Senin, 01 Desember 2025

Subjektivitas Ontologis (Ontological Subjectivity): Antara Kesadaran, Makna, dan Dunia

Subjektivitas Ontologis (Ontological Subjectivity)

Antara Kesadaran, Makna, dan Dunia


Alihkan ke: Filsafat Bahasa.


Abstrak

Artikel ini mengkaji secara mendalam konsep subjektivitas ontologis (ontological subjectivity) dalam filsafat bahasa John Searle, sebagai salah satu karakteristik utama dari keadaan mental yang membedakan kesadaran manusia dari fenomena fisik dan komputasional. Subjektivitas ontologis dipahami Searle sebagai realitas yang secara ontologis nyata, namun hanya dapat dialami dari perspektif pertama. Kesadaran, dalam kerangka ini, bukanlah entitas metafisik yang terpisah dari tubuh, melainkan fakta biologis yang bersifat fenomenal dan intensional. Artikel ini menelusuri landasan historis pemikiran Searle yang berakar pada tradisi fenomenologi (Husserl, Heidegger) dan filsafat analitik bahasa (Wittgenstein, Austin), serta mengeksplorasi implikasinya terhadap epistemologi, aksiologi, dan dimensi sosial dari bahasa.

Melalui analisis terhadap karya-karya utama Searle seperti Speech Acts, Intentionality, The Rediscovery of the Mind, dan The Construction of Social Reality, artikel ini menunjukkan bahwa bahasa berfungsi sebagai ekspresi eksternal dari kesadaran yang berintensi terhadap dunia, menjembatani subjektivitas individu dan intersubjektivitas sosial. Subjektivitas ontologis, dengan demikian, menjadi fondasi bagi makna, komunikasi, dan struktur sosial.

Selanjutnya, artikel ini menempatkan gagasan Searle dalam konteks kontemporer—khususnya dalam menghadapi tantangan era digital dan kecerdasan buatan (AI)—dengan menegaskan bahwa mesin, meskipun mampu meniru perilaku kognitif manusia, tetap tidak memiliki kesadaran fenomenal. Subjektivitas ontologis manusia tetap menjadi dasar bagi nilai, tanggung jawab, dan makna etis dalam kehidupan bersama. Pada akhirnya, sintesis filosofis yang ditawarkan mengarah pada konsepsi humanistik tentang subjektivitas, di mana kesadaran manusia dipahami sebagai inti dari kemanusiaan yang tak tergantikan, fondasi bagi bahasa, etika, dan kebudayaan.

Kata Kunci: Subjektivitas Ontologis; John Searle; Kesadaran; Intensionalitas; Filsafat Bahasa; Intersubjektivitas; Etika Humanistik; Kecerdasan Buatan; Fenomenologi; Humanisme Digital.


PEMBAHASAN

Subjektivitas Ontologis dalam Filsafat Bahasa John Searle


1.           Pendahuluan

Dalam ranah filsafat bahasa kontemporer, John Searle menempati posisi penting sebagai tokoh yang berupaya menjembatani antara tradisi analitik dan fenomenologis dalam memahami hakikat kesadaran, makna, dan bahasa. Salah satu konsep sentral yang menjadi dasar seluruh kerangka pemikirannya adalah “subjektivitas ontologis” (ontological subjectivity)—yakni gagasan bahwa kesadaran manusia bersifat secara ontologis subjektif karena ia hanya dapat dialami dari sudut pandang pertama (first-person perspective).¹ Subjektivitas ontologis ini bukan sekadar ciri epistemologis, melainkan menyangkut struktur keberadaan (being) itu sendiri; sesuatu yang nyata dalam pengalaman namun tidak dapat direduksi sepenuhnya ke dalam kerangka objektif atau fisikalis.²

Bagi Searle, seluruh keadaan mental—seperti persepsi, keyakinan, niat, dan emosi—memiliki karakter intensional dan subjektif secara ontologis.³ Kesadaran tidak dapat dijelaskan tanpa mengakui dimensi fenomenal dan privat yang menyertainya. Dengan demikian, upaya untuk menjelaskan bahasa dan makna tanpa memperhitungkan kesadaran subjektif berisiko mereduksi bahasa menjadi sekadar sistem simbol eksternal tanpa makna hidup.⁴ Dalam kerangka inilah Searle menegaskan bahwa filsafat bahasa harus berakar pada filsafat pikiran, sebab struktur bahasa merefleksikan struktur intensionalitas yang bersumber dari pengalaman sadar.⁵

Dalam konteks filsafat bahasa, “subjektivitas ontologis” berfungsi sebagai fondasi bagi pemahaman makna dan komunikasi. Ketika seseorang berbicara, tindak tutur yang ia lakukan berangkat dari kesadaran subjektif yang bermaksud (intentional) terhadap dunia.⁶ Bahasa bukanlah entitas netral yang berdiri di luar kesadaran, melainkan perpanjangan dari pengalaman subjektif yang ingin diobjektifikasi melalui tanda-tanda linguistik.⁷ Dengan kata lain, makna linguistik tidak muncul secara mekanis dari sistem simbol, tetapi terbentuk melalui kesadaran yang berintensi dan berorientasi pada realitas.

Permasalahan yang muncul kemudian adalah bagaimana kita dapat memahami hubungan antara subjektivitas yang bersifat privat dengan makna dan komunikasi yang bersifat publik. Searle berpendapat bahwa walaupun kesadaran bersifat subjektif secara ontologis, ia tetap memiliki struktur biologis dan sosial yang dapat dianalisis secara ilmiah tanpa kehilangan aspek fenomenalnya.⁸ Dengan demikian, Searle menolak dua ekstrem: reduksionisme fisikalis, yang meniadakan subjektivitas, dan solipsisme, yang mengisolasi subjek dari dunia sosial dan bahasa.⁹

Kajian mengenai “subjektivitas ontologis” dalam filsafat bahasa Searle menjadi relevan untuk memahami bagaimana pengalaman batin manusia menjadi dasar bagi makna dan komunikasi, terutama dalam konteks dunia modern yang semakin didominasi oleh teknologi dan representasi digital. Dalam situasi di mana kecerdasan buatan dan media digital mulai meniru perilaku linguistik manusia, pertanyaan tentang apakah sistem non-manusia dapat memiliki kesadaran subjektif menjadi semakin penting.¹⁰ Melalui pembahasan ini, artikel akan menelusuri struktur ontologis subjektivitas menurut Searle dan implikasinya terhadap makna, intensionalitas, serta komunikasi manusia di era digital.

Dengan pendekatan filosofis-analitis dan reflektif, pembahasan ini bertujuan untuk memperlihatkan bagaimana subjektivitas ontologis bukanlah hal yang berlawanan dengan objektivitas ilmiah, melainkan merupakan dimensi eksistensial yang niscaya bagi pemahaman makna dan tindakan bahasa manusia.¹¹ Kajian ini sekaligus menjadi upaya untuk menunjukkan relevansi filsafat Searle dalam menjawab krisis makna dan pengalaman autentik dalam budaya digital kontemporer.


Footnotes

[1]                John R. Searle, The Rediscovery of the Mind (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 93–95.

[2]                Ibid., 94.

[3]                John R. Searle, Intentionality: An Essay in the Philosophy of Mind (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 1–2.

[4]                Ibid., 27–29.

[5]                John R. Searle, Speech Acts: An Essay in the Philosophy of Language (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 16.

[6]                Searle, Intentionality, 5–6.

[7]                John R. Searle, Minds, Brains and Science (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1984), 18.

[8]                Searle, The Rediscovery of the Mind, 100–102.

[9]                Ibid., 107–108.

[10]             John R. Searle, “Minds, Brains, and Programs,” Behavioral and Brain Sciences 3, no. 3 (1980): 417–457.

[11]             Hubert L. Dreyfus, What Computers Still Can’t Do: A Critique of Artificial Reason (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 221.


2.           Landasan Historis dan Genealogis

Gagasan subjektivitas ontologis yang dikembangkan oleh John Searle tidak muncul dalam ruang hampa, melainkan berakar dalam tradisi panjang filsafat modern yang menempatkan kesadaran sebagai pusat refleksi ontologis dan epistemologis. Untuk memahami posisi konseptual Searle, penting menelusuri genealogi pemikirannya yang menggabungkan dua aliran besar: fenomenologi kontinental dan filsafat analitik bahasa. Kedua arus tersebut membentuk medan konseptual tempat Searle bergerak dalam menjelaskan hubungan antara kesadaran, makna, dan dunia sosial.

2.1.       Asal-Usul Fenomenologis Subjektivitas

Jejak pertama dari gagasan tentang subjektivitas ontologis dapat ditelusuri pada Edmund Husserl, pendiri fenomenologi, yang menegaskan bahwa kesadaran selalu bersifat intentional—yakni selalu mengarah kepada sesuatu (consciousness is always consciousness of something).¹ Dalam Ideen zu einer reinen Phänomenologie, Husserl memperlihatkan bahwa kesadaran tidak dapat dipahami sebagai entitas tertutup, melainkan sebagai medan makna yang konstitutif terhadap dunia.² Husserl menolak pandangan empiris yang mereduksi pengalaman menjadi sekadar kumpulan fakta objektif; baginya, dunia objektif hanya muncul sebagai korelat dari pengalaman subjek transendental.³ Dengan demikian, subjektivitas bukan sekadar bentuk pengetahuan tentang dunia, tetapi struktur ontologis yang mendahului setiap objektivitas yang mungkin.

Pemikiran ini kemudian dikembangkan oleh Martin Heidegger, yang mengubah orientasi fenomenologi dari epistemologi menuju ontologi. Dalam Sein und Zeit, Heidegger memandang Dasein—manusia yang menyadari keberadaannya—sebagai makhluk yang selalu sudah “berada-di-dunia” (being-in-the-world).⁴ Subjektivitas bagi Heidegger tidak lagi dipahami sebagai pusat kesadaran yang mengamati dunia dari luar, melainkan sebagai mode eksistensi yang terjalin secara inheren dengan dunia.⁵ Pandangan ini membuka ruang bagi pemahaman bahwa kesadaran memiliki status ontologis yang tidak dapat dilepaskan dari keterlibatan praktis dan linguistik manusia dengan realitas.

Pemikiran fenomenologis ini memberikan pengaruh mendalam bagi Searle, khususnya dalam hal penekanan pada intensionalitas kesadaran.⁶ Walaupun Searle menolak metafisika transendental Husserl, ia mengakui bahwa setiap keadaan mental memiliki arah makna atau aboutness yang serupa dengan intensionalitas fenomenologis.⁷ Namun, Searle menekankan bahwa intensionalitas bukanlah sifat dari subjek transendental melainkan sifat biologis dari organisme sadar.⁸ Dengan demikian, ia berupaya memadukan wawasan fenomenologis tentang kesadaran dengan pendekatan naturalistik yang tetap mempertahankan realitas ontologis pengalaman subjektif.

2.2.       Tradisi Analitik dan Tindakan Tutur

Selain dipengaruhi oleh fenomenologi, Searle juga berakar kuat dalam tradisi filsafat analitik bahasa yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh seperti Ludwig Wittgenstein, J.L. Austin, dan Gilbert Ryle. Dalam tradisi ini, bahasa dipandang bukan semata-mata sebagai sistem representasi, melainkan sebagai bentuk tindakan sosial.⁹ Wittgenstein, dalam Philosophical Investigations, menolak ide bahasa privat dan menegaskan bahwa makna adalah hasil penggunaan dalam praktik sosial (meaning is use).¹⁰ Bagi Searle, pandangan ini penting karena menunjukkan bahwa subjektivitas manusia selalu terekspresikan melalui medium intersubjektif, yakni bahasa.

Pengaruh terbesar terhadap Searle datang dari J.L. Austin, terutama melalui teori speech acts yang dikembangkan dalam kuliah How to Do Things with Words. Austin menegaskan bahwa setiap ujaran bukan sekadar menyampaikan proposisi, tetapi juga melakukan tindakan tertentu (performative acts).¹¹ Searle kemudian mengembangkan teori ini dalam karyanya Speech Acts (1969), di mana ia merumuskan struktur logis tindak tutur dan mengaitkannya dengan niat pembicara (speaker’s intention).¹² Dalam hal ini, subjektivitas ontologis menjadi fondasi dari setiap tindakan linguistik karena setiap ujaran selalu berakar pada kesadaran yang bermaksud.¹³

Dengan demikian, dalam tradisi analitik, Searle memformulasikan kembali hubungan antara bahasa dan kesadaran: bahasa bukanlah cermin pasif dari dunia objektif, melainkan ekspresi aktif dari intensionalitas subjektif yang berusaha mengkomunikasikan makna kepada orang lain.¹⁴ Pendekatan ini menjembatani kesenjangan antara objektivitas bahasa dan subjektivitas kesadaran dengan menunjukkan bahwa keduanya saling terjalin secara ontologis.

2.3.       Evolusi Pemikiran Searle: Dari Bahasa ke Pikiran

Perjalanan intelektual Searle menunjukkan pergeseran dari fokus linguistik ke arah ontologi kesadaran. Dalam Speech Acts, ia meneliti struktur tindakan bahasa sebagai sistem aturan sosial. Namun, dalam Intentionality: An Essay in the Philosophy of Mind (1983), Searle beralih ke analisis kesadaran dan intensionalitas yang mendasari makna linguistik.¹⁵ Di sini, ia menolak pandangan reduksionistik yang menganggap bahwa keadaan mental dapat dijelaskan sepenuhnya dalam istilah fisik atau komputasional.¹⁶ Kesadaran, menurutnya, memiliki dimensi ontologis yang tidak dapat direduksi: ia eksis secara subjektif namun tetap bagian dari dunia biologis yang objektif.¹⁷

Searle melanjutkan pandangan ini dalam The Rediscovery of the Mind (1992), di mana ia menentang dominasi paradigma komputasionalisme dan materialisme eliminatif yang berusaha menjelaskan pikiran sebagai proses simbolik tanpa fenomenalitas.¹⁸ Ia menegaskan bahwa kesadaran adalah fakta biologis dasar—sama nyatanya dengan proses kimiawi dalam otak—namun tidak dapat direduksi menjadi deskripsi objektif karena sifat ontologisnya yang subjektif.¹⁹

Dalam konteks ini, “subjektivitas ontologis” menjadi pilar metafisik yang menopang seluruh filsafat Searle. Kesadaran bukan sekadar fenomena psikologis, tetapi bentuk eksistensi yang bersifat real dan tak terelakkan dalam penjelasan tentang bahasa, makna, dan dunia sosial.²⁰

2.4.       Kritik terhadap Reduksionisme dan Behaviorisme

Gagasan Searle juga merupakan tanggapan langsung terhadap dua arus dominan abad ke-20: behaviorisme dan fisikalisme reduktif. Behaviorisme, sebagaimana dikembangkan oleh B. F. Skinner, berupaya menjelaskan perilaku manusia tanpa merujuk pada keadaan batin.²¹ Searle menolak pandangan ini dengan menegaskan bahwa tindakan bahasa tidak dapat dimengerti tanpa memahami niat dan kesadaran pembicara.²² Begitu pula terhadap fisikalisme reduktif yang berusaha mengidentifikasi keadaan mental dengan keadaan otak, Searle berargumen bahwa reduksi semacam itu mengabaikan aspek fenomenal kesadaran yang bersifat subjektif secara ontologis.²³

Dengan demikian, pemikiran Searle menandai kebangkitan kembali pendekatan non-reduksionistik dalam filsafat pikiran dan bahasa. Ia menggabungkan analisis linguistik dengan metafisika kesadaran untuk menunjukkan bahwa bahasa adalah ekspresi eksternal dari struktur ontologis subjek yang sadar.²⁴ Genealogi ini memperlihatkan kesinambungan antara fenomenologi kesadaran dan analisis tindakan tutur—dua tradisi yang semula berbeda, namun di tangan Searle menemukan sintesis baru yang produktif.


Footnotes

[1]                Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The Hague: Martinus Nijhoff, 1982), 54.

[2]                Ibid., 58–59.

[3]                Ibid., 85.

[4]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 78–79.

[5]                Ibid., 83.

[6]                John R. Searle, Intentionality: An Essay in the Philosophy of Mind (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 2.

[7]                Ibid., 4–6.

[8]                John R. Searle, Minds, Brains and Science (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1984), 18–19.

[9]                Gilbert Ryle, The Concept of Mind (London: Hutchinson, 1949), 12–15.

[10]             Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigations, trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §43.

[11]             J.L. Austin, How to Do Things with Words, ed. J. O. Urmson and Marina Sbisà (Oxford: Oxford University Press, 1975), 6–8.

[12]             John R. Searle, Speech Acts: An Essay in the Philosophy of Language (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 31–32.

[13]             Ibid., 42–44.

[14]             Ibid., 47.

[15]             Searle, Intentionality, 9–11.

[16]             John R. Searle, “Minds, Brains, and Programs,” Behavioral and Brain Sciences 3, no. 3 (1980): 417–457.

[17]             Searle, Minds, Brains and Science, 26.

[18]             John R. Searle, The Rediscovery of the Mind (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 93–95.

[19]             Ibid., 100–102.

[20]             Ibid., 110.

[21]             B. F. Skinner, Verbal Behavior (New York: Appleton-Century-Crofts, 1957), 14.

[22]             Searle, Speech Acts, 16–17.

[23]             Searle, The Rediscovery of the Mind, 92–93.

[24]             Ibid., 108–110.


3.           Ontologi Subjektivitas dalam Kesadaran

Konsep subjektivitas ontologis merupakan inti dari filsafat pikiran dan bahasa John Searle. Bagi Searle, kesadaran bukan hanya sekadar fenomena psikologis atau keadaan mental, melainkan suatu realitas ontologis yang bersifat subjektif—yakni eksistensi yang hanya dapat diakses dari sudut pandang pertama (first-person ontology).¹ Dalam The Rediscovery of the Mind (1992), ia menegaskan bahwa pengalaman sadar adalah fenomena yang secara ontologis subjektif, tetapi dapat dijelaskan secara ilmiah dalam kerangka epistemologis objektif.² Pernyataan ini menjadi pembeda radikal antara Searle dan kaum reduksionis fisikalis yang menolak realitas kesadaran sebagai entitas yang sah dalam ontologi ilmiah.

3.1.       Hakikat Subjektivitas Ontologis

Subjektivitas ontologis menurut Searle berarti bahwa setiap pengalaman sadar memiliki kualitas fenomenal yang hanya dapat dialami oleh subjek itu sendiri.³ Misalnya, rasa sakit, keinginan, atau persepsi warna merah adalah fakta yang benar-benar nyata bagi individu yang mengalaminya, meskipun tidak dapat diamati secara langsung oleh orang lain.⁴ Dalam hal ini, Searle membedakan antara dua jenis eksistensi: (a) ontological subjectivity, yang hanya dapat dialami dari dalam (misalnya pengalaman batin), dan (b) ontological objectivity, yang ada terlepas dari siapa pun yang mengalaminya (misalnya gunung, meja, atau planet).⁵

Searle berargumen bahwa dunia berisi kedua bentuk realitas ini, dan kesalahan besar filsafat modern adalah upaya untuk meniadakan yang pertama demi mempertahankan “objektivitas ilmiah.”⁶ Padahal, kesadaran subjektif merupakan fakta biologis yang tak terhindarkan, sama nyatanya dengan fenomena fisik lainnya.⁷ Kesadaran, kata Searle, adalah “a higher-level feature of the brain,” tetapi keunikannya terletak pada cara keberadaannya yang fenomenal dan privat.⁸

Dengan demikian, subjektivitas ontologis tidak berarti bahwa kesadaran bersifat mistik atau metafisik; justru sebaliknya, ia merupakan bagian alami dari dunia fisik, namun memiliki mode eksistensi yang berbeda.⁹ Hal ini menempatkan Searle dalam posisi realisme biologis (biological naturalism): pandangan bahwa kesadaran adalah realitas biologis yang emergen dari proses neurofisiologis, tetapi tidak identik dengannya.¹⁰

3.2.       Subjektivitas sebagai Struktur Intensional

Kesadaran bagi Searle selalu bersifat intensional, artinya setiap keadaan sadar mengarah pada sesuatu (directedness).¹¹ Fenomena ini disebut sebagai intentionality, yang menurutnya adalah ciri dasar dari pikiran dan kesadaran.¹² Namun, intensionalitas hanya mungkin muncul jika terdapat subjek yang secara ontologis mampu mengalami sesuatu—yakni kesadaran subjektif. Dengan demikian, subjektivitas ontologis adalah prasyarat bagi intensionalitas, karena tanpa kesadaran yang “merasakan” tidak akan ada orientasi makna terhadap dunia.¹³

Setiap tindakan mental seperti mempersepsi, mengingat, menginginkan, atau menyatakan sesuatu mengandaikan adanya pusat kesadaran yang hidup secara fenomenal.¹⁴ Inilah dasar dari hubungan antara bahasa dan kesadaran dalam filsafat Searle: bahasa merupakan bentuk ekspresi eksternal dari struktur intensional yang berakar dalam subjektivitas ontologis.¹⁵ Dengan kata lain, bahasa tidak muncul dari sistem simbol yang netral, tetapi dari organisme sadar yang bermaksud menyampaikan makna.

Searle menggunakan contoh tindak tutur (speech acts) untuk menjelaskan hal ini: ketika seseorang mengucapkan, “Saya berjanji akan datang,” tindakan linguistik itu hanya bermakna karena di dalamnya terkandung niat (intention) yang berasal dari kesadaran subjektif pembicara.¹⁶ Tanpa niat atau pengalaman sadar, pernyataan itu hanyalah rangkaian bunyi tanpa makna performatif.¹⁷ Oleh karena itu, setiap makna linguistik memiliki akar ontologis dalam subjektivitas kesadaran.

3.3.       Distingsi antara Subjektivitas Ontologis dan Epistemologis

Salah satu kontribusi konseptual Searle yang penting adalah pembedaan antara subjektivitas ontologis dan subjektivitas epistemologis. Subjektivitas epistemologis berkaitan dengan cara kita mengetahui sesuatu—yakni perspektif pribadi yang dapat salah atau bias.¹⁸ Sebaliknya, subjektivitas ontologis tidak berkaitan dengan pengetahuan, tetapi dengan modus keberadaan. Suatu fenomena bisa bersifat ontologis subjektif (misalnya rasa sakit) tetapi dapat dijelaskan secara epistemologis objektif (misalnya melalui neurosains).¹⁹

Distingsi ini penting untuk memahami bahwa pengakuan atas kesadaran subjektif tidak berarti menolak sains. Justru, Searle menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan dapat menjelaskan kesadaran tanpa meniadakan fenomenalitasnya, selama ia menyadari perbedaan antara deskripsi ilmiah objektif dan realitas pengalaman subjektif.²⁰ Dengan cara ini, Searle menolak baik materialisme eliminatif yang menyangkal kesadaran, maupun dualisme Cartesian yang memisahkan secara mutlak antara pikiran dan tubuh.²¹ Ia menawarkan pandangan yang lebih integratif: kesadaran adalah realitas mental yang muncul dari dunia fisik, tetapi tidak dapat direduksi ke dalamnya.²²

3.4.       Kesadaran sebagai Realitas Ontologis yang Emergen

Searle menggambarkan kesadaran sebagai fenomena emergen—muncul dari proses otak, tetapi memiliki sifat-sifat yang tidak dimiliki oleh unsur penyusunnya.²³ Kesadaran, dalam hal ini, serupa dengan sifat “basah” air: hasil dari interaksi molekul H₂O, tetapi tidak identik dengan molekul itu sendiri.²⁴ Fenomena ini menunjukkan bahwa subjektivitas ontologis bukanlah entitas yang berdiri sendiri di luar dunia fisik, melainkan lapisan realitas yang muncul dari kompleksitas biologis.²⁵

Namun, tidak seperti “basah,” kesadaran memiliki dimensi fenomenal yang tidak dapat dijelaskan melalui deskripsi eksternal.²⁶ Hal inilah yang menjadikannya unik dalam ontologi: ia adalah satu-satunya fenomena yang “ada sebagai sesuatu yang dialami.”²⁷ Maka dari itu, bagi Searle, kesadaran adalah fondasi ontologis bagi semua bentuk makna, intensionalitas, dan kehidupan mental.²⁸

Dengan mengakui status ontologis subjektif dari kesadaran, Searle berusaha mengembalikan legitimasi eksistensial pengalaman manusia dalam lanskap filsafat yang telah lama dikuasai oleh objektivisme ilmiah.²⁹ Ia tidak berusaha menggantikan sains dengan introspeksi, tetapi menegaskan bahwa setiap teori ilmiah tentang pikiran harus dimulai dari pengakuan terhadap fakta bahwa kita memang mengalami dunia secara sadar.³⁰


Footnotes

[1]                John R. Searle, The Rediscovery of the Mind (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 93.

[2]                Ibid., 94–95.

[3]                John R. Searle, Intentionality: An Essay in the Philosophy of Mind (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 1–2.

[4]                Ibid., 3.

[5]                Searle, The Rediscovery of the Mind, 97.

[6]                Ibid., 99.

[7]                Ibid., 101.

[8]                John R. Searle, Minds, Brains and Science (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1984), 18.

[9]                Ibid., 20–21.

[10]             Searle, The Rediscovery of the Mind, 103.

[11]             Searle, Intentionality, 6.

[12]             Ibid., 7–9.

[13]             Ibid., 11.

[14]             Ibid., 13–15.

[15]             John R. Searle, Speech Acts: An Essay in the Philosophy of Language (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 16.

[16]             Ibid., 31–33.

[17]             J.L. Austin, How to Do Things with Words, ed. J. O. Urmson and Marina Sbisà (Oxford: Oxford University Press, 1975), 9.

[18]             Searle, The Rediscovery of the Mind, 100.

[19]             Ibid., 102.

[20]             Ibid., 105–106.

[21]             René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 25.

[22]             Searle, Minds, Brains and Science, 23–25.

[23]             Searle, The Rediscovery of the Mind, 108–110.

[24]             Ibid., 111.

[25]             Ibid., 112–113.

[26]             Thomas Nagel, “What Is It Like to Be a Bat?,” The Philosophical Review 83, no. 4 (1974): 436–439.

[27]             Searle, The Rediscovery of the Mind, 115.

[28]             Ibid., 118.

[29]             Ibid., 120.

[30]             Searle, Minds, Brains and Science, 27.


4.           Epistemologi dan Intensionalitas

Konsep intensionalitas dalam pemikiran John Searle merupakan jantung dari filsafat pikiran dan bahasa yang ia bangun. Dalam karya Intentionality: An Essay in the Philosophy of Mind (1983), Searle mengembangkan teori bahwa seluruh keadaan mental memiliki sifat intensional, yakni bermaksud atau mengarah kepada sesuatu di dunia (aboutness).¹ Intensionalitas inilah yang menghubungkan antara subjektivitas kesadaran dan objektivitas dunia eksternal, menjadikannya jembatan epistemologis antara “pikiran” dan “realitas.”

Epistemologi Searle bertumpu pada asumsi bahwa pengetahuan dan makna selalu berakar dalam kesadaran yang berintensi, bukan dalam simbol atau struktur linguistik semata.² Dengan demikian, intensionalitas berperan sebagai fondasi epistemologis bagi pemahaman kita tentang makna, tindakan, dan kebenaran.

4.1.       Hakikat Epistemologis Intensionalitas

Searle mengadopsi dan mengadaptasi istilah intentionality dari Franz Brentano, yang menyebutnya sebagai “the mark of the mental.”³ Namun, Searle menolak pemaknaan metafisik Brentano yang cenderung menganggap intensionalitas sebagai entitas misterius yang terpisah dari dunia fisik. Ia menegaskan bahwa intensionalitas adalah properti biologis dari organisme sadar, yakni kemampuan otak manusia untuk merepresentasikan dan berhubungan dengan dunia.⁴

Bagi Searle, setiap bentuk kesadaran selalu memiliki content (isi intensional) dan direction of fit (arah kesesuaian antara pikiran dan dunia).⁵ Misalnya, keyakinan (belief) memiliki arah kesesuaian dari pikiran menuju dunia (mind-to-world), karena kebenaran keyakinan bergantung pada apakah dunia sesuai dengan isi pikiran tersebut. Sebaliknya, keinginan (desire) memiliki arah kesesuaian dari dunia menuju pikiran (world-to-mind), sebab keinginan dianggap terpenuhi bila dunia menyesuaikan diri dengan isi pikiran.⁶

Dari perbedaan ini, Searle menyusun dasar epistemologi yang menolak pandangan representasional murni. Baginya, hubungan antara kesadaran dan dunia bukanlah relasi pasif atau simbolik, melainkan relasi dinamis yang membentuk makna melalui pengalaman sadar.⁷ Kesadaran tidak sekadar memantulkan realitas, tetapi juga berpartisipasi dalam membentuknya secara fenomenologis dan linguistik.⁸

4.2.       Intensionalitas dan Struktur Pengetahuan

Dalam kerangka epistemologinya, Searle menolak dikotomi klasik antara subjek dan objek yang diwarisi dari Descartes.⁹ Ia berargumen bahwa pengetahuan tidak pernah netral, karena selalu diproduksi melalui intensionalitas kesadaran yang terarah kepada dunia.¹⁰ Hal ini berarti bahwa mengetahui sesuatu bukan sekadar “menerima informasi,” tetapi melibatkan proses aktif di mana kesadaran menstrukturkan pengalaman menjadi makna.

Searle menggambarkan struktur pengetahuan sebagai jaringan dari keadaan intensional: persepsi memberikan dasar empiris, keyakinan mengorganisasi fakta-fakta, dan bahasa mengekspresikan struktur tersebut secara publik.¹¹ Dengan demikian, epistemologi tidak dapat dilepaskan dari ontologi subjektif kesadaran—karena setiap bentuk pengetahuan berakar pada pengalaman yang dialami oleh subjek sadar.¹²

Searle menolak gagasan bahwa bahasa atau simbol dapat “menghasilkan” makna secara otonom. Bahasa hanyalah sistem eksternal yang memperoleh makna sejauh ia berakar pada intensionalitas pembicara dan pendengar.¹³ Tanpa kesadaran yang bermaksud, simbol hanyalah tanda kosong.¹⁴ Dengan demikian, epistemologi Searle bersifat fenomenologis-naturalistik, yakni menempatkan kesadaran sebagai sumber makna epistemik, tetapi tanpa meninggalkan dasar biologis dan empirisnya.

4.3.       Bahasa sebagai Ekspresi Epistemologis dari Intensionalitas

Salah satu kontribusi utama Searle adalah penjelasan tentang bagaimana intensionalitas kesadaran dimediasi oleh bahasa. Dalam Speech Acts (1969), ia menunjukkan bahwa setiap tindak tutur merupakan manifestasi eksternal dari keadaan mental yang berintensi.¹⁵ Ketika seseorang menyatakan sesuatu, misalnya “Hujan turun,” pernyataan itu tidak hanya memuat proposisi faktual, tetapi juga mengandung maksud (intention) untuk menegaskan suatu keadaan dunia.¹⁶

Bahasa, dengan demikian, adalah perpanjangan epistemologis dari kesadaran: ia memungkinkan subjektivitas menjadi intersubjektif melalui artikulasi makna.¹⁷ Proses ini bersifat dialektis—dari intensionalitas internal (kesadaran) menuju bentuk eksternal (ujaran)—dan kembali lagi melalui interpretasi.¹⁸ Dalam siklus ini, makna linguistik tidak pernah berdiri di luar pengalaman sadar, tetapi selalu dikondisikan oleh intensionalitas pembicara dan pengetahuan pendengar.¹⁹

Searle menolak pandangan formalistik seperti yang dikemukakan oleh Noam Chomsky atau sistem komputasional representasional seperti yang diajukan Jerry Fodor, yang berusaha menjelaskan bahasa hanya dalam kerangka simbolik.²⁰ Bagi Searle, model semacam itu mengabaikan aspek fenomenologis kesadaran yang menjadi sumber epistemik makna linguistik.²¹ Bahasa bukanlah kalkulasi simbol, melainkan tindakan sadar yang memiliki maksud, nilai, dan arah makna.²²

4.4.       Relasi antara Intensionalitas dan Kebenaran

Intensionalitas, bagi Searle, juga memiliki dimensi epistemologis yang berkaitan erat dengan konsep kebenaran (truth). Ia menolak relativisme epistemologis dan menegaskan bahwa kebenaran adalah hubungan antara isi intensional dan dunia sebagaimana adanya.²³ Namun, kebenaran tidak dapat dilepaskan dari struktur kesadaran yang bermaksud, karena hanya kesadaran yang mampu “mengacu” kepada dunia dalam arti epistemik.²⁴

Dengan demikian, kebenaran bukan sekadar korespondensi mekanis antara pernyataan dan fakta, tetapi korespondensi yang dimediasi oleh pengalaman sadar.²⁵ Misalnya, ketika seseorang mengatakan “air mendidih pada 100°C,” pernyataan itu benar sejauh isi intensionalnya sesuai dengan fakta empiris yang dapat diverifikasi secara intersubjektif.²⁶ Tetapi tanpa kesadaran yang memiliki niat mengetahui, pernyataan itu kehilangan makna epistemiknya.

Searle menyebut posisi ini sebagai realisme internal yang naturalistik: dunia memang ada secara objektif, tetapi pengetahuan tentangnya selalu diperantarai oleh struktur intensional kesadaran.²⁷ Dengan demikian, epistemologi tidak meniadakan subjektivitas, melainkan menempatkannya sebagai dasar niscaya dari pengetahuan manusia.²⁸

4.5.       Integrasi Epistemologi dan Ontologi dalam Filsafat Pikiran

Kekuatan pemikiran Searle terletak pada kemampuannya mengintegrasikan ontologi kesadaran dengan epistemologi pengetahuan dalam satu sistem yang koheren. Kesadaran, dalam pandangannya, bersifat ontologis subjektif, tetapi epistemologinya bersifat objektif dan dapat dianalisis secara ilmiah.²⁹ Intensionalitas menjadi prinsip penghubung antara dua ranah ini, karena ia menjelaskan bagaimana dunia dapat hadir bagi subjek tanpa meniadakan keberadaan objektif dunia itu sendiri.³⁰

Searle menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan tentang kesadaran bukanlah kontradiksi, melainkan kelanjutan dari pemahaman kita tentang bagaimana organisme sadar mengenali dan merepresentasikan realitas.³¹ Melalui intensionalitas, subjek sadar tidak hanya mengetahui dunia, tetapi juga menafsirkan, memaknai, dan menstrukturkannya melalui bahasa dan tindakan.³²

Dengan demikian, epistemologi Searle menegaskan bahwa segala pengetahuan dan makna bersumber dari kesadaran yang berintensi terhadap dunia. Tanpa pengakuan terhadap struktur ini, filsafat bahasa akan terjebak dalam formalisme simbolik yang mengabaikan aspek eksistensial manusia sebagai makhluk sadar dan komunikatif.³³


Footnotes

[1]                John R. Searle, Intentionality: An Essay in the Philosophy of Mind (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 1.

[2]                Ibid., 3–4.

[3]                Franz Brentano, Psychology from an Empirical Standpoint, trans. Antos C. Rancurello, D. B. Terrell, and Linda L. McAlister (London: Routledge, 1995), 88.

[4]                Searle, Intentionality, 6–7.

[5]                Ibid., 8.

[6]                Ibid., 9–10.

[7]                John R. Searle, The Rediscovery of the Mind (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 97.

[8]                Ibid., 100.

[9]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 20.

[10]             Searle, Minds, Brains and Science (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1984), 23.

[11]             Searle, Intentionality, 15–18.

[12]             Ibid., 19–21.

[13]             John R. Searle, Speech Acts: An Essay in the Philosophy of Language (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 16.

[14]             Ibid., 19.

[15]             Ibid., 31.

[16]             J.L. Austin, How to Do Things with Words, ed. J. O. Urmson and Marina Sbisà (Oxford: Oxford University Press, 1975), 6.

[17]             Searle, Intentionality, 27–28.

[18]             Ibid., 29.

[19]             Ibid., 30.

[20]             Jerry Fodor, The Language of Thought (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1975), 54–56.

[21]             Searle, The Rediscovery of the Mind, 105–106.

[22]             Ibid., 109.

[23]             Ibid., 111.

[24]             Ibid., 113.

[25]             Alfred Tarski, “The Semantic Conception of Truth,” Philosophy and Phenomenological Research 4, no. 3 (1944): 341–376.

[26]             Searle, Intentionality, 33–34.

[27]             Ibid., 35.

[28]             Searle, Minds, Brains and Science, 27.

[29]             Searle, The Rediscovery of the Mind, 115.

[30]             Ibid., 118.

[31]             Ibid., 120.

[32]             Searle, Intentionality, 37.

[33]             Hubert L. Dreyfus, What Computers Still Can’t Do: A Critique of Artificial Reason (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 221–222.


5.           Aksiologi: Nilai dan Fungsi Bahasa dalam Subjektivitas

Dalam kerangka filsafat John Searle, bahasa tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai perwujudan nilai-nilai eksistensial kesadaran manusia. Bahasa, bagi Searle, merupakan eksternalisasi dari struktur intensional kesadaran yang secara ontologis subjektif.¹ Artinya, setiap tindak berbahasa mengandung dimensi nilai karena ia menyingkap orientasi subjek terhadap dunia, kepada orang lain, dan terhadap kebenaran. Dengan demikian, pembahasan aksiologis dalam filsafat bahasa Searle berfokus pada bagaimana bahasa memediasi nilai-nilai kognitif, etis, dan sosial yang berasal dari kesadaran subjektif manusia.

5.1.       Bahasa sebagai Medium Ekspresi Nilai Kesadaran

Searle menegaskan bahwa setiap ujaran (utterance) merupakan ekspresi dari suatu keadaan mental yang berintensi.² Dalam tindak tutur, kesadaran tidak hanya menyatakan proposisi faktual, tetapi juga mengekspresikan makna fenomenologis dari pengalaman subjek.³ Misalnya, ketika seseorang mengucapkan, “Aku menyesal,” pernyataan tersebut tidak hanya memiliki isi linguistik, tetapi juga mengandung nilai emosional dan moral yang berasal dari kesadaran subjektif. Bahasa, dalam hal ini, menjadi wahana bagi manusia untuk mengartikulasikan nilai-nilai batin—seperti kejujuran, empati, dan tanggung jawab.⁴

Bagi Searle, dimensi ini menunjukkan bahwa bahasa memiliki nilai ontologis dan aksiologis ganda: di satu sisi, ia adalah struktur sosial yang memungkinkan interaksi publik; di sisi lain, ia adalah bentuk ekspresi subjektif dari pengalaman sadar individu.⁵ Melalui bahasa, subjek tidak hanya berkomunikasi, tetapi juga menghadirkan dirinya secara etis di hadapan yang lain, sebagaimana dijelaskan oleh Emmanuel Levinas bahwa hubungan etis dimulai ketika “yang lain berbicara.”⁶ Dengan demikian, tindak berbahasa tidak netral secara moral; ia adalah tindakan yang mengandung komitmen terhadap kejujuran dan makna.⁷

Bahasa dalam pandangan Searle juga menjadi sarana di mana keautentikan pengalaman subjektif diuji dan diwujudkan.⁸ Melalui komunikasi yang jujur dan koheren, kesadaran membagikan intensionalitasnya kepada dunia sosial tanpa kehilangan kedalaman makna fenomenalnya.⁹ Proses ini menegaskan peran bahasa sebagai ruang pertemuan antara subjektivitas dan intersubjektivitas, tempat nilai-nilai humanistik—seperti pengakuan, solidaritas, dan tanggung jawab—dapat muncul.¹⁰

5.2.       Nilai Intersubjektif dan Tanggung Jawab Linguistik

Searle menekankan bahwa setiap tindak tutur melibatkan komitmen sosial yang tersirat dalam makna linguistik.¹¹ Ketika seseorang menyatakan sesuatu, ia tidak hanya mengomunikasikan isi proposisional, tetapi juga menyatakan niat yang dapat dimintai pertanggungjawaban secara publik.¹² Contohnya, dalam tindak tutur “menjanjikan” (promising), pembicara tidak sekadar menyampaikan informasi, tetapi juga mengikat dirinya pada suatu tindakan di masa depan.¹³

Fungsi aksiologis ini menunjukkan bahwa bahasa memiliki nilai normatif, yakni ia menciptakan struktur kewajiban dan tanggung jawab di antara subjek yang berkomunikasi.¹⁴ Searle menyebut bahwa struktur semacam ini hanya mungkin terjadi karena manusia memiliki kemampuan untuk berintensi secara kolektif (collective intentionality), yaitu kesadaran bersama yang memungkinkan tindakan sosial yang bermakna.¹⁵ Dalam kerangka ini, bahasa berperan sebagai medium bagi pembentukan nilai-nilai sosial seperti kepercayaan (trust), komitmen (commitment), dan kejujuran (sincerity).¹⁶

Aksiologi bahasa dalam pemikiran Searle memperlihatkan bahwa makna linguistik tidak bebas nilai. Ia selalu memuat tuntutan akan kebenaran dan kesesuaian antara maksud dan ucapan.¹⁷ Ketika seseorang berbicara, ada implikasi etis bahwa ia harus mengatakan sesuatu yang ia yakini benar.¹⁸ Oleh karena itu, bahasa menjadi medan moral tempat kejujuran dan integritas diuji. Dalam konteks ini, Searle sejalan dengan prinsip discourse ethics Jürgen Habermas, bahwa keabsahan komunikasi tergantung pada keterbukaan, rasionalitas, dan kejujuran para partisipan.¹⁹

5.3.       Fungsi Bahasa dalam Pembentukan Realitas Sosial

Searle mengembangkan gagasan aksiologis lebih lanjut dalam karyanya The Construction of Social Reality (1995), di mana ia menjelaskan bahwa bahasa memiliki daya performatif ontologis: ia tidak hanya menggambarkan dunia, tetapi juga menciptakan fakta sosial melalui tindakan linguistik.²⁰ Ketika seseorang mengatakan, “Saya menikahkan kalian berdua,” pernyataan tersebut tidak sekadar mendeskripsikan keadaan, tetapi mewujudkan realitas baru melalui kekuatan institusional bahasa.²¹

Dalam konteks ini, bahasa memiliki nilai aksiologis karena ia membentuk tatanan sosial yang diakui bersama.²² Tindakan linguistik menciptakan norma, peran, dan institusi yang memberi makna bagi kehidupan kolektif manusia.²³ Bahasa menjadi instrumen yang memungkinkan lahirnya realitas normatif—dunia “seharusnya” yang tidak hanya dihasilkan oleh fakta empiris, tetapi oleh makna dan nilai yang disepakati.²⁴

Searle menganggap bahwa kekuatan konstitutif bahasa bersumber dari intentionality kolektif dan status functions (fungsi status), di mana objek atau tindakan memperoleh makna sosial melalui pengakuan bersama.²⁵ Misalnya, selembar kertas menjadi “uang” bukan karena sifat fisiknya, tetapi karena kesadaran kolektif mengakui nilainya.²⁶ Dengan demikian, bahasa memediasi antara pengalaman subjektif dan struktur sosial melalui penetapan makna yang memiliki kekuatan moral dan simbolik.²⁷

5.4.       Bahasa sebagai Ruang Etis dan Humanistik

Bahasa, bagi Searle, bukan hanya alat berpikir, tetapi juga ruang etis tempat manusia menegosiasikan makna dan membangun relasi yang bermartabat.²⁸ Melalui komunikasi, manusia menegaskan martabatnya sebagai makhluk rasional dan sadar.²⁹ Bahasa membuka ruang bagi pengakuan terhadap pengalaman subjektif orang lain, menjadikannya fondasi bagi etika intersubjektif yang menghormati kesadaran setiap individu.³⁰

Dalam hal ini, aksiologi bahasa menegaskan bahwa nilai kemanusiaan muncul melalui praksis komunikasi yang jujur, terbuka, dan bertanggung jawab.³¹ Bahasa bukan sekadar sarana teknis, melainkan ekspresi eksistensial dari kehendak untuk hidup bersama secara bermakna.³² Oleh sebab itu, kehilangan kedalaman etis dalam bahasa—seperti dalam komunikasi digital yang dangkal atau manipulatif—merupakan tanda kemerosotan nilai-nilai humanistik yang menopang makna subjektivitas manusia.³³

Searle sendiri menegaskan bahwa makna sejati dari kesadaran manusia hanya dapat terwujud dalam komunikasi yang autentik dan bertanggung jawab.³⁴ Bahasa, dalam pengertian ini, memiliki nilai tertinggi sebagai sarana pemeliharaan kemanusiaan itu sendiri—yakni ruang tempat subjektivitas menemukan bentuknya yang paling manusiawi melalui dialog, bukan dominasi.³⁵


Footnotes

[1]                John R. Searle, The Rediscovery of the Mind (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 95–96.

[2]                John R. Searle, Speech Acts: An Essay in the Philosophy of Language (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 16.

[3]                Ibid., 31–32.

[4]                Ibid., 40.

[5]                Searle, The Rediscovery of the Mind, 100.

[6]                Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 66.

[7]                Searle, Speech Acts, 42–44.

[8]                John R. Searle, Minds, Brains and Science (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1984), 22.

[9]                Ibid., 25.

[10]             Ibid., 27.

[11]             Searle, Speech Acts, 56–58.

[12]             Ibid., 59.

[13]             Ibid., 60–61.

[14]             John R. Searle, Expression and Meaning: Studies in the Theory of Speech Acts (Cambridge: Cambridge University Press, 1979), 33–34.

[15]             John R. Searle, The Construction of Social Reality (New York: Free Press, 1995), 23.

[16]             Ibid., 24–25.

[17]             Searle, Speech Acts, 68.

[18]             Ibid., 70–71.

[19]             Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 88–90.

[20]             Searle, The Construction of Social Reality, 27–28.

[21]             Ibid., 30.

[22]             Ibid., 32.

[23]             Ibid., 34.

[24]             Ibid., 36–37.

[25]             Ibid., 39–41.

[26]             Ibid., 44–45.

[27]             Ibid., 47.

[28]             Searle, Minds, Brains and Science, 29.

[29]             Searle, The Rediscovery of the Mind, 105.

[30]             Levinas, Totality and Infinity, 215.

[31]             Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, 91–93.

[32]             Searle, Speech Acts, 77.

[33]             John R. Searle, “Rationality in Action,” Philosophical Issues 13, no. 1 (2003): 405–406.

[34]             Searle, The Rediscovery of the Mind, 115–116.

[35]             Ibid., 120.


6.           Dimensi Sosial dan Kultural dari Subjektivitas Ontologis

Konsep subjektivitas ontologis dalam filsafat John Searle tidak berhenti pada level individual, tetapi meluas ke ranah sosial dan kultural. Bagi Searle, kesadaran subjektif bukanlah entitas yang terisolasi dari dunia sosial; ia selalu hadir dalam jaringan makna, norma, dan institusi yang terbentuk melalui bahasa.¹ Dengan kata lain, subjektivitas ontologis memiliki implikasi sosial yang mendalam karena ia menjadi dasar bagi intersubjektivitas, yaitu kemampuan manusia untuk berbagi makna, niat, dan nilai melalui komunikasi.²

Dalam kerangka ini, bahasa tidak hanya menjadi alat untuk mengungkapkan intensionalitas pribadi, tetapi juga menjadi struktur kolektif yang memungkinkan kesadaran individual memasuki dunia sosial.³ Kesadaran tidak lagi dipahami sebagai “pikiran yang tertutup,” tetapi sebagai fenomena yang terus-menerus dimediasi oleh praktik sosial dan simbolik.⁴ Oleh sebab itu, dimensi sosial dan kultural dari subjektivitas ontologis memperlihatkan bagaimana kesadaran individual menjadi bagian dari konstruksi makna bersama dalam dunia kehidupan manusia.

6.1.       Intersubjektivitas: Dari Subjektivitas ke Kesadaran Bersama

Searle menegaskan bahwa meskipun kesadaran bersifat ontologis subjektif, ia berfungsi secara sosial karena manusia memiliki kemampuan untuk membentuk intensionalitas kolektif (collective intentionality).⁵ Intensionalitas kolektif adalah kapasitas biologis dan sosial untuk berbagi niat atau tujuan dengan orang lain—misalnya, ketika dua orang bermain musik bersama atau bekerja sama dalam proyek bersama.⁶ Dalam tindakan semacam ini, kesadaran individu beroperasi dalam bentuk kesadaran bersama yang memungkinkan terciptanya koordinasi sosial.⁷

Searle memandang fenomena ini sebagai dasar dari kehidupan sosial. Tanpa kemampuan untuk berbagi intensionalitas, tidak mungkin ada kerja sama, institusi, atau bahkan bahasa.⁸ Maka, subjektivitas ontologis tidak meniadakan sosialitas; justru darinyalah lahir struktur sosial yang bermakna. Bahasa, sebagai sistem simbol publik, menjadi medium intersubjektif tempat intensionalitas pribadi dan kolektif berinteraksi.⁹

Pandangan ini memiliki akar fenomenologis dalam pemikiran Edmund Husserl dan Alfred Schutz, yang menyatakan bahwa intersubjektivitas adalah kondisi dasar bagi pemaknaan dunia.¹⁰ Namun, Searle mengadaptasinya dalam kerangka naturalistik, yakni bahwa kemampuan untuk berintensi bersama merupakan fitur biologis dari spesies manusia.¹¹ Ia menolak pandangan idealistik bahwa kesadaran sosial bersifat transendental, dan menggantinya dengan pendekatan empiris yang tetap mempertahankan dimensi fenomenologisnya.¹²

6.2.       Bahasa sebagai Konstruksi Sosial dan Budaya

Bahasa, dalam perspektif Searle, bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga mekanisme penciptaan realitas sosial.¹³ Dalam The Construction of Social Reality (1995), ia menunjukkan bahwa fakta-fakta sosial terbentuk melalui deklarasi linguistik yang didukung oleh kesepakatan kolektif.¹⁴ Misalnya, pernyataan “Ini adalah uang seratus ribu rupiah” hanya bermakna karena masyarakat mengakui simbol tersebut sebagai alat tukar yang sah.¹⁵

Melalui bahasa, manusia memberi status dan fungsi pada objek, peran, dan institusi.¹⁶ Searle menyebut fenomena ini sebagai status functions, yaitu fakta sosial yang eksis hanya sejauh diakui oleh kesadaran kolektif.¹⁷ Contohnya, konsep “presiden,” “hakim,” atau “kontrak hukum” tidak memiliki makna ontologis dalam dunia fisik, tetapi menjadi nyata karena disepakati secara linguistik dalam tatanan sosial.¹⁸

Bahasa dengan demikian merupakan fondasi budaya, sebab di dalamnya terkandung nilai-nilai, simbol, dan norma yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.¹⁹ Kesadaran subjektif manusia berkembang dalam horizon budaya yang dibentuk oleh praktik linguistik, sehingga setiap pengalaman pribadi selalu terjalin dengan sistem makna publik.²⁰

Searle menolak pandangan strukturalis dan postmodernis yang melihat bahasa semata sebagai permainan tanda yang arbitrer (seperti dalam pemikiran Jacques Derrida).²¹ Bagi Searle, makna linguistik selalu mengakar pada intensionalitas subjek sadar dan mengemban fungsi sosial yang nyata.²² Maka, bahasa adalah titik temu antara ontologi kesadaran dan struktur budaya: ia mewujudkan realitas sosial sekaligus mengatur pola interaksi manusia di dalamnya.²³

6.3.       Budaya sebagai Manifestasi Kolektif dari Subjektivitas

Dari perspektif ontologis Searle, budaya dapat dipahami sebagai hasil ekspresi kolektif dari kesadaran subjektif manusia.²⁴ Setiap bentuk seni, ritual, hukum, dan moralitas lahir dari proses intensional yang dimediasi oleh bahasa dan simbol.²⁵ Dalam hal ini, subjektivitas ontologis tidak meniadakan objektivitas budaya, melainkan menjadi sumber makna di baliknya.²⁶

Budaya berfungsi sebagai wadah tempat kesadaran individu menemukan identitasnya.²⁷ Melalui partisipasi dalam praktik simbolik dan normatif, manusia menegaskan dirinya sebagai makhluk sosial yang berbagi makna dengan orang lain.²⁸ Dalam kerangka ini, nilai-nilai kultural seperti kejujuran, kesopanan, atau solidaritas bukanlah konstruksi arbitrer, melainkan hasil historis dari pengalaman sadar manusia yang dikristalisasikan dalam bentuk sosial.²⁹

Searle menekankan bahwa budaya juga memiliki dimensi performatif—ia tidak hanya merepresentasikan dunia, tetapi juga menciptakan tatanan sosial yang dihayati.³⁰ Ketika masyarakat melakukan upacara, menyanyikan lagu kebangsaan, atau mengucapkan janji bersama, tindakan tersebut memperbarui dan memperkuat makna kolektif yang menopang identitas sosial.³¹ Dalam arti ini, subjektivitas ontologis bertransformasi menjadi kesadaran budaya, yang memungkinkan manusia hidup dalam dunia simbolik yang bermakna.³²

6.4.       Dimensi Sosial dari Kesadaran di Era Digital

Relevansi gagasan Searle tentang subjektivitas ontologis juga tampak jelas dalam konteks budaya digital modern.³³ Dunia virtual menciptakan bentuk baru dari intersubjektivitas di mana kesadaran berinteraksi melalui medium digital.³⁴ Namun, Searle mengingatkan bahwa interaksi semacam ini tetap bergantung pada intensionalitas manusia yang sadar; komputer atau kecerdasan buatan tidak memiliki kesadaran ontologis karena mereka tidak mengalami fenomenalitas subjektif.³⁵

Dalam media sosial, misalnya, tindakan “menyukai,” “berkomentar,” atau “membagikan” bukanlah peristiwa teknis semata, tetapi ekspresi dari intensionalitas sosial manusia.³⁶ Dengan demikian, dunia digital masih berakar pada struktur kesadaran manusia yang bermakna. Namun, terdapat bahaya ketika teknologi menggantikan perjumpaan langsung dan melemahkan pengalaman intersubjektif yang autentik.³⁷

Searle menekankan perlunya pemahaman etis dan humanistik terhadap bahasa dan komunikasi digital, agar ruang virtual tetap menjadi sarana bagi ekspresi kesadaran manusia, bukan penghapusannya.³⁸ Dalam konteks ini, subjektivitas ontologis bukan hanya fenomena biologis, tetapi juga tanggung jawab kultural untuk menjaga makna dan nilai kemanusiaan di tengah perubahan sosial yang cepat.³⁹

6.5.       Subjektivitas, Solidaritas, dan Identitas Kemanusiaan

Akhirnya, dimensi sosial dan kultural dari subjektivitas ontologis menegaskan bahwa manusia adalah makhluk yang tidak dapat dipisahkan dari komunitas makna.⁴⁰ Kesadaran subjektif menemukan realitasnya hanya dalam relasi dengan kesadaran lain.⁴¹ Dalam pengertian ini, subjektivitas bukan bentuk egoisme metafisik, melainkan basis solidaritas dan identitas kemanusiaan.

Bahasa dan budaya berperan sebagai jembatan antara dunia batin dan dunia sosial, antara keunikan pengalaman individu dan kesepakatan makna kolektif.⁴² Oleh karena itu, memahami subjektivitas ontologis dalam konteks sosial berarti mengakui bahwa makna dan nilai kemanusiaan hanya dapat tumbuh melalui dialog dan partisipasi budaya.⁴³

Sebagaimana ditegaskan Searle, kesadaran adalah fakta biologis, tetapi makna yang dihasilkannya adalah fenomena sosial.⁴⁴ Maka, tanggung jawab manusia modern adalah menjaga agar subjektivitas ini tidak hilang di tengah arus komodifikasi dan algoritmisasi budaya digital. Subjektivitas ontologis bukan hanya dasar bagi berpikir, tetapi juga dasar bagi hidup bersama secara bermakna.⁴⁵


Footnotes

[1]                John R. Searle, The Rediscovery of the Mind (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 93–95.

[2]                Edmund Husserl, The Crisis of European Sciences and Transcendental Phenomenology, trans. David Carr (Evanston: Northwestern University Press, 1970), 108.

[3]                John R. Searle, Intentionality: An Essay in the Philosophy of Mind (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 27–29.

[4]                Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans. Colin Smith (London: Routledge, 1962), 354.

[5]                John R. Searle, The Construction of Social Reality (New York: Free Press, 1995), 23.

[6]                Ibid., 24.

[7]                Ibid., 25.

[8]                Ibid., 26–27.

[9]                John R. Searle, Speech Acts: An Essay in the Philosophy of Language (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 42.

[10]             Alfred Schutz, The Phenomenology of the Social World, trans. George Walsh and Frederick Lehnert (Evanston: Northwestern University Press, 1967), 11–13.

[11]             Searle, Minds, Brains and Science (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1984), 22.

[12]             Searle, The Construction of Social Reality, 28–30.

[13]             Ibid., 31.

[14]             Ibid., 33–34.

[15]             Ibid., 36.

[16]             Ibid., 38.

[17]             Ibid., 40.

[18]             Ibid., 42.

[19]             Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973), 5–6.

[20]             Ibid., 8–9.

[21]             Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 11–13.

[22]             Searle, Intentionality, 35–36.

[23]             Searle, The Construction of Social Reality, 43–44.

[24]             Ibid., 45–46.

[25]             Ibid., 48.

[26]             Ibid., 50.

[27]             Ibid., 51–52.

[28]             Searle, Minds, Brains and Science, 28–30.

[29]             Geertz, The Interpretation of Cultures, 12–13.

[30]             Searle, The Construction of Social Reality, 53–54.

[31]             Ibid., 55–56.

[32]             Ibid., 57.

[33]             John R. Searle, “Minds, Brains, and Programs,” Behavioral and Brain Sciences 3, no. 3 (1980): 417–457.

[34]             Hubert L. Dreyfus, What Computers Still Can’t Do: A Critique of Artificial Reason (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 217–218.

[35]             Searle, The Rediscovery of the Mind, 107.

[36]             Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 92.

[37]             Sherry Turkle, Reclaiming Conversation: The Power of Talk in a Digital Age (New York: Penguin, 2015), 44–45.

[38]             Searle, Minds, Brains and Science, 33.

[39]             Searle, The Rediscovery of the Mind, 115.

[40]             Alfred Schutz, Collected Papers I: The Problem of Social Reality (The Hague: Martinus Nijhoff, 1962), 56–57.

[41]             Husserl, The Crisis of European Sciences, 111.

[42]             Searle, The Construction of Social Reality, 59.

[43]             Geertz, The Interpretation of Cultures, 20.

[44]             Searle, The Rediscovery of the Mind, 118.

[45]             Ibid., 120.


7.           Kritik terhadap Konsep Subjektivitas Ontologis Searle

Konsep subjektivitas ontologis yang dikemukakan oleh John Searle telah memberikan kontribusi besar terhadap filsafat pikiran dan bahasa modern. Namun, gagasan ini juga menuai beragam kritik dari berbagai aliran filsafat—baik dari kubu fisikalisme reduktif, eliminativisme, maupun fenomenologi kontemporer dan hermeneutika eksistensial. Perdebatan yang muncul berfokus pada status ontologis kesadaran, hubungan antara pikiran dan dunia, serta kelayakan klaim Searle untuk mempertahankan naturalisme sekaligus fenomenalisme. Dalam konteks ini, kritik terhadap Searle tidak hanya menyoal aspek metafisik, tetapi juga epistemologis dan metodologis.

7.1.       Kritik dari Perspektif Fisikalisme Reduktif

Salah satu kritik paling tajam terhadap Searle datang dari para filsuf pikiran fisikalis, seperti Daniel Dennett dan Patricia serta Paul Churchland. Para fisikalis berpendapat bahwa Searle gagal menguraikan kesadaran secara ilmiah karena mempertahankan “dualisme terselubung” (crypto-dualism) yang bertentangan dengan materialisme ilmiah.¹ Dennett, dalam Consciousness Explained (1991), menolak klaim Searle tentang “subjektivitas ontologis” dengan menyatakan bahwa fenomena kesadaran dapat dijelaskan sepenuhnya dalam istilah perilaku dan representasi komputasional.² Menurut Dennett, apa yang disebut “pengalaman subjektif” hanyalah konstruksi naratif internal tanpa eksistensi ontologis tersendiri.³

Churchland juga mengkritik Searle karena tetap mempertahankan terminologi “keadaan mental” yang menurut mereka tidak memiliki dasar ilmiah yang kuat.⁴ Dalam pandangan eliminativisme, konsep seperti “keyakinan” atau “perasaan” hanyalah kategori folk-psychology yang akan digantikan oleh neurosains.⁵ Searle, sebaliknya, menegaskan bahwa kesadaran tidak bisa dieliminasi karena ia merupakan “fakta biologis mendasar”—argumen yang dianggap fisikalis sebagai bentuk intuisionisme fenomenologis yang tidak falsifiable secara empiris.⁶

Selain itu, para fisikalis menilai bahwa teori “biological naturalism” Searle inkonsisten: di satu sisi ia menyatakan bahwa kesadaran sepenuhnya bersifat biologis, tetapi di sisi lain ia menolak reduksi fisik.⁷ Kritik ini menunjukkan dilema ontologis Searle—antara mempertahankan realisme biologis dan mengakui irreduksibilitas fenomenalitas pengalaman.⁸

7.2.       Kritik dari Filsafat Pikiran Komputasional

Dalam ranah filsafat pikiran, Searle terkenal karena argumen “Chinese Room” yang ia ajukan untuk menolak pandangan kecerdasan buatan kuat (strong AI).⁹ Ia menegaskan bahwa pemrosesan simbol tidak sama dengan pemahaman karena komputer tidak memiliki kesadaran atau intensionalitas sejati.¹⁰ Namun, argumen ini juga menjadi sasaran kritik luas dari para kognitivis dan ahli AI, seperti Douglas Hofstadter dan John Haugeland, yang menilai bahwa Searle gagal memahami kompleksitas sistem komputasional.¹¹

Menurut Hofstadter, Searle salah mengasumsikan bahwa kesadaran harus bersifat fenomenal seperti manusia untuk bisa memahami makna.¹² Padahal, makna bisa muncul secara sistemik dalam jaringan simbol yang kompleks tanpa memerlukan kesadaran subjektif.¹³ Kritik ini menyentuh inti persoalan epistemologis: apakah makna membutuhkan pengalaman fenomenal, atau cukup dijelaskan melalui relasi simbolik dan inferensial? Searle menjawab bahwa tanpa kesadaran, tidak ada makna sejati, tetapi posisi ini dianggap terlalu antropo-sentris dan menutup kemungkinan bagi bentuk kesadaran non-manusia.¹⁴

Dalam konteks ini, sebagian peneliti menilai bahwa subjektivitas ontologis Searle cenderung anti-komputasional, karena ia menganggap bahwa kesadaran tidak dapat dihasilkan oleh sistem fisik non-biologis.¹⁵ Kritik ini menyoroti keterbatasan pandangan Searle dalam menghadapi perkembangan epistemologi digital dan teori kognisi buatan.¹⁶

7.3.       Kritik dari Fenomenologi dan Hermeneutika Eksistensial

Dari sisi kontinental, para fenomenolog dan hermeneut menilai bahwa konsepsi Searle tentang subjektivitas terlalu sempit karena masih terikat pada paradigma representasionalisme dan naturalistik-biologis.¹⁷ Maurice Merleau-Ponty, misalnya, menekankan bahwa kesadaran tidak dapat direduksi menjadi representasi internal dari dunia, karena ia selalu “tertanam” dalam tubuh dan dunia melalui keterlibatan praktis.¹⁸ Dalam Phenomenology of Perception (1945), Merleau-Ponty menegaskan bahwa subjek bukan penonton dunia, tetapi bagian dari dunia itu sendiri (being-in-the-world).¹⁹

Searle, dengan konsep kesadarannya yang biologis namun tetap representasional, dianggap masih mempertahankan dualitas antara pikiran dan dunia.²⁰ Ia mengakui keterkaitan intensional antara keduanya, tetapi tetap menempatkan kesadaran sebagai “peta dalam otak,” bukan sebagai cara berada di dunia sebagaimana ditegaskan Heidegger dan Merleau-Ponty.²¹

Paul Ricoeur menambahkan kritik hermeneutik dengan menyatakan bahwa kesadaran selalu dimediasi oleh simbol, narasi, dan bahasa.²² Oleh karena itu, “subjektivitas ontologis” tidak mungkin sepenuhnya langsung dan transparan kepada dirinya sendiri seperti yang diasumsikan Searle.²³ Kesadaran manusia selalu terbentuk dalam horizon historis dan kultural yang memperantarai pengalaman.²⁴ Dengan demikian, pemikiran Searle dianggap masih mengabaikan dimensi interpretatif dan historis dari kesadaran.²⁵

7.4.       Kritik dari Perspektif Postmodern dan Linguistik

Dari sisi poststrukturalisme, tokoh seperti Jacques Derrida menentang gagasan Searle mengenai kesadaran dan intensionalitas sebagai dasar makna.²⁶ Dalam perdebatan terkenal mereka, Derrida menolak pandangan Searle tentang tindak tutur sebagai ekspresi langsung dari maksud pembicara, dengan menegaskan bahwa bahasa selalu mengandung penundaan makna (différance).²⁷ Makna tidak pernah hadir secara penuh dalam intensi subjek, melainkan bergeser dalam jaringan tanda yang tak terhingga.²⁸

Derrida menilai bahwa Searle gagal memahami sifat radikal dari bahasa—yakni bahwa setiap ujaran dapat dipisahkan dari konteks intensional aslinya dan tetap bermakna.²⁹ Kritik ini menyoroti perbedaan mendasar antara pandangan fenomenologis-intensional Searle dan dekonstruktif-linguistik Derrida: bagi yang pertama, makna berakar pada kesadaran; bagi yang kedua, makna selalu tertunda dalam teks.³⁰

Selain Derrida, tokoh-tokoh linguistik pragmatik seperti H. P. Grice juga mempertanyakan klaim Searle bahwa makna ujaran dapat direduksi pada niat pembicara.³¹ Grice berpendapat bahwa makna bergantung pada inferensi sosial dan konteks pragmatik, bukan hanya pada intensionalitas individu.³² Dengan demikian, konsep subjektivitas ontologis dinilai kurang memadai untuk menjelaskan kompleksitas komunikasi sosial dan interpretasi makna.³³


Evaluasi dan Implikasi Kritis

Kritik-kritik di atas memperlihatkan bahwa posisi Searle berdiri di antara dua kutub: ia menolak reduksionisme materialistik, tetapi juga menghindari idealisme transendental.³⁴ Dalam hal ini, kekuatan sekaligus kelemahan teorinya terletak pada upaya untuk mempertahankan kesadaran sebagai realitas biologis yang irreduktibel.³⁵

Searle berhasil mengembalikan legitimasi filosofis terhadap pengalaman subjektif di tengah dominasi paradigma objektivistik sains modern. Namun, sebagaimana dicatat oleh Dreyfus, upayanya untuk mempertahankan naturalisme tanpa reduksionisme menciptakan ketegangan metodologis: ia mengakui kesadaran sebagai fakta ilmiah, tetapi pada saat yang sama menyatakan bahwa fakta tersebut tidak dapat dijelaskan dalam istilah ilmiah.³⁶

Kritik ini tidak meniadakan pentingnya proyek Searle, tetapi menyoroti bahwa konsepsi “subjektivitas ontologis” memerlukan pembaruan konseptual agar lebih terbuka terhadap dimensi relasional, historis, dan kultural dari kesadaran manusia.³⁷ Sebuah sintesis antara fenomenologi, hermeneutika, dan naturalisme mungkin menjadi jalan untuk memperkaya serta menyeimbangkan pemahaman tentang kesadaran yang diusulkan Searle.³⁸


Footnotes

[1]                Daniel C. Dennett, Consciousness Explained (Boston: Little, Brown, 1991), 37–38.

[2]                Ibid., 44.

[3]                Ibid., 112–113.

[4]                Paul M. Churchland, Matter and Consciousness (Cambridge, MA: MIT Press, 1988), 19.

[5]                Patricia S. Churchland, Neurophilosophy: Toward a Unified Science of the Mind-Brain (Cambridge, MA: MIT Press, 1986), 321–322.

[6]                John R. Searle, The Rediscovery of the Mind (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 100–102.

[7]                Dennett, Consciousness Explained, 117.

[8]                Hubert L. Dreyfus, What Computers Still Can’t Do: A Critique of Artificial Reason (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 210.

[9]                John R. Searle, “Minds, Brains, and Programs,” Behavioral and Brain Sciences 3, no. 3 (1980): 417–457.

[10]             Ibid., 420.

[11]             Douglas Hofstadter and Daniel C. Dennett, eds., The Mind’s I: Fantasies and Reflections on Self and Soul (New York: Basic Books, 1981), 12–13.

[12]             Ibid., 18–19.

[13]             Ibid., 22–23.

[14]             Searle, The Rediscovery of the Mind, 115.

[15]             Jerry Fodor, The Language of Thought (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1975), 54.

[16]             Margaret Boden, Artificial Intelligence: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2018), 63–65.

[17]             Shaun Gallagher and Dan Zahavi, The Phenomenological Mind (London: Routledge, 2008), 57–58.

[18]             Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans. Colin Smith (London: Routledge, 1962), 77–79.

[19]             Ibid., 83.

[20]             Searle, Intentionality: An Essay in the Philosophy of Mind (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 6.

[21]             Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 94–95.

[22]             Paul Ricoeur, Time and Narrative, vol. 1, trans. Kathleen McLaughlin and David Pellauer (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 53.

[23]             Ibid., 56–57.

[24]             Ibid., 60.

[25]             Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 295.

[26]             Jacques Derrida, Limited Inc, trans. Samuel Weber and Jeffrey Mehlman (Evanston: Northwestern University Press, 1988), 13–14.

[27]             Ibid., 17–18.

[28]             Ibid., 20.

[29]             Ibid., 25.

[30]             Ibid., 27–29.

[31]             H. P. Grice, Studies in the Way of Words (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 25–27.

[32]             Ibid., 31–32.

[33]             Ibid., 34.

[34]             Searle, The Rediscovery of the Mind, 118.

[35]             Ibid., 120.

[36]             Dreyfus, What Computers Still Can’t Do, 223–224.

[37]             Gallagher and Zahavi, The Phenomenological Mind, 64–66.

[38]             Gadamer, Truth and Method, 302–303.


8.           Relevansi Kontemporer: Subjektivitas di Era Digital dan Kecerdasan Buatan

Konsep subjektivitas ontologis yang dikembangkan oleh John Searle memiliki relevansi yang sangat penting dalam menghadapi tantangan filsafat dan etika di era digital. Dunia kontemporer ditandai oleh kemunculan teknologi digital yang tidak hanya memperluas kemampuan kognitif manusia, tetapi juga menimbulkan pertanyaan baru tentang hakikat kesadaran, makna, dan eksistensi manusia di tengah kemajuan kecerdasan buatan (artificial intelligence atau AI). Dalam konteks ini, gagasan Searle mengenai kesadaran sebagai realitas ontologis yang subjektif dan biologis memberikan fondasi kritis untuk memahami perbedaan antara kesadaran manusia dan sistem komputasional yang canggih.¹

Searle sendiri merupakan salah satu pemikir yang paling awal mengkritik pandangan bahwa komputer dapat “memiliki” kesadaran atau memahami makna sebagaimana manusia. Kritiknya terhadap konsep strong AI—yang berasumsi bahwa manipulasi simbol cukup untuk menghasilkan pemahaman—tetap menjadi salah satu argumen filosofis paling relevan dalam diskursus etika dan teknologi digital masa kini.²

8.1.       Subjektivitas Manusia di Tengah Dominasi Teknologi

Era digital membawa perubahan mendasar dalam cara manusia berinteraksi, berpikir, dan mengalami dunia. Dalam ruang virtual, subjek manusia berhadapan dengan representasi digital dirinya sendiri—profil media sosial, avatar, atau data biometrik—yang pada satu sisi memperluas jangkauan eksistensialnya, namun pada sisi lain mengancam autentisitas pengalaman subjektif

Searle menegaskan bahwa kesadaran adalah fakta biologis yang tak tergantikan oleh sistem buatan.⁴ Artinya, tidak peduli seberapa canggih sistem algoritmik atau neural network, mereka tidak memiliki “kualitas fenomenal” atau qualia yang merupakan esensi dari kesadaran manusia.⁵ Dalam pandangan ini, Searle menolak gagasan transhumanistik yang menganggap bahwa kesadaran dapat diunggah (uploaded consciousness) ke dalam mesin digital.⁶ Ia menegaskan bahwa setiap bentuk kesadaran membutuhkan substrat biologis yang spesifik—yakni otak manusia—yang menghasilkan pengalaman subjektif melalui proses neurobiologis yang khas.⁷

Pandangan ini memiliki implikasi besar terhadap wacana identitas dan otonomi manusia di era digital. Ketika algoritma mampu memprediksi perilaku manusia dengan presisi tinggi, subjektivitas manusia terancam direduksi menjadi data perilaku.⁸ Searle memperingatkan bahaya reduksi semacam ini karena meniadakan dimensi fenomenal yang membuat manusia unik: kemampuan untuk mengalami, menilai, dan memberi makna.⁹

8.2.       Kecerdasan Buatan dan Ilusi Kesadaran

Perkembangan kecerdasan buatan generatif, seperti large language models (LLM) dan sistem pembelajaran mendalam, menimbulkan pertanyaan apakah mesin dapat memiliki kesadaran atau sekadar meniru perilaku sadar. Searle menjawab pertanyaan ini melalui argumen “Chinese Room”, yang menjelaskan bahwa sistem komputer hanya memanipulasi simbol tanpa memahami makna.¹⁰

Dalam eksperimen tersebut, seseorang di dalam ruangan mengikuti aturan manipulasi simbol bahasa Mandarin tanpa mengetahui artinya. Dari luar, tampak seolah ia memahami bahasa Mandarin, padahal sebenarnya ia hanya menjalankan instruksi.¹¹ Analogi ini menunjukkan bahwa pemrosesan informasi tidak identik dengan pemahaman, dan bahwa kesadaran memerlukan pengalaman fenomenal yang tak dapat direduksi menjadi kalkulasi algoritmik.¹²

Kritik Searle ini menjadi sangat relevan ketika teknologi AI saat ini menampilkan perilaku yang seolah-olah “cerdas” atau “bermakna.” Mesin dapat meniru gaya bicara manusia, mengenali wajah, bahkan menghasilkan karya seni, tetapi semua itu tetap berada di level simulasi kesadaran, bukan kesadaran sejati.¹³ Kesadaran digital hanyalah representasi formal dari proses kognitif manusia tanpa adanya intensionalitas fenomenal.¹⁴

Dengan demikian, konsep subjektivitas ontologis menjadi alat konseptual penting untuk membedakan antara “kesadaran otentik” (authentic consciousness) yang dialami secara langsung oleh manusia, dan “kesadaran fungsional” (functional consciousness) yang hanya beroperasi melalui sistem simbolik.¹⁵

8.3.       Krisis Makna dan Kehilangan Kedalaman Subjektif

Dalam masyarakat digital, manusia hidup dalam arus informasi yang terus-menerus dan sering kali kehilangan kedalaman refleksi subjektif. Searle akan melihat fenomena ini sebagai bentuk dekontekstualisasi kesadaran, di mana pengalaman personal tereduksi menjadi tanda-tanda yang dapat diukur, diklik, dan dibagikan.¹⁶ Dalam konteks media sosial, tindakan berbahasa tidak lagi dimotivasi oleh intensionalitas yang mendalam, melainkan oleh dorongan performatif untuk memperoleh perhatian.¹⁷

Krisis ini menunjukkan pentingnya mengembalikan nilai subjektivitas ontologis dalam praktik komunikasi digital. Pengalaman sadar manusia bukan hanya alat produksi informasi, tetapi ruang batin tempat nilai, emosi, dan makna eksistensial terbentuk.¹⁸ Tanpa pengakuan terhadap dimensi ini, teknologi berisiko menurunkan bahasa menjadi sekadar transaksi simbolik tanpa kedalaman etis.¹⁹

Sebagaimana dikemukakan Sherry Turkle, teknologi digital menciptakan paradoks: semakin terkoneksi manusia secara virtual, semakin ia merasa terasing secara eksistensial.²⁰ Subjektivitas ontologis Searle mengingatkan kita bahwa komunikasi sejati hanya dapat terjadi ketika kesadaran yang hidup berjumpa dengan kesadaran lain melalui intensionalitas yang autentik.²¹

8.4.       Tantangan Etis dan Humanistik di Era AI

Pemikiran Searle juga memiliki dimensi etis yang mendalam dalam konteks kecerdasan buatan. Jika kesadaran adalah realitas ontologis yang hanya dimiliki oleh organisme biologis, maka upaya untuk “meniru” kesadaran dalam mesin menimbulkan pertanyaan moral: sejauh mana kita dapat memperlakukan entitas buatan sebagai makhluk sadar?²²

Searle menolak atribusi status moral kepada sistem AI karena mereka tidak memiliki kesadaran fenomenal—tidak ada “sesuatu yang terasa” (what it is like) bagi mereka.²³ Namun, ia juga menegaskan tanggung jawab manusia untuk menggunakan teknologi secara etis, karena justru niat dan kesadaran manusia lah yang menentukan arah moral penggunaan teknologi.²⁴

Dengan demikian, tantangan etis utama bukanlah menciptakan mesin yang sadar, melainkan mempertahankan kesadaran manusia agar tetap reflektif, kritis, dan humanistik di tengah dunia yang semakin otomatis dan terdigitalisasi.²⁵ Perspektif Searle membuka ruang bagi etika digital yang menekankan perlunya menjaga integritas subjektivitas di tengah efisiensi teknologis.²⁶


Menuju Humanisme Digital

Konsep subjektivitas ontologis dalam kerangka Searle akhirnya mengarah pada visi humanisme digital—pandangan bahwa teknologi harus melayani kesadaran manusia, bukan menggantikannya.²⁷ Dalam konteks ini, filsafat Searle membantu kita memahami bahwa makna sejati dari teknologi bukanlah kemampuan mesin untuk berpikir, tetapi kemampuan manusia untuk tetap sadar dan bermakna di tengah mesin.²⁸

Dengan menegaskan kembali nilai subjektivitas, kita dapat membangun paradigma teknologi yang tidak sekadar efisien, tetapi juga etis, empatik, dan humanistik.²⁹ Kesadaran manusia, dengan segala kedalaman fenomenalnya, tetap menjadi sumber makna yang tak tergantikan dalam setiap bentuk interaksi—baik dalam dunia nyata maupun digital.³⁰

Maka, di tengah pergeseran menuju dunia yang semakin otomatis, pandangan Searle mengingatkan bahwa masa depan yang bermakna tidak bergantung pada kemampuan mesin untuk meniru kesadaran, tetapi pada kemampuan manusia untuk mempertahankan subjektivitasnya sebagai inti dari kemanusiaan itu sendiri.³¹


Footnotes

[1]                John R. Searle, The Rediscovery of the Mind (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 93–95.

[2]                John R. Searle, “Minds, Brains, and Programs,” Behavioral and Brain Sciences 3, no. 3 (1980): 417–457.

[3]                Luciano Floridi, The Philosophy of Information (Oxford: Oxford University Press, 2011), 115.

[4]                Searle, The Rediscovery of the Mind, 100–102.

[5]                Thomas Nagel, “What Is It Like to Be a Bat?,” The Philosophical Review 83, no. 4 (1974): 436–439.

[6]                Ray Kurzweil, The Singularity Is Near (New York: Viking, 2005), 282–283.

[7]                Searle, Minds, Brains and Science (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1984), 18–20.

[8]                Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 45–46.

[9]                Searle, The Rediscovery of the Mind, 104.

[10]             Searle, “Minds, Brains, and Programs,” 420.

[11]             Ibid., 421–422.

[12]             Ibid., 425.

[13]             Margaret Boden, AI: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2018), 58–60.

[14]             Searle, Intentionality: An Essay in the Philosophy of Mind (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 5–6.

[15]             Hubert L. Dreyfus, What Computers Still Can’t Do: A Critique of Artificial Reason (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 217–218.

[16]             Byung-Chul Han, The Transparency Society, trans. Erik Butler (Stanford: Stanford University Press, 2015), 13–15.

[17]             Han, The Expulsion of the Other, trans. Wieland Hoban (Cambridge: Polity, 2018), 20.

[18]             John R. Searle, Expression and Meaning: Studies in the Theory of Speech Acts (Cambridge: Cambridge University Press, 1979), 45–46.

[19]             Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 88–89.

[20]             Sherry Turkle, Reclaiming Conversation: The Power of Talk in a Digital Age (New York: Penguin, 2015), 42.

[21]             Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 68.

[22]             Searle, The Rediscovery of the Mind, 107–108.

[23]             Nagel, “What Is It Like to Be a Bat?,” 439.

[24]             Searle, Minds, Brains and Science, 27–28.

[25]             Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 92.

[26]             Ibid., 96–98.

[27]             Searle, The Rediscovery of the Mind, 115–116.

[28]             Dreyfus, What Computers Still Can’t Do, 223–224.

[29]             Floridi, The Philosophy of Information, 189.

[30]             Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, 97–98.

[31]             Searle, The Rediscovery of the Mind, 120.


9.           Sintesis Filosofis: Menuju Konsepsi Humanistik tentang Subjektivitas

Konsep subjektivitas ontologis yang dirumuskan oleh John Searle dapat dipahami sebagai upaya untuk memulihkan posisi kesadaran manusia dalam lanskap filsafat modern yang telah lama didominasi oleh reduksionisme ilmiah dan formalisme linguistik. Namun, agar konsep tersebut memiliki daya transformasi etis dan kultural, ia perlu disintesiskan ke dalam suatu konsepsi humanistik yang menempatkan kesadaran bukan hanya sebagai fakta biologis, tetapi juga sebagai landasan nilai, makna, dan tanggung jawab eksistensial manusia.¹ Sintesis ini menuntut integrasi antara dimensi ontologis, epistemologis, dan aksiologis dari kesadaran, sehingga subjektivitas tidak lagi dipahami secara terpisah dari dunia sosial, etis, dan historis tempat manusia berada.

9.1.       Integrasi Ontologis: Subjektivitas sebagai Eksistensi yang Berbagi Dunia

Searle telah menunjukkan bahwa kesadaran merupakan realitas ontologis yang bersifat subjektif namun tetap natural.² Akan tetapi, pendekatan humanistik mengharuskan pandangan yang lebih holistik—bahwa subjektivitas bukan hanya “fenomena biologis,” tetapi juga eksistensi yang berpartisipasi dalam dunia bersama orang lain.³ Dengan demikian, subjektivitas harus dipahami sebagai bentuk keterbukaan terhadap dunia (being-in-the-world), sebagaimana ditekankan oleh fenomenologi eksistensial.⁴

Dalam perspektif ini, subjektivitas manusia tidak berdiri sebagai entitas yang terpisah, melainkan sebagai relasi yang hidup antara diri dan dunia, antara yang pribadi dan yang sosial.⁵ Kesadaran bukan hanya keadaan batin, tetapi tindakan ontologis yang terus membangun makna melalui interaksi dan refleksi.⁶ Sintesis ini memperluas pandangan Searle dengan menambahkan dimensi eksistensial—bahwa subjektivitas adalah kehadiran aktif manusia di dunia, bukan sekadar fenomena mental yang terjadi di dalam otak.⁷

Integrasi ini membawa kita pada pemahaman bahwa realitas ontologis kesadaran selalu bersifat inter-subjektif, di mana setiap individu menegaskan eksistensinya dalam relasi dengan orang lain.⁸ Maka, subjektivitas bukan bentuk egoisme metafisik, melainkan ekspresi kehadiran manusia yang mampu memahami dan direspons oleh dunia sekitarnya.⁹

9.2.       Integrasi Epistemologis: Intensionalitas dan Pemahaman sebagai Dialog Eksistensial

Searle menegaskan bahwa setiap bentuk kesadaran bersifat intensional, yaitu selalu mengarah kepada sesuatu.¹⁰ Namun, dalam sintesis humanistik, intensionalitas tidak hanya dipahami sebagai hubungan antara pikiran dan objek, tetapi juga sebagai relasi dialogis antara subjek dan dunia.¹¹ Pemahaman bukanlah representasi pasif terhadap realitas, melainkan dialog dinamis yang membentuk makna melalui pengalaman hidup dan komunikasi.¹²

Epistemologi humanistik ini sejalan dengan pandangan hermeneutis Paul Ricoeur bahwa memahami berarti “menghidupkan kembali dunia teks” dalam horizon pengalaman diri.¹³ Dengan demikian, kesadaran tidak hanya mencerminkan dunia, tetapi juga menafsirkan dan mengubahnya.¹⁴ Pengetahuan tidak terpisah dari nilai, sebab setiap tindakan mengetahui selalu berakar pada kepedulian eksistensial manusia terhadap apa yang dihayatinya.¹⁵

Searle telah membuka jalan menuju epistemologi semacam ini dengan menolak pandangan komputasional bahwa makna dapat direduksi menjadi manipulasi simbol.¹⁶ Namun, pendekatan humanistik melangkah lebih jauh dengan menegaskan bahwa pengetahuan sejati menuntut keterlibatan pribadi, empati, dan tanggung jawab moral terhadap dunia yang diketahui.¹⁷ Dengan demikian, subjektivitas ontologis menemukan dimensi etisnya dalam kesadaran reflektif yang dialogis dan bertanggung jawab.¹⁸

9.3.       Integrasi Aksiologis: Bahasa, Nilai, dan Martabat Kemanusiaan

Salah satu kontribusi penting Searle adalah pandangannya bahwa bahasa merupakan ekspresi dari struktur kesadaran yang berintensi.¹⁹ Dalam kerangka humanistik, fungsi bahasa tidak hanya menjembatani komunikasi, tetapi juga menegaskan martabat manusia sebagai makhluk bermakna dan bernilai.²⁰

Bahasa menjadi sarana bagi manusia untuk menyatakan diri secara etis di hadapan yang lain, sebagaimana ditegaskan oleh Emmanuel Levinas bahwa setiap tindakan berbicara adalah bentuk tanggung jawab terhadap “yang lain.”²¹ Bahasa bukanlah sistem simbol semata, tetapi medan moral di mana kebenaran, kejujuran, dan pengakuan saling dipertaruhkan.²²

Dari perspektif ini, subjektivitas ontologis menemukan makna aksionalnya: ia menjadi dasar bagi etika komunikasi dan solidaritas manusia.²³ Dengan mengakui bahwa setiap ujaran berakar pada kesadaran yang bermakna, kita juga mengakui kewajiban etis untuk menjaga keotentikan dan integritas dalam berkomunikasi.²⁴

Pendekatan ini membawa kita pada visi humanistik tentang bahasa dan kesadaran, di mana nilai-nilai seperti empati, tanggung jawab, dan penghormatan terhadap makna subjektif orang lain menjadi pilar utama kehidupan bersama.²⁵

9.4.       Integrasi Sosial dan Kultural: Subjektivitas sebagai Dasar Dunia Bersama

Dalam konteks sosial dan kultural, subjektivitas ontologis berfungsi sebagai dasar bagi konstruksi realitas sosial yang bermakna.²⁶ Searle telah menunjukkan bahwa fakta-fakta sosial, seperti uang, hukum, atau institusi, bergantung pada collective intentionality—kesadaran bersama yang membentuk struktur normatif kehidupan manusia.²⁷ Namun, dalam sintesis humanistik, kesadaran bersama ini tidak hanya bersifat fungsional, tetapi juga bernilai moral dan kultural.²⁸

Budaya bukan sekadar hasil konvensi linguistik, melainkan manifestasi dari pengalaman manusia yang mencari makna dan kebenaran.²⁹ Setiap sistem simbol dan norma mencerminkan upaya manusia untuk mewujudkan subjektivitasnya dalam ruang publik.³⁰ Dengan demikian, menjaga kebudayaan berarti menjaga ruang bagi ekspresi kesadaran manusia agar tetap hidup, terbuka, dan plural.³¹

Dalam konteks global dan digital saat ini, pendekatan humanistik terhadap subjektivitas juga menegaskan perlunya kesadaran reflektif dan empatik dalam menghadapi kemajuan teknologi.³² Teknologi harus dilihat sebagai alat yang memperluas, bukan menggantikan, dimensi kesadaran manusia.³³ Dengan demikian, subjektivitas ontologis bukan hanya konsep filosofis, tetapi juga dasar bagi etika kemanusiaan digital yang menghormati otonomi dan martabat manusia.³⁴


Menuju Filsafat Subjektivitas Humanistik

Sintesis filosofis ini membawa kita pada pemahaman bahwa subjektivitas ontologis adalah jantung dari humanisme baru—sebuah pandangan yang menolak baik dehumanisasi teknologi maupun relativisme nihilistik.³⁵ Kesadaran manusia bukan sekadar epifenomena otak, melainkan sumber makna yang memampukan dialog, kreativitas, dan kebebasan.³⁶

Dengan mengintegrasikan pandangan Searle ke dalam horizon humanistik, kita memperoleh konsepsi bahwa manusia adalah makhluk yang mengalami, memahami, dan memberi makna kepada dunia secara sadar.³⁷ Kesadaran tidak lagi dipandang hanya sebagai data biologis atau sistem simbolik, tetapi sebagai keberadaan yang bernilai dan berorientasi etis.³⁸

Melalui pemahaman ini, filsafat subjektivitas tidak hanya menjelaskan “apa itu kesadaran,” tetapi juga mengapa kesadaran penting bagi martabat dan masa depan manusia.³⁹ Subjektivitas ontologis Searle, bila dikembangkan secara humanistik, menjadi landasan bagi etika, kebudayaan, dan teknologi yang lebih manusiawi—yakni dunia di mana kesadaran bukan sekadar fakta, melainkan panggilan untuk hidup secara bermakna.⁴⁰


Footnotes

[1]                John R. Searle, The Rediscovery of the Mind (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 93–95.

[2]                Ibid., 97.

[3]                John R. Searle, Minds, Brains and Science (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1984), 20–21.

[4]                Martin Heidegger, Being and Time, trans. John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 78–80.

[5]                Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, trans. Colin Smith (London: Routledge, 1962), 354.

[6]                Ibid., 356–357.

[7]                Searle, Intentionality: An Essay in the Philosophy of Mind (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 3–4.

[8]                Edmund Husserl, The Crisis of European Sciences and Transcendental Phenomenology, trans. David Carr (Evanston: Northwestern University Press, 1970), 108.

[9]                Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 66.

[10]             Searle, Intentionality, 7–8.

[11]             Ibid., 11.

[12]             Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans. Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 295.

[13]             Paul Ricoeur, Time and Narrative, vol. 1, trans. Kathleen McLaughlin and David Pellauer (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 74.

[14]             Ibid., 76.

[15]             Ricoeur, Time and Narrative, 80.

[16]             Searle, The Rediscovery of the Mind, 99.

[17]             Hubert L. Dreyfus, What Computers Still Can’t Do: A Critique of Artificial Reason (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 215.

[18]             Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 91–93.

[19]             Searle, Speech Acts: An Essay in the Philosophy of Language (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 16.

[20]             Searle, Expression and Meaning: Studies in the Theory of Speech Acts (Cambridge: Cambridge University Press, 1979), 33–34.

[21]             Levinas, Totality and Infinity, 198.

[22]             Gadamer, Truth and Method, 297–298.

[23]             Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, 88–89.

[24]             Searle, Speech Acts, 56.

[25]             Ricoeur, Time and Narrative, 94.

[26]             John R. Searle, The Construction of Social Reality (New York: Free Press, 1995), 23.

[27]             Ibid., 25.

[28]             Ibid., 26–27.

[29]             Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973), 5–6.

[30]             Ibid., 8–9.

[31]             Ibid., 11.

[32]             Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 92.

[33]             Sherry Turkle, Reclaiming Conversation: The Power of Talk in a Digital Age (New York: Penguin, 2015), 42–43.

[34]             Floridi, The Philosophy of Information (Oxford: Oxford University Press, 2011), 187–188.

[35]             Searle, The Rediscovery of the Mind, 115–116.

[36]             Dreyfus, What Computers Still Can’t Do, 223–224.

[37]             Searle, Intentionality, 35.

[38]             Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, 97.

[39]             Levinas, Totality and Infinity, 213–214.

[40]             Searle, The Rediscovery of the Mind, 120.


10.       Kesimpulan

Konsep subjektivitas ontologis yang dirumuskan oleh John Searle menegaskan bahwa kesadaran manusia merupakan realitas yang benar-benar ada secara ontologis, meskipun bersifat subjektif dalam pengalamannya.¹ Kesadaran tidak dapat direduksi menjadi proses komputasional atau aktivitas fisik semata karena ia memiliki karakter fenomenal—yakni sesuatu yang dirasakan dari dalam oleh subjek.² Dengan demikian, Searle menolak dua kutub ekstrem dalam filsafat pikiran modern: reduksionisme fisikalis, yang menghapus kesadaran dari ontologi ilmiah, dan dualisme Cartesian, yang memisahkan pikiran dari dunia fisik.³ Ia berupaya membangun jalan tengah melalui pendekatan naturalistik-biologis, di mana kesadaran dipahami sebagai fakta biologis yang memiliki mode keberadaan subjektif.⁴

Dari kajian ini dapat disimpulkan bahwa bagi Searle, subjektivitas bukanlah ilusi atau fenomena sekunder, tetapi syarat dasar bagi seluruh makna, bahasa, dan tindakan manusia.⁵ Setiap ujaran, tindakan sosial, atau bentuk representasi simbolik selalu berakar pada kesadaran yang berintensi—yakni kesadaran yang mengarah kepada dunia melalui makna.⁶ Bahasa menjadi perpanjangan dari intensionalitas ini: ia memungkinkan subjek mengungkapkan pengalaman batin dan menjadikannya intersubjektif.⁷ Dengan kata lain, filsafat bahasa Searle berakar pada filsafat kesadaran, karena tanpa subjektivitas ontologis tidak mungkin ada komunikasi bermakna.⁸

Lebih jauh, konsep subjektivitas ontologis membuka jalan bagi etika dan humanisme baru di tengah perkembangan teknologi dan budaya digital.⁹ Dalam masyarakat yang semakin mengandalkan sistem komputasional, Searle mengingatkan bahwa kesadaran manusia tetap tak tergantikan karena merupakan satu-satunya sumber nilai dan makna.¹⁰ Kecerdasan buatan dapat meniru perilaku rasional, tetapi tidak dapat memiliki kesadaran fenomenal; ia dapat “berfungsi seperti” pikiran, namun tidak dapat menjadi pikiran itu sendiri.¹¹ Dengan demikian, mempertahankan pemahaman filosofis tentang subjektivitas berarti juga mempertahankan martabat dan otonomi manusia di tengah lanskap teknologi yang dehumanisasi.¹²

Dalam konteks sosial dan kultural, subjektivitas ontologis menjadi dasar bagi kehidupan intersubjektif yang beradab. Ia menegaskan bahwa setiap individu memiliki pusat pengalaman yang unik dan sah, yang harus diakui dalam ruang dialog publik.¹³ Bahasa dan budaya berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan subjektivitas pribadi dengan dunia bersama; oleh sebab itu, menghormati kesadaran orang lain berarti menghormati keberadaan manusia itu sendiri.¹⁴

Akhirnya, sintesis dari seluruh pemikiran Searle mengarah pada suatu pandangan humanistik-integratif tentang manusia: bahwa menjadi manusia berarti menjadi makhluk yang sadar, bermakna, dan bertanggung jawab terhadap dunia yang ia pahami dan ubah melalui bahasa serta tindakan.¹⁵ Subjektivitas ontologis, dalam pengertian ini, bukan sekadar kategori metafisik, tetapi landasan etis dan eksistensial bagi kebudayaan dan pengetahuan manusia.¹⁶

Melalui pendekatan ini, Searle berhasil mengembalikan legitimasi filosofis terhadap pengalaman batin manusia di tengah era yang cenderung menilai realitas hanya melalui kriteria objektif dan teknologis.¹⁷ Ia menunjukkan bahwa kesadaran bukanlah masalah sains semata, tetapi inti dari keberadaan manusia itu sendiri.¹⁸ Maka, konsepsi subjektivitas ontologis tidak hanya merevisi pemahaman kita tentang pikiran, tetapi juga menghidupkan kembali filsafat sebagai pencarian makna tentang menjadi manusia di dunia yang semakin kompleks dan digital.¹⁹


Footnotes

[1]                John R. Searle, The Rediscovery of the Mind (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 93–95.

[2]                Thomas Nagel, “What Is It Like to Be a Bat?,” The Philosophical Review 83, no. 4 (1974): 436–439.

[3]                René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 25.

[4]                Searle, Minds, Brains and Science (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1984), 18–19.

[5]                Searle, Intentionality: An Essay in the Philosophy of Mind (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 1–2.

[6]                Ibid., 8–9.

[7]                John R. Searle, Speech Acts: An Essay in the Philosophy of Language (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 16–17.

[8]                Searle, Expression and Meaning: Studies in the Theory of Speech Acts (Cambridge: Cambridge University Press, 1979), 33–34.

[9]                Luciano Floridi, The Ethics of Information (Oxford: Oxford University Press, 2013), 92–93.

[10]             Searle, The Rediscovery of the Mind, 100–101.

[11]             John R. Searle, “Minds, Brains, and Programs,” Behavioral and Brain Sciences 3, no. 3 (1980): 417–457.

[12]             Hubert L. Dreyfus, What Computers Still Can’t Do: A Critique of Artificial Reason (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 217–218.

[13]             Edmund Husserl, The Crisis of European Sciences and Transcendental Phenomenology, trans. David Carr (Evanston: Northwestern University Press, 1970), 109.

[14]             Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969), 66–67.

[15]             Paul Ricoeur, Time and Narrative, vol. 1, trans. Kathleen McLaughlin and David Pellauer (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 74.

[16]             Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen (Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 88–90.

[17]             Searle, The Rediscovery of the Mind, 115–116.

[18]             Ibid., 120.

[19]             Searle, Intentionality, 35.


Daftar Pustaka

Austin, J.L. (1975). How to do things with words (J. O. Urmson & M. Sbisà, Eds.). Oxford University Press.

Boden, M. A. (2018). Artificial intelligence: A very short introduction. Oxford University Press.

Brentano, F. (1995). Psychology from an empirical standpoint (A. C. Rancurello, D. B. Terrell, & L. L. McAlister, Trans.). Routledge. (Original work published 1874)

Churchland, P. M. (1988). Matter and consciousness. MIT Press.

Churchland, P. S. (1986). Neurophilosophy: Toward a unified science of the mind-brain. MIT Press.

Derrida, J. (1976). Of grammatology (G. C. Spivak, Trans.). Johns Hopkins University Press.

Derrida, J. (1988). Limited Inc (S. Weber & J. Mehlman, Trans.). Northwestern University Press.

Descartes, R. (1996). Meditations on first philosophy (J. Cottingham, Trans.). Cambridge University Press. (Original work published 1641)

Dennett, D. C. (1991). Consciousness explained. Little, Brown.

Dreyfus, H. L. (1992). What computers still can’t do: A critique of artificial reason. MIT Press.

Fodor, J. A. (1975). The language of thought. Harvard University Press.

Floridi, L. (2011). The philosophy of information. Oxford University Press.

Floridi, L. (2013). The ethics of information. Oxford University Press.

Gadamer, H.-G. (2004). Truth and method (J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). Continuum.

Gallagher, S., & Zahavi, D. (2008). The phenomenological mind. Routledge.

Geertz, C. (1973). The interpretation of cultures. Basic Books.

Grice, H. P. (1989). Studies in the way of words. Harvard University Press.

Habermas, J. (1990). Moral consciousness and communicative action (C. Lenhardt & S. W. Nicholsen, Trans.). MIT Press.

Han, B.-C. (2015). The transparency society (E. Butler, Trans.). Stanford University Press.

Han, B.-C. (2018). The expulsion of the other (W. Hoban, Trans.). Polity Press.

Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Harper & Row.

Hofstadter, D., & Dennett, D. C. (Eds.). (1981). The mind’s I: Fantasies and reflections on self and soul. Basic Books.

Husserl, E. (1970). The crisis of European sciences and transcendental phenomenology (D. Carr, Trans.). Northwestern University Press.

Husserl, E. (1982). Ideas pertaining to a pure phenomenology and to a phenomenological philosophy (F. Kersten, Trans.). Martinus Nijhoff.

Kurzweil, R. (2005). The singularity is near: When humans transcend biology. Viking.

Levinas, E. (1969). Totality and infinity: An essay on exteriority (A. Lingis, Trans.). Duquesne University Press.

Merleau-Ponty, M. (1962). Phenomenology of perception (C. Smith, Trans.). Routledge.

Nagel, T. (1974). What is it like to be a bat? The Philosophical Review, 83(4), 435–450.

Ricoeur, P. (1984). Time and narrative (Vol. 1, K. McLaughlin & D. Pellauer, Trans.). University of Chicago Press.

Ryle, G. (1949). The concept of mind. Hutchinson.

Schutz, A. (1962). Collected papers I: The problem of social reality. Martinus Nijhoff.

Schutz, A. (1967). The phenomenology of the social world (G. Walsh & F. Lehnert, Trans.). Northwestern University Press.

Searle, J. R. (1969). Speech acts: An essay in the philosophy of language. Cambridge University Press.

Searle, J. R. (1979). Expression and meaning: Studies in the theory of speech acts. Cambridge University Press.

Searle, J. R. (1980). Minds, brains, and programs. Behavioral and Brain Sciences, 3(3), 417–457.

Searle, J. R. (1983). Intentionality: An essay in the philosophy of mind. Cambridge University Press.

Searle, J. R. (1984). Minds, brains and science. Harvard University Press.

Searle, J. R. (1992). The rediscovery of the mind. MIT Press.

Searle, J. R. (1995). The construction of social reality. Free Press.

Searle, J. R. (2003). Rationality in action. Philosophical Issues, 13(1), 405–406.

Skinner, B. F. (1957). Verbal behavior. Appleton-Century-Crofts.

Tarski, A. (1944). The semantic conception of truth. Philosophy and Phenomenological Research, 4(3), 341–376.

Turkle, S. (2015). Reclaiming conversation: The power of talk in a digital age. Penguin.

Wittgenstein, L. (1953). Philosophical investigations (G. E. M. Anscombe, Trans.). Blackwell.

Zuboff, S. (2019). The age of surveillance capitalism: The fight for a human future at the new frontier of power. PublicAffairs.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar