Selasa, 02 Desember 2025

Skolastisisme: Sintesis Rasional antara Iman dan Akal dalam Tradisi Filsafat Abad Pertengahan

Skolastisisme

Sintesis Rasional antara Iman dan Akal dalam Tradisi Filsafat Abad Pertengahan


Alihkan ke: Aliran Sejarah Filsafat.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif tradisi Skolastisisme sebagai puncak perkembangan intelektual Abad Pertengahan yang berupaya menyatukan iman (fides) dan akal (ratio) dalam suatu kerangka rasional-teologis yang sistematis. Skolastisisme lahir dari konteks historis Eropa Kristen yang berinteraksi dengan warisan filsafat Yunani dan Islam, sehingga menghasilkan sintesis intelektual yang unik antara wahyu dan rasionalitas. Melalui tokoh-tokoh utama seperti Anselmus, Petrus Abelardus, Bonaventura, dan terutama Thomas Aquinas, Skolastisisme mengembangkan sistem berpikir dialektis yang menegaskan bahwa kebenaran iman dan kebenaran akal tidak saling bertentangan, tetapi berakar pada satu sumber ilahi yang sama.

Kajian ini memaparkan fondasi historis, teologis, dan filosofis dari Skolastisisme, termasuk konsep-konsep sentral seperti actus-potentia, essentia-esse, dan lex naturalis, serta penerapan metode disputatio dalam tradisi akademik universitas. Selain itu, artikel ini menyoroti dimensi ontologis, epistemologis, dan etis Skolastisisme sebagai model integrasi rasionalitas dan spiritualitas. Pada bagian akhir, pembahasan diarahkan pada relevansi kontemporer Skolastisisme dalam konteks dialog antara sains dan agama, kebangkitan etika hukum kodrati, serta filsafat analitik modern yang tetap mewarisi semangat argumentatif dan metodologis skolastik.

Hasil analisis menunjukkan bahwa Skolastisisme bukanlah sistem dogmatis yang kaku, melainkan paradigma rasional terbuka yang menegaskan pentingnya sintesis antara rasio dan iman dalam pencarian kebenaran. Dengan karakter sistematis, logis, dan dialogisnya, Skolastisisme tetap relevan bagi wacana filsafat kontemporer, khususnya dalam upaya membangun epistemologi integral yang menggabungkan dimensi empiris, rasional, dan teologis dari pengalaman manusia.

Kata Kunci: Skolastisisme; Thomas Aquinas; Fides et Ratio; Rasionalitas Abad Pertengahan; Ontologi; Epistemologi; Teologi Moral; Metode Disputatio; Sintesis Akal dan Iman.


PEMBAHASAN

Skolastisisme sebagai Jembatan antara Iman dan Rasio


1.           Pendahuluan

Skolastisisme merupakan salah satu fase paling penting dalam sejarah filsafat Barat, khususnya pada periode Abad Pertengahan. Istilah scholastica berasal dari kata Latin schola, yang berarti “sekolah”, dan merujuk pada metode pembelajaran yang berkembang di lingkungan akademik Eropa antara abad ke-11 hingga ke-15. Dalam konteks historis, Skolastisisme bukan sekadar sistem pemikiran, melainkan suatu metode rasional-teologis yang berupaya menjembatani antara iman (fides) dan akal (ratio) sebagai dua sumber pengetahuan yang sahih namun tampak berlawanan.¹

Kelahiran Skolastisisme berakar pada transformasi intelektual yang terjadi di dunia Kristen Barat setelah masa Patristik. Para Bapa Gereja, seperti Agustinus, telah menanamkan fondasi bahwa pengetahuan sejati berakar pada wahyu ilahi; namun, pada masa Skolastik, muncul upaya untuk menegaskan bahwa akal budi manusia juga memiliki legitimasi epistemologis untuk memahami kebenaran.² Dalam konteks ini, filsafat tidak lagi dianggap ancaman bagi teologi, melainkan sebagai pelayan (ancilla theologiae) yang membantu menafsirkan dogma secara rasional.³

Kecenderungan ini diperkuat oleh pengaruh filsafat Yunani, khususnya Aristoteles, yang masuk ke dunia Latin melalui penerjemahan karya-karya Arab dan Yahudi.⁴ Melalui tokoh-tokoh seperti Avicenna (Ibn Sīnā) dan Averroes (Ibn Rushd), konsep-konsep metafisis Aristotelian — seperti actus-potentia, substansi-aksiden, dan form-matter — diadaptasi dan diintegrasikan ke dalam kerangka teologis Kristen oleh para pemikir skolastik seperti Thomas Aquinas dan Albertus Magnus.⁵

Namun, Skolastisisme tidak dapat dipahami hanya sebagai sistem teologi rasional. Ia juga merupakan metode epistemologis yang menekankan dialektika, sistematisasi, dan logika sebagai sarana pencapaian kebenaran. Melalui format quaestio, disputatio, dan determinatio, para sarjana abad pertengahan berusaha menyusun sintesis antara otoritas kitab suci, ajaran gereja, dan rasionalitas logis.⁶ Dengan demikian, Skolastisisme merupakan representasi puncak dari semangat intelektual Abad Pertengahan — suatu usaha untuk menegakkan keterpaduan antara iman dan akal, antara wahyu dan rasio, antara teologi dan filsafat.⁷

Dalam sejarah filsafat, Skolastisisme menandai masa di mana rasionalitas religius menjadi bentuk tertinggi dari refleksi intelektual. Ia membangun sistem berpikir yang tidak menolak wahyu, tetapi justru mengartikulasikannya secara konseptual dan logis.⁸ Karena itu, memahami Skolastisisme berarti memahami bagaimana Eropa membangun tradisi rasionalitasnya dari akar teologis menuju dasar filosofis — sebuah jembatan yang akan membuka jalan bagi kebangkitan rasionalisme modern di era Descartes dan Bacon.⁹


Footnotes

[1]                Étienne Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1991), 3–5.

[2]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 2: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 12–14.

[3]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, q.1, a.8.

[4]                Richard E. Rubenstein, Aristotle’s Children: How Christians, Muslims, and Jews Rediscovered Ancient Wisdom and Illuminated the Dark Ages (Orlando, FL: Harcourt, 2003), 47–51.

[5]                David Knowles, The Evolution of Medieval Thought (London: Longman, 1988), 73–78.

[6]                Josef Pieper, Guide to Thomas Aquinas, trans. Richard and Clara Winston (San Francisco: Ignatius Press, 1991), 24–26.

[7]                Anthony Kenny, Medieval Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2005), 32–34.

[8]                Fernand Van Steenberghen, The Philosophical Movement in the Thirteenth Century (Edinburgh: Nelson, 1955), 15–17.

[9]                Alasdair MacIntyre, Three Rival Versions of Moral Enquiry: Encyclopaedia, Genealogy, and Tradition (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1990), 39–42.


2.           Latar Historis dan Genealogi Intelektual

Kemunculan Skolastisisme tidak dapat dilepaskan dari dinamika sosial, politik, dan intelektual Eropa pada Abad Pertengahan. Setelah runtuhnya Kekaisaran Romawi Barat pada abad ke-5, Eropa mengalami fragmentasi sosial dan kultural yang panjang, di mana Gereja Katolik menjadi satu-satunya lembaga yang mempertahankan kesinambungan intelektual dan spiritualitas masyarakat Barat.¹ Lembaga-lembaga keagamaan seperti biara dan katedral tidak hanya berfungsi sebagai pusat ibadah, tetapi juga sebagai wadah pendidikan dan pelestarian teks-teks klasik Yunani-Romawi.² Dari sinilah benih awal scholae — asal kata skolastik — mulai tumbuh, yang kemudian melahirkan sistem pendidikan formal abad pertengahan.

Pada abad ke-9 hingga ke-12, Eropa mengalami apa yang disebut “Kebangkitan Karoling” dan “Renaisans Abad Kedua Belas,” yang menandai kembalinya minat terhadap ilmu pengetahuan dan filsafat klasik.³ Periode ini ditandai oleh peningkatan aktivitas penerjemahan teks-teks Yunani ke dalam bahasa Latin, yang sebagian besar diperoleh dari dunia Islam di Andalusia dan Sisilia.⁴ Karya Aristoteles, yang sebelumnya hampir hilang di Barat, kembali dikenal melalui terjemahan dan komentar para filsuf Muslim seperti Al-Fārābī, Avicenna (Ibn Sīnā), dan Averroes (Ibn Rushd).⁵ Para pemikir Yahudi seperti Maimonides juga turut menyumbang pada integrasi rasionalisme klasik dengan tradisi monoteistik.⁶

Hubungan intelektual lintas agama ini melahirkan suatu ekosistem dialog filosofis yang menjadi fondasi bagi Skolastisisme. Pemikiran Yunani disaring melalui hermeneutika Islam dan Yahudi, kemudian diinterpretasikan ulang dalam bingkai teologis Kristen.⁷ Akibatnya, universitas-universitas awal seperti Paris, Bologna, dan Oxford berkembang menjadi pusat dialog antara filsafat dan teologi, tempat metode dialektika dan logika Aristotelian diterapkan secara sistematis.⁸ Di sinilah para teolog-filsuf seperti Anselmus, Abelardus, dan kemudian Thomas Aquinas mulai membangun kerangka intelektual yang berupaya menyatukan iman dan akal.

Pada masa inilah pula berkembang metode disputatio — tradisi perdebatan akademik yang memadukan ketelitian logika dengan kedalaman teologis.⁹ Metode ini mencerminkan semangat zaman: upaya memahami kebenaran ilahi melalui struktur rasional dan argumentatif. Dalam kerangka historis ini, Skolastisisme tampil bukan hanya sebagai respon terhadap tantangan rasionalitas klasik, tetapi juga sebagai simbol dari sintesis peradaban: Yunani, Islam, dan Kristen.¹⁰

Dengan demikian, genealogi intelektual Skolastisisme menunjukkan bahwa ia bukan tradisi tertutup yang lahir dari isolasi Eropa Kristen, melainkan hasil dari proses panjang transmisi, adaptasi, dan dialog antarperadaban.¹¹ Di dalamnya, filsafat dan teologi menemukan keseimbangan baru yang membentuk wajah rasionalitas Barat hingga era modern.


Footnotes

[1]                Jacques Le Goff, Intellectuals in the Middle Ages, trans. Teresa Lavender Fagan (Cambridge, MA: Blackwell, 1993), 15–18.

[2]                R. W. Southern, The Making of the Middle Ages (New Haven, CT: Yale University Press, 1953), 63–66.

[3]                Charles Homer Haskins, The Renaissance of the Twelfth Century (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1927), 23–27.

[4]                Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ‘Abbāsid Society (London: Routledge, 1998), 114–118.

[5]                Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy (Cambridge: Polity Press, 1999), 44–46.

[6]                Herbert A. Davidson, Moses Maimonides: The Man and His Works (Oxford: Oxford University Press, 2005), 67–70.

[7]                A. S. McGrade, The Cambridge Companion to Medieval Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 9–11.

[8]                Marcia L. Colish, Medieval Foundations of the Western Intellectual Tradition, 400–1400 (New Haven, CT: Yale University Press, 1997), 134–138.

[9]                Josef Pieper, Scholasticism: Personalities and Problems of Medieval Philosophy, trans. Richard and Clara Winston (South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 2001), 17–19.

[10]             Edward Grant, God and Reason in the Middle Ages (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 42–45.

[11]             Fernand Van Steenberghen, Aristotle in the West: The Origins of Latin Aristotelianism (Louvain: Louvain University Press, 1955), 21–24.


3.           Fondasi Teologis dan Filosofis Skolastisisme

Skolastisisme dibangun di atas fondasi ganda: teologis dan filosofis. Fondasi teologisnya terletak pada keyakinan bahwa kebenaran yang diwahyukan oleh Tuhan dapat dan harus dipahami oleh akal manusia.¹ Dalam kerangka ini, teologi tidak berdiri sebagai sistem dogmatis tertutup, tetapi sebagai medan refleksi rasional atas iman. Skolastisisme mewarisi semangat Augustinian — bahwa akal budi adalah anugerah ilahi untuk memahami kehendak Tuhan.² Namun, para pemikir skolastik tidak berhenti pada kontemplasi mistik seperti para Bapa Gereja; mereka berusaha merumuskan struktur epistemologis yang memungkinkan iman dijelaskan melalui kategori logika dan metafisika.³

Prinsip dasar yang menuntun keseluruhan sistem skolastik adalah fides quaerens intellectum — “iman yang mencari pengertian.”⁴ Prinsip ini, yang mula-mula dikemukakan oleh Anselmus dari Canterbury, menegaskan bahwa iman mendahului pengetahuan, tetapi pengetahuan memperdalam iman. Iman menjadi titik tolak, sedangkan akal menjadi instrumen untuk menafsirkan dan meneguhkan kebenaran wahyu.⁵ Dalam kerangka teologis ini, filsafat berfungsi bukan untuk menggantikan iman, melainkan untuk memberikan dasar rasional yang memungkinkannya dipahami dan dipertahankan secara argumentatif.⁶

Secara filosofis, Skolastisisme menemukan bentuknya melalui asimilasi sistem Aristotelian.⁷ Aristoteles menyediakan perangkat logis dan ontologis yang sangat cocok bagi proyek rasionalisasi teologi. Struktur actus-potentia, konsep substantia, causa prima, dan ordo naturalis memberi kerangka bagi teolog untuk menjelaskan hubungan antara Tuhan dan ciptaan.⁸ Thomas Aquinas, misalnya, memadukan metafisika Aristotelian dengan doktrin Kristen melalui konsep analogia entis (analogi keberadaan), di mana eksistensi segala sesuatu merupakan partisipasi dalam eksistensi Tuhan yang mutlak.⁹

Dalam epistemologi skolastik, wahyu dan rasio tidak dipandang sebagai dua sumber pengetahuan yang saling bertentangan, melainkan sebagai dua cara berbeda untuk mengakses kebenaran yang sama.ⁱ⁰ Wahyu adalah kebenaran yang diberikan, sedangkan rasio adalah kebenaran yang dicari. Skolastisisme menegaskan bahwa kebenaran rasional tidak mungkin bertentangan dengan kebenaran iman, sebab keduanya berasal dari sumber yang sama: Tuhan sebagai causa veritatis.ⁱ¹

Selain itu, metode skolastik menekankan integrasi antara auctoritas (otoritas teks suci dan tradisi gereja) dan ratio (penalaran manusia).ⁱ² Inilah sebabnya mengapa karya-karya besar seperti Summa Theologica disusun dalam format pertanyaan, keberatan, dan jawaban yang sistematis — meniru proses rasional sekaligus tunduk pada iman.ⁱ³ Melalui sintesis inilah, Skolastisisme berhasil membangun sistem pemikiran yang tidak hanya menjelaskan iman secara logis, tetapi juga menjadikan teologi sebagai disiplin ilmiah dengan metodologi rasional yang ketat.ⁱ⁴

Dengan demikian, fondasi teologis dan filosofis Skolastisisme menunjukkan bahwa rasionalitas abad pertengahan bukanlah penolakan terhadap iman, tetapi sebuah upaya untuk mengharmoniskan wahyu dengan akal, dan menjadikan keduanya sebagai instrumen komplementer dalam mencari kebenaran tertinggi.ⁱ⁵


Footnotes

[1]                Étienne Gilson, Reason and Revelation in the Middle Ages (New York: Charles Scribner’s Sons, 1938), 7–9.

[2]                Augustine, Confessions, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 1991), VII, 10.

[3]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 2: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 56–58.

[4]                Anselm of Canterbury, Proslogion, trans. Thomas Williams (Indianapolis: Hackett, 2001), I.

[5]                Brian Davies, Anselm and the Argument for God’s Existence (London: Routledge, 1998), 22–25.

[6]                Rudi A. te Velde, Aquinas on God: The “Divine Science” of the Summa Theologiae (Aldershot: Ashgate, 2006), 12–14.

[7]                Anthony Kenny, Medieval Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2005), 47–49.

[8]                Josef Pieper, Guide to Thomas Aquinas, trans. Richard and Clara Winston (San Francisco: Ignatius Press, 1991), 32–34.

[9]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, q.13, a.5.

[10]             Fernand Van Steenberghen, The Philosophical Movement in the Thirteenth Century (Edinburgh: Nelson, 1955), 89–92.

[11]             Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1991), 123–126.

[12]             Marcia L. Colish, Medieval Foundations of the Western Intellectual Tradition, 400–1400 (New Haven, CT: Yale University Press, 1997), 152–155.

[13]             Pieper, Scholasticism: Personalities and Problems of Medieval Philosophy, trans. Richard and Clara Winston (South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 2001), 25–27.

[14]             Edward Grant, God and Reason in the Middle Ages (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 66–68.

[15]             Alasdair MacIntyre, Three Rival Versions of Moral Enquiry: Encyclopaedia, Genealogy, and Tradition (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1990), 58–60.


4.           Metode Skolastik

Metode skolastik merupakan jantung dari seluruh tradisi intelektual Abad Pertengahan. Ia bukan sekadar cara mengajar atau menulis, tetapi suatu kerangka epistemologis yang berupaya mengorganisir seluruh pengetahuan ke dalam sistem rasional yang koheren dan konsisten dengan iman.¹ Metode ini berkembang dalam konteks universitas-universitas awal seperti Paris, Bologna, dan Oxford, di mana logika Aristotelian, teologi Augustinian, dan tradisi eksegetik gereja bertemu dalam satu forum ilmiah: schola

4.1.       Struktur Dialektis: Quaestio, Disputatio, dan Determinatio

Ciri khas metode skolastik adalah bentuk dialektis yang dikenal sebagai quaestio (pertanyaan), disputatio (perdebatan), dan determinatio (penetapan kesimpulan).³ Proses ini dimulai dengan pengajuan pertanyaan teoretis yang bersifat problematis, diikuti oleh pengumpulan berbagai otoritas atau argumen yang saling bertentangan, baik dari Kitab Suci, para Bapa Gereja, maupun filsuf klasik.⁴ Selanjutnya, melalui disputatio, argumen-argumen tersebut diuji dengan logika formal, untuk kemudian mencapai determinatio, yaitu sintesis atau resolusi rasional yang mempertahankan kebenaran iman tanpa menolak kekuatan argumentasi.⁵

Format ini dapat ditemukan secara sistematis dalam karya monumental seperti Summa Theologica karya Thomas Aquinas, yang hampir seluruhnya dibangun dalam struktur pertanyaan, keberatan, jawaban, dan sanggahan (responsio dan ad objectiones).⁶ Dalam bentuk tersebut, terlihat bahwa metode skolastik bukan hanya mencari jawaban atas pertanyaan teologis, tetapi juga mengajarkan cara berpikir filosofis yang sistematis dan dialogis, suatu warisan yang kelak melandasi metode akademik modern.⁷

4.2.       Logika sebagai Instrumen Pengetahuan

Logika, yang disebut sebagai ars artium (seni dari segala seni), menempati posisi sentral dalam metode skolastik.⁸ Para pemikir skolastik, mengikuti Aristoteles, menganggap logika sebagai instrumen epistemologis untuk membedakan antara pengetahuan sejati dan kesalahan berpikir.⁹ Melalui analisis silogistik, mereka berusaha menata proposisi teologis dalam bentuk argumen yang dapat diuji secara rasional.¹⁰ Dengan demikian, logika tidak dipahami sebagai cabang pengetahuan yang netral, tetapi sebagai jalan menuju ordo veritatis — tatanan kebenaran.¹¹

Hal ini menjelaskan mengapa studi tentang Organon Aristoteles menjadi bagian utama dari kurikulum universitas abad pertengahan.¹² Seorang teolog yang baik pada masa itu harus terlebih dahulu menjadi seorang logikus.¹³ Hubungan erat antara logika dan teologi ini memperlihatkan upaya para skolastik untuk menegakkan prinsip bahwa wahyu dan rasio tidak bertentangan, melainkan beroperasi dalam tatanan epistemologis yang berbeda namun saling melengkapi.¹⁴

4.3.       Sintesis antara Otoritas dan Rasionalitas

Metode skolastik juga dicirikan oleh pencarian keseimbangan antara auctoritas (otoritas tradisi) dan ratio (penalaran manusia).¹⁵ Dalam setiap perdebatan, pendapat para otoritas seperti Agustinus, Ambrosius, Boethius, dan terutama Aristoteles dipertimbangkan dengan penuh hormat, tetapi tidak diterima secara dogmatis.¹⁶ Sebaliknya, otoritas-otoritas tersebut diuji melalui argumentasi rasional dan disintesiskan dalam kerangka teologis yang lebih luas.¹⁷

Peter Abelard dalam karyanya Sic et Non (Ya dan Tidak) merupakan contoh awal dari penerapan prinsip ini. Ia mengumpulkan pernyataan-pernyataan teologis yang tampak saling bertentangan, lalu mengajukan penalaran logis untuk menyelesaikannya.¹⁸ Metode tersebut bukan dimaksudkan untuk menimbulkan keraguan terhadap iman, tetapi justru untuk menunjukkan bahwa iman yang benar hanya dapat diteguhkan melalui pertanyaan kritis dan argumentasi rasional.¹⁹


Tujuan Epistemologis: Keteraturan dan Sintesis Kebenaran

Pada dasarnya, metode skolastik bertujuan membangun keteraturan pengetahuan (ordo scientiae) dalam terang iman.²⁰ Ia mengandaikan bahwa seluruh kebenaran bersumber dari Tuhan, dan karena itu segala bidang ilmu — logika, metafisika, etika, dan teologi — dapat disatukan dalam sistem rasional yang utuh.²¹ Dengan semangat tersebut, para skolastik berusaha bukan hanya memahami dogma, tetapi juga membuktikannya melalui argumentasi deduktif yang teratur.²²

Dengan demikian, metode skolastik bukan hanya metode pedagogis, tetapi juga proyek rasionalisasi iman: usaha untuk menjelaskan misteri ilahi melalui disiplin berpikir yang sistematis.²³ Ia menjadi tonggak penting dalam sejarah intelektual karena mewariskan kepada dunia modern struktur berpikir analitis dan metodologi argumentatif yang masih digunakan dalam pendidikan dan ilmu pengetahuan hingga kini.²⁴


Footnotes

[1]                Étienne Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1991), 83–86.

[2]                Jacques Le Goff, Intellectuals in the Middle Ages, trans. Teresa Lavender Fagan (Cambridge, MA: Blackwell, 1993), 42–44.

[3]                Josef Pieper, Scholasticism: Personalities and Problems of Medieval Philosophy, trans. Richard and Clara Winston (South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 2001), 18–20.

[4]                A. S. McGrade, The Cambridge Companion to Medieval Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 32–34.

[5]                Anthony Kenny, Medieval Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2005), 54–56.

[6]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), Prologue.

[7]                Brian Davies, The Thought of Thomas Aquinas (Oxford: Clarendon Press, 1992), 11–13.

[8]                Boethius, De Topicis Differentiis, trans. Eleonore Stump (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1978), 3.

[9]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 2: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 74–77.

[10]             Rudi A. te Velde, Aquinas on God: The “Divine Science” of the Summa Theologiae (Aldershot: Ashgate, 2006), 21–23.

[11]             Edward Grant, God and Reason in the Middle Ages (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 55–58.

[12]             Marcia L. Colish, Medieval Foundations of the Western Intellectual Tradition, 400–1400 (New Haven, CT: Yale University Press, 1997), 164–166.

[13]             Richard Southern, Scholastic Humanism and the Unification of Europe (Oxford: Blackwell, 1995), 89–91.

[14]             Gilson, Reason and Revelation in the Middle Ages (New York: Charles Scribner’s Sons, 1938), 47–50.

[15]             Pieper, Guide to Thomas Aquinas, trans. Richard and Clara Winston (San Francisco: Ignatius Press, 1991), 36–39.

[16]             Peter Abelard, Sic et Non, trans. Blanche B. Boyer and Richard McKeon (Chicago: University of Chicago Press, 1976), 12–14.

[17]             McGrade, The Cambridge Companion to Medieval Philosophy, 37–39.

[18]             Abelard, Sic et Non, 15–17.

[19]             Kenny, Medieval Philosophy, 57–59.

[20]             Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy, 91–94.

[21]             Van Steenberghen, The Philosophical Movement in the Thirteenth Century (Edinburgh: Nelson, 1955), 103–105.

[22]             Grant, God and Reason in the Middle Ages, 61–64.

[23]             Copleston, Medieval Philosophy, 80–82.

[24]             Alasdair MacIntyre, Three Rival Versions of Moral Enquiry: Encyclopaedia, Genealogy, and Tradition (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1990), 63–65.


5.           Tokoh-Tokoh Utama dan Pemikiran Sentral

Skolastisisme sebagai gerakan intelektual tidak pernah bersifat monolitik; ia terdiri dari berbagai corak pemikiran yang berkembang dari abad ke-11 hingga ke-14. Setiap tokoh besar memberikan nuansa tersendiri terhadap hubungan antara iman dan akal, teologi dan filsafat, serta universalia dan partikularitas. Tokoh-tokoh seperti Anselmus dari Canterbury, Petrus Abelardus, Thomas Aquinas, John Duns Scotus, dan William Ockham merupakan figur-figur kunci yang secara bertahap membentuk dan sekaligus menantang batas-batas sistem skolastik.

5.1.       Anselmus dari Canterbury (1033–1109): Fides Quaerens Intellectum

Anselmus merupakan figur peralihan dari tradisi Patristik menuju Skolastisisme awal. Ia dikenal sebagai penggagas prinsip fides quaerens intellectum (“iman yang mencari pengertian”), yang menegaskan bahwa akal berfungsi untuk memahami dan meneguhkan iman, bukan untuk menggantikannya.¹ Dalam Proslogion, ia mengemukakan argumen ontologis tentang eksistensi Tuhan: bahwa keberadaan Tuhan merupakan konsekuensi niscaya dari konsep tentang “sesuatu yang melebihi segala sesuatu yang dapat dipikirkan.”² Argumen ini menjadi simbol sintesis awal antara rasionalitas dan iman dalam tradisi Kristen.³

Anselmus memperlihatkan bahwa refleksi rasional dapat mengantar manusia kepada pemahaman yang lebih dalam tentang kebenaran wahyu. Ia menolak fideisme murni, tetapi juga berhati-hati terhadap otonomi akal yang tidak berpijak pada iman.⁴ Dengan demikian, Anselmus membuka jalan bagi metodologi skolastik yang memadukan devosi dan dialektika.

5.2.       Petrus Abelardus (1079–1142): Dialektika dan Moralitas Rasional

Petrus Abelardus memperkenalkan metode dialektika sistematis dalam teologi melalui karyanya Sic et Non (Ya dan Tidak).⁵ Ia mengumpulkan ratusan pernyataan teologis dari para Bapa Gereja yang tampak kontradiktif, lalu mengundang pembaca untuk menyelesaikannya dengan argumentasi rasional. Metode ini menandai pergeseran penting: otoritas tidak lagi diterima begitu saja, tetapi harus diuji melalui rasio.⁶

Dalam bidang etika, Abelardus menekankan niat (intentio) sebagai dasar moralitas, bukan sekadar tindakan lahiriah.⁷ Dengan demikian, ia memperkenalkan dimensi subjektif dan reflektif dalam etika skolastik. Walaupun banyak dikritik karena dianggap terlalu rasional, pemikirannya menjadi jembatan menuju integrasi logika formal dalam teologi.⁸

5.3.       Thomas Aquinas (1225–1274): Sintesis Aristotelian dan Teologi Kristen

Thomas Aquinas adalah tokoh yang memuncak dalam tradisi Skolastisisme.⁹ Ia berupaya menyatukan filsafat Aristotelian dengan teologi Kristen melalui sistem metafisis yang sangat rasional. Dalam Summa Theologica, Aquinas menegaskan bahwa akal dan wahyu berasal dari sumber kebenaran yang sama — Tuhan — sehingga keduanya tidak mungkin saling bertentangan.¹⁰

Aquinas mengembangkan konsep analogia entis (analogi keberadaan), yang menjelaskan bahwa semua makhluk memiliki keberadaan yang analog dengan keberadaan Tuhan, namun tidak identik dengannya.¹¹ Melalui kerangka ini, ia membangun metafisika partisipatif: segala sesuatu memperoleh realitasnya melalui partisipasi dalam keberadaan ilahi.¹²

Selain itu, Aquinas merumuskan quinque viae (lima jalan) sebagai argumen rasional untuk membuktikan eksistensi Tuhan, berdasarkan prinsip kausalitas dan gerak Aristotelian.¹³ Dalam etika, ia mengembangkan konsep hukum kodrati (lex naturalis) yang menempatkan akal manusia sebagai instrumen untuk memahami kehendak Tuhan dalam ciptaan.¹⁴ Pemikiran Aquinas menjadi puncak dari ideal skolastik: iman yang diterangi oleh rasio dan rasio yang disucikan oleh iman.¹⁵

5.4.       John Duns Scotus (1266–1308): Univocitas Entis dan Voluntarisme Ilahi

John Duns Scotus memperkenalkan koreksi terhadap sistem Aquinas dengan menolak analogia entis dan menggantinya dengan konsep univocitas entis (keseragaman keberadaan).¹⁶ Menurut Scotus, “keberadaan” memiliki makna yang sama ketika diterapkan kepada Tuhan dan makhluk, walaupun derajatnya berbeda.¹⁷ Dengan demikian, ia menekankan kesinambungan ontologis antara Tuhan dan ciptaan, tanpa menghapus transendensi ilahi.

Dalam bidang teologi, Scotus juga mengembangkan doktrin voluntarisme — bahwa kehendak Tuhan (voluntas Dei) lebih fundamental daripada intelek-Nya.¹⁸ Hal ini menegaskan kebebasan absolut Tuhan dalam mencipta dan menebus manusia, sekaligus menekankan aspek personal dan dinamis dalam relasi antara Tuhan dan dunia.¹⁹ Pandangan ini menggeser fokus Skolastisisme dari penekanan rasionalitas menuju primasi kehendak dan cinta ilahi.²⁰

5.5.       William Ockham (1287–1347): Nominalisme dan Kritik terhadap Universalia

William Ockham, sering dianggap sebagai tokoh akhir Skolastisisme, membawa pendekatan yang lebih empiris dan kritis terhadap tradisi metafisis sebelumnya.²¹ Ia terkenal dengan prinsip lex parsimoniae atau Ockham’s Razor: “entitas tidak boleh digandakan tanpa keperluan.”²² Dalam konteks epistemologi, ia menolak realisme universalia yang dianut oleh Aquinas dan Scotus, dan berpendapat bahwa “universalia” hanyalah nama (nomina) yang mewakili himpunan benda-benda partikular.²³

Nominalisme Ockham menandai awal pergeseran menuju rasionalitas modern yang menekankan observasi dan individualitas konkret.²⁴ Ia juga menolak klaim bahwa akal dapat membuktikan kebenaran teologis secara mutlak, dengan menegaskan batas-batas epistemologis manusia.²⁵ Dengan demikian, Ockham menjadi figur transisi yang menutup zaman Skolastisisme klasik dan membuka jalan bagi empirisme dan humanisme Renaisans.²⁶


Sintesis Tokoh-Tokoh Skolastik

Dari Anselmus hingga Ockham, Skolastisisme berkembang dari fase teologis-devosional menuju filosofis-rasional, lalu menuju analisis kritis atas rasionalitas itu sendiri. Para tokoh ini menunjukkan bagaimana iman dapat dipahami, diuji, dan dipertahankan melalui berbagai bentuk argumentasi logis. Jika Anselmus menanamkan dasar teologis, Abelardus memperkenalkan metode dialektik, Aquinas menyempurnakan sintesis rasional, Scotus memperdalam refleksi ontologis, dan Ockham menandai transisi menuju pemikiran modern.²⁷

Dengan demikian, Skolastisisme bukanlah dogma beku, melainkan tradisi dialogis yang terus berevolusi — dari iman menuju pengertian, dari metafisika menuju logika, dan akhirnya menuju kesadaran akan batas-batas rasio manusia itu sendiri.²⁸


Footnotes

[1]                Anselm of Canterbury, Proslogion, trans. Thomas Williams (Indianapolis: Hackett, 2001), I.

[2]                Étienne Gilson, Reason and Revelation in the Middle Ages (New York: Charles Scribner’s Sons, 1938), 25–28.

[3]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 2: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 45–47.

[4]                Brian Davies, Anselm and the Argument for God’s Existence (London: Routledge, 1998), 29–31.

[5]                Peter Abelard, Sic et Non, trans. Blanche B. Boyer and Richard McKeon (Chicago: University of Chicago Press, 1976), Preface.

[6]                Marcia L. Colish, Medieval Foundations of the Western Intellectual Tradition, 400–1400 (New Haven, CT: Yale University Press, 1997), 143–145.

[7]                Constant J. Mews, The Lost Love Letters of Heloise and Abelard (New York: St. Martin’s Press, 1999), 78–80.

[8]                Josef Pieper, Scholasticism: Personalities and Problems of Medieval Philosophy, trans. Richard and Clara Winston (South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 2001), 22–25.

[9]                Étienne Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1991), 112–114.

[10]             Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, q.1, a.8.

[11]             Rudi A. te Velde, Aquinas on God: The “Divine Science” of the Summa Theologiae (Aldershot: Ashgate, 2006), 45–47.

[12]             Josef Pieper, Guide to Thomas Aquinas, trans. Richard and Clara Winston (San Francisco: Ignatius Press, 1991), 39–42.

[13]             Copleston, Medieval Philosophy, 85–87.

[14]             Anthony Kenny, Medieval Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2005), 64–67.

[15]             Alasdair MacIntyre, Three Rival Versions of Moral Enquiry: Encyclopaedia, Genealogy, and Tradition (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1990), 61–63.

[16]             John Duns Scotus, Ordinatio, trans. Allan B. Wolter (St. Bonaventure, NY: Franciscan Institute, 1950), I, d.3, p.1, q.3.

[17]             Allan B. Wolter, The Transcendentals and Their Function in the Metaphysics of Duns Scotus (St. Bonaventure, NY: Franciscan Institute, 1946), 57–59.

[18]             Richard Cross, Duns Scotus on God (Aldershot: Ashgate, 2005), 21–24.

[19]             Mary Beth Ingham, Scotus for Dunces: An Introduction to the Subtle Doctor (St. Bonaventure, NY: Franciscan Institute, 2003), 34–37.

[20]             Kenny, Medieval Philosophy, 71–73.

[21]             William of Ockham, Summa Logicae, trans. Philotheus Boehner (New York: Franciscan Institute, 1974), I, c.12.

[22]             Edward Grant, God and Reason in the Middle Ages (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 77–79.

[23]             Marilyn McCord Adams, William Ockham (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1987), 95–97.

[24]             Copleston, Medieval Philosophy, 108–110.

[25]             Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy, 159–161.

[26]             Colish, Medieval Foundations, 190–193.

[27]             Pieper, Scholasticism: Personalities and Problems of Medieval Philosophy, 41–43.

[28]             MacIntyre, Three Rival Versions of Moral Enquiry, 68–70.


6.           Ontologi dan Metafisika Skolastik

Ontologi dan metafisika skolastik merupakan inti spekulatif dari seluruh sistem pemikiran Abad Pertengahan. Dalam konteks ini, Skolastisisme berupaya menjelaskan struktur realitas dan keberadaan (esse) dalam kaitannya dengan Tuhan sebagai causa prima dan sumber segala yang ada.¹ Bagi para pemikir skolastik, metafisika bukanlah refleksi abstrak yang terpisah dari teologi, melainkan suatu cara untuk memahami tatanan ciptaan dan hubungan ontologis antara Sang Pencipta dan makhluk ciptaan-Nya.²

6.1.       Struktur Realitas: Actus dan Potentia

Salah satu konsep kunci dalam ontologi skolastik adalah distingsi antara actus (aktualitas) dan potentia (potensialitas), yang berasal dari metafisika Aristotelian.³ Konsep ini menjelaskan dinamika keberadaan: segala sesuatu yang ada merupakan kombinasi dari potensi untuk menjadi (potentia) dan realisasi dari potensi itu (actus).⁴ Tuhan dipahami sebagai actus purus — keberadaan murni tanpa potensi apa pun, karena di dalam diri-Nya tidak terdapat perubahan atau kekurangan.⁵

Dengan mengadopsi kerangka ini, para skolastik menjelaskan bahwa makhluk ciptaan memiliki keberadaan yang bersifat derivatif, karena mereka hanya berpartisipasi dalam keberadaan mutlak Tuhan.⁶ Thomas Aquinas menyebut hubungan ini sebagai participatio essendi — partisipasi dalam keberadaan ilahi.⁷ Dengan demikian, metafisika skolastik bersifat hierarkis: segala wujud memperoleh realitasnya secara bertingkat, dari actus purus menuju eksistensi yang terbatas dan kontingen.⁸

6.2.       Distingsi antara Essentia dan Esse

Konsep lain yang fundamental adalah pembedaan antara essentia (hakikat) dan esse (keberadaan).⁹ Dalam makhluk, essentia dan esse merupakan dua prinsip yang berbeda namun saling terkait: hakikat menjelaskan “apa” sesuatu itu, sementara keberadaan menjelaskan “bahwa” sesuatu itu ada.¹⁰ Dalam Tuhan, kedua aspek tersebut identik — esensi-Nya adalah keberadaan-Nya sendiri (ipsum esse subsistens).¹¹

Distingsi ini memungkinkan para skolastik menjelaskan keterbatasan makhluk dan keabsolutan Tuhan. Makhluk memiliki essentia yang bergantung pada Tuhan agar memperoleh esse; dengan kata lain, eksistensi mereka bersifat partisipatif.¹² Hal ini menjadi dasar bagi konsep creatio ex nihilo (penciptaan dari ketiadaan), di mana seluruh realitas bergantung sepenuhnya pada kehendak ilahi untuk “menjadi.”¹³

Dalam sistem Aquinas, esse merupakan “aktus dari segala akta” (actus essendi), yang memberi aktualitas pada seluruh bentuk dan substansi.¹⁴ Dengan demikian, metafisika skolastik bukan hanya studi tentang keberadaan sebagai keberadaan (ens qua ens), tetapi juga tentang relasi eksistensial antara yang mutlak dan yang terbatas.¹⁵

6.3.       Hierarki Wujud dan Causa Prima

Para skolastik memahami dunia sebagai kosmos hierarkis yang tersusun menurut tatanan kausalitas.¹⁶ Setiap wujud bergantung pada wujud yang lebih tinggi hingga mencapai puncaknya pada Tuhan sebagai Causa Prima (Penyebab Pertama).¹⁷ Prinsip ini menggabungkan metafisika Aristotelian tentang gerak dan sebab dengan teologi Kristen tentang penciptaan.

Dalam quinque viae (lima jalan), Thomas Aquinas menjelaskan keberadaan Tuhan sebagai sebab yang tak disebabkan — “penggerak pertama yang tak digerakkan” (primum movens immobile), “sebab pertama yang tak disebabkan,” dan “wujud niscaya yang menjadi sumber segala kemungkinan.”¹⁸ Melalui sistem ini, Skolastisisme memadukan kosmologi empiris dengan metafisika teologis, menegaskan bahwa rasio dapat mencapai pemahaman rasional tentang eksistensi Tuhan tanpa menafikan iman.¹⁹

6.4.       Problem Universalia: Realisme dan Nominalisme

Salah satu perdebatan klasik dalam metafisika skolastik adalah persoalan universalia — apakah konsep-konsep umum seperti “kemanusiaan” atau “keadilan” memiliki realitas objektif, atau hanya sekadar nama yang kita berikan kepada kelompok benda tertentu.²⁰

Aliran realisme (diwakili oleh Anselmus dan Aquinas) berpendapat bahwa universalia memiliki dasar ontologis yang nyata, meskipun eksistensinya berada dalam pikiran Tuhan sebagai arketipe ciptaan.²¹ Sebaliknya, nominalisme (diperjuangkan oleh William Ockham) menolak realitas objektif universalia dan menyatakan bahwa hanya individu yang benar-benar ada.²² Sementara itu, konseptualisme (diperkenalkan oleh Abelardus) menempati posisi tengah: universalia tidak ada di luar pikiran, tetapi memiliki dasar dalam keserupaan realitas partikular.²³

Perdebatan ini mencerminkan ketegangan antara dua kecenderungan skolastik: yang satu berupaya mempertahankan struktur ontologis yang objektif dan transenden, sementara yang lain menekankan independensi rasio dan pengalaman empiris.²⁴


Kosmos Sebagai Partisipasi dalam Being Ilahi

Metafisika skolastik menegaskan bahwa seluruh ciptaan merupakan partisipasi dalam “Ada” (Being) yang ilahi.²⁵ Dalam pandangan ini, realitas dunia tidak memiliki kemandirian mutlak, tetapi bergantung pada Tuhan dalam setiap momen eksistensinya.²⁶ Seperti dikatakan oleh Gilson, metafisika skolastik adalah “metafisika partisipasi” — suatu pandangan di mana Tuhan bukan sekadar pencipta awal, tetapi kehadiran eksistensial yang mempertahankan segala yang ada.²⁷

Dengan demikian, ontologi skolastik tidak hanya menjelaskan apa itu ada, tetapi juga mengapa yang ada bisa ada. Ia mempertemukan metafisika Aristotelian dengan teologi kristiani, menghasilkan pandangan kosmos yang rasional sekaligus sakral — dunia sebagai cermin dari keberadaan ilahi.²⁸


Footnotes

[1]                Étienne Gilson, Being and Some Philosophers (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1952), 3–5.

[2]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 2: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 90–92.

[3]                Aristotle, Metaphysics, trans. W. D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), IX, 1046a.

[4]                Anthony Kenny, Medieval Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2005), 73–75.

[5]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, q.3, a.1.

[6]                Josef Pieper, Guide to Thomas Aquinas, trans. Richard and Clara Winston (San Francisco: Ignatius Press, 1991), 45–48.

[7]                Rudi A. te Velde, Aquinas on God: The “Divine Science” of the Summa Theologiae (Aldershot: Ashgate, 2006), 55–57.

[8]                Étienne Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1991), 132–135.

[9]                Gilson, Being and Some Philosophers, 26–29.

[10]             Copleston, Medieval Philosophy, 94–96.

[11]             Aquinas, Summa Theologica, I, q.4, a.2.

[12]             Pieper, Guide to Thomas Aquinas, 52–54.

[13]             Edward Grant, God and Reason in the Middle Ages (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 82–85.

[14]             Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas (New York: Random House, 1956), 94–96.

[15]             Van Steenberghen, The Philosophical Movement in the Thirteenth Century (Edinburgh: Nelson, 1955), 122–125.

[16]             Copleston, Medieval Philosophy, 99–101.

[17]             Josef Pieper, Scholasticism: Personalities and Problems of Medieval Philosophy, trans. Richard and Clara Winston (South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 2001), 49–51.

[18]             Aquinas, Summa Theologica, I, q.2, a.3.

[19]             Brian Davies, The Thought of Thomas Aquinas (Oxford: Clarendon Press, 1992), 66–69.

[20]             Peter Abelard, Sic et Non, trans. Blanche B. Boyer and Richard McKeon (Chicago: University of Chicago Press, 1976), Preface.

[21]             Anselm of Canterbury, Monologion, trans. Thomas Williams (Indianapolis: Hackett, 1995), ch. 9–10.

[22]             William of Ockham, Summa Logicae, trans. Philotheus Boehner (New York: Franciscan Institute, 1974), I, c.12.

[23]             Marcia L. Colish, Medieval Foundations of the Western Intellectual Tradition, 400–1400 (New Haven, CT: Yale University Press, 1997), 188–190.

[24]             Alasdair MacIntyre, Three Rival Versions of Moral Enquiry: Encyclopaedia, Genealogy, and Tradition (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1990), 74–76.

[25]             Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy, 137–140.

[26]             Pieper, Guide to Thomas Aquinas, 57–59.

[27]             Gilson, Being and Some Philosophers, 44–46.

[28]             Copleston, Medieval Philosophy, 104–106.


7.           Epistemologi dan Logika

Dalam sistem Skolastisisme, epistemologi dan logika tidak dipahami sebagai disiplin yang terpisah, tetapi sebagai dua aspek dari satu kesatuan proses intelektual: pencarian kebenaran ilahi melalui rasio manusia.¹ Para pemikir skolastik meyakini bahwa akal budi merupakan anugerah ilahi yang memungkinkan manusia berpartisipasi dalam pengetahuan Tuhan.² Oleh karena itu, seluruh struktur pengetahuan skolastik dibangun di atas premis bahwa pengetahuan manusia, meskipun terbatas, memiliki keterarahan menuju kebenaran mutlak yang bersumber pada Tuhan.³

7.1.       Struktur Pengetahuan: Dari Sensasi ke Inteleksi

Epistemologi skolastik sangat dipengaruhi oleh psikologi kognitif Aristotelian, terutama sebagaimana dikembangkan oleh Thomas Aquinas. Menurutnya, semua pengetahuan manusia bermula dari pengalaman inderawi (nihil est in intellectu quod non prius fuerit in sensu) — “tidak ada sesuatu dalam intelek yang tidak terlebih dahulu ada dalam indra.”⁴ Pengalaman empiris memberikan data konkret, yang kemudian diolah oleh akal budi menjadi konsep universal melalui proses abstraksi (abstrahere).⁵

Namun, Skolastisisme menolak empirisme murni. Proses intelektual tidak berhenti pada pengetahuan indrawi; akal manusia memiliki kemampuan untuk menembus makna hakiki realitas melalui iluminasi rasional (illuminatio intellectualis).⁶ Dengan demikian, pengetahuan manusia bersifat bertingkat: dari pengalaman sensorik menuju pengetahuan rasional, dan akhirnya menuju kontemplasi metafisis tentang Tuhan sebagai sumber segala kebenaran.⁷

7.2.       Iluminasi dan Partisipasi dalam Pengetahuan Ilahi

Para skolastik awal seperti Agustinus menekankan konsep iluminasi ilahi (divine illumination), yakni bahwa akal manusia hanya dapat memahami kebenaran sejati sejauh diterangi oleh cahaya pengetahuan Tuhan.⁸ Iluminasi bukan berarti wahyu langsung, melainkan kondisi ontologis di mana akal manusia “berpartisipasi” dalam Logos Ilahi.⁹ Bagi Agustinus, “sebagaimana mata jasmani melihat dalam terang matahari, demikian pula akal budi memahami dalam terang Tuhan.”¹⁰

Aquinas kemudian menafsirkan gagasan ini secara lebih naturalistik. Menurutnya, akal manusia memiliki lumen naturale (cahaya kodrati) yang merupakan cerminan terbatas dari lumen divinum (cahaya ilahi).¹¹ Artinya, manusia dapat memperoleh pengetahuan rasional yang sejati tanpa harus selalu mengandalkan iluminasi supernatural.¹² Dengan demikian, epistemologi skolastik memadukan dimensi teologis dan naturalistik: kebenaran bersumber dari Tuhan, tetapi dapat diakses melalui aktivitas intelektual manusia.¹³

7.3.       Logika sebagai Instrumen Rasional

Logika dalam Skolastisisme bukan sekadar alat teknis untuk berdebat, melainkan instrumen epistemologis untuk menata struktur pengetahuan.¹⁴ Mengikuti tradisi Aristotelian, para skolastik memahami logika sebagai ars recte ratiocinandi — seni bernalar secara benar.¹⁵ Ia berfungsi menjaga koherensi antara proposisi, serta membedakan antara kesimpulan yang sah dan yang keliru.

Dalam sistem pendidikan skolastik, logika menduduki posisi sentral sebagai organon (alat ilmu).¹⁶ Setiap cabang pengetahuan, termasuk teologi, diwajibkan menggunakan struktur logika deduktif agar dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.¹⁷ Silogisme Aristotelian menjadi dasar dari semua bentuk argumentasi teologis, terutama dalam karya-karya seperti Summa Theologica, di mana setiap proposisi diuji melalui keberatan (objectiones) dan jawaban rasional (responsiones).¹⁸

Selain itu, para skolastik juga mengembangkan logika terministik, yang menekankan analisis makna kata dan hubungan antaristilah (suppositio).¹⁹ William Ockham, misalnya, menyempurnakan teori ini dengan menegaskan bahwa validitas argumen bergantung pada kejelasan penggunaan istilah, bukan pada asumsi metafisis yang abstrak.²⁰ Dengan pendekatan ini, logika skolastik menjadi cikal bakal analisis linguistik dalam filsafat modern.²¹

7.4.       Hubungan Antara Ratio dan Fides dalam Pengetahuan

Epistemologi skolastik selalu beroperasi dalam kerangka fides et ratio (iman dan akal).²² Iman memberikan prinsip-prinsip pertama yang tidak dapat dibuktikan melalui akal (misalnya keberadaan Allah Tritunggal atau inkarnasi), sedangkan akal berfungsi untuk menjelaskan, memperjelas, dan mempertahankan kebenaran iman dari kesalahan atau penolakan.²³

Thomas Aquinas menegaskan bahwa tidak ada kontradiksi sejati antara iman dan akal karena keduanya berasal dari sumber yang sama — Tuhan sebagai kebenaran tertinggi.²⁴ Jika tampak ada pertentangan, hal itu disebabkan keterbatasan manusia dalam memahami wahyu.²⁵ Dalam kerangka ini, akal menjadi pelayan iman (ancilla theologiae), tetapi bukan hamba yang pasif; ia adalah instrumen aktif yang berfungsi menyusun sintesis rasional dari kebenaran ilahi.²⁶


Tujuan Epistemologis: Scientia dan Sapientia

Tujuan akhir epistemologi skolastik bukan sekadar pengetahuan diskursif (scientia), tetapi kebijaksanaan (sapientia) — kemampuan untuk melihat segala sesuatu dalam keteraturannya terhadap Tuhan.²⁷ Melalui proses logis dan rasional, manusia diharapkan mencapai pengetahuan yang lebih tinggi, yaitu contemplatio — pengetahuan intuitif yang bersatu dengan kebenaran mutlak.²⁸ Dengan demikian, epistemologi skolastik menegaskan bahwa pengetahuan sejati adalah proses spiritual yang rasional: ia bermula dari indra, dimatangkan oleh logika, dan berakhir pada kontemplasi akan Veritas Dei.²⁹


Footnotes

[1]                Étienne Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1991), 146–148.

[2]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 2: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 112–115.

[3]                Alasdair MacIntyre, Three Rival Versions of Moral Enquiry: Encyclopaedia, Genealogy, and Tradition (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1990), 77–79.

[4]                Aristotle, De Anima, trans. J. A. Smith (Oxford: Clarendon Press, 1931), II, 12.

[5]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, q.84, a.6.

[6]                Josef Pieper, Guide to Thomas Aquinas, trans. Richard and Clara Winston (San Francisco: Ignatius Press, 1991), 65–68.

[7]                Anthony Kenny, Medieval Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2005), 81–84.

[8]                Augustine, De Trinitate, trans. Edmund Hill (Brooklyn, NY: New City Press, 1991), XII, 15.

[9]                Étienne Gilson, Reason and Revelation in the Middle Ages (New York: Charles Scribner’s Sons, 1938), 62–65.

[10]             Augustine, Confessions, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 1991), VII, 10.

[11]             Aquinas, Summa Theologica, I, q.12, a.11.

[12]             Brian Davies, The Thought of Thomas Aquinas (Oxford: Clarendon Press, 1992), 78–80.

[13]             Pieper, Guide to Thomas Aquinas, 69–71.

[14]             Josef Pieper, Scholasticism: Personalities and Problems of Medieval Philosophy, trans. Richard and Clara Winston (South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 2001), 55–57.

[15]             Boethius, De Topicis Differentiis, trans. Eleonore Stump (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1978), 4.

[16]             Marcia L. Colish, Medieval Foundations of the Western Intellectual Tradition, 400–1400 (New Haven, CT: Yale University Press, 1997), 168–170.

[17]             A. S. McGrade, The Cambridge Companion to Medieval Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 49–51.

[18]             Thomas Aquinas, Summa Contra Gentiles, trans. Anton C. Pegis (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1975), I, 2.

[19]             William of Ockham, Summa Logicae, trans. Philotheus Boehner (New York: Franciscan Institute, 1974), I, c.12.

[20]             Marilyn McCord Adams, William Ockham (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1987), 102–104.

[21]             Edward Grant, God and Reason in the Middle Ages (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 89–91.

[22]             Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy, 150–153.

[23]             Copleston, Medieval Philosophy, 118–121.

[24]             Aquinas, Summa Theologica, I, q.1, a.8.

[25]             Gilson, Reason and Revelation in the Middle Ages, 72–74.

[26]             Pieper, Guide to Thomas Aquinas, 74–77.

[27]             Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas (New York: Random House, 1956), 109–111.

[28]             MacIntyre, Three Rival Versions of Moral Enquiry, 83–85.

[29]             Kenny, Medieval Philosophy, 86–88.


8.           Etika dan Teologi Moral

Etika dalam tradisi skolastik merupakan cabang refleksi rasional atas tindakan manusia yang berakar pada tatanan kosmik dan teologis.¹ Bagi para pemikir skolastik, moralitas tidak berdiri secara otonom dari teologi, tetapi merupakan bagian dari ordo divinus — tatanan ilahi yang mencerminkan kehendak Tuhan sebagai kebaikan tertinggi.² Karena itu, etika skolastik tidak hanya membahas “apa yang baik untuk dilakukan,” tetapi juga “mengapa manusia harus melakukan kebaikan,” dalam kerangka hubungan antara akal, kehendak, dan anugerah ilahi.³

8.1.       Prinsip Hukum Kodrati (Lex Naturalis)

Konsep sentral dalam etika skolastik adalah lex naturalis (hukum kodrati).⁴ Thomas Aquinas menjelaskan bahwa hukum kodrati merupakan partisipasi rasional makhluk berakal dalam hukum kekal Tuhan (lex aeterna).⁵ Artinya, Tuhan menanamkan dalam akal manusia suatu kesadaran kodrati tentang kebaikan dan kejahatan, yang menjadi dasar bagi tindakan moral.⁶

Dalam Summa Theologica, Aquinas menegaskan bahwa prinsip pertama hukum kodrati adalah “kebaikan harus dilakukan dan dikejar, dan kejahatan harus dihindari.”⁷ Dari prinsip ini diturunkan norma-norma moral yang bersifat universal, seperti pelestarian kehidupan, pencarian kebenaran, dan hidup dalam masyarakat yang adil.⁸ Dengan demikian, etika skolastik berakar pada struktur rasional ciptaan; moralitas bukan sekadar perintah eksternal, melainkan hukum batin yang bersumber dari kodrat manusia itu sendiri.⁹

Prinsip lex naturalis memberikan dasar bagi pandangan moral yang objektif: bahwa kebaikan moral dapat diketahui melalui akal, bukan hanya melalui wahyu.¹⁰ Namun, wahyu tetap diperlukan untuk menyempurnakan hukum kodrati, karena akal manusia yang terbatas sering kali gagal mengenali kebaikan tertinggi secara sempurna.¹¹

8.2.       Hubungan Antara Kehendak Ilahi dan Kehendak Manusia

Dalam tradisi skolastik, manusia dipandang sebagai makhluk rasional sekaligus bebas. Kebebasan (liberum arbitrium) dipahami sebagai kemampuan untuk bertindak berdasarkan akal dan kehendak.¹² Akan tetapi, kebebasan manusia tidak bersifat absolut, melainkan partisipatif — yakni kebebasan yang berakar dalam kehendak ilahi.¹³

Thomas Aquinas menolak pandangan deterministik; baginya, kehendak manusia bebas sejauh diarahkan pada kebaikan yang sejati, yang pada akhirnya adalah Tuhan.¹⁴ Sebaliknya, Duns Scotus menekankan primasi kehendak dibandingkan intelek (voluntas prior intellectu).¹⁵ Menurut Scotus, kehendak manusia memiliki otonomi relatif terhadap rasio, dan kebebasan moral manusia mencerminkan kebebasan absolut Tuhan.¹⁶ Pandangan ini kemudian berkembang menjadi voluntarisme teologis, yaitu keyakinan bahwa moralitas bergantung pada kehendak Tuhan, bukan pada tatanan rasional ciptaan.¹⁷

Perdebatan antara pendekatan intelektualistik (Aquinas) dan voluntaristik (Scotus) menunjukkan dinamika penting dalam etika skolastik: bagaimana menyeimbangkan rasionalitas moral dengan kebebasan ilahi.¹⁸ Meski berbeda, keduanya sepakat bahwa moralitas sejati harus berpuncak pada orientasi manusia terhadap Bonum Ultimum (Kebaikan Tertinggi).¹⁹

8.3.       Kebaikan Tertinggi (Summum Bonum) dan Tujuan Manusia

Etika skolastik berakar pada teleologi Aristotelian, di mana setiap tindakan diarahkan menuju tujuan akhir (finis ultimus).²⁰ Namun, dalam kerangka teologis, tujuan akhir manusia tidak berhenti pada kebahagiaan duniawi (felicitas terrena), melainkan pada kebahagiaan abadi (beatitudo aeterna) — persatuan dengan Tuhan.²¹

Aquinas menjelaskan bahwa kebahagiaan sejati tidak dapat ditemukan dalam harta, kekuasaan, atau kenikmatan, sebab semua itu bersifat sementara.²² Hanya dalam kontemplasi terhadap Tuhan manusia mencapai kebahagiaan sempurna, karena Tuhan adalah summum bonum, sumber dan tujuan segala kebaikan.²³ Oleh karena itu, etika skolastik bersifat teleologis dan teosentris: semua tindakan moral bernilai sejauh mengarahkan manusia pada partisipasi dalam kehidupan ilahi.²⁴

Dimensi ini sekaligus menunjukkan kesinambungan antara etika dan teologi moral skolastik. Moralitas bukan sekadar tatanan sosial, tetapi proses deificatio — penyempurnaan manusia melalui penyerupaan dengan Tuhan dalam kehendak dan kebenaran.²⁵ Dengan demikian, kebaikan moral dan keselamatan rohani tidak dapat dipisahkan: keduanya merupakan dua wajah dari satu gerak menuju Tuhan sebagai tujuan akhir.²⁶

8.4.       Kebajikan dan Pembentukan Karakter

Para skolastik juga menempatkan kebajikan (virtus) sebagai pusat etika moral.²⁷ Mengikuti Aristoteles, kebajikan didefinisikan sebagai disposisi tetap untuk bertindak benar menurut akal.²⁸ Namun, Aquinas menambahkan dimensi teologis dengan membedakan antara kebajikan moral alami (seperti keadilan, kebijaksanaan, keberanian, dan pengendalian diri) dan kebajikan teologal (iman, harapan, dan kasih).²⁹

Kebajikan teologal melampaui kapasitas alami manusia karena ditanamkan oleh rahmat ilahi.³⁰ Dengan demikian, etika skolastik menegaskan bahwa kehidupan moral manusia tidak hanya hasil pembiasaan rasional, tetapi juga transformasi spiritual.³¹ Moralitas yang sejati terjadi ketika kehendak manusia diarahkan oleh kasih yang menyatukannya dengan kehendak Tuhan.³²


Etika Skolastik sebagai Sintesis Akal dan Iman

Secara keseluruhan, etika dan teologi moral skolastik menunjukkan usaha untuk menyatukan rasionalitas etis Aristotelian dengan spiritualitas Kristiani.³³ Etika bukan hanya soal hukum atau kewajiban, melainkan ekspresi rasional dari cinta dan kebijaksanaan ilahi.³⁴ Dalam kerangka ini, manusia dipandang sebagai makhluk moral karena ia diciptakan “menurut gambar dan rupa Allah” (imago Dei), yang berarti memiliki kapasitas untuk mencintai, memahami, dan bertindak dalam terang kebenaran.³⁵

Dengan demikian, etika skolastik bukan sekadar sistem normatif, tetapi spiritualitas rasional — suatu jalan menuju kebijaksanaan yang menggabungkan disiplin intelektual dengan pembentukan moral, menuju persatuan antara ratio dan fides, antara hukum moral dan kasih ilahi.³⁶


Footnotes

[1]                Étienne Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1991), 155–158.

[2]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 2: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 126–128.

[3]                Alasdair MacIntyre, Three Rival Versions of Moral Enquiry: Encyclopaedia, Genealogy, and Tradition (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1990), 91–94.

[4]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I–II, q.91, a.2.

[5]                Josef Pieper, The Four Cardinal Virtues (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1966), 33–36.

[6]                Anthony Kenny, Medieval Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2005), 95–97.

[7]                Aquinas, Summa Theologica, I–II, q.94, a.2.

[8]                Brian Davies, The Thought of Thomas Aquinas (Oxford: Clarendon Press, 1992), 102–104.

[9]                Étienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas (New York: Random House, 1956), 141–143.

[10]             Copleston, Medieval Philosophy, 130–132.

[11]             Edward Grant, God and Reason in the Middle Ages (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 97–100.

[12]             Augustine, De Libero Arbitrio, trans. Thomas Williams (Indianapolis: Hackett, 1993), II, 1.

[13]             Gilson, Reason and Revelation in the Middle Ages (New York: Charles Scribner’s Sons, 1938), 81–83.

[14]             Aquinas, Summa Theologica, I–II, q.13, a.6.

[15]             John Duns Scotus, Ordinatio, trans. Allan B. Wolter (St. Bonaventure, NY: Franciscan Institute, 1950), I, d.3, q.1.

[16]             Richard Cross, Duns Scotus on God (Aldershot: Ashgate, 2005), 56–58.

[17]             Mary Beth Ingham, Scotus for Dunces: An Introduction to the Subtle Doctor (St. Bonaventure, NY: Franciscan Institute, 2003), 65–67.

[18]             Josef Pieper, Scholasticism: Personalities and Problems of Medieval Philosophy, trans. Richard and Clara Winston (South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 2001), 63–66.

[19]             Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy, 160–163.

[20]             Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett, 1985), I, 1–2.

[21]             Aquinas, Summa Theologica, I–II, q.3, a.8.

[22]             Pieper, The Four Cardinal Virtues, 41–43.

[23]             Copleston, Medieval Philosophy, 135–137.

[24]             Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas, 152–154.

[25]             Augustine, City of God, trans. Henry Bettenson (London: Penguin, 1972), XIX, 10.

[26]             Kenny, Medieval Philosophy, 101–103.

[27]             Josef Pieper, The Four Cardinal Virtues, 47–49.

[28]             Aristotle, Nicomachean Ethics, II, 6–7.

[29]             Aquinas, Summa Theologica, I–II, q.61, a.2.

[30]             Gilson, Reason and Revelation in the Middle Ages, 86–88.

[31]             Brian Davies, The Thought of Thomas Aquinas, 111–113.

[32]             Pieper, Scholasticism: Personalities and Problems of Medieval Philosophy, 70–72.

[33]             Copleston, Medieval Philosophy, 138–140.

[34]             Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy, 167–170.

[35]             Aquinas, Summa Theologica, I, q.93, a.4.

[36]             MacIntyre, Three Rival Versions of Moral Enquiry, 96–99.


9.           Kritik terhadap Skolastisisme

Meskipun Skolastisisme menandai puncak refleksi intelektual Abad Pertengahan, tradisi ini tidak luput dari kritik — baik dari dalam maupun dari luar lingkup gereja dan filsafat. Kritik terhadap Skolastisisme mencerminkan perubahan paradigma besar dalam sejarah intelektual Barat: pergeseran dari ordo theologicus (tatanan teologis) menuju ordo humanus (tatanan manusiawi), dari rasionalitas teosentris menuju rasionalitas antropologis.¹ Kritik-kritik tersebut datang terutama dari tiga arah: humanisme Renaisans, rasionalisme modern, dan empirisme awal, yang semuanya berkontribusi terhadap lahirnya filsafat modern.²

9.1.       Kritik Humanisme Renaisans: Reaksi terhadap Formalisme Logis

Kritik pertama muncul dari para humanis Renaisans pada abad ke-14 dan ke-15, yang menilai bahwa Skolastisisme telah terjebak dalam formalisme logis dan kehilangan semangat kemanusiaannya.³ Tokoh-tokoh seperti Francesco Petrarca dan Erasmus dari Rotterdam menuduh para skolastik terlalu sibuk dengan spekulasi abstrak dan debat terminologis, sehingga melupakan tujuan etis dan eksistensial filsafat — yakni pembentukan kebajikan dan kebijaksanaan hidup.⁴

Petrarca, dalam surat-suratnya, menyebut filsafat skolastik sebagai “retorika kosong tanpa kehidupan,” karena terlalu berfokus pada disputasi dan tidak menyentuh pengalaman batin manusia.⁵ Erasmus, dalam The Praise of Folly, mengejek para teolog skolastik yang menghabiskan waktu memperdebatkan “berapa malaikat yang dapat berdiri di ujung jarum.”⁶ Kritik semacam ini menunjukkan keletihan intelektual terhadap gaya berpikir yang menekankan deduksi logis tetapi mengabaikan dimensi moral dan estetis dari eksistensi manusia.⁷

Humanisme Renaisans menuntut kembalinya filsafat kepada sumber-sumber klasik (khususnya Plato dan Cicero) dan kepada studi studia humanitatis — tata bahasa, sastra, dan sejarah — yang menekankan kemanusiaan sebagai pusat refleksi moral.⁸ Dengan demikian, kritik humanisme tidak semata-mata menolak iman, tetapi menolak cara berpikir skolastik yang dianggap mengekang kreativitas dan keutuhan pengalaman manusia.⁹

9.2.       Kritik Rasionalisme Modern: Antara Kepastian dan Otonomi Akal

Kritik kedua datang dari rasionalisme modern, yang berusaha membebaskan filsafat dari otoritas teologis. René Descartes menjadi simbol perubahan ini. Dalam Meditationes de Prima Philosophia, ia menolak metode skolastik yang berangkat dari otoritas dan deduksi silogistik, dan menggantinya dengan metode keraguan metodis untuk mencapai kepastian yang tak tergoyahkan (cogito ergo sum).¹⁰

Bagi Descartes, Skolastisisme gagal memberikan dasar epistemologis yang pasti karena bergantung pada argumentasi teologis dan konsep abstrak seperti esse dan essentia tanpa verifikasi rasional langsung.¹¹ Ia menggantikan prinsip fides quaerens intellectum dengan intellectus quaerens certitudinem — akal yang mencari kepastian atas dasar dirinya sendiri.¹² Dalam pandangan ini, rasionalisme modern memisahkan filsafat dari teologi, dan menegaskan otonomi penuh bagi akal sebagai sumber pengetahuan.¹³

Baruch Spinoza dan Gottfried Wilhelm Leibniz melanjutkan kritik ini dengan mengembangkan sistem metafisika yang independen dari teologi dogmatis.¹⁴ Mereka menolak hierarki ontologis skolastik yang menempatkan Tuhan sebagai “penyebab personal,” dan menggantinya dengan konsep Tuhan sebagai prinsip rasional atau substansi tunggal.¹⁵ Kritik ini memperlihatkan pergeseran mendasar: dari teosentrisme ke logosentrisme — dari iman kepada rasio menuju iman pada rasio itu sendiri.¹⁶

9.3.       Kritik Empirisme dan Nominalisme Lanjut: Krisis Universalia

Arah ketiga kritik datang dari empirisme awal dan nominalisme lanjut, yang diwarisi dari gagasan William Ockham.¹⁷ Dengan menolak realisme metafisis, Ockham menegaskan bahwa hanya individu konkret yang benar-benar ada, sedangkan konsep universal hanyalah nama (nomina) yang berguna secara linguistik.¹⁸ Pandangan ini melemahkan struktur metafisika skolastik yang bergantung pada hierarki “ada” dan partisipasi dalam wujud ilahi.¹⁹

Tokoh-tokoh empiris seperti Francis Bacon dan kemudian John Locke memperkuat kritik ini dengan menolak metode deduktif skolastik dan menggantikannya dengan induksi ilmiah.²⁰ Bagi Bacon, logika skolastik menghasilkan “kesimpulan dari kata-kata, bukan dari hal-hal,” karena lebih menekankan debat verbal ketimbang observasi empiris.²¹ Locke dalam An Essay Concerning Human Understanding menegaskan bahwa semua ide manusia berasal dari pengalaman, bukan dari prinsip-prinsip bawaan seperti yang diasumsikan oleh para skolastik.²²

Kritik ini menandai transisi epistemologis dari paradigma a priori menuju a posteriori, dari metafisika menuju sains empiris.²³ Akibatnya, sistem skolastik yang berlandaskan pada integrasi antara iman dan akal perlahan kehilangan otoritasnya di hadapan metodologi ilmiah baru yang mengutamakan pengalaman dan verifikasi.²⁴

9.4.       Kritik Internal: Ketegangan antara Dogma dan Rasionalitas

Selain kritik eksternal, Skolastisisme juga menghadapi ketegangan internal antara kebutuhan rasional dan komitmen dogmatis.²⁵ Ketika metode logika semakin berkembang, muncul kesadaran bahwa penalaran rasional kadang-kadang menghasilkan kesimpulan yang tampak bertentangan dengan wahyu.²⁶ Kasus-kasus seperti ajaran double truth (dua kebenaran) yang berkembang di Paris pada abad ke-13 menunjukkan adanya upaya untuk memisahkan kebenaran filsafat dan kebenaran teologi agar keduanya dapat berdiri sendiri.²⁷

Para teolog seperti Étienne Tempier bahkan mengutuk sejumlah tesis Aristotelian yang diajarkan di Universitas Paris karena dianggap mengancam ortodoksi iman.²⁸ Ketegangan ini menunjukkan batas dari proyek skolastik itu sendiri: keinginannya untuk menyatukan iman dan akal sering kali berbenturan dengan struktur otoritas gerejawi.²⁹


Warisan dan Evaluasi Kritis

Walaupun menghadapi kritik keras, banyak sejarawan filsafat modern menilai bahwa Skolastisisme tetap memberikan sumbangan fundamental bagi rasionalitas Barat.³⁰ Ia memperkenalkan metode argumentatif yang sistematis, membangun fondasi bagi universitas modern, dan merumuskan kategori konseptual yang menjadi dasar bagi ilmu logika dan etika.³¹ Bahkan Descartes, Bacon, dan Spinoza, dalam beberapa hal, masih berhutang pada struktur berpikir skolastik — terutama dalam pencarian dasar rasional universal.³²

Dengan demikian, kritik terhadap Skolastisisme tidak semata-mata berarti penolakan, melainkan transformasi.³³ Tradisi ini tidak mati, melainkan berinkarnasi kembali dalam rasionalisme modern, humanisme Renaisans, dan bahkan dalam filsafat analitik kontemporer yang mewarisi semangat argumentatif dan analisis konseptualnya.³⁴


Footnotes

[1]                Étienne Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1991), 171–174.

[2]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 2: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 142–145.

[3]                Paul Oskar Kristeller, Renaissance Thought and Its Sources (New York: Columbia University Press, 1979), 11–13.

[4]                Charles Trinkaus, In Our Image and Likeness: Humanity and Divinity in Italian Humanist Thought (Chicago: University of Chicago Press, 1970), 28–30.

[5]                Francesco Petrarca, Letters on Familiar Matters, trans. Aldo S. Bernardo (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1982), II, 4.

[6]                Desiderius Erasmus, The Praise of Folly, trans. Betty Radice (London: Penguin, 1971), 95–97.

[7]                Gilson, Reason and Revelation in the Middle Ages (New York: Charles Scribner’s Sons, 1938), 92–94.

[8]                Kristeller, Renaissance Thought and Its Sources, 18–21.

[9]                Copleston, Medieval Philosophy, 147–149.

[10]             René Descartes, Meditations on First Philosophy, trans. John Cottingham (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), I–II.

[11]             Anthony Kenny, A New History of Western Philosophy, Vol. 2: Medieval Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2005), 119–121.

[12]             Étienne Gilson, God and Philosophy (New Haven, CT: Yale University Press, 1941), 56–59.

[13]             Alasdair MacIntyre, Three Rival Versions of Moral Enquiry: Encyclopaedia, Genealogy, and Tradition (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1990), 101–103.

[14]             Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (London: Penguin, 1996), I, prop. 11–15.

[15]             Gottfried Wilhelm Leibniz, Monadology, trans. Robert Latta (Oxford: Clarendon Press, 1898), §§47–49.

[16]             Copleston, Medieval Philosophy, 150–152.

[17]             William of Ockham, Summa Logicae, trans. Philotheus Boehner (New York: Franciscan Institute, 1974), I, c.15.

[18]             Marilyn McCord Adams, William Ockham (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1987), 108–110.

[19]             Josef Pieper, Scholasticism: Personalities and Problems of Medieval Philosophy, trans. Richard and Clara Winston (South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 2001), 76–78.

[20]             Francis Bacon, Novum Organum, ed. Lisa Jardine and Michael Silverthorne (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), I, 45–47.

[21]             Bacon, Novum Organum, I, 53.

[22]             John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, ed. Peter H. Nidditch (Oxford: Clarendon Press, 1975), II, i, §2.

[23]             Edward Grant, God and Reason in the Middle Ages (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 110–113.

[24]             Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy, 177–179.

[25]             Richard Southern, Scholastic Humanism and the Unification of Europe (Oxford: Blackwell, 1995), 210–212.

[26]             Brian Davies, The Thought of Thomas Aquinas (Oxford: Clarendon Press, 1992), 118–120.

[27]             Fernand Van Steenberghen, The Philosophical Movement in the Thirteenth Century (Edinburgh: Nelson, 1955), 138–141.

[28]             Étienne Tempier, Condemnation of 1277, trans. David Piché (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1999), §223–224.

[29]             Pieper, Scholasticism, 82–84.

[30]             Copleston, Medieval Philosophy, 153–155.

[31]             Gilson, Reason and Revelation in the Middle Ages, 98–100.

[32]             MacIntyre, Three Rival Versions of Moral Enquiry, 107–109.

[33]             Kenny, Medieval Philosophy, 124–126.

[34]             Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy, 182–184.


10.       Sintesis Filosofis: Skolastisisme sebagai Model Integrasi Akal dan Iman

Salah satu pencapaian terbesar dari tradisi Skolastisisme adalah kemampuannya menyusun sintesis filosofis yang menempatkan akal dan iman dalam hubungan saling melengkapi, bukan saling bertentangan.¹ Dalam konteks sejarah filsafat, Skolastisisme berhasil merumuskan model epistemologis dan ontologis di mana kebenaran wahyu dan kebenaran rasional dipandang sebagai dua jalan menuju satu tujuan yang sama: pengenalan akan Tuhan sebagai sumber segala kebenaran.² Sintesis ini bukan sekadar kompromi, tetapi sebuah struktur metafisis dan metodologis yang memungkinkan integrasi antara dimensi teologis dan rasional dari eksistensi manusia.³

10.1.    Paradigma Fides et Ratio: Kesatuan Kebenaran

Prinsip dasar sintesis skolastik berakar pada adagium klasik fides et ratio — iman dan akal.⁴ Dalam pandangan Thomas Aquinas, kebenaran tidak mungkin saling bertentangan karena seluruh kebenaran berasal dari sumber yang sama, yaitu Tuhan.⁵ Wahyu mengungkapkan kebenaran yang melampaui jangkauan akal, sedangkan filsafat menafsirkan realitas dalam batas kemampuan rasional manusia.⁶ Dengan demikian, akal tidak menggantikan iman, melainkan berfungsi menyiapkan dasar rasional bagi penerimaan iman (praeambula fidei).⁷

Aquinas menegaskan bahwa filsafat dapat membuktikan secara rasional beberapa kebenaran teologis — misalnya keberadaan Tuhan atau hukum moral kodrati — tetapi kebenaran misteri iman seperti Trinitas atau Inkarnasi hanya dapat diterima melalui wahyu.⁸ Namun, sekalipun iman mengatasi akal, ia tidak meniadakannya.⁹ Skolastisisme memandang rasionalitas sebagai bentuk partisipasi manusia dalam Logos Ilahi, sehingga berpikir secara rasional juga merupakan tindakan spiritual.¹⁰

10.2.    Sintesis Metafisis: Partisipasi dalam Keberadaan Ilahi

Secara ontologis, sintesis skolastik berakar pada pandangan bahwa seluruh realitas berpartisipasi dalam keberadaan Tuhan (participatio essendi).¹¹ Aquinas mengembangkan metafisika partisipatif di mana setiap wujud memiliki esse (keberadaan) yang berasal dari Tuhan sebagai ipsum esse subsistens — keberadaan itu sendiri yang berdiri sendiri.¹² Hubungan antara Tuhan dan dunia bukanlah hubungan eksternal antara pencipta dan ciptaan, melainkan hubungan ontologis di mana ciptaan terus-menerus bergantung pada Tuhan untuk eksistensinya.¹³

Melalui kerangka ini, Skolastisisme mengatasi dikotomi antara teisme dan naturalisme. Dunia tidak bersifat otonom sepenuhnya, tetapi juga tidak semata-mata ilusi teologis.¹⁴ Ia merupakan partisipasi nyata dalam keberadaan ilahi — realitas yang rasional karena berasal dari Tuhan yang rasional.¹⁵ Pandangan ini membentuk dasar bagi “realitas sakramental” Abad Pertengahan, di mana seluruh ciptaan dipahami sebagai tanda (signum) yang mengarahkan manusia kepada Sang Pencipta.¹⁶

10.3.    Sintesis Epistemologis: Ilmu sebagai Jalan Menuju Iman

Dalam bidang epistemologi, Skolastisisme menawarkan kerangka yang menempatkan pengetahuan manusia dalam tatanan hierarkis yang berujung pada Tuhan sebagai causa veritatis (penyebab kebenaran).¹⁷ Pengetahuan ilmiah (scientia) dan teologis (sapientia) bukan dua bidang yang terpisah, melainkan dua tingkat refleksi terhadap realitas yang sama.¹⁸

Bagi para skolastik, sains dan teologi memiliki metodologi berbeda, tetapi saling melengkapi: sains berangkat dari pengalaman empiris dan penalaran deduktif, sementara teologi berangkat dari wahyu dan akal yang diterangi iman.¹⁹ Melalui metode disputatio dan quaestio, para pemikir skolastik menunjukkan bahwa rasio dapat digunakan untuk menjelaskan dogma iman tanpa mengorbankan nilai misterinya.²⁰ Dengan demikian, sintesis skolastik membentuk model epistemologis di mana kebenaran teologis dan ilmiah dapat berdialog tanpa reduksi.²¹

Model ini secara historis meletakkan dasar bagi lahirnya universitas dan struktur akademik Barat.²² Filsafat dan teologi, meskipun dibedakan secara formal, tetap dipersatukan dalam orientasi metafisis menuju kebenaran tertinggi.²³

10.4.    Sintesis Etis dan Teologis: Rasionalitas Moral yang Transendental

Etika skolastik juga memperlihatkan sintesis antara hukum kodrati dan hukum ilahi.²⁴ Dengan konsep lex naturalis, Aquinas menunjukkan bahwa rasio manusia mampu mengenali kebaikan sejati, sementara wahyu menyempurnakan pengetahuan moral itu dengan tujuan akhir — kebahagiaan dalam persatuan dengan Tuhan (beatitudo aeterna).²⁵

Dalam hal ini, rasionalitas moral tidak sekadar bersifat utilitarian atau empiris, melainkan teologis: tindakan baik adalah tindakan yang sesuai dengan kehendak Tuhan sebagaimana dimengerti melalui akal.²⁶ Oleh karena itu, Skolastisisme menegaskan integrasi antara kebebasan manusia dan tatanan ilahi — manusia bebas karena ia mampu secara rasional memilih kebaikan yang sesuai dengan tujuan penciptaannya.²⁷

10.5.    Skolastisisme sebagai Model Rasionalitas Integral

Secara keseluruhan, Skolastisisme menawarkan model rasionalitas integral, yakni pandangan bahwa iman dan akal merupakan dua dimensi komplementer dari satu realitas intelektual yang sama.²⁸ Skolastisisme mengajarkan bahwa iman tanpa akal akan menjadi fanatisme, sedangkan akal tanpa iman akan menjadi skeptisisme atau materialisme dangkal.²⁹

Sebagaimana dikatakan Étienne Gilson, “di dalam Skolastisisme, iman tidak pernah meniadakan rasio, melainkan memberinya makna tertinggi.”³⁰ Melalui sintesis ini, para pemikir skolastik tidak hanya menyelamatkan warisan rasionalitas Yunani, tetapi juga menanamkan dimensi spiritual di dalamnya, menciptakan jembatan antara filsafat dan teologi, antara ilmu dan wahyu, antara dunia dan Tuhan.³¹


Relevansi Sintesis Skolastik bagi Rasionalitas Kontemporer

Warisan sintesis skolastik tetap relevan bagi wacana filsafat modern dan kontemporer.³² Dalam dunia yang sering memperhadapkan sains dan agama, rasio dan iman, Skolastisisme menawarkan paradigma dialogis yang menolak dikotomi.³³ Model fides et ratio menunjukkan bahwa kebenaran tidak terpecah antara ranah empiris dan spiritual, tetapi membentuk kesatuan ontologis dan epistemologis.³⁴

Bahkan dalam filsafat analitik modern, semangat skolastik masih bertahan dalam penekanan terhadap argumentasi rasional, kejelasan konseptual, dan konsistensi logis.³⁵ Dengan demikian, sintesis Skolastisisme bukan hanya warisan masa lalu, melainkan inspirasi untuk membangun kembali hubungan harmonis antara ilmu, etika, dan spiritualitas dalam paradigma pengetahuan masa kini.³⁶


Footnotes

[1]                Étienne Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1991), 185–188.

[2]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 2: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 157–160.

[3]                Alasdair MacIntyre, Three Rival Versions of Moral Enquiry: Encyclopaedia, Genealogy, and Tradition (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1990), 112–115.

[4]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, q.1, a.8.

[5]                Josef Pieper, Guide to Thomas Aquinas, trans. Richard and Clara Winston (San Francisco: Ignatius Press, 1991), 83–85.

[6]                Gilson, Reason and Revelation in the Middle Ages (New York: Charles Scribner’s Sons, 1938), 105–107.

[7]                Aquinas, Summa Contra Gentiles, trans. Anton C. Pegis (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1975), I, 2.

[8]                Pieper, Scholasticism: Personalities and Problems of Medieval Philosophy, trans. Richard and Clara Winston (South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 2001), 88–90.

[9]                Anthony Kenny, Medieval Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2005), 128–130.

[10]             Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas (New York: Random House, 1956), 176–179.

[11]             Gilson, Being and Some Philosophers (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1952), 48–51.

[12]             Rudi A. te Velde, Aquinas on God: The “Divine Science” of the Summa Theologiae (Aldershot: Ashgate, 2006), 71–73.

[13]             Brian Davies, The Thought of Thomas Aquinas (Oxford: Clarendon Press, 1992), 125–128.

[14]             Edward Grant, God and Reason in the Middle Ages (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 115–118.

[15]             Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy, 190–192.

[16]             Josef Pieper, The Silence of St. Thomas (South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 1999), 33–35.

[17]             Marcia L. Colish, Medieval Foundations of the Western Intellectual Tradition, 400–1400 (New Haven, CT: Yale University Press, 1997), 194–196.

[18]             A. S. McGrade, The Cambridge Companion to Medieval Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 62–64.

[19]             Aquinas, Summa Theologica, I, q.12, a.12.

[20]             Pieper, Scholasticism, 91–93.

[21]             Gilson, Reason and Revelation in the Middle Ages, 110–112.

[22]             Richard Southern, Scholastic Humanism and the Unification of Europe (Oxford: Blackwell, 1995), 236–238.

[23]             Copleston, Medieval Philosophy, 162–164.

[24]             Thomas Aquinas, Summa Theologica, I–II, q.91, a.2.

[25]             Pieper, The Four Cardinal Virtues (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1966), 59–61.

[26]             Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas, 182–185.

[27]             MacIntyre, Three Rival Versions of Moral Enquiry, 118–120.

[28]             Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy, 193–195.

[29]             Kenny, Medieval Philosophy, 132–134.

[30]             Gilson, Reason and Revelation in the Middle Ages, 116–118.

[31]             Copleston, Medieval Philosophy, 165–167.

[32]             Pieper, Guide to Thomas Aquinas, 89–91.

[33]             Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy, 197–199.

[34]             MacIntyre, Three Rival Versions of Moral Enquiry, 123–126.

[35]             Edward Feser, Scholastic Metaphysics: A Contemporary Introduction (Heusenstamm: Editiones Scholasticae, 2014), 15–18.

[36]             Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas, 190–192.


11.       Relevansi Kontemporer

Meskipun Skolastisisme berakar pada konteks intelektual Abad Pertengahan, warisannya tetap hidup dan relevan dalam berbagai bidang pemikiran kontemporer. Sebagai suatu tradisi yang menekankan sintesis antara iman dan akal, sistem dan kebebasan berpikir, refleksi teologis dan rasionalitas ilmiah, Skolastisisme menyediakan model filosofis yang berguna bagi dunia modern yang cenderung terpecah antara sains dan spiritualitas.¹ Dalam konteks pascamodern dan pluralistik, nilai-nilai metodologis dan metafisis Skolastisisme menghadirkan alternatif bagi bentuk rasionalitas yang terlalu fragmentaris dan reduksionistik.²

11.1.    Reaktualisasi Metode Rasional dan Dialektis

Metode skolastik, dengan struktur quaestio, disputatio, dan determinatio, menanamkan tradisi berpikir kritis dan dialogis yang tetap relevan bagi pendidikan modern.³ Dalam era informasi yang sarat dengan relativisme dan dogmatisme ideologis, model berpikir skolastik mengajarkan pentingnya menimbang berbagai argumen secara sistematis sebelum mencapai kesimpulan.⁴

Prinsip disputatio dapat dilihat sebagai cikal bakal metode ilmiah dan argumentatif modern — di mana kebenaran dicapai melalui proses dialektis antara tesis, antitesis, dan sintesis.⁵ Banyak universitas kontemporer masih mewarisi struktur ini dalam bentuk seminar, debat akademik, dan peer review yang berakar pada tradisi skolastik universitas Paris dan Bologna.⁶ Dengan demikian, warisan metodologis Skolastisisme berperan penting dalam membentuk etos rasional ilmiah yang terbuka, reflektif, dan intersubjektif.⁷

11.2.    Fondasi Dialog antara Sains dan Agama

Dalam konteks modern, Skolastisisme juga memiliki peran signifikan dalam menjembatani hubungan antara sains dan agama.⁸ Model epistemologis skolastik menolak dikotomi antara pengetahuan ilmiah dan teologis, dengan menegaskan bahwa keduanya menyingkap aspek berbeda dari kebenaran yang sama.⁹

Pemikiran Thomas Aquinas tentang ordo rationis dan ordo fidei — tatanan rasio dan iman — memberikan kerangka konseptual untuk dialog antara teologi dan ilmu pengetahuan kontemporer.¹⁰ Pandangan ini kembali dihidupkan dalam ensiklik Fides et Ratio (1998) oleh Paus Yohanes Paulus II, yang menyerukan rekonsiliasi antara kebijaksanaan iman dan rasionalitas ilmiah.¹¹ Dengan demikian, Skolastisisme tetap menjadi sumber inspirasi bagi filsafat sains dan teologi modern yang berupaya menghindari konflik epistemologis antara empirisme dan iman.¹²

11.3.    Inspirasi bagi Filsafat Analitik dan Etika Modern

Secara tidak langsung, warisan skolastik juga hadir dalam filsafat analitik kontemporer, terutama dalam bidang logika dan filsafat bahasa.¹³ Kecermatan konseptual, penekanan pada kejelasan argumentatif, dan analisis terhadap istilah (suppositio, significatio, dan terminus) yang dikembangkan oleh para skolastik seperti Ockham dan Abelardus dapat dianggap sebagai pendahulu bagi logika formal modern.¹⁴

Selain itu, etika skolastik yang berakar pada hukum kodrati (lex naturalis) telah mengalami kebangkitan dalam filsafat moral kontemporer, khususnya melalui New Natural Law Theory yang dikembangkan oleh John Finnis dan Germain Grisez.¹⁵ Teori ini menegaskan bahwa prinsip moral dapat ditemukan melalui refleksi rasional atas kodrat manusia, suatu gagasan yang langsung bersumber dari tradisi Aquinas.¹⁶ Dalam konteks perdebatan bioetika, hak asasi manusia, dan filsafat hukum, pandangan ini memberikan dasar universal bagi etika normatif yang tidak bergantung pada relativisme budaya.¹⁷

11.4.    Relevansi dalam Konteks Pluralisme dan Postmodernisme

Dunia kontemporer yang plural dan postmodern ditandai oleh krisis makna serta fragmentasi epistemologis.¹⁸ Dalam situasi ini, Skolastisisme menawarkan kerangka rasional yang terbuka namun berakar, yakni struktur berpikir yang menghargai tradisi tanpa menolak kebaruan.¹⁹ Gilson menegaskan bahwa kekuatan Skolastisisme bukan pada dogmanya, melainkan pada kemampuannya untuk “mengintegrasikan iman dan akal dalam dinamika sejarah rasionalitas manusia.”²⁰

Dengan menolak reduksi kebenaran pada dimensi empiris atau relativisme nihilistik, Skolastisisme menunjukkan bahwa akal budi manusia dapat mencari kebenaran objektif tanpa menafikan kompleksitas pengalaman historis dan spiritual.²¹ Model berpikir ini membuka kemungkinan bagi filsafat interreligius, teologi kontekstual, dan etika global yang berakar pada prinsip rasional universal namun tetap menghormati keragaman budaya.²²


Refleksi Filosofis: Skolastisisme sebagai Rasionalitas Integral

Relevansi terbesar Skolastisisme terletak pada gagasannya tentang rasionalitas integral — rasionalitas yang menyatukan dimensi logis, etis, dan spiritual dari manusia.²³ Dalam zaman ketika rasio sering dipisahkan dari moralitas dan spiritualitas, Skolastisisme mengingatkan bahwa berpikir sejati bukan hanya kegiatan intelektual, tetapi juga tindakan moral yang menuntun manusia menuju kebijaksanaan (sapientia).²⁴

Sintesis antara iman dan akal dalam Skolastisisme menjadi model bagi upaya kontemporer dalam membangun epistemologi yang holistik, baik dalam filsafat, sains, maupun teologi.²⁵ Sebagaimana ditegaskan MacIntyre, tradisi skolastik menampilkan “rasionalitas dalam konteks komunitas moral,” di mana pengetahuan, kebaikan, dan iman tidak terpisah, tetapi saling meneguhkan.²⁶

Dengan demikian, Skolastisisme tetap relevan bukan karena ia menawarkan sistem tertutup, tetapi karena ia mengajarkan disiplin berpikir, kejujuran intelektual, dan keterbukaan terhadap kebenaran transenden — nilai-nilai yang tetap dibutuhkan di tengah krisis intelektual dan spiritual abad ke-21.²⁷


Footnotes

[1]                Étienne Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1991), 200–202.

[2]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 2: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 168–170.

[3]                Josef Pieper, Scholasticism: Personalities and Problems of Medieval Philosophy, trans. Richard and Clara Winston (South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 2001), 95–97.

[4]                Richard Southern, Scholastic Humanism and the Unification of Europe (Oxford: Blackwell, 1995), 242–244.

[5]                A. S. McGrade, The Cambridge Companion to Medieval Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 72–74.

[6]                Marcia L. Colish, Medieval Foundations of the Western Intellectual Tradition, 400–1400 (New Haven, CT: Yale University Press, 1997), 198–200.

[7]                Anthony Kenny, Medieval Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2005), 137–139.

[8]                Edward Grant, God and Reason in the Middle Ages (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 120–123.

[9]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, q.1, a.8.

[10]             Josef Pieper, Guide to Thomas Aquinas, trans. Richard and Clara Winston (San Francisco: Ignatius Press, 1991), 92–95.

[11]             John Paul II, Fides et Ratio (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 1998), §43.

[12]             Gilson, Reason and Revelation in the Middle Ages (New York: Charles Scribner’s Sons, 1938), 120–122.

[13]             Edward Feser, Scholastic Metaphysics: A Contemporary Introduction (Heusenstamm: Editiones Scholasticae, 2014), 25–28.

[14]             Marilyn McCord Adams, William Ockham (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1987), 117–120.

[15]             John Finnis, Natural Law and Natural Rights (Oxford: Oxford University Press, 1980), 23–26.

[16]             Germain Grisez, The Way of the Lord Jesus, Vol. 1: Christian Moral Principles (Chicago: Franciscan Herald Press, 1983), 55–58.

[17]             Brian Davies, The Thought of Thomas Aquinas (Oxford: Clarendon Press, 1992), 136–139.

[18]             Alasdair MacIntyre, After Virtue (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1981), 109–111.

[19]             Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas (New York: Random House, 1956), 194–197.

[20]             Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy, 204–206.

[21]             Copleston, Medieval Philosophy, 172–174.

[22]             MacIntyre, Three Rival Versions of Moral Enquiry: Encyclopaedia, Genealogy, and Tradition (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1990), 130–132.

[23]             Pieper, Guide to Thomas Aquinas, 98–100.

[24]             Gilson, Reason and Revelation in the Middle Ages, 125–128.

[25]             Feser, Scholastic Metaphysics, 35–38.

[26]             MacIntyre, Three Rival Versions of Moral Enquiry, 134–136.

[27]             Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy, 210–212.


12.       Kesimpulan

Skolastisisme, sebagai puncak pemikiran intelektual Abad Pertengahan, bukan sekadar fenomena historis, melainkan suatu paradigma rasional-teologis yang menandai usaha manusia untuk menyatukan dua sumber pengetahuan — iman dan akal — dalam satu horizon kebenaran.¹ Dalam konteks historisnya, Skolastisisme lahir dari kebutuhan Gereja dan masyarakat intelektual Eropa untuk menjelaskan iman Kristen melalui perangkat rasional yang diwarisi dari filsafat Yunani, khususnya Aristotelianisme.² Namun, di balik kerangka teologisnya, tradisi ini membentuk suatu sistem epistemologis dan metodologis yang menjadi fondasi bagi berkembangnya rasionalitas Barat.³

12.1.    Integrasi Akal dan Iman sebagai Warisan Intelektual

Pencapaian utama Skolastisisme terletak pada kemampuannya mengintegrasikan iman dan rasio secara sistematis.⁴ Melalui prinsip fides quaerens intellectum (iman yang mencari pengertian), para pemikir skolastik seperti Anselmus, Aquinas, dan Bonaventura menunjukkan bahwa iman tidak bertentangan dengan akal, tetapi menemukan kepenuhannya di dalamnya.⁵ Dengan demikian, Skolastisisme tidak menundukkan filsafat pada teologi, tetapi menempatkannya dalam relasi dialogis yang saling memperkaya.⁶

Thomas Aquinas menjadi simbol sintesis ini. Ia membangun sistem filsafat yang menjelaskan realitas sebagai partisipasi dalam keberadaan ilahi (participatio essendi), di mana akal manusia berfungsi untuk mengenali keteraturan ciptaan sebagai refleksi dari Logos Ilahi.⁷ Pandangan ini melahirkan suatu metafisika partisipatif yang menghubungkan Tuhan, dunia, dan manusia dalam satu tatanan ontologis yang rasional.⁸

12.2.    Nilai Metodologis dan Rasionalitas Skolastik

Secara metodologis, Skolastisisme meninggalkan warisan penting berupa struktur berpikir dialektis yang ketat dan terbuka terhadap kritik.⁹ Format quaestio dan disputatio bukan hanya teknik retoris, melainkan pola epistemologis yang menumbuhkan kebiasaan berpikir sistematis, argumentatif, dan berbasis bukti.¹⁰ Semangat ini menjadi dasar bagi universitas-universitas modern, yang tetap mempertahankan prinsip rasional, dialogis, dan sistematis dalam tradisi akademiknya.¹¹

Selain itu, metode skolastik juga berperan dalam pembentukan disiplin logika formal dan epistemologi analitik.¹² Gagasan bahwa kebenaran dapat dijelaskan dan diuji secara argumentatif membentuk tradisi rasionalitas yang kelak berkembang dalam sains dan filsafat modern.¹³ Dalam pengertian ini, Skolastisisme dapat dipandang sebagai jembatan antara dunia teologis abad pertengahan dan rasionalitas ilmiah modern.¹⁴

12.3.    Skolastisisme sebagai Etos Intelektual dan Spiritualitas Rasional

Lebih dari sekadar sistem filsafat, Skolastisisme adalah etos intelektual yang memadukan pencarian rasional dengan komitmen spiritual.¹⁵ Ia menunjukkan bahwa berpikir adalah bentuk ibadah: aktivitas akal yang berpartisipasi dalam kebenaran ilahi.¹⁶ Bagi para skolastik, teologi bukan semata sistem dogmatis, melainkan jalan menuju kebijaksanaan (sapientia), di mana pengetahuan dan cinta bersatu dalam kontemplasi akan Tuhan.¹⁷

Etos ini tetap relevan dalam konteks dunia modern yang sering memisahkan pengetahuan dari moralitas, atau sains dari spiritualitas.¹⁸ Skolastisisme mengajarkan bahwa kebenaran sejati menuntut integrasi antara dimensi rasional, etis, dan teologis dari eksistensi manusia.¹⁹


Refleksi Akhir: Dari Tradisi ke Transformasi

Warisan Skolastisisme bukanlah dogma yang beku, tetapi tradisi hidup yang terus bertransformasi.²⁰ Kritik humanisme Renaisans, rasionalisme modern, dan empirisme abad ke-17 tidak menghancurkan Skolastisisme, melainkan memperkaya warisannya dengan menantang batas-batasnya.²¹ Dalam arti ini, Skolastisisme menjadi sumber refleksi filosofis yang terus relevan: ia mengajarkan bahwa iman dan rasio, wahyu dan pengalaman, dapat berdialog dalam horizon yang sama tanpa kehilangan integritas masing-masing.²²

Sebagaimana ditegaskan Étienne Gilson, kekuatan Skolastisisme bukan terletak pada kesempurnaan sistemnya, tetapi pada semangat intelektualnya — keberaniannya untuk berpikir secara radikal sambil tetap berakar pada iman.²³ Dengan demikian, Skolastisisme tidak hanya menjadi warisan masa lalu, melainkan juga inspirasi masa depan: sebuah model bagi rasionalitas yang utuh, terbuka, dan transenden.²⁴


Footnotes

[1]                Étienne Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1991), 213–215.

[2]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. 2: Medieval Philosophy (New York: Image Books, 1993), 175–177.

[3]                Josef Pieper, Scholasticism: Personalities and Problems of Medieval Philosophy, trans. Richard and Clara Winston (South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 2001), 100–102.

[4]                Alasdair MacIntyre, Three Rival Versions of Moral Enquiry: Encyclopaedia, Genealogy, and Tradition (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1990), 140–142.

[5]                Anselm of Canterbury, Proslogion, trans. Thomas Williams (Indianapolis: Hackett, 2001), I.

[6]                Gilson, Reason and Revelation in the Middle Ages (New York: Charles Scribner’s Sons, 1938), 130–132.

[7]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), I, q.3, a.4.

[8]                Rudi A. te Velde, Aquinas on God: The “Divine Science” of the Summa Theologiae (Aldershot: Ashgate, 2006), 84–86.

[9]                Marcia L. Colish, Medieval Foundations of the Western Intellectual Tradition, 400–1400 (New Haven, CT: Yale University Press, 1997), 205–207.

[10]             Anthony Kenny, Medieval Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2005), 145–147.

[11]             Richard Southern, Scholastic Humanism and the Unification of Europe (Oxford: Blackwell, 1995), 250–252.

[12]             Edward Feser, Scholastic Metaphysics: A Contemporary Introduction (Heusenstamm: Editiones Scholasticae, 2014), 39–41.

[13]             Josef Pieper, Guide to Thomas Aquinas, trans. Richard and Clara Winston (San Francisco: Ignatius Press, 1991), 104–106.

[14]             Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas (New York: Random House, 1956), 202–204.

[15]             Copleston, Medieval Philosophy, 180–182.

[16]             Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy, 218–220.

[17]             Brian Davies, The Thought of Thomas Aquinas (Oxford: Clarendon Press, 1992), 142–145.

[18]             MacIntyre, After Virtue (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1981), 114–116.

[19]             Pieper, The Four Cardinal Virtues (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1966), 66–68.

[20]             Gilson, Reason and Revelation in the Middle Ages, 136–138.

[21]             Copleston, Medieval Philosophy, 184–186.

[22]             Gilson, The Spirit of Medieval Philosophy, 222–224.

[23]             Étienne Gilson, The Unity of Philosophical Experience (New York: Scribner’s Sons, 1937), 91–93.

[24]             Pieper, Scholasticism: Personalities and Problems of Medieval Philosophy, 109–111.


Daftar Pustaka

Adams, M. M. (1987). William Ockham. University of Notre Dame Press.

Anselm of Canterbury. (1995). Monologion (T. Williams, Trans.). Hackett.

Anselm of Canterbury. (2001). Proslogion (T. Williams, Trans.). Hackett.

Aristotle. (1924). Metaphysics (W. D. Ross, Trans.). Clarendon Press.

Aristotle. (1931). De Anima (J. A. Smith, Trans.). Clarendon Press.

Aristotle. (1985). Nicomachean Ethics (T. Irwin, Trans.). Hackett.

Augustine. (1972). The City of God (H. Bettenson, Trans.). Penguin.

Augustine. (1991). Confessions (H. Chadwick, Trans.). Oxford University Press.

Augustine. (1991). De Trinitate (E. Hill, Trans.). New City Press.

Augustine. (1993). De Libero Arbitrio (T. Williams, Trans.). Hackett.

Bacon, F. (2000). Novum Organum (L. Jardine & M. Silverthorne, Eds.). Cambridge University Press.

Boethius. (1978). De Topicis Differentiis (E. Stump, Trans.). Cornell University Press.

Colish, M. L. (1997). Medieval Foundations of the Western Intellectual Tradition, 400–1400. Yale University Press.

Copleston, F. (1993). A history of philosophy: Vol. 2. Medieval philosophy. Image Books.

Cross, R. (2005). Duns Scotus on God. Ashgate.

Davies, B. (1992). The thought of Thomas Aquinas. Clarendon Press.

Descartes, R. (1996). Meditations on first philosophy (J. Cottingham, Trans.). Cambridge University Press.

Erasmus, D. (1971). The praise of folly (B. Radice, Trans.). Penguin.

Feser, E. (2014). Scholastic metaphysics: A contemporary introduction. Editiones Scholasticae.

Finnis, J. (1980). Natural law and natural rights. Oxford University Press.

Gilson, É. (1937). The unity of philosophical experience. Scribner’s Sons.

Gilson, É. (1938). Reason and revelation in the Middle Ages. Charles Scribner’s Sons.

Gilson, É. (1941). God and philosophy. Yale University Press.

Gilson, É. (1952). Being and some philosophers. Pontifical Institute of Mediaeval Studies.

Gilson, É. (1956). The Christian philosophy of St. Thomas Aquinas. Random House.

Gilson, É. (1991). The spirit of medieval philosophy. University of Notre Dame Press.

Grant, E. (2001). God and reason in the Middle Ages. Cambridge University Press.

Grisez, G. (1983). The way of the Lord Jesus, Vol. 1: Christian moral principles. Franciscan Herald Press.

Haskins, C. H. (1927). The renaissance of the twelfth century. Harvard University Press.

Ingham, M. B. (2003). Scotus for dunces: An introduction to the Subtle Doctor. Franciscan Institute.

John Paul II. (1998). Fides et ratio. Libreria Editrice Vaticana.

Kenny, A. (2005). Medieval philosophy. Oxford University Press.

Kristeller, P. O. (1979). Renaissance thought and its sources. Columbia University Press.

Le Goff, J. (1993). Intellectuals in the Middle Ages (T. L. Fagan, Trans.). Blackwell.

Leaman, O. (1999). A brief introduction to Islamic philosophy. Polity Press.

Leibniz, G. W. (1898). Monadology (R. Latta, Trans.). Clarendon Press.

Locke, J. (1975). An essay concerning human understanding (P. H. Nidditch, Ed.). Clarendon Press.

MacIntyre, A. (1981). After virtue. University of Notre Dame Press.

MacIntyre, A. (1990). Three rival versions of moral enquiry: Encyclopaedia, genealogy, and tradition. University of Notre Dame Press.

McGrade, A. S. (Ed.). (2003). The Cambridge companion to medieval philosophy. Cambridge University Press.

Maimonides, M. (2005). Moses Maimonides: The man and his works (H. A. Davidson). Oxford University Press.

Ockham, W. of. (1974). Summa logicae (P. Boehner, Trans.). Franciscan Institute.

Petrarca, F. (1982). Letters on familiar matters (A. S. Bernardo, Trans.). Johns Hopkins University Press.

Pieper, J. (1966). The four cardinal virtues. University of Notre Dame Press.

Pieper, J. (1991). Guide to Thomas Aquinas (R. & C. Winston, Trans.). Ignatius Press.

Pieper, J. (1999). The silence of St. Thomas. St. Augustine’s Press.

Pieper, J. (2001). Scholasticism: Personalities and problems of medieval philosophy (R. & C. Winston, Trans.). St. Augustine’s Press.

Southern, R. W. (1953). The making of the Middle Ages. Yale University Press.

Southern, R. (1995). Scholastic humanism and the unification of Europe. Blackwell.

Spinoza, B. (1996). Ethics (E. Curley, Trans.). Penguin.

Tempier, É. (1999). Condemnation of 1277 (D. Piché, Trans.). Pontifical Institute of Mediaeval Studies.

te Velde, R. A. (2006). Aquinas on God: The “Divine Science” of the Summa Theologiae. Ashgate.

Trinkaus, C. (1970). In our image and likeness: Humanity and divinity in Italian humanist thought. University of Chicago Press.

Van Steenberghen, F. (1955). The philosophical movement in the thirteenth century. Nelson.

Van Steenberghen, F. (1955). Aristotle in the West: The origins of Latin Aristotelianism. Louvain University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar