Kamis, 25 September 2025

Iman, Islam, dan Ihsan: Sebuah Kajian Teologis dan Filosofis

Iman, Islam, dan Ihsan

Sebuah Kajian Teologis dan Filosofis


Alihkan ke: Madzhab-Madzhab dalam Islam.

Ushul Fiqih, Fiqih I, Fiqih II, Fiqih III.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif integrasi dimensi iman, Islam, dan ihsan sebagaimana ditegaskan dalam Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177 dan Hadits Jibril. Penelitian ini bertujuan untuk menguraikan makna teologis, filosofis, serta sosial dari ketiga dimensi tersebut, sekaligus menyoroti implikasinya dalam pembentukan karakter umat, hukum Islam, dan peradaban. Metode kajian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif berbasis analisis teks (tafsir tematik dan hadis), dilengkapi perspektif teologis-filosofis.

Hasil kajian menunjukkan bahwa iman berfungsi sebagai fondasi keyakinan transendental, Islam sebagai manifestasi lahiriah melalui ibadah ritual dan sosial, dan ihsan sebagai puncak kesempurnaan spiritual yang memberi makna pada iman dan Islam. Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177 menekankan hakikat kebajikan (al-birr) yang bersifat substantif, sementara Hadits Jibril menyusun struktur sistematis agama melalui tiga pilar utama tersebut. Integrasi keduanya memperlihatkan kesatuan epistemologi, ontologi, dan aksiologi dalam Islam, sekaligus menolak reduksi formalistik yang hanya menekankan aspek lahiriah atau batiniah semata.

Artikel ini juga menyoroti tantangan modern, seperti sekularisme, relativisme, materialisme, dan fragmentasi internal umat Islam, yang berpotensi mereduksi makna integral iman, Islam, dan ihsan. Refleksi filosofis-teologis yang ditawarkan menegaskan bahwa ketiga dimensi ini tidak hanya relevan dalam konteks spiritual, tetapi juga memiliki kontribusi nyata dalam pendidikan, pembangunan sosial, etika ekonomi, dan peradaban kontemporer. Dengan demikian, iman, Islam, dan ihsan adalah kerangka komprehensif yang memastikan keberagamaan umat Islam tetap otentik, transendental, dan aplikatif.

Kata Kunci: Iman; Islam; Ihsan; Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177; Hadits Jibril; Teologi Islam; Filsafat Islam; Etika; Peradaban.


PEMBAHASAN

Dimensi Iman, Islam, dan Ihsan dalam Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177 dan Hadits Jibril


1.            Pendahuluan

1.1.        Latar Belakang Masalah

Pembahasan mengenai dimensi Iman, Islam, dan Ihsan merupakan inti ajaran Islam yang menegaskan kesatuan antara keyakinan batiniah, pengamalan lahiriah, dan kesempurnaan spiritual. Al-Qur’an secara eksplisit menekankan pentingnya integrasi ketiga dimensi ini dalam Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177, yang menolak reduksi agama pada ritual formalistik semata, dan menekankan bahwa kebaikan sejati (al-birr) mencakup aspek keyakinan, ibadah, moralitas, serta kepedulian sosial. Ayat ini menghadirkan paradigma etika religius yang menyeimbangkan hubungan manusia dengan Allah (ḥabl min Allāh) dan hubungan manusia dengan sesama (ḥabl min al-nās).¹

Hadits Jibril yang masyhur menjadi sumber rujukan penting dalam memahami struktur ajaran Islam. Melalui dialog Jibril dengan Nabi Muhammad Saw, ajaran Islam diklasifikasikan secara sistematis ke dalam tiga pilar utama: Islam (dimensi amal lahiriah), Iman (dimensi keyakinan batiniah), dan Ihsan (dimensi kesempurnaan spiritual).² Ketiga dimensi ini bukan entitas yang berdiri sendiri, melainkan sebuah kesatuan integratif yang membentuk kerangka ontologis, epistemologis, dan aksiologis bagi kehidupan seorang Muslim. Dengan demikian, Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177 dan Hadits Jibril dapat dipandang sebagai dua teks fundamental yang saling melengkapi dalam menjelaskan struktur keberagamaan Islam.³

Dalam konteks kontemporer, pemahaman yang parsial terhadap ajaran Islam sering menimbulkan problem. Ada kecenderungan sebagian kelompok hanya menekankan aspek ritual-legalistik (Islam) tanpa menginternalisasi makna batiniah (Iman) atau dimensi moral-spiritual (Ihsan). Sebaliknya, ada pula kelompok yang hanya menekankan aspek mistik dan spiritualitas tanpa memperhatikan syariah sebagai fondasi ibadah lahiriah. Pemisahan ini seringkali berimplikasi pada munculnya fragmentasi pemahaman umat Islam, bahkan pada konflik internal antar kelompok. Oleh sebab itu, kajian yang menyeluruh tentang integrasi Iman, Islam, dan Ihsan menjadi sangat relevan bagi pembangunan teologi yang seimbang dan praksis sosial yang berkeadilan.⁴

1.2.        Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1)             Bagaimana pemahaman dimensi Iman, Islam, dan Ihsan sebagaimana tersurat dalam Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177?

2)             Bagaimana makna Iman, Islam, dan Ihsan dijelaskan dalam Hadits Jibril?

3)             Bagaimana keterkaitan antara Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177 dengan Hadits Jibril dalam membentuk kerangka integral ajaran Islam?

4)             Apa implikasi filosofis, teologis, dan sosial dari pemahaman integratif terhadap ketiga dimensi tersebut?

1.3.        Tujuan Penelitian

Tujuan dari kajian ini adalah:

1)             Menjelaskan secara tekstual dan kontekstual kandungan Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177 dalam hubungannya dengan dimensi Iman, Islam, dan Ihsan.

2)             Menganalisis makna teologis Hadits Jibril sebagai kerangka dasar ajaran Islam.

3)             Mengkaji hubungan integratif antara teks Al-Qur’an dan Hadits dalam membentuk paradigma keberagamaan yang utuh.

4)             Menguraikan relevansi pemahaman tersebut dalam konteks sosial, etika, dan pendidikan umat Islam masa kini.

1.4.        Manfaat Penelitian

Kajian ini diharapkan memberi kontribusi teoretis dan praktis:

1)             Kontribusi Teoretis: memperkaya khazanah ilmu keislaman, khususnya dalam bidang tafsir tematik, hadis, dan teologi Islam.

2)             Kontribusi Praktis: menjadi rujukan dalam pembentukan kurikulum pendidikan agama, pengembangan etika sosial, serta penguatan karakter spiritual umat Islam.

1.5.        Metode Kajian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode analisis teks terhadap Al-Qur’an dan Hadits. Tafsir tematik (mawḍū‘ī) digunakan untuk menggali makna Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177, sedangkan analisis sanad dan matan hadis digunakan untuk memahami Hadits Jibril. Kajian dilengkapi dengan pendekatan teologis-filosofis, sehingga menghasilkan sintesis antara aspek normatif, historis, dan reflektif.

Dengan demikian, penelitian ini diharapkan mampu memperlihatkan bahwa Iman, Islam, dan Ihsan merupakan tiga dimensi yang tidak dapat dipisahkan. Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177 menegaskan makna kebajikan yang substansial, sementara Hadits Jibril memberikan kerangka konseptual yang sistematis. Keduanya bersatu dalam menyajikan visi Islam yang menyeluruh: iman yang mengakar, Islam yang diamalkan, dan ihsan yang memuliakan.


Footnotes

[1]            Al-Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān, (Kairo: Dār al-Ma‘ārif, 1968), jilid 3, hlm. 287.

[2]            Muslim ibn al-Ḥajjāj, Ṣaḥīḥ Muslim, Kitāb al-Īmān, no. hadis 8.

[3]            Al-Nawawī, Sharḥ Ṣaḥīḥ Muslim, (Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 2005), jilid 1, hlm. 158.

[4]            Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, (Chicago: University of Chicago Press, 1982), hlm. 36–38.


2.            Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177: Analisis Kontekstual dan Tekstual

2.1.        Konteks Historis dan Asbāb al-Nuzūl

Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177 merupakan salah satu ayat kunci dalam Al-Qur’an yang menjelaskan hakikat kebajikan sejati (al-birr). Ayat ini turun dalam konteks polemik arah kiblat yang sempat menimbulkan perdebatan di kalangan umat Islam awal, khususnya setelah peralihan kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka‘bah di Makkah.¹ Dalam konteks ini, sebagian kaum Muslimin menganggap kebaikan (al-birr) hanya dapat diwujudkan melalui orientasi ritual, yaitu menghadap ke arah tertentu ketika shalat. Namun, ayat ini menegaskan bahwa kebaikan sejati tidak terbatas pada simbol-simbol ritual, melainkan mencakup iman, amal ibadah, serta komitmen sosial.²

Dengan demikian, ayat ini memiliki fungsi korektif terhadap reduksi agama pada simbol eksternal, dan sekaligus membangun paradigma bahwa substansi agama harus dipahami sebagai integrasi antara dimensi keyakinan, ibadah, dan akhlak. Penegasan ini memperlihatkan bahwa Islam bukan sekadar ritual, melainkan sistem kehidupan yang melibatkan dimensi teologis, spiritual, moral, dan sosial.³

2.2.        Analisis Tekstual dan Struktural

Secara tekstual, ayat ini memulai penjelasan dengan penolakan terhadap persepsi keliru:

لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan...” (lāysa al-birr an tuwallū wujūhakum qibala al-masyriqi wa al-maghrib).

Ungkapan negasi ini berfungsi sebagai qalb al-mafhūm (pembalikan konsep) yang menekankan bahwa orientasi lahiriah bukanlah inti dari kebaikan. Setelah itu, ayat beralih kepada penegasan positif:

وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَالْمَلائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ

“Akan tetapi kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan para nabi...”

Bagian ini menekankan dimensi iman sebagai fondasi batiniah yang melandasi seluruh amal. Selanjutnya, ayat melanjutkan dengan penjelasan dimensi Islam dalam bentuk amal lahiriah:

وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ

“...dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir, orang-orang yang meminta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya...”

Ayat kemudian menekankan dimensi ibadah ritual (shalat dan zakat) sekaligus komitmen moral (menepati janji, bersabar dalam kesempitan, penderitaan, dan peperangan).⁴

Struktur ayat ini sangat sistematis: (1) dimulai dengan penegasan iman sebagai fondasi, (2) dilanjutkan dengan amal ibadah yang bersifat sosial dan ritual, dan (3) diakhiri dengan kualitas etika yang lebih tinggi, yaitu kesabaran dan keteguhan dalam menghadapi ujian. Keseluruhan rangkaian ini memperlihatkan bahwa al-birr bukan konsep tunggal, tetapi sebuah integrasi dimensi keagamaan.⁵

2.3.        Dimensi Teologis dan Etis dalam Ayat

Ayat ini menampilkan tiga poros utama: iman, ibadah, dan etika sosial. Pertama, iman sebagai basis keyakinan metafisis yang meliputi Allah, malaikat, kitab, rasul, dan hari akhir. Hal ini sejalan dengan rukun iman dalam Hadits Jibril. Kedua, ibadah ritual dan sosial yang meliputi shalat, zakat, dan infak. Ketiga, etika sosial yang menekankan solidaritas, pengorbanan, dan keadilan.

Keterpaduan dimensi ini menunjukkan bahwa dalam Islam, iman tidak sah tanpa Islam, dan Islam tidak sempurna tanpa ihsan. Dengan kata lain, ayat ini merepresentasikan jalinan integral antara dimensi teologis (iman), dimensi syar‘i (Islam), dan dimensi spiritual-etik (ihsan).⁶


Relasi dengan Konsep al-Birr

Konsep al-birr dalam ayat ini menjadi kunci untuk memahami hakikat kesalehan menurut Islam. Menurut Ibn Kathīr, al-birr adalah istilah komprehensif yang meliputi seluruh bentuk kebaikan, baik yang terkait dengan keyakinan, ibadah, maupun akhlak.⁷ Al-Qur’an menolak definisi sempit yang hanya mengaitkan al-birr dengan ritual formal, dan mengembalikannya kepada makna substansial yang mencakup dimensi batiniah, lahiriah, dan sosial.

Dengan demikian, ayat ini bukan sekadar pedoman moral, tetapi juga fondasi teologis yang memperlihatkan bagaimana iman, Islam, dan ihsan terintegrasi dalam praksis kehidupan seorang Muslim. Hal ini memperkuat pandangan bahwa Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177 merupakan teks fundamental yang paralel dengan Hadits Jibril dalam membentuk paradigma integral keislaman.


Footnotes

[1]            Al-Wāhidī, Asbāb al-Nuzūl, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1991), hlm. 45.

[2]            Al-Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān, jilid 3 (Kairo: Dār al-Ma‘ārif, 1968), hlm. 289.

[3]            Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an, (Chicago: University of Chicago Press, 1980), hlm. 31–33.

[4]            Al-Qurṭubī, Al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān, jilid 2 (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006), hlm. 190.

[5]            Seyyed Hossein Nasr, The Study Quran: A New Translation and Commentary, (New York: HarperOne, 2015), hlm. 96–97.

[6]            Muhammad Asad, The Message of the Qur’an, (Gibraltar: Dar al-Andalus, 1980), hlm. 49–50.

[7]            Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, jilid 1 (Riyadh: Dār Ṭayyibah, 1999), hlm. 486.


3.            Konsep Iman dalam Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177

3.1.        Definisi Iman dalam Perspektif Al-Qur’an

Iman dalam terminologi Al-Qur’an bukan sekadar pernyataan verbal (iqrār bi al-lisān), tetapi mencakup keyakinan mendalam di dalam hati (taṣdīq bi al-qalb) yang terefleksikan dalam amal perbuatan.¹ Dalam Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177, iman diletakkan sebagai fondasi dari seluruh bangunan kebajikan (al-birr). Hal ini menunjukkan bahwa keimanan merupakan dimensi ontologis yang mendasari identitas religius seorang Muslim. Tanpa iman, amal saleh akan kehilangan substansi transendentalnya, karena imanlah yang memberikan orientasi spiritual kepada setiap tindakan.²

Ayat ini menegaskan bahwa kebajikan sejati diawali dengan iman kepada Allah, hari akhir, malaikat, kitab, dan para nabi. Unsur-unsur ini identik dengan rukun iman yang dijelaskan secara eksplisit dalam Hadits Jibril, menandakan adanya koherensi antara Al-Qur’an dan Hadits dalam menjelaskan struktur dasar teologi Islam.³ Dengan demikian, iman dalam Al-Qur’an bersifat integral, mencakup dimensi metafisis (Allah, malaikat, kitab, rasul) dan eskatologis (hari akhir).

3.2.        Unsur-Unsur Iman dalam Ayat

Secara rinci, Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177 menyebutkan beberapa unsur pokok iman:

1)             Iman kepada Allah – sebagai fondasi transendensi, menegaskan tauhid sebagai inti dari seluruh ajaran Islam. Tauhid tidak hanya bermakna keesaan Allah dalam wujud (wujūd), tetapi juga eksklusivitas-Nya dalam pengaturan kosmos dan otoritas syariat.⁴

2)             Iman kepada Hari Akhir – menegaskan bahwa orientasi etika dan amal dalam Islam selalu terkait dengan pertanggungjawaban di akhirat. Kesadaran eskatologis ini melahirkan keseriusan dalam beramal dan keadilan sosial.⁵

3)             Iman kepada Malaikat – menunjukkan pengakuan terhadap dimensi ghaib yang berperan sebagai perantara perintah Allah, pengawas amal, dan penjaga keteraturan kosmos.⁶

4)             Iman kepada Kitab – mencakup pengakuan terhadap wahyu ilahi sebagai sumber petunjuk. Hal ini menegaskan epistemologi Islam yang berbasis wahyu, berbeda dengan rasionalisme sekuler yang meniadakan peran wahyu.⁷

5)             Iman kepada Para Nabi – mengisyaratkan kontinuitas risalah dan universalitas ajaran Islam. Dengan menyebut para nabi secara umum, Al-Qur’an menegaskan kesatuan misi kenabian yang berpuncak pada Nabi Muhammad Saw.⁸

Keseluruhan unsur ini membentuk kerangka iman yang komprehensif, meneguhkan bahwa iman dalam Islam bukanlah sekadar abstraksi, tetapi sistem keyakinan yang menyatukan metafisika, epistemologi, dan etika.

3.3.        Dimensi Batiniah dan Epistemologi Iman

Iman dalam Al-Qur’an memiliki dimensi batiniah yang tidak dapat diukur secara empiris, tetapi dapat dikenali melalui manifestasi amal. Ibn Taymiyyah menekankan bahwa iman adalah keyakinan dalam hati, ucapan dengan lisan, dan amal dengan anggota tubuh, serta dapat bertambah dan berkurang.⁹ Pemahaman ini sejalan dengan makna iman dalam Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177 yang selalu dikaitkan dengan amal nyata, seperti infak, shalat, dan kesabaran.

Dari sisi epistemologi, iman tidak bertentangan dengan akal, melainkan mengarahkan akal untuk menerima kebenaran wahyu. Al-Ghazālī menegaskan bahwa iman memiliki tingkatan: dari sekadar taklid, naik kepada pengetahuan rasional, hingga mencapai penyaksian spiritual (mukāshafah).¹⁰ Dengan demikian, iman dalam perspektif ayat ini merupakan basis pengetahuan yang tidak hanya rasional, tetapi juga transenden.

3.4.        Iman sebagai Dasar Moralitas dan Aksi Sosial

Keimanan yang ditegaskan dalam ayat ini tidak bersifat statis, melainkan dinamis dan fungsional. Setelah menyebutkan unsur iman, ayat melanjutkan dengan perintah amal sosial: memberikan harta, menolong yatim dan miskin, serta membebaskan budak. Hal ini menandakan bahwa iman sejati bukanlah sekadar kesalehan pribadi, tetapi memiliki implikasi sosial yang nyata.¹¹

Dengan demikian, iman dalam Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177 dapat dipahami sebagai basis moralitas universal. Ia tidak hanya mengikat individu kepada Tuhannya, tetapi juga mengikat manusia dalam hubungan sosial. Iman menuntut bukti konkret dalam tindakan yang menegakkan keadilan, kepedulian, dan solidaritas.


Kesimpulan Sementara

Konsep iman dalam Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177 memperlihatkan tiga aspek penting: (1) iman sebagai fondasi ontologis yang mencakup keesaan Allah dan unsur metafisis lainnya; (2) iman sebagai epistemologi transendental yang menyatukan wahyu dan akal; dan (3) iman sebagai dasar aksi sosial yang menuntut realisasi dalam amal. Dengan demikian, iman tidak dapat dipisahkan dari Islam dan Ihsan, karena ketiganya merupakan satu kesatuan yang integral.


Footnotes

[1]            Al-Jurjānī, Al-Ta‘rīfāt, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), hlm. 52.

[2]            Sayyid Quṭb, Fī Ẓilāl al-Qur’ān, jilid 1 (Kairo: Dār al-Shurūq, 2003), hlm. 204.

[3]            Muslim ibn al-Ḥajjāj, Ṣaḥīḥ Muslim, Kitāb al-Īmān, no. hadis 8.

[4]            Al-Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān, jilid 3 (Kairo: Dār al-Ma‘ārif, 1968), hlm. 291.

[5]            Al-Qurṭubī, Al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān, jilid 2 (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006), hlm. 192.

[6]            Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, jilid 1 (Riyadh: Dār Ṭayyibah, 1999), hlm. 488.

[7]            Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an, (Chicago: University of Chicago Press, 1980), hlm. 33–34.

[8]            Al-Rāzī, Mafātīḥ al-Ghayb, jilid 5 (Beirut: Dār Iḥyā’ al-Turāth al-‘Arabī, 1981), hlm. 116.

[9]            Ibn Taymiyyah, Majmū‘ al-Fatāwā, jilid 7 (Madinah: Mujamma‘ al-Malik Fahd, 2001), hlm. 209.

[10]          Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, jilid 1 (Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 2005), hlm. 94–95.

[11]          Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity, (New York: HarperCollins, 2002), hlm. 55–56.


4.            Konsep Islam dalam Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177

4.1.        Islam sebagai Ketundukan Lahiriah

Islam secara etimologis berasal dari akar kata s-l-m yang bermakna “berserah diri” atau “tunduk”.¹ Dalam kerangka Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177, dimensi Islam tampak pada penekanan amal-amal lahiriah yang berfungsi sebagai bukti nyata dari keimanan batiniah. Ayat ini tidak hanya menekankan keimanan dalam hati, tetapi juga menghubungkannya dengan perbuatan konkret seperti menunaikan shalat, zakat, dan infak.² Dengan demikian, Islam dalam ayat ini dipahami sebagai aktualisasi iman yang bersifat praktis, di mana keyakinan batiniah menemukan bentuk nyatanya dalam amal lahiriah.

Ketundukan ini tidak bersifat pasif, melainkan aktif melalui keterlibatan seorang Muslim dalam ibadah ritual dan sosial. Hal ini memperlihatkan bahwa Islam dalam pengertian Qur’ani bukan hanya kepatuhan simbolik, tetapi sebuah sistem kehidupan yang menuntut keserasian antara keyakinan, ucapan, dan tindakan.³

4.2.        Islam dan Amal Ibadah Ritual

Ayat ini menegaskan pentingnya dua pilar utama ibadah ritual: shalat dan zakat. Shalat berfungsi sebagai sarana komunikasi vertikal dengan Allah, sementara zakat merupakan bentuk kepedulian horizontal terhadap sesama manusia.⁴ Keduanya menjadi manifestasi konkret dari dimensi Islam yang berakar pada iman.

1)             Shalat – disebut dalam ayat ini sebagai simbol ketundukan yang paling utama. Shalat bukan hanya kewajiban ritual, melainkan juga mekanisme pendidikan spiritual dan moral. Melalui shalat, seorang Muslim dilatih untuk disiplin, rendah hati, dan selalu mengingat Allah.⁵

2)             Zakat – dalam ayat ini, zakat tidak hanya dipahami sebagai kewajiban formal, tetapi juga bagian dari etika sosial Islam. Zakat mengandung dimensi redistribusi ekonomi yang bertujuan menjaga keseimbangan sosial.⁶

Kedua bentuk ibadah ini memperlihatkan keseimbangan antara dimensi spiritual dan sosial dari Islam, sehingga menegaskan bahwa Islam bukan agama yang hanya berfokus pada ritual, tetapi juga mencakup dimensi sosial-ekonomi.

4.3.        Islam dan Amal Ibadah Sosial

Selain shalat dan zakat, ayat ini juga menyebutkan tindakan memberi harta kepada kerabat, anak yatim, orang miskin, musafir, peminta-minta, dan untuk memerdekakan budak. Tindakan ini menegaskan bahwa dimensi Islam tidak dapat dipisahkan dari etika sosial. Ibn Kathīr menekankan bahwa pengorbanan harta yang dicintai untuk kepentingan orang lain merupakan salah satu indikator Islam yang sejati.⁷

Islam dalam konteks ini menuntut realisasi kepedulian sosial melalui pengorbanan yang nyata, bukan sekadar niat. Pengorbanan materi menjadi bukti ketulusan dan keikhlasan dalam beragama, serta memperlihatkan bahwa Islam menekankan dimensi praksis dalam kehidupan bermasyarakat.⁸

4.4.        Islam sebagai Manifestasi Iman

Dimensi Islam yang terkandung dalam ayat ini memperlihatkan hubungan organik antara iman dan amal. Iman yang benar akan melahirkan amal saleh, dan amal saleh yang tulus memperkuat iman. Dengan demikian, Islam dapat dipahami sebagai wujud lahiriah dari iman batiniah.⁹

Al-Rāzī menjelaskan bahwa penyebutan amal lahiriah setelah iman dalam ayat ini menegaskan keterkaitan keduanya secara hierarkis: iman adalah fondasi, sedangkan Islam adalah bangunan yang tampak. Tanpa amal, iman akan kehilangan manifestasinya; sebaliknya, amal tanpa iman akan kehilangan orientasi spiritualnya.¹⁰

4.5.        Implikasi Konsep Islam dalam Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177

Pemahaman Islam dalam ayat ini membawa beberapa implikasi penting:

1)             Implikasi Teologis – Islam menegaskan hubungan erat antara dimensi vertikal (hubungan dengan Allah) dan horizontal (hubungan dengan manusia).

2)             Implikasi Etis – Islam mengarahkan umat kepada amal nyata yang menumbuhkan solidaritas, keadilan, dan kepedulian sosial.

3)             Implikasi Sosial-Politik – konsep Islam dalam ayat ini menjadi dasar pembangunan masyarakat yang berkeadilan, di mana ibadah ritual terhubung dengan komitmen sosial.

Dengan demikian, Islam dalam Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177 tidak dapat direduksi pada kepatuhan ritualistik semata, melainkan harus dipahami sebagai integrasi antara iman, amal ibadah, dan tanggung jawab sosial.


Footnotes

[1]            Ibn Manẓūr, Lisān al-‘Arab, jilid 12 (Beirut: Dār Ṣādir, 1993), hlm. 325.

[2]            Al-Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān, jilid 3 (Kairo: Dār al-Ma‘ārif, 1968), hlm. 293.

[3]            Fazlur Rahman, Islam, (Chicago: University of Chicago Press, 1979), hlm. 7–8.

[4]            Al-Qurṭubī, Al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān, jilid 2 (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006), hlm. 195.

[5]            Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, jilid 1 (Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 2005), hlm. 153.

[6]            M. Umer Chapra, Islam and the Economic Challenge, (Herndon: The International Institute of Islamic Thought, 1992), hlm. 88.

[7]            Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, jilid 1 (Riyadh: Dār Ṭayyibah, 1999), hlm. 489.

[8]            Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity, (New York: HarperCollins, 2002), hlm. 71.

[9]            Muslim ibn al-Ḥajjāj, Ṣaḥīḥ Muslim, Kitāb al-Īmān, no. hadis 8.

[10]          Al-Rāzī, Mafātīḥ al-Ghayb, jilid 5 (Beirut: Dār Iḥyā’ al-Turāth al-‘Arabī, 1981), hlm. 119.


5.            Konsep Ihsan dalam Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177

5.1.        Ihsan sebagai Dimensi Spiritual-Etik

Konsep ihsan dalam Islam secara klasik dipahami melalui Hadits Jibril:

أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ

Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.”¹

Definisi ini menegaskan bahwa ihsan merupakan puncak spiritualitas Islam, yakni beribadah dengan kesadaran penuh akan kehadiran Allah. Dalam Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177, dimensi ihsan hadir bukan dalam terminologi eksplisit, melainkan melalui penekanan pada amal yang dilakukan dengan penuh keikhlasan, kesabaran, dan komitmen moral.² Dengan demikian, ihsan dapat dipandang sebagai ruh yang menjiwai iman dan Islam, sehingga menjadikan seluruh amal berorientasi pada kualitas etis dan spiritual yang lebih tinggi.

5.2.        Ihsan dalam Amal Saleh dan Keikhlasan

Ayat ini menekankan tindakan sosial seperti memberi harta yang dicintai kepada orang lain, menolong anak yatim, membantu orang miskin, dan memerdekakan hamba sahaya. Tindakan ini mencerminkan ihsan karena menuntut pengorbanan personal demi kemaslahatan sosial.³ Tidak cukup sekadar melakukan amal, tetapi amal tersebut harus dilakukan dengan keikhlasan hati, tanpa pamrih, dan semata-mata karena Allah. Ibn Kathīr menegaskan bahwa al-birr yang disebut dalam ayat ini mencakup dimensi ihsan, sebab amal saleh yang dilandasi keikhlasan merupakan puncak kesalehan seorang Muslim.⁴

Keikhlasan dalam ihsan membedakan antara amal yang bersifat mekanis dan amal yang bernilai transendental. Amal yang dilakukan tanpa kesadaran akan kehadiran Allah hanyalah aktivitas sosial, sedangkan amal yang disertai ihsan menjadi ibadah yang bermakna spiritual.⁵

5.3.        Ihsan dalam Dimensi Akhlak dan Kesabaran

Bagian akhir ayat menyebutkan:

وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ

“orang-orang yang menepati janji apabila mereka berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan...” (wa al-ṣābirīn fī al-ba’sā’ wa al-ḍarrā’ wa ḥīna al-ba’s).

Dimensi ini menunjukkan bahwa ihsan tidak terbatas pada amal ibadah ritual atau sosial, melainkan juga mencakup akhlak personal yang luhur.⁶

Kesabaran (ṣabr) yang disebut dalam ayat ini merupakan manifestasi ihsan dalam menghadapi ujian kehidupan. Al-Rāzī menekankan bahwa kesabaran adalah mahkota akhlak yang menunjukkan keteguhan iman, dan ketika digabung dengan amal saleh, ia mencerminkan kualitas ihsan.⁷ Dengan demikian, ayat ini memperlihatkan bahwa ihsan mengintegrasikan aspek ibadah, sosial, dan akhlak dalam satu kesatuan etika spiritual.

5.4.        Ihsan sebagai Kesempurnaan Beragama

Jika iman adalah fondasi dan Islam adalah bangunan lahiriah, maka ihsan adalah keindahan dan kesempurnaan dari bangunan tersebut. Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177 menghubungkan iman dan Islam dengan amal yang bernilai ihsan, sehingga melahirkan kualitas keberagamaan yang utuh. Fazlur Rahman menekankan bahwa al-birr dalam ayat ini identik dengan kualitas ihsan, karena mengandung dimensi integratif: keyakinan, amal ibadah, pengorbanan sosial, dan kesabaran moral.⁸

Dengan demikian, ihsan merupakan dimensi yang melampaui kepatuhan formalistik. Ihsan menuntut internalisasi spiritual yang mengubah amal dari sekadar kewajiban menjadi manifestasi cinta kepada Allah dan kasih sayang kepada sesama manusia. Hal ini menjadikan ihsan sebagai puncak moralitas Islam yang memadukan transendensi dan humanisme.⁹

5.5.        Relevansi Ihsan dalam Kehidupan Kontemporer

Dalam konteks modern, di mana kehidupan cenderung bersifat materialistik dan mekanis, konsep ihsan menjadi sangat relevan. Ihsan mengajarkan bahwa amal tidak cukup sekadar memenuhi standar hukum (fiqh), tetapi harus memiliki kualitas etis dan spiritual.¹⁰ Hal ini dapat diaplikasikan dalam berbagai bidang: pendidikan (pembentukan karakter dengan basis ihsan), ekonomi (bisnis yang etis dan berkeadilan), maupun politik (kepemimpinan yang amanah dan berorientasi pada kebaikan publik).

Dengan demikian, Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177 bukan hanya menawarkan kerangka normatif tentang amal, tetapi juga membangun paradigma ihsan sebagai etika universal yang menuntun umat Islam dalam menghadapi tantangan zaman.


Footnotes

[1]            Muslim ibn al-Ḥajjāj, Ṣaḥīḥ Muslim, Kitāb al-Īmān, no. hadis 8.

[2]            Al-Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān, jilid 3 (Kairo: Dār al-Ma‘ārif, 1968), hlm. 294.

[3]            Al-Qurṭubī, Al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān, jilid 2 (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006), hlm. 197.

[4]            Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, jilid 1 (Riyadh: Dār Ṭayyibah, 1999), hlm. 490.

[5]            Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, jilid 4 (Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 2005), hlm. 332.

[6]            Sayyid Quṭb, Fī Ẓilāl al-Qur’ān, jilid 1 (Kairo: Dār al-Shurūq, 2003), hlm. 208.

[7]            Al-Rāzī, Mafātīḥ al-Ghayb, jilid 5 (Beirut: Dār Iḥyā’ al-Turāth al-‘Arabī, 1981), hlm. 122.

[8]            Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an, (Chicago: University of Chicago Press, 1980), hlm. 37–38.

[9]            Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity, (New York: HarperCollins, 2002), hlm. 80.

[10]          Tariq Ramadan, In the Footsteps of the Prophet: Lessons from the Life of Muhammad, (Oxford: Oxford University Press, 2007), hlm. 94–95.


6.            Hadits Jibril: Struktur Ajaran Iman, Islam, dan Ihsan

6.1.        Riwayat dan Otoritas Hadits Jibril

Hadits Jibril adalah salah satu hadis paling fundamental dalam Islam karena memuat penjelasan Nabi Muhammad Saw tentang inti ajaran agama melalui pertanyaan yang diajukan oleh Malaikat Jibril. Riwayat ini tercantum dalam berbagai kitab hadis otoritatif, di antaranya Ṣaḥīḥ Muslim dan Ṣaḥīḥ al-Bukhārī.¹ Dalam hadis tersebut, Jibril datang dalam wujud manusia dan mengajukan pertanyaan tentang Islam, iman, ihsan, serta tanda-tanda kiamat. Nabi menjawab setiap pertanyaan dengan penjelasan yang membentuk kerangka dasar ajaran Islam.

Al-Nawawī dalam Sharḥ Ṣaḥīḥ Muslim menegaskan bahwa hadis ini mencakup seluruh dimensi agama, sehingga disebut oleh sebagian ulama sebagai Umm al-Sunnah (induk hadis), sebagaimana Surah al-Fātiḥah disebut Umm al-Kitāb dalam Al-Qur’an.² Hadis ini menegaskan koherensi antara iman, Islam, dan ihsan, sekaligus menempatkannya dalam struktur hierarkis namun integratif.

6.2.        Struktur Tiga Dimensi Ajaran Islam

Hadits Jibril menyajikan tiga dimensi ajaran Islam yang saling melengkapi:

1)             Islam – Nabi menjelaskan bahwa Islam terdiri dari lima rukun: syahadat, shalat, zakat, puasa Ramadan, dan haji bagi yang mampu.³ Rukun ini merupakan dimensi lahiriah dari agama, yang meliputi ibadah ritual sebagai wujud kepatuhan seorang Muslim.

2)             Iman – Dijelaskan sebagai keyakinan kepada Allah, malaikat, kitab, rasul, hari akhir, dan qadar. Ini adalah dimensi batiniah yang menjadi fondasi kepercayaan spiritual.⁴

3)             Ihsan – Dijelaskan sebagai beribadah kepada Allah seakan-akan melihat-Nya. Jika tidak dapat melihat-Nya, maka tetap dengan keyakinan bahwa Allah melihat hamba-Nya. Ini adalah dimensi kesempurnaan yang mengintegrasikan iman dan Islam dalam kesadaran spiritual yang tinggi.⁵

Struktur ini menegaskan bahwa Islam tidak dapat dipahami secara parsial. Islam tanpa iman akan menjadi formalitas kosong, iman tanpa Islam berpotensi menjadi abstraksi tanpa wujud, sementara keduanya tanpa ihsan akan kehilangan kualitas etis dan spiritual.

6.3.        Perspektif Ulama Klasik

Para ulama klasik menempatkan Hadits Jibril sebagai kerangka komprehensif teologi Islam. Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī menyatakan bahwa hadis ini merupakan pondasi utama dalam memahami keseluruhan ajaran agama karena mencakup aspek syariah, akidah, dan akhlak.⁶ Al-Ghazālī dalam Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn menegaskan bahwa iman, Islam, dan ihsan harus dipahami sebagai tiga jalan yang menuju satu tujuan: kesempurnaan penghambaan kepada Allah.⁷

Selain itu, al-Rāzī melihat adanya relasi epistemologis dalam hadis ini: iman sebagai keyakinan batiniah, Islam sebagai implementasi praktis, dan ihsan sebagai dimensi gnosis (pengetahuan spiritual) yang lebih tinggi.⁸ Dengan demikian, hadis ini memaparkan ajaran Islam dalam struktur yang berlapis namun saling mengikat.

6.4.        Perspektif Pemikir Kontemporer

Para pemikir Islam modern juga banyak mengkaji Hadits Jibril untuk merumuskan relevansi ajaran Islam dalam konteks kekinian. Fazlur Rahman, misalnya, menekankan bahwa hadis ini membangun suatu visi agama yang menyatukan dimensi teologis, etis, dan spiritual dalam praksis kehidupan.⁹ Sementara Seyyed Hossein Nasr melihat hadis ini sebagai fondasi spiritualitas Islam yang menekankan bahwa tanpa ihsan, agama akan terjebak dalam formalitas yang kering.¹⁰

Dalam konteks modern, hadis ini menjadi dasar bagi pendekatan integral dalam pendidikan Islam, pembangunan masyarakat, dan dialog lintas peradaban. Ia menegaskan bahwa Islam bukan hanya agama hukum, tetapi juga agama iman dan spiritualitas.

6.5.        Hadits Jibril sebagai Sintesis Ajaran Islam

Hadits Jibril menunjukkan bahwa iman, Islam, dan ihsan bukanlah entitas yang berdiri sendiri, melainkan tiga aspek yang saling melengkapi. Islam menata perilaku lahiriah, iman menguatkan keyakinan batiniah, dan ihsan menyempurnakan dimensi spiritual. Ketiganya membentuk kerangka komprehensif yang menegaskan Islam sebagai agama yang holistik.

Dengan demikian, Hadits Jibril dapat dipandang sebagai pedoman interpretatif bagi Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177. Keduanya menekankan bahwa kebajikan sejati hanya dapat terwujud melalui integrasi iman, Islam, dan ihsan. Ayat tersebut memberikan dimensi normatif Al-Qur’an, sedangkan hadis ini menyajikan struktur sistematis ajaran Islam.


Footnotes

[1]            Muslim ibn al-Ḥajjāj, Ṣaḥīḥ Muslim, Kitāb al-Īmān, no. hadis 8.

[2]            Al-Nawawī, Sharḥ Ṣaḥīḥ Muslim, jilid 1 (Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 2005), hlm. 158.

[3]            Al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Kitāb al-Īmān, no. hadis 50.

[4]            Muslim ibn al-Ḥajjāj, Ṣaḥīḥ Muslim, Kitāb al-Īmān, no. hadis 8.

[5]            Ibid.

[6]            Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī, Fatḥ al-Bārī, jilid 1 (Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 1989), hlm. 114.

[7]            Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, jilid 1 (Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 2005), hlm. 97.

[8]            Al-Rāzī, Mafātīḥ al-Ghayb, jilid 5 (Beirut: Dār Iḥyā’ al-Turāth al-‘Arabī, 1981), hlm. 127.

[9]            Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an, (Chicago: University of Chicago Press, 1980), hlm. 36–38.

[10]          Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity, (New York: HarperCollins, 2002), hlm. 77.


7.            Integrasi Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177 dan Hadits Jibril

7.1.        Keselarasan Makna Qur’an dan Hadis

Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177 dan Hadits Jibril sama-sama menegaskan struktur fundamental ajaran Islam yang terdiri dari iman, Islam, dan ihsan. Ayat Al-Qur’an tersebut memulai dengan menolak reduksi agama pada aspek formal-ritual semata, kemudian menegaskan dimensi iman (Allah, malaikat, kitab, rasul, hari akhir), amal ibadah (shalat, zakat, infak), serta etika sosial (menepati janji, sabar dalam kesulitan).¹ Sementara itu, Hadits Jibril menegaskan tiga pilar agama secara sistematis: Islam (rukun Islam), iman (rukun iman), dan ihsan (kesadaran spiritual).²

Keselarasan ini memperlihatkan bahwa kedua sumber utama ajaran Islam tersebut saling melengkapi: Al-Qur’an memberikan fondasi normatif, sementara Hadits Jibril memberikan struktur konseptual.³ Hal ini menunjukkan adanya kesinambungan otoritas antara wahyu Qur’ani dan sabda Nabi yang meneguhkan kesatuan epistemologi Islam.

7.2.        Perspektif Ulama Klasik

Ulama klasik memahami integrasi antara Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177 dan Hadits Jibril sebagai sebuah sistem keagamaan yang utuh. Al-Ghazālī, misalnya, menegaskan bahwa iman, Islam, dan ihsan tidak dapat dipisahkan karena ketiganya ibarat fondasi, bangunan, dan penyempurna dalam satu struktur.⁴ Ibn Taymiyyah menambahkan bahwa ayat dan hadis ini menegaskan keterkaitan antara batin dan lahir dalam beragama: iman tanpa amal adalah lemah, amal tanpa iman adalah kosong, sedangkan tanpa ihsan keduanya akan kehilangan nilai spiritualnya.⁵

Ibn Kathīr dalam tafsirnya menegaskan bahwa al-birr dalam ayat tersebut mencakup keseluruhan makna yang dijelaskan dalam Hadits Jibril, yakni iman sebagai keyakinan, Islam sebagai amal, dan ihsan sebagai akhlak.⁶ Dengan demikian, integrasi keduanya mencerminkan kesatuan teologis dan etis dalam ajaran Islam.

7.3.        Perspektif Pemikir Kontemporer

Para pemikir kontemporer seperti Fazlur Rahman menyoroti bahwa integrasi antara Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177 dan Hadits Jibril memberikan fondasi untuk memahami Islam secara substantif, bukan sekadar formalistik. Menurutnya, ayat dan hadis ini mengajarkan bahwa agama harus diwujudkan dalam bentuk iman yang rasional, Islam yang praktis, dan ihsan yang etis.⁷ Seyyed Hossein Nasr menekankan bahwa integrasi ini menunjukkan wajah spiritual Islam yang menolak reduksi agama pada dimensi hukum semata, melainkan menekankan keselarasan antara syariat, iman, dan spiritualitas.⁸

Dengan demikian, integrasi keduanya relevan untuk merespons krisis modernitas yang cenderung memisahkan dimensi agama dari kehidupan sosial dan etis.

7.4.        Dimensi Sistematis: Iman, Islam, Ihsan sebagai Kesatuan

Integrasi ayat dan hadis ini dapat dipahami dalam kerangka sistematis:

1)             Iman sebagai fondasi batiniah yang menata keyakinan transendental.

2)             Islam sebagai manifestasi lahiriah melalui ibadah ritual dan sosial.

3)             Ihsan sebagai dimensi penyempurna yang memberikan nilai spiritual dan moral.

Ketiga dimensi ini bukan entitas yang berdiri sendiri, melainkan saling melengkapi. Jika iman ibarat akar pohon, Islam adalah batang dan cabang, sedangkan ihsan adalah buah dan keindahannya.⁹ Dengan demikian, integrasi ini menunjukkan bahwa keberagamaan yang sempurna hanya dapat dicapai dengan menggabungkan ketiga dimensi tersebut secara harmonis.

7.5.        Implikasi Teologis dan Praktis

Integrasi Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177 dan Hadits Jibril membawa implikasi penting:

1)             Teologis – meneguhkan ajaran Islam sebagai agama yang holistik, menggabungkan akidah, syariah, dan akhlak.

2)             Etis – mendorong umat Islam untuk tidak berhenti pada ritual formal, tetapi mengembangkan kesadaran spiritual dan tanggung jawab sosial.

3)             Praktis – memberikan kerangka dasar bagi pendidikan Islam, dakwah, dan pengembangan masyarakat yang menyeimbangkan iman, ibadah, dan akhlak.

Dengan demikian, integrasi kedua teks ini membentuk paradigma keberagamaan yang tidak hanya normatif, tetapi juga aplikatif, yang relevan sepanjang zaman.


Footnotes

[1]            Al-Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān, jilid 3 (Kairo: Dār al-Ma‘ārif, 1968), hlm. 289–294.

[2]            Muslim ibn al-Ḥajjāj, Ṣaḥīḥ Muslim, Kitāb al-Īmān, no. hadis 8.

[3]            Al-Nawawī, Sharḥ Ṣaḥīḥ Muslim, jilid 1 (Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 2005), hlm. 158.

[4]            Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, jilid 1 (Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 2005), hlm. 97.

[5]            Ibn Taymiyyah, Majmū‘ al-Fatāwā, jilid 7 (Madinah: Mujamma‘ al-Malik Fahd, 2001), hlm. 210.

[6]            Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, jilid 1 (Riyadh: Dār Ṭayyibah, 1999), hlm. 486–490.

[7]            Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an, (Chicago: University of Chicago Press, 1980), hlm. 36–38.

[8]            Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity, (New York: HarperCollins, 2002), hlm. 77–80.

[9]            Tariq Ramadan, In the Footsteps of the Prophet: Lessons from the Life of Muhammad, (Oxford: Oxford University Press, 2007), hlm. 96.


8.            Dimensi Filosofis dan Teologis

8.1.        Ontologi Iman, Islam, dan Ihsan

Ontologi dalam filsafat Islam berhubungan dengan pertanyaan tentang keberadaan dan hakikat sesuatu. Dalam konteks Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177 dan Hadits Jibril, iman, Islam, dan ihsan dapat dipandang sebagai tiga dimensi ontologis yang membentuk eksistensi keberagamaan seorang Muslim. Iman merupakan fondasi batiniah yang meneguhkan eksistensi transendental manusia di hadapan Allah; Islam adalah eksistensi lahiriah yang terwujud dalam ibadah ritual dan sosial; sedangkan ihsan adalah dimensi puncak ontologis yang melampaui bentuk dan menuju pada kualitas eksistensial tertinggi, yakni kesadaran akan kehadiran Allah.¹

Dalam filsafat eksistensial Islam, ketiga dimensi ini menunjukkan bahwa manusia tidak sekadar ada (being), tetapi hadir dengan makna (meaningful being). Keberadaan manusia dalam Islam ditentukan oleh integrasi antara keyakinan, amal, dan kesadaran spiritual.² Dengan demikian, ontologi iman, Islam, dan ihsan tidak hanya menjawab pertanyaan “ada”, tetapi juga “mengapa ada” dan “untuk apa ada”.

8.2.        Epistemologi Iman dan Ilmu dalam Islam

Epistemologi berhubungan dengan sumber dan validitas pengetahuan. Iman dalam Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177 bukanlah iman yang buta, melainkan iman yang berakar pada wahyu, akal, dan pengalaman spiritual.³ Wahyu memberikan kebenaran absolut, akal menjadi sarana pemahaman, dan pengalaman spiritual memperdalam keyakinan.

Al-Ghazālī membedakan tiga tingkatan pengetahuan iman: (1) iman taklid, yakni keyakinan berdasarkan otoritas luar; (2) iman istidlāl, yakni iman yang diperoleh melalui penalaran rasional; dan (3) iman kasyf atau mukāshafah, yakni iman yang diperoleh melalui penyaksian batiniah.⁴ Pendekatan ini menunjukkan bahwa iman dalam Islam bersifat epistemis sekaligus transendental, menggabungkan dimensi rasional dan supra-rasional.

Dengan demikian, epistemologi iman dalam Islam tidak terjebak dalam dualisme antara rasionalisme dan empirisme, melainkan membangun sintesis antara wahyu, akal, dan intuisi spiritual. Hal ini menunjukkan keunikan filsafat pengetahuan Islam yang berbeda dari tradisi Barat sekuler.⁵

8.3.        Aksiologi: Ihsan sebagai Puncak Nilai Etika Islam

Aksiologi dalam filsafat berhubungan dengan nilai dan tujuan. Dalam konteks Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177, ihsan merupakan puncak aksiologi Islam. Amal yang dilakukan tanpa ihsan akan kehilangan nilai spiritualnya, sedangkan amal yang dilandasi ihsan akan menjadi ibadah yang memiliki makna transenden.⁶

Ihsan membentuk dasar etika universal dalam Islam, di mana manusia tidak hanya dituntut untuk melakukan kewajiban hukum, tetapi juga melaksanakannya dengan keikhlasan dan kesadaran penuh. Menurut Ibn ‘Arabī, ihsan adalah dimensi di mana manusia meneladani sifat-sifat Allah (taḥalluq bi akhlāq Allāh), sehingga amal saleh menjadi cerminan kasih sayang dan keadilan Ilahi.⁷ Dengan demikian, ihsan adalah nilai puncak yang mengarahkan seluruh dimensi iman dan Islam pada tujuan spiritual yang lebih tinggi.

8.4.        Relevansi dalam Filsafat Agama dan Etika Universal

Dimensi filosofis iman, Islam, dan ihsan memiliki relevansi dalam diskursus filsafat agama dan etika universal. Dalam filsafat agama, konsep ini menegaskan bahwa keimanan bukan hanya soal keyakinan metafisis, tetapi juga menyangkut transformasi eksistensial manusia.⁸ Sementara dalam etika, integrasi iman, Islam, dan ihsan menunjukkan bahwa norma moral tidak hanya berbasis kontrak sosial atau utilitarianisme, tetapi berakar pada transendensi Ilahi.

Seyyed Hossein Nasr menegaskan bahwa Islam menawarkan visi spiritualitas yang menyatukan dimensi kosmologis, etis, dan sosial, sehingga mampu menjawab krisis modernitas yang cenderung memisahkan agama dari kehidupan.⁹ Konsep iman, Islam, dan ihsan dapat dipandang sebagai model etika integral yang menyeimbangkan dimensi vertikal (hubungan dengan Allah) dan horizontal (hubungan dengan sesama).

8.5.        Sintesis Filosofis-Teologis

Melalui analisis ontologi, epistemologi, dan aksiologi, dapat disimpulkan bahwa iman, Islam, dan ihsan membentuk kerangka filosofis-teologis Islam yang utuh. Iman memberikan fondasi keyakinan metafisis, Islam menghadirkan wujud praksis lahiriah, dan ihsan memberikan nilai etis dan spiritual tertinggi. Ketiganya saling melengkapi dalam membentuk visi Islam yang komprehensif.

Integrasi ini menegaskan bahwa Islam bukan hanya sistem hukum (syarī‘ah), melainkan juga sistem pengetahuan dan etika yang holistik. Dengan demikian, Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177 dan Hadits Jibril dapat dipandang sebagai teks dasar yang membangun filsafat teologi Islam yang integral, menjembatani antara iman yang abstrak, Islam yang praktis, dan ihsan yang transendental.


Footnotes

[1]            Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious Concepts in the Qur’an, (Montreal: McGill University Press, 1966), hlm. 229–230.

[2]            M. Mutahhari, Man and Faith, (Tehran: World Organization for Islamic Services, 1985), hlm. 41.

[3]            Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an, (Chicago: University of Chicago Press, 1980), hlm. 33–35.

[4]            Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, jilid 1 (Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 2005), hlm. 94–95.

[5]            Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1992), hlm. 17–18.

[6]            Al-Qurṭubī, Al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān, jilid 2 (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2006), hlm. 197.

[7]            Ibn ‘Arabī, Fuṣūṣ al-Ḥikam, (Beirut: Dār al-Kitāb al-‘Arabī, 1946), hlm. 85.

[8]            John Hick, Philosophy of Religion, (New Jersey: Prentice Hall, 1983), hlm. 120–121.

[9]            Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity, (New York: HarperCollins, 2002), hlm. 75–77.


9.            Dimensi Sosial dan Peradaban

9.1.        Pengaruh Iman, Islam, dan Ihsan dalam Pembentukan Karakter Umat

Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177 dan Hadits Jibril menegaskan bahwa iman, Islam, dan ihsan bukan hanya konsep teologis, tetapi juga fondasi etis yang membentuk karakter umat Islam. Iman mengarahkan keyakinan spiritual, Islam menata amal lahiriah dalam bentuk ibadah ritual dan sosial, sedangkan ihsan memperhalus moralitas dengan kesadaran transendental.¹ Integrasi ketiga dimensi ini membentuk manusia berkarakter utuh: memiliki keyakinan yang kokoh, ketaatan ritual, dan kepekaan sosial.

Karakter umat Islam klasik banyak dibentuk oleh pengamalan nilai-nilai ini. Misalnya, semangat jihad intelektual dalam tradisi keilmuan Islam lahir dari keyakinan iman yang kuat, komitmen Islam terhadap amal nyata, serta dorongan ihsan untuk mencari keridaan Allah melalui ilmu.² Dengan demikian, iman, Islam, dan ihsan bukan sekadar doktrin abstrak, melainkan energi yang menggerakkan dinamika peradaban.

9.2.        Peran dalam Hukum Islam dan Kehidupan Sosial

Konsep yang terintegrasi antara iman, Islam, dan ihsan juga menjadi dasar bagi perkembangan hukum Islam (fiqh). Iman memberikan dimensi legitimasi teologis, Islam mewujud dalam aturan-aturan hukum yang mengatur kehidupan individu dan masyarakat, sedangkan ihsan mengarahkan penerapan hukum pada keadilan dan rahmat.³

Sebagai contoh, kewajiban zakat dalam Islam tidak hanya didasarkan pada hukum formal, tetapi juga pada dimensi ihsan, yakni kesadaran bahwa harta adalah amanah dari Allah. Dengan demikian, zakat berfungsi sebagai instrumen distribusi ekonomi yang menegakkan solidaritas sosial.⁴ Perpaduan iman, Islam, dan ihsan dalam bidang hukum melahirkan sistem yang tidak hanya normatif, tetapi juga sarat dengan nilai kemanusiaan.

9.3.        Implementasi dalam Pembangunan Peradaban Islam

Sejarah Islam menunjukkan bahwa integrasi iman, Islam, dan ihsan telah membentuk fondasi peradaban yang kaya. Pada masa keemasan Islam, misalnya, perkembangan ilmu pengetahuan, seni, dan filsafat tidak terlepas dari orientasi teologis yang kuat, pengamalan syariat yang konsisten, dan spirit ihsan yang mewarnai karya-karya ilmuwan Muslim.⁵

Di Andalusia, Baghdad, hingga Kairo, peradaban Islam tampil sebagai contoh bagaimana integrasi dimensi spiritual dan sosial menghasilkan kemajuan intelektual dan kultural. Ilmu pengetahuan berkembang tidak sekadar untuk kepentingan pragmatis, melainkan sebagai bentuk ibadah (ihsan) kepada Allah.⁶ Dengan demikian, peradaban Islam klasik menjadi bukti historis bahwa integrasi iman, Islam, dan ihsan mampu melahirkan masyarakat yang unggul, adil, dan beradab.

9.4.        Relevansi Sosial dalam Konteks Kontemporer

Dalam konteks modern, masyarakat Muslim menghadapi tantangan berupa sekularisasi, materialisme, dan individualisme. Nilai-nilai iman, Islam, dan ihsan dapat menjadi fondasi untuk menjawab tantangan tersebut. Iman memberikan orientasi spiritual yang mengimbangi arus sekularisme; Islam mengatur aspek sosial-ekonomi melalui prinsip keadilan dan distribusi; sedangkan ihsan menumbuhkan kesadaran etis untuk menghadapi krisis moral global.⁷

Di bidang pendidikan, integrasi ketiga dimensi ini menegaskan pentingnya membentuk generasi Muslim yang beriman, berilmu, dan berakhlak. Dalam ekonomi, ia menekankan keadilan distributif yang tidak hanya mengejar keuntungan, tetapi juga keberkahan. Sementara dalam politik, konsep ihsan mendorong lahirnya kepemimpinan yang amanah dan berorientasi pada kemaslahatan publik.⁸

9.5.        Studi Kasus: Zakat dan Solidaritas Sosial

Salah satu contoh konkret implementasi iman, Islam, dan ihsan dalam peradaban adalah praktik zakat. Zakat tidak hanya menegaskan Islam dalam aspek hukum, tetapi juga iman dalam pengakuan terhadap amanah Allah, serta ihsan dalam kesadaran berbagi dengan sesama. Ibn Khaldūn menyatakan bahwa zakat berperan penting dalam menjaga stabilitas sosial dan memperkuat kohesi masyarakat.⁹

Dalam konteks kontemporer, zakat dan instrumen ekonomi Islam lainnya dapat menjadi solusi bagi kesenjangan sosial-ekonomi. Hal ini menegaskan bahwa nilai-nilai iman, Islam, dan ihsan tidak hanya relevan dalam konteks spiritual, tetapi juga dalam pembangunan peradaban modern.


Footnotes

[1]            Al-Nawawī, Sharḥ Ṣaḥīḥ Muslim, jilid 1 (Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 2005), hlm. 160.

[2]            George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), hlm. 45.

[3]            Wael B. Hallaq, The Origins and Evolution of Islamic Law, (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), hlm. 73–74.

[4]            M. Umer Chapra, Islam and the Economic Challenge, (Herndon: The International Institute of Islamic Thought, 1992), hlm. 90.

[5]            Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam, vol. 2 (Chicago: University of Chicago Press, 1974), hlm. 27–28.

[6]            Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam, (Cambridge: Harvard University Press, 1968), hlm. 56.

[7]            Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, (Chicago: University of Chicago Press, 1982), hlm. 40.

[8]            Tariq Ramadan, Islam, the West and the Challenges of Modernity, (Leicester: Islamic Foundation, 2001), hlm. 122.

[9]            Ibn Khaldūn, Al-Muqaddimah, jilid 1 (Beirut: Dār al-Fikr, 2004), hlm. 322.


10.        Kritik dan Tantangan Pemahaman

10.1.     Kritik terhadap Reduksi Formalistik

Salah satu kritik utama dalam memahami iman, Islam, dan ihsan adalah kecenderungan sebagian umat untuk mereduksi ajaran Islam pada aspek formalistik. Praktik keberagamaan kerap dipahami sebatas pada pelaksanaan ritual lahiriah, seperti shalat dan puasa, tanpa memperhatikan dimensi batiniah (iman) maupun kualitas etis (ihsan).¹ Akibatnya, ajaran Islam mengalami degradasi menjadi sekadar rutinitas mekanis, kehilangan ruh spiritual dan misi sosialnya.

Reduksi formalistik ini telah dikritik oleh banyak ulama klasik maupun kontemporer. Al-Ghazālī, misalnya, menegaskan bahwa ibadah tanpa kehadiran hati dan keikhlasan tidak lebih dari gerakan jasmani tanpa nilai transendental.² Kritik serupa disampaikan oleh Fazlur Rahman, yang menyebut fenomena ini sebagai “legalistik-sektarian,” di mana umat terjebak pada hukum lahiriah tetapi mengabaikan substansi etis Al-Qur’an.³

10.2.     Tantangan Sekularisme dan Relativisme

Di era modern, pemahaman iman, Islam, dan ihsan menghadapi tantangan besar dari sekularisme dan relativisme. Sekularisme cenderung memisahkan agama dari ruang publik, membatasi iman dan ihsan hanya pada ranah privat.⁴ Relativisme, di sisi lain, menafikan kebenaran absolut iman dan menganggap semua keyakinan setara tanpa hierarki nilai. Hal ini berpotensi melemahkan fondasi teologis umat Islam, sekaligus menimbulkan krisis identitas.

Seyyed Hossein Nasr menyebut kondisi modernitas sebagai “krisis spiritual” karena hilangnya kesadaran transendental dalam kehidupan manusia.⁵ Dalam konteks ini, iman, Islam, dan ihsan berisiko direduksi menjadi sekadar simbol budaya, bukan lagi jalan hidup yang menyeluruh.

10.3.     Fragmentasi Pemahaman Internal

Selain tantangan eksternal, terdapat pula problem internal berupa fragmentasi pemahaman. Sebagian kelompok menekankan dimensi iman dengan menolak pentingnya amal sosial, sementara kelompok lain menekankan dimensi Islam (syariat) tanpa memberi ruang pada aspek ihsan (spiritualitas).⁶ Ketidakseimbangan ini menghasilkan polarisasi dalam umat Islam, yang pada gilirannya melemahkan persatuan dan misi peradaban Islam.

Ibn Taymiyyah menegaskan bahwa iman, Islam, dan ihsan tidak dapat dipisahkan. Pemisahan ketiganya, menurut beliau, adalah bentuk penyimpangan dari pemahaman yang diajarkan Nabi Muhammad Saw.⁷ Oleh karena itu, fragmentasi internal ini harus dilihat sebagai tantangan besar dalam membangun kembali integrasi ajaran Islam.

10.4.     Problematika Modern: Materialisme dan Individualisme

Tantangan lain yang signifikan adalah pengaruh materialisme dan individualisme modern. Materialisme mendorong manusia untuk menilai keberhasilan dari aspek ekonomi dan kekuasaan semata, sedangkan individualisme menekankan kepentingan pribadi di atas kepentingan kolektif.⁸ Kedua ideologi ini berlawanan dengan nilai iman, Islam, dan ihsan yang menekankan orientasi akhirat, solidaritas sosial, dan kesadaran transendental.

Dalam konteks globalisasi, umat Islam sering terjebak dalam dilema antara modernisasi dan pelestarian nilai-nilai spiritual. Jika iman dan ihsan diabaikan, maka Islam hanya akan tampil sebagai label identitas tanpa substansi moral.⁹

10.5.     Tantangan Pendidikan dan Dakwah

Pendidikan Islam juga menghadapi tantangan dalam mengintegrasikan iman, Islam, dan ihsan. Kurikulum pendidikan cenderung menekankan aspek kognitif (pengetahuan agama) tanpa diimbangi pembinaan spiritual dan moral.¹⁰ Dakwah pun kadang terjebak pada retorika formal, tanpa menyentuh dimensi ihsan yang menekankan keteladanan dan keikhlasan. Hal ini berdampak pada munculnya generasi Muslim yang fasih dalam teori keagamaan, tetapi lemah dalam praksis sosial dan spiritual.

10.6.     Upaya Mengatasi Tantangan

Untuk mengatasi kritik dan tantangan tersebut, diperlukan upaya integratif:

1)             Pendekatan Teologis: menegaskan kembali pentingnya keseimbangan iman, Islam, dan ihsan dalam kerangka ajaran Islam.

2)             Pendekatan Filosofis: merevitalisasi filsafat Islam sebagai basis rasional untuk memahami iman dan integrasinya dengan sains modern.

3)             Pendekatan Sosial: memperkuat implementasi nilai iman, Islam, dan ihsan dalam kehidupan bermasyarakat melalui pendidikan, ekonomi, dan politik yang berkeadilan.

Dengan demikian, tantangan modernitas dan fragmentasi internal dapat dijawab melalui penguatan paradigma integral yang telah diletakkan oleh Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177 dan Hadits Jibril.


Footnotes

[1]            Sayyid Quṭb, Fī Ẓilāl al-Qur’ān, jilid 1 (Kairo: Dār al-Shurūq, 2003), hlm. 210.

[2]            Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, jilid 1 (Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 2005), hlm. 92.

[3]            Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, (Chicago: University of Chicago Press, 1982), hlm. 37.

[4]            Charles Taylor, A Secular Age, (Cambridge: Harvard University Press, 2007), hlm. 45.

[5]            Seyyed Hossein Nasr, Religion and the Order of Nature, (New York: Oxford University Press, 1996), hlm. 13.

[6]            Wael B. Hallaq, The Impossible State: Islam, Politics, and Modernity’s Moral Predicament, (New York: Columbia University Press, 2013), hlm. 88.

[7]            Ibn Taymiyyah, Majmū‘ al-Fatāwā, jilid 7 (Madinah: Mujamma‘ al-Malik Fahd, 2001), hlm. 212.

[8]            Zygmunt Bauman, Liquid Modernity, (Cambridge: Polity Press, 2000), hlm. 32.

[9]            Tariq Ramadan, Western Muslims and the Future of Islam, (Oxford: Oxford University Press, 2004), hlm. 54.

[10]          Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, (Jakarta: Kompas, 2002), hlm. 117.


11.        Sintesis dan Refleksi Filosofis

11.1.     Kesatuan Integral Iman, Islam, dan Ihsan

Dari uraian sebelumnya, jelas bahwa Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177 dan Hadits Jibril sama-sama menegaskan bahwa iman, Islam, dan ihsan adalah tiga dimensi yang saling terkait dalam satu kesatuan integral. Iman merupakan fondasi batiniah yang meneguhkan keyakinan transendental, Islam merupakan manifestasi lahiriah melalui amal ibadah ritual dan sosial, sedangkan ihsan merupakan puncak kualitas spiritual dan moral yang memberi ruh bagi seluruh dimensi keberagamaan.¹ Dengan demikian, keberagamaan yang utuh tidak dapat dicapai tanpa integrasi ketiganya.

Analogi klasik menggambarkan iman sebagai akar, Islam sebagai batang dan cabang, serta ihsan sebagai bunga dan buah dari pohon keberagamaan.² Tanpa akar (iman), pohon akan kering; tanpa batang (Islam), iman tidak tampak dalam realitas; tanpa bunga dan buah (ihsan), keberagamaan kehilangan keindahan dan manfaatnya.

11.2.     Refleksi Ontologis

Secara ontologis, integrasi iman, Islam, dan ihsan menunjukkan bahwa keberadaan manusia tidak netral, melainkan sarat makna. Al-Qur’an memandang manusia sebagai ‘abd Allāh (hamba Allah) sekaligus khalīfat Allāh (wakil Allah di bumi).³ Identitas ganda ini menuntut manusia untuk merealisasikan iman sebagai fondasi, Islam sebagai aktualisasi, dan ihsan sebagai kesempurnaan. Tanpa iman, eksistensi manusia kehilangan orientasi; tanpa Islam, eksistensi kehilangan bentuk; dan tanpa ihsan, eksistensi kehilangan nilai.

11.3.     Refleksi Epistemologis

Secara epistemologis, integrasi ini menegaskan bahwa pengetahuan dalam Islam tidak hanya bersumber dari rasio dan empiris, tetapi juga dari wahyu dan pengalaman spiritual.⁴ Iman memberi keyakinan kepada hal-hal ghaib, Islam memberi landasan praksis dalam syariat, sementara ihsan memberi kedalaman makna melalui intuisi spiritual. Dengan kata lain, epistemologi Islam adalah integrasi antara naql (wahyu), ‘aql (akal), dan qalb (hati).⁵

Refleksi ini menunjukkan kelebihan paradigma Islam dibandingkan epistemologi modern sekuler yang cenderung memisahkan rasio dari transendensi. Dalam perspektif Islam, ilmu tidak semata alat untuk menguasai alam, tetapi jalan menuju kesadaran Ilahi.

11.4.     Refleksi Aksiologis

Secara aksiologis, ihsan menjadi puncak nilai etis dalam Islam. Amal yang dilakukan tanpa ihsan hanyalah kewajiban mekanis, sedangkan amal yang dilandasi ihsan menjadi ibadah yang penuh makna.⁶ Iman mengikat manusia pada Allah, Islam mengikat manusia pada hukum dan masyarakat, sementara ihsan mengikat manusia pada kesadaran moral dan spiritual yang melampaui kewajiban formal.

Nilai aksiologis ini sangat relevan untuk menjawab krisis moral modern. Ihsan mengajarkan bahwa etika bukan sekadar aturan eksternal, tetapi kesadaran batin untuk selalu berbuat baik meskipun tanpa pengawasan.⁷

11.5.     Relevansi Kontemporer

Dalam konteks kontemporer, integrasi iman, Islam, dan ihsan menegaskan pentingnya paradigma keberagamaan yang utuh. Iman dibutuhkan untuk mengatasi krisis spiritual akibat sekularisme, Islam dibutuhkan untuk mengatur kehidupan sosial-ekonomi dengan prinsip keadilan, dan ihsan dibutuhkan untuk menjaga nilai moralitas dalam menghadapi tantangan global seperti korupsi, ketidakadilan, dan degradasi lingkungan.⁸

Pendidikan Islam, dakwah, dan pembangunan masyarakat perlu diarahkan pada integrasi ketiga dimensi ini. Dengan demikian, umat Islam dapat membangun peradaban yang tidak hanya kuat secara material, tetapi juga luhur secara moral dan spiritual.


11.6.     Penutup Reflektif

Sintesis iman, Islam, dan ihsan memperlihatkan bahwa kedalaman teologi Islam tidak berhenti pada tataran doktrin, tetapi menjangkau filsafat eksistensial manusia. Ia menyatukan aspek ontologi (hakikat manusia sebagai hamba dan khalifah), epistemologi (pengetahuan berbasis wahyu, akal, dan intuisi), serta aksiologi (nilai etika ihsan sebagai puncak moralitas).

Dengan demikian, Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177 dan Hadits Jibril tidak hanya menjadi teks normatif, melainkan juga kerangka filosofis yang menuntun umat Islam membangun kehidupan yang bermakna, adil, dan transenden. Integrasi ini pada akhirnya menegaskan bahwa keberagamaan sejati adalah keberagamaan yang berakar pada iman, terwujud dalam Islam, dan disempurnakan oleh ihsan.⁹


Footnotes

[1]            Muslim ibn al-Ḥajjāj, Ṣaḥīḥ Muslim, Kitāb al-Īmān, no. hadis 8.

[2]            Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, jilid 1 (Riyadh: Dār Ṭayyibah, 1999), hlm. 490.

[3]            Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an, (Chicago: University of Chicago Press, 1980), hlm. 41–42.

[4]            Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, jilid 1 (Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 2005), hlm. 94.

[5]            Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1992), hlm. 20.

[6]            Al-Rāzī, Mafātīḥ al-Ghayb, jilid 5 (Beirut: Dār Iḥyā’ al-Turāth al-‘Arabī, 1981), hlm. 124.

[7]            Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity, (New York: HarperCollins, 2002), hlm. 82.

[8]            Tariq Ramadan, Islam, the West and the Challenges of Modernity, (Leicester: Islamic Foundation, 2001), hlm. 121–123.

[9]            Muhammad Asad, The Message of the Qur’an, (Gibraltar: Dar al-Andalus, 1980), hlm. 51.


12.        Penutup

12.1.     Kesimpulan Umum

Kajian terhadap Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177 dan Hadits Jibril menunjukkan bahwa iman, Islam, dan ihsan merupakan tiga dimensi fundamental yang tidak dapat dipisahkan dalam struktur keberagamaan Islam. Iman memberikan fondasi batiniah berupa keyakinan transendental, Islam menghadirkan aktualisasi lahiriah melalui ibadah ritual dan sosial, sementara ihsan menjadi puncak kesempurnaan spiritual yang memberi ruh pada keduanya.¹

Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177 menolak pemahaman sempit yang mereduksi agama pada formalitas ritual semata, dan mengarahkan umat pada pemahaman substansial yang menekankan integrasi antara iman, amal, dan akhlak.² Hadits Jibril, di sisi lain, memberikan struktur konseptual yang sistematis atas ketiga dimensi tersebut, sehingga keduanya membentuk kerangka normatif dan filosofis yang menyeluruh bagi pemahaman Islam.³

12.2.     Refleksi Teologis dan Filosofis

Dari segi teologis, integrasi iman, Islam, dan ihsan meneguhkan Islam sebagai agama yang holistik, mencakup akidah, syariah, dan akhlak.⁴ Secara filosofis, ia menghadirkan paradigma eksistensial yang menyatukan aspek ontologi (hakikat manusia sebagai hamba dan khalifah), epistemologi (ilmu yang berbasis wahyu, akal, dan intuisi), dan aksiologi (nilai ihsan sebagai puncak moralitas).⁵

Dengan demikian, ajaran Islam tidak berhenti pada doktrin abstrak, melainkan berfungsi sebagai sistem hidup yang mengarahkan manusia pada kesadaran Ilahi, keadilan sosial, dan pembangunan peradaban.

12.3.     Relevansi Kontekstual

Dalam konteks kontemporer, konsep iman, Islam, dan ihsan memiliki relevansi yang sangat signifikan. Pertama, ia dapat menjadi jawaban atas krisis spiritual akibat sekularisme modern. Kedua, ia menawarkan basis normatif bagi pembangunan masyarakat yang adil melalui zakat, infak, dan solidaritas sosial.⁶ Ketiga, ia menegaskan pentingnya moralitas dan spiritualitas dalam menghadapi tantangan global seperti korupsi, konflik, ketidakadilan ekonomi, serta degradasi lingkungan.⁷

Dengan mengintegrasikan ketiga dimensi ini, umat Islam diharapkan mampu membangun keberagamaan yang tidak hanya berorientasi pada akhirat, tetapi juga relevan dalam menjawab kebutuhan dunia modern.

12.4.     Rekomendasi

Kajian ini merekomendasikan beberapa hal:

1)             Penguatan Pendidikan Islam – kurikulum harus mengintegrasikan iman, Islam, dan ihsan secara seimbang, sehingga membentuk generasi yang berilmu, berakhlak, dan berkomitmen sosial.

2)             Revitalisasi Dakwah – dakwah harus menyentuh aspek spiritual (ihsan), tidak sekadar hukum formal, agar menghadirkan teladan yang hidup.

3)             Pembangunan Sosial-Peradaban – nilai iman, Islam, dan ihsan perlu diimplementasikan dalam bidang ekonomi, politik, dan kebudayaan untuk melahirkan masyarakat yang adil, seimbang, dan beradab.⁸

12.5.     Penutup Reflektif

Pada akhirnya, keberagamaan sejati dalam Islam hanya dapat dicapai melalui integrasi iman, Islam, dan ihsan. Ketiganya bukan sekadar konsep normatif, tetapi kerangka filosofis, teologis, dan praksis yang membimbing manusia menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Qs. Al-Baqarah [02] ayat 177 dan Hadits Jibril, jika dipahami secara mendalam, memberikan panduan komprehensif untuk membangun kehidupan individual, sosial, dan peradaban yang berlandaskan keimanan, diwarnai oleh amal saleh, dan disempurnakan oleh ihsan.⁹


Footnotes

[1]            Muslim ibn al-Ḥajjāj, Ṣaḥīḥ Muslim, Kitāb al-Īmān, no. hadis 8.

[2]            Al-Ṭabarī, Jāmi‘ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān, jilid 3 (Kairo: Dār al-Ma‘ārif, 1968), hlm. 289–294.

[3]            Al-Nawawī, Sharḥ Ṣaḥīḥ Muslim, jilid 1 (Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 2005), hlm. 158.

[4]            Ibn Taymiyyah, Majmū‘ al-Fatāwā, jilid 7 (Madinah: Mujamma‘ al-Malik Fahd, 2001), hlm. 210.

[5]            Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, jilid 1 (Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 2005), hlm. 94–95.

[6]            M. Umer Chapra, Islam and the Economic Challenge, (Herndon: The International Institute of Islamic Thought, 1992), hlm. 90–91.

[7]            Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity, (New York: HarperCollins, 2002), hlm. 82–83.

[8]            Tariq Ramadan, Islam, the West and the Challenges of Modernity, (Leicester: Islamic Foundation, 2001), hlm. 125–126.

[9]            Muhammad Asad, The Message of the Qur’an, (Gibraltar: Dar al-Andalus, 1980), hlm. 51–52.


Daftar Pustaka

Asad, M. (1980). The message of the Qur’an. Gibraltar: Dar al-Andalus.

Azra, A. (2002). Paradigma baru pendidikan nasional. Jakarta: Kompas.

Bakar, O. (1992). Classification of knowledge in Islam. Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC).

Bauman, Z. (2000). Liquid modernity. Cambridge: Polity Press.

Chapra, M. U. (1992). Islam and the economic challenge. Herndon, VA: The International Institute of Islamic Thought.

Fazlur Rahman. (1979). Islam. Chicago, IL: University of Chicago Press.

Fazlur Rahman. (1980). Major themes of the Qur’an. Chicago, IL: University of Chicago Press.

Fazlur Rahman. (1982). Islam and modernity: Transformation of an intellectual tradition. Chicago, IL: University of Chicago Press.

Ghazālī, A. H. (2005). Iḥyā’ ‘ulūm al-dīn (Vols. 1–4). Beirut: Dār al-Ma‘rifah.

Hallaq, W. B. (2005). The origins and evolution of Islamic law. Cambridge: Cambridge University Press.

Hallaq, W. B. (2013). The impossible state: Islam, politics, and modernity’s moral predicament. New York, NY: Columbia University Press.

Hick, J. (1983). Philosophy of religion. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall.

Hodgson, M. G. S. (1974). The venture of Islam (Vol. 2). Chicago, IL: University of Chicago Press.

Ibn ‘Arabī. (1946). Fuṣūṣ al-ḥikam. Beirut: Dār al-Kitāb al-‘Arabī.

Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī. (1989). Fatḥ al-bārī (Vol. 1). Beirut: Dār al-Ma‘rifah.

Ibn Kathīr. (1999). Tafsīr al-Qur’ān al-‘aẓīm (Vol. 1). Riyadh: Dār Ṭayyibah.

Ibn Khaldūn. (2004). Al-muqaddimah (Vol. 1). Beirut: Dār al-Fikr.

Ibn Manẓūr. (1993). Lisān al-‘Arab (Vol. 12). Beirut: Dār Ṣādir.

Ibn Taymiyyah. (2001). Majmū‘ al-fatāwā (Vol. 7). Madinah: Mujamma‘ al-Malik Fahd.

Izutsu, T. (1966). Ethico-religious concepts in the Qur’an. Montreal: McGill University Press.

Jurjānī, A. (1995). Al-ta‘rīfāt. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Makdisi, G. (1981). The rise of colleges: Institutions of learning in Islam and the West. Edinburgh: Edinburgh University Press.

Mutahhari, M. (1985). Man and faith. Tehran: World Organization for Islamic Services.

Nasr, S. H. (1968). Science and civilization in Islam. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Nasr, S. H. (1996). Religion and the order of nature. New York, NY: Oxford University Press.

Nasr, S. H. (2002). The heart of Islam: Enduring values for humanity. New York, NY: HarperCollins.

Nasr, S. H. (2015). The study Quran: A new translation and commentary. New York, NY: HarperOne.

Nawawī, Y. (2005). Sharḥ Ṣaḥīḥ Muslim (Vol. 1). Beirut: Dār al-Ma‘rifah.

Quṭb, S. (2003). Fī ẓilāl al-Qur’ān (Vol. 1). Kairo: Dār al-Shurūq.

Qurṭubī, M. (2006). Al-jāmi‘ li aḥkām al-Qur’ān (Vol. 2). Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Ramadan, T. (2001). Islam, the West and the challenges of modernity. Leicester: Islamic Foundation.

Ramadan, T. (2004). Western Muslims and the future of Islam. Oxford: Oxford University Press.

Ramadan, T. (2007). In the footsteps of the Prophet: Lessons from the life of Muhammad. Oxford: Oxford University Press.

Rāzī, F. (1981). Mafātīḥ al-ghayb (Vol. 5). Beirut: Dār Iḥyā’ al-Turāth al-‘Arabī.

Ṭabarī, M. J. (1968). Jāmi‘ al-bayān fī ta’wīl al-Qur’ān (Vol. 3). Kairo: Dār al-Ma‘ārif.

Taylor, C. (2007). A secular age. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Wāḥidī, A. (1991). Asbāb al-nuzūl. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar