Selasa, 02 Desember 2025

Skeptisisme Kuno: Tradisi Keraguan dan Pencarian Kebenaran dalam Filsafat Yunani

Skeptisisme Kuno

Tradisi Keraguan dan Pencarian Kebenaran dalam Filsafat Yunani


Alihkan ke: Aliran Sejarah Filsafat.


Abstrak

Artikel ini membahas secara sistematis aliran Skeptisisme Kuno sebagai salah satu tonggak penting dalam sejarah filsafat Yunani dan perkembangannya sebagai metode berpikir kritis yang menentang dogmatisme pengetahuan. Dengan menelusuri akar historisnya pada tradisi Pra-Sokratik, Akademi Platonis, dan Pyrrhonisme, artikel ini menyoroti peran Skeptisisme dalam membentuk kesadaran epistemologis yang reflektif terhadap keterbatasan manusia. Kajian ontologis menampilkan penolakan Skeptisisme terhadap klaim metafisis yang pasti, sementara aspek epistemologisnya memperlihatkan bahwa keraguan bukanlah penolakan terhadap pengetahuan, melainkan jalan menuju kesadaran rasional yang lebih jernih.

Selain itu, artikel ini menelusuri dimensi etis Skeptisisme yang berpuncak pada pencapaian ataraxia—ketenangan batin yang lahir dari pelepasan terhadap opini dan dogma. Dalam perbandingan dengan aliran filsafat lain seperti Stoisisme, Epikureanisme, dan Platonisme, Skeptisisme tampil sebagai pendekatan yang menekankan keseimbangan antara rasionalitas dan kehati-hatian epistemik. Artikel ini juga menguraikan kritik terhadap Skeptisisme, baik dari kalangan Dogmatis maupun Rasionalis modern, yang menuduhnya inkonsisten dan tidak praktis, namun justru menunjukkan fungsinya sebagai pengontrol rasionalitas.

Pada bagian sintesis, Skeptisisme dipahami sebagai metode kritis yang berfungsi menjaga filsafat tetap terbuka terhadap koreksi dan revisi, sementara dalam konteks kontemporer ia menjadi relevan kembali di tengah krisis kebenaran, disinformasi, dan polarisasi ideologis. Artikel ini menegaskan bahwa Skeptisisme bukanlah bentuk pesimisme intelektual, tetapi sikap filosofis yang menumbuhkan kerendahan hati epistemik, keterbukaan dialog, dan kebebasan berpikir. Dengan demikian, Skeptisisme Kuno dapat dipandang sebagai model kebijaksanaan universal yang menempatkan keraguan bukan sebagai kelemahan, melainkan sebagai fondasi utama pencarian kebenaran dan kedamaian batin.

Kata Kunci: Skeptisisme Kuno, Pyrrhonisme, Akademi Platonis, Epoché, Ataraxia, Epistemologi, Dogmatisme, Filsafat Yunani, Kritik Pengetahuan, Metode Kritis.


PEMBAHASAN

Skeptisisme dalam Konteks Filsafat Yunani Kuno


1.           Pendahuluan

Skeptisisme Kuno menempati posisi yang unik dalam sejarah filsafat Barat karena menawarkan pendekatan yang radikal terhadap persoalan pengetahuan, kebenaran, dan kepastian. Ia lahir sebagai reaksi terhadap kepercayaan berlebihan pada kemampuan manusia untuk mencapai kebenaran mutlak melalui rasio atau pengalaman. Dalam konteks Yunani Kuno, Skeptisisme bukan sekadar sikap keraguan pasif, melainkan suatu metode berpikir yang menuntut penundaan penilaian (epoché) dan pembebasan diri dari keyakinan dogmatis. Gerakan intelektual ini berkembang di tengah dinamika intelektual yang melibatkan perdebatan antara aliran-aliran besar seperti Dogmatisme, Stoisisme, dan Epikureanisme yang masing-masing mengklaim memiliki kriteria kebenaran yang pasti. Dengan demikian, Skeptisisme muncul sebagai bentuk refleksi kritis terhadap segala bentuk klaim pengetahuan yang dianggap absolut.¹

Secara historis, Skeptisisme Kuno dapat ditelusuri akarnya dari dua jalur utama: Akademi Platonis yang dipimpin oleh Arkesilaos dan Karneades, serta tradisi Pyrrhonian yang berasal dari ajaran Pyrrho dari Elis. Kedua cabang ini sama-sama mengedepankan sikap menangguhkan penilaian atas kebenaran proposisi yang tidak dapat diverifikasi secara pasti, namun berbeda dalam tujuan praktis dan intensitas epistemologisnya. Akademi Platonis menekankan Skeptisisme sebagai sarana dialektis untuk menguji klaim-klaim rasional, sedangkan Pyrrhonisme lebih menyoroti aspek etis dari keraguan, yakni pencapaian ataraxia—ketenangan batin melalui kebebasan dari dogma dan konflik intelektual.² Dengan demikian, Skeptisisme bukan hanya posisi epistemologis, melainkan juga suatu cara hidup (bios skeptikos) yang mengajarkan kebijaksanaan melalui ketidaktaklukan pada opini dan prasangka.³

Dalam konteks metodologis, Skeptisisme menolak anggapan bahwa manusia dapat memperoleh dasar pengetahuan yang pasti melalui indra ataupun rasio. Para skeptis berargumen bahwa setiap klaim pengetahuan selalu berhadapan dengan kemungkinan kesalahan persepsi, bias kognitif, atau ketidakkonsistenan logis. Oleh karena itu, mereka menolak “kriteria kebenaran” yang diajukan oleh para dogmatis dan justru menegaskan pentingnya kesadaran akan keterbatasan akal manusia.⁴ Prinsip ini kelak memengaruhi berbagai tradisi filosofis berikutnya, termasuk Descartes dengan doute méthodique-nya dan empirisisme modern yang mengakui peran ketidakpastian dalam pengetahuan ilmiah.

Secara filosofis, Skeptisisme Kuno memiliki fungsi ganda. Pertama, ia berfungsi destruktif karena membongkar asumsi-asumsi dasar yang tidak dapat dibuktikan secara rasional. Kedua, ia memiliki fungsi konstruktif karena membuka ruang bagi refleksi yang lebih kritis, rasional, dan terbuka terhadap koreksi. Dalam pengertian ini, Skeptisisme tidak sekadar menolak kebenaran, melainkan menunda penerimaannya hingga bukti yang memadai ditemukan.⁵ Melalui sikap ini, para skeptis berusaha menjaga keseimbangan antara kebijaksanaan dan kerendahan hati intelektual. Dengan demikian, Skeptisisme Kuno dapat dipahami sebagai fase penting dalam evolusi kesadaran rasional manusia—sebuah upaya untuk menegaskan bahwa pengetahuan sejati hanya mungkin bila manusia terlebih dahulu menyadari keterbatasan dirinya sendiri.⁶

Oleh karena itu, bagian pendahuluan ini menegaskan bahwa Skeptisisme Kuno bukanlah bentuk nihilisme atau penyangkalan terhadap pengetahuan, melainkan suatu refleksi mendalam tentang kondisi epistemik manusia. Ia menolak klaim kebenaran absolut tanpa bukti yang memadai, namun tetap mengakui nilai praktis dari pencarian kebenaran. Dalam hal ini, Skeptisisme mengajarkan bahwa kebijaksanaan sejati tidak terletak pada kepastian, melainkan pada kesediaan untuk terus mencari dan mempertanyakan. Dengan fondasi inilah, seluruh pembahasan dalam artikel ini akan menelusuri dimensi historis, ontologis, epistemologis, dan etis Skeptisisme Kuno, serta relevansinya dalam konteks pemikiran kontemporer.


Footnotes

[1]                Richard H. Popkin, The History of Scepticism: From Savonarola to Bayle (Oxford: Oxford University Press, 2003), 3–5.

[2]                Julia Annas dan Jonathan Barnes, The Modes of Scepticism: Ancient Texts and Modern Interpretations (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 14–18.

[3]                Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism, diterj. R.G. Bury (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1933), I.8–10.

[4]                Myles Burnyeat, “Can the Sceptic Live His Scepticism?,” Proceedings of the Aristotelian Society, Vol. 55 (1981): 117–119.

[5]                Michael Frede, Essays in Ancient Philosophy (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1987), 156–160.

[6]                Pierre Hadot, Philosophy as a Way of Life (Oxford: Blackwell Publishing, 1995), 88–92.


2.           Landasan Historis dan Genealogis

Skeptisisme Kuno tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan merupakan hasil dari proses evolusi intelektual yang panjang dalam sejarah filsafat Yunani. Akar genealogisnya dapat ditelusuri sejak masa pra-Sokratik, di mana para pemikir awal seperti Herakleitos dan Parmenides telah memperdebatkan hakikat perubahan dan kebenaran. Herakleitos menekankan bahwa segala sesuatu berada dalam keadaan berubah terus-menerus (panta rhei), sehingga pengetahuan manusia tidak pernah bisa mencapai kepastian absolut. Sebaliknya, Parmenides menegaskan bahwa hanya yang “ada” yang dapat diketahui, sedangkan perubahan adalah ilusi perseptual. Pertentangan ontologis antara keduanya membuka ruang bagi munculnya kesadaran skeptis terhadap keterbatasan pengetahuan manusia dalam memahami realitas yang tidak stabil.¹

Pada abad ke-5 SM, kaum Sofis seperti Protagoras dan Gorgias semakin memperkuat arah relativistik yang menjadi fondasi bagi Skeptisisme. Protagoras, dengan maksim terkenalnya “manusia adalah ukuran segala sesuatu” (homo mensura), menegaskan bahwa kebenaran bersifat relatif terhadap persepsi individu.² Sementara itu, Gorgias dalam risalahnya Peri tou mē ontos (“Tentang Yang Tidak Ada”) berargumen bahwa tidak ada sesuatu pun yang benar-benar ada, dan sekalipun ada, manusia tidak dapat mengetahuinya; bahkan jika dapat diketahui, tidak mungkin dapat dikomunikasikan.³ Argumentasi para Sofis ini mengguncang kepercayaan tradisional terhadap kemampuan rasio untuk menemukan kebenaran universal, sekaligus menyiapkan landasan bagi lahirnya Skeptisisme sebagai aliran yang lebih sistematis.

Socrates, meskipun tidak dapat disebut sebagai seorang skeptis dalam pengertian klasik, memainkan peran penting dalam genealoginya. Melalui metode elenchus (dialog refutatif), Socrates menyingkap ketidaktahuan tersembunyi dalam keyakinan orang lain, dan secara paradoks menegaskan kebijaksanaan dalam pengakuan atas ketidaktahuan (oida ouk eidos).⁴ Sikap “tidak tahu” Socrates menjadi inspirasi bagi tradisi Skeptisisme Akademik, yang berkembang setelah kematian Plato. Dalam Akademi Baru yang dipimpin Arkesilaos (sekitar 268–241 SM), Skeptisisme mulai diformulasikan sebagai metode dialektis yang menolak setiap klaim pengetahuan yang tidak dapat dibuktikan secara pasti. Arkesilaos menafsirkan ajaran Plato bukan sebagai dogma metafisis, melainkan sebagai ajakan untuk terus mencari kebenaran tanpa mengklaim kepastian apa pun.⁵

Penerus Arkesilaos, Karneades (214–129 SM), mengembangkan Skeptisisme Akademik menjadi lebih matang dengan menekankan bahwa walaupun pengetahuan yang pasti tidak mungkin dicapai, manusia tetap dapat mencapai tingkat probabilitas rasional (pithanon).⁶ Bagi Karneades, kebenaran bukanlah sesuatu yang mutlak, melainkan sesuatu yang dapat diterima sejauh memiliki dukungan argumentatif yang kuat dan konsisten. Pendekatan ini menjadikan Skeptisisme Akademik bersifat lebih moderat dan pragmatis dibanding Pyrrhonisme, karena masih mengakui nilai fungsional dari opini yang masuk akal dalam kehidupan praktis.

Sementara itu, di jalur lain, Pyrrho dari Elis (sekitar 360–270 SM) dianggap sebagai pendiri tradisi Pyrrhonian, bentuk Skeptisisme yang lebih radikal dan eksistensial. Pyrrho, yang pernah mengikuti ekspedisi Aleksander Agung hingga ke India dan berinteraksi dengan para filsuf Timur (kemungkinan para Brahmana dan Gymnosofis), dipengaruhi oleh pandangan bahwa kebahagiaan sejati hanya dapat dicapai melalui pelepasan dari opini dan penilaian.⁷ Dari pengalaman itu, ia merumuskan prinsip epoché (penangguhan penilaian) sebagai jalan menuju ataraxia (ketenangan batin). Dalam sistem ini, skeptisisme tidak lagi sekadar metode epistemologis, melainkan juga bentuk asketisme intelektual.⁸

Tradisi Pyrrhonian ini kemudian disistematisasi oleh Sextus Empiricus (abad ke-2 M), seorang dokter dan filsuf Yunani-Romawi yang menulis karya monumental Outlines of Pyrrhonism. Ia mendokumentasikan secara sistematis berbagai tropoi (modus) Skeptisisme yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh sebelumnya, termasuk sepuluh modus Aenesidemus dan lima modus Agrippa.⁹ Sextus berusaha menunjukkan bahwa bagi setiap klaim kebenaran, selalu mungkin ditemukan argumen yang sama kuatnya di sisi berlawanan, sehingga penangguhan penilaian adalah sikap rasional yang paling konsisten.¹⁰

Dengan demikian, genealogis Skeptisisme Kuno memperlihatkan kesinambungan dan transformasi dari relativisme Sofistik, dialektika Socratic, hingga sistematik Pyrrhonisme dan Akademisisme. Aliran ini tidak sekadar menyangsikan kemampuan akal, tetapi juga mengajarkan kebijaksanaan dalam menghadapi keterbatasan manusia. Dari sinilah tampak bahwa Skeptisisme bukanlah bentuk pesimisme intelektual, melainkan ekspresi dari kerendahan hati epistemik yang mendalam terhadap misteri kebenaran dan realitas.


Footnotes

[1]                G.S. Kirk, J.E. Raven, dan M. Schofield, The Presocratic Philosophers (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 188–192.

[2]                Protagoras, fragmen B1 dalam Diels-Kranz, Die Fragmente der Vorsokratiker, 6th ed., vol. 2 (Berlin: Weidmann, 1952), 250.

[3]                Gorgias, On Non-Existence or On Nature, dalam Kathleen Freeman, Ancilla to the Pre-Socratic Philosophers (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1957), 137–139.

[4]                Plato, Apology, 21d–23c, diterj. Benjamin Jowett (Oxford: Clarendon Press, 1892).

[5]                Cicero, Academica, diterj. H. Rackham (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1933), II.7–10.

[6]                Jonathan Barnes, The Cambridge Companion to Ancient Scepticism (Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 48–51.

[7]                Diogenes Laertius, Lives and Opinions of Eminent Philosophers, diterj. R.D. Hicks (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1925), IX.61–65.

[8]                Pierre Hadot, Philosophy as a Way of Life (Oxford: Blackwell Publishing, 1995), 92–95.

[9]                Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism, diterj. R.G. Bury (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1933), I.31–35.

[10]             R.J. Hankinson, The Sceptics (London: Routledge, 1995), 24–28.


3.           Ontologi: Realitas dalam Pandangan Skeptis

Dalam kerangka Skeptisisme Kuno, persoalan ontologi menempati posisi yang paradoksal: di satu sisi, para skeptis mengakui bahwa manusia berhadapan dengan dunia empiris yang tampak nyata; namun di sisi lain, mereka menolak untuk memberikan penilaian pasti mengenai hakikat realitas tersebut. Realitas, bagi kaum skeptis, bukanlah sesuatu yang dapat dipastikan secara metafisis, melainkan sesuatu yang selalu terbuka bagi penafsiran, kesalahan, dan relativitas pengalaman.¹ Dalam pengertian ini, Skeptisisme Kuno tidak berpretensi membangun sistem ontologis baru, melainkan justru mempertanyakan validitas semua sistem ontologis yang mengklaim mengetahui “apa yang sesungguhnya ada.”

Pyrrho dari Elis, pendiri tradisi Pyrrhonian, menolak segala bentuk klaim ontologis dengan menegaskan bahwa manusia tidak mungkin mengetahui hakikat sejati dari sesuatu (physis tōn pragmatōn).² Menurutnya, pengalaman manusia hanya memperlihatkan fenomena atau gejala (phainomena), bukan esensi yang tersembunyi di baliknya. Karena itu, setiap upaya untuk menyimpulkan hakikat dari realitas akan berujung pada kontradiksi, sebab setiap proposisi metafisis dapat selalu ditentang oleh proposisi lain yang sama kuatnya.³ Dalam kondisi demikian, sikap yang paling bijak bukanlah menyatakan bahwa realitas itu “ada” atau “tidak ada,” tetapi menangguhkan penilaian (epoché). Dengan penangguhan ini, subjek mencapai ataraxia—ketenangan batin yang lahir dari pembebasan diri terhadap tuntutan kepastian ontologis.⁴

Sikap ini berbeda secara tajam dari metafisika klasik Yunani, seperti yang diajukan oleh Parmenides atau Aristoteles. Parmenides menganggap bahwa “yang ada adalah, dan yang tidak ada bukanlah,” sementara Aristoteles berusaha merumuskan prinsip identitas dan substansi sebagai dasar bagi pengetahuan tentang realitas.⁵ Para skeptis memandang klaim semacam itu sebagai bentuk “dogmatisme ontologis,” yakni upaya manusia untuk melampaui kapasitas pengetahuannya sendiri. Bagi kaum skeptis, bahkan proposisi metafisis yang tampaknya paling mendasar sekalipun tidak dapat dibuktikan tanpa menghadirkan lingkaran setan argumen atau asumsi yang tidak diverifikasi. Sextus Empiricus mengilustrasikan hal ini dalam Outlines of Pyrrhonism, di mana ia menunjukkan bahwa setiap argumen ontologis tentang hakikat sesuatu akan menghadapi trilema Agrippa: kebutuhan akan pembuktian tak berhingga (infinite regress), dogma yang tidak terverifikasi, atau sirkularitas penalaran.⁶

Dalam konteks ini, realitas bagi kaum skeptis hanya dapat diakui sejauh ia muncul dalam bentuk fenomena yang dapat dialami, bukan dalam hakikat metafisisnya. Mereka tidak menolak pengalaman inderawi, tetapi menolak generalisasi metafisik dari pengalaman tersebut. Ketika seseorang mengatakan “api panas,” kaum skeptis tidak menyangkal pengalaman panas itu, tetapi menolak untuk menganggap “panas” sebagai sifat hakiki api secara universal dan mutlak.⁷ Dengan demikian, realitas menjadi sesuatu yang bersifat relatif terhadap persepsi dan keadaan subjek yang mengalami.

Namun, penting dicatat bahwa relativitas ontologis dalam Skeptisisme tidak berarti nihilisme ontologis. Pyrrho dan Sextus tidak berpendapat bahwa realitas tidak ada sama sekali, tetapi bahwa manusia tidak memiliki sarana epistemik untuk menentukannya secara pasti.⁸ Dalam hal ini, Skeptisisme bersifat agnostik ontologis: ia tidak mengafirmasi ataupun menolak realitas metafisis, melainkan menahan diri dari segala klaim yang melampaui pengalaman fenomenal. Pandangan ini kemudian mengilhami tradisi empiris dan fenomenologis modern, termasuk pada pemikiran David Hume dan Edmund Husserl, yang sama-sama menekankan prioritas pengalaman atas metafisika spekulatif.⁹

Sikap skeptis terhadap realitas juga mengandung implikasi etis dan eksistensial yang mendalam. Dengan menolak klaim tentang hakikat “yang ada,” manusia terbebas dari ketegangan dogmatis dan dapat hidup dengan kesadaran penuh akan ketidakpastian. Realitas tidak lagi menjadi sesuatu yang harus “dipastikan,” melainkan sesuatu yang harus “dihayati.” Dalam hal ini, Skeptisisme Kuno menampilkan dimensi ontologis yang bersifat terapeutik: ia bukan sekadar keraguan intelektual, tetapi juga jalan menuju kebijaksanaan yang tenang dan seimbang di tengah ketidakpastian eksistensial.¹⁰


Footnotes

[1]                Richard Bett, How to Be a Pyrrhonist: The Practice and Significance of Pyrrhonian Skepticism (Cambridge: Cambridge University Press, 2019), 22–25.

[2]                Diogenes Laertius, Lives and Opinions of Eminent Philosophers, diterj. R.D. Hicks (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1925), IX.61–63.

[3]                Gisela Striker, “The Ten Modes of Aenesidemus,” dalam The Cambridge Companion to Ancient Scepticism, ed. Richard Bett (Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 91–94.

[4]                Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism, diterj. R.G. Bury (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1933), I.10–12.

[5]                Aristotle, Metaphysics, diterj. W.D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1928), I.3–5.

[6]                Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism, I.164–168.

[7]                Michael Frede, Essays in Ancient Philosophy (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1987), 166–169.

[8]                Jonathan Barnes, The Toils of Scepticism (Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 35–38.

[9]                David Hume, A Treatise of Human Nature (Oxford: Oxford University Press, 2000), 183–187; Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, diterj. F. Kersten (The Hague: Martinus Nijhoff, 1983), 45–47.

[10]             Pierre Hadot, What Is Ancient Philosophy? (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2002), 115–118.


4.           Epistemologi: Keraguan sebagai Jalan Menuju Pengetahuan

Dalam tradisi Skeptisisme Kuno, epistemologi menjadi medan utama tempat berlangsungnya perdebatan filosofis antara klaim pengetahuan dan batas kemampuan manusia untuk mengetahuinya. Bagi para skeptis, keraguan bukanlah akhir dari pengetahuan, melainkan titik tolak menuju pemahaman yang lebih jernih tentang keterbatasan manusia. Mereka tidak menolak pengetahuan secara total, tetapi menolak pretensi kepastian yang diklaim oleh para dogmatis, baik dari kubu rasionalis seperti para Stoik maupun kaum empiris awal. Dengan demikian, Skeptisisme mengajukan kritik epistemologis yang mendalam terhadap dasar-dasar keyakinan manusia tentang kebenaran.¹

Pyrrho dari Elis meletakkan dasar bagi pendekatan epistemologis ini dengan menyatakan bahwa semua penilaian tentang realitas bersifat problematis karena selalu didasarkan pada persepsi dan opini yang kontradiktif.² Ketika manusia mengamati sesuatu, pengamatannya tidak pernah murni; ia terikat pada kondisi, sudut pandang, dan instrumen indra yang terbatas. Oleh karena itu, Pyrrho menyarankan agar manusia menangguhkan penilaian (epoché) terhadap setiap proposisi pengetahuan, karena setiap klaim selalu memiliki argumen yang dapat diseimbangkan oleh argumen tandingan (isostheneia).³ Dengan menunda keputusan epistemik, manusia dapat mencapai ataraxia—suatu ketenangan jiwa yang lahir dari kesadaran akan keterbatasan pengetahuan.

Arkesilaos dan Karneades, tokoh utama Skeptisisme Akademik, mengembangkan gagasan Pyrrho dengan cara yang lebih sistematis. Arkesilaos menolak seluruh kriteria kebenaran yang diajukan oleh kaum Stoik, seperti konsep katalepsis (pencerapan yang meyakinkan), karena setiap pencerapan inderawi selalu dapat ditiru oleh ilusi atau kesalahan persepsi.⁴ Ia menegaskan bahwa tidak ada perbedaan pasti antara kesan yang benar dan yang salah, sehingga manusia tidak pernah bisa mencapai kepastian epistemik. Namun, Arkesilaos tidak menyerukan pengabaian terhadap rasio, melainkan menganjurkan penggunaan dialektika untuk membongkar klaim kepastian pihak lain, seraya mempertahankan sikap kritis yang konsisten.

Karneades, penerus Arkesilaos, memperkenalkan konsep pithanon (kemungkinan atau probabilitas) sebagai bentuk kompromi epistemologis.⁵ Menurutnya, walaupun kebenaran mutlak tidak dapat dicapai, manusia masih dapat mencapai tingkat keyakinan yang rasional melalui bukti yang tampak paling mungkin benar. Pandangan ini membuat Skeptisisme Akademik bersifat pragmatis: ia memungkinkan tindakan etis dan politik tanpa jatuh ke dalam relativisme total.⁶ Dengan demikian, bagi Karneades, epistemologi skeptis bukanlah nihilisme intelektual, tetapi metode penyelidikan yang berhati-hati dan terbuka terhadap revisi.

Dalam tradisi Pyrrhonian yang dikembangkan oleh Sextus Empiricus, aspek metodologis Skeptisisme semakin ditegaskan. Sextus menyusun tropoi atau modus skeptis—yakni seperangkat strategi argumentatif untuk menunjukkan kelemahan klaim epistemik manusia. Misalnya, Sepuluh Modus Aenesidemus menunjukkan bahwa perbedaan persepsi di antara makhluk hidup, manusia, dan bahkan kondisi tubuh yang berbeda, mengindikasikan relativitas pengalaman dan ketidakmungkinan mencapai kebenaran universal.⁷ Sementara Lima Modus Agrippa menyoroti problem logis dalam pengetahuan: (1) regresus tak berhingga, (2) relativitas, (3) hipotesis yang tak terbukti, (4) sirkularitas argumen, dan (5) perbedaan opini yang tak terselesaikan.⁸ Modus-modus ini menunjukkan bahwa setiap sistem pengetahuan pada akhirnya bertumpu pada asumsi yang tidak dapat dibuktikan, sehingga penangguhan penilaian tetap menjadi sikap epistemik yang paling konsisten.

Menariknya, Skeptisisme tidak menghancurkan epistemologi, melainkan mendefinisikannya kembali. Dalam pandangan Sextus, kehidupan manusia tetap dapat dijalani tanpa klaim kepastian: manusia dapat mengikuti phainomena (fenomena yang tampak) sebagai panduan praktis tanpa harus menganggapnya sebagai kebenaran metafisis.⁹ Dengan mengikuti “tampakan” dan konvensi sosial, manusia tetap dapat berfungsi secara rasional dalam kehidupan sehari-hari tanpa terjebak dalam dogma. Di sinilah letak kebijaksanaan Skeptisisme: mengajarkan cara berpikir yang kritis, hati-hati, dan bebas dari klaim absolutisme.

Dalam perspektif historis, epistemologi Skeptisisme Kuno memberikan fondasi bagi perkembangan metode ilmiah modern. Sikap hati-hati, pengujian berulang, dan kesediaan untuk merevisi teori berdasarkan bukti merupakan warisan langsung dari semangat skeptis ini. Descartes, meskipun memiliki tujuan berbeda, mengadopsi “keraguan metodis” sebagai cara untuk mencapai kepastian rasional.¹⁰ Namun, jika Descartes menjadikan keraguan sebagai alat menuju kepastian, para skeptis klasik menjadikannya sebagai bentuk kesadaran filosofis tentang keterbatasan pengetahuan manusia. Dengan demikian, Skeptisisme Kuno tetap relevan sebagai fondasi bagi epistemologi yang kritis, terbuka, dan empiris, yang tidak menolak pengetahuan tetapi selalu mengujinya dengan kesangsian yang sehat.


Footnotes

[1]                Richard Popkin, The History of Scepticism: From Savonarola to Bayle (Oxford: Oxford University Press, 2003), 7–10.

[2]                Diogenes Laertius, Lives and Opinions of Eminent Philosophers, diterj. R.D. Hicks (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1925), IX.61–63.

[3]                Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism, diterj. R.G. Bury (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1933), I.8–10.

[4]                Cicero, Academica, diterj. H. Rackham (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1933), II.12–15.

[5]                Jonathan Barnes, The Toils of Scepticism (Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 45–49.

[6]                Myles Burnyeat, “Carneades,” dalam The Cambridge History of Hellenistic Philosophy, ed. Keimpe Algra et al. (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), 72–75.

[7]                Gisela Striker, “The Ten Modes of Aenesidemus,” dalam The Cambridge Companion to Ancient Scepticism, ed. Richard Bett (Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 93–96.

[8]                Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism, I.164–168.

[9]                Michael Frede, Essays in Ancient Philosophy (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1987), 173–176.

[10]             René Descartes, Meditations on First Philosophy, diterj. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 17–20.


5.           Etika Skeptisisme: Menuju Ataraxia

Etika Skeptisisme Kuno berakar pada keyakinan bahwa kebahagiaan sejati (eudaimonia) hanya dapat dicapai melalui kebebasan dari kekacauan batin yang disebabkan oleh keyakinan dogmatis dan klaim kebenaran yang berlebihan. Tidak seperti sistem etika lain dalam filsafat Yunani—seperti Stoisisme yang menekankan hidup sesuai rasio alam, atau Epikureanisme yang mengajarkan kenikmatan sebagai kebaikan tertinggi—Skeptisisme menempatkan ataraxia (ketenangan batin) sebagai tujuan akhir kehidupan moral.¹ Ketenangan tersebut diperoleh bukan melalui penguasaan atas dunia atau pengetahuan tentang kebenaran metafisis, melainkan melalui kesadaran mendalam akan keterbatasan manusia dan kemampuan untuk menangguhkan penilaian (epoché) terhadap segala sesuatu yang tidak pasti.

Pyrrho dari Elis, tokoh utama yang dianggap pendiri Skeptisisme, menegaskan bahwa penderitaan manusia muncul dari kelekatan terhadap opini dan keyakinan yang tidak pasti.² Manusia cenderung terguncang oleh perbedaan persepsi dan nilai karena mereka menganggap sesuatu sebagai “baik” atau “buruk” secara mutlak. Pyrrho mengajarkan bahwa kebijaksanaan sejati muncul ketika seseorang menyadari bahwa segala sesuatu pada dasarnya “tidak dapat ditentukan” (adiaphora), “tidak stabil” (astathmēta), dan “tidak dapat dinilai secara pasti” (anepikrita).³ Dengan demikian, penangguhan penilaian bukanlah sikap pasif, melainkan suatu tindakan sadar untuk membebaskan diri dari belenggu opini yang menimbulkan kegelisahan batin.

Sextus Empiricus, yang menyistematisasi ajaran Pyrrho dalam Outlines of Pyrrhonism, menjelaskan hubungan erat antara epoché dan ataraxia. Menurutnya, pencapaian ketenangan batin bukanlah tujuan yang dicari secara langsung, melainkan hasil sampingan (parakolouthēma) dari praktik skeptisisme.⁴ Saat seseorang menahan diri dari penilaian tentang benar atau salah, ia secara alami terbebas dari konflik mental yang timbul akibat perbedaan pandangan. Dengan kata lain, ataraxia bukanlah suatu keadaan metafisik, tetapi sebuah kondisi psikologis dan etis yang muncul dari kesadaran epistemik yang mendalam.⁵

Etika skeptis ini berfungsi sebagai terapi filosofis (therapeia), suatu bentuk penyembuhan terhadap penderitaan yang bersumber dari dogmatisme intelektual.⁶ Berbeda dengan etika rasionalis yang menekankan pengetahuan tentang kebaikan, Skeptisisme menegaskan bahwa kebahagiaan tidak bergantung pada pengetahuan, melainkan pada kemampuan untuk hidup tanpa klaim kepastian. Dalam hal ini, Skeptisisme sejajar dengan tradisi Hellenistik lain seperti Stoisisme dan Epikureanisme yang sama-sama berupaya mencapai ketenangan jiwa, namun berbeda dalam metode dan orientasi. Stoik berusaha menundukkan diri pada tatanan rasional kosmos, sementara skeptis menolak membuat penilaian apa pun tentang kosmos itu sendiri.⁷

Pendekatan etis ini juga menyoroti dimensi praktis dari Skeptisisme: seorang skeptis tetap dapat hidup secara moral tanpa harus memiliki sistem nilai absolut. Ia bertindak sesuai dengan fenomena dan kebiasaan umum (kata ta phainomena kai ta nomizomena), mengikuti hukum, adat, dan norma sosial sejauh itu membantu menjaga ketenangan batin.⁸ Dalam konteks ini, Skeptisisme tidak berujung pada anarki moral, tetapi justru menumbuhkan toleransi, kebijaksanaan, dan kesederhanaan hidup. Karena tidak terikat pada pandangan tertentu, skeptisisme melatih seseorang untuk menerima keragaman dan ketidakpastian dunia tanpa kehilangan keseimbangan batin.

Etika Skeptisisme juga memiliki resonansi spiritual yang mendalam. Bagi Sextus Empiricus, manusia yang hidup skeptis adalah mereka yang telah berdamai dengan keterbatasan akal dan tidak lagi merasa perlu menguasai kebenaran.⁹ Ketenangan ini bukanlah kelesuan intelektual, melainkan bentuk kebijaksanaan aktif yang terus memeriksa setiap klaim tanpa melekat padanya. Dalam bahasa Pierre Hadot, Skeptisisme dapat dianggap sebagai “cara hidup filosofis” (bios philosophikos)—bukan sekadar doktrin, melainkan latihan spiritual untuk mencapai kebebasan batin melalui disiplin berpikir kritis.¹⁰

Dengan demikian, etika Skeptisisme Kuno mengajarkan bahwa kebahagiaan tidak terletak pada kepastian, melainkan pada kemampuan untuk hidup dalam ketidakpastian dengan tenang dan sadar. Keraguan bukanlah sumber penderitaan, melainkan sarana pembebasan dari kesombongan epistemik. Melalui epoché, manusia belajar untuk melepaskan diri dari keharusan selalu benar; melalui ataraxia, ia menemukan ketenangan dalam pengakuan bahwa dunia tidak perlu dipastikan untuk dapat dijalani dengan bijak.¹¹


Footnotes

[1]                Martha C. Nussbaum, The Therapy of Desire: Theory and Practice in Hellenistic Ethics (Princeton: Princeton University Press, 1994), 288–291.

[2]                Diogenes Laertius, Lives and Opinions of Eminent Philosophers, diterj. R.D. Hicks (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1925), IX.61–65.

[3]                Richard Bett, Pyrrho, His Antecedents and His Legacy (Oxford: Oxford University Press, 2000), 45–48.

[4]                Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism, diterj. R.G. Bury (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1933), I.10–12.

[5]                Gisela Striker, “Ataraxia: Happiness as Tranquility,” dalam The Cambridge Companion to Ancient Scepticism, ed. Richard Bett (Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 114–117.

[6]                Pierre Hadot, Philosophy as a Way of Life (Oxford: Blackwell Publishing, 1995), 94–96.

[7]                A.A. Long dan D.N. Sedley, The Hellenistic Philosophers, vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 28–30.

[8]                Jonathan Barnes, The Toils of Scepticism (Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 65–68.

[9]                Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism, I.23–25.

[10]             Pierre Hadot, What Is Ancient Philosophy? (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2002), 118–121.

[11]             Michael Frede, Essays in Ancient Philosophy (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1987), 178–181.


6.           Perbandingan dengan Aliran Filsafat Lain

Skeptisisme Kuno tidak berkembang dalam ruang hampa intelektual. Ia merupakan bagian dari dinamika besar filsafat Yunani yang melibatkan interaksi, perdebatan, dan kritik dengan berbagai aliran lain seperti Dogmatisme, Stoisisme, Epikureanisme, dan bahkan Rasionalisme awal. Melalui perbandingan ini, dapat terlihat dengan lebih jelas posisi filosofis Skeptisisme: bukan sebagai penolakan terhadap akal budi, melainkan sebagai koreksi kritis terhadap klaim-klaim kebenaran yang dianggap absolut.¹

Kaum Dogmatis, terutama dari mazhab Stoik, percaya bahwa manusia memiliki kemampuan alami untuk mengenali kebenaran melalui apa yang mereka sebut kataleptikē phantasia—yakni persepsi yang begitu jelas dan meyakinkan sehingga tidak mungkin salah.² Dalam pandangan Stoik, akal manusia memiliki kesesuaian dengan tatanan rasional kosmos (logos), sehingga pengetahuan sejati dapat dicapai bila seseorang hidup selaras dengan rasio universal tersebut.³ Kaum skeptis, baik dari Akademi maupun Pyrrhonian, menolak klaim ini dengan alasan bahwa tidak ada persepsi yang bebas dari kemungkinan kesalahan atau penipuan indra.⁴ Mereka menegaskan bahwa apa yang tampak benar bagi seseorang dapat tampak salah bagi orang lain, dan tidak ada kriteria objektif yang dapat menentukan perbedaan di antara keduanya tanpa jatuh ke dalam lingkaran pembuktian. Dengan demikian, Skeptisisme berperan sebagai oposisi dialektis terhadap Dogmatisme rasional Stoik.

Perdebatan dengan kaum Epikurean juga menempati tempat penting. Epikurus berpendapat bahwa indra adalah sumber utama pengetahuan yang dapat dipercaya; segala kesalahan tidak berasal dari persepsi, melainkan dari penilaian yang salah atas persepsi tersebut.⁵ Bagi Skeptisisme, posisi ini tetap terlalu optimistik. Sextus Empiricus menunjukkan bahwa sekalipun kita menerima data indrawi apa adanya, perbedaan kondisi tubuh, lingkungan, atau alat persepsi tetap menimbulkan keraguan tentang keandalannya.⁶ Dalam hal ini, Skeptisisme memperluas kritiknya terhadap empirisme primitif dengan menekankan dimensi epistemik yang lebih radikal—bahwa bahkan dasar pengalaman itu sendiri tidak dapat dijadikan fondasi pengetahuan mutlak.

Jika dibandingkan dengan Platonisme dan Aristotelianisme, Skeptisisme mengambil posisi antitesis terhadap pendekatan metafisik. Plato menekankan dunia ide sebagai sumber kebenaran sejati yang hanya dapat dicapai melalui rasio murni, sedangkan Aristoteles menempatkan substansi sebagai realitas dasar yang dapat diketahui melalui kategori logis dan observasi.⁷ Para skeptis menolak kedua pendekatan tersebut karena keduanya berasumsi bahwa realitas memiliki struktur tetap yang dapat diketahui secara pasti.⁸ Menurut Skeptisisme, setiap sistem metafisika adalah hasil dari konstruksi logis manusia yang tidak bisa diverifikasi secara independen dari pengalaman yang relatif. Dengan kata lain, kebenaran bagi mereka tidak bersifat ontologis, melainkan fenomenologis—hanya sejauh sesuatu tampak demikian, bukan karena memiliki esensi tertentu.

Dalam konteks etika, Skeptisisme memiliki kedekatan tertentu dengan Stoisisme dan Epikureanisme karena ketiganya mengejar ataraxia (ketenangan batin) sebagai tujuan akhir kehidupan. Namun, jalan yang ditempuh berbeda. Bagi Stoik, ataraxia dicapai melalui kebajikan rasional dan penerimaan terhadap tatanan alam; bagi Epikurean, melalui kenikmatan yang diatur oleh rasio dan penghindaran penderitaan; sementara bagi Skeptis, melalui penangguhan penilaian yang membebaskan manusia dari konflik batin akibat klaim-klaim nilai yang saling bertentangan.⁹ Dengan demikian, etika skeptis bersifat negatif dalam arti terapeutik: ia tidak menawarkan prinsip moral baru, tetapi menawarkan cara untuk hidup tenang di tengah pluralitas nilai.

Jika dibandingkan dengan Rasionalisme modern, khususnya Descartes, Skeptisisme tampak memiliki kemiripan formal tetapi perbedaan tujuan. Descartes menggunakan keraguan sebagai metode untuk menemukan kebenaran yang pasti (cogito ergo sum), sementara Skeptisisme Kuno menggunakan keraguan sebagai cara untuk membebaskan diri dari keharusan menemukan kebenaran.¹⁰ Bagi Descartes, keraguan adalah sarana menuju kepastian; bagi Sextus Empiricus, keraguan adalah bentuk kebijaksanaan.¹¹ Dengan demikian, Skeptisisme lebih menyerupai “filsafat hidup” daripada sekadar metode intelektual: ia menolak sistem, tetapi tidak menolak akal; ia menerima relativitas, tetapi tidak terjerumus dalam nihilisme.

Dalam keseluruhan perbandingan ini, Skeptisisme dapat dipahami sebagai filsafat batas (philosophia peri to peras): ia berfungsi untuk mengingatkan bahwa akal manusia, betapapun tajamnya, selalu beroperasi dalam medan ketidakpastian. Ia menjadi cermin bagi aliran-aliran lain yang terlalu yakin pada klaim kebenarannya sendiri. Melalui konfrontasi dengan Stoisisme, Epikureanisme, dan Platonisme, Skeptisisme memperlihatkan pentingnya kerendahan hati intelektual sebagai fondasi filsafat sejati—sebuah sikap yang menyadari bahwa “mengetahui bahwa kita tidak tahu” mungkin adalah bentuk pengetahuan paling bijak yang dapat dicapai manusia.¹²


Footnotes

[1]                Richard Popkin, The History of Scepticism: From Savonarola to Bayle (Oxford: Oxford University Press, 2003), 11–13.

[2]                Diogenes Laertius, Lives and Opinions of Eminent Philosophers, diterj. R.D. Hicks (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1925), VII.46–51.

[3]                A.A. Long dan D.N. Sedley, The Hellenistic Philosophers, vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 262–264.

[4]                Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism, diterj. R.G. Bury (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1933), I.31–33.

[5]                Epicurus, Letter to Herodotus, dalam The Epicurus Reader, ed. Brad Inwood dan L.P. Gerson (Indianapolis: Hackett Publishing, 1994), 8–10.

[6]                Sextus Empiricus, Against the Mathematicians, diterj. R.G. Bury (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1936), VII.65–70.

[7]                Aristotle, Metaphysics, diterj. W.D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1928), I.3–5.

[8]                Jonathan Barnes, The Toils of Scepticism (Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 52–56.

[9]                Martha C. Nussbaum, The Therapy of Desire: Theory and Practice in Hellenistic Ethics (Princeton: Princeton University Press, 1994), 293–295.

[10]             René Descartes, Meditations on First Philosophy, diterj. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 16–18.

[11]             Myles Burnyeat, “Can the Sceptic Live His Scepticism?,” Proceedings of the Aristotelian Society 55 (1981): 120–124.

[12]             Pierre Hadot, What Is Ancient Philosophy? (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2002), 122–125.


7.           Kritik terhadap Skeptisisme

Sejak awal kemunculannya, Skeptisisme Kuno telah menimbulkan perdebatan tajam di kalangan filsuf karena sikapnya yang ekstrem terhadap kemungkinan pengetahuan. Walaupun banyak yang mengakui nilai metodologisnya dalam mengasah kemampuan berpikir kritis, Skeptisisme juga sering dituduh sebagai posisi yang secara praktis tidak dapat dipertahankan dan secara logis kontradiktif. Kritik terhadap Skeptisisme datang dari berbagai arah—dari kaum Dogmatis seperti Stoik dan Aristotelian, hingga para rasionalis dan teolog di masa kemudian. Kritik-kritik ini bukan hanya menyoroti kelemahan logis Skeptisisme, tetapi juga menanyakan konsistensi etis dan praktisnya dalam kehidupan sehari-hari.¹

Salah satu kritik paling mendasar datang dari para Stoik. Mereka menuduh bahwa Skeptisisme bersifat self-refuting—yakni bahwa ketika skeptis menyatakan “tidak ada yang dapat diketahui,” mereka secara tidak sadar mengklaim mengetahui kebenaran dari pernyataan itu sendiri.² Dalam pandangan para Stoik, pernyataan seperti itu mengandung kontradiksi performatif: untuk menyatakan bahwa “tidak ada yang pasti,” seseorang harus terlebih dahulu mengandaikan bahwa pernyataannya benar, dan dengan demikian telah melanggar prinsip penangguhan penilaian (epoché) yang diklaimnya.³ Sebagai tanggapan, para skeptis seperti Sextus Empiricus menjelaskan bahwa Skeptisisme sejati tidak menyatakan dogma apa pun, bahkan tidak juga dogma tentang ketidaktahuan.⁴ Mereka tidak mengatakan “tidak ada yang dapat diketahui,” tetapi hanya “belum ditemukan sesuatu yang dapat diketahui secara pasti.” Dengan demikian, Skeptisisme menghindari klaim kebenaran dan tetap konsisten dalam menangguhkan penilaian.

Kritik lain menyangkut aspek praktis Skeptisisme. Lawan-lawannya menilai bahwa sikap skeptis akan membuat seseorang tidak mampu mengambil keputusan moral atau bertindak secara konsisten dalam kehidupan sosial. Aristoteles, dalam kerangka etika kebajikan, menilai bahwa kehidupan yang baik menuntut kejelasan tentang tujuan (telos) dan pengetahuan tentang kebajikan (aretē).⁵ Tanpa kepercayaan terhadap nilai-nilai tertentu, tindakan moral menjadi mustahil.⁶ Demikian pula, para Stoik berpendapat bahwa ataraxia skeptis bukanlah kebajikan sejati, melainkan bentuk pelarian dari tanggung jawab moral dan kosmis. Namun, Sextus Empiricus membantah tuduhan ini dengan menyatakan bahwa Skeptisisme tetap memungkinkan tindakan yang bermoral, sebab seorang skeptis hidup berdasarkan kebiasaan (ethē) dan fenomena yang tampak (phainomena), tanpa harus menganggapnya sebagai kebenaran mutlak.⁷

Di sisi epistemologis, para kritikus seperti Karneades sendiri—walaupun seorang skeptis Akademik—menyadari keterbatasan radikalisme Pyrrhonian. Ia menilai bahwa penolakan total terhadap semua bentuk pengetahuan akan meniadakan dasar bagi rasionalitas dan tindakan. Karena itu, Karneades memperkenalkan gagasan pithanon (probabilitas) sebagai upaya menyelamatkan Skeptisisme dari kelumpuhan praktis (apraxia).⁸ Dengan memperbolehkan keyakinan yang bersifat “kemungkinan besar benar,” Skeptisisme Akademik menjadi lebih moderat dan aplikatif dibanding Pyrrhonisme yang cenderung menolak semua klaim pengetahuan. Kritik ini memperlihatkan bahwa bahkan di dalam tradisi Skeptisisme sendiri terdapat kesadaran akan bahaya ekstremisme epistemik.

Dalam tradisi modern, kritik terhadap Skeptisisme dihidupkan kembali oleh René Descartes dan Immanuel Kant. Descartes, meskipun terinspirasi oleh keraguan skeptis, menilai bahwa Skeptisisme yang konsisten akan berujung pada nihilisme intelektual. Ia memperkenalkan “keraguan metodis” sebagai bentuk Skeptisisme terkendali—keraguan yang bertujuan menemukan dasar pengetahuan yang pasti.⁹ Dengan menemukan cogito ergo sum, Descartes bermaksud menunjukkan bahwa bahkan dalam keraguan, terdapat kepastian minimal: eksistensi subjek yang meragukan.¹⁰ Kant melanjutkan kritik ini dengan mengakui keterbatasan pengetahuan manusia, tetapi menolak relativisme skeptis dengan membedakan antara “fenomena” (yang dapat diketahui) dan “noumena” (yang tidak dapat diketahui).¹¹ Dalam hal ini, Kant menjadikan Skeptisisme sebagai batu loncatan untuk membangun epistemologi kritis yang tetap menghargai batas rasio tanpa terjebak dalam penyangkalan total.

Sementara itu, beberapa filsuf kontemporer seperti Richard Popkin dan Myles Burnyeat memandang Skeptisisme sebagai fenomena filosofis yang penting dan produktif. Mereka menilai bahwa kritik terhadap Skeptisisme seharusnya tidak berujung pada penolakan, tetapi pada pengakuan akan perannya sebagai penjaga kewaspadaan intelektual.¹² Dalam konteks modern, Skeptisisme berfungsi sebagai koreksi terhadap dogmatisme ilmiah maupun ideologis, menjaga agar pengetahuan tidak terjebak dalam absolutisme baru yang mengklaim kebenaran tunggal. Dengan demikian, kritik terhadap Skeptisisme justru memperlihatkan relevansinya: ia bukan kesalahan berpikir, melainkan kesadaran kritis yang menolak kemapanan prematur dalam filsafat.¹³

Dengan meninjau kritik-kritik tersebut, jelas bahwa Skeptisisme tidak dapat dihapuskan begitu saja dari sejarah filsafat. Ia tetap berfungsi sebagai “cermin reflektif” yang memaksa setiap sistem berpikir untuk mempertanggungjawabkan klaimnya. Meskipun dituduh kontradiktif dan tidak praktis, Skeptisisme mempertahankan signifikansinya sebagai pengingat bahwa setiap pengetahuan bersifat terbatas dan setiap keyakinan menuntut dasar yang terus diuji. Dalam hal ini, bahkan kritik terhadap Skeptisisme menjadi bukti akan perlunya sikap skeptis itu sendiri—yakni kerendahan hati epistemik di tengah kesombongan rasionalitas manusia.¹⁴


Footnotes

[1]                Richard H. Popkin, The History of Scepticism: From Savonarola to Bayle (Oxford: Oxford University Press, 2003), 15–18.

[2]                A.A. Long dan D.N. Sedley, The Hellenistic Philosophers, vol. 1 (Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 260–262.

[3]                Jonathan Barnes, The Toils of Scepticism (Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 59–61.

[4]                Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism, diterj. R.G. Bury (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1933), I.12–15.

[5]                Aristotle, Nicomachean Ethics, diterj. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1985), I.1–3.

[6]                Martha C. Nussbaum, The Therapy of Desire: Theory and Practice in Hellenistic Ethics (Princeton: Princeton University Press, 1994), 286–288.

[7]                Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism, I.22–25.

[8]                Cicero, Academica, diterj. H. Rackham (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1933), II.15–18.

[9]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, diterj. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 18–20.

[10]             Ibid., 21–23.

[11]             Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, diterj. Paul Guyer dan Allen Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A235–B265.

[12]             Myles Burnyeat, “Can the Sceptic Live His Scepticism?,” Proceedings of the Aristotelian Society 55 (1981): 117–122.

[13]             Richard Bett, How to Be a Pyrrhonist: The Practice and Significance of Pyrrhonian Skepticism (Cambridge: Cambridge University Press, 2019), 212–215.

[14]             Pierre Hadot, What Is Ancient Philosophy? (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2002), 125–127.


8.           Relevansi Kontemporer

Dalam konteks dunia modern yang ditandai oleh arus informasi cepat, polarisasi ideologis, dan krisis kepercayaan terhadap otoritas pengetahuan, Skeptisisme Kuno mendapatkan makna baru sebagai etos intelektual yang sangat relevan. Meskipun lahir dari dunia Yunani Kuno, prinsip-prinsip dasar Skeptisisme—seperti penangguhan penilaian (epoché), kesadaran akan keterbatasan pengetahuan, dan pencarian ketenangan batin melalui kebebasan dari dogma—menawarkan fondasi filosofis yang penting bagi masyarakat global yang sedang bergulat dengan persoalan epistemik dan etis di abad ke-21.¹

Dalam bidang epistemologi kontemporer, Skeptisisme menjadi dasar bagi perkembangan metode ilmiah modern yang bersifat falsifikatif dan terbuka terhadap koreksi. Karl Popper, misalnya, mengadopsi semangat skeptis dalam teori falsifikasinya: sebuah hipotesis ilmiah tidak pernah dapat dibuktikan secara absolut, tetapi hanya dapat diuji dan berpotensi dibantah.² Prinsip ini menggemakan sikap Sextus Empiricus yang menolak klaim pengetahuan final. Ilmu pengetahuan modern dengan demikian berdiri di atas kesadaran skeptis bahwa setiap teori hanyalah sementara dan dapat digantikan oleh penjelasan yang lebih baik.³ Dengan demikian, Skeptisisme tidak berlawanan dengan sains, melainkan menjadi roh metodologis yang menjaga sains tetap kritis dan dinamis.

Dalam era digital dan informasi, Skeptisisme menjadi bekal etis dan intelektual dalam menghadapi fenomena post-truth, misinformasi, dan bias algoritmik.⁴ Dalam lanskap media sosial yang didominasi oleh opini subjektif dan kecepatan viralitas, kemampuan untuk menunda penilaian sebelum menerima informasi menjadi sangat penting. Skeptisisme mengajarkan kebijaksanaan untuk memeriksa sumber, menilai konteks, dan mengakui batas pengetahuan pribadi sebelum menyimpulkan kebenaran. Hal ini memperlihatkan bahwa epoché bukan hanya sikap epistemologis, tetapi juga keterampilan kewargaan intelektual (intellectual citizenship) yang mendukung rasionalitas publik.⁵

Secara etis dan eksistensial, Skeptisisme relevan bagi individu modern yang hidup di tengah kompleksitas nilai dan relativisme moral. Dalam masyarakat pluralistik, tuntutan untuk mengakui keragaman pandangan hidup sering kali berbenturan dengan keinginan untuk mempertahankan kepastian moral. Di sinilah Skeptisisme memberikan jalan tengah: ia tidak menolak nilai, tetapi mengingatkan agar nilai-nilai tidak diperlakukan sebagai absolut yang menindas kebebasan berpikir.⁶ Melalui kesadaran skeptis, individu belajar untuk menghargai perbedaan tanpa kehilangan integritas, dan untuk mengakui ketidaktahuan tanpa kehilangan arah hidup. Sikap skeptis yang moderat, dalam hal ini, menjadi fondasi bagi toleransi dan dialog antarperadaban.⁷

Selain itu, Skeptisisme memiliki relevansi terapeutik dalam psikologi dan filsafat hidup modern. Konsep ataraxia, atau ketenangan batin melalui pelepasan dari opini, memiliki kemiripan dengan praktik mindfulness dan terapi kognitif modern yang menekankan pelepasan dari pikiran dogmatis dan penerimaan terhadap ketidakpastian.⁸ Seperti Pyrrho yang mengajarkan bahwa kebahagiaan diperoleh dari ketenangan pikiran, psikologi modern menemukan bahwa kesejahteraan mental bergantung pada kemampuan untuk menahan penilaian yang terburu-buru terhadap pengalaman. Dalam hal ini, Skeptisisme dapat dibaca sebagai bentuk “filsafat terapi diri” yang menolong manusia modern menghadapi kecemasan eksistensial akibat ketidakpastian zaman.⁹

Dari sisi filsafat ilmu dan teknologi, Skeptisisme berfungsi sebagai pengingat terhadap bahaya dogmatisme baru yang muncul dari kepercayaan berlebihan pada rasionalitas teknokratis dan kecerdasan buatan. Para pemikir kontemporer seperti Hubert Dreyfus dan Luciano Floridi menekankan bahwa di balik algoritma dan data besar terdapat asumsi epistemik yang tidak bebas dari nilai atau bias.¹⁰ Dengan semangat skeptis, manusia modern didorong untuk mempertanyakan bukan hanya “apa yang kita ketahui,” tetapi juga “bagaimana dan mengapa kita mengetahuinya.” Sikap ini membuka ruang bagi etika teknologi yang reflektif, di mana pengetahuan digital diperlakukan sebagai alat, bukan dogma baru.¹¹

Akhirnya, dalam filsafat publik dan demokrasi, Skeptisisme memainkan peran vital dalam menjaga keterbukaan dialog. Demokrasi yang sehat menuntut warga yang bersedia meragukan klaim kekuasaan dan menguji argumentasi secara kritis. Dalam hal ini, Skeptisisme menjadi dasar bagi semangat deliberatif dan antiautoritarian yang mengakui pluralitas pengetahuan.¹² Ia menentang fanatisme ideologis dan kultus kebenaran tunggal—baik yang bersifat religius, politik, maupun saintifik. Dengan demikian, Skeptisisme Kuno, yang dulu berakar pada kerendahan hati epistemik, kini tampil kembali sebagai paradigma etis bagi masyarakat yang ingin berpikir bebas dan hidup damai dalam ketidakpastian.¹³

Skeptisisme tidak lagi hanya berbicara tentang keraguan terhadap realitas metafisis, tetapi juga tentang tanggung jawab epistemik dalam menghadapi dunia yang sarat informasi. Ia mengajarkan keseimbangan antara keterbukaan dan kehati-hatian, antara pencarian kebenaran dan kesadaran akan keterbatasan manusia. Dalam pengertian inilah, Skeptisisme Kuno menemukan bentuknya yang paling modern: bukan sekadar filsafat tentang tidak tahu, melainkan seni untuk berpikir dengan sadar di tengah kebingungan zaman.¹⁴


Footnotes

[1]                Richard H. Popkin, The History of Scepticism: From Savonarola to Bayle (Oxford: Oxford University Press, 2003), 231–234.

[2]                Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 1959), 33–35.

[3]                Jonathan Barnes, The Toils of Scepticism (Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 72–75.

[4]                Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge, MA: MIT Press, 2018), 14–17.

[5]                Luciano Floridi, The Philosophy of Information (Oxford: Oxford University Press, 2011), 98–101.

[6]                Martha C. Nussbaum, The Therapy of Desire: Theory and Practice in Hellenistic Ethics (Princeton: Princeton University Press, 1994), 291–295.

[7]                Pierre Hadot, Philosophy as a Way of Life (Oxford: Blackwell Publishing, 1995), 102–105.

[8]                Donald Robertson, Stoicism and the Art of Happiness (London: Robinson, 2013), 128–132.

[9]                Richard Bett, How to Be a Pyrrhonist: The Practice and Significance of Pyrrhonian Skepticism (Cambridge: Cambridge University Press, 2019), 190–194.

[10]             Hubert L. Dreyfus, What Computers Still Can’t Do: A Critique of Artificial Reason (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 189–193.

[11]             Luciano Floridi, Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 76–79.

[12]             John Dewey, The Public and Its Problems (Athens: Ohio University Press, 1954), 143–146.

[13]             Myles Burnyeat, “Can the Sceptic Live His Scepticism?,” Proceedings of the Aristotelian Society 55 (1981): 123–126.

[14]             Pierre Hadot, What Is Ancient Philosophy? (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2002), 130–133.


9.           Sintesis Filosofis: Skeptisisme sebagai Metode Kritis

Skeptisisme Kuno, setelah melalui pembacaan historis, epistemologis, dan etis, dapat dipahami bukan semata sebagai aliran yang menolak pengetahuan, melainkan sebagai metode berpikir kritis yang membimbing manusia menuju kesadaran reflektif tentang batas-batas rasio. Dalam bentuknya yang paling mendalam, Skeptisisme tidak mengajarkan nihilisme, melainkan kebijaksanaan epistemik—yakni kesadaran bahwa pengetahuan sejati hanya mungkin bila disertai pengakuan atas ketidaktahuan dan keterbatasan manusia.¹ Dari perspektif ini, Skeptisisme dapat disintesiskan sebagai jembatan antara keraguan dan rasionalitas, antara kritik terhadap dogma dan keterbukaan terhadap pencarian kebenaran.

Sebagai metode kritis, Skeptisisme berfungsi untuk membebaskan pikiran dari cengkeraman absolutisme, baik yang bersifat metafisis, ilmiah, maupun ideologis. Pyrrho dan Sextus Empiricus menunjukkan bahwa sikap skeptis yang sejati bukanlah menolak semua klaim kebenaran, tetapi menolak untuk menerima klaim apa pun tanpa pemeriksaan rasional yang mendalam.² Penundaan penilaian (epoché) di sini tidak bersifat destruktif, melainkan heuristik: ia membuka ruang bagi pemeriksaan terus-menerus terhadap dasar-dasar keyakinan.³ Dalam konteks ini, Skeptisisme menjadi semacam “filsafat penjaga” (philosophia custodia), yang memastikan agar filsafat tidak berubah menjadi dogma baru.

Lebih jauh, Skeptisisme dapat dipahami sebagai metode dialektis yang menyeimbangkan antara afirmasi dan negasi.⁴ Seorang skeptis, dalam membangun argumen, selalu mempertimbangkan kemungkinan alternatif dan menguji kekuatan serta kelemahan masing-masing posisi. Pendekatan ini memupuk sikap intelektual yang rendah hati sekaligus rasional: ia mengajarkan bahwa setiap klaim memiliki sisi yang dapat dipertanyakan. Dengan demikian, Skeptisisme memperkaya filsafat dengan semangat autokritik yang sehat—sebuah semangat yang kemudian diwarisi oleh tradisi ilmiah modern, hermeneutika kritis, dan teori rasionalitas kontemporer.⁵

Dalam konteks ontologis, Skeptisisme menolak klaim tentang hakikat yang mutlak tanpa menolak eksistensi dunia itu sendiri. Realitas, bagi kaum skeptis, adalah fenomena yang terus terbuka bagi interpretasi.⁶ Sikap ini menumbuhkan kesadaran bahwa pengetahuan manusia bersifat perspektival—tergantung pada kondisi, pengalaman, dan struktur penalaran yang digunakan. Dari sini lahirlah sebuah ontologi yang dinamis dan terbuka, di mana kebenaran tidak dipandang sebagai sesuatu yang statis, melainkan sebagai proses pencarian yang tak berkesudahan.

Sementara itu, dalam dimensi epistemologis, Skeptisisme menyediakan landasan metodologis bagi pendekatan ilmiah dan rasional modern. Karl Popper, misalnya, menghidupkan kembali semangat skeptis melalui prinsip falsifikasinya: bahwa kebenaran ilmiah bersifat sementara dan harus selalu terbuka untuk diuji.⁷ Pandangan ini sejalan dengan ajaran Sextus Empiricus bahwa setiap argumen dapat dibantah oleh argumen lain yang sama kuatnya, dan bahwa kebijaksanaan sejati muncul dari kesadaran akan keterbatasan tersebut. Dalam arti ini, Skeptisisme bertransformasi menjadi epistemologi terbuka (epistemologia aperta)—sebuah paradigma berpikir yang selalu siap direvisi tanpa kehilangan arah kritisnya.

Secara etis, Skeptisisme mengajarkan kebajikan rasional berupa sophrosyne (kewajaran dan kendali diri intelektual). Dengan menolak klaim absolut, skeptisisme membentuk individu yang toleran, tenang, dan terbuka terhadap dialog.⁸ Prinsip ataraxia, dalam konteks ini, tidak hanya bermakna ketenangan pribadi, tetapi juga sikap etis untuk hidup damai di tengah perbedaan. Dunia yang plural dan kompleks membutuhkan kebijaksanaan skeptis: suatu kemampuan untuk menimbang dengan hati-hati sebelum menilai dan untuk memahami bahwa pandangan orang lain mungkin sama sahihnya dengan pandangan sendiri.⁹

Dalam konteks filsafat kontemporer, Skeptisisme dapat disintesiskan sebagai metode kritis universal yang menjaga keseimbangan antara dua ekstrem: dogmatisme yang menutup diri terhadap pertanyaan, dan relativisme yang menolak semua kebenaran.¹⁰ Skeptisisme mengajarkan bahwa keraguan bukanlah tanda kelemahan intelektual, melainkan fondasi bagi kebebasan berpikir. Ia memungkinkan perkembangan ilmu, etika, dan filsafat dengan cara yang terbuka terhadap revisi dan koreksi. Dalam pengertian ini, Skeptisisme menjadi semacam “jalan tengah epistemologis” (via media epistemica)—jalan filsafat yang menolak kepastian palsu, tetapi juga menolak keputusasaan intelektual.

Akhirnya, sintesis filosofis Skeptisisme menegaskan bahwa keraguan adalah bagian tak terpisahkan dari pencarian kebenaran. Ia bukanlah tujuan akhir, melainkan sarana untuk memurnikan rasio dari prasangka dan asumsi yang tidak teruji.¹¹ Dengan demikian, Skeptisisme dapat dipahami sebagai filsafat tentang kesadaran diri intelektual (philosophia reflexiva): suatu usaha terus-menerus untuk menimbang, menguji, dan memperbaharui pengetahuan manusia dalam cahaya keterbatasannya. Di era yang dipenuhi kepastian semu dan informasi yang berlebihan, warisan Skeptisisme Kuno ini menemukan kembali relevansinya—sebagai bentuk kebijaksanaan yang menuntun manusia untuk berpikir bebas, rendah hati, dan bijak di hadapan misteri kebenaran.¹²


Footnotes

[1]                Richard H. Popkin, The History of Scepticism: From Savonarola to Bayle (Oxford: Oxford University Press, 2003), 245–248.

[2]                Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism, diterj. R.G. Bury (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1933), I.10–12.

[3]                Jonathan Barnes, The Toils of Scepticism (Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 80–83.

[4]                Gisela Striker, “Ataraxia: Happiness as Tranquility,” dalam The Cambridge Companion to Ancient Scepticism, ed. Richard Bett (Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 116–118.

[5]                Pierre Hadot, Philosophy as a Way of Life (Oxford: Blackwell Publishing, 1995), 97–101.

[6]                Michael Frede, Essays in Ancient Philosophy (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1987), 173–176.

[7]                Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 1959), 37–39.

[8]                Martha C. Nussbaum, The Therapy of Desire: Theory and Practice in Hellenistic Ethics (Princeton: Princeton University Press, 1994), 290–293.

[9]                Pierre Hadot, What Is Ancient Philosophy? (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2002), 128–131.

[10]             Myles Burnyeat, “Can the Sceptic Live His Scepticism?,” Proceedings of the Aristotelian Society 55 (1981): 120–123.

[11]             Richard Bett, How to Be a Pyrrhonist: The Practice and Significance of Pyrrhonian Skepticism (Cambridge: Cambridge University Press, 2019), 205–208.

[12]             Luciano Floridi, The Philosophy of Information (Oxford: Oxford University Press, 2011), 122–126.


10.       Kesimpulan

Skeptisisme Kuno, sebagaimana telah ditelusuri dari berbagai dimensi historis, ontologis, epistemologis, dan etis, merupakan salah satu warisan intelektual paling penting dalam sejarah filsafat Barat. Ia bukan sekadar aliran yang menolak pengetahuan, melainkan suatu metode reflektif yang bertujuan membebaskan akal manusia dari belenggu keyakinan dogmatis. Dengan menekankan penangguhan penilaian (epoché), keseimbangan argumentatif (isostheneia), dan pencapaian ketenangan batin (ataraxia), Skeptisisme menunjukkan bahwa filsafat sejati tidak terletak pada klaim mengetahui kebenaran absolut, tetapi pada kesadaran akan keterbatasan manusia di hadapan kebenaran itu sendiri.¹

Secara historis, Skeptisisme Kuno lahir sebagai kritik terhadap dua kecenderungan ekstrem: dogmatisme metafisis yang menganggap kebenaran sebagai sesuatu yang final, dan relativisme nihilistik yang menolak segala kemungkinan pengetahuan.² Pyrrho dari Elis dan Sextus Empiricus mengajarkan bahwa jalan kebijaksanaan bukan terletak pada penolakan total terhadap pengetahuan, melainkan pada kemampuan untuk menahan penilaian terhadap hal-hal yang belum dapat dibuktikan secara pasti.³ Dalam kerangka ini, Skeptisisme bukan “ketidaktahuan” dalam arti negatif, tetapi bentuk tertinggi dari pengetahuan reflektif—sebuah pengakuan bahwa mengetahui berarti juga menyadari bahwa kita bisa keliru.

Dalam dimensi epistemologis, Skeptisisme memberikan kontribusi besar terhadap lahirnya metode ilmiah modern. Kesadaran skeptis bahwa setiap pengetahuan bersifat sementara dan terbuka terhadap koreksi menjadi dasar bagi paradigma falsifikatif dalam sains.⁴ Tanpa semangat skeptis, ilmu pengetahuan mudah berubah menjadi dogma baru. Di sisi lain, Skeptisisme juga melahirkan etika intelektual berupa kejujuran, kerendahan hati, dan kehati-hatian dalam membuat klaim.⁵ Ia mengajarkan bahwa pengetahuan yang bertanggung jawab bukanlah yang mengklaim kepastian, tetapi yang berani mengakui keterbatasan dan tetap terbuka terhadap kritik.

Secara etis dan eksistensial, Skeptisisme menawarkan jalan menuju ataraxia, ketenangan batin yang diperoleh melalui pelepasan dari opini yang menimbulkan konflik batin.⁶ Dalam dunia modern yang penuh dengan informasi, ideologi, dan pertarungan kebenaran, nilai ini menjadi semakin relevan. Skeptisisme menuntun manusia untuk berpikir tanpa fanatisme, berdebat tanpa permusuhan, dan mencari kebenaran tanpa kelekatan emosional.⁷ Dengan demikian, ia berfungsi bukan hanya sebagai teori pengetahuan, tetapi juga sebagai filsafat hidup—sebuah therapeia logou, terapi akal terhadap penderitaan yang lahir dari kesombongan epistemik.

Dalam konteks kontemporer, Skeptisisme juga menegaskan pentingnya berpikir kritis di era post-truth dan disinformasi.⁸ Kesediaan untuk menunda penilaian sebelum menerima klaim kebenaran apa pun merupakan prasyarat bagi kehidupan demokratis yang sehat. Dengan mempraktikkan epoché dalam ranah publik, masyarakat dapat menghindari polarisasi dan menjaga ruang dialog yang rasional. Dengan demikian, Skeptisisme memiliki fungsi sosial yang mendalam: bukan hanya melatih individu untuk berpikir hati-hati, tetapi juga membangun kebudayaan yang bebas dari dogma dan fanatisme.⁹

Akhirnya, secara filosofis, Skeptisisme Kuno dapat disimpulkan sebagai paradigma keseimbangan: antara keyakinan dan keraguan, antara pengetahuan dan ketidaktahuan, antara akal dan kesadaran akan batasnya sendiri. Ia menjadi jembatan antara tradisi metafisis yang mencari kepastian dan tradisi empiris yang menerima keterbatasan. Skeptisisme tidak membunuh filsafat, melainkan menjaganya tetap hidup—selalu waspada, selalu mencari, dan selalu siap dikoreksi.¹⁰ Sebagaimana dikatakan oleh Sextus Empiricus, tujuan seorang skeptis bukanlah berhenti berpikir, melainkan terus mencari dengan tenang.¹¹ Dalam pengertian inilah, Skeptisisme Kuno tetap menjadi cermin kebijaksanaan yang tak lekang oleh waktu: ia mengajarkan bahwa kebebasan berpikir sejati lahir dari kesadaran akan ketidakpastian.¹²


Footnotes

[1]                Richard H. Popkin, The History of Scepticism: From Savonarola to Bayle (Oxford: Oxford University Press, 2003), 251–254.

[2]                Gisela Striker, “Sceptical Strategies,” dalam The Cambridge Companion to Ancient Scepticism, ed. Richard Bett (Cambridge: Cambridge University Press, 2010), 94–97.

[3]                Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism, diterj. R.G. Bury (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1933), I.10–13.

[4]                Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Routledge, 1959), 37–40.

[5]                Pierre Hadot, Philosophy as a Way of Life (Oxford: Blackwell Publishing, 1995), 103–107.

[6]                Martha C. Nussbaum, The Therapy of Desire: Theory and Practice in Hellenistic Ethics (Princeton: Princeton University Press, 1994), 289–293.

[7]                Jonathan Barnes, The Toils of Scepticism (Cambridge: Cambridge University Press, 1990), 90–93.

[8]                Lee McIntyre, Post-Truth (Cambridge, MA: MIT Press, 2018), 22–26.

[9]                John Dewey, The Public and Its Problems (Athens: Ohio University Press, 1954), 148–151.

[10]             Myles Burnyeat, “Can the Sceptic Live His Scepticism?,” Proceedings of the Aristotelian Society 55 (1981): 120–124.

[11]             Sextus Empiricus, Outlines of Pyrrhonism, I.25–26.

[12]             Pierre Hadot, What Is Ancient Philosophy? (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2002), 135–138.


Daftar Pustaka

Annas, J., & Barnes, J. (1985). The modes of scepticism: Ancient texts and modern interpretations. Cambridge University Press.

Aristotle. (1928). Metaphysics (W. D. Ross, Trans.). Clarendon Press.

Aristotle. (1985). Nicomachean ethics (T. Irwin, Trans.). Hackett Publishing.

Barnes, J. (1990). The toils of scepticism. Cambridge University Press.

Bett, R. (2000). Pyrrho, his antecedents and his legacy. Oxford University Press.

Bett, R. (2019). How to be a Pyrrhonist: The practice and significance of Pyrrhonian skepticism. Cambridge University Press.

Burnyeat, M. (1981). Can the sceptic live his scepticism? Proceedings of the Aristotelian Society, 55, 117–126.

Cicero. (1933). Academica (H. Rackham, Trans.). Harvard University Press.

Descartes, R. (1996). Meditations on first philosophy (J. Cottingham, Trans.). Cambridge University Press.

Diogenes Laertius. (1925). Lives and opinions of eminent philosophers (R. D. Hicks, Trans.). Harvard University Press.

Dewey, J. (1954). The public and its problems. Ohio University Press.

Dreyfus, H. L. (1992). What computers still can’t do: A critique of artificial reason. MIT Press.

Epicurus. (1994). Letter to Herodotus. In B. Inwood & L. P. Gerson (Eds.), The Epicurus reader (pp. 8–10). Hackett Publishing.

Floridi, L. (2011). The philosophy of information. Oxford University Press.

Floridi, L. (2013). Ethics of information. Oxford University Press.

Frede, M. (1987). Essays in ancient philosophy. University of Minnesota Press.

Gorgias. (1957). On non-existence or on nature. In K. Freeman, Ancilla to the pre-Socratic philosophers (pp. 137–139). Harvard University Press.

Hadot, P. (1995). Philosophy as a way of life. Blackwell Publishing.

Hadot, P. (2002). What is ancient philosophy? Harvard University Press.

Hume, D. (2000). A treatise of human nature. Oxford University Press.

Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P. Guyer & A. Wood, Trans.). Cambridge University Press.

Kirk, G. S., Raven, J. E., & Schofield, M. (1983). The presocratic philosophers. Cambridge University Press.

Long, A. A., & Sedley, D. N. (1987). The Hellenistic philosophers (Vol. 1). Cambridge University Press.

McIntyre, L. (2018). Post-truth. MIT Press.

Nussbaum, M. C. (1994). The therapy of desire: Theory and practice in Hellenistic ethics. Princeton University Press.

Parmenides. (1952). In H. Diels & W. Kranz (Eds.), Die Fragmente der Vorsokratiker (6th ed., Vol. 2). Weidmann.

Plato. (1892). Apology (B. Jowett, Trans.). Clarendon Press.

Popkin, R. H. (2003). The history of scepticism: From Savonarola to Bayle. Oxford University Press.

Popper, K. R. (1959). The logic of scientific discovery. Routledge.

Protagoras. (1952). Fragment B1. In H. Diels & W. Kranz (Eds.), Die Fragmente der Vorsokratiker (6th ed., Vol. 2). Weidmann.

Robertson, D. (2013). Stoicism and the art of happiness. Robinson.

Sextus Empiricus. (1933). Outlines of Pyrrhonism (R. G. Bury, Trans.). Harvard University Press.

Sextus Empiricus. (1936). Against the mathematicians (R. G. Bury, Trans.). Harvard University Press.

Striker, G. (2010). Ataraxia: Happiness as tranquility. In R. Bett (Ed.), The Cambridge companion to ancient scepticism (pp. 114–118). Cambridge University Press.

Striker, G. (2010). Sceptical strategies. In R. Bett (Ed.), The Cambridge companion to ancient scepticism (pp. 94–97). Cambridge University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar