Augustinisme
Integrasi antara Iman dan Akal dalam Filsafat Kristen
Awal
Alihkan ke: Aliran Sejarah Filsafat.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif aliran
filsafat Augustinisme, yaitu sistem pemikiran yang berakar pada refleksi
teologis dan filosofis Santo Agustinus dari Hippo (354–430 M). Sebagai sintesis
antara iman Kristen dan rasionalitas Yunani, Augustinisme berupaya
mengintegrasikan antara wahyu dan akal, iman dan pengetahuan,
serta kasih dan kebenaran dalam satu kesatuan metafisis dan etis yang
utuh.
Kajian ini meliputi dua belas aspek utama: mulai
dari landasan historis dan genealogi intelektual, hingga
pembahasan mendalam tentang ontologi ilahi, epistemologi iluminatif,
antropologi spiritual, etika kasih, teologi politik, dan estetika
sebagai refleksi keindahan ilahi. Di bagian akhir, artikel ini mengulas kritik
terhadap Augustinisme dari perspektif skolastik, rasionalis, dan
postmodern, serta menyoroti pengaruh dan relevansinya dalam konteks
teologi, filsafat modern, dan etika kontemporer.
Filsafat Agustinus menegaskan bahwa Tuhan adalah ipsum
esse subsistens—realitas tertinggi yang menjadi sumber segala kebenaran dan
kebaikan. Melalui konsep illuminatio divina dan ordo amoris,
Agustinus mengajarkan bahwa akal manusia memperoleh pengetahuan sejati hanya
melalui pencerahan ilahi dan bahwa tatanan moral manusia bergantung pada kasih
yang tertib. Dengan demikian, Augustinisme menghadirkan paradigma iman
sebagai jalan menuju rasio, di mana kebenaran tidak hanya dipahami secara
intelektual, tetapi juga dialami secara eksistensial melalui cinta kepada
Tuhan.
Dalam konteks kontemporer, Augustinisme tetap
relevan sebagai model humanisme teologis yang memadukan rasionalitas dan
spiritualitas. Ia menjadi jembatan konseptual antara metafisika klasik dan
filsafat modern, serta menjadi sumber inspirasi bagi dialog antara iman, sains,
dan moralitas. Dengan mengembalikan filsafat pada dimensi batin dan cinta
kebenaran, Augustinisme menawarkan jawaban filosofis yang mendalam terhadap
krisis makna manusia modern.
Kata Kunci: Agustinus dari Hippo; Augustinisme; Iman dan Akal;
Illuminatio Divina; Ordo Amoris; Filsafat Kristen; Ontologi Ilahi; Etika Kasih;
Civitas Dei; Humanisme Teologis; Relevansi Kontemporer.
PEMBAHASAN
Augustinisme dalam Konteks Transisi Filsafat Klasik
Menuju Filsafat Kristen
1.
Pendahuluan
Filsafat Augustinian atau Augustinisme
merupakan salah satu tonggak penting dalam sejarah filsafat Barat, terutama
karena ia menandai titik temu antara rasionalitas Yunani dan spiritualitas
Kristen. Melalui pemikiran Santo Agustinus dari Hippo (354–430 M), filsafat
yang semula berorientasi pada pencarian rasional akan kebenaran diubah menjadi
refleksi batiniah yang menghubungkan akal manusia dengan wahyu ilahi. Dalam
konteks sejarah intelektual, Augustinisme menjadi fondasi utama bagi lahirnya
teologi Kristen Latin dan memberikan arah baru bagi filsafat abad pertengahan
yang kemudian berkembang dalam Skolastisisme.¹
Latar belakang munculnya Augustinisme tidak dapat
dilepaskan dari pergumulan Agustinus sendiri dalam menghadapi dua kutub besar
pemikiran zamannya: rasionalisme klasik yang diwariskan Plato dan
neoplatonisme, serta ajaran iman Kristen yang berkembang pesat pasca
Konstantinus. Agustinus berupaya merekonsiliasi dua tradisi ini, dengan
menegaskan bahwa iman dan akal bukanlah entitas yang saling bertentangan,
melainkan dua jalan menuju satu kebenaran yang sama, yaitu Tuhan.²
Dalam pandangan Agustinus, filsafat sejati adalah
upaya manusia untuk mengenal Allah dan memahami dirinya sendiri di hadapan
Allah. Oleh karena itu, epistemologi, ontologi, dan etika dalam Augustinisme
selalu berakar pada pengalaman batiniah manusia sebagai makhluk spiritual.
Agustinus menolak pandangan materialistik yang menganggap realitas hanya
sebatas fenomena fisik, dan menggantikannya dengan pemahaman metafisis bahwa
dunia diciptakan ex nihilo oleh Tuhan yang kekal.³
Lebih jauh, pemikiran Agustinus menekankan
pentingnya dimensi moral dan eksistensial dalam kehidupan manusia. Melalui
konsep ordo amoris (tatanan kasih), ia menggambarkan bahwa kehendak
manusia yang diarahkan kepada Tuhan menjadi sumber kebaikan sejati, sedangkan
penyimpangan cinta menuju dunia fana adalah akar dari dosa dan penderitaan.⁴
Dengan demikian, Augustinisme bukan hanya sistem filsafat teoretis, tetapi juga
sebuah kerangka etika dan spiritualitas yang menyatukan dimensi intelektual dan
religius kehidupan manusia.
Dengan memahami Augustinisme, kita dapat melihat
bagaimana filsafat Kristen awal membangun jembatan antara rasio dan iman,
antara dunia ide dan realitas historis. Artikel ini akan membahas secara
sistematis aspek historis, ontologis, epistemologis, etis, teologis, hingga
relevansi kontemporer Augustinisme, guna menyingkap warisan intelektual
Agustinus sebagai pelopor sintesis antara iman dan akal dalam tradisi filsafat
Barat.⁵
Footnotes
[1]
Étienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Augustine
(New York: Random House, 1960), 15–17.
[2]
Henry Chadwick, Augustine: A Very Short
Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2001), 22–24.
[3]
John Rist, Augustine: Ancient Thought Baptized
(Cambridge: Cambridge University Press, 1994), 38–41.
[4]
James Wetzel, Augustine and the Limits of Virtue
(Cambridge: Cambridge University Press, 1992), 67–70.
[5]
Frederick Copleston, A History of Philosophy,
Vol. 2: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 23–25.
2.
Landasan
Historis dan Genealogis
Kemunculan
Augustinisme tidak dapat dipahami tanpa melihat konteks sejarah dan
genealoginya dalam pergumulan intelektual dunia Romawi akhir. Agustinus hidup
pada masa ketika Kekaisaran Romawi sedang mengalami krisis moral, politik, dan
spiritual yang mendalam. Pada abad ke-4 M, dunia klasik yang berakar pada
filsafat Yunani–Romawi mulai diguncang oleh perubahan besar akibat kristenisasi
kekaisaran dan pergeseran pusat otoritas intelektual dari dunia pagan ke dunia
gereja.¹ Dalam situasi tersebut, Agustinus menjadi figur yang menegaskan peran
filsafat sebagai pelayan teologi (philosophia ancilla theologiae)—bukan
untuk meniadakan rasio, tetapi untuk menuntun rasio menuju kebenaran ilahi.²
2.1.
Latar Sosial dan Intelektual Abad Ke-4 dan Ke-5
M
Masa hidup Agustinus
ditandai oleh ketegangan antara warisan rasionalisme klasik dan kebangkitan
spiritualitas Kristen. Di wilayah Afrika Utara, tempat ia lahir (Tagaste,
Numidia), berbagai aliran pemikiran berkembang: Manikheisme, skeptisisme
Akademik, dan neoplatonisme.³ Agustinus muda sempat terpengaruh oleh
Manikheisme, yang menawarkan penjelasan dualistik tentang kebaikan dan
kejahatan, namun akhirnya ia menolaknya setelah menemukan bahwa dualisme
tersebut gagal menjawab hakikat ontologis dari kejahatan.⁴
Perjumpaannya dengan
neoplatonisme melalui karya Plotinus dan Porphyry menjadi titik balik
intelektual. Neoplatonisme memberinya kerangka metafisik untuk memahami Tuhan
sebagai sumber segala kebaikan dan keindahan, serta dunia sebagai pancaran
(emanasi) dari realitas tertinggi.⁵ Namun, Agustinus menolak aspek panteistik
neoplatonisme dan menggantikannya dengan konsep penciptaan ex
nihilo—dunia tidak emanasi dari Tuhan, melainkan hasil dari
kehendak bebas-Nya.⁶
2.2.
Pengaruh Filsafat Yunani dan Tradisi Latin
Dari filsafat
Yunani, khususnya Platonisme, Agustinus mengadopsi pandangan tentang dunia ide,
dualitas antara jiwa dan tubuh, serta konsep kebenaran yang bersifat immaterial
dan abadi. Namun, Agustinus menafsirkan ulang gagasan Plato dalam kerangka
teologis: ide-ide bukanlah entitas mandiri di dunia terpisah, melainkan pikiran
Tuhan sendiri.⁷ Dengan demikian, Augustinisme menjadi bentuk kristenisasi
Platonisme, di mana metafisika Yunani disinari oleh wahyu Kristiani.
Dalam tradisi Latin,
pengaruh besar datang dari Tertulianus dan Ambrosius dari Milan. Dari
Ambrosius, Agustinus belajar hermeneutika alegoris dalam menafsirkan Kitab Suci
serta pendekatan rasional terhadap iman.⁸ Ia mengintegrasikan gaya retorika
klasik Cicero dengan spiritualitas Kristen, menjadikan tulisannya sarana
pengajaran moral dan kontemplatif.⁹
2.3.
Transisi Menuju Filsafat Kristen Abad
Pertengahan
Augustinisme
kemudian menjadi dasar intelektual bagi teologi Latin pada abad pertengahan.
Pemikiran Agustinus tentang jiwa, kehendak bebas, dan kasih ilahi diadopsi oleh
para Bapa Gereja dan skolastikus awal, seperti Boethius dan Anselmus dari
Canterbury.¹⁰ Melalui mereka, Augustinisme diwariskan ke dalam struktur
rasional teologi skolastik, sebelum akhirnya disistematisasi ulang oleh Thomas
Aquinas yang mencoba mensintesiskan Augustinisme dengan Aristotelianisme.¹¹
Dengan demikian,
secara genealogis, Augustinisme berdiri di perbatasan antara warisan filsafat
klasik dan pembentukan filsafat Kristen abad pertengahan. Ia bukan hanya reaksi
terhadap dunia pagan, tetapi juga transformasi mendalam terhadap rasionalitas
Yunani, menjadikannya alat kontemplatif untuk memahami Tuhan dan jiwa
manusia.¹²
Footnotes
[1]
Peter Brown, Augustine of Hippo: A
Biography, 2nd ed. (Berkeley:
University of California Press, 2000), 45–49.
[2]
Étienne Gilson, The Spirit of Medieval
Philosophy (New York: Scribner’s,
1940), 29–31.
[3]
Henry Chadwick, Augustine: A Very Short
Introduction (Oxford: Oxford
University Press, 2001), 11–13.
[4]
Robert Markus, Saeculum: History and
Society in the Theology of St. Augustine (Cambridge: Cambridge University Press, 1970), 22–25.
[5]
John Rist, Augustine: Ancient
Thought Baptized (Cambridge:
Cambridge University Press, 1994), 33–36.
[6]
Gerald Bonner, St. Augustine of Hippo:
Life and Controversies (Norwich:
Canterbury Press, 2002), 74–78.
[7]
A. H. Armstrong, Plotinus and
Christianity (London: Variorum,
1992), 59–62.
[8]
Carol Harrison, Beauty and Revelation
in the Thought of Saint Augustine
(Oxford: Clarendon Press, 1992), 19–22.
[9]
James O’Donnell, Augustine: Confessions,
Vol. 1 (Oxford: Oxford University
Press, 1992), 12–15.
[10]
Étienne Gilson, The Christian
Philosophy of St. Augustine (New
York: Random House, 1960), 95–97.
[11]
Frederick Copleston, A
History of Philosophy, Vol. 2: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 56–59.
[12]
Jaroslav Pelikan, The Christian
Tradition: A History of the Development of Doctrine, Vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1971),
289–292.
3.
Ontologi:
Tuhan sebagai Realitas Tertinggi
Ontologi Augustinian
berakar pada keyakinan bahwa Tuhan adalah realitas tertinggi dan sumber
segala keberadaan. Agustinus memandang seluruh realitas
bersifat hierarkis, di mana keberadaan yang lebih rendah bergantung pada
keberadaan yang lebih tinggi, dan pada puncaknya terdapat Tuhan sebagai Ens
Perfectissimum—wujud yang sempurna, kekal, dan tidak berubah.¹
Dalam struktur hierarki ontologis ini, segala sesuatu yang ada memperoleh
keberadaannya bukan dari dirinya sendiri, tetapi dari partisipasinya pada
keberadaan ilahi. Dengan demikian, metafisika Agustinus bersifat partisipatoris:
segala ciptaan “ikut serta” dalam keberadaan Tuhan tanpa menjadi identik
dengan-Nya.²
3.1.
Tuhan sebagai Causa Prima dan Summum Bonum
Agustinus
mengembangkan pandangan bahwa Tuhan adalah causa prima, penyebab pertama dari
segala sesuatu. Semua eksistensi yang lain bergantung sepenuhnya pada
kehendak-Nya.³ Dalam Confessiones dan De
Civitate Dei, ia menegaskan bahwa Tuhan adalah “Yang Ada” (Qui est),
menggemakan wahyu ilahi kepada Musa dalam Kitab Keluaran 3:14—“Ego sum qui
sum.”⁴ Pernyataan ini menandakan bahwa Tuhan bukan hanya ada,
melainkan sumber dari segala keberadaan itu sendiri
(ipsum
esse).
Sebagai summum
bonum (kebaikan tertinggi), Tuhan menjadi ukuran ontologis dan
moral bagi seluruh ciptaan. Semua hal baik berasal dari partisipasi terhadap
kebaikan ilahi, sementara kejahatan bukanlah substansi yang berdiri sendiri,
melainkan privatio
boni—ketiadaan atau kekurangan kebaikan.⁵ Dengan demikian, ontologi
Agustinus sekaligus memiliki dimensi etis: struktur realitas diatur berdasarkan
kadar partisipasi pada kebaikan ilahi.
3.2.
Penciptaan ex nihilo dan Ketergantungan
Ontologis Ciptaan
Berbeda dengan
Neoplatonisme yang mengajarkan emanasi dari Yang Satu (The One),
Agustinus menegaskan bahwa dunia diciptakan ex nihilo—dari ketiadaan—oleh
kehendak bebas Tuhan.⁶ Hal ini menandai pergeseran fundamental dari metafisika
Yunani ke metafisika Kristen: keberadaan bukanlah hasil keharusan metafisik,
melainkan anugerah kehendak ilahi. Dunia, dalam hal ini, memiliki eksistensi
yang kontingen,
bukan niscaya.⁷
Melalui penciptaan ex
nihilo, Agustinus juga menegaskan hubungan ontologis yang asimetris
antara Pencipta dan ciptaan: Tuhan ada secara necessarium, sementara ciptaan ada
secara contingens.
Keberadaan ciptaan bergantung terus-menerus pada pemeliharaan ilahi,
sebagaimana sinar bergantung pada matahari.⁸ Dengan demikian, Tuhan bukan hanya
penyebab awal, tetapi juga penyebab keberlanjutan dari semua yang ada (causa
essendi continua).
3.3.
Jiwa dan Realitas Spiritual
Dalam sistem
ontologinya, Agustinus menempatkan jiwa manusia pada posisi yang
istimewa di antara dunia materi dan dunia ilahi. Jiwa, menurutnya, adalah citra
Allah (imago
Dei) karena memiliki rasio, kehendak, dan ingatan.⁹ Jiwa lebih
dekat kepada Tuhan dibanding tubuh karena ia bersifat immaterial dan dapat
mengenal kebenaran yang abadi melalui pencerahan ilahi (illuminatio
divina).¹⁰
Bagi Agustinus,
realitas sejati justru terletak pada yang immaterial dan abadi, bukan pada
dunia material yang berubah.¹¹ Oleh karena itu, filsafat sejati adalah
perjalanan batin dari dunia luar menuju dunia dalam, dan akhirnya menuju
Tuhan—realitas yang paling nyata dan sempurna.¹²
3.4.
Hierarki Keberadaan dan Keteraturan Kosmos
Seluruh ciptaan,
dalam pandangan Agustinus, memiliki tingkat keberadaan yang berbeda-beda
berdasarkan kedekatan mereka dengan Tuhan. Alam semesta tersusun secara
teratur, di mana setiap makhluk memiliki tempat dan tujuan dalam ordo
universi.¹³ Keteraturan kosmos ini mencerminkan rasionalitas ilahi
yang menjadi dasar struktur realitas. Tidak ada sesuatu yang benar-benar jahat
atau sia-sia dalam ciptaan; bahkan apa yang tampak sebagai “cacat” pun memiliki
fungsi dalam keseluruhan harmoni kosmos.¹⁴
Konsep ini
menegaskan bahwa ontologi Augustinian bersifat teleologis dan teosentris:
seluruh realitas memiliki arah menuju Tuhan, sumber dan tujuan akhir segala
sesuatu (Alpha et
Omega).¹⁵
Dengan demikian,
ontologi Agustinus bukan hanya metafisika tentang keberadaan, tetapi juga teologi
tentang asal, struktur, dan tujuan realitas. Tuhan sebagai ipsum
esse subsistens menjadi pusat segala yang ada—Realitas Tertinggi
yang menjadi dasar dan akhir segala eksistensi.¹⁶
Footnotes
[1]
Étienne Gilson, The Christian
Philosophy of St. Augustine (New
York: Random House, 1960), 45–47.
[2]
John Rist, Augustine: Ancient
Thought Baptized (Cambridge:
Cambridge University Press, 1994), 52–54.
[3]
Frederick Copleston, A
History of Philosophy, Vol. 2: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 33–35.
[4]
Augustine, Confessiones, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford University
Press, 1991), VII.10.16.
[5]
Peter Brown, Augustine of Hippo: A
Biography, 2nd ed. (Berkeley:
University of California Press, 2000), 98–100.
[6]
A. H. Armstrong, Plotinus and Christianity (London: Variorum, 1992), 71–73.
[7]
Robert Markus, Saeculum: History and
Society in the Theology of St. Augustine (Cambridge: Cambridge University Press, 1970), 40–42.
[8]
Gerald Bonner, St. Augustine of Hippo:
Life and Controversies (Norwich:
Canterbury Press, 2002), 88–90.
[9]
Carol Harrison, Beauty and Revelation
in the Thought of Saint Augustine
(Oxford: Clarendon Press, 1992), 36–38.
[10]
Augustine, De Trinitate, trans. Edmund Hill (Brooklyn: New City Press, 1991),
IX.12.17.
[11]
James Wetzel, Augustine and the
Limits of Virtue (Cambridge:
Cambridge University Press, 1992), 59–62.
[12]
Gilson, The Spirit of Medieval
Philosophy (New York: Scribner’s,
1940), 67–69.
[13]
Jaroslav Pelikan, The Christian
Tradition: A History of the Development of Doctrine, Vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1971),
307–309.
[14]
Rist, Augustine: Ancient
Thought Baptized, 58–61.
[15]
Copleston, A History of
Philosophy, Vol. 2, 41–43.
[16]
Gilson, The Christian
Philosophy of St. Augustine, 49–50.
4.
Epistemologi:
Pencerahan Ilahi dan Pengetahuan Diri
Epistemologi dalam
Augustinisme berakar pada keyakinan bahwa pengetahuan sejati hanya dapat dicapai melalui
pencerahan ilahi (illuminatio divina). Bagi
Agustinus, manusia tidak dapat mengenal kebenaran hanya melalui indra dan rasio
alami, sebab keduanya bersifat terbatas dan rentan terhadap kesalahan.¹
Kebenaran sejati bersumber dari Tuhan, yang menerangi akal budi manusia
sehingga mampu memahami hal-hal yang abadi dan universal. Dengan demikian,
epistemologi Augustinian bersifat teosentris, karena Tuhan menjadi
dasar sekaligus jaminan validitas pengetahuan manusia.²
4.1.
Pengetahuan dan Pencerahan Ilahi (Illuminatio
Divina)
Agustinus menolak
pandangan empiris yang menempatkan pengalaman inderawi sebagai sumber utama
pengetahuan. Menurutnya, pengetahuan tentang kebenaran tidak dapat muncul dari
dunia yang berubah-ubah, melainkan harus berakar pada realitas yang tetap dan
abadi.³ Dalam De Magistro, ia menegaskan bahwa
guru sejati bukanlah manusia, tetapi Kristus yang hadir dalam jiwa
sebagai kebenaran yang menerangi akal.⁴ Pengetahuan sejati terjadi ketika akal
manusia “diterangi” oleh cahaya ilahi yang memungkinkan jiwa menangkap ide-ide
abadi yang berada dalam pikiran Tuhan (rationes aeternae).⁵
Konsep illuminatio
ini menunjukkan bahwa proses mengetahui adalah partisipasi dalam terang
kebenaran ilahi, bukan penciptaan kebenaran oleh subjek. Agustinus menolak
relativisme dan skeptisisme yang berkembang pada zamannya, seperti dalam
tradisi Akademik, dengan menyatakan bahwa kebenaran objektif tetap ada dan
dapat diakses melalui pencerahan ilahi.⁶
4.2.
Rasio dan Iman: “Credo ut Intelligam”
Hubungan antara iman
(fides)
dan akal (ratio)
merupakan pilar epistemologi Augustinian. Agustinus terkenal dengan adagium “credo
ut intelligam”—aku beriman supaya aku mengerti.⁷ Artinya, iman
bukan pengganti rasio, tetapi prasyarat untuk memahaminya. Tanpa iman, akal
tidak memiliki arah; tetapi tanpa akal, iman tidak dapat berkembang menjadi
pemahaman sejati.⁸
Dalam kerangka ini,
iman dan akal bukanlah dua jalan yang terpisah, melainkan dua tahap dalam
perjalanan jiwa menuju kebenaran. Iman membuka pintu bagi akal untuk mengenali
realitas ilahi, sedangkan akal meneguhkan iman dengan pemahaman yang lebih
mendalam.⁹ Dengan demikian, epistemologi Augustinian bersifat fideistis-rasional,
yakni menggabungkan otoritas iman dengan refleksi rasional.
4.3.
Pengetahuan Diri dan Kesadaran
Selain pencerahan
ilahi, Agustinus menekankan pengetahuan diri (cognitio
sui) sebagai langkah menuju pengetahuan tentang Tuhan. Dalam Confessiones,
ia menggambarkan perjalanan intelektual dan spiritual menuju Tuhan sebagai
ziarah batin: “Noli foras ire, in te ipsum redi; in interiore
homine habitat veritas” (“Jangan pergi keluar dirimu, kembalilah ke
dalam; di dalam dirimu tinggal kebenaran”).¹⁰
Kesadaran diri
adalah bukti langsung keberadaan manusia dan jalan menuju pengetahuan
tertinggi. Agustinus berpendapat bahwa bahkan ketika manusia meragukan segala
sesuatu, ia tidak dapat meragukan keberadaannya sendiri—sebuah prinsip yang
kemudian mengilhami cogito Descartes berabad-abad
kemudian.¹¹ Melalui introspeksi dan kesadaran diri, manusia menemukan bahwa ia
memiliki jiwa yang diciptakan menurut citra Allah, dan karena itu, mengenal
diri berarti juga mengenal Sang Pencipta.¹²
4.4.
Struktur Hierarkis Pengetahuan
Agustinus membedakan
tiga tingkat pengetahuan:
(1)
Scientia, pengetahuan tentang dunia
inderawi;
(2)
Sapientia, kebijaksanaan rohani
yang berhubungan dengan hal-hal abadi; dan
(3)
Intellectus, pemahaman batiniah
yang diperoleh melalui pencerahan ilahi.¹³
Tingkat tertinggi, intellectus,
hanya dapat dicapai ketika jiwa bersatu dengan kebenaran ilahi dalam
kontemplasi.
Epistemologi
Augustinian, dengan demikian, menolak dualisme tajam antara rasio dan iman. Ia
menegaskan bahwa kebenaran tidak ditemukan melalui penyelidikan empiris atau
logika murni, melainkan melalui transformasi batin yang
mengarahkan akal kepada sumber kebenaran yang tertinggi—Tuhan sendiri.¹⁴
Kesimpulan Epistemologis
Epistemologi
Agustinus menegaskan bahwa pengetahuan sejati adalah participatio
veritatis, partisipasi dalam kebenaran ilahi yang bersifat abadi
dan immaterial. Rasio manusia, meskipun terbatas, dapat mengenal kebenaran
karena diterangi oleh Tuhan.¹⁵ Dengan demikian, pencerahan ilahi bukan hanya
proses intelektual, tetapi juga pengalaman spiritual, di mana manusia tidak
hanya mengetahui, tetapi juga dipanggil untuk mengasihi Kebenaran itu sendiri.¹⁶
Footnotes
[1]
Étienne Gilson, The Christian
Philosophy of St. Augustine (New
York: Random House, 1960), 81–83.
[2]
John Rist, Augustine: Ancient
Thought Baptized (Cambridge:
Cambridge University Press, 1994), 64–67.
[3]
Henry Chadwick, Augustine: A Very Short
Introduction (Oxford: Oxford
University Press, 2001), 33–35.
[4]
Augustine, De Magistro, trans. R. P. Russell (Indianapolis: Bobbs-Merrill,
1968), XI.38.
[5]
A. H. Armstrong, Plotinus and
Christianity (London: Variorum,
1992), 75–77.
[6]
James Wetzel, Augustine and the
Limits of Virtue (Cambridge:
Cambridge University Press, 1992), 71–73.
[7]
Augustine, Sermones, in Patrologia
Latina, ed. J.-P. Migne, Vol. 38
(Paris: Garnier, 1865), 38.
[8]
Robert Markus, Saeculum: History and
Society in the Theology of St. Augustine (Cambridge: Cambridge University Press, 1970), 59–61.
[9]
Gilson, The Spirit of Medieval
Philosophy (New York: Scribner’s,
1940), 97–99.
[10]
Augustine, Confessiones, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford University
Press, 1991), X.27.38.
[11]
Frederick Copleston, A
History of Philosophy, Vol. 2: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 47–49.
[12]
Carol Harrison, Beauty and Revelation
in the Thought of Saint Augustine
(Oxford: Clarendon Press, 1992), 41–43.
[13]
Gilson, The Christian
Philosophy of St. Augustine, 85–88.
[14]
Jaroslav Pelikan, The Christian
Tradition: A History of the Development of Doctrine, Vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1971),
314–317.
[15]
Rist, Augustine: Ancient
Thought Baptized, 70–73.
[16]
Gilson, The Spirit of Medieval
Philosophy, 102–105.
5.
Antropologi
dan Etika: Jiwa, Kehendak, dan Kasih
Dalam sistem
filsafat Agustinus, antropologi dan etika merupakan
dua sisi yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan. Pandangan tentang
manusia selalu diarahkan pada pemahaman tentang Tuhan, karena bagi Agustinus,
manusia diciptakan “menurut gambar dan rupa Allah” (imago Dei).¹ Oleh sebab itu,
refleksi etisnya tidak hanya menyangkut perilaku moral, tetapi juga struktur
spiritual manusia yang memiliki kemampuan untuk mengetahui dan mengasihi Tuhan.
Antropologi Augustinian menempatkan jiwa, kehendak, dan kasih
sebagai unsur utama dalam memahami martabat dan tujuan eksistensi manusia.
5.1.
Jiwa sebagai Imago Dei
Bagi Agustinus,
manusia adalah makhluk yang memiliki dua dimensi: tubuh yang bersifat material
dan jiwa yang immaterial.² Jiwa bukan hanya prinsip kehidupan biologis, tetapi
juga sumber kesadaran, pengetahuan, dan moralitas. Ia menegaskan bahwa jiwa
lebih tinggi daripada tubuh karena memiliki kemampuan untuk mengenal kebenaran
abadi yang bersumber dari Tuhan.³ Jiwa bersifat abadi, tidak tersusun dari
materi, dan menjadi cerminan dari Trinitas Ilahi.
Dalam De
Trinitate, Agustinus menggambarkan struktur jiwa manusia sebagai
bayangan Trinitas melalui tiga fakultas utama: memori (memoria), pemahaman
(intellectus), dan kehendak (voluntas).⁴ Ketiganya
membentuk kesatuan personalitas manusia sebagaimana Bapa, Putra, dan Roh Kudus
membentuk kesatuan dalam Allah. Melalui analogi ini, Agustinus menunjukkan
bahwa manusia tidak hanya ciptaan, tetapi juga refleksi spiritual dari
Penciptanya.⁵
5.2.
Kehendak Bebas dan Dosa Asal
Konsep kehendak
bebas (liberum arbitrium)
menempati posisi sentral dalam etika Agustinus. Menurutnya, manusia diciptakan
dengan kebebasan moral untuk memilih antara kebaikan dan kejahatan.⁶ Namun,
sejak kejatuhan Adam, kehendak manusia menjadi lemah dan condong kepada dosa (concupiscentia).
Dosa asal (peccatum
originale) bukan hanya tindakan moral, melainkan kondisi
eksistensial yang diwariskan kepada seluruh umat manusia, yang menyebabkan
keterasingan dari Tuhan.⁷
Meskipun demikian,
Agustinus tidak meniadakan kebebasan manusia sepenuhnya. Ia menegaskan bahwa
rahmat ilahi (gratia) memampukan manusia untuk
kembali mengarahkan kehendaknya kepada kebaikan sejati, yakni Tuhan sendiri.⁸
Dalam hal ini, kehendak manusia dan rahmat Tuhan bekerja secara sinergis: tanpa
rahmat, manusia tidak dapat berbuat baik; namun tanpa kehendak, rahmat tidak
menghasilkan buah moral.⁹
Konsep ini memiliki
implikasi besar dalam teologi moral Kristen: kebebasan sejati bukanlah kemampuan
untuk melakukan apa pun yang diinginkan, tetapi kemampuan untuk memilih yang
baik berdasarkan kasih.¹⁰
5.3.
Kasih sebagai Prinsip Etika: Ordo Amoris
Etika Agustinus
berpusat pada kasih (caritas)
sebagai prinsip tertinggi kehidupan moral. Menurutnya, struktur moralitas
manusia dapat dipahami melalui konsep ordo amoris—tatanan kasih.¹¹ Dalam
tatanan yang benar, manusia harus mencintai Tuhan di atas segala sesuatu dan
sesama sebagaimana dirinya sendiri. Kegagalan etis, dalam perspektif ini,
bukanlah akibat ketidaktahuan, melainkan akibat kasih yang salah arah (amor
perversus).¹²
Kasih yang tertata (amor
ordinatus) mengarahkan manusia kepada kebaikan tertinggi (summum
bonum), yaitu Tuhan; sedangkan kasih yang tidak tertata mengikat
manusia pada hal-hal fana dan menjerumuskannya dalam penderitaan moral.¹³ Oleh
karena itu, bagi Agustinus, moralitas sejati bukan sekadar kepatuhan terhadap
hukum eksternal, tetapi transformasi batiniah yang menata cinta secara benar.¹⁴
Kasih juga memiliki
dimensi sosial dan politis. Dalam De Civitate Dei, Agustinus
menggambarkan dua “kota” yang dibangun atas dasar dua cinta: Civitas
Dei (Kota Allah) yang didirikan atas kasih kepada Tuhan sampai
melupakan diri, dan Civitas Terrena (Kota Dunia) yang
dibangun atas kasih kepada diri sendiri sampai melupakan Tuhan.¹⁵ Etika
manusia, dengan demikian, merupakan pilihan eksistensial antara dua tatanan
cinta yang saling bertentangan.
5.4.
Kebahagiaan sebagai Tujuan Etis
Tujuan akhir
kehidupan moral manusia adalah kebahagiaan (beatitudo), yang hanya dapat
dicapai dalam persatuan dengan Tuhan.¹⁶ Berbeda dengan hedonisme yang
menganggap kebahagiaan sebagai pemuasan keinginan, Agustinus menegaskan bahwa
kebahagiaan sejati bersifat spiritual: ia adalah keadaan di mana jiwa menikmati
Tuhan sebagai sumber segala kebaikan.¹⁷ Dalam Confessiones, ia menulis dengan
penuh kontemplasi: “Fecisti nos ad te, Domine, et inquietum est
cor nostrum donec requiescat in te” (“Engkau telah menciptakan kami
bagi-Mu, ya Tuhan, dan hati kami gelisah sampai beristirahat dalam Engkau”).¹⁸
Dengan demikian,
kebahagiaan bukanlah kondisi emosional, tetapi hasil keteraturan cinta dan
kehendak yang diarahkan pada tujuan tertinggi. Etika Agustinus bersifat teleologis
dan teosentris,
di mana seluruh tindakan moral memperoleh maknanya dari orientasi kepada
Tuhan.¹⁹
Integrasi Antara Antropologi dan Etika
Bagi Agustinus,
memahami manusia berarti memahami arah eksistensinya. Jiwa, kehendak, dan kasih
bukan hanya aspek psikologis, tetapi struktur ontologis yang menentukan
moralitas manusia.²⁰ Etika bukan hukum eksternal yang memaksa, melainkan
dinamika batin untuk menata kasih dan kehendak menurut kehendak Tuhan.²¹
Manusia, dengan
kebebasan dan kesadarannya, dipanggil untuk kembali kepada
asalnya—Tuhan—melalui kasih yang benar. Dengan demikian, antropologi dan etika
Augustinian berpadu dalam satu tujuan: pemulihan citra Allah dalam diri manusia
melalui penyucian kehendak dan penataan kasih.²²
Footnotes
[1]
Étienne Gilson, The Christian
Philosophy of St. Augustine (New
York: Random House, 1960), 111–113.
[2]
Henry Chadwick, Augustine: A Very Short
Introduction (Oxford: Oxford
University Press, 2001), 43–45.
[3]
John Rist, Augustine: Ancient
Thought Baptized (Cambridge:
Cambridge University Press, 1994), 81–83.
[4]
Augustine, De Trinitate, trans. Edmund Hill (Brooklyn: New City Press, 1991),
IX.4.7.
[5]
Gilson, The Spirit of Medieval
Philosophy (New York: Scribner’s,
1940), 123–126.
[6]
Peter Brown, Augustine of Hippo: A
Biography, 2nd ed. (Berkeley:
University of California Press, 2000), 146–149.
[7]
Gerald Bonner, St. Augustine of Hippo:
Life and Controversies (Norwich:
Canterbury Press, 2002), 102–105.
[8]
Robert Markus, Saeculum: History and
Society in the Theology of St. Augustine (Cambridge: Cambridge University Press, 1970), 72–74.
[9]
James Wetzel, Augustine and the
Limits of Virtue (Cambridge:
Cambridge University Press, 1992), 87–89.
[10]
Frederick Copleston, A
History of Philosophy, Vol. 2: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 64–66.
[11]
Augustine, De Civitate Dei, trans. Henry Bettenson (London: Penguin Classics,
2003), XV.22.
[12]
Carol Harrison, Beauty and Revelation
in the Thought of Saint Augustine
(Oxford: Clarendon Press, 1992), 49–51.
[13]
Gilson, The Christian
Philosophy of St. Augustine,
118–120.
[14]
Rist, Augustine: Ancient
Thought Baptized, 89–92.
[15]
Augustine, De Civitate Dei, XIV.28.
[16]
Gilson, The Spirit of Medieval
Philosophy, 133–135.
[17]
Markus, Saeculum, 80–82.
[18]
Augustine, Confessiones, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford University
Press, 1991), I.1.1.
[19]
Copleston, A History of
Philosophy, Vol. 2, 68–70.
[20]
Wetzel, Augustine and the
Limits of Virtue, 94–96.
[21]
Gilson, The Christian
Philosophy of St. Augustine,
122–124.
[22]
Pelikan, The Christian
Tradition: A History of the Development of Doctrine, Vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1971),
328–330.
6.
Teologi
Politik dan Filsafat Sejarah
Pemikiran teologi
politik dan filsafat sejarah dalam Augustinisme mencapai puncaknya dalam karya
monumental De
Civitate Dei (Kota Allah), yang ditulis Agustinus
sebagai tanggapan terhadap runtuhnya Kekaisaran Romawi Barat pada tahun 410 M.¹
Karya ini tidak hanya menjadi refleksi teologis atas sejarah manusia, tetapi
juga membentuk paradigma baru tentang hubungan antara iman, politik, dan
sejarah dalam tradisi Kristen Barat. Agustinus berusaha menafsirkan makna
sejarah dunia dalam terang rencana keselamatan ilahi, menolak pandangan sekuler
Romawi yang mengidentikkan kemajuan politik dengan kehendak para dewa.²
6.1.
Dua Kota: Civitas Dei dan Civitas
Terrena
Agustinus membangun
kerangka teologi politiknya di atas konsep dualistik tentang dua kota: Civitas
Dei (Kota Allah) dan Civitas Terrena (Kota Dunia).³
Kedua “kota” ini bukan entitas geografis atau institusi politik, melainkan dua
komunitas moral dan spiritual yang dibedakan oleh orientasi kasihnya. Kota
Allah didirikan atas dasar kasih kepada Tuhan hingga melupakan diri (amor Dei
usque ad contemptum sui), sedangkan Kota Dunia dibangun atas dasar
kasih kepada diri hingga melupakan Tuhan (amor sui usque ad contemptum Dei).⁴
Dualisme ini bukan
sekadar metafisika moral, tetapi juga kerangka hermeneutik untuk memahami
sejarah manusia: seluruh perjalanan sejarah adalah pergumulan antara dua cinta
yang berlawanan.⁵ Agustinus menolak utopia politik manapun yang mengklaim dapat
mewujudkan tatanan ilahi di bumi. Bagi dia, keadilan sejati hanya ada dalam Civitas
Dei, sementara tatanan duniawi selalu bersifat sementara dan
cacat.⁶
6.2.
Politik dan Tatanan Moral
Agustinus memandang
negara (civitas
terrena) sebagai hasil dari kondisi manusia yang jatuh dalam dosa.
Kekuasaan politik diperlukan bukan karena manusia diciptakan untuk diperintah,
tetapi karena keberdosaan manusia menuntut adanya keteraturan untuk mencegah
kekacauan.⁷ Oleh karena itu, negara berfungsi sebagai sarana keteraturan sosial
(tranquillitas
ordinis) dan bukan sebagai sumber keselamatan.⁸
Ia mengkritik
pandangan Romawi klasik—seperti Cicero—yang menyamakan keadilan dengan tatanan
politik. Bagi Agustinus, masyarakat yang tidak menempatkan Tuhan sebagai sumber
keadilan tidak dapat disebut sebagai res publica sejati.⁹ Maka, politik
dalam Augustinisme memiliki dimensi moral dan teologis: kekuasaan sah bila
diarahkan untuk menegakkan kebaikan dan tunduk kepada hukum ilahi.¹⁰
Konsep ini
menjadikan teologi politik Agustinus realistis dan normatif sekaligus.
Ia realistis karena mengakui keterbatasan moral manusia dan kerusakan sosial
akibat dosa; namun juga normatif karena mengarahkan tatanan politik pada
cita-cita moral yang bersumber dari kasih dan kebaikan ilahi.¹¹
6.3.
Filsafat Sejarah: Providensi dan Teleologi
Ilahi
Filsafat sejarah
Agustinus menolak pandangan siklikal Yunani yang memandang sejarah sebagai
perulangan tanpa makna. Ia menggantikannya dengan visi linear dan teleologis:
sejarah memiliki awal (penciptaan), pusat (inkarnasi Kristus), dan tujuan akhir
(kerajaan Allah).¹² Sejarah dunia, menurutnya, adalah drama kosmik di mana dua
kota saling berhadapan hingga penggenapan akhir zaman.¹³
Dalam kerangka
providensial ini, bahkan peristiwa tragis seperti jatuhnya Roma tidak dilihat
sebagai kekalahan iman, tetapi sebagai bagian dari rencana Allah yang
tersembunyi.¹⁴ Bagi Agustinus, sejarah dunia bukan tempat kemenangan politik
manusia, melainkan panggung bagi penyingkapan rahmat dan keadilan ilahi.¹⁵ Oleh
karena itu, interpretasi sejarah selalu harus dilihat dalam terang eskatologi:
akhir sejarah adalah visio Dei—penyatuan manusia dengan
Tuhan dalam keabadian.¹⁶
6.4.
Warisan terhadap Pemikiran Politik Barat
Pemikiran teologi
politik Agustinus memiliki pengaruh mendalam terhadap filsafat politik dan
teologi sepanjang Abad Pertengahan dan modern.¹⁷ Konsepnya tentang dua kota
menjadi dasar bagi teori gereja dan negara di dunia Kristen Latin. Thomas
Aquinas, misalnya, menafsirkan ulang gagasan ini untuk membedakan antara hukum
kodrat dan hukum ilahi.¹⁸ Pada era modern, pemikir seperti Reinhold Niebuhr dan
Jacques Maritain menghidupkan kembali Augustinisme politik sebagai kritik
terhadap utopianisme sekuler dan totalitarianisme.¹⁹
Lebih jauh lagi,
filsafat sejarah Agustinus menjadi model bagi narasi historis teologis di
Barat. Ia memperkenalkan cara berpikir sejarah sebagai proses penebusan, bukan
sekadar kronologi peristiwa.²⁰ Dengan demikian, Augustinisme membentuk fondasi
bagi cara pandang historis dan politik yang mengintegrasikan iman, moralitas,
dan keterbatasan manusia.²¹
Kesimpulan: Teologi Politik sebagai Filsafat
Realistis Transendental
Teologi politik
Agustinus merupakan filsafat realistis yang berakar pada iman.
Ia menolak ilusi utopis bahwa keadilan sempurna dapat diwujudkan di dunia ini,
namun sekaligus mengajarkan tanggung jawab moral untuk menata kehidupan sosial
berdasarkan kasih dan keadilan Tuhan.²² Filsafat sejarahnya mengajak manusia
untuk memahami sejarah bukan sebagai lingkaran nasib, melainkan sebagai perjalanan
menuju pemenuhan janji ilahi.
Dengan demikian,
Augustinisme menghadirkan pandangan politik dan historis yang unik: dunia
sementara memiliki makna hanya sejauh ia diarahkan pada yang kekal; kekuasaan
sah hanya jika tunduk pada kebaikan ilahi; dan sejarah manusia menemukan
tujuannya hanya dalam terang providensi Tuhan.²³
Footnotes
[1]
Peter Brown, Augustine of Hippo: A
Biography, 2nd ed. (Berkeley:
University of California Press, 2000), 200–204.
[2]
Robert Markus, Saeculum: History and
Society in the Theology of St. Augustine (Cambridge: Cambridge University Press, 1970), 91–94.
[3]
Augustine, De Civitate Dei, trans. Henry Bettenson (London: Penguin Classics,
2003), XIV.1–3.
[4]
Étienne Gilson, The Spirit of Medieval
Philosophy (New York: Scribner’s,
1940), 145–147.
[5]
John Rist, Augustine: Ancient
Thought Baptized (Cambridge:
Cambridge University Press, 1994), 101–104.
[6]
Henry Chadwick, Augustine: A Very Short
Introduction (Oxford: Oxford
University Press, 2001), 56–59.
[7]
Augustine, De Civitate Dei, XIX.15.
[8]
Gilson, The Christian
Philosophy of St. Augustine (New
York: Random House, 1960), 132–134.
[9]
Augustine, De Civitate Dei, XIX.21.
[10]
Markus, Saeculum, 96–98.
[11]
Gerald Bonner, St. Augustine of Hippo:
Life and Controversies (Norwich:
Canterbury Press, 2002), 117–119.
[12]
Jaroslav Pelikan, The Christian
Tradition: A History of the Development of Doctrine, Vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1971),
340–343.
[13]
Frederick Copleston, A
History of Philosophy, Vol. 2: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 73–76.
[14]
Brown, Augustine of Hippo, 205–207.
[15]
Rist, Augustine: Ancient
Thought Baptized, 107–110.
[16]
Augustine, De Civitate Dei, XXII.30.
[17]
Gilson, The Spirit of Medieval
Philosophy, 152–155.
[18]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, I-II, q.91, a.2.
[19]
Jacques Maritain, Man and the State (Chicago: University of Chicago Press, 1951), 45–48.
[20]
Reinhold Niebuhr, The Nature and Destiny
of Man, Vol. 1 (New York:
Scribner’s, 1941), 178–181.
[21]
Markus, Saeculum, 103–105.
[22]
Gilson, The Christian
Philosophy of St. Augustine,
139–141.
[23]
Pelikan, The Christian Tradition, 345–348.
7.
Estetika:
Keindahan sebagai Refleksi Ilahi
Dalam filsafat
Agustinus, keindahan (pulchritudo)
bukanlah sekadar persoalan estetis dalam pengertian indrawi, melainkan refleksi
metafisis dari realitas ilahi.¹ Estetika Agustinus berpangkal
pada keyakinan bahwa segala keindahan di dunia merupakan cerminan dari
kesempurnaan dan keteraturan Tuhan. Pandangannya menempatkan keindahan dalam
konteks ontologis dan teologis, bukan semata pengalaman estetis manusia. Dengan
demikian, seni dan keindahan memiliki fungsi spiritual: menuntun jiwa untuk
mengenali kebaikan dan kebenaran yang bersumber dari Sang Pencipta.²
7.1.
Dasar Metafisis Keindahan
Bagi Agustinus,
keindahan dunia ciptaan bukan hasil kebetulan, melainkan lahir dari ordo
divinus—tatanan ilahi yang memberikan harmoni pada seluruh
realitas.³ Dalam Confessiones, ia menulis bahwa
“segala sesuatu indah pada waktunya” karena semua diciptakan dengan ukuran,
jumlah, dan keteraturan (modus, numerus, ordo).⁴ Prinsip ini
menunjukkan bahwa keindahan bukan sekadar soal bentuk atau warna, tetapi
struktur rasional yang memantulkan kebijaksanaan Tuhan.⁵
Keindahan sejati,
menurut Agustinus, bersifat partisipatoris. Semua hal yang
indah di dunia ini hanya indah karena ikut serta dalam Keindahan Tertinggi—yaitu
Tuhan sendiri.⁶ Dengan demikian, keindahan tidak berdiri otonom, melainkan
mengacu pada sumbernya. Segala sesuatu yang diciptakan “baik adanya” (bonum
est) justru karena ia menyatakan sebagian dari kebaikan dan
keindahan Sang Pencipta.⁷
7.2.
Keindahan dan Keteraturan: Ordo et Harmonia
Agustinus menekankan
bahwa dasar keindahan adalah keteraturan (ordo) dan harmoni (harmonia).⁸
Alam semesta, meskipun tampak beragam dan kompleks, tunduk pada prinsip
keselarasan yang berasal dari rasio ilahi.⁹ Bahkan hal-hal yang tampaknya buruk
atau tidak indah sekalipun, bila dilihat dari perspektif keseluruhan kosmos,
memiliki peran dalam menciptakan harmoni universal.¹⁰
Dalam pandangan ini,
keindahan bersifat teleologis—ia menunjukkan arah
menuju kesempurnaan. Setiap ciptaan memiliki tempat dan fungsi tertentu dalam
keseluruhan tatanan dunia, sebagaimana setiap nada memiliki peran dalam
menciptakan simfoni yang utuh.¹¹ Oleh karena itu, bagi Agustinus, memahami
keindahan berarti memahami kebijaksanaan Tuhan yang tersembunyi dalam
keteraturan alam semesta.¹²
7.3.
Jiwa, Kasih, dan Persepsi Keindahan
Agustinus melihat
keindahan bukan hanya sebagai sifat objek, tetapi juga sebagai pengalaman
spiritual subjek.¹³ Keindahan sejati hanya dapat dikenali oleh jiwa yang
tertata dan murni, sebab jiwa yang kacau tidak dapat menangkap harmoni ilahi.
Dalam De Vera
Religione, ia menulis bahwa jiwa harus “dibersihkan dari
keserakahan duniawi agar dapat melihat keindahan yang tidak berubah.”¹⁴
Kasih (caritas)
menjadi kunci bagi pengalaman estetis yang sejati.¹⁵ Cinta yang benar
mengarahkan manusia untuk mencintai keindahan bukan karena kenikmatan indrawi,
tetapi karena keindahan itu memantulkan kebenaran Tuhan. Dengan demikian,
keindahan memiliki fungsi pedagogis dan moral: ia mengangkat manusia dari yang
lahiriah menuju yang rohaniah.¹⁶
7.4.
Seni sebagai Jalan Menuju Kontemplasi Ilahi
Pandangan Agustinus
terhadap seni sangat erat kaitannya dengan fungsinya sebagai sarana menuju
kontemplasi. Ia tidak menolak seni, tetapi memperingatkan agar seni tidak menjerumuskan
manusia pada pencarian kenikmatan semata.¹⁷ Dalam Confessiones, Agustinus mengakui
betapa mudahnya manusia terpesona oleh musik liturgis, tetapi ia menegaskan
bahwa keindahan musik hanya bernilai sejauh ia mengarahkan hati kepada Tuhan.¹⁸
Dengan demikian,
seni yang sejati bukanlah yang memuliakan bentuk atau emosi, melainkan yang memantulkan
keteraturan dan kebesaran Tuhan.¹⁹ Dalam kerangka ini,
keindahan dan seni menjadi bentuk ascensio mentis—pendakian jiwa dari
dunia fenomenal menuju realitas ilahi.²⁰
7.5.
Keindahan sebagai Jalan Menuju Tuhan
Dalam keseluruhan
sistem filsafat Agustinus, keindahan adalah jembatan antara dunia ciptaan dan
Sang Pencipta. Dunia indah bukan untuk dipuja, tetapi untuk menyadarkan
manusia akan sumber keindahan yang lebih tinggi.²¹ Setiap
pengalaman estetis yang sejati adalah pengalaman teologis—suatu “tanda” (signum)
yang menunjuk pada realitas ilahi.²²
Agustinus menegaskan
bahwa manusia harus beralih dari mencintai bentuk yang berubah menuju kepada Keindahan
yang tidak berubah. Dalam bahasa kontemplatifnya: “Late amor meus pulchritudo tam antiqua et tam
nova, sero te amavi” (“Terlambat kucintai Engkau, keindahan yang
begitu kuno dan begitu baru; terlambat kucintai Engkau”).²³ Kalimat ini
menyimpulkan seluruh pandangan estetika Agustinus: keindahan sejati bukanlah
sesuatu yang baru ditemukan, melainkan sesuatu yang telah selalu ada di dalam
Tuhan dan baru disadari oleh jiwa yang kembali kepada-Nya.²⁴
Kesimpulan Estetis
Estetika Agustinus
menegaskan bahwa keindahan adalah perwujudan dari tatanan, harmoni, dan kebaikan
ilahi. Dunia material hanya menjadi indah sejauh ia
merefleksikan realitas spiritual yang lebih tinggi.²⁵ Dengan demikian, filsafat
keindahan Agustinus merupakan bentuk teo-estetika—suatu pandangan di
mana pengalaman estetis berfungsi sebagai sarana kontemplasi dan penyucian
jiwa. Seni, dalam arti tertinggi, adalah partisipasi manusia dalam karya
kreatif Tuhan.²⁶
Footnotes
[1]
Étienne Gilson, The Christian
Philosophy of St. Augustine (New
York: Random House, 1960), 154–156.
[2]
John Rist, Augustine: Ancient
Thought Baptized (Cambridge:
Cambridge University Press, 1994), 121–124.
[3]
Carol Harrison, Beauty and Revelation
in the Thought of Saint Augustine
(Oxford: Clarendon Press, 1992), 25–28.
[4]
Augustine, Confessiones, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford University
Press, 1991), XI.18.22.
[5]
Henry Chadwick, Augustine: A Very Short
Introduction (Oxford: Oxford
University Press, 2001), 62–64.
[6]
Gilson, The Spirit of Medieval
Philosophy (New York: Scribner’s, 1940),
157–160.
[7]
Augustine, De Natura Boni, in Patrologia
Latina, ed. J.-P. Migne, Vol. 42
(Paris: Garnier, 1845), 35–38.
[8]
Harrison, Beauty and Revelation, 31–34.
[9]
Rist, Augustine: Ancient
Thought Baptized, 126–128.
[10]
Augustine, Enchiridion, trans. J. F. Shaw (Chicago: Regnery, 1955), XI.11.
[11]
Gilson, The Christian
Philosophy of St. Augustine,
158–160.
[12]
Markus, Saeculum: History and
Society in the Theology of St. Augustine (Cambridge: Cambridge University Press, 1970), 112–114.
[13]
Harrison, Beauty and Revelation, 38–41.
[14]
Augustine, De Vera Religione, trans. J. H. S. Burleigh (London: SCM Press, 1953),
XXX.55.
[15]
James Wetzel, Augustine and the
Limits of Virtue (Cambridge:
Cambridge University Press, 1992), 103–105.
[16]
Gilson, The Spirit of Medieval
Philosophy, 163–165.
[17]
Brown, Augustine of Hippo: A
Biography, 2nd ed. (Berkeley:
University of California Press, 2000), 226–228.
[18]
Augustine, Confessiones, X.33.49.
[19]
Gilson, The Christian Philosophy
of St. Augustine, 161–163.
[20]
Harrison, Beauty and Revelation, 45–47.
[21]
Rist, Augustine: Ancient
Thought Baptized, 130–133.
[22]
Pelikan, The Christian
Tradition: A History of the Development of Doctrine, Vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1971), 354–356.
[23]
Augustine, Confessiones, X.27.38.
[24]
Gilson, The Spirit of Medieval
Philosophy, 167–169.
[25]
Harrison, Beauty and Revelation, 50–53.
[26]
Gilson, The Christian
Philosophy of St. Augustine,
165–167.
8.
Kritik
terhadap Augustinisme
Meskipun Augustinisme
menempati posisi sentral dalam sejarah filsafat Kristen dan menjadi landasan
bagi teologi Barat selama berabad-abad, berbagai kritik filosofis dan teologis
telah diarahkan terhadapnya dari masa ke masa. Kritik ini muncul dari beragam
sudut pandang: dari tradisi Skolastik yang menilai Augustinisme kurang
sistematis, dari rasionalisme modern yang menolak elemen teologisnya, hingga
dari humanisme kontemporer yang mempertanyakan antropologi pesimistisnya.¹ Oleh
karena itu, memahami kritik terhadap Augustinisme penting untuk menilai
batas-batas dan sumbangan intelektualnya dalam perjalanan filsafat dan teologi.
8.1.
Kritik Skolastik: Keterbatasan Rasional dan
Spekulatif
Pada Abad
Pertengahan, pemikir seperti Thomas Aquinas mengagumi Agustinus tetapi juga
mengkritisi pendekatannya yang dianggap terlalu introspektif dan mistis.²
Agustinus memulai refleksi filsafat dari pengalaman batin manusia dan iman,
sedangkan Aquinas memulai dari realitas empiris dan rasionalitas Aristotelian.³
Dengan kata lain, Augustinisme cenderung menekankan iluminasi batin (illuminatio
divina) dan partisipasi pada kebenaran ilahi, sementara
Skolastisisme mengembangkan epistemologi yang lebih sistematik melalui konsep abstraksi
intelektual.⁴
Kritik Skolastik
juga menyentuh aspek ontologis Augustinisme. Konsep privatio boni (kejahatan sebagai
kekurangan kebaikan) dinilai terlalu metaforis dan tidak memadai untuk
menjelaskan realitas moral kejahatan yang dialami manusia.⁵ Selain itu,
penekanan Agustinus pada kehendak (voluntarisme) dibandingkan intelek dianggap
menyebabkan ketegangan dalam sistem etika Kristen: apakah tindakan moral lebih
didorong oleh pengetahuan atau oleh cinta?⁶
Meskipun demikian,
kaum Skolastik seperti Bonaventura dan Anselmus tetap mempertahankan banyak
elemen Augustinian, terutama dalam hal iluminasi, kehendak bebas, dan analogi
tentang jiwa sebagai cerminan Trinitas.⁷ Kritik mereka lebih merupakan upaya
sistematisasi daripada penolakan total.
8.2.
Kritik Reformasi: Dilema antara Rahmat dan
Kebebasan
Pada masa Reformasi,
Agustinus kembali menjadi figur sentral, tetapi sekaligus kontroversial. Martin
Luther dan Yohanes Calvin sangat terinspirasi oleh doktrin rahmat dan dosa asal
Agustinus, namun mereka menafsirkan secara lebih radikal ajaran tersebut hingga
menimbulkan teologi predestinasi yang ekstrem.⁸
Para teolog Katolik kemudian menilai bahwa tafsir Reformasi terhadap Agustinus
mengabaikan keseimbangan antara rahmat dan kebebasan manusia.⁹
Di sisi lain,
kalangan humanis seperti Erasmus mengkritik pesimisme antropologis Agustinus
yang terlalu menekankan kerusakan total kehendak manusia.¹⁰ Erasmus menegaskan
bahwa kehendak manusia tetap memiliki peran dalam proses keselamatan, sementara
Augustinisme cenderung menundukkan kebebasan di bawah kuasa rahmat ilahi.¹¹
Kritik ini membuka kembali perdebatan panjang antara liberum
arbitrium (kehendak bebas) dan gratia (anugerah), yang hingga kini
tetap menjadi isu teologis fundamental.
8.3.
Kritik Filsafat Modern: Antroposentrisme dan
Rasionalisme
Dalam filsafat
modern, terutama sejak Descartes dan Kant, Augustinisme dikritik karena
dianggap terlalu teosentris dan kurang memberi
ruang bagi otonomi rasio manusia.¹² Descartes, meskipun banyak terinspirasi oleh
metode introspektif Agustinus, menolak ketergantungan pengetahuan pada
iluminasi ilahi dan menggantinya dengan cogito sebagai dasar epistemologi
yang otonom.¹³
Immanuel Kant
kemudian menilai bahwa moralitas Augustinian, yang mendasarkan tindakan etis pada
cinta kepada Tuhan, mengaburkan prinsip otonomi moral.¹⁴ Bagi Kant, moralitas
harus bersumber dari hukum rasional yang ditetapkan oleh kehendak bebas manusia
itu sendiri, bukan dari ketaatan terhadap kehendak ilahi eksternal.¹⁵ Dengan
demikian, Augustinisme dianggap mengandung heteronomi moral yang tidak sejalan
dengan semangat modernitas.
Selain itu, beberapa
filsuf eksistensialis—seperti Jean-Paul Sartre—mengkritik konsep dosa asal dan
kehendak ilahi sebagai bentuk “determinisme teologis” yang meniadakan kebebasan
autentik manusia.¹⁶ Kritik ini menyoroti bahwa dalam kerangka Augustinian,
manusia selalu dilihat sebagai makhluk yang lemah dan bergantung, bukan sebagai
subjek bebas yang menciptakan maknanya sendiri.
8.4.
Kritik Kontemporer: Perspektif Sekuler dan
Postmodern
Dalam pemikiran
kontemporer, kritik terhadap Augustinisme datang dari dua arah: pertama, dari filsafat
sekuler, dan kedua, dari teologi postmodern. Para filsuf
sekuler menilai bahwa Augustinisme terlalu menekankan dosa dan kesalahan
manusia sehingga melahirkan pandangan pesimis terhadap sejarah dan tubuh
manusia.¹⁷ Michel Foucault, misalnya, menilai bahwa teologi Agustinus ikut
membentuk paradigma disiplin tubuh dan kesadaran bersalah dalam budaya Barat.¹⁸
Sementara itu, para
teolog postmodern seperti John Milbank dan Jean-Luc Marion mengkritik
kecenderungan rasionalistik dalam interpretasi klasik Augustinisme. Mereka
mencoba menghidupkan kembali aspek “keterpesonaan” (eros divinus) dan kasih yang
melampaui logika moral.¹⁹ Dalam hal ini, kritik postmodern bukanlah penolakan,
melainkan re-interpretasi Agustinus dalam konteks spiritualitas yang lebih
dialogis dan estetis.²⁰
Evaluasi Kritis
Dari seluruh kritik
tersebut, tampak bahwa Augustinisme bukan sistem tertutup, melainkan tradisi
yang terus menimbulkan dialog lintas zaman.²¹ Kritik-kritik rasional dan modern
terhadapnya sering kali menunjukkan justru daya tahan dan kedalaman refleksi
Agustinus. Keunggulannya terletak pada kemampuannya mengintegrasikan iman,
akal, dan cinta dalam satu kerangka spiritual yang holistik, meski sering kali
hal itu dipandang problematis oleh tradisi rasionalis atau empiris.²²
Dengan demikian,
kritik terhadap Augustinisme lebih tepat dipahami bukan sebagai penolakan
terhadap sistem, tetapi sebagai dinamika hermeneutik yang
memperkaya warisan intelektualnya.²³ Dalam ketegangan antara iman dan akal,
rahmat dan kebebasan, atau cinta dan rasio, Augustinisme tetap menjadi salah
satu fondasi utama refleksi filosofis tentang manusia dan Tuhan di dunia
Barat.²⁴
Footnotes
[1]
Étienne Gilson, The Christian
Philosophy of St. Augustine (New
York: Random House, 1960), 170–172.
[2]
Frederick Copleston, A
History of Philosophy, Vol. 2: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 91–94.
[3]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q.84, a.6.
[4]
John Rist, Augustine: Ancient
Thought Baptized (Cambridge:
Cambridge University Press, 1994), 136–139.
[5]
Henry Chadwick, Augustine: A Very Short
Introduction (Oxford: Oxford
University Press, 2001), 69–71.
[6]
James Wetzel, Augustine and the
Limits of Virtue (Cambridge:
Cambridge University Press, 1992), 111–113.
[7]
Bonaventura, Itinerarium Mentis in
Deum, trans. Philotheus Boehner
(Indianapolis: Hackett, 1993), II.1–3.
[8]
Martin Luther, De Servo Arbitrio (1525), in Luther’s
Works, Vol. 33 (Philadelphia: Fortress
Press, 1972), 45–49.
[9]
Robert Markus, Saeculum: History and
Society in the Theology of St. Augustine (Cambridge: Cambridge University Press, 1970), 117–119.
[10]
Desiderius Erasmus, De
Libero Arbitrio (Basel: Froben,
1524), 18–22.
[11]
Gilson, The Spirit of Medieval
Philosophy (New York: Scribner’s,
1940), 174–176.
[12]
René Descartes, Meditations on First
Philosophy, trans. John Cottingham
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), II.3–6.
[13]
Étienne Gilson, God and Philosophy (New Haven: Yale University Press, 1941), 38–40.
[14]
Immanuel Kant, Groundwork of the
Metaphysics of Morals, trans. Mary
Gregor (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), IV.7–10.
[15]
Frederick Copleston, A
History of Philosophy, Vol. 6: Modern Philosophy (New York: Image Books, 1994), 112–114.
[16]
Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness, trans. Hazel Barnes (New York: Washington Square
Press, 1992), 568–571.
[17]
Alasdair MacIntyre, After
Virtue (Notre Dame: University of
Notre Dame Press, 1981), 46–49.
[18]
Michel Foucault, The History of
Sexuality, Vol. 1: The Will to Knowledge, trans. Robert Hurley (New York: Vintage Books, 1990), 35–38.
[19]
Jean-Luc Marion, God Without Being, trans. Thomas Carlson (Chicago: University of
Chicago Press, 1991), 82–85.
[20]
John Milbank, Theology and Social
Theory: Beyond Secular Reason
(Oxford: Blackwell, 1990), 272–276.
[21]
Jaroslav Pelikan, The Christian
Tradition: A History of the Development of Doctrine, Vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1971),
359–362.
[22]
Rist, Augustine: Ancient
Thought Baptized, 142–145.
[23]
Gilson, The Spirit of Medieval
Philosophy, 179–182.
[24]
Copleston, A History of
Philosophy, Vol. 2, 97–99.
9.
Pengaruh
dan Warisan Intelektual
Filsafat Agustinus
dari Hippo meninggalkan warisan yang sangat luas dan mendalam dalam sejarah
pemikiran Barat. Melalui integrasi antara iman dan rasio, antara metafisika
Platonis dan teologi Kristen, Augustinisme menjadi fondasi
intelektual bagi teologi abad pertengahan dan inspirasi bagi refleksi filosofis
modern.¹ Pengaruhnya tidak hanya dirasakan di bidang teologi, tetapi juga dalam
filsafat, politik, psikologi, etika, hingga teori kesadaran kontemporer.
Agustinus bukan sekadar Bapa Gereja, tetapi juga “bapak spiritual” bagi seluruh
tradisi intelektual Barat yang mencari hubungan antara Tuhan, jiwa, dan
kebenaran.²
9.1.
Pengaruh terhadap Skolastisisme dan Teologi
Abad Pertengahan
Warisan paling nyata
dari Augustinisme tampak dalam Skolastisisme, khususnya dalam
pemikiran para teolog abad pertengahan seperti Anselmus, Bonaventura, dan
Thomas Aquinas.³ Anselmus mengadopsi struktur argumentasi Augustinian dalam
konsep fides
quaerens intellectum (“iman yang mencari pengertian”), yang secara
langsung melanjutkan prinsip credo ut intelligam.⁴ Sementara
itu, Bonaventura, dalam Itinerarium Mentis in Deum,
mengembangkan teologi mistik yang sangat dipengaruhi oleh ide iluminasi ilahi
Agustinus.⁵
Thomas Aquinas,
meskipun lebih terinspirasi oleh Aristoteles, tetap mempertahankan sejumlah
elemen kunci Augustinisme, terutama dalam hal konsep Tuhan sebagai actus
purus dan hubungan antara rahmat serta kehendak manusia.⁶ Namun
demikian, Aquinas berusaha menyistematisasi Augustinisme dalam kerangka
rasional yang lebih ketat, sehingga menjadikannya lebih kompatibel dengan
metode skolastik.⁷ Dengan demikian, Augustinisme menjadi “roh batin” dari
tradisi skolastik, yang menghidupkan dimensi spiritual di tengah penalaran
logis teologi abad pertengahan.⁸
9.2.
Pengaruh terhadap Mistisisme Kristen dan
Teologi Barat
Di luar tradisi
skolastik, Augustinisme berperan besar dalam membentuk mistisisme
Kristen.⁹ Gagasan tentang jiwa sebagai cermin Trinitas dan
perjalanan batin menuju Tuhan menjadi inspirasi bagi para mistikus seperti
Meister Eckhart, Teresa dari Ávila, dan Yohanes dari Salib.¹⁰ Dalam karya-karya
mereka, prinsip interioritas Agustinus—“kembalilah
ke dalam dirimu, sebab dalam batinmu bersemayam kebenaran”—menjadi dasar
pengalaman kontemplatif dan kesatuan mistik dengan Allah.¹¹
Selain itu, dalam
teologi Katolik, Agustinus membentuk pemikiran tentang dosa asal (peccatum
originale), rahmat (gratia), dan kehendak bebas (liberum
arbitrium), yang kemudian menjadi perdebatan panjang sepanjang
sejarah gereja.¹² Reformator seperti Martin Luther dan Yohanes Calvin mengambil
inspirasi dari ajarannya tentang rahmat, tetapi menafsirkannya secara lebih
deterministik, sementara Gereja Katolik mempertahankan sintesis yang lebih
seimbang antara rahmat dan kebebasan.¹³
9.3.
Pengaruh terhadap Filsafat Modern dan Kesadaran
Diri
Pengaruh
Augustinisme juga tampak dalam filsafat modern, terutama pada
konsep kesadaran diri dan refleksi batin.¹⁴ Descartes, misalnya, dalam Meditations
on First Philosophy, secara eksplisit mengikuti metode introspektif
Agustinus dalam menemukan kepastian diri: “Aku berpikir, maka aku ada.”¹⁵
Namun, bagi Agustinus, kesadaran diri bukanlah titik akhir, melainkan jembatan
menuju Tuhan sebagai kebenaran abadi.¹⁶
Gagasan Agustinus
tentang kesadaran waktu dalam Confessiones
(Buku XI) juga memberikan pengaruh besar pada filsafat fenomenologi modern.¹⁷
Edmund Husserl dan Martin Heidegger, misalnya, melihat dalam analisis Agustinus
tentang waktu—yang menghubungkan masa lalu (memori), masa kini (perhatian), dan
masa depan (harapan)—sebuah struktur kesadaran temporal yang mendalam.¹⁸ Bahkan
filsuf eksistensialis seperti Kierkegaard menemukan dalam Agustinus model
refleksi religius atas eksistensi dan hubungan individu dengan Tuhan.¹⁹
9.4.
Pengaruh terhadap Etika dan Filsafat Moral
Dalam bidang etika,
Augustinisme memberikan dasar bagi etika kasih (ethica
caritatis).²⁰ Pandangannya bahwa cinta adalah kekuatan penggerak
moral yang mengatur seluruh tatanan kehidupan (ordo amoris) menjadi inspirasi bagi
banyak pemikir etis, termasuk Blaise Pascal, Jacques Maritain, dan Alasdair
MacIntyre.²¹
MacIntyre, dalam After
Virtue, menganggap Agustinus sebagai figur kunci dalam tradisi
kebajikan Kristen yang menolak relativisme moral modern.²² Etika Agustinus
menegaskan bahwa tindakan manusia memperoleh nilai moral hanya bila diatur oleh
cinta yang tertib—kasih kepada Tuhan di atas segala sesuatu dan kasih kepada
sesama sebagai diri sendiri.²³ Prinsip ini terus hidup dalam filsafat moral
kontemporer yang berupaya mengembalikan dimensi spiritual dan relasional dalam
etika.²⁴
9.5.
Pengaruh terhadap Pemikiran Sosial dan Politik
Pemikiran politik
Agustinus dalam De Civitate Dei memberikan warisan
besar bagi teori politik Kristen dan humanisme modern.²⁵ Konsep dua kota (Civitas
Dei dan Civitas Terrena) menjadi dasar bagi
pemisahan antara tatanan spiritual dan tatanan duniawi dalam pemikiran politik
Barat.²⁶ Gagasan ini memengaruhi teori negara-gereja abad pertengahan, dan
kemudian berkembang menjadi prinsip sekularisasi yang memisahkan kekuasaan
rohani dari kekuasaan sipil.²⁷
Dalam abad ke-20,
pemikir seperti Reinhold Niebuhr menafsirkan ulang teologi politik Agustinus
sebagai bentuk “realisme Kristen” yang menolak utopia politik namun tetap
menegakkan moralitas sosial.²⁸ Dengan demikian, Augustinisme tetap menjadi sumber
refleksi etis dan politis di tengah perubahan paradigma modern.²⁹
Relevansi dan Warisan Intelektual Abadi
Warisan Agustinus
melampaui batas zaman dan disiplin. Dalam dunia filsafat, ia dikenal sebagai
perintis filsafat batin (interior philosophy)
dan teologi
eksistensial; dalam teologi, ia dihormati sebagai Bapa Gereja
Latin yang memformulasikan konsep kunci iman Kristen; dan dalam sastra, Confessiones
diakui sebagai karya otobiografis spiritual pertama yang memadukan narasi,
introspeksi, dan refleksi filosofis.³⁰
Keunggulan
Augustinisme terletak pada kemampuannya untuk memadukan iman dan rasio tanpa
meniadakan keduanya, serta menghadirkan filsafat yang tidak hanya menjelaskan
realitas, tetapi juga menuntun jiwa menuju kebenaran yang hidup.³¹
Karena itu, pengaruh dan warisan intelektualnya tidak pernah benar-benar usang;
ia terus menginspirasi generasi baru untuk memadukan kebijaksanaan kuno dengan
pencarian kebenaran modern.³²
Footnotes
[1]
Étienne Gilson, The Christian
Philosophy of St. Augustine (New
York: Random House, 1960), 183–185.
[2]
Peter Brown, Augustine of Hippo: A
Biography, 2nd ed. (Berkeley:
University of California Press, 2000), 239–241.
[3]
Frederick Copleston, A
History of Philosophy, Vol. 2: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 102–105.
[4]
Anselm of Canterbury, Proslogion, trans. Thomas Williams (Indianapolis: Hackett,
1995), I.1–2.
[5]
Bonaventura, Itinerarium Mentis in
Deum, trans. Philotheus Boehner
(Indianapolis: Hackett, 1993), VI.1–2.
[6]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q.2, a.3.
[7]
Gilson, The Spirit of Medieval
Philosophy (New York: Scribner’s,
1940), 193–196.
[8]
Jaroslav Pelikan, The Christian
Tradition: A History of the Development of Doctrine, Vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1971),
364–366.
[9]
Carol Harrison, Beauty and Revelation
in the Thought of Saint Augustine
(Oxford: Clarendon Press, 1992), 55–57.
[10]
Meister Eckhart, Selected Writings, trans. Oliver Davies (London: Penguin Classics,
1994), 24–26.
[11]
Augustine, De Vera Religione, trans. J. H. S. Burleigh (London: SCM Press, 1953), XXX.55.
[12]
Robert Markus, Saeculum: History and
Society in the Theology of St. Augustine (Cambridge: Cambridge University Press, 1970), 121–123.
[13]
Martin Luther, De Servo Arbitrio (1525), in Luther’s
Works, Vol. 33 (Philadelphia:
Fortress Press, 1972), 44–46.
[14]
Henry Chadwick, Augustine: A Very Short
Introduction (Oxford: Oxford
University Press, 2001), 78–80.
[15]
René Descartes, Meditations on First
Philosophy, trans. John Cottingham
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996), II.4.
[16]
Gilson, God and Philosophy (New Haven: Yale University Press, 1941), 44–46.
[17]
Augustine, Confessiones, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford University
Press, 1991), XI.14.17–XI.26.33.
[18]
Edmund Husserl, Phenomenology of
Internal Time-Consciousness, trans.
James S. Churchill (Bloomington: Indiana University Press, 1964), 22–25.
[19]
Søren Kierkegaard, Fear and Trembling, trans. Alastair Hannay (London: Penguin Classics,
1985), 14–16.
[20]
Gilson, The Spirit of Medieval
Philosophy, 200–202.
[21]
Blaise Pascal, Pensées, trans. A. J. Krailsheimer (London: Penguin Classics,
1995), §277–281.
[22]
Alasdair MacIntyre, After
Virtue (Notre Dame: University of
Notre Dame Press, 1981), 162–165.
[23]
Augustine, De Civitate Dei, trans. Henry Bettenson (London: Penguin Classics,
2003), XV.22.
[24]
Jacques Maritain, Christianity and
Democracy (New York: Scribner’s,
1944), 51–54.
[25]
Gilson, The Christian
Philosophy of St. Augustine,
191–194.
[26]
Augustine, De Civitate Dei, XIX.17–19.
[27]
Markus, Saeculum, 129–131.
[28]
Reinhold Niebuhr, The Nature and Destiny
of Man, Vol. 1 (New York: Scribner’s,
1941), 187–189.
[29]
Rist, Augustine: Ancient
Thought Baptized (Cambridge:
Cambridge University Press, 1994), 153–156.
[30]
Brown, Augustine of Hippo, 243–246.
[31]
Gilson, The Spirit of Medieval
Philosophy, 205–208.
[32]
Pelikan, The Christian Tradition, 370–372.
10. Relevansi Kontemporer
Pemikiran Agustinus
tetap hidup dan relevan dalam dunia filsafat, teologi, dan kebudayaan modern.
Meskipun ia hidup lebih dari 1.600 tahun yang lalu, Augustinisme
terus menjadi sumber inspirasi dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan fundamental
tentang Tuhan, manusia, moralitas, dan sejarah.¹ Dalam konteks dunia yang
semakin sekular dan pluralistik, warisan Agustinus menunjukkan bagaimana
refleksi rasional dan spiritual dapat dipadukan tanpa kehilangan kedalaman
eksistensial. Relevansi kontemporer Augustinisme dapat ditemukan dalam empat
bidang utama: teologi dan spiritualitas, filsafat kesadaran, etika dan
moralitas, serta teori sosial-politik.
10.1.
Relevansi dalam Teologi dan Spiritualitas
Modern
Dalam teologi
kontemporer, pemikiran Agustinus menjadi rujukan utama dalam upaya rekonsiliasi
antara iman dan rasio di tengah krisis makna religius modern.²
Pandangannya bahwa iman mendahului pengertian (credo ut intelligam) mengajarkan
bahwa keyakinan religius tidak bertentangan dengan penalaran kritis, tetapi
justru menjadi titik awalnya.³ Hal ini mengilhami teolog seperti Karl Rahner
dan Hans Urs von Balthasar yang berusaha menjembatani iman tradisional dengan
kesadaran eksistensial manusia modern.⁴
Selain itu,
spiritualitas batiniah Agustinus—yang menekankan pencarian Tuhan di dalam
diri—menjadi relevan di tengah budaya kontemporer yang serba eksternal dan
materialistik.⁵ Dalam masyarakat modern yang terfragmentasi oleh teknologi dan
informasi, seruan Agustinus untuk “kembali ke dalam diri” (in
interiore homine habitat veritas) menjadi panggilan untuk menemukan
kembali dimensi rohani yang otentik.⁶
10.2.
Relevansi dalam Filsafat Kesadaran dan
Eksistensialisme
Konsep pengetahuan
diri dan kesadaran waktu dalam Confessiones telah mengantisipasi
banyak gagasan dalam filsafat eksistensial dan fenomenologi modern.⁷ Edmund
Husserl mengakui bahwa refleksi Agustinus tentang waktu dan kesadaran merupakan
salah satu akar fenomenologi.⁸ Martin Heidegger juga menggemakan dimensi eksistensial
Agustinus ketika membahas struktur temporal eksistensi manusia (Dasein)
sebagai “ada-di-dalam-waktu.”⁹
Selain itu, gagasan
Agustinus tentang kehendak (voluntas) dan kebebasan moral
memengaruhi filsafat eksistensial seperti Kierkegaard dan Gabriel Marcel, yang
melihat kebebasan bukan sebagai kemampuan tanpa batas, melainkan sebagai tanggung
jawab moral di hadapan Tuhan.¹⁰ Dalam konteks modern, di mana
subjektivitas sering direduksi menjadi konstruksi sosial, Augustinisme
mengingatkan bahwa kesadaran manusia memiliki dimensi transendental—ia terbuka
pada Kebenaran Mutlak yang melampaui diri.¹¹
10.3.
Relevansi Etis: Cinta dan Moralitas dalam Dunia
Sekular
Etika Agustinus yang
berpusat pada cinta (ordo amoris) tetap memiliki daya
transformasi dalam konteks etika global kontemporer.¹² Di tengah relativisme
moral dan etika utilitarian yang menilai tindakan hanya berdasarkan hasil,
Augustinisme menawarkan visi etika yang berakar pada orientasi
cinta terhadap kebaikan tertinggi.¹³ Cinta, bagi Agustinus,
adalah tatanan moral yang menentukan arah hidup manusia—bukan sekadar emosi,
tetapi keputusan eksistensial untuk menempatkan Tuhan dan sesama dalam kasih
yang tertib.¹⁴
Konsep ini relevan
dalam konteks krisis kemanusiaan dan ekologi global. Etika kasih Agustinus dapat
dibaca ulang sebagai panggilan untuk menata kembali hubungan manusia dengan
alam dan sesamanya berdasarkan prinsip tanggung jawab, bukan dominasi.¹⁵ Dalam
era digital yang penuh narsisisme dan alienasi, ordo amoris menantang manusia
modern untuk mengarahkan cintanya pada hal-hal yang bernilai kekal, bukan
fana.¹⁶
10.4.
Relevansi Sosial-Politik: Realisme dan
Moralitas Publik
Pemikiran politik
Agustinus dalam De Civitate Dei juga tetap relevan
dalam memahami dinamika sosial-politik kontemporer.¹⁷ Dalam dunia yang diwarnai
oleh utopia ideologis dan konflik identitas, Augustinisme menawarkan pendekatan
realistis
dan teologis terhadap sejarah dan kekuasaan. Ia menegaskan
bahwa tatanan duniawi, betapapun baiknya, selalu bersifat sementara dan tidak
dapat menggantikan tatanan ilahi.¹⁸
Pemikir seperti
Reinhold Niebuhr dan Jacques Maritain menggunakan inspirasi Agustinus untuk
membangun teori politik yang menolak ekstrem utopianisme maupun sinisme
politik.¹⁹ Dalam konteks modern, pandangan Agustinus tentang dua kota (Civitas
Dei dan Civitas Terrena) dapat diartikan
sebagai simbol ketegangan abadi antara cita-cita moral dan realitas historis.²⁰
Prinsip ini menuntun masyarakat untuk menyeimbangkan antara keadilan dan kasih,
antara kekuasaan dan moralitas.²¹
10.5.
Relevansi dalam Dialog Filsafat dan Sains
Dalam filsafat ilmu
dan sains modern, Augustinisme juga memiliki relevansi epistemologis. Konsep illuminatio
divina dapat dibaca ulang bukan secara supranatural, tetapi sebagai
simbol keterbatasan epistemik manusia dan keterbukaannya terhadap kebenaran
yang lebih tinggi.²² Para filsuf sains seperti Michael Polanyi dan Bernard
Lonergan melihat dalam Augustinisme dasar bagi pengetahuan yang berakar pada keterlibatan
personal dan moral, bukan sekadar objektivitas mekanis.²³
Dengan demikian,
Augustinisme mengajarkan bahwa sains tidak dapat terlepas dari dimensi etis dan
spiritual manusia. Ia menolak dikotomi antara iman dan ilmu, karena keduanya
berakar pada dorongan yang sama untuk mencari kebenaran.²⁴
Sintesis Relevansi Abad ke-21
Dalam abad ke-21
yang ditandai oleh krisis makna, konflik identitas, dan kecenderungan
teknokratis, Augustinisme menghadirkan visi humanisme teologis yang
mengembalikan martabat manusia pada relasinya dengan Tuhan.²⁵ Filsafat
Agustinus mengajarkan bahwa keindahan, pengetahuan, dan kebaikan sejati hanya
dapat dipahami dalam terang kasih ilahi.²⁶
Relevansi
Augustinisme tidak terletak pada doktrin-doktrinnya semata, tetapi pada semangat
reflektif dan kontemplatifnya—semangat yang menggabungkan
kecerdasan, cinta, dan iman dalam satu kesatuan pencarian.²⁷ Dalam dunia yang
semakin cepat dan dangkal, Augustinisme menjadi pengingat bahwa filsafat sejati
bukan sekadar berpikir tentang Tuhan, tetapi juga mengasihi
Kebenaran yang menjadikan manusia sungguh-sungguh manusia.²⁸
Footnotes
[1]
Étienne Gilson, The Christian
Philosophy of St. Augustine (New
York: Random House, 1960), 201–203.
[2]
Karl Rahner, Foundations of
Christian Faith, trans. William Dych
(New York: Crossroad, 1982), 45–47.
[3]
Augustine, Sermones, in Patrologia
Latina, ed. J.-P. Migne, Vol. 38
(Paris: Garnier, 1865), 38.
[4]
Hans Urs von Balthasar, The
Glory of the Lord, Vol. 1: Seeing the Form (San Francisco: Ignatius Press, 1982), 29–32.
[5]
Peter Brown, Augustine of Hippo: A
Biography, 2nd ed. (Berkeley: University
of California Press, 2000), 249–251.
[6]
Augustine, De Vera Religione, trans. J. H. S. Burleigh (London: SCM Press, 1953),
XXX.55.
[7]
Augustine, Confessiones, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford University
Press, 1991), XI.14–XII.27.
[8]
Edmund Husserl, Phenomenology of
Internal Time-Consciousness, trans.
James S. Churchill (Bloomington: Indiana University Press, 1964), 20–22.
[9]
Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New
York: Harper & Row, 1962), §47–49.
[10]
Søren Kierkegaard, The Concept of Anxiety, trans. Reidar Thomte (Princeton: Princeton
University Press, 1980), 42–44.
[11]
John Rist, Augustine: Ancient
Thought Baptized (Cambridge:
Cambridge University Press, 1994), 160–162.
[12]
Étienne Gilson, The Spirit of Medieval
Philosophy (New York: Scribner’s,
1940), 213–215.
[13]
Alasdair MacIntyre, After
Virtue (Notre Dame: University of
Notre Dame Press, 1981), 178–180.
[14]
Augustine, De Civitate Dei, trans. Henry Bettenson (London: Penguin Classics,
2003), XV.22.
[15]
Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry
of the Poor (Maryknoll: Orbis Books,
1997), 33–35.
[16]
Carol Harrison, Beauty and Revelation
in the Thought of Saint Augustine
(Oxford: Clarendon Press, 1992), 62–65.
[17]
Robert Markus, Saeculum: History and
Society in the Theology of St. Augustine (Cambridge: Cambridge University Press, 1970), 133–136.
[18]
Augustine, De Civitate Dei, XIX.15–19.
[19]
Reinhold Niebuhr, The Nature and Destiny
of Man, Vol. 1 (New York:
Scribner’s, 1941), 191–194.
[20]
Jacques Maritain, Man and the State (Chicago: University of Chicago Press, 1951), 51–53.
[21]
Gilson, The Christian
Philosophy of St. Augustine,
207–209.
[22]
Bernard Lonergan, Insight: A Study of
Human Understanding (New York:
Harper & Row, 1957), 23–25.
[23]
Michael Polanyi, Personal Knowledge (Chicago: University of Chicago Press, 1958),
266–268.
[24]
Gilson, The Spirit of Medieval
Philosophy, 218–221.
[25]
Jaroslav Pelikan, The Christian
Tradition: A History of the Development of Doctrine, Vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1971),
375–377.
[26]
Carol Harrison, Beauty and Revelation, 67–69.
[27]
Rist, Augustine: Ancient
Thought Baptized, 168–170.
[28]
Augustine, Confessiones, X.27.38.
11. Sintesis Filosofis: Iman sebagai Jalan Menuju Rasio
Augustinisme
mencapai puncak reflektifnya dalam sintesis antara iman (fides)
dan akal (ratio).
Agustinus berupaya membangun jembatan yang kokoh antara pengalaman religius dan
refleksi filosofis, antara pewahyuan ilahi dan pencarian rasional manusia.¹
Baginya, iman bukan pengganti pengetahuan, melainkan fondasi epistemologis dan
eksistensial yang memungkinkan akal menemukan arah dan makna sejati. Dengan
demikian, filsafat Agustinus menghadirkan model integratif yang menolak
dualisme ekstrem: iman tanpa rasio yang buta, atau rasio tanpa iman yang
kering.²
11.1.
Prinsip Dasar: “Credo ut Intelligam” dan
“Intelligo ut Credam”
Ungkapan terkenal “credo
ut intelligam” (“aku beriman supaya aku mengerti”) mencerminkan
orientasi epistemologis Agustinus yang khas.³ Iman adalah pintu gerbang menuju
pemahaman, sebab akal manusia tidak dapat mencapai kebenaran ilahi tanpa
terlebih dahulu mempercayainya. Namun, Agustinus juga menambahkan prinsip
timbal balik “intelligo ut credam” (“aku
mengerti supaya aku dapat beriman”), yang menunjukkan bahwa iman dan akal
saling memperdalam satu sama lain.⁴
Bagi Agustinus,
kebenaran sejati bersumber dari Tuhan, dan akal manusia hanyalah cermin yang
memantulkan cahaya kebenaran itu.⁵ Oleh karena itu, pengetahuan yang sejati
bukanlah hasil konstruksi intelektual, melainkan hasil partisipasi rasio dalam
terang ilahi (illuminatio divina).⁶ Iman memberi
arah pada akal, sementara akal meneguhkan iman melalui refleksi yang mendalam.⁷
11.2.
Integrasi Metafisis: Tuhan sebagai Ipsum
Verum et Ipsum Bonum
Dalam sintesis
metafisis Agustinus, Tuhan adalah ipsum esse subsistens—Keberadaan
itu sendiri—dan sekaligus ipsum verum et ipsum bonum, yaitu
Kebenaran dan Kebaikan yang absolut.⁸ Segala pengetahuan dan moralitas manusia
berakar pada partisipasi terhadap realitas ilahi ini. Rasio, dengan demikian,
tidak otonom secara absolut, tetapi selalu diarahkan menuju sumber kebenaran
yang melampaui dirinya.⁹
Agustinus menolak
pandangan skeptisisme Akademik yang meragukan kemampuan manusia untuk mengenal
kebenaran, serta menolak rasionalisme yang menganggap akal cukup tanpa
bimbingan ilahi.¹⁰ Ia menegaskan bahwa rasio manusia, bila dilepaskan dari
iman, mudah jatuh ke dalam kesombongan intelektual (superbia mentis), yang justru
menjauhkan manusia dari kebenaran sejati.¹¹ Maka, iman berfungsi sebagai
“cahaya moral” yang menuntun rasio agar tidak tersesat dalam kesombongan dan
relativisme.¹²
11.3.
Sintesis Antropologis: Jiwa Rasional sebagai
Citra Ilahi
Dalam antropologi
Agustinus, manusia adalah makhluk rasional yang diciptakan menurut gambar dan
rupa Allah (imago Dei).¹³ Jiwa manusia memiliki
tiga kemampuan utama—memori, pengertian, dan kehendak—yang mencerminkan
Tritunggal Ilahi.¹⁴ Melalui kemampuan rasionalnya, manusia dapat mengenal
Tuhan; namun melalui kehendak dan kasihnya, manusia dapat bersatu dengan
Tuhan.¹⁵
Sintesis antara iman
dan akal dalam diri manusia tercermin dalam perjalanan spiritual menuju Allah:
pengetahuan tanpa kasih hanya menghasilkan kebanggaan intelektual, sementara
kasih tanpa pengetahuan mudah jatuh dalam kesesatan.¹⁶ Oleh karena itu,
Agustinus menyatukan dimensi intelektual dan afektif dalam struktur manusiawi,
menunjukkan bahwa pengetahuan tertinggi adalah pengetahuan yang dicintai dan
dijalani.¹⁷
11.4.
Dimensi Etis dan Eksistensial: Kasih sebagai
Rasionalitas Tertinggi
Etika Agustinus
menegaskan bahwa kasih adalah bentuk tertinggi rasionalitas.¹⁸
Dalam ordo
amoris, setiap tindakan manusia harus diarahkan oleh cinta yang
tertib: mencintai hal-hal sesuai dengan urutannya yang benar, yaitu Tuhan
terlebih dahulu, kemudian sesama, dan akhirnya diri sendiri.¹⁹ Dengan demikian,
rasionalitas sejati bukan sekadar berpikir logis, tetapi berpikir dengan
cinta—rasio yang diterangi kasih.²⁰
Bagi Agustinus,
kasih merupakan bentuk pengetahuan yang lebih dalam karena menghubungkan akal
dengan pengalaman eksistensial manusia akan Tuhan.²¹ Kasih mengatasi batasan
logika tanpa meniadakannya, sehingga memungkinkan iman dan akal bersatu dalam
harmoni spiritual.²² Inilah yang disebutnya sebagai sapientia—kebijaksanaan sejati, di
mana pengetahuan menjadi kehidupan dan kebenaran menjadi kasih.²³
11.5.
Dimensi Historis dan Kultural: Sumbangan bagi
Tradisi Barat
Sintesis Agustinus
antara iman dan akal memberikan fondasi intelektual bagi filsafat
Kristen dan humanisme teologis di Barat.²⁴ Pandangannya
memengaruhi Anselmus, Bonaventura, dan Aquinas dalam Skolastisisme, serta mengilhami
Descartes, Pascal, dan Kierkegaard dalam filsafat modern.²⁵ Bahkan dalam dunia
kontemporer, model integrasi Agustinus menjadi relevan dalam dialog antara
sains, agama, dan etika, karena menunjukkan bahwa rasionalitas manusia tidak
dapat dipisahkan dari dimensi moral dan spiritualnya.²⁶
Augustinisme juga
memberikan alternatif bagi krisis modernitas yang terpecah antara iman dan
rasio. Dengan menempatkan iman sebagai sumber makna dan rasio sebagai alat
eksplorasi, Agustinus menghadirkan visi integral tentang manusia: makhluk
pencari kebenaran yang sekaligus pencinta kebaikan.²⁷
Sintesis Filosofis Akhir: Iman sebagai Jalan
Menuju Rasio
Pada akhirnya,
sintesis filosofis Agustinus dapat dirumuskan sebagai perjalanan spiral dari
iman menuju pengertian, dan dari pengertian kembali menuju iman yang lebih
dalam.²⁸ Iman membuka jalan bagi pengetahuan, sementara pengetahuan memperkokoh
iman. Proses ini bersifat dinamis dan kontemplatif, bukan linear, karena
tujuannya bukan sekadar memahami Tuhan secara konseptual, tetapi mengalami-Nya
secara eksistensial.²⁹
Bagi Agustinus,
kebenaran bukan ide abstrak, melainkan Pribadi yang dapat dicintai—Tuhan
sendiri.³⁰ Karena itu, pencarian rasional tanpa kasih adalah kehampaan, dan
iman tanpa refleksi adalah kebutaan. Dalam sintesisnya, Agustinus menunjukkan
bahwa iman dan akal tidak berlawanan, tetapi saling meneguhkan dalam gerak
menuju veritas,
kebenaran yang sekaligus adalah kasih.³¹
Footnotes
[1]
Étienne Gilson, The Christian
Philosophy of St. Augustine (New York:
Random House, 1960), 215–218.
[2]
John Rist, Augustine: Ancient
Thought Baptized (Cambridge:
Cambridge University Press, 1994), 172–174.
[3]
Augustine, Sermones, in Patrologia
Latina, ed. J.-P. Migne, Vol. 38
(Paris: Garnier, 1865), 38.
[4]
Anselm of Canterbury, Proslogion, trans. Thomas Williams (Indianapolis: Hackett,
1995), I.2.
[5]
Augustine, De Trinitate, trans. Edmund Hill (Brooklyn: New City Press, 1991),
XV.5.7.
[6]
Gilson, The Spirit of Medieval
Philosophy (New York: Scribner’s,
1940), 226–228.
[7]
Frederick Copleston, A
History of Philosophy, Vol. 2: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 109–111.
[8]
Augustine, De Civitate Dei, trans. Henry Bettenson (London: Penguin Classics,
2003), XII.2.
[9]
Robert Markus, Saeculum: History and
Society in the Theology of St. Augustine (Cambridge: Cambridge University Press, 1970), 141–143.
[10]
Henry Chadwick, Augustine: A Very Short
Introduction (Oxford: Oxford
University Press, 2001), 85–87.
[11]
Gilson, The Christian
Philosophy of St. Augustine,
220–222.
[12]
Rist, Augustine: Ancient Thought
Baptized, 177–179.
[13]
Augustine, De Trinitate, IX.4.7.
[14]
Carol Harrison, Beauty and Revelation
in the Thought of Saint Augustine
(Oxford: Clarendon Press, 1992), 70–73.
[15]
James Wetzel, Augustine and the
Limits of Virtue (Cambridge:
Cambridge University Press, 1992), 123–125.
[16]
Bonaventura, Itinerarium Mentis in
Deum, trans. Philotheus Boehner
(Indianapolis: Hackett, 1993), II.2.
[17]
Gilson, The Spirit of Medieval
Philosophy, 230–232.
[18]
Étienne Gilson, God and Philosophy (New Haven: Yale University Press, 1941), 52–54.
[19]
Augustine, De Civitate Dei, XV.22.
[20]
Alasdair MacIntyre, After
Virtue (Notre Dame: University of
Notre Dame Press, 1981), 185–187.
[21]
Rist, Augustine: Ancient
Thought Baptized, 182–184.
[22]
Harrison, Beauty and Revelation, 76–78.
[23]
Gilson, The Christian
Philosophy of St. Augustine,
224–226.
[24]
Jaroslav Pelikan, The Christian
Tradition: A History of the Development of Doctrine, Vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1971),
378–380.
[25]
Blaise Pascal, Pensées, trans. A. J. Krailsheimer (London: Penguin Classics,
1995), §277–281.
[26]
Karl Rahner, Foundations of
Christian Faith, trans. William Dych
(New York: Crossroad, 1982), 52–55.
[27]
Hans Urs von Balthasar, The
Glory of the Lord, Vol. 1: Seeing the Form (San Francisco: Ignatius Press, 1982), 36–39.
[28]
Gilson, The Spirit of Medieval
Philosophy, 235–238.
[29]
Augustine, Confessiones, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford University
Press, 1991), X.23.33–X.27.38.
[30]
Augustine, Confessiones, X.27.38.
[31]
Gilson, The Christian
Philosophy of St. Augustine,
229–231.
12. Kesimpulan
Filsafat Agustinus
dari Hippo merupakan salah satu sintesis paling berpengaruh dalam sejarah
pemikiran Barat, yang menyatukan iman Kristen dengan refleksi rasional ala
Yunani.¹ Melalui sistem pemikirannya, Agustinus berhasil menempatkan Tuhan
sebagai pusat realitas, sumber pengetahuan, dan tujuan akhir kehidupan
manusia.² Ia memadukan dimensi metafisis, epistemologis, dan etis dalam
kerangka teosentris yang memandang seluruh keberadaan sebagai partisipasi dalam
kebaikan dan kebenaran ilahi.³
12.1.
Keutuhan Sistem Filsafat Agustinus
Keseluruhan sistem
Augustinian menunjukkan koherensi yang tinggi antara metafisika, epistemologi,
dan etika. Dalam ontologi, Tuhan tampil sebagai ipsum esse subsistens—realitas tertinggi
yang menjadi sumber dan penopang segala sesuatu.⁴ Dalam epistemologi, akal
manusia diterangi oleh illuminatio divina, memungkinkan
pengetahuan sejati hanya bila akal berpartisipasi dalam terang ilahi.⁵ Dalam
etika, manusia diarahkan kepada tatanan cinta yang benar (ordo
amoris), di mana kasih kepada Tuhan menjadi prinsip tertinggi
kehidupan moral.⁶ Dengan demikian, filsafat Agustinus membentuk satu sistem
integral yang menolak pemisahan antara berpikir, percaya, dan mengasihi.⁷
12.2.
Iman dan Akal sebagai Dua Sayap Menuju
Kebenaran
Agustinus menegaskan
bahwa iman dan
rasio bukan dua kutub yang berlawanan, melainkan dua sayap yang mengangkat
manusia menuju kebenaran.⁸ Iman membuka pintu bagi akal untuk
memahami misteri, sedangkan akal meneguhkan iman melalui refleksi kritis dan
kontemplasi.⁹ Dalam formula terkenalnya, “credo ut intelligam” dan “intelligo
ut credam”, Agustinus menyajikan keseimbangan dinamis antara
kepercayaan dan penalaran, antara penerimaan dan pencarian.¹⁰
Pandangan ini
memberi arah baru bagi seluruh tradisi filsafat dan teologi Kristen Barat,
terutama dalam usaha mengharmonikan wahyu dengan rasionalitas.¹¹ Ia menunjukkan
bahwa kebenaran tidak ditemukan dalam pemisahan antara iman dan rasio, tetapi
dalam penyatuan keduanya di bawah terang kasih ilahi.¹²
12.3.
Warisan Spiritual dan Intelektual
Warisan Agustinus
melampaui batas agama dan zaman. Ia memengaruhi teologi skolastik melalui
Anselmus, Bonaventura, dan Aquinas; menginspirasi refleksi eksistensial
Kierkegaard dan Pascal; serta memberi dasar bagi pemikiran modern tentang
kesadaran, waktu, dan kebebasan.¹³ Bahkan dalam konteks kontemporer,
Augustinisme tetap relevan sebagai model refleksi yang menolak reduksi
rasionalisme maupun sentimentalitas spiritual.¹⁴
Karya-karya
Agustinus seperti Confessiones dan De
Civitate Dei bukan hanya teks teologis, tetapi juga karya filosofis
yang menggabungkan pengalaman eksistensial dengan argumentasi rasional.¹⁵
Melalui pendekatan ini, Agustinus berhasil membangun jembatan antara filsafat
klasik dan pemikiran modern—antara Plato dan Descartes, antara dunia Yunani dan
dunia Kristen.¹⁶
12.4.
Relevansi Abadi Augustinisme
Dalam dunia modern
yang diwarnai oleh sekularisasi dan krisis makna, filsafat Agustinus
mengajarkan bahwa kebenaran dan kebahagiaan sejati tidak ditemukan di luar,
tetapi di dalam diri manusia yang diarahkan kepada Tuhan.¹⁷ Seruan “Noli
foras ire, in te ipsum redi; in interiore homine habitat veritas”
(“Jangan keluar dari dirimu, kembalilah ke dalam dirimu; di dalam manusia batin
tinggal kebenaran”)¹⁸ menjadi pesan abadi tentang perlunya refleksi, kedalaman,
dan kontemplasi di tengah hiruk-pikuk modernitas.
Augustinisme tetap
menjadi sumber inspirasi bagi filsafat dan teologi karena menyatukan logika dan
cinta, refleksi dan doa, rasionalitas dan iman.¹⁹ Dalam dirinya, kebenaran
tidak hanya dipahami sebagai proposisi intelektual, tetapi juga sebagai Pribadi
yang dapat dicintai—Veritas Amabilis.²⁰
Kesimpulan Akhir: Agustinisme sebagai Filsafat
Iman yang Rasional
Sintesis Agustinus
menunjukkan bahwa iman adalah jalan menuju rasio, dan rasio
adalah bentuk pemurnian iman.²¹ Ia tidak menempatkan keduanya
dalam hierarki yang kaku, melainkan dalam hubungan dialogis dan partisipatif.
Dengan demikian, Augustinisme merupakan model filsafat iman yang rasional: rasional
karena menggunakan akal secara kritis, dan beriman karena mengakui keterbatasan
akal di hadapan misteri ilahi.²²
Melalui filsafatnya,
Agustinus mengingatkan manusia bahwa pencarian kebenaran bukanlah perjalanan
menuju konsep abstrak, tetapi menuju Pribadi yang hidup. Ia menulis dengan
lirih namun penuh makna: “Fecisti nos ad te, Domine, et inquietum est
cor nostrum donec requiescat in te”—“Engkau telah menciptakan kami
bagi-Mu, ya Tuhan, dan hati kami gelisah sampai beristirahat dalam-Mu.”²³
Kalimat ini bukan hanya doa, tetapi juga kesimpulan metafisis dari seluruh
filsafatnya: manusia, dengan akal dan imannya, hanya menemukan makna sejati
dalam Tuhan sebagai Kebenaran dan Kasih yang abadi.²⁴
Footnotes
[1]
Étienne Gilson, The Christian
Philosophy of St. Augustine (New
York: Random House, 1960), 233–235.
[2]
Frederick Copleston, A
History of Philosophy, Vol. 2: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 115–117.
[3]
John Rist, Augustine: Ancient
Thought Baptized (Cambridge:
Cambridge University Press, 1994), 185–187.
[4]
Augustine, De Civitate Dei, trans. Henry Bettenson (London: Penguin Classics,
2003), XII.2.
[5]
Gilson, The Spirit of Medieval
Philosophy (New York: Scribner’s,
1940), 243–245.
[6]
James Wetzel, Augustine and the
Limits of Virtue (Cambridge:
Cambridge University Press, 1992), 129–131.
[7]
Carol Harrison, Beauty and Revelation
in the Thought of Saint Augustine
(Oxford: Clarendon Press, 1992), 79–81.
[8]
Augustine, Sermones, in Patrologia
Latina, ed. J.-P. Migne, Vol. 38
(Paris: Garnier, 1865), 38.
[9]
Anselm of Canterbury, Proslogion, trans. Thomas Williams (Indianapolis: Hackett,
1995), I.2.
[10]
Gilson, The Christian
Philosophy of St. Augustine,
236–238.
[11]
Jaroslav Pelikan, The Christian
Tradition: A History of the Development of Doctrine, Vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1971),
383–385.
[12]
Robert Markus, Saeculum: History and
Society in the Theology of St. Augustine (Cambridge: Cambridge University Press, 1970), 150–152.
[13]
Peter Brown, Augustine of Hippo: A
Biography, 2nd ed. (Berkeley: University
of California Press, 2000), 258–261.
[14]
Alasdair MacIntyre, After
Virtue (Notre Dame: University of
Notre Dame Press, 1981), 191–193.
[15]
Augustine, Confessiones, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford University
Press, 1991), XI.14–XII.27.
[16]
Gilson, God and Philosophy (New Haven: Yale University Press, 1941), 57–59.
[17]
Harrison, Beauty and Revelation, 84–86.
[18]
Augustine, De Vera Religione, trans. J. H. S. Burleigh (London: SCM Press, 1953),
XXX.55.
[19]
Gilson, The Spirit of Medieval
Philosophy, 249–251.
[20]
Rist, Augustine: Ancient
Thought Baptized, 190–192.
[21]
Gilson, The Christian
Philosophy of St. Augustine,
239–241.
[22]
Copleston, A History of
Philosophy, Vol. 2, 118–120.
[23]
Augustine, Confessiones, I.1.1.
[24]
Pelikan, The Christian Tradition, 386–388.
Daftar Pustaka
Anselm of Canterbury. (1995). Proslogion (T. Williams, Trans.).
Indianapolis, IN: Hackett Publishing.
Aquinas, T. (1947). Summa Theologica (Fathers of the English Dominican
Province, Trans.). New York, NY: Benziger Bros.
Armstrong, A. H. (1992). Plotinus and Christianity. London, UK: Variorum.
Augustine of Hippo. (1845). De Natura Boni (J.-P. Migne, Ed.), Patrologia
Latina, Vol. 42. Paris, France: Garnier.
Augustine of Hippo. (1865). Sermones (J.-P. Migne, Ed.), Patrologia
Latina, Vol. 38. Paris, France: Garnier.
Augustine of Hippo. (1953). De Vera Religione (J. H. S.
Burleigh, Trans.). London, UK: SCM Press.
Augustine of Hippo. (1955). Enchiridion (J. F. Shaw, Trans.).
Chicago, IL: Regnery.
Augustine of Hippo. (1991). Confessiones (H. Chadwick, Trans.).
Oxford, UK: Oxford University Press.
Augustine of Hippo. (1991). De Trinitate (E. Hill, Trans.).
Brooklyn, NY: New City Press.
Augustine of Hippo. (2003). De Civitate Dei (H. Bettenson,
Trans.). London, UK: Penguin Classics.
Balthasar, H. U. von. (1982). The Glory of the Lord, Vol. 1: Seeing
the Form. San Francisco, CA: Ignatius Press.
Boff, L. (1997). Cry of the Earth, Cry of the Poor. Maryknoll, NY: Orbis
Books.
Bonaventure. (1993). Itinerarium Mentis in Deum (P. Boehner, Trans.).
Indianapolis, IN: Hackett Publishing.
Brown, P. (2000). Augustine of Hippo: A Biography (2nd ed.). Berkeley, CA:
University of California Press.
Chadwick, H. (2001). Augustine: A Very Short Introduction. Oxford, UK: Oxford
University Press.
Copleston, F. (1993). A History of Philosophy, Vol. 2: Medieval Philosophy.
New York, NY: Image Books.
Copleston, F. (1994). A History of Philosophy, Vol. 6: Modern Philosophy. New
York, NY: Image Books.
Descartes, R. (1996). Meditations on First Philosophy (J. Cottingham, Trans.).
Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Eckhart, M. (1994). Selected Writings (O. Davies, Trans.). London, UK:
Penguin Classics.
Erasmus, D. (1524). De Libero Arbitrio. Basel, Switzerland: Froben.
Foucault, M. (1990). The History of Sexuality, Vol. 1: The Will to Knowledge
(R. Hurley, Trans.). New York, NY: Vintage Books.
Gilson, É. (1940). The Spirit of Medieval Philosophy. New York, NY: Scribner’s.
Gilson, É. (1941). God and Philosophy. New Haven, CT: Yale University
Press.
Gilson, É. (1960). The Christian Philosophy of St. Augustine. New York, NY:
Random House.
Harrison, C. (1992). Beauty and Revelation in the Thought of Saint Augustine.
Oxford, UK: Clarendon Press.
Heidegger, M. (1962). Being and Time (J. Macquarrie & E. Robinson,
Trans.). New York, NY: Harper & Row.
Husserl, E. (1964). Phenomenology of Internal Time-Consciousness (J. S.
Churchill, Trans.). Bloomington, IN: Indiana University Press.
Kant, I. (1998). Groundwork of the Metaphysics of Morals (M. Gregor,
Trans.). Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Kierkegaard, S. (1980). The Concept of Anxiety (R. Thomte, Trans.). Princeton,
NJ: Princeton University Press.
Kierkegaard, S. (1985). Fear and Trembling (A. Hannay, Trans.). London, UK:
Penguin Classics.
Lonergan, B. (1957). Insight: A Study of Human Understanding. New York, NY:
Harper & Row.
Luther, M. (1972). De Servo Arbitrio (The Bondage of the Will), in Luther’s
Works (Vol. 33). Philadelphia, PA: Fortress Press.
MacIntyre, A. (1981). After Virtue. Notre Dame, IN: University of Notre Dame
Press.
Marion, J.-L. (1991). God Without Being (T. A. Carlson, Trans.). Chicago, IL:
University of Chicago Press.
Maritain, J. (1944). Christianity and Democracy. New York, NY: Scribner’s.
Maritain, J. (1951). Man and the State. Chicago, IL: University of Chicago
Press.
Markus, R. A. (1970). Saeculum: History and Society in the Theology of St.
Augustine. Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Milbank, J. (1990). Theology and Social Theory: Beyond Secular Reason.
Oxford, UK: Blackwell.
Niebuhr, R. (1941). The Nature and Destiny of Man, Vol. 1. New York, NY:
Scribner’s.
Pascal, B. (1995). Pensées (A. J. Krailsheimer, Trans.). London, UK:
Penguin Classics.
Pelikan, J. (1971). The Christian Tradition: A History of the Development of
Doctrine, Vol. 1. Chicago, IL: University of Chicago Press.
Polanyi, M. (1958). Personal Knowledge: Towards a Post-Critical Philosophy.
Chicago, IL: University of Chicago Press.
Rahner, K. (1982). Foundations of Christian Faith (W. V. Dych, Trans.). New
York, NY: Crossroad.
Rist, J. M. (1994). Augustine: Ancient Thought Baptized. Cambridge, UK:
Cambridge University Press.
Sartre, J.-P. (1992). Being and Nothingness (H. Barnes, Trans.). New York, NY:
Washington Square Press.
Wetzel, J. (1992). Augustine and the Limits of Virtue. Cambridge, UK:
Cambridge University Press.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar