Rasionalisme Modern
Akal sebagai Fondasi Pengetahuan dan Realitas
Alihkan ke: Aliran Sejarah Filsafat.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif aliran Rasionalisme
Modern sebagai salah satu pilar utama dalam sejarah filsafat Barat yang
menandai peralihan dari paradigma teosentris abad pertengahan menuju paradigma
antroposentris modern. Rasionalisme menegaskan bahwa akal (ratio)
merupakan sumber utama pengetahuan yang sahih dan fondasi bagi pemahaman
realitas. Melalui telaah historis, ontologis, epistemologis, dan etis, artikel
ini menelusuri kontribusi besar tiga tokoh sentral — René Descartes, Baruch
Spinoza, dan Gottfried Wilhelm Leibniz — dalam membangun sistem rasionalisme
yang menekankan keteraturan, koherensi, dan kepastian logis sebagai dasar
kebenaran.
Kajian ini juga mengulas kritik terhadap
rasionalisme dari perspektif empirisme, kritisisme Kant, hingga postmodernisme,
yang menyoroti keterbatasan klaim universalitas akal dan risiko reduksionisme
epistemologis. Meskipun demikian, warisan rasionalisme tetap bertahan sebagai
fondasi intelektual bagi perkembangan ilmu pengetahuan, etika, dan humanisme
modern. Dalam konteks kontemporer, prinsip-prinsip rasionalisme memperoleh
relevansi baru dalam menghadapi tantangan teknologi, krisis informasi, dan
disorientasi moral, dengan menekankan pentingnya rational discourse,
rasionalitas terbuka, serta tanggung jawab etis dalam penggunaan akal.
Melalui sintesis filosofisnya, Rasionalisme Modern
dipahami bukan hanya sebagai doktrin kognitif, tetapi sebagai model integratif
antara akal dan realitas — sebuah visi filosofis yang menempatkan rasio sebagai
jembatan antara manusia dan kosmos. Artikel ini menegaskan bahwa rasionalisme,
bila dipahami secara reflektif dan kritis, tetap menjadi etos berpikir yang
relevan bagi kemajuan peradaban dan pencarian kebenaran di era modern dan
digital.
Kata Kunci: Rasionalisme Modern; Akal; Descartes; Spinoza;
Leibniz; Epistemologi; Ontologi; Etika; Filsafat Modern; Rasionalitas.
PEMBAHASAN
Rasionalisme Modern dalam Sejarah Filsafat
1.
Pendahuluan
Rasionalisme Modern merupakan salah satu tonggak
penting dalam sejarah filsafat yang menandai pergeseran paradigma dari otoritas
tradisional menuju kemandirian akal manusia. Gerakan ini muncul pada abad ke-17
sebagai respons terhadap krisis epistemologis yang ditinggalkan oleh abad
pertengahan dan awal renaisans, ketika keyakinan terhadap otoritas religius
mulai digantikan oleh kepercayaan pada kemampuan rasio manusia untuk menyingkap
kebenaran secara mandiri. Rasionalisme tidak hanya menegaskan akal sebagai
sumber utama pengetahuan, tetapi juga menempatkannya sebagai prinsip ontologis
yang mengatur tatanan realitas itu sendiri. Dalam konteks ini, Rasionalisme
Modern menjadi fondasi intelektual bagi lahirnya scientific revolution
dan Enlightenment yang mengubah wajah peradaban Barat secara mendasar.¹
Filsafat Rasionalisme Modern berakar pada keyakinan
bahwa akal manusia memiliki kemampuan a priori untuk memperoleh
kebenaran tanpa bergantung sepenuhnya pada pengalaman empiris. René Descartes,
yang sering dianggap sebagai bapak rasionalisme modern, menegaskan bahwa dasar
pengetahuan sejati haruslah sesuatu yang tidak dapat diragukan. Prinsip cogito
ergo sum (“aku berpikir, maka aku ada”) menjadi titik pijak bagi
pembentukan sistem pengetahuan yang deduktif dan pasti.² Pemikiran Descartes
ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Baruch Spinoza dan Gottfried
Wilhelm Leibniz, yang masing-masing menyusun sistem metafisika rasional yang
berupaya menjelaskan keseluruhan realitas melalui struktur dan prinsip logis
yang konsisten.³
Konteks historis kemunculan Rasionalisme Modern
tidak dapat dilepaskan dari perkembangan ilmu pengetahuan pada masa itu.
Tokoh-tokoh seperti Galileo Galilei dan Johannes Kepler telah menunjukkan
keberhasilan metode matematika dan rasional dalam memahami alam semesta,
sehingga memperkuat kepercayaan terhadap akal sebagai instrumen pengetahuan
yang sahih.⁴ Dalam kerangka ini, rasionalisme menjadi simbol keyakinan baru
pada kemampuan manusia untuk memahami tatanan kosmos secara rasional dan
sistematik, terlepas dari dogma teologis atau otoritas tradisional.
Namun demikian, Rasionalisme Modern juga
menimbulkan sejumlah persoalan filosofis yang akan terus diperbincangkan dalam
sejarah filsafat berikutnya. Pertanyaan tentang batas kemampuan akal, hubungan
antara pikiran dan materi, serta status ide bawaan menjadi inti dari perdebatan
antara rasionalisme, empirisme, dan kemudian kritisisme Kantian.⁵ Meskipun
demikian, warisan rasionalisme tetap bertahan sebagai landasan bagi metodologi
ilmiah dan idealisme modern, serta menjadi titik awal bagi refleksi filosofis
tentang rasionalitas manusia di era kontemporer.
Dengan demikian, pembahasan tentang Rasionalisme
Modern tidak hanya relevan secara historis, tetapi juga memiliki signifikansi
filosofis dalam memahami fondasi pengetahuan, realitas, dan moralitas. Melalui
kajian ini, kita dapat menelusuri bagaimana akal menjadi pusat dalam proyek
filsafat modern, serta bagaimana warisan itu terus bertransformasi menghadapi
tantangan empirisme, relativisme, dan teknologi rasional masa kini.⁶
Footnotes
[1]
Frederick Copleston, A History of Philosophy,
Volume IV: Descartes to Leibniz (New York: Doubleday, 1994), 1–5.
[2]
René Descartes, Meditations on First Philosophy,
trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 17–20.
[3]
Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley
(London: Penguin Classics, 1996), 5–10.
[4]
Steven Nadler, The Age of Reason: The
17th-Century Philosophers (Princeton: Princeton University Press, 2001),
12–15.
[5]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason,
trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press,
1998), 38–41.
[6]
Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind
(New York: Ballantine Books, 1991), 210–215.
2.
Landasan
Historis dan Genealogi Intelektual
Rasionalisme Modern tidak muncul dalam kevakuman
intelektual; ia lahir dari pergulatan panjang antara warisan filsafat klasik,
teologi skolastik abad pertengahan, dan semangat ilmiah renaisans. Secara historis,
akar rasionalisme dapat ditelusuri hingga filsafat Yunani, khususnya pada
pemikiran Plato yang menekankan keberadaan dunia ide sebagai realitas sejati
yang hanya dapat dipahami melalui akal budi.¹ Pandangan ini menjadi benih awal
bagi keyakinan bahwa kebenaran bersifat rasional dan dapat dicapai tanpa
bergantung sepenuhnya pada pengalaman inderawi. Aristoteles kemudian melengkapi
warisan ini melalui logika deduktifnya, meskipun ia menaruh perhatian besar
pula pada pengalaman empiris.²
Selama Abad Pertengahan, tradisi skolastik mencoba
mensintesiskan antara iman dan akal, terutama melalui karya Thomas Aquinas.³
Namun, sistem skolastik pada akhirnya menghadapi krisis otoritas akibat
munculnya reformasi teologis dan penemuan ilmiah yang mengguncang pandangan
dunia tradisional. Krisis ini membuka jalan bagi rasionalisme untuk menegaskan
kembali otonomi akal sebagai dasar kebenaran. Dengan kata lain, rasionalisme
muncul sebagai reaksi terhadap kebergantungan berlebihan pada otoritas religius
serta keterbatasan empirisme awal yang belum sistematik.⁴
Perubahan besar terjadi pada abad ke-17, masa yang
sering disebut sebagai awal modernitas filosofis. Di sinilah tokoh-tokoh
seperti René Descartes, Baruch Spinoza, dan Gottfried Wilhelm Leibniz mengembangkan
sistem rasionalisme yang matang. Descartes, melalui Discourse on Method
(1637) dan Meditations on First Philosophy (1641), meletakkan dasar bagi
filsafat modern dengan menekankan metode keraguan metodologis (methodic
doubt) untuk mencapai pengetahuan yang pasti.⁵ Spinoza melanjutkan proyek
ini dalam bentuk sistem metafisika yang geometris, di mana Tuhan dan alam
dipahami sebagai satu substansi yang identik (Deus sive Natura).⁶
Sementara itu, Leibniz memperkenalkan konsep monad sebagai entitas dasar
realitas yang rasional dan terkoordinasi secara harmoni oleh Tuhan.⁷
Secara genealogis, Rasionalisme Modern juga tidak
dapat dilepaskan dari pengaruh renaisans dan revolusi ilmiah. Penemuan-penemuan
ilmiah oleh Copernicus, Kepler, dan Galileo menumbuhkan kepercayaan bahwa alam
semesta tunduk pada hukum-hukum rasional yang dapat diformulasikan secara
matematis.⁸ Hal ini memberikan dasar empiris bagi kepercayaan filosofis bahwa
akal mampu memahami struktur terdalam dari realitas. Rasionalisme, dengan demikian,
bukan hanya sistem filsafat, tetapi juga semangat zaman (zeitgeist) yang
menandai lahirnya paradigma baru tentang manusia, pengetahuan, dan alam
semesta.⁹
Dengan latar historis dan genealogis ini,
Rasionalisme Modern dapat dipahami sebagai puncak dari evolusi panjang
pemikiran Barat yang menempatkan akal sebagai pusat gravitasi epistemologis dan
ontologis. Ia menandai peralihan dari dunia teosentris menuju antroposentris,
dari kepercayaan pada otoritas eksternal menuju otonomi rasio manusia.¹⁰
Footnotes
[1]
Plato, The Republic, trans. G. M. A. Grube
(Indianapolis: Hackett Publishing, 1992), 195–210.
[2]
Aristotle, Posterior Analytics, trans.
Jonathan Barnes (Oxford: Clarendon Press, 1993), 71–76.
[3]
Thomas Aquinas, Summa Theologiae, trans.
Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947),
I.q.1.a.8.
[4]
Étienne Gilson, The Spirit of Medieval
Philosophy (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1991), 220–230.
[5]
René Descartes, Discourse on Method, trans.
Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett, 1998), 5–10.
[6]
Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley
(London: Penguin Classics, 1996), 45–50.
[7]
Gottfried Wilhelm Leibniz, Monadology,
trans. Robert Latta (Oxford: Oxford University Press, 1898), §§1–10.
[8]
Alexandre Koyré, From the Closed World to the
Infinite Universe (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1957), 25–40.
[9]
Steven Nadler, The Age of Reason: The
17th-Century Philosophers (Princeton: Princeton University Press, 2001),
8–12.
[10]
Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind
(New York: Ballantine Books, 1991), 210–215.
3.
Ontologi
Rasionalisme
Ontologi Rasionalisme berakar pada keyakinan
fundamental bahwa realitas memiliki struktur rasional yang dapat dipahami
melalui akal budi manusia. Bagi para rasionalis, dunia bukanlah kumpulan fenomena
acak, melainkan sistem tertib yang tunduk pada prinsip logis dan matematis.
Prinsip ini berangkat dari asumsi metafisis bahwa segala yang ada memiliki
alasan keberadaannya—sebuah prinsip yang kemudian dikenal sebagai principium
rationis sufficientis atau “asas alasan yang cukup.”¹ Prinsip ini
menyatakan bahwa tidak ada sesuatu pun yang eksis tanpa sebab yang memadai atau
dasar rasional bagi keberadaannya. Dengan demikian, rasionalisme melihat
realitas sebagai kosmos yang teratur, bukan chaos yang tak
terjelaskan.
René Descartes, sebagai perintis utama rasionalisme
modern, mengajukan pandangan dualistik tentang realitas: res cogitans
(substansi berpikir) dan res extensa (substansi yang terbentang).²
Dunia, bagi Descartes, terdiri atas dua substansi dasar ini yang berbeda secara
esensial namun sama-sama diciptakan oleh Tuhan. Tuhan, dalam sistem Descartes,
menjadi jaminan ontologis bagi kebenaran karena Ia adalah sumber dari segala
realitas dan tidak mungkin menipu ciptaan-Nya.³ Dengan demikian, eksistensi
Tuhan tidak hanya menjadi fondasi teologis, tetapi juga jaminan metafisis bagi
konsistensi hukum alam dan kepastian pengetahuan.
Berbeda dengan Descartes, Baruch Spinoza menolak
dualisme tersebut dan menggantikannya dengan monisme substansial. Dalam Ethics,
ia menyatakan bahwa hanya ada satu substansi yang sejati, yaitu Tuhan atau Alam
(Deus sive Natura).⁴ Segala sesuatu yang ada merupakan modus dari
substansi tunggal ini, yang menampakkan diri melalui atribut pikiran dan
keluasan. Dengan cara ini, Spinoza menghapus dikotomi antara subjek dan objek,
antara jiwa dan tubuh, dengan menegaskan bahwa keduanya hanyalah dua cara
berbeda dalam memahami satu realitas yang sama.⁵ Dalam sistem ini, rasionalitas
bukan hanya alat manusia, tetapi sifat inheren dari keberadaan itu
sendiri—Tuhan sebagai substansi tunggal berpikir melalui setiap aspek realitas.
Sementara itu, Gottfried Wilhelm Leibniz
mengembangkan pendekatan ontologis yang lebih pluralistik melalui konsep monadologi.
Ia menolak baik dualisme Cartesian maupun monisme Spinozistik, dan
menggantikannya dengan pandangan bahwa realitas terdiri atas entitas-entitas
sederhana yang disebut monad.⁶ Setiap monad merupakan pusat kesadaran
yang mencerminkan seluruh alam semesta dari perspektifnya masing-masing, tanpa
interaksi kausal langsung dengan yang lain. Keselarasan antar-monad terjadi
karena adanya “harmoni yang telah ditetapkan sebelumnya” (harmonie
préétablie) oleh Tuhan.⁷ Dalam kerangka ini, realitas tetap rasional karena
setiap monad bertindak sesuai prinsip internalnya yang logis dan koheren.
Secara ontologis, Rasionalisme Modern menegaskan
bahwa realitas adalah rasional dalam dirinya sendiri dan bahwa akal manusia
mampu menyingkap struktur rasional tersebut karena keserupaan esensial antara pikiran
dan dunia. Rasio manusia merupakan citra dari rasio ilahi, sehingga
memahami dunia berarti berpartisipasi dalam rasionalitas ilahi itu sendiri.⁸
Akibatnya, filsafat rasionalisme menolak pandangan empiris yang menganggap
realitas hanya sebagai hasil impresi inderawi yang terpisah-pisah. Bagi para
rasionalis, kebenaran sejati harus bersifat universal, niscaya, dan dapat
diturunkan secara deduktif dari prinsip-prinsip pertama yang pasti.⁹
Dengan demikian, ontologi rasionalisme berfungsi
sebagai dasar metafisis dari seluruh proyek filsafat modern. Ia menempatkan
rasio bukan hanya sebagai alat pengetahuan, tetapi sebagai prinsip kosmik yang
menyatukan eksistensi. Dalam pandangan ini, “menjadi” berarti “dapat dipahami
secara rasional,” dan yang tidak rasional dianggap tidak benar-benar ada dalam
pengertian metafisis yang sejati.¹⁰
Footnotes
[1]
Gottfried Wilhelm Leibniz, Monadology,
trans. Robert Latta (Oxford: Oxford University Press, 1898), §31.
[2]
René Descartes, Meditations on First Philosophy,
trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 28–31.
[3]
Descartes, Meditations, 48–50.
[4]
Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley
(London: Penguin Classics, 1996), Part I, Proposition 14.
[5]
Steven Nadler, Spinoza’s Ethics: An Introduction
(Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 57–62.
[6]
Leibniz, Monadology, §§1–6.
[7]
Nicholas Jolley, Leibniz (London: Routledge,
2005), 72–78.
[8]
Frederick Copleston, A History of Philosophy,
Volume IV: Descartes to Leibniz (New York: Doubleday, 1994), 115–120.
[9]
Anthony Kenny, A New History of Western
Philosophy, Volume III: The Rise of Modern Philosophy (Oxford: Clarendon
Press, 2006), 123–126.
[10]
Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind
(New York: Ballantine Books, 1991), 222–225.
4.
Epistemologi
Rasionalisme
Epistemologi rasionalisme menempatkan akal (ratio)
sebagai sumber utama dan paling pasti dari pengetahuan. Bagi para rasionalis,
kebenaran sejati tidak bergantung pada pengalaman inderawi yang bersifat
berubah dan menipu, melainkan pada ide-ide yang jelas dan terpilah (clear
and distinct ideas) yang berasal dari struktur bawaan akal itu sendiri.¹
Dengan demikian, pengetahuan dianggap sahih hanya apabila ia bersifat a
priori, yakni didasarkan pada prinsip-prinsip rasional yang dapat diketahui
tanpa memerlukan pengalaman empiris. Rasionalisme modern, dalam hal ini,
berusaha menemukan dasar yang niscaya dan universal bagi semua pengetahuan
manusia.²
René Descartes, sebagai pendiri utama aliran ini,
memulai proyek epistemologisnya melalui metode keraguan metodologis (methodic
doubt). Ia berupaya menolak semua keyakinan yang dapat diragukan hingga
akhirnya menemukan satu kebenaran yang tidak mungkin disangkal: “Cogito,
ergo sum” — aku berpikir, maka aku ada.³ Prinsip ini menjadi fondasi bagi
sistem pengetahuan rasional, sebab ia memenuhi kriteria kepastian mutlak. Dari
titik tolak ini, Descartes berpendapat bahwa semua pengetahuan sejati harus
dapat diturunkan secara deduktif dari ide-ide yang sejelas dan seterpilah cogito
itu.⁴
Selanjutnya, Descartes mengemukakan bahwa akal
manusia mengandung sejumlah ide bawaan (innate ideas) yang bersifat
universal, seperti ide tentang Tuhan, angka, dan substansi.⁵ Ide-ide ini bukan
hasil pengalaman, melainkan struktur apriori yang memungkinkan pengalaman itu
sendiri dimengerti. Dalam pandangan ini, pengalaman hanya berfungsi sebagai
pemicu kesadaran, bukan sebagai sumber kebenaran. Spinoza dan Leibniz kemudian
memperluas gagasan ini. Bagi Spinoza, pengetahuan sejati adalah pengetahuan
intuitif tentang hakikat realitas — yaitu pemahaman rasional terhadap Tuhan
atau Alam sebagai substansi tunggal.⁶ Sedangkan Leibniz berpendapat bahwa
pikiran manusia mengandung prinsip-prinsip kebenaran bawaan yang berfungsi
seperti “benih” rasionalitas, yang berkembang melalui refleksi akal.⁷
Rasionalisme menekankan metode deduktif dalam
membangun pengetahuan. Pengetahuan ilmiah dan filosofis, menurut pandangan ini,
harus disusun seperti sistem matematika, di mana kebenaran yang kompleks
diturunkan secara logis dari aksioma-aksioma yang pasti.⁸ Hal ini terlihat
jelas dalam karya Spinoza Ethics, yang disusun mengikuti struktur
geometri Euclides — setiap proposisi didukung oleh definisi dan teorema yang
diturunkan secara rasional.⁹ Dengan demikian, kebenaran dalam epistemologi
rasionalisme bersifat niscaya (necessary truth), bukan probabilistik
seperti dalam empirisme.
Dalam konteks perdebatan filosofis, posisi
rasionalisme berseberangan dengan empirisme yang diajukan oleh tokoh-tokoh
seperti John Locke dan David Hume. Locke berpendapat bahwa pikiran manusia pada
awalnya seperti tabula rasa, kosong dari ide bawaan, dan semua
pengetahuan berasal dari pengalaman.¹⁰ Hume bahkan melangkah lebih jauh dengan
menegaskan bahwa akal hanyalah alat untuk mengatur asosiasi impresi-impresi
indrawi, bukan sumber prinsip universal.¹¹ Namun bagi para rasionalis,
pendekatan ini gagal menjelaskan kepastian matematis dan logis yang tidak dapat
dijustifikasi hanya melalui pengalaman.
Epistemologi rasionalisme mencapai bentuk
reflektifnya dalam kritik Immanuel Kant yang berupaya mensintesiskan
rasionalisme dan empirisme. Kant menilai bahwa meskipun semua pengetahuan
berawal dari pengalaman, tidak semuanya bersumber dari pengalaman.¹² Struktur
apriori akal tetap diperlukan untuk memungkinkan pengalaman itu dimengerti.
Dengan demikian, warisan rasionalisme tetap bertahan sebagai pilar utama dalam
teori pengetahuan modern, terutama dalam hal penekanan pada rasionalitas,
deduksi, dan prinsip universalitas.
Akhirnya, epistemologi rasionalisme tidak hanya
menyumbangkan metode berpikir logis dan sistematik, tetapi juga membentuk
fondasi bagi perkembangan ilmu pengetahuan modern. Kepercayaan pada keteraturan
dan rasionalitas alam semesta menjadi dasar bagi metodologi ilmiah, sedangkan
keyakinan pada kemampuan akal manusia melahirkan optimisme intelektual yang
menjadi ciri khas peradaban modern.¹³
Footnotes
[1]
Frederick Copleston, A History of Philosophy,
Volume IV: Descartes to Leibniz (New York: Doubleday, 1994), 45–47.
[2]
Anthony Kenny, A New History of Western
Philosophy, Volume III: The Rise of Modern Philosophy (Oxford: Clarendon
Press, 2006), 130–133.
[3]
René Descartes, Meditations on First Philosophy,
trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 17–19.
[4]
Descartes, Meditations, 26–28.
[5]
Descartes, Principles of Philosophy, trans.
Valentine Rodger Miller and Reese P. Miller (Dordrecht: Reidel, 1983), 45–49.
[6]
Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley
(London: Penguin Classics, 1996), Part II, Proposition 40.
[7]
Gottfried Wilhelm Leibniz, New Essays on Human
Understanding, trans. Peter Remnant and Jonathan Bennett (Cambridge:
Cambridge University Press, 1996), 52–54.
[8]
Steven Nadler, The Age of Reason: The
17th-Century Philosophers (Princeton: Princeton University Press, 2001),
65–70.
[9]
Spinoza, Ethics, Preface to Part I.
[10]
John Locke, An Essay Concerning Human
Understanding, ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), Book
II, Chapter 1.
[11]
David Hume, An Enquiry Concerning Human
Understanding, ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press,
1999), Section IV.
[12]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason,
trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press,
1998), 136–138.
[13]
Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind
(New York: Ballantine Books, 1991), 226–229.
5.
Etika
dan Implikasi Moral
Etika dalam tradisi rasionalisme modern berakar
pada keyakinan bahwa moralitas sejati harus didasarkan pada prinsip-prinsip
akal budi, bukan pada emosi, kebiasaan, atau otoritas eksternal.¹ Bagi para
rasionalis, tindakan moral memiliki nilai bukan karena akibatnya, melainkan
karena kesesuaiannya dengan tatanan rasional yang universal. Dengan demikian,
rasionalisme menolak relativisme etis dan menegaskan adanya hukum moral yang
dapat ditemukan melalui refleksi rasional atas kodrat manusia dan struktur
dunia.²
René Descartes, meskipun lebih dikenal sebagai
filsuf epistemologis, juga memberikan dasar moral rasional yang penting. Dalam Discourse
on Method, ia mengusulkan “moral sementara” (morale par provision)
sebagai pedoman tindakan selama pencarian kebenaran, dengan menekankan kehendak
yang tertib, ketaatan terhadap hukum, dan pengendalian diri.³ Bagi Descartes,
kehendak yang diarahkan oleh akal adalah sumber utama kebajikan. Ia melihat
moralitas sebagai bentuk harmoni antara kebebasan dan pengetahuan: semakin
seseorang memahami kebenaran rasional, semakin bebas ia dari dorongan irasional
dan kesalahan.⁴
Spinoza melangkah lebih jauh dengan menjadikan
etika sebagai sistem deduktif yang identik dengan metafisika. Dalam Ethics,
ia menolak pandangan moral konvensional yang mendasarkan kebajikan pada
ganjaran atau hukuman, dan menggantinya dengan pemahaman rasional tentang
keteraturan alam semesta.⁵ Bagi Spinoza, kebebasan bukanlah kemampuan untuk
bertindak tanpa sebab, melainkan pengertian rasional tentang keharusan alam (necessitas
naturae).⁶ Manusia yang memahami hukum rasional Tuhan atau Alam akan hidup
selaras dengan realitas, karena ia bertindak sesuai pengetahuan, bukan emosi.
Dengan demikian, kebajikan (virtus) dalam sistem Spinoza identik dengan
pengetahuan yang benar tentang diri dan dunia, sedangkan kejahatan adalah
bentuk ketidaktahuan.⁷
Gottfried Wilhelm Leibniz mengembangkan pandangan
etika yang menekankan harmoni dan keadilan rasional. Menurutnya, kebaikan
tertinggi (summum bonum) adalah keadaan di mana semua makhluk
berpartisipasi dalam keselarasan universal yang ditetapkan oleh Tuhan.⁸ Prinsip
moral Leibniz bersumber pada gagasan bahwa Tuhan menciptakan dunia terbaik dari
segala kemungkinan (le meilleur des mondes possibles), sehingga tindakan
manusia yang rasional haruslah selaras dengan tatanan moral kosmik ini.⁹ Dengan
demikian, kebajikan berarti bertindak sesuai dengan rasio universal yang
mengatur seluruh ciptaan.
Rasionalisme moral juga memiliki implikasi besar terhadap
gagasan tentang kebebasan manusia. Jika bagi empirisme moralitas dipahami
sebagai hasil kebiasaan sosial, maka bagi rasionalisme, kebebasan sejati
diperoleh melalui pengetahuan rasional dan pengendalian diri.¹⁰ Manusia bebas
bukan karena ia dapat melakukan apa pun, tetapi karena ia mampu bertindak
sesuai dengan tuntutan akalnya sendiri.¹¹ Dengan demikian, rasionalisme
mendefinisikan kebebasan sebagai autonomia rationis — otonomi akal —
yang kelak menjadi fondasi bagi etika Kantian.¹²
Secara lebih luas, implikasi moral rasionalisme
terlihat dalam lahirnya pandangan humanistik modern yang menempatkan martabat
manusia pada kapasitasnya untuk berpikir dan menilai secara rasional.¹³
Rasionalisme menolak pandangan fatalistik dan otoritarian, serta menegaskan
bahwa hukum moral harus dapat dibenarkan melalui alasan yang universal dan
konsisten. Prinsip ini kemudian menjadi dasar bagi etika Pencerahan (Enlightenment
ethics), yang menuntut kebebasan berpikir, tanggung jawab rasional, dan
penghormatan terhadap kebebasan individu.¹⁴
Dengan demikian, etika dalam Rasionalisme Modern
menegaskan hubungan erat antara pengetahuan dan kebajikan: moralitas yang
sejati tidak dapat dipisahkan dari kebenaran rasional.¹⁵ Semakin seseorang
memahami tatanan rasional dunia, semakin ia mampu bertindak dengan
kebijaksanaan, dan di situlah letak kebahagiaan sejati — bukan dalam kesenangan
indrawi, melainkan dalam keselarasan akal dengan realitas.¹⁶
Footnotes
[1]
Frederick Copleston, A History of Philosophy,
Volume IV: Descartes to Leibniz (New York: Doubleday, 1994), 172–175.
[2]
Anthony Kenny, A New History of Western
Philosophy, Volume III: The Rise of Modern Philosophy (Oxford: Clarendon
Press, 2006), 145–148.
[3]
René Descartes, Discourse on Method, trans.
Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), Part III.
[4]
Descartes, Passions of the Soul, trans.
Stephen Voss (Indianapolis: Hackett, 1989), Articles 148–153.
[5]
Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley
(London: Penguin Classics, 1996), Part IV, Preface.
[6]
Steven Nadler, Spinoza’s Ethics: An Introduction
(Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 130–135.
[7]
Spinoza, Ethics, Part V, Proposition 36.
[8]
Gottfried Wilhelm Leibniz, Discourse on
Metaphysics, trans. Ariew and Garber (Indianapolis: Hackett, 1989),
§§19–23.
[9]
Nicholas Jolley, Leibniz (London: Routledge,
2005), 102–105.
[10]
John Cottingham, Rationalism (New York:
Palgrave Macmillan, 1988), 156–159.
[11]
Baruch Spinoza, Ethics, Part IV, Proposition
67.
[12]
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of
Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
44–46.
[13]
Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind
(New York: Ballantine Books, 1991), 232–236.
[14]
Jonathan Israel, Radical Enlightenment:
Philosophy and the Making of Modernity 1650–1750 (Oxford: Oxford University
Press, 2001), 310–315.
[15]
Étienne Gilson, Reason and Revelation in the
Middle Ages (New York: Charles Scribner’s Sons, 1938), 215–220.
[16]
Spinoza, Ethics, Part V, Proposition 42.
6.
Kritik
terhadap Rasionalisme
Sejak kemunculannya pada abad ke-17, Rasionalisme
Modern telah menuai kritik yang signifikan baik dari kalangan sezamannya maupun
dari generasi filsuf setelahnya. Kritik ini mencakup aspek epistemologis,
ontologis, dan etis, serta mencerminkan ketegangan mendasar antara ideal rasional
universal dengan kompleksitas pengalaman manusia yang konkret. Rasionalisme,
yang menempatkan akal sebagai sumber tunggal dan tertinggi pengetahuan,
dianggap mengabaikan dimensi empiris, historis, dan eksistensial dari kehidupan
manusia.¹
Kritik paling awal terhadap rasionalisme datang
dari kaum empiris, khususnya John Locke dan David Hume. Locke menolak gagasan
tentang innate ideas (ide bawaan) yang menjadi landasan epistemologi
Descartes dan Leibniz. Menurut Locke, pikiran manusia pada awalnya adalah tabula
rasa, “lembaran kosong” yang diisi melalui pengalaman.² Pengetahuan, bagi
Locke, bukan hasil deduksi rasional dari prinsip apriori, tetapi berasal dari
refleksi atas pengalaman inderawi. Dengan demikian, rasionalisme dianggap gagal
menjelaskan bagaimana pengetahuan aktual diperoleh oleh manusia yang hidup
dalam dunia empiris.³
David Hume melangkah lebih jauh dengan mengguncang
fondasi rasionalisme melalui kritiknya terhadap konsep kausalitas dan niscaya.⁴
Hume menegaskan bahwa hubungan sebab-akibat tidak dapat dibuktikan secara
rasional, melainkan hanyalah hasil kebiasaan psikologis dari pengulangan
pengalaman.⁵ Dengan demikian, klaim rasionalisme tentang kepastian logis dan
universal dalam memahami dunia ditolak sebagai ilusi intelektual. Kritik Hume ini
memiliki dampak besar, sebab ia menunjukkan bahwa akal murni tidak mampu
membenarkan hukum-hukum alam tanpa dasar empiris yang nyata.⁶
Kritik berikutnya datang dari Immanuel Kant, yang
berupaya mensintesiskan rasionalisme dan empirisme. Dalam Critique of Pure
Reason, Kant menilai bahwa rasionalisme gagal menyadari batas-batas
kemampuan akal murni.⁷ Meskipun ia mengakui bahwa struktur apriori akal
memungkinkan pengalaman, Kant menolak klaim rasionalisme bahwa akal dapat
mengetahui hal-hal di luar pengalaman (noumenal world).⁸ Menurutnya,
akal manusia hanya dapat memahami fenomena — dunia sebagaimana tampak bagi kita
— bukan hakikat benda pada dirinya sendiri (das Ding an sich).⁹ Dengan
demikian, Kant mengoreksi ambisi rasionalisme untuk mencapai pengetahuan
metafisis yang absolut, dan menggantikannya dengan rasionalitas kritis yang
menyadari keterbatasannya sendiri.¹⁰
Selain kritik epistemologis, rasionalisme juga
mendapat sorotan dari perspektif ontologis dan eksistensial. Filsuf seperti
Søren Kierkegaard dan Friedrich Nietzsche menolak pandangan rasionalisme yang
menekankan keteraturan dan keseragaman hukum rasional.¹¹ Kierkegaard berargumen
bahwa rasionalisme gagal menangkap dimensi subjektif dan eksistensial dari
keberadaan manusia. Bagi Kierkegaard, kebenaran sejati bersifat personal,
dialami dalam lompatan iman (leap of faith), bukan hasil deduksi
rasional.¹² Sementara Nietzsche menuduh rasionalisme sebagai bentuk penjinakan
terhadap kehidupan, karena ia menundukkan spontanitas, insting, dan nilai-nilai
vital di bawah tirani logika.¹³
Pada abad ke-20, kritik terhadap rasionalisme
muncul kembali dalam konteks filsafat bahasa, fenomenologi, dan postmodernisme.
Martin Heidegger menilai bahwa rasionalisme Cartesian telah “melupakan
keberadaan” (Seinsvergessenheit) dengan mereduksi realitas menjadi objek
bagi subjek yang berpikir.¹⁴ Fenomenolog seperti Edmund Husserl dan Maurice
Merleau-Ponty menekankan kembali pentingnya pengalaman langsung (lived
experience) dan kesadaran yang terarah kepada dunia (intentionality),
melampaui struktur logis yang abstrak.¹⁵ Sedangkan pemikir postmodern seperti
Michel Foucault dan Jacques Derrida mengkritik klaim rasionalisme tentang
kebenaran universal sebagai bentuk kekuasaan epistemik yang menyingkirkan
pluralitas dan perbedaan.¹⁶
Dengan demikian, kritik terhadap Rasionalisme
Modern berakar pada kesadaran akan keterbatasan akal manusia, konteks historis
pengetahuan, serta dimensi eksistensial dan hermeneutik dari kebenaran.
Meskipun demikian, sebagian besar kritik tersebut tidak sepenuhnya menolak
rasionalisme, melainkan mengajukan revisi terhadap klaim absolutnya.
Rasionalitas tetap menjadi fondasi peradaban modern, tetapi bukan lagi
rasionalitas yang tertutup dan dogmatis, melainkan rasionalitas yang reflektif,
dialogis, dan terbuka terhadap pengalaman manusia yang kompleks.¹⁷
Footnotes
[1]
Frederick Copleston, A History of Philosophy,
Volume IV: Descartes to Leibniz (New York: Doubleday, 1994), 198–202.
[2]
John Locke, An Essay Concerning Human
Understanding, ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), Book
I, Chapter 2.
[3]
Anthony Kenny, A New History of Western
Philosophy, Volume III: The Rise of Modern Philosophy (Oxford: Clarendon
Press, 2006), 155–158.
[4]
David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding,
ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 1999), Section IV.
[5]
Hume, Enquiry, Section VII.
[6]
Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind
(New York: Ballantine Books, 1991), 240–243.
[7]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason,
trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press,
1998), 42–46.
[8]
Kant, Critique of Pure Reason, 178–183.
[9]
Henry E. Allison, Kant’s Transcendental
Idealism: An Interpretation and Defense (New Haven: Yale University Press,
1983), 45–49.
[10]
Paul Guyer, Kant and the Claims of Knowledge
(Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 55–57.
[11]
Frederick Copleston, A History of Philosophy,
Volume VII: Fichte to Nietzsche (New York: Doubleday, 1994), 101–104.
[12]
Søren Kierkegaard, Concluding Unscientific Postscript,
trans. Alastair Hannay (Cambridge: Cambridge University Press, 2009), 203–210.
[13]
Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil,
trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1966), 14–17.
[14]
Martin Heidegger, Being and Time, trans.
John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 45–48.
[15]
Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of
Perception, trans. Colin Smith (London: Routledge, 1962), xviii–xxii.
[16]
Michel Foucault, The Order of Things: An
Archaeology of the Human Sciences (New York: Vintage, 1994), 368–372;
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Spivak (Baltimore:
Johns Hopkins University Press, 1976), 158–161.
[17]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 9–12.
7.
Pengaruh
dan Warisan Intelektual
Rasionalisme Modern memiliki pengaruh mendalam
terhadap perkembangan filsafat, sains, dan budaya intelektual Barat. Sebagai
gerakan intelektual, rasionalisme tidak hanya mengubah cara manusia memahami
pengetahuan dan realitas, tetapi juga meletakkan fondasi bagi paradigma modern
yang menempatkan akal sebagai pusat segala aktivitas intelektual dan moral.¹
Melalui karya-karya Descartes, Spinoza, dan Leibniz, rasionalisme membentuk
kerangka berpikir sistematis yang kemudian melahirkan Pencerahan (Enlightenment)
dan revolusi ilmiah yang mengubah wajah dunia modern.
Salah satu warisan terbesar rasionalisme adalah
pengaruhnya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan modern. Prinsip bahwa alam
semesta dapat dipahami secara rasional melalui hukum-hukum universal menjadi
dasar bagi metode ilmiah yang berkembang sejak abad ke-17.² René Descartes,
misalnya, melalui Discourse on Method (1637), memperkenalkan pendekatan
metodologis yang menekankan analisis deduktif, kejelasan konsep, dan pencarian
kepastian logis.³ Semangat ini kemudian diadopsi oleh para ilmuwan seperti
Isaac Newton, yang berusaha menemukan keteraturan rasional di balik fenomena
alam.⁴ Dengan demikian, rasionalisme berkontribusi pada terbentuknya pandangan
dunia ilmiah (scientific worldview) yang menjadi fondasi epistemik bagi
kemajuan teknologi dan sains modern.
Dalam bidang filsafat, pengaruh rasionalisme
terlihat jelas dalam pemikiran Immanuel Kant dan tradisi idealisme Jerman. Kant
menganggap rasionalisme sebagai langkah penting dalam evolusi epistemologi,
meskipun ia berusaha mengoreksinya melalui sintesis dengan empirisme.⁵
Pemikiran rasionalis juga memengaruhi filsuf-filsuf seperti Johann Gottlieb
Fichte, Friedrich Schelling, dan Georg Wilhelm Friedrich Hegel, yang
mengembangkan sistem idealisme spekulatif di mana realitas dipahami sebagai
manifestasi rasio absolut.⁶ Bagi Hegel, misalnya, rasionalitas tidak hanya
menjadi sifat dunia, tetapi juga prinsip sejarah itu sendiri: “Apa yang
rasional adalah yang nyata, dan apa yang nyata adalah yang rasional.”⁷
Pernyataan ini menunjukkan sejauh mana warisan rasionalisme telah mengubah
pemahaman manusia tentang hubungan antara pikiran dan dunia.
Warisan rasionalisme juga terlihat dalam ranah
etika dan politik. Prinsip-prinsip rasionalitas universal dan otonomi akal
manusia menjadi dasar bagi pemikiran moral dan politik modern, terutama dalam
tradisi liberalisme dan humanisme.⁸ Filsuf Pencerahan seperti Voltaire,
Diderot, dan Kant menekankan kebebasan berpikir, kemandirian moral, serta
hak-hak universal manusia yang dapat dibenarkan melalui rasio.⁹ Rasionalisme,
dalam pengertian ini, tidak hanya membentuk teori pengetahuan, tetapi juga
nilai-nilai kemanusiaan modern seperti toleransi, kebebasan individu, dan
penghormatan terhadap rasionalitas publik.¹⁰
Dalam bidang teologi dan metafisika, rasionalisme
berperan besar dalam proses sekularisasi pemikiran Barat. Descartes dan Leibniz
berusaha mempertahankan keberadaan Tuhan melalui argumen rasional, namun pada
saat yang sama, mereka menggeser peran wahyu menuju pembenaran akal.¹¹ Hal ini
membuka ruang bagi pemikiran teistik rasional seperti Deisme, yang
berpengaruh kuat pada abad ke-18.¹² Tuhan dalam pandangan deistik bukanlah
sosok yang campur tangan langsung, melainkan prinsip rasional yang mengatur
alam semesta — sebuah pandangan yang memungkinkan integrasi antara iman dan
ilmu.¹³
Selain itu, pengaruh rasionalisme meluas ke ranah
estetika dan teori pengetahuan modern. Rasionalitas formal dan struktur
deduktifnya memberi inspirasi bagi pengembangan logika simbolik dan matematika
modern, seperti dalam karya Gottlob Frege dan Bertrand Russell.¹⁴ Dalam abad
ke-20, prinsip rasionalisme kritis kembali dihidupkan oleh Karl Popper, yang
menolak dogmatisme rasionalisme klasik namun tetap menegaskan pentingnya
rasionalitas sebagai metode korektif dan terbuka.¹⁵
Namun warisan rasionalisme tidak hanya positif; ia
juga menimbulkan reaksi intelektual dalam bentuk romantisisme,
eksistensialisme, dan postmodernisme, yang menilai bahwa rasionalitas
berlebihan telah mengasingkan manusia dari dunia dan dirinya sendiri.¹⁶
Meskipun demikian, bahkan kritik-kritik ini masih berakar pada semangat
rasionalisme itu sendiri — yakni keyakinan bahwa pemikiran kritis dan refleksi
rasional dapat menilai serta memperbaiki batas-batasnya.¹⁷
Dengan demikian, Rasionalisme Modern meninggalkan
warisan intelektual yang luas dan kompleks. Ia membentuk kerangka dasar bagi
pemikiran ilmiah, moral, dan politik modern, serta menjadi sumber inspirasi
bagi pencarian kebenaran rasional yang berkelanjutan. Meskipun telah mengalami
transformasi dan kritik, semangat rasionalisme — kepercayaan pada kemampuan
akal untuk menyingkap kebenaran — tetap menjadi salah satu fondasi utama
peradaban modern.¹⁸
Footnotes
[1]
Frederick Copleston, A History of Philosophy,
Volume IV: Descartes to Leibniz (New York: Doubleday, 1994), 220–224.
[2]
Alexandre Koyré, From the Closed World to the
Infinite Universe (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1957), 41–44.
[3]
René Descartes, Discourse on Method, trans.
Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), Part II.
[4]
Isaac Newton, Philosophiae Naturalis Principia
Mathematica (London: Royal Society, 1687), Preface.
[5]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason,
trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press,
1998), 88–92.
[6]
Frederick Beiser, German Idealism: The Struggle
against Subjectivism, 1781–1801 (Cambridge: Harvard University Press,
2002), 12–15.
[7]
G. W. F. Hegel, Elements of the Philosophy of
Right, trans. H. B. Nisbet (Cambridge: Cambridge University Press, 1991),
20.
[8]
Jonathan Israel, Radical Enlightenment:
Philosophy and the Making of Modernity 1650–1750 (Oxford: Oxford University
Press, 2001), 412–418.
[9]
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of
Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
55–58.
[10]
Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind
(New York: Ballantine Books, 1991), 250–255.
[11]
Anthony Kenny, A New History of Western
Philosophy, Volume III: The Rise of Modern Philosophy (Oxford: Clarendon
Press, 2006), 165–168.
[12]
Peter Gay, The Enlightenment: An Interpretation
(New York: Knopf, 1966), 122–125.
[13]
Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley
(London: Penguin Classics, 1996), Part I, Proposition 17.
[14]
Michael Dummett, Frege: Philosophy of Language
(London: Duckworth, 1973), 3–5.
[15]
Karl Popper, The Open Society and Its Enemies,
Vol. 1 (Princeton: Princeton University Press, 1966), 217–220.
[16]
Martin Heidegger, The Question Concerning
Technology, trans. William Lovitt (New York: Harper & Row, 1977), 5–8.
[17]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 18–21.
[18]
Anthony O’Hear, Introduction to the Philosophy
of Science (Oxford: Oxford University Press, 1989), 95–97.
8.
Relevansi
Kontemporer
Meskipun Rasionalisme Modern berakar pada konteks
intelektual abad ke-17, pengaruh dan relevansinya masih terasa kuat dalam
pemikiran kontemporer. Di tengah dunia yang ditandai oleh kemajuan teknologi,
kompleksitas sosial, dan krisis epistemologis akibat fenomena post-truth,
prinsip-prinsip rasionalisme menawarkan kerangka reflektif untuk menilai
kembali peran akal dalam memahami realitas, membangun ilmu, dan membentuk etika
publik.¹
Dalam konteks ilmu pengetahuan modern, warisan
rasionalisme tampak jelas dalam asumsi dasar metodologi ilmiah: bahwa dunia
bersifat rasional dan dapat dipahami melalui hukum-hukum yang konsisten dan
universal.² Pandangan ini tetap menjadi fondasi bagi sains kontemporer, mulai
dari fisika teoretis hingga kecerdasan buatan.³ Dalam era digital, misalnya,
algoritma dan sistem AI bekerja berdasarkan prinsip rasional deduktif yang
sejalan dengan cita-cita Cartesian tentang keteraturan dan kepastian.⁴ Namun,
perdebatan etis muncul ketika rasionalitas teknologis ini terlepas dari dimensi
moral dan humanistik, sehingga menimbulkan tantangan baru bagi filsafat
rasionalisme untuk mengintegrasikan nalar instrumental dengan kebijaksanaan etis.⁵
Rasionalisme juga memiliki relevansi besar dalam
ranah epistemologi kontemporer. Dalam menghadapi krisis informasi global, di
mana kebenaran sering digantikan oleh opini dan propaganda, rasionalisme
menegaskan kembali perlunya critical reason — kemampuan menimbang klaim
kebenaran berdasarkan bukti dan logika.⁶ Prinsip rasionalisme menjadi fondasi
bagi gerakan rational discourse dan evidence-based thinking dalam
pendidikan, politik, serta kebijakan publik.⁷ Di tengah era postmodern
relativism, seruan rasionalisme untuk berpikir jernih dan koheren menjadi
bentuk resistensi terhadap fragmentasi makna dan nihilisme epistemik.⁸
Dalam bidang etika dan moralitas, rasionalisme
terus berperan sebagai dasar normatif dalam merumuskan prinsip-prinsip
universal.⁹ Pemikiran Kant, yang merupakan penerus rasionalisme, telah menjadi
rujukan bagi filsafat moral kontemporer, terutama dalam gagasan tentang
otonomi, kewajiban moral, dan martabat manusia.¹⁰ Dalam wacana bioetika, hak
asasi manusia, serta etika teknologi, pendekatan rasional menjadi cara untuk
menyeimbangkan kebebasan individu dengan tanggung jawab universal.¹¹
Rasionalisme, dalam bentuk refleksi moral kritis, membantu manusia menghadapi
dilema etis baru seperti kecerdasan buatan, rekayasa genetik, dan keadilan
algoritmik.¹²
Lebih jauh lagi, rasionalisme memiliki peran
penting dalam menjaga ruang publik yang demokratis. Pemikiran Jürgen Habermas,
misalnya, menghidupkan kembali semangat rasionalisme melalui konsep rasionalitas
komunikatif, di mana dialog yang bebas dari paksaan menjadi dasar bagi
legitimasi sosial dan politik.¹³ Dalam masyarakat plural, rasionalitas tidak
lagi dipahami secara dogmatis, tetapi sebagai proses diskursif yang
memungkinkan pencarian kebenaran bersama melalui argumentasi.¹⁴ Dengan demikian,
rasionalisme kontemporer berkembang menjadi bentuk yang lebih inklusif dan
intersubjektif — bukan hanya rasionalitas kalkulatif, tetapi juga dialogis dan
reflektif.
Namun, tantangan terhadap rasionalisme di era kini
juga semakin kompleks. Pemikiran postmodern dan teori kritis mengingatkan bahwa
rasionalitas modern dapat berubah menjadi alat dominasi bila tidak disertai
kesadaran etis dan historis.¹⁵ Oleh karena itu, tugas rasionalisme kontemporer
bukan lagi membangun sistem absolut, melainkan mengembangkan rasionalitas
terbuka — rasionalitas yang sadar akan keterbatasannya sendiri, terbuka
terhadap koreksi, dan bersedia berdialog dengan pengalaman manusia yang
plural.¹⁶
Pada akhirnya, relevansi Rasionalisme Modern dalam
konteks kontemporer terletak pada kemampuannya untuk menginspirasi keseimbangan
antara kepastian intelektual dan kerendahan epistemik. Ia menegaskan bahwa akal
bukan sekadar alat untuk menguasai dunia, tetapi juga sarana untuk memahami
diri, menegakkan keadilan, dan mengarahkan kemajuan teknologi agar tetap
berakar pada nilai-nilai kemanusiaan.¹⁷ Dalam era di mana informasi berlimpah
namun kebijaksanaan langka, semangat rasionalisme kembali dibutuhkan — bukan
sebagai dogma lama, melainkan sebagai etos berpikir kritis dan bertanggung jawab
yang membimbing peradaban menuju keseimbangan antara pengetahuan dan
kebijaksanaan.¹⁸
Footnotes
[1]
Frederick Copleston, A History of Philosophy,
Volume IV: Descartes to Leibniz (New York: Doubleday, 1994), 230–233.
[2]
Alexandre Koyré, From the Closed World to the
Infinite Universe (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1957),
115–118.
[3]
Anthony O’Hear, Introduction to the Philosophy
of Science (Oxford: Oxford University Press, 1989), 101–104.
[4]
Luciano Floridi, The Philosophy of Information
(Oxford: Oxford University Press, 2011), 56–59.
[5]
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance
Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 182–186.
[6]
Steven Nadler, The Age of Reason: The
17th-Century Philosophers (Princeton: Princeton University Press, 2001),
88–91.
[7]
Daniel Dennett, Intuition Pumps and Other Tools
for Thinking (New York: W. W. Norton, 2013), 15–18.
[8]
Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind
(New York: Ballantine Books, 1991), 260–265.
[9]
Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley
(London: Penguin Classics, 1996), Part V, Proposition 42.
[10]
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of
Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
85–88.
[11]
Peter Singer, Practical Ethics (Cambridge:
Cambridge University Press, 2011), 12–16.
[12]
Nick Bostrom, Superintelligence: Paths, Dangers,
Strategies (Oxford: Oxford University Press, 2014), 207–210.
[13]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 17–21.
[14]
Seyla Benhabib, Situating the Self: Gender,
Community and Postmodernism in Contemporary Ethics (Cambridge: Polity
Press, 1992), 28–31.
[15]
Michel Foucault, The Order of Things: An
Archaeology of the Human Sciences (New York: Vintage, 1994), 372–376.
[16]
Karl Popper, The Open Society and Its Enemies,
Vol. 2 (Princeton: Princeton University Press, 1966), 233–236.
[17]
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The
Human Development Approach (Cambridge: Harvard University Press, 2011),
21–24.
[18]
Anthony Kenny, A New History of Western
Philosophy, Volume III: The Rise of Modern Philosophy (Oxford: Clarendon
Press, 2006), 190–193.
9.
Sintesis
Filosofis: Rasionalisme sebagai Model Integrasi Akal dan Realitas
Rasionalisme Modern, dengan seluruh
kompleksitasnya, dapat dipahami bukan hanya sebagai teori pengetahuan, tetapi
sebagai proyek filosofis besar yang berupaya mengintegrasikan antara akal dan
realitas. Di satu sisi, rasionalisme menegaskan supremasi akal (ratio)
sebagai sarana utama untuk mencapai kebenaran; di sisi lain, ia berusaha
menunjukkan bahwa realitas itu sendiri bersifat rasional.¹ Dalam kerangka ini,
sintesis filosofis rasionalisme menempatkan akal bukan hanya sebagai instrumen
subjektif manusia, tetapi sebagai prinsip ontologis yang menstrukturkan dunia
dan memungkinkan pengetahuan yang koheren.²
René Descartes memulai upaya sintesis ini dengan
membangun hubungan antara kesadaran subjektif dan tatanan kosmik melalui
jaminan metafisis tentang keberadaan Tuhan.³ Bagi Descartes, realitas memiliki
dasar rasional karena diciptakan oleh Tuhan yang Maha Rasional; dengan
demikian, keteraturan alam mencerminkan keteraturan pikiran Ilahi.⁴ Kesadaran
manusia yang berpikir (cogito) menjadi cerminan miniatur dari
rasionalitas ilahi tersebut. Dalam pengertian ini, akal dan realitas saling
terhubung melalui kesesuaian struktur kognitif dan struktur ontologis — sebuah
hubungan yang kemudian dikenal sebagai adequatio intellectus ad rem
(kesesuaian antara akal dan kenyataan).⁵
Baruch Spinoza melangkah lebih jauh dengan
meniadakan dikotomi antara subjek dan objek, serta antara Tuhan dan dunia.
Dalam sistem monistiknya, hanya ada satu substansi yang sama-sama berpikir dan
meluas: Tuhan atau Alam (Deus sive Natura).⁶ Karena segala sesuatu
merupakan modus dari substansi yang sama, maka memahami dunia berarti memahami
Tuhan; dengan kata lain, rasionalitas manusia merupakan ekspresi lokal dari
rasionalitas kosmik.⁷ Melalui pendekatan ini, Spinoza menciptakan sintesis yang
radikal antara metafisika dan etika: pengetahuan rasional tentang realitas
menjadi jalan menuju kebebasan dan kebahagiaan sejati.⁸
Leibniz, di sisi lain, membangun bentuk sintesis
yang lebih pluralistik. Melalui konsep monad, ia menunjukkan bahwa
setiap entitas individual mencerminkan keseluruhan alam semesta dalam
perspektifnya sendiri, sementara harmoni universal diatur oleh Tuhan.⁹ Di sini,
akal manusia merupakan bagian dari tatanan rasional yang lebih luas, dan proses
berpikir manusia menjadi refleksi mikro dari rasionalitas makrokosmos. Dengan
demikian, realitas yang tampak beragam pada dasarnya memiliki kesatuan rasional
yang mendasarinya.¹⁰
Upaya sintesis rasionalisme mencapai bentuk
reflektifnya dalam filsafat Kant, yang berusaha menjembatani jurang antara
rasionalisme dan empirisme.¹¹ Kant menunjukkan bahwa pengalaman empiris hanya
mungkin karena adanya struktur apriori akal yang membentuknya.¹² Dengan
demikian, akal tidak hanya mencerminkan realitas, tetapi juga secara aktif
menata dan menyusunnya. Dalam kerangka ini, rasionalisme memperoleh dimensi
baru: ia bukan lagi klaim tentang kesamaan langsung antara pikiran dan dunia,
melainkan tentang interaksi produktif antara struktur kognitif dan fenomena.¹³
Sintesis filosofis rasionalisme juga memiliki
dimensi metodologis dan etis. Secara metodologis, rasionalisme mengajarkan
bahwa kebenaran harus dicapai melalui proses berpikir sistematis dan reflektif,
bukan melalui otoritas eksternal.¹⁴ Secara etis, ia menegaskan bahwa manusia
harus hidup sesuai dengan tuntutan akalnya — bahwa kebebasan sejati terletak
pada kemampuan untuk bertindak berdasarkan prinsip rasional yang universal.¹⁵
Dalam hal ini, rasionalisme berfungsi sebagai model integratif yang menyatukan
pengetahuan, etika, dan metafisika dalam satu horizon rasionalitas yang
konsisten.
Dalam konteks kontemporer, sintesis rasionalisme
dapat dipahami sebagai upaya untuk menyeimbangkan antara objektivitas ilmiah
dan subjektivitas manusiawi.¹⁶ Akal tidak lagi dipandang sebagai entitas
terpisah dari kehidupan, melainkan sebagai kekuatan reflektif yang
menstrukturkan hubungan manusia dengan dunia dan sesamanya.¹⁷ Dengan membuka
ruang bagi dialog antara sains, filsafat, dan etika, rasionalisme modern yang
direfleksikan kembali menawarkan model berpikir integratif yang relevan bagi
era digital dan pluralistik saat ini.
Akhirnya, sintesis filosofis Rasionalisme Modern
mengandung pesan mendasar bahwa rasio bukan hanya alat untuk menguasai dunia,
tetapi juga sarana untuk memahami keteraturan dan makna di dalamnya.¹⁸ Dengan
menyatukan akal dan realitas, rasionalisme menghadirkan visi filosofis tentang
harmoni antara pikiran manusia dan tatanan kosmos — sebuah harmoni yang terus
mengilhami pencarian kebenaran dan kebijaksanaan di sepanjang sejarah
intelektual manusia.¹⁹
Footnotes
[1]
Frederick Copleston, A History of Philosophy,
Volume IV: Descartes to Leibniz (New York: Doubleday, 1994), 235–238.
[2]
Anthony Kenny, A New History of Western
Philosophy, Volume III: The Rise of Modern Philosophy (Oxford: Clarendon
Press, 2006), 195–198.
[3]
René Descartes, Meditations on First Philosophy,
trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 45–48.
[4]
Descartes, Principles of Philosophy, trans.
Valentine Rodger Miller and Reese P. Miller (Dordrecht: Reidel, 1983), 25–29.
[5]
Étienne Gilson, The Unity of Philosophical
Experience (New York: Charles Scribner’s Sons, 1937), 112–115.
[6]
Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley
(London: Penguin Classics, 1996), Part I, Proposition 14.
[7]
Steven Nadler, Spinoza’s Ethics: An Introduction
(Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 95–98.
[8]
Spinoza, Ethics, Part V, Proposition 36.
[9]
Gottfried Wilhelm Leibniz, Monadology,
trans. Robert Latta (Oxford: Oxford University Press, 1898), §§56–60.
[10]
Nicholas Jolley, Leibniz (London: Routledge,
2005), 115–118.
[11]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason,
trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press,
1998), 134–138.
[12]
Henry E. Allison, Kant’s Transcendental
Idealism: An Interpretation and Defense (New Haven: Yale University Press,
1983), 71–75.
[13]
Paul Guyer, Kant and the Claims of Knowledge
(Cambridge: Cambridge University Press, 1987), 82–85.
[14]
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery
(London: Routledge, 1959), 32–35.
[15]
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysics of
Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
64–67.
[16]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 23–27.
[17]
Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind
(New York: Ballantine Books, 1991), 268–272.
[18]
Anthony O’Hear, Introduction to the Philosophy
of Science (Oxford: Oxford University Press, 1989), 108–110.
[19]
Frederick Beiser, The Fate of Reason: German
Philosophy from Kant to Fichte (Cambridge: Harvard University Press, 1987),
10–13.
10. Kesimpulan
Rasionalisme Modern merupakan salah satu tonggak
paling berpengaruh dalam sejarah filsafat Barat. Ia menandai peralihan besar
dari paradigma skolastik abad pertengahan yang teosentris menuju paradigma
modern yang antroposentris, di mana akal budi manusia (ratio) menjadi
pusat dan ukuran segala pengetahuan.¹ Dengan menegaskan bahwa realitas dapat
dipahami secara rasional dan bahwa pengetahuan sejati bersumber dari ide-ide
yang jelas dan terpilah, rasionalisme membentuk dasar bagi perkembangan
filsafat, ilmu pengetahuan, dan etika modern.²
Dalam sejarah intelektual, Rasionalisme Modern
tidak hanya menghadirkan sistem epistemologis, tetapi juga visi metafisis dan
etis yang konsisten.³ Melalui karya Descartes, Spinoza, dan Leibniz,
rasionalisme memperlihatkan bagaimana akal tidak hanya menjelaskan dunia,
tetapi juga menata dan meneguhkan makna eksistensi manusia di dalamnya.⁴
Descartes menunjukkan bahwa kepastian pengetahuan berakar pada kesadaran diri
yang berpikir; Spinoza menegaskan kesatuan Tuhan dan alam dalam tatanan
rasional; sementara Leibniz merumuskan harmoni universal yang menyatukan
pluralitas realitas dalam prinsip rasio yang konsisten.⁵ Bersama-sama, mereka
membentuk suatu pandangan dunia yang optimistik tentang keteraturan dan
keterpahaman kosmos.
Namun, perjalanan rasionalisme tidak luput dari
kritik. Empirisme, kritisisme Kant, eksistensialisme, hingga postmodernisme
telah mengoreksi klaim rasionalisme tentang kepastian dan universalitas
pengetahuan.⁶ Kritik-kritik tersebut memperingatkan bahwa rasionalitas murni,
jika dilepaskan dari konteks pengalaman dan nilai, dapat berujung pada
reduksionisme dan formalisme.⁷ Meskipun demikian, rasionalisme tetap bertahan
sebagai salah satu fondasi epistemik peradaban modern, karena ia mengajarkan
pentingnya konsistensi logis, klaritas konsep, dan kepercayaan pada kemampuan
intelektual manusia untuk mencari kebenaran.⁸
Dalam konteks kontemporer, warisan rasionalisme
menemukan relevansinya kembali di tengah krisis pengetahuan dan disinformasi
global. Rasionalitas kritis menjadi sarana untuk menimbang klaim kebenaran,
membangun etika publik berbasis akal sehat, serta menyeimbangkan kemajuan
teknologi dengan nilai-nilai kemanusiaan.⁹ Rasionalisme modern, ketika dipahami
secara reflektif, tidak lagi dipandang sebagai dogma kepastian mutlak,
melainkan sebagai etos berpikir — suatu komitmen terhadap dialog rasional,
keterbukaan terhadap koreksi, dan penghormatan terhadap nalar manusia sebagai
instrumen etis sekaligus ilmiah.¹⁰
Dengan demikian, Rasionalisme Modern dapat
disimpulkan sebagai proyek filosofis yang berupaya mempersatukan akal dan
realitas dalam kerangka keteraturan kosmik dan kebebasan manusia. Ia
mengajarkan bahwa kebenaran bukan sekadar hasil pengalaman, melainkan
pencapaian reflektif dari rasio yang berusaha memahami tatanan dunia.¹¹ Di
tengah dunia yang terus berubah, semangat rasionalisme tetap menjadi fondasi
bagi filsafat, sains, dan etika yang berpijak pada kejelasan, koherensi, dan
tanggung jawab moral.¹² Maka, warisan sejati rasionalisme bukan hanya sistem
ide, melainkan keyakinan abadi bahwa akal manusia memiliki kapasitas untuk
mengerti, menata, dan memberi makna bagi realitas — sebuah warisan yang tetap
menjadi cahaya bagi perjalanan intelektual manusia di masa kini dan masa
depan.¹³
Footnotes
[1]
Frederick Copleston, A History of Philosophy,
Volume IV: Descartes to Leibniz (New York: Doubleday, 1994), 245–248.
[2]
Anthony Kenny, A New History of Western
Philosophy, Volume III: The Rise of Modern Philosophy (Oxford: Clarendon
Press, 2006), 201–203.
[3]
Étienne Gilson, The Unity of Philosophical
Experience (New York: Charles Scribner’s Sons, 1937), 118–120.
[4]
René Descartes, Meditations on First Philosophy,
trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 52–55.
[5]
Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley
(London: Penguin Classics, 1996), Part I, Proposition 15; Gottfried Wilhelm
Leibniz, Monadology, trans. Robert Latta (Oxford: Oxford University
Press, 1898), §§60–62.
[6]
David Hume, An Enquiry Concerning Human
Understanding, ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press,
1999), Section IV.
[7]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason,
trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press,
1998), 179–182.
[8]
Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind
(New York: Ballantine Books, 1991), 273–276.
[9]
Luciano Floridi, The Logic of Information: A
Theory of Philosophy as Conceptual Design (Oxford: Oxford University Press,
2019), 32–35.
[10]
Jürgen Habermas, The Theory of Communicative
Action, trans. Thomas McCarthy (Boston: Beacon Press, 1984), 27–30.
[11]
Karl Popper, The Logic of Scientific Discovery
(London: Routledge, 1959), 36–39.
[12]
Martha C. Nussbaum, Creating Capabilities: The
Human Development Approach (Cambridge: Harvard University Press, 2011),
25–28.
[13]
Richard Tarnas, The Passion of the Western Mind
(New York: Ballantine Books, 1991), 277–279.
Daftar Pustaka
Aquinas, T. (1947). Summa Theologiae (Fathers of the English Dominican
Province, Trans.). New York, NY: Benziger Bros.
Allison, H. E. (1983). Kant’s Transcendental Idealism: An Interpretation and
Defense. New Haven, CT: Yale University Press.
Aristotle. (1993). Posterior Analytics (J. Barnes, Trans.). Oxford, UK:
Clarendon Press.
Beiser, F. C. (1987). The Fate of Reason: German Philosophy from Kant to Fichte.
Cambridge, MA: Harvard University Press.
Beiser, F. C. (2002). German Idealism: The Struggle against Subjectivism,
1781–1801. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Benhabib, S. (1992). Situating the Self: Gender, Community, and Postmodernism in
Contemporary Ethics. Cambridge, UK: Polity Press.
Bostrom, N. (2014). Superintelligence: Paths, Dangers, Strategies. Oxford,
UK: Oxford University Press.
Copleston, F. (1994). A History of Philosophy, Volume IV: Descartes to Leibniz.
New York, NY: Doubleday.
Copleston, F. (1994). A History of Philosophy, Volume VII: Fichte to Nietzsche.
New York, NY: Doubleday.
Cottingham, J. (1988). Rationalism. New York, NY: Palgrave Macmillan.
Derrida, J. (1976). Of Grammatology (G. C. Spivak, Trans.). Baltimore, MD:
Johns Hopkins University Press.
Descartes, R. (1983). Principles of Philosophy (V. R. Miller & R. P.
Miller, Trans.). Dordrecht, Netherlands: Reidel.
Descartes, R. (1989). Passions of the Soul (S. Voss, Trans.). Indianapolis,
IN: Hackett.
Descartes, R. (1996). Meditations on First Philosophy (J. Cottingham, Trans.).
Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Descartes, R. (1998). Discourse on Method (D. A. Cress, Trans.). Indianapolis,
IN: Hackett Publishing.
Dennett, D. C. (2013). Intuition Pumps and Other Tools for Thinking. New York,
NY: W. W. Norton.
Dummett, M. (1973). Frege: Philosophy of Language. London, UK: Duckworth.
Floridi, L. (2011). The Philosophy of Information. Oxford, UK: Oxford
University Press.
Floridi, L. (2019). The Logic of Information: A Theory of Philosophy as
Conceptual Design. Oxford, UK: Oxford University Press.
Foucault, M. (1994). The Order of Things: An Archaeology of the Human Sciences.
New York, NY: Vintage.
Gay, P. (1966). The Enlightenment: An Interpretation. New York, NY:
Knopf.
Gilson, É. (1937). The Unity of Philosophical Experience. New York, NY: Charles
Scribner’s Sons.
Gilson, É. (1991). The Spirit of Medieval Philosophy. Notre Dame, IN:
University of Notre Dame Press.
Gilson, É. (1938). Reason and Revelation in the Middle Ages. New York, NY:
Charles Scribner’s Sons.
Guyer, P. (1987). Kant and the Claims of Knowledge. Cambridge, UK:
Cambridge University Press.
Habermas, J. (1984). The Theory of Communicative Action (T. McCarthy,
Trans.). Boston, MA: Beacon Press.
Hegel, G. W. F. (1991). Elements of the Philosophy of Right (H. B. Nisbet,
Trans.). Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Heidegger, M. (1962). Being and Time (J. Macquarrie & E. Robinson,
Trans.). New York, NY: Harper & Row.
Heidegger, M. (1977). The Question Concerning Technology (W. Lovitt, Trans.).
New York, NY: Harper & Row.
Hume, D. (1999). An Enquiry Concerning Human Understanding (T. L.
Beauchamp, Ed.). Oxford, UK: Oxford University Press.
Israel, J. (2001). Radical Enlightenment: Philosophy and the Making of
Modernity 1650–1750. Oxford, UK: Oxford University Press.
Jolley, N. (2005). Leibniz. London, UK: Routledge.
Kant, I. (1998). Critique of Pure Reason (P. Guyer & A. W. Wood,
Trans.). Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Kant, I. (1998). Groundwork of the Metaphysics of Morals (M. Gregor,
Trans.). Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Kenny, A. (2006). A New History of Western Philosophy, Volume III: The Rise of
Modern Philosophy. Oxford, UK: Clarendon Press.
Kierkegaard, S. (2009). Concluding Unscientific Postscript (A. Hannay, Trans.).
Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Koyré, A. (1957). From the Closed World to the Infinite Universe.
Baltimore, MD: Johns Hopkins University Press.
Leibniz, G. W. (1898). Monadology (R. Latta, Trans.). Oxford, UK: Oxford
University Press.
Leibniz, G. W. (1989). Discourse on Metaphysics (A. Ariew & D. Garber,
Trans.). Indianapolis, IN: Hackett Publishing.
Leibniz, G. W. (1996). New Essays on Human Understanding (P. Remnant & J.
Bennett, Trans.). Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Locke, J. (1975). An Essay Concerning Human Understanding (P. H. Nidditch,
Ed.). Oxford, UK: Clarendon Press.
Merleau-Ponty, M. (1962). Phenomenology of Perception (C. Smith, Trans.). London,
UK: Routledge.
Nadler, S. (2001). The Age of Reason: The 17th-Century Philosophers.
Princeton, NJ: Princeton University Press.
Nadler, S. (2006). Spinoza’s Ethics: An Introduction. Cambridge, UK:
Cambridge University Press.
Newton, I. (1687). Philosophiae Naturalis Principia Mathematica. London,
UK: Royal Society.
Nietzsche, F. (1966). Beyond Good and Evil (W. Kaufmann, Trans.). New York,
NY: Vintage Books.
Nussbaum, M. C. (2011). Creating Capabilities: The Human Development Approach.
Cambridge, MA: Harvard University Press.
O’Hear, A. (1989). Introduction to the Philosophy of Science. Oxford, UK:
Oxford University Press.
Plato. (1992). The Republic (G. M. A. Grube, Trans.). Indianapolis, IN:
Hackett Publishing.
Popper, K. R. (1959). The Logic of Scientific Discovery. London, UK:
Routledge.
Popper, K. R. (1966). The Open Society and Its Enemies (Vols. 1–2). Princeton,
NJ: Princeton University Press.
Singer, P. (2011). Practical Ethics. Cambridge, UK: Cambridge University
Press.
Spinoza, B. (1996). Ethics (E. Curley, Trans.). London, UK: Penguin
Classics.
Tarnas, R. (1991). The Passion of the Western Mind. New York, NY:
Ballantine Books.
Zuboff, S. (2019). The Age of Surveillance Capitalism. New York, NY:
PublicAffairs.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar