Selasa, 02 Desember 2025

Eksistensialisme Modern: Manusia, Kebebasan, dan Makna dalam Abad Ketidakpastian

Eksistensialisme Modern

Manusia, Kebebasan, dan Makna dalam Abad Ketidakpastian


Alihkan ke: Aliran Sejarah Filsafat.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara komprehensif aliran Eksistensialisme Modern sebagai salah satu tonggak penting dalam sejarah filsafat abad ke-20 yang berfokus pada kebebasan, tanggung jawab, dan pencarian makna dalam keberadaan manusia. Berangkat dari akar pemikiran Søren Kierkegaard dan Friedrich Nietzsche hingga pengembangan konseptual oleh Martin Heidegger, Jean-Paul Sartre, Albert Camus, dan Simone de Beauvoir, eksistensialisme tampil sebagai respons filosofis terhadap krisis makna, alienasi, dan nihilisme modern.

Melalui pendekatan sistematis yang mencakup dimensi ontologis, epistemologis, antropologis, etis, dan estetis, artikel ini menelusuri bagaimana eksistensialisme menempatkan manusia sebagai makhluk bebas yang “ada lebih dahulu daripada esensinya,” serta bagaimana kebebasan tersebut mengandung konsekuensi tanggung jawab moral dan sosial. Pembahasan juga menyoroti kritik terhadap eksistensialisme—baik dari perspektif rasionalisme, strukturalisme, marxisme, maupun teologi—serta upaya reaktualisasinya dalam konteks kontemporer: mulai dari krisis eksistensial di era digital, terapi psikologis humanistik, hingga etika ekologis dan pendidikan pembebasan.

Sebagai sintesis filosofis, eksistensialisme dipahami bukan sebagai pesimisme metafisik, melainkan sebagai filsafat humanistik yang menegaskan potensi manusia untuk hidup secara otentik di tengah absurditas dunia. Ia mengajarkan bahwa keberadaan manusia adalah proyek terbuka yang terus dibangun melalui kesadaran, pilihan, dan tindakan reflektif. Dengan demikian, eksistensialisme tetap relevan sebagai jalan menuju keotentikan, solidaritas, dan tanggung jawab kemanusiaan dalam menghadapi kompleksitas zaman modern.

Kata Kunci: Eksistensialisme Modern, Kebebasan, Keotentikan, Tanggung Jawab, Absurd, Ontologi, Humanisme, Sartre, Heidegger, Camus, Beauvoir.


PEMBAHASAN

Pemikiran Eksistensialisme dalam Filsafat Modern


1.           Pendahuluan

Eksistensialisme modern muncul sebagai salah satu aliran filsafat paling berpengaruh pada abad ke-20, yang menanggapi secara mendalam krisis makna dan identitas manusia dalam dunia yang semakin kehilangan arah moral dan spiritual. Berbeda dari tradisi metafisik klasik yang mencari hakikat universal dan abadi, eksistensialisme justru berangkat dari pengalaman konkret manusia yang hidup, merasa, dan berjuang di tengah absurditas kehidupan modern. Ia bukan sekadar sistem pemikiran, melainkan refleksi atas keadaan manusia—suatu kesadaran akan kebebasan, kecemasan, dan keterlemparan dalam dunia tanpa makna yang pasti.¹

Secara historis, akar eksistensialisme dapat ditelusuri pada pemikiran Søren Kierkegaard dan Friedrich Nietzsche, dua tokoh abad ke-19 yang menolak rasionalisme dingin warisan Hegelian dan positivisme ilmiah. Kierkegaard menekankan subjektivitas sebagai kebenaran dan menolak impersonalitas sistem filosofis, sedangkan Nietzsche menyerukan kematian Tuhan sebagai simbol kejatuhan nilai-nilai absolut dan lahirnya manusia yang harus mencipta maknanya sendiri.² Dari sinilah eksistensialisme modern memperoleh roh pemberontakannya: menegaskan eksistensi individu di hadapan dunia yang meniadakan.

Pada abad ke-20, eksistensialisme berkembang menjadi gerakan intelektual yang luas melalui karya-karya Martin Heidegger, Jean-Paul Sartre, Albert Camus, dan Simone de Beauvoir. Heidegger dengan Sein und Zeit (1927) menafsirkan keberadaan manusia (Dasein) sebagai “ada-di-dunia” yang senantiasa sadar akan kefanaannya, sedangkan Sartre mengartikulasikan kebebasan radikal manusia melalui konsep “eksistensi mendahului esensi.”³ Camus menambahkan dimensi absurditas dan pemberontakan terhadap ketidakbermaknaan, sementara Beauvoir memperluas horizon etis dan feminis eksistensialisme dengan menegaskan kebebasan sebagai relasi dan tanggung jawab terhadap yang lain.⁴

Eksistensialisme modern tidak hanya menggugat dasar-dasar metafisika tradisional, tetapi juga menghadirkan paradigma baru tentang manusia—sebagai makhluk yang dilempar ke dunia tanpa panduan pasti, namun diberi kebebasan untuk mencipta makna. Ia mengajarkan bahwa keberadaan tidak pernah statis, melainkan suatu proyek terbuka yang menuntut pilihan dan tindakan. Dalam konteks modernitas, di mana manusia sering terjebak dalam alienasi, mekanisasi, dan nihilisme, eksistensialisme menjadi seruan untuk kembali kepada pengalaman otentik dan tanggung jawab personal atas eksistensi.⁵

Dengan demikian, pembahasan tentang eksistensialisme modern bukan sekadar kajian historis tentang aliran filsafat tertentu, tetapi juga refleksi atas kondisi eksistensial manusia kontemporer. Ia mengajak kita meninjau kembali apa arti menjadi manusia dalam dunia yang terus berubah, serta bagaimana kebebasan dapat dijalani secara otentik di tengah absurditas kehidupan global.


Footnotes

[1]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Philip Mairet (New Haven: Yale University Press, 2007), 15.

[2]                Søren Kierkegaard, Concluding Unscientific Postscript to Philosophical Fragments, ed. and trans. Howard V. Hong and Edna H. Hong (Princeton: Princeton University Press, 1992), 203–205; Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1974), 108–110.

[3]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 27–31.

[4]                Simone de Beauvoir, The Ethics of Ambiguity, trans. Bernard Frechtman (New York: Philosophical Library, 1948), 9–11; Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O’Brien (New York: Vintage, 1955), 3–7.

[5]                Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning (Boston: Beacon Press, 2006), 75–80.


2.           Landasan Historis dan Genealogis

Eksistensialisme modern tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan merupakan hasil perkembangan panjang dalam sejarah filsafat Barat yang berpuncak pada krisis metafisika modern dan kejatuhan optimisme rasionalisme abad ke-19. Ia lahir dari ketegangan antara pencarian makna yang otentik dan keterasingan manusia dalam dunia yang makin dikuasai oleh sistem, teknologi, dan birokrasi. Secara genealogis, eksistensialisme meminjam dan menolak sekaligus warisan pemikiran modern: dari subjektivitas Cartesian hingga kritik terhadap rasionalitas Hegelian.¹

2.1.       Akar Awal: Kierkegaard dan Nietzsche

Søren Kierkegaard dianggap sebagai “bapak eksistensialisme” karena menegaskan bahwa eksistensi manusia bersifat subjektif dan unik. Ia menolak filsafat sistematis Hegel yang mengaburkan individu ke dalam totalitas rasional sejarah. Bagi Kierkegaard, manusia bukanlah konsep universal, melainkan pribadi konkret yang harus memilih dan bertanggung jawab atas hidupnya sendiri di hadapan Tuhan.² Pemikirannya tentang angst (kecemasan) dan “lompatan iman” menjadi cikal bakal dimensi eksistensial dan religius dalam filsafat abad ke-20.

Sementara itu, Friedrich Nietzsche menandai lahirnya dimensi sekuler dan tragis dari eksistensialisme. Dengan proklamasinya tentang “kematian Tuhan,” Nietzsche menantang semua nilai metafisik dan moral tradisional, membuka ruang bagi manusia untuk mencipta makna baru melalui kehendak berkuasa (will to power).³ Ia memperkenalkan tipe manusia baru—Übermensch—yang melampaui nihilisme melalui afirmasi kehidupan. Dengan demikian, Nietzsche menyiapkan fondasi bagi eksistensialisme ateistik yang kelak dikembangkan Sartre dan Camus.

2.2.       Perantara: Fenomenologi Husserl dan Ontologi Heidegger

Gerak eksistensialisme menuju bentuk modern tidak dapat dilepaskan dari fenomenologi Edmund Husserl, yang menekankan pengalaman kesadaran sebagai titik awal seluruh pengetahuan.⁴ Melalui metode epoche dan reduksi fenomenologis, Husserl berupaya kembali ke “hal-hal itu sendiri” (zu den Sachen selbst), suatu seruan untuk memahami makna keberadaan sebagaimana dialami. Namun, muridnya, Martin Heidegger, mengubah arah fenomenologi dari epistemologi menjadi ontologi. Dalam Sein und Zeit (1927), Heidegger memperkenalkan konsep Dasein—manusia sebagai makhluk yang “ada-di-dunia” dan sadar akan kefanaannya.⁵

Heidegger menolak metafisika tradisional yang mencari esensi statis dan menggantikannya dengan analisis eksistensial tentang “ada” sebagai pengalaman konkret. Ia memperlihatkan bahwa eksistensi manusia selalu terikat waktu, pilihan, dan dunia faktis yang mengelilinginya. Melalui Heidegger inilah eksistensialisme menemukan landasan ontologisnya yang mendalam dan filosofis, melampaui sekadar refleksi moral atau psikologis.⁶

2.3.       Pematangan: Sartre, Camus, dan Beauvoir

Eksistensialisme modern mencapai bentuk paling eksplisitnya pada periode antara Perang Dunia I dan II, terutama di Prancis. Jean-Paul Sartre, melalui L’Être et le Néant (1943) dan esai “L’existentialisme est un humanisme” (1946), menyatakan prinsip fundamental eksistensialisme: “eksistensi mendahului esensi.”⁷ Dengan menolak determinisme metafisik dan teologis, Sartre menegaskan kebebasan manusia sebagai mutlak—manusia adalah “proyek yang sadar,” terbentuk oleh pilihan dan tindakan.

Albert Camus memperluas gagasan ini dengan menekankan absurditas kehidupan dan pentingnya pemberontakan terhadap ketidakbermaknaan.⁸ Melalui The Myth of Sisyphus (1942), Camus menolak bunuh diri sebagai solusi atas absurditas dan menganjurkan sikap heroik untuk terus hidup meski tanpa makna universal. Di sisi lain, Simone de Beauvoir mengembangkan eksistensialisme ke ranah etika dan feminisme. Dalam The Ethics of Ambiguity (1947) dan The Second Sex (1949), ia menafsirkan kebebasan eksistensial dalam konteks relasional dan sosial, menegaskan bahwa kebebasan sejati tak dapat dipisahkan dari pengakuan terhadap kebebasan orang lain.⁹


Konteks Sosial dan Kultural

Eksistensialisme modern berkembang di tengah krisis besar abad ke-20—kehancuran akibat dua perang dunia, kebangkitan totalitarianisme, serta alienasi manusia dalam kapitalisme dan teknologi.¹⁰ Ia menjadi suara filosofis bagi generasi yang kehilangan fondasi moral dan spiritual, namun tetap menolak menyerah pada nihilisme. Dengan demikian, eksistensialisme bukan sekadar doktrin teoritis, melainkan gerakan kultural yang melintasi filsafat, sastra, teater, dan seni.


Footnotes

[1]                Walter Kaufmann, Existentialism: From Dostoevsky to Sartre (New York: Meridian Books, 1956), 12–14.

[2]                Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Alastair Hannay (London: Penguin, 1985), 42–44.

[3]                Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, trans. Walter Kaufmann (New York: Penguin, 1978), 101–103.

[4]                Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus Nijhoff, 1983), 28–30.

[5]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 65–70.

[6]                Hubert L. Dreyfus, Being-in-the-World: A Commentary on Heidegger’s Being and Time, Division I (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 21–23.

[7]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1956), 3–5.

[8]                Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O’Brien (New York: Vintage, 1955), 10–15.

[9]                Simone de Beauvoir, The Ethics of Ambiguity, trans. Bernard Frechtman (New York: Philosophical Library, 1948), 21–24; Simone de Beauvoir, The Second Sex, trans. H. M. Parshley (New York: Vintage, 1989), 27–30.

[10]             Thomas Flynn, Existentialism: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2006), 34–37.


3.           Ontologi Eksistensialis: Keberadaan Mendahului Esensi

Salah satu prinsip fundamental dalam eksistensialisme modern adalah tesis ontologis yang terkenal dari Jean-Paul Sartre: l’existence précède l’essence — “eksistensi mendahului esensi.”¹ Pernyataan ini bukan sekadar slogan metafisik, melainkan penegasan radikal tentang cara manusia berada di dunia. Ia menolak pandangan tradisional yang menempatkan esensi, hakikat, atau “natur” manusia sebagai sesuatu yang telah ditentukan sebelumnya oleh Tuhan, alam, atau rasio. Sebaliknya, manusia menurut Sartre pertama-tama ada—dilempar ke dunia tanpa alasan atau makna bawaan—dan baru kemudian, melalui pilihan dan tindakan, menciptakan esensinya sendiri.²

3.1.       Keberadaan sebagai Fakta Konkret dan Dinamis

Dalam kerangka ontologis eksistensialis, “keberadaan” (existence) tidak dipahami sebagai substansi statis sebagaimana dalam metafisika Aristotelian atau skolastik, melainkan sebagai modus menjadi yang terus berlangsung. Manusia tidak memiliki hakikat yang tetap; ia adalah proyek terbuka yang terus membentuk dirinya melalui keputusan.³ Dengan demikian, ontologi eksistensial bukanlah teori tentang “apa” manusia itu, tetapi tentang “bagaimana” manusia menjadi dirinya.

Bagi Sartre, manusia adalah être-pour-soi (ada-untuk-dirinya), suatu kesadaran yang menolak untuk dibekukan menjadi objek. Sebaliknya, benda-benda adalah être-en-soi (ada-pada-dirinya), yaitu entitas yang tertutup, tidak sadar, dan tidak memiliki potensi transendensi.⁴ Perbedaan ontologis ini memperlihatkan bahwa manusia berada dalam ketegangan permanen antara dirinya sebagai subjek bebas dan dunia yang memenjarakannya dalam keterbatasan faktis (facticité).

3.2.       Dimensi Heideggerian: Dasein dan Keberadaan-di-Dunia

Martin Heidegger memperdalam dasar ontologis eksistensialisme melalui analisis Dasein dalam Sein und Zeit (1927).⁵ Dasein secara harfiah berarti “ada-di-sana,” menunjuk pada keberadaan manusia yang selalu sudah berada dalam dunia tertentu dengan hubungan, makna, dan kemungkinan yang telah ada sebelumnya. Bagi Heidegger, manusia bukanlah subjek terpisah yang mengamati dunia dari luar, melainkan ada-di-dunia (being-in-the-world), yang eksistensinya ditentukan oleh keterlemparan (Geworfenheit) dan kesadaran akan kematian (Sein-zum-Tode).⁶

Dengan kesadaran akan kefanaannya, manusia mengalami kecemasan eksistensial (Angst)—suatu pengalaman yang membuka dirinya pada kemungkinan-kemungkinan autentik. Dalam kecemasan, semua makna instrumental dunia runtuh, dan manusia berhadapan langsung dengan “ketiadaan” (das Nichts) yang menyelubungi keberadaannya.⁷ Di sinilah, bagi Heidegger, eksistensi menjadi peristiwa pembukaan (Erschlossenheit): manusia menjadi makhluk yang mampu menyingkap makna “ada” melalui keberadaannya sendiri.

3.3.       Ketiadaan dan Kebebasan dalam Sartre

Sartre melanjutkan gagasan Heidegger dengan menempatkan nothingness (ketiadaan) sebagai pusat dinamika ontologis kesadaran. Dalam Being and Nothingness, ia menulis bahwa kesadaran manusia adalah “lubang dalam keberadaan,” karena manusia selalu menegasikan dirinya sebagai apa adanya untuk menjadi apa yang belum ada.⁸ Inilah dasar dari kebebasan radikal: manusia tidak terikat oleh hakikat tertentu karena keberadaannya selalu terbuka terhadap kemungkinan baru.

Namun, kebebasan ini bukan tanpa konsekuensi. Sartre menegaskan bahwa manusia “dikutuk untuk bebas” karena tidak bisa menghindari tanggung jawab atas setiap pilihannya.⁹ Tidak ada Tuhan atau hukum moral universal yang dapat dijadikan landasan objektif; manusia sendirilah yang, melalui tindakannya, menentukan nilai dan makna hidupnya.


Otentisitas dan Ketidakotentikan

Dalam ontologi eksistensialis, otentisitas (authenticity) berarti keberanian untuk hidup sesuai dengan kesadaran akan kebebasan dan keterbatasan diri sendiri. Sebaliknya, ketidakotentikan (inauthenticity) muncul ketika individu menyembunyikan kebebasannya di balik peran sosial, ideologi, atau konvensi. Heidegger menyebut kondisi ini sebagai das Man—keadaan ketika manusia hidup menurut “mereka” (the They), bukan menurut dirinya sendiri.¹⁰ Sartre menamainya mauvaise foi (itikad buruk), yakni upaya untuk mengingkari kebebasan dengan berpura-pura bahwa pilihan ditentukan oleh keadaan eksternal.¹¹

Dengan demikian, ontologi eksistensialis memandang manusia bukan sebagai objek metafisik, tetapi sebagai pusat kebebasan, kesadaran, dan tanggung jawab. Eksistensi manusia adalah perjuangan abadi antara faktisitas dan transendensi, antara keterbatasan dan kebebasan, antara absurditas dan penciptaan makna. Melalui dinamika inilah eksistensialisme menegaskan bahwa menjadi manusia berarti senantiasa “menjadi”—tidak pernah selesai.


Footnotes

[1]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Philip Mairet (New Haven: Yale University Press, 2007), 22.

[2]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1956), 5–7.

[3]                Thomas Flynn, Sartre and Marxist Existentialism: The Test Case of Collective Responsibility (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 18–19.

[4]                Sartre, Being and Nothingness, 27–30.

[5]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 32–35.

[6]                Ibid., 178–184.

[7]                Martin Heidegger, “What Is Metaphysics?” in Basic Writings, ed. David Farrell Krell (New York: HarperCollins, 1993), 103–107.

[8]                Sartre, Being and Nothingness, 59–61.

[9]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, 29.

[10]             Heidegger, Being and Time, 211–213.

[11]             Sartre, Being and Nothingness, 86–89.


4.           Epistemologi: Pengalaman, Kesadaran, dan Otentisitas

Dalam kerangka eksistensialisme modern, epistemologi tidak lagi berpusat pada persoalan bagaimana mengetahui dunia secara objektif, melainkan pada bagaimana manusia mengalami keberadaannya di dunia secara autentik. Dengan demikian, epistemologi eksistensialis menolak paradigma rasionalisme dan empirisme yang menempatkan subjek dan objek secara terpisah. Pengetahuan, bagi eksistensialisme, tidak bersumber dari abstraksi rasional, melainkan dari pengalaman langsung manusia yang hidup, merasa, dan bertindak di dunia.¹

4.1.       Subjektivitas sebagai Sumber Pengetahuan

Eksistensialisme menegaskan bahwa seluruh pengetahuan berakar pada subjektivitas manusia. Søren Kierkegaard telah menyatakan bahwa “kebenaran adalah subjektivitas,” maksudnya bukan relativisme, melainkan penegasan bahwa makna dan kebenaran hanya dapat dihayati secara eksistensial oleh individu yang mengalaminya.² Pengetahuan yang sejati tidak terletak dalam konsep rasional yang universal, tetapi dalam kesadaran reflektif yang muncul dari keterlibatan pribadi terhadap realitas.

Jean-Paul Sartre memperluas gagasan ini dengan menolak pandangan Cartesian yang memisahkan subjek berpikir dari dunia eksternal. Kesadaran (consciousness) bagi Sartre bukan entitas tertutup, melainkan aktivitas intensional—selalu “tentang sesuatu.”³ Dengan kata lain, kesadaran adalah keterarahan pada dunia (being-for-itself), bukan substansi yang berdiri sendiri. Karena itu, pengetahuan eksistensialis bersifat dinamis, temporal, dan terbuka terhadap perubahan makna seiring pengalaman hidup manusia.

4.2.       Kesadaran sebagai Hubungan dengan Dunia

Dalam Being and Time, Martin Heidegger memperkenalkan konsep Dasein sebagai subjek yang “ada-di-dunia” (being-in-the-world).⁴ Pandangan ini menolak model epistemologi tradisional yang memandang manusia sebagai pengamat terpisah dari realitas. Pengetahuan, menurut Heidegger, tidak muncul dari jarak reflektif, melainkan dari keterlibatan praktis manusia dalam dunia yang bermakna baginya. Sebelum “mengetahui” dunia secara teoretis, manusia sudah “berada” di dalam dunia itu melalui tindakan, emosi, dan kebiasaan.⁵

Dengan demikian, epistemologi eksistensialis bersifat pra-teoretis: manusia pertama-tama mengalami dunia secara eksistensial—melalui kerja, kecemasan, cinta, dan penderitaan—baru kemudian merefleksikannya secara konseptual. Fenomenologi Husserl memberikan kerangka metodologis bagi pendekatan ini melalui prinsip intentionality: setiap kesadaran selalu memiliki arah kepada sesuatu.⁶ Sartre mengadopsi prinsip ini untuk menunjukkan bahwa pengetahuan bukan relasi statis antara subjek dan objek, tetapi gerak keterbukaan antara kesadaran dan dunia.

4.3.       Pengalaman Otentik dan Penyingkapan Kebenaran

Dalam konteks eksistensialisme, kebenaran tidak dipahami sebagai korespondensi antara pikiran dan realitas (adaequatio intellectus et rei), melainkan sebagai penyingkapan (aletheia). Heidegger menggunakan istilah Yunani kuno ini untuk menggambarkan kebenaran sebagai peristiwa keterbukaan, di mana makna “ada” terungkap melalui eksistensi manusia.⁷ Pengetahuan sejati lahir ketika manusia membuka dirinya terhadap realitas sebagaimana adanya, bukan ketika ia memaksakan kerangka konseptualnya kepada dunia.

Dalam pengalaman otentik, manusia menghadapi keberadaan secara langsung tanpa topeng ideologis atau ilusi metafisik. Camus menegaskan bahwa kesadaran terhadap absurditas justru merupakan momen pencerahan: ketika manusia menyadari bahwa dunia tidak menawarkan makna objektif, ia justru memperoleh kebebasan untuk mencipta maknanya sendiri.⁸ Dengan demikian, pengalaman eksistensial menjadi dasar pengetahuan etis dan ontologis yang paling mendalam.


Otentisitas dan Kesadaran Diri

Otentisitas dalam epistemologi eksistensialis berkaitan dengan keberanian untuk mengakui kenyataan diri sebagai makhluk yang bebas dan terbatas. Sartre menyebut kesadaran otentik sebagai kesadaran reflektif—yakni kesadaran yang menyadari dirinya sebagai kesadaran, bukan sebagai benda.⁹ Dalam kondisi otentik, manusia tidak melarikan diri dari tanggung jawab pengetahuan, tetapi menanggungnya sebagai bagian dari keberadaannya sendiri.

Sebaliknya, dalam mauvaise foi (itikad buruk), manusia menolak tanggung jawab epistemik dengan berpura-pura bahwa dirinya ditentukan oleh keadaan eksternal.¹⁰ Ia bersembunyi di balik peran sosial, norma, atau ideologi untuk menghindari kebebasan yang melekat pada kesadarannya. Di sini, epistemologi eksistensialis bertemu dengan etika: pengetahuan sejati hanya mungkin jika manusia hidup secara otentik, mengakui kebebasan dan keterbatasannya tanpa ilusi.

Dengan demikian, epistemologi eksistensialis menggeser fokus dari knowing that menjadi knowing how to exist—dari pengetahuan konseptual menuju pemahaman eksistensial. Kesadaran dan pengalaman menjadi medan utama di mana kebenaran tidak ditemukan, tetapi dihidupi. Eksistensi manusia, dengan segala absurditas dan kebebasannya, menjadi sumber dan sarana penyingkapan makna yang paling asli.


Footnotes

[1]                Thomas Flynn, Existentialism: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2006), 45–47.

[2]                Søren Kierkegaard, Concluding Unscientific Postscript to Philosophical Fragments, ed. and trans. Howard V. Hong and Edna H. Hong (Princeton: Princeton University Press, 1992), 203–205.

[3]                Jean-Paul Sartre, The Transcendence of the Ego: An Existentialist Theory of Consciousness, trans. Forrest Williams and Robert Kirkpatrick (New York: Noonday Press, 1957), 4–6.

[4]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 56–59.

[5]                Hubert L. Dreyfus, Being-in-the-World: A Commentary on Heidegger’s Being and Time, Division I (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 41–44.

[6]                Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus Nijhoff, 1983), 61–63.

[7]                Martin Heidegger, The Essence of Truth: On Plato’s Cave Allegory and Theaetetus, trans. Ted Sadler (London: Continuum, 2002), 1–3.

[8]                Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O’Brien (New York: Vintage, 1955), 20–23.

[9]                Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1956), 98–101.

[10]             Ibid., 86–89.


5.           Antropologi Filosofis: Manusia sebagai Proyek dan Kebebasan

Dalam eksistensialisme modern, antropologi filosofis menempati posisi sentral karena seluruh filsafat eksistensialis berpusat pada manusia konkret—bukan sebagai objek metafisik, melainkan sebagai makhluk yang ada, berjuang, dan menciptakan maknanya sendiri.¹ Eksistensialisme menolak pandangan tradisional yang mendefinisikan manusia berdasarkan hakikat yang tetap (seperti “animal rationale” dalam Aristotelianisme), dan menggantinya dengan pemahaman bahwa manusia tidak memiliki esensi bawaan. Manusia, sebagaimana ditegaskan Jean-Paul Sartre, adalah “proyek yang sadar akan dirinya sendiri” (un projet conscient de lui-même), yang senantiasa membentuk dirinya melalui kebebasan dan tindakan.²

5.1.       Manusia sebagai Proyek Terbuka

Dalam kerangka ontologis Sartre, manusia bukanlah entitas yang selesai, melainkan être-pour-soi—“ada-untuk-dirinya.”³ Artinya, manusia selalu dalam proses menjadi, bergerak dari apa yang ia “ada” menuju apa yang ia “akan.” Eksistensi manusia bersifat temporal dan dinamis, bukan substansial. Dengan demikian, manusia adalah proyek terbuka, yang terus menegasikan dirinya sendiri untuk mewujudkan kemungkinan baru.

Kebebasan menjadi inti dari eksistensi ini. Tidak ada tujuan akhir atau “natur” manusia yang telah ditentukan; manusia adalah makhluk yang terus-menerus menciptakan dirinya. Ia tidak lain dari tindakannya sendiri: “man is nothing else but what he makes of himself.”⁴ Pernyataan ini menggambarkan antropologi eksistensialis sebagai antropologi tindakan—bahwa manusia tidak dapat dipahami secara esensial, melainkan secara eksistensial, melalui proyek dan pilihan hidupnya.

5.2.       Kebebasan sebagai Hakikat Eksistensi

Kebebasan dalam eksistensialisme bukan sekadar kebebasan politik atau sosial, melainkan kondisi ontologis keberadaan manusia. Sartre menyebutnya sebagai “kutukan” karena manusia tidak dapat tidak bebas: ia selalu harus memilih.⁵ Dalam setiap situasi, bahkan di bawah tekanan paling besar, manusia tetap memiliki kebebasan untuk menentukan sikapnya terhadap keadaan itu. Namun kebebasan ini bersifat paradoksal, sebab ia sekaligus merupakan beban tanggung jawab yang tak terhindarkan.

Viktor Frankl, seorang pemikir eksistensialis yang berangkat dari pengalaman kamp konsentrasi Nazi, menegaskan hal yang sama: bahkan ketika semua kebebasan eksternal dirampas, manusia tetap memiliki kebebasan batin untuk memilih sikapnya terhadap penderitaan.⁶ Dengan demikian, kebebasan eksistensial bukan kebebasan tanpa batas, tetapi kebebasan yang berakar dalam kesadaran diri dan tanggung jawab moral.

5.3.       Kecemasan dan Tanggung Jawab

Kebebasan yang mutlak ini menimbulkan kecemasan eksistensial (angoisse), karena manusia menyadari bahwa dirinya adalah sumber nilai dan makna bagi dunia.⁷ Tidak ada hukum moral objektif yang dapat dijadikan sandaran, dan tidak ada Tuhan yang menentukan apa yang seharusnya dilakukan. Manusia sendiri yang memikul tanggung jawab untuk menilai tindakannya dan akibatnya bagi orang lain. Dalam kebebasan, manusia menemukan sekaligus kehilangan arah: ia harus menjadi Tuhan bagi dirinya sendiri tanpa fondasi metafisik.

Simone de Beauvoir menekankan dimensi etis dari tanggung jawab ini dalam The Ethics of Ambiguity. Menurutnya, kebebasan sejati tidak berarti menegaskan diri tanpa batas, melainkan mengakui kebebasan orang lain sebagai kondisi eksistensi bersama.⁸ Dengan demikian, antropologi eksistensialis menolak egoisme individualistik dan mengarahkan manusia menuju relasi etis yang saling mengakui dan menghormati kebebasan sesama.

5.4.       Relasi dengan Orang Lain dan “Neraka adalah Orang Lain”

Relasi manusia dengan sesamanya merupakan aspek penting dari antropologi eksistensialis. Sartre menguraikannya dalam bab “The Look” (Le Regard) dalam Being and Nothingness, di mana ia menjelaskan bahwa kehadiran orang lain membuat kita sadar akan diri sebagai objek bagi pandangan mereka.⁹ Dalam situasi ini, muncul konflik ontologis: manusia ingin dilihat sebagai subjek bebas, tetapi tatapan orang lain mengubahnya menjadi objek. Inilah konteks dari ungkapan Sartre yang terkenal: “l’enfer, c’est les autres” (“neraka adalah orang lain”).¹⁰

Namun, pemahaman ini bukan penolakan terhadap kehadiran orang lain, melainkan refleksi tentang kesulitan hidup bersama dalam kebebasan. Manusia tidak dapat menjadi dirinya sendiri tanpa perantaraan orang lain, namun dalam hubungan itu pula ia berisiko kehilangan otentisitas. Karenanya, relasi eksistensial yang sejati harus didasarkan pada kesadaran reflektif dan pengakuan timbal balik, bukan dominasi atau objektifikasi.


Tubuh, Faktisitas, dan Situasi

Eksistensialisme juga menolak dikotomi Cartesian antara jiwa dan tubuh. Bagi Sartre, tubuh bukan penjara bagi kesadaran, tetapi medium eksistensi—cara manusia “ada di dunia.”¹¹ Tubuh adalah bagian dari faktisitas manusia, yaitu kondisi faktual yang tidak dapat diubah (seperti jenis kelamin, asal, atau kematian), namun justru menjadi dasar bagi kebebasan untuk melampaui dirinya. Manusia tidak dapat memilih kelahirannya, tetapi dapat memilih makna dari fakta bahwa ia dilahirkan.¹²

Karenanya, kebebasan eksistensial selalu bersifat situasional: manusia bebas, tetapi selalu dalam situasi. Ia tidak melayang di atas realitas, melainkan berjuang di dalamnya. Inilah yang membuat eksistensialisme menjadi filsafat yang realistis sekaligus humanistik—mengakui keterbatasan tanpa menafikan kebebasan.


Footnotes

[1]                Thomas Flynn, Existentialism: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2006), 53–55.

[2]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Philip Mairet (New Haven: Yale University Press, 2007), 22.

[3]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1956), 27–30.

[4]                Sartre, Existentialism Is a Humanism, 29.

[5]                Ibid., 30–32.

[6]                Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning (Boston: Beacon Press, 2006), 65–67.

[7]                Sartre, Being and Nothingness, 59–61.

[8]                Simone de Beauvoir, The Ethics of Ambiguity, trans. Bernard Frechtman (New York: Philosophical Library, 1948), 71–74.

[9]                Sartre, Being and Nothingness, 340–344.

[10]             Jean-Paul Sartre, No Exit and Three Other Plays, trans. Stuart Gilbert (New York: Vintage, 1989), 45.

[11]             Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans. Colin Smith (London: Routledge, 1962), 94–98.

[12]             Sartre, Being and Nothingness, 98–101.


6.           Etika dan Tanggung Jawab

Etika dalam eksistensialisme modern tidak dibangun di atas prinsip universal, hukum moral objektif, atau dogma metafisik tertentu, tetapi berakar pada kesadaran manusia akan kebebasan dan tanggung jawabnya sendiri.¹ Karena manusia dalam eksistensialisme tidak memiliki esensi bawaan, maka tidak ada norma eksternal yang menentukan apa yang “benar” atau “salah.” Nilai-nilai moral tidak ditemukan, melainkan diciptakan melalui tindakan bebas manusia. Dalam pengertian ini, etika eksistensialis merupakan etika kebebasan dan tanggung jawab—di mana manusia bertanggung jawab penuh atas makna yang ia berikan pada kehidupannya sendiri dan kehidupan orang lain.²

6.1.       Kebebasan sebagai Fondasi Etika

Bagi Jean-Paul Sartre, kebebasan adalah kondisi ontologis eksistensi manusia.³ Manusia tidak memiliki hakikat yang tetap; ia “dikutuk untuk bebas” karena tidak dapat menghindari tanggung jawab atas pilihannya.⁴ Dalam setiap tindakan, manusia bukan hanya menentukan dirinya sendiri, tetapi juga, secara implisit, menentukan gambaran tentang manusia pada umumnya. Oleh sebab itu, kebebasan individu membawa konsekuensi etis yang universal: setiap pilihan adalah deklarasi tentang apa yang seharusnya menjadi manusia.⁵

Sartre menolak moralitas heteronom, yaitu moralitas yang bersumber dari otoritas eksternal seperti Tuhan, negara, atau masyarakat. Ia menggantikannya dengan moralitas otonom, di mana nilai moral lahir dari keputusan bebas yang autentik.⁶ Namun, kebebasan ini bukan anarki moral, melainkan tanggung jawab yang dalam: manusia sadar bahwa tindakannya memiliki implikasi bagi sesama, dan karenanya ia harus bertindak seolah-olah tindakannya menjadi hukum universal. Dalam pengertian ini, Sartre secara implisit menafsirkan kembali prinsip Kantian dalam horizon eksistensialis.⁷

6.2.       Tanggung Jawab Eksistensial

Kebebasan eksistensial menuntut kesadaran penuh akan tanggung jawab. Karena manusia adalah pencipta nilai, maka ia juga bertanggung jawab atas nilai-nilai yang ia ciptakan.⁸ Tidak ada tempat untuk menyalahkan “takdir” atau “kehendak Tuhan.” Dalam dunia yang tanpa makna bawaan, setiap individu memikul beban untuk memberi makna melalui tindakannya. Sartre menulis bahwa “ketika saya memilih, saya memilih bagi seluruh umat manusia.”⁹ Pernyataan ini menegaskan dimensi etis eksistensialisme: tindakan personal memiliki implikasi universal.

Simone de Beauvoir mengembangkan dimensi ini lebih jauh dalam The Ethics of Ambiguity. Ia menolak baik moral absolut maupun relativisme nihilistik, dan mengusulkan etika yang berakar pada “ambiguitas” keberadaan manusia—yaitu kenyataan bahwa manusia sekaligus bebas dan terbatas, subjek dan objek, diri dan yang lain.¹⁰ Tanggung jawab moral sejati, menurut Beauvoir, muncul ketika seseorang menggunakan kebebasannya untuk memperluas kebebasan orang lain. Dengan demikian, etika eksistensialis adalah etika solidaritas kebebasan, bukan egoisme individualistik.¹¹

6.3.       Keotentikan sebagai Nilai Etis Tertinggi

Konsep keotentikan (authenticity) menjadi ukuran moral dalam eksistensialisme. Keotentikan berarti keberanian untuk mengakui kebebasan diri dan hidup sesuai dengannya tanpa berlindung di balik konvensi sosial atau dogma moral.¹² Sebaliknya, mauvaise foi (itikad buruk) terjadi ketika seseorang menolak kebebasannya dengan berpura-pura bahwa ia ditentukan oleh keadaan atau peran sosial.¹³

Heidegger menyebut keadaan tidak otentik ini sebagai das Man, yaitu ketika manusia hidup “menurut mereka” (the They)—mengikuti arus opini publik, norma sosial, atau struktur kekuasaan tanpa refleksi eksistensial.¹⁴ Dalam keadaan ini, manusia kehilangan dirinya sendiri. Karena itu, keotentikan bukan sekadar kejujuran psikologis, tetapi suatu sikap etis yang berakar pada kesadaran ontologis terhadap kebebasan dan kematian.

6.4.       Etika Absurditas dan Solidaritas

Albert Camus memperkenalkan dimensi lain dari etika eksistensialis: etika absurditas. Dalam dunia yang absurd, di mana tidak ada makna atau tatanan moral transenden, manusia tetap dipanggil untuk bertindak dan menciptakan nilai.¹⁵ Camus menolak bunuh diri intelektual (melalui keputusasaan atau dogmatisme) dan menyerukan sikap pemberontakan—yakni penerimaan terhadap absurditas tanpa menyerah pada nihilisme.

Dalam The Plague dan The Rebel, Camus menegaskan bahwa etika eksistensial terwujud dalam tindakan solidaritas manusiawi.¹⁶ Pemberontakan terhadap absurditas bukanlah penolakan terhadap dunia, melainkan komitmen untuk memperjuangkan martabat dan kebebasan manusia di tengah keterbatasan. Dengan demikian, etika eksistensialis, meskipun tanpa landasan metafisik, tetap mengandung semangat humanistik yang mendalam.


Dari Etika Individual ke Tanggung Jawab Sosial

Eksistensialisme modern pada akhirnya menolak dikotomi antara etika personal dan tanggung jawab sosial. Manusia tidak dapat mencapai kebebasan autentik tanpa memperhatikan kebebasan orang lain. Sartre menegaskan dalam karya-karya politiknya pasca perang dunia bahwa kebebasan sejati hanya bermakna dalam konteks sosial yang konkret.¹⁷ Karena itu, etika eksistensialis menuntut kesadaran bahwa setiap pilihan personal selalu berdampak kolektif.

Dengan demikian, etika dan tanggung jawab dalam eksistensialisme bukanlah moralitas yang diturunkan dari prinsip eksternal, melainkan hasil refleksi eksistensial atas kondisi manusia itu sendiri. Ia merupakan etika yang lahir dari keberanian untuk hidup otentik—menghadapi absurditas tanpa ilusi, kebebasan tanpa pelarian, dan tanggung jawab tanpa alasan di luar diri.


Footnotes

[1]                Thomas Flynn, Existentialism: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2006), 64–66.

[2]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Philip Mairet (New Haven: Yale University Press, 2007), 23.

[3]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1956), 34–36.

[4]                Sartre, Existentialism Is a Humanism, 29.

[5]                Ibid., 31–33.

[6]                Ibid., 40–42.

[7]                David Detmer, Freedom as a Value: A Critique of the Ethical Theory of Jean-Paul Sartre (La Salle, IL: Open Court, 1986), 52–54.

[8]                Sartre, Being and Nothingness, 78–80.

[9]                Sartre, Existentialism Is a Humanism, 31.

[10]             Simone de Beauvoir, The Ethics of Ambiguity, trans. Bernard Frechtman (New York: Philosophical Library, 1948), 10–12.

[11]             Ibid., 129–132.

[12]             Sartre, Being and Nothingness, 86–89.

[13]             Ibid., 90–93.

[14]             Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 211–213.

[15]             Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O’Brien (New York: Vintage, 1955), 54–56.

[16]             Albert Camus, The Rebel: An Essay on Man in Revolt, trans. Anthony Bower (New York: Vintage, 1956), 283–286.

[17]             Jean-Paul Sartre, Critique of Dialectical Reason, trans. Alan Sheridan-Smith (London: Verso, 2004), 25–27.


7.           Estetika dan Ekspresi Eksistensial

Dalam eksistensialisme modern, estetika tidak dipahami semata sebagai teori tentang keindahan atau seni, melainkan sebagai ekspresi konkret dari pengalaman eksistensial manusia. Seni, dalam pandangan eksistensialis, menjadi ruang tempat manusia menghadapi absurditas, kesendirian, dan kebebasannya.¹ Melalui ekspresi estetis, manusia menyingkapkan makna keberadaannya di tengah dunia yang tidak memberikan makna pasti. Seni bukan pelarian dari realitas, tetapi cara menghadapinya dengan kejujuran dan keberanian.

7.1.       Seni sebagai Cermin Keberadaan

Jean-Paul Sartre memandang karya seni sebagai tindakan kreatif yang paralel dengan eksistensi itu sendiri. Dalam What Is Literature?, ia berpendapat bahwa menulis adalah bentuk kebebasan—sebuah tindakan sadar untuk mencipta makna di dunia yang absurd.² Bagi Sartre, seorang penulis bertanggung jawab atas dunia yang ia ciptakan melalui kata-kata. Ia tidak sekadar mendeskripsikan realitas, tetapi juga menyingkap dan mengubahnya.³

Dalam kerangka ini, estetika eksistensialis menolak gagasan seni sebagai objek pasif untuk dinikmati. Seni adalah aktivitas reflektif yang menyingkap kondisi manusia: penderitaan, kebebasan, pilihan, dan keterasingan. Karya sastra eksistensialis, seperti La Nausée (Sartre) atau L’Étranger (Camus), tidak menawarkan solusi moral, tetapi menghadirkan kesadaran eksistensial bahwa hidup tidak memiliki makna selain yang manusia ciptakan sendiri.⁴

7.2.       Absurditas dan Pemberontakan Estetis

Albert Camus memberikan dimensi estetis yang khas melalui konsep absurditas dan pemberontakan. Dalam The Myth of Sisyphus, ia menggambarkan tokoh Sisyphus sebagai simbol manusia yang sadar akan ketidakbermaknaan dunia, tetapi tetap memilih untuk hidup dan bekerja.⁵ Camus menolak pandangan nihilistik bahwa absurditas harus berujung pada keputusasaan; sebaliknya, ia melihat pemberontakan terhadap absurditas sebagai bentuk tertinggi dari afirmasi kehidupan.⁶

Dalam seni, pemberontakan ini diwujudkan dalam penciptaan makna tanpa fondasi absolut. Estetika Camus menolak baik dogmatisme moral maupun relativisme kosong; ia mengusulkan “keindahan tragis”—yakni keindahan yang lahir dari penerimaan atas absurditas dan tekad untuk tetap mencipta.⁷ Dengan demikian, seni eksistensialis adalah tindakan pemberontakan metafisik: ia menegaskan kebebasan manusia untuk terus mencipta, bahkan ketika dunia tampak hening terhadap penderitaannya.

7.3.       Drama dan Teater Eksistensialis

Eksistensialisme menemukan salah satu bentuk ekspresi paling kuatnya dalam teater. Karya-karya Sartre seperti No Exit (Huis Clos, 1944) dan The Flies (Les Mouches, 1943) menghadirkan panggung sebagai laboratorium moral, tempat manusia diuji dalam kebebasan dan tanggung jawab.⁸ Dalam No Exit, tiga tokoh yang terperangkap di neraka menyadari bahwa “neraka adalah orang lain”—ungkapan Sartre yang menggambarkan konflik eksistensial antara kebebasan pribadi dan pandangan orang lain.⁹

Sementara itu, Samuel Beckett, yang meskipun tidak secara eksplisit mengidentifikasi diri sebagai eksistensialis, menghadirkan estetika absurditas yang paralel dengan filsafat eksistensialisme. Karya seperti Waiting for Godot (1953) menampilkan tokoh-tokoh yang menunggu sesuatu yang tak pernah datang, melambangkan kondisi manusia modern yang kehilangan makna dan tujuan.¹⁰ Dalam absurditas itu, muncul pertanyaan eksistensial: apakah masih ada makna dalam menunggu, dalam bertahan hidup, dalam berbicara? Beckett menjawab bukan dengan teori, tetapi dengan diam dan keheningan di antara kata-kata.

7.4.       Estetika Keotentikan dan Pengalaman Subjektif

Estetika eksistensialis menolak pandangan objektif dan formalis tentang seni. Nilai estetis tidak terletak pada harmoni bentuk atau teknik, tetapi pada kejujuran eksistensial di balik ekspresi itu.¹¹ Karya seni yang otentik bukanlah yang indah dalam arti klasik, melainkan yang benar secara eksistensial—yang menyingkap kerapuhan, kecemasan, dan kebebasan manusia. Dalam pengertian ini, pengalaman estetis sejati adalah pengalaman keotentikan, yakni ketika manusia melihat dirinya sendiri di dalam karya itu.

Maurice Merleau-Ponty menekankan bahwa persepsi estetis merupakan cara manusia memahami dunia melalui tubuh dan kesadarannya yang terikat pada dunia.¹² Seni, dalam pandangan fenomenologis ini, bukan representasi, tetapi presentasi: ia menyingkap dunia sebagaimana dialami, bukan sebagaimana dikonseptualisasikan. Lukisan, misalnya, bukanlah jendela ke dunia objektif, melainkan ekspresi eksistensi pelukis yang mengada melalui warna dan bentuk.


Estetika sebagai Etika Keberadaan

Eksistensialisme juga memandang seni sebagai tindakan etis. Ketika seorang seniman mencipta, ia menegaskan kebebasannya dan sekaligus memanggil kebebasan orang lain.¹³ Karya seni menjadi komunikasi eksistensial—undangan untuk melihat dunia secara baru, untuk bertanggung jawab terhadap makna yang dihadirkan. Sartre menulis bahwa “seni adalah komitmen,” karena melalui seni manusia menegaskan kemanusiaannya di tengah absurditas.¹⁴

Dengan demikian, estetika eksistensialis bukanlah pelarian dari etika, melainkan kelanjutannya dalam bentuk ekspresi kreatif. Ia memperlihatkan bahwa mencipta adalah tindakan moral—sebuah bentuk engagement (keterlibatan)—di mana manusia mengubah absurditas menjadi kemungkinan makna.


Footnotes

[1]                Thomas Flynn, Existentialism: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2006), 78–79.

[2]                Jean-Paul Sartre, What Is Literature?, trans. Bernard Frechtman (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1988), 21–23.

[3]                Ibid., 57–59.

[4]                Jean-Paul Sartre, Nausea, trans. Lloyd Alexander (New York: New Directions, 1964), 10–12; Albert Camus, The Stranger, trans. Matthew Ward (New York: Vintage, 1988), 3–5.

[5]                Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O’Brien (New York: Vintage, 1955), 119–121.

[6]                Ibid., 110–112.

[7]                Albert Camus, The Rebel: An Essay on Man in Revolt, trans. Anthony Bower (New York: Vintage, 1956), 253–256.

[8]                Jean-Paul Sartre, No Exit and Three Other Plays, trans. Stuart Gilbert (New York: Vintage, 1989), 45–47.

[9]                Ibid., 48.

[10]             Samuel Beckett, Waiting for Godot (New York: Grove Press, 1954), 23–25.

[11]             Flynn, Existentialism: A Very Short Introduction, 81–82.

[12]             Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans. Colin Smith (London: Routledge, 1962), 212–215.

[13]             Sartre, What Is Literature?, 89–91.

[14]             Ibid., 92–93.


8.           Kritik terhadap Eksistensialisme Modern

Eksistensialisme modern, meskipun memiliki pengaruh besar terhadap filsafat, sastra, dan teologi abad ke-20, tidak luput dari kritik yang datang dari berbagai arah: rasionalisme, strukturalisme, marxisme, teologi, hingga psikoanalisis. Kritik-kritik ini umumnya diarahkan pada dua aspek utama eksistensialisme: pertama, subjektivisme ekstrem yang dianggap menutup kemungkinan objektivitas moral dan sosial; kedua, pesimisme ontologis yang dinilai terlalu menekankan absurditas dan keterasingan manusia.¹

8.1.       Kritik Rasionalis dan Analitik: Tuduhan Irasionalisme

Kaum rasionalis dan filsuf analitik, terutama dari tradisi Anglo-Amerika, menuduh eksistensialisme tidak memiliki kejelasan konseptual dan cenderung jatuh ke dalam irasionalisme.² Bertrand Russell, misalnya, menilai bahwa eksistensialisme hanya menonjolkan perasaan subjektif tanpa argumen rasional yang sistematis.³ Menurut pandangan ini, eksistensialisme gagal memenuhi standar logika dan analisis bahasa yang ketat, sehingga lebih dekat dengan sastra daripada filsafat.

Selain itu, logika positivisme dari Lingkaran Wina mengkritik eksistensialisme karena berbicara tentang “keberadaan,” “kecemasan,” dan “ketiadaan” dalam istilah metafisik yang tidak dapat diverifikasi secara empiris.⁴ Dari sudut pandang ini, istilah-istilah eksistensial dianggap “tidak bermakna” secara ilmiah karena tidak dapat diuji melalui observasi atau pengalaman empiris.

Namun, bagi para eksistensialis, kritik tersebut justru melewatkan hakikat filsafat eksistensial: bahwa ia bukan sistem teoretis, melainkan upaya memahami keberadaan manusia secara konkret dan reflektif. Heidegger sendiri menolak pandangan logis-empiris tentang makna, dengan menegaskan bahwa “ada” (Sein) tidak dapat direduksi menjadi proposisi ilmiah, karena ia mendahului segala bentuk pengetahuan rasional.⁵

8.2.       Kritik Strukturalis dan Post-Strukturalis: Kematian Subjek

Strukturalisme dan post-strukturalisme Prancis memberikan kritik mendalam terhadap pusat eksistensialisme, yakni subjek otonom dan bebas. Michel Foucault menolak gagasan Sartre tentang “manusia sebagai pusat kebebasan,” dan menyebutnya sebagai warisan humanisme lama yang harus dilampaui.⁶ Dalam The Order of Things (1966), Foucault menyatakan bahwa “manusia adalah penemuan yang baru-baru ini... dan mungkin akan segera lenyap seperti wajah yang terhapus di pasir pantai.”⁷

Demikian pula, Jacques Derrida melalui dekonstruksinya menunjukkan bahwa makna tidak pernah stabil dalam subjek, melainkan terus tertunda dalam permainan tanda (différance).⁸ Dengan demikian, eksistensialisme dianggap masih terjebak dalam logika metafisik kehadiran (metaphysics of presence), yaitu keyakinan bahwa makna bisa ditemukan dalam kesadaran yang utuh. Kritik post-strukturalis ini menggugat klaim eksistensialisme tentang kebebasan individu dan otentisitas, dengan menegaskan bahwa subjek manusia selalu terbelit dalam jaringan bahasa, kekuasaan, dan struktur simbolik.⁹

8.3.       Kritik Marxis: Individualisme Borjuis dan Ketakmampuan Sosial

Dari perspektif Marxis, eksistensialisme dituduh sebagai ideologi borjuis yang menekankan kebebasan individual tanpa memperhatikan struktur sosial-ekonomi yang menindas manusia. György Lukács menilai eksistensialisme sebagai “filsafat keputusasaan” yang meneguhkan alienasi kapitalistik alih-alih mengatasinya.¹⁰ Sartre sendiri menyadari kritik ini, dan dalam periode pasca-Perang Dunia II berusaha mengintegrasikan eksistensialisme dengan Marxisme melalui karya Critique of Dialectical Reason (1960).¹¹

Namun, usaha Sartre untuk mensintesiskan kebebasan eksistensial dengan determinisme material historis sering dianggap gagal. Theodor Adorno menilai bahwa eksistensialisme, terutama dalam bentuk Sartrean, tetap terjebak dalam abstraksi subjektif yang tidak mampu memahami totalitas sosial.¹² Dengan demikian, bagi para pemikir Marxis, eksistensialisme gagal menjadi teori emansipasi karena tidak mampu menjelaskan kondisi objektif manusia dalam sistem kapitalis.

8.4.       Kritik Teologis: Nihilisme dan Ketiadaan Transendensi

Kaum teolog, baik dari tradisi Kristen maupun eksistensialis religius, menilai eksistensialisme ateistik (Sartre, Camus) sebagai jalan menuju nihilisme. Mereka berpendapat bahwa tanpa Tuhan, nilai moral dan makna hidup kehilangan dasar objektif.¹³ Karl Jaspers dan Gabriel Marcel menanggapi eksistensialisme ateistik dengan menawarkan versi teistik dari eksistensialisme, di mana kebebasan manusia tetap berakar pada relasi transendental dengan Tuhan.¹⁴

Marcel, misalnya, menolak pandangan Sartre tentang kebebasan sebagai isolasi, dan menggantikannya dengan konsep “partisipasi” (participation): manusia menjadi diri sejati hanya dalam relasi cinta dan kesetiaan terhadap sesama dan Tuhan.¹⁵ Bagi Jaspers, eksistensi sejati tidak berhenti pada kesadaran diri, melainkan melampaui diri menuju “transendensi” sebagai horizon makna terakhir.¹⁶

Kritik teologis ini menunjukkan bahwa eksistensialisme ateistik gagal menjawab dimensi spiritual manusia dan menutup ruang bagi pengalaman keilahian, padahal justru dalam keterbatasan dan kecemasan itulah manusia dapat mengalami misteri eksistensi.

8.5.       Kritik Feminis dan Psikoanalitis: Ketimpangan Relasional dan Bias Maskulin

Eksistensialisme modern juga dikritik dari perspektif feminis dan psikoanalitis karena cenderung memusatkan pengalaman eksistensial pada subjek laki-laki yang otonom. Simone de Beauvoir memang berusaha mengatasi bias ini dalam The Second Sex (1949), namun bahkan ia menyadari bahwa kerangka eksistensialis klasik terlalu mengandaikan subjek yang bebas dari kondisi tubuh dan sosialnya.¹⁷

Julia Kristeva dan Luce Irigaray kemudian mengkritik eksistensialisme atas ketidakmampuannya memahami dimensi tubuh, bahasa, dan afeksi perempuan.¹⁸ Sementara psikoanalis eksistensial seperti Rollo May berpendapat bahwa eksistensialisme Sartre terlalu intelektual, mengabaikan dimensi emosional dan bawah sadar manusia.¹⁹


Evaluasi Kritis

Kritik-kritik tersebut menunjukkan bahwa eksistensialisme, meskipun revolusioner, tidak tanpa keterbatasan. Ia berhasil membebaskan filsafat dari abstraksi sistematis dan mengembalikannya kepada pengalaman manusia konkret, namun sering kali gagal mengakomodasi kompleksitas sosial, struktural, dan relasional manusia. Namun demikian, nilai historis dan filosofis eksistensialisme tetap signifikan: ia membuka ruang bagi hermeneutika, fenomenologi eksistensial, psikoterapi humanistik, dan teori postmodern tentang subjektivitas.²⁰

Eksistensialisme modern, dengan segala paradoksnya, tetap menjadi cermin kegelisahan manusia abad ke-20—suatu filsafat yang mengingatkan bahwa di tengah kehampaan dan absurditas, manusia tetap memiliki tanggung jawab untuk menjadi.


Footnotes

[1]                Thomas Flynn, Existentialism: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2006), 95–97.

[2]                A. J. Ayer, Language, Truth and Logic (New York: Dover, 1952), 34–36.

[3]                Bertrand Russell, History of Western Philosophy (London: George Allen & Unwin, 1946), 791–792.

[4]                Rudolf Carnap, “The Elimination of Metaphysics through Logical Analysis of Language,” Erkenntnis 2 (1932): 219–241.

[5]                Martin Heidegger, “Letter on Humanism,” in Basic Writings, ed. David Farrell Krell (New York: Harper & Row, 1993), 207–210.

[6]                Michel Foucault, The Order of Things: An Archaeology of the Human Sciences (New York: Vintage, 1970), 385–386.

[7]                Ibid., 387.

[8]                Jacques Derrida, Writing and Difference, trans. Alan Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1978), 280–282.

[9]                Ibid., 290.

[10]             György Lukács, Existentialism or Marxism?, trans. George M. Anderson (London: Merlin Press, 1961), 7–9.

[11]             Jean-Paul Sartre, Critique of Dialectical Reason, trans. Alan Sheridan-Smith (London: Verso, 2004), 45–49.

[12]             Theodor W. Adorno, The Jargon of Authenticity, trans. Knut Tarnowski and Frederic Will (Evanston: Northwestern University Press, 1973), 13–15.

[13]             Karl Barth, Church Dogmatics III/3, trans. G. W. Bromiley (Edinburgh: T&T Clark, 1961), 23–25.

[14]             Karl Jaspers, Philosophy of Existence, trans. Richard F. Grabau (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1971), 62–65.

[15]             Gabriel Marcel, The Mystery of Being, trans. G. S. Fraser (Chicago: Henry Regnery, 1951), 112–115.

[16]             Jaspers, Philosophy of Existence, 70–72.

[17]             Simone de Beauvoir, The Second Sex, trans. H. M. Parshley (New York: Vintage, 1989), 283–285.

[18]             Luce Irigaray, This Sex Which Is Not One, trans. Catherine Porter (Ithaca: Cornell University Press, 1985), 22–25; Julia Kristeva, Powers of Horror: An Essay on Abjection, trans. Leon S. Roudiez (New York: Columbia University Press, 1982), 12–14.

[19]             Rollo May, Existence: A New Dimension in Psychiatry and Psychology (New York: Basic Books, 1958), 45–47.

[20]             Charles Guignon, On Being Authentic (London: Routledge, 2004), 96–99.


9.           Relevansi dan Aplikasi Kontemporer

Meskipun lahir pada konteks krisis abad ke-20—perang, nihilisme, dan keterasingan manusia modern—eksistensialisme tetap memiliki relevansi yang mendalam bagi kehidupan kontemporer abad ke-21. Dunia kini diwarnai oleh fenomena baru: digitalisasi eksistensi, globalisasi nilai, krisis ekologis, serta kecemasan eksistensial akibat kehilangan makna dalam sistem sosial yang hiper-rasional. Dalam situasi ini, eksistensialisme tampil bukan sebagai warisan usang, melainkan sebagai lensa reflektif untuk memahami keberadaan manusia yang semakin kompleks.¹

9.1.       Eksistensialisme di Era Digital: Diri, Kebebasan, dan Alienasi

Di era teknologi dan media sosial, konsep eksistensial tentang otentisitas dan keterlemparan memperoleh makna baru. Manusia digital hidup dalam dunia yang dipenuhi citra, algoritma, dan performativitas diri. Keberadaan di ruang maya sering kali mendorong manusia untuk menampilkan diri bukan sebagaimana adanya, tetapi sebagaimana yang diharapkan oleh “tatapan orang lain” (the gaze).² Sartre, dalam analisis klasiknya tentang le regard, menggambarkan bagaimana tatapan orang lain dapat mengubah subjek menjadi objek.³ Fenomena ini kini tampak dalam budaya selfie, influencer, dan pencarian validasi digital.

Dengan demikian, eksistensialisme menuntun kita untuk bertanya: apakah eksistensi daring masih dapat disebut otentik? Heidegger mungkin akan menjawab bahwa teknologi cenderung menutupi makna “ada” karena menggantikan pengalaman langsung dengan representasi yang serba teknis.⁴ Namun, kesadaran eksistensial justru memungkinkan manusia untuk menggunakan teknologi secara reflektif—bukan sebagai pelarian, tetapi sebagai medium untuk menegaskan kebebasan dan identitas yang sadar diri.

9.2.       Krisis Makna dan Psikoterapi Eksistensial

Eksistensialisme juga berpengaruh besar dalam bidang psikologi dan terapi modern. Viktor Frankl, melalui logoterapi, memadukan gagasan eksistensialis dengan praktik penyembuhan psikis.⁵ Ia menekankan bahwa penderitaan tidak dapat dihindari, tetapi manusia selalu memiliki kebebasan untuk memilih sikap terhadap penderitaan itu. Dalam dunia yang dipenuhi stres, kesepian, dan kecemasan eksistensial, logoterapi menawarkan jalan tengah antara psikologi positivistik dan spiritualitas dogmatis: menemukan makna dalam keberadaan konkret.⁶

Demikian pula, Rollo May dan Irvin Yalom mengembangkan terapi eksistensial-humanistik, yang menekankan hubungan terapeutik sebagai ruang otentik di mana klien dihadapkan pada kebebasan, tanggung jawab, dan pilihan hidupnya sendiri.⁷ Pendekatan ini menunjukkan bagaimana eksistensialisme, meskipun berakar dalam filsafat, dapat diterapkan dalam praksis penyembuhan dan pengembangan pribadi manusia modern.

9.3.       Eksistensialisme dan Krisis Ekologis

Dalam konteks krisis iklim dan kerusakan ekologis global, eksistensialisme memberikan kerangka reflektif tentang tanggung jawab manusia terhadap dunia. Heidegger dalam esainya “The Question Concerning Technology” memperingatkan bahwa modernitas telah mengubah alam menjadi sekadar standing reserve—sumber daya yang siap dieksploitasi.⁸ Pandangan ini kini terbukti relevan di tengah kapitalisme industri yang menempatkan bumi sebagai objek produksi tanpa batas.

Etika eksistensialis dapat diinterpretasikan sebagai seruan untuk keotentikan ekologis: kesadaran bahwa keberadaan manusia tidak terpisah dari dunia, melainkan merupakan bagian darinya. Dalam kesadaran ini, tanggung jawab moral tidak lagi terbatas pada manusia lain, tetapi juga meluas pada makhluk hidup dan ekosistem yang menopang eksistensi.⁹ Dengan demikian, eksistensialisme menawarkan dasar ontologis bagi etika ekologi kontemporer: menjadi manusia berarti turut memikul tanggung jawab atas keberlangsungan “ada” secara keseluruhan.

9.4.       Eksistensialisme, Politik, dan Kemanusiaan Global

Eksistensialisme juga memiliki relevansi politik dan etis dalam menghadapi dehumanisasi di era globalisasi. Sartre menegaskan bahwa kebebasan individu hanya bermakna dalam konteks kebebasan kolektif: “kebebasan saya bergantung pada kebebasan orang lain.”¹⁰ Dalam dunia yang diwarnai ketimpangan, migrasi paksa, dan polarisasi identitas, eksistensialisme mengingatkan akan perlunya solidaritas eksistensial—kesadaran bahwa penderitaan dan kebebasan manusia saling terkait.

Selain itu, konsep “keterlemparan” Heidegger dapat dibaca kembali dalam konteks politik migrasi: manusia modern mengalami keterlemparan bukan hanya ke dalam dunia, tetapi juga ke dalam sistem global yang menentukan makna identitas, kewarganegaraan, dan nilai kemanusiaan.¹¹ Dalam situasi ini, eksistensialisme mengajarkan pentingnya responsibilitas eksistensial—kesediaan untuk bertindak etis dalam situasi konkret, bukan sekadar berpegang pada sistem moral abstrak.

9.5.       Eksistensialisme dan Pendidikan Humanistik

Dalam dunia pendidikan, eksistensialisme memberi inspirasi bagi pendekatan humanistik yang menekankan kebebasan, refleksi, dan tanggung jawab peserta didik.¹² Tujuan pendidikan bukan lagi sekadar transfer pengetahuan, tetapi pembentukan eksistensi autentik: bagaimana manusia memahami dirinya, mengambil keputusan, dan memberi makna pada kehidupannya.

Filsafat pendidikan eksistensialis, sebagaimana dikembangkan oleh Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed, menolak pendidikan yang menindas dan menekankan dialog reflektif antara guru dan murid sebagai pertemuan dua subjek yang sama-sama sadar.¹³ Dalam konteks ini, eksistensialisme berfungsi sebagai fondasi bagi pendidikan pembebasan—sebuah praksis yang menumbuhkan kebebasan berpikir, tanggung jawab moral, dan kesadaran kritis.


Reaktualisasi Eksistensialisme di Abad ke-21

Eksistensialisme hari ini tidak lagi terbatas pada filsafat Eropa, tetapi telah dihidupkan kembali dalam konteks lintas budaya: eksistensialisme Asia, Afrika, dan Amerika Latin.¹⁴ Dalam globalisasi yang homogen, eksistensialisme menjadi ruang refleksi bagi pencarian identitas otentik dan kebermaknaan hidup yang terancam oleh konsumerisme dan mekanisasi kehidupan.

Kebebasan eksistensialis kini menuntut reinterpretasi: bukan sekadar kebebasan memilih, tetapi kebebasan untuk bertanggung jawab, untuk mencipta makna, dan untuk hidup otentik di tengah ketidakpastian dunia digital dan ekologis.¹⁵ Eksistensialisme modern, dengan demikian, tetap menjadi filsafat yang hidup—sebuah ajakan abadi bagi manusia untuk berpikir, memilih, dan menjadi.


Footnotes

[1]                Thomas Flynn, Existentialism: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2006), 101–103.

[2]                Sherry Turkle, Alone Together: Why We Expect More from Technology and Less from Each Other (New York: Basic Books, 2011), 85–87.

[3]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1956), 340–344.

[4]                Martin Heidegger, The Question Concerning Technology, trans. William Lovitt (New York: Harper & Row, 1977), 12–14.

[5]                Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning (Boston: Beacon Press, 2006), 104–106.

[6]                Ibid., 112–115.

[7]                Irvin D. Yalom, Existential Psychotherapy (New York: Basic Books, 1980), 8–10; Rollo May, The Courage to Create (New York: W. W. Norton, 1975), 19–21.

[8]                Heidegger, The Question Concerning Technology, 23–25.

[9]                Michael Zimmerman, Heidegger’s Confrontation with Modernity: Technology, Politics, and Art (Bloomington: Indiana University Press, 1990), 156–158.

[10]             Jean-Paul Sartre, Critique of Dialectical Reason, trans. Alan Sheridan-Smith (London: Verso, 2004), 62–65.

[11]             Hannah Arendt, The Origins of Totalitarianism (New York: Harcourt Brace, 1973), 299–301.

[12]             Maxine Greene, Releasing the Imagination: Essays on Education, the Arts, and Social Change (San Francisco: Jossey-Bass, 1995), 23–25.

[13]             Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum, 2000), 72–74.

[14]             Lewis R. Gordon, Existentia Africana: Understanding Africana Existential Thought (New York: Routledge, 2000), 11–13.

[15]             Charles Guignon, On Being Authentic (London: Routledge, 2004), 104–107.


10.       Sintesis Filosofis: Eksistensialisme sebagai Jalan Menuju Keotentikan

Eksistensialisme modern, meskipun bervariasi dalam pendekatannya, dapat dipandang sebagai suatu usaha untuk memahami eksistensi manusia yang terbuang dan terasingkan, namun tetap memiliki potensi untuk menemukan makna dan keotentikan. Sebagai jalan menuju keotentikan (authenticity), eksistensialisme berupaya melampaui determinisme sejarah, struktur sosial, dan ideologi yang mengekang kebebasan individu. Ia mengajak individu untuk menghadapi dan mengatasi kecemasan eksistensial yang muncul dari kesadaran akan kebebasan dan ketidakbermaknaan hidup, serta untuk mengambil tanggung jawab penuh atas pilihan dan tindakan mereka.¹

Eksistensialisme sebagai sintesis filosofis dapat dilihat sebagai jembatan antara kebebasan individu dan keterhubungan dengan dunia, antara pencarian makna yang bebas dan kebutuhan akan relasi dengan sesama. Sintesis ini berlandaskan pada gagasan bahwa eksistensialisme, meskipun menekankan kebebasan personal dan pemahaman diri, tetap mengarahkan individu pada kebutuhan untuk hidup dalam solidaritas dengan yang lain, menjaga kesadaran akan ketidakpastian, dan memilih untuk bertanggung jawab terhadap keberadaannya dalam dunia yang lebih luas.

10.1.    Keotentikan dan Kebebasan: Konsep Utama Eksistensialisme

Keotentikan dalam eksistensialisme bukanlah sekadar kejujuran pribadi atau hidup sesuai dengan keinginan diri, melainkan merupakan suatu bentuk eksistensi yang penuh kesadaran terhadap kebebasan dan keterbatasan manusia. Sartre, dalam Being and Nothingness, mengajukan bahwa keotentikan adalah kondisi di mana individu hidup dengan kesadaran penuh akan kebebasan dan tanggung jawabnya, tanpa menyembunyikan diri di balik ilusi atau peran sosial yang ditentukan oleh “mereka” (the they).² Dalam konteks ini, keotentikan tidak hanya berarti bebas dari peran sosial yang ditentukan, tetapi juga sadar bahwa kebebasan ini membawa beban moral yang besar—yaitu tanggung jawab untuk menciptakan makna di dunia yang absurd.

Sebaliknya, ketidakotentikan (inauthenticity) terjadi ketika individu menolak kebebasannya dan hidup sesuai dengan norma eksternal tanpa mempertanyakan atau mengambil tanggung jawab terhadap keputusan tersebut.³ Dengan demikian, keotentikan adalah pilihan aktif dan reflektif, yang mengharuskan individu untuk hidup dengan penuh kesadaran terhadap kondisi eksistensial dan tanggung jawabnya sebagai makhluk bebas.

10.2.    Manusia sebagai Proyek: Kebebasan dan Penentuan Diri

Eksistensialisme memandang manusia sebagai être-pour-soi (ada-untuk-dirinya)—yakni sebagai makhluk yang tidak memiliki esensi tetap, tetapi selalu berada dalam kondisi menjadi (becoming). Sartre menggambarkan manusia sebagai proyek terbuka yang terus membentuk dirinya melalui pilihan dan tindakan.⁴ Artinya, eksistensialisme menekankan bahwa manusia tidak dapat dipahami melalui konsep statis atau kategori yang sudah ada, melainkan melalui proses aktualisasi dirinya yang terus menerus.

Manusia sebagai proyek mengandung dua elemen penting: kebebasan untuk memilih dan tanggung jawab atas pilihan tersebut. Kebebasan ini, seperti yang dijelaskan Sartre, adalah kebebasan radikal—manusia “dikutuk untuk bebas.”⁵ Kebebasan ini membawa konsekuensi berat, karena setiap pilihan yang diambil oleh individu tidak hanya menentukan dirinya sendiri, tetapi juga menciptakan gambaran tentang manusia secara umum. Sebagai contoh, ketika seseorang memilih untuk hidup dengan integritas, ia tidak hanya mengesahkan pilihan pribadinya, tetapi juga memberi contoh tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh orang lain.

Sintesis antara kebebasan dan tanggung jawab ini menjadi inti dari gagasan eksistensialis tentang keotentikan. Manusia, meskipun bebas untuk memilih, tidak dapat menghindari pertanggungjawaban atas pilihan yang telah ia buat, baik dalam aspek pribadi maupun sosial.

10.3.    Keterhubungan dengan Orang Lain: Keotentikan Relasional

Eksistensialisme juga memandang bahwa keotentikan individu tidak terlepas dari relasi dengan orang lain. Sartre menekankan bahwa manusia tidak bisa sepenuhnya bebas dalam isolasi; kebebasan pribadi selalu bertemu dengan kebebasan orang lain. Dalam Being and Nothingness, Sartre menggambarkan bagaimana orang lain, meskipun dapat menghalangi kebebasan individu, juga merupakan bagian tak terpisahkan dari eksistensi manusia.⁶ Ungkapan terkenal Sartre “l’enfer, c’est les autres” (“neraka adalah orang lain”) menggambarkan bagaimana keberadaan orang lain dapat menyebabkan konflik antara kebebasan subjek dan objektifikasi diri oleh pandangan orang lain. Namun, pemahaman lebih lanjut menunjukkan bahwa interaksi dengan orang lain adalah bagian dari upaya menuju keotentikan, karena keberadaan sosial membawa individu pada pengakuan atas kebebasan bersama.

Simone de Beauvoir, dalam The Ethics of Ambiguity, mengembangkan gagasan ini lebih lanjut dengan mengaitkan kebebasan individu dengan kebebasan orang lain. Bagi Beauvoir, keotentikan bukan hanya tentang kebebasan pribadi, tetapi juga tentang solidaritas dan pengakuan terhadap kebebasan orang lain.⁷ Melalui pengakuan atas kebebasan orang lain, individu mencapai bentuk kebebasan yang lebih luas dan lebih bermakna.

10.4.    Eksistensialisme dalam Konteks Etika Sosial dan Global

Eksistensialisme, dengan fokus pada kebebasan individu dan tanggung jawab pribadi, sering kali dikritik karena dianggap terlalu mengabaikan struktur sosial dan politik yang membatasi kebebasan tersebut. Namun, dalam sintesis filosofisnya, eksistensialisme tidak mengabaikan konteks sosial, tetapi justru menekankan bahwa kebebasan individu selalu terkait dengan kebebasan sosial. Sartre, dalam karya-karya politiknya, menegaskan bahwa kebebasan individu tidak dapat dipisahkan dari kebebasan kolektif; manusia yang otentik tidak hanya memperjuangkan kebebasannya sendiri, tetapi juga kebebasan sesama.⁸

Dalam dunia global yang semakin kompleks, eksistensialisme menawarkan kerangka untuk mengatasi masalah-masalah etika global seperti ketimpangan sosial, perubahan iklim, dan kemiskinan. Kesadaran eksistensial terhadap ketidakpastian dan ketidakbermaknaan dunia dapat mendorong individu untuk bertindak secara lebih etis dan bertanggung jawab dalam hubungan dengan orang lain dan dunia alam.


Kesimpulan: Eksistensialisme sebagai Jalan Menuju Makna

Sintesis filosofis eksistensialisme menunjukkan bahwa keotentikan bukanlah tujuan akhir, tetapi suatu perjalanan yang terus menerus. Ia melibatkan kebebasan untuk memilih, tanggung jawab untuk bertindak, dan kesadaran akan keterhubungan dengan orang lain dan dunia. Melalui perjalanan ini, eksistensialisme mengajarkan bahwa makna bukanlah sesuatu yang ditemukan, tetapi sesuatu yang diciptakan melalui keputusan dan tindakan yang penuh kesadaran. Dengan demikian, eksistensialisme memberikan panduan untuk hidup secara otentik di dunia yang penuh dengan ketidakpastian dan tantangan.


Footnotes

[1]                Thomas Flynn, Existentialism: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2006), 104–106.

[2]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1956), 88–90.

[3]                Ibid., 91–93.

[4]                Ibid., 27–30.

[5]                Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Philip Mairet (New Haven: Yale University Press, 2007), 29.

[6]                Sartre, Being and Nothingness, 340–344.

[7]                Simone de Beauvoir, The Ethics of Ambiguity, trans. Bernard Frechtman (New York: Philosophical Library, 1948), 71–73.

[8]                Jean-Paul Sartre, Critique of Dialectical Reason, trans. Alan Sheridan-Smith (London: Verso, 2004), 63–66.

[9]                Albert Camus, The Rebel: An Essay on Man in Revolt, trans. Anthony Bower (New York: Vintage, 1956), 243–245.


11.       Kesimpulan

Eksistensialisme modern, dengan segala kompleksitas dan keberagamannya, tetap menawarkan wawasan mendalam tentang kondisi manusia di dunia yang serba tidak pasti dan sering kali penuh dengan absurditas. Sebagai suatu aliran filsafat yang berfokus pada kebebasan individu, tanggung jawab, dan pencarian makna dalam dunia yang tidak memberikan makna bawaan, eksistensialisme berperan penting dalam membantu kita memahami eksistensi manusia secara autentik.¹

Dalam konteks sejarah filsafat, eksistensialisme muncul sebagai reaksi terhadap dogmatisme metafisika, penindasan nilai-nilai objektif, dan keterasingan dalam masyarakat modern. Dari pemikiran Søren Kierkegaard dan Friedrich Nietzsche tentang subjektivitas dan kehendak berkuasa, hingga Jean-Paul Sartre dan Simone de Beauvoir yang menekankan kebebasan dan tanggung jawab moral, eksistensialisme mengarahkan perhatian kita pada manusia sebagai individu yang terus-menerus membentuk dirinya melalui pilihan dan tindakan.²

Eksistensialisme membawa kebebasan sebagai prinsip dasar, tetapi kebebasan ini tidak pernah datang tanpa tanggung jawab. Sartre menegaskan bahwa kebebasan individu membawa konsekuensi moral yang besar: bahwa setiap tindakan yang kita ambil bukan hanya menciptakan makna bagi diri kita sendiri, tetapi juga bagi orang lain.³ Dengan demikian, eksistensialisme tidak hanya menawarkan pembebasan dari struktur dan norma eksternal, tetapi juga mendorong kita untuk hidup secara otentik—dengan kesadaran penuh akan kebebasan kita dan kesadaran akan keterhubungan kita dengan sesama.

Namun, eksistensialisme juga tidak terlepas dari kritik, baik dari segi metodologi, dari sisi sosial-politik, maupun dari perspektif moral dan teologis. Kritik terhadap eksistensialisme mencakup tuduhan bahwa ia terlalu mengutamakan kebebasan individual tanpa cukup mempertimbangkan pengaruh struktur sosial dan ekonomi, atau bahwa ia cenderung pesimis dalam memandang kondisi manusia.⁴ Meskipun demikian, eksistensialisme tetap relevan di dunia kontemporer, terutama dalam memahami dinamika kehidupan digital, globalisasi, krisis ekologis, dan perjuangan untuk keotentikan dalam kehidupan sosial yang sering kali mekanistik.

Di dunia yang semakin terhubung namun juga teralienasi, eksistensialisme memberikan panduan bagi kita untuk menghadapi kebebasan dan pilihan yang tampak tak terbatas dengan tanggung jawab, serta untuk mencari makna dalam sebuah eksistensi yang sering kali terasa kosong. Dalam setiap aspek kehidupan—dari politik hingga pendidikan, dari etika hingga estetika—eksistensialisme mengajarkan kita bahwa meskipun dunia tidak menawarkan makna yang telah ditentukan, kita sebagai individu tetap memiliki kekuatan untuk menciptakan makna itu sendiri.

Dengan demikian, eksistensialisme mengundang kita untuk merenung dan bertindak, untuk memilih dan bertanggung jawab. Ia mengingatkan kita bahwa keberadaan manusia adalah proyek yang terbuka, sebuah pencarian yang tidak pernah selesai, namun penuh dengan potensi untuk menemukan dan menciptakan makna yang otentik.


Footnotes

[1]                Thomas Flynn, Existentialism: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2006), 105–107.

[2]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Philip Mairet (New Haven: Yale University Press, 2007), 15–18; Simone de Beauvoir, The Ethics of Ambiguity, trans. Bernard Frechtman (New York: Philosophical Library, 1948), 9–11.

[3]                Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1956), 60–62.

[4]                György Lukács, Existentialism or Marxism?, trans. George M. Anderson (London: Merlin Press, 1961), 7–9; Theodor W. Adorno, The Jargon of Authenticity, trans. Knut Tarnowski and Frederic Will (Evanston: Northwestern University Press, 1973), 13–15.


Daftar Pustaka

Adorno, T. W. (1973). The jargon of authenticity (K. Tarnowski & F. Will, Trans.). Northwestern University Press.

Ayer, A. J. (1952). Language, truth and logic. Dover.

Barth, K. (1961). Church dogmatics III/3 (G. W. Bromiley, Trans.). T&T Clark.

Beauvoir, S. de. (1948). The ethics of ambiguity (B. Frechtman, Trans.). Philosophical Library.

Beauvoir, S. de. (1989). The second sex (H. M. Parshley, Trans.). Vintage.

Beckett, S. (1954). Waiting for Godot. Grove Press.

Camus, A. (1955). The myth of Sisyphus (J. O’Brien, Trans.). Vintage.

Camus, A. (1956). The rebel: An essay on man in revolt (A. Bower, Trans.). Vintage.

Camus, A. (1988). The stranger (M. Ward, Trans.). Vintage.

Carnap, R. (1932). The elimination of metaphysics through logical analysis of language. Erkenntnis, 2, 219–241.

Derrida, J. (1978). Writing and difference (A. Bass, Trans.). University of Chicago Press.

Detmer, D. (1986). Freedom as a value: A critique of the ethical theory of Jean-Paul Sartre. Open Court.

Dreyfus, H. L. (1991). Being-in-the-world: A commentary on Heidegger’s Being and Time, Division I. MIT Press.

Flynn, T. (2006). Existentialism: A very short introduction. Oxford University Press.

Frankl, V. E. (2006). Man’s search for meaning. Beacon Press.

Freire, P. (2000). Pedagogy of the oppressed (M. B. Ramos, Trans.). Continuum.

Foucault, M. (1970). The order of things: An archaeology of the human sciences. Vintage.

Greene, M. (1995). Releasing the imagination: Essays on education, the arts, and social change. Jossey-Bass.

Guignon, C. (2004). On being authentic. Routledge.

Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.

Heidegger, M. (1977). The question concerning technology (W. Lovitt, Trans.). Harper & Row.

Heidegger, M. (1993). Letter on humanism. In D. F. Krell (Ed.), Basic writings (pp. 207–210). Harper & Row.

Heidegger, M. (2002). The essence of truth: On Plato’s Cave Allegory and Theaetetus (T. Sadler, Trans.). Continuum.

Husserl, E. (1983). Ideas pertaining to a pure phenomenology and to a phenomenological philosophy (F. Kersten, Trans.). Martinus Nijhoff.

Irigaray, L. (1985). This sex which is not one (C. Porter, Trans.). Cornell University Press.

Jaspers, K. (1971). Philosophy of existence (R. F. Grabau, Trans.). University of Pennsylvania Press.

Kierkegaard, S. (1985). Fear and trembling (A. Hannay, Trans.). Penguin.

Kierkegaard, S. (1992). Concluding unscientific postscript to philosophical fragments (H. V. Hong & E. H. Hong, Eds. & Trans.). Princeton University Press.

Kristeva, J. (1982). Powers of horror: An essay on abjection (L. S. Roudiez, Trans.). Columbia University Press.

Lukács, G. (1961). Existentialism or Marxism? (G. M. Anderson, Trans.). Merlin Press.

Marcel, G. (1951). The mystery of being (G. S. Fraser, Trans.). Henry Regnery.

May, R. (1958). Existence: A new dimension in psychiatry and psychology. Basic Books.

May, R. (1975). The courage to create. W. W. Norton.

Merleau-Ponty, M. (1962). Phenomenology of perception (C. Smith, Trans.). Routledge.

Nietzsche, F. (1974). The gay science (W. Kaufmann, Trans.). Vintage.

Nietzsche, F. (1978). Thus spoke Zarathustra (W. Kaufmann, Trans.). Penguin.

Russell, B. (1946). History of Western philosophy. George Allen & Unwin.

Sartre, J.-P. (1956). Being and nothingness (H. E. Barnes, Trans.). Washington Square Press.

Sartre, J.-P. (1957). The transcendence of the ego: An existentialist theory of consciousness (F. Williams & R. Kirkpatrick, Trans.). Noonday Press.

Sartre, J.-P. (1964). Nausea (L. Alexander, Trans.). New Directions.

Sartre, J.-P. (1988). What is literature? (B. Frechtman, Trans.). Harvard University Press.

Sartre, J.-P. (1989). No exit and three other plays (S. Gilbert, Trans.). Vintage.

Sartre, J.-P. (2004). Critique of dialectical reason (A. Sheridan-Smith, Trans.). Verso.

Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a humanism (P. Mairet, Trans.). Yale University Press.

Turkle, S. (2011). Alone together: Why we expect more from technology and less from each other. Basic Books.

Yalom, I. D. (1980). Existential psychotherapy. Basic Books.

Zimmerman, M. (1990). Heidegger’s confrontation with modernity: Technology, politics, and art. Indiana University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar