Skeptisisme Kuno
Tradisi Keraguan dan Pencarian Kebenaran dalam Filsafat
Yunani
Alihkan ke: Aliran Sejarah Filsafat.
Abstrak
Artikel ini membahas secara sistematis aliran Skeptisisme
Kuno sebagai salah satu tonggak penting dalam sejarah filsafat Yunani dan
perkembangannya sebagai metode berpikir kritis yang menentang dogmatisme
pengetahuan. Dengan menelusuri akar historisnya pada tradisi Pra-Sokratik,
Akademi Platonis, dan Pyrrhonisme, artikel ini menyoroti peran Skeptisisme
dalam membentuk kesadaran epistemologis yang reflektif terhadap keterbatasan
manusia. Kajian ontologis menampilkan penolakan Skeptisisme terhadap klaim
metafisis yang pasti, sementara aspek epistemologisnya memperlihatkan bahwa
keraguan bukanlah penolakan terhadap pengetahuan, melainkan jalan menuju
kesadaran rasional yang lebih jernih.
Selain itu, artikel ini menelusuri dimensi etis
Skeptisisme yang berpuncak pada pencapaian ataraxia—ketenangan batin
yang lahir dari pelepasan terhadap opini dan dogma. Dalam perbandingan dengan
aliran filsafat lain seperti Stoisisme, Epikureanisme, dan Platonisme,
Skeptisisme tampil sebagai pendekatan yang menekankan keseimbangan antara
rasionalitas dan kehati-hatian epistemik. Artikel ini juga menguraikan kritik
terhadap Skeptisisme, baik dari kalangan Dogmatis maupun Rasionalis modern,
yang menuduhnya inkonsisten dan tidak praktis, namun justru menunjukkan
fungsinya sebagai pengontrol rasionalitas.
Pada bagian sintesis, Skeptisisme dipahami sebagai metode
kritis yang berfungsi menjaga filsafat tetap terbuka terhadap koreksi dan
revisi, sementara dalam konteks kontemporer ia menjadi relevan kembali di
tengah krisis kebenaran, disinformasi, dan polarisasi ideologis. Artikel ini
menegaskan bahwa Skeptisisme bukanlah bentuk pesimisme intelektual, tetapi
sikap filosofis yang menumbuhkan kerendahan hati epistemik, keterbukaan dialog,
dan kebebasan berpikir. Dengan demikian, Skeptisisme Kuno dapat dipandang
sebagai model kebijaksanaan universal yang menempatkan keraguan bukan sebagai
kelemahan, melainkan sebagai fondasi utama pencarian kebenaran dan kedamaian
batin.
Kata Kunci: Skeptisisme
Kuno, Pyrrhonisme, Akademi Platonis, Epoché, Ataraxia,
Epistemologi, Dogmatisme, Filsafat Yunani, Kritik Pengetahuan, Metode Kritis.
PEMBAHASAN
Skeptisisme dalam Konteks Filsafat Yunani Kuno
1.
Pendahuluan
Skeptisisme Kuno menempati posisi yang unik dalam
sejarah filsafat Barat karena menawarkan pendekatan yang radikal terhadap
persoalan pengetahuan, kebenaran, dan kepastian. Ia lahir sebagai reaksi terhadap
kepercayaan berlebihan pada kemampuan manusia untuk mencapai kebenaran mutlak
melalui rasio atau pengalaman. Dalam konteks Yunani Kuno, Skeptisisme bukan
sekadar sikap keraguan pasif, melainkan suatu metode berpikir yang menuntut
penundaan penilaian (epoché) dan pembebasan diri dari keyakinan
dogmatis. Gerakan intelektual ini berkembang di tengah dinamika intelektual
yang melibatkan perdebatan antara aliran-aliran besar seperti Dogmatisme,
Stoisisme, dan Epikureanisme yang masing-masing mengklaim memiliki kriteria
kebenaran yang pasti. Dengan demikian, Skeptisisme muncul sebagai bentuk
refleksi kritis terhadap segala bentuk klaim pengetahuan yang dianggap
absolut.¹
Secara historis, Skeptisisme Kuno dapat ditelusuri
akarnya dari dua jalur utama: Akademi Platonis yang dipimpin oleh Arkesilaos
dan Karneades, serta tradisi Pyrrhonian yang berasal dari ajaran Pyrrho dari
Elis. Kedua cabang ini sama-sama mengedepankan sikap menangguhkan penilaian
atas kebenaran proposisi yang tidak dapat diverifikasi secara pasti, namun
berbeda dalam tujuan praktis dan intensitas epistemologisnya. Akademi Platonis
menekankan Skeptisisme sebagai sarana dialektis untuk menguji klaim-klaim
rasional, sedangkan Pyrrhonisme lebih menyoroti aspek etis dari keraguan, yakni
pencapaian ataraxia—ketenangan batin melalui kebebasan dari dogma dan
konflik intelektual.² Dengan demikian, Skeptisisme bukan hanya posisi
epistemologis, melainkan juga suatu cara hidup (bios skeptikos) yang
mengajarkan kebijaksanaan melalui ketidaktaklukan pada opini dan prasangka.³
Dalam konteks metodologis, Skeptisisme menolak
anggapan bahwa manusia dapat memperoleh dasar pengetahuan yang pasti melalui
indra ataupun rasio. Para skeptis berargumen bahwa setiap klaim pengetahuan
selalu berhadapan dengan kemungkinan kesalahan persepsi, bias kognitif, atau
ketidakkonsistenan logis. Oleh karena itu, mereka menolak “kriteria kebenaran”
yang diajukan oleh para dogmatis dan justru menegaskan pentingnya kesadaran
akan keterbatasan akal manusia.⁴ Prinsip ini kelak memengaruhi berbagai tradisi
filosofis berikutnya, termasuk Descartes dengan doute méthodique-nya dan
empirisisme modern yang mengakui peran ketidakpastian dalam pengetahuan ilmiah.
Secara filosofis, Skeptisisme Kuno memiliki fungsi
ganda. Pertama, ia berfungsi destruktif karena membongkar asumsi-asumsi dasar
yang tidak dapat dibuktikan secara rasional. Kedua, ia memiliki fungsi
konstruktif karena membuka ruang bagi refleksi yang lebih kritis, rasional, dan
terbuka terhadap koreksi. Dalam pengertian ini, Skeptisisme tidak sekadar
menolak kebenaran, melainkan menunda penerimaannya hingga bukti yang memadai
ditemukan.⁵ Melalui sikap ini, para skeptis berusaha menjaga keseimbangan
antara kebijaksanaan dan kerendahan hati intelektual. Dengan demikian,
Skeptisisme Kuno dapat dipahami sebagai fase penting dalam evolusi kesadaran
rasional manusia—sebuah upaya untuk menegaskan bahwa pengetahuan sejati hanya
mungkin bila manusia terlebih dahulu menyadari keterbatasan dirinya sendiri.⁶
Oleh karena itu, bagian pendahuluan ini menegaskan
bahwa Skeptisisme Kuno bukanlah bentuk nihilisme atau penyangkalan terhadap
pengetahuan, melainkan suatu refleksi mendalam tentang kondisi epistemik
manusia. Ia menolak klaim kebenaran absolut tanpa bukti yang memadai, namun
tetap mengakui nilai praktis dari pencarian kebenaran. Dalam hal ini,
Skeptisisme mengajarkan bahwa kebijaksanaan sejati tidak terletak pada
kepastian, melainkan pada kesediaan untuk terus mencari dan mempertanyakan.
Dengan fondasi inilah, seluruh pembahasan dalam artikel ini akan menelusuri
dimensi historis, ontologis, epistemologis, dan etis Skeptisisme Kuno, serta
relevansinya dalam konteks pemikiran kontemporer.
Footnotes
[1]
Richard H. Popkin, The History of Scepticism:
From Savonarola to Bayle (Oxford: Oxford University Press, 2003), 3–5.
[2]
Julia Annas dan Jonathan Barnes, The Modes of
Scepticism: Ancient Texts and Modern Interpretations (Cambridge: Cambridge
University Press, 1985), 14–18.
[3]
Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism,
diterj. R.G. Bury (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1933), I.8–10.
[4]
Myles Burnyeat, “Can the Sceptic Live His
Scepticism?,” Proceedings of the Aristotelian Society, Vol. 55 (1981):
117–119.
[5]
Michael Frede, Essays in Ancient Philosophy
(Minneapolis: University of Minnesota Press, 1987), 156–160.
[6]
Pierre Hadot, Philosophy as a Way of Life
(Oxford: Blackwell Publishing, 1995), 88–92.
2.
Landasan
Historis dan Genealogis
Skeptisisme Kuno tidak muncul secara tiba-tiba,
melainkan merupakan hasil dari proses evolusi intelektual yang panjang dalam
sejarah filsafat Yunani. Akar genealogisnya dapat ditelusuri sejak masa
pra-Sokratik, di mana para pemikir awal seperti Herakleitos dan Parmenides
telah memperdebatkan hakikat perubahan dan kebenaran. Herakleitos menekankan
bahwa segala sesuatu berada dalam keadaan berubah terus-menerus (panta rhei),
sehingga pengetahuan manusia tidak pernah bisa mencapai kepastian absolut.
Sebaliknya, Parmenides menegaskan bahwa hanya yang “ada” yang dapat diketahui,
sedangkan perubahan adalah ilusi perseptual. Pertentangan ontologis antara
keduanya membuka ruang bagi munculnya kesadaran skeptis terhadap keterbatasan
pengetahuan manusia dalam memahami realitas yang tidak stabil.¹
Pada abad ke-5 SM, kaum Sofis seperti Protagoras
dan Gorgias semakin memperkuat arah relativistik yang menjadi fondasi bagi
Skeptisisme. Protagoras, dengan maksim terkenalnya “manusia adalah ukuran
segala sesuatu” (homo mensura), menegaskan bahwa kebenaran bersifat
relatif terhadap persepsi individu.² Sementara itu, Gorgias dalam risalahnya Peri
tou mē ontos (“Tentang Yang Tidak Ada”) berargumen bahwa tidak ada sesuatu
pun yang benar-benar ada, dan sekalipun ada, manusia tidak dapat mengetahuinya;
bahkan jika dapat diketahui, tidak mungkin dapat dikomunikasikan.³ Argumentasi
para Sofis ini mengguncang kepercayaan tradisional terhadap kemampuan rasio
untuk menemukan kebenaran universal, sekaligus menyiapkan landasan bagi
lahirnya Skeptisisme sebagai aliran yang lebih sistematis.
Socrates, meskipun tidak dapat disebut sebagai
seorang skeptis dalam pengertian klasik, memainkan peran penting dalam
genealoginya. Melalui metode elenchus (dialog refutatif), Socrates
menyingkap ketidaktahuan tersembunyi dalam keyakinan orang lain, dan secara
paradoks menegaskan kebijaksanaan dalam pengakuan atas ketidaktahuan (oida
ouk eidos).⁴ Sikap “tidak tahu” Socrates menjadi inspirasi bagi tradisi
Skeptisisme Akademik, yang berkembang setelah kematian Plato. Dalam Akademi
Baru yang dipimpin Arkesilaos (sekitar 268–241 SM), Skeptisisme mulai
diformulasikan sebagai metode dialektis yang menolak setiap klaim pengetahuan
yang tidak dapat dibuktikan secara pasti. Arkesilaos menafsirkan ajaran Plato
bukan sebagai dogma metafisis, melainkan sebagai ajakan untuk terus mencari
kebenaran tanpa mengklaim kepastian apa pun.⁵
Penerus Arkesilaos, Karneades (214–129 SM),
mengembangkan Skeptisisme Akademik menjadi lebih matang dengan menekankan bahwa
walaupun pengetahuan yang pasti tidak mungkin dicapai, manusia tetap dapat
mencapai tingkat probabilitas rasional (pithanon).⁶ Bagi Karneades,
kebenaran bukanlah sesuatu yang mutlak, melainkan sesuatu yang dapat diterima
sejauh memiliki dukungan argumentatif yang kuat dan konsisten. Pendekatan ini
menjadikan Skeptisisme Akademik bersifat lebih moderat dan pragmatis dibanding
Pyrrhonisme, karena masih mengakui nilai fungsional dari opini yang masuk akal
dalam kehidupan praktis.
Sementara itu, di jalur lain, Pyrrho dari Elis
(sekitar 360–270 SM) dianggap sebagai pendiri tradisi Pyrrhonian, bentuk
Skeptisisme yang lebih radikal dan eksistensial. Pyrrho, yang pernah mengikuti
ekspedisi Aleksander Agung hingga ke India dan berinteraksi dengan para filsuf
Timur (kemungkinan para Brahmana dan Gymnosofis), dipengaruhi oleh pandangan
bahwa kebahagiaan sejati hanya dapat dicapai melalui pelepasan dari opini dan
penilaian.⁷ Dari pengalaman itu, ia merumuskan prinsip epoché
(penangguhan penilaian) sebagai jalan menuju ataraxia (ketenangan
batin). Dalam sistem ini, skeptisisme tidak lagi sekadar metode epistemologis,
melainkan juga bentuk asketisme intelektual.⁸
Tradisi Pyrrhonian ini kemudian disistematisasi
oleh Sextus Empiricus (abad ke-2 M), seorang dokter dan filsuf Yunani-Romawi
yang menulis karya monumental Outlines of Pyrrhonism. Ia
mendokumentasikan secara sistematis berbagai tropoi (modus) Skeptisisme
yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh sebelumnya, termasuk sepuluh modus
Aenesidemus dan lima modus Agrippa.⁹ Sextus berusaha menunjukkan bahwa bagi
setiap klaim kebenaran, selalu mungkin ditemukan argumen yang sama kuatnya di
sisi berlawanan, sehingga penangguhan penilaian adalah sikap rasional yang
paling konsisten.¹⁰
Dengan demikian, genealogis Skeptisisme Kuno
memperlihatkan kesinambungan dan transformasi dari relativisme Sofistik,
dialektika Socratic, hingga sistematik Pyrrhonisme dan Akademisisme. Aliran ini
tidak sekadar menyangsikan kemampuan akal, tetapi juga mengajarkan
kebijaksanaan dalam menghadapi keterbatasan manusia. Dari sinilah tampak bahwa
Skeptisisme bukanlah bentuk pesimisme intelektual, melainkan ekspresi dari
kerendahan hati epistemik yang mendalam terhadap misteri kebenaran dan
realitas.
Footnotes
[1]
G.S. Kirk, J.E. Raven, dan M. Schofield, The
Presocratic Philosophers (Cambridge: Cambridge University Press, 1983),
188–192.
[2]
Protagoras, fragmen B1 dalam Diels-Kranz, Die
Fragmente der Vorsokratiker, 6th ed., vol. 2 (Berlin: Weidmann, 1952), 250.
[3]
Gorgias, On Non-Existence or On Nature,
dalam Kathleen Freeman, Ancilla to the Pre-Socratic Philosophers
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1957), 137–139.
[4]
Plato, Apology, 21d–23c, diterj. Benjamin
Jowett (Oxford: Clarendon Press, 1892).
[5]
Cicero, Academica, diterj. H. Rackham
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1933), II.7–10.
[6]
Jonathan Barnes, The Cambridge Companion to
Ancient Scepticism (Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 48–51.
[7]
Diogenes Laertius, Lives and Opinions of Eminent
Philosophers, diterj. R.D. Hicks (Cambridge, MA: Harvard University Press,
1925), IX.61–65.
[8]
Pierre Hadot, Philosophy as a Way of Life
(Oxford: Blackwell Publishing, 1995), 92–95.
[9]
Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism,
diterj. R.G. Bury (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1933), I.31–35.
[10]
R.J. Hankinson, The Sceptics (London:
Routledge, 1995), 24–28.
3.
Ontologi:
Realitas dalam Pandangan Skeptis
Dalam kerangka Skeptisisme Kuno, persoalan ontologi
menempati posisi yang paradoksal: di satu sisi, para skeptis mengakui bahwa
manusia berhadapan dengan dunia empiris yang tampak nyata; namun di sisi lain,
mereka menolak untuk memberikan penilaian pasti mengenai hakikat realitas
tersebut. Realitas, bagi kaum skeptis, bukanlah sesuatu yang dapat dipastikan
secara metafisis, melainkan sesuatu yang selalu terbuka bagi penafsiran,
kesalahan, dan relativitas pengalaman.¹ Dalam pengertian ini, Skeptisisme Kuno
tidak berpretensi membangun sistem ontologis baru, melainkan justru
mempertanyakan validitas semua sistem ontologis yang mengklaim mengetahui “apa
yang sesungguhnya ada.”
Pyrrho dari Elis, pendiri tradisi Pyrrhonian,
menolak segala bentuk klaim ontologis dengan menegaskan bahwa manusia tidak
mungkin mengetahui hakikat sejati dari sesuatu (physis tōn pragmatōn).²
Menurutnya, pengalaman manusia hanya memperlihatkan fenomena atau gejala (phainomena),
bukan esensi yang tersembunyi di baliknya. Karena itu, setiap upaya untuk
menyimpulkan hakikat dari realitas akan berujung pada kontradiksi, sebab setiap
proposisi metafisis dapat selalu ditentang oleh proposisi lain yang sama
kuatnya.³ Dalam kondisi demikian, sikap yang paling bijak bukanlah menyatakan
bahwa realitas itu “ada” atau “tidak ada,” tetapi menangguhkan penilaian (epoché).
Dengan penangguhan ini, subjek mencapai ataraxia—ketenangan batin yang
lahir dari pembebasan diri terhadap tuntutan kepastian ontologis.⁴
Sikap ini berbeda secara tajam dari metafisika
klasik Yunani, seperti yang diajukan oleh Parmenides atau Aristoteles.
Parmenides menganggap bahwa “yang ada adalah, dan yang tidak ada bukanlah,”
sementara Aristoteles berusaha merumuskan prinsip identitas dan substansi
sebagai dasar bagi pengetahuan tentang realitas.⁵ Para skeptis memandang klaim
semacam itu sebagai bentuk “dogmatisme ontologis,” yakni upaya manusia untuk
melampaui kapasitas pengetahuannya sendiri. Bagi kaum skeptis, bahkan proposisi
metafisis yang tampaknya paling mendasar sekalipun tidak dapat dibuktikan tanpa
menghadirkan lingkaran setan argumen atau asumsi yang tidak diverifikasi.
Sextus Empiricus mengilustrasikan hal ini dalam Outlines of Pyrrhonism,
di mana ia menunjukkan bahwa setiap argumen ontologis tentang hakikat sesuatu
akan menghadapi trilema Agrippa: kebutuhan akan pembuktian tak berhingga
(infinite regress), dogma yang tidak terverifikasi, atau sirkularitas
penalaran.⁶
Dalam konteks ini, realitas bagi kaum skeptis hanya
dapat diakui sejauh ia muncul dalam bentuk fenomena yang dapat dialami, bukan
dalam hakikat metafisisnya. Mereka tidak menolak pengalaman inderawi, tetapi
menolak generalisasi metafisik dari pengalaman tersebut. Ketika seseorang
mengatakan “api panas,” kaum skeptis tidak menyangkal pengalaman panas itu, tetapi
menolak untuk menganggap “panas” sebagai sifat hakiki api secara universal dan
mutlak.⁷ Dengan demikian, realitas menjadi sesuatu yang bersifat relatif
terhadap persepsi dan keadaan subjek yang mengalami.
Namun, penting dicatat bahwa relativitas ontologis
dalam Skeptisisme tidak berarti nihilisme ontologis. Pyrrho dan Sextus tidak
berpendapat bahwa realitas tidak ada sama sekali, tetapi bahwa manusia tidak
memiliki sarana epistemik untuk menentukannya secara pasti.⁸ Dalam hal ini,
Skeptisisme bersifat agnostik ontologis: ia tidak mengafirmasi ataupun
menolak realitas metafisis, melainkan menahan diri dari segala klaim yang
melampaui pengalaman fenomenal. Pandangan ini kemudian mengilhami tradisi
empiris dan fenomenologis modern, termasuk pada pemikiran David Hume dan Edmund
Husserl, yang sama-sama menekankan prioritas pengalaman atas metafisika
spekulatif.⁹
Sikap skeptis terhadap realitas juga mengandung
implikasi etis dan eksistensial yang mendalam. Dengan menolak klaim tentang
hakikat “yang ada,” manusia terbebas dari ketegangan dogmatis dan dapat hidup
dengan kesadaran penuh akan ketidakpastian. Realitas tidak lagi menjadi sesuatu
yang harus “dipastikan,” melainkan sesuatu yang harus “dihayati.” Dalam hal
ini, Skeptisisme Kuno menampilkan dimensi ontologis yang bersifat terapeutik:
ia bukan sekadar keraguan intelektual, tetapi juga jalan menuju kebijaksanaan
yang tenang dan seimbang di tengah ketidakpastian eksistensial.¹⁰
Footnotes
[1]
Richard Bett, How to Be a Pyrrhonist: The
Practice and Significance of Pyrrhonian Skepticism (Cambridge: Cambridge
University Press, 2019), 22–25.
[2]
Diogenes Laertius, Lives and Opinions of Eminent
Philosophers, diterj. R.D. Hicks (Cambridge, MA: Harvard University Press,
1925), IX.61–63.
[3]
Gisela Striker, “The Ten Modes of Aenesidemus,”
dalam The Cambridge Companion to Ancient Scepticism, ed. Richard Bett
(Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 91–94.
[4]
Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism,
diterj. R.G. Bury (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1933), I.10–12.
[5]
Aristotle, Metaphysics, diterj. W.D. Ross
(Oxford: Clarendon Press, 1928), I.3–5.
[6]
Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism,
I.164–168.
[7]
Michael Frede, Essays in Ancient Philosophy
(Minneapolis: University of Minnesota Press, 1987), 166–169.
[8]
Jonathan Barnes, The Toils of Scepticism
(Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 35–38.
[9]
David Hume, A Treatise of Human Nature
(Oxford: Oxford University Press, 2000), 183–187; Edmund Husserl, Ideas
Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy,
diterj. F. Kersten (The Hague: Martinus Nijhoff, 1983), 45–47.
[10]
Pierre Hadot, What Is Ancient Philosophy?
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2002), 115–118.
4.
Epistemologi:
Keraguan sebagai Jalan Menuju Pengetahuan
Dalam tradisi Skeptisisme Kuno, epistemologi
menjadi medan utama tempat berlangsungnya perdebatan filosofis antara klaim
pengetahuan dan batas kemampuan manusia untuk mengetahuinya. Bagi para skeptis,
keraguan bukanlah akhir dari pengetahuan, melainkan titik tolak menuju
pemahaman yang lebih jernih tentang keterbatasan manusia. Mereka tidak menolak
pengetahuan secara total, tetapi menolak pretensi kepastian yang diklaim oleh
para dogmatis, baik dari kubu rasionalis seperti para Stoik maupun kaum empiris
awal. Dengan demikian, Skeptisisme mengajukan kritik epistemologis yang
mendalam terhadap dasar-dasar keyakinan manusia tentang kebenaran.¹
Pyrrho dari Elis meletakkan dasar bagi pendekatan
epistemologis ini dengan menyatakan bahwa semua penilaian tentang realitas
bersifat problematis karena selalu didasarkan pada persepsi dan opini yang
kontradiktif.² Ketika manusia mengamati sesuatu, pengamatannya tidak pernah
murni; ia terikat pada kondisi, sudut pandang, dan instrumen indra yang terbatas.
Oleh karena itu, Pyrrho menyarankan agar manusia menangguhkan penilaian (epoché)
terhadap setiap proposisi pengetahuan, karena setiap klaim selalu memiliki
argumen yang dapat diseimbangkan oleh argumen tandingan (isostheneia).³
Dengan menunda keputusan epistemik, manusia dapat mencapai ataraxia—suatu
ketenangan jiwa yang lahir dari kesadaran akan keterbatasan pengetahuan.
Arkesilaos dan Karneades, tokoh utama Skeptisisme
Akademik, mengembangkan gagasan Pyrrho dengan cara yang lebih sistematis.
Arkesilaos menolak seluruh kriteria kebenaran yang diajukan oleh kaum Stoik,
seperti konsep katalepsis (pencerapan yang meyakinkan), karena setiap
pencerapan inderawi selalu dapat ditiru oleh ilusi atau kesalahan persepsi.⁴ Ia
menegaskan bahwa tidak ada perbedaan pasti antara kesan yang benar dan yang
salah, sehingga manusia tidak pernah bisa mencapai kepastian epistemik. Namun,
Arkesilaos tidak menyerukan pengabaian terhadap rasio, melainkan menganjurkan
penggunaan dialektika untuk membongkar klaim kepastian pihak lain, seraya
mempertahankan sikap kritis yang konsisten.
Karneades, penerus Arkesilaos, memperkenalkan
konsep pithanon (kemungkinan atau probabilitas) sebagai bentuk kompromi
epistemologis.⁵ Menurutnya, walaupun kebenaran mutlak tidak dapat dicapai,
manusia masih dapat mencapai tingkat keyakinan yang rasional melalui bukti yang
tampak paling mungkin benar. Pandangan ini membuat Skeptisisme Akademik
bersifat pragmatis: ia memungkinkan tindakan etis dan politik tanpa jatuh ke
dalam relativisme total.⁶ Dengan demikian, bagi Karneades, epistemologi skeptis
bukanlah nihilisme intelektual, tetapi metode penyelidikan yang berhati-hati
dan terbuka terhadap revisi.
Dalam tradisi Pyrrhonian yang dikembangkan oleh
Sextus Empiricus, aspek metodologis Skeptisisme semakin ditegaskan. Sextus
menyusun tropoi atau modus skeptis—yakni seperangkat strategi
argumentatif untuk menunjukkan kelemahan klaim epistemik manusia. Misalnya, Sepuluh
Modus Aenesidemus menunjukkan bahwa perbedaan persepsi di antara makhluk
hidup, manusia, dan bahkan kondisi tubuh yang berbeda, mengindikasikan
relativitas pengalaman dan ketidakmungkinan mencapai kebenaran universal.⁷
Sementara Lima Modus Agrippa menyoroti problem logis dalam pengetahuan:
(1) regresus tak berhingga, (2) relativitas, (3) hipotesis yang tak terbukti,
(4) sirkularitas argumen, dan (5) perbedaan opini yang tak terselesaikan.⁸
Modus-modus ini menunjukkan bahwa setiap sistem pengetahuan pada akhirnya
bertumpu pada asumsi yang tidak dapat dibuktikan, sehingga penangguhan
penilaian tetap menjadi sikap epistemik yang paling konsisten.
Menariknya, Skeptisisme tidak menghancurkan
epistemologi, melainkan mendefinisikannya kembali. Dalam pandangan Sextus,
kehidupan manusia tetap dapat dijalani tanpa klaim kepastian: manusia dapat
mengikuti phainomena (fenomena yang tampak) sebagai panduan praktis
tanpa harus menganggapnya sebagai kebenaran metafisis.⁹ Dengan mengikuti
“tampakan” dan konvensi sosial, manusia tetap dapat berfungsi secara rasional
dalam kehidupan sehari-hari tanpa terjebak dalam dogma. Di sinilah letak
kebijaksanaan Skeptisisme: mengajarkan cara berpikir yang kritis, hati-hati,
dan bebas dari klaim absolutisme.
Dalam perspektif historis, epistemologi Skeptisisme
Kuno memberikan fondasi bagi perkembangan metode ilmiah modern. Sikap
hati-hati, pengujian berulang, dan kesediaan untuk merevisi teori berdasarkan
bukti merupakan warisan langsung dari semangat skeptis ini. Descartes, meskipun
memiliki tujuan berbeda, mengadopsi “keraguan metodis” sebagai cara untuk
mencapai kepastian rasional.¹⁰ Namun, jika Descartes menjadikan keraguan
sebagai alat menuju kepastian, para skeptis klasik menjadikannya sebagai bentuk
kesadaran filosofis tentang keterbatasan pengetahuan manusia. Dengan demikian,
Skeptisisme Kuno tetap relevan sebagai fondasi bagi epistemologi yang kritis,
terbuka, dan empiris, yang tidak menolak pengetahuan tetapi selalu mengujinya
dengan kesangsian yang sehat.
Footnotes
[1]
Richard Popkin, The History of Scepticism: From
Savonarola to Bayle (Oxford: Oxford University Press, 2003), 7–10.
[2]
Diogenes Laertius, Lives and Opinions of Eminent
Philosophers, diterj. R.D. Hicks (Cambridge, MA: Harvard University Press,
1925), IX.61–63.
[3]
Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism,
diterj. R.G. Bury (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1933), I.8–10.
[4]
Cicero, Academica, diterj. H. Rackham
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1933), II.12–15.
[5]
Jonathan Barnes, The Toils of Scepticism
(Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 45–49.
[6]
Myles Burnyeat, “Carneades,” dalam The Cambridge
History of Hellenistic Philosophy, ed. Keimpe Algra et al. (Cambridge:
Cambridge University Press, 1999), 72–75.
[7]
Gisela Striker, “The Ten Modes of Aenesidemus,”
dalam The Cambridge Companion to Ancient Scepticism, ed. Richard Bett
(Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 93–96.
[8]
Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism,
I.164–168.
[9]
Michael Frede, Essays in Ancient Philosophy
(Minneapolis: University of Minnesota Press, 1987), 173–176.
[10]
René Descartes, Meditations on First Philosophy,
diterj. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 17–20.
5.
Etika
Skeptisisme: Menuju Ataraxia
Etika Skeptisisme Kuno berakar pada keyakinan bahwa
kebahagiaan sejati (eudaimonia) hanya dapat dicapai melalui kebebasan
dari kekacauan batin yang disebabkan oleh keyakinan dogmatis dan klaim
kebenaran yang berlebihan. Tidak seperti sistem etika lain dalam filsafat
Yunani—seperti Stoisisme yang menekankan hidup sesuai rasio alam, atau
Epikureanisme yang mengajarkan kenikmatan sebagai kebaikan
tertinggi—Skeptisisme menempatkan ataraxia (ketenangan batin) sebagai
tujuan akhir kehidupan moral.¹ Ketenangan tersebut diperoleh bukan melalui
penguasaan atas dunia atau pengetahuan tentang kebenaran metafisis, melainkan
melalui kesadaran mendalam akan keterbatasan manusia dan kemampuan untuk
menangguhkan penilaian (epoché) terhadap segala sesuatu yang tidak
pasti.
Pyrrho dari Elis, tokoh utama yang dianggap pendiri
Skeptisisme, menegaskan bahwa penderitaan manusia muncul dari kelekatan
terhadap opini dan keyakinan yang tidak pasti.² Manusia cenderung terguncang
oleh perbedaan persepsi dan nilai karena mereka menganggap sesuatu sebagai
“baik” atau “buruk” secara mutlak. Pyrrho mengajarkan bahwa kebijaksanaan
sejati muncul ketika seseorang menyadari bahwa segala sesuatu pada dasarnya
“tidak dapat ditentukan” (adiaphora), “tidak stabil” (astathmēta),
dan “tidak dapat dinilai secara pasti” (anepikrita).³ Dengan demikian,
penangguhan penilaian bukanlah sikap pasif, melainkan suatu tindakan sadar
untuk membebaskan diri dari belenggu opini yang menimbulkan kegelisahan batin.
Sextus Empiricus, yang menyistematisasi ajaran
Pyrrho dalam Outlines of Pyrrhonism, menjelaskan hubungan erat antara epoché
dan ataraxia. Menurutnya, pencapaian ketenangan batin bukanlah tujuan
yang dicari secara langsung, melainkan hasil sampingan (parakolouthēma)
dari praktik skeptisisme.⁴ Saat seseorang menahan diri dari penilaian tentang
benar atau salah, ia secara alami terbebas dari konflik mental yang timbul
akibat perbedaan pandangan. Dengan kata lain, ataraxia bukanlah suatu
keadaan metafisik, tetapi sebuah kondisi psikologis dan etis yang muncul dari
kesadaran epistemik yang mendalam.⁵
Etika skeptis ini berfungsi sebagai terapi
filosofis (therapeia), suatu bentuk penyembuhan terhadap penderitaan
yang bersumber dari dogmatisme intelektual.⁶ Berbeda dengan etika rasionalis
yang menekankan pengetahuan tentang kebaikan, Skeptisisme menegaskan bahwa
kebahagiaan tidak bergantung pada pengetahuan, melainkan pada kemampuan untuk
hidup tanpa klaim kepastian. Dalam hal ini, Skeptisisme sejajar dengan tradisi
Hellenistik lain seperti Stoisisme dan Epikureanisme yang sama-sama berupaya
mencapai ketenangan jiwa, namun berbeda dalam metode dan orientasi. Stoik
berusaha menundukkan diri pada tatanan rasional kosmos, sementara skeptis
menolak membuat penilaian apa pun tentang kosmos itu sendiri.⁷
Pendekatan etis ini juga menyoroti dimensi praktis
dari Skeptisisme: seorang skeptis tetap dapat hidup secara moral tanpa harus
memiliki sistem nilai absolut. Ia bertindak sesuai dengan fenomena dan
kebiasaan umum (kata ta phainomena kai ta nomizomena), mengikuti hukum,
adat, dan norma sosial sejauh itu membantu menjaga ketenangan batin.⁸ Dalam
konteks ini, Skeptisisme tidak berujung pada anarki moral, tetapi justru
menumbuhkan toleransi, kebijaksanaan, dan kesederhanaan hidup. Karena tidak
terikat pada pandangan tertentu, skeptisisme melatih seseorang untuk menerima
keragaman dan ketidakpastian dunia tanpa kehilangan keseimbangan batin.
Etika Skeptisisme juga memiliki resonansi spiritual
yang mendalam. Bagi Sextus Empiricus, manusia yang hidup skeptis adalah mereka
yang telah berdamai dengan keterbatasan akal dan tidak lagi merasa perlu
menguasai kebenaran.⁹ Ketenangan ini bukanlah kelesuan intelektual, melainkan
bentuk kebijaksanaan aktif yang terus memeriksa setiap klaim tanpa melekat
padanya. Dalam bahasa Pierre Hadot, Skeptisisme dapat dianggap sebagai “cara
hidup filosofis” (bios philosophikos)—bukan sekadar doktrin, melainkan
latihan spiritual untuk mencapai kebebasan batin melalui disiplin berpikir
kritis.¹⁰
Dengan demikian, etika Skeptisisme Kuno mengajarkan
bahwa kebahagiaan tidak terletak pada kepastian, melainkan pada kemampuan untuk
hidup dalam ketidakpastian dengan tenang dan sadar. Keraguan bukanlah sumber
penderitaan, melainkan sarana pembebasan dari kesombongan epistemik. Melalui epoché,
manusia belajar untuk melepaskan diri dari keharusan selalu benar; melalui ataraxia,
ia menemukan ketenangan dalam pengakuan bahwa dunia tidak perlu dipastikan
untuk dapat dijalani dengan bijak.¹¹
Footnotes
[1]
Martha C. Nussbaum, The Therapy of Desire:
Theory and Practice in Hellenistic Ethics (Princeton: Princeton University
Press, 1994), 288–291.
[2]
Diogenes Laertius, Lives and Opinions of Eminent
Philosophers, diterj. R.D. Hicks (Cambridge, MA: Harvard University Press,
1925), IX.61–65.
[3]
Richard Bett, Pyrrho, His Antecedents and His
Legacy (Oxford: Oxford University Press, 2000), 45–48.
[4]
Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism,
diterj. R.G. Bury (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1933), I.10–12.
[5]
Gisela Striker, “Ataraxia: Happiness as
Tranquility,” dalam The Cambridge Companion to Ancient Scepticism, ed.
Richard Bett (Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 114–117.
[6]
Pierre Hadot, Philosophy as a Way of Life
(Oxford: Blackwell Publishing, 1995), 94–96.
[7]
A.A. Long dan D.N. Sedley, The Hellenistic
Philosophers, vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 28–30.
[8]
Jonathan Barnes, The Toils of Scepticism
(Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 65–68.
[9]
Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism,
I.23–25.
[10]
Pierre Hadot, What Is Ancient Philosophy?
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2002), 118–121.
[11]
Michael Frede, Essays in Ancient Philosophy
(Minneapolis: University of Minnesota Press, 1987), 178–181.
6.
Perbandingan
dengan Aliran Filsafat Lain
Skeptisisme Kuno tidak berkembang dalam ruang hampa
intelektual. Ia merupakan bagian dari dinamika besar filsafat Yunani yang
melibatkan interaksi, perdebatan, dan kritik dengan berbagai aliran lain
seperti Dogmatisme, Stoisisme, Epikureanisme, dan bahkan Rasionalisme awal.
Melalui perbandingan ini, dapat terlihat dengan lebih jelas posisi filosofis
Skeptisisme: bukan sebagai penolakan terhadap akal budi, melainkan sebagai
koreksi kritis terhadap klaim-klaim kebenaran yang dianggap absolut.¹
Kaum Dogmatis, terutama dari mazhab Stoik, percaya
bahwa manusia memiliki kemampuan alami untuk mengenali kebenaran melalui apa
yang mereka sebut kataleptikē phantasia—yakni persepsi yang begitu jelas
dan meyakinkan sehingga tidak mungkin salah.² Dalam pandangan Stoik, akal
manusia memiliki kesesuaian dengan tatanan rasional kosmos (logos),
sehingga pengetahuan sejati dapat dicapai bila seseorang hidup selaras dengan
rasio universal tersebut.³ Kaum skeptis, baik dari Akademi maupun Pyrrhonian,
menolak klaim ini dengan alasan bahwa tidak ada persepsi yang bebas dari
kemungkinan kesalahan atau penipuan indra.⁴ Mereka menegaskan bahwa apa yang
tampak benar bagi seseorang dapat tampak salah bagi orang lain, dan tidak ada
kriteria objektif yang dapat menentukan perbedaan di antara keduanya tanpa
jatuh ke dalam lingkaran pembuktian. Dengan demikian, Skeptisisme berperan
sebagai oposisi dialektis terhadap Dogmatisme rasional Stoik.
Perdebatan dengan kaum Epikurean juga menempati
tempat penting. Epikurus berpendapat bahwa indra adalah sumber utama
pengetahuan yang dapat dipercaya; segala kesalahan tidak berasal dari persepsi,
melainkan dari penilaian yang salah atas persepsi tersebut.⁵ Bagi Skeptisisme,
posisi ini tetap terlalu optimistik. Sextus Empiricus menunjukkan bahwa
sekalipun kita menerima data indrawi apa adanya, perbedaan kondisi tubuh, lingkungan,
atau alat persepsi tetap menimbulkan keraguan tentang keandalannya.⁶ Dalam hal
ini, Skeptisisme memperluas kritiknya terhadap empirisme primitif dengan
menekankan dimensi epistemik yang lebih radikal—bahwa bahkan dasar pengalaman
itu sendiri tidak dapat dijadikan fondasi pengetahuan mutlak.
Jika dibandingkan dengan Platonisme dan
Aristotelianisme, Skeptisisme mengambil posisi antitesis terhadap pendekatan
metafisik. Plato menekankan dunia ide sebagai sumber kebenaran sejati yang
hanya dapat dicapai melalui rasio murni, sedangkan Aristoteles menempatkan
substansi sebagai realitas dasar yang dapat diketahui melalui kategori logis
dan observasi.⁷ Para skeptis menolak kedua pendekatan tersebut karena keduanya
berasumsi bahwa realitas memiliki struktur tetap yang dapat diketahui secara
pasti.⁸ Menurut Skeptisisme, setiap sistem metafisika adalah hasil dari
konstruksi logis manusia yang tidak bisa diverifikasi secara independen dari
pengalaman yang relatif. Dengan kata lain, kebenaran bagi mereka tidak bersifat
ontologis, melainkan fenomenologis—hanya sejauh sesuatu tampak
demikian, bukan karena memiliki esensi tertentu.
Dalam konteks etika, Skeptisisme memiliki kedekatan
tertentu dengan Stoisisme dan Epikureanisme karena ketiganya mengejar ataraxia
(ketenangan batin) sebagai tujuan akhir kehidupan. Namun, jalan yang ditempuh
berbeda. Bagi Stoik, ataraxia dicapai melalui kebajikan rasional dan
penerimaan terhadap tatanan alam; bagi Epikurean, melalui kenikmatan yang
diatur oleh rasio dan penghindaran penderitaan; sementara bagi Skeptis, melalui
penangguhan penilaian yang membebaskan manusia dari konflik batin akibat
klaim-klaim nilai yang saling bertentangan.⁹ Dengan demikian, etika skeptis
bersifat negatif dalam arti terapeutik: ia tidak menawarkan prinsip moral baru,
tetapi menawarkan cara untuk hidup tenang di tengah pluralitas nilai.
Jika dibandingkan dengan Rasionalisme modern,
khususnya Descartes, Skeptisisme tampak memiliki kemiripan formal tetapi
perbedaan tujuan. Descartes menggunakan keraguan sebagai metode untuk menemukan
kebenaran yang pasti (cogito ergo sum), sementara Skeptisisme Kuno
menggunakan keraguan sebagai cara untuk membebaskan diri dari keharusan
menemukan kebenaran.¹⁰ Bagi Descartes, keraguan adalah sarana menuju kepastian;
bagi Sextus Empiricus, keraguan adalah bentuk kebijaksanaan.¹¹ Dengan demikian,
Skeptisisme lebih menyerupai “filsafat hidup” daripada sekadar metode
intelektual: ia menolak sistem, tetapi tidak menolak akal; ia menerima
relativitas, tetapi tidak terjerumus dalam nihilisme.
Dalam keseluruhan perbandingan ini, Skeptisisme
dapat dipahami sebagai filsafat batas (philosophia peri to peras): ia
berfungsi untuk mengingatkan bahwa akal manusia, betapapun tajamnya, selalu
beroperasi dalam medan ketidakpastian. Ia menjadi cermin bagi aliran-aliran
lain yang terlalu yakin pada klaim kebenarannya sendiri. Melalui konfrontasi
dengan Stoisisme, Epikureanisme, dan Platonisme, Skeptisisme memperlihatkan
pentingnya kerendahan hati intelektual sebagai fondasi filsafat sejati—sebuah
sikap yang menyadari bahwa “mengetahui bahwa kita tidak tahu” mungkin adalah
bentuk pengetahuan paling bijak yang dapat dicapai manusia.¹²
Footnotes
[1]
Richard Popkin, The History of Scepticism: From
Savonarola to Bayle (Oxford: Oxford University Press, 2003), 11–13.
[2]
Diogenes Laertius, Lives and Opinions of Eminent
Philosophers, diterj. R.D. Hicks (Cambridge, MA: Harvard University Press,
1925), VII.46–51.
[3]
A.A. Long dan D.N. Sedley, The Hellenistic
Philosophers, vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1987),
262–264.
[4]
Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism,
diterj. R.G. Bury (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1933), I.31–33.
[5]
Epicurus, Letter to Herodotus, dalam The
Epicurus Reader, ed. Brad Inwood dan L.P. Gerson (Indianapolis: Hackett
Publishing, 1994), 8–10.
[6]
Sextus Empiricus, Against the Mathematicians,
diterj. R.G. Bury (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1936), VII.65–70.
[7]
Aristotle, Metaphysics, diterj. W.D. Ross
(Oxford: Clarendon Press, 1928), I.3–5.
[8]
Jonathan Barnes, The Toils of Scepticism
(Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 52–56.
[9]
Martha C. Nussbaum, The Therapy of Desire:
Theory and Practice in Hellenistic Ethics (Princeton: Princeton University
Press, 1994), 293–295.
[10]
René Descartes, Meditations on First Philosophy,
diterj. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 16–18.
[11]
Myles Burnyeat, “Can the Sceptic Live His
Scepticism?,” Proceedings of the Aristotelian Society 55 (1981):
120–124.
[12]
Pierre Hadot, What Is Ancient Philosophy?
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2002), 122–125.
7.
Kritik
terhadap Skeptisisme
Sejak awal kemunculannya, Skeptisisme Kuno telah
menimbulkan perdebatan tajam di kalangan filsuf karena sikapnya yang ekstrem
terhadap kemungkinan pengetahuan. Walaupun banyak yang mengakui nilai
metodologisnya dalam mengasah kemampuan berpikir kritis, Skeptisisme juga
sering dituduh sebagai posisi yang secara praktis tidak dapat dipertahankan dan
secara logis kontradiktif. Kritik terhadap Skeptisisme datang dari berbagai
arah—dari kaum Dogmatis seperti Stoik dan Aristotelian, hingga para rasionalis
dan teolog di masa kemudian. Kritik-kritik ini bukan hanya menyoroti kelemahan
logis Skeptisisme, tetapi juga menanyakan konsistensi etis dan praktisnya dalam
kehidupan sehari-hari.¹
Salah satu kritik paling mendasar datang dari para
Stoik. Mereka menuduh bahwa Skeptisisme bersifat self-refuting—yakni
bahwa ketika skeptis menyatakan “tidak ada yang dapat diketahui,” mereka secara
tidak sadar mengklaim mengetahui kebenaran dari pernyataan itu sendiri.² Dalam
pandangan para Stoik, pernyataan seperti itu mengandung kontradiksi
performatif: untuk menyatakan bahwa “tidak ada yang pasti,” seseorang harus
terlebih dahulu mengandaikan bahwa pernyataannya benar, dan dengan demikian
telah melanggar prinsip penangguhan penilaian (epoché) yang diklaimnya.³
Sebagai tanggapan, para skeptis seperti Sextus Empiricus menjelaskan bahwa
Skeptisisme sejati tidak menyatakan dogma apa pun, bahkan tidak juga dogma
tentang ketidaktahuan.⁴ Mereka tidak mengatakan “tidak ada yang dapat
diketahui,” tetapi hanya “belum ditemukan sesuatu yang dapat diketahui secara
pasti.” Dengan demikian, Skeptisisme menghindari klaim kebenaran dan tetap
konsisten dalam menangguhkan penilaian.
Kritik lain menyangkut aspek praktis Skeptisisme.
Lawan-lawannya menilai bahwa sikap skeptis akan membuat seseorang tidak mampu
mengambil keputusan moral atau bertindak secara konsisten dalam kehidupan
sosial. Aristoteles, dalam kerangka etika kebajikan, menilai bahwa kehidupan
yang baik menuntut kejelasan tentang tujuan (telos) dan pengetahuan
tentang kebajikan (aretē).⁵ Tanpa kepercayaan terhadap nilai-nilai
tertentu, tindakan moral menjadi mustahil.⁶ Demikian pula, para Stoik
berpendapat bahwa ataraxia skeptis bukanlah kebajikan sejati, melainkan
bentuk pelarian dari tanggung jawab moral dan kosmis. Namun, Sextus Empiricus
membantah tuduhan ini dengan menyatakan bahwa Skeptisisme tetap memungkinkan
tindakan yang bermoral, sebab seorang skeptis hidup berdasarkan kebiasaan (ethē)
dan fenomena yang tampak (phainomena), tanpa harus menganggapnya sebagai
kebenaran mutlak.⁷
Di sisi epistemologis, para kritikus seperti
Karneades sendiri—walaupun seorang skeptis Akademik—menyadari keterbatasan
radikalisme Pyrrhonian. Ia menilai bahwa penolakan total terhadap semua bentuk
pengetahuan akan meniadakan dasar bagi rasionalitas dan tindakan. Karena itu,
Karneades memperkenalkan gagasan pithanon (probabilitas) sebagai upaya
menyelamatkan Skeptisisme dari kelumpuhan praktis (apraxia).⁸ Dengan
memperbolehkan keyakinan yang bersifat “kemungkinan besar benar,” Skeptisisme
Akademik menjadi lebih moderat dan aplikatif dibanding Pyrrhonisme yang
cenderung menolak semua klaim pengetahuan. Kritik ini memperlihatkan bahwa
bahkan di dalam tradisi Skeptisisme sendiri terdapat kesadaran akan bahaya
ekstremisme epistemik.
Dalam tradisi modern, kritik terhadap Skeptisisme
dihidupkan kembali oleh René Descartes dan Immanuel Kant. Descartes, meskipun
terinspirasi oleh keraguan skeptis, menilai bahwa Skeptisisme yang konsisten
akan berujung pada nihilisme intelektual. Ia memperkenalkan “keraguan metodis”
sebagai bentuk Skeptisisme terkendali—keraguan yang bertujuan menemukan dasar
pengetahuan yang pasti.⁹ Dengan menemukan cogito ergo sum, Descartes
bermaksud menunjukkan bahwa bahkan dalam keraguan, terdapat kepastian minimal:
eksistensi subjek yang meragukan.¹⁰ Kant melanjutkan kritik ini dengan mengakui
keterbatasan pengetahuan manusia, tetapi menolak relativisme skeptis dengan membedakan
antara “fenomena” (yang dapat diketahui) dan “noumena” (yang tidak dapat
diketahui).¹¹ Dalam hal ini, Kant menjadikan Skeptisisme sebagai batu loncatan
untuk membangun epistemologi kritis yang tetap menghargai batas rasio tanpa
terjebak dalam penyangkalan total.
Sementara itu, beberapa filsuf kontemporer seperti
Richard Popkin dan Myles Burnyeat memandang Skeptisisme sebagai fenomena
filosofis yang penting dan produktif. Mereka menilai bahwa kritik terhadap
Skeptisisme seharusnya tidak berujung pada penolakan, tetapi pada pengakuan
akan perannya sebagai penjaga kewaspadaan intelektual.¹² Dalam konteks modern,
Skeptisisme berfungsi sebagai koreksi terhadap dogmatisme ilmiah maupun
ideologis, menjaga agar pengetahuan tidak terjebak dalam absolutisme baru yang
mengklaim kebenaran tunggal. Dengan demikian, kritik terhadap Skeptisisme
justru memperlihatkan relevansinya: ia bukan kesalahan berpikir, melainkan
kesadaran kritis yang menolak kemapanan prematur dalam filsafat.¹³
Dengan meninjau kritik-kritik tersebut, jelas bahwa
Skeptisisme tidak dapat dihapuskan begitu saja dari sejarah filsafat. Ia tetap
berfungsi sebagai “cermin reflektif” yang memaksa setiap sistem berpikir untuk
mempertanggungjawabkan klaimnya. Meskipun dituduh kontradiktif dan tidak praktis,
Skeptisisme mempertahankan signifikansinya sebagai pengingat bahwa setiap
pengetahuan bersifat terbatas dan setiap keyakinan menuntut dasar yang terus
diuji. Dalam hal ini, bahkan kritik terhadap Skeptisisme menjadi bukti akan
perlunya sikap skeptis itu sendiri—yakni kerendahan hati epistemik di tengah
kesombongan rasionalitas manusia.¹⁴
Footnotes
[1]
Richard H. Popkin, The History of Scepticism:
From Savonarola to Bayle (Oxford: Oxford University Press, 2003), 15–18.
[2]
A.A. Long dan D.N. Sedley, The Hellenistic
Philosophers, vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1987),
260–262.
[3]
Jonathan Barnes, The Toils of Scepticism
(Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 59–61.
[4]
Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism,
diterj. R.G. Bury (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1933), I.12–15.
[5]
Aristotle, Nicomachean Ethics, diterj.
Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1985), I.1–3.
[6]
Martha C. Nussbaum, The Therapy of Desire:
Theory and Practice in Hellenistic Ethics (Princeton: Princeton University
Press, 1994), 286–288.
[7]
Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism,
I.22–25.
[8]
Cicero, Academica, diterj. H. Rackham
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1933), II.15–18.
[9]
René Descartes, Meditations on First Philosophy,
diterj. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 18–20.
[10]
Ibid., 21–23.
[11]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason,
diterj. Paul Guyer dan Allen Wood (Cambridge: Cambridge University Press,
1998), A235–B265.
[12]
Myles Burnyeat, “Can the Sceptic Live His
Scepticism?,” Proceedings of the Aristotelian Society 55 (1981):
117–122.
[13]
Richard Bett, How to Be a Pyrrhonist: The
Practice and Significance of Pyrrhonian Skepticism (Cambridge: Cambridge
University Press, 2019), 212–215.
[14]
Pierre Hadot, What Is Ancient Philosophy?
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2002), 125–127.
8.
Relevansi
Kontemporer
Dalam konteks dunia modern yang ditandai oleh arus
informasi cepat, polarisasi ideologis, dan krisis kepercayaan terhadap otoritas
pengetahuan, Skeptisisme Kuno mendapatkan makna baru sebagai etos intelektual
yang sangat relevan. Meskipun lahir dari dunia Yunani Kuno, prinsip-prinsip
dasar Skeptisisme—seperti penangguhan penilaian (epoché), kesadaran akan
keterbatasan pengetahuan, dan pencarian ketenangan batin melalui kebebasan dari
dogma—menawarkan fondasi filosofis yang penting bagi masyarakat global yang
sedang bergulat dengan persoalan epistemik dan etis di abad ke-21.¹
Dalam bidang epistemologi kontemporer,
Skeptisisme menjadi dasar bagi perkembangan metode ilmiah modern yang bersifat
falsifikatif dan terbuka terhadap koreksi. Karl Popper, misalnya, mengadopsi
semangat skeptis dalam teori falsifikasinya: sebuah hipotesis ilmiah tidak
pernah dapat dibuktikan secara absolut, tetapi hanya dapat diuji dan berpotensi
dibantah.² Prinsip ini menggemakan sikap Sextus Empiricus yang menolak klaim
pengetahuan final. Ilmu pengetahuan modern dengan demikian berdiri di atas
kesadaran skeptis bahwa setiap teori hanyalah sementara dan dapat digantikan
oleh penjelasan yang lebih baik.³ Dengan demikian, Skeptisisme tidak berlawanan
dengan sains, melainkan menjadi roh metodologis yang menjaga sains tetap kritis
dan dinamis.
Dalam era digital dan informasi, Skeptisisme
menjadi bekal etis dan intelektual dalam menghadapi fenomena post-truth,
misinformasi, dan bias algoritmik.⁴ Dalam lanskap media sosial yang didominasi
oleh opini subjektif dan kecepatan viralitas, kemampuan untuk menunda penilaian
sebelum menerima informasi menjadi sangat penting. Skeptisisme mengajarkan
kebijaksanaan untuk memeriksa sumber, menilai konteks, dan mengakui batas
pengetahuan pribadi sebelum menyimpulkan kebenaran. Hal ini memperlihatkan
bahwa epoché bukan hanya sikap epistemologis, tetapi juga keterampilan
kewargaan intelektual (intellectual citizenship) yang mendukung
rasionalitas publik.⁵
Secara etis dan eksistensial, Skeptisisme
relevan bagi individu modern yang hidup di tengah kompleksitas nilai dan
relativisme moral. Dalam masyarakat pluralistik, tuntutan untuk mengakui
keragaman pandangan hidup sering kali berbenturan dengan keinginan untuk
mempertahankan kepastian moral. Di sinilah Skeptisisme memberikan jalan tengah:
ia tidak menolak nilai, tetapi mengingatkan agar nilai-nilai tidak diperlakukan
sebagai absolut yang menindas kebebasan berpikir.⁶ Melalui kesadaran skeptis,
individu belajar untuk menghargai perbedaan tanpa kehilangan integritas, dan
untuk mengakui ketidaktahuan tanpa kehilangan arah hidup. Sikap skeptis yang
moderat, dalam hal ini, menjadi fondasi bagi toleransi dan dialog
antarperadaban.⁷
Selain itu, Skeptisisme memiliki relevansi
terapeutik dalam psikologi dan filsafat hidup modern. Konsep ataraxia,
atau ketenangan batin melalui pelepasan dari opini, memiliki kemiripan dengan
praktik mindfulness dan terapi kognitif modern yang menekankan pelepasan dari
pikiran dogmatis dan penerimaan terhadap ketidakpastian.⁸ Seperti Pyrrho yang
mengajarkan bahwa kebahagiaan diperoleh dari ketenangan pikiran, psikologi
modern menemukan bahwa kesejahteraan mental bergantung pada kemampuan untuk
menahan penilaian yang terburu-buru terhadap pengalaman. Dalam hal ini,
Skeptisisme dapat dibaca sebagai bentuk “filsafat terapi diri” yang menolong
manusia modern menghadapi kecemasan eksistensial akibat ketidakpastian zaman.⁹
Dari sisi filsafat ilmu dan teknologi,
Skeptisisme berfungsi sebagai pengingat terhadap bahaya dogmatisme baru yang
muncul dari kepercayaan berlebihan pada rasionalitas teknokratis dan kecerdasan
buatan. Para pemikir kontemporer seperti Hubert Dreyfus dan Luciano Floridi
menekankan bahwa di balik algoritma dan data besar terdapat asumsi epistemik
yang tidak bebas dari nilai atau bias.¹⁰ Dengan semangat skeptis, manusia
modern didorong untuk mempertanyakan bukan hanya “apa yang kita ketahui,”
tetapi juga “bagaimana dan mengapa kita mengetahuinya.” Sikap ini membuka ruang
bagi etika teknologi yang reflektif, di mana pengetahuan digital diperlakukan
sebagai alat, bukan dogma baru.¹¹
Akhirnya, dalam filsafat publik dan demokrasi,
Skeptisisme memainkan peran vital dalam menjaga keterbukaan dialog. Demokrasi
yang sehat menuntut warga yang bersedia meragukan klaim kekuasaan dan menguji
argumentasi secara kritis. Dalam hal ini, Skeptisisme menjadi dasar bagi
semangat deliberatif dan antiautoritarian yang mengakui pluralitas
pengetahuan.¹² Ia menentang fanatisme ideologis dan kultus kebenaran
tunggal—baik yang bersifat religius, politik, maupun saintifik. Dengan
demikian, Skeptisisme Kuno, yang dulu berakar pada kerendahan hati epistemik,
kini tampil kembali sebagai paradigma etis bagi masyarakat yang ingin berpikir
bebas dan hidup damai dalam ketidakpastian.¹³
Skeptisisme tidak lagi hanya berbicara tentang
keraguan terhadap realitas metafisis, tetapi juga tentang tanggung jawab
epistemik dalam menghadapi dunia yang sarat informasi. Ia mengajarkan
keseimbangan antara keterbukaan dan kehati-hatian, antara pencarian kebenaran
dan kesadaran akan keterbatasan manusia. Dalam pengertian inilah, Skeptisisme
Kuno menemukan bentuknya yang paling modern: bukan sekadar filsafat tentang
tidak tahu, melainkan seni untuk berpikir dengan sadar di tengah kebingungan
zaman.¹⁴
Footnotes
[1]
Richard H. Popkin, The History of Scepticism:
From Savonarola to Bayle (Oxford: Oxford University Press, 2003), 231–234.
[2]
Karl R. Popper, The Logic of Scientific
Discovery (London: Routledge, 1959), 33–35.
[3]
Jonathan Barnes, The Toils of Scepticism
(Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 72–75.
[4]
Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge, MA: MIT
Press, 2018), 14–17.
[5]
Luciano Floridi, The Philosophy of Information
(Oxford: Oxford University Press, 2011), 98–101.
[6]
Martha C. Nussbaum, The Therapy of Desire:
Theory and Practice in Hellenistic Ethics (Princeton: Princeton University
Press, 1994), 291–295.
[7]
Pierre Hadot, Philosophy as a Way of Life
(Oxford: Blackwell Publishing, 1995), 102–105.
[8]
Donald Robertson, Stoicism and the Art of
Happiness (London: Robinson, 2013), 128–132.
[9]
Richard Bett, How to Be a Pyrrhonist: The
Practice and Significance of Pyrrhonian Skepticism (Cambridge: Cambridge
University Press, 2019), 190–194.
[10]
Hubert L. Dreyfus, What Computers Still Can’t
Do: A Critique of Artificial Reason (Cambridge, MA: MIT Press, 1992),
189–193.
[11]
Luciano Floridi, Ethics of Information
(Oxford: Oxford University Press, 2013), 76–79.
[12]
John Dewey, The Public and Its Problems
(Athens: Ohio University Press, 1954), 143–146.
[13]
Myles Burnyeat, “Can the Sceptic Live His
Scepticism?,” Proceedings of the Aristotelian Society 55 (1981):
123–126.
[14]
Pierre Hadot, What Is Ancient Philosophy?
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2002), 130–133.
9.
Sintesis
Filosofis: Skeptisisme sebagai Metode Kritis
Skeptisisme Kuno, setelah melalui pembacaan
historis, epistemologis, dan etis, dapat dipahami bukan semata sebagai aliran
yang menolak pengetahuan, melainkan sebagai metode berpikir kritis yang
membimbing manusia menuju kesadaran reflektif tentang batas-batas rasio. Dalam
bentuknya yang paling mendalam, Skeptisisme tidak mengajarkan nihilisme,
melainkan kebijaksanaan epistemik—yakni kesadaran bahwa pengetahuan
sejati hanya mungkin bila disertai pengakuan atas ketidaktahuan dan
keterbatasan manusia.¹ Dari perspektif ini, Skeptisisme dapat disintesiskan
sebagai jembatan antara keraguan dan rasionalitas, antara kritik terhadap dogma
dan keterbukaan terhadap pencarian kebenaran.
Sebagai metode kritis, Skeptisisme berfungsi
untuk membebaskan pikiran dari cengkeraman absolutisme, baik yang bersifat
metafisis, ilmiah, maupun ideologis. Pyrrho dan Sextus Empiricus menunjukkan
bahwa sikap skeptis yang sejati bukanlah menolak semua klaim kebenaran, tetapi
menolak untuk menerima klaim apa pun tanpa pemeriksaan rasional yang mendalam.²
Penundaan penilaian (epoché) di sini tidak bersifat destruktif,
melainkan heuristik: ia membuka ruang bagi pemeriksaan terus-menerus terhadap
dasar-dasar keyakinan.³ Dalam konteks ini, Skeptisisme menjadi semacam
“filsafat penjaga” (philosophia custodia), yang memastikan agar filsafat
tidak berubah menjadi dogma baru.
Lebih jauh, Skeptisisme dapat dipahami sebagai metode
dialektis yang menyeimbangkan antara afirmasi dan negasi.⁴ Seorang skeptis,
dalam membangun argumen, selalu mempertimbangkan kemungkinan alternatif dan
menguji kekuatan serta kelemahan masing-masing posisi. Pendekatan ini memupuk
sikap intelektual yang rendah hati sekaligus rasional: ia mengajarkan bahwa
setiap klaim memiliki sisi yang dapat dipertanyakan. Dengan demikian,
Skeptisisme memperkaya filsafat dengan semangat autokritik yang
sehat—sebuah semangat yang kemudian diwarisi oleh tradisi ilmiah modern,
hermeneutika kritis, dan teori rasionalitas kontemporer.⁵
Dalam konteks ontologis, Skeptisisme menolak
klaim tentang hakikat yang mutlak tanpa menolak eksistensi dunia itu sendiri.
Realitas, bagi kaum skeptis, adalah fenomena yang terus terbuka bagi
interpretasi.⁶ Sikap ini menumbuhkan kesadaran bahwa pengetahuan manusia
bersifat perspektival—tergantung pada kondisi, pengalaman, dan struktur
penalaran yang digunakan. Dari sini lahirlah sebuah ontologi yang dinamis dan
terbuka, di mana kebenaran tidak dipandang sebagai sesuatu yang statis,
melainkan sebagai proses pencarian yang tak berkesudahan.
Sementara itu, dalam dimensi epistemologis,
Skeptisisme menyediakan landasan metodologis bagi pendekatan ilmiah dan
rasional modern. Karl Popper, misalnya, menghidupkan kembali semangat skeptis
melalui prinsip falsifikasinya: bahwa kebenaran ilmiah bersifat sementara dan
harus selalu terbuka untuk diuji.⁷ Pandangan ini sejalan dengan ajaran Sextus
Empiricus bahwa setiap argumen dapat dibantah oleh argumen lain yang sama
kuatnya, dan bahwa kebijaksanaan sejati muncul dari kesadaran akan keterbatasan
tersebut. Dalam arti ini, Skeptisisme bertransformasi menjadi epistemologi
terbuka (epistemologia aperta)—sebuah paradigma berpikir yang selalu
siap direvisi tanpa kehilangan arah kritisnya.
Secara etis, Skeptisisme mengajarkan
kebajikan rasional berupa sophrosyne (kewajaran dan kendali diri
intelektual). Dengan menolak klaim absolut, skeptisisme membentuk individu yang
toleran, tenang, dan terbuka terhadap dialog.⁸ Prinsip ataraxia, dalam
konteks ini, tidak hanya bermakna ketenangan pribadi, tetapi juga sikap etis
untuk hidup damai di tengah perbedaan. Dunia yang plural dan kompleks
membutuhkan kebijaksanaan skeptis: suatu kemampuan untuk menimbang dengan
hati-hati sebelum menilai dan untuk memahami bahwa pandangan orang lain mungkin
sama sahihnya dengan pandangan sendiri.⁹
Dalam konteks filsafat kontemporer,
Skeptisisme dapat disintesiskan sebagai metode kritis universal yang
menjaga keseimbangan antara dua ekstrem: dogmatisme yang menutup diri terhadap
pertanyaan, dan relativisme yang menolak semua kebenaran.¹⁰ Skeptisisme
mengajarkan bahwa keraguan bukanlah tanda kelemahan intelektual, melainkan
fondasi bagi kebebasan berpikir. Ia memungkinkan perkembangan ilmu, etika, dan
filsafat dengan cara yang terbuka terhadap revisi dan koreksi. Dalam pengertian
ini, Skeptisisme menjadi semacam “jalan tengah epistemologis” (via media
epistemica)—jalan filsafat yang menolak kepastian palsu, tetapi juga
menolak keputusasaan intelektual.
Akhirnya, sintesis filosofis Skeptisisme menegaskan
bahwa keraguan adalah bagian tak terpisahkan dari pencarian kebenaran. Ia
bukanlah tujuan akhir, melainkan sarana untuk memurnikan rasio dari prasangka
dan asumsi yang tidak teruji.¹¹ Dengan demikian, Skeptisisme dapat dipahami
sebagai filsafat tentang kesadaran diri intelektual (philosophia reflexiva):
suatu usaha terus-menerus untuk menimbang, menguji, dan memperbaharui
pengetahuan manusia dalam cahaya keterbatasannya. Di era yang dipenuhi
kepastian semu dan informasi yang berlebihan, warisan Skeptisisme Kuno ini
menemukan kembali relevansinya—sebagai bentuk kebijaksanaan yang menuntun
manusia untuk berpikir bebas, rendah hati, dan bijak di hadapan misteri
kebenaran.¹²
Footnotes
[1]
Richard H. Popkin, The History of Scepticism:
From Savonarola to Bayle (Oxford: Oxford University Press, 2003), 245–248.
[2]
Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism,
diterj. R.G. Bury (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1933), I.10–12.
[3]
Jonathan Barnes, The Toils of Scepticism
(Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 80–83.
[4]
Gisela Striker, “Ataraxia: Happiness as
Tranquility,” dalam The Cambridge Companion to Ancient Scepticism, ed.
Richard Bett (Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 116–118.
[5]
Pierre Hadot, Philosophy as a Way of Life
(Oxford: Blackwell Publishing, 1995), 97–101.
[6]
Michael Frede, Essays in Ancient Philosophy
(Minneapolis: University of Minnesota Press, 1987), 173–176.
[7]
Karl R. Popper, The Logic of Scientific
Discovery (London: Routledge, 1959), 37–39.
[8]
Martha C. Nussbaum, The Therapy of Desire:
Theory and Practice in Hellenistic Ethics (Princeton: Princeton University
Press, 1994), 290–293.
[9]
Pierre Hadot, What Is Ancient Philosophy?
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2002), 128–131.
[10]
Myles Burnyeat, “Can the Sceptic Live His
Scepticism?,” Proceedings of the Aristotelian Society 55 (1981):
120–123.
[11]
Richard Bett, How to Be a Pyrrhonist: The
Practice and Significance of Pyrrhonian Skepticism (Cambridge: Cambridge
University Press, 2019), 205–208.
[12]
Luciano Floridi, The Philosophy of Information
(Oxford: Oxford University Press, 2011), 122–126.
10. Kesimpulan
Skeptisisme Kuno, sebagaimana telah ditelusuri dari
berbagai dimensi historis, ontologis, epistemologis, dan etis, merupakan salah
satu warisan intelektual paling penting dalam sejarah filsafat Barat. Ia bukan
sekadar aliran yang menolak pengetahuan, melainkan suatu metode reflektif
yang bertujuan membebaskan akal manusia dari belenggu keyakinan dogmatis.
Dengan menekankan penangguhan penilaian (epoché), keseimbangan
argumentatif (isostheneia), dan pencapaian ketenangan batin (ataraxia),
Skeptisisme menunjukkan bahwa filsafat sejati tidak terletak pada klaim
mengetahui kebenaran absolut, tetapi pada kesadaran akan keterbatasan manusia
di hadapan kebenaran itu sendiri.¹
Secara historis, Skeptisisme Kuno lahir sebagai
kritik terhadap dua kecenderungan ekstrem: dogmatisme metafisis yang menganggap
kebenaran sebagai sesuatu yang final, dan relativisme nihilistik yang menolak
segala kemungkinan pengetahuan.² Pyrrho dari Elis dan Sextus Empiricus
mengajarkan bahwa jalan kebijaksanaan bukan terletak pada penolakan total
terhadap pengetahuan, melainkan pada kemampuan untuk menahan penilaian terhadap
hal-hal yang belum dapat dibuktikan secara pasti.³ Dalam kerangka ini,
Skeptisisme bukan “ketidaktahuan” dalam arti negatif, tetapi bentuk tertinggi
dari pengetahuan reflektif—sebuah pengakuan bahwa mengetahui berarti juga
menyadari bahwa kita bisa keliru.
Dalam dimensi epistemologis, Skeptisisme memberikan
kontribusi besar terhadap lahirnya metode ilmiah modern. Kesadaran skeptis
bahwa setiap pengetahuan bersifat sementara dan terbuka terhadap koreksi
menjadi dasar bagi paradigma falsifikatif dalam sains.⁴ Tanpa semangat skeptis,
ilmu pengetahuan mudah berubah menjadi dogma baru. Di sisi lain, Skeptisisme
juga melahirkan etika intelektual berupa kejujuran, kerendahan hati, dan
kehati-hatian dalam membuat klaim.⁵ Ia mengajarkan bahwa pengetahuan yang bertanggung
jawab bukanlah yang mengklaim kepastian, tetapi yang berani mengakui
keterbatasan dan tetap terbuka terhadap kritik.
Secara etis dan eksistensial, Skeptisisme
menawarkan jalan menuju ataraxia, ketenangan batin yang diperoleh
melalui pelepasan dari opini yang menimbulkan konflik batin.⁶ Dalam dunia
modern yang penuh dengan informasi, ideologi, dan pertarungan kebenaran, nilai
ini menjadi semakin relevan. Skeptisisme menuntun manusia untuk berpikir tanpa
fanatisme, berdebat tanpa permusuhan, dan mencari kebenaran tanpa kelekatan
emosional.⁷ Dengan demikian, ia berfungsi bukan hanya sebagai teori
pengetahuan, tetapi juga sebagai filsafat hidup—sebuah therapeia logou,
terapi akal terhadap penderitaan yang lahir dari kesombongan epistemik.
Dalam konteks kontemporer, Skeptisisme juga
menegaskan pentingnya berpikir kritis di era post-truth dan
disinformasi.⁸ Kesediaan untuk menunda penilaian sebelum menerima klaim
kebenaran apa pun merupakan prasyarat bagi kehidupan demokratis yang sehat.
Dengan mempraktikkan epoché dalam ranah publik, masyarakat dapat
menghindari polarisasi dan menjaga ruang dialog yang rasional. Dengan demikian,
Skeptisisme memiliki fungsi sosial yang mendalam: bukan hanya melatih individu
untuk berpikir hati-hati, tetapi juga membangun kebudayaan yang bebas dari
dogma dan fanatisme.⁹
Akhirnya, secara filosofis, Skeptisisme Kuno dapat
disimpulkan sebagai paradigma keseimbangan: antara keyakinan dan keraguan,
antara pengetahuan dan ketidaktahuan, antara akal dan kesadaran akan batasnya
sendiri. Ia menjadi jembatan antara tradisi metafisis yang mencari kepastian
dan tradisi empiris yang menerima keterbatasan. Skeptisisme tidak membunuh
filsafat, melainkan menjaganya tetap hidup—selalu waspada, selalu mencari, dan
selalu siap dikoreksi.¹⁰ Sebagaimana dikatakan oleh Sextus Empiricus, tujuan
seorang skeptis bukanlah berhenti berpikir, melainkan terus mencari dengan
tenang.¹¹ Dalam pengertian inilah, Skeptisisme Kuno tetap menjadi cermin
kebijaksanaan yang tak lekang oleh waktu: ia mengajarkan bahwa kebebasan
berpikir sejati lahir dari kesadaran akan ketidakpastian.¹²
Footnotes
[1]
Richard H. Popkin, The History of Scepticism:
From Savonarola to Bayle (Oxford: Oxford University Press, 2003), 251–254.
[2]
Gisela Striker, “Sceptical Strategies,” dalam The
Cambridge Companion to Ancient Scepticism, ed. Richard Bett (Cambridge:
Cambridge University Press, 2010), 94–97.
[3]
Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism,
diterj. R.G. Bury (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1933), I.10–13.
[4]
Karl R. Popper, The Logic of Scientific
Discovery (London: Routledge, 1959), 37–40.
[5]
Pierre Hadot, Philosophy as a Way of Life
(Oxford: Blackwell Publishing, 1995), 103–107.
[6]
Martha C. Nussbaum, The Therapy of Desire:
Theory and Practice in Hellenistic Ethics (Princeton: Princeton University
Press, 1994), 289–293.
[7]
Jonathan Barnes, The Toils of Scepticism
(Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 90–93.
[8]
Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge, MA: MIT
Press, 2018), 22–26.
[9]
John Dewey, The Public and Its Problems
(Athens: Ohio University Press, 1954), 148–151.
[10]
Myles Burnyeat, “Can the Sceptic Live His
Scepticism?,” Proceedings of the Aristotelian Society 55 (1981):
120–124.
[11]
Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism,
I.25–26.
[12]
Pierre Hadot, What Is Ancient Philosophy?
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2002), 135–138.
Daftar Pustaka
Annas, J., & Barnes, J. (1985). The modes of
scepticism: Ancient texts and modern interpretations. Cambridge University
Press.
Aristotle. (1928). Metaphysics (W. D. Ross,
Trans.). Clarendon Press.
Aristotle. (1985). Nicomachean ethics (T.
Irwin, Trans.). Hackett Publishing.
Barnes, J. (1990). The toils of scepticism.
Cambridge University Press.
Bett, R. (2000). Pyrrho, his antecedents and his
legacy. Oxford University Press.
Bett, R. (2019). How to be a Pyrrhonist: The
practice and significance of Pyrrhonian skepticism. Cambridge University
Press.
Burnyeat, M. (1981). Can the sceptic live his
scepticism? Proceedings of the Aristotelian Society, 55, 117–126.
Cicero. (1933). Academica (H. Rackham,
Trans.). Harvard University Press.
Descartes, R. (1996). Meditations on first
philosophy (J. Cottingham, Trans.). Cambridge University Press.
Diogenes Laertius. (1925). Lives and opinions of
eminent philosophers (R. D. Hicks, Trans.). Harvard University Press.
Dewey, J. (1954). The public and its problems.
Ohio University Press.
Dreyfus, H. L. (1992). What computers still
can’t do: A critique of artificial reason. MIT Press.
Epicurus. (1994). Letter to Herodotus. In B.
Inwood & L. P. Gerson (Eds.), The Epicurus reader (pp. 8–10).
Hackett Publishing.
Floridi, L. (2011). The philosophy of
information. Oxford University Press.
Floridi, L. (2013). Ethics of information.
Oxford University Press.
Frede, M. (1987). Essays in ancient philosophy.
University of Minnesota Press.
Gorgias. (1957). On non-existence or on nature.
In K. Freeman, Ancilla to the pre-Socratic philosophers (pp. 137–139).
Harvard University Press.
Hadot, P. (1995). Philosophy as a way of life.
Blackwell Publishing.
Hadot, P. (2002). What is ancient philosophy?
Harvard University Press.
Hume, D. (2000). A treatise of human nature.
Oxford University Press.
Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P.
Guyer & A. Wood, Trans.). Cambridge University Press.
Kirk, G. S., Raven, J. E., & Schofield, M.
(1983). The presocratic philosophers. Cambridge University Press.
Long, A. A., & Sedley, D. N. (1987). The
Hellenistic philosophers (Vol. 1). Cambridge University Press.
McIntyre, L. (2018). Post-truth. MIT Press.
Nussbaum, M. C. (1994). The therapy of desire:
Theory and practice in Hellenistic ethics. Princeton University Press.
Parmenides. (1952). In H. Diels & W. Kranz
(Eds.), Die Fragmente der Vorsokratiker (6th ed., Vol. 2). Weidmann.
Plato. (1892). Apology (B. Jowett, Trans.).
Clarendon Press.
Popkin, R. H. (2003). The history of scepticism:
From Savonarola to Bayle. Oxford University Press.
Popper, K. R. (1959). The logic of scientific discovery.
Routledge.
Protagoras. (1952). Fragment B1. In H. Diels &
W. Kranz (Eds.), Die Fragmente der Vorsokratiker (6th ed., Vol. 2).
Weidmann.
Robertson, D. (2013). Stoicism and the art of
happiness. Robinson.
Sextus Empiricus. (1933). Outlines of Pyrrhonism
(R. G. Bury, Trans.). Harvard University Press.
Sextus Empiricus. (1936). Against the
mathematicians (R. G. Bury, Trans.). Harvard University Press.
Striker, G. (2010). Ataraxia: Happiness as
tranquility. In R. Bett (Ed.), The Cambridge companion to ancient scepticism
(pp. 114–118). Cambridge University Press.
Striker, G. (2010). Sceptical strategies. In R.
Bett (Ed.), The Cambridge companion to ancient scepticism (pp. 94–97).
Cambridge University Press.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar