Nihilisme Kontemporer
Krisis Makna, Subjektivitas, dan Tantangan Etika di Era
Postmodern
Alihkan ke: Aliran Sejarah Filsafat.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif fenomena Nihilisme
Kontemporer sebagai salah satu arus pemikiran paling signifikan dalam
sejarah filsafat modern dan postmodern. Berangkat dari akar historisnya dalam
skeptisisme Yunani dan puncaknya pada pemikiran Friedrich Nietzsche, nihilisme
ditelusuri sebagai konsekuensi logis dari proyek modernitas yang menyingkirkan
fondasi transendensi dan nilai absolut. Kajian ini menelaah dimensi ontologis,
epistemologis, etis, dan estetis dari nihilisme, sekaligus
menunjukkan pergeseran makna dari sekadar kehampaan metafisik menuju fenomena
kultural dan eksistensial yang kompleks. Dalam ontologi, nihilisme menyingkap
ketiadaan sebagai bagian inheren dari realitas; dalam epistemologi, ia
menggugat klaim objektivitas dan menegaskan kebenaran sebagai konstruksi
interpretatif; dalam etika, nihilisme menghadirkan tantangan terhadap moralitas
absolut dan membuka ruang bagi tanggung jawab eksistensial; sedangkan dalam
estetika, ia memunculkan budaya absurditas dan hiperrealitas sebagai refleksi
atas krisis makna manusia modern.
Artikel ini juga menelaah kritik terhadap nihilisme
dari perspektif teologis, humanistik, eksistensialis, dan hermeneutik, yang
menegaskan perlunya rekonstruksi makna tanpa kembali pada absolutisme lama.
Dalam bagian sintesis filosofis, nihilisme ditafsirkan ulang bukan sebagai
akhir makna, melainkan sebagai horizon reflektif baru—ruang di mana
manusia dapat mencipta, menafsir, dan menegaskan keberadaannya secara bebas
namun bertanggung jawab. Melalui pendekatan hermeneutik dan eksistensial,
artikel ini menegaskan bahwa nihilisme, alih-alih membawa kehancuran, justru
menjadi titik balik kesadaran filosofis menuju bentuk kehidupan yang
lebih otentik, plural, dan reflektif di tengah dunia yang kehilangan kepastian
metafisik.
Kata Kunci: Nihilisme, Eksistensialisme, Ontologi Ketiadaan,
Postmodernisme, Etika Tanggung Jawab, Hermeneutika, Krisis Makna, Filsafat
Kontemporer, Heidegger, Nietzsche.
PEMBAHASAN
Nihilisme Kontemporer dan Implikasinya terhadap
Pemikiran Filsafat, Etika, dan Budaya
1.
Pendahuluan
Dalam sejarah filsafat, nihilisme menempati
posisi yang paradoksal: di satu sisi, ia merupakan kritik tajam terhadap sistem
nilai tradisional; di sisi lain, ia menandai krisis mendalam dalam upaya
manusia mencari makna. Secara etimologis, istilah nihilisme berasal dari
kata Latin nihil, yang berarti “tidak ada.” Dalam konteks filsafat,
nihilisme menunjuk pada keyakinan bahwa kehidupan dan realitas pada dasarnya
tidak memiliki makna, nilai, atau tujuan yang intrinsik.¹ Fenomena ini menjadi
semakin relevan dalam era kontemporer yang ditandai oleh relativisme moral,
krisis spiritual, dan kejatuhan metanarasi besar tentang kebenaran.
Akar historis nihilisme dapat dilacak sejak zaman
modern, khususnya melalui karya Friedrich Nietzsche, yang menyatakan bahwa
“Tuhan telah mati” (Gott ist tot) sebagai metafora bagi runtuhnya dasar
transenden bagi nilai-nilai moral Barat.² Bagi Nietzsche, nihilisme adalah
konsekuensi logis dari proyek rasionalisme dan sekularisme modern, yang
mengikis kepercayaan pada fondasi metafisik dan menggantinya dengan konstruksi
manusia yang rapuh.³ Namun, nihilisme yang diartikulasikan Nietzsche bukan
sekadar pesimisme pasif, melainkan panggilan untuk menciptakan nilai-nilai baru
melalui afirmasi kehidupan.⁴
Dalam abad ke-20 dan 21, nihilisme berkembang
melampaui ranah metafisika menjadi fenomena eksistensial, kultural, dan
epistemologis. Martin Heidegger menafsirkan nihilisme sebagai “kelupaan
terhadap Ada” (Seinsvergessenheit), di mana manusia modern terperangkap
dalam dunia teknologis yang menginstrumentalisasi keberadaan tanpa memahami
maknanya.⁵ Jean Baudrillard dan Jean-François Lyotard melanjutkan wacana ini
dalam konteks postmodernisme, dengan menegaskan bahwa makna kini telah
digantikan oleh simulasi dan permainan tanda-tanda yang kehilangan referensi
terhadap realitas.⁶ Akibatnya, nihilisme tidak lagi hanya menyangkut
ketidakpercayaan terhadap nilai-nilai metafisik, melainkan juga terhadap
kemampuan bahasa, narasi, dan rasio untuk menyingkap kebenaran.
Krisis makna yang dihadirkan oleh nihilisme
kontemporer mencerminkan kondisi masyarakat global yang dilanda alienasi,
fragmentasi identitas, serta kelelahan spiritual. Dalam lanskap sosial yang
didominasi oleh teknologi, konsumsi, dan kecepatan informasi, manusia
menghadapi kekosongan eksistensial yang menuntut refleksi baru tentang hakikat
keberadaan dan nilai.⁷ Oleh karena itu, pembahasan tentang nihilisme
kontemporer menjadi penting bukan hanya sebagai kajian teoretis, melainkan juga
sebagai upaya memahami kondisi ontologis dan etis manusia modern. Artikel ini
bertujuan untuk menelusuri dimensi historis, ontologis, epistemologis, etis,
dan estetis dari nihilisme kontemporer, serta mencari kemungkinan sintesis
filosofis yang dapat membuka ruang bagi rekonstruksi makna dalam dunia yang
tampak tanpa makna.
Footnotes
[1]
Julian Young, Nietzsche’s Philosophy of Religion
(Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 15.
[2]
Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans.
Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1974), 108.
[3]
Martin Heidegger, Nietzsche, Volume I: The Will
to Power as Art, trans. David Farrell Krell (San Francisco: Harper &
Row, 1979), 6–8.
[4]
Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra,
trans. R. J. Hollingdale (London: Penguin Books, 1961), 22–25.
[5]
Martin Heidegger, The Question Concerning
Technology, trans. William Lovitt (New York: Harper & Row, 1977), 3–5.
[6]
Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation,
trans. Sheila Faria Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994),
1–6; Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge,
trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis: University of Minnesota
Press, 1984), xxiv–xxv.
[7]
Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans.
Justin O’Brien (New York: Vintage International, 1991), 10–12.
2.
Landasan
Historis dan Genealogis
Nihilisme sebagai
konsep filsafat tidak muncul secara tiba-tiba; ia merupakan hasil dari
perjalanan panjang pemikiran Barat yang berakar pada pertanyaan tentang makna,
kebenaran, dan nilai. Dalam sejarah intelektualnya, nihilisme dapat dipahami
sebagai respons terhadap krisis rasionalitas dan kehilangan dasar metafisik
yang selama berabad-abad menopang pandangan dunia manusia. Genealogi nihilisme
menyingkap dinamika perubahan dari kepercayaan metafisik klasik menuju
relativisme dan dekonstruksi nilai-nilai dalam modernitas dan postmodernitas.
2.1. Akar Klasik: Skeptisisme dan Krisis Metafisika
Bentuk awal dari
nihilisme dapat ditelusuri dalam tradisi skeptisisme Yunani kuno, khususnya
pada Pyrrho dan Sextus Empiricus, yang meragukan kemampuan manusia untuk mencapai
pengetahuan yang pasti.¹ Meskipun tidak secara eksplisit menolak makna atau
nilai, skeptisisme klasik menanamkan benih keraguan terhadap keutuhan
rasionalitas dan kepastian metafisik yang kelak berkembang menjadi nihilisme.
Plato, dalam dialog Phaedo dan Republic,
telah memperingatkan tentang bahaya kehilangan orientasi moral ketika manusia
tidak lagi mempercayai eksistensi kebaikan yang absolut.² Aristoteles,
sebaliknya, menegaskan pentingnya telos sebagai prinsip tujuan dalam
setiap realitas—suatu pandangan yang kelak ditantang oleh filsafat modern yang
menolak finalitas.³
2.2. Masa Modern Awal: Destrukturisasi Fondasi Metafisik
Peralihan menuju
modernitas membawa transformasi mendasar dalam cara manusia memahami realitas.
René Descartes, dengan semboyan cogito ergo sum, memusatkan seluruh
kepastian pada subjek berpikir, menggantikan tatanan ontologis tradisional
dengan epistemologi yang berpusat pada kesadaran individual.⁴ Paradigma ini
membuka jalan bagi rasionalisme dan empirisme, tetapi sekaligus menyingkirkan
gagasan tentang nilai objektif dan tujuan kosmis. Ketika sains dan teknologi
mulai mendominasi wacana intelektual, metafisika Aristotelian dan teologi
skolastik dianggap usang.⁵ Dengan demikian, nihilisme mulai berakar sebagai
konsekuensi dari sekularisasi dan penghapusan dasar transenden bagi makna
kehidupan.
2.3. Nietzsche dan Puncak Nihilisme Modern
Friedrich Nietzsche
merupakan tokoh yang pertama kali secara eksplisit mendiagnosis nihilisme
sebagai “penyakit kebudayaan Barat.”⁶ Menurutnya, nihilisme adalah hasil dari
kehancuran sistem nilai tradisional yang dibangun di atas kepercayaan pada
Tuhan dan rasionalitas universal. Dalam karyanya The Will to Power, Nietzsche
menyebut nihilisme sebagai “logika paling ekstrem dari kebenaran,” di mana
pencarian kebenaran mutlak akhirnya menghancurkan dirinya sendiri.⁷ Kematian
Tuhan menandai berakhirnya jaminan transenden bagi moralitas dan pengetahuan,
sekaligus menuntut manusia untuk menciptakan nilai-nilai baru secara otonom.⁸
Dengan demikian, nihilisme Nietzsche bersifat ambivalen: destruktif terhadap
nilai lama, tetapi juga kreatif dalam membuka kemungkinan afirmasi baru atas
kehidupan.
2.4. Heidegger dan Nihilisme Metafisik
Martin Heidegger
menafsirkan nihilisme sebagai kelanjutan dari sejarah metafisika Barat yang
telah melupakan pertanyaan mendasar tentang Ada (Sein).⁹ Dalam pandangannya, seluruh
tradisi filsafat sejak Plato hingga Nietzsche terjebak dalam cara berpikir yang
hanya memahami realitas sebagai ente (ada yang hadir), bukan sebagai
Sein
(keberadaan itu sendiri). Akibatnya, manusia modern terasing dari makna
ontologis dunia dan tenggelam dalam cara berpikir teknologis yang
reduksionis.¹⁰ Heidegger menyebut fenomena ini sebagai Seinsvergessenheit—kelupaan
terhadap makna Ada—yang menjadi bentuk terdalam dari nihilisme metafisik.¹¹
Nihilisme Postmodern: Dekonstruksi dan Krisis Makna
Memasuki abad ke-20,
nihilisme mengalami transformasi dalam konteks postmodernisme. Jean-François
Lyotard menyatakan bahwa zaman postmodern ditandai oleh “ketidakpercayaan
terhadap metanarasi.”¹² Sementara Jean Baudrillard menegaskan bahwa dalam
masyarakat konsumsi dan media, realitas telah digantikan oleh simulakra—tiruan
yang tidak lagi memiliki referensi terhadap kenyataan.¹³ Dalam perspektif ini,
nihilisme bukan lagi hanya ketiadaan nilai metafisik, melainkan ketiadaan
realitas itu sendiri. Kehidupan manusia menjadi permainan tanda dan citra tanpa
makna intrinsik, menciptakan bentuk nihilisme baru yang bersifat kultural dan
simbolik.
Footnotes
[1]
Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism, trans. R. G. Bury (Cambridge: Harvard University
Press, 1933), 21–23.
[2]
Plato, Republic, trans. G. M. A. Grube (Indianapolis: Hackett
Publishing, 1992), 509d–511e.
[3]
Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924),
982b–983a.
[4]
René Descartes, Meditations on First
Philosophy, trans. John Cottingham
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 17–18.
[5]
Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge: Harvard University Press, 2007), 26–30.
[6]
Friedrich Nietzsche, The
Will to Power, trans. Walter
Kaufmann and R. J. Hollingdale (New York: Vintage Books, 1967), §2.
[7]
Ibid., §12.
[8]
Friedrich Nietzsche, Thus
Spoke Zarathustra, trans. R. J.
Hollingdale (London: Penguin Books, 1961), 27–30.
[9]
Martin Heidegger, Nietzsche, Volume I:
The Will to Power as Art, trans.
David Farrell Krell (San Francisco: Harper & Row, 1979), 208.
[10]
Martin Heidegger, The Question Concerning
Technology, trans. William Lovitt
(New York: Harper & Row, 1977), 3–5.
[11]
Martin Heidegger, Introduction to
Metaphysics, trans. Gregory Fried
and Richard Polt (New Haven: Yale University Press, 2014), 14–15.
[12]
Jean-François Lyotard, The
Postmodern Condition: A Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis: University of
Minnesota Press, 1984), xxiv.
[13]
Jean Baudrillard, Simulacra and
Simulation, trans. Sheila Faria
Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 1–6.
3.
Ontologi
Nihilisme: Ketiadaan sebagai Realitas
Ontologi nihilisme
berpusat pada persoalan paling mendasar dalam filsafat: apakah “ketiadaan” (nothingness)
memiliki status ontologis? Dalam tradisi metafisika klasik, “ada” (being)
selalu dipahami sebagai dasar segala sesuatu, sedangkan “tidak ada” hanyalah
negasi murni, suatu ketiadaan tanpa makna.¹ Namun, nihilisme menggugat
pandangan ini dengan mempertanyakan: bagaimana jika ketiadaan justru menjadi
bagian inheren dari realitas itu sendiri? Pertanyaan ini bukan sekadar
permainan konseptual, melainkan pergeseran paradigma dalam memahami eksistensi
manusia dan dunia.
3.1. Dari Ada ke Ketiadaan: Pergeseran Ontologis dalam
Modernitas
Dalam pandangan
ontologi klasik Aristotelian, keberadaan (to on) bersifat teleologis—setiap
entitas memiliki telos, tujuan atau arah kodrati
menuju kesempurnaan.² Pandangan ini bertahan hingga era skolastik melalui
Sintesis Thomistik yang menempatkan Tuhan sebagai actus purus, sumber mutlak dari
segala eksistensi.³ Namun, modernitas memutus hubungan antara dunia dan dasar
metafisiknya: Tuhan tidak lagi menjadi fondasi ontologis, melainkan ide yang
ditinggalkan di altar rasionalitas. Dengan hilangnya prinsip ens
causa sui, realitas kehilangan makna internal, dan ketiadaan
menjadi bayangan permanen dari keberadaan itu sendiri.⁴
Nietzsche
menggambarkan kondisi ini sebagai “runtuhnya dunia sejati” (der
Untergang der wahren Welt), yaitu ketika gagasan tentang realitas
objektif, nilai, dan makna yang transenden hancur, meninggalkan manusia dalam
dunia tanpa arah.⁵ Dalam kondisi demikian, ada tidak lagi memiliki jaminan
metafisik; ia menjadi “retak dari dalam,” di mana nihilisme membuka celah
antara eksistensi dan makna. Ontologi nihilistik dengan demikian tidak
meniadakan keberadaan, melainkan menyingkap kekosongan dalam jantung keberadaan
itu sendiri.
3.2. Heidegger dan “Das Nichts”: Ketiadaan sebagai
Dimensi Pengungkapan
Martin Heidegger
memberikan salah satu analisis paling mendalam mengenai ketiadaan dalam
kuliahnya Was ist
Metaphysik? (1929). Ia menolak pemahaman ketiadaan sebagai sekadar
negasi logis dan menafsirkannya sebagai sesuatu yang mengungkap “Ada.”⁶ Menurut
Heidegger, ketiadaan bukanlah non-being, melainkan pengalaman
eksistensial yang membuka manusia terhadap kehadiran Ada.
“Ketiadaan bukan meniadakan,” tulisnya, “melainkan membiarkan sesuatu tampak
sebagaimana adanya.”⁷ Dalam momen keprihatinan eksistensial (Angst),
manusia mengalami ketiadaan bukan sebagai kehilangan, tetapi sebagai wahana
penyingkapan makna keberadaan.⁸
Heidegger dengan
demikian memulihkan status ontologis ketiadaan: ia bukan lawan dari ada,
melainkan kondisi kemungkinan bagi pengungkapan ada. Pandangan ini membawa
konsekuensi penting bagi nihilisme, karena ketiadaan tidak lagi sekadar
kehampaan destruktif, tetapi horizon tempat makna dapat muncul. Dengan kata
lain, nihilisme membuka jalan bagi ontologi yang lebih otentik, di mana manusia
menyadari keberadaannya sebagai ada-yang-terbatas di hadapan
misteri Ada
itu sendiri.⁹
3.3. Sartre dan “Le Néant”: Ketiadaan dalam Eksistensi
Manusia
Jean-Paul Sartre
melanjutkan tradisi ontologi nihilistik melalui analisis eksistensial dalam L’Être
et le Néant (1943). Baginya, ketiadaan bukanlah entitas metafisik,
melainkan fungsi kesadaran yang memungkinkan kebebasan.¹⁰ Kesadaran (pour-soi)
selalu membedakan dirinya dari ada (en-soi), dan dalam jarak reflektif
itulah “ketiadaan” muncul. Sartre menulis: “Kesadaran adalah ketiadaan yang
mengada.”¹¹ Dengan demikian, manusia secara ontologis adalah makhluk
nihilistik—ia bukan sesuatu yang tetap, tetapi proyek yang senantiasa
meniadakan dirinya untuk menjadi sesuatu yang lain.
Ketiadaan dalam
eksistensialisme Sartre adalah sumber kebebasan sekaligus kecemasan (angoisse).
Tanpa fondasi metafisik, manusia sepenuhnya bertanggung jawab atas penciptaan
maknanya sendiri.¹² Di sinilah nihilisme memperoleh dimensi etis dan
eksistensial: manusia menjadi satu-satunya pencipta nilai dalam dunia yang
hampa makna. Namun, kebebasan ini juga merupakan beban, karena dalam setiap
pilihan, manusia berhadapan dengan kekosongan dasar realitas.¹³
Ontologi Negatif dan Horizon Kontemporer
Dalam pemikiran
kontemporer, filsuf seperti Emmanuel Levinas dan Maurice Blanchot memperluas
ontologi nihilistik menuju “ontologi negatif.” Levinas menolak totalisasi
ontologis ala Heidegger dan menegaskan bahwa di luar ada
terdapat “yang lain” (l’Autre) yang tak dapat direduksi
pada keberadaan.¹⁴ Sementara Blanchot memandang ketiadaan sebagai “malam
eksistensi,” di mana bahasa, makna, dan identitas manusia larut ke dalam
ambiguitas yang tak terselesaikan.¹⁵
Dalam konteks ini,
ketiadaan bukan lagi sekadar oposisi terhadap keberadaan, melainkan realitas
laten yang mengiringi setiap pengalaman manusia. Nihilisme kontemporer, dengan
demikian, menghadirkan sebuah ontologi ambang—di mana ada
dan tidak
ada tidak saling meniadakan, tetapi saling mengandaikan dalam
dinamika pengungkapan makna yang tak pernah final.¹⁶
Footnotes
[1]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province
(New York: Benziger Brothers, 1947), I, q.3, a.4.
[2]
Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924),
982b–983a.
[3]
Etienne Gilson, The Christian
Philosophy of St. Thomas Aquinas
(Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1956), 58–61.
[4]
Charles Taylor, Sources of the Self:
The Making of the Modern Identity
(Cambridge: Harvard University Press, 1989), 28–32.
[5]
Friedrich Nietzsche, Twilight
of the Idols, trans. R. J.
Hollingdale (London: Penguin Books, 1990), 50–52.
[6]
Martin Heidegger, What Is Metaphysics?, trans. David Farrell Krell (Chicago: Gateway Editions,
1949), 101–103.
[7]
Ibid., 104.
[8]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New
York: Harper & Row, 1962), 231–234.
[9]
Hubert Dreyfus, Being-in-the-World: A
Commentary on Heidegger’s Being and Time (Cambridge: MIT Press, 1991), 21–25.
[10]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square
Press, 1956), 19–22.
[11]
Ibid., 23.
[12]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a
Humanism, trans. Philip Mairet (New
Haven: Yale University Press, 2007), 27–29.
[13]
Thomas Flynn, Sartre and Marxist
Existentialism (Chicago: University
of Chicago Press, 1984), 41–43.
[14]
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity:
An Essay on Exteriority, trans.
Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 41–44.
[15]
Maurice Blanchot, The Space of Literature, trans. Ann Smock (Lincoln: University of Nebraska
Press, 1982), 48–50.
[16]
Gianni Vattimo, The End of Modernity:
Nihilism and Hermeneutics in Postmodern Culture, trans. Jon R. Snyder (Baltimore: Johns Hopkins
University Press, 1988), 3–6.
4.
Epistemologi
Nihilisme: Kebenaran sebagai Konstruksi
Epistemologi
nihilisme menyoroti krisis mendasar dalam pemahaman manusia tentang kebenaran
dan pengetahuan. Jika dalam tradisi klasik kebenaran dipandang sebagai
korespondensi antara pikiran dan realitas (adaequatio intellectus et rei),
maka dalam horizon nihilistik, pandangan ini dianggap usang karena bertumpu
pada asumsi adanya realitas objektif dan rasionalitas universal.¹ Nihilisme
epistemologis lahir dari kesadaran bahwa setiap klaim kebenaran merupakan
konstruksi yang terikat pada perspektif, bahasa, dan kekuasaan. Kebenaran tidak
lagi bersifat absolut, melainkan relatif terhadap konteks sosial, historis, dan
linguistik di mana ia dihasilkan.
4.1. Krisis Rasionalitas dan Kebenaran Objektif
Pencerahan Eropa
abad ke-17 dan 18 menjanjikan pembebasan manusia melalui rasio. Namun, proyek
rasionalisme yang dikembangkan oleh Descartes, Kant, dan para ilmuwan modern
justru melahirkan bentuk baru dari dogmatisme: kepercayaan pada kemampuan akal untuk
menemukan kebenaran universal dan obyektif.² Nietzsche menentang ilusi ini
dengan menyatakan bahwa “tidak ada fakta, hanya interpretasi.”³ Bagi Nietzsche,
konsep kebenaran sebagai representasi objektif hanyalah metafor yang dilupakan
sebagai metafor.⁴ Dalam pandangan ini, seluruh sistem pengetahuan manusia
adalah hasil konstruksi interpretatif yang pada dasarnya bersifat estetis dan
perspektival.
Epistemologi modern,
dengan klaimnya terhadap netralitas ilmiah, telah menyingkirkan dimensi nilai
dan makna, menggantikan keduanya dengan kuantifikasi dan kalkulasi.⁵ Namun,
nihilisme menyingkap bahwa di balik rasionalitas yang tampak objektif terdapat
kehendak untuk berkuasa (der Wille zur Macht)—suatu dorongan
metafisis yang justru menentukan arah pengetahuan manusia.⁶ Dengan demikian,
nihilisme epistemologis bukan sekadar skeptisisme terhadap kebenaran, tetapi
kritik terhadap klaim netralitas pengetahuan yang selalu berakar pada kekuasaan
dan interpretasi.
4.2. Bahasa, Penanda, dan Dekonstruksi Kebenaran
Dalam perkembangan
pasca-strukturalisme, konsep nihilistik tentang kebenaran semakin mendalam
melalui analisis terhadap bahasa dan tanda. Jacques Derrida, melalui konsep différance,
menunjukkan bahwa makna tidak pernah hadir secara penuh, melainkan selalu
tertunda dalam jaringan tanda yang saling merujuk tanpa titik akhir.⁷ Bahasa
tidak merepresentasikan realitas; ia menciptakan realitas melalui perbedaan dan
penundaan makna. Akibatnya, kebenaran tidak lagi dipahami sebagai kesesuaian
dengan realitas, melainkan sebagai hasil permainan tekstual yang tak
berkesudahan.⁸
Jean Baudrillard
melangkah lebih jauh dengan menyatakan bahwa dalam masyarakat kontemporer,
tanda tidak lagi memiliki referensi terhadap realitas; yang ada hanyalah simulacra—tiruan
yang tidak memiliki dasar.⁹ Kebenaran berubah menjadi hiperkebenaran, di mana
citra dan informasi menggantikan kenyataan itu sendiri. Dalam konteks ini,
nihilisme epistemologis menemukan manifestasi ekstremnya: dunia tanpa kebenaran
sejati, hanya permainan ilusi yang disahkan oleh media dan teknologi.¹⁰
4.3. Relativisme Pengetahuan dan Post-Truth Society
Abad ke-21 ditandai
oleh munculnya apa yang disebut “era post-truth,” di mana kebenaran menjadi
subordinat terhadap emosi, opini, dan kepentingan politik.¹¹ Dalam masyarakat
digital, informasi tersebar tanpa mekanisme verifikasi yang kokoh, sementara
algoritma memperkuat bias dan membentuk “gelembung kognitif.”¹² Kondisi ini
merepresentasikan nihilisme epistemologis dalam bentuk sosialnya: kebenaran
kehilangan legitimasi karena setiap klaim dapat dikonstruksi ulang sesuai
preferensi individu atau kelompok.
Richard Rorty, dalam
kerangka pragmatisme postmodern, berpendapat bahwa kebenaran bukan sesuatu yang
harus “ditemukan,” melainkan sesuatu yang “dibuat” melalui konsensus sosial dan
praktik diskursif.¹³ Dengan demikian, epistemologi nihilisme mengandung dimensi
politis: pengetahuan tidak lagi netral, melainkan arena perjuangan tafsir yang
menentukan siapa yang memiliki otoritas untuk mendefinisikan realitas.¹⁴
Nihilisme dan Hermeneutika Kritis
Meskipun nihilisme
epistemologis tampak destruktif, beberapa pemikir kontemporer seperti Gianni
Vattimo dan Paul Ricoeur berusaha menafsirkan ulang kondisi ini sebagai peluang
untuk pembebasan interpretatif. Vattimo menamakan fenomena ini sebagai pensiero
debole (pemikiran lemah)—sebuah paradigma di mana manusia
meninggalkan klaim absolut terhadap kebenaran dan membuka diri terhadap
pluralitas makna.¹⁵ Sementara Ricoeur menekankan pentingnya hermeneutika
kecurigaan, yakni kesadaran bahwa setiap wacana kebenaran harus dibaca secara
kritis untuk menyingkap kekuatan dan ideologi di baliknya.¹⁶
Dalam konteks ini,
nihilisme epistemologis bukan akhir dari pencarian kebenaran, tetapi transisi
menuju kesadaran hermeneutis yang lebih reflektif. Kebenaran tidak lagi
dipahami sebagai korespondensi yang statis, melainkan sebagai proses
interpretatif yang terbuka dan historis. Dengan demikian, nihilisme
epistemologis justru dapat membuka ruang bagi etika dialog, tanggung jawab
pengetahuan, dan pengakuan terhadap keterbatasan manusia dalam memahami
dunia.¹⁷
Footnotes
[1]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province
(New York: Benziger Brothers, 1947), I, q.16, a.1.
[2]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge:
Cambridge University Press, 1998), 67–71.
[3]
Friedrich Nietzsche, The
Will to Power, trans. Walter
Kaufmann and R. J. Hollingdale (New York: Vintage Books, 1967), §481.
[4]
Friedrich Nietzsche, “On Truth and Lies in a Nonmoral Sense,” in The Portable Nietzsche,
ed. and trans. Walter Kaufmann (New York: Viking Press, 1954), 42–47.
[5]
Max Weber, Science as a Vocation, trans. H. H. Gerth and C. Wright Mills (New York:
Oxford University Press, 1946), 129–130.
[6]
Gilles Deleuze, Nietzsche and
Philosophy, trans. Hugh Tomlinson
(New York: Columbia University Press, 1983), 57–60.
[7]
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns
Hopkins University Press, 1976), 63–65.
[8]
Ibid., 74–75.
[9]
Jean Baudrillard, Simulacra and
Simulation, trans. Sheila Faria
Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 1–6.
[10]
Ibid., 11–12.
[11]
Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge: MIT Press, 2018), 3–4.
[12]
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance
Capitalism (New York: PublicAffairs,
2019), 244–246.
[13]
Richard Rorty, Contingency, Irony, and
Solidarity (Cambridge: Cambridge
University Press, 1989), 8–9.
[14]
Michel Foucault, Power/Knowledge:
Selected Interviews and Other Writings, 1972–1977, ed. Colin Gordon (New York: Pantheon Books, 1980),
131–133.
[15]
Gianni Vattimo, The End of Modernity:
Nihilism and Hermeneutics in Postmodern Culture, trans. Jon R. Snyder (Baltimore: Johns Hopkins
University Press, 1988), 3–7.
[16]
Paul Ricoeur, Freud and Philosophy:
An Essay on Interpretation, trans.
Denis Savage (New Haven: Yale University Press, 1970), 32–35.
[17]
Hans-Georg Gadamer, Truth
and Method, trans. Joel Weinsheimer
and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 269–272.
5.
Etika
dan Implikasi Moral
Etika dalam konteks
nihilisme kontemporer menghadapi paradoks mendasar: bagaimana mungkin berbicara
tentang moralitas di dunia yang kehilangan dasar nilai transenden? Nihilisme,
dengan penolakannya terhadap absolutisme moral, mengguncang seluruh fondasi
etika tradisional yang selama berabad-abad bersandar pada metafisika Tuhan,
hukum kodrati, atau rasionalitas universal.¹ Dalam kerangka ini, nihilisme
tidak sekadar menolak nilai-nilai lama, tetapi menyingkap kehampaan di balik
sistem moral yang diklaim universal. Namun demikian, kehampaan ini tidak selalu
berarti kehancuran total; ia juga membuka peluang bagi rekonstruksi etika yang
lebih otentik dan eksistensial.
5.1. Krisis Nilai dan Moralitas Tradisional
Friedrich Nietzsche
menegaskan bahwa nihilisme muncul sebagai konsekuensi logis dari “kematian
Tuhan,” yakni lenyapnya sumber nilai absolut yang selama ini menopang moralitas
Barat.² Ketika nilai-nilai ilahi kehilangan kredibilitasnya, manusia berhadapan
dengan dunia tanpa fondasi moral yang pasti. Nietzsche menyebut kondisi ini
sebagai nihilisme
pasif, di mana manusia masih bergantung pada nilai-nilai lama yang
telah kehilangan maknanya.³ Sebaliknya, nihilisme aktif menuntut penciptaan
nilai baru yang lahir dari kehendak untuk berkuasa (der Wille zur Macht), bukan dari
otoritas eksternal.⁴
Dengan demikian, nihilisme
menantang moralitas heteronom—yakni moralitas yang berasal dari sumber luar
diri manusia, baik itu agama, tradisi, atau institusi sosial. Ia menuntut
moralitas otonom yang berakar pada kehendak manusia sendiri. Namun, tantangan
etis muncul: tanpa dasar transenden, bagaimana manusia dapat membedakan yang
baik dari yang jahat? Apakah moralitas hanyalah konstruksi sosial yang
berubah-ubah tanpa landasan objektif? Pertanyaan ini menjadi inti dari krisis
etika modern.⁵
5.2. Eksistensialisme dan Penciptaan Nilai Baru
Jean-Paul Sartre,
yang melanjutkan warisan nihilisme Nietzschean, menjawab krisis ini dengan
menegaskan bahwa manusia “dikutuk untuk bebas.”⁶ Dalam dunia tanpa Tuhan, tidak
ada nilai moral yang diberikan sebelumnya (a priori); manusia sendirilah yang
bertanggung jawab menciptakan makna dan nilai bagi eksistensinya.⁷ Dalam hal
ini, moralitas bukan sistem aturan eksternal, melainkan ekspresi kebebasan dan
tanggung jawab eksistensial. Sartre menulis: “Ketika kita memilih, kita tidak
hanya memilih bagi diri sendiri, tetapi juga bagi seluruh umat manusia.”⁸
Albert Camus, dalam The Myth
of Sisyphus, menawarkan perspektif serupa melalui konsep
“pemberontakan metafisik” (révolte métaphysique).⁹ Bagi Camus,
kesadaran akan absurditas hidup bukan alasan untuk menyerah, melainkan
kesempatan untuk menegaskan nilai kehidupan itu sendiri melalui tindakan yang
sadar dan jujur.¹⁰ Etika nihilistik, dalam pandangan Camus, bukanlah etika
kehampaan, tetapi etika keberanian untuk tetap hidup dan memberi makna meskipun
dunia tampak tanpa tujuan.¹¹
5.3. Relativisme Moral dan Tantangan Sosial
Krisis nilai dalam
nihilisme juga berdampak luas terhadap kehidupan sosial dan politik. Tanpa
prinsip moral universal, masyarakat berisiko terperosok dalam relativisme
ekstrem di mana setiap tindakan dapat dibenarkan berdasarkan preferensi
subjektif.¹² Jean-François Lyotard menggambarkan kondisi postmodern sebagai
“ketidakpercayaan terhadap metanarasi,” termasuk narasi moral universal yang
sebelumnya mengatur tatanan sosial.¹³ Akibatnya, moralitas menjadi
fragmentaris, bergantung pada wacana lokal dan situasi kontingen.
Michel Foucault
menafsirkan perubahan ini bukan sebagai kehancuran moralitas, tetapi sebagai
desentralisasi kekuasaan moral.¹⁴ Ia menunjukkan bahwa setiap sistem etika
adalah produk relasi kekuasaan dan wacana. Dengan demikian, tugas etika
kontemporer bukan mencari norma universal, melainkan mengungkap bagaimana
nilai-nilai dibentuk, dipertahankan, dan disalahgunakan dalam struktur
sosial.¹⁵ Pandangan ini menggeser fokus dari etika normatif ke etika
reflektif—suatu kesadaran akan bagaimana nilai-nilai beroperasi dan membentuk
subjektivitas manusia.
Etika Nihilistik: Dari Kekosongan ke Tanggung Jawab
Beberapa pemikir
kontemporer mencoba menafsirkan nihilisme bukan sebagai kehancuran moral,
tetapi sebagai peluang untuk membangun etika baru yang lebih manusiawi dan
reflektif. Gianni Vattimo, misalnya, melalui konsep pensiero debole (pemikiran lemah),
mengusulkan etika yang tidak bersandar pada prinsip absolut, tetapi pada
dialog, toleransi, dan keterbukaan terhadap pluralitas makna.¹⁶ Emmanuel
Levinas, di sisi lain, menolak nihilisme radikal dengan menegaskan bahwa etika
lahir dari perjumpaan dengan “yang lain” (l’Autre), di mana tanggung jawab
mendahului kebebasan.¹⁷ Dalam konteks ini, nihilisme justru menyingkap dasar
etika yang paling mendasar: kesadaran akan keterbatasan diri dan kewajiban
terhadap keberadaan lain.
Dengan demikian,
implikasi moral nihilisme kontemporer bersifat ambivalen. Di satu sisi, ia
membongkar fondasi moral yang mapan dan menolak dogmatisme etis; di sisi lain,
ia menantang manusia untuk menemukan kembali moralitas sebagai proyek
kebebasan, tanggung jawab, dan solidaritas eksistensial. Etika nihilistik
bukanlah penolakan terhadap nilai, melainkan kesadaran bahwa nilai-nilai harus
senantiasa diciptakan kembali melalui refleksi dan keberanian untuk hidup
secara autentik di tengah ketiadaan makna mutlak.¹⁸
Footnotes
[1]
Alasdair MacIntyre, After
Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd
ed. (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2007), 2–4.
[2]
Friedrich Nietzsche, The
Gay Science, trans. Walter Kaufmann
(New York: Vintage, 1974), §125.
[3]
Ibid., §343.
[4]
Friedrich Nietzsche, Thus
Spoke Zarathustra, trans. R. J.
Hollingdale (London: Penguin Books, 1961), 99–101.
[5]
Charles Taylor, Sources of the Self:
The Making of the Modern Identity
(Cambridge: Harvard University Press, 1989), 70–72.
[6]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a
Humanism, trans. Philip Mairet (New
Haven: Yale University Press, 2007), 29.
[7]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square
Press, 1956), 23–25.
[8]
Sartre, Existentialism Is a
Humanism, 33.
[9]
Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O’Brien (New York: Vintage
International, 1991), 53–54.
[10]
Ibid., 63.
[11]
Albert Camus, The Rebel, trans. Anthony Bower (New York: Vintage, 1956),
21–23.
[12]
Richard Rorty, Contingency, Irony, and
Solidarity (Cambridge: Cambridge
University Press, 1989), 14–16.
[13]
Jean-François Lyotard, The
Postmodern Condition: A Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis: University of
Minnesota Press, 1984), xxiv.
[14]
Michel Foucault, The History of
Sexuality, Volume 1: An Introduction,
trans. Robert Hurley (New York: Vintage, 1978), 92–95.
[15]
Michel Foucault, Ethics: Subjectivity
and Truth, ed. Paul Rabinow (New
York: New Press, 1997), 263–266.
[16]
Gianni Vattimo, The End of Modernity:
Nihilism and Hermeneutics in Postmodern Culture, trans. Jon R. Snyder (Baltimore: Johns Hopkins
University Press, 1988), 16–18.
[17]
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity:
An Essay on Exteriority, trans.
Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 198–201.
[18]
Simone de Beauvoir, The
Ethics of Ambiguity, trans. Bernard
Frechtman (New York: Citadel Press, 1976), 9–10.
6.
Estetika
dan Budaya Nihilistik
Dalam konteks
nihilisme kontemporer, estetika memainkan peran yang paradoksal: di satu sisi,
seni menjadi sarana ekspresi krisis makna dan keterasingan manusia modern; di
sisi lain, ia berfungsi sebagai bentuk resistensi terhadap kehampaan itu
sendiri. Nihilisme tidak hanya hadir dalam ranah metafisika dan etika, tetapi
juga menjelma dalam bentuk estetika, gaya hidup, dan budaya populer.¹ Seni dan
budaya modern tidak lagi mengejar keindahan yang ideal atau nilai moral,
melainkan mencerminkan kehancuran makna, fragmentasi identitas, serta
absurditas eksistensi manusia.²
6.1. Estetika Kehampaan: Dari Nietzsche ke Modernisme
Friedrich Nietzsche
telah menandai keterhubungan erat antara nihilisme dan estetika. Dalam The
Birth of Tragedy, ia menafsirkan seni sebagai satu-satunya kekuatan
yang mampu menebus penderitaan dan kekacauan eksistensi.³ Melalui prinsip
Dionysian—yang melambangkan kekacauan, gairah, dan kehancuran bentuk—Nietzsche
melihat seni sebagai afirmasi kehidupan di tengah absurditasnya.⁴ Estetika
nihilistik, dengan demikian, bukan sekadar ekspresi kehampaan, melainkan
keberanian untuk menatap kehampaan itu tanpa ilusi metafisik.
Pada awal abad
ke-20, warisan estetika Nietzschean ini mewujud dalam gerakan modernisme:
ekspresionisme, dadaisme, dan surealisme, yang semuanya menolak rasionalitas
dan tatanan klasik.⁵ Gerakan-gerakan ini mencerminkan kekecewaan terhadap
kemajuan modernitas yang gagal memenuhi janji kemanusiaannya. Karya-karya
seperti lukisan Edvard Munch The Scream (1893) atau puisi T. S.
Eliot The
Waste Land (1922) mengekspresikan keresahan eksistensial,
kehancuran makna religius, dan absurditas kehidupan modern.⁶ Seni modern
menjadi cermin bagi kondisi nihilistik manusia yang terasing dari dunia dan
dirinya sendiri.
6.2. Budaya Populer dan Simulakra: Estetika dalam Era
Postmodern
Memasuki era
postmodern, nihilisme estetis mencapai bentuk paling ekstremnya melalui budaya
konsumsi dan media massa. Jean Baudrillard menegaskan bahwa dalam masyarakat
kontemporer, realitas telah digantikan oleh simulacra—tiruan yang tidak lagi
merepresentasikan apa pun selain dirinya sendiri.⁷ Estetika tidak lagi
mengungkap kebenaran atau makna, melainkan memproduksi citra dan sensasi tanpa
substansi. Dalam dunia hiperrealitas ini, keindahan menjadi komoditas, dan
pengalaman estetis direduksi menjadi konsumsi visual yang cepat dan dangkal.⁸
Fenomena ini tampak
jelas dalam budaya populer, di mana seni dan hiburan melebur dalam logika pasar
dan algoritma digital. Musik, film, dan media sosial membentuk estetika baru
yang berorientasi pada efek, bukan refleksi; pada kemunculan, bukan kedalaman.⁹
Dalam kerangka nihilistik, estetika menjadi bentuk “pemuasan instan” atas kehampaan
makna. Keindahan kehilangan dimensi transendennya dan berubah menjadi citra
yang terus diproduksi untuk menutupi kekosongan eksistensial.¹⁰
6.3. Estetika Absurditas dan Eksperimen Artistik
Albert Camus
menyebut seni sebagai “satu-satunya wilayah di mana manusia dapat menolak
absurditas tanpa melarikan diri darinya.”¹¹ Dalam The Rebel, Camus memandang tindakan
kreatif sebagai bentuk pemberontakan terhadap nihilisme pasif. Seni, baginya,
tidak berupaya menghapus absurditas, tetapi mengubahnya menjadi bentuk yang
dapat dimengerti, meskipun tanpa makna final.¹² Pandangan ini terlihat dalam
karya-karya Samuel Beckett seperti Waiting for Godot (1953), di mana
ketiadaan makna justru menjadi tema utama, diolah menjadi pengalaman estetis
yang menggugah kesadaran eksistensial.¹³
Dalam dunia seni
kontemporer, kecenderungan serupa muncul dalam seni konseptual, instalasi, dan
performans. Karya-karya semacam itu sering kali menolak narasi, bentuk, dan
fungsi estetika tradisional untuk menggugat makna seni itu sendiri.¹⁴ Estetika
nihilistik, dalam hal ini, menjadi refleksi meta-seni: seni yang berbicara
tentang kehancuran konsep seni, makna, dan nilai. Meskipun tampak destruktif,
pendekatan ini juga membuka ruang bagi pencarian bentuk-bentuk baru
kebermaknaan di luar sistem estetika konvensional.¹⁵
Hiperestetika dan Krisis Keotentikan
Dalam era digital,
estetika nihilistik berkembang menjadi apa yang dapat disebut
“hiperestetika”—yakni estetika yang menutupi realitas dengan citra yang
berlebihan.¹⁶ Dalam masyarakat yang terobsesi dengan representasi diri,
pengalaman estetis menjadi bentuk performativitas sosial yang dikendalikan oleh
algoritma dan kapitalisme visual. Guy Debord dalam The Society of the Spectacle
menggambarkan fenomena ini sebagai dominasi “tontonan” atas pengalaman hidup:
realitas digantikan oleh gambar, dan keaslian digantikan oleh representasi.¹⁷
Akibatnya, budaya
nihilistik tidak lagi berakar pada keputusasaan metafisik, tetapi pada
kelelahan eksistensial akibat banjir makna palsu.¹⁸ Estetika kehilangan daya
kontemplatifnya dan berubah menjadi mesin produksi sensasi. Namun, di tengah
kekosongan itu, muncul pula bentuk-bentuk resistensi baru: seni yang
merefleksikan kehampaan itu sendiri, yang berupaya menegaskan kembali kehadiran
manusia melalui kesadaran akan ketiadaan makna.¹⁹
Footnotes
[1]
Arthur C. Danto, The Transfiguration of
the Commonplace: A Philosophy of Art
(Cambridge: Harvard University Press, 1981), 12–14.
[2]
Hal Foster, The Return of the Real:
The Avant-Garde at the End of the Century (Cambridge: MIT Press, 1996), 3–5.
[3]
Friedrich Nietzsche, The
Birth of Tragedy, trans. Walter
Kaufmann (New York: Vintage, 1967), 17–18.
[4]
Ibid., 25–26.
[5]
Peter Bürger, Theory of the
Avant-Garde, trans. Michael Shaw
(Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), 47–49.
[6]
T. S. Eliot, The Waste Land and
Other Poems (New York: Harcourt
Brace, 1962), 33–37.
[7]
Jean Baudrillard, Simulacra and
Simulation, trans. Sheila Faria
Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 1–6.
[8]
Ibid., 9–12.
[9]
Fredric Jameson, Postmodernism, or, The
Cultural Logic of Late Capitalism
(Durham: Duke University Press, 1991), 16–18.
[10]
Guy Debord, The Society of the
Spectacle, trans. Donald
Nicholson-Smith (New York: Zone Books, 1994), 24–27.
[11]
Albert Camus, The Rebel, trans. Anthony Bower (New York: Vintage, 1956),
98–101.
[12]
Ibid., 102–104.
[13]
Samuel Beckett, Waiting for Godot (New York: Grove Press, 1954), 11–15.
[14]
Rosalind Krauss, The Originality of the
Avant-Garde and Other Modernist Myths
(Cambridge: MIT Press, 1985), 147–149.
[15]
Arthur C. Danto, After the End of Art:
Contemporary Art and the Pale of History (Princeton: Princeton University Press, 1997), 25–28.
[16]
Boris Groys, Art Power (Cambridge: MIT Press, 2008), 81–83.
[17]
Debord, The Society of the
Spectacle, 42–45.
[18]
Byung-Chul Han, The Burnout Society, trans. Erik Butler (Stanford: Stanford University
Press, 2015), 9–12.
[19]
Gianni Vattimo, Art’s Claim to Truth, trans. Luca D’Isanto (New York: Columbia University
Press, 2008), 4–6.
7.
Kritik
terhadap Nihilisme Kontemporer
Meskipun nihilisme
memiliki peran penting dalam membongkar ilusi metafisik dan moralitas dogmatis,
ia tidak luput dari kritik tajam baik dari perspektif teologis, humanistik,
maupun eksistensial. Para pemikir dari berbagai tradisi filsafat menilai bahwa
nihilisme, ketika dibawa ke titik ekstrem, berpotensi melumpuhkan makna,
merelatifkan kebenaran, dan meniadakan tanggung jawab moral manusia. Kritik
terhadap nihilisme kontemporer, dengan demikian, berfungsi bukan sekadar untuk
menolak gagasannya, tetapi untuk menegaskan kembali urgensi makna, nilai, dan
keotentikan manusia di tengah dunia yang tampak hampa.
7.1. Kritik Teologis: Kehampaan sebagai Akibat
Sekularisasi
Dari perspektif
teologis, nihilisme dipandang sebagai konsekuensi langsung dari proyek
sekularisasi modern yang menyingkirkan Tuhan sebagai pusat makna dan nilai.
Søren Kierkegaard menilai bahwa ketika manusia berusaha menggantikan Tuhan
dengan rasionalitas atau sistem moral buatan sendiri, ia justru kehilangan
dasar eksistensial yang sejati.¹ Kehidupan tanpa Tuhan, menurut Kierkegaard,
adalah “keputusasaan tersembunyi” di balik kebebasan palsu manusia modern.²
Demikian pula,
filsuf Katolik seperti Romano Guardini dan Joseph Ratzinger (Paus Benediktus
XVI) memandang nihilisme sebagai bentuk disorientasi spiritual, di mana
manusia modern kehilangan arah karena menolak keterikatan pada sumber makna
transenden.³ Dalam konteks ini, nihilisme tidak hanya dianggap sebagai
kesalahan epistemologis atau moral, tetapi juga sebagai penyakit rohani yang
mencabut akar eksistensi manusia dari sumber Ilahi. Guardini menegaskan bahwa
tanpa horizon transendensi, manusia akan terjebak dalam “keheningan yang
mematikan,” di mana semua nilai kehilangan bobot ontologisnya.⁴
7.2. Kritik Humanistik: Kehilangan Martabat dan Tujuan
Manusia
Dari sudut pandang
humanistik, nihilisme dianggap mengancam martabat manusia dengan meniadakan
nilai intrinsik dari keberadaan. Viktor Frankl, seorang psikiater dan filsuf
eksistensialis, berargumen bahwa manusia tidak dapat hidup tanpa makna;
kehilangan makna hidup adalah bentuk penderitaan yang paling dalam.⁵ Ia
menyebut fenomena ini sebagai “kehampaan eksistensial” (existential
vacuum), yang sering muncul dalam masyarakat modern yang
materialistik dan terfragmentasi.⁶
Erich Fromm juga
mengkritik nihilisme karena menciptakan manusia yang teralienasi dari dirinya
sendiri dan lingkungannya. Dalam Escape from Freedom, Fromm
menyatakan bahwa ketika manusia kehilangan akar moral dan spiritualnya, ia
mencari pengganti dalam bentuk kekuasaan, konsumsi, atau ideologi, yang pada
akhirnya hanya memperdalam keterasingan.⁷ Kritik humanistik terhadap nihilisme
menekankan bahwa tanpa makna yang menuntun tindakan, kebebasan manusia berubah
menjadi kehampaan yang destruktif.⁸
7.3. Kritik Eksistensialis: Dari Kehampaan Menuju
Keotentikan
Walaupun
eksistensialisme sering dipandang dekat dengan nihilisme, sejumlah pemikir
eksistensialis justru menolak nihilisme pasif. Martin Heidegger, misalnya,
menilai nihilisme sebagai tanda “kelupaan terhadap Ada” (Seinsvergessenheit)—yakni
ketika manusia memandang dunia hanya sebagai kumpulan objek tanpa dimensi
kebermaknaan.⁹ Heidegger tidak menyerukan kembali kepada metafisika lama,
tetapi menekankan perlunya “pembukaan kembali” (Erschlossenheit) terhadap makna
keberadaan melalui pengalaman otentik.¹⁰
Jean-Paul Sartre,
meskipun mengakui nihilisme sebagai kondisi awal eksistensi manusia,
berpendapat bahwa manusia harus mengatasi kekosongan itu melalui tindakan bebas
dan penciptaan nilai.¹¹ Dalam Existentialism Is a Humanism,
Sartre menegaskan bahwa nihilisme yang pasif adalah bentuk “kemalasan
metafisik,” sedangkan nihilisme aktif justru membuka jalan menuju
keotentikan.¹² Dengan demikian, kritik eksistensialis terhadap nihilisme bukan
menolak ketiadaan makna, tetapi menegaskan tanggung jawab manusia untuk
menciptakan makna itu sendiri.¹³
7.4. Kritik Etis dan Sosial: Bahaya Relativisme dan
Apatisme Moral
Secara etis,
nihilisme dianggap berpotensi melahirkan relativisme ekstrem, di mana semua
nilai dianggap sama sahnya, sehingga melemahkan komitmen moral dan solidaritas
sosial. Hannah Arendt memperingatkan bahwa nihilisme modern dapat menghasilkan
“banalitas kejahatan,” di mana tindakan tidak lagi dilandasi pertimbangan
moral, melainkan rutinitas tanpa refleksi.¹⁴ Dalam kondisi ini, kejahatan tidak
lagi lahir dari kebencian, melainkan dari ketidakpedulian yang nihilistik.
Alasdair MacIntyre
menilai bahwa masyarakat modern telah kehilangan “kerangka naratif moral” yang
koheren akibat dominasi relativisme dan individualisme.¹⁵ Menurutnya, nihilisme
mengakibatkan fragmentasi etika: manusia modern berbicara tentang kebaikan,
tetapi tanpa dasar bersama tentang apa yang dimaksud dengan “baik.”¹⁶ Kritik
etis terhadap nihilisme dengan demikian menegaskan perlunya rekonstruksi etika
komunitarian yang berakar pada dialog, tradisi, dan tanggung jawab sosial.
Kritik Postmodern dan Hermeneutik: Dari Destruksi ke Rekonstruksi
Beberapa pemikir
postmodern seperti Gianni Vattimo dan Paul Ricoeur mencoba menafsirkan
nihilisme secara produktif. Vattimo menolak nihilisme radikal yang destruktif
dan menggantinya dengan nihilisme lemah (weak
nihilism), yang menerima ketiadaan nilai absolut tetapi tetap
mempertahankan ruang bagi dialog dan pluralitas makna.¹⁷ Dalam kerangka ini,
nihilisme tidak lagi dipandang sebagai ancaman, melainkan sebagai kesempatan
untuk membebaskan diri dari klaim totalitas yang menindas.¹⁸
Sementara itu, Paul
Ricoeur berpendapat bahwa kritik nihilistik terhadap kebenaran dapat
diselamatkan melalui hermeneutika kecurigaan—yakni
pembacaan kritis terhadap ideologi dan struktur makna yang menindas—tetapi
harus diimbangi dengan hermeneutika kepercayaan, yaitu
usaha untuk menafsirkan kembali makna dengan tanggung jawab etis.¹⁹ Dengan
demikian, kritik hermeneutik terhadap nihilisme menekankan perlunya
keseimbangan antara dekonstruksi dan rekonstruksi, antara kesadaran akan
keterbatasan dan upaya mempertahankan makna dalam horizon yang terbuka.
Footnotes
[1]
Søren Kierkegaard, The Sickness unto Death, trans. Alastair Hannay (London: Penguin Books,
1989), 43–45.
[2]
Ibid., 49.
[3]
Romano Guardini, The End of the Modern
World, trans. Joseph Theman and
Herbert Burke (Wilmington: ISI Books, 1998), 75–77.
[4]
Joseph Ratzinger, Introduction to
Christianity, trans. J. R. Foster
(San Francisco: Ignatius Press, 2004), 42–43.
[5]
Viktor E. Frankl, Man’s Search for
Meaning (Boston: Beacon Press,
2006), 104–107.
[6]
Ibid., 111–113.
[7]
Erich Fromm, Escape from Freedom (New York: Farrar & Rinehart, 1941), 35–38.
[8]
Ibid., 80–82.
[9]
Martin Heidegger, Introduction to
Metaphysics, trans. Gregory Fried
and Richard Polt (New Haven: Yale University Press, 2014), 14–16.
[10]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New
York: Harper & Row, 1962), 210–213.
[11]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square
Press, 1956), 27–28.
[12]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a
Humanism, trans. Philip Mairet (New
Haven: Yale University Press, 2007), 36–37.
[13]
Thomas Flynn, Sartre and Marxist
Existentialism (Chicago: University
of Chicago Press, 1984), 42–45.
[14]
Hannah Arendt, Eichmann in Jerusalem:
A Report on the Banality of Evil
(New York: Viking Press, 1963), 287–289.
[15]
Alasdair MacIntyre, After
Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd
ed. (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 2007), 3–5.
[16]
Ibid., 253–255.
[17]
Gianni Vattimo, The End of Modernity:
Nihilism and Hermeneutics in Postmodern Culture, trans. Jon R. Snyder (Baltimore: Johns Hopkins
University Press, 1988), 7–9.
[18]
Gianni Vattimo, Belief, trans. Luca D’Isanto and David Webb (Stanford:
Stanford University Press, 1999), 45–48.
[19]
Paul Ricoeur, Freud and Philosophy:
An Essay on Interpretation, trans.
Denis Savage (New Haven: Yale University Press, 1970), 33–35.
8.
Pengaruh
dan Warisan Intelektual
Nihilisme
kontemporer telah meninggalkan warisan intelektual yang luas dan kompleks,
mencakup bidang filsafat, sastra, teologi, psikologi, serta budaya populer.
Meskipun sering dipandang sebagai ancaman terhadap makna dan nilai, nihilisme
juga memicu refleksi baru tentang keberadaan, kebebasan, dan tanggung jawab
manusia. Melalui berbagai pemikir dan gerakan intelektual, nihilisme telah
bertransformasi dari sekadar krisis metafisik menjadi paradigma kritis yang
membentuk wajah pemikiran modern dan postmodern.
8.1. Pengaruh terhadap Eksistensialisme
Eksistensialisme
merupakan salah satu gerakan filsafat yang paling kuat dipengaruhi oleh
nihilisme, khususnya oleh pemikiran Friedrich Nietzsche. Nietzsche menyingkap
ketiadaan nilai transenden dan menyerukan penciptaan nilai baru melalui
kehendak untuk berkuasa (der Wille zur Macht).¹ Gagasan ini
menjadi fondasi bagi Jean-Paul Sartre dan Albert Camus, yang mengembangkan
nihilisme ke arah eksistensial: penegasan kebebasan manusia dalam dunia tanpa
makna.²
Sartre menerima
diagnosis nihilistik tentang ketiadaan dasar ontologis bagi moralitas, tetapi
ia menolak pasivitas yang menyertainya.³ Melalui konsep eksistensi
mendahului esensi, ia menegaskan bahwa manusia harus menciptakan
makna bagi dirinya sendiri.⁴ Sementara itu, Camus menafsirkan nihilisme melalui
konsep absurditas—kesadaran bahwa dunia tidak memberikan jawaban terhadap
pencarian makna manusia.⁵ Bagi Camus, pemberontakan terhadap absurditas adalah
bentuk afirmasi eksistensial: manusia menemukan kebebasannya justru dalam
pengakuan atas ketiadaan makna.⁶ Dengan demikian, nihilisme menjadi titik awal
bagi etika dan estetika keberanian eksistensial.
8.2. Pengaruh terhadap Filsafat Postmodern
Nihilisme juga
menjadi salah satu fondasi konseptual bagi filsafat postmodern. Jean-François
Lyotard, dalam The Postmodern Condition,
menggambarkan kondisi pasca-modern sebagai “ketidakpercayaan terhadap
metanarasi.”⁷ Pernyataan ini menandai bentuk baru dari nihilisme epistemologis,
di mana klaim universal tentang kebenaran, moralitas, dan kemajuan digantikan
oleh pluralitas perspektif dan narasi kecil (petits récits).
Jacques Derrida,
melalui pendekatan dekonstruksi, menolak adanya makna final dalam teks atau
realitas.⁸ Kebenaran tidak pernah hadir secara utuh, melainkan terus ditunda
dalam jaringan diferensial tanda-tanda (différance).⁹ Dalam konteks ini,
nihilisme berfungsi sebagai mekanisme kritis terhadap otoritas dan totalitas
makna. Jean Baudrillard melanjutkan gagasan ini dengan menyatakan bahwa dalam
era digital, realitas telah digantikan oleh simulakra—tiruan yang tidak lagi
memiliki acuan pada realitas empiris.¹⁰ Dunia postmodern, bagi Baudrillard,
adalah dunia hiperrealitas, di mana nihilisme menjadi kondisi struktural
masyarakat konsumtif yang hidup di antara citra dan representasi.¹¹
Dengan demikian,
postmodernisme tidak menghapus nihilisme, melainkan mengkulturalisasikannya:
nihilisme menjadi gaya berpikir, sekaligus cara manusia memahami realitas yang
terfragmentasi dan cair.
8.3. Pengaruh terhadap Teologi dan Pemikiran Religius
Meskipun nihilisme
muncul sebagai konsekuensi dari “kematian Tuhan,” beberapa teolog modern justru
menanggapinya dengan pembaruan refleksi iman. Paul Tillich, misalnya, melihat
nihilisme sebagai ekspresi dari “kekosongan eksistensial” yang harus dihadapi
dengan keberanian ontologis (the courage to be).¹² Ia menegaskan
bahwa iman tidak lagi dapat bergantung pada simbol-simbol dogmatis, melainkan
harus menjadi pengalaman eksistensial tentang makna di tengah kehampaan.¹³
Sementara itu, teologi
pasca-metafisis seperti yang dikembangkan oleh John D. Caputo dan Gianni
Vattimo berbicara tentang “Tuhan yang lemah” (the weak God), yakni konsep
ketuhanan yang tidak berkuasa secara metafisik tetapi hadir dalam bentuk kasih,
kelembutan, dan dialog.¹⁴ Pandangan ini mencoba mendamaikan nihilisme dengan
spiritualitas, bukan dengan menolak ketiadaan, tetapi dengan menafsirkan ulang
kehadiran transendensi dalam horizon imanen.¹⁵ Dalam arti ini, nihilisme
melahirkan teologi yang lebih terbuka, reflektif, dan humanistik.
8.4. Pengaruh terhadap Psikologi dan Ilmu Sosial
Dalam bidang
psikologi, nihilisme memengaruhi cara pandang terhadap krisis makna dalam
kehidupan modern. Viktor Frankl, melalui logoterapi-nya, menegaskan bahwa
penderitaan eksistensial yang ditimbulkan oleh nihilisme hanya dapat diatasi
melalui penemuan makna personal dalam hidup.¹⁶ Frankl memandang pencarian makna
sebagai kebutuhan fundamental manusia, sekaligus bentuk resistensi terhadap
kehampaan nihilistik.
Dalam sosiologi, Max
Weber dan Zygmunt Bauman menyoroti dampak nihilisme terhadap tatanan
modernitas. Weber menyebut kondisi ini sebagai Entzauberung der Welt—“penyihiran
dunia yang lenyap”—ketika rasionalisasi menghapus unsur sakral dari
kehidupan.¹⁷ Bauman melanjutkan analisis ini dalam konsep “modernitas cair,” di
mana nilai, relasi sosial, dan identitas menjadi rapuh dan berubah dengan
cepat.¹⁸ Keduanya menegaskan bahwa nihilisme bukan hanya fenomena intelektual,
tetapi juga realitas sosial yang membentuk struktur kesadaran masyarakat modern.
8.5. Pengaruh terhadap Budaya dan Estetika Kontemporer
Dalam ranah budaya,
nihilisme telah menjadi inspirasi utama bagi berbagai bentuk ekspresi seni,
film, dan musik. Dari absurd theatre karya Samuel Beckett
hingga film-film Stanley Kubrick dan Lars von Trier, nihilisme tampil sebagai
refleksi atas absurditas eksistensi dan keterasingan manusia.¹⁹ Dalam musik,
tema nihilistik dapat ditemukan dalam karya-karya band seperti Nirvana
dan Radiohead,
yang mengartikulasikan kehampaan eksistensial generasi pasca-industri.²⁰
Namun, warisan
nihilisme dalam budaya populer juga bersifat ambivalen: di satu sisi, ia
mengekspresikan krisis makna modern; di sisi lain, ia sering kali direduksi
menjadi estetika pesimisme yang kehilangan kedalaman filosofisnya.²¹ Meski demikian,
seni dan budaya nihilistik tetap memainkan peran penting dalam menyingkap
realitas manusia yang terfragmentasi di tengah banjir informasi dan kapitalisme
global.
Warisan Filsafat Nihilisme: Dari Destruksi ke Refleksi
Warisan intelektual
nihilisme bukan terletak pada penolakannya terhadap makna, melainkan pada
kemampuannya menyingkap keterbatasan semua klaim kebenaran absolut. Nietzsche,
Heidegger, Camus, Derrida, dan Vattimo—meskipun berangkat dari horizon
berbeda—sama-sama mengajarkan bahwa nihilisme bukan akhir filsafat, tetapi fase
kritis yang membuka jalan bagi pemikiran baru yang lebih rendah hati, plural,
dan dialogis.²²
Dalam horizon
kontemporer, nihilisme tidak lagi semata-mata dilihat sebagai kehancuran
metafisika, melainkan sebagai kesadaran reflektif terhadap
kefanaan, relativitas, dan kemungkinan penafsiran yang tak terbatas.²³ Warisan
terbesar nihilisme mungkin justru terletak pada dorongannya untuk terus
mempertanyakan makna tanpa pernah berhenti mencari.²⁴
Footnotes
[1]
Friedrich Nietzsche, The
Will to Power, trans. Walter
Kaufmann and R. J. Hollingdale (New York: Vintage Books, 1967), §2.
[2]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square
Press, 1956), 19–22.
[3]
Ibid., 27.
[4]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a
Humanism, trans. Philip Mairet (New
Haven: Yale University Press, 2007), 22–24.
[5]
Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O’Brien (New York: Vintage
International, 1991), 10–12.
[6]
Albert Camus, The Rebel, trans. Anthony Bower (New York: Vintage, 1956),
23–26.
[7]
Jean-François Lyotard, The
Postmodern Condition: A Report on Knowledge, trans. Geoff Bennington and Brian Massumi (Minneapolis: University of
Minnesota Press, 1984), xxiv.
[8]
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns
Hopkins University Press, 1976), 63–65.
[9]
Ibid., 74–75.
[10]
Jean Baudrillard, Simulacra and
Simulation, trans. Sheila Faria
Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 1–6.
[11]
Ibid., 9–12.
[12]
Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven: Yale University Press, 1952), 45–47.
[13]
Ibid., 53–55.
[14]
Gianni Vattimo and John D. Caputo, After
the Death of God (New York: Columbia
University Press, 2007), 12–14.
[15]
Gianni Vattimo, Belief, trans. Luca D’Isanto and David Webb (Stanford:
Stanford University Press, 1999), 44–46.
[16]
Viktor E. Frankl, Man’s Search for
Meaning (Boston: Beacon Press,
2006), 104–106.
[17]
Max Weber, From Max Weber: Essays
in Sociology, trans. and ed. H. H.
Gerth and C. Wright Mills (New York: Oxford University Press, 1946), 155–156.
[18]
Zygmunt Bauman, Liquid Modernity (Cambridge: Polity Press, 2000), 6–9.
[19]
Samuel Beckett, Waiting for Godot (New York: Grove Press, 1954), 11–15.
[20]
Jeremy Gilbert and Ewan Pearson, Discographies:
Dance Music, Culture, and the Politics of Sound (London: Routledge, 1999), 188–190.
[21]
Mark Fisher, Capitalist Realism: Is
There No Alternative? (Winchester:
Zero Books, 2009), 12–14.
[22]
Martin Heidegger, Nietzsche, Vol. I: The
Will to Power as Art, trans. David
Farrell Krell (San Francisco: Harper & Row, 1979), 208–210.
[23]
Gianni Vattimo, The End of Modernity:
Nihilism and Hermeneutics in Postmodern Culture, trans. Jon R. Snyder (Baltimore: Johns Hopkins
University Press, 1988), 3–6.
[24]
Richard Rorty, Contingency, Irony, and
Solidarity (Cambridge: Cambridge
University Press, 1989), 9–11.
9.
Relevansi
dan Aplikasi Kontemporer
Nihilisme
kontemporer tidak hanya merupakan konsep abstrak dalam wacana filsafat, tetapi
juga fenomena yang hidup dalam realitas sosial, budaya, dan teknologi abad
ke-21. Dalam dunia yang ditandai oleh globalisasi, digitalisasi, dan krisis
ekologi, nihilisme tampil dalam berbagai bentuk baru—dari relativisme moral
hingga kelelahan eksistensial, dari kehilangan makna hingga pencarian
spiritualitas alternatif. Relevansi nihilisme hari ini terletak pada
kemampuannya untuk menyingkap kondisi manusia modern yang berada di antara
keputusasaan dan potensi pembaruan makna.
9.1. Nihilisme dan Krisis Makna di Era Digital
Era digital
memperlihatkan ekspresi paling nyata dari nihilisme epistemologis dan
eksistensial. Dalam dunia media sosial, informasi kehilangan hierarki dan
kebenaran menjadi komoditas yang dapat diproduksi dan dimanipulasi.¹ Fenomena post-truth—di
mana emosi dan opini menggantikan fakta—menunjukkan bagaimana nihilisme telah
menyusup ke dalam struktur kognitif masyarakat global.² Kebenaran tidak lagi
dicari, tetapi dikonstruksi ulang sesuai algoritma dan preferensi personal.
Jean Baudrillard
menegaskan bahwa dunia digital menciptakan kondisi “hiperrealitas,” di mana manusia
hidup dalam jaringan representasi tanpa referensi pada realitas objektif.³
Dalam konteks ini, nihilisme tidak lagi bersifat filosofis, melainkan
struktural: makna dan realitas larut dalam arus simulasi.⁴ Manusia modern, yang
dibanjiri citra dan informasi, hidup di tengah paradoks—semakin terhubung
secara digital, namun semakin terasing secara eksistensial.
Namun, nihilisme
digital ini juga membuka peluang reflektif. Di tengah kekacauan informasi,
muncul kesadaran baru akan pentingnya keaslian, integritas, dan kehadiran
diri.⁵ Fenomena seperti digital minimalism dan slow
media movement menandai upaya manusia untuk mengembalikan kedalaman
eksistensial di tengah permukaan simulasi. Dengan demikian, nihilisme digital
dapat menjadi katalis bagi pencarian makna yang lebih autentik di dunia maya
yang serba semu.
9.2. Nihilisme, Etika, dan Krisis Ekologis
Krisis lingkungan
global juga mencerminkan dimensi etis dari nihilisme kontemporer. Pandangan
dunia modern yang mekanistik dan antroposentris telah menyingkirkan nilai
intrinsik dari alam, menjadikannya sekadar objek eksploitasi teknologis.⁶
Martin Heidegger telah memperingatkan bahwa dominasi teknologi modern merupakan
bentuk Gestell—cara
berpikir yang menundukkan segala sesuatu ke dalam kerangka kontrol dan efisiensi.⁷
Dalam kerangka ini, nihilisme ekologis muncul sebagai kehilangan rasa kagum dan
keterikatan etis terhadap dunia alami.
Namun, krisis ini
juga mendorong munculnya etika ekologis baru yang berupaya mengatasi nihilisme
melalui pengakuan terhadap nilai keberadaan yang non-instrumental. Arne Naess,
pendiri deep
ecology, menolak dualisme manusia-alam dan menyerukan pandangan
holistik yang menempatkan manusia sebagai bagian integral dari biosfer.⁸ Etika
ekologis ini menjadi bentuk “anti-nihilisme” yang menegaskan kembali makna
keberadaan melalui kesadaran ekologis dan tanggung jawab planetar.⁹
Dengan demikian,
dalam ranah ekologi, nihilisme berfungsi sebagai diagnosis atas keterputusan
manusia dari alam sekaligus pemicu bagi rekonstruksi etika yang berakar pada
rasa hormat terhadap kehidupan.
9.3. Nihilisme dan Dehumanisasi Teknologis
Perkembangan
kecerdasan buatan (AI), bioteknologi, dan transhumanisme menimbulkan tantangan
baru bagi eksistensi manusia. Dalam banyak kasus, kemajuan teknologi mengandung
dimensi nihilistik: manusia semakin kehilangan otoritas atas dirinya sendiri
karena keputusan moral dan eksistensial digantikan oleh algoritma.¹⁰ Yuval Noah
Harari menyebut fenomena ini sebagai “dataisme,” yakni ideologi baru yang
menempatkan data dan efisiensi di atas makna dan kebijaksanaan.¹¹
Bahaya nihilisme
teknologis terletak pada potensi reduksi manusia menjadi sekadar entitas
fungsional dalam sistem digital.¹² Namun, sebagaimana diingatkan oleh Hans
Jonas, tanggung jawab moral harus melampaui batas teknis; manusia harus
bertindak bukan hanya karena kemampuan, tetapi karena kesadaran etis akan
konsekuensi tindakannya.¹³ Dengan demikian, tanggapan filosofis terhadap
nihilisme teknologi bukanlah penolakan terhadap inovasi, melainkan pembentukan
etika teknologi yang menempatkan martabat manusia di pusat perkembangan
ilmiah.¹⁴
9.4. Nihilisme dan Spiritualitas Baru
Meskipun nihilisme
sering dianggap sebagai penolakan terhadap spiritualitas, dalam konteks
kontemporer justru muncul apa yang disebut “spiritualitas tanpa agama” (spiritual
but not religious). Fenomena ini mencerminkan upaya manusia mencari
makna di luar dogma dan lembaga keagamaan tradisional.¹⁵ Menurut Charles
Taylor, masyarakat sekuler modern hidup dalam “kondisi iman yang rapuh” (fragile
faith condition), di mana manusia tidak lagi sepenuhnya ateis,
tetapi juga tidak terikat pada iman dogmatis.¹⁶
Gianni Vattimo
menafsirkan situasi ini sebagai bentuk “nihilisme lemah,” yaitu penerimaan atas
ketiadaan nilai absolut sebagai peluang untuk membuka ruang bagi dialog dan
belas kasih.¹⁷ Spiritualitas baru ini bersifat reflektif dan pluralistik: ia
tidak menolak nihilisme, tetapi menggunakannya sebagai sarana untuk menumbuhkan
kesadaran etis dan keterbukaan terhadap yang transenden secara non-metafisik.¹⁸
Dengan demikian,
nihilisme kontemporer memiliki relevansi spiritual yang paradoksal: ia menolak
absolutisme, tetapi justru membuka ruang bagi pencarian makna yang lebih
manusiawi, relasional, dan inklusif.
9.5. Nihilisme, Seni, dan Budaya Global
Dalam budaya global,
nihilisme telah menjadi estetika dominan yang mengekspresikan krisis identitas
dan absurditas kehidupan modern. Film-film seperti Fight Club (1999) karya David
Fincher dan The Matrix (1999) karya Wachowski
bersaudara menggambarkan kondisi manusia yang terperangkap dalam sistem
simulasi dan kehilangan makna eksistensial.¹⁹ Musik, sastra, dan seni
kontemporer juga sering mengangkat tema kehampaan, alienasi, serta pencarian
makna di tengah dunia yang dikendalikan oleh kapitalisme dan teknologi.²⁰
Namun, di balik pesimisme
estetis ini tersembunyi dimensi reflektif yang signifikan: seni nihilistik
berfungsi sebagai ruang kontemplatif untuk mengakui absurditas sekaligus
mencari kembali kemungkinan makna.²¹ Dalam hal ini, budaya nihilistik tidak
sekadar menjadi cermin kehancuran nilai, tetapi juga wadah bagi kesadaran
manusia untuk menatap ketiadaan tanpa kehilangan kemanusiaannya.²²
Nihilisme sebagai Kesadaran Kritis Zaman
Secara keseluruhan,
relevansi nihilisme kontemporer terletak pada sifat reflektifnya. Nihilisme menuntut
manusia untuk tidak lagi berlindung di balik sistem keyakinan atau narasi besar
yang kaku, melainkan untuk secara jujur menghadapi keterbatasan, absurditas,
dan tanggung jawab eksistensial.²³ Dalam era yang penuh ketidakpastian—baik
secara epistemik, ekologis, maupun sosial—nihilisme berfungsi sebagai cermin
bagi kesadaran modern: ia menyingkap kehampaan bukan untuk menyerah padanya,
tetapi untuk memicu pencarian makna yang lebih otentik.²⁴
Seperti dikemukakan
oleh Nietzsche, “hanya mereka yang memiliki kekuatan untuk menatap ketiadaanlah
yang dapat menciptakan nilai baru.”²⁵ Dalam konteks ini, nihilisme tidak lagi
menjadi simbol kehancuran, melainkan panggilan menuju keberanian filosofis
untuk hidup tanpa fondasi absolut, namun tetap dengan semangat kreatif, etis,
dan manusiawi.
Footnotes
[1]
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance
Capitalism (New York: PublicAffairs,
2019), 244–247.
[2]
Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge: MIT Press, 2018), 7–9.
[3]
Jean Baudrillard, Simulacra and
Simulation, trans. Sheila Faria
Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 1–6.
[4]
Ibid., 9–12.
[5]
Cal Newport, Digital Minimalism:
Choosing a Focused Life in a Noisy World (New York: Portfolio, 2019), 27–29.
[6]
Lynn White Jr., “The Historical Roots of Our Ecologic Crisis,” Science 155, no. 3767
(1967): 1203–1207.
[7]
Martin Heidegger, The Question Concerning
Technology, trans. William Lovitt
(New York: Harper & Row, 1977), 3–5.
[8]
Arne Naess, “The Shallow and the Deep, Long-Range Ecology Movement,” Inquiry 16, no. 1–4
(1973): 95–100.
[9]
Holmes Rolston III, Environmental
Ethics: Duties to and Values in the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 7–10.
[10]
Luciano Floridi, The Ethics of
Information (Oxford: Oxford
University Press, 2013), 95–98.
[11]
Yuval Noah Harari, Homo Deus: A Brief
History of Tomorrow (New York:
Harper, 2017), 356–360.
[12]
Hubert Dreyfus, On the Internet, 2nd ed. (London: Routledge, 2008), 102–104.
[13]
Hans Jonas, The Imperative of
Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 11–13.
[14]
Shannon Vallor, Technology and the
Virtues: A Philosophical Guide to a Future Worth Wanting (Oxford: Oxford University Press, 2016), 29–32.
[15]
Linda Mercadante, Belief without Borders:
Inside the Minds of the Spiritual but Not Religious (New York: Oxford University Press, 2014), 14–16.
[16]
Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge: Harvard University Press, 2007), 300–302.
[17]
Gianni Vattimo, Nihilism and
Emancipation: Ethics, Politics, and Law,
trans. William McCuaig (New York: Columbia University Press, 2004), 15–18.
[18]
Ibid., 23–25.
[19]
Slavoj Žižek, The Pervert’s Guide to
Ideology (London: Verso, 2012),
142–145.
[20]
Mark Fisher, Capitalist Realism: Is
There No Alternative? (Winchester:
Zero Books, 2009), 11–13.
[21]
Arthur C. Danto, After the End of Art:
Contemporary Art and the Pale of History (Princeton: Princeton University Press, 1997), 27–29.
[22]
Boris Groys, Art Power (Cambridge: MIT Press, 2008), 82–84.
[23]
Gianni Vattimo, The End of Modernity:
Nihilism and Hermeneutics in Postmodern Culture, trans. Jon R. Snyder (Baltimore: Johns Hopkins
University Press, 1988), 3–6.
[24]
Richard Rorty, Contingency, Irony, and
Solidarity (Cambridge: Cambridge
University Press, 1989), 8–9.
[25]
Friedrich Nietzsche, Thus
Spoke Zarathustra, trans. R. J. Hollingdale
(London: Penguin Books, 1961), 101–102.
10. Sintesis Filosofis: Antara Ketiadaan dan Pencarian
Makna
Sintesis filosofis
mengenai nihilisme kontemporer menuntut upaya untuk melampaui dikotomi
destruktif antara “ada” dan “tidak ada,” antara kehilangan makna dan pencarian
makna baru. Jika nihilisme mengungkap kehampaan nilai dan kerapuhan dasar
metafisika, maka tugas filsafat bukanlah menolak ketiadaan, tetapi menafsirkan
ulang maknanya secara kreatif. Nihilisme, dalam perspektif sintesis, tidak harus
dimengerti sebagai akhir dari makna, melainkan sebagai titik awal dari
kemungkinan baru bagi refleksi, keberanian eksistensial, dan pembentukan
nilai-nilai yang otonom.
10.1. Dialektika Ketiadaan dan Keberadaan
Sejak Heidegger,
ketiadaan (das
Nichts) tidak lagi dipahami sebagai sekadar lawan dari ada,
melainkan sebagai dimensi yang mengungkapkan ada itu sendiri.¹ Dalam Was ist
Metaphysik?, Heidegger menulis bahwa manusia hanya dapat memahami
keberadaan melalui pengalaman akan ketiadaan, karena di sanalah ada
menjadi tampak dalam kehadirannya yang rapuh.² Dengan demikian, nihilisme
bukanlah penghapusan terhadap realitas, tetapi bentuk kesadaran ontologis yang
mengungkapkan kondisi keterbatasan manusia di hadapan misteri keberadaan.³
Jean-Paul Sartre
memperluas gagasan ini dengan menegaskan bahwa kesadaran manusia adalah
“ketiadaan yang mengada.”⁴ Dalam refleksi diri, manusia menemukan dirinya bukan
sebagai esensi yang tetap, melainkan sebagai proyek terbuka yang senantiasa
meniadakan dirinya untuk menjadi sesuatu yang lain. Ketiadaan menjadi sumber
kebebasan; ia membuka ruang bagi tindakan dan penciptaan makna.⁵ Maka, sintesis
nihilisme dan eksistensialisme melahirkan pemahaman baru: bahwa keberadaan
manusia adalah proses dinamis antara ketiadaan dan kemungkinan, antara
kehampaan dan penciptaan nilai.
10.2. Nihilisme sebagai Jalan Menuju Kesadaran Reflektif
Nietzsche memandang
nihilisme bukan semata-mata sebagai kehancuran, melainkan sebagai fase transisi
menuju afirmasi kehidupan. Dalam The Will to Power, ia menulis bahwa
nihilisme adalah “gerbang menuju transformasi nilai,” di mana manusia harus
menciptakan kembali makna melalui kekuatan kreatifnya sendiri.⁶ Kehadiran
“manusia unggul” (Übermensch) menandai peralihan dari
nihilisme pasif menuju nihilisme aktif—yakni keberanian untuk hidup tanpa
fondasi absolut, namun tetap menegaskan kehidupan secara positif.⁷
Dalam konteks ini,
nihilisme dapat dipahami sebagai kesadaran reflektif yang memaksa manusia untuk
mempertanyakan kembali dasar-dasar keyakinannya. Ia bukan musuh filsafat,
melainkan mitra kritis yang menjaga filsafat dari dogmatisme. Gianni Vattimo
bahkan menyebut nihilisme sebagai “puncak hermeneutika,” karena ia menyingkap
bahwa semua makna bersifat interpretatif dan historis.⁸ Maka, bukannya
meniadakan kebenaran, nihilisme justru membuka ruang bagi pluralitas tafsir
yang lebih terbuka dan toleran terhadap keberagaman makna.⁹
10.3. Etika Ketiadaan: Dari Kekosongan ke Tanggung Jawab
Jika nihilisme
meniadakan fondasi moral yang absolut, maka etika pasca-nihilistik justru berangkat
dari kesadaran akan ketiadaan tersebut. Emmanuel Levinas menunjukkan bahwa
dasar etika tidak terletak pada hukum atau prinsip universal, melainkan pada
tanggung jawab terhadap “yang lain” (l’Autre).¹⁰ Dalam perjumpaan dengan
wajah orang lain, manusia menyadari keterbatasan dirinya dan terdorong untuk
bertindak secara etis tanpa perlu justifikasi metafisik.¹¹
Etika
pasca-nihilistik ini merupakan etika kerentanan: manusia tidak lagi berbuat
baik karena perintah eksternal, tetapi karena kesadaran bahwa keberadaannya
selalu terkait dengan keberadaan yang lain. Simone de Beauvoir menegaskan hal
serupa dalam The Ethics of Ambiguity, bahwa
moralitas sejati lahir dari kesadaran akan kebebasan dan tanggung jawab
eksistensial.¹² Dengan demikian, nihilisme bukanlah kehancuran moral, tetapi
pemurnian moralitas dari klaim absolut dan dominasi ideologis.
10.4. Estetika Penciptaan Makna: Dari Absurditas ke
Afirmasi
Albert Camus
menawarkan dimensi estetis dari sintesis nihilisme melalui konsep absurditas.
Dalam dunia yang tidak memberikan makna objektif, manusia menemukan kebebasan
untuk mencipta makna melalui tindakan, karya, dan keindahan.¹³ Dalam The Myth
of Sisyphus, Camus menyatakan bahwa perjuangan manusia melawan
absurditas adalah bentuk tertinggi dari pemberontakan yang estetis: “Seseorang
harus membayangkan Sisyphus bahagia.”¹⁴
Estetika
pasca-nihilistik dengan demikian tidak mencari keindahan yang ideal, tetapi
keindahan yang lahir dari kesadaran akan keterbatasan. Seni, dalam kerangka
ini, menjadi sarana afirmasi hidup—cara manusia menegaskan eksistensinya di
tengah ketiadaan makna final.¹⁵ Melalui penciptaan, manusia tidak menghapus
nihilisme, tetapi menjinakkannya: menjadikannya bahan bakar bagi ekspresi dan
refleksi.
Nihilisme sebagai Spirit Reflektif Zaman Postmetafisik
Dalam dunia
postmetafisik, nihilisme tidak lagi dipahami sebagai ancaman, melainkan sebagai
tanda kedewasaan intelektual manusia. Richard Rorty menafsirkan nihilisme
sebagai bentuk ironi filosofis: kesadaran bahwa
semua pandangan dunia adalah kontingen, tetapi tetap perlu dihidupi dengan
komitmen dan solidaritas.¹⁶ Dalam pandangan ini, manusia dapat mengakui
relativitas tanpa jatuh pada sinisme, dan dapat mengakui ketiadaan fondasi
tanpa kehilangan etos kemanusiaannya.
Dengan demikian,
sintesis filosofis dari nihilisme menegaskan bahwa “ketiadaan” bukan akhir dari
filsafat, tetapi pembuka bagi filsafat yang lebih rendah hati dan terbuka. Ia
mengajarkan manusia untuk hidup dalam ambiguitas dengan keberanian dan
kejujuran intelektual. Sebagaimana diungkapkan oleh Nietzsche, “Seseorang harus
memiliki kekacauan dalam dirinya untuk melahirkan bintang yang menari.”¹⁷
Nihilisme, dalam
arti terdalamnya, adalah ajakan untuk menatap kehampaan tanpa menyerah, untuk
menegaskan kehidupan meski tanpa jaminan makna, dan untuk terus mencipta dalam
ketiadaan. Di sinilah sintesis filosofisnya: bukan antara “ada” dan “tidak
ada,” melainkan antara kesadaran akan kehampaan dan keberanian untuk memberi
makna pada dunia.
Footnotes
[1]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New
York: Harper & Row, 1962), 231–234.
[2]
Martin Heidegger, What Is Metaphysics?, trans. David Farrell Krell (Chicago: Gateway
Editions, 1949), 103–104.
[3]
Hubert Dreyfus, Being-in-the-World: A
Commentary on Heidegger’s Being and Time (Cambridge: MIT Press, 1991), 22–24.
[4]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square
Press, 1956), 19–22.
[5]
Ibid., 24–25.
[6]
Friedrich Nietzsche, The
Will to Power, trans. Walter Kaufmann
and R. J. Hollingdale (New York: Vintage Books, 1967), §12.
[7]
Friedrich Nietzsche, Thus
Spoke Zarathustra, trans. R. J.
Hollingdale (London: Penguin Books, 1961), 98–100.
[8]
Gianni Vattimo, The End of Modernity:
Nihilism and Hermeneutics in Postmodern Culture, trans. Jon R. Snyder (Baltimore: Johns Hopkins
University Press, 1988), 3–6.
[9]
Ibid., 7–8.
[10]
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity:
An Essay on Exteriority, trans.
Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 41–44.
[11]
Ibid., 198–200.
[12]
Simone de Beauvoir, The
Ethics of Ambiguity, trans. Bernard
Frechtman (New York: Citadel Press, 1976), 9–11.
[13]
Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O’Brien (New York: Vintage
International, 1991), 55–56.
[14]
Ibid., 123.
[15]
Albert Camus, The Rebel, trans. Anthony Bower (New York: Vintage, 1956),
102–105.
[16]
Richard Rorty, Contingency, Irony, and
Solidarity (Cambridge: Cambridge
University Press, 1989), 8–10.
[17]
Friedrich Nietzsche, Thus
Spoke Zarathustra, 108.
11. Kesimpulan
Nihilisme
kontemporer, sebagaimana terurai dalam pembahasan sebelumnya, merupakan salah
satu fenomena paling kompleks dan menentukan dalam sejarah pemikiran modern. Ia
bukan sekadar bentuk pesimisme atau kehilangan iman terhadap nilai-nilai lama,
tetapi ekspresi dari kesadaran manusia yang mencapai titik refleksi tertinggi:
kesadaran bahwa tidak ada fondasi mutlak bagi pengetahuan, moralitas, maupun
makna hidup.¹ Dalam pengertian ini, nihilisme bukan hanya krisis, melainkan
juga peluang—sebuah momen kritis yang membuka jalan bagi pembaruan filosofis,
etis, dan eksistensial.
11.1. Nihilisme sebagai Cermin Krisis Modernitas
Dalam akar
historisnya, nihilisme lahir dari proyek modernitas yang berambisi menggantikan
Tuhan dan metafisika dengan rasionalitas manusia. Nietzsche menyebut “kematian
Tuhan” sebagai peristiwa paling besar dalam sejarah Barat, karena dengannya
hilang pula dasar transenden bagi semua nilai.² Krisis ini tidak berhenti pada
ranah teologis, melainkan menjalar ke epistemologi dan etika: manusia modern
menghadapi dunia yang tidak lagi menyediakan kepastian, arah, atau makna
universal.³
Namun, krisis
tersebut juga menjadi cermin bagi refleksi diri manusia modern. Ia menyingkap
bahwa rasionalitas yang absolut, dogma moral yang kaku, maupun sistem metafisik
yang tertutup tidak lagi memadai untuk menjelaskan kompleksitas pengalaman
manusia.⁴ Dengan demikian, nihilisme berfungsi sebagai kritik radikal terhadap
absolutisme, tetapi sekaligus sebagai undangan bagi kesadaran baru yang lebih
terbuka dan reflektif.
11.2. Dari Kehampaan Menuju Keberanian Eksistensial
Meski nihilisme
tampak menakutkan karena mengguncang semua kepastian, ia juga menandai lahirnya
kebebasan baru. Sartre menegaskan bahwa ketika semua nilai eksternal runtuh,
manusia justru memperoleh kebebasan total untuk menciptakan dirinya sendiri.⁵
Kebebasan ini tidak lepas dari tanggung jawab, karena dalam dunia tanpa Tuhan,
manusialah yang menjadi pencipta makna dan nilai.⁶
Albert Camus
mengartikulasikan gagasan ini melalui konsep absurditas: dunia memang tidak
bermakna, tetapi manusia dapat menolak keputusasaan dengan menegaskan hidupnya
secara sadar dan jujur.⁷ Dalam kesadaran akan ketiadaan makna, manusia justru
menemukan keberanian untuk hidup secara autentik.⁸ Dengan demikian, nihilisme
bukan akhir eksistensi, tetapi tahap awal menuju kesadaran yang lebih mendalam
tentang kebebasan dan tanggung jawab manusia.
11.3. Rekonstruksi Etika dan Spiritualitas
Pasca-Nihilistik
Dalam tataran etis,
nihilisme menyingkirkan dasar moral yang bersifat absolut, tetapi membuka ruang
bagi moralitas yang berakar pada relasi dan empati. Emmanuel Levinas menekankan
bahwa tanggung jawab etis lahir bukan dari hukum universal, melainkan dari
perjumpaan konkret dengan wajah “yang lain.”⁹ Etika demikian melampaui
nihilisme, karena ia tidak membutuhkan legitimasi metafisik untuk berbuat
baik—melainkan tumbuh dari kesadaran akan keterbatasan diri dan penghormatan
terhadap keberadaan yang lain.¹⁰
Dalam ranah
spiritualitas, nihilisme mendorong refleksi baru terhadap iman. Gianni Vattimo
menafsirkan nihilisme sebagai proses “pemaparan diri” dari kebenaran absolut
menuju bentuk iman yang lemah, humanistik, dan dialogis.¹¹ Spiritualitas
pasca-nihilistik ini bukanlah kembalinya dogma, melainkan penemuan kembali
makna transendensi dalam keheningan dan kerendahan hati manusia di hadapan
misteri keberadaan.¹²
11.4. Relevansi Nihilisme bagi Manusia Kontemporer
Dalam dunia yang
dilanda krisis ekologi, disinformasi digital, dan dehumanisasi teknologi,
nihilisme tampak hadir di setiap lapisan kehidupan manusia. Namun, justru dalam
kondisi inilah relevansi filosofis nihilisme mencapai puncaknya. Ia menuntun
manusia untuk menatap realitas tanpa ilusi, untuk mengakui kehampaan tanpa
menutup mata, dan untuk mencipta makna tanpa bergantung pada otoritas
eksternal.¹³
Nihilisme
mengajarkan sikap keberanian intelektual: bahwa makna tidak ditemukan, tetapi
diciptakan melalui tindakan reflektif dan tanggung jawab etis. Dalam dunia yang
kehilangan kepastian, manusia tidak perlu mencari fondasi baru yang absolut,
melainkan belajar hidup dalam keterbatasan dengan kesadaran dan belas kasih.¹⁴
Nihilisme sebagai Jalan Menuju Kearifan Filosofis
Akhirnya, nihilisme
tidak harus dipahami sebagai kehancuran, tetapi sebagai proses pembentukan
kearifan. Dari kehampaan, manusia belajar tentang ketergantungan dan
kerentanannya; dari ketiadaan nilai absolut, ia menemukan pentingnya dialog dan
interpretasi; dari keterasingan, ia menemukan kembali solidaritas dan
kreativitas.¹⁵
Sebagaimana
diungkapkan oleh Nietzsche, “Seseorang harus memiliki kekacauan dalam dirinya
untuk melahirkan bintang yang menari.”¹⁶ Dalam makna yang paling dalam,
nihilisme mengajarkan bahwa kehidupan manusia adalah seni menari di atas
kehampaan—sebuah perjalanan reflektif di antara ketiadaan dan penciptaan makna,
di mana filsafat menemukan kembali tugas tertingginya: menafsirkan, menegaskan,
dan menghidupi makna yang diciptakan oleh manusia itu sendiri.
Footnotes
[1]
Martin Heidegger, Introduction to
Metaphysics, trans. Gregory Fried
and Richard Polt (New Haven: Yale University Press, 2014), 16–17.
[2]
Friedrich Nietzsche, The
Gay Science, trans. Walter Kaufmann
(New York: Vintage, 1974), §125.
[3]
Charles Taylor, Sources of the Self:
The Making of the Modern Identity
(Cambridge: Harvard University Press, 1989), 88–90.
[4]
Gianni Vattimo, The End of Modernity:
Nihilism and Hermeneutics in Postmodern Culture, trans. Jon R. Snyder (Baltimore: Johns Hopkins
University Press, 1988), 3–6.
[5]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a
Humanism, trans. Philip Mairet (New
Haven: Yale University Press, 2007), 29–31.
[6]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square
Press, 1956), 23–25.
[7]
Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O’Brien (New York: Vintage
International, 1991), 54–56.
[8]
Albert Camus, The Rebel, trans. Anthony Bower (New York: Vintage, 1956),
100–102.
[9]
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity:
An Essay on Exteriority, trans.
Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 41–44.
[10]
Ibid., 198–200.
[11]
Gianni Vattimo, Belief, trans. Luca D’Isanto and David Webb (Stanford:
Stanford University Press, 1999), 45–47.
[12]
Gianni Vattimo and John D. Caputo, After
the Death of God (New York: Columbia
University Press, 2007), 32–35.
[13]
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance
Capitalism (New York: PublicAffairs,
2019), 247–249.
[14]
Richard Rorty, Contingency, Irony, and
Solidarity (Cambridge: Cambridge
University Press, 1989), 9–11.
[15]
Paul Ricoeur, Freud and Philosophy:
An Essay on Interpretation, trans.
Denis Savage (New Haven: Yale University Press, 1970), 34–36.
[16]
Friedrich Nietzsche, Thus
Spoke Zarathustra, trans. R. J.
Hollingdale (London: Penguin Books, 1961), 108.
Daftar Pustaka
Arendt, H. (1963). Eichmann in Jerusalem: A report on the banality of evil.
Viking Press.
Aristotle. (1924). Metaphysics (W. D. Ross, Trans.). Clarendon Press.
Baudrillard, J. (1994). Simulacra and simulation (S. F. Glaser, Trans.).
University of Michigan Press.
Bauman, Z. (2000). Liquid modernity. Polity Press.
Beauvoir, S. de. (1976). The ethics of ambiguity (B. Frechtman, Trans.). Citadel
Press.
Beckett, S. (1954). Waiting for Godot. Grove Press.
Bürger, P. (1984). Theory of the avant-garde (M. Shaw, Trans.). University
of Minnesota Press.
Camus, A. (1956). The rebel (A. Bower, Trans.). Vintage.
Camus, A. (1991). The myth of Sisyphus (J. O’Brien, Trans.). Vintage
International.
Danto, A. C. (1981). The transfiguration of the commonplace: A philosophy of art.
Harvard University Press.
Danto, A. C. (1997). After the end of art: Contemporary art and the pale of history.
Princeton University Press.
Debord, G. (1994). The society of the spectacle (D. Nicholson-Smith,
Trans.). Zone Books.
De Beauvoir, S. (1976). The ethics of ambiguity. Citadel Press.
Deleuze, G. (1983). Nietzsche and philosophy (H. Tomlinson, Trans.).
Columbia University Press.
Descartes, R. (1996). Meditations on first philosophy (J. Cottingham, Trans.).
Cambridge University Press.
Derrida, J. (1976). Of grammatology (G. C. Spivak, Trans.). Johns Hopkins
University Press.
Dreyfus, H. L. (1991). Being-in-the-world: A commentary on Heidegger’s Being and
Time. MIT Press.
Dreyfus, H. L. (2008). On the internet (2nd ed.). Routledge.
Eliot, T. S. (1962). The waste land and other poems. Harcourt Brace.
Flynn, T. (1984). Sartre and Marxist existentialism. University of Chicago
Press.
Floridi, L. (2013). The ethics of information. Oxford University Press.
Foster, H. (1996). The return of the real: The avant-garde at the end of the
century. MIT Press.
Foucault, M. (1978). The history of sexuality: Volume 1—An introduction (R.
Hurley, Trans.). Vintage.
Foucault, M. (1980). Power/knowledge: Selected interviews and other writings,
1972–1977 (C. Gordon, Ed.). Pantheon Books.
Foucault, M. (1997). Ethics: Subjectivity and truth (P. Rabinow, Ed.). New
Press.
Frankl, V. E. (2006). Man’s search for meaning. Beacon Press.
Fromm, E. (1941). Escape from freedom. Farrar & Rinehart.
Gilbert, J., & Pearson, E. (1999). Discographies: Dance music, culture,
and the politics of sound. Routledge.
Gilson, E. (1956). The Christian philosophy of St. Thomas Aquinas.
University of Notre Dame Press.
Groys, B. (2008). Art power. MIT Press.
Guardini, R. (1998). The end of the modern world (J. Theman & H. Burke,
Trans.). ISI Books.
Han, B.-C. (2015). The burnout society (E. Butler, Trans.). Stanford
University Press.
Harari, Y. N. (2017). Homo Deus: A brief history of tomorrow. Harper.
Heidegger, M. (1949). What is metaphysics? (D. F. Krell, Trans.). Gateway
Editions.
Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson,
Trans.). Harper & Row.
Heidegger, M. (1977). The question concerning technology (W. Lovitt, Trans.).
Harper & Row.
Heidegger, M. (1979). Nietzsche, Vol. I: The will to power as art (D. F.
Krell, Trans.). Harper & Row.
Heidegger, M. (2014). Introduction to metaphysics (G. Fried & R. Polt,
Trans.). Yale University Press.
Jameson, F. (1991). Postmodernism, or, the cultural logic of late capitalism.
Duke University Press.
Jonas, H. (1984). The imperative of responsibility: In search of an ethics for
the technological age. University of Chicago Press.
Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P. Guyer & A. W. Wood,
Trans.). Cambridge University Press.
Kierkegaard, S. (1989). The sickness unto death (A. Hannay, Trans.). Penguin Books.
Krauss, R. (1985). The originality of the avant-garde and other modernist
myths. MIT Press.
Levinas, E. (1969). Totality and infinity: An essay on exteriority (A.
Lingis, Trans.). Duquesne University Press.
Lyotard, J.-F. (1984). The postmodern condition: A report on knowledge (G.
Bennington & B. Massumi, Trans.). University of Minnesota Press.
MacIntyre, A. (2007). After virtue: A study in moral theory (3rd ed.).
University of Notre Dame Press.
McIntyre, L. (2018). Post-truth. MIT Press.
Mercadante, L. A. (2014). Belief without borders: Inside the minds of the spiritual
but not religious. Oxford University Press.
Naess, A. (1973). The shallow and the deep, long-range ecology movement. Inquiry,
16(1–4), 95–100.
Nietzsche, F. (1954). On truth and lies in a nonmoral sense (W. Kaufmann, Trans.). In
The portable Nietzsche (pp. 42–47). Viking Press.
Nietzsche, F. (1961). Thus spoke Zarathustra (R. J. Hollingdale, Trans.).
Penguin Books.
Nietzsche, F. (1967). The will to power (W. Kaufmann & R. J. Hollingdale,
Trans.). Vintage Books.
Nietzsche, F. (1974). The gay science (W. Kaufmann, Trans.). Vintage.
Nietzsche, F. (1990). Twilight of the idols (R. J. Hollingdale, Trans.).
Penguin Books.
Newport, C. (2019). Digital minimalism: Choosing a focused life in a noisy
world. Portfolio.
Plato. (1992). Republic (G. M. A. Grube, Trans.). Hackett Publishing.
Ratzinger, J. (2004). Introduction to Christianity (J. R. Foster, Trans.).
Ignatius Press.
Ricoeur, P. (1970). Freud and philosophy: An essay on interpretation (D.
Savage, Trans.). Yale University Press.
Rolston, H. III. (1988). Environmental ethics: Duties to and values in the natural
world. Temple University Press.
Rorty, R. (1989). Contingency, irony, and solidarity. Cambridge University
Press.
Sartre, J.-P. (1956). Being and nothingness (H. E. Barnes, Trans.). Washington
Square Press.
Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a humanism (P. Mairet, Trans.). Yale
University Press.
Sextus Empiricus. (1933). Outlines of Pyrrhonism (R. G. Bury, Trans.). Harvard
University Press.
Taylor, C. (1989). Sources of the self: The making of the modern identity.
Harvard University Press.
Taylor, C. (2007). A secular age. Harvard University Press.
Tillich, P. (1952). The courage to be. Yale University Press.
Vallor, S. (2016). Technology and the virtues: A philosophical guide to a
future worth wanting. Oxford University Press.
Vattimo, G. (1988). The end of modernity: Nihilism and hermeneutics in
postmodern culture (J. R. Snyder, Trans.). Johns Hopkins University Press.
Vattimo, G. (1999). Belief (L. D’Isanto & D. Webb, Trans.). Stanford
University Press.
Vattimo, G. (2004). Nihilism and emancipation: Ethics, politics, and law (W.
McCuaig, Trans.). Columbia University Press.
Vattimo, G., & Caputo, J. D. (2007). After the death of God. Columbia
University Press.
Vattimo, G. (2008). Art’s claim to truth (L. D’Isanto, Trans.). Columbia
University Press.
Weber, M. (1946). From Max Weber: Essays in sociology (H. H. Gerth &
C. W. Mills, Eds. & Trans.). Oxford University Press.
White, L. Jr. (1967). The historical roots of our ecologic crisis. Science, 155(3767),
1203–1207.
Young, J. (2006). Nietzsche’s philosophy of religion. Cambridge University
Press.
Žižek, S. (2012). The pervert’s guide to ideology. Verso.
Zuboff, S. (2019). The age of surveillance capitalism. PublicAffairs.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar