Sabtu, 29 Maret 2025

Filsafat Irfaniyah: Menyelami Tasawuf Filosofis dalam Tradisi Pemikiran Islam

Filsafat Irfaniyah

Menyelami Tasawuf Filosofis dalam Tradisi Pemikiran Islam


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif salah satu aliran penting dalam filsafat Islam, yaitu Filsafat Irfaniyah atau Tasawuf Filosofis. Irfaniyah merupakan bentuk pemikiran yang mengintegrasikan pendekatan filsafat rasional dengan pengalaman spiritual sufi, menjadikannya sebagai jalan menuju ma‘rifah (pengetahuan ruhani) yang menyatukan akal, wahyu, dan intuisi. Artikel ini menguraikan latar belakang historis kemunculannya, tokoh-tokoh utama seperti Suhrawardī, Ibn ‘Arabī, dan Mulla Ṣadrā, serta konsep-konsep sentral seperti Wahdat al-Wujūd, Insān Kāmil, dan kasyf. Selain itu, artikel ini juga membandingkan Irfaniyah dengan aliran filsafat Islam lainnya seperti Peripatetik, Iluminasi, dan Kalam, serta menelaah pengaruhnya dalam dunia Islam—baik dalam tradisi keilmuan, teologi, tasawuf, hingga seni dan spiritualitas kontemporer. Tak luput, artikel ini mengkaji kritik-kritik yang diarahkan terhadap Irfaniyah, serta menjelaskan relevansi dan kontribusinya dalam menjawab tantangan spiritual dan intelektual di era modern. Dengan pendekatan multidisipliner dan sumber-sumber akademik yang kredibel, artikel ini bertujuan memberikan pemahaman mendalam tentang Irfaniyah sebagai salah satu ekspresi tertinggi dari filsafat Islam.

Kata Kunci: Filsafat Islam, Irfaniyah, Tasawuf Filosofis, Wahdat al-Wujūd, Ma‘rifah, Ibn ‘Arabī, Mulla Ṣadrā, Spiritualitas Islam Kontemporer.


PEMBAHASAN

Kajian Filsafat Irfaniyah Berdasarkan Referensi Kredibel


1.           Pendahuluan

Filsafat Islam merupakan salah satu cabang penting dalam sejarah intelektual Islam yang lahir dari upaya para pemikir Muslim dalam memahami realitas wujud, Tuhan, manusia, dan alam semesta melalui pendekatan rasional dan metafisis. Di antara aliran-aliran dalam filsafat Islam, filsafat Irfaniyah atau tasawuf filosofis menempati posisi unik karena tidak hanya mengandalkan nalar rasional (burhan), tetapi juga pengalaman spiritual intuitif (kasyf dan dzauq), sebagai jalan untuk mencapai kebenaran hakiki. Dalam hal ini, Irfaniyah memadukan antara dimensi filsafat dan tasawuf, menjadikannya sebagai bentuk pencarian makna terdalam tentang realitas Tuhan dan eksistensi manusia secara simultan dan transenden.¹

Berbeda dengan aliran peripatetik (mashā’iyyah) yang menekankan pendekatan logis-rasional seperti yang dikembangkan oleh al-Fārābī dan Ibn Sīnā, filsafat Irfaniyah lebih menekankan pada dimensi batiniah manusia dan pencapaian pengetahuan melalui penyucian jiwa dan penyinaran batin. Pendekatan ini tidak lahir dalam ruang hampa, melainkan merupakan hasil perkembangan dari interaksi antara spiritualitas Islam (terutama dalam tasawuf), filsafat neoplatonis, serta unsur kebatinan dari tradisi Persia dan Gnostik awal.² Dengan demikian, filsafat Irfaniyah bukan sekadar cabang pemikiran, melainkan sebuah jalan hidup (ṭarīqah) yang menuntut keterlibatan eksistensial manusia secara total dalam upaya mengenal Tuhan (ma‘rifat Allāh).

Dalam tradisi keilmuan Islam, istilah ‘irfān berasal dari akar kata ʿ-r-f yang berarti "mengetahui", tetapi maknanya melampaui pengetahuan intelektual biasa. Ma‘rifah dalam konteks ini adalah bentuk pengetahuan langsung yang diperoleh melalui penyaksian batin (mushāhadah) dan penyucian diri dari sifat-sifat duniawi.³ Oleh karena itu, filsafat Irfaniyah bertujuan bukan hanya untuk mengetahui Tuhan secara rasional, tetapi juga untuk mengalami kehadiran-Nya secara eksistensial. Proses ini melibatkan perjalanan ruhani (suluk) yang mencakup berbagai maqāmāt (tahapan spiritual) dan aḥwāl (keadaan ruhani), sebagaimana yang dijelaskan oleh para sufi dan filosof-irfani seperti Suhrawardī, Ibn ʿArabī, dan Mulla Ṣadrā.⁴

Urgensi pembahasan tentang Irfaniyah pada masa kini semakin nyata ketika umat Islam berhadapan dengan krisis makna spiritual dan dominasi rasionalisme sekuler dalam kehidupan modern. Filsafat Irfaniyah menawarkan paradigma alternatif yang mampu menyatukan akal dan hati, ilmu dan kebijaksanaan, serta wacana dan pengalaman. Oleh karena itu, kajian ini penting untuk memberikan pemahaman yang mendalam mengenai kontribusi Irfaniyah dalam memperkaya tradisi intelektual Islam sekaligus membuka ruang refleksi spiritual di tengah tantangan zaman.⁵


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardī, Ibn 'Arabī (Delmar, NY: Caravan Books, 1975), 97–98.

[2]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 196–198.

[3]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-ʿArabī’s Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New York Press, 1989), 14.

[4]                Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press, 1983), 9–11.

[5]                Haidar Bagir, Islam Tuhan Islam Manusia: Agama dan Spiritualitas di Zaman Kacau (Bandung: Mizan, 2017), 85–88.


2.           Pengertian Filsafat Irfaniyah

Secara etimologis, istilah ‘irfān berasal dari akar kata bahasa Arab ʿ-r-f yang berarti “mengetahui” atau “mengenal.” Dalam konteks spiritual, ‘irfān mengacu pada bentuk pengetahuan batiniah atau intuitif yang diperoleh melalui pengalaman langsung terhadap realitas ilahiyah. Berbeda dengan ‘ilm (pengetahuan rasional atau diskursif), ‘irfān menekankan pada dimensi ma‘rifah—sebuah pengenalan terhadap Tuhan yang bersifat personal, eksistensial, dan bersumber dari penyucian jiwa serta penyaksian ruhani (kasyf).¹

Filsafat Irfaniyah adalah suatu aliran pemikiran dalam Islam yang menyatukan prinsip-prinsip filsafat dengan ajaran-ajaran mistik Islam (tasawuf), khususnya dalam aspek epistemologi dan metafisika. Dalam pengertian ini, Irfaniyah bukan sekadar tasawuf biasa, tetapi sebuah tasawuf yang dipikirkan secara filosofis, atau sebaliknya, filsafat yang dijalani secara spiritual.² Sebagaimana ditegaskan oleh Henry Corbin, filsafat Irfaniyah merupakan ekspresi dari pencarian kebenaran hakiki melalui kombinasi antara iluminasi spiritual (isyraq) dan intuisi intelektual yang mendalam.³

Menurut Toshihiko Izutsu, filsafat Irfaniyah memiliki struktur pengetahuan tersendiri yang tidak hanya dibangun di atas logika rasional, tetapi juga pada pengalaman spiritual yang bersifat langsung dan transenden. Ia menyebut bahwa ‘irfān memiliki “epistemologi rasa” (epistemology of taste), di mana kebenaran tidak hanya dipahami, tetapi juga dialami.⁴ Oleh karena itu, epistemologi Irfaniyah menolak keterbatasan akal semata dan menjadikan hati (qalb) sebagai pusat persepsi metafisis.

Seyyed Hossein Nasr menyebut bahwa dalam tradisi Islam, terdapat tiga jalan utama dalam pencarian kebenaran: jalan para teolog (kalam), para filsuf (falsafah), dan para sufi atau arif (‘irfān).⁵ Jika teologi dan filsafat lebih mengandalkan metode argumentatif, maka ‘irfān menjadikan penyucian jiwa dan penyingkapan ruhani sebagai metode utama. Namun, dalam konteks Irfaniyah filosofis, terdapat sintesis antara ketiganya, di mana pengetahuan yang diperoleh bersumber dari intuisi ruhani, tetapi dibingkai dalam struktur berpikir yang rasional dan filosofis.

Ciri khas filsafat Irfaniyah terletak pada orientasinya yang bersifat vertikal—yakni hubungan langsung antara manusia dan Tuhan melalui pengalaman batin yang mendalam. Hal ini berbeda dengan filsafat peripatetik (mashā’iyyah) yang cenderung mendekati realitas secara horizontal dan logis. Dalam Irfaniyah, hakikat realitas (al-ḥaqīqah) tidak hanya dapat diketahui, tetapi harus disaksikan dan diinternalisasi melalui proses spiritual yang panjang.⁶

Dengan demikian, filsafat Irfaniyah adalah jalan filosofis yang menjadikan ma‘rifah sebagai tujuan utama, bukan semata pengetahuan, tetapi sebuah “penyatuan” dengan sumber kebenaran mutlak. Ia melampaui batasan diskursif filsafat konvensional dan membuka ruang bagi pencapaian spiritual yang tak terjangkau oleh logika formal semata.


Footnotes

[1]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-ʿArabī’s Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New York Press, 1989), 15.

[2]                Haidar Bagir, Sufisme: Jalan Spiritual Islam (Bandung: Mizan, 2020), 58.

[3]                Henry Corbin, Creative Imagination in the Sufism of Ibn ‘Arabī, trans. Ralph Manheim (Princeton: Princeton University Press, 1969), 12–13.

[4]                Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press, 1983), 15–17.

[5]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 127.

[6]                Ibrahim Kalin, “Reason and Intuition in the Islamic Tradition of Knowledge,” The Journal of Religion, vol. 86, no. 4 (2006): 525–526.


3.           Latar Belakang Sejarah Munculnya Irfaniyah

Filsafat Irfaniyah atau tasawuf filosofis tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan merupakan hasil dari perkembangan panjang tradisi intelektual dan spiritual Islam yang berlangsung selama berabad-abad. Aliran ini tumbuh dari akar tasawuf klasik, yang sejak abad ke-2 H/8 M telah menjadi bagian integral dari kehidupan keagamaan umat Islam, dan berkembang seiring dengan masuknya pengaruh filsafat Yunani ke dalam dunia Islam. Dalam konteks ini, Irfaniyah dapat dipandang sebagai sebuah sintesis antara spiritualitas Islam dan rasionalitas filsafat, khususnya filsafat Neoplatonis dan iluminasionis.¹

Pada masa awal, tasawuf lebih bersifat asketik dan etis, dipraktikkan oleh para zahid yang menekankan kehidupan zuhud dan ibadah yang intens. Namun, seiring waktu, terjadi pergeseran menuju pendekatan yang lebih spekulatif dan metafisis, sebagaimana terlihat dalam pemikiran tokoh-tokoh seperti al-Junayd, al-Hallāj, dan al-Qushayrī.² Perkembangan ini membuka jalan bagi integrasi unsur-unsur filosofis ke dalam kerangka tasawuf, yang pada akhirnya melahirkan bentuk pemikiran yang disebut sebagai Irfaniyah.

Kemunculan filsafat Irfaniyah tidak terlepas dari proses penerjemahan besar-besaran karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab pada masa Dinasti Abbasiyah, terutama di Bayt al-Ḥikmah, Baghdad. Filsafat Plato, Aristoteles, dan Plotinus (dalam bentuk Theologia Aristotelis) memperkenalkan gagasan-gagasan metafisis yang selaras dengan aspirasi spiritual Islam.³ Dalam suasana ini, para pemikir Muslim seperti al-Fārābī dan Ibn Sīnā mulai mengembangkan filsafat Islam yang rasional, sementara para sufi mencoba menafsirkan realitas metafisis melalui pengalaman ruhani. Perjumpaan antara dua tradisi inilah yang memicu munculnya pendekatan Irfaniyah, yang menggabungkan kedalaman spiritualitas tasawuf dengan kedalaman intelektual filsafat.

Secara geografis dan historis, pusat-pusat pengembangan Irfaniyah berada di kawasan Persia, khususnya pasca abad ke-6 H/12 M, yang menjadi arena berkembangnya filsafat iluminasi (hikmah al-isyrāqiyyah) yang diperkenalkan oleh Suhrawardī al-Maqtūl. Ia menekankan bahwa pengetahuan sejati tidak diperoleh semata-mata melalui logika, melainkan melalui penyinaran batin (iluminasi) yang diperoleh dari cahaya ilahi.⁴ Pemikiran Suhrawardī inilah yang menjadi jembatan menuju bentuk Irfaniyah yang lebih matang, yang kemudian mencapai puncaknya dalam pemikiran Ibn ʿArabī dan Mulla Ṣadrā.

Ibn ʿArabī (w. 1240 M) merupakan tokoh yang sangat berpengaruh dalam pengembangan Irfaniyah, khususnya dengan doktrinnya tentang Wahdat al-Wujūd (Kesatuan Wujud). Ia membangun sistem metafisika yang dalam dan kompleks berdasarkan pada pengalaman langsung terhadap Tuhan dan interpretasi batin terhadap wahyu.⁵ Kemudian, pada abad ke-17, Mulla Ṣadrā (1572–1640) mengintegrasikan pemikiran Ibn Sīnā, Suhrawardī, dan Ibn ʿArabī ke dalam sistem filsafatnya yang disebut al-ḥikmah al-muta‘āliyyah (filsafat transenden). Ia menjadikan ‘irfān sebagai salah satu sumber utama pengetahuan filosofis, sejajar dengan akal (‘aql) dan wahyu (naql).⁶

Di samping itu, pengaruh pemikiran Syiah, khususnya dalam tradisi ʿirfān shīʿī, turut mendorong perkembangan Irfaniyah sebagai suatu sistem pengetahuan yang kokoh dan sistematis. Para tokoh seperti al-Ṭabāṭabā’ī dan ʿAllāmah Ṭabrisī memberikan kontribusi besar dalam memformulasikan kerangka filsafat Irfaniyah dalam tradisi intelektual Syiah kontemporer.⁷

Dengan demikian, filsafat Irfaniyah lahir dari interaksi kreatif antara tasawuf, filsafat Islam, dan pengalaman spiritual yang mendalam. Ia bukan hanya respons terhadap kebutuhan spiritual umat Islam pada masa lalu, tetapi juga merupakan warisan intelektual yang terus relevan hingga hari ini dalam menjawab krisis makna dan kedangkalan spiritual dalam kehidupan modern.


Footnotes

[1]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 201–204.

[2]                Alexander Knysh, Islamic Mysticism: A Short History (Leiden: Brill, 2000), 58–61.

[3]                Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ‘Abbasid Society (2nd–4th/8th–10th centuries) (London: Routledge, 1998), 113–117.

[4]                Nasrollah Pourjavady, Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: SUNY Press, 2012), 74–76.

[5]                William C. Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn al-ʿArabī’s Cosmology (Albany: State University of New York Press, 1998), 32–35.

[6]                Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978), 51–55.

[7]                Mohammad Ali Amir-Moezzi, The Divine Guide in Early Shi‘ism: The Sources of Esotericism in Islam (Albany: SUNY Press, 1994), 145–149.


4.           Tokoh-Tokoh Utama dalam Filsafat Irfaniyah

Perkembangan filsafat Irfaniyah sebagai bentuk tasawuf filosofis tidak dapat dilepaskan dari kontribusi sejumlah tokoh besar dalam sejarah intelektual Islam. Mereka bukan hanya sufi dalam arti praktisi spiritual, tetapi juga pemikir yang mengembangkan kerangka metafisika, kosmologi, dan epistemologi berdasarkan pengalaman batiniah yang dalam. Beberapa di antara tokoh-tokoh tersebut bahkan berhasil menyatukan intuisi mistik dan rasionalitas filosofis ke dalam satu sistem pemikiran yang kompleks dan berpengaruh hingga kini.

4.1.       Suhrawardī al-Maqtūl (w. 1191 M)

Shihāb al-Dīn Suhrawardī adalah tokoh sentral dalam perkembangan hikmah al-isyrāqiyyah (filsafat iluminasi), yang menjadi salah satu fondasi penting filsafat Irfaniyah. Ia menolak pendekatan logika semata dalam filsafat peripatetik dan menggantinya dengan konsep “penyinaran batin” sebagai jalan menuju pengetahuan sejati. Bagi Suhrawardī, realitas tertinggi adalah Nūr al-Anwār (Cahaya dari segala cahaya), dan semua wujud lainnya adalah pancaran dari cahaya primordial ini.¹

Metodologinya menekankan pentingnya kasyf (penyingkapan) dan dzauq (rasa batin) dalam memperoleh hakikat, menjadikannya pionir dalam menjembatani filsafat dan tasawuf.

4.2.       Ibn ‘Arabī (w. 1240 M)

Muḥyī al-Dīn Ibn ʿArabī merupakan tokoh paling berpengaruh dalam tradisi ‘irfān dan dikenal luas sebagai penggagas konsep Wahdat al-Wujūd (Kesatuan Wujud). Ia menyusun suatu sistem metafisika yang menekankan bahwa seluruh eksistensi merupakan manifestasi dari satu Wujud Absolut, yaitu Tuhan.²

Melalui karya-karyanya seperti Fuṣūṣ al-Ḥikam dan al-Futūḥāt al-Makkiyyah, Ibn ʿArabī membangun suatu sintesis antara wahyu, akal, dan pengalaman spiritual, menjadikannya sebagai titik balik penting dalam sejarah filsafat mistik Islam.³

Ia juga memperkenalkan konsep Insān Kāmil (Manusia Sempurna), yaitu manusia yang menjadi cermin sempurna bagi sifat-sifat Ilahi.

4.3.       Mulla Ṣadrā (w. 1640 M)

Ṣadr al-Dīn al-Shīrāzī, atau yang dikenal sebagai Mulla Ṣadrā, adalah tokoh yang mengintegrasikan seluruh warisan pemikiran Islam—mulai dari filsafat Peripatetik, filsafat iluminasi, hingga ‘irfān Ibn ‘Arabī—ke dalam sistem filsafat yang disebutnya al-ḥikmah al-muta‘āliyyah (filsafat transenden).⁴

Kontribusinya dalam Irfaniyah tampak dalam prinsip ashālat al-wujūd (primordialitas eksistensi), yang menyatakan bahwa keberadaan adalah realitas satu-satunya, sementara esensi hanyalah abstraksi mental. Mulla Ṣadrā juga menekankan bahwa pengetahuan sejati harus diperoleh melalui penyucian jiwa dan kasyf, sehingga menyatukan epistemologi filosofis dengan intuisi mistik.⁵

Dalam kerangka ini, ‘irfān tidak dianggap inferior terhadap akal atau wahyu, melainkan menjadi mitra sejajar dalam pencarian hakikat.

4.4.       Sayyid Ḥaydar Āmulī (w. abad ke-14 M)

Meskipun tidak sepopuler tiga tokoh sebelumnya, Sayyid Ḥaydar Āmulī memiliki peran penting dalam pengembangan filsafat Irfaniyah dalam tradisi Syiah. Ia adalah salah satu pemikir awal yang berusaha menyelaraskan ajaran ‘irfān Ibn ʿArabī dengan prinsip-prinsip teologi dan imamah Syiah. Dalam karyanya Jāmiʿ al-Asrār, ia menjelaskan bahwa jalan ‘irfān sejati tidak bertentangan dengan syariat, melainkan menyempurnakannya.⁶

Pemikirannya membantu membuka ruang integrasi antara dimensi batin (esoterik) dan lahir (eksoterik) dalam Islam, yang menjadi ciri khas filsafat Irfaniyah.

4.5.       ʿAllāmah Ṭabāṭabā’ī (w. 1981 M)

Sebagai salah satu cendekiawan terkemuka di abad ke-20, ʿAllāmah Ṭabāṭabā’ī mengembangkan pendekatan Irfaniyah dalam kerangka tafsir Al-Qur’an dan filsafat Islam kontemporer. Melalui karya Tafsīr al-Mīzān, ia memperlihatkan bagaimana tafsir al-Qur’an dapat dihidupkan melalui pendekatan filosofis dan irfani secara bersamaan.⁷

Ia menegaskan pentingnya ketersambungan ruhani dengan Tuhan melalui ‘irfān, sekaligus tetap menghargai kerangka intelektual dan tekstual dalam studi keislaman.


Dengan kehadiran tokoh-tokoh besar ini, filsafat Irfaniyah telah menjadi salah satu bentuk pemikiran Islam yang paling holistik—menyatukan akal, intuisi, dan wahyu dalam pencarian menuju Tuhan. Pemikiran mereka tidak hanya memengaruhi diskursus filsafat Islam, tetapi juga praktik spiritual umat Muslim lintas zaman dan mazhab.


Footnotes

[1]                Shihab al-Din Suhrawardi, The Philosophy of Illumination, trans. John Walbridge and Hossein Ziai (Provo: Brigham Young University Press, 1999), 6–10.

[2]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-ʿArabī’s Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New York Press, 1989), 79–83.

[3]                Henry Corbin, Creative Imagination in the Sufism of Ibn ‘Arabī, trans. Ralph Manheim (Princeton: Princeton University Press, 1969), 58.

[4]                Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978), 91–94.

[5]                Ibrahim Kalin, “Mulla Sadra’s Realist Ontology of the Intellect,” Islamic Studies, vol. 41, no. 4 (2002): 639–641.

[6]                Sayyid Haydar Amuli, Inner Secrets of the Path: A Sufi Commentary on the Qur'an, ed. and trans. Toby Mayer (Leiden: Brill, 2020), xxv–xxviii.

[7]                Muhammad Husayn Tabataba’i, The Qur’an in Islam: Its Impact and Influence on the Life of Muslims, trans. Seyyed Hossein Nasr (London: Zahra Publications, 1987), 57–59.


5.           Konsep-Konsep Kunci dalam Irfaniyah

Filsafat Irfaniyah sebagai bentuk tasawuf filosofis memiliki seperangkat konsep khas yang membedakannya dari cabang-cabang pemikiran Islam lainnya, baik dari segi epistemologi, kosmologi, maupun ontologi. Konsep-konsep ini tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga bersifat eksistensial dan aplikatif dalam proses penyucian jiwa dan pendekatan diri kepada Tuhan. Di bawah ini adalah beberapa konsep utama dalam Irfaniyah yang menjadi fondasi sistem pemikirannya.

5.1.       Wahdat al-Wujūd (Kesatuan Wujud)

Wahdat al-Wujūd adalah doktrin metafisika paling mendasar dalam Irfaniyah, yang dikembangkan secara sistematis oleh Ibn ‘Arabī. Konsep ini menegaskan bahwa pada hakikatnya hanya ada satu wujud sejati—yaitu Tuhan (al-Ḥaqq)—dan segala bentuk eksistensi lainnya hanyalah manifestasi dari Wujud Absolut tersebut.¹

Dalam pandangan ini, alam semesta bukan entitas independen, melainkan cermin tempat Tuhan memanifestasikan sifat-sifat-Nya. Oleh karena itu, realitas yang tampak plural sejatinya adalah satu. William Chittick menjelaskan bahwa Ibn ‘Arabī tidak menganggap dunia sebagai ilusi, tetapi sebagai bayangan dari Wujud Ilahi yang tunggal.²

5.2.       Ma‘rifah (Pengetahuan Spiritual) dan Kasyf (Penyingkapan)

Dalam Irfaniyah, ma‘rifah adalah bentuk pengetahuan tertinggi yang diperoleh bukan melalui deduksi rasional, melainkan melalui penyucian batin dan penyingkapan ruhani (kasyf).³

Pengetahuan jenis ini bersifat langsung dan intuitif, diperoleh melalui pengalaman batin yang mendalam dalam relasi dengan Tuhan. Ma‘rifah berbeda dari ‘ilm yang diskursif; ia lebih mendekati dzauq (rasa) dan mushāhadah (penyaksian). Henry Corbin menyebut bahwa epistemologi Irfaniyah bersifat “gnostik-eksperiensial”, yang menyatukan pengenalan intelektual dan penyaksian batin.⁴

5.3.       Insān Kāmil (Manusia Sempurna)

Konsep Insān Kāmil atau “manusia paripurna” merupakan puncak dari perjalanan spiritual seorang arif. Manusia sempurna adalah cermin sempurna dari sifat-sifat Tuhan dan menjadi penghubung antara realitas ilahi dan kosmos. Dalam pandangan Ibn ‘Arabī, Nabi Muhammad adalah model tertinggi dari Insān Kāmil, karena beliau merepresentasikan manifestasi paling sempurna dari Wujud Ilahi dalam dunia fenomenal.⁵

Konsep ini juga menyiratkan bahwa tujuan tertinggi manusia adalah merealisasikan potensi ketuhanannya dalam batasan kemanusiaannya.

5.4.       Tajallī (Manifestasi Ilahi)

Tajallī merujuk pada proses Tuhan “menampakkan” Diri-Nya dalam berbagai tingkat realitas. Dalam kosmologi Irfaniyah, realitas terdiri dari beberapa tingkatan tajallī, mulai dari al-ʿālam al-lāhūtī (realitas ketuhanan) hingga al-ʿālam al-nāsūtī (alam manusia).⁶

Manifestasi ini bukanlah inkarnasi, melainkan tajallī dzātī—yakni pemunculan sifat-sifat Ilahi dalam wujud makhluk. Pemahaman ini memungkinkan arif untuk “membaca” kehadiran Tuhan dalam ciptaan-Nya.

5.5.       Sulūk (Perjalanan Spiritual) dan Maqāmāt (Tahapan Spiritual)

Perjalanan menuju ma‘rifah dilakukan melalui sulūk, yaitu proses penyucian dan pendakian ruhani yang sistematis. Jalan ini dilalui melalui berbagai maqāmāt (tahapan spiritual), seperti tawbah, zuhd, sabr, tawakkul, hingga fanā’ dan baqā’.⁷

Tahapan ini merupakan transformasi eksistensial yang dijalani arif dalam rangka melebur kehendak diri ke dalam kehendak Ilahi. Dalam hal ini, fanā’ (lebur dalam Tuhan) bukan berarti kehilangan identitas, tetapi penyatuan kesadaran hamba dengan kehadiran Tuhan.

5.6.       Dzauq (Rasa Spiritual) dan Ilhām (Inspirasi Ilahi)

Dalam epistemologi Irfaniyah, dzauq adalah instrumen pengetahuan batin yang tidak dapat dijelaskan melalui logika biasa. Ini adalah semacam “pengalaman rasa” terhadap kebenaran yang diperoleh dalam kondisi spiritual tertentu.⁸

Ilhām juga menjadi sarana penting dalam memperoleh pengetahuan ilahiyah. Ia bersumber dari Tuhan dan diberikan kepada hati yang suci. Meski tidak bersifat universal seperti wahyu, ilhām memainkan peran besar dalam membentuk intuisi arif terhadap hakikat realitas.


Secara keseluruhan, konsep-konsep ini menunjukkan bahwa filsafat Irfaniyah tidak hanya merupakan konstruksi intelektual, tetapi merupakan pengalaman eksistensial yang dalam. Ia memadukan pemahaman rasional dengan pengalaman spiritual, menjadikannya salah satu sistem pemikiran paling komprehensif dan mendalam dalam khazanah Islam.


Footnotes

[1]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-ʿArabī’s Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New York Press, 1989), 73–75.

[2]                Ibid., 76.

[3]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 138–140.

[4]                Henry Corbin, Creative Imagination in the Sufism of Ibn ‘Arabī, trans. Ralph Manheim (Princeton: Princeton University Press, 1969), 180.

[5]                Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press, 1983), 109–111.

[6]                Michel Chodkiewicz, An Ocean Without Shore: Ibn ʿArabī, the Book, and the Law (Albany: State University of New York Press, 1993), 45–47.

[7]                Alexander Knysh, Islamic Mysticism: A Short History (Leiden: Brill, 2000), 87–88.

[8]                Nasrollah Pourjavady, Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: SUNY Press, 2012), 102–104.


6.           Perbedaan Irfaniyah dengan Aliran Filsafat Islam Lainnya

Filsafat Islam memiliki beberapa aliran utama yang berkembang seiring dengan dinamika intelektual di dunia Islam, khususnya sejak abad ke-3 H/9 M. Di antara yang paling menonjol adalah filsafat peripatetik (mashā’iyyah) yang dirintis oleh al-Fārābī dan Ibn Sīnā, filsafat iluminasi (isyrāqiyyah) yang dikembangkan oleh Suhrawardī, serta filsafat kalām yang bercorak teologis-rasional. Meskipun filsafat Irfaniyah memiliki titik temu dengan aliran-aliran tersebut, ia tetap memiliki karakteristik khas yang membedakannya secara substansial dalam hal epistemologi, metode, dan orientasi spiritual.

6.1.       Irfaniyah vs. Filsafat Peripatetik (Mashā’iyyah)

Filsafat peripatetik—yang dipengaruhi oleh Aristoteles dan Plato melalui medium Islam—berkembang pesat di dunia Islam lewat karya-karya al-Fārābī dan Ibn Sīnā. Aliran ini sangat menekankan pada logika formal dan argumentasi rasional sebagai metode utama untuk memahami realitas metafisis.¹

Sebaliknya, filsafat Irfaniyah menolak klaim eksklusifitas akal sebagai satu-satunya jalan menuju kebenaran. Ia mengintegrasikan intuisi ruhani, penyucian jiwa, dan pengalaman batin sebagai metode epistemologis yang sahih.²

Jika mashā’iyyah berangkat dari proposisi-premis dan analisis, maka Irfaniyah berangkat dari dzauq (rasa batin) dan kasyf (penyingkapan ilahiyah).

6.2.       Irfaniyah vs. Filsafat Isyrāqiyyah (Iluminasi)

Filsafat iluminasi (hikmah isyrāqiyyah) yang dikembangkan oleh Suhrawardī juga menekankan pada pengalaman batin dan intuisi sebagai sumber pengetahuan.³ Dalam hal ini, filsafat Irfaniyah memiliki kedekatan yang erat dengan isyrāqiyyah. Namun, terdapat perbedaan esensial: iluminasi Suhrawardī masih berada dalam kerangka filsafat murni, dengan bahasa simbolik dan konseptual yang kuat, sedangkan Irfaniyah lebih berakar dalam pengalaman spiritual sufi dan kerangka eksistensial yang mendalam.⁴

Dengan kata lain, isyrāqiyyah adalah filsafat yang memanfaatkan simbolisme cahaya untuk memahami wujud, sementara Irfaniyah adalah pengalaman penyatuan dengan sumber cahaya itu sendiri.

6.3.       Irfaniyah vs. Filsafat Kalām (Teologi Dialektis)

Ilmu kalām merupakan aliran teologis yang berkembang untuk membela doktrin-doktrin Islam dari tantangan pemikiran rasional-filosofis, terutama dalam konteks perdebatan dengan kelompok seperti Muktazilah atau pemikiran Yunani. Para mutakallimīn seperti al-Ash‘arī atau al-Māturīdī menggunakan logika untuk mempertahankan wahyu.⁵

Irfaniyah menempuh jalan berbeda: ia tidak membela doktrin melalui argumentasi, tetapi menghayati kebenaran itu secara eksistensial. Alih-alih mendefinisikan Tuhan secara rasional, arif dalam Irfaniyah berusaha menyaksikan Tuhan secara batin.⁶

Filsafat kalām cenderung debat tekstual dan teoretis, sementara Irfaniyah bersifat kontemplatif dan transformatif.

6.4.       Irfaniyah: Integrasi Unik Akal, Wahyu, dan Intuisi

Keunggulan Irfaniyah dibanding aliran-aliran lain terletak pada kemampuannya menyinergikan tiga sumber kebenaran utama dalam Islam: akal (‘aql), wahyu (naql), dan intuisi spiritual (‘irfān). Mulla Ṣadrā, dalam al-Ḥikmah al-Muta‘āliyyah-nya, menempatkan ‘irfān sejajar dengan logika dan wahyu sebagai pilar epistemologi Islam.⁷

Pendekatan ini memungkinkan Irfaniyah untuk menjawab problem spiritualitas dan metafisika secara lebih menyeluruh—tidak hanya dari sisi logika, tetapi juga dari sisi eksistensial dan pengalaman batin.

6.5.       Orientasi Praktis dan Transformatif

Tidak seperti aliran filsafat lain yang lebih teoretis, Irfaniyah bersifat praktis dan transformasional. Tujuan akhirnya bukan hanya pemahaman intelektual tentang hakikat, tetapi pencapaian langsung terhadap hakikat itu sendiri melalui transformasi jiwa. Hal ini menjadikan Irfaniyah dekat dengan dimensi spiritual tasawuf, tetapi dengan elaborasi intelektual yang setajam filsafat.⁸


Dengan demikian, filsafat Irfaniyah menempati posisi yang unik dan integral dalam khazanah pemikiran Islam. Ia berdiri di tengah-tengah antara nalar dan rasa, antara teori dan pengalaman, serta antara filsafat dan tasawuf. Inilah yang menjadikan Irfaniyah bukan hanya sebuah aliran pemikiran, tetapi juga jalan hidup spiritual yang menyeluruh dan mendalam.


Footnotes

[1]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 121–123.

[2]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 138–140.

[3]                Shihab al-Din Suhrawardi, The Philosophy of Illumination, trans. John Walbridge and Hossein Ziai (Provo: Brigham Young University Press, 1999), 10–15.

[4]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 202–204.

[5]                W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), 75–77.

[6]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-ʿArabī’s Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New York Press, 1989), 96–99.

[7]                Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978), 91.

[8]                Nasrollah Pourjavady, Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: SUNY Press, 2012), 105–107.


7.           Pengaruh Filsafat Irfaniyah dalam Dunia Islam

Filsafat Irfaniyah, yang memadukan kedalaman mistik tasawuf dengan ketajaman rasionalitas filosofis, telah memberikan pengaruh luas dalam berbagai aspek kehidupan intelektual, spiritual, dan budaya umat Islam. Pengaruhnya tidak terbatas pada satu mazhab atau wilayah geografis, melainkan merentang dari dunia Islam Persia dan Syiah hingga memengaruhi kalangan Sunni dan tarekat sufi di berbagai kawasan.

7.1.       Pengaruh dalam Tradisi Keilmuan Islam

Filsafat Irfaniyah memainkan peran penting dalam memperluas cakrawala epistemologi Islam. Dengan mengakui ma‘rifah (pengetahuan intuitif) sebagai sumber valid kebenaran di samping akal (‘aql) dan wahyu (naql), Irfaniyah memperkenalkan pendekatan holistik dalam pencarian ilmu.¹

Konsep-konsep seperti Wahdat al-Wujūd dan Insān Kāmil memperkaya diskursus metafisika Islam dan membuka ruang bagi pemahaman yang lebih mendalam tentang hubungan antara Tuhan, alam semesta, dan manusia. Tokoh seperti Mulla Ṣadrā secara eksplisit menjadikan ‘irfān sebagai komponen integral dalam sistem filsafatnya, sejajar dengan pendekatan logis dan tekstual.²

7.2.       Pengaruh terhadap Pemikiran Teologi dan Filsafat Syiah

Dalam tradisi Syiah, khususnya di Iran, Irfaniyah berkembang menjadi salah satu landasan utama dalam pembentukan filsafat dan teologi kontemporer. Pemikir seperti ʿAllāmah Ṭabāṭabā’ī dan Murtadha Muṭahharī mengembangkan pendekatan irfani dalam tafsir Al-Qur’an, filsafat politik, dan etika Islam.³

‘Irfān dalam konteks ini bukan hanya pengalaman mistik individual, tetapi juga menjadi sistem pengetahuan yang mendasari pemikiran keagamaan, bahkan dalam tataran kenegaraan seperti dalam gagasan wilāyat al-faqīh (kepemimpinan ulama) dalam revolusi Islam Iran.⁴

7.3.       Pengaruh terhadap Tarekat dan Praktik Tasawuf

Meski berkembang dari tasawuf, filsafat Irfaniyah juga memberikan pengaruh balik yang signifikan terhadap perkembangan tarekat-tarekat sufi. Beberapa tarekat, seperti Naqsyabandiyah, Qadiriyah, dan Kubrawiyah, banyak mengadopsi terminologi dan struktur pemikiran Ibn ‘Arabī serta para pengikutnya.⁵

Konsep maqāmāt (tahapan spiritual), fanā’ (peleburan diri dalam Tuhan), dan tajallī (manifestasi ilahi) menjadi bagian dari kurikulum suluk dalam banyak jalan sufi. Bahkan di kalangan Sunni yang umumnya kritis terhadap filsafat, pemikiran Ibn ‘Arabī tetap dipelajari dan dihormati di banyak lingkungan tarekat, meski terkadang dibaca secara selektif.

7.4.       Pengaruh terhadap Sastra dan Seni Islam

Estetika Islam, khususnya dalam bentuk puisi, kaligrafi, dan arsitektur, sangat dipengaruhi oleh semangat Irfaniyah. Para penyair sufi seperti Jalāl al-Dīn Rūmī, Ḥāfiẓ, dan Sanā’ī menggunakan simbolisme irfani untuk menyampaikan pengalaman batin mereka.⁶

Puisi-puisi mereka bukan sekadar ekspresi emosional, tetapi juga bentuk transmisi pengetahuan metafisik dan spiritual yang mendalam. Di sisi lain, arsitektur masjid dan makam para wali yang dirancang dengan struktur simetris dan simbolis juga mencerminkan pemahaman kosmos sebagai bayangan dari Wujud Ilahi.

7.5.       Pengaruh terhadap Spiritualitas Islam Kontemporer

Dalam konteks modern, filsafat Irfaniyah menawarkan pendekatan spiritual yang relevan di tengah krisis eksistensial dan dominasi materialisme. Banyak intelektual Muslim modern seperti Seyyed Hossein Nasr mengusulkan kembalinya kepada kebijaksanaan perennial Islam melalui pendekatan irfani sebagai jalan spiritual yang otentik dan integral.⁷

Gerakan spiritualitas Islam yang bersifat non-formal dan kosmopolitan—baik di Barat maupun Timur—banyak mengadopsi gagasan irfani seperti kesatuan wujud, kedekatan personal dengan Tuhan, dan pentingnya transformasi batin.


Dengan pengaruhnya yang lintas dimensi—mulai dari filsafat, teologi, tasawuf, seni, hingga kehidupan spiritual kontemporer—filsafat Irfaniyah telah menjadi bagian tak terpisahkan dari warisan besar intelektual Islam. Ia tidak hanya menjadi sistem pemikiran, tetapi juga sumber inspirasi dalam membangun kehidupan ruhani yang mendalam dan bermakna.


Footnotes

[1]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 137–140.

[2]                Mulla Sadra, The Transcendent Philosophy of Mulla Sadra, trans. Ibrahim Kalin (London: Islamic College for Advanced Studies Press, 2006), 58–60.

[3]                Muhammad Husayn Tabataba’i, Nihayat al-Hikmah [The Ultimate Wisdom], ed. Sayyid Muhammad Khamenei (Qom: Bustan-e Ketab, 2007), 22–26.

[4]                Hamid Dabashi, Theology of Discontent: The Ideological Foundations of the Islamic Revolution in Iran (New York: NYU Press, 2006), 88–91.

[5]                Alexander Knysh, Islamic Mysticism: A Short History (Leiden: Brill, 2000), 102–104.

[6]                Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1975), 305–308.

[7]                Seyyed Hossein Nasr, The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism, Islam's Mystical Tradition (New York: HarperOne, 2007), 12–15.


8.           Kritik dan Kontroversi terhadap Irfaniyah

Meskipun filsafat Irfaniyah memberikan kontribusi besar dalam khazanah pemikiran Islam, ia juga tidak lepas dari kritik dan kontroversi yang datang dari berbagai kalangan. Perdebatan seputar doktrin-doktrinnya, khususnya Wahdat al-Wujūd, serta pendekatannya yang menekankan intuisi spiritual, telah mengundang respons keras dari para ulama teologi (mutakallimīn), ahli fikih, hingga sebagian filosof rasionalis. Kontroversi ini menunjukkan kompleksitas posisi Irfaniyah dalam sejarah intelektual Islam.

8.1.       Tuduhan Pantheisme dan Syirik

Salah satu kritik utama terhadap Irfaniyah, khususnya terhadap konsep Wahdat al-Wujūd Ibn ‘Arabī, adalah tuduhan bahwa doktrin tersebut mengarah pada pantheisme—yakni penyamaan Tuhan dengan alam semesta.¹ Para kritikus menilai bahwa jika segala sesuatu dianggap sebagai manifestasi Wujud Ilahi, maka tidak ada lagi perbedaan ontologis antara Khāliq (Pencipta) dan makhlūq (ciptaan), yang secara teologis dianggap berbahaya dan bisa jatuh pada syirik.

Tokoh seperti Ibn Taymiyyah secara tegas menolak gagasan Wahdat al-Wujūd dan menyebutnya sebagai bentuk kesesatan metafisika yang menyimpang dari akidah tauhid yang murni.²

Namun demikian, para pembela Irfaniyah menjelaskan bahwa pemahaman tersebut adalah bentuk simplifikasi atau salah tafsir. Bagi Ibn ‘Arabī dan para arif, yang dimaksud dengan Wahdat al-Wujūd bukan identitas literal antara Tuhan dan makhluk, melainkan bahwa semua eksistensi adalah tajallī (manifestasi) dari satu-satunya Wujud Hakiki.³ Tuhan tetap transenden, namun realitas ciptaan adalah bayangan dari keberadaan-Nya.

8.2.       Kecurigaan terhadap Otoritas Intuisi

Irfaniyah menjadikan intuisi ruhani (kasyf dan dzauq) sebagai salah satu sumber utama pengetahuan. Hal ini dikritik oleh para teolog dan filosof rasionalis yang menganggap intuisi bersifat subjektif dan tidak dapat diverifikasi secara objektif.⁴

Para mutakallimīn menilai bahwa menjadikan pengalaman batin sebagai dasar epistemologi membuka pintu bagi klaim-klaim keagamaan yang tak terkontrol, yang dapat mengaburkan batas antara wahyu dan pengalaman pribadi.

Sebaliknya, para arif berargumen bahwa intuisi spiritual hanya valid bila dicapai melalui proses penyucian jiwa yang ketat dan disiplin ruhani yang panjang. Dalam pandangan ini, kasyf bukan sekadar “perasaan”, melainkan pengalaman eksistensial yang tertata dan dapat ditelusuri dalam struktur spiritual tertentu.⁵

8.3.       Ketegangan dengan Tradisi Kalam dan Fikih

Irfaniyah juga sering dikritik karena dianggap kurang menghargai metode diskursif dalam kalām serta cenderung menafsirkan syariat secara simbolik dan batiniah. Beberapa kalangan menganggap pendekatan ini bisa mengarah pada relativisme agama, karena membuka kemungkinan bahwa hukum-hukum syariat hanyalah representasi lahiriah dari kebenaran yang lebih dalam.⁶

Tokoh-tokoh seperti al-Ghazālī sendiri, meskipun menerima tasawuf, tetap berhati-hati terhadap bentuk-bentuk esoterisme ekstrem yang berpotensi mengabaikan syariat.⁷

Namun, tokoh-tokoh Irfaniyah seperti Sayyid Ḥaydar Āmulī menegaskan bahwa ‘irfān sejati tidak pernah menolak syariat, tetapi justru menjadikannya sebagai fondasi bagi pencapaian hakikat. Syariat, ṭarīqah, dan ḥaqīqah adalah tiga tahapan yang harus dijalani secara integral.⁸

8.4.       Eksklusivisme dan Elitisme Spiritual

Kritik lainnya adalah bahwa Irfaniyah sering kali dianggap elitis, karena menempatkan pencapaian ma‘rifah pada level yang hanya bisa dicapai oleh segelintir orang yang menempuh jalan suluk secara ketat. Hal ini dianggap bertentangan dengan prinsip inklusivitas Islam yang membuka jalan kebaikan bagi semua.⁹

Sebagian pihak menilai bahwa pendekatan ini terlalu membatasi akses terhadap kebenaran, karena menuntut syarat-syarat ruhani yang berat, dan menyulitkan umat awam untuk mengakses pemahaman spiritual yang mendalam.

Meskipun demikian, banyak arif yang menjelaskan bahwa meskipun jalan irfani bersifat menantang, ia tetap terbuka bagi siapa pun yang berkomitmen secara sungguh-sungguh dalam memperbaiki diri dan mendekatkan diri kepada Tuhan.


Dengan berbagai kritik dan kontroversi ini, filsafat Irfaniyah tetap bertahan sebagai bagian penting dari dinamika pemikiran Islam. Justru perdebatan-perdebatan ini menunjukkan bahwa Irfaniyah bukan ajaran statis, tetapi pemikiran yang hidup dan terus diuji dalam percakapan teologis, filosofis, dan spiritual lintas zaman.


Footnotes

[1]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-ʿArabī’s Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New York Press, 1989), 79–82.

[2]                Jon Hoover, Ibn Taymiyya’s Theodicy of Perpetual Optimism (Leiden: Brill, 2007), 107–109.

[3]                Henry Corbin, Creative Imagination in the Sufism of Ibn ‘Arabī, trans. Ralph Manheim (Princeton: Princeton University Press, 1969), 53–55.

[4]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY Press, 1989), 140–142.

[5]                Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press, 1983), 97–99.

[6]                W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), 130–132.

[7]                Al-Ghazālī, Iḥyā’ ʿUlūm al-Dīn, ed. M. al-Zabīdī (Cairo: al-Maktabah al-Tawfīqiyyah, n.d.), vol. 1, 36.

[8]                Sayyid Haydar Amuli, Inner Secrets of the Path: A Sufi Commentary on the Qur'an, ed. and trans. Toby Mayer (Leiden: Brill, 2020), 28–30.

[9]                Nasrollah Pourjavady, Philosophy in the Land of Prophecy (Albany: SUNY Press, 2012), 110–112.


9.           Relevansi Filsafat Irfaniyah di Era Kontemporer

Di tengah krisis spiritual dan fragmentasi eksistensial yang melanda dunia modern, filsafat Irfaniyah hadir sebagai tawaran alternatif yang mendalam untuk menjawab kegelisahan manusia akan makna, identitas, dan tujuan hidup. Pemikiran Irfaniyah, yang menekankan keseimbangan antara akal, wahyu, dan intuisi ruhani, menjadi sangat relevan dalam menjembatani ketegangan antara agama dan sains, antara materialisme dan spiritualitas, serta antara dogmatisme dan kehampaan makna.

9.1.       Menjawab Krisis Makna dan Spiritualitas

Modernitas, dengan segala pencapaian ilmiah dan teknologinya, sering kali menyisakan kehampaan spiritual. Dominasi materialisme, sekularisme, dan individualisme menyebabkan banyak manusia kehilangan arah dan makna hidup yang lebih tinggi.¹

Filsafat Irfaniyah menawarkan pendekatan yang memadukan dimensi rasional dan spiritual, sehingga dapat memberikan kedalaman eksistensial di tengah arus budaya yang cenderung dangkal. Konsep ma‘rifah sebagai pengetahuan ruhani yang melibatkan penyucian diri dan hubungan langsung dengan Tuhan, memberikan jawaban atas pencarian makna yang tak dapat dipenuhi oleh rasionalisme semata.²

9.2.       Keseimbangan antara Akal, Wahyu, dan Intuisi

Salah satu kontribusi penting Irfaniyah adalah pendekatannya yang menyatukan tiga sumber utama pengetahuan dalam Islam: akal (‘aql), wahyu (naql), dan intuisi ruhani (‘irfān).³ Dalam konteks global saat ini, di mana sains dan agama sering dianggap berseberangan, Irfaniyah menunjukkan bahwa pengetahuan spiritual tidak harus bertentangan dengan pengetahuan rasional. Bahkan, dalam kerangka filsafat transenden Mulla Ṣadrā, pengetahuan yang sahih adalah yang diperoleh dari integrasi ketiganya.⁴

Dengan pendekatan ini, Irfaniyah dapat menjadi dasar konseptual bagi dialog antara agama dan ilmu pengetahuan, tanpa mereduksi nilai keduanya.

9.3.       Model Etika dan Transformasi Diri

Konsep Insān Kāmil (manusia paripurna) yang ditawarkan oleh Irfaniyah menjadi model ideal bagi pembentukan karakter manusia yang utuh: spiritual, intelektual, dan moral. Dalam konteks pendidikan dan pembinaan kepribadian, filsafat Irfaniyah menekankan pentingnya transformasi batin melalui latihan spiritual, disiplin diri, dan pengendalian nafsu.⁵

Di era di mana pendidikan lebih banyak berorientasi pada prestasi kognitif dan materi, pendekatan Irfaniyah dapat melengkapi aspek batiniah dan pembentukan moralitas yang mendalam.

9.4.       Spiritualitas Lintas Tradisi

Dalam dunia yang semakin plural dan multikultural, pendekatan Irfaniyah memiliki nilai universal karena berbicara tentang pengalaman batin manusia dalam menjumpai Yang Mutlak. Pemikiran Ibn ʿArabī tentang Wahdat al-Wujūd, misalnya, membuka kemungkinan untuk melihat kebenaran sebagai sesuatu yang hadir dalam berbagai bentuk manifestasi.⁶

Hal ini menjadikan Irfaniyah sebagai landasan untuk membangun dialog antaragama (interfaith dialogue) yang tidak berhenti pada toleransi formal, tetapi berakar pada kesadaran transenden tentang kesatuan asal-usul manusia dan nilai-nilai spiritual universal.⁷

9.5.       Reaktualisasi Pemikiran Islam dalam Konteks Modern

Banyak intelektual Muslim kontemporer, seperti Seyyed Hossein Nasr, menekankan perlunya kembali pada kebijaksanaan metafisik Islam untuk menjawab tantangan modernitas. Ia mengusulkan Irfaniyah sebagai “jalan tengah suci” antara dogmatisme tekstual dan relativisme liberal.⁸

Dalam pandangannya, hanya dengan menghidupkan kembali dimensi spiritual Islam secara mendalam, umat Islam dapat menjawab tantangan zaman tanpa kehilangan akar tradisinya.


Dengan demikian, filsafat Irfaniyah tidak hanya relevan untuk masa lalu, tetapi juga sangat potensial untuk membentuk paradigma baru dalam menjawab tantangan zaman kontemporer—baik dalam bidang spiritualitas, pendidikan, hubungan antaragama, maupun integrasi ilmu dan agama. Ia hadir sebagai oase di tengah kegersangan makna, menawarkan kedalaman di balik permukaan dunia modern.


Footnotes

[1]                Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2007), 299–302.

[2]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 145–148.

[3]                Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (Lahore: Institute of Islamic Culture, 1986), 1–5.

[4]                Mulla Sadra, The Transcendent Philosophy of Mulla Sadra, trans. Ibrahim Kalin (London: ICAS Press, 2006), 60–63.

[5]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-ʿArabī’s Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New York Press, 1989), 112–114.

[6]                Henry Corbin, Creative Imagination in the Sufism of Ibn ‘Arabī, trans. Ralph Manheim (Princeton: Princeton University Press, 1969), 70–73.

[7]                James W. Morris, “Ibn ʿArabī and the Diversity of Religions: On the Perennial Wisdom of Islam,” Journal of the American Academy of Religion 52, no. 2 (1984): 247–276.

[8]                Seyyed Hossein Nasr, The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism, Islam’s Mystical Tradition (New York: HarperOne, 2007), 19–21.


10.       Kesimpulan

Filsafat Irfaniyah merupakan salah satu warisan intelektual dan spiritual paling kaya dalam tradisi Islam. Ia hadir sebagai jembatan antara dimensi rasional filsafat dan dimensi eksistensial tasawuf, membentuk suatu pendekatan yang unik dalam memahami realitas wujud, Tuhan, dan manusia. Dalam Irfaniyah, pengetahuan tidak hanya diperoleh melalui akal dan teks, tetapi juga melalui penyucian jiwa dan pengalaman batin yang mendalam—suatu proses yang disebut ma‘rifah

Sebagaimana telah diuraikan dalam bagian-bagian sebelumnya, Irfaniyah berkembang dari interaksi antara pemikiran filsafat Islam klasik (terutama aliran peripatetik dan iluminasi), spiritualitas sufi, dan kontribusi tokoh-tokoh seperti Suhrawardī, Ibn ʿArabī, dan Mulla Ṣadrā. Masing-masing tokoh ini membentuk fondasi konseptual Irfaniyah melalui gagasan-gagasan seperti Wahdat al-Wujūd, Insān Kāmil, tajallī, dan hikmah al-muta‘āliyyah

Meski begitu, filsafat Irfaniyah tidak bebas dari kritik. Tuduhan pantheisme, penyimpangan dari syariat, hingga subjektivisme intuisi adalah sebagian dari polemik yang terus mengiringinya.³ Namun demikian, para arif dan pembela pendekatan ini menekankan bahwa Irfaniyah sejati tidak pernah bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam, melainkan memperdalamnya secara batiniah dan spiritual.⁴

Di era kontemporer, relevansi Irfaniyah menjadi semakin terasa. Ia menawarkan solusi atas krisis spiritual dan kekosongan makna yang ditimbulkan oleh modernitas yang materialistik.⁵ Irfaniyah mengajarkan bahwa pengenalan terhadap Tuhan bukan sekadar aktivitas intelektual, melainkan transformasi diri menuju kedekatan eksistensial dengan Yang Maha Wujud. Dalam konteks ini, Irfaniyah berpotensi menjadi landasan pembaruan pemikiran Islam yang berakar kuat pada tradisi, namun tetap menjawab tantangan zaman.⁶

Dengan demikian, filsafat Irfaniyah bukan sekadar sebuah mazhab pemikiran, melainkan juga sebuah jalan hidup (ṭarīqah al-ḥayāh) yang mengajak manusia untuk menyatu dengan sumber segala kebenaran, melalui jalan ilmu, cinta, dan penyaksian ruhani. Sebagaimana ditegaskan oleh Seyyed Hossein Nasr, “Irfaniyah adalah bentuk tertinggi dari kebijaksanaan Islam, yang menyatukan akal dan wahyu dalam kesadaran akan Tuhan.”_⁷


Footnotes

[1]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-ʿArabī’s Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New York Press, 1989), 112–114.

[2]                Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 201–206.

[3]                Jon Hoover, Ibn Taymiyya’s Theodicy of Perpetual Optimism (Leiden: Brill, 2007), 108–109.

[4]                Sayyid Haydar Amuli, Inner Secrets of the Path: A Sufi Commentary on the Qur'an, ed. and trans. Toby Mayer (Leiden: Brill, 2020), 28–31.

[5]                Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2007), 299–302.

[6]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 150–153.

[7]                Seyyed Hossein Nasr, The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism, Islam's Mystical Tradition (New York: HarperOne, 2007), 19.


Daftar Pustaka

Amir-Moezzi, M. A. (1994). The divine guide in early Shiʻism: The sources of esotericism in Islam. State University of New York Press.

Amuli, S. H. (2020). Inner secrets of the path: A Sufi commentary on the Qur'an (T. Mayer, Ed. & Trans.). Brill.

Chittick, W. C. (1989). The Sufi path of knowledge: Ibn al-ʿArabī’s metaphysics of imagination. State University of New York Press.

Chittick, W. C. (1998). The self-disclosure of God: Principles of Ibn al-ʿArabī’s cosmology. State University of New York Press.

Corbin, H. (1969). Creative imagination in the Sufism of Ibn ‘Arabī (R. Manheim, Trans.). Princeton University Press.

Corbin, H. (1993). History of Islamic philosophy (L. Sherrard & P. Sherrard, Trans.). Kegan Paul International.

Dabashi, H. (2006). Theology of discontent: The ideological foundations of the Islamic revolution in Iran. NYU Press.

Fakhry, M. (2004). A history of Islamic philosophy (3rd ed.). Columbia University Press.

Gutas, D. (1998). Greek thought, Arabic culture: The Graeco-Arabic translation movement in Baghdad and early ʿAbbasid society (2nd–4th/8th–10th centuries). Routledge.

Hoover, J. (2007). Ibn Taymiyya’s theodicy of perpetual optimism. Brill.

Iqbal, M. (1986). The reconstruction of religious thought in Islam. Institute of Islamic Culture.

Izutsu, T. (1983). Sufism and Taoism: A comparative study of key philosophical concepts. University of California Press.

Kalin, I. (2002). Mulla Sadra’s realist ontology of the intellect. Islamic Studies, 41(4), 639–661.

Kalin, I. (2006). The transcendent philosophy of Mulla Sadra. Islamic College for Advanced Studies Press.

Knysh, A. (2000). Islamic mysticism: A short history. Brill.

Morris, J. W. (1984). Ibn ʿArabī and the diversity of religions: On the perennial wisdom of Islam. Journal of the American Academy of Religion, 52(2), 247–276.

Nasr, S. H. (1978). Sadr al-Din Shirazi and his transcendent theosophy: Background, life and works. Imperial Iranian Academy of Philosophy.

Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the sacred. State University of New York Press.

Nasr, S. H. (2007). The garden of truth: The vision and promise of Sufism, Islam’s mystical tradition. HarperOne.

Pourjavady, N. (2012). Philosophy in the land of prophecy. State University of New York Press.

Schimmel, A. (1975). Mystical dimensions of Islam. University of North Carolina Press.

Suhrawardi, S. al-D. (1999). The philosophy of illumination (J. Walbridge & H. Ziai, Trans.). Brigham Young University Press.

Tabataba’i, M. H. (1987). The Qur’an in Islam: Its impact and influence on the life of Muslims (S. H. Nasr, Trans.). Zahra Publications.

Tabataba’i, M. H. (2007). Nihayat al-Hikmah [The ultimate wisdom] (S. M. Khamenei, Ed.). Bustan-e Ketab.

Taylor, C. (2007). A secular age. Harvard University Press.

Watt, W. M. (1985). Islamic philosophy and theology. Edinburgh University Press.