Selasa, 02 Desember 2025

Ateisme: Genealogi, Ontologi, Epistemologi, dan Implikasi Etis dalam Perspektif Filsafat Kontemporer

Ateisme

Genealogi, Ontologi, Epistemologi, dan Implikasi Etis dalam Perspektif Filsafat Kontemporer


Alihkan ke: Aliran Metafisik dalam Filsafat.


Abstrak

Artikel ini mengkaji ateisme sebagai posisi metafisik dengan pendekatan sistematis dan komprehensif yang mencakup aspek historis, ontologis, epistemologis, etis, serta relevansinya dalam konteks kontemporer. Ateisme dipahami bukan sekadar sebagai penolakan terhadap keberadaan Tuhan, tetapi sebagai bentuk afirmasi terhadap imanenitas realitas, otonomi rasionalitas manusia, dan tanggung jawab moral tanpa landasan transenden. Secara historis, ateisme muncul sebagai konsekuensi dari rasionalisasi filsafat dan perkembangan sains sejak masa Yunani kuno hingga modernitas. Secara ontologis, ia menolak gagasan tentang causa prima dan menegaskan realitas yang berdiri sendiri tanpa intervensi ilahi. Secara epistemologis, ateisme menempatkan rasionalitas kritis dan verifikasi empiris sebagai dasar kebenaran, menggantikan epistemologi berbasis iman. Dari sisi etika dan aksiologi, ateisme membangun moralitas yang otonom, berlandaskan empati, tanggung jawab, dan nilai-nilai humanistik.

Kritik terhadap ateisme datang dari berbagai arah—teistik, moral, eksistensial, dan bahkan internal—yang menyoroti problem dasar ontologis, sumber nilai, serta risiko nihilisme. Namun, ateisme kontemporer menunjukkan relevansi baru dalam masyarakat sekuler, diskursus ilmiah, dan tantangan etika global. Ia berperan sebagai paradigma reflektif yang menegaskan kebebasan berpikir, rasionalitas ilmiah, dan pencarian makna imanen. Sintesis filosofis dari kajian ini menunjukkan bahwa ateisme bukan akhir dari metafisika, melainkan transformasi cara manusia memahami “Ada” tanpa jaminan transendensi. Dengan demikian, ateisme dapat dilihat sebagai metafisika keterbukaan, yang menegaskan kebebasan, tanggung jawab, dan martabat manusia sebagai pusat penciptaan makna dalam dunia yang rasional dan imanen.

Kata Kunci: Ateisme, Metafisika, Ontologi, Epistemologi, Etika Sekuler, Humanisme, Rasionalitas, Sekularisasi, Makna Hidup, Spiritualitas Imanen.


PEMBAHASAN

Ateisme sebagai Posisi Metafisik


1.           Pendahuluan

Ateisme, sebagai salah satu posisi metafisik yang menolak keberadaan entitas transenden atau ilahi, menempati tempat yang unik dalam sejarah filsafat. Ia bukan sekadar pandangan tentang ketidakpercayaan terhadap Tuhan, melainkan juga suatu posisi ontologis dan epistemologis yang memandang realitas sebagai otonom, material, dan bebas dari campur tangan supranatural. Dalam konteks metafisika, ateisme bukanlah kekosongan iman, tetapi merupakan afirmasi terhadap bentuk eksistensi yang imanen, empiris, dan dapat dijelaskan tanpa asumsi teologis. Pandangan ini menegaskan bahwa segala yang ada harus dijelaskan berdasarkan prinsip rasional dan bukti empiris, bukan melalui entitas metafisis yang tak dapat diverifikasi secara epistemologis.¹

Dalam sejarah pemikiran Barat, embrio ateisme telah muncul sejak zaman Yunani kuno, ketika para filsuf seperti Demokritos dan Epicurus merumuskan konsep atomisme dan kausalitas alamiah tanpa memerlukan intervensi dewa.² Namun, ateisme sebagai istilah dan posisi yang eksplisit baru memperoleh artikulasi teoretis pada masa modern, terutama setelah pencerahan (Enlightenment) dan kebangkitan sains empiris.³ Tokoh-tokoh seperti Ludwig Feuerbach, Karl Marx, Friedrich Nietzsche, dan Jean-Paul Sartre memberikan dimensi antropologis dan eksistensial terhadap ateisme: Tuhan ditafsirkan sebagai proyeksi kesadaran manusia, dan manusia dipandang sebagai pencipta makna bagi dirinya sendiri.⁴

Sebagai posisi metafisik, ateisme menantang struktur tradisional filsafat teistik yang selama berabad-abad mendominasi metafisika Barat. Ia mempertanyakan dasar-dasar ontologis dari gagasan “Ada Tertinggi” (Ens Summum) yang dikembangkan dalam tradisi skolastik, serta menolak prinsip causa prima yang menempatkan Tuhan sebagai penyebab pertama segala sesuatu.⁵ Dalam konteks ini, ateisme bukan hanya pandangan tentang ketiadaan Tuhan, melainkan juga pergeseran paradigma metafisika menuju imanenitas dan otonomi eksistensi.

Secara epistemologis, ateisme juga berakar pada kritik terhadap klaim pengetahuan metafisik yang tidak dapat diuji. Ia menegaskan bahwa batas pengetahuan manusia terletak pada pengalaman empiris dan rasionalitas ilmiah, sehingga segala bentuk keyakinan yang melampaui keduanya bersifat spekulatif.⁶ Dengan demikian, ateisme berfungsi sebagai koreksi terhadap dogmatisme teologis dan metafisika spekulatif yang tidak memiliki landasan empiris.

Relevansi ateisme di era kontemporer semakin menonjol seiring berkembangnya sains, teknologi, dan sekularisasi budaya. Ateisme bukan lagi sekadar posisi minoritas yang menentang religiositas tradisional, melainkan bagian dari diskursus filsafat modern yang berusaha memahami eksistensi manusia tanpa sandaran transendental.⁷ Oleh karena itu, pembahasan mengenai ateisme sebagai posisi metafisik tidak hanya penting dalam ranah teori filsafat, tetapi juga dalam memahami dinamika kebudayaan, moralitas, dan identitas manusia modern yang hidup di dunia tanpa jaminan ilahi.


Footnotes

[1]                J. L. Mackie, The Miracle of Theism: Arguments for and Against the Existence of God (Oxford: Clarendon Press, 1982), 1–5.

[2]                Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind: Understanding the Ideas That Have Shaped Our World View (New York: Ballantine Books, 1991), 38–42.

[3]                Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge, MA: Belknap Press, 2007), 26–33.

[4]                Ludwig Feuerbach, The Essence of Christianity, trans. George Eliot (New York: Dover Publications, 2008), 11–15; Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1974), 108–110.

[5]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, q.2, a.3.

[6]                Antony Flew, God and Philosophy (London: Hutchinson, 1966), 45–50.

[7]                Richard Dawkins, The God Delusion (London: Bantam Press, 2006), 36–41.


2.           Landasan Historis dan Genealogi Intelektual Ateisme

Ateisme sebagai pandangan metafisik tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan merupakan hasil dari proses historis dan intelektual yang panjang. Ia lahir melalui pergulatan antara rasionalitas manusia dengan tradisi religius yang mendominasi berbagai kebudayaan. Secara etimologis, istilah atheos dalam bahasa Yunani berarti “tanpa dewa,” dan pada awalnya digunakan untuk menuduh seseorang yang menolak atau tidak mengakui dewa-dewa yang diakui masyarakatnya.¹ Dalam konteks Yunani kuno, sebutan ini tidak selalu mengacu pada penolakan terhadap konsep ketuhanan secara mutlak, tetapi lebih kepada sikap kritis terhadap sistem kepercayaan politeistik yang mapan.²

Dalam filsafat pra-Sokratik, terutama dalam pemikiran Demokritos dan Epicurus, embrio ateisme muncul melalui usaha menjelaskan dunia secara naturalistik tanpa melibatkan entitas ilahi. Demokritos mengajukan teori atomisme, yakni bahwa segala sesuatu tersusun dari atom dan kekosongan, tanpa memerlukan penjelasan supranatural.³ Sementara itu, Epicurus menolak campur tangan para dewa dalam urusan manusia dan menekankan pentingnya ketenangan batin melalui rasionalitas dan pemahaman terhadap alam.⁴ Pandangan-pandangan ini menandai awal dari upaya manusia memahami realitas melalui prinsip kausalitas alamiah, bukan melalui mitos atau wahyu.

Pada masa modern, ateisme memperoleh bentuk yang lebih sistematis dan filosofis. Revolusi ilmiah abad ke-17 dan pencerahan (Enlightenment) abad ke-18 menggeser otoritas teologi ke ranah rasionalitas dan empirisisme. Para pemikir seperti Denis Diderot dan Paul-Henri d’Holbach memandang alam semesta sebagai sistem tertutup yang dapat dijelaskan tanpa keberadaan Tuhan.⁵ Ateisme pada masa ini muncul sebagai reaksi terhadap absolutisme agama dan sebagai manifestasi dari kepercayaan pada kekuatan rasio manusia untuk menafsirkan realitas.⁶

Ludwig Feuerbach menjadi tokoh kunci dalam transisi dari ateisme ilmiah menuju ateisme antropologis. Dalam karyanya The Essence of Christianity, ia berargumen bahwa gagasan tentang Tuhan adalah proyeksi sifat-sifat manusia yang diidealkan dan dipindahkan ke entitas ilahi.⁷ Bagi Feuerbach, manusia menciptakan Tuhan dalam citranya sendiri, bukan sebaliknya. Pandangan ini menjadi dasar bagi kritik terhadap agama sebagai bentuk alienasi eksistensial.⁸ Karl Marx kemudian mengadopsi pandangan Feuerbach dan menafsirkan agama sebagai “candu masyarakat” yang mempertahankan struktur penindasan sosial.⁹ Dengan demikian, ateisme dalam pemikiran Marx bukan hanya metafisik, tetapi juga praksis—menyerukan pembebasan manusia dari ilusi religius yang menghambat kesadaran kelas.

Friedrich Nietzsche memperdalam dimensi eksistensial ateisme dengan proklamasi terkenalnya “Tuhan telah mati.”¹⁰ Pernyataan ini bukan sekadar penolakan terhadap Tuhan secara literal, melainkan pengakuan terhadap runtuhnya fondasi nilai-nilai tradisional yang selama ini menopang peradaban Barat. Dalam dunia tanpa Tuhan, manusia harus menciptakan nilai-nilai baru melalui kehendak untuk berkuasa (will to power).¹¹ Pemikiran Nietzsche membuka jalan bagi ateisme eksistensialis abad ke-20, terutama dalam karya Jean-Paul Sartre yang menegaskan bahwa “eksistensi mendahului esensi.”¹²

Pada abad ke-20, ateisme berkembang ke arah humanisme sekuler dan naturalisme ilmiah. Bertrand Russell dan Antony Flew menegaskan bahwa tidak ada alasan rasional yang memadai untuk mempercayai eksistensi Tuhan, karena semua klaim teistik gagal memenuhi standar pembuktian logis.¹³ Sementara itu, eksistensialisme ateistik yang diwakili oleh Sartre dan Albert Camus menempatkan manusia sebagai pusat makna, di mana keberadaan tanpa Tuhan justru membuka ruang kebebasan radikal dan tanggung jawab moral yang autentik.¹⁴

Dalam konteks kontemporer, ateisme tidak lagi terbatas pada ranah filosofis, tetapi juga telah menjadi bagian dari diskursus sosial dan politik melalui gerakan New Atheism. Tokoh-tokoh seperti Richard Dawkins, Sam Harris, Christopher Hitchens, dan Daniel Dennett menekankan pentingnya berpikir kritis dan skeptisisme ilmiah dalam menolak klaim religius yang tidak berbasis bukti.¹⁵ Namun, mereka juga dikritik karena pendekatan yang terlalu reduksionistik dan kurang memperhatikan dimensi eksistensial serta spiritualitas non-teistik.¹⁶

Dengan demikian, genealogi intelektual ateisme menunjukkan transformasi dari kritik teologis menuju proyek antropologis, eksistensial, dan ilmiah. Ateisme bukanlah sekadar penolakan terhadap keberadaan Tuhan, melainkan afirmasi terhadap otonomi rasio manusia, kebebasan eksistensial, dan tanggung jawab etis dalam dunia yang imanen.¹⁷


Footnotes

[1]                G. E. R. Lloyd, Early Greek Science: Thales to Aristotle (London: Chatto & Windus, 1970), 23–24.

[2]                Walter Burkert, Greek Religion (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1985), 246–248.

[3]                Democritus, Fragments, trans. C. C. W. Taylor (Toronto: University of Toronto Press, 1999), 34–37.

[4]                Epicurus, Letter to Menoeceus, in The Epicurus Reader, ed. Brad Inwood and L. P. Gerson (Indianapolis: Hackett, 1994), 29–31.

[5]                Paul-Henri d’Holbach, The System of Nature, trans. H. D. Robinson (London: J. Johnson, 1770), 12–18.

[6]                Peter Gay, The Enlightenment: An Interpretation (New York: W. W. Norton, 1966), 85–89.

[7]                Ludwig Feuerbach, The Essence of Christianity, trans. George Eliot (New York: Dover Publications, 2008), 11–15.

[8]                Terry Eagleton, Reason, Faith, and Revolution: Reflections on the God Debate (New Haven: Yale University Press, 2009), 22–25.

[9]                Karl Marx, “Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Right,” in Early Writings, trans. T. B. Bottomore (London: C. A. Watts, 1963), 244.

[10]             Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1974), §125.

[11]             Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, trans. R. J. Hollingdale (London: Penguin Classics, 1961), 41–44.

[12]             Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 22–27.

[13]             Bertrand Russell, Why I Am Not a Christian (London: George Allen & Unwin, 1957), 3–8; Antony Flew, God and Philosophy (London: Hutchinson, 1966), 45–50.

[14]             Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O’Brien (New York: Vintage, 1955), 10–15.

[15]             Richard Dawkins, The God Delusion (London: Bantam Press, 2006), 102–108; Sam Harris, The End of Faith (New York: W. W. Norton, 2004), 45–47.

[16]             John Haught, God and the New Atheism: A Critical Response to Dawkins, Harris, and Hitchens (Louisville: Westminster John Knox Press, 2008), 5–7.

[17]             Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge, MA: Belknap Press, 2007), 541–545.


3.           Ontologi Ateisme

Ontologi ateisme berangkat dari penolakan terhadap gagasan tentang keberadaan entitas transenden atau supranatural sebagai dasar realitas. Dalam kerangka ini, ateisme tidak sekadar menyangkal eksistensi Tuhan, tetapi mengajukan pemahaman tentang realitas yang bersifat imanen, otonom, dan material.¹ Dengan demikian, realitas tidak lagi bergantung pada kehendak atau pencipta ilahi, melainkan berdiri sendiri sebagai sistem kausal yang tunduk pada hukum-hukum alam. Ateisme menegaskan bahwa eksistensi tidak membutuhkan “penyebab pertama” (causa prima) sebagaimana diajukan dalam teisme skolastik, karena alam semesta dapat dipahami sebagai entitas yang ada dengan sendirinya (aseitas alam).²

3.1.       Realitas sebagai Imanen dan Material

Dalam pandangan ateistik, segala bentuk keberadaan adalah hasil interaksi material dan energi yang bersifat imanen. Tidak ada “ada” di luar dunia ini yang mengatur atau memberi makna transenden terhadap keberadaan.³ Konsepsi ini berakar pada pemikiran materialisme klasik yang dikembangkan oleh Demokritos dan Epikouros, serta kemudian diperkuat oleh sains modern.⁴ Melalui teori evolusi Darwin dan kosmologi Big Bang, ateisme memperoleh legitimasi ontologis dalam menjelaskan realitas tanpa memerlukan referensi kepada prinsip ilahi.⁵ Dengan demikian, ontologi ateisme berimplikasi pada penegasan bahwa dunia adalah autonomus, tanpa arah teleologis atau tujuan final.

Materialisme ateistik kemudian berkembang menjadi naturalisme ontologis, yang berpendapat bahwa segala yang eksis adalah bagian dari alam dan tunduk pada hukum alamiah.⁶ Dalam kerangka ini, tidak ada ruang bagi substansi rohani atau spiritual yang terpisah dari dunia fisik. Realitas ditafsirkan melalui interaksi kompleks antara fenomena empiris, tanpa keharusan untuk mempostulatkan entitas transenden. Pandangan ini menggeser pusat makna dari “Tuhan sebagai sumber keberadaan” menjadi “alam sebagai dasar ontologis yang memadai.”⁷

3.2.       Eksistensi Manusia tanpa Tuhan

Ateisme tidak hanya mengusulkan ontologi alam yang bebas dari ilahi, tetapi juga memunculkan konsekuensi antropologis yang mendalam. Dalam ketiadaan Tuhan, manusia tidak lagi dipahami sebagai ciptaan dengan tujuan eskatologis tertentu, melainkan sebagai makhluk yang bebas menentukan maknanya sendiri.⁸ Jean-Paul Sartre menegaskan bahwa “eksistensi mendahului esensi,” yang berarti manusia ada terlebih dahulu dan baru kemudian menentukan hakikat dirinya melalui tindakan.⁹ Pandangan ini menandai transisi ontologis dari keberadaan yang bergantung pada kehendak ilahi menuju eksistensi yang otonom dan bertanggung jawab atas maknanya sendiri.

Albert Camus melanjutkan refleksi ini dengan konsep absurditas, yakni bahwa manusia mencari makna dalam dunia yang secara ontologis tidak memilikinya.¹⁰ Dalam pandangan Camus, kesadaran akan absurditas tidak membawa manusia pada keputusasaan, tetapi justru menjadi sumber kebebasan eksistensial.¹¹ Dengan demikian, ontologi ateisme menegaskan manusia sebagai subjek yang bebas, namun sekaligus terbebani oleh tanggung jawab moral tanpa landasan metafisis eksternal.

3.3.       Kritik terhadap Ontoteologi dan Transendensi

Salah satu sumbangan penting dari ontologi ateisme adalah kritiknya terhadap ontoteologi—yakni pandangan bahwa keberadaan harus selalu dijelaskan dengan merujuk pada “Ada tertinggi.”¹² Friedrich Nietzsche menganggap ontoteologi sebagai bentuk penyembahan terhadap struktur metafisik yang membelenggu kebebasan manusia. Ia menolak pandangan bahwa keberadaan memiliki hierarki yang berpuncak pada Tuhan sebagai ens perfectissimum.¹³ Ontologi ateisme dengan demikian merupakan proyek dekonstruktif terhadap hierarki metafisik dan menggantinya dengan pemahaman tentang keberadaan yang plural, dinamis, dan terbuka.

Martin Heidegger, meskipun tidak secara eksplisit ateis, juga menyoroti bahaya “metafisika kehadiran” yang menempatkan Tuhan sebagai entitas tertinggi dalam struktur keberadaan.¹⁴ Pandangan ateistik dapat dibaca sebagai kelanjutan dari kritik ini—yakni usaha untuk membebaskan filsafat dari subordinasi terhadap konsep teologis tentang “ada.” Dalam konteks ini, ateisme bukan sekadar negasi terhadap Tuhan, melainkan afirmasi terhadap keberadaan yang tidak terikat oleh totalitas metafisik atau kehadiran absolut.¹⁵


Implikasi Ontologis: Dunia sebagai Otonomi Realitas

Ontologi ateisme akhirnya membawa kita pada kesimpulan bahwa dunia tidak membutuhkan penjelasan eksternal untuk menjelaskan dirinya sendiri. Alam semesta bersifat self-sufficient—cukup dengan dirinya sendiri.¹⁶ Hal ini menimbulkan implikasi mendalam: pertama, bahwa realitas bersifat terbuka terhadap interpretasi ilmiah dan rasional; kedua, bahwa makna tidak diberikan dari luar, melainkan diciptakan oleh kesadaran manusia di dalam dunia; dan ketiga, bahwa eksistensi manusia menjadi locus utama nilai dan tanggung jawab.¹⁷

Dengan demikian, ontologi ateisme membentuk kerangka metafisika yang menegaskan imanenitas, kebebasan, dan tanggung jawab, sekaligus menolak setiap bentuk metafisika yang bergantung pada transendensi. Dunia tanpa Tuhan bukanlah dunia tanpa makna, melainkan dunia di mana makna diciptakan melalui praksis manusia yang sadar dan bebas.¹⁸


Footnotes

[1]                J. L. Mackie, The Miracle of Theism: Arguments for and Against the Existence of God (Oxford: Clarendon Press, 1982), 37–40.

[2]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, q.2, a.3.

[3]                Paul-Henri d’Holbach, The System of Nature, trans. H. D. Robinson (London: J. Johnson, 1770), 18–22.

[4]                Democritus, Fragments, trans. C. C. W. Taylor (Toronto: University of Toronto Press, 1999), 33–35; Epicurus, Letter to Herodotus, in The Epicurus Reader, ed. Brad Inwood and L. P. Gerson (Indianapolis: Hackett, 1994), 9–12.

[5]                Charles Darwin, On the Origin of Species (London: John Murray, 1859), 490–492.

[6]                David Papineau, Philosophical Naturalism (Oxford: Blackwell, 1993), 11–14.

[7]                Daniel Dennett, Breaking the Spell: Religion as a Natural Phenomenon (New York: Viking, 2006), 242–246.

[8]                Ludwig Feuerbach, The Essence of Christianity, trans. George Eliot (New York: Dover Publications, 2008), 12–14.

[9]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Philosophical Library, 1956), 9–11.

[10]             Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O’Brien (New York: Vintage, 1955), 28–31.

[11]             Ibid., 56–58.

[12]             Martin Heidegger, Identity and Difference, trans. Joan Stambaugh (New York: Harper & Row, 1969), 66–68.

[13]             Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1966), §260.

[14]             Martin Heidegger, The Question Concerning Technology, trans. William Lovitt (New York: Harper & Row, 1977), 22–25.

[15]             John Caputo, The Prayers and Tears of Jacques Derrida: Religion without Religion (Bloomington: Indiana University Press, 1997), 31–33.

[16]             Bertrand Russell, Religion and Science (London: Oxford University Press, 1935), 75–78.

[17]             Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge, MA: Belknap Press, 2007), 550–553.

[18]             Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 34–38.


4.           Epistemologi Ateisme

Epistemologi ateisme berangkat dari keyakinan bahwa pengetahuan tentang realitas harus didasarkan pada rasionalitas, empirisme, dan verifikasi ilmiah, bukan pada wahyu atau otoritas keagamaan.¹ Dalam kerangka metafisika, ateisme tidak hanya menolak keberadaan Tuhan, tetapi juga mempertanyakan validitas pengetahuan yang mengklaim bersumber dari entitas transenden. Ia menegaskan bahwa setiap klaim kebenaran harus tunduk pada kriteria pembuktian rasional dan empiris. Dengan demikian, epistemologi ateisme merupakan bentuk kritik terhadap epistemologi teistik yang mengandalkan iman sebagai sumber pengetahuan metafisik tertinggi.²

4.1.       Kritik terhadap Argumen Teistik

Secara historis, ateisme muncul sebagai respons epistemologis terhadap kelemahan logis dari berbagai argumen teistik tentang keberadaan Tuhan. Tiga argumen klasik yang paling terkenal—yakni argumen kosmologis, teleologis, dan ontologis—telah menjadi sasaran kritik sistematis oleh para filsuf ateistik dan skeptik. David Hume, misalnya, menolak argumen kosmologis dengan menunjukkan bahwa konsep “penyebab pertama” tidak memiliki justifikasi empiris karena hubungan sebab-akibat hanya dapat diketahui melalui pengalaman, bukan melalui deduksi apriori.³

Demikian pula, Immanuel Kant dalam Critique of Pure Reason menolak validitas argumen ontologis Anselmus dengan menyatakan bahwa eksistensi bukanlah predikat yang dapat diturunkan secara logis dari konsep Tuhan.⁴ Kant menegaskan bahwa semua pengetahuan metafisik yang melampaui pengalaman empiris tidak dapat diverifikasi, sehingga tidak dapat menjadi dasar bagi pengetahuan yang sah.⁵ Kritik ini memberikan landasan bagi ateisme modern untuk memandang klaim keberadaan Tuhan sebagai hipotesis yang tidak memiliki dasar epistemik yang kuat.

Argumen teleologis yang menegaskan keteraturan alam sebagai bukti keberadaan perancang cerdas (intelligent designer) juga dipertanyakan oleh Charles Darwin melalui teori evolusi.⁶ Darwin menunjukkan bahwa kompleksitas biologis dapat dijelaskan melalui proses seleksi alam yang gradual tanpa intervensi ilahi. Dengan demikian, ateisme memperoleh justifikasi epistemologis dari sains yang menolak penjelasan ad hoc berbasis supranaturalitas.⁷

4.2.       Rasionalisme dan Empirisisme sebagai Dasar Pengetahuan

Epistemologi ateisme berakar pada dua pilar utama: rasionalisme kritis dan empirisisme ilmiah. Rasionalisme memberikan kerangka metodologis untuk menguji konsistensi logis suatu proposisi, sedangkan empirisisme menuntut verifikasi berdasarkan pengalaman indrawi.⁸ Dalam tradisi modern, Bertrand Russell menegaskan bahwa kepercayaan terhadap Tuhan tidak dapat dianggap rasional karena tidak memenuhi kriteria pembuktian yang berlaku bagi proposisi ilmiah.⁹ Sementara Antony Flew menekankan pentingnya prinsip falsifiabilitas: sebuah klaim hanya bermakna secara epistemik apabila dapat diuji kemungkinan salahnya.¹⁰

Bagi ateisme, iman (faith) tidak dapat dianggap sebagai bentuk pengetahuan karena tidak memenuhi standar rasionalitas dan verifikasi empiris.¹¹ Dalam konteks ini, epistemologi ateisme berperan sebagai kritik terhadap bentuk pengetahuan dogmatis yang menuntut penerimaan tanpa pembuktian. Dengan menolak sumber pengetahuan yang bersifat wahyudi, ateisme menegaskan bahwa pengetahuan sejati adalah hasil penyelidikan kritis dan terbuka terhadap koreksi.¹²

4.3.       Ateisme dan Ilmu Pengetahuan

Hubungan antara ateisme dan sains bersifat epistemologis dan metodologis. Ilmu pengetahuan modern bekerja berdasarkan prinsip naturalistik—yakni bahwa semua fenomena alam dapat dijelaskan tanpa merujuk pada sebab-sebab supranatural.¹³ Dalam hal ini, ateisme menjadi konsekuensi logis dari penerapan metode ilmiah secara konsisten. Richard Dawkins menyebut ateisme sebagai “naturalisme epistemologis,” yakni sikap ilmiah yang menolak hipotesis ilahi karena tidak diperlukan untuk menjelaskan fenomena empiris.¹⁴

Sains, dalam pandangan ateistik, bukan sekadar alat pengetahuan, tetapi juga paradigma epistemik yang menegaskan otonomi manusia dalam memahami realitas. Dengan menempatkan observasi, eksperimentasi, dan deduksi rasional sebagai dasar pengetahuan, ateisme menolak segala bentuk pengetahuan yang mengklaim otoritas absolut tanpa bukti.¹⁵ Karena itu, ateisme tidak identik dengan nihilisme epistemologis, melainkan dengan komitmen terhadap prinsip verifikasi dan keterbukaan terhadap revisi berdasarkan bukti baru.¹⁶

4.4.       Epistemic Humility dan Kritik terhadap Dogmatisme

Meskipun ateisme sering dianggap sebagai posisi yang menolak iman, secara epistemologis ia justru mengandung semangat kerendahan epistemik (epistemic humility). Ateisme mengakui keterbatasan akal manusia dalam menjangkau realitas secara total, dan karena itu menolak klaim kepastian absolut baik dari teisme maupun metafisika tradisional.¹⁷ Dengan demikian, ateisme bersifat skeptis, namun bukan skeptisisme total: ia menolak pengetahuan yang tidak dapat diverifikasi, tetapi tetap terbuka terhadap penyelidikan dan koreksi rasional.

Karl Popper menyebut sikap ini sebagai “rasionalisme kritis,” di mana pengetahuan selalu bersifat tentatif dan berkembang melalui proses falsifikasi.¹⁸ Dalam konteks ini, epistemologi ateisme bukan dogma baru, melainkan metode berpikir yang menolak segala bentuk otoritas kebenaran yang tidak dapat diuji. Ia menempatkan manusia bukan sebagai pemegang kebenaran absolut, tetapi sebagai pencari pengetahuan yang sadar akan keterbatasannya sendiri.¹⁹


Pengetahuan, Makna, dan Rasionalitas Manusia

Dalam epistemologi ateisme, pencarian makna tidak lagi bersumber dari wahyu atau mitos, tetapi dari kemampuan rasional manusia untuk memahami dunia.²⁰ Makna dan nilai muncul melalui aktivitas intelektual dan eksistensial manusia, bukan dari tatanan metafisik eksternal. Dengan demikian, ateisme tidak meniadakan makna hidup, melainkan menegaskan bahwa makna harus dihasilkan melalui refleksi dan tindakan sadar.²¹

Ateisme memandang pengetahuan bukan sebagai penyingkapan terhadap realitas ilahi, melainkan sebagai konstruksi rasional yang berkembang melalui dialog antara manusia dan dunia.²² Dengan menolak sumber pengetahuan transenden, epistemologi ateisme menempatkan tanggung jawab pengetahuan sepenuhnya di tangan manusia, sebagai makhluk yang berpikir, bertanya, dan bereksperimen dalam batas pengalaman empirisnya sendiri.²³


Footnotes

[1]                J. L. Mackie, The Miracle of Theism: Arguments for and Against the Existence of God (Oxford: Clarendon Press, 1982), 45–48.

[2]                Alvin Plantinga, Warranted Christian Belief (Oxford: Oxford University Press, 2000), 90–92.

[3]                David Hume, Dialogues Concerning Natural Religion, ed. Richard H. Popkin (Indianapolis: Hackett, 1980), 36–39.

[4]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A592/B620–A602/B630.

[5]                Ibid., A633/B661.

[6]                Charles Darwin, On the Origin of Species (London: John Murray, 1859), 490–492.

[7]                Daniel Dennett, Darwin’s Dangerous Idea: Evolution and the Meanings of Life (New York: Simon & Schuster, 1995), 201–204.

[8]                Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 1959), 33–35.

[9]                Bertrand Russell, Why I Am Not a Christian (London: George Allen & Unwin, 1957), 3–6.

[10]             Antony Flew, “Theology and Falsification,” University 13 (1950): 296–302.

[11]             Richard Dawkins, The God Delusion (London: Bantam Press, 2006), 73–75.

[12]             Paul Kurtz, The Courage to Become: The Virtues of Humanism (Westport, CT: Praeger, 1997), 45–47.

[13]             Richard Swinburne, The Existence of God (Oxford: Clarendon Press, 2004), 32–35.

[14]             Dawkins, The God Delusion, 109–112.

[15]             Stephen Hawking and Leonard Mlodinow, The Grand Design (New York: Bantam Books, 2010), 14–17.

[16]             Victor Stenger, God: The Failed Hypothesis—How Science Shows That God Does Not Exist (Amherst, NY: Prometheus Books, 2007), 78–81.

[17]             Julian Baggini, Atheism: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2003), 60–63.

[18]             Popper, The Logic of Scientific Discovery, 41–44.

[19]             Michael Shermer, Why People Believe Weird Things: Pseudoscience, Superstition, and Other Confusions of Our Time (New York: Holt Paperbacks, 2002), 19–21.

[20]             Albert Camus, The Rebel, trans. Anthony Bower (New York: Vintage, 1956), 74–77.

[21]             Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 38–40.

[22]             Daniel Dennett, Consciousness Explained (Boston: Little, Brown, 1991), 10–13.

[23]             Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge, MA: Belknap Press, 2007), 563–567.


5.           Etika dan Aksiologi dalam Ateisme

Etika dan aksiologi dalam ateisme berangkat dari keyakinan bahwa nilai moral dan makna hidup dapat dibangun tanpa landasan teologis atau keberadaan Tuhan.¹ Dalam kerangka metafisika ateistik, manusia bukanlah ciptaan dengan tujuan moral yang ditetapkan secara eksternal, melainkan subjek otonom yang bertanggung jawab menciptakan dan memelihara nilai-nilai moral melalui rasionalitas, empati, dan pengalaman sosial. Dengan demikian, etika ateisme tidak didasarkan pada perintah ilahi (divine command theory), tetapi pada otonomi moral manusia dan kapasitasnya untuk refleksi etis yang rasional.²

5.1.       Fondasi Etika tanpa Tuhan

Ateisme menolak pandangan bahwa moralitas membutuhkan keberadaan Tuhan sebagai sumber kebaikan.³ Kritik terhadap divine command theory telah dikemukakan sejak zaman Yunani melalui dilema Euthyphro dalam dialog Plato, yang menanyakan apakah sesuatu itu baik karena diperintahkan oleh Tuhan, atau diperintahkan karena ia baik pada dirinya sendiri.⁴ Pertanyaan ini membuka ruang bagi penegasan bahwa nilai moral memiliki dasar independen dari kehendak ilahi.

Dalam kerangka modern, filsuf seperti Immanuel Kant, meskipun bukan ateis, memberikan kontribusi besar pada gagasan moralitas otonom melalui konsep imperatif kategoris.⁵ Prinsip ini menyatakan bahwa tindakan moral adalah tindakan yang dapat dijadikan hukum universal oleh rasio manusia, tanpa memerlukan legitimasi teologis. Dalam konteks ateisme, prinsip ini diperluas: manusia dianggap memiliki kemampuan rasional untuk menentukan apa yang benar atau salah berdasarkan empati, konsekuensi, dan kesejahteraan bersama.⁶

Humanisme sekuler kemudian menjadi salah satu fondasi utama etika ateistik. Tokoh-tokoh seperti Paul Kurtz dan Corliss Lamont menekankan bahwa nilai-nilai moral lahir dari kebutuhan manusia untuk hidup bermakna dalam komunitas, bukan dari perintah adikodrati.⁷ Etika humanistik ateistik menekankan dignity of man, otonomi individu, dan tanggung jawab sosial yang bersumber dari kesadaran kemanusiaan.⁸

5.2.       Rasionalitas, Empati, dan Moralitas Evolusioner

Etika ateistik berpijak pada pandangan bahwa moralitas adalah hasil evolusi biologis dan perkembangan sosial manusia.⁹ Sains evolusi menunjukkan bahwa perilaku moral seperti kerja sama, altruisme, dan empati dapat dijelaskan secara naturalistik sebagai strategi adaptif yang mendukung kelangsungan spesies.¹⁰ Dengan demikian, moralitas tidak perlu diasumsikan berasal dari wahyu atau sumber adikodrati, melainkan dari dinamika sosial dan biologis yang menguntungkan kehidupan bersama.

Richard Dawkins, dalam The Selfish Gene, menegaskan bahwa altruisme dapat muncul dari mekanisme evolusi genetik yang mendorong kerja sama dan solidaritas.¹¹ Demikian pula, Frans de Waal menunjukkan bahwa hewan sosial seperti simpanse dan bonobo menunjukkan perilaku empatik dan moral dasar, membuktikan bahwa moralitas bukan monopoli manusia beragama.¹² Dalam konteks epistemologi moral ateistik, moralitas dipahami sebagai produk evolusi kognitif yang kemudian disempurnakan oleh refleksi rasional.¹³

Rasionalitas dalam ateisme berperan untuk mengevaluasi tindakan moral berdasarkan konsekuensi empiris dan logika etis, bukan pada ketaatan buta terhadap dogma.¹⁴ Oleh karena itu, moralitas ateistik bersifat pragmatis dan kontekstual, berfokus pada pengurangan penderitaan dan peningkatan kesejahteraan manusia.¹⁵

5.3.       Tanggung Jawab, Kebebasan, dan Otonomi Moral

Ateisme menegaskan bahwa ketiadaan Tuhan tidak menghapus nilai moral, melainkan memindahkan sumber moralitas dari luar diri manusia ke dalam dirinya sendiri.¹⁶ Jean-Paul Sartre mengartikulasikan hal ini melalui konsep eksistensi mendahului esensi—manusia tidak memiliki kodrat moral yang ditentukan sebelumnya, melainkan menciptakan makna dan nilai melalui tindakannya.¹⁷ Dalam ketiadaan Tuhan, manusia justru lebih bertanggung jawab karena ia tidak dapat menyalahkan kehendak ilahi atas tindakannya sendiri.¹⁸

Albert Camus menegaskan bahwa meskipun dunia bersifat absurd dan tanpa makna objektif, manusia tetap memiliki kewajiban moral untuk menolak ketidakadilan dan menegakkan solidaritas.¹⁹ Etika Camus bersifat etika pemberontakan: moralitas lahir bukan dari ketaatan terhadap Tuhan, tetapi dari kesadaran tragis manusia akan absurditas dan penderitaan bersama.²⁰ Dalam hal ini, ateisme melahirkan etika tanggung jawab, di mana manusia menjadi pusat penentu nilai dan tindakan.²¹

5.4.       Aksiologi Ateisme: Nilai, Makna, dan Tujuan Hidup

Dalam ranah aksiologi, ateisme menolak gagasan bahwa makna hidup harus bergantung pada tujuan kosmis atau kehidupan setelah mati.²² Nilai dan makna hidup diciptakan secara imanen melalui pengalaman, kreativitas, dan relasi antar manusia.²³ Albert Camus menyatakan bahwa kesadaran akan ketiadaan makna metafisik justru membebaskan manusia untuk menciptakan makna yang autentik.²⁴

Aksiologi ateistik berpusat pada nilai-nilai seperti kebebasan, kebenaran, kejujuran intelektual, keadilan sosial, dan kasih sayang.²⁵ Nilai-nilai ini bukan dogma, tetapi hasil refleksi manusia tentang kondisi eksistensialnya sendiri. Paul Kurtz menyebutnya sebagai eupraxsophy—filsafat kehidupan yang baik tanpa agama, yang didasarkan pada penalaran etis dan empati.²⁶

Dengan demikian, ateisme menawarkan suatu bentuk aksiologi yang bersifat humanistik dan imanen, di mana nilai-nilai moral tidak memerlukan validasi transenden.²⁷ Dalam kerangka ini, manusia menjadi pusat penilaian moral dan tujuan hidupnya sendiri: bukan makhluk yang menunggu makna dari luar, melainkan pencipta makna di dalam dunia yang tanpa Tuhan.²⁸


Kritik dan Tantangan Etika Ateistik

Salah satu kritik utama terhadap etika ateisme adalah tuduhan bahwa tanpa Tuhan, moralitas kehilangan dasar objektif.²⁹ Namun, para filsuf ateistik menanggapi bahwa objektivitas moral tidak bergantung pada keberadaan Tuhan, melainkan pada rasionalitas intersubjektif dan kesepakatan universal yang lahir dari empati dan logika moral.³⁰ Julian Baggini berargumen bahwa moralitas ateistik bahkan lebih jujur karena tidak didasarkan pada imbalan atau hukuman ilahi, tetapi pada komitmen terhadap kemanusiaan itu sendiri.³¹

Etika ateisme dengan demikian menolak baik relativisme ekstrem maupun absolutisme dogmatis, dan memilih posisi realisme etis yang rasional dan humanistik.³² Moralitas tanpa Tuhan bukanlah nihilisme, melainkan pengakuan bahwa manusia adalah makhluk yang mampu menilai, memilih, dan bertanggung jawab secara sadar.³³


Footnotes

[1]                Paul Kurtz, Forbidden Fruit: The Ethics of Humanism (Buffalo, NY: Prometheus Books, 1988), 5–7.

[2]                Kai Nielsen, Ethics without God (Buffalo, NY: Prometheus Books, 1990), 9–11.

[3]                J. L. Mackie, Ethics: Inventing Right and Wrong (London: Penguin Books, 1977), 35–38.

[4]                Plato, Euthyphro, in The Dialogues of Plato, trans. Benjamin Jowett (Oxford: Clarendon Press, 1892), 10a–11b.

[5]                Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 421–423.

[6]                Peter Singer, Practical Ethics (Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 4–6.

[7]                Paul Kurtz, The Courage to Become: The Virtues of Humanism (Westport, CT: Praeger, 1997), 12–15.

[8]                Corliss Lamont, The Philosophy of Humanism (New York: Frederick Ungar Publishing, 1965), 19–23.

[9]                Frans de Waal, Primates and Philosophers: How Morality Evolved (Princeton: Princeton University Press, 2006), 32–35.

[10]             Patricia Churchland, Braintrust: What Neuroscience Tells Us about Morality (Princeton: Princeton University Press, 2011), 24–27.

[11]             Richard Dawkins, The Selfish Gene (Oxford: Oxford University Press, 1976), 131–134.

[12]             Frans de Waal, Good Natured: The Origins of Right and Wrong in Humans and Other Animals (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1996), 41–44.

[13]             Michael Ruse, Taking Darwin Seriously: A Naturalistic Approach to Philosophy (Oxford: Basil Blackwell, 1986), 89–91.

[14]             Bertrand Russell, Religion and Science (London: Oxford University Press, 1935), 85–88.

[15]             Richard Carrier, Sense and Goodness without God: A Defense of Metaphysical Naturalism (Bloomington, IN: AuthorHouse, 2005), 269–272.

[16]             Kai Nielsen, God and the Grounding of Morality (Ottawa: University of Ottawa Press, 1991), 58–61.

[17]             Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Philosophical Library, 1956), 553–555.

[18]             Ibid., 565.

[19]             Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O’Brien (New York: Vintage, 1955), 28–30.

[20]             Albert Camus, The Rebel, trans. Anthony Bower (New York: Vintage, 1956), 76–78.

[21]             Susan Neiman, Moral Clarity: A Guide for Grown-Up Idealists (New York: Harcourt, 2008), 102–105.

[22]             Julian Baggini, What’s It All About? Philosophy and the Meaning of Life (Oxford: Oxford University Press, 2005), 47–49.

[23]             Ronald Dworkin, Religion without God (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2013), 20–23.

[24]             Camus, The Myth of Sisyphus, 48–50.

[25]             Paul Kurtz, Living without Religion: Eupraxophy (Buffalo, NY: Prometheus Books, 1994), 22–25.

[26]             Ibid., 28–31.

[27]             Richard Norman, On Humanism (London: Routledge, 2004), 59–62.

[28]             Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 42–44.

[29]             William Lane Craig, Reasonable Faith: Christian Truth and Apologetics (Wheaton, IL: Crossway Books, 2008), 73–75.

[30]             Kai Nielsen, Ethics without God, 115–118.

[31]             Julian Baggini, Atheism: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2003), 74–77.

[32]             Erik Wielenberg, Robust Ethics: The Metaphysics and Epistemology of Godless Normative Realism (Oxford: Oxford University Press, 2014), 8–10.

[33]             Richard Taylor, Good and Evil (Buffalo, NY: Prometheus Books, 1999), 54–57.


6.           Kritik terhadap Ateisme

Kritik terhadap ateisme telah muncul dari berbagai perspektif filsafat, teologi, dan bahkan dari dalam tradisi sekular sendiri. Kritik ini tidak hanya menyoroti kelemahan logis dari penolakan terhadap keberadaan Tuhan, tetapi juga menyoal implikasi etis, eksistensial, dan epistemologis yang dihasilkan dari pandangan ateistik. Dalam konteks filsafat metafisika, ateisme sering dipandang sebagai posisi yang menegasikan dimensi terdalam dari realitas dan makna hidup manusia.¹

6.1.       Kritik Teistik: Rasionalitas dan Fondasi Ontologis

Dari sudut pandang teistik klasik, ateisme dikritik karena dianggap gagal memberikan dasar ontologis yang memadai bagi keberadaan, rasionalitas, dan moralitas.² Thomas Aquinas dalam Summa Theologiae menegaskan bahwa eksistensi Tuhan merupakan causa prima (penyebab pertama) yang niscaya untuk menjelaskan mengapa sesuatu ada alih-alih tidak ada sama sekali.³ Tanpa prinsip penyebab pertama, sistem penjelasan ateistik dianggap jatuh ke dalam regresi tak berhingga yang tidak dapat diselesaikan.

William Lane Craig mengembangkan kritik ini melalui Kalam Cosmological Argument, yang menegaskan bahwa segala sesuatu yang mulai ada memiliki sebab, dan alam semesta yang memiliki awal memerlukan penyebab yang melampaui ruang dan waktu.⁴ Bagi Craig, ateisme gagal menjelaskan mengapa alam semesta muncul “dari ketiadaan,” sementara teisme menyediakan jawaban metafisik yang lebih koheren dengan postulat adanya penyebab non-material.⁵

Selain itu, para teolog seperti Alvin Plantinga mengkritik ateisme karena dianggap merusak fondasi rasionalitas itu sendiri.⁶ Dalam Evolutionary Argument Against Naturalism, Plantinga berargumen bahwa jika kesadaran manusia hanyalah hasil dari proses evolusi tanpa arah yang murni material, maka tidak ada jaminan bahwa kemampuan berpikir kita dapat dipercaya sebagai penghasil kebenaran.⁷ Dengan demikian, ateisme—yang umumnya berdiri di atas naturalisme—secara epistemik bersifat “self-defeating,” karena meniadakan keandalan akal yang menjadi dasar seluruh pengetahuan ilmiah dan filosofisnya sendiri.⁸

6.2.       Kritik Etis dan Moral: Problem Nilai Objektif

Kritik moral terhadap ateisme berfokus pada pertanyaan apakah sistem etika dapat bertahan tanpa dasar metafisik transenden.⁹ Filsuf seperti C. S. Lewis menegaskan bahwa adanya nilai moral objektif dan universal hanya dapat dijelaskan jika ada sumber moral yang melampaui manusia.¹⁰ Menurutnya, jika Tuhan tidak ada, maka tidak ada alasan rasional untuk menganggap satu tindakan lebih baik dari tindakan lain selain preferensi subjektif.¹¹

Dalam pandangan yang serupa, Immanuel Kant—meskipun tidak membela teisme dogmatis—menganggap bahwa eksistensi Tuhan diperlukan secara praktis (postulat of practical reason) untuk menjamin keterpaduan antara kebajikan moral dan kebahagiaan.¹² Tanpa asumsi tersebut, kehidupan moral kehilangan arah teleologisnya.¹³ Kritik ini sering diarahkan kepada ateisme modern yang mengandalkan moralitas sekuler, yang dianggap berisiko jatuh ke dalam relativisme moral atau nihilisme etis, karena tidak memiliki fondasi normatif yang absolut.¹⁴

Sebagai contoh, Friedrich Nietzsche sendiri—yang sering dianggap sebagai ikon ateisme eksistensial—menyadari bahwa “kematian Tuhan” akan membawa konsekuensi nilai yang destruktif bagi peradaban Barat.¹⁵ Ia menyebut nihilisme sebagai “bahaya terbesar umat manusia,” karena tanpa Tuhan, seluruh sistem moral tradisional kehilangan legitimasi ontologisnya.¹⁶ Kritik ini, meski berasal dari dalam ateisme itu sendiri, menunjukkan paradoks internal: ateisme membebaskan manusia dari absolutisme ilahi, tetapi sekaligus mengosongkan landasan moral yang kokoh.¹⁷

6.3.       Kritik Eksistensial dan Spiritualitas

Kritik lain terhadap ateisme datang dari dimensi eksistensial dan spiritual. Ateisme dianggap mereduksi realitas manusia menjadi sekadar fenomena material, sehingga gagal menangkap dimensi makna, keagungan, dan keheningan batin yang menjadi bagian integral dari pengalaman manusia.¹⁸ Viktor Frankl, seorang psikoterapis eksistensial yang selamat dari kamp konsentrasi Nazi, menegaskan bahwa penderitaan manusia hanya dapat ditanggung apabila ia menemukan makna yang melampaui dirinya sendiri.¹⁹ Dalam kerangka ini, ateisme dikritik karena menolak prinsip transendensi yang memberikan arah bagi kehidupan.²⁰

Paul Tillich, dalam The Courage to Be, menyebut ateisme sebagai bentuk “kehilangan keberanian ontologis,” yaitu ketidakmampuan manusia untuk mengafirmasi keberadaannya di hadapan misteri Ada.²¹ Ia membedakan antara “ateisme eksistensial” yang menolak Tuhan dogmatis dengan “ateisme patologis” yang menolak segala bentuk transendensi dan makna.²² Bagi Tillich, manusia membutuhkan dimensi ultim untuk melampaui keterbatasan empirisnya; penolakan terhadap hal itu akan menghasilkan kekosongan spiritual yang berujung pada keputusasaan.²³

6.4.       Kritik dari Dalam Ateisme: Rasionalitas dan Reduksionisme

Kritik terhadap ateisme juga datang dari para pemikir sekuler sendiri yang menilai bahwa sebagian bentuk ateisme modern terlalu reduksionistik dan dogmatis.²⁴ Filsuf postmodern seperti Jean-Luc Marion dan Jacques Derrida menyoroti bahwa “ateisme positivistik” (misalnya New Atheism) terjebak dalam pola pikir ilmiah yang meniadakan kemungkinan makna non-material.²⁵ Marion menyebutnya sebagai bentuk “teologi negatif tanpa kesadaran,” di mana penolakan terhadap Tuhan justru masih bergantung pada kategori ontoteologis yang ingin ditolak.²⁶

Selain itu, ateisme kontemporer juga dikritik karena kecenderungannya bersifat militan dan ideologis. Richard Dawkins, Christopher Hitchens, dan Sam Harris, misalnya, sering dikritik karena menyederhanakan pengalaman religius menjadi ilusi psikologis tanpa memahami nilai eksistensial dan simboliknya.²⁷ John Gray menilai bahwa New Atheism adalah bentuk “sekularisme teologis”—yakni masih membawa semangat misioner agama yang mereka tolak, namun dengan narasi baru berbasis sains.²⁸

Kritik internal ini menunjukkan bahwa ateisme perlu mengembangkan refleksi yang lebih dalam terhadap pengalaman manusia, bukan hanya menolak Tuhan secara konseptual, tetapi juga memahami kebutuhan eksistensial akan makna, nilai, dan keutuhan.²⁹


Kritik Humanistik: Keterbatasan Antroposentrisme

Akhirnya, beberapa kritik terhadap ateisme datang dari pendekatan humanistik yang menyoroti antroposentrisme ekstrem dalam filsafat ateistik.³⁰ Dengan menempatkan manusia sebagai sumber tunggal nilai dan makna, ateisme berisiko mengabaikan dimensi ekologis dan kosmis dari keberadaan.³¹ Filsuf seperti Charles Taylor dan Hans Jonas mengingatkan bahwa penghapusan prinsip transendensi dapat memperlemah rasa tanggung jawab terhadap alam dan masa depan umat manusia.³²

Hans Jonas, dalam The Imperative of Responsibility, berargumen bahwa manusia membutuhkan prinsip etis yang melampaui dirinya sendiri untuk menjamin kelestarian kehidupan.³³ Tanpa kesadaran tentang “yang lebih besar dari manusia,” moralitas mudah tergelincir menjadi utilitarianisme sempit yang hanya mempertimbangkan kepentingan jangka pendek.³⁴ Dengan demikian, kritik humanistik menekankan perlunya ateisme untuk mengembangkan bentuk spiritualitas sekuler yang menumbuhkan rasa keterhubungan dengan realitas yang lebih luas dari diri manusia.³⁵


Footnotes

[1]                J. L. Mackie, The Miracle of Theism: Arguments for and Against the Existence of God (Oxford: Clarendon Press, 1982), 112–114.

[2]                Alvin Plantinga, Warranted Christian Belief (Oxford: Oxford University Press, 2000), 95–97.

[3]                Thomas Aquinas, Summa Theologiae, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, q.2, a.3.

[4]                William Lane Craig, Reasonable Faith: Christian Truth and Apologetics (Wheaton, IL: Crossway Books, 2008), 107–110.

[5]                Ibid., 113–116.

[6]                Alvin Plantinga, “Naturalism Defeated?” in Naturalism Defeated? Essays on Plantinga’s Evolutionary Argument Against Naturalism, ed. James Beilby (Ithaca, NY: Cornell University Press, 2002), 1–12.

[7]                Ibid., 10–14.

[8]                Victor Reppert, C. S. Lewis’s Dangerous Idea: In Defense of the Argument from Reason (Downers Grove, IL: InterVarsity Press, 2003), 45–49.

[9]                Kai Nielsen, Ethics without God (Buffalo, NY: Prometheus Books, 1990), 81–84.

[10]             C. S. Lewis, Mere Christianity (London: Geoffrey Bles, 1952), 18–21.

[11]             Ibid., 23.

[12]             Immanuel Kant, Critique of Practical Reason, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 5:122–125.

[13]             Ibid., 5:127.

[14]             John Hare, The Moral Gap: Kantian Ethics, Human Limits, and God’s Assistance (Oxford: Oxford University Press, 1996), 32–36.

[15]             Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1974), §125.

[16]             Friedrich Nietzsche, Will to Power, trans. Walter Kaufmann and R. J. Hollingdale (New York: Vintage, 1968), 9–11.

[17]             Alexander Nehamas, Nietzsche: Life as Literature (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1985), 78–81.

[18]             Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge, MA: Belknap Press, 2007), 641–643.

[19]             Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning (Boston: Beacon Press, 2006), 88–90.

[20]             Ibid., 101–103.

[21]             Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven: Yale University Press, 1952), 164–167.

[22]             Ibid., 174–176.

[23]             Paul Tillich, Dynamics of Faith (New York: Harper & Row, 1957), 28–30.

[24]             John Gray, Straw Dogs: Thoughts on Humans and Other Animals (London: Granta Books, 2002), 23–25.

[25]             Jean-Luc Marion, God without Being, trans. Thomas A. Carlson (Chicago: University of Chicago Press, 1991), 19–22.

[26]             Ibid., 31–34.

[27]             Terry Eagleton, Reason, Faith, and Revolution: Reflections on the God Debate (New Haven: Yale University Press, 2009), 27–30.

[28]             John Gray, Seven Types of Atheism (London: Allen Lane, 2018), 2–4.

[29]             Ibid., 120–122.

[30]             Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 7–10.

[31]             Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 71–74.

[32]             Ibid., 75–78.

[33]             Jonas, The Imperative of Responsibility, 24–28.

[34]             Ibid., 40–42.

[35]             Ronald Dworkin, Religion without God (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2013), 145–148.


7.           Relevansi Kontemporer Ateisme

Relevansi ateisme dalam dunia kontemporer semakin signifikan seiring dengan perkembangan sains, sekularisasi, pluralisme agama, dan transformasi budaya modern. Ateisme tidak lagi hanya menjadi posisi filosofis minoritas, melainkan bagian dari lanskap intelektual global yang memengaruhi pemikiran ilmiah, politik, moral, dan sosial. Dalam konteks ini, ateisme berfungsi sebagai kritik terhadap absolutisme religius sekaligus sebagai kerangka rasional baru bagi pencarian makna dalam dunia yang semakin imanen dan terfragmentasi.¹

7.1.       Ateisme dan Sekularisasi Masyarakat Modern

Salah satu relevansi utama ateisme terletak pada perannya dalam proses sekularisasi yang menandai modernitas. Menurut Peter L. Berger, sekularisasi bukan hanya penurunan kepercayaan terhadap agama, tetapi juga pergeseran kesadaran manusia dari dunia yang “dihuni makna ilahi” menuju dunia yang otonom dan profan.² Dalam konteks ini, ateisme menjadi ekspresi filosofis dari proses rasionalisasi dan diferensiasi sosial yang menyingkirkan otoritas teologis dari ruang publik.³

Charles Taylor menjelaskan bahwa modernitas tidak menghasilkan “hilangnya iman,” melainkan kemunculan “kondisi keimanan” baru di mana kepercayaan terhadap Tuhan menjadi salah satu pilihan di antara banyak kemungkinan makna eksistensial.⁴ Ateisme, dalam hal ini, berperan sebagai salah satu “jalan imanen” untuk memahami eksistensi manusia di dunia yang tidak lagi dijamin oleh transendensi.⁵ Dengan berkembangnya sains dan teknologi, ateisme menjadi simbol kematangan intelektual dan kebebasan berpikir, di mana kebenaran tidak lagi diukur dari otoritas ilahi, melainkan dari rasionalitas kritis.⁶

7.2.       Ateisme dalam Diskursus Sains dan Teknologi

Dalam era digital dan ilmiah, ateisme memperoleh relevansi baru sebagai bentuk naturalisme ilmiah yang menolak penjelasan supranatural terhadap fenomena dunia.⁷ Tokoh-tokoh seperti Richard Dawkins, Stephen Hawking, dan Lawrence Krauss berargumentasi bahwa kemajuan kosmologi dan biologi evolusioner telah menghapus kebutuhan akan konsep Tuhan sebagai penjelasan ontologis.⁸ Misalnya, teori quantum vacuum fluctuation dan model kosmologi inflasi menjelaskan bagaimana alam semesta dapat muncul tanpa penyebab eksternal.⁹

Pandangan ini menegaskan bahwa sains bukan hanya kompatibel dengan ateisme, tetapi juga memperkuat posisinya sebagai kerangka pengetahuan yang memadai untuk menjelaskan realitas. Daniel Dennett bahkan menyebut ateisme sebagai konsekuensi logis dari penerapan metode ilmiah secara konsisten.¹⁰ Dalam masyarakat yang semakin berbasis data, logika, dan teknologi, ateisme menawarkan paradigma epistemologis yang menempatkan skeptisisme dan keterbukaan terhadap koreksi sebagai prinsip utama pencarian kebenaran.¹¹

Namun, relevansi ateisme di ranah sains juga menimbulkan tantangan baru: bagaimana menjaga keseimbangan antara penjelasan ilmiah yang materialistik dan kebutuhan manusia akan makna eksistensial.¹² Sebagian filsuf kontemporer berusaha menjawab dilema ini melalui scientific humanism, yaitu pendekatan yang menggabungkan rasionalitas ilmiah dengan nilai-nilai kemanusiaan dan etika sekuler.¹³

7.3.       Ateisme dan Politik Sekular

Dalam ranah sosial-politik, ateisme berkontribusi terhadap penguatan nilai-nilai sekularisme, demokrasi, dan kebebasan beragama. John Rawls dalam Political Liberalism menegaskan bahwa masyarakat pluralistik membutuhkan dasar moral yang netral secara metafisis agar semua warga, baik religius maupun non-religius, dapat hidup berdampingan.¹⁴ Ateisme, sebagai salah satu posisi sekuler, menjadi bagian dari perjuangan untuk memisahkan institusi agama dari negara serta mempertahankan ruang publik yang berbasis rasionalitas dan keadilan universal.¹⁵

Di berbagai negara, terutama di Eropa Barat dan Amerika Utara, meningkatnya populasi “nones” (mereka yang tidak berafiliasi agama) menandai munculnya kesadaran baru bahwa moralitas dan tanggung jawab sosial dapat dibangun tanpa landasan teologis.¹⁶ Gerakan seperti Freedom From Religion Foundation dan Atheist Alliance International memperjuangkan hak-hak kaum non-teistik untuk diakui secara legal dan sosial.¹⁷ Dalam konteks global, ateisme berperan penting dalam mempromosikan toleransi, kebebasan berpikir, dan resistensi terhadap fundamentalisme agama.¹⁸

7.4.       Ateisme dan Isu Eksistensial Manusia Modern

Ateisme juga relevan dalam menjawab krisis makna dan identitas manusia modern yang hidup di tengah dislokasi spiritual dan alienasi eksistensial.¹⁹ Dengan hilangnya Tuhan dari struktur makna, manusia dihadapkan pada kebebasan radikal untuk menciptakan nilai-nilainya sendiri.²⁰ Sartre menyebut hal ini sebagai “beban kebebasan,” yakni kondisi di mana manusia sepenuhnya bertanggung jawab atas tindakannya tanpa bisa berlindung di balik kehendak ilahi.²¹

Albert Camus menafsirkan situasi ini sebagai bentuk absurditas, tetapi juga peluang untuk menciptakan makna otentik di dunia yang tanpa arah metafisik.²² Dalam pandangan ateistik kontemporer, kesadaran akan ketiadaan Tuhan tidak berarti keputusasaan, melainkan peluang untuk menemukan spiritualitas baru yang berbasis empati, solidaritas, dan tanggung jawab terhadap sesama.²³ Beberapa pemikir bahkan memperkenalkan istilah spiritualitas tanpa Tuhan sebagai bentuk refleksi batin yang tidak bertentangan dengan rasionalitas ilmiah.²⁴

7.5.       Ateisme dan Tantangan Postmodernitas

Dalam konteks postmodern, relevansi ateisme juga diperdebatkan. Para pemikir seperti Jean Baudrillard dan Jacques Derrida menunjukkan bahwa proyek ateistik modern sering kali masih bergantung pada struktur biner teisme–ateisme yang bersifat modernistik.²⁵ Derrida, dalam gagasan “agama tanpa agama,” mengusulkan pendekatan yang lebih dekonstruktif terhadap Tuhan—bukan menolak-Nya secara ontologis, tetapi membebaskannya dari konsep dogmatis tradisional.²⁶ Dengan demikian, ateisme kontemporer ditantang untuk bergerak melampaui penolakan metafisik dan mengembangkan bentuk spiritualitas reflektif yang tetap rasional, terbuka, dan etis.²⁷

Di sisi lain, post-secular philosophy yang dikemukakan oleh Jürgen Habermas menegaskan bahwa masyarakat modern tidak sepenuhnya dapat “meninggalkan agama.”²⁸ Ia berpendapat bahwa nilai-nilai rasionalitas publik perlu terus berdialog dengan tradisi religius untuk memperkaya horizon moral dan eksistensial manusia.²⁹ Dalam konteks ini, relevansi ateisme tidak terletak pada dominasi atas agama, tetapi pada kemampuannya untuk berpartisipasi dalam diskursus moral global secara kritis dan dialogis.³⁰

7.6.       Ateisme, Ekologi, dan Etika Global

Relevansi ateisme di abad ke-21 juga meluas ke ranah etika ekologis dan tanggung jawab global.³¹ Dengan menolak antropologi teosentris, ateisme membuka kemungkinan etika baru yang menekankan keterikatan manusia pada alam semesta.³² Hans Jonas dan Arne Naess menekankan bahwa tanggung jawab etis terhadap bumi tidak harus didasarkan pada kepercayaan religius, tetapi dapat tumbuh dari kesadaran ekologis yang rasional dan empatik.³³

Dalam dunia yang dihadapkan pada krisis lingkungan, perubahan iklim, dan ancaman eksistensial, ateisme menawarkan paradigma aksiologis yang berbasis pada solidaritas antar-makhluk hidup.³⁴ Nilai-nilai seperti tanggung jawab ekologis, keadilan antargenerasi, dan kepedulian terhadap kehidupan dapat dijustifikasi tanpa rujukan kepada Tuhan, melainkan melalui prinsip keberlanjutan dan kesejahteraan bersama.³⁵


Sintesis Relevansi Kontemporer

Dengan demikian, relevansi ateisme dalam dunia kontemporer melampaui sekadar penolakan terhadap Tuhan. Ia merupakan bagian dari dinamika filsafat modern yang terus berupaya memahami manusia, pengetahuan, dan nilai dalam horizon imanen. Ateisme menegaskan bahwa manusia dapat hidup secara etis, bermakna, dan bertanggung jawab tanpa landasan teologis.³⁶ Di tengah tantangan pluralisme, post-sekularitas, dan krisis global, ateisme berfungsi sebagai kerangka reflektif kritis yang mengajak manusia untuk meneguhkan kemanusiaannya melalui rasionalitas, empati, dan solidaritas universal.³⁷


Footnotes

[1]                Julian Baggini, Atheism: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2003), 91–93.

[2]                Peter L. Berger, The Sacred Canopy: Elements of a Sociological Theory of Religion (New York: Anchor Books, 1967), 107–110.

[3]                Steve Bruce, God Is Dead: Secularization in the West (Oxford: Blackwell, 2002), 3–5.

[4]                Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge, MA: Belknap Press, 2007), 423–427.

[5]                Ibid., 541–544.

[6]                Richard Norman, On Humanism (London: Routledge, 2004), 58–60.

[7]                Daniel Dennett, Breaking the Spell: Religion as a Natural Phenomenon (New York: Viking, 2006), 21–23.

[8]                Stephen Hawking and Leonard Mlodinow, The Grand Design (New York: Bantam Books, 2010), 12–15.

[9]                Lawrence M. Krauss, A Universe from Nothing: Why There Is Something Rather Than Nothing (New York: Free Press, 2012), 145–148.

[10]             Dennett, Breaking the Spell, 239–242.

[11]             Victor Stenger, God: The Failed Hypothesis—How Science Shows That God Does Not Exist (Amherst, NY: Prometheus Books, 2007), 83–85.

[12]             Philip Kitcher, Life after Faith: The Case for Secular Humanism (New Haven: Yale University Press, 2014), 14–17.

[13]             Paul Kurtz, Living without Religion: Eupraxophy (Buffalo, NY: Prometheus Books, 1994), 33–36.

[14]             John Rawls, Political Liberalism (New York: Columbia University Press, 1993), 212–215.

[15]             Martha C. Nussbaum, Liberty of Conscience: In Defense of America’s Tradition of Religious Equality (New York: Basic Books, 2008), 61–64.

[16]             Pew Research Center, “The Global Religious Landscape,” December 2012, 8–9.

[17]             Atheist Alliance International, “About Us,” accessed October 2025, atheistalliance.org.

[18]             Ronald Dworkin, Religion without God (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2013), 55–58.

[19]             Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 66–68.

[20]             Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Philosophical Library, 1956), 559–561.

[21]             Ibid., 565.

[22]             Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O’Brien (New York: Vintage, 1955), 28–31.

[23]             Ronald Aronson, Living without God: New Directions for Atheists, Agnostics, Secularists, and the Undecided (Berkeley: Counterpoint, 2008), 24–27.

[24]             André Comte-Sponville, The Little Book of Atheist Spirituality, trans. Nancy Huston (New York: Viking, 2007), 13–16.

[25]             Jean Baudrillard, The Transparency of Evil: Essays on Extreme Phenomena (London: Verso, 1993), 92–94.

[26]             Jacques Derrida, Acts of Religion, ed. Gil Anidjar (New York: Routledge, 2002), 51–53.

[27]             Ibid., 70–72.

[28]             Jürgen Habermas, An Awareness of What Is Missing: Faith and Reason in a Post-Secular Age (Cambridge: Polity Press, 2010), 15–17.

[29]             Ibid., 21–23.

[30]             Charles Taylor, A Secular Age, 648–650.

[31]             Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 23–25.

[32]             Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle: Outline of an Ecosophy, trans. David Rothenberg (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 28–31.

[33]             Jonas, The Imperative of Responsibility, 40–43.

[34]             Peter Singer, One World: The Ethics of Globalization (New Haven: Yale University Press, 2002), 13–15.

[35]             Paul Kurtz, The Courage to Become: The Virtues of Humanism (Westport, CT: Praeger, 1997), 43–45.

[36]             Julian Baggini, What’s It All About? Philosophy and the Meaning of Life (Oxford: Oxford University Press, 2005), 89–91.

[37]             Charles Taylor, A Secular Age, 767–769.


8.           Sintesis Filosofis

Sintesis filosofis ateisme menandai upaya untuk memahami posisi ini tidak sekadar sebagai negasi terhadap teisme, tetapi sebagai kerangka metafisika positif yang menegaskan otonomi realitas, kebebasan manusia, dan tanggung jawab etis dalam dunia yang imanen.¹ Dalam sintesis ini, ateisme dapat dipandang sebagai hasil dialektika historis antara rasionalitas dan iman, antara kebutuhan akan makna transenden dan pencarian makna imanen.² Ia bukan sekadar “ketiadaan Tuhan,” tetapi afirmasi terhadap keberadaan manusia dan alam sebagai dasar makna itu sendiri.

8.1.       Integrasi Historis dan Ontologis

Dari segi historis, ateisme merupakan puncak dari tradisi pemikiran yang menegaskan autonomi logos atas mitos.³ Sejak filsafat Yunani kuno hingga modernitas, pemikiran manusia bergerak dari penjelasan teologis menuju rasionalitas ilmiah dan refleksi eksistensial.⁴ Dalam kerangka ini, ateisme berfungsi sebagai koreksi terhadap dominasi dogmatis yang menundukkan akal di bawah otoritas wahyu.

Secara ontologis, ateisme menggeser pusat realitas dari “Ada Tertinggi” menuju dunia yang imanen dan otonom.⁵ Realitas tidak lagi ditafsirkan sebagai ciptaan yang menanti legitimasi metafisik, tetapi sebagai totalitas yang berdiri sendiri, terbuka terhadap penyelidikan empiris.⁶ Dengan demikian, ateisme mengembalikan metafisika kepada dasar rasional dan naturalistiknya: dunia dipahami sebagaimana adanya, tanpa perlu penjelasan eksternal.⁷

8.2.       Integrasi Epistemologis dan Ilmiah

Secara epistemologis, ateisme menegaskan bahwa pengetahuan sejati hanya mungkin melalui verifikasi empiris dan rasionalitas kritis.⁸ Pandangan ini menyatukan tradisi empirisme, rasionalisme, dan positivisme dalam satu kerangka metodologis yang menolak klaim kebenaran non-verifikatif.⁹ Ateisme menjadi simbol epistemologi modern yang berpijak pada epistemic humility—kesadaran akan keterbatasan akal, namun sekaligus keyakinan bahwa manusia dapat memahami dunia tanpa bantuan transendensi.¹⁰

Dalam konteks sains, ateisme menjadi paradigma yang memajukan prinsip methodological naturalism, di mana setiap fenomena dipahami melalui hukum-hukum alam, bukan intervensi supranatural.¹¹ Dengan demikian, sintesis epistemologis ateisme bukanlah dogma baru, melainkan komitmen terhadap keterbukaan, koreksi diri, dan penolakan terhadap absolutisme pengetahuan.¹²

8.3.       Integrasi Etis dan Aksiologis

Etika ateisme berpuncak pada penegasan kemandirian moral manusia.¹³ Dengan tidak adanya sumber moral transenden, manusia justru dipanggil untuk menciptakan nilai-nilai berdasarkan rasionalitas, empati, dan tanggung jawab sosial.¹⁴ Dalam pengertian ini, ateisme menolak moralitas heteronom (yang bersumber dari luar diri manusia) dan menggantinya dengan moralitas otonom yang didasarkan pada prinsip kemanusiaan universal.¹⁵

Paul Kurtz menyebut orientasi ini sebagai eupraxsophy—filsafat kehidupan yang baik tanpa agama, yang menekankan kebahagiaan, kebajikan, dan solidaritas manusia.¹⁶ Jean-Paul Sartre menambahkan bahwa tanggung jawab moral justru menemukan puncaknya ketika manusia menyadari bahwa “Tuhan tidak ada”: manusia menjadi satu-satunya sumber nilai, dan dengan demikian tidak dapat mengelak dari tanggung jawab atas tindakannya.¹⁷

Aksiologi ateistik tidak berakhir pada nihilisme, tetapi pada humanisme afirmatif yang menempatkan manusia sebagai makhluk rasional sekaligus etis.¹⁸ Nilai-nilai seperti kebebasan, kejujuran intelektual, keadilan sosial, dan kasih sayang menjadi pusat refleksi moral dalam dunia tanpa Tuhan.¹⁹

8.4.       Integrasi Eksistensial dan Spiritualitas Sekuler

Ateisme kontemporer tidak harus dipahami sebagai anti-spiritualitas, tetapi sebagai bentuk spiritualitas reflektif yang tidak memerlukan metafisika transenden.²⁰ Pemikir seperti André Comte-Sponville dan Ronald Dworkin menegaskan bahwa rasa kagum terhadap alam, kesadaran akan keterhubungan eksistensial, dan pencarian makna hidup dapat tetap eksis dalam kerangka sekuler.²¹ Dengan demikian, ateisme modern bertransformasi menjadi proyek spiritual humanism: upaya manusia untuk menemukan kedalaman makna melalui refleksi rasional dan empati, bukan melalui dogma.²²

Dalam konteks ini, ateisme melahirkan kesadaran baru tentang transendensi imanen—yakni kemampuan manusia untuk melampaui dirinya sendiri melalui cinta, seni, ilmu, dan tanggung jawab etis.²³ Dengan kata lain, ateisme bukanlah penghapusan transendensi, melainkan transformasi transendensi ke dalam dimensi kehidupan manusia yang konkret.²⁴

8.5.       Ateisme sebagai Kritik dan Jalan Tengah Metafisik

Secara filosofis, ateisme juga dapat dipandang sebagai kritik dialektis terhadap dua ekstrem: dogmatisme teistik di satu sisi dan nihilisme skeptik di sisi lain.²⁵ Ia menolak absolutisme keyakinan religius, tetapi juga menolak keputusasaan yang menafikan makna. Dalam hal ini, ateisme tampil sebagai jalan tengah metafisik yang menegaskan kebermaknaan tanpa Tuhan—yakni bahwa makna hidup adalah hasil proyek reflektif manusia, bukan anugerah dari luar.²⁶

Charles Taylor menyebut posisi ini sebagai “iman imanen” (immanent faith), di mana manusia berpegang pada nilai-nilai kebaikan dan kebenaran, bukan karena diperintahkan oleh entitas ilahi, melainkan karena kesadaran moral dan rasionalitas yang inheren dalam dirinya.²⁷ Dengan demikian, ateisme filosofis bukan bentuk penolakan terhadap nilai, tetapi peneguhan terhadap martabat eksistensi manusia sebagai sumber makna, pengetahuan, dan moralitas.²⁸


Sintesis Akhir: Menuju Metafisika Keterbukaan

Akhirnya, sintesis filosofis ateisme menegaskan bahwa posisi ini adalah bagian dari evolusi kesadaran metafisik manusia menuju metafisika keterbukaan—metafisika yang tidak menutup diri pada dogma, baik religius maupun materialistik.²⁹ Ateisme, dalam pengertian filosofis, adalah panggilan untuk berpikir tanpa jaminan, bertindak tanpa perintah ilahi, dan hidup dengan kesadaran penuh akan tanggung jawab moral di dunia yang terbuka terhadap penafsiran.³⁰

Dengan demikian, ateisme dapat disimpulkan bukan sebagai akhir dari filsafat agama, melainkan sebagai tahap reflektif baru dalam perjalanan metafisika manusia, di mana rasionalitas, kebebasan, dan solidaritas menggantikan ketergantungan pada otoritas transenden.³¹ Ia menandai kedewasaan kesadaran manusia yang berani mencari kebenaran, menciptakan nilai, dan menemukan makna dalam keterbatasan yang justru memperkaya keberadaan itu sendiri.³²


Footnotes

[1]                Julian Baggini, Atheism: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2003), 96–98.

[2]                Paul Tillich, Dynamics of Faith (New York: Harper & Row, 1957), 33–35.

[3]                Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind (New York: Ballantine Books, 1991), 50–52.

[4]                Peter Gay, The Enlightenment: An Interpretation (New York: W. W. Norton, 1966), 120–123.

[5]                Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1966), §260.

[6]                Bertrand Russell, Religion and Science (London: Oxford University Press, 1935), 75–78.

[7]                Daniel Dennett, Breaking the Spell: Religion as a Natural Phenomenon (New York: Viking, 2006), 243–245.

[8]                Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 1959), 33–36.

[9]                Antony Flew, God and Philosophy (London: Hutchinson, 1966), 45–50.

[10]             Julian Baggini, What’s It All About? Philosophy and the Meaning of Life (Oxford: Oxford University Press, 2005), 83–86.

[11]             Victor Stenger, God: The Failed Hypothesis—How Science Shows That God Does Not Exist (Amherst, NY: Prometheus Books, 2007), 102–106.

[12]             Daniel Dennett, Darwin’s Dangerous Idea: Evolution and the Meanings of Life (New York: Simon & Schuster, 1995), 512–514.

[13]             Paul Kurtz, Forbidden Fruit: The Ethics of Humanism (Buffalo, NY: Prometheus Books, 1988), 9–11.

[14]             Kai Nielsen, Ethics without God (Buffalo, NY: Prometheus Books, 1990), 13–15.

[15]             Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 421–423.

[16]             Paul Kurtz, Living without Religion: Eupraxophy (Buffalo, NY: Prometheus Books, 1994), 28–31.

[17]             Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Philosophical Library, 1956), 553–555.

[18]             Corliss Lamont, The Philosophy of Humanism (New York: Frederick Ungar Publishing, 1965), 19–23.

[19]             Peter Singer, Practical Ethics (Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 4–6.

[20]             André Comte-Sponville, The Little Book of Atheist Spirituality, trans. Nancy Huston (New York: Viking, 2007), 11–13.

[21]             Ronald Dworkin, Religion without God (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2013), 53–55.

[22]             Ibid., 57–59.

[23]             Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge, MA: Belknap Press, 2007), 766–768.

[24]             Ibid., 769–771.

[25]             J. L. Mackie, The Miracle of Theism: Arguments for and Against the Existence of God (Oxford: Clarendon Press, 1982), 215–218.

[26]             Baggini, Atheism: A Very Short Introduction, 99–101.

[27]             Taylor, A Secular Age, 773–775.

[28]             Paul Kurtz, The Courage to Become: The Virtues of Humanism (Westport, CT: Praeger, 1997), 47–49.

[29]             Hans Jonas, The Imperative of Responsibility: In Search of an Ethics for the Technological Age (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 45–48.

[30]             Karl Jaspers, Philosophy of Existence, trans. Richard F. Grabau (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1971), 112–114.

[31]             John Gray, Seven Types of Atheism (London: Allen Lane, 2018), 145–148.

[32]             Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O’Brien (New York: Vintage, 1955), 110–113.


9.           Kesimpulan

Ateisme, sebagai posisi metafisik, tidak dapat direduksi sekadar pada penolakan terhadap keberadaan Tuhan, tetapi harus dipahami sebagai suatu paradigma filsafat yang menegaskan otonomi realitas, rasionalitas manusia, dan tanggung jawab moral dalam horizon imanen.¹ Ia merupakan hasil evolusi panjang dari pemikiran filosofis yang dimulai sejak zaman Yunani, mencapai bentuk rasional dalam pencerahan modern, dan berkembang menjadi refleksi eksistensial dan humanistik di era kontemporer.²

Secara ontologis, ateisme menolak kebergantungan realitas pada entitas transenden dan memandang alam semesta sebagai entitas yang berdiri sendiri, tunduk pada hukum-hukum alam tanpa arah teleologis eksternal.³ Dalam kerangka ini, dunia tidak lagi dilihat sebagai ciptaan, tetapi sebagai totalitas yang dapat dipahami melalui rasio dan sains. Pandangan ini mengembalikan manusia ke dalam dunia yang imanen, di mana keberadaan memiliki nilai dan makna melalui kesadaran reflektif dan tanggung jawab moralnya sendiri.⁴

Secara epistemologis, ateisme menegaskan bahwa pengetahuan hanya sah jika dibangun di atas dasar empiris dan rasional.⁵ Ia menolak klaim kebenaran yang tidak dapat diverifikasi dan menuntut kerendahan epistemik (epistemic humility) dalam memahami batas kemampuan akal. Ateisme dengan demikian menjadi simbol dari kebebasan berpikir dan komitmen terhadap kebenaran yang dapat diuji, bukan kebenaran yang diterima berdasarkan otoritas.⁶

Dari segi etika dan aksiologi, ateisme menunjukkan bahwa moralitas tidak memerlukan landasan teologis. Nilai-nilai etis dapat muncul dari rasionalitas manusia, empati, dan kebutuhan sosial untuk hidup bersama secara damai dan adil.⁷ Dengan menegaskan otonomi moral manusia, ateisme memberikan fondasi bagi etika humanistik yang memusatkan perhatian pada martabat, kebebasan, dan solidaritas manusia.⁸ Oleh karena itu, kehidupan tanpa Tuhan bukan berarti kehilangan arah moral, melainkan kesempatan untuk menciptakan makna dan tanggung jawab secara sadar.⁹

Secara historis dan kultural, ateisme berperan sebagai kekuatan kritis terhadap dogmatisme keagamaan dan absolutisme metafisik.¹⁰ Ia membuka ruang bagi dialog antara sains dan filsafat, antara iman dan rasio, serta antara kepercayaan dan keraguan. Dalam masyarakat kontemporer yang pluralistik, ateisme berfungsi sebagai salah satu bentuk refleksi rasional yang menegaskan pentingnya kebebasan berpikir dan kebebasan berkeyakinan.¹¹

Namun, ateisme juga menghadapi tantangan: bagaimana menghindari nihilisme, relativisme moral, dan reduksionisme ilmiah yang menafikan dimensi eksistensial manusia.¹² Tantangan ini mengarah pada kebutuhan untuk mengembangkan bentuk humanisme sekuler dan spiritualitas imanen, di mana manusia tetap dapat mengalami kedalaman makna tanpa harus merujuk pada metafisika transenden.¹³ Dalam hal ini, ateisme bukan akhir dari pencarian metafisik, tetapi transformasi cara manusia memahami makna “Ada” dalam batas pengalaman dan rasionalitasnya.¹⁴

Pada akhirnya, ateisme sebagai posisi metafisik menegaskan bahwa manusia adalah pusat refleksi atas keberadaan, bukan karena ia menggantikan Tuhan, tetapi karena ia satu-satunya makhluk yang mampu bertanya, memahami, dan memberi makna pada dunia.¹⁵ Dalam keberanian untuk hidup tanpa jaminan metafisis, ateisme menawarkan bentuk kebebasan yang autentik—yakni kebebasan untuk berpikir, bertindak, dan mencipta nilai di dunia yang terbuka dan terus berubah.¹⁶


Footnotes

[1]                Julian Baggini, Atheism: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2003), 97–99.

[2]                Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind (New York: Ballantine Books, 1991), 395–398.

[3]                Paul-Henri d’Holbach, The System of Nature, trans. H. D. Robinson (London: J. Johnson, 1770), 20–24.

[4]                Bertrand Russell, Religion and Science (London: Oxford University Press, 1935), 77–80.

[5]                Antony Flew, God and Philosophy (London: Hutchinson, 1966), 47–50.

[6]                Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 1959), 41–44.

[7]                Kai Nielsen, Ethics without God (Buffalo, NY: Prometheus Books, 1990), 9–11.

[8]                Paul Kurtz, Forbidden Fruit: The Ethics of Humanism (Buffalo, NY: Prometheus Books, 1988), 12–15.

[9]                Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 36–38.

[10]             Terry Eagleton, Reason, Faith, and Revolution: Reflections on the God Debate (New Haven: Yale University Press, 2009), 23–25.

[11]             Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge, MA: Belknap Press, 2007), 771–773.

[12]             John Gray, Seven Types of Atheism (London: Allen Lane, 2018), 146–149.

[13]             André Comte-Sponville, The Little Book of Atheist Spirituality, trans. Nancy Huston (New York: Viking, 2007), 11–13.

[14]             Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven: Yale University Press, 1952), 171–174.

[15]             Ronald Dworkin, Religion without God (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2013), 147–150.

[16]             Albert Camus, The Myth of Sisyphus, trans. Justin O’Brien (New York: Vintage, 1955), 111–113.


Daftar Pustaka

Albert Camus. (1955). The myth of Sisyphus (J. O’Brien, Trans.). Vintage.

Albert Camus. (1956). The rebel (A. Bower, Trans.). Vintage.

Aquinas, T. (1947). Summa theologiae (Fathers of the English Dominican Province, Trans.). Benziger Bros.

Aronson, R. (2008). Living without God: New directions for atheists, agnostics, secularists, and the undecided. Counterpoint.

Baggini, J. (2003). Atheism: A very short introduction. Oxford University Press.

Baggini, J. (2005). What’s it all about? Philosophy and the meaning of life. Oxford University Press.

Baudrillard, J. (1993). The transparency of evil: Essays on extreme phenomena. Verso.

Berger, P. L. (1967). The sacred canopy: Elements of a sociological theory of religion. Anchor Books.

Bruce, S. (2002). God is dead: Secularization in the West. Blackwell.

Caputo, J. D. (1997). The prayers and tears of Jacques Derrida: Religion without religion. Indiana University Press.

Carrier, R. (2005). Sense and goodness without God: A defense of metaphysical naturalism. AuthorHouse.

Comte-Sponville, A. (2007). The little book of atheist spirituality (N. Huston, Trans.). Viking.

Craig, W. L. (2008). Reasonable faith: Christian truth and apologetics. Crossway Books.

Darwin, C. (1859). On the origin of species. John Murray.

Dawkins, R. (1976). The selfish gene. Oxford University Press.

Dawkins, R. (2006). The God delusion. Bantam Press.

Dennett, D. C. (1995). Darwin’s dangerous idea: Evolution and the meanings of life. Simon & Schuster.

Dennett, D. C. (2006). Breaking the spell: Religion as a natural phenomenon. Viking.

Democritus. (1999). Fragments (C. C. W. Taylor, Trans.). University of Toronto Press.

Derrida, J. (2002). Acts of religion (G. Anidjar, Ed.). Routledge.

d’Holbach, P.-H. (1770). The system of nature (H. D. Robinson, Trans.). J. Johnson.

Dworkin, R. (2013). Religion without God. Harvard University Press.

Eagleton, T. (2009). Reason, faith, and revolution: Reflections on the God debate. Yale University Press.

Epicurus. (1994). The Epicurus reader (B. Inwood & L. P. Gerson, Eds.). Hackett.

Feuerbach, L. (2008). The essence of Christianity (G. Eliot, Trans.). Dover Publications.

Flew, A. (1950). Theology and falsification. University, 13, 296–302.

Flew, A. (1966). God and philosophy. Hutchinson.

Frankl, V. E. (2006). Man’s search for meaning. Beacon Press.

Gay, P. (1966). The Enlightenment: An interpretation. W. W. Norton.

Gray, J. (2002). Straw dogs: Thoughts on humans and other animals. Granta Books.

Gray, J. (2018). Seven types of atheism. Allen Lane.

Habermas, J. (2010). An awareness of what is missing: Faith and reason in a post-secular age. Polity Press.

Hare, J. (1996). The moral gap: Kantian ethics, human limits, and God’s assistance. Oxford University Press.

Hawking, S., & Mlodinow, L. (2010). The grand design. Bantam Books.

Heidegger, M. (1969). Identity and difference (J. Stambaugh, Trans.). Harper & Row.

Heidegger, M. (1977). The question concerning technology (W. Lovitt, Trans.). Harper & Row.

Holbach, P.-H. d’. (1770). The system of nature. J. Johnson.

Hume, D. (1980). Dialogues concerning natural religion (R. H. Popkin, Ed.). Hackett.

Jonas, H. (1984). The imperative of responsibility: In search of an ethics for the technological age. University of Chicago Press.

Kant, I. (1997). Critique of practical reason (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.

Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P. Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University Press.

Kant, I. (1998). Groundwork for the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.

Kitcher, P. (2014). Life after faith: The case for secular humanism. Yale University Press.

Krauss, L. M. (2012). A universe from nothing: Why there is something rather than nothing. Free Press.

Kurtz, P. (1988). Forbidden fruit: The ethics of humanism. Prometheus Books.

Kurtz, P. (1994). Living without religion: Eupraxophy. Prometheus Books.

Kurtz, P. (1997). The courage to become: The virtues of humanism. Praeger.

Lamont, C. (1965). The philosophy of humanism. Frederick Ungar Publishing.

Lewis, C. S. (1952). Mere Christianity. Geoffrey Bles.

Lloyd, G. E. R. (1970). Early Greek science: Thales to Aristotle. Chatto & Windus.

Mackie, J. L. (1977). Ethics: Inventing right and wrong. Penguin Books.

Mackie, J. L. (1982). The miracle of theism: Arguments for and against the existence of God. Clarendon Press.

Marion, J.-L. (1991). God without being (T. A. Carlson, Trans.). University of Chicago Press.

Marx, K. (1963). Contribution to the critique of Hegel’s philosophy of right (T. B. Bottomore, Trans.). In Early writings (p. 244). C. A. Watts.

Naess, A. (1989). Ecology, community and lifestyle: Outline of an ecosophy (D. Rothenberg, Trans.). Cambridge University Press.

Nehamas, A. (1985). Nietzsche: Life as literature. Harvard University Press.

Neiman, S. (2008). Moral clarity: A guide for grown-up idealists. Harcourt.

Nielsen, K. (1990). Ethics without God. Prometheus Books.

Nielsen, K. (1991). God and the grounding of morality. University of Ottawa Press.

Nietzsche, F. (1961). Thus spoke Zarathustra (R. J. Hollingdale, Trans.). Penguin Classics.

Nietzsche, F. (1966). Beyond good and evil (W. Kaufmann, Trans.). Vintage.

Nietzsche, F. (1968). Will to power (W. Kaufmann & R. J. Hollingdale, Trans.). Vintage.

Nietzsche, F. (1974). The gay science (W. Kaufmann, Trans.). Vintage.

Norman, R. (2004). On humanism. Routledge.

Nussbaum, M. C. (2008). Liberty of conscience: In defense of America’s tradition of religious equality. Basic Books.

Papineau, D. (1993). Philosophical naturalism. Blackwell.

Plantinga, A. (2000). Warranted Christian belief. Oxford University Press.

Plantinga, A. (2002). Naturalism defeated? In J. Beilby (Ed.), Naturalism defeated? Essays on Plantinga’s evolutionary argument against naturalism (pp. 1–12). Cornell University Press.

Plato. (1892). Euthyphro. In B. Jowett (Trans.), The dialogues of Plato. Clarendon Press.

Popper, K. (1959). The logic of scientific discovery. Routledge.

Rawls, J. (1993). Political liberalism. Columbia University Press.

Reppert, V. (2003). C. S. Lewis’s dangerous idea: In defense of the argument from reason. InterVarsity Press.

Ruse, M. (1986). Taking Darwin seriously: A naturalistic approach to philosophy. Basil Blackwell.

Russell, B. (1935). Religion and science. Oxford University Press.

Russell, B. (1957). Why I am not a Christian. George Allen & Unwin.

Sartre, J.-P. (1956). Being and nothingness (H. E. Barnes, Trans.). Philosophical Library.

Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a humanism (C. Macomber, Trans.). Yale University Press.

Shermer, M. (2002). Why people believe weird things: Pseudoscience, superstition, and other confusions of our time. Holt Paperbacks.

Singer, P. (2002). One world: The ethics of globalization. Yale University Press.

Singer, P. (2011). Practical ethics (3rd ed.). Cambridge University Press.

Sponville, A. C. (2007). The little book of atheist spirituality. Viking.

Stenger, V. (2007). God: The failed hypothesis—How science shows that God does not exist. Prometheus Books.

Swinburne, R. (2004). The existence of God (2nd ed.). Clarendon Press.

Taylor, C. (1989). Sources of the self: The making of the modern identity. Harvard University Press.

Taylor, C. (2007). A secular age. Belknap Press.

Taylor, R. (1999). Good and evil. Prometheus Books.

Tillich, P. (1952). The courage to be. Yale University Press.

Tillich, P. (1957). Dynamics of faith. Harper & Row.

Tarnas, R. (1991). The passion of the Western mind: Understanding the ideas that have shaped our world view. Ballantine Books.

Waal, F. de. (1996). Good natured: The origins of right and wrong in humans and other animals. Harvard University Press.

Waal, F. de. (2006). Primates and philosophers: How morality evolved. Princeton University Press.

Wielenberg, E. J. (2014). Robust ethics: The metaphysics and epistemology of godless normative realism. Oxford University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar