Selasa, 02 Desember 2025

Supernaturalisme: Antara Metafisika Transenden dan Rasionalitas Empiris

Supernaturalisme

Antara Metafisika Transenden dan Rasionalitas Empiris


Alihkan ke: Aliran Metafisik dalam Filsafat.


Abstrak

Artikel ini membahas secara sistematis konsep Supernaturalisme sebagai salah satu aliran penting dalam cabang metafisika yang menegaskan keberadaan realitas transenden di luar dunia empiris. Kajian ini menelusuri akar historis, struktur ontologis, epistemologis, serta implikasi etis dan aksiologis dari pandangan supernaturalistik dalam sejarah filsafat Barat. Secara historis, Supernaturalisme berakar pada tradisi metafisika Yunani—terutama pada gagasan Plato tentang dunia ide dan Aristoteles tentang causa prima—yang kemudian dikembangkan dalam teologi skolastik, terutama oleh Thomas Aquinas. Pada dimensi ontologis, Supernaturalisme memandang bahwa realitas natural bergantung pada realitas supranatural sebagai ens necessarium, yaitu sumber segala keberadaan.

Epistemologinya menempatkan rasio, intuisi, dan wahyu sebagai tiga poros pengetahuan yang saling melengkapi dalam memahami realitas transenden. Etika dan aksiologi Supernaturalisme menegaskan bahwa nilai-nilai moral dan kebaikan bersifat objektif karena berakar pada hakikat ilahi yang absolut. Meskipun menghadapi kritik dari naturalisme, empirisme, dan positivisme, Supernaturalisme tetap relevan di era modern karena menawarkan horizon metafisik yang mengintegrasikan iman dan rasio, sains dan spiritualitas. Dalam konteks kontemporer, Supernaturalisme tidak lagi dipahami sebagai dualisme antara alam dan Tuhan, tetapi sebagai paradigma integral yang menyingkap kesatuan antara transendensi dan immanensi.

Melalui pendekatan sintesis filosofis, artikel ini menyimpulkan bahwa Supernaturalisme bukan sekadar sistem teologis, melainkan visi filosofis yang menghubungkan dimensi ontologis, epistemologis, dan etis manusia dalam kesadaran akan realitas transenden. Dengan demikian, Supernaturalisme menjadi kontribusi penting bagi filsafat modern dalam mengembalikan keseimbangan antara rasionalitas empiris dan kesadaran spiritual yang lebih dalam terhadap makna keberadaan.

Kata Kunci: Supernaturalisme; Metafisika; Transendensi; Ontologi; Epistemologi; Etika; Aksiologi; Iman dan Rasio; Thomas Aquinas; Filsafat Kontemporer.


PEMBAHASAN

Supernaturalisme dalam Filsafat Metafisika


1.           Pendahuluan

Supernaturalisme merupakan salah satu aliran metafisika yang menegaskan adanya realitas yang melampaui dunia alami atau material. Dalam konteks filsafat, Supernaturalisme tidak hanya berbicara tentang keberadaan Tuhan atau makhluk-makhluk spiritual, tetapi juga tentang struktur realitas yang mencakup dimensi non-empiris yang tidak dapat dijelaskan sepenuhnya melalui hukum-hukum alam semata. Dengan demikian, Supernaturalisme berangkat dari keyakinan ontologis bahwa alam semesta bukanlah sistem tertutup, melainkan terbuka terhadap pengaruh kekuatan transenden atau ilahi yang menjadi sumber dan tujuan dari segala yang ada.¹

Akar konseptual Supernaturalisme dapat ditelusuri hingga filsafat kuno, terutama dalam tradisi Platonik dan Aristotelian. Plato, misalnya, menegaskan adanya dunia ide sebagai realitas sejati yang melampaui fenomena indrawi.² Aristoteles, meskipun lebih empiris, tetap mengakui keberadaan “Penyebab Pertama” (Primum Movens) yang tak bergerak namun menjadi sumber gerak segala sesuatu.³ Gagasan ini kemudian diadopsi dan dikembangkan oleh para filsuf skolastik, terutama Thomas Aquinas, yang memadukan filsafat Aristoteles dengan teologi Kristen dalam sistem metafisika yang menegaskan bahwa realitas natural bergantung pada sebab pertama yang bersifat supranatural.⁴

Dalam perkembangan sejarah pemikiran, Supernaturalisme menjadi pusat perdebatan antara filsafat dan ilmu pengetahuan modern. Sejak munculnya rasionalisme dan empirisme pada abad ke-17, banyak filsuf mulai meragukan keberadaan realitas di luar alam fisik. Tokoh seperti David Hume menolak klaim metafisis tentang mukjizat dan intervensi ilahi karena dianggap tidak dapat diverifikasi secara empiris.⁵ Sementara itu, kaum positivis pada abad ke-19 menegaskan bahwa pernyataan yang bermakna hanyalah yang dapat diuji melalui pengalaman indrawi, sehingga Supernaturalisme dipandang sebagai residu teologis yang tidak ilmiah.⁶ Namun demikian, dalam filsafat kontemporer muncul kebangkitan kembali minat terhadap dimensi transenden, terutama melalui fenomenologi pengalaman religius dan filsafat kesadaran yang menolak reduksionisme materialistik.⁷

Pertanyaan mendasar yang hendak dijawab oleh Supernaturalisme adalah: Apakah realitas terbatas pada yang empiris, ataukah terdapat dimensi lain yang transenden dan menentukan makna keberadaan? Pertanyaan ini tidak sekadar bersifat teologis, tetapi juga epistemologis dan eksistensial. Di satu sisi, ia menantang batas rasionalitas modern yang cenderung mengabaikan pengalaman religius sebagai bentuk pengetahuan; di sisi lain, ia mengingatkan manusia akan keterbatasan epistemik dalam memahami totalitas realitas. Dengan demikian, Supernaturalisme menjadi refleksi metafisik tentang relasi antara iman dan rasio, antara alam dan yang melampauinya.⁸

Tujuan dari pembahasan ini adalah untuk menguraikan secara sistematis fondasi-fondasi metafisik, epistemologis, dan etis dari Supernaturalisme sebagai salah satu aliran utama dalam metafisika. Kajian ini juga bermaksud menelusuri bagaimana Supernaturalisme mempertahankan relevansinya di tengah dominasi paradigma saintifik-modern, serta menelaah potensi integratifnya dalam menjembatani antara rasionalitas empiris dan pengalaman transenden.⁹


Footnotes

[1]                William J. Wainwright, Philosophy of Religion (Albany: State University of New York Press, 1988), 24.

[2]                Plato, Phaedo, terj. G.M.A. Grube (Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 65–67.

[3]                Aristotle, Metaphysics, terj. W.D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), XII.7, 1072a20–30.

[4]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q.2, a.3.

[5]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding (Oxford: Oxford University Press, 1999), 10.

[6]                Auguste Comte, The Positive Philosophy of Auguste Comte, terj. Harriet Martineau (London: John Chapman, 1853), 41.

[7]                Rudolf Otto, The Idea of the Holy (Oxford: Oxford University Press, 1923), 5–7.

[8]                Alvin Plantinga, God and Other Minds (Ithaca: Cornell University Press, 1967), 11–14.

[9]                Richard Swinburne, The Existence of God (Oxford: Clarendon Press, 2004), 2–3.


2.           Landasan Historis dan Genealogis Supernaturalisme

Supernaturalisme memiliki akar yang sangat dalam dalam sejarah filsafat Barat, bahkan sebelum istilah “supernatural” itu sendiri muncul secara eksplisit. Secara etimologis, istilah supernaturalis berasal dari bahasa Latin yang berarti “melampaui alam” (super = di atas, natura = alam).¹ Dalam pengertian awalnya, gagasan tentang “yang melampaui alam” telah hadir dalam filsafat Yunani klasik, yang memandang realitas tidak terbatas pada dunia fenomenal. Plato, misalnya, membedakan antara dunia ide yang abadi dan dunia indrawi yang berubah, di mana dunia ide merupakan sumber eksistensi dan makna bagi segala hal yang ada di dunia empiris.² Gagasan ini menjadi fondasi bagi seluruh tradisi metafisika transenden yang kemudian diadopsi oleh para pemikir Kristen awal.

2.1.       Pengaruh Filsafat Yunani dan Tradisi Helenistik

Dalam filsafat Aristoteles, konsep tentang Penyebab Pertama (Primum Movens) menjadi titik awal bagi struktur ontologis yang kelak diinterpretasikan sebagai dasar pemikiran supernaturalistik.³ Aristoteles berpendapat bahwa segala sesuatu yang bergerak harus memiliki sebab, dan rantai sebab itu tidak dapat mundur tanpa batas—harus ada satu penyebab pertama yang tak bergerak, tak berubah, dan bersifat immaterial.⁴ Pemikiran ini kemudian diinterpretasikan oleh para teolog sebagai bukti rasional tentang keberadaan Tuhan sebagai entitas supranatural.

Selain Aristoteles, tradisi Stoa dan Neoplatonisme turut memengaruhi genealoginya. Neoplatonisme, melalui Plotinus, memperkenalkan konsep The One—suatu realitas mutlak yang transenden dan menjadi sumber dari segala eksistensi.⁵ Konsep ini memperkuat kerangka metafisika yang mengakui adanya hierarki realitas, dari yang tertinggi (yang ilahi) hingga yang terendah (materi). Inilah bentuk awal dari struktur ontologis yang mendukung pemahaman supernaturalistik tentang dunia.

2.2.       Integrasi dalam Filsafat dan Teologi Kristen

Tradisi Kristen awal mengambil alih dan mentransformasi warisan Yunani tersebut ke dalam kerangka teologis. Augustine dari Hippo, salah satu Bapa Gereja paling berpengaruh, menegaskan bahwa dunia ciptaan memiliki ketergantungan ontologis pada Tuhan, dan seluruh kebenaran yang sejati bersumber dari realitas ilahi.⁶ Augustine menolak pandangan naturalistik yang menempatkan alam sebagai sumber otonom dari hukum-hukum yang mengatur dirinya, dan menggantinya dengan pandangan bahwa seluruh keteraturan alam merupakan partisipasi dalam rasionalitas ilahi (Logos).⁷

Puncak perkembangan Supernaturalisme sebagai sistem metafisik terjadi pada Abad Pertengahan, terutama melalui karya Thomas Aquinas. Dalam Summa Theologica, Aquinas memadukan Aristotelianisme dengan teologi Kristen dan mengembangkan argumen-argumen metafisik yang menegaskan bahwa realitas natural bergantung secara mutlak pada penyebab supranatural, yaitu Tuhan.⁸ Bagi Aquinas, manusia dapat mengenal realitas supranatural melalui rasio, tetapi pengenalan yang sempurna hanya dapat dicapai melalui wahyu.⁹ Dengan demikian, ia membangun sintesis yang kuat antara iman dan akal, antara natural dan supranatural—sebuah sintesis yang kemudian menjadi model bagi seluruh pemikiran skolastik.

2.3.       Krisis dan Tantangan pada Era Modern

Memasuki zaman modern, Supernaturalisme menghadapi tantangan besar dari berkembangnya sains empiris dan filsafat rasionalistik. René Descartes, dengan metode keraguannya, menekankan rasio sebagai satu-satunya sumber kepastian, sekalipun ia tetap mempertahankan gagasan tentang Tuhan sebagai jaminan realitas.¹⁰ Namun, warisan empirisme Hume dan positivisme Comte menolak segala bentuk penjelasan yang melibatkan entitas di luar observasi empiris.¹¹ Bagi kaum positivis, realitas supranatural tidak lebih dari konstruksi spekulatif yang tidak memiliki nilai ilmiah.¹²

Namun demikian, arus penolakan terhadap Supernaturalisme ini tidak mematikan perdebatan metafisik. Justru pada abad ke-20, pemikir seperti Rudolf Otto dan Mircea Eliade menunjukkan bahwa pengalaman religius dan kesadaran transendental adalah bagian tak terpisahkan dari eksistensi manusia.¹³ Bahkan filsuf analitik seperti Alvin Plantinga menghidupkan kembali argumen tentang rasionalitas iman dengan menunjukkan bahwa kepercayaan kepada Tuhan dapat bersifat dasar dan wajar (properly basic belief), tanpa harus didasarkan pada bukti empiris.¹⁴

2.4.       Konteks Genealogis Kontemporer

Dalam konteks kontemporer, Supernaturalisme mengalami reinterpretasi dalam dialog antara sains dan teologi. Filsuf seperti Richard Swinburne berusaha menunjukkan bahwa eksistensi Tuhan sebagai realitas supranatural tetap merupakan hipotesis rasional terbaik untuk menjelaskan keteraturan dan kebermaknaan alam semesta.¹⁵ Sementara itu, dalam ranah fenomenologi dan eksistensialisme, Supernaturalisme dipahami bukan sekadar sebagai postulat metafisik, tetapi sebagai horizon kesadaran manusia terhadap yang transenden.¹⁶

Dengan demikian, secara genealogis, Supernaturalisme bukan sekadar residu teologis masa lampau, melainkan tradisi pemikiran yang terus berkembang, menyesuaikan diri dengan perubahan paradigma pengetahuan. Ia tidak hanya menghubungkan filsafat dengan agama, tetapi juga menjadi jembatan antara metafisika klasik dan filsafat kesadaran modern—antara logos rasional dan misterium transenden yang senantiasa melampaui batas pemahaman manusia.¹⁷


Footnotes

[1]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 1: Greece and Rome (New York: Image Books, 1993), 112.

[2]                Plato, Republic, terj. C.D.C. Reeve (Indianapolis: Hackett Publishing, 2004), 509d–511e.

[3]                Aristotle, Metaphysics, terj. W.D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), XII.7, 1072a25–30.

[4]                Ibid., 1072b10–20.

[5]                Plotinus, The Enneads, terj. Stephen MacKenna (London: Penguin Classics, 1991), V.1.6.

[6]                Augustine, Confessions, terj. Henry Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 1991), VII.10.

[7]                Augustine, The City of God, terj. Marcus Dods (New York: Random House, 1950), XI.4.

[8]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q.2, a.3.

[9]                Ibid., I, q.12, a.13.

[10]             René Descartes, Meditations on First Philosophy, terj. Donald Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), II.

[11]             David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding (Oxford: Oxford University Press, 1999), 10.

[12]             Auguste Comte, The Positive Philosophy of Auguste Comte, terj. Harriet Martineau (London: John Chapman, 1853), 42–43.

[13]             Rudolf Otto, The Idea of the Holy (Oxford: Oxford University Press, 1923), 6–8.

[14]             Alvin Plantinga, God and Other Minds (Ithaca: Cornell University Press, 1967), 45–47.

[15]             Richard Swinburne, The Existence of God (Oxford: Clarendon Press, 2004), 5–7.

[16]             Mircea Eliade, The Sacred and the Profane (New York: Harcourt, 1957), 10–13.

[17]             William J. Wainwright, Philosophy of Religion (Albany: State University of New York Press, 1988), 29–30.


3.           Ontologi Supernaturalisme

Ontologi Supernaturalisme berangkat dari pandangan bahwa realitas tidak terbatas pada dimensi empiris yang dapat diindra, melainkan mencakup eksistensi entitas atau prinsip yang bersifat transenden.¹ Dalam kerangka metafisika ini, realitas dipahami sebagai hierarki keberadaan (ordo essendi) di mana tingkat tertinggi ditempati oleh realitas ilahi yang menjadi penyebab dan dasar segala sesuatu. Dengan demikian, Supernaturalisme menolak pandangan monistik-materialistik yang menyamakan realitas dengan materi semata, dan sebaliknya menegaskan bahwa yang supranatural memiliki eksistensi ontologis yang sejati serta menjadi syarat bagi keberadaan yang natural.²

3.1.       Struktur Ontologis Realitas: Natural dan Supranatural

Dalam pandangan Supernaturalisme, dunia natural hanyalah satu dimensi dari keseluruhan realitas. Ia bergantung secara ontologis pada realitas yang lebih tinggi, yakni realitas supranatural.³ Struktur ini bersifat analogis: realitas natural tidak identik dengan realitas ilahi, namun memantulkan sifat-sifatnya melalui keteraturan dan rasionalitas alam. Thomas Aquinas, dalam kerangka metafisika skolastiknya, mengemukakan bahwa segala yang ada memiliki keberadaan (esse) yang diperoleh dari Tuhan sebagai actus essendi tertinggi.⁴ Dengan demikian, Tuhan bukan sekadar bagian dari tatanan eksistensi, melainkan sumber eksistensi itu sendiri.

Supernaturalisme, dengan demikian, memandang bahwa keberadaan alam tidak otonom. Ia bukan sistem tertutup, melainkan sistem yang terus bergantung pada penyebab utama.⁵ Dalam konteks ini, hukum alam bukanlah entitas absolut, melainkan manifestasi dari rasionalitas ilahi yang bekerja di dalam ciptaan. Relasi antara natural dan supranatural bukan relasi dualistik yang memisahkan secara mutlak, tetapi relasi hierarkis yang menempatkan yang supranatural sebagai dasar ontologis bagi yang natural.⁶

3.2.       Realitas Ilahi sebagai Dasar Ontologis

Dalam Supernaturalisme klasik, realitas tertinggi diidentifikasi dengan Tuhan sebagai Ens Necessarium—“yang ada dengan sendirinya”—berbeda dengan semua makhluk yang bergantung pada-Nya (ens contingens).⁷ Argumen ini berakar dalam tradisi Aristotelian dan dikembangkan oleh Aquinas melalui lima jalan (quinque viae) untuk membuktikan eksistensi Tuhan, di mana setiap argumentasi berakhir pada kesimpulan bahwa harus ada “Ada yang niscaya” sebagai penyebab pertama dan dasar segala keberadaan.⁸

Dari perspektif ontologi kontemporer, gagasan ini dapat dimaknai sebagai pengakuan bahwa realitas tidak dapat dijelaskan sepenuhnya dari dalam dirinya sendiri tanpa mengakui prinsip transenden yang memberi makna. Filsuf seperti Richard Swinburne menginterpretasikan keberadaan Tuhan sebagai hipotesis metafisik yang paling sederhana dan paling menjelaskan keteraturan dunia.⁹ Sementara itu, dalam fenomenologi, realitas ilahi dipahami sebagai horizon makna yang melampaui kesadaran namun meneguhkan eksistensi manusia.¹⁰

Dengan demikian, realitas supranatural bukan entitas asing yang terpisah dari dunia, tetapi sumber kebermaknaan dan keberadaan itu sendiri. Relasi manusia dengan realitas supranatural bersifat partisipatif, di mana eksistensi manusia memperoleh kepenuhan dalam keterbukaan terhadap yang transenden.¹¹

3.3.       Relasi Kausal antara Alam dan Supranatural

Salah satu ciri khas ontologi Supernaturalisme adalah keyakinan bahwa realitas supranatural dapat berintervensi dalam dunia natural. Intervensi ini tidak selalu bersifat ajaib (miraculous), tetapi juga dapat dipahami sebagai kehadiran prinsip transenden yang memelihara keteraturan alam.¹² Dalam tradisi teistik, konsep providentia divina (penyelenggaraan ilahi) menjelaskan bahwa Tuhan terus-menerus bekerja dalam ciptaan tanpa meniadakan hukum alam.¹³ Dengan demikian, tindakan supranatural tidak meniadakan yang natural, tetapi melengkapinya.

Namun, dalam sejarah filsafat modern, konsep ini sering disalahpahami sebagai pelanggaran terhadap hukum sebab-akibat alamiah. David Hume, misalnya, menolak gagasan mukjizat dengan alasan bahwa peristiwa semacam itu bertentangan dengan pengalaman empiris yang teratur.¹⁴ Kritik ini kemudian dijawab oleh para teolog seperti Alvin Plantinga, yang menegaskan bahwa intervensi supranatural bukanlah pelanggaran terhadap hukum alam, melainkan tindakan bebas dari penyebab utama yang berada di luar sistem alam itu sendiri.¹⁵

3.4.       Kritik dan Reinterpretasi Ontologis

Kritik terhadap ontologi Supernaturalisme terutama datang dari dua arah: pertama, dari kaum naturalis yang menolak segala bentuk entitas non-empiris; kedua, dari kaum panteis yang menghapus perbedaan antara natural dan supranatural dengan menyatukan keduanya dalam satu realitas ilahi yang imanen.¹⁶ Namun, banyak filsuf metafisik modern berupaya merekonstruksi Supernaturalisme dalam bentuk yang lebih dialogis dan non-dualistis. Alfred North Whitehead, misalnya, dalam filsafat prosesnya, menggambarkan Tuhan bukan sebagai entitas terpisah, melainkan sebagai prinsip yang bekerja di dalam dinamika kosmos, memberi arah pada proses kreatif alam semesta.¹⁷

Dengan demikian, ontologi Supernaturalisme tidak harus dipahami secara statis atau dogmatis. Ia dapat dibaca sebagai kerangka metafisik terbuka yang menegaskan bahwa realitas memiliki dimensi kedalaman ontologis yang tak dapat direduksi pada fakta empiris semata.¹⁸ Dalam pengertian ini, Supernaturalisme menawarkan perspektif integratif yang menyatukan antara aspek rasional, empiris, dan transenden dari realitas.


Footnotes

[1]                William J. Wainwright, Philosophy of Religion (Albany: State University of New York Press, 1988), 33.

[2]                Etienne Gilson, Being and Some Philosophers (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1952), 12.

[3]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 2: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 74.

[4]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q.3, a.4.

[5]                Ibid., I, q.44, a.1.

[6]                Josef Pieper, The Silence of St. Thomas (South Bend: St. Augustine’s Press, 1999), 27.

[7]                Thomas Aquinas, Summa Contra Gentiles, I, c.15.

[8]                Ibid., I, c.13–14.

[9]                Richard Swinburne, The Existence of God (Oxford: Clarendon Press, 2004), 8–9.

[10]             Emmanuel Levinas, Totality and Infinity (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 21.

[11]             Karl Rahner, Foundations of Christian Faith (New York: Crossroad, 1982), 105.

[12]             Alvin Plantinga, God, Freedom, and Evil (Grand Rapids: Eerdmans, 1977), 39.

[13]             Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q.22, a.2.

[14]             David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding (Oxford: Oxford University Press, 1999), 10.

[15]             Alvin Plantinga, Warranted Christian Belief (New York: Oxford University Press, 2000), 55.

[16]             Baruch Spinoza, Ethics, terj. Edwin Curley (London: Penguin Classics, 2005), I, prop. XV.

[17]             Alfred North Whitehead, Process and Reality (New York: Free Press, 1978), 343.

[18]             Paul Tillich, Systematic Theology, Vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1951), 71.


4.           Epistemologi Supernaturalisme

Epistemologi Supernaturalisme membahas cara manusia dapat mengetahui realitas yang melampaui pengalaman empiris. Dalam konteks ini, problem utama yang muncul ialah: bagaimana mungkin manusia yang terbatas dapat mengetahui sesuatu yang bersifat transenden dan immaterial? Pertanyaan ini membawa Supernaturalisme pada ranah epistemologi yang khas, di mana rasio, intuisi, dan wahyu tidak diposisikan secara berlawanan, tetapi sebagai sarana-sarana koheren yang saling melengkapi dalam memahami kebenaran yang bersumber dari realitas supranatural.¹

4.1.       Rasio sebagai Jalan Menuju yang Transenden

Dalam tradisi klasik, rasio dianggap sebagai jembatan antara manusia dan realitas ilahi. Aristoteles menganggap akal budi (nous) sebagai bagian ilahi dalam diri manusia yang memungkinkan pengetahuan tentang yang abadi.² Thomas Aquinas mengembangkan pandangan ini dengan menegaskan bahwa akal manusia, meskipun terbatas, dapat mencapai pengetahuan tentang Tuhan melalui inferensi rasional terhadap ciptaan.³ Hal ini dikenal sebagai teologi natural, yakni upaya memahami Tuhan berdasarkan refleksi terhadap dunia empiris. Melalui keteraturan kosmos, manusia dapat menalar adanya penyebab pertama yang rasional dan transenden.⁴

Namun, Aquinas juga menekankan bahwa rasio hanya mampu mencapai pengetahuan parsial. Ia tidak dapat menyingkap esensi ilahi secara penuh karena keterbatasan kodrati manusia.⁵ Maka dari itu, pengetahuan rasional perlu dilengkapi oleh wahyu, yang memungkinkan manusia mengenal kebenaran yang melampaui jangkauan intelek.

4.2.       Intuisi dan Pengalaman Religius

Selain rasio, Supernaturalisme mengakui adanya bentuk pengetahuan non-diskursif, yaitu pengetahuan intuitif atau langsung yang lahir dari pengalaman religius. Rudolf Otto menyebut pengalaman ini sebagai das Numinose, yakni kesadaran akan kehadiran yang misterius, menakutkan sekaligus memikat (mysterium tremendum et fascinans).⁶ Pengalaman semacam ini tidak bersifat empiris, melainkan fenomenologis—ia menyingkapkan dimensi transenden dalam kesadaran manusia tanpa harus melalui proposisi logis.⁷

Dalam kerangka fenomenologi, realitas supranatural hadir sebagai horizon makna yang menyingkapkan diri dalam pengalaman manusia. Emmanuel Levinas, misalnya, menggambarkan pengalaman etis terhadap “Yang Lain” sebagai bentuk pewahyuan yang melampaui pengetahuan objektif.⁸ Dengan demikian, epistemologi Supernaturalisme menolak reduksi pengetahuan pada fakta empiris dan menegaskan pentingnya pengalaman eksistensial yang bersifat transenden.

Intuisi religius ini tidak dapat diuji secara empiris, namun memiliki validitas fenomenologis karena ia memanifestasikan struktur kesadaran manusia terhadap yang tak terbatas.⁹ Dalam hal ini, Supernaturalisme mengakui bahwa pengetahuan tidak hanya bersifat representasional, tetapi juga partisipatif—manusia mengetahui realitas ilahi dengan terlibat di dalamnya.

4.3.       Wahyu sebagai Sumber Pengetahuan Supranatural

Wahyu menempati posisi sentral dalam epistemologi Supernaturalisme. Jika rasio dan intuisi memungkinkan manusia mengenal Tuhan secara terbatas, maka wahyu dipandang sebagai tindakan aktif dari realitas ilahi yang menyingkap diri-Nya kepada manusia.¹⁰ Dalam kerangka teologis, wahyu bukan sekadar penyampaian informasi metafisis, tetapi komunikasi eksistensial antara Tuhan dan manusia.¹¹

Thomas Aquinas menegaskan bahwa kebenaran-kebenaran tertentu tentang Tuhan—seperti keberadaan-Nya—dapat diketahui melalui rasio, namun misteri ilahi seperti Trinitas hanya dapat diketahui melalui wahyu.¹² Dengan demikian, wahyu tidak meniadakan rasio, melainkan melengkapinya. Dalam pandangan modern, Alvin Plantinga mengembangkan gagasan ini melalui konsep properly basic beliefs, yaitu keyakinan religius yang dapat diterima secara rasional tanpa memerlukan pembuktian empiris karena berakar pada struktur kognitif yang diciptakan Tuhan.¹³

Epistemologi Supernaturalisme dengan demikian bersifat inklusif: ia membuka ruang bagi wahyu dan pengalaman spiritual tanpa menolak rasionalitas. Hal ini membedakannya dari fideisme buta di satu sisi, dan empirisisme reduksionistik di sisi lain.

4.4.       Sintesis Rasio, Intuisi, dan Wahyu

Secara epistemologis, Supernaturalisme menolak dikotomi tajam antara pengetahuan ilmiah dan religius.¹⁴ Ia mengusulkan paradigma integratif, di mana rasio, intuisi, dan wahyu saling melengkapi dalam proses penyingkapan kebenaran. Dalam model ini, rasio memberikan struktur logis bagi pengalaman religius, intuisi memberi kedalaman eksistensial, dan wahyu memberi arah final bagi pengetahuan manusia.¹⁵

Karl Rahner menggambarkan manusia sebagai homo capax Dei—makhluk yang secara eksistensial terbuka terhadap yang ilahi.¹⁶ Oleh karena itu, setiap tindakan kognitif manusia mengandung kemungkinan transendensi. Dalam perspektif ini, epistemologi Supernaturalisme bukan sekadar teori pengetahuan metafisik, melainkan refleksi tentang cara manusia berelasi dengan sumber makna tertinggi yang melampaui dirinya.¹⁷


Footnotes

[1]                William J. Wainwright, Philosophy of Religion (Albany: State University of New York Press, 1988), 41.

[2]                Aristotle, Metaphysics, terj. W.D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), XII.7, 1072b.

[3]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q.2, a.3.

[4]                Etienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas (New York: Random House, 1956), 58–59.

[5]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q.12, a.13.

[6]                Rudolf Otto, The Idea of the Holy (Oxford: Oxford University Press, 1923), 12–14.

[7]                Mircea Eliade, The Sacred and the Profane (New York: Harcourt, 1957), 18.

[8]                Emmanuel Levinas, Totality and Infinity (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 50–52.

[9]                William James, The Varieties of Religious Experience (New York: Longmans, Green & Co., 1902), 380.

[10]             Karl Barth, Church Dogmatics, Vol. I/1: The Doctrine of the Word of God (Edinburgh: T&T Clark, 1936), 295.

[11]             Gabriel Marcel, The Mystery of Being (Chicago: Henry Regnery, 1960), 97.

[12]             Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q.1, a.1.

[13]             Alvin Plantinga, Warranted Christian Belief (New York: Oxford University Press, 2000), 188–189.

[14]             Richard Swinburne, Faith and Reason (Oxford: Clarendon Press, 2005), 4–6.

[15]             Paul Tillich, Systematic Theology, Vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1951), 73.

[16]             Karl Rahner, Foundations of Christian Faith (New York: Crossroad, 1982), 39.

[17]             Hans Urs von Balthasar, The Glory of the Lord, Vol. 1: Seeing the Form (San Francisco: Ignatius Press, 1982), 120.


5.           Etika dan Aksiologi Supernaturalisme

Etika dan aksiologi Supernaturalisme berakar pada keyakinan bahwa nilai moral dan kebaikan tidak bersumber dari manusia atau alam semata, melainkan memiliki dasar ontologis dalam realitas supranatural yang transenden.¹ Pandangan ini menolak relativisme moral yang menganggap nilai-nilai etis sebagai hasil konstruksi sosial atau biologis, serta menolak naturalisme etis yang mengidentikkan “yang baik” dengan fakta empiris. Bagi Supernaturalisme, kebaikan memiliki dimensi metafisik karena berakar pada sumber ilahi yang absolut.²

Dengan demikian, etika Supernaturalisme bukanlah sekadar sistem norma, melainkan refleksi tentang hubungan eksistensial manusia dengan realitas tertinggi. Kebaikan moral menjadi partisipasi manusia dalam kebaikan ilahi (bonum divinum), dan tindakan etis dipahami sebagai tanggapan terhadap panggilan transenden yang mengarahkan manusia kepada tujuan finalnya (telos), yaitu kesatuan dengan Yang Ilahi.³

5.1.       Dasar Ontologis Nilai Moral

Dalam kerangka Supernaturalisme, nilai moral bersifat objektif karena berakar pada hakikat Tuhan sebagai kebaikan itu sendiri. Thomas Aquinas menegaskan bahwa “kebaikan” dan “ada” (bonum et ens) bersifat identik: segala yang ada adalah baik sejauh ia berpartisipasi dalam keberadaan yang berasal dari Tuhan.⁴ Oleh karena itu, nilai moral tidak bersifat arbitrer, melainkan memiliki dasar metafisik yang kokoh dalam struktur realitas.

Konsepsi ini berbeda tajam dari pandangan naturalistik modern yang menjelaskan moralitas berdasarkan evolusi sosial atau utilitarianisme. Bagi Supernaturalisme, moralitas bukan hasil kesepakatan, melainkan partisipasi dalam tatanan kosmis yang ditetapkan oleh kebijaksanaan ilahi (lex aeterna).⁵ Tindakan manusia menjadi baik sejauh ia selaras dengan tatanan moral universal tersebut, yang secara rasional dapat ditangkap oleh akal manusia (lex naturalis), namun secara penuh hanya terwujud dalam relasi dengan sumber kebaikan yang transenden.⁶

5.2.       Kehendak Bebas dan Tanggung Jawab Moral

Supernaturalisme tidak meniadakan kebebasan manusia, melainkan memaknainya sebagai kemampuan untuk menanggapi panggilan ilahi dengan sadar dan bertanggung jawab.⁷ Dalam tradisi teologi skolastik, kehendak bebas (liberum arbitrium) dipahami sebagai anugerah yang memungkinkan manusia memilih antara kebaikan dan kejahatan, di mana kebaikan sejati hanya dapat dicapai dalam kesesuaian dengan kehendak Tuhan.⁸

Dengan demikian, kebebasan moral bukanlah kebebasan tanpa arah (freedom from), tetapi kebebasan untuk mengarah pada tujuan tertinggi (freedom for the good).⁹ Pandangan ini menolak determinisme materialistik yang mereduksi tindakan moral menjadi hasil kondisi biologis atau sosial. Sebaliknya, ia memandang tindakan moral sebagai ekspresi kebebasan spiritual manusia yang berpartisipasi dalam rasionalitas ilahi.¹⁰

Dalam konteks ini, dosa dipahami bukan sekadar pelanggaran terhadap aturan, tetapi penyimpangan ontologis dari keteraturan kosmik yang ditetapkan oleh sumber kebaikan tertinggi.¹¹ Oleh karena itu, moralitas dalam Supernaturalisme memiliki dimensi metafisik: setiap tindakan memiliki konsekuensi bukan hanya etis, tetapi juga ontologis, karena memengaruhi relasi manusia dengan realitas ilahi.¹²

5.3.       Tujuan Akhir (Teleologi) dan Makna Kehidupan Moral

Etika Supernaturalisme bersifat teleologis. Tujuan akhir manusia bukanlah kebahagiaan duniawi yang bersifat sementara, tetapi kesatuan dengan Tuhan sebagai Summum Bonum—kebaikan tertinggi dan tujuan final dari seluruh eksistensi.¹³ Aristoteles memang menempatkan kebahagiaan (eudaimonia) sebagai tujuan hidup manusia, tetapi dalam Supernaturalisme, kebahagiaan sejati hanya dapat ditemukan dalam relasi dengan yang transenden.¹⁴

Thomas Aquinas menegaskan bahwa beatitudo atau kebahagiaan sejati bukan terletak pada kenikmatan indrawi, kekuasaan, atau pengetahuan duniawi, melainkan dalam kontemplasi langsung terhadap Tuhan (visio beatifica).¹⁵ Maka, kehidupan moral adalah proses transendensi diri—jalan menuju kesempurnaan eksistensial di mana manusia mencapai kebaikan tertinggi dengan menyesuaikan kehendaknya dengan kehendak ilahi.¹⁶

Etika semacam ini juga memiliki implikasi aksiologis yang mendalam. Nilai-nilai seperti kebenaran, keadilan, dan cinta kasih tidak hanya memiliki fungsi sosial, tetapi juga makna metafisik karena mencerminkan sifat-sifat ilahi.¹⁷ Dengan demikian, tindakan etis menjadi partisipasi dalam kehidupan ilahi itu sendiri.

5.4.       Dimensi Aksiologis: Nilai, Keindahan, dan Kesucian

Dalam Supernaturalisme, aksiologi tidak terbatas pada moralitas, tetapi meluas ke seluruh ranah nilai, termasuk keindahan (pulchrum) dan kesucian (sacrum).¹⁸ Nilai-nilai ini tidak bersifat subjektif, melainkan merefleksikan keteraturan dan kesempurnaan metafisik yang berasal dari Tuhan. Hans Urs von Balthasar menegaskan bahwa keindahan memiliki fungsi teologis karena menyingkapkan kemuliaan Tuhan (gloria Dei).¹⁹ Dengan demikian, pengalaman estetis juga merupakan bentuk penyingkapan supranatural dalam dunia natural.

Supernaturalisme melihat bahwa seluruh nilai luhur manusia—kebaikan, kebenaran, dan keindahan (bonum, verum, pulchrum)—berakar pada sumber yang sama, yaitu realitas ilahi.²⁰ Ketiganya saling terjalin dalam satu kesatuan aksiologis yang menuntun manusia kepada kesempurnaan moral dan spiritual.

5.5.       Relevansi Etika Supernaturalistik dalam Dunia Modern

Dalam dunia modern yang cenderung sekular dan relativistik, etika Supernaturalisme menawarkan perspektif alternatif terhadap krisis nilai.²¹ Ia menegaskan kembali dimensi transenden dalam moralitas, yang mengingatkan manusia bahwa nilai etis tidak dapat direduksi menjadi kesepakatan pragmatis atau kepentingan sosial.²² Dalam konteks pluralisme moral kontemporer, Supernaturalisme mengusulkan etika universal yang berakar pada martabat manusia sebagai makhluk spiritual yang terbuka terhadap yang ilahi.²³

Etika ini tidak anti-rasional atau anti-sains, melainkan mengintegrasikan dimensi spiritual ke dalam rasionalitas moral, sehingga menghasilkan paradigma moral yang menyatukan iman, akal, dan pengalaman eksistensial.²⁴ Dengan demikian, aksiologi Supernaturalisme berfungsi bukan hanya sebagai fondasi normatif, tetapi juga sebagai horizon makna yang memungkinkan manusia menemukan arah etis dalam dunia yang kian terfragmentasi.²⁵


Footnotes

[1]                William J. Wainwright, Philosophy of Religion (Albany: State University of New York Press, 1988), 54.

[2]                C.S. Lewis, The Abolition of Man (New York: HarperCollins, 2001), 18.

[3]                Josef Pieper, The Four Cardinal Virtues (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1966), 9.

[4]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q.5, a.1.

[5]                Ibid., I-II, q.91, a.1.

[6]                Etienne Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy (New York: Scribner’s, 1940), 102.

[7]                Augustine, De Libero Arbitrio, terj. Thomas Williams (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), II.2.

[8]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, I-II, q.10, a.1.

[9]                Servais Pinckaers, The Sources of Christian Ethics (Washington, D.C.: Catholic University of America Press, 1995), 211.

[10]             Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 69.

[11]             Augustine, Confessions, terj. Henry Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 1991), VIII.5.

[12]             Jacques Maritain, Moral Philosophy (New York: Scribner’s, 1964), 27.

[13]             Thomas Aquinas, Summa Contra Gentiles, III, c.25.

[14]             Aristotle, Nicomachean Ethics, terj. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), I.7.

[15]             Thomas Aquinas, Summa Theologica, I-II, q.3, a.8.

[16]             Josef Pieper, Happiness and Contemplation (South Bend: St. Augustine’s Press, 1998), 45.

[17]             Paul Tillich, Morality and Beyond (New York: Harper & Row, 1963), 31.

[18]             Étienne Gilson, The Arts of the Beautiful (New York: Scribner’s, 1965), 19.

[19]             Hans Urs von Balthasar, The Glory of the Lord, Vol. 1: Seeing the Form (San Francisco: Ignatius Press, 1982), 118.

[20]             Josef Pieper, Only the Lover Sings: Art and Contemplation (San Francisco: Ignatius Press, 1990), 12.

[21]             Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge: Harvard University Press, 2007), 515.

[22]             Alasdair MacIntyre, Whose Justice? Which Rationality? (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1988), 126.

[23]             John Paul II, Veritatis Splendor (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 1993), 46.

[24]             Richard Swinburne, Faith and Reason (Oxford: Clarendon Press, 2005), 72.

[25]             Paul Ricoeur, Oneself as Another (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 335.


6.           Kritik terhadap Supernaturalisme

Supernaturalisme, sebagai pandangan metafisik yang menegaskan realitas transenden di luar dunia empiris, tidak pernah luput dari kritik. Sejak awal modernitas, arus rasionalisme, empirisme, dan positivisme telah mempertanyakan dasar epistemologis dan ontologis dari klaim-klaim supranatural. Kritik terhadap Supernaturalisme berkembang dari berbagai arah: ilmiah, filosofis, teologis, dan bahkan eksistensial. Bagian ini menguraikan tiga dimensi kritik utama terhadap Supernaturalisme, sekaligus menunjukkan bagaimana tradisi ini menanggapi keberatan-keberatan tersebut.

6.1.       Kritik Empiris dan Saintifik

Kritik paling tajam terhadap Supernaturalisme datang dari tradisi empirisme modern yang menolak segala bentuk realitas yang tidak dapat diverifikasi melalui pengalaman indrawi. David Hume menjadi salah satu tokoh utama yang menyerang gagasan mukjizat dan intervensi ilahi. Dalam An Enquiry Concerning Human Understanding, Hume berpendapat bahwa kepercayaan terhadap mukjizat bertentangan dengan pengalaman universal tentang keteraturan alam.¹ Menurutnya, setiap klaim tentang peristiwa supranatural selalu lebih tidak mungkin dibandingkan dengan penjelasan alami, sehingga secara rasional harus ditolak.²

Pandangan ini kemudian menjadi fondasi bagi positivisme ilmiah abad ke-19 yang dikembangkan oleh Auguste Comte. Comte mengajukan hukum tiga tahap—teologis, metafisis, dan positif—yang menempatkan Supernaturalisme sebagai bentuk berpikir primitif yang akan digantikan oleh sains empiris.³ Dalam kerangka positivistik, segala bentuk penjelasan yang melibatkan kekuatan supranatural dianggap tidak ilmiah karena tidak dapat diuji, diulang, atau diverifikasi.⁴

Kritik saintifik modern terhadap Supernaturalisme berlanjut melalui naturalisme evolusioner, yang menjelaskan kesadaran, moralitas, dan pengalaman religius sebagai produk seleksi biologis dan mekanisme neurologis semata.⁵ Dalam paradigma ini, realitas supranatural tidak hanya dianggap tidak perlu, tetapi juga tidak dapat dibenarkan secara metodologis. Namun, kelemahan kritik ini terletak pada reduksionisme epistemologisnya: dengan mengidentikkan kebenaran dengan observasi empiris, ia menutup kemungkinan dimensi pengetahuan lain yang bersifat transendental.⁶

6.2.       Kritik Filosofis: Rasionalisme, Materialisme, dan Sekularisme

Kritik filosofis terhadap Supernaturalisme memiliki akar yang lebih dalam. Sejak René Descartes dan Immanuel Kant, filsafat modern menegaskan batas-batas rasio manusia dalam memahami realitas metafisis. Kant, dalam Critique of Pure Reason, menolak klaim metafisika spekulatif tentang Tuhan, kebebasan, dan keabadian jiwa, karena menurutnya, ketiganya melampaui batas pengalaman dan tidak dapat diverifikasi melalui rasionalitas murni.⁷ Bagi Kant, keberadaan Tuhan adalah postulat moral, bukan pengetahuan teoretis.⁸

Sementara itu, materialisme modern—seperti yang dikembangkan oleh Ludwig Feuerbach dan Karl Marx—mengkritik Supernaturalisme sebagai bentuk alienasi manusia terhadap dirinya sendiri. Feuerbach menyatakan bahwa gagasan tentang Tuhan hanyalah proyeksi ideal manusia tentang hakikatnya sendiri.⁹ Marx kemudian melanjutkan kritik ini dalam kerangka sosial, dengan menyebut agama sebagai “candu rakyat” yang mempertahankan struktur penindasan sosial.¹⁰ Dalam pandangan ini, Supernaturalisme bukan hanya keliru secara epistemologis, tetapi juga berbahaya secara ideologis karena meniadakan tanggung jawab manusia atas dunia material.

Pada abad ke-20, kritik terhadap Supernaturalisme diperkuat oleh sekularisasi eksistensialis. Friedrich Nietzsche menandai “kematian Tuhan” sebagai simbol berakhirnya fondasi metafisik dalam budaya Barat.¹¹ Bagi Nietzsche, keyakinan pada dunia supranatural melemahkan afirmasi terhadap kehidupan, menciptakan moralitas budak yang menolak vitalitas dunia ini.¹² Dari perspektif ini, Supernaturalisme dilihat sebagai bentuk penyangkalan terhadap eksistensi duniawi dan kebebasan manusia.

6.3.       Kritik Teologis dan Internal

Selain dari luar, Supernaturalisme juga menghadapi kritik internal dari kalangan teolog sendiri. Gerakan modernisme teologis pada abad ke-19 dan 20, misalnya, berupaya merekonstruksi teologi agar selaras dengan sains dan pengalaman manusia modern. Friedrich Schleiermacher menolak pandangan objektif tentang realitas supranatural dan menafsirkan agama sebagai “rasa ketergantungan mutlak” dalam kesadaran manusia.¹³ Demikian pula, Rudolf Bultmann mengusulkan demitologisasi Kitab Suci agar pesan eksistensialnya dapat dipahami tanpa bergantung pada simbol-simbol supranatural.¹⁴

Bagi para teolog eksistensialis, seperti Paul Tillich, Supernaturalisme dianggap problematis karena menciptakan dualisme ontologis antara Tuhan dan dunia. Tillich mengkritik gagasan tentang Tuhan sebagai “makhluk tertinggi di atas dunia” (a being among beings) dan menggantinya dengan konsep Tuhan sebagai “dasar dari keberadaan” (the Ground of Being).¹⁵ Kritik ini menolak model intervensi supranatural yang bersifat eksternal, dan lebih menekankan immanensi ilahi dalam eksistensi manusia.¹⁶

Namun, sekalipun kritik teologis ini menolak bentuk tradisional Supernaturalisme, banyak di antaranya tidak menolak realitas transendensi secara keseluruhan. Mereka lebih menuntut reinterpretasi makna “supranatural” agar sesuai dengan horizon kesadaran modern.¹⁷

6.4.       Respons dan Rekonstruksi Supernaturalisme

Meskipun kritik terhadap Supernaturalisme begitu luas, tradisi ini tidak berhenti berkembang. Filsuf seperti Alvin Plantinga, Richard Swinburne, dan William Alston telah memberikan dasar baru bagi rasionalitas kepercayaan supranatural. Plantinga menolak “foundasionalisme klasik” dan menyatakan bahwa kepercayaan terhadap Tuhan dapat bersifat rasional tanpa bukti empiris karena merupakan keyakinan dasar yang sah (properly basic belief).¹⁸ Sementara Swinburne mengembangkan argumen probabilistik bahwa hipotesis teistik merupakan penjelasan paling sederhana bagi keteraturan alam semesta.¹⁹

Dalam teologi kontemporer, Supernaturalisme tidak lagi dipahami sebagai dualisme kaku antara dunia dan Tuhan, melainkan sebagai struktur eksistensial yang terbuka terhadap transendensi. Karl Rahner, misalnya, mengusulkan konsep “supernatural existential”, yaitu kondisi dasar manusia yang secara ontologis terbuka terhadap rahmat ilahi.²⁰ Dengan pendekatan ini, Supernaturalisme direhabilitasi bukan sebagai dogma metafisis, tetapi sebagai horizon makna yang menjelaskan dinamika relasi manusia dengan yang transenden.²¹


Evaluasi Kritis

Dari keseluruhan kritik tersebut, tampak bahwa sebagian besar keberatan terhadap Supernaturalisme muncul dari kesalahpahaman metodologis. Naturalistis-empiris menilai Supernaturalisme dari sudut pandang sains yang sempit, sedangkan beberapa teolog modern menolak bentuk tradisionalnya tanpa menggali kedalaman metafisiknya.²² Padahal, Supernaturalisme yang dimaknai secara filosofis bukanlah pelarian dari dunia empiris, melainkan upaya memahami totalitas realitas dalam keterbukaan terhadap dimensi yang melampaui pengalaman manusia.²³

Dengan demikian, kritik terhadap Supernaturalisme, meskipun tajam dan beragam, justru memperkaya refleksi metafisik tentang hubungan antara iman, rasio, dan realitas.²⁴ Ia menunjukkan bahwa Supernaturalisme bukan sistem dogmatik tertutup, melainkan kerangka reflektif yang senantiasa terbuka terhadap koreksi dan dialog dengan sains, filsafat, serta pengalaman eksistensial manusia modern.²⁵


Footnotes

[1]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding (Oxford: Oxford University Press, 1999), 10.

[2]                Ibid., 11.

[3]                Auguste Comte, The Positive Philosophy of Auguste Comte, terj. Harriet Martineau (London: John Chapman, 1853), 47.

[4]                Ibid., 49.

[5]                Daniel Dennett, Breaking the Spell: Religion as a Natural Phenomenon (New York: Viking, 2006), 143.

[6]                Alvin Plantinga, Where the Conflict Really Lies: Science, Religion, and Naturalism (Oxford: Oxford University Press, 2011), 268.

[7]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, terj. Norman Kemp Smith (London: Macmillan, 1929), A631/B659.

[8]                Ibid., A807/B835.

[9]                Ludwig Feuerbach, The Essence of Christianity, terj. George Eliot (New York: Harper & Row, 1957), 12.

[10]             Karl Marx, Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Right (Cambridge: Cambridge University Press, 1970), 131.

[11]             Friedrich Nietzsche, The Gay Science, terj. Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1974), §125.

[12]             Ibid., §341.

[13]             Friedrich Schleiermacher, On Religion: Speeches to Its Cultured Despisers, terj. Richard Crouter (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 39.

[14]             Rudolf Bultmann, Kerygma and Myth (New York: Harper & Row, 1961), 5.

[15]             Paul Tillich, Systematic Theology, Vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1951), 235.

[16]             Ibid., 242.

[17]             Karl Barth, Church Dogmatics, Vol. II/1: The Doctrine of God (Edinburgh: T&T Clark, 1957), 187.

[18]             Alvin Plantinga, Warranted Christian Belief (New York: Oxford University Press, 2000), 190.

[19]             Richard Swinburne, The Existence of God (Oxford: Clarendon Press, 2004), 9.

[20]             Karl Rahner, Foundations of Christian Faith (New York: Crossroad, 1982), 117.

[21]             Hans Urs von Balthasar, Theo-Logic, Vol. 1: Truth of the World (San Francisco: Ignatius Press, 1989), 64.

[22]             William J. Wainwright, Philosophy of Religion (Albany: State University of New York Press, 1988), 83.

[23]             Paul Ricoeur, Fallible Man (New York: Fordham University Press, 1986), 97.

[24]             John Polkinghorne, Science and Providence: God’s Interaction with the World (Boston: Shambhala, 1989), 18.

[25]             Alasdair MacIntyre, Three Rival Versions of Moral Enquiry (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1990), 215.


7.           Relevansi Kontemporer Supernaturalisme

Dalam konteks filsafat dan budaya kontemporer yang ditandai oleh dominasi sains, sekularisme, dan relativisme nilai, Supernaturalisme tampak seolah kehilangan tempatnya. Namun, di tengah krisis makna dan disorientasi spiritual modernitas, justru muncul kembali kebutuhan akan dimensi transenden yang menjadi dasar ontologis dan moral bagi eksistensi manusia.¹ Supernaturalisme kembali relevan bukan sebagai doktrin dogmatis, melainkan sebagai paradigma reflektif yang menegaskan keterbukaan realitas terhadap yang melampaui.

7.1.       Supernaturalisme dan Dialog dengan Sains Modern

Perkembangan ilmu pengetahuan tidak sepenuhnya meniadakan gagasan tentang yang supranatural. Sebaliknya, temuan-temuan dalam fisika kuantum, kosmologi, dan biologi evolusioner justru menimbulkan kembali pertanyaan-pertanyaan metafisik yang tidak dapat dijawab oleh sains semata.² Fenomena seperti keteraturan kosmos, hukum-hukum fisika yang presisi, serta prinsip fine-tuning dalam kosmologi menimbulkan argumen baru bagi eksistensi sebab transenden.³

Filsuf dan fisikawan seperti John Polkinghorne dan William Lane Craig menafsirkan keteraturan kosmos sebagai indikasi rasionalitas ilahi yang mendasari hukum-hukum alam.⁴ Supernaturalisme dalam konteks ini tidak menentang sains, tetapi memperluas horizon rasionalitas dengan mengakui bahwa realitas tidak terbatas pada apa yang dapat diukur.⁵ Sebagaimana ditegaskan oleh Alvin Plantinga, konflik antara sains dan agama hanyalah semu; keduanya beroperasi dalam domain epistemik yang berbeda namun saling melengkapi.⁶

Dengan demikian, Supernaturalisme menawarkan sebuah kerangka metafisik yang koheren di mana hukum alam dipahami bukan sebagai sistem tertutup, melainkan sebagai ekspresi keteraturan yang berakar pada rasionalitas transenden.⁷ Paradigma ini membuka kemungkinan dialog konstruktif antara iman dan sains, yang tidak bersifat apologetik, melainkan hermeneutik—membaca realitas ilmiah dalam cahaya makna metafisik.⁸

7.2.       Supernaturalisme dalam Filsafat Kesadaran dan Fenomenologi

Dalam filsafat kontemporer, Supernaturalisme menemukan bentuk baru melalui refleksi atas kesadaran manusia. Fenomenologi, terutama dalam karya Edmund Husserl, Max Scheler, dan Emmanuel Levinas, menunjukkan bahwa kesadaran manusia selalu terbuka terhadap yang “lain” (l’autrui) dan yang melampaui dirinya.⁹ Bagi Levinas, pengalaman etis terhadap Yang Lain merupakan bentuk wahyu yang menghadirkan transendensi dalam eksistensi manusia.¹⁰

Pendekatan ini memperluas pengertian Supernaturalisme dari sekadar metafisika tentang entitas adikodrati menjadi hermeneutika kesadaran transendental.¹¹ Realitas supranatural tidak dipahami sebagai dunia di luar sana, melainkan sebagai horizon makna yang menginterupsi dan menyingkap keberadaan manusia.¹² Dengan demikian, Supernaturalisme tetap hidup dalam pengalaman fenomenologis dan eksistensial manusia modern yang merindukan makna di balik rasionalitas teknologis.

7.3.       Supernaturalisme dan Etika Global

Di tengah krisis moral global—terlihat dalam degradasi lingkungan, ketimpangan sosial, dan nihilisme etis—Supernaturalisme menawarkan kerangka nilai yang bersifat universal dan transenden.¹³ Etika supernaturalistik menegaskan bahwa kebaikan tidak bersumber dari relativisme budaya, melainkan dari realitas ilahi yang menjadi dasar objektif nilai moral.¹⁴

Dalam konteks ini, Supernaturalisme memiliki relevansi bagi pengembangan etika global yang melampaui sekat agama dan ideologi. Hans Küng, dalam Global Responsibility, menegaskan perlunya “etika dunia” yang berakar pada kesadaran spiritual universal.¹⁵ Kesadaran semacam ini, dalam kerangka Supernaturalisme, dapat dipahami sebagai pantulan dari hukum moral yang tertanam dalam struktur ciptaan.¹⁶ Dengan demikian, Supernaturalisme tidak hanya membicarakan metafisika, tetapi juga menyediakan fondasi aksiologis bagi tanggung jawab manusia terhadap sesama dan alam semesta.¹⁷

7.4.       Relevansi Eksistensial dan Kultural

Dalam dunia postmodern yang ditandai oleh fragmentasi makna, relativisme, dan “krisis narasi besar”, Supernaturalisme tampil kembali sebagai horizon eksistensial yang menawarkan keutuhan makna hidup.¹⁸ Meskipun banyak pemikir postmodern menolak klaim universalitas metafisika, mereka secara paradoks membuka ruang bagi dimensi spiritual sebagai bentuk resistensi terhadap nihilisme. Jean-Luc Marion, misalnya, memperkenalkan gagasan “fenomena yang diberi” (le donné) yang menyingkap realitas ilahi melalui pengalaman cinta dan keindahan.¹⁹

Dalam bidang kebudayaan, munculnya kembali minat terhadap spiritualitas, mistisisme, dan religiositas non-dogmatis menunjukkan kebutuhan eksistensial manusia terhadap yang transenden.²⁰ Supernaturalisme kontemporer tidak hadir dalam bentuk teologi dogmatis, melainkan sebagai refleksi filosofis atas makna, keteraturan, dan tujuan kehidupan di tengah dunia yang serba mekanistik.²¹

7.5.       Supernaturalisme sebagai Paradigma Integratif

Supernaturalisme modern tidak menolak rasionalitas empiris, tetapi berusaha mengintegrasikannya dalam kerangka pemahaman yang lebih luas.²² Ia tidak memisahkan antara iman dan ilmu, antara natural dan transenden, melainkan mengusulkan model realitas yang bersifat hierarkis dan terbuka. Dalam konteks filsafat proses, seperti yang dikemukakan Alfred North Whitehead, realitas dilihat sebagai dinamika partisipatif antara Tuhan dan dunia, di mana yang supranatural tidak berada “di luar” alam, tetapi bekerja di dalam proses kreatifnya.²³

Pendekatan integratif ini juga tampak dalam teologi kontemporer yang bersifat dialogis, seperti pada Karl Rahner dan Teilhard de Chardin, yang menekankan keterbukaan manusia terhadap rahmat sebagai unsur konstitutif eksistensinya.²⁴ Supernaturalisme, dalam arti ini, berfungsi bukan hanya sebagai teori metafisik, tetapi juga sebagai horizon spiritual bagi perkembangan peradaban manusia yang lebih beradab dan berkeadilan.²⁵


Footnotes

[1]                Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge: Harvard University Press, 2007), 531.

[2]                John Polkinghorne, Belief in God in an Age of Science (New Haven: Yale University Press, 1998), 12.

[3]                Robin Collins, “The Teleological Argument: An Exploration of the Fine-Tuning of the Universe,” dalam The Blackwell Companion to Natural Theology, ed. William Lane Craig dan J.P. Moreland (Oxford: Wiley-Blackwell, 2009), 202.

[4]                William Lane Craig, Reasonable Faith: Christian Truth and Apologetics (Wheaton: Crossway, 2008), 111.

[5]                John Polkinghorne, Science and Providence: God’s Interaction with the World (Boston: Shambhala, 1989), 27.

[6]                Alvin Plantinga, Where the Conflict Really Lies: Science, Religion, and Naturalism (Oxford: Oxford University Press, 2011), 9.

[7]                Richard Swinburne, The Existence of God (Oxford: Clarendon Press, 2004), 15.

[8]                Ian Barbour, Religion and Science: Historical and Contemporary Issues (San Francisco: HarperCollins, 1997), 112.

[9]                Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy (The Hague: Nijhoff, 1983), 98.

[10]             Emmanuel Levinas, Totality and Infinity (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 214.

[11]             Max Scheler, Formalism in Ethics and Non-Formal Ethics of Values (Evanston: Northwestern University Press, 1973), 107.

[12]             Jean-Luc Marion, Being Given: Toward a Phenomenology of Givenness (Stanford: Stanford University Press, 2002), 45.

[13]             Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 257.

[14]             Thomas Aquinas, Summa Theologica, I-II, q.91, a.2.

[15]             Hans Küng, Global Responsibility: In Search of a New World Ethic (New York: Crossroad, 1991), 12.

[16]             Josef Pieper, The Four Cardinal Virtues (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1966), 33.

[17]             Paul Ricoeur, Oneself as Another (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 348.

[18]             Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984), 24.

[19]             Jean-Luc Marion, God Without Being (Chicago: University of Chicago Press, 1991), 52.

[20]             Mircea Eliade, The Sacred and the Profane (New York: Harcourt, 1957), 182.

[21]             Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 506.

[22]             Wolfhart Pannenberg, Theology and the Philosophy of Science (Philadelphia: Westminster Press, 1976), 67.

[23]             Alfred North Whitehead, Process and Reality (New York: Free Press, 1978), 342.

[24]             Karl Rahner, Foundations of Christian Faith (New York: Crossroad, 1982), 145.

[25]             Pierre Teilhard de Chardin, The Phenomenon of Man (New York: Harper & Row, 1959), 289.


8.           Sintesis Filosofis

Sintesis filosofis Supernaturalisme berupaya mengintegrasikan berbagai dimensi pemikiran metafisika, epistemologi, dan etika ke dalam suatu pandangan dunia yang utuh mengenai realitas. Supernaturalisme bukan sekadar teori tentang keberadaan entitas adikodrati, melainkan kerangka komprehensif yang menempatkan dimensi transenden sebagai dasar dan tujuan dari eksistensi manusia serta tatanan kosmos.¹ Ia berfungsi sebagai jembatan antara rasionalitas ilmiah dan pengalaman religius, antara iman dan pengetahuan, antara dunia empiris dan horizon transendental.

8.1.       Integrasi antara Metafisika dan Epistemologi

Supernaturalisme, dalam kerangka sintesis filosofisnya, menolak dikotomi tajam antara realitas natural dan supranatural. Dunia empiris dan dunia transenden tidak dipahami sebagai dua wilayah yang terpisah, melainkan sebagai dua tingkat keberadaan yang saling berhubungan dalam satu kesatuan ontologis.² Seperti ditegaskan oleh Thomas Aquinas, seluruh ciptaan berpartisipasi dalam keberadaan ilahi (participatio essendi), sehingga pengetahuan manusia terhadap dunia juga merupakan partisipasi dalam rasionalitas ilahi yang lebih tinggi.³

Dengan demikian, epistemologi Supernaturalisme bersifat analogis: rasio manusia mampu menangkap kebenaran karena memiliki struktur yang bersesuaian dengan Logos transenden.⁴ Rasio dan wahyu bukan dua sumber kebenaran yang saling bertentangan, tetapi dua jalan menuju realitas yang sama—yakni kebenaran yang bersumber dari Tuhan.⁵ Dalam arti ini, rasionalitas ilmiah dan iman religius tidak perlu dipertentangkan, sebab keduanya mengarahkan manusia pada pemahaman yang lebih dalam tentang makna eksistensi.

Pendekatan ini sejalan dengan pandangan Karl Rahner tentang manusia sebagai homo capax Dei—makhluk yang secara kodrati terbuka terhadap penyingkapan ilahi.⁶ Oleh karena itu, setiap pencarian pengetahuan, baik melalui sains maupun filsafat, merupakan bentuk eksplorasi terhadap dimensi transendensi yang mendasari realitas.

8.2.       Kesatuan antara Etika, Aksiologi, dan Ontologi

Dalam kerangka Supernaturalisme, nilai-nilai moral dan spiritual tidak dapat dilepaskan dari struktur ontologis realitas. Nilai kebaikan, keindahan, dan kebenaran tidak bersifat subjektif, melainkan memiliki dasar ontologis dalam eksistensi ilahi sebagai sumber segala nilai.⁷ Josef Pieper menyebut hal ini sebagai ordo amoris—tatanan kasih yang mencerminkan keteraturan kosmos dan moralitas manusia di bawah kehendak ilahi.⁸

Dengan demikian, tindakan etis manusia bukan sekadar tanggapan normatif terhadap hukum moral, melainkan bentuk partisipasi ontologis dalam kehidupan ilahi.⁹ Kebaikan moral menjadi jalan transendensi eksistensial, di mana manusia mencapai kesempurnaan dirinya dengan menyatukan kehendaknya dengan kehendak sumber tertinggi.¹⁰

Sintesis etis-ontologis ini juga menegaskan bahwa nilai tidak dapat direduksi pada fakta empiris atau konstruksi sosial. Aksiologi Supernaturalisme menempatkan nilai-nilai spiritual sebagai horizon universal yang melampaui relativisme budaya dan ideologi.¹¹ Dengan demikian, etika supernaturalistik berfungsi sebagai fondasi moral global yang berakar pada hakikat transendental manusia.¹²

8.3.       Dialektika antara Iman dan Rasio

Sintesis filosofis Supernaturalisme juga tampak dalam upayanya mendamaikan ketegangan antara iman dan rasio. Dalam sejarah filsafat Barat, kedua dimensi ini sering dianggap saling bertentangan: rasionalisme modern menolak iman sebagai sumber kebenaran, sementara fideisme ekstrem menolak rasionalitas sebagai sarana memahami Tuhan.¹³ Supernaturalisme menawarkan jalan tengah yang dinamis, dengan menegaskan bahwa iman tanpa rasio menjadi buta, sedangkan rasio tanpa iman kehilangan arah teleologisnya.¹⁴

Filsuf seperti Anselmus dari Canterbury merumuskan prinsip fides quaerens intellectum—“iman yang mencari pengertian”—yang kemudian menjadi dasar bagi seluruh tradisi teologi rasional.¹⁵ Prinsip ini menjadi paradigma Supernaturalisme dalam mengintegrasikan pengalaman iman dengan refleksi intelektual. Rasio membantu menjelaskan iman, sementara iman memberi arah dan makna pada rasio.¹⁶

Dalam konteks kontemporer, pandangan ini diperkuat oleh Alvin Plantinga, yang menegaskan bahwa keyakinan kepada Tuhan bukanlah anti-rasional, melainkan properly basic, yakni rasional dalam dirinya sendiri karena berakar pada struktur kognitif yang dirancang oleh Tuhan.¹⁷ Dengan demikian, sintesis antara iman dan rasio menjadi bentuk epistemologi integral yang memulihkan kesatuan antara pengetahuan dan makna.

8.4.       Transendensi dan Immanensi: Rekonstruksi Ontologi Modern

Sintesis filosofis Supernaturalisme tidak memandang Tuhan sebagai entitas yang jauh dan terpisah dari dunia, tetapi sebagai dasar keberadaan yang senantiasa imanen dalam segala sesuatu.¹⁸ Konsep ini melampaui dualisme klasik yang memisahkan antara Tuhan dan ciptaan, menuju pandangan panenteistik sebagaimana dikembangkan oleh Alfred North Whitehead dan Karl Rahner, di mana Tuhan “meliputi” dunia tetapi tidak terbatas oleh dunia.¹⁹

Dengan demikian, realitas supranatural tidak berada “di luar” alam, melainkan hadir dalam setiap proses keberadaan.²⁰ Relasi antara transendensi dan immanensi menjadi dialektis: Tuhan melampaui dunia, namun sekaligus mengisi dan menopang keberadaannya.²¹ Pandangan ini memberikan landasan metafisik bagi pemahaman kosmos yang terbuka terhadap dimensi spiritual tanpa menolak hukum-hukum alam.

8.5.       Supernaturalisme sebagai Horizon Filsafat Integral

Akhirnya, sintesis filosofis Supernaturalisme dapat dilihat sebagai usaha menuju filsafat integral—yakni filsafat yang tidak hanya menjelaskan dunia empiris, tetapi juga menyingkap makna dan tujuan terdalam dari eksistensi.²² Supernaturalisme menyatukan tiga dimensi utama filsafat: ontologi (realitas sebagai partisipasi dalam yang ilahi), epistemologi (pengetahuan sebagai partisipasi dalam kebenaran transenden), dan etika (tindakan sebagai partisipasi dalam kebaikan tertinggi).²³

Filsafat semacam ini tidak bertujuan menggantikan sains atau rasionalitas modern, tetapi melengkapinya dengan horizon metafisik yang lebih luas.²⁴ Sebagaimana ditegaskan oleh Paul Tillich, Tuhan bukanlah “objek” dalam dunia, melainkan dasar dari segala keberadaan (the Ground of Being) yang memungkinkan segala sesuatu ada dan bermakna.²⁵ Dalam pengertian ini, Supernaturalisme menghadirkan kembali kesatuan antara iman dan akal, antara dunia dan transendensi, antara pengetahuan dan kebijaksanaan—sebuah sintesis filosofis yang relevan bagi manusia modern yang mencari keseimbangan antara rasionalitas dan spiritualitas.²⁶


Footnotes

[1]                William J. Wainwright, Philosophy of Religion (Albany: State University of New York Press, 1988), 99.

[2]                Etienne Gilson, Being and Some Philosophers (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1952), 63.

[3]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q.44, a.1.

[4]                Josef Pieper, The Silence of St. Thomas (South Bend: St. Augustine’s Press, 1999), 35.

[5]                Richard Swinburne, Faith and Reason (Oxford: Clarendon Press, 2005), 8.

[6]                Karl Rahner, Foundations of Christian Faith (New York: Crossroad, 1982), 121.

[7]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q.5, a.2.

[8]                Josef Pieper, The Four Cardinal Virtues (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1966), 9.

[9]                Jacques Maritain, Moral Philosophy (New York: Scribner’s, 1964), 27.

[10]             Augustine, Confessions, terj. Henry Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 1991), VIII.8.

[11]             Paul Tillich, Morality and Beyond (New York: Harper & Row, 1963), 38.

[12]             Hans Küng, Global Responsibility: In Search of a New World Ethic (New York: Crossroad, 1991), 17.

[13]             Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, terj. Norman Kemp Smith (London: Macmillan, 1929), A807/B835.

[14]             John Paul II, Fides et Ratio (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 1998), 23.

[15]             Anselm of Canterbury, Proslogion, terj. Thomas Williams (Indianapolis: Hackett Publishing, 1995), II.

[16]             Etienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas (New York: Random House, 1956), 88.

[17]             Alvin Plantinga, Warranted Christian Belief (New York: Oxford University Press, 2000), 194.

[18]             Paul Tillich, Systematic Theology, Vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1951), 235.

[19]             Alfred North Whitehead, Process and Reality (New York: Free Press, 1978), 343.

[20]             Karl Rahner, Theological Investigations, Vol. 1 (Baltimore: Helicon Press, 1961), 162.

[21]             Wolfhart Pannenberg, Metaphysics and the Idea of God (Grand Rapids: Eerdmans, 1990), 49.

[22]             Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 512.

[23]             Paul Ricoeur, Fallible Man (New York: Fordham University Press, 1986), 101.

[24]             John Polkinghorne, Belief in God in an Age of Science (New Haven: Yale University Press, 1998), 45.

[25]             Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven: Yale University Press, 1952), 180.

[26]             Hans Urs von Balthasar, Theo-Logic, Vol. 1: Truth of the World (San Francisco: Ignatius Press, 1989), 215.


9.           Kesimpulan

Supernaturalisme, sebagai salah satu aliran utama dalam metafisika, menegaskan bahwa realitas tidak dapat direduksi pada yang empiris semata. Ia membuka pandangan dunia yang menempatkan dimensi transenden sebagai fondasi ontologis, epistemologis, dan aksiologis dari seluruh keberadaan.¹ Dalam perspektif ini, alam semesta dipahami bukan sebagai sistem tertutup yang bekerja secara mekanistik, melainkan sebagai tatanan yang berpartisipasi dalam rasionalitas dan kebaikan ilahi yang lebih tinggi.²

Melalui pembahasan ontologis, Supernaturalisme menunjukkan bahwa eksistensi natural bergantung pada keberadaan supranatural sebagai ens necessarium—ada yang niscaya dan menjadi sumber dari segala yang ada.³ Sedangkan pada tataran epistemologis, ia mengajarkan bahwa pengetahuan manusia terhadap realitas transenden dapat dicapai melalui sinergi antara rasio, intuisi, dan wahyu, yang bersama-sama membentuk struktur pengetahuan integral.⁴ Pada ranah etika dan aksiologi, Supernaturalisme menegaskan bahwa nilai moral, kebenaran, dan keindahan berakar dalam sumber ilahi dan bersifat objektif.⁵

Dalam sejarahnya, Supernaturalisme memang menghadapi kritik keras dari berbagai aliran pemikiran modern, seperti empirisme, positivisme, dan materialisme.⁶ Namun, kritik-kritik tersebut justru memperkaya dialog filosofis dengan memaksa Supernaturalisme untuk merefleksikan ulang dasar-dasar metafisiknya secara lebih rasional dan terbuka.⁷ Pada titik ini, filsuf kontemporer seperti Alvin Plantinga dan Richard Swinburne berhasil menunjukkan bahwa keyakinan terhadap realitas supranatural tetap dapat dipertahankan secara rasional tanpa menentang sains atau logika.⁸

Relevansi Supernaturalisme di era modern dan postmodern tidak terletak pada pembelaan dogmatis terhadap hal-hal gaib, melainkan pada kontribusinya dalam membangun kesadaran metafisik yang integral. Di tengah krisis makna dan reduksionisme ilmiah, Supernaturalisme menawarkan horizon berpikir yang memulihkan keseimbangan antara dimensi empiris dan spiritual manusia.⁹ Ia menegaskan bahwa rasionalitas sejati tidak hanya menyelidiki fenomena, tetapi juga menembus ke kedalaman makna dan tujuan keberadaan.¹⁰

Secara filosofis, Supernaturalisme menandai usaha manusia untuk memahami realitas secara total—mencakup yang tampak dan yang tersembunyi, yang empiris dan yang ilahi.¹¹ Ia menolak pandangan dunia yang tertutup terhadap transendensi, sekaligus mengingatkan bahwa eksistensi manusia menemukan maknanya hanya dalam relasi dengan sumber kebenaran yang melampaui dirinya.¹² Dalam pengertian ini, Supernaturalisme bukanlah sekadar teori metafisika, melainkan visi integral tentang keberadaan, pengetahuan, dan nilai, yang mengarahkan manusia kepada kesadaran akan asal-usul dan tujuan finalnya dalam realitas yang transenden.¹³


Footnotes

[1]                William J. Wainwright, Philosophy of Religion (Albany: State University of New York Press, 1988), 101.

[2]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q.44, a.1.

[3]                Ibid., I, q.2, a.3.

[4]                Karl Rahner, Foundations of Christian Faith (New York: Crossroad, 1982), 123.

[5]                Josef Pieper, The Four Cardinal Virtues (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1966), 33.

[6]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding (Oxford: Oxford University Press, 1999), 10.

[7]                Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, terj. Norman Kemp Smith (London: Macmillan, 1929), A631/B659.

[8]                Alvin Plantinga, Warranted Christian Belief (New York: Oxford University Press, 2000), 192.

[9]                Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge: Harvard University Press, 2007), 530.

[10]             John Polkinghorne, Science and Providence: God’s Interaction with the World (Boston: Shambhala, 1989), 30.

[11]             Etienne Gilson, Being and Some Philosophers (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1952), 69.

[12]             Paul Tillich, Systematic Theology, Vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1951), 237.

[13]             Hans Urs von Balthasar, Theo-Logic, Vol. 1: Truth of the World (San Francisco: Ignatius Press, 1989), 221.


Daftar Pustaka

Anselm of Canterbury. (1995). Proslogion (T. Williams, Trans.). Hackett Publishing.

Aquinas, T. (n.d.). Summa Contra Gentiles (Vols. I–III). Benziger Brothers.

Aquinas, T. (n.d.). Summa Theologica (Vols. I–III). Benziger Brothers.

Aristotle. (1924). Metaphysics (W. D. Ross, Trans.). Clarendon Press.

Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T. Irwin, Trans.). Hackett Publishing.

Augustine. (1950). The city of God (M. Dods, Trans.). Random House.

Augustine. (1991). Confessions (H. Chadwick, Trans.). Oxford University Press.

Augustine. (1993). On free choice of the will (De libero arbitrio) (T. Williams, Trans.). Hackett Publishing.

Barbour, I. (1997). Religion and science: Historical and contemporary issues. HarperCollins.

Balthasar, H. U. von. (1982). The glory of the Lord, Vol. 1: Seeing the form. Ignatius Press.

Balthasar, H. U. von. (1989). Theo-logic, Vol. 1: Truth of the world. Ignatius Press.

Barth, K. (1936). Church dogmatics, Vol. I/1: The doctrine of the Word of God. T&T Clark.

Barth, K. (1957). Church dogmatics, Vol. II/1: The doctrine of God. T&T Clark.

Bultmann, R. (1961). Kerygma and myth. Harper & Row.

Collins, R. (2009). The teleological argument: An exploration of the fine-tuning of the universe. In W. L. Craig & J. P. Moreland (Eds.), The Blackwell companion to natural theology (pp. 202–281). Wiley-Blackwell.

Comte, A. (1853). The positive philosophy of Auguste Comte (H. Martineau, Trans.). John Chapman.

Copleston, F. (1993). A history of philosophy, Vols. 1–2: Greece, Rome, and Medieval philosophy. Image Books.

Craig, W. L. (2008). Reasonable faith: Christian truth and apologetics (3rd ed.). Crossway.

Dennett, D. C. (2006). Breaking the spell: Religion as a natural phenomenon. Viking.

Descartes, R. (1993). Meditations on first philosophy (D. Cress, Trans.). Hackett Publishing.

Eliade, M. (1957). The sacred and the profane: The nature of religion. Harcourt.

Feuerbach, L. (1957). The essence of Christianity (G. Eliot, Trans.). Harper & Row.

Gilson, E. (1940). The spirit of medieval philosophy. Scribner’s.

Gilson, E. (1952). Being and some philosophers (2nd ed.). Pontifical Institute of Mediaeval Studies.

Gilson, E. (1956). The Christian philosophy of St. Thomas Aquinas. Random House.

Gilson, E. (1965). The arts of the beautiful. Scribner’s.

Hume, D. (1999). An enquiry concerning human understanding. Oxford University Press.

Husserl, E. (1983). Ideas pertaining to a pure phenomenology and to a phenomenological philosophy. Nijhoff.

James, W. (1902). The varieties of religious experience. Longmans, Green & Co.

John Paul II. (1993). Veritatis splendor. Libreria Editrice Vaticana.

John Paul II. (1998). Fides et ratio. Libreria Editrice Vaticana.

Kant, I. (1929). Critique of pure reason (N. Kemp Smith, Trans.). Macmillan.

Küng, H. (1991). Global responsibility: In search of a new world ethic. Crossroad.

Levinas, E. (1969). Totality and infinity: An essay on exteriority. Duquesne University Press.

Lewis, C. S. (2001). The abolition of man. HarperCollins.

Lyotard, J.-F. (1984). The postmodern condition: A report on knowledge. University of Minnesota Press.

MacIntyre, A. (1981). After virtue: A study in moral theory. University of Notre Dame Press.

MacIntyre, A. (1988). Whose justice? Which rationality? University of Notre Dame Press.

MacIntyre, A. (1990). Three rival versions of moral enquiry. University of Notre Dame Press.

Marcel, G. (1960). The mystery of being. Henry Regnery.

Marion, J.-L. (1991). God without being. University of Chicago Press.

Marion, J.-L. (2002). Being given: Toward a phenomenology of givenness. Stanford University Press.

Maritain, J. (1964). Moral philosophy. Scribner’s.

Marx, K. (1970). Contribution to the critique of Hegel’s philosophy of right. Cambridge University Press.

Nietzsche, F. (1974). The gay science (W. Kaufmann, Trans.). Vintage.

Otto, R. (1923). The idea of the holy. Oxford University Press.

Pannenberg, W. (1976). Theology and the philosophy of science. Westminster Press.

Pannenberg, W. (1990). Metaphysics and the idea of God. Eerdmans.

Pinckaers, S. (1995). The sources of Christian ethics. Catholic University of America Press.

Pieper, J. (1966). The four cardinal virtues. University of Notre Dame Press.

Pieper, J. (1990). Only the lover sings: Art and contemplation. Ignatius Press.

Pieper, J. (1998). Happiness and contemplation. St. Augustine’s Press.

Pieper, J. (1999). The silence of St. Thomas. St. Augustine’s Press.

Plantinga, A. (1967). God and other minds. Cornell University Press.

Plantinga, A. (1977). God, freedom, and evil. Eerdmans.

Plantinga, A. (2000). Warranted Christian belief. Oxford University Press.

Plantinga, A. (2011). Where the conflict really lies: Science, religion, and naturalism. Oxford University Press.

Plotinus. (1991). The Enneads (S. MacKenna, Trans.). Penguin Classics.

Polkinghorne, J. (1989). Science and providence: God’s interaction with the world. Shambhala.

Polkinghorne, J. (1998). Belief in God in an age of science. Yale University Press.

Rahner, K. (1961). Theological investigations, Vol. 1. Helicon Press.

Rahner, K. (1982). Foundations of Christian faith: An introduction to the idea of Christianity. Crossroad.

Ricoeur, P. (1986). Fallible man (C. A. Kelbley, Trans.). Fordham University Press.

Ricoeur, P. (1992). Oneself as another. University of Chicago Press.

Scheler, M. (1973). Formalism in ethics and non-formal ethics of values. Northwestern University Press.

Schleiermacher, F. (1996). On religion: Speeches to its cultured despisers (R. Crouter, Trans.). Cambridge University Press.

Spinoza, B. (2005). Ethics (E. Curley, Trans.). Penguin Classics.

Swinburne, R. (2004). The existence of God (2nd ed.). Clarendon Press.

Swinburne, R. (2005). Faith and reason (2nd ed.). Clarendon Press.

Taylor, C. (1989). Sources of the self: The making of the modern identity. Harvard University Press.

Taylor, C. (2007). A secular age. Harvard University Press.

Teilhard de Chardin, P. (1959). The phenomenon of man. Harper & Row.

Tillich, P. (1951). Systematic theology, Vol. 1. University of Chicago Press.

Tillich, P. (1952). The courage to be. Yale University Press.

Tillich, P. (1963). Morality and beyond. Harper & Row.

Whitehead, A. N. (1978). Process and reality. Free Press.

Wainwright, W. J. (1988). Philosophy of religion. State University of New York Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar