Selasa, 02 Desember 2025

Panteisme: Identitas Tuhan dan Alam dalam Perspektif Metafisika

Panteisme

Identitas Tuhan dan Alam dalam Perspektif Metafisika


Alihkan ke: Aliran Metafisik dalam Filsafat.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif filsafat Panteisme sebagai salah satu aliran metafisika yang memandang Tuhan dan alam semesta sebagai satu realitas yang identik dan tak terbagi. Melalui pendekatan historis-filosofis dan analisis konseptual, tulisan ini menelusuri akar genealogis Panteisme sejak tradisi Timur (Hindu-Vedanta, Taoisme) hingga Barat (Stoa, Neoplatonisme), dengan puncak sistematis pada pemikiran Baruch Spinoza melalui konsep Deus sive Natura. Kajian ini menguraikan aspek ontologi, epistemologi, dan aksiologi Panteisme, serta menunjukkan relevansinya dalam konteks spiritualitas, ekologi, dan ilmu pengetahuan kontemporer. Secara ontologis, Panteisme menegaskan kesatuan substansi ilahi yang mewujud dalam pluralitas fenomena; secara epistemologis, ia menawarkan bentuk pengetahuan partisipatif yang menggabungkan rasio dan intuisi; dan secara etis-aksiologis, ia menekankan harmoni kosmik, cinta intelektual terhadap Tuhan, serta nilai intrinsik dalam setiap aspek alam semesta. Di sisi lain, Panteisme menghadapi kritik serius terkait hilangnya personalitas Tuhan, determinisme ontologis, dan kesulitan epistemologis dalam membedakan Tuhan dari dunia. Namun demikian, di tengah krisis ekologi dan disintegrasi spiritual modern, Panteisme kembali menemukan relevansinya sebagai paradigma kesadaran kosmik yang menegaskan keterhubungan seluruh wujud dalam kesatuan ilahi. Sintesis filosofisnya mengintegrasikan dimensi transendensi dan immanensi, menjembatani spiritualitas dan rasionalitas, serta menegaskan bahwa Tuhan tidak terpisah dari dunia, melainkan hadir di dalamnya sebagai dasar eksistensi dan makna segala sesuatu.

Kata Kunci: Panteisme, metafisika, Spinoza, kesatuan Tuhan dan alam, ontologi, epistemologi, etika, immanensi, ekospiritualitas, kesadaran kosmik.


PEMBAHASAN

Panteisme dalam Filsafat Metafisika


1.           Pendahuluan

Dalam ranah metafisika, Panteisme menempati posisi yang unik dan mendalam karena berusaha menjelaskan realitas tertinggi sebagai kesatuan absolut antara Tuhan dan alam semesta. Pandangan ini menolak dikotomi ontologis antara yang ilahi dan dunia empiris, serta mengajukan tesis bahwa seluruh keberadaan merupakan manifestasi dari satu substansi ilahi yang tunggal. Dengan demikian, Panteisme menjadi salah satu bentuk monisme metafisik yang menafsirkan realitas sebagai satu kesatuan yang tak terbagi, di mana segala sesuatu yang ada merupakan ekspresi atau modus dari hakikat ketuhanan yang sama.¹

Latar belakang kemunculan Panteisme dapat ditelusuri sejak masa Yunani Kuno, khususnya pada pemikiran Herakleitos dan kaum Stoa yang memahami alam sebagai entitas hidup yang dipenuhi oleh Logos atau prinsip rasional ilahi.² Dalam konteks Timur, gagasan serupa telah hidup dalam tradisi Hindu melalui ajaran Brahman–Atman, yang menyatakan bahwa diri manusia dan realitas mutlak sejatinya identik.³ Namun, bentuk sistematis dan filosofis dari Panteisme baru mendapatkan pijakan konseptual yang kokoh dalam pemikiran Baruch Spinoza (1632–1677). Melalui karyanya Ethica Ordine Geometrico Demonstrata, Spinoza menyatakan bahwa Tuhan dan alam adalah dua nama bagi satu substansi yang sama—Deus sive Natura—sebuah pandangan yang menandai puncak rasionalisasi metafisika Panteistik.⁴

Secara filosofis, Panteisme berupaya menembus batas antara yang transenden dan imanen. Dalam pandangan ini, Tuhan tidak berada “di luar” dunia, melainkan hadir dan bekerja “di dalam” setiap aspek eksistensi. Dengan demikian, segala sesuatu yang ada memperoleh nilai sakralnya karena merupakan manifestasi langsung dari realitas ilahi.⁵ Konsepsi ini menantang model teistik tradisional yang memisahkan Tuhan dari ciptaan, serta sekaligus menghindari nihilisme dengan menegaskan keberadaan nilai intrinsik dalam alam semesta. Panteisme menegaskan bahwa untuk memahami Tuhan, manusia tidak perlu menoleh pada entitas supranatural yang terpisah, melainkan cukup dengan merenungi struktur dan keteraturan kosmos itu sendiri.⁶

Masalah utama yang ingin dijawab dalam kajian ini adalah: bagaimana Panteisme menjelaskan kesatuan realitas antara Tuhan dan alam tanpa menghapus dimensi keilahian maupun individualitas ciptaan? Pertanyaan ini menuntut telaah yang mendalam terhadap fondasi metafisik, epistemologis, dan aksiologis dari Panteisme.

Tujuan pembahasan ini adalah untuk menelaah secara sistematis dasar-dasar metafisik Panteisme serta relevansinya dalam konteks pemikiran filsafat modern dan spiritualitas kontemporer. Melalui pendekatan historis-filosofis dan analisis konseptual, tulisan ini berupaya menampilkan pemahaman yang utuh mengenai bagaimana Panteisme berkontribusi terhadap wacana tentang realitas, pengetahuan, dan nilai.⁷ Pendekatan tersebut juga memungkinkan pembacaan kritis terhadap implikasi Panteisme dalam etika ekologis dan spiritualitas kosmologis yang semakin penting pada era modern ini.⁸

Dengan demikian, Pendahuluan ini menegaskan posisi Panteisme sebagai salah satu sistem metafisik yang berupaya mempersatukan Tuhan dan dunia dalam kesatuan ontologis yang koheren. Ia tidak hanya menjadi pandangan metafisika tentang realitas, tetapi juga membuka horizon baru bagi cara manusia memahami eksistensi, kebenaran, dan makna dalam keterhubungannya dengan keseluruhan kosmos.


Footnotes

[1]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. IV: Descartes to Leibniz (New York: Doubleday, 1994), 227.

[2]                John Burnet, Early Greek Philosophy (London: Adam and Charles Black, 1920), 136.

[3]                Sarvepalli Radhakrishnan, Indian Philosophy, Vol. I (London: George Allen & Unwin, 1923), 78–79.

[4]                Baruch Spinoza, Ethica Ordine Geometrico Demonstrata, ed. Edwin Curley (London: Penguin Classics, 1996), 45.

[5]                Charles Hartshorne, Man’s Vision of God and the Logic of Theism (Chicago: Willett, Clark & Company, 1941), 113.

[6]                Thomas Dixon, Science and Religion: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2008), 52.

[7]                Andrew Pyle, Encyclopedia of Philosophy (London: Routledge, 2000), 945.

[8]                Michael Levine, Pantheism: A Non-Theistic Concept of Deity (London: Routledge, 1994), 212.


2.           Landasan Historis dan Genealogis Panteisme

Akar pemikiran Panteisme dapat ditelusuri jauh ke belakang dalam sejarah perkembangan metafisika manusia. Ia bukanlah suatu sistem yang muncul secara tiba-tiba, melainkan hasil evolusi panjang dari refleksi filosofis dan religius yang berusaha memahami relasi antara Tuhan, alam, dan manusia. Secara genealogis, Panteisme berkembang melalui tiga fase utama: fase pra-filosofis dan keagamaan di Timur, fase rasional-filosofis di Yunani Kuno dan Stoa, serta fase sistematis di era modern dengan puncaknya pada pemikiran Baruch Spinoza.

2.1.       Akar Panteisme di Dunia Timur

Tradisi keagamaan Timur menjadi lahan subur bagi tumbuhnya intuisi panteistik. Dalam filsafat India kuno, khususnya dalam ajaran Upanishad, ditemukan gagasan bahwa realitas tertinggi (Brahman) dan inti terdalam diri manusia (Atman) adalah satu dan sama. Ungkapan “Tat Tvam Asi” (“Engkau adalah Itu”) menegaskan bahwa semua entitas, termasuk manusia, merupakan manifestasi dari realitas mutlak yang tidak terbagi.¹ Dengan demikian, tidak ada pemisahan ontologis antara yang sakral dan yang profan, karena seluruh eksistensi adalah perwujudan dari Brahman itu sendiri. Pandangan ini mengandung semangat panteistik yang kuat, meskipun dibungkus dalam kerangka spiritual dan religius.

Demikian pula, dalam tradisi Tiongkok, filsafat Taoisme melalui ajaran Laozi menegaskan bahwa Dao adalah prinsip kosmik yang meliputi dan menjiwai seluruh realitas.² Dao bukanlah Tuhan personal yang transenden, melainkan tatanan imanen yang mengatur keseimbangan alam semesta. Pandangan ini juga menolak dikotomi antara pencipta dan ciptaan, sehingga mengarah pada suatu bentuk panteisme naturalistik. Sementara itu, dalam ajaran Buddhisme Mahayana, konsep Dharmakaya sebagai tubuh hukum kosmik yang mencakup seluruh wujud menunjukkan kecenderungan yang serupa, meskipun lebih bersifat ontologis daripada teistik.³

Dalam konteks peradaban Timur ini, Panteisme berfungsi bukan hanya sebagai doktrin metafisik, melainkan juga sebagai dasar spiritualitas yang menekankan kesatuan eksistensial antara manusia dan kosmos. Kesadaran ini membentuk corak religiositas yang inklusif dan holistik, yang memandang kehidupan bukan sebagai arena konflik antara roh dan materi, melainkan sebagai ekspresi dari satu kesadaran kosmik yang tunggal.

2.2.       Panteisme dalam Filsafat Yunani dan Tradisi Stoa

Di dunia Barat, gagasan tentang kesatuan Tuhan dan alam mulai muncul secara filosofis dalam filsafat Yunani Kuno. Herakleitos dari Efesos (sekitar 540–480 SM) berpendapat bahwa seluruh realitas tunduk pada prinsip Logos, yaitu rasionalitas kosmik yang menjiwai perubahan dan keteraturan alam.⁴ Dalam pemikirannya, api menjadi simbol dari kekuatan ilahi yang mengalir di seluruh eksistensi. Herakleitos tidak mengenal Tuhan personal yang berdiri di luar dunia; sebaliknya, Tuhan baginya identik dengan tatanan dinamis dari perubahan itu sendiri.⁵

Pemikiran panteistik ini kemudian diperluas oleh para filsuf Stoa seperti Zeno, Cleanthes, dan Chrysippus. Mereka menafsirkan Tuhan sebagai Logos spermatikos — benih rasional yang menembus seluruh alam semesta.⁶ Alam bagi kaum Stoa bukanlah ciptaan Tuhan, tetapi tubuh Tuhan itu sendiri; sementara Logos adalah jiwanya. Dengan demikian, segala sesuatu yang ada adalah bagian dari organisme kosmik ilahi yang satu. Pemikiran ini memperlihatkan bentuk awal dari panteisme rasional yang menggabungkan prinsip keteraturan alam dan moralitas universal.

Pandangan kaum Stoa juga memiliki implikasi etis yang kuat. Karena alam adalah manifestasi dari Tuhan, maka hidup selaras dengan alam berarti hidup selaras dengan kehendak ilahi.⁷ Prinsip ini menjadi dasar etika kosmologis yang mengajarkan keseimbangan, kebajikan, dan penerimaan terhadap tatanan dunia. Melalui Stoa, Panteisme memperoleh bentuk rasional dan moral yang jelas, sekaligus meletakkan fondasi bagi pandangan monistik di masa depan.

2.3.       Panteisme dalam Filsafat Neoplatonik dan Tradisi Abad Pertengahan

Tradisi Neoplatonik, terutama melalui Plotinos (204–270 M), memberikan sumbangan penting bagi perkembangan Panteisme dengan konsep The One atau Yang Esa. Dalam Enneads, Plotinos menggambarkan realitas tertinggi sebagai sumber tunggal yang memancar menjadi jiwa dunia dan alam semesta tanpa kehilangan kesatuannya.⁸ Meskipun dalam Neoplatonisme masih terdapat hierarki realitas (emanasi dari Yang Satu), gagasan bahwa seluruh wujud merupakan ekspresi dari keesaan ilahi tetap menjadi elemen panteistik yang signifikan.

Pemikiran Neoplatonik ini sangat memengaruhi teologi Kristen awal dan filsafat Islam. Dalam pemikiran mistik Islam, seperti pada Ibn Arabi (1165–1240), muncul konsep Wahdat al-Wujud (kesatuan wujud), yang menyatakan bahwa hanya Tuhan yang benar-benar ada, sedangkan seluruh ciptaan hanyalah manifestasi dari-Nya.⁹ Pandangan ini mendekati Panteisme dalam semangat ontologisnya, meskipun tetap mempertahankan dimensi spiritual dan personal Tuhan.

2.4.       Panteisme Modern: Dari Renaissance hingga Spinoza

Memasuki masa Renaissance, muncul kembali minat terhadap alam sebagai entitas hidup dan ilahi. Pemikir seperti Giordano Bruno (1548–1600) menolak pandangan dunia skolastik yang dualistik, dan menegaskan bahwa Tuhan hadir di seluruh ruang dan waktu tanpa batas.¹⁰ Dalam pandangannya, alam semesta adalah tubuh Tuhan yang tak terhingga—sebuah pandangan yang menandai kebangkitan kembali semangat panteistik di Eropa modern.

Namun, bentuk sistematis dan rasional dari Panteisme mencapai puncaknya dalam pemikiran Baruch Spinoza (1632–1677). Dalam Ethica Ordine Geometrico Demonstrata, Spinoza merumuskan sistem metafisika monistik di mana hanya ada satu substansi yang tak terbatas, yang ia sebut Deus sive Natura (Tuhan atau Alam).¹¹ Semua hal di dunia hanyalah modus dari substansi tunggal ini; tidak ada dualisme antara roh dan materi, sebab keduanya adalah ekspresi dari realitas yang sama.¹² Dengan demikian, Spinoza menegaskan bahwa memahami Tuhan sama dengan memahami hukum-hukum alam—sebuah gagasan yang mengguncang fondasi teologi tradisional namun membuka jalan bagi spiritualitas rasional yang baru.

Setelah Spinoza, Panteisme terus memengaruhi pemikiran filosofis, terutama dalam tradisi idealisme Jerman (Schelling, Hegel) dan romantisisme (Goethe). Mereka memperluas gagasan Spinoza tentang kesatuan Tuhan dan alam menjadi suatu sistem yang menekankan kesadaran kosmik dan perkembangan roh di alam semesta.¹³ Dalam konteks kontemporer, pemikir seperti Alfred North Whitehead dan Pierre Teilhard de Chardin menghidupkan kembali semangat Panteisme dalam bentuk yang lebih prosesual dan evolusioner, menghubungkan realitas ilahi dengan dinamika kosmos.¹⁴


Kesimpulan Historis-Genealogis

Dari uraian historis di atas, jelas bahwa Panteisme merupakan hasil dari evolusi panjang gagasan manusia tentang kesatuan realitas. Dari intuisi religius Timur hingga sistem rasional Barat, Panteisme memperlihatkan kesinambungan ide bahwa Tuhan tidak berada di luar dunia, melainkan hadir di dalamnya. Ia merupakan upaya permanen manusia untuk memahami keilahian bukan sebagai kekuatan yang terpisah, tetapi sebagai prinsip imanen yang menjiwai seluruh eksistensi. Kesadaran historis ini menjadi fondasi penting bagi kajian ontologis dan epistemologis selanjutnya, karena memperlihatkan bahwa Panteisme bukan sekadar doktrin metafisika, tetapi juga refleksi universal tentang kesatuan hidup dan makna keberadaan.


Footnotes

[1]                Sarvepalli Radhakrishnan, Indian Philosophy, Vol. I (London: George Allen & Unwin, 1923), 78–82.

[2]                Laozi, Tao Te Ching, terj. D.C. Lau (London: Penguin Classics, 1963), 31.

[3]                Edward Conze, Buddhist Thought in India (London: George Allen & Unwin, 1962), 105.

[4]                John Burnet, Early Greek Philosophy (London: Adam and Charles Black, 1920), 135–138.

[5]                W.K.C. Guthrie, A History of Greek Philosophy, Vol. I: The Earlier Presocratics and the Pythagoreans (Cambridge: Cambridge University Press, 1962), 175.

[6]                A.A. Long, Hellenistic Philosophy: Stoics, Epicureans, Sceptics (London: Duckworth, 1974), 150–151.

[7]                Diogenes Laertius, Lives of Eminent Philosophers, ed. R.D. Hicks (Cambridge: Harvard University Press, 1925), 208.

[8]                Plotinus, The Enneads, terj. Stephen MacKenna (London: Penguin, 1991), 284–286.

[9]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 75–76.

[10]             Frances A. Yates, Giordano Bruno and the Hermetic Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1964), 191.

[11]             Baruch Spinoza, Ethica Ordine Geometrico Demonstrata, ed. Edwin Curley (London: Penguin Classics, 1996), 45.

[12]             Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. IV: Descartes to Leibniz (New York: Doubleday, 1994), 231.

[13]             F.W.J. Schelling, System of Transcendental Idealism, terj. Peter Heath (Charlottesville: University Press of Virginia, 1978), 112.

[14]             Alfred North Whitehead, Process and Reality (New York: Free Press, 1978), 92; Pierre Teilhard de Chardin, The Phenomenon of Man (New York: Harper & Row, 1959), 183.


3.           Ontologi Panteisme

Ontologi Panteisme berpusat pada pandangan bahwa realitas tertinggi adalah satu dan tak terbagi, di mana Tuhan dan alam merupakan identitas yang sama. Pandangan ini menolak segala bentuk dualisme ontologis antara yang transenden dan yang imanen, antara roh dan materi, antara pencipta dan ciptaan. Dalam sistem metafisika Panteistik, seluruh eksistensi dipahami sebagai ekspresi dari satu substansi ilahi yang tunggal dan abadi.¹ Dengan demikian, ontologi Panteisme berakar pada monisme substansial, yaitu keyakinan bahwa segala sesuatu yang ada adalah manifestasi dari satu realitas mutlak yang sama.

3.1.       Substansi Tunggal dan Kesatuan Ontologis

Dalam filsafat Baruch Spinoza, yang menjadi puncak sistem Panteisme rasional, Tuhan disebut sebagai substantia una et infinita—substansi yang tunggal dan tak terbatas.² Spinoza menolak pandangan teistik yang menganggap Tuhan sebagai pribadi transenden yang menciptakan dunia “dari luar.” Sebaliknya, ia menegaskan bahwa Tuhan adalah alam itu sendiri (Deus sive Natura).³ Tuhan tidak menciptakan dunia, melainkan dunia adalah manifestasi diri Tuhan dalam bentuk atribut dan modus yang tak terhingga. Substansi ini memiliki dua atribut yang dapat dikenal manusia, yakni res cogitans (pikiran) dan res extensa (perpanjangan), tetapi keduanya bukanlah entitas yang terpisah, melainkan dua cara pandang terhadap realitas tunggal yang sama.⁴

Ontologi semacam ini meniadakan batas antara yang ilahi dan yang profan. Segala sesuatu yang ada tidak memiliki keberadaan mandiri di luar Tuhan; eksistensinya hanyalah partisipasi dalam keberadaan Tuhan.⁵ Dengan kata lain, keberadaan makhluk bukanlah ens per se (ada karena dirinya sendiri), melainkan ens per participationem (ada karena mengambil bagian dalam keberadaan yang lebih tinggi). Hal ini mengandung implikasi bahwa keberagaman fenomena hanyalah perbedaan bentuk dalam satu substansi universal yang sama.

3.2.       Immanensi Ilahi dan Penolakan terhadap Transendensi Absolut

Ontologi Panteisme menolak gagasan transendensi absolut yang memisahkan Tuhan dari ciptaan. Tuhan bukan entitas yang “di luar” dunia, melainkan hadir di dalam setiap aspek realitas.⁶ Dalam pandangan ini, immanensi menjadi prinsip utama: Tuhan adalah dasar ontologis dari segala sesuatu yang ada. Tidak ada sesuatu pun yang dapat eksis di luar Tuhan, sebagaimana ditegaskan Spinoza: “Apa pun yang ada, ada dalam Tuhan; dan tanpa Tuhan, tidak ada sesuatu pun yang dapat dipikirkan.”⁷

Konsepsi immanensi ini menciptakan hubungan ontologis yang intim antara Tuhan dan dunia. Alam semesta bukan sekadar ciptaan, melainkan tubuh Tuhan itu sendiri. Dalam kerangka ini, Tuhan tidak dapat dipahami sebagai agen yang bertindak “atas” dunia, melainkan sebagai hukum-hukum dan struktur rasional yang menata dunia dari dalam.⁸ Oleh karena itu, hukum-hukum alam bersifat sakral karena mencerminkan nalar ilahi. Segala sesuatu terjadi menurut keharusan kodrati dari hakikat Tuhan, dan karenanya, segala realitas bersifat niscaya (necessitas naturae).⁹

Namun, penegasan immanensi ini tidak berarti meniadakan sifat ilahi Tuhan. Panteisme menolak pandangan materialistik yang mereduksi Tuhan menjadi sekadar fenomena fisik. Tuhan tetap menjadi dasar ontologis dari segala sesuatu—ens realissimum—tetapi tanpa atribut personal dan antropomorfis.¹⁰ Dengan demikian, immanensi ilahi dalam Panteisme bukanlah penyamaan Tuhan dengan alam secara sederhana, melainkan pemahaman bahwa alam adalah ekspresi kodrati dari keberadaan Tuhan yang tak terbatas.

3.3.       Kesatuan dan Determinisme Ontologis

Karena seluruh eksistensi dipahami sebagai manifestasi dari satu substansi ilahi, maka dalam Panteisme berlaku prinsip determinisme ontologis. Setiap kejadian, makhluk, dan perubahan di alam terjadi berdasarkan niscaya kodrati dari hakikat Tuhan.¹¹ Tidak ada kebetulan dalam sistem kosmos, karena segala sesuatu mengalir dari struktur internal substansi tunggal itu. Spinoza menyebutnya ordo et connexio rerum et idearum—tatanan dan keterhubungan antara benda dan ide—yang merupakan ekspresi rasional dari keberadaan Tuhan.¹²

Konsepsi deterministik ini menimbulkan implikasi metafisik yang mendalam: kebebasan tidak berarti bertindak di luar hukum alam, melainkan memahami dan menyetujui keteraturan kosmos yang merupakan ekspresi Tuhan. Dengan kata lain, kebebasan ontologis dalam Panteisme adalah kebebasan untuk menyatu dengan tatanan kodrati realitas.¹³ Ini berakar pada kesadaran bahwa manusia, sebagai bagian dari substansi ilahi, tidak dapat menghindari hukum Tuhan, melainkan hanya dapat menghayati keteraturannya melalui pengetahuan dan kebijaksanaan.

3.4.       Relasi antara Keberagaman dan Kesatuan

Panteisme mengakui keragaman fenomena empiris, tetapi menegaskan bahwa keragaman itu tidak berarti pemisahan substansial. Segala keberagaman hanyalah ekspresi dari satu substansi yang sama dalam bentuk yang berbeda-beda.¹⁴ Dalam bahasa Neoplatonik, pluralitas hanyalah “emanasi” dari Yang Esa (The One). Plotinos menggambarkan bahwa seluruh wujud “memancar” dari sumber tunggal sebagaimana cahaya dari matahari: banyak sinar, tetapi satu cahaya.¹⁵

Dalam konteks ini, Panteisme menegaskan bahwa keanekaragaman tidak meniadakan kesatuan, dan kesatuan tidak menghapus keanekaragaman. Segala sesuatu di dunia saling berkaitan dalam jaringan eksistensial yang utuh. Pandangan ini juga menimbulkan dimensi ekologis yang kuat, karena mengajarkan bahwa setiap makhluk memiliki nilai ontologis sebagai manifestasi Tuhan. Dengan demikian, menghormati alam berarti menghormati realitas ilahi yang terkandung di dalamnya.¹⁶

3.5.       Ontologi Panteisme dan Tantangan Konseptual

Ontologi Panteisme menghadapi sejumlah kritik filosofis dan teologis, terutama terkait dengan persoalan personalitas Tuhan dan eksistensi kejahatan.¹⁷ Jika Tuhan identik dengan alam, bagaimana menjelaskan penderitaan dan ketidaksempurnaan dalam dunia? Panteisme menjawab bahwa kejahatan bukanlah entitas positif, melainkan keterbatasan dalam persepsi manusia terhadap totalitas realitas.¹⁸ Dalam pandangan Spinoza, segala sesuatu yang tampak buruk dalam pandangan manusia tetap memiliki tempat yang niscaya dalam tatanan ilahi yang sempurna.¹⁹

Kritik lain menyasar hilangnya konsep “Tuhan personal” yang mendengarkan doa dan berelasi dengan manusia. Namun, bagi Panteisme, relasi antara manusia dan Tuhan bukanlah komunikasi dua pribadi yang terpisah, melainkan kesadaran akan kesatuan eksistensial yang mendalam.²⁰ Dalam kesadaran ini, manusia tidak lagi berhadapan dengan Tuhan sebagai objek eksternal, tetapi menyadari dirinya sebagai bagian dari keilahian itu sendiri.


Kesimpulan Ontologis

Ontologi Panteisme memandang realitas sebagai satu substansi ilahi yang tunggal, abadi, dan imanen. Tidak ada entitas yang eksis di luar Tuhan; segala sesuatu merupakan ekspresi dari keberadaan-Nya. Dengan menolak dualisme dan menegaskan kesatuan ontologis, Panteisme menawarkan visi metafisika yang menyeluruh dan harmonis: alam semesta sebagai tubuh Tuhan, dan Tuhan sebagai roh alam semesta. Di sinilah letak kekuatan ontologis Panteisme—menyatukan dimensi sakral dan profan dalam satu kesadaran metafisik yang tunggal.


Footnotes

[1]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. IV: Descartes to Leibniz (New York: Doubleday, 1994), 227.

[2]                Baruch Spinoza, Ethica Ordine Geometrico Demonstrata, ed. Edwin Curley (London: Penguin Classics, 1996), 42.

[3]                Ibid., 45.

[4]                Edwin Curley, Behind the Geometrical Method: A Reading of Spinoza’s Ethics (Princeton: Princeton University Press, 1988), 89.

[5]                Charles Hartshorne, Man’s Vision of God and the Logic of Theism (Chicago: Willett, Clark & Company, 1941), 113.

[6]                Michael Levine, Pantheism: A Non-Theistic Concept of Deity (London: Routledge, 1994), 78.

[7]                Spinoza, Ethica, 47.

[8]                Steven Nadler, Spinoza’s Ethics: An Introduction (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 152.

[9]                Jonathan Bennett, A Study of Spinoza’s Ethics (Indianapolis: Hackett, 1984), 61.

[10]             Andrew Pyle, Encyclopedia of Philosophy (London: Routledge, 2000), 946.

[11]             Hartshorne, Man’s Vision of God, 125.

[12]             Spinoza, Ethica, 54.

[13]             Bennett, A Study of Spinoza’s Ethics, 73.

[14]             Radhakrishnan, Indian Philosophy, Vol. I (London: George Allen & Unwin, 1923), 80.

[15]             Plotinus, The Enneads, terj. Stephen MacKenna (London: Penguin, 1991), 293.

[16]             Teilhard de Chardin, The Phenomenon of Man (New York: Harper & Row, 1959), 182.

[17]             Thomas Dixon, Science and Religion: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2008), 53.

[18]             Spinoza, Ethica, 112.

[19]             Curley, Behind the Geometrical Method, 137.

[20]             Levine, Pantheism, 211.


4.           Epistemologi Panteisme

Epistemologi Panteisme berakar pada keyakinan bahwa pengetahuan sejati tentang realitas hanya mungkin dicapai melalui pemahaman akan kesatuan antara Tuhan dan alam. Karena Panteisme menolak pemisahan ontologis antara yang ilahi dan dunia empiris, maka cara manusia mengetahui kebenaran juga harus mencerminkan kesatuan tersebut. Dalam sistem epistemologis ini, pengetahuan tidak dipandang sebagai aktivitas yang memisahkan subjek dari objek, melainkan sebagai partisipasi intelektual dalam totalitas realitas yang ilahi.¹ Dengan demikian, epistemologi Panteisme bersifat holistik, intuitif, dan kontemplatif, meskipun tetap dapat berpadu dengan rasionalitas.

4.1.       Pengetahuan sebagai Partisipasi dalam Realitas Ilahi

Dalam pandangan Panteistik, segala yang ada merupakan ekspresi dari Tuhan; oleh sebab itu, pengetahuan tentang sesuatu berarti memahami manifestasi Tuhan dalam hal itu.² Spinoza menyebut bahwa pengetahuan sejati (scientia intuitiva) muncul ketika akal manusia memahami segala sesuatu “sub specie aeternitatis” — dalam perspektif keabadian.³ Artinya, manusia mengetahui realitas bukan sebagai kumpulan fakta terpisah, melainkan sebagai bagian dari keseluruhan sistem yang niscaya dan abadi.

Pengetahuan yang demikian tidak dicapai melalui observasi empiris semata, melainkan melalui intuisi intelektual, yaitu bentuk pengenalan langsung terhadap keterhubungan semua hal di bawah hukum ilahi.⁴ Dengan demikian, pengetahuan dalam Panteisme bukanlah representasi tentang realitas eksternal, melainkan perwujudan kesadaran manusia akan kesatuannya dengan realitas yang diketahui.⁵ Hal ini mengingatkan pada pandangan mistik Timur, seperti Advaita Vedanta, yang menyatakan bahwa pengetahuan sejati (jnana) bukan hasil diskursus intelektual, tetapi pengalaman langsung tentang kesatuan Atman dan Brahman.⁶

4.2.       Rasionalitas dan Intuisi dalam Pengetahuan Panteistik

Epistemologi Panteisme, khususnya pada Spinoza, berangkat dari fondasi rasional, tetapi berujung pada intuisi. Ia membedakan tiga tingkat pengetahuan: pertama, pengetahuan imajinatif (imaginatio), yang bersumber dari pengalaman indrawi; kedua, pengetahuan rasional (ratio), yang memahami hukum-hukum universal alam; dan ketiga, pengetahuan intuitif (scientia intuitiva), yang menyadari hubungan niscaya antara segala hal dengan hakikat Tuhan.⁷

Rasionalitas dalam sistem ini berfungsi sebagai jalan menuju intuisi, bukan sebagai pengganti pengalaman langsung tentang kesatuan realitas.⁸ Rasio menuntun manusia untuk memahami struktur alam semesta secara logis, namun puncak pengetahuan hanya tercapai ketika rasio itu menyadari dirinya sebagai bagian dari struktur yang sedang ia pahami. Dalam hal ini, epistemologi Panteisme bersifat non-dualistis: subjek dan objek tidak terpisah, karena keduanya sama-sama merupakan ekspresi Tuhan yang satu.⁹

Pemikiran ini kemudian dikembangkan oleh para idealis Jerman seperti Schelling dan Hegel, yang menafsirkan proses pengetahuan sebagai gerak Roh Absolut yang mengenal dirinya sendiri melalui dunia.¹⁰ Dengan demikian, proses mengetahui bukanlah hubungan antara manusia dan sesuatu di luar dirinya, tetapi gerak internal dari kesadaran ilahi yang sedang menyadari dirinya dalam sejarah dan alam.

4.3.       Kebenaran sebagai Kesatuan dan Keteraturan Kosmos

Dalam epistemologi Panteisme, kebenaran bukanlah korespondensi antara pikiran dan objek, melainkan kesesuaian pikiran dengan tatanan rasional dari realitas ilahi itu sendiri.¹¹ Karena seluruh eksistensi merupakan manifestasi dari Tuhan, maka setiap proposisi yang benar harus berakar pada pemahaman akan hubungan kausal dan niscaya yang menyatukan seluruh realitas. Spinoza menulis bahwa kebenaran adalah sesuatu yang “terang pada dirinya” (verum index sui et falsi): yang benar menyingkap dirinya sendiri karena ia selaras dengan struktur keberadaan.¹²

Dengan demikian, kebenaran memiliki sifat imanen dan non-relasional; ia tidak memerlukan pembenaran eksternal, sebab dalam sistem monistik, pengetahuan dan realitas merupakan dua aspek dari substansi tunggal yang sama.¹³ Setiap ide yang benar adalah modus dari atribut pemikiran Tuhan, sebagaimana setiap benda adalah modus dari atribut perpanjangan Tuhan.¹⁴ Maka, memahami sesuatu secara benar berarti memahami posisinya dalam keseluruhan keteraturan kosmos.

4.4.       Pengetahuan dan Etika Kosmologis

Epistemologi Panteisme memiliki implikasi etis yang mendalam. Karena pengetahuan sejati berarti kesadaran akan kesatuan segala hal dalam Tuhan, maka kebodohan (ignorance) bukan sekadar kekeliruan intelektual, melainkan keterputusan ontologis dari totalitas ilahi.¹⁵ Dalam Ethica, Spinoza menegaskan bahwa “kebebasan” manusia hanya dapat dicapai melalui pengetahuan yang memadai (adequate knowledge) tentang hukum alam.¹⁶ Melalui pengetahuan ini, manusia menyadari keterikatannya dengan tatanan kosmos dan berhenti menganggap dirinya sebagai entitas yang terpisah.

Kesadaran epistemologis ini menimbulkan etos kosmologis, yaitu kesadaran etis yang berakar pada pengetahuan tentang kesatuan realitas. Pengetahuan dan moralitas, dalam kerangka Panteisme, tidak terpisah: memahami hukum alam berarti hidup sesuai dengan Tuhan.¹⁷ Karena itu, pengetahuan sejati tidak hanya bersifat teoretis, tetapi juga transformasional—mengubah cara manusia hidup di dunia, menumbuhkan cinta terhadap keteraturan ilahi, dan menuntun pada harmoni universal.¹⁸

4.5.       Mistisisme Intelektual dalam Panteisme

Epistemologi Panteisme sering disebut sebagai bentuk mistisisme intelektual, karena menggabungkan rasionalitas dengan pengalaman kesatuan yang transenden.¹⁹ Spinoza, meskipun seorang rasionalis ketat, mengakhiri Ethica dengan deskripsi tentang “cinta intelektual terhadap Tuhan” (amor Dei intellectualis).²⁰ Cinta ini bukan emosi subjektif, tetapi keadaan pengetahuan tertinggi di mana intelek manusia menyatu dengan intelek ilahi.²¹

Dalam tahap ini, manusia tidak lagi mengenal Tuhan sebagai “yang lain”, melainkan sebagai hakikat dirinya yang terdalam.²² Pengetahuan menjadi perjumpaan eksistensial, di mana kesadaran manusia larut dalam kesadaran kosmik yang lebih besar. Dengan demikian, epistemologi Panteisme bukan hanya teori tentang cara mengetahui, tetapi juga jalan menuju pencerahan metafisik dan kesatuan spiritual.²³


Kesimpulan Epistemologis

Epistemologi Panteisme memandang pengetahuan sebagai proses partisipatif di mana subjek dan objek saling mencerminkan dalam kesatuan realitas ilahi. Rasio dan intuisi tidak saling meniadakan, melainkan berpadu dalam proses menuju pemahaman totalitas. Kebenaran dipahami sebagai keteraturan kosmos yang abadi, dan pengetahuan sejati menghasilkan kesadaran etis tentang kesatuan segala sesuatu. Dalam hal ini, epistemologi Panteisme melampaui batas antara rasionalisme dan mistisisme: ia adalah rasionalitas yang tercerahkan oleh intuisi akan keesaan segala yang ada.


Footnotes

[1]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. IV: Descartes to Leibniz (New York: Doubleday, 1994), 231.

[2]                Charles Hartshorne, Man’s Vision of God and the Logic of Theism (Chicago: Willett, Clark & Company, 1941), 115.

[3]                Baruch Spinoza, Ethica Ordine Geometrico Demonstrata, ed. Edwin Curley (London: Penguin Classics, 1996), 121.

[4]                Edwin Curley, Behind the Geometrical Method: A Reading of Spinoza’s Ethics (Princeton: Princeton University Press, 1988), 93.

[5]                Michael Levine, Pantheism: A Non-Theistic Concept of Deity (London: Routledge, 1994), 89.

[6]                Sarvepalli Radhakrishnan, Indian Philosophy, Vol. I (London: George Allen & Unwin, 1923), 84.

[7]                Spinoza, Ethica, 120–122.

[8]                Steven Nadler, Spinoza’s Ethics: An Introduction (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 145.

[9]                Hartshorne, Man’s Vision of God, 128.

[10]             F.W.J. Schelling, System of Transcendental Idealism, terj. Peter Heath (Charlottesville: University Press of Virginia, 1978), 118.

[11]             Jonathan Bennett, A Study of Spinoza’s Ethics (Indianapolis: Hackett, 1984), 71.

[12]             Spinoza, Ethica, 127.

[13]             Andrew Pyle, Encyclopedia of Philosophy (London: Routledge, 2000), 947.

[14]             Ibid., 948.

[15]             Thomas Dixon, Science and Religion: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2008), 56.

[16]             Spinoza, Ethica, 129.

[17]             Bennett, A Study of Spinoza’s Ethics, 83.

[18]             Levine, Pantheism, 214.

[19]             Copleston, A History of Philosophy, Vol. IV, 233.

[20]             Spinoza, Ethica, 133.

[21]             Curley, Behind the Geometrical Method, 143.

[22]             Plotinus, The Enneads, terj. Stephen MacKenna (London: Penguin, 1991), 297.

[23]             Teilhard de Chardin, The Phenomenon of Man (New York: Harper & Row, 1959), 186.


5.           Etika dan Aksiologi Panteisme

Etika dan aksiologi dalam Panteisme berpangkal pada prinsip metafisik dasarnya, yaitu kesatuan ontologis antara Tuhan dan alam semesta. Karena segala sesuatu yang ada merupakan ekspresi atau manifestasi dari substansi ilahi, maka seluruh realitas memiliki nilai intrinsik dan moralitas yang bersifat kosmologis.¹ Dalam kerangka ini, etika tidak lagi berpusat pada hubungan antara manusia dan Tuhan yang transenden, melainkan pada kesadaran manusia sebagai bagian dari keutuhan kosmos ilahi. Panteisme, dengan demikian, menawarkan etika harmoni dan spiritualitas imanen yang mengaitkan kebaikan dengan kesadaran terhadap kesatuan eksistensi.

5.1.       Dasar Ontologis Etika Panteistik: Kesatuan Tuhan dan Alam

Etika Panteistik berangkat dari premis bahwa semua makhluk, benda, dan fenomena alam merupakan perwujudan Tuhan.² Karena itu, setiap entitas memiliki nilai yang inheren, bukan sekadar instrumental bagi kepentingan manusia. Dalam Ethica, Spinoza menegaskan bahwa “segala sesuatu berusaha mempertahankan eksistensinya sesuai dengan kodratnya sendiri” (conatus), dan upaya ini adalah ekspresi langsung dari daya Tuhan yang bekerja dalam setiap wujud.³ Dengan demikian, etika Panteisme adalah etika keberadaan, di mana kebaikan diidentifikasi dengan keharmonisan dan aktualisasi potensi kodrati dalam diri makhluk.

Kebaikan moral tidak diukur dari ketaatan pada perintah eksternal, tetapi dari sejauh mana seseorang hidup sesuai dengan tatanan ilahi yang termanifestasi dalam hukum alam.⁴ Dalam sistem ini, dosa atau kejahatan bukanlah pelanggaran terhadap kehendak Tuhan personal, melainkan bentuk ketidaktahuan terhadap tatanan rasional kosmos.⁵ Maka, pengetahuan menjadi akar kebajikan, dan kebajikan sejati adalah hidup selaras dengan keteraturan alam semesta.

5.2.       Rasionalitas, Cinta Intelektual, dan Kebahagiaan

Dalam pandangan Spinoza, puncak etika manusia terletak pada amor Dei intellectualis—“cinta intelektual terhadap Tuhan.”⁶ Cinta ini bukan emosi sentimental, melainkan bentuk tertinggi dari pengetahuan yang disertai kesadaran akan kesatuan eksistensial antara manusia dan Tuhan. Ketika manusia memahami segala sesuatu sub specie aeternitatis (dalam perspektif keabadian), ia tidak lagi terjebak dalam keterikatan emosional atau kepentingan egoistik.⁷

Kebahagiaan (beatitudo) dalam Panteisme muncul ketika akal manusia mengenali dirinya sebagai bagian dari totalitas ilahi.⁸ Dalam kesadaran ini, manusia tidak lagi memandang dirinya sebagai individu terpisah yang dikuasai oleh hawa nafsu, tetapi sebagai manifestasi Tuhan yang hidup menurut hukum niscaya alam semesta.⁹ Maka, kebebasan moral dalam Panteisme bukanlah kemampuan untuk bertindak sekehendak hati, tetapi kemampuan untuk bertindak sesuai dengan kodrat ilahi yang universal.¹⁰

Etika Panteistik dengan demikian bersifat rasional dan kontemplatif: ia tidak didasarkan pada perintah eksternal, melainkan pada pemahaman terhadap struktur realitas. Seseorang menjadi baik bukan karena diperintahkan untuk demikian, melainkan karena ia memahami bahwa kebaikan identik dengan tatanan kosmik yang rasional.¹¹

5.3.       Aksiologi Panteistik: Nilai Intrinsik dan Sakralitas Alam

Aksiologi dalam Panteisme menegaskan bahwa nilai tidak berasal dari relasi eksternal antara manusia dan dunia, tetapi dari hakikat realitas itu sendiri. Karena seluruh eksistensi adalah ekspresi dari Tuhan, maka setiap unsur alam memiliki nilai intrinsik dan sakralitas ontologis.¹² Dengan demikian, tidak ada dikotomi antara yang suci dan yang profan, sebab seluruh alam semesta merupakan medan kehadiran ilahi.

Pemahaman ini memiliki implikasi luas terhadap cara manusia memperlakukan lingkungan dan makhluk hidup lainnya. Panteisme mengandung semangat eko-aksiologis, yaitu penghormatan terhadap kehidupan sebagai perwujudan Tuhan.¹³ Kerusakan alam bukan hanya pelanggaran moral, tetapi juga bentuk ketidakharmonisan terhadap realitas ilahi itu sendiri. Dalam kerangka ini, etika ekologis modern seperti deep ecology dan spiritualitas bumi (earth spirituality) sering kali menemukan inspirasi dalam prinsip-prinsip Panteistik.¹⁴

Pierre Teilhard de Chardin, misalnya, menafsirkan alam semesta sebagai proses evolusi spiritual yang mengarah pada Pleroma—penyatuan kosmos dengan keilahian.¹⁵ Nilai tertinggi tidak lagi ditemukan dalam dunia supranatural yang terpisah, melainkan dalam kesadaran kolektif yang semakin sadar akan kesatuannya dengan Tuhan.

5.4.       Etika Harmoni dan Solidaritas Kosmik

Etika Panteisme menuntun pada kesadaran etis yang holistik. Karena seluruh makhluk berbagi substansi yang sama, tindakan moral terhadap makhluk lain juga merupakan tindakan terhadap diri sendiri dalam tataran kosmik.¹⁶ Prinsip ini sejalan dengan ajaran filsafat Timur, seperti dalam Bhagavad Gita, yang menekankan ahimsa (tanpa kekerasan) dan penghormatan terhadap seluruh bentuk kehidupan.¹⁷

Dengan demikian, Panteisme memandang moralitas sebagai cerminan dari keterhubungan eksistensial: manusia bertanggung jawab untuk menjaga keseimbangan, bukan karena perintah eksternal, tetapi karena kesadaran akan kesatuan realitas. Kebaikan adalah harmoni, dan kejahatan adalah disonansi dalam simfoni kosmos.¹⁸

5.5.       Spiritualitas Imanen dan Transformasi Diri

Panteisme tidak memisahkan antara filsafat dan spiritualitas. Dalam epistemologi dan etikanya, manusia dituntut untuk menempuh jalan kontemplatif menuju kesadaran akan kesatuan dirinya dengan Tuhan.¹⁹ Transformasi moral sejati terjadi ketika individu menyadari bahwa dalam mencintai dunia, ia sedang mencintai Tuhan yang hadir di dalamnya.²⁰

Spiritualitas ini bersifat imanen, bukan transenden: ia tidak mencari Tuhan “di luar” alam, tetapi dalam setiap fenomena alam dan tindakan manusia.²¹ Dari kesadaran ini lahir sikap rendah hati, kasih sayang universal, dan tanggung jawab ekologis yang mendalam.²² Etika Panteistik, karenanya, tidak hanya mengajarkan bagaimana manusia harus hidup dengan baik, tetapi juga bagaimana ia harus mengalami keberadaannya sebagai bagian dari keseluruhan yang suci.²³


Kesimpulan Etis-Aksiologis

Etika dan aksiologi Panteisme merupakan refleksi logis dari metafisika kesatuan realitas. Ia menolak etika teonomik yang berbasis perintah eksternal dan menggantikannya dengan etika kosmologis yang berpijak pada pengetahuan dan harmoni. Nilai-nilai moral bersumber dari kesadaran akan keilahian yang imanen dalam segala hal, dan tindakan baik adalah yang meneguhkan keteraturan serta kesatuan kosmos. Dengan demikian, Panteisme menghadirkan pandangan etis yang tidak hanya rasional dan universal, tetapi juga ekologis dan spiritual: suatu filsafat kehidupan yang memuliakan seluruh wujud sebagai bagian dari Tuhan itu sendiri.


Footnotes

[1]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. IV: Descartes to Leibniz (New York: Doubleday, 1994), 235.

[2]                Charles Hartshorne, Man’s Vision of God and the Logic of Theism (Chicago: Willett, Clark & Company, 1941), 116.

[3]                Baruch Spinoza, Ethica Ordine Geometrico Demonstrata, ed. Edwin Curley (London: Penguin Classics, 1996), 128.

[4]                Edwin Curley, Behind the Geometrical Method: A Reading of Spinoza’s Ethics (Princeton: Princeton University Press, 1988), 139.

[5]                Jonathan Bennett, A Study of Spinoza’s Ethics (Indianapolis: Hackett, 1984), 85.

[6]                Spinoza, Ethica, 133.

[7]                Steven Nadler, Spinoza’s Ethics: An Introduction (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 151.

[8]                Ibid., 154.

[9]                Michael Levine, Pantheism: A Non-Theistic Concept of Deity (London: Routledge, 1994), 98.

[10]             Copleston, A History of Philosophy, Vol. IV, 238.

[11]             Hartshorne, Man’s Vision of God, 127.

[12]             Andrew Pyle, Encyclopedia of Philosophy (London: Routledge, 2000), 949.

[13]             Arne Naess, Ecology, Community, and Lifestyle (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 172.

[14]             Warwick Fox, Toward a Transpersonal Ecology (Albany: SUNY Press, 1990), 101.

[15]             Pierre Teilhard de Chardin, The Phenomenon of Man (New York: Harper & Row, 1959), 180.

[16]             Michael Levine, Pantheism, 203.

[17]             Radhakrishnan, Indian Philosophy, Vol. I (London: George Allen & Unwin, 1923), 91.

[18]             Plotinus, The Enneads, terj. Stephen MacKenna (London: Penguin, 1991), 299.

[19]             Spinoza, Ethica, 134.

[20]             Curley, Behind the Geometrical Method, 141.

[21]             Teilhard de Chardin, The Phenomenon of Man, 183.

[22]             Naess, Ecology, Community, and Lifestyle, 176.

[23]             Levine, Pantheism, 214.


6.           Kritik terhadap Panteisme

Meskipun Panteisme memberikan kontribusi penting dalam mengintegrasikan dimensi spiritual dan kosmologis kehidupan, aliran ini juga menghadapi beragam kritik dari tradisi filsafat, teologi, maupun ilmu pengetahuan modern. Kritik-kritik tersebut menyasar tiga ranah utama: pertama, aspek teologis, yang mempertanyakan hilangnya personalitas dan transendensi Tuhan; kedua, aspek metafisik, yang menyangkut problem kebebasan, kejahatan, dan individualitas; serta ketiga, aspek epistemologis dan ilmiah, yang menilai Panteisme sebagai pandangan yang sulit diverifikasi dan kurang koheren dengan paradigma empiris kontemporer.¹

6.1.       Kritik Teologis: Hilangnya Transendensi dan Personalitas Tuhan

Kritik teologis terhadap Panteisme muncul terutama dari tradisi teistik, baik dalam filsafat Kristen, Islam, maupun Yudaisme. Para teolog menilai bahwa dengan menyamakan Tuhan dengan alam, Panteisme justru menghapus perbedaan esensial antara Sang Pencipta dan ciptaan.² Dalam teologi klasik, Tuhan dipahami sebagai pribadi transenden, bebas, dan memiliki kehendak, sedangkan dalam Panteisme, Tuhan kehilangan ciri personalitas tersebut dan berubah menjadi prinsip impersonal yang imanen di alam semesta.³

Pandangan ini dianggap meniadakan kemungkinan relasi eksistensial antara manusia dan Tuhan. Jika Tuhan identik dengan segala sesuatu, maka doa, ibadah, dan moralitas kehilangan makna relasionalnya.⁴ Seorang penganut Panteisme tidak dapat berdoa kepada Tuhan personal, karena Tuhan bukan pribadi yang mendengar, melainkan totalitas keberadaan itu sendiri. Bagi pemikir seperti Karl Barth, hal ini merupakan bentuk natural theology ekstrem yang berujung pada “depersonalisasi ilahi.”⁵

Kritik serupa juga datang dari teologi Islam, terutama terhadap konsep kesatuan wujud (wahdat al-wujud) yang mirip dengan Panteisme. Para teolog Asy’ariyah menilai bahwa gagasan tersebut berpotensi membawa manusia pada hulul (penyatuan hakikat Tuhan dengan manusia), yang dianggap menyimpang dari tauhid murni.⁶

6.2.       Kritik Metafisik: Masalah Kebebasan, Kejahatan, dan Individualitas

Dari sisi metafisika, kritik utama terhadap Panteisme berkaitan dengan determinisme ontologis yang melekat dalam sistemnya. Karena seluruh eksistensi dianggap sebagai manifestasi dari substansi ilahi yang niscaya, maka segala peristiwa di dunia, termasuk tindakan manusia, terjadi secara deterministik.⁷ Hal ini memunculkan pertanyaan tentang eksistensi kebebasan moral. Jika semua tindakan adalah ekspresi dari kehendak Tuhan, bagaimana mungkin manusia dapat dianggap bertanggung jawab secara etis?⁸

Selain itu, Panteisme juga menghadapi masalah teodise—pertanyaan klasik tentang keberadaan kejahatan dalam dunia yang diidentifikasi dengan Tuhan. Jika Tuhan dan alam semesta adalah satu, maka segala kejahatan dan penderitaan juga merupakan bagian dari Tuhan.⁹ Teisme tradisional dapat menjelaskan kejahatan sebagai akibat kebebasan makhluk atau keterbatasan ciptaan, tetapi dalam Panteisme, seluruh realitas bersifat ilahi, sehingga sulit mempertahankan konsep kesempurnaan Tuhan tanpa meniadakan kenyataan penderitaan.¹⁰

Para kritikus seperti Arthur Schopenhauer dan Søren Kierkegaard menilai bahwa Panteisme mengaburkan realitas eksistensial manusia.¹¹ Dalam pandangan mereka, sistem Spinoza yang impersonal tidak menyisakan ruang bagi subjektivitas, penderitaan, atau pengalaman personal terhadap Tuhan. Panteisme, kata Kierkegaard, “menghapus air mata manusia di dalam kesunyian metafisika yang dingin.”¹²

6.3.       Kritik Epistemologis: Ambiguitas antara Rasio dan Intuisi

Secara epistemologis, Panteisme dikritik karena menyatukan terlalu banyak kategori pengetahuan yang berbeda. Di satu sisi, ia mengklaim sebagai sistem rasional yang menjelaskan tatanan alam secara logis (seperti dalam filsafat Spinoza), namun di sisi lain, ia menekankan intuisi dan pengalaman mistik sebagai jalan pengetahuan tertinggi.¹³ Akibatnya, epistemologi Panteistik sering dianggap ambigu: apakah ia bersandar pada deduksi rasional atau pada pengalaman intuitif yang tidak dapat diuji?¹⁴

Para filsuf empiris seperti David Hume dan positivis logis abad ke-20 menolak Panteisme karena mengandung proposisi yang tidak dapat diverifikasi secara empiris.¹⁵ Pernyataan bahwa “Tuhan identik dengan alam” dinilai tidak memiliki nilai kognitif, sebab tidak ada kriteria observasional yang membedakan antara “alam ilahi” dan “alam biasa.” Dengan demikian, Panteisme dianggap sebagai spekulasi metafisik yang tidak falsifiable.¹⁶

Namun demikian, pembela Panteisme berargumen bahwa pandangan ini tidak dimaksudkan untuk diuji secara ilmiah, melainkan sebagai kerangka interpretatif metafisik yang memberikan makna spiritual terhadap eksistensi.¹⁷ Dengan kata lain, Panteisme tidak bertujuan menjelaskan fenomena empiris, tetapi menafsirkan realitas dalam konteks kesatuan yang menyeluruh.

6.4.       Kritik Ilmiah: Konflik dengan Paradigma Fisikalisme Modern

Dalam konteks filsafat ilmu modern, Panteisme juga sering dikritik karena dinilai tidak sejalan dengan paradigma fisikalisme dan reduksionisme ilmiah. Dalam pandangan ilmiah kontemporer, alam semesta dapat dijelaskan tanpa harus melibatkan prinsip spiritual atau ilahi yang imanen di dalamnya.¹⁸ Konsep Tuhan sebagai identitas dengan alam dianggap tidak diperlukan dalam kerangka ilmiah, karena hukum-hukum alam dapat berfungsi tanpa presuposisi teologis.¹⁹

Fisikalis seperti Daniel Dennett dan Richard Dawkins menilai bahwa Panteisme hanyalah “teisme terselubung” yang mencoba menempatkan Tuhan dalam bentuk yang lebih kabur, sehingga secara ilmiah tidak membawa nilai penjelasan baru.²⁰ Dalam kritik Dawkins, Panteisme hanyalah bentuk “ateisme puitis” yang mengganti istilah “Tuhan” dengan “Alam Semesta” tanpa perubahan konseptual yang signifikan.²¹

Namun, pemikir seperti Alfred North Whitehead dan Teilhard de Chardin mencoba merekonsiliasi Panteisme dengan sains melalui gagasan panentheisme prosesual, yang menekankan bahwa Tuhan bukan identik secara statis dengan dunia, tetapi hadir secara dinamis dalam evolusi kosmos.²² Pendekatan ini dianggap lebih seimbang, karena mempertahankan unsur immanensi tanpa meniadakan transendensi.

6.5.       Kritik Filosofis Internal: Ambiguitas Konseptual dan Paralogisme Ontologis

Beberapa filsuf metafisika menilai bahwa Panteisme mengalami ambiguitas konseptual antara Tuhan sebagai “sebab” dan Tuhan sebagai “substansi.”²³ Jika Tuhan adalah penyebab segala sesuatu, maka Ia harus berbeda dari ciptaan-Nya; tetapi jika Ia identik dengan ciptaan, maka hubungan kausal menjadi tidak bermakna.²⁴ Dalam hal ini, sistem Panteistik dituduh jatuh dalam paralogisme ontologis, yaitu kontradiksi antara identitas dan perbedaan.

Martin Heidegger menyebut bahwa Panteisme gagal memahami “keberadaan sebagai keberadaan” (Sein als Sein), karena ia menafsirkan Tuhan semata sebagai totalitas entitas, bukan sebagai dasar transendental dari keberadaan itu sendiri.²⁵ Akibatnya, Panteisme terjebak dalam metafisika ontis yang tidak mampu menjelaskan misteri Being.²⁶


Kesimpulan Kritis

Panteisme, meskipun menawarkan pandangan yang menyatukan spiritualitas, rasionalitas, dan kosmos, menghadapi persoalan mendasar dalam mempertahankan konsistensi antara immanensi dan transendensi. Kritik terhadap Panteisme menunjukkan dilema antara kesatuan dan perbedaan, antara determinisme dan kebebasan, serta antara rasionalitas dan mistisisme. Namun demikian, nilai filosofis Panteisme tetap signifikan, karena ia memaksa filsafat dan teologi untuk terus meninjau kembali hubungan antara Tuhan, dunia, dan kesadaran manusia.²⁷ Dengan segala keterbatasannya, Panteisme tetap menjadi medan dialog antara iman dan rasio, antara kosmologi dan spiritualitas, dalam pencarian manusia akan makna keberadaan.


Footnotes

[1]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. IV: Descartes to Leibniz (New York: Doubleday, 1994), 238.

[2]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q.3, a.8, terj. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), 57.

[3]                Michael Levine, Pantheism: A Non-Theistic Concept of Deity (London: Routledge, 1994), 104.

[4]                Alvin Plantinga, God, Freedom, and Evil (Grand Rapids: Eerdmans, 1974), 23.

[5]                Karl Barth, Church Dogmatics, Vol. II (Edinburgh: T&T Clark, 1957), 112.

[6]                William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 89.

[7]                Baruch Spinoza, Ethica Ordine Geometrico Demonstrata, ed. Edwin Curley (London: Penguin Classics, 1996), 119.

[8]                Jonathan Bennett, A Study of Spinoza’s Ethics (Indianapolis: Hackett, 1984), 84.

[9]                Steven Nadler, Spinoza’s Ethics: An Introduction (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 148.

[10]             Hartshorne, Man’s Vision of God and the Logic of Theism (Chicago: Willett, Clark & Company, 1941), 129.

[11]             Arthur Schopenhauer, The World as Will and Representation, Vol. I (New York: Dover, 1969), 245.

[12]             Søren Kierkegaard, Concluding Unscientific Postscript, terj. David F. Swenson (Princeton: Princeton University Press, 1941), 211.

[13]             Edwin Curley, Behind the Geometrical Method: A Reading of Spinoza’s Ethics (Princeton: Princeton University Press, 1988), 99.

[14]             Frederick Ferré, Living and Value: Toward a Constructive Postmodern Ethics (Albany: SUNY Press, 2001), 73.

[15]             David Hume, Dialogues Concerning Natural Religion (Indianapolis: Hackett, 1980), 82.

[16]             A.J. Ayer, Language, Truth, and Logic (London: Gollancz, 1946), 54.

[17]             Levine, Pantheism, 214.

[18]             Daniel Dennett, Breaking the Spell: Religion as a Natural Phenomenon (New York: Viking, 2006), 102.

[19]             Richard Dawkins, The God Delusion (London: Bantam Press, 2006), 41.

[20]             Ibid., 42.

[21]             Ibid., 43.

[22]             Alfred North Whitehead, Process and Reality (New York: Free Press, 1978), 115; Pierre Teilhard de Chardin, The Phenomenon of Man (New York: Harper & Row, 1959), 192.

[23]             Copleston, A History of Philosophy, Vol. IV, 240.

[24]             Hartshorne, Man’s Vision of God, 132.

[25]             Martin Heidegger, Being and Time, terj. John Macquarrie dan Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 216.

[26]             Ibid., 217.

[27]             Levine, Pantheism, 220.


7.           Relevansi Kontemporer Panteisme

Dalam konteks pemikiran modern dan pascamodern, Panteisme mengalami kebangkitan kembali sebagai paradigma alternatif untuk memahami hubungan antara manusia, alam, dan keilahian. Di tengah krisis ekologis, sekularisasi spiritualitas, serta fragmentasi pengetahuan ilmiah, Panteisme menawarkan cara berpikir yang menekankan kesatuan ontologis, immanensi spiritual, dan nilai intrinsik alam semesta.¹ Ia menjadi jembatan antara filsafat, sains, dan spiritualitas, sekaligus menjadi dasar bagi etika ekologis dan teologi kosmologis yang baru.

7.1.       Panteisme dalam Filsafat Ekologis dan Etika Lingkungan

Relevansi paling nyata dari Panteisme pada masa kini tampak dalam bidang filsafat ekologi. Pandangan bahwa alam adalah manifestasi langsung dari kehadiran ilahi telah menginspirasi gerakan ekospiritualitas dan deep ecology yang menolak eksploitasi alam atas dasar antropo-sentrisme.² Prinsip utama Panteisme — bahwa Tuhan dan alam tidak dapat dipisahkan — memberikan dasar ontologis bagi pandangan bahwa setiap makhluk hidup memiliki nilai intrinsik dan harus dihormati sebagai bagian dari kesatuan kosmos.³

Arne Naess, pendiri deep ecology movement, menegaskan bahwa manusia harus memperluas kesadaran dirinya menjadi “diri ekologis” (ecological self), yakni kesadaran bahwa keberadaan manusia terjalin secara eksistensial dengan seluruh sistem kehidupan.⁴ Gagasan ini, yang secara konseptual beririsan dengan pandangan Panteistik, mendorong perubahan paradigma etika: dari etika dominasi menuju etika partisipasi.⁵ Dengan cara ini, Panteisme menegaskan kembali nilai spiritual dari alam semesta yang selama ini terpinggirkan oleh pandangan mekanistik modern.

Dalam konteks krisis iklim global, Panteisme juga memberi dasar teologis bagi gerakan lingkungan religius. Gereja Katolik, misalnya, melalui ensiklik Laudato Si’ (Paus Fransiskus, 2015), menegaskan bahwa seluruh ciptaan merupakan bagian dari “rumah bersama” yang harus dirawat.⁶ Meskipun tidak secara eksplisit menganut Panteisme, ensiklik tersebut meminjam spirit Panteistik dalam menekankan keterikatan spiritual antara Tuhan, manusia, dan alam.⁷

7.2.       Panteisme dan Ilmu Pengetahuan Modern

Dalam dunia ilmiah kontemporer, Panteisme menemukan relevansinya melalui perkembangan kosmologi modern dan teori sistem kompleks. Penemuan-penemuan dalam fisika kuantum dan astrofisika menantang pandangan dualistik tradisional yang memisahkan subjek dan objek, roh dan materi.⁸ Pandangan kosmologis yang menegaskan keterhubungan universal — bahwa setiap partikel saling memengaruhi dalam jaringan kosmos — memiliki resonansi dengan prinsip dasar Panteisme tentang kesatuan realitas.⁹

Albert Einstein secara eksplisit mengakui dirinya sebagai penganut “spiritualitas Panteistik” dalam tradisi Spinoza, dengan menyatakan bahwa “aku percaya pada Tuhan Spinoza, yang menyingkap diri-Nya dalam keteraturan harmoni segala yang ada.”¹⁰ Dalam pengertian ini, Panteisme tidak dipahami sebagai kepercayaan teologis dogmatis, melainkan sebagai etos ilmiah yang kontemplatif, di mana kekaguman terhadap keteraturan kosmos menggantikan konsep Tuhan personal.¹¹

Demikian pula, gagasan panpsikisme dan teori kesadaran kuantum yang muncul dalam filsafat pikiran modern sering kali berakar pada intuisi Panteistik: bahwa kesadaran bukan fenomena terpisah dari materi, melainkan dimensi fundamental dari realitas itu sendiri.¹² Pemikiran ini, yang dikembangkan oleh ilmuwan seperti David Bohm dan Rupert Sheldrake, membuka kembali kemungkinan pemahaman Panteistik tentang alam sebagai organisme kosmik yang hidup dan sadar.¹³

7.3.       Panteisme dalam Teologi dan Spiritualitas Global

Di tengah pluralitas agama dan sekularisasi global, Panteisme muncul kembali sebagai jalan spiritual universal yang menekankan imanensi Tuhan dalam dunia tanpa mengikat pada dogma tertentu.¹⁴ Dalam bentuknya yang modern, Panteisme bukan sekadar doktrin metafisik, melainkan sikap eksistensial yang mengajarkan rasa hormat terhadap kehidupan dan pengalaman langsung akan keilahian dalam realitas sehari-hari.¹⁵

Gerakan spiritual but not religious (SBNR) yang berkembang luas di Barat sering kali mengandung corak Panteistik. Penganutnya menolak konsep Tuhan personal, tetapi tetap merasakan kesucian dalam alam, cinta, dan kesadaran kosmis.¹⁶ Hal ini menunjukkan bahwa Panteisme dapat menjembatani antara spiritualitas tradisional dan pandangan dunia sekuler.

Dalam ranah teologi, muncul bentuk panenteisme — gagasan bahwa Tuhan mencakup dunia tetapi juga melampauinya — yang dianggap sebagai “reformulasi teistik” dari Panteisme.¹⁷ Pemikir seperti Alfred North Whitehead, Charles Hartshorne, dan Teilhard de Chardin berupaya menggabungkan dinamika evolusi kosmos dengan imanensi ilahi, menciptakan model process theology yang menyatukan Tuhan dan dunia secara dinamis.¹⁸ Pandangan ini menegaskan bahwa Tuhan bukan hanya penyebab pertama, tetapi juga tujuan akhir dari proses kosmos — prinsip yang sangat dekat dengan Panteisme klasik namun lebih fleksibel secara teologis.

7.4.       Panteisme dalam Filsafat Postmodern dan Humaniora

Dalam konteks filsafat postmodern, Panteisme mengalami reinterpretasi melalui konsep immanensi radikal dan pluralitas ontologis. Gilles Deleuze, misalnya, menghidupkan kembali semangat Spinozian dengan menyatakan bahwa realitas adalah univocal being — satu keberadaan yang memanifestasikan diri dalam perbedaan tanpa hierarki.¹⁹ Dalam sistem Deleuze, segala bentuk kehidupan, gerak, dan energi adalah ekspresi dari satu proses ontologis yang tak terhingga.²⁰

Panteisme juga menemukan tempatnya dalam teori humaniora kontemporer, terutama dalam bidang ekofeminisme dan filosofi posthumanisme.²¹ Dalam kerangka ini, Tuhan tidak dipahami sebagai entitas maskulin yang transenden, melainkan sebagai prinsip hidup yang meresapi seluruh jaringan eksistensi.²² Pandangan ini memperluas makna spiritualitas menuju bentuk kesadaran ekologis yang lebih inklusif, di mana manusia dipahami bukan sebagai pusat dunia, tetapi sebagai simpul dalam jaringan kosmos.²³

7.5.       Dimensi Etis dan Spiritual Panteisme di Era Digital

Dalam era digital dan teknologi tinggi, manusia kerap teralienasi dari alam dan kehilangan rasa keterhubungan dengan realitas yang lebih luas.²⁴ Panteisme dapat berfungsi sebagai antitesis terhadap alienasi modern, dengan menegaskan kembali kesadaran imanen bahwa setiap bentuk keberadaan, termasuk teknologi, tetap bagian dari jaringan kosmik yang ilahi.²⁵

Beberapa filsuf teknologi, seperti Pierre Lévy dan N. Katherine Hayles, berpendapat bahwa pengalaman digital dan realitas virtual menuntut paradigma ontologis baru yang mengakui keterhubungan universal dan kontinuitas antara material dan non-material.²⁶ Dalam pengertian ini, Panteisme memberikan fondasi filosofis bagi pemahaman etis dan spiritual terhadap dunia digital, menegaskan bahwa bahkan dalam ranah virtual, manusia tetap berada di dalam “tubuh kosmos” yang sama.


Kesimpulan: Relevansi dan Prospek Panteisme

Panteisme, dengan penekanannya pada kesatuan Tuhan dan alam, menawarkan visi dunia yang relevan bagi zaman yang diwarnai fragmentasi, krisis ekologi, dan disintegrasi spiritual. Ia menyediakan kerangka metafisik dan etis yang memungkinkan rekonsiliasi antara sains dan agama, antara rasionalitas dan spiritualitas, serta antara manusia dan alam.²⁷

Dalam era globalisasi dan teknologi, Panteisme berfungsi sebagai filsafat kesadaran kosmik yang menegaskan keterhubungan segala sesuatu dalam jaringan kehidupan. Melalui sintesis antara pemikiran klasik (Spinoza, Plotinos) dan wacana modern (ekologi, teologi proses, kosmologi kuantum), Panteisme tetap menjadi sumber inspirasi bagi upaya manusia mencari kesatuan di tengah keragaman dan makna di tengah kompleksitas eksistensi.²⁸


Footnotes

[1]                Michael Levine, Pantheism: A Non-Theistic Concept of Deity (London: Routledge, 1994), 209.

[2]                Arne Naess, Ecology, Community, and Lifestyle (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 171.

[3]                Andrew Pyle, Encyclopedia of Philosophy (London: Routledge, 2000), 951.

[4]                Naess, Ecology, Community, and Lifestyle, 175.

[5]                Warwick Fox, Toward a Transpersonal Ecology (Albany: SUNY Press, 1990), 99.

[6]                Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home (Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), 12.

[7]                Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor (Maryknoll: Orbis Books, 1997), 45.

[8]                Fritjof Capra, The Tao of Physics (Boston: Shambhala, 1999), 82.

[9]                David Bohm, Wholeness and the Implicate Order (London: Routledge, 1980), 140.

[10]             Albert Einstein, Ideas and Opinions, terj. Sonja Bargmann (New York: Crown, 1954), 36.

[11]             Ibid., 38.

[12]             Galen Strawson, “Realistic Monism: Why Physicalism Entails Panpsychism,” Journal of Consciousness Studies 13, no. 10–11 (2006): 8.

[13]             Rupert Sheldrake, The Rebirth of Nature: The Greening of Science and God (Rochester: Park Street Press, 1994), 102.

[14]             Levine, Pantheism, 215.

[15]             Ursula Goodenough, The Sacred Depths of Nature (New York: Oxford University Press, 1998), 67.

[16]             Paul Heelas, The New Age Movement (Oxford: Blackwell, 1996), 132.

[17]             Charles Hartshorne, Omnipotence and Other Theological Mistakes (Albany: SUNY Press, 1984), 75.

[18]             Alfred North Whitehead, Process and Reality (New York: Free Press, 1978), 92; Pierre Teilhard de Chardin, The Phenomenon of Man (New York: Harper & Row, 1959), 190.

[19]             Gilles Deleuze, Difference and Repetition, terj. Paul Patton (New York: Columbia University Press, 1994), 304.

[20]             Ibid., 306.

[21]             Val Plumwood, Feminism and the Mastery of Nature (London: Routledge, 1993), 167.

[22]             Carolyn Merchant, The Death of Nature: Women, Ecology, and the Scientific Revolution (San Francisco: Harper & Row, 1980), 241.

[23]             Donna Haraway, Staying with the Trouble: Making Kin in the Chthulucene (Durham: Duke University Press, 2016), 102.

[24]             Sherry Turkle, Alone Together: Why We Expect More from Technology and Less from Each Other (New York: Basic Books, 2011), 223.

[25]             Pierre Lévy, Collective Intelligence: Mankind’s Emerging World in Cyberspace (Cambridge, MA: Perseus Books, 1997), 114.

[26]             N. Katherine Hayles, How We Became Posthuman: Virtual Bodies in Cybernetics, Literature, and Informatics (Chicago: University of Chicago Press, 1999), 289.

[27]             Copleston, A History of Philosophy, Vol. IV: Descartes to Leibniz (New York: Doubleday, 1994), 242.

[28]             Levine, Pantheism, 220.


8.           Sintesis Filosofis

Sintesis filosofis Panteisme merupakan upaya untuk mengintegrasikan seluruh dimensi metafisik, epistemologis, dan etis dari pandangan bahwa Tuhan dan alam adalah satu realitas yang tak terbagi. Dalam tradisi filsafat, Panteisme berfungsi sebagai jembatan antara teisme transenden dan naturalisme imanen, antara rasionalisme metafisik dan mistisisme intuitif.¹ Ia menolak dikotomi yang memisahkan roh dan materi, pencipta dan ciptaan, serta subjek dan objek pengetahuan. Melalui sintesis ini, Panteisme berusaha mengungkapkan kesatuan fundamental dari segala yang ada, tanpa meniadakan keanekaragaman manifestasinya.

8.1.       Integrasi Ontologis: Kesatuan Substansi dan Pluralitas Fenomena

Pada tataran ontologis, Panteisme mengajarkan bahwa substansi tunggal ilahi menjadi dasar bagi seluruh realitas.² Segala sesuatu di dunia bukan entitas yang berdiri sendiri, melainkan modus atau ekspresi dari substansi yang sama, sebagaimana dijelaskan oleh Spinoza dalam Ethica.³ Ontologi ini bukanlah monisme statis, tetapi monisme dinamis, di mana keanekaragaman fenomena merupakan bentuk emanasi dari kesatuan yang tak terbagi.

Dengan demikian, Panteisme berhasil mengatasi problem metafisik klasik antara pluralitas dan kesatuan. Dunia tidak lagi dilihat sebagai ciptaan eksternal dari Tuhan, melainkan sebagai tubuh hidup di mana Tuhan bekerja secara imanen.⁴ Kesatuan ini bukan keseragaman, tetapi harmoni kosmik, tempat setiap entitas memiliki fungsi dalam jaringan keberadaan universal.⁵ Dalam pandangan ini, Tuhan bukanlah entitas terpisah yang mengatur dari luar, melainkan prinsip ontologis yang mempersatukan semua eksistensi dari dalam.

Integrasi ontologis ini juga memiliki implikasi kosmologis yang kuat: alam semesta tidak hanya bernilai fisikal, tetapi juga spiritual.⁶ Alam adalah theophany—penampakan Tuhan dalam bentuk ruang, waktu, dan materi. Kesadaran akan realitas ini melahirkan rasa hormat eksistensial terhadap dunia, yang merupakan ekspresi sakral dari keberadaan ilahi.

8.2.       Integrasi Epistemologis: Rasionalitas dan Intuisi sebagai Jalan Menuju Keilahian

Epistemologi Panteistik berupaya menyatukan rasio dan intuisi dalam satu kerangka pengetahuan yang holistik. Dalam pandangan Spinoza, pengetahuan sejati (scientia intuitiva) muncul ketika rasio mencapai kesadaran akan keteraturan ilahi yang imanen dalam segala sesuatu.⁷ Rasionalitas tidak dihapuskan, tetapi dipenuhi oleh intuisi metafisik yang melihat realitas “sub specie aeternitatis”—dalam perspektif keabadian.⁸

Sintesis epistemologis ini menolak reduksi kognitif terhadap data empiris semata dan membuka ruang bagi kontemplasi sebagai cara mengetahui yang sah.⁹ Pengetahuan sejati bukan sekadar representasi mental terhadap dunia, melainkan partisipasi dalam struktur kosmik itu sendiri. Ketika akal memahami tatanan niscaya dari hukum-hukum alam, ia sekaligus memahami Tuhan, karena alam adalah manifestasi langsung dari rasionalitas ilahi.¹⁰

Melalui integrasi ini, Panteisme memulihkan hubungan antara pengetahuan dan spiritualitas. Epistemologi bukan lagi wilayah netral, tetapi sarana menuju pencerahan ontologis: mengetahui berarti menjadi bagian dari yang diketahui, dan mengenal Tuhan berarti mengenal keteraturan yang mendasari seluruh realitas.¹¹

8.3.       Integrasi Etis dan Aksiologis: Harmoni Kosmik dan Cinta Intelektual

Etika dalam Panteisme merupakan konsekuensi langsung dari kesadaran metafisik dan epistemologis tersebut. Karena semua makhluk merupakan ekspresi dari substansi yang sama, maka setiap bentuk kehidupan memiliki nilai intrinsik.¹² Kebaikan moral berarti hidup selaras dengan tatanan alam, sedangkan kejahatan merupakan bentuk ketidaktahuan terhadap kesatuan kosmos.¹³

Puncak kehidupan moral dalam Panteisme adalah amor Dei intellectualis—cinta intelektual terhadap Tuhan.¹⁴ Cinta ini tidak bersifat emosional, tetapi merupakan keadaan kognitif di mana manusia memahami dan mengafirmasi keharusan ilahi dalam segala sesuatu. Dengan mencintai realitas sebagaimana adanya, manusia mencintai Tuhan yang bekerja di dalamnya.¹⁵

Etika ini melahirkan aksiologi yang kosmologis dan ekologis. Kesadaran akan kesatuan Tuhan dan alam mendorong tanggung jawab moral untuk menjaga keberlanjutan kehidupan.¹⁶ Prinsip ini menjadi dasar bagi etika lingkungan modern, di mana penghormatan terhadap alam bukan sekadar kewajiban sosial, tetapi pengakuan terhadap keilahian yang imanen dalam dunia.¹⁷ Dengan demikian, integrasi etis Panteisme menegaskan bahwa spiritualitas sejati harus diwujudkan dalam tindakan konkret terhadap sesama dan terhadap alam semesta.

8.4.       Sintesis Metafisik: Kesatuan Transendensi dan Immanensi

Panteisme menawarkan solusi dialektis terhadap ketegangan klasik antara transendensi dan immanensi. Ia menolak dualisme yang memisahkan Tuhan dari dunia, namun juga menghindari materialisme yang menafikan dimensi spiritual.¹⁸ Dalam pandangan ini, Tuhan bersifat transenden secara modus, tetapi imanen secara substansi. Artinya, Tuhan melampaui dunia bukan karena berada di luar dunia, melainkan karena kedalaman keberadaan-Nya tak terbatas dalam dunia itu sendiri.¹⁹

Dengan demikian, Panteisme tidak meniadakan transendensi, melainkan menempatkan transendensi di dalam immanensi.²⁰ Tuhan hadir dalam segala hal, namun tetap melampaui setiap hal sebagai prinsip kesatuan yang tak terhingga. Pandangan ini mendekati panenteisme prosesual dari Whitehead, yang menafsirkan Tuhan sebagai kekuatan kreatif yang terus berkembang dalam proses kosmos.²¹

Sintesis metafisik ini memungkinkan Panteisme berfungsi sebagai paradigma filosofis yang terbuka terhadap perkembangan ilmu dan spiritualitas, tanpa kehilangan fondasi ontologisnya.²² Ia memperlihatkan bahwa keberadaan tidaklah statis, melainkan gerak terus-menerus menuju kesadaran diri Tuhan melalui evolusi kosmos.²³

8.5.       Panteisme sebagai Kesadaran Filosofis Universal

Pada tingkat tertinggi, Panteisme dapat dipahami bukan hanya sebagai sistem filsafat, tetapi sebagai kesadaran kosmik yang menyatukan manusia dengan realitas total.²⁴ Ia mengatasi batas-batas teologi, sains, dan budaya, dengan menegaskan bahwa seluruh bentuk eksistensi berasal dari dan kembali kepada satu sumber yang sama.²⁵

Dalam dunia yang diwarnai krisis spiritual dan ekologis, kesadaran Panteistik menghadirkan etos baru yang menegaskan keterhubungan dan kesalingbergantungan.²⁶ Ia mengajarkan bahwa keilahian tidak harus dicari di luar dunia, melainkan ditemukan dalam keindahan, keteraturan, dan harmoni alam semesta itu sendiri.²⁷ Dengan demikian, sintesis filosofis Panteisme menandai pertemuan antara pengetahuan dan iman, antara rasio dan mistisisme, antara manusia dan Tuhan, dalam satu horizon kesadaran universal yang hidup.


Kesimpulan Sintesis

Sintesis filosofis Panteisme memperlihatkan bahwa filsafat ini tidak berhenti pada metafisika abstrak, tetapi berkembang menjadi pandangan dunia yang menyeluruh. Ia mengintegrasikan ontologi kesatuan, epistemologi partisipatif, dan etika harmoni menjadi kerangka berpikir yang konsisten dan hidup. Panteisme menunjukkan bahwa segala sesuatu, dari partikel terkecil hingga galaksi terbesar, merupakan ekspresi dari satu realitas ilahi yang sama.²⁸ Melalui kesadaran ini, manusia tidak hanya memahami dunia, tetapi juga menemukan tempatnya dalam keseluruhan kosmos yang suci.


Footnotes

[1]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. IV: Descartes to Leibniz (New York: Doubleday, 1994), 241.

[2]                Baruch Spinoza, Ethica Ordine Geometrico Demonstrata, ed. Edwin Curley (London: Penguin Classics, 1996), 42.

[3]                Ibid., 44.

[4]                Charles Hartshorne, Man’s Vision of God and the Logic of Theism (Chicago: Willett, Clark & Company, 1941), 125.

[5]                Michael Levine, Pantheism: A Non-Theistic Concept of Deity (London: Routledge, 1994), 93.

[6]                Pierre Teilhard de Chardin, The Phenomenon of Man (New York: Harper & Row, 1959), 184.

[7]                Spinoza, Ethica, 121.

[8]                Edwin Curley, Behind the Geometrical Method: A Reading of Spinoza’s Ethics (Princeton: Princeton University Press, 1988), 94.

[9]                Steven Nadler, Spinoza’s Ethics: An Introduction (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 146.

[10]             Andrew Pyle, Encyclopedia of Philosophy (London: Routledge, 2000), 948.

[11]             Jonathan Bennett, A Study of Spinoza’s Ethics (Indianapolis: Hackett, 1984), 79.

[12]             Hartshorne, Man’s Vision of God, 129.

[13]             Spinoza, Ethica, 128.

[14]             Ibid., 133.

[15]             Curley, Behind the Geometrical Method, 139.

[16]             Arne Naess, Ecology, Community, and Lifestyle (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 175.

[17]             Warwick Fox, Toward a Transpersonal Ecology (Albany: SUNY Press, 1990), 101.

[18]             Michael Levine, Pantheism, 205.

[19]             Hartshorne, Omnipotence and Other Theological Mistakes (Albany: SUNY Press, 1984), 73.

[20]             Alfred North Whitehead, Process and Reality (New York: Free Press, 1978), 91.

[21]             Ibid., 92.

[22]             Teilhard de Chardin, The Phenomenon of Man, 191.

[23]             Gilles Deleuze, Difference and Repetition, terj. Paul Patton (New York: Columbia University Press, 1994), 307.

[24]             Levine, Pantheism, 215.

[25]             Ursula Goodenough, The Sacred Depths of Nature (New York: Oxford University Press, 1998), 69.

[26]             Val Plumwood, Feminism and the Mastery of Nature (London: Routledge, 1993), 171.

[27]             Teilhard de Chardin, The Future of Man (New York: Harper & Row, 1964), 118.

[28]             Copleston, A History of Philosophy, Vol. IV, 243.


9.           Kesimpulan

Panteisme, sebagai sistem metafisika yang mengidentifikasikan Tuhan dengan alam semesta, menghadirkan pandangan dunia yang menyatukan seluruh dimensi eksistensi dalam satu realitas ilahi yang tunggal dan abadi. Ia bukan sekadar teori ontologis, tetapi juga ekspresi filosofis dari rasa kagum dan kesadaran akan kesatuan kosmos.¹ Melalui Panteisme, manusia diajak untuk memahami bahwa segala sesuatu yang ada—batu, pohon, bintang, dan kesadaran manusia sendiri—merupakan bagian dari manifestasi Tuhan.²

Dalam sejarah pemikiran, Panteisme muncul sebagai tanggapan terhadap ketegangan antara transendensi Tuhan dalam teisme dan penolakan Tuhan dalam ateisme. Ia menawarkan jalan tengah yang menegaskan imanensi ilahi tanpa meniadakan dimensi spiritual.³ Bagi Spinoza, Tuhan tidak berada di luar dunia, melainkan hadir dalam struktur dan hukum alam itu sendiri (Deus sive Natura).⁴ Pandangan ini menandai pergeseran radikal dari teologi personal menuju metafisika kesatuan, di mana Tuhan bukan lagi pribadi antropomorfis, tetapi substansi universal yang menjadi dasar segala sesuatu.⁵

9.1.       Dimensi Metafisik: Kesatuan sebagai Dasar Realitas

Kesimpulan ontologis dari Panteisme menegaskan bahwa realitas bukanlah himpunan entitas yang terpisah, melainkan ekspresi dari substansi tunggal yang bersifat ilahi.⁶ Seluruh fenomena alam dan kehidupan hanyalah modus dari substansi itu. Dengan demikian, keberagaman tidak meniadakan kesatuan, dan kesatuan tidak meniadakan keberagaman. Dalam pengertian ini, dunia bukan sekadar ciptaan Tuhan, tetapi Tuhan dalam bentuk yang termanifestasi.⁷

Pandangan ini memulihkan rasa kesakralan terhadap alam. Jika Tuhan hadir di dalam dunia, maka setiap elemen realitas mengandung nilai ontologis yang tak terhapuskan.⁸ Alam tidak lagi sekadar objek untuk dieksploitasi, melainkan medan manifestasi ilahi yang mengundang kontemplasi dan penghormatan. Inilah fondasi bagi etika ekologis dan spiritualitas alam yang berkembang dalam dunia kontemporer.⁹

9.2.       Dimensi Epistemologis: Pengetahuan sebagai Partisipasi dalam Keilahian

Epistemologi Panteistik menolak pemisahan tajam antara subjek dan objek. Dalam kerangka ini, mengetahui berarti berpartisipasi dalam realitas yang diketahui, karena keduanya merupakan ekspresi dari Tuhan yang sama.¹⁰ Pengetahuan sejati tidak hanya bersifat intelektual, tetapi juga intuitif—menyadari keterhubungan antara diri dan alam dalam satu kesadaran universal.¹¹

Spinoza menyebut tahap pengetahuan tertinggi sebagai scientia intuitiva, yaitu pengetahuan tentang segala sesuatu dalam perspektif keabadian (sub specie aeternitatis).¹² Melalui bentuk pengetahuan ini, manusia menyadari dirinya sebagai bagian dari tatanan kosmos, dan karenanya, mencapai kebebasan sejati—bukan dengan menentang hukum alam, tetapi dengan memahaminya.¹³

Epistemologi ini sekaligus menjadi jalan spiritual: mengetahui Tuhan berarti mengenal diri dan dunia sebagai satu kesatuan. Dengan demikian, pengetahuan menjadi bentuk penyatuan diri dengan yang ilahi, suatu pengalaman mistik-intelektual yang melampaui dikotomi rasio dan iman.¹⁴

9.3.       Dimensi Etis-Aksiologis: Cinta Intelektual dan Harmoni Kosmik

Secara etis, Panteisme menegaskan bahwa segala tindakan manusia harus selaras dengan tatanan kodrati realitas.¹⁵ Moralitas sejati bukanlah ketaatan pada perintah eksternal, tetapi ekspresi dari kesadaran bahwa diri manusia adalah bagian dari keseluruhan ilahi. Dengan memahami dirinya sebagai bagian dari Tuhan, manusia akan bertindak dengan kasih sayang dan kebijaksanaan terhadap semua makhluk.¹⁶

Spinoza menyebut keadaan etis tertinggi sebagai amor Dei intellectualis—cinta intelektual terhadap Tuhan—di mana individu mengalami kebahagiaan sejati (beatitudo) melalui pengetahuan dan kesadaran akan kesatuan dengan alam semesta.¹⁷ Dalam cinta ini, manusia mencintai Tuhan bukan karena takut atau harapan, tetapi karena memahami bahwa segala sesuatu adalah Tuhan itu sendiri.¹⁸

Aksiologi Panteisme memperluas cakupan nilai moral ke seluruh kosmos. Semua yang ada memiliki nilai intrinsik karena menjadi ekspresi dari yang ilahi. Oleh sebab itu, penghormatan terhadap kehidupan, perlindungan alam, dan solidaritas universal bukan sekadar kewajiban etis, melainkan konsekuensi metafisik dari kesadaran Panteistik.¹⁹

9.4.       Dimensi Kontemporer: Panteisme sebagai Filsafat Kesadaran Global

Dalam era modern yang ditandai oleh krisis ekologi, materialisme ekstrem, dan fragmentasi spiritual, Panteisme kembali relevan sebagai kerangka kesadaran global.²⁰ Ia menawarkan alternatif terhadap sekularisme yang memisahkan manusia dari alam, serta terhadap fundamentalisme yang menempatkan Tuhan jauh dari dunia.²¹

Pandangan ini mendorong munculnya spiritualitas ekologis dan teologi bumi (eco-theology), yang memandang alam sebagai komunitas moral dan spiritual.²² Melalui pandangan Panteistik, manusia menemukan kembali rasa keterhubungan eksistensial dengan seluruh makhluk hidup dan semesta.²³ Dalam dunia yang semakin mekanistik, Panteisme menghadirkan visi holistik, humanistik, dan ekologis, yang menegaskan bahwa hidup bermakna hanya ketika manusia sadar akan keutuhan kosmos sebagai tubuh Tuhan itu sendiri.²⁴


Sintesis Akhir: Tuhan, Alam, dan Manusia sebagai Satu Kesadaran

Kesimpulan filosofis dari seluruh pembahasan ini dapat dirumuskan dalam satu prinsip: Tuhan, alam, dan manusia adalah satu kesadaran universal yang mengekspresikan diri dalam berbagai bentuk.²⁵ Ontologi kesatuan, epistemologi partisipatif, dan etika harmoni berpadu dalam pandangan dunia yang integratif. Dalam kesadaran Panteistik, tidak ada dikotomi antara iman dan rasio, antara sakral dan profan, antara roh dan materi—semuanya merupakan manifestasi dari realitas yang sama.²⁶

Dengan demikian, Panteisme menghadirkan paradigma yang mampu menjawab krisis spiritual dan ekologis umat manusia. Ia mengajarkan bahwa keselamatan bukanlah pelarian ke dunia supranatural, melainkan penyadaran diri akan keilahian yang sudah hadir di dalam dunia.²⁷ Pandangan ini mengundang manusia untuk hidup dalam rasa hormat, cinta, dan keterbukaan terhadap keberadaan sebagai totalitas. Dalam arti terdalam, Panteisme bukan hanya sistem filsafat, tetapi metafisika kasih dan kesatuan, di mana Tuhan tidak lagi jauh di langit, melainkan bernafas dalam setiap denyut kehidupan.


Footnotes

[1]                Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. IV: Descartes to Leibniz (New York: Doubleday, 1994), 243.

[2]                Michael Levine, Pantheism: A Non-Theistic Concept of Deity (London: Routledge, 1994), 88.

[3]                Charles Hartshorne, Man’s Vision of God and the Logic of Theism (Chicago: Willett, Clark & Company, 1941), 118.

[4]                Baruch Spinoza, Ethica Ordine Geometrico Demonstrata, ed. Edwin Curley (London: Penguin Classics, 1996), 45.

[5]                Edwin Curley, Behind the Geometrical Method: A Reading of Spinoza’s Ethics (Princeton: Princeton University Press, 1988), 92.

[6]                Spinoza, Ethica, 47.

[7]                Andrew Pyle, Encyclopedia of Philosophy (London: Routledge, 2000), 945.

[8]                Pierre Teilhard de Chardin, The Phenomenon of Man (New York: Harper & Row, 1959), 187.

[9]                Arne Naess, Ecology, Community, and Lifestyle (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 176.

[10]             Steven Nadler, Spinoza’s Ethics: An Introduction (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), 147.

[11]             Sarvepalli Radhakrishnan, Indian Philosophy, Vol. I (London: George Allen & Unwin, 1923), 81.

[12]             Spinoza, Ethica, 120.

[13]             Jonathan Bennett, A Study of Spinoza’s Ethics (Indianapolis: Hackett, 1984), 72.

[14]             Copleston, A History of Philosophy, Vol. IV, 239.

[15]             Hartshorne, Man’s Vision of God, 125.

[16]             Levine, Pantheism, 96.

[17]             Spinoza, Ethica, 132.

[18]             Edwin Curley, Behind the Geometrical Method, 141.

[19]             Warwick Fox, Toward a Transpersonal Ecology (Albany: SUNY Press, 1990), 105.

[20]             Thomas Dixon, Science and Religion: A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2008), 52.

[21]             Ursula Goodenough, The Sacred Depths of Nature (New York: Oxford University Press, 1998), 73.

[22]             Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor (Maryknoll: Orbis Books, 1997), 59.

[23]             Teilhard de Chardin, The Future of Man (New York: Harper & Row, 1964), 122.

[24]             Michael Levine, Pantheism, 211.

[25]             Alfred North Whitehead, Process and Reality (New York: Free Press, 1978), 93.

[26]             F.W.J. Schelling, System of Transcendental Idealism, terj. Peter Heath (Charlottesville: University Press of Virginia, 1978), 119.

[27]             Teilhard de Chardin, The Phenomenon of Man, 193.


Daftar Pustaka

Aquinas, T. (1947). Summa Theologica (Vol. I). Fathers of the English Dominican Province (Trans.). New York, NY: Benziger Bros.

Ayer, A. J. (1946). Language, Truth, and Logic. London, UK: Gollancz.

Barth, K. (1957). Church Dogmatics (Vol. II). Edinburgh, UK: T&T Clark.

Bennett, J. (1984). A Study of Spinoza’s Ethics. Indianapolis, IN: Hackett.

Boff, L. (1997). Cry of the Earth, Cry of the Poor. Maryknoll, NY: Orbis Books.

Bohm, D. (1980). Wholeness and the Implicate Order. London, UK: Routledge.

Burnet, J. (1920). Early Greek Philosophy. London, UK: Adam and Charles Black.

Capra, F. (1999). The Tao of Physics. Boston, MA: Shambhala.

Chittick, W. C. (1989). The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination. Albany, NY: SUNY Press.

Copleston, F. (1994). A History of Philosophy, Vol. IV: Descartes to Leibniz. New York, NY: Doubleday.

Curley, E. (1988). Behind the Geometrical Method: A Reading of Spinoza’s Ethics. Princeton, NJ: Princeton University Press.

Dawkins, R. (2006). The God Delusion. London, UK: Bantam Press.

De Chardin, P. T. (1959). The Phenomenon of Man. New York, NY: Harper & Row.

De Chardin, P. T. (1964). The Future of Man. New York, NY: Harper & Row.

Deleuze, G. (1994). Difference and Repetition (P. Patton, Trans.). New York, NY: Columbia University Press.

Dennett, D. C. (2006). Breaking the Spell: Religion as a Natural Phenomenon. New York, NY: Viking.

Dixon, T. (2008). Science and Religion: A Very Short Introduction. Oxford, UK: Oxford University Press.

Einstein, A. (1954). Ideas and Opinions (S. Bargmann, Trans.). New York, NY: Crown.

Ferré, F. (2001). Living and Value: Toward a Constructive Postmodern Ethics. Albany, NY: SUNY Press.

Fox, W. (1990). Toward a Transpersonal Ecology. Albany, NY: SUNY Press.

Goodenough, U. (1998). The Sacred Depths of Nature. New York, NY: Oxford University Press.

Guthrie, W. K. C. (1962). A History of Greek Philosophy, Vol. I: The Earlier Presocratics and the Pythagoreans. Cambridge, UK: Cambridge University Press.

Haraway, D. (2016). Staying with the Trouble: Making Kin in the Chthulucene. Durham, NC: Duke University Press.

Hartshorne, C. (1941). Man’s Vision of God and the Logic of Theism. Chicago, IL: Willett, Clark & Company.

Hartshorne, C. (1984). Omnipotence and Other Theological Mistakes. Albany, NY: SUNY Press.

Hayles, N. K. (1999). How We Became Posthuman: Virtual Bodies in Cybernetics, Literature, and Informatics. Chicago, IL: University of Chicago Press.

Heelas, P. (1996). The New Age Movement. Oxford, UK: Blackwell.

Heidegger, M. (1962). Being and Time (J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). New York, NY: Harper & Row.

Hume, D. (1980). Dialogues Concerning Natural Religion. Indianapolis, IN: Hackett.

Kierkegaard, S. (1941). Concluding Unscientific Postscript (D. F. Swenson, Trans.). Princeton, NJ: Princeton University Press.

Laertius, D. (1925). Lives of Eminent Philosophers (R. D. Hicks, Ed.). Cambridge, MA: Harvard University Press.

Laozi. (1963). Tao Te Ching (D. C. Lau, Trans.). London, UK: Penguin Classics.

Levine, M. (1994). Pantheism: A Non-Theistic Concept of Deity. London, UK: Routledge.

Lévy, P. (1997). Collective Intelligence: Mankind’s Emerging World in Cyberspace. Cambridge, MA: Perseus Books.

Long, A. A. (1974). Hellenistic Philosophy: Stoics, Epicureans, Sceptics. London, UK: Duckworth.

MacKenna, S. (Trans.). (1991). Plotinus: The Enneads. London, UK: Penguin.

Merchant, C. (1980). The Death of Nature: Women, Ecology, and the Scientific Revolution. San Francisco, CA: Harper & Row.

Naess, A. (1989). Ecology, Community, and Lifestyle. Cambridge, UK: Cambridge University Press.

Nadler, S. (2006). Spinoza’s Ethics: An Introduction. Cambridge, UK: Cambridge University Press.

Plumwood, V. (1993). Feminism and the Mastery of Nature. London, UK: Routledge.

Plantinga, A. (1974). God, Freedom, and Evil. Grand Rapids, MI: Eerdmans.

Plotinus. (1991). The Enneads (S. MacKenna, Trans.). London, UK: Penguin.

Pope Francis. (2015). Laudato Si’: On Care for Our Common Home. Vatican City: Libreria Editrice Vaticana.

Pyle, A. (2000). Encyclopedia of Philosophy. London, UK: Routledge.

Radhakrishnan, S. (1923). Indian Philosophy, Vol. I. London, UK: George Allen & Unwin.

Scheling, F. W. J. (1978). System of Transcendental Idealism (P. Heath, Trans.). Charlottesville, VA: University Press of Virginia.

Schopenhauer, A. (1969). The World as Will and Representation (Vol. I). New York, NY: Dover.

Sheldrake, R. (1994). The Rebirth of Nature: The Greening of Science and God. Rochester, VT: Park Street Press.

Spinoza, B. (1996). Ethica Ordine Geometrico Demonstrata (E. Curley, Ed.). London, UK: Penguin Classics.

Strawson, G. (2006). Realistic monism: Why physicalism entails panpsychism. Journal of Consciousness Studies, 13(10–11), 3–31.

Teilhard de Chardin, P. (1959). The Phenomenon of Man. New York, NY: Harper & Row.

Teilhard de Chardin, P. (1964). The Future of Man. New York, NY: Harper & Row.

Turkle, S. (2011). Alone Together: Why We Expect More from Technology and Less from Each Other. New York, NY: Basic Books.

Whitehead, A. N. (1978). Process and Reality. New York, NY: Free Press.

Yates, F. A. (1964). Giordano Bruno and the Hermetic Tradition. Chicago, IL: University of Chicago Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar