Selasa, 02 Desember 2025

Teisme: Kajian Historis, Ontologis, dan Epistemologis

Teisme

Kajian Historis, Ontologis, dan Epistemologis


Alihkan ke: Aliran Metafisik dalam Filsafat.


Abstrak

Artikel ini membahas Teisme sebagai salah satu sistem metafisika utama yang berupaya menjelaskan realitas tertinggi melalui konsep tentang Tuhan yang personal, transenden, dan sekaligus imanen. Sebagai sistem filsafat, Teisme tidak hanya menegaskan keberadaan Tuhan sebagai penyebab pertama (causa prima), tetapi juga sebagai dasar ontologis, sumber epistemologis, dan landasan aksiologis bagi seluruh eksistensi. Melalui pendekatan historis, ontologis, epistemologis, dan etis, artikel ini menelusuri genealogi intelektual Teisme sejak filsafat Yunani klasik hingga pemikiran kontemporer, sekaligus menampilkan dinamika dialektisnya terhadap kritik dari sains, ateisme, dan postmodernisme.

Secara ontologis, Teisme menempatkan Tuhan sebagai Ens Perfectissimum, Wujud yang niscaya dan menjadi sumber segala keberadaan. Secara epistemologis, pengetahuan tentang Tuhan diperoleh melalui harmoni antara akal, wahyu, dan pengalaman religius, yang memungkinkan manusia mengenali realitas Ilahi tanpa meniadakan rasionalitas. Secara etis dan aksiologis, Teisme menegaskan bahwa nilai kebaikan, kebenaran, dan keindahan berakar pada kodrat Tuhan sebagai kebaikan tertinggi (summum bonum).

Melalui sintesis filosofis antara iman dan akal, rasionalitas dan spiritualitas, Teisme menunjukkan dirinya sebagai kerangka metafisik yang koheren, terbuka, dan manusiawi, yang mampu menjawab tantangan sekularisme, relativisme, dan krisis makna kontemporer. Dalam kesimpulannya, Teisme tetap relevan bukan hanya sebagai doktrin teologis, tetapi sebagai visi filosofis tentang realitas yang menyatukan eksistensi, pengetahuan, dan nilai dalam kesatuan makna Ilahi.

Kata Kunci: Teisme; Metafisika; Ontologi; Epistemologi; Etika; Rasionalitas; Realitas Tertinggi; Tuhan; Iman dan Akal; Nilai Moral.


PEMBAHASAN

Teisme sebagai Fondasi Metafisika tentang Realitas Tertinggi


1.           Pendahuluan

Dalam ranah metafisika, salah satu persoalan paling mendasar yang terus menjadi fokus refleksi filosofis adalah pertanyaan tentang asal-usul dan hakikat realitas tertinggi. Sejak awal tradisi filsafat Barat, manusia berusaha mencari prinsip pertama (archē) yang menjadi sumber segala yang ada, baik melalui penalaran rasional maupun melalui perenungan spiritual. Dalam konteks ini, Teisme muncul sebagai salah satu sistem metafisik yang paling berpengaruh dan tahan lama, karena menawarkan penjelasan komprehensif mengenai realitas dengan menempatkan Tuhan yang personal dan transenden sebagai pusat seluruh keberadaan.¹

Teisme, secara etimologis, berasal dari kata Yunani theos (Tuhan) dan dalam pengertian filosofisnya merujuk pada keyakinan bahwa ada satu Tuhan yang transenden, personal, dan sekaligus imanen dalam ciptaan-Nya.² Berbeda dari Deisme, yang memandang Tuhan sebagai pencipta yang tidak lagi berintervensi dalam dunia, dan Panteisme, yang mengidentifikasi Tuhan dengan alam semesta itu sendiri, Teisme mempertahankan keseimbangan antara transendensi dan immanensi ilahi.³ Dengan demikian, Teisme tidak hanya berfungsi sebagai sistem kepercayaan religius, tetapi juga sebagai kerangka metafisik yang menjelaskan hubungan antara Tuhan, dunia, dan manusia secara rasional dan ontologis.

Masalah utama yang diangkat dalam filsafat Teisme adalah pertanyaan mengenai eksistensi Tuhan dan relasi-Nya terhadap realitas. Apakah eksistensi Tuhan dapat dibuktikan secara rasional, atau hanya dapat diterima melalui iman? Pertanyaan ini telah melahirkan beragam argumen dan pendekatan, seperti argumen kosmologis, argumen ontologis, dan argumen teleologis, yang masing-masing mencoba menunjukkan bahwa keberadaan Tuhan merupakan penjelasan paling memadai atas eksistensi dunia dan keteraturannya.⁴ Meskipun demikian, Teisme juga menghadapi tantangan serius dari arus pemikiran modern dan kontemporer, seperti empirisme, positivisme, dan ateisme filosofis yang menolak klaim metafisik yang tidak dapat diverifikasi secara empiris.⁵

Relevansi Teisme sebagai kajian metafisik tidak hanya bersifat teoretis, melainkan juga eksistensial. Dalam era modern yang ditandai oleh sekularisasi dan relativisme nilai, Teisme menawarkan dasar rasional bagi pemahaman tentang makna hidup, moralitas, dan tujuan akhir eksistensi manusia.⁶ Dengan kata lain, Teisme tidak hanya menjawab pertanyaan “mengapa sesuatu itu ada,” tetapi juga “untuk apa sesuatu itu ada.” Oleh karena itu, pembahasan tentang Teisme sebagai sistem metafisika tidak sekadar menelusuri sejarah gagasan tentang Tuhan, tetapi juga menguji validitas ontologis, epistemologis, dan etis dari klaim bahwa realitas tertinggi bersifat personal dan berakal.⁷

Artikel ini berupaya menyajikan telaah sistematis mengenai Teisme sebagai sistem metafisika dengan meninjau landasan historis, struktur ontologis, dan dasar epistemologisnya, sekaligus menyoroti kritik serta relevansi Teisme dalam konteks pemikiran modern dan postmodern. Melalui pendekatan ini, diharapkan dapat diperoleh pemahaman yang lebih menyeluruh tentang posisi Teisme dalam menjawab pertanyaan mendasar metafisika: apa hakikat realitas tertinggi dan bagaimana manusia dapat mengenalnya.⁸


Footnotes

[1]                W. T. Stace, A Critical History of Greek Philosophy (London: Macmillan, 1920), 5–7.

[2]                Brian Davies, An Introduction to the Philosophy of Religion (Oxford: Oxford University Press, 2004), 15.

[3]                John Hick, Philosophy of Religion, 4th ed. (Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, 1989), 30–32.

[4]                Richard Swinburne, The Existence of God (Oxford: Clarendon Press, 2004), 3–5.

[5]                Antony Flew, God and Philosophy (Buffalo, NY: Prometheus Books, 2005), 12–14.

[6]                Alister McGrath, The Open Secret: A New Vision for Natural Theology (Oxford: Blackwell, 2008), 22–23.

[7]                Alvin Plantinga, Warranted Christian Belief (Oxford: Oxford University Press, 2000), 180–182.

[8]                William Lane Craig, Reasonable Faith: Christian Truth and Apologetics, 3rd ed. (Wheaton, IL: Crossway, 2008), 27–28.


2.           Landasan Historis dan Genealogis

2.1.       Asal-usul dan Perkembangan Awal Teisme dalam Filsafat

Akar historis Teisme dapat ditelusuri hingga tradisi filsafat Yunani Kuno, ketika para filsuf pra-Sokrates berupaya mencari prinsip pertama (archē) yang menjadi dasar segala sesuatu. Meski pemikiran mereka masih bersifat kosmologis dan impersonal, gagasan tentang realitas tertinggi yang tunggal dan rasional telah meletakkan dasar bagi perkembangan konsep ketuhanan yang lebih personal di kemudian hari.¹ Pemikiran Plato, misalnya, melalui gagasan The Good (to agathon) dalam Republic, memperkenalkan ide tentang prinsip transenden yang menjadi sumber segala kebaikan dan keberadaan.² Aristoteles kemudian mengembangkan konsep ini menjadi The Unmoved Mover—penggerak pertama yang tidak digerakkan—sebagai penyebab utama dari segala gerak dan eksistensi.³ Meskipun belum identik dengan Tuhan personal dalam tradisi teistik, Aristoteles telah memunculkan kerangka metafisik bagi gagasan tentang wujud yang sempurna dan niscaya (necessary being).

Dengan masuknya filsafat Yunani ke dalam konteks religius dunia Timur Tengah dan Eropa, konsep-konsep metafisik tersebut diintegrasikan ke dalam tradisi teologis Abrahamik. Dalam Yudaisme, Teisme berakar pada pengakuan akan YHWH sebagai Tuhan yang personal, transenden, dan terlibat dalam sejarah umat manusia.⁴ Dalam Kekristenan, pengaruh filsafat Yunani berpadu dengan teologi biblis, melahirkan pemikiran tentang Tuhan sebagai actus purus—wujud murni tanpa potensi—sebagaimana dikembangkan secara sistematis oleh Thomas Aquinas dalam Summa Theologica.⁵ Sedangkan dalam Islam, Teisme termanifestasi dalam konsep tawḥīd—keesaan Tuhan—yang menolak segala bentuk penyekutuan dan menegaskan keunikan eksistensi Ilahi.⁶ Filsuf-filsuf Islam seperti Al-Farabi, Ibn Sina, dan Al-Ghazali berperan penting dalam merumuskan argumen-argumen rasional tentang keberadaan Tuhan yang kemudian turut memengaruhi pemikiran teistik di Barat Latin.⁷

2.2.       Teisme dalam Masa Skolastik

Masa Skolastik (abad ke-11 hingga ke-14) menjadi periode krusial bagi pembentukan sistem Teisme yang matang. Pada masa ini, para teolog dan filsuf Kristen berupaya memadukan iman dan akal dalam kerangka metafisik yang rasional. Anselmus dari Canterbury, misalnya, melalui Proslogion, mengemukakan argumen ontologis yang menyatakan bahwa keberadaan Tuhan dapat disimpulkan dari konsep tentang Tuhan itu sendiri: “Tuhan adalah wujud yang tidak mungkin dibayangkan sesuatu yang lebih besar darinya.”⁸ Sementara itu, Thomas Aquinas mengembangkan lima jalan (quinque viae) sebagai pembuktian rasional tentang eksistensi Tuhan, yang meliputi argumen gerak, sebab, kontingensi, derajat kesempurnaan, dan tujuan finalitas.⁹ Teisme dalam kerangka skolastik bukan sekadar kepercayaan religius, tetapi sistem metafisika yang menjelaskan struktur realitas secara hierarkis dengan Tuhan sebagai causa prima dan actus purus.¹⁰

Periode ini juga ditandai oleh upaya harmonisasi antara filsafat Aristotelian dan doktrin Kristen. Konsep esse (ada) dan essentia (hakikat) dalam metafisika Aquinas memperlihatkan bagaimana keberadaan makhluk bersifat partisipatif terhadap eksistensi Tuhan.¹¹ Dengan demikian, Tuhan bukan sekadar penyebab pertama yang jauh, tetapi sumber eksistensi yang senantiasa menopang keberadaan segala sesuatu.¹² Teisme skolastik membangun kerangka ontologis yang logis, sistematis, dan teologis, menjadikannya dasar bagi teologi rasional di kemudian hari.

2.3.       Transformasi Teisme pada Era Modern dan Kontemporer

Memasuki abad ke-17 dan ke-18, muncul tantangan besar terhadap Teisme tradisional seiring berkembangnya rasionalisme dan empirisme. René Descartes masih mempertahankan unsur teistik dalam filsafatnya melalui konsep causa sui dan idea Dei, dengan menempatkan Tuhan sebagai jaminan bagi kepastian pengetahuan.¹³ Namun, seiring munculnya Deisme dan sekularisasi pemikiran pada masa Pencerahan, pandangan tentang Tuhan sebagai pengatur aktif alam semesta mulai digantikan oleh konsep Tuhan sebagai pencipta pasif yang membiarkan hukum alam bekerja secara otomatis.¹⁴

Pada abad ke-19, kritik terhadap Teisme semakin tajam melalui karya para pemikir seperti Ludwig Feuerbach, yang menafsirkan Tuhan sebagai proyeksi ideal manusia, dan Friedrich Nietzsche, yang mendeklarasikan “kematian Tuhan” sebagai simbol krisis makna dalam kebudayaan modern.¹⁵ Meski demikian, abad ke-20 menyaksikan kebangkitan kembali Teisme melalui pendekatan eksistensial dan fenomenologis. Søren Kierkegaard menekankan aspek personal dan eksistensial dari iman kepada Tuhan, sementara Martin Buber memperkenalkan relasi Aku–Engkau sebagai dasar ontologi relasional Teisme.¹⁶ Di sisi lain, filsuf seperti Gabriel Marcel menegaskan dimensi misteri dan kehadiran Ilahi dalam pengalaman manusia.¹⁷

Dalam filsafat analitik kontemporer, tokoh-tokoh seperti Alvin Plantinga dan Richard Swinburne membangkitkan kembali Teisme dalam kerangka epistemologi dan logika modern. Melalui konsep epistemologi reformasi dan argumen probabilistik, mereka menunjukkan bahwa keyakinan terhadap Tuhan dapat dibenarkan secara rasional tanpa harus bergantung pada bukti empiris mutlak.¹⁸ Dengan demikian, garis historis Teisme menunjukkan kesinambungan yang dinamis: dari metafisika klasik hingga refleksi eksistensial dan analisis logis modern, Teisme terus bertransformasi sebagai sistem yang berusaha menjelaskan realitas tertinggi secara rasional, personal, dan bermakna.


Footnotes

[1]                W. K. C. Guthrie, A History of Greek Philosophy, Vol. 1: The Earlier Presocratics and the Pythagoreans (Cambridge: Cambridge University Press, 1962), 21–23.

[2]                Plato, Republic, trans. Paul Shorey (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1930), 508e–509b.

[3]                Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), XII.7, 1072b.

[4]                Abraham J. Heschel, God in Search of Man: A Philosophy of Judaism (New York: Farrar, Straus and Giroux, 1955), 105–108.

[5]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, q.3, a.4.

[6]                Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany: State University of New York Press, 1989), 55–57.

[7]                Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, 3rd ed. (New York: Columbia University Press, 2004), 130–133.

[8]                Anselm of Canterbury, Proslogion, trans. M. J. Charlesworth (Oxford: Clarendon Press, 1965), 2–3.

[9]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q.2, a.3.

[10]             Etienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1956), 97–100.

[11]             Jacques Maritain, Existence and the Existent (New York: Pantheon Books, 1948), 50–53.

[12]             Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 2: Medieval Philosophy (New York: Doubleday, 1950), 200–203.

[13]             René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1986), 48–49.

[14]             Peter Gay, The Enlightenment: An Interpretation, Vol. 1: The Rise of Modern Paganism (New York: Knopf, 1966), 212–215.

[15]             Ludwig Feuerbach, The Essence of Christianity, trans. George Eliot (New York: Harper, 1957), 12–15; Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage Books, 1974), §125.

[16]             Martin Buber, I and Thou, trans. Walter Kaufmann (New York: Charles Scribner’s Sons, 1970), 54–57.

[17]             Gabriel Marcel, The Mystery of Being (Chicago: Henry Regnery, 1951), 23–26.

[18]             Alvin Plantinga, Warranted Christian Belief (Oxford: Oxford University Press, 2000), 173–176; Richard Swinburne, The Existence of God (Oxford: Clarendon Press, 2004), 9–11.


3.           Ontologi Teisme

3.1.       Konsep tentang Tuhan sebagai Wujud Tertinggi

Dalam kerangka metafisika teistik, Tuhan dipahami sebagai Ens Perfectissimum—wujud yang paling sempurna dan niscaya adanya.¹ Tuhan bukanlah entitas di antara entitas lain dalam alam semesta, melainkan dasar keberadaan itu sendiri (ipsum esse subsistens), yaitu wujud yang keberadaannya bersifat niscaya dan tidak bergantung pada apa pun.² Thomas Aquinas menjelaskan bahwa Tuhan tidak memiliki esensi yang berbeda dari eksistensinya; Ia adalah actus purus, “tindakan murni” tanpa potensi, sebab dalam diri Tuhan tidak ada kekurangan ataupun perubahan.³ Dengan demikian, secara ontologis, Tuhan bukan sekadar penyebab pertama (causa prima) secara kronologis, tetapi fondasi ontologis dari seluruh realitas yang ada.

Konsep ini menegaskan bahwa segala sesuatu yang ada bersifat kontingen—mungkin ada dan mungkin tidak—sementara Tuhan bersifat niscaya (necessary being), yakni wujud yang tidak dapat tidak ada.⁴ Dari sini muncul struktur hierarkis dalam ontologi teistik: segala eksistensi yang bersifat terbatas menerima keberadaannya dari Wujud Tak Terbatas yang menjadi sumber segala realitas.⁵ Hal ini membentuk dasar metafisika partisipasi, di mana makhluk berpartisipasi dalam keberadaan Tuhan tanpa menyamai esensi Ilahi itu sendiri.⁶ Dengan kata lain, relasi antara Tuhan dan ciptaan bukanlah hubungan spasial, melainkan relasi ontologis antara keberadaan yang bergantung dan keberadaan yang mutlak.

3.2.       Relasi antara Tuhan dan Dunia: Transendensi dan Immanensi

Salah satu ciri khas Teisme adalah pandangan yang menyeimbangkan antara transendensi dan immanensi Tuhan. Tuhan, dalam pandangan teistik, melampaui alam semesta (transenden) namun sekaligus hadir dan aktif di dalamnya (immanen).⁷ Transendensi menunjukkan bahwa Tuhan tidak terbatas oleh ruang, waktu, maupun materi; Ia berada “di luar” ciptaan dalam arti metafisik. Sementara immanensi menegaskan bahwa Tuhan tidak terpisah total dari ciptaan, melainkan hadir sebagai penyebab keberlanjutan eksistensi dunia.⁸

Relasi ini sering dipahami melalui konsep penciptaan terus-menerus (creatio continua), yaitu gagasan bahwa Tuhan tidak hanya menciptakan dunia pada awal waktu, tetapi juga terus menopang eksistensinya pada setiap saat.⁹ Dalam pandangan Aquinas, jika Tuhan berhenti memberi keberadaan kepada ciptaan, maka ciptaan itu akan lenyap seketika.¹⁰ Oleh karena itu, dunia bukanlah entitas otonom yang dapat berdiri sendiri, tetapi wujud yang senantiasa bergantung pada kehendak dan kekuatan eksistensial Tuhan.

Berbeda dengan Deisme yang memisahkan Tuhan dari dunia dan menganggap-Nya tidak lagi aktif setelah penciptaan, Teisme menegaskan adanya relasi personal dan dinamis antara Tuhan dan ciptaan.¹¹ Relasi ini bukan hanya hubungan sebab-akibat mekanis, melainkan juga relasi kehendak dan cinta kasih yang menegaskan aspek personal Tuhan.¹² Dalam konteks ini, Tuhan bukanlah prinsip abstrak seperti dalam panteisme filosofis, tetapi Subjek yang hidup dan berelasi dengan makhluk melalui keberadaan dan makna.¹³

3.3.       Argumen Metafisik tentang Keberadaan Tuhan

Dalam sejarah Teisme, terdapat sejumlah argumen metafisik klasik yang berfungsi untuk menjelaskan secara rasional keberadaan Tuhan sebagai dasar ontologis realitas. Argumen-argumen ini bukan semata-mata upaya apologetis, tetapi refleksi filosofis yang berakar pada struktur realitas itu sendiri.

3.3.1.    Argumen Kosmologis

Argumen kosmologis menyatakan bahwa segala yang ada memiliki sebab, dan rantai sebab tidak dapat mundur tanpa batas; oleh karena itu harus ada penyebab pertama yang tidak disebabkan, yaitu Tuhan.¹⁴ Aristoteles menyebutnya The Unmoved Mover, sedangkan Aquinas menyempurnakannya sebagai causa prima yang menjadi asal segala keberadaan.¹⁵ Tuhan, dalam kerangka ini, bukanlah bagian dari rantai sebab, tetapi dasar keberadaan seluruh rangkaian sebab-akibat itu.

3.3.2.    Argumen Ontologis

Anselmus dari Canterbury merumuskan argumen ontologis bahwa Tuhan, sebagai “wujud yang tidak mungkin dibayangkan sesuatu yang lebih besar darinya,” harus ada, sebab jika tidak, Ia tidak akan menjadi yang terbesar yang dapat dipikirkan.¹⁶ Meskipun argumen ini dikritik oleh Gaunilo dan kemudian oleh Immanuel Kant, yang menolak bahwa keberadaan dapat menjadi predikat logis, argumen ini tetap penting dalam membahas struktur logis konsep keberadaan Tuhan.¹⁷

3.3.3.    Argumen Teleologis

Argumen teleologis atau argument from design berangkat dari keteraturan dan tujuan dalam alam semesta. William Paley mengilustrasikannya dengan metafora arloji: sebagaimana arloji yang kompleks menunjukkan adanya perancang, demikian pula alam semesta menunjukkan adanya intelegensi yang menatanya.¹⁸ Dalam konteks kontemporer, argumen ini diperbarui melalui teori fine-tuning dalam kosmologi modern, yang menunjukkan bahwa parameter-parameter kosmik tampak disetel secara tepat untuk memungkinkan kehidupan.¹⁹

3.3.4.    Argumen Moral

Immanuel Kant, meskipun menolak pembuktian rasional eksistensi Tuhan secara ontologis dan kosmologis, tetap menganggap Tuhan sebagai postulat moral—syarat rasional bagi eksistensi keadilan dan kebaikan tertinggi.²⁰ Dalam hal ini, Teisme memperoleh dimensi etis: Tuhan dipahami sebagai dasar ontologis bagi nilai moral objektif.²¹

3.4.       Struktur Ontologis Realitas dalam Teisme

Dari seluruh kerangka tersebut, dapat disimpulkan bahwa ontologi Teisme menampilkan struktur hierarkis dan partisipatif. Tuhan menempati puncak realitas sebagai Wujud Mutlak, sedangkan ciptaan berada dalam tataran eksistensi yang menerima keberadaannya dari Tuhan.²² Manusia, sebagai makhluk rasional, menempati posisi istimewa karena memiliki kesadaran akan sumber eksistensinya dan dapat berelasi secara personal dengan Sang Pencipta.²³ Dalam hal ini, Teisme menyatukan metafisika keberadaan dan metafisika relasi: Tuhan bukan hanya “yang ada,” tetapi juga “yang berelasi.”²⁴

Ontologi Teisme, dengan demikian, tidak berhenti pada penjelasan abstrak tentang eksistensi Tuhan, melainkan mengandaikan suatu keterpaduan antara wujud dan makna. Realitas bukan hanya “ada,” tetapi “diberi makna” oleh kehendak dan kebijaksanaan Ilahi.²⁵ Oleh sebab itu, Teisme memandang seluruh eksistensi sebagai partisipasi dalam realitas Ilahi, dan metafisika menjadi jalan untuk memahami keterarahan seluruh ciptaan menuju Sumber Tertinggi segala yang ada.²⁶


Footnotes

[1]                Brian Davies, An Introduction to the Philosophy of Religion (Oxford: Oxford University Press, 2004), 22–23.

[2]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, q.3, a.4.

[3]                Etienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1956), 98–100.

[4]                Alvin Plantinga, The Nature of Necessity (Oxford: Clarendon Press, 1974), 107–109.

[5]                Jacques Maritain, Existence and the Existent (New York: Pantheon Books, 1948), 55–57.

[6]                W. Norris Clarke, The One and the Many: A Contemporary Thomistic Metaphysics (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2001), 45–46.

[7]                Richard Swinburne, The Coherence of Theism, rev. ed. (Oxford: Clarendon Press, 1993), 5–7.

[8]                Brian Leftow, “God and Eternity,” in The Oxford Handbook of Philosophical Theology, ed. Thomas P. Flint and Michael C. Rea (Oxford: Oxford University Press, 2009), 269–271.

[9]                Thomas Aquinas, Summa Contra Gentiles, trans. Anton C. Pegis (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1975), II, 39.

[10]             Norman Kretzmann and Eleonore Stump, The Cambridge Companion to Aquinas (Cambridge: Cambridge University Press, 1993), 102–104.

[11]             William Lane Craig, Reasonable Faith: Christian Truth and Apologetics, 3rd ed. (Wheaton, IL: Crossway, 2008), 115–117.

[12]             Alvin Plantinga, God and Other Minds (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1967), 57–59.

[13]             John Hick, Philosophy of Religion, 4th ed. (Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, 1989), 38–39.

[14]             Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), XII.7, 1072b.

[15]             Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q.2, a.3.

[16]             Anselm of Canterbury, Proslogion, trans. M. J. Charlesworth (Oxford: Clarendon Press, 1965), 2–3.

[17]             Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A592/B620–A602/B630.

[18]             William Paley, Natural Theology (London: R. Faulder, 1802), 3–5.

[19]             Robin Collins, “The Teleological Argument: An Exploration of the Fine-Tuning of the Universe,” in The Blackwell Companion to Natural Theology, ed. William Lane Craig and J. P. Moreland (Oxford: Wiley-Blackwell, 2009), 202–204.

[20]             Immanuel Kant, Critique of Practical Reason, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 125–127.

[21]             Robert Merrihew Adams, Finite and Infinite Goods: A Framework for Ethics (Oxford: Oxford University Press, 1999), 136–138.

[22]             W. Norris Clarke, Person and Being (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1993), 60–62.

[23]             Josef Pieper, The Silence of St. Thomas (South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 1999), 28–30.

[24]             David Bentley Hart, The Experience of God: Being, Consciousness, Bliss (New Haven, CT: Yale University Press, 2013), 105–107.

[25]             Étienne Gilson, God and Philosophy (New Haven, CT: Yale University Press, 1941), 77–79.

[26]             John F. Wippel, The Metaphysical Thought of Thomas Aquinas (Washington, DC: Catholic University of America Press, 2000), 423–425.


4.           Epistemologi Teisme

4.1.       Sumber Pengetahuan tentang Tuhan

Dalam kerangka epistemologis Teisme, persoalan sentral yang muncul adalah bagaimana manusia dapat mengetahui Tuhan—realitas yang transenden dan tak terbatas. Secara klasik, para filsuf teistik mengajukan bahwa pengetahuan tentang Tuhan dapat diperoleh melalui dua jalur utama: wahyu (revelation) dan akal budi (reason).¹ Jalur wahyu menegaskan bahwa pengetahuan tentang Tuhan diberikan oleh Tuhan sendiri melalui teks suci, tradisi religius, atau pengalaman spiritual; sedangkan jalur rasional menyatakan bahwa akal manusia, melalui refleksi metafisik dan observasi terhadap dunia, mampu menalar keberadaan Tuhan dan sebagian atribut-Nya.²

Thomas Aquinas, misalnya, membedakan antara theologia naturalis (teologi alamiah) dan theologia revelata (teologi wahyu).³ Melalui teologi alamiah, manusia dapat mengetahui keberadaan Tuhan melalui ciptaan-Nya—sebagaimana ditegaskan dalam argumen kosmologis dan teleologis—namun pengetahuan tersebut bersifat terbatas. Hanya melalui wahyu, manusia dapat mengenal hakikat Tuhan secara lebih sempurna, termasuk sifat personal dan kehendak-Nya.⁴ Dengan demikian, epistemologi teistik tidak meniadakan akal, tetapi menempatkannya dalam relasi harmonis dengan wahyu: akal menjadi sarana untuk memahami, menafsirkan, dan mengafirmasi kebenaran yang diwahyukan.⁵

Pandangan ini berbeda dengan rasionalisme ekstrem yang mengandalkan akal sebagai satu-satunya sumber pengetahuan metafisik, maupun fideisme yang menolak peran akal dalam hal iman.⁶ Dalam Teisme klasik, iman dan akal tidak saling meniadakan, tetapi saling meneguhkan. Iman tanpa akal menjadi buta, sementara akal tanpa iman kehilangan orientasi eksistensialnya.⁷ Oleh karena itu, epistemologi Teisme bersifat integratif—mengakui keterbatasan manusia sekaligus mengafirmasi kemampuannya untuk mengenal yang Ilahi melalui akal dan pengalaman spiritual.

4.2.       Pengalaman Religius dan Pengetahuan Non-Diskursif

Selain wahyu dan rasio, Teisme juga mengakui pengalaman religius sebagai sumber pengetahuan yang sah tentang Tuhan. Pengalaman ini bukan semata perasaan subjektif, melainkan bentuk kesadaran eksistensial terhadap kehadiran Ilahi yang tak dapat direduksi ke dalam kategori rasional biasa.⁸ William James, dalam The Varieties of Religious Experience, menegaskan bahwa pengalaman religius memiliki nilai epistemik karena menghasilkan transformasi nyata dalam diri individu.⁹ Sementara Rudolf Otto menyebutnya sebagai pengalaman numinous—rasa kagum dan gentar di hadapan yang suci (mysterium tremendum et fascinans).¹⁰

Dalam tradisi fenomenologi religius, pengalaman ini dipahami sebagai pemberian diri Tuhan kepada kesadaran manusia—bukan hasil konstruksi rasional, melainkan pengalaman intuitif terhadap realitas Ilahi.¹¹ Gabriel Marcel, misalnya, menolak pandangan bahwa Tuhan dapat direduksi menjadi “objek” pengetahuan; sebaliknya, Tuhan adalah “Engkau” yang dihadapi dalam relasi eksistensial.¹² Dengan demikian, epistemologi Teisme melampaui dimensi proposisional menuju pengetahuan relasional dan partisipatif, di mana mengetahui Tuhan berarti turut serta dalam relasi personal dengan-Nya.¹³

Meskipun demikian, pengalaman religius bukan tanpa kritik. Para filsuf empiris seperti David Hume menolak klaim pengetahuan ini karena tidak dapat diverifikasi secara publik.¹⁴ Namun dalam pandangan teistik kontemporer, seperti yang dikemukakan oleh Alvin Plantinga melalui Reformed Epistemology, keyakinan terhadap Tuhan dapat bersifat properly basic—yakni rasional secara epistemik tanpa memerlukan bukti empiris eksternal, sebagaimana kita mempercayai eksistensi dunia luar atau ingatan kita sendiri.¹⁵ Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan tentang Tuhan, dalam kerangka Teisme, tidak harus tunduk pada kriteria empirisisme, karena sifat realitas Ilahi memang melampaui empirisitas.

4.3.       Epistemologi Natural dan Supernatural

Epistemologi Teisme secara tradisional dibedakan menjadi dua dimensi: natural dan supernatural. Dimensi natural berkaitan dengan upaya rasional manusia untuk mengenal Tuhan melalui ciptaan, hukum alam, dan struktur rasional dunia.¹⁶ Hal ini ditegaskan dalam pandangan bahwa alam semesta adalah vestigium Dei—jejak Tuhan—yang mengarahkan manusia kepada pengenalan akan Sang Pencipta.¹⁷ Oleh karena itu, ilmu pengetahuan, ketika dipahami secara filosofis, dapat menjadi jalan menuju refleksi teistik, sebagaimana ditunjukkan oleh teolog natural seperti Robert Boyle atau Isaac Newton.¹⁸

Sementara itu, dimensi supernatural menekankan bahwa pengetahuan tertinggi tentang Tuhan tidak dapat diperoleh semata-mata melalui rasio, melainkan melalui penerangan Ilahi (illuminatio divina).¹⁹ Agustinus menekankan bahwa kebenaran tertinggi hanya dapat dikenal bila akal manusia diterangi oleh cahaya Tuhan yang menyingkapkan realitas sebagaimana adanya.²⁰ Dengan demikian, epistemologi Teisme bersifat graced reason—akal yang bekerja di bawah terang rahmat.²¹

Dalam konteks modern, pandangan ini menemukan bentuk baru dalam epistemologi eksistensial, di mana pengetahuan tentang Tuhan tidak semata bersifat intelektual, melainkan eksistensial dan transformasional.²² Mengetahui Tuhan berarti mengalami perubahan diri, karena pengetahuan Ilahi mengimplikasikan keterlibatan moral dan eksistensial yang mendalam.²³ Oleh sebab itu, epistemologi Teisme tidak hanya menjawab pertanyaan “bagaimana kita tahu bahwa Tuhan ada,” tetapi juga “bagaimana pengetahuan tentang Tuhan mengubah cara kita mengada.”

4.4.       Hubungan antara Epistemologi dan Ontologi dalam Teisme

Epistemologi Teisme memiliki hubungan yang erat dengan ontologinya: cara kita mengenal Tuhan bergantung pada cara Tuhan mengada.²⁴ Karena Tuhan dalam Teisme adalah Wujud Personal yang transenden sekaligus imanen, maka pengetahuan tentang-Nya bersifat partisipatif dan dialogis.²⁵ Tuhan tidak sekadar menjadi objek pengetahuan, melainkan subjek yang memungkinkan pengetahuan itu sendiri—sebagaimana ditegaskan oleh tradisi skolastik bahwa “segala pengetahuan berasal dari Tuhan sebagai Kebenaran itu sendiri” (Deus est veritas prima).²⁶

Implikasinya, epistemologi Teisme bersifat teosentris: akal manusia dapat mengenal realitas karena realitas itu sendiri rasional, diciptakan oleh Logos Ilahi.²⁷ Hal ini menjadi dasar bagi keyakinan bahwa rasionalitas manusia merupakan cerminan dari rasionalitas Tuhan.²⁸ Maka, pengetahuan ilmiah dan filosofis bukanlah ancaman bagi iman, tetapi ekspresi dari partisipasi manusia dalam rasionalitas ilahi.²⁹ Dalam pandangan ini, epistemologi Teisme bersifat terbuka—rasional namun rendah hati, karena menyadari bahwa pengetahuan manusia hanyalah partisipasi terbatas dalam pengetahuan Tuhan yang sempurna.³⁰


Footnotes

[1]                Alvin Plantinga, Warranted Christian Belief (Oxford: Oxford University Press, 2000), 172–173.

[2]                Richard Swinburne, Faith and Reason, 2nd ed. (Oxford: Clarendon Press, 2005), 9–11.

[3]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, q.1, a.1.

[4]                Brian Davies, An Introduction to the Philosophy of Religion (Oxford: Oxford University Press, 2004), 33–34.

[5]                Etienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1956), 122–124.

[6]                William Lane Craig, Reasonable Faith: Christian Truth and Apologetics, 3rd ed. (Wheaton, IL: Crossway, 2008), 29–30.

[7]                John Paul II, Fides et Ratio (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 1998), §13.

[8]                John Hick, Faith and Knowledge, 2nd ed. (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1966), 92–94.

[9]                William James, The Varieties of Religious Experience (New York: Longmans, Green & Co., 1902), 28–31.

[10]             Rudolf Otto, The Idea of the Holy, trans. John W. Harvey (Oxford: Oxford University Press, 1958), 12–13.

[11]             Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Nijhoff, 1982), 186–188.

[12]             Gabriel Marcel, The Mystery of Being (Chicago: Henry Regnery, 1951), 40–42.

[13]             Martin Buber, I and Thou, trans. Walter Kaufmann (New York: Charles Scribner’s Sons, 1970), 54–56.

[14]             David Hume, Dialogues Concerning Natural Religion, ed. Norman Kemp Smith (Indianapolis: Bobbs-Merrill, 1947), 110–112.

[15]             Alvin Plantinga, God and Other Minds (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1967), 73–75.

[16]             Robert Boyle, The Christian Virtuoso (London: Joseph Downing, 1690), 5–6.

[17]             Thomas Aquinas, Summa Contra Gentiles, trans. Anton C. Pegis (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1975), II, 4.

[18]             Isaac Newton, The Principia: Mathematical Principles of Natural Philosophy, trans. I. Bernard Cohen and Anne Whitman (Berkeley: University of California Press, 1999), General Scholium.

[19]             Augustine, De Trinitate, trans. Edmund Hill (Brooklyn, NY: New City Press, 1991), XIV.15.

[20]             Augustine, Confessiones, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 1991), VII.10.

[21]             Etienne Gilson, God and Philosophy (New Haven, CT: Yale University Press, 1941), 82–83.

[22]             Karl Rahner, Foundations of Christian Faith (New York: Seabury Press, 1978), 114–116.

[23]             Paul Tillich, Dynamics of Faith (New York: Harper & Row, 1957), 27–29.

[24]             W. Norris Clarke, The One and the Many: A Contemporary Thomistic Metaphysics (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2001), 145–147.

[25]             Brian Leftow, “God and Eternity,” in The Oxford Handbook of Philosophical Theology, ed. Thomas P. Flint and Michael C. Rea (Oxford: Oxford University Press, 2009), 274–275.

[26]             Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q.16, a.5.

[27]             C. S. Lewis, The Abolition of Man (New York: HarperOne, 2001), 54–55.

[28]             Alvin Plantinga, Where the Conflict Really Lies: Science, Religion, and Naturalism (Oxford: Oxford University Press, 2011), 262–264.

[29]             John Polkinghorne, Science and Providence: God’s Interaction with the World (London: SPCK, 1989), 34–36.

[30]             David Bentley Hart, The Experience of God: Being, Consciousness, Bliss (New Haven, CT: Yale University Press, 2013), 175–177.


5.           Etika dan Aksiologi dalam Teisme

5.1.       Dasar Moralitas dalam Teisme

Dalam kerangka filsafat teistik, Tuhan bukan hanya sumber keberadaan (causa essendi), tetapi juga sumber nilai dan kebaikan (causa boni).¹ Ontologi dan etika saling terkait erat dalam Teisme, sebab hakikat kebaikan (bonum) dipahami bukan sebagai kategori moral yang berdiri sendiri, melainkan sebagai partisipasi dalam kesempurnaan Tuhan.² Dengan demikian, moralitas memiliki dasar objektif karena tertanam dalam struktur realitas yang ditentukan oleh kehendak dan kebijaksanaan Ilahi.³

Thomas Aquinas menegaskan bahwa Tuhan adalah kebaikan tertinggi (summum bonum) dan semua tindakan moral manusia memperoleh nilai baiknya sejauh berpartisipasi dalam hukum dan tujuan Ilahi.⁴ Dalam Summa Theologica, Aquinas menjelaskan bahwa hukum moral manusia berasal dari hukum abadi (lex aeterna), yang merupakan rasionalitas Tuhan yang mengatur alam semesta.⁵ Maka, tindakan moral yang benar bukan sekadar yang bermanfaat secara pragmatis, tetapi yang selaras dengan tatanan moral objektif yang berasal dari Tuhan.

Pertanyaan klasik yang sering muncul dalam konteks ini adalah Dilema Euthyphro, yang diajukan oleh Plato: “Apakah sesuatu itu baik karena Tuhan memerintahkannya, atau Tuhan memerintahkannya karena sesuatu itu baik?”⁶ Teisme klasik, khususnya dalam tradisi skolastik, menolak dikotomi tersebut dengan menegaskan bahwa kebaikan tidak bersifat arbitrer, tetapi berakar dalam kodrat Tuhan sendiri.⁷ Dengan kata lain, Tuhan tidak memerintahkan sesuatu karena kebetulan baik, melainkan karena Ia sendiri adalah kebaikan itu.⁸ Maka, kebaikan moral memiliki status ontologis dan tidak bergantung pada subjektivitas manusia atau relativisme budaya.

5.2.       Implikasi Etika Teistik: Tanggung Jawab, Kehendak, dan Cinta Kasih

Etika Teisme menekankan bahwa manusia sebagai makhluk rasional dan bebas memiliki tanggung jawab moral terhadap hukum Ilahi.⁹ Kebebasan manusia tidak dipahami sebagai otonomi absolut, melainkan sebagai partisipasi dalam kebebasan Tuhan, yaitu kemampuan untuk mengarahkan kehendak menuju kebaikan sejati.¹⁰ Dalam hal ini, kebebasan sejati bukanlah kebebasan untuk melakukan apa pun, tetapi kebebasan untuk melakukan yang baik sesuai dengan kodrat moral manusia yang diciptakan menurut citra Tuhan (imago Dei).¹¹

Cinta kasih (agape) menjadi pusat etika teistik, karena dalam pandangan Teisme, Tuhan adalah kasih itu sendiri (Deus caritas est).¹² Segala tindakan moral yang benar berakar dalam relasi kasih antara Tuhan dan manusia, serta antara manusia satu sama lain.¹³ Etika ini tidak sekadar normatif, tetapi juga relasional: manusia dipanggil untuk meniru sifat kasih dan keadilan Tuhan dalam relasinya dengan sesama.¹⁴ Oleh karena itu, tindakan moral dalam Teisme tidak hanya ditentukan oleh kewajiban (sebagaimana dalam etika deontologis Kantian), tetapi juga oleh orientasi eksistensial pada kasih Ilahi yang bersifat kreatif dan memberi kehidupan.¹⁵

Etika teistik juga mengandung dimensi teleologis, di mana tujuan akhir (telos) kehidupan moral manusia adalah penyatuan dengan Tuhan (unio cum Deo).¹⁶ Kebaikan moral tidak berhenti pada tatanan sosial atau kebahagiaan temporal, tetapi mengarah pada kebahagiaan abadi (beatitudo) yang hanya dapat ditemukan dalam relasi dengan Tuhan.¹⁷ Dalam pengertian ini, Teisme memandang etika bukan sekadar sistem kewajiban, melainkan jalan menuju pemenuhan eksistensi manusia dalam kesempurnaan Ilahi.¹⁸

5.3.       Aksiologi Teistik: Nilai, Makna, dan Tujuan Hidup

Aksiologi dalam Teisme berakar pada keyakinan bahwa nilai-nilai moral, estetis, dan eksistensial bersumber pada realitas Ilahi.¹⁹ Nilai bukanlah konstruksi subjektif manusia, melainkan cerminan dari struktur kebaikan objektif yang melekat dalam ciptaan sebagai partisipasi dalam kesempurnaan Tuhan.²⁰ Oleh karena itu, kebenaran, keindahan, dan kebaikan (tiga nilai transendental klasik: verum, pulchrum, bonum) dipandang sebagai ekspresi dari sifat-sifat Tuhan yang tak terpisahkan.²¹

Dalam pandangan Teisme, keindahan juga memiliki dimensi teologis. Keindahan bukan hanya harmoni bentuk, tetapi manifestasi dari kebenaran dan kebaikan Ilahi.²² Hal ini tampak jelas dalam pemikiran Augustinus yang menafsirkan keindahan dunia sebagai tanda dari keteraturan dan kebijaksanaan Tuhan.²³ Sementara itu, nilai kebenaran memiliki akar ontologis karena seluruh realitas dianggap rasional dan koheren dengan pikiran Ilahi.²⁴ Dengan demikian, tindakan mencari kebenaran ilmiah atau filosofis merupakan partisipasi manusia dalam rasionalitas Tuhan.²⁵

Tujuan akhir (ultimate end) dalam aksiologi teistik adalah kebahagiaan sejati (beatitudo), yaitu keadaan di mana manusia mencapai kesatuan dengan Tuhan, sumber segala nilai dan makna.²⁶ Aristoteles menafsirkan eudaimonia sebagai kebahagiaan tertinggi yang ditemukan dalam aktualisasi potensi rasional, namun Teisme memperluasnya dengan menegaskan bahwa kebahagiaan tertinggi hanya mungkin jika manusia berpartisipasi dalam kehidupan Ilahi.²⁷ Dengan demikian, nilai-nilai moral dan spiritual memiliki arah transenden: bukan sekadar demi kesejahteraan duniawi, tetapi demi keterarahan eksistensi manusia menuju realitas yang kekal.²⁸

Aksiologi Teisme menolak relativisme nilai yang memandang semua kebaikan setara atau bergantung pada preferensi subjektif.²⁹ Nilai moral dan spiritual bersifat hierarkis, dengan Tuhan sebagai puncaknya.³⁰ Oleh sebab itu, dalam pandangan teistik, seluruh realitas memiliki makna intrinsik karena berakar pada kehendak Ilahi yang menciptakan dunia dengan tujuan tertentu.³¹ Eksistensi manusia, dalam kerangka ini, memperoleh makna sejauh ia hidup sesuai dengan kebenaran dan kebaikan yang bersumber dari Tuhan.³²


Footnotes

[1]                Étienne Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1991), 115–117.

[2]                Jacques Maritain, Moral Philosophy: An Historical and Critical Survey of the Great Systems (New York: Charles Scribner’s Sons, 1964), 89–90.

[3]                Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 108–109.

[4]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I-II, q.2, a.8.

[5]                Ibid., I-II, q.91, a.2.

[6]                Plato, Euthyphro, trans. Harold North Fowler (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1914), 10a–11b.

[7]                Brian Davies, An Introduction to the Philosophy of Religion (Oxford: Oxford University Press, 2004), 147–149.

[8]                Robert Merrihew Adams, Finite and Infinite Goods: A Framework for Ethics (Oxford: Oxford University Press, 1999), 41–43.

[9]                Immanuel Kant, Groundwork for the Metaphysics of Morals, trans. Mary Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 55–56.

[10]             Josef Pieper, The Four Cardinal Virtues (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1966), 27–28.

[11]             W. Norris Clarke, Person and Being (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1993), 87–88.

[12]             1 John 4:8 (New International Version).

[13]             C. S. Lewis, The Four Loves (New York: Harcourt, Brace, 1960), 120–122.

[14]             Gabriel Marcel, Creative Fidelity (New York: Fordham University Press, 2002), 45–46.

[15]             Paul Tillich, Love, Power, and Justice (Oxford: Oxford University Press, 1954), 23–25.

[16]             Thomas Aquinas, Summa Theologica, I-II, q.5, a.3.

[17]             Augustine, De Civitate Dei, trans. Henry Bettenson (London: Penguin Books, 1972), XIX.10.

[18]             Alasdair MacIntyre, Dependent Rational Animals: Why Human Beings Need the Virtues (Chicago: Open Court, 1999), 72–73.

[19]             Dietrich von Hildebrand, Christian Ethics (New York: David McKay, 1953), 11–13.

[20]             John Paul II, Veritatis Splendor (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 1993), §32.

[21]             Hans Urs von Balthasar, The Glory of the Lord: A Theological Aesthetics, Vol. 1 (San Francisco: Ignatius Press, 1982), 19–20.

[22]             Umberto Eco, Art and Beauty in the Middle Ages (New Haven, CT: Yale University Press, 1986), 56–57.

[23]             Augustine, Confessiones, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 1991), X.27.

[24]             Étienne Gilson, God and Philosophy (New Haven, CT: Yale University Press, 1941), 90–91.

[25]             John Polkinghorne, Science and Creation: The Search for Understanding (London: SPCK, 1988), 67–68.

[26]             Thomas Aquinas, Summa Contra Gentiles, trans. Anton C. Pegis (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1975), III, 25.

[27]             Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett, 1999), I.7, 1098a.

[28]             Josef Pieper, Happiness and Contemplation (South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 1998), 14–15.

[29]             Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 19–20.

[30]             W. Norris Clarke, The One and the Many: A Contemporary Thomistic Metaphysics (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2001), 178–180.

[31]             Alvin Plantinga, God, Freedom, and Evil (Grand Rapids, MI: Eerdmans, 1977), 60–62.

[32]             David Bentley Hart, The Experience of God: Being, Consciousness, Bliss (New Haven, CT: Yale University Press, 2013), 215–217.


6.           Kritik terhadap Teisme

6.1.       Kritik Internal (Intra-Teistik): Perbedaan Konseptual dan Masalah Teodise

Kritik terhadap Teisme tidak hanya datang dari luar tradisi religius, tetapi juga dari dalam, yaitu dari perbedaan konseptual di antara bentuk-bentuk Teisme itu sendiri. Dalam sejarah pemikiran teistik, terdapat berbagai model konseptual tentang Tuhan: Teisme klasik, Teisme personalis, dan Teisme terbuka (open theism).¹ Teisme klasik—yang dipengaruhi oleh metafisika Aristotelian dan skolastik—menekankan sifat Tuhan yang mutlak, tidak berubah (immutabilis), dan serba tahu (omniscient).² Sebaliknya, teisme personalis modern berusaha menampilkan citra Tuhan yang lebih dinamis dan relasional, menekankan keterlibatan-Nya dalam sejarah dan pengalaman manusia.³ Sementara itu, open theism menolak determinisme Ilahi dengan menyatakan bahwa Tuhan mengetahui semua kemungkinan, tetapi tidak menentukan masa depan yang bergantung pada kebebasan manusia.⁴

Perbedaan tersebut menimbulkan ketegangan internal dalam epistemologi dan ontologi teistik: bagaimana menyelaraskan kebebasan manusia dengan kemahatahuan Tuhan? Jika Tuhan mengetahui segalanya secara pasti, apakah kebebasan manusia sungguh nyata?⁵ Tradisi skolastik mencoba menyelesaikannya melalui konsep scientia media (pengetahuan menengah), sebagaimana dikembangkan oleh Luis de Molina, yang menjelaskan bahwa Tuhan mengetahui kemungkinan tindakan bebas manusia tanpa meniadakan kebebasan itu sendiri.⁶ Namun bagi sebagian filsuf modern, konsep ini dianggap metafisik-abstrak dan tidak empiris.⁷

Kritik internal lainnya menyangkut masalah kejahatan dan penderitaan, atau yang dikenal sebagai problem of evil. Teisme, yang menegaskan Tuhan sebagai Mahakuasa, Mahabaik, dan Mahatahu, tampak menghadapi kontradiksi logis ketika dihadapkan pada realitas kejahatan dalam dunia.⁸ Jika Tuhan Mahabaik, Ia pasti ingin mencegah kejahatan; jika Mahakuasa, Ia mampu melakukannya; maka mengapa kejahatan tetap ada?⁹ Augustinus menjawab dengan menyatakan bahwa kejahatan bukanlah substansi, melainkan kekurangan dari kebaikan (privatio boni).¹⁰ Sementara itu, teolog modern seperti John Hick menawarkan theodicy of soul-making, yakni bahwa penderitaan merupakan sarana bagi perkembangan moral dan spiritual manusia.¹¹ Namun, bagi sebagian pemikir kontemporer seperti David Griffin atau process theologians, teodise klasik dianggap gagal karena mempertahankan Tuhan yang statis dan tidak ikut menderita bersama ciptaan.¹²

Dengan demikian, kritik internal terhadap Teisme menunjukkan adanya ketegangan konseptual antara citra Tuhan yang absolut dan yang relasional, antara keadilan dan belas kasih Ilahi, serta antara kebebasan manusia dan penentuan ilahi.¹³ Diskursus ini memperkaya Teisme sekaligus menantangnya untuk menafsirkan kembali konsep keilahian dalam konteks pengalaman eksistensial dan sejarah manusia yang konkret.

6.2.       Kritik Eksternal: Tantangan dari Sains, Filsafat, dan Sekularisme

Kritik eksternal terhadap Teisme berkembang pesat sejak masa Pencerahan, ketika rasionalisme dan empirisme mulai menggantikan metafisika tradisional sebagai landasan pengetahuan. David Hume, melalui Dialogues Concerning Natural Religion, meragukan validitas argumen teleologis dengan menyatakan bahwa keteraturan alam tidak mesti mengandaikan perancang cerdas, melainkan bisa muncul dari kebiasaan atau probabilitas alami.¹⁴ Immanuel Kant kemudian melangkah lebih jauh, menolak semua pembuktian metafisik tentang eksistensi Tuhan karena konsep “eksistensi” bukanlah predikat yang menambah isi realitas suatu konsep.¹⁵ Bagi Kant, Tuhan hanya dapat diasumsikan sebagai postulat moral, bukan sebagai objek pengetahuan rasional.¹⁶

Pada abad ke-19, muncul kritik radikal terhadap Teisme melalui filsafat ateistik dan materialistik. Ludwig Feuerbach menafsirkan gagasan tentang Tuhan sebagai proyeksi sifat-sifat ideal manusia—yakni cinta, kebijaksanaan, dan keadilan—yang diobjektifikasi di luar diri manusia.¹⁷ Dengan demikian, berbicara tentang Tuhan sebenarnya berarti berbicara tentang hakikat manusia yang teralienasi dari dirinya sendiri. Friedrich Nietzsche melanjutkan kritik tersebut dengan deklarasinya yang terkenal, “Tuhan telah mati,” sebagai simbol matinya nilai-nilai absolut yang menopang moralitas Barat.¹⁸ Dalam pandangannya, Teisme menindas kehendak manusia untuk berkuasa dan menciptakan nilai-nilai baru secara otonom.¹⁹

Kritik terhadap Teisme juga datang dari sains modern, khususnya setelah revolusi kosmologi dan biologi. Teori evolusi Darwin menantang pandangan teistik tentang penciptaan langsung, sementara kosmologi mekanistik Newtonian sempat menimbulkan kesan bahwa alam semesta dapat berjalan tanpa intervensi Tuhan.²⁰ Pada abad ke-20, fisikawan seperti Stephen Hawking bahkan berpendapat bahwa hukum-hukum fisika cukup untuk menjelaskan asal-usul alam tanpa memerlukan pencipta ilahi.²¹ Bagi para pemikir sekular, seperti Richard Dawkins, Teisme dianggap sebagai “hipotesis yang tak perlu” untuk memahami dunia yang dapat dijelaskan secara ilmiah.²²

Meskipun demikian, kritik ini tidak selalu menghancurkan Teisme; sebaliknya, ia mendorong munculnya teologi natural baru dan dialog antara sains dan agama.²³ Beberapa filsuf seperti Alvin Plantinga dan John Polkinghorne berargumen bahwa sains justru memerlukan dasar teistik agar dapat dimengerti: hukum alam, rasionalitas, dan keteraturan dunia merupakan refleksi dari kehendak rasional Tuhan.²⁴ Maka, kritik eksternal terhadap Teisme berfungsi sebagai pemurnian epistemologis—mendorong Teisme untuk menafsirkan ulang perannya bukan sebagai pengganti penjelasan ilmiah, tetapi sebagai fondasi metafisik bagi keteraturan dan makna kosmos.²⁵

6.3.       Kritik Eksistensial dan Postmodern: Krisis Makna dan Bahasa tentang Tuhan

Kritik lain yang muncul dalam abad ke-20 dan ke-21 bersifat eksistensial dan linguistik, menyoroti keterbatasan bahasa manusia dalam berbicara tentang Tuhan. Ludwig Wittgenstein, dalam Tractatus Logico-Philosophicus, menyatakan bahwa “tentang apa yang tidak dapat dibicarakan, kita harus diam.”²⁶ Pernyataan ini mengimplikasikan bahwa klaim teistik melampaui batas bahasa proposisional dan tidak dapat diverifikasi secara logis.²⁷ Filsafat analitik agama kemudian berusaha merumuskan kembali makna klaim teistik melalui logika, analisis bahasa, dan epistemologi probabilistik.²⁸

Sementara itu, pemikiran eksistensialis dan fenomenologis—seperti pada Kierkegaard, Buber, dan Levinas—mengalihkan fokus dari pembuktian rasional Tuhan menuju pengalaman eksistensial dan etis.²⁹ Tuhan bukanlah objek pengetahuan, melainkan Engkau yang dihadapi dalam tanggung jawab etis terhadap sesama.³⁰ Emmanuel Levinas bahkan menegaskan bahwa “wajah yang lain” adalah wahyu etis yang menunjuk kepada yang Ilahi tanpa memerlukan konsep metafisik tentang Tuhan.³¹

Dalam horizon postmodern, para pemikir seperti Jean-Luc Marion dan John Caputo menolak metafisika ontoteologis yang mengidentifikasi Tuhan dengan “ada tertinggi.”³² Mereka menawarkan gagasan tentang Tuhan sebagai event—peristiwa kasih atau pemberian yang tidak dapat dijelaskan oleh kategori ontologis tradisional.³³ Kritik ini tidak menolak Teisme secara total, tetapi menggeser paradigma dari Tuhan sebagai objek metafisis menuju Tuhan sebagai misteri yang mengatasi segala konseptualisasi manusia.³⁴

Dengan demikian, kritik eksistensial dan postmodern memperlihatkan keterbatasan bahasa dan rasionalitas manusia dalam memahami Tuhan, sekaligus membuka kemungkinan baru bagi Teisme yang lebih rendah hati dan dialogis.³⁵ Kritik-kritik ini mengingatkan bahwa Teisme tidak boleh terjebak dalam dogmatisme intelektual, melainkan harus tetap terbuka terhadap misteri yang tak terkatakan dari realitas ilahi.


Footnotes

[1]                Richard Swinburne, The Coherence of Theism, rev. ed. (Oxford: Clarendon Press, 1993), 5–7.

[2]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, q.9, a.1.

[3]                Charles Hartshorne, Omnipotence and Other Theological Mistakes (Albany: State University of New York Press, 1984), 15–16.

[4]                Clark H. Pinnock et al., The Openness of God: A Biblical Challenge to the Traditional Understanding of God (Downers Grove, IL: InterVarsity Press, 1994), 101–103.

[5]                Boethius, The Consolation of Philosophy, trans. V. E. Watts (London: Penguin Books, 1969), V.6.

[6]                Luis de Molina, On Divine Foreknowledge (Part IV of the Concordia), trans. Alfred J. Freddoso (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1988), 52–54.

[7]                Brian Davies, An Introduction to the Philosophy of Religion (Oxford: Oxford University Press, 2004), 165–166.

[8]                J. L. Mackie, “Evil and Omnipotence,” Mind 64, no. 254 (1955): 200–212.

[9]                Epicurus, Letter to Menoeceus, trans. Cyril Bailey (Oxford: Clarendon Press, 1926), §124.

[10]             Augustine, Enchiridion on Faith, Hope, and Love, trans. Albert C. Outler (Washington, DC: Regnery, 1955), XI.

[11]             John Hick, Evil and the God of Love, rev. ed. (New York: Palgrave Macmillan, 2007), 253–254.

[12]             David Ray Griffin, God, Power, and Evil: A Process Theodicy (Louisville, KY: Westminster John Knox Press, 1976), 88–90.

[13]             Paul Tillich, Systematic Theology, Vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1951), 245–246.

[14]             David Hume, Dialogues Concerning Natural Religion, ed. Norman Kemp Smith (Indianapolis: Bobbs-Merrill, 1947), 110–113.

[15]             Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A592/B620–A602/B630.

[16]             Ibid., A807/B835.

[17]             Ludwig Feuerbach, The Essence of Christianity, trans. George Eliot (New York: Harper, 1957), 12–15.

[18]             Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage Books, 1974), §125.

[19]             Ibid., §285.

[20]             Charles Darwin, On the Origin of Species (London: John Murray, 1859), 489–490.

[21]             Stephen Hawking, A Brief History of Time (New York: Bantam Books, 1988), 174–176.

[22]             Richard Dawkins, The God Delusion (London: Bantam Press, 2006), 31–33.

[23]             Alister McGrath, The Open Secret: A New Vision for Natural Theology (Oxford: Blackwell, 2008), 44–46.

[24]             Alvin Plantinga, Where the Conflict Really Lies: Science, Religion, and Naturalism (Oxford: Oxford University Press, 2011), 262–264.

[25]             John Polkinghorne, Science and Providence: God’s Interaction with the World (London: SPCK, 1989), 45–47.

[26]             Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, trans. C. K. Ogden (London: Routledge, 1922), §7.

[27]             Antony Flew, “Theology and Falsification,” in New Essays in Philosophical Theology, ed. Antony Flew and Alasdair MacIntyre (London: SCM Press, 1955), 96–99.

[28]             Richard Swinburne, Faith and Reason, 2nd ed. (Oxford: Clarendon Press, 2005), 45–47.

[29]             Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Alastair Hannay (London: Penguin Books, 1985), 58–60.

[30]             Martin Buber, I and Thou, trans. Walter Kaufmann (New York: Charles Scribner’s Sons, 1970), 54–56.

[31]             Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 200–203.

[32]             Jean-Luc Marion, God without Being, trans. Thomas A. Carlson (Chicago: University of Chicago Press, 1991), 36–38.

[33]             John D. Caputo, The Weakness of God: A Theology of the Event (Bloomington: Indiana University Press, 2006), 93–95.

[34]             Ibid., 186–188.

[35]             David Bentley Hart, The Experience of God: Being, Consciousness, Bliss (New Haven, CT: Yale University Press, 2013), 245–247.


7.           Relevansi Kontemporer

7.1.       Teisme dan Sains Modern

Dalam konteks filsafat kontemporer, hubungan antara Teisme dan sains menjadi salah satu tema paling signifikan dalam diskursus metafisika. Sains modern, dengan penemuan-penemuan kosmologisnya, justru menghadirkan peluang baru bagi reinterpretasi argumen teistik klasik.¹ Salah satu contoh utama adalah argumen fine-tuning, yang menunjukkan bahwa konstanta-konstanta fisika alam semesta tampak diatur secara presisi untuk memungkinkan munculnya kehidupan.² Parameter seperti konstanta gravitasi, kekuatan gaya elektromagnetik, dan laju ekspansi kosmik, jika berbeda sedikit saja, akan menjadikan kehidupan tidak mungkin terjadi.³

Bagi para filsuf teistik seperti Robin Collins dan William Lane Craig, fenomena ini mengindikasikan bahwa keteraturan kosmos tidak dapat dijelaskan hanya melalui kebetulan, melainkan lebih rasional dipahami sebagai hasil dari desain cerdas Ilahi.⁴ Meski demikian, pandangan ini tidak dimaksudkan untuk menggantikan penjelasan ilmiah, tetapi untuk menunjukkan bahwa sains dan Teisme bukanlah dua sistem yang saling meniadakan, melainkan dua cara pandang yang saling melengkapi: sains menjelaskan bagaimana dunia bekerja, sedangkan Teisme menjawab mengapa dunia itu ada.⁵

Fisikawan seperti John Polkinghorne dan Paul Davies bahkan menegaskan bahwa rasionalitas alam semesta itu sendiri—kemampuan manusia untuk memahami hukum-hukum kosmos—merupakan bukti tak langsung dari keteraturan metafisik yang mendasari realitas.⁶ Dengan demikian, Teisme tetap relevan sebagai kerangka metafisik yang memberikan dasar ontologis bagi rasionalitas ilmiah. Tanpa asumsi tentang keteraturan dan koherensi dunia—yang secara historis berasal dari pandangan teistik tentang Tuhan sebagai Logos—aktivitas ilmiah modern tidak akan memiliki fondasi epistemologis yang kuat.⁷

Namun, Teisme juga menghadapi tantangan baru dari naturalisme metodologis dan ateisme ilmiah yang menolak penjelasan metafisik non-empiris. Richard Dawkins, misalnya, menilai bahwa teori evolusi Darwin sudah cukup menjelaskan kompleksitas kehidupan tanpa memerlukan konsep Tuhan.⁸ Akan tetapi, sebagaimana ditunjukkan oleh Alvin Plantinga, pandangan naturalistik radikal justru bersifat self-defeating, karena jika kesadaran manusia hanyalah hasil proses kebetulan tanpa tujuan, maka tidak ada alasan rasional untuk mempercayai keandalan kognitif manusia itu sendiri.⁹ Dengan demikian, dialog antara Teisme dan sains modern menunjukkan bahwa iman dan rasio tetap dapat saling menguatkan, bukan saling meniadakan.¹⁰

7.2.       Teisme dalam Era Sekular dan Pluralistik

Dalam konteks sosial dan kultural, Teisme menghadapi tantangan besar dari sekularisme dan pluralisme nilai yang menandai zaman modern. Sekularisasi telah memisahkan ruang publik dari klaim-klaim religius, sehingga keyakinan teistik dianggap sebagai urusan privat.¹¹ Sementara pluralisme mengakui keberagaman pandangan dunia, tetapi sering kali menolak klaim kebenaran objektif yang melekat pada Teisme klasik.¹²

Pemikir seperti Charles Taylor menjelaskan bahwa manusia modern hidup dalam immanent frame, yaitu kerangka kesadaran yang tertutup terhadap transendensi.¹³ Dalam kondisi ini, Tuhan tidak lagi menjadi horizon makna utama, melainkan salah satu dari banyak opsi dalam pasar kepercayaan modern. Teisme, agar tetap relevan, perlu hadir bukan sebagai sistem dogmatis, tetapi sebagai kerangka makna yang eksistensial dan dialogis, yang mampu berbicara dalam bahasa rasional dan etis universal.¹⁴

Dalam konteks pluralisme agama, Teisme dapat berperan sebagai dasar dialog antaragama.¹⁵ Konsep Tuhan yang personal, rasional, dan baik menjadi titik temu antara tradisi Abrahamik maupun religiusitas Timur yang menekankan dimensi transenden.¹⁶ John Hick, misalnya, mengusulkan model pluralisme teosentris, di mana berbagai tradisi religius merupakan respons manusia yang berbeda terhadap Realitas Ilahi yang sama.¹⁷ Meskipun pandangan ini menuai perdebatan, ia membuka jalan bagi Teisme untuk berfungsi sebagai kerangka etika global, menegaskan kesatuan moral manusia dalam keberagaman keyakinan.¹⁸

Teisme juga relevan dalam menghadapi krisis nilai dan relativisme moral yang merebak di dunia modern.¹⁹ Dengan menegaskan Tuhan sebagai sumber nilai objektif, Teisme menawarkan fondasi etis yang melampaui konstruksi sosial atau preferensi budaya.²⁰ Dalam hal ini, Teisme berperan bukan sekadar sebagai doktrin religius, tetapi sebagai fondasi filosofis bagi martabat dan tanggung jawab moral manusia, yang kini sangat dibutuhkan di tengah arus pragmatisme dan nihilisme etis.²¹

7.3.       Dimensi Eksistensial: Makna, Kesadaran, dan Spiritualitas

Dalam dunia modern yang sarat dengan alienasi, kehilangan makna, dan krisis eksistensial, Teisme menghadirkan relevansi baru melalui dimensi spiritual dan personalnya.²² Filsafat eksistensial religius menegaskan bahwa iman teistik bukan sekadar afirmasi proposisional, tetapi respons eksistensial terhadap realitas Ilahi yang hadir dalam kehidupan manusia.²³ Søren Kierkegaard menyebut iman sebagai “lompatan ke dalam keabadian,” tindakan eksistensial yang melampaui rasionalitas abstrak.²⁴ Dalam iman, manusia menemukan dirinya sebagai makhluk yang terbatas namun diundang untuk berelasi dengan yang tak terbatas.

Teisme juga menegaskan kesadaran manusia sebagai tanda kehadiran Tuhan. Dalam pandangan teistik, kesadaran bukan sekadar produk biologis, tetapi refleksi dari kesadaran Ilahi yang menopang seluruh realitas.²⁵ Hal ini ditegaskan oleh David Bentley Hart, yang menyatakan bahwa pengalaman akan keberadaan, kesadaran, dan kebahagiaan merupakan jejak langsung dari realitas Ilahi (Being, Consciousness, Bliss).²⁶ Teisme, dalam bentuk ini, menawarkan fondasi spiritual yang dapat menjawab krisis makna manusia modern yang terperangkap dalam materialisme dan teknologisme.²⁷

Lebih jauh lagi, Teisme berperan penting dalam membangun etos ekologis dan tanggung jawab terhadap alam.²⁸ Dengan menegaskan bahwa dunia adalah ciptaan Tuhan dan manusia adalah penjaga (steward) ciptaan itu, Teisme memberikan dasar moral bagi ekoteologi dan etika lingkungan kontemporer.²⁹ Dalam perspektif ini, menjaga bumi bukan sekadar tanggung jawab ekologis, tetapi tindakan spiritual yang mencerminkan kasih dan kebijaksanaan Sang Pencipta.³⁰

Dengan demikian, Teisme tetap memiliki relevansi kontemporer yang luas—baik dalam ranah sains, etika, pluralisme, maupun spiritualitas—karena ia menawarkan visi menyeluruh tentang realitas yang mengintegrasikan rasionalitas, makna, dan nilai.³¹


Footnotes

[1]                John Polkinghorne, Science and Providence: God’s Interaction with the World (London: SPCK, 1989), 41–43.

[2]                Robin Collins, “The Teleological Argument: An Exploration of the Fine-Tuning of the Universe,” in The Blackwell Companion to Natural Theology, ed. William Lane Craig and J. P. Moreland (Oxford: Wiley-Blackwell, 2009), 203–205.

[3]                Paul Davies, The Mind of God: The Scientific Basis for a Rational World (New York: Simon & Schuster, 1992), 87–88.

[4]                William Lane Craig, Reasonable Faith: Christian Truth and Apologetics, 3rd ed. (Wheaton, IL: Crossway, 2008), 117–118.

[5]                Alister McGrath, The Open Secret: A New Vision for Natural Theology (Oxford: Blackwell, 2008), 34–36.

[6]                John Polkinghorne, Belief in God in an Age of Science (New Haven, CT: Yale University Press, 1998), 9–10.

[7]                Stanley Jaki, The Road of Science and the Ways to God (Chicago: University of Chicago Press, 1978), 122–123.

[8]                Richard Dawkins, The Blind Watchmaker (New York: W. W. Norton, 1986), 6–8.

[9]                Alvin Plantinga, Where the Conflict Really Lies: Science, Religion, and Naturalism (Oxford: Oxford University Press, 2011), 270–273.

[10]             Stephen Barr, Modern Physics and Ancient Faith (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2003), 190–192.

[11]             Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2007), 424–426.

[12]             Peter Berger, The Heretical Imperative: Contemporary Possibilities of Religious Affirmation (New York: Anchor Books, 1980), 13–15.

[13]             Taylor, A Secular Age, 539–540.

[14]             Paul Ricoeur, Figuring the Sacred: Religion, Narrative, and Imagination, trans. David Pellauer (Minneapolis: Fortress Press, 1995), 35–37.

[15]             Raimon Panikkar, The Intrareligious Dialogue (New York: Paulist Press, 1978), 19–20.

[16]             Huston Smith, The World’s Religions (New York: HarperOne, 1991), 52–53.

[17]             John Hick, An Interpretation of Religion: Human Responses to the Transcendent (New Haven, CT: Yale University Press, 1989), 233–235.

[18]             Leonard Swidler, After the Absolute: The Dialogical Future of Religious Reflection (Minneapolis: Fortress Press, 1990), 48–49.

[19]             Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 262–263.

[20]             Robert Adams, Finite and Infinite Goods: A Framework for Ethics (Oxford: Oxford University Press, 1999), 136–138.

[21]             John Paul II, Veritatis Splendor (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 1993), §31.

[22]             Viktor Frankl, Man’s Search for Meaning, trans. Ilse Lasch (Boston: Beacon Press, 1959), 101–102.

[23]             Gabriel Marcel, The Mystery of Being (Chicago: Henry Regnery, 1951), 63–65.

[24]             Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Alastair Hannay (London: Penguin Books, 1985), 60–61.

[25]             Roger Scruton, The Soul of the World (Princeton, NJ: Princeton University Press, 2014), 89–91.

[26]             David Bentley Hart, The Experience of God: Being, Consciousness, Bliss (New Haven, CT: Yale University Press, 2013), 205–207.

[27]             Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 521–523.

[28]             Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 65–66.

[29]             Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), §67–69.

[30]             Sallie McFague, The Body of God: An Ecological Theology (Minneapolis: Fortress Press, 1993), 22–23.

[31]             David Ray Griffin, Reenchantment without Supernaturalism: A Process Philosophy of Religion (Ithaca, NY: Cornell University Press, 2001), 312–314.


8.           Sintesis Filosofis

8.1.       Integrasi Ontologi, Epistemologi, dan Etika dalam Teisme

Sintesis filosofis Teisme berupaya menyatukan dimensi ontologis, epistemologis, dan etis dalam suatu pandangan dunia yang koheren tentang realitas tertinggi.¹ Dalam struktur ini, Tuhan dipahami bukan hanya sebagai sebab pertama (causa prima) dari segala yang ada, tetapi juga sebagai dasar pengetahuan dan sumber nilai moral.² Dengan demikian, Teisme menolak pemisahan radikal antara “yang ada,” “yang diketahui,” dan “yang baik.” Ketiganya terintegrasi dalam satu prinsip metafisik: keberadaan Tuhan yang absolut sebagai asal, penopang, dan tujuan akhir segala sesuatu.³

Ontologi Teisme menegaskan bahwa segala sesuatu yang ada berpartisipasi dalam keberadaan Tuhan (participatio entis).⁴ Epistemologinya menunjukkan bahwa manusia dapat mengenal realitas ini melalui wahyu, akal, dan pengalaman religius, sementara etikanya menegaskan bahwa kebaikan moral manusia berakar dalam kodrat Ilahi.⁵ Dengan demikian, Teisme menghindari dua ekstrem: monisme metafisik yang meniadakan perbedaan antara Tuhan dan dunia, serta dualitas radikal yang memisahkan Tuhan sepenuhnya dari ciptaan.⁶ Relasi antara Tuhan dan ciptaan bersifat analogis: dunia bukan Tuhan, namun mencerminkan keberadaan dan kebijaksanaan-Nya.⁷

Dalam konteks filsafat kontemporer, sintesis ini menunjukkan bahwa Teisme bukan sekadar sistem kepercayaan religius, tetapi kerangka metafisik yang menyatukan aspek rasional, moral, dan spiritual dari eksistensi manusia.⁸ Ia menawarkan pandangan integratif bahwa realitas bersifat rasional karena diciptakan oleh Tuhan yang berakal, dapat diketahui karena dipahami oleh akal manusia yang serupa dengan Logos Ilahi, dan bermakna karena terarah menuju kebaikan tertinggi yang merupakan diri Tuhan sendiri.⁹

8.2.       Hubungan antara Iman dan Akal: Dialektika Rasionalitas dan Misteri

Salah satu sintesis penting dalam Teisme adalah harmoni antara iman (fides) dan akal (ratio).¹⁰ Dalam tradisi skolastik, terutama pada pemikiran Thomas Aquinas, iman dan akal bukanlah dua sumber kebenaran yang bertentangan, tetapi dua jalan yang berujung pada satu kebenaran yang sama, yakni Tuhan sebagai kebenaran mutlak (veritas prima).¹¹ Akal manusia memiliki kemampuan untuk mengenal Tuhan secara parsial melalui ciptaan dan refleksi rasional, tetapi hanya iman yang dapat membawa manusia kepada pemahaman penuh tentang misteri ilahi yang melampaui batas rasio.¹²

Sintesis ini berbeda dari rasionalisme modern yang menganggap akal sebagai ukuran tunggal kebenaran, maupun fideisme yang menolak rasionalitas dalam iman.¹³ Teisme menempuh jalan tengah yang kreatif, di mana iman membuka dimensi kebenaran yang tak terjangkau oleh logika empiris, namun tidak meniadakan rasionalitas.¹⁴ Sebagaimana ditegaskan oleh John Paul II dalam Fides et Ratio, iman tanpa akal dapat jatuh dalam takhayul, sedangkan akal tanpa iman kehilangan arah dan makna etisnya.¹⁵

Dengan demikian, Teisme menawarkan epistemologi dialogis, di mana iman dan akal saling memperkaya. Akal menuntun iman agar tetap kritis dan rasional, sementara iman menuntun akal agar terbuka pada misteri yang melampaui dirinya.¹⁶ Dalam kerangka ini, kebenaran bukanlah sekadar korespondensi logis, tetapi juga partisipasi eksistensial dalam Kebenaran itu sendiri, yaitu Tuhan.¹⁷

8.3.       Teisme sebagai Sintesis Rasionalitas dan Spiritualitas

Teisme menyediakan kerangka sintesis antara rasionalitas filosofis dan spiritualitas religius. Di satu sisi, ia memelihara penalaran rasional tentang realitas; di sisi lain, ia mengakui bahwa kebenaran tertinggi hanya dapat dialami dalam dimensi transenden.¹⁸ Filsafat teistik menolak reduksionisme saintifik yang menganggap seluruh realitas dapat dijelaskan oleh mekanisme material, tetapi juga menghindari mistisisme yang menolak rasionalitas sama sekali.¹⁹

Dalam pandangan teistik, rasionalitas dan spiritualitas adalah dua aspek dari satu kesadaran yang sama: keduanya berakar dalam hakikat manusia sebagai makhluk yang diciptakan menurut citra Tuhan (imago Dei).²⁰ Rasionalitas mencerminkan kebijaksanaan Ilahi (sapientia Dei), sedangkan spiritualitas mencerminkan relasi kasih antara Tuhan dan manusia.²¹ Dengan demikian, berpikir secara rasional tentang Tuhan tidak bertentangan dengan berdoa kepada-Nya; justru keduanya merupakan dua cara manusia menanggapi realitas yang sama, yakni realitas Ilahi yang rasional sekaligus personal.²²

David Bentley Hart menegaskan bahwa Teisme adalah filsafat kesadaran tertinggi, karena menyatukan pengalaman akan keberadaan (being), kesadaran (consciousness), dan kebahagiaan (bliss).²³ Ketiga dimensi ini tidak hanya menggambarkan sifat Tuhan, tetapi juga struktur dasar realitas yang dihayati manusia.²⁴ Dalam kerangka sintesis ini, Teisme mengatasi dikotomi lama antara sains dan agama, antara pengetahuan dan iman, serta antara intelek dan spiritualitas.²⁵

8.4.       Implikasi Eksistensial: Makna, Moralitas, dan Tujuan Akhir

Sintesis filosofis Teisme berujung pada pemahaman bahwa eksistensi manusia menemukan makna sejatinya hanya dalam relasi dengan Tuhan.²⁶ Jika Tuhan adalah sumber keberadaan dan kebaikan, maka makna hidup manusia tidak dapat dilepaskan dari partisipasinya dalam kehidupan Ilahi.²⁷ Hal ini sekaligus memberikan jawaban terhadap krisis makna dan nihilisme moral yang mewarnai modernitas.²⁸ Tanpa orientasi teistik, manusia kehilangan arah normatif dan terjebak dalam relativisme nilai yang meniadakan kebenaran moral objektif.²⁹

Teisme menegaskan bahwa kebebasan sejati bukanlah otonomi dari Tuhan, melainkan kesesuaian kehendak manusia dengan kehendak Ilahi.³⁰ Dalam pengertian ini, etika teistik bersifat teleologis: segala tindakan bermoral mengarah pada telos tertinggi, yaitu penyatuan dengan Tuhan (unio cum Deo).³¹ Dengan demikian, makna, nilai, dan kebahagiaan bukanlah tujuan-tujuan terpisah, melainkan tiga aspek dari satu realitas eksistensial yang bersumber pada Tuhan.³²

Sintesis ini juga membuka jalan bagi Teisme untuk berperan dalam ranah global dan lintasdisipliner—sebagai kerangka kosmologis, moral, dan spiritual yang mampu menafsirkan realitas secara menyeluruh tanpa meniadakan pluralitas pengalaman manusia.³³ Dalam dunia yang dilanda sekularisme, Teisme tampil bukan sebagai dogma tertutup, tetapi sebagai horizon metafisik yang rasional, terbuka, dan manusiawi—menghubungkan pengetahuan, makna, dan nilai dalam satu kesatuan eksistensial.³⁴


Footnotes

[1]                Étienne Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1991), 215–217.

[2]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, q.2, a.3.

[3]                Jacques Maritain, Existence and the Existent (New York: Pantheon Books, 1948), 110–112.

[4]                W. Norris Clarke, The One and the Many: A Contemporary Thomistic Metaphysics (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2001), 83–85.

[5]                Brian Davies, An Introduction to the Philosophy of Religion (Oxford: Oxford University Press, 2004), 87–88.

[6]                Richard Swinburne, The Coherence of Theism, rev. ed. (Oxford: Clarendon Press, 1993), 210–212.

[7]                David Bentley Hart, The Experience of God: Being, Consciousness, Bliss (New Haven, CT: Yale University Press, 2013), 145–147.

[8]                Alister McGrath, A Scientific Theology, Vol. 1: Nature (Grand Rapids, MI: Eerdmans, 2001), 50–52.

[9]                John Polkinghorne, Belief in God in an Age of Science (New Haven, CT: Yale University Press, 1998), 18–19.

[10]             Étienne Gilson, Reason and Revelation in the Middle Ages (New York: Charles Scribner’s Sons, 1938), 91–93.

[11]             Thomas Aquinas, Summa Contra Gentiles, trans. Anton C. Pegis (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1975), I, 7.

[12]             Josef Pieper, The Silence of St. Thomas (South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 1999), 45–47.

[13]             Alvin Plantinga, Warranted Christian Belief (Oxford: Oxford University Press, 2000), 179–181.

[14]             Paul Tillich, Systematic Theology, Vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1951), 63–65.

[15]             John Paul II, Fides et Ratio (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 1998), §42.

[16]             Brian Leftow, “God and Eternity,” in The Oxford Handbook of Philosophical Theology, ed. Thomas P. Flint and Michael C. Rea (Oxford: Oxford University Press, 2009), 275–276.

[17]             Augustine, De Trinitate, trans. Edmund Hill (Brooklyn, NY: New City Press, 1991), XV.3.

[18]             Gabriel Marcel, The Mystery of Being (Chicago: Henry Regnery, 1951), 89–90.

[19]             Karl Rahner, Foundations of Christian Faith (New York: Seabury Press, 1978), 118–120.

[20]             W. Norris Clarke, Person and Being (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1993), 77–78.

[21]             Josef Pieper, Happiness and Contemplation (South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 1998), 21–22.

[22]             C. S. Lewis, The Abolition of Man (New York: HarperOne, 2001), 56–57.

[23]             Hart, The Experience of God, 199–201.

[24]             Ibid., 205–207.

[25]             John Haught, Science and Faith: A New Introduction (New York: Paulist Press, 2012), 33–35.

[26]             Viktor Frankl, Man’s Search for Meaning, trans. Ilse Lasch (Boston: Beacon Press, 1959), 115–117.

[27]             Augustine, Confessiones, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 1991), I.1.

[28]             Friedrich Nietzsche, The Gay Science, trans. Walter Kaufmann (New York: Vintage Books, 1974), §125.

[29]             Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 263–265.

[30]             Thomas Aquinas, Summa Theologica, I-II, q.17, a.1.

[31]             Augustine, De Civitate Dei, trans. Henry Bettenson (London: Penguin Books, 1972), XIX.13.

[32]             Robert Merrihew Adams, Finite and Infinite Goods: A Framework for Ethics (Oxford: Oxford University Press, 1999), 186–188.

[33]             Raimon Panikkar, The Cosmotheandric Experience: Emerging Religious Consciousness (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1993), 45–47.

[34]             David Ray Griffin, Reenchantment without Supernaturalism: A Process Philosophy of Religion (Ithaca, NY: Cornell University Press, 2001), 319–321.


9.           Kesimpulan

9.1.       Rekapitulasi dan Inti Sintesis

Dari keseluruhan uraian metafisik, epistemologis, dan etis yang telah dibahas, dapat disimpulkan bahwa Teisme merupakan sistem filsafat yang paling komprehensif dalam menjelaskan realitas tertinggi.¹ Ia tidak hanya menegaskan bahwa Tuhan adalah sumber pertama (causa prima) dari segala yang ada, tetapi juga menjelaskan bahwa realitas bersifat rasional, bernilai, dan bermakna karena berakar pada keberadaan Ilahi.² Dengan demikian, Teisme tidak berdiri sekadar sebagai sistem kepercayaan religius, melainkan sebagai kerangka metafisik yang menyatukan antara eksistensi, pengetahuan, dan nilai dalam satu kesatuan ontologis yang koheren.³

Teisme menegaskan bahwa dunia bukan hasil kebetulan, melainkan manifestasi dari kebijaksanaan Tuhan yang rasional dan personal.⁴ Tuhan, sebagai Ens Perfectissimum (wujud paling sempurna), menjadi dasar bagi keteraturan kosmos, kebenaran rasional, dan kebaikan moral.⁵ Dalam pandangan ini, seluruh ciptaan memperoleh eksistensinya melalui partisipasi dalam keberadaan Tuhan (participatio entis), dan akal manusia, sebagai cerminan Logos Ilahi, mampu mengenali jejak-Nya dalam realitas.⁶ Oleh karena itu, Teisme menyatukan dimensi kosmologis, epistemologis, dan aksiologis dalam suatu sistem metafisika yang saling mendukung dan konsisten.⁷

9.2.       Relevansi Filosofis dan Kultural

Secara filosofis, Teisme tetap relevan di tengah arus sekularisasi, materialisme, dan relativisme nilai yang mewarnai dunia kontemporer.⁸ Ketika paradigma ilmiah modern cenderung memisahkan fakta dan makna, Teisme menghadirkan kembali fondasi integratif yang menegaskan bahwa realitas tidak netral secara metafisik maupun etis.⁹ Tuhan bukan sekadar hipotesis penjelas, tetapi horizon makna yang memberi orientasi pada pengetahuan, moralitas, dan eksistensi manusia.¹⁰ Dalam dunia yang kehilangan pusat nilai, Teisme berfungsi sebagai prinsip keteraturan eksistensial, yang menegaskan bahwa kebenaran, kebaikan, dan keindahan memiliki dasar ontologis yang sama—yakni Tuhan sebagai Verum, Bonum, et Pulchrum.¹¹

Kehadiran Teisme juga memiliki implikasi budaya dan sosial. Dalam masyarakat pluralistik, Teisme dapat menjadi landasan dialog antaragama karena menegaskan kesatuan prinsip transendensi di balik keragaman ekspresi religius.¹² Selain itu, dalam konteks krisis ekologis global, Teisme memberikan dasar etis yang kuat bagi ekoteologi dan spiritualitas lingkungan: dunia dipahami sebagai ciptaan Tuhan yang bernilai intrinsik dan menuntut tanggung jawab manusia sebagai penjaga ciptaan.¹³ Dengan demikian, Teisme tidak hanya berbicara tentang Tuhan, tetapi juga tentang cara manusia mengada dan bertanggung jawab dalam dunia yang diciptakan.¹⁴

9.3.       Implikasi Eksistensial: Tuhan sebagai Makna dan Tujuan Akhir

Pada tingkat eksistensial, Teisme menjawab pertanyaan fundamental tentang makna dan tujuan hidup manusia.¹⁵ Jika manusia adalah makhluk yang diciptakan menurut citra Tuhan (imago Dei), maka eksistensinya memperoleh makna sejati hanya dalam relasi dengan Tuhan.¹⁶ Dalam relasi ini, iman, akal, dan kehendak manusia menemukan kesatuan: berpikir menjadi bentuk penyembahan, dan bertindak bermoral menjadi ekspresi kasih terhadap Sang Pencipta.¹⁷

Teisme, dalam bentuknya yang matang, bukanlah sistem metafisik tertutup, melainkan visi terbuka tentang realitas yang selalu dapat diperdalam dan dikoreksi.¹⁸ Ia mengajarkan bahwa kebenaran tertinggi tidak hanya untuk dipahami, tetapi untuk dihayati—sebagai persekutuan antara manusia dan Tuhan.¹⁹ Dalam konteks ini, refleksi teistik bukan sekadar wacana intelektual, melainkan jalan hidup filosofis dan spiritual, di mana pengetahuan berpadu dengan penyembahan, dan rasionalitas berpadu dengan cinta.²⁰

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa Teisme tetap menjadi fondasi metafisika yang paling koheren dan manusiawi—karena mampu menggabungkan antara rasio dan iman, pengetahuan dan nilai, eksistensi dan tujuan.²¹ Ia menawarkan sebuah horizon berpikir yang rasional namun terbuka terhadap misteri, ilmiah namun berakar pada nilai spiritual, dan universal namun menghormati partikularitas pengalaman manusia.²² Dalam dunia yang kehilangan arah dan makna, Teisme hadir bukan sebagai relik masa lalu, tetapi sebagai peta eksistensial bagi masa depan filsafat dan kemanusiaan.²³


Footnotes

[1]                Étienne Gilson, God and Philosophy (New Haven, CT: Yale University Press, 1941), 90–91.

[2]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, q.2, a.3.

[3]                Jacques Maritain, Existence and the Existent (New York: Pantheon Books, 1948), 111–112.

[4]                William Lane Craig, Reasonable Faith: Christian Truth and Apologetics, 3rd ed. (Wheaton, IL: Crossway, 2008), 145–147.

[5]                Brian Davies, An Introduction to the Philosophy of Religion (Oxford: Oxford University Press, 2004), 29–30.

[6]                W. Norris Clarke, The One and the Many: A Contemporary Thomistic Metaphysics (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2001), 95–97.

[7]                David Bentley Hart, The Experience of God: Being, Consciousness, Bliss (New Haven, CT: Yale University Press, 2013), 147–149.

[8]                Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2007), 424–426.

[9]                Paul Ricoeur, Figuring the Sacred: Religion, Narrative, and Imagination, trans. David Pellauer (Minneapolis: Fortress Press, 1995), 31–33.

[10]             Alister McGrath, The Open Secret: A New Vision for Natural Theology (Oxford: Blackwell, 2008), 23–25.

[11]             Hans Urs von Balthasar, The Glory of the Lord: A Theological Aesthetics, Vol. 1 (San Francisco: Ignatius Press, 1982), 19–21.

[12]             John Hick, An Interpretation of Religion: Human Responses to the Transcendent (New Haven, CT: Yale University Press, 1989), 230–232.

[13]             Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), §67–69.

[14]             Raimon Panikkar, The Cosmotheandric Experience: Emerging Religious Consciousness (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1993), 46–48.

[15]             Viktor Frankl, Man’s Search for Meaning, trans. Ilse Lasch (Boston: Beacon Press, 1959), 118–120.

[16]             Augustine, Confessiones, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 1991), I.1.

[17]             Gabriel Marcel, The Mystery of Being (Chicago: Henry Regnery, 1951), 99–100.

[18]             Karl Rahner, Foundations of Christian Faith (New York: Seabury Press, 1978), 122–123.

[19]             Josef Pieper, Happiness and Contemplation (South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 1998), 22–23.

[20]             Paul Tillich, Systematic Theology, Vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1951), 241–243.

[21]             Alvin Plantinga, Warranted Christian Belief (Oxford: Oxford University Press, 2000), 182–184.

[22]             C. S. Lewis, The Abolition of Man (New York: HarperOne, 2001), 63–65.

[23]             David Bentley Hart, The Beauty of the Infinite: The Aesthetics of Christian Truth (Grand Rapids, MI: Eerdmans, 2003), 435–437.


Daftar Pustaka

Adams, R. M. (1999). Finite and infinite goods: A framework for ethics. Oxford University Press.

Anselm of Canterbury. (1965). Proslogion (M. J. Charlesworth, Trans.). Clarendon Press.

Aquinas, T. (1947). Summa theologica (Fathers of the English Dominican Province, Trans.). Benziger Bros.

Aquinas, T. (1975). Summa contra gentiles (A. C. Pegis, Trans.). University of Notre Dame Press.

Aristotle. (1924). Metaphysics (W. D. Ross, Trans.). Clarendon Press.

Aristotle. (1999). Nicomachean ethics (T. Irwin, Trans.). Hackett.

Augustine. (1955). Enchiridion on faith, hope, and love (A. C. Outler, Trans.). Regnery.

Augustine. (1972). The city of God (H. Bettenson, Trans.). Penguin Books.

Augustine. (1991). Confessiones (H. Chadwick, Trans.). Oxford University Press.

Augustine. (1991). De trinitate (E. Hill, Trans.). New City Press.

Barr, S. (2003). Modern physics and ancient faith. University of Notre Dame Press.

Balthasar, H. U. von. (1982). The glory of the Lord: A theological aesthetics (Vol. 1). Ignatius Press.

Berger, P. L. (1980). The heretical imperative: Contemporary possibilities of religious affirmation. Anchor Books.

Boethius. (1969). The consolation of philosophy (V. E. Watts, Trans.). Penguin Books.

Boyle, R. (1690). The Christian virtuoso. Joseph Downing.

Buber, M. (1970). I and thou (W. Kaufmann, Trans.). Charles Scribner’s Sons.

Caputo, J. D. (2006). The weakness of God: A theology of the event. Indiana University Press.

Clarke, W. N. (1993). Person and being. University of Notre Dame Press.

Clarke, W. N. (2001). The one and the many: A contemporary Thomistic metaphysics. University of Notre Dame Press.

Collins, R. (2009). The teleological argument: An exploration of the fine-tuning of the universe. In W. L. Craig & J. P. Moreland (Eds.), The Blackwell companion to natural theology (pp. 202–281). Wiley-Blackwell.

Copleston, F. (1950). A history of philosophy (Vol. 2): Medieval philosophy. Doubleday.

Craig, W. L. (2008). Reasonable faith: Christian truth and apologetics (3rd ed.). Crossway.

Darwin, C. (1859). On the origin of species. John Murray.

Davies, B. (2004). An introduction to the philosophy of religion. Oxford University Press.

Dawkins, R. (1986). The blind watchmaker. W. W. Norton.

Dawkins, R. (2006). The God delusion. Bantam Press.

Descartes, R. (1986). Meditations on first philosophy (J. Cottingham, Trans.). Cambridge University Press.

Eco, U. (1986). Art and beauty in the Middle Ages. Yale University Press.

Epicurus. (1926). Letter to Menoeceus (C. Bailey, Trans.). Clarendon Press.

Fakhry, M. (2004). A history of Islamic philosophy (3rd ed.). Columbia University Press.

Feuerbach, L. (1957). The essence of Christianity (G. Eliot, Trans.). Harper.

Flew, A. (2005). God and philosophy. Prometheus Books.

Flew, A., & MacIntyre, A. (Eds.). (1955). New essays in philosophical theology. SCM Press.

Frankl, V. E. (1959). Man’s search for meaning (I. Lasch, Trans.). Beacon Press.

Gay, P. (1966). The Enlightenment: An interpretation, Vol. 1: The rise of modern paganism. Knopf.

Gilson, É. (1938). Reason and revelation in the Middle Ages. Charles Scribner’s Sons.

Gilson, É. (1941). God and philosophy. Yale University Press.

Gilson, É. (1956). The Christian philosophy of St. Thomas Aquinas. University of Notre Dame Press.

Gilson, É. (1991). The spirit of medieval philosophy. University of Notre Dame Press.

Griffin, D. R. (1976). God, power, and evil: A process theodicy. Westminster John Knox Press.

Griffin, D. R. (2001). Reenchantment without supernaturalism: A process philosophy of religion. Cornell University Press.

Guthrie, W. K. C. (1962). A history of Greek philosophy, Vol. 1: The earlier Presocratics and the Pythagoreans. Cambridge University Press.

Hart, D. B. (2003). The beauty of the infinite: The aesthetics of Christian truth. Eerdmans.

Hart, D. B. (2013). The experience of God: Being, consciousness, bliss. Yale University Press.

Hartshorne, C. (1984). Omnipotence and other theological mistakes. State University of New York Press.

Haught, J. (2012). Science and faith: A new introduction. Paulist Press.

Hawking, S. (1988). A brief history of time. Bantam Books.

Heschel, A. J. (1955). God in search of man: A philosophy of Judaism. Farrar, Straus and Giroux.

Hick, J. (1989). Philosophy of religion (4th ed.). Prentice Hall.

Hick, J. (1989). An interpretation of religion: Human responses to the transcendent. Yale University Press.

Hick, J. (2007). Evil and the God of love (Rev. ed.). Palgrave Macmillan.

Hildebrand, D. von. (1953). Christian ethics. David McKay.

Hume, D. (1947). Dialogues concerning natural religion (N. Kemp Smith, Ed.). Bobbs-Merrill.

Husserl, E. (1982). Ideas pertaining to a pure phenomenology and to a phenomenological philosophy (F. Kersten, Trans.). Nijhoff.

Jaki, S. L. (1978). The road of science and the ways to God. University of Chicago Press.

James, W. (1902). The varieties of religious experience. Longmans, Green & Co.

Kant, I. (1997). Critique of practical reason (M. Gregor, Trans.). Cambridge University Press.

Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P. Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge University Press.

Kierkegaard, S. (1985). Fear and trembling (A. Hannay, Trans.). Penguin Books.

Kretzmann, N., & Stump, E. (Eds.). (1993). The Cambridge companion to Aquinas. Cambridge University Press.

Leftow, B. (2009). God and eternity. In T. P. Flint & M. C. Rea (Eds.), The Oxford handbook of philosophical theology (pp. 269–290). Oxford University Press.

Lewis, C. S. (1960). The four loves. Harcourt, Brace.

Lewis, C. S. (2001). The abolition of man. HarperOne.

Marcel, G. (1951). The mystery of being. Henry Regnery.

Marcel, G. (2002). Creative fidelity. Fordham University Press.

Maritain, J. (1948). Existence and the existent. Pantheon Books.

Maritain, J. (1964). Moral philosophy: An historical and critical survey of the great systems. Charles Scribner’s Sons.

MacIntyre, A. (1999). Dependent rational animals: Why human beings need the virtues. Open Court.

MacIntyre, A. (2007). After virtue: A study in moral theory (3rd ed.). University of Notre Dame Press.

Mackie, J. L. (1955). Evil and omnipotence. Mind, 64(254), 200–212.

McFague, S. (1993). The body of God: An ecological theology. Fortress Press.

McGrath, A. (2008). The open secret: A new vision for natural theology. Blackwell.

Molina, L. de. (1988). On divine foreknowledge (Part IV of the Concordia) (A. J. Freddoso, Trans.). Cornell University Press.

Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the sacred. State University of New York Press.

Newton, I. (1999). The principia: Mathematical principles of natural philosophy (I. B. Cohen & A. Whitman, Trans.). University of California Press.

Nietzsche, F. (1974). The gay science (W. Kaufmann, Trans.). Vintage Books.

Otto, R. (1958). The idea of the holy (J. W. Harvey, Trans.). Oxford University Press.

Paley, W. (1802). Natural theology. R. Faulder.

Panikkar, R. (1978). The intrareligious dialogue. Paulist Press.

Panikkar, R. (1993). The cosmotheandric experience: Emerging religious consciousness. Orbis Books.

Pieper, J. (1966). The four cardinal virtues. University of Notre Dame Press.

Pieper, J. (1998). Happiness and contemplation. St. Augustine’s Press.

Pinnock, C. H., et al. (1994). The openness of God: A biblical challenge to the traditional understanding of God. InterVarsity Press.

Plantinga, A. (1967). God and other minds. Cornell University Press.

Plantinga, A. (1974). The nature of necessity. Clarendon Press.

Plantinga, A. (2000). Warranted Christian belief. Oxford University Press.

Plantinga, A. (2011). Where the conflict really lies: Science, religion, and naturalism. Oxford University Press.

Plato. (1914). Euthyphro (H. N. Fowler, Trans.). Harvard University Press.

Plato. (1930). Republic (P. Shorey, Trans.). Harvard University Press.

Polkinghorne, J. (1989). Science and providence: God’s interaction with the world. SPCK.

Polkinghorne, J. (1998). Belief in God in an age of science. Yale University Press.

Polkinghorne, J. (1988). Science and creation: The search for understanding. SPCK.

Pope Francis. (2015). Laudato Si’: On care for our common home. Libreria Editrice Vaticana.

Rahner, K. (1978). Foundations of Christian faith. Seabury Press.

Ricoeur, P. (1995). Figuring the sacred: Religion, narrative, and imagination (D. Pellauer, Trans.). Fortress Press.

Rolston, H. III. (1988). Environmental ethics: Duties to and values in the natural world. Temple University Press.

Scruton, R. (2014). The soul of the world. Princeton University Press.

Smith, H. (1991). The world’s religions. HarperOne.

Stace, W. T. (1920). A critical history of Greek philosophy. Macmillan.

Swidler, L. (1990). After the absolute: The dialogical future of religious reflection. Fortress Press.

Swinburne, R. (1993). The coherence of theism (Rev. ed.). Clarendon Press.

Swinburne, R. (2004). The existence of God. Clarendon Press.

Swinburne, R. (2005). Faith and reason (2nd ed.). Clarendon Press.

Taylor, C. (1989). Sources of the self: The making of the modern identity. Harvard University Press.

Taylor, C. (2007). A secular age. Harvard University Press.

Tillich, P. (1951). Systematic theology (Vol. 1). University of Chicago Press.

Tillich, P. (1954). Love, power, and justice. Oxford University Press.

Wippel, J. F. (2000). The metaphysical thought of Thomas Aquinas. Catholic University of America Press.

Wittgenstein, L. (1922). Tractatus logico-philosophicus (C. K. Ogden, Trans.). Routledge.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar