Supernaturalisme
Antara Metafisika Transenden dan Rasionalitas Empiris
Alihkan ke: Aliran Metafisik dalam
Filsafat.
Abstrak
Artikel ini membahas secara sistematis konsep Supernaturalisme
sebagai salah satu aliran penting dalam cabang metafisika yang menegaskan
keberadaan realitas transenden di luar dunia empiris. Kajian ini menelusuri
akar historis, struktur ontologis, epistemologis, serta implikasi etis dan
aksiologis dari pandangan supernaturalistik dalam sejarah filsafat Barat. Secara
historis, Supernaturalisme berakar pada tradisi metafisika Yunani—terutama pada
gagasan Plato tentang dunia ide dan Aristoteles tentang causa prima—yang
kemudian dikembangkan dalam teologi skolastik, terutama oleh Thomas Aquinas.
Pada dimensi ontologis, Supernaturalisme memandang bahwa realitas natural
bergantung pada realitas supranatural sebagai ens necessarium, yaitu
sumber segala keberadaan.
Epistemologinya menempatkan rasio, intuisi, dan
wahyu sebagai tiga poros pengetahuan yang saling melengkapi dalam memahami
realitas transenden. Etika dan aksiologi Supernaturalisme menegaskan bahwa
nilai-nilai moral dan kebaikan bersifat objektif karena berakar pada hakikat
ilahi yang absolut. Meskipun menghadapi kritik dari naturalisme, empirisme, dan
positivisme, Supernaturalisme tetap relevan di era modern karena menawarkan
horizon metafisik yang mengintegrasikan iman dan rasio, sains dan
spiritualitas. Dalam konteks kontemporer, Supernaturalisme tidak lagi dipahami
sebagai dualisme antara alam dan Tuhan, tetapi sebagai paradigma integral yang
menyingkap kesatuan antara transendensi dan immanensi.
Melalui pendekatan sintesis filosofis, artikel ini
menyimpulkan bahwa Supernaturalisme bukan sekadar sistem teologis, melainkan
visi filosofis yang menghubungkan dimensi ontologis, epistemologis, dan etis
manusia dalam kesadaran akan realitas transenden. Dengan demikian,
Supernaturalisme menjadi kontribusi penting bagi filsafat modern dalam
mengembalikan keseimbangan antara rasionalitas empiris dan kesadaran spiritual yang
lebih dalam terhadap makna keberadaan.
Kata Kunci: Supernaturalisme; Metafisika; Transendensi;
Ontologi; Epistemologi; Etika; Aksiologi; Iman dan Rasio; Thomas Aquinas;
Filsafat Kontemporer.
PEMBAHASAN
Supernaturalisme dalam Filsafat Metafisika
1.
Pendahuluan
Supernaturalisme merupakan salah satu aliran
metafisika yang menegaskan adanya realitas yang melampaui dunia alami atau
material. Dalam konteks filsafat, Supernaturalisme tidak hanya berbicara
tentang keberadaan Tuhan atau makhluk-makhluk spiritual, tetapi juga tentang
struktur realitas yang mencakup dimensi non-empiris yang tidak dapat dijelaskan
sepenuhnya melalui hukum-hukum alam semata. Dengan demikian, Supernaturalisme
berangkat dari keyakinan ontologis bahwa alam semesta bukanlah sistem tertutup,
melainkan terbuka terhadap pengaruh kekuatan transenden atau ilahi yang menjadi
sumber dan tujuan dari segala yang ada.¹
Akar konseptual Supernaturalisme dapat ditelusuri
hingga filsafat kuno, terutama dalam tradisi Platonik dan Aristotelian. Plato,
misalnya, menegaskan adanya dunia ide sebagai realitas sejati yang melampaui
fenomena indrawi.² Aristoteles, meskipun lebih empiris, tetap mengakui
keberadaan “Penyebab Pertama” (Primum Movens) yang tak bergerak namun
menjadi sumber gerak segala sesuatu.³ Gagasan ini kemudian diadopsi dan
dikembangkan oleh para filsuf skolastik, terutama Thomas Aquinas, yang
memadukan filsafat Aristoteles dengan teologi Kristen dalam sistem metafisika
yang menegaskan bahwa realitas natural bergantung pada sebab pertama yang
bersifat supranatural.⁴
Dalam perkembangan sejarah pemikiran,
Supernaturalisme menjadi pusat perdebatan antara filsafat dan ilmu pengetahuan
modern. Sejak munculnya rasionalisme dan empirisme pada abad ke-17, banyak
filsuf mulai meragukan keberadaan realitas di luar alam fisik. Tokoh seperti
David Hume menolak klaim metafisis tentang mukjizat dan intervensi ilahi karena
dianggap tidak dapat diverifikasi secara empiris.⁵ Sementara itu, kaum
positivis pada abad ke-19 menegaskan bahwa pernyataan yang bermakna hanyalah
yang dapat diuji melalui pengalaman indrawi, sehingga Supernaturalisme
dipandang sebagai residu teologis yang tidak ilmiah.⁶ Namun demikian, dalam
filsafat kontemporer muncul kebangkitan kembali minat terhadap dimensi transenden,
terutama melalui fenomenologi pengalaman religius dan filsafat kesadaran yang
menolak reduksionisme materialistik.⁷
Pertanyaan mendasar yang hendak dijawab oleh
Supernaturalisme adalah: Apakah realitas terbatas pada yang empiris, ataukah
terdapat dimensi lain yang transenden dan menentukan makna keberadaan?
Pertanyaan ini tidak sekadar bersifat teologis, tetapi juga epistemologis dan
eksistensial. Di satu sisi, ia menantang batas rasionalitas modern yang
cenderung mengabaikan pengalaman religius sebagai bentuk pengetahuan; di sisi
lain, ia mengingatkan manusia akan keterbatasan epistemik dalam memahami
totalitas realitas. Dengan demikian, Supernaturalisme menjadi refleksi
metafisik tentang relasi antara iman dan rasio, antara alam dan yang melampauinya.⁸
Tujuan dari pembahasan ini adalah untuk menguraikan
secara sistematis fondasi-fondasi metafisik, epistemologis, dan etis dari
Supernaturalisme sebagai salah satu aliran utama dalam metafisika. Kajian ini
juga bermaksud menelusuri bagaimana Supernaturalisme mempertahankan
relevansinya di tengah dominasi paradigma saintifik-modern, serta menelaah
potensi integratifnya dalam menjembatani antara rasionalitas empiris dan
pengalaman transenden.⁹
Footnotes
[1]
William J. Wainwright, Philosophy of Religion
(Albany: State University of New York Press, 1988), 24.
[2]
Plato, Phaedo, terj. G.M.A. Grube
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1997), 65–67.
[3]
Aristotle, Metaphysics, terj. W.D. Ross
(Oxford: Clarendon Press, 1924), XII.7, 1072a20–30.
[4]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q.2,
a.3.
[5]
David Hume, An Enquiry Concerning Human
Understanding (Oxford: Oxford University Press, 1999), 10.
[6]
Auguste Comte, The Positive Philosophy of
Auguste Comte, terj. Harriet Martineau (London: John Chapman, 1853), 41.
[7]
Rudolf Otto, The Idea of the Holy (Oxford:
Oxford University Press, 1923), 5–7.
[8]
Alvin Plantinga, God and Other Minds
(Ithaca: Cornell University Press, 1967), 11–14.
[9]
Richard Swinburne, The Existence of God
(Oxford: Clarendon Press, 2004), 2–3.
2.
Landasan
Historis dan Genealogis Supernaturalisme
Supernaturalisme memiliki akar yang sangat dalam
dalam sejarah filsafat Barat, bahkan sebelum istilah “supernatural” itu sendiri
muncul secara eksplisit. Secara etimologis, istilah supernaturalis
berasal dari bahasa Latin yang berarti “melampaui alam” (super = di
atas, natura = alam).¹ Dalam pengertian awalnya, gagasan tentang “yang
melampaui alam” telah hadir dalam filsafat Yunani klasik, yang memandang
realitas tidak terbatas pada dunia fenomenal. Plato, misalnya, membedakan
antara dunia ide yang abadi dan dunia indrawi yang berubah, di mana dunia ide
merupakan sumber eksistensi dan makna bagi segala hal yang ada di dunia
empiris.² Gagasan ini menjadi fondasi bagi seluruh tradisi metafisika
transenden yang kemudian diadopsi oleh para pemikir Kristen awal.
2.1.
Pengaruh Filsafat Yunani dan Tradisi
Helenistik
Dalam filsafat Aristoteles, konsep tentang Penyebab
Pertama (Primum Movens) menjadi titik awal bagi struktur ontologis
yang kelak diinterpretasikan sebagai dasar pemikiran supernaturalistik.³
Aristoteles berpendapat bahwa segala sesuatu yang bergerak harus memiliki
sebab, dan rantai sebab itu tidak dapat mundur tanpa batas—harus ada satu
penyebab pertama yang tak bergerak, tak berubah, dan bersifat immaterial.⁴ Pemikiran
ini kemudian diinterpretasikan oleh para teolog sebagai bukti rasional tentang
keberadaan Tuhan sebagai entitas supranatural.
Selain Aristoteles, tradisi Stoa dan Neoplatonisme
turut memengaruhi genealoginya. Neoplatonisme, melalui Plotinus, memperkenalkan
konsep The One—suatu realitas mutlak yang transenden dan menjadi sumber
dari segala eksistensi.⁵ Konsep ini memperkuat kerangka metafisika yang
mengakui adanya hierarki realitas, dari yang tertinggi (yang ilahi) hingga yang
terendah (materi). Inilah bentuk awal dari struktur ontologis yang mendukung
pemahaman supernaturalistik tentang dunia.
2.2.
Integrasi dalam Filsafat dan Teologi
Kristen
Tradisi Kristen awal mengambil alih dan
mentransformasi warisan Yunani tersebut ke dalam kerangka teologis. Augustine
dari Hippo, salah satu Bapa Gereja paling berpengaruh, menegaskan bahwa dunia
ciptaan memiliki ketergantungan ontologis pada Tuhan, dan seluruh kebenaran
yang sejati bersumber dari realitas ilahi.⁶ Augustine menolak pandangan
naturalistik yang menempatkan alam sebagai sumber otonom dari hukum-hukum yang
mengatur dirinya, dan menggantinya dengan pandangan bahwa seluruh keteraturan
alam merupakan partisipasi dalam rasionalitas ilahi (Logos).⁷
Puncak perkembangan Supernaturalisme sebagai sistem
metafisik terjadi pada Abad Pertengahan, terutama melalui karya Thomas Aquinas.
Dalam Summa Theologica, Aquinas memadukan Aristotelianisme dengan
teologi Kristen dan mengembangkan argumen-argumen metafisik yang menegaskan
bahwa realitas natural bergantung secara mutlak pada penyebab supranatural,
yaitu Tuhan.⁸ Bagi Aquinas, manusia dapat mengenal realitas supranatural
melalui rasio, tetapi pengenalan yang sempurna hanya dapat dicapai melalui
wahyu.⁹ Dengan demikian, ia membangun sintesis yang kuat antara iman dan akal,
antara natural dan supranatural—sebuah sintesis yang kemudian menjadi model
bagi seluruh pemikiran skolastik.
2.3.
Krisis dan Tantangan pada Era Modern
Memasuki zaman modern, Supernaturalisme menghadapi
tantangan besar dari berkembangnya sains empiris dan filsafat rasionalistik.
René Descartes, dengan metode keraguannya, menekankan rasio sebagai
satu-satunya sumber kepastian, sekalipun ia tetap mempertahankan gagasan
tentang Tuhan sebagai jaminan realitas.¹⁰ Namun, warisan empirisme Hume dan
positivisme Comte menolak segala bentuk penjelasan yang melibatkan entitas di
luar observasi empiris.¹¹ Bagi kaum positivis, realitas supranatural tidak
lebih dari konstruksi spekulatif yang tidak memiliki nilai ilmiah.¹²
Namun demikian, arus penolakan terhadap
Supernaturalisme ini tidak mematikan perdebatan metafisik. Justru pada abad
ke-20, pemikir seperti Rudolf Otto dan Mircea Eliade menunjukkan bahwa
pengalaman religius dan kesadaran transendental adalah bagian tak terpisahkan
dari eksistensi manusia.¹³ Bahkan filsuf analitik seperti Alvin Plantinga
menghidupkan kembali argumen tentang rasionalitas iman dengan menunjukkan bahwa
kepercayaan kepada Tuhan dapat bersifat dasar dan wajar (properly basic
belief), tanpa harus didasarkan pada bukti empiris.¹⁴
2.4.
Konteks Genealogis Kontemporer
Dalam konteks kontemporer, Supernaturalisme
mengalami reinterpretasi dalam dialog antara sains dan teologi. Filsuf seperti
Richard Swinburne berusaha menunjukkan bahwa eksistensi Tuhan sebagai realitas
supranatural tetap merupakan hipotesis rasional terbaik untuk menjelaskan
keteraturan dan kebermaknaan alam semesta.¹⁵ Sementara itu, dalam ranah
fenomenologi dan eksistensialisme, Supernaturalisme dipahami bukan sekadar
sebagai postulat metafisik, tetapi sebagai horizon kesadaran manusia terhadap
yang transenden.¹⁶
Dengan demikian, secara genealogis,
Supernaturalisme bukan sekadar residu teologis masa lampau, melainkan tradisi
pemikiran yang terus berkembang, menyesuaikan diri dengan perubahan paradigma
pengetahuan. Ia tidak hanya menghubungkan filsafat dengan agama, tetapi juga
menjadi jembatan antara metafisika klasik dan filsafat kesadaran modern—antara logos
rasional dan misterium transenden yang senantiasa melampaui batas
pemahaman manusia.¹⁷
Footnotes
[1]
Frederick Copleston, A History of Philosophy,
Vol. 1: Greece and Rome (New York: Image Books, 1993), 112.
[2]
Plato, Republic, terj. C.D.C. Reeve
(Indianapolis: Hackett Publishing, 2004), 509d–511e.
[3]
Aristotle, Metaphysics, terj. W.D. Ross
(Oxford: Clarendon Press, 1924), XII.7, 1072a25–30.
[4]
Ibid., 1072b10–20.
[5]
Plotinus, The Enneads, terj. Stephen
MacKenna (London: Penguin Classics, 1991), V.1.6.
[6]
Augustine, Confessions, terj. Henry Chadwick
(Oxford: Oxford University Press, 1991), VII.10.
[7]
Augustine, The City of God, terj. Marcus
Dods (New York: Random House, 1950), XI.4.
[8]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q.2,
a.3.
[9]
Ibid., I, q.12, a.13.
[10]
René Descartes, Meditations on First Philosophy,
terj. Donald Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), II.
[11]
David Hume, An Enquiry Concerning Human
Understanding (Oxford: Oxford University Press, 1999), 10.
[12]
Auguste Comte, The Positive Philosophy of
Auguste Comte, terj. Harriet Martineau (London: John Chapman, 1853), 42–43.
[13]
Rudolf Otto, The Idea of the Holy (Oxford:
Oxford University Press, 1923), 6–8.
[14]
Alvin Plantinga, God and Other Minds
(Ithaca: Cornell University Press, 1967), 45–47.
[15]
Richard Swinburne, The Existence of God
(Oxford: Clarendon Press, 2004), 5–7.
[16]
Mircea Eliade, The Sacred and the Profane
(New York: Harcourt, 1957), 10–13.
[17]
William J. Wainwright, Philosophy of Religion
(Albany: State University of New York Press, 1988), 29–30.
3.
Ontologi
Supernaturalisme
Ontologi Supernaturalisme berangkat dari pandangan
bahwa realitas tidak terbatas pada dimensi empiris yang dapat diindra,
melainkan mencakup eksistensi entitas atau prinsip yang bersifat transenden.¹
Dalam kerangka metafisika ini, realitas dipahami sebagai hierarki keberadaan (ordo
essendi) di mana tingkat tertinggi ditempati oleh realitas ilahi yang menjadi
penyebab dan dasar segala sesuatu. Dengan demikian, Supernaturalisme menolak
pandangan monistik-materialistik yang menyamakan realitas dengan materi semata,
dan sebaliknya menegaskan bahwa yang supranatural memiliki eksistensi ontologis
yang sejati serta menjadi syarat bagi keberadaan yang natural.²
3.1.
Struktur Ontologis Realitas: Natural
dan Supranatural
Dalam pandangan Supernaturalisme, dunia natural
hanyalah satu dimensi dari keseluruhan realitas. Ia bergantung secara ontologis
pada realitas yang lebih tinggi, yakni realitas supranatural.³ Struktur ini
bersifat analogis: realitas natural tidak identik dengan realitas ilahi, namun
memantulkan sifat-sifatnya melalui keteraturan dan rasionalitas alam. Thomas
Aquinas, dalam kerangka metafisika skolastiknya, mengemukakan bahwa segala yang
ada memiliki keberadaan (esse) yang diperoleh dari Tuhan sebagai actus
essendi tertinggi.⁴ Dengan demikian, Tuhan bukan sekadar bagian dari
tatanan eksistensi, melainkan sumber eksistensi itu sendiri.
Supernaturalisme, dengan demikian, memandang bahwa
keberadaan alam tidak otonom. Ia bukan sistem tertutup, melainkan sistem yang
terus bergantung pada penyebab utama.⁵ Dalam konteks ini, hukum alam bukanlah
entitas absolut, melainkan manifestasi dari rasionalitas ilahi yang bekerja di
dalam ciptaan. Relasi antara natural dan supranatural bukan relasi dualistik
yang memisahkan secara mutlak, tetapi relasi hierarkis yang menempatkan yang
supranatural sebagai dasar ontologis bagi yang natural.⁶
3.2.
Realitas Ilahi sebagai Dasar Ontologis
Dalam Supernaturalisme klasik, realitas tertinggi
diidentifikasi dengan Tuhan sebagai Ens Necessarium—“yang ada dengan
sendirinya”—berbeda dengan semua makhluk yang bergantung pada-Nya (ens
contingens).⁷ Argumen ini berakar dalam tradisi Aristotelian dan
dikembangkan oleh Aquinas melalui lima jalan (quinque viae) untuk
membuktikan eksistensi Tuhan, di mana setiap argumentasi berakhir pada
kesimpulan bahwa harus ada “Ada yang niscaya” sebagai penyebab pertama dan
dasar segala keberadaan.⁸
Dari perspektif ontologi kontemporer, gagasan ini
dapat dimaknai sebagai pengakuan bahwa realitas tidak dapat dijelaskan
sepenuhnya dari dalam dirinya sendiri tanpa mengakui prinsip transenden yang
memberi makna. Filsuf seperti Richard Swinburne menginterpretasikan keberadaan
Tuhan sebagai hipotesis metafisik yang paling sederhana dan paling menjelaskan
keteraturan dunia.⁹ Sementara itu, dalam fenomenologi, realitas ilahi dipahami
sebagai horizon makna yang melampaui kesadaran namun meneguhkan eksistensi
manusia.¹⁰
Dengan demikian, realitas supranatural bukan
entitas asing yang terpisah dari dunia, tetapi sumber kebermaknaan dan
keberadaan itu sendiri. Relasi manusia dengan realitas supranatural bersifat
partisipatif, di mana eksistensi manusia memperoleh kepenuhan dalam keterbukaan
terhadap yang transenden.¹¹
3.3.
Relasi Kausal antara Alam dan
Supranatural
Salah satu ciri khas ontologi Supernaturalisme
adalah keyakinan bahwa realitas supranatural dapat berintervensi dalam dunia
natural. Intervensi ini tidak selalu bersifat ajaib (miraculous), tetapi
juga dapat dipahami sebagai kehadiran prinsip transenden yang memelihara
keteraturan alam.¹² Dalam tradisi teistik, konsep providentia divina
(penyelenggaraan ilahi) menjelaskan bahwa Tuhan terus-menerus bekerja dalam
ciptaan tanpa meniadakan hukum alam.¹³ Dengan demikian, tindakan supranatural
tidak meniadakan yang natural, tetapi melengkapinya.
Namun, dalam sejarah filsafat modern, konsep ini
sering disalahpahami sebagai pelanggaran terhadap hukum sebab-akibat alamiah.
David Hume, misalnya, menolak gagasan mukjizat dengan alasan bahwa peristiwa
semacam itu bertentangan dengan pengalaman empiris yang teratur.¹⁴ Kritik ini
kemudian dijawab oleh para teolog seperti Alvin Plantinga, yang menegaskan
bahwa intervensi supranatural bukanlah pelanggaran terhadap hukum alam,
melainkan tindakan bebas dari penyebab utama yang berada di luar sistem alam
itu sendiri.¹⁵
3.4.
Kritik dan Reinterpretasi Ontologis
Kritik terhadap ontologi Supernaturalisme terutama
datang dari dua arah: pertama, dari kaum naturalis yang menolak segala bentuk
entitas non-empiris; kedua, dari kaum panteis yang menghapus perbedaan antara
natural dan supranatural dengan menyatukan keduanya dalam satu realitas ilahi
yang imanen.¹⁶ Namun, banyak filsuf metafisik modern berupaya merekonstruksi
Supernaturalisme dalam bentuk yang lebih dialogis dan non-dualistis. Alfred
North Whitehead, misalnya, dalam filsafat prosesnya, menggambarkan Tuhan bukan
sebagai entitas terpisah, melainkan sebagai prinsip yang bekerja di dalam
dinamika kosmos, memberi arah pada proses kreatif alam semesta.¹⁷
Dengan demikian, ontologi Supernaturalisme tidak
harus dipahami secara statis atau dogmatis. Ia dapat dibaca sebagai kerangka
metafisik terbuka yang menegaskan bahwa realitas memiliki dimensi kedalaman ontologis
yang tak dapat direduksi pada fakta empiris semata.¹⁸ Dalam pengertian ini,
Supernaturalisme menawarkan perspektif integratif yang menyatukan antara aspek
rasional, empiris, dan transenden dari realitas.
Footnotes
[1]
William J. Wainwright, Philosophy of Religion
(Albany: State University of New York Press, 1988), 33.
[2]
Etienne Gilson, Being and Some Philosophers
(Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1952), 12.
[3]
Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol.
2: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 74.
[4]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q.3,
a.4.
[5]
Ibid., I, q.44, a.1.
[6]
Josef Pieper, The Silence of St. Thomas
(South Bend: St. Augustine’s Press, 1999), 27.
[7]
Thomas Aquinas, Summa Contra Gentiles, I,
c.15.
[8]
Ibid., I, c.13–14.
[9]
Richard Swinburne, The Existence of God
(Oxford: Clarendon Press, 2004), 8–9.
[10]
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity
(Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 21.
[11]
Karl Rahner, Foundations of Christian Faith
(New York: Crossroad, 1982), 105.
[12]
Alvin Plantinga, God, Freedom, and Evil
(Grand Rapids: Eerdmans, 1977), 39.
[13]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q.22,
a.2.
[14]
David Hume, An Enquiry Concerning Human
Understanding (Oxford: Oxford University Press, 1999), 10.
[15]
Alvin Plantinga, Warranted Christian Belief
(New York: Oxford University Press, 2000), 55.
[16]
Baruch Spinoza, Ethics, terj. Edwin Curley
(London: Penguin Classics, 2005), I, prop. XV.
[17]
Alfred North Whitehead, Process and Reality
(New York: Free Press, 1978), 343.
[18]
Paul Tillich, Systematic Theology, Vol. 1
(Chicago: University of Chicago Press, 1951), 71.
4.
Epistemologi
Supernaturalisme
Epistemologi Supernaturalisme membahas cara manusia
dapat mengetahui realitas yang melampaui pengalaman empiris. Dalam konteks ini,
problem utama yang muncul ialah: bagaimana mungkin manusia yang terbatas
dapat mengetahui sesuatu yang bersifat transenden dan immaterial?
Pertanyaan ini membawa Supernaturalisme pada ranah epistemologi yang khas, di
mana rasio, intuisi, dan wahyu tidak diposisikan secara berlawanan, tetapi
sebagai sarana-sarana koheren yang saling melengkapi dalam memahami kebenaran
yang bersumber dari realitas supranatural.¹
4.1.
Rasio sebagai Jalan Menuju yang
Transenden
Dalam tradisi klasik, rasio dianggap sebagai
jembatan antara manusia dan realitas ilahi. Aristoteles menganggap akal budi (nous)
sebagai bagian ilahi dalam diri manusia yang memungkinkan pengetahuan tentang
yang abadi.² Thomas Aquinas mengembangkan pandangan ini dengan menegaskan bahwa
akal manusia, meskipun terbatas, dapat mencapai pengetahuan tentang Tuhan
melalui inferensi rasional terhadap ciptaan.³ Hal ini dikenal sebagai teologi
natural, yakni upaya memahami Tuhan berdasarkan refleksi terhadap dunia
empiris. Melalui keteraturan kosmos, manusia dapat menalar adanya penyebab
pertama yang rasional dan transenden.⁴
Namun, Aquinas juga menekankan bahwa rasio hanya
mampu mencapai pengetahuan parsial. Ia tidak dapat menyingkap esensi ilahi
secara penuh karena keterbatasan kodrati manusia.⁵ Maka dari itu, pengetahuan
rasional perlu dilengkapi oleh wahyu, yang memungkinkan manusia mengenal
kebenaran yang melampaui jangkauan intelek.
4.2.
Intuisi dan Pengalaman Religius
Selain rasio, Supernaturalisme mengakui adanya
bentuk pengetahuan non-diskursif, yaitu pengetahuan intuitif atau langsung yang
lahir dari pengalaman religius. Rudolf Otto menyebut pengalaman ini sebagai das
Numinose, yakni kesadaran akan kehadiran yang misterius, menakutkan
sekaligus memikat (mysterium tremendum et fascinans).⁶ Pengalaman
semacam ini tidak bersifat empiris, melainkan fenomenologis—ia menyingkapkan
dimensi transenden dalam kesadaran manusia tanpa harus melalui proposisi
logis.⁷
Dalam kerangka fenomenologi, realitas supranatural
hadir sebagai horizon makna yang menyingkapkan diri dalam pengalaman manusia.
Emmanuel Levinas, misalnya, menggambarkan pengalaman etis terhadap “Yang
Lain” sebagai bentuk pewahyuan yang melampaui pengetahuan objektif.⁸ Dengan
demikian, epistemologi Supernaturalisme menolak reduksi pengetahuan pada fakta
empiris dan menegaskan pentingnya pengalaman eksistensial yang bersifat
transenden.
Intuisi religius ini tidak dapat diuji secara
empiris, namun memiliki validitas fenomenologis karena ia memanifestasikan
struktur kesadaran manusia terhadap yang tak terbatas.⁹ Dalam hal ini,
Supernaturalisme mengakui bahwa pengetahuan tidak hanya bersifat
representasional, tetapi juga partisipatif—manusia mengetahui realitas ilahi dengan
terlibat di dalamnya.
4.3.
Wahyu sebagai Sumber Pengetahuan
Supranatural
Wahyu menempati posisi sentral dalam epistemologi
Supernaturalisme. Jika rasio dan intuisi memungkinkan manusia mengenal Tuhan
secara terbatas, maka wahyu dipandang sebagai tindakan aktif dari realitas
ilahi yang menyingkap diri-Nya kepada manusia.¹⁰ Dalam kerangka teologis, wahyu
bukan sekadar penyampaian informasi metafisis, tetapi komunikasi eksistensial
antara Tuhan dan manusia.¹¹
Thomas Aquinas menegaskan bahwa kebenaran-kebenaran
tertentu tentang Tuhan—seperti keberadaan-Nya—dapat diketahui melalui rasio,
namun misteri ilahi seperti Trinitas hanya dapat diketahui melalui wahyu.¹²
Dengan demikian, wahyu tidak meniadakan rasio, melainkan melengkapinya. Dalam
pandangan modern, Alvin Plantinga mengembangkan gagasan ini melalui konsep properly
basic beliefs, yaitu keyakinan religius yang dapat diterima secara rasional
tanpa memerlukan pembuktian empiris karena berakar pada struktur kognitif yang
diciptakan Tuhan.¹³
Epistemologi Supernaturalisme dengan demikian
bersifat inklusif: ia membuka ruang bagi wahyu dan pengalaman spiritual tanpa
menolak rasionalitas. Hal ini membedakannya dari fideisme buta di satu sisi,
dan empirisisme reduksionistik di sisi lain.
4.4.
Sintesis Rasio, Intuisi, dan Wahyu
Secara epistemologis, Supernaturalisme menolak
dikotomi tajam antara pengetahuan ilmiah dan religius.¹⁴ Ia mengusulkan
paradigma integratif, di mana rasio, intuisi, dan wahyu saling melengkapi dalam
proses penyingkapan kebenaran. Dalam model ini, rasio memberikan struktur logis
bagi pengalaman religius, intuisi memberi kedalaman eksistensial, dan wahyu
memberi arah final bagi pengetahuan manusia.¹⁵
Karl Rahner menggambarkan manusia sebagai homo
capax Dei—makhluk yang secara eksistensial terbuka terhadap yang ilahi.¹⁶
Oleh karena itu, setiap tindakan kognitif manusia mengandung kemungkinan
transendensi. Dalam perspektif ini, epistemologi Supernaturalisme bukan sekadar
teori pengetahuan metafisik, melainkan refleksi tentang cara manusia berelasi
dengan sumber makna tertinggi yang melampaui dirinya.¹⁷
Footnotes
[1]
William J. Wainwright, Philosophy of Religion
(Albany: State University of New York Press, 1988), 41.
[2]
Aristotle, Metaphysics, terj. W.D. Ross
(Oxford: Clarendon Press, 1924), XII.7, 1072b.
[3]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q.2,
a.3.
[4]
Etienne Gilson, The Christian Philosophy of St.
Thomas Aquinas (New York: Random House, 1956), 58–59.
[5]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q.12,
a.13.
[6]
Rudolf Otto, The Idea of the Holy (Oxford:
Oxford University Press, 1923), 12–14.
[7]
Mircea Eliade, The Sacred and the Profane
(New York: Harcourt, 1957), 18.
[8]
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity
(Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 50–52.
[9]
William James, The Varieties of Religious
Experience (New York: Longmans, Green & Co., 1902), 380.
[10]
Karl Barth, Church Dogmatics, Vol. I/1: The
Doctrine of the Word of God (Edinburgh: T&T Clark, 1936), 295.
[11]
Gabriel Marcel, The Mystery of Being
(Chicago: Henry Regnery, 1960), 97.
[12]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q.1,
a.1.
[13]
Alvin Plantinga, Warranted Christian Belief
(New York: Oxford University Press, 2000), 188–189.
[14]
Richard Swinburne, Faith and Reason (Oxford:
Clarendon Press, 2005), 4–6.
[15]
Paul Tillich, Systematic Theology, Vol. 1
(Chicago: University of Chicago Press, 1951), 73.
[16]
Karl Rahner, Foundations of Christian Faith
(New York: Crossroad, 1982), 39.
[17]
Hans Urs von Balthasar, The Glory of the Lord,
Vol. 1: Seeing the Form (San Francisco: Ignatius Press, 1982), 120.
5.
Etika
dan Aksiologi Supernaturalisme
Etika dan aksiologi Supernaturalisme berakar pada
keyakinan bahwa nilai moral dan kebaikan tidak bersumber dari manusia atau alam
semata, melainkan memiliki dasar ontologis dalam realitas supranatural yang
transenden.¹ Pandangan ini menolak relativisme moral yang menganggap
nilai-nilai etis sebagai hasil konstruksi sosial atau biologis, serta menolak
naturalisme etis yang mengidentikkan “yang baik” dengan fakta empiris. Bagi
Supernaturalisme, kebaikan memiliki dimensi metafisik karena berakar pada
sumber ilahi yang absolut.²
Dengan demikian, etika Supernaturalisme bukanlah
sekadar sistem norma, melainkan refleksi tentang hubungan eksistensial manusia
dengan realitas tertinggi. Kebaikan moral menjadi partisipasi manusia dalam
kebaikan ilahi (bonum divinum), dan tindakan etis dipahami sebagai
tanggapan terhadap panggilan transenden yang mengarahkan manusia kepada tujuan
finalnya (telos), yaitu kesatuan dengan Yang Ilahi.³
5.1.
Dasar Ontologis Nilai Moral
Dalam kerangka Supernaturalisme, nilai moral
bersifat objektif karena berakar pada hakikat Tuhan sebagai kebaikan itu
sendiri. Thomas Aquinas menegaskan bahwa “kebaikan” dan “ada” (bonum et ens)
bersifat identik: segala yang ada adalah baik sejauh ia berpartisipasi dalam
keberadaan yang berasal dari Tuhan.⁴ Oleh karena itu, nilai moral tidak
bersifat arbitrer, melainkan memiliki dasar metafisik yang kokoh dalam struktur
realitas.
Konsepsi ini berbeda tajam dari pandangan
naturalistik modern yang menjelaskan moralitas berdasarkan evolusi sosial atau
utilitarianisme. Bagi Supernaturalisme, moralitas bukan hasil kesepakatan,
melainkan partisipasi dalam tatanan kosmis yang ditetapkan oleh kebijaksanaan
ilahi (lex aeterna).⁵ Tindakan manusia menjadi baik sejauh ia selaras
dengan tatanan moral universal tersebut, yang secara rasional dapat ditangkap
oleh akal manusia (lex naturalis), namun secara penuh hanya terwujud
dalam relasi dengan sumber kebaikan yang transenden.⁶
5.2.
Kehendak Bebas dan Tanggung Jawab
Moral
Supernaturalisme tidak meniadakan kebebasan
manusia, melainkan memaknainya sebagai kemampuan untuk menanggapi panggilan
ilahi dengan sadar dan bertanggung jawab.⁷ Dalam tradisi teologi skolastik,
kehendak bebas (liberum arbitrium) dipahami sebagai anugerah yang
memungkinkan manusia memilih antara kebaikan dan kejahatan, di mana kebaikan
sejati hanya dapat dicapai dalam kesesuaian dengan kehendak Tuhan.⁸
Dengan demikian, kebebasan moral bukanlah kebebasan
tanpa arah (freedom from), tetapi kebebasan untuk mengarah pada tujuan
tertinggi (freedom for the good).⁹ Pandangan ini menolak determinisme
materialistik yang mereduksi tindakan moral menjadi hasil kondisi biologis atau
sosial. Sebaliknya, ia memandang tindakan moral sebagai ekspresi kebebasan
spiritual manusia yang berpartisipasi dalam rasionalitas ilahi.¹⁰
Dalam konteks ini, dosa dipahami bukan sekadar
pelanggaran terhadap aturan, tetapi penyimpangan ontologis dari keteraturan
kosmik yang ditetapkan oleh sumber kebaikan tertinggi.¹¹ Oleh karena itu,
moralitas dalam Supernaturalisme memiliki dimensi metafisik: setiap tindakan
memiliki konsekuensi bukan hanya etis, tetapi juga ontologis, karena
memengaruhi relasi manusia dengan realitas ilahi.¹²
5.3.
Tujuan Akhir (Teleologi) dan Makna
Kehidupan Moral
Etika Supernaturalisme bersifat teleologis. Tujuan
akhir manusia bukanlah kebahagiaan duniawi yang bersifat sementara, tetapi
kesatuan dengan Tuhan sebagai Summum Bonum—kebaikan tertinggi dan tujuan
final dari seluruh eksistensi.¹³ Aristoteles memang menempatkan kebahagiaan (eudaimonia)
sebagai tujuan hidup manusia, tetapi dalam Supernaturalisme, kebahagiaan sejati
hanya dapat ditemukan dalam relasi dengan yang transenden.¹⁴
Thomas Aquinas menegaskan bahwa beatitudo
atau kebahagiaan sejati bukan terletak pada kenikmatan indrawi, kekuasaan, atau
pengetahuan duniawi, melainkan dalam kontemplasi langsung terhadap Tuhan (visio
beatifica).¹⁵ Maka, kehidupan moral adalah proses transendensi diri—jalan
menuju kesempurnaan eksistensial di mana manusia mencapai kebaikan tertinggi
dengan menyesuaikan kehendaknya dengan kehendak ilahi.¹⁶
Etika semacam ini juga memiliki implikasi
aksiologis yang mendalam. Nilai-nilai seperti kebenaran, keadilan, dan cinta
kasih tidak hanya memiliki fungsi sosial, tetapi juga makna metafisik karena
mencerminkan sifat-sifat ilahi.¹⁷ Dengan demikian, tindakan etis menjadi
partisipasi dalam kehidupan ilahi itu sendiri.
5.4.
Dimensi Aksiologis: Nilai,
Keindahan, dan Kesucian
Dalam Supernaturalisme, aksiologi tidak terbatas
pada moralitas, tetapi meluas ke seluruh ranah nilai, termasuk keindahan (pulchrum)
dan kesucian (sacrum).¹⁸ Nilai-nilai ini tidak bersifat subjektif,
melainkan merefleksikan keteraturan dan kesempurnaan metafisik yang berasal
dari Tuhan. Hans Urs von Balthasar menegaskan bahwa keindahan memiliki fungsi
teologis karena menyingkapkan kemuliaan Tuhan (gloria Dei).¹⁹ Dengan
demikian, pengalaman estetis juga merupakan bentuk penyingkapan supranatural
dalam dunia natural.
Supernaturalisme melihat bahwa seluruh nilai luhur
manusia—kebaikan, kebenaran, dan keindahan (bonum, verum, pulchrum)—berakar
pada sumber yang sama, yaitu realitas ilahi.²⁰ Ketiganya saling terjalin dalam
satu kesatuan aksiologis yang menuntun manusia kepada kesempurnaan moral dan
spiritual.
5.5.
Relevansi Etika Supernaturalistik
dalam Dunia Modern
Dalam dunia modern yang cenderung sekular dan
relativistik, etika Supernaturalisme menawarkan perspektif alternatif terhadap
krisis nilai.²¹ Ia menegaskan kembali dimensi transenden dalam moralitas, yang
mengingatkan manusia bahwa nilai etis tidak dapat direduksi menjadi kesepakatan
pragmatis atau kepentingan sosial.²² Dalam konteks pluralisme moral
kontemporer, Supernaturalisme mengusulkan etika universal yang berakar pada
martabat manusia sebagai makhluk spiritual yang terbuka terhadap yang ilahi.²³
Etika ini tidak anti-rasional atau anti-sains,
melainkan mengintegrasikan dimensi spiritual ke dalam rasionalitas moral,
sehingga menghasilkan paradigma moral yang menyatukan iman, akal, dan
pengalaman eksistensial.²⁴ Dengan demikian, aksiologi Supernaturalisme berfungsi
bukan hanya sebagai fondasi normatif, tetapi juga sebagai horizon makna yang
memungkinkan manusia menemukan arah etis dalam dunia yang kian
terfragmentasi.²⁵
Footnotes
[1]
William J. Wainwright, Philosophy of Religion
(Albany: State University of New York Press, 1988), 54.
[2]
C.S. Lewis, The Abolition of Man (New York:
HarperCollins, 2001), 18.
[3]
Josef Pieper, The Four Cardinal Virtues
(Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1966), 9.
[4]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q.5,
a.1.
[5]
Ibid., I-II, q.91, a.1.
[6]
Etienne Gilson, The Spirit of Medieval
Philosophy (New York: Scribner’s, 1940), 102.
[7]
Augustine, De Libero Arbitrio, terj. Thomas Williams
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1993), II.2.
[8]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, I-II,
q.10, a.1.
[9]
Servais Pinckaers, The Sources of Christian
Ethics (Washington, D.C.: Catholic University of America Press, 1995), 211.
[10]
Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre
Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 69.
[11]
Augustine, Confessions, terj. Henry Chadwick
(Oxford: Oxford University Press, 1991), VIII.5.
[12]
Jacques Maritain, Moral Philosophy (New
York: Scribner’s, 1964), 27.
[13]
Thomas Aquinas, Summa Contra Gentiles, III,
c.25.
[14]
Aristotle, Nicomachean Ethics, terj. Terence
Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), I.7.
[15]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, I-II, q.3,
a.8.
[16]
Josef Pieper, Happiness and Contemplation
(South Bend: St. Augustine’s Press, 1998), 45.
[17]
Paul Tillich, Morality and Beyond (New York:
Harper & Row, 1963), 31.
[18]
Étienne Gilson, The Arts of the Beautiful
(New York: Scribner’s, 1965), 19.
[19]
Hans Urs von Balthasar, The Glory of the Lord,
Vol. 1: Seeing the Form (San Francisco: Ignatius Press, 1982), 118.
[20]
Josef Pieper, Only the Lover Sings: Art and
Contemplation (San Francisco: Ignatius Press, 1990), 12.
[21]
Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge:
Harvard University Press, 2007), 515.
[22]
Alasdair MacIntyre, Whose Justice? Which
Rationality? (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1988), 126.
[23]
John Paul II, Veritatis Splendor (Vatican
City: Libreria Editrice Vaticana, 1993), 46.
[24]
Richard Swinburne, Faith and Reason (Oxford:
Clarendon Press, 2005), 72.
[25]
Paul Ricoeur, Oneself as Another (Chicago:
University of Chicago Press, 1992), 335.
6.
Kritik
terhadap Supernaturalisme
Supernaturalisme, sebagai pandangan metafisik yang
menegaskan realitas transenden di luar dunia empiris, tidak pernah luput dari
kritik. Sejak awal modernitas, arus rasionalisme, empirisme, dan positivisme
telah mempertanyakan dasar epistemologis dan ontologis dari klaim-klaim
supranatural. Kritik terhadap Supernaturalisme berkembang dari berbagai arah:
ilmiah, filosofis, teologis, dan bahkan eksistensial. Bagian ini menguraikan
tiga dimensi kritik utama terhadap Supernaturalisme, sekaligus menunjukkan
bagaimana tradisi ini menanggapi keberatan-keberatan tersebut.
6.1.
Kritik Empiris dan Saintifik
Kritik paling tajam terhadap Supernaturalisme
datang dari tradisi empirisme modern yang menolak segala bentuk realitas yang
tidak dapat diverifikasi melalui pengalaman indrawi. David Hume menjadi salah
satu tokoh utama yang menyerang gagasan mukjizat dan intervensi ilahi. Dalam An
Enquiry Concerning Human Understanding, Hume berpendapat bahwa kepercayaan
terhadap mukjizat bertentangan dengan pengalaman universal tentang keteraturan
alam.¹ Menurutnya, setiap klaim tentang peristiwa supranatural selalu lebih
tidak mungkin dibandingkan dengan penjelasan alami, sehingga secara rasional
harus ditolak.²
Pandangan ini kemudian menjadi fondasi bagi
positivisme ilmiah abad ke-19 yang dikembangkan oleh Auguste Comte. Comte
mengajukan hukum tiga tahap—teologis, metafisis, dan positif—yang
menempatkan Supernaturalisme sebagai bentuk berpikir primitif yang akan
digantikan oleh sains empiris.³ Dalam kerangka positivistik, segala bentuk
penjelasan yang melibatkan kekuatan supranatural dianggap tidak ilmiah karena
tidak dapat diuji, diulang, atau diverifikasi.⁴
Kritik saintifik modern terhadap Supernaturalisme
berlanjut melalui naturalisme evolusioner, yang menjelaskan kesadaran,
moralitas, dan pengalaman religius sebagai produk seleksi biologis dan
mekanisme neurologis semata.⁵ Dalam paradigma ini, realitas supranatural tidak
hanya dianggap tidak perlu, tetapi juga tidak dapat dibenarkan secara
metodologis. Namun, kelemahan kritik ini terletak pada reduksionisme
epistemologisnya: dengan mengidentikkan kebenaran dengan observasi empiris, ia
menutup kemungkinan dimensi pengetahuan lain yang bersifat transendental.⁶
6.2.
Kritik Filosofis: Rasionalisme,
Materialisme, dan Sekularisme
Kritik filosofis terhadap Supernaturalisme memiliki
akar yang lebih dalam. Sejak René Descartes dan Immanuel Kant, filsafat modern
menegaskan batas-batas rasio manusia dalam memahami realitas metafisis. Kant,
dalam Critique of Pure Reason, menolak klaim metafisika spekulatif
tentang Tuhan, kebebasan, dan keabadian jiwa, karena menurutnya, ketiganya
melampaui batas pengalaman dan tidak dapat diverifikasi melalui rasionalitas
murni.⁷ Bagi Kant, keberadaan Tuhan adalah postulat moral, bukan pengetahuan
teoretis.⁸
Sementara itu, materialisme modern—seperti yang
dikembangkan oleh Ludwig Feuerbach dan Karl Marx—mengkritik Supernaturalisme
sebagai bentuk alienasi manusia terhadap dirinya sendiri. Feuerbach menyatakan
bahwa gagasan tentang Tuhan hanyalah proyeksi ideal manusia tentang hakikatnya
sendiri.⁹ Marx kemudian melanjutkan kritik ini dalam kerangka sosial, dengan
menyebut agama sebagai “candu rakyat” yang mempertahankan struktur penindasan
sosial.¹⁰ Dalam pandangan ini, Supernaturalisme bukan hanya keliru secara
epistemologis, tetapi juga berbahaya secara ideologis karena meniadakan
tanggung jawab manusia atas dunia material.
Pada abad ke-20, kritik terhadap Supernaturalisme
diperkuat oleh sekularisasi eksistensialis. Friedrich Nietzsche menandai
“kematian Tuhan” sebagai simbol berakhirnya fondasi metafisik dalam budaya
Barat.¹¹ Bagi Nietzsche, keyakinan pada dunia supranatural melemahkan afirmasi
terhadap kehidupan, menciptakan moralitas budak yang menolak vitalitas dunia
ini.¹² Dari perspektif ini, Supernaturalisme dilihat sebagai bentuk
penyangkalan terhadap eksistensi duniawi dan kebebasan manusia.
6.3.
Kritik Teologis dan Internal
Selain dari luar, Supernaturalisme juga menghadapi
kritik internal dari kalangan teolog sendiri. Gerakan modernisme teologis pada
abad ke-19 dan 20, misalnya, berupaya merekonstruksi teologi agar selaras
dengan sains dan pengalaman manusia modern. Friedrich Schleiermacher menolak
pandangan objektif tentang realitas supranatural dan menafsirkan agama sebagai
“rasa ketergantungan mutlak” dalam kesadaran manusia.¹³ Demikian pula, Rudolf
Bultmann mengusulkan demitologisasi Kitab Suci agar pesan
eksistensialnya dapat dipahami tanpa bergantung pada simbol-simbol supranatural.¹⁴
Bagi para teolog eksistensialis, seperti Paul
Tillich, Supernaturalisme dianggap problematis karena menciptakan dualisme
ontologis antara Tuhan dan dunia. Tillich mengkritik gagasan tentang Tuhan
sebagai “makhluk tertinggi di atas dunia” (a being among beings) dan
menggantinya dengan konsep Tuhan sebagai “dasar dari keberadaan” (the Ground
of Being).¹⁵ Kritik ini menolak model intervensi supranatural yang bersifat
eksternal, dan lebih menekankan immanensi ilahi dalam eksistensi manusia.¹⁶
Namun, sekalipun kritik teologis ini menolak bentuk
tradisional Supernaturalisme, banyak di antaranya tidak menolak realitas
transendensi secara keseluruhan. Mereka lebih menuntut reinterpretasi makna “supranatural”
agar sesuai dengan horizon kesadaran modern.¹⁷
6.4.
Respons dan Rekonstruksi
Supernaturalisme
Meskipun kritik terhadap Supernaturalisme begitu
luas, tradisi ini tidak berhenti berkembang. Filsuf seperti Alvin Plantinga,
Richard Swinburne, dan William Alston telah memberikan dasar baru bagi
rasionalitas kepercayaan supranatural. Plantinga menolak “foundasionalisme
klasik” dan menyatakan bahwa kepercayaan terhadap Tuhan dapat bersifat rasional
tanpa bukti empiris karena merupakan keyakinan dasar yang sah (properly
basic belief).¹⁸ Sementara Swinburne mengembangkan argumen probabilistik
bahwa hipotesis teistik merupakan penjelasan paling sederhana bagi keteraturan
alam semesta.¹⁹
Dalam teologi kontemporer, Supernaturalisme tidak
lagi dipahami sebagai dualisme kaku antara dunia dan Tuhan, melainkan sebagai
struktur eksistensial yang terbuka terhadap transendensi. Karl Rahner,
misalnya, mengusulkan konsep “supernatural existential”, yaitu kondisi dasar
manusia yang secara ontologis terbuka terhadap rahmat ilahi.²⁰ Dengan
pendekatan ini, Supernaturalisme direhabilitasi bukan sebagai dogma metafisis,
tetapi sebagai horizon makna yang menjelaskan dinamika relasi manusia dengan
yang transenden.²¹
Evaluasi
Kritis
Dari keseluruhan kritik tersebut, tampak bahwa
sebagian besar keberatan terhadap Supernaturalisme muncul dari kesalahpahaman
metodologis. Naturalistis-empiris menilai Supernaturalisme dari sudut pandang
sains yang sempit, sedangkan beberapa teolog modern menolak bentuk
tradisionalnya tanpa menggali kedalaman metafisiknya.²² Padahal, Supernaturalisme
yang dimaknai secara filosofis bukanlah pelarian dari dunia empiris, melainkan
upaya memahami totalitas realitas dalam keterbukaan terhadap dimensi yang
melampaui pengalaman manusia.²³
Dengan demikian, kritik terhadap Supernaturalisme,
meskipun tajam dan beragam, justru memperkaya refleksi metafisik tentang
hubungan antara iman, rasio, dan realitas.²⁴ Ia menunjukkan bahwa
Supernaturalisme bukan sistem dogmatik tertutup, melainkan kerangka reflektif
yang senantiasa terbuka terhadap koreksi dan dialog dengan sains, filsafat,
serta pengalaman eksistensial manusia modern.²⁵
Footnotes
[1]
David Hume, An Enquiry Concerning Human
Understanding (Oxford: Oxford University Press, 1999), 10.
[2]
Ibid., 11.
[3]
Auguste Comte, The Positive Philosophy of Auguste
Comte, terj. Harriet Martineau (London: John Chapman, 1853), 47.
[4]
Ibid., 49.
[5]
Daniel Dennett, Breaking the Spell: Religion as
a Natural Phenomenon (New York: Viking, 2006), 143.
[6]
Alvin Plantinga, Where the Conflict Really Lies:
Science, Religion, and Naturalism (Oxford: Oxford University Press, 2011),
268.
[7]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason,
terj. Norman Kemp Smith (London: Macmillan, 1929), A631/B659.
[8]
Ibid., A807/B835.
[9]
Ludwig Feuerbach, The Essence of Christianity,
terj. George Eliot (New York: Harper & Row, 1957), 12.
[10]
Karl Marx, Contribution to the Critique of
Hegel’s Philosophy of Right (Cambridge: Cambridge University Press, 1970),
131.
[11]
Friedrich Nietzsche, The Gay Science, terj.
Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1974), §125.
[12]
Ibid., §341.
[13]
Friedrich Schleiermacher, On Religion: Speeches
to Its Cultured Despisers, terj. Richard Crouter (Cambridge: Cambridge
University Press, 1996), 39.
[14]
Rudolf Bultmann, Kerygma and Myth (New York:
Harper & Row, 1961), 5.
[15]
Paul Tillich, Systematic Theology, Vol. 1 (Chicago:
University of Chicago Press, 1951), 235.
[16]
Ibid., 242.
[17]
Karl Barth, Church Dogmatics, Vol. II/1: The
Doctrine of God (Edinburgh: T&T Clark, 1957), 187.
[18]
Alvin Plantinga, Warranted Christian Belief
(New York: Oxford University Press, 2000), 190.
[19]
Richard Swinburne, The Existence of God
(Oxford: Clarendon Press, 2004), 9.
[20]
Karl Rahner, Foundations of Christian Faith
(New York: Crossroad, 1982), 117.
[21]
Hans Urs von Balthasar, Theo-Logic, Vol. 1:
Truth of the World (San Francisco: Ignatius Press, 1989), 64.
[22]
William J. Wainwright, Philosophy of Religion
(Albany: State University of New York Press, 1988), 83.
[23]
Paul Ricoeur, Fallible Man (New York:
Fordham University Press, 1986), 97.
[24]
John Polkinghorne, Science and Providence: God’s
Interaction with the World (Boston: Shambhala, 1989), 18.
[25]
Alasdair MacIntyre, Three Rival Versions of
Moral Enquiry (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1990), 215.
7.
Relevansi
Kontemporer Supernaturalisme
Dalam konteks filsafat dan budaya kontemporer yang
ditandai oleh dominasi sains, sekularisme, dan relativisme nilai,
Supernaturalisme tampak seolah kehilangan tempatnya. Namun, di tengah krisis
makna dan disorientasi spiritual modernitas, justru muncul kembali kebutuhan
akan dimensi transenden yang menjadi dasar ontologis dan moral bagi eksistensi
manusia.¹ Supernaturalisme kembali relevan bukan sebagai doktrin dogmatis,
melainkan sebagai paradigma reflektif yang menegaskan keterbukaan realitas
terhadap yang melampaui.
7.1.
Supernaturalisme dan Dialog dengan
Sains Modern
Perkembangan ilmu pengetahuan tidak sepenuhnya
meniadakan gagasan tentang yang supranatural. Sebaliknya, temuan-temuan dalam
fisika kuantum, kosmologi, dan biologi evolusioner justru menimbulkan kembali
pertanyaan-pertanyaan metafisik yang tidak dapat dijawab oleh sains semata.²
Fenomena seperti keteraturan kosmos, hukum-hukum fisika yang presisi, serta
prinsip fine-tuning dalam kosmologi menimbulkan argumen baru bagi
eksistensi sebab transenden.³
Filsuf dan fisikawan seperti John Polkinghorne dan
William Lane Craig menafsirkan keteraturan kosmos sebagai indikasi rasionalitas
ilahi yang mendasari hukum-hukum alam.⁴ Supernaturalisme dalam konteks ini
tidak menentang sains, tetapi memperluas horizon rasionalitas dengan mengakui
bahwa realitas tidak terbatas pada apa yang dapat diukur.⁵ Sebagaimana
ditegaskan oleh Alvin Plantinga, konflik antara sains dan agama hanyalah semu;
keduanya beroperasi dalam domain epistemik yang berbeda namun saling
melengkapi.⁶
Dengan demikian, Supernaturalisme menawarkan sebuah
kerangka metafisik yang koheren di mana hukum alam dipahami bukan sebagai
sistem tertutup, melainkan sebagai ekspresi keteraturan yang berakar pada
rasionalitas transenden.⁷ Paradigma ini membuka kemungkinan dialog konstruktif
antara iman dan sains, yang tidak bersifat apologetik, melainkan
hermeneutik—membaca realitas ilmiah dalam cahaya makna metafisik.⁸
7.2.
Supernaturalisme dalam Filsafat
Kesadaran dan Fenomenologi
Dalam filsafat kontemporer, Supernaturalisme
menemukan bentuk baru melalui refleksi atas kesadaran manusia. Fenomenologi,
terutama dalam karya Edmund Husserl, Max Scheler, dan Emmanuel Levinas,
menunjukkan bahwa kesadaran manusia selalu terbuka terhadap yang “lain” (l’autrui)
dan yang melampaui dirinya.⁹ Bagi Levinas, pengalaman etis terhadap Yang Lain
merupakan bentuk wahyu yang menghadirkan transendensi dalam eksistensi
manusia.¹⁰
Pendekatan ini memperluas pengertian
Supernaturalisme dari sekadar metafisika tentang entitas adikodrati menjadi
hermeneutika kesadaran transendental.¹¹ Realitas supranatural tidak dipahami
sebagai dunia di luar sana, melainkan sebagai horizon makna yang menginterupsi
dan menyingkap keberadaan manusia.¹² Dengan demikian, Supernaturalisme tetap
hidup dalam pengalaman fenomenologis dan eksistensial manusia modern yang
merindukan makna di balik rasionalitas teknologis.
7.3.
Supernaturalisme dan Etika Global
Di tengah krisis moral global—terlihat dalam
degradasi lingkungan, ketimpangan sosial, dan nihilisme etis—Supernaturalisme
menawarkan kerangka nilai yang bersifat universal dan transenden.¹³ Etika
supernaturalistik menegaskan bahwa kebaikan tidak bersumber dari relativisme
budaya, melainkan dari realitas ilahi yang menjadi dasar objektif nilai
moral.¹⁴
Dalam konteks ini, Supernaturalisme memiliki
relevansi bagi pengembangan etika global yang melampaui sekat agama dan
ideologi. Hans Küng, dalam Global Responsibility, menegaskan perlunya
“etika dunia” yang berakar pada kesadaran spiritual universal.¹⁵ Kesadaran
semacam ini, dalam kerangka Supernaturalisme, dapat dipahami sebagai pantulan
dari hukum moral yang tertanam dalam struktur ciptaan.¹⁶ Dengan demikian,
Supernaturalisme tidak hanya membicarakan metafisika, tetapi juga menyediakan
fondasi aksiologis bagi tanggung jawab manusia terhadap sesama dan alam
semesta.¹⁷
7.4.
Relevansi Eksistensial dan Kultural
Dalam dunia postmodern yang ditandai oleh
fragmentasi makna, relativisme, dan “krisis narasi besar”, Supernaturalisme
tampil kembali sebagai horizon eksistensial yang menawarkan keutuhan makna
hidup.¹⁸ Meskipun banyak pemikir postmodern menolak klaim universalitas
metafisika, mereka secara paradoks membuka ruang bagi dimensi spiritual sebagai
bentuk resistensi terhadap nihilisme. Jean-Luc Marion, misalnya, memperkenalkan
gagasan “fenomena yang diberi” (le donné) yang menyingkap realitas ilahi
melalui pengalaman cinta dan keindahan.¹⁹
Dalam bidang kebudayaan, munculnya kembali minat
terhadap spiritualitas, mistisisme, dan religiositas non-dogmatis menunjukkan
kebutuhan eksistensial manusia terhadap yang transenden.²⁰ Supernaturalisme
kontemporer tidak hadir dalam bentuk teologi dogmatis, melainkan sebagai
refleksi filosofis atas makna, keteraturan, dan tujuan kehidupan di tengah
dunia yang serba mekanistik.²¹
7.5.
Supernaturalisme sebagai Paradigma
Integratif
Supernaturalisme modern tidak menolak rasionalitas
empiris, tetapi berusaha mengintegrasikannya dalam kerangka pemahaman yang
lebih luas.²² Ia tidak memisahkan antara iman dan ilmu, antara natural dan
transenden, melainkan mengusulkan model realitas yang bersifat hierarkis dan
terbuka. Dalam konteks filsafat proses, seperti yang dikemukakan Alfred North
Whitehead, realitas dilihat sebagai dinamika partisipatif antara Tuhan dan
dunia, di mana yang supranatural tidak berada “di luar” alam, tetapi bekerja di
dalam proses kreatifnya.²³
Pendekatan integratif ini juga tampak dalam teologi
kontemporer yang bersifat dialogis, seperti pada Karl Rahner dan Teilhard de
Chardin, yang menekankan keterbukaan manusia terhadap rahmat sebagai unsur
konstitutif eksistensinya.²⁴ Supernaturalisme, dalam arti ini, berfungsi bukan
hanya sebagai teori metafisik, tetapi juga sebagai horizon spiritual bagi
perkembangan peradaban manusia yang lebih beradab dan berkeadilan.²⁵
Footnotes
[1]
Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge:
Harvard University Press, 2007), 531.
[2]
John Polkinghorne, Belief in God in an Age of Science
(New Haven: Yale University Press, 1998), 12.
[3]
Robin Collins, “The Teleological Argument: An
Exploration of the Fine-Tuning of the Universe,” dalam The Blackwell
Companion to Natural Theology, ed. William Lane Craig dan J.P. Moreland
(Oxford: Wiley-Blackwell, 2009), 202.
[4]
William Lane Craig, Reasonable Faith: Christian
Truth and Apologetics (Wheaton: Crossway, 2008), 111.
[5]
John Polkinghorne, Science and Providence: God’s
Interaction with the World (Boston: Shambhala, 1989), 27.
[6]
Alvin Plantinga, Where the Conflict Really Lies:
Science, Religion, and Naturalism (Oxford: Oxford University Press, 2011),
9.
[7]
Richard Swinburne, The Existence of God
(Oxford: Clarendon Press, 2004), 15.
[8]
Ian Barbour, Religion and Science: Historical
and Contemporary Issues (San Francisco: HarperCollins, 1997), 112.
[9]
Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure
Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy (The Hague: Nijhoff,
1983), 98.
[10]
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity
(Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 214.
[11]
Max Scheler, Formalism in Ethics and Non-Formal
Ethics of Values (Evanston: Northwestern University Press, 1973), 107.
[12]
Jean-Luc Marion, Being Given: Toward a
Phenomenology of Givenness (Stanford: Stanford University Press, 2002), 45.
[13]
Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre
Dame: University of Notre Dame Press, 1981), 257.
[14]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, I-II,
q.91, a.2.
[15]
Hans Küng, Global Responsibility: In Search of a
New World Ethic (New York: Crossroad, 1991), 12.
[16]
Josef Pieper, The Four Cardinal Virtues
(Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1966), 33.
[17]
Paul Ricoeur, Oneself as Another (Chicago:
University of Chicago Press, 1992), 348.
[18]
Jean-François Lyotard, The Postmodern Condition:
A Report on Knowledge (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984),
24.
[19]
Jean-Luc Marion, God Without Being (Chicago:
University of Chicago Press, 1991), 52.
[20]
Mircea Eliade, The Sacred and the Profane
(New York: Harcourt, 1957), 182.
[21]
Charles Taylor, Sources of the Self: The Making
of the Modern Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 506.
[22]
Wolfhart Pannenberg, Theology and the Philosophy
of Science (Philadelphia: Westminster Press, 1976), 67.
[23]
Alfred North Whitehead, Process and Reality
(New York: Free Press, 1978), 342.
[24]
Karl Rahner, Foundations of Christian Faith
(New York: Crossroad, 1982), 145.
[25]
Pierre Teilhard de Chardin, The Phenomenon of
Man (New York: Harper & Row, 1959), 289.
8.
Sintesis
Filosofis
Sintesis filosofis Supernaturalisme berupaya mengintegrasikan
berbagai dimensi pemikiran metafisika, epistemologi, dan etika ke dalam suatu
pandangan dunia yang utuh mengenai realitas. Supernaturalisme bukan sekadar
teori tentang keberadaan entitas adikodrati, melainkan kerangka komprehensif
yang menempatkan dimensi transenden sebagai dasar dan tujuan dari eksistensi
manusia serta tatanan kosmos.¹ Ia berfungsi sebagai jembatan antara
rasionalitas ilmiah dan pengalaman religius, antara iman dan pengetahuan,
antara dunia empiris dan horizon transendental.
8.1.
Integrasi antara Metafisika dan
Epistemologi
Supernaturalisme, dalam kerangka sintesis
filosofisnya, menolak dikotomi tajam antara realitas natural dan supranatural.
Dunia empiris dan dunia transenden tidak dipahami sebagai dua wilayah yang
terpisah, melainkan sebagai dua tingkat keberadaan yang saling berhubungan
dalam satu kesatuan ontologis.² Seperti ditegaskan oleh Thomas Aquinas, seluruh
ciptaan berpartisipasi dalam keberadaan ilahi (participatio essendi),
sehingga pengetahuan manusia terhadap dunia juga merupakan partisipasi dalam
rasionalitas ilahi yang lebih tinggi.³
Dengan demikian, epistemologi Supernaturalisme
bersifat analogis: rasio manusia mampu menangkap kebenaran karena
memiliki struktur yang bersesuaian dengan Logos transenden.⁴ Rasio dan wahyu
bukan dua sumber kebenaran yang saling bertentangan, tetapi dua jalan menuju
realitas yang sama—yakni kebenaran yang bersumber dari Tuhan.⁵ Dalam arti ini,
rasionalitas ilmiah dan iman religius tidak perlu dipertentangkan, sebab
keduanya mengarahkan manusia pada pemahaman yang lebih dalam tentang makna
eksistensi.
Pendekatan ini sejalan dengan pandangan Karl Rahner
tentang manusia sebagai homo capax Dei—makhluk yang secara kodrati
terbuka terhadap penyingkapan ilahi.⁶ Oleh karena itu, setiap pencarian
pengetahuan, baik melalui sains maupun filsafat, merupakan bentuk eksplorasi
terhadap dimensi transendensi yang mendasari realitas.
8.2.
Kesatuan antara Etika, Aksiologi,
dan Ontologi
Dalam kerangka Supernaturalisme, nilai-nilai moral
dan spiritual tidak dapat dilepaskan dari struktur ontologis realitas. Nilai
kebaikan, keindahan, dan kebenaran tidak bersifat subjektif, melainkan memiliki
dasar ontologis dalam eksistensi ilahi sebagai sumber segala nilai.⁷ Josef
Pieper menyebut hal ini sebagai ordo amoris—tatanan kasih yang
mencerminkan keteraturan kosmos dan moralitas manusia di bawah kehendak ilahi.⁸
Dengan demikian, tindakan etis manusia bukan
sekadar tanggapan normatif terhadap hukum moral, melainkan bentuk partisipasi
ontologis dalam kehidupan ilahi.⁹ Kebaikan moral menjadi jalan transendensi
eksistensial, di mana manusia mencapai kesempurnaan dirinya dengan menyatukan
kehendaknya dengan kehendak sumber tertinggi.¹⁰
Sintesis etis-ontologis ini juga menegaskan bahwa
nilai tidak dapat direduksi pada fakta empiris atau konstruksi sosial.
Aksiologi Supernaturalisme menempatkan nilai-nilai spiritual sebagai horizon
universal yang melampaui relativisme budaya dan ideologi.¹¹ Dengan demikian,
etika supernaturalistik berfungsi sebagai fondasi moral global yang berakar
pada hakikat transendental manusia.¹²
8.3.
Dialektika antara Iman dan Rasio
Sintesis filosofis Supernaturalisme juga tampak
dalam upayanya mendamaikan ketegangan antara iman dan rasio. Dalam sejarah
filsafat Barat, kedua dimensi ini sering dianggap saling bertentangan:
rasionalisme modern menolak iman sebagai sumber kebenaran, sementara fideisme
ekstrem menolak rasionalitas sebagai sarana memahami Tuhan.¹³ Supernaturalisme
menawarkan jalan tengah yang dinamis, dengan menegaskan bahwa iman tanpa rasio
menjadi buta, sedangkan rasio tanpa iman kehilangan arah teleologisnya.¹⁴
Filsuf seperti Anselmus dari Canterbury merumuskan
prinsip fides quaerens intellectum—“iman yang mencari pengertian”—yang
kemudian menjadi dasar bagi seluruh tradisi teologi rasional.¹⁵ Prinsip ini
menjadi paradigma Supernaturalisme dalam mengintegrasikan pengalaman iman
dengan refleksi intelektual. Rasio membantu menjelaskan iman, sementara iman
memberi arah dan makna pada rasio.¹⁶
Dalam konteks kontemporer, pandangan ini diperkuat
oleh Alvin Plantinga, yang menegaskan bahwa keyakinan kepada Tuhan bukanlah
anti-rasional, melainkan properly basic, yakni rasional dalam dirinya
sendiri karena berakar pada struktur kognitif yang dirancang oleh Tuhan.¹⁷
Dengan demikian, sintesis antara iman dan rasio menjadi bentuk epistemologi
integral yang memulihkan kesatuan antara pengetahuan dan makna.
8.4.
Transendensi dan Immanensi:
Rekonstruksi Ontologi Modern
Sintesis filosofis Supernaturalisme tidak memandang
Tuhan sebagai entitas yang jauh dan terpisah dari dunia, tetapi sebagai dasar
keberadaan yang senantiasa imanen dalam segala sesuatu.¹⁸ Konsep ini melampaui
dualisme klasik yang memisahkan antara Tuhan dan ciptaan, menuju pandangan panenteistik
sebagaimana dikembangkan oleh Alfred North Whitehead dan Karl Rahner, di mana
Tuhan “meliputi” dunia tetapi tidak terbatas oleh dunia.¹⁹
Dengan demikian, realitas supranatural tidak berada
“di luar” alam, melainkan hadir dalam setiap proses keberadaan.²⁰ Relasi antara
transendensi dan immanensi menjadi dialektis: Tuhan melampaui dunia, namun
sekaligus mengisi dan menopang keberadaannya.²¹ Pandangan ini memberikan
landasan metafisik bagi pemahaman kosmos yang terbuka terhadap dimensi
spiritual tanpa menolak hukum-hukum alam.
8.5.
Supernaturalisme sebagai Horizon
Filsafat Integral
Akhirnya, sintesis filosofis Supernaturalisme dapat
dilihat sebagai usaha menuju filsafat integral—yakni filsafat yang tidak hanya
menjelaskan dunia empiris, tetapi juga menyingkap makna dan tujuan terdalam
dari eksistensi.²² Supernaturalisme menyatukan tiga dimensi utama filsafat:
ontologi (realitas sebagai partisipasi dalam yang ilahi), epistemologi
(pengetahuan sebagai partisipasi dalam kebenaran transenden), dan etika
(tindakan sebagai partisipasi dalam kebaikan tertinggi).²³
Filsafat semacam ini tidak bertujuan menggantikan
sains atau rasionalitas modern, tetapi melengkapinya dengan horizon metafisik
yang lebih luas.²⁴ Sebagaimana ditegaskan oleh Paul Tillich, Tuhan bukanlah
“objek” dalam dunia, melainkan dasar dari segala keberadaan (the Ground of
Being) yang memungkinkan segala sesuatu ada dan bermakna.²⁵ Dalam
pengertian ini, Supernaturalisme menghadirkan kembali kesatuan antara iman dan
akal, antara dunia dan transendensi, antara pengetahuan dan
kebijaksanaan—sebuah sintesis filosofis yang relevan bagi manusia modern yang
mencari keseimbangan antara rasionalitas dan spiritualitas.²⁶
Footnotes
[1]
William J. Wainwright, Philosophy of Religion
(Albany: State University of New York Press, 1988), 99.
[2]
Etienne Gilson, Being and Some Philosophers
(Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1952), 63.
[3]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q.44,
a.1.
[4]
Josef Pieper, The Silence of St. Thomas (South
Bend: St. Augustine’s Press, 1999), 35.
[5]
Richard Swinburne, Faith and Reason (Oxford:
Clarendon Press, 2005), 8.
[6]
Karl Rahner, Foundations of Christian Faith
(New York: Crossroad, 1982), 121.
[7]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q.5,
a.2.
[8]
Josef Pieper, The Four Cardinal Virtues
(Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1966), 9.
[9]
Jacques Maritain, Moral Philosophy (New
York: Scribner’s, 1964), 27.
[10]
Augustine, Confessions, terj. Henry Chadwick
(Oxford: Oxford University Press, 1991), VIII.8.
[11]
Paul Tillich, Morality and Beyond (New York:
Harper & Row, 1963), 38.
[12]
Hans Küng, Global Responsibility: In Search of a
New World Ethic (New York: Crossroad, 1991), 17.
[13]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason,
terj. Norman Kemp Smith (London: Macmillan, 1929), A807/B835.
[14]
John Paul II, Fides et Ratio (Vatican City:
Libreria Editrice Vaticana, 1998), 23.
[15]
Anselm of Canterbury, Proslogion, terj.
Thomas Williams (Indianapolis: Hackett Publishing, 1995), II.
[16]
Etienne Gilson, The Christian Philosophy of St.
Thomas Aquinas (New York: Random House, 1956), 88.
[17]
Alvin Plantinga, Warranted Christian Belief
(New York: Oxford University Press, 2000), 194.
[18]
Paul Tillich, Systematic Theology, Vol. 1
(Chicago: University of Chicago Press, 1951), 235.
[19]
Alfred North Whitehead, Process and Reality
(New York: Free Press, 1978), 343.
[20]
Karl Rahner, Theological Investigations, Vol. 1
(Baltimore: Helicon Press, 1961), 162.
[21]
Wolfhart Pannenberg, Metaphysics and the Idea of
God (Grand Rapids: Eerdmans, 1990), 49.
[22]
Charles Taylor, Sources of the Self: The Making
of the Modern Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 512.
[23]
Paul Ricoeur, Fallible Man (New York:
Fordham University Press, 1986), 101.
[24]
John Polkinghorne, Belief in God in an Age of
Science (New Haven: Yale University Press, 1998), 45.
[25]
Paul Tillich, The Courage to Be (New Haven:
Yale University Press, 1952), 180.
[26]
Hans Urs von Balthasar, Theo-Logic, Vol. 1:
Truth of the World (San Francisco: Ignatius Press, 1989), 215.
9.
Kesimpulan
Supernaturalisme, sebagai salah satu aliran utama dalam
metafisika, menegaskan bahwa realitas tidak dapat direduksi pada yang empiris
semata. Ia membuka pandangan dunia yang menempatkan dimensi transenden sebagai
fondasi ontologis, epistemologis, dan aksiologis dari seluruh keberadaan.¹
Dalam perspektif ini, alam semesta dipahami bukan sebagai sistem tertutup yang
bekerja secara mekanistik, melainkan sebagai tatanan yang berpartisipasi dalam
rasionalitas dan kebaikan ilahi yang lebih tinggi.²
Melalui pembahasan ontologis, Supernaturalisme
menunjukkan bahwa eksistensi natural bergantung pada keberadaan supranatural
sebagai ens necessarium—ada yang niscaya dan menjadi sumber dari segala
yang ada.³ Sedangkan pada tataran epistemologis, ia mengajarkan bahwa
pengetahuan manusia terhadap realitas transenden dapat dicapai melalui sinergi
antara rasio, intuisi, dan wahyu, yang bersama-sama membentuk struktur
pengetahuan integral.⁴ Pada ranah etika dan aksiologi, Supernaturalisme
menegaskan bahwa nilai moral, kebenaran, dan keindahan berakar dalam sumber
ilahi dan bersifat objektif.⁵
Dalam sejarahnya, Supernaturalisme memang
menghadapi kritik keras dari berbagai aliran pemikiran modern, seperti
empirisme, positivisme, dan materialisme.⁶ Namun, kritik-kritik tersebut justru
memperkaya dialog filosofis dengan memaksa Supernaturalisme untuk merefleksikan
ulang dasar-dasar metafisiknya secara lebih rasional dan terbuka.⁷ Pada titik
ini, filsuf kontemporer seperti Alvin Plantinga dan Richard Swinburne berhasil
menunjukkan bahwa keyakinan terhadap realitas supranatural tetap dapat
dipertahankan secara rasional tanpa menentang sains atau logika.⁸
Relevansi Supernaturalisme di era modern dan
postmodern tidak terletak pada pembelaan dogmatis terhadap hal-hal gaib,
melainkan pada kontribusinya dalam membangun kesadaran metafisik yang integral.
Di tengah krisis makna dan reduksionisme ilmiah, Supernaturalisme menawarkan
horizon berpikir yang memulihkan keseimbangan antara dimensi empiris dan
spiritual manusia.⁹ Ia menegaskan bahwa rasionalitas sejati tidak hanya menyelidiki
fenomena, tetapi juga menembus ke kedalaman makna dan tujuan keberadaan.¹⁰
Secara filosofis, Supernaturalisme menandai usaha
manusia untuk memahami realitas secara total—mencakup yang tampak dan yang
tersembunyi, yang empiris dan yang ilahi.¹¹ Ia menolak pandangan dunia yang
tertutup terhadap transendensi, sekaligus mengingatkan bahwa eksistensi manusia
menemukan maknanya hanya dalam relasi dengan sumber kebenaran yang melampaui
dirinya.¹² Dalam pengertian ini, Supernaturalisme bukanlah sekadar teori
metafisika, melainkan visi integral tentang keberadaan, pengetahuan, dan nilai,
yang mengarahkan manusia kepada kesadaran akan asal-usul dan tujuan finalnya
dalam realitas yang transenden.¹³
Footnotes
[1]
William J. Wainwright, Philosophy of Religion
(Albany: State University of New York Press, 1988), 101.
[2]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q.44,
a.1.
[3]
Ibid., I, q.2, a.3.
[4]
Karl Rahner, Foundations of Christian Faith
(New York: Crossroad, 1982), 123.
[5]
Josef Pieper, The Four Cardinal Virtues
(Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1966), 33.
[6]
David Hume, An Enquiry Concerning Human
Understanding (Oxford: Oxford University Press, 1999), 10.
[7]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason,
terj. Norman Kemp Smith (London: Macmillan, 1929), A631/B659.
[8]
Alvin Plantinga, Warranted Christian Belief
(New York: Oxford University Press, 2000), 192.
[9]
Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge:
Harvard University Press, 2007), 530.
[10]
John Polkinghorne, Science and Providence: God’s
Interaction with the World (Boston: Shambhala, 1989), 30.
[11]
Etienne Gilson, Being and Some Philosophers
(Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1952), 69.
[12]
Paul Tillich, Systematic Theology, Vol. 1
(Chicago: University of Chicago Press, 1951), 237.
[13]
Hans Urs von Balthasar, Theo-Logic, Vol. 1:
Truth of the World (San Francisco: Ignatius Press, 1989), 221.
Daftar Pustaka
Anselm of Canterbury. (1995). Proslogion (T.
Williams, Trans.). Hackett Publishing.
Aquinas, T. (n.d.). Summa Contra Gentiles
(Vols. I–III). Benziger Brothers.
Aquinas, T. (n.d.). Summa Theologica (Vols.
I–III). Benziger Brothers.
Aristotle. (1924). Metaphysics (W. D. Ross,
Trans.). Clarendon Press.
Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T.
Irwin, Trans.). Hackett Publishing.
Augustine. (1950). The city of God (M. Dods,
Trans.). Random House.
Augustine. (1991). Confessions (H. Chadwick,
Trans.). Oxford University Press.
Augustine. (1993). On free choice of the will
(De libero arbitrio) (T. Williams, Trans.). Hackett Publishing.
Barbour, I. (1997). Religion and science:
Historical and contemporary issues. HarperCollins.
Balthasar, H. U. von. (1982). The glory of the
Lord, Vol. 1: Seeing the form. Ignatius Press.
Balthasar, H. U. von. (1989). Theo-logic, Vol.
1: Truth of the world. Ignatius Press.
Barth, K. (1936). Church dogmatics, Vol. I/1:
The doctrine of the Word of God. T&T Clark.
Barth, K. (1957). Church dogmatics, Vol. II/1:
The doctrine of God. T&T Clark.
Bultmann, R. (1961). Kerygma and myth.
Harper & Row.
Collins, R. (2009). The teleological argument: An
exploration of the fine-tuning of the universe. In W. L. Craig & J. P.
Moreland (Eds.), The Blackwell companion to natural theology (pp.
202–281). Wiley-Blackwell.
Comte, A. (1853). The positive philosophy of
Auguste Comte (H. Martineau, Trans.). John Chapman.
Copleston, F. (1993). A history of philosophy,
Vols. 1–2: Greece, Rome, and Medieval philosophy. Image Books.
Craig, W. L. (2008). Reasonable faith: Christian
truth and apologetics (3rd ed.). Crossway.
Dennett, D. C. (2006). Breaking the spell:
Religion as a natural phenomenon. Viking.
Descartes, R. (1993). Meditations on first
philosophy (D. Cress, Trans.). Hackett Publishing.
Eliade, M. (1957). The sacred and the profane:
The nature of religion. Harcourt.
Feuerbach, L. (1957). The essence of
Christianity (G. Eliot, Trans.). Harper & Row.
Gilson, E. (1940). The spirit of medieval
philosophy. Scribner’s.
Gilson, E. (1952). Being and some philosophers
(2nd ed.). Pontifical Institute of Mediaeval Studies.
Gilson, E. (1956). The Christian philosophy of
St. Thomas Aquinas. Random House.
Gilson, E. (1965). The arts of the beautiful.
Scribner’s.
Hume, D. (1999). An enquiry concerning human
understanding. Oxford University Press.
Husserl, E. (1983). Ideas pertaining to a pure
phenomenology and to a phenomenological philosophy. Nijhoff.
James, W. (1902). The varieties of religious
experience. Longmans, Green & Co.
John Paul II. (1993). Veritatis splendor.
Libreria Editrice Vaticana.
John Paul II. (1998). Fides et ratio.
Libreria Editrice Vaticana.
Kant, I. (1929). Critique of pure reason (N.
Kemp Smith, Trans.). Macmillan.
Küng, H. (1991). Global responsibility: In
search of a new world ethic. Crossroad.
Levinas, E. (1969). Totality and infinity: An
essay on exteriority. Duquesne University Press.
Lewis, C. S. (2001). The abolition of man.
HarperCollins.
Lyotard, J.-F. (1984). The postmodern condition:
A report on knowledge. University of Minnesota Press.
MacIntyre, A. (1981). After virtue: A study in
moral theory. University of Notre Dame Press.
MacIntyre, A. (1988). Whose justice? Which
rationality? University of Notre Dame Press.
MacIntyre, A. (1990). Three rival versions of
moral enquiry. University of Notre Dame Press.
Marcel, G. (1960). The mystery of being.
Henry Regnery.
Marion, J.-L. (1991). God without being.
University of Chicago Press.
Marion, J.-L. (2002). Being given: Toward a
phenomenology of givenness. Stanford University Press.
Maritain, J. (1964). Moral philosophy.
Scribner’s.
Marx, K. (1970). Contribution to the critique of
Hegel’s philosophy of right. Cambridge University Press.
Nietzsche, F. (1974). The gay science (W.
Kaufmann, Trans.). Vintage.
Otto, R. (1923). The idea of the holy.
Oxford University Press.
Pannenberg, W. (1976). Theology and the
philosophy of science. Westminster Press.
Pannenberg, W. (1990). Metaphysics and the idea
of God. Eerdmans.
Pinckaers, S. (1995). The sources of Christian
ethics. Catholic University of America Press.
Pieper, J. (1966). The four cardinal virtues.
University of Notre Dame Press.
Pieper, J. (1990). Only the lover sings: Art and
contemplation. Ignatius Press.
Pieper, J. (1998). Happiness and contemplation.
St. Augustine’s Press.
Pieper, J. (1999). The silence of St. Thomas.
St. Augustine’s Press.
Plantinga, A. (1967). God and other minds.
Cornell University Press.
Plantinga, A. (1977). God, freedom, and evil.
Eerdmans.
Plantinga, A. (2000). Warranted Christian belief.
Oxford University Press.
Plantinga, A. (2011). Where the conflict really
lies: Science, religion, and naturalism. Oxford University Press.
Plotinus. (1991). The Enneads (S. MacKenna,
Trans.). Penguin Classics.
Polkinghorne, J. (1989). Science and providence:
God’s interaction with the world. Shambhala.
Polkinghorne, J. (1998). Belief in God in an age
of science. Yale University Press.
Rahner, K. (1961). Theological investigations,
Vol. 1. Helicon Press.
Rahner, K. (1982). Foundations of Christian
faith: An introduction to the idea of Christianity. Crossroad.
Ricoeur, P. (1986). Fallible man (C. A.
Kelbley, Trans.). Fordham University Press.
Ricoeur, P. (1992). Oneself as another.
University of Chicago Press.
Scheler, M. (1973). Formalism in ethics and
non-formal ethics of values. Northwestern University Press.
Schleiermacher, F. (1996). On religion: Speeches
to its cultured despisers (R. Crouter, Trans.). Cambridge University Press.
Spinoza, B. (2005). Ethics (E. Curley,
Trans.). Penguin Classics.
Swinburne, R. (2004). The existence of God
(2nd ed.). Clarendon Press.
Swinburne, R. (2005). Faith and reason (2nd
ed.). Clarendon Press.
Taylor, C. (1989). Sources of the self: The
making of the modern identity. Harvard University Press.
Taylor, C. (2007). A secular age. Harvard
University Press.
Teilhard de Chardin, P. (1959). The phenomenon
of man. Harper & Row.
Tillich, P. (1951). Systematic theology, Vol. 1.
University of Chicago Press.
Tillich, P. (1952). The courage to be. Yale
University Press.
Tillich, P. (1963). Morality and beyond.
Harper & Row.
Whitehead, A. N. (1978). Process and reality.
Free Press.
Wainwright, W. J. (1988). Philosophy of religion.
State University of New York Press.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar