Agnostisisme
Batas Pengetahuan Manusia dan Ketidakpastian Metafisik
Alihkan ke: Aliran Metafisik dalam Filsafat.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif aliran Agnostisisme
sebagai salah satu pendekatan penting dalam filsafat metafisika dan
epistemologi modern. Agnostisisme berakar pada kesadaran akan keterbatasan
rasionalitas manusia dalam menjangkau realitas transenden seperti Tuhan, jiwa,
dan hakikat keberadaan. Melalui telaah historis, artikel ini menelusuri
asal-usul gagasan agnostik sejak skeptisisme Yunani, kritisisme Kantian, hingga
artikulasi ilmiahnya oleh Thomas Henry Huxley pada abad ke-19. Pembahasan
ontologis menunjukkan bahwa Agnostisisme menolak klaim positif maupun negatif
mengenai realitas metafisik, melainkan menegaskan suspensi ontologis
terhadap segala bentuk kepastian yang melampaui pengalaman empiris. Dalam
bidang epistemologi, ia berpijak pada prinsip epistemic humility—kerendahan
epistemologis yang mengakui batas rasio manusia—serta menolak dogmatisme dan
relativisme ekstrem.
Secara etis dan aksiologis, Agnostisisme
menumbuhkan nilai-nilai kejujuran intelektual, toleransi, dan tanggung jawab
moral terhadap kebenaran. Sementara itu, berbagai kritik dari teolog,
rasionalis, dan eksistensialis justru memperkaya dinamika reflektifnya. Dalam
konteks kontemporer, Agnostisisme tetap relevan sebagai paradigma berpikir
kritis di tengah pluralitas agama, kemajuan sains, dan era pascakebenaran. Ia
menawarkan sikap rasional yang terbuka terhadap misteri, serta menjadi jembatan
antara iman dan pengetahuan, antara keraguan dan pencarian makna. Melalui
sintesis filosofisnya, Agnostisisme menegaskan bahwa kebijaksanaan sejati tidak
terletak pada kepastian, melainkan pada keberanian untuk terus mencari
kebenaran di dalam ketidakpastian.
Kata Kunci: Agnostisisme,
Metafisika, Epistemologi, Skeptisisme, Kerendahan Epistemologis, Keterbatasan
Pengetahuan, Filsafat Modern.
PEMBAHASAN
Agnostisisme dalam Konteks Perdebatan Metafisika Barat
1.
Pendahuluan
Agnostisisme
merupakan salah satu aliran penting dalam cabang metafisika yang berakar pada
sikap epistemologis terhadap realitas transenden. Istilah agnostisisme
berasal dari bahasa Yunani a-gnostos, yang berarti “tidak
diketahui” atau “tidak dapat diketahui.”¹ Dalam konteks filsafat,
istilah ini digunakan untuk menyatakan posisi intelektual yang menolak untuk
mengklaim pengetahuan pasti mengenai keberadaan entitas metafisik seperti
Tuhan, jiwa, atau hakikat realitas tertinggi. Dengan demikian, Agnostisisme
bukanlah bentuk ateisme yang menolak keberadaan Tuhan, melainkan suatu posisi
epistemologis yang menegaskan keterbatasan akal budi manusia untuk menjangkau
hal-hal di luar pengalaman empiris.²
Latar belakang
kemunculan Agnostisisme tidak dapat dilepaskan dari perkembangan pemikiran
modern, khususnya sejak masa pencerahan (Aufklärung), ketika manusia mulai
menaruh kepercayaan tinggi pada kemampuan rasionalitas dan metode ilmiah.
Namun, di sisi lain, muncul pula kesadaran akan batas-batas rasio itu sendiri.³
Immanuel Kant, misalnya, menegaskan bahwa akal manusia hanya mampu mengetahui
fenomena—yakni realitas sebagaimana tampak bagi kita—sementara noumena,
atau realitas dalam dirinya sendiri, tetap tak terjangkau.⁴ Pandangan inilah
yang menjadi fondasi filosofis bagi Agnostisisme modern, yang kemudian
dikembangkan oleh tokoh seperti Thomas Henry Huxley pada abad ke-19. Huxley
memperkenalkan istilah agnostik untuk menggambarkan sikap
ilmiah yang menolak klaim metafisik tanpa bukti empiris yang memadai.⁵
Agnostisisme juga
dapat dipahami sebagai respons terhadap ketegangan antara teisme dan ateisme.
Di satu sisi, teisme mengandaikan kepastian tentang keberadaan Tuhan, sedangkan
ateisme menolak eksistensi Tuhan secara mutlak. Agnostisisme berada di antara
keduanya: ia tidak menegaskan maupun menyangkal, tetapi menunda penilaian
sampai bukti yang memadai ditemukan.⁶ Posisi ini memberikan ruang bagi refleksi
kritis dan kerendahan epistemik, sekaligus menantang sikap dogmatis baik dari
kalangan religius maupun sekuler.
Dalam konteks
metafisika, Agnostisisme bukan sekadar pandangan pasif yang menyatakan “tidak
tahu,” melainkan sebuah kesadaran filosofis tentang keterbatasan manusia
dalam memahami realitas yang melampaui pengalaman empiris.⁷ Ia menempatkan
manusia pada posisi yang rasional dan rendah hati terhadap misteri keberadaan,
sembari tetap mendorong penyelidikan kritis terhadap kemungkinan-kemungkinan
metafisik. Dengan demikian, Agnostisisme memiliki nilai filosofis yang penting:
ia menjaga keseimbangan antara skeptisisme dan dogmatisme, antara keingintahuan
dan kehati-hatian epistemik.⁸
Tujuan dari tulisan
ini adalah untuk menelaah secara sistematis hakikat Agnostisisme sebagai aliran
dalam metafisika, dengan meninjau dimensi historis, ontologis, epistemologis,
etis, serta relevansi kontemporernya. Melalui pendekatan historis-analitis dan
reflektif-kritis, pembahasan ini diharapkan dapat memperlihatkan bahwa
Agnostisisme bukan sekadar sikap keraguan, melainkan bentuk kebijaksanaan
filosofis yang mengakui batas pengetahuan manusia tanpa kehilangan semangat
pencarian kebenaran.⁹
Footnotes
[1]
Thomas H. Huxley, Agnosticism and Christianity and Other Essays
(London: Macmillan, 1899), 9.
[2]
Bertrand Russell, History of Western Philosophy (London:
Routledge, 1946), 652.
[3]
Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 6: Modern
Philosophy (New York: Doubleday, 1960), 43.
[4]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp
Smith (London: Macmillan, 1929), 112.
[5]
Thomas H. Huxley, Science and Christian Tradition (London: Macmillan,
1880), 19.
[6]
A. C. Grayling, The God Argument: The Case Against Religion and for
Humanism (London: Bloomsbury, 2013), 77.
[7]
David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding (Oxford:
Oxford University Press, 2007), 135.
[8]
Leszek Kołakowski, Religion: If There Is No God… (New York:
Oxford University Press, 1982), 21.
[9]
Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven: Yale University
Press, 1952), 54.
2.
Landasan Historis dan Genealogis Agnostisisme
Agnostisisme tidak
muncul secara tiba-tiba dalam sejarah pemikiran manusia, melainkan merupakan
hasil dari perjalanan panjang refleksi filosofis mengenai batas-batas
pengetahuan manusia. Akar-akar gagasan agnostik dapat ditelusuri hingga zaman
Yunani Kuno, khususnya dalam tradisi skeptisisme yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh
seperti Pyrrho dari Elis dan Sextus Empiricus. Pyrrho mengajarkan bahwa manusia
tidak dapat mengetahui hakikat sejati dari segala sesuatu karena setiap
pengalaman selalu bersifat relatif dan subjektif.¹ Oleh karena itu, sikap
terbaik yang dapat diambil adalah epoché — yaitu penangguhan
penilaian (suspension
of judgment). Pemikiran ini menjadi cikal bakal sikap epistemologis
yang kemudian dikenal sebagai agnostik, yakni menahan diri dari
klaim pengetahuan absolut mengenai realitas yang melampaui pengalaman.²
Selanjutnya,
pengaruh besar datang dari filsafat Socrates, yang secara paradoksal mengklaim
bahwa “ia hanya tahu bahwa ia tidak tahu.”³ Pernyataan tersebut
mencerminkan kesadaran epistemologis tentang keterbatasan manusia dalam memahami
hakikat realitas dan Tuhan. Dalam kerangka inilah, embrio pemikiran agnostik
terbentuk: suatu bentuk kebijaksanaan yang lahir dari pengakuan akan
keterbatasan rasio manusia.
Pada masa modern,
gagasan agnostik mendapatkan bentuk sistematisnya melalui karya Immanuel Kant
(1724–1804). Dalam Critique of Pure Reason, Kant
membedakan antara dunia fenomena (das Phänomen), yaitu realitas
sebagaimana ditangkap oleh pengalaman manusia, dan dunia noumena (das Ding
an sich), yaitu realitas pada dirinya sendiri yang mustahil
dijangkau oleh rasio.⁴ Bagi Kant, semua upaya metafisika tradisional yang
berusaha membuktikan keberadaan Tuhan, kebebasan, atau keabadian jiwa berada di
luar batas legitimasi pengetahuan rasional.⁵ Dengan demikian, Kant menegaskan
suatu garis batas yang jelas antara apa yang bisa diketahui (knowledge)
dan apa yang hanya bisa diyakini (belief). Pandangan inilah yang
kelak mengilhami munculnya Agnostisisme modern.
Tokoh yang secara
eksplisit memperkenalkan istilah agnostik adalah Thomas Henry Huxley
(1825–1895), seorang biolog dan filsuf Inggris yang juga dikenal sebagai “bulldog
Darwin.”⁶ Dalam pidatonya pada tahun 1869 di hadapan Metaphysical
Society di London, Huxley menciptakan istilah agnosticism
untuk menegaskan sikap intelektual yang menolak klaim tentang pengetahuan
metafisik tanpa bukti empiris.⁷ Bagi Huxley, menjadi agnostik berarti menolak
dogmatisme baik dari pihak teologi maupun materialisme. Ia menyatakan bahwa “tidak
ada jalan untuk mengetahui apa pun tentang hal-hal yang tidak dapat diuji
melalui pengalaman.”⁸ Dengan demikian, Agnostisisme dalam konteks modern
merupakan perpanjangan dari rasionalisme kritis dan empirisme ilmiah yang
berupaya menjaga integritas antara kejujuran intelektual dan batas pengetahuan.
Di samping Huxley,
pengaruh Agnostisisme juga tampak dalam pemikiran David Hume (1711–1776), yang
menegaskan bahwa semua ide manusia berasal dari impresi indrawi.⁹ Hume menolak
validitas pengetahuan metafisik karena tidak ada pengalaman langsung yang dapat
membuktikan keberadaan Tuhan atau sebab pertama dari alam semesta.¹⁰ Kritik
Hume terhadap kausalitas dan konsep substansi menegaskan prinsip bahwa manusia
hanya dapat mengetahui hubungan fenomena yang tampak, bukan hakikat yang
tersembunyi di baliknya.¹¹
Dalam perkembangan
selanjutnya, Agnostisisme menjadi bagian dari arus besar pemikiran positivisme
dan empirisme logis pada abad ke-19 dan ke-20.¹² Auguste Comte, misalnya,
dengan Law of
Three Stages-nya, menyatakan bahwa umat manusia akhirnya akan
meninggalkan tahap teologis dan metafisik menuju tahap positif, di mana
pengetahuan hanya didasarkan pada fakta-fakta empiris yang dapat
diverifikasi.¹³ Meskipun Comte tidak menyebut dirinya agnostik, semangat epistemologisnya
sejalan dengan prinsip dasar Agnostisisme: pengetahuan yang sah hanyalah yang
teruji melalui pengalaman.
Dengan demikian,
secara genealogis, Agnostisisme merupakan hasil sintesis dari tiga arus
pemikiran besar: (1) skeptisisme Yunani yang menegaskan keterbatasan
pengetahuan, (2) kritisisme Kantian yang membatasi kemampuan rasio terhadap
dunia fenomenal, dan (3) empirisme-positivistik yang menolak segala klaim
metafisik tanpa dasar empiris.¹⁴ Arus-arus ini membentuk kerangka intelektual
yang menegaskan bahwa kebenaran metafisik bukanlah wilayah kepastian, melainkan
ranah ketidakpastian yang memerlukan kehati-hatian epistemologis. Dalam konteks
historisnya, Agnostisisme tidak hanya menjadi tantangan terhadap dogma
religius, tetapi juga sebagai refleksi mendalam atas kondisi manusia yang
selalu berada di antara pengetahuan dan misteri.¹⁵
Footnotes
[1]
Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism, trans. R. G. Bury
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1933), 1:3.
[2]
Richard Bett, Pyrrho, His Antecedents and His Legacy (New
York: Oxford University Press, 2000), 85.
[3]
Plato, Apology, in The Dialogues of Plato, trans.
Benjamin Jowett (Oxford: Clarendon Press, 1892), 21d.
[4]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp
Smith (London: Macmillan, 1929), 178–180.
[5]
Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 6: Modern
Philosophy (New York: Doubleday, 1960), 57.
[6]
Cyril Bibby, T. H. Huxley: Scientist, Humanist and Educator
(London: Watts & Co., 1959), 101.
[7]
Thomas H. Huxley, Agnosticism: A Symposium (London: Paul
Trench, 1889), 5.
[8]
Huxley, Science and Christian Tradition (London: Macmillan,
1880), 20.
[9]
David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding (Oxford:
Oxford University Press, 2007), 13.
[10]
Hume, Dialogues Concerning Natural Religion (London: Penguin,
1990), 45.
[11]
Bertrand Russell, History of Western Philosophy (London:
Routledge, 1946), 649.
[12]
A. J. Ayer, Language, Truth and Logic (London: Gollancz,
1936), 34.
[13]
Auguste Comte, Cours de Philosophie Positive, Vol. 1 (Paris:
Bachelier, 1830), 27.
[14]
Leszek Kołakowski, Religion: If There Is No God… (New York:
Oxford University Press, 1982), 32.
[15]
Paul Tillich, The Dynamics of Faith (New York: Harper &
Row, 1957), 15.
3.
Ontologi Agnostisisme
Secara ontologis,
Agnostisisme menempati posisi unik dalam spektrum metafisika antara dua kutub
ekstrem: teisme dan ateisme. Jika teisme meyakini adanya realitas transenden
yang absolut dan personal, sedangkan ateisme menolak eksistensi entitas semacam
itu, maka Agnostisisme menempati posisi tengah yang menolak memberikan afirmasi
maupun negasi tentang keberadaan realitas metafisik.¹ Bagi kaum agnostik,
pertanyaan tentang “apakah Tuhan ada” bukanlah masalah yang dapat
dijawab secara pasti, sebab realitas transenden—jika memang ada—berada di luar
jangkauan pengalaman manusia dan metode rasional.² Dengan demikian,
Agnostisisme bukanlah suatu ontologi positif, melainkan suatu suspensi
ontologis: penangguhan klaim mengenai hakikat dan eksistensi
realitas metafisik.
Dalam kerangka
metafisika klasik, ontologi berupaya menjawab pertanyaan tentang “apa yang
ada” (what is).
Namun bagi Agnostisisme, pertanyaan tersebut tidak dapat dijawab dengan kepastian
tanpa terlebih dahulu meninjau batas-batas epistemik manusia.³ Artinya, bagi
Agnostisisme, ontologi selalu bersifat turunan dari epistemologi: sebelum
menyatakan bahwa sesuatu “ada,” manusia harus terlebih dahulu memastikan
bahwa keberadaan itu dapat diketahui.⁴ Di sinilah perbedaan mendasar antara
Agnostisisme dengan realisme metafisik. Bila realisme menganggap bahwa dunia
dan Tuhan memiliki eksistensi objektif terlepas dari persepsi manusia, maka
Agnostisisme menyatakan bahwa semua klaim semacam itu bersifat spekulatif
karena tidak dapat diverifikasi.⁵
Immanuel Kant
memberikan fondasi bagi kerangka ontologis Agnostisisme melalui pembedaan
antara fenomena dan noumena.⁶ Fenomena adalah realitas sebagaimana tampak dalam
kesadaran manusia, sedangkan noumena adalah realitas dalam dirinya sendiri (thing-in-itself)
yang tidak dapat diakses oleh pengalaman. Dalam konteks ini, Tuhan, kebebasan,
dan keabadian jiwa adalah entitas noumenal—mereka mungkin ada, tetapi tidak
dapat dijadikan objek pengetahuan.⁷ Pandangan ini mengarahkan Agnostisisme pada
bentuk ontologi negatif, yaitu pengakuan akan kemungkinan keberadaan realitas
transenden tanpa klaim kepastian mengenai sifat atau esensinya.
Dari sisi lain,
Agnostisisme juga dapat dipahami sebagai ontologi keterbatasan (ontology
of finitude).⁸ Ia menegaskan bahwa realitas yang dapat dijangkau
manusia hanyalah dunia empiris, sementara segala sesuatu yang melampaui batas
itu tetap berada dalam wilayah misteri. Sikap ini tidak berarti menolak adanya
dimensi transenden, melainkan mengakui bahwa setiap wacana tentangnya bersifat
simbolik dan hipotetis.⁹ Dalam arti ini, Agnostisisme beroperasi sebagai
metafisika terbuka, bukan sebagai penolakan terhadap metafisika itu sendiri.
Pandangan ontologis
ini menghasilkan konsekuensi ganda. Pertama, ia mendorong kehati-hatian
filosofis terhadap setiap bentuk dogmatisme metafisik—baik religius maupun
materialistik.¹⁰ Kedua, ia menegaskan dimensi eksistensial manusia yang hidup
di tengah ketidakpastian ontologis. Agnostisisme, dengan demikian, menghadirkan
bentuk “ontologi kesadaran terbatas,” di mana manusia dipahami bukan
sebagai makhluk yang memiliki pengetahuan total tentang realitas, melainkan
sebagai pencari makna yang selalu berada dalam proses penyingkapan yang tak
pernah selesai.¹¹
Sebagai refleksi
akhir, ontologi Agnostisisme dapat dirangkum sebagai sikap terhadap keberadaan
yang bercorak apofatik—yaitu pendekatan yang
menegaskan realitas melalui pengakuan akan ketidaktahuan manusia terhadapnya.¹²
Dalam tradisi ini, Tuhan atau realitas tertinggi tidak didefinisikan secara
positif, melainkan didekati melalui kesadaran akan misterinya. Agnostisisme
dengan demikian tidak membatalkan metafisika, tetapi justru memurnikannya dari
klaim-klaim yang melampaui kemampuan manusia untuk mengetahui.¹³
Footnotes
[1]
Thomas H. Huxley, Agnosticism and Christianity and Other Essays
(London: Macmillan, 1899), 13.
[2]
Bertrand Russell, Why I Am Not a Christian (London: George
Allen & Unwin, 1957), 16.
[3]
Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 6: Modern
Philosophy (New York: Doubleday, 1960), 41.
[4]
Immanuel Kant, Prolegomena to Any Future Metaphysics, trans.
Paul Carus (Chicago: Open Court, 1902), 72.
[5]
A. J. Ayer, Language, Truth and Logic (London: Gollancz,
1936), 42.
[6]
Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp Smith
(London: Macmillan, 1929), 182–184.
[7]
Paul Guyer, Kant and the Claims of Knowledge (Cambridge:
Cambridge University Press, 1987), 195.
[8]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 212.
[9]
Leszek Kołakowski, Religion: If There Is No God… (New York:
Oxford University Press, 1982), 35.
[10]
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London:
Routledge, 1959), 50.
[11]
Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven: Yale University
Press, 1952), 60.
[12]
Vladimir Lossky, The Mystical Theology of the Eastern Church
(Cambridge: James Clarke, 1957), 31.
[13]
John Hick, An Interpretation of Religion: Human Responses to the
Transcendent (New Haven: Yale University Press, 1989), 92.
4.
Epistemologi Agnostisisme
Epistemologi
Agnostisisme berangkat dari kesadaran fundamental akan keterbatasan kemampuan
manusia dalam mengetahui realitas metafisik. Bagi kaum agnostik, pengetahuan
manusia bersifat terbatas pada pengalaman empiris dan rasionalitas yang berakar
pada dunia fenomenal.¹ Segala sesuatu yang melampaui batas tersebut—seperti
Tuhan, jiwa, atau hakikat akhir realitas—tidak dapat diketahui dengan kepastian
karena tidak dapat diverifikasi secara empiris maupun dibuktikan secara logis.²
Dengan demikian, Agnostisisme bukanlah bentuk penolakan terhadap kebenaran
metafisik, melainkan pengakuan terhadap ketidakmampuan manusia untuk
mencapainya secara epistemologis.
Dasar epistemologis
Agnostisisme banyak dipengaruhi oleh filsafat kritisisme Immanuel Kant. Kant
membedakan antara pengetahuan tentang fenomena—realitas sebagaimana
tampak bagi manusia—dan noumena, realitas dalam dirinya
sendiri yang tidak dapat diketahui.³ Menurut Kant, akal budi manusia hanya
mampu menata pengalaman melalui kategori-kategori pemahaman (categories
of understanding), tetapi tidak dapat menembus batas pengalaman itu
untuk mengetahui realitas sejati di luar kesadaran.⁴ Oleh karena itu, setiap
klaim tentang Tuhan, kebebasan, atau keabadian jiwa bukanlah pengetahuan,
melainkan postulat
moral yang berfungsi praktis dalam kehidupan etis.⁵ Dari kerangka inilah lahir
prinsip epistemologis Agnostisisme: bahwa rasio memiliki batas, dan batas itu
adalah dunia pengalaman.
David Hume
sebelumnya telah memberikan fondasi empiris bagi posisi ini dengan menegaskan
bahwa semua ide manusia bersumber dari impresi-impresi indrawi.⁶ Ia menolak
setiap konsep yang tidak memiliki dasar pengalaman langsung. Dengan logika
tersebut, klaim tentang Tuhan, sebab pertama, atau substansi metafisik dianggap
tidak bermakna secara epistemologis karena tidak dapat diindera.⁷ Hume menulis
bahwa “kita tidak pernah dapat melampaui pengalaman; oleh sebab itu, semua
spekulasi metafisik hanyalah bayangan dari pikiran kita sendiri.”⁸
Pandangan ini memperkuat tesis bahwa pengetahuan manusia hanya terbatas pada
fakta-fakta empiris, bukan pada realitas metafisik yang tidak teramati.
Thomas Henry Huxley
kemudian mengartikulasikan prinsip tersebut dalam bahasa ilmiah modern.
Baginya, sikap agnostik berarti tidak menyatakan apa pun tanpa bukti yang
memadai.⁹ Pengetahuan yang sah hanya dapat diperoleh melalui observasi dan
eksperimen yang dapat diuji. Ia menolak baik klaim teologis maupun klaim
ateistik tentang Tuhan, karena keduanya melebihi kapasitas metode ilmiah.¹⁰
Dengan demikian, Agnostisisme memiliki afinitas kuat dengan semangat empirisme
dan sains modern, di mana kebenaran selalu bersifat tentatif dan terbuka
terhadap falsifikasi.
Secara
epistemologis, Agnostisisme menolak dua ekstrem: dogmatisme dan skeptisisme
absolut.¹¹ Dogmatisme berasumsi bahwa manusia dapat mengetahui kebenaran
metafisik secara pasti, sedangkan skeptisisme ekstrem mengingkari kemungkinan
pengetahuan sama sekali. Agnostisisme berada di antara keduanya: ia mengakui
kemungkinan adanya realitas transenden, namun menegaskan bahwa pengetahuan
tentangnya berada di luar jangkauan rasio manusia.¹² Posisi ini dapat disebut
sebagai skeptisisme
moderat atau epistemic humility—sikap kerendahan
epistemologis yang tetap kritis tanpa jatuh ke dalam relativisme.¹³
Selain itu,
Agnostisisme juga menegaskan bahwa setiap bentuk pengetahuan harus memiliki
dasar yang dapat diverifikasi secara intersubjektif.¹⁴ Dengan demikian,
kebenaran bukanlah sesuatu yang absolut, melainkan hasil dari konsensus rasional
berdasarkan bukti yang dapat diuji. Epistemologi Agnostisisme, dalam hal ini,
berfungsi sebagai mekanisme penyeimbang antara keinginan manusia untuk
mengetahui dan kesadaran akan keterbatasan dirinya.¹⁵
Dengan mengakui
batas pengetahuan, Agnostisisme tidak menutup jalan bagi spiritualitas atau
metafisika, tetapi menempatkannya dalam ranah keyakinan atau simbolisasi
eksistensial.¹⁶ Pengetahuan dan iman dipandang sebagai dua domain berbeda:
pengetahuan berurusan dengan yang dapat dibuktikan, sedangkan iman menyentuh
yang melampaui bukti. Kesadaran ini menjadi inti epistemologi
Agnostisisme—sebuah kerangka berpikir yang memadukan rasionalitas, kejujuran
intelektual, dan kerendahan hati epistemik dalam menghadapi misteri
keberadaan.¹⁷
Footnotes
[1]
Thomas H. Huxley, Agnosticism and Christianity and Other Essays
(London: Macmillan, 1899), 17.
[2]
Bertrand Russell, Human Knowledge: Its Scope and Limits
(London: Routledge, 1948), 26.
[3]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp
Smith (London: Macmillan, 1929), 112.
[4]
Paul Guyer, Kant and the Claims of Knowledge (Cambridge:
Cambridge University Press, 1987), 150.
[5]
Immanuel Kant, Critique of Practical Reason, trans. Mary
Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 132.
[6]
David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding (Oxford:
Oxford University Press, 2007), 12.
[7]
Hume, Dialogues Concerning Natural Religion (London: Penguin,
1990), 39.
[8]
Hume, Treatise of Human Nature, ed. L. A. Selby-Bigge (Oxford:
Clarendon Press, 1888), 125.
[9]
Huxley, Science and Christian Tradition (London: Macmillan,
1880), 20.
[10]
Cyril Bibby, T. H. Huxley: Scientist, Humanist and Educator
(London: Watts & Co., 1959), 104.
[11]
Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 6: Modern
Philosophy (New York: Doubleday, 1960), 45.
[12]
A. C. Grayling, The God Argument: The Case Against Religion and for
Humanism (London: Bloomsbury, 2013), 79.
[13]
Leszek Kołakowski, Religion: If There Is No God… (New York:
Oxford University Press, 1982), 42.
[14]
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London:
Routledge, 1959), 52.
[15]
Michael Polanyi, Personal Knowledge: Towards a Post-Critical
Philosophy (Chicago: University of Chicago Press, 1958), 45.
[16]
Paul Tillich, The Dynamics of Faith (New York: Harper &
Row, 1957), 30.
[17]
John Hick, Faith and Knowledge (Ithaca: Cornell University
Press, 1957), 88.
5.
Etika dan Aksiologi dalam Agnostisisme
Etika dan aksiologi
dalam Agnostisisme tidak dapat dilepaskan dari prinsip dasarnya, yaitu
pengakuan akan keterbatasan pengetahuan manusia. Dari kesadaran epistemologis
ini muncul suatu orientasi etis yang bercirikan kerendahan hati intelektual (intellectual
humility), kejujuran terhadap bukti, serta toleransi terhadap
perbedaan pandangan.¹ Agnostisisme menolak dogmatisme moral dan religius karena
setiap klaim kebenaran yang absolut dianggap melampaui kapasitas rasional
manusia.² Oleh karena itu, etika agnostik bukanlah sistem moral yang bersandar
pada wahyu atau otoritas transenden, melainkan etika reflektif yang berakar
pada kesadaran manusia terhadap keterbatasannya.
Bagi Thomas H.
Huxley, sikap agnostik memiliki implikasi moral yang sangat penting. Ia menulis
bahwa agnosticism
is not a creed, but a method, yakni sebuah metode yang menuntut
kejujuran dalam berpikir dan berbicara.³ Seseorang hanya boleh menyatakan
sesuatu sejauh ia memiliki bukti yang cukup untuk mendukungnya. Dengan
demikian, dalam ranah moral, Agnostisisme menolak klaim normatif yang tidak
dapat dibuktikan secara rasional atau empiris.⁴ Etika agnostik berpijak pada
integritas intelektual dan tanggung jawab terhadap kebenaran—suatu bentuk
moralitas epistemik yang menolak kebohongan intelektual (intellectual
dishonesty).⁵
Dari perspektif
aksiologis, Agnostisisme memandang nilai sebagai hasil konstruksi manusia yang
berakar pada pengalaman, nalar, dan interaksi sosial.⁶ Karena tidak ada jaminan
metafisik tentang nilai-nilai objektif, manusia harus membangun sistem etika
yang didasarkan pada empati, dialog, dan kesadaran bersama.⁷ Dalam hal ini,
Agnostisisme memiliki kedekatan dengan humanisme sekuler yang menempatkan
martabat dan kebebasan manusia sebagai sumber utama nilai moral.⁸ Nilai tidak
dilihat sebagai wahyu dari luar, tetapi sebagai produk refleksi kritis manusia
yang sadar akan keterbatasan dan tanggung jawabnya di hadapan sesama.
Agnostisisme juga
melahirkan etika toleransi. Dengan mengakui bahwa tidak ada manusia yang
memiliki pengetahuan mutlak tentang kebenaran metafisik, maka setiap klaim
religius atau ideologis harus diperlakukan dengan sikap terbuka dan kritis.⁹
Hal ini mendorong terciptanya masyarakat plural yang menghargai perbedaan
pandangan tanpa terjerumus dalam relativisme ekstrem. Sikap agnostik menuntut
keseimbangan antara kebebasan berpikir dan tanggung jawab moral terhadap orang
lain.¹⁰
Selain itu, dalam
konteks kehidupan kontemporer, Agnostisisme memiliki nilai aksiologis yang
relevan terhadap etika ilmiah. Ia mendorong para ilmuwan untuk tidak melampaui
batas bukti dan tetap terbuka terhadap koreksi serta revisi teori.¹¹ Prinsip epistemic
humility ini menjadi dasar bagi etika keilmuan modern yang menolak
klaim kepastian mutlak dalam sains. Di luar ranah ilmiah, Agnostisisme juga
berperan dalam membangun etika publik yang rasional, inklusif, dan berbasis
dialog antar keyakinan.¹²
Dengan demikian,
etika dan aksiologi Agnostisisme dapat diringkas dalam tiga prinsip utama: (1) kejujuran
intelektual—tidak menyatakan sesuatu tanpa dasar pengetahuan
yang sahih; (2) toleransi epistemologis—menghormati
pandangan lain karena kesadaran akan keterbatasan sendiri; dan (3) kebebasan
rasional—hak untuk berpikir dan mencari kebenaran tanpa tekanan
dogma.¹³ Nilai-nilai ini menjadikan Agnostisisme bukan sekadar posisi
metafisik, melainkan juga orientasi moral yang mendukung terbentuknya kehidupan
manusia yang kritis, rendah hati, dan terbuka terhadap misteri keberadaan.¹⁴
Footnotes
[1]
Thomas H. Huxley, Agnosticism and Christianity and Other Essays
(London: Macmillan, 1899), 23.
[2]
Bertrand Russell, Human Society in Ethics and Politics
(London: George Allen & Unwin, 1954), 11.
[3]
Huxley, Science and Christian Tradition (London: Macmillan,
1880), 25.
[4]
A. C. Grayling, The God Argument: The Case Against Religion and for
Humanism (London: Bloomsbury, 2013), 102.
[5]
Paul Kurtz, Forbidden Fruit: The Ethics of Humanism (Buffalo:
Prometheus Books, 1988), 17.
[6]
Leszek Kołakowski, Religion: If There Is No God… (New York:
Oxford University Press, 1982), 39.
[7]
Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action
(Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 120.
[8]
Julian Baggini, Atheism: A Very Short Introduction (Oxford:
Oxford University Press, 2003), 56.
[9]
John Hick, An Interpretation of Religion: Human Responses to the
Transcendent (New Haven: Yale University Press, 1989), 104.
[10]
Karl Popper, The Open Society and Its Enemies (Princeton:
Princeton University Press, 1966), 201.
[11]
Richard Feynman, The Meaning of It All: Thoughts of a
Citizen-Scientist (Cambridge, MA: Perseus Books, 1998), 42.
[12]
Martha C. Nussbaum, Liberty of Conscience: In Defense of America’s
Tradition of Religious Equality (New York: Basic Books, 2008), 89.
[13]
Paul Tillich, Morality and Beyond (New York: Harper & Row,
1963), 15.
[14]
Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern
Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 21.
6.
Kritik terhadap Agnostisisme
Meskipun
Agnostisisme memiliki posisi epistemologis yang moderat dan reflektif,
pandangan ini tidak luput dari berbagai kritik, baik dari kalangan teolog,
rasionalis, maupun eksistensialis. Kritik-kritik tersebut umumnya berfokus pada
implikasi logis, epistemologis, dan etis dari posisi agnostik yang dianggap
ambigu antara keyakinan dan ketidakpercayaan.¹
6.1.
Kritik Teologis: Ketidakpastian sebagai
Kekurangan Iman
Dari perspektif
teologis, Agnostisisme sering dipandang sebagai bentuk ketidakberpihakan yang
problematis. Teolog Kristen seperti Blaise Pascal dan C. S. Lewis berargumen
bahwa posisi “tidak tahu” terhadap Tuhan tidak netral, melainkan
menunjukkan penolakan implisit terhadap keterbukaan iman.² Dalam Pensées,
Pascal menulis bahwa ketidakpastian tentang Tuhan bukanlah alasan untuk menunda
keputusan eksistensial, sebab manusia selalu bertaruh antara percaya dan tidak
percaya.³ Sementara itu, Lewis menganggap bahwa Agnostisisme gagal memahami
dimensi personal Tuhan yang menuntut relasi, bukan sekadar bukti rasional.⁴
Dengan demikian, bagi teologi klasik, Agnostisisme dianggap menafikan aspek
keberanian iman yang melampaui bukti.
Selain itu, beberapa
pemikir teistik menilai bahwa Agnostisisme jatuh ke dalam bentuk skeptisisme
moral. Tanpa dasar metafisik yang kuat, nilai-nilai moral kehilangan landasan
objektifnya.⁵ Dalam pandangan ini, keraguan terhadap Tuhan berarti keraguan
terhadap sumber moralitas itu sendiri. Akibatnya, Agnostisisme dituduh membuka
jalan menuju relativisme etis di mana kebenaran moral hanya menjadi preferensi
subjektif.⁶
6.2.
Kritik Rasionalis: Inkonsistensi Logis dan
Epistemologis
Dari sisi
rasionalisme, Agnostisisme dikritik karena bersifat inkonsisten secara logis.
Filsuf seperti Bertrand Russell dan Karl Popper menyoroti paradoks bahwa
pernyataan “kita tidak dapat mengetahui” mengandung klaim pengetahuan
itu sendiri.⁷ Jika manusia benar-benar tidak dapat mengetahui apa pun tentang
realitas metafisik, maka pernyataan tersebut juga seharusnya tidak dapat
diketahui.⁸ Hal ini menimbulkan dilema refleksif yang melemahkan posisi
agnostik secara epistemologis.
Lebih jauh lagi,
kaum rasionalis menilai bahwa Agnostisisme gagal membedakan antara
ketidaktahuan sementara (temporary ignorance) dan
ketidaktahuan mutlak (permanent ignorance).⁹ Dalam sains,
ketidaktahuan dianggap sebagai motivasi untuk menyelidiki, bukan alasan untuk
menangguhkan penilaian selamanya.¹⁰ Dengan demikian, bagi rasionalisme modern,
sikap agnostik dianggap terlalu pasif karena tidak memberikan arah epistemologis
yang konstruktif terhadap pencarian kebenaran.
6.3.
Kritik Empirisme dan Positivisme Logis: Klaim
Non-Verifikasi
Ironisnya, beberapa
empirisis dan positivis logis juga mengkritik Agnostisisme atas dasar yang
mirip dengan kritik terhadap metafisika. Bagi A. J. Ayer, pernyataan “Tuhan
mungkin ada” tidak memiliki makna kognitif karena tidak dapat diverifikasi
melalui pengalaman.¹¹ Dengan demikian, Agnostisisme, yang masih membuka
kemungkinan eksistensi realitas transenden, tetap berada di luar wilayah pernyataan
bermakna.¹² Dalam kerangka verification principle, baik teisme
maupun agnostisisme dianggap sama-sama nonsensikal, karena berbicara tentang
sesuatu yang tidak dapat diuji secara empiris.¹³
6.4.
Kritik Eksistensialis: Kekosongan Makna dan
Keterputusan Diri
Filsuf
eksistensialis seperti Søren Kierkegaard dan Jean-Paul Sartre mengkritik
Agnostisisme karena dianggap meniadakan komitmen eksistensial manusia terhadap
kebenaran.¹⁴ Kierkegaard menilai bahwa iman bukanlah hasil pengetahuan, tetapi
tindakan keberanian yang melampaui rasio.¹⁵ Dengan menolak untuk berkomitmen,
kaum agnostik hidup dalam ambiguitas dan kehilangan makna eksistensial. Sartre
menambahkan bahwa Agnostisisme menunda tanggung jawab manusia untuk memilih dan
menentukan maknanya sendiri.¹⁶ Posisi “menunggu kepastian” justru menjadikan
manusia terasing dari kebebasannya.
6.5.
Kritik Humanistik dan Pragmatis: Kekurangan
Dimensi Tindakan
Dari perspektif
pragmatis, William James mengkritik Agnostisisme karena gagal memahami bahwa
keyakinan tidak selalu didasarkan pada bukti, melainkan pada kebutuhan praktis
manusia untuk bertindak.¹⁷ Dalam The Will to Believe, James
menegaskan bahwa dalam situasi di mana bukti tidak pasti, manusia tetap harus
membuat pilihan.¹⁸ Agnostisisme, dengan menunda keputusan sampai bukti datang,
justru mengabaikan aspek vital kehidupan manusia yang menuntut tindakan, bukan
sekadar pengetahuan.¹⁹ Dengan demikian, James menilai bahwa Agnostisisme
terlalu menekankan dimensi intelektual dan mengabaikan dimensi eksistensial dan
moral dari keberadaan manusia.²⁰
Secara keseluruhan,
kritik terhadap Agnostisisme berfokus pada dua hal utama: pertama, kelemahan
epistemologis, yaitu ketidakkonsistenan dalam klaim pengetahuan
tentang ketidaktahuan; dan kedua, kelemahan eksistensial, yaitu
kecenderungan untuk menghindari komitmen terhadap makna dan tindakan.²¹ Namun
demikian, justru dalam menerima kritik-kritik tersebut, Agnostisisme
memperlihatkan kekuatannya—yakni kemampuannya untuk merefleksikan diri dan
tetap terbuka terhadap koreksi.²² Ia tidak menuntut kepastian mutlak, tetapi
mengajarkan kesadaran epistemik yang berhati-hati dan rendah hati dalam
menghadapi misteri realitas.²³
Footnotes
[1]
Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 6: Modern
Philosophy (New York: Doubleday, 1960), 59.
[2]
Blaise Pascal, Pensées, trans. A. J. Krailsheimer (London:
Penguin, 1995), 233.
[3]
Ibid., 234.
[4]
C. S. Lewis, Mere Christianity (New York: HarperOne, 1952),
43.
[5]
Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory
(Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 53.
[6]
Paul Tillich, Morality and Beyond (New York: Harper & Row,
1963), 27.
[7]
Bertrand Russell, Human Knowledge: Its Scope and Limits
(London: Routledge, 1948), 36.
[8]
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London:
Routledge, 1959), 51.
[9]
W. T. Stace, A Critical History of Greek Philosophy (London:
Macmillan, 1920), 317.
[10]
Stephen Toulmin, The Uses of Argument (Cambridge: Cambridge
University Press, 1958), 22.
[11]
A. J. Ayer, Language, Truth and Logic (London: Gollancz,
1936), 114.
[12]
Ibid., 115.
[13]
Antony Flew, God and Philosophy (London: Hutchinson, 1966),
44.
[14]
Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Alastair Hannay
(London: Penguin, 1985), 49.
[15]
Ibid., 52.
[16]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E.
Barnes (New York: Washington Square Press, 1956), 212.
[17]
William James, The Will to Believe and Other Essays in Popular
Philosophy (New York: Longmans, Green, 1897), 11.
[18]
Ibid., 16.
[19]
John Dewey, Reconstruction in Philosophy (Boston: Beacon
Press, 1957), 95.
[20]
William James, Pragmatism: A New Name for Some Old Ways of Thinking
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1975), 75.
[21]
Leszek Kołakowski, Religion: If There Is No God… (New York:
Oxford University Press, 1982), 45.
[22]
A. C. Grayling, The God Argument: The Case Against Religion and for
Humanism (London: Bloomsbury, 2013), 113.
[23]
John Hick, Faith and Knowledge (Ithaca: Cornell University
Press, 1957), 92.
7.
Relevansi Kontemporer Agnostisisme
Dalam konteks dunia
kontemporer yang ditandai oleh pluralitas keyakinan, kemajuan sains, serta
pergeseran paradigma pengetahuan, Agnostisisme memperoleh relevansi baru
sebagai kerangka berpikir yang kritis dan terbuka terhadap kompleksitas
realitas modern. Agnostisisme tidak lagi hanya dipahami sebagai posisi metafisik
terhadap pertanyaan tentang Tuhan, melainkan juga sebagai sikap epistemologis
yang menekankan kesadaran akan keterbatasan manusia di tengah arus informasi
dan klaim kebenaran yang beragam.¹ Ia menjadi semacam etos intelektual yang
menuntut keseimbangan antara keingintahuan dan kehati-hatian dalam menghadapi
fenomena pengetahuan di era digital dan post-sekular.²
7.1.
Dalam Dialog antara Sains dan Agama
Agnostisisme
memiliki posisi strategis dalam menjembatani perdebatan antara sains dan agama.
Dalam situasi di mana ilmu pengetahuan semakin memperluas wilayah
penjelasannya, banyak persoalan teologis dan metafisik kini dihadapkan pada
tuntutan pembuktian rasional.³ Namun, Agnostisisme menegaskan bahwa baik sains
maupun agama memiliki batas epistemologisnya masing-masing: sains berbicara
tentang “bagaimana” realitas bekerja, sedangkan agama berusaha menjawab
“mengapa” realitas ada.⁴ Dengan menolak klaim kebenaran mutlak dari
kedua belah pihak, Agnostisisme membuka ruang dialog yang lebih rasional dan
toleran, di mana keyakinan tidak harus dihapuskan tetapi juga tidak boleh
mendominasi wacana publik.⁵
Tokoh-tokoh seperti
Carl Sagan dan Stephen Jay Gould, meskipun bukan agnostik secara formal,
menunjukkan semangat epistemik yang serupa ketika mereka membedakan antara
domain pengetahuan ilmiah dan makna eksistensial manusia.⁶ Sikap agnostik dalam
konteks ini bukanlah penyangkalan terhadap Tuhan, melainkan pengakuan bahwa
pengetahuan manusia tentang transendensi bersifat terbatas dan simbolik.⁷
7.2.
Dalam Filsafat Sains dan Etika Keilmuan
Agnostisisme juga
berperan penting dalam perkembangan filsafat sains modern. Dengan menegaskan
bahwa setiap teori ilmiah bersifat tentatif dan terbuka terhadap falsifikasi,
Agnostisisme beresonansi dengan falsifikasionisme Karl Popper yang menolak
kepastian absolut dalam ilmu pengetahuan.⁸ Prinsip “keraguan metodologis”
yang diusung Agnostisisme membantu menjaga sains dari bahaya dogmatisme
ilmiah—yaitu keyakinan bahwa ilmu pengetahuan telah mencapai kebenaran final.⁹
Dalam konteks ini, Agnostisisme dapat dianggap sebagai dasar etika keilmuan
yang menuntut keterbukaan, revisibilitas, dan kejujuran terhadap data.¹⁰
Lebih jauh lagi, di
era pascakebenaran (post-truth era), ketika informasi
bercampur dengan disinformasi, Agnostisisme menawarkan model berpikir yang
kritis dan berhati-hati. Ia mendorong masyarakat untuk membedakan antara
keyakinan, opini, dan pengetahuan berdasarkan tingkat evidensinya.¹¹ Dengan
demikian, Agnostisisme dapat berfungsi sebagai benteng intelektual terhadap
dogma ideologis dan penyalahgunaan klaim kebenaran ilmiah atau politik.¹²
7.3.
Dalam Pluralisme Agama dan Dialog Interkultural
Relevansi
Agnostisisme juga tampak dalam bidang teologi kontemporer dan filsafat agama.
Dalam masyarakat multikultural, klaim eksklusivitas kebenaran religius sering
menimbulkan konflik dan intoleransi. Agnostisisme, dengan penolakannya terhadap
kepastian metafisik mutlak, menciptakan ruang bagi sikap pluralistik yang
menghargai keberagaman pengalaman religius.¹³ John Hick, misalnya,
mengembangkan teologi pluralisme yang berakar pada prinsip agnostik terhadap
realitas ilahi yang “melampaui konseptualisasi manusia.”¹⁴ Dalam
kerangka ini, semua agama dilihat sebagai tanggapan simbolik terhadap satu
realitas transenden yang tak terjangkau sepenuhnya.¹⁵
Dengan demikian,
Agnostisisme berkontribusi terhadap terciptanya etika dialog antaragama yang
berbasis pada pengakuan keterbatasan epistemik. Ia tidak mendorong relativisme,
melainkan mendorong kesadaran bahwa perbedaan keyakinan tidak harus menjadi
sumber konflik, melainkan peluang untuk memperluas pemahaman tentang
keberadaan.¹⁶
7.4.
Dalam Konteks Digital dan Kecerdasan Buatan
Di era kecerdasan
buatan (AI) dan eksplorasi kosmos, Agnostisisme kembali memperoleh aktualitas
baru. Pertanyaan metafisik klasik seperti “apa itu kesadaran?” dan “apakah
mesin dapat berpikir?” menempatkan manusia pada batas pemahamannya
sendiri.¹⁷ Agnostisisme menegaskan bahwa tidak semua fenomena kesadaran atau
eksistensi dapat dijelaskan sepenuhnya melalui reduksionisme materialistik.¹⁸
Ia membuka kemungkinan adanya dimensi realitas yang tetap misterius meskipun
manusia terus memperluas kapasitas teknologinya. Dengan demikian, Agnostisisme
dapat dipandang sebagai philosophy of humility di tengah
ambisi teknologi yang semakin besar.¹⁹
Secara keseluruhan,
relevansi kontemporer Agnostisisme terletak pada kemampuannya untuk menawarkan
paradigma berpikir yang kritis, moderat, dan terbuka di tengah dunia yang sarat
ketegangan antara sains dan agama, fakta dan opini, keimanan dan skeptisisme.²⁰
Ia bukan sekadar posisi metafisik, melainkan cara berpikir dan hidup yang
menegaskan keseimbangan antara rasionalitas dan kesadaran akan misteri.²¹ Dalam
dunia modern yang semakin kompleks dan terfragmentasi, Agnostisisme mengajarkan
nilai epistemik yang amat berharga: bahwa kebijaksanaan sejati tidak lahir dari
kepastian, tetapi dari kesediaan untuk terus mencari di dalam ketidakpastian.²²
Footnotes
[1]
A. C. Grayling, The God Argument: The Case Against Religion and for
Humanism (London: Bloomsbury, 2013), 128.
[2]
Leszek Kołakowski, Religion: If There Is No God… (New York:
Oxford University Press, 1982), 49.
[3]
Ian Barbour, When Science Meets Religion (San Francisco:
HarperSanFrancisco, 2000), 12.
[4]
Stephen Jay Gould, Rocks of Ages: Science and Religion in the
Fullness of Life (New York: Ballantine Books, 1999), 4.
[5]
John Polkinghorne, Belief in God in an Age of Science (New
Haven: Yale University Press, 1998), 18.
[6]
Carl Sagan, The Demon-Haunted World: Science as a Candle in the
Dark (New York: Random House, 1995), 25.
[7]
John F. Haught, Science and Faith: A New Introduction (Mahwah,
NJ: Paulist Press, 2012), 61.
[8]
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London:
Routledge, 1959), 48.
[9]
Thomas Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago:
University of Chicago Press, 1962), 77.
[10]
Paul Feyerabend, Against Method (London: Verso, 1975), 29.
[11]
Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge, MA: MIT Press, 2018), 63.
[12]
Hannah Arendt, Truth and Politics (New York: Penguin, 1972),
45.
[13]
Paul Knitter, Introducing Theologies of Religions (Maryknoll,
NY: Orbis Books, 2002), 112.
[14]
John Hick, An Interpretation of Religion: Human Responses to the
Transcendent (New Haven: Yale University Press, 1989), 247.
[15]
Ibid., 250.
[16]
Raimon Panikkar, The Intra-Religious Dialogue (New York:
Paulist Press, 1999), 98.
[17]
Nick Bostrom, Superintelligence: Paths, Dangers, Strategies
(Oxford: Oxford University Press, 2014), 14.
[18]
David Chalmers, The Conscious Mind: In Search of a Fundamental
Theory (New York: Oxford University Press, 1996), 109.
[19]
Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford
University Press, 2013), 82.
[20]
Richard Dawkins, The God Delusion (London: Bantam Press,
2006), 35.
[21]
Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 2007), 541.
[22]
Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven: Yale University
Press, 1952), 68.
8.
Sintesis Filosofis
Agnostisisme, dalam
dimensi filosofisnya yang paling mendalam, tidak dapat dipahami hanya sebagai
posisi epistemologis yang menolak klaim kepastian metafisik. Ia merupakan
sebuah ethos
intelektual yang berupaya memadukan dua kutub yang sering kali
berlawanan dalam sejarah pemikiran: keinginan akan kepastian dan kesadaran akan
keterbatasan.¹ Sebagai suatu sikap filosofis, Agnostisisme menegaskan bahwa
kebijaksanaan sejati bukanlah hasil dari kepastian dogmatis, melainkan dari
kemampuan untuk hidup dalam ketegangan antara pengetahuan dan ketidaktahuan.²
8.1.
Dialektika antara Pengetahuan dan Ketidaktahuan
Dalam sintesis
filsafat Agnostisisme, pengetahuan dan ketidaktahuan tidak dipahami sebagai dua
hal yang saling meniadakan, melainkan sebagai dua dimensi yang saling
melengkapi dalam dinamika pencarian kebenaran.³ Seperti diisyaratkan oleh
Socrates—yang mengaku “tahu bahwa ia tidak tahu”—kesadaran akan
ketidaktahuan merupakan awal dari pengetahuan sejati.⁴ Agnostisisme
menghidupkan kembali semangat Socratic ini dalam konteks modern, menolak baik
absolutisme metafisik maupun relativisme nihilistik. Dengan menegaskan batas
pengetahuan manusia, ia justru membuka ruang bagi refleksi yang lebih mendalam
tentang makna eksistensi dan misteri keberadaan.⁵
Immanuel Kant
memberikan dasar konseptual bagi dialektika ini dengan membedakan antara dunia
fenomenal dan noumenal.⁶ Manusia dapat memahami struktur dunia sebagaimana
tampak, namun tidak pernah mencapai hakikatnya yang sejati. Kesadaran akan
keterbatasan inilah yang menjadi inti epistemologi agnostik. Namun, di balik
batas pengetahuan tersebut, Kant juga membuka kemungkinan iman rasional (Vernunftglaube),
yakni keyakinan yang tidak meniadakan rasio tetapi melampauinya dalam ranah
moral dan praktis.⁷ Dalam kerangka ini, Agnostisisme dapat dipahami bukan
sebagai bentuk penolakan terhadap iman, melainkan sebagai penjagaan rasional
terhadap integritas iman itu sendiri.⁸
8.2.
Rekonsiliasi antara Skeptisisme dan Keimanan
Sintesis
Agnostisisme terletak pada kemampuannya merekonsiliasi skeptisisme dengan
kemungkinan iman yang reflektif. Skeptisisme ekstrem, seperti dalam tradisi
Pyrrhonisme, menangguhkan semua penilaian sehingga mengarah pada stagnasi
intelektual.⁹ Sebaliknya, dogmatisme teologis menutup pintu dialog dan refleksi
dengan mengklaim kepastian mutlak. Agnostisisme bergerak di antara keduanya: ia
mempertahankan semangat kritis skeptisisme tanpa kehilangan arah menuju makna
eksistensial yang menjadi domain iman.¹⁰
Dengan demikian,
Agnostisisme berperan sebagai jembatan antara rasionalitas dan spiritualitas.
Ia tidak menolak keyakinan religius, tetapi menempatkannya dalam kerangka
kesadaran epistemik: bahwa iman bukanlah hasil pengetahuan empiris, melainkan
keputusan eksistensial yang melampaui bukti.¹¹ Dalam hal ini, Agnostisisme
sejalan dengan pandangan Søren Kierkegaard bahwa “iman adalah lompatan,” tetapi
menambahkan bahwa lompatan itu harus didahului oleh kesadaran penuh atas
batas-batas rasio.¹²
8.3.
Agnostisisme sebagai Etika Intelektual
Pada tataran
praksis, Agnostisisme berfungsi sebagai etika intelektual yang mendorong
kejujuran, keterbukaan, dan kesediaan untuk merevisi keyakinan berdasarkan
bukti baru.¹³ Ia menolak baik fanatisme religius maupun keangkuhan saintifik,
sebab keduanya berakar pada klaim kepastian yang menutup kemungkinan dialog.
Dalam dunia yang ditandai oleh epistemic crisis—banjir informasi,
bias kognitif, dan polarisasi ideologis—etika agnostik menawarkan paradigma
keseimbangan: berpikir secara kritis tanpa kehilangan kerendahan hati
epistemologis.¹⁴
Dalam pengertian
aksiologis, Agnostisisme juga memiliki nilai eksistensial: ia mengajarkan
manusia untuk hidup dalam keterbatasan tanpa kehilangan makna. Seperti
dikatakan Paul Tillich, keberanian sejati bukanlah memiliki kepastian, tetapi
tetap berani mencari kebenaran di tengah ketidakpastian.¹⁵ Dengan demikian,
Agnostisisme menjadi sumber kebijaksanaan modern yang mengajarkan manusia untuk
menyadari bahwa ketidakpastian bukanlah kelemahan, melainkan kondisi hakiki
keberadaannya.¹⁶
8.4.
Menuju Ontologi Keterbukaan dan Misteri
Sintesis akhir dari
Agnostisisme adalah penegasan atas ontologi keterbukaan—pandangan
bahwa realitas selalu lebih besar daripada representasi manusia tentangnya.¹⁷
Agnostisisme tidak menutup kemungkinan adanya realitas transenden, tetapi juga
tidak memaksakan bentuk tertentu atasnya. Dalam kerangka ini, ia berfungsi
sebagai metafisika terbuka (open metaphysics), yang memberi
ruang bagi interpretasi, dialog, dan pengalaman spiritual yang plural.¹⁸
Dengan demikian,
Agnostisisme tidak hanya menjadi jalan tengah di antara teisme dan ateisme,
tetapi juga menjadi paradigma filosofis yang menegaskan bahwa pencarian makna
merupakan perjalanan tanpa akhir.¹⁹ Manusia, dengan segala keterbatasannya,
dipanggil untuk terus bertanya, menyelidiki, dan memperluas horizon
pemahamannya tentang realitas. Dalam makna terdalamnya, Agnostisisme bukanlah
bentuk penolakan terhadap kebenaran, melainkan perwujudan tertinggi dari cinta
terhadap kebenaran itu sendiri.²⁰
Footnotes
[1]
Leszek Kołakowski, Religion: If There Is No God… (New York:
Oxford University Press, 1982), 51.
[2]
Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven: Yale University
Press, 1952), 70.
[3]
W. T. Stace, A Critical History of Greek Philosophy (London:
Macmillan, 1920), 319.
[4]
Plato, Apology, in The Dialogues of Plato, trans.
Benjamin Jowett (Oxford: Clarendon Press, 1892), 21d.
[5]
Bertrand Russell, History of Western Philosophy (London:
Routledge, 1946), 652.
[6]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp
Smith (London: Macmillan, 1929), 183.
[7]
Kant, Critique of Practical Reason, trans. Mary Gregor
(Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 140.
[8]
Paul Guyer, Kant and the Claims of Knowledge (Cambridge:
Cambridge University Press, 1987), 198.
[9]
Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism, trans. R. G. Bury
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1933), 1:4.
[10]
A. C. Grayling, The God Argument: The Case Against Religion and for
Humanism (London: Bloomsbury, 2013), 109.
[11]
John Hick, Faith and Knowledge (Ithaca: Cornell University
Press, 1957), 92.
[12]
Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Alastair Hannay
(London: Penguin, 1985), 56.
[13]
Thomas H. Huxley, Science and Christian Tradition (London:
Macmillan, 1880), 27.
[14]
Karl Popper, The Open Society and Its Enemies (Princeton:
Princeton University Press, 1966), 203.
[15]
Paul Tillich, Morality and Beyond (New York: Harper & Row,
1963), 29.
[16]
Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 2007), 543.
[17]
John Hick, An Interpretation of Religion: Human Responses to the
Transcendent (New Haven: Yale University Press, 1989), 252.
[18]
Raimon Panikkar, The Intra-Religious Dialogue (New York:
Paulist Press, 1999), 100.
[19]
Julian Baggini, Atheism: A Very Short Introduction (Oxford:
Oxford University Press, 2003), 58.
[20]
Leszek Kołakowski, If There Is No God: On God, the Devil, Sin, and
Other Worries of the So-Called Philosophy of Religion (New York: St.
Augustine’s Press, 2001), 63.
9.
Kesimpulan
Agnostisisme,
sebagai aliran dalam metafisika dan epistemologi modern, tidak sekadar
menyatakan “tidak tahu,” melainkan membangun suatu kerangka berpikir yang
menegaskan batas rasionalitas manusia di hadapan misteri realitas. Ia berangkat
dari kesadaran kritis bahwa kemampuan manusia untuk mengetahui dibatasi oleh
pengalaman dan rasio, sementara realitas metafisik—seperti Tuhan, jiwa, dan
sebab pertama—tetap berada di luar jangkauan empiris.¹ Dalam hal ini,
Agnostisisme mengajarkan bahwa kebenaran tidak selalu harus ditolak ketika
tidak dapat dibuktikan, melainkan dihadapi dengan kerendahan hati epistemik dan
keterbukaan filosofis.²
Dari sisi historis,
Agnostisisme merupakan hasil sintesis panjang antara skeptisisme Yunani,
kritisisme Kantian, dan empirisme modern.³ Pyrrho dari Elis menanamkan benih
keraguan metodologis; Immanuel Kant menegaskan batas pengetahuan manusia
melalui pembedaan antara fenomena dan noumena; sedangkan Thomas H. Huxley
mengartikulasikan kesadaran epistemik itu ke dalam kerangka ilmiah modern.⁴
Maka, Agnostisisme tidak muncul sebagai bentuk skeptisisme destruktif,
melainkan sebagai refleksi historis yang matang atas keterbatasan dan potensi
akal budi manusia.
Secara ontologis,
Agnostisisme menolak memberikan afirmasi atau negasi terhadap realitas
metafisik.⁵ Ia tidak menolak keberadaan Tuhan, tetapi juga tidak mengklaim
pengetahuan tentang-Nya. Posisi ini melahirkan bentuk “ontologi keterbatasan,”
di mana manusia hanya dapat berbicara sejauh pengalaman dan pengetahuan
memungkinkan.⁶ Dengan demikian, Agnostisisme menghadirkan keseimbangan antara
kerendahan diri intelektual dan kejujuran rasional: manusia diakui sebagai
makhluk pencari yang tidak pernah selesai dalam upaya memahami misteri
keberadaan.⁷
Dalam ranah etika,
Agnostisisme menumbuhkan semangat kejujuran intelektual, toleransi terhadap
pandangan berbeda, serta penghargaan terhadap bukti dan rasionalitas.⁸ Ia
menolak dogmatisme moral dan religius karena menyadari bahwa klaim kebenaran
absolut sering kali menimbulkan eksklusi dan kekerasan simbolik.⁹ Etika
agnostik bersifat dialogis dan kritis—mendorong manusia untuk bertanggung jawab
atas pandangan yang dipegang tanpa meniadakan kemungkinan koreksi atau revisi.
Kritik-kritik
terhadap Agnostisisme, baik dari teologi, rasionalisme, maupun
eksistensialisme, memperlihatkan dinamika reflektif yang memperkaya
wacananya.ⁱ⁰ Justru dalam menghadapi kritik tersebut, Agnostisisme menegaskan
relevansinya: bahwa berpikir secara rasional tidak harus berarti menolak
misteri, dan beriman tidak harus berarti menolak keraguan.ⁱ¹ Dalam dunia modern
yang diwarnai ketegangan antara sains dan agama, absolutisme dan relativisme,
Agnostisisme menawarkan jalan tengah—sebuah posisi yang mengakui keterbatasan
pengetahuan manusia tanpa kehilangan semangat untuk mencari kebenaran.ⁱ²
Pada akhirnya,
Agnostisisme dapat dipahami sebagai filsafat keterbukaan (philosophy
of openness). Ia mengajarkan bahwa kebijaksanaan sejati lahir bukan
dari kepastian, melainkan dari kesediaan untuk terus belajar, bertanya, dan
berdialog dengan realitas yang selalu lebih luas dari jangkauan nalar.ⁱ³ Dalam
kesadaran ini, Agnostisisme bukanlah akhir dari pencarian kebenaran, melainkan
awal dari perjalanan intelektual yang sejati—sebuah ziarah rasional dan
eksistensial menuju pemahaman yang lebih dalam tentang diri, dunia, dan misteri
keberadaan.ⁱ⁴
Footnotes
[1]
Thomas H. Huxley, Agnosticism and Christianity and Other Essays
(London: Macmillan, 1899), 17.
[2]
Leszek Kołakowski, Religion: If There Is No God… (New York:
Oxford University Press, 1982), 52.
[3]
Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 6: Modern
Philosophy (New York: Doubleday, 1960), 43.
[4]
Bertrand Russell, History of Western Philosophy (London:
Routledge, 1946), 650–652.
[5]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp
Smith (London: Macmillan, 1929), 182.
[6]
Paul Guyer, Kant and the Claims of Knowledge (Cambridge:
Cambridge University Press, 1987), 197.
[7]
Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven: Yale University
Press, 1952), 69.
[8]
A. C. Grayling, The God Argument: The Case Against Religion and for
Humanism (London: Bloomsbury, 2013), 104.
[9]
Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action
(Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 118.
[10]
Blaise Pascal, Pensées, trans. A. J. Krailsheimer (London:
Penguin, 1995), 234.
[11]
Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Alastair Hannay
(London: Penguin, 1985), 51.
[12]
Karl Popper, The Open Society and Its Enemies (Princeton:
Princeton University Press, 1966), 205.
[13]
John Hick, An Interpretation of Religion: Human Responses to the
Transcendent (New Haven: Yale University Press, 1989), 256.
[14]
Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 2007), 545.
Daftar Pustaka
Ayer, A. J. (1936). Language, truth and logic. London: Gollancz.
Baggini, J. (2003). Atheism: A very short introduction. Oxford: Oxford
University Press.
Barbour, I. G. (2000). When science meets religion. San Francisco, CA: HarperSanFrancisco.
Bibby, C. (1959). T. H. Huxley: Scientist, humanist and educator. London:
Watts & Co.
Bostrom, N. (2014). Superintelligence: Paths, dangers, strategies. Oxford:
Oxford University Press.
Chalmers, D. J. (1996). The conscious mind: In search of a fundamental theory.
New York, NY: Oxford University Press.
Comte, A. (1830). Cours de philosophie positive (Vol. 1). Paris:
Bachelier.
Copleston, F. (1960). A history of philosophy, Vol. 6: Modern philosophy. New
York, NY: Doubleday.
Dawkins, R. (2006). The God delusion. London: Bantam Press.
Dewey, J. (1957). Reconstruction in philosophy. Boston, MA: Beacon Press.
Empiricus, S. (1933). Outlines of Pyrrhonism (R. G. Bury, Trans.). Cambridge,
MA: Harvard University Press.
Feyerabend, P. (1975). Against method. London: Verso.
Flew, A. (1966). God and philosophy. London: Hutchinson.
Floridi, L. (2013). The ethics of information. Oxford: Oxford University
Press.
Gould, S. J. (1999). Rocks of ages: Science and religion in the fullness of life.
New York, NY: Ballantine Books.
Grayling, A. C. (2013). The God argument: The case against religion and for
humanism. London: Bloomsbury.
Guyer, P. (1987). Kant and the claims of knowledge. Cambridge: Cambridge
University Press.
Habermas, J. (1990). Moral consciousness and communicative action. Cambridge,
MA: MIT Press.
Haught, J. F. (2012). Science and faith: A new introduction. Mahwah, NJ:
Paulist Press.
Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson,
Trans.). New York, NY: Harper & Row.
Hick, J. (1957). Faith and knowledge. Ithaca, NY: Cornell University
Press.
Hick, J. (1989). An interpretation of religion: Human responses to the
transcendent. New Haven, CT: Yale University Press.
Hume, D. (1888). A treatise of human nature (L. A. Selby-Bigge, Ed.).
Oxford: Clarendon Press.
Hume, D. (1990). Dialogues concerning natural religion. London: Penguin.
Hume, D. (2007). An enquiry concerning human understanding. Oxford:
Oxford University Press.
Huxley, T. H. (1880). Science and Christian tradition. London: Macmillan.
Huxley, T. H. (1889). Agnosticism: A symposium. London: Paul Trench.
Huxley, T. H. (1899). Agnosticism and Christianity and other essays. London:
Macmillan.
James, W. (1897). The will to believe and other essays in popular philosophy.
New York, NY: Longmans, Green.
James, W. (1975). Pragmatism: A new name for some old ways of thinking.
Cambridge, MA: Harvard University Press.
Kant, I. (1902). Prolegomena to any future metaphysics (P. Carus,
Trans.). Chicago, IL: Open Court.
Kant, I. (1929). Critique of pure reason (N. Kemp Smith, Trans.). London:
Macmillan.
Kant, I. (1997). Critique of practical reason (M. Gregor, Trans.).
Cambridge: Cambridge University Press.
Kierkegaard, S. (1985). Fear and trembling (A. Hannay, Trans.). London: Penguin.
Kołakowski, L. (1982). Religion: If there is no God… New York, NY: Oxford
University Press.
Kołakowski, L. (2001). If there is no God: On God, the devil, sin, and other
worries of the so-called philosophy of religion. New York, NY: St.
Augustine’s Press.
Knitter, P. (2002). Introducing theologies of religions. Maryknoll, NY:
Orbis Books.
Kuhn, T. S. (1962). The structure of scientific revolutions. Chicago, IL:
University of Chicago Press.
Kurtz, P. (1988). Forbidden fruit: The ethics of humanism. Buffalo, NY:
Prometheus Books.
Lewis, C. S. (1952). Mere Christianity. New York, NY: HarperOne.
Lossky, V. (1957). The mystical theology of the Eastern Church. Cambridge:
James Clarke.
MacIntyre, A. (1981). After virtue: A study in moral theory. Notre Dame, IN:
University of Notre Dame Press.
McIntyre, L. (2018). Post-truth. Cambridge, MA: MIT Press.
Nussbaum, M. C. (2008). Liberty of conscience: In defense of America’s tradition of
religious equality. New York, NY: Basic Books.
Panikkar, R. (1999). The intra-religious dialogue. New York, NY: Paulist
Press.
Pascal, B. (1995). Pensées (A. J. Krailsheimer, Trans.). London: Penguin.
Plato. (1892). The dialogues of Plato (B. Jowett, Trans.). Oxford:
Clarendon Press.
Polanyi, M. (1958). Personal knowledge: Towards a post-critical philosophy.
Chicago, IL: University of Chicago Press.
Polkinghorne, J. (1998). Belief in God in an age of science. New Haven, CT: Yale
University Press.
Popper, K. (1959). The logic of scientific discovery. London: Routledge.
Popper, K. (1966). The open society and its enemies. Princeton, NJ:
Princeton University Press.
Russell, B. (1946). History of Western philosophy. London: Routledge.
Russell, B. (1948). Human knowledge: Its scope and limits. London:
Routledge.
Russell, B. (1957). Why I am not a Christian. London: George Allen &
Unwin.
Sagan, C. (1995). The demon-haunted world: Science as a candle in the dark.
New York, NY: Random House.
Sartre, J.-P. (1956). Being and nothingness (H. E. Barnes, Trans.). New York,
NY: Washington Square Press.
Stace, W. T. (1920). A critical history of Greek philosophy. London:
Macmillan.
Taylor, C. (1989). Sources of the self: The making of the modern identity.
Cambridge, MA: Harvard University Press.
Taylor, C. (2007). A secular age. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Tillich, P. (1952). The courage to be. New Haven, CT: Yale University Press.
Tillich, P. (1963). Morality and beyond. New York, NY: Harper & Row.
Tillich, P. (1957). The dynamics of faith. New York, NY: Harper & Row.
Toulmin, S. (1958). The uses of argument. Cambridge: Cambridge University
Press.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar