Subjektivitas Ontologis (Ontological Subjectivity)
Antara Kesadaran, Makna, dan Dunia
Alihkan ke: Filsafat Bahasa.
Abstrak
Artikel ini mengkaji secara mendalam konsep subjektivitas
ontologis (ontological subjectivity) dalam filsafat bahasa John Searle,
sebagai salah satu karakteristik utama dari keadaan mental yang membedakan
kesadaran manusia dari fenomena fisik dan komputasional. Subjektivitas
ontologis dipahami Searle sebagai realitas yang secara ontologis nyata, namun
hanya dapat dialami dari perspektif pertama. Kesadaran, dalam kerangka ini,
bukanlah entitas metafisik yang terpisah dari tubuh, melainkan fakta
biologis yang bersifat fenomenal dan intensional. Artikel ini menelusuri
landasan historis pemikiran Searle yang berakar pada tradisi fenomenologi
(Husserl, Heidegger) dan filsafat analitik bahasa (Wittgenstein, Austin),
serta mengeksplorasi implikasinya terhadap epistemologi, aksiologi, dan dimensi
sosial dari bahasa.
Melalui analisis terhadap karya-karya utama Searle
seperti Speech Acts, Intentionality, The Rediscovery of the
Mind, dan The Construction of Social Reality, artikel ini
menunjukkan bahwa bahasa berfungsi sebagai ekspresi eksternal dari kesadaran
yang berintensi terhadap dunia, menjembatani subjektivitas individu dan
intersubjektivitas sosial. Subjektivitas ontologis, dengan demikian, menjadi
fondasi bagi makna, komunikasi, dan struktur sosial.
Selanjutnya, artikel ini menempatkan gagasan Searle
dalam konteks kontemporer—khususnya dalam menghadapi tantangan era digital
dan kecerdasan buatan (AI)—dengan menegaskan bahwa mesin, meskipun mampu
meniru perilaku kognitif manusia, tetap tidak memiliki kesadaran fenomenal.
Subjektivitas ontologis manusia tetap menjadi dasar bagi nilai, tanggung jawab,
dan makna etis dalam kehidupan bersama. Pada akhirnya, sintesis filosofis yang
ditawarkan mengarah pada konsepsi humanistik tentang subjektivitas, di
mana kesadaran manusia dipahami sebagai inti dari kemanusiaan yang tak
tergantikan, fondasi bagi bahasa, etika, dan kebudayaan.
Kata Kunci: Subjektivitas Ontologis; John Searle; Kesadaran;
Intensionalitas; Filsafat Bahasa; Intersubjektivitas; Etika Humanistik;
Kecerdasan Buatan; Fenomenologi; Humanisme Digital.
PEMBAHASAN
Subjektivitas Ontologis dalam Filsafat Bahasa John
Searle
1.
Pendahuluan
Dalam ranah filsafat bahasa kontemporer, John
Searle menempati posisi penting sebagai tokoh yang berupaya menjembatani antara
tradisi analitik dan fenomenologis dalam memahami hakikat kesadaran, makna, dan
bahasa. Salah satu konsep sentral yang menjadi dasar seluruh kerangka
pemikirannya adalah “subjektivitas ontologis” (ontological subjectivity)—yakni
gagasan bahwa kesadaran manusia bersifat secara ontologis subjektif karena ia
hanya dapat dialami dari sudut pandang pertama (first-person perspective).¹
Subjektivitas ontologis ini bukan sekadar ciri epistemologis, melainkan
menyangkut struktur keberadaan (being) itu sendiri; sesuatu yang nyata dalam
pengalaman namun tidak dapat direduksi sepenuhnya ke dalam kerangka objektif
atau fisikalis.²
Bagi Searle, seluruh keadaan mental—seperti
persepsi, keyakinan, niat, dan emosi—memiliki karakter intensional dan
subjektif secara ontologis.³ Kesadaran tidak dapat dijelaskan tanpa
mengakui dimensi fenomenal dan privat yang menyertainya. Dengan demikian, upaya
untuk menjelaskan bahasa dan makna tanpa memperhitungkan kesadaran subjektif
berisiko mereduksi bahasa menjadi sekadar sistem simbol eksternal tanpa makna
hidup.⁴ Dalam kerangka inilah Searle menegaskan bahwa filsafat bahasa harus
berakar pada filsafat pikiran, sebab struktur bahasa merefleksikan struktur
intensionalitas yang bersumber dari pengalaman sadar.⁵
Dalam konteks filsafat bahasa, “subjektivitas
ontologis” berfungsi sebagai fondasi bagi pemahaman makna dan komunikasi.
Ketika seseorang berbicara, tindak tutur yang ia lakukan berangkat dari
kesadaran subjektif yang bermaksud (intentional) terhadap dunia.⁶ Bahasa
bukanlah entitas netral yang berdiri di luar kesadaran, melainkan perpanjangan
dari pengalaman subjektif yang ingin diobjektifikasi melalui tanda-tanda
linguistik.⁷ Dengan kata lain, makna linguistik tidak muncul secara mekanis
dari sistem simbol, tetapi terbentuk melalui kesadaran yang berintensi dan
berorientasi pada realitas.
Permasalahan yang muncul kemudian adalah bagaimana
kita dapat memahami hubungan antara subjektivitas yang bersifat privat dengan
makna dan komunikasi yang bersifat publik. Searle berpendapat bahwa walaupun
kesadaran bersifat subjektif secara ontologis, ia tetap memiliki struktur
biologis dan sosial yang dapat dianalisis secara ilmiah tanpa kehilangan
aspek fenomenalnya.⁸ Dengan demikian, Searle menolak dua ekstrem: reduksionisme
fisikalis, yang meniadakan subjektivitas, dan solipsisme, yang
mengisolasi subjek dari dunia sosial dan bahasa.⁹
Kajian mengenai “subjektivitas ontologis”
dalam filsafat bahasa Searle menjadi relevan untuk memahami bagaimana
pengalaman batin manusia menjadi dasar bagi makna dan komunikasi, terutama
dalam konteks dunia modern yang semakin didominasi oleh teknologi dan
representasi digital. Dalam situasi di mana kecerdasan buatan dan media digital
mulai meniru perilaku linguistik manusia, pertanyaan tentang apakah sistem
non-manusia dapat memiliki kesadaran subjektif menjadi semakin penting.¹⁰
Melalui pembahasan ini, artikel akan menelusuri struktur ontologis
subjektivitas menurut Searle dan implikasinya terhadap makna, intensionalitas,
serta komunikasi manusia di era digital.
Dengan pendekatan filosofis-analitis dan reflektif,
pembahasan ini bertujuan untuk memperlihatkan bagaimana subjektivitas ontologis
bukanlah hal yang berlawanan dengan objektivitas ilmiah, melainkan merupakan
dimensi eksistensial yang niscaya bagi pemahaman makna dan tindakan bahasa
manusia.¹¹ Kajian ini sekaligus menjadi upaya untuk menunjukkan relevansi
filsafat Searle dalam menjawab krisis makna dan pengalaman autentik dalam
budaya digital kontemporer.
Footnotes
[1]
John R. Searle, The Rediscovery of the Mind
(Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 93–95.
[2]
Ibid., 94.
[3]
John R. Searle, Intentionality: An Essay in the
Philosophy of Mind (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 1–2.
[4]
Ibid., 27–29.
[5]
John R. Searle, Speech Acts: An Essay in the
Philosophy of Language (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 16.
[6]
Searle, Intentionality, 5–6.
[7]
John R. Searle, Minds, Brains and Science
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1984), 18.
[8]
Searle, The Rediscovery of the Mind,
100–102.
[9]
Ibid., 107–108.
[10]
John R. Searle, “Minds, Brains, and Programs,” Behavioral
and Brain Sciences 3, no. 3 (1980): 417–457.
[11]
Hubert L. Dreyfus, What Computers Still Can’t
Do: A Critique of Artificial Reason (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 221.
2.
Landasan
Historis dan Genealogis
Gagasan subjektivitas ontologis yang
dikembangkan oleh John Searle tidak muncul dalam ruang hampa, melainkan berakar
dalam tradisi panjang filsafat modern yang menempatkan kesadaran sebagai pusat
refleksi ontologis dan epistemologis. Untuk memahami posisi konseptual Searle,
penting menelusuri genealogi pemikirannya yang menggabungkan dua aliran besar: fenomenologi
kontinental dan filsafat analitik bahasa. Kedua arus tersebut
membentuk medan konseptual tempat Searle bergerak dalam menjelaskan hubungan
antara kesadaran, makna, dan dunia sosial.
2.1.
Asal-Usul Fenomenologis
Subjektivitas
Jejak pertama dari gagasan tentang subjektivitas
ontologis dapat ditelusuri pada Edmund Husserl, pendiri fenomenologi,
yang menegaskan bahwa kesadaran selalu bersifat intentional—yakni selalu
mengarah kepada sesuatu (consciousness is always consciousness of something).¹
Dalam Ideen zu einer reinen Phänomenologie, Husserl memperlihatkan bahwa
kesadaran tidak dapat dipahami sebagai entitas tertutup, melainkan sebagai
medan makna yang konstitutif terhadap dunia.² Husserl menolak pandangan empiris
yang mereduksi pengalaman menjadi sekadar kumpulan fakta objektif; baginya,
dunia objektif hanya muncul sebagai korelat dari pengalaman subjek
transendental.³ Dengan demikian, subjektivitas bukan sekadar bentuk pengetahuan
tentang dunia, tetapi struktur ontologis yang mendahului setiap objektivitas
yang mungkin.
Pemikiran ini kemudian dikembangkan oleh Martin
Heidegger, yang mengubah orientasi fenomenologi dari epistemologi menuju
ontologi. Dalam Sein und Zeit, Heidegger memandang Dasein—manusia
yang menyadari keberadaannya—sebagai makhluk yang selalu sudah “berada-di-dunia”
(being-in-the-world).⁴ Subjektivitas bagi Heidegger tidak lagi dipahami
sebagai pusat kesadaran yang mengamati dunia dari luar, melainkan sebagai mode
eksistensi yang terjalin secara inheren dengan dunia.⁵ Pandangan ini membuka
ruang bagi pemahaman bahwa kesadaran memiliki status ontologis yang tidak dapat
dilepaskan dari keterlibatan praktis dan linguistik manusia dengan realitas.
Pemikiran fenomenologis ini memberikan pengaruh
mendalam bagi Searle, khususnya dalam hal penekanan pada intensionalitas
kesadaran.⁶ Walaupun Searle menolak metafisika transendental Husserl, ia
mengakui bahwa setiap keadaan mental memiliki arah makna atau aboutness
yang serupa dengan intensionalitas fenomenologis.⁷ Namun, Searle menekankan
bahwa intensionalitas bukanlah sifat dari subjek transendental melainkan sifat
biologis dari organisme sadar.⁸ Dengan demikian, ia berupaya memadukan wawasan
fenomenologis tentang kesadaran dengan pendekatan naturalistik yang tetap
mempertahankan realitas ontologis pengalaman subjektif.
2.2.
Tradisi Analitik dan Tindakan Tutur
Selain dipengaruhi oleh fenomenologi, Searle juga
berakar kuat dalam tradisi filsafat analitik bahasa yang dikembangkan
oleh tokoh-tokoh seperti Ludwig Wittgenstein, J.L. Austin, dan Gilbert Ryle.
Dalam tradisi ini, bahasa dipandang bukan semata-mata sebagai sistem
representasi, melainkan sebagai bentuk tindakan sosial.⁹ Wittgenstein, dalam Philosophical
Investigations, menolak ide bahasa privat dan menegaskan bahwa makna adalah
hasil penggunaan dalam praktik sosial (meaning is use).¹⁰ Bagi Searle,
pandangan ini penting karena menunjukkan bahwa subjektivitas manusia selalu
terekspresikan melalui medium intersubjektif, yakni bahasa.
Pengaruh terbesar terhadap Searle datang dari J.L.
Austin, terutama melalui teori speech acts yang dikembangkan dalam
kuliah How to Do Things with Words. Austin menegaskan bahwa setiap
ujaran bukan sekadar menyampaikan proposisi, tetapi juga melakukan tindakan
tertentu (performative acts).¹¹ Searle kemudian mengembangkan teori ini
dalam karyanya Speech Acts (1969), di mana ia merumuskan struktur logis
tindak tutur dan mengaitkannya dengan niat pembicara (speaker’s intention).¹²
Dalam hal ini, subjektivitas ontologis menjadi fondasi dari setiap tindakan
linguistik karena setiap ujaran selalu berakar pada kesadaran yang bermaksud.¹³
Dengan demikian, dalam tradisi analitik, Searle
memformulasikan kembali hubungan antara bahasa dan kesadaran: bahasa bukanlah
cermin pasif dari dunia objektif, melainkan ekspresi aktif dari intensionalitas
subjektif yang berusaha mengkomunikasikan makna kepada orang lain.¹⁴ Pendekatan
ini menjembatani kesenjangan antara objektivitas bahasa dan subjektivitas
kesadaran dengan menunjukkan bahwa keduanya saling terjalin secara ontologis.
2.3.
Evolusi Pemikiran Searle: Dari
Bahasa ke Pikiran
Perjalanan intelektual Searle menunjukkan
pergeseran dari fokus linguistik ke arah ontologi kesadaran. Dalam Speech
Acts, ia meneliti struktur tindakan bahasa sebagai sistem aturan sosial. Namun,
dalam Intentionality: An Essay in the Philosophy of Mind (1983), Searle
beralih ke analisis kesadaran dan intensionalitas yang mendasari makna
linguistik.¹⁵ Di sini, ia menolak pandangan reduksionistik yang menganggap
bahwa keadaan mental dapat dijelaskan sepenuhnya dalam istilah fisik atau
komputasional.¹⁶ Kesadaran, menurutnya, memiliki dimensi ontologis yang tidak
dapat direduksi: ia eksis secara subjektif namun tetap bagian dari dunia
biologis yang objektif.¹⁷
Searle melanjutkan pandangan ini dalam The
Rediscovery of the Mind (1992), di mana ia menentang dominasi paradigma
komputasionalisme dan materialisme eliminatif yang berusaha menjelaskan pikiran
sebagai proses simbolik tanpa fenomenalitas.¹⁸ Ia menegaskan bahwa kesadaran
adalah fakta biologis dasar—sama nyatanya dengan proses kimiawi dalam
otak—namun tidak dapat direduksi menjadi deskripsi objektif karena sifat
ontologisnya yang subjektif.¹⁹
Dalam konteks ini, “subjektivitas ontologis”
menjadi pilar metafisik yang menopang seluruh filsafat Searle. Kesadaran bukan
sekadar fenomena psikologis, tetapi bentuk eksistensi yang bersifat real dan
tak terelakkan dalam penjelasan tentang bahasa, makna, dan dunia sosial.²⁰
2.4.
Kritik terhadap Reduksionisme dan
Behaviorisme
Gagasan Searle juga merupakan tanggapan langsung
terhadap dua arus dominan abad ke-20: behaviorisme dan fisikalisme
reduktif. Behaviorisme, sebagaimana dikembangkan oleh B. F. Skinner,
berupaya menjelaskan perilaku manusia tanpa merujuk pada keadaan batin.²¹
Searle menolak pandangan ini dengan menegaskan bahwa tindakan bahasa tidak
dapat dimengerti tanpa memahami niat dan kesadaran pembicara.²² Begitu pula
terhadap fisikalisme reduktif yang berusaha mengidentifikasi keadaan mental
dengan keadaan otak, Searle berargumen bahwa reduksi semacam itu mengabaikan
aspek fenomenal kesadaran yang bersifat subjektif secara ontologis.²³
Dengan demikian, pemikiran Searle menandai
kebangkitan kembali pendekatan non-reduksionistik dalam filsafat pikiran dan
bahasa. Ia menggabungkan analisis linguistik dengan metafisika kesadaran untuk
menunjukkan bahwa bahasa adalah ekspresi eksternal dari struktur ontologis
subjek yang sadar.²⁴ Genealogi ini memperlihatkan kesinambungan antara
fenomenologi kesadaran dan analisis tindakan tutur—dua tradisi yang semula
berbeda, namun di tangan Searle menemukan sintesis baru yang produktif.
Footnotes
[1]
Edmund Husserl, Ideas Pertaining to a Pure
Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy, trans. F. Kersten (The
Hague: Martinus Nijhoff, 1982), 54.
[2]
Ibid., 58–59.
[3]
Ibid., 85.
[4]
Martin Heidegger, Being and Time, trans.
John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 78–79.
[5]
Ibid., 83.
[6]
John R. Searle, Intentionality: An Essay in the
Philosophy of Mind (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 2.
[7]
Ibid., 4–6.
[8]
John R. Searle, Minds, Brains and Science
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1984), 18–19.
[9]
Gilbert Ryle, The Concept of Mind (London:
Hutchinson, 1949), 12–15.
[10]
Ludwig Wittgenstein, Philosophical
Investigations, trans. G. E. M. Anscombe (Oxford: Blackwell, 1953), §43.
[11]
J.L. Austin, How to Do Things with Words,
ed. J. O. Urmson and Marina Sbisà (Oxford: Oxford University Press, 1975), 6–8.
[12]
John R. Searle, Speech Acts: An Essay in the
Philosophy of Language (Cambridge: Cambridge University Press, 1969),
31–32.
[13]
Ibid., 42–44.
[14]
Ibid., 47.
[15]
Searle, Intentionality, 9–11.
[16]
John R. Searle, “Minds, Brains, and Programs,” Behavioral
and Brain Sciences 3, no. 3 (1980): 417–457.
[17]
Searle, Minds, Brains and Science, 26.
[18]
John R. Searle, The Rediscovery of the Mind
(Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 93–95.
[19]
Ibid., 100–102.
[20]
Ibid., 110.
[21]
B. F. Skinner, Verbal Behavior (New York:
Appleton-Century-Crofts, 1957), 14.
[22]
Searle, Speech Acts, 16–17.
[23]
Searle, The Rediscovery of the Mind, 92–93.
[24]
Ibid., 108–110.
3.
Ontologi
Subjektivitas dalam Kesadaran
Konsep subjektivitas ontologis merupakan
inti dari filsafat pikiran dan bahasa John Searle. Bagi Searle, kesadaran bukan
hanya sekadar fenomena psikologis atau keadaan mental, melainkan suatu realitas
ontologis yang bersifat subjektif—yakni eksistensi yang hanya dapat diakses
dari sudut pandang pertama (first-person ontology).¹ Dalam The
Rediscovery of the Mind (1992), ia menegaskan bahwa pengalaman sadar adalah
fenomena yang secara ontologis subjektif, tetapi dapat dijelaskan secara
ilmiah dalam kerangka epistemologis objektif.² Pernyataan ini menjadi
pembeda radikal antara Searle dan kaum reduksionis fisikalis yang menolak
realitas kesadaran sebagai entitas yang sah dalam ontologi ilmiah.
3.1.
Hakikat Subjektivitas Ontologis
Subjektivitas ontologis menurut Searle berarti
bahwa setiap pengalaman sadar memiliki kualitas fenomenal yang hanya dapat
dialami oleh subjek itu sendiri.³ Misalnya, rasa sakit, keinginan, atau
persepsi warna merah adalah fakta yang benar-benar nyata bagi individu yang
mengalaminya, meskipun tidak dapat diamati secara langsung oleh orang lain.⁴
Dalam hal ini, Searle membedakan antara dua jenis eksistensi: (a) ontological
subjectivity, yang hanya dapat dialami dari dalam (misalnya pengalaman
batin), dan (b) ontological objectivity, yang ada terlepas dari siapa
pun yang mengalaminya (misalnya gunung, meja, atau planet).⁵
Searle berargumen bahwa dunia berisi kedua bentuk
realitas ini, dan kesalahan besar filsafat modern adalah upaya untuk meniadakan
yang pertama demi mempertahankan “objektivitas ilmiah.”⁶ Padahal,
kesadaran subjektif merupakan fakta biologis yang tak terhindarkan, sama
nyatanya dengan fenomena fisik lainnya.⁷ Kesadaran, kata Searle, adalah “a
higher-level feature of the brain,” tetapi keunikannya terletak pada cara
keberadaannya yang fenomenal dan privat.⁸
Dengan demikian, subjektivitas ontologis tidak
berarti bahwa kesadaran bersifat mistik atau metafisik; justru sebaliknya, ia
merupakan bagian alami dari dunia fisik, namun memiliki mode eksistensi yang
berbeda.⁹ Hal ini menempatkan Searle dalam posisi realisme biologis
(biological naturalism): pandangan bahwa kesadaran adalah realitas
biologis yang emergen dari proses neurofisiologis, tetapi tidak identik
dengannya.¹⁰
3.2.
Subjektivitas sebagai Struktur
Intensional
Kesadaran bagi Searle selalu bersifat intensional,
artinya setiap keadaan sadar mengarah pada sesuatu (directedness).¹¹
Fenomena ini disebut sebagai intentionality, yang menurutnya adalah ciri
dasar dari pikiran dan kesadaran.¹² Namun, intensionalitas hanya mungkin muncul
jika terdapat subjek yang secara ontologis mampu mengalami sesuatu—yakni
kesadaran subjektif. Dengan demikian, subjektivitas ontologis adalah
prasyarat bagi intensionalitas, karena tanpa kesadaran yang “merasakan”
tidak akan ada orientasi makna terhadap dunia.¹³
Setiap tindakan mental seperti mempersepsi,
mengingat, menginginkan, atau menyatakan sesuatu mengandaikan adanya pusat
kesadaran yang hidup secara fenomenal.¹⁴ Inilah dasar dari hubungan antara bahasa
dan kesadaran dalam filsafat Searle: bahasa merupakan bentuk ekspresi
eksternal dari struktur intensional yang berakar dalam subjektivitas
ontologis.¹⁵ Dengan kata lain, bahasa tidak muncul dari sistem simbol yang
netral, tetapi dari organisme sadar yang bermaksud menyampaikan makna.
Searle menggunakan contoh tindak tutur (speech
acts) untuk menjelaskan hal ini: ketika seseorang mengucapkan, “Saya
berjanji akan datang,” tindakan linguistik itu hanya bermakna karena di
dalamnya terkandung niat (intention) yang berasal dari kesadaran
subjektif pembicara.¹⁶ Tanpa niat atau pengalaman sadar, pernyataan itu
hanyalah rangkaian bunyi tanpa makna performatif.¹⁷ Oleh karena itu, setiap
makna linguistik memiliki akar ontologis dalam subjektivitas kesadaran.
3.3.
Distingsi antara Subjektivitas
Ontologis dan Epistemologis
Salah satu kontribusi konseptual Searle yang
penting adalah pembedaan antara subjektivitas ontologis dan subjektivitas
epistemologis. Subjektivitas epistemologis berkaitan dengan cara kita
mengetahui sesuatu—yakni perspektif pribadi yang dapat salah atau bias.¹⁸
Sebaliknya, subjektivitas ontologis tidak berkaitan dengan pengetahuan, tetapi
dengan modus keberadaan. Suatu fenomena bisa bersifat ontologis
subjektif (misalnya rasa sakit) tetapi dapat dijelaskan secara epistemologis
objektif (misalnya melalui neurosains).¹⁹
Distingsi ini penting untuk memahami bahwa
pengakuan atas kesadaran subjektif tidak berarti menolak sains. Justru, Searle
menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan dapat menjelaskan kesadaran tanpa
meniadakan fenomenalitasnya, selama ia menyadari perbedaan antara deskripsi
ilmiah objektif dan realitas pengalaman subjektif.²⁰ Dengan cara ini, Searle
menolak baik materialisme eliminatif yang menyangkal kesadaran, maupun dualisme
Cartesian yang memisahkan secara mutlak antara pikiran dan tubuh.²¹ Ia
menawarkan pandangan yang lebih integratif: kesadaran adalah realitas mental
yang muncul dari dunia fisik, tetapi tidak dapat direduksi ke dalamnya.²²
3.4.
Kesadaran sebagai Realitas Ontologis
yang Emergen
Searle menggambarkan kesadaran sebagai fenomena emergen—muncul
dari proses otak, tetapi memiliki sifat-sifat yang tidak dimiliki oleh unsur
penyusunnya.²³ Kesadaran, dalam hal ini, serupa dengan sifat “basah”
air: hasil dari interaksi molekul H₂O, tetapi tidak identik dengan molekul itu
sendiri.²⁴ Fenomena ini menunjukkan bahwa subjektivitas ontologis bukanlah
entitas yang berdiri sendiri di luar dunia fisik, melainkan lapisan realitas
yang muncul dari kompleksitas biologis.²⁵
Namun, tidak seperti “basah,” kesadaran
memiliki dimensi fenomenal yang tidak dapat dijelaskan melalui deskripsi
eksternal.²⁶ Hal inilah yang menjadikannya unik dalam ontologi: ia adalah
satu-satunya fenomena yang “ada sebagai sesuatu yang dialami.”²⁷ Maka
dari itu, bagi Searle, kesadaran adalah fondasi ontologis bagi semua bentuk
makna, intensionalitas, dan kehidupan mental.²⁸
Dengan mengakui status ontologis subjektif dari
kesadaran, Searle berusaha mengembalikan legitimasi eksistensial pengalaman
manusia dalam lanskap filsafat yang telah lama dikuasai oleh objektivisme
ilmiah.²⁹ Ia tidak berusaha menggantikan sains dengan introspeksi, tetapi
menegaskan bahwa setiap teori ilmiah tentang pikiran harus dimulai dari
pengakuan terhadap fakta bahwa kita memang mengalami dunia secara sadar.³⁰
Footnotes
[1]
John R. Searle, The Rediscovery of the Mind
(Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 93.
[2]
Ibid., 94–95.
[3]
John R. Searle, Intentionality: An Essay in the
Philosophy of Mind (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 1–2.
[4]
Ibid., 3.
[5]
Searle, The Rediscovery of the Mind, 97.
[6]
Ibid., 99.
[7]
Ibid., 101.
[8]
John R. Searle, Minds, Brains and Science
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1984), 18.
[9]
Ibid., 20–21.
[10]
Searle, The Rediscovery of the Mind, 103.
[11]
Searle, Intentionality, 6.
[12]
Ibid., 7–9.
[13]
Ibid., 11.
[14]
Ibid., 13–15.
[15]
John R. Searle, Speech Acts: An Essay in the
Philosophy of Language (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 16.
[16]
Ibid., 31–33.
[17]
J.L. Austin, How to Do Things with Words,
ed. J. O. Urmson and Marina Sbisà (Oxford: Oxford University Press, 1975), 9.
[18]
Searle, The Rediscovery of the Mind, 100.
[19]
Ibid., 102.
[20]
Ibid., 105–106.
[21]
René Descartes, Meditations on First Philosophy,
trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 25.
[22]
Searle, Minds, Brains and Science, 23–25.
[23]
Searle, The Rediscovery of the Mind,
108–110.
[24]
Ibid., 111.
[25]
Ibid., 112–113.
[26]
Thomas Nagel, “What Is It Like to Be a Bat?,” The
Philosophical Review 83, no. 4 (1974): 436–439.
[27]
Searle, The Rediscovery of the Mind, 115.
[28]
Ibid., 118.
[29]
Ibid., 120.
[30]
Searle, Minds, Brains and Science, 27.
4.
Epistemologi
dan Intensionalitas
Konsep intensionalitas dalam pemikiran John
Searle merupakan jantung dari filsafat pikiran dan bahasa yang ia bangun. Dalam
karya Intentionality: An Essay in the Philosophy of Mind (1983), Searle
mengembangkan teori bahwa seluruh keadaan mental memiliki sifat intensional,
yakni bermaksud atau mengarah kepada sesuatu di dunia (aboutness).¹
Intensionalitas inilah yang menghubungkan antara subjektivitas kesadaran
dan objektivitas dunia eksternal, menjadikannya jembatan epistemologis
antara “pikiran” dan “realitas.”
Epistemologi Searle bertumpu pada asumsi bahwa
pengetahuan dan makna selalu berakar dalam kesadaran yang berintensi,
bukan dalam simbol atau struktur linguistik semata.² Dengan demikian,
intensionalitas berperan sebagai fondasi epistemologis bagi pemahaman kita
tentang makna, tindakan, dan kebenaran.
4.1.
Hakikat Epistemologis
Intensionalitas
Searle mengadopsi dan mengadaptasi istilah intentionality
dari Franz Brentano, yang menyebutnya sebagai “the mark of the mental.”³
Namun, Searle menolak pemaknaan metafisik Brentano yang cenderung menganggap
intensionalitas sebagai entitas misterius yang terpisah dari dunia fisik. Ia
menegaskan bahwa intensionalitas adalah properti biologis dari organisme
sadar, yakni kemampuan otak manusia untuk merepresentasikan dan berhubungan
dengan dunia.⁴
Bagi Searle, setiap bentuk kesadaran selalu
memiliki content (isi intensional) dan direction of fit (arah
kesesuaian antara pikiran dan dunia).⁵ Misalnya, keyakinan (belief) memiliki
arah kesesuaian dari pikiran menuju dunia (mind-to-world), karena
kebenaran keyakinan bergantung pada apakah dunia sesuai dengan isi pikiran
tersebut. Sebaliknya, keinginan (desire) memiliki arah kesesuaian dari dunia
menuju pikiran (world-to-mind), sebab keinginan dianggap terpenuhi bila
dunia menyesuaikan diri dengan isi pikiran.⁶
Dari perbedaan ini, Searle menyusun dasar
epistemologi yang menolak pandangan representasional murni. Baginya, hubungan
antara kesadaran dan dunia bukanlah relasi pasif atau simbolik, melainkan relasi
dinamis yang membentuk makna melalui pengalaman sadar.⁷ Kesadaran tidak
sekadar memantulkan realitas, tetapi juga berpartisipasi dalam membentuknya
secara fenomenologis dan linguistik.⁸
4.2.
Intensionalitas dan Struktur
Pengetahuan
Dalam kerangka epistemologinya, Searle menolak
dikotomi klasik antara subjek dan objek yang diwarisi dari Descartes.⁹ Ia
berargumen bahwa pengetahuan tidak pernah netral, karena selalu
diproduksi melalui intensionalitas kesadaran yang terarah kepada dunia.¹⁰ Hal
ini berarti bahwa mengetahui sesuatu bukan sekadar “menerima informasi,”
tetapi melibatkan proses aktif di mana kesadaran menstrukturkan pengalaman
menjadi makna.
Searle menggambarkan struktur pengetahuan sebagai
jaringan dari keadaan intensional: persepsi memberikan dasar empiris, keyakinan
mengorganisasi fakta-fakta, dan bahasa mengekspresikan struktur tersebut secara
publik.¹¹ Dengan demikian, epistemologi tidak dapat dilepaskan dari ontologi
subjektif kesadaran—karena setiap bentuk pengetahuan berakar pada pengalaman
yang dialami oleh subjek sadar.¹²
Searle menolak gagasan bahwa bahasa atau simbol
dapat “menghasilkan” makna secara otonom. Bahasa hanyalah sistem
eksternal yang memperoleh makna sejauh ia berakar pada intensionalitas
pembicara dan pendengar.¹³ Tanpa kesadaran yang bermaksud, simbol hanyalah
tanda kosong.¹⁴ Dengan demikian, epistemologi Searle bersifat fenomenologis-naturalistik,
yakni menempatkan kesadaran sebagai sumber makna epistemik, tetapi tanpa
meninggalkan dasar biologis dan empirisnya.
4.3.
Bahasa sebagai Ekspresi
Epistemologis dari Intensionalitas
Salah satu kontribusi utama Searle adalah
penjelasan tentang bagaimana intensionalitas kesadaran dimediasi oleh bahasa.
Dalam Speech Acts (1969), ia menunjukkan bahwa setiap tindak tutur
merupakan manifestasi eksternal dari keadaan mental yang berintensi.¹⁵ Ketika
seseorang menyatakan sesuatu, misalnya “Hujan turun,” pernyataan itu
tidak hanya memuat proposisi faktual, tetapi juga mengandung maksud (intention)
untuk menegaskan suatu keadaan dunia.¹⁶
Bahasa, dengan demikian, adalah perpanjangan
epistemologis dari kesadaran: ia memungkinkan subjektivitas menjadi
intersubjektif melalui artikulasi makna.¹⁷ Proses ini bersifat dialektis—dari
intensionalitas internal (kesadaran) menuju bentuk eksternal (ujaran)—dan
kembali lagi melalui interpretasi.¹⁸ Dalam siklus ini, makna linguistik tidak
pernah berdiri di luar pengalaman sadar, tetapi selalu dikondisikan oleh
intensionalitas pembicara dan pengetahuan pendengar.¹⁹
Searle menolak pandangan formalistik seperti yang
dikemukakan oleh Noam Chomsky atau sistem komputasional representasional
seperti yang diajukan Jerry Fodor, yang berusaha menjelaskan bahasa hanya dalam
kerangka simbolik.²⁰ Bagi Searle, model semacam itu mengabaikan aspek
fenomenologis kesadaran yang menjadi sumber epistemik makna linguistik.²¹
Bahasa bukanlah kalkulasi simbol, melainkan tindakan sadar yang memiliki maksud,
nilai, dan arah makna.²²
4.4.
Relasi antara Intensionalitas dan
Kebenaran
Intensionalitas, bagi Searle, juga memiliki dimensi
epistemologis yang berkaitan erat dengan konsep kebenaran (truth). Ia
menolak relativisme epistemologis dan menegaskan bahwa kebenaran adalah
hubungan antara isi intensional dan dunia sebagaimana adanya.²³ Namun,
kebenaran tidak dapat dilepaskan dari struktur kesadaran yang bermaksud, karena
hanya kesadaran yang mampu “mengacu” kepada dunia dalam arti
epistemik.²⁴
Dengan demikian, kebenaran bukan sekadar
korespondensi mekanis antara pernyataan dan fakta, tetapi korespondensi yang
dimediasi oleh pengalaman sadar.²⁵ Misalnya, ketika seseorang mengatakan “air
mendidih pada 100°C,” pernyataan itu benar sejauh isi intensionalnya sesuai
dengan fakta empiris yang dapat diverifikasi secara intersubjektif.²⁶ Tetapi
tanpa kesadaran yang memiliki niat mengetahui, pernyataan itu kehilangan makna
epistemiknya.
Searle menyebut posisi ini sebagai realisme
internal yang naturalistik: dunia memang ada secara objektif, tetapi
pengetahuan tentangnya selalu diperantarai oleh struktur intensional
kesadaran.²⁷ Dengan demikian, epistemologi tidak meniadakan subjektivitas,
melainkan menempatkannya sebagai dasar niscaya dari pengetahuan manusia.²⁸
4.5.
Integrasi Epistemologi dan Ontologi
dalam Filsafat Pikiran
Kekuatan pemikiran Searle terletak pada
kemampuannya mengintegrasikan ontologi kesadaran dengan epistemologi
pengetahuan dalam satu sistem yang koheren. Kesadaran, dalam pandangannya,
bersifat ontologis subjektif, tetapi epistemologinya bersifat objektif dan
dapat dianalisis secara ilmiah.²⁹ Intensionalitas menjadi prinsip penghubung
antara dua ranah ini, karena ia menjelaskan bagaimana dunia dapat hadir bagi
subjek tanpa meniadakan keberadaan objektif dunia itu sendiri.³⁰
Searle menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan tentang
kesadaran bukanlah kontradiksi, melainkan kelanjutan dari pemahaman kita
tentang bagaimana organisme sadar mengenali dan merepresentasikan realitas.³¹
Melalui intensionalitas, subjek sadar tidak hanya mengetahui dunia, tetapi juga
menafsirkan, memaknai, dan menstrukturkannya melalui bahasa dan
tindakan.³²
Dengan demikian, epistemologi Searle menegaskan
bahwa segala pengetahuan dan makna bersumber dari kesadaran yang berintensi
terhadap dunia. Tanpa pengakuan terhadap struktur ini, filsafat bahasa akan
terjebak dalam formalisme simbolik yang mengabaikan aspek eksistensial manusia
sebagai makhluk sadar dan komunikatif.³³
Footnotes
[1]
John R. Searle, Intentionality: An Essay in the Philosophy
of Mind (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 1.
[2]
Ibid., 3–4.
[3]
Franz Brentano, Psychology from an Empirical
Standpoint, trans. Antos C. Rancurello, D. B. Terrell, and Linda L.
McAlister (London: Routledge, 1995), 88.
[4]
Searle, Intentionality, 6–7.
[5]
Ibid., 8.
[6]
Ibid., 9–10.
[7]
John R. Searle, The Rediscovery of the Mind
(Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 97.
[8]
Ibid., 100.
[9]
René Descartes, Meditations on First Philosophy,
trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 20.
[10]
Searle, Minds, Brains and Science
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1984), 23.
[11]
Searle, Intentionality, 15–18.
[12]
Ibid., 19–21.
[13]
John R. Searle, Speech Acts: An Essay in the
Philosophy of Language (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 16.
[14]
Ibid., 19.
[15]
Ibid., 31.
[16]
J.L. Austin, How to Do Things with Words,
ed. J. O. Urmson and Marina Sbisà (Oxford: Oxford University Press, 1975), 6.
[17]
Searle, Intentionality, 27–28.
[18]
Ibid., 29.
[19]
Ibid., 30.
[20]
Jerry Fodor, The Language of Thought
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1975), 54–56.
[21]
Searle, The Rediscovery of the Mind,
105–106.
[22]
Ibid., 109.
[23]
Ibid., 111.
[24]
Ibid., 113.
[25]
Alfred Tarski, “The Semantic Conception of Truth,” Philosophy
and Phenomenological Research 4, no. 3 (1944): 341–376.
[26]
Searle, Intentionality, 33–34.
[27]
Ibid., 35.
[28]
Searle, Minds, Brains and Science, 27.
[29]
Searle, The Rediscovery of the Mind, 115.
[30]
Ibid., 118.
[31]
Ibid., 120.
[32]
Searle, Intentionality, 37.
[33]
Hubert L. Dreyfus, What Computers Still Can’t
Do: A Critique of Artificial Reason (Cambridge, MA: MIT Press, 1992),
221–222.
5.
Aksiologi:
Nilai dan Fungsi Bahasa dalam Subjektivitas
Dalam kerangka filsafat John Searle, bahasa
tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai perwujudan
nilai-nilai eksistensial kesadaran manusia. Bahasa, bagi Searle, merupakan
eksternalisasi dari struktur intensional kesadaran yang secara ontologis
subjektif.¹ Artinya, setiap tindak berbahasa mengandung dimensi nilai karena ia
menyingkap orientasi subjek terhadap dunia, kepada orang lain, dan terhadap
kebenaran. Dengan demikian, pembahasan aksiologis dalam filsafat bahasa Searle
berfokus pada bagaimana bahasa memediasi nilai-nilai kognitif, etis, dan
sosial yang berasal dari kesadaran subjektif manusia.
5.1.
Bahasa sebagai Medium Ekspresi Nilai
Kesadaran
Searle menegaskan bahwa setiap ujaran (utterance)
merupakan ekspresi dari suatu keadaan mental yang berintensi.² Dalam tindak
tutur, kesadaran tidak hanya menyatakan proposisi faktual, tetapi juga mengekspresikan
makna fenomenologis dari pengalaman subjek.³ Misalnya, ketika seseorang
mengucapkan, “Aku menyesal,” pernyataan tersebut tidak hanya memiliki
isi linguistik, tetapi juga mengandung nilai emosional dan moral yang berasal
dari kesadaran subjektif. Bahasa, dalam hal ini, menjadi wahana bagi manusia
untuk mengartikulasikan nilai-nilai batin—seperti kejujuran, empati, dan
tanggung jawab.⁴
Bagi Searle, dimensi ini menunjukkan bahwa bahasa
memiliki nilai ontologis dan aksiologis ganda: di satu sisi, ia adalah
struktur sosial yang memungkinkan interaksi publik; di sisi lain, ia adalah
bentuk ekspresi subjektif dari pengalaman sadar individu.⁵ Melalui bahasa,
subjek tidak hanya berkomunikasi, tetapi juga menghadirkan dirinya secara
etis di hadapan yang lain, sebagaimana dijelaskan oleh Emmanuel Levinas
bahwa hubungan etis dimulai ketika “yang lain berbicara.”⁶ Dengan
demikian, tindak berbahasa tidak netral secara moral; ia adalah tindakan yang
mengandung komitmen terhadap kejujuran dan makna.⁷
Bahasa dalam pandangan Searle juga menjadi sarana
di mana keautentikan pengalaman subjektif diuji dan diwujudkan.⁸ Melalui
komunikasi yang jujur dan koheren, kesadaran membagikan intensionalitasnya
kepada dunia sosial tanpa kehilangan kedalaman makna fenomenalnya.⁹ Proses ini
menegaskan peran bahasa sebagai ruang pertemuan antara subjektivitas dan
intersubjektivitas, tempat nilai-nilai humanistik—seperti pengakuan,
solidaritas, dan tanggung jawab—dapat muncul.¹⁰
5.2.
Nilai Intersubjektif dan Tanggung
Jawab Linguistik
Searle menekankan bahwa setiap tindak tutur
melibatkan komitmen sosial yang tersirat dalam makna linguistik.¹¹
Ketika seseorang menyatakan sesuatu, ia tidak hanya mengomunikasikan isi
proposisional, tetapi juga menyatakan niat yang dapat dimintai
pertanggungjawaban secara publik.¹² Contohnya, dalam tindak tutur “menjanjikan”
(promising), pembicara tidak sekadar menyampaikan informasi, tetapi juga
mengikat dirinya pada suatu tindakan di masa depan.¹³
Fungsi aksiologis ini menunjukkan bahwa bahasa
memiliki nilai normatif, yakni ia menciptakan struktur kewajiban dan
tanggung jawab di antara subjek yang berkomunikasi.¹⁴ Searle menyebut bahwa
struktur semacam ini hanya mungkin terjadi karena manusia memiliki kemampuan
untuk berintensi secara kolektif (collective intentionality), yaitu kesadaran
bersama yang memungkinkan tindakan sosial yang bermakna.¹⁵ Dalam kerangka ini,
bahasa berperan sebagai medium bagi pembentukan nilai-nilai sosial seperti
kepercayaan (trust), komitmen (commitment), dan kejujuran (sincerity).¹⁶
Aksiologi bahasa dalam pemikiran Searle
memperlihatkan bahwa makna linguistik tidak bebas nilai. Ia selalu
memuat tuntutan akan kebenaran dan kesesuaian antara maksud dan ucapan.¹⁷
Ketika seseorang berbicara, ada implikasi etis bahwa ia harus mengatakan
sesuatu yang ia yakini benar.¹⁸ Oleh karena itu, bahasa menjadi medan moral
tempat kejujuran dan integritas diuji. Dalam konteks ini, Searle sejalan dengan
prinsip discourse ethics Jürgen Habermas, bahwa keabsahan komunikasi
tergantung pada keterbukaan, rasionalitas, dan kejujuran para partisipan.¹⁹
5.3.
Fungsi Bahasa dalam Pembentukan
Realitas Sosial
Searle mengembangkan gagasan aksiologis lebih
lanjut dalam karyanya The Construction of Social Reality (1995), di mana
ia menjelaskan bahwa bahasa memiliki daya performatif ontologis: ia
tidak hanya menggambarkan dunia, tetapi juga menciptakan fakta sosial
melalui tindakan linguistik.²⁰ Ketika seseorang mengatakan, “Saya menikahkan
kalian berdua,” pernyataan tersebut tidak sekadar mendeskripsikan keadaan,
tetapi mewujudkan realitas baru melalui kekuatan institusional bahasa.²¹
Dalam konteks ini, bahasa memiliki nilai aksiologis
karena ia membentuk tatanan sosial yang diakui bersama.²² Tindakan linguistik
menciptakan norma, peran, dan institusi yang memberi makna bagi kehidupan
kolektif manusia.²³ Bahasa menjadi instrumen yang memungkinkan lahirnya realitas
normatif—dunia “seharusnya” yang tidak hanya dihasilkan oleh fakta
empiris, tetapi oleh makna dan nilai yang disepakati.²⁴
Searle menganggap bahwa kekuatan konstitutif bahasa
bersumber dari intentionality kolektif dan status functions
(fungsi status), di mana objek atau tindakan memperoleh makna sosial melalui
pengakuan bersama.²⁵ Misalnya, selembar kertas menjadi “uang” bukan
karena sifat fisiknya, tetapi karena kesadaran kolektif mengakui nilainya.²⁶
Dengan demikian, bahasa memediasi antara pengalaman subjektif dan struktur
sosial melalui penetapan makna yang memiliki kekuatan moral dan simbolik.²⁷
5.4.
Bahasa sebagai Ruang Etis dan
Humanistik
Bahasa, bagi Searle, bukan hanya alat berpikir,
tetapi juga ruang etis tempat manusia menegosiasikan makna dan membangun
relasi yang bermartabat.²⁸ Melalui komunikasi, manusia menegaskan martabatnya
sebagai makhluk rasional dan sadar.²⁹ Bahasa membuka ruang bagi pengakuan
terhadap pengalaman subjektif orang lain, menjadikannya fondasi bagi etika
intersubjektif yang menghormati kesadaran setiap individu.³⁰
Dalam hal ini, aksiologi bahasa menegaskan bahwa nilai
kemanusiaan muncul melalui praksis komunikasi yang jujur, terbuka, dan
bertanggung jawab.³¹ Bahasa bukan sekadar sarana teknis, melainkan ekspresi
eksistensial dari kehendak untuk hidup bersama secara bermakna.³² Oleh sebab
itu, kehilangan kedalaman etis dalam bahasa—seperti dalam komunikasi digital
yang dangkal atau manipulatif—merupakan tanda kemerosotan nilai-nilai
humanistik yang menopang makna subjektivitas manusia.³³
Searle sendiri menegaskan bahwa makna sejati dari
kesadaran manusia hanya dapat terwujud dalam komunikasi yang autentik dan
bertanggung jawab.³⁴ Bahasa, dalam pengertian ini, memiliki nilai tertinggi
sebagai sarana pemeliharaan kemanusiaan itu sendiri—yakni ruang tempat
subjektivitas menemukan bentuknya yang paling manusiawi melalui dialog, bukan
dominasi.³⁵
Footnotes
[1]
John R. Searle, The Rediscovery of the Mind
(Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 95–96.
[2]
John R. Searle, Speech Acts: An Essay in the
Philosophy of Language (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 16.
[3]
Ibid., 31–32.
[4]
Ibid., 40.
[5]
Searle, The Rediscovery of the Mind, 100.
[6]
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An
Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne
University Press, 1969), 66.
[7]
Searle, Speech Acts, 42–44.
[8]
John R. Searle, Minds, Brains and Science
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1984), 22.
[9]
Ibid., 25.
[10]
Ibid., 27.
[11]
Searle, Speech Acts, 56–58.
[12]
Ibid., 59.
[13]
Ibid., 60–61.
[14]
John R. Searle, Expression and Meaning: Studies
in the Theory of Speech Acts (Cambridge: Cambridge University Press, 1979),
33–34.
[15]
John R. Searle, The Construction of Social
Reality (New York: Free Press, 1995), 23.
[16]
Ibid., 24–25.
[17]
Searle, Speech Acts, 68.
[18]
Ibid., 70–71.
[19]
Jürgen Habermas, Moral Consciousness and
Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen
(Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 88–90.
[20]
Searle, The Construction of Social Reality,
27–28.
[21]
Ibid., 30.
[22]
Ibid., 32.
[23]
Ibid., 34.
[24]
Ibid., 36–37.
[25]
Ibid., 39–41.
[26]
Ibid., 44–45.
[27]
Ibid., 47.
[28]
Searle, Minds, Brains and Science, 29.
[29]
Searle, The Rediscovery of the Mind, 105.
[30]
Levinas, Totality and Infinity, 215.
[31]
Habermas, Moral Consciousness and Communicative
Action, 91–93.
[32]
Searle, Speech Acts, 77.
[33]
John R. Searle, “Rationality in Action,” Philosophical
Issues 13, no. 1 (2003): 405–406.
[34]
Searle, The Rediscovery of the Mind,
115–116.
[35]
Ibid., 120.
6.
Dimensi
Sosial dan Kultural dari Subjektivitas Ontologis
Konsep subjektivitas ontologis dalam
filsafat John Searle tidak berhenti pada level individual, tetapi meluas ke
ranah sosial dan kultural. Bagi Searle, kesadaran subjektif bukanlah
entitas yang terisolasi dari dunia sosial; ia selalu hadir dalam jaringan
makna, norma, dan institusi yang terbentuk melalui bahasa.¹ Dengan kata lain,
subjektivitas ontologis memiliki implikasi sosial yang mendalam karena ia
menjadi dasar bagi intersubjektivitas, yaitu kemampuan manusia untuk
berbagi makna, niat, dan nilai melalui komunikasi.²
Dalam kerangka ini, bahasa tidak hanya menjadi alat
untuk mengungkapkan intensionalitas pribadi, tetapi juga menjadi struktur
kolektif yang memungkinkan kesadaran individual memasuki dunia sosial.³
Kesadaran tidak lagi dipahami sebagai “pikiran yang tertutup,” tetapi
sebagai fenomena yang terus-menerus dimediasi oleh praktik sosial dan
simbolik.⁴ Oleh sebab itu, dimensi sosial dan kultural dari subjektivitas
ontologis memperlihatkan bagaimana kesadaran individual menjadi bagian dari
konstruksi makna bersama dalam dunia kehidupan manusia.
6.1.
Intersubjektivitas: Dari
Subjektivitas ke Kesadaran Bersama
Searle menegaskan bahwa meskipun kesadaran bersifat
ontologis subjektif, ia berfungsi secara sosial karena manusia memiliki
kemampuan untuk membentuk intensionalitas kolektif (collective
intentionality).⁵ Intensionalitas kolektif adalah kapasitas biologis dan
sosial untuk berbagi niat atau tujuan dengan orang lain—misalnya, ketika dua orang
bermain musik bersama atau bekerja sama dalam proyek bersama.⁶ Dalam tindakan
semacam ini, kesadaran individu beroperasi dalam bentuk kesadaran bersama yang
memungkinkan terciptanya koordinasi sosial.⁷
Searle memandang fenomena ini sebagai dasar dari kehidupan
sosial. Tanpa kemampuan untuk berbagi intensionalitas, tidak mungkin ada kerja
sama, institusi, atau bahkan bahasa.⁸ Maka, subjektivitas ontologis tidak
meniadakan sosialitas; justru darinyalah lahir struktur sosial yang bermakna.
Bahasa, sebagai sistem simbol publik, menjadi medium intersubjektif
tempat intensionalitas pribadi dan kolektif berinteraksi.⁹
Pandangan ini memiliki akar fenomenologis dalam
pemikiran Edmund Husserl dan Alfred Schutz, yang menyatakan bahwa
intersubjektivitas adalah kondisi dasar bagi pemaknaan dunia.¹⁰ Namun, Searle
mengadaptasinya dalam kerangka naturalistik, yakni bahwa kemampuan untuk
berintensi bersama merupakan fitur biologis dari spesies manusia.¹¹ Ia menolak
pandangan idealistik bahwa kesadaran sosial bersifat transendental, dan
menggantinya dengan pendekatan empiris yang tetap mempertahankan dimensi
fenomenologisnya.¹²
6.2.
Bahasa sebagai Konstruksi Sosial dan
Budaya
Bahasa, dalam perspektif Searle, bukan sekadar alat
komunikasi, tetapi juga mekanisme penciptaan realitas sosial.¹³ Dalam The
Construction of Social Reality (1995), ia menunjukkan bahwa fakta-fakta
sosial terbentuk melalui deklarasi linguistik yang didukung oleh kesepakatan
kolektif.¹⁴ Misalnya, pernyataan “Ini adalah uang seratus ribu rupiah”
hanya bermakna karena masyarakat mengakui simbol tersebut sebagai alat tukar
yang sah.¹⁵
Melalui bahasa, manusia memberi status dan
fungsi pada objek, peran, dan institusi.¹⁶ Searle menyebut fenomena ini
sebagai status functions, yaitu fakta sosial yang eksis hanya sejauh
diakui oleh kesadaran kolektif.¹⁷ Contohnya, konsep “presiden,” “hakim,”
atau “kontrak hukum” tidak memiliki makna ontologis dalam dunia fisik,
tetapi menjadi nyata karena disepakati secara linguistik dalam tatanan
sosial.¹⁸
Bahasa dengan demikian merupakan fondasi budaya,
sebab di dalamnya terkandung nilai-nilai, simbol, dan norma yang diwariskan
dari satu generasi ke generasi berikutnya.¹⁹ Kesadaran subjektif manusia
berkembang dalam horizon budaya yang dibentuk oleh praktik linguistik, sehingga
setiap pengalaman pribadi selalu terjalin dengan sistem makna publik.²⁰
Searle menolak pandangan strukturalis dan
postmodernis yang melihat bahasa semata sebagai permainan tanda yang arbitrer
(seperti dalam pemikiran Jacques Derrida).²¹ Bagi Searle, makna linguistik
selalu mengakar pada intensionalitas subjek sadar dan mengemban fungsi
sosial yang nyata.²² Maka, bahasa adalah titik temu antara ontologi
kesadaran dan struktur budaya: ia mewujudkan realitas sosial
sekaligus mengatur pola interaksi manusia di dalamnya.²³
6.3.
Budaya sebagai Manifestasi Kolektif
dari Subjektivitas
Dari perspektif ontologis Searle, budaya dapat
dipahami sebagai hasil ekspresi kolektif dari kesadaran subjektif manusia.²⁴
Setiap bentuk seni, ritual, hukum, dan moralitas lahir dari proses intensional
yang dimediasi oleh bahasa dan simbol.²⁵ Dalam hal ini, subjektivitas ontologis
tidak meniadakan objektivitas budaya, melainkan menjadi sumber makna di
baliknya.²⁶
Budaya berfungsi sebagai wadah tempat kesadaran
individu menemukan identitasnya.²⁷ Melalui partisipasi dalam praktik simbolik
dan normatif, manusia menegaskan dirinya sebagai makhluk sosial yang berbagi
makna dengan orang lain.²⁸ Dalam kerangka ini, nilai-nilai kultural
seperti kejujuran, kesopanan, atau solidaritas bukanlah konstruksi arbitrer,
melainkan hasil historis dari pengalaman sadar manusia yang dikristalisasikan
dalam bentuk sosial.²⁹
Searle menekankan bahwa budaya juga memiliki dimensi
performatif—ia tidak hanya merepresentasikan dunia, tetapi juga menciptakan
tatanan sosial yang dihayati.³⁰ Ketika masyarakat melakukan upacara,
menyanyikan lagu kebangsaan, atau mengucapkan janji bersama, tindakan tersebut
memperbarui dan memperkuat makna kolektif yang menopang identitas sosial.³¹
Dalam arti ini, subjektivitas ontologis bertransformasi menjadi kesadaran
budaya, yang memungkinkan manusia hidup dalam dunia simbolik yang
bermakna.³²
6.4.
Dimensi Sosial dari Kesadaran di Era
Digital
Relevansi gagasan Searle tentang subjektivitas
ontologis juga tampak jelas dalam konteks budaya digital modern.³³ Dunia
virtual menciptakan bentuk baru dari intersubjektivitas di mana kesadaran
berinteraksi melalui medium digital.³⁴ Namun, Searle mengingatkan bahwa
interaksi semacam ini tetap bergantung pada intensionalitas manusia yang sadar;
komputer atau kecerdasan buatan tidak memiliki kesadaran ontologis karena
mereka tidak mengalami fenomenalitas subjektif.³⁵
Dalam media sosial, misalnya, tindakan “menyukai,”
“berkomentar,” atau “membagikan” bukanlah peristiwa teknis
semata, tetapi ekspresi dari intensionalitas sosial manusia.³⁶ Dengan demikian,
dunia digital masih berakar pada struktur kesadaran manusia yang bermakna.
Namun, terdapat bahaya ketika teknologi menggantikan perjumpaan langsung dan
melemahkan pengalaman intersubjektif yang autentik.³⁷
Searle menekankan perlunya pemahaman etis dan
humanistik terhadap bahasa dan komunikasi digital, agar ruang virtual tetap
menjadi sarana bagi ekspresi kesadaran manusia, bukan penghapusannya.³⁸ Dalam
konteks ini, subjektivitas ontologis bukan hanya fenomena biologis, tetapi juga
tanggung jawab kultural untuk menjaga makna dan nilai kemanusiaan di
tengah perubahan sosial yang cepat.³⁹
6.5.
Subjektivitas, Solidaritas, dan
Identitas Kemanusiaan
Akhirnya, dimensi sosial dan kultural dari
subjektivitas ontologis menegaskan bahwa manusia adalah makhluk yang tidak
dapat dipisahkan dari komunitas makna.⁴⁰ Kesadaran subjektif menemukan
realitasnya hanya dalam relasi dengan kesadaran lain.⁴¹ Dalam pengertian ini,
subjektivitas bukan bentuk egoisme metafisik, melainkan basis solidaritas
dan identitas kemanusiaan.
Bahasa dan budaya berperan sebagai jembatan antara
dunia batin dan dunia sosial, antara keunikan pengalaman individu dan
kesepakatan makna kolektif.⁴² Oleh karena itu, memahami subjektivitas ontologis
dalam konteks sosial berarti mengakui bahwa makna dan nilai kemanusiaan hanya
dapat tumbuh melalui dialog dan partisipasi budaya.⁴³
Sebagaimana ditegaskan Searle, kesadaran adalah
fakta biologis, tetapi makna yang dihasilkannya adalah fenomena sosial.⁴⁴
Maka, tanggung jawab manusia modern adalah menjaga agar subjektivitas ini tidak
hilang di tengah arus komodifikasi dan algoritmisasi budaya digital.
Subjektivitas ontologis bukan hanya dasar bagi berpikir, tetapi juga dasar
bagi hidup bersama secara bermakna.⁴⁵
Footnotes
[1]
John R. Searle, The Rediscovery of the Mind
(Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 93–95.
[2]
Edmund Husserl, The Crisis of European Sciences
and Transcendental Phenomenology, trans. David Carr (Evanston: Northwestern
University Press, 1970), 108.
[3]
John R. Searle, Intentionality: An Essay in the
Philosophy of Mind (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 27–29.
[4]
Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of
Perception, trans. Colin Smith (London: Routledge, 1962), 354.
[5]
John R. Searle, The Construction of Social
Reality (New York: Free Press, 1995), 23.
[6]
Ibid., 24.
[7]
Ibid., 25.
[8]
Ibid., 26–27.
[9]
John R. Searle, Speech Acts: An Essay in the
Philosophy of Language (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 42.
[10]
Alfred Schutz, The Phenomenology of the Social
World, trans. George Walsh and Frederick Lehnert (Evanston: Northwestern
University Press, 1967), 11–13.
[11]
Searle, Minds, Brains and Science
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1984), 22.
[12]
Searle, The Construction of Social Reality,
28–30.
[13]
Ibid., 31.
[14]
Ibid., 33–34.
[15]
Ibid., 36.
[16]
Ibid., 38.
[17]
Ibid., 40.
[18]
Ibid., 42.
[19]
Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures
(New York: Basic Books, 1973), 5–6.
[20]
Ibid., 8–9.
[21]
Jacques Derrida, Of Grammatology, trans.
Gayatri Chakravorty Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976),
11–13.
[22]
Searle, Intentionality, 35–36.
[23]
Searle, The Construction of Social Reality,
43–44.
[24]
Ibid., 45–46.
[25]
Ibid., 48.
[26]
Ibid., 50.
[27]
Ibid., 51–52.
[28]
Searle, Minds, Brains and Science, 28–30.
[29]
Geertz, The Interpretation of Cultures,
12–13.
[30]
Searle, The Construction of Social Reality,
53–54.
[31]
Ibid., 55–56.
[32]
Ibid., 57.
[33]
John R. Searle, “Minds, Brains, and Programs,” Behavioral
and Brain Sciences 3, no. 3 (1980): 417–457.
[34]
Hubert L. Dreyfus, What Computers Still Can’t
Do: A Critique of Artificial Reason (Cambridge, MA: MIT Press, 1992),
217–218.
[35]
Searle, The Rediscovery of the Mind, 107.
[36]
Luciano Floridi, The Ethics of Information
(Oxford: Oxford University Press, 2013), 92.
[37]
Sherry Turkle, Reclaiming Conversation: The
Power of Talk in a Digital Age (New York: Penguin, 2015), 44–45.
[38]
Searle, Minds, Brains and Science, 33.
[39]
Searle, The Rediscovery of the Mind, 115.
[40]
Alfred Schutz, Collected Papers I: The Problem
of Social Reality (The Hague: Martinus Nijhoff, 1962), 56–57.
[41]
Husserl, The Crisis of European Sciences,
111.
[42]
Searle, The Construction of Social Reality,
59.
[43]
Geertz, The Interpretation of Cultures, 20.
[44]
Searle, The Rediscovery of the Mind, 118.
[45]
Ibid., 120.
7.
Kritik
terhadap Konsep Subjektivitas Ontologis Searle
Konsep subjektivitas ontologis yang
dikemukakan oleh John Searle telah memberikan kontribusi besar terhadap
filsafat pikiran dan bahasa modern. Namun, gagasan ini juga menuai beragam
kritik dari berbagai aliran filsafat—baik dari kubu fisikalisme reduktif,
eliminativisme, maupun fenomenologi kontemporer dan hermeneutika
eksistensial. Perdebatan yang muncul berfokus pada status ontologis
kesadaran, hubungan antara pikiran dan dunia, serta kelayakan klaim Searle
untuk mempertahankan naturalisme sekaligus fenomenalisme. Dalam konteks ini,
kritik terhadap Searle tidak hanya menyoal aspek metafisik, tetapi juga
epistemologis dan metodologis.
7.1.
Kritik dari Perspektif Fisikalisme
Reduktif
Salah satu kritik paling tajam terhadap Searle
datang dari para filsuf pikiran fisikalis, seperti Daniel Dennett dan
Patricia serta Paul Churchland. Para fisikalis berpendapat bahwa Searle gagal
menguraikan kesadaran secara ilmiah karena mempertahankan “dualisme
terselubung” (crypto-dualism) yang bertentangan dengan materialisme
ilmiah.¹ Dennett, dalam Consciousness Explained (1991), menolak klaim
Searle tentang “subjektivitas ontologis” dengan menyatakan bahwa
fenomena kesadaran dapat dijelaskan sepenuhnya dalam istilah perilaku dan
representasi komputasional.² Menurut Dennett, apa yang disebut “pengalaman
subjektif” hanyalah konstruksi naratif internal tanpa eksistensi ontologis
tersendiri.³
Churchland juga mengkritik Searle karena tetap
mempertahankan terminologi “keadaan mental” yang menurut mereka tidak
memiliki dasar ilmiah yang kuat.⁴ Dalam pandangan eliminativisme, konsep
seperti “keyakinan” atau “perasaan” hanyalah kategori
folk-psychology yang akan digantikan oleh neurosains.⁵ Searle, sebaliknya,
menegaskan bahwa kesadaran tidak bisa dieliminasi karena ia merupakan “fakta
biologis mendasar”—argumen yang dianggap fisikalis sebagai bentuk intuisionisme
fenomenologis yang tidak falsifiable secara empiris.⁶
Selain itu, para fisikalis menilai bahwa teori “biological
naturalism” Searle inkonsisten: di satu sisi ia menyatakan bahwa kesadaran
sepenuhnya bersifat biologis, tetapi di sisi lain ia menolak reduksi fisik.⁷
Kritik ini menunjukkan dilema ontologis Searle—antara mempertahankan realisme
biologis dan mengakui irreduksibilitas fenomenalitas pengalaman.⁸
7.2.
Kritik dari Filsafat Pikiran
Komputasional
Dalam ranah filsafat pikiran, Searle terkenal
karena argumen “Chinese Room” yang ia ajukan untuk menolak pandangan
kecerdasan buatan kuat (strong AI).⁹ Ia menegaskan bahwa pemrosesan
simbol tidak sama dengan pemahaman karena komputer tidak memiliki kesadaran
atau intensionalitas sejati.¹⁰ Namun, argumen ini juga menjadi sasaran kritik
luas dari para kognitivis dan ahli AI, seperti Douglas Hofstadter dan John
Haugeland, yang menilai bahwa Searle gagal memahami kompleksitas sistem komputasional.¹¹
Menurut Hofstadter, Searle salah mengasumsikan
bahwa kesadaran harus bersifat fenomenal seperti manusia untuk bisa memahami
makna.¹² Padahal, makna bisa muncul secara sistemik dalam jaringan simbol yang
kompleks tanpa memerlukan kesadaran subjektif.¹³ Kritik ini menyentuh inti
persoalan epistemologis: apakah makna membutuhkan pengalaman fenomenal, atau
cukup dijelaskan melalui relasi simbolik dan inferensial? Searle menjawab bahwa
tanpa kesadaran, tidak ada makna sejati, tetapi posisi ini dianggap terlalu antropo-sentris
dan menutup kemungkinan bagi bentuk kesadaran non-manusia.¹⁴
Dalam konteks ini, sebagian peneliti menilai bahwa
subjektivitas ontologis Searle cenderung anti-komputasional, karena ia
menganggap bahwa kesadaran tidak dapat dihasilkan oleh sistem fisik
non-biologis.¹⁵ Kritik ini menyoroti keterbatasan pandangan Searle dalam
menghadapi perkembangan epistemologi digital dan teori kognisi buatan.¹⁶
7.3.
Kritik dari Fenomenologi dan
Hermeneutika Eksistensial
Dari sisi kontinental, para fenomenolog dan
hermeneut menilai bahwa konsepsi Searle tentang subjektivitas terlalu sempit
karena masih terikat pada paradigma representasionalisme dan naturalistik-biologis.¹⁷
Maurice Merleau-Ponty, misalnya, menekankan bahwa kesadaran tidak dapat direduksi
menjadi representasi internal dari dunia, karena ia selalu “tertanam”
dalam tubuh dan dunia melalui keterlibatan praktis.¹⁸ Dalam Phenomenology of
Perception (1945), Merleau-Ponty menegaskan bahwa subjek bukan penonton
dunia, tetapi bagian dari dunia itu sendiri (being-in-the-world).¹⁹
Searle, dengan konsep kesadarannya yang biologis
namun tetap representasional, dianggap masih mempertahankan dualitas antara
pikiran dan dunia.²⁰ Ia mengakui keterkaitan intensional antara keduanya,
tetapi tetap menempatkan kesadaran sebagai “peta dalam otak,” bukan
sebagai cara berada di dunia sebagaimana ditegaskan Heidegger dan
Merleau-Ponty.²¹
Paul Ricoeur menambahkan kritik hermeneutik dengan
menyatakan bahwa kesadaran selalu dimediasi oleh simbol, narasi, dan bahasa.²²
Oleh karena itu, “subjektivitas ontologis” tidak mungkin sepenuhnya
langsung dan transparan kepada dirinya sendiri seperti yang diasumsikan
Searle.²³ Kesadaran manusia selalu terbentuk dalam horizon historis dan
kultural yang memperantarai pengalaman.²⁴ Dengan demikian, pemikiran Searle
dianggap masih mengabaikan dimensi interpretatif dan historis dari
kesadaran.²⁵
7.4.
Kritik dari Perspektif Postmodern
dan Linguistik
Dari sisi poststrukturalisme, tokoh seperti Jacques
Derrida menentang gagasan Searle mengenai kesadaran dan intensionalitas sebagai
dasar makna.²⁶ Dalam perdebatan terkenal mereka, Derrida menolak pandangan
Searle tentang tindak tutur sebagai ekspresi langsung dari maksud pembicara,
dengan menegaskan bahwa bahasa selalu mengandung penundaan makna
(différance).²⁷ Makna tidak pernah hadir secara penuh dalam intensi subjek,
melainkan bergeser dalam jaringan tanda yang tak terhingga.²⁸
Derrida menilai bahwa Searle gagal memahami sifat
radikal dari bahasa—yakni bahwa setiap ujaran dapat dipisahkan dari konteks
intensional aslinya dan tetap bermakna.²⁹ Kritik ini menyoroti perbedaan
mendasar antara pandangan fenomenologis-intensional Searle dan dekonstruktif-linguistik
Derrida: bagi yang pertama, makna berakar pada kesadaran; bagi yang kedua,
makna selalu tertunda dalam teks.³⁰
Selain Derrida, tokoh-tokoh linguistik pragmatik
seperti H. P. Grice juga mempertanyakan klaim Searle bahwa makna ujaran dapat
direduksi pada niat pembicara.³¹ Grice berpendapat bahwa makna bergantung pada
inferensi sosial dan konteks pragmatik, bukan hanya pada intensionalitas
individu.³² Dengan demikian, konsep subjektivitas ontologis dinilai kurang
memadai untuk menjelaskan kompleksitas komunikasi sosial dan interpretasi makna.³³
Evaluasi
dan Implikasi Kritis
Kritik-kritik di atas memperlihatkan bahwa posisi
Searle berdiri di antara dua kutub: ia menolak reduksionisme materialistik,
tetapi juga menghindari idealisme transendental.³⁴ Dalam hal ini, kekuatan
sekaligus kelemahan teorinya terletak pada upaya untuk mempertahankan
kesadaran sebagai realitas biologis yang irreduktibel.³⁵
Searle berhasil mengembalikan legitimasi filosofis
terhadap pengalaman subjektif di tengah dominasi paradigma objektivistik sains
modern. Namun, sebagaimana dicatat oleh Dreyfus, upayanya untuk mempertahankan
naturalisme tanpa reduksionisme menciptakan ketegangan metodologis: ia
mengakui kesadaran sebagai fakta ilmiah, tetapi pada saat yang sama menyatakan
bahwa fakta tersebut tidak dapat dijelaskan dalam istilah ilmiah.³⁶
Kritik ini tidak meniadakan pentingnya proyek
Searle, tetapi menyoroti bahwa konsepsi “subjektivitas ontologis”
memerlukan pembaruan konseptual agar lebih terbuka terhadap dimensi relasional,
historis, dan kultural dari kesadaran manusia.³⁷ Sebuah sintesis antara
fenomenologi, hermeneutika, dan naturalisme mungkin menjadi jalan untuk
memperkaya serta menyeimbangkan pemahaman tentang kesadaran yang diusulkan
Searle.³⁸
Footnotes
[1]
Daniel C. Dennett, Consciousness Explained
(Boston: Little, Brown, 1991), 37–38.
[2]
Ibid., 44.
[3]
Ibid., 112–113.
[4]
Paul M. Churchland, Matter and Consciousness
(Cambridge, MA: MIT Press, 1988), 19.
[5]
Patricia S. Churchland, Neurophilosophy: Toward
a Unified Science of the Mind-Brain (Cambridge, MA: MIT Press, 1986),
321–322.
[6]
John R. Searle, The Rediscovery of the Mind
(Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 100–102.
[7]
Dennett, Consciousness Explained, 117.
[8]
Hubert L. Dreyfus, What Computers Still Can’t
Do: A Critique of Artificial Reason (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 210.
[9]
John R. Searle, “Minds, Brains, and Programs,” Behavioral
and Brain Sciences 3, no. 3 (1980): 417–457.
[10]
Ibid., 420.
[11]
Douglas Hofstadter and Daniel C. Dennett, eds., The
Mind’s I: Fantasies and Reflections on Self and Soul (New York: Basic
Books, 1981), 12–13.
[12]
Ibid., 18–19.
[13]
Ibid., 22–23.
[14]
Searle, The Rediscovery of the Mind, 115.
[15]
Jerry Fodor, The Language of Thought
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1975), 54.
[16]
Margaret Boden, Artificial Intelligence: A Very
Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2018), 63–65.
[17]
Shaun Gallagher and Dan Zahavi, The
Phenomenological Mind (London: Routledge, 2008), 57–58.
[18]
Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of
Perception, trans. Colin Smith (London: Routledge, 1962), 77–79.
[19]
Ibid., 83.
[20]
Searle, Intentionality: An Essay in the
Philosophy of Mind (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 6.
[21]
Martin Heidegger, Being and Time, trans.
John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 94–95.
[22]
Paul Ricoeur, Time and Narrative, vol. 1,
trans. Kathleen McLaughlin and David Pellauer (Chicago: University of Chicago
Press, 1984), 53.
[23]
Ibid., 56–57.
[24]
Ibid., 60.
[25]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans.
Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 295.
[26]
Jacques Derrida, Limited Inc, trans. Samuel
Weber and Jeffrey Mehlman (Evanston: Northwestern University Press, 1988),
13–14.
[27]
Ibid., 17–18.
[28]
Ibid., 20.
[29]
Ibid., 25.
[30]
Ibid., 27–29.
[31]
H. P. Grice, Studies in the Way of Words
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 25–27.
[32]
Ibid., 31–32.
[33]
Ibid., 34.
[34]
Searle, The Rediscovery of the Mind, 118.
[35]
Ibid., 120.
[36]
Dreyfus, What Computers Still Can’t Do,
223–224.
[37]
Gallagher and Zahavi, The Phenomenological Mind,
64–66.
[38]
Gadamer, Truth and Method, 302–303.
8.
Relevansi
Kontemporer: Subjektivitas di Era Digital dan Kecerdasan Buatan
Konsep subjektivitas ontologis yang
dikembangkan oleh John Searle memiliki relevansi yang sangat penting dalam
menghadapi tantangan filsafat dan etika di era digital. Dunia kontemporer
ditandai oleh kemunculan teknologi digital yang tidak hanya memperluas
kemampuan kognitif manusia, tetapi juga menimbulkan pertanyaan baru tentang hakikat
kesadaran, makna, dan eksistensi manusia di tengah kemajuan kecerdasan
buatan (artificial intelligence atau AI). Dalam konteks ini, gagasan
Searle mengenai kesadaran sebagai realitas ontologis yang subjektif dan
biologis memberikan fondasi kritis untuk memahami perbedaan antara
kesadaran manusia dan sistem komputasional yang canggih.¹
Searle sendiri merupakan salah satu pemikir yang
paling awal mengkritik pandangan bahwa komputer dapat “memiliki”
kesadaran atau memahami makna sebagaimana manusia. Kritiknya terhadap konsep strong
AI—yang berasumsi bahwa manipulasi simbol cukup untuk menghasilkan
pemahaman—tetap menjadi salah satu argumen filosofis paling relevan dalam
diskursus etika dan teknologi digital masa kini.²
8.1.
Subjektivitas Manusia di Tengah
Dominasi Teknologi
Era digital membawa perubahan mendasar dalam cara
manusia berinteraksi, berpikir, dan mengalami dunia. Dalam ruang virtual,
subjek manusia berhadapan dengan representasi digital dirinya sendiri—profil
media sosial, avatar, atau data biometrik—yang pada satu sisi memperluas
jangkauan eksistensialnya, namun pada sisi lain mengancam autentisitas
pengalaman subjektif.³
Searle menegaskan bahwa kesadaran adalah fakta
biologis yang tak tergantikan oleh sistem buatan.⁴ Artinya, tidak peduli
seberapa canggih sistem algoritmik atau neural network, mereka tidak memiliki “kualitas
fenomenal” atau qualia yang merupakan esensi dari kesadaran
manusia.⁵ Dalam pandangan ini, Searle menolak gagasan transhumanistik yang
menganggap bahwa kesadaran dapat diunggah (uploaded consciousness) ke
dalam mesin digital.⁶ Ia menegaskan bahwa setiap bentuk kesadaran membutuhkan
substrat biologis yang spesifik—yakni otak manusia—yang menghasilkan pengalaman
subjektif melalui proses neurobiologis yang khas.⁷
Pandangan ini memiliki implikasi besar terhadap
wacana identitas dan otonomi manusia di era digital. Ketika algoritma
mampu memprediksi perilaku manusia dengan presisi tinggi, subjektivitas manusia
terancam direduksi menjadi data perilaku.⁸ Searle memperingatkan bahaya reduksi
semacam ini karena meniadakan dimensi fenomenal yang membuat manusia unik:
kemampuan untuk mengalami, menilai, dan memberi makna.⁹
8.2.
Kecerdasan Buatan dan Ilusi
Kesadaran
Perkembangan kecerdasan buatan generatif, seperti large
language models (LLM) dan sistem pembelajaran mendalam, menimbulkan
pertanyaan apakah mesin dapat memiliki kesadaran atau sekadar meniru perilaku
sadar. Searle menjawab pertanyaan ini melalui argumen “Chinese Room”,
yang menjelaskan bahwa sistem komputer hanya memanipulasi simbol tanpa memahami
makna.¹⁰
Dalam eksperimen tersebut, seseorang di dalam ruangan
mengikuti aturan manipulasi simbol bahasa Mandarin tanpa mengetahui artinya.
Dari luar, tampak seolah ia memahami bahasa Mandarin, padahal sebenarnya ia
hanya menjalankan instruksi.¹¹ Analogi ini menunjukkan bahwa pemrosesan
informasi tidak identik dengan pemahaman, dan bahwa kesadaran memerlukan
pengalaman fenomenal yang tak dapat direduksi menjadi kalkulasi algoritmik.¹²
Kritik Searle ini menjadi sangat relevan ketika
teknologi AI saat ini menampilkan perilaku yang seolah-olah “cerdas”
atau “bermakna.” Mesin dapat meniru gaya bicara manusia, mengenali
wajah, bahkan menghasilkan karya seni, tetapi semua itu tetap berada di level simulasi
kesadaran, bukan kesadaran sejati.¹³ Kesadaran digital hanyalah
representasi formal dari proses kognitif manusia tanpa adanya intensionalitas
fenomenal.¹⁴
Dengan demikian, konsep subjektivitas ontologis
menjadi alat konseptual penting untuk membedakan antara “kesadaran otentik”
(authentic consciousness) yang dialami secara langsung oleh manusia, dan “kesadaran
fungsional” (functional consciousness) yang hanya beroperasi melalui sistem
simbolik.¹⁵
8.3.
Krisis Makna dan Kehilangan
Kedalaman Subjektif
Dalam masyarakat digital, manusia hidup dalam arus
informasi yang terus-menerus dan sering kali kehilangan kedalaman refleksi
subjektif. Searle akan melihat fenomena ini sebagai bentuk dekontekstualisasi
kesadaran, di mana pengalaman personal tereduksi menjadi tanda-tanda yang
dapat diukur, diklik, dan dibagikan.¹⁶ Dalam konteks media sosial, tindakan
berbahasa tidak lagi dimotivasi oleh intensionalitas yang mendalam, melainkan
oleh dorongan performatif untuk memperoleh perhatian.¹⁷
Krisis ini menunjukkan pentingnya mengembalikan
nilai subjektivitas ontologis dalam praktik komunikasi digital.
Pengalaman sadar manusia bukan hanya alat produksi informasi, tetapi ruang
batin tempat nilai, emosi, dan makna eksistensial terbentuk.¹⁸ Tanpa pengakuan
terhadap dimensi ini, teknologi berisiko menurunkan bahasa menjadi sekadar
transaksi simbolik tanpa kedalaman etis.¹⁹
Sebagaimana dikemukakan Sherry Turkle, teknologi
digital menciptakan paradoks: semakin terkoneksi manusia secara virtual,
semakin ia merasa terasing secara eksistensial.²⁰ Subjektivitas ontologis
Searle mengingatkan kita bahwa komunikasi sejati hanya dapat terjadi ketika kesadaran
yang hidup berjumpa dengan kesadaran lain melalui intensionalitas yang
autentik.²¹
8.4.
Tantangan Etis dan Humanistik di Era
AI
Pemikiran Searle juga memiliki dimensi etis yang
mendalam dalam konteks kecerdasan buatan. Jika kesadaran adalah realitas
ontologis yang hanya dimiliki oleh organisme biologis, maka upaya untuk “meniru”
kesadaran dalam mesin menimbulkan pertanyaan moral: sejauh mana kita dapat
memperlakukan entitas buatan sebagai makhluk sadar?²²
Searle menolak atribusi status moral kepada sistem
AI karena mereka tidak memiliki kesadaran fenomenal—tidak ada “sesuatu
yang terasa” (what it is like) bagi mereka.²³ Namun, ia juga
menegaskan tanggung jawab manusia untuk menggunakan teknologi secara etis,
karena justru niat dan kesadaran manusia lah yang menentukan arah moral
penggunaan teknologi.²⁴
Dengan demikian, tantangan etis utama bukanlah
menciptakan mesin yang sadar, melainkan mempertahankan kesadaran manusia
agar tetap reflektif, kritis, dan humanistik di tengah dunia yang semakin otomatis
dan terdigitalisasi.²⁵ Perspektif Searle membuka ruang bagi etika digital yang
menekankan perlunya menjaga integritas subjektivitas di tengah efisiensi
teknologis.²⁶
Menuju
Humanisme Digital
Konsep subjektivitas ontologis dalam kerangka
Searle akhirnya mengarah pada visi humanisme digital—pandangan bahwa
teknologi harus melayani kesadaran manusia, bukan menggantikannya.²⁷ Dalam
konteks ini, filsafat Searle membantu kita memahami bahwa makna sejati dari
teknologi bukanlah kemampuan mesin untuk berpikir, tetapi kemampuan manusia
untuk tetap sadar dan bermakna di tengah mesin.²⁸
Dengan menegaskan kembali nilai subjektivitas, kita
dapat membangun paradigma teknologi yang tidak sekadar efisien, tetapi juga
etis, empatik, dan humanistik.²⁹ Kesadaran manusia, dengan segala kedalaman
fenomenalnya, tetap menjadi sumber makna yang tak tergantikan dalam setiap
bentuk interaksi—baik dalam dunia nyata maupun digital.³⁰
Maka, di tengah pergeseran menuju dunia yang
semakin otomatis, pandangan Searle mengingatkan bahwa masa depan yang bermakna
tidak bergantung pada kemampuan mesin untuk meniru kesadaran, tetapi pada kemampuan
manusia untuk mempertahankan subjektivitasnya sebagai inti dari kemanusiaan itu
sendiri.³¹
Footnotes
[1]
John R. Searle, The Rediscovery of the Mind
(Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 93–95.
[2]
John R. Searle, “Minds, Brains, and Programs,” Behavioral
and Brain Sciences 3, no. 3 (1980): 417–457.
[3]
Luciano Floridi, The Philosophy of Information
(Oxford: Oxford University Press, 2011), 115.
[4]
Searle, The Rediscovery of the Mind,
100–102.
[5]
Thomas Nagel, “What Is It Like to Be a Bat?,” The
Philosophical Review 83, no. 4 (1974): 436–439.
[6]
Ray Kurzweil, The Singularity Is Near (New
York: Viking, 2005), 282–283.
[7]
Searle, Minds, Brains and Science
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1984), 18–20.
[8]
Shoshana Zuboff, The Age of Surveillance
Capitalism (New York: PublicAffairs, 2019), 45–46.
[9]
Searle, The Rediscovery of the Mind, 104.
[10]
Searle, “Minds, Brains, and Programs,” 420.
[11]
Ibid., 421–422.
[12]
Ibid., 425.
[13]
Margaret Boden, AI: A Very Short Introduction
(Oxford: Oxford University Press, 2018), 58–60.
[14]
Searle, Intentionality: An Essay in the
Philosophy of Mind (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 5–6.
[15]
Hubert L. Dreyfus, What Computers Still Can’t
Do: A Critique of Artificial Reason (Cambridge, MA: MIT Press, 1992),
217–218.
[16]
Byung-Chul Han, The Transparency Society,
trans. Erik Butler (Stanford: Stanford University Press, 2015), 13–15.
[17]
Han, The Expulsion of the Other, trans.
Wieland Hoban (Cambridge: Polity, 2018), 20.
[18]
John R. Searle, Expression and Meaning: Studies
in the Theory of Speech Acts (Cambridge: Cambridge University Press, 1979),
45–46.
[19]
Jürgen Habermas, Moral Consciousness and
Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen
(Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 88–89.
[20]
Sherry Turkle, Reclaiming Conversation: The
Power of Talk in a Digital Age (New York: Penguin, 2015), 42.
[21]
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An
Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne
University Press, 1969), 68.
[22]
Searle, The Rediscovery of the Mind,
107–108.
[23]
Nagel, “What Is It Like to Be a Bat?,” 439.
[24]
Searle, Minds, Brains and Science, 27–28.
[25]
Luciano Floridi, The Ethics of Information
(Oxford: Oxford University Press, 2013), 92.
[26]
Ibid., 96–98.
[27]
Searle, The Rediscovery of the Mind,
115–116.
[28]
Dreyfus, What Computers Still Can’t Do,
223–224.
[29]
Floridi, The Philosophy of Information, 189.
[30]
Habermas, Moral Consciousness and Communicative
Action, 97–98.
[31]
Searle, The Rediscovery of the Mind, 120.
9.
Sintesis
Filosofis: Menuju Konsepsi Humanistik tentang Subjektivitas
Konsep subjektivitas ontologis yang
dirumuskan oleh John Searle dapat dipahami sebagai upaya untuk memulihkan
posisi kesadaran manusia dalam lanskap filsafat modern yang telah lama
didominasi oleh reduksionisme ilmiah dan formalisme linguistik. Namun, agar
konsep tersebut memiliki daya transformasi etis dan kultural, ia perlu
disintesiskan ke dalam suatu konsepsi humanistik yang menempatkan
kesadaran bukan hanya sebagai fakta biologis, tetapi juga sebagai landasan
nilai, makna, dan tanggung jawab eksistensial manusia.¹ Sintesis ini
menuntut integrasi antara dimensi ontologis, epistemologis, dan aksiologis dari
kesadaran, sehingga subjektivitas tidak lagi dipahami secara terpisah dari
dunia sosial, etis, dan historis tempat manusia berada.
9.1.
Integrasi Ontologis: Subjektivitas
sebagai Eksistensi yang Berbagi Dunia
Searle telah menunjukkan bahwa kesadaran merupakan
realitas ontologis yang bersifat subjektif namun tetap natural.² Akan tetapi,
pendekatan humanistik mengharuskan pandangan yang lebih holistik—bahwa
subjektivitas bukan hanya “fenomena biologis,” tetapi juga eksistensi
yang berpartisipasi dalam dunia bersama orang lain.³ Dengan demikian,
subjektivitas harus dipahami sebagai bentuk keterbukaan terhadap dunia (being-in-the-world),
sebagaimana ditekankan oleh fenomenologi eksistensial.⁴
Dalam perspektif ini, subjektivitas manusia tidak
berdiri sebagai entitas yang terpisah, melainkan sebagai relasi yang hidup
antara diri dan dunia, antara yang pribadi dan yang sosial.⁵ Kesadaran bukan
hanya keadaan batin, tetapi tindakan ontologis yang terus membangun makna
melalui interaksi dan refleksi.⁶ Sintesis ini memperluas pandangan Searle
dengan menambahkan dimensi eksistensial—bahwa subjektivitas adalah kehadiran
aktif manusia di dunia, bukan sekadar fenomena mental yang terjadi di dalam
otak.⁷
Integrasi ini membawa kita pada pemahaman bahwa
realitas ontologis kesadaran selalu bersifat inter-subjektif, di mana
setiap individu menegaskan eksistensinya dalam relasi dengan orang lain.⁸ Maka,
subjektivitas bukan bentuk egoisme metafisik, melainkan ekspresi kehadiran
manusia yang mampu memahami dan direspons oleh dunia sekitarnya.⁹
9.2.
Integrasi Epistemologis:
Intensionalitas dan Pemahaman sebagai Dialog Eksistensial
Searle menegaskan bahwa setiap bentuk kesadaran
bersifat intensional, yaitu selalu mengarah kepada sesuatu.¹⁰ Namun,
dalam sintesis humanistik, intensionalitas tidak hanya dipahami sebagai
hubungan antara pikiran dan objek, tetapi juga sebagai relasi dialogis
antara subjek dan dunia.¹¹ Pemahaman bukanlah representasi pasif terhadap
realitas, melainkan dialog dinamis yang membentuk makna melalui pengalaman
hidup dan komunikasi.¹²
Epistemologi humanistik ini sejalan dengan
pandangan hermeneutis Paul Ricoeur bahwa memahami berarti “menghidupkan
kembali dunia teks” dalam horizon pengalaman diri.¹³ Dengan demikian,
kesadaran tidak hanya mencerminkan dunia, tetapi juga menafsirkan dan
mengubahnya.¹⁴ Pengetahuan tidak terpisah dari nilai, sebab setiap tindakan
mengetahui selalu berakar pada kepedulian eksistensial manusia terhadap apa
yang dihayatinya.¹⁵
Searle telah membuka jalan menuju epistemologi
semacam ini dengan menolak pandangan komputasional bahwa makna dapat direduksi
menjadi manipulasi simbol.¹⁶ Namun, pendekatan humanistik melangkah lebih jauh
dengan menegaskan bahwa pengetahuan sejati menuntut keterlibatan pribadi,
empati, dan tanggung jawab moral terhadap dunia yang diketahui.¹⁷ Dengan
demikian, subjektivitas ontologis menemukan dimensi etisnya dalam kesadaran
reflektif yang dialogis dan bertanggung jawab.¹⁸
9.3.
Integrasi Aksiologis: Bahasa, Nilai,
dan Martabat Kemanusiaan
Salah satu kontribusi penting Searle adalah
pandangannya bahwa bahasa merupakan ekspresi dari struktur kesadaran yang
berintensi.¹⁹ Dalam kerangka humanistik, fungsi bahasa tidak hanya menjembatani
komunikasi, tetapi juga menegaskan martabat manusia sebagai makhluk bermakna
dan bernilai.²⁰
Bahasa menjadi sarana bagi manusia untuk menyatakan
diri secara etis di hadapan yang lain, sebagaimana ditegaskan oleh Emmanuel
Levinas bahwa setiap tindakan berbicara adalah bentuk tanggung jawab terhadap “yang
lain.”²¹ Bahasa bukanlah sistem simbol semata, tetapi medan moral di mana
kebenaran, kejujuran, dan pengakuan saling dipertaruhkan.²²
Dari perspektif ini, subjektivitas ontologis
menemukan makna aksionalnya: ia menjadi dasar bagi etika komunikasi dan solidaritas
manusia.²³ Dengan mengakui bahwa setiap ujaran berakar pada kesadaran yang
bermakna, kita juga mengakui kewajiban etis untuk menjaga keotentikan dan
integritas dalam berkomunikasi.²⁴
Pendekatan ini membawa kita pada visi humanistik
tentang bahasa dan kesadaran, di mana nilai-nilai seperti empati, tanggung
jawab, dan penghormatan terhadap makna subjektif orang lain menjadi pilar utama
kehidupan bersama.²⁵
9.4.
Integrasi Sosial dan Kultural:
Subjektivitas sebagai Dasar Dunia Bersama
Dalam konteks sosial dan kultural, subjektivitas
ontologis berfungsi sebagai dasar bagi konstruksi realitas sosial yang
bermakna.²⁶ Searle telah menunjukkan bahwa fakta-fakta sosial, seperti
uang, hukum, atau institusi, bergantung pada collective intentionality—kesadaran
bersama yang membentuk struktur normatif kehidupan manusia.²⁷ Namun, dalam
sintesis humanistik, kesadaran bersama ini tidak hanya bersifat fungsional,
tetapi juga bernilai moral dan kultural.²⁸
Budaya bukan sekadar hasil konvensi linguistik,
melainkan manifestasi dari pengalaman manusia yang mencari makna dan
kebenaran.²⁹ Setiap sistem simbol dan norma mencerminkan upaya manusia untuk
mewujudkan subjektivitasnya dalam ruang publik.³⁰ Dengan demikian, menjaga
kebudayaan berarti menjaga ruang bagi ekspresi kesadaran manusia agar tetap
hidup, terbuka, dan plural.³¹
Dalam konteks global dan digital saat ini,
pendekatan humanistik terhadap subjektivitas juga menegaskan perlunya kesadaran
reflektif dan empatik dalam menghadapi kemajuan teknologi.³² Teknologi
harus dilihat sebagai alat yang memperluas, bukan menggantikan, dimensi
kesadaran manusia.³³ Dengan demikian, subjektivitas ontologis bukan hanya
konsep filosofis, tetapi juga dasar bagi etika kemanusiaan digital yang
menghormati otonomi dan martabat manusia.³⁴
Menuju
Filsafat Subjektivitas Humanistik
Sintesis filosofis ini membawa kita pada pemahaman
bahwa subjektivitas ontologis adalah jantung dari humanisme baru—sebuah
pandangan yang menolak baik dehumanisasi teknologi maupun relativisme
nihilistik.³⁵ Kesadaran manusia bukan sekadar epifenomena otak, melainkan
sumber makna yang memampukan dialog, kreativitas, dan kebebasan.³⁶
Dengan mengintegrasikan pandangan Searle ke dalam
horizon humanistik, kita memperoleh konsepsi bahwa manusia adalah makhluk yang mengalami,
memahami, dan memberi makna kepada dunia secara sadar.³⁷ Kesadaran tidak
lagi dipandang hanya sebagai data biologis atau sistem simbolik, tetapi sebagai
keberadaan yang bernilai dan berorientasi etis.³⁸
Melalui pemahaman ini, filsafat subjektivitas tidak
hanya menjelaskan “apa itu kesadaran,” tetapi juga mengapa kesadaran
penting bagi martabat dan masa depan manusia.³⁹ Subjektivitas ontologis
Searle, bila dikembangkan secara humanistik, menjadi landasan bagi etika,
kebudayaan, dan teknologi yang lebih manusiawi—yakni dunia di mana kesadaran
bukan sekadar fakta, melainkan panggilan untuk hidup secara bermakna.⁴⁰
Footnotes
[1]
John R. Searle, The Rediscovery of the Mind
(Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 93–95.
[2]
Ibid., 97.
[3]
John R. Searle, Minds, Brains and Science
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1984), 20–21.
[4]
Martin Heidegger, Being and Time, trans.
John Macquarrie and Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 78–80.
[5]
Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of
Perception, trans. Colin Smith (London: Routledge, 1962), 354.
[6]
Ibid., 356–357.
[7]
Searle, Intentionality: An Essay in the
Philosophy of Mind (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 3–4.
[8]
Edmund Husserl, The Crisis of European Sciences
and Transcendental Phenomenology, trans. David Carr (Evanston: Northwestern
University Press, 1970), 108.
[9]
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An
Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne
University Press, 1969), 66.
[10]
Searle, Intentionality, 7–8.
[11]
Ibid., 11.
[12]
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, trans.
Joel Weinsheimer and Donald G. Marshall (London: Continuum, 2004), 295.
[13]
Paul Ricoeur, Time and Narrative, vol. 1,
trans. Kathleen McLaughlin and David Pellauer (Chicago: University of Chicago
Press, 1984), 74.
[14]
Ibid., 76.
[15]
Ricoeur, Time and Narrative, 80.
[16]
Searle, The Rediscovery of the Mind, 99.
[17]
Hubert L. Dreyfus, What Computers Still Can’t
Do: A Critique of Artificial Reason (Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 215.
[18]
Jürgen Habermas, Moral Consciousness and
Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen
(Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 91–93.
[19]
Searle, Speech Acts: An Essay in the Philosophy
of Language (Cambridge: Cambridge University Press, 1969), 16.
[20]
Searle, Expression and Meaning: Studies in the
Theory of Speech Acts (Cambridge: Cambridge University Press, 1979), 33–34.
[21]
Levinas, Totality and Infinity, 198.
[22]
Gadamer, Truth and Method, 297–298.
[23]
Habermas, Moral Consciousness and Communicative
Action, 88–89.
[24]
Searle, Speech Acts, 56.
[25]
Ricoeur, Time and Narrative, 94.
[26]
John R. Searle, The Construction of Social
Reality (New York: Free Press, 1995), 23.
[27]
Ibid., 25.
[28]
Ibid., 26–27.
[29]
Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures
(New York: Basic Books, 1973), 5–6.
[30]
Ibid., 8–9.
[31]
Ibid., 11.
[32]
Luciano Floridi, The Ethics of Information
(Oxford: Oxford University Press, 2013), 92.
[33]
Sherry Turkle, Reclaiming Conversation: The
Power of Talk in a Digital Age (New York: Penguin, 2015), 42–43.
[34]
Floridi, The Philosophy of Information
(Oxford: Oxford University Press, 2011), 187–188.
[35]
Searle, The Rediscovery of the Mind,
115–116.
[36]
Dreyfus, What Computers Still Can’t Do,
223–224.
[37]
Searle, Intentionality, 35.
[38]
Habermas, Moral Consciousness and Communicative
Action, 97.
[39]
Levinas, Totality and Infinity, 213–214.
[40]
Searle, The Rediscovery of the Mind, 120.
10. Kesimpulan
Konsep subjektivitas ontologis yang
dirumuskan oleh John Searle menegaskan bahwa kesadaran manusia merupakan
realitas yang benar-benar ada secara ontologis, meskipun bersifat subjektif
dalam pengalamannya.¹ Kesadaran tidak dapat direduksi menjadi proses
komputasional atau aktivitas fisik semata karena ia memiliki karakter
fenomenal—yakni sesuatu yang dirasakan dari dalam oleh subjek.²
Dengan demikian, Searle menolak dua kutub ekstrem dalam filsafat pikiran
modern: reduksionisme fisikalis, yang menghapus kesadaran dari ontologi
ilmiah, dan dualisme Cartesian, yang memisahkan pikiran dari dunia
fisik.³ Ia berupaya membangun jalan tengah melalui pendekatan naturalistik-biologis,
di mana kesadaran dipahami sebagai fakta biologis yang memiliki mode keberadaan
subjektif.⁴
Dari kajian ini dapat disimpulkan bahwa bagi
Searle, subjektivitas bukanlah ilusi atau fenomena sekunder, tetapi syarat
dasar bagi seluruh makna, bahasa, dan tindakan manusia.⁵ Setiap ujaran,
tindakan sosial, atau bentuk representasi simbolik selalu berakar pada
kesadaran yang berintensi—yakni kesadaran yang mengarah kepada dunia melalui
makna.⁶ Bahasa menjadi perpanjangan dari intensionalitas ini: ia memungkinkan
subjek mengungkapkan pengalaman batin dan menjadikannya intersubjektif.⁷ Dengan
kata lain, filsafat bahasa Searle berakar pada filsafat kesadaran,
karena tanpa subjektivitas ontologis tidak mungkin ada komunikasi bermakna.⁸
Lebih jauh, konsep subjektivitas ontologis membuka
jalan bagi etika dan humanisme baru di tengah perkembangan teknologi dan
budaya digital.⁹ Dalam masyarakat yang semakin mengandalkan sistem komputasional,
Searle mengingatkan bahwa kesadaran manusia tetap tak tergantikan karena
merupakan satu-satunya sumber nilai dan makna.¹⁰ Kecerdasan buatan dapat meniru
perilaku rasional, tetapi tidak dapat memiliki kesadaran fenomenal; ia dapat “berfungsi
seperti” pikiran, namun tidak dapat menjadi pikiran itu sendiri.¹¹
Dengan demikian, mempertahankan pemahaman filosofis tentang subjektivitas
berarti juga mempertahankan martabat dan otonomi manusia di tengah
lanskap teknologi yang dehumanisasi.¹²
Dalam konteks sosial dan kultural, subjektivitas
ontologis menjadi dasar bagi kehidupan intersubjektif yang beradab. Ia
menegaskan bahwa setiap individu memiliki pusat pengalaman yang unik dan sah,
yang harus diakui dalam ruang dialog publik.¹³ Bahasa dan budaya berfungsi
sebagai jembatan yang menghubungkan subjektivitas pribadi dengan dunia bersama;
oleh sebab itu, menghormati kesadaran orang lain berarti menghormati keberadaan
manusia itu sendiri.¹⁴
Akhirnya, sintesis dari seluruh pemikiran Searle
mengarah pada suatu pandangan humanistik-integratif tentang manusia:
bahwa menjadi manusia berarti menjadi makhluk yang sadar, bermakna, dan
bertanggung jawab terhadap dunia yang ia pahami dan ubah melalui bahasa serta
tindakan.¹⁵ Subjektivitas ontologis, dalam pengertian ini, bukan sekadar
kategori metafisik, tetapi landasan etis dan eksistensial bagi kebudayaan
dan pengetahuan manusia.¹⁶
Melalui pendekatan ini, Searle berhasil
mengembalikan legitimasi filosofis terhadap pengalaman batin manusia di tengah
era yang cenderung menilai realitas hanya melalui kriteria objektif dan
teknologis.¹⁷ Ia menunjukkan bahwa kesadaran bukanlah masalah sains semata,
tetapi inti dari keberadaan manusia itu sendiri.¹⁸ Maka, konsepsi
subjektivitas ontologis tidak hanya merevisi pemahaman kita tentang pikiran,
tetapi juga menghidupkan kembali filsafat sebagai pencarian makna tentang
menjadi manusia di dunia yang semakin kompleks dan digital.¹⁹
Footnotes
[1]
John R. Searle, The Rediscovery of the Mind
(Cambridge, MA: MIT Press, 1992), 93–95.
[2]
Thomas Nagel, “What Is It Like to Be a Bat?,” The
Philosophical Review 83, no. 4 (1974): 436–439.
[3]
René Descartes, Meditations on First Philosophy,
trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 25.
[4]
Searle, Minds, Brains and Science
(Cambridge, MA: Harvard University Press, 1984), 18–19.
[5]
Searle, Intentionality: An Essay in the
Philosophy of Mind (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 1–2.
[6]
Ibid., 8–9.
[7]
John R. Searle, Speech Acts: An Essay in the
Philosophy of Language (Cambridge: Cambridge University Press, 1969),
16–17.
[8]
Searle, Expression and Meaning: Studies in the
Theory of Speech Acts (Cambridge: Cambridge University Press, 1979), 33–34.
[9]
Luciano Floridi, The Ethics of Information
(Oxford: Oxford University Press, 2013), 92–93.
[10]
Searle, The Rediscovery of the Mind,
100–101.
[11]
John R. Searle, “Minds, Brains, and Programs,” Behavioral
and Brain Sciences 3, no. 3 (1980): 417–457.
[12]
Hubert L. Dreyfus, What Computers Still Can’t
Do: A Critique of Artificial Reason (Cambridge, MA: MIT Press, 1992),
217–218.
[13]
Edmund Husserl, The Crisis of European Sciences
and Transcendental Phenomenology, trans. David Carr (Evanston: Northwestern
University Press, 1970), 109.
[14]
Emmanuel Levinas, Totality and Infinity: An
Essay on Exteriority, trans. Alphonso Lingis (Pittsburgh: Duquesne
University Press, 1969), 66–67.
[15]
Paul Ricoeur, Time and Narrative, vol. 1,
trans. Kathleen McLaughlin and David Pellauer (Chicago: University of Chicago
Press, 1984), 74.
[16]
Jürgen Habermas, Moral Consciousness and
Communicative Action, trans. Christian Lenhardt and Shierry Weber Nicholsen
(Cambridge, MA: MIT Press, 1990), 88–90.
[17]
Searle, The Rediscovery of the Mind,
115–116.
[18]
Ibid., 120.
[19]
Searle, Intentionality, 35.
Daftar Pustaka
Austin, J.L. (1975). How to do things with words (J. O. Urmson & M.
Sbisà, Eds.). Oxford University Press.
Boden, M. A. (2018). Artificial intelligence: A very short introduction.
Oxford University Press.
Brentano, F. (1995). Psychology from an empirical standpoint (A. C.
Rancurello, D. B. Terrell, & L. L. McAlister, Trans.). Routledge. (Original
work published 1874)
Churchland, P. M. (1988). Matter and consciousness. MIT Press.
Churchland, P. S. (1986). Neurophilosophy: Toward a unified science of the mind-brain.
MIT Press.
Derrida, J. (1976). Of grammatology (G. C. Spivak, Trans.). Johns Hopkins
University Press.
Derrida, J. (1988). Limited Inc (S. Weber & J. Mehlman, Trans.).
Northwestern University Press.
Descartes, R. (1996). Meditations on first philosophy (J. Cottingham, Trans.).
Cambridge University Press. (Original work published 1641)
Dennett, D. C. (1991). Consciousness explained. Little, Brown.
Dreyfus, H. L. (1992). What computers still can’t do: A critique of artificial
reason. MIT Press.
Fodor, J. A. (1975). The language of thought. Harvard University Press.
Floridi, L. (2011). The philosophy of information. Oxford University Press.
Floridi, L. (2013). The ethics of information. Oxford University Press.
Gadamer, H.-G. (2004). Truth and method (J. Weinsheimer & D. G. Marshall,
Trans.). Continuum.
Gallagher, S., & Zahavi, D. (2008). The phenomenological mind.
Routledge.
Geertz, C. (1973). The interpretation of cultures. Basic Books.
Grice, H. P. (1989). Studies in the way of words. Harvard University Press.
Habermas, J. (1990). Moral consciousness and communicative action (C.
Lenhardt & S. W. Nicholsen, Trans.). MIT Press.
Han, B.-C. (2015). The transparency society (E. Butler, Trans.). Stanford
University Press.
Han, B.-C. (2018). The expulsion of the other (W. Hoban, Trans.). Polity
Press.
Heidegger, M. (1962). Being and time (J. Macquarrie & E. Robinson,
Trans.). Harper & Row.
Hofstadter, D., & Dennett, D. C. (Eds.). (1981). The mind’s I: Fantasies and
reflections on self and soul. Basic Books.
Husserl, E. (1970). The crisis of European sciences and transcendental
phenomenology (D. Carr, Trans.). Northwestern University Press.
Husserl, E. (1982). Ideas pertaining to a pure phenomenology and to a
phenomenological philosophy (F. Kersten, Trans.). Martinus Nijhoff.
Kurzweil, R. (2005). The singularity is near: When humans transcend biology.
Viking.
Levinas, E. (1969). Totality and infinity: An essay on exteriority (A.
Lingis, Trans.). Duquesne University Press.
Merleau-Ponty, M. (1962). Phenomenology of perception (C. Smith, Trans.).
Routledge.
Nagel, T. (1974). What is it like to be a bat? The Philosophical Review, 83(4),
435–450.
Ricoeur, P. (1984). Time and narrative (Vol. 1, K. McLaughlin & D.
Pellauer, Trans.). University of Chicago Press.
Ryle, G. (1949). The concept of mind. Hutchinson.
Schutz, A. (1962). Collected papers I: The problem of social reality.
Martinus Nijhoff.
Schutz, A. (1967). The phenomenology of the social world (G. Walsh & F.
Lehnert, Trans.). Northwestern University Press.
Searle, J. R. (1969). Speech acts: An essay in the philosophy of language.
Cambridge University Press.
Searle, J. R. (1979). Expression and meaning: Studies in the theory of speech acts.
Cambridge University Press.
Searle, J. R. (1980). Minds, brains, and programs. Behavioral and Brain Sciences,
3(3), 417–457.
Searle, J. R. (1983). Intentionality: An essay in the philosophy of mind.
Cambridge University Press.
Searle, J. R. (1984). Minds, brains and science. Harvard University Press.
Searle, J. R. (1992). The rediscovery of the mind. MIT Press.
Searle, J. R. (1995). The construction of social reality. Free Press.
Searle, J. R. (2003). Rationality in action. Philosophical Issues, 13(1),
405–406.
Skinner, B. F. (1957). Verbal behavior. Appleton-Century-Crofts.
Tarski, A. (1944). The semantic conception of truth. Philosophy and
Phenomenological Research, 4(3), 341–376.
Turkle, S. (2015). Reclaiming conversation: The power of talk in a digital age.
Penguin.
Wittgenstein, L. (1953). Philosophical investigations (G. E. M. Anscombe,
Trans.). Blackwell.
Zuboff, S. (2019). The age of surveillance capitalism: The fight for a human
future at the new frontier of power. PublicAffairs.
.png)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar