Empirisme Modern
Fondasi Pengetahuan Berdasarkan Pengalaman dalam
Filsafat Modern
Alihkan ke: Aliran Sejarah Filsafat.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif aliran Empirisme
Modern, sebuah paradigma filsafat yang menegaskan bahwa seluruh pengetahuan
manusia bersumber dari pengalaman (a posteriori) dan pengamatan
inderawi. Melalui analisis historis, ontologis, epistemologis, etis, dan
estetis, tulisan ini menelusuri perkembangan empirisme dari gagasan awal
Francis Bacon, John Locke, George Berkeley, hingga skeptisisme kritis David
Hume. Empirisme Modern tidak hanya membentuk dasar epistemologi ilmiah, tetapi
juga memberikan pengaruh signifikan terhadap lahirnya positivisme, pragmatisme,
empirisme logis, dan sains kontemporer.
Secara filosofis, empirisme menghadirkan pergeseran
radikal dari rasionalisme metafisis menuju pengetahuan berbasis pengalaman
konkret, serta menempatkan manusia sebagai subjek aktif yang membangun makna
melalui interaksi dengan dunia empiris. Etika empiris menekankan dimensi
emosional dan sosial dari moralitas, sedangkan estetika empiris menegaskan
keindahan sebagai hasil persepsi yang terbentuk oleh pengalaman. Meskipun
dikritik oleh rasionalisme dan idealisme transendental karena keterbatasannya
dalam menjelaskan ide apriori dan universalitas kebenaran, empirisme tetap
bertahan sebagai fondasi metodologis bagi ilmu pengetahuan modern dan
pendekatan kritis terhadap realitas.
Dalam konteks kontemporer, empirisme menemukan
relevansi baru dalam era digital dan teknologi informasi, di mana pengalaman
manusia dimediasi oleh data, algoritma, dan kecerdasan buatan. Prinsip
empiris—verifikasi, observasi, dan keterbukaan terhadap koreksi—menjadi dasar
penting bagi sains, etika, dan epistemologi modern, terutama dalam menghadapi krisis
kebenaran dan fenomena post-truth. Artikel ini menegaskan bahwa
Empirisme Modern bukan hanya teori pengetahuan, tetapi juga filsafat kehidupan
yang menempatkan pengalaman sebagai dasar pengetahuan dan keotentikan
manusia: manusia menjadi makhluk yang benar-benar tahu dan hidup secara
autentik ketika ia mengalami, mengamati, dan merefleksikan dunia secara jujur
dan terbuka.
Kata Kunci: Empirisme
Modern, pengalaman, epistemologi, verifikasi empiris, John Locke, George
Berkeley, David Hume, positivisme, pragmatisme, keotentikan manusia.
PEMBAHASAN
Empirisme dalam Epistemologi Modern
1.
Pendahuluan
Empirisme Modern muncul sebagai salah satu pilar
utama dalam sejarah filsafat modern, terutama sebagai reaksi kritis terhadap
dominasi rasionalisme yang menekankan peran akal murni sebagai sumber utama
pengetahuan. Aliran ini menegaskan bahwa pengetahuan manusia tidak lahir dari
ide-ide bawaan atau rasio yang otonom, melainkan dari pengalaman inderawi yang
konkret dan dapat diverifikasi. Dalam pandangan empiris, seluruh isi pikiran
berasal dari interaksi manusia dengan dunia luar melalui pengamatan, persepsi,
dan refleksi terhadap data yang diberikan oleh indera. Pandangan ini menandai
pergeseran epistemologis yang besar dari tradisi skolastik dan metafisika abad
pertengahan menuju paradigma ilmiah modern yang lebih eksperimental dan
berbasis observasi.¹
Empirisme Modern memiliki akar historis yang dalam,
bermula dari semangat Renaissance dan revolusi ilmiah abad ke-17 yang
dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti Francis Bacon. Melalui karya Novum
Organum (1620), Bacon menggagas metode induktif sebagai jalan baru menuju
pengetahuan ilmiah, menggantikan metode deduktif Aristotelian yang telah lama
mendominasi.² Ia menegaskan bahwa ilmu pengetahuan sejati harus dimulai dari
pengamatan empiris, kemudian secara bertahap membentuk generalisasi berdasarkan
fakta-fakta yang teramati. Semangat inilah yang menjadi fondasi bagi John
Locke, George Berkeley, dan David Hume dalam merumuskan filsafat empirisme pada
masa modern.
John Locke, tokoh sentral dalam Empirisme Modern,
menolak gagasan Descartes tentang ide bawaan (innate ideas) dan
memperkenalkan konsep tabula rasa — bahwa pikiran manusia pada awalnya
adalah lembaran kosong yang diisi melalui pengalaman.³ Bagi Locke, semua
pengetahuan bermula dari dua sumber utama: pengalaman luar (sensation)
dan refleksi dalam (reflection). George Berkeley kemudian mengembangkan
empirisme ke arah idealisme subjektif, menegaskan bahwa realitas pada dasarnya
adalah persepsi (esse est percipi — “ada berarti dipersepsi”).⁴
Sementara itu, David Hume menempuh arah yang lebih radikal dengan skeptisisme
empirisnya, menolak konsep kausalitas sebagai sesuatu yang dapat dibuktikan
secara rasional.⁵ Menurutnya, hubungan sebab-akibat hanyalah kebiasaan pikiran
yang dibentuk oleh pengulangan pengalaman, bukan hukum objektif yang melekat
pada realitas.
Dalam konteks perkembangan filsafat modern,
Empirisme memainkan peran penting dalam melahirkan metode ilmiah modern,
positivisme, dan empirisme logis.⁶ Aliran ini menegaskan bahwa hanya
pengetahuan yang didasarkan pada pengalaman dan observasi yang dapat disebut
ilmiah, sementara metafisika dan spekulasi rasional dianggap tidak memiliki
dasar empiris yang dapat diverifikasi. Pandangan tersebut memberi pengaruh
besar terhadap munculnya sains modern dan menjadikan empirisme sebagai landasan
epistemologis bagi berbagai disiplin ilmu kontemporer — dari fisika dan
psikologi hingga filsafat bahasa dan kognisi.
Namun demikian, dominasi Empirisme Modern tidak
lepas dari kritik. Rasionalis seperti Descartes dan Leibniz menilai bahwa
pengalaman saja tidak cukup untuk menjelaskan konsep universal dan kebenaran
yang niscaya. Kritik ini mencapai puncaknya pada pemikiran Immanuel Kant, yang
berusaha menyintesiskan empirisme dan rasionalisme melalui filsafat
transendentalnya.⁷ Meski demikian, nilai historis dan metodologis empirisme
tetap bertahan, terutama dalam upaya manusia memahami realitas melalui
pengalaman konkret dan observasi sistematis.
Dengan demikian, Empirisme Modern bukan hanya
sebuah teori epistemologi, melainkan juga sebuah revolusi dalam cara manusia
memahami dunia. Ia menegaskan bahwa pengetahuan sejati tidak bersumber dari
intuisi metafisis, melainkan dari kesetiaan terhadap pengalaman, data, dan
bukti nyata. Pemahaman ini kemudian membuka jalan bagi paradigma ilmiah yang
menjadi ciri khas modernitas — dunia yang menilai kebenaran berdasarkan apa
yang dapat diuji, diamati, dan dialami secara langsung.
Footnotes
[1]
Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind:
Understanding the Ideas That Have Shaped Our World View (New York:
Ballantine Books, 1991), 215.
[2]
Francis Bacon, Novum Organum (London: W.
Pickering, 1620), 47.
[3]
John Locke, An Essay Concerning Human
Understanding (London: Thomas Basset, 1690), 15.
[4]
George Berkeley, A Treatise Concerning the
Principles of Human Knowledge (Dublin: Jeremy Pepyat, 1710), 28.
[5]
David Hume, A Treatise of Human Nature
(London: John Noon, 1739), 124.
[6]
A. J. Ayer, Language, Truth and Logic
(London: Gollancz, 1936), 8.
[7]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason,
trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press,
1998), 56.
2.
Landasan
Historis dan Genealogis
Empirisme Modern tidak muncul secara tiba-tiba,
melainkan merupakan hasil dari proses panjang dalam sejarah intelektual Barat
yang menghubungkan tradisi filsafat klasik, skolastik, dan pencerahan.
Akar-akar pemikiran empiris dapat ditelusuri sejak zaman Yunani kuno, terutama
pada Aristoteles yang menekankan pentingnya pengamatan terhadap dunia nyata
sebagai sumber utama pengetahuan.¹ Berbeda dengan Plato yang menempatkan ide
sebagai realitas tertinggi dan sumber kebenaran, Aristoteles melihat bahwa
pengetahuan harus dimulai dari pengalaman konkret sebelum mencapai abstraksi
rasional. Pandangan ini kemudian menjadi dasar bagi tradisi empiris yang
berkembang berabad-abad kemudian.
Selama Abad Pertengahan, pemikiran Aristoteles
diolah kembali oleh para teolog skolastik seperti Thomas Aquinas yang berupaya
menggabungkan filsafat Yunani dengan teologi Kristen.² Meskipun teologi
skolastik masih berorientasi pada wahyu dan rasio, dalam praktiknya mereka
telah membuka ruang bagi pengalaman empiris sebagai bagian dari cara manusia
mengenal ciptaan Tuhan. Namun, dominasi metafisika skolastik membuat pendekatan
empiris belum memperoleh status metodologis yang independen. Barulah pada masa Renaissance
dan awal Revolusi Ilmiah abad ke-16 dan ke-17, semangat untuk mengamati,
bereksperimen, dan menolak otoritas dogmatis mulai muncul secara lebih
eksplisit.³
Tokoh yang menandai kebangkitan semangat empiris
tersebut adalah Francis Bacon (1561–1626), yang sering disebut sebagai
“bapak empirisme modern”. Melalui Novum Organum (1620), Bacon menolak
metode deduktif skolastik dan memperkenalkan metode induktif yang bertumpu pada
pengumpulan data empiris secara sistematis.⁴ Menurut Bacon, pengetahuan sejati
tidak diperoleh melalui silogisme, melainkan melalui observasi dan eksperimen
yang berulang, sehingga prinsip umum muncul dari fakta-fakta partikular.⁵ Ia
mengkritik “idola-idola pikiran” (idola mentis) yang menghambat
objektivitas manusia dalam memahami alam. Dengan gagasan ini, Bacon memberikan
fondasi metodologis yang kelak menjadi dasar sains modern sekaligus
epistemologi empiris.
Dari pondasi Bacon, tradisi empirisme berkembang
pesat di Inggris melalui pemikiran John Locke (1632–1704). Dalam An
Essay Concerning Human Understanding (1690), Locke mengajukan tesis bahwa
pikiran manusia pada awalnya adalah tabula rasa — lembaran kosong yang
diisi melalui pengalaman inderawi.⁶ Locke membedakan dua sumber utama
pengalaman: sensation (pengalaman luar yang berasal dari objek
eksternal) dan reflection (pengalaman batin yang bersumber dari
aktivitas mental manusia). Dengan demikian, seluruh pengetahuan bersifat a
posteriori, yaitu hasil dari pengalaman dan refleksi terhadap data empiris.
Locke juga memperkenalkan konsep kualitas primer dan sekunder, yang menandai
upaya awal memahami hubungan antara persepsi subjektif dan realitas objektif.⁷
Gagasan Locke diteruskan dan dimodifikasi oleh George
Berkeley (1685–1753), yang membawa empirisme ke arah idealisme subjektif.
Dalam karyanya A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge
(1710), Berkeley menolak keberadaan materi yang terpisah dari persepsi dan
menyatakan bahwa esse est percipi — “ada berarti dipersepsi.”⁸ Bagi
Berkeley, realitas hanyalah kumpulan persepsi yang diberikan oleh Tuhan kepada
pikiran manusia. Pandangan ini, meskipun bersifat radikal, tetap mempertahankan
prinsip empirisme bahwa semua pengetahuan berakar pada pengalaman perseptual.
Puncak perkembangan Empirisme Modern tercapai
melalui David Hume (1711–1776), yang menempuh jalan skeptisisme terhadap
kausalitas dan identitas diri. Dalam A Treatise of Human Nature (1739),
Hume berargumen bahwa hubungan sebab-akibat tidak dapat dibuktikan secara
rasional, melainkan hanya berdasarkan kebiasaan yang terbentuk dari pengulangan
pengalaman.⁹ Ia menegaskan bahwa manusia tidak pernah benar-benar mengamati
“sebab” dan “akibat,” tetapi hanya urutan peristiwa yang berulang sehingga
menghasilkan ekspektasi psikologis. Hume juga menggugat konsep substansi dan
diri sebagai entitas tetap, dengan menyatakan bahwa diri hanyalah “sekumpulan
kesan dan ide yang berubah-ubah.”¹⁰
Secara genealogis, Empirisme Modern lahir di dalam
konteks yang lebih luas: kebangkitan ilmu pengetahuan, kejatuhan otoritas
gereja, dan semangat pencerahan (Enlightenment) yang menempatkan
pengalaman dan rasionalitas manusia sebagai sumber utama pengetahuan.¹¹ Tradisi
empirisme Inggris menjadi motor epistemologis bagi peradaban Barat modern dan
memengaruhi banyak aliran setelahnya, seperti positivisme, pragmatisme, dan
empirisme logis.¹² Dengan demikian, Empirisme Modern bukan hanya bagian dari
sejarah filsafat, tetapi juga dari transformasi cara berpikir manusia terhadap
dunia — dari keyakinan dogmatis menuju pengetahuan yang berbasis bukti dan
pengalaman nyata.
Footnotes
[1]
Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross
(Oxford: Clarendon Press, 1924), 980a–981b.
[2]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans.
Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947),
I.q.84.
[3]
Paul Oskar Kristeller, Renaissance Thought and
Its Sources (New York: Columbia University Press, 1979), 45–47.
[4]
Francis Bacon, Novum Organum (London: W.
Pickering, 1620), 47.
[5]
Peter Urbach, Francis Bacon’s Philosophy of
Science: An Account and a Reappraisal (La Salle, IL: Open Court, 1987),
102.
[6]
John Locke, An Essay Concerning Human
Understanding (London: Thomas Basset, 1690), II.i.2.
[7]
Nicholas Jolley, Locke: His Philosophical
Thought (Oxford: Oxford University Press, 1999), 72–75.
[8]
George Berkeley, A Treatise Concerning the
Principles of Human Knowledge (Dublin: Jeremy Pepyat, 1710), 28.
[9]
David Hume, A Treatise of Human Nature
(London: John Noon, 1739), 124.
[10]
David Fate Norton, David Hume: Common-Sense
Moralist, Sceptical Metaphysician (Princeton: Princeton University Press,
1982), 56–58.
[11]
Roy Porter, Enlightenment: Britain and the
Creation of the Modern World (London: Allen Lane, 2000), 33–36.
[12]
A. J. Ayer, Language, Truth and Logic
(London: Gollancz, 1936), 5–8.
3.
Ontologi:
Realitas dan Pengalaman
Dalam kerangka Empirisme Modern, ontologi —
yakni cabang filsafat yang membahas hakikat realitas — mengalami pergeseran
mendasar dari paradigma metafisis menuju paradigma pengalaman. Jika filsafat
skolastik dan rasionalisme sebelumnya berupaya menafsirkan realitas melalui
struktur ide dan esensi yang bersifat apriori, maka para empiris menegaskan
bahwa realitas hanya dapat dipahami melalui pengalaman yang bersumber dari pengamatan
inderawi.¹ Dengan demikian, dunia nyata bukanlah sesuatu yang dipahami melalui
rasio murni, melainkan melalui akumulasi data yang diterima indera manusia,
yang kemudian diolah oleh pikiran melalui proses refleksi.
Bagi John Locke, realitas bersifat objektif
dan eksis secara independen dari kesadaran manusia, tetapi pengetahuan
tentangnya hanya diperoleh melalui pengalaman.² Ia membedakan antara kualitas
primer — seperti bentuk, ukuran, gerak, dan jumlah — yang melekat pada
benda itu sendiri, serta kualitas sekunder — seperti warna, rasa, dan
bau — yang bergantung pada persepsi subjek.³ Pandangan ini mencerminkan
realisme empiris, yaitu keyakinan bahwa dunia eksternal benar-benar ada, namun
hanya dapat diakses melalui pengalaman subjektif. Locke menolak ide bawaan (innate
ideas) dan menegaskan bahwa pengalaman inderawi merupakan satu-satunya
jembatan antara manusia dan realitas. Dalam kerangka ini, ontologi empiris
bersifat fenomenologis, karena realitas selalu hadir dalam bentuk
fenomena yang dialami, bukan dalam dirinya sendiri secara mutlak.
Berbeda dengan Locke, George Berkeley
mengembangkan pendekatan ontologis yang lebih radikal. Ia menolak gagasan
tentang keberadaan materi yang independen dari pikiran, dengan menyatakan
prinsip esse est percipi — “ada berarti dipersepsi.”⁴ Dalam pandangan
Berkeley, tidak ada “benda” yang ada di luar pengalaman perseptual; realitas
sepenuhnya bersifat mental atau spiritual.⁵ Dengan demikian, ontologi
empirisnya bersifat idealis, di mana keberadaan objek ditentukan oleh
persepsi subjek, dan kontinuitas realitas dijamin oleh pikiran ilahi yang
senantiasa memelihara segala persepsi. Posisi ini menegaskan bahwa yang paling
fundamental dalam realitas bukanlah materi, melainkan pengalaman itu sendiri.
David Hume kemudian membawa ontologi empiris menuju bentuknya yang paling skeptis.
Ia menolak pandangan bahwa manusia dapat mengetahui hakikat substansi, baik
substansi materi maupun substansi diri. Menurut Hume, yang disebut “realitas”
tidak lebih dari kumpulan kesan (impressions) dan ide (ideas)
yang muncul secara berurutan dalam kesadaran.⁶ Kita tidak pernah mengamati
substansi di balik kesan-kesan tersebut; yang ada hanyalah hubungan temporal
antarpersepsi yang saling berasosiasi.⁷ Oleh karena itu, konsep seperti “diri”,
“sebab-akibat”, atau “substansi” hanyalah hasil konstruksi kebiasaan mental,
bukan entitas ontologis yang sungguh ada. Ontologi Hume dapat disebut sebagai fenomenalisme
skeptis, sebab ia menolak kemungkinan pengetahuan metafisis mengenai
hakikat realitas di luar pengalaman empiris.
Dari ketiga pemikir utama tersebut, tampak bahwa Empirisme
Modern menggeser orientasi ontologi dari substansi menuju pengalaman.
Realitas tidak lagi dipahami sebagai sesuatu yang berdiri sendiri di luar
kesadaran, melainkan sebagai sesuatu yang hadir dan bermakna dalam pengalaman
manusia. Dengan kata lain, eksistensi realitas ditentukan oleh relasi antara
subjek pengamat dan objek yang diamati.⁸ Ontologi empiris dengan demikian
bersifat relasional: dunia tidak dapat dijelaskan tanpa merujuk pada
cara manusia mengalaminya. Prinsip ini membuka jalan bagi pandangan modern
tentang realitas sebagai konstruksi pengalaman, yang kelak memengaruhi
fenomenologi, pragmatisme, dan teori-teori kognitif kontemporer.
Lebih jauh, empirisme juga menolak segala bentuk
spekulasi metafisis yang tidak dapat diverifikasi secara empiris. Hal ini
tampak dalam pengaruhnya terhadap positivisme Auguste Comte dan empirisme logis
abad ke-20, yang menegaskan bahwa setiap pernyataan ontologis harus memiliki
dasar observasional agar bermakna.⁹ Dalam kerangka ini, ontologi bukan lagi
pencarian hakikat “yang ada” secara mutlak, tetapi analisis terhadap struktur
pengalaman manusia dalam berhadapan dengan dunia. Realitas empiris adalah hasil
keterlibatan manusia dengan fenomena melalui indera dan refleksi rasional
atasnya.
Dengan demikian, ontologi Empirisme Modern dapat
dirumuskan dalam tiga tesis pokok: pertama, bahwa realitas hanya dapat
diketahui sejauh ia dialami; kedua, bahwa pengalaman adalah dasar dan batas
bagi seluruh pengetahuan ontologis; dan ketiga, bahwa keberadaan dunia
eksternal — sekalipun dapat diasumsikan — tidak dapat dipastikan di luar data
empiris.¹⁰ Pandangan ini mengantarkan filsafat pada kesadaran baru bahwa
“realitas” bukanlah sesuatu yang sepenuhnya tetap dan terlepas dari manusia,
melainkan sesuatu yang selalu dihadirkan, ditafsirkan, dan dibentuk melalui
pengalaman.
Footnotes
[1]
Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind:
Understanding the Ideas That Have Shaped Our World View (New York:
Ballantine Books, 1991), 220.
[2]
John Locke, An Essay Concerning Human
Understanding (London: Thomas Basset, 1690), II.i.2.
[3]
Nicholas Jolley, Locke: His Philosophical
Thought (Oxford: Oxford University Press, 1999), 73–76.
[4]
George Berkeley, A Treatise Concerning the
Principles of Human Knowledge (Dublin: Jeremy Pepyat, 1710), 25–28.
[5]
Kenneth P. Winkler, Berkeley: An Interpretation
(Oxford: Clarendon Press, 1989), 54–57.
[6]
David Hume, A Treatise of Human Nature
(London: John Noon, 1739), 67–69.
[7]
David Fate Norton, David Hume: Common-Sense
Moralist, Sceptical Metaphysician (Princeton: Princeton University Press,
1982), 61–63.
[8]
A. C. Grayling, The History of Philosophy
(London: Penguin Books, 2019), 245.
[9]
A. J. Ayer, Language, Truth and Logic
(London: Gollancz, 1936), 35–38.
[10]
W. V. O. Quine, “Two Dogmas of Empiricism,” The
Philosophical Review 60, no. 1 (1951): 20–24.
4.
Epistemologi:
Asal dan Validitas Pengetahuan
Dalam Empirisme Modern, epistemologi — teori
tentang asal dan validitas pengetahuan — merupakan inti yang menentukan arah
seluruh bangunan filsafatnya. Para pemikir empiris menolak klaim rasionalis
bahwa pengetahuan dapat diperoleh secara apriori dari akal budi tanpa
pengalaman. Sebaliknya, mereka menegaskan bahwa seluruh pengetahuan manusia
bersumber dari pengalaman (a posteriori), baik melalui pengamatan
inderawi maupun refleksi terhadap data empiris yang diterima oleh kesadaran.¹
Dengan demikian, empirisme berangkat dari tesis dasar bahwa tidak ada sesuatu
pun di dalam pikiran yang tidak terlebih dahulu melewati indera (nihil est
in intellectu quod non prius fuerit in sensu).²
Bagi John Locke, pengetahuan berawal dari
pengalaman inderawi (sensation) yang memberikan bahan mentah bagi
pikiran, serta pengalaman reflektif (reflection) yang memungkinkan
manusia menyadari operasi mentalnya sendiri.³ Pikiran manusia pada dasarnya
adalah tabula rasa — kertas kosong yang diisi oleh pengalaman.⁴ Locke
membedakan dua jenis ide: ide sederhana, yang langsung diperoleh dari
pengalaman inderawi (seperti warna, suara, atau rasa), dan ide kompleks, yang
merupakan hasil penggabungan, perbandingan, serta abstraksi dari ide-ide
sederhana.⁵ Pengetahuan bagi Locke adalah persepsi tentang kesesuaian atau
ketidaksesuaian antara ide-ide tersebut.⁶ Dari sini ia menyusun epistemologi
empiris yang menegaskan bahwa kebenaran bukan hasil deduksi rasional, melainkan
hasil penegasan pengalaman yang diolah secara sistematis oleh akal.
Sementara Locke menekankan aspek empiris-realistik,
George Berkeley mengembangkan epistemologi yang bersifat idealistik.
Menurutnya, tidak ada jaminan bahwa persepsi inderawi merepresentasikan dunia
luar yang independen dari kesadaran.⁷ Semua pengetahuan, kata Berkeley, berakar
pada persepsi, dan apa yang disebut “benda” hanyalah kumpulan persepsi yang
diberikan kepada pikiran.⁸ Maka, ia menyimpulkan bahwa keberadaan sesuatu
tergantung pada dipersepsinya (esse est percipi). Dengan demikian,
pengetahuan bukanlah representasi dari dunia objektif, melainkan pengalaman
langsung dari fenomena yang dihadirkan dalam kesadaran manusia. Validitas
pengetahuan dalam epistemologi Berkeley tidak terletak pada korespondensi
dengan dunia eksternal, tetapi pada konsistensi pengalaman yang dijamin oleh
Tuhan sebagai subjek persepsi yang absolut.⁹
David Hume kemudian membawa empirisme ke arah skeptisisme yang mendalam. Ia
menegaskan bahwa seluruh pengetahuan manusia hanyalah hasil dari kesan (impressions)
dan ide (ideas), yaitu salinan lemah dari kesan yang tertinggal dalam
pikiran.¹⁰ Namun, menurut Hume, manusia tidak memiliki pengalaman langsung
mengenai hubungan kausalitas, substansi, atau identitas diri.¹¹ Ketika kita
mengatakan bahwa suatu peristiwa menyebabkan peristiwa lain, kita sebenarnya
hanya mengamati urutan kejadian yang berulang dan membentuk kebiasaan (custom)
dalam pikiran.¹² Maka, pengetahuan kausal bukanlah pengetahuan niscaya, tetapi
kepercayaan psikologis yang lahir dari asosiasi pengalaman berulang.
Epistemologi Hume karenanya bersifat skeptis-empiris: ia menegaskan
batas-batas pengetahuan manusia dan menolak segala klaim metafisis yang
melampaui pengalaman.¹³
Dalam konteks validitas pengetahuan, Empirisme
Modern menekankan verifikasi empiris sebagai kriteria utama kebenaran.¹⁴
Setiap proposisi dianggap bermakna hanya sejauh dapat diuji melalui pengalaman
atau observasi. Prinsip ini menjadi fondasi bagi lahirnya empirisme logis dan
positivisme ilmiah pada abad ke-19 dan ke-20, di mana pernyataan yang tidak
dapat diverifikasi secara empiris dianggap tidak bermakna secara kognitif.¹⁵ Dengan
demikian, epistemologi empiris berfokus pada kemampuan indera dan pengalaman
sebagai sarana utama memperoleh dan menguji pengetahuan, sementara akal hanya
berfungsi sebagai alat untuk mengorganisasi dan menginterpretasi data empiris.
Namun, epistemologi empiris juga menghadapi
persoalan mendasar tentang masalah induksi.¹⁶ Hume menunjukkan bahwa
generalisasi dari pengalaman masa lalu ke masa depan tidak dapat dibenarkan
secara logis, karena tidak ada jaminan bahwa alam akan selalu berlaku dengan
cara yang sama. Ini berarti bahwa setiap klaim ilmiah tentang hukum alam pada
dasarnya bersifat probabilistik, bukan kepastian rasional. Masalah ini kelak
memicu kritik dari Immanuel Kant, yang berupaya menggabungkan unsur empiris dan
apriori dalam teori pengetahuannya.¹⁷
Dari keseluruhan pandangan para empiris, dapat
disimpulkan bahwa epistemologi Empirisme Modern menempatkan pengalaman sebagai
dasar tunggal pengetahuan manusia. Pengetahuan lahir dari interaksi antara
subjek yang mengetahui dan dunia fenomenal yang dihadapi melalui indera.
Validitasnya tidak ditentukan oleh spekulasi metafisis, tetapi oleh kesesuaian
dengan data empiris yang dapat diuji, diamati, dan dialami. Dengan cara ini,
Empirisme Modern memberikan fondasi bagi paradigma ilmiah modern yang menilai
kebenaran berdasarkan bukti empiris, observasi sistematis, dan metode
verifikasi.¹⁸
Footnotes
[1]
Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind:
Understanding the Ideas That Have Shaped Our World View (New York:
Ballantine Books, 1991), 223.
[2]
Aristotle, De Anima, trans. J. A. Smith
(Oxford: Clarendon Press, 1931), 429b–430a.
[3]
John Locke, An Essay Concerning Human
Understanding (London: Thomas Basset, 1690), II.i.2.
[4]
Ibid., II.i.15.
[5]
Nicholas Jolley, Locke: His Philosophical
Thought (Oxford: Oxford University Press, 1999), 68–70.
[6]
Locke, An Essay Concerning Human Understanding,
IV.i.2.
[7]
George Berkeley, A Treatise Concerning the
Principles of Human Knowledge (Dublin: Jeremy Pepyat, 1710), §3–6.
[8]
Kenneth P. Winkler, Berkeley: An Interpretation
(Oxford: Clarendon Press, 1989), 43.
[9]
Berkeley, Principles of Human Knowledge,
§148.
[10]
David Hume, A Treatise of Human Nature
(London: John Noon, 1739), I.i.1–3.
[11]
David Fate Norton, David Hume: Common-Sense
Moralist, Sceptical Metaphysician (Princeton: Princeton University Press,
1982), 63–65.
[12]
Hume, A Treatise of Human Nature, I.iii.14.
[13]
Barry Stroud, Hume (London: Routledge,
1977), 97–99.
[14]
A. J. Ayer, Language, Truth and Logic
(London: Gollancz, 1936), 42–44.
[15]
Moritz Schlick, General Theory of Knowledge,
trans. A. E. Blumberg (Chicago: Open Court, 1985), 87–89.
[16]
Hume, A Treatise of Human Nature, I.iii.6.
[17]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason,
trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press,
1998), B1–B2.
[18]
Karl R. Popper, The Logic of Scientific
Discovery (London: Routledge, 1959), 33–36.
5.
Etika
dan Implikasi Moral Empirisme
Dalam konteks Empirisme Modern, etika
memperoleh landasan yang berbeda secara mendasar dibandingkan dengan sistem
moral rasionalis. Jika rasionalisme moral — seperti pada Descartes atau Kant —
berangkat dari prinsip-prinsip apriori dan universal yang ditemukan oleh akal,
maka empirisme menempatkan pengalaman manusia sebagai sumber utama nilai
moral.¹ Bagi para pemikir empiris, moralitas tidak bersumber dari rasio murni
yang abstrak, melainkan dari perasaan, kebiasaan, dan pengalaman sosial yang
nyata dalam kehidupan manusia. Etika, dengan demikian, bersifat naturalistis,
karena ia tumbuh dari pengalaman empiris manusia tentang kesenangan,
penderitaan, simpati, dan hubungan antarindividu.
Tokoh pertama yang secara eksplisit membangun
fondasi etika empiris adalah John Locke. Dalam An Essay Concerning
Human Understanding, Locke berpendapat bahwa pengetahuan moral, meskipun
tidak sejelas matematika, tetap dapat diturunkan dari pengalaman reflektif
manusia terhadap tindakan dan konsekuensinya.² Bagi Locke, manusia secara alami
mengejar kebahagiaan (happiness) dan menghindari penderitaan, dan dari
pengalaman ini muncul kesadaran moral.³ Ia menolak pandangan bahwa nilai moral
bersifat bawaan atau tertanam dalam akal, melainkan menegaskan bahwa moralitas
berkembang melalui pengalaman, pendidikan, dan interaksi sosial. Moralitas,
bagi Locke, berakar pada law of nature yang diketahui melalui pengamatan
terhadap tatanan alam dan konsekuensi empiris dari perbuatan manusia.⁴ Dengan
demikian, moralitas menjadi bagian dari tatanan empiris kehidupan, bukan dari
struktur apriori rasional.
George Berkeley menempuh jalur berbeda dengan mengaitkan moralitas pada tatanan
spiritual dan pengalaman religius.⁵ Ia menegaskan bahwa kebaikan tidak terletak
pada kesenangan fisik semata, tetapi pada kesesuaian kehendak manusia dengan
kehendak Tuhan yang menjadi sumber realitas semua pengalaman.⁶ Meskipun demikian,
Berkeley tetap berpijak pada landasan empiris, karena ia berpendapat bahwa
manusia mengenal Tuhan dan kebaikan melalui pengalaman inderawi dan reflektif
yang terus-menerus diarahkan oleh ilham ilahi. Pandangan etis Berkeley
mencerminkan bentuk empirisme teistik, di mana pengalaman empiris
menjadi sarana bagi kesadaran moral dan spiritual.
Namun, puncak etika empiris modern terletak pada
pemikiran David Hume, yang memandang moralitas sebagai hasil dari perasaan
dan empati manusia.⁷ Dalam A Treatise of Human Nature dan An
Enquiry Concerning the Principles of Morals, Hume menolak pandangan bahwa
moralitas bersumber dari rasio. Menurutnya, rasio hanya dapat menunjukkan
fakta, bukan menentukan apa yang seharusnya (ought).⁸ Prinsip moral
tidak muncul dari penalaran logis, melainkan dari perasaan batiniah (moral
sentiment) yang menghubungkan manusia satu sama lain dalam simpati.⁹
“Reason is, and ought only to be, the slave of the passions,” tulis Hume —
menegaskan bahwa dorongan moral muncul dari pengalaman emosional yang melekat
pada kehidupan manusia.¹⁰
Dari sudut pandang epistemologis, Hume memisahkan
dua jenis penilaian: penilaian faktual (is) dan penilaian normatif (ought).¹¹
Ia menunjukkan bahwa tidak ada dasar logis untuk menarik kesimpulan normatif
dari fakta semata, sebuah gagasan yang dikenal sebagai “Hume’s Law” atau
“is–ought problem.”¹² Konsekuensinya, etika empiris Hume bersifat deskriptif-sentimental:
ia tidak mengajarkan apa yang seharusnya dilakukan, melainkan menjelaskan
bagaimana dan mengapa manusia secara alami merasa bahwa sesuatu itu benar atau
salah. Moralitas bagi Hume bersumber dari keteraturan perasaan sosial yang
lahir dari pengalaman bersama, bukan dari imperatif rasional yang bersifat
universal.¹³
Implikasi moral dari empirisme ini sangat luas.
Pertama, ia melahirkan pendekatan utilitarianisme yang dikembangkan oleh
Jeremy Bentham dan John Stuart Mill, yang mendasarkan etika pada konsekuensi
empiris dari tindakan.¹⁴ Prinsip “the greatest happiness for the greatest
number” mencerminkan warisan empirisme, karena menilai tindakan moral
berdasarkan hasil nyata berupa kesenangan atau penderitaan yang ditimbulkannya.
Kedua, empirisme moral memberikan dasar bagi psikologi moral modern,
terutama dalam pandangan bahwa emosi dan empati memiliki peran sentral dalam
penilaian etis. Ketiga, pendekatan empiris menolak absolutisme moral dan
membuka ruang bagi relativisme etis, karena nilai moral dianggap sebagai
hasil dari kebiasaan sosial dan pengalaman budaya yang berbeda-beda.¹⁵
Namun, empirisme moral juga menghadapi kritik
serius. Rasionalis seperti Kant menilai bahwa moralitas tidak dapat bergantung
pada pengalaman yang berubah-ubah, melainkan harus berdasar pada prinsip
universal dan otonom yang berasal dari rasio praktis.¹⁶ Selain itu, skeptisisme
Hume menimbulkan pertanyaan: jika moralitas hanya bersumber dari perasaan,
bagaimana mungkin menilai tindakan secara objektif? Meskipun demikian,
empirisme tetap memberi kontribusi besar dengan menekankan dimensi manusiawi
moralitas — bahwa etika tidak hanya soal logika dan prinsip abstrak, tetapi
juga tentang pengalaman konkret manusia yang merasakan penderitaan, empati, dan
kebahagiaan.¹⁷
Dengan demikian, etika dalam Empirisme Modern
menegaskan bahwa moralitas adalah hasil pengalaman manusia dalam interaksi
sosial dan emosional. Ia memandang kebaikan bukan sebagai hukum metafisis,
melainkan sebagai kecenderungan alami yang muncul dari kehidupan bersama.
Pandangan ini memberikan landasan baru bagi perkembangan teori moral modern,
mulai dari sentimentalitas etis hingga psikologi moral empiris, serta menjadi
jembatan menuju etika konsekuensialis dan naturalisme moral kontemporer.¹⁸
Footnotes
[1]
Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind:
Understanding the Ideas That Have Shaped Our World View (New York:
Ballantine Books, 1991), 231.
[2]
John Locke, An Essay Concerning Human
Understanding (London: Thomas Basset, 1690), II.xxviii.5.
[3]
Ibid., II.xxviii.15.
[4]
Nicholas Jolley, Locke: His Philosophical
Thought (Oxford: Oxford University Press, 1999), 153–156.
[5]
George Berkeley, Alciphron, or The Minute
Philosopher (London: J. Tonson, 1732), 57–60.
[6]
Kenneth P. Winkler, Berkeley: An Interpretation
(Oxford: Clarendon Press, 1989), 91–93.
[7]
David Hume, A Treatise of Human Nature
(London: John Noon, 1739), III.i.1.
[8]
Ibid., III.i.2.
[9]
David Hume, An Enquiry Concerning the Principles
of Morals (London: A. Millar, 1751), §9.
[10]
Hume, A Treatise of Human Nature, II.iii.3.
[11]
Ibid., III.i.1.
[12]
Simon Blackburn, Being Good: A Short Introduction
to Ethics (Oxford: Oxford University Press, 2001), 19–21.
[13]
Barry Stroud, Hume (London: Routledge,
1977), 101–104.
[14]
Jeremy Bentham, An Introduction to the
Principles of Morals and Legislation (London: T. Payne, 1789), ch. 1.
[15]
John Stuart Mill, Utilitarianism (London:
Parker, Son, and Bourn, 1863), 12–15.
[16]
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of
Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
36–38.
[17]
Alasdair MacIntyre, A Short History of Ethics
(London: Routledge, 1967), 108–110.
[18]
Peter Singer, Practical Ethics (Cambridge:
Cambridge University Press, 1993), 10–12.
6.
Estetika
dan Pengalaman Keindahan
Dalam pandangan Empirisme Modern, pengalaman
estetika — sebagaimana pengalaman pengetahuan dan moralitas — bersumber dari indera
dan persepsi manusia terhadap dunia nyata. Estetika empiris menolak gagasan
bahwa keindahan adalah entitas metafisis yang berdiri di luar pengalaman
manusia. Sebaliknya, keindahan dipahami sebagai hasil interaksi antara subjek
yang merasakan dan objek yang diindera.¹ Dengan demikian, estetika empiris
berakar pada prinsip bahwa penilaian estetis lahir dari pengalaman langsung,
bukan dari prinsip rasional atau bentuk ideal seperti dalam estetika Platonik
dan rasionalisme klasik.
John Locke, dalam An Essay Concerning Human Understanding, tidak menulis
secara sistematis tentang estetika, tetapi gagasannya tentang persepsi inderawi
memiliki implikasi mendalam terhadap teori keindahan.² Menurut Locke, semua ide
dalam pikiran berasal dari pengalaman, baik melalui penginderaan terhadap dunia
eksternal maupun refleksi terhadap aktivitas batin.³ Maka, pengalaman estetis
pun bergantung pada kemampuan indera menangkap kualitas-kualitas benda —
seperti warna, bentuk, dan harmoni — yang kemudian diolah oleh pikiran menjadi
pengalaman keindahan. Dalam kerangka ini, keindahan bukanlah sesuatu yang
melekat pada objek secara absolut, tetapi hasil relasi antara kualitas benda
dan persepsi subjek.⁴ Artinya, keindahan bersifat relasional dan subjektif,
bergantung pada kondisi inderawi, kebiasaan, dan konteks pengalaman manusia.
Pandangan empiris mengenai estetika mencapai bentuk
yang lebih eksplisit dalam pemikiran George Berkeley. Sebagai idealis
empiris, Berkeley menolak keberadaan materi di luar persepsi, dan menegaskan
bahwa seluruh realitas — termasuk keindahan — adalah pengalaman mental.⁵ Ia
berpendapat bahwa persepsi terhadap keindahan tidak lain adalah pengalaman
spiritual terhadap keteraturan dan harmoni yang ditanamkan Tuhan dalam persepsi
manusia.⁶ Dengan demikian, estetika Berkeley mengandung unsur teologis-empiris:
keindahan merupakan manifestasi pengalaman indrawi yang disempurnakan oleh
kesadaran akan keteraturan ilahi. Dalam pandangan ini, keindahan bukanlah sifat
objek, melainkan keadaan kesadaran yang menyadari keselarasan antara persepsi
dan hukum alam.
Sementara itu, David Hume mengembangkan
teori estetika empiris yang lebih sistematis dalam esainya Of the Standard
of Taste (1757).⁷ Hume menolak relativisme estetis total, tetapi juga
menentang gagasan bahwa keindahan memiliki dasar objektif yang universal. Ia
berpendapat bahwa penilaian estetika memang bersifat subjektif karena
bergantung pada perasaan, tetapi tetap ada standar tertentu yang dapat dibentuk
melalui pengalaman yang halus dan kebiasaan reflektif.⁸ Menurut Hume, “beauty
is no quality in things themselves: it exists merely in the mind which
contemplates them.”⁹ Namun, ia menegaskan bahwa orang yang memiliki kepekaan,
latihan, dan keseimbangan emosi dapat mengembangkan “taste” yang lebih andal
dalam menilai keindahan.¹⁰ Dengan demikian, bagi Hume, penilaian estetis
bersifat empiris tetapi tidak sewenang-wenang; ia menuntut pengalaman,
kebiasaan, dan kemampuan persepsi yang matang.
Teori Hume ini menandai munculnya konsep “standar
rasa” (standard of taste) dalam estetika empiris.¹¹ Ia menyadari bahwa
meskipun setiap individu memiliki pengalaman estetika yang berbeda, ada bentuk
kesepakatan yang muncul di antara para penikmat seni melalui pengalaman
bersama. Kesepakatan tersebut bukan karena hukum rasional, melainkan karena
kesamaan struktur pengalaman manusia yang diperoleh melalui kebiasaan, budaya,
dan pendidikan estetis.¹² Dengan demikian, Hume membangun jembatan antara
subjektivitas rasa dan kemungkinan adanya norma umum dalam apresiasi keindahan.
Implikasi dari estetika empiris ini sangat luas.
Pertama, ia membuka jalan bagi munculnya psikologi estetika modern, yang
menjelaskan pengalaman keindahan melalui mekanisme persepsi, emosi, dan
asosiasi pengalaman.¹³ Kedua, pandangan empiris menegaskan bahwa seni bukanlah
cermin dari dunia ideal, melainkan ekspresi pengalaman manusia yang konkret dan
inderawi. Ketiga, estetika empiris menolak absolutisme estetika metafisis dan
menggantikannya dengan pemahaman humanistik dan eksperimental tentang
seni — di mana nilai estetis bergantung pada pengalaman aktual manusia, bukan
pada norma yang apriori.¹⁴
Namun, pendekatan empiris terhadap keindahan juga
menghadapi kritik. Para rasionalis dan idealis, seperti Immanuel Kant,
berpendapat bahwa penilaian estetika tidak dapat dijelaskan sepenuhnya oleh
pengalaman empiris karena melibatkan unsur apriori, yakni kesadaran akan
“kesesuaian tujuan tanpa tujuan” (purposiveness without purpose).¹⁵
Meski demikian, empirisme memberikan kontribusi besar dengan memindahkan fokus
estetika dari metafisika ke psikologi dan pengalaman manusiawi. Ia mengajarkan
bahwa keindahan bukan sekadar kategori filosofis, tetapi pengalaman hidup
yang melibatkan indera, emosi, dan kesadaran reflektif manusia.¹⁶
Dengan demikian, estetika dalam Empirisme Modern
menegaskan bahwa keindahan adalah hasil persepsi dan pengalaman manusia
terhadap dunia empiris. Ia bersifat relatif namun dapat diperkaya melalui
kebiasaan, refleksi, dan pembelajaran. Pandangan ini meneguhkan posisi
empirisme sebagai filsafat yang tidak hanya menjelaskan bagaimana manusia
mengetahui, tetapi juga bagaimana manusia merasakan dan menghayati
keindahan sebagai bagian dari realitas yang dialaminya.¹⁷
Footnotes
[1]
Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind:
Understanding the Ideas That Have Shaped Our World View (New York:
Ballantine Books, 1991), 234.
[2]
John Locke, An Essay Concerning Human
Understanding (London: Thomas Basset, 1690), II.viii.8.
[3]
Ibid., II.i.2.
[4]
Nicholas Jolley, Locke: His Philosophical
Thought (Oxford: Oxford University Press, 1999), 72–74.
[5]
George Berkeley, A Treatise Concerning the
Principles of Human Knowledge (Dublin: Jeremy Pepyat, 1710), §3–6.
[6]
Kenneth P. Winkler, Berkeley: An Interpretation
(Oxford: Clarendon Press, 1989), 84–86.
[7]
David Hume, “Of the Standard of Taste,” in Essays,
Moral, Political, and Literary (London: A. Millar, 1757), 226–249.
[8]
Ibid., 229.
[9]
Ibid., 234.
[10]
David Fate Norton, David Hume: Common-Sense
Moralist, Sceptical Metaphysician (Princeton: Princeton University Press,
1982), 118–120.
[11]
Peter Kivy, The Seventh Sense: Francis Hutcheson
and Eighteenth-Century British Aesthetics (Oxford: Clarendon Press, 2003),
42–44.
[12]
Ted Cohen, “Hume’s Standard of Taste,” The
Philosophical Quarterly 18, no. 72 (1968): 55–57.
[13]
John Dewey, Art as Experience (New York:
Minton, Balch & Co., 1934), 10–14.
[14]
Raymond Williams, Keywords: A Vocabulary of
Culture and Society (London: Fontana, 1976), 32–34.
[15]
Immanuel Kant, Critique of Judgment, trans.
Werner S. Pluhar (Indianapolis: Hackett Publishing, 1987), §10–11.
[16]
Monroe C. Beardsley, Aesthetics: Problems in the
Philosophy of Criticism (Indianapolis: Hackett, 1981), 102–105.
[17]
Noël Carroll, Philosophy of Art: A Contemporary
Introduction (London: Routledge, 1999), 18–20.
7.
Kritik
terhadap Empirisme Modern
Meskipun Empirisme Modern memberikan fondasi
penting bagi perkembangan sains dan epistemologi modern, aliran ini tidak luput
dari kritik filosofis yang tajam. Kritik-kritik tersebut datang dari berbagai
arah — mulai dari rasionalisme klasik hingga idealisme transendental dan
filsafat kontemporer — yang menilai bahwa empirisme, meskipun kuat secara
metodologis, memiliki kelemahan mendasar dalam menjelaskan struktur dan
validitas pengetahuan, realitas, serta moralitas manusia.
Salah satu kritik paling awal datang dari para rasionalis,
terutama René Descartes dan Gottfried Wilhelm Leibniz. Descartes
berpendapat bahwa pengalaman inderawi tidak dapat dijadikan dasar yang kokoh
bagi pengetahuan sejati karena indera kerap menipu.¹ Menurutnya, hanya akal (ratio)
yang mampu menghasilkan kebenaran yang pasti melalui ide-ide yang jelas dan
terpilah (clara et distincta).² Leibniz memperkuat kritik ini dengan
mengemukakan bahwa pengalaman tidak dapat menjelaskan keberadaan kebenaran
universal dan niscaya, seperti dalam matematika dan logika.³ Ia menegaskan
bahwa pikiran manusia mengandung ide bawaan (innate ideas) yang
tidak mungkin dihasilkan semata-mata oleh pengalaman empiris.⁴ Bagi para
rasionalis, empirisme gagal menjelaskan asal-usul prinsip-prinsip apriori yang
menjadi syarat bagi pengetahuan yang umum dan pasti.
Kritik yang lebih mendalam datang dari Immanuel
Kant, yang berupaya menyintesiskan rasionalisme dan empirisme dalam Critique
of Pure Reason (1781).⁵ Kant mengakui peran penting pengalaman dalam
pembentukan pengetahuan, tetapi ia menolak klaim empirisme bahwa pengetahuan
seluruhnya bersumber dari pengalaman. Menurut Kant, pengalaman hanya memberikan
bahan mentah bagi pengetahuan, sementara struktur dan bentuknya ditentukan oleh
kategori-kategori apriori dari akal budi.⁶ Ia memperkenalkan konsep synthetic
a priori, yakni pengetahuan yang bersifat universal dan niscaya tetapi juga
berkaitan dengan pengalaman.⁷ Dengan demikian, Kant menyimpulkan bahwa
empirisme gagal memahami peran aktif subjek dalam mengonstruksi realitas
pengalaman — bahwa pikiran tidak hanya “menerima” data inderawi, melainkan juga
“membentuknya.”⁸
Selain dari rasionalisme dan idealisme, kritik
terhadap empirisme juga muncul dari kalangan filsafat ilmiah modern. Para
filsuf logis seperti W. V. O. Quine mengkritik empirisme logis yang muncul
sebagai penerus empirisme klasik. Dalam esainya “Two Dogmas of Empiricism”
(1951), Quine menolak dua asumsi utama empirisme logis: (1) bahwa pernyataan
bermakna dapat dipisahkan antara yang analitik dan sintetik, dan (2) bahwa
setiap proposisi ilmiah dapat direduksi menjadi pernyataan tentang pengalaman
langsung.⁹ Menurut Quine, tidak ada batas tegas antara kebenaran logis dan
empiris, karena seluruh sistem pengetahuan manusia bersifat holistik — diuji
bersama, bukan secara terpisah oleh pengalaman individual.¹⁰ Kritik Quine ini
menghancurkan fondasi verifikasionisme yang menjadi inti epistemologi empiris
abad ke-20.
Kritik serupa juga datang dari Karl Popper,
yang menolak prinsip verifikasi empirisme logis dan menggantinya dengan prinsip
falsifikasi.¹¹ Menurut Popper, ilmu pengetahuan tidak dapat dibangun
atas dasar pembenaran induktif, karena tidak ada jumlah observasi yang dapat
memverifikasi suatu teori secara mutlak. Sebaliknya, teori ilmiah harus terbuka
untuk diuji dan mungkin disangkal oleh pengalaman yang bertentangan. Dengan
demikian, Popper menganggap empirisme klasik terlalu optimistis dalam memandang
hubungan antara observasi dan teori.¹²
Lebih jauh lagi, kritik terhadap empirisme juga
datang dari filsafat fenomenologi dan hermeneutika, terutama dari Edmund
Husserl dan Martin Heidegger. Husserl menilai bahwa empirisme telah mereduksi
kesadaran manusia menjadi sekadar penerima data sensoris, tanpa memahami
dimensi intensionalitas — bahwa setiap kesadaran selalu mengarah pada sesuatu (consciousness
is always consciousness of something).¹³ Heidegger memperdalam kritik ini
dengan menunjukkan bahwa empirisme mengabaikan konteks eksistensial di mana
pengalaman manusia terjadi.¹⁴ Bagi Heidegger, pengalaman bukan sekadar
akumulasi kesan inderawi, melainkan keterlibatan eksistensial manusia dalam
dunia. Kritik fenomenologis ini menggeser perhatian dari “data empiris” menuju
“makna pengalaman,” menyoroti keterbatasan ontologis empirisme dalam memahami
manusia sebagai makhluk yang hidup di dalam dunia (being-in-the-world).
Selain itu, dari perspektif filsafat bahasa dan
epistemologi post-positivis, empirisme dikritik karena mengabaikan dimensi
konseptual dan linguistik dari pengalaman. Ludwig Wittgenstein dalam Philosophical
Investigations (1953) menunjukkan bahwa makna pengalaman tidak dapat
dipahami di luar konteks bahasa dan praktik sosial.¹⁵ Ini berarti bahwa
pengalaman tidak berdiri netral di hadapan subjek, melainkan sudah terstruktur
oleh sistem linguistik dan budaya yang mengartikulasikannya. Dengan demikian,
empirisme dianggap gagal mempertimbangkan bahwa apa yang disebut “pengalaman”
selalu dimediasi oleh bahasa, simbol, dan interaksi sosial.¹⁶
Dari seluruh kritik tersebut dapat disimpulkan
bahwa Empirisme Modern, meskipun berhasil membangun dasar metodologis
bagi sains, memiliki kelemahan dalam menjelaskan dimensi apriori, konseptual,
dan eksistensial dari pengalaman manusia. Ia cenderung mereduksi pengetahuan
menjadi hasil pasif dari pengamatan inderawi, tanpa mempertimbangkan konstruksi
aktif pikiran, konteks sosial-linguistik, serta makna eksistensial yang
melingkupi pengalaman itu sendiri.¹⁷ Kendati demikian, nilai historis empirisme
tetap besar: dari dialektika antara empirisme dan kritik-kritiknya inilah lahir
epistemologi modern yang lebih seimbang — yang tidak hanya mengandalkan
pengalaman, tetapi juga mengakui peran struktur kognitif, bahasa, dan kesadaran
dalam pembentukan pengetahuan manusia.¹⁸
Footnotes
[1]
René Descartes, Meditations on First Philosophy,
trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 19–22.
[2]
Ibid., 25.
[3]
Gottfried Wilhelm Leibniz, New Essays on Human
Understanding, trans. Peter Remnant and Jonathan Bennett (Cambridge:
Cambridge University Press, 1996), 45–47.
[4]
Nicholas Jolley, Leibniz and Locke: A Study of
the New Essays on Human Understanding (Oxford: Clarendon Press, 1984),
67–70.
[5]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason,
trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press,
1998), A51–B75.
[6]
Ibid., A92–B125.
[7]
Henry E. Allison, Kant’s Transcendental Idealism
(New Haven: Yale University Press, 1983), 112–115.
[8]
Paul Guyer, Kant and the Claims of Knowledge
(Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 56–59.
[9]
W. V. O. Quine, “Two Dogmas of Empiricism,” The
Philosophical Review 60, no. 1 (1951): 20–43.
[10]
Roger F. Gibson Jr., Quine and the Empiricist
Heritage (New York: Garland, 1988), 102–106.
[11]
Karl R. Popper, The Logic of Scientific
Discovery (London: Routledge, 1959), 40–43.
[12]
Ibid., 56.
[13]
Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure
Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The
Hague: Martinus Nijhoff, 1983), 54–58.
[14]
Martin Heidegger, Being and Time, trans.
John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 69–71.
[15]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical
Investigations, trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §23–43.
[16]
Hubert L. Dreyfus, Being-in-the-World: A
Commentary on Heidegger’s Being and Time (Cambridge, MA: MIT Press, 1991),
87–89.
[17]
Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of
Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 163–167.
[18]
A. C. Grayling, The History of Philosophy
(London: Penguin Books, 2019), 259–262.
8.
Pengaruh
dan Warisan Intelektual
Empirisme Modern memiliki pengaruh yang sangat luas
dan mendalam terhadap perkembangan filsafat, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan
Barat. Ia tidak hanya membentuk paradigma epistemologi modern, tetapi juga
menjadi fondasi bagi metode ilmiah, teori moral, estetika, dan bahkan filsafat
bahasa pada abad ke-20. Warisannya menjangkau dari masa pencerahan (Enlightenment)
hingga era positivisme dan empirisme logis, menjadikan empirisme sebagai salah
satu tradisi intelektual paling berpengaruh dalam sejarah pemikiran manusia.
Pengaruh pertama dan paling nyata dari Empirisme
Modern tampak dalam perkembangan sains modern. Semangat observasi,
eksperimen, dan induksi yang digagas oleh Francis Bacon mengubah cara
manusia memahami alam.¹ Bacon menolak spekulasi metafisis dan menekankan
perlunya metode ilmiah yang berbasis pengalaman empiris. Prinsip-prinsip
tersebut menjadi dasar bagi sains eksperimental yang kemudian dikembangkan oleh
Galileo, Newton, dan ilmuwan modern lainnya.² Dengan demikian, empirisme
berkontribusi besar terhadap lahirnya paradigma ilmiah yang menekankan
verifikasi dan observasi, yang hingga kini menjadi tulang punggung metodologi
ilmiah.³
Dalam ranah filsafat pengetahuan, pengaruh
empirisme paling terasa pada perkembangan positivisme dan empirisme logis.
Pemikiran David Hume tentang hubungan sebab-akibat dan keterbatasan
induksi mengilhami Auguste Comte dalam merumuskan positivisme, yang
menyatakan bahwa pengetahuan sejati hanya dapat diperoleh dari fakta empiris.⁴
Di abad ke-20, empirisme logis yang dipelopori oleh Rudolf Carnap, Moritz
Schlick, dan Lingkaran Wina mengembangkan prinsip verifikasi sebagai
kriteria makna.⁵ Mereka berupaya membangun filsafat sebagai cabang ilmu yang
ketat dan bebas dari spekulasi metafisis, dengan menegaskan bahwa hanya
pernyataan yang dapat diverifikasi secara empiris yang memiliki makna ilmiah.⁶
Walaupun pendekatan ini kemudian dikritik oleh filsuf seperti W. V. O. Quine
dan Karl Popper, pengaruhnya terhadap filsafat sains, analisis bahasa, dan
epistemologi tetap monumental.
Dalam bidang etika, warisan empirisme dapat
dilihat dalam munculnya utilitarianisme yang dikembangkan oleh Jeremy
Bentham dan John Stuart Mill.⁷ Prinsip empiris Hume tentang
moralitas sebagai hasil dari pengalaman dan perasaan manusia diterjemahkan
Bentham menjadi prinsip kebahagiaan terbesar (the greatest happiness
principle), yang menilai baik dan buruknya tindakan berdasarkan konsekuensi
empirisnya terhadap kesejahteraan manusia.⁸ John Stuart Mill kemudian
menyempurnakan teori tersebut dengan menambahkan dimensi kualitatif terhadap
kesenangan, menjadikan utilitarianisme sebagai sistem moral empiris yang paling
berpengaruh dalam etika modern dan kebijakan sosial.⁹
Pengaruh empirisme juga tampak kuat dalam psikologi
dan ilmu kognitif. Konsep tabula rasa Locke menjadi dasar bagi teori
pembelajaran (learning theory) dan behaviorisme yang dikembangkan oleh John
B. Watson dan B. F. Skinner.¹⁰ Behaviorisme mengadopsi prinsip empiris
bahwa perilaku manusia harus dipelajari melalui observasi terhadap stimulus dan
respons yang dapat diukur.¹¹ Dengan demikian, empirisme memberikan kerangka
epistemologis bagi psikologi eksperimental dan teori pendidikan modern, yang
menolak spekulasi introspektif dan menekankan pengamatan faktual terhadap
perilaku manusia.
Selain dalam bidang ilmu dan moral, empirisme juga
memberikan kontribusi besar terhadap filsafat bahasa dan analisis logis abad
ke-20. Filsuf seperti John L. Austin dan Gilbert Ryle
mengembangkan tradisi filsafat analitik yang menekankan analisis empiris
terhadap penggunaan bahasa sehari-hari.¹² Dalam konteks ini, empirisme
bertransformasi menjadi pendekatan linguistik yang menilai makna bukan
berdasarkan struktur metafisis, melainkan pada konteks empiris pemakaiannya
dalam komunikasi manusia.
Dalam bidang estetika, pemikiran Hume
mengenai standard of taste memberikan dasar bagi pemahaman modern
tentang subjektivitas dan intersubjektivitas dalam pengalaman seni.¹³ Pandangan
bahwa keindahan adalah hasil persepsi yang disempurnakan melalui pengalaman
membuka jalan bagi teori estetika psikologis dan empiris kontemporer, seperti
yang dikembangkan oleh John Dewey dalam Art as Experience.¹⁴
Lebih jauh lagi, pengaruh Empirisme Modern menjalar
hingga ke filsafat pragmatisme di Amerika. Tokoh-tokoh seperti Charles
Sanders Peirce, William James, dan John Dewey mengembangkan
gagasan bahwa kebenaran harus diuji melalui konsekuensi praktisnya dalam
pengalaman.¹⁵ Meskipun pragmatisme melampaui batas empirisme klasik, ia tetap
mempertahankan keyakinan bahwa pengalaman merupakan pusat kehidupan intelektual
manusia.
Warisan empirisme juga meluas ke filsafat
kontemporer dan ilmu sosial, terutama dalam pendekatan empiris-kritis
terhadap masyarakat dan budaya. Tradisi ini memengaruhi teori-teori ilmiah dan
humanistik yang menekankan observasi, data, dan refleksi terhadap pengalaman
nyata, seperti dalam sosiologi Max Weber dan psikologi eksperimental
kontemporer.¹⁶
Secara keseluruhan, warisan intelektual
Empirisme Modern terletak pada kemampuannya untuk mengubah paradigma
filsafat dari spekulasi metafisis menuju observasi rasional yang berbasis
pengalaman. Ia membentuk cara berpikir ilmiah, melahirkan teori moral dan
politik yang humanistik, serta mengilhami pendekatan interdisipliner dalam ilmu
pengetahuan dan kebudayaan.¹⁷ Meskipun telah mengalami kritik dan revisi,
semangat empirisme — bahwa pengetahuan sejati bersumber dari pengalaman manusia
— tetap menjadi prinsip dasar dalam tradisi intelektual modern.¹⁸
Footnotes
[1]
Francis Bacon, Novum Organum (London: W.
Pickering, 1620), 95–97.
[2]
Peter Urbach, Francis Bacon’s Philosophy of
Science: An Account and a Reappraisal (La Salle, IL: Open Court, 1987),
102–104.
[3]
Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind:
Understanding the Ideas That Have Shaped Our World View (New York:
Ballantine Books, 1991), 240.
[4]
David Hume, An Enquiry Concerning Human
Understanding (London: A. Millar, 1748), §7–9.
[5]
Rudolf Carnap, The Logical Structure of the
World (Chicago: Open Court, 1967), 3–5.
[6]
Moritz Schlick, General Theory of Knowledge,
trans. A. E. Blumberg (Chicago: Open Court, 1985), 88–90.
[7]
Jeremy Bentham, An Introduction to the
Principles of Morals and Legislation (London: T. Payne, 1789), ch. 1.
[8]
John Stuart Mill, Utilitarianism (London:
Parker, Son, and Bourn, 1863), 14–17.
[9]
Alasdair MacIntyre, A Short History of Ethics
(London: Routledge, 1967), 132–135.
[10]
John B. Watson, Behaviorism (New York: W. W.
Norton, 1924), 12–14.
[11]
B. F. Skinner, Science and Human Behavior
(New York: Macmillan, 1953), 28–30.
[12]
Gilbert Ryle, The Concept of Mind (London:
Hutchinson, 1949), 3–6.
[13]
David Hume, “Of the Standard of Taste,” in Essays,
Moral, Political, and Literary (London: A. Millar, 1757), 234–236.
[14]
John Dewey, Art as Experience (New York:
Minton, Balch & Co., 1934), 10–14.
[15]
William James, Pragmatism: A New Name for Some
Old Ways of Thinking (New York: Longmans, Green & Co., 1907), 30–33.
[16]
Max Weber, Methodology of Social Sciences,
trans. Edward A. Shils and Henry A. Finch (New York: Free Press, 1949), 49–51.
[17]
A. C. Grayling, The History of Philosophy
(London: Penguin Books, 2019), 268–270.
[18]
Karl R. Popper, The Logic of Scientific
Discovery (London: Routledge, 1959), 37–40.
9.
Relevansi
dan Aplikasi Kontemporer
Empirisme Modern, meskipun lahir pada abad ke-17
dan ke-18, tetap memiliki relevansi yang luar biasa dalam konteks filsafat,
ilmu pengetahuan, dan kebudayaan kontemporer. Prinsip dasarnya—bahwa
pengetahuan berasal dari pengalaman dan observasi—masih menjadi landasan bagi
metode ilmiah, riset sosial, dan bahkan teknologi digital saat ini. Dalam dunia
yang ditandai oleh ledakan informasi dan kemajuan teknologi, semangat empirisme
kembali menemukan bentuk barunya dalam pendekatan berbasis data, sains
kognitif, dan etika berbasis pengalaman manusia.
Dalam filsafat ilmu, empirisme terus menjadi
kerangka dasar bagi pendekatan ilmiah modern. Prinsip verifikasi empiris masih
dipegang sebagai syarat bagi klaim ilmiah yang sahih, meskipun kini
diinterpretasikan secara lebih fleksibel melalui teori falsifikasi Karl
Popper.¹ Pendekatan ini menjadi fondasi bagi metodologi penelitian ilmiah di
berbagai disiplin—dari fisika kuantum hingga ilmu sosial—di mana teori hanya
diakui sejauh dapat diuji dan diamati melalui pengalaman.² Bahkan dalam konteks
sains modern seperti fisika partikel dan astrofisika, prinsip empiris terus
menjadi tolok ukur kebenaran: observasi dan eksperimentasi tetap menjadi cara
utama untuk mengonfirmasi hipotesis ilmiah, meskipun bersinggungan dengan model
matematis yang abstrak.³
Relevansi empirisme juga sangat nyata dalam era
digital dan teknologi informasi. Munculnya big data, machine
learning, dan kecerdasan buatan (AI) mencerminkan bentuk baru dari
empirisme, di mana pengetahuan tidak lagi hanya diperoleh dari pengalaman
manusia langsung, melainkan juga dari pengalaman terdata yang
dikumpulkan dan dianalisis secara algoritmik.⁴ Dalam konteks ini, pengalaman
empiris diubah menjadi data statistik yang memungkinkan prediksi dan
pengambilan keputusan berbasis bukti.⁵ Namun, perkembangan ini juga mengundang
refleksi filosofis baru: apakah data digital dapat dianggap sebagai bentuk
pengalaman empiris yang sah, ataukah ia merupakan “pengalaman yang dimediasi”
oleh mesin dan sistem representasi?⁶ Pertanyaan ini menunjukkan bahwa empirisme
kontemporer telah memasuki fase epistemologis baru, yang menggabungkan
empirisme klasik dengan analisis kognitif dan teknologi informasi.
Dalam filsafat moral dan sosial, empirisme
tetap memengaruhi pendekatan naturalistik terhadap etika dan politik.
Dalam bioetika, misalnya, keputusan moral sering kali didasarkan pada bukti
empiris tentang dampak medis dan sosial suatu tindakan.⁷ Pendekatan empiris
juga diterapkan dalam ekonomi perilaku, di mana pengambilan keputusan moral dan
sosial diteliti melalui eksperimen empiris dan observasi terhadap perilaku
manusia.⁸ Ini menunjukkan bahwa moralitas, sebagaimana diyakini oleh Hume,
masih dipahami melalui konteks pengalaman dan emosi manusia, bukan melalui
rasionalisme normatif yang abstrak.
Empirisme juga memiliki pengaruh kuat dalam ilmu
kognitif dan psikologi kontemporer, terutama dalam teori persepsi dan
pembelajaran. Pandangan empiris tentang pikiran sebagai tabula rasa
telah berkembang menjadi model neurokognitif yang menjelaskan bagaimana
pengalaman sensorik membentuk pola kognisi dan perilaku.⁹ Ilmuwan seperti
Daniel Kahneman dan Richard Thaler bahkan menunjukkan bahwa pengambilan
keputusan manusia tidak hanya rasional, tetapi juga dipengaruhi oleh pengalaman
empiris yang terbatas dan bias perseptual, memperkuat relevansi prinsip empiris
dalam memahami kesadaran dan perilaku manusia.¹⁰
Dalam bidang estetika dan seni, warisan
empirisme tampak pada teori pengalaman estetis kontemporer yang menekankan
keterlibatan indera, emosi, dan persepsi dalam memahami karya seni.¹¹ Teori
John Dewey dalam Art as Experience tetap relevan di era digital, di mana
pengalaman estetis kini juga dimediasi oleh teknologi—dari seni digital hingga
realitas virtual—yang memperluas dimensi empiris persepsi manusia.¹² Dengan
demikian, empirisme terus bertransformasi, bukan hanya sebagai teori
epistemologi, tetapi juga sebagai filsafat kehidupan yang menegaskan pengalaman
sebagai pusat nilai manusia.
Lebih jauh, empirisme juga memiliki implikasi
etis dan epistemologis dalam era post-truth. Dalam masyarakat yang dipenuhi
disinformasi dan manipulasi digital, empirisme menjadi dasar penting untuk
menegaskan kebenaran berbasis bukti (evidence-based truth).¹³ Prinsip
empiris mengingatkan bahwa klaim kebenaran harus selalu diuji melalui
pengalaman dan bukti, bukan hanya melalui keyakinan subjektif atau otoritas
ideologis. Hal ini menjadikan empirisme relevan sebagai etos intelektual
yang menuntut skeptisisme, verifikasi, dan keterbukaan terhadap koreksi.¹⁴
Akhirnya, dalam pendidikan dan ilmu sosial,
empirisme tetap menjadi prinsip pedagogis yang mendorong pembelajaran berbasis
pengalaman (experiential learning).¹⁵ Metode ini menganggap pengetahuan
sebagai hasil partisipasi aktif dalam proses belajar, bukan sekadar penerimaan
pasif terhadap informasi. Dalam konteks ini, empirisme modern diinterpretasikan
sebagai metode humanistik yang menghargai pengalaman individual sekaligus
menekankan verifikasi melalui dialog dan observasi.¹⁶
Dengan demikian, relevansi dan aplikasi kontemporer
Empirisme Modern terletak pada kemampuannya untuk beradaptasi dengan
tantangan baru—dari ilmu pengetahuan hingga etika digital—tanpa kehilangan
prinsip dasarnya: bahwa pengetahuan sejati lahir dari pengalaman yang dapat
diuji dan diverifikasi. Ia tetap menjadi dasar bagi rasionalitas modern dan
menjadi pedoman metodologis dalam mencari kebenaran di dunia yang semakin
kompleks, interaktif, dan empiris.¹⁷
Footnotes
[1]
Karl R. Popper, The Logic of Scientific
Discovery (London: Routledge, 1959), 33–37.
[2]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific
Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 24–27.
[3]
Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind:
Understanding the Ideas That Have Shaped Our World View (New York:
Ballantine Books, 1991), 241–243.
[4]
Viktor Mayer-Schönberger and Kenneth Cukier, Big
Data: A Revolution That Will Transform How We Live, Work, and Think
(Boston: Houghton Mifflin Harcourt, 2013), 5–7.
[5]
Chris Anderson, “The End of Theory: The Data Deluge
Makes the Scientific Method Obsolete,” Wired Magazine 16, no. 7 (2008):
108–110.
[6]
Luciano Floridi, The Philosophy of Information
(Oxford: Oxford University Press, 2011), 98–101.
[7]
Peter Singer, Practical Ethics (Cambridge:
Cambridge University Press, 1993), 10–12.
[8]
Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow
(New York: Farrar, Straus and Giroux, 2011), 20–23.
[9]
John R. Anderson, Cognitive Psychology and Its
Implications (New York: Worth Publishers, 2015), 14–18.
[10]
Richard H. Thaler and Cass R. Sunstein, Nudge:
Improving Decisions About Health, Wealth, and Happiness (New Haven: Yale
University Press, 2008), 6–9.
[11]
David Hume, “Of the Standard of Taste,” in Essays,
Moral, Political, and Literary (London: A. Millar, 1757), 234–236.
[12]
John Dewey, Art as Experience (New York:
Minton, Balch & Co., 1934), 18–21.
[13]
Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge, MA: MIT
Press, 2018), 45–47.
[14]
Susan Haack, Manifesto of a Passionate Moderate:
Unfashionable Essays (Chicago: University of Chicago Press, 1998), 89–92.
[15]
David Kolb, Experiential Learning: Experience as
the Source of Learning and Development (Englewood Cliffs, NJ: Prentice
Hall, 1984), 20–25.
[16]
John Dewey, Democracy and Education (New York:
Macmillan, 1916), 38–40.
[17]
A. C. Grayling, The History of Philosophy
(London: Penguin Books, 2019), 273–276.
10. Sintesis Filosofis: Pengalaman sebagai Dasar
Pengetahuan dan Keotentikan Manusia
Dalam sintesis filosofisnya, Empirisme Modern
dapat dipahami bukan sekadar sebagai teori epistemologis yang menegaskan
pengalaman sebagai sumber pengetahuan, tetapi juga sebagai pandangan dunia (Weltanschauung)
yang menempatkan pengalaman sebagai inti eksistensi dan keotentikan manusia.
Melalui pandangan ini, empirisme tidak hanya menjelaskan bagaimana manusia
mengetahui, melainkan juga bagaimana manusia mengalami dan memaknai
keberadaannya di dunia.¹
Empirisme sejak awal menentang pandangan
rasionalistik yang menilai pengetahuan sebagai hasil deduksi apriori dari
ide-ide bawaan. John Locke dengan tegas menyatakan bahwa manusia lahir sebagai tabula
rasa, dan seluruh isi pikirannya terbentuk melalui pengalaman inderawi dan
refleksi batin.² Pandangan ini tidak hanya menegaskan aspek epistemologis,
tetapi juga menyiratkan pemahaman antropologis: manusia bukan makhluk yang
sudah “diberi” pengetahuan atau moralitas, melainkan makhluk yang membentuk
dirinya melalui pengalaman konkret.³ Dengan demikian, dalam kerangka Locke,
pengalaman menjadi medan pembentukan kesadaran diri dan kebebasan. Setiap
individu membangun pengetahuannya sendiri dari hasil interaksi empiris dengan
dunia — dan di sinilah letak keotentikan manusia sebagai makhluk yang belajar,
bereksperimen, dan tumbuh melalui pengalaman.
George Berkeley memperdalam aspek spiritual dari
sintesis ini. Dengan semboyannya esse est percipi (“ada berarti
dipersepsi”), ia menunjukkan bahwa pengalaman manusia bersifat imanen dengan
kesadaran dan tidak dapat dipisahkan dari aktivitas jiwa.⁴ Walaupun berakar
pada empirisme, Berkeley menambahkan dimensi teologis: bahwa pengalaman bukan
hanya pertemuan antara manusia dan dunia, tetapi juga antara makhluk dengan
Tuhan yang menjamin kontinuitas persepsi.⁵ Dalam pengertian ini, pengalaman
tidak hanya menjadi sumber pengetahuan, tetapi juga menjadi sarana
transendensi, tempat manusia menemukan makna eksistensialnya dalam
keteraturan spiritual dunia.
David Hume kemudian membawa empirisme ke puncak
refleksi kritisnya dengan menunjukkan bahwa pengetahuan manusia, sejauh
bergantung pada pengalaman, selalu bersifat terbatas dan probabilistik.⁶ Namun,
dari keterbatasan inilah muncul kebijaksanaan empiris: kesadaran bahwa
kepastian absolut tidak mungkin dicapai, dan bahwa manusia harus hidup dengan skeptisisme
yang bijak — menerima dunia sebagaimana adanya, tanpa menuntut fondasi
metafisis yang mutlak.⁷ Hume mengajarkan bahwa keotentikan manusia tidak
terletak pada kepastian rasional, melainkan pada kejujuran terhadap
pengalaman yang dihayati.
Dari ketiga tokoh tersebut, lahirlah inti sintesis
filosofis Empirisme Modern: bahwa pengalaman merupakan titik temu antara
pengetahuan dan eksistensi. Empirisme mengajarkan bahwa manusia tidak hanya
mengetahui melalui pengalaman, tetapi juga menjadi melalui pengalaman.⁸
Dalam pengertian ini, empirisme tidak dapat dipisahkan dari filsafat kehidupan
(philosophy of life), sebab ia menekankan keterlibatan manusia yang
konkret dengan dunia empiris — dunia yang menantang, berubah, dan menuntut
interpretasi terus-menerus.
Dalam konteks kontemporer, sintesis empirisme ini
menemukan relevansinya dalam humanisme ilmiah dan pragmatisme modern.
Filsuf seperti William James dan John Dewey mengembangkan gagasan bahwa
kebenaran tidak bersifat statis, melainkan selalu diuji melalui pengalaman dan
konsekuensinya dalam kehidupan nyata.⁹ Kebenaran bukanlah sesuatu yang
ditemukan di luar pengalaman manusia, melainkan sesuatu yang tercipta
dalam proses interaksi antara manusia dan lingkungannya. James bahkan menulis
bahwa “truth happens to an idea,” menegaskan bahwa kebenaran adalah peristiwa
dinamis yang berakar pada pengalaman praktis.¹⁰
Sintesis empirisme juga dapat dipahami sebagai
bentuk etika keotentikan. Dengan menolak dogmatisme dan membuka ruang
bagi pengetahuan yang berbasis pengalaman, empirisme mengajarkan nilai-nilai
seperti keterbukaan, kerendahan hati, dan keberanian untuk berubah.¹¹ Manusia
yang empiris adalah manusia yang mau belajar dari dunia, bukan yang memaksakan
dunia agar sesuai dengan ide-idenya. Dalam hal ini, empirisme sejalan dengan
etos eksistensialisme: keotentikan tidak ditemukan dalam prinsip apriori,
tetapi dalam keberanian untuk menghayati pengalaman secara langsung dan
reflektif.¹²
Selain itu, sintesis empiris juga memberikan
sumbangan besar bagi filsafat ilmu dan epistemologi kritis. Dengan mengakui
peran aktif subjek dalam membentuk pengetahuan dari pengalaman, empirisme
membuka jalan bagi filsafat Kantian dan kemudian fenomenologi, yang melihat
kesadaran sebagai pusat makna.¹³ Artinya, meskipun empirisme klasik menekankan
data inderawi, dalam sintesisnya ia melahirkan kesadaran baru bahwa pengetahuan
selalu bersifat relasional: antara pengamat dan yang diamati, antara pengalaman
dan interpretasi.
Oleh karena itu, sintesis filosofis Empirisme
Modern dapat dirumuskan dalam tiga tesis utama. Pertama, pengalaman adalah
dasar seluruh pengetahuan: tanpa pengalaman, tidak ada data bagi rasio
untuk bekerja. Kedua, pengalaman membentuk identitas manusia, karena
melalui pengalamanlah individu mengembangkan pemahaman diri dan dunia. Ketiga, pengalaman
memiliki dimensi etis dan eksistensial, karena ia menuntut keterbukaan,
refleksi, dan kejujuran terhadap kenyataan.¹⁴
Dengan demikian, Empirisme Modern tidak berhenti
sebagai teori tentang asal-usul pengetahuan, tetapi berkembang menjadi pandangan
filosofis yang utuh tentang manusia. Ia menegaskan bahwa keotentikan
manusia tidak diperoleh dari ide-ide bawaan atau hukum metafisis, melainkan
dari keterlibatan aktifnya dalam pengalaman hidup yang konkret. Dalam arti
terdalam, empirisme bukan hanya epistemologi, melainkan juga filsafat
kehadiran: keyakinan bahwa manusia menemukan makna, kebenaran, dan dirinya
sendiri dalam pengalaman yang terus berlangsung.¹⁵
Footnotes
[1]
Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind:
Understanding the Ideas That Have Shaped Our World View (New York:
Ballantine Books, 1991), 244.
[2]
John Locke, An Essay Concerning Human
Understanding (London: Thomas Basset, 1690), II.i.2.
[3]
Nicholas Jolley, Locke: His Philosophical
Thought (Oxford: Oxford University Press, 1999), 102–104.
[4]
George Berkeley, A Treatise Concerning the
Principles of Human Knowledge (Dublin: Jeremy Pepyat, 1710), §3–5.
[5]
Kenneth P. Winkler, Berkeley: An Interpretation
(Oxford: Clarendon Press, 1989), 91–93.
[6]
David Hume, A Treatise of Human Nature
(London: John Noon, 1739), I.iv.6.
[7]
Barry Stroud, Hume (London: Routledge,
1977), 97–99.
[8]
A. C. Grayling, The History of Philosophy
(London: Penguin Books, 2019), 265–267.
[9]
John Dewey, Experience and Nature (Chicago:
Open Court, 1925), 3–6.
[10]
William James, Pragmatism: A New Name for Some
Old Ways of Thinking (New York: Longmans, Green & Co., 1907), 97.
[11]
Karl R. Popper, The Open Society and Its Enemies
(London: Routledge, 1945), 123–125.
[12]
Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism,
trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 42–44.
[13]
Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure
Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The
Hague: Martinus Nijhoff, 1983), 54–58.
[14]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason,
trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press,
1998), A92–B125.
[15]
Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of
Perception, trans. Colin Smith (London: Routledge, 1962), 15–18.
11. Kesimpulan
Empirisme Modern menandai salah satu tonggak paling
penting dalam sejarah filsafat Barat, karena ia berhasil menggeser pusat
pengetahuan dari rasio yang bersifat apriori menuju pengalaman yang konkret
dan dapat diverifikasi. Dengan menegaskan bahwa seluruh pengetahuan manusia
berasal dari pengalaman (a posteriori), aliran ini memunculkan revolusi
epistemologis yang menjadi dasar bagi sains modern, psikologi, serta filsafat
empiris kontemporer.¹ Dalam hal ini, Empirisme bukan sekadar metode
pengetahuan, melainkan juga pandangan dunia (worldview) yang membentuk
cara berpikir modern — menekankan observasi, eksperimentasi, dan pembuktian
melalui data yang dapat diuji.
Secara historis, gagasan Empirisme Modern berakar
pada pemikiran Francis Bacon, John Locke, George Berkeley,
dan David Hume, yang secara berurutan memperluas dan memperdalam
prinsip-prinsip dasar empirisme.² Bacon menekankan metode induktif dan
observasi sistematis sebagai dasar sains baru, Locke memperkenalkan konsep tabula
rasa yang menegaskan pengalaman sebagai sumber ide, Berkeley menolak
realitas materi di luar persepsi, sementara Hume membawa empirisme ke batas
skeptisisme epistemologis.³ Keempat tokoh ini membentuk kerangka epistemologis
yang menegaskan bahwa pengetahuan bukanlah hasil rasio murni, melainkan produk
interaksi aktif antara subjek dan dunia empiris yang dialaminya.
Secara epistemologis, empirisme mengajarkan bahwa validitas
pengetahuan bergantung pada pengalaman inderawi yang dapat diuji dan diulang,
bukan pada spekulasi metafisis.⁴ Prinsip ini melahirkan pandangan bahwa
pengetahuan bersifat dinamis dan terbuka terhadap revisi berdasarkan pengalaman
baru. Hal tersebut menjadi dasar bagi metode ilmiah modern yang terus
berkembang melalui observasi dan eksperimentasi. Namun, keterbatasan empirisme
juga tampak jelas: ia tidak mampu sepenuhnya menjelaskan struktur apriori dari
kesadaran manusia dan peran ide-ide konseptual dalam mengorganisir pengalaman —
suatu kelemahan yang kemudian dikoreksi oleh Immanuel Kant melalui
sintesis transendentalnya.⁵
Dari sisi ontologis, empirisme telah mengubah
pandangan manusia terhadap realitas. Dunia tidak lagi dipahami sebagai tatanan
metafisis yang tetap, melainkan sebagai keseluruhan fenomena yang dialami
melalui indera.⁶ Realitas menjadi sesuatu yang “dihadirkan” melalui
pengalaman, bukan sesuatu yang berdiri otonom di luar kesadaran manusia. Dalam
pandangan ini, empirisme memperkenalkan dimensi fenomenologis awal: bahwa yang
nyata bagi manusia adalah apa yang dialaminya secara langsung. Dengan demikian,
empirisme meletakkan dasar bagi filsafat modern tentang kesadaran dan persepsi,
yang kemudian dikembangkan oleh fenomenologi dan hermeneutika kontemporer.⁷
Secara etis dan estetis, empirisme juga
meninggalkan warisan yang kuat. Dalam etika, Hume menunjukkan bahwa moralitas
tidak bersumber dari rasio, tetapi dari perasaan dan pengalaman emosional
manusia.⁸ Pandangan ini menjadi akar bagi perkembangan etika sentimental
dan teori moral naturalistik. Dalam estetika, empirisme menegaskan bahwa
pengalaman keindahan bergantung pada persepsi dan kepekaan manusia, bukan pada
bentuk ideal yang apriori.⁹ Melalui gagasan standard of taste Hume,
estetika empiris memberikan ruang bagi subjektivitas yang terarah oleh
kebiasaan dan pengalaman reflektif.
Secara historis dan konseptual, warisan empirisme
terus hidup dalam positivisme, empirisme logis, pragmatisme, dan sains
kognitif modern. Prinsip verifikasi empiris yang diperkenalkan dalam abad
ke-20 menjadi pilar bagi analisis ilmiah dan bahasa logis, sementara tradisi
pragmatisme — melalui William James dan John Dewey — mengembangkan aspek
humanistik empirisme yang menilai kebenaran berdasarkan konsekuensi praktis
dalam pengalaman hidup.¹⁰ Dalam konteks kontemporer, semangat empirisme bahkan
tercermin dalam budaya digital dan era big data, di mana kebenaran dan
keputusan publik sering kali didasarkan pada bukti empiris yang terukur.¹¹
Namun, relevansi empirisme hari ini bukan hanya
terletak pada metodenya, melainkan pada etos filosofisnya. Empirisme
mengajarkan nilai keterbukaan terhadap bukti, keberanian untuk mengoreksi
kesalahan, dan kesadaran akan keterbatasan manusia dalam memahami dunia.¹²
Dalam hal ini, empirisme menjadi dasar bagi sikap intelektual yang kritis,
toleran, dan anti-dogmatis — suatu etika berpikir yang sangat dibutuhkan di era
pasca-kebenaran (post-truth), ketika klaim tanpa dasar empiris sering
mengancam rasionalitas publik.¹³
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Empirisme
Modern tidak hanya membentuk sejarah ilmu pengetahuan, tetapi juga mengubah
cara manusia memahami dirinya dan realitas di sekitarnya. Ia mengajarkan bahwa pengetahuan,
moralitas, dan makna hidup manusia bersumber dari pengalaman nyata, bukan
dari spekulasi atau dogma. Dari sinilah lahir kesadaran filosofis baru: bahwa
manusia menjadi makhluk yang autentik justru ketika ia mau mengalami,
mengamati, dan berefleksi atas dunia yang dihadapinya.¹⁴ Empirisme Modern,
dalam arti terdalam, bukan hanya teori pengetahuan, tetapi filsafat
kejujuran terhadap pengalaman, yang menjadikan pengalaman sebagai jembatan
antara pengetahuan, kehidupan, dan keotentikan manusia.¹⁵
Footnotes
[1]
Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind:
Understanding the Ideas That Have Shaped Our World View (New York:
Ballantine Books, 1991), 241–243.
[2]
Francis Bacon, Novum Organum (London: W.
Pickering, 1620), 47–48.
[3]
John Locke, An Essay Concerning Human
Understanding (London: Thomas Basset, 1690), II.i.2; George Berkeley, A
Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge (Dublin: Jeremy
Pepyat, 1710), §3–6; David Hume, A Treatise of Human Nature (London:
John Noon, 1739), I.i.1.
[4]
A. J. Ayer, Language, Truth and Logic
(London: Gollancz, 1936), 35–37.
[5]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason,
trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press,
1998), A92–B125.
[6]
Nicholas Jolley, Locke: His Philosophical
Thought (Oxford: Oxford University Press, 1999), 73–76.
[7]
Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure
Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The
Hague: Martinus Nijhoff, 1983), 54–58.
[8]
David Hume, An Enquiry Concerning the Principles
of Morals (London: A. Millar, 1751), §9.
[9]
David Hume, “Of the Standard of Taste,” in Essays,
Moral, Political, and Literary (London: A. Millar, 1757), 234–236.
[10]
William James, Pragmatism: A New Name for Some
Old Ways of Thinking (New York: Longmans, Green & Co., 1907), 30–33;
John Dewey, Experience and Nature (Chicago: Open Court, 1925), 3–6.
[11]
Viktor Mayer-Schönberger and Kenneth Cukier, Big
Data: A Revolution That Will Transform How We Live, Work, and Think
(Boston: Houghton Mifflin Harcourt, 2013), 6–9.
[12]
Karl R. Popper, The Open Society and Its Enemies
(London: Routledge, 1945), 123–125.
[13]
Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge, MA: MIT
Press, 2018), 45–47.
[14]
John Dewey, Democracy and Education (New
York: Macmillan, 1916), 38–40.
[15]
A. C. Grayling, The History of Philosophy
(London: Penguin Books, 2019), 273–276.
Daftar Pustaka
Ayer, A. J. (1936). Language, truth and logic.
London: Gollancz.
Bacon, F. (1620). Novum organum. London: W.
Pickering.
Beardsley, M. C. (1981). Aesthetics: Problems in
the philosophy of criticism. Indianapolis: Hackett.
Bentham, J. (1789). An introduction to the
principles of morals and legislation. London: T. Payne.
Berkeley, G. (1710). A treatise concerning the
principles of human knowledge. Dublin: Jeremy Pepyat.
Berkeley, G. (1732). Alciphron, or the minute
philosopher. London: J. Tonson.
Blackburn, S. (2001). Being good: A short
introduction to ethics. Oxford: Oxford University Press.
Carnap, R. (1967). The logical structure of the
world. Chicago: Open Court.
Cohen, T. (1968). Hume’s standard of taste. The
Philosophical Quarterly, 18(72), 55–57.
Dewey, J. (1916). Democracy and education.
New York: Macmillan.
Dewey, J. (1925). Experience and nature.
Chicago: Open Court.
Dewey, J. (1934). Art as experience. New
York: Minton, Balch & Co.
Descartes, R. (1996). Meditations on first
philosophy (J. Cottingham, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.
Dreyfus, H. L. (1991). Being-in-the-world: A
commentary on Heidegger’s Being and Time. Cambridge, MA: MIT Press.
Floridi, L. (2011). The philosophy of
information. Oxford: Oxford University Press.
Gibson, R. F. Jr. (1988). Quine and the
empiricist heritage. New York: Garland.
Grayling, A. C. (2019). The history of
philosophy. London: Penguin Books.
Hume, D. (1739). A treatise of human nature.
London: John Noon.
Hume, D. (1748). An enquiry concerning human
understanding. London: A. Millar.
Hume, D. (1751). An enquiry concerning the
principles of morals. London: A. Millar.
Hume, D. (1757). Of the standard of taste.
In Essays, moral, political, and literary (pp. 226–249). London: A.
Millar.
Haack, S. (1998). Manifesto of a passionate
moderate: Unfashionable essays. Chicago: University of Chicago Press.
Heidegger, M. (1962). Being and time (J.
Macquarrie & E. Robinson, Trans.). New York: Harper & Row.
Husserl, E. (1983). Ideas pertaining to a pure
phenomenology and to a phenomenological philosophy (F. Kersten, Trans.).
The Hague: Martinus Nijhoff.
James, W. (1907). Pragmatism: A new name for
some old ways of thinking. New York: Longmans, Green & Co.
Jolley, N. (1999). Locke: His philosophical
thought. Oxford: Oxford University Press.
Kahneman, D. (2011). Thinking, fast and slow.
New York: Farrar, Straus and Giroux.
Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P.
Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.
Kant, I. (1998). Groundwork of the metaphysics
of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.
Kant, I. (1987). Critique of judgment (W. S.
Pluhar, Trans.). Indianapolis: Hackett.
Kivy, P. (2003). The seventh sense: Francis
Hutcheson and eighteenth-century British aesthetics. Oxford: Clarendon
Press.
Kolb, D. (1984). Experiential learning:
Experience as the source of learning and development. Englewood Cliffs, NJ:
Prentice Hall.
Kuhn, T. S. (1962). The structure of scientific
revolutions. Chicago: University of Chicago Press.
Leibniz, G. W. (1996). New essays on human
understanding (P. Remnant & J. Bennett, Trans.). Cambridge: Cambridge
University Press.
Locke, J. (1690). An essay concerning human
understanding. London: Thomas Basset.
MacIntyre, A. (1967). A short history of ethics.
London: Routledge.
Mayer-Schönberger, V., & Cukier, K. (2013). Big
data: A revolution that will transform how we live, work, and think.
Boston: Houghton Mifflin Harcourt.
McIntyre, L. (2018). Post-truth. Cambridge,
MA: MIT Press.
Merleau-Ponty, M. (1962). Phenomenology of
perception (C. Smith, Trans.). London: Routledge.
Mill, J. S. (1863). Utilitarianism. London:
Parker, Son, and Bourn.
Norton, D. F. (1982). David Hume: Common-sense
moralist, sceptical metaphysician. Princeton: Princeton University Press.
Popper, K. R. (1945). The open society and its
enemies. London: Routledge.
Popper, K. R. (1959). The logic of scientific
discovery. London: Routledge.
Porter, R. (2000). Enlightenment: Britain and
the creation of the modern world. London: Allen Lane.
Quine, W. V. O. (1951). Two dogmas of empiricism. The
Philosophical Review, 60(1), 20–43.
Rorty, R. (1979). Philosophy and the mirror of
nature. Princeton: Princeton University Press.
Ryle, G. (1949). The concept of mind.
London: Hutchinson.
Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a
humanism (C. Macomber, Trans.). New Haven: Yale University Press.
Schlick, M. (1985). General theory of knowledge
(A. E. Blumberg, Trans.). Chicago: Open Court.
Singer, P. (1993). Practical ethics.
Cambridge: Cambridge University Press.
Skinner, B. F. (1953). Science and human
behavior. New York: Macmillan.
Stroud, B. (1977). Hume. London: Routledge.
Tarnas, R. (1991). The passion of the Western
mind: Understanding the ideas that have shaped our world view. New York:
Ballantine Books.
Thaler, R. H., & Sunstein, C. R. (2008). Nudge:
Improving decisions about health, wealth, and happiness. New Haven: Yale
University Press.
Urbach, P. (1987). Francis Bacon’s philosophy of
science: An account and a reappraisal. La Salle, IL: Open Court.
Watson, J. B. (1924). Behaviorism. New York:
W. W. Norton.
Weber, M. (1949). Methodology of social sciences
(E. A. Shils & H. A. Finch, Trans.). New York: Free Press.
Williams, R. (1976). Keywords: A vocabulary of
culture and society. London: Fontana.
Winkler, K. P. (1989). Berkeley: An
interpretation. Oxford: Clarendon Press.
Wittgenstein, L. (1953). Philosophical
investigations (G. E. M. Anscombe, Trans.). Oxford: Blackwell.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar