Selasa, 02 Desember 2025

Nihilisme Kontemporer: Krisis Makna, Subjektivitas, dan Tantangan Etika di Era Postmodern

Nihilisme Kontemporer

Krisis Makna, Subjektivitas, dan Tantangan Etika di Era Postmodern


Alihkan ke: Aliran Sejarah Filsafat.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif fenomena Nihilisme Kontemporer sebagai salah satu arus pemikiran paling signifikan dalam sejarah filsafat modern dan postmodern. Berangkat dari akar historisnya dalam skeptisisme Yunani dan puncaknya pada pemikiran Friedrich Nietzsche, nihilisme ditelusuri sebagai konsekuensi logis dari proyek modernitas yang menyingkirkan fondasi transendensi dan nilai absolut. Kajian ini menelaah dimensi ontologis, epistemologis, etis, dan estetis dari nihilisme, sekaligus menunjukkan pergeseran makna dari sekadar kehampaan metafisik menuju fenomena kultural dan eksistensial yang kompleks. Dalam ontologi, nihilisme menyingkap ketiadaan sebagai bagian inheren dari realitas; dalam epistemologi, ia menggugat klaim objektivitas dan menegaskan kebenaran sebagai konstruksi interpretatif; dalam etika, nihilisme menghadirkan tantangan terhadap moralitas absolut dan membuka ruang bagi tanggung jawab eksistensial; sedangkan dalam estetika, ia memunculkan budaya absurditas dan hiperrealitas sebagai refleksi atas krisis makna manusia modern.

Artikel ini juga menelaah kritik terhadap nihilisme dari perspektif teologis, humanistik, eksistensialis, dan hermeneutik, yang menegaskan perlunya rekonstruksi makna tanpa kembali pada absolutisme lama. Dalam bagian sintesis filosofis, nihilisme ditafsirkan ulang bukan sebagai akhir makna, melainkan sebagai horizon reflektif baru—ruang di mana manusia dapat mencipta, menafsir, dan menegaskan keberadaannya secara bebas namun bertanggung jawab. Melalui pendekatan hermeneutik dan eksistensial, artikel ini menegaskan bahwa nihilisme, alih-alih membawa kehancuran, justru menjadi titik balik kesadaran filosofis menuju bentuk kehidupan yang lebih otentik, plural, dan reflektif di tengah dunia yang kehilangan kepastian metafisik.

Kata Kunci: Nihilisme, Eksistensialisme, Ontologi Ketiadaan, Postmodernisme, Etika Tanggung Jawab, Hermeneutika, Krisis Makna, Filsafat Kontemporer, Heidegger, Nietzsche.


PEMBAHASAN

Nihilisme Kontemporer dan Implikasinya terhadap Pemikiran Filsafat, Etika, dan Budaya


1.           Pendahuluan

Dalam sejarah filsafat, nihilisme menempati posisi yang paradoksal: di satu sisi, ia merupakan kritik tajam terhadap sistem nilai tradisional; di sisi lain, ia menandai krisis mendalam dalam upaya manusia mencari makna. Secara etimologis, istilah nihilisme berasal dari kata Latin nihil, yang berarti “tidak ada.” Dalam konteks filsafat, nihilisme menunjuk pada keyakinan bahwa kehidupan dan realitas pada dasarnya tidak memiliki makna, nilai, atau tujuan yang intrinsik.¹ Fenomena ini menjadi semakin relevan dalam era kontemporer yang ditandai oleh relativisme moral, krisis spiritual, dan kejatuhan metanarasi besar tentang kebenaran.

Akar historis nihilisme dapat dilacak sejak zaman modern, khususnya melalui karya Friedrich Nietzsche, yang menyatakan bahwa “Tuhan telah mati” (Gott ist tot) sebagai metafora bagi runtuhnya dasar transenden bagi nilai-nilai moral Barat.² Bagi Nietzsche, nihilisme adalah konsekuensi logis dari proyek rasionalisme dan sekularisme modern, yang mengikis kepercayaan pada fondasi metafisik dan menggantinya dengan konstruksi manusia yang rapuh.³ Namun, nihilisme yang diartikulasikan Nietzsche bukan sekadar pesimisme pasif, melainkan panggilan untuk menciptakan nilai-nilai baru melalui afirmasi kehidupan.⁴

Dalam abad ke-20 dan 21, nihilisme berkembang melampaui ranah metafisika menjadi fenomena eksistensial, kultural, dan epistemologis. Martin Heidegger menafsirkan nihilisme sebagai “kelupaan terhadap Ada” (Seinsvergessenheit), di mana manusia modern terperangkap dalam dunia teknologis yang menginstrumentalisasi keberadaan tanpa memahami maknanya.⁵ Jean Baudrillard dan Jean-François Lyotard melanjutkan wacana ini dalam konteks postmodernisme, dengan menegaskan bahwa makna kini telah digantikan oleh simulasi dan permainan tanda-tanda yang kehilangan referensi terhadap realitas.⁶ Akibatnya, nihilisme tidak lagi hanya menyangkut ketidakpercayaan terhadap nilai-nilai metafisik, melainkan juga terhadap kemampuan bahasa, narasi, dan rasio untuk menyingkap kebenaran.

Krisis makna yang dihadirkan oleh nihilisme kontemporer mencerminkan kondisi masyarakat global yang dilanda alienasi, fragmentasi identitas, serta kelelahan spiritual. Dalam lanskap sosial yang didominasi oleh teknologi, konsumsi, dan kecepatan informasi, manusia menghadapi kekosongan eksistensial yang menuntut refleksi baru tentang hakikat keberadaan dan nilai.⁷ Oleh karena itu, pembahasan tentang nihilisme kontemporer menjadi penting bukan hanya sebagai kajian teoretis, melainkan juga sebagai upaya memahami kondisi ontologis dan etis manusia modern. Artikel ini bertujuan untuk menelusuri dimensi historis, ontologis, epistemologis, etis, dan estetis dari nihilisme kontemporer, serta mencari kemungkinan sintesis filosofis yang dapat membuka ruang bagi rekonstruksi makna dalam dunia yang tampak tanpa makna.


Footnotes

[1]                Julian Young, Nietzsche’s Philosophy of Religion (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 15.

[2]                Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1974), 108.

[3]                Martin Heidegger, Nietzsche, Volume I: The Will to Power as Art, trans. David Farrell Krell (San Francisco: Harper & Row, 1979), 6–8.

[4]                Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, trans. R. J. Hollingdale (London: Penguin Books, 1961), 22–25.

[5]                Martin Heidegger, The Question Concerning Technology, trans. William Lovitt (New York: Harper & Row, 1977), 3–5.

[6]                Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation, trans. Sheila Faria Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 1–6; Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), xxiv–xxv.

[7]                Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O’Brien (New York: Vintage International, 1991), 10–12.


2.           Landasan Historis dan Genealogis

Nihilisme sebagai konsep filsafat tidak muncul secara tiba-tiba; ia merupakan hasil dari perjalanan panjang pemikiran Barat yang berakar pada pertanyaan tentang makna, kebenaran, dan nilai. Dalam sejarah intelektualnya, nihilisme dapat dipahami sebagai respons terhadap krisis rasionalitas dan kehilangan dasar metafisik yang selama berabad-abad menopang pandangan dunia manusia. Genealogi nihilisme menyingkap dinamika perubahan dari kepercayaan metafisik klasik menuju relativisme dan dekonstruksi nilai-nilai dalam modernitas dan postmodernitas.

2.1.       Akar Klasik: Skeptisisme dan Krisis Metafisika

Bentuk awal dari nihilisme dapat ditelusuri dalam tradisi skeptisisme Yunani kuno, khususnya pada Pyrrho dan Sextus Empiricus, yang meragukan kemampuan manusia untuk mencapai pengetahuan yang pasti.¹ Meskipun tidak secara eksplisit menolak makna atau nilai, skeptisisme klasik menanamkan benih keraguan terhadap keutuhan rasionalitas dan kepastian metafisik yang kelak berkembang menjadi nihilisme. Plato, dalam dialog Phaedo dan Republic, telah memperingatkan tentang bahaya kehilangan orientasi moral ketika manusia tidak lagi mempercayai eksistensi kebaikan yang absolut.² Aristoteles, sebaliknya, menegaskan pentingnya telos sebagai prinsip tujuan dalam setiap realitas—suatu pandangan yang kelak ditantang oleh filsafat modern yang menolak finalitas.³

2.2.       Masa Modern Awal: Destrukturisasi Fondasi Metafisik

Peralihan menuju modernitas membawa transformasi mendasar dalam cara manusia memahami realitas. René Descartes, dengan semboyan cogito ergo sum, memusatkan seluruh kepastian pada subjek berpikir, menggantikan tatanan ontologis tradisional dengan epistemologi yang berpusat pada kesadaran individual.⁴ Paradigma ini membuka jalan bagi rasionalisme dan empirisme, tetapi sekaligus menyingkirkan gagasan tentang nilai objektif dan tujuan kosmis. Ketika sains dan teknologi mulai mendominasi wacana intelektual, metafisika Aristotelian dan teologi skolastik dianggap usang.⁵ Dengan demikian, nihilisme mulai berakar sebagai konsekuensi dari sekularisasi dan penghapusan dasar transenden bagi makna kehidupan.

2.3.       Nietzsche dan Puncak Nihilisme Modern

Friedrich Nietzsche merupakan tokoh yang pertama kali secara eksplisit mendiagnosis nihilisme sebagai “penyakit kebudayaan Barat.”⁶ Menurutnya, nihilisme adalah hasil dari kehancuran sistem nilai tradisional yang dibangun di atas kepercayaan pada Tuhan dan rasionalitas universal. Dalam karyanya The Will to Power, Nietzsche menyebut nihilisme sebagai “logika paling ekstrem dari kebenaran,” di mana pencarian kebenaran mutlak akhirnya menghancurkan dirinya sendiri.⁷ Kematian Tuhan menandai berakhirnya jaminan transenden bagi moralitas dan pengetahuan, sekaligus menuntut manusia untuk menciptakan nilai-nilai baru secara otonom.⁸ Dengan demikian, nihilisme Nietzsche bersifat ambivalen: destruktif terhadap nilai lama, tetapi juga kreatif dalam membuka kemungkinan afirmasi baru atas kehidupan.

2.4.       Heidegger dan Nihilisme Metafisik

Martin Heidegger menafsirkan nihilisme sebagai kelanjutan dari sejarah metafisika Barat yang telah melupakan pertanyaan mendasar tentang Ada (Sein).⁹ Dalam pandangannya, seluruh tradisi filsafat sejak Plato hingga Nietzsche terjebak dalam cara berpikir yang hanya memahami realitas sebagai ente (ada yang hadir), bukan sebagai Sein (keberadaan itu sendiri). Akibatnya, manusia modern terasing dari makna ontologis dunia dan tenggelam dalam cara berpikir teknologis yang reduksionis.¹⁰ Heidegger menyebut fenomena ini sebagai Seinsvergessenheit—kelupaan terhadap makna Ada—yang menjadi bentuk terdalam dari nihilisme metafisik.¹¹


Nihilisme Postmodern: Dekonstruksi dan Krisis Makna

Memasuki abad ke-20, nihilisme mengalami transformasi dalam konteks postmodernisme. Jean-François Lyotard menyatakan bahwa zaman postmodern ditandai oleh “ketidakpercayaan terhadap metanarasi.”¹² Sementara Jean Baudrillard menegaskan bahwa dalam masyarakat konsumsi dan media, realitas telah digantikan oleh simulakra—tiruan yang tidak lagi memiliki referensi terhadap kenyataan.¹³ Dalam perspektif ini, nihilisme bukan lagi hanya ketiadaan nilai metafisik, melainkan ketiadaan realitas itu sendiri. Kehidupan manusia menjadi permainan tanda dan citra tanpa makna intrinsik, menciptakan bentuk nihilisme baru yang bersifat kultural dan simbolik.


Footnotes

[1]                Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism, trans. R. G. Bury (Cambridge: Harvard University Press, 1933), 21–23.

[2]                Plato, Republic, trans. G. M. A. Grube (Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 509d–511e.

[3]                Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), 982b–983a.

[4]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 17–18.

[5]                Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge: Harvard University Press, 2007), 26–30.

[6]                Friedrich Nietzsche, The Will to Power, trans. Walter Kaufmann and R. J. Hollingdale (New York: Vintage Books, 1967), §2.

[7]                Ibid., §12.

[8]                Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, trans. R. J. Hollingdale (London: Penguin Books, 1961), 27–30.

[9]                Martin Heidegger, Nietzsche, Volume I: The Will to Power as Art, trans. David Farrell Krell (San Francisco: Harper & Row, 1979), 208.

[10]             Martin Heidegger, The Question Concerning Technology, trans. William Lovitt (New York: Harper & Row, 1977), 3–5.

[11]             Martin Heidegger, Introduction to Metaphysics, trans. Gregory Fried and Richard Polt (New Haven: Yale University Press, 2014), 14–15.

[12]             Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), xxiv.

[13]             Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation, trans. Sheila Faria Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 1–6.


3.           Ontologi Nihilisme: Ketiadaan sebagai Realitas

Ontologi nihilisme berpusat pada persoalan paling mendasar dalam filsafat: apakah “ketiadaan” (nothingness) memiliki status ontologis? Dalam tradisi metafisika klasik, “ada” (being) selalu dipahami sebagai dasar segala sesuatu, sedangkan “tidak ada” hanyalah negasi murni, suatu ketiadaan tanpa makna.¹ Namun, nihilisme menggugat pandangan ini dengan mempertanyakan: bagaimana jika ketiadaan justru menjadi bagian inheren dari realitas itu sendiri? Pertanyaan ini bukan sekadar permainan konseptual, melainkan pergeseran paradigma dalam memahami eksistensi manusia dan dunia.

3.1.       Dari Ada ke Ketiadaan: Pergeseran Ontologis dalam Modernitas

Dalam pandangan ontologi klasik Aristotelian, keberadaan (to on) bersifat teleologis—setiap entitas memiliki telos, tujuan atau arah kodrati menuju kesempurnaan.² Pandangan ini bertahan hingga era skolastik melalui Sintesis Thomistik yang menempatkan Tuhan sebagai actus purus, sumber mutlak dari segala eksistensi.³ Namun, modernitas memutus hubungan antara dunia dan dasar metafisiknya: Tuhan tidak lagi menjadi fondasi ontologis, melainkan ide yang ditinggalkan di altar rasionalitas. Dengan hilangnya prinsip ens causa sui, realitas kehilangan makna internal, dan ketiadaan menjadi bayangan permanen dari keberadaan itu sendiri.⁴

Nietzsche menggambarkan kondisi ini sebagai “runtuhnya dunia sejati” (der Untergang der wahren Welt), yaitu ketika gagasan tentang realitas objektif, nilai, dan makna yang transenden hancur, meninggalkan manusia dalam dunia tanpa arah.⁵ Dalam kondisi demikian, ada tidak lagi memiliki jaminan metafisik; ia menjadi “retak dari dalam,” di mana nihilisme membuka celah antara eksistensi dan makna. Ontologi nihilistik dengan demikian tidak meniadakan keberadaan, melainkan menyingkap kekosongan dalam jantung keberadaan itu sendiri.

3.2.       Heidegger dan “Das Nichts”: Ketiadaan sebagai Dimensi Pengungkapan

Martin Heidegger memberikan salah satu analisis paling mendalam mengenai ketiadaan dalam kuliahnya Was ist Metaphysik? (1929). Ia menolak pemahaman ketiadaan sebagai sekadar negasi logis dan menafsirkannya sebagai sesuatu yang mengungkap “Ada.”⁶ Menurut Heidegger, ketiadaan bukanlah non-being, melainkan pengalaman eksistensial yang membuka manusia terhadap kehadiran Ada. “Ketiadaan bukan meniadakan,” tulisnya, “melainkan membiarkan sesuatu tampak sebagaimana adanya.”⁷ Dalam momen keprihatinan eksistensial (Angst), manusia mengalami ketiadaan bukan sebagai kehilangan, tetapi sebagai wahana penyingkapan makna keberadaan.⁸

Heidegger dengan demikian memulihkan status ontologis ketiadaan: ia bukan lawan dari ada, melainkan kondisi kemungkinan bagi pengungkapan ada. Pandangan ini membawa konsekuensi penting bagi nihilisme, karena ketiadaan tidak lagi sekadar kehampaan destruktif, tetapi horizon tempat makna dapat muncul. Dengan kata lain, nihilisme membuka jalan bagi ontologi yang lebih otentik, di mana manusia menyadari keberadaannya sebagai ada-yang-terbatas di hadapan misteri Ada itu sendiri.⁹

3.3.       Sartre dan “Le Néant”: Ketiadaan dalam Eksistensi Manusia

Jean-Paul Sartre melanjutkan tradisi ontologi nihilistik melalui analisis eksistensial dalam L’Être et le Néant (1943). Baginya, ketiadaan bukanlah entitas metafisik, melainkan fungsi kesadaran yang memungkinkan kebebasan.¹⁰ Kesadaran (pour-soi) selalu membedakan dirinya dari ada (en-soi), dan dalam jarak reflektif itulah “ketiadaan” muncul. Sartre menulis: “Kesadaran adalah ketiadaan yang mengada.”¹¹ Dengan demikian, manusia secara ontologis adalah makhluk nihilistik—ia bukan sesuatu yang tetap, tetapi proyek yang senantiasa meniadakan dirinya untuk menjadi sesuatu yang lain.

Ketiadaan dalam eksistensialisme Sartre adalah sumber kebebasan sekaligus kecemasan (angoisse). Tanpa fondasi metafisik, manusia sepenuhnya bertanggung jawab atas penciptaan maknanya sendiri.¹² Di sinilah nihilisme memperoleh dimensi etis dan eksistensial: manusia menjadi satu-satunya pencipta nilai dalam dunia yang hampa makna. Namun, kebebasan ini juga merupakan beban, karena dalam setiap pilihan, manusia berhadapan dengan kekosongan dasar realitas.¹³


Ontologi Negatif dan Horizon Kontemporer

Dalam pemikiran kontemporer, filsuf seperti Emmanuel Levinas dan Maurice Blanchot memperluas ontologi nihilistik menuju “ontologi negatif.” Levinas menolak totalisasi ontologis ala Heidegger dan menegaskan bahwa di luar ada terdapat “yang lain” (l’Autre) yang tak dapat direduksi pada keberadaan.¹⁴ Sementara Blanchot memandang ketiadaan sebagai “malam eksistensi,” di mana bahasa, makna, dan identitas manusia larut ke dalam ambiguitas yang tak terselesaikan.¹⁵

Dalam konteks ini, ketiadaan bukan lagi sekadar oposisi terhadap keberadaan, melainkan realitas laten yang mengiringi setiap pengalaman manusia. Nihilisme kontemporer, dengan demikian, menghadirkan sebuah ontologi ambang—di mana ada dan tidak ada tidak saling meniadakan, tetapi saling mengandaikan dalam dinamika pengungkapan makna yang tak pernah final.¹⁶


Footnotes

[1]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Brothers, 1947), I, q.3, a.4.

[2]                Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), 982b–983a.

[3]                Etienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1956), 58–61.

[4]                Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 28–32.

[5]                Friedrich Nietzsche, Twilight of the Idols, trans. R. J. Hollingdale (London: Penguin Books, 1990), 50–52.

[6]                Martin Heidegger, What Is Metaphysics?, trans. David Farrell Krell (Chicago: Gateway Editions, 1949), 101–103.

[7]                Ibid., 104.

[8]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 231–234.

[9]                Hubert Dreyfus, Being-in-the-World: A Commentary on Heidegger’s Being and Time (Cambridge: MIT Press, 1991), 21–25.

[10]             Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1956), 19–22.

[11]             Ibid., 23.

[12]             Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Philip Mairet (New Haven: Yale University Press, 2007), 27–29.

[13]             Thomas Flynn, Sartre and Marxist Existentialism (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 41–43.

[14]             Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 41–44.

[15]             Maurice Blanchot, The Space of Literature, trans. Ann Smock (Lincoln: University of Nebraska Press, 1982), 48–50.

[16]             Gianni Vattimo, The End of Modernity: Nihilism and Hermeneutics in Postmodern Culture, trans. Jon R. Snyder (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1988), 3–6.


4.           Epistemologi Nihilisme: Kebenaran sebagai Konstruksi

Epistemologi nihilisme menyoroti krisis mendasar dalam pemahaman manusia tentang kebenaran dan pengetahuan. Jika dalam tradisi klasik kebenaran dipandang sebagai korespondensi antara pikiran dan realitas (adaequatio intellectus et rei), maka dalam horizon nihilistik, pandangan ini dianggap usang karena bertumpu pada asumsi adanya realitas objektif dan rasionalitas universal.¹ Nihilisme epistemologis lahir dari kesadaran bahwa setiap klaim kebenaran merupakan konstruksi yang terikat pada perspektif, bahasa, dan kekuasaan. Kebenaran tidak lagi bersifat absolut, melainkan relatif terhadap konteks sosial, historis, dan linguistik di mana ia dihasilkan.

4.1.       Krisis Rasionalitas dan Kebenaran Objektif

Pencerahan Eropa abad ke-17 dan 18 menjanjikan pembebasan manusia melalui rasio. Namun, proyek rasionalisme yang dikembangkan oleh Descartes, Kant, dan para ilmuwan modern justru melahirkan bentuk baru dari dogmatisme: kepercayaan pada kemampuan akal untuk menemukan kebenaran universal dan obyektif.² Nietzsche menentang ilusi ini dengan menyatakan bahwa “tidak ada fakta, hanya interpretasi.”³ Bagi Nietzsche, konsep kebenaran sebagai representasi objektif hanyalah metafor yang dilupakan sebagai metafor.⁴ Dalam pandangan ini, seluruh sistem pengetahuan manusia adalah hasil konstruksi interpretatif yang pada dasarnya bersifat estetis dan perspektival.

Epistemologi modern, dengan klaimnya terhadap netralitas ilmiah, telah menyingkirkan dimensi nilai dan makna, menggantikan keduanya dengan kuantifikasi dan kalkulasi.⁵ Namun, nihilisme menyingkap bahwa di balik rasionalitas yang tampak objektif terdapat kehendak untuk berkuasa (der Wille zur Macht)—suatu dorongan metafisis yang justru menentukan arah pengetahuan manusia.⁶ Dengan demikian, nihilisme epistemologis bukan sekadar skeptisisme terhadap kebenaran, tetapi kritik terhadap klaim netralitas pengetahuan yang selalu berakar pada kekuasaan dan interpretasi.

4.2.       Bahasa, Penanda, dan Dekonstruksi Kebenaran

Dalam perkembangan pasca-strukturalisme, konsep nihilistik tentang kebenaran semakin mendalam melalui analisis terhadap bahasa dan tanda. Jacques Derrida, melalui konsep différance, menunjukkan bahwa makna tidak pernah hadir secara penuh, melainkan selalu tertunda dalam jaringan tanda yang saling merujuk tanpa titik akhir.⁷ Bahasa tidak merepresentasikan realitas; ia menciptakan realitas melalui perbedaan dan penundaan makna. Akibatnya, kebenaran tidak lagi dipahami sebagai kesesuaian dengan realitas, melainkan sebagai hasil permainan tekstual yang tak berkesudahan.⁸

Jean Baudrillard melangkah lebih jauh dengan menyatakan bahwa dalam masyarakat kontemporer, tanda tidak lagi memiliki referensi terhadap realitas; yang ada hanyalah simulacra—tiruan yang tidak memiliki dasar.⁹ Kebenaran berubah menjadi hiperkebenaran, di mana citra dan informasi menggantikan kenyataan itu sendiri. Dalam konteks ini, nihilisme epistemologis menemukan manifestasi ekstremnya: dunia tanpa kebenaran sejati, hanya permainan ilusi yang disahkan oleh media dan teknologi.¹⁰

4.3.       Relativisme Pengetahuan dan Post-Truth Society

Abad ke-21 ditandai oleh munculnya apa yang disebut “era post-truth,” di mana kebenaran menjadi subordinat terhadap emosi, opini, dan kepentingan politik.¹¹ Dalam masyarakat digital, informasi tersebar tanpa mekanisme verifikasi yang kokoh, sementara algoritma memperkuat bias dan membentuk “gelembung kognitif.”¹² Kondisi ini merepresentasikan nihilisme epistemologis dalam bentuk sosialnya: kebenaran kehilangan legitimasi karena setiap klaim dapat dikonstruksi ulang sesuai preferensi individu atau kelompok.

Richard Rorty, dalam kerangka pragmatisme postmodern, berpendapat bahwa kebenaran bukan sesuatu yang harus “ditemukan,” melainkan sesuatu yang “dibuat” melalui konsensus sosial dan praktik diskursif.¹³ Dengan demikian, epistemologi nihilisme mengandung dimensi politis: pengetahuan tidak lagi netral, melainkan arena perjuangan tafsir yang menentukan siapa yang memiliki otoritas untuk mendefinisikan realitas.¹⁴


Nihilisme dan Hermeneutika Kritis

Meskipun nihilisme epistemologis tampak destruktif, beberapa pemikir kontemporer seperti Gianni Vattimo dan Paul Ricoeur berusaha menafsirkan ulang kondisi ini sebagai peluang untuk pembebasan interpretatif. Vattimo menamakan fenomena ini sebagai pensiero debole (pemikiran lemah)—sebuah paradigma di mana manusia meninggalkan klaim absolut terhadap kebenaran dan membuka diri terhadap pluralitas makna.¹⁵ Sementara Ricoeur menekankan pentingnya hermeneutika kecurigaan, yakni kesadaran bahwa setiap wacana kebenaran harus dibaca secara kritis untuk menyingkap kekuatan dan ideologi di baliknya.¹⁶

Dalam konteks ini, nihilisme epistemologis bukan akhir dari pencarian kebenaran, tetapi transisi menuju kesadaran hermeneutis yang lebih reflektif. Kebenaran tidak lagi dipahami sebagai korespondensi yang statis, melainkan sebagai proses interpretatif yang terbuka dan historis. Dengan demikian, nihilisme epistemologis justru dapat membuka ruang bagi etika dialog, tanggung jawab pengetahuan, dan pengakuan terhadap keterbatasan manusia dalam memahami dunia.¹⁷


Footnotes

[1]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Brothers, 1947), I, q.16, a.1.

[2]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 67–71.

[3]                Friedrich Nietzsche, The Will to Power, trans. Walter Kaufmann and R. J. Hollingdale (New York: Vintage Books, 1967), §481.

[4]                Friedrich Nietzsche, “On Truth and Lies in a Nonmoral Sense,” in The Portable Nietzsche, ed. and trans. Walter Kaufmann (New York: Viking Press, 1954), 42–47.

[5]                Max Weber, Science as a Vocation, trans. H. H. Gerth and C. Wright Mills (New York: Oxford University Press, 1946), 129–130.

[6]                Gilles Deleuze, Nietzsche and Philosophy, trans. Hugh Tomlinson (New York: Columbia University Press, 1983), 57–60.

[7]                Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 63–65.

[8]                Ibid., 74–75.

[9]                Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation, trans. Sheila Faria Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 1–6.

[10]             Ibid., 11–12.

[11]             Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge: MIT Press, 2018), 3–4.

[12]             Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 244–246.

[13]             Richard Rorty, Contingency, Irony, and Solidarity (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 8–9.

[14]             Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings, 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980), 131–133.

[15]             Gianni Vattimo, The End of Modernity: Nihilism and Hermeneutics in Postmodern Culture, trans. Jon R. Snyder (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1988), 3–7.

[16]             Paul Ricoeur, Freud and Philosophy: An Essay on Interpretation, trans. Denis Savage (New Haven: Yale University Press, 1970), 32–35.

[17]             Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 269–272.


5.           Etika dan Implikasi Moral

Etika dalam konteks nihilisme kontemporer menghadapi paradoks mendasar: bagaimana mungkin berbicara tentang moralitas di dunia yang kehilangan dasar nilai transenden? Nihilisme, dengan penolakannya terhadap absolutisme moral, mengguncang seluruh fondasi etika tradisional yang selama berabad-abad bersandar pada metafisika Tuhan, hukum kodrati, atau rasionalitas universal.¹ Dalam kerangka ini, nihilisme tidak sekadar menolak nilai-nilai lama, tetapi menyingkap kehampaan di balik sistem moral yang diklaim universal. Namun demikian, kehampaan ini tidak selalu berarti kehancuran total; ia juga membuka peluang bagi rekonstruksi etika yang lebih otentik dan eksistensial.

5.1.       Krisis Nilai dan Moralitas Tradisional

Friedrich Nietzsche menegaskan bahwa nihilisme muncul sebagai konsekuensi logis dari “kematian Tuhan,” yakni lenyapnya sumber nilai absolut yang selama ini menopang moralitas Barat.² Ketika nilai-nilai ilahi kehilangan kredibilitasnya, manusia berhadapan dengan dunia tanpa fondasi moral yang pasti. Nietzsche menyebut kondisi ini sebagai nihilisme pasif, di mana manusia masih bergantung pada nilai-nilai lama yang telah kehilangan maknanya.³ Sebaliknya, nihilisme aktif menuntut penciptaan nilai baru yang lahir dari kehendak untuk berkuasa (der Wille zur Macht), bukan dari otoritas eksternal.⁴

Dengan demikian, nihilisme menantang moralitas heteronom—yakni moralitas yang berasal dari sumber luar diri manusia, baik itu agama, tradisi, atau institusi sosial. Ia menuntut moralitas otonom yang berakar pada kehendak manusia sendiri. Namun, tantangan etis muncul: tanpa dasar transenden, bagaimana manusia dapat membedakan yang baik dari yang jahat? Apakah moralitas hanyalah konstruksi sosial yang berubah-ubah tanpa landasan objektif? Pertanyaan ini menjadi inti dari krisis etika modern.⁵

5.2.       Eksistensialisme dan Penciptaan Nilai Baru

Jean-Paul Sartre, yang melanjutkan warisan nihilisme Nietzschean, menjawab krisis ini dengan menegaskan bahwa manusia “dikutuk untuk bebas.”⁶ Dalam dunia tanpa Tuhan, tidak ada nilai moral yang diberikan sebelumnya (a priori); manusia sendirilah yang bertanggung jawab menciptakan makna dan nilai bagi eksistensinya.⁷ Dalam hal ini, moralitas bukan sistem aturan eksternal, melainkan ekspresi kebebasan dan tanggung jawab eksistensial. Sartre menulis: “Ketika kita memilih, kita tidak hanya memilih bagi diri sendiri, tetapi juga bagi seluruh umat manusia.”⁸

Albert Camus, dalam The Myth of Sisyphus, menawarkan perspektif serupa melalui konsep “pemberontakan metafisik” (révolte métaphysique).⁹ Bagi Camus, kesadaran akan absurditas hidup bukan alasan untuk menyerah, melainkan kesempatan untuk menegaskan nilai kehidupan itu sendiri melalui tindakan yang sadar dan jujur.¹⁰ Etika nihilistik, dalam pandangan Camus, bukanlah etika kehampaan, tetapi etika keberanian untuk tetap hidup dan memberi makna meskipun dunia tampak tanpa tujuan.¹¹

5.3.       Relativisme Moral dan Tantangan Sosial

Krisis nilai dalam nihilisme juga berdampak luas terhadap kehidupan sosial dan politik. Tanpa prinsip moral universal, masyarakat berisiko terperosok dalam relativisme ekstrem di mana setiap tindakan dapat dibenarkan berdasarkan preferensi subjektif.¹² Jean-François Lyotard menggambarkan kondisi postmodern sebagai “ketidakpercayaan terhadap metanarasi,” termasuk narasi moral universal yang sebelumnya mengatur tatanan sosial.¹³ Akibatnya, moralitas menjadi fragmentaris, bergantung pada wacana lokal dan situasi kontingen.

Michel Foucault menafsirkan perubahan ini bukan sebagai kehancuran moralitas, tetapi sebagai desentralisasi kekuasaan moral.¹⁴ Ia menunjukkan bahwa setiap sistem etika adalah produk relasi kekuasaan dan wacana. Dengan demikian, tugas etika kontemporer bukan mencari norma universal, melainkan mengungkap bagaimana nilai-nilai dibentuk, dipertahankan, dan disalahgunakan dalam struktur sosial.¹⁵ Pandangan ini menggeser fokus dari etika normatif ke etika reflektif—suatu kesadaran akan bagaimana nilai-nilai beroperasi dan membentuk subjektivitas manusia.


Etika Nihilistik: Dari Kekosongan ke Tanggung Jawab

Beberapa pemikir kontemporer mencoba menafsirkan nihilisme bukan sebagai kehancuran moral, tetapi sebagai peluang untuk membangun etika baru yang lebih manusiawi dan reflektif. Gianni Vattimo, misalnya, melalui konsep pensiero debole (pemikiran lemah), mengusulkan etika yang tidak bersandar pada prinsip absolut, tetapi pada dialog, toleransi, dan keterbukaan terhadap pluralitas makna.¹⁶ Emmanuel Levinas, di sisi lain, menolak nihilisme radikal dengan menegaskan bahwa etika lahir dari perjumpaan dengan “yang lain” (l’Autre), di mana tanggung jawab mendahului kebebasan.¹⁷ Dalam konteks ini, nihilisme justru menyingkap dasar etika yang paling mendasar: kesadaran akan keterbatasan diri dan kewajiban terhadap keberadaan lain.

Dengan demikian, implikasi moral nihilisme kontemporer bersifat ambivalen. Di satu sisi, ia membongkar fondasi moral yang mapan dan menolak dogmatisme etis; di sisi lain, ia menantang manusia untuk menemukan kembali moralitas sebagai proyek kebebasan, tanggung jawab, dan solidaritas eksistensial. Etika nihilistik bukanlah penolakan terhadap nilai, melainkan kesadaran bahwa nilai-nilai harus senantiasa diciptakan kembali melalui refleksi dan keberanian untuk hidup secara autentik di tengah ketiadaan makna mutlak.¹⁸


Footnotes

[1]                Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2007), 2–4.

[2]                Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1974), §125.

[3]                Ibid., §343.

[4]                Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, trans. R. J. Hollingdale (London: Penguin Books, 1961), 99–101.

[5]                Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 70–72.

[6]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Philip Mairet (New Haven: Yale University Press, 2007), 29.

[7]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1956), 23–25.

[8]                Sartre, Existentialism Is a Humanism, 33.

[9]                Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O’Brien (New York: Vintage International, 1991), 53–54.

[10]             Ibid., 63.

[11]             Albert Camus, The Rebel, trans. Anthony Bower (New York: Vintage, 1956), 21–23.

[12]             Richard Rorty, Contingency, Irony, and Solidarity (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 14–16.

[13]             Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), xxiv.

[14]             Michel Foucault, The History of Sexuality, Volume 1: An Introduction, trans. Robert Hurley (New York: Vintage, 1978), 92–95.

[15]             Michel Foucault, Ethics: Subjectivity and Truth, ed. Paul Rabinow (New York: New Press, 1997), 263–266.

[16]             Gianni Vattimo, The End of Modernity: Nihilism and Hermeneutics in Postmodern Culture, trans. Jon R. Snyder (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1988), 16–18.

[17]             Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 198–201.

[18]             Simone de Beauvoir, The Ethics of Ambiguity, trans. Bernard Frechtman (New York: Citadel Press, 1976), 9–10.


6.           Estetika dan Budaya Nihilistik

Dalam konteks nihilisme kontemporer, estetika memainkan peran yang paradoksal: di satu sisi, seni menjadi sarana ekspresi krisis makna dan keterasingan manusia modern; di sisi lain, ia berfungsi sebagai bentuk resistensi terhadap kehampaan itu sendiri. Nihilisme tidak hanya hadir dalam ranah metafisika dan etika, tetapi juga menjelma dalam bentuk estetika, gaya hidup, dan budaya populer.¹ Seni dan budaya modern tidak lagi mengejar keindahan yang ideal atau nilai moral, melainkan mencerminkan kehancuran makna, fragmentasi identitas, serta absurditas eksistensi manusia.²

6.1.       Estetika Kehampaan: Dari Nietzsche ke Modernisme

Friedrich Nietzsche telah menandai keterhubungan erat antara nihilisme dan estetika. Dalam The Birth of Tragedy, ia menafsirkan seni sebagai satu-satunya kekuatan yang mampu menebus penderitaan dan kekacauan eksistensi.³ Melalui prinsip Dionysian—yang melambangkan kekacauan, gairah, dan kehancuran bentuk—Nietzsche melihat seni sebagai afirmasi kehidupan di tengah absurditasnya.⁴ Estetika nihilistik, dengan demikian, bukan sekadar ekspresi kehampaan, melainkan keberanian untuk menatap kehampaan itu tanpa ilusi metafisik.

Pada awal abad ke-20, warisan estetika Nietzschean ini mewujud dalam gerakan modernisme: ekspresionisme, dadaisme, dan surealisme, yang semuanya menolak rasionalitas dan tatanan klasik.⁵ Gerakan-gerakan ini mencerminkan kekecewaan terhadap kemajuan modernitas yang gagal memenuhi janji kemanusiaannya. Karya-karya seperti lukisan Edvard Munch The Scream (1893) atau puisi T. S. Eliot The Waste Land (1922) mengekspresikan keresahan eksistensial, kehancuran makna religius, dan absurditas kehidupan modern.⁶ Seni modern menjadi cermin bagi kondisi nihilistik manusia yang terasing dari dunia dan dirinya sendiri.

6.2.       Budaya Populer dan Simulakra: Estetika dalam Era Postmodern

Memasuki era postmodern, nihilisme estetis mencapai bentuk paling ekstremnya melalui budaya konsumsi dan media massa. Jean Baudrillard menegaskan bahwa dalam masyarakat kontemporer, realitas telah digantikan oleh simulacra—tiruan yang tidak lagi merepresentasikan apa pun selain dirinya sendiri.⁷ Estetika tidak lagi mengungkap kebenaran atau makna, melainkan memproduksi citra dan sensasi tanpa substansi. Dalam dunia hiperrealitas ini, keindahan menjadi komoditas, dan pengalaman estetis direduksi menjadi konsumsi visual yang cepat dan dangkal.⁸

Fenomena ini tampak jelas dalam budaya populer, di mana seni dan hiburan melebur dalam logika pasar dan algoritma digital. Musik, film, dan media sosial membentuk estetika baru yang berorientasi pada efek, bukan refleksi; pada kemunculan, bukan kedalaman.⁹ Dalam kerangka nihilistik, estetika menjadi bentuk “pemuasan instan” atas kehampaan makna. Keindahan kehilangan dimensi transendennya dan berubah menjadi citra yang terus diproduksi untuk menutupi kekosongan eksistensial.¹⁰

6.3.       Estetika Absurditas dan Eksperimen Artistik

Albert Camus menyebut seni sebagai “satu-satunya wilayah di mana manusia dapat menolak absurditas tanpa melarikan diri darinya.”¹¹ Dalam The Rebel, Camus memandang tindakan kreatif sebagai bentuk pemberontakan terhadap nihilisme pasif. Seni, baginya, tidak berupaya menghapus absurditas, tetapi mengubahnya menjadi bentuk yang dapat dimengerti, meskipun tanpa makna final.¹² Pandangan ini terlihat dalam karya-karya Samuel Beckett seperti Waiting for Godot (1953), di mana ketiadaan makna justru menjadi tema utama, diolah menjadi pengalaman estetis yang menggugah kesadaran eksistensial.¹³

Dalam dunia seni kontemporer, kecenderungan serupa muncul dalam seni konseptual, instalasi, dan performans. Karya-karya semacam itu sering kali menolak narasi, bentuk, dan fungsi estetika tradisional untuk menggugat makna seni itu sendiri.¹⁴ Estetika nihilistik, dalam hal ini, menjadi refleksi meta-seni: seni yang berbicara tentang kehancuran konsep seni, makna, dan nilai. Meskipun tampak destruktif, pendekatan ini juga membuka ruang bagi pencarian bentuk-bentuk baru kebermaknaan di luar sistem estetika konvensional.¹⁵


Hiperestetika dan Krisis Keotentikan

Dalam era digital, estetika nihilistik berkembang menjadi apa yang dapat disebut “hiperestetika”—yakni estetika yang menutupi realitas dengan citra yang berlebihan.¹⁶ Dalam masyarakat yang terobsesi dengan representasi diri, pengalaman estetis menjadi bentuk performativitas sosial yang dikendalikan oleh algoritma dan kapitalisme visual. Guy Debord dalam The Society of the Spectacle menggambarkan fenomena ini sebagai dominasi “tontonan” atas pengalaman hidup: realitas digantikan oleh gambar, dan keaslian digantikan oleh representasi.¹⁷

Akibatnya, budaya nihilistik tidak lagi berakar pada keputusasaan metafisik, tetapi pada kelelahan eksistensial akibat banjir makna palsu.¹⁸ Estetika kehilangan daya kontemplatifnya dan berubah menjadi mesin produksi sensasi. Namun, di tengah kekosongan itu, muncul pula bentuk-bentuk resistensi baru: seni yang merefleksikan kehampaan itu sendiri, yang berupaya menegaskan kembali kehadiran manusia melalui kesadaran akan ketiadaan makna.¹⁹


Footnotes

[1]                Arthur C. Danto, The Transfiguration of the Commonplace: A Philosophy of Art (Cambridge: Harvard University Press, 1981), 12–14.

[2]                Hal Foster, The Return of the Real: The Avant-Garde at the End of the Century (Cambridge: MIT Press, 1996), 3–5.

[3]                Friedrich Nietzsche, The Birth of Tragedy, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1967), 17–18.

[4]                Ibid., 25–26.

[5]                Peter Bürger, Theory of the Avant-Garde, trans. Michael Shaw (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), 47–49.

[6]                T. S. Eliot, The Waste Land and Other Poems (New York: Harcourt Brace, 1962), 33–37.

[7]                Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation, trans. Sheila Faria Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 1–6.

[8]                Ibid., 9–12.

[9]                Fredric Jameson, Postmodernism, or, The Cultural Logic of Late Capitalism (Durham: Duke University Press, 1991), 16–18.

[10]             Guy Debord, The Society of the Spectacle, trans. Donald Nicholson-Smith (New York: Zone Books, 1994), 24–27.

[11]             Albert Camus, The Rebel, trans. Anthony Bower (New York: Vintage, 1956), 98–101.

[12]             Ibid., 102–104.

[13]             Samuel Beckett, Waiting for Godot (New York: Grove Press, 1954), 11–15.

[14]             Rosalind Krauss, The Originality of the Avant-Garde and Other Modernist Myths (Cambridge: MIT Press, 1985), 147–149.

[15]             Arthur C. Danto, After the End of Art: Contemporary Art and the Pale of History (Princeton: Princeton University Press, 1997), 25–28.

[16]             Boris Groys, Art Power (Cambridge: MIT Press, 2008), 81–83.

[17]             Debord, The Society of the Spectacle, 42–45.

[18]             Byung-Chul Han, The Burnout Society, trans. Erik Butler (Stanford: Stanford University Press, 2015), 9–12.

[19]             Gianni Vattimo, Art’s Claim to Truth, trans. Luca D’Isanto (New York: Columbia University Press, 2008), 4–6.


7.           Kritik terhadap Nihilisme Kontemporer

Meskipun nihilisme memiliki peran penting dalam membongkar ilusi metafisik dan moralitas dogmatis, ia tidak luput dari kritik tajam baik dari perspektif teologis, humanistik, maupun eksistensial. Para pemikir dari berbagai tradisi filsafat menilai bahwa nihilisme, ketika dibawa ke titik ekstrem, berpotensi melumpuhkan makna, merelatifkan kebenaran, dan meniadakan tanggung jawab moral manusia. Kritik terhadap nihilisme kontemporer, dengan demikian, berfungsi bukan sekadar untuk menolak gagasannya, tetapi untuk menegaskan kembali urgensi makna, nilai, dan keotentikan manusia di tengah dunia yang tampak hampa.

7.1.       Kritik Teologis: Kehampaan sebagai Akibat Sekularisasi

Dari perspektif teologis, nihilisme dipandang sebagai konsekuensi langsung dari proyek sekularisasi modern yang menyingkirkan Tuhan sebagai pusat makna dan nilai. Søren Kierkegaard menilai bahwa ketika manusia berusaha menggantikan Tuhan dengan rasionalitas atau sistem moral buatan sendiri, ia justru kehilangan dasar eksistensial yang sejati.¹ Kehidupan tanpa Tuhan, menurut Kierkegaard, adalah “keputusasaan tersembunyi” di balik kebebasan palsu manusia modern.²

Demikian pula, filsuf Katolik seperti Romano Guardini dan Joseph Ratzinger (Paus Benediktus XVI) memandang nihilisme sebagai bentuk disorientasi spiritual, di mana manusia modern kehilangan arah karena menolak keterikatan pada sumber makna transenden.³ Dalam konteks ini, nihilisme tidak hanya dianggap sebagai kesalahan epistemologis atau moral, tetapi juga sebagai penyakit rohani yang mencabut akar eksistensi manusia dari sumber Ilahi. Guardini menegaskan bahwa tanpa horizon transendensi, manusia akan terjebak dalam “keheningan yang mematikan,” di mana semua nilai kehilangan bobot ontologisnya.⁴

7.2.       Kritik Humanistik: Kehilangan Martabat dan Tujuan Manusia

Dari sudut pandang humanistik, nihilisme dianggap mengancam martabat manusia dengan meniadakan nilai intrinsik dari keberadaan. Viktor Frankl, seorang psikiater dan filsuf eksistensialis, berargumen bahwa manusia tidak dapat hidup tanpa makna; kehilangan makna hidup adalah bentuk penderitaan yang paling dalam.⁵ Ia menyebut fenomena ini sebagai “kehampaan eksistensial” (existential vacuum), yang sering muncul dalam masyarakat modern yang materialistik dan terfragmentasi.⁶

Erich Fromm juga mengkritik nihilisme karena menciptakan manusia yang teralienasi dari dirinya sendiri dan lingkungannya. Dalam Escape from Freedom, Fromm menyatakan bahwa ketika manusia kehilangan akar moral dan spiritualnya, ia mencari pengganti dalam bentuk kekuasaan, konsumsi, atau ideologi, yang pada akhirnya hanya memperdalam keterasingan.⁷ Kritik humanistik terhadap nihilisme menekankan bahwa tanpa makna yang menuntun tindakan, kebebasan manusia berubah menjadi kehampaan yang destruktif.⁸

7.3.       Kritik Eksistensialis: Dari Kehampaan Menuju Keotentikan

Walaupun eksistensialisme sering dipandang dekat dengan nihilisme, sejumlah pemikir eksistensialis justru menolak nihilisme pasif. Martin Heidegger, misalnya, menilai nihilisme sebagai tanda “kelupaan terhadap Ada” (Seinsvergessenheit)—yakni ketika manusia memandang dunia hanya sebagai kumpulan objek tanpa dimensi kebermaknaan.⁹ Heidegger tidak menyerukan kembali kepada metafisika lama, tetapi menekankan perlunya “pembukaan kembali” (Erschlossenheit) terhadap makna keberadaan melalui pengalaman otentik.¹⁰

Jean-Paul Sartre, meskipun mengakui nihilisme sebagai kondisi awal eksistensi manusia, berpendapat bahwa manusia harus mengatasi kekosongan itu melalui tindakan bebas dan penciptaan nilai.¹¹ Dalam Existentialism Is a Humanism, Sartre menegaskan bahwa nihilisme yang pasif adalah bentuk “kemalasan metafisik,” sedangkan nihilisme aktif justru membuka jalan menuju keotentikan.¹² Dengan demikian, kritik eksistensialis terhadap nihilisme bukan menolak ketiadaan makna, tetapi menegaskan tanggung jawab manusia untuk menciptakan makna itu sendiri.¹³

7.4.       Kritik Etis dan Sosial: Bahaya Relativisme dan Apatisme Moral

Secara etis, nihilisme dianggap berpotensi melahirkan relativisme ekstrem, di mana semua nilai dianggap sama sahnya, sehingga melemahkan komitmen moral dan solidaritas sosial. Hannah Arendt memperingatkan bahwa nihilisme modern dapat menghasilkan “banalitas kejahatan,” di mana tindakan tidak lagi dilandasi pertimbangan moral, melainkan rutinitas tanpa refleksi.¹⁴ Dalam kondisi ini, kejahatan tidak lagi lahir dari kebencian, melainkan dari ketidakpedulian yang nihilistik.

Alasdair MacIntyre menilai bahwa masyarakat modern telah kehilangan “kerangka naratif moral” yang koheren akibat dominasi relativisme dan individualisme.¹⁵ Menurutnya, nihilisme mengakibatkan fragmentasi etika: manusia modern berbicara tentang kebaikan, tetapi tanpa dasar bersama tentang apa yang dimaksud dengan “baik.”¹⁶ Kritik etis terhadap nihilisme dengan demikian menegaskan perlunya rekonstruksi etika komunitarian yang berakar pada dialog, tradisi, dan tanggung jawab sosial.


Kritik Postmodern dan Hermeneutik: Dari Destruksi ke Rekonstruksi

Beberapa pemikir postmodern seperti Gianni Vattimo dan Paul Ricoeur mencoba menafsirkan nihilisme secara produktif. Vattimo menolak nihilisme radikal yang destruktif dan menggantinya dengan nihilisme lemah (weak nihilism), yang menerima ketiadaan nilai absolut tetapi tetap mempertahankan ruang bagi dialog dan pluralitas makna.¹⁷ Dalam kerangka ini, nihilisme tidak lagi dipandang sebagai ancaman, melainkan sebagai kesempatan untuk membebaskan diri dari klaim totalitas yang menindas.¹⁸

Sementara itu, Paul Ricoeur berpendapat bahwa kritik nihilistik terhadap kebenaran dapat diselamatkan melalui hermeneutika kecurigaan—yakni pembacaan kritis terhadap ideologi dan struktur makna yang menindas—tetapi harus diimbangi dengan hermeneutika kepercayaan, yaitu usaha untuk menafsirkan kembali makna dengan tanggung jawab etis.¹⁹ Dengan demikian, kritik hermeneutik terhadap nihilisme menekankan perlunya keseimbangan antara dekonstruksi dan rekonstruksi, antara kesadaran akan keterbatasan dan upaya mempertahankan makna dalam horizon yang terbuka.


Footnotes

[1]                Søren Kierkegaard, The Sickness unto Death, trans. Alastair Hannay (London: Penguin Books, 1989), 43–45.

[2]                Ibid., 49.

[3]                Romano Guardini, The End of the Modern World, trans. Joseph Theman and Herbert Burke (Wilmington: ISI Books, 1998), 75–77.

[4]                Joseph Ratzinger, Introduction to Christianity, trans. J. R. Foster (San Francisco: Ignatius Press, 2004), 42–43.

[5]                Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning (Boston: Beacon Press, 2006), 104–107.

[6]                Ibid., 111–113.

[7]                Erich Fromm, Escape from Freedom (New York: Farrar & Rinehart, 1941), 35–38.

[8]                Ibid., 80–82.

[9]                Martin Heidegger, Introduction to Metaphysics, trans. Gregory Fried and Richard Polt (New Haven: Yale University Press, 2014), 14–16.

[10]             Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 210–213.

[11]             Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1956), 27–28.

[12]             Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Philip Mairet (New Haven: Yale University Press, 2007), 36–37.

[13]             Thomas Flynn, Sartre and Marxist Existentialism (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 42–45.

[14]             Hannah Arendt, Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil (New York: Viking Press, 1963), 287–289.

[15]             Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2007), 3–5.

[16]             Ibid., 253–255.

[17]             Gianni Vattimo, The End of Modernity: Nihilism and Hermeneutics in Postmodern Culture, trans. Jon R. Snyder (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1988), 7–9.

[18]             Gianni Vattimo, Belief, trans. Luca D’Isanto and David Webb (Stanford: Stanford University Press, 1999), 45–48.

[19]             Paul Ricoeur, Freud and Philosophy: An Essay on Interpretation, trans. Denis Savage (New Haven: Yale University Press, 1970), 33–35.


8.           Pengaruh dan Warisan Intelektual

Nihilisme kontemporer telah meninggalkan warisan intelektual yang luas dan kompleks, mencakup bidang filsafat, sastra, teologi, psikologi, serta budaya populer. Meskipun sering dipandang sebagai ancaman terhadap makna dan nilai, nihilisme juga memicu refleksi baru tentang keberadaan, kebebasan, dan tanggung jawab manusia. Melalui berbagai pemikir dan gerakan intelektual, nihilisme telah bertransformasi dari sekadar krisis metafisik menjadi paradigma kritis yang membentuk wajah pemikiran modern dan postmodern.

8.1.       Pengaruh terhadap Eksistensialisme

Eksistensialisme merupakan salah satu gerakan filsafat yang paling kuat dipengaruhi oleh nihilisme, khususnya oleh pemikiran Friedrich Nietzsche. Nietzsche menyingkap ketiadaan nilai transenden dan menyerukan penciptaan nilai baru melalui kehendak untuk berkuasa (der Wille zur Macht).¹ Gagasan ini menjadi fondasi bagi Jean-Paul Sartre dan Albert Camus, yang mengembangkan nihilisme ke arah eksistensial: penegasan kebebasan manusia dalam dunia tanpa makna.²

Sartre menerima diagnosis nihilistik tentang ketiadaan dasar ontologis bagi moralitas, tetapi ia menolak pasivitas yang menyertainya.³ Melalui konsep eksistensi mendahului esensi, ia menegaskan bahwa manusia harus menciptakan makna bagi dirinya sendiri.⁴ Sementara itu, Camus menafsirkan nihilisme melalui konsep absurditas—kesadaran bahwa dunia tidak memberikan jawaban terhadap pencarian makna manusia.⁵ Bagi Camus, pemberontakan terhadap absurditas adalah bentuk afirmasi eksistensial: manusia menemukan kebebasannya justru dalam pengakuan atas ketiadaan makna.⁶ Dengan demikian, nihilisme menjadi titik awal bagi etika dan estetika keberanian eksistensial.

8.2.       Pengaruh terhadap Filsafat Postmodern

Nihilisme juga menjadi salah satu fondasi konseptual bagi filsafat postmodern. Jean-François Lyotard, dalam The Postmodern Condition, menggambarkan kondisi pasca-modern sebagai “ketidakpercayaan terhadap metanarasi.”⁷ Pernyataan ini menandai bentuk baru dari nihilisme epistemologis, di mana klaim universal tentang kebenaran, moralitas, dan kemajuan digantikan oleh pluralitas perspektif dan narasi kecil (petits récits).

Jacques Derrida, melalui pendekatan dekonstruksi, menolak adanya makna final dalam teks atau realitas.⁸ Kebenaran tidak pernah hadir secara utuh, melainkan terus ditunda dalam jaringan diferensial tanda-tanda (différance).⁹ Dalam konteks ini, nihilisme berfungsi sebagai mekanisme kritis terhadap otoritas dan totalitas makna. Jean Baudrillard melanjutkan gagasan ini dengan menyatakan bahwa dalam era digital, realitas telah digantikan oleh simulakra—tiruan yang tidak lagi memiliki acuan pada realitas empiris.¹⁰ Dunia postmodern, bagi Baudrillard, adalah dunia hiperrealitas, di mana nihilisme menjadi kondisi struktural masyarakat konsumtif yang hidup di antara citra dan representasi.¹¹

Dengan demikian, postmodernisme tidak menghapus nihilisme, melainkan mengkulturalisasikannya: nihilisme menjadi gaya berpikir, sekaligus cara manusia memahami realitas yang terfragmentasi dan cair.

8.3.       Pengaruh terhadap Teologi dan Pemikiran Religius

Meskipun nihilisme muncul sebagai konsekuensi dari “kematian Tuhan,” beberapa teolog modern justru menanggapinya dengan pembaruan refleksi iman. Paul Tillich, misalnya, melihat nihilisme sebagai ekspresi dari “kekosongan eksistensial” yang harus dihadapi dengan keberanian ontologis (the courage to be).¹² Ia menegaskan bahwa iman tidak lagi dapat bergantung pada simbol-simbol dogmatis, melainkan harus menjadi pengalaman eksistensial tentang makna di tengah kehampaan.¹³

Sementara itu, teologi pasca-metafisis seperti yang dikembangkan oleh John D. Caputo dan Gianni Vattimo berbicara tentang “Tuhan yang lemah” (the weak God), yakni konsep ketuhanan yang tidak berkuasa secara metafisik tetapi hadir dalam bentuk kasih, kelembutan, dan dialog.¹⁴ Pandangan ini mencoba mendamaikan nihilisme dengan spiritualitas, bukan dengan menolak ketiadaan, tetapi dengan menafsirkan ulang kehadiran transendensi dalam horizon imanen.¹⁵ Dalam arti ini, nihilisme melahirkan teologi yang lebih terbuka, reflektif, dan humanistik.

8.4.       Pengaruh terhadap Psikologi dan Ilmu Sosial

Dalam bidang psikologi, nihilisme memengaruhi cara pandang terhadap krisis makna dalam kehidupan modern. Viktor Frankl, melalui logoterapi-nya, menegaskan bahwa penderitaan eksistensial yang ditimbulkan oleh nihilisme hanya dapat diatasi melalui penemuan makna personal dalam hidup.¹⁶ Frankl memandang pencarian makna sebagai kebutuhan fundamental manusia, sekaligus bentuk resistensi terhadap kehampaan nihilistik.

Dalam sosiologi, Max Weber dan Zygmunt Bauman menyoroti dampak nihilisme terhadap tatanan modernitas. Weber menyebut kondisi ini sebagai Entzauberung der Welt—“penyihiran dunia yang lenyap”—ketika rasionalisasi menghapus unsur sakral dari kehidupan.¹⁷ Bauman melanjutkan analisis ini dalam konsep “modernitas cair,” di mana nilai, relasi sosial, dan identitas menjadi rapuh dan berubah dengan cepat.¹⁸ Keduanya menegaskan bahwa nihilisme bukan hanya fenomena intelektual, tetapi juga realitas sosial yang membentuk struktur kesadaran masyarakat modern.

8.5.       Pengaruh terhadap Budaya dan Estetika Kontemporer

Dalam ranah budaya, nihilisme telah menjadi inspirasi utama bagi berbagai bentuk ekspresi seni, film, dan musik. Dari absurd theatre karya Samuel Beckett hingga film-film Stanley Kubrick dan Lars von Trier, nihilisme tampil sebagai refleksi atas absurditas eksistensi dan keterasingan manusia.¹⁹ Dalam musik, tema nihilistik dapat ditemukan dalam karya-karya band seperti Nirvana dan Radiohead, yang mengartikulasikan kehampaan eksistensial generasi pasca-industri.²⁰

Namun, warisan nihilisme dalam budaya populer juga bersifat ambivalen: di satu sisi, ia mengekspresikan krisis makna modern; di sisi lain, ia sering kali direduksi menjadi estetika pesimisme yang kehilangan kedalaman filosofisnya.²¹ Meski demikian, seni dan budaya nihilistik tetap memainkan peran penting dalam menyingkap realitas manusia yang terfragmentasi di tengah banjir informasi dan kapitalisme global.


Warisan Filsafat Nihilisme: Dari Destruksi ke Refleksi

Warisan intelektual nihilisme bukan terletak pada penolakannya terhadap makna, melainkan pada kemampuannya menyingkap keterbatasan semua klaim kebenaran absolut. Nietzsche, Heidegger, Camus, Derrida, dan Vattimo—meskipun berangkat dari horizon berbeda—sama-sama mengajarkan bahwa nihilisme bukan akhir filsafat, tetapi fase kritis yang membuka jalan bagi pemikiran baru yang lebih rendah hati, plural, dan dialogis.²²

Dalam horizon kontemporer, nihilisme tidak lagi semata-mata dilihat sebagai kehancuran metafisika, melainkan sebagai kesadaran reflektif terhadap kefanaan, relativitas, dan kemungkinan penafsiran yang tak terbatas.²³ Warisan terbesar nihilisme mungkin justru terletak pada dorongannya untuk terus mempertanyakan makna tanpa pernah berhenti mencari.²⁴


Footnotes

[1]                Friedrich Nietzsche, The Will to Power, trans. Walter Kaufmann and R. J. Hollingdale (New York: Vintage Books, 1967), §2.

[2]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1956), 19–22.

[3]                Ibid., 27.

[4]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Philip Mairet (New Haven: Yale University Press, 2007), 22–24.

[5]                Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O’Brien (New York: Vintage International, 1991), 10–12.

[6]                Albert Camus, The Rebel, trans. Anthony Bower (New York: Vintage, 1956), 23–26.

[7]                Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), xxiv.

[8]                Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 63–65.

[9]                Ibid., 74–75.

[10]             Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation, trans. Sheila Faria Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 1–6.

[11]             Ibid., 9–12.

[12]             Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven: Yale University Press, 1952), 45–47.

[13]             Ibid., 53–55.

[14]             Gianni Vattimo and John D. Caputo, After the Death of God (New York: Columbia University Press, 2007), 12–14.

[15]             Gianni Vattimo, Belief, trans. Luca D’Isanto and David Webb (Stanford: Stanford University Press, 1999), 44–46.

[16]             Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning (Boston: Beacon Press, 2006), 104–106.

[17]             Max Weber, From Max Weber: Essays in Sociology, trans. and ed. H. H. Gerth and C. Wright Mills (New York: Oxford University Press, 1946), 155–156.

[18]             Zygmunt Bauman, Liquid Modernity (Cambridge: Polity Press, 2000), 6–9.

[19]             Samuel Beckett, Waiting for Godot (New York: Grove Press, 1954), 11–15.

[20]             Jeremy Gilbert and Ewan Pearson, Discographies: Dance Music, Culture, and the Politics of Sound (London: Routledge, 1999), 188–190.

[21]             Mark Fisher, Capitalist Realism: Is There No Alternative? (Winchester: Zero Books, 2009), 12–14.

[22]             Martin Heidegger, Nietzsche, Vol. I: The Will to Power as Art, trans. David Farrell Krell (San Francisco: Harper & Row, 1979), 208–210.

[23]             Gianni Vattimo, The End of Modernity: Nihilism and Hermeneutics in Postmodern Culture, trans. Jon R. Snyder (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1988), 3–6.

[24]             Richard Rorty, Contingency, Irony, and Solidarity (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 9–11.


9.           Relevansi dan Aplikasi Kontemporer

Nihilisme kontemporer tidak hanya merupakan konsep abstrak dalam wacana filsafat, tetapi juga fenomena yang hidup dalam realitas sosial, budaya, dan teknologi abad ke-21. Dalam dunia yang ditandai oleh globalisasi, digitalisasi, dan krisis ekologi, nihilisme tampil dalam berbagai bentuk baru—dari relativisme moral hingga kelelahan eksistensial, dari kehilangan makna hingga pencarian spiritualitas alternatif. Relevansi nihilisme hari ini terletak pada kemampuannya untuk menyingkap kondisi manusia modern yang berada di antara keputusasaan dan potensi pembaruan makna.

9.1.       Nihilisme dan Krisis Makna di Era Digital

Era digital memperlihatkan ekspresi paling nyata dari nihilisme epistemologis dan eksistensial. Dalam dunia media sosial, informasi kehilangan hierarki dan kebenaran menjadi komoditas yang dapat diproduksi dan dimanipulasi.¹ Fenomena post-truth—di mana emosi dan opini menggantikan fakta—menunjukkan bagaimana nihilisme telah menyusup ke dalam struktur kognitif masyarakat global.² Kebenaran tidak lagi dicari, tetapi dikonstruksi ulang sesuai algoritma dan preferensi personal.

Jean Baudrillard menegaskan bahwa dunia digital menciptakan kondisi “hiperrealitas,” di mana manusia hidup dalam jaringan representasi tanpa referensi pada realitas objektif.³ Dalam konteks ini, nihilisme tidak lagi bersifat filosofis, melainkan struktural: makna dan realitas larut dalam arus simulasi.⁴ Manusia modern, yang dibanjiri citra dan informasi, hidup di tengah paradoks—semakin terhubung secara digital, namun semakin terasing secara eksistensial.

Namun, nihilisme digital ini juga membuka peluang reflektif. Di tengah kekacauan informasi, muncul kesadaran baru akan pentingnya keaslian, integritas, dan kehadiran diri.⁵ Fenomena seperti digital minimalism dan slow media movement menandai upaya manusia untuk mengembalikan kedalaman eksistensial di tengah permukaan simulasi. Dengan demikian, nihilisme digital dapat menjadi katalis bagi pencarian makna yang lebih autentik di dunia maya yang serba semu.

9.2.       Nihilisme, Etika, dan Krisis Ekologis

Krisis lingkungan global juga mencerminkan dimensi etis dari nihilisme kontemporer. Pandangan dunia modern yang mekanistik dan antroposentris telah menyingkirkan nilai intrinsik dari alam, menjadikannya sekadar objek eksploitasi teknologis.⁶ Martin Heidegger telah memperingatkan bahwa dominasi teknologi modern merupakan bentuk Gestell—cara berpikir yang menundukkan segala sesuatu ke dalam kerangka kontrol dan efisiensi.⁷ Dalam kerangka ini, nihilisme ekologis muncul sebagai kehilangan rasa kagum dan keterikatan etis terhadap dunia alami.

Namun, krisis ini juga mendorong munculnya etika ekologis baru yang berupaya mengatasi nihilisme melalui pengakuan terhadap nilai keberadaan yang non-instrumental. Arne Naess, pendiri deep ecology, menolak dualisme manusia-alam dan menyerukan pandangan holistik yang menempatkan manusia sebagai bagian integral dari biosfer.⁸ Etika ekologis ini menjadi bentuk “anti-nihilisme” yang menegaskan kembali makna keberadaan melalui kesadaran ekologis dan tanggung jawab planetar.⁹

Dengan demikian, dalam ranah ekologi, nihilisme berfungsi sebagai diagnosis atas keterputusan manusia dari alam sekaligus pemicu bagi rekonstruksi etika yang berakar pada rasa hormat terhadap kehidupan.

9.3.       Nihilisme dan Dehumanisasi Teknologis

Perkembangan kecerdasan buatan (AI), bioteknologi, dan transhumanisme menimbulkan tantangan baru bagi eksistensi manusia. Dalam banyak kasus, kemajuan teknologi mengandung dimensi nihilistik: manusia semakin kehilangan otoritas atas dirinya sendiri karena keputusan moral dan eksistensial digantikan oleh algoritma.¹⁰ Yuval Noah Harari menyebut fenomena ini sebagai “dataisme,” yakni ideologi baru yang menempatkan data dan efisiensi di atas makna dan kebijaksanaan.¹¹

Bahaya nihilisme teknologis terletak pada potensi reduksi manusia menjadi sekadar entitas fungsional dalam sistem digital.¹² Namun, sebagaimana diingatkan oleh Hans Jonas, tanggung jawab moral harus melampaui batas teknis; manusia harus bertindak bukan hanya karena kemampuan, tetapi karena kesadaran etis akan konsekuensi tindakannya.¹³ Dengan demikian, tanggapan filosofis terhadap nihilisme teknologi bukanlah penolakan terhadap inovasi, melainkan pembentukan etika teknologi yang menempatkan martabat manusia di pusat perkembangan ilmiah.¹⁴

9.4.       Nihilisme dan Spiritualitas Baru

Meskipun nihilisme sering dianggap sebagai penolakan terhadap spiritualitas, dalam konteks kontemporer justru muncul apa yang disebut “spiritualitas tanpa agama” (spiritual but not religious). Fenomena ini mencerminkan upaya manusia mencari makna di luar dogma dan lembaga keagamaan tradisional.¹⁵ Menurut Charles Taylor, masyarakat sekuler modern hidup dalam “kondisi iman yang rapuh” (fragile faith condition), di mana manusia tidak lagi sepenuhnya ateis, tetapi juga tidak terikat pada iman dogmatis.¹⁶

Gianni Vattimo menafsirkan situasi ini sebagai bentuk “nihilisme lemah,” yaitu penerimaan atas ketiadaan nilai absolut sebagai peluang untuk membuka ruang bagi dialog dan belas kasih.¹⁷ Spiritualitas baru ini bersifat reflektif dan pluralistik: ia tidak menolak nihilisme, tetapi menggunakannya sebagai sarana untuk menumbuhkan kesadaran etis dan keterbukaan terhadap yang transenden secara non-metafisik.¹⁸

Dengan demikian, nihilisme kontemporer memiliki relevansi spiritual yang paradoksal: ia menolak absolutisme, tetapi justru membuka ruang bagi pencarian makna yang lebih manusiawi, relasional, dan inklusif.

9.5.       Nihilisme, Seni, dan Budaya Global

Dalam budaya global, nihilisme telah menjadi estetika dominan yang mengekspresikan krisis identitas dan absurditas kehidupan modern. Film-film seperti Fight Club (1999) karya David Fincher dan The Matrix (1999) karya Wachowski bersaudara menggambarkan kondisi manusia yang terperangkap dalam sistem simulasi dan kehilangan makna eksistensial.¹⁹ Musik, sastra, dan seni kontemporer juga sering mengangkat tema kehampaan, alienasi, serta pencarian makna di tengah dunia yang dikendalikan oleh kapitalisme dan teknologi.²⁰

Namun, di balik pesimisme estetis ini tersembunyi dimensi reflektif yang signifikan: seni nihilistik berfungsi sebagai ruang kontemplatif untuk mengakui absurditas sekaligus mencari kembali kemungkinan makna.²¹ Dalam hal ini, budaya nihilistik tidak sekadar menjadi cermin kehancuran nilai, tetapi juga wadah bagi kesadaran manusia untuk menatap ketiadaan tanpa kehilangan kemanusiaannya.²²


Nihilisme sebagai Kesadaran Kritis Zaman

Secara keseluruhan, relevansi nihilisme kontemporer terletak pada sifat reflektifnya. Nihilisme menuntut manusia untuk tidak lagi berlindung di balik sistem keyakinan atau narasi besar yang kaku, melainkan untuk secara jujur menghadapi keterbatasan, absurditas, dan tanggung jawab eksistensial.²³ Dalam era yang penuh ketidakpastian—baik secara epistemik, ekologis, maupun sosial—nihilisme berfungsi sebagai cermin bagi kesadaran modern: ia menyingkap kehampaan bukan untuk menyerah padanya, tetapi untuk memicu pencarian makna yang lebih otentik.²⁴

Seperti dikemukakan oleh Nietzsche, “hanya mereka yang memiliki kekuatan untuk menatap ketiadaanlah yang dapat menciptakan nilai baru.”²⁵ Dalam konteks ini, nihilisme tidak lagi menjadi simbol kehancuran, melainkan panggilan menuju keberanian filosofis untuk hidup tanpa fondasi absolut, namun tetap dengan semangat kreatif, etis, dan manusiawi.


Footnotes

[1]                Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 244–247.

[2]                Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge: MIT Press, 2018), 7–9.

[3]                Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation, trans. Sheila Faria Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 1–6.

[4]                Ibid., 9–12.

[5]                Cal Newport, Digital Minimalism: Choosing a Focused Life in a Noisy World (New York: Portfolio, 2019), 27–29.

[6]                Lynn White Jr., “The Historical Roots of Our Ecologic Crisis,” Science 155, no. 3767 (1967): 1203–1207.

[7]                Martin Heidegger, The Question Concerning Technology, trans. William Lovitt (New York: Harper & Row, 1977), 3–5.

[8]                Arne Naess, “The Shallow and the Deep, Long-Range Ecology Movement,” Inquiry 16, no. 1–4 (1973): 95–100.

[9]                Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 7–10.

[10]             Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 95–98.

[11]             Yuval Noah Harari, Homo Deus: A Brief History of Tomorrow (New York: Harper, 2017), 356–360.

[12]             Hubert Dreyfus, On the Internet, 2nd ed. (London: Routledge, 2008), 102–104.

[13]             Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 11–13.

[14]             Shannon Vallor, Technology and the Virtues: A Philosophical Guide to a Future Worth Wanting (Oxford: Oxford University Press, 2016), 29–32.

[15]             Linda Mercadante, Belief without Borders: Inside the Minds of the Spiritual but Not Religious (New York: Oxford University Press, 2014), 14–16.

[16]             Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge: Harvard University Press, 2007), 300–302.

[17]             Gianni Vattimo, Nihilism and Emancipation: Ethics, Politics, and Law, trans. William McCuaig (New York: Columbia University Press, 2004), 15–18.

[18]             Ibid., 23–25.

[19]             Slavoj Žižek, The Pervert’s Guide to Ideology (London: Verso, 2012), 142–145.

[20]             Mark Fisher, Capitalist Realism: Is There No Alternative? (Winchester: Zero Books, 2009), 11–13.

[21]             Arthur C. Danto, After the End of Art: Contemporary Art and the Pale of History (Princeton: Princeton University Press, 1997), 27–29.

[22]             Boris Groys, Art Power (Cambridge: MIT Press, 2008), 82–84.

[23]             Gianni Vattimo, The End of Modernity: Nihilism and Hermeneutics in Postmodern Culture, trans. Jon R. Snyder (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1988), 3–6.

[24]             Richard Rorty, Contingency, Irony, and Solidarity (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 8–9.

[25]             Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, trans. R. J. Hollingdale (London: Penguin Books, 1961), 101–102.


10.       Sintesis Filosofis: Antara Ketiadaan dan Pencarian Makna

Sintesis filosofis mengenai nihilisme kontemporer menuntut upaya untuk melampaui dikotomi destruktif antara “ada” dan “tidak ada,” antara kehilangan makna dan pencarian makna baru. Jika nihilisme mengungkap kehampaan nilai dan kerapuhan dasar metafisika, maka tugas filsafat bukanlah menolak ketiadaan, tetapi menafsirkan ulang maknanya secara kreatif. Nihilisme, dalam perspektif sintesis, tidak harus dimengerti sebagai akhir dari makna, melainkan sebagai titik awal dari kemungkinan baru bagi refleksi, keberanian eksistensial, dan pembentukan nilai-nilai yang otonom.

10.1.    Dialektika Ketiadaan dan Keberadaan

Sejak Heidegger, ketiadaan (das Nichts) tidak lagi dipahami sebagai sekadar lawan dari ada, melainkan sebagai dimensi yang mengungkapkan ada itu sendiri.¹ Dalam Was ist Metaphysik?, Heidegger menulis bahwa manusia hanya dapat memahami keberadaan melalui pengalaman akan ketiadaan, karena di sanalah ada menjadi tampak dalam kehadirannya yang rapuh.² Dengan demikian, nihilisme bukanlah penghapusan terhadap realitas, tetapi bentuk kesadaran ontologis yang mengungkapkan kondisi keterbatasan manusia di hadapan misteri keberadaan.³

Jean-Paul Sartre memperluas gagasan ini dengan menegaskan bahwa kesadaran manusia adalah “ketiadaan yang mengada.”⁴ Dalam refleksi diri, manusia menemukan dirinya bukan sebagai esensi yang tetap, melainkan sebagai proyek terbuka yang senantiasa meniadakan dirinya untuk menjadi sesuatu yang lain. Ketiadaan menjadi sumber kebebasan; ia membuka ruang bagi tindakan dan penciptaan makna.⁵ Maka, sintesis nihilisme dan eksistensialisme melahirkan pemahaman baru: bahwa keberadaan manusia adalah proses dinamis antara ketiadaan dan kemungkinan, antara kehampaan dan penciptaan nilai.

10.2.    Nihilisme sebagai Jalan Menuju Kesadaran Reflektif

Nietzsche memandang nihilisme bukan semata-mata sebagai kehancuran, melainkan sebagai fase transisi menuju afirmasi kehidupan. Dalam The Will to Power, ia menulis bahwa nihilisme adalah “gerbang menuju transformasi nilai,” di mana manusia harus menciptakan kembali makna melalui kekuatan kreatifnya sendiri.⁶ Kehadiran “manusia unggul” (Übermensch) menandai peralihan dari nihilisme pasif menuju nihilisme aktif—yakni keberanian untuk hidup tanpa fondasi absolut, namun tetap menegaskan kehidupan secara positif.⁷

Dalam konteks ini, nihilisme dapat dipahami sebagai kesadaran reflektif yang memaksa manusia untuk mempertanyakan kembali dasar-dasar keyakinannya. Ia bukan musuh filsafat, melainkan mitra kritis yang menjaga filsafat dari dogmatisme. Gianni Vattimo bahkan menyebut nihilisme sebagai “puncak hermeneutika,” karena ia menyingkap bahwa semua makna bersifat interpretatif dan historis.⁸ Maka, bukannya meniadakan kebenaran, nihilisme justru membuka ruang bagi pluralitas tafsir yang lebih terbuka dan toleran terhadap keberagaman makna.⁹

10.3.    Etika Ketiadaan: Dari Kekosongan ke Tanggung Jawab

Jika nihilisme meniadakan fondasi moral yang absolut, maka etika pasca-nihilistik justru berangkat dari kesadaran akan ketiadaan tersebut. Emmanuel Levinas menunjukkan bahwa dasar etika tidak terletak pada hukum atau prinsip universal, melainkan pada tanggung jawab terhadap “yang lain” (l’Autre).¹⁰ Dalam perjumpaan dengan wajah orang lain, manusia menyadari keterbatasan dirinya dan terdorong untuk bertindak secara etis tanpa perlu justifikasi metafisik.¹¹

Etika pasca-nihilistik ini merupakan etika kerentanan: manusia tidak lagi berbuat baik karena perintah eksternal, tetapi karena kesadaran bahwa keberadaannya selalu terkait dengan keberadaan yang lain. Simone de Beauvoir menegaskan hal serupa dalam The Ethics of Ambiguity, bahwa moralitas sejati lahir dari kesadaran akan kebebasan dan tanggung jawab eksistensial.¹² Dengan demikian, nihilisme bukanlah kehancuran moral, tetapi pemurnian moralitas dari klaim absolut dan dominasi ideologis.

10.4.    Estetika Penciptaan Makna: Dari Absurditas ke Afirmasi

Albert Camus menawarkan dimensi estetis dari sintesis nihilisme melalui konsep absurditas. Dalam dunia yang tidak memberikan makna objektif, manusia menemukan kebebasan untuk mencipta makna melalui tindakan, karya, dan keindahan.¹³ Dalam The Myth of Sisyphus, Camus menyatakan bahwa perjuangan manusia melawan absurditas adalah bentuk tertinggi dari pemberontakan yang estetis: “Seseorang harus membayangkan Sisyphus bahagia.”¹⁴

Estetika pasca-nihilistik dengan demikian tidak mencari keindahan yang ideal, tetapi keindahan yang lahir dari kesadaran akan keterbatasan. Seni, dalam kerangka ini, menjadi sarana afirmasi hidup—cara manusia menegaskan eksistensinya di tengah ketiadaan makna final.¹⁵ Melalui penciptaan, manusia tidak menghapus nihilisme, tetapi menjinakkannya: menjadikannya bahan bakar bagi ekspresi dan refleksi.


Nihilisme sebagai Spirit Reflektif Zaman Postmetafisik

Dalam dunia postmetafisik, nihilisme tidak lagi dipahami sebagai ancaman, melainkan sebagai tanda kedewasaan intelektual manusia. Richard Rorty menafsirkan nihilisme sebagai bentuk ironi filosofis: kesadaran bahwa semua pandangan dunia adalah kontingen, tetapi tetap perlu dihidupi dengan komitmen dan solidaritas.¹⁶ Dalam pandangan ini, manusia dapat mengakui relativitas tanpa jatuh pada sinisme, dan dapat mengakui ketiadaan fondasi tanpa kehilangan etos kemanusiaannya.

Dengan demikian, sintesis filosofis dari nihilisme menegaskan bahwa “ketiadaan” bukan akhir dari filsafat, tetapi pembuka bagi filsafat yang lebih rendah hati dan terbuka. Ia mengajarkan manusia untuk hidup dalam ambiguitas dengan keberanian dan kejujuran intelektual. Sebagaimana diungkapkan oleh Nietzsche, “Seseorang harus memiliki kekacauan dalam dirinya untuk melahirkan bintang yang menari.”¹⁷

Nihilisme, dalam arti terdalamnya, adalah ajakan untuk menatap kehampaan tanpa menyerah, untuk menegaskan kehidupan meski tanpa jaminan makna, dan untuk terus mencipta dalam ketiadaan. Di sinilah sintesis filosofisnya: bukan antara “ada” dan “tidak ada,” melainkan antara kesadaran akan kehampaan dan keberanian untuk memberi makna pada dunia.


Footnotes

[1]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 231–234.

[2]                Martin Heidegger, What Is Metaphysics?, trans. David Farrell Krell (Chicago: Gateway Editions, 1949), 103–104.

[3]                Hubert Dreyfus, Being-in-the-World: A Commentary on Heidegger’s Being and Time (Cambridge: MIT Press, 1991), 22–24.

[4]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1956), 19–22.

[5]                Ibid., 24–25.

[6]                Friedrich Nietzsche, The Will to Power, trans. Walter Kaufmann and R. J. Hollingdale (New York: Vintage Books, 1967), §12.

[7]                Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, trans. R. J. Hollingdale (London: Penguin Books, 1961), 98–100.

[8]                Gianni Vattimo, The End of Modernity: Nihilism and Hermeneutics in Postmodern Culture, trans. Jon R. Snyder (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1988), 3–6.

[9]                Ibid., 7–8.

[10]             Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 41–44.

[11]             Ibid., 198–200.

[12]             Simone de Beauvoir, The Ethics of Ambiguity, trans. Bernard Frechtman (New York: Citadel Press, 1976), 9–11.

[13]             Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O’Brien (New York: Vintage International, 1991), 55–56.

[14]             Ibid., 123.

[15]             Albert Camus, The Rebel, trans. Anthony Bower (New York: Vintage, 1956), 102–105.

[16]             Richard Rorty, Contingency, Irony, and Solidarity (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 8–10.

[17]             Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, 108.


11.       Kesimpulan

Nihilisme kontemporer, sebagaimana terurai dalam pembahasan sebelumnya, merupakan salah satu fenomena paling kompleks dan menentukan dalam sejarah pemikiran modern. Ia bukan sekadar bentuk pesimisme atau kehilangan iman terhadap nilai-nilai lama, tetapi ekspresi dari kesadaran manusia yang mencapai titik refleksi tertinggi: kesadaran bahwa tidak ada fondasi mutlak bagi pengetahuan, moralitas, maupun makna hidup.¹ Dalam pengertian ini, nihilisme bukan hanya krisis, melainkan juga peluang—sebuah momen kritis yang membuka jalan bagi pembaruan filosofis, etis, dan eksistensial.

11.1.    Nihilisme sebagai Cermin Krisis Modernitas

Dalam akar historisnya, nihilisme lahir dari proyek modernitas yang berambisi menggantikan Tuhan dan metafisika dengan rasionalitas manusia. Nietzsche menyebut “kematian Tuhan” sebagai peristiwa paling besar dalam sejarah Barat, karena dengannya hilang pula dasar transenden bagi semua nilai.² Krisis ini tidak berhenti pada ranah teologis, melainkan menjalar ke epistemologi dan etika: manusia modern menghadapi dunia yang tidak lagi menyediakan kepastian, arah, atau makna universal.³

Namun, krisis tersebut juga menjadi cermin bagi refleksi diri manusia modern. Ia menyingkap bahwa rasionalitas yang absolut, dogma moral yang kaku, maupun sistem metafisik yang tertutup tidak lagi memadai untuk menjelaskan kompleksitas pengalaman manusia.⁴ Dengan demikian, nihilisme berfungsi sebagai kritik radikal terhadap absolutisme, tetapi sekaligus sebagai undangan bagi kesadaran baru yang lebih terbuka dan reflektif.

11.2.    Dari Kehampaan Menuju Keberanian Eksistensial

Meski nihilisme tampak menakutkan karena mengguncang semua kepastian, ia juga menandai lahirnya kebebasan baru. Sartre menegaskan bahwa ketika semua nilai eksternal runtuh, manusia justru memperoleh kebebasan total untuk menciptakan dirinya sendiri.⁵ Kebebasan ini tidak lepas dari tanggung jawab, karena dalam dunia tanpa Tuhan, manusialah yang menjadi pencipta makna dan nilai.⁶

Albert Camus mengartikulasikan gagasan ini melalui konsep absurditas: dunia memang tidak bermakna, tetapi manusia dapat menolak keputusasaan dengan menegaskan hidupnya secara sadar dan jujur.⁷ Dalam kesadaran akan ketiadaan makna, manusia justru menemukan keberanian untuk hidup secara autentik.⁸ Dengan demikian, nihilisme bukan akhir eksistensi, tetapi tahap awal menuju kesadaran yang lebih mendalam tentang kebebasan dan tanggung jawab manusia.

11.3.    Rekonstruksi Etika dan Spiritualitas Pasca-Nihilistik

Dalam tataran etis, nihilisme menyingkirkan dasar moral yang bersifat absolut, tetapi membuka ruang bagi moralitas yang berakar pada relasi dan empati. Emmanuel Levinas menekankan bahwa tanggung jawab etis lahir bukan dari hukum universal, melainkan dari perjumpaan konkret dengan wajah “yang lain.”⁹ Etika demikian melampaui nihilisme, karena ia tidak membutuhkan legitimasi metafisik untuk berbuat baik—melainkan tumbuh dari kesadaran akan keterbatasan diri dan penghormatan terhadap keberadaan yang lain.¹⁰

Dalam ranah spiritualitas, nihilisme mendorong refleksi baru terhadap iman. Gianni Vattimo menafsirkan nihilisme sebagai proses “pemaparan diri” dari kebenaran absolut menuju bentuk iman yang lemah, humanistik, dan dialogis.¹¹ Spiritualitas pasca-nihilistik ini bukanlah kembalinya dogma, melainkan penemuan kembali makna transendensi dalam keheningan dan kerendahan hati manusia di hadapan misteri keberadaan.¹²

11.4.    Relevansi Nihilisme bagi Manusia Kontemporer

Dalam dunia yang dilanda krisis ekologi, disinformasi digital, dan dehumanisasi teknologi, nihilisme tampak hadir di setiap lapisan kehidupan manusia. Namun, justru dalam kondisi inilah relevansi filosofis nihilisme mencapai puncaknya. Ia menuntun manusia untuk menatap realitas tanpa ilusi, untuk mengakui kehampaan tanpa menutup mata, dan untuk mencipta makna tanpa bergantung pada otoritas eksternal.¹³

Nihilisme mengajarkan sikap keberanian intelektual: bahwa makna tidak ditemukan, tetapi diciptakan melalui tindakan reflektif dan tanggung jawab etis. Dalam dunia yang kehilangan kepastian, manusia tidak perlu mencari fondasi baru yang absolut, melainkan belajar hidup dalam keterbatasan dengan kesadaran dan belas kasih.¹⁴


Nihilisme sebagai Jalan Menuju Kearifan Filosofis

Akhirnya, nihilisme tidak harus dipahami sebagai kehancuran, tetapi sebagai proses pembentukan kearifan. Dari kehampaan, manusia belajar tentang ketergantungan dan kerentanannya; dari ketiadaan nilai absolut, ia menemukan pentingnya dialog dan interpretasi; dari keterasingan, ia menemukan kembali solidaritas dan kreativitas.¹⁵

Sebagaimana diungkapkan oleh Nietzsche, “Seseorang harus memiliki kekacauan dalam dirinya untuk melahirkan bintang yang menari.”¹⁶ Dalam makna yang paling dalam, nihilisme mengajarkan bahwa kehidupan manusia adalah seni menari di atas kehampaan—sebuah perjalanan reflektif di antara ketiadaan dan penciptaan makna, di mana filsafat menemukan kembali tugas tertingginya: menafsirkan, menegaskan, dan menghidupi makna yang diciptakan oleh manusia itu sendiri.


Footnotes

[1]                Martin Heidegger, Introduction to Metaphysics, trans. Gregory Fried and Richard Polt (New Haven: Yale University Press, 2014), 16–17.

[2]                Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1974), §125.

[3]                Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 88–90.

[4]                Gianni Vattimo, The End of Modernity: Nihilism and Hermeneutics in Postmodern Culture, trans. Jon R. Snyder (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1988), 3–6.

[5]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Philip Mairet (New Haven: Yale University Press, 2007), 29–31.

[6]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1956), 23–25.

[7]                Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O’Brien (New York: Vintage International, 1991), 54–56.

[8]                Albert Camus, The Rebel, trans. Anthony Bower (New York: Vintage, 1956), 100–102.

[9]                Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 41–44.

[10]             Ibid., 198–200.

[11]             Gianni Vattimo, Belief, trans. Luca D’Isanto and David Webb (Stanford: Stanford University Press, 1999), 45–47.

[12]             Gianni Vattimo and John D. Caputo, After the Death of God (New York: Columbia University Press, 2007), 32–35.

[13]             Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 247–249.

[14]             Richard Rorty, Contingency, Irony, and Solidarity (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 9–11.

[15]             Paul Ricoeur, Freud and Philosophy: An Essay on Interpretation, trans. Denis Savage (New Haven: Yale University Press, 1970), 34–36.

[16]             Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, trans. R. J. Hollingdale (London: Penguin Books, 1961), 108.


Daftar Pustaka

Arendt, H. (1963). Eichmann in Jerusalem: A report on the banality of evil. Viking Press.

Aristotle. (1924). Metaphysics (W. D. Ross, Trans.). Clarendon Press.

Baudrillard, J. (1994). Simulacra and simulation (S. F. Glaser, Trans.). University of Michigan Press.

Bauman, Z. (2000). Liquid modernity. Polity Press.

Beauvoir, S. de. (1976). The ethics of ambiguity (B. Frechtman, Trans.). Citadel Press.

Beckett, S. (1954). Waiting for Godot. Grove Press.

Bürger, P. (1984). Theory of the avant-garde (M. Shaw, Trans.). University of Minnesota Press.

Camus, A. (1956). The rebel (A. Bower, Trans.). Vintage.

Camus, A. (1991). The myth of Sisyphus (J. O’Brien, Trans.). Vintage International.

Danto, A. C. (1981). The transfiguration of the commonplace: A philosophy of art. Harvard University Press.

Danto, A. C. (1997). After the end of art: Contemporary art and the pale of history. Princeton University Press.

Debord, G. (1994). The society of the spectacle (D. Nicholson-Smith, Trans.). Zone Books.

De Beauvoir, S. (1976). The ethics of ambiguity. Citadel Press.

Deleuze, G. (1983). Nietzsche and philosophy (H. Tomlinson, Trans.). Columbia University Press.

Descartes, R. (1996). Meditations on first philosophy (J. Cottingham, Trans.). Cambridge University Press.

Derrida, J. (1976). Of grammatology (G. C. Spivak, Trans.). Johns Hopkins University Press.

Dreyfus, H. L. (1991). Being-in-the-world: A commentary on Heidegger’s Being and Time. MIT Press.

Dreyfus, H. L. (2008). On the internet (2nd ed.). Routledge.

Eliot, T. S. (1962). The waste land and other poems. Harcourt Brace.

Flynn, T. (1984). Sartre and Marxist existentialism. University of Chicago Press.

Floridi, L. (2013). The ethics of information. Oxford University Press.

Foster, H. (1996). The return of the real: The avant-garde at the end of the century. MIT Press.

Foucault, M. (1978). The history of sexuality: Volume 1—An introduction (R. Hurley, Trans.). Vintage.

Foucault, M. (1980). Power/knowledge: Selected interviews and other writings, 1972–1977 (C. Gordon, Ed.). Pantheon Books.

Foucault, M. (1997). Ethics: Subjectivity and truth (P. Rabinow, Ed.). New Press.

Frankl, V. E. (2006). Man’s search for meaning. Beacon Press.

Fromm, E. (1941). Escape from freedom. Farrar & Rinehart.

Gilbert, J., & Pearson, E. (1999). Discographies: Dance music, culture, and the politics of sound. Routledge.

Gilson, E. (1956). The Christian philosophy of St. Thomas Aquinas. University of Notre Dame Press.

Groys, B. (2008). Art power. MIT Press.

Guardini, R. (1998). The end of the modern world (J. Theman & H. Burke, Trans.). ISI Books.

Han, B.-C. (2015). The burnout society (E. Butler, Trans.). Stanford University Press.

Harari, Y. N. (2017). Homo Deus: A brief history of tomorrow. Harper.

Heidegger, M. (1949). What is metaphysics? (D. F. Krell, Trans.). Gateway Editions.

Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.

Heidegger, M. (1977). The question concerning technology (W. Lovitt, Trans.). Harper & Row.

Heidegger, M. (1979). Nietzsche, Vol. I: The will to power as art (D. F. Krell, Trans.). Harper & Row.

Heidegger, M. (2014). Introduction to metaphysics (G. Fried & R. Polt, Trans.). Yale University Press.

Jameson, F. (1991). Postmodernism, or, the cultural logic of late capitalism. Duke University Press.

Jonas, H. (1984). The imperative of responsibility: In search of an ethics for the technological age. University of Chicago Press.

Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P. Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University Press.

Kierkegaard, S. (1989). The sickness unto death (A. Hannay, Trans.). Penguin Books.

Krauss, R. (1985). The originality of the avant-garde and other modernist myths. MIT Press.

Levinas, E. (1969). Totality and infinity: An essay on exteriority (A. Lingis, Trans.). Duquesne University Press.

Lyotard, J.-F. (1984). The postmodern condition: A report on knowledge (G. Bennington & B. Massumi, Trans.). University of Minnesota Press.

MacIntyre, A. (2007). After virtue: A study in moral theory (3rd ed.). University of Notre Dame Press.

McIntyre, L. (2018). Post-truth. MIT Press.

Mercadante, L. A. (2014). Belief without borders: Inside the minds of the spiritual but not religious. Oxford University Press.

Naess, A. (1973). The shallow and the deep, long-range ecology movement. Inquiry, 16(1–4), 95–100.

Nietzsche, F. (1954). On truth and lies in a nonmoral sense (W. Kaufmann, Trans.). In The portable Nietzsche (pp. 42–47). Viking Press.

Nietzsche, F. (1961). Thus spoke Zarathustra (R. J. Hollingdale, Trans.). Penguin Books.

Nietzsche, F. (1967). The will to power (W. Kaufmann & R. J. Hollingdale, Trans.). Vintage Books.

Nietzsche, F. (1974). The gay science (W. Kaufmann, Trans.). Vintage.

Nietzsche, F. (1990). Twilight of the idols (R. J. Hollingdale, Trans.). Penguin Books.

Newport, C. (2019). Digital minimalism: Choosing a focused life in a noisy world. Portfolio.

Plato. (1992). Republic (G. M. A. Grube, Trans.). Hackett Publishing.

Ratzinger, J. (2004). Introduction to Christianity (J. R. Foster, Trans.). Ignatius Press.

Ricoeur, P. (1970). Freud and philosophy: An essay on interpretation (D. Savage, Trans.). Yale University Press.

Rolston, H. III. (1988). Environmental ethics: Duties to and values in the natural world. Temple University Press.

Rorty, R. (1989). Contingency, irony, and solidarity. Cambridge University Press.

Sartre, J.-P. (1956). Being and nothingness (H. E. Barnes, Trans.). Washington Square Press.

Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a humanism (P. Mairet, Trans.). Yale University Press.

Sextus Empiricus. (1933). Outlines of Pyrrhonism (R. G. Bury, Trans.). Harvard University Press.

Taylor, C. (1989). Sources of the self: The making of the modern identity. Harvard University Press.

Taylor, C. (2007). A secular age. Harvard University Press.

Tillich, P. (1952). The courage to be. Yale University Press.

Vallor, S. (2016). Technology and the virtues: A philosophical guide to a future worth wanting. Oxford University Press.

Vattimo, G. (1988). The end of modernity: Nihilism and hermeneutics in postmodern culture (J. R. Snyder, Trans.). Johns Hopkins University Press.

Vattimo, G. (1999). Belief (L. D’Isanto & D. Webb, Trans.). Stanford University Press.

Vattimo, G. (2004). Nihilism and emancipation: Ethics, politics, and law (W. McCuaig, Trans.). Columbia University Press.

Vattimo, G., & Caputo, J. D. (2007). After the death of God. Columbia University Press.

Vattimo, G. (2008). Art’s claim to truth (L. D’Isanto, Trans.). Columbia University Press.

Weber, M. (1946). From Max Weber: Essays in sociology (H. H. Gerth & C. W. Mills, Eds. & Trans.). Oxford University Press.

White, L. Jr. (1967). The historical roots of our ecologic crisis. Science, 155(3767), 1203–1207.

Young, J. (2006). Nietzsche’s philosophy of religion. Cambridge University Press.

Žižek, S. (2012). The pervert’s guide to ideology. Verso.

Zuboff, S. (2019). The age of surveillance capitalism. PublicAffairs.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar