Selasa, 02 Desember 2025

Naturalisme: Antara Determinisme Alamiah dan Rasionalitas Manusia

Naturalisme

Antara Determinisme Alamiah dan Rasionalitas Manusia


Alihkan ke: Aliran Metafisik dalam Filsafat.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif aliran filsafat Naturalisme sebagai salah satu cabang utama dalam metafisika yang berupaya menjelaskan realitas tanpa mengandaikan eksistensi entitas supranatural. Naturalisme berpijak pada pandangan bahwa alam merupakan totalitas eksistensi yang tunduk pada hukum-hukum rasional dan empiris, di mana segala fenomena—termasuk kesadaran, moralitas, dan nilai—dapat dipahami sebagai hasil dari proses alamiah yang berkelanjutan. Pembahasan dimulai dengan telaah historis yang menelusuri akar Naturalisme dari filsafat pra-Sokratik, berkembang dalam pemikiran Spinoza dan Darwin, hingga menjadi paradigma dominan dalam filsafat sains modern.

Secara ontologis, Naturalisme menegaskan bahwa realitas bersifat monistik dan deterministik, namun tetap terbuka terhadap pemahaman kompleksitas sistem dan kesadaran sebagai fenomena emergen. Secara epistemologis, Naturalisme menolak sumber pengetahuan transenden dan menegaskan bahwa kognisi manusia merupakan produk evolusi biologis yang dapat dijelaskan secara ilmiah. Dalam ranah etika dan aksiologi, Naturalisme menafsirkan nilai moral dan estetis sebagai hasil interaksi evolusioner antara manusia dan lingkungannya, sekaligus sebagai dasar bagi etika ekologis dan tanggung jawab moral terhadap keberlanjutan kehidupan.

Artikel ini juga meninjau berbagai kritik terhadap Naturalisme—terutama dari idealisme, eksistensialisme, dan teologi—yang menilai bahwa pandangan ini cenderung reduksionistik dan mengabaikan dimensi makna serta kebebasan manusia. Namun, melalui sintesis filosofisnya, Naturalisme kontemporer berkembang menjadi paradigma pluralistik dan humanistik yang mengintegrasikan ilmu, etika, dan kesadaran ekologis dalam satu kerangka rasional. Dengan demikian, Naturalisme tidak hanya menjadi landasan metafisis bagi sains modern, tetapi juga menawarkan visi filosofis yang koheren, empiris, dan etis bagi pemikiran manusia abad ke-21.

Kata Kunci: Naturalisme, Metafisika, Determinisme, Empirisme, Etika Alamiah, Evolusi, Filsafat Sains, Ekologi, Humanisme Naturalistik.


PEMBAHASAN

Naturalisme dalam Filsafat Metafisika


1.           Pendahuluan

Naturalisme merupakan salah satu aliran penting dalam filsafat metafisika yang berupaya menjelaskan seluruh realitas berdasarkan prinsip-prinsip alamiah tanpa melibatkan entitas atau sebab-sebab supranatural. Dalam pandangan ini, alam (nature) dipahami sebagai totalitas keberadaan yang mencakup segala fenomena fisik, biologis, dan mental. Tidak ada sesuatu yang berada “di luar” atau “melampaui” alam; bahkan kesadaran dan nilai-nilai moral pun dianggap sebagai hasil dari proses alami yang dapat dijelaskan secara ilmiah. Dengan demikian, Naturalisme menjadi fondasi bagi berbagai pendekatan ilmiah dan filosofis yang menekankan kontinuitas antara manusia dan dunia alamiah tempat ia berada.¹

Sejarah Naturalisme berakar pada filsafat Yunani Kuno, khususnya melalui pemikiran para filsuf Miletos seperti Thales, Anaximandros, dan Anaximenes, yang berusaha memahami asal mula segala sesuatu (archē) tanpa merujuk pada intervensi ilahi.² Pemikiran ini berkembang lebih lanjut dalam bentuk atomisme oleh Leukippos dan Demokritos, yang menegaskan bahwa realitas tersusun atas partikel-partikel materi yang tunduk pada hukum alam.³ Warisan intelektual ini menginspirasi bangkitnya kembali Naturalisme pada masa modern, terutama melalui Baruch Spinoza yang menafsirkan Tuhan sebagai identik dengan alam (Deus sive Natura), serta melalui Charles Darwin yang menjelaskan asal-usul kehidupan dan manusia dalam kerangka evolusi biologis.⁴

Dalam perkembangan selanjutnya, Naturalisme tidak hanya menjadi pandangan metafisik, tetapi juga epistemologis dan etis. W.V.O. Quine, misalnya, menekankan bahwa epistemologi harus “dinaturalisasi,” yakni dipahami sebagai bagian dari penyelidikan ilmiah tentang bagaimana manusia memperoleh pengetahuan.⁵ Sementara itu, dalam bidang etika, muncul pandangan bahwa nilai-nilai moral tidak bersumber dari wahyu atau intuisi metafisis, melainkan dari kebutuhan biologis, sosial, dan ekologis manusia sebagai makhluk alamiah.⁶

Dengan demikian, Naturalisme memunculkan sejumlah pertanyaan mendasar: Apakah segala sesuatu dapat dijelaskan secara alamiah? Apakah kesadaran dan kebebasan manusia dapat direduksi menjadi fenomena biologis dan neurologis semata? Bagaimana posisi nilai dan makna dalam dunia yang sepenuhnya naturalistik? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang menjadi inti persoalan metafisika Naturalisme dan sekaligus menjadi fokus utama pembahasan dalam artikel ini.

Kajian ini bertujuan untuk menelaah secara sistematis aspek-aspek ontologis, epistemologis, dan etis dari Naturalisme, beserta kritik serta relevansinya dalam konteks filsafat kontemporer. Pendekatan yang digunakan adalah deskriptif-analitis untuk memaparkan kerangka konseptual Naturalisme, serta komparatif-kritis untuk menguji posisinya terhadap aliran lain seperti idealisme, spiritualisme, dan teisme. Dengan cara ini, artikel ini berupaya memberikan gambaran komprehensif mengenai Naturalisme sebagai paradigma metafisik yang berakar kuat pada rasionalitas ilmiah, tetapi tetap terbuka bagi refleksi filosofis yang mendalam tentang hakikat manusia dan alam semesta.⁷


Footnotes

[1]                David Papineau, Philosophical Naturalism (Oxford: Blackwell, 1993), 2.

[2]                G.S. Kirk, J.E. Raven, and M. Schofield, The Presocratic Philosophers (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 85–88.

[3]                Jonathan Barnes, Early Greek Philosophy (London: Penguin, 1987), 212–215.

[4]                Steven Nadler, Spinoza’s Ethics: An Introduction (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 27–29; Charles Darwin, On the Origin of Species (London: John Murray, 1859).

[5]                W.V.O. Quine, “Epistemology Naturalized,” in Ontological Relativity and Other Essays (New York: Columbia University Press, 1969), 69–90.

[6]                John Dewey, Human Nature and Conduct (New York: Henry Holt, 1922), 34–37.

[7]                Mario De Caro and David Macarthur, eds., Naturalism in Question (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2004), 1–3.


2.           Landasan Historis dan Genealogis Naturalisme

Naturalisme memiliki akar historis yang sangat tua dan berlapis, berkembang dari refleksi awal manusia terhadap alam sebagai realitas yang otonom dan dapat dipahami tanpa perlu melibatkan penjelasan supranatural. Dalam konteks filsafat, Naturalisme bukanlah sekadar penegasan bahwa alam itu nyata, tetapi suatu worldview yang menolak dikotomi antara alam dan yang transenden. Oleh karena itu, memahami genealoginya memerlukan penelusuran dari masa pra-Sokratik hingga perkembangan sains modern dan filsafat kontemporer.

2.1.       Naturalisme dalam Filsafat Yunani Kuno

Bentuk paling awal dari Naturalisme dapat ditemukan pada para filsuf Miletos—Thales, Anaximandros, dan Anaximenes—yang berupaya mencari archē atau prinsip dasar segala sesuatu dalam unsur-unsur alam. Thales menyebut air sebagai asal mula realitas, sementara Anaximandros memperkenalkan konsep apeiron (yang tak terbatas) sebagai dasar kosmos.¹ Pendekatan mereka bersifat naturalistik karena menjelaskan perubahan dan keteraturan dunia berdasarkan hukum-hukum alam, bukan intervensi dewa.²

Filsuf-filsuf berikutnya, seperti Herakleitos dan Empedokles, memperdalam gagasan ini dengan menafsirkan perubahan sebagai sifat dasar alam dan mengusulkan teori empat unsur sebagai struktur fundamental realitas.³ Sementara itu, Leukippos dan Demokritos mengembangkan atomisme, yakni pandangan bahwa segala sesuatu terdiri atas partikel-partikel kecil yang tak terbagi (atomos), bergerak di dalam kehampaan dan tunduk pada hukum kausalitas mekanistik.⁴ Dalam pandangan atomistik ini, jiwa, pikiran, dan bahkan moralitas manusia dianggap sebagai hasil dari kombinasi dan gerak atom-atom — suatu paradigma yang kemudian menjadi cikal bakal materialisme ilmiah.

2.2.       Naturalisme dalam Filsafat Hellenistik dan Abad Pertengahan

Pada masa Hellenistik, aliran Epikureanisme membawa Naturalisme ke ranah etika. Epikuros berpendapat bahwa kebahagiaan (ataraxia) dicapai melalui pengetahuan akan hukum-hukum alam dan pembebasan dari ketakutan terhadap para dewa.⁵ Dalam konteks ini, Naturalisme tidak hanya menjelaskan dunia secara fisik, tetapi juga memberikan dasar bagi etika rasional dan kesejahteraan manusia.

Namun, dominasi pemikiran teistik selama Abad Pertengahan menyebabkan Naturalisme mengalami kemunduran. Filsafat skolastik, terutama yang diwakili oleh Thomas Aquinas, lebih menekankan sintesis antara akal dan wahyu.⁶ Meskipun demikian, benih naturalisme tetap bertahan dalam pemikiran ilmuwan Muslim seperti Ibn Sina (Avicenna) dan Ibn Rushd (Averroes), yang berusaha menafsirkan hukum alam sebagai ekspresi rasional kehendak ilahi, bukan intervensi adikodrati.⁷

2.3.       Naturalisme pada Masa Modern

Kebangkitan Naturalisme modern dimulai pada abad ke-17 dan ke-18 bersamaan dengan revolusi ilmiah. Spinoza memberikan kontribusi metafisik yang mendalam dengan menyatakan bahwa Tuhan dan alam adalah identik (Deus sive Natura), sehingga segala eksistensi dan proses dalam dunia bersumber dari satu substansi yang sama.⁸ Gagasannya ini membuka jalan bagi pemikiran deterministik dan rasionalistik yang menolak dualisme Cartesian.

Pada abad ke-19, Charles Darwin menghidupkan kembali semangat naturalistik melalui teori evolusi, yang menjelaskan asal-usul spesies dan keberagaman kehidupan berdasarkan mekanisme seleksi alam.⁹ Pandangan Darwin menandai pergeseran radikal: manusia bukanlah ciptaan unik yang terpisah dari alam, melainkan bagian integral dari proses evolusi biologis yang berkelanjutan.¹⁰ Naturalisme kemudian berkembang menjadi paradigma ilmiah yang mendasari biologi, psikologi, dan bahkan studi etika evolusioner.

2.4.       Naturalisme dalam Filsafat Kontemporer

Pada abad ke-20, Naturalisme dihidupkan kembali oleh filsafat analitik dan pragmatisme. John Dewey memandang bahwa pengalaman manusia tidak terpisah dari dunia alamiah, dan bahwa rasionalitas tumbuh dari interaksi adaptif antara organisme dan lingkungannya.¹¹ W.V.O. Quine kemudian memperkenalkan gagasan epistemology naturalized, yang menyatakan bahwa penyelidikan tentang pengetahuan manusia seharusnya menjadi bagian dari ilmu alam—terutama psikologi dan neurosains.¹²

Dalam perkembangan mutakhir, muncul naturalism pluralis yang diusung oleh Mario De Caro dan David Macarthur, yang berusaha menolak reduksionisme fisikalistik ekstrem dan membuka ruang bagi penjelasan alamiah yang lebih holistik, mencakup fenomena kesadaran, nilai, dan budaya.¹³ Dengan demikian, genealogis Naturalisme memperlihatkan transformasi dari penjelasan kosmologis menuju paradigma ilmiah dan filosofis yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia.


Kesimpulan Sementara

Sejarah panjang Naturalisme menunjukkan kontinuitas ide dari penjelasan kosmos pra-Sokratik hingga sains modern. Namun, yang tetap konsisten adalah keyakinan bahwa segala realitas tunduk pada hukum-hukum alam yang rasional dan dapat diketahui. Perubahan konteks historis hanya memperluas cakupan Naturalisme, dari kosmologi fisik ke epistemologi dan etika, menjadikannya salah satu kerangka paling berpengaruh dalam pemikiran metafisik dan ilmiah modern.


Footnotes

[1]                G.S. Kirk, J.E. Raven, and M. Schofield, The Presocratic Philosophers (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 45–48.

[2]                Jonathan Barnes, Early Greek Philosophy (London: Penguin, 1987), 102–106.

[3]                W.K.C. Guthrie, A History of Greek Philosophy, Vol. 1: The Earlier Presocratics and the Pythagoreans (Cambridge: Cambridge University Press, 1962), 157–160.

[4]                Catherine Osborne, Presocratic Philosophy: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2004), 66–70.

[5]                Epicurus, Letter to Menoeceus, in The Epicurus Reader, ed. Brad Inwood and L.P. Gerson (Indianapolis: Hackett, 1994), 29–30.

[6]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, q.2, a.3.

[7]                Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 145–148.

[8]                Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (London: Penguin, 1996), Part I, Prop. XV.

[9]                Charles Darwin, On the Origin of Species (London: John Murray, 1859), 70–75.

[10]             Michael Ruse, Darwinism and Its Discontents (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 12–15.

[11]             John Dewey, Experience and Nature (Chicago: Open Court, 1929), 22–25.

[12]             W.V.O. Quine, “Epistemology Naturalized,” in Ontological Relativity and Other Essays (New York: Columbia University Press, 1969), 69–90.

[13]             Mario De Caro and David Macarthur, eds., Naturalism in Question (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2004), 3–5.


3.           Ontologi Naturalisme

Ontologi Naturalisme berpijak pada keyakinan bahwa realitas secara keseluruhan merupakan kesatuan yang bersifat alamiah (natural), tanpa memerlukan entitas supranatural atau prinsip metafisis yang berada di luar hukum-hukum alam. Dalam kerangka ini, being atau keberadaan dipahami sebagai bagian dari sistem kausal dan empiris yang dapat dijelaskan melalui metode ilmiah. Dengan demikian, Naturalisme menolak segala bentuk dualisme antara roh dan materi, antara dunia fenomenal dan noumenal, serta antara alam dan yang transenden.¹

3.1.       Realitas sebagai Totalitas Alamiah

Bagi para naturalis, alam (nature) adalah totalitas dari segala yang ada. Tidak ada entitas atau proses yang melampaui atau berdiri di luar hukum-hukum alam.² Alam bukan hanya kumpulan benda, tetapi suatu sistem dinamis yang memiliki keteraturan inheren, sebagaimana dijelaskan dalam hukum fisika, biologi, dan kimia.³ Prinsip ini menolak pandangan bahwa alam adalah ciptaan dari suatu kekuatan supranatural yang bertindak dari luar sistem kausalitas. Dalam Naturalisme, keberadaan Tuhan, jika diakui, hanya dapat dipahami sebagai ekspresi atau identitas dari keseluruhan realitas itu sendiri—sebagaimana dalam naturalisme panteistik Spinoza (Deus sive Natura).⁴

Dalam konteks ini, ontologi naturalistik bersifat monistik: seluruh realitas memiliki dasar ontologis tunggal, yaitu materi atau energi yang tersusun dan berkembang secara kausal. Semua fenomena, termasuk kehidupan dan kesadaran, merupakan hasil dari proses alamiah yang kontinyu dan tidak terputus.⁵

3.2.       Penolakan terhadap Dualisme dan Supranaturalisme

Naturalisme menolak dualisme Cartesian yang memisahkan antara substansi berpikir (res cogitans) dan substansi materi (res extensa).⁶ Pemisahan tersebut dianggap menghasilkan problem ontologis dan epistemologis yang tidak dapat dijembatani, seperti kesulitan menjelaskan hubungan antara pikiran dan tubuh. Dalam Naturalisme, pikiran (mind) bukanlah substansi terpisah, melainkan hasil dari kompleksitas aktivitas biologis otak dan sistem saraf.⁷

Begitu pula, Naturalisme menolak supranaturalisme, yakni pandangan bahwa terdapat realitas atau kekuatan yang melampaui hukum alam. Pandangan ini dianggap tidak perlu dan tidak memiliki dasar empiris. Sebaliknya, segala fenomena, termasuk fenomena religius atau moral, dapat dipahami dalam kerangka penjelasan naturalistik—baik melalui psikologi evolusioner, neurosains, maupun sosiologi.⁸

3.3.       Determinisme dan Hukum Kausalitas Alamiah

Salah satu ciri ontologi Naturalisme adalah determinisme, yakni pandangan bahwa setiap peristiwa memiliki sebab-sebab alamiah yang pasti.⁹ Tidak ada ruang bagi intervensi adikodrati yang memutus rantai kausalitas. Prinsip ini telah dipegang sejak filsuf atomis seperti Demokritos dan diperkuat oleh fisika klasik Newton. Namun, dalam Naturalisme kontemporer, determinisme tidak lagi dipahami secara mekanistik semata, melainkan dalam kerangka probabilistik dan kompleksitas sistem sebagaimana dalam fisika kuantum dan teori chaos.¹⁰

Determinisme naturalistik menegaskan bahwa kebebasan manusia tidak berarti kebebasan dari hukum alam, melainkan kemampuan untuk bertindak berdasarkan sebab-sebab internal yang sesuai dengan struktur biologis dan psikologis manusia. Dengan demikian, Naturalisme menggabungkan kausalitas universal dengan rasionalitas internal, sehingga kebebasan menjadi bagian dari sistem alam itu sendiri.¹¹

3.4.       Kesadaran dan Kehidupan dalam Kerangka Naturalisme

Masalah besar dalam ontologi Naturalisme adalah menjelaskan keberadaan kesadaran (consciousness). Apakah kesadaran sepenuhnya dapat direduksi menjadi proses fisik, ataukah ia memiliki kualitas emergen yang unik? Dalam pandangan materialisme reduksionis, kesadaran hanyalah hasil dari aktivitas neuronal yang kompleks.¹² Namun, naturalisme kontemporer seperti yang dikemukakan oleh John Searle atau Thomas Nagel mengusulkan bentuk emergent naturalism, di mana kesadaran muncul sebagai properti baru dari sistem fisik yang cukup kompleks, tetapi tetap berada dalam domain hukum alam.¹³

Dalam konteks ini, kehidupan dan kesadaran tidak dipandang sebagai fenomena “misterius,” melainkan sebagai puncak dari evolusi alamiah yang panjang. Ontologi Naturalisme menegaskan bahwa semua fenomena mental, sosial, dan moral pada akhirnya dapat ditelusuri ke akar-akar biologis dan ekologisnya.¹⁴


Implikasi Ontologis: Kesatuan Realitas dan Rasionalitas Alam

Ontologi Naturalisme membawa implikasi metafisik yang mendalam: realitas bersifat satu, rasional, dan dapat dipahami. Tidak ada wilayah yang secara ontologis tertutup bagi ilmu pengetahuan. Setiap entitas—dari atom hingga kesadaran manusia—adalah bagian dari keseluruhan sistem alam yang teratur.¹⁵ Oleh karena itu, filsafat dan sains tidak dipandang sebagai domain yang terpisah, melainkan sebagai dua bentuk penyelidikan yang sama-sama mencari keteraturan rasional di dalam realitas.

Naturalisme, dengan demikian, membangun ontologi yang koheren dan empiris: realitas bersifat tunggal, hukum alam bersifat universal, dan pengetahuan manusia merupakan bagian dari struktur alam itu sendiri.¹⁶


Footnotes

[1]                David Papineau, Philosophical Naturalism (Oxford: Blackwell, 1993), 4–6.

[2]                Mario De Caro and David Macarthur, eds., Naturalism in Question (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2004), 1–2.

[3]                John Dewey, Experience and Nature (Chicago: Open Court, 1929), 11–13.

[4]                Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (London: Penguin, 1996), Part I, Prop. XV.

[5]                W.V.O. Quine, “On What There Is,” in From a Logical Point of View (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1953), 1–19.

[6]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett, 1993), 54–57.

[7]                Patricia S. Churchland, Neurophilosophy: Toward a Unified Science of the Mind-Brain (Cambridge, MA: MIT Press, 1986), 18–21.

[8]                Daniel C. Dennett, Consciousness Explained (Boston: Little, Brown, 1991), 25–28.

[9]                Jonathan Lowe, An Introduction to the Philosophy of Mind (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 112–115.

[10]             Ilya Prigogine, Order Out of Chaos (New York: Bantam, 1984), 30–33.

[11]             Owen Flanagan, The Problem of the Soul: Two Visions of Mind and How to Reconcile Them (New York: Basic Books, 2002), 87–90.

[12]             Paul M. Churchland, Matter and Consciousness (Cambridge, MA: MIT Press, 1988), 43–46.

[13]             John R. Searle, The Rediscovery of the Mind (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 112–118; Thomas Nagel, Mind and Cosmos (Oxford: Oxford University Press, 2012), 45–48.

[14]             E.O. Wilson, Consilience: The Unity of Knowledge (New York: Vintage, 1998), 122–125.

[15]             Wilfrid Sellars, “Philosophy and the Scientific Image of Man,” in Science, Perception and Reality (London: Routledge, 1963), 35–40.

[16]             Papineau, Philosophical Naturalism, 15–17.


4.           Epistemologi Naturalisme

Epistemologi dalam Naturalisme berangkat dari premis bahwa pengetahuan manusia merupakan bagian dari proses alamiah. Segala bentuk kognisi, persepsi, dan rasionalitas tidak muncul secara independen dari alam, melainkan merupakan hasil evolusi biologis yang memungkinkan organisme untuk beradaptasi dan bertahan hidup.¹ Oleh karena itu, Naturalisme menolak pandangan epistemologis yang mengandaikan adanya sumber pengetahuan transenden atau apriori yang terlepas dari pengalaman empiris.

Dalam kerangka ini, pengetahuan bukanlah refleksi pasif terhadap dunia, tetapi aktivitas adaptif yang tertanam dalam sistem biologis manusia. Proses kognitif, dari sensasi hingga abstraksi, dipahami sebagai fungsi dari otak dan sistem saraf yang tunduk pada hukum-hukum alam.² Dengan demikian, epistemologi naturalistik menolak dikotomi antara “subjek” dan “objek” dalam arti metafisis, dan menggantikannya dengan hubungan kausal yang dapat dijelaskan melalui metode ilmiah.

4.1.       Pengetahuan sebagai Produk Alamiah

Dalam Naturalisme, pengetahuan adalah fenomena biologis. Ia muncul karena makhluk hidup memiliki kemampuan untuk membentuk representasi internal tentang lingkungannya demi kelangsungan hidup.³ Pendekatan ini menegaskan bahwa kapasitas kognitif manusia merupakan hasil evolusi, bukan anugerah metafisis.⁴

Tokoh seperti John Dewey melihat pengetahuan sebagai bentuk “interaksi organis” antara manusia dan lingkungan. Bagi Dewey, berpikir bukanlah aktivitas abstrak, melainkan respons adaptif terhadap problem-problem praktis yang dihadapi dalam kehidupan.⁵ Pengetahuan bersifat eksperimental dan kontekstual, terus berkembang sesuai dengan pengalaman empiris dan perubahan lingkungan.

Dalam konteks ini, epistemologi naturalistik menempatkan sains sebagai kelanjutan dari kemampuan adaptif manusia.⁶ Metode ilmiah dianggap sebagai bentuk paling maju dari strategi biologis manusia untuk memahami dan mengendalikan lingkungannya secara rasional. Dengan demikian, antara epistemologi dan biologi terdapat kesinambungan struktural yang mendalam.

4.2.       Naturalisasi Epistemologi

Gagasan “epistemology naturalized” diperkenalkan secara sistematis oleh W.V.O. Quine dalam esainya tahun 1969.⁷ Ia menolak model epistemologi tradisional yang mencoba mendasarkan pengetahuan pada fondasi apriori seperti “kesadaran murni” atau “intuisi rasional.” Sebaliknya, Quine berpendapat bahwa epistemologi seharusnya menjadi bagian dari ilmu pengetahuan empiris itu sendiri—terutama psikologi kognitif.⁸

Menurut Quine, pertanyaan epistemologis yang sah bukan lagi “bagaimana kita dapat mengetahui dunia?”, melainkan “bagaimana organisme fisik seperti manusia membentuk kepercayaan tentang dunia berdasarkan stimulus sensoris?”.⁹ Dengan demikian, epistemologi menjadi cabang dari sains empiris yang menjelaskan mekanisme kognitif, bukan spekulasi metafisis tentang sumber pengetahuan.

Pandangan Quine ini kemudian diikuti oleh tokoh-tokoh seperti Wilfrid Sellars dan Patricia Churchland, yang berusaha menjelaskan pengetahuan dalam kerangka neurosains dan teori informasi.¹⁰ Pendekatan ini memperluas epistemologi ke wilayah interdisipliner, di mana filsafat, psikologi, dan biologi bekerja sama untuk memahami bagaimana otak menghasilkan pengetahuan.

4.3.       Empirisme dan Evolusi Kognitif

Naturalisme berpijak pada empirisme radikal, yakni keyakinan bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman.¹¹ Namun, berbeda dari empirisme klasik (seperti Locke dan Hume), Naturalisme menafsirkan pengalaman secara biologis dan evolusioner. Pengetahuan tidak lagi dilihat sebagai akumulasi pasif dari data inderawi, melainkan sebagai hasil seleksi adaptif yang membentuk cara manusia memersepsi dan menafsirkan dunia.¹²

Tokoh seperti Konrad Lorenz dan Donald Campbell mengembangkan teori evolutionary epistemology, yang menyatakan bahwa struktur kognitif manusia merupakan hasil seleksi alam sebagaimana organ biologis lainnya.¹³ Dengan demikian, kebenaran bukanlah korespondensi metafisis yang absolut, melainkan kecocokan fungsional antara sistem kognitif dan realitas lingkungan.¹⁴

Epistemologi naturalistik, dengan demikian, memandang bahwa batas-batas pengetahuan manusia ditentukan oleh batas-batas biologis dan ekologisnya. Pengetahuan adalah instrumen adaptif, bukan refleksi sempurna atas realitas objektif.

4.4.       Kritik terhadap Rasionalisme dan Idealime Transendental

Naturalisme menolak rasionalisme yang menganggap akal budi memiliki prinsip-prinsip pengetahuan yang independen dari pengalaman.¹⁵ Dalam pandangan naturalistik, akal adalah hasil evolusi otak manusia yang dikondisikan oleh sejarah biologisnya, bukan entitas rasional yang otonom.

Demikian pula, Naturalisme menolak idealisme transendental Kantian yang memisahkan “dunia dalam dirinya sendiri” (noumenon) dari “dunia yang tampak” (phenomenon).¹⁶ Bagi naturalis, pembagian tersebut tidak perlu karena seluruh pengalaman manusia merupakan bagian dari proses alamiah. Apa yang disebut “struktur apriori” dalam kognisi hanyalah hasil evolusi kognitif yang membentuk cara manusia memproses informasi dari lingkungan.¹⁷

Dengan demikian, Naturalisme menawarkan epistemologi yang monistik dan empiris: semua bentuk pengetahuan, termasuk logika dan matematika, dapat ditelusuri ke dasar biologis dan pengalaman adaptif manusia.¹⁸


Implikasi Epistemologis: Pengetahuan sebagai Kontinuitas Alamiah

Epistemologi Naturalisme memiliki implikasi mendalam terhadap cara kita memahami hubungan antara filsafat dan sains. Ia menghapus batas tradisional antara refleksi filosofis dan penyelidikan ilmiah, karena keduanya sama-sama berakar pada rasionalitas alamiah manusia.¹⁹

Pengetahuan, dalam kerangka ini, bukanlah hasil kontemplasi metafisis, melainkan manifestasi dari rasionalitas alam itu sendiri. Manusia mengetahui karena ia bagian dari sistem alam yang mengetahui dirinya melalui kesadaran.²⁰ Dengan demikian, epistemologi naturalistik tidak hanya menjelaskan bagaimana manusia mengetahui, tetapi juga menegaskan bahwa mengetahui adalah cara alam memahami dirinya sendiri melalui manusia.


Footnotes

[1]                David Papineau, Philosophical Naturalism (Oxford: Blackwell, 1993), 8–10.

[2]                Patricia S. Churchland, Brain-Wise: Studies in Neurophilosophy (Cambridge, MA: MIT Press, 2002), 17–19.

[3]                John Dewey, Experience and Nature (Chicago: Open Court, 1929), 22–24.

[4]                Konrad Lorenz, The Foundations of Ethology (New York: Springer, 1981), 85–87.

[5]                Dewey, Experience and Nature, 40–42.

[6]                Mario De Caro and David Macarthur, eds., Naturalism in Question (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2004), 12–14.

[7]                W.V.O. Quine, “Epistemology Naturalized,” in Ontological Relativity and Other Essays (New York: Columbia University Press, 1969), 69–90.

[8]                Ibid., 75–78.

[9]                Quine, Ontological Relativity, 82.

[10]             Wilfrid Sellars, Science, Perception, and Reality (London: Routledge, 1963), 127–129; Patricia S. Churchland, Neurophilosophy: Toward a Unified Science of the Mind-Brain (Cambridge, MA: MIT Press, 1986), 45–47.

[11]             Papineau, Philosophical Naturalism, 14–15.

[12]             Michael Ruse, Taking Darwin Seriously: A Naturalistic Approach to Philosophy (Oxford: Blackwell, 1986), 56–58.

[13]             Donald T. Campbell, “Evolutionary Epistemology,” in The Philosophy of Karl Popper, ed. Paul A. Schilpp (La Salle, IL: Open Court, 1974), 413–463.

[14]             Lorenz, The Foundations of Ethology, 93–95.

[15]             John Cottingham, Rationalism (London: Palgrave, 1984), 112–114.

[16]             Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A235/B294–A246/B303.

[17]             Patricia S. Churchland, Brain-Wise, 51–53.

[18]             Paul M. Churchland, Matter and Consciousness (Cambridge, MA: MIT Press, 1988), 23–25.

[19]             Owen Flanagan, The Problem of the Soul: Two Visions of Mind and How to Reconcile Them (New York: Basic Books, 2002), 73–75.

[20]             E.O. Wilson, Consilience: The Unity of Knowledge (New York: Vintage, 1998), 132–134.


5.           Etika dan Aksiologi dalam Naturalisme

Etika dan aksiologi dalam Naturalisme berpijak pada keyakinan bahwa nilai-nilai moral dan estetis merupakan bagian dari tatanan alamiah, bukan entitas metafisis yang eksis secara independen dari dunia empiris. Dalam kerangka ini, segala nilai lahir dari proses biologis, sosial, dan evolusioner yang berakar pada kebutuhan dasar makhluk hidup untuk bertahan, berkembang, dan berinteraksi.¹ Dengan demikian, Naturalisme menolak pandangan bahwa moralitas berasal dari perintah ilahi, intuisi metafisis, atau akal murni yang terlepas dari dunia empiris. Sebaliknya, etika dipahami sebagai produk rasional dari pengalaman manusia sebagai makhluk alamiah.

5.1.       Dasar Etika Naturalistik: Moralitas sebagai Fakta Alamiah

Dalam perspektif Naturalisme, moralitas adalah fenomena alamiah yang muncul dari interaksi sosial dan evolusi biologis.² Emosi moral seperti empati, rasa bersalah, atau keadilan tidak dilihat sebagai ilham spiritual, melainkan hasil seleksi alam yang menguntungkan kelangsungan spesies sosial seperti manusia.³ Pandangan ini diperkuat oleh teori evolusi moral Darwinian, yang menunjukkan bahwa perilaku altruistik berkembang karena memberikan keuntungan adaptif bagi kelompok sosial.⁴

John Dewey, seorang naturalis pragmatis, berpendapat bahwa moralitas bukanlah sistem aturan tetap, melainkan hasil eksperimentasi manusia dalam mencari cara hidup yang harmonis di dalam alam.⁵ Moralitas bersifat dinamis dan kontekstual, terus berevolusi sesuai kebutuhan dan lingkungan manusia. Dengan demikian, etika naturalistik bersifat empiris dan instrumental, bukan absolut dan dogmatis.

5.2.       Naturalistic Fallacy dan Kritik terhadap Reduksionisme Etis

Meskipun Naturalisme berupaya menjelaskan nilai secara ilmiah, pendekatan ini menghadapi tantangan konseptual yang signifikan. G.E. Moore, dalam Principia Ethica, mengajukan tuduhan adanya naturalistic fallacy—kesalahan ketika seseorang mengidentifikasi “baik” dengan sifat alamiah tertentu seperti “menyenangkan” atau “bermanfaat.”⁶ Menurut Moore, “kebaikan” merupakan kualitas non-natural yang tidak dapat direduksi pada fakta empiris apa pun.

Namun, para naturalis modern menanggapi bahwa Moore keliru memahami maksud Naturalisme. Tujuan Naturalisme bukanlah mengidentifikasi nilai moral dengan fakta fisik, tetapi menunjukkan bahwa penilaian moral berakar pada realitas biologis dan sosial, bukan berasal dari dunia metafisis.⁷ Dengan kata lain, nilai-nilai moral memang memiliki basis dalam fakta empiris, tetapi tidak identik dengannya. Hubungan antara fakta dan nilai bersifat emergen, bukan reduktif.⁸

5.3.       Etika Evolusioner dan Moralitas Sosial

Dalam kerangka etika evolusioner, moralitas dipahami sebagai hasil adaptasi yang meningkatkan kohesi sosial dan kerja sama antarindividu. Herbert Spencer merupakan salah satu pelopor yang memandang moralitas sebagai ekspresi dari prinsip evolusi sosial menuju bentuk kehidupan yang lebih kompleks dan harmonis.⁹ Sementara E.O. Wilson dalam Sociobiology menegaskan bahwa perilaku moral dapat dijelaskan melalui mekanisme seleksi gen dan kin selection, di mana tindakan altruistik menguntungkan penyebaran gen yang sama di antara individu kerabat.¹⁰

Meskipun pendekatan ini sering dikritik karena berpotensi mendukung determinisme biologis, banyak pemikir kontemporer menegaskan bahwa memahami asal-usul biologis moralitas tidak berarti meniadakan kebebasan moral.¹¹ Sebaliknya, kesadaran akan asal-usul naturalistik nilai moral memungkinkan manusia untuk menilai, mengubah, dan memperluas etika sesuai dengan pemahaman rasional mereka tentang kesejahteraan bersama.

5.4.       Aksiologi Alamiah: Nilai, Tujuan, dan Keindahan dalam Alam

Aksiologi Naturalisme tidak hanya berbicara tentang moralitas, tetapi juga tentang nilai secara umum, termasuk nilai estetis dan eksistensial. Dalam pandangan ini, nilai tidak ditemukan “di luar” alam, melainkan muncul dari interaksi antara subjek dan dunia.¹² Keindahan, misalnya, bukanlah kualitas metafisis, melainkan respons emosional dan kognitif yang berevolusi dari sensitivitas terhadap pola, simetri, dan keseimbangan yang memiliki fungsi adaptif.¹³

John Dewey, dalam Art as Experience, menegaskan bahwa pengalaman estetis merupakan bagian dari aktivitas manusia yang menegaskan keterlibatan penuh dengan dunia.¹⁴ Keindahan muncul ketika pengalaman manusia mencapai harmoni dengan lingkungan alamnya. Dengan demikian, aksiologi naturalistik melihat nilai-nilai estetika dan etika sebagai perwujudan dari dinamika kehidupan itu sendiri—bukan sebagai entitas transenden, tetapi sebagai hasil dari keteraturan alamiah dan kreativitas manusia.

5.5.       Etika Naturalistik dan Tanggung Jawab Ekologis

Dalam konteks kontemporer, Naturalisme memberi dasar filosofis bagi etika ekologis. Jika semua realitas merupakan bagian dari satu sistem alamiah, maka tindakan moral manusia tidak dapat dipisahkan dari dampaknya terhadap ekosistem.¹⁵ Etika ekologis naturalistik menegaskan bahwa nilai tidak hanya melekat pada manusia, tetapi juga pada keberlanjutan kehidupan secara keseluruhan.¹⁶

Pandangan ini diwakili oleh pemikir seperti Aldo Leopold melalui The Land Ethic, yang menyatakan bahwa manusia adalah bagian dari komunitas ekologis yang lebih luas.¹⁷ Dengan demikian, tindakan moral tidak hanya diukur dari dampaknya terhadap manusia lain, tetapi juga terhadap integritas, stabilitas, dan keindahan sistem alam.¹⁸ Dalam kerangka ini, Naturalisme melahirkan bentuk etika yang tidak hanya empiris, tetapi juga holistik dan ekologis, menjembatani antara ilmu pengetahuan, moralitas, dan keberlanjutan kehidupan.


Implikasi Etis dan Aksiologis

Etika dan aksiologi Naturalisme mengubah cara pandang tradisional terhadap nilai. Nilai tidak lagi dipahami sebagai sesuatu yang diberikan dari atas, tetapi dibentuk dari bawah—yakni dari kehidupan itu sendiri.¹⁹ Kebaikan, keindahan, dan makna tidak mengandaikan dunia metafisis, melainkan lahir dari kapasitas manusia untuk beradaptasi, berempati, dan menciptakan harmoni dalam sistem alam yang lebih luas.²⁰

Dengan demikian, Naturalisme menghadirkan etika yang bersifat immanent dan dinamis, di mana tindakan moral tidak ditentukan oleh prinsip absolut, tetapi oleh kesadaran empiris tentang hubungan manusia dengan dirinya, sesama, dan alam semesta.


Footnotes

[1]                David Papineau, Philosophical Naturalism (Oxford: Blackwell, 1993), 19–21.

[2]                John Dewey, Human Nature and Conduct (New York: Henry Holt, 1922), 10–13.

[3]                Frans de Waal, Primates and Philosophers: How Morality Evolved (Princeton: Princeton University Press, 2006), 35–38.

[4]                Charles Darwin, The Descent of Man (London: John Murray, 1871), 120–124.

[5]                Dewey, Human Nature and Conduct, 15–16.

[6]                G.E. Moore, Principia Ethica (Cambridge: Cambridge University Press, 1903), 10–12.

[7]                Mario De Caro and David Macarthur, eds., Naturalism in Question (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2004), 22–25.

[8]                Owen Flanagan, Varieties of Moral Personality (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1991), 42–44.

[9]                Herbert Spencer, The Data of Ethics (London: Williams and Norgate, 1879), 58–60.

[10]             E.O. Wilson, Sociobiology: The New Synthesis (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1975), 575–580.

[11]             Michael Ruse, Taking Darwin Seriously: A Naturalistic Approach to Philosophy (Oxford: Blackwell, 1986), 76–78.

[12]             John Dewey, Art as Experience (New York: Minton, Balch, 1934), 14–16.

[13]             Denis Dutton, The Art Instinct: Beauty, Pleasure, and Human Evolution (Oxford: Oxford University Press, 2009), 22–24.

[14]             Dewey, Art as Experience, 18–19.

[15]             Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 56–59.

[16]             Bryan G. Norton, Toward Unity Among Environmentalists (Oxford: Oxford University Press, 1991), 42–45.

[17]             Aldo Leopold, A Sand County Almanac (New York: Oxford University Press, 1949), 224–225.

[18]             Ibid., 226.

[19]             Papineau, Philosophical Naturalism, 25–27.

[20]             E.O. Wilson, Consilience: The Unity of Knowledge (New York: Vintage, 1998), 140–142.


6.           Kritik terhadap Naturalisme

Meskipun Naturalisme memiliki kontribusi besar terhadap perkembangan filsafat modern dan sains empiris, aliran ini tidak luput dari kritik tajam yang datang dari berbagai arah: idealisme, eksistensialisme, fenomenologi, teologi, dan bahkan dari sains itu sendiri. Kritik terhadap Naturalisme terutama diarahkan pada kecenderungannya yang reduksionistik, deterministik, dan materialistik, yang dianggap gagal menjelaskan dimensi kesadaran, kebebasan, makna, serta nilai-nilai transenden dalam pengalaman manusia.¹

6.1.       Kritik dari Idealisme dan Spiritualitas

Para filsuf idealis, seperti Georg Wilhelm Friedrich Hegel, mengkritik Naturalisme karena meniadakan dimensi rasional dan spiritual dari realitas. Bagi Hegel, alam hanyalah manifestasi eksternal dari Roh Absolut yang berkembang melalui sejarah dan kesadaran manusia.² Dengan membatasi realitas pada apa yang empiris dan material, Naturalisme dianggap tidak mampu menjelaskan proses dialektis kesadaran yang mengarah pada kebebasan dan pengetahuan diri.

Kritik serupa juga datang dari tradisi filsafat spiritual dan religius, yang menegaskan bahwa pengalaman manusia tidak hanya bersifat empiris, tetapi juga mengandung dimensi transenden.³ Teolog seperti Karl Rahner menilai bahwa Naturalisme gagal memahami aspek eksistensial manusia yang terbuka terhadap “misteri absolut” atau yang disebut sebagai das Heilige (yang kudus).⁴ Dalam pandangan ini, reduksi manusia menjadi sekadar makhluk biologis atau sistem neurofisiologis dianggap mengabaikan kedalaman eksistensial yang menjadi ciri khas kesadaran religius.

6.2.       Kritik dari Eksistensialisme dan Fenomenologi

Aliran eksistensialisme, terutama yang diwakili oleh Jean-Paul Sartre dan Martin Heidegger, menolak pandangan naturalistik yang melihat manusia hanya sebagai objek dalam sistem kausalitas alam.⁵ Bagi mereka, manusia adalah makhluk yang “ada-untuk-dirinya” (être-pour-soi) yang memiliki kebebasan radikal dan tanggung jawab terhadap makna eksistensinya. Naturalisme, dengan determinismenya, dianggap meniadakan kebebasan dan makna hidup, menjadikan manusia sekadar hasil dari proses biologis yang buta.⁶

Heidegger menambahkan bahwa Naturalisme terjebak dalam apa yang disebutnya ontological forgetfulness—kelupaan terhadap makna “ada” itu sendiri.⁷ Dalam upayanya menjelaskan segala sesuatu melalui sains empiris, Naturalisme gagal menangkap cara manusia “mengada” secara eksistensial, yakni keterbukaan terhadap dunia (being-in-the-world).⁸ Oleh karena itu, fenomenologi menilai Naturalisme bersifat objectifying dan dehumanizing, mengaburkan pengalaman subjektif dan kesadaran makna.

6.3.       Kritik dari Perspektif Teologis

Dari sudut pandang teologi, Naturalisme dikritik karena menghilangkan dimensi transendensi dan wahyu dalam pemahaman realitas. C.S. Lewis menilai bahwa Naturalisme mengandung kontradiksi internal: jika semua pikiran adalah hasil proses alamiah tanpa tujuan, maka tidak ada alasan untuk mempercayai bahwa pikiran manusia menghasilkan kebenaran.⁹ Argumen ini dikenal sebagai argument from reason — yaitu, bahwa Naturalisme menggali tanah tempat ia berdiri karena menganggap rasionalitas itu sendiri sebagai produk non-rasional.¹⁰

Demikian pula, Alvin Plantinga dalam Where the Conflict Really Lies menegaskan bahwa Naturalisme tidak konsisten dengan teori evolusi.¹¹ Jika pikiran manusia adalah hasil dari proses evolusi yang hanya bertujuan pada kelangsungan hidup, bukan pada kebenaran, maka tidak ada jaminan bahwa keyakinan manusia, termasuk keyakinan naturalistik itu sendiri, dapat dipercaya.¹² Kritik ini menyoroti paradoks epistemologis Naturalisme: ia mempercayai rasionalitas yang justru dijelaskan sebagai hasil non-rasional.

6.4.       Kritik dari Ilmu Pengetahuan Kontemporer

Ironisnya, kritik terhadap Naturalisme juga datang dari ilmu pengetahuan modern sendiri. Dalam fisika kuantum, muncul pandangan bahwa realitas tidak sepenuhnya deterministik, melainkan bersifat probabilistik dan bergantung pada pengamatan.¹³ Fenomena ini mengguncang asumsi dasar Naturalisme klasik yang melihat alam sebagai sistem mekanistik dan tertutup secara kausal.

Selain itu, dalam ilmu kognitif dan filsafat pikiran, muncul keberatan terhadap reduksionisme materialistik Naturalisme. Tokoh seperti Thomas Nagel berargumen bahwa kesadaran tidak dapat dijelaskan sepenuhnya dalam istilah fisik, karena ia memiliki “aspek subyektif” (what it is like to be).¹⁴ Nagel menyebut posisi ini sebagai the view from nowhere—pandangan ilmiah yang gagal memahami pengalaman dari dalam.¹⁵

Kritik serupa datang dari David Chalmers, yang mengemukakan “hard problem of consciousness”: mengapa dan bagaimana proses fisik menghasilkan pengalaman subjektif?¹⁶ Pertanyaan ini menunjukkan batas epistemologis Naturalisme—yaitu, ketidakmampuannya menjelaskan fenomena kesadaran tanpa mengubahnya menjadi sesuatu yang bukan kesadaran itu sendiri.

6.5.       Kritik Etis dan Aksiologis

Dari segi etika dan nilai, Naturalisme sering dianggap gagal memberikan dasar normatif yang kuat. Jika segala sesuatu dapat dijelaskan secara alamiah, maka bagaimana mungkin kita berbicara tentang “kebaikan” atau “keharusan moral”? Kritik ini muncul dari G.E. Moore dengan tuduhannya tentang naturalistic fallacy, dan diperkuat oleh para pemikir neo-Kantian seperti Immanuel Rickert, yang menegaskan bahwa nilai bersifat otonom dan tidak dapat direduksi menjadi fakta empiris.¹⁷

Selain itu, para kritikus menilai bahwa Naturalisme berpotensi mengarah pada nihilisme moral, karena meniadakan dimensi normatif yang lebih tinggi dari sekadar mekanisme evolusi atau preferensi sosial.¹⁸ Dalam kerangka ini, Naturalisme dinilai “menjelaskan terlalu banyak, tetapi memaknai terlalu sedikit.”


Evaluasi Umum

Secara keseluruhan, kritik terhadap Naturalisme menunjukkan ketegangan antara dua kutub besar: antara keinginan untuk menjelaskan segalanya secara ilmiah dan kebutuhan manusia untuk menemukan makna yang melampaui sains. Naturalisme telah berhasil mengintegrasikan pandangan dunia yang konsisten dengan sains, tetapi dalam prosesnya ia juga mengecilkan ruang bagi kebebasan, kesadaran, dan nilai-nilai normatif.¹⁹

Namun demikian, kritik-kritik ini tidak serta-merta meniadakan validitas Naturalisme. Sebaliknya, mereka memperkaya diskursus dengan mendorong munculnya bentuk-bentuk Naturalisme non-reduksionis dan pluralistik, yang berupaya mempertahankan kesatuan ilmiah tanpa menghapus kompleksitas manusia.²⁰


Footnotes

[1]                David Papineau, Philosophical Naturalism (Oxford: Blackwell, 1993), 30–33.

[2]                G.W.F. Hegel, Phenomenology of Spirit, trans. A.V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), 66–69.

[3]                Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 18–20.

[4]                Karl Rahner, Foundations of Christian Faith (New York: Crossroad, 1978), 102–104.

[5]                Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Philosophical Library, 1956), 27–31.

[6]                Ibid., 33–35.

[7]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 35–37.

[8]                Ibid., 79–82.

[9]                C.S. Lewis, Miracles (New York: Macmillan, 1947), 13–15.

[10]             Victor Reppert, C.S. Lewis’s Dangerous Idea: In Defense of the Argument from Reason (Downers Grove, IL: InterVarsity Press, 2003), 45–47.

[11]             Alvin Plantinga, Where the Conflict Really Lies: Science, Religion, and Naturalism (Oxford: Oxford University Press, 2011), 308–312.

[12]             Ibid., 314–316.

[13]             Werner Heisenberg, Physics and Philosophy: The Revolution in Modern Science (New York: Harper, 1958), 54–57.

[14]             Thomas Nagel, “What Is It Like to Be a Bat?” The Philosophical Review 83, no. 4 (1974): 435–450.

[15]             Thomas Nagel, The View from Nowhere (Oxford: Oxford University Press, 1986), 3–5.

[16]             David J. Chalmers, The Conscious Mind: In Search of a Fundamental Theory (New York: Oxford University Press, 1996), 5–8.

[17]             G.E. Moore, Principia Ethica (Cambridge: Cambridge University Press, 1903), 16–18.

[18]             Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage, 1966), 23–26.

[19]             Mario De Caro and David Macarthur, eds., Naturalism in Question (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2004), 32–35.

[20]             Owen Flanagan, The Problem of the Soul: Two Visions of Mind and How to Reconcile Them (New York: Basic Books, 2002), 91–93.


7.           Relevansi Kontemporer Naturalisme

Naturalisme tetap memainkan peranan yang signifikan dalam filsafat dan ilmu pengetahuan kontemporer. Dalam abad ke-21, paradigma naturalistik tidak hanya membentuk dasar bagi penelitian ilmiah, tetapi juga menjadi orientasi filosofis yang berusaha menjembatani antara sains, etika, dan pemahaman manusia tentang diri dan alam semesta.¹ Relevansi Naturalisme terletak pada kemampuannya untuk memberikan kerangka ontologis dan epistemologis yang konsisten dengan temuan-temuan ilmiah mutakhir, sekaligus menawarkan pandangan etis dan ekologis yang lebih holistik terhadap kehidupan.

7.1.       Naturalisme dalam Filsafat Sains Modern

Dalam filsafat sains, Naturalisme menjadi salah satu fondasi utama bagi realisme ilmiah dan pendekatan empiris terhadap pengetahuan.² Pemikiran W.V.O. Quine, Hilary Putnam, dan Philip Kitcher memperkuat gagasan bahwa filsafat tidak dapat berdiri terpisah dari sains; ia harus menjadi bagian integral dari penyelidikan ilmiah tentang dunia.³ Quine, melalui konsep naturalized epistemology, menekankan bahwa metode ilmiah merupakan bentuk paling rasional dari pengetahuan manusia karena bersandar pada observasi, eksperimentasi, dan koherensi empiris.⁴

Selain itu, Naturalisme juga menjadi landasan bagi filsafat materialisme ilmiah, yang berusaha menjelaskan semua fenomena, termasuk kesadaran, dalam kerangka hukum-hukum alam.⁵ Namun, dalam konteks kontemporer, muncul bentuk naturalisme non-reduksionis, yang mencoba mempertahankan konsistensi ilmiah tanpa menafikan kompleksitas fenomena manusia seperti kesadaran, bahasa, dan moralitas.⁶

7.2.       Naturalisme dan Filsafat Pikiran

Salah satu medan paling dinamis bagi Naturalisme masa kini adalah filsafat pikiran (philosophy of mind). Dengan kemajuan dalam neurosains, psikologi kognitif, dan kecerdasan buatan, Naturalisme memperoleh dasar empiris baru untuk menjelaskan hubungan antara otak, kesadaran, dan perilaku.⁷ Tokoh seperti Patricia dan Paul Churchland menekankan bahwa semua proses mental pada akhirnya dapat dijelaskan melalui mekanisme neurobiologis.⁸

Namun, bentuk Naturalisme kontemporer tidak sepenuhnya reduksionistik. Pemikir seperti John Searle mengusulkan konsep biological naturalism, yakni bahwa kesadaran merupakan fenomena biologis yang emergen—real, tetapi tetap bergantung pada proses fisik otak.⁹ Demikian pula, Thomas Metzinger melalui The Ego Tunnel menafsirkan kesadaran sebagai model representasional diri yang terbentuk secara dinamis oleh sistem otak.¹⁰ Dengan demikian, Naturalisme modern berusaha menggabungkan sains empiris dengan analisis fenomenologis untuk memahami pengalaman subyektif tanpa meninggalkan dasar ilmiahnya.

7.3.       Naturalisme dan Etika Kontemporer

Dalam bidang etika, Naturalisme memberi arah baru bagi bioetika, neuroetika, dan etika lingkungan.¹¹ Etika naturalistik menolak moralitas absolut yang bersumber dari wahyu, dan menggantikannya dengan moralitas berbasis well-being, empati, dan tanggung jawab ekologis.¹² Pemikiran Peter Singer, misalnya, mengembangkan etika utilitarian berbasis biologi evolusioner, yang memandang penderitaan makhluk hidup sebagai dasar objektif moralitas.¹³

Sementara itu, neuroetika mencoba memahami dasar biologis dari keputusan moral manusia, membuka peluang untuk menggabungkan temuan neurosains dengan refleksi etis.¹⁴ Dalam ranah etika lingkungan, Naturalisme mendukung pandangan eko-holistik, bahwa manusia merupakan bagian dari jaringan ekologis yang kompleks, dan nilai moral harus memperhitungkan keseimbangan serta keberlanjutan sistem kehidupan.¹⁵ Pandangan ini relevan dengan tantangan global seperti perubahan iklim, eksploitasi sumber daya alam, dan krisis ekologis global.¹⁶

7.4.       Naturalisme dan Teknologi Modern

Kemajuan teknologi—terutama dalam kecerdasan buatan (AI), bioteknologi, dan sains komputasional—menimbulkan pertanyaan baru yang menuntut jawaban naturalistik.¹⁷ Bagaimana kesadaran buatan dapat dipahami dalam kerangka ontologi naturalistik? Apakah algoritma dan sistem neural network dapat disebut “berpikir”? Naturalisme memberikan landasan konseptual untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan menjelaskan bahwa kecerdasan, baik biologis maupun buatan, adalah hasil dari proses informasi dan adaptasi alamiah yang tunduk pada hukum-hukum fisik.¹⁸

Namun, teknologi modern juga menantang batas-batas Naturalisme itu sendiri. Pemikiran Ray Kurzweil dan transhumanisme, misalnya, menunjukkan bagaimana manusia kini mulai berperan sebagai agen yang “menaturalisasi” dirinya melalui rekayasa genetika dan augmentasi teknologi.¹⁹ Dalam konteks ini, Naturalisme kontemporer dituntut untuk memperluas cakupannya agar mampu memahami realitas manusia yang kini semakin “post-biologis.”²⁰

7.5.       Naturalisme dan Ekologi Global

Naturalisme juga menemukan relevansi besar dalam konteks krisis ekologi dan kesadaran lingkungan. Dalam filsafat lingkungan, Naturalisme berperan sebagai paradigma ekologis yang menegaskan keterhubungan semua bentuk kehidupan.²¹ Tokoh seperti Arne Naess dengan Deep Ecology menegaskan bahwa nilai intrinsik tidak hanya dimiliki manusia, tetapi juga seluruh sistem ekologis.²² Pandangan ini didukung oleh pemikiran naturalistik yang menolak antropocentrisme dan menegaskan bahwa manusia hanyalah bagian dari totalitas biosfer.²³

Naturalisme ekologis dengan demikian mengubah etika menjadi ekosentris—bukan lagi bertumpu pada “hak individu,” tetapi pada keseimbangan sistem kehidupan.²⁴ Dalam dunia yang menghadapi perubahan iklim, kehilangan keanekaragaman hayati, dan degradasi lingkungan, pendekatan ini memberikan dasar ontologis dan aksiologis yang kuat bagi pembangunan berkelanjutan dan tanggung jawab ekologis global.²⁵


Naturalisme sebagai Paradigma Filsafat Abad ke-21

Secara umum, Naturalisme dalam konteks kontemporer dapat dipandang sebagai kerangka filsafat integratif, yang berupaya menyatukan pengetahuan ilmiah, refleksi etis, dan kesadaran ekologis dalam satu pandangan dunia.²⁶ Naturalisme tidak lagi sekadar posisi metafisik, tetapi juga menjadi metode dan gaya berpikir yang mengutamakan koherensi, rasionalitas, dan keterbukaan terhadap koreksi empiris.²⁷

Naturalisme kontemporer bukanlah Naturalisme yang “tertutup,” melainkan naturalisme terbuka (open naturalism)—yakni pendekatan yang mengakui keterbatasan sains tanpa menolak nilai-nilai kemanusiaan dan makna eksistensial.²⁸ Dengan cara ini, Naturalisme tetap relevan sebagai paradigma filsafat modern yang menuntun manusia untuk memahami dirinya sebagai bagian integral dari tatanan alam semesta yang rasional, dinamis, dan saling bergantung.²⁹


Footnotes

[1]                David Papineau, Philosophical Naturalism (Oxford: Blackwell, 1993), 35–37.

[2]                Philip Kitcher, The Advancement of Science: Science without Legend, Objectivity without Illusions (Oxford: Oxford University Press, 1993), 12–15.

[3]                Hilary Putnam, Realism with a Human Face, ed. James Conant (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1990), 40–43.

[4]                W.V.O. Quine, “Epistemology Naturalized,” in Ontological Relativity and Other Essays (New York: Columbia University Press, 1969), 69–90.

[5]                Paul M. Churchland, Matter and Consciousness (Cambridge, MA: MIT Press, 1988), 50–53.

[6]                Mario De Caro and David Macarthur, eds., Naturalism in Question (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2004), 37–39.

[7]                Patricia S. Churchland, Brain-Wise: Studies in Neurophilosophy (Cambridge, MA: MIT Press, 2002), 21–24.

[8]                Ibid., 27–29.

[9]                John R. Searle, The Rediscovery of the Mind (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 115–117.

[10]             Thomas Metzinger, The Ego Tunnel: The Science of the Mind and the Myth of the Self (New York: Basic Books, 2009), 56–58.

[11]             Owen Flanagan, Varieties of Moral Personality (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1991), 82–85.

[12]             John Dewey, Human Nature and Conduct (New York: Henry Holt, 1922), 22–24.

[13]             Peter Singer, Practical Ethics (Cambridge: Cambridge University Press, 2011), 7–9.

[14]             Adina Roskies, “Neuroethics for the New Millennium,” Neuron 35, no. 1 (2002): 21–23.

[15]             Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 78–80.

[16]             Bryan G. Norton, Toward Unity Among Environmentalists (Oxford: Oxford University Press, 1991), 42–45.

[17]             Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 30–33.

[18]             Daniel C. Dennett, From Bacteria to Bach and Back: The Evolution of Minds (New York: W.W. Norton, 2017), 15–18.

[19]             Ray Kurzweil, The Singularity Is Near (New York: Viking, 2005), 45–47.

[20]             Nick Bostrom, Superintelligence: Paths, Dangers, Strategies (Oxford: Oxford University Press, 2014), 68–70.

[21]             Holmes Rolston III, A New Environmental Ethics: The Next Millennium for Life on Earth (London: Routledge, 2012), 34–36.

[22]             Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle, trans. David Rothenberg (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 28–30.

[23]             Paul W. Taylor, Respect for Nature: A Theory of Environmental Ethics (Princeton: Princeton University Press, 1986), 45–47.

[24]             Naess, Ecology, Community and Lifestyle, 35–38.

[25]             Andrew Light and Holmes Rolston III, eds., Environmental Ethics: An Anthology (Oxford: Blackwell, 2003), 90–93.

[26]             Papineau, Philosophical Naturalism, 38–40.

[27]             De Caro and Macarthur, Naturalism in Question, 42–45.

[28]             Owen Flanagan, The Problem of the Soul: Two Visions of Mind and How to Reconcile Them (New York: Basic Books, 2002), 95–97.

[29]             E.O. Wilson, Consilience: The Unity of Knowledge (New York: Vintage, 1998), 145–148.


8.           Sintesis Filosofis

Naturalisme, setelah menempuh perjalanan panjang dari akar pra-Sokratik hingga refleksi filsafat dan sains kontemporer, menghadirkan sebuah sintesis yang menegaskan kesatuan antara realitas, pengetahuan, dan nilai dalam tatanan alamiah. Sintesis ini tidak hanya berfungsi sebagai penyatuan antara sains dan filsafat, tetapi juga sebagai kerangka dunia (worldview) yang koheren bagi manusia modern yang mencari makna di tengah dunia tanpa dimensi supranatural.¹ Dalam konteks ini, Naturalisme dapat dipahami sebagai upaya membangun kembali metafisika yang rasional, empiris, dan terbuka terhadap perkembangan pengetahuan ilmiah.

8.1.       Integrasi antara Ontologi, Epistemologi, dan Etika Alamiah

Sintesis filosofis Naturalisme berakar pada keyakinan bahwa segala aspek realitas—materi, kehidupan, kesadaran, dan nilai—terjalin dalam satu kesatuan sistem alamiah.² Ontologi Naturalisme menegaskan bahwa tidak ada yang eksis di luar alam, sementara epistemologinya menyatakan bahwa semua pengetahuan bersumber dari pengalaman empiris yang lahir dari interaksi organisme dengan lingkungannya.³ Dalam ranah etika, Naturalisme menganggap nilai moral dan estetis sebagai hasil evolusi dan adaptasi manusia terhadap alam dan masyarakat.⁴

Dengan demikian, Naturalisme membentuk sistem filsafat yang monistik dan integratif: ontologi menyediakan dasar keberadaan; epistemologi menjelaskan bagaimana manusia mengetahui realitas; dan etika menunjukkan bagaimana manusia seharusnya bertindak di dalamnya. Tidak ada jurang antara fakta dan nilai, antara yang “ada” dan yang “seharusnya,” karena keduanya merupakan ekspresi dari dinamika kehidupan alamiah yang sama.⁵

8.2.       Sintesis antara Ilmu dan Filsafat

Naturalisme kontemporer memulihkan hubungan yang sempat terpecah antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Filsafat, dalam pandangan naturalistik, bukanlah upaya untuk mengungguli sains, melainkan untuk memahami struktur rasional dari penyelidikan ilmiah itu sendiri.⁶ Sebaliknya, sains tidak hanya mengumpulkan fakta, tetapi juga beroperasi dengan asumsi metafisis tertentu tentang keteraturan alam, kausalitas, dan kebermaknaan empiris—yang merupakan warisan filsafat.

Dalam sintesis ini, filsafat dan sains saling melengkapi: sains memberikan dasar faktual bagi refleksi filosofis, sedangkan filsafat memberikan kerangka konseptual dan kritis bagi penafsiran hasil-hasil ilmiah.⁷ Seperti yang ditegaskan oleh E.O. Wilson, pengetahuan manusia harus membentuk consilience—kesatuan lintas disiplin di mana ilmu pengetahuan alam, sosial, dan humaniora bersatu dalam kerangka rasional yang konsisten.⁸

8.3.       Naturalisme Humanistik: Rekonsiliasi antara Determinisme dan Kebebasan

Salah satu tantangan utama Naturalisme adalah persoalan kebebasan manusia di tengah determinisme kausal alam. Dalam sintesis filosofisnya, Naturalisme berupaya mereinterpretasi kebebasan sebagai fenomena emergen, bukan sebagai pelanggaran terhadap hukum alam.⁹ Kebebasan manusia muncul ketika organisme yang sadar mampu merefleksikan, menilai, dan memilih berdasarkan sebab-sebab internal yang koheren dengan struktur biologis dan sosialnya.¹⁰

Pendekatan ini melahirkan naturalisme humanistik, yang memandang manusia bukan sebagai makhluk transenden di luar alam, melainkan sebagai pusat refleksi dan makna dalam sistem alamiah itu sendiri.¹¹ Melalui kesadaran reflektifnya, manusia dapat menjadi agen moral dan kreatif tanpa harus mengandaikan kebebasan metafisis. Dengan demikian, Naturalisme menegaskan bahwa kebebasan bukanlah kebal terhadap kausalitas, tetapi merupakan bagian dari keutuhan rasionalitas alam.¹²

8.4.       Sintesis Ekologis: Kesatuan Kosmos dan Etika Kehidupan

Sintesis filosofis Naturalisme juga menuntun pada kesadaran ekologis, yakni pandangan bahwa seluruh kehidupan di alam semesta saling terhubung dalam satu sistem moral dan ontologis.¹³ Etika naturalistik yang berlandaskan pada keteraturan dan keberlanjutan alam menghasilkan paradigma ekologis yang menolak dominasi manusia atas alam.¹⁴ Dalam kerangka ini, manusia bukan penguasa, melainkan bagian dari jaringan kehidupan yang memiliki nilai intrinsik.

Pandangan ini menggabungkan wawasan ilmiah tentang ekosistem dengan pemikiran filosofis mengenai tanggung jawab moral terhadap planet ini.¹⁵ Naturalisme, dengan demikian, membentuk dasar bagi etika global baru yang berpijak pada solidaritas ekologis dan keberlanjutan kehidupan.¹⁶

8.5.       Naturalisme Terbuka dan Transendensi Imanen

Sintesis Naturalisme yang paling mendalam adalah pengakuan bahwa rasionalitas alam itu sendiri bersifat terbuka terhadap transendensi imanen.¹⁷ Artinya, Naturalisme tidak harus ateistik dalam arti negatif, tetapi dapat mengakui “keagungan alam” sebagai sumber makna dan kekaguman moral yang sejati. Pemikir seperti Spinoza, Albert Einstein, dan John Dewey menekankan bahwa pengalaman religius dapat dipahami secara naturalistik sebagai kesadaran akan keteraturan dan keindahan kosmos.¹⁸

Dengan demikian, Naturalisme terbuka terhadap pengalaman spiritual tanpa harus melampaui batas empiris. Ia menggantikan “transendensi vertikal” (menuju dunia adikodrati) dengan transendensi horizontal, yakni keterbukaan manusia terhadap kompleksitas dan kedalaman alam semesta yang terus berkembang.¹⁹


Kesimpulan Sintetis

Sintesis filosofis Naturalisme menghasilkan pandangan dunia yang rasional, empiris, dan etis sekaligus. Ia menolak dualisme, tetapi tidak menghapus dimensi makna. Ia menolak supranaturalisme, tetapi tidak meniadakan kekaguman terhadap tatanan kosmos.²⁰ Dalam pengertian ini, Naturalisme bukan sekadar pandangan ilmiah, tetapi juga filsafat kehidupan yang mengajarkan kesatuan antara pengetahuan, keberadaan, dan tanggung jawab moral.²¹

Naturalisme akhirnya dapat dipahami bukan sebagai penutupan terhadap makna, melainkan sebagai cara baru memahami keajaiban dunia tanpa harus meninggalkan dunia itu sendiri—sebuah kosmos yang hidup, rasional, dan penuh kemungkinan.²²


Footnotes

[1]                David Papineau, Philosophical Naturalism (Oxford: Blackwell, 1993), 41–43.

[2]                Mario De Caro and David Macarthur, eds., Naturalism in Question (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2004), 46–48.

[3]                John Dewey, Experience and Nature (Chicago: Open Court, 1929), 55–58.

[4]                John Dewey, Human Nature and Conduct (New York: Henry Holt, 1922), 30–33.

[5]                Owen Flanagan, Varieties of Moral Personality (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1991), 52–54.

[6]                W.V.O. Quine, “Epistemology Naturalized,” in Ontological Relativity and Other Essays (New York: Columbia University Press, 1969), 69–90.

[7]                Hilary Putnam, Realism with a Human Face, ed. James Conant (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1990), 45–47.

[8]                E.O. Wilson, Consilience: The Unity of Knowledge (New York: Vintage, 1998), 145–147.

[9]                Daniel C. Dennett, Freedom Evolves (New York: Viking, 2003), 12–15.

[10]             Owen Flanagan, The Problem of the Soul: Two Visions of Mind and How to Reconcile Them (New York: Basic Books, 2002), 100–103.

[11]             Paul Kurtz, The Courage to Become: The Virtues of Humanism (Westport, CT: Praeger, 1997), 25–28.

[12]             Dennett, Freedom Evolves, 30–33.

[13]             Arne Naess, Ecology, Community and Lifestyle, trans. David Rothenberg (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 50–52.

[14]             Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 91–94.

[15]             Bryan G. Norton, Toward Unity Among Environmentalists (Oxford: Oxford University Press, 1991), 70–73.

[16]             Andrew Light and Holmes Rolston III, eds., Environmental Ethics: An Anthology (Oxford: Blackwell, 2003), 88–90.

[17]             De Caro and Macarthur, Naturalism in Question, 50–52.

[18]             Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (London: Penguin, 1996), Part V, Prop. XXXVI; Albert Einstein, Ideas and Opinions (New York: Crown, 1954), 38–40; John Dewey, A Common Faith (New Haven: Yale University Press, 1934), 24–26.

[19]             Einstein, Ideas and Opinions, 41–43.

[20]             Papineau, Philosophical Naturalism, 45–47.

[21]             Kurtz, The Courage to Become, 32–35.

[22]             Wilson, Consilience, 150–152.


9.           Kesimpulan

Naturalisme, sebagai salah satu aliran utama dalam metafisika, telah memberikan sumbangan yang luar biasa terhadap perkembangan filsafat modern dan cara manusia memahami realitas. Inti ajaran Naturalisme adalah pandangan bahwa alam merupakan totalitas eksistensi, dan bahwa seluruh fenomena—baik fisik, biologis, maupun mental—dapat dijelaskan melalui hukum-hukum alam yang rasional dan dapat diuji secara empiris.¹ Dengan demikian, Naturalisme menegaskan kesatuan antara manusia dan alam, serta menolak segala bentuk dualisme dan supranaturalisme yang memisahkan dunia empiris dari dunia metafisis.

Dalam perjalanan historisnya, Naturalisme berkembang dari pemikiran pra-Sokratik hingga filsafat sains modern, dengan transformasi konseptual yang terus memperluas maknanya.² Dari physis para filsuf Miletos, atomisme Demokritos, hingga naturalisme evolusioner Darwin dan positivisme logis abad ke-20, pandangan ini beradaptasi mengikuti penemuan ilmiah dan refleksi filosofis baru.³ Perkembangan kontemporer Naturalisme bahkan memperlihatkan kemampuannya untuk mengakomodasi pandangan non-reduksionis yang lebih terbuka terhadap kompleksitas kesadaran, nilai, dan makna.⁴

Epistemologi Naturalisme menegaskan bahwa pengetahuan adalah hasil dari proses biologis dan kognitif yang berakar pada pengalaman empiris.⁵ Dengan demikian, sains dan filsafat bukanlah dua ranah yang terpisah, melainkan dua bentuk refleksi rasional yang sama-sama berakar pada kemampuan adaptif manusia terhadap dunia. Etika dan aksiologi Naturalisme, pada gilirannya, menempatkan nilai moral, keindahan, dan makna dalam konteks kehidupan alamiah dan sosial manusia—menolak absolutisme moral transenden, tetapi tetap menegaskan dasar empiris bagi tanggung jawab moral dan ekologis.⁶

Namun, Naturalisme tidak luput dari kritik. Ia sering dituduh terlalu reduksionistik, mengabaikan subjektivitas dan kebebasan manusia, serta gagal menjelaskan dimensi normatif dan spiritual dari kehidupan.⁷ Meski demikian, kritik-kritik tersebut justru memperkaya diskursus filosofis dan melahirkan bentuk naturalisme pluralistik dan humanistik, yang mengakui bahwa rasionalitas alam tidak bersifat mekanistik semata, melainkan juga mengandung potensi kesadaran dan makna.⁸

Dalam konteks kontemporer, relevansi Naturalisme semakin nyata di tengah tantangan global seperti krisis lingkungan, kemajuan bioteknologi, dan revolusi digital. Paradigma naturalistik menyediakan kerangka untuk memahami manusia sebagai bagian integral dari ekosistem dan kosmos—bukan penguasa atasnya, melainkan penjaga dan peserta aktif dalam dinamika kehidupan.⁹

Dengan demikian, Naturalisme dapat disimpulkan sebagai suatu pandangan dunia yang menyatukan pengetahuan, etika, dan keberadaan dalam kerangka rasional dan empiris, tanpa menutup kemungkinan bagi dimensi transendensi yang imanen di dalam alam itu sendiri. Ia menolak dualisme antara iman dan ilmu, antara manusia dan alam, serta antara fakta dan nilai—menawarkan suatu visi kesatuan eksistensial di mana manusia menemukan makna bukan di luar dunia, tetapi di dalam tatanan alam yang hidup, rasional, dan terus berkembang.¹⁰


Footnotes

[1]                David Papineau, Philosophical Naturalism (Oxford: Blackwell, 1993), 3–5.

[2]                G.S. Kirk, J.E. Raven, and M. Schofield, The Presocratic Philosophers (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 85–88.

[3]                Charles Darwin, On the Origin of Species (London: John Murray, 1859), 67–70.

[4]                Mario De Caro and David Macarthur, eds., Naturalism in Question (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2004), 47–50.

[5]                W.V.O. Quine, “Epistemology Naturalized,” in Ontological Relativity and Other Essays (New York: Columbia University Press, 1969), 69–90.

[6]                John Dewey, Human Nature and Conduct (New York: Henry Holt, 1922), 22–26.

[7]                Alvin Plantinga, Where the Conflict Really Lies: Science, Religion, and Naturalism (Oxford: Oxford University Press, 2011), 314–316.

[8]                Owen Flanagan, The Problem of the Soul: Two Visions of Mind and How to Reconcile Them (New York: Basic Books, 2002), 97–99.

[9]                Holmes Rolston III, A New Environmental Ethics: The Next Millennium for Life on Earth (London: Routledge, 2012), 34–36.

[10]             E.O. Wilson, Consilience: The Unity of Knowledge (New York: Vintage, 1998), 145–148.


Daftar Pustaka

Barnes, J. (1987). Early Greek philosophy. London: Penguin Books.

Bostrom, N. (2014). Superintelligence: Paths, dangers, strategies. Oxford: Oxford University Press.

Campbell, D. T. (1974). Evolutionary epistemology. In P. A. Schilpp (Ed.), The philosophy of Karl Popper (pp. 413–463). La Salle, IL: Open Court.

Chalmers, D. J. (1996). The conscious mind: In search of a fundamental theory. New York: Oxford University Press.

Churchland, P. M. (1988). Matter and consciousness. Cambridge, MA: MIT Press.

Churchland, P. S. (1986). Neurophilosophy: Toward a unified science of the mind-brain. Cambridge, MA: MIT Press.

Churchland, P. S. (2002). Brain-wise: Studies in neurophilosophy. Cambridge, MA: MIT Press.

Cottingham, J. (1984). Rationalism. London: Palgrave.

Darwin, C. (1859). On the origin of species. London: John Murray.

Darwin, C. (1871). The descent of man. London: John Murray.

De Caro, M., & Macarthur, D. (Eds.). (2004). Naturalism in question. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Dennett, D. C. (1991). Consciousness explained. Boston: Little, Brown.

Dennett, D. C. (2003). Freedom evolves. New York: Viking.

Dennett, D. C. (2017). From bacteria to Bach and back: The evolution of minds. New York: W. W. Norton.

Dewey, J. (1922). Human nature and conduct. New York: Henry Holt.

Dewey, J. (1929). Experience and nature. Chicago: Open Court.

Dewey, J. (1934). Art as experience. New York: Minton, Balch.

Dewey, J. (1934). A common faith. New Haven, CT: Yale University Press.

Dutton, D. (2009). The art instinct: Beauty, pleasure, and human evolution. Oxford: Oxford University Press.

Einstein, A. (1954). Ideas and opinions. New York: Crown.

Epicurus. (1994). Letter to Menoeceus. In B. Inwood & L. P. Gerson (Eds.), The Epicurus reader (pp. 29–30). Indianapolis, IN: Hackett.

Flanagan, O. (1991). Varieties of moral personality: Ethics and psychological realism. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Flanagan, O. (2002). The problem of the soul: Two visions of mind and how to reconcile them. New York: Basic Books.

Guthrie, W. K. C. (1962). A history of Greek philosophy: Vol. 1. The earlier presocratics and the Pythagoreans. Cambridge: Cambridge University Press.

Hegel, G. W. F. (1977). Phenomenology of spirit (A. V. Miller, Trans.). Oxford: Oxford University Press.

Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). New York: Harper & Row.

Heisenberg, W. (1958). Physics and philosophy: The revolution in modern science. New York: Harper.

Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P. Guyer & A. Wood, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.

Kirk, G. S., Raven, J. E., & Schofield, M. (1983). The presocratic philosophers. Cambridge: Cambridge University Press.

Kitcher, P. (1993). The advancement of science: Science without legend, objectivity without illusions. Oxford: Oxford University Press.

Kurzweil, R. (2005). The singularity is near. New York: Viking.

Kurtz, P. (1997). The courage to become: The virtues of humanism. Westport, CT: Praeger.

Leaman, O. (2001). An introduction to classical Islamic philosophy. Cambridge: Cambridge University Press.

Leopold, A. (1949). A sand county almanac. New York: Oxford University Press.

Light, A., & Rolston, H. III (Eds.). (2003). Environmental ethics: An anthology. Oxford: Blackwell.

Lorenz, K. (1981). The foundations of ethology. New York: Springer.

Lowe, J. (2000). An introduction to the philosophy of mind. Cambridge: Cambridge University Press.

Metzinger, T. (2009). The ego tunnel: The science of the mind and the myth of the self. New York: Basic Books.

Moore, G. E. (1903). Principia ethica. Cambridge: Cambridge University Press.

Nagel, T. (1974). What is it like to be a bat? The Philosophical Review, 83(4), 435–450.

Nagel, T. (1986). The view from nowhere. Oxford: Oxford University Press.

Nagel, T. (2012). Mind and cosmos: Why the materialist neo-Darwinian conception of nature is almost certainly false. Oxford: Oxford University Press.

Naess, A. (1989). Ecology, community and lifestyle (D. Rothenberg, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.

Nadler, S. (2006). Spinoza’s ethics: An introduction. Cambridge: Cambridge University Press.

Nietzsche, F. (1966). Beyond good and evil (W. Kaufmann, Trans.). New York: Vintage.

Norton, B. G. (1991). Toward unity among environmentalists. Oxford: Oxford University Press.

Osborne, C. (2004). Presocratic philosophy: A very short introduction. Oxford: Oxford University Press.

Papineau, D. (1993). Philosophical naturalism. Oxford: Blackwell.

Plantinga, A. (2011). Where the conflict really lies: Science, religion, and naturalism. Oxford: Oxford University Press.

Prigogine, I., & Stengers, I. (1984). Order out of chaos. New York: Bantam.

Putnam, H. (1990). Realism with a human face (J. Conant, Ed.). Cambridge, MA: Harvard University Press.

Quine, W. V. O. (1953). On what there is. In From a logical point of view (pp. 1–19). Cambridge, MA: Harvard University Press.

Quine, W. V. O. (1969). Epistemology naturalized. In Ontological relativity and other essays (pp. 69–90). New York: Columbia University Press.

Rahner, K. (1978). Foundations of Christian faith. New York: Crossroad.

Reppert, V. (2003). C.S. Lewis’s dangerous idea: In defense of the argument from reason. Downers Grove, IL: InterVarsity Press.

Rolston, H. III. (1988). Environmental ethics: Duties to and values in the natural world. Philadelphia: Temple University Press.

Rolston, H. III. (2012). A new environmental ethics: The next millennium for life on earth. London: Routledge.

Roskies, A. (2002). Neuroethics for the new millennium. Neuron, 35(1), 21–23.

Ruse, M. (1986). Taking Darwin seriously: A naturalistic approach to philosophy. Oxford: Blackwell.

Sartre, J.-P. (1956). Being and nothingness (H. E. Barnes, Trans.). New York: Philosophical Library.

Searle, J. R. (1992). The rediscovery of the mind. Cambridge, MA: MIT Press.

Sellars, W. (1963). Science, perception, and reality. London: Routledge.

Singer, P. (2011). Practical ethics (3rd ed.). Cambridge: Cambridge University Press.

Spencer, H. (1879). The data of ethics. London: Williams and Norgate.

Spinoza, B. (1996). Ethics (E. Curley, Trans.). London: Penguin.

Taylor, C. (1989). Sources of the self: The making of the modern identity. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Taylor, P. W. (1986). Respect for nature: A theory of environmental ethics. Princeton: Princeton University Press.

Wilson, E. O. (1975). Sociobiology: The new synthesis. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Wilson, E. O. (1998). Consilience: The unity of knowledge. New York: Vintage Books.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar