Naturalisme
Antara Determinisme Alamiah dan Rasionalitas Manusia
Alihkan ke: Aliran Metafisik dalam Filsafat.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif aliran
filsafat Naturalisme sebagai salah satu cabang utama dalam metafisika
yang berupaya menjelaskan realitas tanpa mengandaikan eksistensi entitas
supranatural. Naturalisme berpijak pada pandangan bahwa alam merupakan
totalitas eksistensi yang tunduk pada hukum-hukum rasional dan empiris, di mana
segala fenomena—termasuk kesadaran, moralitas, dan nilai—dapat dipahami sebagai
hasil dari proses alamiah yang berkelanjutan. Pembahasan dimulai dengan telaah
historis yang menelusuri akar Naturalisme dari filsafat pra-Sokratik, berkembang
dalam pemikiran Spinoza dan Darwin, hingga menjadi paradigma dominan dalam
filsafat sains modern.
Secara ontologis, Naturalisme menegaskan bahwa
realitas bersifat monistik dan deterministik, namun tetap terbuka terhadap
pemahaman kompleksitas sistem dan kesadaran sebagai fenomena emergen. Secara
epistemologis, Naturalisme menolak sumber pengetahuan transenden dan menegaskan
bahwa kognisi manusia merupakan produk evolusi biologis yang dapat dijelaskan
secara ilmiah. Dalam ranah etika dan aksiologi, Naturalisme menafsirkan nilai
moral dan estetis sebagai hasil interaksi evolusioner antara manusia dan
lingkungannya, sekaligus sebagai dasar bagi etika ekologis dan tanggung jawab
moral terhadap keberlanjutan kehidupan.
Artikel ini juga meninjau berbagai kritik terhadap
Naturalisme—terutama dari idealisme, eksistensialisme, dan teologi—yang menilai
bahwa pandangan ini cenderung reduksionistik dan mengabaikan dimensi makna
serta kebebasan manusia. Namun, melalui sintesis filosofisnya, Naturalisme
kontemporer berkembang menjadi paradigma pluralistik dan humanistik yang
mengintegrasikan ilmu, etika, dan kesadaran ekologis dalam satu kerangka
rasional. Dengan demikian, Naturalisme tidak hanya menjadi landasan metafisis
bagi sains modern, tetapi juga menawarkan visi filosofis yang koheren, empiris,
dan etis bagi pemikiran manusia abad ke-21.
Kata Kunci: Naturalisme,
Metafisika, Determinisme, Empirisme, Etika Alamiah, Evolusi, Filsafat Sains,
Ekologi, Humanisme Naturalistik.
PEMBAHASAN
Naturalisme dalam Filsafat Metafisika
1.
Pendahuluan
Naturalisme
merupakan salah satu aliran penting dalam filsafat metafisika yang berupaya
menjelaskan seluruh realitas berdasarkan prinsip-prinsip alamiah tanpa
melibatkan entitas atau sebab-sebab supranatural. Dalam pandangan ini, alam (nature)
dipahami sebagai totalitas keberadaan yang mencakup segala fenomena fisik,
biologis, dan mental. Tidak ada sesuatu yang berada “di luar” atau “melampaui”
alam; bahkan kesadaran dan nilai-nilai moral pun dianggap sebagai hasil dari
proses alami yang dapat dijelaskan secara ilmiah. Dengan demikian, Naturalisme
menjadi fondasi bagi berbagai pendekatan ilmiah dan filosofis yang menekankan
kontinuitas antara manusia dan dunia alamiah tempat ia berada.¹
Sejarah Naturalisme
berakar pada filsafat Yunani Kuno, khususnya melalui pemikiran para filsuf
Miletos seperti Thales, Anaximandros, dan Anaximenes,
yang berusaha memahami asal mula segala sesuatu (archē) tanpa merujuk pada
intervensi ilahi.² Pemikiran ini berkembang lebih lanjut dalam bentuk atomisme
oleh Leukippos
dan Demokritos,
yang menegaskan bahwa realitas tersusun atas partikel-partikel materi yang
tunduk pada hukum alam.³ Warisan intelektual ini menginspirasi bangkitnya
kembali Naturalisme pada masa modern, terutama melalui Baruch
Spinoza yang menafsirkan Tuhan sebagai identik dengan alam
(Deus sive Natura), serta melalui Charles Darwin yang menjelaskan
asal-usul kehidupan dan manusia dalam kerangka evolusi biologis.⁴
Dalam perkembangan
selanjutnya, Naturalisme tidak hanya menjadi pandangan metafisik, tetapi juga
epistemologis dan etis. W.V.O. Quine, misalnya,
menekankan bahwa epistemologi harus “dinaturalisasi,” yakni dipahami
sebagai bagian dari penyelidikan ilmiah tentang bagaimana manusia memperoleh
pengetahuan.⁵ Sementara itu, dalam bidang etika, muncul pandangan bahwa
nilai-nilai moral tidak bersumber dari wahyu atau intuisi metafisis, melainkan
dari kebutuhan biologis, sosial, dan ekologis manusia sebagai makhluk alamiah.⁶
Dengan demikian,
Naturalisme memunculkan sejumlah pertanyaan mendasar: Apakah segala sesuatu dapat
dijelaskan secara alamiah? Apakah kesadaran dan kebebasan manusia dapat
direduksi menjadi fenomena biologis dan neurologis semata? Bagaimana posisi
nilai dan makna dalam dunia yang sepenuhnya naturalistik? Pertanyaan-pertanyaan
inilah yang menjadi inti persoalan metafisika Naturalisme dan sekaligus menjadi
fokus utama pembahasan dalam artikel ini.
Kajian ini bertujuan
untuk menelaah secara sistematis aspek-aspek ontologis, epistemologis, dan etis
dari Naturalisme, beserta kritik serta relevansinya dalam konteks filsafat
kontemporer. Pendekatan yang digunakan adalah deskriptif-analitis untuk
memaparkan kerangka konseptual Naturalisme, serta komparatif-kritis
untuk menguji posisinya terhadap aliran lain seperti idealisme, spiritualisme,
dan teisme. Dengan cara ini, artikel ini berupaya memberikan gambaran
komprehensif mengenai Naturalisme sebagai paradigma metafisik yang berakar kuat
pada rasionalitas ilmiah, tetapi tetap terbuka bagi refleksi filosofis yang
mendalam tentang hakikat manusia dan alam semesta.⁷
Footnotes
[1]
David Papineau, Philosophical Naturalism (Oxford: Blackwell,
1993), 2.
[2]
G.S. Kirk, J.E. Raven, and M. Schofield, The Presocratic
Philosophers (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 85–88.
[3]
Jonathan Barnes, Early Greek Philosophy (London: Penguin,
1987), 212–215.
[4]
Steven Nadler, Spinoza’s Ethics: An Introduction (Cambridge:
Cambridge University Press, 2006), 27–29; Charles Darwin, On the Origin of
Species (London: John Murray, 1859).
[5]
W.V.O. Quine, “Epistemology Naturalized,” in Ontological Relativity
and Other Essays (New York: Columbia University Press, 1969), 69–90.
[6]
John Dewey, Human Nature and Conduct (New York: Henry Holt,
1922), 34–37.
[7]
Mario De Caro and David Macarthur, eds., Naturalism in Question
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2004), 1–3.
2.
Landasan
Historis dan Genealogis Naturalisme
Naturalisme memiliki
akar historis yang sangat tua dan berlapis, berkembang dari refleksi awal
manusia terhadap alam sebagai realitas yang otonom dan dapat dipahami tanpa
perlu melibatkan penjelasan supranatural. Dalam konteks filsafat, Naturalisme
bukanlah sekadar penegasan bahwa alam itu nyata, tetapi suatu worldview
yang menolak dikotomi antara alam dan yang transenden. Oleh karena itu,
memahami genealoginya memerlukan penelusuran dari masa pra-Sokratik hingga
perkembangan sains modern dan filsafat kontemporer.
2.1.
Naturalisme dalam Filsafat Yunani Kuno
Bentuk paling awal
dari Naturalisme dapat ditemukan pada para filsuf Miletos—Thales,
Anaximandros, dan Anaximenes—yang berupaya mencari archē atau prinsip dasar segala
sesuatu dalam unsur-unsur alam. Thales menyebut air sebagai asal mula realitas,
sementara Anaximandros memperkenalkan konsep apeiron (yang tak terbatas) sebagai
dasar kosmos.¹ Pendekatan mereka bersifat naturalistik karena menjelaskan
perubahan dan keteraturan dunia berdasarkan hukum-hukum alam, bukan intervensi
dewa.²
Filsuf-filsuf
berikutnya, seperti Herakleitos dan Empedokles,
memperdalam gagasan ini dengan menafsirkan perubahan sebagai sifat dasar alam
dan mengusulkan teori empat unsur sebagai struktur fundamental realitas.³
Sementara itu, Leukippos dan Demokritos
mengembangkan atomisme, yakni pandangan bahwa
segala sesuatu terdiri atas partikel-partikel kecil yang tak terbagi (atomos),
bergerak di dalam kehampaan dan tunduk pada hukum kausalitas mekanistik.⁴ Dalam
pandangan atomistik ini, jiwa, pikiran, dan bahkan moralitas manusia dianggap
sebagai hasil dari kombinasi dan gerak atom-atom — suatu paradigma yang
kemudian menjadi cikal bakal materialisme ilmiah.
2.2.
Naturalisme dalam Filsafat Hellenistik dan Abad
Pertengahan
Pada masa Hellenistik,
aliran Epikureanisme
membawa Naturalisme ke ranah etika. Epikuros berpendapat bahwa
kebahagiaan (ataraxia) dicapai melalui
pengetahuan akan hukum-hukum alam dan pembebasan dari ketakutan terhadap para
dewa.⁵ Dalam konteks ini, Naturalisme tidak hanya menjelaskan dunia secara
fisik, tetapi juga memberikan dasar bagi etika rasional dan kesejahteraan
manusia.
Namun, dominasi
pemikiran teistik selama Abad Pertengahan menyebabkan Naturalisme mengalami
kemunduran. Filsafat skolastik, terutama yang diwakili oleh Thomas
Aquinas, lebih menekankan sintesis antara akal dan wahyu.⁶
Meskipun demikian, benih naturalisme tetap bertahan dalam pemikiran ilmuwan
Muslim seperti Ibn Sina (Avicenna) dan Ibn
Rushd (Averroes), yang berusaha menafsirkan hukum alam sebagai
ekspresi rasional kehendak ilahi, bukan intervensi adikodrati.⁷
2.3.
Naturalisme pada Masa Modern
Kebangkitan
Naturalisme modern dimulai pada abad ke-17 dan ke-18 bersamaan dengan revolusi
ilmiah. Spinoza memberikan kontribusi
metafisik yang mendalam dengan menyatakan bahwa Tuhan dan alam adalah identik (Deus
sive Natura), sehingga segala eksistensi dan proses dalam dunia
bersumber dari satu substansi yang sama.⁸ Gagasannya ini membuka jalan bagi
pemikiran deterministik dan rasionalistik yang menolak dualisme Cartesian.
Pada abad ke-19, Charles
Darwin menghidupkan kembali semangat naturalistik melalui teori
evolusi, yang menjelaskan asal-usul spesies dan keberagaman kehidupan
berdasarkan mekanisme seleksi alam.⁹ Pandangan Darwin menandai pergeseran
radikal: manusia bukanlah ciptaan unik yang terpisah dari alam, melainkan
bagian integral dari proses evolusi biologis yang berkelanjutan.¹⁰ Naturalisme
kemudian berkembang menjadi paradigma ilmiah yang mendasari biologi, psikologi,
dan bahkan studi etika evolusioner.
2.4.
Naturalisme dalam Filsafat Kontemporer
Pada abad ke-20,
Naturalisme dihidupkan kembali oleh filsafat analitik dan pragmatisme. John
Dewey memandang bahwa pengalaman manusia tidak terpisah dari
dunia alamiah, dan bahwa rasionalitas tumbuh dari interaksi adaptif antara
organisme dan lingkungannya.¹¹ W.V.O. Quine kemudian
memperkenalkan gagasan epistemology naturalized, yang
menyatakan bahwa penyelidikan tentang pengetahuan manusia seharusnya menjadi
bagian dari ilmu alam—terutama psikologi dan neurosains.¹²
Dalam perkembangan
mutakhir, muncul naturalism pluralis yang
diusung oleh Mario De Caro dan David
Macarthur, yang berusaha menolak reduksionisme fisikalistik
ekstrem dan membuka ruang bagi penjelasan alamiah yang lebih holistik, mencakup
fenomena kesadaran, nilai, dan budaya.¹³ Dengan demikian, genealogis
Naturalisme memperlihatkan transformasi dari penjelasan kosmologis menuju
paradigma ilmiah dan filosofis yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia.
Kesimpulan Sementara
Sejarah panjang
Naturalisme menunjukkan kontinuitas ide dari penjelasan kosmos pra-Sokratik
hingga sains modern. Namun, yang tetap konsisten adalah keyakinan bahwa segala
realitas tunduk pada hukum-hukum alam yang rasional dan dapat diketahui.
Perubahan konteks historis hanya memperluas cakupan Naturalisme, dari kosmologi
fisik ke epistemologi dan etika, menjadikannya salah satu kerangka paling
berpengaruh dalam pemikiran metafisik dan ilmiah modern.
Footnotes
[1]
G.S. Kirk, J.E. Raven, and M. Schofield, The Presocratic
Philosophers (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 45–48.
[2]
Jonathan Barnes, Early Greek Philosophy (London: Penguin,
1987), 102–106.
[3]
W.K.C. Guthrie, A History of Greek Philosophy, Vol. 1: The Earlier
Presocratics and the Pythagoreans (Cambridge: Cambridge University Press,
1962), 157–160.
[4]
Catherine Osborne, Presocratic Philosophy: A Very Short
Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2004), 66–70.
[5]
Epicurus, Letter to Menoeceus, in The Epicurus Reader,
ed. Brad Inwood and L.P. Gerson (Indianapolis: Hackett, 1994), 29–30.
[6]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the
English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, q.2, a.3.
[7]
Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy
(Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 145–148.
[8]
Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (London: Penguin,
1996), Part I, Prop. XV.
[9]
Charles Darwin, On the Origin of Species (London: John Murray,
1859), 70–75.
[10]
Michael Ruse, Darwinism and Its Discontents (Cambridge:
Cambridge University Press, 2006), 12–15.
[11]
John Dewey, Experience and Nature (Chicago: Open Court, 1929),
22–25.
[12]
W.V.O. Quine, “Epistemology Naturalized,” in Ontological Relativity
and Other Essays (New York: Columbia University Press, 1969), 69–90.
[13]
Mario De Caro and David Macarthur, eds., Naturalism in Question
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2004), 3–5.
3.
Ontologi
Naturalisme
Ontologi Naturalisme
berpijak pada keyakinan bahwa realitas secara keseluruhan merupakan kesatuan
yang bersifat alamiah (natural), tanpa memerlukan entitas
supranatural atau prinsip metafisis yang berada di luar hukum-hukum alam. Dalam
kerangka ini, being atau keberadaan dipahami
sebagai bagian dari sistem kausal dan empiris yang dapat dijelaskan melalui
metode ilmiah. Dengan demikian, Naturalisme menolak segala bentuk dualisme
antara roh dan materi, antara dunia fenomenal dan noumenal, serta antara alam
dan yang transenden.¹
3.1.
Realitas sebagai Totalitas Alamiah
Bagi para naturalis,
alam
(nature) adalah totalitas dari segala yang ada. Tidak ada
entitas atau proses yang melampaui atau berdiri di luar hukum-hukum alam.² Alam
bukan hanya kumpulan benda, tetapi suatu sistem dinamis yang memiliki
keteraturan inheren, sebagaimana dijelaskan dalam hukum fisika, biologi, dan
kimia.³ Prinsip ini menolak pandangan bahwa alam adalah ciptaan dari suatu
kekuatan supranatural yang bertindak dari luar sistem kausalitas. Dalam
Naturalisme, keberadaan Tuhan, jika diakui, hanya dapat dipahami sebagai
ekspresi atau identitas dari keseluruhan realitas itu sendiri—sebagaimana dalam
naturalisme panteistik Spinoza (Deus sive Natura).⁴
Dalam konteks ini, ontologi
naturalistik bersifat monistik: seluruh realitas memiliki dasar
ontologis tunggal, yaitu materi atau energi yang tersusun dan berkembang secara
kausal. Semua fenomena, termasuk kehidupan dan kesadaran, merupakan hasil dari
proses alamiah yang kontinyu dan tidak terputus.⁵
3.2.
Penolakan terhadap Dualisme dan
Supranaturalisme
Naturalisme menolak
dualisme Cartesian yang memisahkan antara substansi berpikir (res
cogitans) dan substansi materi (res extensa).⁶ Pemisahan tersebut
dianggap menghasilkan problem ontologis dan epistemologis yang tidak dapat
dijembatani, seperti kesulitan menjelaskan hubungan antara pikiran dan tubuh.
Dalam Naturalisme, pikiran (mind) bukanlah substansi terpisah,
melainkan hasil dari kompleksitas aktivitas biologis otak dan sistem saraf.⁷
Begitu pula,
Naturalisme menolak supranaturalisme, yakni pandangan bahwa terdapat realitas
atau kekuatan yang melampaui hukum alam. Pandangan ini dianggap tidak perlu dan
tidak memiliki dasar empiris. Sebaliknya, segala fenomena, termasuk fenomena
religius atau moral, dapat dipahami dalam kerangka penjelasan naturalistik—baik
melalui psikologi evolusioner, neurosains, maupun sosiologi.⁸
3.3.
Determinisme dan Hukum Kausalitas Alamiah
Salah satu ciri
ontologi Naturalisme adalah determinisme, yakni pandangan
bahwa setiap peristiwa memiliki sebab-sebab alamiah yang pasti.⁹ Tidak ada
ruang bagi intervensi adikodrati yang memutus rantai kausalitas. Prinsip ini
telah dipegang sejak filsuf atomis seperti Demokritos dan diperkuat oleh fisika
klasik Newton. Namun, dalam Naturalisme kontemporer, determinisme tidak lagi
dipahami secara mekanistik semata, melainkan dalam kerangka probabilistik
dan kompleksitas sistem sebagaimana dalam fisika kuantum dan
teori chaos.¹⁰
Determinisme
naturalistik menegaskan bahwa kebebasan manusia tidak berarti kebebasan dari
hukum alam, melainkan kemampuan untuk bertindak berdasarkan sebab-sebab
internal yang sesuai dengan struktur biologis dan psikologis manusia. Dengan
demikian, Naturalisme menggabungkan kausalitas universal dengan rasionalitas
internal, sehingga kebebasan menjadi bagian dari sistem alam
itu sendiri.¹¹
3.4.
Kesadaran dan Kehidupan dalam Kerangka
Naturalisme
Masalah besar dalam
ontologi Naturalisme adalah menjelaskan keberadaan kesadaran
(consciousness). Apakah kesadaran sepenuhnya dapat direduksi
menjadi proses fisik, ataukah ia memiliki kualitas emergen yang unik? Dalam
pandangan materialisme reduksionis, kesadaran hanyalah hasil dari aktivitas
neuronal yang kompleks.¹² Namun, naturalisme kontemporer seperti yang
dikemukakan oleh John Searle atau Thomas
Nagel mengusulkan bentuk emergent naturalism, di mana
kesadaran muncul sebagai properti baru dari sistem fisik yang cukup kompleks,
tetapi tetap berada dalam domain hukum alam.¹³
Dalam konteks ini,
kehidupan dan kesadaran tidak dipandang sebagai fenomena “misterius,”
melainkan sebagai puncak dari evolusi alamiah yang panjang. Ontologi
Naturalisme menegaskan bahwa semua fenomena mental, sosial, dan moral pada
akhirnya dapat ditelusuri ke akar-akar biologis dan ekologisnya.¹⁴
Implikasi Ontologis: Kesatuan Realitas dan
Rasionalitas Alam
Ontologi Naturalisme
membawa implikasi metafisik yang mendalam: realitas bersifat satu, rasional, dan dapat
dipahami. Tidak ada wilayah yang secara ontologis tertutup bagi
ilmu pengetahuan. Setiap entitas—dari atom hingga kesadaran manusia—adalah
bagian dari keseluruhan sistem alam yang teratur.¹⁵ Oleh karena itu, filsafat
dan sains tidak dipandang sebagai domain yang terpisah, melainkan sebagai dua
bentuk penyelidikan yang sama-sama mencari keteraturan rasional di dalam
realitas.
Naturalisme, dengan
demikian, membangun ontologi yang koheren dan empiris: realitas bersifat
tunggal, hukum alam bersifat universal, dan pengetahuan manusia merupakan
bagian dari struktur alam itu sendiri.¹⁶
Footnotes
[1]
David Papineau, Philosophical Naturalism (Oxford: Blackwell,
1993), 4–6.
[2]
Mario De Caro and David Macarthur, eds., Naturalism in Question
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2004), 1–2.
[3]
John Dewey, Experience and Nature (Chicago: Open Court, 1929),
11–13.
[4]
Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (London: Penguin,
1996), Part I, Prop. XV.
[5]
W.V.O. Quine, “On What There Is,” in From a Logical Point of View
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1953), 1–19.
[6]
René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. Donald
A. Cress (Indianapolis: Hackett, 1993), 54–57.
[7]
Patricia S. Churchland, Neurophilosophy: Toward a Unified Science
of the Mind-Brain (Cambridge, MA: MIT Press, 1986), 18–21.
[8]
Daniel C. Dennett, Consciousness Explained (Boston: Little,
Brown, 1991), 25–28.
[9]
Jonathan Lowe, An Introduction to the Philosophy of Mind
(Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 112–115.
[10]
Ilya Prigogine, Order Out of Chaos (New York: Bantam, 1984),
30–33.
[11]
Owen Flanagan, The Problem of the Soul: Two Visions of Mind and How
to Reconcile Them (New York: Basic Books, 2002), 87–90.
[12]
Paul M. Churchland, Matter and Consciousness (Cambridge, MA:
MIT Press, 1988), 43–46.
[13]
John R. Searle, The Rediscovery of the Mind (Cambridge, MA:
MIT Press, 1992), 112–118; Thomas Nagel, Mind and Cosmos (Oxford:
Oxford University Press, 2012), 45–48.
[14]
E.O. Wilson, Consilience: The Unity of Knowledge (New York:
Vintage, 1998), 122–125.
[15]
Wilfrid Sellars, “Philosophy and the Scientific Image of Man,” in Science,
Perception and Reality (London: Routledge, 1963), 35–40.
[16]
Papineau, Philosophical Naturalism, 15–17.
4.
Epistemologi
Naturalisme
Epistemologi dalam
Naturalisme berangkat dari premis bahwa pengetahuan manusia merupakan bagian dari
proses alamiah. Segala bentuk kognisi, persepsi, dan
rasionalitas tidak muncul secara independen dari alam, melainkan merupakan hasil
evolusi biologis yang memungkinkan organisme untuk beradaptasi dan bertahan
hidup.¹ Oleh karena itu, Naturalisme menolak pandangan epistemologis yang
mengandaikan adanya sumber pengetahuan transenden atau apriori yang terlepas
dari pengalaman empiris.
Dalam kerangka ini,
pengetahuan bukanlah refleksi pasif terhadap dunia, tetapi aktivitas adaptif
yang tertanam dalam sistem biologis manusia. Proses kognitif, dari sensasi
hingga abstraksi, dipahami sebagai fungsi dari otak dan sistem saraf yang
tunduk pada hukum-hukum alam.² Dengan demikian, epistemologi naturalistik
menolak dikotomi antara “subjek” dan “objek” dalam arti metafisis, dan
menggantikannya dengan hubungan kausal yang dapat dijelaskan melalui metode
ilmiah.
4.1.
Pengetahuan sebagai Produk Alamiah
Dalam Naturalisme, pengetahuan
adalah fenomena biologis. Ia muncul karena makhluk hidup
memiliki kemampuan untuk membentuk representasi internal tentang lingkungannya
demi kelangsungan hidup.³ Pendekatan ini menegaskan bahwa kapasitas kognitif
manusia merupakan hasil evolusi, bukan anugerah metafisis.⁴
Tokoh seperti John
Dewey melihat pengetahuan sebagai bentuk “interaksi organis”
antara manusia dan lingkungan. Bagi Dewey, berpikir bukanlah aktivitas abstrak,
melainkan respons adaptif terhadap problem-problem praktis yang dihadapi dalam
kehidupan.⁵ Pengetahuan bersifat eksperimental dan kontekstual, terus
berkembang sesuai dengan pengalaman empiris dan perubahan lingkungan.
Dalam konteks ini,
epistemologi naturalistik menempatkan sains sebagai kelanjutan dari
kemampuan adaptif manusia.⁶ Metode ilmiah dianggap sebagai bentuk paling maju
dari strategi biologis manusia untuk memahami dan mengendalikan lingkungannya
secara rasional. Dengan demikian, antara epistemologi dan biologi terdapat
kesinambungan struktural yang mendalam.
4.2.
Naturalisasi Epistemologi
Gagasan “epistemology
naturalized” diperkenalkan secara sistematis oleh W.V.O.
Quine dalam esainya tahun 1969.⁷ Ia menolak model epistemologi
tradisional yang mencoba mendasarkan pengetahuan pada fondasi apriori seperti
“kesadaran murni” atau “intuisi rasional.” Sebaliknya, Quine berpendapat bahwa
epistemologi seharusnya menjadi bagian dari ilmu pengetahuan empiris itu
sendiri—terutama psikologi kognitif.⁸
Menurut Quine,
pertanyaan epistemologis yang sah bukan lagi “bagaimana kita dapat mengetahui
dunia?”, melainkan “bagaimana organisme fisik seperti manusia membentuk
kepercayaan tentang dunia berdasarkan stimulus sensoris?”.⁹ Dengan demikian,
epistemologi menjadi cabang dari sains empiris yang menjelaskan mekanisme kognitif,
bukan spekulasi metafisis tentang sumber pengetahuan.
Pandangan Quine ini
kemudian diikuti oleh tokoh-tokoh seperti Wilfrid Sellars dan Patricia
Churchland, yang berusaha menjelaskan pengetahuan dalam
kerangka neurosains dan teori informasi.¹⁰ Pendekatan ini memperluas
epistemologi ke wilayah interdisipliner, di mana filsafat, psikologi, dan
biologi bekerja sama untuk memahami bagaimana otak menghasilkan pengetahuan.
4.3.
Empirisme dan Evolusi Kognitif
Naturalisme berpijak
pada empirisme
radikal, yakni keyakinan bahwa semua pengetahuan berasal dari
pengalaman.¹¹ Namun, berbeda dari empirisme klasik (seperti Locke dan Hume),
Naturalisme menafsirkan pengalaman secara biologis dan evolusioner. Pengetahuan
tidak lagi dilihat sebagai akumulasi pasif dari data inderawi, melainkan
sebagai hasil seleksi adaptif yang membentuk cara manusia memersepsi dan
menafsirkan dunia.¹²
Tokoh seperti Konrad
Lorenz dan Donald Campbell mengembangkan
teori evolutionary
epistemology, yang menyatakan bahwa struktur kognitif manusia
merupakan hasil seleksi alam sebagaimana organ biologis lainnya.¹³ Dengan
demikian, kebenaran bukanlah korespondensi metafisis yang absolut, melainkan
kecocokan fungsional antara sistem kognitif dan realitas lingkungan.¹⁴
Epistemologi
naturalistik, dengan demikian, memandang bahwa batas-batas pengetahuan manusia
ditentukan oleh batas-batas biologis dan ekologisnya. Pengetahuan adalah
instrumen adaptif, bukan refleksi sempurna atas realitas objektif.
4.4.
Kritik terhadap Rasionalisme dan Idealime
Transendental
Naturalisme menolak rasionalisme
yang menganggap akal budi memiliki prinsip-prinsip pengetahuan yang independen
dari pengalaman.¹⁵ Dalam pandangan naturalistik, akal adalah hasil evolusi otak
manusia yang dikondisikan oleh sejarah biologisnya, bukan entitas rasional yang
otonom.
Demikian pula,
Naturalisme menolak idealisme transendental Kantian
yang memisahkan “dunia dalam dirinya sendiri” (noumenon) dari “dunia yang tampak”
(phenomenon).¹⁶
Bagi naturalis, pembagian tersebut tidak perlu karena seluruh pengalaman
manusia merupakan bagian dari proses alamiah. Apa yang disebut “struktur
apriori” dalam kognisi hanyalah hasil evolusi kognitif yang membentuk cara
manusia memproses informasi dari lingkungan.¹⁷
Dengan demikian,
Naturalisme menawarkan epistemologi yang monistik dan empiris: semua
bentuk pengetahuan, termasuk logika dan matematika, dapat ditelusuri ke dasar
biologis dan pengalaman adaptif manusia.¹⁸
Implikasi Epistemologis: Pengetahuan sebagai Kontinuitas
Alamiah
Epistemologi
Naturalisme memiliki implikasi mendalam terhadap cara kita memahami hubungan
antara filsafat dan sains. Ia menghapus batas tradisional antara refleksi
filosofis dan penyelidikan ilmiah, karena keduanya sama-sama berakar pada
rasionalitas alamiah manusia.¹⁹
Pengetahuan, dalam
kerangka ini, bukanlah hasil kontemplasi metafisis, melainkan manifestasi dari
rasionalitas alam itu sendiri. Manusia mengetahui karena ia bagian dari sistem
alam yang mengetahui dirinya melalui kesadaran.²⁰ Dengan demikian, epistemologi
naturalistik tidak hanya menjelaskan bagaimana manusia mengetahui,
tetapi juga menegaskan bahwa mengetahui adalah cara alam memahami dirinya
sendiri melalui manusia.
Footnotes
[1]
David Papineau, Philosophical Naturalism (Oxford: Blackwell,
1993), 8–10.
[2]
Patricia S. Churchland, Brain-Wise: Studies in Neurophilosophy
(Cambridge, MA: MIT Press, 2002), 17–19.
[3]
John Dewey, Experience and Nature (Chicago: Open Court, 1929),
22–24.
[4]
Konrad Lorenz, The Foundations of Ethology (New York:
Springer, 1981), 85–87.
[5]
Dewey, Experience and Nature, 40–42.
[6]
Mario De Caro and David Macarthur, eds., Naturalism in Question
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2004), 12–14.
[7]
W.V.O. Quine, “Epistemology Naturalized,” in Ontological Relativity
and Other Essays (New York: Columbia University Press, 1969), 69–90.
[8]
Ibid., 75–78.
[9]
Quine, Ontological Relativity, 82.
[10]
Wilfrid Sellars, Science, Perception, and Reality (London:
Routledge, 1963), 127–129; Patricia S. Churchland, Neurophilosophy: Toward
a Unified Science of the Mind-Brain (Cambridge, MA: MIT Press, 1986),
45–47.
[11]
Papineau, Philosophical Naturalism, 14–15.
[12]
Michael Ruse, Taking Darwin Seriously: A Naturalistic Approach to
Philosophy (Oxford: Blackwell, 1986), 56–58.
[13]
Donald T. Campbell, “Evolutionary Epistemology,” in The Philosophy
of Karl Popper, ed. Paul A. Schilpp (La Salle, IL: Open Court, 1974),
413–463.
[14]
Lorenz, The Foundations of Ethology, 93–95.
[15]
John Cottingham, Rationalism (London: Palgrave, 1984),
112–114.
[16]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and
Allen Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A235/B294–A246/B303.
[17]
Patricia S. Churchland, Brain-Wise, 51–53.
[18]
Paul M. Churchland, Matter and Consciousness (Cambridge, MA:
MIT Press, 1988), 23–25.
[19]
Owen Flanagan, The Problem of the Soul: Two Visions of Mind and How
to Reconcile Them (New York: Basic Books, 2002), 73–75.
[20]
E.O. Wilson, Consilience: The Unity of Knowledge (New York: Vintage,
1998), 132–134.
5.
Etika
dan Aksiologi dalam Naturalisme
Etika dan aksiologi
dalam Naturalisme berpijak pada keyakinan bahwa nilai-nilai moral dan estetis merupakan bagian
dari tatanan alamiah, bukan entitas metafisis yang eksis secara
independen dari dunia empiris. Dalam kerangka ini, segala nilai lahir dari
proses biologis, sosial, dan evolusioner yang berakar pada kebutuhan dasar
makhluk hidup untuk bertahan, berkembang, dan berinteraksi.¹ Dengan demikian,
Naturalisme menolak pandangan bahwa moralitas berasal dari perintah ilahi,
intuisi metafisis, atau akal murni yang terlepas dari dunia empiris.
Sebaliknya, etika dipahami sebagai produk rasional dari pengalaman manusia
sebagai makhluk alamiah.
5.1.
Dasar Etika Naturalistik: Moralitas sebagai
Fakta Alamiah
Dalam perspektif
Naturalisme, moralitas adalah fenomena alamiah
yang muncul dari interaksi sosial dan evolusi biologis.² Emosi moral seperti
empati, rasa bersalah, atau keadilan tidak dilihat sebagai ilham spiritual,
melainkan hasil seleksi alam yang menguntungkan kelangsungan spesies sosial
seperti manusia.³ Pandangan ini diperkuat oleh teori evolusi
moral Darwinian, yang menunjukkan bahwa perilaku altruistik
berkembang karena memberikan keuntungan adaptif bagi kelompok sosial.⁴
John
Dewey, seorang naturalis pragmatis, berpendapat bahwa moralitas
bukanlah sistem aturan tetap, melainkan hasil eksperimentasi manusia dalam
mencari cara hidup yang harmonis di dalam alam.⁵ Moralitas bersifat dinamis dan
kontekstual, terus berevolusi sesuai kebutuhan dan lingkungan manusia. Dengan
demikian, etika naturalistik bersifat empiris dan instrumental, bukan
absolut dan dogmatis.
5.2.
Naturalistic Fallacy dan Kritik terhadap
Reduksionisme Etis
Meskipun Naturalisme
berupaya menjelaskan nilai secara ilmiah, pendekatan ini menghadapi tantangan
konseptual yang signifikan. G.E. Moore, dalam Principia
Ethica, mengajukan tuduhan adanya naturalistic fallacy—kesalahan
ketika seseorang mengidentifikasi “baik” dengan sifat alamiah tertentu seperti
“menyenangkan” atau “bermanfaat.”⁶ Menurut Moore, “kebaikan” merupakan kualitas
non-natural yang tidak dapat direduksi pada fakta empiris apa pun.
Namun, para
naturalis modern menanggapi bahwa Moore keliru memahami maksud Naturalisme.
Tujuan Naturalisme bukanlah mengidentifikasi nilai moral dengan fakta fisik,
tetapi menunjukkan bahwa penilaian moral berakar pada realitas biologis dan sosial,
bukan berasal dari dunia metafisis.⁷ Dengan kata lain, nilai-nilai moral memang
memiliki basis dalam fakta empiris, tetapi tidak identik dengannya. Hubungan
antara fakta dan nilai bersifat emergen, bukan reduktif.⁸
5.3.
Etika Evolusioner dan Moralitas Sosial
Dalam kerangka etika
evolusioner, moralitas dipahami sebagai hasil adaptasi yang
meningkatkan kohesi sosial dan kerja sama antarindividu. Herbert
Spencer merupakan salah satu pelopor yang memandang moralitas
sebagai ekspresi dari prinsip evolusi sosial menuju bentuk kehidupan yang lebih
kompleks dan harmonis.⁹ Sementara E.O. Wilson dalam Sociobiology
menegaskan bahwa perilaku moral dapat dijelaskan melalui mekanisme seleksi gen
dan kin selection, di mana tindakan altruistik menguntungkan penyebaran gen
yang sama di antara individu kerabat.¹⁰
Meskipun pendekatan
ini sering dikritik karena berpotensi mendukung determinisme biologis, banyak
pemikir kontemporer menegaskan bahwa memahami asal-usul biologis moralitas
tidak berarti meniadakan kebebasan moral.¹¹ Sebaliknya, kesadaran akan asal-usul
naturalistik nilai moral memungkinkan manusia untuk menilai, mengubah, dan
memperluas etika sesuai dengan pemahaman rasional mereka tentang kesejahteraan
bersama.
5.4.
Aksiologi Alamiah: Nilai, Tujuan, dan Keindahan
dalam Alam
Aksiologi
Naturalisme tidak hanya berbicara tentang moralitas, tetapi juga tentang nilai
secara umum, termasuk nilai estetis dan eksistensial. Dalam
pandangan ini, nilai tidak ditemukan “di luar” alam, melainkan muncul
dari interaksi antara subjek dan dunia.¹² Keindahan, misalnya,
bukanlah kualitas metafisis, melainkan respons emosional dan kognitif yang
berevolusi dari sensitivitas terhadap pola, simetri, dan keseimbangan yang
memiliki fungsi adaptif.¹³
John
Dewey, dalam Art as Experience, menegaskan bahwa
pengalaman estetis merupakan bagian dari aktivitas manusia yang menegaskan
keterlibatan penuh dengan dunia.¹⁴ Keindahan muncul ketika pengalaman manusia
mencapai harmoni dengan lingkungan alamnya. Dengan demikian, aksiologi
naturalistik melihat nilai-nilai estetika dan etika sebagai perwujudan dari
dinamika kehidupan itu sendiri—bukan sebagai entitas transenden, tetapi sebagai
hasil dari keteraturan alamiah dan kreativitas manusia.
5.5.
Etika Naturalistik dan Tanggung Jawab Ekologis
Dalam konteks
kontemporer, Naturalisme memberi dasar filosofis bagi etika
ekologis. Jika semua realitas merupakan bagian dari satu sistem
alamiah, maka tindakan moral manusia tidak dapat dipisahkan dari dampaknya
terhadap ekosistem.¹⁵ Etika ekologis naturalistik menegaskan bahwa nilai tidak
hanya melekat pada manusia, tetapi juga pada keberlanjutan kehidupan secara
keseluruhan.¹⁶
Pandangan ini
diwakili oleh pemikir seperti Aldo Leopold melalui The Land
Ethic, yang menyatakan bahwa manusia adalah bagian dari komunitas
ekologis yang lebih luas.¹⁷ Dengan demikian, tindakan moral tidak hanya diukur
dari dampaknya terhadap manusia lain, tetapi juga terhadap integritas,
stabilitas, dan keindahan sistem alam.¹⁸ Dalam kerangka ini, Naturalisme
melahirkan bentuk etika yang tidak hanya empiris, tetapi juga holistik
dan ekologis, menjembatani antara ilmu pengetahuan, moralitas,
dan keberlanjutan kehidupan.
Implikasi Etis dan Aksiologis
Etika dan aksiologi
Naturalisme mengubah cara pandang tradisional terhadap nilai. Nilai tidak lagi
dipahami sebagai sesuatu yang diberikan dari atas, tetapi dibentuk
dari bawah—yakni dari kehidupan itu sendiri.¹⁹ Kebaikan,
keindahan, dan makna tidak mengandaikan dunia metafisis, melainkan lahir dari
kapasitas manusia untuk beradaptasi, berempati, dan menciptakan harmoni dalam
sistem alam yang lebih luas.²⁰
Dengan demikian,
Naturalisme menghadirkan etika yang bersifat immanent dan dinamis, di mana
tindakan moral tidak ditentukan oleh prinsip absolut, tetapi oleh kesadaran
empiris tentang hubungan manusia dengan dirinya, sesama, dan alam semesta.
Footnotes
[1]
David Papineau, Philosophical Naturalism (Oxford: Blackwell,
1993), 19–21.
[2]
John Dewey, Human Nature and Conduct (New York: Henry Holt,
1922), 10–13.
[3]
Frans de Waal, Primates and Philosophers: How Morality Evolved
(Princeton: Princeton University Press, 2006), 35–38.
[4]
Charles Darwin, The Descent of Man (London: John Murray,
1871), 120–124.
[5]
Dewey, Human Nature and Conduct, 15–16.
[6]
G.E. Moore, Principia Ethica (Cambridge: Cambridge University
Press, 1903), 10–12.
[7]
Mario De Caro and David Macarthur, eds., Naturalism in Question
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2004), 22–25.
[8]
Owen Flanagan, Varieties of Moral Personality (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1991), 42–44.
[9]
Herbert Spencer, The Data of Ethics (London: Williams and
Norgate, 1879), 58–60.
[10]
E.O. Wilson, Sociobiology: The New Synthesis (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1975), 575–580.
[11]
Michael Ruse, Taking Darwin Seriously: A Naturalistic Approach to
Philosophy (Oxford: Blackwell, 1986), 76–78.
[12]
John Dewey, Art as Experience (New York: Minton, Balch, 1934),
14–16.
[13]
Denis Dutton, The Art Instinct: Beauty, Pleasure, and Human
Evolution (Oxford: Oxford University Press, 2009), 22–24.
[14]
Dewey, Art as Experience, 18–19.
[15]
Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in
the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 56–59.
[16]
Bryan G. Norton, Toward Unity Among Environmentalists (Oxford:
Oxford University Press, 1991), 42–45.
[17]
Aldo Leopold, A Sand County Almanac (New York: Oxford
University Press, 1949), 224–225.
[18]
Ibid., 226.
[19]
Papineau, Philosophical Naturalism, 25–27.
[20]
E.O. Wilson, Consilience: The Unity of Knowledge (New York:
Vintage, 1998), 140–142.
6.
Kritik
terhadap Naturalisme
Meskipun Naturalisme
memiliki kontribusi besar terhadap perkembangan filsafat modern dan sains
empiris, aliran ini tidak luput dari kritik tajam yang datang dari berbagai
arah: idealisme, eksistensialisme, fenomenologi, teologi, dan bahkan dari sains
itu sendiri. Kritik terhadap Naturalisme terutama diarahkan pada
kecenderungannya yang reduksionistik, deterministik,
dan materialistik,
yang dianggap gagal menjelaskan dimensi kesadaran, kebebasan, makna, serta
nilai-nilai transenden dalam pengalaman manusia.¹
6.1.
Kritik dari Idealisme dan Spiritualitas
Para filsuf idealis,
seperti Georg Wilhelm Friedrich Hegel,
mengkritik Naturalisme karena meniadakan dimensi rasional dan spiritual dari
realitas. Bagi Hegel, alam hanyalah manifestasi eksternal dari Roh Absolut yang
berkembang melalui sejarah dan kesadaran manusia.² Dengan membatasi realitas
pada apa yang empiris dan material, Naturalisme dianggap tidak mampu
menjelaskan proses dialektis kesadaran yang mengarah pada kebebasan dan
pengetahuan diri.
Kritik serupa juga
datang dari tradisi filsafat spiritual dan religius,
yang menegaskan bahwa pengalaman manusia tidak hanya bersifat empiris, tetapi
juga mengandung dimensi transenden.³ Teolog seperti Karl
Rahner menilai bahwa Naturalisme gagal memahami aspek
eksistensial manusia yang terbuka terhadap “misteri absolut” atau yang disebut
sebagai das
Heilige (yang kudus).⁴ Dalam pandangan ini, reduksi manusia menjadi
sekadar makhluk biologis atau sistem neurofisiologis dianggap mengabaikan
kedalaman eksistensial yang menjadi ciri khas kesadaran religius.
6.2.
Kritik dari Eksistensialisme dan Fenomenologi
Aliran eksistensialisme,
terutama yang diwakili oleh Jean-Paul Sartre dan Martin
Heidegger, menolak pandangan naturalistik yang melihat manusia
hanya sebagai objek dalam sistem kausalitas alam.⁵ Bagi mereka, manusia adalah
makhluk yang “ada-untuk-dirinya” (être-pour-soi) yang memiliki
kebebasan radikal dan tanggung jawab terhadap makna eksistensinya. Naturalisme,
dengan determinismenya, dianggap meniadakan kebebasan dan makna hidup,
menjadikan manusia sekadar hasil dari proses biologis yang buta.⁶
Heidegger
menambahkan bahwa Naturalisme terjebak dalam apa yang disebutnya ontological
forgetfulness—kelupaan terhadap makna “ada” itu sendiri.⁷ Dalam
upayanya menjelaskan segala sesuatu melalui sains empiris, Naturalisme gagal
menangkap cara manusia “mengada” secara eksistensial, yakni keterbukaan
terhadap dunia (being-in-the-world).⁸ Oleh karena
itu, fenomenologi menilai Naturalisme bersifat objectifying dan dehumanizing,
mengaburkan pengalaman subjektif dan kesadaran makna.
6.3.
Kritik dari Perspektif Teologis
Dari sudut pandang teologi,
Naturalisme dikritik karena menghilangkan dimensi transendensi dan wahyu dalam
pemahaman realitas. C.S. Lewis menilai bahwa
Naturalisme mengandung kontradiksi internal: jika semua pikiran adalah hasil
proses alamiah tanpa tujuan, maka tidak ada alasan untuk mempercayai bahwa
pikiran manusia menghasilkan kebenaran.⁹ Argumen ini dikenal sebagai argument
from reason — yaitu, bahwa Naturalisme menggali tanah tempat ia
berdiri karena menganggap rasionalitas itu sendiri sebagai produk
non-rasional.¹⁰
Demikian pula, Alvin
Plantinga dalam Where the Conflict Really Lies
menegaskan bahwa Naturalisme tidak konsisten dengan teori evolusi.¹¹ Jika
pikiran manusia adalah hasil dari proses evolusi yang hanya bertujuan pada
kelangsungan hidup, bukan pada kebenaran, maka tidak ada jaminan bahwa
keyakinan manusia, termasuk keyakinan naturalistik itu sendiri, dapat
dipercaya.¹² Kritik ini menyoroti paradoks epistemologis Naturalisme: ia
mempercayai rasionalitas yang justru dijelaskan sebagai hasil non-rasional.
6.4.
Kritik dari Ilmu Pengetahuan Kontemporer
Ironisnya, kritik
terhadap Naturalisme juga datang dari ilmu pengetahuan modern
sendiri. Dalam fisika kuantum, muncul pandangan bahwa realitas tidak sepenuhnya
deterministik, melainkan bersifat probabilistik dan bergantung pada
pengamatan.¹³ Fenomena ini mengguncang asumsi dasar Naturalisme klasik yang
melihat alam sebagai sistem mekanistik dan tertutup secara kausal.
Selain itu, dalam
ilmu kognitif dan filsafat pikiran, muncul keberatan terhadap reduksionisme
materialistik Naturalisme. Tokoh seperti Thomas
Nagel berargumen bahwa kesadaran tidak dapat dijelaskan
sepenuhnya dalam istilah fisik, karena ia memiliki “aspek subyektif” (what it
is like to be).¹⁴ Nagel menyebut posisi ini sebagai the view
from nowhere—pandangan ilmiah yang gagal memahami pengalaman dari
dalam.¹⁵
Kritik serupa datang
dari David
Chalmers, yang mengemukakan “hard problem of consciousness”:
mengapa dan bagaimana proses fisik menghasilkan pengalaman subjektif?¹⁶
Pertanyaan ini menunjukkan batas epistemologis Naturalisme—yaitu,
ketidakmampuannya menjelaskan fenomena kesadaran tanpa mengubahnya menjadi
sesuatu yang bukan kesadaran itu sendiri.
6.5.
Kritik Etis dan Aksiologis
Dari segi etika dan
nilai, Naturalisme sering dianggap gagal memberikan dasar normatif yang kuat.
Jika segala sesuatu dapat dijelaskan secara alamiah, maka bagaimana mungkin
kita berbicara tentang “kebaikan” atau “keharusan moral”? Kritik ini muncul
dari G.E.
Moore dengan tuduhannya tentang naturalistic fallacy, dan diperkuat
oleh para pemikir neo-Kantian seperti Immanuel Rickert, yang
menegaskan bahwa nilai bersifat otonom dan tidak dapat direduksi menjadi fakta
empiris.¹⁷
Selain itu, para
kritikus menilai bahwa Naturalisme berpotensi mengarah pada nihilisme
moral, karena meniadakan dimensi normatif yang lebih tinggi
dari sekadar mekanisme evolusi atau preferensi sosial.¹⁸ Dalam kerangka ini,
Naturalisme dinilai “menjelaskan terlalu banyak, tetapi memaknai terlalu
sedikit.”
Evaluasi Umum
Secara keseluruhan,
kritik terhadap Naturalisme menunjukkan ketegangan antara dua kutub besar:
antara keinginan untuk menjelaskan segalanya secara ilmiah dan kebutuhan
manusia untuk menemukan makna yang melampaui sains. Naturalisme telah berhasil
mengintegrasikan pandangan dunia yang konsisten dengan sains, tetapi dalam
prosesnya ia juga mengecilkan ruang bagi kebebasan, kesadaran,
dan nilai-nilai normatif.¹⁹
Namun demikian,
kritik-kritik ini tidak serta-merta meniadakan validitas Naturalisme.
Sebaliknya, mereka memperkaya diskursus dengan mendorong munculnya
bentuk-bentuk Naturalisme non-reduksionis dan
pluralistik,
yang berupaya mempertahankan kesatuan ilmiah tanpa menghapus kompleksitas
manusia.²⁰
Footnotes
[1]
David Papineau, Philosophical Naturalism (Oxford: Blackwell,
1993), 30–33.
[2]
G.W.F. Hegel, Phenomenology of Spirit, trans. A.V. Miller
(Oxford: Oxford University Press, 1977), 66–69.
[3]
Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern
Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 18–20.
[4]
Karl Rahner, Foundations of Christian Faith (New York:
Crossroad, 1978), 102–104.
[5]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E.
Barnes (New York: Philosophical Library, 1956), 27–31.
[6]
Ibid., 33–35.
[7]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 35–37.
[8]
Ibid., 79–82.
[9]
C.S. Lewis, Miracles (New York: Macmillan, 1947), 13–15.
[10]
Victor Reppert, C.S. Lewis’s Dangerous Idea: In Defense of the
Argument from Reason (Downers Grove, IL: InterVarsity Press, 2003), 45–47.
[11]
Alvin Plantinga, Where the Conflict Really Lies: Science, Religion,
and Naturalism (Oxford: Oxford University Press, 2011), 308–312.
[12]
Ibid., 314–316.
[13]
Werner Heisenberg, Physics and Philosophy: The Revolution in Modern
Science (New York: Harper, 1958), 54–57.
[14]
Thomas Nagel, “What Is It Like to Be a Bat?” The Philosophical
Review 83, no. 4 (1974): 435–450.
[15]
Thomas Nagel, The View from Nowhere (Oxford: Oxford University
Press, 1986), 3–5.
[16]
David J. Chalmers, The Conscious Mind: In Search of a Fundamental
Theory (New York: Oxford University Press, 1996), 5–8.
[17]
G.E. Moore, Principia Ethica (Cambridge: Cambridge University
Press, 1903), 16–18.
[18]
Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil, trans. Walter
Kaufmann (New York: Vintage, 1966), 23–26.
[19]
Mario De Caro and David Macarthur, eds., Naturalism in Question
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2004), 32–35.
[20]
Owen Flanagan, The Problem of the Soul: Two Visions of Mind and How
to Reconcile Them (New York: Basic Books, 2002), 91–93.
7.
Relevansi
Kontemporer Naturalisme
Naturalisme tetap
memainkan peranan yang signifikan dalam filsafat dan ilmu pengetahuan
kontemporer. Dalam abad ke-21, paradigma naturalistik tidak hanya membentuk
dasar bagi penelitian ilmiah, tetapi juga menjadi orientasi filosofis yang
berusaha menjembatani antara sains, etika, dan pemahaman manusia tentang diri
dan alam semesta.¹ Relevansi Naturalisme terletak pada kemampuannya untuk
memberikan kerangka ontologis dan epistemologis yang konsisten dengan
temuan-temuan ilmiah mutakhir, sekaligus menawarkan pandangan etis dan ekologis
yang lebih holistik terhadap kehidupan.
7.1.
Naturalisme dalam Filsafat Sains Modern
Dalam filsafat
sains, Naturalisme menjadi salah satu fondasi utama bagi realisme ilmiah dan
pendekatan empiris terhadap pengetahuan.² Pemikiran W.V.O.
Quine, Hilary Putnam, dan Philip
Kitcher memperkuat gagasan bahwa filsafat tidak dapat berdiri
terpisah dari sains; ia harus menjadi bagian integral dari penyelidikan ilmiah
tentang dunia.³ Quine, melalui konsep naturalized epistemology,
menekankan bahwa metode ilmiah merupakan bentuk paling rasional dari
pengetahuan manusia karena bersandar pada observasi, eksperimentasi, dan
koherensi empiris.⁴
Selain itu,
Naturalisme juga menjadi landasan bagi filsafat materialisme ilmiah,
yang berusaha menjelaskan semua fenomena, termasuk kesadaran, dalam kerangka
hukum-hukum alam.⁵ Namun, dalam konteks kontemporer, muncul bentuk naturalisme
non-reduksionis, yang mencoba mempertahankan konsistensi ilmiah
tanpa menafikan kompleksitas fenomena manusia seperti kesadaran, bahasa, dan
moralitas.⁶
7.2.
Naturalisme dan Filsafat Pikiran
Salah satu medan
paling dinamis bagi Naturalisme masa kini adalah filsafat
pikiran (philosophy of mind). Dengan kemajuan dalam neurosains,
psikologi kognitif, dan kecerdasan buatan, Naturalisme
memperoleh dasar empiris baru untuk menjelaskan hubungan antara otak,
kesadaran, dan perilaku.⁷ Tokoh seperti Patricia dan Paul Churchland
menekankan bahwa semua proses mental pada akhirnya dapat dijelaskan melalui
mekanisme neurobiologis.⁸
Namun, bentuk
Naturalisme kontemporer tidak sepenuhnya reduksionistik. Pemikir seperti John
Searle mengusulkan konsep biological naturalism, yakni bahwa
kesadaran merupakan fenomena biologis yang emergen—real, tetapi tetap
bergantung pada proses fisik otak.⁹ Demikian pula, Thomas
Metzinger melalui The Ego Tunnel menafsirkan
kesadaran sebagai model representasional diri yang terbentuk secara dinamis
oleh sistem otak.¹⁰ Dengan demikian, Naturalisme modern berusaha menggabungkan
sains empiris dengan analisis fenomenologis untuk memahami pengalaman subyektif
tanpa meninggalkan dasar ilmiahnya.
7.3.
Naturalisme dan Etika Kontemporer
Dalam bidang etika,
Naturalisme memberi arah baru bagi bioetika, neuroetika,
dan etika
lingkungan.¹¹ Etika naturalistik menolak moralitas absolut yang
bersumber dari wahyu, dan menggantikannya dengan moralitas berbasis well-being,
empati, dan tanggung jawab ekologis.¹² Pemikiran Peter
Singer, misalnya, mengembangkan etika utilitarian berbasis
biologi evolusioner, yang memandang penderitaan makhluk hidup sebagai dasar
objektif moralitas.¹³
Sementara itu, neuroetika
mencoba memahami dasar biologis dari keputusan moral manusia, membuka peluang
untuk menggabungkan temuan neurosains dengan refleksi etis.¹⁴ Dalam ranah etika
lingkungan, Naturalisme mendukung pandangan eko-holistik, bahwa manusia
merupakan bagian dari jaringan ekologis yang kompleks, dan nilai moral harus
memperhitungkan keseimbangan serta keberlanjutan sistem kehidupan.¹⁵ Pandangan
ini relevan dengan tantangan global seperti perubahan iklim, eksploitasi sumber
daya alam, dan krisis ekologis global.¹⁶
7.4.
Naturalisme dan Teknologi Modern
Kemajuan
teknologi—terutama dalam kecerdasan buatan (AI), bioteknologi, dan sains
komputasional—menimbulkan pertanyaan baru yang menuntut jawaban naturalistik.¹⁷
Bagaimana kesadaran buatan dapat dipahami dalam kerangka ontologi naturalistik?
Apakah algoritma dan sistem neural network dapat disebut “berpikir”?
Naturalisme memberikan landasan konseptual untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
tersebut dengan menjelaskan bahwa kecerdasan, baik biologis maupun buatan,
adalah hasil dari proses informasi dan adaptasi alamiah yang tunduk pada
hukum-hukum fisik.¹⁸
Namun, teknologi
modern juga menantang batas-batas Naturalisme itu sendiri. Pemikiran Ray
Kurzweil dan transhumanisme, misalnya, menunjukkan bagaimana
manusia kini mulai berperan sebagai agen yang “menaturalisasi” dirinya melalui
rekayasa genetika dan augmentasi teknologi.¹⁹ Dalam konteks ini, Naturalisme
kontemporer dituntut untuk memperluas cakupannya agar mampu memahami realitas
manusia yang kini semakin “post-biologis.”²⁰
7.5.
Naturalisme dan Ekologi Global
Naturalisme juga
menemukan relevansi besar dalam konteks krisis ekologi dan kesadaran
lingkungan. Dalam filsafat lingkungan, Naturalisme berperan sebagai paradigma
ekologis yang menegaskan keterhubungan semua bentuk
kehidupan.²¹ Tokoh seperti Arne Naess dengan Deep
Ecology menegaskan bahwa nilai intrinsik tidak hanya dimiliki
manusia, tetapi juga seluruh sistem ekologis.²² Pandangan ini didukung oleh
pemikiran naturalistik yang menolak antropocentrisme dan menegaskan bahwa
manusia hanyalah bagian dari totalitas biosfer.²³
Naturalisme ekologis
dengan demikian mengubah etika menjadi ekosentris—bukan lagi bertumpu pada “hak
individu,” tetapi pada keseimbangan sistem kehidupan.²⁴ Dalam dunia yang
menghadapi perubahan iklim, kehilangan keanekaragaman hayati, dan degradasi
lingkungan, pendekatan ini memberikan dasar ontologis dan aksiologis yang kuat
bagi pembangunan berkelanjutan dan tanggung jawab ekologis global.²⁵
Naturalisme sebagai Paradigma Filsafat Abad
ke-21
Secara umum,
Naturalisme dalam konteks kontemporer dapat dipandang sebagai kerangka
filsafat integratif, yang berupaya menyatukan pengetahuan
ilmiah, refleksi etis, dan kesadaran ekologis dalam satu pandangan dunia.²⁶
Naturalisme tidak lagi sekadar posisi metafisik, tetapi juga menjadi metode dan
gaya berpikir yang mengutamakan koherensi, rasionalitas, dan keterbukaan
terhadap koreksi empiris.²⁷
Naturalisme
kontemporer bukanlah Naturalisme yang “tertutup,” melainkan naturalisme
terbuka (open naturalism)—yakni pendekatan yang mengakui
keterbatasan sains tanpa menolak nilai-nilai kemanusiaan dan makna
eksistensial.²⁸ Dengan cara ini, Naturalisme tetap relevan sebagai paradigma
filsafat modern yang menuntun manusia untuk memahami dirinya sebagai bagian
integral dari tatanan alam semesta yang rasional, dinamis, dan saling
bergantung.²⁹
Footnotes
[1]
David Papineau, Philosophical Naturalism (Oxford: Blackwell,
1993), 35–37.
[2]
Philip Kitcher, The Advancement of Science: Science without Legend,
Objectivity without Illusions (Oxford: Oxford University Press, 1993),
12–15.
[3]
Hilary Putnam, Realism with a Human Face, ed. James Conant
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1990), 40–43.
[4]
W.V.O. Quine, “Epistemology Naturalized,” in Ontological Relativity
and Other Essays (New York: Columbia University Press, 1969), 69–90.
[5]
Paul M. Churchland, Matter and Consciousness (Cambridge, MA:
MIT Press, 1988), 50–53.
[6]
Mario De Caro and David Macarthur, eds., Naturalism in Question
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2004), 37–39.
[7]
Patricia S. Churchland, Brain-Wise: Studies in Neurophilosophy
(Cambridge, MA: MIT Press, 2002), 21–24.
[8]
Ibid., 27–29.
[9]
John R. Searle, The Rediscovery of the Mind (Cambridge, MA:
MIT Press, 1992), 115–117.
[10]
Thomas Metzinger, The Ego Tunnel: The Science of the Mind and the
Myth of the Self (New York: Basic Books, 2009), 56–58.
[11]
Owen Flanagan, Varieties of Moral Personality (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1991), 82–85.
[12]
John Dewey, Human Nature and Conduct (New York: Henry Holt,
1922), 22–24.
[13]
Peter Singer, Practical Ethics (Cambridge: Cambridge
University Press, 2011), 7–9.
[14]
Adina Roskies, “Neuroethics for the New Millennium,” Neuron
35, no. 1 (2002): 21–23.
[15]
Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in
the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 78–80.
[16]
Bryan G. Norton, Toward Unity Among Environmentalists (Oxford:
Oxford University Press, 1991), 42–45.
[17]
Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford
University Press, 2013), 30–33.
[18]
Daniel C. Dennett, From Bacteria to Bach and Back: The Evolution of
Minds (New York: W.W. Norton, 2017), 15–18.
[19]
Ray Kurzweil, The Singularity Is Near (New York: Viking,
2005), 45–47.
[20]
Nick Bostrom, Superintelligence: Paths, Dangers, Strategies
(Oxford: Oxford University Press, 2014), 68–70.
[21]
Holmes Rolston III, A New Environmental Ethics: The Next Millennium
for Life on Earth (London: Routledge, 2012), 34–36.
[22]
Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle, trans. David
Rothenberg (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 28–30.
[23]
Paul W. Taylor, Respect for Nature: A Theory of Environmental
Ethics (Princeton: Princeton University Press, 1986), 45–47.
[24]
Naess, Ecology, Community and Lifestyle, 35–38.
[25]
Andrew Light and Holmes Rolston III, eds., Environmental Ethics: An
Anthology (Oxford: Blackwell, 2003), 90–93.
[26]
Papineau, Philosophical Naturalism, 38–40.
[27]
De Caro and Macarthur, Naturalism in Question, 42–45.
[28]
Owen Flanagan, The Problem of the Soul: Two Visions of Mind and How
to Reconcile Them (New York: Basic Books, 2002), 95–97.
[29]
E.O. Wilson, Consilience: The Unity of Knowledge (New York:
Vintage, 1998), 145–148.
8.
Sintesis
Filosofis
Naturalisme, setelah
menempuh perjalanan panjang dari akar pra-Sokratik hingga refleksi filsafat dan
sains kontemporer, menghadirkan sebuah sintesis yang menegaskan kesatuan antara
realitas,
pengetahuan, dan nilai dalam tatanan alamiah. Sintesis ini
tidak hanya berfungsi sebagai penyatuan antara sains dan filsafat, tetapi juga
sebagai kerangka dunia (worldview) yang koheren bagi
manusia modern yang mencari makna di tengah dunia tanpa dimensi supranatural.¹
Dalam konteks ini, Naturalisme dapat dipahami sebagai upaya membangun kembali
metafisika yang rasional, empiris, dan terbuka terhadap perkembangan
pengetahuan ilmiah.
8.1.
Integrasi antara Ontologi, Epistemologi, dan
Etika Alamiah
Sintesis filosofis
Naturalisme berakar pada keyakinan bahwa segala aspek realitas—materi,
kehidupan, kesadaran, dan nilai—terjalin dalam satu kesatuan sistem alamiah.²
Ontologi Naturalisme menegaskan bahwa tidak ada yang eksis di luar alam,
sementara epistemologinya menyatakan bahwa semua pengetahuan bersumber dari
pengalaman empiris yang lahir dari interaksi organisme dengan lingkungannya.³
Dalam ranah etika, Naturalisme menganggap nilai moral dan estetis sebagai hasil
evolusi dan adaptasi manusia terhadap alam dan masyarakat.⁴
Dengan demikian,
Naturalisme membentuk sistem filsafat yang monistik dan integratif:
ontologi menyediakan dasar keberadaan; epistemologi menjelaskan bagaimana
manusia mengetahui realitas; dan etika menunjukkan bagaimana manusia seharusnya
bertindak di dalamnya. Tidak ada jurang antara fakta dan nilai, antara yang
“ada” dan yang “seharusnya,” karena keduanya merupakan ekspresi dari dinamika
kehidupan alamiah yang sama.⁵
8.2.
Sintesis antara Ilmu dan Filsafat
Naturalisme
kontemporer memulihkan hubungan yang sempat terpecah antara filsafat dan ilmu
pengetahuan. Filsafat, dalam pandangan naturalistik, bukanlah upaya untuk
mengungguli sains, melainkan untuk memahami struktur rasional dari penyelidikan
ilmiah itu sendiri.⁶ Sebaliknya, sains tidak hanya mengumpulkan
fakta, tetapi juga beroperasi dengan asumsi metafisis tertentu tentang
keteraturan alam, kausalitas, dan kebermaknaan empiris—yang merupakan warisan
filsafat.
Dalam sintesis ini,
filsafat dan sains saling melengkapi: sains memberikan dasar faktual bagi
refleksi filosofis, sedangkan filsafat memberikan kerangka konseptual dan
kritis bagi penafsiran hasil-hasil ilmiah.⁷ Seperti yang ditegaskan oleh E.O.
Wilson, pengetahuan manusia harus membentuk consilience—kesatuan
lintas disiplin di mana ilmu pengetahuan alam, sosial, dan humaniora bersatu
dalam kerangka rasional yang konsisten.⁸
8.3.
Naturalisme Humanistik: Rekonsiliasi antara
Determinisme dan Kebebasan
Salah satu tantangan
utama Naturalisme adalah persoalan kebebasan manusia di tengah determinisme
kausal alam. Dalam sintesis filosofisnya, Naturalisme berupaya mereinterpretasi
kebebasan sebagai fenomena emergen, bukan sebagai pelanggaran
terhadap hukum alam.⁹ Kebebasan manusia muncul ketika organisme yang sadar
mampu merefleksikan, menilai, dan memilih berdasarkan sebab-sebab internal yang
koheren dengan struktur biologis dan sosialnya.¹⁰
Pendekatan ini
melahirkan naturalisme humanistik, yang
memandang manusia bukan sebagai makhluk transenden di luar alam, melainkan
sebagai pusat refleksi dan makna dalam sistem alamiah itu sendiri.¹¹ Melalui
kesadaran reflektifnya, manusia dapat menjadi agen moral dan kreatif tanpa
harus mengandaikan kebebasan metafisis. Dengan demikian, Naturalisme menegaskan
bahwa kebebasan bukanlah kebal terhadap kausalitas, tetapi merupakan bagian
dari keutuhan rasionalitas alam.¹²
8.4.
Sintesis Ekologis: Kesatuan Kosmos dan Etika
Kehidupan
Sintesis filosofis
Naturalisme juga menuntun pada kesadaran ekologis, yakni pandangan bahwa
seluruh kehidupan di alam semesta saling terhubung dalam satu sistem moral dan
ontologis.¹³ Etika naturalistik yang berlandaskan pada keteraturan dan
keberlanjutan alam menghasilkan paradigma ekologis yang menolak dominasi
manusia atas alam.¹⁴ Dalam kerangka ini, manusia bukan penguasa, melainkan
bagian dari jaringan kehidupan yang memiliki nilai intrinsik.
Pandangan ini
menggabungkan wawasan ilmiah tentang ekosistem dengan pemikiran filosofis
mengenai tanggung jawab moral terhadap planet ini.¹⁵ Naturalisme, dengan
demikian, membentuk dasar bagi etika global baru yang berpijak pada solidaritas
ekologis dan keberlanjutan kehidupan.¹⁶
8.5.
Naturalisme Terbuka dan Transendensi Imanen
Sintesis Naturalisme
yang paling mendalam adalah pengakuan bahwa rasionalitas alam itu sendiri bersifat terbuka
terhadap transendensi imanen.¹⁷ Artinya, Naturalisme tidak
harus ateistik dalam arti negatif, tetapi dapat mengakui “keagungan alam”
sebagai sumber makna dan kekaguman moral yang sejati. Pemikir seperti Spinoza,
Albert
Einstein, dan John Dewey menekankan bahwa
pengalaman religius dapat dipahami secara naturalistik sebagai kesadaran akan
keteraturan dan keindahan kosmos.¹⁸
Dengan demikian,
Naturalisme terbuka terhadap pengalaman spiritual tanpa harus melampaui batas
empiris. Ia menggantikan “transendensi vertikal” (menuju dunia adikodrati)
dengan transendensi
horizontal, yakni keterbukaan manusia terhadap kompleksitas dan
kedalaman alam semesta yang terus berkembang.¹⁹
Kesimpulan Sintetis
Sintesis filosofis
Naturalisme menghasilkan pandangan dunia yang rasional, empiris, dan etis
sekaligus. Ia menolak dualisme, tetapi tidak menghapus dimensi makna. Ia
menolak supranaturalisme, tetapi tidak meniadakan kekaguman terhadap tatanan
kosmos.²⁰ Dalam pengertian ini, Naturalisme bukan sekadar pandangan ilmiah,
tetapi juga filsafat kehidupan yang
mengajarkan kesatuan antara pengetahuan, keberadaan, dan tanggung jawab
moral.²¹
Naturalisme akhirnya
dapat dipahami bukan sebagai penutupan terhadap makna, melainkan sebagai cara
baru memahami keajaiban dunia tanpa harus meninggalkan dunia itu sendiri—sebuah
kosmos yang hidup, rasional, dan penuh kemungkinan.²²
Footnotes
[1]
David Papineau, Philosophical Naturalism (Oxford: Blackwell,
1993), 41–43.
[2]
Mario De Caro and David Macarthur, eds., Naturalism in Question
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2004), 46–48.
[3]
John Dewey, Experience and Nature (Chicago: Open Court, 1929),
55–58.
[4]
John Dewey, Human Nature and Conduct (New York: Henry Holt,
1922), 30–33.
[5]
Owen Flanagan, Varieties of Moral Personality (Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1991), 52–54.
[6]
W.V.O. Quine, “Epistemology Naturalized,” in Ontological Relativity
and Other Essays (New York: Columbia University Press, 1969), 69–90.
[7]
Hilary Putnam, Realism with a Human Face, ed. James Conant
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1990), 45–47.
[8]
E.O. Wilson, Consilience: The Unity of Knowledge (New York:
Vintage, 1998), 145–147.
[9]
Daniel C. Dennett, Freedom Evolves (New York: Viking, 2003),
12–15.
[10]
Owen Flanagan, The Problem of the Soul: Two Visions of Mind and How
to Reconcile Them (New York: Basic Books, 2002), 100–103.
[11]
Paul Kurtz, The Courage to Become: The Virtues of Humanism
(Westport, CT: Praeger, 1997), 25–28.
[12]
Dennett, Freedom Evolves, 30–33.
[13]
Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle, trans. David
Rothenberg (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 50–52.
[14]
Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in
the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 91–94.
[15]
Bryan G. Norton, Toward Unity Among Environmentalists (Oxford:
Oxford University Press, 1991), 70–73.
[16]
Andrew Light and Holmes Rolston III, eds., Environmental Ethics: An
Anthology (Oxford: Blackwell, 2003), 88–90.
[17]
De Caro and Macarthur, Naturalism in Question, 50–52.
[18]
Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (London: Penguin,
1996), Part V, Prop. XXXVI; Albert Einstein, Ideas and Opinions (New
York: Crown, 1954), 38–40; John Dewey, A Common Faith (New Haven: Yale
University Press, 1934), 24–26.
[19]
Einstein, Ideas and Opinions, 41–43.
[20]
Papineau, Philosophical Naturalism, 45–47.
[21]
Kurtz, The Courage to Become, 32–35.
[22]
Wilson, Consilience, 150–152.
9.
Kesimpulan
Naturalisme, sebagai
salah satu aliran utama dalam metafisika, telah memberikan sumbangan yang luar
biasa terhadap perkembangan filsafat modern dan cara manusia memahami realitas.
Inti ajaran Naturalisme adalah pandangan bahwa alam merupakan totalitas eksistensi,
dan bahwa seluruh fenomena—baik fisik, biologis, maupun mental—dapat dijelaskan
melalui hukum-hukum alam yang rasional dan dapat diuji secara empiris.¹ Dengan
demikian, Naturalisme menegaskan kesatuan antara manusia dan alam, serta
menolak segala bentuk dualisme dan supranaturalisme yang memisahkan dunia
empiris dari dunia metafisis.
Dalam perjalanan
historisnya, Naturalisme berkembang dari pemikiran pra-Sokratik hingga filsafat
sains modern, dengan transformasi konseptual yang terus memperluas maknanya.²
Dari physis
para filsuf Miletos, atomisme Demokritos, hingga naturalisme evolusioner Darwin
dan positivisme logis abad ke-20, pandangan ini beradaptasi mengikuti penemuan
ilmiah dan refleksi filosofis baru.³ Perkembangan kontemporer Naturalisme bahkan
memperlihatkan kemampuannya untuk mengakomodasi pandangan non-reduksionis yang
lebih terbuka terhadap kompleksitas kesadaran, nilai, dan makna.⁴
Epistemologi
Naturalisme menegaskan bahwa pengetahuan adalah hasil dari proses biologis dan
kognitif yang berakar pada pengalaman empiris.⁵ Dengan demikian, sains dan
filsafat bukanlah dua ranah yang terpisah, melainkan dua bentuk refleksi
rasional yang sama-sama berakar pada kemampuan adaptif manusia terhadap dunia.
Etika dan aksiologi Naturalisme, pada gilirannya, menempatkan nilai moral,
keindahan, dan makna dalam konteks kehidupan alamiah dan sosial manusia—menolak
absolutisme moral transenden, tetapi tetap menegaskan dasar empiris bagi
tanggung jawab moral dan ekologis.⁶
Namun, Naturalisme
tidak luput dari kritik. Ia sering dituduh terlalu reduksionistik, mengabaikan
subjektivitas dan kebebasan manusia, serta gagal menjelaskan dimensi normatif
dan spiritual dari kehidupan.⁷ Meski demikian, kritik-kritik tersebut justru
memperkaya diskursus filosofis dan melahirkan bentuk naturalisme
pluralistik dan humanistik, yang mengakui bahwa rasionalitas
alam tidak bersifat mekanistik semata, melainkan juga mengandung potensi
kesadaran dan makna.⁸
Dalam konteks
kontemporer, relevansi Naturalisme semakin nyata di tengah tantangan global
seperti krisis lingkungan, kemajuan bioteknologi, dan revolusi digital.
Paradigma naturalistik menyediakan kerangka untuk memahami manusia sebagai
bagian integral dari ekosistem dan kosmos—bukan penguasa atasnya, melainkan
penjaga dan peserta aktif dalam dinamika kehidupan.⁹
Dengan demikian, Naturalisme
dapat disimpulkan sebagai suatu pandangan dunia yang menyatukan pengetahuan,
etika, dan keberadaan dalam kerangka rasional dan empiris,
tanpa menutup kemungkinan bagi dimensi transendensi yang imanen di dalam alam
itu sendiri. Ia menolak dualisme antara iman dan ilmu, antara manusia dan alam,
serta antara fakta dan nilai—menawarkan suatu visi kesatuan
eksistensial di mana manusia menemukan makna bukan di luar
dunia, tetapi di dalam tatanan alam yang hidup, rasional, dan terus
berkembang.¹⁰
Footnotes
[1]
David Papineau, Philosophical Naturalism (Oxford: Blackwell,
1993), 3–5.
[2]
G.S. Kirk, J.E. Raven, and M. Schofield, The Presocratic
Philosophers (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 85–88.
[3]
Charles Darwin, On the Origin of Species (London: John Murray,
1859), 67–70.
[4]
Mario De Caro and David Macarthur, eds., Naturalism in Question
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 2004), 47–50.
[5]
W.V.O. Quine, “Epistemology Naturalized,” in Ontological Relativity
and Other Essays (New York: Columbia University Press, 1969), 69–90.
[6]
John Dewey, Human Nature and Conduct (New York: Henry Holt,
1922), 22–26.
[7]
Alvin Plantinga, Where the Conflict Really Lies: Science, Religion,
and Naturalism (Oxford: Oxford University Press, 2011), 314–316.
[8]
Owen Flanagan, The Problem of the Soul: Two Visions of Mind and How
to Reconcile Them (New York: Basic Books, 2002), 97–99.
[9]
Holmes Rolston III, A New Environmental Ethics: The Next Millennium
for Life on Earth (London: Routledge, 2012), 34–36.
[10]
E.O. Wilson, Consilience: The Unity of Knowledge (New York:
Vintage, 1998), 145–148.
Daftar Pustaka
Barnes, J. (1987). Early Greek philosophy.
London: Penguin Books.
Bostrom, N. (2014). Superintelligence: Paths,
dangers, strategies. Oxford: Oxford University Press.
Campbell, D. T. (1974). Evolutionary epistemology.
In P. A. Schilpp (Ed.), The philosophy of Karl Popper (pp. 413–463). La
Salle, IL: Open Court.
Chalmers, D. J. (1996). The conscious mind: In
search of a fundamental theory. New York: Oxford University Press.
Churchland, P. M. (1988). Matter and
consciousness. Cambridge, MA: MIT Press.
Churchland, P. S. (1986). Neurophilosophy:
Toward a unified science of the mind-brain. Cambridge, MA: MIT Press.
Churchland, P. S. (2002). Brain-wise: Studies in
neurophilosophy. Cambridge, MA: MIT Press.
Cottingham, J. (1984). Rationalism. London:
Palgrave.
Darwin, C. (1859). On the origin of species.
London: John Murray.
Darwin, C. (1871). The descent of man.
London: John Murray.
De Caro, M., & Macarthur, D. (Eds.). (2004). Naturalism
in question. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Dennett, D. C. (1991). Consciousness explained.
Boston: Little, Brown.
Dennett, D. C. (2003). Freedom evolves. New
York: Viking.
Dennett, D. C. (2017). From bacteria to Bach and
back: The evolution of minds. New York: W. W. Norton.
Dewey, J. (1922). Human nature and conduct.
New York: Henry Holt.
Dewey, J. (1929). Experience and nature. Chicago:
Open Court.
Dewey, J. (1934). Art as experience. New
York: Minton, Balch.
Dewey, J. (1934). A common faith. New Haven,
CT: Yale University Press.
Dutton, D. (2009). The art instinct: Beauty,
pleasure, and human evolution. Oxford: Oxford University Press.
Einstein, A. (1954). Ideas and opinions. New
York: Crown.
Epicurus. (1994). Letter to Menoeceus. In B.
Inwood & L. P. Gerson (Eds.), The Epicurus reader (pp. 29–30).
Indianapolis, IN: Hackett.
Flanagan, O. (1991). Varieties of moral personality:
Ethics and psychological realism. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Flanagan, O. (2002). The problem of the soul:
Two visions of mind and how to reconcile them. New York: Basic Books.
Guthrie, W. K. C. (1962). A history of Greek
philosophy: Vol. 1. The earlier presocratics and the Pythagoreans.
Cambridge: Cambridge University Press.
Hegel, G. W. F. (1977). Phenomenology of spirit
(A. V. Miller, Trans.). Oxford: Oxford University Press.
Heidegger, M. (1962). Being and time (J.
Macquarrie & E. Robinson, Trans.). New York: Harper & Row.
Heisenberg, W. (1958). Physics and philosophy:
The revolution in modern science. New York: Harper.
Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P.
Guyer & A. Wood, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.
Kirk, G. S., Raven, J. E., & Schofield, M.
(1983). The presocratic philosophers. Cambridge: Cambridge University
Press.
Kitcher, P. (1993). The advancement of science:
Science without legend, objectivity without illusions. Oxford: Oxford
University Press.
Kurzweil, R. (2005). The singularity is near.
New York: Viking.
Kurtz, P. (1997). The courage to become: The
virtues of humanism. Westport, CT: Praeger.
Leaman, O. (2001). An introduction to classical
Islamic philosophy. Cambridge: Cambridge University Press.
Leopold, A. (1949). A sand county almanac.
New York: Oxford University Press.
Light, A., & Rolston, H. III (Eds.). (2003). Environmental
ethics: An anthology. Oxford: Blackwell.
Lorenz, K. (1981). The foundations of ethology.
New York: Springer.
Lowe, J. (2000). An introduction to the
philosophy of mind. Cambridge: Cambridge University Press.
Metzinger, T. (2009). The ego tunnel: The
science of the mind and the myth of the self. New York: Basic Books.
Moore, G. E. (1903). Principia ethica.
Cambridge: Cambridge University Press.
Nagel, T. (1974). What is it like to be a bat? The
Philosophical Review, 83(4), 435–450.
Nagel, T. (1986). The view from nowhere.
Oxford: Oxford University Press.
Nagel, T. (2012). Mind and cosmos: Why the
materialist neo-Darwinian conception of nature is almost certainly false.
Oxford: Oxford University Press.
Naess, A. (1989). Ecology, community and
lifestyle (D. Rothenberg, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.
Nadler, S. (2006). Spinoza’s ethics: An introduction.
Cambridge: Cambridge University Press.
Nietzsche, F. (1966). Beyond good and evil
(W. Kaufmann, Trans.). New York: Vintage.
Norton, B. G. (1991). Toward unity among
environmentalists. Oxford: Oxford University Press.
Osborne, C. (2004). Presocratic philosophy: A
very short introduction. Oxford: Oxford University Press.
Papineau, D. (1993). Philosophical naturalism.
Oxford: Blackwell.
Plantinga, A. (2011). Where the conflict really
lies: Science, religion, and naturalism. Oxford: Oxford University Press.
Prigogine, I., & Stengers, I. (1984). Order
out of chaos. New York: Bantam.
Putnam, H. (1990). Realism with a human face
(J. Conant, Ed.). Cambridge, MA: Harvard University Press.
Quine, W. V. O. (1953). On what there is. In From
a logical point of view (pp. 1–19). Cambridge, MA: Harvard University
Press.
Quine, W. V. O. (1969). Epistemology naturalized.
In Ontological relativity and other essays (pp. 69–90). New York:
Columbia University Press.
Rahner, K. (1978). Foundations of Christian
faith. New York: Crossroad.
Reppert, V. (2003). C.S. Lewis’s dangerous idea:
In defense of the argument from reason. Downers Grove, IL: InterVarsity
Press.
Rolston, H. III. (1988). Environmental ethics:
Duties to and values in the natural world. Philadelphia: Temple University
Press.
Rolston, H. III. (2012). A new environmental
ethics: The next millennium for life on earth. London: Routledge.
Roskies, A. (2002). Neuroethics for the new
millennium. Neuron, 35(1), 21–23.
Ruse, M. (1986). Taking Darwin seriously: A
naturalistic approach to philosophy. Oxford: Blackwell.
Sartre, J.-P. (1956). Being and nothingness
(H. E. Barnes, Trans.). New York: Philosophical Library.
Searle, J. R. (1992). The rediscovery of the
mind. Cambridge, MA: MIT Press.
Sellars, W. (1963). Science, perception, and
reality. London: Routledge.
Singer, P. (2011). Practical ethics (3rd
ed.). Cambridge: Cambridge University Press.
Spencer, H. (1879). The data of ethics.
London: Williams and Norgate.
Spinoza, B. (1996). Ethics (E. Curley,
Trans.). London: Penguin.
Taylor, C. (1989). Sources of the self: The
making of the modern identity. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Taylor, P. W. (1986). Respect for nature: A
theory of environmental ethics. Princeton: Princeton University Press.
Wilson, E. O. (1975). Sociobiology: The new
synthesis. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Wilson, E. O. (1998). Consilience: The unity of
knowledge. New York: Vintage Books.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar