Iman, Islam,
dan Ihsan
Sebuah Kajian Teologis dan
Filosofis
Alihkan ke: Madzhab-Madzhab dalam Islam.
Ushul Fiqih, Fiqih I, Fiqih II, Fiqih III.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif integrasi dimensi iman,
Islam, dan ihsan sebagaimana ditegaskan dalam Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177
dan Hadits Jibril. Penelitian ini bertujuan untuk menguraikan makna teologis,
filosofis, serta sosial dari ketiga dimensi tersebut, sekaligus menyoroti
implikasinya dalam pembentukan karakter umat, hukum Islam, dan peradaban.
Metode kajian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif berbasis analisis
teks (tafsir tematik dan hadis), dilengkapi perspektif teologis-filosofis.
Hasil kajian menunjukkan bahwa iman berfungsi sebagai fondasi keyakinan
transendental, Islam sebagai manifestasi lahiriah melalui ibadah ritual dan
sosial, dan ihsan sebagai puncak kesempurnaan spiritual yang memberi makna pada
iman dan Islam. Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177 menekankan hakikat kebajikan (al-birr)
yang bersifat substantif, sementara Hadits Jibril menyusun struktur sistematis
agama melalui tiga pilar utama tersebut. Integrasi keduanya memperlihatkan
kesatuan epistemologi, ontologi, dan aksiologi dalam Islam, sekaligus menolak
reduksi formalistik yang hanya menekankan aspek lahiriah atau batiniah semata.
Artikel ini juga menyoroti tantangan modern, seperti sekularisme,
relativisme, materialisme, dan fragmentasi internal umat Islam, yang berpotensi
mereduksi makna integral iman, Islam, dan ihsan. Refleksi filosofis-teologis
yang ditawarkan menegaskan bahwa ketiga dimensi ini tidak hanya relevan dalam
konteks spiritual, tetapi juga memiliki kontribusi nyata dalam pendidikan,
pembangunan sosial, etika ekonomi, dan peradaban kontemporer. Dengan demikian,
iman, Islam, dan ihsan adalah kerangka komprehensif yang memastikan
keberagamaan umat Islam tetap otentik, transendental, dan aplikatif.
Kata Kunci: Iman; Islam; Ihsan; Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177;
Hadits Jibril; Teologi Islam; Filsafat Islam; Etika; Peradaban.
PEMBAHASAN
Dimensi Iman, Islam, dan Ihsan
dalam Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177 dan Hadits Jibril
1.
Pendahuluan
1.1.
Latar Belakang
Masalah
Pembahasan mengenai dimensi Iman,
Islam, dan Ihsan merupakan inti ajaran Islam yang menegaskan kesatuan
antara keyakinan batiniah, pengamalan lahiriah, dan kesempurnaan spiritual.
Al-Qur’an secara eksplisit menekankan pentingnya integrasi ketiga dimensi ini
dalam Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177, yang menolak reduksi agama pada
ritual formalistik semata, dan menekankan bahwa kebaikan sejati (al-birr)
mencakup aspek keyakinan, ibadah, moralitas, serta kepedulian sosial. Ayat ini
menghadirkan paradigma etika religius yang menyeimbangkan hubungan manusia
dengan Allah (ḥabl min Allāh) dan hubungan manusia dengan sesama (ḥabl min
al-nās).¹
Hadits Jibril yang masyhur menjadi
sumber rujukan penting dalam memahami struktur ajaran Islam. Melalui dialog
Jibril dengan Nabi Muhammad Saw,
ajaran Islam diklasifikasikan secara sistematis ke dalam tiga pilar utama:
Islam (dimensi amal lahiriah), Iman (dimensi keyakinan batiniah), dan Ihsan
(dimensi kesempurnaan spiritual).² Ketiga dimensi ini bukan entitas yang berdiri sendiri, melainkan sebuah kesatuan
integratif yang membentuk kerangka ontologis, epistemologis, dan aksiologis
bagi kehidupan seorang Muslim. Dengan demikian, Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177
dan Hadits Jibril dapat dipandang sebagai dua teks fundamental yang saling
melengkapi dalam menjelaskan struktur keberagamaan Islam.³
Dalam konteks kontemporer, pemahaman
yang parsial terhadap ajaran Islam sering menimbulkan problem. Ada
kecenderungan sebagian kelompok hanya menekankan aspek ritual-legalistik
(Islam) tanpa menginternalisasi makna batiniah (Iman) atau dimensi moral-spiritual
(Ihsan). Sebaliknya, ada pula kelompok yang hanya menekankan aspek mistik dan
spiritualitas tanpa memperhatikan syariah sebagai fondasi ibadah lahiriah.
Pemisahan ini seringkali berimplikasi pada munculnya fragmentasi pemahaman umat
Islam, bahkan pada konflik internal antar kelompok. Oleh sebab itu, kajian yang
menyeluruh tentang integrasi Iman, Islam, dan Ihsan menjadi sangat relevan bagi
pembangunan teologi yang seimbang dan praksis sosial yang berkeadilan.⁴
1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1)
Bagaimana pemahaman dimensi
Iman, Islam, dan Ihsan sebagaimana tersurat dalam Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177?
2)
Bagaimana makna Iman,
Islam, dan Ihsan dijelaskan dalam Hadits Jibril?
3)
Bagaimana keterkaitan
antara Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177 dengan Hadits Jibril dalam membentuk
kerangka integral ajaran Islam?
4)
Apa implikasi filosofis,
teologis, dan sosial dari pemahaman integratif terhadap ketiga dimensi
tersebut?
1.3.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari kajian ini adalah:
1)
Menjelaskan secara tekstual
dan kontekstual kandungan Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177 dalam hubungannya dengan
dimensi Iman, Islam, dan Ihsan.
2)
Menganalisis makna teologis
Hadits Jibril sebagai kerangka dasar ajaran Islam.
3)
Mengkaji hubungan
integratif antara teks Al-Qur’an dan Hadits dalam membentuk paradigma
keberagamaan yang utuh.
4)
Menguraikan relevansi
pemahaman tersebut dalam konteks sosial, etika, dan pendidikan umat Islam masa
kini.
1.4.
Manfaat Penelitian
Kajian ini diharapkan memberi kontribusi teoretis dan praktis:
1)
Kontribusi Teoretis:
memperkaya khazanah ilmu keislaman, khususnya dalam bidang tafsir tematik,
hadis, dan teologi Islam.
2)
Kontribusi Praktis:
menjadi rujukan dalam pembentukan kurikulum pendidikan agama, pengembangan
etika sosial, serta penguatan karakter spiritual umat Islam.
1.5.
Metode Kajian
Penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif dengan metode analisis teks terhadap Al-Qur’an dan Hadits. Tafsir tematik (mawḍū‘ī)
digunakan untuk menggali makna Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177, sedangkan analisis
sanad dan matan hadis digunakan untuk memahami Hadits Jibril. Kajian dilengkapi
dengan pendekatan teologis-filosofis, sehingga menghasilkan sintesis
antara aspek normatif, historis, dan reflektif.
Dengan demikian, penelitian ini
diharapkan mampu memperlihatkan bahwa Iman, Islam, dan Ihsan merupakan tiga
dimensi yang tidak dapat dipisahkan. Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177 menegaskan
makna kebajikan yang substansial, sementara Hadits Jibril memberikan kerangka
konseptual yang sistematis.
Keduanya bersatu dalam menyajikan visi Islam yang menyeluruh: iman yang
mengakar, Islam yang diamalkan, dan ihsan yang memuliakan.
Footnotes
[1]
Al-Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān,
(Kairo: Dār al-Ma‘ārif, 1968), jilid 3, hlm. 287.
[2]
Muslim ibn al-Ḥajjāj, Ṣaḥīḥ Muslim, Kitāb
al-Īmān, no. hadis 8.
[3]
Al-Nawawī, Sharḥ Ṣaḥīḥ Muslim, (Beirut: Dār
al-Ma‘rifah, 2005), jilid 1, hlm. 158.
[4]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation
of an Intellectual Tradition, (Chicago: University of Chicago Press, 1982),
hlm. 36–38.
2.
Qs.
Al-Baqarah [02] ayat 177: Analisis Kontekstual dan Tekstual
2.1.
Konteks Historis dan
Asbāb al-Nuzūl
Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177 merupakan
salah satu ayat kunci dalam Al-Qur’an yang menjelaskan hakikat kebajikan sejati
(al-birr). Ayat ini turun dalam konteks polemik arah kiblat yang sempat
menimbulkan perdebatan di kalangan umat Islam awal, khususnya setelah peralihan
kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka‘bah di Makkah.¹ Dalam konteks ini, sebagian
kaum Muslimin menganggap kebaikan (al-birr) hanya dapat diwujudkan
melalui orientasi ritual, yaitu menghadap ke arah tertentu ketika shalat.
Namun, ayat ini menegaskan bahwa kebaikan sejati tidak terbatas pada
simbol-simbol ritual, melainkan mencakup iman, amal ibadah, serta komitmen
sosial.²
Dengan demikian, ayat ini memiliki
fungsi korektif terhadap reduksi agama pada simbol eksternal, dan sekaligus
membangun paradigma bahwa substansi agama harus dipahami sebagai integrasi
antara dimensi keyakinan, ibadah, dan akhlak. Penegasan ini memperlihatkan
bahwa Islam bukan sekadar ritual, melainkan sistem kehidupan yang melibatkan
dimensi teologis, spiritual, moral, dan sosial.³
2.2.
Analisis Tekstual
dan Struktural
Secara tekstual, ayat ini memulai
penjelasan dengan penolakan terhadap persepsi keliru:
لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ
الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat
itu suatu kebajikan...” (lāysa al-birr an tuwallū wujūhakum qibala
al-masyriqi wa al-maghrib).
Ungkapan negasi ini berfungsi sebagai qalb
al-mafhūm (pembalikan konsep) yang menekankan bahwa orientasi lahiriah
bukanlah inti dari kebaikan. Setelah itu, ayat beralih kepada penegasan
positif:
وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
الآخِرِ وَالْمَلائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ
“Akan tetapi kebajikan itu ialah beriman kepada Allah,
hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan para nabi...”
Bagian ini menekankan dimensi iman
sebagai fondasi batiniah yang melandasi seluruh amal. Selanjutnya, ayat
melanjutkan dengan penjelasan dimensi Islam dalam bentuk amal lahiriah:
وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى
وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي
الرِّقَابِ
“...dan memberikan harta yang dicintainya kepada
kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir, orang-orang yang
meminta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya...”
Ayat kemudian menekankan dimensi ibadah
ritual (shalat dan zakat) sekaligus komitmen moral (menepati janji,
bersabar dalam kesempitan, penderitaan, dan peperangan).⁴
Struktur ayat ini sangat sistematis:
(1) dimulai dengan penegasan iman sebagai fondasi, (2) dilanjutkan dengan amal
ibadah yang bersifat sosial dan ritual, dan (3) diakhiri dengan kualitas etika
yang lebih tinggi, yaitu kesabaran dan keteguhan dalam menghadapi ujian.
Keseluruhan rangkaian ini memperlihatkan bahwa al-birr bukan konsep
tunggal, tetapi sebuah integrasi dimensi keagamaan.⁵
2.3.
Dimensi Teologis dan
Etis dalam Ayat
Ayat ini menampilkan tiga poros utama: iman,
ibadah, dan etika sosial. Pertama, iman sebagai basis keyakinan metafisis
yang meliputi Allah, malaikat, kitab, rasul, dan hari akhir. Hal ini sejalan
dengan rukun iman dalam Hadits Jibril. Kedua, ibadah ritual dan sosial yang
meliputi shalat, zakat, dan infak. Ketiga, etika sosial yang menekankan
solidaritas, pengorbanan, dan keadilan.
Keterpaduan dimensi ini menunjukkan
bahwa dalam Islam, iman tidak sah tanpa Islam, dan Islam tidak sempurna tanpa
ihsan. Dengan kata lain, ayat ini merepresentasikan jalinan integral antara dimensi
teologis (iman), dimensi syar‘i (Islam), dan dimensi
spiritual-etik (ihsan).⁶
Relasi dengan Konsep al-Birr
Konsep al-birr dalam ayat ini
menjadi kunci untuk memahami hakikat kesalehan menurut Islam. Menurut Ibn
Kathīr, al-birr adalah istilah komprehensif yang meliputi seluruh bentuk
kebaikan, baik yang terkait dengan keyakinan, ibadah, maupun akhlak.⁷ Al-Qur’an
menolak definisi sempit yang hanya mengaitkan al-birr dengan ritual
formal, dan mengembalikannya kepada makna substansial yang mencakup dimensi
batiniah, lahiriah, dan sosial.
Dengan demikian, ayat ini bukan sekadar
pedoman moral, tetapi juga fondasi teologis yang memperlihatkan bagaimana iman,
Islam, dan ihsan terintegrasi dalam praksis kehidupan seorang Muslim. Hal ini
memperkuat pandangan bahwa Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177 merupakan teks
fundamental yang paralel dengan Hadits Jibril dalam membentuk paradigma
integral keislaman.
Footnotes
[1]
Al-Wāhidī, Asbāb al-Nuzūl, (Beirut: Dār
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1991), hlm. 45.
[2]
Al-Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān,
jilid 3 (Kairo: Dār al-Ma‘ārif, 1968), hlm. 289.
[3]
Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an,
(Chicago: University of Chicago Press, 1980), hlm. 31–33.
[4]
Al-Qurṭubī, Al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān, jilid
2 (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006), hlm. 190.
[5]
Seyyed Hossein Nasr, The Study Quran: A New
Translation and Commentary, (New York: HarperOne, 2015), hlm. 96–97.
[6]
Muhammad Asad, The Message of the Qur’an,
(Gibraltar: Dar al-Andalus, 1980), hlm. 49–50.
[7]
Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, jilid 1
(Riyadh: Dār Ṭayyibah, 1999), hlm. 486.
3.
Konsep
Iman dalam Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177
3.1.
Definisi Iman dalam
Perspektif Al-Qur’an
Iman dalam terminologi Al-Qur’an bukan
sekadar pernyataan verbal (iqrār bi al-lisān), tetapi mencakup keyakinan
mendalam di dalam hati (taṣdīq bi al-qalb) yang terefleksikan dalam amal
perbuatan.¹ Dalam Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177, iman diletakkan sebagai fondasi
dari seluruh bangunan kebajikan (al-birr). Hal ini menunjukkan bahwa
keimanan merupakan dimensi ontologis yang mendasari identitas religius seorang
Muslim. Tanpa iman, amal saleh akan kehilangan substansi transendentalnya,
karena imanlah yang memberikan orientasi spiritual kepada setiap tindakan.²
Ayat ini menegaskan bahwa kebajikan
sejati diawali dengan iman kepada Allah, hari akhir, malaikat, kitab, dan para
nabi. Unsur-unsur ini identik dengan rukun iman yang dijelaskan secara
eksplisit dalam Hadits Jibril, menandakan adanya koherensi antara Al-Qur’an dan
Hadits dalam menjelaskan struktur dasar teologi Islam.³ Dengan demikian, iman
dalam Al-Qur’an bersifat integral, mencakup dimensi metafisis (Allah, malaikat,
kitab, rasul) dan eskatologis (hari akhir).
3.2.
Unsur-Unsur Iman
dalam Ayat
Secara rinci, Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177
menyebutkan beberapa unsur pokok iman:
1)
Iman kepada Allah –
sebagai fondasi transendensi, menegaskan tauhid sebagai inti dari seluruh
ajaran Islam. Tauhid tidak hanya bermakna keesaan Allah dalam wujud (wujūd),
tetapi juga eksklusivitas-Nya dalam pengaturan kosmos dan otoritas syariat.⁴
2)
Iman kepada Hari Akhir
– menegaskan bahwa orientasi etika dan amal dalam Islam selalu terkait dengan
pertanggungjawaban di akhirat. Kesadaran eskatologis ini melahirkan keseriusan
dalam beramal dan keadilan sosial.⁵
3)
Iman kepada Malaikat
– menunjukkan pengakuan terhadap dimensi ghaib yang berperan sebagai perantara
perintah Allah, pengawas amal, dan penjaga keteraturan kosmos.⁶
4)
Iman kepada Kitab –
mencakup pengakuan terhadap wahyu ilahi sebagai sumber petunjuk. Hal ini
menegaskan epistemologi Islam yang berbasis wahyu, berbeda dengan rasionalisme
sekuler yang meniadakan peran wahyu.⁷
5)
Iman kepada Para Nabi
– mengisyaratkan kontinuitas risalah dan universalitas ajaran Islam. Dengan
menyebut para nabi secara umum, Al-Qur’an menegaskan kesatuan misi kenabian
yang berpuncak pada Nabi Muhammad Saw.⁸
Keseluruhan unsur ini membentuk
kerangka iman yang komprehensif, meneguhkan bahwa iman dalam Islam bukanlah
sekadar abstraksi, tetapi sistem keyakinan yang menyatukan metafisika,
epistemologi, dan etika.
3.3.
Dimensi Batiniah dan
Epistemologi Iman
Iman dalam Al-Qur’an memiliki dimensi
batiniah yang tidak dapat diukur secara empiris, tetapi dapat dikenali melalui
manifestasi amal. Ibn Taymiyyah menekankan bahwa iman adalah keyakinan dalam
hati, ucapan dengan lisan, dan amal dengan anggota tubuh, serta dapat bertambah
dan berkurang.⁹ Pemahaman ini sejalan dengan makna iman dalam Qs. Al-Baqarah
[02] ayat 177 yang selalu dikaitkan dengan amal nyata, seperti infak, shalat,
dan kesabaran.
Dari sisi epistemologi, iman tidak
bertentangan dengan akal, melainkan mengarahkan akal untuk menerima kebenaran
wahyu. Al-Ghazālī menegaskan bahwa iman memiliki tingkatan: dari sekadar
taklid, naik kepada pengetahuan rasional, hingga mencapai penyaksian spiritual
(mukāshafah).¹⁰ Dengan demikian, iman dalam perspektif ayat ini
merupakan basis pengetahuan yang tidak hanya rasional, tetapi juga transenden.
3.4.
Iman sebagai Dasar
Moralitas dan Aksi Sosial
Keimanan yang ditegaskan dalam ayat ini
tidak bersifat statis, melainkan dinamis dan fungsional. Setelah menyebutkan
unsur iman, ayat melanjutkan dengan perintah amal sosial: memberikan harta,
menolong yatim dan miskin, serta membebaskan budak. Hal ini menandakan bahwa
iman sejati bukanlah sekadar kesalehan pribadi, tetapi memiliki implikasi
sosial yang nyata.¹¹
Dengan demikian, iman dalam Qs.
Al-Baqarah [02] ayat 177 dapat dipahami sebagai basis moralitas universal. Ia
tidak hanya mengikat individu kepada Tuhannya, tetapi juga mengikat manusia
dalam hubungan sosial. Iman menuntut bukti konkret dalam tindakan yang
menegakkan keadilan, kepedulian, dan solidaritas.
Kesimpulan Sementara
Konsep iman dalam Qs. Al-Baqarah [02]
ayat 177 memperlihatkan tiga aspek penting: (1) iman sebagai fondasi ontologis
yang mencakup keesaan Allah dan unsur metafisis lainnya; (2) iman sebagai
epistemologi transendental yang menyatukan wahyu dan akal; dan (3) iman sebagai
dasar aksi sosial yang menuntut realisasi dalam amal. Dengan demikian, iman
tidak dapat dipisahkan dari Islam dan Ihsan, karena ketiganya merupakan satu
kesatuan yang integral.
Footnotes
[1]
Al-Jurjānī, Al-Ta‘rīfāt, (Beirut: Dār al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1995), hlm. 52.
[2]
Sayyid Quṭb, Fī Ẓilāl al-Qur’ān, jilid 1
(Kairo: Dār al-Shurūq, 2003), hlm. 204.
[3]
Muslim ibn al-Ḥajjāj, Ṣaḥīḥ Muslim, Kitāb
al-Īmān, no. hadis 8.
[4]
Al-Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān,
jilid 3 (Kairo: Dār al-Ma‘ārif, 1968), hlm. 291.
[5]
Al-Qurṭubī, Al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān, jilid
2 (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006), hlm. 192.
[6]
Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, jilid 1
(Riyadh: Dār Ṭayyibah, 1999), hlm. 488.
[7]
Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an,
(Chicago: University of Chicago Press, 1980), hlm. 33–34.
[8]
Al-Rāzī, Mafātīḥ al-Ghayb, jilid 5 (Beirut: Dār
Iḥyā’ al-Turāth al-‘Arabī, 1981), hlm. 116.
[9]
Ibn Taymiyyah, Majmū‘ al-Fatāwā, jilid 7
(Madinah: Mujamma‘ al-Malik Fahd, 2001), hlm. 209.
[10]
Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, jilid 1
(Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 2005), hlm. 94–95.
[11]
Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring
Values for Humanity, (New York: HarperCollins, 2002), hlm. 55–56.
4.
Konsep
Islam dalam Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177
4.1.
Islam sebagai
Ketundukan Lahiriah
Islam secara etimologis berasal dari
akar kata s-l-m yang bermakna “berserah diri” atau “tunduk”.¹
Dalam kerangka Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177, dimensi Islam tampak pada
penekanan amal-amal lahiriah yang berfungsi sebagai bukti nyata dari keimanan
batiniah. Ayat ini tidak hanya menekankan keimanan dalam hati, tetapi juga
menghubungkannya dengan perbuatan konkret seperti menunaikan shalat, zakat, dan
infak.² Dengan demikian, Islam dalam ayat ini dipahami sebagai aktualisasi iman
yang bersifat praktis, di mana keyakinan batiniah menemukan bentuk nyatanya
dalam amal lahiriah.
Ketundukan ini tidak bersifat pasif,
melainkan aktif melalui keterlibatan seorang Muslim dalam ibadah ritual dan
sosial. Hal ini memperlihatkan bahwa Islam dalam pengertian Qur’ani bukan hanya
kepatuhan simbolik, tetapi sebuah sistem kehidupan yang menuntut keserasian
antara keyakinan, ucapan, dan tindakan.³
4.2.
Islam dan Amal
Ibadah Ritual
Ayat ini menegaskan pentingnya dua
pilar utama ibadah ritual: shalat dan zakat. Shalat berfungsi sebagai sarana
komunikasi vertikal dengan Allah, sementara zakat merupakan bentuk kepedulian
horizontal terhadap sesama manusia.⁴ Keduanya menjadi manifestasi konkret dari
dimensi Islam yang berakar pada iman.
1)
Shalat – disebut
dalam ayat ini sebagai simbol ketundukan yang paling utama. Shalat bukan hanya
kewajiban ritual, melainkan juga mekanisme pendidikan spiritual dan moral.
Melalui shalat, seorang Muslim dilatih untuk disiplin, rendah hati, dan selalu
mengingat Allah.⁵
2)
Zakat – dalam ayat
ini, zakat tidak hanya dipahami sebagai kewajiban formal, tetapi juga bagian
dari etika sosial Islam. Zakat mengandung dimensi redistribusi ekonomi yang
bertujuan menjaga keseimbangan sosial.⁶
Kedua bentuk ibadah ini memperlihatkan
keseimbangan antara dimensi spiritual dan sosial dari Islam, sehingga
menegaskan bahwa Islam bukan agama yang hanya berfokus pada ritual, tetapi juga
mencakup dimensi sosial-ekonomi.
4.3.
Islam dan Amal
Ibadah Sosial
Selain shalat dan zakat, ayat ini juga
menyebutkan tindakan memberi harta kepada kerabat, anak yatim, orang miskin,
musafir, peminta-minta, dan untuk memerdekakan budak. Tindakan ini menegaskan
bahwa dimensi Islam tidak dapat dipisahkan dari etika sosial. Ibn Kathīr
menekankan bahwa pengorbanan harta yang dicintai untuk kepentingan orang lain
merupakan salah satu indikator Islam yang sejati.⁷
Islam dalam konteks ini menuntut
realisasi kepedulian sosial melalui pengorbanan yang nyata, bukan sekadar niat.
Pengorbanan materi menjadi bukti ketulusan dan keikhlasan dalam beragama, serta
memperlihatkan bahwa Islam menekankan dimensi praksis dalam kehidupan
bermasyarakat.⁸
4.4.
Islam sebagai
Manifestasi Iman
Dimensi Islam yang terkandung dalam
ayat ini memperlihatkan hubungan organik antara iman dan amal. Iman yang benar
akan melahirkan amal saleh, dan amal saleh yang tulus memperkuat iman. Dengan
demikian, Islam dapat dipahami sebagai wujud lahiriah dari iman batiniah.⁹
Al-Rāzī menjelaskan bahwa penyebutan
amal lahiriah setelah iman dalam ayat ini menegaskan keterkaitan keduanya
secara hierarkis: iman adalah fondasi, sedangkan Islam adalah bangunan yang
tampak. Tanpa amal, iman akan kehilangan manifestasinya; sebaliknya, amal tanpa
iman akan kehilangan orientasi spiritualnya.¹⁰
4.5.
Implikasi Konsep
Islam dalam Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177
Pemahaman Islam dalam ayat ini membawa
beberapa implikasi penting:
1)
Implikasi Teologis –
Islam menegaskan hubungan erat antara dimensi vertikal (hubungan dengan Allah)
dan horizontal (hubungan dengan manusia).
2)
Implikasi Etis –
Islam mengarahkan umat kepada amal nyata yang menumbuhkan solidaritas,
keadilan, dan kepedulian sosial.
3)
Implikasi Sosial-Politik
– konsep Islam dalam ayat ini menjadi dasar pembangunan masyarakat yang
berkeadilan, di mana ibadah ritual terhubung dengan komitmen sosial.
Dengan demikian, Islam dalam Qs.
Al-Baqarah [02] ayat 177 tidak dapat direduksi pada kepatuhan ritualistik
semata, melainkan harus dipahami sebagai integrasi antara iman, amal ibadah,
dan tanggung jawab sosial.
Footnotes
[1]
Ibn Manẓūr, Lisān al-‘Arab, jilid 12 (Beirut:
Dār Ṣādir, 1993), hlm. 325.
[2]
Al-Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān,
jilid 3 (Kairo: Dār al-Ma‘ārif, 1968), hlm. 293.
[3]
Fazlur Rahman, Islam, (Chicago: University of
Chicago Press, 1979), hlm. 7–8.
[4]
Al-Qurṭubī, Al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān, jilid
2 (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006), hlm. 195.
[5]
Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, jilid 1
(Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 2005), hlm. 153.
[6]
M. Umer Chapra, Islam and the Economic Challenge,
(Herndon: The International Institute of Islamic Thought, 1992), hlm. 88.
[7]
Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, jilid 1
(Riyadh: Dār Ṭayyibah, 1999), hlm. 489.
[8]
Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring
Values for Humanity, (New York: HarperCollins, 2002), hlm. 71.
[9]
Muslim ibn al-Ḥajjāj, Ṣaḥīḥ Muslim, Kitāb
al-Īmān, no. hadis 8.
[10]
Al-Rāzī, Mafātīḥ al-Ghayb, jilid 5 (Beirut: Dār
Iḥyā’ al-Turāth al-‘Arabī, 1981), hlm. 119.
5.
Konsep
Ihsan dalam Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177
5.1.
Ihsan sebagai
Dimensi Spiritual-Etik
Konsep ihsan dalam Islam secara
klasik dipahami melalui Hadits Jibril:
أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ
تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
“Engkau beribadah kepada Allah
seakan-akan engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak melihat-Nya, maka
sesungguhnya Dia melihatmu.”¹
Definisi ini menegaskan bahwa ihsan
merupakan puncak spiritualitas Islam, yakni beribadah dengan kesadaran penuh
akan kehadiran Allah. Dalam Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177, dimensi ihsan hadir
bukan dalam terminologi eksplisit, melainkan melalui penekanan pada amal yang
dilakukan dengan penuh keikhlasan, kesabaran, dan komitmen moral.² Dengan
demikian, ihsan dapat dipandang sebagai ruh yang menjiwai iman dan Islam, sehingga
menjadikan seluruh amal berorientasi pada kualitas etis dan spiritual yang
lebih tinggi.
5.2.
Ihsan dalam Amal
Saleh dan Keikhlasan
Ayat ini menekankan tindakan sosial
seperti memberi harta yang dicintai kepada orang lain, menolong anak yatim,
membantu orang miskin, dan memerdekakan hamba sahaya. Tindakan ini mencerminkan
ihsan karena menuntut pengorbanan personal demi kemaslahatan sosial.³
Tidak cukup sekadar melakukan amal, tetapi amal tersebut harus dilakukan dengan
keikhlasan hati, tanpa pamrih, dan semata-mata karena Allah. Ibn Kathīr
menegaskan bahwa al-birr yang disebut dalam ayat ini mencakup dimensi
ihsan, sebab amal saleh yang dilandasi keikhlasan merupakan puncak kesalehan
seorang Muslim.⁴
Keikhlasan dalam ihsan membedakan
antara amal yang bersifat mekanis dan amal yang bernilai transendental. Amal
yang dilakukan tanpa kesadaran akan kehadiran Allah hanyalah aktivitas sosial,
sedangkan amal yang disertai ihsan menjadi ibadah yang bermakna spiritual.⁵
5.3.
Ihsan dalam Dimensi
Akhlak dan Kesabaran
Bagian akhir ayat menyebutkan:
وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ
وَحِينَ الْبَأْسِ
“orang-orang yang menepati janji
apabila mereka berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan,
penderitaan, dan dalam peperangan...” (wa al-ṣābirīn fī al-ba’sā’ wa al-ḍarrā’
wa ḥīna al-ba’s).
Dimensi ini menunjukkan bahwa ihsan
tidak terbatas pada amal ibadah ritual atau sosial, melainkan juga mencakup
akhlak personal yang luhur.⁶
Kesabaran (ṣabr) yang disebut
dalam ayat ini merupakan manifestasi ihsan dalam menghadapi ujian kehidupan.
Al-Rāzī menekankan bahwa kesabaran adalah mahkota akhlak yang menunjukkan
keteguhan iman, dan ketika digabung dengan amal saleh, ia mencerminkan kualitas
ihsan.⁷ Dengan demikian, ayat ini memperlihatkan bahwa ihsan mengintegrasikan
aspek ibadah, sosial, dan akhlak dalam satu kesatuan etika spiritual.
5.4.
Ihsan sebagai
Kesempurnaan Beragama
Jika iman adalah fondasi dan Islam
adalah bangunan lahiriah, maka ihsan adalah keindahan dan kesempurnaan dari
bangunan tersebut. Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177 menghubungkan iman dan Islam
dengan amal yang bernilai ihsan, sehingga melahirkan kualitas keberagamaan yang
utuh. Fazlur Rahman menekankan bahwa al-birr dalam ayat ini identik
dengan kualitas ihsan, karena mengandung dimensi integratif: keyakinan, amal
ibadah, pengorbanan sosial, dan kesabaran moral.⁸
Dengan demikian, ihsan merupakan
dimensi yang melampaui kepatuhan formalistik. Ihsan menuntut internalisasi
spiritual yang mengubah amal dari sekadar kewajiban menjadi manifestasi cinta
kepada Allah dan kasih sayang kepada sesama manusia. Hal ini menjadikan ihsan
sebagai puncak moralitas Islam yang memadukan transendensi dan humanisme.⁹
5.5.
Relevansi Ihsan
dalam Kehidupan Kontemporer
Dalam konteks modern, di mana kehidupan
cenderung bersifat materialistik dan mekanis, konsep ihsan menjadi sangat
relevan. Ihsan mengajarkan bahwa amal tidak cukup sekadar memenuhi standar
hukum (fiqh), tetapi harus memiliki kualitas etis dan spiritual.¹⁰ Hal
ini dapat diaplikasikan dalam berbagai bidang: pendidikan (pembentukan karakter
dengan basis ihsan), ekonomi (bisnis yang etis dan berkeadilan), maupun politik
(kepemimpinan yang amanah dan berorientasi pada kebaikan publik).
Dengan demikian, Qs. Al-Baqarah [02]
ayat 177 bukan hanya menawarkan kerangka normatif tentang amal, tetapi juga
membangun paradigma ihsan sebagai etika universal yang menuntun umat Islam
dalam menghadapi tantangan zaman.
Footnotes
[1]
Muslim ibn al-Ḥajjāj, Ṣaḥīḥ Muslim, Kitāb
al-Īmān, no. hadis 8.
[2]
Al-Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān,
jilid 3 (Kairo: Dār al-Ma‘ārif, 1968), hlm. 294.
[3]
Al-Qurṭubī, Al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān, jilid
2 (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006), hlm. 197.
[4]
Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, jilid 1
(Riyadh: Dār Ṭayyibah, 1999), hlm. 490.
[5]
Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, jilid 4
(Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 2005), hlm. 332.
[6]
Sayyid Quṭb, Fī Ẓilāl al-Qur’ān, jilid 1
(Kairo: Dār al-Shurūq, 2003), hlm. 208.
[7]
Al-Rāzī, Mafātīḥ al-Ghayb, jilid 5 (Beirut: Dār
Iḥyā’ al-Turāth al-‘Arabī, 1981), hlm. 122.
[8]
Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an,
(Chicago: University of Chicago Press, 1980), hlm. 37–38.
[9]
Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring
Values for Humanity, (New York: HarperCollins, 2002), hlm. 80.
[10]
Tariq Ramadan, In the Footsteps of the Prophet:
Lessons from the Life of Muhammad, (Oxford: Oxford University Press, 2007),
hlm. 94–95.
6.
Hadits
Jibril: Struktur Ajaran Iman, Islam, dan Ihsan
6.1.
Riwayat dan Otoritas
Hadits Jibril
Hadits Jibril adalah salah satu hadis
paling fundamental dalam Islam karena memuat penjelasan Nabi Muhammad Saw
tentang inti ajaran agama melalui pertanyaan yang diajukan oleh Malaikat
Jibril. Riwayat ini tercantum dalam berbagai kitab hadis otoritatif, di
antaranya Ṣaḥīḥ Muslim dan Ṣaḥīḥ al-Bukhārī.¹ Dalam hadis
tersebut, Jibril datang dalam wujud manusia dan mengajukan pertanyaan tentang
Islam, iman, ihsan, serta tanda-tanda kiamat. Nabi menjawab setiap pertanyaan
dengan penjelasan yang membentuk kerangka dasar ajaran Islam.
Al-Nawawī dalam Sharḥ Ṣaḥīḥ Muslim
menegaskan bahwa hadis ini mencakup seluruh dimensi agama, sehingga disebut
oleh sebagian ulama sebagai Umm al-Sunnah (induk hadis), sebagaimana
Surah al-Fātiḥah disebut Umm al-Kitāb dalam Al-Qur’an.² Hadis ini
menegaskan koherensi antara iman, Islam, dan ihsan, sekaligus menempatkannya
dalam struktur hierarkis namun integratif.
6.2.
Struktur Tiga
Dimensi Ajaran Islam
Hadits Jibril menyajikan tiga dimensi
ajaran Islam yang saling melengkapi:
1)
Islam – Nabi
menjelaskan bahwa Islam terdiri dari lima rukun: syahadat, shalat, zakat, puasa
Ramadan, dan haji bagi yang mampu.³ Rukun ini merupakan dimensi lahiriah dari
agama, yang meliputi ibadah ritual sebagai wujud kepatuhan seorang Muslim.
2)
Iman – Dijelaskan
sebagai keyakinan kepada Allah, malaikat, kitab, rasul, hari akhir, dan qadar.
Ini adalah dimensi batiniah yang menjadi fondasi kepercayaan spiritual.⁴
3)
Ihsan – Dijelaskan
sebagai beribadah kepada Allah seakan-akan melihat-Nya. Jika tidak dapat
melihat-Nya, maka tetap dengan keyakinan bahwa Allah melihat hamba-Nya. Ini
adalah dimensi kesempurnaan yang mengintegrasikan iman dan Islam dalam
kesadaran spiritual yang tinggi.⁵
Struktur ini menegaskan bahwa Islam
tidak dapat dipahami secara parsial. Islam tanpa iman akan menjadi formalitas
kosong, iman tanpa Islam berpotensi menjadi abstraksi tanpa wujud, sementara
keduanya tanpa ihsan akan kehilangan kualitas etis dan spiritual.
6.3.
Perspektif Ulama
Klasik
Para ulama klasik menempatkan Hadits
Jibril sebagai kerangka komprehensif teologi Islam. Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī
menyatakan bahwa hadis ini merupakan pondasi utama dalam memahami keseluruhan
ajaran agama karena mencakup aspek syariah, akidah, dan akhlak.⁶ Al-Ghazālī
dalam Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn menegaskan bahwa iman, Islam, dan ihsan harus
dipahami sebagai tiga jalan yang menuju satu tujuan: kesempurnaan penghambaan
kepada Allah.⁷
Selain itu, al-Rāzī melihat adanya
relasi epistemologis dalam hadis ini: iman sebagai keyakinan batiniah, Islam
sebagai implementasi praktis, dan ihsan sebagai dimensi gnosis (pengetahuan
spiritual) yang lebih tinggi.⁸ Dengan demikian, hadis ini memaparkan ajaran
Islam dalam struktur yang berlapis namun saling mengikat.
6.4.
Perspektif Pemikir
Kontemporer
Para pemikir Islam modern juga banyak
mengkaji Hadits Jibril untuk merumuskan relevansi ajaran Islam dalam konteks
kekinian. Fazlur Rahman, misalnya, menekankan bahwa hadis ini membangun suatu
visi agama yang menyatukan dimensi teologis, etis, dan spiritual dalam praksis
kehidupan.⁹ Sementara Seyyed Hossein Nasr melihat hadis ini sebagai fondasi
spiritualitas Islam yang menekankan bahwa tanpa ihsan, agama akan terjebak
dalam formalitas yang kering.¹⁰
Dalam konteks modern, hadis ini menjadi
dasar bagi pendekatan integral dalam pendidikan Islam, pembangunan masyarakat,
dan dialog lintas peradaban. Ia menegaskan bahwa Islam bukan hanya agama hukum,
tetapi juga agama iman dan spiritualitas.
6.5.
Hadits Jibril
sebagai Sintesis Ajaran Islam
Hadits Jibril menunjukkan bahwa iman,
Islam, dan ihsan bukanlah entitas yang berdiri sendiri, melainkan tiga aspek
yang saling melengkapi. Islam menata perilaku lahiriah, iman menguatkan
keyakinan batiniah, dan ihsan menyempurnakan dimensi spiritual. Ketiganya
membentuk kerangka komprehensif yang menegaskan Islam sebagai agama yang
holistik.
Dengan demikian, Hadits Jibril dapat
dipandang sebagai pedoman interpretatif bagi Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177.
Keduanya menekankan bahwa kebajikan sejati hanya dapat terwujud melalui
integrasi iman, Islam, dan ihsan. Ayat tersebut memberikan dimensi normatif
Al-Qur’an, sedangkan hadis ini menyajikan struktur sistematis ajaran Islam.
Footnotes
[1]
Muslim ibn al-Ḥajjāj, Ṣaḥīḥ Muslim, Kitāb
al-Īmān, no. hadis 8.
[2]
Al-Nawawī, Sharḥ Ṣaḥīḥ Muslim, jilid 1 (Beirut:
Dār al-Ma‘rifah, 2005), hlm. 158.
[3]
Al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Kitāb al-Īmān,
no. hadis 50.
[4]
Muslim ibn al-Ḥajjāj, Ṣaḥīḥ Muslim, Kitāb
al-Īmān, no. hadis 8.
[5]
Ibid.
[6]
Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī, Fatḥ al-Bārī, jilid 1
(Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 1989), hlm. 114.
[7]
Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, jilid 1
(Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 2005), hlm. 97.
[8]
Al-Rāzī, Mafātīḥ al-Ghayb, jilid 5 (Beirut: Dār
Iḥyā’ al-Turāth al-‘Arabī, 1981), hlm. 127.
[9]
Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an,
(Chicago: University of Chicago Press, 1980), hlm. 36–38.
[10]
Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring
Values for Humanity, (New York: HarperCollins, 2002), hlm. 77.
7.
Integrasi
Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177 dan Hadits Jibril
7.1.
Keselarasan Makna
Qur’an dan Hadis
Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177 dan Hadits
Jibril sama-sama menegaskan struktur fundamental ajaran Islam yang terdiri dari
iman, Islam, dan ihsan. Ayat Al-Qur’an tersebut memulai dengan menolak
reduksi agama pada aspek formal-ritual semata, kemudian menegaskan dimensi iman
(Allah, malaikat, kitab, rasul, hari akhir), amal ibadah (shalat, zakat,
infak), serta etika sosial (menepati janji, sabar dalam kesulitan).¹ Sementara
itu, Hadits Jibril menegaskan tiga pilar agama secara sistematis: Islam (rukun
Islam), iman (rukun iman), dan ihsan (kesadaran spiritual).²
Keselarasan ini memperlihatkan bahwa
kedua sumber utama ajaran Islam tersebut saling melengkapi: Al-Qur’an
memberikan fondasi normatif, sementara Hadits Jibril memberikan struktur
konseptual.³ Hal ini menunjukkan adanya kesinambungan otoritas antara wahyu
Qur’ani dan sabda Nabi yang meneguhkan kesatuan epistemologi Islam.
7.2.
Perspektif Ulama
Klasik
Ulama klasik memahami integrasi antara
Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177 dan Hadits Jibril sebagai sebuah sistem keagamaan
yang utuh. Al-Ghazālī, misalnya, menegaskan bahwa iman, Islam, dan ihsan tidak
dapat dipisahkan karena ketiganya ibarat fondasi, bangunan, dan penyempurna
dalam satu struktur.⁴ Ibn Taymiyyah menambahkan bahwa ayat dan hadis ini
menegaskan keterkaitan antara batin dan lahir dalam beragama: iman tanpa amal
adalah lemah, amal tanpa iman adalah kosong, sedangkan tanpa ihsan keduanya
akan kehilangan nilai spiritualnya.⁵
Ibn Kathīr dalam tafsirnya menegaskan
bahwa al-birr dalam ayat tersebut mencakup keseluruhan makna yang
dijelaskan dalam Hadits Jibril, yakni iman sebagai keyakinan, Islam sebagai
amal, dan ihsan sebagai akhlak.⁶ Dengan demikian, integrasi keduanya
mencerminkan kesatuan teologis dan etis dalam ajaran Islam.
7.3.
Perspektif Pemikir
Kontemporer
Para pemikir kontemporer seperti Fazlur
Rahman menyoroti bahwa integrasi antara Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177 dan Hadits
Jibril memberikan fondasi untuk memahami Islam secara substantif, bukan sekadar
formalistik. Menurutnya, ayat dan hadis ini mengajarkan bahwa agama harus
diwujudkan dalam bentuk iman yang rasional, Islam yang praktis, dan ihsan yang
etis.⁷ Seyyed Hossein Nasr menekankan bahwa integrasi ini menunjukkan wajah
spiritual Islam yang menolak reduksi agama pada dimensi hukum semata, melainkan
menekankan keselarasan antara syariat, iman, dan spiritualitas.⁸
Dengan demikian, integrasi keduanya
relevan untuk merespons krisis modernitas yang cenderung memisahkan dimensi
agama dari kehidupan sosial dan etis.
7.4.
Dimensi Sistematis:
Iman, Islam, Ihsan sebagai Kesatuan
Integrasi ayat dan hadis ini dapat
dipahami dalam kerangka sistematis:
1)
Iman sebagai fondasi
batiniah yang menata keyakinan transendental.
2)
Islam sebagai
manifestasi lahiriah melalui ibadah ritual dan sosial.
3)
Ihsan sebagai
dimensi penyempurna yang memberikan nilai spiritual dan moral.
Ketiga dimensi ini bukan entitas yang
berdiri sendiri, melainkan saling melengkapi. Jika iman ibarat akar pohon,
Islam adalah batang dan cabang, sedangkan ihsan adalah buah dan keindahannya.⁹
Dengan demikian, integrasi ini menunjukkan bahwa keberagamaan yang sempurna
hanya dapat dicapai dengan menggabungkan ketiga dimensi tersebut secara
harmonis.
7.5.
Implikasi Teologis
dan Praktis
Integrasi Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177
dan Hadits Jibril membawa implikasi penting:
1)
Teologis –
meneguhkan ajaran Islam sebagai agama yang holistik, menggabungkan akidah,
syariah, dan akhlak.
2)
Etis – mendorong
umat Islam untuk tidak berhenti pada ritual formal, tetapi mengembangkan
kesadaran spiritual dan tanggung jawab sosial.
3)
Praktis – memberikan
kerangka dasar bagi pendidikan Islam, dakwah, dan pengembangan masyarakat yang
menyeimbangkan iman, ibadah, dan akhlak.
Dengan demikian, integrasi kedua teks
ini membentuk paradigma keberagamaan yang tidak hanya normatif, tetapi juga
aplikatif, yang relevan sepanjang zaman.
Footnotes
[1]
Al-Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān,
jilid 3 (Kairo: Dār al-Ma‘ārif, 1968), hlm. 289–294.
[2]
Muslim ibn al-Ḥajjāj, Ṣaḥīḥ Muslim, Kitāb
al-Īmān, no. hadis 8.
[3]
Al-Nawawī, Sharḥ Ṣaḥīḥ Muslim, jilid 1 (Beirut:
Dār al-Ma‘rifah, 2005), hlm. 158.
[4]
Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, jilid 1
(Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 2005), hlm. 97.
[5]
Ibn Taymiyyah, Majmū‘ al-Fatāwā, jilid 7
(Madinah: Mujamma‘ al-Malik Fahd, 2001), hlm. 210.
[6]
Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, jilid 1
(Riyadh: Dār Ṭayyibah, 1999), hlm. 486–490.
[7]
Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an,
(Chicago: University of Chicago Press, 1980), hlm. 36–38.
[8]
Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring
Values for Humanity, (New York: HarperCollins, 2002), hlm. 77–80.
[9]
Tariq Ramadan, In the Footsteps of the Prophet:
Lessons from the Life of Muhammad, (Oxford: Oxford University Press, 2007),
hlm. 96.
8.
Dimensi
Filosofis dan Teologis
8.1.
Ontologi Iman,
Islam, dan Ihsan
Ontologi dalam filsafat Islam
berhubungan dengan pertanyaan tentang keberadaan dan hakikat sesuatu. Dalam
konteks Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177 dan Hadits Jibril, iman, Islam, dan ihsan
dapat dipandang sebagai tiga dimensi ontologis yang membentuk eksistensi
keberagamaan seorang Muslim. Iman merupakan fondasi batiniah yang
meneguhkan eksistensi transendental manusia di hadapan Allah; Islam adalah eksistensi
lahiriah yang terwujud dalam ibadah ritual dan sosial; sedangkan ihsan
adalah dimensi puncak ontologis yang melampaui bentuk dan menuju pada
kualitas eksistensial tertinggi, yakni kesadaran akan kehadiran Allah.¹
Dalam filsafat eksistensial Islam,
ketiga dimensi ini menunjukkan bahwa manusia tidak sekadar ada (being),
tetapi hadir dengan makna (meaningful being). Keberadaan manusia dalam
Islam ditentukan oleh integrasi antara keyakinan, amal, dan kesadaran
spiritual.² Dengan demikian, ontologi iman, Islam, dan ihsan tidak hanya
menjawab pertanyaan “ada”, tetapi juga “mengapa ada” dan “untuk apa ada”.
8.2.
Epistemologi Iman
dan Ilmu dalam Islam
Epistemologi berhubungan dengan sumber
dan validitas pengetahuan. Iman dalam Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177 bukanlah
iman yang buta, melainkan iman yang berakar pada wahyu, akal, dan pengalaman
spiritual.³ Wahyu memberikan kebenaran absolut, akal menjadi sarana pemahaman,
dan pengalaman spiritual memperdalam keyakinan.
Al-Ghazālī membedakan tiga tingkatan
pengetahuan iman: (1) iman taklid, yakni keyakinan berdasarkan otoritas luar;
(2) iman istidlāl, yakni iman yang diperoleh melalui penalaran rasional; dan
(3) iman kasyf atau mukāshafah, yakni iman yang diperoleh melalui penyaksian
batiniah.⁴ Pendekatan ini menunjukkan bahwa iman dalam Islam bersifat epistemis
sekaligus transendental, menggabungkan dimensi rasional dan supra-rasional.
Dengan demikian, epistemologi iman
dalam Islam tidak terjebak dalam dualisme antara rasionalisme dan empirisme,
melainkan membangun sintesis antara wahyu, akal, dan intuisi spiritual. Hal ini
menunjukkan keunikan filsafat pengetahuan Islam yang berbeda dari tradisi Barat
sekuler.⁵
8.3.
Aksiologi: Ihsan
sebagai Puncak Nilai Etika Islam
Aksiologi dalam filsafat berhubungan
dengan nilai dan tujuan. Dalam konteks Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177, ihsan
merupakan puncak aksiologi Islam. Amal yang dilakukan tanpa ihsan akan
kehilangan nilai spiritualnya, sedangkan amal yang dilandasi ihsan akan menjadi
ibadah yang memiliki makna transenden.⁶
Ihsan membentuk dasar etika universal
dalam Islam, di mana manusia tidak hanya dituntut untuk melakukan kewajiban
hukum, tetapi juga melaksanakannya dengan keikhlasan dan kesadaran penuh.
Menurut Ibn ‘Arabī, ihsan adalah dimensi di mana manusia meneladani sifat-sifat
Allah (taḥalluq bi akhlāq Allāh), sehingga amal saleh menjadi cerminan
kasih sayang dan keadilan Ilahi.⁷ Dengan demikian, ihsan adalah nilai puncak
yang mengarahkan seluruh dimensi iman dan Islam pada tujuan spiritual yang
lebih tinggi.
8.4.
Relevansi dalam
Filsafat Agama dan Etika Universal
Dimensi filosofis iman, Islam, dan
ihsan memiliki relevansi dalam diskursus filsafat agama dan etika universal.
Dalam filsafat agama, konsep ini menegaskan bahwa keimanan bukan hanya soal
keyakinan metafisis, tetapi juga menyangkut transformasi eksistensial manusia.⁸
Sementara dalam etika, integrasi iman, Islam, dan ihsan menunjukkan bahwa norma
moral tidak hanya berbasis kontrak sosial atau utilitarianisme, tetapi berakar
pada transendensi Ilahi.
Seyyed Hossein Nasr menegaskan bahwa
Islam menawarkan visi spiritualitas yang menyatukan dimensi kosmologis, etis,
dan sosial, sehingga mampu menjawab krisis modernitas yang cenderung memisahkan
agama dari kehidupan.⁹ Konsep iman, Islam, dan ihsan dapat dipandang sebagai
model etika integral yang menyeimbangkan dimensi vertikal (hubungan dengan
Allah) dan horizontal (hubungan dengan sesama).
8.5.
Sintesis
Filosofis-Teologis
Melalui analisis ontologi,
epistemologi, dan aksiologi, dapat disimpulkan bahwa iman, Islam, dan ihsan
membentuk kerangka filosofis-teologis Islam yang utuh. Iman memberikan
fondasi keyakinan metafisis, Islam menghadirkan wujud praksis lahiriah, dan
ihsan memberikan nilai etis dan spiritual tertinggi. Ketiganya saling
melengkapi dalam membentuk visi Islam yang komprehensif.
Integrasi ini menegaskan bahwa Islam
bukan hanya sistem hukum (syarī‘ah), melainkan juga sistem pengetahuan
dan etika yang holistik. Dengan demikian, Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177 dan
Hadits Jibril dapat dipandang sebagai teks dasar yang membangun filsafat
teologi Islam yang integral, menjembatani antara iman yang abstrak, Islam yang
praktis, dan ihsan yang transendental.
Footnotes
[1]
Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the
Qur’an, (Montreal: McGill University Press, 1966), hlm. 229–230.
[2]
M. Mutahhari, Man and Faith, (Tehran: World
Organization for Islamic Services, 1985), hlm. 41.
[3]
Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an,
(Chicago: University of Chicago Press, 1980), hlm. 33–35.
[4]
Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, jilid 1
(Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 2005), hlm. 94–95.
[5]
Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam,
(Kuala Lumpur: ISTAC, 1992), hlm. 17–18.
[6]
Al-Qurṭubī, Al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān, jilid
2 (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006), hlm. 197.
[7]
Ibn ‘Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam, (Beirut: Dār
al-Kitāb al-‘Arabī, 1946), hlm. 85.
[8]
John Hick, Philosophy of Religion, (New Jersey:
Prentice Hall, 1983), hlm. 120–121.
[9]
Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring
Values for Humanity, (New York: HarperCollins, 2002), hlm. 75–77.
9.
Dimensi
Sosial dan Peradaban
9.1.
Pengaruh Iman,
Islam, dan Ihsan dalam Pembentukan Karakter Umat
Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177 dan Hadits
Jibril menegaskan bahwa iman, Islam, dan ihsan bukan hanya konsep teologis,
tetapi juga fondasi etis yang membentuk karakter umat Islam. Iman mengarahkan
keyakinan spiritual, Islam menata amal lahiriah dalam bentuk ibadah ritual dan
sosial, sedangkan ihsan memperhalus moralitas dengan kesadaran transendental.¹
Integrasi ketiga dimensi ini membentuk manusia berkarakter utuh: memiliki
keyakinan yang kokoh, ketaatan ritual, dan kepekaan sosial.
Karakter umat Islam klasik banyak
dibentuk oleh pengamalan nilai-nilai ini. Misalnya, semangat jihad intelektual
dalam tradisi keilmuan Islam lahir dari keyakinan iman yang kuat, komitmen
Islam terhadap amal nyata, serta dorongan ihsan untuk mencari keridaan Allah
melalui ilmu.² Dengan demikian, iman, Islam, dan ihsan bukan sekadar doktrin
abstrak, melainkan energi yang menggerakkan dinamika peradaban.
9.2.
Peran dalam Hukum
Islam dan Kehidupan Sosial
Konsep yang terintegrasi antara iman,
Islam, dan ihsan juga menjadi dasar bagi perkembangan hukum Islam (fiqh).
Iman memberikan dimensi legitimasi teologis, Islam mewujud dalam aturan-aturan
hukum yang mengatur kehidupan individu dan masyarakat, sedangkan ihsan
mengarahkan penerapan hukum pada keadilan dan rahmat.³
Sebagai contoh, kewajiban zakat dalam
Islam tidak hanya didasarkan pada hukum formal, tetapi juga pada dimensi ihsan,
yakni kesadaran bahwa harta adalah amanah dari Allah. Dengan demikian, zakat
berfungsi sebagai instrumen distribusi ekonomi yang menegakkan solidaritas
sosial.⁴ Perpaduan iman, Islam, dan ihsan dalam bidang hukum melahirkan sistem
yang tidak hanya normatif, tetapi juga sarat dengan nilai kemanusiaan.
9.3.
Implementasi dalam
Pembangunan Peradaban Islam
Sejarah Islam menunjukkan bahwa
integrasi iman, Islam, dan ihsan telah membentuk fondasi peradaban yang kaya.
Pada masa keemasan Islam, misalnya, perkembangan ilmu pengetahuan, seni, dan
filsafat tidak terlepas dari orientasi teologis yang kuat, pengamalan syariat
yang konsisten, dan spirit ihsan yang mewarnai karya-karya ilmuwan Muslim.⁵
Di Andalusia, Baghdad, hingga Kairo,
peradaban Islam tampil sebagai contoh bagaimana integrasi dimensi spiritual dan
sosial menghasilkan kemajuan intelektual dan kultural. Ilmu pengetahuan
berkembang tidak sekadar untuk kepentingan pragmatis, melainkan sebagai bentuk
ibadah (ihsan) kepada Allah.⁶ Dengan demikian, peradaban Islam klasik menjadi
bukti historis bahwa integrasi iman, Islam, dan ihsan mampu melahirkan
masyarakat yang unggul, adil, dan beradab.
9.4.
Relevansi Sosial
dalam Konteks Kontemporer
Dalam konteks modern, masyarakat Muslim
menghadapi tantangan berupa sekularisasi, materialisme, dan individualisme.
Nilai-nilai iman, Islam, dan ihsan dapat menjadi fondasi untuk menjawab
tantangan tersebut. Iman memberikan orientasi spiritual yang mengimbangi arus
sekularisme; Islam mengatur aspek sosial-ekonomi melalui prinsip keadilan dan
distribusi; sedangkan ihsan menumbuhkan kesadaran etis untuk menghadapi krisis
moral global.⁷
Di bidang pendidikan, integrasi ketiga
dimensi ini menegaskan pentingnya membentuk generasi Muslim yang beriman,
berilmu, dan berakhlak. Dalam ekonomi, ia menekankan keadilan distributif yang
tidak hanya mengejar keuntungan, tetapi juga keberkahan. Sementara dalam
politik, konsep ihsan mendorong lahirnya kepemimpinan yang amanah dan
berorientasi pada kemaslahatan publik.⁸
9.5.
Studi Kasus: Zakat
dan Solidaritas Sosial
Salah satu contoh konkret implementasi
iman, Islam, dan ihsan dalam peradaban adalah praktik zakat. Zakat tidak hanya
menegaskan Islam dalam aspek hukum, tetapi juga iman dalam pengakuan terhadap
amanah Allah, serta ihsan dalam kesadaran berbagi dengan sesama. Ibn Khaldūn
menyatakan bahwa zakat berperan penting dalam menjaga stabilitas sosial dan
memperkuat kohesi masyarakat.⁹
Dalam konteks kontemporer, zakat dan
instrumen ekonomi Islam lainnya dapat menjadi solusi bagi kesenjangan
sosial-ekonomi. Hal ini menegaskan bahwa nilai-nilai iman, Islam, dan ihsan
tidak hanya relevan dalam konteks spiritual, tetapi juga dalam pembangunan
peradaban modern.
Footnotes
[1]
Al-Nawawī, Sharḥ Ṣaḥīḥ Muslim, jilid 1 (Beirut:
Dār al-Ma‘rifah, 2005), hlm. 160.
[2]
George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions
of Learning in Islam and the West, (Edinburgh: Edinburgh University Press,
1981), hlm. 45.
[3]
Wael B. Hallaq, The Origins and Evolution of
Islamic Law, (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), hlm. 73–74.
[4]
M. Umer Chapra, Islam and the Economic Challenge,
(Herndon: The International Institute of Islamic Thought, 1992), hlm. 90.
[5]
Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam,
vol. 2 (Chicago: University of Chicago Press, 1974), hlm. 27–28.
[6]
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in
Islam, (Cambridge: Harvard University Press, 1968), hlm. 56.
[7]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation
of an Intellectual Tradition, (Chicago: University of Chicago Press, 1982),
hlm. 40.
[8]
Tariq Ramadan, Islam, the West and the Challenges
of Modernity, (Leicester: Islamic Foundation, 2001), hlm. 122.
[9]
Ibn Khaldūn, Al-Muqaddimah, jilid 1 (Beirut:
Dār al-Fikr, 2004), hlm. 322.
10.
Kritik
dan Tantangan Pemahaman
10.1.
Kritik terhadap
Reduksi Formalistik
Salah satu kritik utama dalam memahami
iman, Islam, dan ihsan adalah kecenderungan sebagian umat untuk mereduksi
ajaran Islam pada aspek formalistik. Praktik keberagamaan kerap dipahami
sebatas pada pelaksanaan ritual lahiriah, seperti shalat dan puasa, tanpa
memperhatikan dimensi batiniah (iman) maupun kualitas etis (ihsan).¹ Akibatnya,
ajaran Islam mengalami degradasi menjadi sekadar rutinitas mekanis, kehilangan
ruh spiritual dan misi sosialnya.
Reduksi formalistik ini telah dikritik
oleh banyak ulama klasik maupun kontemporer. Al-Ghazālī, misalnya, menegaskan
bahwa ibadah tanpa kehadiran hati dan keikhlasan tidak lebih dari gerakan
jasmani tanpa nilai transendental.² Kritik serupa disampaikan oleh Fazlur
Rahman, yang menyebut fenomena ini sebagai “legalistik-sektarian,” di mana umat
terjebak pada hukum lahiriah tetapi mengabaikan substansi etis Al-Qur’an.³
10.2.
Tantangan
Sekularisme dan Relativisme
Di era modern, pemahaman iman, Islam,
dan ihsan menghadapi tantangan besar dari sekularisme dan relativisme.
Sekularisme cenderung memisahkan agama dari ruang publik, membatasi iman dan
ihsan hanya pada ranah privat.⁴ Relativisme, di sisi lain, menafikan kebenaran
absolut iman dan menganggap semua keyakinan setara tanpa hierarki nilai. Hal
ini berpotensi melemahkan fondasi teologis umat Islam, sekaligus menimbulkan
krisis identitas.
Seyyed Hossein Nasr menyebut kondisi
modernitas sebagai “krisis spiritual” karena hilangnya kesadaran
transendental dalam kehidupan manusia.⁵ Dalam konteks ini, iman, Islam, dan
ihsan berisiko direduksi menjadi sekadar simbol budaya, bukan lagi jalan hidup
yang menyeluruh.
10.3.
Fragmentasi
Pemahaman Internal
Selain tantangan eksternal, terdapat
pula problem internal berupa fragmentasi pemahaman. Sebagian kelompok
menekankan dimensi iman dengan menolak pentingnya amal sosial, sementara
kelompok lain menekankan dimensi Islam (syariat) tanpa memberi ruang pada aspek
ihsan (spiritualitas).⁶ Ketidakseimbangan ini menghasilkan polarisasi dalam
umat Islam, yang pada gilirannya melemahkan persatuan dan misi peradaban Islam.
Ibn Taymiyyah menegaskan bahwa iman,
Islam, dan ihsan tidak dapat dipisahkan. Pemisahan ketiganya, menurut beliau,
adalah bentuk penyimpangan dari pemahaman yang diajarkan Nabi Muhammad Saw.⁷ Oleh karena itu, fragmentasi internal ini
harus dilihat sebagai tantangan besar dalam membangun kembali integrasi ajaran
Islam.
10.4.
Problematika Modern:
Materialisme dan Individualisme
Tantangan lain yang signifikan adalah
pengaruh materialisme dan individualisme modern. Materialisme mendorong manusia
untuk menilai keberhasilan dari aspek ekonomi dan kekuasaan semata, sedangkan
individualisme menekankan kepentingan pribadi di atas kepentingan kolektif.⁸
Kedua ideologi ini berlawanan dengan nilai iman, Islam, dan ihsan yang
menekankan orientasi akhirat, solidaritas sosial, dan kesadaran transendental.
Dalam konteks globalisasi, umat Islam
sering terjebak dalam dilema antara modernisasi dan pelestarian nilai-nilai
spiritual. Jika iman dan ihsan diabaikan, maka Islam hanya akan tampil sebagai
label identitas tanpa substansi moral.⁹
10.5.
Tantangan Pendidikan
dan Dakwah
Pendidikan Islam juga menghadapi
tantangan dalam mengintegrasikan iman, Islam, dan ihsan. Kurikulum pendidikan
cenderung menekankan aspek kognitif (pengetahuan agama) tanpa diimbangi
pembinaan spiritual dan moral.¹⁰ Dakwah pun kadang terjebak pada retorika
formal, tanpa menyentuh dimensi ihsan yang menekankan keteladanan dan
keikhlasan. Hal ini berdampak pada munculnya generasi Muslim yang fasih dalam
teori keagamaan, tetapi lemah dalam praksis sosial dan spiritual.
10.6.
Upaya Mengatasi
Tantangan
Untuk mengatasi kritik dan tantangan
tersebut, diperlukan upaya integratif:
1)
Pendekatan Teologis:
menegaskan kembali pentingnya keseimbangan iman, Islam, dan ihsan dalam
kerangka ajaran Islam.
2)
Pendekatan Filosofis:
merevitalisasi filsafat Islam sebagai basis rasional untuk memahami iman dan
integrasinya dengan sains modern.
3)
Pendekatan Sosial:
memperkuat implementasi nilai iman, Islam, dan ihsan dalam kehidupan
bermasyarakat melalui pendidikan, ekonomi, dan politik yang berkeadilan.
Dengan demikian, tantangan modernitas
dan fragmentasi internal dapat dijawab melalui penguatan paradigma integral
yang telah diletakkan oleh Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177 dan Hadits Jibril.
Footnotes
[1]
Sayyid Quṭb, Fī Ẓilāl al-Qur’ān, jilid 1
(Kairo: Dār al-Shurūq, 2003), hlm. 210.
[2]
Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, jilid 1
(Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 2005), hlm. 92.
[3]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation
of an Intellectual Tradition, (Chicago: University of Chicago Press, 1982),
hlm. 37.
[4]
Charles Taylor, A Secular Age, (Cambridge:
Harvard University Press, 2007), hlm. 45.
[5]
Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of
Nature, (New York: Oxford University Press, 1996), hlm. 13.
[6]
Wael B. Hallaq, The Impossible State: Islam,
Politics, and Modernity’s Moral Predicament, (New York: Columbia University
Press, 2013), hlm. 88.
[7]
Ibn Taymiyyah, Majmū‘ al-Fatāwā, jilid 7
(Madinah: Mujamma‘ al-Malik Fahd, 2001), hlm. 212.
[8]
Zygmunt Bauman, Liquid Modernity, (Cambridge:
Polity Press, 2000), hlm. 32.
[9]
Tariq Ramadan, Western Muslims and the Future of
Islam, (Oxford: Oxford University Press, 2004), hlm. 54.
[10]
Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional,
(Jakarta: Kompas, 2002), hlm. 117.
11.
Sintesis
dan Refleksi Filosofis
11.1.
Kesatuan Integral
Iman, Islam, dan Ihsan
Dari uraian sebelumnya, jelas bahwa Qs.
Al-Baqarah [02] ayat 177 dan Hadits Jibril sama-sama menegaskan bahwa iman,
Islam, dan ihsan adalah tiga dimensi yang saling terkait dalam satu kesatuan
integral. Iman merupakan fondasi batiniah yang meneguhkan keyakinan
transendental, Islam merupakan manifestasi lahiriah melalui amal ibadah ritual
dan sosial, sedangkan ihsan merupakan puncak kualitas spiritual dan moral yang
memberi ruh bagi seluruh dimensi keberagamaan.¹ Dengan demikian, keberagamaan
yang utuh tidak dapat dicapai tanpa integrasi ketiganya.
Analogi klasik menggambarkan iman
sebagai akar, Islam sebagai batang dan cabang, serta ihsan sebagai bunga dan
buah dari pohon keberagamaan.² Tanpa akar (iman), pohon akan kering; tanpa
batang (Islam), iman tidak tampak dalam realitas; tanpa bunga dan buah (ihsan),
keberagamaan kehilangan keindahan dan manfaatnya.
11.2.
Refleksi Ontologis
Secara ontologis, integrasi iman,
Islam, dan ihsan menunjukkan bahwa keberadaan manusia tidak netral, melainkan
sarat makna. Al-Qur’an memandang manusia sebagai ‘abd Allāh (hamba
Allah) sekaligus khalīfat Allāh (wakil Allah di bumi).³ Identitas ganda
ini menuntut manusia untuk merealisasikan iman sebagai fondasi, Islam sebagai
aktualisasi, dan ihsan sebagai kesempurnaan. Tanpa iman, eksistensi manusia
kehilangan orientasi; tanpa Islam, eksistensi kehilangan bentuk; dan tanpa
ihsan, eksistensi kehilangan nilai.
11.3.
Refleksi
Epistemologis
Secara epistemologis, integrasi ini
menegaskan bahwa pengetahuan dalam Islam tidak hanya bersumber dari rasio dan
empiris, tetapi juga dari wahyu dan pengalaman spiritual.⁴ Iman memberi
keyakinan kepada hal-hal ghaib, Islam memberi landasan praksis dalam syariat,
sementara ihsan memberi kedalaman makna melalui intuisi spiritual. Dengan kata
lain, epistemologi Islam adalah integrasi antara naql (wahyu), ‘aql
(akal), dan qalb (hati).⁵
Refleksi ini menunjukkan kelebihan
paradigma Islam dibandingkan epistemologi modern sekuler yang cenderung
memisahkan rasio dari transendensi. Dalam perspektif Islam, ilmu tidak semata
alat untuk menguasai alam, tetapi jalan menuju kesadaran Ilahi.
11.4.
Refleksi Aksiologis
Secara aksiologis, ihsan menjadi puncak
nilai etis dalam Islam. Amal yang dilakukan tanpa ihsan hanyalah kewajiban
mekanis, sedangkan amal yang dilandasi ihsan menjadi ibadah yang penuh makna.⁶
Iman mengikat manusia pada Allah, Islam mengikat manusia pada hukum dan
masyarakat, sementara ihsan mengikat manusia pada kesadaran moral dan spiritual
yang melampaui kewajiban formal.
Nilai aksiologis ini sangat relevan
untuk menjawab krisis moral modern. Ihsan mengajarkan bahwa etika bukan sekadar
aturan eksternal, tetapi kesadaran batin untuk selalu berbuat baik meskipun
tanpa pengawasan.⁷
11.5.
Relevansi
Kontemporer
Dalam konteks kontemporer, integrasi
iman, Islam, dan ihsan menegaskan pentingnya paradigma keberagamaan yang utuh.
Iman dibutuhkan untuk mengatasi krisis spiritual akibat sekularisme, Islam
dibutuhkan untuk mengatur kehidupan sosial-ekonomi dengan prinsip keadilan, dan
ihsan dibutuhkan untuk menjaga nilai moralitas dalam menghadapi tantangan
global seperti korupsi, ketidakadilan, dan degradasi lingkungan.⁸
Pendidikan Islam, dakwah, dan
pembangunan masyarakat perlu diarahkan pada integrasi ketiga dimensi ini.
Dengan demikian, umat Islam dapat membangun peradaban yang tidak hanya kuat
secara material, tetapi juga luhur secara moral dan spiritual.
11.6.
Penutup Reflektif
Sintesis iman, Islam, dan ihsan
memperlihatkan bahwa kedalaman teologi Islam tidak berhenti pada tataran
doktrin, tetapi menjangkau filsafat eksistensial manusia. Ia menyatukan aspek
ontologi (hakikat manusia sebagai hamba dan khalifah), epistemologi (pengetahuan
berbasis wahyu, akal, dan intuisi), serta aksiologi (nilai etika ihsan sebagai
puncak moralitas).
Dengan demikian, Qs. Al-Baqarah [02]
ayat 177 dan Hadits Jibril tidak hanya menjadi teks normatif, melainkan juga
kerangka filosofis yang menuntun umat Islam membangun kehidupan yang bermakna,
adil, dan transenden. Integrasi ini pada akhirnya menegaskan bahwa keberagamaan
sejati adalah keberagamaan yang berakar pada iman, terwujud dalam Islam, dan
disempurnakan oleh ihsan.⁹
Footnotes
[1]
Muslim ibn al-Ḥajjāj, Ṣaḥīḥ Muslim, Kitāb
al-Īmān, no. hadis 8.
[2]
Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, jilid 1
(Riyadh: Dār Ṭayyibah, 1999), hlm. 490.
[3]
Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an,
(Chicago: University of Chicago Press, 1980), hlm. 41–42.
[4]
Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, jilid 1
(Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 2005), hlm. 94.
[5]
Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam,
(Kuala Lumpur: ISTAC, 1992), hlm. 20.
[6]
Al-Rāzī, Mafātīḥ al-Ghayb, jilid 5 (Beirut: Dār
Iḥyā’ al-Turāth al-‘Arabī, 1981), hlm. 124.
[7]
Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring
Values for Humanity, (New York: HarperCollins, 2002), hlm. 82.
[8]
Tariq Ramadan, Islam, the West and the Challenges
of Modernity, (Leicester: Islamic Foundation, 2001), hlm. 121–123.
[9]
Muhammad Asad, The Message of the Qur’an,
(Gibraltar: Dar al-Andalus, 1980), hlm. 51.
12.
Penutup
12.1.
Kesimpulan Umum
Kajian terhadap Qs. Al-Baqarah [02]
ayat 177 dan Hadits Jibril menunjukkan bahwa iman, Islam, dan ihsan
merupakan tiga dimensi fundamental yang tidak dapat dipisahkan dalam struktur
keberagamaan Islam. Iman memberikan fondasi batiniah berupa keyakinan
transendental, Islam menghadirkan aktualisasi lahiriah melalui ibadah ritual
dan sosial, sementara ihsan menjadi puncak kesempurnaan spiritual yang memberi
ruh pada keduanya.¹
Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177 menolak
pemahaman sempit yang mereduksi agama pada formalitas ritual semata, dan
mengarahkan umat pada pemahaman substansial yang menekankan integrasi antara
iman, amal, dan akhlak.² Hadits Jibril, di sisi lain, memberikan struktur
konseptual yang sistematis atas ketiga dimensi tersebut, sehingga keduanya
membentuk kerangka normatif dan filosofis yang menyeluruh bagi pemahaman
Islam.³
12.2.
Refleksi Teologis
dan Filosofis
Dari segi teologis, integrasi iman,
Islam, dan ihsan meneguhkan Islam sebagai agama yang holistik, mencakup akidah,
syariah, dan akhlak.⁴ Secara filosofis, ia menghadirkan paradigma eksistensial
yang menyatukan aspek ontologi (hakikat manusia sebagai hamba dan khalifah),
epistemologi (ilmu yang berbasis wahyu, akal, dan intuisi), dan aksiologi
(nilai ihsan sebagai puncak moralitas).⁵
Dengan demikian, ajaran Islam tidak
berhenti pada doktrin abstrak, melainkan berfungsi sebagai sistem hidup yang
mengarahkan manusia pada kesadaran Ilahi, keadilan sosial, dan pembangunan
peradaban.
12.3.
Relevansi
Kontekstual
Dalam konteks kontemporer, konsep iman,
Islam, dan ihsan memiliki relevansi yang sangat signifikan. Pertama, ia dapat
menjadi jawaban atas krisis spiritual akibat sekularisme modern. Kedua, ia
menawarkan basis normatif bagi pembangunan masyarakat yang adil melalui zakat,
infak, dan solidaritas sosial.⁶ Ketiga, ia menegaskan pentingnya moralitas dan
spiritualitas dalam menghadapi tantangan global seperti korupsi, konflik,
ketidakadilan ekonomi, serta degradasi lingkungan.⁷
Dengan mengintegrasikan ketiga dimensi
ini, umat Islam diharapkan mampu membangun keberagamaan yang tidak hanya
berorientasi pada akhirat, tetapi juga relevan dalam menjawab kebutuhan dunia
modern.
12.4.
Rekomendasi
Kajian ini merekomendasikan beberapa
hal:
1)
Penguatan Pendidikan
Islam – kurikulum harus mengintegrasikan iman, Islam, dan ihsan secara
seimbang, sehingga membentuk generasi yang berilmu, berakhlak, dan berkomitmen
sosial.
2)
Revitalisasi Dakwah –
dakwah harus menyentuh aspek spiritual (ihsan), tidak sekadar hukum formal,
agar menghadirkan teladan yang hidup.
3)
Pembangunan
Sosial-Peradaban – nilai iman, Islam, dan ihsan perlu diimplementasikan
dalam bidang ekonomi, politik, dan kebudayaan untuk melahirkan masyarakat yang
adil, seimbang, dan beradab.⁸
12.5.
Penutup Reflektif
Pada akhirnya, keberagamaan sejati
dalam Islam hanya dapat dicapai melalui integrasi iman, Islam, dan ihsan.
Ketiganya bukan sekadar konsep normatif, tetapi kerangka filosofis, teologis,
dan praksis yang membimbing manusia menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Qs.
Al-Baqarah [02] ayat 177 dan Hadits Jibril, jika dipahami secara mendalam,
memberikan panduan komprehensif untuk membangun kehidupan individual, sosial,
dan peradaban yang berlandaskan keimanan, diwarnai oleh amal saleh, dan
disempurnakan oleh ihsan.⁹
Footnotes
[1]
Muslim ibn al-Ḥajjāj, Ṣaḥīḥ Muslim, Kitāb
al-Īmān, no. hadis 8.
[2]
Al-Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān,
jilid 3 (Kairo: Dār al-Ma‘ārif, 1968), hlm. 289–294.
[3]
Al-Nawawī, Sharḥ Ṣaḥīḥ Muslim, jilid 1 (Beirut:
Dār al-Ma‘rifah, 2005), hlm. 158.
[4]
Ibn Taymiyyah, Majmū‘ al-Fatāwā, jilid 7
(Madinah: Mujamma‘ al-Malik Fahd, 2001), hlm. 210.
[5]
Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, jilid 1
(Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 2005), hlm. 94–95.
[6]
M. Umer Chapra, Islam and the Economic Challenge,
(Herndon: The International Institute of Islamic Thought, 1992), hlm. 90–91.
[7]
Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring
Values for Humanity, (New York: HarperCollins, 2002), hlm. 82–83.
[8]
Tariq Ramadan, Islam, the West and the Challenges
of Modernity, (Leicester: Islamic Foundation, 2001), hlm. 125–126.
[9]
Muhammad Asad, The Message of the Qur’an,
(Gibraltar: Dar al-Andalus, 1980), hlm. 51–52.
Daftar Pustaka
Asad, M. (1980). The message of
the Qur’an. Gibraltar: Dar al-Andalus.
Azra, A. (2002). Paradigma baru
pendidikan nasional. Jakarta: Kompas.
Bakar, O. (1992). Classification
of knowledge in Islam. Kuala Lumpur: International Institute of Islamic
Thought and Civilization (ISTAC).
Bauman, Z. (2000). Liquid
modernity. Cambridge: Polity Press.
Chapra, M. U. (1992). Islam and
the economic challenge. Herndon, VA: The International Institute of Islamic
Thought.
Fazlur Rahman. (1979). Islam.
Chicago, IL: University of Chicago Press.
Fazlur Rahman. (1980). Major
themes of the Qur’an. Chicago, IL: University of Chicago Press.
Fazlur Rahman. (1982). Islam and
modernity: Transformation of an intellectual tradition. Chicago, IL:
University of Chicago Press.
Ghazālī, A. H. (2005). Iḥyā’ ‘ulūm
al-dīn (Vols. 1–4). Beirut: Dār al-Ma‘rifah.
Hallaq, W. B. (2005). The origins
and evolution of Islamic law. Cambridge: Cambridge University Press.
Hallaq, W. B. (2013). The
impossible state: Islam, politics, and modernity’s moral predicament. New
York, NY: Columbia University Press.
Hick, J. (1983). Philosophy of
religion. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall.
Hodgson, M. G. S. (1974). The
venture of Islam (Vol. 2). Chicago, IL: University of Chicago Press.
Ibn ‘Arabī. (1946). Fuṣūṣ al-ḥikam.
Beirut: Dār al-Kitāb al-‘Arabī.
Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī. (1989). Fatḥ
al-bārī (Vol. 1). Beirut: Dār al-Ma‘rifah.
Ibn Kathīr. (1999). Tafsīr
al-Qur’ān al-‘aẓīm (Vol. 1). Riyadh: Dār Ṭayyibah.
Ibn Khaldūn. (2004). Al-muqaddimah
(Vol. 1). Beirut: Dār al-Fikr.
Ibn Manẓūr. (1993). Lisān al-‘Arab
(Vol. 12). Beirut: Dār Ṣādir.
Ibn Taymiyyah. (2001). Majmū‘
al-fatāwā (Vol. 7). Madinah: Mujamma‘ al-Malik Fahd.
Izutsu, T. (1966). Ethico-religious
concepts in the Qur’an. Montreal: McGill University Press.
Jurjānī, A. (1995). Al-ta‘rīfāt.
Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Makdisi, G. (1981). The rise of
colleges: Institutions of learning in Islam and the West. Edinburgh:
Edinburgh University Press.
Mutahhari, M. (1985). Man and
faith. Tehran: World Organization for Islamic Services.
Nasr, S. H. (1968). Science and
civilization in Islam. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Nasr, S. H. (1996). Religion and
the order of nature. New York, NY: Oxford University Press.
Nasr, S. H. (2002). The heart of
Islam: Enduring values for humanity. New York, NY: HarperCollins.
Nasr, S. H. (2015). The study
Quran: A new translation and commentary. New York, NY: HarperOne.
Nawawī, Y. (2005). Sharḥ Ṣaḥīḥ
Muslim (Vol. 1). Beirut: Dār al-Ma‘rifah.
Quṭb, S. (2003). Fī ẓilāl
al-Qur’ān (Vol. 1). Kairo: Dār al-Shurūq.
Qurṭubī, M. (2006). Al-jāmi‘ li aḥkām
al-Qur’ān (Vol. 2). Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Ramadan, T. (2001). Islam, the
West and the challenges of modernity. Leicester: Islamic Foundation.
Ramadan, T. (2004). Western
Muslims and the future of Islam. Oxford: Oxford University Press.
Ramadan, T. (2007). In the
footsteps of the Prophet: Lessons from the life of Muhammad. Oxford: Oxford
University Press.
Rāzī, F. (1981). Mafātīḥ al-ghayb
(Vol. 5). Beirut: Dār Iḥyā’ al-Turāth al-‘Arabī.
Ṭabarī, M. J. (1968). Jāmi‘
al-bayān fī ta’wīl al-Qur’ān (Vol. 3). Kairo: Dār al-Ma‘ārif.
Taylor, C. (2007). A secular age.
Cambridge, MA: Harvard University Press.
Wāḥidī, A. (1991). Asbāb al-nuzūl.
Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar