Platonisme
Ide, Realitas, dan Pencarian Kebenaran Abadi dalam
Sejarah Filsafat
Alihkan ke: Aliran Sejarah Filsafat.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif sistem
filsafat Platonisme sebagai salah satu fondasi utama dalam sejarah
pemikiran Barat. Melalui pendekatan historis-genealogis, ontologis,
epistemologis, etis, estetis, dan politis, tulisan ini menelusuri bagaimana
Plato membangun struktur metafisik yang menempatkan dunia ide (Forms)
sebagai realitas sejati dan abadi, serta dunia empiris sebagai bayangannya yang
sementara. Platonisme dipahami sebagai sistem integratif yang tidak hanya
menjelaskan struktur realitas, tetapi juga menawarkan landasan moral dan
politik bagi pembentukan manusia dan masyarakat yang adil. Teori anamnesis
menjelaskan epistemologi Plato bahwa pengetahuan sejati merupakan proses
“mengingat” kebenaran yang telah dilihat jiwa di dunia ide, sementara konsep Idea
of the Good menjadi puncak kesatuan antara kebenaran, kebaikan, dan
keindahan sebagai prinsip tertinggi realitas.
Kajian ini juga mengulas dimensi antropologis
Platonisme yang memandang manusia sebagai makhluk rasional yang berpartisipasi
dalam tatanan kosmos rasional, serta estetika yang menempatkan seni sebagai
bentuk imitasi yang dapat, bila diarahkan dengan benar, menuntun jiwa kepada
kontemplasi atas keindahan sejati. Di sisi lain, artikel ini menyoroti berbagai
kritik terhadap Platonisme—dari Aristoteles hingga filsafat modern—yang
mempertanyakan dualisme ontologis dan sifat transendentalnya. Namun demikian,
melalui pengaruhnya terhadap Neoplatonisme, teologi Kristen, Skolastisisme, dan
idealisme modern, Platonisme terbukti menjadi sumber inspirasi bagi banyak
tradisi intelektual.
Pada bagian akhir, artikel ini menyimpulkan bahwa
Platonisme berfungsi sebagai jembatan antara ide dan realitas, antara
rasio dan pengalaman, antara pengetahuan dan tindakan moral. Relevansi
kontemporernya terletak pada kemampuannya menghadirkan prinsip rasional dan
etis di tengah krisis nilai dan relativisme modern. Dengan demikian, Platonisme
bukan sekadar warisan historis, melainkan paradigma filosofis abadi yang
menegaskan kesatuan ontologis antara kebenaran, kebaikan, dan keindahan
sebagai tujuan tertinggi eksistensi manusia dan kosmos.
Kata Kunci: Platonisme,
Dunia Ide, Anamnesis, Keadilan, Kebaikan, Keindahan, Filsafat Barat,
Metafisika, Etika, Epistemologi.
PEMBAHASAN
Platonisme dalam Sejarah Filsafat Yunani
1.
Pendahuluan
Platonisme menempati posisi yang sangat sentral
dalam sejarah filsafat Barat sebagai fondasi metafisik dan epistemologis yang
membentuk arah pemikiran filosofis selama lebih dari dua milenium.
Gagasan-gagasan Plato tidak hanya menandai puncak refleksi intelektual Yunani
klasik, tetapi juga menjadi dasar bagi perkembangan sistem filsafat
berikutnya—baik dalam tradisi Helenistik, skolastik Kristen, hingga idealisme
modern. Dalam konteks sejarah intelektual, Platonisme lahir dari pencarian
terhadap hakikat realitas yang tetap dan abadi di tengah perubahan dunia
empiris. Ia merupakan respons terhadap relativisme kaum sofis serta upaya
melanjutkan warisan Socrates dalam mencari pengetahuan sejati dan moralitas
universal melalui dialog rasional yang kritis dan reflektif.¹
Secara historis, kemunculan Platonisme tidak dapat
dilepaskan dari kondisi sosial-politik Athena pada abad ke-4 SM, suatu masa
yang ditandai oleh kejatuhan demokrasi dan pergolakan nilai-nilai moral setelah
perang Peloponnesos. Dalam situasi yang sarat ketidakpastian ini, Plato
berusaha mencari tatanan kebenaran yang tidak bergantung pada opini mayoritas
atau perubahan politik, melainkan berakar pada struktur metafisis yang rasional
dan tak berubah.² Melalui karya-karyanya, terutama Republic, Phaedo,
dan Symposium, Plato menyusun suatu sistem filsafat yang menempatkan
dunia ide (Forms) sebagai realitas sejati, sedangkan dunia empiris
hanyalah bayangan atau refleksi dari tatanan yang lebih tinggi.³
Secara konseptual, Platonisme dapat dipahami
sebagai usaha untuk mendamaikan antara dunia rasional dan dunia inderawi,
antara pemikiran dan pengalaman, serta antara moralitas dan politik. Sistem ini
berupaya mengangkat filsafat menjadi jalan menuju pembebasan jiwa dari penjara
material, melalui pengetahuan yang bersumber dari dunia ide yang murni dan
sempurna.⁴ Dalam konteks ini, filsafat bagi Plato bukan sekadar aktivitas
intelektual, tetapi juga proses spiritual menuju theoria—penglihatan
terhadap kebenaran tertinggi, yakni Idea of the Good.⁵ Dengan demikian,
Platonisme bukan hanya doktrin teoretis, melainkan juga ajaran etis dan
eksistensial yang mengarahkan manusia kepada kebijaksanaan dan harmoni batin.
Lebih jauh, pengaruh Platonisme terbukti sangat
luas dan mendalam. Ia menjadi sumber inspirasi utama bagi berbagai aliran
pemikiran sesudahnya, mulai dari Neoplatonisme (Plotinus, Proclus), filsafat
Kristen awal (Agustinus dari Hippo), hingga tradisi skolastik abad pertengahan
yang berusaha mengintegrasikan wahyu dan rasio.⁶ Dalam dunia modern, refleksi
Platonik juga muncul kembali dalam idealisme Jerman (Kant, Hegel),
fenomenologi, dan bahkan dalam diskursus filsafat kontemporer tentang bahasa
dan realitas. Hal ini menunjukkan bahwa Platonisme tidak hanya menjadi
peninggalan sejarah, melainkan suatu paradigma abadi yang senantiasa
direinterpretasi untuk menjawab tantangan intelektual dan moral manusia di
setiap zaman.⁷
Oleh karena itu, pembahasan mengenai Platonisme
menjadi krusial bagi pemahaman tentang fondasi metafisika dan epistemologi
dalam sejarah filsafat. Artikel ini bertujuan untuk menguraikan sistem filsafat
Plato secara menyeluruh, mencakup aspek historis, ontologis, epistemologis,
etis, dan politis, serta meninjau kritik-kritik terhadapnya dan relevansinya
bagi pemikiran kontemporer. Dengan pendekatan ini, diharapkan pembahasan dapat
memperlihatkan Platonisme bukan hanya sebagai teori tentang ide-ide abstrak,
tetapi juga sebagai visi menyeluruh tentang manusia dan semesta—sebuah upaya
besar untuk menyingkap struktur rasional dan moral dari seluruh realitas.⁸
Footnotes
[1]
¹ Julia Annas, An Introduction to Plato’s
Republic (Oxford: Oxford University Press, 1981), 5–7.
[2]
² F. M. Cornford, The Republic of Plato
(Oxford: Oxford University Press, 1945), 12.
[3]
³ A. E. Taylor, Plato: The Man and His Work (London:
Methuen, 1952), 104–107.
[4]
⁴ Gregory Vlastos, Plato’s Universe
(Seattle: University of Washington Press, 1975), 33.
[5]
⁵ John M. Cooper, Plato: Complete Works
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 509–510.
[6]
⁶ R. A. Markus, Saeculum: History and Society in
the Theology of St. Augustine (Cambridge: Cambridge University Press,
1970), 45–47.
[7]
⁷ G. Fine, Plato 1: Metaphysics and Epistemology
(Oxford: Oxford University Press, 1999), 2–3.
[8]
⁸ R. Kraut, ed., The Cambridge Companion to
Plato (Cambridge: Cambridge University Press, 1992), 10–12.
2.
Landasan
Historis dan Genealogis
Platonisme lahir dari dinamika intelektual Yunani
klasik pada abad ke-5 dan ke-4 sebelum Masehi—sebuah masa transisi dari
filsafat kosmologis pra-Sokratik menuju refleksi etis dan metafisik yang lebih
mendalam. Plato (427–347 SM), murid terkemuka Socrates dan guru Aristoteles,
mengembangkan sistem filsafat yang bersifat sintetik, menggabungkan warisan
pemikiran sebelumnya dengan inovasi konseptual yang radikal.¹ Ia menjadi figur
yang menandai pergeseran besar dalam sejarah filsafat: dari pencarian asal-usul
alam (archê) menjadi pencarian struktur realitas yang ideal dan permanen
di balik perubahan dunia empiris.² Dengan demikian, Platonisme tidak muncul
dalam ruang hampa, melainkan merupakan hasil sintesis dari berbagai tradisi
intelektual yang mendahuluinya.
Secara genealogis, pengaruh utama terhadap Plato
datang dari tiga sumber besar: Socrates, Pythagoras, dan tradisi metafisika
Elea. Dari Socrates, Plato mewarisi metode dialektika—cara berpikir kritis yang
menuntun jiwa menuju kebenaran melalui dialog dan refleksi moral.³ Metode
elenchus Socrates mengajarkan bahwa kebijaksanaan sejati tidak dapat dicapai
melalui opini atau retorika, melainkan melalui introspeksi rasional yang
terus-menerus.⁴ Pengaruh ini terlihat jelas dalam karya Apology, Crito,
dan Phaedo, di mana Plato menampilkan Socrates sebagai simbol pencarian
kebenaran dan keteguhan moral terhadap godaan pragmatisme politik Athena.⁵ Dari
Pythagoras, Plato menyerap pandangan tentang struktur matematis alam semesta
dan gagasan bahwa harmoni serta keteraturan kosmos mencerminkan tatanan
spiritual yang rasional.⁶ Sementara dari Parmenides dan Zeno dari Elea, ia
mendapatkan inspirasi metafisik mengenai keabadian realitas sejati yang tidak
berubah, yang kemudian diolah menjadi konsep dunia ide (Forms).⁷
Konteks sosial-politik Athena turut memainkan peran
penting dalam pembentukan pandangan filosofis Plato. Kekalahan Athena dalam
perang Peloponnesos (404 SM) menimbulkan krisis kepercayaan terhadap demokrasi
dan nilai-nilai tradisional. Plato menyaksikan secara langsung kehancuran moral
bangsanya, terutama setelah kematian gurunya, Socrates, yang dihukum mati oleh
negara demokratis yang seharusnya menjunjung kebebasan berpikir.⁸ Tragedi ini
menggugah Plato untuk mencari dasar etika dan politik yang tidak bergantung
pada kehendak mayoritas, melainkan pada kebenaran rasional yang bersifat
universal dan abadi.⁹ Maka dari itu, Platonisme dapat dibaca sebagai upaya untuk
membangun tatanan moral dan politik yang berpijak pada prinsip rasionalitas
metafisik, bukan pada relativisme sosial atau kekuasaan semata.
Aspek institusional dari genealoginya juga sangat
penting. Sekitar tahun 387 SM, Plato mendirikan Akademia di Athena, yang
menjadi lembaga pendidikan filsafat pertama dalam sejarah Barat.¹⁰ Di Akademia,
filsafat bukan sekadar wacana teoritis, melainkan latihan intelektual dan moral
untuk membentuk manusia yang mampu mengatur dirinya dan masyarakat berdasarkan
pengetahuan sejati.¹¹ Institusi ini bertahan selama lebih dari sembilan abad
dan menjadi pusat pengajaran bagi generasi filsuf setelahnya, termasuk
Aristoteles, Speusippus, dan Xenocrates.¹² Akademia menjadi model ideal bagi
pendidikan filsafat dan cikal bakal universitas modern, memperlihatkan
kesinambungan antara refleksi rasional dan praksis etis yang menjadi ciri khas
Platonisme.
Dalam konteks sejarah pemikiran, Platonisme juga
dapat dipahami sebagai jembatan antara filsafat pra-Sokratik dan sistem
metafisik pasca-Plato. Ia mewarisi perhatian pra-Sokratik terhadap struktur
realitas, tetapi memindahkan fokusnya dari unsur fisik menjadi prinsip
metafisik yang bersifat ideal.¹³ Dengan demikian, filsafat Plato menandai
lahirnya paradigma baru yang menempatkan realitas sejati dalam tataran rasional
dan spiritual. Paradigma ini kelak mempengaruhi seluruh tradisi metafisika
Barat, dari Neoplatonisme hingga idealisme modern, menjadikan Platonisme bukan
sekadar aliran filsafat, melainkan fondasi genealogis bagi seluruh sejarah
pemikiran spekulatif di Barat.¹⁴
Footnotes
[1]
¹ Frederick Copleston, A History of Philosophy,
Vol. 1: Greece and Rome (New York: Image Books, 1985), 132–134.
[2]
² W. K. C. Guthrie, A History of Greek
Philosophy, Vol. 4: Plato, The Man and His Dialogues: Earlier Period
(Cambridge: Cambridge University Press, 1975), 1–3.
[3]
³ Gregory Vlastos, Socrates: Ironist and Moral
Philosopher (Ithaca: Cornell University Press, 1991), 45–48.
[4]
⁴ C. C. W. Taylor, Socrates: A Very Short
Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2000), 23.
[5]
⁵ Plato, Apology, in Plato: Complete
Works, ed. John M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 17–35.
[6]
⁶ Walter Burkert, Lore and Science in Ancient
Pythagoreanism (Cambridge: Harvard University Press, 1972), 92–95.
[7]
⁷ John Burnet, Early Greek Philosophy
(London: A & C Black, 1930), 231–234.
[8]
⁸ Thomas C. Brickhouse and Nicholas D. Smith, Plato
and the Trial of Socrates (New York: Routledge, 2004), 12–15.
[9]
⁹ Julia Annas, An Introduction to Plato’s
Republic (Oxford: Oxford University Press, 1981), 10–12.
[10]
¹⁰ Diogenes Laertius, Lives of Eminent
Philosophers, trans. R. D. Hicks (Cambridge: Harvard University Press,
1925), 327.
[11]
¹¹ Dominic J. O’Meara, Platonopolis: Platonic
Political Philosophy in Late Antiquity (Oxford: Clarendon Press, 2003),
14–15.
[12]
¹² John Dillon, The Heirs of Plato: A Study of
the Old Academy (Oxford: Oxford University Press, 2003), 2–3.
[13]
¹³ F. M. Cornford, Plato’s Theory of Knowledge
(London: Routledge & Kegan Paul, 1935), 7–8.
[14]
¹⁴ Lloyd P. Gerson, From Plato to Platonism
(Ithaca: Cornell University Press, 2013), 4–6.
3.
Ontologi:
Dunia Ide dan Struktur Realitas
Ontologi Platonisme menempati posisi sentral dalam
keseluruhan sistem filsafat Plato, karena ia menjelaskan struktur terdalam dari
realitas dan hubungan antara yang tampak (phenomena) dan yang sejati (noumena).
Dalam pandangan Plato, realitas sejati bukanlah dunia material yang kita
tangkap melalui pancaindra, melainkan dunia non-material yang terdiri dari
bentuk-bentuk atau ide-ide abadi (Forms atau Ideas).¹ Dunia
inderawi hanyalah bayangan atau representasi yang tidak sempurna dari dunia
ide, bagaikan pantulan benda dalam cermin yang hanya meniru bentuk aslinya
tanpa pernah menjadi sama dengannya.² Dengan demikian, Platonisme memperkenalkan
dualisme ontologis—pembedaan mendasar antara dunia yang berubah (becoming)
dan dunia yang tetap (being).³
Konsep Theory of Forms (eidos atau idea)
merupakan inti dari metafisika Platonik. Setiap entitas di dunia fisik memiliki
padanan ideal di dunia ide yang bersifat kekal, universal, dan sempurna.
Misalnya, semua “kursi” yang kita lihat di dunia ini hanyalah bayangan dari Ide
tentang Kursi yang ada di dunia ide.⁴ Ide-ide ini tidak tergantung pada
ruang dan waktu; mereka merupakan sebab sekaligus pola bagi segala sesuatu yang
ada di dunia inderawi.⁵ Dengan kata lain, dunia material tidak memiliki
keberadaan otonom, tetapi hanya berpartisipasi (methexis) dalam realitas
ide.⁶ Inilah sebabnya mengapa Plato menolak pandangan kaum sofis dan empiris
yang menganggap bahwa realitas adalah semata-mata hasil persepsi manusia. Bagi
Plato, kebenaran sejati hanya dapat ditemukan pada tingkat ide yang tidak
berubah.
Salah satu konsep paling penting dalam ontologi
Plato adalah Idea of the Good (to agathon), yang ditempatkan
sebagai puncak hierarki dunia ide. Dalam Republic, Plato menggambarkan Idea
of the Good sebagai sumber kebenaran dan keberadaan, sebagaimana matahari
memberi cahaya bagi dunia fisik sehingga segala sesuatu dapat terlihat dan
hidup.⁷ Idea of the Good adalah prinsip metafisik tertinggi yang
memungkinkan segala sesuatu di dunia ide untuk dipahami dan dihubungkan secara
rasional.⁸ Ia bukan hanya sebab pengetahuan, tetapi juga sebab keberadaan (aitia
tou einai) dari segala sesuatu.⁹ Dengan demikian, ontologi Platonik
memiliki dimensi teologis—karena Idea of the Good berfungsi seperti
“yang ilahi”, menjadi sumber segala keberaturan dan makna kosmik.¹⁰
Struktur realitas dalam Platonisme bersifat
hierarkis. Pada puncaknya terdapat dunia ide yang immaterial, kemudian dunia
matematis sebagai jembatan antara ide dan benda konkret, lalu dunia fisik yang
merupakan tingkat terendah dari realitas.¹¹ Pembagian ini mencerminkan gradasi
ontologis dari kesempurnaan ke ketidaksempurnaan, dari yang abadi ke yang fana.
Dalam dialog Timaeus, Plato menegaskan bahwa alam semesta tersusun
secara rasional menurut pola ideal yang ditetapkan oleh Demiurge, yaitu
prinsip intelektual yang mengatur dunia materi agar meniru dunia ide sebaik
mungkin.¹² Namun Demiurge bukanlah pencipta dalam arti teologis seperti
dalam agama monoteistik, melainkan “pengatur kosmos” yang berupaya membentuk
keteraturan dari kekacauan (chaos) berdasarkan model ide yang
sempurna.¹³
Dualitas antara dunia ide dan dunia inderawi juga
membawa konsekuensi bagi pemahaman manusia tentang realitas dan pengetahuan.
Karena dunia inderawi bersifat berubah, maka ia tidak dapat menjadi dasar
kebenaran yang pasti. Realitas sejati hanya terdapat pada dunia ide yang abadi.
Oleh karena itu, jalan filsafat adalah pendakian jiwa (anabasis tes psyches)
dari dunia bayangan menuju pengetahuan sejati melalui kontemplasi rasional.¹⁴
Alegori gua dalam Republic menggambarkan perjalanan metaforis ini:
manusia yang terikat pada persepsi indrawi harus melepaskan diri dari bayang-bayang
dan menatap cahaya kebenaran yang berasal dari dunia ide.¹⁵ Dengan demikian,
struktur ontologis Platonik tidak hanya bersifat metafisik, tetapi juga
mengandung dimensi etis dan eksistensial—karena mengenal realitas sejati
berarti mengarahkan jiwa kepada kebaikan dan kebijaksanaan.
Ontologi Plato, dengan demikian, dapat dipandang
sebagai usaha sistematis untuk mengatasi relativisme empiris dan memberikan
dasar metafisik bagi pengetahuan dan moralitas. Ia menawarkan visi dunia yang
rasional, tertata, dan berorientasi pada kebenaran abadi.¹⁶ Walaupun kemudian
dikritik oleh Aristoteles dan oleh tradisi empirisme modern, konsep dunia ide
tetap menjadi salah satu warisan paling berpengaruh dalam sejarah metafisika
Barat. Melalui pemikirannya, Plato tidak hanya membangun sistem filsafat yang
menjelaskan struktur realitas, tetapi juga membuka jalan bagi refleksi
filosofis tentang hubungan antara yang tampak dan yang sejati, antara yang
temporal dan yang abadi, serta antara manusia dan yang ilahi.¹⁷
Footnotes
[1]
¹ Frederick Copleston, A History of Philosophy,
Vol. 1: Greece and Rome (New York: Image Books, 1985), 142–145.
[2]
² F. M. Cornford, Plato’s Theory of Knowledge
(London: Routledge & Kegan Paul, 1935), 9–10.
[3]
³ A. E. Taylor, Plato: The Man and His Work
(London: Methuen, 1952), 156.
[4]
⁴ Julia Annas, An Introduction to Plato’s
Republic (Oxford: Oxford University Press, 1981), 28–30.
[5]
⁵ G. Fine, Plato 1: Metaphysics and Epistemology
(Oxford: Oxford University Press, 1999), 15–18.
[6]
⁶ Richard Kraut, ed., The Cambridge Companion to
Plato (Cambridge: Cambridge University Press, 1992), 34.
[7]
⁷ Plato, Republic, trans. G. M. A. Grube, in
Plato: Complete Works, ed. John M. Cooper (Indianapolis: Hackett
Publishing, 1997), 509b–509c.
[8]
⁸ Kenneth Dorter, Form and Good in Plato’s
Eleatic Dialogues: The Parmenides, Theaetetus, Sophist, and Statesman
(Berkeley: University of California Press, 1994), 73–74.
[9]
⁹ Nicholas White, A Companion to Plato’s
Republic (Indianapolis: Hackett Publishing, 1979), 84–85.
[10]
¹⁰ John M. Rist, Plato’s Moral Realism: The
Discovery of the Presuppositions of Ethics (Washington, D.C.: Catholic
University of America Press, 2012), 45.
[11]
¹¹ W. K. C. Guthrie, A History of Greek
Philosophy, Vol. 5: The Later Plato and the Academy (Cambridge: Cambridge
University Press, 1978), 97–100.
[12]
¹² Plato, Timaeus, in Plato: Complete
Works, ed. John M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997),
29d–30b.
[13]
¹³ Lloyd P. Gerson, From Plato to Platonism
(Ithaca: Cornell University Press, 2013), 28–29.
[14]
¹⁴ Dominic J. O’Meara, Platonopolis: Platonic
Political Philosophy in Late Antiquity (Oxford: Clarendon Press, 2003),
19–20.
[15]
¹⁵ Plato, Republic, 514a–520a.
[16]
¹⁶ Myles Burnyeat, “Plato on Why Mathematics Is
Good for the Soul,” in Mathematics and Necessity, ed. Timothy Smiley
(Oxford: Oxford University Press, 2000), 12–14.
[17]
¹⁷ John Dillon, The Middle Platonists: 80 B.C.
to A.D. 220 (Ithaca: Cornell University Press, 1977), 8–10.
4.
Epistemologi:
Pengetahuan sebagai Recollection (Anamnesis)
Epistemologi Platonik berangkat dari keyakinan
bahwa pengetahuan sejati tidak diperoleh melalui pengalaman inderawi, melainkan
merupakan hasil ingatan kembali (anamnesis) terhadap kebenaran yang
telah diketahui oleh jiwa sebelum keberadaannya di dunia fisik.¹ Gagasan ini
menegaskan bahwa jiwa manusia memiliki asal-usul ilahi dan pernah berdiam dalam
dunia ide (world of Forms), di mana ia telah menyaksikan realitas yang
sejati dan abadi. Namun, ketika jiwa turun ke dunia material dan terikat pada
tubuh, ia melupakan kebenaran tersebut.² Maka tugas filsafat bukan menciptakan
pengetahuan baru, melainkan mengingat kembali apa yang telah diketahui oleh
jiwa melalui proses dialektis yang menuntun kesadaran dari kebodohan menuju
pengenalan terhadap kebenaran.³
Konsep anamnesis pertama kali diuraikan
secara sistematis dalam dialog Meno, ketika Socrates menunjukkan kepada
seorang budak bahwa ia mampu menjawab pertanyaan geometri tanpa pernah
diajarkan sebelumnya.⁴ Eksperimen ini bertujuan untuk membuktikan bahwa
pengetahuan sejati bersumber dari dalam diri, bukan dari pengalaman eksternal.⁵
Melalui tanya jawab dialektis, Socrates menuntun budak tersebut untuk
“mengingat” kebenaran yang telah dimilikinya, bukan untuk “belajar” dalam arti
empiris.⁶ Dengan demikian, pengetahuan adalah suatu bentuk pengenalan kembali
terhadap realitas ide yang telah dilupakan jiwa akibat keterikatannya pada
tubuh.⁷ Pandangan ini secara eksplisit menolak epistemologi empiris yang
berpandangan bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman indrawi (a posteriori),
dan menegaskan primasi rasio sebagai jalan menuju kebenaran sejati (a priori).
Selain Meno, dialog Phaedo dan Phaedrus
memperluas gagasan anamnesis dalam konteks metafisika dan etika. Dalam Phaedo,
Plato menjelaskan bahwa jiwa yang suci dan filosofis mampu “mengingat” dunia
ide lebih baik karena ia berusaha melepaskan diri dari belenggu tubuh dan dunia
material.⁸ Tubuh dianggap sebagai penghalang yang menimbulkan kebingungan dan
ilusi, sedangkan rasio merupakan sarana untuk mencapai pengetahuan yang murni
dan stabil.⁹ Di sisi lain, Phaedrus menggunakan alegori kereta bersayap
(chariot allegory) untuk menggambarkan perjuangan jiwa dalam mengingat
keindahan ilahi (the beautiful itself), di mana kebenaran dan keindahan
merupakan dua aspek dari realitas ide yang sama.¹⁰ Dalam pengalaman estetik dan
cinta (eros), jiwa dapat tergerak untuk kembali mengingat hakikatnya
yang ilahi dan menapaki jalan menuju kebenaran.¹¹
Epistemologi Platonik juga memiliki struktur
hierarkis sebagaimana dijelaskan dalam Republic melalui konsep “garis
terbagi” (the divided line).¹² Pada tingkat terendah terdapat eikasia
(imajinasi), di mana manusia hanya berurusan dengan bayangan dan citra; di
atasnya pistis (kepercayaan), yang masih bergantung pada dunia empiris;
kemudian dianoia (pemikiran diskursif), yaitu pengetahuan rasional yang
diperoleh melalui matematika; dan akhirnya noesis (pemahaman intelektual
murni), yaitu pengenalan langsung terhadap dunia ide, khususnya Idea of the
Good.¹³ Tahap-tahap ini menggambarkan proses epistemik pendakian dari
ketidaktahuan menuju penglihatan terhadap realitas tertinggi.¹⁴ Dengan demikian,
pengetahuan sejati (epistēmē) adalah hasil dari transformasi batin yang
memungkinkan jiwa mengingat kembali tatanan rasional semesta melalui
kontemplasi filosofis.¹⁵
Dalam pandangan Plato, aktivitas filsafat sejati
identik dengan proses anamnesis. Dialektika menjadi metode epistemologis
yang menghidupkan kembali memori jiwa terhadap dunia ide melalui tanya jawab,
klarifikasi konsep, dan penyelidikan rasional yang mendalam.¹⁶ Dialektika bukan
sekadar logika formal, melainkan latihan spiritual yang menuntun jiwa dari
kebingungan menuju keteraturan kognitif dan moral.¹⁷ Dengan demikian,
epistemologi Platonik memiliki dimensi etis: mengetahui kebenaran berarti
sekaligus memurnikan jiwa.¹⁸ Pengetahuan bukan sekadar akumulasi informasi,
tetapi juga penyadaran eksistensial terhadap hakikat diri dan realitas
tertinggi.¹⁹
Epistemologi ini kemudian menjadi dasar bagi
seluruh tradisi rasionalisme dalam sejarah filsafat Barat. Pemikiran Descartes
tentang “pengetahuan bawaan” (innate ideas) maupun konsep Kant tentang
“struktur apriori” dari kesadaran manusia memiliki akar dalam teori anamnesis
Plato.²⁰ Meski banyak dikritik oleh empirisme modern, gagasan Plato tentang
pengetahuan sebagai pengingatan terus memengaruhi teori-teori kognisi dan
pendidikan hingga masa kini.²¹ Dalam konteks kontemporer, anamnesis
dapat ditafsirkan secara simbolis sebagai dorongan manusia untuk mencari
kembali makna yang hilang—sebuah perjalanan intelektual dan spiritual menuju
kesatuan antara pengetahuan, kebenaran, dan kebaikan.²²
Footnotes
[1]
¹ Frederick Copleston, A History of Philosophy,
Vol. 1: Greece and Rome (New York: Image Books, 1985), 147–150.
[2]
² Julia Annas, An Introduction to Plato’s
Republic (Oxford: Oxford University Press, 1981), 37–39.
[3]
³ G. Fine, Plato 1: Metaphysics and Epistemology
(Oxford: Oxford University Press, 1999), 27.
[4]
⁴ Plato, Meno, in Plato: Complete Works,
ed. John M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 81a–86c.
[5]
⁵ Dominic Scott, Recollection and Experience:
Plato’s Theory of Learning and Its Successors (Cambridge: Cambridge
University Press, 1995), 12.
[6]
⁶ A. E. Taylor, Plato: The Man and His Work
(London: Methuen, 1952), 171.
[7]
⁷ Richard Kraut, ed., The Cambridge Companion to
Plato (Cambridge: Cambridge University Press, 1992), 46.
[8]
⁸ Plato, Phaedo, in Plato: Complete Works,
ed. John M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 72e–77a.
[9]
⁹ C. D. C. Reeve, Philosopher-Kings: The
Argument of Plato’s Republic (Princeton: Princeton University Press, 1988),
92–94.
[10]
¹⁰ Plato, Phaedrus, in Plato: Complete
Works, ed. John M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997),
246a–249d.
[11]
¹¹ Martha C. Nussbaum, The Fragility of
Goodness: Luck and Ethics in Greek Tragedy and Philosophy (Cambridge:
Cambridge University Press, 1986), 178–180.
[12]
¹² Plato, Republic, trans. G. M. A. Grube
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 509d–511e.
[13]
¹³ Myles Burnyeat, “Plato on Why Mathematics Is
Good for the Soul,” in Mathematics and Necessity, ed. Timothy Smiley
(Oxford: Oxford University Press, 2000), 21–23.
[14]
¹⁴ W. K. C. Guthrie, A History of Greek
Philosophy, Vol. 5: The Later Plato and the Academy (Cambridge: Cambridge
University Press, 1978), 103–104.
[15]
¹⁵ John Dillon, The Middle Platonists: 80 B.C.
to A.D. 220 (Ithaca: Cornell University Press, 1977), 11–12.
[16]
¹⁶ Gregory Vlastos, Plato’s Universe
(Seattle: University of Washington Press, 1975), 56.
[17]
¹⁷ Kenneth Dorter, Form and Good in Plato’s
Eleatic Dialogues (Berkeley: University of California Press, 1994), 91–92.
[18]
¹⁸ John M. Rist, Plato’s Moral Realism: The
Discovery of the Presuppositions of Ethics (Washington, D.C.: Catholic
University of America Press, 2012), 58.
[19]
¹⁹ Lloyd P. Gerson, From Plato to Platonism
(Ithaca: Cornell University Press, 2013), 33–34.
[20]
²⁰ Desmond Lee, Plato and the Theory of Forms
(London: Routledge, 2001), 118–120.
[21]
²¹ Thomas M. Robinson, Plato’s Psychology
(Toronto: University of Toronto Press, 1995), 40–42.
[22]
²² David Ross, Plato’s Theory of Ideas
(Oxford: Oxford University Press, 1951), 66–68.
5.
Antropologi
dan Psikologi Filosofis
Dalam sistem filsafat Plato, antropologi dan
psikologi tidak dapat dipisahkan dari kerangka ontologis dan epistemologisnya.
Manusia bagi Plato bukan semata-mata makhluk biologis, melainkan entitas
dualistik yang terdiri dari jiwa (psyche) dan tubuh (soma), di
mana jiwa merupakan unsur yang lebih tinggi dan abadi, sedangkan tubuh bersifat
sementara dan fana.¹ Jiwa adalah substansi rasional yang berasal dari dunia
ide, sedangkan tubuh hanyalah wadah material yang mengekang dan membatasi
potensinya.² Dengan demikian, manusia ditempatkan dalam posisi antara dunia ide
dan dunia inderawi—sebuah posisi ambivalen yang memungkinkan baik pendakian
menuju kebenaran maupun kejatuhan dalam kebodohan dan kenikmatan material.³
Plato menggambarkan struktur jiwa manusia secara
sistematis dalam Republic (436a–441c) melalui konsep jiwa tiga bagian
(tripartite soul): rasional (logistikon), emosional (thymoeides),
dan nafsani (epithymetikon).⁴ Jiwa rasional berfungsi sebagai bagian
tertinggi yang mencari pengetahuan dan kebenaran; jiwa emosional bertanggung
jawab atas keberanian, kehormatan, dan semangat moral; sedangkan jiwa nafsani
berhubungan dengan keinginan jasmani dan kenikmatan indrawi.⁵ Keseimbangan
antara ketiga unsur ini menentukan keadilan dan harmoni dalam diri manusia.⁶
Dalam analogi politik yang terkenal, Plato menyamakan jiwa dengan struktur
negara: jiwa rasional seperti para filsuf yang memerintah, jiwa emosional
seperti para penjaga, dan jiwa nafsani seperti rakyat yang dipimpin oleh
dorongan kebutuhan.⁷ Dengan demikian, keadilan pribadi merupakan cerminan
keadilan sosial—yakni keadaan di mana setiap bagian menjalankan fungsinya
secara selaras dan proporsional.
Plato menegaskan bahwa tubuh bukan hanya entitas
jasmani, melainkan sumber distraksi yang menjauhkan jiwa dari kebenaran. Dalam Phaedo,
ia menyatakan bahwa filsafat sejati adalah latihan untuk mati (meletē
thanatou), karena kematian membebaskan jiwa dari penjara tubuh sehingga
dapat kembali kepada dunia ide yang murni.⁸ Tubuh menjadi penghalang bagi
pengetahuan sejati karena indera bersifat menipu dan selalu terikat pada
perubahan.⁹ Oleh sebab itu, tugas manusia adalah mengendalikan unsur-unsur
nafsani dan emosional agar tunduk pada rasio, sehingga jiwa dapat mencapai
keteraturan batin dan kebijaksanaan.¹⁰ Dalam kerangka ini, manusia ideal adalah
philosophos—jiwa yang berhasil menundukkan tubuh dan mengarahkan seluruh
hidupnya kepada kontemplasi terhadap kebenaran.¹¹
Dalam dialog Timaeus, Plato memperluas
pemahaman antropologisnya dengan menjelaskan asal-usul kosmik manusia. Ia
berpendapat bahwa jiwa diciptakan terlebih dahulu oleh Demiurge,
kemudian dimasukkan ke dalam tubuh material yang berasal dari unsur-unsur
dunia.¹² Jiwa memiliki struktur rasional yang sejajar dengan harmoni kosmos;
karenanya, manusia merupakan mikrokosmos (microcosmos) yang mencerminkan
tatanan makrokosmos (macrocosmos).¹³ Dengan memahami dirinya sendiri,
manusia sekaligus mengenal tatanan semesta dan mendekat kepada Idea of the
Good yang merupakan sumber keteraturan universal.¹⁴ Inilah akar dari
prinsip gnothi seauton (“kenalilah dirimu sendiri”) yang menjadi dasar etika
dan spiritualitas Platonik.¹⁵
Dimensi psikologis Platonisme tidak berhenti pada deskripsi
struktural, tetapi juga bersifat normatif dan teleologis. Jiwa manusia memiliki
tujuan akhir (telos) yaitu mencapai kebajikan (aretē) dan
kebahagiaan sejati (eudaimonia) melalui kesatuan dengan dunia ide.¹⁶
Kebajikan bukanlah hasil pengajaran eksternal, tetapi hasil dari penyelarasan
batin antara bagian-bagian jiwa.¹⁷ Ketika rasio memerintah, emosi mendukung,
dan nafsu terkendali, manusia mencapai harmoni moral dan kebahagiaan
spiritual.¹⁸ Pandangan ini memperlihatkan keterkaitan erat antara psikologi,
etika, dan metafisika dalam sistem Plato—di mana pengetahuan, kebaikan, dan
kebahagiaan merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan.¹⁹
Selain itu, antropologi Platonik memiliki implikasi
eskatologis. Jiwa yang telah mencapai kesempurnaan akan kembali ke dunia ide,
sedangkan jiwa yang gagal menundukkan hasratnya akan bereinkarnasi ke dalam
bentuk kehidupan yang lebih rendah.²⁰ Siklus reinkarnasi ini, sebagaimana
dijelaskan dalam Phaedrus (249a–250b), menggambarkan perjalanan
eksistensial manusia dalam mencari keseimbangan antara rasionalitas dan
materialitas.²¹ Oleh karena itu, kehidupan moral dan filsafat merupakan sarana
pembebasan eksistensial bagi jiwa agar dapat kembali kepada asal ilahinya.²²
Plato menempatkan manusia sebagai makhluk rasional
sekaligus spiritual yang dipanggil untuk mengenal kebenaran dan meniru tatanan
kosmos dalam kehidupannya.²³ Dalam perspektif ini, antropologi Platonik menjadi
landasan bagi pandangan tentang pendidikan moral dan pembentukan karakter.²⁴
Filsafat, bagi Plato, bukan hanya latihan intelektual, tetapi juga proses
penyucian jiwa untuk mencapai keadaan ilahi (homoiosis theō), yaitu
keserupaan dengan Tuhan dalam kebenaran dan kebaikan.²⁵ Dengan demikian,
antropologi dan psikologi filosofis dalam Platonisme merupakan sintesis antara
metafisika dan etika: memahami manusia berarti memahami struktur realitas, dan
memahami realitas berarti mengarahkan diri kepada kebaikan tertinggi.²⁶
Footnotes
[1]
¹ Frederick Copleston, A History of Philosophy,
Vol. 1: Greece and Rome (New York: Image Books, 1985), 155–157.
[2]
² A. E. Taylor, Plato: The Man and His Work
(London: Methuen, 1952), 183.
[3]
³ Julia Annas, An Introduction to Plato’s
Republic (Oxford: Oxford University Press, 1981), 44.
[4]
⁴ Plato, Republic, trans. G. M. A. Grube, in
Plato: Complete Works, ed. John M. Cooper (Indianapolis: Hackett
Publishing, 1997), 436a–441c.
[5]
⁵ Richard Kraut, ed., The Cambridge Companion to
Plato (Cambridge: Cambridge University Press, 1992), 53.
[6]
⁶ C. D. C. Reeve, Philosopher-Kings: The
Argument of Plato’s Republic (Princeton: Princeton University Press, 1988),
98–99.
[7]
⁷ F. M. Cornford, Plato’s Theory of Knowledge
(London: Routledge & Kegan Paul, 1935), 17.
[8]
⁸ Plato, Phaedo, in Plato: Complete Works,
ed. John M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 64a–68b.
[9]
⁹ Gregory Vlastos, Plato’s Universe
(Seattle: University of Washington Press, 1975), 62.
[10]
¹⁰ John M. Rist, Plato’s Moral Realism: The
Discovery of the Presuppositions of Ethics (Washington, D.C.: Catholic
University of America Press, 2012), 60.
[11]
¹¹ Dominic J. O’Meara, Platonopolis: Platonic
Political Philosophy in Late Antiquity (Oxford: Clarendon Press, 2003),
23–25.
[12]
¹² Plato, Timaeus, in Plato: Complete
Works, ed. John M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997),
30b–42e.
[13]
¹³ Lloyd P. Gerson, From Plato to Platonism
(Ithaca: Cornell University Press, 2013), 41–43.
[14]
¹⁴ Kenneth Dorter, Form and Good in Plato’s
Eleatic Dialogues (Berkeley: University of California Press, 1994),
106–107.
[15]
¹⁵ W. K. C. Guthrie, A History of Greek
Philosophy, Vol. 5: The Later Plato and the Academy (Cambridge: Cambridge
University Press, 1978), 120.
[16]
¹⁶ John Dillon, The Middle Platonists: 80 B.C.
to A.D. 220 (Ithaca: Cornell University Press, 1977), 19–20.
[17]
¹⁷ Desmond Lee, Plato and the Theory of Forms
(London: Routledge, 2001), 125.
[18]
¹⁸ Myles Burnyeat, “Plato on Why Mathematics Is
Good for the Soul,” in Mathematics and Necessity, ed. Timothy Smiley
(Oxford: Oxford University Press, 2000), 27–28.
[19]
¹⁹ G. Fine, Plato 1: Metaphysics and
Epistemology (Oxford: Oxford University Press, 1999), 38–39.
[20]
²⁰ Plato, Phaedrus, in Plato: Complete
Works, ed. John M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997),
249a–250b.
[21]
²¹ Martha C. Nussbaum, The Fragility of Goodness:
Luck and Ethics in Greek Tragedy and Philosophy (Cambridge: Cambridge
University Press, 1986), 182.
[22]
²² Thomas M. Robinson, Plato’s Psychology
(Toronto: University of Toronto Press, 1995), 47.
[23]
²³ R. A. Markus, Saeculum: History and Society
in the Theology of St. Augustine (Cambridge: Cambridge University Press,
1970), 52.
[24]
²⁴ Douglas R. Campbell, “Education and the Good in
Plato’s Republic,” Ancient Philosophy 26, no. 2 (2006): 299–301.
[25]
²⁵ John Dillon, The Heirs of Plato: A Study of
the Old Academy (Oxford: Oxford University Press, 2003), 14.
[26]
²⁶ Frederick Copleston, A History of Philosophy,
Vol. 1: Greece and Rome, 159.
6.
Etika
dan Politik: Keadilan dan Negara Ideal
Etika dan politik dalam Platonisme merupakan dua
dimensi yang saling melengkapi dan tidak dapat dipisahkan. Bagi Plato,
pembentukan manusia yang baik (agathos anthrōpos) dan pembentukan negara
yang adil (dikaios polis) adalah dua proses paralel yang bersumber dari
prinsip rasional yang sama.¹ Keadilan, dalam pandangan Plato, bukan hanya nilai
moral individual, tetapi juga struktur harmoni sosial yang mencerminkan
keteraturan kosmik.² Dengan demikian, etika dan politik dalam sistem Platonik
tidak berdiri sendiri, melainkan berakar pada metafisika dunia ide—khususnya Idea
of the Good yang menjadi sumber segala kebaikan dan keteraturan dalam
realitas.³
Dalam Republic, Plato mendefinisikan
keadilan (dikaiosynē) sebagai keadaan di mana setiap bagian dari jiwa
dan masyarakat melaksanakan fungsinya masing-masing tanpa mencampuri urusan
bagian lain.⁴ Sebagaimana jiwa memiliki tiga bagian (rasional, emosional, dan
nafsani), negara pun terdiri atas tiga golongan utama: para penguasa (filsuf),
para penjaga (prajurit), dan para produsen (petani, pedagang, dan pekerja).⁵ Keadilan
tercapai ketika ketiga golongan ini bekerja secara harmonis sesuai dengan
kodrat dan kebajikannya masing-masing: kebijaksanaan (sophia) bagi para
penguasa, keberanian (andreia) bagi para penjaga, dan pengendalian diri
(sōphrosynē) bagi para produsen.⁶ Keadilan, dengan demikian, adalah
kesatuan fungsional antara bagian-bagian jiwa dan kelas-kelas sosial, di mana
rasio (filsuf) memimpin dan mengatur keseluruhan berdasarkan pengetahuan akan
kebaikan tertinggi.⁷
Plato menegaskan bahwa hanya filsuf sejati yang
layak memerintah karena ia memiliki pengetahuan tentang Idea of the Good,
yaitu prinsip universal yang menjadi sumber dan ukuran segala tindakan moral
dan politik.⁸ Dalam Republic (473c–480a), ia memperkenalkan gagasan
terkenal tentang filsuf-raja (philosopher-king): seorang pemimpin
yang bukan hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga murni secara moral,
karena seluruh orientasi hidupnya diarahkan kepada kebenaran dan keadilan.⁹
Bagi Plato, politik yang baik haruslah berakar pada filsafat; tanpa dasar
pengetahuan yang sejati, kekuasaan hanya akan menjadi bentuk tirani yang
menindas.¹⁰ Maka, tugas pendidikan negara adalah membentuk manusia yang mampu
menyeimbangkan dimensi rasional dan moralnya agar kelak menjadi penguasa yang
adil dan bijaksana.¹¹
Pendidikan dalam sistem negara ideal Plato memiliki
fungsi moral dan epistemologis yang sangat penting. Dalam Republic
(Books II–VII), ia merancang kurikulum filosofis yang bertujuan mengarahkan
jiwa dari dunia penampakan menuju dunia ide.¹² Tahapan pendidikan ini meliputi
musik dan gimnastik untuk pembentukan karakter, matematika untuk melatih
rasionalitas, dan dialektika sebagai puncak proses intelektual yang membawa
jiwa pada pengenalan terhadap Idea of the Good.¹³ Pendidikan yang
demikian bukan hanya instrumen sosial, tetapi juga proses purifikasi moral dan
spiritual.¹⁴ Melalui pendidikan, manusia diarahkan untuk meniru keteraturan
kosmos dalam tatanan dirinya dan masyarakatnya, sehingga etika pribadi
bertransformasi menjadi politik kosmik yang mencerminkan harmoni semesta.¹⁵
Plato juga menolak bentuk demokrasi yang berkembang
di Athena pada zamannya, karena ia menilai sistem tersebut menyerahkan
kekuasaan kepada orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan sejati tentang
kebaikan.¹⁶ Menurutnya, demokrasi cenderung melahirkan anarki karena keputusan
diambil berdasarkan keinginan massa, bukan rasio.¹⁷ Dalam uraiannya (Book VIII Republic),
Plato menggambarkan siklus degenerasi politik dari aristokrasi (pemerintahan
para bijak) menuju timokrasi, oligarki, demokrasi, dan akhirnya tirani.¹⁸ Hanya
pemerintahan yang dipimpin oleh pengetahuan rasional tentang kebaikan yang
dapat mencegah kejatuhan moral dan politik negara.¹⁹ Dengan demikian, bagi
Plato, politik bukan sekadar soal kekuasaan, tetapi soal tatanan moral dan
rasional yang mencerminkan struktur metafisika realitas.
Dalam konteks etika, keadilan dalam jiwa manusia
merupakan cerminan dari keadilan dalam negara.²⁰ Ketika rasio memimpin, emosi
mendukung, dan nafsu tunduk, manusia mencapai harmoni batin yang identik dengan
kebajikan moral.²¹ Keadilan pribadi (psychic justice) ini menjadi dasar
bagi keadilan sosial, karena hanya individu yang teratur secara moral yang
dapat berpartisipasi dalam masyarakat yang teratur secara politik.²² Oleh
karena itu, filsafat etika dan politik dalam Platonisme memiliki karakter
teleologis: tujuan tertingginya adalah kesatuan antara kebenaran, kebaikan, dan
kebahagiaan.²³ Bagi Plato, manusia yang adil adalah manusia yang hidup selaras
dengan tatanan rasional semesta, sedangkan negara yang adil adalah negara yang
hidup selaras dengan Idea of the Good.²⁴
Dengan demikian, etika dan politik Platonik
merupakan refleksi dari satu prinsip dasar: bahwa kebenaran dan keadilan hanya
dapat dicapai melalui pengetahuan rasional dan keteraturan moral.²⁵ Etika tidak
dapat dipisahkan dari politik, karena pembentukan negara ideal bergantung pada
pembentukan manusia yang berjiwa ideal.²⁶ Dalam hal ini, Platonisme menawarkan
paradigma politik yang bersifat normatif dan metafisik sekaligus: politik sebagai
perwujudan kebaikan, dan kebaikan sebagai asas tertinggi tatanan kosmos.²⁷
Footnotes
[1]
¹ Frederick Copleston, A History of Philosophy,
Vol. 1: Greece and Rome (New York: Image Books, 1985), 160–162.
[2]
² Julia Annas, An Introduction to Plato’s Republic
(Oxford: Oxford University Press, 1981), 75–77.
[3]
³ A. E. Taylor, Plato: The Man and His Work
(London: Methuen, 1952), 201.
[4]
⁴ Plato, Republic, trans. G. M. A. Grube, in
Plato: Complete Works, ed. John M. Cooper (Indianapolis: Hackett
Publishing, 1997), 433a–434c.
[5]
⁵ Richard Kraut, ed., The Cambridge Companion to
Plato (Cambridge: Cambridge University Press, 1992), 67.
[6]
⁶ C. D. C. Reeve, Philosopher-Kings: The
Argument of Plato’s Republic (Princeton: Princeton University Press, 1988),
103.
[7]
⁷ F. M. Cornford, Plato’s Theory of Knowledge
(London: Routledge & Kegan Paul, 1935), 20.
[8]
⁸ Plato, Republic, 505a–509b.
[9]
⁹ Kenneth Dorter, Form and Good in Plato’s
Eleatic Dialogues (Berkeley: University of California Press, 1994), 117.
[10]
¹⁰ John M. Rist, Plato’s Moral Realism: The
Discovery of the Presuppositions of Ethics (Washington, D.C.: Catholic
University of America Press, 2012), 70.
[11]
¹¹ Dominic J. O’Meara, Platonopolis: Platonic
Political Philosophy in Late Antiquity (Oxford: Clarendon Press, 2003),
27–29.
[12]
¹² Plato, Republic, 376e–403c; 503b–518c.
[13]
¹³ Myles Burnyeat, “Plato on Why Mathematics Is
Good for the Soul,” in Mathematics and Necessity, ed. Timothy Smiley
(Oxford: Oxford University Press, 2000), 31–33.
[14]
¹⁴ W. K. C. Guthrie, A History of Greek
Philosophy, Vol. 5: The Later Plato and the Academy (Cambridge: Cambridge
University Press, 1978), 127.
[15]
¹⁵ Lloyd P. Gerson, From Plato to Platonism
(Ithaca: Cornell University Press, 2013), 48.
[16]
¹⁶ Plato, Republic, 557a–562a.
[17]
¹⁷ Julia Annas, An Introduction to Plato’s Republic,
95.
[18]
¹⁸ Plato, Republic, 544c–569c.
[19]
¹⁹ R. A. Markus, Saeculum: History and Society
in the Theology of St. Augustine (Cambridge: Cambridge University Press,
1970), 59.
[20]
²⁰ G. Fine, Plato 1: Metaphysics and
Epistemology (Oxford: Oxford University Press, 1999), 45–46.
[21]
²¹ Gregory Vlastos, Plato’s Universe
(Seattle: University of Washington Press, 1975), 69.
[22]
²² Desmond Lee, Plato and the Theory of Forms
(London: Routledge, 2001), 130.
[23]
²³ John Dillon, The Middle Platonists: 80 B.C.
to A.D. 220 (Ithaca: Cornell University Press, 1977), 23–25.
[24]
²⁴ F. M. Cornford, The Republic of Plato
(Oxford: Oxford University Press, 1945), 284.
[25]
²⁵ A. E. Taylor, Plato: The Man and His Work,
205.
[26]
²⁶ Frederick Copleston, A History of Philosophy,
Vol. 1: Greece and Rome, 165.
[27]
²⁷ Richard Kraut, ed., The Cambridge Companion
to Plato, 80.
7.
Estetika:
Seni sebagai Imitasi
Estetika dalam Platonisme menempati posisi yang
unik dan paradoksal: di satu sisi, Plato mengakui kekuatan seni sebagai medium
yang memengaruhi jiwa manusia; namun di sisi lain, ia mengkritik seni karena
dianggap menyesatkan dari kebenaran sejati.¹ Bagi Plato, seni tidak
menghasilkan pengetahuan baru, melainkan hanya meniru realitas inderawi yang
sendiri sudah merupakan tiruan dari dunia ide.² Dengan demikian, seni merupakan
imitatio imitationis—peniruan dari peniruan—yang menempati posisi
terendah dalam hierarki epistemologis dan ontologis.³ Pandangan ini terutama
diuraikan dalam Republic (Books II, III, dan X), di mana Plato
menyatakan bahwa seni, khususnya puisi dan teater, memiliki kekuatan emosional
yang besar tetapi tidak memiliki nilai kognitif sejati.⁴
Plato menolak pandangan bahwa seni merupakan bentuk
pengetahuan atau wahyu, karena bagi dirinya kebenaran hanya dapat dicapai
melalui rasio dan dialektika, bukan melalui imajinasi.⁵ Dalam Republic
(597a–598b), ia menggunakan contoh lukisan tempat tidur: sang pengrajin
menciptakan tempat tidur dengan meniru ide tentang tempat tidur (the Form of
Bed), sedangkan pelukis hanya menggambarkan bayangan dari hasil karya
pengrajin tersebut.⁶ Maka, karya seni adalah tiruan tingkat ketiga dari
kebenaran.⁷ Artinya, seni berada dua langkah jauh dari realitas sejati dan
hanya menyentuh permukaan dunia fenomenal.⁸ Ia tidak mengungkapkan hakikat,
melainkan memperkuat keterikatan manusia pada ilusi dan penampakan.⁹ Dalam hal
ini, kritik Plato terhadap seni bersifat ontologis sekaligus epistemologis—seni
gagal memenuhi syarat rasionalitas yang menjadi dasar pengetahuan sejati.
Namun, kritik Plato terhadap seni tidak berhenti
pada persoalan ontologi dan epistemologi semata. Ia juga menilai seni dari
perspektif etika dan pendidikan. Dalam Republic (Book III), Plato
berpendapat bahwa puisi dan drama yang menggambarkan emosi, kekerasan, atau
perilaku buruk dapat merusak moral warga negara, terutama para penjaga (guardians)
yang seharusnya memiliki jiwa teratur dan berani.¹⁰ Seni yang tidak terkendali
dianggap mampu membangkitkan bagian nafsani dan emosional jiwa, menekan rasio,
serta mengacaukan keseimbangan batin yang menjadi dasar keadilan.¹¹ Karena itu,
ia mengusulkan agar negara ideal melakukan sensor terhadap karya seni yang
tidak mendukung pendidikan moral dan spiritual warga negara.¹² Dalam pandangan
ini, seni memiliki fungsi sosial dan pedagogis: ia dapat berguna bila diarahkan
untuk menanamkan kebajikan dan harmoni jiwa, tetapi berbahaya bila
disalahgunakan.¹³
Meskipun demikian, Plato tidak sepenuhnya menolak
seni. Dalam dialog Phaedrus dan Symposium, ia menyinggung aspek
positif seni sebagai sarana menuju keindahan dan kebenaran yang lebih tinggi.¹⁴
Keindahan (to kalon) dianggap sebagai refleksi paling nyata dari dunia
ide yang dapat dialami oleh pancaindra.¹⁵ Dalam konteks ini, pengalaman estetis
menjadi langkah awal bagi jiwa untuk mengingat kembali (anamnesis)
kesempurnaan yang pernah disaksikannya di dunia ide.¹⁶ Cinta terhadap keindahan
(eros) dapat berfungsi sebagai kekuatan spiritual yang menuntun manusia
untuk beranjak dari kecintaan pada benda-benda indah menuju pengenalan terhadap
Keindahan itu sendiri (the Beautiful Itself).¹⁷ Dengan demikian,
meskipun seni masih berada di bawah filsafat, ia dapat berperan sebagai
jembatan antara dunia inderawi dan dunia ide, bila digunakan secara benar dan
diarahkan oleh rasio.¹⁸
Struktur hierarkis dalam filsafat Plato menempatkan
keindahan sebagai salah satu bentuk transendensi yang paling mudah diakses oleh
manusia. Melalui keindahan, jiwa dapat tergerak untuk melampaui dunia materi
dan mencapai penglihatan terhadap Idea of the Good.¹⁹ Oleh karena itu,
pengalaman estetika tidak bersifat otonom, melainkan memiliki dimensi moral dan
metafisik.²⁰ Seni, ketika diarahkan oleh rasio, dapat menjadi jalan menuju
kontemplasi filosofis; tetapi ketika dikuasai oleh emosi dan nafsu, ia menjadi
bentuk penyimpangan dari kebenaran.²¹ Inilah dialektika estetika dalam
Platonisme: seni adalah medium ambivalen yang bisa menjadi sarana pencerahan
atau alat penyesatan, tergantung bagaimana ia digunakan dan sejauh mana ia
berorientasi pada dunia ide.²²
Dalam konteks kontemporer, gagasan Plato tentang
seni sebagai imitasi sering dikritik sebagai reduksionis, namun ia tetap
memiliki relevansi filosofis yang mendalam.²³ Kritiknya terhadap seni
mengandung refleksi epistemologis yang penting: bahwa tidak semua representasi
mengandung kebenaran, dan bahwa manusia harus membedakan antara penampakan dan
realitas sejati.²⁴ Dalam era modern yang sarat dengan citra dan media,
peringatan Plato menjadi semakin aktual—bahwa seni dan estetika harus diarahkan
bukan sekadar untuk kenikmatan inderawi, tetapi untuk mengungkap dimensi
rasional dan spiritual dari keberadaan manusia.²⁵ Dengan demikian, estetika
Platonik, meskipun sering dianggap anti-seni, sesungguhnya menegaskan fungsi
tertinggi seni: mengantar manusia dari dunia bayangan menuju kontemplasi atas
kebenaran abadi.²⁶
Footnotes
[1]
¹ Frederick Copleston, A History of Philosophy,
Vol. 1: Greece and Rome (New York: Image Books, 1985), 166–168.
[2]
² Julia Annas, An Introduction to Plato’s
Republic (Oxford: Oxford University Press, 1981), 104.
[3]
³ Richard Kraut, ed., The Cambridge Companion to
Plato (Cambridge: Cambridge University Press, 1992), 87.
[4]
⁴ Plato, Republic, trans. G. M. A. Grube, in
Plato: Complete Works, ed. John M. Cooper (Indianapolis: Hackett
Publishing, 1997), 376e–403c; 595a–608b.
[5]
⁵ A. E. Taylor, Plato: The Man and His Work
(London: Methuen, 1952), 211.
[6]
⁶ Plato, Republic, 597a–598b.
[7]
⁷ F. M. Cornford, Plato’s Theory of Knowledge
(London: Routledge & Kegan Paul, 1935), 22.
[8]
⁸ W. K. C. Guthrie, A History of Greek
Philosophy, Vol. 5: The Later Plato and the Academy (Cambridge: Cambridge
University Press, 1978), 134.
[9]
⁹ Gregory Vlastos, Plato’s Universe
(Seattle: University of Washington Press, 1975), 73.
[10]
¹⁰ Plato, Republic, 377b–403c.
[11]
¹¹ C. D. C. Reeve, Philosopher-Kings: The
Argument of Plato’s Republic (Princeton: Princeton University Press, 1988),
109.
[12]
¹² Julia Annas, An Introduction to Plato’s
Republic, 108.
[13]
¹³ John M. Rist, Plato’s Moral Realism: The
Discovery of the Presuppositions of Ethics (Washington, D.C.: Catholic
University of America Press, 2012), 76.
[14]
¹⁴ Plato, Phaedrus, in Plato: Complete
Works, ed. John M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997),
249c–250d.
[15]
¹⁵ Plato, Symposium, in Plato: Complete
Works, ed. John M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997),
210a–212b.
[16]
¹⁶ Martha C. Nussbaum, The Fragility of
Goodness: Luck and Ethics in Greek Tragedy and Philosophy (Cambridge:
Cambridge University Press, 1986), 190.
[17]
¹⁷ Kenneth Dorter, Form and Good in Plato’s
Eleatic Dialogues (Berkeley: University of California Press, 1994),
127–128.
[18]
¹⁸ Lloyd P. Gerson, From Plato to Platonism
(Ithaca: Cornell University Press, 2013), 51–52.
[19]
¹⁹ Myles Burnyeat, “Plato on Why Mathematics Is
Good for the Soul,” in Mathematics and Necessity, ed. Timothy Smiley
(Oxford: Oxford University Press, 2000), 36.
[20]
²⁰ Dominic J. O’Meara, Platonopolis: Platonic
Political Philosophy in Late Antiquity (Oxford: Clarendon Press, 2003), 31.
[21]
²¹ Desmond Lee, Plato and the Theory of Forms
(London: Routledge, 2001), 137.
[22]
²² John Dillon, The Middle Platonists: 80 B.C.
to A.D. 220 (Ithaca: Cornell University Press, 1977), 27.
[23]
²³ Noel Carroll, Philosophy of Art: A
Contemporary Introduction (New York: Routledge, 1999), 18–19.
[24]
²⁴ Arthur Danto, The Transfiguration of the
Commonplace: A Philosophy of Art (Cambridge, MA: Harvard University Press,
1981), 22.
[25]
²⁵ Roger Scruton, Beauty: A Very Short
Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2009), 14–15.
[26]
²⁶ Frederick Copleston, A History of Philosophy,
Vol. 1: Greece and Rome, 169.
8.
Kritik
terhadap Platonisme
Sejak kemunculannya, Platonisme telah menjadi salah
satu sistem filsafat paling berpengaruh sekaligus paling diperdebatkan dalam
sejarah pemikiran Barat. Struktur metafisiknya yang menempatkan dunia ide
sebagai realitas sejati dan dunia inderawi sebagai bayangan telah memicu
perdebatan panjang, baik dari para penerus langsung Plato seperti Aristoteles
maupun dari berbagai aliran modern seperti empirisme, materialisme, dan
eksistensialisme.¹ Kritik terhadap Platonisme tidak hanya menyangkut aspek
ontologis dan epistemologis, tetapi juga menyentuh dimensi etika, politik, dan
estetika yang terkandung di dalamnya.² Meski demikian, setiap kritik justru
memperlihatkan kekayaan dialektis sistem Platonik dan daya tahannya sebagai
kerangka berpikir metafisik universal yang terus direinterpretasi dalam
berbagai konteks sejarah filsafat.³
Kritik paling awal dan mendasar terhadap Platonisme
datang dari muridnya sendiri, Aristoteles. Dalam Metaphysics
(Book I), Aristoteles menolak teori dunia ide dengan alasan bahwa ide-ide yang
terpisah dari benda konkret tidak mampu menjelaskan keberadaan dan perubahan di
dunia empiris.⁴ Baginya, konsep “bentuk” (eidos) tidak dapat berdiri
sendiri tanpa “materi” (hyle), sebab realitas sejati adalah kesatuan
dari keduanya.⁵ Dengan demikian, Aristoteles menggantikan dualisme ontologis
Plato dengan prinsip hilemorfisme (bentuk-materi) yang lebih imanen.⁶ Ia juga
menilai teori partisipasi (methexis) tidak menjelaskan bagaimana
benda-benda di dunia empiris dapat benar-benar “berpartisipasi” dalam ide,
sehingga hubungan antara dunia ide dan dunia fisik tetap kabur dan metaforis.⁷
Kritik Aristoteles ini menjadi dasar bagi tradisi realisme dan empirisme yang
lebih menekankan pengetahuan sebagai hasil pengamatan terhadap dunia konkret.⁸
Selain Aristoteles, kaum Skeptisis dan Empiris
juga mengkritik epistemologi Platonik yang menekankan rasio sebagai sumber
pengetahuan sejati.⁹ Kaum skeptis seperti Pyrrho dan Sextus Empiricus menolak
klaim kepastian pengetahuan rasional, karena menurut mereka segala bentuk
kognisi dapat dipertanyakan dan tidak ada dasar mutlak bagi kebenaran
universal.¹⁰ Sementara itu, kaum empiris seperti John Locke dan David Hume
menolak gagasan tentang ide bawaan (innate ideas) yang menjadi inti
teori anamnesis Plato.¹¹ Bagi mereka, pengetahuan berasal dari
pengalaman indrawi dan refleksi atas pengalaman itu sendiri, bukan dari ingatan
jiwa terhadap dunia transendental.¹² Dalam hal ini, Platonisme dianggap terlalu
menekankan dimensi apriori dan mengabaikan pengalaman konkret sebagai dasar
validasi kebenaran.¹³
Pada abad modern, kritik terhadap Platonisme
berkembang dalam bentuk yang lebih sistematis melalui Immanuel Kant,
yang meskipun mengagumi Plato, menolak kemungkinan manusia dapat mengetahui
“dunia noumenal” secara langsung.¹⁴ Kant menganggap ide-ide Plato sebagai
bentuk regulative ideas—panduan bagi akal budi, tetapi bukan entitas
ontologis yang eksis secara objektif.¹⁵ Dalam kerangka epistemologi
transendentalnya, Kant membatasi pengetahuan manusia hanya pada fenomena,
sementara noumena (realitas pada dirinya sendiri) tidak dapat dijangkau secara
rasional.¹⁶ Dengan demikian, Kant menempatkan kembali idealisme dalam
batas-batas rasionalitas kritis, sekaligus mengoreksi kecenderungan metafisis
Plato yang dianggap melampaui kapasitas akal manusia.¹⁷
Pada abad ke-19 dan ke-20, muncul kritik yang lebih
radikal dari Friedrich Nietzsche, Karl Marx, dan para Eksistensialis.
Nietzsche menuduh Plato sebagai pelopor “metafisika dua dunia” yang merendahkan
kehidupan konkret demi dunia ideal yang ilusif.¹⁸ Dalam Twilight of the
Idols, ia menyebut Platonisme sebagai bentuk “nihilisme awal” karena
mengajarkan manusia untuk meninggalkan dunia nyata dan mencari keselamatan
dalam dunia ide yang abstrak.¹⁹ Marx, dari perspektif materialisme historis,
menolak dualisme Plato dengan menegaskan bahwa kesadaran manusia dibentuk oleh
kondisi material, bukan oleh refleksi terhadap ide-ide transendental.²⁰ Ia
menganggap idealisme Platonik sebagai bentuk ideologi yang menutupi hubungan
kekuasaan dan struktur ekonomi yang nyata.²¹ Sementara itu, para eksistensialis
seperti Jean-Paul Sartre dan Martin Heidegger mengkritik Platonisme karena
meniadakan dimensi keberadaan manusia yang konkret, temporal, dan terbuka.²²
Heidegger bahkan menyebut metafisika Barat, sejak Plato, telah “melupakan
keberadaan” (Seinsvergessenheit), karena lebih sibuk mencari hakikat
yang tetap daripada memahami dinamika eksistensi.²³
Dari sudut pandang estetika dan etika,
kritik terhadap Platonisme juga tidak kalah signifikan. Para seniman dan filsuf
seni modern seperti Benedetto Croce dan Arthur Danto menolak reduksi seni
menjadi sekadar tiruan (mimesis) dari realitas yang lebih tinggi.²⁴
Mereka berpendapat bahwa seni memiliki nilai otonom sebagai ekspresi
kreativitas manusia dan bukan subordinat dari kebenaran rasional.²⁵ Dalam
konteks etika, pemisahan antara dunia ide dan dunia nyata dinilai menyebabkan
kesenjangan antara teori moral dan praksis kehidupan.²⁶ Nilai-nilai kebaikan
universal yang diidealkan Plato dianggap sulit diterapkan dalam dunia yang
plural dan dinamis, di mana kebaikan sering kali bersifat relatif dan
kontekstual.²⁷
Namun demikian, banyak pemikir kontemporer, seperti
Alfred North Whitehead dan Hans-Georg Gadamer, mengingatkan bahwa meskipun
teori Plato mengandung kelemahan, ia tetap menyediakan kerangka konseptual
penting bagi refleksi filosofis modern.²⁸ Whitehead bahkan menyatakan bahwa
“seluruh sejarah filsafat Barat hanyalah catatan kaki bagi Plato,”²⁹ menandakan
bahwa kritik terhadap Platonisme tidak pernah benar-benar memisahkan diri dari
pengaruhnya. Gadamer, dalam Truth and Method, menafsirkan kembali
Platonisme sebagai fondasi hermeneutika filosofis, dengan menekankan dimensi
dialogis dan pencarian kebenaran yang terbuka.³⁰
Dengan demikian, meskipun telah mengalami berbagai
kritik dan reinterpretasi, Platonisme tetap menjadi medan dialektis yang subur
bagi perkembangan filsafat.³¹ Kritik terhadapnya bukanlah tanda keusangan,
melainkan bukti vitalitasnya sebagai paradigma metafisik dan etis yang terus
menantang manusia untuk menimbang ulang hubungan antara ide dan realitas,
antara kebenaran dan penampakan, serta antara dunia yang abadi dan dunia yang
berubah.³²
Footnotes
[1]
¹ Frederick Copleston, A History of Philosophy,
Vol. 1: Greece and Rome (New York: Image Books, 1985), 170–172.
[2]
² Julia Annas, An Introduction to Plato’s Republic
(Oxford: Oxford University Press, 1981), 113.
[3]
³ Richard Kraut, ed., The Cambridge Companion to
Plato (Cambridge: Cambridge University Press, 1992), 92.
[4]
⁴ Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross,
in The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes (Princeton:
Princeton University Press, 1984), 987a–990a.
[5]
⁵ W. K. C. Guthrie, A History of Greek
Philosophy, Vol. 6: Aristotle (Cambridge: Cambridge University Press,
1981), 89.
[6]
⁶ A. E. Taylor, Plato: The Man and His Work
(London: Methuen, 1952), 221.
[7]
⁷ G. Fine, Plato 1: Metaphysics and Epistemology
(Oxford: Oxford University Press, 1999), 50.
[8]
⁸ Frederick Copleston, A History of Philosophy,
Vol. 1: Greece and Rome, 173.
[9]
⁹ Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism,
trans. R. G. Bury (Cambridge: Harvard University Press, 1933), 1.12–15.
[10]
¹⁰ Julia Annas, The Morality of Happiness
(Oxford: Oxford University Press, 1993), 23.
[11]
¹¹ John Locke, An Essay Concerning Human
Understanding (London: Thomas Basset, 1690), Book II, ch. I.
[12]
¹² David Hume, An Enquiry Concerning Human
Understanding (Oxford: Oxford University Press, 2000), 19–21.
[13]
¹³ Kenneth Dorter, Form and Good in Plato’s
Eleatic Dialogues (Berkeley: University of California Press, 1994), 138.
[14]
¹⁴ Immanuel Kant, Critique of Pure Reason,
trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press,
1998), A642–A669.
[15]
¹⁵ Henry E. Allison, Kant’s Transcendental
Idealism (New Haven: Yale University Press, 1983), 112.
[16]
¹⁶ Paul Guyer, Kant and the Claims of Knowledge
(Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 210.
[17]
¹⁷ A. C. Ewing, The Idealist Tradition: From
Berkeley to Blanshard (London: Methuen, 1957), 45.
[18]
¹⁸ Friedrich Nietzsche, Twilight of the Idols,
trans. R. J. Hollingdale (London: Penguin, 1990), 47.
[19]
¹⁹ Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil,
trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1966), 6.
[20]
²⁰ Karl Marx, Theses on Feuerbach, in The
German Ideology, trans. C. J. Arthur (New York: International Publishers,
1970), 121.
[21]
²¹ Terry Eagleton, Marxism and Literary
Criticism (Berkeley: University of California Press, 1976), 15.
[22]
²² Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness,
trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1956), 21.
[23]
²³ Martin Heidegger, Being and Time, trans.
John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 29–30.
[24]
²⁴ Benedetto Croce, Aesthetic as Science of
Expression and General Linguistic (New York: Noonday Press, 1953), 11.
[25]
²⁵ Arthur C. Danto, The Transfiguration of the
Commonplace: A Philosophy of Art (Cambridge, MA: Harvard University Press,
1981), 29.
[26]
²⁶ Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in
Moral Theory (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1984), 23.
[27]
²⁷ Bernard Williams, Ethics and the Limits of
Philosophy (Cambridge: Harvard University Press, 1985), 35.
[28]
²⁸ Hans-Georg Gadamer, Truth and Method,
trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Bloomsbury, 2013), 12.
[29]
²⁹ Alfred North Whitehead, Process and Reality
(New York: Macmillan, 1929), 39.
[30]
³⁰ Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 17.
[31]
³¹ John Dillon, The Middle Platonists: 80 B.C.
to A.D. 220 (Ithaca: Cornell University Press, 1977), 33.
[32]
³² Frederick Copleston, A History of Philosophy,
Vol. 1: Greece and Rome, 175.
9.
Warisan
Intelektual dan Relevansi Kontemporer
Warisan intelektual
Platonisme membentang sangat luas, mencakup hampir seluruh tradisi pemikiran
Barat, dari filsafat Helenistik, teologi Kristen, skolastisisme abad
pertengahan, hingga idealisme dan fenomenologi modern.¹ Pengaruhnya tidak hanya
bersifat historis, tetapi juga konseptual dan metodologis: ia membentuk cara
manusia berpikir tentang realitas, pengetahuan, moralitas, dan keindahan.²
Dalam arti tertentu, sebagaimana dikatakan Alfred North Whitehead, “seluruh
sejarah filsafat Barat hanyalah catatan kaki bagi Plato.”³ Ungkapan ini bukan
hiperbola, melainkan pengakuan bahwa hampir setiap aliran filsafat
sesudahnya—baik yang mendukung maupun yang menentang—tidak dapat melepaskan
diri dari warisan metafisik dan rasionalisme Platonik.
9.1. Neoplatonisme dan Filsafat
Kristen Awal
Platonisme mencapai
kebangkitan besar pada abad ke-3 M melalui Neoplatonisme, terutama dalam
ajaran Plotinus,
Porphyry,
dan Proclus.⁴
Plotinus dalam Enneads mengembangkan sistem
metafisik yang menempatkan “Yang Satu” (To Hen) sebagai sumber segala
keberadaan, dari mana memancar (emanation) akal (Nous)
dan jiwa (Psyche).⁵
Meskipun konsep ini bersifat mistik, ia mempertahankan struktur hierarkis dunia
ide Plato, tetapi menambahkan dimensi spiritual dan kontemplatif yang lebih
mendalam.⁶ Neoplatonisme kemudian berpengaruh kuat terhadap pemikiran teologis Agustinus
dari Hippo, yang melalui karya Confessiones dan De
Civitate Dei menggabungkan Platonisme dengan doktrin Kristen
tentang Tuhan, jiwa, dan kebenaran abadi.⁷ Dalam tangan Agustinus, Platonisme
menjadi dasar bagi teologi Kristen Barat, terutama dalam memahami hubungan
antara Tuhan dan dunia sebagai relasi antara kebenaran abadi dan ciptaan
temporal.⁸
Warisan ini
dilanjutkan oleh para Skolastik abad pertengahan
seperti Thomas Aquinas, Bonaventura,
dan Albertus
Magnus, yang mengintegrasikan elemen-elemen Platonik dengan
Aristotelianisme dalam sistem teologi rasional.⁹ Aquinas, meskipun cenderung
mengikuti Aristoteles, tetap mempertahankan prinsip Platonik tentang
keuniversalan ide dan tatanan hierarkis kosmos yang mengarah pada Tuhan sebagai
actus
purus.¹⁰ Sementara itu, Bonaventura menekankan aspek iluminatif
dalam pengetahuan—yakni bahwa kebenaran diperoleh melalui pencerahan
ilahi—suatu gagasan yang secara langsung berakar pada teori anamnesis
Plato.¹¹ Dengan demikian, Platonisme menjadi tulang punggung bagi perkembangan
teologi dan metafisika Kristen sepanjang Abad Pertengahan.
9.2.
Renaisans dan Humanisme
Pada masa Renaisans,
Platonisme mengalami kebangkitan baru melalui penerjemahan karya-karya Plato
oleh Marsilio
Ficino di bawah perlindungan keluarga Medici di Firenze.¹²
Ficino mendirikan Accademia Platonica dan menafsirkan
filsafat Plato dalam konteks spiritualisme Kristen, melahirkan tradisi Christian
Neoplatonism.¹³ Gagasan tentang keindahan, cinta (eros),
dan harmoni alam dipahami bukan sekadar secara metafisik, tetapi juga sebagai
jalan menuju kesempurnaan moral dan artistik manusia.¹⁴ Melalui gerakan ini,
Platonisme memberikan landasan filosofis bagi humanisme Renaisans, yang
menempatkan manusia sebagai makhluk rasional dan spiritual yang memiliki
potensi untuk meniru kesempurnaan ilahi.¹⁵ Pandangan ini kemudian memengaruhi
para seniman dan pemikir besar seperti Leonardo da Vinci, Michelangelo,
dan Pico
della Mirandola, yang melihat keindahan sebagai manifestasi
dari rasionalitas dan keteraturan kosmik.¹⁶
9.3.
Idealisme Modern dan Filsafat Kontemporer
Memasuki zaman
modern, Platonisme tidak menghilang, melainkan bertransformasi melalui tradisi idealisme
rasional.¹⁷ Filsuf seperti Immanuel Kant, G. W. F.
Hegel, dan F. H. Bradley menghidupkan
kembali semangat Platonik dalam bentuk baru: ide sebagai struktur apriori
kesadaran manusia.¹⁸ Hegel, khususnya, memandang realitas sebagai ekspresi
dialektis dari Geist (Roh) yang menyingkap dirinya
secara progresif—sebuah reinterpretasi modern atas dunia ide Plato dalam bentuk
sejarah dan kesadaran diri.¹⁹ Dalam tradisi fenomenologi, Edmund
Husserl dan Maurice Merleau-Ponty juga
meminjam orientasi Platonik ketika menekankan bahwa pengetahuan sejati tidak
terletak pada fakta-fakta empiris, tetapi pada esensi yang hanya dapat
ditangkap melalui intuisi rasional.²⁰
Bahkan dalam
filsafat analitik dan teori bahasa abad ke-20, pengaruh Plato tetap terlihat.²¹
Misalnya, Gottlob Frege dan Bertrand
Russell mempertahankan gagasan tentang entitas abstrak seperti
angka dan proposisi yang memiliki eksistensi objektif di luar pikiran
manusia—suatu bentuk “Platonisme logis.”²² Dalam matematika dan filsafat sains,
Kurt
Gödel juga mengakui dirinya sebagai seorang Platonis karena
meyakini bahwa kebenaran matematika tidak diciptakan, melainkan ditemukan.²³
Ini menunjukkan bahwa walaupun bentuknya berubah, spirit Platonik tetap hidup
dalam epistemologi rasional dan realisme abstrak modern.
Relevansi Kontemporer
Dalam konteks
kontemporer, Platonisme tetap relevan karena menyentuh persoalan mendasar
tentang hubungan antara realitas, kebenaran, dan nilai.²⁴ Dalam era yang
ditandai oleh relativisme, pluralisme, dan konstruktivisme, gagasan Plato
tentang Idea of
the Good menghadirkan kembali pertanyaan tentang dasar objektif
bagi etika dan pengetahuan.²⁵ Platonisme juga memiliki daya resonansi dalam
wacana filsafat pendidikan, karena menekankan bahwa pengetahuan sejati adalah
pembentukan jiwa menuju kebenaran dan kebajikan, bukan sekadar akumulasi
informasi.²⁶ Dalam bidang estetika, teori keindahan Plato menjadi inspirasi
bagi filsafat seni modern yang memandang keindahan sebagai refleksi dari
keteraturan rasional dan harmoni moral.²⁷
Selain itu, dalam
konteks filsafat politik, kritik Plato terhadap demokrasi tetap aktual di
tengah krisis moral dan populisme modern.²⁸ Ia mengingatkan bahwa kebebasan
tanpa kebijaksanaan dapat berujung pada kekacauan dan tirani.²⁹ Dalam dunia
yang dikuasai oleh teknologi dan simulasi, peringatan Plato tentang dunia
bayangan (the cave
allegory) semakin relevan: manusia modern sering kali terjebak
dalam representasi media dan kehilangan kontak dengan realitas sejati.³⁰ Oleh
karena itu, Platonisme tidak sekadar sistem metafisika kuno, tetapi juga kerangka
reflektif untuk memahami tantangan eksistensial manusia modern—antara kebenaran
dan ilusi, antara rasionalitas dan keinginan, antara ide dan kenyataan.³¹
Dengan demikian,
warisan Platonisme bukan sekadar sejarah intelektual masa lampau, tetapi fondasi
yang terus menghidupi refleksi filosofis di berbagai bidang.³² Ia tetap menjadi
horizon abadi bagi pencarian manusia akan makna, kebenaran, dan keadilan,
menunjukkan bahwa filsafat sejati adalah upaya tanpa henti untuk menatap dunia
ide—yakni realitas yang lebih tinggi dari segala penampakan, di mana kebenaran
dan kebaikan bersatu dalam keindahan yang sempurna.³³
Footnotes
[1]
¹ Frederick Copleston, A
History of Philosophy, Vol. 1: Greece and Rome (New York: Image Books, 1985), 176–177.
[2]
² Richard Kraut, ed., The
Cambridge Companion to Plato
(Cambridge: Cambridge University Press, 1992), 101.
[3]
³ Alfred North Whitehead, Process
and Reality (New York: Macmillan,
1929), 39.
[4]
⁴ John Dillon, The Middle Platonists:
80 B.C. to A.D. 220 (Ithaca: Cornell
University Press, 1977), 42–43.
[5]
⁵ Plotinus, The Enneads, trans. A. H. Armstrong (Cambridge: Harvard
University Press, 1966), V.1–3.
[6]
⁶ Lloyd P. Gerson, From Plato to Platonism (Ithaca: Cornell University Press, 2013), 54.
[7]
⁷ Augustine, Confessions, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford University
Press, 1991), VII.10–16.
[8]
⁸ R. A. Markus, Saeculum: History and
Society in the Theology of St. Augustine (Cambridge: Cambridge University Press, 1970), 63.
[9]
⁹ Etienne Gilson, The Spirit of Medieval
Philosophy (New York: Scribner, 1940),
88.
[10]
¹⁰ Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q.3–5.
[11]
¹¹ Bonaventure, Itinerarium Mentis in
Deum, trans. Philotheus Boehner
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), ch. IV.
[12]
¹² Paul Oskar Kristeller, Renaissance
Thought and Its Sources (New York:
Columbia University Press, 1979), 21–22.
[13]
¹³ Marsilio Ficino, Theologia
Platonica de Immortalitate Animae
(Basel: Henricus Petrus, 1576), I.2.
[14]
¹⁴ James Hankins, Plato in the Italian
Renaissance (Leiden: Brill, 1990),
118–120.
[15]
¹⁵ Charles Trinkaus, In
Our Image and Likeness: Humanity and Divinity in Italian Humanist Thought (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 94.
[16]
¹⁶ Erwin Panofsky, Renaissance and
Renascences in Western Art (New
York: Harper & Row, 1960), 44.
[17]
¹⁷ Frederick Copleston, A
History of Philosophy, Vol. 6: Modern Philosophy (New York: Image Books, 1985), 22.
[18]
¹⁸ G. W. F. Hegel, Phenomenology of Spirit, trans. A. V. Miller (Oxford: Oxford University
Press, 1977), 79.
[19]
¹⁹ Robert C. Solomon, In
the Spirit of Hegel (New York:
Oxford University Press, 1983), 103.
[20]
²⁰ Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a
Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy (The Hague: Nijhoff, 1982), §24.
[21]
²¹ Penelope Maddy, Realism in Mathematics (Oxford: Oxford University Press, 1990), 11.
[22]
²² Bertrand Russell, The
Problems of Philosophy (Oxford:
Oxford University Press, 1912), 90.
[23]
²³ Kurt Gödel, Collected Works, Vol.
III: Unpublished Essays and Lectures,
ed. Solomon Feferman (Oxford: Oxford University Press, 1995), 271–272.
[24]
²⁴ Alasdair MacIntyre, After
Virtue: A Study in Moral Theory
(Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1984), 42.
[25]
²⁵ Julia Annas, An Introduction to
Plato’s Republic (Oxford: Oxford
University Press, 1981), 118.
[26]
²⁶ Martha C. Nussbaum, Cultivating
Humanity: A Classical Defense of Reform in Liberal Education (Cambridge: Harvard University Press, 1997), 19.
[27]
²⁷ Roger Scruton, Beauty: A Very Short
Introduction (Oxford: Oxford
University Press, 2009), 21.
[28]
²⁸ Plato, Republic, trans. G. M. A. Grube, in Plato: Complete Works,
ed. John M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 557a–562a.
[29]
²⁹ Ryszard Legutko, The
Demon in Democracy: Totalitarian Temptations in Free Societies (New York: Encounter Books, 2016), 8.
[30]
³⁰ Jean Baudrillard, Simulacra
and Simulation (Ann Arbor:
University of Michigan Press, 1994), 1–3.
[31]
³¹ Hans-Georg Gadamer, Truth
and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall (London: Bloomsbury, 2013), 19–21.
[32]
³² John Dillon, The Heirs of Plato: A
Study of the Old Academy (Oxford:
Oxford University Press, 2003), 28.
[33]
³³ Frederick Copleston, A
History of Philosophy, Vol. 1: Greece and Rome, 179.
10. Sintesis Filosofis: Platonisme sebagai Jembatan
antara Ide dan Realitas
Platonisme, dalam
keseluruhan sistemnya, dapat dipahami sebagai suatu upaya monumental untuk
menjembatani jurang antara dunia ide yang transenden dan dunia realitas empiris
yang imanen.¹ Ia berfungsi bukan sekadar sebagai teori metafisik yang
menguraikan struktur realitas, tetapi juga sebagai visi integratif yang
mempersatukan dimensi ontologis, epistemologis, etis, estetis, dan politik
dalam satu tatanan kosmos yang rasional.² Dengan menempatkan Idea of
the Good sebagai prinsip tertinggi yang mendasari segala keberadaan
dan pengetahuan, Platonisme menghadirkan model filsafat yang memadukan akal dan
moralitas, rasionalitas dan spiritualitas, dunia abstrak dan kehidupan
konkret.³ Melalui kerangka ini, Plato tidak hanya membangun metafisika tentang
“yang ada,” tetapi juga sebuah antropologi spiritual tentang “bagaimana manusia
seharusnya hidup” dalam terang kebenaran abadi.⁴
10.1.
Keterpaduan antara Ontologi dan Epistemologi
Dalam filsafat
Plato, hubungan antara ide dan realitas tidak bersifat dikotomis, melainkan
dialektis. Dunia ide bukan sekadar alam yang terpisah dari realitas empiris,
tetapi menjadi pola dan sumber makna bagi segala sesuatu yang ada.⁵ Dunia
inderawi memperoleh eksistensinya karena berpartisipasi (methexis)
dalam dunia ide, sementara jiwa manusia dapat mengenal dunia ide karena
memiliki struktur yang sejenis dengan realitas tersebut.⁶ Dengan demikian,
pengetahuan bukanlah proses eksternal antara subjek dan objek, melainkan
perjumpaan antara bagian rasional jiwa dengan tatanan rasional semesta.⁷
Filsafat, dalam arti terdalamnya, adalah “proses mengingat” (anamnesis)
hubungan kodrati antara jiwa dan kebenaran, suatu perjalanan menuju penyatuan
kembali antara akal manusia dan rasionalitas kosmos.⁸ Dalam kerangka ini,
epistemologi Platonik menjadi ekstensi langsung dari ontologi: mengenal berarti
berpartisipasi dalam keberadaan, dan berpikir berarti menghidupkan kembali
struktur ide dalam kesadaran.⁹
10.2.
Dimensi Etis dan Kosmologis dari Kebaikan
Platonisme juga
memperlihatkan sintesis antara metafisika dan etika melalui gagasan Idea of
the Good. Dalam Republic (505a–509b), Plato
menggambarkan “Yang Baik” sebagai sumber dari kebenaran dan keberadaan,
sebagaimana matahari memberi cahaya bagi dunia inderawi agar dapat dilihat.¹⁰
Dengan demikian, etika Platonik bukanlah sistem aturan moral eksternal,
melainkan orientasi ontologis menuju sumber keberadaan itu sendiri.¹¹ Kebaikan
menjadi prinsip kosmik yang menata seluruh tatanan realitas; dan manusia,
dengan meniru prinsip ini dalam tindakannya, berpartisipasi dalam harmoni
universal.¹² Maka, kehidupan yang baik bagi Plato adalah kehidupan yang
seimbang antara bagian-bagian jiwa, yang terarah pada visi kebaikan
tertinggi.¹³ Keselarasan batin dalam diri manusia merupakan pantulan dari
keteraturan kosmos yang rasional dan ilahi.¹⁴
Sintesis ini juga
memperlihatkan bahwa bagi Plato, pengetahuan sejati memiliki konsekuensi moral.
Filsuf yang telah mencapai pemahaman tentang dunia ide tidak hanya mengetahui
kebenaran, tetapi juga terikat secara etis untuk mewujudkan kebaikan dalam
dunia.¹⁵ Oleh sebab itu, dalam sistem Platonik, epistemologi melahirkan etika,
dan etika berujung pada politik.¹⁶ Pemerintahan filsuf-raja dalam Republic
adalah simbol konkret dari gagasan ini: ketika rasio (pengetahuan) memimpin,
dunia (negara dan jiwa) mencapai keadilan dan keteraturan.¹⁷
10.3.
Dunia Estetis sebagai Mediasi Spiritualitas
Platonisme juga
menempatkan estetika dalam posisi mediatif antara dunia ide dan realitas
empiris. Keindahan (to kalon) merupakan jalan
penghubung yang memungkinkan manusia merasakan kehadiran dunia ide melalui
pengalaman inderawi.¹⁸ Dalam Symposium (210a–212b), Plato
menggambarkan perjalanan eros—cinta terhadap keindahan—sebagai tangga menuju
dunia ide.¹⁹ Dimulai dari cinta terhadap benda-benda indah, jiwa kemudian
beralih kepada cinta terhadap jiwa yang indah, lalu kepada pengetahuan, dan
akhirnya mencapai kontemplasi terhadap Keindahan itu sendiri (the
Beautiful Itself).²⁰ Dengan demikian, seni dan keindahan bukan
sekadar ekspresi emosional, melainkan simbol dan jalan spiritual menuju
kebenaran.²¹ Dalam konteks ini, Platonisme menawarkan pandangan estetika yang
bersifat teleologis: seni dan keindahan memiliki tujuan etis dan ontologis,
yakni membimbing jiwa kepada kebaikan dan keteraturan kosmos.²²
10.4.
Satu Kosmos Rasional: Ide, Jiwa, dan Dunia
Platonisme
menyatukan seluruh realitas dalam struktur kosmos yang rasional. Dunia ide,
jiwa, dan benda-benda fisik bukan entitas yang terpisah, tetapi tingkatan
ontologis yang saling terkait.²³ Jiwa manusia berada di tengah—menjadi jembatan
antara yang abadi dan yang temporal.²⁴ Melalui filsafat, jiwa dapat naik
kembali ke tatanan ilahi yang menjadi asalnya; melalui politik dan etika, ia
mengatur dunia sesuai rasionalitas tersebut.²⁵ Dengan demikian, manusia dalam
sistem Platonik bukan hanya makhluk rasional, tetapi juga kosmik: ia
bertanggung jawab untuk memantulkan keteraturan dunia ide dalam tatanan moral,
sosial, dan estetis.²⁶
Model kosmos ini
menjadi dasar bagi pandangan dunia holistik yang memengaruhi seluruh sejarah metafisika
Barat.²⁷ Dalam Neoplatonisme, struktur ini dikembangkan lebih lanjut melalui
gagasan emanasi
Plotinus, sedangkan dalam filsafat Kristen ia diinterpretasikan sebagai
hubungan antara Tuhan, akal ilahi, dan dunia ciptaan.²⁸ Bahkan dalam filsafat
modern, struktur rasionalisme sistematik—seperti pada Spinoza dan Hegel—masih
merefleksikan warisan Platonik tentang kesatuan antara ide dan realitas.²⁹
Platonisme sebagai Paradigma Abadi
Dalam konteks
kontemporer, Platonisme tetap menjadi paradigma reflektif untuk menjembatani
dikotomi antara rasionalitas dan pengalaman, antara idealisme dan empirisme.³⁰
Ia menegaskan bahwa realitas sejati tidak dapat dipahami tanpa prinsip rasional
yang melampaui dunia fenomenal, tetapi juga bahwa prinsip itu harus diwujudkan
dalam praksis manusia yang konkret.³¹ Dengan demikian, Platonisme tidak
mengurung manusia dalam dunia ide yang abstrak, melainkan mengajak untuk
mentransformasikan dunia melalui rasio yang berorientasi pada kebaikan.³² Dalam
era modern yang sarat dengan relativisme, simulasi, dan kehilangan makna,
filsafat Plato mengingatkan manusia akan pentingnya orientasi terhadap
kebenaran dan keteraturan rasional semesta.³³
Platonisme, pada
akhirnya, bukan sekadar doktrin metafisika kuno, tetapi suatu visi integratif
tentang eksistensi: bahwa realitas material hanyalah bayangan dari tatanan ide
yang abadi, dan tugas filsafat adalah membawa manusia untuk mengenal,
mengingat, dan meniru tatanan itu dalam hidupnya.³⁴ Dalam makna yang paling
dalam, Platonisme adalah jembatan antara ide dan realitas,
antara pengetahuan dan tindakan, antara manusia dan yang ilahi—sebuah paradigma
yang meneguhkan bahwa kebenaran, kebaikan, dan keindahan bukanlah tiga hal yang
terpisah, melainkan satu kesatuan abadi yang menjadi dasar segala yang ada.³⁵
Footnotes
[1]
¹ Frederick Copleston, A
History of Philosophy, Vol. 1: Greece and Rome (New York: Image Books, 1985), 180–182.
[2]
² Richard Kraut, ed., The
Cambridge Companion to Plato
(Cambridge: Cambridge University Press, 1992), 110.
[3]
³ Plato, Republic, trans. G. M. A. Grube, in Plato: Complete Works,
ed. John M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 505a–509b.
[4]
⁴ A. E. Taylor, Plato: The Man and His
Work (London: Methuen, 1952), 239.
[5]
⁵ W. K. C. Guthrie, A
History of Greek Philosophy, Vol. 5: The Later Plato and the Academy (Cambridge: Cambridge University Press, 1978), 141.
[6]
⁶ G. Fine, Plato 1: Metaphysics
and Epistemology (Oxford: Oxford
University Press, 1999), 58.
[7]
⁷ Julia Annas, An Introduction to
Plato’s Republic (Oxford: Oxford
University Press, 1981), 120–122.
[8]
⁸ Plato, Meno, in Plato:
Complete Works, ed. John M. Cooper
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 81a–86c.
[9]
⁹ Gregory Vlastos, Plato’s Universe (Seattle: University of Washington Press, 1975),
81–83.
[10]
¹⁰ Plato, Republic, 505a–509b.
[11]
¹¹ Kenneth Dorter, Form and Good in
Plato’s Eleatic Dialogues (Berkeley:
University of California Press, 1994), 140.
[12]
¹² John M. Rist, Plato’s Moral Realism:
The Discovery of the Presuppositions of Ethics (Washington, D.C.: Catholic University of America
Press, 2012), 84.
[13]
¹³ C. D. C. Reeve, Philosopher-Kings: The
Argument of Plato’s Republic
(Princeton: Princeton University Press, 1988), 115.
[14]
¹⁴ Dominic J. O’Meara, Platonopolis:
Platonic Political Philosophy in Late Antiquity (Oxford: Clarendon Press, 2003), 36.
[15]
¹⁵ Lloyd P. Gerson, From
Plato to Platonism (Ithaca: Cornell
University Press, 2013), 61.
[16]
¹⁶ F. M. Cornford, Plato’s Theory of
Knowledge (London: Routledge &
Kegan Paul, 1935), 33.
[17]
¹⁷ Plato, Republic, 473c–480a.
[18]
¹⁸ Plato, Symposium, in Plato:
Complete Works, ed. John M. Cooper
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 210a–212b.
[19]
¹⁹ Martha C. Nussbaum, The
Fragility of Goodness: Luck and Ethics in Greek Tragedy and Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1986), 192.
[20]
²⁰ James Lesher, “Perceiving and Knowing in the Platonic Dialogues,” The Review of Metaphysics 31, no. 2 (1977): 254–257.
[21]
²¹ Desmond Lee, Plato and the Theory of
Forms (London: Routledge, 2001),
145.
[22]
²² Roger Scruton, Beauty: A Very Short
Introduction (Oxford: Oxford
University Press, 2009), 26.
[23]
²³ John Dillon, The Middle Platonists:
80 B.C. to A.D. 220 (Ithaca: Cornell
University Press, 1977), 37.
[24]
²⁴ W. K. C. Guthrie, A
History of Greek Philosophy, Vol. 5,
148.
[25]
²⁵ Etienne Gilson, The Unity of
Philosophical Experience (New York:
Charles Scribner’s Sons, 1937), 23.
[26]
²⁶ R. A. Markus, Saeculum: History and
Society in the Theology of St. Augustine (Cambridge: Cambridge University Press, 1970), 67.
[27]
²⁷ John Dillon, The Heirs of Plato: A
Study of the Old Academy (Oxford:
Oxford University Press, 2003), 30.
[28]
²⁸ Plotinus, The Enneads, trans. A. H. Armstrong (Cambridge: Harvard
University Press, 1966), V.1–3.
[29]
²⁹ G. W. F. Hegel, Phenomenology of Spirit, trans. A. V. Miller (Oxford: Oxford University
Press, 1977), 107–108.
[30]
³⁰ Hans-Georg Gadamer, Truth
and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall (London: Bloomsbury, 2013), 25.
[31]
³¹ Alasdair MacIntyre, After
Virtue: A Study in Moral Theory
(Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1984), 48.
[32]
³² Ryszard Legutko, The
Demon in Democracy: Totalitarian Temptations in Free Societies (New York: Encounter Books, 2016), 11.
[33]
³³ Jean Baudrillard, Simulacra
and Simulation (Ann Arbor:
University of Michigan Press, 1994), 3–5.
[34]
³⁴ Frederick Copleston, A
History of Philosophy, Vol. 1: Greece and Rome, 184.
[35]
³⁵ Richard Kraut, ed., The
Cambridge Companion to Plato, 118.
11. Kesimpulan
Platonisme merupakan salah satu sistem filsafat
paling berpengaruh dalam sejarah pemikiran manusia, bukan hanya karena
kedalaman spekulatifnya, tetapi juga karena kemampuannya untuk memadukan
rasionalitas, moralitas, dan spiritualitas dalam satu kesatuan metafisik yang
utuh.¹ Melalui ajaran tentang dunia ide (Theory of Forms), Plato
menegaskan bahwa realitas sejati bersifat non-material, abadi, dan rasional,
sementara dunia inderawi hanyalah bayangan atau refleksi dari tatanan yang
lebih tinggi.² Dengan demikian, filsafat baginya bukan semata pencarian
intelektual, melainkan juga perjalanan spiritual—suatu proses penyucian jiwa
untuk kembali mengenali kebenaran dan kebaikan yang telah tertanam dalam
dirinya sejak awal (anamnesis).³
Secara ontologis, Platonisme menawarkan pandangan
dualistik yang menempatkan dunia ide sebagai sumber makna dan dasar keberadaan,
tetapi sekaligus membangun jembatan antara dunia transenden dan dunia empiris
melalui konsep partisipasi (methexis).⁴ Epistemologinya menegaskan bahwa
pengetahuan sejati hanya dapat dicapai melalui rasio dan dialektika, bukan
melalui persepsi indrawi yang menipu.⁵ Secara etis dan politis, Platonisme
memandang keadilan sebagai prinsip harmoni antara bagian-bagian jiwa maupun
struktur masyarakat, di mana rasio memimpin dan mengatur segala hal berdasarkan
kebaikan tertinggi (Idea of the Good).⁶ Dalam estetika, ia menilai seni
sebagai imitasi realitas, namun tetap mengakui peran keindahan sebagai jalan
menuju pengalaman spiritual dan kontemplasi atas kebenaran.⁷ Dengan demikian,
seluruh dimensi filsafat Plato berpuncak pada suatu prinsip integratif: bahwa
kebenaran, kebaikan, dan keindahan merupakan satu kesatuan ontologis yang tak
terpisahkan.⁸
Dalam sejarah perkembangan filsafat, Platonisme
telah menurunkan berbagai varian intelektual yang memperkaya khazanah pemikiran
Barat.⁹ Melalui Neoplatonisme, ajaran Plato diolah menjadi sistem mistik dan
kosmologis oleh Plotinus; melalui Agustinus, ia menjadi dasar teologi Kristen
tentang hubungan antara Tuhan dan dunia; melalui skolastisisme, ia menyatu
dengan Aristotelianisme dalam struktur metafisika abad pertengahan; dan melalui
idealisme modern, gagasannya dihidupkan kembali dalam bentuk kesadaran rasional
universal.¹⁰ Bahkan dalam dunia kontemporer, prinsip-prinsip Platonik tetap
menjadi inspirasi bagi filsafat matematika, etika normatif, teori pendidikan,
dan estetika modern.¹¹
Kritik terhadap Platonisme dari berbagai arah—baik
dari Aristoteles, kaum empiris, maupun eksistensialis—tidak menghapus
relevansinya, melainkan justru menegaskan kekuatan reflektifnya.¹²
Kritik-kritik tersebut menunjukkan bahwa sistem Plato, meskipun idealistik,
tetap menjadi titik tolak bagi refleksi filosofis tentang hakikat realitas dan
pengetahuan.¹³ Setiap upaya untuk menolak Platonisme pada akhirnya masih
bergerak dalam horizon yang dibukanya: pencarian akan dasar yang rasional,
tetap, dan universal di balik perubahan dunia empiris.¹⁴
Dalam konteks kehidupan intelektual modern,
Platonisme memiliki nilai yang sangat mendalam. Ia mengajarkan pentingnya
orientasi terhadap kebenaran di tengah relativisme, pentingnya keutuhan moral
di tengah fragmentasi nilai, dan pentingnya pandangan rasional di tengah
derasnya empirisisme dan teknologi.¹⁵ Alegori gua (Allegory of the Cave)
tetap menjadi simbol abadi bagi perjalanan manusia dari kegelapan kebodohan
menuju cahaya pengetahuan dan kebijaksanaan.¹⁶ Dalam dunia yang semakin
terjebak pada penampakan dan simulasi, seruan Plato untuk “berpaling dari
bayang-bayang menuju matahari kebenaran” memiliki relevansi filosofis dan etis
yang tak pernah pudar.¹⁷
Akhirnya, Platonisme dapat dipahami sebagai filsafat
integratif yang menyatukan aspek rasional, moral, dan spiritual dari
kehidupan manusia. Ia tidak berhenti pada teori tentang realitas, melainkan
menuntun manusia untuk hidup sesuai dengan keteraturan kosmos dan prinsip kebaikan
yang universal.¹⁸ Dalam pengertian ini, Platonisme bukan sekadar warisan kuno,
melainkan visi abadi tentang manusia yang rasional sekaligus spiritual—makhluk
yang dipanggil untuk mengenali ide-ide abadi, meniru kebaikan ilahi, dan
menjembatani dunia materi dengan dunia ide.¹⁹ Dengan demikian, warisan Plato
terus hidup bukan hanya dalam sejarah filsafat, tetapi dalam struktur
rasionalitas dan moralitas manusia itu sendiri: Platonisme adalah cermin
tempat akal budi melihat dirinya sebagai bagian dari tatanan abadi semesta.²⁰
Footnotes
[1]
¹ Frederick Copleston, A History of Philosophy,
Vol. 1: Greece and Rome (New York: Image Books, 1985), 185–186.
[2]
² Richard Kraut, ed., The Cambridge Companion to
Plato (Cambridge: Cambridge University Press, 1992), 122.
[3]
³ Plato, Meno, in Plato: Complete Works,
ed. John M. Cooper (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 81a–86c.
[4]
⁴ W. K. C. Guthrie, A History of Greek
Philosophy, Vol. 5: The Later Plato and the Academy (Cambridge: Cambridge
University Press, 1978), 150.
[5]
⁵ Julia Annas, An Introduction to Plato’s
Republic (Oxford: Oxford University Press, 1981), 127.
[6]
⁶ Plato, Republic, trans. G. M. A. Grube, in
Plato: Complete Works, ed. John M. Cooper (Indianapolis: Hackett
Publishing, 1997), 433a–434c.
[7]
⁷ A. E. Taylor, Plato: The Man and His Work
(London: Methuen, 1952), 245.
[8]
⁸ Gregory Vlastos, Plato’s Universe
(Seattle: University of Washington Press, 1975), 88.
[9]
⁹ John Dillon, The Middle Platonists: 80 B.C. to
A.D. 220 (Ithaca: Cornell University Press, 1977), 40.
[10]
¹⁰ Augustine, Confessions, trans. Henry
Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 1991), VII.10–16.
[11]
¹¹ G. W. F. Hegel, Phenomenology of Spirit,
trans. A. V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), 115.
[12]
¹² Aristotle, Metaphysics, trans. W. D.
Ross, in The Complete Works of Aristotle, ed. Jonathan Barnes
(Princeton: Princeton University Press, 1984), 987a–990a.
[13]
¹³ Kenneth Dorter, Form and Good in Plato’s
Eleatic Dialogues (Berkeley: University of California Press, 1994), 144.
[14]
¹⁴ Hans-Georg Gadamer, Truth and Method,
trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Bloomsbury, 2013), 27.
[15]
¹⁵ Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in
Moral Theory (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1984), 51.
[16]
¹⁶ Plato, Republic, 514a–520a.
[17]
¹⁷ Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation
(Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 7.
[18]
¹⁸ Lloyd P. Gerson, From Plato to Platonism
(Ithaca: Cornell University Press, 2013), 66.
[19]
¹⁹ R. A. Markus, Saeculum: History and Society
in the Theology of St. Augustine (Cambridge: Cambridge University Press,
1970), 70.
[20]
²⁰ Alfred North Whitehead, Process and Reality
(New York: Macmillan, 1929), 39.
Daftar Pustaka
Annas, J. (1981). An introduction to Plato’s
Republic. Oxford University Press.
Annas, J. (1993). The morality of happiness.
Oxford University Press.
Aquinas, T. (n.d.). Summa theologiae (Vol.
1). Cambridge University Press.
Aristotle. (1984). Metaphysics (W. D. Ross,
Trans.). In J. Barnes (Ed.), The complete works of Aristotle. Princeton
University Press.
Augustine. (1991). Confessions (H. Chadwick,
Trans.). Oxford University Press.
Baudrillard, J. (1994). Simulacra and simulation
(S. F. Glaser, Trans.). University of Michigan Press.
Bonaventure. (1993). Itinerarium mentis in Deum
(P. Boehner, Trans.). Hackett Publishing.
Brickhouse, T. C., & Smith, N. D. (2004). Plato
and the trial of Socrates. Routledge.
Burnet, J. (1930). Early Greek philosophy. A
& C Black.
Burnyeat, M. (2000). Plato on why mathematics is
good for the soul. In T. Smiley (Ed.), Mathematics and necessity (pp.
1–40). Oxford University Press.
Carroll, N. (1999). Philosophy of art: A
contemporary introduction. Routledge.
Copleston, F. (1985). A history of philosophy:
Vol. 1, Greece and Rome. Image Books.
Cornford, F. M. (1935). Plato’s theory of
knowledge. Routledge & Kegan Paul.
Cornford, F. M. (1945). The republic of Plato.
Oxford University Press.
Croce, B. (1953). Aesthetic as science of expression
and general linguistic. Noonday Press.
Danto, A. C. (1981). The transfiguration of the
commonplace: A philosophy of art. Harvard University Press.
Desmond, L. (2001). Plato and the theory of
forms. Routledge.
Dillon, J. (1977). The middle Platonists: 80
B.C. to A.D. 220. Cornell University Press.
Dillon, J. (2003). The heirs of Plato: A study
of the Old Academy. Oxford University Press.
Dorter, K. (1994). Form and good in Plato’s
Eleatic dialogues: The Parmenides, Theaetetus, Sophist, and Statesman.
University of California Press.
Eagleton, T. (1976). Marxism and literary
criticism. University of California Press.
Ewing, A. C. (1957). The idealist tradition:
From Berkeley to Blanshard. Methuen.
Fine, G. (1999). Plato 1: Metaphysics and epistemology.
Oxford University Press.
Ficino, M. (1576). Theologia Platonica de
immortalitate animae. Henricus Petrus.
Gadamer, H.-G. (2013). Truth and method (J.
Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). Bloomsbury.
Gerson, L. P. (2013). From Plato to Platonism.
Cornell University Press.
Gilson, E. (1940). The spirit of medieval
philosophy. Scribner.
Gilson, E. (1937). The unity of philosophical
experience. Charles Scribner’s Sons.
Gödel, K. (1995). Collected works, Vol. III:
Unpublished essays and lectures (S. Feferman, Ed.). Oxford University
Press.
Guyer, P. (1987). Kant and the claims of
knowledge. Cambridge University Press.
Guthrie, W. K. C. (1975). A history of Greek
philosophy, Vol. 4: Plato, the man and his dialogues: Earlier period.
Cambridge University Press.
Guthrie, W. K. C. (1978). A history of Greek
philosophy, Vol. 5: The later Plato and the Academy. Cambridge University
Press.
Guthrie, W. K. C. (1981). A history of Greek
philosophy, Vol. 6: Aristotle. Cambridge University Press.
Hankins, J. (1990). Plato in the Italian
Renaissance. Brill.
Hegel, G. W. F. (1977). Phenomenology of spirit
(A. V. Miller, Trans.). Oxford University Press.
Heidegger, M. (1962). Being and time (J.
Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.
Hume, D. (2000). An enquiry concerning human
understanding. Oxford University Press.
Husserl, E. (1982). Ideas pertaining to a pure
phenomenology and to a phenomenological philosophy (F. Kersten, Trans.).
Nijhoff.
Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P.
Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University Press.
Kristeller, P. O. (1979). Renaissance thought
and its sources. Columbia University Press.
Kraut, R. (Ed.). (1992). The Cambridge companion
to Plato. Cambridge University Press.
Lee, D. (2001). Plato and the theory of forms.
Routledge.
Legutko, R. (2016). The demon in democracy:
Totalitarian temptations in free societies. Encounter Books.
Lesher, J. (1977). Perceiving and knowing in the
Platonic dialogues. The Review of Metaphysics, 31(2), 253–273.
Locke, J. (1690). An essay concerning human
understanding. Thomas Basset.
MacIntyre, A. (1984). After virtue: A study in
moral theory. University of Notre Dame Press.
Maddy, P. (1990). Realism in mathematics.
Oxford University Press.
Markus, R. A. (1970). Saeculum: History and
society in the theology of St. Augustine. Cambridge University Press.
Marx, K. (1970). Theses on Feuerbach. In C.
J. Arthur (Ed.), The German ideology. International Publishers.
Maddy, P. (1990). Realism in mathematics.
Oxford University Press.
Nietzsche, F. (1966). Beyond good and evil
(W. Kaufmann, Trans.). Vintage.
Nietzsche, F. (1990). Twilight of the idols
(R. J. Hollingdale, Trans.). Penguin.
Nussbaum, M. C. (1986). The fragility of
goodness: Luck and ethics in Greek tragedy and philosophy. Cambridge
University Press.
Nussbaum, M. C. (1997). Cultivating humanity: A
classical defense of reform in liberal education. Harvard University Press.
O’Meara, D. J. (2003). Platonopolis: Platonic
political philosophy in late antiquity. Clarendon Press.
Panofsky, E. (1960). Renaissance and renascences
in Western art. Harper & Row.
Plato. (1997). Plato: Complete works (J. M.
Cooper, Ed.). Hackett Publishing.
Plotinus. (1966). The Enneads (A. H.
Armstrong, Trans.). Harvard University Press.
Reeve, C. D. C. (1988). Philosopher-kings: The
argument of Plato’s Republic. Princeton University Press.
Rist, J. M. (2012). Plato’s moral realism: The
discovery of the presuppositions of ethics. Catholic University of America
Press.
Robinson, T. M. (1995). Plato’s psychology.
University of Toronto Press.
Ross, D. (1951). Plato’s theory of ideas.
Oxford University Press.
Russell, B. (1912). The problems of philosophy.
Oxford University Press.
Sartre, J.-P. (1956). Being and nothingness
(H. E. Barnes, Trans.). Washington Square Press.
Scruton, R. (2009). Beauty: A very short
introduction. Oxford University Press.
Scott, D. (1995). Recollection and experience:
Plato’s theory of learning and its successors. Cambridge University Press.
Sextus Empiricus. (1933). Outlines of Pyrrhonism
(R. G. Bury, Trans.). Harvard University Press.
Solomon, R. C. (1983). In the spirit of Hegel.
Oxford University Press.
Taylor, A. E. (1952). Plato: The man and his
work. Methuen.
Trinkaus, C. (1970). In our image and likeness:
Humanity and divinity in Italian humanist thought. University of Chicago
Press.
Vlastos, G. (1975). Plato’s universe.
University of Washington Press.
White, N. (1979). A companion to Plato’s
Republic. Hackett Publishing.
Whitehead, A. N. (1929). Process and reality.
Macmillan.
Williams, B. (1985). Ethics and the limits of
philosophy. Harvard University Press.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar