Eksistensialisme Modern
Manusia, Kebebasan, dan Makna dalam Abad Ketidakpastian
Alihkan ke: Aliran Sejarah Filsafat.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara komprehensif aliran Eksistensialisme
Modern sebagai salah satu tonggak penting dalam sejarah filsafat abad ke-20
yang berfokus pada kebebasan, tanggung jawab, dan pencarian makna dalam
keberadaan manusia. Berangkat dari akar pemikiran Søren Kierkegaard dan
Friedrich Nietzsche hingga pengembangan konseptual oleh Martin Heidegger,
Jean-Paul Sartre, Albert Camus, dan Simone de Beauvoir, eksistensialisme tampil
sebagai respons filosofis terhadap krisis makna, alienasi, dan nihilisme
modern.
Melalui pendekatan sistematis yang mencakup dimensi
ontologis, epistemologis, antropologis, etis, dan estetis, artikel ini
menelusuri bagaimana eksistensialisme menempatkan manusia sebagai makhluk bebas
yang “ada lebih dahulu daripada esensinya,” serta bagaimana kebebasan tersebut
mengandung konsekuensi tanggung jawab moral dan sosial. Pembahasan juga
menyoroti kritik terhadap eksistensialisme—baik dari perspektif rasionalisme,
strukturalisme, marxisme, maupun teologi—serta upaya reaktualisasinya dalam
konteks kontemporer: mulai dari krisis eksistensial di era digital, terapi
psikologis humanistik, hingga etika ekologis dan pendidikan pembebasan.
Sebagai sintesis filosofis, eksistensialisme
dipahami bukan sebagai pesimisme metafisik, melainkan sebagai filsafat
humanistik yang menegaskan potensi manusia untuk hidup secara otentik di tengah
absurditas dunia. Ia mengajarkan bahwa keberadaan manusia adalah proyek terbuka
yang terus dibangun melalui kesadaran, pilihan, dan tindakan reflektif. Dengan
demikian, eksistensialisme tetap relevan sebagai jalan menuju keotentikan,
solidaritas, dan tanggung jawab kemanusiaan dalam menghadapi kompleksitas zaman
modern.
Kata Kunci: Eksistensialisme
Modern, Kebebasan, Keotentikan, Tanggung Jawab, Absurd, Ontologi, Humanisme,
Sartre, Heidegger, Camus, Beauvoir.
PEMBAHASAN
Pemikiran Eksistensialisme dalam Filsafat Modern
1.
Pendahuluan
Eksistensialisme modern muncul sebagai salah satu
aliran filsafat paling berpengaruh pada abad ke-20, yang menanggapi secara
mendalam krisis makna dan identitas manusia dalam dunia yang semakin kehilangan
arah moral dan spiritual. Berbeda dari tradisi metafisik klasik yang mencari
hakikat universal dan abadi, eksistensialisme justru berangkat dari pengalaman
konkret manusia yang hidup, merasa, dan berjuang di tengah absurditas kehidupan
modern. Ia bukan sekadar sistem pemikiran, melainkan refleksi atas keadaan
manusia—suatu kesadaran akan kebebasan, kecemasan, dan keterlemparan dalam
dunia tanpa makna yang pasti.¹
Secara historis, akar eksistensialisme dapat
ditelusuri pada pemikiran Søren Kierkegaard dan Friedrich Nietzsche, dua tokoh
abad ke-19 yang menolak rasionalisme dingin warisan Hegelian dan positivisme
ilmiah. Kierkegaard menekankan subjektivitas sebagai kebenaran dan menolak
impersonalitas sistem filosofis, sedangkan Nietzsche menyerukan kematian Tuhan
sebagai simbol kejatuhan nilai-nilai absolut dan lahirnya manusia yang harus
mencipta maknanya sendiri.² Dari sinilah eksistensialisme modern memperoleh roh
pemberontakannya: menegaskan eksistensi individu di hadapan dunia yang
meniadakan.
Pada abad ke-20, eksistensialisme berkembang menjadi
gerakan intelektual yang luas melalui karya-karya Martin Heidegger, Jean-Paul
Sartre, Albert Camus, dan Simone de Beauvoir. Heidegger dengan Sein und Zeit
(1927) menafsirkan keberadaan manusia (Dasein) sebagai “ada-di-dunia”
yang senantiasa sadar akan kefanaannya, sedangkan Sartre mengartikulasikan
kebebasan radikal manusia melalui konsep “eksistensi mendahului esensi.”³ Camus
menambahkan dimensi absurditas dan pemberontakan terhadap ketidakbermaknaan,
sementara Beauvoir memperluas horizon etis dan feminis eksistensialisme dengan
menegaskan kebebasan sebagai relasi dan tanggung jawab terhadap yang lain.⁴
Eksistensialisme modern tidak hanya menggugat
dasar-dasar metafisika tradisional, tetapi juga menghadirkan paradigma baru
tentang manusia—sebagai makhluk yang dilempar ke dunia tanpa panduan pasti,
namun diberi kebebasan untuk mencipta makna. Ia mengajarkan bahwa keberadaan
tidak pernah statis, melainkan suatu proyek terbuka yang menuntut pilihan dan
tindakan. Dalam konteks modernitas, di mana manusia sering terjebak dalam
alienasi, mekanisasi, dan nihilisme, eksistensialisme menjadi seruan untuk
kembali kepada pengalaman otentik dan tanggung jawab personal atas eksistensi.⁵
Dengan demikian, pembahasan tentang
eksistensialisme modern bukan sekadar kajian historis tentang aliran filsafat
tertentu, tetapi juga refleksi atas kondisi eksistensial manusia kontemporer.
Ia mengajak kita meninjau kembali apa arti menjadi manusia dalam dunia yang
terus berubah, serta bagaimana kebebasan dapat dijalani secara otentik di
tengah absurditas kehidupan global.
Footnotes
[1]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism,
trans. Philip Mairet (New Haven: Yale University Press, 2007), 15.
[2]
Søren Kierkegaard, Concluding Unscientific
Postscript to Philosophical Fragments, ed. and trans. Howard V. Hong and
Edna H. Hong (Princeton: Princeton University Press, 1992), 203–205; Friedrich
Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage,
1974), 108–110.
[3]
Martin Heidegger, Being and Time, trans.
John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 27–31.
[4]
Simone de Beauvoir, The Ethics of Ambiguity,
trans. Bernard Frechtman (New York: Philosophical Library, 1948), 9–11; Albert
Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O’Brien (New York: Vintage,
1955), 3–7.
[5]
Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning
(Boston: Beacon Press, 2006), 75–80.
2.
Landasan
Historis dan Genealogis
Eksistensialisme
modern tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan merupakan hasil perkembangan
panjang dalam sejarah filsafat Barat yang berpuncak pada krisis metafisika
modern dan kejatuhan optimisme rasionalisme abad ke-19. Ia lahir dari
ketegangan antara pencarian makna yang otentik dan keterasingan manusia dalam
dunia yang makin dikuasai oleh sistem, teknologi, dan birokrasi. Secara
genealogis, eksistensialisme meminjam dan menolak sekaligus warisan pemikiran
modern: dari subjektivitas Cartesian hingga kritik terhadap rasionalitas
Hegelian.¹
2.1. Akar Awal: Kierkegaard dan Nietzsche
Søren Kierkegaard
dianggap sebagai “bapak eksistensialisme” karena menegaskan bahwa eksistensi
manusia bersifat subjektif dan unik. Ia menolak filsafat sistematis Hegel yang
mengaburkan individu ke dalam totalitas rasional sejarah. Bagi Kierkegaard,
manusia bukanlah konsep universal, melainkan pribadi konkret yang harus memilih
dan bertanggung jawab atas hidupnya sendiri di hadapan Tuhan.² Pemikirannya
tentang angst
(kecemasan) dan “lompatan iman” menjadi cikal bakal dimensi eksistensial dan
religius dalam filsafat abad ke-20.
Sementara itu,
Friedrich Nietzsche menandai lahirnya dimensi sekuler dan tragis dari
eksistensialisme. Dengan proklamasinya tentang “kematian Tuhan,” Nietzsche
menantang semua nilai metafisik dan moral tradisional, membuka ruang bagi
manusia untuk mencipta makna baru melalui kehendak berkuasa (will to
power).³ Ia memperkenalkan tipe manusia baru—Übermensch—yang
melampaui nihilisme melalui afirmasi kehidupan. Dengan demikian, Nietzsche
menyiapkan fondasi bagi eksistensialisme ateistik yang kelak dikembangkan
Sartre dan Camus.
2.2. Perantara: Fenomenologi Husserl dan Ontologi
Heidegger
Gerak
eksistensialisme menuju bentuk modern tidak dapat dilepaskan dari fenomenologi
Edmund Husserl, yang menekankan pengalaman kesadaran sebagai titik awal seluruh
pengetahuan.⁴ Melalui metode epoche dan reduksi
fenomenologis, Husserl berupaya kembali ke “hal-hal itu sendiri” (zu den
Sachen selbst), suatu seruan untuk memahami makna keberadaan
sebagaimana dialami. Namun, muridnya, Martin Heidegger, mengubah arah
fenomenologi dari epistemologi menjadi ontologi. Dalam Sein und
Zeit (1927), Heidegger memperkenalkan konsep Dasein—manusia
sebagai makhluk yang “ada-di-dunia” dan sadar akan kefanaannya.⁵
Heidegger menolak
metafisika tradisional yang mencari esensi statis dan menggantikannya dengan
analisis eksistensial tentang “ada” sebagai pengalaman konkret. Ia
memperlihatkan bahwa eksistensi manusia selalu terikat waktu, pilihan, dan
dunia faktis yang mengelilinginya. Melalui Heidegger inilah eksistensialisme
menemukan landasan ontologisnya yang mendalam dan filosofis, melampaui sekadar
refleksi moral atau psikologis.⁶
2.3. Pematangan: Sartre, Camus, dan Beauvoir
Eksistensialisme
modern mencapai bentuk paling eksplisitnya pada periode antara Perang Dunia I
dan II, terutama di Prancis. Jean-Paul Sartre, melalui L’Être
et le Néant (1943) dan esai “L’existentialisme est un humanisme”
(1946), menyatakan prinsip fundamental eksistensialisme: “eksistensi mendahului
esensi.”⁷ Dengan menolak determinisme metafisik dan teologis, Sartre menegaskan
kebebasan manusia sebagai mutlak—manusia adalah “proyek yang sadar,” terbentuk
oleh pilihan dan tindakan.
Albert Camus
memperluas gagasan ini dengan menekankan absurditas kehidupan dan pentingnya
pemberontakan terhadap ketidakbermaknaan.⁸ Melalui The Myth of Sisyphus (1942), Camus
menolak bunuh diri sebagai solusi atas absurditas dan menganjurkan sikap heroik
untuk terus hidup meski tanpa makna universal. Di sisi lain, Simone de Beauvoir
mengembangkan eksistensialisme ke ranah etika dan feminisme. Dalam The
Ethics of Ambiguity (1947) dan The Second Sex (1949), ia
menafsirkan kebebasan eksistensial dalam konteks relasional dan sosial,
menegaskan bahwa kebebasan sejati tak dapat dipisahkan dari pengakuan terhadap
kebebasan orang lain.⁹
Konteks Sosial dan Kultural
Eksistensialisme
modern berkembang di tengah krisis besar abad ke-20—kehancuran akibat dua
perang dunia, kebangkitan totalitarianisme, serta alienasi manusia dalam
kapitalisme dan teknologi.¹⁰ Ia menjadi suara filosofis bagi generasi yang
kehilangan fondasi moral dan spiritual, namun tetap menolak menyerah pada
nihilisme. Dengan demikian, eksistensialisme bukan sekadar doktrin teoritis,
melainkan gerakan kultural yang melintasi filsafat, sastra, teater, dan seni.
Footnotes
[1]
Walter Kaufmann, Existentialism: From Dostoevsky to Sartre
(New York: Meridian Books, 1956), 12–14.
[2]
Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Alastair Hannay
(London: Penguin, 1985), 42–44.
[3]
Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, trans. Walter
Kaufmann (New York: Penguin, 1978), 101–103.
[4]
Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a
Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus
Nijhoff, 1983), 28–30.
[5]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 65–70.
[6]
Hubert L. Dreyfus, Being-in-the-World: A Commentary on Heidegger’s
Being and Time, Division I (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 21–23.
[7]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E.
Barnes (New York: Washington Square Press, 1956), 3–5.
[8]
Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O’Brien (New
York: Vintage, 1955), 10–15.
[9]
Simone de Beauvoir, The Ethics of Ambiguity, trans. Bernard
Frechtman (New York: Philosophical Library, 1948), 21–24; Simone de Beauvoir, The
Second Sex, trans. H. M. Parshley (New York: Vintage, 1989), 27–30.
[10]
Thomas Flynn, Existentialism: A Very Short Introduction
(Oxford: Oxford University Press, 2006), 34–37.
3.
Ontologi
Eksistensialis: Keberadaan Mendahului Esensi
Salah satu prinsip
fundamental dalam eksistensialisme modern adalah tesis ontologis yang terkenal
dari Jean-Paul Sartre: l’existence précède l’essence —
“eksistensi mendahului esensi.”¹ Pernyataan ini bukan sekadar slogan metafisik,
melainkan penegasan radikal tentang cara manusia berada di dunia. Ia menolak
pandangan tradisional yang menempatkan esensi, hakikat, atau “natur” manusia
sebagai sesuatu yang telah ditentukan sebelumnya oleh Tuhan, alam, atau rasio.
Sebaliknya, manusia menurut Sartre pertama-tama ada—dilempar ke dunia tanpa alasan
atau makna bawaan—dan baru kemudian, melalui pilihan dan tindakan, menciptakan
esensinya sendiri.²
3.1. Keberadaan sebagai Fakta Konkret dan Dinamis
Dalam kerangka
ontologis eksistensialis, “keberadaan” (existence) tidak dipahami sebagai
substansi statis sebagaimana dalam metafisika Aristotelian atau skolastik,
melainkan sebagai modus menjadi yang terus
berlangsung. Manusia tidak memiliki hakikat yang tetap; ia adalah proyek
terbuka yang terus membentuk dirinya melalui keputusan.³ Dengan demikian,
ontologi eksistensial bukanlah teori tentang “apa” manusia itu, tetapi tentang
“bagaimana” manusia menjadi dirinya.
Bagi Sartre, manusia
adalah être-pour-soi
(ada-untuk-dirinya), suatu kesadaran yang menolak untuk dibekukan menjadi
objek. Sebaliknya, benda-benda adalah être-en-soi (ada-pada-dirinya),
yaitu entitas yang tertutup, tidak sadar, dan tidak memiliki potensi
transendensi.⁴ Perbedaan ontologis ini memperlihatkan bahwa manusia berada
dalam ketegangan permanen antara dirinya sebagai subjek bebas dan dunia yang
memenjarakannya dalam keterbatasan faktis (facticité).
3.2. Dimensi Heideggerian: Dasein dan
Keberadaan-di-Dunia
Martin Heidegger
memperdalam dasar ontologis eksistensialisme melalui analisis Dasein
dalam Sein und
Zeit (1927).⁵ Dasein secara harfiah berarti
“ada-di-sana,” menunjuk pada keberadaan manusia yang selalu sudah berada dalam
dunia tertentu dengan hubungan, makna, dan kemungkinan yang telah ada
sebelumnya. Bagi Heidegger, manusia bukanlah subjek terpisah yang mengamati
dunia dari luar, melainkan ada-di-dunia (being-in-the-world),
yang eksistensinya ditentukan oleh keterlemparan (Geworfenheit) dan kesadaran akan
kematian (Sein-zum-Tode).⁶
Dengan kesadaran
akan kefanaannya, manusia mengalami kecemasan eksistensial (Angst)—suatu
pengalaman yang membuka dirinya pada kemungkinan-kemungkinan autentik. Dalam
kecemasan, semua makna instrumental dunia runtuh, dan manusia berhadapan
langsung dengan “ketiadaan” (das Nichts) yang menyelubungi
keberadaannya.⁷ Di sinilah, bagi Heidegger, eksistensi menjadi peristiwa
pembukaan (Erschlossenheit):
manusia menjadi makhluk yang mampu menyingkap makna “ada” melalui keberadaannya
sendiri.
3.3. Ketiadaan dan Kebebasan dalam Sartre
Sartre melanjutkan
gagasan Heidegger dengan menempatkan nothingness (ketiadaan) sebagai
pusat dinamika ontologis kesadaran. Dalam Being and Nothingness, ia menulis
bahwa kesadaran manusia adalah “lubang dalam keberadaan,” karena manusia selalu
menegasikan dirinya sebagai apa adanya untuk menjadi apa yang belum ada.⁸
Inilah dasar dari kebebasan radikal: manusia tidak terikat oleh hakikat
tertentu karena keberadaannya selalu terbuka terhadap kemungkinan baru.
Namun, kebebasan ini
bukan tanpa konsekuensi. Sartre menegaskan bahwa manusia “dikutuk untuk bebas”
karena tidak bisa menghindari tanggung jawab atas setiap pilihannya.⁹ Tidak ada
Tuhan atau hukum moral universal yang dapat dijadikan landasan objektif;
manusia sendirilah yang, melalui tindakannya, menentukan nilai dan makna
hidupnya.
Otentisitas dan Ketidakotentikan
Dalam ontologi
eksistensialis, otentisitas (authenticity) berarti keberanian
untuk hidup sesuai dengan kesadaran akan kebebasan dan keterbatasan diri
sendiri. Sebaliknya, ketidakotentikan (inauthenticity) muncul ketika
individu menyembunyikan kebebasannya di balik peran sosial, ideologi, atau
konvensi. Heidegger menyebut kondisi ini sebagai das Man—keadaan ketika manusia
hidup menurut “mereka” (the They), bukan menurut dirinya sendiri.¹⁰ Sartre
menamainya mauvaise
foi (itikad buruk), yakni upaya untuk mengingkari kebebasan dengan
berpura-pura bahwa pilihan ditentukan oleh keadaan eksternal.¹¹
Dengan demikian,
ontologi eksistensialis memandang manusia bukan sebagai objek metafisik, tetapi
sebagai pusat kebebasan, kesadaran, dan tanggung jawab. Eksistensi manusia
adalah perjuangan abadi antara faktisitas dan transendensi, antara keterbatasan
dan kebebasan, antara absurditas dan penciptaan makna. Melalui dinamika inilah
eksistensialisme menegaskan bahwa menjadi manusia berarti senantiasa
“menjadi”—tidak pernah selesai.
Footnotes
[1]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Philip
Mairet (New Haven: Yale University Press, 2007), 22.
[2]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E.
Barnes (New York: Washington Square Press, 1956), 5–7.
[3]
Thomas Flynn, Sartre and Marxist Existentialism: The Test Case of
Collective Responsibility (Chicago: University of Chicago Press, 1984),
18–19.
[4]
Sartre, Being and Nothingness, 27–30.
[5]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 32–35.
[6]
Ibid., 178–184.
[7]
Martin Heidegger, “What Is Metaphysics?” in Basic Writings,
ed. David Farrell Krell (New York: HarperCollins, 1993), 103–107.
[8]
Sartre, Being and Nothingness, 59–61.
[9]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, 29.
[10]
Heidegger, Being and Time, 211–213.
[11]
Sartre, Being and Nothingness, 86–89.
4.
Epistemologi:
Pengalaman, Kesadaran, dan Otentisitas
Dalam kerangka
eksistensialisme modern, epistemologi tidak lagi berpusat pada persoalan bagaimana
mengetahui dunia secara objektif, melainkan pada bagaimana
manusia mengalami keberadaannya di dunia secara autentik. Dengan
demikian, epistemologi eksistensialis menolak paradigma rasionalisme dan
empirisme yang menempatkan subjek dan objek secara terpisah. Pengetahuan, bagi eksistensialisme,
tidak bersumber dari abstraksi rasional, melainkan dari pengalaman langsung
manusia yang hidup, merasa, dan bertindak di dunia.¹
4.1. Subjektivitas sebagai Sumber Pengetahuan
Eksistensialisme
menegaskan bahwa seluruh pengetahuan berakar pada subjektivitas manusia. Søren
Kierkegaard telah menyatakan bahwa “kebenaran adalah subjektivitas,” maksudnya
bukan relativisme, melainkan penegasan bahwa makna dan kebenaran hanya dapat
dihayati secara eksistensial oleh individu yang mengalaminya.² Pengetahuan yang
sejati tidak terletak dalam konsep rasional yang universal, tetapi dalam
kesadaran reflektif yang muncul dari keterlibatan pribadi terhadap realitas.
Jean-Paul Sartre
memperluas gagasan ini dengan menolak pandangan Cartesian yang memisahkan
subjek berpikir dari dunia eksternal. Kesadaran (consciousness) bagi Sartre bukan
entitas tertutup, melainkan aktivitas intensional—selalu “tentang sesuatu.”³
Dengan kata lain, kesadaran adalah keterarahan pada dunia (being-for-itself),
bukan substansi yang berdiri sendiri. Karena itu, pengetahuan eksistensialis
bersifat dinamis, temporal, dan terbuka terhadap perubahan makna seiring
pengalaman hidup manusia.
4.2. Kesadaran sebagai Hubungan dengan Dunia
Dalam Being
and Time, Martin Heidegger memperkenalkan konsep Dasein
sebagai subjek yang “ada-di-dunia” (being-in-the-world).⁴ Pandangan ini
menolak model epistemologi tradisional yang memandang manusia sebagai pengamat
terpisah dari realitas. Pengetahuan, menurut Heidegger, tidak muncul dari jarak
reflektif, melainkan dari keterlibatan praktis manusia dalam dunia yang
bermakna baginya. Sebelum “mengetahui” dunia secara teoretis, manusia sudah
“berada” di dalam dunia itu melalui tindakan, emosi, dan kebiasaan.⁵
Dengan demikian,
epistemologi eksistensialis bersifat pra-teoretis: manusia pertama-tama
mengalami dunia secara eksistensial—melalui kerja, kecemasan, cinta, dan
penderitaan—baru kemudian merefleksikannya secara konseptual. Fenomenologi
Husserl memberikan kerangka metodologis bagi pendekatan ini melalui prinsip intentionality:
setiap kesadaran selalu memiliki arah kepada sesuatu.⁶ Sartre mengadopsi
prinsip ini untuk menunjukkan bahwa pengetahuan bukan relasi statis antara
subjek dan objek, tetapi gerak keterbukaan antara kesadaran dan dunia.
4.3. Pengalaman Otentik dan Penyingkapan Kebenaran
Dalam konteks
eksistensialisme, kebenaran tidak dipahami sebagai korespondensi antara pikiran
dan realitas (adaequatio intellectus et rei),
melainkan sebagai penyingkapan (aletheia).
Heidegger menggunakan istilah Yunani kuno ini untuk menggambarkan kebenaran
sebagai peristiwa keterbukaan, di mana makna “ada” terungkap melalui eksistensi
manusia.⁷ Pengetahuan sejati lahir ketika manusia membuka dirinya terhadap
realitas sebagaimana adanya, bukan ketika ia memaksakan kerangka konseptualnya
kepada dunia.
Dalam pengalaman
otentik, manusia menghadapi keberadaan secara langsung tanpa topeng ideologis
atau ilusi metafisik. Camus menegaskan bahwa kesadaran terhadap absurditas
justru merupakan momen pencerahan: ketika manusia menyadari bahwa dunia tidak
menawarkan makna objektif, ia justru memperoleh kebebasan untuk mencipta
maknanya sendiri.⁸ Dengan demikian, pengalaman eksistensial menjadi dasar
pengetahuan etis dan ontologis yang paling mendalam.
Otentisitas dan Kesadaran Diri
Otentisitas dalam
epistemologi eksistensialis berkaitan dengan keberanian untuk mengakui
kenyataan diri sebagai makhluk yang bebas dan terbatas. Sartre menyebut
kesadaran otentik sebagai kesadaran reflektif—yakni kesadaran yang menyadari
dirinya sebagai kesadaran, bukan sebagai benda.⁹ Dalam kondisi otentik, manusia
tidak melarikan diri dari tanggung jawab pengetahuan, tetapi menanggungnya
sebagai bagian dari keberadaannya sendiri.
Sebaliknya, dalam mauvaise
foi (itikad buruk), manusia menolak tanggung jawab epistemik dengan
berpura-pura bahwa dirinya ditentukan oleh keadaan eksternal.¹⁰ Ia bersembunyi
di balik peran sosial, norma, atau ideologi untuk menghindari kebebasan yang
melekat pada kesadarannya. Di sini, epistemologi eksistensialis bertemu dengan
etika: pengetahuan sejati hanya mungkin jika manusia hidup secara otentik,
mengakui kebebasan dan keterbatasannya tanpa ilusi.
Dengan demikian,
epistemologi eksistensialis menggeser fokus dari knowing that menjadi knowing
how to exist—dari pengetahuan konseptual menuju pemahaman
eksistensial. Kesadaran dan pengalaman menjadi medan utama di mana kebenaran
tidak ditemukan, tetapi dihidupi. Eksistensi manusia, dengan segala absurditas
dan kebebasannya, menjadi sumber dan sarana penyingkapan makna yang paling
asli.
Footnotes
[1]
Thomas Flynn, Existentialism: A Very Short Introduction
(Oxford: Oxford University Press, 2006), 45–47.
[2]
Søren Kierkegaard, Concluding Unscientific Postscript to
Philosophical Fragments, ed. and trans. Howard V. Hong and Edna H. Hong
(Princeton: Princeton University Press, 1992), 203–205.
[3]
Jean-Paul Sartre, The Transcendence of the Ego: An Existentialist
Theory of Consciousness, trans. Forrest Williams and Robert Kirkpatrick
(New York: Noonday Press, 1957), 4–6.
[4]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 56–59.
[5]
Hubert L. Dreyfus, Being-in-the-World: A Commentary on Heidegger’s
Being and Time, Division I (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 41–44.
[6]
Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a
Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus
Nijhoff, 1983), 61–63.
[7]
Martin Heidegger, The Essence of Truth: On Plato’s Cave Allegory
and Theaetetus, trans. Ted Sadler (London: Continuum, 2002), 1–3.
[8]
Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O’Brien (New
York: Vintage, 1955), 20–23.
[9]
Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New
York: Washington Square Press, 1956), 98–101.
[10]
Ibid., 86–89.
5.
Antropologi
Filosofis: Manusia sebagai Proyek dan Kebebasan
Dalam
eksistensialisme modern, antropologi filosofis menempati posisi sentral karena
seluruh filsafat eksistensialis berpusat pada manusia konkret—bukan sebagai objek
metafisik, melainkan sebagai makhluk yang ada, berjuang, dan menciptakan
maknanya sendiri.¹ Eksistensialisme menolak pandangan tradisional yang
mendefinisikan manusia berdasarkan hakikat yang tetap (seperti “animal
rationale” dalam Aristotelianisme), dan menggantinya dengan pemahaman bahwa
manusia tidak
memiliki esensi bawaan. Manusia, sebagaimana ditegaskan Jean-Paul
Sartre, adalah “proyek yang sadar akan dirinya sendiri” (un
projet conscient de lui-même), yang senantiasa membentuk dirinya
melalui kebebasan dan tindakan.²
5.1. Manusia sebagai Proyek Terbuka
Dalam kerangka ontologis
Sartre, manusia bukanlah entitas yang selesai, melainkan être-pour-soi—“ada-untuk-dirinya.”³
Artinya, manusia selalu dalam proses menjadi, bergerak dari apa yang ia “ada”
menuju apa yang ia “akan.” Eksistensi manusia bersifat temporal dan dinamis,
bukan substansial. Dengan demikian, manusia adalah proyek terbuka, yang terus
menegasikan dirinya sendiri untuk mewujudkan kemungkinan baru.
Kebebasan menjadi
inti dari eksistensi ini. Tidak ada tujuan akhir atau “natur” manusia yang
telah ditentukan; manusia adalah makhluk yang terus-menerus menciptakan
dirinya. Ia tidak lain dari tindakannya sendiri: “man is nothing else but what
he makes of himself.”⁴ Pernyataan ini menggambarkan antropologi eksistensialis
sebagai antropologi tindakan—bahwa manusia tidak dapat dipahami secara
esensial, melainkan secara eksistensial, melalui proyek dan pilihan hidupnya.
5.2. Kebebasan sebagai Hakikat Eksistensi
Kebebasan dalam
eksistensialisme bukan sekadar kebebasan politik atau sosial, melainkan kondisi
ontologis keberadaan manusia. Sartre menyebutnya sebagai “kutukan” karena
manusia tidak dapat tidak bebas: ia selalu harus memilih.⁵ Dalam setiap
situasi, bahkan di bawah tekanan paling besar, manusia tetap memiliki kebebasan
untuk menentukan sikapnya terhadap keadaan itu. Namun kebebasan ini bersifat
paradoksal, sebab ia sekaligus merupakan beban tanggung jawab yang tak
terhindarkan.
Viktor Frankl,
seorang pemikir eksistensialis yang berangkat dari pengalaman kamp konsentrasi
Nazi, menegaskan hal yang sama: bahkan ketika semua kebebasan eksternal
dirampas, manusia tetap memiliki kebebasan batin untuk memilih sikapnya
terhadap penderitaan.⁶ Dengan demikian, kebebasan eksistensial bukan kebebasan
tanpa batas, tetapi kebebasan yang berakar dalam kesadaran diri dan tanggung
jawab moral.
5.3. Kecemasan dan Tanggung Jawab
Kebebasan yang
mutlak ini menimbulkan kecemasan eksistensial (angoisse),
karena manusia menyadari bahwa dirinya adalah sumber nilai dan makna bagi
dunia.⁷ Tidak ada hukum moral objektif yang dapat dijadikan sandaran, dan tidak
ada Tuhan yang menentukan apa yang seharusnya dilakukan. Manusia sendiri yang
memikul tanggung jawab untuk menilai tindakannya dan akibatnya bagi orang lain.
Dalam kebebasan, manusia menemukan sekaligus kehilangan arah: ia harus menjadi
Tuhan bagi dirinya sendiri tanpa fondasi metafisik.
Simone de Beauvoir
menekankan dimensi etis dari tanggung jawab ini dalam The
Ethics of Ambiguity. Menurutnya, kebebasan sejati tidak berarti
menegaskan diri tanpa batas, melainkan mengakui kebebasan orang lain sebagai
kondisi eksistensi bersama.⁸ Dengan demikian, antropologi eksistensialis
menolak egoisme individualistik dan mengarahkan manusia menuju relasi etis yang
saling mengakui dan menghormati kebebasan sesama.
5.4. Relasi dengan Orang Lain dan “Neraka adalah Orang
Lain”
Relasi manusia
dengan sesamanya merupakan aspek penting dari antropologi eksistensialis.
Sartre menguraikannya dalam bab “The Look” (Le Regard) dalam Being
and Nothingness, di mana ia menjelaskan bahwa kehadiran orang lain
membuat kita sadar akan diri sebagai objek bagi pandangan mereka.⁹ Dalam
situasi ini, muncul konflik ontologis: manusia ingin dilihat sebagai subjek
bebas, tetapi tatapan orang lain mengubahnya menjadi objek. Inilah konteks dari
ungkapan Sartre yang terkenal: “l’enfer, c’est les autres” (“neraka adalah
orang lain”).¹⁰
Namun, pemahaman ini
bukan penolakan terhadap kehadiran orang lain, melainkan refleksi tentang
kesulitan hidup bersama dalam kebebasan. Manusia tidak dapat menjadi dirinya
sendiri tanpa perantaraan orang lain, namun dalam hubungan itu pula ia berisiko
kehilangan otentisitas. Karenanya, relasi eksistensial yang sejati harus
didasarkan pada kesadaran reflektif dan pengakuan timbal balik, bukan dominasi
atau objektifikasi.
Tubuh, Faktisitas, dan Situasi
Eksistensialisme
juga menolak dikotomi Cartesian antara jiwa dan tubuh. Bagi Sartre, tubuh bukan
penjara bagi kesadaran, tetapi medium eksistensi—cara manusia “ada di dunia.”¹¹
Tubuh adalah bagian dari faktisitas manusia, yaitu kondisi
faktual yang tidak dapat diubah (seperti jenis kelamin, asal, atau kematian),
namun justru menjadi dasar bagi kebebasan untuk melampaui dirinya. Manusia
tidak dapat memilih kelahirannya, tetapi dapat memilih makna dari fakta bahwa
ia dilahirkan.¹²
Karenanya, kebebasan
eksistensial selalu bersifat situasional: manusia bebas, tetapi selalu dalam
situasi. Ia tidak melayang di atas realitas, melainkan berjuang di dalamnya.
Inilah yang membuat eksistensialisme menjadi filsafat yang realistis sekaligus
humanistik—mengakui keterbatasan tanpa menafikan kebebasan.
Footnotes
[1]
Thomas Flynn, Existentialism: A Very Short Introduction
(Oxford: Oxford University Press, 2006), 53–55.
[2]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Philip
Mairet (New Haven: Yale University Press, 2007), 22.
[3]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E.
Barnes (New York: Washington Square Press, 1956), 27–30.
[4]
Sartre, Existentialism Is a Humanism, 29.
[5]
Ibid., 30–32.
[6]
Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning (Boston: Beacon
Press, 2006), 65–67.
[7]
Sartre, Being and Nothingness, 59–61.
[8]
Simone de Beauvoir, The Ethics of Ambiguity, trans. Bernard
Frechtman (New York: Philosophical Library, 1948), 71–74.
[9]
Sartre, Being and Nothingness, 340–344.
[10]
Jean-Paul Sartre, No Exit and Three Other Plays, trans. Stuart
Gilbert (New York: Vintage, 1989), 45.
[11]
Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans.
Colin Smith (London: Routledge, 1962), 94–98.
[12]
Sartre, Being and Nothingness, 98–101.
6.
Etika
dan Tanggung Jawab
Etika dalam
eksistensialisme modern tidak dibangun di atas prinsip universal, hukum moral
objektif, atau dogma metafisik tertentu, tetapi berakar pada kesadaran manusia
akan kebebasan dan tanggung jawabnya sendiri.¹ Karena manusia dalam
eksistensialisme tidak memiliki esensi bawaan, maka tidak ada norma eksternal
yang menentukan apa yang “benar” atau “salah.” Nilai-nilai moral tidak
ditemukan, melainkan diciptakan melalui tindakan bebas
manusia. Dalam pengertian ini, etika eksistensialis merupakan etika kebebasan
dan tanggung jawab—di mana manusia bertanggung jawab penuh atas makna yang ia
berikan pada kehidupannya sendiri dan kehidupan orang lain.²
6.1. Kebebasan sebagai Fondasi Etika
Bagi Jean-Paul
Sartre, kebebasan adalah kondisi ontologis eksistensi manusia.³ Manusia tidak
memiliki hakikat yang tetap; ia “dikutuk untuk bebas” karena tidak dapat
menghindari tanggung jawab atas pilihannya.⁴ Dalam setiap tindakan, manusia
bukan hanya menentukan dirinya sendiri, tetapi juga, secara implisit,
menentukan gambaran tentang manusia pada umumnya. Oleh sebab itu, kebebasan
individu membawa konsekuensi etis yang universal: setiap pilihan adalah
deklarasi tentang apa yang seharusnya menjadi manusia.⁵
Sartre menolak
moralitas heteronom, yaitu moralitas yang bersumber dari otoritas eksternal
seperti Tuhan, negara, atau masyarakat. Ia menggantikannya dengan moralitas
otonom, di mana nilai moral lahir dari keputusan bebas yang autentik.⁶ Namun,
kebebasan ini bukan anarki moral, melainkan tanggung jawab yang dalam: manusia
sadar bahwa tindakannya memiliki implikasi bagi sesama, dan karenanya ia harus
bertindak seolah-olah tindakannya menjadi hukum universal. Dalam pengertian
ini, Sartre secara implisit menafsirkan kembali prinsip Kantian dalam horizon
eksistensialis.⁷
6.2. Tanggung Jawab Eksistensial
Kebebasan
eksistensial menuntut kesadaran penuh akan tanggung jawab. Karena manusia
adalah pencipta nilai, maka ia juga bertanggung jawab atas nilai-nilai yang ia
ciptakan.⁸ Tidak ada tempat untuk menyalahkan “takdir” atau “kehendak Tuhan.”
Dalam dunia yang tanpa makna bawaan, setiap individu memikul beban untuk
memberi makna melalui tindakannya. Sartre menulis bahwa “ketika saya memilih,
saya memilih bagi seluruh umat manusia.”⁹ Pernyataan ini menegaskan dimensi
etis eksistensialisme: tindakan personal memiliki implikasi universal.
Simone de Beauvoir
mengembangkan dimensi ini lebih jauh dalam The Ethics of Ambiguity. Ia menolak
baik moral absolut maupun relativisme nihilistik, dan mengusulkan etika yang
berakar pada “ambiguitas” keberadaan manusia—yaitu kenyataan bahwa manusia
sekaligus bebas dan terbatas, subjek dan objek, diri dan yang lain.¹⁰ Tanggung
jawab moral sejati, menurut Beauvoir, muncul ketika seseorang menggunakan
kebebasannya untuk memperluas kebebasan orang lain. Dengan demikian, etika
eksistensialis adalah etika solidaritas kebebasan, bukan
egoisme individualistik.¹¹
6.3. Keotentikan sebagai Nilai Etis Tertinggi
Konsep keotentikan (authenticity)
menjadi ukuran moral dalam eksistensialisme. Keotentikan berarti keberanian
untuk mengakui kebebasan diri dan hidup sesuai dengannya tanpa berlindung di
balik konvensi sosial atau dogma moral.¹² Sebaliknya, mauvaise
foi (itikad buruk) terjadi ketika seseorang menolak kebebasannya
dengan berpura-pura bahwa ia ditentukan oleh keadaan atau peran sosial.¹³
Heidegger menyebut
keadaan tidak otentik ini sebagai das Man, yaitu ketika manusia hidup
“menurut mereka” (the They)—mengikuti arus opini publik, norma sosial, atau
struktur kekuasaan tanpa refleksi eksistensial.¹⁴ Dalam keadaan ini, manusia
kehilangan dirinya sendiri. Karena itu, keotentikan bukan sekadar kejujuran
psikologis, tetapi suatu sikap etis yang berakar pada kesadaran ontologis
terhadap kebebasan dan kematian.
6.4. Etika Absurditas dan Solidaritas
Albert Camus
memperkenalkan dimensi lain dari etika eksistensialis: etika
absurditas. Dalam dunia yang absurd, di mana tidak ada makna atau
tatanan moral transenden, manusia tetap dipanggil untuk bertindak dan
menciptakan nilai.¹⁵ Camus menolak bunuh diri intelektual (melalui keputusasaan
atau dogmatisme) dan menyerukan sikap pemberontakan—yakni penerimaan terhadap
absurditas tanpa menyerah pada nihilisme.
Dalam The
Plague dan The Rebel, Camus menegaskan bahwa
etika eksistensial terwujud dalam tindakan solidaritas manusiawi.¹⁶
Pemberontakan terhadap absurditas bukanlah penolakan terhadap dunia, melainkan
komitmen untuk memperjuangkan martabat dan kebebasan manusia di tengah
keterbatasan. Dengan demikian, etika eksistensialis, meskipun tanpa landasan
metafisik, tetap mengandung semangat humanistik yang mendalam.
Dari Etika Individual ke Tanggung Jawab Sosial
Eksistensialisme
modern pada akhirnya menolak dikotomi antara etika personal dan tanggung jawab
sosial. Manusia tidak dapat mencapai kebebasan autentik tanpa memperhatikan kebebasan
orang lain. Sartre menegaskan dalam karya-karya politiknya pasca perang dunia
bahwa kebebasan sejati hanya bermakna dalam konteks sosial yang konkret.¹⁷
Karena itu, etika eksistensialis menuntut kesadaran bahwa setiap pilihan
personal selalu berdampak kolektif.
Dengan demikian,
etika dan tanggung jawab dalam eksistensialisme bukanlah moralitas yang
diturunkan dari prinsip eksternal, melainkan hasil refleksi eksistensial atas
kondisi manusia itu sendiri. Ia merupakan etika yang lahir dari keberanian
untuk hidup otentik—menghadapi absurditas tanpa ilusi, kebebasan tanpa
pelarian, dan tanggung jawab tanpa alasan di luar diri.
Footnotes
[1]
Thomas Flynn, Existentialism: A Very Short Introduction
(Oxford: Oxford University Press, 2006), 64–66.
[2]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Philip
Mairet (New Haven: Yale University Press, 2007), 23.
[3]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E.
Barnes (New York: Washington Square Press, 1956), 34–36.
[4]
Sartre, Existentialism Is a Humanism, 29.
[5]
Ibid., 31–33.
[6]
Ibid., 40–42.
[7]
David Detmer, Freedom as a Value: A Critique of the Ethical Theory
of Jean-Paul Sartre (La Salle, IL: Open Court, 1986), 52–54.
[8]
Sartre, Being and Nothingness, 78–80.
[9]
Sartre, Existentialism Is a Humanism, 31.
[10]
Simone de Beauvoir, The Ethics of Ambiguity, trans. Bernard
Frechtman (New York: Philosophical Library, 1948), 10–12.
[11]
Ibid., 129–132.
[12]
Sartre, Being and Nothingness, 86–89.
[13]
Ibid., 90–93.
[14]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 211–213.
[15]
Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O’Brien (New
York: Vintage, 1955), 54–56.
[16]
Albert Camus, The Rebel: An Essay on Man in Revolt, trans.
Anthony Bower (New York: Vintage, 1956), 283–286.
[17]
Jean-Paul Sartre, Critique of Dialectical Reason, trans. Alan
Sheridan-Smith (London: Verso, 2004), 25–27.
7.
Estetika
dan Ekspresi Eksistensial
Dalam
eksistensialisme modern, estetika tidak dipahami semata sebagai teori tentang
keindahan atau seni, melainkan sebagai ekspresi konkret dari pengalaman
eksistensial manusia. Seni, dalam pandangan eksistensialis, menjadi ruang
tempat manusia menghadapi absurditas, kesendirian, dan kebebasannya.¹ Melalui
ekspresi estetis, manusia menyingkapkan makna keberadaannya di tengah dunia
yang tidak memberikan makna pasti. Seni bukan pelarian dari realitas, tetapi
cara menghadapinya dengan kejujuran dan keberanian.
7.1. Seni sebagai Cermin Keberadaan
Jean-Paul Sartre
memandang karya seni sebagai tindakan kreatif yang paralel dengan eksistensi
itu sendiri. Dalam What Is Literature?, ia berpendapat
bahwa menulis adalah bentuk kebebasan—sebuah tindakan sadar untuk mencipta
makna di dunia yang absurd.² Bagi Sartre, seorang penulis bertanggung jawab
atas dunia yang ia ciptakan melalui kata-kata. Ia tidak sekadar mendeskripsikan
realitas, tetapi juga menyingkap dan mengubahnya.³
Dalam kerangka ini,
estetika eksistensialis menolak gagasan seni sebagai objek pasif untuk
dinikmati. Seni adalah aktivitas reflektif yang menyingkap kondisi manusia:
penderitaan, kebebasan, pilihan, dan keterasingan. Karya sastra eksistensialis,
seperti La
Nausée (Sartre) atau L’Étranger (Camus), tidak
menawarkan solusi moral, tetapi menghadirkan kesadaran eksistensial bahwa hidup
tidak memiliki makna selain yang manusia ciptakan sendiri.⁴
7.2. Absurditas dan Pemberontakan Estetis
Albert Camus
memberikan dimensi estetis yang khas melalui konsep absurditas dan pemberontakan.
Dalam The Myth
of Sisyphus, ia menggambarkan tokoh Sisyphus sebagai simbol manusia
yang sadar akan ketidakbermaknaan dunia, tetapi tetap memilih untuk hidup dan
bekerja.⁵ Camus menolak pandangan nihilistik bahwa absurditas harus berujung
pada keputusasaan; sebaliknya, ia melihat pemberontakan terhadap absurditas
sebagai bentuk tertinggi dari afirmasi kehidupan.⁶
Dalam seni,
pemberontakan ini diwujudkan dalam penciptaan makna tanpa fondasi absolut.
Estetika Camus menolak baik dogmatisme moral maupun relativisme kosong; ia
mengusulkan “keindahan tragis”—yakni keindahan yang lahir dari penerimaan atas
absurditas dan tekad untuk tetap mencipta.⁷ Dengan demikian, seni
eksistensialis adalah tindakan pemberontakan metafisik: ia menegaskan kebebasan
manusia untuk terus mencipta, bahkan ketika dunia tampak hening terhadap
penderitaannya.
7.3. Drama dan Teater Eksistensialis
Eksistensialisme
menemukan salah satu bentuk ekspresi paling kuatnya dalam teater. Karya-karya
Sartre seperti No Exit (Huis
Clos, 1944) dan The Flies (Les
Mouches, 1943) menghadirkan panggung sebagai laboratorium moral,
tempat manusia diuji dalam kebebasan dan tanggung jawab.⁸ Dalam No Exit,
tiga tokoh yang terperangkap di neraka menyadari bahwa “neraka adalah orang
lain”—ungkapan Sartre yang menggambarkan konflik eksistensial antara kebebasan
pribadi dan pandangan orang lain.⁹
Sementara itu,
Samuel Beckett, yang meskipun tidak secara eksplisit mengidentifikasi diri
sebagai eksistensialis, menghadirkan estetika absurditas yang paralel dengan
filsafat eksistensialisme. Karya seperti Waiting for Godot (1953)
menampilkan tokoh-tokoh yang menunggu sesuatu yang tak pernah datang,
melambangkan kondisi manusia modern yang kehilangan makna dan tujuan.¹⁰ Dalam
absurditas itu, muncul pertanyaan eksistensial: apakah masih ada makna dalam
menunggu, dalam bertahan hidup, dalam berbicara? Beckett menjawab bukan dengan
teori, tetapi dengan diam dan keheningan di antara kata-kata.
7.4. Estetika Keotentikan dan Pengalaman Subjektif
Estetika
eksistensialis menolak pandangan objektif dan formalis tentang seni. Nilai
estetis tidak terletak pada harmoni bentuk atau teknik, tetapi pada kejujuran
eksistensial di balik ekspresi itu.¹¹ Karya seni yang otentik bukanlah yang
indah dalam arti klasik, melainkan yang benar secara eksistensial—yang
menyingkap kerapuhan, kecemasan, dan kebebasan manusia. Dalam pengertian ini,
pengalaman estetis sejati adalah pengalaman keotentikan, yakni ketika manusia
melihat dirinya sendiri di dalam karya itu.
Maurice
Merleau-Ponty menekankan bahwa persepsi estetis merupakan cara manusia memahami
dunia melalui tubuh dan kesadarannya yang terikat pada dunia.¹² Seni, dalam
pandangan fenomenologis ini, bukan representasi, tetapi presentasi:
ia menyingkap dunia sebagaimana dialami, bukan sebagaimana
dikonseptualisasikan. Lukisan, misalnya, bukanlah jendela ke dunia objektif,
melainkan ekspresi eksistensi pelukis yang mengada melalui warna dan bentuk.
Estetika sebagai Etika Keberadaan
Eksistensialisme
juga memandang seni sebagai tindakan etis. Ketika seorang seniman mencipta, ia
menegaskan kebebasannya dan sekaligus memanggil kebebasan orang lain.¹³ Karya
seni menjadi komunikasi eksistensial—undangan untuk melihat dunia secara baru,
untuk bertanggung jawab terhadap makna yang dihadirkan. Sartre menulis bahwa
“seni adalah komitmen,” karena melalui seni manusia menegaskan kemanusiaannya
di tengah absurditas.¹⁴
Dengan demikian,
estetika eksistensialis bukanlah pelarian dari etika, melainkan kelanjutannya
dalam bentuk ekspresi kreatif. Ia memperlihatkan bahwa mencipta adalah tindakan
moral—sebuah bentuk engagement (keterlibatan)—di mana
manusia mengubah absurditas menjadi kemungkinan makna.
Footnotes
[1]
Thomas Flynn, Existentialism: A Very Short Introduction
(Oxford: Oxford University Press, 2006), 78–79.
[2]
Jean-Paul Sartre, What Is Literature?, trans. Bernard
Frechtman (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1988), 21–23.
[3]
Ibid., 57–59.
[4]
Jean-Paul Sartre, Nausea, trans. Lloyd Alexander (New York:
New Directions, 1964), 10–12; Albert Camus, The Stranger, trans.
Matthew Ward (New York: Vintage, 1988), 3–5.
[5]
Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O’Brien (New
York: Vintage, 1955), 119–121.
[6]
Ibid., 110–112.
[7]
Albert Camus, The Rebel: An Essay on Man in Revolt, trans.
Anthony Bower (New York: Vintage, 1956), 253–256.
[8]
Jean-Paul Sartre, No Exit and Three Other Plays, trans. Stuart
Gilbert (New York: Vintage, 1989), 45–47.
[9]
Ibid., 48.
[10]
Samuel Beckett, Waiting for Godot (New York: Grove Press,
1954), 23–25.
[11]
Flynn, Existentialism: A Very Short Introduction, 81–82.
[12]
Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans.
Colin Smith (London: Routledge, 1962), 212–215.
[13]
Sartre, What Is Literature?, 89–91.
[14]
Ibid., 92–93.
8.
Kritik
terhadap Eksistensialisme Modern
Eksistensialisme
modern, meskipun memiliki pengaruh besar terhadap filsafat, sastra, dan teologi
abad ke-20, tidak luput dari kritik yang datang dari berbagai arah:
rasionalisme, strukturalisme, marxisme, teologi, hingga psikoanalisis.
Kritik-kritik ini umumnya diarahkan pada dua aspek utama eksistensialisme:
pertama, subjektivisme
ekstrem yang dianggap menutup kemungkinan objektivitas moral dan
sosial; kedua, pesimisme ontologis yang dinilai
terlalu menekankan absurditas dan keterasingan manusia.¹
8.1. Kritik Rasionalis dan Analitik: Tuduhan
Irasionalisme
Kaum rasionalis dan
filsuf analitik, terutama dari tradisi Anglo-Amerika, menuduh eksistensialisme
tidak memiliki kejelasan konseptual dan cenderung jatuh ke dalam
irasionalisme.² Bertrand Russell, misalnya, menilai bahwa eksistensialisme
hanya menonjolkan perasaan subjektif tanpa argumen rasional yang sistematis.³
Menurut pandangan ini, eksistensialisme gagal memenuhi standar logika dan
analisis bahasa yang ketat, sehingga lebih dekat dengan sastra daripada
filsafat.
Selain itu, logika
positivisme dari Lingkaran Wina mengkritik eksistensialisme karena berbicara tentang
“keberadaan,” “kecemasan,” dan “ketiadaan” dalam istilah metafisik yang tidak
dapat diverifikasi secara empiris.⁴ Dari sudut pandang ini, istilah-istilah
eksistensial dianggap “tidak bermakna” secara ilmiah karena tidak dapat diuji
melalui observasi atau pengalaman empiris.
Namun, bagi para
eksistensialis, kritik tersebut justru melewatkan hakikat filsafat
eksistensial: bahwa ia bukan sistem teoretis, melainkan upaya memahami
keberadaan manusia secara konkret dan reflektif. Heidegger sendiri menolak
pandangan logis-empiris tentang makna, dengan menegaskan bahwa “ada” (Sein)
tidak dapat direduksi menjadi proposisi ilmiah, karena ia mendahului segala
bentuk pengetahuan rasional.⁵
8.2. Kritik Strukturalis dan Post-Strukturalis: Kematian
Subjek
Strukturalisme dan
post-strukturalisme Prancis memberikan kritik mendalam terhadap pusat
eksistensialisme, yakni subjek otonom dan bebas. Michel Foucault menolak
gagasan Sartre tentang “manusia sebagai pusat kebebasan,” dan menyebutnya
sebagai warisan humanisme lama yang harus dilampaui.⁶ Dalam The
Order of Things (1966), Foucault menyatakan bahwa “manusia adalah
penemuan yang baru-baru ini... dan mungkin akan segera lenyap seperti wajah
yang terhapus di pasir pantai.”⁷
Demikian pula,
Jacques Derrida melalui dekonstruksinya menunjukkan bahwa makna tidak pernah
stabil dalam subjek, melainkan terus tertunda dalam permainan tanda (différance).⁸
Dengan demikian, eksistensialisme dianggap masih terjebak dalam logika
metafisik kehadiran (metaphysics of presence), yaitu
keyakinan bahwa makna bisa ditemukan dalam kesadaran yang utuh. Kritik
post-strukturalis ini menggugat klaim eksistensialisme tentang kebebasan
individu dan otentisitas, dengan menegaskan bahwa subjek manusia selalu
terbelit dalam jaringan bahasa, kekuasaan, dan struktur simbolik.⁹
8.3. Kritik Marxis: Individualisme Borjuis dan
Ketakmampuan Sosial
Dari perspektif
Marxis, eksistensialisme dituduh sebagai ideologi borjuis yang menekankan
kebebasan individual tanpa memperhatikan struktur sosial-ekonomi yang menindas
manusia. György Lukács menilai eksistensialisme sebagai “filsafat keputusasaan”
yang meneguhkan alienasi kapitalistik alih-alih mengatasinya.¹⁰ Sartre sendiri
menyadari kritik ini, dan dalam periode pasca-Perang Dunia II berusaha
mengintegrasikan eksistensialisme dengan Marxisme melalui karya Critique
of Dialectical Reason (1960).¹¹
Namun, usaha Sartre
untuk mensintesiskan kebebasan eksistensial dengan determinisme material
historis sering dianggap gagal. Theodor Adorno menilai bahwa eksistensialisme,
terutama dalam bentuk Sartrean, tetap terjebak dalam abstraksi subjektif yang
tidak mampu memahami totalitas sosial.¹² Dengan demikian, bagi para pemikir
Marxis, eksistensialisme gagal menjadi teori emansipasi karena tidak mampu
menjelaskan kondisi objektif manusia dalam sistem kapitalis.
8.4. Kritik Teologis: Nihilisme dan Ketiadaan
Transendensi
Kaum teolog, baik
dari tradisi Kristen maupun eksistensialis religius, menilai eksistensialisme
ateistik (Sartre, Camus) sebagai jalan menuju nihilisme. Mereka berpendapat
bahwa tanpa Tuhan, nilai moral dan makna hidup kehilangan dasar objektif.¹³
Karl Jaspers dan Gabriel Marcel menanggapi eksistensialisme ateistik dengan
menawarkan versi teistik dari eksistensialisme, di mana kebebasan manusia tetap
berakar pada relasi transendental dengan Tuhan.¹⁴
Marcel, misalnya,
menolak pandangan Sartre tentang kebebasan sebagai isolasi, dan menggantikannya
dengan konsep “partisipasi” (participation): manusia menjadi
diri sejati hanya dalam relasi cinta dan kesetiaan terhadap sesama dan Tuhan.¹⁵
Bagi Jaspers, eksistensi sejati tidak berhenti pada kesadaran diri, melainkan
melampaui diri menuju “transendensi” sebagai horizon makna terakhir.¹⁶
Kritik teologis ini
menunjukkan bahwa eksistensialisme ateistik gagal menjawab dimensi spiritual
manusia dan menutup ruang bagi pengalaman keilahian, padahal justru dalam
keterbatasan dan kecemasan itulah manusia dapat mengalami misteri eksistensi.
8.5. Kritik Feminis dan Psikoanalitis: Ketimpangan
Relasional dan Bias Maskulin
Eksistensialisme
modern juga dikritik dari perspektif feminis dan psikoanalitis karena cenderung
memusatkan pengalaman eksistensial pada subjek laki-laki yang otonom. Simone de
Beauvoir memang berusaha mengatasi bias ini dalam The Second Sex (1949), namun bahkan
ia menyadari bahwa kerangka eksistensialis klasik terlalu mengandaikan subjek
yang bebas dari kondisi tubuh dan sosialnya.¹⁷
Julia Kristeva dan
Luce Irigaray kemudian mengkritik eksistensialisme atas ketidakmampuannya
memahami dimensi tubuh, bahasa, dan afeksi perempuan.¹⁸ Sementara psikoanalis
eksistensial seperti Rollo May berpendapat bahwa eksistensialisme Sartre
terlalu intelektual, mengabaikan dimensi emosional dan bawah sadar manusia.¹⁹
Evaluasi Kritis
Kritik-kritik
tersebut menunjukkan bahwa eksistensialisme, meskipun revolusioner, tidak tanpa
keterbatasan. Ia berhasil membebaskan filsafat dari abstraksi sistematis dan
mengembalikannya kepada pengalaman manusia konkret, namun sering kali gagal
mengakomodasi kompleksitas sosial, struktural, dan relasional manusia. Namun
demikian, nilai historis dan filosofis eksistensialisme tetap signifikan: ia
membuka ruang bagi hermeneutika, fenomenologi eksistensial, psikoterapi
humanistik, dan teori postmodern tentang subjektivitas.²⁰
Eksistensialisme
modern, dengan segala paradoksnya, tetap menjadi cermin kegelisahan manusia
abad ke-20—suatu filsafat yang mengingatkan bahwa di tengah kehampaan dan
absurditas, manusia tetap memiliki tanggung jawab untuk menjadi.
Footnotes
[1]
Thomas Flynn, Existentialism: A Very Short Introduction
(Oxford: Oxford University Press, 2006), 95–97.
[2]
A. J. Ayer, Language, Truth and Logic (New York: Dover, 1952),
34–36.
[3]
Bertrand Russell, History of Western Philosophy (London:
George Allen & Unwin, 1946), 791–792.
[4]
Rudolf Carnap, “The Elimination of Metaphysics through Logical Analysis
of Language,” Erkenntnis 2 (1932): 219–241.
[5]
Martin Heidegger, “Letter on Humanism,” in Basic Writings, ed.
David Farrell Krell (New York: Harper & Row, 1993), 207–210.
[6]
Michel Foucault, The Order of Things: An Archaeology of the Human
Sciences (New York: Vintage, 1970), 385–386.
[7]
Ibid., 387.
[8]
Jacques Derrida, Writing and Difference, trans. Alan Bass
(Chicago: University of Chicago Press, 1978), 280–282.
[9]
Ibid., 290.
[10]
György Lukács, Existentialism or Marxism?, trans. George M.
Anderson (London: Merlin Press, 1961), 7–9.
[11]
Jean-Paul Sartre, Critique of Dialectical Reason, trans. Alan
Sheridan-Smith (London: Verso, 2004), 45–49.
[12]
Theodor W. Adorno, The Jargon of Authenticity, trans. Knut
Tarnowski and Frederic Will (Evanston: Northwestern University Press, 1973),
13–15.
[13]
Karl Barth, Church Dogmatics III/3, trans. G. W. Bromiley
(Edinburgh: T&T Clark, 1961), 23–25.
[14]
Karl Jaspers, Philosophy of Existence, trans. Richard F.
Grabau (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1971), 62–65.
[15]
Gabriel Marcel, The Mystery of Being, trans. G. S. Fraser
(Chicago: Henry Regnery, 1951), 112–115.
[16]
Jaspers, Philosophy of Existence, 70–72.
[17]
Simone de Beauvoir, The Second Sex, trans. H. M. Parshley (New
York: Vintage, 1989), 283–285.
[18]
Luce Irigaray, This Sex Which Is Not One, trans. Catherine
Porter (Ithaca: Cornell University Press, 1985), 22–25; Julia Kristeva, Powers
of Horror: An Essay on Abjection, trans. Leon S. Roudiez (New York:
Columbia University Press, 1982), 12–14.
[19]
Rollo May, Existence: A New Dimension in Psychiatry and Psychology
(New York: Basic Books, 1958), 45–47.
[20]
Charles Guignon, On Being Authentic (London: Routledge, 2004),
96–99.
9.
Relevansi
dan Aplikasi Kontemporer
Meskipun lahir pada
konteks krisis abad ke-20—perang, nihilisme, dan keterasingan manusia
modern—eksistensialisme tetap memiliki relevansi yang mendalam bagi kehidupan
kontemporer abad ke-21. Dunia kini diwarnai oleh fenomena baru: digitalisasi
eksistensi, globalisasi nilai, krisis ekologis, serta kecemasan eksistensial
akibat kehilangan makna dalam sistem sosial yang hiper-rasional. Dalam situasi
ini, eksistensialisme tampil bukan sebagai warisan usang, melainkan sebagai
lensa reflektif untuk memahami keberadaan manusia yang semakin kompleks.¹
9.1. Eksistensialisme di Era Digital: Diri, Kebebasan,
dan Alienasi
Di era teknologi dan
media sosial, konsep eksistensial tentang otentisitas dan keterlemparan
memperoleh makna baru. Manusia digital hidup dalam dunia yang dipenuhi citra,
algoritma, dan performativitas diri. Keberadaan di ruang maya sering kali
mendorong manusia untuk menampilkan diri bukan sebagaimana adanya, tetapi
sebagaimana yang diharapkan oleh “tatapan orang lain” (the gaze).²
Sartre, dalam analisis klasiknya tentang le regard, menggambarkan bagaimana
tatapan orang lain dapat mengubah subjek menjadi objek.³ Fenomena ini kini
tampak dalam budaya selfie, influencer, dan pencarian validasi
digital.
Dengan demikian,
eksistensialisme menuntun kita untuk bertanya: apakah eksistensi daring masih
dapat disebut otentik? Heidegger mungkin akan menjawab bahwa teknologi
cenderung menutupi makna “ada” karena menggantikan pengalaman langsung dengan
representasi yang serba teknis.⁴ Namun, kesadaran eksistensial justru
memungkinkan manusia untuk menggunakan teknologi secara reflektif—bukan sebagai
pelarian, tetapi sebagai medium untuk menegaskan kebebasan dan identitas yang
sadar diri.
9.2. Krisis Makna dan Psikoterapi Eksistensial
Eksistensialisme
juga berpengaruh besar dalam bidang psikologi dan terapi modern. Viktor Frankl,
melalui logoterapi,
memadukan gagasan eksistensialis dengan praktik penyembuhan psikis.⁵ Ia
menekankan bahwa penderitaan tidak dapat dihindari, tetapi manusia selalu
memiliki kebebasan untuk memilih sikap terhadap penderitaan itu. Dalam dunia
yang dipenuhi stres, kesepian, dan kecemasan eksistensial, logoterapi
menawarkan jalan tengah antara psikologi positivistik dan spiritualitas
dogmatis: menemukan makna dalam keberadaan konkret.⁶
Demikian pula, Rollo
May dan Irvin Yalom mengembangkan terapi eksistensial-humanistik,
yang menekankan hubungan terapeutik sebagai ruang otentik di mana klien
dihadapkan pada kebebasan, tanggung jawab, dan pilihan hidupnya sendiri.⁷
Pendekatan ini menunjukkan bagaimana eksistensialisme, meskipun berakar dalam
filsafat, dapat diterapkan dalam praksis penyembuhan dan pengembangan pribadi
manusia modern.
9.3. Eksistensialisme dan Krisis Ekologis
Dalam konteks krisis
iklim dan kerusakan ekologis global, eksistensialisme memberikan kerangka
reflektif tentang tanggung jawab manusia terhadap dunia. Heidegger dalam
esainya “The Question Concerning Technology” memperingatkan bahwa modernitas
telah mengubah alam menjadi sekadar standing reserve—sumber daya yang
siap dieksploitasi.⁸ Pandangan ini kini terbukti relevan di tengah kapitalisme
industri yang menempatkan bumi sebagai objek produksi tanpa batas.
Etika eksistensialis
dapat diinterpretasikan sebagai seruan untuk keotentikan ekologis: kesadaran
bahwa keberadaan manusia tidak terpisah dari dunia, melainkan merupakan bagian darinya.
Dalam kesadaran ini, tanggung jawab moral tidak lagi terbatas pada manusia
lain, tetapi juga meluas pada makhluk hidup dan ekosistem yang menopang
eksistensi.⁹ Dengan demikian, eksistensialisme menawarkan dasar ontologis bagi
etika ekologi kontemporer: menjadi manusia berarti turut memikul tanggung jawab
atas keberlangsungan “ada” secara keseluruhan.
9.4. Eksistensialisme, Politik, dan Kemanusiaan Global
Eksistensialisme
juga memiliki relevansi politik dan etis dalam menghadapi dehumanisasi di era
globalisasi. Sartre menegaskan bahwa kebebasan individu hanya bermakna dalam
konteks kebebasan kolektif: “kebebasan saya bergantung pada kebebasan orang
lain.”¹⁰ Dalam dunia yang diwarnai ketimpangan, migrasi paksa, dan polarisasi
identitas, eksistensialisme mengingatkan akan perlunya solidaritas
eksistensial—kesadaran bahwa penderitaan dan kebebasan manusia saling terkait.
Selain itu, konsep
“keterlemparan” Heidegger dapat dibaca kembali dalam konteks politik migrasi:
manusia modern mengalami keterlemparan bukan hanya ke dalam dunia, tetapi juga
ke dalam sistem global yang menentukan makna identitas, kewarganegaraan, dan
nilai kemanusiaan.¹¹ Dalam situasi ini, eksistensialisme mengajarkan pentingnya
responsibilitas
eksistensial—kesediaan untuk bertindak etis dalam situasi konkret,
bukan sekadar berpegang pada sistem moral abstrak.
9.5. Eksistensialisme dan Pendidikan Humanistik
Dalam dunia
pendidikan, eksistensialisme memberi inspirasi bagi pendekatan humanistik yang
menekankan kebebasan, refleksi, dan tanggung jawab peserta didik.¹² Tujuan
pendidikan bukan lagi sekadar transfer pengetahuan, tetapi pembentukan
eksistensi autentik: bagaimana manusia memahami dirinya, mengambil keputusan,
dan memberi makna pada kehidupannya.
Filsafat pendidikan
eksistensialis, sebagaimana dikembangkan oleh Paulo Freire dalam Pedagogy
of the Oppressed, menolak pendidikan yang menindas dan menekankan
dialog reflektif antara guru dan murid sebagai pertemuan dua subjek yang
sama-sama sadar.¹³ Dalam konteks ini, eksistensialisme berfungsi sebagai
fondasi bagi pendidikan pembebasan—sebuah praksis yang menumbuhkan kebebasan
berpikir, tanggung jawab moral, dan kesadaran kritis.
Reaktualisasi Eksistensialisme di Abad ke-21
Eksistensialisme
hari ini tidak lagi terbatas pada filsafat Eropa, tetapi telah dihidupkan
kembali dalam konteks lintas budaya: eksistensialisme Asia, Afrika, dan Amerika
Latin.¹⁴ Dalam globalisasi yang homogen, eksistensialisme menjadi ruang
refleksi bagi pencarian identitas otentik dan kebermaknaan hidup yang terancam
oleh konsumerisme dan mekanisasi kehidupan.
Kebebasan
eksistensialis kini menuntut reinterpretasi: bukan sekadar kebebasan memilih,
tetapi kebebasan untuk bertanggung jawab, untuk
mencipta makna, dan untuk hidup
otentik di tengah ketidakpastian dunia digital dan ekologis.¹⁵
Eksistensialisme modern, dengan demikian, tetap menjadi filsafat yang
hidup—sebuah ajakan abadi bagi manusia untuk berpikir, memilih, dan menjadi.
Footnotes
[1]
Thomas Flynn, Existentialism: A Very Short Introduction
(Oxford: Oxford University Press, 2006), 101–103.
[2]
Sherry Turkle, Alone Together: Why We Expect More from Technology
and Less from Each Other (New York: Basic Books, 2011), 85–87.
[3]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E.
Barnes (New York: Washington Square Press, 1956), 340–344.
[4]
Martin Heidegger, The Question Concerning Technology, trans.
William Lovitt (New York: Harper & Row, 1977), 12–14.
[5]
Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning (Boston: Beacon
Press, 2006), 104–106.
[6]
Ibid., 112–115.
[7]
Irvin D. Yalom, Existential Psychotherapy (New York: Basic
Books, 1980), 8–10; Rollo May, The Courage to Create (New York: W. W.
Norton, 1975), 19–21.
[8]
Heidegger, The Question Concerning Technology, 23–25.
[9]
Michael Zimmerman, Heidegger’s Confrontation with Modernity:
Technology, Politics, and Art (Bloomington: Indiana University Press,
1990), 156–158.
[10]
Jean-Paul Sartre, Critique of Dialectical Reason, trans. Alan
Sheridan-Smith (London: Verso, 2004), 62–65.
[11]
Hannah Arendt, The Origins of Totalitarianism (New York:
Harcourt Brace, 1973), 299–301.
[12]
Maxine Greene, Releasing the Imagination: Essays on Education, the
Arts, and Social Change (San Francisco: Jossey-Bass, 1995), 23–25.
[13]
Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, trans. Myra Bergman
Ramos (New York: Continuum, 2000), 72–74.
[14]
Lewis R. Gordon, Existentia Africana: Understanding Africana
Existential Thought (New York: Routledge, 2000), 11–13.
[15]
Charles Guignon, On Being Authentic (London: Routledge, 2004),
104–107.
10. Sintesis Filosofis: Eksistensialisme sebagai Jalan
Menuju Keotentikan
Eksistensialisme
modern, meskipun bervariasi dalam pendekatannya, dapat dipandang sebagai suatu
usaha untuk memahami eksistensi manusia yang terbuang dan terasingkan, namun
tetap memiliki potensi untuk menemukan makna dan keotentikan. Sebagai jalan
menuju keotentikan (authenticity), eksistensialisme
berupaya melampaui determinisme sejarah, struktur sosial, dan ideologi yang
mengekang kebebasan individu. Ia mengajak individu untuk menghadapi dan
mengatasi kecemasan eksistensial yang muncul dari kesadaran akan kebebasan dan
ketidakbermaknaan hidup, serta untuk mengambil tanggung jawab penuh atas
pilihan dan tindakan mereka.¹
Eksistensialisme
sebagai sintesis filosofis dapat dilihat sebagai jembatan antara kebebasan
individu dan keterhubungan dengan dunia, antara pencarian makna yang bebas dan
kebutuhan akan relasi dengan sesama. Sintesis ini berlandaskan pada gagasan
bahwa eksistensialisme, meskipun menekankan kebebasan personal dan pemahaman
diri, tetap mengarahkan individu pada kebutuhan untuk hidup dalam solidaritas
dengan yang lain, menjaga kesadaran akan ketidakpastian, dan memilih untuk
bertanggung jawab terhadap keberadaannya dalam dunia yang lebih luas.
10.1. Keotentikan dan Kebebasan: Konsep Utama Eksistensialisme
Keotentikan dalam
eksistensialisme bukanlah sekadar kejujuran pribadi atau hidup sesuai dengan
keinginan diri, melainkan merupakan suatu bentuk eksistensi yang penuh
kesadaran terhadap kebebasan dan keterbatasan manusia. Sartre, dalam Being
and Nothingness, mengajukan bahwa keotentikan adalah kondisi di
mana individu hidup dengan kesadaran penuh akan kebebasan dan tanggung
jawabnya, tanpa menyembunyikan diri di balik ilusi atau peran sosial yang
ditentukan oleh “mereka” (the they).² Dalam konteks ini,
keotentikan tidak hanya berarti bebas dari peran sosial yang ditentukan, tetapi
juga sadar bahwa kebebasan ini membawa beban moral yang besar—yaitu tanggung
jawab untuk menciptakan makna di dunia yang absurd.
Sebaliknya,
ketidakotentikan (inauthenticity) terjadi ketika
individu menolak kebebasannya dan hidup sesuai dengan norma eksternal tanpa
mempertanyakan atau mengambil tanggung jawab terhadap keputusan tersebut.³
Dengan demikian, keotentikan adalah pilihan aktif dan reflektif, yang mengharuskan
individu untuk hidup dengan penuh kesadaran terhadap kondisi eksistensial dan
tanggung jawabnya sebagai makhluk bebas.
10.2. Manusia sebagai Proyek: Kebebasan dan Penentuan
Diri
Eksistensialisme
memandang manusia sebagai être-pour-soi
(ada-untuk-dirinya)—yakni sebagai makhluk yang tidak memiliki esensi tetap,
tetapi selalu berada dalam kondisi menjadi (becoming). Sartre menggambarkan
manusia sebagai proyek terbuka yang terus membentuk dirinya melalui pilihan dan
tindakan.⁴ Artinya, eksistensialisme menekankan bahwa manusia tidak dapat
dipahami melalui konsep statis atau kategori yang sudah ada, melainkan melalui
proses aktualisasi dirinya yang terus menerus.
Manusia sebagai
proyek mengandung dua elemen penting: kebebasan untuk memilih dan tanggung
jawab atas pilihan tersebut. Kebebasan ini, seperti yang dijelaskan Sartre,
adalah kebebasan radikal—manusia “dikutuk untuk bebas.”⁵ Kebebasan ini membawa
konsekuensi berat, karena setiap pilihan yang diambil oleh individu tidak hanya
menentukan dirinya sendiri, tetapi juga menciptakan gambaran tentang manusia
secara umum. Sebagai contoh, ketika seseorang memilih untuk hidup dengan
integritas, ia tidak hanya mengesahkan pilihan pribadinya, tetapi juga memberi
contoh tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh orang lain.
Sintesis antara
kebebasan dan tanggung jawab ini menjadi inti dari gagasan eksistensialis
tentang keotentikan. Manusia, meskipun bebas untuk memilih, tidak dapat
menghindari pertanggungjawaban atas pilihan yang telah ia buat, baik dalam
aspek pribadi maupun sosial.
10.3. Keterhubungan dengan Orang Lain: Keotentikan
Relasional
Eksistensialisme
juga memandang bahwa keotentikan individu tidak terlepas dari relasi dengan
orang lain. Sartre menekankan bahwa manusia tidak bisa sepenuhnya bebas dalam
isolasi; kebebasan pribadi selalu bertemu dengan kebebasan orang lain. Dalam Being
and Nothingness, Sartre menggambarkan bagaimana orang lain,
meskipun dapat menghalangi kebebasan individu, juga merupakan bagian tak
terpisahkan dari eksistensi manusia.⁶ Ungkapan terkenal Sartre “l’enfer, c’est
les autres” (“neraka adalah orang lain”) menggambarkan bagaimana keberadaan
orang lain dapat menyebabkan konflik antara kebebasan subjek dan objektifikasi
diri oleh pandangan orang lain. Namun, pemahaman lebih lanjut menunjukkan bahwa
interaksi dengan orang lain adalah bagian dari upaya menuju keotentikan, karena
keberadaan sosial membawa individu pada pengakuan atas kebebasan bersama.
Simone de Beauvoir,
dalam The
Ethics of Ambiguity, mengembangkan gagasan ini lebih lanjut dengan
mengaitkan kebebasan individu dengan kebebasan orang lain. Bagi Beauvoir,
keotentikan bukan hanya tentang kebebasan pribadi, tetapi juga tentang
solidaritas dan pengakuan terhadap kebebasan orang lain.⁷ Melalui pengakuan
atas kebebasan orang lain, individu mencapai bentuk kebebasan yang lebih luas
dan lebih bermakna.
10.4. Eksistensialisme dalam Konteks Etika Sosial dan
Global
Eksistensialisme,
dengan fokus pada kebebasan individu dan tanggung jawab pribadi, sering kali
dikritik karena dianggap terlalu mengabaikan struktur sosial dan politik yang
membatasi kebebasan tersebut. Namun, dalam sintesis filosofisnya,
eksistensialisme tidak mengabaikan konteks sosial, tetapi justru menekankan
bahwa kebebasan individu selalu terkait dengan kebebasan sosial. Sartre, dalam
karya-karya politiknya, menegaskan bahwa kebebasan individu tidak dapat
dipisahkan dari kebebasan kolektif; manusia yang otentik tidak hanya
memperjuangkan kebebasannya sendiri, tetapi juga kebebasan sesama.⁸
Dalam dunia global
yang semakin kompleks, eksistensialisme menawarkan kerangka untuk mengatasi
masalah-masalah etika global seperti ketimpangan sosial, perubahan iklim, dan
kemiskinan. Kesadaran eksistensial terhadap ketidakpastian dan
ketidakbermaknaan dunia dapat mendorong individu untuk bertindak secara lebih
etis dan bertanggung jawab dalam hubungan dengan orang lain dan dunia alam.
Kesimpulan: Eksistensialisme sebagai Jalan Menuju Makna
Sintesis filosofis
eksistensialisme menunjukkan bahwa keotentikan bukanlah tujuan akhir, tetapi
suatu perjalanan yang terus menerus. Ia melibatkan kebebasan untuk memilih,
tanggung jawab untuk bertindak, dan kesadaran akan keterhubungan dengan orang
lain dan dunia. Melalui perjalanan ini, eksistensialisme mengajarkan bahwa
makna bukanlah sesuatu yang ditemukan, tetapi sesuatu yang diciptakan melalui
keputusan dan tindakan yang penuh kesadaran. Dengan demikian, eksistensialisme
memberikan panduan untuk hidup secara otentik di dunia yang penuh dengan
ketidakpastian dan tantangan.
Footnotes
[1]
Thomas Flynn, Existentialism: A Very Short Introduction
(Oxford: Oxford University Press, 2006), 104–106.
[2]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E.
Barnes (New York: Washington Square Press, 1956), 88–90.
[3]
Ibid., 91–93.
[4]
Ibid., 27–30.
[5]
Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Philip Mairet
(New Haven: Yale University Press, 2007), 29.
[6]
Sartre, Being and Nothingness, 340–344.
[7]
Simone de Beauvoir, The Ethics of Ambiguity, trans. Bernard
Frechtman (New York: Philosophical Library, 1948), 71–73.
[8]
Jean-Paul Sartre, Critique of Dialectical Reason, trans. Alan
Sheridan-Smith (London: Verso, 2004), 63–66.
[9]
Albert Camus, The Rebel: An Essay on Man in Revolt, trans.
Anthony Bower (New York: Vintage, 1956), 243–245.
11. Kesimpulan
Eksistensialisme modern, dengan segala kompleksitas
dan keberagamannya, tetap menawarkan wawasan mendalam tentang kondisi manusia
di dunia yang serba tidak pasti dan sering kali penuh dengan absurditas.
Sebagai suatu aliran filsafat yang berfokus pada kebebasan individu, tanggung
jawab, dan pencarian makna dalam dunia yang tidak memberikan makna bawaan,
eksistensialisme berperan penting dalam membantu kita memahami eksistensi
manusia secara autentik.¹
Dalam konteks sejarah filsafat, eksistensialisme
muncul sebagai reaksi terhadap dogmatisme metafisika, penindasan nilai-nilai
objektif, dan keterasingan dalam masyarakat modern. Dari pemikiran Søren
Kierkegaard dan Friedrich Nietzsche tentang subjektivitas dan kehendak
berkuasa, hingga Jean-Paul Sartre dan Simone de Beauvoir yang menekankan kebebasan
dan tanggung jawab moral, eksistensialisme mengarahkan perhatian kita pada
manusia sebagai individu yang terus-menerus membentuk dirinya melalui pilihan
dan tindakan.²
Eksistensialisme membawa kebebasan sebagai prinsip
dasar, tetapi kebebasan ini tidak pernah datang tanpa tanggung jawab. Sartre
menegaskan bahwa kebebasan individu membawa konsekuensi moral yang besar: bahwa
setiap tindakan yang kita ambil bukan hanya menciptakan makna bagi diri kita
sendiri, tetapi juga bagi orang lain.³ Dengan demikian, eksistensialisme tidak
hanya menawarkan pembebasan dari struktur dan norma eksternal, tetapi juga
mendorong kita untuk hidup secara otentik—dengan kesadaran penuh akan kebebasan
kita dan kesadaran akan keterhubungan kita dengan sesama.
Namun, eksistensialisme juga tidak terlepas dari
kritik, baik dari segi metodologi, dari sisi sosial-politik, maupun dari
perspektif moral dan teologis. Kritik terhadap eksistensialisme mencakup
tuduhan bahwa ia terlalu mengutamakan kebebasan individual tanpa cukup mempertimbangkan
pengaruh struktur sosial dan ekonomi, atau bahwa ia cenderung pesimis dalam
memandang kondisi manusia.⁴ Meskipun demikian, eksistensialisme tetap relevan
di dunia kontemporer, terutama dalam memahami dinamika kehidupan digital,
globalisasi, krisis ekologis, dan perjuangan untuk keotentikan dalam kehidupan
sosial yang sering kali mekanistik.
Di dunia yang semakin terhubung namun juga
teralienasi, eksistensialisme memberikan panduan bagi kita untuk menghadapi
kebebasan dan pilihan yang tampak tak terbatas dengan tanggung jawab, serta
untuk mencari makna dalam sebuah eksistensi yang sering kali terasa kosong.
Dalam setiap aspek kehidupan—dari politik hingga pendidikan, dari etika hingga
estetika—eksistensialisme mengajarkan kita bahwa meskipun dunia tidak
menawarkan makna yang telah ditentukan, kita sebagai individu tetap memiliki
kekuatan untuk menciptakan makna itu sendiri.
Dengan demikian, eksistensialisme mengundang kita
untuk merenung dan bertindak, untuk memilih dan bertanggung jawab. Ia mengingatkan
kita bahwa keberadaan manusia adalah proyek yang terbuka, sebuah pencarian yang
tidak pernah selesai, namun penuh dengan potensi untuk menemukan dan
menciptakan makna yang otentik.
Footnotes
[1]
Thomas Flynn, Existentialism: A Very Short Introduction
(Oxford: Oxford University Press, 2006), 105–107.
[2]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism,
trans. Philip Mairet (New Haven: Yale University Press, 2007), 15–18; Simone de
Beauvoir, The Ethics of Ambiguity, trans. Bernard Frechtman (New York:
Philosophical Library, 1948), 9–11.
[3]
Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel
E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1956), 60–62.
[4]
György Lukács, Existentialism or Marxism?,
trans. George M. Anderson (London: Merlin Press, 1961), 7–9; Theodor W. Adorno,
The Jargon of Authenticity, trans. Knut Tarnowski and Frederic Will
(Evanston: Northwestern University Press, 1973), 13–15.
Daftar Pustaka
Adorno, T. W. (1973). The jargon of authenticity
(K. Tarnowski & F. Will, Trans.). Northwestern University Press.
Ayer, A. J. (1952). Language, truth and logic.
Dover.
Barth, K. (1961). Church dogmatics III/3 (G.
W. Bromiley, Trans.). T&T Clark.
Beauvoir, S. de. (1948). The ethics of ambiguity
(B. Frechtman, Trans.). Philosophical Library.
Beauvoir, S. de. (1989). The second sex (H.
M. Parshley, Trans.). Vintage.
Beckett, S. (1954). Waiting for Godot. Grove
Press.
Camus, A. (1955). The myth of Sisyphus (J.
O’Brien, Trans.). Vintage.
Camus, A. (1956). The rebel: An essay on man in
revolt (A. Bower, Trans.). Vintage.
Camus, A. (1988). The stranger (M. Ward,
Trans.). Vintage.
Carnap, R. (1932). The elimination of metaphysics
through logical analysis of language. Erkenntnis, 2, 219–241.
Derrida, J. (1978). Writing and difference
(A. Bass, Trans.). University of Chicago Press.
Detmer, D. (1986). Freedom as a value: A
critique of the ethical theory of Jean-Paul Sartre. Open Court.
Dreyfus, H. L. (1991). Being-in-the-world: A
commentary on Heidegger’s Being and Time, Division I. MIT Press.
Flynn, T. (2006). Existentialism: A very short
introduction. Oxford University Press.
Frankl, V. E. (2006). Man’s search for meaning.
Beacon Press.
Freire, P. (2000). Pedagogy of the oppressed
(M. B. Ramos, Trans.). Continuum.
Foucault, M. (1970). The order of things: An
archaeology of the human sciences. Vintage.
Greene, M. (1995). Releasing the imagination:
Essays on education, the arts, and social change. Jossey-Bass.
Guignon, C. (2004). On being authentic.
Routledge.
Heidegger, M. (1962). Being and time (J.
Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.
Heidegger, M. (1977). The question concerning
technology (W. Lovitt, Trans.). Harper & Row.
Heidegger, M. (1993). Letter on humanism. In D. F.
Krell (Ed.), Basic writings (pp. 207–210). Harper & Row.
Heidegger, M. (2002). The essence of truth: On
Plato’s Cave Allegory and Theaetetus (T. Sadler, Trans.). Continuum.
Husserl, E. (1983). Ideas pertaining to a pure
phenomenology and to a phenomenological philosophy (F. Kersten, Trans.).
Martinus Nijhoff.
Irigaray, L. (1985). This sex which is not one
(C. Porter, Trans.). Cornell University Press.
Jaspers, K. (1971). Philosophy of existence
(R. F. Grabau, Trans.). University of Pennsylvania Press.
Kierkegaard, S. (1985). Fear and trembling
(A. Hannay, Trans.). Penguin.
Kierkegaard, S. (1992). Concluding unscientific
postscript to philosophical fragments (H. V. Hong & E. H. Hong, Eds.
& Trans.). Princeton University Press.
Kristeva, J. (1982). Powers of horror: An essay
on abjection (L. S. Roudiez, Trans.). Columbia University Press.
Lukács, G. (1961). Existentialism or Marxism?
(G. M. Anderson, Trans.). Merlin Press.
Marcel, G. (1951). The mystery of being (G.
S. Fraser, Trans.). Henry Regnery.
May, R. (1958). Existence: A new dimension in
psychiatry and psychology. Basic Books.
May, R. (1975). The courage to create. W. W.
Norton.
Merleau-Ponty, M. (1962). Phenomenology of
perception (C. Smith, Trans.). Routledge.
Nietzsche, F. (1974). The gay science (W.
Kaufmann, Trans.). Vintage.
Nietzsche, F. (1978). Thus spoke Zarathustra
(W. Kaufmann, Trans.). Penguin.
Russell, B. (1946). History of Western
philosophy. George Allen & Unwin.
Sartre, J.-P. (1956). Being and nothingness
(H. E. Barnes, Trans.). Washington Square Press.
Sartre, J.-P. (1957). The transcendence of the
ego: An existentialist theory of consciousness (F. Williams & R.
Kirkpatrick, Trans.). Noonday Press.
Sartre, J.-P. (1964). Nausea (L. Alexander,
Trans.). New Directions.
Sartre, J.-P. (1988). What is literature?
(B. Frechtman, Trans.). Harvard University Press.
Sartre, J.-P. (1989). No exit and three other
plays (S. Gilbert, Trans.). Vintage.
Sartre, J.-P. (2004). Critique of dialectical
reason (A. Sheridan-Smith, Trans.). Verso.
Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a
humanism (P. Mairet, Trans.). Yale University Press.
Turkle, S. (2011). Alone together: Why we expect
more from technology and less from each other. Basic Books.
Yalom, I. D. (1980). Existential psychotherapy.
Basic Books.
Zimmerman, M. (1990). Heidegger’s confrontation
with modernity: Technology, politics, and art. Indiana University Press.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar