Selasa, 02 Desember 2025

Empirisme Modern: Fondasi Pengetahuan Berdasarkan Pengalaman dalam Filsafat Modern

Empirisme Modern

Fondasi Pengetahuan Berdasarkan Pengalaman dalam Filsafat Modern


Alihkan ke: Aliran Sejarah Filsafat.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif aliran Empirisme Modern, sebuah paradigma filsafat yang menegaskan bahwa seluruh pengetahuan manusia bersumber dari pengalaman (a posteriori) dan pengamatan inderawi. Melalui analisis historis, ontologis, epistemologis, etis, dan estetis, tulisan ini menelusuri perkembangan empirisme dari gagasan awal Francis Bacon, John Locke, George Berkeley, hingga skeptisisme kritis David Hume. Empirisme Modern tidak hanya membentuk dasar epistemologi ilmiah, tetapi juga memberikan pengaruh signifikan terhadap lahirnya positivisme, pragmatisme, empirisme logis, dan sains kontemporer.

Secara filosofis, empirisme menghadirkan pergeseran radikal dari rasionalisme metafisis menuju pengetahuan berbasis pengalaman konkret, serta menempatkan manusia sebagai subjek aktif yang membangun makna melalui interaksi dengan dunia empiris. Etika empiris menekankan dimensi emosional dan sosial dari moralitas, sedangkan estetika empiris menegaskan keindahan sebagai hasil persepsi yang terbentuk oleh pengalaman. Meskipun dikritik oleh rasionalisme dan idealisme transendental karena keterbatasannya dalam menjelaskan ide apriori dan universalitas kebenaran, empirisme tetap bertahan sebagai fondasi metodologis bagi ilmu pengetahuan modern dan pendekatan kritis terhadap realitas.

Dalam konteks kontemporer, empirisme menemukan relevansi baru dalam era digital dan teknologi informasi, di mana pengalaman manusia dimediasi oleh data, algoritma, dan kecerdasan buatan. Prinsip empiris—verifikasi, observasi, dan keterbukaan terhadap koreksi—menjadi dasar penting bagi sains, etika, dan epistemologi modern, terutama dalam menghadapi krisis kebenaran dan fenomena post-truth. Artikel ini menegaskan bahwa Empirisme Modern bukan hanya teori pengetahuan, tetapi juga filsafat kehidupan yang menempatkan pengalaman sebagai dasar pengetahuan dan keotentikan manusia: manusia menjadi makhluk yang benar-benar tahu dan hidup secara autentik ketika ia mengalami, mengamati, dan merefleksikan dunia secara jujur dan terbuka.

Kata Kunci: Empirisme Modern, pengalaman, epistemologi, verifikasi empiris, John Locke, George Berkeley, David Hume, positivisme, pragmatisme, keotentikan manusia.


PEMBAHASAN

Empirisme dalam Epistemologi Modern


1.           Pendahuluan

Empirisme Modern muncul sebagai salah satu pilar utama dalam sejarah filsafat modern, terutama sebagai reaksi kritis terhadap dominasi rasionalisme yang menekankan peran akal murni sebagai sumber utama pengetahuan. Aliran ini menegaskan bahwa pengetahuan manusia tidak lahir dari ide-ide bawaan atau rasio yang otonom, melainkan dari pengalaman inderawi yang konkret dan dapat diverifikasi. Dalam pandangan empiris, seluruh isi pikiran berasal dari interaksi manusia dengan dunia luar melalui pengamatan, persepsi, dan refleksi terhadap data yang diberikan oleh indera. Pandangan ini menandai pergeseran epistemologis yang besar dari tradisi skolastik dan metafisika abad pertengahan menuju paradigma ilmiah modern yang lebih eksperimental dan berbasis observasi.¹

Empirisme Modern memiliki akar historis yang dalam, bermula dari semangat Renaissance dan revolusi ilmiah abad ke-17 yang dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti Francis Bacon. Melalui karya Novum Organum (1620), Bacon menggagas metode induktif sebagai jalan baru menuju pengetahuan ilmiah, menggantikan metode deduktif Aristotelian yang telah lama mendominasi.² Ia menegaskan bahwa ilmu pengetahuan sejati harus dimulai dari pengamatan empiris, kemudian secara bertahap membentuk generalisasi berdasarkan fakta-fakta yang teramati. Semangat inilah yang menjadi fondasi bagi John Locke, George Berkeley, dan David Hume dalam merumuskan filsafat empirisme pada masa modern.

John Locke, tokoh sentral dalam Empirisme Modern, menolak gagasan Descartes tentang ide bawaan (innate ideas) dan memperkenalkan konsep tabula rasa — bahwa pikiran manusia pada awalnya adalah lembaran kosong yang diisi melalui pengalaman.³ Bagi Locke, semua pengetahuan bermula dari dua sumber utama: pengalaman luar (sensation) dan refleksi dalam (reflection). George Berkeley kemudian mengembangkan empirisme ke arah idealisme subjektif, menegaskan bahwa realitas pada dasarnya adalah persepsi (esse est percipi — “ada berarti dipersepsi”).⁴ Sementara itu, David Hume menempuh arah yang lebih radikal dengan skeptisisme empirisnya, menolak konsep kausalitas sebagai sesuatu yang dapat dibuktikan secara rasional.⁵ Menurutnya, hubungan sebab-akibat hanyalah kebiasaan pikiran yang dibentuk oleh pengulangan pengalaman, bukan hukum objektif yang melekat pada realitas.

Dalam konteks perkembangan filsafat modern, Empirisme memainkan peran penting dalam melahirkan metode ilmiah modern, positivisme, dan empirisme logis.⁶ Aliran ini menegaskan bahwa hanya pengetahuan yang didasarkan pada pengalaman dan observasi yang dapat disebut ilmiah, sementara metafisika dan spekulasi rasional dianggap tidak memiliki dasar empiris yang dapat diverifikasi. Pandangan tersebut memberi pengaruh besar terhadap munculnya sains modern dan menjadikan empirisme sebagai landasan epistemologis bagi berbagai disiplin ilmu kontemporer — dari fisika dan psikologi hingga filsafat bahasa dan kognisi.

Namun demikian, dominasi Empirisme Modern tidak lepas dari kritik. Rasionalis seperti Descartes dan Leibniz menilai bahwa pengalaman saja tidak cukup untuk menjelaskan konsep universal dan kebenaran yang niscaya. Kritik ini mencapai puncaknya pada pemikiran Immanuel Kant, yang berusaha menyintesiskan empirisme dan rasionalisme melalui filsafat transendentalnya.⁷ Meski demikian, nilai historis dan metodologis empirisme tetap bertahan, terutama dalam upaya manusia memahami realitas melalui pengalaman konkret dan observasi sistematis.

Dengan demikian, Empirisme Modern bukan hanya sebuah teori epistemologi, melainkan juga sebuah revolusi dalam cara manusia memahami dunia. Ia menegaskan bahwa pengetahuan sejati tidak bersumber dari intuisi metafisis, melainkan dari kesetiaan terhadap pengalaman, data, dan bukti nyata. Pemahaman ini kemudian membuka jalan bagi paradigma ilmiah yang menjadi ciri khas modernitas — dunia yang menilai kebenaran berdasarkan apa yang dapat diuji, diamati, dan dialami secara langsung.


Footnotes

[1]                Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind: Understanding the Ideas That Have Shaped Our World View (New York: Ballantine Books, 1991), 215.

[2]                Francis Bacon, Novum Organum (London: W. Pickering, 1620), 47.

[3]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding (London: Thomas Basset, 1690), 15.

[4]                George Berkeley, A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge (Dublin: Jeremy Pepyat, 1710), 28.

[5]                David Hume, A Treatise of Human Nature (London: John Noon, 1739), 124.

[6]                A. J. Ayer, Language, Truth and Logic (London: Gollancz, 1936), 8.

[7]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 56.


2.           Landasan Historis dan Genealogis

Empirisme Modern tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan merupakan hasil dari proses panjang dalam sejarah intelektual Barat yang menghubungkan tradisi filsafat klasik, skolastik, dan pencerahan. Akar-akar pemikiran empiris dapat ditelusuri sejak zaman Yunani kuno, terutama pada Aristoteles yang menekankan pentingnya pengamatan terhadap dunia nyata sebagai sumber utama pengetahuan.¹ Berbeda dengan Plato yang menempatkan ide sebagai realitas tertinggi dan sumber kebenaran, Aristoteles melihat bahwa pengetahuan harus dimulai dari pengalaman konkret sebelum mencapai abstraksi rasional. Pandangan ini kemudian menjadi dasar bagi tradisi empiris yang berkembang berabad-abad kemudian.

Selama Abad Pertengahan, pemikiran Aristoteles diolah kembali oleh para teolog skolastik seperti Thomas Aquinas yang berupaya menggabungkan filsafat Yunani dengan teologi Kristen.² Meskipun teologi skolastik masih berorientasi pada wahyu dan rasio, dalam praktiknya mereka telah membuka ruang bagi pengalaman empiris sebagai bagian dari cara manusia mengenal ciptaan Tuhan. Namun, dominasi metafisika skolastik membuat pendekatan empiris belum memperoleh status metodologis yang independen. Barulah pada masa Renaissance dan awal Revolusi Ilmiah abad ke-16 dan ke-17, semangat untuk mengamati, bereksperimen, dan menolak otoritas dogmatis mulai muncul secara lebih eksplisit.³

Tokoh yang menandai kebangkitan semangat empiris tersebut adalah Francis Bacon (1561–1626), yang sering disebut sebagai “bapak empirisme modern”. Melalui Novum Organum (1620), Bacon menolak metode deduktif skolastik dan memperkenalkan metode induktif yang bertumpu pada pengumpulan data empiris secara sistematis.⁴ Menurut Bacon, pengetahuan sejati tidak diperoleh melalui silogisme, melainkan melalui observasi dan eksperimen yang berulang, sehingga prinsip umum muncul dari fakta-fakta partikular.⁵ Ia mengkritik “idola-idola pikiran” (idola mentis) yang menghambat objektivitas manusia dalam memahami alam. Dengan gagasan ini, Bacon memberikan fondasi metodologis yang kelak menjadi dasar sains modern sekaligus epistemologi empiris.

Dari pondasi Bacon, tradisi empirisme berkembang pesat di Inggris melalui pemikiran John Locke (1632–1704). Dalam An Essay Concerning Human Understanding (1690), Locke mengajukan tesis bahwa pikiran manusia pada awalnya adalah tabula rasa — lembaran kosong yang diisi melalui pengalaman inderawi.⁶ Locke membedakan dua sumber utama pengalaman: sensation (pengalaman luar yang berasal dari objek eksternal) dan reflection (pengalaman batin yang bersumber dari aktivitas mental manusia). Dengan demikian, seluruh pengetahuan bersifat a posteriori, yaitu hasil dari pengalaman dan refleksi terhadap data empiris. Locke juga memperkenalkan konsep kualitas primer dan sekunder, yang menandai upaya awal memahami hubungan antara persepsi subjektif dan realitas objektif.⁷

Gagasan Locke diteruskan dan dimodifikasi oleh George Berkeley (1685–1753), yang membawa empirisme ke arah idealisme subjektif. Dalam karyanya A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge (1710), Berkeley menolak keberadaan materi yang terpisah dari persepsi dan menyatakan bahwa esse est percipi — “ada berarti dipersepsi.”⁸ Bagi Berkeley, realitas hanyalah kumpulan persepsi yang diberikan oleh Tuhan kepada pikiran manusia. Pandangan ini, meskipun bersifat radikal, tetap mempertahankan prinsip empirisme bahwa semua pengetahuan berakar pada pengalaman perseptual.

Puncak perkembangan Empirisme Modern tercapai melalui David Hume (1711–1776), yang menempuh jalan skeptisisme terhadap kausalitas dan identitas diri. Dalam A Treatise of Human Nature (1739), Hume berargumen bahwa hubungan sebab-akibat tidak dapat dibuktikan secara rasional, melainkan hanya berdasarkan kebiasaan yang terbentuk dari pengulangan pengalaman.⁹ Ia menegaskan bahwa manusia tidak pernah benar-benar mengamati “sebab” dan “akibat,” tetapi hanya urutan peristiwa yang berulang sehingga menghasilkan ekspektasi psikologis. Hume juga menggugat konsep substansi dan diri sebagai entitas tetap, dengan menyatakan bahwa diri hanyalah “sekumpulan kesan dan ide yang berubah-ubah.”¹⁰

Secara genealogis, Empirisme Modern lahir di dalam konteks yang lebih luas: kebangkitan ilmu pengetahuan, kejatuhan otoritas gereja, dan semangat pencerahan (Enlightenment) yang menempatkan pengalaman dan rasionalitas manusia sebagai sumber utama pengetahuan.¹¹ Tradisi empirisme Inggris menjadi motor epistemologis bagi peradaban Barat modern dan memengaruhi banyak aliran setelahnya, seperti positivisme, pragmatisme, dan empirisme logis.¹² Dengan demikian, Empirisme Modern bukan hanya bagian dari sejarah filsafat, tetapi juga dari transformasi cara berpikir manusia terhadap dunia — dari keyakinan dogmatis menuju pengetahuan yang berbasis bukti dan pengalaman nyata.


Footnotes

[1]                Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), 980a–981b.

[2]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I.q.84.

[3]                Paul Oskar Kristeller, Renaissance Thought and Its Sources (New York: Columbia University Press, 1979), 45–47.

[4]                Francis Bacon, Novum Organum (London: W. Pickering, 1620), 47.

[5]                Peter Urbach, Francis Bacon’s Philosophy of Science: An Account and a Reappraisal (La Salle, IL: Open Court, 1987), 102.

[6]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding (London: Thomas Basset, 1690), II.i.2.

[7]                Nicholas Jolley, Locke: His Philosophical Thought (Oxford: Oxford University Press, 1999), 72–75.

[8]                George Berkeley, A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge (Dublin: Jeremy Pepyat, 1710), 28.

[9]                David Hume, A Treatise of Human Nature (London: John Noon, 1739), 124.

[10]             David Fate Norton, David Hume: Common-Sense Moralist, Sceptical Metaphysician (Princeton: Princeton University Press, 1982), 56–58.

[11]             Roy Porter, Enlightenment: Britain and the Creation of the Modern World (London: Allen Lane, 2000), 33–36.

[12]             A. J. Ayer, Language, Truth and Logic (London: Gollancz, 1936), 5–8.


3.           Ontologi: Realitas dan Pengalaman

Dalam kerangka Empirisme Modern, ontologi — yakni cabang filsafat yang membahas hakikat realitas — mengalami pergeseran mendasar dari paradigma metafisis menuju paradigma pengalaman. Jika filsafat skolastik dan rasionalisme sebelumnya berupaya menafsirkan realitas melalui struktur ide dan esensi yang bersifat apriori, maka para empiris menegaskan bahwa realitas hanya dapat dipahami melalui pengalaman yang bersumber dari pengamatan inderawi.¹ Dengan demikian, dunia nyata bukanlah sesuatu yang dipahami melalui rasio murni, melainkan melalui akumulasi data yang diterima indera manusia, yang kemudian diolah oleh pikiran melalui proses refleksi.

Bagi John Locke, realitas bersifat objektif dan eksis secara independen dari kesadaran manusia, tetapi pengetahuan tentangnya hanya diperoleh melalui pengalaman.² Ia membedakan antara kualitas primer — seperti bentuk, ukuran, gerak, dan jumlah — yang melekat pada benda itu sendiri, serta kualitas sekunder — seperti warna, rasa, dan bau — yang bergantung pada persepsi subjek.³ Pandangan ini mencerminkan realisme empiris, yaitu keyakinan bahwa dunia eksternal benar-benar ada, namun hanya dapat diakses melalui pengalaman subjektif. Locke menolak ide bawaan (innate ideas) dan menegaskan bahwa pengalaman inderawi merupakan satu-satunya jembatan antara manusia dan realitas. Dalam kerangka ini, ontologi empiris bersifat fenomenologis, karena realitas selalu hadir dalam bentuk fenomena yang dialami, bukan dalam dirinya sendiri secara mutlak.

Berbeda dengan Locke, George Berkeley mengembangkan pendekatan ontologis yang lebih radikal. Ia menolak gagasan tentang keberadaan materi yang independen dari pikiran, dengan menyatakan prinsip esse est percipi — “ada berarti dipersepsi.”⁴ Dalam pandangan Berkeley, tidak ada “benda” yang ada di luar pengalaman perseptual; realitas sepenuhnya bersifat mental atau spiritual.⁵ Dengan demikian, ontologi empirisnya bersifat idealis, di mana keberadaan objek ditentukan oleh persepsi subjek, dan kontinuitas realitas dijamin oleh pikiran ilahi yang senantiasa memelihara segala persepsi. Posisi ini menegaskan bahwa yang paling fundamental dalam realitas bukanlah materi, melainkan pengalaman itu sendiri.

David Hume kemudian membawa ontologi empiris menuju bentuknya yang paling skeptis. Ia menolak pandangan bahwa manusia dapat mengetahui hakikat substansi, baik substansi materi maupun substansi diri. Menurut Hume, yang disebut “realitas” tidak lebih dari kumpulan kesan (impressions) dan ide (ideas) yang muncul secara berurutan dalam kesadaran.⁶ Kita tidak pernah mengamati substansi di balik kesan-kesan tersebut; yang ada hanyalah hubungan temporal antarpersepsi yang saling berasosiasi.⁷ Oleh karena itu, konsep seperti “diri”, “sebab-akibat”, atau “substansi” hanyalah hasil konstruksi kebiasaan mental, bukan entitas ontologis yang sungguh ada. Ontologi Hume dapat disebut sebagai fenomenalisme skeptis, sebab ia menolak kemungkinan pengetahuan metafisis mengenai hakikat realitas di luar pengalaman empiris.

Dari ketiga pemikir utama tersebut, tampak bahwa Empirisme Modern menggeser orientasi ontologi dari substansi menuju pengalaman. Realitas tidak lagi dipahami sebagai sesuatu yang berdiri sendiri di luar kesadaran, melainkan sebagai sesuatu yang hadir dan bermakna dalam pengalaman manusia. Dengan kata lain, eksistensi realitas ditentukan oleh relasi antara subjek pengamat dan objek yang diamati.⁸ Ontologi empiris dengan demikian bersifat relasional: dunia tidak dapat dijelaskan tanpa merujuk pada cara manusia mengalaminya. Prinsip ini membuka jalan bagi pandangan modern tentang realitas sebagai konstruksi pengalaman, yang kelak memengaruhi fenomenologi, pragmatisme, dan teori-teori kognitif kontemporer.

Lebih jauh, empirisme juga menolak segala bentuk spekulasi metafisis yang tidak dapat diverifikasi secara empiris. Hal ini tampak dalam pengaruhnya terhadap positivisme Auguste Comte dan empirisme logis abad ke-20, yang menegaskan bahwa setiap pernyataan ontologis harus memiliki dasar observasional agar bermakna.⁹ Dalam kerangka ini, ontologi bukan lagi pencarian hakikat “yang ada” secara mutlak, tetapi analisis terhadap struktur pengalaman manusia dalam berhadapan dengan dunia. Realitas empiris adalah hasil keterlibatan manusia dengan fenomena melalui indera dan refleksi rasional atasnya.

Dengan demikian, ontologi Empirisme Modern dapat dirumuskan dalam tiga tesis pokok: pertama, bahwa realitas hanya dapat diketahui sejauh ia dialami; kedua, bahwa pengalaman adalah dasar dan batas bagi seluruh pengetahuan ontologis; dan ketiga, bahwa keberadaan dunia eksternal — sekalipun dapat diasumsikan — tidak dapat dipastikan di luar data empiris.¹⁰ Pandangan ini mengantarkan filsafat pada kesadaran baru bahwa “realitas” bukanlah sesuatu yang sepenuhnya tetap dan terlepas dari manusia, melainkan sesuatu yang selalu dihadirkan, ditafsirkan, dan dibentuk melalui pengalaman.


Footnotes

[1]                Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind: Understanding the Ideas That Have Shaped Our World View (New York: Ballantine Books, 1991), 220.

[2]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding (London: Thomas Basset, 1690), II.i.2.

[3]                Nicholas Jolley, Locke: His Philosophical Thought (Oxford: Oxford University Press, 1999), 73–76.

[4]                George Berkeley, A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge (Dublin: Jeremy Pepyat, 1710), 25–28.

[5]                Kenneth P. Winkler, Berkeley: An Interpretation (Oxford: Clarendon Press, 1989), 54–57.

[6]                David Hume, A Treatise of Human Nature (London: John Noon, 1739), 67–69.

[7]                David Fate Norton, David Hume: Common-Sense Moralist, Sceptical Metaphysician (Princeton: Princeton University Press, 1982), 61–63.

[8]                A. C. Grayling, The History of Philosophy (London: Penguin Books, 2019), 245.

[9]                A. J. Ayer, Language, Truth and Logic (London: Gollancz, 1936), 35–38.

[10]             W. V. O. Quine, “Two Dogmas of Empiricism,” The Philosophical Review 60, no. 1 (1951): 20–24.


4.           Epistemologi: Asal dan Validitas Pengetahuan

Dalam Empirisme Modern, epistemologi — teori tentang asal dan validitas pengetahuan — merupakan inti yang menentukan arah seluruh bangunan filsafatnya. Para pemikir empiris menolak klaim rasionalis bahwa pengetahuan dapat diperoleh secara apriori dari akal budi tanpa pengalaman. Sebaliknya, mereka menegaskan bahwa seluruh pengetahuan manusia bersumber dari pengalaman (a posteriori), baik melalui pengamatan inderawi maupun refleksi terhadap data empiris yang diterima oleh kesadaran.¹ Dengan demikian, empirisme berangkat dari tesis dasar bahwa tidak ada sesuatu pun di dalam pikiran yang tidak terlebih dahulu melewati indera (nihil est in intellectu quod non prius fuerit in sensu).²

Bagi John Locke, pengetahuan berawal dari pengalaman inderawi (sensation) yang memberikan bahan mentah bagi pikiran, serta pengalaman reflektif (reflection) yang memungkinkan manusia menyadari operasi mentalnya sendiri.³ Pikiran manusia pada dasarnya adalah tabula rasa — kertas kosong yang diisi oleh pengalaman.⁴ Locke membedakan dua jenis ide: ide sederhana, yang langsung diperoleh dari pengalaman inderawi (seperti warna, suara, atau rasa), dan ide kompleks, yang merupakan hasil penggabungan, perbandingan, serta abstraksi dari ide-ide sederhana.⁵ Pengetahuan bagi Locke adalah persepsi tentang kesesuaian atau ketidaksesuaian antara ide-ide tersebut.⁶ Dari sini ia menyusun epistemologi empiris yang menegaskan bahwa kebenaran bukan hasil deduksi rasional, melainkan hasil penegasan pengalaman yang diolah secara sistematis oleh akal.

Sementara Locke menekankan aspek empiris-realistik, George Berkeley mengembangkan epistemologi yang bersifat idealistik. Menurutnya, tidak ada jaminan bahwa persepsi inderawi merepresentasikan dunia luar yang independen dari kesadaran.⁷ Semua pengetahuan, kata Berkeley, berakar pada persepsi, dan apa yang disebut “benda” hanyalah kumpulan persepsi yang diberikan kepada pikiran.⁸ Maka, ia menyimpulkan bahwa keberadaan sesuatu tergantung pada dipersepsinya (esse est percipi). Dengan demikian, pengetahuan bukanlah representasi dari dunia objektif, melainkan pengalaman langsung dari fenomena yang dihadirkan dalam kesadaran manusia. Validitas pengetahuan dalam epistemologi Berkeley tidak terletak pada korespondensi dengan dunia eksternal, tetapi pada konsistensi pengalaman yang dijamin oleh Tuhan sebagai subjek persepsi yang absolut.⁹

David Hume kemudian membawa empirisme ke arah skeptisisme yang mendalam. Ia menegaskan bahwa seluruh pengetahuan manusia hanyalah hasil dari kesan (impressions) dan ide (ideas), yaitu salinan lemah dari kesan yang tertinggal dalam pikiran.¹⁰ Namun, menurut Hume, manusia tidak memiliki pengalaman langsung mengenai hubungan kausalitas, substansi, atau identitas diri.¹¹ Ketika kita mengatakan bahwa suatu peristiwa menyebabkan peristiwa lain, kita sebenarnya hanya mengamati urutan kejadian yang berulang dan membentuk kebiasaan (custom) dalam pikiran.¹² Maka, pengetahuan kausal bukanlah pengetahuan niscaya, tetapi kepercayaan psikologis yang lahir dari asosiasi pengalaman berulang. Epistemologi Hume karenanya bersifat skeptis-empiris: ia menegaskan batas-batas pengetahuan manusia dan menolak segala klaim metafisis yang melampaui pengalaman.¹³

Dalam konteks validitas pengetahuan, Empirisme Modern menekankan verifikasi empiris sebagai kriteria utama kebenaran.¹⁴ Setiap proposisi dianggap bermakna hanya sejauh dapat diuji melalui pengalaman atau observasi. Prinsip ini menjadi fondasi bagi lahirnya empirisme logis dan positivisme ilmiah pada abad ke-19 dan ke-20, di mana pernyataan yang tidak dapat diverifikasi secara empiris dianggap tidak bermakna secara kognitif.¹⁵ Dengan demikian, epistemologi empiris berfokus pada kemampuan indera dan pengalaman sebagai sarana utama memperoleh dan menguji pengetahuan, sementara akal hanya berfungsi sebagai alat untuk mengorganisasi dan menginterpretasi data empiris.

Namun, epistemologi empiris juga menghadapi persoalan mendasar tentang masalah induksi.¹⁶ Hume menunjukkan bahwa generalisasi dari pengalaman masa lalu ke masa depan tidak dapat dibenarkan secara logis, karena tidak ada jaminan bahwa alam akan selalu berlaku dengan cara yang sama. Ini berarti bahwa setiap klaim ilmiah tentang hukum alam pada dasarnya bersifat probabilistik, bukan kepastian rasional. Masalah ini kelak memicu kritik dari Immanuel Kant, yang berupaya menggabungkan unsur empiris dan apriori dalam teori pengetahuannya.¹⁷

Dari keseluruhan pandangan para empiris, dapat disimpulkan bahwa epistemologi Empirisme Modern menempatkan pengalaman sebagai dasar tunggal pengetahuan manusia. Pengetahuan lahir dari interaksi antara subjek yang mengetahui dan dunia fenomenal yang dihadapi melalui indera. Validitasnya tidak ditentukan oleh spekulasi metafisis, tetapi oleh kesesuaian dengan data empiris yang dapat diuji, diamati, dan dialami. Dengan cara ini, Empirisme Modern memberikan fondasi bagi paradigma ilmiah modern yang menilai kebenaran berdasarkan bukti empiris, observasi sistematis, dan metode verifikasi.¹⁸


Footnotes

[1]                Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind: Understanding the Ideas That Have Shaped Our World View (New York: Ballantine Books, 1991), 223.

[2]                Aristotle, De Anima, trans. J. A. Smith (Oxford: Clarendon Press, 1931), 429b–430a.

[3]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding (London: Thomas Basset, 1690), II.i.2.

[4]                Ibid., II.i.15.

[5]                Nicholas Jolley, Locke: His Philosophical Thought (Oxford: Oxford University Press, 1999), 68–70.

[6]                Locke, An Essay Concerning Human Understanding, IV.i.2.

[7]                George Berkeley, A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge (Dublin: Jeremy Pepyat, 1710), §3–6.

[8]                Kenneth P. Winkler, Berkeley: An Interpretation (Oxford: Clarendon Press, 1989), 43.

[9]                Berkeley, Principles of Human Knowledge, §148.

[10]             David Hume, A Treatise of Human Nature (London: John Noon, 1739), I.i.1–3.

[11]             David Fate Norton, David Hume: Common-Sense Moralist, Sceptical Metaphysician (Princeton: Princeton University Press, 1982), 63–65.

[12]             Hume, A Treatise of Human Nature, I.iii.14.

[13]             Barry Stroud, Hume (London: Routledge, 1977), 97–99.

[14]             A. J. Ayer, Language, Truth and Logic (London: Gollancz, 1936), 42–44.

[15]             Moritz Schlick, General Theory of Knowledge, trans. A. E. Blumberg (Chicago: Open Court, 1985), 87–89.

[16]             Hume, A Treatise of Human Nature, I.iii.6.

[17]             Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), B1–B2.

[18]             Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 1959), 33–36.


5.           Etika dan Implikasi Moral Empirisme

Dalam konteks Empirisme Modern, etika memperoleh landasan yang berbeda secara mendasar dibandingkan dengan sistem moral rasionalis. Jika rasionalisme moral — seperti pada Descartes atau Kant — berangkat dari prinsip-prinsip apriori dan universal yang ditemukan oleh akal, maka empirisme menempatkan pengalaman manusia sebagai sumber utama nilai moral.¹ Bagi para pemikir empiris, moralitas tidak bersumber dari rasio murni yang abstrak, melainkan dari perasaan, kebiasaan, dan pengalaman sosial yang nyata dalam kehidupan manusia. Etika, dengan demikian, bersifat naturalistis, karena ia tumbuh dari pengalaman empiris manusia tentang kesenangan, penderitaan, simpati, dan hubungan antarindividu.

Tokoh pertama yang secara eksplisit membangun fondasi etika empiris adalah John Locke. Dalam An Essay Concerning Human Understanding, Locke berpendapat bahwa pengetahuan moral, meskipun tidak sejelas matematika, tetap dapat diturunkan dari pengalaman reflektif manusia terhadap tindakan dan konsekuensinya.² Bagi Locke, manusia secara alami mengejar kebahagiaan (happiness) dan menghindari penderitaan, dan dari pengalaman ini muncul kesadaran moral.³ Ia menolak pandangan bahwa nilai moral bersifat bawaan atau tertanam dalam akal, melainkan menegaskan bahwa moralitas berkembang melalui pengalaman, pendidikan, dan interaksi sosial. Moralitas, bagi Locke, berakar pada law of nature yang diketahui melalui pengamatan terhadap tatanan alam dan konsekuensi empiris dari perbuatan manusia.⁴ Dengan demikian, moralitas menjadi bagian dari tatanan empiris kehidupan, bukan dari struktur apriori rasional.

George Berkeley menempuh jalur berbeda dengan mengaitkan moralitas pada tatanan spiritual dan pengalaman religius.⁵ Ia menegaskan bahwa kebaikan tidak terletak pada kesenangan fisik semata, tetapi pada kesesuaian kehendak manusia dengan kehendak Tuhan yang menjadi sumber realitas semua pengalaman.⁶ Meskipun demikian, Berkeley tetap berpijak pada landasan empiris, karena ia berpendapat bahwa manusia mengenal Tuhan dan kebaikan melalui pengalaman inderawi dan reflektif yang terus-menerus diarahkan oleh ilham ilahi. Pandangan etis Berkeley mencerminkan bentuk empirisme teistik, di mana pengalaman empiris menjadi sarana bagi kesadaran moral dan spiritual.

Namun, puncak etika empiris modern terletak pada pemikiran David Hume, yang memandang moralitas sebagai hasil dari perasaan dan empati manusia.⁷ Dalam A Treatise of Human Nature dan An Enquiry Concerning the Principles of Morals, Hume menolak pandangan bahwa moralitas bersumber dari rasio. Menurutnya, rasio hanya dapat menunjukkan fakta, bukan menentukan apa yang seharusnya (ought).⁸ Prinsip moral tidak muncul dari penalaran logis, melainkan dari perasaan batiniah (moral sentiment) yang menghubungkan manusia satu sama lain dalam simpati.⁹ “Reason is, and ought only to be, the slave of the passions,” tulis Hume — menegaskan bahwa dorongan moral muncul dari pengalaman emosional yang melekat pada kehidupan manusia.¹⁰

Dari sudut pandang epistemologis, Hume memisahkan dua jenis penilaian: penilaian faktual (is) dan penilaian normatif (ought).¹¹ Ia menunjukkan bahwa tidak ada dasar logis untuk menarik kesimpulan normatif dari fakta semata, sebuah gagasan yang dikenal sebagai “Hume’s Law” atau “is–ought problem.”¹² Konsekuensinya, etika empiris Hume bersifat deskriptif-sentimental: ia tidak mengajarkan apa yang seharusnya dilakukan, melainkan menjelaskan bagaimana dan mengapa manusia secara alami merasa bahwa sesuatu itu benar atau salah. Moralitas bagi Hume bersumber dari keteraturan perasaan sosial yang lahir dari pengalaman bersama, bukan dari imperatif rasional yang bersifat universal.¹³

Implikasi moral dari empirisme ini sangat luas. Pertama, ia melahirkan pendekatan utilitarianisme yang dikembangkan oleh Jeremy Bentham dan John Stuart Mill, yang mendasarkan etika pada konsekuensi empiris dari tindakan.¹⁴ Prinsip “the greatest happiness for the greatest number” mencerminkan warisan empirisme, karena menilai tindakan moral berdasarkan hasil nyata berupa kesenangan atau penderitaan yang ditimbulkannya. Kedua, empirisme moral memberikan dasar bagi psikologi moral modern, terutama dalam pandangan bahwa emosi dan empati memiliki peran sentral dalam penilaian etis. Ketiga, pendekatan empiris menolak absolutisme moral dan membuka ruang bagi relativisme etis, karena nilai moral dianggap sebagai hasil dari kebiasaan sosial dan pengalaman budaya yang berbeda-beda.¹⁵

Namun, empirisme moral juga menghadapi kritik serius. Rasionalis seperti Kant menilai bahwa moralitas tidak dapat bergantung pada pengalaman yang berubah-ubah, melainkan harus berdasar pada prinsip universal dan otonom yang berasal dari rasio praktis.¹⁶ Selain itu, skeptisisme Hume menimbulkan pertanyaan: jika moralitas hanya bersumber dari perasaan, bagaimana mungkin menilai tindakan secara objektif? Meskipun demikian, empirisme tetap memberi kontribusi besar dengan menekankan dimensi manusiawi moralitas — bahwa etika tidak hanya soal logika dan prinsip abstrak, tetapi juga tentang pengalaman konkret manusia yang merasakan penderitaan, empati, dan kebahagiaan.¹⁷

Dengan demikian, etika dalam Empirisme Modern menegaskan bahwa moralitas adalah hasil pengalaman manusia dalam interaksi sosial dan emosional. Ia memandang kebaikan bukan sebagai hukum metafisis, melainkan sebagai kecenderungan alami yang muncul dari kehidupan bersama. Pandangan ini memberikan landasan baru bagi perkembangan teori moral modern, mulai dari sentimentalitas etis hingga psikologi moral empiris, serta menjadi jembatan menuju etika konsekuensialis dan naturalisme moral kontemporer.¹⁸


Footnotes

[1]                Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind: Understanding the Ideas That Have Shaped Our World View (New York: Ballantine Books, 1991), 231.

[2]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding (London: Thomas Basset, 1690), II.xxviii.5.

[3]                Ibid., II.xxviii.15.

[4]                Nicholas Jolley, Locke: His Philosophical Thought (Oxford: Oxford University Press, 1999), 153–156.

[5]                George Berkeley, Alciphron, or The Minute Philosopher (London: J. Tonson, 1732), 57–60.

[6]                Kenneth P. Winkler, Berkeley: An Interpretation (Oxford: Clarendon Press, 1989), 91–93.

[7]                David Hume, A Treatise of Human Nature (London: John Noon, 1739), III.i.1.

[8]                Ibid., III.i.2.

[9]                David Hume, An Enquiry Concerning the Principles of Morals (London: A. Millar, 1751), §9.

[10]             Hume, A Treatise of Human Nature, II.iii.3.

[11]             Ibid., III.i.1.

[12]             Simon Blackburn, Being Good: A Short Introduction to Ethics (Oxford: Oxford University Press, 2001), 19–21.

[13]             Barry Stroud, Hume (London: Routledge, 1977), 101–104.

[14]             Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation (London: T. Payne, 1789), ch. 1.

[15]             John Stuart Mill, Utilitarianism (London: Parker, Son, and Bourn, 1863), 12–15.

[16]             Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 36–38.

[17]             Alasdair MacIntyre, A Short History of Ethics (London: Routledge, 1967), 108–110.

[18]             Peter Singer, Practical Ethics (Cambridge: Cambridge University Press, 1993), 10–12.


6.           Estetika dan Pengalaman Keindahan

Dalam pandangan Empirisme Modern, pengalaman estetika — sebagaimana pengalaman pengetahuan dan moralitas — bersumber dari indera dan persepsi manusia terhadap dunia nyata. Estetika empiris menolak gagasan bahwa keindahan adalah entitas metafisis yang berdiri di luar pengalaman manusia. Sebaliknya, keindahan dipahami sebagai hasil interaksi antara subjek yang merasakan dan objek yang diindera.¹ Dengan demikian, estetika empiris berakar pada prinsip bahwa penilaian estetis lahir dari pengalaman langsung, bukan dari prinsip rasional atau bentuk ideal seperti dalam estetika Platonik dan rasionalisme klasik.

John Locke, dalam An Essay Concerning Human Understanding, tidak menulis secara sistematis tentang estetika, tetapi gagasannya tentang persepsi inderawi memiliki implikasi mendalam terhadap teori keindahan.² Menurut Locke, semua ide dalam pikiran berasal dari pengalaman, baik melalui penginderaan terhadap dunia eksternal maupun refleksi terhadap aktivitas batin.³ Maka, pengalaman estetis pun bergantung pada kemampuan indera menangkap kualitas-kualitas benda — seperti warna, bentuk, dan harmoni — yang kemudian diolah oleh pikiran menjadi pengalaman keindahan. Dalam kerangka ini, keindahan bukanlah sesuatu yang melekat pada objek secara absolut, tetapi hasil relasi antara kualitas benda dan persepsi subjek.⁴ Artinya, keindahan bersifat relasional dan subjektif, bergantung pada kondisi inderawi, kebiasaan, dan konteks pengalaman manusia.

Pandangan empiris mengenai estetika mencapai bentuk yang lebih eksplisit dalam pemikiran George Berkeley. Sebagai idealis empiris, Berkeley menolak keberadaan materi di luar persepsi, dan menegaskan bahwa seluruh realitas — termasuk keindahan — adalah pengalaman mental.⁵ Ia berpendapat bahwa persepsi terhadap keindahan tidak lain adalah pengalaman spiritual terhadap keteraturan dan harmoni yang ditanamkan Tuhan dalam persepsi manusia.⁶ Dengan demikian, estetika Berkeley mengandung unsur teologis-empiris: keindahan merupakan manifestasi pengalaman indrawi yang disempurnakan oleh kesadaran akan keteraturan ilahi. Dalam pandangan ini, keindahan bukanlah sifat objek, melainkan keadaan kesadaran yang menyadari keselarasan antara persepsi dan hukum alam.

Sementara itu, David Hume mengembangkan teori estetika empiris yang lebih sistematis dalam esainya Of the Standard of Taste (1757).⁷ Hume menolak relativisme estetis total, tetapi juga menentang gagasan bahwa keindahan memiliki dasar objektif yang universal. Ia berpendapat bahwa penilaian estetika memang bersifat subjektif karena bergantung pada perasaan, tetapi tetap ada standar tertentu yang dapat dibentuk melalui pengalaman yang halus dan kebiasaan reflektif.⁸ Menurut Hume, “beauty is no quality in things themselves: it exists merely in the mind which contemplates them.”⁹ Namun, ia menegaskan bahwa orang yang memiliki kepekaan, latihan, dan keseimbangan emosi dapat mengembangkan “taste” yang lebih andal dalam menilai keindahan.¹⁰ Dengan demikian, bagi Hume, penilaian estetis bersifat empiris tetapi tidak sewenang-wenang; ia menuntut pengalaman, kebiasaan, dan kemampuan persepsi yang matang.

Teori Hume ini menandai munculnya konsep “standar rasa” (standard of taste) dalam estetika empiris.¹¹ Ia menyadari bahwa meskipun setiap individu memiliki pengalaman estetika yang berbeda, ada bentuk kesepakatan yang muncul di antara para penikmat seni melalui pengalaman bersama. Kesepakatan tersebut bukan karena hukum rasional, melainkan karena kesamaan struktur pengalaman manusia yang diperoleh melalui kebiasaan, budaya, dan pendidikan estetis.¹² Dengan demikian, Hume membangun jembatan antara subjektivitas rasa dan kemungkinan adanya norma umum dalam apresiasi keindahan.

Implikasi dari estetika empiris ini sangat luas. Pertama, ia membuka jalan bagi munculnya psikologi estetika modern, yang menjelaskan pengalaman keindahan melalui mekanisme persepsi, emosi, dan asosiasi pengalaman.¹³ Kedua, pandangan empiris menegaskan bahwa seni bukanlah cermin dari dunia ideal, melainkan ekspresi pengalaman manusia yang konkret dan inderawi. Ketiga, estetika empiris menolak absolutisme estetika metafisis dan menggantikannya dengan pemahaman humanistik dan eksperimental tentang seni — di mana nilai estetis bergantung pada pengalaman aktual manusia, bukan pada norma yang apriori.¹⁴

Namun, pendekatan empiris terhadap keindahan juga menghadapi kritik. Para rasionalis dan idealis, seperti Immanuel Kant, berpendapat bahwa penilaian estetika tidak dapat dijelaskan sepenuhnya oleh pengalaman empiris karena melibatkan unsur apriori, yakni kesadaran akan “kesesuaian tujuan tanpa tujuan” (purposiveness without purpose).¹⁵ Meski demikian, empirisme memberikan kontribusi besar dengan memindahkan fokus estetika dari metafisika ke psikologi dan pengalaman manusiawi. Ia mengajarkan bahwa keindahan bukan sekadar kategori filosofis, tetapi pengalaman hidup yang melibatkan indera, emosi, dan kesadaran reflektif manusia.¹⁶

Dengan demikian, estetika dalam Empirisme Modern menegaskan bahwa keindahan adalah hasil persepsi dan pengalaman manusia terhadap dunia empiris. Ia bersifat relatif namun dapat diperkaya melalui kebiasaan, refleksi, dan pembelajaran. Pandangan ini meneguhkan posisi empirisme sebagai filsafat yang tidak hanya menjelaskan bagaimana manusia mengetahui, tetapi juga bagaimana manusia merasakan dan menghayati keindahan sebagai bagian dari realitas yang dialaminya.¹⁷


Footnotes

[1]                Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind: Understanding the Ideas That Have Shaped Our World View (New York: Ballantine Books, 1991), 234.

[2]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding (London: Thomas Basset, 1690), II.viii.8.

[3]                Ibid., II.i.2.

[4]                Nicholas Jolley, Locke: His Philosophical Thought (Oxford: Oxford University Press, 1999), 72–74.

[5]                George Berkeley, A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge (Dublin: Jeremy Pepyat, 1710), §3–6.

[6]                Kenneth P. Winkler, Berkeley: An Interpretation (Oxford: Clarendon Press, 1989), 84–86.

[7]                David Hume, “Of the Standard of Taste,” in Essays, Moral, Political, and Literary (London: A. Millar, 1757), 226–249.

[8]                Ibid., 229.

[9]                Ibid., 234.

[10]             David Fate Norton, David Hume: Common-Sense Moralist, Sceptical Metaphysician (Princeton: Princeton University Press, 1982), 118–120.

[11]             Peter Kivy, The Seventh Sense: Francis Hutcheson and Eighteenth-Century British Aesthetics (Oxford: Clarendon Press, 2003), 42–44.

[12]             Ted Cohen, “Hume’s Standard of Taste,” The Philosophical Quarterly 18, no. 72 (1968): 55–57.

[13]             John Dewey, Art as Experience (New York: Minton, Balch & Co., 1934), 10–14.

[14]             Raymond Williams, Keywords: A Vocabulary of Culture and Society (London: Fontana, 1976), 32–34.

[15]             Immanuel Kant, Critique of Judgment, trans. Werner S. Pluhar (Indianapolis: Hackett Publishing, 1987), §10–11.

[16]             Monroe C. Beardsley, Aesthetics: Problems in the Philosophy of Criticism (Indianapolis: Hackett, 1981), 102–105.

[17]             Noël Carroll, Philosophy of Art: A Contemporary Introduction (London: Routledge, 1999), 18–20.


7.           Kritik terhadap Empirisme Modern

Meskipun Empirisme Modern memberikan fondasi penting bagi perkembangan sains dan epistemologi modern, aliran ini tidak luput dari kritik filosofis yang tajam. Kritik-kritik tersebut datang dari berbagai arah — mulai dari rasionalisme klasik hingga idealisme transendental dan filsafat kontemporer — yang menilai bahwa empirisme, meskipun kuat secara metodologis, memiliki kelemahan mendasar dalam menjelaskan struktur dan validitas pengetahuan, realitas, serta moralitas manusia.

Salah satu kritik paling awal datang dari para rasionalis, terutama René Descartes dan Gottfried Wilhelm Leibniz. Descartes berpendapat bahwa pengalaman inderawi tidak dapat dijadikan dasar yang kokoh bagi pengetahuan sejati karena indera kerap menipu.¹ Menurutnya, hanya akal (ratio) yang mampu menghasilkan kebenaran yang pasti melalui ide-ide yang jelas dan terpilah (clara et distincta).² Leibniz memperkuat kritik ini dengan mengemukakan bahwa pengalaman tidak dapat menjelaskan keberadaan kebenaran universal dan niscaya, seperti dalam matematika dan logika.³ Ia menegaskan bahwa pikiran manusia mengandung ide bawaan (innate ideas) yang tidak mungkin dihasilkan semata-mata oleh pengalaman empiris.⁴ Bagi para rasionalis, empirisme gagal menjelaskan asal-usul prinsip-prinsip apriori yang menjadi syarat bagi pengetahuan yang umum dan pasti.

Kritik yang lebih mendalam datang dari Immanuel Kant, yang berupaya menyintesiskan rasionalisme dan empirisme dalam Critique of Pure Reason (1781).⁵ Kant mengakui peran penting pengalaman dalam pembentukan pengetahuan, tetapi ia menolak klaim empirisme bahwa pengetahuan seluruhnya bersumber dari pengalaman. Menurut Kant, pengalaman hanya memberikan bahan mentah bagi pengetahuan, sementara struktur dan bentuknya ditentukan oleh kategori-kategori apriori dari akal budi.⁶ Ia memperkenalkan konsep synthetic a priori, yakni pengetahuan yang bersifat universal dan niscaya tetapi juga berkaitan dengan pengalaman.⁷ Dengan demikian, Kant menyimpulkan bahwa empirisme gagal memahami peran aktif subjek dalam mengonstruksi realitas pengalaman — bahwa pikiran tidak hanya “menerima” data inderawi, melainkan juga “membentuknya.”⁸

Selain dari rasionalisme dan idealisme, kritik terhadap empirisme juga muncul dari kalangan filsafat ilmiah modern. Para filsuf logis seperti W. V. O. Quine mengkritik empirisme logis yang muncul sebagai penerus empirisme klasik. Dalam esainya “Two Dogmas of Empiricism” (1951), Quine menolak dua asumsi utama empirisme logis: (1) bahwa pernyataan bermakna dapat dipisahkan antara yang analitik dan sintetik, dan (2) bahwa setiap proposisi ilmiah dapat direduksi menjadi pernyataan tentang pengalaman langsung.⁹ Menurut Quine, tidak ada batas tegas antara kebenaran logis dan empiris, karena seluruh sistem pengetahuan manusia bersifat holistik — diuji bersama, bukan secara terpisah oleh pengalaman individual.¹⁰ Kritik Quine ini menghancurkan fondasi verifikasionisme yang menjadi inti epistemologi empiris abad ke-20.

Kritik serupa juga datang dari Karl Popper, yang menolak prinsip verifikasi empirisme logis dan menggantinya dengan prinsip falsifikasi.¹¹ Menurut Popper, ilmu pengetahuan tidak dapat dibangun atas dasar pembenaran induktif, karena tidak ada jumlah observasi yang dapat memverifikasi suatu teori secara mutlak. Sebaliknya, teori ilmiah harus terbuka untuk diuji dan mungkin disangkal oleh pengalaman yang bertentangan. Dengan demikian, Popper menganggap empirisme klasik terlalu optimistis dalam memandang hubungan antara observasi dan teori.¹²

Lebih jauh lagi, kritik terhadap empirisme juga datang dari filsafat fenomenologi dan hermeneutika, terutama dari Edmund Husserl dan Martin Heidegger. Husserl menilai bahwa empirisme telah mereduksi kesadaran manusia menjadi sekadar penerima data sensoris, tanpa memahami dimensi intensionalitas — bahwa setiap kesadaran selalu mengarah pada sesuatu (consciousness is always consciousness of something).¹³ Heidegger memperdalam kritik ini dengan menunjukkan bahwa empirisme mengabaikan konteks eksistensial di mana pengalaman manusia terjadi.¹⁴ Bagi Heidegger, pengalaman bukan sekadar akumulasi kesan inderawi, melainkan keterlibatan eksistensial manusia dalam dunia. Kritik fenomenologis ini menggeser perhatian dari “data empiris” menuju “makna pengalaman,” menyoroti keterbatasan ontologis empirisme dalam memahami manusia sebagai makhluk yang hidup di dalam dunia (being-in-the-world).

Selain itu, dari perspektif filsafat bahasa dan epistemologi post-positivis, empirisme dikritik karena mengabaikan dimensi konseptual dan linguistik dari pengalaman. Ludwig Wittgenstein dalam Philosophical Investigations (1953) menunjukkan bahwa makna pengalaman tidak dapat dipahami di luar konteks bahasa dan praktik sosial.¹⁵ Ini berarti bahwa pengalaman tidak berdiri netral di hadapan subjek, melainkan sudah terstruktur oleh sistem linguistik dan budaya yang mengartikulasikannya. Dengan demikian, empirisme dianggap gagal mempertimbangkan bahwa apa yang disebut “pengalaman” selalu dimediasi oleh bahasa, simbol, dan interaksi sosial.¹⁶

Dari seluruh kritik tersebut dapat disimpulkan bahwa Empirisme Modern, meskipun berhasil membangun dasar metodologis bagi sains, memiliki kelemahan dalam menjelaskan dimensi apriori, konseptual, dan eksistensial dari pengalaman manusia. Ia cenderung mereduksi pengetahuan menjadi hasil pasif dari pengamatan inderawi, tanpa mempertimbangkan konstruksi aktif pikiran, konteks sosial-linguistik, serta makna eksistensial yang melingkupi pengalaman itu sendiri.¹⁷ Kendati demikian, nilai historis empirisme tetap besar: dari dialektika antara empirisme dan kritik-kritiknya inilah lahir epistemologi modern yang lebih seimbang — yang tidak hanya mengandalkan pengalaman, tetapi juga mengakui peran struktur kognitif, bahasa, dan kesadaran dalam pembentukan pengetahuan manusia.¹⁸


Footnotes

[1]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 19–22.

[2]                Ibid., 25.

[3]                Gottfried Wilhelm Leibniz, New Essays on Human Understanding, trans. Peter Remnant and Jonathan Bennett (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 45–47.

[4]                Nicholas Jolley, Leibniz and Locke: A Study of the New Essays on Human Understanding (Oxford: Clarendon Press, 1984), 67–70.

[5]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A51–B75.

[6]                Ibid., A92–B125.

[7]                Henry E. Allison, Kant’s Transcendental Idealism (New Haven: Yale University Press, 1983), 112–115.

[8]                Paul Guyer, Kant and the Claims of Knowledge (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 56–59.

[9]                W. V. O. Quine, “Two Dogmas of Empiricism,” The Philosophical Review 60, no. 1 (1951): 20–43.

[10]             Roger F. Gibson Jr., Quine and the Empiricist Heritage (New York: Garland, 1988), 102–106.

[11]             Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 1959), 40–43.

[12]             Ibid., 56.

[13]             Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus Nijhoff, 1983), 54–58.

[14]             Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 69–71.

[15]             Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §23–43.

[16]             Hubert L. Dreyfus, Being-in-the-World: A Commentary on Heidegger’s Being and Time (Cambridge, MA: MIT Press, 1991), 87–89.

[17]             Richard Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature (Princeton: Princeton University Press, 1979), 163–167.

[18]             A. C. Grayling, The History of Philosophy (London: Penguin Books, 2019), 259–262.


8.           Pengaruh dan Warisan Intelektual

Empirisme Modern memiliki pengaruh yang sangat luas dan mendalam terhadap perkembangan filsafat, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan Barat. Ia tidak hanya membentuk paradigma epistemologi modern, tetapi juga menjadi fondasi bagi metode ilmiah, teori moral, estetika, dan bahkan filsafat bahasa pada abad ke-20. Warisannya menjangkau dari masa pencerahan (Enlightenment) hingga era positivisme dan empirisme logis, menjadikan empirisme sebagai salah satu tradisi intelektual paling berpengaruh dalam sejarah pemikiran manusia.

Pengaruh pertama dan paling nyata dari Empirisme Modern tampak dalam perkembangan sains modern. Semangat observasi, eksperimen, dan induksi yang digagas oleh Francis Bacon mengubah cara manusia memahami alam.¹ Bacon menolak spekulasi metafisis dan menekankan perlunya metode ilmiah yang berbasis pengalaman empiris. Prinsip-prinsip tersebut menjadi dasar bagi sains eksperimental yang kemudian dikembangkan oleh Galileo, Newton, dan ilmuwan modern lainnya.² Dengan demikian, empirisme berkontribusi besar terhadap lahirnya paradigma ilmiah yang menekankan verifikasi dan observasi, yang hingga kini menjadi tulang punggung metodologi ilmiah.³

Dalam ranah filsafat pengetahuan, pengaruh empirisme paling terasa pada perkembangan positivisme dan empirisme logis. Pemikiran David Hume tentang hubungan sebab-akibat dan keterbatasan induksi mengilhami Auguste Comte dalam merumuskan positivisme, yang menyatakan bahwa pengetahuan sejati hanya dapat diperoleh dari fakta empiris.⁴ Di abad ke-20, empirisme logis yang dipelopori oleh Rudolf Carnap, Moritz Schlick, dan Lingkaran Wina mengembangkan prinsip verifikasi sebagai kriteria makna.⁵ Mereka berupaya membangun filsafat sebagai cabang ilmu yang ketat dan bebas dari spekulasi metafisis, dengan menegaskan bahwa hanya pernyataan yang dapat diverifikasi secara empiris yang memiliki makna ilmiah.⁶ Walaupun pendekatan ini kemudian dikritik oleh filsuf seperti W. V. O. Quine dan Karl Popper, pengaruhnya terhadap filsafat sains, analisis bahasa, dan epistemologi tetap monumental.

Dalam bidang etika, warisan empirisme dapat dilihat dalam munculnya utilitarianisme yang dikembangkan oleh Jeremy Bentham dan John Stuart Mill.⁷ Prinsip empiris Hume tentang moralitas sebagai hasil dari pengalaman dan perasaan manusia diterjemahkan Bentham menjadi prinsip kebahagiaan terbesar (the greatest happiness principle), yang menilai baik dan buruknya tindakan berdasarkan konsekuensi empirisnya terhadap kesejahteraan manusia.⁸ John Stuart Mill kemudian menyempurnakan teori tersebut dengan menambahkan dimensi kualitatif terhadap kesenangan, menjadikan utilitarianisme sebagai sistem moral empiris yang paling berpengaruh dalam etika modern dan kebijakan sosial.⁹

Pengaruh empirisme juga tampak kuat dalam psikologi dan ilmu kognitif. Konsep tabula rasa Locke menjadi dasar bagi teori pembelajaran (learning theory) dan behaviorisme yang dikembangkan oleh John B. Watson dan B. F. Skinner.¹⁰ Behaviorisme mengadopsi prinsip empiris bahwa perilaku manusia harus dipelajari melalui observasi terhadap stimulus dan respons yang dapat diukur.¹¹ Dengan demikian, empirisme memberikan kerangka epistemologis bagi psikologi eksperimental dan teori pendidikan modern, yang menolak spekulasi introspektif dan menekankan pengamatan faktual terhadap perilaku manusia.

Selain dalam bidang ilmu dan moral, empirisme juga memberikan kontribusi besar terhadap filsafat bahasa dan analisis logis abad ke-20. Filsuf seperti John L. Austin dan Gilbert Ryle mengembangkan tradisi filsafat analitik yang menekankan analisis empiris terhadap penggunaan bahasa sehari-hari.¹² Dalam konteks ini, empirisme bertransformasi menjadi pendekatan linguistik yang menilai makna bukan berdasarkan struktur metafisis, melainkan pada konteks empiris pemakaiannya dalam komunikasi manusia.

Dalam bidang estetika, pemikiran Hume mengenai standard of taste memberikan dasar bagi pemahaman modern tentang subjektivitas dan intersubjektivitas dalam pengalaman seni.¹³ Pandangan bahwa keindahan adalah hasil persepsi yang disempurnakan melalui pengalaman membuka jalan bagi teori estetika psikologis dan empiris kontemporer, seperti yang dikembangkan oleh John Dewey dalam Art as Experience.¹⁴

Lebih jauh lagi, pengaruh Empirisme Modern menjalar hingga ke filsafat pragmatisme di Amerika. Tokoh-tokoh seperti Charles Sanders Peirce, William James, dan John Dewey mengembangkan gagasan bahwa kebenaran harus diuji melalui konsekuensi praktisnya dalam pengalaman.¹⁵ Meskipun pragmatisme melampaui batas empirisme klasik, ia tetap mempertahankan keyakinan bahwa pengalaman merupakan pusat kehidupan intelektual manusia.

Warisan empirisme juga meluas ke filsafat kontemporer dan ilmu sosial, terutama dalam pendekatan empiris-kritis terhadap masyarakat dan budaya. Tradisi ini memengaruhi teori-teori ilmiah dan humanistik yang menekankan observasi, data, dan refleksi terhadap pengalaman nyata, seperti dalam sosiologi Max Weber dan psikologi eksperimental kontemporer.¹⁶

Secara keseluruhan, warisan intelektual Empirisme Modern terletak pada kemampuannya untuk mengubah paradigma filsafat dari spekulasi metafisis menuju observasi rasional yang berbasis pengalaman. Ia membentuk cara berpikir ilmiah, melahirkan teori moral dan politik yang humanistik, serta mengilhami pendekatan interdisipliner dalam ilmu pengetahuan dan kebudayaan.¹⁷ Meskipun telah mengalami kritik dan revisi, semangat empirisme — bahwa pengetahuan sejati bersumber dari pengalaman manusia — tetap menjadi prinsip dasar dalam tradisi intelektual modern.¹⁸


Footnotes

[1]                Francis Bacon, Novum Organum (London: W. Pickering, 1620), 95–97.

[2]                Peter Urbach, Francis Bacon’s Philosophy of Science: An Account and a Reappraisal (La Salle, IL: Open Court, 1987), 102–104.

[3]                Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind: Understanding the Ideas That Have Shaped Our World View (New York: Ballantine Books, 1991), 240.

[4]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding (London: A. Millar, 1748), §7–9.

[5]                Rudolf Carnap, The Logical Structure of the World (Chicago: Open Court, 1967), 3–5.

[6]                Moritz Schlick, General Theory of Knowledge, trans. A. E. Blumberg (Chicago: Open Court, 1985), 88–90.

[7]                Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation (London: T. Payne, 1789), ch. 1.

[8]                John Stuart Mill, Utilitarianism (London: Parker, Son, and Bourn, 1863), 14–17.

[9]                Alasdair MacIntyre, A Short History of Ethics (London: Routledge, 1967), 132–135.

[10]             John B. Watson, Behaviorism (New York: W. W. Norton, 1924), 12–14.

[11]             B. F. Skinner, Science and Human Behavior (New York: Macmillan, 1953), 28–30.

[12]             Gilbert Ryle, The Concept of Mind (London: Hutchinson, 1949), 3–6.

[13]             David Hume, “Of the Standard of Taste,” in Essays, Moral, Political, and Literary (London: A. Millar, 1757), 234–236.

[14]             John Dewey, Art as Experience (New York: Minton, Balch & Co., 1934), 10–14.

[15]             William James, Pragmatism: A New Name for Some Old Ways of Thinking (New York: Longmans, Green & Co., 1907), 30–33.

[16]             Max Weber, Methodology of Social Sciences, trans. Edward A. Shils and Henry A. Finch (New York: Free Press, 1949), 49–51.

[17]             A. C. Grayling, The History of Philosophy (London: Penguin Books, 2019), 268–270.

[18]             Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 1959), 37–40.


9.           Relevansi dan Aplikasi Kontemporer

Empirisme Modern, meskipun lahir pada abad ke-17 dan ke-18, tetap memiliki relevansi yang luar biasa dalam konteks filsafat, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan kontemporer. Prinsip dasarnya—bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman dan observasi—masih menjadi landasan bagi metode ilmiah, riset sosial, dan bahkan teknologi digital saat ini. Dalam dunia yang ditandai oleh ledakan informasi dan kemajuan teknologi, semangat empirisme kembali menemukan bentuk barunya dalam pendekatan berbasis data, sains kognitif, dan etika berbasis pengalaman manusia.

Dalam filsafat ilmu, empirisme terus menjadi kerangka dasar bagi pendekatan ilmiah modern. Prinsip verifikasi empiris masih dipegang sebagai syarat bagi klaim ilmiah yang sahih, meskipun kini diinterpretasikan secara lebih fleksibel melalui teori falsifikasi Karl Popper.¹ Pendekatan ini menjadi fondasi bagi metodologi penelitian ilmiah di berbagai disiplin—dari fisika kuantum hingga ilmu sosial—di mana teori hanya diakui sejauh dapat diuji dan diamati melalui pengalaman.² Bahkan dalam konteks sains modern seperti fisika partikel dan astrofisika, prinsip empiris terus menjadi tolok ukur kebenaran: observasi dan eksperimentasi tetap menjadi cara utama untuk mengonfirmasi hipotesis ilmiah, meskipun bersinggungan dengan model matematis yang abstrak.³

Relevansi empirisme juga sangat nyata dalam era digital dan teknologi informasi. Munculnya big data, machine learning, dan kecerdasan buatan (AI) mencerminkan bentuk baru dari empirisme, di mana pengetahuan tidak lagi hanya diperoleh dari pengalaman manusia langsung, melainkan juga dari pengalaman terdata yang dikumpulkan dan dianalisis secara algoritmik.⁴ Dalam konteks ini, pengalaman empiris diubah menjadi data statistik yang memungkinkan prediksi dan pengambilan keputusan berbasis bukti.⁵ Namun, perkembangan ini juga mengundang refleksi filosofis baru: apakah data digital dapat dianggap sebagai bentuk pengalaman empiris yang sah, ataukah ia merupakan “pengalaman yang dimediasi” oleh mesin dan sistem representasi?⁶ Pertanyaan ini menunjukkan bahwa empirisme kontemporer telah memasuki fase epistemologis baru, yang menggabungkan empirisme klasik dengan analisis kognitif dan teknologi informasi.

Dalam filsafat moral dan sosial, empirisme tetap memengaruhi pendekatan naturalistik terhadap etika dan politik. Dalam bioetika, misalnya, keputusan moral sering kali didasarkan pada bukti empiris tentang dampak medis dan sosial suatu tindakan.⁷ Pendekatan empiris juga diterapkan dalam ekonomi perilaku, di mana pengambilan keputusan moral dan sosial diteliti melalui eksperimen empiris dan observasi terhadap perilaku manusia.⁸ Ini menunjukkan bahwa moralitas, sebagaimana diyakini oleh Hume, masih dipahami melalui konteks pengalaman dan emosi manusia, bukan melalui rasionalisme normatif yang abstrak.

Empirisme juga memiliki pengaruh kuat dalam ilmu kognitif dan psikologi kontemporer, terutama dalam teori persepsi dan pembelajaran. Pandangan empiris tentang pikiran sebagai tabula rasa telah berkembang menjadi model neurokognitif yang menjelaskan bagaimana pengalaman sensorik membentuk pola kognisi dan perilaku.⁹ Ilmuwan seperti Daniel Kahneman dan Richard Thaler bahkan menunjukkan bahwa pengambilan keputusan manusia tidak hanya rasional, tetapi juga dipengaruhi oleh pengalaman empiris yang terbatas dan bias perseptual, memperkuat relevansi prinsip empiris dalam memahami kesadaran dan perilaku manusia.¹⁰

Dalam bidang estetika dan seni, warisan empirisme tampak pada teori pengalaman estetis kontemporer yang menekankan keterlibatan indera, emosi, dan persepsi dalam memahami karya seni.¹¹ Teori John Dewey dalam Art as Experience tetap relevan di era digital, di mana pengalaman estetis kini juga dimediasi oleh teknologi—dari seni digital hingga realitas virtual—yang memperluas dimensi empiris persepsi manusia.¹² Dengan demikian, empirisme terus bertransformasi, bukan hanya sebagai teori epistemologi, tetapi juga sebagai filsafat kehidupan yang menegaskan pengalaman sebagai pusat nilai manusia.

Lebih jauh, empirisme juga memiliki implikasi etis dan epistemologis dalam era post-truth. Dalam masyarakat yang dipenuhi disinformasi dan manipulasi digital, empirisme menjadi dasar penting untuk menegaskan kebenaran berbasis bukti (evidence-based truth).¹³ Prinsip empiris mengingatkan bahwa klaim kebenaran harus selalu diuji melalui pengalaman dan bukti, bukan hanya melalui keyakinan subjektif atau otoritas ideologis. Hal ini menjadikan empirisme relevan sebagai etos intelektual yang menuntut skeptisisme, verifikasi, dan keterbukaan terhadap koreksi.¹⁴

Akhirnya, dalam pendidikan dan ilmu sosial, empirisme tetap menjadi prinsip pedagogis yang mendorong pembelajaran berbasis pengalaman (experiential learning).¹⁵ Metode ini menganggap pengetahuan sebagai hasil partisipasi aktif dalam proses belajar, bukan sekadar penerimaan pasif terhadap informasi. Dalam konteks ini, empirisme modern diinterpretasikan sebagai metode humanistik yang menghargai pengalaman individual sekaligus menekankan verifikasi melalui dialog dan observasi.¹⁶

Dengan demikian, relevansi dan aplikasi kontemporer Empirisme Modern terletak pada kemampuannya untuk beradaptasi dengan tantangan baru—dari ilmu pengetahuan hingga etika digital—tanpa kehilangan prinsip dasarnya: bahwa pengetahuan sejati lahir dari pengalaman yang dapat diuji dan diverifikasi. Ia tetap menjadi dasar bagi rasionalitas modern dan menjadi pedoman metodologis dalam mencari kebenaran di dunia yang semakin kompleks, interaktif, dan empiris.¹⁷


Footnotes

[1]                Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 1959), 33–37.

[2]                Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 24–27.

[3]                Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind: Understanding the Ideas That Have Shaped Our World View (New York: Ballantine Books, 1991), 241–243.

[4]                Viktor Mayer-Schönberger and Kenneth Cukier, Big Data: A Revolution That Will Transform How We Live, Work, and Think (Boston: Houghton Mifflin Harcourt, 2013), 5–7.

[5]                Chris Anderson, “The End of Theory: The Data Deluge Makes the Scientific Method Obsolete,” Wired Magazine 16, no. 7 (2008): 108–110.

[6]                Luciano Floridi, The Philosophy of Information (Oxford: Oxford University Press, 2011), 98–101.

[7]                Peter Singer, Practical Ethics (Cambridge: Cambridge University Press, 1993), 10–12.

[8]                Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2011), 20–23.

[9]                John R. Anderson, Cognitive Psychology and Its Implications (New York: Worth Publishers, 2015), 14–18.

[10]             Richard H. Thaler and Cass R. Sunstein, Nudge: Improving Decisions About Health, Wealth, and Happiness (New Haven: Yale University Press, 2008), 6–9.

[11]             David Hume, “Of the Standard of Taste,” in Essays, Moral, Political, and Literary (London: A. Millar, 1757), 234–236.

[12]             John Dewey, Art as Experience (New York: Minton, Balch & Co., 1934), 18–21.

[13]             Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge, MA: MIT Press, 2018), 45–47.

[14]             Susan Haack, Manifesto of a Passionate Moderate: Unfashionable Essays (Chicago: University of Chicago Press, 1998), 89–92.

[15]             David Kolb, Experiential Learning: Experience as the Source of Learning and Development (Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, 1984), 20–25.

[16]             John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan, 1916), 38–40.

[17]             A. C. Grayling, The History of Philosophy (London: Penguin Books, 2019), 273–276.


10.       Sintesis Filosofis: Pengalaman sebagai Dasar Pengetahuan dan Keotentikan Manusia

Dalam sintesis filosofisnya, Empirisme Modern dapat dipahami bukan sekadar sebagai teori epistemologis yang menegaskan pengalaman sebagai sumber pengetahuan, tetapi juga sebagai pandangan dunia (Weltanschauung) yang menempatkan pengalaman sebagai inti eksistensi dan keotentikan manusia. Melalui pandangan ini, empirisme tidak hanya menjelaskan bagaimana manusia mengetahui, melainkan juga bagaimana manusia mengalami dan memaknai keberadaannya di dunia.¹

Empirisme sejak awal menentang pandangan rasionalistik yang menilai pengetahuan sebagai hasil deduksi apriori dari ide-ide bawaan. John Locke dengan tegas menyatakan bahwa manusia lahir sebagai tabula rasa, dan seluruh isi pikirannya terbentuk melalui pengalaman inderawi dan refleksi batin.² Pandangan ini tidak hanya menegaskan aspek epistemologis, tetapi juga menyiratkan pemahaman antropologis: manusia bukan makhluk yang sudah “diberi” pengetahuan atau moralitas, melainkan makhluk yang membentuk dirinya melalui pengalaman konkret.³ Dengan demikian, dalam kerangka Locke, pengalaman menjadi medan pembentukan kesadaran diri dan kebebasan. Setiap individu membangun pengetahuannya sendiri dari hasil interaksi empiris dengan dunia — dan di sinilah letak keotentikan manusia sebagai makhluk yang belajar, bereksperimen, dan tumbuh melalui pengalaman.

George Berkeley memperdalam aspek spiritual dari sintesis ini. Dengan semboyannya esse est percipi (“ada berarti dipersepsi”), ia menunjukkan bahwa pengalaman manusia bersifat imanen dengan kesadaran dan tidak dapat dipisahkan dari aktivitas jiwa.⁴ Walaupun berakar pada empirisme, Berkeley menambahkan dimensi teologis: bahwa pengalaman bukan hanya pertemuan antara manusia dan dunia, tetapi juga antara makhluk dengan Tuhan yang menjamin kontinuitas persepsi.⁵ Dalam pengertian ini, pengalaman tidak hanya menjadi sumber pengetahuan, tetapi juga menjadi sarana transendensi, tempat manusia menemukan makna eksistensialnya dalam keteraturan spiritual dunia.

David Hume kemudian membawa empirisme ke puncak refleksi kritisnya dengan menunjukkan bahwa pengetahuan manusia, sejauh bergantung pada pengalaman, selalu bersifat terbatas dan probabilistik.⁶ Namun, dari keterbatasan inilah muncul kebijaksanaan empiris: kesadaran bahwa kepastian absolut tidak mungkin dicapai, dan bahwa manusia harus hidup dengan skeptisisme yang bijak — menerima dunia sebagaimana adanya, tanpa menuntut fondasi metafisis yang mutlak.⁷ Hume mengajarkan bahwa keotentikan manusia tidak terletak pada kepastian rasional, melainkan pada kejujuran terhadap pengalaman yang dihayati.

Dari ketiga tokoh tersebut, lahirlah inti sintesis filosofis Empirisme Modern: bahwa pengalaman merupakan titik temu antara pengetahuan dan eksistensi. Empirisme mengajarkan bahwa manusia tidak hanya mengetahui melalui pengalaman, tetapi juga menjadi melalui pengalaman.⁸ Dalam pengertian ini, empirisme tidak dapat dipisahkan dari filsafat kehidupan (philosophy of life), sebab ia menekankan keterlibatan manusia yang konkret dengan dunia empiris — dunia yang menantang, berubah, dan menuntut interpretasi terus-menerus.

Dalam konteks kontemporer, sintesis empirisme ini menemukan relevansinya dalam humanisme ilmiah dan pragmatisme modern. Filsuf seperti William James dan John Dewey mengembangkan gagasan bahwa kebenaran tidak bersifat statis, melainkan selalu diuji melalui pengalaman dan konsekuensinya dalam kehidupan nyata.⁹ Kebenaran bukanlah sesuatu yang ditemukan di luar pengalaman manusia, melainkan sesuatu yang tercipta dalam proses interaksi antara manusia dan lingkungannya. James bahkan menulis bahwa “truth happens to an idea,” menegaskan bahwa kebenaran adalah peristiwa dinamis yang berakar pada pengalaman praktis.¹⁰

Sintesis empirisme juga dapat dipahami sebagai bentuk etika keotentikan. Dengan menolak dogmatisme dan membuka ruang bagi pengetahuan yang berbasis pengalaman, empirisme mengajarkan nilai-nilai seperti keterbukaan, kerendahan hati, dan keberanian untuk berubah.¹¹ Manusia yang empiris adalah manusia yang mau belajar dari dunia, bukan yang memaksakan dunia agar sesuai dengan ide-idenya. Dalam hal ini, empirisme sejalan dengan etos eksistensialisme: keotentikan tidak ditemukan dalam prinsip apriori, tetapi dalam keberanian untuk menghayati pengalaman secara langsung dan reflektif.¹²

Selain itu, sintesis empiris juga memberikan sumbangan besar bagi filsafat ilmu dan epistemologi kritis. Dengan mengakui peran aktif subjek dalam membentuk pengetahuan dari pengalaman, empirisme membuka jalan bagi filsafat Kantian dan kemudian fenomenologi, yang melihat kesadaran sebagai pusat makna.¹³ Artinya, meskipun empirisme klasik menekankan data inderawi, dalam sintesisnya ia melahirkan kesadaran baru bahwa pengetahuan selalu bersifat relasional: antara pengamat dan yang diamati, antara pengalaman dan interpretasi.

Oleh karena itu, sintesis filosofis Empirisme Modern dapat dirumuskan dalam tiga tesis utama. Pertama, pengalaman adalah dasar seluruh pengetahuan: tanpa pengalaman, tidak ada data bagi rasio untuk bekerja. Kedua, pengalaman membentuk identitas manusia, karena melalui pengalamanlah individu mengembangkan pemahaman diri dan dunia. Ketiga, pengalaman memiliki dimensi etis dan eksistensial, karena ia menuntut keterbukaan, refleksi, dan kejujuran terhadap kenyataan.¹⁴

Dengan demikian, Empirisme Modern tidak berhenti sebagai teori tentang asal-usul pengetahuan, tetapi berkembang menjadi pandangan filosofis yang utuh tentang manusia. Ia menegaskan bahwa keotentikan manusia tidak diperoleh dari ide-ide bawaan atau hukum metafisis, melainkan dari keterlibatan aktifnya dalam pengalaman hidup yang konkret. Dalam arti terdalam, empirisme bukan hanya epistemologi, melainkan juga filsafat kehadiran: keyakinan bahwa manusia menemukan makna, kebenaran, dan dirinya sendiri dalam pengalaman yang terus berlangsung.¹⁵


Footnotes

[1]                Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind: Understanding the Ideas That Have Shaped Our World View (New York: Ballantine Books, 1991), 244.

[2]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding (London: Thomas Basset, 1690), II.i.2.

[3]                Nicholas Jolley, Locke: His Philosophical Thought (Oxford: Oxford University Press, 1999), 102–104.

[4]                George Berkeley, A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge (Dublin: Jeremy Pepyat, 1710), §3–5.

[5]                Kenneth P. Winkler, Berkeley: An Interpretation (Oxford: Clarendon Press, 1989), 91–93.

[6]                David Hume, A Treatise of Human Nature (London: John Noon, 1739), I.iv.6.

[7]                Barry Stroud, Hume (London: Routledge, 1977), 97–99.

[8]                A. C. Grayling, The History of Philosophy (London: Penguin Books, 2019), 265–267.

[9]                John Dewey, Experience and Nature (Chicago: Open Court, 1925), 3–6.

[10]             William James, Pragmatism: A New Name for Some Old Ways of Thinking (New York: Longmans, Green & Co., 1907), 97.

[11]             Karl R. Popper, The Open Society and Its Enemies (London: Routledge, 1945), 123–125.

[12]             Jean-Paul Sartre, Existentialism Is a Humanism, trans. Carol Macomber (New Haven: Yale University Press, 2007), 42–44.

[13]             Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus Nijhoff, 1983), 54–58.

[14]             Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A92–B125.

[15]             Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans. Colin Smith (London: Routledge, 1962), 15–18.


11.       Kesimpulan

Empirisme Modern menandai salah satu tonggak paling penting dalam sejarah filsafat Barat, karena ia berhasil menggeser pusat pengetahuan dari rasio yang bersifat apriori menuju pengalaman yang konkret dan dapat diverifikasi. Dengan menegaskan bahwa seluruh pengetahuan manusia berasal dari pengalaman (a posteriori), aliran ini memunculkan revolusi epistemologis yang menjadi dasar bagi sains modern, psikologi, serta filsafat empiris kontemporer.¹ Dalam hal ini, Empirisme bukan sekadar metode pengetahuan, melainkan juga pandangan dunia (worldview) yang membentuk cara berpikir modern — menekankan observasi, eksperimentasi, dan pembuktian melalui data yang dapat diuji.

Secara historis, gagasan Empirisme Modern berakar pada pemikiran Francis Bacon, John Locke, George Berkeley, dan David Hume, yang secara berurutan memperluas dan memperdalam prinsip-prinsip dasar empirisme.² Bacon menekankan metode induktif dan observasi sistematis sebagai dasar sains baru, Locke memperkenalkan konsep tabula rasa yang menegaskan pengalaman sebagai sumber ide, Berkeley menolak realitas materi di luar persepsi, sementara Hume membawa empirisme ke batas skeptisisme epistemologis.³ Keempat tokoh ini membentuk kerangka epistemologis yang menegaskan bahwa pengetahuan bukanlah hasil rasio murni, melainkan produk interaksi aktif antara subjek dan dunia empiris yang dialaminya.

Secara epistemologis, empirisme mengajarkan bahwa validitas pengetahuan bergantung pada pengalaman inderawi yang dapat diuji dan diulang, bukan pada spekulasi metafisis.⁴ Prinsip ini melahirkan pandangan bahwa pengetahuan bersifat dinamis dan terbuka terhadap revisi berdasarkan pengalaman baru. Hal tersebut menjadi dasar bagi metode ilmiah modern yang terus berkembang melalui observasi dan eksperimentasi. Namun, keterbatasan empirisme juga tampak jelas: ia tidak mampu sepenuhnya menjelaskan struktur apriori dari kesadaran manusia dan peran ide-ide konseptual dalam mengorganisir pengalaman — suatu kelemahan yang kemudian dikoreksi oleh Immanuel Kant melalui sintesis transendentalnya.⁵

Dari sisi ontologis, empirisme telah mengubah pandangan manusia terhadap realitas. Dunia tidak lagi dipahami sebagai tatanan metafisis yang tetap, melainkan sebagai keseluruhan fenomena yang dialami melalui indera.⁶ Realitas menjadi sesuatu yang “dihadirkan” melalui pengalaman, bukan sesuatu yang berdiri otonom di luar kesadaran manusia. Dalam pandangan ini, empirisme memperkenalkan dimensi fenomenologis awal: bahwa yang nyata bagi manusia adalah apa yang dialaminya secara langsung. Dengan demikian, empirisme meletakkan dasar bagi filsafat modern tentang kesadaran dan persepsi, yang kemudian dikembangkan oleh fenomenologi dan hermeneutika kontemporer.⁷

Secara etis dan estetis, empirisme juga meninggalkan warisan yang kuat. Dalam etika, Hume menunjukkan bahwa moralitas tidak bersumber dari rasio, tetapi dari perasaan dan pengalaman emosional manusia.⁸ Pandangan ini menjadi akar bagi perkembangan etika sentimental dan teori moral naturalistik. Dalam estetika, empirisme menegaskan bahwa pengalaman keindahan bergantung pada persepsi dan kepekaan manusia, bukan pada bentuk ideal yang apriori.⁹ Melalui gagasan standard of taste Hume, estetika empiris memberikan ruang bagi subjektivitas yang terarah oleh kebiasaan dan pengalaman reflektif.

Secara historis dan konseptual, warisan empirisme terus hidup dalam positivisme, empirisme logis, pragmatisme, dan sains kognitif modern. Prinsip verifikasi empiris yang diperkenalkan dalam abad ke-20 menjadi pilar bagi analisis ilmiah dan bahasa logis, sementara tradisi pragmatisme — melalui William James dan John Dewey — mengembangkan aspek humanistik empirisme yang menilai kebenaran berdasarkan konsekuensi praktis dalam pengalaman hidup.¹⁰ Dalam konteks kontemporer, semangat empirisme bahkan tercermin dalam budaya digital dan era big data, di mana kebenaran dan keputusan publik sering kali didasarkan pada bukti empiris yang terukur.¹¹

Namun, relevansi empirisme hari ini bukan hanya terletak pada metodenya, melainkan pada etos filosofisnya. Empirisme mengajarkan nilai keterbukaan terhadap bukti, keberanian untuk mengoreksi kesalahan, dan kesadaran akan keterbatasan manusia dalam memahami dunia.¹² Dalam hal ini, empirisme menjadi dasar bagi sikap intelektual yang kritis, toleran, dan anti-dogmatis — suatu etika berpikir yang sangat dibutuhkan di era pasca-kebenaran (post-truth), ketika klaim tanpa dasar empiris sering mengancam rasionalitas publik.¹³

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Empirisme Modern tidak hanya membentuk sejarah ilmu pengetahuan, tetapi juga mengubah cara manusia memahami dirinya dan realitas di sekitarnya. Ia mengajarkan bahwa pengetahuan, moralitas, dan makna hidup manusia bersumber dari pengalaman nyata, bukan dari spekulasi atau dogma. Dari sinilah lahir kesadaran filosofis baru: bahwa manusia menjadi makhluk yang autentik justru ketika ia mau mengalami, mengamati, dan berefleksi atas dunia yang dihadapinya.¹⁴ Empirisme Modern, dalam arti terdalam, bukan hanya teori pengetahuan, tetapi filsafat kejujuran terhadap pengalaman, yang menjadikan pengalaman sebagai jembatan antara pengetahuan, kehidupan, dan keotentikan manusia.¹⁵


Footnotes

[1]                Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind: Understanding the Ideas That Have Shaped Our World View (New York: Ballantine Books, 1991), 241–243.

[2]                Francis Bacon, Novum Organum (London: W. Pickering, 1620), 47–48.

[3]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding (London: Thomas Basset, 1690), II.i.2; George Berkeley, A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge (Dublin: Jeremy Pepyat, 1710), §3–6; David Hume, A Treatise of Human Nature (London: John Noon, 1739), I.i.1.

[4]                A. J. Ayer, Language, Truth and Logic (London: Gollancz, 1936), 35–37.

[5]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A92–B125.

[6]                Nicholas Jolley, Locke: His Philosophical Thought (Oxford: Oxford University Press, 1999), 73–76.

[7]                Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus Nijhoff, 1983), 54–58.

[8]                David Hume, An Enquiry Concerning the Principles of Morals (London: A. Millar, 1751), §9.

[9]                David Hume, “Of the Standard of Taste,” in Essays, Moral, Political, and Literary (London: A. Millar, 1757), 234–236.

[10]             William James, Pragmatism: A New Name for Some Old Ways of Thinking (New York: Longmans, Green & Co., 1907), 30–33; John Dewey, Experience and Nature (Chicago: Open Court, 1925), 3–6.

[11]             Viktor Mayer-Schönberger and Kenneth Cukier, Big Data: A Revolution That Will Transform How We Live, Work, and Think (Boston: Houghton Mifflin Harcourt, 2013), 6–9.

[12]             Karl R. Popper, The Open Society and Its Enemies (London: Routledge, 1945), 123–125.

[13]             Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge, MA: MIT Press, 2018), 45–47.

[14]             John Dewey, Democracy and Education (New York: Macmillan, 1916), 38–40.

[15]             A. C. Grayling, The History of Philosophy (London: Penguin Books, 2019), 273–276.


Daftar Pustaka

Ayer, A. J. (1936). Language, truth and logic. London: Gollancz.

Bacon, F. (1620). Novum organum. London: W. Pickering.

Beardsley, M. C. (1981). Aesthetics: Problems in the philosophy of criticism. Indianapolis: Hackett.

Bentham, J. (1789). An introduction to the principles of morals and legislation. London: T. Payne.

Berkeley, G. (1710). A treatise concerning the principles of human knowledge. Dublin: Jeremy Pepyat.

Berkeley, G. (1732). Alciphron, or the minute philosopher. London: J. Tonson.

Blackburn, S. (2001). Being good: A short introduction to ethics. Oxford: Oxford University Press.

Carnap, R. (1967). The logical structure of the world. Chicago: Open Court.

Cohen, T. (1968). Hume’s standard of taste. The Philosophical Quarterly, 18(72), 55–57.

Dewey, J. (1916). Democracy and education. New York: Macmillan.

Dewey, J. (1925). Experience and nature. Chicago: Open Court.

Dewey, J. (1934). Art as experience. New York: Minton, Balch & Co.

Descartes, R. (1996). Meditations on first philosophy (J. Cottingham, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.

Dreyfus, H. L. (1991). Being-in-the-world: A commentary on Heidegger’s Being and Time. Cambridge, MA: MIT Press.

Floridi, L. (2011). The philosophy of information. Oxford: Oxford University Press.

Gibson, R. F. Jr. (1988). Quine and the empiricist heritage. New York: Garland.

Grayling, A. C. (2019). The history of philosophy. London: Penguin Books.

Hume, D. (1739). A treatise of human nature. London: John Noon.

Hume, D. (1748). An enquiry concerning human understanding. London: A. Millar.

Hume, D. (1751). An enquiry concerning the principles of morals. London: A. Millar.

Hume, D. (1757). Of the standard of taste. In Essays, moral, political, and literary (pp. 226–249). London: A. Millar.

Haack, S. (1998). Manifesto of a passionate moderate: Unfashionable essays. Chicago: University of Chicago Press.

Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). New York: Harper & Row.

Husserl, E. (1983). Ideas pertaining to a pure phenomenology and to a phenomenological philosophy (F. Kersten, Trans.). The Hague: Martinus Nijhoff.

James, W. (1907). Pragmatism: A new name for some old ways of thinking. New York: Longmans, Green & Co.

Jolley, N. (1999). Locke: His philosophical thought. Oxford: Oxford University Press.

Kahneman, D. (2011). Thinking, fast and slow. New York: Farrar, Straus and Giroux.

Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P. Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.

Kant, I. (1998). Groundwork of the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.

Kant, I. (1987). Critique of judgment (W. S. Pluhar, Trans.). Indianapolis: Hackett.

Kivy, P. (2003). The seventh sense: Francis Hutcheson and eighteenth-century British aesthetics. Oxford: Clarendon Press.

Kolb, D. (1984). Experiential learning: Experience as the source of learning and development. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall.

Kuhn, T. S. (1962). The structure of scientific revolutions. Chicago: University of Chicago Press.

Leibniz, G. W. (1996). New essays on human understanding (P. Remnant & J. Bennett, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.

Locke, J. (1690). An essay concerning human understanding. London: Thomas Basset.

MacIntyre, A. (1967). A short history of ethics. London: Routledge.

Mayer-Schönberger, V., & Cukier, K. (2013). Big data: A revolution that will transform how we live, work, and think. Boston: Houghton Mifflin Harcourt.

McIntyre, L. (2018). Post-truth. Cambridge, MA: MIT Press.

Merleau-Ponty, M. (1962). Phenomenology of perception (C. Smith, Trans.). London: Routledge.

Mill, J. S. (1863). Utilitarianism. London: Parker, Son, and Bourn.

Norton, D. F. (1982). David Hume: Common-sense moralist, sceptical metaphysician. Princeton: Princeton University Press.

Popper, K. R. (1945). The open society and its enemies. London: Routledge.

Popper, K. R. (1959). The logic of scientific discovery. London: Routledge.

Porter, R. (2000). Enlightenment: Britain and the creation of the modern world. London: Allen Lane.

Quine, W. V. O. (1951). Two dogmas of empiricism. The Philosophical Review, 60(1), 20–43.

Rorty, R. (1979). Philosophy and the mirror of nature. Princeton: Princeton University Press.

Ryle, G. (1949). The concept of mind. London: Hutchinson.

Sartre, J.-P. (2007). Existentialism is a humanism (C. Macomber, Trans.). New Haven: Yale University Press.

Schlick, M. (1985). General theory of knowledge (A. E. Blumberg, Trans.). Chicago: Open Court.

Singer, P. (1993). Practical ethics. Cambridge: Cambridge University Press.

Skinner, B. F. (1953). Science and human behavior. New York: Macmillan.

Stroud, B. (1977). Hume. London: Routledge.

Tarnas, R. (1991). The passion of the Western mind: Understanding the ideas that have shaped our world view. New York: Ballantine Books.

Thaler, R. H., & Sunstein, C. R. (2008). Nudge: Improving decisions about health, wealth, and happiness. New Haven: Yale University Press.

Urbach, P. (1987). Francis Bacon’s philosophy of science: An account and a reappraisal. La Salle, IL: Open Court.

Watson, J. B. (1924). Behaviorism. New York: W. W. Norton.

Weber, M. (1949). Methodology of social sciences (E. A. Shils & H. A. Finch, Trans.). New York: Free Press.

Williams, R. (1976). Keywords: A vocabulary of culture and society. London: Fontana.

Winkler, K. P. (1989). Berkeley: An interpretation. Oxford: Clarendon Press.

Wittgenstein, L. (1953). Philosophical investigations (G. E. M. Anscombe, Trans.). Oxford: Blackwell.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar