Selasa, 02 Desember 2025

Aristotelianisme: Filsafat Realisme dan Rasionalitas dalam Tradisi Klasik hingga Kontemporer

Aristotelianisme

Filsafat Realisme dan Rasionalitas dalam Tradisi Klasik hingga Kontemporer


Alihkan ke: Aliran Sejarah Filsafat.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif aliran Aristotelianisme sebagai salah satu sistem filsafat paling berpengaruh dalam sejarah pemikiran manusia. Aristotelianisme dipahami sebagai tradisi rasional yang berakar pada karya Aristoteles, yang menekankan keseimbangan antara akal dan pengalaman, teori dan praksis, serta individu dan komunitas. Dalam dimensi ontologis, filsafat ini menjelaskan realitas sebagai perpaduan antara materi dan bentuk (hylomorphism), dengan gerak menuju tujuan akhir (telos) sebagai struktur dasar keberadaan. Dalam epistemologi, Aristoteles menggabungkan empirisme dan rasionalisme, dengan menegaskan bahwa pengetahuan diperoleh dari pengalaman yang diolah oleh akal menjadi prinsip universal.

Pada tataran etika dan politik, Aristotelianisme memandang kebahagiaan (eudaimonia) sebagai tujuan tertinggi manusia, dicapai melalui kebajikan (arete) dan kebijaksanaan praktis (phronesis), yang hanya dapat terwujud dalam kehidupan sosial dan politik yang berkeadilan. Dalam estetika, seni dipahami sebagai peniruan bermakna (mimesis) yang menghasilkan katarsis, yakni pemurnian emosi menuju keseimbangan moral. Artikel ini juga menelusuri pengaruh Aristotelianisme dari dunia Yunani klasik hingga Islam abad pertengahan (melalui Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyd), serta ke dalam Skolastisisme Kristen dan filsafat modern melalui Thomas Aquinas.

Meskipun banyak dikritik — mulai dari Neoplatonisme, teologi Islam, rasionalisme modern, hingga postmodernisme — Aristotelianisme tetap menunjukkan ketahanannya melalui reinterpretasi dalam bentuk Neo-Aristotelianism kontemporer, khususnya dalam bidang etika kebajikan, metafisika, dan filsafat ilmu. Dengan demikian, Aristotelianisme berfungsi sebagai jembatan antara akal dan realitas, yang menawarkan kerangka rasionalitas humanistik untuk memahami pengetahuan, moralitas, dan kehidupan yang bermakna dalam konteks modern.

Kata Kunci: Aristotelianisme; realisme; teleologi; etika kebajikan; eudaimonia; hylomorphism; rasionalitas; Neo-Aristotelianism; filsafat klasik; Thomas Aquinas.


PEMBAHASAN

Aristotelianisme sebagai Jembatan antara Akal dan Realitas


1.           Pendahuluan

Aristotelianisme merupakan salah satu sistem filsafat paling berpengaruh dalam sejarah pemikiran Barat, yang berakar pada karya-karya Aristoteles (384–322 SM), murid dari Plato dan guru dari Aleksander Agung. Meskipun Aristoteles lahir dari tradisi Akademia yang sangat dipengaruhi oleh idealisme Platonik, ia kemudian mengembangkan suatu sistem pemikiran yang berbeda secara radikal: suatu filsafat yang berpusat pada realitas konkret, pengalaman empiris, dan prinsip rasionalitas yang terstruktur. Dalam konteks inilah Aristotelianisme dapat dipahami sebagai bentuk realisme filosofis yang berusaha menjembatani antara dunia ide dan dunia nyata melalui konsep substansi, sebab, dan teleologi alamiah yang inheren dalam setiap hal yang ada di dunia ini.¹

Filsafat Aristoteles mencakup hampir seluruh bidang pengetahuan manusia, mulai dari logika, metafisika, etika, politik, biologi, hingga estetika. Sistemnya membentuk dasar dari metode berpikir ilmiah dan refleksi filosofis yang sistematis. Logika silogistik Aristoteles, misalnya, menjadi kerangka utama bagi penalaran deduktif selama berabad-abad di dunia Barat dan Islam.² Sementara itu, pemikiran etisnya tentang eudaimonia (kebahagiaan sebagai tujuan tertinggi manusia) dan doktrin jalan tengah (mesotes) menegaskan pentingnya keseimbangan moral yang berakar pada kebijaksanaan praktis.³

Aristotelianisme tidak berhenti pada masa klasik, tetapi mengalami perkembangan panjang dalam berbagai konteks intelektual. Dalam dunia Islam abad pertengahan, pemikiran Aristoteles diolah dan disintesiskan oleh para filsuf seperti Ibnu Sina (Avicenna) dan Ibnu Rusyd (Averroes), yang berupaya menyelaraskannya dengan teologi monoteistik.⁴ Kemudian, melalui penerjemahan ke dalam bahasa Latin, Aristotelianisme menjadi fondasi bagi Skolastisisme Kristen di Eropa, terutama melalui karya Thomas Aquinas yang menggabungkan logika dan metafisika Aristoteles dengan teologi Katolik.⁵

Dalam era modern, meskipun Aristotelianisme sempat mengalami kemunduran akibat kebangkitan sains empiris dan rasionalisme Cartesian, banyak prinsip dasarnya tetap bertahan. Konsep sebab-akibat, aktualitas-potensialitas, dan teleologi alam kembali dikaji dalam konteks filsafat sains dan etika kontemporer.⁶ Bahkan dalam abad ke-20, kebangkitan virtue ethics dan neo-Aristotelianism (seperti pada karya Alasdair MacIntyre dan Elizabeth Anscombe) menunjukkan bahwa pemikiran Aristoteles masih relevan sebagai model rasionalitas etis dan metafisis yang seimbang antara akal dan pengalaman.⁷

Dengan demikian, artikel ini bertujuan untuk mengkaji secara komprehensif Aristotelianisme sebagai suatu sistem filsafat yang menyatukan rasionalitas, pengalaman empiris, dan orientasi etis. Pembahasan akan mencakup landasan historis, struktur ontologis, epistemologi, etika, politik, serta pengaruh dan relevansinya dalam konteks pemikiran kontemporer. Melalui pendekatan ini, Aristotelianisme akan ditampilkan bukan hanya sebagai warisan masa lalu, tetapi sebagai tradisi filosofis yang terus hidup dan memberi inspirasi bagi upaya manusia memahami realitas dan dirinya sendiri secara rasional dan bermakna.⁸


Footnotes

[1]                Jonathan Barnes, Aristotle: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2000), 5–7.

[2]                G.E.R. Lloyd, Aristotle: The Growth and Structure of His Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 1968), 41–43.

[3]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1106a–1109b.

[4]                Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition (Leiden: Brill, 1988), 15–22.

[5]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, vol. 1 (New York: Benziger Brothers, 1947), I, q.2, a.3.

[6]                Edward Feser, Scholastic Metaphysics: A Contemporary Introduction (Heusenstamm: Editiones Scholasticae, 2014), 55–59.

[7]                Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 147–150.

[8]                Henry Veatch, Aristotle: A Contemporary Appreciation (Bloomington: Indiana University Press, 1974), 3–5.


2.           Landasan Historis dan Genealogi Intelektual

Aristotelianisme lahir dari konteks intelektual Yunani Klasik yang subur dengan perdebatan antara berbagai aliran filsafat, terutama Platonisme dan mazhab-mazhab pra-Sokratik. Aristoteles (384–322 SM), sebagai murid Plato di Akademia selama dua puluh tahun, pada awalnya menerima banyak prinsip idealisme gurunya. Namun, perbedaan mendasar muncul ketika Aristoteles menolak pemisahan dunia ide dan dunia indrawi sebagaimana diajarkan oleh Plato. Ia menilai bahwa bentuk (eidos) tidak dapat eksis secara terpisah dari benda konkret, tetapi hanya dapat dipahami sebagai prinsip yang mengatur materi.¹ Dalam hal ini, Aristoteles menegaskan bahwa pengetahuan sejati bukanlah kontemplasi atas dunia ide, melainkan hasil pemahaman terhadap realitas konkret melalui pengalaman dan rasionalitas.²

Setelah meninggalkan Akademia, Aristoteles mendirikan sekolahnya sendiri, Lykeion, di Athena. Di sinilah ia mengembangkan metode penelitian empiris yang menjadi ciri khas Aristotelianisme. Lykeion bukan hanya pusat pengajaran filsafat, tetapi juga lembaga riset multidisipliner yang mempelajari biologi, logika, politik, dan metafisika secara sistematis.³ Pendekatan komprehensif ini mencerminkan keyakinan Aristoteles bahwa seluruh cabang pengetahuan saling terkait dalam satu tatanan rasional alam semesta.⁴

Pada masa Helenistik dan Romawi, pengaruh Aristotelianisme menyebar luas. Pemikiran Aristoteles diinterpretasikan ulang oleh para komentator seperti Theophrastus, Alexander dari Aphrodisias, dan Boethius.⁵ Melalui karya Boethius, sebagian logika Aristoteles diteruskan ke dunia Latin, sementara dalam dunia Timur, teks-teksnya diterjemahkan ke dalam bahasa Suriah dan Arab. Tradisi Islam memainkan peran sentral dalam melestarikan dan mengembangkan Aristotelianisme. Para filsuf besar seperti Al-Farabi, Ibnu Sina (Avicenna), dan Ibnu Rusyd (Averroes) tidak hanya menerjemahkan dan mengomentari Aristoteles, tetapi juga memperluas kerangka ontologinya dengan elemen teologis dan metafisis yang khas dunia Islam.⁶

Ibnu Sina, misalnya, menafsirkan konsep wujud dan mahiyyah (eksistensi dan esensi) dalam kerangka Aristotelian, yang kemudian memengaruhi filsafat skolastik di Eropa.⁷ Sedangkan Ibnu Rusyd mengembangkan tafsir rasional atas Aristoteles dan menegaskan bahwa filsafat dan wahyu tidak bertentangan, tetapi dua jalan menuju kebenaran yang sama.⁸ Melalui karya-karya Averroes inilah Aristotelianisme kembali diperkenalkan ke dunia Latin pada abad ke-12 dan ke-13, yang kemudian memengaruhi para pemikir besar Kristen seperti Albertus Magnus dan Thomas Aquinas.⁹

Dalam konteks Eropa abad pertengahan, Aristotelianisme mengalami integrasi dengan teologi Kristen melalui Skolastisisme. Thomas Aquinas memanfaatkan metafisika Aristoteles untuk membangun sintesis antara iman dan akal. Ia menafsirkan konsep “sebab pertama” (prima causa) dan “akhir tujuan” (causa finalis) sebagai dasar rasional bagi keberadaan Tuhan.¹⁰ Melalui pendekatan ini, Aristotelianisme tidak hanya bertahan, tetapi juga menjadi fondasi teologis dan metodologis bagi universitas-universitas Eropa.¹¹

Pada masa Renaisans dan awal modern, Aristotelianisme mengalami tantangan serius dari munculnya sains empiris dan mekanistik. Namun demikian, banyak prinsipnya tetap bertahan dalam epistemologi dan etika.¹² Filsuf-filsuf seperti Galileo dan Newton, meskipun menolak metafisika Aristoteles, tetap menggunakan logika deduktifnya sebagai dasar berpikir ilmiah.¹³ Hingga kini, tradisi Aristotelian terus mengalami reinterpretasi dalam berbagai bentuk: mulai dari neo-Aristotelianisme dalam etika kebajikan hingga kajian ilmiah tentang teleologi alam.¹⁴

Dengan demikian, genealogi intelektual Aristotelianisme memperlihatkan sebuah kontinuitas historis yang unik: dari Akademia Plato ke Lykeion Aristoteles, dari dunia Islam ke Skolastisisme Latin, dan dari Renaisans ke pemikiran kontemporer. Aristotelianisme bukanlah sistem tertutup, melainkan tradisi reflektif yang senantiasa terbuka terhadap reinterpretasi dan dialog lintas zaman serta budaya.¹⁵


Footnotes

[1]                Jonathan Barnes, Aristotle: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2000), 12–14.

[2]                G.E.R. Lloyd, Aristotle: The Growth and Structure of His Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 1968), 45–47.

[3]                W.K.C. Guthrie, A History of Greek Philosophy: Aristotle, An Encounter (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 23–26.

[4]                Werner Jaeger, Aristotle: Fundamentals of the History of His Development (Oxford: Oxford University Press, 1948), 57–60.

[5]                Richard Sorabji, The Philosophy of the Commentators, 200–600 AD: A Sourcebook (London: Duckworth, 2004), 31–34.

[6]                Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition (Leiden: Brill, 1988), 16–21.

[7]                Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 1992), 52–55.

[8]                Oliver Leaman, Averroes and His Philosophy (Oxford: Clarendon Press, 1988), 73–75.

[9]                A.S. McGrade, The Cambridge Companion to Medieval Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 102–107.

[10]             Thomas Aquinas, Summa Theologica, vol. 1 (New York: Benziger Brothers, 1947), I, q.2, a.3.

[11]             Étienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas (New York: Random House, 1956), 38–41.

[12]             Edward Grant, The Foundations of Modern Science in the Middle Ages (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 88–92.

[13]             Peter Dear, Revolutionizing the Sciences: European Knowledge and Its Ambitions, 1500–1700 (Princeton: Princeton University Press, 2001), 57–59.

[14]             Edward Feser, Neo-Scholastic Essays (South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 2015), 121–125.

[15]             Henry Veatch, Aristotle: A Contemporary Appreciation (Bloomington: Indiana University Press, 1974), 8–10.


3.           Ontologi: Realitas, Substansi, dan Perubahan

Ontologi Aristotelian berakar pada keyakinan bahwa realitas memiliki struktur yang rasional dan dapat dipahami melalui analisis terhadap hal-hal yang ada (ta onta). Dalam Metaphysica, Aristoteles menolak pandangan dualistik Plato yang memisahkan dunia ide dari dunia empiris. Baginya, “yang ada” tidak dibagi menjadi dua realitas terpisah, melainkan merupakan kesatuan antara bentuk (morphē atau eidos) dan materi (hylē).¹ Dengan demikian, hakikat suatu benda tidak terletak pada bentuk yang berada di luar dirinya, tetapi dalam bentuk yang mengatur dan mengaktualkan materinya.²

3.1.       Konsep Substansi (Ousia)

Bagi Aristoteles, substansi (ousia) adalah inti dari segala yang ada — realitas yang berdiri sendiri dan menjadi dasar bagi predikasi dan perubahan.³ Substansi bukan hanya kumpulan sifat-sifat, tetapi sesuatu yang memiliki eksistensi mandiri dan menjadi prinsip penentu bagi segala atributnya. Dalam analisisnya terhadap kategori, Aristoteles membedakan antara substansi primer (individu konkret seperti “manusia ini” atau “kuda itu”) dan substansi sekunder (jenis atau spesies, seperti “manusia” atau “hewan”).⁴

Substansi selalu mengandung dua aspek fundamental: materi dan bentuk. Materi menyediakan potensi, sedangkan bentuk memberikan aktualitas.⁵ Prinsip ini kemudian dikenal sebagai hylomorphism (komposisi materi-bentuk), yang menjadi salah satu kontribusi terbesar Aristoteles dalam metafisika. Melalui konsep ini, ia menjelaskan bagaimana realitas bersifat dinamis — selalu berada dalam ketegangan antara potensi (dynamis) dan aktualitas (energeia).⁶

3.2.       Empat Sebab (Four Causes)

Untuk memahami realitas, Aristoteles mengembangkan teori empat sebab (aitiai): sebab material (causa materialis), sebab formal (causa formalis), sebab efisien (causa efficiens), dan sebab final (causa finalis).⁷

·                     Sebab material menjelaskan dari apa sesuatu dibuat.

·                     Sebab formal menjelaskan bentuk atau struktur yang menjadikan sesuatu sebagaimana adanya.

·                     Sebab efisien adalah penggerak atau penyebab perubahan.

·                     Sebab final adalah tujuan atau maksud yang memberi arah pada perubahan.

Keempat sebab ini menunjukkan bahwa setiap realitas bersifat teleologis — selalu mengarah pada suatu tujuan (telos).⁸ Aristoteles dengan demikian menolak reduksionisme mekanistik dan menegaskan bahwa alam semesta memiliki prinsip keterarahan internal.

3.3.       Aktualitas dan Potensialitas

Konsep aktualitas (energeia atau entelecheia) dan potensialitas (dynamis) merupakan pilar metafisika Aristotelian. Segala sesuatu yang ada selalu berada dalam hubungan antara potensi untuk menjadi dan aktualitas sebagai realisasi dari potensi tersebut.⁹ Misalnya, biji memiliki potensi untuk menjadi pohon, dan ketika potensi itu diwujudkan, pohon tersebut mencapai aktualitasnya. Melalui kerangka ini, perubahan (kinesis) dipahami bukan sebagai kontradiksi (dari “tidak ada” menjadi “ada”), melainkan sebagai transisi dari potensi menjadi aktual.¹⁰

Gagasan ini memungkinkan Aristoteles menjelaskan perubahan tanpa meniadakan prinsip identitas dan kontinuitas. Setiap benda tetap “dirinya sendiri” karena memiliki bentuk yang tetap, meskipun mengalami perubahan pada tingkat aktualisasi potensi.¹¹ Inilah cara Aristoteles menjembatani antara stabilitas dan dinamika dalam realitas.

3.4.       Teleologi dan Kosmos yang Teratur

Dalam kerangka teleologis Aristoteles, seluruh realitas bergerak menuju aktualitas tertinggi. Semua perubahan alam diarahkan menuju tujuan inheren dalam hakikat setiap hal.¹² Di tingkat metafisis tertinggi, seluruh gerak dalam alam semesta mengarah kepada Penggerak Tak-Tergerakkan (Unmoved Mover), yaitu prinsip pertama yang tidak berubah, tetapi menjadi sebab final bagi seluruh gerak.¹³ Penggerak ini tidak bekerja melalui tindakan fisik, melainkan sebagai objek cinta dan keinginan — sesuatu yang menarik segala hal menuju kesempurnaan.¹⁴

Melalui struktur ontologis yang mencakup substansi, potensi-aktualitas, dan teleologi, Aristoteles menciptakan suatu sistem yang menegaskan keteraturan dan rasionalitas dunia. Realitas bagi Aristoteles bukanlah kumpulan benda acak, tetapi suatu kosmos yang tersusun secara hierarkis dan terarah pada kebaikan (to agathon).¹⁵


Footnotes

[1]                Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), 987a–988a.

[2]                Jonathan Barnes, Aristotle: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2000), 23–25.

[3]                Werner Jaeger, Aristotle: Fundamentals of the History of His Development (Oxford: Oxford University Press, 1948), 104–106.

[4]                Aristotle, Categories, trans. J.L. Ackrill (Oxford: Clarendon Press, 1963), 2a–3b.

[5]                G.E.R. Lloyd, Aristotle: The Growth and Structure of His Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 1968), 56–58.

[6]                W.K.C. Guthrie, A History of Greek Philosophy, Vol. 6: Aristotle, An Encounter (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 48–50.

[7]                Aristotle, Physics, trans. R.P. Hardie and R.K. Gaye (Oxford: Clarendon Press, 1930), 194b–195b.

[8]                Edward Feser, Scholastic Metaphysics: A Contemporary Introduction (Heusenstamm: Editiones Scholasticae, 2014), 72–75.

[9]                Aristotle, Metaphysics, 1048b–1050a.

[10]             Lloyd, Aristotle: The Growth and Structure of His Thought, 61–63.

[11]             Jaeger, Aristotle, 112–115.

[12]             Edward Feser, Five Proofs of the Existence of God (San Francisco: Ignatius Press, 2017), 85–89.

[13]             Aristotle, Metaphysics, 1072a–1073a.

[14]             Thomas Aquinas, Summa Contra Gentiles, trans. Anton C. Pegis (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1975), I.13.

[15]             Henry Veatch, Aristotle: A Contemporary Appreciation (Bloomington: Indiana University Press, 1974), 21–24.


4.           Epistemologi: Pengetahuan sebagai Abstraksi dari Pengalaman

Epistemologi Aristotelian didasarkan pada keyakinan bahwa pengetahuan manusia berakar pada pengalaman empiris, tetapi mencapai bentuk tertingginya melalui aktivitas rasional akal budi (nous). Berbeda dari gurunya, Plato, yang menempatkan sumber pengetahuan dalam dunia ide yang transenden, Aristoteles menegaskan bahwa seluruh pengetahuan dimulai dari indera dan pengalaman konkrit (empeiria).¹ Bagi Aristoteles, tidak ada pengetahuan bawaan (innate knowledge); pikiran manusia pada awalnya seperti kertas kosong (tabula rasa) yang diisi oleh pengalaman.²

4.1.       Pengalaman dan Abstraksi Intelektual

Menurut Aristoteles, pengetahuan lahir dari proses berlapis: persepsi indrawi (aisthesis) menghasilkan ingatan (mneme), yang pada gilirannya menumbuhkan pengalaman (empeiria), dan dari pengalaman muncullah ilmu pengetahuan (episteme).³ Melalui generalisasi dari banyak pengalaman konkret, akal budi manusia mampu mengekstraksi bentuk universal yang melekat pada benda-benda individual. Proses ini disebut abstraksi (aphairesis), yaitu tindakan intelektual untuk memisahkan esensi dari aksidensinya.⁴

Dengan demikian, epistemologi Aristotelian bersifat empiris sekaligus rasional: empiris karena berpijak pada pengalaman indrawi, tetapi rasional karena mengandalkan kemampuan intelek untuk menangkap prinsip umum dari fenomena partikular.⁵ Dalam pandangan ini, akal manusia memiliki peran aktif dalam membentuk pengetahuan, bukan sekadar menerima data pasif.

4.2.       Struktur Pengetahuan dan Metode Silogistik

Untuk menjamin keabsahan pengetahuan, Aristoteles mengembangkan sistem logika formal yang dikenal sebagai logika silogistik.⁶ Ia menegaskan bahwa setiap pengetahuan ilmiah harus disusun berdasarkan prinsip-prinsip pertama (archai) dan diturunkan melalui deduksi logis (syllogismos). Sebuah proposisi hanya dapat disebut “ilmu” jika dapat dijelaskan melalui hubungan kausal yang rasional dan niscaya.⁷

Dalam karya Posterior Analytics, Aristoteles menyatakan bahwa pengetahuan ilmiah (episteme) adalah pengetahuan tentang sebab (aitia).⁸ Artinya, mengetahui berarti memahami mengapa sesuatu terjadi, bukan sekadar mengetahui bahwa sesuatu terjadi. Melalui penalaran deduktif yang berangkat dari prinsip umum menuju kesimpulan khusus, Aristoteles menegaskan dasar metodologis bagi seluruh ilmu pengetahuan.⁹

Namun, deduksi ilmiah tidak mungkin dilakukan tanpa terlebih dahulu adanya prinsip-prinsip pertama yang diperoleh melalui induksi (epagoge).¹⁰ Dengan demikian, dalam epistemologi Aristotelian, induksi dan deduksi bukanlah dua metode yang saling bertentangan, melainkan dua tahap yang saling melengkapi: induksi menyediakan dasar empiris, sementara deduksi menyusun struktur rasional pengetahuan.¹¹

4.3.       Peranan Akal Aktif dan Akal Pasif

Dalam De Anima, Aristoteles membedakan antara dua aspek akal: akal pasif (nous pathetikos) dan akal aktif (nous poietikos).¹² Akal pasif menerima kesan dari pengalaman indrawi dan berfungsi sebagai wadah potensial bagi bentuk-bentuk pengetahuan, sedangkan akal aktif berperan sebagai prinsip yang “mengaktualkan” potensi itu dengan mengabstraksi bentuk universal dari pengalaman partikular.¹³

Akal aktif bersifat immaterial, abadi, dan tidak bercampur dengan tubuh.¹⁴ Ia memungkinkan manusia mencapai pemahaman universal dan abadi yang melampaui kondisi indrawi. Dalam pengertian ini, Aristoteles menegaskan bahwa meskipun pengetahuan dimulai dari pengalaman, puncaknya dicapai melalui rasionalitas murni.¹⁵

4.4.       Kebenaran sebagai Korespondensi antara Intelek dan Realitas

Aristoteles mendefinisikan kebenaran (aletheia) sebagai kesesuaian antara pikiran dan realitas — adaequatio intellectus et rei.¹⁶ Suatu pernyataan benar bila apa yang dikatakan oleh intelek sesuai dengan keadaan objek sebagaimana adanya. Dengan demikian, kebenaran bersifat objektif karena bergantung pada realitas, bukan pada konstruksi subjektif.¹⁷

Namun, Aristoteles juga menyadari bahwa pengetahuan manusia selalu berproses. Dalam ranah praktis, seperti etika dan politik, pengetahuan tidak mencapai kepastian absolut, melainkan bersifat probabilistik dan kontekstual.¹⁸ Oleh karena itu, dalam Nicomachean Ethics, ia menekankan pentingnya kebijaksanaan praktis (phronesis), yaitu kemampuan rasional untuk menilai kebenaran dalam situasi konkret yang tidak memiliki kepastian ilmiah.¹⁹


Epistemologi Aristotelian dan Ilmu Pengetahuan Modern

Epistemologi Aristotelian memberikan fondasi bagi metode ilmiah modern. Prinsip bahwa pengetahuan harus didasarkan pada observasi empiris dan penalaran rasional menjadi dasar bagi sains sejak zaman Galileo hingga Newton.²⁰ Walaupun sains modern menolak aspek teleologis dari filsafat Aristoteles, struktur epistemologisnya tetap hidup dalam pendekatan ilmiah yang menekankan hubungan antara pengalaman, teori, dan pembuktian rasional.²¹

Dengan demikian, epistemologi Aristotelian menegaskan keseimbangan antara empirisme dan rasionalisme: pengalaman sebagai sumber data, dan akal sebagai pengolah dan pengatur pengetahuan. Sistem ini menunjukkan bahwa pengetahuan sejati tidak mungkin dicapai tanpa integrasi antara dunia empiris dan prinsip rasional yang mengaturnya.²²


Footnotes

[1]                Aristotle, Posterior Analytics, trans. Jonathan Barnes (Oxford: Clarendon Press, 1975), 71a–72b.

[2]                Jonathan Barnes, Aristotle: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2000), 31–33.

[3]                Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), 980a–981b.

[4]                G.E.R. Lloyd, Aristotle: The Growth and Structure of His Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 1968), 67–69.

[5]                W.K.C. Guthrie, A History of Greek Philosophy, Vol. 6: Aristotle, An Encounter (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 92–94.

[6]                Aristotle, Organon, trans. J.L. Ackrill (Oxford: Clarendon Press, 1963), 24b–26a.

[7]                Werner Jaeger, Aristotle: Fundamentals of the History of His Development (Oxford: Oxford University Press, 1948), 128–130.

[8]                Aristotle, Posterior Analytics, 71b–73a.

[9]                Edward Halper, One and Many in Aristotle’s Metaphysics (Columbus: Ohio State University Press, 1989), 87–89.

[10]             Lloyd, Aristotle: The Growth and Structure of His Thought, 72–75.

[11]             Edward Feser, Scholastic Metaphysics: A Contemporary Introduction (Heusenstamm: Editiones Scholasticae, 2014), 85–88.

[12]             Aristotle, De Anima, trans. W.D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1961), 429a–430a.

[13]             Richard Sorabji, Matter, Space, and Motion: Theories in Antiquity and Their Sequel (London: Duckworth, 1988), 112–115.

[14]             Aristotle, De Anima, 430a–430b.

[15]             Henry Veatch, Aristotle: A Contemporary Appreciation (Bloomington: Indiana University Press, 1974), 41–44.

[16]             Aristotle, Metaphysics, 1011b–1012a.

[17]             Edward Feser, Neo-Scholastic Essays (South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 2015), 93–96.

[18]             Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1094a–1096a.

[19]             Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 152–154.

[20]             Edward Grant, The Foundations of Modern Science in the Middle Ages (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 112–115.

[21]             Peter Dear, Revolutionizing the Sciences: European Knowledge and Its Ambitions, 1500–1700 (Princeton: Princeton University Press, 2001), 83–86.

[22]             Henry Veatch, Aristotle: A Contemporary Appreciation, 46–49.


5.           Etika: Eudaimonia dan Jalan Tengah (Mesotes)

Etika Aristotelian menempati posisi sentral dalam keseluruhan sistem filsafatnya, karena ia menempatkan pencarian kebaikan sebagai tujuan tertinggi kehidupan manusia. Dalam Nicomachean Ethics, Aristoteles menegaskan bahwa setiap tindakan dan pilihan manusia senantiasa mengarah kepada suatu tujuan (telos), dan tujuan tertinggi dari seluruh tindakan itu adalah kebahagiaan (eudaimonia).¹ Eudaimonia tidak dipahami sebagai kesenangan sementara atau kenikmatan indrawi, melainkan sebagai keadaan hidup yang baik dan lengkap — aktualisasi sempurna dari potensi rasional manusia dalam kebajikan (arete).²

5.1.       Tujuan Tertinggi: Eudaimonia sebagai Kesempurnaan Moral

Aristoteles memulai analisis etisnya dengan menyatakan bahwa segala sesuatu di alam memiliki tujuan yang inheren.³ Sebagaimana pisau menjadi baik bila menjalankan fungsinya memotong dengan baik, demikian pula manusia menjadi baik bila menjalankan fungsinya sesuai dengan kodratnya — yaitu rasionalitas.⁴ Karena itu, eudaimonia adalah kehidupan yang diatur oleh akal dan dijalankan dalam kebajikan.

Bagi Aristoteles, kebahagiaan bukanlah hadiah eksternal, tetapi hasil dari pembentukan karakter moral melalui kebiasaan.⁵ Dalam istilahnya, “kita menjadi adil dengan melakukan tindakan adil, dan menjadi berani dengan melakukan tindakan berani.”⁶ Dengan demikian, etika Aristotelian bersifat teleologis dan praksis — berorientasi pada tujuan akhir manusia dan diwujudkan dalam tindakan konkret.

5.2.       Kebajikan (Arete) dan Doktrin Jalan Tengah (Mesotes)

Konsep arete (kebajikan atau keunggulan moral) adalah pilar utama etika Aristotelian. Kebajikan merupakan keadaan jiwa yang memungkinkan seseorang bertindak sesuai dengan rasio dan mencapai keseimbangan antara dua ekstrem yang berlawanan.⁷ Prinsip ini dikenal sebagai Doctrine of the Mean (Mesotes): kebajikan adalah titik tengah antara dua kecenderungan ekstrem — kekurangan dan kelebihan.

Misalnya, keberanian (andreia) adalah kebajikan yang berada di antara ketakutan yang berlebihan (pengecut) dan keberanian yang membabi buta (nekat).⁸ Demikian pula, kemurahan hati (eleutheriotes) berada di antara kekikiran dan pemborosan. Aristoteles menegaskan bahwa jalan tengah bukanlah rata-rata matematis, melainkan ukuran moral yang ditentukan oleh rasio yang benar, sebagaimana akan diputuskan oleh orang bijak (phronimos).⁹

Dengan demikian, kebajikan adalah disposisi moral yang terbentuk melalui kebiasaan (ethos) dan diarahkan oleh rasio. Dalam kerangka ini, istilah “etika” (ethike) sendiri berasal dari “kebiasaan” (ethos), menunjukkan bahwa moralitas bukanlah bawaan, tetapi hasil dari pembiasaan yang rasional.¹⁰

5.3.       Peranan Phronesis (Kebijaksanaan Praktis)

Agar seseorang mampu menemukan jalan tengah yang tepat dalam situasi konkret, diperlukan kebijaksanaan praktis atau phronesis.¹¹ Phronesis bukan hanya kemampuan intelektual untuk menilai, melainkan kebajikan rasional yang memadukan pengetahuan dengan pengalaman moral. Ia memungkinkan manusia bertindak benar dalam situasi yang kompleks di mana tidak ada aturan tetap.¹²

Dalam hal ini, Aristoteles menolak pandangan etika yang bersifat legalistik atau dogmatis. Bagi dia, tindakan moral selalu kontekstual dan bergantung pada kepekaan rasional terhadap situasi.¹³ Phronesis dengan demikian menjadi jembatan antara pengetahuan teoritis (sophia) dan tindakan praktis (praxis), menjadikan manusia mampu memilih kebaikan yang sesuai dengan kodratnya.¹⁴

5.4.       Kebajikan Intelektual dan Moral

Aristoteles membedakan dua jenis kebajikan: kebajikan moral (ethikai aretai) dan kebajikan intelektual (dianoetikai aretai).¹⁵ Kebajikan moral berkaitan dengan pengendalian emosi dan tindakan, sedangkan kebajikan intelektual berhubungan dengan rasionalitas teoretis seperti kebijaksanaan (sophia), pengetahuan ilmiah (episteme), dan intuisi intelektual (nous).¹⁶ Kedua jenis kebajikan ini saling melengkapi — kebajikan moral mengatur kehendak, sedangkan kebajikan intelektual mengarahkan akal untuk mengenal kebenaran.

Etika Aristotelian dengan demikian menegaskan bahwa kehidupan yang baik adalah perpaduan antara kebijaksanaan teoretis dan tindakan moral yang rasional.¹⁷ Manusia mencapai kesempurnaan bukan hanya dengan berpikir benar, tetapi juga dengan bertindak benar.

5.5.       Dimensi Sosial dan Politis dari Etika

Bagi Aristoteles, etika tidak dapat dipisahkan dari politik, sebab manusia adalah makhluk sosial (zoon politikon).¹⁸ Kebahagiaan sejati tidak dapat dicapai secara individual, tetapi hanya dalam konteks kehidupan bersama di dalam polis (negara-kota).¹⁹ Oleh karena itu, eudaimonia juga mencakup partisipasi aktif dalam kehidupan publik dan pembentukan tatanan sosial yang adil.²⁰

Etika Aristotelian menolak individualisme ekstrem; ia menegaskan bahwa kebajikan moral hanya berkembang dalam komunitas yang rasional dan berkeadilan.²¹ Negara yang baik adalah negara yang memfasilitasi warganya untuk mencapai kehidupan berbudi luhur dan bahagia.²²


Relevansi Etika Aristotelian dalam Konteks Kontemporer

Etika kebajikan Aristotelian telah mengalami kebangkitan kembali dalam filsafat moral modern, terutama melalui karya Elizabeth Anscombe dan Alasdair MacIntyre.²³ Mereka menilai bahwa etika modern yang terfokus pada aturan (deontologi) atau akibat (utilitarianisme) gagal menangkap dimensi karakter moral manusia.²⁴ Dalam pandangan neo-Aristotelian, moralitas bukan soal mengikuti hukum eksternal, tetapi soal pembentukan diri sebagai pribadi yang baik melalui kebajikan.²⁵

Dengan demikian, etika Aristotelian menawarkan alternatif rasional bagi krisis moral kontemporer. Ia menegaskan bahwa kebahagiaan sejati hanya dapat dicapai melalui integrasi antara akal, kebajikan, dan kehidupan sosial yang bermakna.²⁶


Footnotes

[1]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1094a–1095a.

[2]                Jonathan Barnes, Aristotle: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2000), 41–43.

[3]                Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), 982b–983a.

[4]                Edward Feser, Neo-Scholastic Essays (South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 2015), 135–138.

[5]                G.E.R. Lloyd, Aristotle: The Growth and Structure of His Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 1968), 115–117.

[6]                Aristotle, Nicomachean Ethics, 1103a–1104b.

[7]                Henry Veatch, Aristotle: A Contemporary Appreciation (Bloomington: Indiana University Press, 1974), 52–54.

[8]                Aristotle, Nicomachean Ethics, 1115b–1117a.

[9]                Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 155–158.

[10]             Werner Jaeger, Aristotle: Fundamentals of the History of His Development (Oxford: Oxford University Press, 1948), 201–203.

[11]             Aristotle, Nicomachean Ethics, 1140a–1142b.

[12]             Nancy Sherman, The Fabric of Character: Aristotle’s Theory of Virtue (Oxford: Clarendon Press, 1989), 89–92.

[13]             MacIntyre, After Virtue, 160–163.

[14]             Veatch, Aristotle: A Contemporary Appreciation, 58–61.

[15]             Aristotle, Nicomachean Ethics, 1138a–1139a.

[16]             Edward Feser, Scholastic Metaphysics: A Contemporary Introduction (Heusenstamm: Editiones Scholasticae, 2014), 92–95.

[17]             W.K.C. Guthrie, A History of Greek Philosophy, Vol. 6: Aristotle, An Encounter (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 141–143.

[18]             Aristotle, Politics, trans. Benjamin Jowett (Oxford: Clarendon Press, 1885), 1253a–1254a.

[19]             Étienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas (New York: Random House, 1956), 85–88.

[20]             Feser, Neo-Scholastic Essays, 145–147.

[21]             MacIntyre, After Virtue, 172–174.

[22]             Richard Kraut, Aristotle: Political Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2002), 113–116.

[23]             Elizabeth Anscombe, Modern Moral Philosophy, Philosophy 33, no. 124 (1958): 1–19.

[24]             MacIntyre, After Virtue, 1–5.

[25]             Rosalind Hursthouse, On Virtue Ethics (Oxford: Oxford University Press, 1999), 27–30.

[26]             Henry Veatch, Aristotle: A Contemporary Appreciation, 63–66.


6.           Politik: Negara sebagai Realisasi Etika Kolektif

Filsafat politik Aristoteles merupakan kelanjutan langsung dari etika kebajikan yang telah ia rumuskan dalam Nicomachean Ethics. Ia menegaskan bahwa manusia adalah makhluk sosial dan politik (zoon politikon) yang hanya dapat mencapai kesempurnaan moral dalam kehidupan bersama.¹ Dengan demikian, politik bagi Aristoteles bukan sekadar instrumen kekuasaan, melainkan realisasi konkret dari etika pada tingkat kolektif — sebuah ruang tempat manusia dapat mengaktualisasikan kebajikan dan mencapai eudaimonia bersama.²

6.1.       Manusia sebagai Makhluk Politik

Dalam Politics, Aristoteles menyatakan bahwa negara (polis) ada secara alamiah karena manusia tidak dapat hidup sendiri.³ Sebagaimana individu menemukan kesempurnaannya dalam komunitas, maka polis menjadi bentuk tertinggi dari asosiasi manusia yang mengarahkan hidup mereka menuju kebaikan tertinggi.⁴ Aristoteles menulis bahwa “siapa pun yang tidak dapat hidup dalam masyarakat, atau tidak membutuhkannya karena ia mencukupi dirinya sendiri, pastilah bukan manusia, melainkan binatang atau dewa.”⁵

Dengan demikian, politik merupakan kelanjutan alami dari kodrat sosial manusia. Keluarga membentuk dasar pertama bagi komunitas, kemudian berkembang menjadi desa, dan akhirnya mencapai bentuk sempurnanya dalam polis.⁶ Tujuan utama polis bukan sekadar mempertahankan hidup (to zen), tetapi mencapai kehidupan yang baik (to eu zen).⁷

6.2.       Negara dan Keadilan sebagai Tatanan Moral

Bagi Aristoteles, negara memiliki fungsi moral. Ia bukan hanya struktur kekuasaan, tetapi komunitas etis yang diatur oleh hukum dan keadilan.⁸ Keadilan (dikaiosyne) dipandang sebagai kebajikan sosial tertinggi karena mengatur hubungan antarindividu dan menjamin keteraturan sosial.⁹ Ia membedakan antara dua jenis keadilan: keadilan distributif (pembagian hak dan kewajiban sesuai dengan jasa atau kapasitas) dan keadilan korektif (pemulihan keseimbangan bila terjadi pelanggaran).¹⁰

Keadilan dalam negara, menurut Aristoteles, menuntut bahwa kekuasaan politik didasarkan pada kebajikan, bukan pada kekayaan atau kekuatan.¹¹ Ia menolak pandangan sofistik yang melihat hukum hanya sebagai kesepakatan relatif (nomos), dan menegaskan adanya hukum alam (physis) yang mencerminkan tatanan rasional universal.¹² Dengan demikian, hukum yang baik harus mengarahkan warganya kepada kebaikan moral, bukan hanya melindungi kepentingan.¹³

6.3.       Bentuk-Bentuk Pemerintahan dan Tujuan Polis

Aristoteles membedakan antara tiga bentuk pemerintahan yang benar dan tiga bentuk penyimpangannya.¹⁴ Pemerintahan yang benar adalah:

·                     Monarki, bila satu orang memerintah demi kebaikan bersama.

·                     Aristokrasi, bila sekelompok orang berbudi luhur memerintah demi keadilan.

·                     Politeia (konstitusional), bila rakyat berpartisipasi dalam pemerintahan demi kepentingan bersama.

Adapun bentuk-bentuk menyimpangnya adalah:

·                     Tirani, bila penguasa memerintah demi kepentingan pribadi.

·                     Oligarki, bila kekuasaan berada di tangan segelintir orang kaya.

·                     Demokrasi (dalam pengertian negatif Aristotelian), bila rakyat memerintah untuk keuntungan kelompok sendiri tanpa memperhatikan keadilan.¹⁵

Aristoteles cenderung mendukung politeia, bentuk pemerintahan campuran yang menggabungkan elemen demokrasi dan aristokrasi, karena dianggap paling stabil dan paling mendekati keadilan.¹⁶

6.4.       Pendidikan dan Kebajikan Warga Negara

Negara yang baik, menurut Aristoteles, hanya dapat dibangun jika warganya memiliki karakter yang baik.¹⁷ Oleh karena itu, pendidikan menjadi bagian esensial dari politik. Pendidikan bertujuan membentuk kebajikan moral dan intelektual agar setiap individu mampu berpartisipasi secara rasional dalam kehidupan publik.¹⁸ Dalam pandangan ini, negara bertanggung jawab atas pembentukan kebajikan warga, sebab tanpa kebajikan, hukum dan konstitusi tidak akan berfungsi dengan baik.¹⁹

Etika pribadi dan etika publik bagi Aristoteles tidak dapat dipisahkan. Sebagaimana kebajikan individu mengarah kepada kebahagiaan pribadi, demikian pula kebajikan kolektif dalam polis mengarah pada kebahagiaan bersama.²⁰ Oleh karena itu, politik adalah bentuk tertinggi dari etika, karena ia mengatur bagaimana kebajikan diimplementasikan dalam kehidupan sosial.²¹


Relevansi Politik Aristotelian dalam Dunia Modern

Pemikiran politik Aristoteles tetap relevan hingga kini karena menekankan dimensi moral dan sosial dari politik. Dalam konteks modern yang sering tereduksi menjadi perebutan kekuasaan, pandangannya mengingatkan bahwa politik sejati adalah upaya membentuk kehidupan bersama yang baik.²² Ia menolak pandangan utilitarian yang mengukur keberhasilan politik dari efisiensi atau kemakmuran semata; bagi Aristoteles, ukuran sejati negara yang baik adalah sejauh mana negara itu memungkinkan warganya hidup dalam kebajikan.²³

Pemikiran ini menginspirasi tradisi politik komunitarian kontemporer yang menekankan pentingnya nilai-nilai moral, solidaritas, dan partisipasi aktif warga negara.²⁴ Dengan demikian, Aristoteles tetap menjadi fondasi bagi pandangan politik yang memadukan rasionalitas, moralitas, dan kemanusiaan — politik sebagai seni hidup bersama dalam kebaikan.²⁵


Footnotes

[1]                Aristotle, Politics, trans. Benjamin Jowett (Oxford: Clarendon Press, 1885), 1253a–1253b.

[2]                Jonathan Barnes, Aristotle: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2000), 51–53.

[3]                Aristotle, Politics, 1252a–1252b.

[4]                W.K.C. Guthrie, A History of Greek Philosophy, Vol. 6: Aristotle, An Encounter (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 178–180.

[5]                Aristotle, Politics, 1253a.

[6]                Werner Jaeger, Aristotle: Fundamentals of the History of His Development (Oxford: Oxford University Press, 1948), 254–256.

[7]                Aristotle, Politics, 1280a–1280b.

[8]                Henry Veatch, Aristotle: A Contemporary Appreciation (Bloomington: Indiana University Press, 1974), 71–73.

[9]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1129a–1130a.

[10]             Ibid., 1131a–1132b.

[11]             Aristotle, Politics, 1281a–1281b.

[12]             Edward Feser, Neo-Scholastic Essays (South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 2015), 155–158.

[13]             Étienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas (New York: Random House, 1956), 98–101.

[14]             Aristotle, Politics, 1279a–1280a.

[15]             Ibid., 1281a–1282b.

[16]             Richard Kraut, Aristotle: Political Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2002), 124–127.

[17]             Aristotle, Politics, 1337a–1338b.

[18]             W.K.C. Guthrie, A History of Greek Philosophy, Vol. 6: Aristotle, An Encounter, 185–187.

[19]             Henry Veatch, Aristotle: A Contemporary Appreciation, 78–80.

[20]             Aristotle, Nicomachean Ethics, 1179b–1180a.

[21]             Jonathan Lear, Aristotle: The Desire to Understand (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), 203–206.

[22]             Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 180–182.

[23]             Edward Feser, Scholastic Metaphysics: A Contemporary Introduction (Heusenstamm: Editiones Scholasticae, 2014), 122–124.

[24]             Michael Sandel, Liberalism and the Limits of Justice (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 172–175.

[25]             Henry Veatch, Aristotle: A Contemporary Appreciation, 83–86.


7.           Estetika dan Poetik: Seni sebagai Peniruan yang Bermakna

Estetika Aristotelian, sebagaimana terungkap dalam karya Poetika, menandai pergeseran penting dalam cara berpikir tentang seni dan keindahan. Jika Plato memandang seni sebagai tiruan dari tiruan — bayangan dari dunia ide yang sempurna — Aristoteles justru melihat seni sebagai bentuk peniruan (mimesis) yang bermakna dan produktif bagi pengetahuan serta moralitas manusia.¹ Ia menolak pandangan reduktif bahwa seni hanyalah ilusi yang menjauhkan manusia dari kebenaran. Bagi Aristoteles, seni merupakan cara manusia meniru tindakan, emosi, dan peristiwa kehidupan dalam bentuk yang rasional dan teratur, sehingga memungkinkan manusia memahami realitas secara lebih mendalam.²

7.1.       Konsep Mimesis: Imitasi sebagai Proses Kreatif

Mimesis bagi Aristoteles bukanlah peniruan pasif, tetapi aktivitas kreatif yang mengungkapkan esensi universal melalui bentuk partikular.³ Seni, terutama puisi dan tragedi, bukan sekadar menyalin fakta, tetapi menampilkan apa yang mungkin terjadi sesuai dengan hukum kemungkinan dan keharusan (kata to eikos kai to anankaion).⁴ Dengan demikian, seni lebih filosofis daripada sejarah, karena sejarah hanya berbicara tentang apa yang telah terjadi, sedangkan seni mengungkapkan pola universal dalam pengalaman manusia.⁵

Pandangan ini menegaskan bahwa mimesis bersifat epistemologis dan ontologis sekaligus: ia memberi pengetahuan tentang hakikat manusia melalui representasi simbolik. Seniman, dalam proses penciptaannya, menafsirkan realitas dengan menata ulang pengalaman menjadi bentuk yang mengandung makna rasional dan emosional.⁶

7.2.       Struktur Tragedi dan Fungsi Katarsis

Dalam Poetika, Aristoteles menyatakan bahwa tragedi adalah bentuk seni tertinggi karena berhasil meniru tindakan manusia yang serius dan lengkap, serta menimbulkan katarsis — pembersihan emosi seperti rasa takut (phobos) dan belas kasihan (eleos).⁷ Katarsis bukan sekadar pelepasan emosi, melainkan pemurnian dan penyelarasan emosi dengan rasio.⁸ Melalui tragedi, penonton belajar mengenali konflik moral dan konsekuensi dari tindakan manusia, sehingga mengalami pertumbuhan etis melalui perasaan yang terarah.⁹

Struktur tragedi ideal, menurut Aristoteles, harus memiliki tiga elemen utama: plot (mythos), karakter (ethos), dan pemikiran (dianoia).¹⁰ Dari ketiganya, plot adalah yang terpenting karena mengatur keseluruhan tindakan secara rasional dan teleologis.¹¹ Sebuah tragedi yang baik harus memiliki kesatuan aksi, di mana semua peristiwa saling terhubung dan mengarah kepada satu tujuan moral.¹²

Tragedi yang paling efektif, menurut Aristoteles, adalah yang menampilkan tokoh protagonis “yang tidak terlalu baik dan tidak terlalu jahat”, yang jatuh ke dalam penderitaan bukan karena keburukan, melainkan karena kesalahan (hamartia).¹³ Dengan demikian, seni tragis berfungsi mendidik emosi manusia agar selaras dengan prinsip keadilan dan kebajikan.

7.3.       Seni, Etika, dan Rasionalitas

Seni, bagi Aristoteles, tidak dapat dipisahkan dari etika. Ia menegaskan bahwa karya seni yang baik bukan hanya menyenangkan secara estetis, tetapi juga mendidik secara moral.¹⁴ Melalui seni, manusia dilatih untuk memahami perasaan, menilai tindakan, dan mengenali keteraturan moral dalam kehidupan.¹⁵ Oleh karena itu, mimesis dalam seni bukanlah ilusi, tetapi medium untuk mencapai keseimbangan antara perasaan dan rasio.

Aristoteles dengan demikian menolak dikotomi antara keindahan dan kebaikan. Dalam pandangannya, keindahan (to kalon) merupakan ekspresi dari keteraturan (taxis), harmoni (symmetria), dan tujuan (telos) yang baik.¹⁶ Seni yang baik adalah seni yang mencerminkan harmoni kosmos dan moralitas, bukan yang menimbulkan kekacauan atau kehancuran nilai.¹⁷

7.4.       Perbandingan dengan Estetika Platonik

Berbeda dengan Plato yang melihat seni sebagai ancaman bagi rasionalitas dan kebenaran, Aristoteles menilai seni sebagai bentuk rasional dari peniruan realitas.¹⁸ Bagi Plato, penyair diusir dari Republik karena dianggap menyesatkan jiwa; bagi Aristoteles, penyair justru membantu jiwa memahami realitas moral melalui simbol dan perasaan.¹⁹ Dengan demikian, seni bukan penentang filsafat, melainkan pelengkapnya.²⁰

Aristoteles menempatkan seni pada posisi epistemologis yang unik — di antara ilmu (episteme) dan tindakan praktis (praxis). Ia mengakui bahwa seni tidak menghasilkan pengetahuan ilmiah, tetapi memberikan wawasan praktis dan emosional yang tak kalah penting bagi kehidupan moral.²¹


Relevansi Estetika Aristotelian dalam Konteks Modern

Konsep mimesis dan katarsis Aristotelian memiliki pengaruh besar terhadap teori estetika dan sastra modern.²² Dalam teater, misalnya, prinsip katarsis menjadi dasar bagi teori dramatik klasik dari Shakespeare hingga Ibsen.²³ Dalam filsafat seni kontemporer, pandangan Aristoteles tentang seni sebagai sarana moral dan rasional dihidupkan kembali oleh pemikir seperti Martha Nussbaum, yang menekankan peran emosi dalam pendidikan etis melalui sastra.²⁴

Selain itu, teori mimesis Aristotelian juga menginspirasi estetika representasional dalam seni rupa dan teori naratif modern.²⁵ Dalam dunia pendidikan, gagasan bahwa seni berfungsi membentuk karakter moral menunjukkan relevansi yang kuat dengan pendekatan humanistik terhadap pembelajaran.²⁶

Dengan demikian, estetika Aristotelian memperlihatkan bahwa seni bukanlah pelarian dari realitas, melainkan cara manusia untuk memahami, menyucikan, dan menyempurnakan dirinya melalui keindahan yang berakal.²⁷


Footnotes

[1]                Plato, The Republic, trans. Allan Bloom (New York: Basic Books, 1968), 595a–598c.

[2]                Aristotle, Poetics, trans. S.H. Butcher (Oxford: Clarendon Press, 1895), 1447a–1448b.

[3]                Jonathan Barnes, Aristotle: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2000), 55–57.

[4]                Aristotle, Poetics, 1451a–1451b.

[5]                W.K.C. Guthrie, A History of Greek Philosophy, Vol. 6: Aristotle, An Encounter (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 191–193.

[6]                Werner Jaeger, Aristotle: Fundamentals of the History of His Development (Oxford: Oxford University Press, 1948), 273–275.

[7]                Aristotle, Poetics, 1449b–1450b.

[8]                Gerald F. Else, Aristotle’s Poetics: The Argument (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1957), 439–442.

[9]                Stephen Halliwell, The Aesthetics of Mimesis: Ancient Texts and Modern Problems (Princeton: Princeton University Press, 2002), 82–85.

[10]             Aristotle, Poetics, 1450a–1451a.

[11]             Else, Aristotle’s Poetics, 455–458.

[12]             Halliwell, The Aesthetics of Mimesis, 99–101.

[13]             Aristotle, Poetics, 1453a–1453b.

[14]             Henry Veatch, Aristotle: A Contemporary Appreciation (Bloomington: Indiana University Press, 1974), 87–89.

[15]             Martha Nussbaum, The Fragility of Goodness: Luck and Ethics in Greek Tragedy and Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1986), 383–386.

[16]             Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), 1078a–1079a.

[17]             G.E.R. Lloyd, Aristotle: The Growth and Structure of His Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 1968), 139–141.

[18]             Plato, Republic, 601a–602b.

[19]             Aristotle, Poetics, 1448b–1449a.

[20]             Halliwell, The Aesthetics of Mimesis, 112–114.

[21]             Veatch, Aristotle: A Contemporary Appreciation, 91–93.

[22]             Nussbaum, The Fragility of Goodness, 390–394.

[23]             Stephen Halliwell, Between Ecstasy and Truth: Interpretations of Greek Poetics from Homer to Longinus (Oxford: Oxford University Press, 2011), 211–214.

[24]             Martha Nussbaum, Love’s Knowledge: Essays on Philosophy and Literature (Oxford: Oxford University Press, 1990), 46–49.

[25]             Paul Ricoeur, Time and Narrative, trans. Kathleen McLaughlin and David Pellauer (Chicago: University of Chicago Press, 1984), 57–60.

[26]             Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 184–187.

[27]             Henry Veatch, Aristotle: A Contemporary Appreciation, 95–97.


8.           Pengaruh dan Perkembangan Aristotelianisme

Pengaruh Aristotelianisme membentang luas melampaui masa hidup Aristoteles, menjadikannya salah satu sistem pemikiran paling berkelanjutan dalam sejarah filsafat. Dari Yunani Klasik hingga dunia Islam dan Eropa abad pertengahan, hingga munculnya Neo-Aristotelianism dalam filsafat kontemporer, ajaran Aristoteles telah mengalami reinterpretasi terus-menerus sesuai dengan konteks budaya, religius, dan ilmiah dari setiap zaman.¹ Aristotelianisme menjadi jembatan konseptual antara filsafat kuno dan modern, antara metafisika klasik dan sains empiris, antara teologi dan rasionalitas filosofis.²

8.1.       Aristotelianisme Helenistik dan Romawi

Setelah wafatnya Aristoteles pada 322 SM, para pengikutnya di Lykeion — yang dikenal sebagai kaum Peripatetik — meneruskan tradisinya dengan menekankan studi logika, metafisika, dan biologi.³ Theophrastus, murid langsung Aristoteles, memperluas riset di bidang botani dan etika, sementara Strato dari Lampsacus berusaha menafsirkan ajaran gurunya dalam kerangka fisika alam.⁴ Pada masa Romawi, pemikir seperti Alexander dari Aphrodisias memberikan komentar sistematis terhadap karya-karya Aristoteles, terutama dalam bidang logika dan metafisika.⁵ Ia dianggap sebagai commentator par excellence, karena tafsirnya menjadi dasar bagi penerimaan Aristotelianisme di dunia Islam dan Kristen.⁶

8.2.       Aristotelianisme dalam Dunia Islam

Pada abad ke-8 hingga ke-12, Aristotelianisme memperoleh kehidupan baru melalui penerjemahan karya-karyanya ke dalam bahasa Arab oleh para sarjana di Bayt al-Hikmah (House of Wisdom) di Baghdad.⁷ Filsuf Muslim seperti Al-Farabi, Ibnu Sina (Avicenna), dan Ibnu Rusyd (Averroes) tidak hanya menerjemahkan, tetapi juga mengembangkan pemikiran Aristoteles dengan integrasi teologis yang khas.

Al-Farabi menafsirkan Aristotelianisme sebagai sistem rasional yang selaras dengan wahyu, dan mengembangkan teori kenabian sebagai puncak realisasi intelek aktif.⁸ Sementara itu, Ibnu Sina menekankan distingsi antara wujud (eksistensi) dan mahiyyah (esensi), yang menjadi fondasi metafisika Islam.⁹ Aristotelianisme Avicennian kemudian berpengaruh kuat terhadap teologi Islam (Kalam) dan filsafat skolastik di Eropa.¹⁰

Ibnu Rusyd, di sisi lain, menekankan kesetiaan terhadap teks Aristoteles dan menolak kecenderungan neoplatonik yang berkembang di kalangan Islam.¹¹ Dalam karyanya Tahafut al-Tahafut (Incoherence of the Incoherence), ia membela rasionalitas filosofis Aristoteles melawan teologi Al-Ghazali.¹² Pemikiran Averroes tentang kesatuan intelek universal memicu perdebatan panjang dalam dunia Latin, melahirkan apa yang dikenal sebagai Averroisme Latin.¹³

8.3.       Aristotelianisme dalam Skolastisisme Kristen

Pada abad ke-13, karya-karya Aristoteles diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh William of Moerbeke dan menjadi fondasi bagi filsafat Skolastik.¹⁴ Thomas Aquinas (1225–1274) menjadi tokoh utama yang mensintesiskan Aristotelianisme dengan teologi Kristen. Melalui karya Summa Theologica dan Summa Contra Gentiles, Aquinas menafsirkan konsep actus et potentia (aktualitas dan potensialitas), causa prima (sebab pertama), dan teleologi sebagai bukti rasional akan keberadaan Tuhan.¹⁵

Aquinas tidak hanya mengadopsi Aristotelianisme, tetapi juga menyesuaikannya dalam kerangka teologi Katolik, sehingga melahirkan apa yang disebut Thomisme.¹⁶ Dalam sistemnya, akal dan iman bukanlah dua sumber kebenaran yang bertentangan, tetapi dua jalan menuju kebenaran yang sama.¹⁷ Melalui universitas-universitas abad pertengahan seperti Paris dan Oxford, Aristotelianisme menjadi dasar kurikulum intelektual Eropa hingga abad ke-16.¹⁸

8.4.       Krisis dan Transformasi pada Era Modern

Kebangkitan sains modern pada abad ke-17 menandai tantangan besar bagi Aristotelianisme. Galileo Galilei, Francis Bacon, dan René Descartes menolak metafisika teleologis Aristoteles dan menggantinya dengan pandangan mekanistik tentang alam.¹⁹ Prinsip sebab final dianggap tidak ilmiah, sementara logika silogistik digantikan oleh metode eksperimental dan matematika.²⁰

Meski demikian, banyak elemen Aristotelian tetap bertahan dalam struktur rasionalitas ilmiah. Konsep sebab formal, misalnya, tetap hidup dalam teori bentuk dan struktur dalam biologi modern.²¹ Selain itu, ide bahwa ilmu pengetahuan harus mencari penjelasan kausal dan rasional atas fenomena merupakan warisan langsung dari metode Aristotelian.²²

Pada abad ke-18 dan 19, Aristotelianisme bertahan dalam bentuk Neo-Scholastisisme Katolik.²³ Paus Leo XIII, melalui ensiklik Aeterni Patris (1879), menyerukan kebangkitan filsafat Thomistik sebagai dasar pendidikan teologis Gereja Katolik.²⁴ Gerakan ini menandai revitalisasi Aristotelianisme dalam konteks modern.

8.5.       Neo-Aristotelianisme dan Relevansi Kontemporer

Pada abad ke-20, Aristotelianisme kembali mendapatkan perhatian melalui apa yang disebut Neo-Aristotelian Revival.²⁵ Alasdair MacIntyre, Elizabeth Anscombe, dan Philippa Foot menghidupkan kembali etika kebajikan Aristotelian sebagai alternatif terhadap moralitas utilitarian dan deontologis modern.²⁶ Mereka berpendapat bahwa pemikiran Aristoteles tentang karakter, kebajikan, dan tujuan hidup manusia menyediakan kerangka etika yang lebih manusiawi dan rasional.²⁷

Dalam filsafat ilmu, pemikiran Aristoteles tentang sebab, bentuk, dan teleologi kembali diinterpretasikan oleh Edward Feser dan David Oderberg untuk menjelaskan struktur kausalitas dan rasionalitas alam.²⁸ Bahkan dalam biologi dan teori sistem kompleks, gagasan tentang teleologi alami — bahwa organisme memiliki kecenderungan intrinsik menuju aktualisasi — kembali dipertimbangkan secara serius.²⁹

Selain itu, dalam metafisika kontemporer, para filsuf seperti John Haldane dan E.J. Lowe mengembangkan Analytic Thomism, yaitu sintesis antara Aristotelianisme klasik dan filsafat analitik modern.³⁰ Pendekatan ini menunjukkan bahwa warisan Aristoteles tetap relevan dalam konteks filsafat yang rasional dan ilmiah sekaligus terbuka terhadap dimensi metafisis.³¹


Kesinambungan Historis dan Makna Filosofis

Melalui lintasan panjang sejarah ini, Aristotelianisme terbukti bukan sistem yang statis, melainkan tradisi intelektual yang hidup dan dinamis. Ia bertahan karena kemampuannya beradaptasi dengan zaman tanpa kehilangan prinsip dasarnya: rasionalitas, teleologi, dan orientasi pada kebaikan.³² Dari Lykeion ke Baghdad, dari Paris ke Roma, hingga ke universitas modern, Aristotelianisme terus menjadi inspirasi bagi pencarian manusia akan pengetahuan dan kebajikan.³³

Seperti yang dinyatakan oleh Étienne Gilson, “Setiap kali filsafat kehilangan arah, kembali kepada Aristoteles berarti kembali kepada akal.”³⁴ Dengan demikian, pengaruh Aristotelianisme bukan sekadar historis, melainkan juga eksistensial — ia terus membentuk cara manusia memahami realitas, moralitas, dan dirinya sendiri.³⁵


Footnotes

[1]                Jonathan Barnes, Aristotle: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2000), 63–65.

[2]                Werner Jaeger, Aristotle: Fundamentals of the History of His Development (Oxford: Oxford University Press, 1948), 290–293.

[3]                W.K.C. Guthrie, A History of Greek Philosophy, Vol. 6: Aristotle, An Encounter (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 199–202.

[4]                G.E.R. Lloyd, Aristotle: The Growth and Structure of His Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 1968), 146–149.

[5]                Richard Sorabji, The Philosophy of the Commentators, 200–600 AD: A Sourcebook (London: Duckworth, 2004), 43–46.

[6]                Henry Veatch, Aristotle: A Contemporary Appreciation (Bloomington: Indiana University Press, 1974), 102–104.

[7]                Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ‘Abbasid Society (London: Routledge, 1998), 55–58.

[8]                Al-Farabi, Al-Madina al-Fadila, trans. Richard Walzer (Oxford: Clarendon Press, 1985), 72–74.

[9]                Lenn E. Goodman, Avicenna (London: Routledge, 1992), 61–64.

[10]             Étienne Gilson, History of Christian Philosophy in the Middle Ages (New York: Random House, 1955), 68–70.

[11]             Oliver Leaman, Averroes and His Philosophy (Oxford: Clarendon Press, 1988), 89–92.

[12]             Averroes, Tahafut al-Tahafut (The Incoherence of the Incoherence), trans. Simon van den Bergh (London: Luzac, 1954), 145–149.

[13]             Alain de Libera, La querelle des universaux (Paris: Seuil, 1996), 41–43.

[14]             Edward Grant, The Foundations of Modern Science in the Middle Ages (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 102–105.

[15]             Thomas Aquinas, Summa Theologica, vol. 1 (New York: Benziger Brothers, 1947), I, q.2, a.3.

[16]             Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas (New York: Random House, 1956), 47–50.

[17]             Josef Pieper, The Silence of St. Thomas (South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 1999), 24–27.

[18]             A.S. McGrade, The Cambridge Companion to Medieval Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 120–123.

[19]             Galileo Galilei, Dialogue Concerning the Two Chief World Systems, trans. Stillman Drake (Berkeley: University of California Press, 1953), 18–21.

[20]             René Descartes, Discourse on Method, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett, 1998), 28–31.

[21]             David Oderberg, Real Essentialism (London: Routledge, 2007), 92–94.

[22]             Edward Feser, Scholastic Metaphysics: A Contemporary Introduction (Heusenstamm: Editiones Scholasticae, 2014), 171–174.

[23]             John Haldane, An Intelligent Person’s Guide to Religion (London: Duckworth, 2003), 49–52.

[24]             Leo XIII, Aeterni Patris (Rome: Vatican Press, 1879), sec. 3–4.

[25]             Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 189–192.

[26]             Elizabeth Anscombe, Modern Moral Philosophy, Philosophy 33, no. 124 (1958): 1–19.

[27]             Philippa Foot, Virtues and Vices (Oxford: Oxford University Press, 2002), 2–5.

[28]             Edward Feser, Neo-Scholastic Essays (South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 2015), 122–125.

[29]             David S. Oderberg, Teleology: Inorganic and Organic (New York: Routledge, 2020), 45–47.

[30]             John Haldane, Reasonable Faith (London: Routledge, 2010), 77–80.

[31]             E.J. Lowe, The Four-Category Ontology: A Metaphysical Foundation for Natural Science (Oxford: Oxford University Press, 2006), 11–13.

[32]             Jaeger, Aristotle: Fundamentals of the History of His Development, 298–300.

[33]             Veatch, Aristotle: A Contemporary Appreciation, 107–110.

[34]             Étienne Gilson, Being and Some Philosophers (Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1952), 3.

[35]             MacIntyre, After Virtue, 200–202.


9.           Kritik terhadap Aristotelianisme

Meskipun Aristotelianisme telah menjadi salah satu sistem filsafat paling berpengaruh sepanjang sejarah, ia tidak luput dari kritik yang datang dari berbagai arah: mulai dari para Platonis dan Neoplatonis di zaman kuno, kaum rasionalis dan empiris pada masa modern, hingga para filsuf postmodern yang mempertanyakan asumsi metafisis dan teleologis dalam filsafat Aristoteles.¹ Kritik-kritik ini mencerminkan dinamika intelektual yang memperlihatkan betapa Aristotelianisme terus menjadi titik rujukan dalam perdebatan filosofis lintas zaman.

9.1.       Kritik dari Tradisi Platonik dan Neoplatonik

Kritik paling awal terhadap Aristotelianisme datang dari para pengikut Plato sendiri. Mereka menilai bahwa Aristoteles terlalu menekankan dunia empiris dan mengabaikan dimensi transenden dari ide-ide.² Bagi Platonis, pengetahuan sejati hanya dapat dicapai melalui kontemplasi terhadap dunia ide yang tetap dan sempurna, sedangkan Aristoteles dianggap menurunkan filsafat ke ranah yang berubah-ubah dan relatif.³

Plotinus (204–270 M), tokoh utama Neoplatonisme, menganggap metafisika Aristoteles tidak memadai untuk menjelaskan asal mula segala yang ada. Dalam pandangannya, prinsip Penggerak Tak-Tergerakkan (Unmoved Mover) Aristoteles bersifat terlalu statis dan tidak mencukupi untuk menjelaskan emanasi dinamis dari “Yang Satu” (To Hen).⁴ Bagi Plotinus, Tuhan Aristoteles tidak menciptakan dunia dengan cinta dan limpahan kebaikan, melainkan hanya menjadi objek keinginan.⁵

Meskipun demikian, tradisi Neoplatonik tidak menolak Aristotelianisme secara total, tetapi berupaya mengintegrasikannya ke dalam sistem metafisika yang lebih spiritual.⁶ Namun, integrasi ini justru membuat Aristotelianisme kehilangan sifat realistiknya yang asli, bergeser menjadi spekulatif dan mistik.

9.2.       Kritik dari Filsafat Islam dan Teologi Kalām

Dalam tradisi Islam abad pertengahan, Aristotelianisme dikritik oleh para teolog kalām yang menilai bahwa sistem metafisiknya terlalu menekankan rasionalitas dan menyingkirkan kehendak Tuhan.⁷ Al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Para Filsuf) menuduh para filsuf peripatetik seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina melakukan kekufuran karena mengajarkan keabadian dunia dan menolak penciptaan ex nihilo.⁸

Menurut Al-Ghazali, sebab-akibat dalam Aristotelianisme bersifat niscaya, sehingga meniadakan kebebasan ilahi dalam menentukan hukum alam.⁹ Ia menegaskan bahwa hubungan sebab-akibat bukanlah keharusan logis, melainkan kebiasaan yang ditetapkan oleh Tuhan.¹⁰ Kritik ini kemudian memunculkan debat panjang antara rasionalisme filsafat dan voluntarisme teologis dalam Islam.¹¹

Namun, justru karena kritik ini, Aristotelianisme mengalami adaptasi kreatif dalam teologi Islam. Ibnu Rusyd membela Aristoteles dengan menafsirkan bahwa hukum alam adalah ekspresi kebijaksanaan Tuhan, bukan pengekangan terhadap-Nya.¹² Perdebatan ini menunjukkan bahwa kritik terhadap Aristotelianisme tidak hanya menolak, tetapi juga memperkaya warisan intelektualnya.

9.3.       Kritik dari Rasionalisme dan Empirisme Modern

Pada masa modern, Aristotelianisme menjadi sasaran utama para filsuf yang memulai revolusi ilmiah. Francis Bacon menuduh logika silogistik Aristoteles sebagai penghalang bagi kemajuan sains, karena terlalu menekankan deduksi dan mengabaikan observasi eksperimental.¹³ Ia menggantinya dengan metode induktif yang menekankan pengumpulan data empiris.¹⁴

René Descartes juga menolak metafisika Aristotelian, terutama konsep forma substantialis dan teleologi alamiah.¹⁵ Ia berpendapat bahwa penjelasan ilmiah harus bersandar pada prinsip mekanistik dan matematika, bukan pada tujuan atau sebab final.¹⁶ Dengan demikian, Descartes menggantikan kosmos teleologis Aristoteles dengan alam semesta yang bekerja seperti mesin.¹⁷

David Hume melanjutkan kritik ini dengan menyerang konsep kausalitas Aristotelian. Baginya, sebab dan akibat bukan hubungan niscaya dalam realitas, tetapi kebiasaan psikologis manusia untuk mengasosiasikan peristiwa.¹⁸ Kritik ini secara efektif menggugurkan fondasi metafisika realistis Aristoteles, menggantikannya dengan skeptisisme empiris.

9.4.       Kritik dari Kant dan Idealime Jerman

Immanuel Kant memberikan bentuk kritik yang lebih sistematis terhadap Aristotelianisme. Dalam Critique of Pure Reason, Kant menolak gagasan bahwa akal dapat mencapai pengetahuan metafisis tentang realitas sebagaimana adanya (noumenon).¹⁹ Ia menilai bahwa Aristotelianisme, seperti metafisika klasik lainnya, keliru karena berasumsi bahwa struktur pikiran manusia sepadan dengan struktur realitas.²⁰

Bagi Kant, kategori-kategori rasional Aristoteles memang penting, tetapi ia menafsirkan ulang kategori tersebut sebagai bentuk apriori dari kesadaran, bukan sebagai struktur objektif dunia.²¹ Dengan demikian, Kant “menyelamatkan” logika Aristotelian namun mengubah fondasi ontologisnya dari realisme menjadi idealisme transendental.²²

Penerus Kant, seperti Hegel dan Schelling, juga mengkritik Aristoteles karena dianggap tidak memberikan ruang bagi sejarah dan dinamika dialektis dalam realitas.²³ Sistem Aristotelian yang hierarkis dan statis dipandang tidak mampu menjelaskan perkembangan kesadaran dan kebudayaan.²⁴

9.5.       Kritik dari Filsafat Analitik dan Postmodern

Pada abad ke-20, Aristotelianisme dikritik oleh positivisme logis yang menolak metafisika sebagai wacana bermakna.²⁵ Para filsuf seperti Rudolf Carnap menganggap istilah-istilah Aristotelian — seperti substansi, bentuk, dan tujuan — tidak dapat diverifikasi secara empiris, sehingga tidak memiliki nilai kognitif.²⁶ Namun, kritik ini kemudian berbalik ketika filsafat analitik sendiri menemukan keterbatasan empirisme murni, dan mulai menghidupkan kembali minat terhadap ontologi Aristotelian dalam kerangka baru seperti Analytic Thomism.²⁷

Dalam filsafat postmodern, Aristotelianisme dikritik karena dianggap mendukung logika hierarki, keutuhan, dan teleologi yang bertentangan dengan pluralitas dan relativitas makna.²⁸ Michel Foucault dan Jacques Derrida, misalnya, memandang bahwa gagasan tentang ousia (substansi) dan telos (tujuan) mengandung presuposisi metafisis yang menindas keragaman diskursif.²⁹ Namun, beberapa pemikir kontemporer seperti Martha Nussbaum dan Alasdair MacIntyre menolak kritik ini dengan menegaskan bahwa Aristotelianisme justru menawarkan kerangka etis yang rasional dan manusiawi untuk melawan nihilisme moral.³⁰


Sintesis Kritik: Kelemahan dan Ketahanan Aristotelianisme

Secara keseluruhan, kritik terhadap Aristotelianisme dapat disimpulkan dalam tiga aspek utama: (1) keberatannya terhadap metafisika substansial dan teleologis, (2) tuduhan stagnasi metodologis dalam sains, dan (3) keterbatasan dalam menjelaskan dinamika sejarah dan subjektivitas.³¹ Namun, yang menarik adalah bahwa sebagian besar kritik ini justru memperlihatkan daya tahan Aristotelianisme: hampir semua paradigma baru dalam filsafat lahir melalui dialog atau penolakan terhadap Aristoteles.³²

Sebagaimana dicatat oleh Edward Feser, filsafat modern “hanya dapat dipahami dengan membaca Aristoteles terlebih dahulu, karena bahkan penolakannya terhadap Aristoteles tetap berbicara dengan bahasanya.”³³ Aristotelianisme, meski sering dikritik, tidak pernah sepenuhnya ditinggalkan — ia terus menjadi fondasi bagi pencarian manusia akan rasionalitas dan tatanan kosmos yang bermakna.³⁴


Footnotes

[1]                Jonathan Barnes, Aristotle: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2000), 68–70.

[2]                Plato, The Republic, trans. Allan Bloom (New York: Basic Books, 1968), 595a–598c.

[3]                G.E.R. Lloyd, Aristotle: The Growth and Structure of His Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 1968), 158–160.

[4]                Plotinus, The Enneads, trans. A.H. Armstrong (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1966), V.2.1–2.

[5]                Werner Jaeger, Aristotle: Fundamentals of the History of His Development (Oxford: Oxford University Press, 1948), 301–304.

[6]                W.K.C. Guthrie, A History of Greek Philosophy, Vol. 6: Aristotle, An Encounter (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 211–213.

[7]                Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition (Leiden: Brill, 1988), 125–128.

[8]                Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, trans. Michael Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2000), 37–39.

[9]                Ibid., 45–48.

[10]             Ibid., 52–55.

[11]             Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 112–115.

[12]             Averroes, Tahafut al-Tahafut (The Incoherence of the Incoherence), trans. Simon van den Bergh (London: Luzac, 1954), 299–302.

[13]             Francis Bacon, Novum Organum, trans. Peter Urbach and John Gibson (Chicago: Open Court, 1994), 12–14.

[14]             Ibid., 17–18.

[15]             René Descartes, Discourse on Method, trans. Donald A. Cress (Indianapolis: Hackett, 1998), 28–30.

[16]             Ibid., 34–35.

[17]             Edward Grant, The Foundations of Modern Science in the Middle Ages (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 135–138.

[18]             David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding, ed. Tom L. Beauchamp (Oxford: Oxford University Press, 1999), 87–89.

[19]             Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, trans. Paul Guyer and Allen W. Wood (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), A248–A250.

[20]             Ibid., B164–B166.

[21]             Kant, Critique of Pure Reason, B106–B110.

[22]             Henry Veatch, Aristotle: A Contemporary Appreciation (Bloomington: Indiana University Press, 1974), 112–115.

[23]             G.W.F. Hegel, Science of Logic, trans. A.V. Miller (London: George Allen & Unwin, 1969), 41–44.

[24]             F.W.J. Schelling, System of Transcendental Idealism, trans. Peter Heath (Charlottesville: University of Virginia Press, 1978), 57–59.

[25]             Rudolf Carnap, The Elimination of Metaphysics through Logical Analysis of Language, Erkenntnis 2 (1932): 60–81.

[26]             Ibid., 63–64.

[27]             Edward Feser, Neo-Scholastic Essays (South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 2015), 131–134.

[28]             Michel Foucault, The Order of Things (New York: Vintage Books, 1970), 54–57.

[29]             Jacques Derrida, Of Grammatology, trans. Gayatri C. Spivak (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1976), 18–20.

[30]             Martha Nussbaum, The Fragility of Goodness: Luck and Ethics in Greek Tragedy and Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1986), 389–392.

[31]             Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 205–208.

[32]             Jaeger, Aristotle: Fundamentals of the History of His Development, 306–308.

[33]             Edward Feser, Scholastic Metaphysics: A Contemporary Introduction (Heusenstamm: Editiones Scholasticae, 2014), 189–192.

[34]             Henry Veatch, Aristotle: A Contemporary Appreciation, 118–120.


10.       Relevansi Kontemporer

Meskipun Aristotelianisme berakar dalam konteks Yunani Klasik, gagasan-gagasannya tetap menunjukkan relevansi yang mendalam dalam pemikiran filsafat, ilmu pengetahuan, dan etika kontemporer. Sistem filsafat Aristoteles tidak sekadar warisan historis, tetapi juga kerangka konseptual yang terus memengaruhi cara manusia memahami realitas, pengetahuan, dan moralitas. Dalam dunia yang ditandai oleh krisis nilai, relativisme moral, dan fragmentasi pengetahuan, Aristotelianisme menawarkan sintesis rasional antara empirisme dan normativitas, antara ilmu dan kebijaksanaan, antara manusia dan tujuannya.¹

10.1.    Aristotelianisme dan Filsafat Ilmu Modern

Dalam filsafat ilmu kontemporer, banyak pemikir kembali kepada Aristoteles untuk menafsirkan ulang konsep sebab, bentuk, dan teleologi.² Edward Feser, David Oderberg, dan John Haldane, misalnya, menunjukkan bahwa gagasan Aristoteles tentang empat sebab (aitiai) — material, formal, efisien, dan final — masih relevan untuk memahami struktur penjelasan ilmiah yang holistik.³

Meskipun sains modern sering menolak sebab final sebagai “non-ilmiah,” banyak ahli biologi dan filsuf ilmu berpendapat bahwa teleologi alamiah tidak dapat sepenuhnya dihapus dari penjelasan biologis.⁴ Dalam teori sistem kompleks dan biologi evolusioner, konsep fungsi dan tujuan masih digunakan untuk menjelaskan arah perkembangan organisme.⁵ Dengan demikian, teleologi Aristotelian menemukan bentuk baru sebagai prinsip keterarahan dalam dinamika sistem alam.⁶

Lebih jauh, konsep hylomorphism (materi-bentuk) kembali muncul dalam filsafat pikiran. Pandangan ini menolak dualisme Cartesian maupun reduksionisme materialis, dan menggambarkan manusia sebagai kesatuan organis antara tubuh dan jiwa.⁷ Pemikiran ini menjadi alternatif yang menarik bagi teori kesadaran kontemporer, terutama dalam kerangka embodied cognition dan philosophy of mind.⁸

10.2.    Rehabilitasi Etika Kebajikan dalam Filsafat Moral

Salah satu kebangkitan paling signifikan dari Aristotelianisme di abad ke-20 adalah dalam bidang etika. Melalui karya Elizabeth Anscombe, Philippa Foot, dan Alasdair MacIntyre, muncul kembali Virtue Ethics sebagai reaksi terhadap kegagalan etika modern yang terlalu terfokus pada aturan (deontologi) dan akibat (utilitarianisme).⁹

Etika kebajikan Aristotelian menekankan pembentukan karakter dan kebijaksanaan praktis (phronesis) sebagai dasar moralitas.¹⁰ Dalam konteks pluralisme moral saat ini, pendekatan ini menawarkan alternatif yang menekankan integritas pribadi dan komunitas moral yang rasional.¹¹ MacIntyre, dalam After Virtue, menegaskan bahwa hanya dalam kerangka teleologis seperti Aristotelianisme-lah kehidupan moral memperoleh makna dan arah.¹²

Selain itu, konsep eudaimonia (kebahagiaan sebagai aktualisasi potensi manusia) telah digunakan dalam psikologi positif kontemporer, seperti dalam karya Martin Seligman, untuk menekankan keseimbangan antara kebahagiaan subjektif dan aktualisasi kebajikan objektif.¹³ Etika Aristotelian dengan demikian tidak hanya berpengaruh pada filsafat moral, tetapi juga pada sains psikologis dan pendidikan karakter.¹⁴

10.3.    Aristotelianisme dan Politik Komunitarian

Dalam teori politik, Aristotelianisme menjadi dasar bagi kritik terhadap liberalisme modern yang individualistis.¹⁵ Para filsuf komunitarian seperti Michael Sandel, Charles Taylor, dan Alasdair MacIntyre kembali pada konsep Aristotelian tentang manusia sebagai makhluk politik (zoon politikon) yang hanya dapat berkembang dalam komunitas moral.¹⁶

Sandel, dalam Liberalism and the Limits of Justice, menilai bahwa etika politik Aristoteles menawarkan pemahaman yang lebih utuh tentang keadilan — bukan sekadar pembagian hak, tetapi pembentukan karakter warga negara yang baik.¹⁷ Konsep polis sebagai komunitas etis menekankan bahwa tujuan politik bukanlah efisiensi atau kebebasan semata, melainkan kehidupan bersama yang berkeadilan dan bermakna.¹⁸

Pemikiran Aristotelian juga memengaruhi teori kebijakan publik dan pendidikan sipil modern, di mana nilai-nilai kebajikan, tanggung jawab sosial, dan partisipasi publik dianggap penting bagi keberlanjutan demokrasi.¹⁹

10.4.    Relevansi Metafisika dan Ontologi Aristotelian

Di bidang metafisika kontemporer, Aristotelianisme mengalami kebangkitan melalui apa yang disebut Analytic Aristotelianism.²⁰ Para filsuf seperti E.J. Lowe dan Kit Fine berusaha menghidupkan kembali konsep substansi, esensi, dan aktualitas dalam konteks filsafat analitik.²¹

Konsep Aristotelian tentang substansi sebagai “dasar bagi eksistensi dan identitas” terbukti relevan dalam perdebatan tentang ontologi objek, kategori, dan modalitas.²² Lowe, misalnya, melalui The Four-Category Ontology, mengembangkan sistem ontologi yang berakar pada Aristoteles untuk menjelaskan hubungan antara entitas, jenis, dan sifat.²³

Selain itu, Aristotelianisme memberi landasan bagi realisme moderat dalam metafisika kontemporer, yang menolak baik nominalisme ekstrem maupun idealisme spekulatif.²⁴ Dengan demikian, ia menawarkan keseimbangan antara empirisme dan rasionalisme dalam memahami struktur realitas.²⁵

10.5.    Aristotelianisme dalam Filsafat Teknologi dan Ekologi

Dalam konteks modern yang diwarnai oleh krisis ekologi dan dehumanisasi teknologi, Aristotelianisme memberikan dasar etis untuk berpikir tentang keseimbangan antara manusia, alam, dan tujuan moral.²⁶ Gagasan tentang telos — bahwa segala sesuatu memiliki arah dan tujuan intrinsik — telah diinterpretasikan ulang dalam etika lingkungan untuk menekankan nilai intrinsik makhluk hidup dan keteraturan alam.²⁷

Sebagai contoh, filosofi deep ecology dan environmental virtue ethics terinspirasi oleh pandangan Aristotelian bahwa kebajikan manusia tidak dapat dipisahkan dari keharmonisan dengan tatanan alam.²⁸ Dalam etika teknologi, Aristotelianisme membantu menimbang bagaimana kemajuan teknologis seharusnya diarahkan untuk aktualisasi kemanusiaan, bukan sekadar efisiensi instrumental.²⁹


Sintesis Relevansi: Aristotelianisme sebagai Paradigma Rasionalitas Humanistik

Relevansi Aristotelianisme terletak pada kemampuannya menyatukan tiga dimensi dasar eksistensi manusia — pengetahuan, tindakan, dan kebermaknaan.³⁰ Ia menegaskan bahwa rasionalitas sejati tidak bersifat dingin dan instrumental, tetapi terarah pada kebaikan dan kebahagiaan yang seimbang antara individu dan komunitas.³¹

Dalam dunia pascamodern yang sering menolak struktur dan makna, Aristotelianisme menawarkan pandangan alternatif: bahwa realitas memiliki tatanan yang dapat dipahami, dan manusia memiliki tujuan moral yang dapat dicapai melalui kebajikan dan akal budi.³² Dengan demikian, Aristotelianisme bukan sekadar sistem filsafat masa lalu, melainkan fondasi filosofis yang tetap hidup untuk membimbing manusia menuju kehidupan yang rasional, bermoral, dan bermakna.³³


Footnotes

[1]                Werner Jaeger, Aristotle: Fundamentals of the History of His Development (Oxford: Oxford University Press, 1948), 310–313.

[2]                Edward Feser, Scholastic Metaphysics: A Contemporary Introduction (Heusenstamm: Editiones Scholasticae, 2014), 201–204.

[3]                David S. Oderberg, Real Essentialism (London: Routledge, 2007), 91–94.

[4]                Ernst Mayr, The Growth of Biological Thought (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1982), 44–46.

[5]                Denis Noble, The Music of Life: Biology beyond the Genome (Oxford: Oxford University Press, 2006), 12–15.

[6]                Edward Feser, Five Proofs of the Existence of God (San Francisco: Ignatius Press, 2017), 97–99.

[7]                John Haldane, Reasonable Faith (London: Routledge, 2010), 81–83.

[8]                Shaun Gallagher, How the Body Shapes the Mind (Oxford: Clarendon Press, 2005), 57–60.

[9]                Elizabeth Anscombe, Modern Moral Philosophy, Philosophy 33, no. 124 (1958): 1–19.

[10]             Philippa Foot, Virtues and Vices (Oxford: Oxford University Press, 2002), 13–17.

[11]             Rosalind Hursthouse, On Virtue Ethics (Oxford: Oxford University Press, 1999), 29–32.

[12]             Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 216–220.

[13]             Martin Seligman, Flourish: A Visionary New Understanding of Happiness and Well-Being (New York: Free Press, 2011), 19–21.

[14]             Martha Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 32–35.

[15]             Michael Sandel, Liberalism and the Limits of Justice (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), 175–178.

[16]             Charles Taylor, Sources of the Self: The Making of the Modern Identity (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1989), 189–192.

[17]             Sandel, Liberalism and the Limits of Justice, 180–183.

[18]             Aristotle, Politics, trans. Benjamin Jowett (Oxford: Clarendon Press, 1885), 1253a–1254a.

[19]             Henry Veatch, Aristotle: A Contemporary Appreciation (Bloomington: Indiana University Press, 1974), 125–127.

[20]             E.J. Lowe, The Four-Category Ontology: A Metaphysical Foundation for Natural Science (Oxford: Oxford University Press, 2006), 8–10.

[21]             Kit Fine, Essence and Modality (Oxford: Clarendon Press, 1994), 23–26.

[22]             Lowe, The Four-Category Ontology, 25–28.

[23]             Ibid., 31–33.

[24]             John Haldane, An Intelligent Person’s Guide to Religion (London: Duckworth, 2003), 58–60.

[25]             Feser, Neo-Scholastic Essays (South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 2015), 139–142.

[26]             Holmes Rolston III, Environmental Ethics: Duties to and Values in the Natural World (Philadelphia: Temple University Press, 1988), 117–120.

[27]             Bryan Norton, Sustainability: A Philosophy of Adaptive Ecosystem Management (Chicago: University of Chicago Press, 2005), 73–76.

[28]             Ronald Sandler, Character and Environment: A Virtue-Oriented Approach to Environmental Ethics (New York: Columbia University Press, 2007), 51–54.

[29]             Shannon Vallor, Technology and the Virtues: A Philosophical Guide to a Future Worth Wanting (Oxford: Oxford University Press, 2016), 18–21.

[30]             Jaeger, Aristotle: Fundamentals of the History of His Development, 314–316.

[31]             Henry Veatch, Aristotle: A Contemporary Appreciation (Bloomington: Indiana University Press, 1974), 132–134.

[32]             Edward Feser, Neo-Scholastic Essays, 147–150.

[33]             Alasdair MacIntyre, Ethics in the Conflicts of Modernity: An Essay on Desire, Practical Reasoning and Narrative (Cambridge: Cambridge University Press, 2016), 264–267.


11.       Sintesis Filosofis: Aristotelianisme sebagai Jembatan antara Akal dan Realitas

Aristotelianisme menempati posisi istimewa dalam sejarah filsafat karena kemampuannya menjembatani dua kutub besar pemikiran manusia: idealisme dan empirisme, rasionalisme dan pengalaman, teori dan praksis. Sistem filsafat Aristoteles bukan sekadar kumpulan doktrin, melainkan suatu sintesis hidup yang berupaya memadukan rasionalitas intelektual dengan kenyataan empiris, serta menempatkan etika dan politik dalam harmoni dengan tatanan kosmos.¹ Melalui pendekatan yang menyeluruh ini, Aristotelianisme menjadi model integratif yang mempersatukan dimensi metafisis, epistemologis, etis, dan teleologis dari eksistensi manusia.²

11.1.    Integrasi antara Empirisme dan Rasionalisme

Aristoteles menolak ekstremitas epistemologis dari dua arah yang berlawanan: empirisme yang murni sensual dan rasionalisme yang mengabaikan pengalaman.³ Dalam sistemnya, pengalaman (empeiria) menjadi titik awal pengetahuan, sementara akal (nous) bertugas menangkap prinsip universal dari pengalaman tersebut.⁴ Dengan demikian, pengetahuan adalah hasil dari kerja sama antara indera dan rasio — antara yang partikular dan yang universal.

Model ini menghasilkan apa yang disebut empirisme rasional atau realisme epistemologis, di mana akal tidak menciptakan realitas, tetapi memahami struktur rasional yang sudah terkandung di dalamnya.⁵ Oleh karena itu, Aristoteles berhasil menghindari relativisme skeptis sekaligus idealisme subjektif, menjadikan pikirannya sebagai “jalan tengah rasional” antara Plato dan para sofis.⁶

11.2.    Kesatuan antara Materi dan Bentuk dalam Struktur Realitas

Dalam bidang ontologi, Aristoteles memperkenalkan hylomorphism — gagasan bahwa setiap realitas tersusun dari dua prinsip: materi (hyle) dan bentuk (morphe).⁷ Materi menyediakan potensi, sementara bentuk mengaktualkan potensi itu menjadi keberadaan konkret.⁸ Prinsip ini tidak hanya menjelaskan struktur benda, tetapi juga menjelaskan dinamika perubahan dan perkembangan.

Dengan teori ini, Aristoteles berhasil menyatukan perubahan dan kestabilan dalam satu kerangka metafisis. Tidak ada kontradiksi antara menjadi (being) dan menjadi-berubah (becoming), karena perubahan adalah realisasi dari potensi menjadi aktualitas (energeia).⁹ Ini menjadikan sistem Aristotelian sebagai filsafat keseimbangan — dunia bukan sekadar chaos tanpa arah, melainkan tatanan rasional yang bergerak menuju kesempurnaan.¹⁰

11.3.    Sintesis antara Etika dan Politik sebagai Teleologi Moral

Etika dan politik dalam Aristotelianisme membentuk kesatuan yang tak terpisahkan.¹¹ Etika menunjukkan bagaimana individu mencapai kebahagiaan (eudaimonia) melalui kebajikan (arete), sementara politik memperluas tujuan itu pada ranah kolektif, menjadikan polis sebagai sarana untuk mewujudkan kehidupan yang baik bagi semua warga.¹²

Dengan demikian, politik bukan sekadar urusan kekuasaan, tetapi merupakan perwujudan etika dalam tatanan sosial.¹³ Aristoteles melihat bahwa manusia hanya dapat mencapai kesempurnaan moral dalam konteks komunitas yang berkeadilan.¹⁴ Sintesis ini menjadikan filsafatnya sebagai model etika sosial yang integratif, di mana individu dan masyarakat saling melengkapi dalam pencarian kebaikan bersama (to koinon agathon).¹⁵

11.4.    Integrasi antara Akal, Moralitas, dan Alam Semesta

Bagi Aristoteles, akal bukan hanya instrumen berpikir, tetapi juga bagian dari tatanan kosmis.¹⁶ Dalam kerangka teleologisnya, seluruh alam semesta diarahkan menuju tujuan akhir (telos), dan akal manusia berpartisipasi dalam rasionalitas universal ini.¹⁷ Karena itu, pengetahuan dan tindakan moral manusia tidak berdiri di luar alam, melainkan merupakan ekspresi dari prinsip kosmik yang sama — prinsip keteraturan dan kesempurnaan.¹⁸

Dengan menempatkan akal dalam konteks kosmos, Aristoteles menegaskan bahwa filsafat bukan hanya upaya rasional memahami dunia, tetapi juga upaya moral menyesuaikan diri dengan tatanan rasional alam.¹⁹ Inilah inti dari bios theoretikos (kehidupan kontemplatif), yang baginya merupakan bentuk tertinggi dari kebahagiaan manusia: kehidupan yang diatur oleh akal yang meniru kesempurnaan ilahi.²⁰

11.5.    Relevansi Sintesis Aristotelian bagi Filsafat Modern

Dalam konteks modern dan kontemporer, sintesis Aristotelian menjadi inspirasi bagi berbagai arus filsafat integratif.²¹ Dalam filsafat sains, ia memberi dasar bagi upaya menyatukan pendekatan empiris dan rasional.²² Dalam filsafat moral, ia menawarkan keseimbangan antara kebebasan individu dan tatanan moral bersama.²³ Bahkan dalam ekologi dan filsafat teknologi, struktur teleologisnya membantu memahami bagaimana manusia dapat hidup selaras dengan tujuan alam.²⁴

Filsuf-filsuf seperti Alasdair MacIntyre, Edward Feser, dan Martha Nussbaum menafsirkan kembali Aristotelianisme sebagai filsafat yang mampu menjawab krisis modernitas — baik dalam ranah moral, politik, maupun eksistensial.²⁵ Mereka melihat bahwa inti dari Aristotelianisme adalah rasionalitas yang berorientasi pada kebaikan, bukan sekadar efisiensi atau kekuasaan.²⁶ Dalam dunia yang terfragmentasi oleh relativisme, sintesis Aristotelian menjadi model rasionalitas humanistik yang memulihkan makna, tujuan, dan keutuhan hidup manusia.²⁷


Aristotelianisme sebagai Model Kesatuan antara Akal dan Realitas

Keseluruhan sistem Aristotelian menunjukkan keyakinan mendalam bahwa realitas bersifat rasional, dan bahwa akal manusia mampu mengenalnya secara sejati.²⁸ Dengan kata lain, akal dan realitas memiliki korespondensi ontologis — dunia tidak hanya dapat dipahami, tetapi memang tersusun secara rasional.²⁹ Prinsip ini menjadi landasan bagi sains, etika, dan metafisika sepanjang sejarah peradaban Barat.

Aristotelianisme mengajarkan bahwa pengetahuan sejati harus bersumber pada pengalaman namun diarahkan oleh rasio; bahwa tindakan moral harus berakar pada kebajikan namun dibimbing oleh kebijaksanaan; dan bahwa alam semesta adalah kesatuan yang bergerak menuju kebaikan.³⁰ Dalam kesatuan inilah filsafat Aristoteles menemukan daya tahannya — sebagai jembatan antara dunia empiris dan dunia ide, antara akal dan realitas, antara manusia dan tujuan tertingginya.³¹


Footnotes

[1]                Werner Jaeger, Aristotle: Fundamentals of the History of His Development (Oxford: Oxford University Press, 1948), 317–320.

[2]                Henry Veatch, Aristotle: A Contemporary Appreciation (Bloomington: Indiana University Press, 1974), 140–143.

[3]                Jonathan Barnes, Aristotle: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2000), 71–73.

[4]                Aristotle, Posterior Analytics, trans. Jonathan Barnes (Oxford: Clarendon Press, 1975), 71a–72b.

[5]                G.E.R. Lloyd, Aristotle: The Growth and Structure of His Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 1968), 174–176.

[6]                W.K.C. Guthrie, A History of Greek Philosophy, Vol. 6: Aristotle, An Encounter (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 226–228.

[7]                Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), 987a–988a.

[8]                Edward Feser, Scholastic Metaphysics: A Contemporary Introduction (Heusenstamm: Editiones Scholasticae, 2014), 211–214.

[9]                Aristotle, Physics, trans. R.P. Hardie and R.K. Gaye (Oxford: Clarendon Press, 1930), 194b–195b.

[10]             Veatch, Aristotle: A Contemporary Appreciation, 147–149.

[11]             Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1094a–1096a.

[12]             Aristotle, Politics, trans. Benjamin Jowett (Oxford: Clarendon Press, 1885), 1253a–1254a.

[13]             Étienne Gilson, The Christian Philosophy of St. Thomas Aquinas (New York: Random House, 1956), 111–113.

[14]             Richard Kraut, Aristotle: Political Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2002), 136–138.

[15]             Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 222–225.

[16]             Aristotle, De Anima, trans. W.D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1961), 429a–430a.

[17]             Edward Feser, Five Proofs of the Existence of God (San Francisco: Ignatius Press, 2017), 106–109.

[18]             Jaeger, Aristotle: Fundamentals of the History of His Development, 324–326.

[19]             Henry Veatch, Aristotle: A Contemporary Appreciation, 152–155.

[20]             Aristotle, Nicomachean Ethics, 1177a–1178a.

[21]             Edward Grant, The Foundations of Modern Science in the Middle Ages (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 142–144.

[22]             Feser, Neo-Scholastic Essays (South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 2015), 155–158.

[23]             MacIntyre, After Virtue, 230–232.

[24]             Martha Nussbaum, The Fragility of Goodness: Luck and Ethics in Greek Tragedy and Philosophy (Cambridge: Cambridge University Press, 1986), 391–394.

[25]             John Haldane, Reasonable Faith (London: Routledge, 2010), 92–95.

[26]             Edward Feser, Scholastic Metaphysics, 220–223.

[27]             Alasdair MacIntyre, Ethics in the Conflicts of Modernity: An Essay on Desire, Practical Reasoning and Narrative (Cambridge: Cambridge University Press, 2016), 275–277.

[28]             E.J. Lowe, The Four-Category Ontology: A Metaphysical Foundation for Natural Science (Oxford: Oxford University Press, 2006), 15–18.

[29]             Kit Fine, Essence and Modality (Oxford: Clarendon Press, 1994), 38–40.

[30]             Veatch, Aristotle: A Contemporary Appreciation, 160–162.

[31]             Jaeger, Aristotle: Fundamentals of the History of His Development, 330–333.


12.       Kesimpulan

Aristotelianisme merupakan salah satu sistem filsafat paling berpengaruh dalam sejarah pemikiran manusia karena kemampuannya membangun sintesis yang menyeluruh antara akal dan pengalaman, teori dan praktik, individu dan komunitas, serta metafisika dan etika.¹ Dalam seluruh dimensinya — ontologi, epistemologi, etika, politik, dan estetika — Aristoteles menunjukkan bahwa realitas dapat dipahami secara rasional dan bahwa kehidupan manusia memiliki arah moral yang inheren dalam tatanan alam.²

Filsafat Aristoteles berangkat dari keyakinan fundamental bahwa segala sesuatu memiliki tujuan (telos).³ Dalam kerangka ini, realitas bukanlah kumpulan entitas yang acak, tetapi suatu struktur teratur di mana setiap hal bergerak menuju aktualitasnya.⁴ Pandangan ini melahirkan suatu kosmologi yang teleologis dan rasional, serta menjadikan manusia — sebagai makhluk berakal (zoon logikon) — bagian dari tatanan yang bermakna.⁵

Dalam epistemologinya, Aristoteles berhasil mengintegrasikan empirisme dan rasionalisme: pengalaman inderawi menjadi titik awal pengetahuan, sementara akal membimbing manusia menuju prinsip-prinsip universal.⁶ Dengan demikian, Aristotelianisme memadukan keandalan pengalaman dengan keutuhan rasionalitas, menjadikannya model berpikir yang realistis sekaligus reflektif.⁷

Di bidang etika dan politik, Aristoteles menegaskan bahwa tujuan akhir manusia adalah kebahagiaan (eudaimonia), yang dicapai melalui kebajikan (arete) dan kebijaksanaan praktis (phronesis).⁸ Etika tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial, sebab manusia mencapai kesempurnaan moralnya di dalam polis, dalam komunitas yang berlandaskan keadilan dan kebaikan bersama.⁹ Dengan demikian, politik bagi Aristoteles bukanlah sekadar seni memerintah, melainkan realisasi etika pada tingkat kolektif.¹⁰

Aristotelianisme juga memberikan kontribusi besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan.¹¹ Logika silogistiknya menjadi dasar bagi metode deduktif, sementara prinsip sebab-akibat dan analisis empirisnya menjadi inspirasi bagi perkembangan sains modern.¹² Bahkan ketika filsafat modern berupaya melepaskan diri dari Aristotelianisme, jejak pemikirannya tetap membentuk kerangka rasionalitas ilmiah dan filsafat kontemporer.¹³

Kritik terhadap Aristotelianisme — baik dari Platonisme, teologi Islam, rasionalisme Cartesian, maupun postmodernisme — tidak menghapus relevansinya.¹⁴ Justru, banyak dari kritik tersebut melahirkan pembaruan dan reinterpretasi kreatif terhadap pemikiran Aristotelian.¹⁵ Pada abad ke-20 dan ke-21, munculnya Neo-Aristotelianism dalam etika, metafisika, dan filsafat ilmu menandakan kebangkitan kembali semangat Aristoteles dalam menjawab tantangan modernitas.¹⁶

Inti kekuatan Aristotelianisme terletak pada keseimbangannya: antara teori dan praksis, antara empiris dan rasional, antara individu dan masyarakat, serta antara realitas dan nilai.¹⁷ Dalam dunia yang kini diwarnai oleh relativisme moral dan fragmentasi pengetahuan, filsafat Aristotelian menawarkan model rasionalitas humanistik yang menegaskan bahwa pengetahuan sejati harus diarahkan pada kebaikan dan kebahagiaan manusia.¹⁸

Sebagaimana ditegaskan oleh Alasdair MacIntyre, Aristotelianisme bukan hanya warisan masa lalu, melainkan “tradisi rasional yang hidup,” yang senantiasa menuntut refleksi moral, politik, dan epistemologis dalam konteks historisnya.¹⁹ Dengan demikian, Aristotelianisme tetap relevan sebagai jembatan antara akal dan realitas, antara ilmu dan kebajikan, serta antara pengetahuan dan kehidupan.²⁰ Dalam sintesis ini, Aristoteles tidak hanya berbicara kepada zamannya, tetapi juga kepada seluruh sejarah kemanusiaan.²¹


Footnotes

[1]                Werner Jaeger, Aristotle: Fundamentals of the History of His Development (Oxford: Oxford University Press, 1948), 334–336.

[2]                Henry Veatch, Aristotle: A Contemporary Appreciation (Bloomington: Indiana University Press, 1974), 166–168.

[3]                Aristotle, Metaphysics, trans. W.D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1924), 1072a–1073a.

[4]                Edward Feser, Scholastic Metaphysics: A Contemporary Introduction (Heusenstamm: Editiones Scholasticae, 2014), 231–234.

[5]                Aristotle, De Anima, trans. W.D. Ross (Oxford: Clarendon Press, 1961), 430a–431a.

[6]                Aristotle, Posterior Analytics, trans. Jonathan Barnes (Oxford: Clarendon Press, 1975), 71b–73a.

[7]                G.E.R. Lloyd, Aristotle: The Growth and Structure of His Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 1968), 179–182.

[8]                Aristotle, Nicomachean Ethics, trans. Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1999), 1094a–1098b.

[9]                Aristotle, Politics, trans. Benjamin Jowett (Oxford: Clarendon Press, 1885), 1253a–1254b.

[10]             Richard Kraut, Aristotle: Political Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 2002), 142–144.

[11]             Edward Grant, The Foundations of Modern Science in the Middle Ages (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 148–150.

[12]             W.K.C. Guthrie, A History of Greek Philosophy, Vol. 6: Aristotle, An Encounter (Cambridge: Cambridge University Press, 1981), 245–247.

[13]             Jonathan Barnes, Aristotle: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2000), 75–77.

[14]             Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, trans. Michael Marmura (Provo, UT: Brigham Young University Press, 2000), 37–40.

[15]             Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, 2nd ed. (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 113–115.

[16]             Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, 3rd ed. (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 235–238.

[17]             Edward Feser, Neo-Scholastic Essays (South Bend, IN: St. Augustine’s Press, 2015), 161–164.

[18]             Martha Nussbaum, Creating Capabilities: The Human Development Approach (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2011), 39–41.

[19]             MacIntyre, After Virtue, 259–261.

[20]             Henry Veatch, Aristotle: A Contemporary Appreciation, 172–174.

[21]             Jaeger, Aristotle: Fundamentals of the History of His Development, 338–340.


Daftar Pustaka

Al-Farabi. (1985). Al-Madina al-Fadila (R. Walzer, Trans.). Oxford: Clarendon Press.

Al-Ghazali. (2000). The Incoherence of the Philosophers (Tahafut al-Falasifah) (M. Marmura, Trans.). Provo, UT: Brigham Young University Press.

Anscombe, G. E. M. (1958). Modern moral philosophy. Philosophy, 33(124), 1–19.

Aristotle. (1885). Politics (B. Jowett, Trans.). Oxford: Clarendon Press.

Aristotle. (1924). Metaphysics (W. D. Ross, Trans.). Oxford: Clarendon Press.

Aristotle. (1930). Physics (R. P. Hardie & R. K. Gaye, Trans.). Oxford: Clarendon Press.

Aristotle. (1961). De Anima (W. D. Ross, Trans.). Oxford: Clarendon Press.

Aristotle. (1963). Categories (J. L. Ackrill, Trans.). Oxford: Clarendon Press.

Aristotle. (1975). Posterior Analytics (J. Barnes, Trans.). Oxford: Clarendon Press.

Aristotle. (1999). Nicomachean Ethics (T. Irwin, Trans.). Indianapolis, IN: Hackett Publishing.

Aristotle. (1895). Poetics (S. H. Butcher, Trans.). Oxford: Clarendon Press.

Aquinas, T. (1947). Summa Theologica (Vol. 1). New York: Benziger Brothers.

Aquinas, T. (1975). Summa Contra Gentiles (A. C. Pegis, Trans.). Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press.

Averroes. (1954). Tahafut al-Tahafut (The Incoherence of the Incoherence) (S. van den Bergh, Trans.). London: Luzac.

Bacon, F. (1994). Novum Organum (P. Urbach & J. Gibson, Trans.). Chicago: Open Court.

Barnes, J. (2000). Aristotle: A very short introduction. Oxford: Oxford University Press.

Carnap, R. (1932). The elimination of metaphysics through logical analysis of language. Erkenntnis, 2, 60–81.

Derrida, J. (1976). Of grammatology (G. C. Spivak, Trans.). Baltimore, MD: Johns Hopkins University Press.

Descartes, R. (1998). Discourse on method (D. A. Cress, Trans.). Indianapolis, IN: Hackett.

Else, G. F. (1957). Aristotle’s poetics: The argument. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Feser, E. (2014). Scholastic metaphysics: A contemporary introduction. Heusenstamm: Editiones Scholasticae.

Feser, E. (2015). Neo-Scholastic essays. South Bend, IN: St. Augustine’s Press.

Feser, E. (2017). Five proofs of the existence of God. San Francisco, CA: Ignatius Press.

Fine, K. (1994). Essence and modality. Oxford: Clarendon Press.

Foot, P. (2002). Virtues and vices. Oxford: Oxford University Press.

Foucault, M. (1970). The order of things. New York: Vintage Books.

Galilei, G. (1953). Dialogue concerning the two chief world systems (S. Drake, Trans.). Berkeley: University of California Press.

Gilson, É. (1952). Being and some philosophers. Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies.

Gilson, É. (1955). History of Christian philosophy in the Middle Ages. New York: Random House.

Gilson, É. (1956). The Christian philosophy of St. Thomas Aquinas. New York: Random House.

Goodman, L. E. (1992). Avicenna. London: Routledge.

Grant, E. (1996). The foundations of modern science in the Middle Ages. Cambridge: Cambridge University Press.

Guthrie, W. K. C. (1981). A history of Greek philosophy, Vol. 6: Aristotle, an encounter. Cambridge: Cambridge University Press.

Gutas, D. (1988). Avicenna and the Aristotelian tradition. Leiden: Brill.

Gutas, D. (1998). Greek thought, Arabic culture: The Graeco-Arabic translation movement in Baghdad and early ‘Abbasid society. London: Routledge.

Haldane, J. (2003). An intelligent person’s guide to religion. London: Duckworth.

Haldane, J. (2010). Reasonable faith. London: Routledge.

Halliwell, S. (2002). The aesthetics of mimesis: Ancient texts and modern problems. Princeton, NJ: Princeton University Press.

Halliwell, S. (2011). Between ecstasy and truth: Interpretations of Greek poetics from Homer to Longinus. Oxford: Oxford University Press.

Hume, D. (1999). An enquiry concerning human understanding (T. L. Beauchamp, Ed.). Oxford: Oxford University Press.

Hursthouse, R. (1999). On virtue ethics. Oxford: Oxford University Press.

Jaeger, W. (1948). Aristotle: Fundamentals of the history of his development. Oxford: Oxford University Press.

Kant, I. (1998). Critique of pure reason (P. Guyer & A. W. Wood, Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.

Kraut, R. (2002). Aristotle: Political philosophy. Oxford: Oxford University Press.

Lear, J. (1988). Aristotle: The desire to understand. Cambridge: Cambridge University Press.

Leaman, O. (1988). Averroes and his philosophy. Oxford: Clarendon Press.

Leaman, O. (2001). An introduction to classical Islamic philosophy (2nd ed.). Cambridge: Cambridge University Press.

Leo XIII. (1879). Aeterni Patris. Rome: Vatican Press.

Libera, A. de. (1996). La querelle des universaux. Paris: Seuil.

Lloyd, G. E. R. (1968). Aristotle: The growth and structure of his thought. Cambridge: Cambridge University Press.

MacIntyre, A. (2007). After virtue: A study in moral theory (3rd ed.). Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press.

MacIntyre, A. (2016). Ethics in the conflicts of modernity: An essay on desire, practical reasoning and narrative. Cambridge: Cambridge University Press.

Mayr, E. (1982). The growth of biological thought. Cambridge, MA: Harvard University Press.

McGrade, A. S. (2003). The Cambridge companion to medieval philosophy. Cambridge: Cambridge University Press.

Noble, D. (2006). The music of life: Biology beyond the genome. Oxford: Oxford University Press.

Norton, B. (2005). Sustainability: A philosophy of adaptive ecosystem management. Chicago: University of Chicago Press.

Nussbaum, M. (1986). The fragility of goodness: Luck and ethics in Greek tragedy and philosophy. Cambridge: Cambridge University Press.

Nussbaum, M. (1990). Love’s knowledge: Essays on philosophy and literature. Oxford: Oxford University Press.

Nussbaum, M. (2011). Creating capabilities: The human development approach. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Oderberg, D. S. (2007). Real essentialism. London: Routledge.

Oderberg, D. S. (2020). Teleology: Inorganic and organic. New York: Routledge.

Pieper, J. (1999). The silence of St. Thomas. South Bend, IN: St. Augustine’s Press.

Plotinus. (1966). The Enneads (A. H. Armstrong, Trans.). Cambridge, MA: Harvard University Press.

Ricoeur, P. (1984). Time and narrative (K. McLaughlin & D. Pellauer, Trans.). Chicago: University of Chicago Press.

Rolston, H. III. (1988). Environmental ethics: Duties to and values in the natural world. Philadelphia: Temple University Press.

Sandel, M. J. (1998). Liberalism and the limits of justice. Cambridge: Cambridge University Press.

Sandler, R. (2007). Character and environment: A virtue-oriented approach to environmental ethics. New York: Columbia University Press.

Seligman, M. (2011). Flourish: A visionary new understanding of happiness and well-being. New York: Free Press.

Sherman, N. (1989). The fabric of character: Aristotle’s theory of virtue. Oxford: Clarendon Press.

Sorabji, R. (1988). Matter, space, and motion: Theories in antiquity and their sequel. London: Duckworth.

Sorabji, R. (2004). The philosophy of the commentators, 200–600 AD: A sourcebook. London: Duckworth.

Taylor, C. (1989). Sources of the self: The making of the modern identity. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Veatch, H. (1974). Aristotle: A contemporary appreciation. Bloomington: Indiana University Press.

Vallor, S. (2016). Technology and the virtues: A philosophical guide to a future worth wanting. Oxford: Oxford University Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar