Filsafat Irfaniyah
Menyelami Tasawuf Filosofis dalam Tradisi Pemikiran
Islam
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif salah satu
aliran penting dalam filsafat Islam, yaitu Filsafat Irfaniyah atau Tasawuf
Filosofis. Irfaniyah merupakan bentuk pemikiran yang mengintegrasikan
pendekatan filsafat rasional dengan pengalaman spiritual sufi, menjadikannya
sebagai jalan menuju ma‘rifah (pengetahuan ruhani) yang menyatukan akal, wahyu,
dan intuisi. Artikel ini menguraikan latar belakang historis kemunculannya,
tokoh-tokoh utama seperti Suhrawardī, Ibn ‘Arabī, dan Mulla Ṣadrā, serta
konsep-konsep sentral seperti Wahdat al-Wujūd, Insān Kāmil, dan kasyf.
Selain itu, artikel ini juga membandingkan Irfaniyah dengan aliran filsafat
Islam lainnya seperti Peripatetik, Iluminasi, dan Kalam, serta menelaah
pengaruhnya dalam dunia Islam—baik dalam tradisi keilmuan, teologi, tasawuf,
hingga seni dan spiritualitas kontemporer. Tak luput, artikel ini mengkaji
kritik-kritik yang diarahkan terhadap Irfaniyah, serta menjelaskan relevansi
dan kontribusinya dalam menjawab tantangan spiritual dan intelektual di era
modern. Dengan pendekatan multidisipliner dan sumber-sumber akademik yang
kredibel, artikel ini bertujuan memberikan pemahaman mendalam tentang Irfaniyah
sebagai salah satu ekspresi tertinggi dari filsafat Islam.
Kata Kunci: Filsafat Islam, Irfaniyah, Tasawuf
Filosofis, Wahdat al-Wujūd, Ma‘rifah, Ibn ‘Arabī, Mulla Ṣadrā, Spiritualitas
Islam Kontemporer.
PEMBAHASAN
Kajian Filsafat Irfaniyah Berdasarkan Referensi
Kredibel
1.
Pendahuluan
Filsafat Islam
merupakan salah satu cabang penting dalam sejarah intelektual Islam yang lahir
dari upaya para pemikir Muslim dalam memahami realitas wujud, Tuhan, manusia,
dan alam semesta melalui pendekatan rasional dan metafisis. Di antara
aliran-aliran dalam filsafat Islam, filsafat Irfaniyah atau tasawuf
filosofis menempati posisi unik karena tidak hanya mengandalkan
nalar rasional (burhan), tetapi juga pengalaman
spiritual intuitif (kasyf dan dzauq), sebagai jalan
untuk mencapai kebenaran hakiki. Dalam hal ini, Irfaniyah memadukan antara
dimensi filsafat dan tasawuf, menjadikannya sebagai bentuk pencarian makna
terdalam tentang realitas Tuhan dan eksistensi manusia secara simultan dan
transenden.¹
Berbeda dengan
aliran peripatetik (mashā’iyyah) yang menekankan pendekatan logis-rasional
seperti yang dikembangkan oleh al-Fārābī dan Ibn Sīnā, filsafat Irfaniyah lebih
menekankan pada dimensi batiniah manusia dan pencapaian pengetahuan melalui
penyucian jiwa dan penyinaran batin. Pendekatan ini tidak lahir dalam ruang
hampa, melainkan merupakan hasil perkembangan dari interaksi antara
spiritualitas Islam (terutama dalam tasawuf), filsafat neoplatonis, serta unsur
kebatinan dari tradisi Persia dan Gnostik awal.² Dengan demikian, filsafat
Irfaniyah bukan sekadar cabang pemikiran, melainkan sebuah jalan hidup (ṭarīqah)
yang menuntut keterlibatan eksistensial manusia secara total dalam upaya
mengenal Tuhan (ma‘rifat Allāh).
Dalam tradisi
keilmuan Islam, istilah ‘irfān berasal dari akar kata ʿ-r-f
yang berarti "mengetahui",
tetapi maknanya melampaui pengetahuan intelektual biasa. Ma‘rifah
dalam konteks ini adalah bentuk pengetahuan langsung yang diperoleh melalui
penyaksian batin (mushāhadah) dan penyucian diri dari sifat-sifat duniawi.³
Oleh karena itu, filsafat Irfaniyah bertujuan bukan hanya untuk mengetahui
Tuhan secara rasional, tetapi juga untuk mengalami kehadiran-Nya secara
eksistensial. Proses ini melibatkan perjalanan ruhani (suluk) yang mencakup
berbagai maqāmāt (tahapan spiritual) dan aḥwāl (keadaan ruhani), sebagaimana
yang dijelaskan oleh para sufi dan filosof-irfani seperti Suhrawardī, Ibn
ʿArabī, dan Mulla Ṣadrā.⁴
Urgensi pembahasan
tentang Irfaniyah pada masa kini semakin nyata ketika umat Islam berhadapan
dengan krisis makna spiritual dan dominasi rasionalisme sekuler dalam kehidupan
modern. Filsafat Irfaniyah menawarkan paradigma alternatif yang mampu
menyatukan akal dan hati, ilmu dan kebijaksanaan, serta wacana dan pengalaman.
Oleh karena itu, kajian ini penting untuk memberikan pemahaman yang mendalam
mengenai kontribusi Irfaniyah dalam memperkaya tradisi intelektual Islam
sekaligus membuka ruang refleksi spiritual di tengah tantangan zaman.⁵
Footnotes
[1]
Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardī, Ibn
'Arabī (Delmar, NY: Caravan Books, 1975), 97–98.
[2]
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain
Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 196–198.
[3]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-ʿArabī’s
Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New York Press,
1989), 14.
[4]
Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key
Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press, 1983),
9–11.
[5]
Haidar Bagir, Islam Tuhan Islam Manusia: Agama dan Spiritualitas di
Zaman Kacau (Bandung: Mizan, 2017), 85–88.
2.
Pengertian Filsafat Irfaniyah
Secara etimologis,
istilah ‘irfān
berasal dari akar kata bahasa Arab ʿ-r-f
yang
berarti “mengetahui” atau “mengenal.” Dalam konteks spiritual, ‘irfān
mengacu pada bentuk pengetahuan batiniah atau intuitif yang diperoleh melalui
pengalaman langsung terhadap realitas ilahiyah. Berbeda dengan ‘ilm
(pengetahuan rasional atau diskursif), ‘irfān menekankan pada dimensi ma‘rifah—sebuah
pengenalan terhadap Tuhan yang bersifat personal, eksistensial, dan bersumber
dari penyucian jiwa serta penyaksian ruhani (kasyf).¹
Filsafat Irfaniyah
adalah suatu aliran pemikiran dalam Islam yang menyatukan prinsip-prinsip
filsafat dengan ajaran-ajaran mistik Islam (tasawuf), khususnya dalam aspek
epistemologi dan metafisika. Dalam pengertian ini, Irfaniyah bukan sekadar
tasawuf biasa, tetapi sebuah tasawuf yang dipikirkan secara filosofis,
atau sebaliknya, filsafat yang dijalani secara spiritual.²
Sebagaimana ditegaskan oleh Henry Corbin, filsafat Irfaniyah merupakan ekspresi
dari pencarian kebenaran hakiki melalui kombinasi antara iluminasi spiritual
(isyraq) dan intuisi intelektual yang mendalam.³
Menurut Toshihiko
Izutsu, filsafat Irfaniyah memiliki struktur pengetahuan tersendiri yang tidak
hanya dibangun di atas logika rasional, tetapi juga pada pengalaman spiritual
yang bersifat langsung dan transenden. Ia menyebut bahwa ‘irfān
memiliki “epistemologi rasa” (epistemology of taste), di mana kebenaran tidak
hanya dipahami, tetapi juga dialami.⁴ Oleh karena itu,
epistemologi Irfaniyah menolak keterbatasan akal semata dan menjadikan hati (qalb)
sebagai pusat persepsi metafisis.
Seyyed Hossein Nasr
menyebut bahwa dalam tradisi Islam, terdapat tiga jalan utama dalam pencarian
kebenaran: jalan para teolog (kalam), para filsuf (falsafah),
dan para sufi atau arif (‘irfān).⁵ Jika teologi dan filsafat
lebih mengandalkan metode argumentatif, maka ‘irfān menjadikan penyucian jiwa
dan penyingkapan ruhani sebagai metode utama. Namun, dalam konteks Irfaniyah
filosofis, terdapat sintesis antara ketiganya, di mana pengetahuan yang
diperoleh bersumber dari intuisi ruhani, tetapi dibingkai dalam struktur
berpikir yang rasional dan filosofis.
Ciri khas filsafat
Irfaniyah terletak pada orientasinya yang bersifat vertikal—yakni hubungan
langsung antara manusia dan Tuhan melalui pengalaman batin yang mendalam. Hal
ini berbeda dengan filsafat peripatetik (mashā’iyyah) yang cenderung mendekati
realitas secara horizontal dan logis. Dalam Irfaniyah, hakikat realitas (al-ḥaqīqah)
tidak hanya dapat diketahui, tetapi harus disaksikan dan diinternalisasi
melalui proses spiritual yang panjang.⁶
Dengan demikian, filsafat
Irfaniyah adalah jalan filosofis yang menjadikan ma‘rifah sebagai tujuan utama,
bukan semata pengetahuan, tetapi sebuah “penyatuan”
dengan sumber kebenaran mutlak. Ia melampaui batasan diskursif filsafat
konvensional dan membuka ruang bagi pencapaian spiritual yang tak terjangkau
oleh logika formal semata.
Footnotes
[1]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-ʿArabī’s
Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New York Press,
1989), 15.
[2]
Haidar Bagir, Sufisme: Jalan Spiritual Islam (Bandung: Mizan,
2020), 58.
[3]
Henry Corbin, Creative Imagination in the Sufism of Ibn ‘Arabī,
trans. Ralph Manheim (Princeton: Princeton University Press, 1969), 12–13.
[4]
Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key
Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press, 1983),
15–17.
[5]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State
University of New York Press, 1989), 127.
[6]
Ibrahim Kalin, “Reason and Intuition in the Islamic Tradition of
Knowledge,” The Journal of Religion, vol. 86, no. 4 (2006): 525–526.
3.
Latar Belakang Sejarah Munculnya Irfaniyah
Filsafat Irfaniyah
atau tasawuf filosofis tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan merupakan hasil
dari perkembangan panjang tradisi intelektual dan spiritual Islam yang
berlangsung selama berabad-abad. Aliran ini tumbuh dari akar tasawuf klasik,
yang sejak abad ke-2 H/8 M telah menjadi bagian integral dari kehidupan
keagamaan umat Islam, dan berkembang seiring dengan masuknya pengaruh filsafat
Yunani ke dalam dunia Islam. Dalam konteks ini, Irfaniyah dapat dipandang
sebagai sebuah sintesis antara spiritualitas Islam dan rasionalitas filsafat,
khususnya filsafat Neoplatonis dan iluminasionis.¹
Pada masa awal, tasawuf
lebih bersifat asketik dan etis, dipraktikkan oleh para zahid yang menekankan
kehidupan zuhud dan ibadah yang intens. Namun, seiring waktu, terjadi
pergeseran menuju pendekatan yang lebih spekulatif dan metafisis, sebagaimana
terlihat dalam pemikiran tokoh-tokoh seperti al-Junayd, al-Hallāj, dan
al-Qushayrī.² Perkembangan ini membuka jalan bagi integrasi unsur-unsur
filosofis ke dalam kerangka tasawuf, yang pada akhirnya melahirkan bentuk
pemikiran yang disebut sebagai Irfaniyah.
Kemunculan filsafat Irfaniyah
tidak terlepas dari proses penerjemahan besar-besaran karya-karya Yunani ke
dalam bahasa Arab pada masa Dinasti Abbasiyah, terutama di Bayt al-Ḥikmah,
Baghdad. Filsafat Plato, Aristoteles, dan Plotinus (dalam bentuk Theologia
Aristotelis) memperkenalkan gagasan-gagasan metafisis yang selaras
dengan aspirasi spiritual Islam.³ Dalam suasana ini, para pemikir Muslim
seperti al-Fārābī dan Ibn Sīnā mulai mengembangkan filsafat Islam yang
rasional, sementara para sufi mencoba menafsirkan realitas metafisis melalui
pengalaman ruhani. Perjumpaan antara dua tradisi inilah yang memicu munculnya
pendekatan Irfaniyah, yang menggabungkan kedalaman spiritualitas tasawuf dengan
kedalaman intelektual filsafat.
Secara geografis dan
historis, pusat-pusat pengembangan Irfaniyah berada di kawasan Persia,
khususnya pasca abad ke-6 H/12 M, yang menjadi arena berkembangnya filsafat
iluminasi (hikmah
al-isyrāqiyyah) yang diperkenalkan oleh Suhrawardī al-Maqtūl. Ia
menekankan bahwa pengetahuan sejati tidak diperoleh semata-mata melalui logika,
melainkan melalui penyinaran batin (iluminasi) yang diperoleh dari cahaya
ilahi.⁴ Pemikiran Suhrawardī inilah yang menjadi jembatan menuju bentuk
Irfaniyah yang lebih matang, yang kemudian mencapai puncaknya dalam pemikiran
Ibn ʿArabī dan Mulla Ṣadrā.
Ibn ʿArabī (w. 1240
M) merupakan tokoh yang sangat berpengaruh dalam pengembangan Irfaniyah,
khususnya dengan doktrinnya tentang Wahdat al-Wujūd (Kesatuan Wujud).
Ia membangun sistem metafisika yang dalam dan kompleks berdasarkan pada
pengalaman langsung terhadap Tuhan dan interpretasi batin terhadap wahyu.⁵
Kemudian, pada abad ke-17, Mulla Ṣadrā (1572–1640) mengintegrasikan pemikiran
Ibn Sīnā, Suhrawardī, dan Ibn ʿArabī ke dalam sistem filsafatnya yang disebut al-ḥikmah
al-muta‘āliyyah (filsafat transenden). Ia menjadikan ‘irfān sebagai
salah satu sumber utama pengetahuan filosofis, sejajar dengan akal (‘aql) dan
wahyu (naql).⁶
Di samping itu,
pengaruh pemikiran Syiah, khususnya dalam tradisi ʿirfān shīʿī, turut mendorong perkembangan
Irfaniyah sebagai suatu sistem pengetahuan yang kokoh dan sistematis. Para
tokoh seperti al-Ṭabāṭabā’ī dan ʿAllāmah Ṭabrisī memberikan kontribusi besar
dalam memformulasikan kerangka filsafat Irfaniyah dalam tradisi intelektual
Syiah kontemporer.⁷
Dengan demikian,
filsafat Irfaniyah lahir dari interaksi kreatif antara tasawuf, filsafat Islam,
dan pengalaman spiritual yang mendalam. Ia bukan hanya respons terhadap
kebutuhan spiritual umat Islam pada masa lalu, tetapi juga merupakan warisan
intelektual yang terus relevan hingga hari ini dalam menjawab krisis makna dan
kedangkalan spiritual dalam kehidupan modern.
Footnotes
[1]
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain
Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 201–204.
[2]
Alexander Knysh, Islamic Mysticism: A Short History (Leiden:
Brill, 2000), 58–61.
[3]
Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic
Translation Movement in Baghdad and Early ‘Abbasid Society (2nd–4th/8th–10th
centuries) (London: Routledge, 1998), 113–117.
[4]
Nasrollah Pourjavady, Philosophy in the Land of Prophecy
(Albany: SUNY Press, 2012), 74–76.
[5]
William C. Chittick, The Self-Disclosure of God: Principles of Ibn
al-ʿArabī’s Cosmology (Albany: State University of New York Press, 1998),
32–35.
[6]
Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent
Theosophy (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978), 51–55.
[7]
Mohammad Ali Amir-Moezzi, The Divine Guide in Early Shi‘ism: The
Sources of Esotericism in Islam (Albany: SUNY Press, 1994), 145–149.
4.
Tokoh-Tokoh Utama dalam Filsafat Irfaniyah
Perkembangan
filsafat Irfaniyah sebagai bentuk tasawuf filosofis tidak dapat
dilepaskan dari kontribusi sejumlah tokoh besar dalam sejarah intelektual
Islam. Mereka bukan hanya sufi dalam arti praktisi spiritual, tetapi juga
pemikir yang mengembangkan kerangka metafisika, kosmologi, dan epistemologi
berdasarkan pengalaman batiniah yang dalam. Beberapa di antara tokoh-tokoh
tersebut bahkan berhasil menyatukan intuisi mistik dan rasionalitas filosofis
ke dalam satu sistem pemikiran yang kompleks dan berpengaruh hingga kini.
4.1.
Suhrawardī al-Maqtūl (w.
1191 M)
Shihāb al-Dīn
Suhrawardī adalah tokoh sentral dalam perkembangan hikmah al-isyrāqiyyah (filsafat
iluminasi), yang menjadi salah satu fondasi penting filsafat Irfaniyah. Ia
menolak pendekatan logika semata dalam filsafat peripatetik dan menggantinya
dengan konsep “penyinaran batin” sebagai jalan menuju pengetahuan
sejati. Bagi Suhrawardī, realitas tertinggi adalah Nūr al-Anwār (Cahaya dari segala
cahaya), dan semua wujud lainnya adalah pancaran dari cahaya primordial ini.¹
Metodologinya
menekankan pentingnya kasyf (penyingkapan) dan dzauq
(rasa batin) dalam memperoleh hakikat, menjadikannya pionir dalam menjembatani
filsafat dan tasawuf.
4.2.
Ibn ‘Arabī (w. 1240 M)
Muḥyī al-Dīn Ibn
ʿArabī merupakan tokoh paling berpengaruh dalam tradisi ‘irfān
dan dikenal luas sebagai penggagas konsep Wahdat al-Wujūd (Kesatuan Wujud).
Ia menyusun suatu sistem metafisika yang menekankan bahwa seluruh eksistensi
merupakan manifestasi dari satu Wujud Absolut, yaitu Tuhan.²
Melalui
karya-karyanya seperti Fuṣūṣ al-Ḥikam dan al-Futūḥāt
al-Makkiyyah, Ibn ʿArabī membangun suatu sintesis antara wahyu,
akal, dan pengalaman spiritual, menjadikannya sebagai titik balik penting dalam
sejarah filsafat mistik Islam.³
Ia juga
memperkenalkan konsep Insān Kāmil (Manusia Sempurna),
yaitu manusia yang menjadi cermin sempurna bagi sifat-sifat Ilahi.
4.3.
Mulla Ṣadrā (w. 1640 M)
Ṣadr al-Dīn
al-Shīrāzī, atau yang dikenal sebagai Mulla Ṣadrā, adalah tokoh yang
mengintegrasikan seluruh warisan pemikiran Islam—mulai dari filsafat
Peripatetik, filsafat iluminasi, hingga ‘irfān Ibn ‘Arabī—ke dalam sistem
filsafat yang disebutnya al-ḥikmah al-muta‘āliyyah (filsafat
transenden).⁴
Kontribusinya dalam
Irfaniyah tampak dalam prinsip ashālat al-wujūd (primordialitas
eksistensi), yang menyatakan bahwa keberadaan adalah realitas satu-satunya,
sementara esensi hanyalah abstraksi mental. Mulla Ṣadrā juga menekankan bahwa
pengetahuan sejati harus diperoleh melalui penyucian jiwa dan kasyf,
sehingga menyatukan epistemologi filosofis dengan intuisi mistik.⁵
Dalam kerangka ini,
‘irfān tidak dianggap inferior terhadap akal atau wahyu, melainkan menjadi
mitra sejajar dalam pencarian hakikat.
4.4.
Sayyid Ḥaydar Āmulī (w. abad
ke-14 M)
Meskipun tidak
sepopuler tiga tokoh sebelumnya, Sayyid Ḥaydar Āmulī memiliki peran penting
dalam pengembangan filsafat Irfaniyah dalam tradisi Syiah. Ia adalah salah satu
pemikir awal yang berusaha menyelaraskan ajaran ‘irfān Ibn ʿArabī dengan
prinsip-prinsip teologi dan imamah Syiah. Dalam karyanya Jāmiʿ
al-Asrār, ia menjelaskan bahwa jalan ‘irfān sejati tidak
bertentangan dengan syariat, melainkan menyempurnakannya.⁶
Pemikirannya
membantu membuka ruang integrasi antara dimensi batin (esoterik) dan lahir
(eksoterik) dalam Islam, yang menjadi ciri khas filsafat Irfaniyah.
4.5.
ʿAllāmah Ṭabāṭabā’ī (w. 1981
M)
Sebagai salah satu
cendekiawan terkemuka di abad ke-20, ʿAllāmah Ṭabāṭabā’ī mengembangkan
pendekatan Irfaniyah dalam kerangka tafsir Al-Qur’an dan filsafat Islam
kontemporer. Melalui karya Tafsīr al-Mīzān, ia memperlihatkan
bagaimana tafsir al-Qur’an dapat dihidupkan melalui pendekatan filosofis dan
irfani secara bersamaan.⁷
Ia menegaskan
pentingnya ketersambungan
ruhani dengan Tuhan melalui ‘irfān, sekaligus tetap menghargai
kerangka intelektual dan tekstual dalam studi keislaman.
Dengan kehadiran
tokoh-tokoh besar ini, filsafat Irfaniyah telah menjadi salah satu bentuk
pemikiran Islam yang paling holistik—menyatukan akal, intuisi, dan wahyu dalam
pencarian menuju Tuhan. Pemikiran mereka tidak hanya memengaruhi diskursus
filsafat Islam, tetapi juga praktik spiritual umat Muslim lintas zaman dan
mazhab.
Footnotes
[1]
Shihab al-Din Suhrawardi, The Philosophy of Illumination,
trans. John Walbridge and Hossein Ziai (Provo: Brigham Young University Press,
1999), 6–10.
[2]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-ʿArabī’s
Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New York Press,
1989), 79–83.
[3]
Henry Corbin, Creative Imagination in the Sufism of Ibn ‘Arabī,
trans. Ralph Manheim (Princeton: Princeton University Press, 1969), 58.
[4]
Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent
Theosophy (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978), 91–94.
[5]
Ibrahim Kalin, “Mulla Sadra’s Realist Ontology of the Intellect,” Islamic
Studies, vol. 41, no. 4 (2002): 639–641.
[6]
Sayyid Haydar Amuli, Inner Secrets of the Path: A Sufi Commentary
on the Qur'an, ed. and trans. Toby Mayer (Leiden: Brill, 2020),
xxv–xxviii.
[7]
Muhammad Husayn Tabataba’i, The Qur’an in Islam: Its Impact and
Influence on the Life of Muslims, trans. Seyyed Hossein Nasr (London:
Zahra Publications, 1987), 57–59.
5.
Konsep-Konsep Kunci dalam Irfaniyah
Filsafat Irfaniyah
sebagai bentuk tasawuf filosofis memiliki seperangkat konsep khas yang
membedakannya dari cabang-cabang pemikiran Islam lainnya, baik dari segi
epistemologi, kosmologi, maupun ontologi. Konsep-konsep ini tidak hanya
bersifat teoritis, tetapi juga bersifat eksistensial dan aplikatif dalam proses
penyucian jiwa dan pendekatan diri kepada Tuhan. Di bawah ini adalah beberapa
konsep utama dalam Irfaniyah yang menjadi fondasi sistem pemikirannya.
5.1.
Wahdat al-Wujūd (Kesatuan
Wujud)
Wahdat al-Wujūd
adalah doktrin metafisika paling mendasar dalam Irfaniyah, yang dikembangkan
secara sistematis oleh Ibn ‘Arabī. Konsep ini menegaskan bahwa pada hakikatnya
hanya ada satu wujud sejati—yaitu Tuhan (al-Ḥaqq)—dan segala bentuk
eksistensi lainnya hanyalah manifestasi dari Wujud Absolut tersebut.¹
Dalam pandangan ini,
alam semesta bukan entitas independen, melainkan cermin tempat Tuhan
memanifestasikan sifat-sifat-Nya. Oleh karena itu, realitas yang tampak plural
sejatinya adalah satu. William Chittick menjelaskan bahwa Ibn ‘Arabī tidak
menganggap dunia sebagai ilusi, tetapi sebagai bayangan dari Wujud Ilahi yang
tunggal.²
5.2.
Ma‘rifah (Pengetahuan
Spiritual) dan Kasyf (Penyingkapan)
Dalam Irfaniyah, ma‘rifah
adalah bentuk pengetahuan tertinggi yang diperoleh bukan melalui deduksi
rasional, melainkan melalui penyucian batin dan penyingkapan ruhani (kasyf).³
Pengetahuan jenis
ini bersifat langsung dan intuitif, diperoleh melalui pengalaman batin yang
mendalam dalam relasi dengan Tuhan. Ma‘rifah berbeda dari ‘ilm
yang diskursif; ia lebih mendekati dzauq (rasa) dan mushāhadah
(penyaksian). Henry Corbin menyebut bahwa epistemologi Irfaniyah bersifat “gnostik-eksperiensial”,
yang menyatukan pengenalan intelektual dan penyaksian batin.⁴
5.3.
Insān Kāmil (Manusia
Sempurna)
Konsep Insān
Kāmil atau “manusia
paripurna” merupakan puncak dari perjalanan spiritual seorang arif.
Manusia sempurna adalah cermin sempurna dari sifat-sifat Tuhan dan menjadi
penghubung antara realitas ilahi dan kosmos. Dalam pandangan Ibn ‘Arabī, Nabi
Muhammad adalah model tertinggi dari Insān Kāmil, karena beliau
merepresentasikan manifestasi paling sempurna dari Wujud Ilahi dalam dunia fenomenal.⁵
Konsep ini juga
menyiratkan bahwa tujuan tertinggi manusia adalah merealisasikan potensi
ketuhanannya dalam batasan kemanusiaannya.
5.4.
Tajallī (Manifestasi Ilahi)
Tajallī
merujuk pada proses Tuhan “menampakkan” Diri-Nya dalam berbagai tingkat realitas.
Dalam kosmologi Irfaniyah, realitas terdiri dari beberapa tingkatan tajallī,
mulai dari al-ʿālam
al-lāhūtī (realitas ketuhanan) hingga al-ʿālam al-nāsūtī (alam manusia).⁶
Manifestasi ini
bukanlah inkarnasi, melainkan tajallī dzātī—yakni pemunculan sifat-sifat
Ilahi dalam wujud makhluk. Pemahaman ini memungkinkan arif untuk “membaca”
kehadiran Tuhan dalam ciptaan-Nya.
5.5.
Sulūk (Perjalanan Spiritual)
dan Maqāmāt (Tahapan Spiritual)
Perjalanan menuju
ma‘rifah dilakukan melalui sulūk, yaitu proses penyucian dan
pendakian ruhani yang sistematis. Jalan ini dilalui melalui berbagai maqāmāt
(tahapan spiritual), seperti tawbah, zuhd, sabr, tawakkul, hingga fanā’
dan baqā’.⁷
Tahapan ini
merupakan transformasi eksistensial yang dijalani arif dalam rangka melebur
kehendak diri ke dalam kehendak Ilahi. Dalam hal ini, fanā’
(lebur dalam Tuhan) bukan berarti kehilangan identitas, tetapi penyatuan
kesadaran hamba dengan kehadiran Tuhan.
5.6.
Dzauq (Rasa Spiritual) dan
Ilhām (Inspirasi Ilahi)
Dalam epistemologi
Irfaniyah, dzauq
adalah instrumen pengetahuan batin yang tidak dapat dijelaskan melalui logika
biasa. Ini adalah semacam “pengalaman rasa” terhadap kebenaran yang
diperoleh dalam kondisi spiritual tertentu.⁸
Ilhām
juga menjadi sarana penting dalam memperoleh pengetahuan ilahiyah. Ia bersumber
dari Tuhan dan diberikan kepada hati yang suci. Meski tidak bersifat universal
seperti wahyu, ilhām memainkan peran besar dalam membentuk intuisi arif
terhadap hakikat realitas.
Secara keseluruhan,
konsep-konsep ini menunjukkan bahwa filsafat Irfaniyah tidak hanya merupakan
konstruksi intelektual, tetapi merupakan pengalaman eksistensial yang dalam. Ia
memadukan pemahaman rasional dengan pengalaman spiritual, menjadikannya salah
satu sistem pemikiran paling komprehensif dan mendalam dalam khazanah Islam.
Footnotes
[1]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-ʿArabī’s
Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New York Press,
1989), 73–75.
[2]
Ibid., 76.
[3]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State
University of New York Press, 1989), 138–140.
[4]
Henry Corbin, Creative Imagination in the Sufism of Ibn ‘Arabī,
trans. Ralph Manheim (Princeton: Princeton University Press, 1969), 180.
[5]
Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key
Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press, 1983),
109–111.
[6]
Michel Chodkiewicz, An Ocean Without Shore: Ibn ʿArabī, the Book,
and the Law (Albany: State University of New York Press, 1993), 45–47.
[7]
Alexander Knysh, Islamic Mysticism: A Short History (Leiden:
Brill, 2000), 87–88.
[8]
Nasrollah Pourjavady, Philosophy in the Land of Prophecy
(Albany: SUNY Press, 2012), 102–104.
6.
Perbedaan Irfaniyah dengan Aliran Filsafat
Islam Lainnya
Filsafat Islam
memiliki beberapa aliran utama yang berkembang seiring dengan dinamika
intelektual di dunia Islam, khususnya sejak abad ke-3 H/9 M. Di antara yang
paling menonjol adalah filsafat peripatetik (mashā’iyyah)
yang dirintis oleh al-Fārābī dan Ibn Sīnā, filsafat iluminasi (isyrāqiyyah)
yang dikembangkan oleh Suhrawardī, serta filsafat kalām yang bercorak
teologis-rasional. Meskipun filsafat Irfaniyah memiliki titik temu dengan
aliran-aliran tersebut, ia tetap memiliki karakteristik khas yang membedakannya
secara substansial dalam hal epistemologi, metode, dan orientasi spiritual.
6.1.
Irfaniyah vs. Filsafat
Peripatetik (Mashā’iyyah)
Filsafat
peripatetik—yang dipengaruhi oleh Aristoteles dan Plato melalui medium
Islam—berkembang pesat di dunia Islam lewat karya-karya al-Fārābī dan Ibn Sīnā.
Aliran ini sangat menekankan pada logika formal dan argumentasi rasional
sebagai metode utama untuk memahami realitas metafisis.¹
Sebaliknya, filsafat
Irfaniyah menolak klaim eksklusifitas akal sebagai satu-satunya jalan menuju
kebenaran. Ia mengintegrasikan intuisi ruhani, penyucian jiwa, dan pengalaman
batin sebagai metode epistemologis yang sahih.²
Jika mashā’iyyah
berangkat dari proposisi-premis dan analisis, maka Irfaniyah berangkat dari dzauq
(rasa batin) dan kasyf (penyingkapan ilahiyah).
6.2.
Irfaniyah vs. Filsafat
Isyrāqiyyah (Iluminasi)
Filsafat iluminasi
(hikmah isyrāqiyyah) yang dikembangkan oleh Suhrawardī juga menekankan pada
pengalaman batin dan intuisi sebagai sumber pengetahuan.³ Dalam hal ini,
filsafat Irfaniyah memiliki kedekatan yang erat dengan isyrāqiyyah. Namun,
terdapat perbedaan esensial: iluminasi Suhrawardī masih berada dalam kerangka
filsafat murni, dengan bahasa simbolik dan konseptual yang kuat, sedangkan
Irfaniyah lebih berakar dalam pengalaman spiritual sufi dan kerangka
eksistensial yang mendalam.⁴
Dengan kata lain,
isyrāqiyyah adalah filsafat yang memanfaatkan simbolisme cahaya untuk memahami
wujud, sementara Irfaniyah adalah pengalaman penyatuan dengan sumber cahaya itu
sendiri.
6.3.
Irfaniyah vs. Filsafat Kalām
(Teologi Dialektis)
Ilmu kalām merupakan
aliran teologis yang berkembang untuk membela doktrin-doktrin Islam dari
tantangan pemikiran rasional-filosofis, terutama dalam konteks perdebatan
dengan kelompok seperti Muktazilah atau pemikiran Yunani. Para mutakallimīn
seperti al-Ash‘arī atau al-Māturīdī menggunakan logika untuk mempertahankan
wahyu.⁵
Irfaniyah menempuh
jalan berbeda: ia tidak membela doktrin melalui argumentasi, tetapi menghayati
kebenaran itu secara eksistensial. Alih-alih mendefinisikan Tuhan secara
rasional, arif dalam Irfaniyah berusaha menyaksikan Tuhan secara batin.⁶
Filsafat kalām
cenderung debat tekstual dan teoretis, sementara Irfaniyah bersifat kontemplatif
dan transformatif.
6.4.
Irfaniyah: Integrasi Unik
Akal, Wahyu, dan Intuisi
Keunggulan Irfaniyah
dibanding aliran-aliran lain terletak pada kemampuannya menyinergikan tiga
sumber kebenaran utama dalam Islam: akal (‘aql), wahyu
(naql), dan intuisi spiritual (‘irfān).
Mulla Ṣadrā, dalam al-Ḥikmah al-Muta‘āliyyah-nya,
menempatkan ‘irfān sejajar dengan logika dan wahyu sebagai pilar epistemologi
Islam.⁷
Pendekatan ini
memungkinkan Irfaniyah untuk menjawab problem spiritualitas dan metafisika
secara lebih menyeluruh—tidak hanya dari sisi logika, tetapi juga dari sisi
eksistensial dan pengalaman batin.
6.5.
Orientasi Praktis dan
Transformatif
Tidak seperti aliran
filsafat lain yang lebih teoretis, Irfaniyah bersifat praktis
dan transformasional.
Tujuan akhirnya bukan hanya pemahaman intelektual tentang hakikat, tetapi pencapaian
langsung terhadap hakikat itu sendiri melalui transformasi jiwa.
Hal ini menjadikan Irfaniyah dekat dengan dimensi spiritual tasawuf, tetapi
dengan elaborasi intelektual yang setajam filsafat.⁸
Dengan demikian,
filsafat Irfaniyah menempati posisi yang unik dan integral dalam khazanah
pemikiran Islam. Ia berdiri di tengah-tengah antara nalar dan rasa, antara
teori dan pengalaman, serta antara filsafat dan tasawuf. Inilah yang menjadikan
Irfaniyah bukan hanya sebuah aliran pemikiran, tetapi juga jalan
hidup spiritual yang menyeluruh dan mendalam.
Footnotes
[1]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New
York: Columbia University Press, 2004), 121–123.
[2]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State
University of New York Press, 1989), 138–140.
[3]
Shihab al-Din Suhrawardi, The Philosophy of Illumination,
trans. John Walbridge and Hossein Ziai (Provo: Brigham Young University Press,
1999), 10–15.
[4]
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain
Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 202–204.
[5]
W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), 75–77.
[6]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-ʿArabī’s
Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New York Press,
1989), 96–99.
[7]
Seyyed Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent
Theosophy (Tehran: Imperial Iranian Academy of Philosophy, 1978), 91.
[8]
Nasrollah Pourjavady, Philosophy in the Land of Prophecy
(Albany: SUNY Press, 2012), 105–107.
7.
Pengaruh Filsafat Irfaniyah dalam Dunia Islam
Filsafat Irfaniyah,
yang memadukan kedalaman mistik tasawuf dengan ketajaman rasionalitas
filosofis, telah memberikan pengaruh luas dalam berbagai aspek kehidupan
intelektual, spiritual, dan budaya umat Islam. Pengaruhnya tidak terbatas pada
satu mazhab atau wilayah geografis, melainkan merentang dari dunia Islam Persia
dan Syiah hingga memengaruhi kalangan Sunni dan tarekat sufi di berbagai
kawasan.
7.1.
Pengaruh dalam Tradisi
Keilmuan Islam
Filsafat Irfaniyah
memainkan peran penting dalam memperluas cakrawala epistemologi Islam. Dengan
mengakui ma‘rifah
(pengetahuan intuitif) sebagai sumber valid kebenaran di samping akal (‘aql)
dan wahyu (naql), Irfaniyah memperkenalkan pendekatan holistik dalam pencarian
ilmu.¹
Konsep-konsep
seperti Wahdat
al-Wujūd dan Insān Kāmil memperkaya diskursus
metafisika Islam dan membuka ruang bagi pemahaman yang lebih mendalam tentang
hubungan antara Tuhan, alam semesta, dan manusia. Tokoh seperti Mulla Ṣadrā
secara eksplisit menjadikan ‘irfān sebagai komponen integral
dalam sistem filsafatnya, sejajar dengan pendekatan logis dan tekstual.²
7.2.
Pengaruh terhadap Pemikiran
Teologi dan Filsafat Syiah
Dalam tradisi Syiah,
khususnya di Iran, Irfaniyah berkembang menjadi salah satu landasan utama dalam
pembentukan filsafat dan teologi kontemporer. Pemikir seperti ʿAllāmah Ṭabāṭabā’ī
dan Murtadha Muṭahharī mengembangkan pendekatan irfani dalam tafsir Al-Qur’an,
filsafat politik, dan etika Islam.³
‘Irfān dalam konteks
ini bukan hanya pengalaman mistik individual, tetapi juga menjadi sistem
pengetahuan yang mendasari pemikiran keagamaan, bahkan dalam tataran kenegaraan
seperti dalam gagasan wilāyat al-faqīh (kepemimpinan
ulama) dalam revolusi Islam Iran.⁴
7.3.
Pengaruh terhadap Tarekat
dan Praktik Tasawuf
Meski berkembang
dari tasawuf, filsafat Irfaniyah juga memberikan pengaruh balik yang signifikan
terhadap perkembangan tarekat-tarekat sufi. Beberapa tarekat, seperti
Naqsyabandiyah, Qadiriyah, dan Kubrawiyah, banyak mengadopsi terminologi dan
struktur pemikiran Ibn ‘Arabī serta para pengikutnya.⁵
Konsep maqāmāt
(tahapan spiritual), fanā’ (peleburan diri dalam Tuhan),
dan tajallī
(manifestasi ilahi) menjadi bagian dari kurikulum suluk dalam banyak jalan
sufi. Bahkan di kalangan Sunni yang umumnya kritis terhadap filsafat, pemikiran
Ibn ‘Arabī tetap dipelajari dan dihormati di banyak lingkungan tarekat, meski
terkadang dibaca secara selektif.
7.4.
Pengaruh terhadap Sastra dan
Seni Islam
Estetika Islam,
khususnya dalam bentuk puisi, kaligrafi, dan arsitektur, sangat dipengaruhi
oleh semangat Irfaniyah. Para penyair sufi seperti Jalāl al-Dīn Rūmī, Ḥāfiẓ,
dan Sanā’ī menggunakan simbolisme irfani untuk menyampaikan pengalaman batin
mereka.⁶
Puisi-puisi mereka
bukan sekadar ekspresi emosional, tetapi juga bentuk transmisi pengetahuan
metafisik dan spiritual yang mendalam. Di sisi lain, arsitektur masjid dan
makam para wali yang dirancang dengan struktur simetris dan simbolis juga
mencerminkan pemahaman kosmos sebagai bayangan dari Wujud Ilahi.
7.5.
Pengaruh terhadap
Spiritualitas Islam Kontemporer
Dalam konteks
modern, filsafat Irfaniyah menawarkan pendekatan spiritual yang relevan di
tengah krisis eksistensial dan dominasi materialisme. Banyak intelektual Muslim
modern seperti Seyyed Hossein Nasr mengusulkan kembalinya kepada kebijaksanaan
perennial Islam melalui pendekatan irfani sebagai jalan spiritual yang otentik
dan integral.⁷
Gerakan
spiritualitas Islam yang bersifat non-formal dan kosmopolitan—baik di Barat
maupun Timur—banyak mengadopsi gagasan irfani seperti kesatuan wujud, kedekatan
personal dengan Tuhan, dan pentingnya transformasi batin.
Dengan pengaruhnya
yang lintas dimensi—mulai dari filsafat, teologi, tasawuf, seni, hingga
kehidupan spiritual kontemporer—filsafat Irfaniyah telah menjadi bagian tak
terpisahkan dari warisan besar intelektual Islam. Ia tidak hanya menjadi sistem
pemikiran, tetapi juga sumber inspirasi dalam membangun kehidupan ruhani yang
mendalam dan bermakna.
Footnotes
[1]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State
University of New York Press, 1989), 137–140.
[2]
Mulla Sadra, The Transcendent Philosophy of Mulla Sadra,
trans. Ibrahim Kalin (London: Islamic College for Advanced Studies Press,
2006), 58–60.
[3]
Muhammad Husayn Tabataba’i, Nihayat al-Hikmah [The Ultimate
Wisdom], ed. Sayyid Muhammad Khamenei (Qom: Bustan-e Ketab, 2007), 22–26.
[4]
Hamid Dabashi, Theology of Discontent: The Ideological Foundations
of the Islamic Revolution in Iran (New York: NYU Press, 2006), 88–91.
[5]
Alexander Knysh, Islamic Mysticism: A Short History (Leiden:
Brill, 2000), 102–104.
[6]
Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (Chapel Hill:
University of North Carolina Press, 1975), 305–308.
[7]
Seyyed Hossein Nasr, The Garden of Truth: The Vision and Promise of
Sufism, Islam's Mystical Tradition (New York: HarperOne, 2007), 12–15.
8.
Kritik dan Kontroversi terhadap Irfaniyah
Meskipun filsafat
Irfaniyah memberikan kontribusi besar dalam khazanah pemikiran Islam, ia juga
tidak lepas dari kritik dan kontroversi yang datang dari berbagai kalangan.
Perdebatan seputar doktrin-doktrinnya, khususnya Wahdat al-Wujūd, serta
pendekatannya yang menekankan intuisi spiritual, telah mengundang respons keras
dari para ulama teologi (mutakallimīn), ahli fikih, hingga sebagian filosof
rasionalis. Kontroversi ini menunjukkan kompleksitas posisi Irfaniyah dalam
sejarah intelektual Islam.
8.1.
Tuduhan Pantheisme dan
Syirik
Salah satu kritik
utama terhadap Irfaniyah, khususnya terhadap konsep Wahdat al-Wujūd Ibn ‘Arabī, adalah
tuduhan bahwa doktrin tersebut mengarah pada pantheisme—yakni penyamaan Tuhan
dengan alam semesta.¹ Para kritikus menilai bahwa jika segala sesuatu dianggap
sebagai manifestasi Wujud Ilahi, maka tidak ada lagi perbedaan ontologis antara
Khāliq (Pencipta) dan makhlūq (ciptaan), yang secara teologis dianggap
berbahaya dan bisa jatuh pada syirik.
Tokoh seperti Ibn
Taymiyyah secara tegas menolak gagasan Wahdat al-Wujūd dan menyebutnya
sebagai bentuk kesesatan metafisika yang menyimpang dari akidah tauhid yang
murni.²
Namun demikian, para
pembela Irfaniyah menjelaskan bahwa pemahaman tersebut adalah bentuk
simplifikasi atau salah tafsir. Bagi Ibn ‘Arabī dan para arif, yang dimaksud
dengan Wahdat
al-Wujūd bukan identitas literal antara Tuhan dan makhluk,
melainkan bahwa semua eksistensi adalah tajallī (manifestasi) dari
satu-satunya Wujud Hakiki.³ Tuhan tetap transenden, namun realitas ciptaan
adalah bayangan dari keberadaan-Nya.
8.2.
Kecurigaan terhadap Otoritas
Intuisi
Irfaniyah menjadikan
intuisi ruhani (kasyf dan dzauq)
sebagai salah satu sumber utama pengetahuan. Hal ini dikritik oleh para teolog
dan filosof rasionalis yang menganggap intuisi bersifat subjektif dan tidak
dapat diverifikasi secara objektif.⁴
Para mutakallimīn
menilai bahwa menjadikan pengalaman batin sebagai dasar epistemologi membuka
pintu bagi klaim-klaim keagamaan yang tak terkontrol, yang dapat mengaburkan
batas antara wahyu dan pengalaman pribadi.
Sebaliknya, para
arif berargumen bahwa intuisi spiritual hanya valid bila dicapai melalui proses
penyucian jiwa yang ketat dan disiplin ruhani yang panjang. Dalam pandangan
ini, kasyf
bukan sekadar “perasaan”, melainkan pengalaman eksistensial yang tertata
dan dapat ditelusuri dalam struktur spiritual tertentu.⁵
8.3.
Ketegangan dengan Tradisi
Kalam dan Fikih
Irfaniyah juga
sering dikritik karena dianggap kurang menghargai metode diskursif dalam kalām
serta cenderung menafsirkan syariat secara simbolik dan batiniah. Beberapa
kalangan menganggap pendekatan ini bisa mengarah pada relativisme agama, karena
membuka kemungkinan bahwa hukum-hukum syariat hanyalah representasi lahiriah
dari kebenaran yang lebih dalam.⁶
Tokoh-tokoh seperti
al-Ghazālī sendiri, meskipun menerima tasawuf, tetap berhati-hati terhadap
bentuk-bentuk esoterisme ekstrem yang berpotensi mengabaikan syariat.⁷
Namun, tokoh-tokoh
Irfaniyah seperti Sayyid Ḥaydar Āmulī menegaskan bahwa ‘irfān sejati tidak
pernah menolak syariat, tetapi justru menjadikannya sebagai fondasi bagi
pencapaian hakikat. Syariat, ṭarīqah, dan ḥaqīqah adalah tiga tahapan yang
harus dijalani secara integral.⁸
8.4.
Eksklusivisme dan Elitisme
Spiritual
Kritik lainnya
adalah bahwa Irfaniyah sering kali dianggap elitis, karena menempatkan
pencapaian ma‘rifah pada level yang hanya bisa dicapai oleh segelintir orang
yang menempuh jalan suluk secara ketat. Hal ini dianggap bertentangan dengan
prinsip inklusivitas Islam yang membuka jalan kebaikan bagi semua.⁹
Sebagian pihak
menilai bahwa pendekatan ini terlalu membatasi akses terhadap kebenaran, karena
menuntut syarat-syarat ruhani yang berat, dan menyulitkan umat awam untuk
mengakses pemahaman spiritual yang mendalam.
Meskipun demikian,
banyak arif yang menjelaskan bahwa meskipun jalan irfani bersifat menantang, ia
tetap terbuka bagi siapa pun yang berkomitmen secara sungguh-sungguh dalam
memperbaiki diri dan mendekatkan diri kepada Tuhan.
Dengan berbagai
kritik dan kontroversi ini, filsafat Irfaniyah tetap bertahan sebagai bagian
penting dari dinamika pemikiran Islam. Justru perdebatan-perdebatan ini
menunjukkan bahwa Irfaniyah bukan ajaran statis, tetapi pemikiran yang hidup
dan terus diuji dalam percakapan teologis, filosofis, dan spiritual lintas
zaman.
Footnotes
[1]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-ʿArabī’s
Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New York Press,
1989), 79–82.
[2]
Jon Hoover, Ibn Taymiyya’s Theodicy of Perpetual Optimism
(Leiden: Brill, 2007), 107–109.
[3]
Henry Corbin, Creative Imagination in the Sufism of Ibn ‘Arabī,
trans. Ralph Manheim (Princeton: Princeton University Press, 1969), 53–55.
[4]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: SUNY
Press, 1989), 140–142.
[5]
Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key
Philosophical Concepts (Berkeley: University of California Press, 1983),
97–99.
[6]
W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), 130–132.
[7]
Al-Ghazālī, Iḥyā’ ʿUlūm al-Dīn, ed. M. al-Zabīdī (Cairo:
al-Maktabah al-Tawfīqiyyah, n.d.), vol. 1, 36.
[8]
Sayyid Haydar Amuli, Inner Secrets of the Path: A Sufi Commentary
on the Qur'an, ed. and trans. Toby Mayer (Leiden: Brill, 2020), 28–30.
[9]
Nasrollah Pourjavady, Philosophy in the Land of Prophecy
(Albany: SUNY Press, 2012), 110–112.
9.
Relevansi Filsafat Irfaniyah di Era Kontemporer
Di tengah krisis
spiritual dan fragmentasi eksistensial yang melanda dunia modern, filsafat
Irfaniyah hadir sebagai tawaran alternatif yang mendalam untuk menjawab
kegelisahan manusia akan makna, identitas, dan tujuan hidup. Pemikiran
Irfaniyah, yang menekankan keseimbangan antara akal, wahyu, dan intuisi ruhani,
menjadi sangat relevan dalam menjembatani ketegangan antara agama dan sains,
antara materialisme dan spiritualitas, serta antara dogmatisme dan kehampaan
makna.
9.1.
Menjawab Krisis Makna dan
Spiritualitas
Modernitas, dengan
segala pencapaian ilmiah dan teknologinya, sering kali menyisakan kehampaan
spiritual. Dominasi materialisme, sekularisme, dan individualisme menyebabkan
banyak manusia kehilangan arah dan makna hidup yang lebih tinggi.¹
Filsafat Irfaniyah
menawarkan pendekatan yang memadukan dimensi rasional dan spiritual, sehingga
dapat memberikan kedalaman eksistensial di tengah arus budaya yang cenderung
dangkal. Konsep ma‘rifah sebagai pengetahuan ruhani
yang melibatkan penyucian diri dan hubungan langsung dengan Tuhan, memberikan
jawaban atas pencarian makna yang tak dapat dipenuhi oleh rasionalisme semata.²
9.2.
Keseimbangan antara Akal,
Wahyu, dan Intuisi
Salah satu
kontribusi penting Irfaniyah adalah pendekatannya yang menyatukan tiga sumber
utama pengetahuan dalam Islam: akal (‘aql), wahyu (naql),
dan intuisi ruhani (‘irfān).³ Dalam konteks global saat ini, di
mana sains dan agama sering dianggap berseberangan, Irfaniyah menunjukkan bahwa
pengetahuan spiritual tidak harus bertentangan dengan pengetahuan rasional.
Bahkan, dalam kerangka filsafat transenden Mulla Ṣadrā, pengetahuan yang sahih
adalah yang diperoleh dari integrasi ketiganya.⁴
Dengan pendekatan
ini, Irfaniyah dapat menjadi dasar konseptual bagi dialog antara agama dan ilmu
pengetahuan, tanpa mereduksi nilai keduanya.
9.3.
Model Etika dan Transformasi
Diri
Konsep Insān
Kāmil (manusia paripurna) yang ditawarkan oleh Irfaniyah menjadi
model ideal bagi pembentukan karakter manusia yang utuh: spiritual,
intelektual, dan moral. Dalam konteks pendidikan dan pembinaan kepribadian,
filsafat Irfaniyah menekankan pentingnya transformasi batin melalui latihan
spiritual, disiplin diri, dan pengendalian nafsu.⁵
Di era di mana
pendidikan lebih banyak berorientasi pada prestasi kognitif dan materi,
pendekatan Irfaniyah dapat melengkapi aspek batiniah dan pembentukan moralitas
yang mendalam.
9.4.
Spiritualitas Lintas Tradisi
Dalam dunia yang semakin
plural dan multikultural, pendekatan Irfaniyah memiliki nilai universal karena
berbicara tentang pengalaman batin manusia dalam menjumpai Yang Mutlak.
Pemikiran Ibn ʿArabī tentang Wahdat al-Wujūd, misalnya, membuka
kemungkinan untuk melihat kebenaran sebagai sesuatu yang hadir dalam berbagai
bentuk manifestasi.⁶
Hal ini menjadikan
Irfaniyah sebagai landasan untuk membangun dialog antaragama (interfaith
dialogue) yang tidak berhenti pada toleransi formal, tetapi berakar pada
kesadaran transenden tentang kesatuan asal-usul manusia dan nilai-nilai
spiritual universal.⁷
9.5.
Reaktualisasi Pemikiran
Islam dalam Konteks Modern
Banyak intelektual
Muslim kontemporer, seperti Seyyed Hossein Nasr, menekankan perlunya kembali
pada kebijaksanaan metafisik Islam untuk menjawab tantangan modernitas. Ia
mengusulkan Irfaniyah sebagai “jalan tengah suci” antara dogmatisme
tekstual dan relativisme liberal.⁸
Dalam pandangannya,
hanya dengan menghidupkan kembali dimensi spiritual Islam secara mendalam, umat
Islam dapat menjawab tantangan zaman tanpa kehilangan akar tradisinya.
Dengan demikian,
filsafat Irfaniyah tidak hanya relevan untuk masa lalu, tetapi juga sangat
potensial untuk membentuk paradigma baru dalam menjawab tantangan zaman
kontemporer—baik dalam bidang spiritualitas, pendidikan, hubungan antaragama,
maupun integrasi ilmu dan agama. Ia hadir sebagai oase di tengah kegersangan
makna, menawarkan kedalaman di balik permukaan dunia modern.
Footnotes
[1]
Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 2007), 299–302.
[2]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State
University of New York Press, 1989), 145–148.
[3]
Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam
(Lahore: Institute of Islamic Culture, 1986), 1–5.
[4]
Mulla Sadra, The Transcendent Philosophy of Mulla Sadra,
trans. Ibrahim Kalin (London: ICAS Press, 2006), 60–63.
[5]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-ʿArabī’s
Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New York Press,
1989), 112–114.
[6]
Henry Corbin, Creative Imagination in the Sufism of Ibn ‘Arabī,
trans. Ralph Manheim (Princeton: Princeton University Press, 1969), 70–73.
[7]
James W. Morris, “Ibn ʿArabī and the Diversity of Religions: On the
Perennial Wisdom of Islam,” Journal of the American Academy of Religion
52, no. 2 (1984): 247–276.
[8]
Seyyed Hossein Nasr, The Garden of Truth: The Vision and Promise of
Sufism, Islam’s Mystical Tradition (New York: HarperOne, 2007), 19–21.
10.
Kesimpulan
Filsafat Irfaniyah
merupakan salah satu warisan intelektual dan spiritual paling kaya dalam
tradisi Islam. Ia hadir sebagai jembatan antara dimensi rasional filsafat dan
dimensi eksistensial tasawuf, membentuk suatu pendekatan yang unik dalam
memahami realitas wujud, Tuhan, dan manusia. Dalam Irfaniyah, pengetahuan tidak
hanya diperoleh melalui akal dan teks, tetapi juga melalui penyucian jiwa dan
pengalaman batin yang mendalam—suatu proses yang disebut ma‘rifah.¹
Sebagaimana telah
diuraikan dalam bagian-bagian sebelumnya, Irfaniyah berkembang dari interaksi
antara pemikiran filsafat Islam klasik (terutama aliran peripatetik dan
iluminasi), spiritualitas sufi, dan kontribusi tokoh-tokoh seperti Suhrawardī,
Ibn ʿArabī, dan Mulla Ṣadrā. Masing-masing tokoh ini membentuk fondasi
konseptual Irfaniyah melalui gagasan-gagasan seperti Wahdat
al-Wujūd, Insān Kāmil, tajallī,
dan hikmah
al-muta‘āliyyah.²
Meski begitu,
filsafat Irfaniyah tidak bebas dari kritik. Tuduhan pantheisme, penyimpangan
dari syariat, hingga subjektivisme intuisi adalah sebagian dari polemik yang
terus mengiringinya.³ Namun demikian, para arif dan pembela pendekatan ini
menekankan bahwa Irfaniyah sejati tidak pernah bertentangan dengan
prinsip-prinsip Islam, melainkan memperdalamnya secara batiniah dan spiritual.⁴
Di era kontemporer,
relevansi Irfaniyah menjadi semakin terasa. Ia menawarkan solusi atas krisis
spiritual dan kekosongan makna yang ditimbulkan oleh modernitas yang
materialistik.⁵ Irfaniyah mengajarkan bahwa pengenalan terhadap Tuhan bukan
sekadar aktivitas intelektual, melainkan transformasi diri menuju kedekatan
eksistensial dengan Yang Maha Wujud. Dalam konteks ini, Irfaniyah berpotensi
menjadi landasan pembaruan pemikiran Islam yang berakar kuat pada tradisi,
namun tetap menjawab tantangan zaman.⁶
Dengan demikian,
filsafat Irfaniyah bukan sekadar sebuah mazhab pemikiran, melainkan juga sebuah
jalan hidup (ṭarīqah al-ḥayāh) yang mengajak
manusia untuk menyatu dengan sumber segala kebenaran, melalui jalan ilmu,
cinta, dan penyaksian ruhani. Sebagaimana ditegaskan oleh Seyyed Hossein Nasr,
“Irfaniyah adalah bentuk tertinggi dari kebijaksanaan Islam, yang menyatukan
akal dan wahyu dalam kesadaran akan Tuhan.”_⁷
Footnotes
[1]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-ʿArabī’s
Metaphysics of Imagination (Albany: State University of New York Press,
1989), 112–114.
[2]
Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, trans. Liadain
Sherrard and Philip Sherrard (London: Kegan Paul International, 1993), 201–206.
[3]
Jon Hoover, Ibn Taymiyya’s Theodicy of Perpetual Optimism
(Leiden: Brill, 2007), 108–109.
[4]
Sayyid Haydar Amuli, Inner Secrets of the Path: A Sufi Commentary
on the Qur'an, ed. and trans. Toby Mayer (Leiden: Brill, 2020), 28–31.
[5]
Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge, MA: Harvard University
Press, 2007), 299–302.
[6]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State
University of New York Press, 1989), 150–153.
[7]
Seyyed Hossein Nasr, The Garden of Truth: The Vision and Promise of
Sufism, Islam's Mystical Tradition (New York: HarperOne, 2007), 19.
Daftar Pustaka
Amir-Moezzi, M. A. (1994). The divine guide in
early Shiʻism: The sources of esotericism in Islam. State University of New
York Press.
Amuli, S. H. (2020). Inner secrets of the path:
A Sufi commentary on the Qur'an (T. Mayer, Ed. & Trans.). Brill.
Chittick, W. C. (1989). The Sufi path of
knowledge: Ibn al-ʿArabī’s metaphysics of imagination. State University of
New York Press.
Chittick, W. C. (1998). The self-disclosure of
God: Principles of Ibn al-ʿArabī’s cosmology. State University of New York
Press.
Corbin, H. (1969). Creative imagination in the
Sufism of Ibn ‘Arabī (R. Manheim, Trans.). Princeton University Press.
Corbin, H. (1993). History of Islamic philosophy
(L. Sherrard & P. Sherrard, Trans.). Kegan Paul International.
Dabashi, H. (2006). Theology of discontent: The
ideological foundations of the Islamic revolution in Iran. NYU Press.
Fakhry, M. (2004). A history of Islamic
philosophy (3rd ed.). Columbia University Press.
Gutas, D. (1998). Greek thought, Arabic culture:
The Graeco-Arabic translation movement in Baghdad and early ʿAbbasid society
(2nd–4th/8th–10th centuries). Routledge.
Hoover, J. (2007). Ibn Taymiyya’s theodicy of
perpetual optimism. Brill.
Iqbal, M. (1986). The reconstruction of
religious thought in Islam. Institute of Islamic Culture.
Izutsu, T. (1983). Sufism and Taoism: A
comparative study of key philosophical concepts. University of California
Press.
Kalin, I. (2002). Mulla Sadra’s realist ontology of
the intellect. Islamic Studies, 41(4), 639–661.
Kalin, I. (2006). The transcendent philosophy of
Mulla Sadra. Islamic College for Advanced Studies Press.
Knysh, A. (2000). Islamic mysticism: A short
history. Brill.
Morris, J. W. (1984). Ibn ʿArabī and the diversity
of religions: On the perennial wisdom of Islam. Journal of the American
Academy of Religion, 52(2), 247–276.
Nasr, S. H. (1978). Sadr al-Din Shirazi and his
transcendent theosophy: Background, life and works. Imperial Iranian
Academy of Philosophy.
Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the sacred.
State University of New York Press.
Nasr, S. H. (2007). The garden of truth: The
vision and promise of Sufism, Islam’s mystical tradition. HarperOne.
Pourjavady, N. (2012). Philosophy in the land of
prophecy. State University of New York Press.
Schimmel, A. (1975). Mystical dimensions of
Islam. University of North Carolina Press.
Suhrawardi, S. al-D. (1999). The philosophy of
illumination (J. Walbridge & H. Ziai, Trans.). Brigham Young University
Press.
Tabataba’i, M. H. (1987). The Qur’an in Islam:
Its impact and influence on the life of Muslims (S. H. Nasr, Trans.). Zahra
Publications.
Tabataba’i, M. H. (2007). Nihayat al-Hikmah
[The ultimate wisdom] (S. M. Khamenei, Ed.). Bustan-e Ketab.
Taylor, C. (2007). A secular age. Harvard
University Press.
Watt, W. M. (1985). Islamic philosophy and
theology. Edinburgh University Press.