Selasa, 02 Desember 2025

Agnostisisme: Batas Pengetahuan Manusia dan Ketidakpastian Metafisik

Agnostisisme

Batas Pengetahuan Manusia dan Ketidakpastian Metafisik


Alihkan ke: Aliran Metafisik dalam Filsafat.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif aliran Agnostisisme sebagai salah satu pendekatan penting dalam filsafat metafisika dan epistemologi modern. Agnostisisme berakar pada kesadaran akan keterbatasan rasionalitas manusia dalam menjangkau realitas transenden seperti Tuhan, jiwa, dan hakikat keberadaan. Melalui telaah historis, artikel ini menelusuri asal-usul gagasan agnostik sejak skeptisisme Yunani, kritisisme Kantian, hingga artikulasi ilmiahnya oleh Thomas Henry Huxley pada abad ke-19. Pembahasan ontologis menunjukkan bahwa Agnostisisme menolak klaim positif maupun negatif mengenai realitas metafisik, melainkan menegaskan suspensi ontologis terhadap segala bentuk kepastian yang melampaui pengalaman empiris. Dalam bidang epistemologi, ia berpijak pada prinsip epistemic humility—kerendahan epistemologis yang mengakui batas rasio manusia—serta menolak dogmatisme dan relativisme ekstrem.

Secara etis dan aksiologis, Agnostisisme menumbuhkan nilai-nilai kejujuran intelektual, toleransi, dan tanggung jawab moral terhadap kebenaran. Sementara itu, berbagai kritik dari teolog, rasionalis, dan eksistensialis justru memperkaya dinamika reflektifnya. Dalam konteks kontemporer, Agnostisisme tetap relevan sebagai paradigma berpikir kritis di tengah pluralitas agama, kemajuan sains, dan era pascakebenaran. Ia menawarkan sikap rasional yang terbuka terhadap misteri, serta menjadi jembatan antara iman dan pengetahuan, antara keraguan dan pencarian makna. Melalui sintesis filosofisnya, Agnostisisme menegaskan bahwa kebijaksanaan sejati tidak terletak pada kepastian, melainkan pada keberanian untuk terus mencari kebenaran di dalam ketidakpastian.

Kata Kunci: Agnostisisme, Metafisika, Epistemologi, Skeptisisme, Kerendahan Epistemologis, Keterbatasan Pengetahuan, Filsafat Modern.


PEMBAHASAN

Agnostisisme dalam Konteks Perdebatan Metafisika Barat


1.           Pendahuluan

Agnostisisme merupakan salah satu aliran penting dalam cabang metafisika yang berakar pada sikap epistemologis terhadap realitas transenden. Istilah agnostisisme berasal dari bahasa Yunani a-gnostos, yang berarti “tidak diketahui” atau “tidak dapat diketahui.”¹ Dalam konteks filsafat, istilah ini digunakan untuk menyatakan posisi intelektual yang menolak untuk mengklaim pengetahuan pasti mengenai keberadaan entitas metafisik seperti Tuhan, jiwa, atau hakikat realitas tertinggi. Dengan demikian, Agnostisisme bukanlah bentuk ateisme yang menolak keberadaan Tuhan, melainkan suatu posisi epistemologis yang menegaskan keterbatasan akal budi manusia untuk menjangkau hal-hal di luar pengalaman empiris.²

Latar belakang kemunculan Agnostisisme tidak dapat dilepaskan dari perkembangan pemikiran modern, khususnya sejak masa pencerahan (Aufklärung), ketika manusia mulai menaruh kepercayaan tinggi pada kemampuan rasionalitas dan metode ilmiah. Namun, di sisi lain, muncul pula kesadaran akan batas-batas rasio itu sendiri.³ Immanuel Kant, misalnya, menegaskan bahwa akal manusia hanya mampu mengetahui fenomena—yakni realitas sebagaimana tampak bagi kita—sementara noumena, atau realitas dalam dirinya sendiri, tetap tak terjangkau.⁴ Pandangan inilah yang menjadi fondasi filosofis bagi Agnostisisme modern, yang kemudian dikembangkan oleh tokoh seperti Thomas Henry Huxley pada abad ke-19. Huxley memperkenalkan istilah agnostik untuk menggambarkan sikap ilmiah yang menolak klaim metafisik tanpa bukti empiris yang memadai.⁵

Agnostisisme juga dapat dipahami sebagai respons terhadap ketegangan antara teisme dan ateisme. Di satu sisi, teisme mengandaikan kepastian tentang keberadaan Tuhan, sedangkan ateisme menolak eksistensi Tuhan secara mutlak. Agnostisisme berada di antara keduanya: ia tidak menegaskan maupun menyangkal, tetapi menunda penilaian sampai bukti yang memadai ditemukan.⁶ Posisi ini memberikan ruang bagi refleksi kritis dan kerendahan epistemik, sekaligus menantang sikap dogmatis baik dari kalangan religius maupun sekuler.

Dalam konteks metafisika, Agnostisisme bukan sekadar pandangan pasif yang menyatakan “tidak tahu,” melainkan sebuah kesadaran filosofis tentang keterbatasan manusia dalam memahami realitas yang melampaui pengalaman empiris.⁷ Ia menempatkan manusia pada posisi yang rasional dan rendah hati terhadap misteri keberadaan, sembari tetap mendorong penyelidikan kritis terhadap kemungkinan-kemungkinan metafisik. Dengan demikian, Agnostisisme memiliki nilai filosofis yang penting: ia menjaga keseimbangan antara skeptisisme dan dogmatisme, antara keingintahuan dan kehati-hatian epistemik.⁸

Tujuan dari tulisan ini adalah untuk menelaah secara sistematis hakikat Agnostisisme sebagai aliran dalam metafisika, dengan meninjau dimensi historis, ontologis, epistemologis, etis, serta relevansi kontemporernya. Melalui pendekatan historis-analitis dan reflektif-kritis, pembahasan ini diharapkan dapat memperlihatkan bahwa Agnostisisme bukan sekadar sikap keraguan, melainkan bentuk kebijaksanaan filosofis yang mengakui batas pengetahuan manusia tanpa kehilangan semangat pencarian kebenaran.⁹


Footnotes

[1]                Thomas H. Huxley, Agnosticism and Christianity and Other Essays (London: Macmillan, 1899), 9.

[2]                Bertrand Russell, History of Western Philosophy (London: Routledge, 1946), 652.

[3]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 6: Modern Philosophy (New York: Doubleday, 1960), 43.

[4]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp Smith (London: Macmillan, 1929), 112.

[5]                Thomas H. Huxley, Science and Christian Tradition (London: Macmillan, 1880), 19.

[6]                A. C. Grayling, The God Argument: The Case Against Religion and for Humanism (London: Bloomsbury, 2013), 77.

[7]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding (Oxford: Oxford University Press, 2007), 135.

[8]                Leszek Kołakowski, Religion: If There Is No God… (New York: Oxford University Press, 1982), 21.

[9]                Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven: Yale University Press, 1952), 54.


2.           Landasan Historis dan Genealogis Agnostisisme

Agnostisisme tidak muncul secara tiba-tiba dalam sejarah pemikiran manusia, melainkan merupakan hasil dari perjalanan panjang refleksi filosofis mengenai batas-batas pengetahuan manusia. Akar-akar gagasan agnostik dapat ditelusuri hingga zaman Yunani Kuno, khususnya dalam tradisi skeptisisme yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh seperti Pyrrho dari Elis dan Sextus Empiricus. Pyrrho mengajarkan bahwa manusia tidak dapat mengetahui hakikat sejati dari segala sesuatu karena setiap pengalaman selalu bersifat relatif dan subjektif.¹ Oleh karena itu, sikap terbaik yang dapat diambil adalah epoché — yaitu penangguhan penilaian (suspension of judgment). Pemikiran ini menjadi cikal bakal sikap epistemologis yang kemudian dikenal sebagai agnostik, yakni menahan diri dari klaim pengetahuan absolut mengenai realitas yang melampaui pengalaman.²

Selanjutnya, pengaruh besar datang dari filsafat Socrates, yang secara paradoksal mengklaim bahwa “ia hanya tahu bahwa ia tidak tahu.”³ Pernyataan tersebut mencerminkan kesadaran epistemologis tentang keterbatasan manusia dalam memahami hakikat realitas dan Tuhan. Dalam kerangka inilah, embrio pemikiran agnostik terbentuk: suatu bentuk kebijaksanaan yang lahir dari pengakuan akan keterbatasan rasio manusia.

Pada masa modern, gagasan agnostik mendapatkan bentuk sistematisnya melalui karya Immanuel Kant (1724–1804). Dalam Critique of Pure Reason, Kant membedakan antara dunia fenomena (das Phänomen), yaitu realitas sebagaimana ditangkap oleh pengalaman manusia, dan dunia noumena (das Ding an sich), yaitu realitas pada dirinya sendiri yang mustahil dijangkau oleh rasio.⁴ Bagi Kant, semua upaya metafisika tradisional yang berusaha membuktikan keberadaan Tuhan, kebebasan, atau keabadian jiwa berada di luar batas legitimasi pengetahuan rasional.⁵ Dengan demikian, Kant menegaskan suatu garis batas yang jelas antara apa yang bisa diketahui (knowledge) dan apa yang hanya bisa diyakini (belief). Pandangan inilah yang kelak mengilhami munculnya Agnostisisme modern.

Tokoh yang secara eksplisit memperkenalkan istilah agnostik adalah Thomas Henry Huxley (1825–1895), seorang biolog dan filsuf Inggris yang juga dikenal sebagai “bulldog Darwin.”⁶ Dalam pidatonya pada tahun 1869 di hadapan Metaphysical Society di London, Huxley menciptakan istilah agnosticism untuk menegaskan sikap intelektual yang menolak klaim tentang pengetahuan metafisik tanpa bukti empiris.⁷ Bagi Huxley, menjadi agnostik berarti menolak dogmatisme baik dari pihak teologi maupun materialisme. Ia menyatakan bahwa “tidak ada jalan untuk mengetahui apa pun tentang hal-hal yang tidak dapat diuji melalui pengalaman.”⁸ Dengan demikian, Agnostisisme dalam konteks modern merupakan perpanjangan dari rasionalisme kritis dan empirisme ilmiah yang berupaya menjaga integritas antara kejujuran intelektual dan batas pengetahuan.

Di samping Huxley, pengaruh Agnostisisme juga tampak dalam pemikiran David Hume (1711–1776), yang menegaskan bahwa semua ide manusia berasal dari impresi indrawi.⁹ Hume menolak validitas pengetahuan metafisik karena tidak ada pengalaman langsung yang dapat membuktikan keberadaan Tuhan atau sebab pertama dari alam semesta.¹⁰ Kritik Hume terhadap kausalitas dan konsep substansi menegaskan prinsip bahwa manusia hanya dapat mengetahui hubungan fenomena yang tampak, bukan hakikat yang tersembunyi di baliknya.¹¹

Dalam perkembangan selanjutnya, Agnostisisme menjadi bagian dari arus besar pemikiran positivisme dan empirisme logis pada abad ke-19 dan ke-20.¹² Auguste Comte, misalnya, dengan Law of Three Stages-nya, menyatakan bahwa umat manusia akhirnya akan meninggalkan tahap teologis dan metafisik menuju tahap positif, di mana pengetahuan hanya didasarkan pada fakta-fakta empiris yang dapat diverifikasi.¹³ Meskipun Comte tidak menyebut dirinya agnostik, semangat epistemologisnya sejalan dengan prinsip dasar Agnostisisme: pengetahuan yang sah hanyalah yang teruji melalui pengalaman.

Dengan demikian, secara genealogis, Agnostisisme merupakan hasil sintesis dari tiga arus pemikiran besar: (1) skeptisisme Yunani yang menegaskan keterbatasan pengetahuan, (2) kritisisme Kantian yang membatasi kemampuan rasio terhadap dunia fenomenal, dan (3) empirisme-positivistik yang menolak segala klaim metafisik tanpa dasar empiris.¹⁴ Arus-arus ini membentuk kerangka intelektual yang menegaskan bahwa kebenaran metafisik bukanlah wilayah kepastian, melainkan ranah ketidakpastian yang memerlukan kehati-hatian epistemologis. Dalam konteks historisnya, Agnostisisme tidak hanya menjadi tantangan terhadap dogma religius, tetapi juga sebagai refleksi mendalam atas kondisi manusia yang selalu berada di antara pengetahuan dan misteri.¹⁵


Footnotes

[1]                Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism, trans. R. G. Bury (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1933), 1:3.

[2]                Richard Bett, Pyrrho, His Antecedents and His Legacy (New York: Oxford University Press, 2000), 85.

[3]                Plato, Apology, in The Dialogues of Plato, trans. Benjamin Jowett (Oxford: Clarendon Press, 1892), 21d.

[4]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp Smith (London: Macmillan, 1929), 178–180.

[5]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 6: Modern Philosophy (New York: Doubleday, 1960), 57.

[6]                Cyril Bibby, T. H. Huxley: Scientist, Humanist and Educator (London: Watts & Co., 1959), 101.

[7]                Thomas H. Huxley, Agnosticism: A Symposium (London: Paul Trench, 1889), 5.

[8]                Huxley, Science and Christian Tradition (London: Macmillan, 1880), 20.

[9]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding (Oxford: Oxford University Press, 2007), 13.

[10]             Hume, Dialogues Concerning Natural Religion (London: Penguin, 1990), 45.

[11]             Bertrand Russell, History of Western Philosophy (London: Routledge, 1946), 649.

[12]             A. J. Ayer, Language, Truth and Logic (London: Gollancz, 1936), 34.

[13]             Auguste Comte, Cours de Philosophie Positive, Vol. 1 (Paris: Bachelier, 1830), 27.

[14]             Leszek Kołakowski, Religion: If There Is No God… (New York: Oxford University Press, 1982), 32.

[15]             Paul Tillich, The Dynamics of Faith (New York: Harper & Row, 1957), 15.


3.           Ontologi Agnostisisme

Secara ontologis, Agnostisisme menempati posisi unik dalam spektrum metafisika antara dua kutub ekstrem: teisme dan ateisme. Jika teisme meyakini adanya realitas transenden yang absolut dan personal, sedangkan ateisme menolak eksistensi entitas semacam itu, maka Agnostisisme menempati posisi tengah yang menolak memberikan afirmasi maupun negasi tentang keberadaan realitas metafisik.¹ Bagi kaum agnostik, pertanyaan tentang “apakah Tuhan ada” bukanlah masalah yang dapat dijawab secara pasti, sebab realitas transenden—jika memang ada—berada di luar jangkauan pengalaman manusia dan metode rasional.² Dengan demikian, Agnostisisme bukanlah suatu ontologi positif, melainkan suatu suspensi ontologis: penangguhan klaim mengenai hakikat dan eksistensi realitas metafisik.

Dalam kerangka metafisika klasik, ontologi berupaya menjawab pertanyaan tentang “apa yang ada” (what is). Namun bagi Agnostisisme, pertanyaan tersebut tidak dapat dijawab dengan kepastian tanpa terlebih dahulu meninjau batas-batas epistemik manusia.³ Artinya, bagi Agnostisisme, ontologi selalu bersifat turunan dari epistemologi: sebelum menyatakan bahwa sesuatu “ada,” manusia harus terlebih dahulu memastikan bahwa keberadaan itu dapat diketahui.⁴ Di sinilah perbedaan mendasar antara Agnostisisme dengan realisme metafisik. Bila realisme menganggap bahwa dunia dan Tuhan memiliki eksistensi objektif terlepas dari persepsi manusia, maka Agnostisisme menyatakan bahwa semua klaim semacam itu bersifat spekulatif karena tidak dapat diverifikasi.⁵

Immanuel Kant memberikan fondasi bagi kerangka ontologis Agnostisisme melalui pembedaan antara fenomena dan noumena.⁶ Fenomena adalah realitas sebagaimana tampak dalam kesadaran manusia, sedangkan noumena adalah realitas dalam dirinya sendiri (thing-in-itself) yang tidak dapat diakses oleh pengalaman. Dalam konteks ini, Tuhan, kebebasan, dan keabadian jiwa adalah entitas noumenal—mereka mungkin ada, tetapi tidak dapat dijadikan objek pengetahuan.⁷ Pandangan ini mengarahkan Agnostisisme pada bentuk ontologi negatif, yaitu pengakuan akan kemungkinan keberadaan realitas transenden tanpa klaim kepastian mengenai sifat atau esensinya.

Dari sisi lain, Agnostisisme juga dapat dipahami sebagai ontologi keterbatasan (ontology of finitude).⁸ Ia menegaskan bahwa realitas yang dapat dijangkau manusia hanyalah dunia empiris, sementara segala sesuatu yang melampaui batas itu tetap berada dalam wilayah misteri. Sikap ini tidak berarti menolak adanya dimensi transenden, melainkan mengakui bahwa setiap wacana tentangnya bersifat simbolik dan hipotetis.⁹ Dalam arti ini, Agnostisisme beroperasi sebagai metafisika terbuka, bukan sebagai penolakan terhadap metafisika itu sendiri.

Pandangan ontologis ini menghasilkan konsekuensi ganda. Pertama, ia mendorong kehati-hatian filosofis terhadap setiap bentuk dogmatisme metafisik—baik religius maupun materialistik.¹⁰ Kedua, ia menegaskan dimensi eksistensial manusia yang hidup di tengah ketidakpastian ontologis. Agnostisisme, dengan demikian, menghadirkan bentuk “ontologi kesadaran terbatas,” di mana manusia dipahami bukan sebagai makhluk yang memiliki pengetahuan total tentang realitas, melainkan sebagai pencari makna yang selalu berada dalam proses penyingkapan yang tak pernah selesai.¹¹

Sebagai refleksi akhir, ontologi Agnostisisme dapat dirangkum sebagai sikap terhadap keberadaan yang bercorak apofatik—yaitu pendekatan yang menegaskan realitas melalui pengakuan akan ketidaktahuan manusia terhadapnya.¹² Dalam tradisi ini, Tuhan atau realitas tertinggi tidak didefinisikan secara positif, melainkan didekati melalui kesadaran akan misterinya. Agnostisisme dengan demikian tidak membatalkan metafisika, tetapi justru memurnikannya dari klaim-klaim yang melampaui kemampuan manusia untuk mengetahui.¹³


Footnotes

[1]                Thomas H. Huxley, Agnosticism and Christianity and Other Essays (London: Macmillan, 1899), 13.

[2]                Bertrand Russell, Why I Am Not a Christian (London: George Allen & Unwin, 1957), 16.

[3]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 6: Modern Philosophy (New York: Doubleday, 1960), 41.

[4]                Immanuel Kant, Prolegomena to Any Future Metaphysics, trans. Paul Carus (Chicago: Open Court, 1902), 72.

[5]                A. J. Ayer, Language, Truth and Logic (London: Gollancz, 1936), 42.

[6]                Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp Smith (London: Macmillan, 1929), 182–184.

[7]                Paul Guyer, Kant and the Claims of Knowledge (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 195.

[8]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 212.

[9]                Leszek Kołakowski, Religion: If There Is No God… (New York: Oxford University Press, 1982), 35.

[10]             Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 1959), 50.

[11]             Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven: Yale University Press, 1952), 60.

[12]             Vladimir Lossky, The Mystical Theology of the Eastern Church (Cambridge: James Clarke, 1957), 31.

[13]             John Hick, An Interpretation of Religion: Human Responses to the Transcendent (New Haven: Yale University Press, 1989), 92.


4.           Epistemologi Agnostisisme

Epistemologi Agnostisisme berangkat dari kesadaran fundamental akan keterbatasan kemampuan manusia dalam mengetahui realitas metafisik. Bagi kaum agnostik, pengetahuan manusia bersifat terbatas pada pengalaman empiris dan rasionalitas yang berakar pada dunia fenomenal.¹ Segala sesuatu yang melampaui batas tersebut—seperti Tuhan, jiwa, atau hakikat akhir realitas—tidak dapat diketahui dengan kepastian karena tidak dapat diverifikasi secara empiris maupun dibuktikan secara logis.² Dengan demikian, Agnostisisme bukanlah bentuk penolakan terhadap kebenaran metafisik, melainkan pengakuan terhadap ketidakmampuan manusia untuk mencapainya secara epistemologis.

Dasar epistemologis Agnostisisme banyak dipengaruhi oleh filsafat kritisisme Immanuel Kant. Kant membedakan antara pengetahuan tentang fenomena—realitas sebagaimana tampak bagi manusia—dan noumena, realitas dalam dirinya sendiri yang tidak dapat diketahui.³ Menurut Kant, akal budi manusia hanya mampu menata pengalaman melalui kategori-kategori pemahaman (categories of understanding), tetapi tidak dapat menembus batas pengalaman itu untuk mengetahui realitas sejati di luar kesadaran.⁴ Oleh karena itu, setiap klaim tentang Tuhan, kebebasan, atau keabadian jiwa bukanlah pengetahuan, melainkan postulat moral yang berfungsi praktis dalam kehidupan etis.⁵ Dari kerangka inilah lahir prinsip epistemologis Agnostisisme: bahwa rasio memiliki batas, dan batas itu adalah dunia pengalaman.

David Hume sebelumnya telah memberikan fondasi empiris bagi posisi ini dengan menegaskan bahwa semua ide manusia bersumber dari impresi-impresi indrawi.⁶ Ia menolak setiap konsep yang tidak memiliki dasar pengalaman langsung. Dengan logika tersebut, klaim tentang Tuhan, sebab pertama, atau substansi metafisik dianggap tidak bermakna secara epistemologis karena tidak dapat diindera.⁷ Hume menulis bahwa “kita tidak pernah dapat melampaui pengalaman; oleh sebab itu, semua spekulasi metafisik hanyalah bayangan dari pikiran kita sendiri.”⁸ Pandangan ini memperkuat tesis bahwa pengetahuan manusia hanya terbatas pada fakta-fakta empiris, bukan pada realitas metafisik yang tidak teramati.

Thomas Henry Huxley kemudian mengartikulasikan prinsip tersebut dalam bahasa ilmiah modern. Baginya, sikap agnostik berarti tidak menyatakan apa pun tanpa bukti yang memadai.⁹ Pengetahuan yang sah hanya dapat diperoleh melalui observasi dan eksperimen yang dapat diuji. Ia menolak baik klaim teologis maupun klaim ateistik tentang Tuhan, karena keduanya melebihi kapasitas metode ilmiah.¹⁰ Dengan demikian, Agnostisisme memiliki afinitas kuat dengan semangat empirisme dan sains modern, di mana kebenaran selalu bersifat tentatif dan terbuka terhadap falsifikasi.

Secara epistemologis, Agnostisisme menolak dua ekstrem: dogmatisme dan skeptisisme absolut.¹¹ Dogmatisme berasumsi bahwa manusia dapat mengetahui kebenaran metafisik secara pasti, sedangkan skeptisisme ekstrem mengingkari kemungkinan pengetahuan sama sekali. Agnostisisme berada di antara keduanya: ia mengakui kemungkinan adanya realitas transenden, namun menegaskan bahwa pengetahuan tentangnya berada di luar jangkauan rasio manusia.¹² Posisi ini dapat disebut sebagai skeptisisme moderat atau epistemic humility—sikap kerendahan epistemologis yang tetap kritis tanpa jatuh ke dalam relativisme.¹³

Selain itu, Agnostisisme juga menegaskan bahwa setiap bentuk pengetahuan harus memiliki dasar yang dapat diverifikasi secara intersubjektif.¹⁴ Dengan demikian, kebenaran bukanlah sesuatu yang absolut, melainkan hasil dari konsensus rasional berdasarkan bukti yang dapat diuji. Epistemologi Agnostisisme, dalam hal ini, berfungsi sebagai mekanisme penyeimbang antara keinginan manusia untuk mengetahui dan kesadaran akan keterbatasan dirinya.¹⁵

Dengan mengakui batas pengetahuan, Agnostisisme tidak menutup jalan bagi spiritualitas atau metafisika, tetapi menempatkannya dalam ranah keyakinan atau simbolisasi eksistensial.¹⁶ Pengetahuan dan iman dipandang sebagai dua domain berbeda: pengetahuan berurusan dengan yang dapat dibuktikan, sedangkan iman menyentuh yang melampaui bukti. Kesadaran ini menjadi inti epistemologi Agnostisisme—sebuah kerangka berpikir yang memadukan rasionalitas, kejujuran intelektual, dan kerendahan hati epistemik dalam menghadapi misteri keberadaan.¹⁷


Footnotes

[1]                Thomas H. Huxley, Agnosticism and Christianity and Other Essays (London: Macmillan, 1899), 17.

[2]                Bertrand Russell, Human Knowledge: Its Scope and Limits (London: Routledge, 1948), 26.

[3]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp Smith (London: Macmillan, 1929), 112.

[4]                Paul Guyer, Kant and the Claims of Knowledge (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 150.

[5]                Immanuel Kant, Critique of Practical Reason, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 132.

[6]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding (Oxford: Oxford University Press, 2007), 12.

[7]                Hume, Dialogues Concerning Natural Religion (London: Penguin, 1990), 39.

[8]                Hume, Treatise of Human Nature, ed. L. A. Selby-Bigge (Oxford: Clarendon Press, 1888), 125.

[9]                Huxley, Science and Christian Tradition (London: Macmillan, 1880), 20.

[10]             Cyril Bibby, T. H. Huxley: Scientist, Humanist and Educator (London: Watts & Co., 1959), 104.

[11]             Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 6: Modern Philosophy (New York: Doubleday, 1960), 45.

[12]             A. C. Grayling, The God Argument: The Case Against Religion and for Humanism (London: Bloomsbury, 2013), 79.

[13]             Leszek Kołakowski, Religion: If There Is No God… (New York: Oxford University Press, 1982), 42.

[14]             Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 1959), 52.

[15]             Michael Polanyi, Personal Knowledge: Towards a Post-Critical Philosophy (Chicago: University of Chicago Press, 1958), 45.

[16]             Paul Tillich, The Dynamics of Faith (New York: Harper & Row, 1957), 30.

[17]             John Hick, Faith and Knowledge (Ithaca: Cornell University Press, 1957), 88.


5.           Etika dan Aksiologi dalam Agnostisisme

Etika dan aksiologi dalam Agnostisisme tidak dapat dilepaskan dari prinsip dasarnya, yaitu pengakuan akan keterbatasan pengetahuan manusia. Dari kesadaran epistemologis ini muncul suatu orientasi etis yang bercirikan kerendahan hati intelektual (intellectual humility), kejujuran terhadap bukti, serta toleransi terhadap perbedaan pandangan.¹ Agnostisisme menolak dogmatisme moral dan religius karena setiap klaim kebenaran yang absolut dianggap melampaui kapasitas rasional manusia.² Oleh karena itu, etika agnostik bukanlah sistem moral yang bersandar pada wahyu atau otoritas transenden, melainkan etika reflektif yang berakar pada kesadaran manusia terhadap keterbatasannya.

Bagi Thomas H. Huxley, sikap agnostik memiliki implikasi moral yang sangat penting. Ia menulis bahwa agnosticism is not a creed, but a method, yakni sebuah metode yang menuntut kejujuran dalam berpikir dan berbicara.³ Seseorang hanya boleh menyatakan sesuatu sejauh ia memiliki bukti yang cukup untuk mendukungnya. Dengan demikian, dalam ranah moral, Agnostisisme menolak klaim normatif yang tidak dapat dibuktikan secara rasional atau empiris.⁴ Etika agnostik berpijak pada integritas intelektual dan tanggung jawab terhadap kebenaran—suatu bentuk moralitas epistemik yang menolak kebohongan intelektual (intellectual dishonesty).⁵

Dari perspektif aksiologis, Agnostisisme memandang nilai sebagai hasil konstruksi manusia yang berakar pada pengalaman, nalar, dan interaksi sosial.⁶ Karena tidak ada jaminan metafisik tentang nilai-nilai objektif, manusia harus membangun sistem etika yang didasarkan pada empati, dialog, dan kesadaran bersama.⁷ Dalam hal ini, Agnostisisme memiliki kedekatan dengan humanisme sekuler yang menempatkan martabat dan kebebasan manusia sebagai sumber utama nilai moral.⁸ Nilai tidak dilihat sebagai wahyu dari luar, tetapi sebagai produk refleksi kritis manusia yang sadar akan keterbatasan dan tanggung jawabnya di hadapan sesama.

Agnostisisme juga melahirkan etika toleransi. Dengan mengakui bahwa tidak ada manusia yang memiliki pengetahuan mutlak tentang kebenaran metafisik, maka setiap klaim religius atau ideologis harus diperlakukan dengan sikap terbuka dan kritis.⁹ Hal ini mendorong terciptanya masyarakat plural yang menghargai perbedaan pandangan tanpa terjerumus dalam relativisme ekstrem. Sikap agnostik menuntut keseimbangan antara kebebasan berpikir dan tanggung jawab moral terhadap orang lain.¹⁰

Selain itu, dalam konteks kehidupan kontemporer, Agnostisisme memiliki nilai aksiologis yang relevan terhadap etika ilmiah. Ia mendorong para ilmuwan untuk tidak melampaui batas bukti dan tetap terbuka terhadap koreksi serta revisi teori.¹¹ Prinsip epistemic humility ini menjadi dasar bagi etika keilmuan modern yang menolak klaim kepastian mutlak dalam sains. Di luar ranah ilmiah, Agnostisisme juga berperan dalam membangun etika publik yang rasional, inklusif, dan berbasis dialog antar keyakinan.¹²

Dengan demikian, etika dan aksiologi Agnostisisme dapat diringkas dalam tiga prinsip utama: (1) kejujuran intelektual—tidak menyatakan sesuatu tanpa dasar pengetahuan yang sahih; (2) toleransi epistemologis—menghormati pandangan lain karena kesadaran akan keterbatasan sendiri; dan (3) kebebasan rasional—hak untuk berpikir dan mencari kebenaran tanpa tekanan dogma.¹³ Nilai-nilai ini menjadikan Agnostisisme bukan sekadar posisi metafisik, melainkan juga orientasi moral yang mendukung terbentuknya kehidupan manusia yang kritis, rendah hati, dan terbuka terhadap misteri keberadaan.¹⁴


Footnotes

[1]                Thomas H. Huxley, Agnosticism and Christianity and Other Essays (London: Macmillan, 1899), 23.

[2]                Bertrand Russell, Human Society in Ethics and Politics (London: George Allen & Unwin, 1954), 11.

[3]                Huxley, Science and Christian Tradition (London: Macmillan, 1880), 25.

[4]                A. C. Grayling, The God Argument: The Case Against Religion and for Humanism (London: Bloomsbury, 2013), 102.

[5]                Paul Kurtz, Forbidden Fruit: The Ethics of Humanism (Buffalo: Prometheus Books, 1988), 17.

[6]                Leszek Kołakowski, Religion: If There Is No God… (New York: Oxford University Press, 1982), 39.

[7]                Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action (Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 120.

[8]                Julian Baggini, Atheism: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2003), 56.

[9]                John Hick, An Interpretation of Religion: Human Responses to the Transcendent (New Haven: Yale University Press, 1989), 104.

[10]             Karl Popper, The Open Society and Its Enemies (Princeton: Princeton University Press, 1966), 201.

[11]             Richard Feynman, The Meaning of It All: Thoughts of a Citizen-Scientist (Cambridge, MA: Perseus Books, 1998), 42.

[12]             Martha C. Nussbaum, Liberty of Conscience: In Defense of America’s Tradition of Religious Equality (New York: Basic Books, 2008), 89.

[13]             Paul Tillich, Morality and Beyond (New York: Harper & Row, 1963), 15.

[14]             Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 21.


6.           Kritik terhadap Agnostisisme

Meskipun Agnostisisme memiliki posisi epistemologis yang moderat dan reflektif, pandangan ini tidak luput dari berbagai kritik, baik dari kalangan teolog, rasionalis, maupun eksistensialis. Kritik-kritik tersebut umumnya berfokus pada implikasi logis, epistemologis, dan etis dari posisi agnostik yang dianggap ambigu antara keyakinan dan ketidakpercayaan.¹

6.1.       Kritik Teologis: Ketidakpastian sebagai Kekurangan Iman

Dari perspektif teologis, Agnostisisme sering dipandang sebagai bentuk ketidakberpihakan yang problematis. Teolog Kristen seperti Blaise Pascal dan C. S. Lewis berargumen bahwa posisi “tidak tahu” terhadap Tuhan tidak netral, melainkan menunjukkan penolakan implisit terhadap keterbukaan iman.² Dalam Pensées, Pascal menulis bahwa ketidakpastian tentang Tuhan bukanlah alasan untuk menunda keputusan eksistensial, sebab manusia selalu bertaruh antara percaya dan tidak percaya.³ Sementara itu, Lewis menganggap bahwa Agnostisisme gagal memahami dimensi personal Tuhan yang menuntut relasi, bukan sekadar bukti rasional.⁴ Dengan demikian, bagi teologi klasik, Agnostisisme dianggap menafikan aspek keberanian iman yang melampaui bukti.

Selain itu, beberapa pemikir teistik menilai bahwa Agnostisisme jatuh ke dalam bentuk skeptisisme moral. Tanpa dasar metafisik yang kuat, nilai-nilai moral kehilangan landasan objektifnya.⁵ Dalam pandangan ini, keraguan terhadap Tuhan berarti keraguan terhadap sumber moralitas itu sendiri. Akibatnya, Agnostisisme dituduh membuka jalan menuju relativisme etis di mana kebenaran moral hanya menjadi preferensi subjektif.⁶

6.2.       Kritik Rasionalis: Inkonsistensi Logis dan Epistemologis

Dari sisi rasionalisme, Agnostisisme dikritik karena bersifat inkonsisten secara logis. Filsuf seperti Bertrand Russell dan Karl Popper menyoroti paradoks bahwa pernyataan “kita tidak dapat mengetahui” mengandung klaim pengetahuan itu sendiri.⁷ Jika manusia benar-benar tidak dapat mengetahui apa pun tentang realitas metafisik, maka pernyataan tersebut juga seharusnya tidak dapat diketahui.⁸ Hal ini menimbulkan dilema refleksif yang melemahkan posisi agnostik secara epistemologis.

Lebih jauh lagi, kaum rasionalis menilai bahwa Agnostisisme gagal membedakan antara ketidaktahuan sementara (temporary ignorance) dan ketidaktahuan mutlak (permanent ignorance).⁹ Dalam sains, ketidaktahuan dianggap sebagai motivasi untuk menyelidiki, bukan alasan untuk menangguhkan penilaian selamanya.¹⁰ Dengan demikian, bagi rasionalisme modern, sikap agnostik dianggap terlalu pasif karena tidak memberikan arah epistemologis yang konstruktif terhadap pencarian kebenaran.

6.3.       Kritik Empirisme dan Positivisme Logis: Klaim Non-Verifikasi

Ironisnya, beberapa empirisis dan positivis logis juga mengkritik Agnostisisme atas dasar yang mirip dengan kritik terhadap metafisika. Bagi A. J. Ayer, pernyataan “Tuhan mungkin ada” tidak memiliki makna kognitif karena tidak dapat diverifikasi melalui pengalaman.¹¹ Dengan demikian, Agnostisisme, yang masih membuka kemungkinan eksistensi realitas transenden, tetap berada di luar wilayah pernyataan bermakna.¹² Dalam kerangka verification principle, baik teisme maupun agnostisisme dianggap sama-sama nonsensikal, karena berbicara tentang sesuatu yang tidak dapat diuji secara empiris.¹³

6.4.       Kritik Eksistensialis: Kekosongan Makna dan Keterputusan Diri

Filsuf eksistensialis seperti Søren Kierkegaard dan Jean-Paul Sartre mengkritik Agnostisisme karena dianggap meniadakan komitmen eksistensial manusia terhadap kebenaran.¹⁴ Kierkegaard menilai bahwa iman bukanlah hasil pengetahuan, tetapi tindakan keberanian yang melampaui rasio.¹⁵ Dengan menolak untuk berkomitmen, kaum agnostik hidup dalam ambiguitas dan kehilangan makna eksistensial. Sartre menambahkan bahwa Agnostisisme menunda tanggung jawab manusia untuk memilih dan menentukan maknanya sendiri.¹⁶ Posisi “menunggu kepastian” justru menjadikan manusia terasing dari kebebasannya.

6.5.       Kritik Humanistik dan Pragmatis: Kekurangan Dimensi Tindakan

Dari perspektif pragmatis, William James mengkritik Agnostisisme karena gagal memahami bahwa keyakinan tidak selalu didasarkan pada bukti, melainkan pada kebutuhan praktis manusia untuk bertindak.¹⁷ Dalam The Will to Believe, James menegaskan bahwa dalam situasi di mana bukti tidak pasti, manusia tetap harus membuat pilihan.¹⁸ Agnostisisme, dengan menunda keputusan sampai bukti datang, justru mengabaikan aspek vital kehidupan manusia yang menuntut tindakan, bukan sekadar pengetahuan.¹⁹ Dengan demikian, James menilai bahwa Agnostisisme terlalu menekankan dimensi intelektual dan mengabaikan dimensi eksistensial dan moral dari keberadaan manusia.²⁰


Secara keseluruhan, kritik terhadap Agnostisisme berfokus pada dua hal utama: pertama, kelemahan epistemologis, yaitu ketidakkonsistenan dalam klaim pengetahuan tentang ketidaktahuan; dan kedua, kelemahan eksistensial, yaitu kecenderungan untuk menghindari komitmen terhadap makna dan tindakan.²¹ Namun demikian, justru dalam menerima kritik-kritik tersebut, Agnostisisme memperlihatkan kekuatannya—yakni kemampuannya untuk merefleksikan diri dan tetap terbuka terhadap koreksi.²² Ia tidak menuntut kepastian mutlak, tetapi mengajarkan kesadaran epistemik yang berhati-hati dan rendah hati dalam menghadapi misteri realitas.²³


Footnotes

[1]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 6: Modern Philosophy (New York: Doubleday, 1960), 59.

[2]                Blaise Pascal, Pensées, trans. A. J. Krailsheimer (London: Penguin, 1995), 233.

[3]                Ibid., 234.

[4]                C. S. Lewis, Mere Christianity (New York: HarperOne, 1952), 43.

[5]                Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 53.

[6]                Paul Tillich, Morality and Beyond (New York: Harper & Row, 1963), 27.

[7]                Bertrand Russell, Human Knowledge: Its Scope and Limits (London: Routledge, 1948), 36.

[8]                Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 1959), 51.

[9]                W. T. Stace, A Critical History of Greek Philosophy (London: Macmillan, 1920), 317.

[10]             Stephen Toulmin, The Uses of Argument (Cambridge: Cambridge University Press, 1958), 22.

[11]             A. J. Ayer, Language, Truth and Logic (London: Gollancz, 1936), 114.

[12]             Ibid., 115.

[13]             Antony Flew, God and Philosophy (London: Hutchinson, 1966), 44.

[14]             Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Alastair Hannay (London: Penguin, 1985), 49.

[15]             Ibid., 52.

[16]             Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Washington Square Press, 1956), 212.

[17]             William James, The Will to Believe and Other Essays in Popular Philosophy (New York: Longmans, Green, 1897), 11.

[18]             Ibid., 16.

[19]             John Dewey, Reconstruction in Philosophy (Boston: Beacon Press, 1957), 95.

[20]             William James, Pragmatism: A New Name for Some Old Ways of Thinking (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1975), 75.

[21]             Leszek Kołakowski, Religion: If There Is No God… (New York: Oxford University Press, 1982), 45.

[22]             A. C. Grayling, The God Argument: The Case Against Religion and for Humanism (London: Bloomsbury, 2013), 113.

[23]             John Hick, Faith and Knowledge (Ithaca: Cornell University Press, 1957), 92.


7.           Relevansi Kontemporer Agnostisisme

Dalam konteks dunia kontemporer yang ditandai oleh pluralitas keyakinan, kemajuan sains, serta pergeseran paradigma pengetahuan, Agnostisisme memperoleh relevansi baru sebagai kerangka berpikir yang kritis dan terbuka terhadap kompleksitas realitas modern. Agnostisisme tidak lagi hanya dipahami sebagai posisi metafisik terhadap pertanyaan tentang Tuhan, melainkan juga sebagai sikap epistemologis yang menekankan kesadaran akan keterbatasan manusia di tengah arus informasi dan klaim kebenaran yang beragam.¹ Ia menjadi semacam etos intelektual yang menuntut keseimbangan antara keingintahuan dan kehati-hatian dalam menghadapi fenomena pengetahuan di era digital dan post-sekular.²

7.1.       Dalam Dialog antara Sains dan Agama

Agnostisisme memiliki posisi strategis dalam menjembatani perdebatan antara sains dan agama. Dalam situasi di mana ilmu pengetahuan semakin memperluas wilayah penjelasannya, banyak persoalan teologis dan metafisik kini dihadapkan pada tuntutan pembuktian rasional.³ Namun, Agnostisisme menegaskan bahwa baik sains maupun agama memiliki batas epistemologisnya masing-masing: sains berbicara tentang “bagaimana” realitas bekerja, sedangkan agama berusaha menjawab “mengapa” realitas ada.⁴ Dengan menolak klaim kebenaran mutlak dari kedua belah pihak, Agnostisisme membuka ruang dialog yang lebih rasional dan toleran, di mana keyakinan tidak harus dihapuskan tetapi juga tidak boleh mendominasi wacana publik.⁵

Tokoh-tokoh seperti Carl Sagan dan Stephen Jay Gould, meskipun bukan agnostik secara formal, menunjukkan semangat epistemik yang serupa ketika mereka membedakan antara domain pengetahuan ilmiah dan makna eksistensial manusia.⁶ Sikap agnostik dalam konteks ini bukanlah penyangkalan terhadap Tuhan, melainkan pengakuan bahwa pengetahuan manusia tentang transendensi bersifat terbatas dan simbolik.⁷

7.2.       Dalam Filsafat Sains dan Etika Keilmuan

Agnostisisme juga berperan penting dalam perkembangan filsafat sains modern. Dengan menegaskan bahwa setiap teori ilmiah bersifat tentatif dan terbuka terhadap falsifikasi, Agnostisisme beresonansi dengan falsifikasionisme Karl Popper yang menolak kepastian absolut dalam ilmu pengetahuan.⁸ Prinsip “keraguan metodologis” yang diusung Agnostisisme membantu menjaga sains dari bahaya dogmatisme ilmiah—yaitu keyakinan bahwa ilmu pengetahuan telah mencapai kebenaran final.⁹ Dalam konteks ini, Agnostisisme dapat dianggap sebagai dasar etika keilmuan yang menuntut keterbukaan, revisibilitas, dan kejujuran terhadap data.¹⁰

Lebih jauh lagi, di era pascakebenaran (post-truth era), ketika informasi bercampur dengan disinformasi, Agnostisisme menawarkan model berpikir yang kritis dan berhati-hati. Ia mendorong masyarakat untuk membedakan antara keyakinan, opini, dan pengetahuan berdasarkan tingkat evidensinya.¹¹ Dengan demikian, Agnostisisme dapat berfungsi sebagai benteng intelektual terhadap dogma ideologis dan penyalahgunaan klaim kebenaran ilmiah atau politik.¹²

7.3.       Dalam Pluralisme Agama dan Dialog Interkultural

Relevansi Agnostisisme juga tampak dalam bidang teologi kontemporer dan filsafat agama. Dalam masyarakat multikultural, klaim eksklusivitas kebenaran religius sering menimbulkan konflik dan intoleransi. Agnostisisme, dengan penolakannya terhadap kepastian metafisik mutlak, menciptakan ruang bagi sikap pluralistik yang menghargai keberagaman pengalaman religius.¹³ John Hick, misalnya, mengembangkan teologi pluralisme yang berakar pada prinsip agnostik terhadap realitas ilahi yang “melampaui konseptualisasi manusia.”¹⁴ Dalam kerangka ini, semua agama dilihat sebagai tanggapan simbolik terhadap satu realitas transenden yang tak terjangkau sepenuhnya.¹⁵

Dengan demikian, Agnostisisme berkontribusi terhadap terciptanya etika dialog antaragama yang berbasis pada pengakuan keterbatasan epistemik. Ia tidak mendorong relativisme, melainkan mendorong kesadaran bahwa perbedaan keyakinan tidak harus menjadi sumber konflik, melainkan peluang untuk memperluas pemahaman tentang keberadaan.¹⁶

7.4.       Dalam Konteks Digital dan Kecerdasan Buatan

Di era kecerdasan buatan (AI) dan eksplorasi kosmos, Agnostisisme kembali memperoleh aktualitas baru. Pertanyaan metafisik klasik seperti “apa itu kesadaran?” dan “apakah mesin dapat berpikir?” menempatkan manusia pada batas pemahamannya sendiri.¹⁷ Agnostisisme menegaskan bahwa tidak semua fenomena kesadaran atau eksistensi dapat dijelaskan sepenuhnya melalui reduksionisme materialistik.¹⁸ Ia membuka kemungkinan adanya dimensi realitas yang tetap misterius meskipun manusia terus memperluas kapasitas teknologinya. Dengan demikian, Agnostisisme dapat dipandang sebagai philosophy of humility di tengah ambisi teknologi yang semakin besar.¹⁹


Secara keseluruhan, relevansi kontemporer Agnostisisme terletak pada kemampuannya untuk menawarkan paradigma berpikir yang kritis, moderat, dan terbuka di tengah dunia yang sarat ketegangan antara sains dan agama, fakta dan opini, keimanan dan skeptisisme.²⁰ Ia bukan sekadar posisi metafisik, melainkan cara berpikir dan hidup yang menegaskan keseimbangan antara rasionalitas dan kesadaran akan misteri.²¹ Dalam dunia modern yang semakin kompleks dan terfragmentasi, Agnostisisme mengajarkan nilai epistemik yang amat berharga: bahwa kebijaksanaan sejati tidak lahir dari kepastian, tetapi dari kesediaan untuk terus mencari di dalam ketidakpastian.²²


Footnotes

[1]                A. C. Grayling, The God Argument: The Case Against Religion and for Humanism (London: Bloomsbury, 2013), 128.

[2]                Leszek Kołakowski, Religion: If There Is No God… (New York: Oxford University Press, 1982), 49.

[3]                Ian Barbour, When Science Meets Religion (San Francisco: HarperSanFrancisco, 2000), 12.

[4]                Stephen Jay Gould, Rocks of Ages: Science and Religion in the Fullness of Life (New York: Ballantine Books, 1999), 4.

[5]                John Polkinghorne, Belief in God in an Age of Science (New Haven: Yale University Press, 1998), 18.

[6]                Carl Sagan, The Demon-Haunted World: Science as a Candle in the Dark (New York: Random House, 1995), 25.

[7]                John F. Haught, Science and Faith: A New Introduction (Mahwah, NJ: Paulist Press, 2012), 61.

[8]                Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 1959), 48.

[9]                Thomas Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962), 77.

[10]             Paul Feyerabend, Against Method (London: Verso, 1975), 29.

[11]             Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge, MA: MIT Press, 2018), 63.

[12]             Hannah Arendt, Truth and Politics (New York: Penguin, 1972), 45.

[13]             Paul Knitter, Introducing Theologies of Religions (Maryknoll, NY: Orbis Books, 2002), 112.

[14]             John Hick, An Interpretation of Religion: Human Responses to the Transcendent (New Haven: Yale University Press, 1989), 247.

[15]             Ibid., 250.

[16]             Raimon Panikkar, The Intra-Religious Dialogue (New York: Paulist Press, 1999), 98.

[17]             Nick Bostrom, Superintelligence: Paths, Dangers, Strategies (Oxford: Oxford University Press, 2014), 14.

[18]             David Chalmers, The Conscious Mind: In Search of a Fundamental Theory (New York: Oxford University Press, 1996), 109.

[19]             Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 82.

[20]             Richard Dawkins, The God Delusion (London: Bantam Press, 2006), 35.

[21]             Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2007), 541.

[22]             Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven: Yale University Press, 1952), 68.


8.           Sintesis Filosofis

Agnostisisme, dalam dimensi filosofisnya yang paling mendalam, tidak dapat dipahami hanya sebagai posisi epistemologis yang menolak klaim kepastian metafisik. Ia merupakan sebuah ethos intelektual yang berupaya memadukan dua kutub yang sering kali berlawanan dalam sejarah pemikiran: keinginan akan kepastian dan kesadaran akan keterbatasan.¹ Sebagai suatu sikap filosofis, Agnostisisme menegaskan bahwa kebijaksanaan sejati bukanlah hasil dari kepastian dogmatis, melainkan dari kemampuan untuk hidup dalam ketegangan antara pengetahuan dan ketidaktahuan.²

8.1.       Dialektika antara Pengetahuan dan Ketidaktahuan

Dalam sintesis filsafat Agnostisisme, pengetahuan dan ketidaktahuan tidak dipahami sebagai dua hal yang saling meniadakan, melainkan sebagai dua dimensi yang saling melengkapi dalam dinamika pencarian kebenaran.³ Seperti diisyaratkan oleh Socrates—yang mengaku “tahu bahwa ia tidak tahu”—kesadaran akan ketidaktahuan merupakan awal dari pengetahuan sejati.⁴ Agnostisisme menghidupkan kembali semangat Socratic ini dalam konteks modern, menolak baik absolutisme metafisik maupun relativisme nihilistik. Dengan menegaskan batas pengetahuan manusia, ia justru membuka ruang bagi refleksi yang lebih mendalam tentang makna eksistensi dan misteri keberadaan.⁵

Immanuel Kant memberikan dasar konseptual bagi dialektika ini dengan membedakan antara dunia fenomenal dan noumenal.⁶ Manusia dapat memahami struktur dunia sebagaimana tampak, namun tidak pernah mencapai hakikatnya yang sejati. Kesadaran akan keterbatasan inilah yang menjadi inti epistemologi agnostik. Namun, di balik batas pengetahuan tersebut, Kant juga membuka kemungkinan iman rasional (Vernunftglaube), yakni keyakinan yang tidak meniadakan rasio tetapi melampauinya dalam ranah moral dan praktis.⁷ Dalam kerangka ini, Agnostisisme dapat dipahami bukan sebagai bentuk penolakan terhadap iman, melainkan sebagai penjagaan rasional terhadap integritas iman itu sendiri.⁸

8.2.       Rekonsiliasi antara Skeptisisme dan Keimanan

Sintesis Agnostisisme terletak pada kemampuannya merekonsiliasi skeptisisme dengan kemungkinan iman yang reflektif. Skeptisisme ekstrem, seperti dalam tradisi Pyrrhonisme, menangguhkan semua penilaian sehingga mengarah pada stagnasi intelektual.⁹ Sebaliknya, dogmatisme teologis menutup pintu dialog dan refleksi dengan mengklaim kepastian mutlak. Agnostisisme bergerak di antara keduanya: ia mempertahankan semangat kritis skeptisisme tanpa kehilangan arah menuju makna eksistensial yang menjadi domain iman.¹⁰

Dengan demikian, Agnostisisme berperan sebagai jembatan antara rasionalitas dan spiritualitas. Ia tidak menolak keyakinan religius, tetapi menempatkannya dalam kerangka kesadaran epistemik: bahwa iman bukanlah hasil pengetahuan empiris, melainkan keputusan eksistensial yang melampaui bukti.¹¹ Dalam hal ini, Agnostisisme sejalan dengan pandangan Søren Kierkegaard bahwa “iman adalah lompatan,” tetapi menambahkan bahwa lompatan itu harus didahului oleh kesadaran penuh atas batas-batas rasio.¹²

8.3.       Agnostisisme sebagai Etika Intelektual

Pada tataran praksis, Agnostisisme berfungsi sebagai etika intelektual yang mendorong kejujuran, keterbukaan, dan kesediaan untuk merevisi keyakinan berdasarkan bukti baru.¹³ Ia menolak baik fanatisme religius maupun keangkuhan saintifik, sebab keduanya berakar pada klaim kepastian yang menutup kemungkinan dialog. Dalam dunia yang ditandai oleh epistemic crisis—banjir informasi, bias kognitif, dan polarisasi ideologis—etika agnostik menawarkan paradigma keseimbangan: berpikir secara kritis tanpa kehilangan kerendahan hati epistemologis.¹⁴

Dalam pengertian aksiologis, Agnostisisme juga memiliki nilai eksistensial: ia mengajarkan manusia untuk hidup dalam keterbatasan tanpa kehilangan makna. Seperti dikatakan Paul Tillich, keberanian sejati bukanlah memiliki kepastian, tetapi tetap berani mencari kebenaran di tengah ketidakpastian.¹⁵ Dengan demikian, Agnostisisme menjadi sumber kebijaksanaan modern yang mengajarkan manusia untuk menyadari bahwa ketidakpastian bukanlah kelemahan, melainkan kondisi hakiki keberadaannya.¹⁶

8.4.       Menuju Ontologi Keterbukaan dan Misteri

Sintesis akhir dari Agnostisisme adalah penegasan atas ontologi keterbukaan—pandangan bahwa realitas selalu lebih besar daripada representasi manusia tentangnya.¹⁷ Agnostisisme tidak menutup kemungkinan adanya realitas transenden, tetapi juga tidak memaksakan bentuk tertentu atasnya. Dalam kerangka ini, ia berfungsi sebagai metafisika terbuka (open metaphysics), yang memberi ruang bagi interpretasi, dialog, dan pengalaman spiritual yang plural.¹⁸

Dengan demikian, Agnostisisme tidak hanya menjadi jalan tengah di antara teisme dan ateisme, tetapi juga menjadi paradigma filosofis yang menegaskan bahwa pencarian makna merupakan perjalanan tanpa akhir.¹⁹ Manusia, dengan segala keterbatasannya, dipanggil untuk terus bertanya, menyelidiki, dan memperluas horizon pemahamannya tentang realitas. Dalam makna terdalamnya, Agnostisisme bukanlah bentuk penolakan terhadap kebenaran, melainkan perwujudan tertinggi dari cinta terhadap kebenaran itu sendiri.²⁰


Footnotes

[1]                Leszek Kołakowski, Religion: If There Is No God… (New York: Oxford University Press, 1982), 51.

[2]                Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven: Yale University Press, 1952), 70.

[3]                W. T. Stace, A Critical History of Greek Philosophy (London: Macmillan, 1920), 319.

[4]                Plato, Apology, in The Dialogues of Plato, trans. Benjamin Jowett (Oxford: Clarendon Press, 1892), 21d.

[5]                Bertrand Russell, History of Western Philosophy (London: Routledge, 1946), 652.

[6]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp Smith (London: Macmillan, 1929), 183.

[7]                Kant, Critique of Practical Reason, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 140.

[8]                Paul Guyer, Kant and the Claims of Knowledge (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 198.

[9]                Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism, trans. R. G. Bury (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1933), 1:4.

[10]             A. C. Grayling, The God Argument: The Case Against Religion and for Humanism (London: Bloomsbury, 2013), 109.

[11]             John Hick, Faith and Knowledge (Ithaca: Cornell University Press, 1957), 92.

[12]             Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Alastair Hannay (London: Penguin, 1985), 56.

[13]             Thomas H. Huxley, Science and Christian Tradition (London: Macmillan, 1880), 27.

[14]             Karl Popper, The Open Society and Its Enemies (Princeton: Princeton University Press, 1966), 203.

[15]             Paul Tillich, Morality and Beyond (New York: Harper & Row, 1963), 29.

[16]             Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2007), 543.

[17]             John Hick, An Interpretation of Religion: Human Responses to the Transcendent (New Haven: Yale University Press, 1989), 252.

[18]             Raimon Panikkar, The Intra-Religious Dialogue (New York: Paulist Press, 1999), 100.

[19]             Julian Baggini, Atheism: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2003), 58.

[20]             Leszek Kołakowski, If There Is No God: On God, the Devil, Sin, and Other Worries of the So-Called Philosophy of Religion (New York: St. Augustine’s Press, 2001), 63.


9.           Kesimpulan

Agnostisisme, sebagai aliran dalam metafisika dan epistemologi modern, tidak sekadar menyatakan “tidak tahu,” melainkan membangun suatu kerangka berpikir yang menegaskan batas rasionalitas manusia di hadapan misteri realitas. Ia berangkat dari kesadaran kritis bahwa kemampuan manusia untuk mengetahui dibatasi oleh pengalaman dan rasio, sementara realitas metafisik—seperti Tuhan, jiwa, dan sebab pertama—tetap berada di luar jangkauan empiris.¹ Dalam hal ini, Agnostisisme mengajarkan bahwa kebenaran tidak selalu harus ditolak ketika tidak dapat dibuktikan, melainkan dihadapi dengan kerendahan hati epistemik dan keterbukaan filosofis.²

Dari sisi historis, Agnostisisme merupakan hasil sintesis panjang antara skeptisisme Yunani, kritisisme Kantian, dan empirisme modern.³ Pyrrho dari Elis menanamkan benih keraguan metodologis; Immanuel Kant menegaskan batas pengetahuan manusia melalui pembedaan antara fenomena dan noumena; sedangkan Thomas H. Huxley mengartikulasikan kesadaran epistemik itu ke dalam kerangka ilmiah modern.⁴ Maka, Agnostisisme tidak muncul sebagai bentuk skeptisisme destruktif, melainkan sebagai refleksi historis yang matang atas keterbatasan dan potensi akal budi manusia.

Secara ontologis, Agnostisisme menolak memberikan afirmasi atau negasi terhadap realitas metafisik.⁵ Ia tidak menolak keberadaan Tuhan, tetapi juga tidak mengklaim pengetahuan tentang-Nya. Posisi ini melahirkan bentuk “ontologi keterbatasan,” di mana manusia hanya dapat berbicara sejauh pengalaman dan pengetahuan memungkinkan.⁶ Dengan demikian, Agnostisisme menghadirkan keseimbangan antara kerendahan diri intelektual dan kejujuran rasional: manusia diakui sebagai makhluk pencari yang tidak pernah selesai dalam upaya memahami misteri keberadaan.⁷

Dalam ranah etika, Agnostisisme menumbuhkan semangat kejujuran intelektual, toleransi terhadap pandangan berbeda, serta penghargaan terhadap bukti dan rasionalitas.⁸ Ia menolak dogmatisme moral dan religius karena menyadari bahwa klaim kebenaran absolut sering kali menimbulkan eksklusi dan kekerasan simbolik.⁹ Etika agnostik bersifat dialogis dan kritis—mendorong manusia untuk bertanggung jawab atas pandangan yang dipegang tanpa meniadakan kemungkinan koreksi atau revisi.

Kritik-kritik terhadap Agnostisisme, baik dari teologi, rasionalisme, maupun eksistensialisme, memperlihatkan dinamika reflektif yang memperkaya wacananya.ⁱ⁰ Justru dalam menghadapi kritik tersebut, Agnostisisme menegaskan relevansinya: bahwa berpikir secara rasional tidak harus berarti menolak misteri, dan beriman tidak harus berarti menolak keraguan.ⁱ¹ Dalam dunia modern yang diwarnai ketegangan antara sains dan agama, absolutisme dan relativisme, Agnostisisme menawarkan jalan tengah—sebuah posisi yang mengakui keterbatasan pengetahuan manusia tanpa kehilangan semangat untuk mencari kebenaran.ⁱ²

Pada akhirnya, Agnostisisme dapat dipahami sebagai filsafat keterbukaan (philosophy of openness). Ia mengajarkan bahwa kebijaksanaan sejati lahir bukan dari kepastian, melainkan dari kesediaan untuk terus belajar, bertanya, dan berdialog dengan realitas yang selalu lebih luas dari jangkauan nalar.ⁱ³ Dalam kesadaran ini, Agnostisisme bukanlah akhir dari pencarian kebenaran, melainkan awal dari perjalanan intelektual yang sejati—sebuah ziarah rasional dan eksistensial menuju pemahaman yang lebih dalam tentang diri, dunia, dan misteri keberadaan.ⁱ⁴


Footnotes

[1]                Thomas H. Huxley, Agnosticism and Christianity and Other Essays (London: Macmillan, 1899), 17.

[2]                Leszek Kołakowski, Religion: If There Is No God… (New York: Oxford University Press, 1982), 52.

[3]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 6: Modern Philosophy (New York: Doubleday, 1960), 43.

[4]                Bertrand Russell, History of Western Philosophy (London: Routledge, 1946), 650–652.

[5]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Norman Kemp Smith (London: Macmillan, 1929), 182.

[6]                Paul Guyer, Kant and the Claims of Knowledge (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 197.

[7]                Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven: Yale University Press, 1952), 69.

[8]                A. C. Grayling, The God Argument: The Case Against Religion and for Humanism (London: Bloomsbury, 2013), 104.

[9]                Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action (Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 118.

[10]             Blaise Pascal, Pensées, trans. A. J. Krailsheimer (London: Penguin, 1995), 234.

[11]             Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Alastair Hannay (London: Penguin, 1985), 51.

[12]             Karl Popper, The Open Society and Its Enemies (Princeton: Princeton University Press, 1966), 205.

[13]             John Hick, An Interpretation of Religion: Human Responses to the Transcendent (New Haven: Yale University Press, 1989), 256.

[14]             Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2007), 545.


Daftar Pustaka

Ayer, A. J. (1936). Language, truth and logic. London: Gollancz.

Baggini, J. (2003). Atheism: A very short introduction. Oxford: Oxford University Press.

Barbour, I. G. (2000). When science meets religion. San Francisco, CA: HarperSanFrancisco.

Bibby, C. (1959). T. H. Huxley: Scientist, humanist and educator. London: Watts & Co.

Bostrom, N. (2014). Superintelligence: Paths, dangers, strategies. Oxford: Oxford University Press.

Chalmers, D. J. (1996). The conscious mind: In search of a fundamental theory. New York, NY: Oxford University Press.

Comte, A. (1830). Cours de philosophie positive (Vol. 1). Paris: Bachelier.

Copleston, F. (1960). A history of philosophy, Vol. 6: Modern philosophy. New York, NY: Doubleday.

Dawkins, R. (2006). The God delusion. London: Bantam Press.

Dewey, J. (1957). Reconstruction in philosophy. Boston, MA: Beacon Press.

Empiricus, S. (1933). Outlines of Pyrrhonism (R. G. Bury, Trans.). Cambridge, MA: Harvard University Press.

Feyerabend, P. (1975). Against method. London: Verso.

Flew, A. (1966). God and philosophy. London: Hutchinson.

Floridi, L. (2013). The ethics of information. Oxford: Oxford University Press.

Gould, S. J. (1999). Rocks of ages: Science and religion in the fullness of life. New York, NY: Ballantine Books.

Grayling, A. C. (2013). The God argument: The case against religion and for humanism. London: Bloomsbury.

Guyer, P. (1987). Kant and the claims of knowledge. Cambridge: Cambridge University Press.

Habermas, J. (1990). Moral consciousness and communicative action. Cambridge, MA: MIT Press.

Haught, J. F. (2012). Science and faith: A new introduction. Mahwah, NJ: Paulist Press.

Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). New York, NY: Harper & Row.

Hick, J. (1957). Faith and knowledge. Ithaca, NY: Cornell University Press.

Hick, J. (1989). An interpretation of religion: Human responses to the transcendent. New Haven, CT: Yale University Press.

Hume, D. (1888). A treatise of human nature (L. A. Selby-Bigge, Ed.). Oxford: Clarendon Press.

Hume, D. (1990). Dialogues concerning natural religion. London: Penguin.

Hume, D. (2007). An enquiry concerning human understanding. Oxford: Oxford University Press.

Huxley, T. H. (1880). Science and Christian tradition. London: Macmillan.

Huxley, T. H. (1889). Agnosticism: A symposium. London: Paul Trench.

Huxley, T. H. (1899). Agnosticism and Christianity and other essays. London: Macmillan.

James, W. (1897). The will to believe and other essays in popular philosophy. New York, NY: Longmans, Green.

James, W. (1975). Pragmatism: A new name for some old ways of thinking. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Kant, I. (1902). Prolegomena to any future metaphysics (P. Carus, Trans.). Chicago, IL: Open Court.

Kant, I. (1929). Critique of pure reason (N. Kemp Smith, Trans.). London: Macmillan.

Kant, I. (1997). Critique of practical reason (M. Gregor, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.

Kierkegaard, S. (1985). Fear and trembling (A. Hannay, Trans.). London: Penguin.

Kołakowski, L. (1982). Religion: If there is no God… New York, NY: Oxford University Press.

Kołakowski, L. (2001). If there is no God: On God, the devil, sin, and other worries of the so-called philosophy of religion. New York, NY: St. Augustine’s Press.

Knitter, P. (2002). Introducing theologies of religions. Maryknoll, NY: Orbis Books.

Kuhn, T. S. (1962). The structure of scientific revolutions. Chicago, IL: University of Chicago Press.

Kurtz, P. (1988). Forbidden fruit: The ethics of humanism. Buffalo, NY: Prometheus Books.

Lewis, C. S. (1952). Mere Christianity. New York, NY: HarperOne.

Lossky, V. (1957). The mystical theology of the Eastern Church. Cambridge: James Clarke.

MacIntyre, A. (1981). After virtue: A study in moral theory. Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press.

McIntyre, L. (2018). Post-truth. Cambridge, MA: MIT Press.

Nussbaum, M. C. (2008). Liberty of conscience: In defense of America’s tradition of religious equality. New York, NY: Basic Books.

Panikkar, R. (1999). The intra-religious dialogue. New York, NY: Paulist Press.

Pascal, B. (1995). Pensées (A. J. Krailsheimer, Trans.). London: Penguin.

Plato. (1892). The dialogues of Plato (B. Jowett, Trans.). Oxford: Clarendon Press.

Polanyi, M. (1958). Personal knowledge: Towards a post-critical philosophy. Chicago, IL: University of Chicago Press.

Polkinghorne, J. (1998). Belief in God in an age of science. New Haven, CT: Yale University Press.

Popper, K. (1959). The logic of scientific discovery. London: Routledge.

Popper, K. (1966). The open society and its enemies. Princeton, NJ: Princeton University Press.

Russell, B. (1946). History of Western philosophy. London: Routledge.

Russell, B. (1948). Human knowledge: Its scope and limits. London: Routledge.

Russell, B. (1957). Why I am not a Christian. London: George Allen & Unwin.

Sagan, C. (1995). The demon-haunted world: Science as a candle in the dark. New York, NY: Random House.

Sartre, J.-P. (1956). Being and nothingness (H. E. Barnes, Trans.). New York, NY: Washington Square Press.

Stace, W. T. (1920). A critical history of Greek philosophy. London: Macmillan.

Taylor, C. (1989). Sources of the self: The making of the modern identity. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Taylor, C. (2007). A secular age. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Tillich, P. (1952). The courage to be. New Haven, CT: Yale University Press.

Tillich, P. (1963). Morality and beyond. New York, NY: Harper & Row.

Tillich, P. (1957). The dynamics of faith. New York, NY: Harper & Row.

Toulmin, S. (1958). The uses of argument. Cambridge: Cambridge University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar