Pendidikan
Moral Pancasila
Fondasi Etika Bangsa dalam
Perspektif Filsafat, Sejarah, dan Pendidikan
Alihkan ke: Filsafat
Pancasila, Moral, Etika, Norma, dan Hukum.
Abstrak
Artikel ini mengkaji pendidikan moral
Pancasila sebagai fondasi etis dan filosofis bangsa Indonesia dalam membangun
karakter, identitas, dan peradaban nasional. Kajian dilakukan dengan pendekatan
interdisipliner yang mencakup dimensi filosofis, historis, pedagogis, dan
sosiologis. Pancasila dipahami bukan hanya sebagai dasar negara, tetapi juga
sebagai sistem filsafat yang mengintegrasikan nilai ketuhanan, kemanusiaan,
persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial. Artikel ini menunjukkan bahwa
pendidikan moral Pancasila telah mengalami dinamika historis sejak masa
pergerakan nasional hingga era kontemporer, dengan berbagai model implementasi
yang merefleksikan kondisi sosial-politik setiap periode.
Lebih jauh, artikel ini menyoroti tantangan
pendidikan moral Pancasila di era globalisasi, seperti krisis moral generasi
muda, penetrasi media digital, fenomena intoleransi, serta degradasi integritas
publik. Untuk menjawab tantangan tersebut, pendidikan moral Pancasila perlu
diarahkan pada pengembangan kurikulum berbasis nilai, metode pedagogis
partisipatif, pemanfaatan teknologi digital, serta keteladanan moral dari
pemimpin dan pendidik. Sintesis filosofis menegaskan bahwa Pancasila adalah
horizon moral bangsa yang bersifat dinamis dan kontekstual, mampu menjembatani
nilai universal dan partikular.
Dengan demikian, pendidikan moral Pancasila
bukan hanya instrumen akademik atau formalitas hukum, tetapi merupakan
panggilan historis dan moral bangsa Indonesia untuk mewujudkan masyarakat yang
adil, demokratis, beradab, dan bermartabat dalam menghadapi dinamika global.
Kata Kunci: Pendidikan
moral, Pancasila, filsafat moral, pendidikan karakter, globalisasi, nilai
kebangsaan
PEMBAHASAN
Pendidikan Moral Pancasila
1.
Pendahuluan
1.1.
Latar Belakang
Pendidikan moral merupakan aspek fundamental dalam pembangunan manusia
dan masyarakat. Dalam konteks Indonesia, moralitas tidak hanya dipandang
sebagai nilai individu, tetapi juga sebagai pedoman hidup berbangsa dan
bernegara. Pancasila, sebagai dasar negara, memuat seperangkat nilai yang
bersifat universal sekaligus kontekstual, yang berfungsi sebagai fondasi moral
bangsa. Nilai-nilai tersebut meliputi religiusitas, kemanusiaan, persatuan,
demokrasi, dan keadilan sosial, yang masing-masing mencerminkan dimensi etika
yang relevan untuk membentuk karakter warga negara Indonesia.¹
Di tengah dinamika globalisasi, arus digitalisasi, serta derasnya
penetrasi budaya asing, pendidikan moral Pancasila menghadapi tantangan serius.
Fenomena degradasi moral generasi muda, meningkatnya individualisme, serta
kecenderungan intoleransi merupakan gejala yang menunjukkan pentingnya
penguatan kembali nilai-nilai Pancasila dalam dunia pendidikan.² Pendidikan
moral berbasis Pancasila tidak hanya bertujuan membentuk manusia Indonesia yang
cerdas secara intelektual, tetapi juga berkarakter luhur, berjiwa sosial, dan
memiliki kesadaran kebangsaan yang tinggi.³
Lebih jauh, pendidikan moral Pancasila memiliki relevansi historis
sekaligus filosofis. Sejak awal perumusan Pancasila oleh para pendiri bangsa,
nilai moral yang terkandung di dalamnya telah dimaksudkan sebagai fondasi etika
bagi kehidupan
masyarakat Indonesia yang plural.⁴ Karena itu, pendidikan moral Pancasila dapat
dipandang sebagai instrumen strategis untuk menjaga integrasi nasional,
memperkuat kohesi sosial, dan mendorong terciptanya peradaban bangsa yang adil
dan beradab.
1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas,
terdapat beberapa masalah yang menjadi fokus kajian:
1)
Bagaimana konsep dasar pendidikan moral
dipahami dalam konteks Pancasila?
2)
Apa landasan filosofis dan historis dari
pendidikan moral Pancasila?
3)
Bagaimana tantangan dan peluang implementasi
pendidikan moral Pancasila dalam era globalisasi dan digitalisasi?
4)
Metode apa yang dapat diterapkan untuk
menguatkan kembali pendidikan moral berbasis Pancasila dalam sistem pendidikan
Indonesia?
1.3.
Tujuan Penulisan
Penulisan artikel ini bertujuan untuk:
1)
Mengkaji konsep dasar pendidikan moral dalam
kerangka Pancasila.
2)
Menganalisis landasan filosofis, historis, dan
pedagogis dari pendidikan moral Pancasila.
3)
Mengidentifikasi tantangan pendidikan moral
Pancasila di era kontemporer.
4)
Memberikan tawaran strategi dan model
pendidikan moral berbasis Pancasila yang relevan dengan kondisi masyarakat
modern.
1.4.
Metodologi Kajian
Artikel ini disusun dengan pendekatan interdisipliner yang melibatkan
analisis filosofis, historis, pedagogis, dan sosiologis. Metode yang digunakan
meliputi studi literatur dari karya-karya akademik, dokumen historis, serta
regulasi pendidikan di Indonesia. Analisis dilakukan secara kritis-reflektif dengan mengacu pada prinsip filsafat
moral dan pendidikan, untuk memberikan gambaran komprehensif mengenai
pendidikan moral Pancasila sebagai fondasi pembentukan karakter bangsa.
Footnotes
[1]
Notonagoro, Pancasila: Dasar Falsafah Negara
(Jakarta: Bina Aksara, 1983), 15.
[2]
Kaelan, Pendidikan
Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 42.
[3]
Ahmad
Sanusi, Pendidikan Nilai dan Moral (Bandung: Tarsito, 1999), 67.
[4]
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas,
Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), 103.
2.
Konsep Dasar Pendidikan Moral
2.1.
Definisi Moral,
Etika, dan Karakter
Secara etimologis, istilah moral berasal dari bahasa Latin mos
atau mores yang berarti adat kebiasaan, perilaku, atau tata cara hidup.¹
Dalam pengertian filosofis, moral merujuk pada prinsip-prinsip yang membimbing
tindakan manusia dalam
membedakan mana yang baik dan yang buruk. Moral berkaitan erat dengan etika,
meskipun keduanya tidak identik. Etika dipahami sebagai refleksi filosofis atas
moralitas, yang menelaah dasar, prinsip, dan norma yang mendasari perilaku
moral manusia.²
Sementara itu, karakter adalah pengejawantahan nilai moral dalam
kepribadian individu yang tampak dalam sikap, kebiasaan, dan perilaku nyata.³
Dengan demikian, pendidikan moral tidak sekadar menanamkan pengetahuan tentang
baik dan buruk, tetapi lebih jauh membentuk karakter yang kokoh sehingga
individu mampu menginternalisasi dan mengaktualisasikan nilai-nilai dalam
kehidupan sehari-hari.
2.2.
Hubungan Moral,
Norma, dan Hukum
Moral tidak dapat dipisahkan dari norma sosial yang mengatur kehidupan
masyarakat. Norma merupakan aturan yang bersifat mengikat, baik secara formal maupun informal, yang berfungsi menjaga
keteraturan sosial.⁴ Moral menjadi sumber inspirasi utama lahirnya norma
sosial, yang kemudian dilembagakan lebih lanjut dalam bentuk hukum. Hukum
positif berperan menegakkan aturan dengan sanksi yang jelas, sedangkan moral
lebih menekankan pada kesadaran batin individu.
Hubungan antara moral, norma, dan hukum dalam masyarakat Indonesia
tidak dapat dilepaskan dari Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum
negara.⁵ Pancasila bukan sekadar dokumen normatif, tetapi sekaligus pijakan
moral yang mewarnai sistem hukum dan peraturan perundang-undangan. Dengan
demikian, pendidikan moral Pancasila memiliki fungsi strategis untuk memastikan bahwa norma
sosial dan hukum yang berlaku benar-benar berakar pada nilai-nilai kebangsaan.
2.3. Pendidikan
Moral dalam Perspektif Filsafat Umum
Dalam perspektif filsafat moral, terdapat tiga pendekatan utama yang
sering digunakan: deontologi, teleologi, dan etika kebajikan. Deontologi
menekankan kewajiban moral yang bersifat absolut, sebagaimana dikemukakan
Immanuel Kant dengan prinsip categorical imperative.⁶ Teleologi,
khususnya utilitarianisme, menilai moralitas suatu tindakan berdasarkan akibat
atau manfaat yang dihasilkan.⁷ Sementara etika kebajikan, yang berakar pada
pemikiran Aristoteles, menekankan pentingnya pembentukan karakter (virtue) sebagai
tujuan utama pendidikan moral.⁸
Jika dikaitkan dengan Pancasila, pendidikan moral tidak hanya
berorientasi pada kepatuhan terhadap norma (deontologis) atau hasil (teleologis),
tetapi juga pembentukan kepribadian yang selaras dengan nilai kebajikan
universal yang terkandung dalam kelima sila. Hal ini menunjukkan bahwa
pendidikan moral Pancasila mengandung dimensi integral dari ketiga pendekatan
etis tersebut.
2.4. Urgensi
Pendidikan Moral dalam Konteks Masyarakat Plural
Indonesia merupakan bangsa yang pluralistik, baik dari segi etnis,
agama, maupun budaya. Kondisi ini menuntut adanya fondasi moral yang mampu
menyatukan perbedaan dan menjaga kohesi sosial. Pancasila menyediakan kerangka
moral tersebut melalui nilai-nilai persatuan, toleransi, dan keadilan.⁹ Pendidikan moral Pancasila
dengan demikian menjadi sarana strategis untuk menanamkan kesadaran kebangsaan,
membangun sikap saling menghargai, serta mengembangkan tanggung jawab sosial.
Dalam kerangka pembangunan bangsa, pendidikan moral tidak boleh hanya
diletakkan pada tataran formalitas kurikulum, melainkan harus menyentuh dimensi
praksis dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, pendidikan moral Pancasila harus diintegrasikan dalam semua
aspek kehidupan, mulai dari keluarga, sekolah, hingga masyarakat luas, sehingga
dapat membentuk individu yang bermoral sekaligus mampu hidup dalam harmoni
sosial.
Footnotes
[1]
Lorens
Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 2000), 687.
[2]
K. Bertens, Etika
(Jakarta: Gramedia, 2013), 5.
[3]
Thomas Lickona, Educating for Character: How Our
Schools Can Teach Respect and Responsibility (New York: Bantam Books,
1991), 51.
[4]
Soerjono
Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Rajawali, 2012), 92.
[5]
Kaelan, Pendidikan
Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 73.
[6]
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of
Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
37.
[7]
Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles
of Morals and Legislation (Oxford: Clarendon Press, 1907), 14.
[8]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence
Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 23.
[9]
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas,
Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), 219.
3.
Landasan Filosofis Pancasila sebagai Moral
Bangsa
3.1.
Pancasila sebagai
Sistem Filsafat
Pancasila tidak hanya dipahami sebagai dasar negara (philosophische
grondslag), melainkan juga sebagai sistem filsafat yang mengandung konsepsi
fundamental tentang manusia, masyarakat, dan negara.¹ Sebagai filsafat,
Pancasila menempati kedudukan sebagai pandangan hidup (weltanschauung)
yang menyatukan keragaman bangsa Indonesia ke dalam satu visi moral dan etis.²
Nilai-nilai yang terkandung dalam kelima sila Pancasila tidak berdiri sendiri, melainkan saling
berkaitan secara hierarkis dan sistematis sehingga membentuk satu kesatuan yang
utuh.³
3.2. Dimensi
Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis Pancasila
Kajian filosofis terhadap Pancasila dapat ditinjau dari tiga dimensi
utama: ontologis, epistemologis, dan aksiologis.
1)
Ontologis
Pancasila
menempatkan manusia sebagai makhluk monopluralis, yakni makhluk individu
sekaligus sosial, material sekaligus spiritual.⁴ Dengan demikian, Pancasila
mengakui martabat manusia secara utuh, tidak hanya sebagai objek hukum tetapi
juga sebagai subjek moral.
2)
Epistemologis
Pancasila
mengembangkan cara pandang pengetahuan yang bersifat integral, yang
menggabungkan rasionalitas, pengalaman empiris, dan nilai-nilai religius.⁵
Pengetahuan dalam perspektif Pancasila tidak bebas nilai, tetapi selalu
diarahkan untuk mencapai kebenaran dan kebaikan yang bermanfaat bagi kehidupan
bersama.
3)
Aksiologis
Pancasila
menekankan pada nilai-nilai moral praktis yang menjadi pedoman dalam kehidupan
berbangsa, seperti keadilan, persatuan, toleransi, musyawarah, dan
religiusitas.⁶ Dimensi aksiologis ini menegaskan bahwa Pancasila bukan hanya
gagasan abstrak, melainkan nilai yang harus diwujudkan dalam praktik kehidupan
sehari-hari.
3.3.
Pancasila sebagai
Nilai Dasar Moral Bangsa Indonesia
Sebagai dasar moral bangsa, Pancasila
memuat seperangkat nilai dasar (basic values) yang bersifat universal,
tetapi sekaligus mengakar dalam konteks keindonesiaan. Sila Ketuhanan
menekankan dimensi transendental dan moral religius; sila Kemanusiaan
menegaskan pentingnya penghormatan terhadap martabat manusia; sila Persatuan
mengandung makna solidaritas nasional; sila Kerakyatan mengajarkan demokrasi
deliberatif; dan sila Keadilan Sosial meneguhkan prinsip distribusi keadilan
bagi seluruh rakyat Indonesia.⁷
Nilai-nilai tersebut menjadi pedoman
moral tidak hanya bagi individu warga negara, tetapi juga bagi penyelenggara
negara. Hal ini berarti
Pancasila berfungsi sebagai etika politik, etika sosial, sekaligus etika
individual. Dengan demikian, Pancasila dapat dipandang sebagai fondasi moral
yang komprehensif
dalam membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
3.4.
Perbandingan dengan
Sistem Moral Lain
Untuk mempertegas posisi Pancasila
sebagai landasan moral, penting dilakukan perbandingan dengan sistem moral
lain, baik yang bersumber dari agama maupun filsafat Barat dan Timur.
Dalam konteks agama, Pancasila sejalan
dengan nilai-nilai universal seperti keadilan, kasih sayang, dan solidaritas
yang terdapat dalam ajaran Islam, Kristen, Hindu, Buddha, dan agama-agama
lain.⁸ Hal ini menunjukkan bahwa Pancasila
memiliki sifat inklusif, yang mampu menampung berbagai keyakinan religius tanpa
kehilangan identitasnya sebagai dasar moral bangsa.
Sementara itu, jika dibandingkan dengan
filsafat Barat, Pancasila mengintegrasikan unsur deontologis (kewajiban moral),
teleologis (orientasi pada tujuan kebaikan
bersama), dan etika kebajikan (pembentukan karakter).⁹ Demikian pula, jika
dibandingkan dengan tradisi Timur, Pancasila memiliki kesamaan dengan nilai
harmoni dan kolektivitas dalam Konfusianisme maupun prinsip keseimbangan dalam
filsafat India. Perbandingan
ini menunjukkan bahwa Pancasila bersifat dialogis dan adaptif, sekaligus unik
karena berakar pada konteks historis dan kultural bangsa Indonesia.
3.5.
Implikasi Filosofis
bagi Pendidikan Moral
Pancasila sebagai sistem filsafat memiliki implikasi yang luas terhadap
pendidikan moral. Pertama, ia meneguhkan bahwa pendidikan moral harus berakar
pada nilai-nilai dasar bangsa.
Kedua, ia menuntut adanya integrasi antara dimensi intelektual, emosional,
spiritual, dan sosial dalam pembentukan karakter. Ketiga, ia mendorong
pendidikan moral yang bersifat dialogis, terbuka terhadap pluralitas, dan
adaptif terhadap perkembangan zaman.¹⁰ Dengan demikian, pendidikan moral
Pancasila tidak berhenti pada pengetahuan teoritis, tetapi harus diwujudkan
dalam praksis
kehidupan sehari-hari sebagai wujud aktualisasi nilai-nilai Pancasila.
Footnotes
[1]
Notonagoro, Pancasila: Dasar Falsafah Negara
(Jakarta: Bina Aksara, 1983), 12.
[2]
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas,
Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), 33.
[3]
Kaelan, Filsafat Pancasila (Yogyakarta:
Paradigma, 2002), 59.
[4]
Notonagoro, Pancasila Secara Ilmiah Populer
(Jakarta: Bumi Aksara, 1987), 45.
[5]
Kaelan, Pendidikan
Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 88.
[6]
Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia
(Jakarta: Gramedia, 1991), 127.
[7]
Soedjatmoko,
Etika Pembangunan (Jakarta: LP3ES, 1983), 76.
[8]
Abdurrahman
Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur (Yogyakarta: LKiS, 1999), 142.
[9]
K. Bertens, Etika
(Jakarta: Gramedia, 2013), 73.
[10]
Kaelan, Filsafat Pancasila, 164.
4.
Sejarah Pendidikan Moral Pancasila
4.1. Pendidikan
Moral pada Masa Pergerakan Nasional
Akar pendidikan moral Pancasila dapat ditelusuri sejak masa pergerakan
nasional awal abad ke-20. Organisasi pergerakan seperti Budi Utomo (1908),
Sarekat Islam (1911), dan Muhammadiyah (1912) menanamkan nilai moral kebangsaan
melalui pendidikan, dakwah, dan organisasi sosial.¹ Pendidikan moral pada masa
ini lebih menekankan pada pembentukan kesadaran kebangsaan, solidaritas sosial,
serta perlawanan terhadap kolonialisme. Sementara itu, gagasan mengenai
persatuan, keadilan, dan kemandirian bangsa mulai dirumuskan sebagai orientasi
moral kolektif.²
4.2. Pendidikan
Moral dalam Era Perumusan dan Awal Kemerdekaan
Proses perumusan Pancasila pada 1945 menegaskan pentingnya nilai-nilai
moral sebagai dasar bagi berdirinya negara Indonesia.³ Pancasila dimaksudkan
bukan sekadar sebagai dasar konstitusional, tetapi juga sebagai pedoman etis
bagi bangsa yang plural. Setelah proklamasi kemerdekaan, pendidikan moral
berbasis Pancasila mulai diintegrasikan ke dalam sistem pendidikan nasional.
Dalam UUD 1945 Pasal 31 ayat (3), ditegaskan bahwa pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan,
ketakwaan, dan akhlak mulia.⁴
Pada periode ini, pendidikan moral masih sangat dipengaruhi oleh
semangat revolusi dan perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Nilai-nilai
seperti pengorbanan, patriotisme, dan solidaritas nasional menjadi bagian dari kurikulum pendidikan dan pembelajaran
informal di masyarakat.⁵
4.3. Pendidikan
Moral Pancasila pada Masa Orde Lama
Di era Orde Lama (1945–1966), pendidikan moral Pancasila mengalami
dinamika yang dipengaruhi oleh orientasi politik. Presiden Soekarno menekankan nation
and character building sebagai agenda utama.⁶ Pendidikan diarahkan untuk
menumbuhkan semangat kebangsaan dan kesadaran kolektif melalui mata pelajaran
Civics dan Pendidikan Moral. Namun, pergulatan politik yang sarat
ideologi—antara nasionalisme, agama, dan komunisme—membuat pendidikan moral
sering menjadi alat legitimasi
politik.⁷
4.4. Pendidikan
Moral Pancasila pada Masa Orde Baru
Pada masa Orde Baru (1966–1998), Pancasila ditempatkan secara sentral
dalam sistem pendidikan. Melalui Tap MPR No. II/MPR/1978, ditetapkan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4)
yang wajib diajarkan di semua jenjang pendidikan.⁸ Pendidikan Moral Pancasila
(PMP) menjadi mata pelajaran khusus yang berfungsi menanamkan nilai Pancasila
secara formal.
Namun, meskipun secara formal memperkuat kedudukan Pancasila,
implementasinya sering bersifat indoktrinatif dan birokratis. Pancasila lebih
banyak diajarkan sebagai dogma yang harus dihafalkan, bukan sebagai nilai moral
yang dikembangkan
secara kritis-reflektif.⁹ Akibatnya, pendidikan moral Pancasila pada masa ini
sering dikritik karena gagal membangun kesadaran etis yang autentik, dan lebih
cenderung menumbuhkan kepatuhan formal terhadap rezim.¹⁰
4.5. Pendidikan
Moral Pancasila pada Era Reformasi
Setelah jatuhnya Orde Baru pada 1998, terjadi perubahan paradigma dalam
pendidikan Pancasila. Mata pelajaran PMP dihapus dan digantikan oleh
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn).¹¹ Tujuannya adalah untuk
membebaskan Pancasila dari beban indoktrinasi politik masa lalu dan
menekankannya kembali sebagai nilai moral dan dasar etika bangsa.
Namun, era Reformasi juga ditandai oleh melemahnya internalisasi nilai
Pancasila di tengah derasnya arus demokratisasi dan globalisasi. Banyak
pengamat menilai bahwa pendidikan moral Pancasila di sekolah kehilangan
urgensinya karena lebih
banyak diperlakukan sebagai mata pelajaran kognitif, bukan sebagai pembentukan
karakter.¹² Hal ini mendorong perlunya revitalisasi pendidikan moral Pancasila
yang lebih kontekstual, partisipatif, dan kritis.
4.6. Pendidikan
Moral Pancasila dalam Kurikulum Kontemporer
Dalam perkembangan terakhir, terutama pada era Kurikulum 2013 hingga
Kurikulum Merdeka, terdapat upaya untuk merevitalisasi pendidikan moral
Pancasila melalui penguatan Pendidikan Pancasila dan Profil Pelajar
Pancasila.¹³ Profil ini menekankan enam dimensi karakter: beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkebinekaan global, gotong royong, mandiri,
bernalar kritis, dan kreatif.¹⁴
Dengan demikian, pendidikan moral Pancasila kini diposisikan sebagai
inti pendidikan karakter nasional. Hal ini menandai pergeseran dari pendekatan
indoktrinatif ke arah pendekatan partisipatif, reflektif, dan kontekstual yang
lebih sesuai dengan tuntutan abad ke-21.
Footnotes
[1]
Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia
Baru (Jakarta: Gramedia, 1993), 211.
[2]
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan
(Jakarta: LP3ES, 1985), 54.
[3]
Notonagoro, Pancasila: Dasar Falsafah Negara
(Jakarta: Bina Aksara, 1983), 22.
[4]
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Pasal 31 ayat (3).
[5]
Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia
(Jakarta: Balai Pustaka, 1981), 88.
[6]
Soekarno, Nation and Character Building
(Jakarta: Gunung Agung, 1960), 17.
[7]
Herbert Feith, The Decline of Constitutional
Democracy in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1962), 243.
[8]
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Tap MPR No.
II/MPR/1978 tentang P4.
[9]
Kaelan, Filsafat Pancasila (Yogyakarta:
Paradigma, 2002), 137.
[10]
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas,
Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), 267.
[11]
Dwi Siswoyo,
Pendidikan Kewarganegaraan dalam Perspektif Pendidikan Nilai
(Yogyakarta: UNY Press, 2007), 33.
[12]
Syamsul
Arifin, Revitalisasi Pendidikan Pancasila (Malang: UMM Press, 2012), 75.
[13]
Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, Kurikulum 2013 (Jakarta: Kemendikbud, 2014),
9.
[14]
Kementerian
Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Profil Pelajar Pancasila
(Jakarta: Kemendikbudristek, 2020), 6.
5.
Nilai-Nilai Moral
dalam Lima Sila Pancasila
5.1. Sila
Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa – Moral Religius dan Transendensi
Sila pertama menegaskan bahwa dasar moral bangsa Indonesia berakar pada
dimensi transendental. Ketuhanan Yang Maha Esa bukan hanya pengakuan formal
terhadap keberadaan Tuhan, tetapi juga menegaskan kewajiban moral untuk
berperilaku sesuai dengan nilai-nilai religius.¹ Moralitas dalam perspektif
sila pertama
menekankan pentingnya kejujuran, kesucian hati, kasih sayang, dan penghormatan
terhadap kebebasan beragama.² Dengan demikian, pendidikan moral Pancasila
mengajarkan bahwa kehidupan manusia harus diarahkan kepada pengabdian kepada
Tuhan, yang terwujud dalam tindakan etis sehari-hari.
5.2. Sila
Kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab – Martabat dan Hak Asasi Manusia
Sila kedua menekankan prinsip pengakuan atas martabat manusia sebagai
makhluk yang memiliki hak dan kewajiban moral.³ Moralitas kemanusiaan yang adil
dan beradab menolak segala bentuk diskriminasi, penindasan, dan dehumanisasi.
Nilai ini sejalan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia yang bersifat
universal.⁴ Pendidikan moral berdasarkan sila kedua mengarahkan peserta didik
untuk mengembangkan sikap empati, solidaritas, toleransi, dan penghargaan
terhadap perbedaan. Moralitas yang terkandung dalam sila ini menuntut adanya
keadilan dalam hubungan antarmanusia serta peneguhan prinsip kesetaraan.⁵
5.3.
Sila Ketiga:
Persatuan Indonesia – Solidaritas dan Kebhinekaan
Sila ketiga mengandung nilai moral persatuan yang didasarkan pada
semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Moralitas persatuan menekankan pentingnya
sikap nasionalisme, solidaritas sosial, dan penghormatan terhadap pluralitas
bangsa.⁶ Nilai ini mengajarkan bahwa kepentingan bersama harus lebih diutamakan
daripada kepentingan pribadi atau kelompok. Pendidikan moral berdasarkan sila
ketiga menuntun warga negara untuk mengembangkan sikap cinta tanah air,
kesediaan berkorban demi bangsa, dan sikap terbuka terhadap keragaman budaya.⁷
Dengan demikian, persatuan Indonesia bukanlah homogenitas, melainkan harmoni
dalam keberagaman.
5.4. Sila
Keempat: Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan – Demokrasi dan Partisipasi
Sila keempat menekankan moralitas demokratis yang berakar pada tradisi
musyawarah mufakat. Nilai moral yang terkandung dalam sila ini adalah
penghormatan terhadap kebebasan berpendapat, penghargaan terhadap perbedaan,
serta tanggung jawab dalam pengambilan keputusan bersama.⁸ Pendidikan moral yang bersumber dari sila keempat
membentuk warga negara yang partisipatif, kritis, dan bertanggung jawab dalam
kehidupan politik dan sosial. Demokrasi dalam konteks Pancasila bukanlah
sekadar prosedural, melainkan demokrasi substantif yang menjunjung tinggi
keadilan dan kebijaksanaan.⁹
5.5.
Sila Kelima:
Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia – Distribusi dan Kesejahteraan
Sila kelima menegaskan moralitas keadilan sosial sebagai tujuan akhir
dari kehidupan berbangsa. Nilai ini menuntut distribusi keadilan dalam bidang
ekonomi, politik, maupun sosial, sehingga kesejahteraan tidak hanya dinikmati
oleh segelintir orang, tetapi merata bagi seluruh rakyat.¹⁰ Pendidikan moral
berdasarkan sila kelima mendorong lahirnya sikap kepedulian sosial, semangat
gotong royong, dan tanggung jawab terhadap kesejahteraan bersama.¹¹ Nilai ini sekaligus menjadi koreksi
moral terhadap praktik ketidakadilan, kesenjangan sosial, dan penyalahgunaan
kekuasaan.
Integrasi Nilai-Nilai Moral dalam Lima Sila
Kelima sila Pancasila tidak dapat
dipisahkan satu sama lain; semuanya membentuk satu kesatuan yang integral.
Nilai Ketuhanan menjiwai nilai Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan. Nilai Kemanusiaan menguatkan prinsip
persaudaraan, yang kemudian diwujudkan dalam persatuan bangsa. Demokrasi yang
adil dan bijaksana menjadi jalan untuk mewujudkan keadilan sosial.¹² Dengan
demikian, pendidikan moral Pancasila harus diajarkan secara menyeluruh,
integratif, dan kontekstual agar mampu membentuk kepribadian bangsa yang
berkarakter, berintegritas, dan beradab.
Footnotes
[1]
Notonagoro, Pancasila: Dasar Falsafah Negara
(Jakarta: Bina Aksara, 1983), 33.
[2]
Kaelan, Pendidikan
Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 102.
[3]
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas,
Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), 149.
[4]
Franz
Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern
(Jakarta: Gramedia, 1994), 88.
[5]
Thomas Lickona, Educating for Character: How Our
Schools Can Teach Respect and Responsibility (New York: Bantam Books,
1991), 65.
[6]
Soedjatmoko,
Etika Pembangunan (Jakarta: LP3ES, 1983), 91.
[7]
Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia
(Jakarta: Gramedia, 1991), 212.
[8]
Kaelan, Filsafat Pancasila (Yogyakarta:
Paradigma, 2002), 143.
[9]
K. Bertens, Etika
(Jakarta: Gramedia, 2013), 97.
[10]
Hatta,
Mohammad, Demokrasi Kita (Jakarta: Pustaka Antara, 1960), 54.
[11]
Mubyarto, Ekonomi
Pancasila (Yogyakarta: BPFE, 1997), 27.
[12]
Yudi Latif, Negara Paripurna, 271.
6.
Dimensi Pendidikan Moral Pancasila
6.1.
Pendidikan Formal
Pendidikan formal merupakan wahana utama dalam proses
institusionalisasi nilai-nilai Pancasila. Melalui kurikulum yang terstruktur,
negara berupaya mengintegrasikan pendidikan moral ke dalam mata pelajaran
seperti Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn).¹ Seiring dengan
lahirnya Kurikulum 2013 hingga Kurikulum Merdeka, pendidikan moral Pancasila
diperkuat melalui gagasan Profil Pelajar Pancasila, yang menekankan enam
dimensi karakter: beriman, berkebinekaan global, gotong royong, mandiri,
bernalar kritis, dan kreatif.²
Selain itu, pendidikan formal juga menuntut keteladanan guru sebagai
figur moral.³ Guru tidak hanya menjadi penyampai pengetahuan, tetapi juga agen
pembentuk karakter yang menunjukkan konsistensi antara ucapan dan tindakan.
Dalam konteks ini, sekolah menjadi ruang sosial yang memfasilitasi pembiasaan
nilai moral Pancasila melalui kegiatan ekstrakurikuler, organisasi siswa,
hingga budaya sekolah yang menekankan disiplin, tanggung jawab, dan
solidaritas.
6.2.
Pendidikan Nonformal
Pendidikan nonformal berperan penting dalam mendukung internalisasi
nilai moral Pancasila di luar sekolah. Lembaga keagamaan, organisasi
kemasyarakatan, dan komunitas lokal menjadi sarana penguatan moral yang
bersifat kontekstual.⁴ Organisasi seperti pramuka, karang taruna, dan lembaga
pendidikan berbasis agama sering kali menekankan nilai-nilai seperti gotong
royong, kepemimpinan, toleransi, dan pengabdian kepada masyarakat.
Dengan demikian, pendidikan moral Pancasila tidak hanya bergantung pada
sistem sekolah formal, tetapi juga pada aktivitas sosial yang membentuk watak
kebangsaan. Integrasi antara pendidikan formal dan nonformal memastikan
nilai moral Pancasila hidup dalam praksis masyarakat.
6.3.
Pendidikan Informal
Keluarga merupakan basis pertama dan
utama pendidikan moral.⁵ Melalui interaksi sehari-hari, anak belajar mengenai
kejujuran, disiplin, kasih sayang, tanggung jawab, dan penghargaan terhadap
orang lain. Pola asuh yang
konsisten dengan nilai Pancasila akan melahirkan generasi yang berkarakter
kuat. Sebaliknya,
kegagalan keluarga dalam menanamkan nilai moral dapat berdampak pada lemahnya
internalisasi nilai kebangsaan pada anak.
Selain keluarga, lingkungan sosial seperti pergaulan teman sebaya dan
media massa memiliki pengaruh besar terhadap pembentukan moral.⁶ Oleh karena itu,
pendidikan moral Pancasila harus mampu mengantisipasi pengaruh negatif dari
lingkungan, terutama dalam era digital yang sarat dengan arus informasi global.
6.4. Integrasi
Pendidikan Moral dan Pendidikan Karakter
Pendidikan moral Pancasila memiliki keterkaitan erat dengan pendidikan
karakter. Menurut Lickona, pendidikan karakter adalah upaya sadar untuk
menumbuhkan kebajikan pada peserta didik melalui pembiasaan, pengajaran nilai,
dan keteladanan.⁷ Dalam konteks Indonesia, pendidikan karakter memperoleh dasar filosofisnya dari Pancasila
sebagai sumber nilai moral bangsa.
Integrasi pendidikan moral dan pendidikan karakter tercermin dalam
kebijakan nasional, seperti Gerakan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK),
yang menekankan pentingnya penginternalisasian nilai-nilai Pancasila melalui
kegiatan pembelajaran, budaya sekolah, dan kerja sama dengan keluarga serta
masyarakat.⁸ Dengan
demikian, pendidikan moral Pancasila bukan sekadar doktrin normatif, melainkan
proses integral yang membentuk kepribadian peserta didik secara menyeluruh.
6.5.
Tantangan
Implementasi
Meskipun pendidikan moral Pancasila
memiliki berbagai dimensi, implementasinya menghadapi sejumlah kendala, seperti
lemahnya keteladanan, rendahnya kualitas kurikulum moral, serta dominasi
orientasi kognitif dalam proses pembelajaran.⁹ Selain itu, perkembangan
teknologi digital sering kali membawa nilai-nilai yang bertentangan dengan
Pancasila, seperti hedonisme, individualisme, dan relativisme moral.¹⁰ Oleh
karena itu, pendidikan moral Pancasila harus terus beradaptasi, memanfaatkan
teknologi digital secara positif, dan meneguhkan relevansinya dalam menghadapi
tantangan zaman.
Footnotes
[1]
Kaelan, Pendidikan
Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 143.
[2]
Kementerian
Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Profil Pelajar Pancasila
(Jakarta: Kemendikbudristek, 2020), 6.
[3]
Thomas Lickona, Educating for Character: How Our
Schools Can Teach Respect and Responsibility (New York: Bantam Books,
1991), 131.
[4]
Ahmad
Sanusi, Pendidikan Nilai dan Moral (Bandung: Tarsito, 1999), 87.
[5]
Ki Hajar
Dewantara, Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka (Yogyakarta:
UST Press, 2009), 214.
[6]
Soerjono
Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Rajawali, 2012), 155.
[7]
Lickona, Educating for Character, 52.
[8]
Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, Gerakan Penguatan Pendidikan Karakter
(Jakarta: Kemendikbud, 2017), 9.
[9]
Syamsul
Arifin, Revitalisasi Pendidikan Pancasila (Malang: UMM Press, 2012), 88.
[10]
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas,
Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), 287.
7.
Tantangan Pendidikan Moral Pancasila di Era
Globalisasi
7.1.
Krisis Moral
Generasi Muda
Globalisasi telah membawa arus informasi, gaya hidup, dan nilai-nilai
baru yang sering kali bertentangan dengan moral Pancasila. Fenomena seperti
meningkatnya individualisme, hedonisme, konsumerisme, serta menurunnya semangat
gotong royong menjadi
indikator krisis moral generasi muda.¹ Teknologi digital mempercepat penetrasi
budaya asing yang tidak selalu sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa.
Akibatnya, banyak generasi muda yang mengalami kebingungan identitas (identity
crisis) dan kehilangan orientasi moral.²
7.2.
Pengaruh Globalisasi
dan Media Digital
Era globalisasi ditandai oleh keterhubungan dunia melalui media
digital. Di satu sisi, digitalisasi membuka ruang bagi pertukaran pengetahuan
dan nilai-nilai universal. Namun di sisi lain, media digital juga menjadi
saluran penyebaran paham relativisme moral, radikalisme, ujaran kebencian,
hingga penyalahgunaan teknologi.³ Informasi yang serba cepat dan tanpa filter
menyebabkan peserta didik lebih rentan terhadap nilai-nilai yang kontradiktif
dengan Pancasila.
Selain itu, media sosial mendorong budaya instan yang mengedepankan
pencitraan daripada substansi.⁴ Hal ini berdampak pada menurunnya kesadaran kritis,
melemahnya empati sosial, dan terkikisnya sikap kebersamaan yang menjadi inti
moralitas Pancasila.
7.3.
Fenomena Radikalisme
dan Intoleransi
Globalisasi tidak hanya membawa nilai
liberalisme, tetapi juga memperkuat arus fundamentalisme dan radikalisme.⁵
Fenomena intoleransi yang berkembang di tengah masyarakat Indonesia kerap
berakar pada interpretasi sempit terhadap agama maupun ideologi politik. Hal ini menjadi tantangan serius
bagi pendidikan moral Pancasila yang menekankan nilai kebhinekaan, toleransi,
dan persatuan.
Ketidakmampuan sebagian masyarakat untuk mengelola perbedaan secara
sehat mengakibatkan polarisasi sosial.⁶ Dalam konteks ini, pendidikan moral
Pancasila memiliki tanggung jawab untuk memperkuat moderasi, dialog
antarbudaya, dan semangat kebangsaan yang inklusif.
7.4.
Degradasi Moral
dalam Kehidupan Sosial
Tantangan lain adalah degradasi moral dalam kehidupan sosial, yang
ditandai dengan meningkatnya praktik korupsi, penyalahgunaan kekuasaan,
ketidakadilan sosial, dan lemahnya integritas publik.⁷ Fenomena ini menunjukkan
adanya kesenjangan antara pengajaran nilai moral Pancasila dengan realitas
praksis dalam masyarakat. Ketika elite politik maupun pemimpin publik gagal menunjukkan keteladanan moral, masyarakat
cenderung kehilangan kepercayaan terhadap nilai Pancasila.
Hal ini menuntut adanya revitalisasi pendidikan moral Pancasila yang
tidak hanya normatif, tetapi juga praksis, melalui penegakan hukum yang adil,
keteladanan pemimpin, serta sistem sosial yang mendorong lahirnya keadilan dan
kesejahteraan bersama.⁸
7.5.
Strategi
Revitalisasi Pendidikan Moral Pancasila
Menghadapi tantangan globalisasi, pendidikan moral Pancasila harus
dikembangkan melalui strategi yang adaptif, kritis, dan kontekstual. Pertama,
pendidikan harus menekankan critical thinking untuk menghadapi arus
informasi global.⁹ Kedua, teknologi digital harus dimanfaatkan sebagai media
kreatif untuk menanamkan nilai Pancasila, misalnya melalui platform edukasi,
konten digital, maupun gerakan literasi moral.¹⁰ Ketiga, pendidikan moral Pancasila
harus bersifat partisipatif dengan melibatkan keluarga, sekolah, masyarakat,
dan negara secara sinergis.
Dengan strategi tersebut, pendidikan moral Pancasila diharapkan tidak
hanya bertahan sebagai doktrin, tetapi mampu menjawab tantangan zaman, menjaga
jati diri bangsa, serta memperkuat kohesi sosial dalam era globalisasi.¹¹
Footnotes
[1]
Franz
Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern
(Jakarta: Gramedia, 1994), 121.
[2]
Erik H. Erikson, Identity: Youth and Crisis
(New York: Norton, 1968), 132.
[3]
Manuel Castells, The Rise of the Network Society
(Oxford: Blackwell, 2000), 78.
[4]
Sherry Turkle, Alone Together: Why We Expect More
from Technology and Less from Each Other (New York: Basic Books, 2011), 56.
[5]
Olivier Roy, Globalized Islam: The Search for a New
Ummah (New York: Columbia University Press, 2004), 44.
[6]
Robert W. Hefner, Civil Islam: Muslims and
Democratization in Indonesia (Princeton: Princeton University Press, 2000),
177.
[7]
Syamsul
Arifin, Revitalisasi Pendidikan Pancasila (Malang: UMM Press, 2012), 99.
[8]
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas,
Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), 291.
[9]
Thomas Lickona, Educating for Character (New
York: Bantam Books, 1991), 147.
[10]
Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, Gerakan Literasi Nasional (Jakarta:
Kemendikbud, 2016), 22.
[11]
Kaelan, Filsafat Pancasila (Yogyakarta:
Paradigma, 2002), 189.
8.
Model dan Metode Pendidikan Moral Pancasila
8.1.
Pendekatan Filosofis
Model pendidikan moral Pancasila tidak dapat dilepaskan dari landasan
filsafatnya. Pancasila sebagai sistem filsafat mengandung nilai-nilai universal
yang dapat dikembangkan dalam pendidikan moral melalui tiga pendekatan etika
utama: deontologis, teleologis, dan etika kebajikan.¹ Dalam pendidikan,
pendekatan filosofis ini diwujudkan melalui pembelajaran reflektif-kritis, yang
mengajak peserta didik untuk memahami makna nilai Pancasila secara mendalam dan
menghubungkannya dengan realitas sosial.²
Pendekatan filosofis menekankan pentingnya dialog, diskursus etika, dan
pembiasaan refleksi moral, sehingga peserta didik tidak sekadar menghafal nilai
Pancasila, melainkan mampu menginternalisasi dan mengaktualisasikannya.³
8.2.
Pendekatan Pedagogis
Dalam ranah pedagogis, pendidikan moral Pancasila dapat menggunakan
metode-metode yang menekankan
partisipasi aktif peserta didik. Metode diskusi, studi kasus, role playing,
dan proyek sosial terbukti efektif untuk menanamkan nilai-nilai kebersamaan,
keadilan, dan tanggung jawab.⁴
Selain itu, pendekatan keteladanan (modeling) sangat penting, di
mana guru, orang tua, dan pemimpin masyarakat harus menjadi figur moral yang
konsisten.⁵ Pendidikan moral Pancasila harus berbasis pada prinsip learning
by doing, agar nilai yang diajarkan menjadi bagian dari pengalaman nyata, bukan
sekadar wacana teoretis.
8.3.
Pengembangan
Kurikulum Berbasis Nilai Pancasila
Kurikulum pendidikan moral Pancasila harus dirancang secara integratif,
tidak hanya dalam mata pelajaran Pendidikan Pancasila, tetapi juga
diintegrasikan dalam semua mata pelajaran dan aktivitas sekolah.⁶ Kurikulum
berbasis nilai menuntut adanya pembelajaran kontekstual, yang mengaitkan nilai Pancasila dengan kehidupan nyata siswa.
Misalnya, nilai gotong royong dapat diwujudkan dalam kegiatan kerja bakti,
sedangkan nilai keadilan sosial dapat ditanamkan melalui pembelajaran ekonomi
berbasis solidaritas.⁷
Kurikulum semacam ini memungkinkan pendidikan moral Pancasila tidak
berhenti pada ranah kognitif, tetapi berkembang pada aspek afektif (sikap) dan
psikomotorik (tindakan).
8.4. Integrasi
Teknologi Digital dalam Pendidikan Moral
Di era digital, teknologi tidak bisa dipandang sebagai ancaman semata,
melainkan harus dimanfaatkan sebagai media pembelajaran moral. Platform digital
dapat digunakan untuk menyebarkan konten edukatif berbasis nilai Pancasila,
seperti video, podcast, e-learning, dan media sosial.⁸
Metode gamifikasi dan simulasi digital dapat digunakan untuk
membiasakan siswa menghadapi dilema moral, misalnya melalui permainan
interaktif yang mengajarkan nilai kejujuran, kerja sama, dan keadilan.⁹ Dengan
demikian, pendidikan
moral Pancasila dapat menjangkau generasi muda yang lebih akrab dengan
teknologi, tanpa kehilangan substansi nilai yang diajarkan.
8.5.
Model Holistik dan
Partisipatif
Pendidikan moral Pancasila yang efektif
harus bersifat holistik, mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik,
serta partisipatif, melibatkan keluarga, sekolah, masyarakat, dan negara.¹⁰
Model ini dikenal sebagai ecosystem approach, yaitu pendekatan ekosistem
pendidikan yang menempatkan peserta didik dalam lingkungan nilai yang konsisten
dan sinergis.
Dengan pendekatan holistik dan
partisipatif, nilai-nilai Pancasila tidak hanya diajarkan secara formal, tetapi
juga dipraktikkan dalam kehidupan sosial, sehingga pendidikan moral benar-benar
menjadi fondasi karakter bangsa.¹¹
Footnotes
[1]
K. Bertens, Etika
(Jakarta: Gramedia, 2013), 55.
[2]
Kaelan, Filsafat Pancasila (Yogyakarta:
Paradigma, 2002), 171.
[3]
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas,
Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), 293.
[4]
Thomas Lickona, Educating for Character: How Our
Schools Can Teach Respect and Responsibility (New York: Bantam Books,
1991), 119.
[5]
Ki Hajar
Dewantara, Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka (Yogyakarta:
UST Press, 2009), 205.
[6]
Ahmad
Sanusi, Pendidikan Nilai dan Moral (Bandung: Tarsito, 1999), 97.
[7]
Mubyarto, Ekonomi
Pancasila (Yogyakarta: BPFE, 1997), 42.
[8]
Manuel Castells, The Rise of the Network Society
(Oxford: Blackwell, 2000), 104.
[9]
Sherry Turkle, Life on the Screen: Identity in the
Age of the Internet (New York: Simon & Schuster, 1995), 67.
[10]
Syamsul
Arifin, Revitalisasi Pendidikan Pancasila (Malang: UMM Press, 2012),
113.
[11]
Kementerian
Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Profil Pelajar Pancasila
(Jakarta: Kemendikbudristek, 2020), 15.
9.
Studi Perbandingan dan Praktik Baik
9.1. Pendidikan
Moral di Jepang – Integrasi Nilai Kolektivitas dan Disiplin
Pendidikan moral di Jepang (dotoku kyoiku) menekankan pentingnya
kolektivitas, disiplin, dan penghormatan terhadap orang lain.¹ Moral tidak
hanya diajarkan sebagai teori, tetapi dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari
melalui budaya sekolah yang konsisten, seperti kegiatan kebersihan bersama, upacara
pagi, dan
kegiatan kelompok.² Nilai-nilai seperti hormat kepada guru, tanggung jawab
terhadap tugas, dan loyalitas terhadap kelompok menjadi bagian integral dari
kurikulum pendidikan Jepang.
Praktik ini dapat menjadi inspirasi bagi pendidikan moral Pancasila,
terutama dalam menanamkan nilai gotong royong dan tanggung jawab sosial melalui
pembiasaan yang berkesinambungan, bukan sekadar hafalan atau pengetahuan
kognitif.
9.2. Pendidikan
Moral di Finlandia – Penekanan pada Otonomi dan Refleksi Kritis
Finlandia dikenal dengan sistem pendidikan yang menekankan otonomi,
kepercayaan, dan refleksi kritis.³ Pendidikan moral tidak diajarkan melalui
mata pelajaran khusus, melainkan diintegrasikan dalam seluruh kegiatan
pembelajaran. Guru berperan sebagai fasilitator yang membantu siswa
mengembangkan kemampuan bernalar kritis, empati, dan kesadaran etis.⁴
Pendekatan ini relevan untuk pendidikan moral Pancasila, yang
seharusnya mendorong siswa tidak hanya menerima nilai secara dogmatis, tetapi
juga menginternalisasikannya melalui refleksi, diskusi, dan pengambilan keputusan moral yang
mandiri.
9.3. Pendidikan
Moral di Singapura – Multikulturalisme dan Nilai Kebangsaan
Singapura menerapkan Civics and Moral Education (CME) yang
menekankan nilai multikulturalisme, ketertiban sosial, dan identitas nasional.⁵
Sistem ini berfokus pada penguatan disiplin, hukum, dan kepatuhan, sekaligus
menanamkan nilai toleransi dalam masyarakat yang multietnis. Pendidikan moral
di Singapura berhasil membentuk warga negara yang taat hukum sekaligus mampu
hidup dalam harmoni di tengah keragaman budaya.⁶
Hal ini menunjukkan adanya kesamaan dengan pendidikan moral Pancasila
yang menekankan nilai persatuan dan kebhinekaan. Namun, berbeda dengan
Singapura yang cenderung
menekankan kepatuhan normatif, Pancasila lebih menekankan kebebasan yang
bertanggung jawab dalam bingkai demokrasi.
9.4.
Studi Kasus
Implementasi Pendidikan Moral di Indonesia
Di Indonesia, terdapat sejumlah praktik
baik yang dapat menjadi contoh revitalisasi pendidikan moral Pancasila.
Misalnya, program Gerakan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yang
diluncurkan pada 2016, berfokus pada pembiasaan nilai religius, nasionalis,
mandiri, gotong royong, dan integritas.⁷ Selain itu, beberapa sekolah dan
pesantren mengembangkan pendidikan moral melalui model integratif, yang
menggabungkan pengajaran akademik dengan pembiasaan, keteladanan, dan kegiatan
sosial.⁸
Praktik baik lainnya terlihat dalam inisiatif komunitas dan organisasi
keagamaan yang mengajarkan nilai toleransi dan kebangsaan melalui program
pelatihan, dialog antaragama, serta kegiatan sosial berbasis gotong royong. Hal
ini menunjukkan bahwa
pendidikan moral Pancasila dapat berjalan efektif ketika dilaksanakan secara
partisipatif dan berbasis komunitas.⁹
9.5.
Pelajaran yang Dapat
Dipetik
Dari studi perbandingan tersebut, terdapat beberapa pelajaran penting
bagi pendidikan moral Pancasila:
1)
Dari Jepang: perlunya pembiasaan moral dalam kehidupan
sehari-hari.
2)
Dari Finlandia: pentingnya refleksi kritis dan otonomi siswa
dalam pendidikan moral.
3)
Dari Singapura: relevansi multikulturalisme dan disiplin
sosial.
4)
Dari Indonesia: integrasi antara pendidikan formal,
nonformal, dan informal yang berbasis komunitas.
Dengan mengambil inspirasi dari berbagai praktik baik tersebut,
pendidikan moral Pancasila dapat diperkuat agar tidak hanya menjadi pengetahuan
normatif, melainkan nilai hidup yang membentuk karakter bangsa.¹⁰
Footnotes
[1]
Merry White, The Japanese Educational Challenge
(New York: Free Press, 1987), 97.
[2]
Rohlen, Thomas P., Japan’s High Schools
(Berkeley: University of California Press, 1983), 214.
[3]
Pasi Sahlberg, Finnish Lessons: What Can the World
Learn from Educational Change in Finland? (New York: Teachers College
Press, 2011), 45.
[4]
Andy Hargreaves and Dennis Shirley, The Fourth Way:
The Inspiring Future for Educational Change (Thousand Oaks: Corwin, 2009),
88.
[5]
Ministry of Education Singapore, Civics and Moral
Education Syllabus (Singapore: Curriculum Planning and Development
Division, 2007), 12.
[6]
Jason Tan, Education in Singapore: Development
Since 1965 (Singapore: Prentice Hall, 2007), 63.
[7]
Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, Gerakan Penguatan Pendidikan Karakter
(Jakarta: Kemendikbud, 2017), 11.
[8]
Abdurrahman
Mas’ud, Pendidikan Karakter: Konsep dan Implementasinya (Jakarta:
Rajawali, 2011), 142.
[9]
Syamsul
Arifin, Revitalisasi Pendidikan Pancasila (Malang: UMM Press, 2012),
131.
[10]
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas,
Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), 315.
10. Sintesis
dan Refleksi Filosofis
10.1.
Keterpaduan
Filsafat, Etika, dan Pancasila
Pancasila sebagai dasar moral bangsa dapat dipandang sebagai sintesis
antara filsafat, etika, dan tradisi kebudayaan Indonesia. Filsafat memberikan
kerangka rasional dan konseptual, etika menyediakan orientasi normatif,
sementara Pancasila mengakar pada
realitas historis dan kultural bangsa.¹ Dalam perspektif ini, pendidikan moral
Pancasila tidak hanya bersifat teoretis, tetapi juga praksis, yang
mengintegrasikan refleksi kritis dengan pembiasaan moral sehari-hari.²
Keterpaduan ini menjadikan Pancasila unik karena mampu menjembatani
dimensi universal nilai moral (seperti keadilan, kebenaran, dan kebajikan)
dengan dimensi
partikular (keindonesiaan, kebhinekaan, dan gotong royong).³
10.2. Pendidikan
Moral Pancasila sebagai Proses Dialektis
Pendidikan moral Pancasila tidak dapat dipandang sebagai proses linear,
melainkan dialektis, yang selalu berhadapan dengan tantangan zaman.⁴ Di satu
sisi, pendidikan moral menuntut pewarisan nilai; di sisi lain, ia harus
terbuka terhadap kritik, penyesuaian, dan perkembangan baru. Hal ini sejalan
dengan pandangan Paulo Freire tentang pendidikan sebagai praksis pembebasan,
yang menuntut kesadaran kritis (conscientization).⁵
Refleksi filosofis atas Pancasila menunjukkan bahwa nilai-nilai seperti
ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan tidak boleh berhenti
pada tataran simbolis, melainkan harus terus diperbarui melalui dialog,
musyawarah, dan praktik sosial yang relevan dengan konteks kontemporer.
10.3.
Aktualisasi Nilai
dalam Kehidupan Sosial
Pendidikan moral Pancasila hanya akan bermakna apabila mampu membentuk
praksis sosial. Aktualisasi nilai-nilai Pancasila terlihat dalam kejujuran
dalam kehidupan ekonomi, keadilan dalam politik, solidaritas dalam kehidupan
sosial, toleransi dalam keragaman agama, serta integritas dalam kepemimpinan
publik.⁶
Dalam hal ini, Pancasila berperan sebagai etika publik yang mengikat
seluruh elemen bangsa, baik warga negara maupun penyelenggara negara.⁷ Dengan
demikian, refleksi filosofis atas Pancasila harus selalu diarahkan pada upaya
membangun kehidupan berbangsa yang adil, beradab, dan bermartabat.
10.4.
Relevansi Pancasila
di Era Globalisasi
Era globalisasi menghadirkan tantangan berupa penetrasi nilai-nilai
asing yang sering kali bertentangan dengan moral bangsa. Namun, Pancasila
justru memiliki daya lentur filosofis yang memungkinkan bangsa Indonesia untuk
menyaring nilai global secara selektif.⁸ Nilai-nilai universal seperti hak
asasi manusia, demokrasi, dan
keadilan sosial dapat diakomodasi sepanjang selaras dengan moral Pancasila.
Dengan demikian, Pancasila dapat dipandang sebagai philosophia
perennis bangsa Indonesia, yakni filsafat hidup yang senantiasa relevan dan
dapat dikontekstualisasikan sepanjang masa.⁹ Refleksi filosofis meneguhkan
bahwa Pancasila bukan sekadar dasar negara, melainkan juga horizon moral yang
terus-menerus membimbing bangsa dalam menghadapi dinamika zaman.
10.5.
Penutup Reflektif
Sintesis filosofis atas pendidikan
moral Pancasila menegaskan tiga hal pokok: pertama, Pancasila adalah sumber
nilai moral yang komprehensif; kedua, pendidikan moral Pancasila merupakan proses dialektis yang membutuhkan pembaruan
kontekstual; dan ketiga, relevansinya di era globalisasi semakin nyata sebagai
penopang identitas, integritas, dan keutuhan bangsa.¹⁰
Dengan refleksi ini, pendidikan moral
Pancasila dapat dipandang bukan hanya sebagai kewajiban akademik atau legal,
melainkan sebagai panggilan moral kolektif bangsa untuk terus membangun
peradaban yang berkeadilan, beradab, dan berketuhanan.
Footnotes
[1]
Notonagoro, Pancasila: Dasar Falsafah Negara
(Jakarta: Bina Aksara, 1983), 41.
[2]
Kaelan, Filsafat Pancasila (Yogyakarta:
Paradigma, 2002), 178.
[3]
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas,
Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), 321.
[4]
Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar: Masalah-Masalah
Pokok Filsafat Moral (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 145.
[5]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed (New
York: Continuum, 1970), 72.
[6]
Soedjatmoko,
Etika Pembangunan (Jakarta: LP3ES, 1983), 134.
[7]
Abdurrahman
Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur (Yogyakarta: LKiS, 1999), 163.
[8]
Robert W. Hefner, Civil Islam: Muslims and
Democratization in Indonesia (Princeton: Princeton University Press, 2000),
198.
[9]
Kaelan, Pendidikan
Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 193.
[10]
Syamsul
Arifin, Revitalisasi Pendidikan Pancasila (Malang: UMM Press, 2012),
127.
11. Penutup
11.1.
Kesimpulan
Pendidikan moral Pancasila merupakan fondasi etis yang tidak hanya
menjiwai sistem hukum dan politik Indonesia, tetapi juga membentuk karakter
bangsa dalam dimensi sosial, budaya, dan spiritual. Dari uraian sebelumnya
dapat disimpulkan bahwa Pancasila, sebagai sistem filsafat, mengandung
nilai-nilai universal yang terintegrasi dalam lima sila: Ketuhanan, Kemanusiaan,
Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial.¹ Nilai-nilai tersebut memiliki
relevansi lintas zaman karena bersifat dinamis, dialogis, dan kontekstual.
Secara historis, pendidikan moral Pancasila mengalami dinamika mulai
dari masa pergerakan nasional, era kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru, hingga
era Reformasi dan kontemporer.² Meskipun pada periode tertentu Pancasila sempat
tereduksi menjadi instrumen politik indoktrinatif, upaya revitalisasi terus
dilakukan untuk mengembalikan Pancasila pada kedudukan aslinya sebagai dasar
moral bangsa.³
11.2.
Rekomendasi
Pertama, pendidikan moral Pancasila
harus dikembangkan melalui pendekatan holistik yang mencakup dimensi formal,
nonformal, dan informal, sehingga nilai Pancasila hidup dalam keluarga,
sekolah, dan masyarakat.⁴ Kedua, kurikulum pendidikan moral Pancasila perlu
diarahkan pada penguatan critical thinking, refleksi etis, dan
pengalaman praksis, bukan sekadar hafalan normatif.⁵ Ketiga, teknologi digital
perlu dimanfaatkan sebagai media inovatif untuk menginternalisasikan nilai
Pancasila pada generasi muda.⁶
Selain itu, keteladanan pemimpin
politik, guru, dan tokoh masyarakat menjadi syarat mutlak bagi keberhasilan
pendidikan moral Pancasila. Tanpa keteladanan nyata, nilai Pancasila berpotensi
kehilangan kekuatan praksisnya dalam kehidupan sosial.⁷ Oleh karena itu,
pendidikan moral Pancasila harus dilaksanakan
secara partisipatif dan konsisten, sehingga mampu menumbuhkan integritas,
tanggung jawab, dan solidaritas dalam kehidupan berbangsa.
11.3.
Harapan
Dengan pendidikan moral berbasis
Pancasila yang kontekstual, kritis, dan adaptif, bangsa Indonesia diharapkan
mampu menjaga jati dirinya di tengah arus globalisasi tanpa kehilangan
keterbukaan terhadap nilai universal. Pancasila sebagai dasar moral bangsa harus terus dijaga relevansinya
melalui praksis pendidikan yang membentuk generasi yang beriman, berkarakter,
dan berdaya saing global.⁸
Akhirnya, pendidikan moral Pancasila bukan sekadar kewajiban akademik
atau legal, melainkan panggilan historis dan moral kolektif bangsa Indonesia
untuk mewujudkan cita-cita luhur: membangun masyarakat yang adil, makmur,
demokratis, beradab, dan bermartabat.⁹
Footnotes
[1]
Notonagoro, Pancasila: Dasar Falsafah Negara
(Jakarta: Bina Aksara, 1983), 29.
[2]
Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia
(Jakarta: Balai Pustaka, 1981), 92.
[3]
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas,
Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), 273.
[4]
Ahmad
Sanusi, Pendidikan Nilai dan Moral (Bandung: Tarsito, 1999), 77.
[5]
Thomas Lickona, Educating for Character: How Our
Schools Can Teach Respect and Responsibility (New York: Bantam Books,
1991), 145.
[6]
Manuel Castells, The Rise of the Network Society
(Oxford: Blackwell, 2000), 112.
[7]
Ki Hajar
Dewantara, Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka (Yogyakarta:
UST Press, 2009), 215.
[8]
Syamsul
Arifin, Revitalisasi Pendidikan Pancasila (Malang: UMM Press, 2012),
139.
[9]
Soedjatmoko,
Etika Pembangunan (Jakarta: LP3ES, 1983), 141.
Daftar Pustaka
Alfian. (1991). Pemikiran dan
perubahan politik Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Aristotle.
(1999). Nicomachean ethics (T. Irwin, Trans.). Indianapolis: Hackett
Publishing.
Arifin, S.
(2012). Revitalisasi
pendidikan Pancasila.
Malang: UMM Press.
Bagus, L. (2000). Kamus
filsafat. Jakarta: Gramedia.
Bentham, J.
(1907). An introduction to the principles of morals and legislation.
Oxford: Clarendon Press.
Bertens, K.
(2013). Etika. Jakarta: Gramedia.
Castells,
M. (2000). The rise of the network society. Oxford: Blackwell.
Dewantara,
K. H. (2009). Pemikiran,
konsepsi, keteladanan, sikap merdeka. Yogyakarta: UST Press.
Erikson, E.
H. (1968). Identity: Youth and crisis. New York: Norton.
Feith, H.
(1962). The decline of constitutional democracy in Indonesia. Ithaca:
Cornell University Press.
Freire, P.
(1970). Pedagogy of the oppressed. New York: Continuum.
Hargreaves,
A., & Shirley, D. (2009). The fourth way: The inspiring future for
educational change. Thousand
Oaks, CA: Corwin.
Hatta, M. (1960). Demokrasi
kita. Jakarta: Pustaka Antara.
Hefner, R.
W. (2000). Civil Islam: Muslims and democratization in Indonesia.
Princeton: Princeton University Press.
Kaelan.
(2002). Filsafat Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.
Kaelan. (2013). Pendidikan Pancasila.
Yogyakarta: Paradigma.
Kant, I. (1998). Groundwork
of the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge: Cambridge
University Press.
Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan. (2014). Kurikulum 2013. Jakarta: Kemendikbud.
Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan. (2016).
Gerakan literasi nasional. Jakarta: Kemendikbud.
Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan. (2017). Gerakan penguatan pendidikan karakter. Jakarta:
Kemendikbud.
Kementerian Pendidikan,
Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. (2020). Profil pelajar Pancasila. Jakarta:
Kemendikbudristek.
Lickona, T.
(1991). Educating for character: How our schools can teach respect and
responsibility. New York: Bantam Books.
Latif, Y.
(2011). Negara paripurna: Historisitas, rasionalitas, dan aktualitas
Pancasila. Jakarta:
Gramedia.
Magnis-Suseno, F. (1994). Etika
politik: Prinsip-prinsip moral dasar kenegaraan modern. Jakarta: Gramedia.
Magnis-Suseno, F. (1995). Etika
dasar: Masalah-masalah pokok filsafat moral. Yogyakarta: Kanisius.
Mas’ud, A. (2011). Pendidikan
karakter: Konsep dan implementasinya. Jakarta: Rajawali.
Ministry of
Education Singapore. (2007). Civics and moral education syllabus.
Singapore: Curriculum Planning and Development Division.
Mubyarto.
(1997). Ekonomi Pancasila. Yogyakarta: BPFE.
Notonagoro.
(1983). Pancasila: Dasar falsafah negara. Jakarta: Bina Aksara.
Notonagoro.
(1987). Pancasila secara ilmiah populer. Jakarta: Bumi Aksara.
Notosusanto, N. (1981). Sejarah
nasional Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Roy, O.
(2004). Globalized Islam: The search for a new ummah. New York: Columbia
University Press.
Rohlen, T.
P. (1983). Japan’s high schools. Berkeley: University of California
Press.
Sahlberg,
P. (2011). Finnish lessons: What can the world learn from educational change
in Finland? New York: Teachers College Press.
Sanusi, A.
(1999). Pendidikan nilai dan moral. Bandung: Tarsito.
Siswoyo, D. (2007). Pendidikan
kewarganegaraan dalam perspektif pendidikan nilai. Yogyakarta: UNY Press.
Soedjatmoko. (1983). Etika
pembangunan. Jakarta: LP3ES.
Soekanto, S. (2012). Sosiologi
suatu pengantar. Jakarta: Rajawali.
Soekarno.
(1960). Nation and character building. Jakarta: Gunung Agung.
Syafii Maarif, A. (1985). Islam
dan masalah kenegaraan. Jakarta: LP3ES.
Tan, J.
(2007). Education in Singapore: Development since 1965. Singapore:
Prentice Hall.
Turkle, S.
(1995). Life on the screen: Identity in the age of the Internet. New
York: Simon & Schuster.
Turkle, S.
(2011). Alone together: Why we expect more from technology and less from
each other. New York: Basic Books.
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (1945).
Wahid, A.
(1999). Prisma pemikiran Gus Dur. Yogyakarta: LKiS.
White, M.
(1987). The Japanese educational challenge. New York: Free Press.
Kartodirdjo,
S. (1993). Pengantar sejarah Indonesia baru. Jakarta: Gramedia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar