Jumat, 19 September 2025

Pendidikan Moral Pancasila: Fondasi Etika Bangsa dalam Perspektif Filsafat, Sejarah, dan Pendidikan

Pendidikan Moral Pancasila

Fondasi Etika Bangsa dalam Perspektif Filsafat, Sejarah, dan Pendidikan


Alihkan ke: Filsafat Pancasila, Moral, Etika, Norma, dan Hukum.


Abstrak

Artikel ini mengkaji pendidikan moral Pancasila sebagai fondasi etis dan filosofis bangsa Indonesia dalam membangun karakter, identitas, dan peradaban nasional. Kajian dilakukan dengan pendekatan interdisipliner yang mencakup dimensi filosofis, historis, pedagogis, dan sosiologis. Pancasila dipahami bukan hanya sebagai dasar negara, tetapi juga sebagai sistem filsafat yang mengintegrasikan nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial. Artikel ini menunjukkan bahwa pendidikan moral Pancasila telah mengalami dinamika historis sejak masa pergerakan nasional hingga era kontemporer, dengan berbagai model implementasi yang merefleksikan kondisi sosial-politik setiap periode.

Lebih jauh, artikel ini menyoroti tantangan pendidikan moral Pancasila di era globalisasi, seperti krisis moral generasi muda, penetrasi media digital, fenomena intoleransi, serta degradasi integritas publik. Untuk menjawab tantangan tersebut, pendidikan moral Pancasila perlu diarahkan pada pengembangan kurikulum berbasis nilai, metode pedagogis partisipatif, pemanfaatan teknologi digital, serta keteladanan moral dari pemimpin dan pendidik. Sintesis filosofis menegaskan bahwa Pancasila adalah horizon moral bangsa yang bersifat dinamis dan kontekstual, mampu menjembatani nilai universal dan partikular.

Dengan demikian, pendidikan moral Pancasila bukan hanya instrumen akademik atau formalitas hukum, tetapi merupakan panggilan historis dan moral bangsa Indonesia untuk mewujudkan masyarakat yang adil, demokratis, beradab, dan bermartabat dalam menghadapi dinamika global.

Kata Kunci: Pendidikan moral, Pancasila, filsafat moral, pendidikan karakter, globalisasi, nilai kebangsaan


PEMBAHASAN

Pendidikan Moral Pancasila


1.           Pendahuluan

1.1.       Latar Belakang

Pendidikan moral merupakan aspek fundamental dalam pembangunan manusia dan masyarakat. Dalam konteks Indonesia, moralitas tidak hanya dipandang sebagai nilai individu, tetapi juga sebagai pedoman hidup berbangsa dan bernegara. Pancasila, sebagai dasar negara, memuat seperangkat nilai yang bersifat universal sekaligus kontekstual, yang berfungsi sebagai fondasi moral bangsa. Nilai-nilai tersebut meliputi religiusitas, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial, yang masing-masing mencerminkan dimensi etika yang relevan untuk membentuk karakter warga negara Indonesia.¹

Di tengah dinamika globalisasi, arus digitalisasi, serta derasnya penetrasi budaya asing, pendidikan moral Pancasila menghadapi tantangan serius. Fenomena degradasi moral generasi muda, meningkatnya individualisme, serta kecenderungan intoleransi merupakan gejala yang menunjukkan pentingnya penguatan kembali nilai-nilai Pancasila dalam dunia pendidikan.² Pendidikan moral berbasis Pancasila tidak hanya bertujuan membentuk manusia Indonesia yang cerdas secara intelektual, tetapi juga berkarakter luhur, berjiwa sosial, dan memiliki kesadaran kebangsaan yang tinggi.³

Lebih jauh, pendidikan moral Pancasila memiliki relevansi historis sekaligus filosofis. Sejak awal perumusan Pancasila oleh para pendiri bangsa, nilai moral yang terkandung di dalamnya telah dimaksudkan sebagai fondasi etika bagi kehidupan masyarakat Indonesia yang plural.⁴ Karena itu, pendidikan moral Pancasila dapat dipandang sebagai instrumen strategis untuk menjaga integrasi nasional, memperkuat kohesi sosial, dan mendorong terciptanya peradaban bangsa yang adil dan beradab.

1.2.       Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, terdapat beberapa masalah yang menjadi fokus kajian:

1)                  Bagaimana konsep dasar pendidikan moral dipahami dalam konteks Pancasila?

2)                  Apa landasan filosofis dan historis dari pendidikan moral Pancasila?

3)                  Bagaimana tantangan dan peluang implementasi pendidikan moral Pancasila dalam era globalisasi dan digitalisasi?

4)                  Metode apa yang dapat diterapkan untuk menguatkan kembali pendidikan moral berbasis Pancasila dalam sistem pendidikan Indonesia?

1.3.       Tujuan Penulisan

Penulisan artikel ini bertujuan untuk:

1)                  Mengkaji konsep dasar pendidikan moral dalam kerangka Pancasila.

2)                  Menganalisis landasan filosofis, historis, dan pedagogis dari pendidikan moral Pancasila.

3)                  Mengidentifikasi tantangan pendidikan moral Pancasila di era kontemporer.

4)                  Memberikan tawaran strategi dan model pendidikan moral berbasis Pancasila yang relevan dengan kondisi masyarakat modern.

1.4.       Metodologi Kajian

Artikel ini disusun dengan pendekatan interdisipliner yang melibatkan analisis filosofis, historis, pedagogis, dan sosiologis. Metode yang digunakan meliputi studi literatur dari karya-karya akademik, dokumen historis, serta regulasi pendidikan di Indonesia. Analisis dilakukan secara kritis-reflektif dengan mengacu pada prinsip filsafat moral dan pendidikan, untuk memberikan gambaran komprehensif mengenai pendidikan moral Pancasila sebagai fondasi pembentukan karakter bangsa.


Footnotes

[1]                Notonagoro, Pancasila: Dasar Falsafah Negara (Jakarta: Bina Aksara, 1983), 15.

[2]                Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 42.

[3]                Ahmad Sanusi, Pendidikan Nilai dan Moral (Bandung: Tarsito, 1999), 67.

[4]                Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), 103.


2.           Konsep Dasar Pendidikan Moral

2.1.       Definisi Moral, Etika, dan Karakter

Secara etimologis, istilah moral berasal dari bahasa Latin mos atau mores yang berarti adat kebiasaan, perilaku, atau tata cara hidup.¹ Dalam pengertian filosofis, moral merujuk pada prinsip-prinsip yang membimbing tindakan manusia dalam membedakan mana yang baik dan yang buruk. Moral berkaitan erat dengan etika, meskipun keduanya tidak identik. Etika dipahami sebagai refleksi filosofis atas moralitas, yang menelaah dasar, prinsip, dan norma yang mendasari perilaku moral manusia.²

Sementara itu, karakter adalah pengejawantahan nilai moral dalam kepribadian individu yang tampak dalam sikap, kebiasaan, dan perilaku nyata.³ Dengan demikian, pendidikan moral tidak sekadar menanamkan pengetahuan tentang baik dan buruk, tetapi lebih jauh membentuk karakter yang kokoh sehingga individu mampu menginternalisasi dan mengaktualisasikan nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari.

2.2.       Hubungan Moral, Norma, dan Hukum

Moral tidak dapat dipisahkan dari norma sosial yang mengatur kehidupan masyarakat. Norma merupakan aturan yang bersifat mengikat, baik secara formal maupun informal, yang berfungsi menjaga keteraturan sosial.⁴ Moral menjadi sumber inspirasi utama lahirnya norma sosial, yang kemudian dilembagakan lebih lanjut dalam bentuk hukum. Hukum positif berperan menegakkan aturan dengan sanksi yang jelas, sedangkan moral lebih menekankan pada kesadaran batin individu.

Hubungan antara moral, norma, dan hukum dalam masyarakat Indonesia tidak dapat dilepaskan dari Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara.⁵ Pancasila bukan sekadar dokumen normatif, tetapi sekaligus pijakan moral yang mewarnai sistem hukum dan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, pendidikan moral Pancasila memiliki fungsi strategis untuk memastikan bahwa norma sosial dan hukum yang berlaku benar-benar berakar pada nilai-nilai kebangsaan.

2.3.       Pendidikan Moral dalam Perspektif Filsafat Umum

Dalam perspektif filsafat moral, terdapat tiga pendekatan utama yang sering digunakan: deontologi, teleologi, dan etika kebajikan. Deontologi menekankan kewajiban moral yang bersifat absolut, sebagaimana dikemukakan Immanuel Kant dengan prinsip categorical imperative.⁶ Teleologi, khususnya utilitarianisme, menilai moralitas suatu tindakan berdasarkan akibat atau manfaat yang dihasilkan.⁷ Sementara etika kebajikan, yang berakar pada pemikiran Aristoteles, menekankan pentingnya pembentukan karakter (virtue) sebagai tujuan utama pendidikan moral.⁸

Jika dikaitkan dengan Pancasila, pendidikan moral tidak hanya berorientasi pada kepatuhan terhadap norma (deontologis) atau hasil (teleologis), tetapi juga pembentukan kepribadian yang selaras dengan nilai kebajikan universal yang terkandung dalam kelima sila. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan moral Pancasila mengandung dimensi integral dari ketiga pendekatan etis tersebut.

2.4.       Urgensi Pendidikan Moral dalam Konteks Masyarakat Plural

Indonesia merupakan bangsa yang pluralistik, baik dari segi etnis, agama, maupun budaya. Kondisi ini menuntut adanya fondasi moral yang mampu menyatukan perbedaan dan menjaga kohesi sosial. Pancasila menyediakan kerangka moral tersebut melalui nilai-nilai persatuan, toleransi, dan keadilan.⁹ Pendidikan moral Pancasila dengan demikian menjadi sarana strategis untuk menanamkan kesadaran kebangsaan, membangun sikap saling menghargai, serta mengembangkan tanggung jawab sosial.

Dalam kerangka pembangunan bangsa, pendidikan moral tidak boleh hanya diletakkan pada tataran formalitas kurikulum, melainkan harus menyentuh dimensi praksis dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, pendidikan moral Pancasila harus diintegrasikan dalam semua aspek kehidupan, mulai dari keluarga, sekolah, hingga masyarakat luas, sehingga dapat membentuk individu yang bermoral sekaligus mampu hidup dalam harmoni sosial.


Footnotes

[1]                Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 2000), 687.

[2]                K. Bertens, Etika (Jakarta: Gramedia, 2013), 5.

[3]                Thomas Lickona, Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility (New York: Bantam Books, 1991), 51.

[4]                Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Rajawali, 2012), 92.

[5]                Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 73.

[6]                Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 37.

[7]                Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation (Oxford: Clarendon Press, 1907), 14.

[8]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 23.

[9]                Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), 219.


3.           Landasan Filosofis Pancasila sebagai Moral Bangsa

3.1.       Pancasila sebagai Sistem Filsafat

Pancasila tidak hanya dipahami sebagai dasar negara (philosophische grondslag), melainkan juga sebagai sistem filsafat yang mengandung konsepsi fundamental tentang manusia, masyarakat, dan negara.¹ Sebagai filsafat, Pancasila menempati kedudukan sebagai pandangan hidup (weltanschauung) yang menyatukan keragaman bangsa Indonesia ke dalam satu visi moral dan etis.² Nilai-nilai yang terkandung dalam kelima sila Pancasila tidak berdiri sendiri, melainkan saling berkaitan secara hierarkis dan sistematis sehingga membentuk satu kesatuan yang utuh.³

3.2.       Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis Pancasila

Kajian filosofis terhadap Pancasila dapat ditinjau dari tiga dimensi utama: ontologis, epistemologis, dan aksiologis.

1)                  Ontologis

Pancasila menempatkan manusia sebagai makhluk monopluralis, yakni makhluk individu sekaligus sosial, material sekaligus spiritual.⁴ Dengan demikian, Pancasila mengakui martabat manusia secara utuh, tidak hanya sebagai objek hukum tetapi juga sebagai subjek moral.

2)                  Epistemologis

Pancasila mengembangkan cara pandang pengetahuan yang bersifat integral, yang menggabungkan rasionalitas, pengalaman empiris, dan nilai-nilai religius.⁵ Pengetahuan dalam perspektif Pancasila tidak bebas nilai, tetapi selalu diarahkan untuk mencapai kebenaran dan kebaikan yang bermanfaat bagi kehidupan bersama.

3)                  Aksiologis

Pancasila menekankan pada nilai-nilai moral praktis yang menjadi pedoman dalam kehidupan berbangsa, seperti keadilan, persatuan, toleransi, musyawarah, dan religiusitas.⁶ Dimensi aksiologis ini menegaskan bahwa Pancasila bukan hanya gagasan abstrak, melainkan nilai yang harus diwujudkan dalam praktik kehidupan sehari-hari.

3.3.       Pancasila sebagai Nilai Dasar Moral Bangsa Indonesia

Sebagai dasar moral bangsa, Pancasila memuat seperangkat nilai dasar (basic values) yang bersifat universal, tetapi sekaligus mengakar dalam konteks keindonesiaan. Sila Ketuhanan menekankan dimensi transendental dan moral religius; sila Kemanusiaan menegaskan pentingnya penghormatan terhadap martabat manusia; sila Persatuan mengandung makna solidaritas nasional; sila Kerakyatan mengajarkan demokrasi deliberatif; dan sila Keadilan Sosial meneguhkan prinsip distribusi keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.⁷

Nilai-nilai tersebut menjadi pedoman moral tidak hanya bagi individu warga negara, tetapi juga bagi penyelenggara negara. Hal ini berarti Pancasila berfungsi sebagai etika politik, etika sosial, sekaligus etika individual. Dengan demikian, Pancasila dapat dipandang sebagai fondasi moral yang komprehensif dalam membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

3.4.       Perbandingan dengan Sistem Moral Lain

Untuk mempertegas posisi Pancasila sebagai landasan moral, penting dilakukan perbandingan dengan sistem moral lain, baik yang bersumber dari agama maupun filsafat Barat dan Timur.

Dalam konteks agama, Pancasila sejalan dengan nilai-nilai universal seperti keadilan, kasih sayang, dan solidaritas yang terdapat dalam ajaran Islam, Kristen, Hindu, Buddha, dan agama-agama lain.⁸ Hal ini menunjukkan bahwa Pancasila memiliki sifat inklusif, yang mampu menampung berbagai keyakinan religius tanpa kehilangan identitasnya sebagai dasar moral bangsa.

Sementara itu, jika dibandingkan dengan filsafat Barat, Pancasila mengintegrasikan unsur deontologis (kewajiban moral), teleologis (orientasi pada tujuan kebaikan bersama), dan etika kebajikan (pembentukan karakter).⁹ Demikian pula, jika dibandingkan dengan tradisi Timur, Pancasila memiliki kesamaan dengan nilai harmoni dan kolektivitas dalam Konfusianisme maupun prinsip keseimbangan dalam filsafat India. Perbandingan ini menunjukkan bahwa Pancasila bersifat dialogis dan adaptif, sekaligus unik karena berakar pada konteks historis dan kultural bangsa Indonesia.

3.5.       Implikasi Filosofis bagi Pendidikan Moral

Pancasila sebagai sistem filsafat memiliki implikasi yang luas terhadap pendidikan moral. Pertama, ia meneguhkan bahwa pendidikan moral harus berakar pada nilai-nilai dasar bangsa. Kedua, ia menuntut adanya integrasi antara dimensi intelektual, emosional, spiritual, dan sosial dalam pembentukan karakter. Ketiga, ia mendorong pendidikan moral yang bersifat dialogis, terbuka terhadap pluralitas, dan adaptif terhadap perkembangan zaman.¹⁰ Dengan demikian, pendidikan moral Pancasila tidak berhenti pada pengetahuan teoritis, tetapi harus diwujudkan dalam praksis kehidupan sehari-hari sebagai wujud aktualisasi nilai-nilai Pancasila.


Footnotes

[1]                Notonagoro, Pancasila: Dasar Falsafah Negara (Jakarta: Bina Aksara, 1983), 12.

[2]                Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), 33.

[3]                Kaelan, Filsafat Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2002), 59.

[4]                Notonagoro, Pancasila Secara Ilmiah Populer (Jakarta: Bumi Aksara, 1987), 45.

[5]                Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 88.

[6]                Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1991), 127.

[7]                Soedjatmoko, Etika Pembangunan (Jakarta: LP3ES, 1983), 76.

[8]                Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur (Yogyakarta: LKiS, 1999), 142.

[9]                K. Bertens, Etika (Jakarta: Gramedia, 2013), 73.

[10]             Kaelan, Filsafat Pancasila, 164.


4.           Sejarah Pendidikan Moral Pancasila

4.1.       Pendidikan Moral pada Masa Pergerakan Nasional

Akar pendidikan moral Pancasila dapat ditelusuri sejak masa pergerakan nasional awal abad ke-20. Organisasi pergerakan seperti Budi Utomo (1908), Sarekat Islam (1911), dan Muhammadiyah (1912) menanamkan nilai moral kebangsaan melalui pendidikan, dakwah, dan organisasi sosial.¹ Pendidikan moral pada masa ini lebih menekankan pada pembentukan kesadaran kebangsaan, solidaritas sosial, serta perlawanan terhadap kolonialisme. Sementara itu, gagasan mengenai persatuan, keadilan, dan kemandirian bangsa mulai dirumuskan sebagai orientasi moral kolektif.²

4.2.       Pendidikan Moral dalam Era Perumusan dan Awal Kemerdekaan

Proses perumusan Pancasila pada 1945 menegaskan pentingnya nilai-nilai moral sebagai dasar bagi berdirinya negara Indonesia.³ Pancasila dimaksudkan bukan sekadar sebagai dasar konstitusional, tetapi juga sebagai pedoman etis bagi bangsa yang plural. Setelah proklamasi kemerdekaan, pendidikan moral berbasis Pancasila mulai diintegrasikan ke dalam sistem pendidikan nasional. Dalam UUD 1945 Pasal 31 ayat (3), ditegaskan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia.⁴

Pada periode ini, pendidikan moral masih sangat dipengaruhi oleh semangat revolusi dan perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Nilai-nilai seperti pengorbanan, patriotisme, dan solidaritas nasional menjadi bagian dari kurikulum pendidikan dan pembelajaran informal di masyarakat.⁵

4.3.       Pendidikan Moral Pancasila pada Masa Orde Lama

Di era Orde Lama (1945–1966), pendidikan moral Pancasila mengalami dinamika yang dipengaruhi oleh orientasi politik. Presiden Soekarno menekankan nation and character building sebagai agenda utama.⁶ Pendidikan diarahkan untuk menumbuhkan semangat kebangsaan dan kesadaran kolektif melalui mata pelajaran Civics dan Pendidikan Moral. Namun, pergulatan politik yang sarat ideologi—antara nasionalisme, agama, dan komunisme—membuat pendidikan moral sering menjadi alat legitimasi politik.⁷

4.4.       Pendidikan Moral Pancasila pada Masa Orde Baru

Pada masa Orde Baru (1966–1998), Pancasila ditempatkan secara sentral dalam sistem pendidikan. Melalui Tap MPR No. II/MPR/1978, ditetapkan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) yang wajib diajarkan di semua jenjang pendidikan.⁸ Pendidikan Moral Pancasila (PMP) menjadi mata pelajaran khusus yang berfungsi menanamkan nilai Pancasila secara formal.

Namun, meskipun secara formal memperkuat kedudukan Pancasila, implementasinya sering bersifat indoktrinatif dan birokratis. Pancasila lebih banyak diajarkan sebagai dogma yang harus dihafalkan, bukan sebagai nilai moral yang dikembangkan secara kritis-reflektif.⁹ Akibatnya, pendidikan moral Pancasila pada masa ini sering dikritik karena gagal membangun kesadaran etis yang autentik, dan lebih cenderung menumbuhkan kepatuhan formal terhadap rezim.¹⁰

4.5.       Pendidikan Moral Pancasila pada Era Reformasi

Setelah jatuhnya Orde Baru pada 1998, terjadi perubahan paradigma dalam pendidikan Pancasila. Mata pelajaran PMP dihapus dan digantikan oleh Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn).¹¹ Tujuannya adalah untuk membebaskan Pancasila dari beban indoktrinasi politik masa lalu dan menekankannya kembali sebagai nilai moral dan dasar etika bangsa.

Namun, era Reformasi juga ditandai oleh melemahnya internalisasi nilai Pancasila di tengah derasnya arus demokratisasi dan globalisasi. Banyak pengamat menilai bahwa pendidikan moral Pancasila di sekolah kehilangan urgensinya karena lebih banyak diperlakukan sebagai mata pelajaran kognitif, bukan sebagai pembentukan karakter.¹² Hal ini mendorong perlunya revitalisasi pendidikan moral Pancasila yang lebih kontekstual, partisipatif, dan kritis.

4.6.       Pendidikan Moral Pancasila dalam Kurikulum Kontemporer

Dalam perkembangan terakhir, terutama pada era Kurikulum 2013 hingga Kurikulum Merdeka, terdapat upaya untuk merevitalisasi pendidikan moral Pancasila melalui penguatan Pendidikan Pancasila dan Profil Pelajar Pancasila.¹³ Profil ini menekankan enam dimensi karakter: beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkebinekaan global, gotong royong, mandiri, bernalar kritis, dan kreatif.¹⁴

Dengan demikian, pendidikan moral Pancasila kini diposisikan sebagai inti pendidikan karakter nasional. Hal ini menandai pergeseran dari pendekatan indoktrinatif ke arah pendekatan partisipatif, reflektif, dan kontekstual yang lebih sesuai dengan tuntutan abad ke-21.


Footnotes

[1]                Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru (Jakarta: Gramedia, 1993), 211.

[2]                Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan (Jakarta: LP3ES, 1985), 54.

[3]                Notonagoro, Pancasila: Dasar Falsafah Negara (Jakarta: Bina Aksara, 1983), 22.

[4]                Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 31 ayat (3).

[5]                Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1981), 88.

[6]                Soekarno, Nation and Character Building (Jakarta: Gunung Agung, 1960), 17.

[7]                Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1962), 243.

[8]                Majelis Permusyawaratan Rakyat, Tap MPR No. II/MPR/1978 tentang P4.

[9]                Kaelan, Filsafat Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2002), 137.

[10]             Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), 267.

[11]             Dwi Siswoyo, Pendidikan Kewarganegaraan dalam Perspektif Pendidikan Nilai (Yogyakarta: UNY Press, 2007), 33.

[12]             Syamsul Arifin, Revitalisasi Pendidikan Pancasila (Malang: UMM Press, 2012), 75.

[13]             Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kurikulum 2013 (Jakarta: Kemendikbud, 2014), 9.

[14]             Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Profil Pelajar Pancasila (Jakarta: Kemendikbudristek, 2020), 6.


5.           Nilai-Nilai Moral dalam Lima Sila Pancasila

5.1.       Sila Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa – Moral Religius dan Transendensi

Sila pertama menegaskan bahwa dasar moral bangsa Indonesia berakar pada dimensi transendental. Ketuhanan Yang Maha Esa bukan hanya pengakuan formal terhadap keberadaan Tuhan, tetapi juga menegaskan kewajiban moral untuk berperilaku sesuai dengan nilai-nilai religius.¹ Moralitas dalam perspektif sila pertama menekankan pentingnya kejujuran, kesucian hati, kasih sayang, dan penghormatan terhadap kebebasan beragama.² Dengan demikian, pendidikan moral Pancasila mengajarkan bahwa kehidupan manusia harus diarahkan kepada pengabdian kepada Tuhan, yang terwujud dalam tindakan etis sehari-hari.

5.2.       Sila Kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab – Martabat dan Hak Asasi Manusia

Sila kedua menekankan prinsip pengakuan atas martabat manusia sebagai makhluk yang memiliki hak dan kewajiban moral.³ Moralitas kemanusiaan yang adil dan beradab menolak segala bentuk diskriminasi, penindasan, dan dehumanisasi. Nilai ini sejalan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia yang bersifat universal.⁴ Pendidikan moral berdasarkan sila kedua mengarahkan peserta didik untuk mengembangkan sikap empati, solidaritas, toleransi, dan penghargaan terhadap perbedaan. Moralitas yang terkandung dalam sila ini menuntut adanya keadilan dalam hubungan antarmanusia serta peneguhan prinsip kesetaraan.⁵

5.3.       Sila Ketiga: Persatuan Indonesia – Solidaritas dan Kebhinekaan

Sila ketiga mengandung nilai moral persatuan yang didasarkan pada semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Moralitas persatuan menekankan pentingnya sikap nasionalisme, solidaritas sosial, dan penghormatan terhadap pluralitas bangsa.⁶ Nilai ini mengajarkan bahwa kepentingan bersama harus lebih diutamakan daripada kepentingan pribadi atau kelompok. Pendidikan moral berdasarkan sila ketiga menuntun warga negara untuk mengembangkan sikap cinta tanah air, kesediaan berkorban demi bangsa, dan sikap terbuka terhadap keragaman budaya.⁷ Dengan demikian, persatuan Indonesia bukanlah homogenitas, melainkan harmoni dalam keberagaman.

5.4.       Sila Keempat: Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan – Demokrasi dan Partisipasi

Sila keempat menekankan moralitas demokratis yang berakar pada tradisi musyawarah mufakat. Nilai moral yang terkandung dalam sila ini adalah penghormatan terhadap kebebasan berpendapat, penghargaan terhadap perbedaan, serta tanggung jawab dalam pengambilan keputusan bersama.⁸ Pendidikan moral yang bersumber dari sila keempat membentuk warga negara yang partisipatif, kritis, dan bertanggung jawab dalam kehidupan politik dan sosial. Demokrasi dalam konteks Pancasila bukanlah sekadar prosedural, melainkan demokrasi substantif yang menjunjung tinggi keadilan dan kebijaksanaan.⁹

5.5.       Sila Kelima: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia – Distribusi dan Kesejahteraan

Sila kelima menegaskan moralitas keadilan sosial sebagai tujuan akhir dari kehidupan berbangsa. Nilai ini menuntut distribusi keadilan dalam bidang ekonomi, politik, maupun sosial, sehingga kesejahteraan tidak hanya dinikmati oleh segelintir orang, tetapi merata bagi seluruh rakyat.¹⁰ Pendidikan moral berdasarkan sila kelima mendorong lahirnya sikap kepedulian sosial, semangat gotong royong, dan tanggung jawab terhadap kesejahteraan bersama.¹¹ Nilai ini sekaligus menjadi koreksi moral terhadap praktik ketidakadilan, kesenjangan sosial, dan penyalahgunaan kekuasaan.


Integrasi Nilai-Nilai Moral dalam Lima Sila

Kelima sila Pancasila tidak dapat dipisahkan satu sama lain; semuanya membentuk satu kesatuan yang integral. Nilai Ketuhanan menjiwai nilai Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan. Nilai Kemanusiaan menguatkan prinsip persaudaraan, yang kemudian diwujudkan dalam persatuan bangsa. Demokrasi yang adil dan bijaksana menjadi jalan untuk mewujudkan keadilan sosial.¹² Dengan demikian, pendidikan moral Pancasila harus diajarkan secara menyeluruh, integratif, dan kontekstual agar mampu membentuk kepribadian bangsa yang berkarakter, berintegritas, dan beradab.


Footnotes

[1]                Notonagoro, Pancasila: Dasar Falsafah Negara (Jakarta: Bina Aksara, 1983), 33.

[2]                Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 102.

[3]                Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), 149.

[4]                Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern (Jakarta: Gramedia, 1994), 88.

[5]                Thomas Lickona, Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility (New York: Bantam Books, 1991), 65.

[6]                Soedjatmoko, Etika Pembangunan (Jakarta: LP3ES, 1983), 91.

[7]                Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1991), 212.

[8]                Kaelan, Filsafat Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2002), 143.

[9]                K. Bertens, Etika (Jakarta: Gramedia, 2013), 97.

[10]             Hatta, Mohammad, Demokrasi Kita (Jakarta: Pustaka Antara, 1960), 54.

[11]             Mubyarto, Ekonomi Pancasila (Yogyakarta: BPFE, 1997), 27.

[12]             Yudi Latif, Negara Paripurna, 271.


6.           Dimensi Pendidikan Moral Pancasila

6.1.       Pendidikan Formal

Pendidikan formal merupakan wahana utama dalam proses institusionalisasi nilai-nilai Pancasila. Melalui kurikulum yang terstruktur, negara berupaya mengintegrasikan pendidikan moral ke dalam mata pelajaran seperti Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn).¹ Seiring dengan lahirnya Kurikulum 2013 hingga Kurikulum Merdeka, pendidikan moral Pancasila diperkuat melalui gagasan Profil Pelajar Pancasila, yang menekankan enam dimensi karakter: beriman, berkebinekaan global, gotong royong, mandiri, bernalar kritis, dan kreatif.²

Selain itu, pendidikan formal juga menuntut keteladanan guru sebagai figur moral.³ Guru tidak hanya menjadi penyampai pengetahuan, tetapi juga agen pembentuk karakter yang menunjukkan konsistensi antara ucapan dan tindakan. Dalam konteks ini, sekolah menjadi ruang sosial yang memfasilitasi pembiasaan nilai moral Pancasila melalui kegiatan ekstrakurikuler, organisasi siswa, hingga budaya sekolah yang menekankan disiplin, tanggung jawab, dan solidaritas.

6.2.       Pendidikan Nonformal

Pendidikan nonformal berperan penting dalam mendukung internalisasi nilai moral Pancasila di luar sekolah. Lembaga keagamaan, organisasi kemasyarakatan, dan komunitas lokal menjadi sarana penguatan moral yang bersifat kontekstual.⁴ Organisasi seperti pramuka, karang taruna, dan lembaga pendidikan berbasis agama sering kali menekankan nilai-nilai seperti gotong royong, kepemimpinan, toleransi, dan pengabdian kepada masyarakat.

Dengan demikian, pendidikan moral Pancasila tidak hanya bergantung pada sistem sekolah formal, tetapi juga pada aktivitas sosial yang membentuk watak kebangsaan. Integrasi antara pendidikan formal dan nonformal memastikan nilai moral Pancasila hidup dalam praksis masyarakat.

6.3.       Pendidikan Informal

Keluarga merupakan basis pertama dan utama pendidikan moral.⁵ Melalui interaksi sehari-hari, anak belajar mengenai kejujuran, disiplin, kasih sayang, tanggung jawab, dan penghargaan terhadap orang lain. Pola asuh yang konsisten dengan nilai Pancasila akan melahirkan generasi yang berkarakter kuat. Sebaliknya, kegagalan keluarga dalam menanamkan nilai moral dapat berdampak pada lemahnya internalisasi nilai kebangsaan pada anak.

Selain keluarga, lingkungan sosial seperti pergaulan teman sebaya dan media massa memiliki pengaruh besar terhadap pembentukan moral.⁶ Oleh karena itu, pendidikan moral Pancasila harus mampu mengantisipasi pengaruh negatif dari lingkungan, terutama dalam era digital yang sarat dengan arus informasi global.

6.4.       Integrasi Pendidikan Moral dan Pendidikan Karakter

Pendidikan moral Pancasila memiliki keterkaitan erat dengan pendidikan karakter. Menurut Lickona, pendidikan karakter adalah upaya sadar untuk menumbuhkan kebajikan pada peserta didik melalui pembiasaan, pengajaran nilai, dan keteladanan.⁷ Dalam konteks Indonesia, pendidikan karakter memperoleh dasar filosofisnya dari Pancasila sebagai sumber nilai moral bangsa.

Integrasi pendidikan moral dan pendidikan karakter tercermin dalam kebijakan nasional, seperti Gerakan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK), yang menekankan pentingnya penginternalisasian nilai-nilai Pancasila melalui kegiatan pembelajaran, budaya sekolah, dan kerja sama dengan keluarga serta masyarakat.⁸ Dengan demikian, pendidikan moral Pancasila bukan sekadar doktrin normatif, melainkan proses integral yang membentuk kepribadian peserta didik secara menyeluruh.

6.5.       Tantangan Implementasi

Meskipun pendidikan moral Pancasila memiliki berbagai dimensi, implementasinya menghadapi sejumlah kendala, seperti lemahnya keteladanan, rendahnya kualitas kurikulum moral, serta dominasi orientasi kognitif dalam proses pembelajaran.⁹ Selain itu, perkembangan teknologi digital sering kali membawa nilai-nilai yang bertentangan dengan Pancasila, seperti hedonisme, individualisme, dan relativisme moral.¹⁰ Oleh karena itu, pendidikan moral Pancasila harus terus beradaptasi, memanfaatkan teknologi digital secara positif, dan meneguhkan relevansinya dalam menghadapi tantangan zaman.


Footnotes

[1]                Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 143.

[2]                Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Profil Pelajar Pancasila (Jakarta: Kemendikbudristek, 2020), 6.

[3]                Thomas Lickona, Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility (New York: Bantam Books, 1991), 131.

[4]                Ahmad Sanusi, Pendidikan Nilai dan Moral (Bandung: Tarsito, 1999), 87.

[5]                Ki Hajar Dewantara, Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka (Yogyakarta: UST Press, 2009), 214.

[6]                Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Rajawali, 2012), 155.

[7]                Lickona, Educating for Character, 52.

[8]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Gerakan Penguatan Pendidikan Karakter (Jakarta: Kemendikbud, 2017), 9.

[9]                Syamsul Arifin, Revitalisasi Pendidikan Pancasila (Malang: UMM Press, 2012), 88.

[10]             Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), 287.


7.           Tantangan Pendidikan Moral Pancasila di Era Globalisasi

7.1.       Krisis Moral Generasi Muda

Globalisasi telah membawa arus informasi, gaya hidup, dan nilai-nilai baru yang sering kali bertentangan dengan moral Pancasila. Fenomena seperti meningkatnya individualisme, hedonisme, konsumerisme, serta menurunnya semangat gotong royong menjadi indikator krisis moral generasi muda.¹ Teknologi digital mempercepat penetrasi budaya asing yang tidak selalu sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa. Akibatnya, banyak generasi muda yang mengalami kebingungan identitas (identity crisis) dan kehilangan orientasi moral.²

7.2.       Pengaruh Globalisasi dan Media Digital

Era globalisasi ditandai oleh keterhubungan dunia melalui media digital. Di satu sisi, digitalisasi membuka ruang bagi pertukaran pengetahuan dan nilai-nilai universal. Namun di sisi lain, media digital juga menjadi saluran penyebaran paham relativisme moral, radikalisme, ujaran kebencian, hingga penyalahgunaan teknologi.³ Informasi yang serba cepat dan tanpa filter menyebabkan peserta didik lebih rentan terhadap nilai-nilai yang kontradiktif dengan Pancasila.

Selain itu, media sosial mendorong budaya instan yang mengedepankan pencitraan daripada substansi.⁴ Hal ini berdampak pada menurunnya kesadaran kritis, melemahnya empati sosial, dan terkikisnya sikap kebersamaan yang menjadi inti moralitas Pancasila.

7.3.       Fenomena Radikalisme dan Intoleransi

Globalisasi tidak hanya membawa nilai liberalisme, tetapi juga memperkuat arus fundamentalisme dan radikalisme.⁵ Fenomena intoleransi yang berkembang di tengah masyarakat Indonesia kerap berakar pada interpretasi sempit terhadap agama maupun ideologi politik. Hal ini menjadi tantangan serius bagi pendidikan moral Pancasila yang menekankan nilai kebhinekaan, toleransi, dan persatuan.

Ketidakmampuan sebagian masyarakat untuk mengelola perbedaan secara sehat mengakibatkan polarisasi sosial.⁶ Dalam konteks ini, pendidikan moral Pancasila memiliki tanggung jawab untuk memperkuat moderasi, dialog antarbudaya, dan semangat kebangsaan yang inklusif.

7.4.       Degradasi Moral dalam Kehidupan Sosial

Tantangan lain adalah degradasi moral dalam kehidupan sosial, yang ditandai dengan meningkatnya praktik korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, ketidakadilan sosial, dan lemahnya integritas publik.⁷ Fenomena ini menunjukkan adanya kesenjangan antara pengajaran nilai moral Pancasila dengan realitas praksis dalam masyarakat. Ketika elite politik maupun pemimpin publik gagal menunjukkan keteladanan moral, masyarakat cenderung kehilangan kepercayaan terhadap nilai Pancasila.

Hal ini menuntut adanya revitalisasi pendidikan moral Pancasila yang tidak hanya normatif, tetapi juga praksis, melalui penegakan hukum yang adil, keteladanan pemimpin, serta sistem sosial yang mendorong lahirnya keadilan dan kesejahteraan bersama.⁸

7.5.       Strategi Revitalisasi Pendidikan Moral Pancasila

Menghadapi tantangan globalisasi, pendidikan moral Pancasila harus dikembangkan melalui strategi yang adaptif, kritis, dan kontekstual. Pertama, pendidikan harus menekankan critical thinking untuk menghadapi arus informasi global.⁹ Kedua, teknologi digital harus dimanfaatkan sebagai media kreatif untuk menanamkan nilai Pancasila, misalnya melalui platform edukasi, konten digital, maupun gerakan literasi moral.¹⁰ Ketiga, pendidikan moral Pancasila harus bersifat partisipatif dengan melibatkan keluarga, sekolah, masyarakat, dan negara secara sinergis.

Dengan strategi tersebut, pendidikan moral Pancasila diharapkan tidak hanya bertahan sebagai doktrin, tetapi mampu menjawab tantangan zaman, menjaga jati diri bangsa, serta memperkuat kohesi sosial dalam era globalisasi.¹¹


Footnotes

[1]                Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern (Jakarta: Gramedia, 1994), 121.

[2]                Erik H. Erikson, Identity: Youth and Crisis (New York: Norton, 1968), 132.

[3]                Manuel Castells, The Rise of the Network Society (Oxford: Blackwell, 2000), 78.

[4]                Sherry Turkle, Alone Together: Why We Expect More from Technology and Less from Each Other (New York: Basic Books, 2011), 56.

[5]                Olivier Roy, Globalized Islam: The Search for a New Ummah (New York: Columbia University Press, 2004), 44.

[6]                Robert W. Hefner, Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia (Princeton: Princeton University Press, 2000), 177.

[7]                Syamsul Arifin, Revitalisasi Pendidikan Pancasila (Malang: UMM Press, 2012), 99.

[8]                Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), 291.

[9]                Thomas Lickona, Educating for Character (New York: Bantam Books, 1991), 147.

[10]             Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Gerakan Literasi Nasional (Jakarta: Kemendikbud, 2016), 22.

[11]             Kaelan, Filsafat Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2002), 189.


8.           Model dan Metode Pendidikan Moral Pancasila

8.1.       Pendekatan Filosofis

Model pendidikan moral Pancasila tidak dapat dilepaskan dari landasan filsafatnya. Pancasila sebagai sistem filsafat mengandung nilai-nilai universal yang dapat dikembangkan dalam pendidikan moral melalui tiga pendekatan etika utama: deontologis, teleologis, dan etika kebajikan.¹ Dalam pendidikan, pendekatan filosofis ini diwujudkan melalui pembelajaran reflektif-kritis, yang mengajak peserta didik untuk memahami makna nilai Pancasila secara mendalam dan menghubungkannya dengan realitas sosial.²

Pendekatan filosofis menekankan pentingnya dialog, diskursus etika, dan pembiasaan refleksi moral, sehingga peserta didik tidak sekadar menghafal nilai Pancasila, melainkan mampu menginternalisasi dan mengaktualisasikannya.³

8.2.       Pendekatan Pedagogis

Dalam ranah pedagogis, pendidikan moral Pancasila dapat menggunakan metode-metode yang menekankan partisipasi aktif peserta didik. Metode diskusi, studi kasus, role playing, dan proyek sosial terbukti efektif untuk menanamkan nilai-nilai kebersamaan, keadilan, dan tanggung jawab.⁴

Selain itu, pendekatan keteladanan (modeling) sangat penting, di mana guru, orang tua, dan pemimpin masyarakat harus menjadi figur moral yang konsisten.⁵ Pendidikan moral Pancasila harus berbasis pada prinsip learning by doing, agar nilai yang diajarkan menjadi bagian dari pengalaman nyata, bukan sekadar wacana teoretis.

8.3.       Pengembangan Kurikulum Berbasis Nilai Pancasila

Kurikulum pendidikan moral Pancasila harus dirancang secara integratif, tidak hanya dalam mata pelajaran Pendidikan Pancasila, tetapi juga diintegrasikan dalam semua mata pelajaran dan aktivitas sekolah.⁶ Kurikulum berbasis nilai menuntut adanya pembelajaran kontekstual, yang mengaitkan nilai Pancasila dengan kehidupan nyata siswa. Misalnya, nilai gotong royong dapat diwujudkan dalam kegiatan kerja bakti, sedangkan nilai keadilan sosial dapat ditanamkan melalui pembelajaran ekonomi berbasis solidaritas.⁷

Kurikulum semacam ini memungkinkan pendidikan moral Pancasila tidak berhenti pada ranah kognitif, tetapi berkembang pada aspek afektif (sikap) dan psikomotorik (tindakan).

8.4.       Integrasi Teknologi Digital dalam Pendidikan Moral

Di era digital, teknologi tidak bisa dipandang sebagai ancaman semata, melainkan harus dimanfaatkan sebagai media pembelajaran moral. Platform digital dapat digunakan untuk menyebarkan konten edukatif berbasis nilai Pancasila, seperti video, podcast, e-learning, dan media sosial.⁸

Metode gamifikasi dan simulasi digital dapat digunakan untuk membiasakan siswa menghadapi dilema moral, misalnya melalui permainan interaktif yang mengajarkan nilai kejujuran, kerja sama, dan keadilan.⁹ Dengan demikian, pendidikan moral Pancasila dapat menjangkau generasi muda yang lebih akrab dengan teknologi, tanpa kehilangan substansi nilai yang diajarkan.

8.5.       Model Holistik dan Partisipatif

Pendidikan moral Pancasila yang efektif harus bersifat holistik, mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik, serta partisipatif, melibatkan keluarga, sekolah, masyarakat, dan negara.¹⁰ Model ini dikenal sebagai ecosystem approach, yaitu pendekatan ekosistem pendidikan yang menempatkan peserta didik dalam lingkungan nilai yang konsisten dan sinergis.

Dengan pendekatan holistik dan partisipatif, nilai-nilai Pancasila tidak hanya diajarkan secara formal, tetapi juga dipraktikkan dalam kehidupan sosial, sehingga pendidikan moral benar-benar menjadi fondasi karakter bangsa.¹¹


Footnotes

[1]                K. Bertens, Etika (Jakarta: Gramedia, 2013), 55.

[2]                Kaelan, Filsafat Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2002), 171.

[3]                Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), 293.

[4]                Thomas Lickona, Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility (New York: Bantam Books, 1991), 119.

[5]                Ki Hajar Dewantara, Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka (Yogyakarta: UST Press, 2009), 205.

[6]                Ahmad Sanusi, Pendidikan Nilai dan Moral (Bandung: Tarsito, 1999), 97.

[7]                Mubyarto, Ekonomi Pancasila (Yogyakarta: BPFE, 1997), 42.

[8]                Manuel Castells, The Rise of the Network Society (Oxford: Blackwell, 2000), 104.

[9]                Sherry Turkle, Life on the Screen: Identity in the Age of the Internet (New York: Simon & Schuster, 1995), 67.

[10]             Syamsul Arifin, Revitalisasi Pendidikan Pancasila (Malang: UMM Press, 2012), 113.

[11]             Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Profil Pelajar Pancasila (Jakarta: Kemendikbudristek, 2020), 15.


9.           Studi Perbandingan dan Praktik Baik

9.1.       Pendidikan Moral di Jepang – Integrasi Nilai Kolektivitas dan Disiplin

Pendidikan moral di Jepang (dotoku kyoiku) menekankan pentingnya kolektivitas, disiplin, dan penghormatan terhadap orang lain.¹ Moral tidak hanya diajarkan sebagai teori, tetapi dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari melalui budaya sekolah yang konsisten, seperti kegiatan kebersihan bersama, upacara pagi, dan kegiatan kelompok.² Nilai-nilai seperti hormat kepada guru, tanggung jawab terhadap tugas, dan loyalitas terhadap kelompok menjadi bagian integral dari kurikulum pendidikan Jepang.

Praktik ini dapat menjadi inspirasi bagi pendidikan moral Pancasila, terutama dalam menanamkan nilai gotong royong dan tanggung jawab sosial melalui pembiasaan yang berkesinambungan, bukan sekadar hafalan atau pengetahuan kognitif.

9.2.       Pendidikan Moral di Finlandia – Penekanan pada Otonomi dan Refleksi Kritis

Finlandia dikenal dengan sistem pendidikan yang menekankan otonomi, kepercayaan, dan refleksi kritis.³ Pendidikan moral tidak diajarkan melalui mata pelajaran khusus, melainkan diintegrasikan dalam seluruh kegiatan pembelajaran. Guru berperan sebagai fasilitator yang membantu siswa mengembangkan kemampuan bernalar kritis, empati, dan kesadaran etis.⁴

Pendekatan ini relevan untuk pendidikan moral Pancasila, yang seharusnya mendorong siswa tidak hanya menerima nilai secara dogmatis, tetapi juga menginternalisasikannya melalui refleksi, diskusi, dan pengambilan keputusan moral yang mandiri.

9.3.       Pendidikan Moral di Singapura – Multikulturalisme dan Nilai Kebangsaan

Singapura menerapkan Civics and Moral Education (CME) yang menekankan nilai multikulturalisme, ketertiban sosial, dan identitas nasional.⁵ Sistem ini berfokus pada penguatan disiplin, hukum, dan kepatuhan, sekaligus menanamkan nilai toleransi dalam masyarakat yang multietnis. Pendidikan moral di Singapura berhasil membentuk warga negara yang taat hukum sekaligus mampu hidup dalam harmoni di tengah keragaman budaya.⁶

Hal ini menunjukkan adanya kesamaan dengan pendidikan moral Pancasila yang menekankan nilai persatuan dan kebhinekaan. Namun, berbeda dengan Singapura yang cenderung menekankan kepatuhan normatif, Pancasila lebih menekankan kebebasan yang bertanggung jawab dalam bingkai demokrasi.

9.4.       Studi Kasus Implementasi Pendidikan Moral di Indonesia

Di Indonesia, terdapat sejumlah praktik baik yang dapat menjadi contoh revitalisasi pendidikan moral Pancasila. Misalnya, program Gerakan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yang diluncurkan pada 2016, berfokus pada pembiasaan nilai religius, nasionalis, mandiri, gotong royong, dan integritas.⁷ Selain itu, beberapa sekolah dan pesantren mengembangkan pendidikan moral melalui model integratif, yang menggabungkan pengajaran akademik dengan pembiasaan, keteladanan, dan kegiatan sosial.⁸

Praktik baik lainnya terlihat dalam inisiatif komunitas dan organisasi keagamaan yang mengajarkan nilai toleransi dan kebangsaan melalui program pelatihan, dialog antaragama, serta kegiatan sosial berbasis gotong royong. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan moral Pancasila dapat berjalan efektif ketika dilaksanakan secara partisipatif dan berbasis komunitas.⁹

9.5.       Pelajaran yang Dapat Dipetik

Dari studi perbandingan tersebut, terdapat beberapa pelajaran penting bagi pendidikan moral Pancasila:

1)                  Dari Jepang: perlunya pembiasaan moral dalam kehidupan sehari-hari.

2)                  Dari Finlandia: pentingnya refleksi kritis dan otonomi siswa dalam pendidikan moral.

3)                  Dari Singapura: relevansi multikulturalisme dan disiplin sosial.

4)                  Dari Indonesia: integrasi antara pendidikan formal, nonformal, dan informal yang berbasis komunitas.

Dengan mengambil inspirasi dari berbagai praktik baik tersebut, pendidikan moral Pancasila dapat diperkuat agar tidak hanya menjadi pengetahuan normatif, melainkan nilai hidup yang membentuk karakter bangsa.¹⁰


Footnotes

[1]                Merry White, The Japanese Educational Challenge (New York: Free Press, 1987), 97.

[2]                Rohlen, Thomas P., Japan’s High Schools (Berkeley: University of California Press, 1983), 214.

[3]                Pasi Sahlberg, Finnish Lessons: What Can the World Learn from Educational Change in Finland? (New York: Teachers College Press, 2011), 45.

[4]                Andy Hargreaves and Dennis Shirley, The Fourth Way: The Inspiring Future for Educational Change (Thousand Oaks: Corwin, 2009), 88.

[5]                Ministry of Education Singapore, Civics and Moral Education Syllabus (Singapore: Curriculum Planning and Development Division, 2007), 12.

[6]                Jason Tan, Education in Singapore: Development Since 1965 (Singapore: Prentice Hall, 2007), 63.

[7]                Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Gerakan Penguatan Pendidikan Karakter (Jakarta: Kemendikbud, 2017), 11.

[8]                Abdurrahman Mas’ud, Pendidikan Karakter: Konsep dan Implementasinya (Jakarta: Rajawali, 2011), 142.

[9]                Syamsul Arifin, Revitalisasi Pendidikan Pancasila (Malang: UMM Press, 2012), 131.

[10]             Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), 315.


10.       Sintesis dan Refleksi Filosofis

10.1.    Keterpaduan Filsafat, Etika, dan Pancasila

Pancasila sebagai dasar moral bangsa dapat dipandang sebagai sintesis antara filsafat, etika, dan tradisi kebudayaan Indonesia. Filsafat memberikan kerangka rasional dan konseptual, etika menyediakan orientasi normatif, sementara Pancasila mengakar pada realitas historis dan kultural bangsa.¹ Dalam perspektif ini, pendidikan moral Pancasila tidak hanya bersifat teoretis, tetapi juga praksis, yang mengintegrasikan refleksi kritis dengan pembiasaan moral sehari-hari.²

Keterpaduan ini menjadikan Pancasila unik karena mampu menjembatani dimensi universal nilai moral (seperti keadilan, kebenaran, dan kebajikan) dengan dimensi partikular (keindonesiaan, kebhinekaan, dan gotong royong).³

10.2.    Pendidikan Moral Pancasila sebagai Proses Dialektis

Pendidikan moral Pancasila tidak dapat dipandang sebagai proses linear, melainkan dialektis, yang selalu berhadapan dengan tantangan zaman.⁴ Di satu sisi, pendidikan moral menuntut pewarisan nilai; di sisi lain, ia harus terbuka terhadap kritik, penyesuaian, dan perkembangan baru. Hal ini sejalan dengan pandangan Paulo Freire tentang pendidikan sebagai praksis pembebasan, yang menuntut kesadaran kritis (conscientization).⁵

Refleksi filosofis atas Pancasila menunjukkan bahwa nilai-nilai seperti ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan tidak boleh berhenti pada tataran simbolis, melainkan harus terus diperbarui melalui dialog, musyawarah, dan praktik sosial yang relevan dengan konteks kontemporer.

10.3.    Aktualisasi Nilai dalam Kehidupan Sosial

Pendidikan moral Pancasila hanya akan bermakna apabila mampu membentuk praksis sosial. Aktualisasi nilai-nilai Pancasila terlihat dalam kejujuran dalam kehidupan ekonomi, keadilan dalam politik, solidaritas dalam kehidupan sosial, toleransi dalam keragaman agama, serta integritas dalam kepemimpinan publik.⁶

Dalam hal ini, Pancasila berperan sebagai etika publik yang mengikat seluruh elemen bangsa, baik warga negara maupun penyelenggara negara.⁷ Dengan demikian, refleksi filosofis atas Pancasila harus selalu diarahkan pada upaya membangun kehidupan berbangsa yang adil, beradab, dan bermartabat.

10.4.    Relevansi Pancasila di Era Globalisasi

Era globalisasi menghadirkan tantangan berupa penetrasi nilai-nilai asing yang sering kali bertentangan dengan moral bangsa. Namun, Pancasila justru memiliki daya lentur filosofis yang memungkinkan bangsa Indonesia untuk menyaring nilai global secara selektif.⁸ Nilai-nilai universal seperti hak asasi manusia, demokrasi, dan keadilan sosial dapat diakomodasi sepanjang selaras dengan moral Pancasila.

Dengan demikian, Pancasila dapat dipandang sebagai philosophia perennis bangsa Indonesia, yakni filsafat hidup yang senantiasa relevan dan dapat dikontekstualisasikan sepanjang masa.⁹ Refleksi filosofis meneguhkan bahwa Pancasila bukan sekadar dasar negara, melainkan juga horizon moral yang terus-menerus membimbing bangsa dalam menghadapi dinamika zaman.

10.5.    Penutup Reflektif

Sintesis filosofis atas pendidikan moral Pancasila menegaskan tiga hal pokok: pertama, Pancasila adalah sumber nilai moral yang komprehensif; kedua, pendidikan moral Pancasila merupakan proses dialektis yang membutuhkan pembaruan kontekstual; dan ketiga, relevansinya di era globalisasi semakin nyata sebagai penopang identitas, integritas, dan keutuhan bangsa.¹⁰

Dengan refleksi ini, pendidikan moral Pancasila dapat dipandang bukan hanya sebagai kewajiban akademik atau legal, melainkan sebagai panggilan moral kolektif bangsa untuk terus membangun peradaban yang berkeadilan, beradab, dan berketuhanan.


Footnotes

[1]                Notonagoro, Pancasila: Dasar Falsafah Negara (Jakarta: Bina Aksara, 1983), 41.

[2]                Kaelan, Filsafat Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2002), 178.

[3]                Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), 321.

[4]                Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 145.

[5]                Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed (New York: Continuum, 1970), 72.

[6]                Soedjatmoko, Etika Pembangunan (Jakarta: LP3ES, 1983), 134.

[7]                Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur (Yogyakarta: LKiS, 1999), 163.

[8]                Robert W. Hefner, Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia (Princeton: Princeton University Press, 2000), 198.

[9]                Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma, 2013), 193.

[10]             Syamsul Arifin, Revitalisasi Pendidikan Pancasila (Malang: UMM Press, 2012), 127.


11.       Penutup

11.1.    Kesimpulan

Pendidikan moral Pancasila merupakan fondasi etis yang tidak hanya menjiwai sistem hukum dan politik Indonesia, tetapi juga membentuk karakter bangsa dalam dimensi sosial, budaya, dan spiritual. Dari uraian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa Pancasila, sebagai sistem filsafat, mengandung nilai-nilai universal yang terintegrasi dalam lima sila: Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial.¹ Nilai-nilai tersebut memiliki relevansi lintas zaman karena bersifat dinamis, dialogis, dan kontekstual.

Secara historis, pendidikan moral Pancasila mengalami dinamika mulai dari masa pergerakan nasional, era kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru, hingga era Reformasi dan kontemporer.² Meskipun pada periode tertentu Pancasila sempat tereduksi menjadi instrumen politik indoktrinatif, upaya revitalisasi terus dilakukan untuk mengembalikan Pancasila pada kedudukan aslinya sebagai dasar moral bangsa.³

11.2.    Rekomendasi

Pertama, pendidikan moral Pancasila harus dikembangkan melalui pendekatan holistik yang mencakup dimensi formal, nonformal, dan informal, sehingga nilai Pancasila hidup dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat.⁴ Kedua, kurikulum pendidikan moral Pancasila perlu diarahkan pada penguatan critical thinking, refleksi etis, dan pengalaman praksis, bukan sekadar hafalan normatif.⁵ Ketiga, teknologi digital perlu dimanfaatkan sebagai media inovatif untuk menginternalisasikan nilai Pancasila pada generasi muda.⁶

Selain itu, keteladanan pemimpin politik, guru, dan tokoh masyarakat menjadi syarat mutlak bagi keberhasilan pendidikan moral Pancasila. Tanpa keteladanan nyata, nilai Pancasila berpotensi kehilangan kekuatan praksisnya dalam kehidupan sosial.⁷ Oleh karena itu, pendidikan moral Pancasila harus dilaksanakan secara partisipatif dan konsisten, sehingga mampu menumbuhkan integritas, tanggung jawab, dan solidaritas dalam kehidupan berbangsa.

11.3.    Harapan

Dengan pendidikan moral berbasis Pancasila yang kontekstual, kritis, dan adaptif, bangsa Indonesia diharapkan mampu menjaga jati dirinya di tengah arus globalisasi tanpa kehilangan keterbukaan terhadap nilai universal. Pancasila sebagai dasar moral bangsa harus terus dijaga relevansinya melalui praksis pendidikan yang membentuk generasi yang beriman, berkarakter, dan berdaya saing global.⁸

Akhirnya, pendidikan moral Pancasila bukan sekadar kewajiban akademik atau legal, melainkan panggilan historis dan moral kolektif bangsa Indonesia untuk mewujudkan cita-cita luhur: membangun masyarakat yang adil, makmur, demokratis, beradab, dan bermartabat.⁹


Footnotes

[1]                Notonagoro, Pancasila: Dasar Falsafah Negara (Jakarta: Bina Aksara, 1983), 29.

[2]                Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1981), 92.

[3]                Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), 273.

[4]                Ahmad Sanusi, Pendidikan Nilai dan Moral (Bandung: Tarsito, 1999), 77.

[5]                Thomas Lickona, Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility (New York: Bantam Books, 1991), 145.

[6]                Manuel Castells, The Rise of the Network Society (Oxford: Blackwell, 2000), 112.

[7]                Ki Hajar Dewantara, Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka (Yogyakarta: UST Press, 2009), 215.

[8]                Syamsul Arifin, Revitalisasi Pendidikan Pancasila (Malang: UMM Press, 2012), 139.

[9]                Soedjatmoko, Etika Pembangunan (Jakarta: LP3ES, 1983), 141.


Daftar Pustaka

Alfian. (1991). Pemikiran dan perubahan politik Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T. Irwin, Trans.). Indianapolis: Hackett Publishing.

Arifin, S. (2012). Revitalisasi pendidikan Pancasila. Malang: UMM Press.

Bagus, L. (2000). Kamus filsafat. Jakarta: Gramedia.

Bentham, J. (1907). An introduction to the principles of morals and legislation. Oxford: Clarendon Press.

Bertens, K. (2013). Etika. Jakarta: Gramedia.

Castells, M. (2000). The rise of the network society. Oxford: Blackwell.

Dewantara, K. H. (2009). Pemikiran, konsepsi, keteladanan, sikap merdeka. Yogyakarta: UST Press.

Erikson, E. H. (1968). Identity: Youth and crisis. New York: Norton.

Feith, H. (1962). The decline of constitutional democracy in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press.

Freire, P. (1970). Pedagogy of the oppressed. New York: Continuum.

Hargreaves, A., & Shirley, D. (2009). The fourth way: The inspiring future for educational change. Thousand Oaks, CA: Corwin.

Hatta, M. (1960). Demokrasi kita. Jakarta: Pustaka Antara.

Hefner, R. W. (2000). Civil Islam: Muslims and democratization in Indonesia. Princeton: Princeton University Press.

Kaelan. (2002). Filsafat Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.

Kaelan. (2013). Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.

Kant, I. (1998). Groundwork of the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2014). Kurikulum 2013. Jakarta: Kemendikbud.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2016). Gerakan literasi nasional. Jakarta: Kemendikbud.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2017). Gerakan penguatan pendidikan karakter. Jakarta: Kemendikbud.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. (2020). Profil pelajar Pancasila. Jakarta: Kemendikbudristek.

Lickona, T. (1991). Educating for character: How our schools can teach respect and responsibility. New York: Bantam Books.

Latif, Y. (2011). Negara paripurna: Historisitas, rasionalitas, dan aktualitas Pancasila. Jakarta: Gramedia.

Magnis-Suseno, F. (1994). Etika politik: Prinsip-prinsip moral dasar kenegaraan modern. Jakarta: Gramedia.

Magnis-Suseno, F. (1995). Etika dasar: Masalah-masalah pokok filsafat moral. Yogyakarta: Kanisius.

Mas’ud, A. (2011). Pendidikan karakter: Konsep dan implementasinya. Jakarta: Rajawali.

Ministry of Education Singapore. (2007). Civics and moral education syllabus. Singapore: Curriculum Planning and Development Division.

Mubyarto. (1997). Ekonomi Pancasila. Yogyakarta: BPFE.

Notonagoro. (1983). Pancasila: Dasar falsafah negara. Jakarta: Bina Aksara.

Notonagoro. (1987). Pancasila secara ilmiah populer. Jakarta: Bumi Aksara.

Notosusanto, N. (1981). Sejarah nasional Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Roy, O. (2004). Globalized Islam: The search for a new ummah. New York: Columbia University Press.

Rohlen, T. P. (1983). Japan’s high schools. Berkeley: University of California Press.

Sahlberg, P. (2011). Finnish lessons: What can the world learn from educational change in Finland? New York: Teachers College Press.

Sanusi, A. (1999). Pendidikan nilai dan moral. Bandung: Tarsito.

Siswoyo, D. (2007). Pendidikan kewarganegaraan dalam perspektif pendidikan nilai. Yogyakarta: UNY Press.

Soedjatmoko. (1983). Etika pembangunan. Jakarta: LP3ES.

Soekanto, S. (2012). Sosiologi suatu pengantar. Jakarta: Rajawali.

Soekarno. (1960). Nation and character building. Jakarta: Gunung Agung.

Syafii Maarif, A. (1985). Islam dan masalah kenegaraan. Jakarta: LP3ES.

Tan, J. (2007). Education in Singapore: Development since 1965. Singapore: Prentice Hall.

Turkle, S. (1995). Life on the screen: Identity in the age of the Internet. New York: Simon & Schuster.

Turkle, S. (2011). Alone together: Why we expect more from technology and less from each other. New York: Basic Books.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (1945).

Wahid, A. (1999). Prisma pemikiran Gus Dur. Yogyakarta: LKiS.

White, M. (1987). The Japanese educational challenge. New York: Free Press.

Kartodirdjo, S. (1993). Pengantar sejarah Indonesia baru. Jakarta: Gramedia.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar