Skolastisisme
Sintesis Rasional antara Iman dan Akal dalam Tradisi
Filsafat Abad Pertengahan
Alihkan ke: Aliran Sejarah Filsafat.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif tradisi Skolastisisme
sebagai puncak perkembangan intelektual Abad Pertengahan yang berupaya
menyatukan iman (fides) dan akal (ratio) dalam suatu kerangka
rasional-teologis yang sistematis. Skolastisisme lahir dari konteks historis
Eropa Kristen yang berinteraksi dengan warisan filsafat Yunani dan Islam,
sehingga menghasilkan sintesis intelektual yang unik antara wahyu dan
rasionalitas. Melalui tokoh-tokoh utama seperti Anselmus, Petrus
Abelardus, Bonaventura, dan terutama Thomas Aquinas,
Skolastisisme mengembangkan sistem berpikir dialektis yang menegaskan bahwa
kebenaran iman dan kebenaran akal tidak saling bertentangan, tetapi berakar
pada satu sumber ilahi yang sama.
Kajian ini memaparkan fondasi historis, teologis,
dan filosofis dari Skolastisisme, termasuk konsep-konsep sentral seperti actus-potentia,
essentia-esse, dan lex naturalis, serta penerapan metode disputatio
dalam tradisi akademik universitas. Selain itu, artikel ini menyoroti dimensi
ontologis, epistemologis, dan etis Skolastisisme sebagai model integrasi
rasionalitas dan spiritualitas. Pada bagian akhir, pembahasan diarahkan pada
relevansi kontemporer Skolastisisme dalam konteks dialog antara sains dan
agama, kebangkitan etika hukum kodrati, serta filsafat analitik modern yang
tetap mewarisi semangat argumentatif dan metodologis skolastik.
Hasil analisis menunjukkan bahwa Skolastisisme
bukanlah sistem dogmatis yang kaku, melainkan paradigma rasional terbuka yang
menegaskan pentingnya sintesis antara rasio dan iman dalam pencarian kebenaran.
Dengan karakter sistematis, logis, dan dialogisnya, Skolastisisme tetap relevan
bagi wacana filsafat kontemporer, khususnya dalam upaya membangun epistemologi
integral yang menggabungkan dimensi empiris, rasional, dan teologis dari
pengalaman manusia.
Kata Kunci: Skolastisisme; Thomas Aquinas; Fides et Ratio;
Rasionalitas Abad Pertengahan; Ontologi; Epistemologi; Teologi Moral; Metode
Disputatio; Sintesis Akal dan Iman.
PEMBAHASAN
Skolastisisme sebagai Jembatan antara Iman dan Rasio
1.
Pendahuluan
Skolastisisme merupakan salah satu fase paling
penting dalam sejarah filsafat Barat, khususnya pada periode Abad Pertengahan.
Istilah scholastica berasal dari kata Latin schola, yang berarti
“sekolah”, dan merujuk pada metode pembelajaran yang berkembang di lingkungan
akademik Eropa antara abad ke-11 hingga ke-15. Dalam konteks historis,
Skolastisisme bukan sekadar sistem pemikiran, melainkan suatu metode
rasional-teologis yang berupaya menjembatani antara iman (fides) dan
akal (ratio) sebagai dua sumber pengetahuan yang sahih namun tampak
berlawanan.¹
Kelahiran Skolastisisme berakar pada transformasi
intelektual yang terjadi di dunia Kristen Barat setelah masa Patristik. Para
Bapa Gereja, seperti Agustinus, telah menanamkan fondasi bahwa pengetahuan
sejati berakar pada wahyu ilahi; namun, pada masa Skolastik, muncul upaya untuk
menegaskan bahwa akal budi manusia juga memiliki legitimasi epistemologis untuk
memahami kebenaran.² Dalam konteks ini, filsafat tidak lagi dianggap ancaman
bagi teologi, melainkan sebagai pelayan (ancilla theologiae) yang
membantu menafsirkan dogma secara rasional.³
Kecenderungan ini diperkuat oleh pengaruh filsafat
Yunani, khususnya Aristoteles, yang masuk ke dunia Latin melalui penerjemahan
karya-karya Arab dan Yahudi.⁴ Melalui tokoh-tokoh seperti Avicenna (Ibn Sīnā)
dan Averroes (Ibn Rushd), konsep-konsep metafisis Aristotelian — seperti actus-potentia,
substansi-aksiden, dan form-matter — diadaptasi dan
diintegrasikan ke dalam kerangka teologis Kristen oleh para pemikir skolastik
seperti Thomas Aquinas dan Albertus Magnus.⁵
Namun, Skolastisisme tidak dapat dipahami hanya
sebagai sistem teologi rasional. Ia juga merupakan metode epistemologis
yang menekankan dialektika, sistematisasi, dan logika sebagai sarana pencapaian
kebenaran. Melalui format quaestio, disputatio, dan determinatio,
para sarjana abad pertengahan berusaha menyusun sintesis antara otoritas kitab
suci, ajaran gereja, dan rasionalitas logis.⁶ Dengan demikian, Skolastisisme
merupakan representasi puncak dari semangat intelektual Abad Pertengahan —
suatu usaha untuk menegakkan keterpaduan antara iman dan akal, antara wahyu dan
rasio, antara teologi dan filsafat.⁷
Dalam sejarah filsafat, Skolastisisme menandai masa
di mana rasionalitas religius menjadi bentuk tertinggi dari refleksi
intelektual. Ia membangun sistem berpikir yang tidak menolak wahyu, tetapi
justru mengartikulasikannya secara konseptual dan logis.⁸ Karena itu, memahami
Skolastisisme berarti memahami bagaimana Eropa membangun tradisi
rasionalitasnya dari akar teologis menuju dasar filosofis — sebuah jembatan
yang akan membuka jalan bagi kebangkitan rasionalisme modern di era Descartes
dan Bacon.⁹
Footnotes
[1]
Étienne Gilson, The Spirit of Medieval
Philosophy (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1991), 3–5.
[2]
Frederick Copleston, A History of Philosophy,
Vol. 2: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 12–14.
[3]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans.
Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I,
q.1, a.8.
[4]
Richard E. Rubenstein, Aristotle’s Children: How
Christians, Muslims, and Jews Rediscovered Ancient Wisdom and Illuminated the
Dark Ages (Orlando, FL: Harcourt, 2003), 47–51.
[5]
David Knowles, The Evolution of Medieval Thought
(London: Longman, 1988), 73–78.
[6]
Josef Pieper, Guide to Thomas Aquinas,
trans. Richard and Clara Winston (San Francisco: Ignatius Press, 1991), 24–26.
[7]
Anthony Kenny, Medieval Philosophy (Oxford:
Oxford University Press, 2005), 32–34.
[8]
Fernand Van Steenberghen, The Philosophical
Movement in the Thirteenth Century (Edinburgh: Nelson, 1955), 15–17.
[9]
Alasdair MacIntyre, Three Rival Versions of
Moral Enquiry: Encyclopaedia, Genealogy, and Tradition (Notre Dame, IN:
University of Notre Dame Press, 1990), 39–42.
2.
Latar
Historis dan Genealogi Intelektual
Kemunculan Skolastisisme tidak dapat dilepaskan
dari dinamika sosial, politik, dan intelektual Eropa pada Abad Pertengahan.
Setelah runtuhnya Kekaisaran Romawi Barat pada abad ke-5, Eropa mengalami
fragmentasi sosial dan kultural yang panjang, di mana Gereja Katolik menjadi
satu-satunya lembaga yang mempertahankan kesinambungan intelektual dan
spiritualitas masyarakat Barat.¹ Lembaga-lembaga keagamaan seperti biara dan
katedral tidak hanya berfungsi sebagai pusat ibadah, tetapi juga sebagai wadah
pendidikan dan pelestarian teks-teks klasik Yunani-Romawi.² Dari sinilah benih
awal scholae — asal kata skolastik — mulai tumbuh, yang kemudian
melahirkan sistem pendidikan formal abad pertengahan.
Pada abad ke-9 hingga ke-12, Eropa mengalami apa
yang disebut “Kebangkitan Karoling” dan “Renaisans Abad Kedua Belas,” yang
menandai kembalinya minat terhadap ilmu pengetahuan dan filsafat klasik.³
Periode ini ditandai oleh peningkatan aktivitas penerjemahan teks-teks Yunani
ke dalam bahasa Latin, yang sebagian besar diperoleh dari dunia Islam di
Andalusia dan Sisilia.⁴ Karya Aristoteles, yang sebelumnya hampir hilang di
Barat, kembali dikenal melalui terjemahan dan komentar para filsuf Muslim seperti
Al-Fārābī, Avicenna (Ibn Sīnā), dan Averroes (Ibn Rushd).⁵ Para pemikir Yahudi
seperti Maimonides juga turut menyumbang pada integrasi rasionalisme klasik
dengan tradisi monoteistik.⁶
Hubungan intelektual lintas agama ini melahirkan
suatu ekosistem dialog filosofis yang menjadi fondasi bagi
Skolastisisme. Pemikiran Yunani disaring melalui hermeneutika Islam dan Yahudi,
kemudian diinterpretasikan ulang dalam bingkai teologis Kristen.⁷ Akibatnya,
universitas-universitas awal seperti Paris, Bologna, dan Oxford berkembang
menjadi pusat dialog antara filsafat dan teologi, tempat metode dialektika dan
logika Aristotelian diterapkan secara sistematis.⁸ Di sinilah para
teolog-filsuf seperti Anselmus, Abelardus, dan kemudian Thomas Aquinas mulai
membangun kerangka intelektual yang berupaya menyatukan iman dan akal.
Pada masa inilah pula berkembang metode disputatio
— tradisi perdebatan akademik yang memadukan ketelitian logika dengan kedalaman
teologis.⁹ Metode ini mencerminkan semangat zaman: upaya memahami kebenaran
ilahi melalui struktur rasional dan argumentatif. Dalam kerangka historis ini,
Skolastisisme tampil bukan hanya sebagai respon terhadap tantangan rasionalitas
klasik, tetapi juga sebagai simbol dari sintesis peradaban: Yunani,
Islam, dan Kristen.¹⁰
Dengan demikian, genealogi intelektual
Skolastisisme menunjukkan bahwa ia bukan tradisi tertutup yang lahir dari
isolasi Eropa Kristen, melainkan hasil dari proses panjang transmisi, adaptasi,
dan dialog antarperadaban.¹¹ Di dalamnya, filsafat dan teologi menemukan
keseimbangan baru yang membentuk wajah rasionalitas Barat hingga era modern.
Footnotes
[1]
Jacques Le Goff, Intellectuals in the Middle
Ages, trans. Teresa Lavender Fagan (Cambridge, MA: Blackwell, 1993), 15–18.
[2]
R. W. Southern, The Making of the Middle Ages
(New Haven, CT: Yale University Press, 1953), 63–66.
[3]
Charles Homer Haskins, The Renaissance of the
Twelfth Century (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1927), 23–27.
[4]
Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture:
The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ‘Abbāsid Society
(London: Routledge, 1998), 114–118.
[5]
Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic
Philosophy (Cambridge: Polity Press, 1999), 44–46.
[6]
Herbert A. Davidson, Moses Maimonides: The Man
and His Works (Oxford: Oxford University Press, 2005), 67–70.
[7]
A. S. McGrade, The Cambridge Companion to
Medieval Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 9–11.
[8]
Marcia L. Colish, Medieval Foundations of the
Western Intellectual Tradition, 400–1400 (New Haven, CT: Yale University
Press, 1997), 134–138.
[9]
Josef Pieper, Scholasticism: Personalities and
Problems of Medieval Philosophy, trans. Richard and Clara Winston (South
Bend, IN: St. Augustine’s Press, 2001), 17–19.
[10]
Edward Grant, God and Reason in the Middle Ages
(Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 42–45.
[11]
Fernand Van Steenberghen, Aristotle in the West:
The Origins of Latin Aristotelianism (Louvain: Louvain University Press,
1955), 21–24.
3.
Fondasi
Teologis dan Filosofis Skolastisisme
Skolastisisme dibangun di atas fondasi ganda: teologis
dan filosofis. Fondasi teologisnya terletak pada keyakinan bahwa
kebenaran yang diwahyukan oleh Tuhan dapat dan harus dipahami oleh akal
manusia.¹ Dalam kerangka ini, teologi tidak berdiri sebagai sistem dogmatis
tertutup, tetapi sebagai medan refleksi rasional atas iman. Skolastisisme
mewarisi semangat Augustinian — bahwa akal budi adalah anugerah ilahi untuk
memahami kehendak Tuhan.² Namun, para pemikir skolastik tidak berhenti pada
kontemplasi mistik seperti para Bapa Gereja; mereka berusaha merumuskan struktur
epistemologis yang memungkinkan iman dijelaskan melalui kategori logika dan
metafisika.³
Prinsip dasar yang menuntun keseluruhan sistem
skolastik adalah fides quaerens intellectum — “iman yang mencari
pengertian.”⁴ Prinsip ini, yang mula-mula dikemukakan oleh Anselmus dari
Canterbury, menegaskan bahwa iman mendahului pengetahuan, tetapi pengetahuan
memperdalam iman. Iman menjadi titik tolak, sedangkan akal menjadi instrumen
untuk menafsirkan dan meneguhkan kebenaran wahyu.⁵ Dalam kerangka teologis ini,
filsafat berfungsi bukan untuk menggantikan iman, melainkan untuk memberikan
dasar rasional yang memungkinkannya dipahami dan dipertahankan secara
argumentatif.⁶
Secara filosofis, Skolastisisme menemukan bentuknya
melalui asimilasi sistem Aristotelian.⁷ Aristoteles menyediakan perangkat logis
dan ontologis yang sangat cocok bagi proyek rasionalisasi teologi. Struktur actus-potentia,
konsep substantia, causa prima, dan ordo naturalis memberi
kerangka bagi teolog untuk menjelaskan hubungan antara Tuhan dan ciptaan.⁸
Thomas Aquinas, misalnya, memadukan metafisika Aristotelian dengan doktrin
Kristen melalui konsep analogia entis (analogi keberadaan), di mana
eksistensi segala sesuatu merupakan partisipasi dalam eksistensi Tuhan yang
mutlak.⁹
Dalam epistemologi skolastik, wahyu dan rasio tidak
dipandang sebagai dua sumber pengetahuan yang saling bertentangan, melainkan
sebagai dua cara berbeda untuk mengakses kebenaran yang sama.ⁱ⁰ Wahyu adalah
kebenaran yang diberikan, sedangkan rasio adalah kebenaran yang dicari.
Skolastisisme menegaskan bahwa kebenaran rasional tidak mungkin bertentangan
dengan kebenaran iman, sebab keduanya berasal dari sumber yang sama: Tuhan
sebagai causa veritatis.ⁱ¹
Selain itu, metode skolastik menekankan integrasi
antara auctoritas (otoritas teks suci dan tradisi gereja) dan ratio
(penalaran manusia).ⁱ² Inilah sebabnya mengapa karya-karya besar seperti Summa
Theologica disusun dalam format pertanyaan, keberatan, dan jawaban yang sistematis
— meniru proses rasional sekaligus tunduk pada iman.ⁱ³ Melalui sintesis inilah,
Skolastisisme berhasil membangun sistem pemikiran yang tidak hanya menjelaskan
iman secara logis, tetapi juga menjadikan teologi sebagai disiplin ilmiah
dengan metodologi rasional yang ketat.ⁱ⁴
Dengan demikian, fondasi teologis dan filosofis
Skolastisisme menunjukkan bahwa rasionalitas abad pertengahan bukanlah
penolakan terhadap iman, tetapi sebuah upaya untuk mengharmoniskan wahyu
dengan akal, dan menjadikan keduanya sebagai instrumen komplementer dalam
mencari kebenaran tertinggi.ⁱ⁵
Footnotes
[1]
Étienne Gilson, Reason and Revelation in the
Middle Ages (New York: Charles Scribner’s Sons, 1938), 7–9.
[2]
Augustine, Confessions, trans. Henry
Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 1991), VII, 10.
[3]
Frederick Copleston, A History of Philosophy,
Vol. 2: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 56–58.
[4]
Anselm of Canterbury, Proslogion, trans.
Thomas Williams (Indianapolis: Hackett, 2001), I.
[5]
Brian Davies, Anselm and the Argument for God’s
Existence (London: Routledge, 1998), 22–25.
[6]
Rudi A. te Velde, Aquinas on God: The “Divine
Science” of the Summa Theologiae (Aldershot: Ashgate, 2006), 12–14.
[7]
Anthony Kenny, Medieval Philosophy (Oxford:
Oxford University Press, 2005), 47–49.
[8]
Josef Pieper, Guide to Thomas Aquinas,
trans. Richard and Clara Winston (San Francisco: Ignatius Press, 1991), 32–34.
[9]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans.
Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I,
q.13, a.5.
[10]
Fernand Van Steenberghen, The Philosophical
Movement in the Thirteenth Century (Edinburgh: Nelson, 1955), 89–92.
[11]
Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy
(Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1991), 123–126.
[12]
Marcia L. Colish, Medieval Foundations of the
Western Intellectual Tradition, 400–1400 (New Haven, CT: Yale University
Press, 1997), 152–155.
[13]
Pieper, Scholasticism: Personalities and
Problems of Medieval Philosophy, trans. Richard and Clara Winston (South
Bend, IN: St. Augustine’s Press, 2001), 25–27.
[14]
Edward Grant, God and Reason in the Middle Ages
(Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 66–68.
[15]
Alasdair MacIntyre, Three Rival Versions of
Moral Enquiry: Encyclopaedia, Genealogy, and Tradition (Notre Dame, IN: University
of Notre Dame Press, 1990), 58–60.
4.
Metode
Skolastik
Metode skolastik merupakan jantung dari seluruh
tradisi intelektual Abad Pertengahan. Ia bukan sekadar cara mengajar atau
menulis, tetapi suatu kerangka epistemologis yang berupaya mengorganisir
seluruh pengetahuan ke dalam sistem rasional yang koheren dan konsisten dengan
iman.¹ Metode ini berkembang dalam konteks universitas-universitas awal seperti
Paris, Bologna, dan Oxford, di mana logika Aristotelian, teologi Augustinian,
dan tradisi eksegetik gereja bertemu dalam satu forum ilmiah: schola.²
4.1.
Struktur Dialektis: Quaestio,
Disputatio, dan Determinatio
Ciri khas metode skolastik adalah bentuk dialektis
yang dikenal sebagai quaestio (pertanyaan), disputatio
(perdebatan), dan determinatio (penetapan kesimpulan).³ Proses ini
dimulai dengan pengajuan pertanyaan teoretis yang bersifat problematis, diikuti
oleh pengumpulan berbagai otoritas atau argumen yang saling bertentangan, baik
dari Kitab Suci, para Bapa Gereja, maupun filsuf klasik.⁴ Selanjutnya, melalui disputatio,
argumen-argumen tersebut diuji dengan logika formal, untuk kemudian mencapai determinatio,
yaitu sintesis atau resolusi rasional yang mempertahankan kebenaran iman tanpa
menolak kekuatan argumentasi.⁵
Format ini dapat ditemukan secara sistematis dalam
karya monumental seperti Summa Theologica karya Thomas Aquinas, yang
hampir seluruhnya dibangun dalam struktur pertanyaan, keberatan, jawaban, dan
sanggahan (responsio dan ad objectiones).⁶ Dalam bentuk tersebut,
terlihat bahwa metode skolastik bukan hanya mencari jawaban atas pertanyaan
teologis, tetapi juga mengajarkan cara berpikir filosofis yang sistematis
dan dialogis, suatu warisan yang kelak melandasi metode akademik modern.⁷
4.2.
Logika sebagai Instrumen Pengetahuan
Logika, yang disebut sebagai ars artium
(seni dari segala seni), menempati posisi sentral dalam metode skolastik.⁸ Para
pemikir skolastik, mengikuti Aristoteles, menganggap logika sebagai instrumen
epistemologis untuk membedakan antara pengetahuan sejati dan kesalahan
berpikir.⁹ Melalui analisis silogistik, mereka berusaha menata proposisi
teologis dalam bentuk argumen yang dapat diuji secara rasional.¹⁰ Dengan
demikian, logika tidak dipahami sebagai cabang pengetahuan yang netral, tetapi
sebagai jalan menuju ordo veritatis — tatanan kebenaran.¹¹
Hal ini menjelaskan mengapa studi tentang Organon
Aristoteles menjadi bagian utama dari kurikulum universitas abad pertengahan.¹²
Seorang teolog yang baik pada masa itu harus terlebih dahulu menjadi seorang
logikus.¹³ Hubungan erat antara logika dan teologi ini memperlihatkan upaya
para skolastik untuk menegakkan prinsip bahwa wahyu dan rasio tidak
bertentangan, melainkan beroperasi dalam tatanan epistemologis yang berbeda
namun saling melengkapi.¹⁴
4.3.
Sintesis antara Otoritas dan
Rasionalitas
Metode skolastik juga dicirikan oleh pencarian
keseimbangan antara auctoritas (otoritas tradisi) dan ratio
(penalaran manusia).¹⁵ Dalam setiap perdebatan, pendapat para otoritas seperti
Agustinus, Ambrosius, Boethius, dan terutama Aristoteles dipertimbangkan dengan
penuh hormat, tetapi tidak diterima secara dogmatis.¹⁶ Sebaliknya,
otoritas-otoritas tersebut diuji melalui argumentasi rasional dan disintesiskan
dalam kerangka teologis yang lebih luas.¹⁷
Peter Abelard dalam karyanya Sic et Non (Ya
dan Tidak) merupakan contoh awal dari penerapan prinsip ini. Ia mengumpulkan
pernyataan-pernyataan teologis yang tampak saling bertentangan, lalu mengajukan
penalaran logis untuk menyelesaikannya.¹⁸ Metode tersebut bukan dimaksudkan
untuk menimbulkan keraguan terhadap iman, tetapi justru untuk menunjukkan bahwa
iman yang benar hanya dapat diteguhkan melalui pertanyaan kritis dan
argumentasi rasional.¹⁹
Tujuan
Epistemologis: Keteraturan dan Sintesis Kebenaran
Pada dasarnya, metode skolastik bertujuan membangun
keteraturan pengetahuan (ordo scientiae) dalam terang iman.²⁰ Ia
mengandaikan bahwa seluruh kebenaran bersumber dari Tuhan, dan karena itu
segala bidang ilmu — logika, metafisika, etika, dan teologi — dapat disatukan
dalam sistem rasional yang utuh.²¹ Dengan semangat tersebut, para skolastik
berusaha bukan hanya memahami dogma, tetapi juga membuktikannya melalui
argumentasi deduktif yang teratur.²²
Dengan demikian, metode skolastik bukan hanya
metode pedagogis, tetapi juga proyek rasionalisasi iman: usaha untuk
menjelaskan misteri ilahi melalui disiplin berpikir yang sistematis.²³ Ia
menjadi tonggak penting dalam sejarah intelektual karena mewariskan kepada
dunia modern struktur berpikir analitis dan metodologi argumentatif yang masih
digunakan dalam pendidikan dan ilmu pengetahuan hingga kini.²⁴
Footnotes
[1]
Étienne Gilson, The Spirit of Medieval
Philosophy (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1991), 83–86.
[2]
Jacques Le Goff, Intellectuals in the Middle
Ages, trans. Teresa Lavender Fagan (Cambridge, MA: Blackwell, 1993), 42–44.
[3]
Josef Pieper, Scholasticism: Personalities and
Problems of Medieval Philosophy, trans. Richard and Clara Winston (South
Bend, IN: St. Augustine’s Press, 2001), 18–20.
[4]
A. S. McGrade, The Cambridge Companion to
Medieval Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 32–34.
[5]
Anthony Kenny, Medieval Philosophy (Oxford: Oxford
University Press, 2005), 54–56.
[6]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans.
Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947),
Prologue.
[7]
Brian Davies, The Thought of Thomas Aquinas
(Oxford: Clarendon Press, 1992), 11–13.
[8]
Boethius, De Topicis Differentiis, trans.
Eleonore Stump (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1978), 3.
[9]
Frederick Copleston, A History of Philosophy,
Vol. 2: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 74–77.
[10]
Rudi A. te Velde, Aquinas on God: The “Divine
Science” of the Summa Theologiae (Aldershot: Ashgate, 2006), 21–23.
[11]
Edward Grant, God and Reason in the Middle Ages
(Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 55–58.
[12]
Marcia L. Colish, Medieval Foundations of the
Western Intellectual Tradition, 400–1400 (New Haven, CT: Yale University
Press, 1997), 164–166.
[13]
Richard Southern, Scholastic Humanism and the
Unification of Europe (Oxford: Blackwell, 1995), 89–91.
[14]
Gilson, Reason and Revelation in the Middle Ages
(New York: Charles Scribner’s Sons, 1938), 47–50.
[15]
Pieper, Guide to Thomas Aquinas, trans.
Richard and Clara Winston (San Francisco: Ignatius Press, 1991), 36–39.
[16]
Peter Abelard, Sic et Non, trans. Blanche B.
Boyer and Richard McKeon (Chicago: University of Chicago Press, 1976), 12–14.
[17]
McGrade, The Cambridge Companion to Medieval
Philosophy, 37–39.
[18]
Abelard, Sic et Non, 15–17.
[19]
Kenny, Medieval Philosophy, 57–59.
[20]
Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy,
91–94.
[21]
Van Steenberghen, The Philosophical Movement in
the Thirteenth Century (Edinburgh: Nelson, 1955), 103–105.
[22]
Grant, God and Reason in the Middle Ages,
61–64.
[23]
Copleston, Medieval Philosophy, 80–82.
[24]
Alasdair MacIntyre, Three Rival Versions of
Moral Enquiry: Encyclopaedia, Genealogy, and Tradition (Notre Dame, IN:
University of Notre Dame Press, 1990), 63–65.
5.
Tokoh-Tokoh
Utama dan Pemikiran Sentral
Skolastisisme sebagai gerakan intelektual tidak
pernah bersifat monolitik; ia terdiri dari berbagai corak pemikiran yang
berkembang dari abad ke-11 hingga ke-14. Setiap tokoh besar memberikan nuansa
tersendiri terhadap hubungan antara iman dan akal, teologi dan filsafat, serta
universalia dan partikularitas. Tokoh-tokoh seperti Anselmus dari Canterbury,
Petrus Abelardus, Thomas Aquinas, John Duns Scotus, dan William
Ockham merupakan figur-figur kunci yang secara bertahap membentuk dan
sekaligus menantang batas-batas sistem skolastik.
5.1.
Anselmus dari Canterbury
(1033–1109): Fides Quaerens Intellectum
Anselmus merupakan figur peralihan dari tradisi
Patristik menuju Skolastisisme awal. Ia dikenal sebagai penggagas prinsip fides
quaerens intellectum (“iman yang mencari pengertian”), yang menegaskan
bahwa akal berfungsi untuk memahami dan meneguhkan iman, bukan untuk
menggantikannya.¹ Dalam Proslogion, ia mengemukakan argumen ontologis
tentang eksistensi Tuhan: bahwa keberadaan Tuhan merupakan konsekuensi niscaya
dari konsep tentang “sesuatu yang melebihi segala sesuatu yang dapat
dipikirkan.”² Argumen ini menjadi simbol sintesis awal antara rasionalitas dan
iman dalam tradisi Kristen.³
Anselmus memperlihatkan bahwa refleksi rasional
dapat mengantar manusia kepada pemahaman yang lebih dalam tentang kebenaran
wahyu. Ia menolak fideisme murni, tetapi juga berhati-hati terhadap otonomi
akal yang tidak berpijak pada iman.⁴ Dengan demikian, Anselmus membuka jalan
bagi metodologi skolastik yang memadukan devosi dan dialektika.
5.2.
Petrus Abelardus (1079–1142):
Dialektika dan Moralitas Rasional
Petrus Abelardus memperkenalkan metode dialektika
sistematis dalam teologi melalui karyanya Sic et Non (Ya dan Tidak).⁵ Ia
mengumpulkan ratusan pernyataan teologis dari para Bapa Gereja yang tampak
kontradiktif, lalu mengundang pembaca untuk menyelesaikannya dengan argumentasi
rasional. Metode ini menandai pergeseran penting: otoritas tidak lagi diterima
begitu saja, tetapi harus diuji melalui rasio.⁶
Dalam bidang etika, Abelardus menekankan niat (intentio)
sebagai dasar moralitas, bukan sekadar tindakan lahiriah.⁷ Dengan demikian, ia
memperkenalkan dimensi subjektif dan reflektif dalam etika skolastik. Walaupun
banyak dikritik karena dianggap terlalu rasional, pemikirannya menjadi jembatan
menuju integrasi logika formal dalam teologi.⁸
5.3.
Thomas Aquinas (1225–1274): Sintesis
Aristotelian dan Teologi Kristen
Thomas Aquinas adalah tokoh yang memuncak dalam
tradisi Skolastisisme.⁹ Ia berupaya menyatukan filsafat Aristotelian dengan
teologi Kristen melalui sistem metafisis yang sangat rasional. Dalam Summa
Theologica, Aquinas menegaskan bahwa akal dan wahyu berasal dari sumber kebenaran
yang sama — Tuhan — sehingga keduanya tidak mungkin saling bertentangan.¹⁰
Aquinas mengembangkan konsep analogia entis
(analogi keberadaan), yang menjelaskan bahwa semua makhluk memiliki keberadaan
yang analog dengan keberadaan Tuhan, namun tidak identik dengannya.¹¹ Melalui
kerangka ini, ia membangun metafisika partisipatif: segala sesuatu memperoleh
realitasnya melalui partisipasi dalam keberadaan ilahi.¹²
Selain itu, Aquinas merumuskan quinque viae
(lima jalan) sebagai argumen rasional untuk membuktikan eksistensi Tuhan,
berdasarkan prinsip kausalitas dan gerak Aristotelian.¹³ Dalam etika, ia
mengembangkan konsep hukum kodrati (lex naturalis) yang menempatkan akal
manusia sebagai instrumen untuk memahami kehendak Tuhan dalam ciptaan.¹⁴
Pemikiran Aquinas menjadi puncak dari ideal skolastik: iman yang diterangi oleh
rasio dan rasio yang disucikan oleh iman.¹⁵
5.4.
John Duns Scotus (1266–1308):
Univocitas Entis dan Voluntarisme Ilahi
John Duns Scotus memperkenalkan koreksi terhadap
sistem Aquinas dengan menolak analogia entis dan menggantinya dengan
konsep univocitas entis (keseragaman keberadaan).¹⁶ Menurut Scotus,
“keberadaan” memiliki makna yang sama ketika diterapkan kepada Tuhan dan
makhluk, walaupun derajatnya berbeda.¹⁷ Dengan demikian, ia menekankan
kesinambungan ontologis antara Tuhan dan ciptaan, tanpa menghapus transendensi
ilahi.
Dalam bidang teologi, Scotus juga mengembangkan
doktrin voluntarisme — bahwa kehendak Tuhan (voluntas Dei) lebih
fundamental daripada intelek-Nya.¹⁸ Hal ini menegaskan kebebasan absolut Tuhan
dalam mencipta dan menebus manusia, sekaligus menekankan aspek personal dan
dinamis dalam relasi antara Tuhan dan dunia.¹⁹ Pandangan ini menggeser fokus
Skolastisisme dari penekanan rasionalitas menuju primasi kehendak dan cinta ilahi.²⁰
5.5.
William Ockham (1287–1347):
Nominalisme dan Kritik terhadap Universalia
William Ockham, sering dianggap sebagai tokoh akhir
Skolastisisme, membawa pendekatan yang lebih empiris dan kritis terhadap
tradisi metafisis sebelumnya.²¹ Ia terkenal dengan prinsip lex parsimoniae
atau Ockham’s Razor: “entitas tidak boleh digandakan tanpa keperluan.”²²
Dalam konteks epistemologi, ia menolak realisme universalia yang dianut oleh
Aquinas dan Scotus, dan berpendapat bahwa “universalia” hanyalah nama (nomina)
yang mewakili himpunan benda-benda partikular.²³
Nominalisme Ockham menandai awal pergeseran menuju
rasionalitas modern yang menekankan observasi dan individualitas konkret.²⁴ Ia
juga menolak klaim bahwa akal dapat membuktikan kebenaran teologis secara
mutlak, dengan menegaskan batas-batas epistemologis manusia.²⁵ Dengan demikian,
Ockham menjadi figur transisi yang menutup zaman Skolastisisme klasik dan
membuka jalan bagi empirisme dan humanisme Renaisans.²⁶
Sintesis
Tokoh-Tokoh Skolastik
Dari Anselmus hingga Ockham, Skolastisisme
berkembang dari fase teologis-devosional menuju filosofis-rasional,
lalu menuju analisis kritis atas rasionalitas itu sendiri. Para tokoh
ini menunjukkan bagaimana iman dapat dipahami, diuji, dan dipertahankan melalui
berbagai bentuk argumentasi logis. Jika Anselmus menanamkan dasar teologis,
Abelardus memperkenalkan metode dialektik, Aquinas menyempurnakan sintesis
rasional, Scotus memperdalam refleksi ontologis, dan Ockham menandai transisi
menuju pemikiran modern.²⁷
Dengan demikian, Skolastisisme bukanlah dogma beku,
melainkan tradisi dialogis yang terus berevolusi — dari iman menuju pengertian,
dari metafisika menuju logika, dan akhirnya menuju kesadaran akan batas-batas
rasio manusia itu sendiri.²⁸
Footnotes
[1]
Anselm of Canterbury, Proslogion, trans.
Thomas Williams (Indianapolis: Hackett, 2001), I.
[2]
Étienne Gilson, Reason and Revelation in the
Middle Ages (New York: Charles Scribner’s Sons, 1938), 25–28.
[3]
Frederick Copleston, A History of Philosophy,
Vol. 2: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 45–47.
[4]
Brian Davies, Anselm and the Argument for God’s
Existence (London: Routledge, 1998), 29–31.
[5]
Peter Abelard, Sic et Non, trans. Blanche B.
Boyer and Richard McKeon (Chicago: University of Chicago Press, 1976), Preface.
[6]
Marcia L. Colish, Medieval Foundations of the
Western Intellectual Tradition, 400–1400 (New Haven, CT: Yale University
Press, 1997), 143–145.
[7]
Constant J. Mews, The Lost Love Letters of
Heloise and Abelard (New York: St. Martin’s Press, 1999), 78–80.
[8]
Josef Pieper, Scholasticism: Personalities and
Problems of Medieval Philosophy, trans. Richard and Clara Winston (South
Bend, IN: St. Augustine’s Press, 2001), 22–25.
[9]
Étienne Gilson, The Spirit of Medieval
Philosophy (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1991), 112–114.
[10]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans.
Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I,
q.1, a.8.
[11]
Rudi A. te Velde, Aquinas on God: The “Divine
Science” of the Summa Theologiae (Aldershot: Ashgate, 2006), 45–47.
[12]
Josef Pieper, Guide to Thomas Aquinas,
trans. Richard and Clara Winston (San Francisco: Ignatius Press, 1991), 39–42.
[13]
Copleston, Medieval Philosophy, 85–87.
[14]
Anthony Kenny, Medieval Philosophy (Oxford:
Oxford University Press, 2005), 64–67.
[15]
Alasdair MacIntyre, Three Rival Versions of
Moral Enquiry: Encyclopaedia, Genealogy, and Tradition (Notre Dame, IN:
University of Notre Dame Press, 1990), 61–63.
[16]
John Duns Scotus, Ordinatio, trans. Allan B.
Wolter (St. Bonaventure, NY: Franciscan Institute, 1950), I, d.3, p.1, q.3.
[17]
Allan B. Wolter, The Transcendentals and Their
Function in the Metaphysics of Duns Scotus (St. Bonaventure, NY: Franciscan
Institute, 1946), 57–59.
[18]
Richard Cross, Duns Scotus on God
(Aldershot: Ashgate, 2005), 21–24.
[19]
Mary Beth Ingham, Scotus for Dunces: An
Introduction to the Subtle Doctor (St. Bonaventure, NY: Franciscan
Institute, 2003), 34–37.
[20]
Kenny, Medieval Philosophy, 71–73.
[21]
William of Ockham, Summa Logicae, trans.
Philotheus Boehner (New York: Franciscan Institute, 1974), I, c.12.
[22]
Edward Grant, God and Reason in the Middle Ages
(Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 77–79.
[23]
Marilyn McCord Adams, William Ockham (Notre
Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1987), 95–97.
[24]
Copleston, Medieval Philosophy, 108–110.
[25]
Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy,
159–161.
[26]
Colish, Medieval Foundations, 190–193.
[27]
Pieper, Scholasticism: Personalities and
Problems of Medieval Philosophy, 41–43.
[28]
MacIntyre, Three Rival Versions of Moral Enquiry,
68–70.
6.
Ontologi
dan Metafisika Skolastik
Ontologi dan metafisika skolastik merupakan inti
spekulatif dari seluruh sistem pemikiran Abad Pertengahan. Dalam konteks ini,
Skolastisisme berupaya menjelaskan struktur realitas dan keberadaan (esse)
dalam kaitannya dengan Tuhan sebagai causa prima dan sumber segala yang
ada.¹ Bagi para pemikir skolastik, metafisika bukanlah refleksi abstrak yang
terpisah dari teologi, melainkan suatu cara untuk memahami tatanan ciptaan dan
hubungan ontologis antara Sang Pencipta dan makhluk ciptaan-Nya.²
6.1.
Struktur Realitas: Actus dan
Potentia
Salah satu konsep kunci dalam ontologi skolastik
adalah distingsi antara actus (aktualitas) dan potentia
(potensialitas), yang berasal dari metafisika Aristotelian.³ Konsep ini
menjelaskan dinamika keberadaan: segala sesuatu yang ada merupakan kombinasi
dari potensi untuk menjadi (potentia) dan realisasi dari potensi itu (actus).⁴
Tuhan dipahami sebagai actus purus — keberadaan murni tanpa potensi apa
pun, karena di dalam diri-Nya tidak terdapat perubahan atau kekurangan.⁵
Dengan mengadopsi kerangka ini, para skolastik
menjelaskan bahwa makhluk ciptaan memiliki keberadaan yang bersifat derivatif,
karena mereka hanya berpartisipasi dalam keberadaan mutlak Tuhan.⁶ Thomas
Aquinas menyebut hubungan ini sebagai participatio essendi — partisipasi
dalam keberadaan ilahi.⁷ Dengan demikian, metafisika skolastik bersifat
hierarkis: segala wujud memperoleh realitasnya secara bertingkat, dari actus
purus menuju eksistensi yang terbatas dan kontingen.⁸
6.2.
Distingsi antara Essentia dan Esse
Konsep lain yang fundamental adalah pembedaan
antara essentia (hakikat) dan esse (keberadaan).⁹ Dalam makhluk, essentia
dan esse merupakan dua prinsip yang berbeda namun saling terkait:
hakikat menjelaskan “apa” sesuatu itu, sementara keberadaan menjelaskan “bahwa”
sesuatu itu ada.¹⁰ Dalam Tuhan, kedua aspek tersebut identik — esensi-Nya
adalah keberadaan-Nya sendiri (ipsum esse subsistens).¹¹
Distingsi ini memungkinkan para skolastik
menjelaskan keterbatasan makhluk dan keabsolutan Tuhan. Makhluk memiliki essentia
yang bergantung pada Tuhan agar memperoleh esse; dengan kata lain,
eksistensi mereka bersifat partisipatif.¹² Hal ini menjadi dasar bagi konsep creatio
ex nihilo (penciptaan dari ketiadaan), di mana seluruh realitas bergantung
sepenuhnya pada kehendak ilahi untuk “menjadi.”¹³
Dalam sistem Aquinas, esse merupakan “aktus
dari segala akta” (actus essendi), yang memberi aktualitas pada seluruh
bentuk dan substansi.¹⁴ Dengan demikian, metafisika skolastik bukan hanya studi
tentang keberadaan sebagai keberadaan (ens qua ens), tetapi juga tentang
relasi eksistensial antara yang mutlak dan yang terbatas.¹⁵
6.3.
Hierarki Wujud dan Causa Prima
Para skolastik memahami dunia sebagai kosmos
hierarkis yang tersusun menurut tatanan kausalitas.¹⁶ Setiap wujud
bergantung pada wujud yang lebih tinggi hingga mencapai puncaknya pada Tuhan
sebagai Causa Prima (Penyebab Pertama).¹⁷ Prinsip ini menggabungkan
metafisika Aristotelian tentang gerak dan sebab dengan teologi Kristen tentang
penciptaan.
Dalam quinque viae (lima jalan), Thomas
Aquinas menjelaskan keberadaan Tuhan sebagai sebab yang tak disebabkan —
“penggerak pertama yang tak digerakkan” (primum movens immobile), “sebab
pertama yang tak disebabkan,” dan “wujud niscaya yang menjadi sumber segala
kemungkinan.”¹⁸ Melalui sistem ini, Skolastisisme memadukan kosmologi empiris
dengan metafisika teologis, menegaskan bahwa rasio dapat mencapai pemahaman
rasional tentang eksistensi Tuhan tanpa menafikan iman.¹⁹
6.4.
Problem Universalia: Realisme dan
Nominalisme
Salah satu perdebatan klasik dalam metafisika
skolastik adalah persoalan universalia — apakah konsep-konsep umum
seperti “kemanusiaan” atau “keadilan” memiliki realitas objektif, atau hanya
sekadar nama yang kita berikan kepada kelompok benda tertentu.²⁰
Aliran realisme (diwakili oleh Anselmus dan
Aquinas) berpendapat bahwa universalia memiliki dasar ontologis yang
nyata, meskipun eksistensinya berada dalam pikiran Tuhan sebagai arketipe
ciptaan.²¹ Sebaliknya, nominalisme (diperjuangkan oleh William Ockham)
menolak realitas objektif universalia dan menyatakan bahwa hanya
individu yang benar-benar ada.²² Sementara itu, konseptualisme
(diperkenalkan oleh Abelardus) menempati posisi tengah: universalia
tidak ada di luar pikiran, tetapi memiliki dasar dalam keserupaan realitas
partikular.²³
Perdebatan ini mencerminkan ketegangan antara dua
kecenderungan skolastik: yang satu berupaya mempertahankan struktur ontologis
yang objektif dan transenden, sementara yang lain menekankan independensi rasio
dan pengalaman empiris.²⁴
Kosmos
Sebagai Partisipasi dalam Being Ilahi
Metafisika skolastik menegaskan bahwa seluruh
ciptaan merupakan partisipasi dalam “Ada” (Being) yang ilahi.²⁵ Dalam pandangan
ini, realitas dunia tidak memiliki kemandirian mutlak, tetapi bergantung pada
Tuhan dalam setiap momen eksistensinya.²⁶ Seperti dikatakan oleh Gilson,
metafisika skolastik adalah “metafisika partisipasi” — suatu pandangan di mana
Tuhan bukan sekadar pencipta awal, tetapi kehadiran eksistensial yang
mempertahankan segala yang ada.²⁷
Dengan demikian, ontologi skolastik tidak hanya
menjelaskan apa itu ada, tetapi juga mengapa yang ada bisa ada.
Ia mempertemukan metafisika Aristotelian dengan teologi kristiani, menghasilkan
pandangan kosmos yang rasional sekaligus sakral — dunia sebagai cermin dari
keberadaan ilahi.²⁸
Footnotes
[1]
Étienne Gilson, Being and Some Philosophers
(Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1952), 3–5.
[2]
Frederick Copleston, A History of Philosophy,
Vol. 2: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 90–92.
[3]
Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross
(Oxford: Clarendon Press, 1924), IX, 1046a.
[4]
Anthony Kenny, Medieval Philosophy (Oxford:
Oxford University Press, 2005), 73–75.
[5]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans.
Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I,
q.3, a.1.
[6]
Josef Pieper, Guide to Thomas Aquinas,
trans. Richard and Clara Winston (San Francisco: Ignatius Press, 1991), 45–48.
[7]
Rudi A. te Velde, Aquinas on God: The “Divine
Science” of the Summa Theologiae (Aldershot: Ashgate, 2006), 55–57.
[8]
Étienne Gilson, The Spirit of Medieval
Philosophy (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1991), 132–135.
[9]
Gilson, Being and Some Philosophers, 26–29.
[10]
Copleston, Medieval Philosophy, 94–96.
[11]
Aquinas, Summa Theologica, I, q.4, a.2.
[12]
Pieper, Guide to Thomas Aquinas, 52–54.
[13]
Edward Grant, God and Reason in the Middle Ages
(Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 82–85.
[14]
Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas
Aquinas (New York: Random House, 1956), 94–96.
[15]
Van Steenberghen, The Philosophical Movement in
the Thirteenth Century (Edinburgh: Nelson, 1955), 122–125.
[16]
Copleston, Medieval Philosophy, 99–101.
[17]
Josef Pieper, Scholasticism: Personalities and
Problems of Medieval Philosophy, trans. Richard and Clara Winston (South
Bend, IN: St. Augustine’s Press, 2001), 49–51.
[18]
Aquinas, Summa Theologica, I, q.2, a.3.
[19]
Brian Davies, The Thought of Thomas Aquinas
(Oxford: Clarendon Press, 1992), 66–69.
[20]
Peter Abelard, Sic et Non, trans. Blanche B.
Boyer and Richard McKeon (Chicago: University of Chicago Press, 1976), Preface.
[21]
Anselm of Canterbury, Monologion, trans.
Thomas Williams (Indianapolis: Hackett, 1995), ch. 9–10.
[22]
William of Ockham, Summa Logicae, trans.
Philotheus Boehner (New York: Franciscan Institute, 1974), I, c.12.
[23]
Marcia L. Colish, Medieval Foundations of the
Western Intellectual Tradition, 400–1400 (New Haven, CT: Yale University
Press, 1997), 188–190.
[24]
Alasdair MacIntyre, Three Rival Versions of
Moral Enquiry: Encyclopaedia, Genealogy, and Tradition (Notre Dame, IN:
University of Notre Dame Press, 1990), 74–76.
[25]
Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy,
137–140.
[26]
Pieper, Guide to Thomas Aquinas, 57–59.
[27]
Gilson, Being and Some Philosophers, 44–46.
[28]
Copleston, Medieval Philosophy, 104–106.
7.
Epistemologi
dan Logika
Dalam sistem Skolastisisme, epistemologi dan logika
tidak dipahami sebagai disiplin yang terpisah, tetapi sebagai dua aspek dari
satu kesatuan proses intelektual: pencarian kebenaran ilahi melalui rasio
manusia.¹ Para pemikir skolastik meyakini bahwa akal budi merupakan anugerah
ilahi yang memungkinkan manusia berpartisipasi dalam pengetahuan Tuhan.² Oleh
karena itu, seluruh struktur pengetahuan skolastik dibangun di atas premis
bahwa pengetahuan manusia, meskipun terbatas, memiliki keterarahan menuju
kebenaran mutlak yang bersumber pada Tuhan.³
7.1.
Struktur Pengetahuan: Dari Sensasi
ke Inteleksi
Epistemologi skolastik sangat dipengaruhi oleh
psikologi kognitif Aristotelian, terutama sebagaimana dikembangkan oleh Thomas
Aquinas. Menurutnya, semua pengetahuan manusia bermula dari pengalaman inderawi
(nihil est in intellectu quod non prius fuerit in sensu) — “tidak ada
sesuatu dalam intelek yang tidak terlebih dahulu ada dalam indra.”⁴ Pengalaman
empiris memberikan data konkret, yang kemudian diolah oleh akal budi menjadi
konsep universal melalui proses abstraksi (abstrahere).⁵
Namun, Skolastisisme menolak empirisme murni.
Proses intelektual tidak berhenti pada pengetahuan indrawi; akal manusia
memiliki kemampuan untuk menembus makna hakiki realitas melalui iluminasi
rasional (illuminatio intellectualis).⁶ Dengan demikian, pengetahuan
manusia bersifat bertingkat: dari pengalaman sensorik menuju pengetahuan
rasional, dan akhirnya menuju kontemplasi metafisis tentang Tuhan sebagai
sumber segala kebenaran.⁷
7.2.
Iluminasi dan Partisipasi dalam
Pengetahuan Ilahi
Para skolastik awal seperti Agustinus menekankan
konsep iluminasi ilahi (divine illumination), yakni bahwa akal manusia
hanya dapat memahami kebenaran sejati sejauh diterangi oleh cahaya pengetahuan
Tuhan.⁸ Iluminasi bukan berarti wahyu langsung, melainkan kondisi ontologis di
mana akal manusia “berpartisipasi” dalam Logos Ilahi.⁹ Bagi Agustinus,
“sebagaimana mata jasmani melihat dalam terang matahari, demikian pula akal
budi memahami dalam terang Tuhan.”¹⁰
Aquinas kemudian menafsirkan gagasan ini secara
lebih naturalistik. Menurutnya, akal manusia memiliki lumen naturale
(cahaya kodrati) yang merupakan cerminan terbatas dari lumen divinum
(cahaya ilahi).¹¹ Artinya, manusia dapat memperoleh pengetahuan rasional yang
sejati tanpa harus selalu mengandalkan iluminasi supernatural.¹² Dengan
demikian, epistemologi skolastik memadukan dimensi teologis dan naturalistik:
kebenaran bersumber dari Tuhan, tetapi dapat diakses melalui aktivitas
intelektual manusia.¹³
7.3.
Logika sebagai Instrumen Rasional
Logika dalam Skolastisisme bukan sekadar alat
teknis untuk berdebat, melainkan instrumen epistemologis untuk menata
struktur pengetahuan.¹⁴ Mengikuti tradisi Aristotelian, para skolastik memahami
logika sebagai ars recte ratiocinandi — seni bernalar secara benar.¹⁵ Ia
berfungsi menjaga koherensi antara proposisi, serta membedakan antara
kesimpulan yang sah dan yang keliru.
Dalam sistem pendidikan skolastik, logika menduduki
posisi sentral sebagai organon (alat ilmu).¹⁶ Setiap cabang pengetahuan,
termasuk teologi, diwajibkan menggunakan struktur logika deduktif agar dapat
dipertanggungjawabkan secara rasional.¹⁷ Silogisme Aristotelian menjadi dasar
dari semua bentuk argumentasi teologis, terutama dalam karya-karya seperti Summa
Theologica, di mana setiap proposisi diuji melalui keberatan (objectiones)
dan jawaban rasional (responsiones).¹⁸
Selain itu, para skolastik juga mengembangkan logika
terministik, yang menekankan analisis makna kata dan hubungan antaristilah
(suppositio).¹⁹ William Ockham, misalnya, menyempurnakan teori ini dengan
menegaskan bahwa validitas argumen bergantung pada kejelasan penggunaan
istilah, bukan pada asumsi metafisis yang abstrak.²⁰ Dengan pendekatan ini,
logika skolastik menjadi cikal bakal analisis linguistik dalam filsafat
modern.²¹
7.4.
Hubungan Antara Ratio dan Fides
dalam Pengetahuan
Epistemologi skolastik selalu beroperasi dalam
kerangka fides et ratio (iman dan akal).²² Iman memberikan
prinsip-prinsip pertama yang tidak dapat dibuktikan melalui akal (misalnya
keberadaan Allah Tritunggal atau inkarnasi), sedangkan akal berfungsi untuk
menjelaskan, memperjelas, dan mempertahankan kebenaran iman dari kesalahan atau
penolakan.²³
Thomas Aquinas menegaskan bahwa tidak ada
kontradiksi sejati antara iman dan akal karena keduanya berasal dari sumber
yang sama — Tuhan sebagai kebenaran tertinggi.²⁴ Jika tampak ada pertentangan,
hal itu disebabkan keterbatasan manusia dalam memahami wahyu.²⁵ Dalam kerangka
ini, akal menjadi pelayan iman (ancilla theologiae), tetapi bukan hamba
yang pasif; ia adalah instrumen aktif yang berfungsi menyusun sintesis rasional
dari kebenaran ilahi.²⁶
Tujuan
Epistemologis: Scientia dan Sapientia
Tujuan akhir epistemologi skolastik bukan sekadar
pengetahuan diskursif (scientia), tetapi kebijaksanaan (sapientia)
— kemampuan untuk melihat segala sesuatu dalam keteraturannya terhadap Tuhan.²⁷
Melalui proses logis dan rasional, manusia diharapkan mencapai pengetahuan yang
lebih tinggi, yaitu contemplatio — pengetahuan intuitif yang bersatu
dengan kebenaran mutlak.²⁸ Dengan demikian, epistemologi skolastik menegaskan
bahwa pengetahuan sejati adalah proses spiritual yang rasional: ia bermula dari
indra, dimatangkan oleh logika, dan berakhir pada kontemplasi akan Veritas
Dei.²⁹
Footnotes
[1]
Étienne Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy
(Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1991), 146–148.
[2]
Frederick Copleston, A History of Philosophy,
Vol. 2: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 112–115.
[3]
Alasdair MacIntyre, Three Rival Versions of
Moral Enquiry: Encyclopaedia, Genealogy, and Tradition (Notre Dame, IN:
University of Notre Dame Press, 1990), 77–79.
[4]
Aristotle, De Anima, trans. J. A. Smith
(Oxford: Clarendon Press, 1931), II, 12.
[5]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans.
Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I,
q.84, a.6.
[6]
Josef Pieper, Guide to Thomas Aquinas,
trans. Richard and Clara Winston (San Francisco: Ignatius Press, 1991), 65–68.
[7]
Anthony Kenny, Medieval Philosophy (Oxford:
Oxford University Press, 2005), 81–84.
[8]
Augustine, De Trinitate, trans. Edmund Hill
(Brooklyn, NY: New City Press, 1991), XII, 15.
[9]
Étienne Gilson, Reason and Revelation in the
Middle Ages (New York: Charles Scribner’s Sons, 1938), 62–65.
[10]
Augustine, Confessions, trans. Henry
Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 1991), VII, 10.
[11]
Aquinas, Summa Theologica, I, q.12, a.11.
[12]
Brian Davies, The Thought of Thomas Aquinas
(Oxford: Clarendon Press, 1992), 78–80.
[13]
Pieper, Guide to Thomas Aquinas, 69–71.
[14]
Josef Pieper, Scholasticism: Personalities and
Problems of Medieval Philosophy, trans. Richard and Clara Winston (South
Bend, IN: St. Augustine’s Press, 2001), 55–57.
[15]
Boethius, De Topicis Differentiis, trans.
Eleonore Stump (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1978), 4.
[16]
Marcia L. Colish, Medieval Foundations of the
Western Intellectual Tradition, 400–1400 (New Haven, CT: Yale University
Press, 1997), 168–170.
[17]
A. S. McGrade, The Cambridge Companion to
Medieval Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 49–51.
[18]
Thomas Aquinas, Summa Contra Gentiles,
trans. Anton C. Pegis (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1975),
I, 2.
[19]
William of Ockham, Summa Logicae, trans.
Philotheus Boehner (New York: Franciscan Institute, 1974), I, c.12.
[20]
Marilyn McCord Adams, William Ockham (Notre
Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1987), 102–104.
[21]
Edward Grant, God and Reason in the Middle Ages
(Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 89–91.
[22]
Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy,
150–153.
[23]
Copleston, Medieval Philosophy, 118–121.
[24]
Aquinas, Summa Theologica, I, q.1, a.8.
[25]
Gilson, Reason and Revelation in the Middle Ages,
72–74.
[26]
Pieper, Guide to Thomas Aquinas, 74–77.
[27]
Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas
Aquinas (New York: Random House, 1956), 109–111.
[28]
MacIntyre, Three Rival Versions of Moral Enquiry,
83–85.
[29]
Kenny, Medieval Philosophy, 86–88.
8.
Etika
dan Teologi Moral
Etika dalam tradisi skolastik merupakan cabang
refleksi rasional atas tindakan manusia yang berakar pada tatanan kosmik dan
teologis.¹ Bagi para pemikir skolastik, moralitas tidak berdiri secara
otonom dari teologi, tetapi merupakan bagian dari ordo divinus — tatanan
ilahi yang mencerminkan kehendak Tuhan sebagai kebaikan tertinggi.² Karena itu,
etika skolastik tidak hanya membahas “apa yang baik untuk dilakukan,” tetapi
juga “mengapa manusia harus melakukan kebaikan,” dalam kerangka hubungan antara
akal, kehendak, dan anugerah ilahi.³
8.1.
Prinsip Hukum Kodrati (Lex
Naturalis)
Konsep sentral dalam etika skolastik adalah lex
naturalis (hukum kodrati).⁴ Thomas Aquinas menjelaskan bahwa hukum kodrati
merupakan partisipasi rasional makhluk berakal dalam hukum kekal Tuhan (lex
aeterna).⁵ Artinya, Tuhan menanamkan dalam akal manusia suatu kesadaran
kodrati tentang kebaikan dan kejahatan, yang menjadi dasar bagi tindakan
moral.⁶
Dalam Summa Theologica, Aquinas menegaskan
bahwa prinsip pertama hukum kodrati adalah “kebaikan harus dilakukan dan
dikejar, dan kejahatan harus dihindari.”⁷ Dari prinsip ini diturunkan
norma-norma moral yang bersifat universal, seperti pelestarian kehidupan,
pencarian kebenaran, dan hidup dalam masyarakat yang adil.⁸ Dengan demikian,
etika skolastik berakar pada struktur rasional ciptaan; moralitas bukan sekadar
perintah eksternal, melainkan hukum batin yang bersumber dari kodrat manusia
itu sendiri.⁹
Prinsip lex naturalis memberikan dasar bagi
pandangan moral yang objektif: bahwa kebaikan moral dapat diketahui melalui
akal, bukan hanya melalui wahyu.¹⁰ Namun, wahyu tetap diperlukan untuk
menyempurnakan hukum kodrati, karena akal manusia yang terbatas sering kali
gagal mengenali kebaikan tertinggi secara sempurna.¹¹
8.2.
Hubungan Antara Kehendak Ilahi dan
Kehendak Manusia
Dalam tradisi skolastik, manusia dipandang sebagai
makhluk rasional sekaligus bebas. Kebebasan (liberum arbitrium) dipahami
sebagai kemampuan untuk bertindak berdasarkan akal dan kehendak.¹² Akan tetapi,
kebebasan manusia tidak bersifat absolut, melainkan partisipatif — yakni
kebebasan yang berakar dalam kehendak ilahi.¹³
Thomas Aquinas menolak pandangan deterministik;
baginya, kehendak manusia bebas sejauh diarahkan pada kebaikan yang sejati,
yang pada akhirnya adalah Tuhan.¹⁴ Sebaliknya, Duns Scotus menekankan primasi
kehendak dibandingkan intelek (voluntas prior intellectu).¹⁵ Menurut
Scotus, kehendak manusia memiliki otonomi relatif terhadap rasio, dan kebebasan
moral manusia mencerminkan kebebasan absolut Tuhan.¹⁶ Pandangan ini kemudian
berkembang menjadi voluntarisme teologis, yaitu keyakinan bahwa
moralitas bergantung pada kehendak Tuhan, bukan pada tatanan rasional
ciptaan.¹⁷
Perdebatan antara pendekatan intelektualistik
(Aquinas) dan voluntaristik (Scotus) menunjukkan dinamika penting dalam etika
skolastik: bagaimana menyeimbangkan rasionalitas moral dengan kebebasan
ilahi.¹⁸ Meski berbeda, keduanya sepakat bahwa moralitas sejati harus berpuncak
pada orientasi manusia terhadap Bonum Ultimum (Kebaikan Tertinggi).¹⁹
8.3.
Kebaikan Tertinggi (Summum Bonum)
dan Tujuan Manusia
Etika skolastik berakar pada teleologi
Aristotelian, di mana setiap tindakan diarahkan menuju tujuan akhir (finis
ultimus).²⁰ Namun, dalam kerangka teologis, tujuan akhir manusia tidak
berhenti pada kebahagiaan duniawi (felicitas terrena), melainkan pada
kebahagiaan abadi (beatitudo aeterna) — persatuan dengan Tuhan.²¹
Aquinas menjelaskan bahwa kebahagiaan sejati tidak
dapat ditemukan dalam harta, kekuasaan, atau kenikmatan, sebab semua itu
bersifat sementara.²² Hanya dalam kontemplasi terhadap Tuhan manusia mencapai
kebahagiaan sempurna, karena Tuhan adalah summum bonum, sumber dan
tujuan segala kebaikan.²³ Oleh karena itu, etika skolastik bersifat teleologis
dan teosentris: semua tindakan moral bernilai sejauh mengarahkan manusia
pada partisipasi dalam kehidupan ilahi.²⁴
Dimensi ini sekaligus menunjukkan kesinambungan
antara etika dan teologi moral skolastik. Moralitas bukan sekadar tatanan
sosial, tetapi proses deificatio — penyempurnaan manusia melalui
penyerupaan dengan Tuhan dalam kehendak dan kebenaran.²⁵ Dengan demikian, kebaikan
moral dan keselamatan rohani tidak dapat dipisahkan: keduanya merupakan dua
wajah dari satu gerak menuju Tuhan sebagai tujuan akhir.²⁶
8.4.
Kebajikan dan Pembentukan Karakter
Para skolastik juga menempatkan kebajikan (virtus)
sebagai pusat etika moral.²⁷ Mengikuti Aristoteles, kebajikan didefinisikan
sebagai disposisi tetap untuk bertindak benar menurut akal.²⁸ Namun, Aquinas
menambahkan dimensi teologis dengan membedakan antara kebajikan moral alami
(seperti keadilan, kebijaksanaan, keberanian, dan pengendalian diri) dan
kebajikan teologal (iman, harapan, dan kasih).²⁹
Kebajikan teologal melampaui kapasitas alami
manusia karena ditanamkan oleh rahmat ilahi.³⁰ Dengan demikian, etika skolastik
menegaskan bahwa kehidupan moral manusia tidak hanya hasil pembiasaan rasional,
tetapi juga transformasi spiritual.³¹ Moralitas yang sejati terjadi ketika
kehendak manusia diarahkan oleh kasih yang menyatukannya dengan kehendak
Tuhan.³²
Etika
Skolastik sebagai Sintesis Akal dan Iman
Secara keseluruhan, etika dan teologi moral
skolastik menunjukkan usaha untuk menyatukan rasionalitas etis Aristotelian
dengan spiritualitas Kristiani.³³ Etika bukan hanya soal hukum atau kewajiban,
melainkan ekspresi rasional dari cinta dan kebijaksanaan ilahi.³⁴ Dalam
kerangka ini, manusia dipandang sebagai makhluk moral karena ia diciptakan
“menurut gambar dan rupa Allah” (imago Dei), yang berarti memiliki
kapasitas untuk mencintai, memahami, dan bertindak dalam terang kebenaran.³⁵
Dengan demikian, etika skolastik bukan sekadar sistem
normatif, tetapi spiritualitas rasional — suatu jalan menuju
kebijaksanaan yang menggabungkan disiplin intelektual dengan pembentukan moral,
menuju persatuan antara ratio dan fides, antara hukum moral dan
kasih ilahi.³⁶
Footnotes
[1]
Étienne Gilson, The Spirit of Medieval
Philosophy (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1991), 155–158.
[2]
Frederick Copleston, A History of Philosophy,
Vol. 2: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 126–128.
[3]
Alasdair MacIntyre, Three Rival Versions of
Moral Enquiry: Encyclopaedia, Genealogy, and Tradition (Notre Dame, IN:
University of Notre Dame Press, 1990), 91–94.
[4]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans.
Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947),
I–II, q.91, a.2.
[5]
Josef Pieper, The Four Cardinal Virtues
(Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1966), 33–36.
[6]
Anthony Kenny, Medieval Philosophy (Oxford:
Oxford University Press, 2005), 95–97.
[7]
Aquinas, Summa Theologica, I–II, q.94, a.2.
[8]
Brian Davies, The Thought of Thomas Aquinas
(Oxford: Clarendon Press, 1992), 102–104.
[9]
Étienne Gilson, The Christian Philosophy of St.
Thomas Aquinas (New York: Random House, 1956), 141–143.
[10]
Copleston, Medieval Philosophy, 130–132.
[11]
Edward Grant, God and Reason in the Middle Ages
(Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 97–100.
[12]
Augustine, De Libero Arbitrio, trans. Thomas
Williams (Indianapolis: Hackett, 1993), II, 1.
[13]
Gilson, Reason and Revelation in the Middle Ages
(New York: Charles Scribner’s Sons, 1938), 81–83.
[14]
Aquinas, Summa Theologica, I–II, q.13, a.6.
[15]
John Duns Scotus, Ordinatio, trans. Allan B.
Wolter (St. Bonaventure, NY: Franciscan Institute, 1950), I, d.3, q.1.
[16]
Richard Cross, Duns Scotus on God
(Aldershot: Ashgate, 2005), 56–58.
[17]
Mary Beth Ingham, Scotus for Dunces: An
Introduction to the Subtle Doctor (St. Bonaventure, NY: Franciscan
Institute, 2003), 65–67.
[18]
Josef Pieper, Scholasticism: Personalities and
Problems of Medieval Philosophy, trans. Richard and Clara Winston (South
Bend, IN: St. Augustine’s Press, 2001), 63–66.
[19]
Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy,
160–163.
[20]
Aristotle, Nicomachean Ethics, trans.
Terence Irwin (Indianapolis: Hackett, 1985), I, 1–2.
[21]
Aquinas, Summa Theologica, I–II, q.3, a.8.
[22]
Pieper, The Four Cardinal Virtues, 41–43.
[23]
Copleston, Medieval Philosophy, 135–137.
[24]
Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas
Aquinas, 152–154.
[25]
Augustine, City of God, trans. Henry
Bettenson (London: Penguin, 1972), XIX, 10.
[26]
Kenny, Medieval Philosophy, 101–103.
[27]
Josef Pieper, The Four Cardinal Virtues,
47–49.
[28]
Aristotle, Nicomachean Ethics, II, 6–7.
[29]
Aquinas, Summa Theologica, I–II, q.61, a.2.
[30]
Gilson, Reason and Revelation in the Middle Ages,
86–88.
[31]
Brian Davies, The Thought of Thomas Aquinas,
111–113.
[32]
Pieper, Scholasticism: Personalities and
Problems of Medieval Philosophy, 70–72.
[33]
Copleston, Medieval Philosophy, 138–140.
[34]
Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy,
167–170.
[35]
Aquinas, Summa Theologica, I, q.93, a.4.
[36]
MacIntyre, Three Rival Versions of Moral Enquiry,
96–99.
9.
Kritik
terhadap Skolastisisme
Meskipun Skolastisisme menandai puncak refleksi
intelektual Abad Pertengahan, tradisi ini tidak luput dari kritik — baik dari
dalam maupun dari luar lingkup gereja dan filsafat. Kritik terhadap
Skolastisisme mencerminkan perubahan paradigma besar dalam sejarah intelektual
Barat: pergeseran dari ordo theologicus (tatanan teologis) menuju ordo
humanus (tatanan manusiawi), dari rasionalitas teosentris menuju
rasionalitas antropologis.¹ Kritik-kritik tersebut datang terutama dari tiga
arah: humanisme Renaisans, rasionalisme modern, dan empirisme
awal, yang semuanya berkontribusi terhadap lahirnya filsafat modern.²
9.1.
Kritik Humanisme Renaisans: Reaksi
terhadap Formalisme Logis
Kritik pertama muncul dari para humanis
Renaisans pada abad ke-14 dan ke-15, yang menilai bahwa Skolastisisme telah
terjebak dalam formalisme logis dan kehilangan semangat kemanusiaannya.³
Tokoh-tokoh seperti Francesco Petrarca dan Erasmus dari Rotterdam menuduh para
skolastik terlalu sibuk dengan spekulasi abstrak dan debat terminologis,
sehingga melupakan tujuan etis dan eksistensial filsafat — yakni pembentukan
kebajikan dan kebijaksanaan hidup.⁴
Petrarca, dalam surat-suratnya, menyebut filsafat
skolastik sebagai “retorika kosong tanpa kehidupan,” karena terlalu berfokus
pada disputasi dan tidak menyentuh pengalaman batin manusia.⁵ Erasmus, dalam The
Praise of Folly, mengejek para teolog skolastik yang menghabiskan waktu
memperdebatkan “berapa malaikat yang dapat berdiri di ujung jarum.”⁶ Kritik
semacam ini menunjukkan keletihan intelektual terhadap gaya berpikir yang
menekankan deduksi logis tetapi mengabaikan dimensi moral dan estetis dari
eksistensi manusia.⁷
Humanisme Renaisans menuntut kembalinya filsafat
kepada sumber-sumber klasik (khususnya Plato dan Cicero) dan kepada studi studia
humanitatis — tata bahasa, sastra, dan sejarah — yang menekankan
kemanusiaan sebagai pusat refleksi moral.⁸ Dengan demikian, kritik humanisme
tidak semata-mata menolak iman, tetapi menolak cara berpikir skolastik yang
dianggap mengekang kreativitas dan keutuhan pengalaman manusia.⁹
9.2.
Kritik Rasionalisme Modern: Antara
Kepastian dan Otonomi Akal
Kritik kedua datang dari rasionalisme modern,
yang berusaha membebaskan filsafat dari otoritas teologis. René Descartes
menjadi simbol perubahan ini. Dalam Meditationes de Prima Philosophia,
ia menolak metode skolastik yang berangkat dari otoritas dan deduksi
silogistik, dan menggantinya dengan metode keraguan metodis untuk mencapai
kepastian yang tak tergoyahkan (cogito ergo sum).¹⁰
Bagi Descartes, Skolastisisme gagal memberikan
dasar epistemologis yang pasti karena bergantung pada argumentasi teologis dan
konsep abstrak seperti esse dan essentia tanpa verifikasi
rasional langsung.¹¹ Ia menggantikan prinsip fides quaerens intellectum
dengan intellectus quaerens certitudinem — akal yang mencari kepastian
atas dasar dirinya sendiri.¹² Dalam pandangan ini, rasionalisme modern
memisahkan filsafat dari teologi, dan menegaskan otonomi penuh bagi akal
sebagai sumber pengetahuan.¹³
Baruch Spinoza dan Gottfried Wilhelm Leibniz
melanjutkan kritik ini dengan mengembangkan sistem metafisika yang independen
dari teologi dogmatis.¹⁴ Mereka menolak hierarki ontologis skolastik yang
menempatkan Tuhan sebagai “penyebab personal,” dan menggantinya dengan konsep
Tuhan sebagai prinsip rasional atau substansi tunggal.¹⁵ Kritik ini
memperlihatkan pergeseran mendasar: dari teosentrisme ke logosentrisme — dari
iman kepada rasio menuju iman pada rasio itu sendiri.¹⁶
9.3.
Kritik Empirisme dan Nominalisme Lanjut:
Krisis Universalia
Arah ketiga kritik datang dari empirisme awal
dan nominalisme lanjut, yang diwarisi dari gagasan William Ockham.¹⁷ Dengan
menolak realisme metafisis, Ockham menegaskan bahwa hanya individu konkret yang
benar-benar ada, sedangkan konsep universal hanyalah nama (nomina) yang
berguna secara linguistik.¹⁸ Pandangan ini melemahkan struktur metafisika
skolastik yang bergantung pada hierarki “ada” dan partisipasi dalam wujud
ilahi.¹⁹
Tokoh-tokoh empiris seperti Francis Bacon dan
kemudian John Locke memperkuat kritik ini dengan menolak metode deduktif
skolastik dan menggantikannya dengan induksi ilmiah.²⁰ Bagi Bacon, logika
skolastik menghasilkan “kesimpulan dari kata-kata, bukan dari hal-hal,” karena
lebih menekankan debat verbal ketimbang observasi empiris.²¹ Locke dalam An
Essay Concerning Human Understanding menegaskan bahwa semua ide manusia
berasal dari pengalaman, bukan dari prinsip-prinsip bawaan seperti yang
diasumsikan oleh para skolastik.²²
Kritik ini menandai transisi epistemologis dari
paradigma a priori menuju a posteriori, dari metafisika menuju
sains empiris.²³ Akibatnya, sistem skolastik yang berlandaskan pada integrasi
antara iman dan akal perlahan kehilangan otoritasnya di hadapan metodologi
ilmiah baru yang mengutamakan pengalaman dan verifikasi.²⁴
9.4.
Kritik Internal: Ketegangan antara
Dogma dan Rasionalitas
Selain kritik eksternal, Skolastisisme juga
menghadapi ketegangan internal antara kebutuhan rasional dan komitmen
dogmatis.²⁵ Ketika metode logika semakin berkembang, muncul kesadaran bahwa
penalaran rasional kadang-kadang menghasilkan kesimpulan yang tampak
bertentangan dengan wahyu.²⁶ Kasus-kasus seperti ajaran double truth
(dua kebenaran) yang berkembang di Paris pada abad ke-13 menunjukkan adanya
upaya untuk memisahkan kebenaran filsafat dan kebenaran teologi agar keduanya
dapat berdiri sendiri.²⁷
Para teolog seperti Étienne Tempier bahkan mengutuk
sejumlah tesis Aristotelian yang diajarkan di Universitas Paris karena dianggap
mengancam ortodoksi iman.²⁸ Ketegangan ini menunjukkan batas dari proyek
skolastik itu sendiri: keinginannya untuk menyatukan iman dan akal sering kali
berbenturan dengan struktur otoritas gerejawi.²⁹
Warisan
dan Evaluasi Kritis
Walaupun menghadapi kritik keras, banyak sejarawan
filsafat modern menilai bahwa Skolastisisme tetap memberikan sumbangan
fundamental bagi rasionalitas Barat.³⁰ Ia memperkenalkan metode argumentatif
yang sistematis, membangun fondasi bagi universitas modern, dan merumuskan
kategori konseptual yang menjadi dasar bagi ilmu logika dan etika.³¹ Bahkan
Descartes, Bacon, dan Spinoza, dalam beberapa hal, masih berhutang pada
struktur berpikir skolastik — terutama dalam pencarian dasar rasional
universal.³²
Dengan demikian, kritik terhadap Skolastisisme
tidak semata-mata berarti penolakan, melainkan transformasi.³³ Tradisi ini
tidak mati, melainkan berinkarnasi kembali dalam rasionalisme modern, humanisme
Renaisans, dan bahkan dalam filsafat analitik kontemporer yang mewarisi
semangat argumentatif dan analisis konseptualnya.³⁴
Footnotes
[1]
Étienne Gilson, The Spirit of Medieval
Philosophy (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1991), 171–174.
[2]
Frederick Copleston, A History of Philosophy,
Vol. 2: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 142–145.
[3]
Paul Oskar Kristeller, Renaissance Thought and
Its Sources (New York: Columbia University Press, 1979), 11–13.
[4]
Charles Trinkaus, In Our Image and Likeness:
Humanity and Divinity in Italian Humanist Thought (Chicago: University of
Chicago Press, 1970), 28–30.
[5]
Francesco Petrarca, Letters on Familiar Matters,
trans. Aldo S. Bernardo (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1982), II,
4.
[6]
Desiderius Erasmus, The Praise of Folly,
trans. Betty Radice (London: Penguin, 1971), 95–97.
[7]
Gilson, Reason and Revelation in the Middle Ages
(New York: Charles Scribner’s Sons, 1938), 92–94.
[8]
Kristeller, Renaissance Thought and Its Sources,
18–21.
[9]
Copleston, Medieval Philosophy, 147–149.
[10]
René Descartes, Meditations on First Philosophy,
trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), I–II.
[11]
Anthony Kenny, A New History of Western
Philosophy, Vol. 2: Medieval Philosophy (Oxford: Oxford University Press,
2005), 119–121.
[12]
Étienne Gilson, God and Philosophy (New
Haven, CT: Yale University Press, 1941), 56–59.
[13]
Alasdair MacIntyre, Three Rival Versions of
Moral Enquiry: Encyclopaedia, Genealogy, and Tradition (Notre Dame, IN:
University of Notre Dame Press, 1990), 101–103.
[14]
Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley
(London: Penguin, 1996), I, prop. 11–15.
[15]
Gottfried Wilhelm Leibniz, Monadology,
trans. Robert Latta (Oxford: Clarendon Press, 1898), §§47–49.
[16]
Copleston, Medieval Philosophy, 150–152.
[17]
William of Ockham, Summa Logicae, trans.
Philotheus Boehner (New York: Franciscan Institute, 1974), I, c.15.
[18]
Marilyn McCord Adams, William Ockham (Notre
Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1987), 108–110.
[19]
Josef Pieper, Scholasticism: Personalities and
Problems of Medieval Philosophy, trans. Richard and Clara Winston (South
Bend, IN: St. Augustine’s Press, 2001), 76–78.
[20]
Francis Bacon, Novum Organum, ed. Lisa
Jardine and Michael Silverthorne (Cambridge: Cambridge University Press, 2000),
I, 45–47.
[21]
Bacon, Novum Organum, I, 53.
[22]
John Locke, An Essay Concerning Human
Understanding, ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), II,
i, §2.
[23]
Edward Grant, God and Reason in the Middle Ages
(Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 110–113.
[24]
Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy,
177–179.
[25]
Richard Southern, Scholastic Humanism and the
Unification of Europe (Oxford: Blackwell, 1995), 210–212.
[26]
Brian Davies, The Thought of Thomas Aquinas
(Oxford: Clarendon Press, 1992), 118–120.
[27]
Fernand Van Steenberghen, The Philosophical
Movement in the Thirteenth Century (Edinburgh: Nelson, 1955), 138–141.
[28]
Étienne Tempier, Condemnation of 1277,
trans. David Piché (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1999),
§223–224.
[29]
Pieper, Scholasticism, 82–84.
[30]
Copleston, Medieval Philosophy, 153–155.
[31]
Gilson, Reason and Revelation in the Middle Ages,
98–100.
[32]
MacIntyre, Three Rival Versions of Moral Enquiry,
107–109.
[33]
Kenny, Medieval Philosophy, 124–126.
[34]
Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy,
182–184.
10. Sintesis Filosofis: Skolastisisme sebagai Model
Integrasi Akal dan Iman
Salah satu pencapaian terbesar dari tradisi
Skolastisisme adalah kemampuannya menyusun sintesis filosofis yang
menempatkan akal dan iman dalam hubungan saling melengkapi, bukan saling
bertentangan.¹ Dalam konteks sejarah filsafat, Skolastisisme berhasil
merumuskan model epistemologis dan ontologis di mana kebenaran wahyu dan
kebenaran rasional dipandang sebagai dua jalan menuju satu tujuan yang sama:
pengenalan akan Tuhan sebagai sumber segala kebenaran.² Sintesis ini bukan sekadar
kompromi, tetapi sebuah struktur metafisis dan metodologis yang memungkinkan
integrasi antara dimensi teologis dan rasional dari eksistensi manusia.³
10.1.
Paradigma Fides et Ratio: Kesatuan
Kebenaran
Prinsip dasar sintesis skolastik berakar pada
adagium klasik fides et ratio — iman dan akal.⁴ Dalam pandangan Thomas
Aquinas, kebenaran tidak mungkin saling bertentangan karena seluruh kebenaran
berasal dari sumber yang sama, yaitu Tuhan.⁵ Wahyu mengungkapkan kebenaran yang
melampaui jangkauan akal, sedangkan filsafat menafsirkan realitas dalam batas
kemampuan rasional manusia.⁶ Dengan demikian, akal tidak menggantikan iman,
melainkan berfungsi menyiapkan dasar rasional bagi penerimaan iman (praeambula
fidei).⁷
Aquinas menegaskan bahwa filsafat dapat membuktikan
secara rasional beberapa kebenaran teologis — misalnya keberadaan Tuhan atau
hukum moral kodrati — tetapi kebenaran misteri iman seperti Trinitas atau
Inkarnasi hanya dapat diterima melalui wahyu.⁸ Namun, sekalipun iman mengatasi
akal, ia tidak meniadakannya.⁹ Skolastisisme memandang rasionalitas sebagai
bentuk partisipasi manusia dalam Logos Ilahi, sehingga berpikir secara rasional
juga merupakan tindakan spiritual.¹⁰
10.2.
Sintesis Metafisis: Partisipasi
dalam Keberadaan Ilahi
Secara ontologis, sintesis skolastik berakar pada
pandangan bahwa seluruh realitas berpartisipasi dalam keberadaan Tuhan (participatio
essendi).¹¹ Aquinas mengembangkan metafisika partisipatif di mana setiap
wujud memiliki esse (keberadaan) yang berasal dari Tuhan sebagai ipsum
esse subsistens — keberadaan itu sendiri yang berdiri sendiri.¹² Hubungan
antara Tuhan dan dunia bukanlah hubungan eksternal antara pencipta dan ciptaan,
melainkan hubungan ontologis di mana ciptaan terus-menerus bergantung pada
Tuhan untuk eksistensinya.¹³
Melalui kerangka ini, Skolastisisme mengatasi
dikotomi antara teisme dan naturalisme. Dunia tidak bersifat otonom sepenuhnya,
tetapi juga tidak semata-mata ilusi teologis.¹⁴ Ia merupakan partisipasi nyata
dalam keberadaan ilahi — realitas yang rasional karena berasal dari Tuhan yang
rasional.¹⁵ Pandangan ini membentuk dasar bagi “realitas sakramental” Abad
Pertengahan, di mana seluruh ciptaan dipahami sebagai tanda (signum)
yang mengarahkan manusia kepada Sang Pencipta.¹⁶
10.3.
Sintesis Epistemologis: Ilmu sebagai
Jalan Menuju Iman
Dalam bidang epistemologi, Skolastisisme menawarkan
kerangka yang menempatkan pengetahuan manusia dalam tatanan hierarkis yang
berujung pada Tuhan sebagai causa veritatis (penyebab kebenaran).¹⁷
Pengetahuan ilmiah (scientia) dan teologis (sapientia) bukan dua
bidang yang terpisah, melainkan dua tingkat refleksi terhadap realitas yang
sama.¹⁸
Bagi para skolastik, sains dan teologi memiliki
metodologi berbeda, tetapi saling melengkapi: sains berangkat dari pengalaman
empiris dan penalaran deduktif, sementara teologi berangkat dari wahyu dan akal
yang diterangi iman.¹⁹ Melalui metode disputatio dan quaestio,
para pemikir skolastik menunjukkan bahwa rasio dapat digunakan untuk
menjelaskan dogma iman tanpa mengorbankan nilai misterinya.²⁰ Dengan demikian,
sintesis skolastik membentuk model epistemologis di mana kebenaran teologis dan
ilmiah dapat berdialog tanpa reduksi.²¹
Model ini secara historis meletakkan dasar bagi
lahirnya universitas dan struktur akademik Barat.²² Filsafat dan teologi,
meskipun dibedakan secara formal, tetap dipersatukan dalam orientasi metafisis
menuju kebenaran tertinggi.²³
10.4.
Sintesis Etis dan Teologis:
Rasionalitas Moral yang Transendental
Etika skolastik juga memperlihatkan sintesis antara
hukum kodrati dan hukum ilahi.²⁴ Dengan konsep lex naturalis, Aquinas
menunjukkan bahwa rasio manusia mampu mengenali kebaikan sejati, sementara
wahyu menyempurnakan pengetahuan moral itu dengan tujuan akhir — kebahagiaan
dalam persatuan dengan Tuhan (beatitudo aeterna).²⁵
Dalam hal ini, rasionalitas moral tidak sekadar
bersifat utilitarian atau empiris, melainkan teologis: tindakan baik adalah
tindakan yang sesuai dengan kehendak Tuhan sebagaimana dimengerti melalui
akal.²⁶ Oleh karena itu, Skolastisisme menegaskan integrasi antara kebebasan
manusia dan tatanan ilahi — manusia bebas karena ia mampu secara rasional
memilih kebaikan yang sesuai dengan tujuan penciptaannya.²⁷
10.5.
Skolastisisme sebagai Model
Rasionalitas Integral
Secara keseluruhan, Skolastisisme menawarkan model rasionalitas
integral, yakni pandangan bahwa iman dan akal merupakan dua dimensi
komplementer dari satu realitas intelektual yang sama.²⁸ Skolastisisme
mengajarkan bahwa iman tanpa akal akan menjadi fanatisme, sedangkan akal tanpa
iman akan menjadi skeptisisme atau materialisme dangkal.²⁹
Sebagaimana dikatakan Étienne Gilson, “di dalam
Skolastisisme, iman tidak pernah meniadakan rasio, melainkan memberinya makna
tertinggi.”³⁰ Melalui sintesis ini, para pemikir skolastik tidak hanya menyelamatkan
warisan rasionalitas Yunani, tetapi juga menanamkan dimensi spiritual di
dalamnya, menciptakan jembatan antara filsafat dan teologi, antara ilmu dan
wahyu, antara dunia dan Tuhan.³¹
Relevansi
Sintesis Skolastik bagi Rasionalitas Kontemporer
Warisan sintesis skolastik tetap relevan bagi
wacana filsafat modern dan kontemporer.³² Dalam dunia yang sering
memperhadapkan sains dan agama, rasio dan iman, Skolastisisme menawarkan
paradigma dialogis yang menolak dikotomi.³³ Model fides et ratio
menunjukkan bahwa kebenaran tidak terpecah antara ranah empiris dan spiritual,
tetapi membentuk kesatuan ontologis dan epistemologis.³⁴
Bahkan dalam filsafat analitik modern, semangat
skolastik masih bertahan dalam penekanan terhadap argumentasi rasional,
kejelasan konseptual, dan konsistensi logis.³⁵ Dengan demikian, sintesis
Skolastisisme bukan hanya warisan masa lalu, melainkan inspirasi untuk
membangun kembali hubungan harmonis antara ilmu, etika, dan spiritualitas dalam
paradigma pengetahuan masa kini.³⁶
Footnotes
[1]
Étienne Gilson, The Spirit of Medieval
Philosophy (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1991), 185–188.
[2]
Frederick Copleston, A History of Philosophy,
Vol. 2: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 157–160.
[3]
Alasdair MacIntyre, Three Rival Versions of
Moral Enquiry: Encyclopaedia, Genealogy, and Tradition (Notre Dame, IN:
University of Notre Dame Press, 1990), 112–115.
[4]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans.
Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I,
q.1, a.8.
[5]
Josef Pieper, Guide to Thomas Aquinas,
trans. Richard and Clara Winston (San Francisco: Ignatius Press, 1991), 83–85.
[6]
Gilson, Reason and Revelation in the Middle Ages
(New York: Charles Scribner’s Sons, 1938), 105–107.
[7]
Aquinas, Summa Contra Gentiles, trans. Anton
C. Pegis (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1975), I, 2.
[8]
Pieper, Scholasticism: Personalities and
Problems of Medieval Philosophy, trans. Richard and Clara Winston (South
Bend, IN: St. Augustine’s Press, 2001), 88–90.
[9]
Anthony Kenny, Medieval Philosophy (Oxford:
Oxford University Press, 2005), 128–130.
[10]
Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas
Aquinas (New York: Random House, 1956), 176–179.
[11]
Gilson, Being and Some Philosophers
(Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1952), 48–51.
[12]
Rudi A. te Velde, Aquinas on God: The “Divine
Science” of the Summa Theologiae (Aldershot: Ashgate, 2006), 71–73.
[13]
Brian Davies, The Thought of Thomas Aquinas
(Oxford: Clarendon Press, 1992), 125–128.
[14]
Edward Grant, God and Reason in the Middle Ages
(Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 115–118.
[15]
Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy,
190–192.
[16]
Josef Pieper, The Silence of St. Thomas
(South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 1999), 33–35.
[17]
Marcia L. Colish, Medieval Foundations of the
Western Intellectual Tradition, 400–1400 (New Haven, CT: Yale University
Press, 1997), 194–196.
[18]
A. S. McGrade, The Cambridge Companion to
Medieval Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 62–64.
[19]
Aquinas, Summa Theologica, I, q.12, a.12.
[20]
Pieper, Scholasticism, 91–93.
[21]
Gilson, Reason and Revelation in the Middle Ages,
110–112.
[22]
Richard Southern, Scholastic Humanism and the
Unification of Europe (Oxford: Blackwell, 1995), 236–238.
[23]
Copleston, Medieval Philosophy, 162–164.
[24]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, I–II,
q.91, a.2.
[25]
Pieper, The Four Cardinal Virtues (Notre
Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1966), 59–61.
[26]
Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas
Aquinas, 182–185.
[27]
MacIntyre, Three Rival Versions of Moral Enquiry,
118–120.
[28]
Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy,
193–195.
[29]
Kenny, Medieval Philosophy, 132–134.
[30]
Gilson, Reason and Revelation in the Middle Ages,
116–118.
[31]
Copleston, Medieval Philosophy, 165–167.
[32]
Pieper, Guide to Thomas Aquinas, 89–91.
[33]
Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy,
197–199.
[34]
MacIntyre, Three Rival Versions of Moral Enquiry,
123–126.
[35]
Edward Feser, Scholastic Metaphysics: A
Contemporary Introduction (Heusenstamm: Editiones Scholasticae, 2014),
15–18.
[36]
Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas
Aquinas, 190–192.
11. Relevansi Kontemporer
Meskipun Skolastisisme berakar pada konteks
intelektual Abad Pertengahan, warisannya tetap hidup dan relevan dalam berbagai
bidang pemikiran kontemporer. Sebagai suatu tradisi yang menekankan sintesis
antara iman dan akal, sistem dan kebebasan berpikir, refleksi teologis dan
rasionalitas ilmiah, Skolastisisme menyediakan model filosofis yang berguna
bagi dunia modern yang cenderung terpecah antara sains dan spiritualitas.¹
Dalam konteks pascamodern dan pluralistik, nilai-nilai metodologis dan
metafisis Skolastisisme menghadirkan alternatif bagi bentuk rasionalitas yang
terlalu fragmentaris dan reduksionistik.²
11.1.
Reaktualisasi Metode Rasional dan
Dialektis
Metode skolastik, dengan struktur quaestio, disputatio,
dan determinatio, menanamkan tradisi berpikir kritis dan dialogis
yang tetap relevan bagi pendidikan modern.³ Dalam era informasi yang sarat
dengan relativisme dan dogmatisme ideologis, model berpikir skolastik
mengajarkan pentingnya menimbang berbagai argumen secara sistematis sebelum
mencapai kesimpulan.⁴
Prinsip disputatio dapat dilihat sebagai
cikal bakal metode ilmiah dan argumentatif modern — di mana kebenaran dicapai
melalui proses dialektis antara tesis, antitesis, dan sintesis.⁵ Banyak
universitas kontemporer masih mewarisi struktur ini dalam bentuk seminar, debat
akademik, dan peer review yang berakar pada tradisi skolastik universitas Paris
dan Bologna.⁶ Dengan demikian, warisan metodologis Skolastisisme berperan
penting dalam membentuk etos rasional ilmiah yang terbuka, reflektif, dan
intersubjektif.⁷
11.2.
Fondasi Dialog antara Sains dan
Agama
Dalam konteks modern, Skolastisisme juga memiliki
peran signifikan dalam menjembatani hubungan antara sains dan agama.⁸
Model epistemologis skolastik menolak dikotomi antara pengetahuan ilmiah dan
teologis, dengan menegaskan bahwa keduanya menyingkap aspek berbeda dari kebenaran
yang sama.⁹
Pemikiran Thomas Aquinas tentang ordo rationis
dan ordo fidei — tatanan rasio dan iman — memberikan kerangka konseptual
untuk dialog antara teologi dan ilmu pengetahuan kontemporer.¹⁰ Pandangan ini
kembali dihidupkan dalam ensiklik Fides et Ratio (1998) oleh Paus
Yohanes Paulus II, yang menyerukan rekonsiliasi antara kebijaksanaan iman dan
rasionalitas ilmiah.¹¹ Dengan demikian, Skolastisisme tetap menjadi sumber
inspirasi bagi filsafat sains dan teologi modern yang berupaya menghindari konflik
epistemologis antara empirisme dan iman.¹²
11.3.
Inspirasi bagi Filsafat Analitik dan
Etika Modern
Secara tidak langsung, warisan skolastik juga hadir
dalam filsafat analitik kontemporer, terutama dalam bidang logika dan
filsafat bahasa.¹³ Kecermatan konseptual, penekanan pada kejelasan
argumentatif, dan analisis terhadap istilah (suppositio, significatio,
dan terminus) yang dikembangkan oleh para skolastik seperti Ockham dan
Abelardus dapat dianggap sebagai pendahulu bagi logika formal modern.¹⁴
Selain itu, etika skolastik yang berakar pada hukum
kodrati (lex naturalis) telah mengalami kebangkitan dalam filsafat moral
kontemporer, khususnya melalui New Natural Law Theory yang dikembangkan
oleh John Finnis dan Germain Grisez.¹⁵ Teori ini menegaskan bahwa prinsip moral
dapat ditemukan melalui refleksi rasional atas kodrat manusia, suatu gagasan
yang langsung bersumber dari tradisi Aquinas.¹⁶ Dalam konteks perdebatan
bioetika, hak asasi manusia, dan filsafat hukum, pandangan ini memberikan dasar
universal bagi etika normatif yang tidak bergantung pada relativisme budaya.¹⁷
11.4.
Relevansi dalam Konteks Pluralisme
dan Postmodernisme
Dunia kontemporer yang plural dan postmodern
ditandai oleh krisis makna serta fragmentasi epistemologis.¹⁸ Dalam situasi
ini, Skolastisisme menawarkan kerangka rasional yang terbuka namun berakar,
yakni struktur berpikir yang menghargai tradisi tanpa menolak kebaruan.¹⁹
Gilson menegaskan bahwa kekuatan Skolastisisme bukan pada dogmanya, melainkan
pada kemampuannya untuk “mengintegrasikan iman dan akal dalam dinamika sejarah
rasionalitas manusia.”²⁰
Dengan menolak reduksi kebenaran pada dimensi
empiris atau relativisme nihilistik, Skolastisisme menunjukkan bahwa akal budi
manusia dapat mencari kebenaran objektif tanpa menafikan kompleksitas
pengalaman historis dan spiritual.²¹ Model berpikir ini membuka kemungkinan
bagi filsafat interreligius, teologi kontekstual, dan etika global yang berakar
pada prinsip rasional universal namun tetap menghormati keragaman budaya.²²
Refleksi
Filosofis: Skolastisisme sebagai Rasionalitas Integral
Relevansi terbesar Skolastisisme terletak pada
gagasannya tentang rasionalitas integral — rasionalitas yang menyatukan
dimensi logis, etis, dan spiritual dari manusia.²³ Dalam zaman ketika rasio
sering dipisahkan dari moralitas dan spiritualitas, Skolastisisme mengingatkan
bahwa berpikir sejati bukan hanya kegiatan intelektual, tetapi juga tindakan
moral yang menuntun manusia menuju kebijaksanaan (sapientia).²⁴
Sintesis antara iman dan akal dalam Skolastisisme
menjadi model bagi upaya kontemporer dalam membangun epistemologi yang
holistik, baik dalam filsafat, sains, maupun teologi.²⁵ Sebagaimana ditegaskan
MacIntyre, tradisi skolastik menampilkan “rasionalitas dalam konteks komunitas
moral,” di mana pengetahuan, kebaikan, dan iman tidak terpisah, tetapi saling
meneguhkan.²⁶
Dengan demikian, Skolastisisme tetap relevan bukan
karena ia menawarkan sistem tertutup, tetapi karena ia mengajarkan disiplin
berpikir, kejujuran intelektual, dan keterbukaan terhadap kebenaran transenden
— nilai-nilai yang tetap dibutuhkan di tengah krisis intelektual dan spiritual
abad ke-21.²⁷
Footnotes
[1]
Étienne Gilson, The Spirit of Medieval
Philosophy (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1991), 200–202.
[2]
Frederick Copleston, A History of Philosophy,
Vol. 2: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 168–170.
[3]
Josef Pieper, Scholasticism: Personalities and
Problems of Medieval Philosophy, trans. Richard and Clara Winston (South
Bend, IN: St. Augustine’s Press, 2001), 95–97.
[4]
Richard Southern, Scholastic Humanism and the
Unification of Europe (Oxford: Blackwell, 1995), 242–244.
[5]
A. S. McGrade, The Cambridge Companion to
Medieval Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 72–74.
[6]
Marcia L. Colish, Medieval Foundations of the
Western Intellectual Tradition, 400–1400 (New Haven, CT: Yale University
Press, 1997), 198–200.
[7]
Anthony Kenny, Medieval Philosophy (Oxford:
Oxford University Press, 2005), 137–139.
[8]
Edward Grant, God and Reason in the Middle Ages
(Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 120–123.
[9]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans.
Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I,
q.1, a.8.
[10]
Josef Pieper, Guide to Thomas Aquinas,
trans. Richard and Clara Winston (San Francisco: Ignatius Press, 1991), 92–95.
[11]
John Paul II, Fides et Ratio (Vatican City:
Libreria Editrice Vaticana, 1998), §43.
[12]
Gilson, Reason and Revelation in the Middle Ages
(New York: Charles Scribner’s Sons, 1938), 120–122.
[13]
Edward Feser, Scholastic Metaphysics: A
Contemporary Introduction (Heusenstamm: Editiones Scholasticae, 2014),
25–28.
[14]
Marilyn McCord Adams, William Ockham (Notre
Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1987), 117–120.
[15]
John Finnis, Natural Law and Natural Rights
(Oxford: Oxford University Press, 1980), 23–26.
[16]
Germain Grisez, The Way of the Lord Jesus, Vol.
1: Christian Moral Principles (Chicago: Franciscan Herald Press, 1983),
55–58.
[17]
Brian Davies, The Thought of Thomas Aquinas
(Oxford: Clarendon Press, 1992), 136–139.
[18]
Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre
Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1981), 109–111.
[19]
Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas
Aquinas (New York: Random House, 1956), 194–197.
[20]
Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy,
204–206.
[21]
Copleston, Medieval Philosophy, 172–174.
[22]
MacIntyre, Three Rival Versions of Moral
Enquiry: Encyclopaedia, Genealogy, and Tradition (Notre Dame, IN:
University of Notre Dame Press, 1990), 130–132.
[23]
Pieper, Guide to Thomas Aquinas, 98–100.
[24]
Gilson, Reason and Revelation in the Middle Ages,
125–128.
[25]
Feser, Scholastic Metaphysics, 35–38.
[26]
MacIntyre, Three Rival Versions of Moral Enquiry,
134–136.
[27]
Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy,
210–212.
12. Kesimpulan
Skolastisisme, sebagai puncak pemikiran intelektual
Abad Pertengahan, bukan sekadar fenomena historis, melainkan suatu paradigma
rasional-teologis yang menandai usaha manusia untuk menyatukan dua sumber
pengetahuan — iman dan akal — dalam satu horizon kebenaran.¹ Dalam konteks
historisnya, Skolastisisme lahir dari kebutuhan Gereja dan masyarakat
intelektual Eropa untuk menjelaskan iman Kristen melalui perangkat rasional
yang diwarisi dari filsafat Yunani, khususnya Aristotelianisme.² Namun, di
balik kerangka teologisnya, tradisi ini membentuk suatu sistem epistemologis
dan metodologis yang menjadi fondasi bagi berkembangnya rasionalitas Barat.³
12.1.
Integrasi Akal dan Iman sebagai
Warisan Intelektual
Pencapaian utama Skolastisisme terletak pada
kemampuannya mengintegrasikan iman dan rasio secara sistematis.⁴ Melalui
prinsip fides quaerens intellectum (iman yang mencari pengertian), para
pemikir skolastik seperti Anselmus, Aquinas, dan Bonaventura menunjukkan bahwa
iman tidak bertentangan dengan akal, tetapi menemukan kepenuhannya di
dalamnya.⁵ Dengan demikian, Skolastisisme tidak menundukkan filsafat pada
teologi, tetapi menempatkannya dalam relasi dialogis yang saling memperkaya.⁶
Thomas Aquinas menjadi simbol sintesis ini. Ia
membangun sistem filsafat yang menjelaskan realitas sebagai partisipasi dalam
keberadaan ilahi (participatio essendi), di mana akal manusia berfungsi
untuk mengenali keteraturan ciptaan sebagai refleksi dari Logos Ilahi.⁷
Pandangan ini melahirkan suatu metafisika partisipatif yang menghubungkan
Tuhan, dunia, dan manusia dalam satu tatanan ontologis yang rasional.⁸
12.2.
Nilai Metodologis dan Rasionalitas
Skolastik
Secara metodologis, Skolastisisme meninggalkan
warisan penting berupa struktur berpikir dialektis yang ketat dan terbuka
terhadap kritik.⁹ Format quaestio dan disputatio bukan hanya
teknik retoris, melainkan pola epistemologis yang menumbuhkan kebiasaan
berpikir sistematis, argumentatif, dan berbasis bukti.¹⁰ Semangat ini menjadi
dasar bagi universitas-universitas modern, yang tetap mempertahankan prinsip
rasional, dialogis, dan sistematis dalam tradisi akademiknya.¹¹
Selain itu, metode skolastik juga berperan dalam
pembentukan disiplin logika formal dan epistemologi analitik.¹² Gagasan bahwa
kebenaran dapat dijelaskan dan diuji secara argumentatif membentuk tradisi
rasionalitas yang kelak berkembang dalam sains dan filsafat modern.¹³ Dalam
pengertian ini, Skolastisisme dapat dipandang sebagai jembatan antara dunia
teologis abad pertengahan dan rasionalitas ilmiah modern.¹⁴
12.3.
Skolastisisme sebagai Etos
Intelektual dan Spiritualitas Rasional
Lebih dari sekadar sistem filsafat, Skolastisisme
adalah etos intelektual yang memadukan pencarian rasional dengan
komitmen spiritual.¹⁵ Ia menunjukkan bahwa berpikir adalah bentuk ibadah:
aktivitas akal yang berpartisipasi dalam kebenaran ilahi.¹⁶ Bagi para
skolastik, teologi bukan semata sistem dogmatis, melainkan jalan menuju
kebijaksanaan (sapientia), di mana pengetahuan dan cinta bersatu dalam
kontemplasi akan Tuhan.¹⁷
Etos ini tetap relevan dalam konteks dunia modern
yang sering memisahkan pengetahuan dari moralitas, atau sains dari
spiritualitas.¹⁸ Skolastisisme mengajarkan bahwa kebenaran sejati menuntut
integrasi antara dimensi rasional, etis, dan teologis dari eksistensi
manusia.¹⁹
Refleksi
Akhir: Dari Tradisi ke Transformasi
Warisan Skolastisisme bukanlah dogma yang beku,
tetapi tradisi hidup yang terus bertransformasi.²⁰ Kritik humanisme
Renaisans, rasionalisme modern, dan empirisme abad ke-17 tidak menghancurkan
Skolastisisme, melainkan memperkaya warisannya dengan menantang
batas-batasnya.²¹ Dalam arti ini, Skolastisisme menjadi sumber refleksi
filosofis yang terus relevan: ia mengajarkan bahwa iman dan rasio, wahyu dan
pengalaman, dapat berdialog dalam horizon yang sama tanpa kehilangan integritas
masing-masing.²²
Sebagaimana ditegaskan Étienne Gilson, kekuatan
Skolastisisme bukan terletak pada kesempurnaan sistemnya, tetapi pada semangat
intelektualnya — keberaniannya untuk berpikir secara radikal sambil tetap
berakar pada iman.²³ Dengan demikian, Skolastisisme tidak hanya menjadi warisan
masa lalu, melainkan juga inspirasi masa depan: sebuah model bagi rasionalitas
yang utuh, terbuka, dan transenden.²⁴
Footnotes
[1]
Étienne Gilson, The Spirit of Medieval
Philosophy (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1991), 213–215.
[2]
Frederick Copleston, A History of Philosophy,
Vol. 2: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 175–177.
[3]
Josef Pieper, Scholasticism: Personalities and
Problems of Medieval Philosophy, trans. Richard and Clara Winston (South
Bend, IN: St. Augustine’s Press, 2001), 100–102.
[4]
Alasdair MacIntyre, Three Rival Versions of
Moral Enquiry: Encyclopaedia, Genealogy, and Tradition (Notre Dame, IN:
University of Notre Dame Press, 1990), 140–142.
[5]
Anselm of Canterbury, Proslogion, trans.
Thomas Williams (Indianapolis: Hackett, 2001), I.
[6]
Gilson, Reason and Revelation in the Middle Ages
(New York: Charles Scribner’s Sons, 1938), 130–132.
[7]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans.
Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I,
q.3, a.4.
[8]
Rudi A. te Velde, Aquinas on God: The “Divine
Science” of the Summa Theologiae (Aldershot: Ashgate, 2006), 84–86.
[9]
Marcia L. Colish, Medieval Foundations of the
Western Intellectual Tradition, 400–1400 (New Haven, CT: Yale University
Press, 1997), 205–207.
[10]
Anthony Kenny, Medieval Philosophy (Oxford:
Oxford University Press, 2005), 145–147.
[11]
Richard Southern, Scholastic Humanism and the
Unification of Europe (Oxford: Blackwell, 1995), 250–252.
[12]
Edward Feser, Scholastic Metaphysics: A
Contemporary Introduction (Heusenstamm: Editiones Scholasticae, 2014),
39–41.
[13]
Josef Pieper, Guide to Thomas Aquinas,
trans. Richard and Clara Winston (San Francisco: Ignatius Press, 1991),
104–106.
[14]
Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas
Aquinas (New York: Random House, 1956), 202–204.
[15]
Copleston, Medieval Philosophy, 180–182.
[16]
Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy,
218–220.
[17]
Brian Davies, The Thought of Thomas Aquinas
(Oxford: Clarendon Press, 1992), 142–145.
[18]
MacIntyre, After Virtue (Notre Dame, IN:
University of Notre Dame Press, 1981), 114–116.
[19]
Pieper, The Four Cardinal Virtues (Notre
Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1966), 66–68.
[20]
Gilson, Reason and Revelation in the Middle Ages,
136–138.
[21]
Copleston, Medieval Philosophy, 184–186.
[22]
Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy,
222–224.
[23]
Étienne Gilson, The Unity of Philosophical
Experience (New York: Scribner’s Sons, 1937), 91–93.
[24]
Pieper, Scholasticism: Personalities and
Problems of Medieval Philosophy, 109–111.
Daftar Pustaka
Adams, M. M. (1987). William Ockham.
University of Notre Dame Press.
Anselm of Canterbury. (1995). Monologion (T.
Williams, Trans.). Hackett.
Anselm of Canterbury. (2001). Proslogion (T.
Williams, Trans.). Hackett.
Aristotle. (1924). Metaphysics (W. D. Ross,
Trans.). Clarendon Press.
Aristotle. (1931). De Anima (J. A. Smith,
Trans.). Clarendon Press.
Aristotle. (1985). Nicomachean Ethics (T.
Irwin, Trans.). Hackett.
Augustine. (1972). The City of God (H.
Bettenson, Trans.). Penguin.
Augustine. (1991). Confessions (H. Chadwick,
Trans.). Oxford University Press.
Augustine. (1991). De Trinitate (E. Hill,
Trans.). New City Press.
Augustine. (1993). De Libero Arbitrio (T.
Williams, Trans.). Hackett.
Bacon, F. (2000). Novum Organum (L. Jardine
& M. Silverthorne, Eds.). Cambridge University Press.
Boethius. (1978). De Topicis Differentiis
(E. Stump, Trans.). Cornell University Press.
Colish, M. L. (1997). Medieval Foundations of
the Western Intellectual Tradition, 400–1400. Yale University Press.
Copleston, F. (1993). A history of philosophy:
Vol. 2. Medieval philosophy. Image Books.
Cross, R. (2005). Duns Scotus on God.
Ashgate.
Davies, B. (1992). The thought of Thomas Aquinas.
Clarendon Press.
Descartes, R. (1996). Meditations on first
philosophy (J. Cottingham, Trans.). Cambridge University Press.
Erasmus, D. (1971). The praise of folly (B.
Radice, Trans.). Penguin.
Feser, E. (2014). Scholastic metaphysics: A
contemporary introduction. Editiones Scholasticae.
Finnis, J. (1980). Natural law and natural rights.
Oxford University Press.
Gilson, É. (1937). The unity of philosophical
experience. Scribner’s Sons.
Gilson, É. (1938). Reason and revelation in the
Middle Ages. Charles Scribner’s Sons.
Gilson, É. (1941). God and philosophy. Yale
University Press.
Gilson, É. (1952). Being and some philosophers.
Pontifical Institute of Mediaeval Studies.
Gilson, É. (1956). The Christian philosophy of
St. Thomas Aquinas. Random House.
Gilson, É. (1991). The spirit of medieval
philosophy. University of Notre Dame Press.
Grant, E. (2001). God and reason in the Middle
Ages. Cambridge University Press.
Grisez, G. (1983). The way of the Lord Jesus,
Vol. 1: Christian moral principles. Franciscan Herald Press.
Haskins, C. H. (1927). The renaissance of the twelfth
century. Harvard University Press.
Ingham, M. B. (2003). Scotus for dunces: An
introduction to the Subtle Doctor. Franciscan Institute.
John Paul II. (1998). Fides et ratio.
Libreria Editrice Vaticana.
Kenny, A. (2005). Medieval philosophy.
Oxford University Press.
Kristeller, P. O. (1979). Renaissance thought
and its sources. Columbia University Press.
Le Goff, J. (1993). Intellectuals in the Middle
Ages (T. L. Fagan, Trans.). Blackwell.
Leaman, O. (1999). A brief introduction to
Islamic philosophy. Polity Press.
Leibniz, G. W. (1898). Monadology (R. Latta,
Trans.). Clarendon Press.
Locke, J. (1975). An essay concerning human
understanding (P. H. Nidditch, Ed.). Clarendon Press.
MacIntyre, A. (1981). After virtue.
University of Notre Dame Press.
MacIntyre, A. (1990). Three rival versions of
moral enquiry: Encyclopaedia, genealogy, and tradition. University of Notre
Dame Press.
McGrade, A. S. (Ed.). (2003). The Cambridge
companion to medieval philosophy. Cambridge University Press.
Maimonides, M. (2005). Moses Maimonides: The man
and his works (H. A. Davidson). Oxford University Press.
Ockham, W. of. (1974). Summa logicae (P.
Boehner, Trans.). Franciscan Institute.
Petrarca, F. (1982). Letters on familiar matters
(A. S. Bernardo, Trans.). Johns Hopkins University Press.
Pieper, J. (1966). The four cardinal virtues.
University of Notre Dame Press.
Pieper, J. (1991). Guide to Thomas Aquinas
(R. & C. Winston, Trans.). Ignatius Press.
Pieper, J. (1999). The silence of St. Thomas.
St. Augustine’s Press.
Pieper, J. (2001). Scholasticism: Personalities
and problems of medieval philosophy (R. & C. Winston, Trans.). St.
Augustine’s Press.
Southern, R. W. (1953). The making of the Middle
Ages. Yale University Press.
Southern, R. (1995). Scholastic humanism and the
unification of Europe. Blackwell.
Spinoza, B. (1996). Ethics (E. Curley,
Trans.). Penguin.
Tempier, É. (1999). Condemnation of 1277 (D.
Piché, Trans.). Pontifical Institute of Mediaeval Studies.
te Velde, R. A. (2006). Aquinas on God: The
“Divine Science” of the Summa Theologiae. Ashgate.
Trinkaus, C. (1970). In our image and likeness:
Humanity and divinity in Italian humanist thought. University of Chicago
Press.
Van Steenberghen, F. (1955). The philosophical
movement in the thirteenth century. Nelson.
Van Steenberghen, F. (1955). Aristotle in the
West: The origins of Latin Aristotelianism. Louvain University Press.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar