Teisme
Kajian Historis, Ontologis, dan Epistemologis
Alihkan ke: Aliran Metafisik dalam
Filsafat.
Abstrak
Artikel ini membahas Teisme sebagai salah satu
sistem metafisika utama yang berupaya menjelaskan realitas tertinggi
melalui konsep tentang Tuhan yang personal, transenden, dan sekaligus imanen.
Sebagai sistem filsafat, Teisme tidak hanya menegaskan keberadaan Tuhan sebagai
penyebab pertama (causa prima), tetapi juga sebagai dasar ontologis,
sumber epistemologis, dan landasan aksiologis bagi seluruh eksistensi.
Melalui pendekatan historis, ontologis, epistemologis, dan etis, artikel ini
menelusuri genealogi intelektual Teisme sejak filsafat Yunani klasik
hingga pemikiran kontemporer, sekaligus menampilkan dinamika dialektisnya
terhadap kritik dari sains, ateisme, dan postmodernisme.
Secara ontologis, Teisme menempatkan Tuhan sebagai Ens
Perfectissimum, Wujud yang niscaya dan menjadi sumber segala keberadaan.
Secara epistemologis, pengetahuan tentang Tuhan diperoleh melalui harmoni
antara akal, wahyu, dan pengalaman religius, yang memungkinkan manusia
mengenali realitas Ilahi tanpa meniadakan rasionalitas. Secara etis dan
aksiologis, Teisme menegaskan bahwa nilai kebaikan, kebenaran, dan keindahan
berakar pada kodrat Tuhan sebagai kebaikan tertinggi (summum bonum).
Melalui sintesis filosofis antara iman dan akal,
rasionalitas dan spiritualitas, Teisme menunjukkan dirinya sebagai kerangka
metafisik yang koheren, terbuka, dan manusiawi, yang mampu menjawab
tantangan sekularisme, relativisme, dan krisis makna kontemporer. Dalam
kesimpulannya, Teisme tetap relevan bukan hanya sebagai doktrin teologis,
tetapi sebagai visi filosofis tentang realitas yang menyatukan eksistensi,
pengetahuan, dan nilai dalam kesatuan makna Ilahi.
Kata Kunci: Teisme; Metafisika; Ontologi; Epistemologi; Etika;
Rasionalitas; Realitas Tertinggi; Tuhan; Iman dan Akal; Nilai Moral.
PEMBAHASAN
Teisme sebagai Fondasi Metafisika tentang Realitas
Tertinggi
1.
Pendahuluan
Dalam ranah metafisika, salah satu persoalan paling
mendasar yang terus menjadi fokus refleksi filosofis adalah pertanyaan tentang asal-usul
dan hakikat realitas tertinggi. Sejak awal tradisi filsafat Barat, manusia
berusaha mencari prinsip pertama (archē) yang menjadi sumber segala yang
ada, baik melalui penalaran rasional maupun melalui perenungan spiritual. Dalam
konteks ini, Teisme muncul sebagai salah satu sistem metafisik yang
paling berpengaruh dan tahan lama, karena menawarkan penjelasan komprehensif
mengenai realitas dengan menempatkan Tuhan yang personal dan transenden
sebagai pusat seluruh keberadaan.¹
Teisme, secara etimologis, berasal dari kata Yunani
theos (Tuhan) dan dalam pengertian filosofisnya merujuk pada keyakinan
bahwa ada satu Tuhan yang transenden, personal, dan sekaligus imanen dalam
ciptaan-Nya.² Berbeda dari Deisme, yang memandang Tuhan sebagai
pencipta yang tidak lagi berintervensi dalam dunia, dan Panteisme, yang
mengidentifikasi Tuhan dengan alam semesta itu sendiri, Teisme mempertahankan
keseimbangan antara transendensi dan immanensi ilahi.³ Dengan demikian, Teisme
tidak hanya berfungsi sebagai sistem kepercayaan religius, tetapi juga sebagai kerangka
metafisik yang menjelaskan hubungan antara Tuhan, dunia, dan manusia secara
rasional dan ontologis.
Masalah utama yang diangkat dalam filsafat Teisme
adalah pertanyaan mengenai eksistensi Tuhan dan relasi-Nya terhadap realitas.
Apakah eksistensi Tuhan dapat dibuktikan secara rasional, atau hanya dapat
diterima melalui iman? Pertanyaan ini telah melahirkan beragam argumen dan
pendekatan, seperti argumen kosmologis, argumen ontologis, dan argumen
teleologis, yang masing-masing mencoba menunjukkan bahwa keberadaan Tuhan
merupakan penjelasan paling memadai atas eksistensi dunia dan keteraturannya.⁴
Meskipun demikian, Teisme juga menghadapi tantangan serius dari arus pemikiran
modern dan kontemporer, seperti empirisme, positivisme, dan ateisme filosofis
yang menolak klaim metafisik yang tidak dapat diverifikasi secara empiris.⁵
Relevansi Teisme sebagai kajian metafisik tidak
hanya bersifat teoretis, melainkan juga eksistensial. Dalam era modern yang
ditandai oleh sekularisasi dan relativisme nilai, Teisme menawarkan
dasar rasional bagi pemahaman tentang makna hidup, moralitas, dan tujuan akhir
eksistensi manusia.⁶ Dengan kata lain, Teisme tidak hanya menjawab pertanyaan “mengapa
sesuatu itu ada,” tetapi juga “untuk apa sesuatu itu ada.” Oleh
karena itu, pembahasan tentang Teisme sebagai sistem metafisika tidak sekadar
menelusuri sejarah gagasan tentang Tuhan, tetapi juga menguji validitas
ontologis, epistemologis, dan etis dari klaim bahwa realitas tertinggi
bersifat personal dan berakal.⁷
Artikel ini berupaya menyajikan telaah sistematis
mengenai Teisme sebagai sistem metafisika dengan meninjau landasan historis,
struktur ontologis, dan dasar epistemologisnya, sekaligus menyoroti kritik
serta relevansi Teisme dalam konteks pemikiran modern dan postmodern. Melalui
pendekatan ini, diharapkan dapat diperoleh pemahaman yang lebih menyeluruh
tentang posisi Teisme dalam menjawab pertanyaan mendasar metafisika: apa
hakikat realitas tertinggi dan bagaimana manusia dapat mengenalnya.⁸
Footnotes
[1]
W. T. Stace, A Critical History of Greek
Philosophy (London: Macmillan, 1920), 5–7.
[2]
Brian Davies, An Introduction to the Philosophy
of Religion (Oxford: Oxford University Press, 2004), 15.
[3]
John Hick, Philosophy of Religion, 4th ed. (Englewood
Cliffs, NJ: Prentice Hall, 1989), 30–32.
[4]
Richard Swinburne, The Existence of God
(Oxford: Clarendon Press, 2004), 3–5.
[5]
Antony Flew, God and Philosophy (Buffalo,
NY: Prometheus Books, 2005), 12–14.
[6]
Alister McGrath, The Open Secret: A New Vision for
Natural Theology (Oxford: Blackwell, 2008), 22–23.
[7]
Alvin Plantinga, Warranted Christian Belief
(Oxford: Oxford University Press, 2000), 180–182.
[8]
William Lane Craig, Reasonable Faith: Christian
Truth and Apologetics, 3rd ed. (Wheaton, IL: Crossway, 2008), 27–28.
2.
Landasan
Historis dan Genealogis
2.1.
Asal-usul dan Perkembangan Awal
Teisme dalam Filsafat
Akar historis Teisme dapat ditelusuri hingga
tradisi filsafat Yunani Kuno, ketika para filsuf pra-Sokrates berupaya mencari
prinsip pertama (archē) yang menjadi dasar segala sesuatu. Meski
pemikiran mereka masih bersifat kosmologis dan impersonal, gagasan tentang
realitas tertinggi yang tunggal dan rasional telah meletakkan dasar bagi
perkembangan konsep ketuhanan yang lebih personal di kemudian hari.¹ Pemikiran
Plato, misalnya, melalui gagasan The Good (to agathon) dalam Republic,
memperkenalkan ide tentang prinsip transenden yang menjadi sumber segala
kebaikan dan keberadaan.² Aristoteles kemudian mengembangkan konsep ini menjadi
The Unmoved Mover—penggerak pertama yang tidak digerakkan—sebagai
penyebab utama dari segala gerak dan eksistensi.³ Meskipun belum identik dengan
Tuhan personal dalam tradisi teistik, Aristoteles telah memunculkan kerangka
metafisik bagi gagasan tentang wujud yang sempurna dan niscaya (necessary
being).
Dengan masuknya filsafat Yunani ke dalam konteks
religius dunia Timur Tengah dan Eropa, konsep-konsep metafisik tersebut
diintegrasikan ke dalam tradisi teologis Abrahamik. Dalam Yudaisme,
Teisme berakar pada pengakuan akan YHWH sebagai Tuhan yang personal,
transenden, dan terlibat dalam sejarah umat manusia.⁴ Dalam Kekristenan,
pengaruh filsafat Yunani berpadu dengan teologi biblis, melahirkan pemikiran
tentang Tuhan sebagai actus purus—wujud murni tanpa potensi—sebagaimana
dikembangkan secara sistematis oleh Thomas Aquinas dalam Summa Theologica.⁵
Sedangkan dalam Islam, Teisme termanifestasi dalam konsep tawḥīd—keesaan
Tuhan—yang menolak segala bentuk penyekutuan dan menegaskan keunikan eksistensi
Ilahi.⁶ Filsuf-filsuf Islam seperti Al-Farabi, Ibn Sina, dan Al-Ghazali
berperan penting dalam merumuskan argumen-argumen rasional tentang keberadaan
Tuhan yang kemudian turut memengaruhi pemikiran teistik di Barat Latin.⁷
2.2.
Teisme dalam Masa Skolastik
Masa Skolastik (abad ke-11 hingga ke-14) menjadi
periode krusial bagi pembentukan sistem Teisme yang matang. Pada masa ini, para
teolog dan filsuf Kristen berupaya memadukan iman dan akal dalam kerangka
metafisik yang rasional. Anselmus dari Canterbury, misalnya, melalui Proslogion,
mengemukakan argumen ontologis yang menyatakan bahwa keberadaan Tuhan
dapat disimpulkan dari konsep tentang Tuhan itu sendiri: “Tuhan adalah wujud
yang tidak mungkin dibayangkan sesuatu yang lebih besar darinya.”⁸
Sementara itu, Thomas Aquinas mengembangkan lima jalan (quinque viae)
sebagai pembuktian rasional tentang eksistensi Tuhan, yang meliputi argumen
gerak, sebab, kontingensi, derajat kesempurnaan, dan tujuan finalitas.⁹ Teisme
dalam kerangka skolastik bukan sekadar kepercayaan religius, tetapi sistem metafisika
yang menjelaskan struktur realitas secara hierarkis dengan Tuhan sebagai causa
prima dan actus purus.¹⁰
Periode ini juga ditandai oleh upaya harmonisasi
antara filsafat Aristotelian dan doktrin Kristen. Konsep esse (ada) dan essentia
(hakikat) dalam metafisika Aquinas memperlihatkan bagaimana keberadaan makhluk
bersifat partisipatif terhadap eksistensi Tuhan.¹¹ Dengan demikian, Tuhan bukan
sekadar penyebab pertama yang jauh, tetapi sumber eksistensi yang senantiasa
menopang keberadaan segala sesuatu.¹² Teisme skolastik membangun kerangka
ontologis yang logis, sistematis, dan teologis, menjadikannya dasar bagi
teologi rasional di kemudian hari.
2.3.
Transformasi Teisme pada Era Modern
dan Kontemporer
Memasuki abad ke-17 dan ke-18, muncul tantangan
besar terhadap Teisme tradisional seiring berkembangnya rasionalisme dan
empirisme. René Descartes masih mempertahankan unsur teistik dalam
filsafatnya melalui konsep causa sui dan idea Dei, dengan
menempatkan Tuhan sebagai jaminan bagi kepastian pengetahuan.¹³ Namun, seiring
munculnya Deisme dan sekularisasi pemikiran pada masa Pencerahan, pandangan
tentang Tuhan sebagai pengatur aktif alam semesta mulai digantikan oleh konsep
Tuhan sebagai pencipta pasif yang membiarkan hukum alam bekerja secara
otomatis.¹⁴
Pada abad ke-19, kritik terhadap Teisme semakin
tajam melalui karya para pemikir seperti Ludwig Feuerbach, yang menafsirkan
Tuhan sebagai proyeksi ideal manusia, dan Friedrich Nietzsche, yang
mendeklarasikan “kematian Tuhan” sebagai simbol krisis makna dalam kebudayaan
modern.¹⁵ Meski demikian, abad ke-20 menyaksikan kebangkitan kembali Teisme
melalui pendekatan eksistensial dan fenomenologis. Søren Kierkegaard menekankan
aspek personal dan eksistensial dari iman kepada Tuhan, sementara Martin Buber
memperkenalkan relasi Aku–Engkau sebagai dasar ontologi relasional
Teisme.¹⁶ Di sisi lain, filsuf seperti Gabriel Marcel menegaskan dimensi
misteri dan kehadiran Ilahi dalam pengalaman manusia.¹⁷
Dalam filsafat analitik kontemporer, tokoh-tokoh
seperti Alvin Plantinga dan Richard Swinburne membangkitkan kembali Teisme
dalam kerangka epistemologi dan logika modern. Melalui konsep epistemologi
reformasi dan argumen probabilistik, mereka menunjukkan bahwa
keyakinan terhadap Tuhan dapat dibenarkan secara rasional tanpa harus
bergantung pada bukti empiris mutlak.¹⁸ Dengan demikian, garis historis Teisme
menunjukkan kesinambungan yang dinamis: dari metafisika klasik hingga refleksi
eksistensial dan analisis logis modern, Teisme terus bertransformasi sebagai
sistem yang berusaha menjelaskan realitas tertinggi secara rasional, personal,
dan bermakna.
Footnotes
[1]
W. K. C. Guthrie, A History of Greek Philosophy,
Vol. 1: The Earlier Presocratics and the Pythagoreans (Cambridge: Cambridge
University Press, 1962), 21–23.
[2]
Plato, Republic, trans. Paul Shorey
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1930), 508e–509b.
[3]
Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross
(Oxford: Clarendon Press, 1924), XII.7, 1072b.
[4]
Abraham J. Heschel, God in Search of Man: A
Philosophy of Judaism (New York: Farrar, Straus and Giroux, 1955), 105–108.
[5]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans.
Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I,
q.3, a.4.
[6]
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred
(Albany: State University of New York Press, 1989), 55–57.
[7]
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy,
3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 130–133.
[8]
Anselm of Canterbury, Proslogion, trans. M.
J. Charlesworth (Oxford: Clarendon Press, 1965), 2–3.
[9]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q.2,
a.3.
[10]
Etienne Gilson, The Christian Philosophy of St.
Thomas Aquinas (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1956),
97–100.
[11]
Jacques Maritain, Existence and the Existent
(New York: Pantheon Books, 1948), 50–53.
[12]
Frederick Copleston, A History of Philosophy,
Vol. 2: Medieval Philosophy (New York: Doubleday, 1950), 200–203.
[13]
René Descartes, Meditations on First Philosophy,
trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1986), 48–49.
[14]
Peter Gay, The Enlightenment: An Interpretation,
Vol. 1: The Rise of Modern Paganism (New York: Knopf, 1966), 212–215.
[15]
Ludwig Feuerbach, The Essence of Christianity,
trans. George Eliot (New York: Harper, 1957), 12–15; Friedrich Nietzsche, The
Gay Science, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage Books, 1974), §125.
[16]
Martin Buber, I and Thou, trans. Walter
Kaufmann (New York: Charles Scribner’s Sons, 1970), 54–57.
[17]
Gabriel Marcel, The Mystery of Being
(Chicago: Henry Regnery, 1951), 23–26.
[18]
Alvin Plantinga, Warranted Christian Belief
(Oxford: Oxford University Press, 2000), 173–176; Richard Swinburne, The
Existence of God (Oxford: Clarendon Press, 2004), 9–11.
3.
Ontologi
Teisme
3.1.
Konsep tentang Tuhan sebagai Wujud
Tertinggi
Dalam kerangka
metafisika teistik, Tuhan dipahami sebagai Ens
Perfectissimum—wujud yang paling sempurna dan niscaya adanya.¹
Tuhan bukanlah entitas di antara entitas lain dalam alam semesta, melainkan
dasar keberadaan itu sendiri (ipsum esse subsistens), yaitu wujud
yang keberadaannya bersifat niscaya dan tidak bergantung pada apa pun.² Thomas
Aquinas menjelaskan bahwa Tuhan tidak memiliki esensi yang berbeda dari
eksistensinya; Ia adalah actus purus, “tindakan murni”
tanpa potensi, sebab dalam diri Tuhan tidak ada kekurangan ataupun perubahan.³
Dengan demikian, secara ontologis, Tuhan bukan sekadar penyebab pertama (causa
prima) secara kronologis, tetapi fondasi ontologis dari seluruh
realitas yang ada.
Konsep ini
menegaskan bahwa segala sesuatu yang ada bersifat kontingen—mungkin
ada dan mungkin tidak—sementara Tuhan bersifat niscaya (necessary
being), yakni wujud yang tidak dapat tidak ada.⁴ Dari sini muncul
struktur hierarkis dalam ontologi teistik: segala eksistensi yang bersifat
terbatas menerima keberadaannya dari Wujud Tak Terbatas yang menjadi sumber
segala realitas.⁵ Hal ini membentuk dasar metafisika partisipasi, di mana
makhluk berpartisipasi dalam keberadaan Tuhan tanpa menyamai esensi Ilahi itu
sendiri.⁶ Dengan kata lain, relasi antara Tuhan dan ciptaan bukanlah hubungan
spasial, melainkan relasi ontologis antara keberadaan yang bergantung dan
keberadaan yang mutlak.
3.2.
Relasi antara Tuhan dan Dunia:
Transendensi dan Immanensi
Salah satu ciri khas
Teisme adalah pandangan yang menyeimbangkan antara transendensi
dan immanensi Tuhan. Tuhan, dalam pandangan teistik, melampaui
alam semesta (transenden) namun sekaligus hadir dan aktif di dalamnya
(immanen).⁷ Transendensi menunjukkan bahwa Tuhan tidak terbatas oleh ruang,
waktu, maupun materi; Ia berada “di luar” ciptaan dalam arti metafisik.
Sementara immanensi menegaskan bahwa Tuhan tidak terpisah total dari ciptaan,
melainkan hadir sebagai penyebab keberlanjutan eksistensi dunia.⁸
Relasi ini sering
dipahami melalui konsep penciptaan terus-menerus (creatio continua),
yaitu gagasan bahwa Tuhan tidak hanya menciptakan dunia pada awal waktu, tetapi
juga terus menopang eksistensinya pada setiap saat.⁹ Dalam pandangan Aquinas,
jika Tuhan berhenti memberi keberadaan kepada ciptaan, maka ciptaan itu akan
lenyap seketika.¹⁰ Oleh karena itu, dunia bukanlah entitas otonom yang dapat
berdiri sendiri, tetapi wujud yang senantiasa bergantung pada kehendak dan
kekuatan eksistensial Tuhan.
Berbeda dengan
Deisme yang memisahkan Tuhan dari dunia dan menganggap-Nya tidak lagi aktif
setelah penciptaan, Teisme menegaskan adanya relasi personal dan dinamis antara Tuhan dan
ciptaan.¹¹ Relasi ini bukan hanya hubungan sebab-akibat
mekanis, melainkan juga relasi kehendak dan cinta kasih yang menegaskan aspek
personal Tuhan.¹² Dalam konteks ini, Tuhan bukanlah prinsip abstrak seperti
dalam panteisme filosofis, tetapi Subjek yang hidup dan berelasi dengan makhluk
melalui keberadaan dan makna.¹³
3.3.
Argumen Metafisik tentang Keberadaan
Tuhan
Dalam sejarah
Teisme, terdapat sejumlah argumen metafisik klasik yang
berfungsi untuk menjelaskan secara rasional keberadaan Tuhan sebagai dasar
ontologis realitas. Argumen-argumen ini bukan semata-mata upaya apologetis,
tetapi refleksi filosofis yang berakar pada struktur realitas itu sendiri.
3.3.1.
Argumen Kosmologis
Argumen kosmologis
menyatakan bahwa segala yang ada memiliki sebab, dan rantai sebab tidak dapat
mundur tanpa batas; oleh karena itu harus ada penyebab pertama yang tidak disebabkan,
yaitu Tuhan.¹⁴ Aristoteles menyebutnya The Unmoved Mover, sedangkan
Aquinas menyempurnakannya sebagai causa prima yang menjadi asal
segala keberadaan.¹⁵ Tuhan, dalam kerangka ini, bukanlah bagian dari rantai
sebab, tetapi dasar keberadaan seluruh rangkaian sebab-akibat itu.
3.3.2.
Argumen Ontologis
Anselmus dari
Canterbury merumuskan argumen ontologis bahwa Tuhan, sebagai “wujud yang
tidak mungkin dibayangkan sesuatu yang lebih besar darinya,” harus ada,
sebab jika tidak, Ia tidak akan menjadi yang terbesar yang dapat dipikirkan.¹⁶
Meskipun argumen ini dikritik oleh Gaunilo dan kemudian oleh Immanuel Kant,
yang menolak bahwa keberadaan dapat menjadi predikat logis, argumen ini tetap
penting dalam membahas struktur logis konsep keberadaan Tuhan.¹⁷
3.3.3.
Argumen Teleologis
Argumen teleologis
atau argument
from design berangkat dari keteraturan dan tujuan dalam alam
semesta. William Paley mengilustrasikannya dengan metafora arloji: sebagaimana
arloji yang kompleks menunjukkan adanya perancang, demikian pula alam semesta
menunjukkan adanya intelegensi yang menatanya.¹⁸ Dalam konteks kontemporer,
argumen ini diperbarui melalui teori fine-tuning dalam kosmologi
modern, yang menunjukkan bahwa parameter-parameter kosmik tampak disetel secara
tepat untuk memungkinkan kehidupan.¹⁹
3.3.4.
Argumen Moral
Immanuel Kant,
meskipun menolak pembuktian rasional eksistensi Tuhan secara ontologis dan
kosmologis, tetap menganggap Tuhan sebagai postulat moral—syarat rasional bagi
eksistensi keadilan dan kebaikan tertinggi.²⁰ Dalam hal ini, Teisme memperoleh
dimensi etis: Tuhan dipahami sebagai dasar ontologis bagi nilai moral
objektif.²¹
3.4.
Struktur Ontologis Realitas dalam
Teisme
Dari seluruh
kerangka tersebut, dapat disimpulkan bahwa ontologi Teisme menampilkan struktur hierarkis
dan partisipatif. Tuhan menempati puncak realitas sebagai Wujud
Mutlak, sedangkan ciptaan berada dalam tataran eksistensi yang menerima
keberadaannya dari Tuhan.²² Manusia, sebagai makhluk rasional, menempati posisi
istimewa karena memiliki kesadaran akan sumber eksistensinya dan dapat berelasi
secara personal dengan Sang Pencipta.²³ Dalam hal ini, Teisme menyatukan
metafisika keberadaan dan metafisika relasi: Tuhan bukan hanya “yang ada,”
tetapi juga “yang berelasi.”²⁴
Ontologi Teisme,
dengan demikian, tidak berhenti pada penjelasan abstrak tentang eksistensi
Tuhan, melainkan mengandaikan suatu keterpaduan antara wujud dan makna.
Realitas bukan hanya “ada,” tetapi “diberi makna” oleh kehendak
dan kebijaksanaan Ilahi.²⁵ Oleh sebab itu, Teisme memandang seluruh eksistensi
sebagai partisipasi dalam realitas Ilahi, dan metafisika menjadi jalan untuk
memahami keterarahan seluruh ciptaan menuju Sumber Tertinggi segala yang ada.²⁶
Footnotes
[1]
Brian Davies, An Introduction to the Philosophy of Religion
(Oxford: Oxford University Press, 2004), 22–23.
[2]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the
English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, q.3, a.4.
[3]
Etienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas
(Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1956), 98–100.
[4]
Alvin Plantinga, The Nature of Necessity (Oxford: Clarendon
Press, 1974), 107–109.
[5]
Jacques Maritain, Existence and the Existent (New York:
Pantheon Books, 1948), 55–57.
[6]
W. Norris Clarke, The One and the Many: A Contemporary Thomistic
Metaphysics (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2001), 45–46.
[7]
Richard Swinburne, The Coherence of Theism, rev. ed. (Oxford:
Clarendon Press, 1993), 5–7.
[8]
Brian Leftow, “God and Eternity,” in The Oxford Handbook of Philosophical
Theology, ed. Thomas P. Flint and Michael C. Rea (Oxford: Oxford
University Press, 2009), 269–271.
[9]
Thomas Aquinas, Summa Contra Gentiles, trans. Anton C. Pegis
(Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1975), II, 39.
[10]
Norman Kretzmann and Eleonore Stump, The Cambridge Companion to
Aquinas (Cambridge: Cambridge University Press, 1993), 102–104.
[11]
William Lane Craig, Reasonable Faith: Christian Truth and
Apologetics, 3rd ed. (Wheaton, IL: Crossway, 2008), 115–117.
[12]
Alvin Plantinga, God and Other Minds (Ithaca, NY: Cornell
University Press, 1967), 57–59.
[13]
John Hick, Philosophy of Religion, 4th ed. (Englewood Cliffs,
NJ: Prentice Hall, 1989), 38–39.
[14]
Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross (Oxford: Clarendon
Press, 1924), XII.7, 1072b.
[15]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q.2, a.3.
[16]
Anselm of Canterbury, Proslogion, trans. M. J. Charlesworth
(Oxford: Clarendon Press, 1965), 2–3.
[17]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and
Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
A592/B620–A602/B630.
[18]
William Paley, Natural Theology (London: R. Faulder, 1802),
3–5.
[19]
Robin Collins, “The Teleological Argument: An Exploration of the
Fine-Tuning of the Universe,” in The Blackwell Companion to Natural
Theology, ed. William Lane Craig and J. P. Moreland (Oxford:
Wiley-Blackwell, 2009), 202–204.
[20]
Immanuel Kant, Critique of Practical Reason, trans. Mary
Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 125–127.
[21]
Robert Merrihew Adams, Finite and Infinite Goods: A Framework for Ethics
(Oxford: Oxford University Press, 1999), 136–138.
[22]
W. Norris Clarke, Person and Being (Notre Dame, IN: University
of Notre Dame Press, 1993), 60–62.
[23]
Josef Pieper, The Silence of St. Thomas (South Bend, IN: St.
Augustine’s Press, 1999), 28–30.
[24]
David Bentley Hart, The Experience of God: Being, Consciousness,
Bliss (New Haven, CT: Yale University Press, 2013), 105–107.
[25]
Étienne Gilson, God and Philosophy (New Haven, CT: Yale
University Press, 1941), 77–79.
[26]
John F. Wippel, The Metaphysical Thought of Thomas Aquinas
(Washington, DC: Catholic University of America Press, 2000), 423–425.
4.
Epistemologi
Teisme
4.1.
Sumber Pengetahuan tentang Tuhan
Dalam kerangka epistemologis Teisme, persoalan
sentral yang muncul adalah bagaimana manusia dapat mengetahui Tuhan—realitas
yang transenden dan tak terbatas. Secara klasik, para filsuf teistik mengajukan
bahwa pengetahuan tentang Tuhan dapat diperoleh melalui dua jalur utama: wahyu
(revelation) dan akal budi (reason).¹ Jalur wahyu menegaskan bahwa pengetahuan
tentang Tuhan diberikan oleh Tuhan sendiri melalui teks suci, tradisi religius,
atau pengalaman spiritual; sedangkan jalur rasional menyatakan bahwa akal
manusia, melalui refleksi metafisik dan observasi terhadap dunia, mampu menalar
keberadaan Tuhan dan sebagian atribut-Nya.²
Thomas Aquinas, misalnya, membedakan antara theologia
naturalis (teologi alamiah) dan theologia revelata (teologi wahyu).³
Melalui teologi alamiah, manusia dapat mengetahui keberadaan Tuhan melalui
ciptaan-Nya—sebagaimana ditegaskan dalam argumen kosmologis dan
teleologis—namun pengetahuan tersebut bersifat terbatas. Hanya melalui wahyu,
manusia dapat mengenal hakikat Tuhan secara lebih sempurna, termasuk sifat
personal dan kehendak-Nya.⁴ Dengan demikian, epistemologi teistik tidak
meniadakan akal, tetapi menempatkannya dalam relasi harmonis dengan wahyu: akal
menjadi sarana untuk memahami, menafsirkan, dan mengafirmasi kebenaran yang
diwahyukan.⁵
Pandangan ini berbeda dengan rasionalisme ekstrem
yang mengandalkan akal sebagai satu-satunya sumber pengetahuan metafisik,
maupun fideisme yang menolak peran akal dalam hal iman.⁶ Dalam Teisme klasik,
iman dan akal tidak saling meniadakan, tetapi saling meneguhkan. Iman tanpa
akal menjadi buta, sementara akal tanpa iman kehilangan orientasi
eksistensialnya.⁷ Oleh karena itu, epistemologi Teisme bersifat integratif—mengakui
keterbatasan manusia sekaligus mengafirmasi kemampuannya untuk mengenal yang
Ilahi melalui akal dan pengalaman spiritual.
4.2.
Pengalaman Religius dan Pengetahuan
Non-Diskursif
Selain wahyu dan rasio, Teisme juga mengakui pengalaman
religius sebagai sumber pengetahuan yang sah tentang Tuhan. Pengalaman ini
bukan semata perasaan subjektif, melainkan bentuk kesadaran eksistensial
terhadap kehadiran Ilahi yang tak dapat direduksi ke dalam kategori rasional
biasa.⁸ William James, dalam The Varieties of Religious Experience,
menegaskan bahwa pengalaman religius memiliki nilai epistemik karena
menghasilkan transformasi nyata dalam diri individu.⁹ Sementara Rudolf Otto
menyebutnya sebagai pengalaman numinous—rasa kagum dan gentar di hadapan
yang suci (mysterium tremendum et fascinans).¹⁰
Dalam tradisi fenomenologi religius, pengalaman ini
dipahami sebagai pemberian diri Tuhan kepada kesadaran manusia—bukan
hasil konstruksi rasional, melainkan pengalaman intuitif terhadap realitas
Ilahi.¹¹ Gabriel Marcel, misalnya, menolak pandangan bahwa Tuhan dapat
direduksi menjadi “objek” pengetahuan; sebaliknya, Tuhan adalah “Engkau”
yang dihadapi dalam relasi eksistensial.¹² Dengan demikian, epistemologi Teisme
melampaui dimensi proposisional menuju pengetahuan relasional dan
partisipatif, di mana mengetahui Tuhan berarti turut serta dalam relasi
personal dengan-Nya.¹³
Meskipun demikian, pengalaman religius bukan tanpa
kritik. Para filsuf empiris seperti David Hume menolak klaim pengetahuan ini
karena tidak dapat diverifikasi secara publik.¹⁴ Namun dalam pandangan teistik
kontemporer, seperti yang dikemukakan oleh Alvin Plantinga melalui Reformed
Epistemology, keyakinan terhadap Tuhan dapat bersifat properly basic—yakni
rasional secara epistemik tanpa memerlukan bukti empiris eksternal, sebagaimana
kita mempercayai eksistensi dunia luar atau ingatan kita sendiri.¹⁵ Hal ini
menunjukkan bahwa pengetahuan tentang Tuhan, dalam kerangka Teisme, tidak harus
tunduk pada kriteria empirisisme, karena sifat realitas Ilahi memang melampaui
empirisitas.
4.3.
Epistemologi Natural dan
Supernatural
Epistemologi Teisme secara tradisional dibedakan
menjadi dua dimensi: natural dan supernatural. Dimensi natural
berkaitan dengan upaya rasional manusia untuk mengenal Tuhan melalui ciptaan,
hukum alam, dan struktur rasional dunia.¹⁶ Hal ini ditegaskan dalam pandangan
bahwa alam semesta adalah vestigium Dei—jejak Tuhan—yang mengarahkan
manusia kepada pengenalan akan Sang Pencipta.¹⁷ Oleh karena itu, ilmu
pengetahuan, ketika dipahami secara filosofis, dapat menjadi jalan menuju
refleksi teistik, sebagaimana ditunjukkan oleh teolog natural seperti Robert
Boyle atau Isaac Newton.¹⁸
Sementara itu, dimensi supernatural menekankan
bahwa pengetahuan tertinggi tentang Tuhan tidak dapat diperoleh semata-mata
melalui rasio, melainkan melalui penerangan Ilahi (illuminatio divina).¹⁹
Agustinus menekankan bahwa kebenaran tertinggi hanya dapat dikenal bila akal
manusia diterangi oleh cahaya Tuhan yang menyingkapkan realitas sebagaimana
adanya.²⁰ Dengan demikian, epistemologi Teisme bersifat graced reason—akal
yang bekerja di bawah terang rahmat.²¹
Dalam konteks modern, pandangan ini menemukan
bentuk baru dalam epistemologi eksistensial, di mana pengetahuan tentang Tuhan
tidak semata bersifat intelektual, melainkan eksistensial dan
transformasional.²² Mengetahui Tuhan berarti mengalami perubahan diri, karena
pengetahuan Ilahi mengimplikasikan keterlibatan moral dan eksistensial yang
mendalam.²³ Oleh sebab itu, epistemologi Teisme tidak hanya menjawab pertanyaan
“bagaimana kita tahu bahwa Tuhan ada,” tetapi juga “bagaimana
pengetahuan tentang Tuhan mengubah cara kita mengada.”
4.4.
Hubungan antara Epistemologi dan
Ontologi dalam Teisme
Epistemologi Teisme memiliki hubungan yang erat
dengan ontologinya: cara kita mengenal Tuhan bergantung pada cara Tuhan
mengada.²⁴ Karena Tuhan dalam Teisme adalah Wujud Personal yang transenden
sekaligus imanen, maka pengetahuan tentang-Nya bersifat partisipatif dan
dialogis.²⁵ Tuhan tidak sekadar menjadi objek pengetahuan, melainkan subjek
yang memungkinkan pengetahuan itu sendiri—sebagaimana ditegaskan oleh tradisi
skolastik bahwa “segala pengetahuan berasal dari Tuhan sebagai Kebenaran itu
sendiri” (Deus est veritas prima).²⁶
Implikasinya, epistemologi Teisme bersifat teosentris:
akal manusia dapat mengenal realitas karena realitas itu sendiri rasional,
diciptakan oleh Logos Ilahi.²⁷ Hal ini menjadi dasar bagi keyakinan bahwa
rasionalitas manusia merupakan cerminan dari rasionalitas Tuhan.²⁸ Maka,
pengetahuan ilmiah dan filosofis bukanlah ancaman bagi iman, tetapi ekspresi
dari partisipasi manusia dalam rasionalitas ilahi.²⁹ Dalam pandangan ini,
epistemologi Teisme bersifat terbuka—rasional namun rendah hati, karena
menyadari bahwa pengetahuan manusia hanyalah partisipasi terbatas dalam
pengetahuan Tuhan yang sempurna.³⁰
Footnotes
[1]
Alvin Plantinga, Warranted Christian Belief
(Oxford: Oxford University Press, 2000), 172–173.
[2]
Richard Swinburne, Faith and Reason, 2nd ed.
(Oxford: Clarendon Press, 2005), 9–11.
[3]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans.
Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I,
q.1, a.1.
[4]
Brian Davies, An Introduction to the Philosophy
of Religion (Oxford: Oxford University Press, 2004), 33–34.
[5]
Etienne Gilson, The Christian Philosophy of St.
Thomas Aquinas (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1956),
122–124.
[6]
William Lane Craig, Reasonable Faith: Christian
Truth and Apologetics, 3rd ed. (Wheaton, IL: Crossway, 2008), 29–30.
[7]
John Paul II, Fides et Ratio (Vatican City:
Libreria Editrice Vaticana, 1998), §13.
[8]
John Hick, Faith and Knowledge, 2nd ed.
(Ithaca, NY: Cornell University Press, 1966), 92–94.
[9]
William James, The Varieties of Religious
Experience (New York: Longmans, Green & Co., 1902), 28–31.
[10]
Rudolf Otto, The Idea of the Holy, trans.
John W. Harvey (Oxford: Oxford University Press, 1958), 12–13.
[11]
Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure
Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The
Hague: Nijhoff, 1982), 186–188.
[12]
Gabriel Marcel, The Mystery of Being
(Chicago: Henry Regnery, 1951), 40–42.
[13]
Martin Buber, I and Thou, trans. Walter
Kaufmann (New York: Charles Scribner’s Sons, 1970), 54–56.
[14]
David Hume, Dialogues Concerning Natural
Religion, ed. Norman Kemp Smith (Indianapolis: Bobbs-Merrill, 1947),
110–112.
[15]
Alvin Plantinga, God and Other Minds
(Ithaca, NY: Cornell University Press, 1967), 73–75.
[16]
Robert Boyle, The Christian Virtuoso
(London: Joseph Downing, 1690), 5–6.
[17]
Thomas Aquinas, Summa Contra Gentiles,
trans. Anton C. Pegis (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1975), II,
4.
[18]
Isaac Newton, The Principia: Mathematical
Principles of Natural Philosophy, trans. I. Bernard Cohen and Anne Whitman
(Berkeley: University of California Press, 1999), General Scholium.
[19]
Augustine, De Trinitate, trans. Edmund Hill
(Brooklyn, NY: New City Press, 1991), XIV.15.
[20]
Augustine, Confessiones, trans. Henry
Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 1991), VII.10.
[21]
Etienne Gilson, God and Philosophy (New
Haven, CT: Yale University Press, 1941), 82–83.
[22]
Karl Rahner, Foundations of Christian Faith
(New York: Seabury Press, 1978), 114–116.
[23]
Paul Tillich, Dynamics of Faith (New York:
Harper & Row, 1957), 27–29.
[24]
W. Norris Clarke, The One and the Many: A Contemporary
Thomistic Metaphysics (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press,
2001), 145–147.
[25]
Brian Leftow, “God and Eternity,” in The Oxford
Handbook of Philosophical Theology, ed. Thomas P. Flint and Michael C. Rea
(Oxford: Oxford University Press, 2009), 274–275.
[26]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q.16,
a.5.
[27]
C. S. Lewis, The Abolition of Man (New York:
HarperOne, 2001), 54–55.
[28]
Alvin Plantinga, Where the Conflict Really Lies:
Science, Religion, and Naturalism (Oxford: Oxford University Press, 2011),
262–264.
[29]
John Polkinghorne, Science and Providence: God’s
Interaction with the World (London: SPCK, 1989), 34–36.
[30]
David Bentley Hart, The Experience of God:
Being, Consciousness, Bliss (New Haven, CT: Yale University Press, 2013),
175–177.
5.
Etika
dan Aksiologi dalam Teisme
5.1.
Dasar Moralitas dalam Teisme
Dalam kerangka filsafat teistik, Tuhan bukan
hanya sumber keberadaan (causa essendi), tetapi juga sumber nilai dan
kebaikan (causa boni).¹ Ontologi dan etika saling terkait erat dalam
Teisme, sebab hakikat kebaikan (bonum) dipahami bukan sebagai kategori
moral yang berdiri sendiri, melainkan sebagai partisipasi dalam kesempurnaan
Tuhan.² Dengan demikian, moralitas memiliki dasar objektif karena tertanam
dalam struktur realitas yang ditentukan oleh kehendak dan kebijaksanaan Ilahi.³
Thomas Aquinas menegaskan bahwa Tuhan adalah
kebaikan tertinggi (summum bonum) dan semua tindakan moral manusia
memperoleh nilai baiknya sejauh berpartisipasi dalam hukum dan tujuan Ilahi.⁴
Dalam Summa Theologica, Aquinas menjelaskan bahwa hukum moral manusia
berasal dari hukum abadi (lex aeterna), yang merupakan rasionalitas
Tuhan yang mengatur alam semesta.⁵ Maka, tindakan moral yang benar bukan
sekadar yang bermanfaat secara pragmatis, tetapi yang selaras dengan tatanan moral
objektif yang berasal dari Tuhan.
Pertanyaan klasik yang sering muncul dalam konteks
ini adalah Dilema Euthyphro, yang diajukan oleh Plato: “Apakah
sesuatu itu baik karena Tuhan memerintahkannya, atau Tuhan memerintahkannya
karena sesuatu itu baik?”⁶ Teisme klasik, khususnya dalam tradisi
skolastik, menolak dikotomi tersebut dengan menegaskan bahwa kebaikan tidak
bersifat arbitrer, tetapi berakar dalam kodrat Tuhan sendiri.⁷ Dengan kata
lain, Tuhan tidak memerintahkan sesuatu karena kebetulan baik, melainkan karena
Ia sendiri adalah kebaikan itu.⁸ Maka, kebaikan moral memiliki status ontologis
dan tidak bergantung pada subjektivitas manusia atau relativisme budaya.
5.2.
Implikasi Etika Teistik: Tanggung
Jawab, Kehendak, dan Cinta Kasih
Etika Teisme menekankan bahwa manusia sebagai
makhluk rasional dan bebas memiliki tanggung jawab moral terhadap hukum
Ilahi.⁹ Kebebasan manusia tidak dipahami sebagai otonomi absolut, melainkan
sebagai partisipasi dalam kebebasan Tuhan, yaitu kemampuan untuk mengarahkan
kehendak menuju kebaikan sejati.¹⁰ Dalam hal ini, kebebasan sejati bukanlah
kebebasan untuk melakukan apa pun, tetapi kebebasan untuk melakukan yang baik
sesuai dengan kodrat moral manusia yang diciptakan menurut citra Tuhan (imago
Dei).¹¹
Cinta kasih (agape) menjadi pusat etika
teistik, karena dalam pandangan Teisme, Tuhan adalah kasih itu sendiri (Deus
caritas est).¹² Segala tindakan moral yang benar berakar dalam relasi kasih
antara Tuhan dan manusia, serta antara manusia satu sama lain.¹³ Etika ini
tidak sekadar normatif, tetapi juga relasional: manusia dipanggil untuk meniru
sifat kasih dan keadilan Tuhan dalam relasinya dengan sesama.¹⁴ Oleh karena
itu, tindakan moral dalam Teisme tidak hanya ditentukan oleh kewajiban
(sebagaimana dalam etika deontologis Kantian), tetapi juga oleh orientasi
eksistensial pada kasih Ilahi yang bersifat kreatif dan memberi kehidupan.¹⁵
Etika teistik juga mengandung dimensi teleologis,
di mana tujuan akhir (telos) kehidupan moral manusia adalah penyatuan
dengan Tuhan (unio cum Deo).¹⁶ Kebaikan moral tidak berhenti pada
tatanan sosial atau kebahagiaan temporal, tetapi mengarah pada kebahagiaan
abadi (beatitudo) yang hanya dapat ditemukan dalam relasi dengan
Tuhan.¹⁷ Dalam pengertian ini, Teisme memandang etika bukan sekadar sistem
kewajiban, melainkan jalan menuju pemenuhan eksistensi manusia dalam
kesempurnaan Ilahi.¹⁸
5.3.
Aksiologi Teistik: Nilai, Makna, dan
Tujuan Hidup
Aksiologi dalam Teisme berakar pada keyakinan bahwa
nilai-nilai moral, estetis, dan eksistensial bersumber pada realitas Ilahi.¹⁹
Nilai bukanlah konstruksi subjektif manusia, melainkan cerminan dari struktur
kebaikan objektif yang melekat dalam ciptaan sebagai partisipasi dalam
kesempurnaan Tuhan.²⁰ Oleh karena itu, kebenaran, keindahan, dan kebaikan (tiga
nilai transendental klasik: verum, pulchrum, bonum) dipandang sebagai
ekspresi dari sifat-sifat Tuhan yang tak terpisahkan.²¹
Dalam pandangan Teisme, keindahan juga
memiliki dimensi teologis. Keindahan bukan hanya harmoni bentuk, tetapi manifestasi
dari kebenaran dan kebaikan Ilahi.²² Hal ini tampak jelas dalam pemikiran
Augustinus yang menafsirkan keindahan dunia sebagai tanda dari keteraturan dan
kebijaksanaan Tuhan.²³ Sementara itu, nilai kebenaran memiliki akar
ontologis karena seluruh realitas dianggap rasional dan koheren dengan pikiran
Ilahi.²⁴ Dengan demikian, tindakan mencari kebenaran ilmiah atau filosofis
merupakan partisipasi manusia dalam rasionalitas Tuhan.²⁵
Tujuan akhir (ultimate end) dalam aksiologi
teistik adalah kebahagiaan sejati (beatitudo), yaitu keadaan di mana
manusia mencapai kesatuan dengan Tuhan, sumber segala nilai dan makna.²⁶
Aristoteles menafsirkan eudaimonia sebagai kebahagiaan tertinggi yang
ditemukan dalam aktualisasi potensi rasional, namun Teisme memperluasnya dengan
menegaskan bahwa kebahagiaan tertinggi hanya mungkin jika manusia
berpartisipasi dalam kehidupan Ilahi.²⁷ Dengan demikian, nilai-nilai moral dan
spiritual memiliki arah transenden: bukan sekadar demi kesejahteraan duniawi,
tetapi demi keterarahan eksistensi manusia menuju realitas yang kekal.²⁸
Aksiologi Teisme menolak relativisme nilai yang
memandang semua kebaikan setara atau bergantung pada preferensi subjektif.²⁹
Nilai moral dan spiritual bersifat hierarkis, dengan Tuhan sebagai puncaknya.³⁰
Oleh sebab itu, dalam pandangan teistik, seluruh realitas memiliki makna
intrinsik karena berakar pada kehendak Ilahi yang menciptakan dunia dengan
tujuan tertentu.³¹ Eksistensi manusia, dalam kerangka ini, memperoleh makna
sejauh ia hidup sesuai dengan kebenaran dan kebaikan yang bersumber dari
Tuhan.³²
Footnotes
[1]
Étienne Gilson, The Spirit of Medieval
Philosophy (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1991), 115–117.
[2]
Jacques Maritain, Moral Philosophy: An
Historical and Critical Survey of the Great Systems (New York: Charles
Scribner’s Sons, 1964), 89–90.
[3]
Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in
Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press,
2007), 108–109.
[4]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans.
Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947),
I-II, q.2, a.8.
[5]
Ibid., I-II, q.91, a.2.
[6]
Plato, Euthyphro, trans. Harold North Fowler
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1914), 10a–11b.
[7]
Brian Davies, An Introduction to the Philosophy
of Religion (Oxford: Oxford University Press, 2004), 147–149.
[8]
Robert Merrihew Adams, Finite and Infinite
Goods: A Framework for Ethics (Oxford: Oxford University Press, 1999),
41–43.
[9]
Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of
Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998),
55–56.
[10]
Josef Pieper, The Four Cardinal Virtues
(Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1966), 27–28.
[11]
W. Norris Clarke, Person and Being (Notre
Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1993), 87–88.
[12]
1 John 4:8 (New International Version).
[13]
C. S. Lewis, The Four Loves (New York:
Harcourt, Brace, 1960), 120–122.
[14]
Gabriel Marcel, Creative Fidelity (New York:
Fordham University Press, 2002), 45–46.
[15]
Paul Tillich, Love, Power, and Justice
(Oxford: Oxford University Press, 1954), 23–25.
[16]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, I-II, q.5,
a.3.
[17]
Augustine, De Civitate Dei, trans. Henry
Bettenson (London: Penguin Books, 1972), XIX.10.
[18]
Alasdair MacIntyre, Dependent Rational Animals:
Why Human Beings Need the Virtues (Chicago: Open Court, 1999), 72–73.
[19]
Dietrich von Hildebrand, Christian Ethics
(New York: David McKay, 1953), 11–13.
[20]
John Paul II, Veritatis Splendor (Vatican
City: Libreria Editrice Vaticana, 1993), §32.
[21]
Hans Urs von Balthasar, The Glory of the Lord: A
Theological Aesthetics, Vol. 1 (San Francisco: Ignatius Press, 1982),
19–20.
[22]
Umberto Eco, Art and Beauty in the Middle Ages
(New Haven, CT: Yale University Press, 1986), 56–57.
[23]
Augustine, Confessiones, trans. Henry
Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 1991), X.27.
[24]
Étienne Gilson, God and Philosophy (New
Haven, CT: Yale University Press, 1941), 90–91.
[25]
John Polkinghorne, Science and Creation: The
Search for Understanding (London: SPCK, 1988), 67–68.
[26]
Thomas Aquinas, Summa Contra Gentiles,
trans. Anton C. Pegis (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1975),
III, 25.
[27]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans.
Terence Irwin (Indianapolis: Hackett, 1999), I.7, 1098a.
[28]
Josef Pieper, Happiness and Contemplation
(South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 1998), 14–15.
[29]
Charles Taylor, Sources of the Self: The Making
of the Modern Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989),
19–20.
[30]
W. Norris Clarke, The One and the Many: A
Contemporary Thomistic Metaphysics (Notre Dame, IN: University of Notre
Dame Press, 2001), 178–180.
[31]
Alvin Plantinga, God, Freedom, and Evil
(Grand Rapids, MI: Eerdmans, 1977), 60–62.
[32]
David Bentley Hart, The Experience of God:
Being, Consciousness, Bliss (New Haven, CT: Yale University Press, 2013),
215–217.
6.
Kritik
terhadap Teisme
6.1.
Kritik Internal (Intra-Teistik):
Perbedaan Konseptual dan Masalah Teodise
Kritik terhadap Teisme tidak hanya datang dari luar
tradisi religius, tetapi juga dari dalam, yaitu dari perbedaan konseptual di
antara bentuk-bentuk Teisme itu sendiri. Dalam sejarah pemikiran teistik,
terdapat berbagai model konseptual tentang Tuhan: Teisme klasik, Teisme
personalis, dan Teisme terbuka (open theism).¹ Teisme klasik—yang
dipengaruhi oleh metafisika Aristotelian dan skolastik—menekankan sifat Tuhan
yang mutlak, tidak berubah (immutabilis), dan serba tahu (omniscient).²
Sebaliknya, teisme personalis modern berusaha menampilkan citra Tuhan yang
lebih dinamis dan relasional, menekankan keterlibatan-Nya dalam sejarah dan
pengalaman manusia.³ Sementara itu, open theism menolak determinisme
Ilahi dengan menyatakan bahwa Tuhan mengetahui semua kemungkinan, tetapi tidak
menentukan masa depan yang bergantung pada kebebasan manusia.⁴
Perbedaan tersebut menimbulkan ketegangan internal
dalam epistemologi dan ontologi teistik: bagaimana menyelaraskan kebebasan
manusia dengan kemahatahuan Tuhan? Jika Tuhan mengetahui segalanya
secara pasti, apakah kebebasan manusia sungguh nyata?⁵ Tradisi skolastik
mencoba menyelesaikannya melalui konsep scientia media (pengetahuan
menengah), sebagaimana dikembangkan oleh Luis de Molina, yang menjelaskan bahwa
Tuhan mengetahui kemungkinan tindakan bebas manusia tanpa meniadakan kebebasan
itu sendiri.⁶ Namun bagi sebagian filsuf modern, konsep ini dianggap
metafisik-abstrak dan tidak empiris.⁷
Kritik internal lainnya menyangkut masalah
kejahatan dan penderitaan, atau yang dikenal sebagai problem of evil.
Teisme, yang menegaskan Tuhan sebagai Mahakuasa, Mahabaik, dan Mahatahu, tampak
menghadapi kontradiksi logis ketika dihadapkan pada realitas kejahatan dalam
dunia.⁸ Jika Tuhan Mahabaik, Ia pasti ingin mencegah kejahatan; jika Mahakuasa,
Ia mampu melakukannya; maka mengapa kejahatan tetap ada?⁹ Augustinus menjawab
dengan menyatakan bahwa kejahatan bukanlah substansi, melainkan kekurangan dari
kebaikan (privatio boni).¹⁰ Sementara itu, teolog modern seperti John
Hick menawarkan theodicy of soul-making, yakni bahwa penderitaan
merupakan sarana bagi perkembangan moral dan spiritual manusia.¹¹ Namun, bagi
sebagian pemikir kontemporer seperti David Griffin atau process theologians,
teodise klasik dianggap gagal karena mempertahankan Tuhan yang statis dan tidak
ikut menderita bersama ciptaan.¹²
Dengan demikian, kritik internal terhadap Teisme
menunjukkan adanya ketegangan konseptual antara citra Tuhan yang absolut dan
yang relasional, antara keadilan dan belas kasih Ilahi, serta antara kebebasan
manusia dan penentuan ilahi.¹³ Diskursus ini memperkaya Teisme sekaligus
menantangnya untuk menafsirkan kembali konsep keilahian dalam konteks
pengalaman eksistensial dan sejarah manusia yang konkret.
6.2.
Kritik Eksternal: Tantangan dari
Sains, Filsafat, dan Sekularisme
Kritik eksternal terhadap Teisme berkembang pesat
sejak masa Pencerahan, ketika rasionalisme dan empirisme mulai
menggantikan metafisika tradisional sebagai landasan pengetahuan. David Hume,
melalui Dialogues Concerning Natural Religion, meragukan validitas
argumen teleologis dengan menyatakan bahwa keteraturan alam tidak mesti
mengandaikan perancang cerdas, melainkan bisa muncul dari kebiasaan atau
probabilitas alami.¹⁴ Immanuel Kant kemudian melangkah lebih jauh, menolak
semua pembuktian metafisik tentang eksistensi Tuhan karena konsep “eksistensi”
bukanlah predikat yang menambah isi realitas suatu konsep.¹⁵ Bagi Kant, Tuhan
hanya dapat diasumsikan sebagai postulat moral, bukan sebagai objek pengetahuan
rasional.¹⁶
Pada abad ke-19, muncul kritik radikal terhadap
Teisme melalui filsafat ateistik dan materialistik. Ludwig Feuerbach
menafsirkan gagasan tentang Tuhan sebagai proyeksi sifat-sifat ideal
manusia—yakni cinta, kebijaksanaan, dan keadilan—yang diobjektifikasi di luar
diri manusia.¹⁷ Dengan demikian, berbicara tentang Tuhan sebenarnya berarti
berbicara tentang hakikat manusia yang teralienasi dari dirinya sendiri.
Friedrich Nietzsche melanjutkan kritik tersebut dengan deklarasinya yang
terkenal, “Tuhan telah mati,” sebagai simbol matinya nilai-nilai absolut
yang menopang moralitas Barat.¹⁸ Dalam pandangannya, Teisme menindas kehendak
manusia untuk berkuasa dan menciptakan nilai-nilai baru secara otonom.¹⁹
Kritik terhadap Teisme juga datang dari sains
modern, khususnya setelah revolusi kosmologi dan biologi. Teori evolusi
Darwin menantang pandangan teistik tentang penciptaan langsung, sementara
kosmologi mekanistik Newtonian sempat menimbulkan kesan bahwa alam semesta
dapat berjalan tanpa intervensi Tuhan.²⁰ Pada abad ke-20, fisikawan seperti
Stephen Hawking bahkan berpendapat bahwa hukum-hukum fisika cukup untuk
menjelaskan asal-usul alam tanpa memerlukan pencipta ilahi.²¹ Bagi para pemikir
sekular, seperti Richard Dawkins, Teisme dianggap sebagai “hipotesis yang tak
perlu” untuk memahami dunia yang dapat dijelaskan secara ilmiah.²²
Meskipun demikian, kritik ini tidak selalu
menghancurkan Teisme; sebaliknya, ia mendorong munculnya teologi natural
baru dan dialog antara sains dan agama.²³ Beberapa filsuf seperti Alvin
Plantinga dan John Polkinghorne berargumen bahwa sains justru memerlukan dasar
teistik agar dapat dimengerti: hukum alam, rasionalitas, dan keteraturan dunia
merupakan refleksi dari kehendak rasional Tuhan.²⁴ Maka, kritik eksternal
terhadap Teisme berfungsi sebagai pemurnian epistemologis—mendorong Teisme
untuk menafsirkan ulang perannya bukan sebagai pengganti penjelasan ilmiah,
tetapi sebagai fondasi metafisik bagi keteraturan dan makna kosmos.²⁵
6.3.
Kritik Eksistensial dan Postmodern:
Krisis Makna dan Bahasa tentang Tuhan
Kritik lain yang muncul dalam abad ke-20 dan ke-21
bersifat eksistensial dan linguistik, menyoroti keterbatasan bahasa
manusia dalam berbicara tentang Tuhan. Ludwig Wittgenstein, dalam Tractatus
Logico-Philosophicus, menyatakan bahwa “tentang apa yang tidak dapat
dibicarakan, kita harus diam.”²⁶ Pernyataan ini mengimplikasikan bahwa
klaim teistik melampaui batas bahasa proposisional dan tidak dapat diverifikasi
secara logis.²⁷ Filsafat analitik agama kemudian berusaha merumuskan kembali
makna klaim teistik melalui logika, analisis bahasa, dan epistemologi
probabilistik.²⁸
Sementara itu, pemikiran eksistensialis dan
fenomenologis—seperti pada Kierkegaard, Buber, dan Levinas—mengalihkan
fokus dari pembuktian rasional Tuhan menuju pengalaman eksistensial dan etis.²⁹
Tuhan bukanlah objek pengetahuan, melainkan Engkau yang dihadapi dalam
tanggung jawab etis terhadap sesama.³⁰ Emmanuel Levinas bahkan menegaskan bahwa
“wajah yang lain” adalah wahyu etis yang menunjuk kepada yang Ilahi
tanpa memerlukan konsep metafisik tentang Tuhan.³¹
Dalam horizon postmodern, para pemikir
seperti Jean-Luc Marion dan John Caputo menolak metafisika ontoteologis yang
mengidentifikasi Tuhan dengan “ada tertinggi.”³² Mereka menawarkan
gagasan tentang Tuhan sebagai event—peristiwa kasih atau pemberian yang
tidak dapat dijelaskan oleh kategori ontologis tradisional.³³ Kritik ini tidak
menolak Teisme secara total, tetapi menggeser paradigma dari Tuhan sebagai objek
metafisis menuju Tuhan sebagai misteri yang mengatasi segala konseptualisasi
manusia.³⁴
Dengan demikian, kritik eksistensial dan postmodern
memperlihatkan keterbatasan bahasa dan rasionalitas manusia dalam memahami
Tuhan, sekaligus membuka kemungkinan baru bagi Teisme yang lebih rendah hati
dan dialogis.³⁵ Kritik-kritik ini mengingatkan bahwa Teisme tidak boleh
terjebak dalam dogmatisme intelektual, melainkan harus tetap terbuka terhadap
misteri yang tak terkatakan dari realitas ilahi.
Footnotes
[1]
Richard Swinburne, The Coherence of Theism,
rev. ed. (Oxford: Clarendon Press, 1993), 5–7.
[2]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans.
Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I,
q.9, a.1.
[3]
Charles Hartshorne, Omnipotence and Other
Theological Mistakes (Albany: State University of New York Press, 1984),
15–16.
[4]
Clark H. Pinnock et al., The Openness of God: A
Biblical Challenge to the Traditional Understanding of God (Downers Grove,
IL: InterVarsity Press, 1994), 101–103.
[5]
Boethius, The Consolation of Philosophy,
trans. V. E. Watts (London: Penguin Books, 1969), V.6.
[6]
Luis de Molina, On Divine Foreknowledge (Part IV
of the Concordia), trans. Alfred J. Freddoso (Ithaca, NY: Cornell
University Press, 1988), 52–54.
[7]
Brian Davies, An Introduction to the Philosophy
of Religion (Oxford: Oxford University Press, 2004), 165–166.
[8]
J. L. Mackie, “Evil and Omnipotence,” Mind
64, no. 254 (1955): 200–212.
[9]
Epicurus, Letter to Menoeceus, trans. Cyril
Bailey (Oxford: Clarendon Press, 1926), §124.
[10]
Augustine, Enchiridion on Faith, Hope, and Love,
trans. Albert C. Outler (Washington, DC: Regnery, 1955), XI.
[11]
John Hick, Evil and the God of Love, rev.
ed. (New York: Palgrave Macmillan, 2007), 253–254.
[12]
David Ray Griffin, God, Power, and Evil: A
Process Theodicy (Louisville, KY: Westminster John Knox Press, 1976),
88–90.
[13]
Paul Tillich, Systematic Theology, Vol. 1
(Chicago: University of Chicago Press, 1951), 245–246.
[14]
David Hume, Dialogues Concerning Natural
Religion, ed. Norman Kemp Smith (Indianapolis: Bobbs-Merrill, 1947),
110–113.
[15]
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason,
trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press,
1998), A592/B620–A602/B630.
[16]
Ibid., A807/B835.
[17]
Ludwig Feuerbach, The Essence of Christianity,
trans. George Eliot (New York: Harper, 1957), 12–15.
[18]
Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans.
Walter Kaufmann (New York: Vintage Books, 1974), §125.
[19]
Ibid., §285.
[20]
Charles Darwin, On the Origin of Species
(London: John Murray, 1859), 489–490.
[21]
Stephen Hawking, A Brief History of Time
(New York: Bantam Books, 1988), 174–176.
[22]
Richard Dawkins, The God Delusion (London:
Bantam Press, 2006), 31–33.
[23]
Alister McGrath, The Open Secret: A New Vision
for Natural Theology (Oxford: Blackwell, 2008), 44–46.
[24]
Alvin Plantinga, Where the Conflict Really Lies:
Science, Religion, and Naturalism (Oxford: Oxford University Press, 2011),
262–264.
[25]
John Polkinghorne, Science and Providence: God’s
Interaction with the World (London: SPCK, 1989), 45–47.
[26]
Ludwig Wittgenstein, Tractatus
Logico-Philosophicus, trans. C. K. Ogden (London: Routledge, 1922), §7.
[27]
Antony Flew, “Theology and Falsification,” in New
Essays in Philosophical Theology, ed. Antony Flew and Alasdair MacIntyre
(London: SCM Press, 1955), 96–99.
[28]
Richard Swinburne, Faith and Reason, 2nd ed.
(Oxford: Clarendon Press, 2005), 45–47.
[29]
Søren Kierkegaard, Fear and Trembling,
trans. Alastair Hannay (London: Penguin Books, 1985), 58–60.
[30]
Martin Buber, I and Thou, trans. Walter
Kaufmann (New York: Charles Scribner’s Sons, 1970), 54–56.
[31]
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An
Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne
University Press, 1969), 200–203.
[32]
Jean-Luc Marion, God without Being, trans.
Thomas A. Carlson (Chicago: University of Chicago Press, 1991), 36–38.
[33]
John D. Caputo, The Weakness of God: A Theology
of the Event (Bloomington: Indiana University Press, 2006), 93–95.
[34]
Ibid., 186–188.
[35]
David Bentley Hart, The Experience of God:
Being, Consciousness, Bliss (New Haven, CT: Yale University Press, 2013),
245–247.
7.
Relevansi
Kontemporer
7.1.
Teisme dan Sains Modern
Dalam konteks filsafat kontemporer, hubungan antara
Teisme dan sains menjadi salah satu tema paling signifikan dalam diskursus
metafisika. Sains modern, dengan penemuan-penemuan kosmologisnya, justru
menghadirkan peluang baru bagi reinterpretasi argumen teistik klasik.¹
Salah satu contoh utama adalah argumen fine-tuning, yang menunjukkan
bahwa konstanta-konstanta fisika alam semesta tampak diatur secara presisi
untuk memungkinkan munculnya kehidupan.² Parameter seperti konstanta gravitasi,
kekuatan gaya elektromagnetik, dan laju ekspansi kosmik, jika berbeda sedikit
saja, akan menjadikan kehidupan tidak mungkin terjadi.³
Bagi para filsuf teistik seperti Robin Collins
dan William Lane Craig, fenomena ini mengindikasikan bahwa keteraturan
kosmos tidak dapat dijelaskan hanya melalui kebetulan, melainkan lebih rasional
dipahami sebagai hasil dari desain cerdas Ilahi.⁴ Meski demikian, pandangan ini
tidak dimaksudkan untuk menggantikan penjelasan ilmiah, tetapi untuk
menunjukkan bahwa sains dan Teisme bukanlah dua sistem yang saling
meniadakan, melainkan dua cara pandang yang saling melengkapi: sains
menjelaskan bagaimana dunia bekerja, sedangkan Teisme menjawab mengapa
dunia itu ada.⁵
Fisikawan seperti John Polkinghorne dan Paul
Davies bahkan menegaskan bahwa rasionalitas alam semesta itu
sendiri—kemampuan manusia untuk memahami hukum-hukum kosmos—merupakan bukti tak
langsung dari keteraturan metafisik yang mendasari realitas.⁶ Dengan demikian,
Teisme tetap relevan sebagai kerangka metafisik yang memberikan dasar ontologis
bagi rasionalitas ilmiah. Tanpa asumsi tentang keteraturan dan koherensi
dunia—yang secara historis berasal dari pandangan teistik tentang Tuhan sebagai
Logos—aktivitas ilmiah modern tidak akan memiliki fondasi epistemologis yang
kuat.⁷
Namun, Teisme juga menghadapi tantangan baru dari naturalisme
metodologis dan ateisme ilmiah yang menolak penjelasan metafisik
non-empiris. Richard Dawkins, misalnya, menilai bahwa teori evolusi Darwin
sudah cukup menjelaskan kompleksitas kehidupan tanpa memerlukan konsep Tuhan.⁸
Akan tetapi, sebagaimana ditunjukkan oleh Alvin Plantinga, pandangan
naturalistik radikal justru bersifat self-defeating, karena jika
kesadaran manusia hanyalah hasil proses kebetulan tanpa tujuan, maka tidak ada
alasan rasional untuk mempercayai keandalan kognitif manusia itu sendiri.⁹
Dengan demikian, dialog antara Teisme dan sains modern menunjukkan bahwa iman
dan rasio tetap dapat saling menguatkan, bukan saling meniadakan.¹⁰
7.2.
Teisme dalam Era Sekular dan
Pluralistik
Dalam konteks sosial dan kultural, Teisme
menghadapi tantangan besar dari sekularisme dan pluralisme nilai yang
menandai zaman modern. Sekularisasi telah memisahkan ruang publik dari
klaim-klaim religius, sehingga keyakinan teistik dianggap sebagai urusan privat.¹¹
Sementara pluralisme mengakui keberagaman pandangan dunia, tetapi sering kali
menolak klaim kebenaran objektif yang melekat pada Teisme klasik.¹²
Pemikir seperti Charles Taylor menjelaskan
bahwa manusia modern hidup dalam immanent frame, yaitu kerangka
kesadaran yang tertutup terhadap transendensi.¹³ Dalam kondisi ini, Tuhan tidak
lagi menjadi horizon makna utama, melainkan salah satu dari banyak opsi dalam
pasar kepercayaan modern. Teisme, agar tetap relevan, perlu hadir bukan sebagai
sistem dogmatis, tetapi sebagai kerangka makna yang eksistensial dan
dialogis, yang mampu berbicara dalam bahasa rasional dan etis universal.¹⁴
Dalam konteks pluralisme agama, Teisme dapat
berperan sebagai dasar dialog antaragama.¹⁵ Konsep Tuhan yang personal,
rasional, dan baik menjadi titik temu antara tradisi Abrahamik maupun
religiusitas Timur yang menekankan dimensi transenden.¹⁶ John Hick, misalnya,
mengusulkan model pluralisme teosentris, di mana berbagai tradisi religius
merupakan respons manusia yang berbeda terhadap Realitas Ilahi yang sama.¹⁷
Meskipun pandangan ini menuai perdebatan, ia membuka jalan bagi Teisme untuk
berfungsi sebagai kerangka etika global, menegaskan kesatuan moral
manusia dalam keberagaman keyakinan.¹⁸
Teisme juga relevan dalam menghadapi krisis
nilai dan relativisme moral yang merebak di dunia modern.¹⁹ Dengan
menegaskan Tuhan sebagai sumber nilai objektif, Teisme menawarkan fondasi etis
yang melampaui konstruksi sosial atau preferensi budaya.²⁰ Dalam hal ini,
Teisme berperan bukan sekadar sebagai doktrin religius, tetapi sebagai fondasi
filosofis bagi martabat dan tanggung jawab moral manusia, yang kini sangat
dibutuhkan di tengah arus pragmatisme dan nihilisme etis.²¹
7.3.
Dimensi Eksistensial: Makna,
Kesadaran, dan Spiritualitas
Dalam dunia modern yang sarat dengan alienasi,
kehilangan makna, dan krisis eksistensial, Teisme menghadirkan relevansi baru
melalui dimensi spiritual dan personalnya.²² Filsafat eksistensial
religius menegaskan bahwa iman teistik bukan sekadar afirmasi proposisional,
tetapi respons eksistensial terhadap realitas Ilahi yang hadir dalam kehidupan
manusia.²³ Søren Kierkegaard menyebut iman sebagai “lompatan ke dalam
keabadian,” tindakan eksistensial yang melampaui rasionalitas abstrak.²⁴
Dalam iman, manusia menemukan dirinya sebagai makhluk yang terbatas namun
diundang untuk berelasi dengan yang tak terbatas.
Teisme juga menegaskan kesadaran manusia sebagai
tanda kehadiran Tuhan. Dalam pandangan teistik, kesadaran bukan sekadar
produk biologis, tetapi refleksi dari kesadaran Ilahi yang menopang seluruh
realitas.²⁵ Hal ini ditegaskan oleh David Bentley Hart, yang menyatakan
bahwa pengalaman akan keberadaan, kesadaran, dan kebahagiaan merupakan jejak
langsung dari realitas Ilahi (Being, Consciousness, Bliss).²⁶ Teisme,
dalam bentuk ini, menawarkan fondasi spiritual yang dapat menjawab krisis makna
manusia modern yang terperangkap dalam materialisme dan teknologisme.²⁷
Lebih jauh lagi, Teisme berperan penting dalam
membangun etos ekologis dan tanggung jawab terhadap alam.²⁸ Dengan
menegaskan bahwa dunia adalah ciptaan Tuhan dan manusia adalah penjaga (steward)
ciptaan itu, Teisme memberikan dasar moral bagi ekoteologi dan etika lingkungan
kontemporer.²⁹ Dalam perspektif ini, menjaga bumi bukan sekadar tanggung jawab
ekologis, tetapi tindakan spiritual yang mencerminkan kasih dan kebijaksanaan
Sang Pencipta.³⁰
Dengan demikian, Teisme tetap memiliki relevansi
kontemporer yang luas—baik dalam ranah sains, etika, pluralisme, maupun
spiritualitas—karena ia menawarkan visi menyeluruh tentang realitas yang
mengintegrasikan rasionalitas, makna, dan nilai.³¹
Footnotes
[1]
John Polkinghorne, Science and Providence: God’s
Interaction with the World (London: SPCK, 1989), 41–43.
[2]
Robin Collins, “The Teleological Argument: An
Exploration of the Fine-Tuning of the Universe,” in The Blackwell Companion
to Natural Theology, ed. William Lane Craig and J. P. Moreland (Oxford:
Wiley-Blackwell, 2009), 203–205.
[3]
Paul Davies, The Mind of God: The Scientific
Basis for a Rational World (New York: Simon & Schuster, 1992), 87–88.
[4]
William Lane Craig, Reasonable Faith: Christian
Truth and Apologetics, 3rd ed. (Wheaton, IL: Crossway, 2008), 117–118.
[5]
Alister McGrath, The Open Secret: A New Vision
for Natural Theology (Oxford: Blackwell, 2008), 34–36.
[6]
John Polkinghorne, Belief in God in an Age of
Science (New Haven, CT: Yale University Press, 1998), 9–10.
[7]
Stanley Jaki, The Road of Science and the Ways
to God (Chicago: University of Chicago Press, 1978), 122–123.
[8]
Richard Dawkins, The Blind Watchmaker (New
York: W. W. Norton, 1986), 6–8.
[9]
Alvin Plantinga, Where the Conflict Really Lies:
Science, Religion, and Naturalism (Oxford: Oxford University Press, 2011),
270–273.
[10]
Stephen Barr, Modern Physics and Ancient Faith
(Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2003), 190–192.
[11]
Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 2007), 424–426.
[12]
Peter Berger, The Heretical Imperative: Contemporary
Possibilities of Religious Affirmation (New York: Anchor Books, 1980),
13–15.
[13]
Taylor, A Secular Age, 539–540.
[14]
Paul Ricoeur, Figuring the Sacred: Religion,
Narrative, and Imagination, trans. David Pellauer (Minneapolis: Fortress
Press, 1995), 35–37.
[15]
Raimon Panikkar, The Intrareligious Dialogue
(New York: Paulist Press, 1978), 19–20.
[16]
Huston Smith, The World’s Religions (New
York: HarperOne, 1991), 52–53.
[17]
John Hick, An Interpretation of Religion: Human
Responses to the Transcendent (New Haven, CT: Yale University Press, 1989),
233–235.
[18]
Leonard Swidler, After the Absolute: The
Dialogical Future of Religious Reflection (Minneapolis: Fortress Press,
1990), 48–49.
[19]
Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in
Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press,
2007), 262–263.
[20]
Robert Adams, Finite and Infinite Goods: A
Framework for Ethics (Oxford: Oxford University Press, 1999), 136–138.
[21]
John Paul II, Veritatis Splendor (Vatican
City: Libreria Editrice Vaticana, 1993), §31.
[22]
Viktor Frankl, Man’s Search for Meaning,
trans. Ilse Lasch (Boston: Beacon Press, 1959), 101–102.
[23]
Gabriel Marcel, The Mystery of Being
(Chicago: Henry Regnery, 1951), 63–65.
[24]
Søren Kierkegaard, Fear and Trembling,
trans. Alastair Hannay (London: Penguin Books, 1985), 60–61.
[25]
Roger Scruton, The Soul of the World
(Princeton, NJ: Princeton University Press, 2014), 89–91.
[26]
David Bentley Hart, The Experience of God:
Being, Consciousness, Bliss (New Haven, CT: Yale University Press, 2013),
205–207.
[27]
Charles Taylor, Sources of the Self: The Making
of the Modern Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989),
521–523.
[28]
Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties
to and Values in the Natural World (Philadelphia: Temple University Press,
1988), 65–66.
[29]
Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our
Common Home (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), §67–69.
[30]
Sallie McFague, The Body of God: An Ecological
Theology (Minneapolis: Fortress Press, 1993), 22–23.
[31]
David Ray Griffin, Reenchantment without Supernaturalism:
A Process Philosophy of Religion (Ithaca, NY: Cornell University Press,
2001), 312–314.
8.
Sintesis
Filosofis
8.1.
Integrasi Ontologi, Epistemologi,
dan Etika dalam Teisme
Sintesis filosofis Teisme berupaya menyatukan
dimensi ontologis, epistemologis, dan etis dalam suatu pandangan dunia yang
koheren tentang realitas tertinggi.¹ Dalam struktur ini, Tuhan dipahami bukan
hanya sebagai sebab pertama (causa prima) dari segala yang ada, tetapi
juga sebagai dasar pengetahuan dan sumber nilai moral.² Dengan demikian, Teisme
menolak pemisahan radikal antara “yang ada,” “yang diketahui,”
dan “yang baik.” Ketiganya terintegrasi dalam satu prinsip metafisik:
keberadaan Tuhan yang absolut sebagai asal, penopang, dan tujuan akhir segala
sesuatu.³
Ontologi Teisme menegaskan bahwa segala sesuatu
yang ada berpartisipasi dalam keberadaan Tuhan (participatio entis).⁴
Epistemologinya menunjukkan bahwa manusia dapat mengenal realitas ini melalui
wahyu, akal, dan pengalaman religius, sementara etikanya menegaskan bahwa
kebaikan moral manusia berakar dalam kodrat Ilahi.⁵ Dengan demikian, Teisme
menghindari dua ekstrem: monisme metafisik yang meniadakan perbedaan
antara Tuhan dan dunia, serta dualitas radikal yang memisahkan Tuhan
sepenuhnya dari ciptaan.⁶ Relasi antara Tuhan dan ciptaan bersifat analogis:
dunia bukan Tuhan, namun mencerminkan keberadaan dan kebijaksanaan-Nya.⁷
Dalam konteks filsafat kontemporer, sintesis ini
menunjukkan bahwa Teisme bukan sekadar sistem kepercayaan religius, tetapi kerangka
metafisik yang menyatukan aspek rasional, moral, dan spiritual dari eksistensi
manusia.⁸ Ia menawarkan pandangan integratif bahwa realitas bersifat
rasional karena diciptakan oleh Tuhan yang berakal, dapat diketahui karena
dipahami oleh akal manusia yang serupa dengan Logos Ilahi, dan bermakna karena
terarah menuju kebaikan tertinggi yang merupakan diri Tuhan sendiri.⁹
8.2.
Hubungan antara Iman dan Akal:
Dialektika Rasionalitas dan Misteri
Salah satu sintesis penting dalam Teisme adalah harmoni
antara iman (fides) dan akal (ratio).¹⁰ Dalam tradisi
skolastik, terutama pada pemikiran Thomas Aquinas, iman dan akal bukanlah dua
sumber kebenaran yang bertentangan, tetapi dua jalan yang berujung pada satu
kebenaran yang sama, yakni Tuhan sebagai kebenaran mutlak (veritas prima).¹¹
Akal manusia memiliki kemampuan untuk mengenal Tuhan secara parsial melalui
ciptaan dan refleksi rasional, tetapi hanya iman yang dapat membawa manusia
kepada pemahaman penuh tentang misteri ilahi yang melampaui batas rasio.¹²
Sintesis ini berbeda dari rasionalisme modern yang
menganggap akal sebagai ukuran tunggal kebenaran, maupun fideisme yang menolak
rasionalitas dalam iman.¹³ Teisme menempuh jalan tengah yang kreatif, di
mana iman membuka dimensi kebenaran yang tak terjangkau oleh logika empiris,
namun tidak meniadakan rasionalitas.¹⁴ Sebagaimana ditegaskan oleh John Paul II
dalam Fides et Ratio, iman tanpa akal dapat jatuh dalam takhayul,
sedangkan akal tanpa iman kehilangan arah dan makna etisnya.¹⁵
Dengan demikian, Teisme menawarkan epistemologi
dialogis, di mana iman dan akal saling memperkaya. Akal menuntun iman agar
tetap kritis dan rasional, sementara iman menuntun akal agar terbuka pada
misteri yang melampaui dirinya.¹⁶ Dalam kerangka ini, kebenaran bukanlah
sekadar korespondensi logis, tetapi juga partisipasi eksistensial dalam
Kebenaran itu sendiri, yaitu Tuhan.¹⁷
8.3.
Teisme sebagai Sintesis Rasionalitas
dan Spiritualitas
Teisme menyediakan kerangka sintesis antara
rasionalitas filosofis dan spiritualitas religius. Di satu sisi, ia
memelihara penalaran rasional tentang realitas; di sisi lain, ia mengakui bahwa
kebenaran tertinggi hanya dapat dialami dalam dimensi transenden.¹⁸ Filsafat
teistik menolak reduksionisme saintifik yang menganggap seluruh realitas dapat
dijelaskan oleh mekanisme material, tetapi juga menghindari mistisisme yang
menolak rasionalitas sama sekali.¹⁹
Dalam pandangan teistik, rasionalitas dan
spiritualitas adalah dua aspek dari satu kesadaran yang sama: keduanya berakar
dalam hakikat manusia sebagai makhluk yang diciptakan menurut citra Tuhan (imago
Dei).²⁰ Rasionalitas mencerminkan kebijaksanaan Ilahi (sapientia Dei),
sedangkan spiritualitas mencerminkan relasi kasih antara Tuhan dan manusia.²¹
Dengan demikian, berpikir secara rasional tentang Tuhan tidak bertentangan
dengan berdoa kepada-Nya; justru keduanya merupakan dua cara manusia menanggapi
realitas yang sama, yakni realitas Ilahi yang rasional sekaligus personal.²²
David Bentley Hart menegaskan bahwa Teisme adalah filsafat
kesadaran tertinggi, karena menyatukan pengalaman akan keberadaan (being),
kesadaran (consciousness), dan kebahagiaan (bliss).²³ Ketiga
dimensi ini tidak hanya menggambarkan sifat Tuhan, tetapi juga struktur dasar
realitas yang dihayati manusia.²⁴ Dalam kerangka sintesis ini, Teisme mengatasi
dikotomi lama antara sains dan agama, antara pengetahuan dan iman, serta antara
intelek dan spiritualitas.²⁵
8.4.
Implikasi Eksistensial: Makna,
Moralitas, dan Tujuan Akhir
Sintesis filosofis Teisme berujung pada pemahaman
bahwa eksistensi manusia menemukan makna sejatinya hanya dalam relasi dengan
Tuhan.²⁶ Jika Tuhan adalah sumber keberadaan dan kebaikan, maka makna hidup
manusia tidak dapat dilepaskan dari partisipasinya dalam kehidupan Ilahi.²⁷ Hal
ini sekaligus memberikan jawaban terhadap krisis makna dan nihilisme moral yang
mewarnai modernitas.²⁸ Tanpa orientasi teistik, manusia kehilangan arah
normatif dan terjebak dalam relativisme nilai yang meniadakan kebenaran moral
objektif.²⁹
Teisme menegaskan bahwa kebebasan sejati bukanlah
otonomi dari Tuhan, melainkan kesesuaian kehendak manusia dengan kehendak
Ilahi.³⁰ Dalam pengertian ini, etika teistik bersifat teleologis: segala
tindakan bermoral mengarah pada telos tertinggi, yaitu penyatuan dengan
Tuhan (unio cum Deo).³¹ Dengan demikian, makna, nilai, dan kebahagiaan
bukanlah tujuan-tujuan terpisah, melainkan tiga aspek dari satu realitas
eksistensial yang bersumber pada Tuhan.³²
Sintesis ini juga membuka jalan bagi Teisme untuk
berperan dalam ranah global dan lintasdisipliner—sebagai kerangka kosmologis,
moral, dan spiritual yang mampu menafsirkan realitas secara menyeluruh
tanpa meniadakan pluralitas pengalaman manusia.³³ Dalam dunia yang dilanda
sekularisme, Teisme tampil bukan sebagai dogma tertutup, tetapi sebagai horizon
metafisik yang rasional, terbuka, dan manusiawi—menghubungkan
pengetahuan, makna, dan nilai dalam satu kesatuan eksistensial.³⁴
Footnotes
[1]
Étienne Gilson, The Spirit of Medieval
Philosophy (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1991), 215–217.
[2]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans.
Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I,
q.2, a.3.
[3]
Jacques Maritain, Existence and the Existent
(New York: Pantheon Books, 1948), 110–112.
[4]
W. Norris Clarke, The One and the Many: A
Contemporary Thomistic Metaphysics (Notre Dame, IN: University of Notre
Dame Press, 2001), 83–85.
[5]
Brian Davies, An Introduction to the Philosophy
of Religion (Oxford: Oxford University Press, 2004), 87–88.
[6]
Richard Swinburne, The Coherence of Theism,
rev. ed. (Oxford: Clarendon Press, 1993), 210–212.
[7]
David Bentley Hart, The Experience of God:
Being, Consciousness, Bliss (New Haven, CT: Yale University Press, 2013),
145–147.
[8]
Alister McGrath, A Scientific Theology, Vol. 1:
Nature (Grand Rapids, MI: Eerdmans, 2001), 50–52.
[9]
John Polkinghorne, Belief in God in an Age of
Science (New Haven, CT: Yale University Press, 1998), 18–19.
[10]
Étienne Gilson, Reason and Revelation in the
Middle Ages (New York: Charles Scribner’s Sons, 1938), 91–93.
[11]
Thomas Aquinas, Summa Contra Gentiles,
trans. Anton C. Pegis (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1975),
I, 7.
[12]
Josef Pieper, The Silence of St. Thomas
(South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 1999), 45–47.
[13]
Alvin Plantinga, Warranted Christian Belief
(Oxford: Oxford University Press, 2000), 179–181.
[14]
Paul Tillich, Systematic Theology, Vol. 1
(Chicago: University of Chicago Press, 1951), 63–65.
[15]
John Paul II, Fides et Ratio (Vatican City:
Libreria Editrice Vaticana, 1998), §42.
[16]
Brian Leftow, “God and Eternity,” in The Oxford
Handbook of Philosophical Theology, ed. Thomas P. Flint and Michael C. Rea
(Oxford: Oxford University Press, 2009), 275–276.
[17]
Augustine, De Trinitate, trans. Edmund Hill
(Brooklyn, NY: New City Press, 1991), XV.3.
[18]
Gabriel Marcel, The Mystery of Being
(Chicago: Henry Regnery, 1951), 89–90.
[19]
Karl Rahner, Foundations of Christian Faith
(New York: Seabury Press, 1978), 118–120.
[20]
W. Norris Clarke, Person and Being (Notre
Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1993), 77–78.
[21]
Josef Pieper, Happiness and Contemplation
(South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 1998), 21–22.
[22]
C. S. Lewis, The Abolition of Man (New York:
HarperOne, 2001), 56–57.
[23]
Hart, The Experience of God, 199–201.
[24]
Ibid., 205–207.
[25]
John Haught, Science and Faith: A New
Introduction (New York: Paulist Press, 2012), 33–35.
[26]
Viktor Frankl, Man’s Search for Meaning,
trans. Ilse Lasch (Boston: Beacon Press, 1959), 115–117.
[27]
Augustine, Confessiones, trans. Henry Chadwick
(Oxford: Oxford University Press, 1991), I.1.
[28]
Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans.
Walter Kaufmann (New York: Vintage Books, 1974), §125.
[29]
Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in
Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press,
2007), 263–265.
[30]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, I-II,
q.17, a.1.
[31]
Augustine, De Civitate Dei, trans. Henry
Bettenson (London: Penguin Books, 1972), XIX.13.
[32]
Robert Merrihew Adams, Finite and Infinite
Goods: A Framework for Ethics (Oxford: Oxford University Press, 1999),
186–188.
[33]
Raimon Panikkar, The Cosmotheandric Experience:
Emerging Religious Consciousness (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1993), 45–47.
[34]
David Ray Griffin, Reenchantment without
Supernaturalism: A Process Philosophy of Religion (Ithaca, NY: Cornell
University Press, 2001), 319–321.
9.
Kesimpulan
9.1.
Rekapitulasi dan Inti Sintesis
Dari keseluruhan uraian metafisik, epistemologis,
dan etis yang telah dibahas, dapat disimpulkan bahwa Teisme merupakan sistem
filsafat yang paling komprehensif dalam menjelaskan realitas tertinggi.¹ Ia
tidak hanya menegaskan bahwa Tuhan adalah sumber pertama (causa prima)
dari segala yang ada, tetapi juga menjelaskan bahwa realitas bersifat
rasional, bernilai, dan bermakna karena berakar pada keberadaan Ilahi.²
Dengan demikian, Teisme tidak berdiri sekadar sebagai sistem kepercayaan
religius, melainkan sebagai kerangka metafisik yang menyatukan antara
eksistensi, pengetahuan, dan nilai dalam satu kesatuan ontologis yang
koheren.³
Teisme menegaskan bahwa dunia bukan hasil
kebetulan, melainkan manifestasi dari kebijaksanaan Tuhan yang rasional dan
personal.⁴ Tuhan, sebagai Ens Perfectissimum (wujud paling sempurna),
menjadi dasar bagi keteraturan kosmos, kebenaran rasional, dan kebaikan moral.⁵
Dalam pandangan ini, seluruh ciptaan memperoleh eksistensinya melalui
partisipasi dalam keberadaan Tuhan (participatio entis), dan akal
manusia, sebagai cerminan Logos Ilahi, mampu mengenali jejak-Nya dalam
realitas.⁶ Oleh karena itu, Teisme menyatukan dimensi kosmologis,
epistemologis, dan aksiologis dalam suatu sistem metafisika yang saling
mendukung dan konsisten.⁷
9.2.
Relevansi Filosofis dan Kultural
Secara filosofis, Teisme tetap relevan di tengah
arus sekularisasi, materialisme, dan relativisme nilai yang mewarnai
dunia kontemporer.⁸ Ketika paradigma ilmiah modern cenderung memisahkan fakta
dan makna, Teisme menghadirkan kembali fondasi integratif yang menegaskan bahwa
realitas tidak netral secara metafisik maupun etis.⁹ Tuhan bukan sekadar
hipotesis penjelas, tetapi horizon makna yang memberi orientasi pada
pengetahuan, moralitas, dan eksistensi manusia.¹⁰ Dalam dunia yang kehilangan
pusat nilai, Teisme berfungsi sebagai prinsip keteraturan eksistensial,
yang menegaskan bahwa kebenaran, kebaikan, dan keindahan memiliki dasar
ontologis yang sama—yakni Tuhan sebagai Verum, Bonum, et Pulchrum.¹¹
Kehadiran Teisme juga memiliki implikasi budaya dan
sosial. Dalam masyarakat pluralistik, Teisme dapat menjadi landasan dialog
antaragama karena menegaskan kesatuan prinsip transendensi di balik
keragaman ekspresi religius.¹² Selain itu, dalam konteks krisis ekologis
global, Teisme memberikan dasar etis yang kuat bagi ekoteologi dan
spiritualitas lingkungan: dunia dipahami sebagai ciptaan Tuhan yang
bernilai intrinsik dan menuntut tanggung jawab manusia sebagai penjaga
ciptaan.¹³ Dengan demikian, Teisme tidak hanya berbicara tentang Tuhan, tetapi
juga tentang cara manusia mengada dan bertanggung jawab dalam dunia yang
diciptakan.¹⁴
9.3.
Implikasi Eksistensial: Tuhan sebagai
Makna dan Tujuan Akhir
Pada tingkat eksistensial, Teisme menjawab pertanyaan
fundamental tentang makna dan tujuan hidup manusia.¹⁵ Jika manusia adalah
makhluk yang diciptakan menurut citra Tuhan (imago Dei), maka
eksistensinya memperoleh makna sejati hanya dalam relasi dengan Tuhan.¹⁶ Dalam
relasi ini, iman, akal, dan kehendak manusia menemukan kesatuan: berpikir
menjadi bentuk penyembahan, dan bertindak bermoral menjadi ekspresi kasih
terhadap Sang Pencipta.¹⁷
Teisme, dalam bentuknya yang matang, bukanlah
sistem metafisik tertutup, melainkan visi terbuka tentang realitas yang
selalu dapat diperdalam dan dikoreksi.¹⁸ Ia mengajarkan bahwa kebenaran
tertinggi tidak hanya untuk dipahami, tetapi untuk dihayati—sebagai persekutuan
antara manusia dan Tuhan.¹⁹ Dalam konteks ini, refleksi teistik bukan sekadar
wacana intelektual, melainkan jalan hidup filosofis dan spiritual, di
mana pengetahuan berpadu dengan penyembahan, dan rasionalitas berpadu dengan
cinta.²⁰
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa Teisme
tetap menjadi fondasi metafisika yang paling koheren dan manusiawi—karena
mampu menggabungkan antara rasio dan iman, pengetahuan dan nilai, eksistensi
dan tujuan.²¹ Ia menawarkan sebuah horizon berpikir yang rasional namun terbuka
terhadap misteri, ilmiah namun berakar pada nilai spiritual, dan universal
namun menghormati partikularitas pengalaman manusia.²² Dalam dunia yang
kehilangan arah dan makna, Teisme hadir bukan sebagai relik masa lalu, tetapi
sebagai peta eksistensial bagi masa depan filsafat dan kemanusiaan.²³
Footnotes
[1]
Étienne Gilson, God and Philosophy (New
Haven, CT: Yale University Press, 1941), 90–91.
[2]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans.
Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I,
q.2, a.3.
[3]
Jacques Maritain, Existence and the Existent
(New York: Pantheon Books, 1948), 111–112.
[4]
William Lane Craig, Reasonable Faith: Christian
Truth and Apologetics, 3rd ed. (Wheaton, IL: Crossway, 2008), 145–147.
[5]
Brian Davies, An Introduction to the Philosophy
of Religion (Oxford: Oxford University Press, 2004), 29–30.
[6]
W. Norris Clarke, The One and the Many: A
Contemporary Thomistic Metaphysics (Notre Dame, IN: University of Notre
Dame Press, 2001), 95–97.
[7]
David Bentley Hart, The Experience of God:
Being, Consciousness, Bliss (New Haven, CT: Yale University Press, 2013),
147–149.
[8]
Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge,
MA: Harvard University Press, 2007), 424–426.
[9]
Paul Ricoeur, Figuring the Sacred: Religion,
Narrative, and Imagination, trans. David Pellauer (Minneapolis: Fortress
Press, 1995), 31–33.
[10]
Alister McGrath, The Open Secret: A New Vision
for Natural Theology (Oxford: Blackwell, 2008), 23–25.
[11]
Hans Urs von Balthasar, The Glory of the Lord: A
Theological Aesthetics, Vol. 1 (San Francisco: Ignatius Press, 1982),
19–21.
[12]
John Hick, An Interpretation of Religion: Human
Responses to the Transcendent (New Haven, CT: Yale University Press, 1989),
230–232.
[13]
Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our
Common Home (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), §67–69.
[14]
Raimon Panikkar, The Cosmotheandric Experience:
Emerging Religious Consciousness (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1993), 46–48.
[15]
Viktor Frankl, Man’s Search for Meaning,
trans. Ilse Lasch (Boston: Beacon Press, 1959), 118–120.
[16]
Augustine, Confessiones, trans. Henry
Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 1991), I.1.
[17]
Gabriel Marcel, The Mystery of Being
(Chicago: Henry Regnery, 1951), 99–100.
[18]
Karl Rahner, Foundations of Christian Faith
(New York: Seabury Press, 1978), 122–123.
[19]
Josef Pieper, Happiness and Contemplation
(South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 1998), 22–23.
[20]
Paul Tillich, Systematic Theology, Vol. 1
(Chicago: University of Chicago Press, 1951), 241–243.
[21]
Alvin Plantinga, Warranted Christian Belief
(Oxford: Oxford University Press, 2000), 182–184.
[22]
C. S. Lewis, The Abolition of Man (New York:
HarperOne, 2001), 63–65.
[23]
David Bentley Hart, The Beauty of the Infinite:
The Aesthetics of Christian Truth (Grand Rapids, MI: Eerdmans, 2003),
435–437.
Daftar Pustaka
Adams, R. M. (1999). Finite and infinite goods:
A framework for ethics. Oxford University Press.
Anselm of Canterbury. (1965). Proslogion (M.
J. Charlesworth, Trans.). Clarendon Press.
Aquinas, T. (1947). Summa theologica
(Fathers of the English Dominican Province, Trans.). Benziger Bros.
Aquinas, T. (1975). Summa contra gentiles
(A. C. Pegis, Trans.). University of Notre Dame Press.
Aristotle. (1924). Metaphysics (W. D. Ross,
Trans.). Clarendon Press.
Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T.
Irwin, Trans.). Hackett.
Augustine. (1955). Enchiridion on faith, hope,
and love (A. C. Outler, Trans.). Regnery.
Augustine. (1972). The city of God (H.
Bettenson, Trans.). Penguin Books.
Augustine. (1991). Confessiones (H.
Chadwick, Trans.). Oxford University Press.
Augustine. (1991). De trinitate (E. Hill,
Trans.). New City Press.
Barr, S. (2003). Modern physics and ancient
faith. University of Notre Dame Press.
Balthasar, H. U. von. (1982). The glory of the
Lord: A theological aesthetics (Vol. 1). Ignatius Press.
Berger, P. L. (1980). The heretical imperative:
Contemporary possibilities of religious affirmation. Anchor Books.
Boethius. (1969). The consolation of philosophy
(V. E. Watts, Trans.). Penguin Books.
Boyle, R. (1690). The Christian virtuoso.
Joseph Downing.
Buber, M. (1970). I and thou (W. Kaufmann,
Trans.). Charles Scribner’s Sons.
Caputo, J. D. (2006). The weakness of God: A
theology of the event. Indiana University Press.
Clarke, W. N. (1993). Person and being.
University of Notre Dame Press.
Clarke, W. N. (2001). The one and the many: A
contemporary Thomistic metaphysics. University of Notre Dame Press.
Collins, R. (2009). The teleological argument: An
exploration of the fine-tuning of the universe. In W. L. Craig & J. P.
Moreland (Eds.), The Blackwell companion to natural theology (pp.
202–281). Wiley-Blackwell.
Copleston, F. (1950). A history of philosophy
(Vol. 2): Medieval philosophy. Doubleday.
Craig, W. L. (2008). Reasonable faith: Christian
truth and apologetics (3rd ed.). Crossway.
Darwin, C. (1859). On the origin of species.
John Murray.
Davies, B. (2004). An introduction to the
philosophy of religion. Oxford University Press.
Dawkins, R. (1986). The blind watchmaker. W.
W. Norton.
Dawkins, R. (2006). The God delusion. Bantam
Press.
Descartes, R. (1986). Meditations on first
philosophy (J. Cottingham, Trans.). Cambridge University Press.
Eco, U. (1986). Art and beauty in the Middle
Ages. Yale University Press.
Epicurus. (1926). Letter to Menoeceus (C.
Bailey, Trans.). Clarendon Press.
Fakhry, M. (2004). A history of Islamic
philosophy (3rd ed.). Columbia University Press.
Feuerbach, L. (1957). The essence of
Christianity (G. Eliot, Trans.). Harper.
Flew, A. (2005). God and philosophy.
Prometheus Books.
Flew, A., & MacIntyre, A. (Eds.). (1955). New
essays in philosophical theology. SCM Press.
Frankl, V. E. (1959). Man’s search for meaning
(I. Lasch, Trans.). Beacon Press.
Gay, P. (1966). The Enlightenment: An
interpretation, Vol. 1: The rise of modern paganism. Knopf.
Gilson, É. (1938). Reason and revelation in the
Middle Ages. Charles Scribner’s Sons.
Gilson, É. (1941). God and philosophy. Yale
University Press.
Gilson, É. (1956). The Christian philosophy of
St. Thomas Aquinas. University of Notre Dame Press.
Gilson, É. (1991). The spirit of medieval
philosophy. University of Notre Dame Press.
Griffin, D. R. (1976). God, power, and evil: A
process theodicy. Westminster John Knox Press.
Griffin, D. R. (2001). Reenchantment without
supernaturalism: A process philosophy of religion. Cornell University
Press.
Guthrie, W. K. C. (1962). A history of Greek
philosophy, Vol. 1: The earlier Presocratics and the Pythagoreans.
Cambridge University Press.
Hart, D. B. (2003). The beauty of the infinite:
The aesthetics of Christian truth. Eerdmans.
Hart, D. B. (2013). The experience of God:
Being, consciousness, bliss. Yale University Press.
Hartshorne, C. (1984). Omnipotence and other
theological mistakes. State University of New York Press.
Haught, J. (2012). Science and faith: A new
introduction. Paulist Press.
Hawking, S. (1988). A brief history of time.
Bantam Books.
Heschel, A. J. (1955). God in search of man: A
philosophy of Judaism. Farrar, Straus and Giroux.
Hick, J. (1989). Philosophy of religion (4th
ed.). Prentice Hall.
Hick, J. (1989). An interpretation of religion:
Human responses to the transcendent. Yale University Press.
Hick, J. (2007). Evil and the God of love
(Rev. ed.). Palgrave Macmillan.
Hildebrand, D. von. (1953). Christian ethics.
David McKay.
Hume, D. (1947). Dialogues concerning natural
religion (N. Kemp Smith, Ed.). Bobbs-Merrill.
Husserl, E. (1982). Ideas pertaining to a pure
phenomenology and to a phenomenological philosophy (F. Kersten, Trans.).
Nijhoff.
Jaki, S. L. (1978). The road of science and the
ways to God. University of Chicago Press.
James, W. (1902). The varieties of religious
experience. Longmans, Green & Co.
Kant, I. (1997). Critique of practical reason
(M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.
Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P.
Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University Press.
Kierkegaard, S. (1985). Fear and trembling
(A. Hannay, Trans.). Penguin Books.
Kretzmann, N., & Stump, E. (Eds.). (1993). The
Cambridge companion to Aquinas. Cambridge University Press.
Leftow, B. (2009). God and eternity. In T. P. Flint
& M. C. Rea (Eds.), The Oxford handbook of philosophical theology
(pp. 269–290). Oxford University Press.
Lewis, C. S. (1960). The four loves.
Harcourt, Brace.
Lewis, C. S. (2001). The abolition of man.
HarperOne.
Marcel, G. (1951). The mystery of being.
Henry Regnery.
Marcel, G. (2002). Creative fidelity.
Fordham University Press.
Maritain, J. (1948). Existence and the existent.
Pantheon Books.
Maritain, J. (1964). Moral philosophy: An
historical and critical survey of the great systems. Charles Scribner’s
Sons.
MacIntyre, A. (1999). Dependent rational
animals: Why human beings need the virtues. Open Court.
MacIntyre, A. (2007). After virtue: A study in
moral theory (3rd ed.). University of Notre Dame Press.
Mackie, J. L. (1955). Evil and omnipotence. Mind,
64(254), 200–212.
McFague, S. (1993). The body of God: An
ecological theology. Fortress Press.
McGrath, A. (2008). The open secret: A new vision
for natural theology. Blackwell.
Molina, L. de. (1988). On divine foreknowledge
(Part IV of the Concordia) (A. J. Freddoso, Trans.). Cornell University
Press.
Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the sacred.
State University of New York Press.
Newton, I. (1999). The principia: Mathematical
principles of natural philosophy (I. B. Cohen & A. Whitman, Trans.).
University of California Press.
Nietzsche, F. (1974). The gay science (W.
Kaufmann, Trans.). Vintage Books.
Otto, R. (1958). The idea of the holy (J. W.
Harvey, Trans.). Oxford University Press.
Paley, W. (1802). Natural theology. R.
Faulder.
Panikkar, R. (1978). The intrareligious
dialogue. Paulist Press.
Panikkar, R. (1993). The cosmotheandric
experience: Emerging religious consciousness. Orbis Books.
Pieper, J. (1966). The four cardinal virtues.
University of Notre Dame Press.
Pieper, J. (1998). Happiness and contemplation.
St. Augustine’s Press.
Pinnock, C. H., et al. (1994). The openness of
God: A biblical challenge to the traditional understanding of God.
InterVarsity Press.
Plantinga, A. (1967). God and other minds.
Cornell University Press.
Plantinga, A. (1974). The nature of necessity.
Clarendon Press.
Plantinga, A. (2000). Warranted Christian belief.
Oxford University Press.
Plantinga, A. (2011). Where the conflict really
lies: Science, religion, and naturalism. Oxford University Press.
Plato. (1914). Euthyphro (H. N. Fowler,
Trans.). Harvard University Press.
Plato. (1930). Republic (P. Shorey, Trans.).
Harvard University Press.
Polkinghorne, J. (1989). Science and providence:
God’s interaction with the world. SPCK.
Polkinghorne, J. (1998). Belief in God in an age
of science. Yale University Press.
Polkinghorne, J. (1988). Science and creation:
The search for understanding. SPCK.
Pope Francis. (2015). Laudato Si’: On care for
our common home. Libreria Editrice Vaticana.
Rahner, K. (1978). Foundations of Christian
faith. Seabury Press.
Ricoeur, P. (1995). Figuring the sacred:
Religion, narrative, and imagination (D. Pellauer, Trans.). Fortress Press.
Rolston, H. III. (1988). Environmental ethics:
Duties to and values in the natural world. Temple University Press.
Scruton, R. (2014). The soul of the world.
Princeton University Press.
Smith, H. (1991). The world’s religions.
HarperOne.
Stace, W. T. (1920). A critical history of Greek
philosophy. Macmillan.
Swidler, L. (1990). After the absolute: The
dialogical future of religious reflection. Fortress Press.
Swinburne, R. (1993). The coherence of theism
(Rev. ed.). Clarendon Press.
Swinburne, R. (2004). The existence of God.
Clarendon Press.
Swinburne, R. (2005). Faith and reason (2nd
ed.). Clarendon Press.
Taylor, C. (1989). Sources of the self: The
making of the modern identity. Harvard University Press.
Taylor, C. (2007). A secular age. Harvard
University Press.
Tillich, P. (1951). Systematic theology (Vol.
1). University of Chicago Press.
Tillich, P. (1954). Love, power, and justice.
Oxford University Press.
Wippel, J. F. (2000). The metaphysical thought
of Thomas Aquinas. Catholic University of America Press.
Wittgenstein, L. (1922). Tractatus
logico-philosophicus (C. K. Ogden, Trans.). Routledge.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar