Selasa, 02 Desember 2025

Cartesianisme: Rasionalisme dan Dualisme sebagai Fondasi Filsafat Modern

Cartesianisme

Rasionalisme dan Dualisme sebagai Fondasi Filsafat Modern


Alihkan ke: Aliran Sejarah Filsafat.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif aliran Cartesianisme sebagai fondasi utama lahirnya filsafat modern. René Descartes (1596–1650) melalui prinsip cogito ergo sum menginisiasi revolusi epistemologis yang menempatkan subjek berpikir sebagai pusat seluruh pengetahuan. Penelitian ini menelusuri landasan historis dan genealogis Cartesianisme, menyoroti pergeserannya dari tradisi skolastik abad pertengahan menuju paradigma rasionalisme yang menekankan otonomi akal. Secara ontologis, Cartesianisme memperkenalkan dualisme substansi antara res cogitans dan res extensa; secara epistemologis, ia mengembangkan metode keraguan radikal dan deduksi rasional sebagai jalan menuju kepastian.

Kajian ini juga menelaah antropologi filosofis Descartes yang memandang manusia sebagai subjek berpikir, serta implikasi etis dan estetis dari rasionalisme Cartesian dalam pembentukan kesadaran moral dan konsep keindahan sebagai keteraturan rasional. Artikel ini kemudian menguraikan kritik-kritik besar terhadap Cartesianisme dari tradisi empirisme, fenomenologi, eksistensialisme, hingga postmodernisme, serta menyoroti pengaruh dan warisan intelektualnya terhadap filsafat, sains, dan budaya modern.

Pada bagian akhir, dilakukan sintesis filosofis yang menempatkan akal sebagai jalan menuju kepastian dan kebenaran, dengan mengakui dimensi iman, kebebasan, dan moralitas sebagai pelengkap rasionalitas. Melalui analisis historis dan reflektif, tulisan ini menegaskan bahwa Cartesianisme bukan hanya doktrin abad ke-17, tetapi paradigma abadi yang membentuk struktur berpikir modern sekaligus terus mengundang reinterpretasi dalam konteks filsafat kontemporer, teknologi digital, dan etika global.

Kata Kunci: Cartesianisme, René Descartes, Cogito Ergo Sum, rasionalisme, dualisme substansi, epistemologi modern, subjek berpikir, filsafat modern, akal dan iman, kepastian pengetahuan.


PEMBAHASAN

Cartesianisme sebagai Fondasi Filsafat Modern


1.           Pendahuluan

Cartesianisme, yang berakar pada pemikiran René Descartes (1596–1650), menandai titik balik fundamental dalam sejarah filsafat Barat. Dengan semboyannya yang terkenal, Cogito ergo sum (“Aku berpikir, maka aku ada”), Descartes menegaskan pergeseran paradigma dari otoritas eksternal—seperti teologi skolastik—menuju rasionalitas subjektif sebagai dasar pengetahuan yang pasti.¹ Pemikiran ini menjadi fondasi lahirnya filsafat modern, di mana manusia, sebagai subjek berpikir, memperoleh otonomi epistemologis untuk menafsirkan dunia dan dirinya sendiri melalui kekuatan rasio.

Pada konteks abad ke-17, Eropa tengah mengalami pergolakan intelektual akibat munculnya revolusi ilmiah dan krisis otoritas gerejawi. Descartes hidup di tengah situasi di mana kebenaran teologis mulai dipertanyakan oleh penemuan-penemuan ilmiah baru.² Dalam situasi itu, ia berupaya mencari dasar pengetahuan yang tidak bergantung pada pengalaman empiris maupun otoritas dogmatis. Jalan yang ia tempuh adalah keraguan metodis, yakni menolak sementara semua yang dapat diragukan untuk menemukan sesuatu yang tidak mungkin diragukan lagi.³ Melalui metode ini, Descartes tidak sekadar mencari kebenaran metafisis, tetapi juga menetapkan fondasi baru bagi ilmu pengetahuan yang berakar pada kepastian rasional.

Cartesianisme kemudian berkembang menjadi sistem filsafat yang memadukan rasionalisme, dualisme substansi, dan keyakinan akan kepastian matematika sebagai model kebenaran.⁴ Rasionalisme Descartes menekankan bahwa pengetahuan sejati tidak bergantung pada indera yang menipu, melainkan pada intuisi intelektual yang jelas dan terpilah (clara et distincta perceptio). Dengan demikian, ia menempatkan akal sebagai alat utama untuk mencapai kepastian metafisis dan ilmiah.⁵

Secara historis, Cartesianisme memiliki implikasi yang luas: ia meletakkan dasar bagi perkembangan sains modern, memperkenalkan paradigma subjektivitas, dan sekaligus memunculkan problem dualisme antara pikiran dan tubuh yang masih menjadi perdebatan hingga kini.⁶ Melalui sintesis antara rasio dan iman, Descartes berusaha menjembatani sains dan teologi, meskipun hasilnya justru membuka jalan bagi sekularisasi pemikiran Barat.⁷

Oleh karena itu, pembahasan mengenai Cartesianisme tidak hanya penting untuk memahami akar filsafat modern, tetapi juga untuk menelusuri genealogi konsep subjek, pengetahuan, dan realitas dalam wacana kontemporer. Artikel ini akan menguraikan struktur pemikiran Descartes secara sistematis, mulai dari landasan historisnya, ontologi dan epistemologinya, hingga relevansinya dalam konteks filsafat modern dan postmodern. Melalui pendekatan ini, diharapkan Cartesianisme dapat dipahami bukan hanya sebagai sistem rasional, melainkan juga sebagai refleksi mendalam tentang makna keberadaan manusia sebagai makhluk berpikir.


Footnotes

[1]                René Descartes, Discourse on the Method of Rightly Conducting One’s Reason and of Seeking Truth in the Sciences, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 17.

[2]                Stephen Gaukroger, Descartes: An Intellectual Biography (Oxford: Clarendon Press, 1995), 54–56.

[3]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 12–14.

[4]                Etienne Gilson, The Unity of Philosophical Experience (New York: Charles Scribner’s Sons, 1937), 128–130.

[5]                John Cottingham, Cartesian Reflections: Essays on Descartes’s Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2008), 24–26.

[6]                Richard Watson, The Breakdown of Cartesian Metaphysics (Indianapolis: Hackett Publishing, 1987), 5–7.

[7]                Geneviève Rodis-Lewis, Descartes: His Life and Thought (Ithaca: Cornell University Press, 1998), 203–205.


2.           Landasan Historis dan Genealogis

Cartesianisme lahir dari konteks intelektual Eropa pada abad ke-17, suatu masa yang ditandai oleh pergeseran besar dari pandangan dunia skolastik menuju paradigma ilmiah modern. Skolastisisme Abad Pertengahan, yang didominasi oleh sintesis antara filsafat Aristotelian dan teologi Kristen, mulai mengalami krisis otoritas.¹ Sementara itu, revolusi ilmiah yang dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti Nicolaus Copernicus, Johannes Kepler, dan Galileo Galilei memperkenalkan model kosmos yang mekanistik, menantang pandangan kosmologis Gereja yang berpusat pada manusia.² Dalam situasi ini, René Descartes muncul sebagai figur yang berusaha merekonstruksi dasar pengetahuan dengan kepastian yang sama kuatnya seperti dalam matematika dan geometri.

Sebagai seorang ilmuwan sekaligus filsuf, Descartes terinspirasi oleh keberhasilan ilmu pasti. Ia memandang bahwa kepastian yang diperoleh dalam matematika harus menjadi model bagi segala bentuk pengetahuan.³ Dalam Discourse on the Method (1637), Descartes mengusulkan metode berpikir yang menggabungkan keraguan radikal dengan deduksi logis sebagai sarana mencapai kebenaran yang tak terbantahkan.⁴ Ia menolak tradisi otoritas yang diwariskan skolastisisme, menggantikannya dengan prinsip otonomi rasional: bahwa akal manusia, jika digunakan dengan tepat, mampu menemukan dasar yang pasti bagi seluruh ilmu.⁵

Genealogi Cartesianisme tidak dapat dipisahkan dari pengaruh beberapa tradisi intelektual sebelumnya. Dari skolastisisme, Descartes mewarisi perhatian pada struktur logis dan deduktif dalam berpikir, tetapi ia menolak ketergantungannya pada metafisika teologis.⁶ Dari renaisans humanisme, ia menyerap semangat otonomi manusia dan kepercayaan pada kemampuan rasio.⁷ Sementara dari sains modern awal, ia mengambil inspirasi dari pendekatan mekanistik terhadap alam.⁸ Dengan demikian, Cartesianisme dapat dipahami sebagai hasil sintesis antara warisan skolastik, rasionalisme renaisans, dan metode sains baru yang sedang tumbuh.

Secara historis, karya-karya Descartes seperti Meditations on First Philosophy (1641) dan Principles of Philosophy (1644) membentuk fondasi filsafat modern.⁹ Ia menempatkan subjek berpikir sebagai titik pangkal segala kepastian, menggeser pusat filsafat dari ontologi ke epistemologi. Pergeseran ini menjadi ciri khas zaman modern, yang menekankan bahwa kebenaran harus diturunkan dari kesadaran manusia sendiri, bukan dari otoritas eksternal.¹⁰ Melalui langkah ini, Descartes membuka jalan bagi rasionalisme kontinental dan seluruh tradisi modern yang menjadikan subjek rasional sebagai pusat refleksi filosofis.

Dengan demikian, secara genealogis, Cartesianisme bukanlah suatu sistem yang muncul secara terisolasi, melainkan hasil dialektika historis antara krisis otoritas skolastik dan kebangkitan metode ilmiah. Ia menjadi simbol dari “revolusi epistemologis” yang memindahkan sumber kebenaran dari Tuhan dan Gereja menuju subjek manusia yang berpikir.¹¹ Perubahan ini bukan hanya mengubah arah filsafat, tetapi juga membentuk fondasi bagi seluruh proyek modernitas.


Footnotes

[1]                Étienne Gilson, History of Christian Philosophy in the Middle Ages (New York: Random House, 1955), 421–423.

[2]                Alexandre Koyré, From the Closed World to the Infinite Universe (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1957), 25–28.

[3]                Stephen Gaukroger, Descartes: An Intellectual Biography (Oxford: Clarendon Press, 1995), 63–65.

[4]                René Descartes, Discourse on the Method of Rightly Conducting One’s Reason and of Seeking Truth in the Sciences, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 19–20.

[5]                Roger Ariew, Descartes and the Last Scholastics (Ithaca: Cornell University Press, 1999), 8–10.

[6]                Gilson, History of Christian Philosophy in the Middle Ages, 424–425.

[7]                Ernst Cassirer, The Philosophy of the Enlightenment, trans. Fritz C. A. Koelln and James P. Pettegrove (Princeton: Princeton University Press, 1951), 11–12.

[8]                Koyré, From the Closed World to the Infinite Universe, 42–44.

[9]                Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), xi–xii.

[10]             Richard Watson, The Downfall of Cartesian Metaphysics (Indianapolis: Hackett Publishing, 1987), 5–6.

[11]             Jean-Luc Marion, On Descartes’ Metaphysical Prism: The Constitution and the Limits of Onto-Theology in Cartesian Thought (Chicago: University of Chicago Press, 1999), 31–33.


3.           Ontologi: Dualisme Substansi

Dalam sistem filsafat Descartes, ontologi berperan sebagai fondasi metafisis dari seluruh struktur pengetahuan. Cartesianisme menegaskan bahwa realitas terdiri atas dua jenis substansi yang berbeda secara esensial: res cogitans (substansi berpikir) dan res extensa (substansi yang memiliki keluasan).¹ Kedua substansi ini memiliki hakikat yang tak dapat direduksi satu sama lain, sehingga melahirkan apa yang dikenal sebagai dualisme substansi Cartesian. Dengan pemisahan tersebut, Descartes mengupayakan kejelasan metafisis yang serupa dengan kepastian matematis—sebuah sistem yang menempatkan akal budi sebagai dasar bagi pengetahuan tentang realitas.

3.1.       Konsep Substansi dalam Filsafat Cartesian

Bagi Descartes, substansi adalah sesuatu yang “tidak membutuhkan apa pun selain dirinya sendiri untuk ada.”² Namun, definisi ini hanya berlaku secara mutlak bagi Tuhan, sebab hanya Tuhan yang benar-benar independen dalam eksistensinya. Adapun res cogitans dan res extensa bersifat relatif, karena keduanya bergantung pada Tuhan sebagai causa sui (penyebab dirinya sendiri) dan sebagai jaminan eksistensi mereka.³ Dengan demikian, ontologi Cartesian tetap berakar dalam teologi metafisis, tetapi dengan orientasi yang rasional dan sistematis.

Res cogitans merujuk pada substansi berpikir yang hakikatnya adalah kesadaran: ia berpikir, meragukan, memahami, menegaskan, menolak, membayangkan, dan merasakan.⁴ Sementara res extensa merujuk pada substansi jasmani yang memiliki keluasan (extensio) dan tunduk pada hukum-hukum mekanis.⁵ Dalam kerangka ini, tubuh (materi) adalah entitas yang dapat dijelaskan sepenuhnya oleh hukum geometri dan mekanika, sedangkan pikiran bersifat immaterial dan tidak dapat direduksi pada proses fisik. Hubungan antara keduanya menjadi persoalan metafisis utama dalam filsafat Cartesian.

3.2.       Hubungan antara Pikiran dan Tubuh

Descartes berusaha menjelaskan relasi antara res cogitans dan res extensa melalui konsep interaksi substansi. Ia berpendapat bahwa pikiran dapat memengaruhi tubuh dan sebaliknya melalui kelenjar pineal (glandula pinealis), yang ia anggap sebagai titik pertemuan antara dua substansi tersebut.⁶ Meskipun penjelasan ini bersifat spekulatif dan kemudian dikritik secara tajam oleh para penerusnya, Descartes tetap berupaya mempertahankan bahwa kesatuan manusia terjadi dalam kesadaran reflektif yang melampaui dualitas ontologisnya.⁷

Masalah interaksi ini kelak melahirkan problem klasik yang dikenal sebagai mind-body problem, yakni bagaimana entitas non-material (pikiran) dapat berinteraksi dengan entitas material (tubuh).⁸ Para filsuf setelah Descartes, seperti Malebranche dengan teori okasionalisme dan Spinoza dengan monisme substansi, mencoba mengatasi kesulitan ini dengan menolak atau merevisi dualisme Cartesian.⁹ Namun demikian, Descartes sendiri menegaskan bahwa kejelasan pemisahan antara pikiran dan tubuh justru memungkinkan pengetahuan ilmiah berkembang tanpa campur tangan metafisika atau teologi.¹⁰

3.3.       Tuhan sebagai Jaminan Ontologis

Keberadaan Tuhan dalam sistem Descartes bukan sekadar entitas teologis, tetapi juga prinsip epistemologis dan ontologis yang menjamin kebenaran dan realitas. Tuhan adalah substansi yang eksistensinya sempurna dan tidak bergantung pada apa pun, sedangkan eksistensi res cogitans dan res extensa dijamin oleh kehendak dan kebenaran ilahi.¹¹ Tanpa Tuhan, kejelasan dan kepastian ide manusia akan kehilangan dasar ontologisnya, sebab kemungkinan penipuan dari “genius jahat” tidak akan dapat disangkal.¹² Dengan demikian, Tuhan berfungsi sebagai landasan metafisis yang memungkinkan koherensi antara pikiran dan dunia.


Implikasi Ontologis Dualisme Cartesian

Dualisme substansi Cartesian membawa implikasi besar bagi perkembangan filsafat modern. Ia memperkenalkan pemisahan tegas antara subjek dan objek, antara kesadaran dan dunia material, yang menjadi ciri khas epistemologi modern.¹³ Pemisahan ini membuka ruang bagi otonomi sains dalam menjelaskan fenomena fisik tanpa rujukan pada realitas spiritual, tetapi juga menimbulkan alienasi metafisis antara manusia dan alam.¹⁴ Cartesianisme, dengan demikian, menjadi landasan bagi modernitas yang menekankan rasionalitas dan kontrol terhadap alam, sekaligus menjadi sumber kritik filosofis terhadap reduksi mekanistik eksistensi manusia.¹⁵

Dengan memisahkan pikiran dan tubuh sebagai dua substansi berbeda, Descartes membangun sistem metafisika yang mempengaruhi tidak hanya filsafat, tetapi juga sains, psikologi, dan teologi. Walau model ini kemudian banyak dikritik, dualisme substansi tetap menjadi warisan penting yang memicu refleksi mendalam tentang hakikat kesadaran, tubuh, dan realitas itu sendiri.


Footnotes

[1]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 54–56.

[2]                René Descartes, Principles of Philosophy, trans. Valentine Rodger Miller and Reese P. Miller (Dordrecht: Reidel, 1983), 1:51.

[3]                Étienne Gilson, The Unity of Philosophical Experience (New York: Charles Scribner’s Sons, 1937), 133–135.

[4]                Descartes, Meditations on First Philosophy, 59–60.

[5]                Stephen Gaukroger, Descartes: An Intellectual Biography (Oxford: Clarendon Press, 1995), 102–104.

[6]                Descartes, Passions of the Soul, trans. Stephen Voss (Indianapolis: Hackett Publishing, 1989), 33–34.

[7]                John Cottingham, Cartesian Reflections: Essays on Descartes’s Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2008), 49–51.

[8]                Gilbert Ryle, The Concept of Mind (London: Hutchinson, 1949), 16–17.

[9]                Nicolas Malebranche, The Search After Truth, trans. Thomas M. Lennon and Paul J. Olscamp (Columbus: Ohio State University Press, 1980), 88–89; Benedict de Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (London: Penguin Classics, 1996), 44–46.

[10]             Daniel Garber, Descartes’ Metaphysical Physics (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 15–17.

[11]             Descartes, Meditations on First Philosophy, 73–75.

[12]             Geneviève Rodis-Lewis, Descartes: His Life and Thought (Ithaca: Cornell University Press, 1998), 144–146.

[13]             Richard Watson, The Breakdown of Cartesian Metaphysics (Indianapolis: Hackett Publishing, 1987), 5–7.

[14]             Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 143–145.

[15]             Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans. Donald A. Landes (London: Routledge, 2012), xv–xviii.


4.           Epistemologi: Metode dan Kepastian Pengetahuan

Epistemologi Cartesian merupakan inti dari seluruh sistem filsafat Descartes. Ia memulai penyelidikan filsafatnya dengan pertanyaan mendasar: bagaimana manusia dapat mencapai pengetahuan yang benar-benar pasti? Dalam konteks krisis epistemologis abad ke-17, di mana otoritas tradisional dan pengalaman empiris dipertanyakan, Descartes berupaya menemukan dasar pengetahuan yang tak dapat diragukan.¹ Jalan yang ditempuhnya adalah metode keraguan radikal (methodic doubt), suatu strategi filosofis untuk menolak segala hal yang dapat diragukan, hingga ditemukan sesuatu yang tidak mungkin diragukan lagi.²

4.1.       Metode Keraguan dan Penemuan “Cogito ergo sum”

Dalam Meditations on First Philosophy, Descartes menempatkan dirinya dalam posisi skeptis ekstrem: ia meragukan kesaksian pancaindra, keberadaan dunia luar, bahkan kebenaran matematika, karena semuanya mungkin merupakan ilusi yang diciptakan oleh “genius jahat”.³ Namun di tengah keraguan total itu, ia menemukan satu kepastian yang tak tergoyahkan: bahwa ia yang meragukan, pasti sedang berpikir; dan karena berpikir, ia pasti ada. Dari sinilah muncul prinsip dasar cogito ergo sum (“aku berpikir, maka aku ada”).⁴

Prinsip ini menjadi batu penjuru seluruh sistem epistemologis Cartesian. Eksistensi diri sebagai subjek berpikir merupakan kebenaran pertama dan pasti (prima veritas), yang menjadi dasar bagi pembangunan seluruh struktur pengetahuan.⁵ Dengan demikian, Descartes menempatkan kesadaran reflektif manusia sebagai fondasi epistemologi, mengalihkan titik tolak filsafat dari dunia luar menuju subjek yang berpikir.

4.2.       Ide Jelas dan Terpilah (Clara et Distincta Perceptio)

Setelah menemukan cogito, Descartes menghadapi pertanyaan lebih lanjut: bagaimana memastikan bahwa pengetahuan lain juga benar dan tidak keliru? Ia menjawab dengan kriteria clara et distincta perceptio—yakni ide atau pengetahuan yang ditangkap secara jelas (clara) dan terpilah (distincta).⁶ Menurut Descartes, sesuatu yang diketahui dengan cara ini pasti benar, sebab Tuhan yang sempurna tidak akan menipu manusia dengan memberikan ide yang salah.⁷ Dengan demikian, Tuhan berfungsi sebagai jaminan epistemologis atas kebenaran ide yang tampak jelas dan terpilah dalam akal budi.

Melalui konsep ini, Descartes mengembangkan rasionalisme epistemologis, di mana sumber utama pengetahuan bukanlah pengalaman empiris, melainkan akal dan deduksi logis.⁸ Ia membedakan antara ide bawaan (innate ideas), ide yang berasal dari luar (adventitious), dan ide yang dihasilkan oleh imajinasi (factitious).⁹ Ide bawaan, seperti ide tentang Tuhan, diri, dan bilangan, dianggap paling murni karena bersumber langsung dari rasio dan tidak bergantung pada pengalaman indrawi.¹⁰

4.3.       Struktur Metode dan Prosedur Rasional

Descartes merumuskan empat langkah metodis yang diuraikan dalam Discourse on the Method:

(1)               tidak menerima apa pun sebagai benar kecuali jika terbukti secara jelas dan terpilah;

(2)               membagi setiap masalah ke dalam bagian-bagian sekecil mungkin untuk memudahkan analisis;

(3)               menyusun pemikiran dari hal yang paling sederhana menuju yang kompleks; dan

(4)               melakukan perhitungan dan peninjauan ulang secara menyeluruh agar tidak ada hal yang terlewat.¹¹

Metode ini mencerminkan pengaruh matematika terhadap cara berpikir Descartes. Baginya, kepastian ilmiah harus mengikuti model deduksi geometris yang sistematis dan universal.¹² Dengan metode ini, Descartes tidak hanya menyusun epistemologi rasional, tetapi juga memberikan dasar metodologis bagi sains modern.

4.4.       Tuhan sebagai Jaminan Kebenaran Pengetahuan

Kendati rasionalisme Descartes berpusat pada akal, ia tidak menyingkirkan peran Tuhan. Dalam Meditations, Descartes berargumen bahwa ide tentang Tuhan sebagai makhluk sempurna tidak mungkin berasal dari manusia yang tidak sempurna; maka Tuhan pasti ada, dan karena Ia sempurna, Ia tidak mungkin menipu.¹³ Dari premis ini, Descartes menyimpulkan bahwa segala yang diketahui secara jelas dan terpilah pasti benar, sebab dijamin oleh kebenaran ilahi.¹⁴ Dengan demikian, epistemologi Cartesian berpijak pada harmoni antara rasio dan teologi, di mana Tuhan menjamin validitas struktur pengetahuan manusia.


Implikasi Epistemologis

Epistemologi Cartesian memiliki dampak mendalam terhadap perkembangan filsafat modern. Ia menegaskan subjek sebagai pusat kebenaran, membuka jalan bagi individualisme epistemologis dan otonomi rasio.¹⁵ Namun, fondasi ini juga menimbulkan persoalan baru: jika pengetahuan berpusat pada kesadaran subjektif, bagaimana menjamin hubungan yang sah antara subjek dan dunia objektif? Pertanyaan ini kemudian menjadi dasar bagi kritik Kantian dan fenomenologi Husserl terhadap rasionalisme Cartesian.¹⁶

Dengan demikian, epistemologi Descartes membentuk paradigma baru dalam sejarah filsafat: pengetahuan harus dimulai dari kesadaran diri yang pasti, disusun melalui metode rasional yang sistematis, dan dijamin oleh kebenaran ilahi. Struktur epistemologis ini menjadi kerangka bagi seluruh tradisi rasionalisme Eropa, sekaligus sumber bagi perdebatan panjang antara rasionalisme, empirisme, dan idealisme.


Footnotes

[1]                Stephen Gaukroger, Descartes: An Intellectual Biography (Oxford: Clarendon Press, 1995), 89–91.

[2]                René Descartes, Discourse on the Method of Rightly Conducting One’s Reason and of Seeking Truth in the Sciences, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 17–18.

[3]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 12–14.

[4]                Ibid., 17–18.

[5]                Étienne Gilson, The Unity of Philosophical Experience (New York: Charles Scribner’s Sons, 1937), 127–129.

[6]                Descartes, Principles of Philosophy, trans. Valentine Rodger Miller and Reese P. Miller (Dordrecht: Reidel, 1983), 1:45–46.

[7]                Geneviève Rodis-Lewis, Descartes: His Life and Thought (Ithaca: Cornell University Press, 1998), 176–178.

[8]                John Cottingham, Cartesian Reflections: Essays on Descartes’s Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2008), 33–34.

[9]                Descartes, Meditations on First Philosophy, 39–40.

[10]             Richard Watson, The Breakdown of Cartesian Metaphysics (Indianapolis: Hackett Publishing, 1987), 8–9.

[11]             Descartes, Discourse on the Method, 18–19.

[12]             Daniel Garber, Descartes’ Metaphysical Physics (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 20–22.

[13]             Descartes, Meditations on First Philosophy, 45–47.

[14]             Gilson, The Unity of Philosophical Experience, 133–134.

[15]             Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 143–144.

[16]             Edmund Husserl, Cartesian Meditations: An Introduction to Phenomenology, trans. Dorion Cairns (The Hague: Martinus Nijhoff, 1960), 7–9.


5.           Antropologi Filosofis: Manusia sebagai Subjek Berpikir

Dalam sistem Cartesian, manusia menempati posisi sentral sebagai subjek berpikir (res cogitans). Descartes memandang bahwa esensi manusia terletak bukan pada tubuhnya, melainkan pada aktivitas berpikir itu sendiri.¹ Dengan demikian, manusia adalah makhluk yang mengetahui dirinya melalui kesadaran reflektif, bukan melalui pengamatan terhadap tubuh atau dunia eksternal. Prinsip cogito ergo sum—“aku berpikir, maka aku ada”—menjadi fondasi ontologis dan antropologis yang menegaskan manusia sebagai pusat epistemologis dan eksistensial dari seluruh realitas.²

5.1.       Hakikat Manusia sebagai Res Cogitans

Bagi Descartes, berpikir adalah aktivitas yang membuktikan keberadaan manusia secara langsung.³ Kesadaran tidak membutuhkan bukti empiris, karena berpikir itu sendiri sudah merupakan tindakan eksistensi. Manusia, dalam arti sejati, adalah mens sive animus—pikiran atau jiwa—yang mengetahui dirinya melalui refleksi.⁴ Tubuh (res extensa) hanyalah instrumen mekanis yang dapat dipelajari secara ilmiah, sementara jiwa merupakan substansi immaterial yang menjadi pusat identitas pribadi. Dengan demikian, manusia bukan semata makhluk biologis, melainkan makhluk rasional yang esensinya terletak dalam kesadaran.⁵

Pandangan ini menegaskan bahwa pengetahuan diri (self-knowledge) tidak bersumber dari pengamatan terhadap tubuh, tetapi dari kesadaran internal yang langsung. Manusia mengetahui keberadaannya bukan karena ia melihat dirinya, melainkan karena ia berpikir tentang dirinya.⁶ Kesadaran reflektif ini menjadi dasar bagi munculnya konsep subjek modern yang otonom, sadar diri, dan menjadi ukuran bagi segala pengetahuan.

5.2.       Relasi Jiwa dan Tubuh: Problem Interaksi Substansi

Kendati Descartes memisahkan pikiran dan tubuh sebagai dua substansi yang berbeda, ia tetap berupaya menjelaskan hubungan keduanya dalam diri manusia. Ia menolak dualisme total yang memisahkan keduanya secara absolut, sebab pengalaman manusia menunjukkan adanya interaksi nyata antara jiwa dan tubuh—seperti ketika emosi memengaruhi tubuh atau tubuh memengaruhi pikiran.⁷ Untuk menjelaskan hal ini, Descartes mengajukan hipotesis bahwa hubungan antara pikiran dan tubuh terjadi melalui glandula pinealis (kelenjar pineal), yang berfungsi sebagai titik penghubung kedua substansi tersebut.⁸

Meskipun teori ini kemudian dianggap tidak memadai secara ilmiah, upaya Descartes menunjukkan kesadaran awal akan kompleksitas manusia sebagai makhluk ganda: jasmani dan rohani.⁹ Tubuh mengikuti hukum mekanistik alam, sementara jiwa tunduk pada hukum rasio dan kehendak bebas. Keduanya membentuk kesatuan yang dinamis, meskipun berakar pada hakikat ontologis yang berbeda.

5.3.       Kesadaran dan Otonomi Diri

Salah satu kontribusi besar Descartes terhadap antropologi filosofis adalah pengangkatannya terhadap subjek otonom. Dengan menegaskan cogito sebagai dasar pengetahuan, Descartes memindahkan pusat makna dari dunia eksternal ke dalam kesadaran subjek.¹⁰ Manusia menjadi ukuran segala kebenaran; dari kesadarannya-lah seluruh pengetahuan dan nilai diukur. Kesadaran ini bersifat reflektif—ia bukan hanya berpikir, tetapi juga menyadari bahwa ia berpikir.¹¹

Otonomi subjek berpikir ini memiliki implikasi etis dan eksistensial yang luas. Manusia tidak lagi dipandang sebagai bagian pasif dari tatanan kosmik ilahi, melainkan sebagai agen rasional yang bebas dan bertanggung jawab terhadap tindakannya.¹² Dalam pengertian ini, Descartes meletakkan dasar bagi pandangan modern tentang subjek yang bebas, rasional, dan mampu menentukan dirinya sendiri melalui akal budi.

5.4.       Konsekuensi Antropologis terhadap Modernitas

Konsep manusia sebagai res cogitans menandai lahirnya antropologi modern, di mana manusia tidak hanya dipahami sebagai ciptaan Tuhan, tetapi juga sebagai pusat refleksi tentang dunia.¹³ Namun, konsepsi ini juga membawa dampak ambivalen. Di satu sisi, ia membebaskan manusia dari ketergantungan dogmatis terhadap otoritas eksternal; di sisi lain, ia menimbulkan krisis dualisme eksistensial antara kesadaran dan dunia material.¹⁴

Pemikiran ini memengaruhi filsuf-filsuf modern seperti Kant, yang mengembangkan gagasan otonomi moral dari rasionalitas praktis, dan Heidegger, yang kemudian mengkritik Cartesianisme karena mereduksi keberadaan manusia menjadi subjek berpikir yang terpisah dari dunia.¹⁵ Dalam konteks ini, antropologi Cartesian menjadi titik awal bagi seluruh refleksi modern tentang kesadaran, kebebasan, dan eksistensi manusia.

Dengan demikian, antropologi filosofis Descartes bukan hanya berbicara tentang hakikat manusia sebagai makhluk berpikir, tetapi juga tentang transformasi mendasar dalam pemahaman diri manusia. Ia memindahkan manusia dari posisi objek ciptaan menuju subjek reflektif yang menjadi dasar seluruh pengetahuan dan tindakan—sebuah revolusi konseptual yang menandai kelahiran filsafat modern.


Footnotes

[1]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 17–18.

[2]                Étienne Gilson, The Unity of Philosophical Experience (New York: Charles Scribner’s Sons, 1937), 126–127.

[3]                Descartes, Meditations on First Philosophy, 24–25.

[4]                Stephen Gaukroger, Descartes: An Intellectual Biography (Oxford: Clarendon Press, 1995), 98–100.

[5]                John Cottingham, Cartesian Reflections: Essays on Descartes’s Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2008), 57–58.

[6]                Descartes, Discourse on the Method of Rightly Conducting One’s Reason and of Seeking Truth in the Sciences, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 32–33.

[7]                Descartes, Passions of the Soul, trans. Stephen Voss (Indianapolis: Hackett Publishing, 1989), 31–33.

[8]                Ibid., 34.

[9]                Geneviève Rodis-Lewis, Descartes: His Life and Thought (Ithaca: Cornell University Press, 1998), 154–156.

[10]             Richard Watson, The Breakdown of Cartesian Metaphysics (Indianapolis: Hackett Publishing, 1987), 5–6.

[11]             Descartes, Meditations on First Philosophy, 26.

[12]             Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 143–145.

[13]             Daniel Garber, Descartes’ Metaphysical Physics (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 29–31.

[14]             Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans. Donald A. Landes (London: Routledge, 2012), xix–xx.

[15]             Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 65–67.


6.           Etika dan Implikasi Moral

Etika Cartesian tidak hadir sebagai sistem moral yang terpisah dari filsafat metafisis dan epistemologisnya, melainkan sebagai konsekuensi logis dari rasionalisme dan konsep subjek berpikir yang menjadi inti dari seluruh sistem Descartes. Dalam pandangan ini, tindakan moral manusia berpangkal pada kapasitas rasionalnya untuk mengenali kebenaran dan mengatur kehendak sesuai dengan pengetahuan yang jelas dan terpilah (clara et distincta perceptio).¹ Dengan demikian, etika Cartesian merupakan bentuk rasionalisme moral, di mana dasar moralitas bukan terletak pada otoritas eksternal (agama, tradisi, atau negara), melainkan pada akal budi yang teratur dan jernih.

6.1.       Dasar Rasional Moralitas

Descartes memandang bahwa kehendak (voluntas) adalah salah satu kemampuan utama jiwa manusia, sejajar dengan akal (intellectus).² Namun, kesalahan moral dan intelektual timbul ketika kehendak melampaui batas pengetahuan yang jelas.³ Dalam Meditations, ia menulis bahwa manusia sering bersalah bukan karena Tuhan menipu, tetapi karena kehendaknya lebih luas daripada inteleknya; manusia cenderung menilai sesuatu yang belum diketahui secara pasti.⁴ Oleh karena itu, kebajikan moral dalam pandangan Descartes adalah kemampuan untuk menahan kehendak sampai akal memberikan dasar yang cukup untuk bertindak—suatu bentuk disiplin intelektual dan moral.⁵

Dalam kerangka ini, moralitas bersifat otonom dan rasional. Tindakan baik adalah tindakan yang mengikuti pengetahuan yang benar, sementara tindakan jahat berasal dari kebingungan intelektual.⁶ Etika Cartesian, dengan demikian, tidak mendasarkan nilai moral pada emosi atau perintah eksternal, melainkan pada keteraturan rasional dalam berpikir dan bertindak.

6.2.       Kebebasan dan Tanggung Jawab

Konsep kebebasan dalam filsafat Descartes tidak berarti kebebasan absolut tanpa batas, tetapi kebebasan untuk mengikuti kebenaran. Ia membedakan antara kebebasan indiferen—yakni kemampuan memilih tanpa dasar rasional, yang justru merupakan bentuk kebebasan terendah—dan kebebasan sejati, yaitu kemampuan kehendak untuk memilih berdasarkan pengenalan yang jelas tentang kebaikan.⁷ Dalam pengertian ini, manusia bebas sejati hanya bila ia bertindak sesuai dengan rasio yang benar.⁸

Kebebasan moral ini membawa tanggung jawab personal. Karena manusia diberi akal dan kehendak oleh Tuhan, ia bertanggung jawab untuk menggunakan keduanya secara benar.⁹ Oleh karena itu, dosa atau kesalahan moral bukan hasil takdir atau determinasi, tetapi akibat dari penyalahgunaan kehendak bebas. Descartes menegaskan bahwa kehendak manusia memang luas, tetapi penggunaannya harus diarahkan oleh pengetahuan yang benar agar selaras dengan kehendak ilahi.¹⁰

6.3.       Etika Sementara (Morale par provision)

Dalam Discourse on the Method, Descartes mengusulkan sebuah bentuk “etika sementara” (morale par provision) yang berfungsi sebagai panduan praktis sebelum sistem moral rasional sempurna dapat ditemukan.¹¹ Etika ini terdiri dari tiga prinsip utama:

(1)               menaati hukum dan kebiasaan masyarakat tempat seseorang hidup,

(2)               bersikap teguh dan konsisten dalam tindakan, serta

(3)               berupaya menaklukkan diri sendiri daripada dunia luar.¹²

Etika sementara ini bukan sistem moral absolut, tetapi pedoman praktis untuk hidup bijaksana di tengah ketidakpastian pengetahuan. Ia menunjukkan sisi pragmatis Descartes yang menyadari bahwa pengetahuan moral tidak bisa menunggu kepastian metafisis yang sempurna. Prinsip ketiga, terutama, mencerminkan sikap stoik: manusia harus mengendalikan dirinya, bukan dunia—karena penguasaan diri adalah bentuk tertinggi dari kebijaksanaan.¹³

6.4.       Implikasi Etis terhadap Modernitas

Etika Cartesian memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan etika modern. Dengan menempatkan akal sebagai sumber moralitas, Descartes membuka jalan bagi konsep otonomi moral yang kemudian dikembangkan oleh Immanuel Kant.¹⁴ Selain itu, gagasannya tentang keselarasan antara kehendak dan rasio juga memengaruhi pandangan rasionalistik tentang tanggung jawab individual dalam moral dan hukum. Namun, etika ini juga menghadapi kritik: karena menekankan rasionalitas individual, Cartesianisme sering dianggap mengabaikan dimensi sosial dan emosional dari tindakan moral.¹⁵

Filsuf-filsuf eksistensialis dan fenomenolog kemudian menilai bahwa etika Descartes terlalu menekankan subjek yang berpikir, sehingga kehilangan dimensi keterlibatan dan relasionalitas manusia.¹⁶ Meskipun demikian, etika Cartesian tetap penting karena menegaskan prinsip moral universal: bahwa kebaikan harus sejalan dengan kebenaran, dan kebebasan sejati hanya mungkin bila berakar pada rasio yang jernih.


Footnotes

[1]                John Cottingham, Cartesian Reflections: Essays on Descartes’s Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2008), 65–66.

[2]                René Descartes, The Passions of the Soul, trans. Stephen Voss (Indianapolis: Hackett Publishing, 1989), 41–42.

[3]                Étienne Gilson, The Unity of Philosophical Experience (New York: Charles Scribner’s Sons, 1937), 136–137.

[4]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 58–59.

[5]                Daniel Garber, Descartes’ Metaphysical Physics (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 27–28.

[6]                Stephen Gaukroger, Descartes: An Intellectual Biography (Oxford: Clarendon Press, 1995), 118–119.

[7]                Descartes, The Passions of the Soul, 48–49.

[8]                John Cottingham, The Moral Life: Essays in Ethics and Literature (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 22–24.

[9]                Geneviève Rodis-Lewis, Descartes: His Life and Thought (Ithaca: Cornell University Press, 1998), 180–182.

[10]             Descartes, Meditations on First Philosophy, 61–62.

[11]             René Descartes, Discourse on the Method of Rightly Conducting One’s Reason and of Seeking Truth in the Sciences, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 21–22.

[12]             Ibid., 23–24.

[13]             Stephen Menn, Descartes and Augustine (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 302–304.

[14]             Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 42–43.

[15]             Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 147–149.

[16]             Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (The Hague: Martinus Nijhoff, 1969), 46–48.


7.           Estetika dan Pandangan tentang Keindahan

Meskipun René Descartes tidak menulis karya yang secara eksplisit menguraikan teori estetika, pandangan tentang keindahan dan seni dapat disimpulkan dari prinsip-prinsip rasionalisme dan ontologi yang ia kembangkan. Dalam sistem Cartesian, keindahan bukanlah entitas metafisik yang berdiri sendiri seperti dalam Platonisme, tetapi merupakan refleksi keteraturan rasional yang dapat dipahami oleh akal budi.¹ Dengan kata lain, estetika dalam kerangka Cartesian berakar pada gagasan bahwa tatanan, harmoni, dan proporsi yang jelas—ciri khas berpikir rasional—merupakan dasar pengalaman keindahan.

7.1.       Keindahan sebagai Keteraturan Rasional

Bagi Descartes, keindahan identik dengan keteraturan (ordre) dan proporsi (proportion) yang dapat ditangkap oleh akal.² Pandangan ini selaras dengan kecenderungan ilmiah abad ke-17 yang melihat alam sebagai sistem matematis yang dapat dijelaskan melalui hukum rasio.³ Dalam surat-suratnya kepada Ratu Christina dari Swedia, Descartes menegaskan bahwa rasa indah muncul ketika pikiran menangkap kesesuaian antara bentuk dan tujuan, atau antara bagian-bagian yang tersusun secara harmonis.⁴

Dengan demikian, pengalaman estetis bukan sekadar persoalan emosi, tetapi juga melibatkan aktivitas intelektual. Keindahan yang sejati tidak bersumber pada kesenangan indrawi semata, melainkan pada pengenalan rasional terhadap keteraturan yang mendasari fenomena.⁵ Dalam konteks ini, estetika Cartesian mengandung unsur kognitif: akal bukan hanya menilai benar dan salah, tetapi juga mampu mengenali harmoni dan disonansi sebagai aspek epistemik dari pengalaman keindahan.

7.2.       Seni sebagai Imitasi Rasional Alam

Pandangan Cartesian tentang seni juga tidak terlepas dari cara ia memahami alam. Dalam Principles of Philosophy, Descartes menyatakan bahwa alam beroperasi secara mekanistik dan tunduk pada hukum-hukum universal.⁶ Oleh karena itu, seni sebagai representasi alam harus mengikuti prinsip keteraturan dan proporsi yang sama. Seorang seniman, bagi Descartes, tidak menciptakan “dunia baru” secara mistik, tetapi meniru tatanan realitas dengan cara yang dapat dipahami oleh akal.⁷

Seni, dalam pengertian ini, merupakan peniruan rasional terhadap keteraturan kosmos. Lukisan, musik, dan arsitektur dianggap indah sejauh mereka menunjukkan keseimbangan dan harmoni yang serupa dengan struktur matematis alam.⁸ Keindahan estetis menjadi cerminan dari keindahan kosmik yang dapat diungkap melalui rasio, bukan semata-mata melalui emosi atau intuisi.

7.3.       Estetika, Emosi, dan Rasio

Dalam The Passions of the Soul, Descartes memberikan perhatian khusus pada emosi (passions), termasuk bagaimana emosi memengaruhi persepsi estetis.⁹ Ia berpendapat bahwa emosi adalah gerak jiwa yang timbul akibat hubungan antara pikiran dan tubuh, dan bahwa emosi dapat diatur melalui pengetahuan rasional.¹⁰ Dalam konteks estetika, hal ini berarti bahwa pengalaman keindahan adalah interaksi antara sensasi tubuh dan penilaian akal. Keindahan sejati, karenanya, bukan hasil dari emosi tak terkendali, tetapi dari keseimbangan antara passio (perasaan) dan ratio (akal).¹¹

Konsepsi ini menandai salah satu sumbangan penting Cartesianisme terhadap estetika modern: ia menggeser pemahaman keindahan dari ranah mistis dan metaforis menuju ranah psikologis dan rasional.¹² Keindahan menjadi pengalaman sadar yang dapat dianalisis dan dijelaskan melalui struktur mental manusia.

7.4.       Implikasi Estetika terhadap Ilmu dan Filsafat Modern

Pandangan estetika Descartes memberi pengaruh besar terhadap perkembangan estetika rasionalis di abad ke-17 dan 18.¹³ Tokoh seperti Leibniz dan Wolff melanjutkan gagasan bahwa keindahan adalah keteraturan yang dapat diukur secara matematis.¹⁴ Dalam bidang arsitektur dan musik, prinsip harmoni rasional Cartesian menjadi dasar bagi teori komposisi klasik yang menekankan proporsi dan keseimbangan.

Namun, pandangan ini juga dikritik oleh filsuf-filsuf romantik seperti Kant dan Schiller yang menilai bahwa rasionalisme Cartesian mengabaikan unsur kebebasan dan kreativitas dalam pengalaman estetis.¹⁵ Meskipun demikian, Cartesianisme tetap meletakkan dasar penting bagi estetika modern dengan menjadikan keindahan sebagai hasil sintesis antara rasio, persepsi, dan pengalaman.

7.5.       Keindahan sebagai Cermin Kebenaran

Dalam kerangka metafisis Cartesian, keindahan dapat pula dipahami sebagai refleksi dari keteraturan ilahi. Tuhan, sebagai sumber segala kebenaran dan kesempurnaan, adalah juga sumber segala keindahan.¹⁶ Dengan demikian, pengenalan terhadap keindahan pada dasarnya adalah pengenalan terhadap tatanan ciptaan yang rasional dan sempurna.¹⁷ Estetika Cartesian, walaupun tidak bersifat teologis secara eksplisit, tetap menyiratkan bahwa keteraturan rasional alam adalah manifestasi dari kebijaksanaan Tuhan.

Dengan menempatkan keindahan sebagai harmoni antara rasio dan realitas, Descartes memberikan arah baru bagi estetika filosofis: keindahan bukan hanya persoalan rasa, tetapi juga pengetahuan; bukan sekadar emosi, tetapi refleksi rasional tentang keteraturan eksistensi.


Footnotes

[1]                John Cottingham, Cartesian Reflections: Essays on Descartes’s Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2008), 73–74.

[2]                René Descartes, Correspondence with Princess Elizabeth and Queen Christina, ed. and trans. Lisa Shapiro (Chicago: University of Chicago Press, 2007), 182–184.

[3]                Stephen Gaukroger, Descartes: An Intellectual Biography (Oxford: Clarendon Press, 1995), 132–134.

[4]                Descartes, Correspondence with Princess Elizabeth and Queen Christina, 185.

[5]                Étienne Gilson, The Unity of Philosophical Experience (New York: Charles Scribner’s Sons, 1937), 142–143.

[6]                René Descartes, Principles of Philosophy, trans. Valentine Rodger Miller and Reese P. Miller (Dordrecht: Reidel, 1983), 1:60.

[7]                Daniel Garber, Descartes’ Metaphysical Physics (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 43–45.

[8]                Geneviève Rodis-Lewis, Descartes: His Life and Thought (Ithaca: Cornell University Press, 1998), 188–189.

[9]                René Descartes, The Passions of the Soul, trans. Stephen Voss (Indianapolis: Hackett Publishing, 1989), 52–54.

[10]             Ibid., 55–56.

[11]             John Cottingham, Philosophy and the Good Life: Reason and the Passions in Greek, Cartesian and Psychoanalytic Ethics (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 109–110.

[12]             Stephen Menn, Descartes and Augustine (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 287–289.

[13]             Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. IV: Descartes to Leibniz (New York: Doubleday, 1994), 102–104.

[14]             Gottfried Wilhelm Leibniz, Monadology, trans. Nicholas Rescher (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1991), 78–80.

[15]             Immanuel Kant, Critique of Judgment, trans. Werner S. Pluhar (Indianapolis: Hackett Publishing, 1987), 44–46.

[16]             Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 73–74.

[17]             Gilson, The Unity of Philosophical Experience, 144–145.


8.           Kritik terhadap Cartesianisme

Cartesianisme, meskipun menjadi tonggak lahirnya filsafat modern, tidak luput dari berbagai kritik yang datang dari beragam aliran pemikiran. Kritik terhadap sistem Descartes terutama berfokus pada tiga ranah utama: ontologis, epistemologis, dan antropologis. Di satu sisi, pemikiran Descartes mengantarkan filsafat pada kesadaran reflektif dan metodologi rasional yang ketat; namun di sisi lain, ia juga menimbulkan problem dualisme, solipsisme epistemologis, dan pemisahan radikal antara subjek dan dunia yang masih menjadi perdebatan hingga kini.¹

8.1.       Kritik terhadap Dualisme Substansi

Salah satu kritik paling mendasar terhadap Cartesianisme datang dari persoalan dualisme substansi—pemikiran bahwa realitas terdiri atas dua hakikat yang berbeda: res cogitans (pikiran) dan res extensa (materi).² Dualisme ini dianggap menimbulkan kesulitan metafisis: bagaimana mungkin dua substansi yang hakikatnya sepenuhnya berbeda dapat saling berinteraksi?³ Meskipun Descartes berusaha menjelaskan hubungan itu melalui kelenjar pineal, penjelasan tersebut dianggap tidak memadai secara filosofis maupun ilmiah.

Nicolas Malebranche, misalnya, mengajukan okasionalisme, yakni gagasan bahwa interaksi antara pikiran dan tubuh sebenarnya dimediasi oleh Tuhan pada setiap peristiwa.⁴ Sementara Baruch Spinoza menolak dualisme sepenuhnya dengan memperkenalkan monisme substansi: hanya ada satu substansi, yaitu Tuhan atau alam, yang memiliki dua atribut—pikiran dan keluasan.⁵ Kritik Spinoza ini menunjukkan kelemahan ontologis Cartesianisme, karena mempertahankan dua substansi yang saling bergantung justru menimbulkan paradoks eksistensial.

8.2.       Kritik Epistemologis: Rasionalisme dan Masalah Representasi

Dari sisi epistemologi, Cartesianisme dikritik karena menyandarkan seluruh kebenaran pada subjek yang berpikir, sehingga menimbulkan kesenjangan antara kesadaran dan dunia luar. Dalam Meditations, Descartes menegaskan bahwa pengetahuan sejati hanya diperoleh melalui ide yang jelas dan terpilah, namun pendekatan ini menimbulkan persoalan representasi: bagaimana ide-ide dalam pikiran dapat merepresentasikan dunia eksternal secara akurat?⁶

John Locke, tokoh empirisis Inggris, menentang gagasan ide bawaan (innate ideas) yang menjadi dasar rasionalisme Cartesian. Ia berpendapat bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman (tabula rasa), bukan dari struktur bawaan akal.⁷ David Hume kemudian melanjutkan kritik ini dengan menunjukkan bahwa rasionalisme Descartes gagal menjelaskan hubungan kausalitas secara empiris, karena ide hubungan sebab-akibat tidak dapat diturunkan dari pengalaman langsung maupun dari rasio murni.⁸ Dengan demikian, epistemologi Cartesian dianggap membangun sistem pengetahuan yang tertutup dalam kesadaran subjek, terpisah dari dunia empiris.

8.3.       Kritik Antropologis: Subjektivitas dan Alienasi

Dalam bidang antropologi filosofis, Cartesianisme dikritik karena mendefinisikan manusia semata-mata sebagai subjek berpikir, sehingga mengabaikan dimensi eksistensial, emosional, dan sosial dari keberadaan manusia.⁹ Martin Heidegger menyebut kesalahan ini sebagai Seinsvergessenheit—kelupaan terhadap “ada” yang sejati.ⁱ⁰ Menurut Heidegger, Descartes mereduksi keberadaan manusia menjadi subjek yang menilai dan mengontrol dunia, padahal eksistensi manusia tidak dapat dipahami tanpa keterlemparannya ke dalam dunia (In-der-Welt-sein).

Demikian pula, filsuf fenomenolog seperti Maurice Merleau-Ponty menolak dualisme Cartesian dengan menegaskan bahwa kesadaran manusia selalu bersifat tubuh-berada-di-dunia (le corps propre).¹¹ Kesadaran bukan entitas terpisah dari tubuh, melainkan cara tubuh mengalami dan mengungkap dunia.¹² Kritik ini menggeser paradigma dari subjek yang abstrak menuju subjek yang terlibat secara konkret dalam pengalaman duniawi.

8.4.       Kritik dari Tradisi Eksistensialis dan Postmodern

Tokoh eksistensialis seperti Søren Kierkegaard dan Jean-Paul Sartre mengkritik Cartesianisme karena memutlakkan akal dan kepastian rasional, sementara mengabaikan dimensi kebebasan dan subjektivitas konkret.¹³ Bagi Sartre, cogito Cartesian masih bersifat statis dan abstrak; kesadaran sejati justru selalu berada dalam proses menjadi (être-pour-soi) yang terbuka dan dinamis.¹⁴

Sementara itu, dalam tradisi postmodern, Jacques Derrida dan Michel Foucault menilai bahwa subjek Cartesian adalah konstruksi historis yang mencerminkan dominasi rasionalitas Barat.¹⁵ Subjek rasional dianggap sebagai pusat kebenaran yang menyingkirkan yang lain (the Other), sehingga Cartesianisme dilihat sebagai akar dari struktur kekuasaan epistemik modern.¹⁶ Kritik ini menyoroti bagaimana klaim universalitas rasio Cartesian justru melahirkan eksklusi terhadap pengalaman, emosi, dan pluralitas makna.

8.5.       Kritik Kontemporer: Perspektif Feminisme dan Kognitif

Dalam konteks kontemporer, kritik terhadap Cartesianisme datang pula dari feminisme dan filsafat kognitif. Tokoh feminis seperti Genevieve Lloyd dan Susan Bordo menilai bahwa dikotomi pikiran-tubuh Descartes merefleksikan hierarki patriarkal yang mengutamakan rasio (maskulin) dan menomorduakan tubuh serta emosi (feminin).¹⁷ Kritik ini membuka wacana etis dan epistemologis baru yang menekankan keterhubungan antara rasio, tubuh, dan relasi sosial.

Dalam filsafat kognitif modern, Cartesianisme dikritik karena model kesadarannya yang dualistis dan representasionalis, yang tidak sesuai dengan temuan neurosains dan psikologi kontemporer.¹⁸ Pendekatan embodied cognition menolak pandangan bahwa pikiran terpisah dari tubuh, dan menegaskan bahwa kesadaran lahir dari interaksi dinamis antara organisme dan lingkungannya.¹⁹ Dengan demikian, Cartesianisme dinilai sebagai tahap awal yang perlu dilampaui untuk memahami kesadaran secara holistik.


Evaluasi Umum

Kritik terhadap Cartesianisme tidak menghapus nilai historisnya sebagai fondasi filsafat modern. Justru sebaliknya, kritik tersebut menunjukkan kekuatan reflektif sistem Descartes yang terus menantang pemikiran baru. Cartesianisme membuka ruang bagi pertanyaan tentang hubungan antara subjek dan dunia, akal dan tubuh, serta kepastian dan keraguan—pertanyaan yang tetap menjadi inti filsafat hingga kini.²⁰

Maka, meskipun banyak aspek Cartesianisme telah ditolak, warisannya tetap hidup dalam bentuk negasinya: setiap filsafat modern dan kontemporer, baik yang rasionalis, empiris, fenomenologis, maupun eksistensialis, secara langsung atau tidak, selalu berbicara dalam bayang-bayang cogito Descartes.


Footnotes

[1]                Étienne Gilson, The Unity of Philosophical Experience (New York: Charles Scribner’s Sons, 1937), 147–148.

[2]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 54–56.

[3]                Daniel Garber, Descartes’ Metaphysical Physics (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 32–33.

[4]                Nicolas Malebranche, The Search After Truth, trans. Thomas M. Lennon and Paul J. Olscamp (Columbus: Ohio State University Press, 1980), 88–90.

[5]                Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (London: Penguin Classics, 1996), 42–44.

[6]                Descartes, Meditations on First Philosophy, 41–43.

[7]                John Locke, An Essay Concerning Human Understanding (London: Thomas Basset, 1690), II.i.2.

[8]                David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding (Oxford: Oxford University Press, 2000), 63–65.

[9]                Richard Watson, The Breakdown of Cartesian Metaphysics (Indianapolis: Hackett Publishing, 1987), 10–12.

[10]             Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 65–67.

[11]             Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans. Donald A. Landes (London: Routledge, 2012), xix–xx.

[12]             Ibid., 75–77.

[13]             Søren Kierkegaard, Concluding Unscientific Postscript, trans. David F. Swenson and Walter Lowrie (Princeton: Princeton University Press, 1941), 49–51.

[14]             Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel E. Barnes (New York: Philosophical Library, 1956), 21–23.

[15]             Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 61–63.

[16]             Michel Foucault, The Order of Things (New York: Vintage Books, 1970), 318–320.

[17]             Genevieve Lloyd, The Man of Reason: “Male” and “Female” in Western Philosophy (London: Routledge, 1984), 20–22; Susan Bordo, The Flight to Objectivity: Essays on Cartesianism and Culture (Albany: SUNY Press, 1987), 13–15.

[18]             Evan Thompson, Mind in Life: Biology, Phenomenology, and the Sciences of Mind (Cambridge: Harvard University Press, 2007), 45–46.

[19]             Francisco Varela, Evan Thompson, and Eleanor Rosch, The Embodied Mind: Cognitive Science and Human Experience (Cambridge: MIT Press, 1991), 59–61.

[20]             John Cottingham, Cartesian Reflections: Essays on Descartes’s Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2008), 91–93.


9.           Pengaruh dan Warisan Intelektual

Cartesianisme menempati posisi sentral dalam sejarah filsafat Barat sebagai titik balik menuju filsafat modern. Melalui rasionalisme dan dualisme substansinya, Descartes membentuk paradigma baru yang mengubah orientasi metafisis, epistemologis, dan ilmiah manusia terhadap dunia.¹ Warisan intelektualnya tidak hanya dirasakan dalam bidang filsafat, tetapi juga dalam sains, teologi, psikologi, dan bahkan budaya modern. Cartesianisme, dengan semboyannya cogito ergo sum, menjadi simbol kelahiran subjektivitas modern—yakni gagasan bahwa pengetahuan dan makna berakar pada kesadaran manusia.²

9.1.       Pengaruh terhadap Rasionalisme dan Filsafat Modern Awal

Sebagai bapak rasionalisme, Descartes membuka jalan bagi tradisi pemikiran yang menempatkan akal sebagai sumber utama kebenaran.³ Tokoh-tokoh seperti Baruch Spinoza dan Gottfried Wilhelm Leibniz melanjutkan proyek Cartesian dengan mengembangkan sistem rasionalisme metafisik yang lebih sistematis. Spinoza menolak dualisme Descartes dan menggantikannya dengan monisme Tuhan-alam, namun tetap mempertahankan ideal rasional tentang kejelasan dan keteraturan pengetahuan.⁴ Sementara Leibniz mengembangkan principle of sufficient reason dan gagasan pre-established harmony sebagai upaya untuk memecahkan problem hubungan antara pikiran dan tubuh yang ditinggalkan oleh Descartes.⁵

Melalui mereka, Cartesianisme menjadi fondasi bagi filsafat kontinental yang berfokus pada struktur rasional realitas. Ia juga mengilhami berkembangnya epistemologi modern yang mencari kepastian logis dan deduktif dalam ilmu pengetahuan, menggantikan otoritas skolastik yang bergantung pada dogma.⁶

9.2.       Pengaruh terhadap Ilmu Pengetahuan Alam dan Metodologi Sains

Warisan Descartes terhadap sains modern sangat signifikan. Pandangannya tentang alam sebagai mekanisme matematis—yakni dunia yang tunduk pada hukum rasional dan dapat dijelaskan secara kuantitatif—memberi dasar bagi berkembangnya fisika modern.⁷ Dalam Principles of Philosophy, Descartes menggambarkan alam semesta sebagai sistem tertutup yang terdiri dari materi yang bergerak mengikuti hukum gerak yang tetap.⁸

Pendekatan ini menginspirasi pemikir seperti Isaac Newton, yang meskipun menolak beberapa aspek metafisika Cartesian, tetap mewarisi semangat reduksi rasional dan pencarian hukum universal.⁹ Cartesianisme juga berpengaruh terhadap metodologi ilmiah melalui gagasan deduktivisme metodologis, yaitu prinsip bahwa pengetahuan ilmiah harus dibangun dari proposisi yang jelas dan pasti, lalu diturunkan secara logis.¹⁰

Warisan ini membentuk tradisi ilmiah modern yang berorientasi pada kepastian, objektivitas, dan kontrol terhadap alam—karakteristik yang menjadi dasar revolusi ilmiah Eropa dan paradigma teknologi hingga era kontemporer.¹¹

9.3.       Pengaruh terhadap Teologi dan Filsafat Agama

Meskipun Descartes sering dianggap sebagai pelopor sekularisasi pemikiran Barat, pengaruhnya terhadap teologi tidak dapat diabaikan.¹² Ia berusaha membuktikan keberadaan Tuhan melalui rasio murni, bukan melalui wahyu.¹³ Bagi Descartes, Tuhan adalah jaminan metafisis bagi kebenaran pengetahuan dan keberlangsungan realitas.¹⁴

Namun, pendekatan ini menimbulkan perubahan besar dalam filsafat agama: Tuhan tidak lagi menjadi pusat ontologis yang langsung mengatur dunia, melainkan prinsip rasional transendental yang menjamin keteraturan sistem alam.¹⁵ Hal ini menjadi landasan bagi berkembangnya Deisme di abad ke-18, yang menafsirkan Tuhan sebagai pencipta rasional yang tidak lagi campur tangan dalam dunia ciptaan.¹⁶ Dengan demikian, Cartesianisme turut mempersiapkan lahirnya filsafat agama modern yang berorientasi pada nalar dan refleksi epistemologis.

9.4.       Pengaruh terhadap Psikologi dan Filsafat Kesadaran

Pandangan Descartes tentang manusia sebagai res cogitans meletakkan dasar bagi studi kesadaran dan psikologi modern.¹⁷ Ia adalah salah satu filsuf pertama yang menyadari kompleksitas hubungan antara pikiran dan tubuh, yang kelak menjadi masalah pokok dalam psikologi dan neurosains.¹⁸ Teori mind-body dualism-nya mengilhami berbagai perkembangan dalam filsafat pikiran, mulai dari teori paralelisme psiko-fisik hingga teori identitas dan fungsionalisme modern.¹⁹

Meski kemudian dikritik karena sifat dualismenya yang kaku, pandangan Descartes mendorong munculnya refleksi ilmiah tentang kesadaran, emosi, dan kehendak.²⁰ Dalam hal ini, Cartesianisme bukan hanya menjadi sistem metafisis, tetapi juga dasar konseptual bagi psikologi ilmiah yang berupaya memahami kesadaran manusia secara objektif.

9.5.       Pengaruh terhadap Filsafat Kontemporer dan Postmodern

Pengaruh Cartesianisme melampaui masa modern awal dan terus terasa dalam filsafat kontemporer.²¹ Edmund Husserl, dalam Cartesian Meditations, secara eksplisit mengakui bahwa proyek fenomenologi adalah “pengulangan radikal atas cogito Descartes.”²² Namun, ia memperluasnya menjadi analisis kesadaran transendental yang terbuka terhadap dunia, bukan kesadaran tertutup dalam dirinya.²³

Martin Heidegger, sebaliknya, mengkritik Descartes karena mengabaikan dimensi ontologis keberadaan, tetapi ia tetap menjadikan Cartesianisme sebagai titik berangkat bagi filsafat eksistensialnya.²⁴ Bahkan dalam postmodernisme, seperti pada Jacques Derrida dan Michel Foucault, kritik terhadap subjek rasional modern sebenarnya merupakan transformasi reflektif atas warisan Cartesian—bukan sekadar penolakan terhadapnya.²⁵

Dengan demikian, Cartesianisme menjadi semacam “pusat gravitasi intelektual” yang terus memengaruhi cara manusia memahami diri, pengetahuan, dan dunia, baik melalui penerimaan maupun perlawanan terhadapnya.

9.6.       Warisan dalam Kebudayaan dan Modernitas

Secara kultural, Cartesianisme berkontribusi terhadap lahirnya etos modernitas: otonomi rasional, individualisme, dan kepercayaan pada kemajuan ilmiah.²⁶ Ia memindahkan pusat nilai dari Tuhan dan komunitas menuju subjek individu yang berpikir dan bertindak secara bebas.²⁷ Dalam bidang seni dan sastra, semangat rasional dan mekanistik Cartesian tercermin dalam estetika klasik yang menekankan keteraturan, harmoni, dan simetri.²⁸

Lebih jauh, warisan Cartesian dapat dilihat dalam fondasi teknologi modern, di mana alam dipandang sebagai objek yang dapat diukur dan dikendalikan melalui metode rasional.²⁹ Kritik terhadap rasionalitas instrumental modern, seperti yang dilakukan oleh Max Horkheimer dan Theodor Adorno, pada dasarnya merupakan refleksi kritis terhadap logika Cartesian yang menjadikan rasio sebagai alat dominasi atas alam dan manusia.³⁰


Evaluasi: Cartesianisme sebagai Paradigma Permanen

Warisan intelektual Descartes bukan sekadar historis, melainkan paradigmatis. Cartesianisme melahirkan tradisi filsafat yang berakar pada pencarian kepastian, otonomi subjek, dan penjelasan rasional tentang dunia.³¹ Sekalipun banyak dikritik, struktur berpikir Cartesian tetap menjadi kerangka dasar bagi ilmu, teknologi, dan refleksi filosofis kontemporer.³²

Sebagaimana dikatakan John Cottingham, setiap upaya filsafat modern untuk memahami diri manusia, baik melalui sains maupun fenomenologi, merupakan “dialog panjang dengan Descartes.”³³ Maka, Cartesianisme tidak hanya menjadi babak dalam sejarah filsafat, melainkan fondasi konseptual yang terus membentuk horizon intelektual manusia modern.


Footnotes

[1]                Étienne Gilson, The Unity of Philosophical Experience (New York: Charles Scribner’s Sons, 1937), 147–148.

[2]                John Cottingham, Cartesian Reflections: Essays on Descartes’s Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2008), 88–89.

[3]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. IV: Descartes to Leibniz (New York: Doubleday, 1994), 42–44.

[4]                Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (London: Penguin Classics, 1996), 55–57.

[5]                Gottfried Wilhelm Leibniz, Monadology, trans. Nicholas Rescher (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1991), 81–83.

[6]                Stephen Gaukroger, Descartes: An Intellectual Biography (Oxford: Clarendon Press, 1995), 141–143.

[7]                René Descartes, Principles of Philosophy, trans. Valentine Rodger Miller and Reese P. Miller (Dordrecht: Reidel, 1983), 1:60–62.

[8]                Ibid., 2:13–15.

[9]                Isaac Newton, Philosophiae Naturalis Principia Mathematica (London: Joseph Streater, 1687), Preface.

[10]             Daniel Garber, Descartes’ Metaphysical Physics (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 54–56.

[11]             Alexandre Koyré, From the Closed World to the Infinite Universe (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1957), 101–103.

[12]             Gilson, The Unity of Philosophical Experience, 150–151.

[13]             René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 45–47.

[14]             Ibid., 73–75.

[15]             Stephen Menn, Descartes and Augustine (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 276–278.

[16]             Peter Gay, The Enlightenment: An Interpretation (New York: Knopf, 1966), 44–45.

[17]             Descartes, The Passions of the Soul, trans. Stephen Voss (Indianapolis: Hackett Publishing, 1989), 32–33.

[18]             John Cottingham, Cartesian Reflections, 95–96.

[19]             Richard Watson, The Breakdown of Cartesian Metaphysics (Indianapolis: Hackett Publishing, 1987), 17–19.

[20]             Geneviève Rodis-Lewis, Descartes: His Life and Thought (Ithaca: Cornell University Press, 1998), 190–192.

[21]             Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 142–144.

[22]             Edmund Husserl, Cartesian Meditations: An Introduction to Phenomenology, trans. Dorion Cairns (The Hague: Martinus Nijhoff, 1960), 1–3.

[23]             Ibid., 18–19.

[24]             Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 66–68.

[25]             Michel Foucault, The Order of Things (New York: Vintage Books, 1970), 323–325; Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 89–91.

[26]             Taylor, Sources of the Self, 147–148.

[27]             Gilson, The Unity of Philosophical Experience, 153–154.

[28]             Ernst Cassirer, The Philosophy of the Enlightenment, trans. Fritz C. A. Koelln and James P. Pettegrove (Princeton: Princeton University Press, 1951), 98–99.

[29]             Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, trans. Talcott Parsons (London: Allen & Unwin, 1930), 124–126.

[30]             Max Horkheimer and Theodor W. Adorno, Dialectic of Enlightenment, trans. Edmund Jephcott (Stanford: Stanford University Press, 2002), 19–21.

[31]             Cottingham, Cartesian Reflections, 101–103.

[32]             Daniel Garber, Descartes Embodied: Reading Cartesian Philosophy through Cartesian Science (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 65–67.

[33]             John Cottingham, Cartesian Reflections, 110.


10.       Relevansi Kontemporer

Cartesianisme, meskipun berakar pada konteks intelektual abad ke-17, tetap memiliki relevansi mendalam dalam filsafat dan ilmu pengetahuan kontemporer. Prinsip-prinsip rasionalisme, metodologi keraguan, serta konsep subjek berpikir (res cogitans) yang dikembangkan Descartes, terus membentuk cara berpikir manusia modern dalam memahami diri, dunia, dan teknologi.¹ Dalam era digital dan posthuman, gagasan Cartesian sering muncul kembali—baik sebagai fondasi yang diadaptasi, maupun sebagai paradigma yang dikritik.

10.1.    Cartesianisme dan Ilmu Pengetahuan Modern

Epistemologi Cartesian yang berlandaskan pada kepastian rasional dan metode deduktif masih menjadi pijakan bagi sains modern dan teknologi komputasional.² Prinsip methodic doubt dan penekanan pada kejelasan (clarity) serta ketepatan (distinctness) dapat dilihat dalam metodologi ilmiah kontemporer, terutama dalam bidang fisika teoretis, matematika, dan ilmu komputer.³

Dalam konteks kecerdasan buatan (AI) dan pemodelan komputasional, cogito Cartesian memperoleh bentuk baru: sistem berpikir mesin yang beroperasi atas dasar logika formal dan algoritme deterministik.⁴ Seperti halnya Descartes yang mencari dasar kepastian dalam keraguan, para ilmuwan AI modern berusaha menciptakan kesadaran buatan yang mampu merefleksikan dan memperbaiki dirinya sendiri. Namun, tantangan epistemologis tetap sama—bagaimana menjembatani representasi internal sistem berpikir dengan realitas eksternal yang kompleks.⁵

10.2.    Relevansi terhadap Filsafat Pikiran dan Neurosains

Masalah klasik Cartesian tentang hubungan antara pikiran dan tubuh (mind-body problem) masih menjadi pusat perdebatan dalam filsafat pikiran dan neurosains kontemporer.⁶ Dualisme Descartes sering dikritik, tetapi juga menjadi titik tolak bagi teori-teori modern tentang kesadaran, seperti physicalism, functionalism, dan emergentism.⁷

Dalam perspektif neurosains, penelitian tentang korelasi antara aktivitas otak dan kesadaran kognitif dapat dianggap sebagai kelanjutan empiris dari pertanyaan Cartesian: bagaimana pikiran mengetahui dirinya sendiri.⁸ Meskipun model kognitif modern cenderung menolak pemisahan ontologis antara pikiran dan tubuh, warisan Cartesian tetap hidup dalam bentuk pertanyaan metodologis—tentang bagaimana pengalaman subjektif (qualia) dapat dijelaskan secara objektif.⁹

Dengan demikian, Cartesianisme tetap menjadi fondasi konseptual bagi refleksi interdisipliner antara filsafat, psikologi, dan sains kognitif dalam menjelaskan fenomena kesadaran.

10.3.    Cartesianisme dalam Era Digital dan Teknologi Informasi

Dalam konteks era digital, gagasan Descartes tentang subjek yang berpikir sendiri mengalami transformasi melalui pengalaman digital yang bersifat reflektif dan terfragmentasi.¹⁰ Dunia maya menciptakan ruang di mana kesadaran manusia berinteraksi dengan representasi digital dirinya, seolah-olah menjadi bentuk baru dari res cogitans yang termanifestasi dalam jaringan informasi.¹¹

Fenomena virtual self—identitas digital yang dibangun melalui media sosial dan kecerdasan buatan—menunjukkan bahwa refleksi Cartesian tentang diri menemukan makna baru di dunia teknologi.¹² Namun, hal ini juga menimbulkan pertanyaan etis dan eksistensial: jika kesadaran kini dapat disimulasikan atau direpresentasikan secara algoritmik, apakah “aku berpikir” masih menjadi batas eksistensi manusia?¹³

Beberapa pemikir kontemporer seperti Katherine Hayles dan Luciano Floridi menafsirkan Cartesianisme sebagai warisan epistemologis yang masih mendasari pemikiran digital modern: keyakinan bahwa pengetahuan dapat dimurnikan, dikodekan, dan ditransmisikan secara rasional melalui sistem simbolik.¹⁴

10.4.    Kritik dan Penyesuaian: Dari Subjek ke Relasi

Dalam filsafat kontemporer, relevansi Cartesianisme tidak hanya terletak pada penerimaannya, tetapi juga pada penolakan reflektif terhadap model subjek tertutup.¹⁵ Filsuf fenomenolog seperti Maurice Merleau-Ponty dan Emmanuel Levinas mengusulkan reinterpretasi terhadap cogito Descartes: bahwa kesadaran tidak berdiri sendiri, melainkan selalu terarah kepada dunia dan yang lain (l’Autre).¹⁶

Demikian pula, dalam etika intersubjektif dan ekofenomenologi modern, kritik terhadap dualisme pikiran-tubuh dan manusia-alam melahirkan bentuk baru dari “Cartesianisme ekologis”—yakni pengakuan bahwa rasio manusia tetap bagian dari jaringan eksistensi yang lebih luas.¹⁷ Dengan demikian, filsafat kontemporer tidak lagi menolak Descartes secara total, melainkan mengupayakan dekonstruksi produktif terhadap prinsip-prinsipnya agar tetap relevan dengan tantangan zaman.

10.5.    Relevansi dalam Pendidikan, Etika, dan Humaniora

Dalam bidang pendidikan dan humaniora, Cartesianisme tetap memberikan inspirasi bagi pendekatan reflektif dan kritis. Prinsip methodic doubt dapat digunakan sebagai metode pedagogis untuk menumbuhkan sikap berpikir kritis dan rasional.¹⁸ Selain itu, etika Cartesian yang menekankan kontrol diri dan penggunaan rasio secara tepat relevan dalam menghadapi tantangan etika teknologi, seperti privasi digital, manipulasi informasi, dan kecerdasan buatan.¹⁹

Di sisi lain, kesadaran akan keterbatasan rasionalitas Cartesian mendorong lahirnya paradigma pendidikan holistik yang menggabungkan rasio, emosi, dan empati sebagai satu kesatuan integral manusia.²⁰ Dalam konteks ini, warisan Descartes tetap hidup—bukan sebagai dogma rasionalisme murni, tetapi sebagai sumber refleksi kritis terhadap arah perkembangan peradaban modern.


Evaluasi Akhir: Cartesianisme sebagai Cermin Modernitas

Relevansi Cartesianisme di dunia kontemporer terletak pada ambivalensinya: ia sekaligus menjadi fondasi dan sasaran kritik modernitas.²¹ Pandangan Descartes tentang subjek otonom dan alam mekanistik membentuk cara berpikir ilmiah dan teknologi modern, tetapi juga mengandung bibit alienasi dan instrumentalisme yang kini dikritik oleh filsafat posthuman dan ekokritik.²²

Meskipun demikian, nilai-nilai inti Cartesian—keraguan metodis, rasionalitas reflektif, dan pencarian kepastian—tetap menjadi prinsip universal dalam upaya manusia memahami dirinya dan dunia di sekitarnya.²³ Dalam era di mana batas antara manusia dan mesin semakin kabur, Cartesianisme mengingatkan bahwa berpikir reflektif tetap menjadi inti dari eksistensi manusia—bahwa “aku berpikir” adalah bentuk tertinggi dari tanggung jawab epistemik dan moral.²⁴


Footnotes

[1]                Étienne Gilson, The Unity of Philosophical Experience (New York: Charles Scribner’s Sons, 1937), 155–156.

[2]                Stephen Gaukroger, Descartes: An Intellectual Biography (Oxford: Clarendon Press, 1995), 138–140.

[3]                Daniel Garber, Descartes’ Metaphysical Physics (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 63–65.

[4]                John Cottingham, Cartesian Reflections: Essays on Descartes’s Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2008), 109–111.

[5]                Hubert Dreyfus, What Computers Still Can’t Do: A Critique of Artificial Reason (Cambridge: MIT Press, 1992), 56–58.

[6]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 54–56.

[7]                David Chalmers, The Conscious Mind: In Search of a Fundamental Theory (Oxford: Oxford University Press, 1996), 18–21.

[8]                Patricia Churchland, Neurophilosophy: Toward a Unified Science of the Mind-Brain (Cambridge: MIT Press, 1986), 14–16.

[9]                Thomas Nagel, “What Is It Like to Be a Bat?” The Philosophical Review 83, no. 4 (1974): 435–437.

[10]             Katherine Hayles, How We Became Posthuman: Virtual Bodies in Cybernetics, Literature, and Informatics (Chicago: University of Chicago Press, 1999), 1–3.

[11]             Luciano Floridi, The Philosophy of Information (Oxford: Oxford University Press, 2011), 52–54.

[12]             Sherry Turkle, Life on the Screen: Identity in the Age of the Internet (New York: Simon & Schuster, 1995), 26–28.

[13]             Hayles, How We Became Posthuman, 286–288.

[14]             Floridi, The Philosophy of Information, 110–112.

[15]             Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans. Donald A. Landes (London: Routledge, 2012), xix–xx.

[16]             Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (The Hague: Martinus Nijhoff, 1969), 58–60.

[17]             David Abram, The Spell of the Sensuous (New York: Vintage Books, 1997), 65–67.

[18]             John Dewey, How We Think (Boston: D.C. Heath, 1933), 17–19.

[19]             Luciano Floridi, Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 91–93.

[20]             Martha Nussbaum, Cultivating Humanity: A Classical Defense of Reform in Liberal Education (Cambridge: Harvard University Press, 1997), 25–27.

[21]             Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 148–150.

[22]             Max Horkheimer and Theodor W. Adorno, Dialectic of Enlightenment, trans. Edmund Jephcott (Stanford: Stanford University Press, 2002), 25–27.

[23]             Gilson, The Unity of Philosophical Experience, 158–160.

[24]             Cottingham, Cartesian Reflections, 115–116.


11.       Sintesis Filosofis: Akal sebagai Jalan Menuju Kepastian

Sintesis filosofis Cartesianisme terletak pada upaya rekonsiliasi antara keraguan dan kepastian, antara iman dan rasio, serta antara subjek dan dunia. Bagi René Descartes, filsafat bukanlah sekadar sistem teori, melainkan proyek metodologis untuk membangun dasar pengetahuan yang tak tergoyahkan.¹ Dalam dunia yang diliputi oleh ketidakpastian dan keraguan, Descartes menemukan bahwa satu-satunya jalan menuju kepastian adalah melalui akal (ratio) yang jernih dan teratur. Akal menjadi sarana manusia untuk menembus ilusi, menegakkan kebenaran, dan menemukan dasar ontologis dari realitas.

11.1.    Akal sebagai Fondasi Epistemologis dan Ontologis

Descartes menempatkan akal sebagai kemampuan fundamental yang memungkinkan manusia mengenali kebenaran secara pasti.² Ia memulai dari cogito ergo sum sebagai titik kepastian mutlak, lalu menegakkan struktur pengetahuan yang diturunkan secara deduktif dari prinsip tersebut.³ Dalam pandangannya, akal adalah pantulan dari kesempurnaan Tuhan; karenanya, penggunaan rasio dengan benar berarti turut serta dalam keteraturan ilahi.⁴

Dengan demikian, akal bukan hanya alat pengetahuan, tetapi juga dasar ontologis bagi keberadaan manusia. Pikiran yang berpikir menjadi bukti eksistensi, dan rasionalitas menjadi sarana partisipasi manusia dalam tatanan realitas yang diciptakan oleh Tuhan.⁵ Melalui akal, manusia tidak sekadar mengetahui dunia, melainkan memahami dirinya sebagai bagian dari kosmos yang rasional.

11.2.    Harmoni antara Iman dan Rasio

Meskipun sering dianggap sebagai pelopor sekularisasi pemikiran Barat, Descartes tidak menolak iman. Ia berusaha menunjukkan bahwa iman dan rasio dapat bersatu dalam kebenaran yang sama.⁶ Iman memberi arah moral dan metafisis, sedangkan akal menyediakan metode untuk memastikan kebenaran pengetahuan. Dalam Meditations, Descartes menegaskan bahwa keberadaan Tuhan justru menjadi prasyarat bagi kepastian rasional: Tuhan yang sempurna tidak mungkin menipu, dan karena itu akal yang diciptakan-Nya dapat dipercaya jika digunakan dengan benar.⁷

Sintesis ini memperlihatkan bahwa rasionalisme Cartesian tidak identik dengan ateisme, melainkan sebuah teisme rasional—upaya untuk memahami iman melalui refleksi akal.⁸ Dengan demikian, jalan menuju kepastian bukanlah melalui penolakan iman, tetapi melalui pencerahan akal yang berakar pada keyakinan terhadap keteraturan ciptaan Tuhan.

11.3.    Rekonsiliasi antara Subjek dan Dunia

Salah satu tantangan besar Cartesianisme adalah bagaimana menjembatani pemisahan antara subjek (res cogitans) dan dunia material (res extensa). Descartes menyadari bahwa pengetahuan hanya bermakna jika manusia, sebagai subjek berpikir, dapat memahami realitas di luar dirinya.⁹ Dalam kerangka ini, akal menjadi jembatan epistemologis yang menghubungkan kesadaran dengan dunia eksternal.

Hubungan ini dijamin oleh Tuhan sebagai penghubung ontologis: karena Tuhan tidak menipu, ide-ide yang jelas dan terpilah tentang dunia memiliki korespondensi dengan realitas objektif.¹⁰ Dengan demikian, akal tidak terperangkap dalam solipsisme, melainkan menjadi sarana partisipasi aktif dalam kebenaran universal.¹¹ Sintesis ini membentuk dasar filsafat modern tentang hubungan antara subjek dan objek—suatu dialog rasional antara manusia dan dunia yang diketahuinya.

11.4.    Akal dan Kebebasan Moral

Dalam bidang etika, Descartes menegaskan bahwa penggunaan akal secara benar adalah bentuk tertinggi dari kebebasan.¹² Akal mengarahkan kehendak agar selaras dengan kebenaran; semakin rasional manusia, semakin bebas ia dari kesalahan dan nafsu yang menyesatkan.¹³ Kebebasan moral, dalam pandangan ini, bukanlah kebebasan untuk bertindak sesuka hati, tetapi kebebasan yang tunduk pada kebenaran rasional.

Sintesis antara akal dan kebebasan ini membentuk dasar bagi konsep modern tentang tanggung jawab moral.¹⁴ Manusia dipandang sebagai makhluk yang bebas karena ia mampu mengarahkan kehendaknya berdasarkan pengetahuan yang benar. Maka, etika Cartesian bukan sekadar sistem moral normatif, tetapi juga refleksi eksistensial tentang bagaimana rasionalitas membentuk martabat manusia.

11.5.    Akal sebagai Jalan Menuju Kesatuan Ilmu dan Kebenaran

Descartes memimpikan filsafat sebagai satu kesatuan ilmu yang mencakup seluruh aspek realitas—dari metafisika hingga sains empiris.¹⁵ Ia membayangkan pengetahuan sebagai pohon: akar adalah metafisika, batangnya adalah fisika, dan cabangnya adalah ilmu terapan seperti kedokteran dan etika.¹⁶ Dalam analogi ini, akal adalah “nutrisi” yang menyatukan seluruh sistem, memastikan bahwa setiap cabang pengetahuan bertumbuh dari dasar yang sama: kepastian rasional.¹⁷

Melalui visi ini, Descartes mewariskan paradigma integrasi ilmu dan filsafat, di mana sains, etika, dan teologi tidak lagi berdiri terpisah, tetapi saling menopang dalam struktur rasional yang koheren. Pandangan ini tetap relevan di era kontemporer yang membutuhkan pendekatan lintasdisipliner dalam menghadapi kompleksitas pengetahuan dan teknologi modern.¹⁸


Sintesis Akhir: Rasio sebagai Cahaya Ilahi dalam Manusia

Sintesis filosofis Cartesian dapat dirangkum dalam gagasan bahwa akal adalah refleksi dari cahaya ilahi yang menuntun manusia menuju kepastian dan kebenaran.¹⁹ Melalui rasio, manusia menembus batas keraguan, menafsirkan dunia dengan keteraturan, dan mengenal dirinya sebagai makhluk yang berpikir dan bebas.²⁰

Dengan demikian, akal tidak hanya berfungsi sebagai alat analisis, tetapi juga sebagai medium spiritual yang menghubungkan manusia dengan tatanan kebenaran universal.²¹ Di sinilah Cartesianisme mencapai puncak reflektifnya: akal menjadi jalan menuju kepastian ontologis, moral, dan eksistensial—menyatukan iman, pengetahuan, dan kebebasan dalam harmoni rasional yang bersumber dari Tuhan.


Footnotes

[1]                Étienne Gilson, The Unity of Philosophical Experience (New York: Charles Scribner’s Sons, 1937), 161–162.

[2]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 17–19.

[3]                John Cottingham, Cartesian Reflections: Essays on Descartes’s Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2008), 115–116.

[4]                Descartes, Principles of Philosophy, trans. Valentine Rodger Miller and Reese P. Miller (Dordrecht: Reidel, 1983), 1:45–47.

[5]                Stephen Gaukroger, Descartes: An Intellectual Biography (Oxford: Clarendon Press, 1995), 153–155.

[6]                Geneviève Rodis-Lewis, Descartes: His Life and Thought (Ithaca: Cornell University Press, 1998), 195–197.

[7]                Descartes, Meditations on First Philosophy, 46–47.

[8]                Étienne Gilson, God and Philosophy (New Haven: Yale University Press, 1941), 88–89.

[9]                Daniel Garber, Descartes’ Metaphysical Physics (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 62–63.

[10]             Descartes, Principles of Philosophy, 1:66–68.

[11]             Richard Watson, The Breakdown of Cartesian Metaphysics (Indianapolis: Hackett Publishing, 1987), 11–12.

[12]             Descartes, The Passions of the Soul, trans. Stephen Voss (Indianapolis: Hackett Publishing, 1989), 47–48.

[13]             John Cottingham, Philosophy and the Good Life: Reason and the Passions in Greek, Cartesian and Psychoanalytic Ethics (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 107–109.

[14]             Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 155–157.

[15]             Descartes, Discourse on the Method of Rightly Conducting One’s Reason and of Seeking Truth in the Sciences, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 35–37.

[16]             Ibid., 38.

[17]             Gaukroger, Descartes: An Intellectual Biography, 168–169.

[18]             Daniel Garber, Descartes Embodied: Reading Cartesian Philosophy through Cartesian Science (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 91–93.

[19]             Gilson, The Unity of Philosophical Experience, 165–166.

[20]             Cottingham, Cartesian Reflections, 120–121.

[21]             Geneviève Rodis-Lewis, Descartes: His Life and Thought, 199–200.


12.       Kesimpulan

Cartesianisme merupakan tonggak penting dalam sejarah filsafat Barat yang menandai lahirnya kesadaran modern, yaitu pandangan bahwa kebenaran dan makna dunia harus ditemukan melalui refleksi rasional subjek.¹ René Descartes, melalui prinsip cogito ergo sum, menggeser orientasi filsafat dari kosmos dan teologi ke arah manusia sebagai pusat pengetahuan.² Dengan demikian, Cartesianisme tidak hanya mengubah arah epistemologi, tetapi juga mengubah struktur ontologis dan etis pemikiran Barat secara menyeluruh.

12.1.    Pencarian Kepastian sebagai Inti Filsafat Cartesian

Pada inti sistem Descartes terletak pencarian kepastian. Melalui metode keraguan radikal, ia menemukan dasar tak terbantahkan bagi seluruh pengetahuan: kesadaran diri yang berpikir.³ Cogito bukan sekadar pernyataan logis, tetapi suatu pengalaman reflektif yang meneguhkan eksistensi manusia sebagai subjek rasional. Dari titik ini, Descartes membangun sistem filsafat yang berangkat dari kepastian diri menuju kepastian tentang Tuhan dan dunia.⁴

Dalam struktur ini, akal menjadi instrumen utama untuk menyingkap kebenaran. Dengan menolak otoritas eksternal dan pengalaman indrawi yang tidak pasti, Descartes menegakkan fondasi epistemologi rasionalis yang kelak memengaruhi seluruh tradisi modern.⁵ Melalui metode deduktif dan ide bawaan (innate ideas), ia berupaya menunjukkan bahwa kebenaran dapat ditemukan dengan mengikuti prinsip kejelasan dan ketepatan (claritas et distinctio).⁶

12.2.    Dualisme dan Pengaruhnya terhadap Pandangan Manusia

Secara ontologis, Cartesianisme membagi realitas menjadi dua substansi yang berbeda: res cogitans (pikiran) dan res extensa (materi).⁷ Dualisme ini memberikan struktur baru bagi metafisika modern, namun juga menimbulkan problem filosofis tentang hubungan antara pikiran dan tubuh yang terus diperbincangkan hingga kini.⁸

Meskipun sering dikritik karena pemisahan tajam antara subjek dan dunia, dualisme Descartes memiliki fungsi penting: ia membuka ruang bagi otonomi subjek dan bagi perkembangan ilmu pengetahuan alam yang bebas dari otoritas teologis.⁹ Dalam hal ini, Cartesianisme menjadi dasar bagi semangat ilmiah modern yang menekankan rasionalitas, objektivitas, dan metodologi sistematis.¹⁰

12.3.    Implikasi Etis dan Antropologis

Dalam dimensi etis, Descartes menegaskan bahwa kebebasan manusia tidak berarti kebebasan tanpa batas, melainkan kebebasan yang tunduk pada kebenaran rasional.¹¹ Akal berfungsi sebagai penuntun moral, yang menahan kehendak dari tindakan yang didorong oleh nafsu dan ketidaktahuan.¹² Dengan demikian, etika Cartesian adalah etika rasional dan reflektif yang menekankan penguasaan diri serta tanggung jawab moral terhadap penggunaan akal.¹³

Dalam kerangka antropologis, Descartes mendefinisikan manusia sebagai makhluk berpikir yang sadar akan dirinya. Kesadaran ini bukan hanya sumber pengetahuan, tetapi juga dasar martabat manusia.¹⁴ Ia menegaskan bahwa “menjadi manusia” berarti menggunakan akal secara benar dan reflektif—sebuah gagasan yang kelak melahirkan konsepsi modern tentang subjek otonom dan kebebasan intelektual.¹⁵

12.4.    Kritik dan Transformasi Cartesianisme

Sejak abad ke-18, Cartesianisme menjadi sasaran kritik dari berbagai aliran filsafat, seperti empirisme, eksistensialisme, fenomenologi, hingga postmodernisme.¹⁶ Para pemikir seperti Locke, Hume, dan Kant menantang gagasan tentang ide bawaan dan kepastian rasional; sementara Heidegger dan Merleau-Ponty menolak dualisme yang memisahkan manusia dari dunia hidupnya.¹⁷ Namun, justru melalui kritik-kritik ini, Cartesianisme tetap hidup sebagai horizon reflektif yang memicu perkembangan pemikiran modern.¹⁸

Setiap gerakan filosofis besar setelah Descartes, baik yang melanjutkan maupun menentangnya, pada hakikatnya masih berdialog dengan cogito sebagai simbol kesadaran dan rasionalitas manusia.¹⁹ Dengan demikian, Cartesianisme tidak mati, tetapi bertransformasi menjadi medan refleksi yang terus diperbarui oleh setiap generasi filsuf.

12.5.    Relevansi Abadi dalam Dunia Modern

Dalam dunia kontemporer yang ditandai oleh perkembangan teknologi, kecerdasan buatan, dan relativisme pengetahuan, warisan Descartes tetap aktual.²⁰ Ia mengingatkan bahwa setiap sistem berpikir—baik ilmiah maupun etis—memerlukan fondasi rasional dan reflektif agar tidak terjebak dalam kesesatan atau manipulasi.²¹

Namun, pelajaran terbesar dari Cartesianisme bukanlah kesombongan akal, melainkan kerendahan hati metodologis: bahwa jalan menuju kebenaran harus dimulai dari keraguan yang jujur dan pencarian rasional yang disiplin.²² Dalam hal ini, Cartesianisme bukan sekadar doktrin filsafat, melainkan etos intelektual yang mendorong manusia untuk berpikir dengan jelas, bertindak dengan sadar, dan mencari kebenaran dengan integritas moral.²³


Sintesis Penutup

Secara keseluruhan, Cartesianisme dapat dipahami sebagai filsafat tentang manusia sebagai makhluk yang mencari kepastian di tengah keraguan.²⁴ Melalui rasio, manusia berusaha menemukan kebenaran yang bersifat universal dan abadi, namun sekaligus menyadari keterbatasannya sebagai makhluk yang berpikir di dunia yang berubah.²⁵

Dengan demikian, sintesis akhir filsafat Descartes menempatkan akal sebagai “cahaya ilahi dalam diri manusia”—sebuah anugerah yang menuntun manusia menuju kebenaran, kebebasan, dan kesempurnaan moral.²⁶ Cartesianisme bukan hanya fondasi filsafat modern, tetapi juga refleksi abadi tentang martabat manusia sebagai subjek yang berpikir dan bertanggung jawab atas pengetahuannya.²⁷


Footnotes

[1]                Étienne Gilson, The Unity of Philosophical Experience (New York: Charles Scribner’s Sons, 1937), 167–168.

[2]                John Cottingham, Cartesian Reflections: Essays on Descartes’s Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2008), 120–121.

[3]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 17–19.

[4]                Stephen Gaukroger, Descartes: An Intellectual Biography (Oxford: Clarendon Press, 1995), 155–156.

[5]                Descartes, Discourse on the Method of Rightly Conducting One’s Reason and of Seeking Truth in the Sciences, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett Publishing, 1998), 18–19.

[6]                Étienne Gilson, God and Philosophy (New Haven: Yale University Press, 1941), 85–86.

[7]                Descartes, Principles of Philosophy, trans. Valentine Rodger Miller and Reese P. Miller (Dordrecht: Reidel, 1983), 1:51–53.

[8]                Daniel Garber, Descartes’ Metaphysical Physics (Chicago: University of Chicago Press, 1992), 62–63.

[9]                Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (London: Penguin Classics, 1996), 55–57.

[10]             Alexandre Koyré, From the Closed World to the Infinite Universe (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1957), 105–107.

[11]             Descartes, The Passions of the Soul, trans. Stephen Voss (Indianapolis: Hackett Publishing, 1989), 47–48.

[12]             John Cottingham, Philosophy and the Good Life: Reason and the Passions in Greek, Cartesian and Psychoanalytic Ethics (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 108–109.

[13]             Geneviève Rodis-Lewis, Descartes: His Life and Thought (Ithaca: Cornell University Press, 1998), 200–202.

[14]             Richard Watson, The Breakdown of Cartesian Metaphysics (Indianapolis: Hackett Publishing, 1987), 13–14.

[15]             Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge: Harvard University Press, 1989), 156–157.

[16]             David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding (Oxford: Oxford University Press, 2000), 64–65.

[17]             Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans. Donald A. Landes (London: Routledge, 2012), xx–xxi.

[18]             Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 68–69.

[19]             Edmund Husserl, Cartesian Meditations: An Introduction to Phenomenology, trans. Dorion Cairns (The Hague: Martinus Nijhoff, 1960), 5–6.

[20]             Luciano Floridi, The Philosophy of Information (Oxford: Oxford University Press, 2011), 52–53.

[21]             John Cottingham, Cartesian Reflections, 125–126.

[22]             Gilson, The Unity of Philosophical Experience, 170–171.

[23]             Daniel Garber, Descartes Embodied: Reading Cartesian Philosophy through Cartesian Science (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 95–96.

[24]             Cottingham, Cartesian Reflections, 128–129.

[25]             Gilson, God and Philosophy, 90–91.

[26]             Étienne Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy (New York: Scribner, 1940), 243–245.

[27]             Charles Taylor, Sources of the Self, 160–162.


Daftar Pustaka

Baruch, S. (1996). Ethics (E. Curley, Trans.). Penguin Classics.

Bordo, S. (1987). The flight to objectivity: Essays on Cartesianism and culture. SUNY Press.

Cassirer, E. (1951). The philosophy of the Enlightenment (F. C. A. Koelln & J. P. Pettegrove, Trans.). Princeton University Press.

Chalmers, D. (1996). The conscious mind: In search of a fundamental theory. Oxford University Press.

Churchland, P. (1986). Neurophilosophy: Toward a unified science of the mind-brain. MIT Press.

Copleston, F. (1994). A history of philosophy, Vol. IV: Descartes to Leibniz. Doubleday.

Cottingham, J. (1998). Philosophy and the good life: Reason and the passions in Greek, Cartesian and psychoanalytic ethics. Cambridge University Press.

Cottingham, J. (2008). Cartesian reflections: Essays on Descartes’s philosophy. Oxford University Press.

Derrida, J. (1976). Of grammatology (G. C. Spivak, Trans.). Johns Hopkins University Press.

Descartes, R. (1983). Principles of philosophy (V. R. Miller & R. P. Miller, Trans.). Reidel.

Descartes, R. (1989). The passions of the soul (S. Voss, Trans.). Hackett Publishing.

Descartes, R. (1996). Meditations on first philosophy (J. Cottingham, Trans.). Cambridge University Press.

Descartes, R. (1998). Discourse on the method of rightly conducting one’s reason and of seeking truth in the sciences (D. A. Cress, Trans.). Hackett Publishing.

Descartes, R. (2007). Correspondence with Princess Elizabeth and Queen Christina (L. Shapiro, Ed. & Trans.). University of Chicago Press.

Dewey, J. (1933). How we think. D. C. Heath.

Dreyfus, H. (1992). What computers still can’t do: A critique of artificial reason. MIT Press.

Foucault, M. (1970). The order of things. Vintage Books.

Floridi, L. (2011). The philosophy of information. Oxford University Press.

Floridi, L. (2013). Ethics of information. Oxford University Press.

Garber, D. (1992). Descartes’ metaphysical physics. University of Chicago Press.

Garber, D. (2001). Descartes embodied: Reading Cartesian philosophy through Cartesian science. Cambridge University Press.

Gay, P. (1966). The Enlightenment: An interpretation. Knopf.

Gaukroger, S. (1995). Descartes: An intellectual biography. Clarendon Press.

Gilson, É. (1937). The unity of philosophical experience. Charles Scribner’s Sons.

Gilson, É. (1940). The spirit of medieval philosophy. Scribner.

Gilson, É. (1941). God and philosophy. Yale University Press.

Hayles, K. (1999). How we became posthuman: Virtual bodies in cybernetics, literature, and informatics. University of Chicago Press.

Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.

Horkheimer, M., & Adorno, T. W. (2002). Dialectic of enlightenment (E. Jephcott, Trans.). Stanford University Press.

Hume, D. (2000). An enquiry concerning human understanding. Oxford University Press.

Husserl, E. (1960). Cartesian meditations: An introduction to phenomenology (D. Cairns, Trans.). Martinus Nijhoff.

Kant, I. (1997). Groundwork for the metaphysics of morals (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.

Kant, I. (1987). Critique of judgment (W. S. Pluhar, Trans.). Hackett Publishing.

Kierkegaard, S. (1941). Concluding unscientific postscript (D. F. Swenson & W. Lowrie, Trans.). Princeton University Press.

Koyré, A. (1957). From the closed world to the infinite universe. Johns Hopkins University Press.

Leibniz, G. W. (1991). Monadology (N. Rescher, Trans.). University of Pittsburgh Press.

Levinas, E. (1969). Totality and infinity: An essay on exteriority (A. Lingis, Trans.). Martinus Nijhoff.

Lloyd, G. (1984). The man of reason: “Male” and “female” in Western philosophy. Routledge.

Locke, J. (1690). An essay concerning human understanding. Thomas Basset.

Malebranche, N. (1980). The search after truth (T. M. Lennon & P. J. Olscamp, Trans.). Ohio State University Press.

Menn, S. (1998). Descartes and Augustine. Cambridge University Press.

Merleau-Ponty, M. (2012). Phenomenology of perception (D. A. Landes, Trans.). Routledge.

Nagel, T. (1974). What is it like to be a bat? The Philosophical Review, 83(4), 435–450.

Newton, I. (1687). Philosophiae naturalis principia mathematica. Joseph Streater.

Nussbaum, M. (1997). Cultivating humanity: A classical defense of reform in liberal education. Harvard University Press.

Rodis-Lewis, G. (1998). Descartes: His life and thought. Cornell University Press.

Sartre, J.-P. (1956). Being and nothingness (H. E. Barnes, Trans.). Philosophical Library.

Spinoza, B. (1996). Ethics (E. Curley, Trans.). Penguin Classics.

Taylor, C. (1989). Sources of the self: The making of the modern identity. Harvard University Press.

Thompson, E. (2007). Mind in life: Biology, phenomenology, and the sciences of mind. Harvard University Press.

Turkle, S. (1995). Life on the screen: Identity in the age of the Internet. Simon & Schuster.

Varela, F. J., Thompson, E., & Rosch, E. (1991). The embodied mind: Cognitive science and human experience. MIT Press.

Watson, R. (1987). The breakdown of Cartesian metaphysics. Hackett Publishing.

Weber, M. (1930). The Protestant ethic and the spirit of capitalism (T. Parsons, Trans.). Allen & Unwin.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar