Ateisme
Genealogi, Ontologi, Epistemologi, dan Implikasi Etis
dalam Perspektif Filsafat Kontemporer
Alihkan ke: Aliran Metafisik dalam Filsafat.
Abstrak
Artikel ini mengkaji ateisme sebagai posisi
metafisik dengan pendekatan sistematis dan komprehensif yang mencakup aspek
historis, ontologis, epistemologis, etis, serta relevansinya dalam konteks
kontemporer. Ateisme dipahami bukan sekadar sebagai penolakan terhadap
keberadaan Tuhan, tetapi sebagai bentuk afirmasi terhadap imanenitas
realitas, otonomi rasionalitas manusia, dan tanggung jawab moral tanpa landasan
transenden. Secara historis, ateisme muncul sebagai konsekuensi dari
rasionalisasi filsafat dan perkembangan sains sejak masa Yunani kuno hingga
modernitas. Secara ontologis, ia menolak gagasan tentang causa prima dan
menegaskan realitas yang berdiri sendiri tanpa intervensi ilahi. Secara
epistemologis, ateisme menempatkan rasionalitas kritis dan verifikasi empiris
sebagai dasar kebenaran, menggantikan epistemologi berbasis iman. Dari sisi
etika dan aksiologi, ateisme membangun moralitas yang otonom, berlandaskan
empati, tanggung jawab, dan nilai-nilai humanistik.
Kritik terhadap ateisme datang dari berbagai
arah—teistik, moral, eksistensial, dan bahkan internal—yang menyoroti problem
dasar ontologis, sumber nilai, serta risiko nihilisme. Namun, ateisme
kontemporer menunjukkan relevansi baru dalam masyarakat sekuler, diskursus
ilmiah, dan tantangan etika global. Ia berperan sebagai paradigma reflektif yang
menegaskan kebebasan berpikir, rasionalitas ilmiah, dan pencarian makna imanen.
Sintesis filosofis dari kajian ini menunjukkan bahwa ateisme bukan akhir dari
metafisika, melainkan transformasi cara manusia memahami “Ada” tanpa
jaminan transendensi. Dengan demikian, ateisme dapat dilihat sebagai metafisika
keterbukaan, yang menegaskan kebebasan, tanggung jawab, dan martabat
manusia sebagai pusat penciptaan makna dalam dunia yang rasional dan imanen.
Kata Kunci: Ateisme, Metafisika, Ontologi, Epistemologi, Etika
Sekuler, Humanisme, Rasionalitas, Sekularisasi, Makna Hidup, Spiritualitas
Imanen.
PEMBAHASAN
Ateisme sebagai Posisi Metafisik
1.
Pendahuluan
Ateisme, sebagai salah satu posisi metafisik yang
menolak keberadaan entitas transenden atau ilahi, menempati tempat yang unik
dalam sejarah filsafat. Ia bukan sekadar pandangan tentang ketidakpercayaan
terhadap Tuhan, melainkan juga suatu posisi ontologis dan epistemologis yang
memandang realitas sebagai otonom, material, dan bebas dari campur tangan supranatural.
Dalam konteks metafisika, ateisme bukanlah kekosongan iman, tetapi merupakan
afirmasi terhadap bentuk eksistensi yang imanen, empiris, dan dapat dijelaskan
tanpa asumsi teologis. Pandangan ini menegaskan bahwa segala yang ada harus
dijelaskan berdasarkan prinsip rasional dan bukti empiris, bukan melalui
entitas metafisis yang tak dapat diverifikasi secara epistemologis.¹
Dalam sejarah pemikiran Barat, embrio ateisme telah
muncul sejak zaman Yunani kuno, ketika para filsuf seperti Demokritos dan Epicurus
merumuskan konsep atomisme dan kausalitas alamiah tanpa memerlukan intervensi
dewa.² Namun, ateisme sebagai istilah dan posisi yang eksplisit baru memperoleh
artikulasi teoretis pada masa modern, terutama setelah pencerahan
(Enlightenment) dan kebangkitan sains empiris.³ Tokoh-tokoh seperti Ludwig
Feuerbach, Karl Marx, Friedrich Nietzsche, dan Jean-Paul Sartre memberikan
dimensi antropologis dan eksistensial terhadap ateisme: Tuhan ditafsirkan
sebagai proyeksi kesadaran manusia, dan manusia dipandang sebagai pencipta
makna bagi dirinya sendiri.⁴
Sebagai posisi metafisik, ateisme menantang
struktur tradisional filsafat teistik yang selama berabad-abad mendominasi
metafisika Barat. Ia mempertanyakan dasar-dasar ontologis dari gagasan “Ada
Tertinggi” (Ens Summum) yang dikembangkan dalam tradisi skolastik, serta
menolak prinsip causa prima yang menempatkan Tuhan sebagai penyebab
pertama segala sesuatu.⁵ Dalam konteks ini, ateisme bukan hanya pandangan
tentang ketiadaan Tuhan, melainkan juga pergeseran paradigma metafisika menuju
imanenitas dan otonomi eksistensi.
Secara epistemologis, ateisme juga berakar pada
kritik terhadap klaim pengetahuan metafisik yang tidak dapat diuji. Ia
menegaskan bahwa batas pengetahuan manusia terletak pada pengalaman empiris dan
rasionalitas ilmiah, sehingga segala bentuk keyakinan yang melampaui keduanya
bersifat spekulatif.⁶ Dengan demikian, ateisme berfungsi sebagai koreksi
terhadap dogmatisme teologis dan metafisika spekulatif yang tidak memiliki
landasan empiris.
Relevansi ateisme di era kontemporer semakin
menonjol seiring berkembangnya sains, teknologi, dan sekularisasi budaya.
Ateisme bukan lagi sekadar posisi minoritas yang menentang religiositas
tradisional, melainkan bagian dari diskursus filsafat modern yang berusaha
memahami eksistensi manusia tanpa sandaran transendental.⁷ Oleh karena itu,
pembahasan mengenai ateisme sebagai posisi metafisik tidak hanya penting dalam
ranah teori filsafat, tetapi juga dalam memahami dinamika kebudayaan,
moralitas, dan identitas manusia modern yang hidup di dunia tanpa jaminan
ilahi.
Footnotes
[1]
J. L. Mackie, The Miracle of Theism: Arguments
for and Against the Existence of God (Oxford: Clarendon Press, 1982), 1–5.
[2]
Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind:
Understanding the Ideas That Have Shaped Our World View (New York:
Ballantine Books, 1991), 38–42.
[3]
Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge,
MA: Belknap Press, 2007), 26–33.
[4]
Ludwig Feuerbach, The Essence of Christianity,
trans. George Eliot (New York: Dover Publications, 2008), 11–15; Friedrich
Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage,
1974), 108–110.
[5]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, trans.
Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I,
q.2, a.3.
[6]
Antony Flew, God and Philosophy (London:
Hutchinson, 1966), 45–50.
[7]
Richard Dawkins, The God Delusion (London:
Bantam Press, 2006), 36–41.
2.
Landasan
Historis dan Genealogi Intelektual Ateisme
Ateisme sebagai pandangan metafisik tidak muncul
secara tiba-tiba, melainkan merupakan hasil dari proses historis dan
intelektual yang panjang. Ia lahir melalui pergulatan antara rasionalitas
manusia dengan tradisi religius yang mendominasi berbagai kebudayaan. Secara
etimologis, istilah atheos dalam bahasa Yunani berarti “tanpa dewa,” dan
pada awalnya digunakan untuk menuduh seseorang yang menolak atau tidak mengakui
dewa-dewa yang diakui masyarakatnya.¹ Dalam konteks Yunani kuno, sebutan ini
tidak selalu mengacu pada penolakan terhadap konsep ketuhanan secara mutlak,
tetapi lebih kepada sikap kritis terhadap sistem kepercayaan politeistik yang
mapan.²
Dalam filsafat pra-Sokratik, terutama dalam
pemikiran Demokritos dan Epicurus, embrio ateisme muncul melalui usaha
menjelaskan dunia secara naturalistik tanpa melibatkan entitas ilahi.
Demokritos mengajukan teori atomisme, yakni bahwa segala sesuatu tersusun dari
atom dan kekosongan, tanpa memerlukan penjelasan supranatural.³ Sementara itu,
Epicurus menolak campur tangan para dewa dalam urusan manusia dan menekankan
pentingnya ketenangan batin melalui rasionalitas dan pemahaman terhadap alam.⁴
Pandangan-pandangan ini menandai awal dari upaya manusia memahami realitas
melalui prinsip kausalitas alamiah, bukan melalui mitos atau wahyu.
Pada masa modern, ateisme memperoleh bentuk yang
lebih sistematis dan filosofis. Revolusi ilmiah abad ke-17 dan pencerahan
(Enlightenment) abad ke-18 menggeser otoritas teologi ke ranah rasionalitas dan
empirisisme. Para pemikir seperti Denis Diderot dan Paul-Henri d’Holbach
memandang alam semesta sebagai sistem tertutup yang dapat dijelaskan tanpa
keberadaan Tuhan.⁵ Ateisme pada masa ini muncul sebagai reaksi terhadap
absolutisme agama dan sebagai manifestasi dari kepercayaan pada kekuatan rasio
manusia untuk menafsirkan realitas.⁶
Ludwig Feuerbach menjadi tokoh kunci dalam transisi
dari ateisme ilmiah menuju ateisme antropologis. Dalam karyanya The Essence
of Christianity, ia berargumen bahwa gagasan tentang Tuhan adalah proyeksi
sifat-sifat manusia yang diidealkan dan dipindahkan ke entitas ilahi.⁷ Bagi
Feuerbach, manusia menciptakan Tuhan dalam citranya sendiri, bukan sebaliknya.
Pandangan ini menjadi dasar bagi kritik terhadap agama sebagai bentuk alienasi
eksistensial.⁸ Karl Marx kemudian mengadopsi pandangan Feuerbach dan
menafsirkan agama sebagai “candu masyarakat” yang mempertahankan
struktur penindasan sosial.⁹ Dengan demikian, ateisme dalam pemikiran Marx
bukan hanya metafisik, tetapi juga praksis—menyerukan pembebasan manusia dari
ilusi religius yang menghambat kesadaran kelas.
Friedrich Nietzsche memperdalam dimensi
eksistensial ateisme dengan proklamasi terkenalnya “Tuhan telah mati.”¹⁰
Pernyataan ini bukan sekadar penolakan terhadap Tuhan secara literal, melainkan
pengakuan terhadap runtuhnya fondasi nilai-nilai tradisional yang selama ini
menopang peradaban Barat. Dalam dunia tanpa Tuhan, manusia harus menciptakan
nilai-nilai baru melalui kehendak untuk berkuasa (will to power).¹¹
Pemikiran Nietzsche membuka jalan bagi ateisme eksistensialis abad ke-20,
terutama dalam karya Jean-Paul Sartre yang menegaskan bahwa “eksistensi
mendahului esensi.”¹²
Pada abad ke-20, ateisme berkembang ke arah
humanisme sekuler dan naturalisme ilmiah. Bertrand Russell dan Antony Flew
menegaskan bahwa tidak ada alasan rasional yang memadai untuk mempercayai
eksistensi Tuhan, karena semua klaim teistik gagal memenuhi standar pembuktian
logis.¹³ Sementara itu, eksistensialisme ateistik yang diwakili oleh Sartre dan
Albert Camus menempatkan manusia sebagai pusat makna, di mana keberadaan tanpa
Tuhan justru membuka ruang kebebasan radikal dan tanggung jawab moral yang
autentik.¹⁴
Dalam konteks kontemporer, ateisme tidak lagi
terbatas pada ranah filosofis, tetapi juga telah menjadi bagian dari diskursus
sosial dan politik melalui gerakan New Atheism. Tokoh-tokoh seperti
Richard Dawkins, Sam Harris, Christopher Hitchens, dan Daniel Dennett
menekankan pentingnya berpikir kritis dan skeptisisme ilmiah dalam menolak
klaim religius yang tidak berbasis bukti.¹⁵ Namun, mereka juga dikritik karena
pendekatan yang terlalu reduksionistik dan kurang memperhatikan dimensi
eksistensial serta spiritualitas non-teistik.¹⁶
Dengan demikian, genealogi intelektual ateisme
menunjukkan transformasi dari kritik teologis menuju proyek antropologis, eksistensial,
dan ilmiah. Ateisme bukanlah sekadar penolakan terhadap keberadaan Tuhan,
melainkan afirmasi terhadap otonomi rasio manusia, kebebasan eksistensial, dan
tanggung jawab etis dalam dunia yang imanen.¹⁷
Footnotes
[1]
G. E. R. Lloyd, Early Greek Science: Thales to
Aristotle (London: Chatto & Windus, 1970), 23–24.
[2]
Walter Burkert, Greek Religion (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 1985), 246–248.
[3]
Democritus, Fragments, trans. C. C. W.
Taylor (Toronto: University of Toronto Press, 1999), 34–37.
[4]
Epicurus, Letter to Menoeceus, in The
Epicurus Reader, ed. Brad Inwood and L. P. Gerson (Indianapolis: Hackett,
1994), 29–31.
[5]
Paul-Henri d’Holbach, The System of Nature,
trans. H. D. Robinson (London: J. Johnson, 1770), 12–18.
[6]
Peter Gay, The Enlightenment: An Interpretation
(New York: W. W. Norton, 1966), 85–89.
[7]
Ludwig Feuerbach, The Essence of Christianity,
trans. George Eliot (New York: Dover Publications, 2008), 11–15.
[8]
Terry Eagleton, Reason, Faith, and Revolution:
Reflections on the God Debate (New Haven: Yale University Press, 2009),
22–25.
[9]
Karl Marx, “Contribution to the Critique of Hegel’s
Philosophy of Right,” in Early Writings, trans. T. B. Bottomore (London:
C. A. Watts, 1963), 244.
[10]
Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans.
Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1974), §125.
[11]
Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra,
trans. R. J. Hollingdale (London: Penguin Classics, 1961), 41–44.
[12]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism,
trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22–27.
[13]
Bertrand Russell, Why I Am Not a Christian
(London: George Allen & Unwin, 1957), 3–8; Antony Flew, God and
Philosophy (London: Hutchinson, 1966), 45–50.
[14]
Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans.
Justin O’Brien (New York: Vintage, 1955), 10–15.
[15]
Richard Dawkins, The God Delusion (London:
Bantam Press, 2006), 102–108; Sam Harris, The End of Faith (New York: W.
W. Norton, 2004), 45–47.
[16]
John Haught, God and the New Atheism: A Critical
Response to Dawkins, Harris, and Hitchens (Louisville: Westminster John
Knox Press, 2008), 5–7.
[17]
Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge,
MA: Belknap Press, 2007), 541–545.
3.
Ontologi
Ateisme
Ontologi ateisme
berangkat dari penolakan terhadap gagasan tentang keberadaan entitas transenden
atau supranatural sebagai dasar realitas. Dalam kerangka ini, ateisme tidak
sekadar menyangkal eksistensi Tuhan, tetapi mengajukan pemahaman tentang
realitas yang bersifat imanen, otonom, dan material.¹
Dengan demikian, realitas tidak lagi bergantung pada kehendak atau pencipta
ilahi, melainkan berdiri sendiri sebagai sistem kausal yang tunduk pada
hukum-hukum alam. Ateisme menegaskan bahwa eksistensi tidak membutuhkan “penyebab
pertama” (causa prima) sebagaimana diajukan
dalam teisme skolastik, karena alam semesta dapat dipahami sebagai entitas yang
ada dengan sendirinya (aseitas alam).²
3.1. Realitas sebagai Imanen dan Material
Dalam pandangan
ateistik, segala bentuk keberadaan adalah hasil interaksi material dan energi
yang bersifat imanen. Tidak ada “ada” di luar dunia ini yang mengatur atau
memberi makna transenden terhadap keberadaan.³ Konsepsi ini berakar pada
pemikiran materialisme klasik yang dikembangkan oleh Demokritos dan Epikouros,
serta kemudian diperkuat oleh sains modern.⁴ Melalui teori evolusi Darwin dan
kosmologi Big Bang, ateisme memperoleh legitimasi ontologis dalam menjelaskan
realitas tanpa memerlukan referensi kepada prinsip ilahi.⁵ Dengan demikian,
ontologi ateisme berimplikasi pada penegasan bahwa dunia adalah autonomus,
tanpa arah teleologis atau tujuan final.
Materialisme
ateistik kemudian berkembang menjadi naturalisme ontologis, yang berpendapat
bahwa segala yang eksis adalah bagian dari alam dan tunduk pada hukum alamiah.⁶
Dalam kerangka ini, tidak ada ruang bagi substansi rohani atau spiritual yang
terpisah dari dunia fisik. Realitas ditafsirkan melalui interaksi kompleks
antara fenomena empiris, tanpa keharusan untuk mempostulatkan entitas transenden.
Pandangan ini menggeser pusat makna dari “Tuhan sebagai sumber keberadaan”
menjadi “alam sebagai dasar ontologis yang memadai.”⁷
3.2. Eksistensi Manusia tanpa Tuhan
Ateisme tidak hanya
mengusulkan ontologi alam yang bebas dari ilahi, tetapi juga memunculkan
konsekuensi antropologis yang mendalam. Dalam ketiadaan Tuhan, manusia tidak
lagi dipahami sebagai ciptaan dengan tujuan eskatologis tertentu, melainkan
sebagai makhluk yang bebas menentukan maknanya sendiri.⁸ Jean-Paul Sartre
menegaskan bahwa “eksistensi mendahului esensi,” yang berarti manusia ada
terlebih dahulu dan baru kemudian menentukan hakikat dirinya melalui tindakan.⁹
Pandangan ini menandai transisi ontologis dari keberadaan yang bergantung pada
kehendak ilahi menuju eksistensi yang otonom dan bertanggung jawab atas
maknanya sendiri.
Albert Camus
melanjutkan refleksi ini dengan konsep absurditas, yakni bahwa manusia
mencari makna dalam dunia yang secara ontologis tidak memilikinya.¹⁰ Dalam
pandangan Camus, kesadaran akan absurditas tidak membawa manusia pada
keputusasaan, tetapi justru menjadi sumber kebebasan eksistensial.¹¹ Dengan
demikian, ontologi ateisme menegaskan manusia sebagai subjek yang bebas, namun
sekaligus terbebani oleh tanggung jawab moral tanpa landasan metafisis eksternal.
3.3. Kritik terhadap Ontoteologi dan Transendensi
Salah satu sumbangan
penting dari ontologi ateisme adalah kritiknya terhadap ontoteologi—yakni
pandangan bahwa keberadaan harus selalu dijelaskan dengan merujuk pada “Ada
tertinggi.”¹² Friedrich Nietzsche menganggap ontoteologi sebagai bentuk
penyembahan terhadap struktur metafisik yang membelenggu kebebasan manusia. Ia
menolak pandangan bahwa keberadaan memiliki hierarki yang berpuncak pada Tuhan
sebagai ens
perfectissimum.¹³ Ontologi ateisme dengan demikian merupakan proyek
dekonstruktif terhadap hierarki metafisik dan menggantinya dengan pemahaman
tentang keberadaan yang plural, dinamis, dan terbuka.
Martin Heidegger,
meskipun tidak secara eksplisit ateis, juga menyoroti bahaya “metafisika
kehadiran” yang menempatkan Tuhan sebagai entitas tertinggi dalam struktur
keberadaan.¹⁴ Pandangan ateistik dapat dibaca sebagai kelanjutan dari kritik
ini—yakni usaha untuk membebaskan filsafat dari subordinasi terhadap konsep
teologis tentang “ada.” Dalam konteks ini, ateisme bukan sekadar negasi
terhadap Tuhan, melainkan afirmasi terhadap keberadaan yang tidak terikat oleh
totalitas metafisik atau kehadiran absolut.¹⁵
Implikasi Ontologis: Dunia sebagai Otonomi Realitas
Ontologi ateisme
akhirnya membawa kita pada kesimpulan bahwa dunia tidak membutuhkan penjelasan
eksternal untuk menjelaskan dirinya sendiri. Alam semesta bersifat self-sufficient—cukup
dengan dirinya sendiri.¹⁶ Hal ini menimbulkan implikasi mendalam: pertama,
bahwa realitas bersifat terbuka terhadap interpretasi ilmiah dan rasional;
kedua, bahwa makna tidak diberikan dari luar, melainkan diciptakan oleh
kesadaran manusia di dalam dunia; dan ketiga, bahwa eksistensi manusia menjadi
locus utama nilai dan tanggung jawab.¹⁷
Dengan demikian,
ontologi ateisme membentuk kerangka metafisika yang menegaskan imanenitas,
kebebasan, dan tanggung jawab, sekaligus menolak setiap bentuk
metafisika yang bergantung pada transendensi. Dunia tanpa Tuhan bukanlah dunia tanpa
makna, melainkan dunia di mana makna diciptakan melalui praksis manusia yang
sadar dan bebas.¹⁸
Footnotes
[1]
J. L. Mackie, The Miracle of Theism:
Arguments for and Against the Existence of God (Oxford: Clarendon Press, 1982), 37–40.
[2]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, trans. Fathers of the English Dominican Province
(New York: Benziger Bros., 1947), I, q.2, a.3.
[3]
Paul-Henri d’Holbach, The
System of Nature, trans. H. D.
Robinson (London: J. Johnson, 1770), 18–22.
[4]
Democritus, Fragments, trans. C. C. W. Taylor (Toronto: University of
Toronto Press, 1999), 33–35; Epicurus, Letter
to Herodotus, in The Epicurus Reader,
ed. Brad Inwood and L. P. Gerson (Indianapolis: Hackett, 1994), 9–12.
[5]
Charles Darwin, On the Origin of
Species (London: John Murray, 1859),
490–492.
[6]
David Papineau, Philosophical
Naturalism (Oxford: Blackwell,
1993), 11–14.
[7]
Daniel Dennett, Breaking the Spell:
Religion as a Natural Phenomenon
(New York: Viking, 2006), 242–246.
[8]
Ludwig Feuerbach, The Essence of
Christianity, trans. George Eliot
(New York: Dover Publications, 2008), 12–14.
[9]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Philosophical
Library, 1956), 9–11.
[10]
Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O’Brien (New York: Vintage, 1955),
28–31.
[11]
Ibid., 56–58.
[12]
Martin Heidegger, Identity and Difference, trans. Joan Stambaugh (New York: Harper & Row,
1969), 66–68.
[13]
Friedrich Nietzsche, Beyond
Good and Evil, trans. Walter
Kaufmann (New York: Vintage, 1966), §260.
[14]
Martin Heidegger, The Question Concerning
Technology, trans. William Lovitt
(New York: Harper & Row, 1977), 22–25.
[15]
John Caputo, The Prayers and Tears
of Jacques Derrida: Religion without Religion (Bloomington: Indiana University Press, 1997), 31–33.
[16]
Bertrand Russell, Religion and Science (London: Oxford University Press, 1935), 75–78.
[17]
Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge, MA: Belknap Press, 2007), 550–553.
[18]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a
Humanism, trans. Carol Macomber (New
Haven: Yale University Press, 2007), 34–38.
4.
Epistemologi
Ateisme
Epistemologi ateisme
berangkat dari keyakinan bahwa pengetahuan tentang realitas harus didasarkan
pada rasionalitas,
empirisme, dan verifikasi ilmiah, bukan pada wahyu atau
otoritas keagamaan.¹ Dalam kerangka metafisika, ateisme tidak hanya menolak
keberadaan Tuhan, tetapi juga mempertanyakan validitas pengetahuan yang
mengklaim bersumber dari entitas transenden. Ia menegaskan bahwa setiap klaim
kebenaran harus tunduk pada kriteria pembuktian rasional dan empiris. Dengan
demikian, epistemologi ateisme merupakan bentuk kritik terhadap epistemologi
teistik yang mengandalkan iman sebagai sumber pengetahuan metafisik tertinggi.²
4.1. Kritik terhadap Argumen Teistik
Secara historis,
ateisme muncul sebagai respons epistemologis terhadap kelemahan logis dari
berbagai argumen teistik tentang keberadaan Tuhan. Tiga argumen klasik yang
paling terkenal—yakni argumen kosmologis, teleologis, dan ontologis—telah
menjadi sasaran kritik sistematis oleh para filsuf ateistik dan skeptik. David
Hume, misalnya, menolak argumen kosmologis dengan menunjukkan bahwa konsep
“penyebab pertama” tidak memiliki justifikasi empiris karena hubungan
sebab-akibat hanya dapat diketahui melalui pengalaman, bukan melalui deduksi
apriori.³
Demikian pula,
Immanuel Kant dalam Critique of Pure Reason menolak
validitas argumen ontologis Anselmus dengan menyatakan bahwa eksistensi
bukanlah predikat yang dapat diturunkan secara logis dari konsep Tuhan.⁴ Kant
menegaskan bahwa semua pengetahuan metafisik yang melampaui pengalaman empiris
tidak dapat diverifikasi, sehingga tidak dapat menjadi dasar bagi pengetahuan
yang sah.⁵ Kritik ini memberikan landasan bagi ateisme modern untuk memandang
klaim keberadaan Tuhan sebagai hipotesis yang tidak memiliki dasar epistemik
yang kuat.
Argumen teleologis
yang menegaskan keteraturan alam sebagai bukti keberadaan perancang cerdas (intelligent
designer) juga dipertanyakan oleh Charles Darwin melalui teori
evolusi.⁶ Darwin menunjukkan bahwa kompleksitas biologis dapat dijelaskan
melalui proses seleksi alam yang gradual tanpa intervensi ilahi. Dengan
demikian, ateisme memperoleh justifikasi epistemologis dari sains yang menolak
penjelasan ad hoc berbasis supranaturalitas.⁷
4.2. Rasionalisme dan Empirisisme sebagai Dasar
Pengetahuan
Epistemologi ateisme
berakar pada dua pilar utama: rasionalisme kritis dan empirisisme
ilmiah. Rasionalisme memberikan kerangka metodologis untuk
menguji konsistensi logis suatu proposisi, sedangkan empirisisme menuntut
verifikasi berdasarkan pengalaman indrawi.⁸ Dalam tradisi modern, Bertrand
Russell menegaskan bahwa kepercayaan terhadap Tuhan tidak dapat dianggap
rasional karena tidak memenuhi kriteria pembuktian yang berlaku bagi proposisi
ilmiah.⁹ Sementara Antony Flew menekankan pentingnya prinsip falsifiabilitas:
sebuah klaim hanya bermakna secara epistemik apabila dapat diuji kemungkinan
salahnya.¹⁰
Bagi ateisme, iman (faith)
tidak dapat dianggap sebagai bentuk pengetahuan karena tidak memenuhi standar
rasionalitas dan verifikasi empiris.¹¹ Dalam konteks ini, epistemologi ateisme
berperan sebagai kritik terhadap bentuk pengetahuan dogmatis yang menuntut
penerimaan tanpa pembuktian. Dengan menolak sumber pengetahuan yang bersifat
wahyudi, ateisme menegaskan bahwa pengetahuan sejati adalah hasil penyelidikan
kritis dan terbuka terhadap koreksi.¹²
4.3. Ateisme dan Ilmu Pengetahuan
Hubungan antara
ateisme dan sains bersifat epistemologis dan metodologis. Ilmu pengetahuan
modern bekerja berdasarkan prinsip naturalistik—yakni bahwa semua fenomena alam
dapat dijelaskan tanpa merujuk pada sebab-sebab supranatural.¹³ Dalam hal ini,
ateisme menjadi konsekuensi logis dari penerapan metode ilmiah secara
konsisten. Richard Dawkins menyebut ateisme sebagai “naturalisme
epistemologis,” yakni sikap ilmiah yang menolak hipotesis ilahi karena tidak
diperlukan untuk menjelaskan fenomena empiris.¹⁴
Sains, dalam
pandangan ateistik, bukan sekadar alat pengetahuan, tetapi juga paradigma
epistemik yang menegaskan otonomi manusia dalam memahami realitas. Dengan
menempatkan observasi, eksperimentasi, dan deduksi rasional sebagai dasar
pengetahuan, ateisme menolak segala bentuk pengetahuan yang mengklaim otoritas
absolut tanpa bukti.¹⁵ Karena itu, ateisme tidak identik dengan nihilisme
epistemologis, melainkan dengan komitmen terhadap prinsip verifikasi dan
keterbukaan terhadap revisi berdasarkan bukti baru.¹⁶
4.4. Epistemic Humility dan Kritik terhadap Dogmatisme
Meskipun ateisme
sering dianggap sebagai posisi yang menolak iman, secara epistemologis ia
justru mengandung semangat kerendahan epistemik (epistemic
humility). Ateisme mengakui keterbatasan akal manusia dalam
menjangkau realitas secara total, dan karena itu menolak klaim kepastian
absolut baik dari teisme maupun metafisika tradisional.¹⁷ Dengan demikian,
ateisme bersifat skeptis, namun bukan skeptisisme total: ia menolak pengetahuan
yang tidak dapat diverifikasi, tetapi tetap terbuka terhadap penyelidikan dan
koreksi rasional.
Karl Popper menyebut
sikap ini sebagai “rasionalisme kritis,” di mana pengetahuan selalu bersifat
tentatif dan berkembang melalui proses falsifikasi.¹⁸ Dalam konteks ini,
epistemologi ateisme bukan dogma baru, melainkan metode berpikir yang menolak
segala bentuk otoritas kebenaran yang tidak dapat diuji. Ia menempatkan manusia
bukan sebagai pemegang kebenaran absolut, tetapi sebagai pencari pengetahuan
yang sadar akan keterbatasannya sendiri.¹⁹
Pengetahuan, Makna, dan Rasionalitas Manusia
Dalam epistemologi
ateisme, pencarian makna tidak lagi bersumber dari wahyu atau mitos, tetapi
dari kemampuan rasional manusia untuk memahami dunia.²⁰ Makna dan nilai muncul
melalui aktivitas intelektual dan eksistensial manusia, bukan dari tatanan
metafisik eksternal. Dengan demikian, ateisme tidak meniadakan makna hidup,
melainkan menegaskan bahwa makna harus dihasilkan melalui refleksi dan tindakan
sadar.²¹
Ateisme memandang
pengetahuan bukan sebagai penyingkapan terhadap realitas ilahi, melainkan
sebagai konstruksi rasional yang berkembang melalui dialog antara manusia dan
dunia.²² Dengan menolak sumber pengetahuan transenden, epistemologi ateisme
menempatkan tanggung jawab pengetahuan sepenuhnya di tangan manusia, sebagai
makhluk yang berpikir, bertanya, dan bereksperimen dalam batas pengalaman
empirisnya sendiri.²³
Footnotes
[1]
J. L. Mackie, The Miracle of Theism:
Arguments for and Against the Existence of God (Oxford: Clarendon Press, 1982), 45–48.
[2]
Alvin Plantinga, Warranted Christian
Belief (Oxford: Oxford University
Press, 2000), 90–92.
[3]
David Hume, Dialogues Concerning
Natural Religion, ed. Richard H.
Popkin (Indianapolis: Hackett, 1980), 36–39.
[4]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge:
Cambridge University Press, 1998), A592/B620–A602/B630.
[5]
Ibid., A633/B661.
[6]
Charles Darwin, On the Origin of
Species (London: John Murray, 1859),
490–492.
[7]
Daniel Dennett, Darwin’s Dangerous
Idea: Evolution and the Meanings of Life (New York: Simon & Schuster, 1995), 201–204.
[8]
Karl Popper, The Logic of Scientific
Discovery (London: Routledge, 1959),
33–35.
[9]
Bertrand Russell, Why I Am Not a
Christian (London: George Allen
& Unwin, 1957), 3–6.
[10]
Antony Flew, “Theology and Falsification,” University 13 (1950):
296–302.
[11]
Richard Dawkins, The God Delusion (London: Bantam Press, 2006), 73–75.
[12]
Paul Kurtz, The Courage to Become:
The Virtues of Humanism (Westport,
CT: Praeger, 1997), 45–47.
[13]
Richard Swinburne, The Existence of God (Oxford: Clarendon Press, 2004), 32–35.
[14]
Dawkins, The God Delusion, 109–112.
[15]
Stephen Hawking and Leonard Mlodinow, The Grand Design (New
York: Bantam Books, 2010), 14–17.
[16]
Victor Stenger, God: The Failed
Hypothesis—How Science Shows That God Does Not Exist (Amherst, NY: Prometheus Books, 2007), 78–81.
[17]
Julian Baggini, Atheism: A Very Short
Introduction (Oxford: Oxford
University Press, 2003), 60–63.
[18]
Popper, The Logic of Scientific
Discovery, 41–44.
[19]
Michael Shermer, Why People Believe
Weird Things: Pseudoscience, Superstition, and Other Confusions of Our Time (New York: Holt Paperbacks, 2002), 19–21.
[20]
Albert Camus, The Rebel, trans. Anthony Bower (New York: Vintage, 1956),
74–77.
[21]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a
Humanism, trans. Carol Macomber (New
Haven: Yale University Press, 2007), 38–40.
[22]
Daniel Dennett, Consciousness Explained (Boston: Little, Brown, 1991), 10–13.
[23]
Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge, MA: Belknap Press, 2007), 563–567.
5.
Etika
dan Aksiologi dalam Ateisme
Etika dan aksiologi
dalam ateisme berangkat dari keyakinan bahwa nilai moral dan makna hidup
dapat dibangun tanpa landasan teologis atau keberadaan Tuhan.¹ Dalam
kerangka metafisika ateistik, manusia bukanlah ciptaan dengan tujuan moral yang
ditetapkan secara eksternal, melainkan subjek otonom yang bertanggung jawab
menciptakan dan memelihara nilai-nilai moral melalui rasionalitas, empati, dan
pengalaman sosial. Dengan demikian, etika ateisme tidak didasarkan pada perintah
ilahi (divine
command theory), tetapi pada otonomi moral manusia dan kapasitasnya
untuk refleksi etis yang rasional.²
5.1. Fondasi Etika tanpa Tuhan
Ateisme menolak
pandangan bahwa moralitas membutuhkan keberadaan Tuhan sebagai sumber
kebaikan.³ Kritik terhadap divine command theory telah
dikemukakan sejak zaman Yunani melalui dilema Euthyphro dalam dialog Plato,
yang menanyakan apakah sesuatu itu baik karena diperintahkan oleh Tuhan, atau
diperintahkan karena ia baik pada dirinya sendiri.⁴ Pertanyaan ini membuka
ruang bagi penegasan bahwa nilai moral memiliki dasar independen dari kehendak
ilahi.
Dalam kerangka
modern, filsuf seperti Immanuel Kant, meskipun bukan ateis, memberikan
kontribusi besar pada gagasan moralitas otonom melalui konsep imperatif
kategoris.⁵ Prinsip ini menyatakan bahwa tindakan moral adalah
tindakan yang dapat dijadikan hukum universal oleh rasio manusia, tanpa
memerlukan legitimasi teologis. Dalam konteks ateisme, prinsip ini diperluas:
manusia dianggap memiliki kemampuan rasional untuk menentukan apa yang benar
atau salah berdasarkan empati, konsekuensi, dan kesejahteraan bersama.⁶
Humanisme sekuler
kemudian menjadi salah satu fondasi utama etika ateistik. Tokoh-tokoh seperti
Paul Kurtz dan Corliss Lamont menekankan bahwa nilai-nilai moral lahir dari
kebutuhan manusia untuk hidup bermakna dalam komunitas, bukan dari perintah
adikodrati.⁷ Etika humanistik ateistik menekankan dignity of man, otonomi individu,
dan tanggung jawab sosial yang bersumber dari kesadaran kemanusiaan.⁸
5.2. Rasionalitas, Empati, dan Moralitas Evolusioner
Etika ateistik
berpijak pada pandangan bahwa moralitas adalah hasil evolusi biologis dan
perkembangan sosial manusia.⁹ Sains evolusi menunjukkan bahwa perilaku moral
seperti kerja sama, altruisme, dan empati dapat dijelaskan secara naturalistik
sebagai strategi adaptif yang mendukung kelangsungan spesies.¹⁰ Dengan
demikian, moralitas tidak perlu diasumsikan berasal dari wahyu atau sumber
adikodrati, melainkan dari dinamika sosial dan biologis yang menguntungkan
kehidupan bersama.
Richard Dawkins,
dalam The
Selfish Gene, menegaskan bahwa altruisme dapat muncul dari
mekanisme evolusi genetik yang mendorong kerja sama dan solidaritas.¹¹ Demikian
pula, Frans de Waal menunjukkan bahwa hewan sosial seperti simpanse dan bonobo
menunjukkan perilaku empatik dan moral dasar, membuktikan bahwa moralitas bukan
monopoli manusia beragama.¹² Dalam konteks epistemologi moral ateistik,
moralitas dipahami sebagai produk evolusi kognitif yang kemudian disempurnakan
oleh refleksi rasional.¹³
Rasionalitas dalam
ateisme berperan untuk mengevaluasi tindakan moral berdasarkan konsekuensi
empiris dan logika etis, bukan pada ketaatan buta terhadap dogma.¹⁴ Oleh karena
itu, moralitas ateistik bersifat pragmatis dan kontekstual, berfokus
pada pengurangan penderitaan dan peningkatan kesejahteraan manusia.¹⁵
5.3. Tanggung Jawab, Kebebasan, dan Otonomi Moral
Ateisme menegaskan
bahwa ketiadaan Tuhan tidak menghapus nilai moral, melainkan memindahkan sumber
moralitas dari luar diri manusia ke dalam dirinya sendiri.¹⁶ Jean-Paul Sartre
mengartikulasikan hal ini melalui konsep eksistensi mendahului esensi—manusia
tidak memiliki kodrat moral yang ditentukan sebelumnya, melainkan menciptakan
makna dan nilai melalui tindakannya.¹⁷ Dalam ketiadaan Tuhan, manusia justru
lebih bertanggung jawab karena ia tidak dapat menyalahkan kehendak ilahi atas
tindakannya sendiri.¹⁸
Albert Camus
menegaskan bahwa meskipun dunia bersifat absurd dan tanpa makna objektif,
manusia tetap memiliki kewajiban moral untuk menolak ketidakadilan dan menegakkan
solidaritas.¹⁹ Etika Camus bersifat etika pemberontakan: moralitas
lahir bukan dari ketaatan terhadap Tuhan, tetapi dari kesadaran tragis manusia
akan absurditas dan penderitaan bersama.²⁰ Dalam hal ini, ateisme melahirkan
etika tanggung jawab, di mana manusia menjadi pusat penentu nilai dan
tindakan.²¹
5.4. Aksiologi Ateisme: Nilai, Makna, dan Tujuan Hidup
Dalam ranah
aksiologi, ateisme menolak gagasan bahwa makna hidup harus bergantung pada
tujuan kosmis atau kehidupan setelah mati.²² Nilai dan makna hidup diciptakan
secara imanen melalui pengalaman, kreativitas, dan relasi antar manusia.²³
Albert Camus menyatakan bahwa kesadaran akan ketiadaan makna metafisik justru
membebaskan manusia untuk menciptakan makna yang autentik.²⁴
Aksiologi ateistik
berpusat pada nilai-nilai seperti kebebasan, kebenaran, kejujuran intelektual,
keadilan sosial, dan kasih sayang.²⁵ Nilai-nilai ini bukan dogma, tetapi hasil
refleksi manusia tentang kondisi eksistensialnya sendiri. Paul Kurtz
menyebutnya sebagai eupraxsophy—filsafat kehidupan yang
baik tanpa agama, yang didasarkan pada penalaran etis dan empati.²⁶
Dengan demikian,
ateisme menawarkan suatu bentuk aksiologi yang bersifat humanistik
dan imanen, di mana nilai-nilai moral tidak memerlukan validasi
transenden.²⁷ Dalam kerangka ini, manusia menjadi pusat penilaian moral dan
tujuan hidupnya sendiri: bukan makhluk yang menunggu makna dari luar, melainkan
pencipta makna di dalam dunia yang tanpa Tuhan.²⁸
Kritik dan Tantangan Etika Ateistik
Salah satu kritik
utama terhadap etika ateisme adalah tuduhan bahwa tanpa Tuhan, moralitas
kehilangan dasar objektif.²⁹ Namun, para filsuf ateistik menanggapi bahwa
objektivitas moral tidak bergantung pada keberadaan Tuhan, melainkan pada
rasionalitas intersubjektif dan kesepakatan universal yang lahir dari empati
dan logika moral.³⁰ Julian Baggini berargumen bahwa moralitas ateistik bahkan
lebih jujur karena tidak didasarkan pada imbalan atau hukuman ilahi, tetapi
pada komitmen terhadap kemanusiaan itu sendiri.³¹
Etika ateisme dengan
demikian menolak baik relativisme ekstrem maupun absolutisme dogmatis, dan
memilih posisi realisme etis yang rasional dan humanistik.³²
Moralitas tanpa Tuhan bukanlah nihilisme, melainkan pengakuan bahwa manusia
adalah makhluk yang mampu menilai, memilih, dan bertanggung jawab secara
sadar.³³
Footnotes
[1]
Paul Kurtz, Forbidden Fruit: The
Ethics of Humanism (Buffalo, NY:
Prometheus Books, 1988), 5–7.
[2]
Kai Nielsen, Ethics without God (Buffalo, NY: Prometheus Books, 1990), 9–11.
[3]
J. L. Mackie, Ethics: Inventing Right
and Wrong (London: Penguin Books,
1977), 35–38.
[4]
Plato, Euthyphro, in The
Dialogues of Plato, trans. Benjamin
Jowett (Oxford: Clarendon Press, 1892), 10a–11b.
[5]
Immanuel Kant, Groundwork for the
Metaphysics of Morals, trans. Mary
Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 421–423.
[6]
Peter Singer, Practical Ethics (Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 4–6.
[7]
Paul Kurtz, The Courage to Become:
The Virtues of Humanism (Westport,
CT: Praeger, 1997), 12–15.
[8]
Corliss Lamont, The Philosophy of
Humanism (New York: Frederick Ungar
Publishing, 1965), 19–23.
[9]
Frans de Waal, Primates and
Philosophers: How Morality Evolved
(Princeton: Princeton University Press, 2006), 32–35.
[10]
Patricia Churchland, Braintrust:
What Neuroscience Tells Us about Morality (Princeton: Princeton University Press, 2011), 24–27.
[11]
Richard Dawkins, The Selfish Gene (Oxford: Oxford University Press, 1976), 131–134.
[12]
Frans de Waal, Good Natured: The
Origins of Right and Wrong in Humans and Other Animals (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1996),
41–44.
[13]
Michael Ruse, Taking Darwin
Seriously: A Naturalistic Approach to Philosophy (Oxford: Basil Blackwell, 1986), 89–91.
[14]
Bertrand Russell, Religion and Science (London: Oxford University Press, 1935), 85–88.
[15]
Richard Carrier, Sense and Goodness
without God: A Defense of Metaphysical Naturalism (Bloomington, IN: AuthorHouse, 2005), 269–272.
[16]
Kai Nielsen, God and the Grounding
of Morality (Ottawa: University of
Ottawa Press, 1991), 58–61.
[17]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Philosophical
Library, 1956), 553–555.
[18]
Ibid., 565.
[19]
Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O’Brien (New York: Vintage, 1955),
28–30.
[20]
Albert Camus, The Rebel, trans. Anthony Bower (New York: Vintage, 1956),
76–78.
[21]
Susan Neiman, Moral Clarity: A Guide
for Grown-Up Idealists (New York:
Harcourt, 2008), 102–105.
[22]
Julian Baggini, What’s It All About?
Philosophy and the Meaning of Life
(Oxford: Oxford University Press, 2005), 47–49.
[23]
Ronald Dworkin, Religion without God (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2013),
20–23.
[24]
Camus, The Myth of Sisyphus, 48–50.
[25]
Paul Kurtz, Living without
Religion: Eupraxophy (Buffalo, NY:
Prometheus Books, 1994), 22–25.
[26]
Ibid., 28–31.
[27]
Richard Norman, On Humanism (London: Routledge, 2004), 59–62.
[28]
Sartre, Existentialism Is a
Humanism, trans. Carol Macomber (New
Haven: Yale University Press, 2007), 42–44.
[29]
William Lane Craig, Reasonable
Faith: Christian Truth and Apologetics
(Wheaton, IL: Crossway Books, 2008), 73–75.
[30]
Kai Nielsen, Ethics without God, 115–118.
[31]
Julian Baggini, Atheism: A Very Short
Introduction (Oxford: Oxford
University Press, 2003), 74–77.
[32]
Erik Wielenberg, Robust Ethics: The
Metaphysics and Epistemology of Godless Normative Realism (Oxford: Oxford University Press, 2014), 8–10.
[33]
Richard Taylor, Good and Evil (Buffalo, NY: Prometheus Books, 1999), 54–57.
6.
Kritik
terhadap Ateisme
Kritik terhadap
ateisme telah muncul dari berbagai perspektif filsafat, teologi, dan bahkan
dari dalam tradisi sekular sendiri. Kritik ini tidak hanya menyoroti kelemahan
logis dari penolakan terhadap keberadaan Tuhan, tetapi juga menyoal implikasi
etis, eksistensial, dan epistemologis yang dihasilkan dari pandangan ateistik.
Dalam konteks filsafat metafisika, ateisme sering dipandang sebagai posisi yang
menegasikan dimensi terdalam dari realitas dan makna hidup manusia.¹
6.1. Kritik Teistik: Rasionalitas dan Fondasi Ontologis
Dari sudut pandang
teistik klasik, ateisme dikritik karena dianggap gagal memberikan dasar
ontologis yang memadai bagi keberadaan, rasionalitas, dan moralitas.² Thomas
Aquinas dalam Summa Theologiae menegaskan bahwa
eksistensi Tuhan merupakan causa prima (penyebab pertama) yang
niscaya untuk menjelaskan mengapa sesuatu ada alih-alih tidak ada sama sekali.³
Tanpa prinsip penyebab pertama, sistem penjelasan ateistik dianggap jatuh ke
dalam regresi tak berhingga yang tidak dapat diselesaikan.
William Lane Craig
mengembangkan kritik ini melalui Kalam Cosmological Argument, yang
menegaskan bahwa segala sesuatu yang mulai ada memiliki sebab, dan alam semesta
yang memiliki awal memerlukan penyebab yang melampaui ruang dan waktu.⁴ Bagi
Craig, ateisme gagal menjelaskan mengapa alam semesta muncul “dari ketiadaan,”
sementara teisme menyediakan jawaban metafisik yang lebih koheren dengan
postulat adanya penyebab non-material.⁵
Selain itu, para
teolog seperti Alvin Plantinga mengkritik ateisme karena dianggap merusak
fondasi rasionalitas itu sendiri.⁶ Dalam Evolutionary Argument Against Naturalism,
Plantinga berargumen bahwa jika kesadaran manusia hanyalah hasil dari proses
evolusi tanpa arah yang murni material, maka tidak ada jaminan bahwa kemampuan
berpikir kita dapat dipercaya sebagai penghasil kebenaran.⁷ Dengan demikian,
ateisme—yang umumnya berdiri di atas naturalisme—secara epistemik bersifat
“self-defeating,” karena meniadakan keandalan akal yang menjadi dasar seluruh
pengetahuan ilmiah dan filosofisnya sendiri.⁸
6.2. Kritik Etis dan Moral: Problem Nilai Objektif
Kritik moral
terhadap ateisme berfokus pada pertanyaan apakah sistem etika dapat bertahan
tanpa dasar metafisik transenden.⁹ Filsuf seperti C. S. Lewis menegaskan bahwa
adanya nilai moral objektif dan universal hanya dapat dijelaskan jika ada
sumber moral yang melampaui manusia.¹⁰ Menurutnya, jika Tuhan tidak ada, maka
tidak ada alasan rasional untuk menganggap satu tindakan lebih baik dari
tindakan lain selain preferensi subjektif.¹¹
Dalam pandangan yang
serupa, Immanuel Kant—meskipun tidak membela teisme dogmatis—menganggap bahwa
eksistensi Tuhan diperlukan secara praktis (postulat of practical reason) untuk
menjamin keterpaduan antara kebajikan moral dan kebahagiaan.¹² Tanpa asumsi
tersebut, kehidupan moral kehilangan arah teleologisnya.¹³ Kritik ini sering
diarahkan kepada ateisme modern yang mengandalkan moralitas sekuler, yang
dianggap berisiko jatuh ke dalam relativisme moral atau nihilisme
etis, karena tidak memiliki fondasi normatif yang absolut.¹⁴
Sebagai contoh,
Friedrich Nietzsche sendiri—yang sering dianggap sebagai ikon ateisme
eksistensial—menyadari bahwa “kematian Tuhan” akan membawa konsekuensi nilai
yang destruktif bagi peradaban Barat.¹⁵ Ia menyebut nihilisme sebagai “bahaya
terbesar umat manusia,” karena tanpa Tuhan, seluruh sistem moral tradisional
kehilangan legitimasi ontologisnya.¹⁶ Kritik ini, meski berasal dari dalam
ateisme itu sendiri, menunjukkan paradoks internal: ateisme membebaskan manusia
dari absolutisme ilahi, tetapi sekaligus mengosongkan landasan moral yang
kokoh.¹⁷
6.3. Kritik Eksistensial dan Spiritualitas
Kritik lain terhadap
ateisme datang dari dimensi eksistensial dan spiritual. Ateisme dianggap
mereduksi realitas manusia menjadi sekadar fenomena material, sehingga gagal
menangkap dimensi makna, keagungan, dan keheningan batin yang menjadi bagian
integral dari pengalaman manusia.¹⁸ Viktor Frankl, seorang psikoterapis
eksistensial yang selamat dari kamp konsentrasi Nazi, menegaskan bahwa
penderitaan manusia hanya dapat ditanggung apabila ia menemukan makna yang
melampaui dirinya sendiri.¹⁹ Dalam kerangka ini, ateisme dikritik karena
menolak prinsip transendensi yang memberikan arah bagi kehidupan.²⁰
Paul Tillich, dalam The
Courage to Be, menyebut ateisme sebagai bentuk “kehilangan
keberanian ontologis,” yaitu ketidakmampuan manusia untuk mengafirmasi
keberadaannya di hadapan misteri Ada.²¹ Ia membedakan antara “ateisme
eksistensial” yang menolak Tuhan dogmatis dengan “ateisme patologis” yang
menolak segala bentuk transendensi dan makna.²² Bagi Tillich, manusia
membutuhkan dimensi ultim untuk melampaui keterbatasan empirisnya; penolakan
terhadap hal itu akan menghasilkan kekosongan spiritual yang berujung pada
keputusasaan.²³
6.4. Kritik dari Dalam Ateisme: Rasionalitas dan
Reduksionisme
Kritik terhadap
ateisme juga datang dari para pemikir sekuler sendiri yang menilai bahwa
sebagian bentuk ateisme modern terlalu reduksionistik dan dogmatis.²⁴
Filsuf postmodern seperti Jean-Luc Marion dan Jacques Derrida menyoroti bahwa
“ateisme positivistik” (misalnya New Atheism) terjebak dalam pola
pikir ilmiah yang meniadakan kemungkinan makna non-material.²⁵ Marion
menyebutnya sebagai bentuk “teologi negatif tanpa kesadaran,” di mana penolakan
terhadap Tuhan justru masih bergantung pada kategori ontoteologis yang ingin
ditolak.²⁶
Selain itu, ateisme
kontemporer juga dikritik karena kecenderungannya bersifat militan
dan ideologis. Richard Dawkins, Christopher Hitchens, dan Sam
Harris, misalnya, sering dikritik karena menyederhanakan pengalaman religius
menjadi ilusi psikologis tanpa memahami nilai eksistensial dan simboliknya.²⁷
John Gray menilai bahwa New Atheism adalah bentuk
“sekularisme teologis”—yakni masih membawa semangat misioner agama yang mereka
tolak, namun dengan narasi baru berbasis sains.²⁸
Kritik internal ini
menunjukkan bahwa ateisme perlu mengembangkan refleksi yang lebih dalam
terhadap pengalaman manusia, bukan hanya menolak Tuhan secara konseptual,
tetapi juga memahami kebutuhan eksistensial akan makna, nilai, dan keutuhan.²⁹
Kritik Humanistik: Keterbatasan Antroposentrisme
Akhirnya, beberapa
kritik terhadap ateisme datang dari pendekatan humanistik yang menyoroti antroposentrisme
ekstrem dalam filsafat ateistik.³⁰ Dengan menempatkan manusia
sebagai sumber tunggal nilai dan makna, ateisme berisiko mengabaikan dimensi
ekologis dan kosmis dari keberadaan.³¹ Filsuf seperti Charles Taylor dan Hans
Jonas mengingatkan bahwa penghapusan prinsip transendensi dapat memperlemah
rasa tanggung jawab terhadap alam dan masa depan umat manusia.³²
Hans Jonas, dalam The
Imperative of Responsibility, berargumen bahwa manusia membutuhkan
prinsip etis yang melampaui dirinya sendiri untuk menjamin kelestarian
kehidupan.³³ Tanpa kesadaran tentang “yang lebih besar dari manusia,” moralitas
mudah tergelincir menjadi utilitarianisme sempit yang hanya mempertimbangkan
kepentingan jangka pendek.³⁴ Dengan demikian, kritik humanistik menekankan
perlunya ateisme untuk mengembangkan bentuk spiritualitas sekuler yang
menumbuhkan rasa keterhubungan dengan realitas yang lebih luas dari diri
manusia.³⁵
Footnotes
[1]
J. L. Mackie, The Miracle of Theism:
Arguments for and Against the Existence of God (Oxford: Clarendon Press, 1982), 112–114.
[2]
Alvin Plantinga, Warranted Christian
Belief (Oxford: Oxford University
Press, 2000), 95–97.
[3]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, trans. Fathers of the English Dominican Province
(New York: Benziger Bros., 1947), I, q.2, a.3.
[4]
William Lane Craig, Reasonable
Faith: Christian Truth and Apologetics
(Wheaton, IL: Crossway Books, 2008), 107–110.
[5]
Ibid., 113–116.
[6]
Alvin Plantinga, “Naturalism Defeated?” in Naturalism Defeated? Essays on Plantinga’s Evolutionary Argument
Against Naturalism, ed. James Beilby
(Ithaca, NY: Cornell University Press, 2002), 1–12.
[7]
Ibid., 10–14.
[8]
Victor Reppert, C. S. Lewis’s Dangerous
Idea: In Defense of the Argument from Reason (Downers Grove, IL: InterVarsity Press, 2003), 45–49.
[9]
Kai Nielsen, Ethics without God (Buffalo, NY: Prometheus Books, 1990), 81–84.
[10]
C. S. Lewis, Mere Christianity (London: Geoffrey Bles, 1952), 18–21.
[11]
Ibid., 23.
[12]
Immanuel Kant, Critique of Practical
Reason, trans. Mary Gregor
(Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 5:122–125.
[13]
Ibid., 5:127.
[14]
John Hare, The Moral Gap: Kantian
Ethics, Human Limits, and God’s Assistance (Oxford: Oxford University Press, 1996), 32–36.
[15]
Friedrich Nietzsche, The
Gay Science, trans. Walter Kaufmann
(New York: Vintage, 1974), §125.
[16]
Friedrich Nietzsche, Will
to Power, trans. Walter Kaufmann and
R. J. Hollingdale (New York: Vintage, 1968), 9–11.
[17]
Alexander Nehamas, Nietzsche: Life as
Literature (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1985), 78–81.
[18]
Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge, MA: Belknap Press, 2007), 641–643.
[19]
Viktor E. Frankl, Man’s Search for
Meaning (Boston: Beacon Press,
2006), 88–90.
[20]
Ibid., 101–103.
[21]
Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven: Yale University Press, 1952), 164–167.
[22]
Ibid., 174–176.
[23]
Paul Tillich, Dynamics of Faith (New York: Harper & Row, 1957), 28–30.
[24]
John Gray, Straw Dogs: Thoughts on
Humans and Other Animals (London:
Granta Books, 2002), 23–25.
[25]
Jean-Luc Marion, God without Being, trans. Thomas A. Carlson (Chicago: University of
Chicago Press, 1991), 19–22.
[26]
Ibid., 31–34.
[27]
Terry Eagleton, Reason, Faith, and
Revolution: Reflections on the God Debate (New Haven: Yale University Press, 2009), 27–30.
[28]
John Gray, Seven Types of Atheism (London: Allen Lane, 2018), 2–4.
[29]
Ibid., 120–122.
[30]
Hans Jonas, The Imperative of
Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 7–10.
[31]
Charles Taylor, Sources of the Self:
The Making of the Modern Identity
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 71–74.
[32]
Ibid., 75–78.
[33]
Jonas, The Imperative of
Responsibility, 24–28.
[34]
Ibid., 40–42.
[35]
Ronald Dworkin, Religion without God (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2013),
145–148.
7.
Relevansi
Kontemporer Ateisme
Relevansi ateisme
dalam dunia kontemporer semakin signifikan seiring dengan perkembangan sains,
sekularisasi, pluralisme agama, dan transformasi budaya modern. Ateisme tidak
lagi hanya menjadi posisi filosofis minoritas, melainkan bagian dari lanskap
intelektual global yang memengaruhi pemikiran ilmiah, politik, moral, dan
sosial. Dalam konteks ini, ateisme berfungsi sebagai kritik terhadap
absolutisme religius sekaligus sebagai kerangka rasional baru bagi pencarian
makna dalam dunia yang semakin imanen dan terfragmentasi.¹
7.1. Ateisme dan Sekularisasi Masyarakat Modern
Salah satu relevansi
utama ateisme terletak pada perannya dalam proses sekularisasi
yang menandai modernitas. Menurut Peter L. Berger, sekularisasi bukan hanya
penurunan kepercayaan terhadap agama, tetapi juga pergeseran kesadaran manusia
dari dunia yang “dihuni makna ilahi” menuju dunia yang otonom dan profan.²
Dalam konteks ini, ateisme menjadi ekspresi filosofis dari proses rasionalisasi
dan diferensiasi sosial yang menyingkirkan otoritas teologis dari ruang
publik.³
Charles Taylor
menjelaskan bahwa modernitas tidak menghasilkan “hilangnya iman,” melainkan
kemunculan “kondisi keimanan” baru di mana kepercayaan terhadap Tuhan menjadi
salah satu pilihan di antara banyak kemungkinan makna eksistensial.⁴ Ateisme,
dalam hal ini, berperan sebagai salah satu “jalan imanen” untuk memahami
eksistensi manusia di dunia yang tidak lagi dijamin oleh transendensi.⁵ Dengan
berkembangnya sains dan teknologi, ateisme menjadi simbol kematangan
intelektual dan kebebasan berpikir, di mana kebenaran tidak lagi diukur dari
otoritas ilahi, melainkan dari rasionalitas kritis.⁶
7.2. Ateisme dalam Diskursus Sains dan Teknologi
Dalam era digital
dan ilmiah, ateisme memperoleh relevansi baru sebagai bentuk naturalisme
ilmiah yang menolak penjelasan supranatural terhadap fenomena
dunia.⁷ Tokoh-tokoh seperti Richard Dawkins, Stephen Hawking, dan Lawrence
Krauss berargumentasi bahwa kemajuan kosmologi dan biologi evolusioner telah
menghapus kebutuhan akan konsep Tuhan sebagai penjelasan ontologis.⁸ Misalnya,
teori quantum
vacuum fluctuation dan model kosmologi inflasi menjelaskan
bagaimana alam semesta dapat muncul tanpa penyebab eksternal.⁹
Pandangan ini
menegaskan bahwa sains bukan hanya kompatibel dengan ateisme, tetapi juga
memperkuat posisinya sebagai kerangka pengetahuan yang memadai untuk
menjelaskan realitas. Daniel Dennett bahkan menyebut ateisme sebagai
konsekuensi logis dari penerapan metode ilmiah secara konsisten.¹⁰ Dalam
masyarakat yang semakin berbasis data, logika, dan teknologi, ateisme
menawarkan paradigma epistemologis yang menempatkan skeptisisme dan keterbukaan
terhadap koreksi sebagai prinsip utama pencarian kebenaran.¹¹
Namun, relevansi
ateisme di ranah sains juga menimbulkan tantangan baru: bagaimana menjaga
keseimbangan antara penjelasan ilmiah yang materialistik dan kebutuhan manusia
akan makna eksistensial.¹² Sebagian filsuf kontemporer berusaha menjawab dilema
ini melalui scientific humanism, yaitu
pendekatan yang menggabungkan rasionalitas ilmiah dengan nilai-nilai
kemanusiaan dan etika sekuler.¹³
7.3. Ateisme dan Politik Sekular
Dalam ranah
sosial-politik, ateisme berkontribusi terhadap penguatan nilai-nilai
sekularisme, demokrasi, dan kebebasan beragama. John Rawls
dalam Political
Liberalism menegaskan bahwa masyarakat pluralistik membutuhkan
dasar moral yang netral secara metafisis agar semua warga, baik religius maupun
non-religius, dapat hidup berdampingan.¹⁴ Ateisme, sebagai salah satu posisi
sekuler, menjadi bagian dari perjuangan untuk memisahkan institusi agama dari
negara serta mempertahankan ruang publik yang berbasis rasionalitas dan
keadilan universal.¹⁵
Di berbagai negara,
terutama di Eropa Barat dan Amerika Utara, meningkatnya populasi “nones”
(mereka yang tidak berafiliasi agama) menandai munculnya kesadaran baru bahwa
moralitas dan tanggung jawab sosial dapat dibangun tanpa landasan teologis.¹⁶
Gerakan seperti Freedom From Religion Foundation
dan Atheist
Alliance International memperjuangkan hak-hak kaum non-teistik
untuk diakui secara legal dan sosial.¹⁷ Dalam konteks global, ateisme berperan
penting dalam mempromosikan toleransi, kebebasan berpikir, dan resistensi
terhadap fundamentalisme agama.¹⁸
7.4. Ateisme dan Isu Eksistensial Manusia Modern
Ateisme juga relevan
dalam menjawab krisis makna dan identitas
manusia modern yang hidup di tengah dislokasi spiritual dan alienasi
eksistensial.¹⁹ Dengan hilangnya Tuhan dari struktur makna, manusia dihadapkan
pada kebebasan radikal untuk menciptakan nilai-nilainya sendiri.²⁰ Sartre
menyebut hal ini sebagai “beban kebebasan,” yakni kondisi di mana manusia
sepenuhnya bertanggung jawab atas tindakannya tanpa bisa berlindung di balik
kehendak ilahi.²¹
Albert Camus
menafsirkan situasi ini sebagai bentuk absurditas, tetapi juga peluang untuk
menciptakan makna otentik di dunia yang tanpa arah metafisik.²² Dalam pandangan
ateistik kontemporer, kesadaran akan ketiadaan Tuhan tidak berarti
keputusasaan, melainkan peluang untuk menemukan spiritualitas baru yang berbasis
empati, solidaritas, dan tanggung jawab terhadap sesama.²³ Beberapa pemikir
bahkan memperkenalkan istilah spiritualitas tanpa Tuhan sebagai
bentuk refleksi batin yang tidak bertentangan dengan rasionalitas ilmiah.²⁴
7.5. Ateisme dan Tantangan Postmodernitas
Dalam konteks
postmodern, relevansi ateisme juga diperdebatkan. Para pemikir seperti Jean
Baudrillard dan Jacques Derrida menunjukkan bahwa proyek ateistik modern sering
kali masih bergantung pada struktur biner teisme–ateisme yang bersifat
modernistik.²⁵ Derrida, dalam gagasan “agama tanpa agama,” mengusulkan
pendekatan yang lebih dekonstruktif terhadap Tuhan—bukan menolak-Nya secara
ontologis, tetapi membebaskannya dari konsep dogmatis tradisional.²⁶ Dengan
demikian, ateisme kontemporer ditantang untuk bergerak melampaui penolakan
metafisik dan mengembangkan bentuk spiritualitas reflektif yang
tetap rasional, terbuka, dan etis.²⁷
Di sisi lain, post-secular
philosophy yang dikemukakan oleh Jürgen Habermas menegaskan bahwa
masyarakat modern tidak sepenuhnya dapat “meninggalkan agama.”²⁸ Ia berpendapat
bahwa nilai-nilai rasionalitas publik perlu terus berdialog dengan tradisi
religius untuk memperkaya horizon moral dan eksistensial manusia.²⁹ Dalam
konteks ini, relevansi ateisme tidak terletak pada dominasi atas agama, tetapi
pada kemampuannya untuk berpartisipasi dalam diskursus moral global secara
kritis dan dialogis.³⁰
7.6. Ateisme, Ekologi, dan Etika Global
Relevansi ateisme di
abad ke-21 juga meluas ke ranah etika ekologis dan tanggung jawab global.³¹
Dengan menolak antropologi teosentris, ateisme membuka kemungkinan etika baru
yang menekankan keterikatan manusia pada alam semesta.³² Hans Jonas dan Arne
Naess menekankan bahwa tanggung jawab etis terhadap bumi tidak harus didasarkan
pada kepercayaan religius, tetapi dapat tumbuh dari kesadaran ekologis yang
rasional dan empatik.³³
Dalam dunia yang
dihadapkan pada krisis lingkungan, perubahan iklim, dan ancaman eksistensial,
ateisme menawarkan paradigma aksiologis yang berbasis pada solidaritas
antar-makhluk hidup.³⁴ Nilai-nilai seperti tanggung jawab ekologis, keadilan
antargenerasi, dan kepedulian terhadap kehidupan dapat dijustifikasi tanpa
rujukan kepada Tuhan, melainkan melalui prinsip keberlanjutan dan kesejahteraan
bersama.³⁵
Sintesis Relevansi Kontemporer
Dengan demikian,
relevansi ateisme dalam dunia kontemporer melampaui sekadar penolakan terhadap
Tuhan. Ia merupakan bagian dari dinamika filsafat modern yang terus berupaya
memahami manusia, pengetahuan, dan nilai dalam horizon imanen. Ateisme
menegaskan bahwa manusia dapat hidup secara etis, bermakna, dan bertanggung
jawab tanpa landasan teologis.³⁶ Di tengah tantangan pluralisme,
post-sekularitas, dan krisis global, ateisme berfungsi sebagai kerangka
reflektif kritis yang mengajak manusia untuk meneguhkan
kemanusiaannya melalui rasionalitas, empati, dan solidaritas universal.³⁷
Footnotes
[1]
Julian Baggini, Atheism: A Very Short
Introduction (Oxford: Oxford
University Press, 2003), 91–93.
[2]
Peter L. Berger, The Sacred Canopy:
Elements of a Sociological Theory of Religion (New York: Anchor Books, 1967), 107–110.
[3]
Steve Bruce, God Is Dead:
Secularization in the West (Oxford:
Blackwell, 2002), 3–5.
[4]
Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge, MA: Belknap Press, 2007), 423–427.
[5]
Ibid., 541–544.
[6]
Richard Norman, On Humanism (London: Routledge, 2004), 58–60.
[7]
Daniel Dennett, Breaking the Spell:
Religion as a Natural Phenomenon
(New York: Viking, 2006), 21–23.
[8]
Stephen Hawking and Leonard Mlodinow, The Grand Design (New
York: Bantam Books, 2010), 12–15.
[9]
Lawrence M. Krauss, A
Universe from Nothing: Why There Is Something Rather Than Nothing (New York: Free Press, 2012), 145–148.
[10]
Dennett, Breaking the Spell, 239–242.
[11]
Victor Stenger, God: The Failed
Hypothesis—How Science Shows That God Does Not Exist (Amherst, NY: Prometheus Books, 2007), 83–85.
[12]
Philip Kitcher, Life after Faith: The
Case for Secular Humanism (New
Haven: Yale University Press, 2014), 14–17.
[13]
Paul Kurtz, Living without
Religion: Eupraxophy (Buffalo, NY: Prometheus
Books, 1994), 33–36.
[14]
John Rawls, Political Liberalism (New York: Columbia University Press, 1993), 212–215.
[15]
Martha C. Nussbaum, Liberty
of Conscience: In Defense of America’s Tradition of Religious Equality (New York: Basic Books, 2008), 61–64.
[16]
Pew Research Center, “The Global Religious Landscape,” December 2012,
8–9.
[17]
Atheist
Alliance International, “About Us,”
accessed October 2025, atheistalliance.org.
[18]
Ronald Dworkin, Religion without God (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2013),
55–58.
[19]
Charles Taylor, Sources of the Self:
The Making of the Modern Identity
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 66–68.
[20]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Philosophical
Library, 1956), 559–561.
[21]
Ibid., 565.
[22]
Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O’Brien (New York: Vintage, 1955),
28–31.
[23]
Ronald Aronson, Living without God: New
Directions for Atheists, Agnostics, Secularists, and the Undecided (Berkeley: Counterpoint, 2008), 24–27.
[24]
André Comte-Sponville, The
Little Book of Atheist Spirituality,
trans. Nancy Huston (New York: Viking, 2007), 13–16.
[25]
Jean Baudrillard, The Transparency of
Evil: Essays on Extreme Phenomena
(London: Verso, 1993), 92–94.
[26]
Jacques Derrida, Acts of Religion, ed. Gil Anidjar (New York: Routledge, 2002), 51–53.
[27]
Ibid., 70–72.
[28]
Jürgen Habermas, An Awareness of What Is
Missing: Faith and Reason in a Post-Secular Age (Cambridge: Polity Press, 2010), 15–17.
[29]
Ibid., 21–23.
[30]
Charles Taylor, A Secular Age, 648–650.
[31]
Hans Jonas, The Imperative of
Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 23–25.
[32]
Arne Naess, Ecology, Community and
Lifestyle: Outline of an Ecosophy,
trans. David Rothenberg (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 28–31.
[33]
Jonas, The Imperative of
Responsibility, 40–43.
[34]
Peter Singer, One World: The Ethics
of Globalization (New Haven: Yale
University Press, 2002), 13–15.
[35]
Paul Kurtz, The Courage to Become:
The Virtues of Humanism (Westport,
CT: Praeger, 1997), 43–45.
[36]
Julian Baggini, What’s It All About?
Philosophy and the Meaning of Life
(Oxford: Oxford University Press, 2005), 89–91.
[37]
Charles Taylor, A Secular Age, 767–769.
8.
Sintesis
Filosofis
Sintesis filosofis
ateisme menandai upaya untuk memahami posisi ini tidak sekadar sebagai negasi
terhadap teisme, tetapi sebagai kerangka metafisika positif
yang menegaskan otonomi realitas, kebebasan manusia, dan tanggung jawab etis
dalam dunia yang imanen.¹ Dalam sintesis ini, ateisme dapat dipandang sebagai
hasil dialektika historis antara rasionalitas dan iman, antara kebutuhan akan
makna transenden dan pencarian makna imanen.² Ia bukan sekadar “ketiadaan
Tuhan,” tetapi afirmasi terhadap keberadaan manusia dan alam sebagai dasar
makna itu sendiri.
8.1. Integrasi Historis dan Ontologis
Dari segi historis,
ateisme merupakan puncak dari tradisi pemikiran yang menegaskan autonomi
logos atas mitos.³ Sejak filsafat Yunani kuno hingga
modernitas, pemikiran manusia bergerak dari penjelasan teologis menuju
rasionalitas ilmiah dan refleksi eksistensial.⁴ Dalam kerangka ini, ateisme
berfungsi sebagai koreksi terhadap dominasi dogmatis yang menundukkan akal di
bawah otoritas wahyu.
Secara ontologis,
ateisme menggeser pusat realitas dari “Ada Tertinggi” menuju dunia yang
imanen dan otonom.⁵ Realitas tidak lagi ditafsirkan sebagai ciptaan yang
menanti legitimasi metafisik, tetapi sebagai totalitas yang berdiri sendiri,
terbuka terhadap penyelidikan empiris.⁶ Dengan demikian, ateisme mengembalikan
metafisika kepada dasar rasional dan naturalistiknya: dunia dipahami sebagaimana
adanya, tanpa perlu penjelasan eksternal.⁷
8.2. Integrasi Epistemologis dan Ilmiah
Secara
epistemologis, ateisme menegaskan bahwa pengetahuan sejati hanya mungkin
melalui verifikasi empiris dan rasionalitas kritis.⁸
Pandangan ini menyatukan tradisi empirisme, rasionalisme, dan positivisme dalam
satu kerangka metodologis yang menolak klaim kebenaran non-verifikatif.⁹
Ateisme menjadi simbol epistemologi modern yang berpijak pada epistemic
humility—kesadaran akan keterbatasan akal, namun sekaligus
keyakinan bahwa manusia dapat memahami dunia tanpa bantuan transendensi.¹⁰
Dalam konteks sains,
ateisme menjadi paradigma yang memajukan prinsip methodological naturalism, di mana
setiap fenomena dipahami melalui hukum-hukum alam, bukan intervensi
supranatural.¹¹ Dengan demikian, sintesis epistemologis ateisme bukanlah dogma
baru, melainkan komitmen
terhadap keterbukaan, koreksi diri, dan penolakan terhadap absolutisme pengetahuan.¹²
8.3. Integrasi Etis dan Aksiologis
Etika ateisme
berpuncak pada penegasan kemandirian moral manusia.¹³
Dengan tidak adanya sumber moral transenden, manusia justru dipanggil untuk
menciptakan nilai-nilai berdasarkan rasionalitas, empati, dan tanggung jawab
sosial.¹⁴ Dalam pengertian ini, ateisme menolak moralitas heteronom (yang
bersumber dari luar diri manusia) dan menggantinya dengan moralitas otonom yang
didasarkan pada prinsip kemanusiaan universal.¹⁵
Paul Kurtz menyebut
orientasi ini sebagai eupraxsophy—filsafat kehidupan yang
baik tanpa agama, yang menekankan kebahagiaan, kebajikan, dan solidaritas
manusia.¹⁶ Jean-Paul Sartre menambahkan bahwa tanggung jawab moral justru
menemukan puncaknya ketika manusia menyadari bahwa “Tuhan tidak ada”:
manusia menjadi satu-satunya sumber nilai, dan dengan demikian tidak dapat
mengelak dari tanggung jawab atas tindakannya.¹⁷
Aksiologi ateistik
tidak berakhir pada nihilisme, tetapi pada humanisme afirmatif yang
menempatkan manusia sebagai makhluk rasional sekaligus etis.¹⁸ Nilai-nilai
seperti kebebasan, kejujuran intelektual, keadilan sosial, dan kasih sayang
menjadi pusat refleksi moral dalam dunia tanpa Tuhan.¹⁹
8.4. Integrasi Eksistensial dan Spiritualitas Sekuler
Ateisme kontemporer
tidak harus dipahami sebagai anti-spiritualitas, tetapi sebagai bentuk spiritualitas
reflektif yang tidak memerlukan metafisika transenden.²⁰
Pemikir seperti André Comte-Sponville dan Ronald Dworkin menegaskan bahwa rasa
kagum terhadap alam, kesadaran akan keterhubungan eksistensial, dan pencarian
makna hidup dapat tetap eksis dalam kerangka sekuler.²¹ Dengan demikian,
ateisme modern bertransformasi menjadi proyek spiritual humanism: upaya manusia
untuk menemukan kedalaman makna melalui refleksi rasional dan empati, bukan
melalui dogma.²²
Dalam konteks ini,
ateisme melahirkan kesadaran baru tentang transendensi imanen—yakni
kemampuan manusia untuk melampaui dirinya sendiri melalui cinta, seni, ilmu,
dan tanggung jawab etis.²³ Dengan kata lain, ateisme bukanlah penghapusan transendensi,
melainkan transformasi transendensi ke dalam dimensi kehidupan manusia yang
konkret.²⁴
8.5. Ateisme sebagai Kritik dan Jalan Tengah Metafisik
Secara filosofis,
ateisme juga dapat dipandang sebagai kritik dialektis terhadap dua ekstrem:
dogmatisme teistik di satu sisi dan nihilisme skeptik di sisi lain.²⁵ Ia
menolak absolutisme keyakinan religius, tetapi juga menolak keputusasaan yang
menafikan makna. Dalam hal ini, ateisme tampil sebagai jalan tengah metafisik
yang menegaskan kebermaknaan tanpa Tuhan—yakni bahwa makna hidup adalah hasil
proyek reflektif manusia, bukan anugerah dari luar.²⁶
Charles Taylor
menyebut posisi ini sebagai “iman imanen” (immanent faith), di mana manusia
berpegang pada nilai-nilai kebaikan dan kebenaran, bukan karena diperintahkan
oleh entitas ilahi, melainkan karena kesadaran moral dan rasionalitas yang
inheren dalam dirinya.²⁷ Dengan demikian, ateisme filosofis bukan bentuk
penolakan terhadap nilai, tetapi peneguhan terhadap martabat
eksistensi manusia sebagai sumber makna, pengetahuan, dan
moralitas.²⁸
Sintesis Akhir: Menuju Metafisika Keterbukaan
Akhirnya, sintesis
filosofis ateisme menegaskan bahwa posisi ini adalah bagian dari evolusi
kesadaran metafisik manusia menuju metafisika keterbukaan—metafisika
yang tidak menutup diri pada dogma, baik religius maupun materialistik.²⁹
Ateisme, dalam pengertian filosofis, adalah panggilan untuk berpikir tanpa
jaminan, bertindak tanpa perintah ilahi, dan hidup dengan kesadaran penuh akan
tanggung jawab moral di dunia yang terbuka terhadap penafsiran.³⁰
Dengan demikian,
ateisme dapat disimpulkan bukan sebagai akhir dari filsafat agama, melainkan
sebagai tahap reflektif baru dalam perjalanan
metafisika manusia, di mana rasionalitas, kebebasan, dan
solidaritas menggantikan ketergantungan pada otoritas transenden.³¹ Ia menandai
kedewasaan kesadaran manusia yang berani mencari kebenaran, menciptakan nilai,
dan menemukan makna dalam keterbatasan yang justru memperkaya keberadaan itu
sendiri.³²
Footnotes
[1]
Julian Baggini, Atheism: A Very Short
Introduction (Oxford: Oxford
University Press, 2003), 96–98.
[2]
Paul Tillich, Dynamics of Faith (New York: Harper & Row, 1957), 33–35.
[3]
Richard Tarnas, The Passion of the
Western Mind (New York: Ballantine
Books, 1991), 50–52.
[4]
Peter Gay, The Enlightenment: An
Interpretation (New York: W. W.
Norton, 1966), 120–123.
[5]
Friedrich Nietzsche, Beyond
Good and Evil, trans. Walter
Kaufmann (New York: Vintage, 1966), §260.
[6]
Bertrand Russell, Religion and Science (London: Oxford University Press, 1935), 75–78.
[7]
Daniel Dennett, Breaking the Spell:
Religion as a Natural Phenomenon
(New York: Viking, 2006), 243–245.
[8]
Karl Popper, The Logic of Scientific
Discovery (London: Routledge, 1959),
33–36.
[9]
Antony Flew, God and Philosophy (London: Hutchinson, 1966), 45–50.
[10]
Julian Baggini, What’s It All About?
Philosophy and the Meaning of Life
(Oxford: Oxford University Press, 2005), 83–86.
[11]
Victor Stenger, God: The Failed
Hypothesis—How Science Shows That God Does Not Exist (Amherst, NY: Prometheus Books, 2007), 102–106.
[12]
Daniel Dennett, Darwin’s Dangerous
Idea: Evolution and the Meanings of Life (New York: Simon & Schuster, 1995), 512–514.
[13]
Paul Kurtz, Forbidden Fruit: The
Ethics of Humanism (Buffalo, NY:
Prometheus Books, 1988), 9–11.
[14]
Kai Nielsen, Ethics without God (Buffalo, NY: Prometheus Books, 1990), 13–15.
[15]
Immanuel Kant, Groundwork for the
Metaphysics of Morals, trans. Mary
Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 421–423.
[16]
Paul Kurtz, Living without Religion:
Eupraxophy (Buffalo, NY: Prometheus
Books, 1994), 28–31.
[17]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Philosophical
Library, 1956), 553–555.
[18]
Corliss Lamont, The Philosophy of
Humanism (New York: Frederick Ungar
Publishing, 1965), 19–23.
[19]
Peter Singer, Practical Ethics (Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 4–6.
[20]
André Comte-Sponville, The
Little Book of Atheist Spirituality,
trans. Nancy Huston (New York: Viking, 2007), 11–13.
[21]
Ronald Dworkin, Religion without God (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2013),
53–55.
[22]
Ibid., 57–59.
[23]
Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge, MA: Belknap Press, 2007), 766–768.
[24]
Ibid., 769–771.
[25]
J. L. Mackie, The Miracle of Theism:
Arguments for and Against the Existence of God (Oxford: Clarendon Press, 1982), 215–218.
[26]
Baggini, Atheism: A Very Short
Introduction, 99–101.
[27]
Taylor, A Secular Age, 773–775.
[28]
Paul Kurtz, The Courage to Become:
The Virtues of Humanism (Westport,
CT: Praeger, 1997), 47–49.
[29]
Hans Jonas, The Imperative of Responsibility:
In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 45–48.
[30]
Karl Jaspers, Philosophy of Existence, trans. Richard F. Grabau (Philadelphia: University
of Pennsylvania Press, 1971), 112–114.
[31]
John Gray, Seven Types of Atheism (London: Allen Lane, 2018), 145–148.
[32]
Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O’Brien (New York: Vintage, 1955),
110–113.
9.
Kesimpulan
Ateisme, sebagai posisi metafisik, tidak dapat
direduksi sekadar pada penolakan terhadap keberadaan Tuhan, tetapi harus
dipahami sebagai suatu paradigma filsafat yang menegaskan otonomi realitas,
rasionalitas manusia, dan tanggung jawab moral dalam horizon imanen.¹ Ia
merupakan hasil evolusi panjang dari pemikiran filosofis yang dimulai sejak
zaman Yunani, mencapai bentuk rasional dalam pencerahan modern, dan berkembang
menjadi refleksi eksistensial dan humanistik di era kontemporer.²
Secara ontologis, ateisme menolak
kebergantungan realitas pada entitas transenden dan memandang alam semesta
sebagai entitas yang berdiri sendiri, tunduk pada hukum-hukum alam tanpa arah
teleologis eksternal.³ Dalam kerangka ini, dunia tidak lagi dilihat sebagai
ciptaan, tetapi sebagai totalitas yang dapat dipahami melalui rasio dan sains.
Pandangan ini mengembalikan manusia ke dalam dunia yang imanen, di mana
keberadaan memiliki nilai dan makna melalui kesadaran reflektif dan tanggung
jawab moralnya sendiri.⁴
Secara epistemologis, ateisme menegaskan
bahwa pengetahuan hanya sah jika dibangun di atas dasar empiris dan rasional.⁵
Ia menolak klaim kebenaran yang tidak dapat diverifikasi dan menuntut
kerendahan epistemik (epistemic humility) dalam memahami batas kemampuan
akal. Ateisme dengan demikian menjadi simbol dari kebebasan berpikir dan
komitmen terhadap kebenaran yang dapat diuji, bukan kebenaran yang diterima
berdasarkan otoritas.⁶
Dari segi etika dan aksiologi, ateisme
menunjukkan bahwa moralitas tidak memerlukan landasan teologis. Nilai-nilai
etis dapat muncul dari rasionalitas manusia, empati, dan kebutuhan sosial untuk
hidup bersama secara damai dan adil.⁷ Dengan menegaskan otonomi moral manusia,
ateisme memberikan fondasi bagi etika humanistik yang memusatkan perhatian pada
martabat, kebebasan, dan solidaritas manusia.⁸ Oleh karena itu, kehidupan tanpa
Tuhan bukan berarti kehilangan arah moral, melainkan kesempatan untuk
menciptakan makna dan tanggung jawab secara sadar.⁹
Secara historis dan kultural, ateisme
berperan sebagai kekuatan kritis terhadap dogmatisme keagamaan dan absolutisme
metafisik.¹⁰ Ia membuka ruang bagi dialog antara sains dan filsafat, antara
iman dan rasio, serta antara kepercayaan dan keraguan. Dalam masyarakat
kontemporer yang pluralistik, ateisme berfungsi sebagai salah satu bentuk
refleksi rasional yang menegaskan pentingnya kebebasan berpikir dan kebebasan
berkeyakinan.¹¹
Namun, ateisme juga menghadapi tantangan: bagaimana
menghindari nihilisme, relativisme moral, dan reduksionisme ilmiah yang menafikan
dimensi eksistensial manusia.¹² Tantangan ini mengarah pada kebutuhan untuk
mengembangkan bentuk humanisme sekuler dan spiritualitas imanen, di mana
manusia tetap dapat mengalami kedalaman makna tanpa harus merujuk pada
metafisika transenden.¹³ Dalam hal ini, ateisme bukan akhir dari pencarian
metafisik, tetapi transformasi cara manusia memahami makna “Ada” dalam
batas pengalaman dan rasionalitasnya.¹⁴
Pada akhirnya, ateisme sebagai posisi metafisik
menegaskan bahwa manusia adalah pusat refleksi atas keberadaan, bukan
karena ia menggantikan Tuhan, tetapi karena ia satu-satunya makhluk yang mampu
bertanya, memahami, dan memberi makna pada dunia.¹⁵ Dalam keberanian untuk
hidup tanpa jaminan metafisis, ateisme menawarkan bentuk kebebasan yang autentik—yakni
kebebasan untuk berpikir, bertindak, dan mencipta nilai di dunia yang terbuka
dan terus berubah.¹⁶
Footnotes
[1]
Julian Baggini, Atheism: A Very Short
Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2003), 97–99.
[2]
Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind
(New York: Ballantine Books, 1991), 395–398.
[3]
Paul-Henri d’Holbach, The System of Nature,
trans. H. D. Robinson (London: J. Johnson, 1770), 20–24.
[4]
Bertrand Russell, Religion and Science
(London: Oxford University Press, 1935), 77–80.
[5]
Antony Flew, God and Philosophy (London:
Hutchinson, 1966), 47–50.
[6]
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery
(London: Routledge, 1959), 41–44.
[7]
Kai Nielsen, Ethics without God (Buffalo,
NY: Prometheus Books, 1990), 9–11.
[8]
Paul Kurtz, Forbidden Fruit: The Ethics of
Humanism (Buffalo, NY: Prometheus Books, 1988), 12–15.
[9]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism,
trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 36–38.
[10]
Terry Eagleton, Reason, Faith, and Revolution:
Reflections on the God Debate (New Haven: Yale University Press, 2009),
23–25.
[11]
Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge,
MA: Belknap Press, 2007), 771–773.
[12]
John Gray, Seven Types of Atheism (London:
Allen Lane, 2018), 146–149.
[13]
André Comte-Sponville, The Little Book of
Atheist Spirituality, trans. Nancy Huston (New York: Viking, 2007), 11–13.
[14]
Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven:
Yale University Press, 1952), 171–174.
[15]
Ronald Dworkin, Religion without God
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2013), 147–150.
[16]
Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans.
Justin O’Brien (New York: Vintage, 1955), 111–113.
Daftar Pustaka
Albert Camus. (1955). The myth of Sisyphus
(J. O’Brien, Trans.). Vintage.
Albert Camus. (1956). The rebel (A. Bower,
Trans.). Vintage.
Aquinas, T. (1947). Summa theologiae
(Fathers of the English Dominican Province, Trans.). Benziger Bros.
Aronson, R. (2008). Living without God: New
directions for atheists, agnostics, secularists, and the undecided.
Counterpoint.
Baggini, J. (2003). Atheism: A very short
introduction. Oxford University Press.
Baggini, J. (2005). What’s it all about?
Philosophy and the meaning of life. Oxford University Press.
Baudrillard, J. (1993). The transparency of
evil: Essays on extreme phenomena. Verso.
Berger, P. L. (1967). The sacred canopy: Elements
of a sociological theory of religion. Anchor Books.
Bruce, S. (2002). God is dead: Secularization in
the West. Blackwell.
Caputo, J. D. (1997). The prayers and tears of
Jacques Derrida: Religion without religion. Indiana University Press.
Carrier, R. (2005). Sense and goodness without
God: A defense of metaphysical naturalism. AuthorHouse.
Comte-Sponville, A. (2007). The little book of
atheist spirituality (N. Huston, Trans.). Viking.
Craig, W. L. (2008). Reasonable faith: Christian
truth and apologetics. Crossway Books.
Darwin, C. (1859). On the origin of species.
John Murray.
Dawkins, R. (1976). The selfish gene. Oxford
University Press.
Dawkins, R. (2006). The God delusion. Bantam
Press.
Dennett, D. C. (1995). Darwin’s dangerous idea:
Evolution and the meanings of life. Simon & Schuster.
Dennett, D. C. (2006). Breaking the spell:
Religion as a natural phenomenon. Viking.
Democritus. (1999). Fragments (C. C. W.
Taylor, Trans.). University of Toronto Press.
Derrida, J. (2002). Acts of religion (G.
Anidjar, Ed.). Routledge.
d’Holbach, P.-H. (1770). The system of nature
(H. D. Robinson, Trans.). J. Johnson.
Dworkin, R. (2013). Religion without God.
Harvard University Press.
Eagleton, T. (2009). Reason, faith, and
revolution: Reflections on the God debate. Yale University Press.
Epicurus. (1994). The Epicurus reader (B.
Inwood & L. P. Gerson, Eds.). Hackett.
Feuerbach, L. (2008). The essence of
Christianity (G. Eliot, Trans.). Dover Publications.
Flew, A. (1950). Theology and falsification. University,
13, 296–302.
Flew, A. (1966). God and philosophy.
Hutchinson.
Frankl, V. E. (2006). Man’s search for meaning.
Beacon Press.
Gay, P. (1966). The Enlightenment: An
interpretation. W. W. Norton.
Gray, J. (2002). Straw dogs: Thoughts on humans
and other animals. Granta Books.
Gray, J. (2018). Seven types of atheism.
Allen Lane.
Habermas, J. (2010). An awareness of what is
missing: Faith and reason in a post-secular age. Polity Press.
Hare, J. (1996). The moral gap: Kantian ethics,
human limits, and God’s assistance. Oxford University Press.
Hawking, S., & Mlodinow, L. (2010). The
grand design. Bantam Books.
Heidegger, M. (1969). Identity and difference
(J. Stambaugh, Trans.). Harper & Row.
Heidegger, M. (1977). The question concerning
technology (W. Lovitt, Trans.). Harper & Row.
Holbach, P.-H. d’. (1770). The system of nature.
J. Johnson.
Hume, D. (1980). Dialogues concerning natural
religion (R. H. Popkin, Ed.). Hackett.
Jonas, H. (1984). The imperative of
responsibility: In search of an ethics for the technological age.
University of Chicago Press.
Kant, I. (1997). Critique of practical reason
(M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.
Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P.
Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University Press.
Kant, I. (1998). Groundwork for the metaphysics
of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.
Kitcher, P. (2014). Life after faith: The case
for secular humanism. Yale University Press.
Krauss, L. M. (2012). A universe from nothing:
Why there is something rather than nothing. Free Press.
Kurtz, P. (1988). Forbidden fruit: The ethics of
humanism. Prometheus Books.
Kurtz, P. (1994). Living without religion:
Eupraxophy. Prometheus Books.
Kurtz, P. (1997). The courage to become: The
virtues of humanism. Praeger.
Lamont, C. (1965). The philosophy of humanism.
Frederick Ungar Publishing.
Lewis, C. S. (1952). Mere Christianity.
Geoffrey Bles.
Lloyd, G. E. R. (1970). Early Greek science:
Thales to Aristotle. Chatto & Windus.
Mackie, J. L. (1977). Ethics: Inventing right
and wrong. Penguin Books.
Mackie, J. L. (1982). The miracle of theism:
Arguments for and against the existence of God. Clarendon Press.
Marion, J.-L. (1991). God without being (T.
A. Carlson, Trans.). University of Chicago Press.
Marx, K. (1963). Contribution to the critique of
Hegel’s philosophy of right (T. B. Bottomore, Trans.). In Early writings
(p. 244). C. A. Watts.
Naess, A. (1989). Ecology, community and
lifestyle: Outline of an ecosophy (D. Rothenberg, Trans.). Cambridge
University Press.
Nehamas, A. (1985). Nietzsche: Life as
literature. Harvard University Press.
Neiman, S. (2008). Moral clarity: A guide for
grown-up idealists. Harcourt.
Nielsen, K. (1990). Ethics without God.
Prometheus Books.
Nielsen, K. (1991). God and the grounding of
morality. University of Ottawa Press.
Nietzsche, F. (1961). Thus spoke Zarathustra
(R. J. Hollingdale, Trans.). Penguin Classics.
Nietzsche, F. (1966). Beyond good and evil
(W. Kaufmann, Trans.). Vintage.
Nietzsche, F. (1968). Will to power (W.
Kaufmann & R. J. Hollingdale, Trans.). Vintage.
Nietzsche, F. (1974). The gay science (W.
Kaufmann, Trans.). Vintage.
Norman, R. (2004). On humanism. Routledge.
Nussbaum, M. C. (2008). Liberty of conscience:
In defense of America’s tradition of religious equality. Basic Books.
Papineau, D. (1993). Philosophical naturalism.
Blackwell.
Plantinga, A. (2000). Warranted Christian
belief. Oxford University Press.
Plantinga, A. (2002). Naturalism defeated? In J.
Beilby (Ed.), Naturalism defeated? Essays on Plantinga’s evolutionary
argument against naturalism (pp. 1–12). Cornell University Press.
Plato. (1892). Euthyphro. In B. Jowett
(Trans.), The dialogues of Plato. Clarendon Press.
Popper, K. (1959). The logic of scientific
discovery. Routledge.
Rawls, J. (1993). Political liberalism.
Columbia University Press.
Reppert, V. (2003). C. S. Lewis’s dangerous
idea: In defense of the argument from reason. InterVarsity Press.
Ruse, M. (1986). Taking Darwin seriously: A
naturalistic approach to philosophy. Basil Blackwell.
Russell, B. (1935). Religion and science.
Oxford University Press.
Russell, B. (1957). Why I am not a Christian.
George Allen & Unwin.
Sartre, J.-P. (1956). Being and nothingness
(H. E. Barnes, Trans.). Philosophical Library.
Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a
humanism (C. Macomber, Trans.). Yale University Press.
Shermer, M. (2002). Why people believe weird
things: Pseudoscience, superstition, and other confusions of our time. Holt
Paperbacks.
Singer, P. (2002). One world: The ethics of
globalization. Yale University Press.
Singer, P. (2011). Practical ethics (3rd
ed.). Cambridge University Press.
Sponville, A. C. (2007). The little book of
atheist spirituality. Viking.
Stenger, V. (2007). God: The failed
hypothesis—How science shows that God does not exist. Prometheus Books.
Swinburne, R. (2004). The existence of God
(2nd ed.). Clarendon Press.
Taylor, C. (1989). Sources of the self: The
making of the modern identity. Harvard University Press.
Taylor, C. (2007). A secular age. Belknap
Press.
Taylor, R. (1999). Good and evil. Prometheus
Books.
Tillich, P. (1952). The courage to be. Yale
University Press.
Tillich, P. (1957). Dynamics of faith.
Harper & Row.
Tarnas, R. (1991). The passion of the Western
mind: Understanding the ideas that have shaped our world view. Ballantine
Books.
Waal, F. de. (1996). Good natured: The origins
of right and wrong in humans and other animals. Harvard University Press.
Waal, F. de. (2006). Primates and philosophers:
How morality evolved. Princeton University Press.
Wielenberg, E. J. (2014). Robust ethics: The
metaphysics and epistemology of godless normative realism. Oxford
University Press.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar