sejak masa Yunani kuno, di mana Socrates, Plato, dan Aristoteles
menempatkan moralitas dalam kerangka pengetahuan dan kebajikan, hingga tradisi
Timur yang menekankan harmoni sosial dan spiritual, terlihat bahwa moralitas
selalu menjadi inti refleksi filosofis.¹ Tradisi Islam, Kristen, dan Yahudi
pada abad pertengahan kemudian mengintegrasikan moralitas dengan wahyu dan
teologi, memberikan landasan religius sekaligus rasional bagi kehidupan etis.²
Memasuki era modern, filsafat moral
mengalami pergeseran radikal menuju paradigma yang lebih antroposentris. Kant,
Hume, Bentham, dan Mill masing-masing menawarkan kerangka rasional baru yang
menekankan otonomi, sentimen, dan konsekuensi sebagai dasar moralitas.³ Periode
ini menandai lahirnya keragaman teori normatif yang masih berpengaruh hingga
kini. Sementara itu, era kontemporer memperluas cakrawala etika melalui
eksistensialisme, analitik, etika kebajikan modern, etika diskursus, hingga
etika feminis dan multikultural.⁴
Seiring berkembangnya sains, teknologi,
dan globalisasi, filsafat moral ditantang untuk merespons isu-isu baru:
bioetika, etika lingkungan, etika digital, serta keadilan global.⁵ Kritik dari
relativisme, postmodernisme, hingga ilmu kognitif memperlihatkan bahwa filsafat
moral bukan disiplin yang final, melainkan terus-menerus ditantang untuk
menyesuaikan diri dengan kompleksitas realitas manusia.⁶ Justru dalam dinamika
kritik inilah filsafat moral menemukan vitalitasnya, karena ia dipaksa untuk
selalu merefleksikan kembali dasar-dasarnya dan memperbarui relevansinya.
Dengan demikian, filsafat moral tidak
sekadar menyajikan warisan intelektual masa lalu, tetapi juga menjadi instrumen
reflektif-kritis untuk kehidupan kontemporer dan masa depan. Ia membantu
individu menemukan arah dalam kehidupan pribadi, menyediakan kerangka normatif
bagi masyarakat, serta memberi fondasi etis bagi peradaban global.⁷ Dengan
menjaga dialog antara tradisi lama dan tantangan baru, filsafat moral tetap
berfungsi sebagai panduan universal bagi manusia dalam mengupayakan kehidupan
yang baik, adil, dan bermakna.⁸
Footnotes
[1]
Terence Irwin, The Development of Ethics: A
Historical and Critical Study, Volume I: From Socrates to the Reformation
(Oxford: Oxford University Press, 2007), 23–30.
[2]
Etienne Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy
(Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1991), 45–50.
[3]
Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of
Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
421–423; David Hume, A Treatise of Human Nature, ed. L. A. Selby-Bigge
(Oxford: Clarendon Press, 1978), 469–472.
[4]
Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame:
University of Notre Dame Press, 1981), 2–8; G. E. M. Anscombe, “Modern Moral
Philosophy,” Philosophy 33, no. 124 (1958): 1–19.
[5]
Tom L. Beauchamp and James F. Childress, Principles
of Biomedical Ethics, 7th ed. (Oxford: Oxford University Press, 2013), 3–7;
Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University
Press, 2013), 115–120.
[6]
Michel Foucault, The History of Sexuality, Volume I
(New York: Pantheon, 1978), 92–95; Jonathan Haidt, The Righteous Mind: Why
Good People Are Divided by Politics and Religion (New York: Pantheon,
2012), 46–53.
[7]
John Rawls, A Theory of Justice (Cambridge:
Harvard University Press, 1971), 3–8.
[8]
James Rachels and Stuart Rachels, The Elements of
Moral Philosophy, 9th ed. (New York: McGraw-Hill, 2021), 200–205.
Daftar Pustaka
Anscombe, G. E. M. (1958). Modern moral philosophy. Philosophy, 33(124),
1–19. https://doi.org/10.1017/S0031819100037943
Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T. Irwin, Trans.). Hackett
Publishing.
Augustine. (1984). The city of God (H. Bettenson, Trans.).
Penguin Classics.
Augustine. (1991). Confessions (H. Chadwick, Trans.). Oxford
University Press.
Ayer, A. J. (1936). Language, truth, and logic. Gollancz.
Baier, A. C. (1991). A progress of sentiments: Reflections on Hume’s
Treatise. Harvard University Press.
Beauchamp, T. L., & Childress, J. F. (2013). Principles of
biomedical ethics (7th ed.). Oxford University Press.
Benedict, R. (1934). Patterns of culture. Houghton Mifflin.
Berlin, I. (1969). Four essays on liberty. Oxford University
Press.
Bentham, J. (1907). An introduction to the principles of morals and
legislation. Clarendon Press.
Chittick, W. C. (1983). The Sufi path of love: The spiritual
teachings of Rumi. SUNY Press.
Confucius. (2003). Analects (E. Slingerland, Trans.). Hackett
Publishing.
Copleston, F. (1993). A history of philosophy, Volume II: Medieval
philosophy. Image Books.
Crisp, R. (1997). Routledge philosophy guidebook to Mill on
Utilitarianism. Routledge.
Crisp, R., & Slote, M. (Eds.). (1997). Virtue ethics. Oxford
University Press.
Derrida, J. (1992). Force of law: The “mystical foundation of
authority” (M. Quaintance, Trans.). Routledge.
Epicurus. (1994). Letter to Menoeceus. In B. Inwood & L. P. Gerson
(Eds.), The Epicurus reader (pp. 29–34). Hackett Publishing.
Erasmus, D. (1997). The education of a Christian prince (L.
Jardine, Trans.). Cambridge University Press.
Epictetus. (2008). Discourses and selected writings (R. Dobbin,
Trans.). Penguin Classics.
Fakhry, M. (1991). Ethical theories in Islam. Brill.
Fakhry, M. (2004). A history of Islamic philosophy (3rd ed.).
Columbia University Press.
Floridi, L. (2013). The ethics of information. Oxford University
Press.
Foucault, M. (1977). Discipline and punish: The birth of the prison
(A. Sheridan, Trans.). Vintage Books.
Foucault, M. (1978). The history of sexuality, Volume I. Pantheon
Books.
Gilson, E. (1991). The spirit of medieval philosophy. University
of Notre Dame Press.
Gilligan, C. (1982). In a different voice: Psychological theory and
women’s development. Harvard University Press.
Greene, J. (2013). Moral tribes: Emotion, reason, and the gap between
us and them. Penguin Press.
Gülen, M. F. (2010). Key concepts in the practice of Sufism.
Tughra Books.
Habermas, J. (1990). Moral consciousness and communicative action
(C. Lenhardt & S. W. Nicholsen, Trans.). MIT Press.
Habermas, J. (1996). Between facts and norms (W. Rehg, Trans.).
MIT Press.
Haidt, J. (2012). The righteous mind: Why good people are divided by
politics and religion. Pantheon Books.
Harman, G. (1977). The nature of morality. Oxford University
Press.
Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E.
Robinson, Trans.). Harper & Row.
Hobbes, T. (1991). Leviathan (R. Tuck, Ed.). Cambridge University
Press.
Hume, D. (1978). A treatise of human nature (L. A. Selby-Bigge,
Ed.). Clarendon Press.
Hursthouse, R. (1999). On virtue ethics. Oxford University Press.
Ibn Miskawayh. (1966). Tahdhīb al-akhlāq wa tathīr al-a‘rāq (C.
Zurayk, Ed.). American University of Beirut.
Ibn Rushd. (1961). Fasl al-maqāl (G. Hourani, Trans.). Brill.
Irwin, T. (2007). The development of ethics: A historical and
critical study, Volume I: From Socrates to the Reformation. Oxford
University Press.
Kant, I. (1998). Groundwork for the metaphysics of morals (M.
Gregor, Trans.). Cambridge University Press.
Kierkegaard, S. (1985). Fear and trembling (A. Hannay, Trans.).
Penguin Classics.
Korsgaard, C. (1996). Creating the kingdom of ends. Cambridge
University Press.
Laozi. (1963). Tao Te Ching (D. C. Lau, Trans.). Penguin
Classics.
Leaman, O. (1985). An introduction to medieval Islamic philosophy.
Cambridge University Press.
Leaman, O. (2001). An introduction to classical Islamic philosophy
(2nd ed.). Cambridge University Press.
Leibniz, G. W. (1963). Theodicy (E. M. Huggard, Trans.).
Routledge. [Catatan: jika dibutuhkan untuk referensi tambahan]
Leopold, A. (1949). A sand county almanac. Oxford University
Press.
Locke, J. (1988). Two treatises of government (P. Laslett, Ed.).
Cambridge University Press.
MacIntyre, A. (1966). A short history of ethics. Macmillan.
MacIntyre, A. (1981). After virtue. University of Notre Dame
Press.
Maimonides, M. (1963). The guide for the perplexed (S. Pines,
Trans.). University of Chicago Press.
Mill, J. S. (1863). Utilitarianism. Parker, Son, and Bourn.
Moore, G. E. (1903). Principia ethica. Cambridge University
Press.
Montaigne, M. de. (1991). The complete essays (M. A. Screech,
Trans.). Penguin Classics.
Nadler, S. (1999). Spinoza: A life. Cambridge University Press.
Nasr, S. H. (1981). Islamic life and thought. SUNY Press.
Novak, D. (1998). Natural law in Judaism. Cambridge University
Press.
Nussbaum, M. C. (2011). Creating capabilities: The human development
approach. Harvard University Press.
Parekh, B. (2000). Rethinking multiculturalism: Cultural diversity
and political theory. Harvard University Press.
Pinckaers, S. (1995). The sources of Christian ethics (M. T.
Noble, Trans.). Catholic University of America Press.
Plato. (1992). Republic (G. M. A. Grube, Trans.). Hackett
Publishing.
Rahman, F. (2009). Major themes of the Qur’an (2nd ed.).
University of Chicago Press.
Rahula, W. (1974). What the Buddha taught. Grove Press.
Raju, P. T. (1962). Introduction to comparative philosophy.
University of Nebraska Press.
Rawls, J. (1971). A theory of justice. Harvard University Press.
Rachels, J., & Rachels, S. (2021). The elements of moral
philosophy (9th ed.). McGraw-Hill.
Rist, J. (1994). Augustine: Ancient thought baptized. Cambridge
University Press.
Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a humanism (C. Macomber,
Trans.). Yale University Press.
Savulescu, J., & ter Meulen, R. (Eds.). (2011). Enhancing human
capacities. Wiley-Blackwell.
Schimmel, A. (1975). Mystical dimensions of Islam. University of
North Carolina Press.
Singer, P. (2011). Practical ethics (3rd ed.). Cambridge
University Press.
Singer, P. (2011). One world: The ethics of globalization (2nd
ed.). Yale University Press.
Spinoza, B. (1996). Ethics (E. Curley, Trans.). Penguin Classics.
Taylor, C. (1989). Sources of the self: The making of the modern
identity. Harvard University Press.
Taylor, C. (1991). The ethics of authenticity. Harvard University
Press.
Toulmin, S. (1990). Cosmopolis: The hidden agenda of modernity.
University of Chicago Press.
Van Inwagen, P. (1983). An essay on free will. Clarendon Press.
Vlastos, G. (1991). Socrates: Ironist and moral philosopher.
Cornell University Press.
Williams, B. (1985). Ethics and the limits of philosophy. Fontana
Press.
Wood, A. W. (2008). Kantian ethics. Cambridge University Press.
Yusuf, H. (2004). Purification of the heart: Signs, symptoms and
cures of the spiritual diseases of the heart. Starlatch Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar