Panteisme
Identitas Tuhan dan Alam dalam Perspektif Metafisika
Alihkan ke: Aliran Metafisik dalam Filsafat.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif filsafat Panteisme
sebagai salah satu aliran metafisika yang memandang Tuhan dan alam semesta
sebagai satu realitas yang identik dan tak terbagi. Melalui pendekatan
historis-filosofis dan analisis konseptual, tulisan ini menelusuri akar
genealogis Panteisme sejak tradisi Timur (Hindu-Vedanta, Taoisme) hingga Barat
(Stoa, Neoplatonisme), dengan puncak sistematis pada pemikiran Baruch
Spinoza melalui konsep Deus sive Natura. Kajian ini menguraikan
aspek ontologi, epistemologi, dan aksiologi Panteisme,
serta menunjukkan relevansinya dalam konteks spiritualitas, ekologi, dan ilmu
pengetahuan kontemporer. Secara ontologis, Panteisme menegaskan kesatuan
substansi ilahi yang mewujud dalam pluralitas fenomena; secara epistemologis,
ia menawarkan bentuk pengetahuan partisipatif yang menggabungkan rasio dan
intuisi; dan secara etis-aksiologis, ia menekankan harmoni kosmik, cinta
intelektual terhadap Tuhan, serta nilai intrinsik dalam setiap aspek alam
semesta. Di sisi lain, Panteisme menghadapi kritik serius terkait hilangnya
personalitas Tuhan, determinisme ontologis, dan kesulitan epistemologis dalam
membedakan Tuhan dari dunia. Namun demikian, di tengah krisis ekologi dan
disintegrasi spiritual modern, Panteisme kembali menemukan relevansinya sebagai
paradigma kesadaran kosmik yang menegaskan keterhubungan seluruh wujud
dalam kesatuan ilahi. Sintesis filosofisnya mengintegrasikan dimensi
transendensi dan immanensi, menjembatani spiritualitas dan rasionalitas, serta
menegaskan bahwa Tuhan tidak terpisah dari dunia, melainkan hadir di dalamnya
sebagai dasar eksistensi dan makna segala sesuatu.
Kata Kunci: Panteisme,
metafisika, Spinoza, kesatuan Tuhan dan alam, ontologi, epistemologi, etika,
immanensi, ekospiritualitas, kesadaran kosmik.
PEMBAHASAN
Panteisme dalam Filsafat Metafisika
1.
Pendahuluan
Dalam ranah
metafisika, Panteisme menempati posisi yang unik dan mendalam karena berusaha
menjelaskan realitas tertinggi sebagai kesatuan absolut antara Tuhan dan alam
semesta. Pandangan ini menolak dikotomi ontologis antara yang ilahi dan dunia
empiris, serta mengajukan tesis bahwa seluruh keberadaan merupakan manifestasi
dari satu substansi ilahi yang tunggal. Dengan demikian, Panteisme menjadi
salah satu bentuk monisme metafisik yang menafsirkan realitas sebagai satu kesatuan
yang tak terbagi, di mana segala sesuatu yang ada merupakan ekspresi atau modus
dari hakikat ketuhanan yang sama.¹
Latar belakang
kemunculan Panteisme dapat ditelusuri sejak masa Yunani Kuno, khususnya pada
pemikiran Herakleitos dan kaum Stoa yang memahami alam sebagai entitas hidup
yang dipenuhi oleh Logos atau prinsip rasional ilahi.²
Dalam konteks Timur, gagasan serupa telah hidup dalam tradisi Hindu melalui
ajaran Brahman–Atman,
yang menyatakan bahwa diri manusia dan realitas mutlak sejatinya identik.³
Namun, bentuk sistematis dan filosofis dari Panteisme baru mendapatkan pijakan
konseptual yang kokoh dalam pemikiran Baruch Spinoza (1632–1677). Melalui
karyanya Ethica
Ordine Geometrico Demonstrata, Spinoza menyatakan bahwa Tuhan dan
alam adalah dua nama bagi satu substansi yang sama—Deus sive Natura—sebuah pandangan
yang menandai puncak rasionalisasi metafisika Panteistik.⁴
Secara filosofis,
Panteisme berupaya menembus batas antara yang transenden dan imanen. Dalam
pandangan ini, Tuhan tidak berada “di luar” dunia, melainkan hadir dan bekerja
“di dalam” setiap aspek eksistensi. Dengan demikian, segala sesuatu yang ada
memperoleh nilai sakralnya karena merupakan manifestasi langsung dari realitas
ilahi.⁵ Konsepsi ini menantang model teistik tradisional yang memisahkan Tuhan
dari ciptaan, serta sekaligus menghindari nihilisme dengan menegaskan
keberadaan nilai intrinsik dalam alam semesta. Panteisme menegaskan bahwa untuk
memahami Tuhan, manusia tidak perlu menoleh pada entitas supranatural yang
terpisah, melainkan cukup dengan merenungi struktur dan keteraturan kosmos itu
sendiri.⁶
Masalah utama yang
ingin dijawab dalam kajian ini adalah: bagaimana Panteisme menjelaskan kesatuan
realitas antara Tuhan dan alam tanpa menghapus dimensi keilahian maupun individualitas
ciptaan? Pertanyaan ini menuntut telaah yang mendalam terhadap
fondasi metafisik, epistemologis, dan aksiologis dari Panteisme.
Tujuan pembahasan
ini adalah untuk menelaah secara sistematis dasar-dasar metafisik Panteisme
serta relevansinya dalam konteks pemikiran filsafat modern dan spiritualitas
kontemporer. Melalui pendekatan historis-filosofis dan analisis konseptual,
tulisan ini berupaya menampilkan pemahaman yang utuh mengenai bagaimana
Panteisme berkontribusi terhadap wacana tentang realitas, pengetahuan, dan
nilai.⁷ Pendekatan tersebut juga memungkinkan pembacaan kritis terhadap
implikasi Panteisme dalam etika ekologis dan spiritualitas kosmologis yang
semakin penting pada era modern ini.⁸
Dengan demikian,
Pendahuluan ini menegaskan posisi Panteisme sebagai salah satu sistem metafisik
yang berupaya mempersatukan Tuhan dan dunia dalam kesatuan ontologis yang
koheren. Ia tidak hanya menjadi pandangan metafisika tentang realitas, tetapi
juga membuka horizon baru bagi cara manusia memahami eksistensi, kebenaran, dan
makna dalam keterhubungannya dengan keseluruhan kosmos.
Footnotes
[1]
Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. IV: Descartes to
Leibniz (New York: Doubleday, 1994), 227.
[2]
John Burnet, Early Greek Philosophy (London: Adam and Charles
Black, 1920), 136.
[3]
Sarvepalli Radhakrishnan, Indian Philosophy, Vol. I (London:
George Allen & Unwin, 1923), 78–79.
[4]
Baruch Spinoza, Ethica Ordine Geometrico Demonstrata, ed.
Edwin Curley (London: Penguin Classics, 1996), 45.
[5]
Charles Hartshorne, Man’s Vision of God and the Logic of Theism
(Chicago: Willett, Clark & Company, 1941), 113.
[6]
Thomas Dixon, Science and Religion: A Very Short Introduction
(Oxford: Oxford University Press, 2008), 52.
[7]
Andrew Pyle, Encyclopedia of Philosophy (London: Routledge,
2000), 945.
[8]
Michael Levine, Pantheism: A Non-Theistic Concept of Deity
(London: Routledge, 1994), 212.
2.
Landasan Historis dan Genealogis Panteisme
Akar pemikiran
Panteisme dapat ditelusuri jauh ke belakang dalam sejarah perkembangan metafisika
manusia. Ia bukanlah suatu sistem yang muncul secara tiba-tiba, melainkan hasil
evolusi panjang dari refleksi filosofis dan religius yang berusaha memahami
relasi antara Tuhan, alam, dan manusia. Secara genealogis, Panteisme berkembang
melalui tiga fase utama: fase pra-filosofis dan keagamaan di Timur, fase
rasional-filosofis di Yunani Kuno dan Stoa, serta fase sistematis di era modern
dengan puncaknya pada pemikiran Baruch Spinoza.
2.1.
Akar Panteisme di
Dunia Timur
Tradisi keagamaan
Timur menjadi lahan subur bagi tumbuhnya intuisi panteistik. Dalam filsafat
India kuno, khususnya dalam ajaran Upanishad, ditemukan gagasan bahwa
realitas tertinggi (Brahman) dan inti terdalam diri
manusia (Atman)
adalah satu dan sama. Ungkapan “Tat Tvam Asi” (“Engkau adalah Itu”)
menegaskan bahwa semua entitas, termasuk manusia, merupakan manifestasi dari
realitas mutlak yang tidak terbagi.¹ Dengan demikian, tidak ada pemisahan
ontologis antara yang sakral dan yang profan, karena seluruh eksistensi adalah
perwujudan dari Brahman itu sendiri. Pandangan ini mengandung semangat
panteistik yang kuat, meskipun dibungkus dalam kerangka spiritual dan religius.
Demikian pula, dalam
tradisi Tiongkok, filsafat Taoisme melalui ajaran Laozi
menegaskan bahwa Dao adalah prinsip kosmik yang
meliputi dan menjiwai seluruh realitas.² Dao bukanlah Tuhan personal yang
transenden, melainkan tatanan imanen yang mengatur keseimbangan alam semesta.
Pandangan ini juga menolak dikotomi antara pencipta dan ciptaan, sehingga
mengarah pada suatu bentuk panteisme naturalistik. Sementara itu, dalam ajaran
Buddhisme Mahayana, konsep Dharmakaya sebagai tubuh hukum
kosmik yang mencakup seluruh wujud menunjukkan kecenderungan yang serupa,
meskipun lebih bersifat ontologis daripada teistik.³
Dalam konteks
peradaban Timur ini, Panteisme berfungsi bukan hanya sebagai doktrin metafisik,
melainkan juga sebagai dasar spiritualitas yang menekankan kesatuan
eksistensial antara manusia dan kosmos. Kesadaran ini membentuk corak religiositas
yang inklusif dan holistik, yang memandang kehidupan bukan sebagai arena
konflik antara roh dan materi, melainkan sebagai ekspresi dari satu kesadaran
kosmik yang tunggal.
2.2.
Panteisme dalam
Filsafat Yunani dan Tradisi Stoa
Di dunia Barat,
gagasan tentang kesatuan Tuhan dan alam mulai muncul secara filosofis dalam
filsafat Yunani Kuno. Herakleitos dari Efesos (sekitar 540–480 SM) berpendapat
bahwa seluruh realitas tunduk pada prinsip Logos, yaitu rasionalitas kosmik
yang menjiwai perubahan dan keteraturan alam.⁴ Dalam pemikirannya, api menjadi
simbol dari kekuatan ilahi yang mengalir di seluruh eksistensi. Herakleitos
tidak mengenal Tuhan personal yang berdiri di luar dunia; sebaliknya, Tuhan
baginya identik dengan tatanan dinamis dari perubahan itu sendiri.⁵
Pemikiran panteistik
ini kemudian diperluas oleh para filsuf Stoa seperti Zeno, Cleanthes, dan
Chrysippus. Mereka menafsirkan Tuhan sebagai Logos spermatikos — benih rasional
yang menembus seluruh alam semesta.⁶ Alam bagi kaum Stoa bukanlah ciptaan Tuhan,
tetapi tubuh Tuhan itu sendiri; sementara Logos adalah jiwanya. Dengan
demikian, segala sesuatu yang ada adalah bagian dari organisme kosmik ilahi
yang satu. Pemikiran ini memperlihatkan bentuk awal dari panteisme rasional
yang menggabungkan prinsip keteraturan alam dan moralitas universal.
Pandangan kaum Stoa
juga memiliki implikasi etis yang kuat. Karena alam adalah manifestasi dari
Tuhan, maka hidup selaras dengan alam berarti hidup selaras dengan kehendak
ilahi.⁷ Prinsip ini menjadi dasar etika kosmologis yang mengajarkan
keseimbangan, kebajikan, dan penerimaan terhadap tatanan dunia. Melalui Stoa,
Panteisme memperoleh bentuk rasional dan moral yang jelas, sekaligus meletakkan
fondasi bagi pandangan monistik di masa depan.
2.3.
Panteisme dalam
Filsafat Neoplatonik dan Tradisi Abad Pertengahan
Tradisi Neoplatonik,
terutama melalui Plotinos (204–270 M), memberikan sumbangan penting bagi
perkembangan Panteisme dengan konsep The One atau Yang Esa. Dalam Enneads,
Plotinos menggambarkan realitas tertinggi sebagai sumber tunggal yang memancar
menjadi jiwa dunia dan alam semesta tanpa kehilangan kesatuannya.⁸ Meskipun
dalam Neoplatonisme masih terdapat hierarki realitas (emanasi dari Yang Satu),
gagasan bahwa seluruh wujud merupakan ekspresi dari keesaan ilahi tetap menjadi
elemen panteistik yang signifikan.
Pemikiran
Neoplatonik ini sangat memengaruhi teologi Kristen awal dan filsafat Islam.
Dalam pemikiran mistik Islam, seperti pada Ibn Arabi (1165–1240), muncul konsep
Wahdat
al-Wujud (kesatuan wujud), yang menyatakan bahwa hanya Tuhan yang
benar-benar ada, sedangkan seluruh ciptaan hanyalah manifestasi dari-Nya.⁹
Pandangan ini mendekati Panteisme dalam semangat ontologisnya, meskipun tetap
mempertahankan dimensi spiritual dan personal Tuhan.
2.4.
Panteisme Modern: Dari
Renaissance hingga Spinoza
Memasuki masa
Renaissance, muncul kembali minat terhadap alam sebagai entitas hidup dan
ilahi. Pemikir seperti Giordano Bruno (1548–1600) menolak pandangan dunia
skolastik yang dualistik, dan menegaskan bahwa Tuhan hadir di seluruh ruang dan
waktu tanpa batas.¹⁰ Dalam pandangannya, alam semesta adalah tubuh Tuhan yang
tak terhingga—sebuah pandangan yang menandai kebangkitan kembali semangat
panteistik di Eropa modern.
Namun, bentuk
sistematis dan rasional dari Panteisme mencapai puncaknya dalam pemikiran Baruch
Spinoza (1632–1677). Dalam Ethica Ordine Geometrico Demonstrata,
Spinoza merumuskan sistem metafisika monistik di mana hanya ada satu substansi
yang tak terbatas, yang ia sebut Deus sive Natura (Tuhan atau
Alam).¹¹ Semua hal di dunia hanyalah modus dari substansi tunggal ini; tidak
ada dualisme antara roh dan materi, sebab keduanya adalah ekspresi dari
realitas yang sama.¹² Dengan demikian, Spinoza menegaskan bahwa memahami Tuhan
sama dengan memahami hukum-hukum alam—sebuah gagasan yang mengguncang fondasi
teologi tradisional namun membuka jalan bagi spiritualitas rasional yang baru.
Setelah Spinoza,
Panteisme terus memengaruhi pemikiran filosofis, terutama dalam tradisi
idealisme Jerman (Schelling, Hegel) dan romantisisme (Goethe). Mereka
memperluas gagasan Spinoza tentang kesatuan Tuhan dan alam menjadi suatu sistem
yang menekankan kesadaran kosmik dan perkembangan roh di alam semesta.¹³ Dalam
konteks kontemporer, pemikir seperti Alfred North Whitehead dan Pierre Teilhard
de Chardin menghidupkan kembali semangat Panteisme dalam bentuk yang lebih
prosesual dan evolusioner, menghubungkan realitas ilahi dengan dinamika
kosmos.¹⁴
Kesimpulan
Historis-Genealogis
Dari uraian historis
di atas, jelas bahwa Panteisme merupakan hasil dari evolusi panjang gagasan
manusia tentang kesatuan realitas. Dari intuisi religius Timur hingga sistem
rasional Barat, Panteisme memperlihatkan kesinambungan ide bahwa Tuhan tidak
berada di luar dunia, melainkan hadir di dalamnya. Ia merupakan upaya permanen
manusia untuk memahami keilahian bukan sebagai kekuatan yang terpisah, tetapi
sebagai prinsip imanen yang menjiwai seluruh eksistensi. Kesadaran historis ini
menjadi fondasi penting bagi kajian ontologis dan epistemologis selanjutnya,
karena memperlihatkan bahwa Panteisme bukan sekadar doktrin metafisika, tetapi
juga refleksi universal tentang kesatuan hidup dan makna keberadaan.
Footnotes
[1]
Sarvepalli Radhakrishnan, Indian Philosophy, Vol. I (London:
George Allen & Unwin, 1923), 78–82.
[2]
Laozi, Tao Te Ching, terj. D.C. Lau (London: Penguin Classics,
1963), 31.
[3]
Edward Conze, Buddhist Thought in India (London: George Allen
& Unwin, 1962), 105.
[4]
John Burnet, Early Greek Philosophy (London: Adam and Charles
Black, 1920), 135–138.
[5]
W.K.C. Guthrie, A History of Greek Philosophy, Vol. I: The Earlier
Presocratics and the Pythagoreans (Cambridge: Cambridge University Press,
1962), 175.
[6]
A.A. Long, Hellenistic Philosophy: Stoics, Epicureans, Sceptics
(London: Duckworth, 1974), 150–151.
[7]
Diogenes Laertius, Lives of Eminent Philosophers, ed. R.D.
Hicks (Cambridge: Harvard University Press, 1925), 208.
[8]
Plotinus, The Enneads, terj. Stephen MacKenna (London:
Penguin, 1991), 284–286.
[9]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s
Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 75–76.
[10]
Frances A. Yates, Giordano Bruno and the Hermetic Tradition
(Chicago: University of Chicago Press, 1964), 191.
[11]
Baruch Spinoza, Ethica Ordine Geometrico Demonstrata, ed.
Edwin Curley (London: Penguin Classics, 1996), 45.
[12]
Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. IV: Descartes to
Leibniz (New York: Doubleday, 1994), 231.
[13]
F.W.J. Schelling, System of Transcendental Idealism, terj.
Peter Heath (Charlottesville: University Press of Virginia, 1978), 112.
[14]
Alfred North Whitehead, Process and Reality (New York: Free
Press, 1978), 92; Pierre Teilhard de Chardin, The Phenomenon of Man
(New York: Harper & Row, 1959), 183.
3.
Ontologi Panteisme
Ontologi Panteisme
berpusat pada pandangan bahwa realitas tertinggi adalah satu dan tak terbagi,
di mana Tuhan dan alam merupakan identitas yang sama.
Pandangan ini menolak segala bentuk dualisme ontologis antara yang transenden
dan yang imanen, antara roh dan materi, antara pencipta dan ciptaan. Dalam
sistem metafisika Panteistik, seluruh eksistensi dipahami sebagai ekspresi dari
satu substansi ilahi yang tunggal dan abadi.¹ Dengan demikian, ontologi
Panteisme berakar pada monisme substansial, yaitu
keyakinan bahwa segala sesuatu yang ada adalah manifestasi dari satu realitas
mutlak yang sama.
3.1.
Substansi Tunggal dan
Kesatuan Ontologis
Dalam filsafat
Baruch Spinoza, yang menjadi puncak sistem Panteisme rasional, Tuhan disebut
sebagai substantia
una et infinita—substansi yang tunggal dan tak terbatas.² Spinoza
menolak pandangan teistik yang menganggap Tuhan sebagai pribadi transenden yang
menciptakan dunia “dari luar.” Sebaliknya, ia menegaskan bahwa Tuhan
adalah alam itu sendiri (Deus sive Natura).³ Tuhan tidak
menciptakan dunia, melainkan dunia adalah manifestasi diri Tuhan
dalam bentuk atribut dan modus yang tak terhingga. Substansi ini memiliki dua
atribut yang dapat dikenal manusia, yakni res cogitans (pikiran) dan res
extensa (perpanjangan), tetapi keduanya bukanlah entitas yang
terpisah, melainkan dua cara pandang terhadap realitas tunggal yang sama.⁴
Ontologi semacam ini
meniadakan batas antara yang ilahi dan yang profan. Segala sesuatu yang ada
tidak memiliki keberadaan mandiri di luar Tuhan; eksistensinya hanyalah
partisipasi dalam keberadaan Tuhan.⁵ Dengan kata lain, keberadaan makhluk
bukanlah ens per
se (ada karena dirinya sendiri), melainkan ens per
participationem (ada karena mengambil bagian dalam keberadaan yang
lebih tinggi). Hal ini mengandung implikasi bahwa keberagaman
fenomena hanyalah perbedaan bentuk dalam satu substansi universal yang sama.
3.2.
Immanensi Ilahi dan
Penolakan terhadap Transendensi Absolut
Ontologi Panteisme
menolak gagasan transendensi absolut yang memisahkan Tuhan dari ciptaan. Tuhan
bukan entitas yang “di luar” dunia, melainkan hadir di dalam setiap aspek
realitas.⁶ Dalam pandangan ini, immanensi menjadi prinsip
utama: Tuhan adalah dasar ontologis dari segala sesuatu yang ada. Tidak ada
sesuatu pun yang dapat eksis di luar Tuhan, sebagaimana ditegaskan Spinoza: “Apa
pun yang ada, ada dalam Tuhan; dan tanpa Tuhan, tidak ada sesuatu pun yang
dapat dipikirkan.”⁷
Konsepsi immanensi
ini menciptakan hubungan ontologis yang intim antara Tuhan dan dunia. Alam
semesta bukan sekadar ciptaan, melainkan tubuh Tuhan itu sendiri. Dalam
kerangka ini, Tuhan tidak dapat dipahami sebagai agen yang bertindak “atas”
dunia, melainkan sebagai hukum-hukum dan struktur rasional yang menata dunia
dari dalam.⁸ Oleh karena itu, hukum-hukum alam bersifat sakral karena
mencerminkan nalar ilahi. Segala sesuatu terjadi menurut keharusan kodrati dari
hakikat Tuhan, dan karenanya, segala realitas bersifat niscaya
(necessitas
naturae).⁹
Namun, penegasan
immanensi ini tidak berarti meniadakan sifat ilahi Tuhan. Panteisme menolak
pandangan materialistik yang mereduksi Tuhan menjadi sekadar fenomena fisik.
Tuhan tetap menjadi dasar ontologis dari segala sesuatu—ens
realissimum—tetapi tanpa atribut personal dan antropomorfis.¹⁰
Dengan demikian, immanensi ilahi dalam Panteisme bukanlah penyamaan Tuhan
dengan alam secara sederhana, melainkan pemahaman bahwa alam
adalah ekspresi kodrati dari keberadaan Tuhan yang tak terbatas.
3.3.
Kesatuan dan
Determinisme Ontologis
Karena seluruh
eksistensi dipahami sebagai manifestasi dari satu substansi ilahi, maka dalam
Panteisme berlaku prinsip determinisme ontologis. Setiap
kejadian, makhluk, dan perubahan di alam terjadi berdasarkan niscaya kodrati
dari hakikat Tuhan.¹¹ Tidak ada kebetulan dalam sistem kosmos, karena segala
sesuatu mengalir dari struktur internal substansi tunggal itu. Spinoza
menyebutnya ordo et connexio rerum et idearum—tatanan
dan keterhubungan antara benda dan ide—yang merupakan ekspresi rasional dari
keberadaan Tuhan.¹²
Konsepsi
deterministik ini menimbulkan implikasi metafisik yang mendalam: kebebasan
tidak berarti bertindak di luar hukum alam, melainkan memahami dan menyetujui
keteraturan kosmos yang merupakan ekspresi Tuhan. Dengan kata lain, kebebasan ontologis dalam Panteisme adalah
kebebasan untuk menyatu dengan tatanan kodrati realitas.¹³ Ini
berakar pada kesadaran bahwa manusia, sebagai bagian dari substansi ilahi,
tidak dapat menghindari hukum Tuhan, melainkan hanya dapat menghayati
keteraturannya melalui pengetahuan dan kebijaksanaan.
3.4.
Relasi antara
Keberagaman dan Kesatuan
Panteisme mengakui
keragaman fenomena empiris, tetapi menegaskan bahwa keragaman itu tidak berarti
pemisahan substansial. Segala keberagaman hanyalah ekspresi dari satu substansi
yang sama dalam bentuk yang berbeda-beda.¹⁴ Dalam bahasa Neoplatonik,
pluralitas hanyalah “emanasi” dari Yang Esa (The One). Plotinos menggambarkan
bahwa seluruh wujud “memancar” dari sumber tunggal sebagaimana cahaya dari
matahari: banyak sinar, tetapi satu cahaya.¹⁵
Dalam konteks ini,
Panteisme menegaskan bahwa keanekaragaman tidak meniadakan kesatuan, dan
kesatuan tidak menghapus keanekaragaman. Segala sesuatu di
dunia saling berkaitan dalam jaringan eksistensial yang utuh. Pandangan ini
juga menimbulkan dimensi ekologis yang kuat, karena mengajarkan bahwa setiap
makhluk memiliki nilai ontologis sebagai manifestasi Tuhan. Dengan demikian,
menghormati alam berarti menghormati realitas ilahi yang terkandung di
dalamnya.¹⁶
3.5.
Ontologi Panteisme dan
Tantangan Konseptual
Ontologi Panteisme
menghadapi sejumlah kritik filosofis dan teologis, terutama terkait dengan
persoalan personalitas Tuhan dan eksistensi kejahatan.¹⁷ Jika Tuhan identik
dengan alam, bagaimana menjelaskan penderitaan dan ketidaksempurnaan dalam
dunia? Panteisme menjawab bahwa kejahatan bukanlah entitas positif, melainkan
keterbatasan dalam persepsi manusia terhadap totalitas realitas.¹⁸ Dalam
pandangan Spinoza, segala sesuatu yang tampak buruk dalam pandangan manusia
tetap memiliki tempat yang niscaya dalam tatanan ilahi yang sempurna.¹⁹
Kritik lain menyasar
hilangnya konsep “Tuhan personal” yang mendengarkan doa dan berelasi dengan
manusia. Namun, bagi Panteisme, relasi antara manusia dan Tuhan bukanlah
komunikasi dua pribadi yang terpisah, melainkan kesadaran akan kesatuan
eksistensial yang mendalam.²⁰ Dalam kesadaran ini, manusia tidak lagi
berhadapan dengan Tuhan sebagai objek eksternal, tetapi menyadari dirinya
sebagai bagian dari keilahian itu sendiri.
Kesimpulan
Ontologis
Ontologi Panteisme
memandang realitas sebagai satu substansi ilahi yang tunggal, abadi, dan
imanen. Tidak ada entitas yang eksis di luar Tuhan; segala sesuatu merupakan
ekspresi dari keberadaan-Nya. Dengan menolak dualisme dan menegaskan kesatuan
ontologis, Panteisme menawarkan visi metafisika yang menyeluruh dan harmonis:
alam semesta sebagai tubuh Tuhan, dan Tuhan sebagai roh alam semesta. Di
sinilah letak kekuatan ontologis Panteisme—menyatukan dimensi sakral dan profan
dalam satu kesadaran metafisik yang tunggal.
Footnotes
[1]
Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. IV: Descartes to
Leibniz (New York: Doubleday, 1994), 227.
[2]
Baruch Spinoza, Ethica Ordine Geometrico Demonstrata, ed.
Edwin Curley (London: Penguin Classics, 1996), 42.
[3]
Ibid., 45.
[4]
Edwin Curley, Behind the Geometrical Method: A Reading of Spinoza’s
Ethics (Princeton: Princeton University Press, 1988), 89.
[5]
Charles Hartshorne, Man’s Vision of God and the Logic of Theism
(Chicago: Willett, Clark & Company, 1941), 113.
[6]
Michael Levine, Pantheism: A Non-Theistic Concept of Deity
(London: Routledge, 1994), 78.
[7]
Spinoza, Ethica, 47.
[8]
Steven Nadler, Spinoza’s Ethics: An Introduction (Cambridge:
Cambridge University Press, 2006), 152.
[9]
Jonathan Bennett, A Study of Spinoza’s Ethics (Indianapolis:
Hackett, 1984), 61.
[10]
Andrew Pyle, Encyclopedia of Philosophy (London: Routledge,
2000), 946.
[11]
Hartshorne, Man’s Vision of God, 125.
[12]
Spinoza, Ethica, 54.
[13]
Bennett, A Study of Spinoza’s Ethics, 73.
[14]
Radhakrishnan, Indian Philosophy, Vol. I (London: George Allen
& Unwin, 1923), 80.
[15]
Plotinus, The Enneads, terj. Stephen MacKenna (London:
Penguin, 1991), 293.
[16]
Teilhard de Chardin, The Phenomenon of Man (New York: Harper
& Row, 1959), 182.
[17]
Thomas Dixon, Science and Religion: A Very Short Introduction
(Oxford: Oxford University Press, 2008), 53.
[18]
Spinoza, Ethica, 112.
[19]
Curley, Behind the Geometrical Method, 137.
[20]
Levine, Pantheism, 211.
4.
Epistemologi Panteisme
Epistemologi
Panteisme berakar pada keyakinan bahwa pengetahuan sejati tentang realitas hanya
mungkin dicapai melalui pemahaman akan kesatuan antara Tuhan dan alam.
Karena Panteisme menolak pemisahan ontologis antara yang ilahi dan dunia
empiris, maka cara manusia mengetahui kebenaran juga harus mencerminkan
kesatuan tersebut. Dalam sistem epistemologis ini, pengetahuan tidak dipandang
sebagai aktivitas yang memisahkan subjek dari objek, melainkan sebagai partisipasi
intelektual dalam totalitas realitas yang ilahi.¹ Dengan
demikian, epistemologi Panteisme bersifat holistik, intuitif, dan kontemplatif,
meskipun tetap dapat berpadu dengan rasionalitas.
4.1.
Pengetahuan sebagai
Partisipasi dalam Realitas Ilahi
Dalam pandangan
Panteistik, segala yang ada merupakan ekspresi dari Tuhan; oleh sebab itu,
pengetahuan tentang sesuatu berarti memahami manifestasi Tuhan dalam hal itu.²
Spinoza menyebut bahwa pengetahuan sejati (scientia intuitiva) muncul ketika
akal manusia memahami segala sesuatu “sub specie aeternitatis” — dalam
perspektif keabadian.³ Artinya, manusia mengetahui realitas bukan sebagai
kumpulan fakta terpisah, melainkan sebagai bagian dari keseluruhan sistem yang
niscaya dan abadi.
Pengetahuan yang
demikian tidak dicapai melalui observasi empiris semata, melainkan melalui intuisi
intelektual, yaitu bentuk pengenalan langsung terhadap
keterhubungan semua hal di bawah hukum ilahi.⁴ Dengan demikian, pengetahuan
dalam Panteisme bukanlah representasi tentang realitas eksternal, melainkan
perwujudan kesadaran manusia akan kesatuannya dengan realitas yang diketahui.⁵
Hal ini mengingatkan pada pandangan mistik Timur, seperti Advaita
Vedanta, yang menyatakan bahwa pengetahuan sejati (jnana)
bukan hasil diskursus intelektual, tetapi pengalaman langsung tentang kesatuan Atman
dan Brahman.⁶
4.2.
Rasionalitas dan
Intuisi dalam Pengetahuan Panteistik
Epistemologi
Panteisme, khususnya pada Spinoza, berangkat dari fondasi rasional, tetapi berujung
pada intuisi. Ia membedakan tiga tingkat pengetahuan: pertama, pengetahuan
imajinatif (imaginatio), yang bersumber dari
pengalaman indrawi; kedua, pengetahuan rasional (ratio), yang memahami hukum-hukum
universal alam; dan ketiga, pengetahuan intuitif (scientia intuitiva), yang menyadari
hubungan niscaya antara segala hal dengan hakikat Tuhan.⁷
Rasionalitas dalam
sistem ini berfungsi sebagai jalan menuju intuisi, bukan sebagai pengganti
pengalaman langsung tentang kesatuan realitas.⁸ Rasio menuntun manusia untuk
memahami struktur alam semesta secara logis, namun puncak pengetahuan hanya
tercapai ketika rasio itu menyadari dirinya sebagai bagian dari struktur yang
sedang ia pahami. Dalam hal ini, epistemologi Panteisme bersifat non-dualistis:
subjek dan objek tidak terpisah, karena keduanya sama-sama merupakan ekspresi
Tuhan yang satu.⁹
Pemikiran ini
kemudian dikembangkan oleh para idealis Jerman seperti Schelling dan Hegel,
yang menafsirkan proses pengetahuan sebagai gerak Roh Absolut yang mengenal
dirinya sendiri melalui dunia.¹⁰ Dengan demikian, proses mengetahui bukanlah
hubungan antara manusia dan sesuatu di luar dirinya, tetapi gerak internal dari
kesadaran ilahi yang sedang menyadari dirinya dalam sejarah dan alam.
4.3.
Kebenaran sebagai
Kesatuan dan Keteraturan Kosmos
Dalam epistemologi
Panteisme, kebenaran bukanlah korespondensi antara pikiran
dan objek, melainkan kesesuaian pikiran dengan tatanan rasional
dari realitas ilahi itu sendiri.¹¹ Karena seluruh eksistensi merupakan manifestasi
dari Tuhan, maka setiap proposisi yang benar harus berakar pada pemahaman akan
hubungan kausal dan niscaya yang menyatukan seluruh realitas. Spinoza menulis
bahwa kebenaran adalah sesuatu yang “terang pada dirinya” (verum
index sui et falsi): yang benar menyingkap dirinya sendiri karena
ia selaras dengan struktur keberadaan.¹²
Dengan demikian,
kebenaran memiliki sifat imanen dan non-relasional; ia tidak memerlukan
pembenaran eksternal, sebab dalam sistem monistik, pengetahuan
dan realitas merupakan dua aspek dari substansi tunggal yang sama.¹³
Setiap ide yang benar adalah modus dari atribut pemikiran Tuhan, sebagaimana
setiap benda adalah modus dari atribut perpanjangan Tuhan.¹⁴ Maka, memahami
sesuatu secara benar berarti memahami posisinya dalam keseluruhan keteraturan
kosmos.
4.4.
Pengetahuan dan Etika
Kosmologis
Epistemologi
Panteisme memiliki implikasi etis yang mendalam. Karena pengetahuan sejati
berarti kesadaran akan kesatuan segala hal dalam Tuhan, maka kebodohan
(ignorance) bukan sekadar kekeliruan intelektual, melainkan keterputusan
ontologis dari totalitas ilahi.¹⁵ Dalam Ethica, Spinoza menegaskan bahwa
“kebebasan” manusia hanya dapat dicapai melalui pengetahuan yang memadai (adequate
knowledge) tentang hukum alam.¹⁶ Melalui pengetahuan ini, manusia
menyadari keterikatannya dengan tatanan kosmos dan berhenti menganggap dirinya
sebagai entitas yang terpisah.
Kesadaran
epistemologis ini menimbulkan etos kosmologis, yaitu
kesadaran etis yang berakar pada pengetahuan tentang kesatuan realitas.
Pengetahuan dan moralitas, dalam kerangka Panteisme, tidak terpisah: memahami
hukum alam berarti hidup sesuai dengan Tuhan.¹⁷ Karena itu, pengetahuan sejati
tidak hanya bersifat teoretis, tetapi juga transformasional—mengubah cara
manusia hidup di dunia, menumbuhkan cinta terhadap keteraturan ilahi, dan
menuntun pada harmoni universal.¹⁸
4.5.
Mistisisme Intelektual
dalam Panteisme
Epistemologi
Panteisme sering disebut sebagai bentuk mistisisme intelektual, karena
menggabungkan rasionalitas dengan pengalaman kesatuan yang transenden.¹⁹
Spinoza, meskipun seorang rasionalis ketat, mengakhiri Ethica
dengan deskripsi tentang “cinta intelektual terhadap Tuhan” (amor Dei
intellectualis).²⁰ Cinta ini bukan emosi subjektif, tetapi keadaan
pengetahuan tertinggi di mana intelek manusia menyatu dengan intelek ilahi.²¹
Dalam tahap ini,
manusia tidak lagi mengenal Tuhan sebagai “yang lain”, melainkan sebagai
hakikat dirinya yang terdalam.²² Pengetahuan menjadi perjumpaan eksistensial,
di mana kesadaran manusia larut dalam kesadaran kosmik yang lebih besar. Dengan
demikian, epistemologi Panteisme bukan hanya teori tentang cara mengetahui,
tetapi juga jalan menuju pencerahan metafisik dan kesatuan spiritual.²³
Kesimpulan
Epistemologis
Epistemologi
Panteisme memandang pengetahuan sebagai proses partisipatif di mana subjek dan
objek saling mencerminkan dalam kesatuan realitas ilahi. Rasio dan intuisi
tidak saling meniadakan, melainkan berpadu dalam proses menuju pemahaman
totalitas. Kebenaran dipahami sebagai keteraturan kosmos yang abadi, dan
pengetahuan sejati menghasilkan kesadaran etis tentang kesatuan segala sesuatu.
Dalam hal ini, epistemologi Panteisme melampaui batas antara rasionalisme dan
mistisisme: ia adalah rasionalitas yang tercerahkan oleh intuisi akan keesaan
segala yang ada.
Footnotes
[1]
Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. IV: Descartes to
Leibniz (New York: Doubleday, 1994), 231.
[2]
Charles Hartshorne, Man’s Vision of God and the Logic of Theism
(Chicago: Willett, Clark & Company, 1941), 115.
[3]
Baruch Spinoza, Ethica Ordine Geometrico Demonstrata, ed.
Edwin Curley (London: Penguin Classics, 1996), 121.
[4]
Edwin Curley, Behind the Geometrical Method: A Reading of Spinoza’s
Ethics (Princeton: Princeton University Press, 1988), 93.
[5]
Michael Levine, Pantheism: A Non-Theistic Concept of Deity
(London: Routledge, 1994), 89.
[6]
Sarvepalli Radhakrishnan, Indian Philosophy, Vol. I (London:
George Allen & Unwin, 1923), 84.
[7]
Spinoza, Ethica, 120–122.
[8]
Steven Nadler, Spinoza’s Ethics: An Introduction (Cambridge:
Cambridge University Press, 2006), 145.
[9]
Hartshorne, Man’s Vision of God, 128.
[10]
F.W.J. Schelling, System of Transcendental Idealism, terj.
Peter Heath (Charlottesville: University Press of Virginia, 1978), 118.
[11]
Jonathan Bennett, A Study of Spinoza’s Ethics (Indianapolis:
Hackett, 1984), 71.
[12]
Spinoza, Ethica, 127.
[13]
Andrew Pyle, Encyclopedia of Philosophy (London: Routledge,
2000), 947.
[14]
Ibid., 948.
[15]
Thomas Dixon, Science and Religion: A Very Short Introduction
(Oxford: Oxford University Press, 2008), 56.
[16]
Spinoza, Ethica, 129.
[17]
Bennett, A Study of Spinoza’s Ethics, 83.
[18]
Levine, Pantheism, 214.
[19]
Copleston, A History of Philosophy, Vol. IV, 233.
[20]
Spinoza, Ethica, 133.
[21]
Curley, Behind the Geometrical Method, 143.
[22]
Plotinus, The Enneads, terj. Stephen MacKenna (London:
Penguin, 1991), 297.
[23]
Teilhard de Chardin, The Phenomenon of Man (New York: Harper
& Row, 1959), 186.
5.
Etika dan Aksiologi Panteisme
Etika dan aksiologi
dalam Panteisme berpangkal pada prinsip metafisik dasarnya, yaitu kesatuan
ontologis antara Tuhan dan alam semesta. Karena segala sesuatu
yang ada merupakan ekspresi atau manifestasi dari substansi ilahi, maka seluruh
realitas memiliki nilai intrinsik dan moralitas yang bersifat kosmologis.¹
Dalam kerangka ini, etika tidak lagi berpusat pada hubungan antara manusia dan
Tuhan yang transenden, melainkan pada kesadaran manusia sebagai bagian dari
keutuhan kosmos ilahi. Panteisme, dengan demikian, menawarkan etika
harmoni dan spiritualitas imanen yang mengaitkan kebaikan
dengan kesadaran terhadap kesatuan eksistensi.
5.1.
Dasar Ontologis Etika
Panteistik: Kesatuan Tuhan dan Alam
Etika Panteistik
berangkat dari premis bahwa semua makhluk, benda, dan fenomena alam merupakan
perwujudan Tuhan.² Karena itu, setiap entitas memiliki nilai yang inheren,
bukan sekadar instrumental bagi kepentingan manusia. Dalam Ethica,
Spinoza menegaskan bahwa “segala sesuatu berusaha mempertahankan eksistensinya
sesuai dengan kodratnya sendiri” (conatus), dan upaya ini adalah
ekspresi langsung dari daya Tuhan yang bekerja dalam setiap wujud.³ Dengan
demikian, etika Panteisme adalah etika keberadaan,
di mana kebaikan diidentifikasi dengan keharmonisan dan aktualisasi potensi
kodrati dalam diri makhluk.
Kebaikan moral tidak
diukur dari ketaatan pada perintah eksternal, tetapi dari sejauh mana seseorang
hidup sesuai dengan tatanan ilahi yang termanifestasi dalam hukum alam.⁴ Dalam
sistem ini, dosa atau kejahatan bukanlah pelanggaran terhadap kehendak Tuhan
personal, melainkan bentuk ketidaktahuan terhadap tatanan rasional kosmos.⁵
Maka, pengetahuan menjadi akar kebajikan, dan kebajikan sejati adalah hidup
selaras dengan keteraturan alam semesta.
5.2.
Rasionalitas, Cinta
Intelektual, dan Kebahagiaan
Dalam pandangan
Spinoza, puncak etika manusia terletak pada amor Dei intellectualis—“cinta
intelektual terhadap Tuhan.”⁶ Cinta ini bukan emosi sentimental, melainkan
bentuk tertinggi dari pengetahuan yang disertai kesadaran akan kesatuan
eksistensial antara manusia dan Tuhan. Ketika manusia memahami segala sesuatu sub
specie aeternitatis (dalam perspektif keabadian), ia tidak lagi
terjebak dalam keterikatan emosional atau kepentingan egoistik.⁷
Kebahagiaan (beatitudo)
dalam Panteisme muncul ketika akal manusia mengenali dirinya sebagai bagian
dari totalitas ilahi.⁸ Dalam kesadaran ini, manusia tidak lagi memandang
dirinya sebagai individu terpisah yang dikuasai oleh hawa nafsu, tetapi sebagai
manifestasi Tuhan yang hidup menurut hukum niscaya alam semesta.⁹ Maka,
kebebasan moral dalam Panteisme bukanlah kemampuan untuk bertindak sekehendak
hati, tetapi kemampuan untuk bertindak sesuai dengan kodrat ilahi yang
universal.¹⁰
Etika Panteistik
dengan demikian bersifat rasional dan kontemplatif: ia tidak didasarkan pada
perintah eksternal, melainkan pada pemahaman terhadap struktur realitas.
Seseorang menjadi baik bukan karena diperintahkan untuk demikian, melainkan
karena ia memahami bahwa kebaikan identik dengan tatanan kosmik yang
rasional.¹¹
5.3.
Aksiologi Panteistik:
Nilai Intrinsik dan Sakralitas Alam
Aksiologi dalam
Panteisme menegaskan bahwa nilai tidak berasal dari relasi eksternal
antara manusia dan dunia, tetapi dari hakikat realitas itu
sendiri. Karena seluruh eksistensi adalah ekspresi dari Tuhan, maka setiap
unsur alam memiliki nilai intrinsik dan sakralitas
ontologis.¹² Dengan demikian, tidak ada dikotomi antara yang
suci dan yang profan, sebab seluruh alam semesta merupakan medan kehadiran
ilahi.
Pemahaman ini
memiliki implikasi luas terhadap cara manusia memperlakukan lingkungan dan
makhluk hidup lainnya. Panteisme mengandung semangat eko-aksiologis,
yaitu penghormatan terhadap kehidupan sebagai perwujudan Tuhan.¹³ Kerusakan
alam bukan hanya pelanggaran moral, tetapi juga bentuk ketidakharmonisan
terhadap realitas ilahi itu sendiri. Dalam kerangka ini, etika ekologis modern
seperti deep
ecology dan spiritualitas bumi (earth spirituality) sering kali
menemukan inspirasi dalam prinsip-prinsip Panteistik.¹⁴
Pierre Teilhard de Chardin,
misalnya, menafsirkan alam semesta sebagai proses evolusi spiritual yang
mengarah pada Pleroma—penyatuan kosmos dengan
keilahian.¹⁵ Nilai tertinggi tidak lagi ditemukan dalam dunia supranatural yang
terpisah, melainkan dalam kesadaran kolektif yang semakin sadar akan
kesatuannya dengan Tuhan.
5.4.
Etika Harmoni dan
Solidaritas Kosmik
Etika Panteisme
menuntun pada kesadaran etis yang holistik.
Karena seluruh makhluk berbagi substansi yang sama, tindakan moral terhadap
makhluk lain juga merupakan tindakan terhadap diri sendiri dalam tataran
kosmik.¹⁶ Prinsip ini sejalan dengan ajaran filsafat Timur, seperti dalam Bhagavad
Gita, yang menekankan ahimsa (tanpa kekerasan) dan
penghormatan terhadap seluruh bentuk kehidupan.¹⁷
Dengan demikian,
Panteisme memandang moralitas sebagai cerminan dari keterhubungan eksistensial:
manusia bertanggung jawab untuk menjaga keseimbangan, bukan karena perintah
eksternal, tetapi karena kesadaran akan kesatuan realitas. Kebaikan adalah
harmoni, dan kejahatan adalah disonansi dalam simfoni kosmos.¹⁸
5.5.
Spiritualitas Imanen
dan Transformasi Diri
Panteisme tidak
memisahkan antara filsafat dan spiritualitas. Dalam epistemologi dan etikanya,
manusia dituntut untuk menempuh jalan kontemplatif menuju kesadaran akan
kesatuan dirinya dengan Tuhan.¹⁹ Transformasi moral sejati terjadi ketika
individu menyadari bahwa dalam mencintai dunia, ia sedang mencintai Tuhan yang
hadir di dalamnya.²⁰
Spiritualitas ini
bersifat imanen, bukan transenden: ia tidak mencari Tuhan “di luar” alam,
tetapi dalam setiap fenomena alam dan tindakan manusia.²¹ Dari kesadaran ini
lahir sikap rendah hati, kasih sayang universal, dan tanggung jawab ekologis
yang mendalam.²² Etika Panteistik, karenanya, tidak hanya mengajarkan bagaimana
manusia harus hidup dengan baik, tetapi juga bagaimana ia harus mengalami
keberadaannya sebagai bagian dari keseluruhan yang suci.²³
Kesimpulan
Etis-Aksiologis
Etika dan aksiologi
Panteisme merupakan refleksi logis dari metafisika kesatuan realitas. Ia
menolak etika teonomik yang berbasis perintah eksternal dan menggantikannya
dengan etika kosmologis yang berpijak pada pengetahuan dan harmoni. Nilai-nilai
moral bersumber dari kesadaran akan keilahian yang imanen dalam segala hal, dan
tindakan baik adalah yang meneguhkan keteraturan serta kesatuan kosmos. Dengan
demikian, Panteisme menghadirkan pandangan etis yang tidak hanya rasional dan
universal, tetapi juga ekologis dan spiritual: suatu filsafat kehidupan yang
memuliakan seluruh wujud sebagai bagian dari Tuhan itu sendiri.
Footnotes
[1]
Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. IV: Descartes to
Leibniz (New York: Doubleday, 1994), 235.
[2]
Charles Hartshorne, Man’s Vision of God and the Logic of Theism
(Chicago: Willett, Clark & Company, 1941), 116.
[3]
Baruch Spinoza, Ethica Ordine Geometrico Demonstrata, ed.
Edwin Curley (London: Penguin Classics, 1996), 128.
[4]
Edwin Curley, Behind the Geometrical Method: A Reading of Spinoza’s
Ethics (Princeton: Princeton University Press, 1988), 139.
[5]
Jonathan Bennett, A Study of Spinoza’s Ethics (Indianapolis:
Hackett, 1984), 85.
[6]
Spinoza, Ethica, 133.
[7]
Steven Nadler, Spinoza’s Ethics: An Introduction (Cambridge:
Cambridge University Press, 2006), 151.
[8]
Ibid., 154.
[9]
Michael Levine, Pantheism: A Non-Theistic Concept of Deity
(London: Routledge, 1994), 98.
[10]
Copleston, A History of Philosophy, Vol. IV, 238.
[11]
Hartshorne, Man’s Vision of God, 127.
[12]
Andrew Pyle, Encyclopedia of Philosophy (London: Routledge,
2000), 949.
[13]
Arne Naess, Ecology, Community, and Lifestyle (Cambridge:
Cambridge University Press, 1989), 172.
[14]
Warwick Fox, Toward a Transpersonal Ecology (Albany: SUNY
Press, 1990), 101.
[15]
Pierre Teilhard de Chardin, The Phenomenon of Man (New York:
Harper & Row, 1959), 180.
[16]
Michael Levine, Pantheism, 203.
[17]
Radhakrishnan, Indian Philosophy, Vol. I (London: George Allen
& Unwin, 1923), 91.
[18]
Plotinus, The Enneads, terj. Stephen MacKenna (London:
Penguin, 1991), 299.
[19]
Spinoza, Ethica, 134.
[20]
Curley, Behind the Geometrical Method, 141.
[21]
Teilhard de Chardin, The Phenomenon of Man, 183.
[22]
Naess, Ecology, Community, and Lifestyle, 176.
[23]
Levine, Pantheism, 214.
6.
Kritik terhadap Panteisme
Meskipun Panteisme
memberikan kontribusi penting dalam mengintegrasikan dimensi spiritual dan
kosmologis kehidupan, aliran ini juga menghadapi beragam kritik dari tradisi
filsafat, teologi, maupun ilmu pengetahuan modern. Kritik-kritik tersebut
menyasar tiga ranah utama: pertama, aspek teologis, yang
mempertanyakan hilangnya personalitas dan transendensi Tuhan; kedua, aspek
metafisik, yang menyangkut problem kebebasan, kejahatan, dan
individualitas; serta ketiga, aspek epistemologis dan ilmiah,
yang menilai Panteisme sebagai pandangan yang sulit diverifikasi dan kurang
koheren dengan paradigma empiris kontemporer.¹
6.1.
Kritik Teologis:
Hilangnya Transendensi dan Personalitas Tuhan
Kritik teologis
terhadap Panteisme muncul terutama dari tradisi teistik, baik dalam filsafat
Kristen, Islam, maupun Yudaisme. Para teolog menilai bahwa dengan menyamakan
Tuhan dengan alam, Panteisme justru menghapus perbedaan esensial antara Sang
Pencipta dan ciptaan.² Dalam teologi klasik, Tuhan dipahami
sebagai pribadi transenden, bebas, dan memiliki kehendak, sedangkan dalam
Panteisme, Tuhan kehilangan ciri personalitas tersebut dan berubah menjadi
prinsip impersonal yang imanen di alam semesta.³
Pandangan ini
dianggap meniadakan kemungkinan relasi eksistensial antara manusia dan Tuhan.
Jika Tuhan identik dengan segala sesuatu, maka doa, ibadah, dan moralitas
kehilangan makna relasionalnya.⁴ Seorang penganut Panteisme tidak dapat berdoa
kepada Tuhan personal, karena Tuhan bukan pribadi yang mendengar, melainkan
totalitas keberadaan itu sendiri. Bagi pemikir seperti Karl Barth, hal ini
merupakan bentuk natural theology ekstrem yang
berujung pada “depersonalisasi ilahi.”⁵
Kritik serupa juga
datang dari teologi Islam, terutama terhadap konsep kesatuan wujud (wahdat
al-wujud) yang mirip dengan Panteisme. Para teolog Asy’ariyah
menilai bahwa gagasan tersebut berpotensi membawa manusia pada hulul
(penyatuan hakikat Tuhan dengan manusia), yang dianggap menyimpang dari tauhid
murni.⁶
6.2.
Kritik Metafisik:
Masalah Kebebasan, Kejahatan, dan Individualitas
Dari sisi
metafisika, kritik utama terhadap Panteisme berkaitan dengan determinisme
ontologis yang melekat dalam sistemnya. Karena seluruh
eksistensi dianggap sebagai manifestasi dari substansi ilahi yang niscaya, maka
segala peristiwa di dunia, termasuk tindakan manusia, terjadi secara
deterministik.⁷ Hal ini memunculkan pertanyaan tentang eksistensi kebebasan
moral. Jika semua tindakan adalah ekspresi dari kehendak Tuhan, bagaimana
mungkin manusia dapat dianggap bertanggung jawab secara etis?⁸
Selain itu,
Panteisme juga menghadapi masalah teodise—pertanyaan
klasik tentang keberadaan kejahatan dalam dunia yang diidentifikasi dengan
Tuhan. Jika Tuhan dan alam semesta adalah satu, maka segala kejahatan dan
penderitaan juga merupakan bagian dari Tuhan.⁹ Teisme tradisional dapat
menjelaskan kejahatan sebagai akibat kebebasan makhluk atau keterbatasan
ciptaan, tetapi dalam Panteisme, seluruh realitas bersifat ilahi, sehingga
sulit mempertahankan konsep kesempurnaan Tuhan tanpa meniadakan kenyataan
penderitaan.¹⁰
Para kritikus
seperti Arthur Schopenhauer dan Søren Kierkegaard menilai bahwa Panteisme
mengaburkan realitas eksistensial manusia.¹¹ Dalam pandangan mereka, sistem
Spinoza yang impersonal tidak menyisakan ruang bagi subjektivitas, penderitaan,
atau pengalaman personal terhadap Tuhan. Panteisme, kata Kierkegaard, “menghapus
air mata manusia di dalam kesunyian metafisika yang dingin.”¹²
6.3.
Kritik Epistemologis:
Ambiguitas antara Rasio dan Intuisi
Secara
epistemologis, Panteisme dikritik karena menyatukan terlalu banyak kategori
pengetahuan yang berbeda. Di satu sisi, ia mengklaim sebagai sistem rasional
yang menjelaskan tatanan alam secara logis (seperti dalam filsafat Spinoza),
namun di sisi lain, ia menekankan intuisi dan pengalaman mistik sebagai jalan
pengetahuan tertinggi.¹³ Akibatnya, epistemologi Panteistik sering dianggap
ambigu: apakah ia bersandar pada deduksi rasional atau pada pengalaman intuitif
yang tidak dapat diuji?¹⁴
Para filsuf empiris
seperti David Hume dan positivis logis abad ke-20 menolak Panteisme karena
mengandung proposisi yang tidak dapat diverifikasi secara empiris.¹⁵
Pernyataan bahwa “Tuhan identik dengan alam” dinilai tidak memiliki nilai
kognitif, sebab tidak ada kriteria observasional yang membedakan antara “alam
ilahi” dan “alam biasa.” Dengan demikian, Panteisme dianggap sebagai spekulasi
metafisik yang tidak falsifiable.¹⁶
Namun demikian,
pembela Panteisme berargumen bahwa pandangan ini tidak dimaksudkan untuk diuji
secara ilmiah, melainkan sebagai kerangka interpretatif metafisik
yang memberikan makna spiritual terhadap eksistensi.¹⁷ Dengan kata lain,
Panteisme tidak bertujuan menjelaskan fenomena empiris, tetapi menafsirkan
realitas dalam konteks kesatuan yang menyeluruh.
6.4.
Kritik Ilmiah: Konflik
dengan Paradigma Fisikalisme Modern
Dalam konteks
filsafat ilmu modern, Panteisme juga sering dikritik karena dinilai tidak
sejalan dengan paradigma fisikalisme dan reduksionisme
ilmiah. Dalam pandangan ilmiah kontemporer, alam semesta dapat dijelaskan tanpa
harus melibatkan prinsip spiritual atau ilahi yang imanen di dalamnya.¹⁸ Konsep
Tuhan sebagai identitas dengan alam dianggap tidak diperlukan dalam kerangka
ilmiah, karena hukum-hukum alam dapat berfungsi tanpa presuposisi teologis.¹⁹
Fisikalis seperti
Daniel Dennett dan Richard Dawkins menilai bahwa Panteisme hanyalah “teisme
terselubung” yang mencoba menempatkan Tuhan dalam bentuk yang lebih kabur,
sehingga secara ilmiah tidak membawa nilai penjelasan baru.²⁰ Dalam kritik
Dawkins, Panteisme hanyalah bentuk “ateisme puitis” yang mengganti istilah
“Tuhan” dengan “Alam Semesta” tanpa perubahan konseptual yang signifikan.²¹
Namun, pemikir
seperti Alfred North Whitehead dan Teilhard de Chardin mencoba merekonsiliasi
Panteisme dengan sains melalui gagasan panentheisme prosesual, yang
menekankan bahwa Tuhan bukan identik secara statis dengan dunia, tetapi hadir
secara dinamis dalam evolusi kosmos.²² Pendekatan ini dianggap lebih seimbang,
karena mempertahankan unsur immanensi tanpa meniadakan transendensi.
6.5.
Kritik Filosofis
Internal: Ambiguitas Konseptual dan Paralogisme Ontologis
Beberapa filsuf
metafisika menilai bahwa Panteisme mengalami ambiguitas konseptual antara
Tuhan sebagai “sebab” dan Tuhan sebagai “substansi.”²³ Jika Tuhan adalah
penyebab segala sesuatu, maka Ia harus berbeda dari ciptaan-Nya; tetapi jika Ia
identik dengan ciptaan, maka hubungan kausal menjadi tidak bermakna.²⁴ Dalam
hal ini, sistem Panteistik dituduh jatuh dalam paralogisme ontologis, yaitu
kontradiksi antara identitas dan perbedaan.
Martin Heidegger
menyebut bahwa Panteisme gagal memahami “keberadaan sebagai keberadaan” (Sein als
Sein), karena ia menafsirkan Tuhan semata sebagai totalitas
entitas, bukan sebagai dasar transendental dari keberadaan itu sendiri.²⁵
Akibatnya, Panteisme terjebak dalam metafisika ontis yang tidak mampu
menjelaskan misteri Being.²⁶
Kesimpulan
Kritis
Panteisme, meskipun
menawarkan pandangan yang menyatukan spiritualitas, rasionalitas, dan kosmos,
menghadapi persoalan mendasar dalam mempertahankan konsistensi antara immanensi
dan transendensi. Kritik terhadap Panteisme menunjukkan dilema antara kesatuan
dan perbedaan, antara determinisme dan kebebasan, serta antara rasionalitas dan
mistisisme. Namun demikian, nilai filosofis Panteisme tetap signifikan, karena
ia memaksa filsafat dan teologi untuk terus meninjau kembali hubungan antara
Tuhan, dunia, dan kesadaran manusia.²⁷ Dengan segala keterbatasannya, Panteisme
tetap menjadi medan dialog antara iman dan rasio, antara kosmologi dan
spiritualitas, dalam pencarian manusia akan makna keberadaan.
Footnotes
[1]
Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. IV: Descartes to
Leibniz (New York: Doubleday, 1994), 238.
[2]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q.3, a.8, terj. Fathers
of the English Dominican Province (New York: Benziger Bros., 1947), 57.
[3]
Michael Levine, Pantheism: A Non-Theistic Concept of Deity
(London: Routledge, 1994), 104.
[4]
Alvin Plantinga, God, Freedom, and Evil (Grand Rapids:
Eerdmans, 1974), 23.
[5]
Karl Barth, Church Dogmatics, Vol. II (Edinburgh: T&T
Clark, 1957), 112.
[6]
William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s
Metaphysics of Imagination (Albany: SUNY Press, 1989), 89.
[7]
Baruch Spinoza, Ethica Ordine Geometrico Demonstrata, ed.
Edwin Curley (London: Penguin Classics, 1996), 119.
[8]
Jonathan Bennett, A Study of Spinoza’s Ethics (Indianapolis:
Hackett, 1984), 84.
[9]
Steven Nadler, Spinoza’s Ethics: An Introduction (Cambridge:
Cambridge University Press, 2006), 148.
[10]
Hartshorne, Man’s Vision of God and the Logic of Theism
(Chicago: Willett, Clark & Company, 1941), 129.
[11]
Arthur Schopenhauer, The World as Will and Representation,
Vol. I (New York: Dover, 1969), 245.
[12]
Søren Kierkegaard, Concluding Unscientific Postscript, terj.
David F. Swenson (Princeton: Princeton University Press, 1941), 211.
[13]
Edwin Curley, Behind the Geometrical Method: A Reading of Spinoza’s
Ethics (Princeton: Princeton University Press, 1988), 99.
[14]
Frederick Ferré, Living and Value: Toward a Constructive Postmodern
Ethics (Albany: SUNY Press, 2001), 73.
[15]
David Hume, Dialogues Concerning Natural Religion
(Indianapolis: Hackett, 1980), 82.
[16]
A.J. Ayer, Language, Truth, and Logic (London: Gollancz,
1946), 54.
[17]
Levine, Pantheism, 214.
[18]
Daniel Dennett, Breaking the Spell: Religion as a Natural
Phenomenon (New York: Viking, 2006), 102.
[19]
Richard Dawkins, The God Delusion (London: Bantam Press,
2006), 41.
[20]
Ibid., 42.
[21]
Ibid., 43.
[22]
Alfred North Whitehead, Process and Reality (New York: Free
Press, 1978), 115; Pierre Teilhard de Chardin, The Phenomenon of Man
(New York: Harper & Row, 1959), 192.
[23]
Copleston, A History of Philosophy, Vol. IV, 240.
[24]
Hartshorne, Man’s Vision of God, 132.
[25]
Martin Heidegger, Being and Time, terj. John Macquarrie dan
Edward Robinson (New York: Harper & Row, 1962), 216.
[26]
Ibid., 217.
[27]
Levine, Pantheism, 220.
7.
Relevansi Kontemporer Panteisme
Dalam konteks
pemikiran modern dan pascamodern, Panteisme mengalami kebangkitan kembali
sebagai paradigma alternatif untuk memahami hubungan antara manusia, alam, dan
keilahian. Di tengah krisis ekologis, sekularisasi spiritualitas, serta
fragmentasi pengetahuan ilmiah, Panteisme menawarkan cara berpikir yang
menekankan kesatuan ontologis, immanensi spiritual, dan
nilai intrinsik alam semesta.¹ Ia menjadi jembatan antara
filsafat, sains, dan spiritualitas, sekaligus menjadi dasar bagi etika ekologis
dan teologi kosmologis yang baru.
7.1.
Panteisme dalam
Filsafat Ekologis dan Etika Lingkungan
Relevansi paling
nyata dari Panteisme pada masa kini tampak dalam bidang filsafat
ekologi. Pandangan bahwa alam adalah manifestasi langsung dari
kehadiran ilahi telah menginspirasi gerakan ekospiritualitas dan deep
ecology yang menolak eksploitasi alam atas dasar
antropo-sentrisme.² Prinsip utama Panteisme — bahwa Tuhan dan alam tidak dapat
dipisahkan — memberikan dasar ontologis bagi pandangan bahwa setiap makhluk
hidup memiliki nilai intrinsik dan harus dihormati sebagai bagian dari kesatuan
kosmos.³
Arne Naess, pendiri deep
ecology movement, menegaskan bahwa manusia harus memperluas
kesadaran dirinya menjadi “diri ekologis” (ecological self), yakni kesadaran
bahwa keberadaan manusia terjalin secara eksistensial dengan seluruh sistem
kehidupan.⁴ Gagasan ini, yang secara konseptual beririsan dengan pandangan
Panteistik, mendorong perubahan paradigma etika: dari etika dominasi menuju
etika partisipasi.⁵ Dengan cara ini, Panteisme menegaskan kembali nilai
spiritual dari alam semesta yang selama ini terpinggirkan oleh pandangan
mekanistik modern.
Dalam konteks krisis
iklim global, Panteisme juga memberi dasar teologis bagi gerakan lingkungan
religius. Gereja Katolik, misalnya, melalui ensiklik Laudato
Si’ (Paus Fransiskus, 2015), menegaskan bahwa seluruh ciptaan
merupakan bagian dari “rumah bersama” yang harus dirawat.⁶ Meskipun tidak
secara eksplisit menganut Panteisme, ensiklik tersebut meminjam spirit
Panteistik dalam menekankan keterikatan spiritual antara Tuhan, manusia, dan
alam.⁷
7.2.
Panteisme dan Ilmu
Pengetahuan Modern
Dalam dunia ilmiah
kontemporer, Panteisme menemukan relevansinya melalui perkembangan kosmologi
modern dan teori sistem kompleks. Penemuan-penemuan dalam
fisika kuantum dan astrofisika menantang pandangan dualistik tradisional yang
memisahkan subjek dan objek, roh dan materi.⁸ Pandangan kosmologis yang
menegaskan keterhubungan universal — bahwa setiap partikel saling memengaruhi
dalam jaringan kosmos — memiliki resonansi dengan prinsip dasar Panteisme
tentang kesatuan realitas.⁹
Albert Einstein
secara eksplisit mengakui dirinya sebagai penganut “spiritualitas Panteistik”
dalam tradisi Spinoza, dengan menyatakan bahwa “aku percaya pada Tuhan Spinoza,
yang menyingkap diri-Nya dalam keteraturan harmoni segala yang ada.”¹⁰ Dalam
pengertian ini, Panteisme tidak dipahami sebagai kepercayaan teologis dogmatis,
melainkan sebagai etos ilmiah yang kontemplatif,
di mana kekaguman terhadap keteraturan kosmos menggantikan konsep Tuhan
personal.¹¹
Demikian pula,
gagasan panpsikisme dan teori
kesadaran kuantum yang muncul dalam filsafat pikiran modern
sering kali berakar pada intuisi Panteistik: bahwa kesadaran bukan fenomena
terpisah dari materi, melainkan dimensi fundamental dari realitas itu
sendiri.¹² Pemikiran ini, yang dikembangkan oleh ilmuwan seperti David Bohm dan
Rupert Sheldrake, membuka kembali kemungkinan pemahaman Panteistik tentang alam
sebagai organisme kosmik yang hidup dan sadar.¹³
7.3.
Panteisme dalam
Teologi dan Spiritualitas Global
Di tengah pluralitas
agama dan sekularisasi global, Panteisme muncul kembali sebagai jalan
spiritual universal yang menekankan imanensi Tuhan dalam dunia
tanpa mengikat pada dogma tertentu.¹⁴ Dalam bentuknya yang modern, Panteisme
bukan sekadar doktrin metafisik, melainkan sikap eksistensial yang mengajarkan rasa
hormat terhadap kehidupan dan pengalaman langsung akan keilahian dalam
realitas sehari-hari.¹⁵
Gerakan spiritual
but not religious (SBNR) yang berkembang luas di Barat sering kali
mengandung corak Panteistik. Penganutnya menolak konsep Tuhan personal, tetapi
tetap merasakan kesucian dalam alam, cinta, dan kesadaran kosmis.¹⁶ Hal ini
menunjukkan bahwa Panteisme dapat menjembatani antara spiritualitas tradisional
dan pandangan dunia sekuler.
Dalam ranah teologi,
muncul bentuk panenteisme — gagasan bahwa
Tuhan mencakup dunia tetapi juga melampauinya — yang dianggap sebagai
“reformulasi teistik” dari Panteisme.¹⁷ Pemikir seperti Alfred North Whitehead,
Charles Hartshorne, dan Teilhard de Chardin berupaya menggabungkan dinamika
evolusi kosmos dengan imanensi ilahi, menciptakan model process
theology yang menyatukan Tuhan dan dunia secara dinamis.¹⁸
Pandangan ini menegaskan bahwa Tuhan bukan hanya penyebab pertama, tetapi juga
tujuan akhir dari proses kosmos — prinsip yang sangat dekat dengan Panteisme
klasik namun lebih fleksibel secara teologis.
7.4.
Panteisme dalam
Filsafat Postmodern dan Humaniora
Dalam konteks
filsafat postmodern, Panteisme mengalami reinterpretasi melalui konsep immanensi
radikal dan pluralitas ontologis. Gilles
Deleuze, misalnya, menghidupkan kembali semangat Spinozian dengan menyatakan
bahwa realitas adalah univocal being — satu keberadaan yang
memanifestasikan diri dalam perbedaan tanpa hierarki.¹⁹ Dalam sistem Deleuze,
segala bentuk kehidupan, gerak, dan energi adalah ekspresi dari satu proses
ontologis yang tak terhingga.²⁰
Panteisme juga
menemukan tempatnya dalam teori humaniora kontemporer, terutama dalam bidang ekofeminisme
dan filosofi
posthumanisme.²¹ Dalam kerangka ini, Tuhan tidak dipahami
sebagai entitas maskulin yang transenden, melainkan sebagai prinsip hidup yang
meresapi seluruh jaringan eksistensi.²² Pandangan ini memperluas makna
spiritualitas menuju bentuk kesadaran ekologis yang lebih inklusif, di mana
manusia dipahami bukan sebagai pusat dunia, tetapi sebagai simpul dalam
jaringan kosmos.²³
7.5.
Dimensi Etis dan
Spiritual Panteisme di Era Digital
Dalam era digital
dan teknologi tinggi, manusia kerap teralienasi dari alam dan kehilangan rasa
keterhubungan dengan realitas yang lebih luas.²⁴ Panteisme dapat berfungsi
sebagai antitesis terhadap alienasi modern,
dengan menegaskan kembali kesadaran imanen bahwa setiap bentuk keberadaan,
termasuk teknologi, tetap bagian dari jaringan kosmik yang ilahi.²⁵
Beberapa filsuf
teknologi, seperti Pierre Lévy dan N. Katherine Hayles, berpendapat bahwa
pengalaman digital dan realitas virtual menuntut paradigma ontologis baru yang
mengakui keterhubungan universal dan kontinuitas antara material dan
non-material.²⁶ Dalam pengertian ini, Panteisme memberikan fondasi filosofis
bagi pemahaman etis dan spiritual terhadap dunia digital, menegaskan bahwa
bahkan dalam ranah virtual, manusia tetap berada di dalam “tubuh kosmos” yang
sama.
Kesimpulan:
Relevansi dan Prospek Panteisme
Panteisme, dengan
penekanannya pada kesatuan Tuhan dan alam, menawarkan visi dunia yang relevan
bagi zaman yang diwarnai fragmentasi, krisis ekologi, dan disintegrasi
spiritual. Ia menyediakan kerangka metafisik dan etis yang memungkinkan
rekonsiliasi antara sains dan agama, antara rasionalitas dan spiritualitas,
serta antara manusia dan alam.²⁷
Dalam era
globalisasi dan teknologi, Panteisme berfungsi sebagai filsafat
kesadaran kosmik yang menegaskan keterhubungan segala sesuatu
dalam jaringan kehidupan. Melalui sintesis antara pemikiran klasik (Spinoza,
Plotinos) dan wacana modern (ekologi, teologi proses, kosmologi kuantum),
Panteisme tetap menjadi sumber inspirasi bagi upaya manusia mencari kesatuan di
tengah keragaman dan makna di tengah kompleksitas eksistensi.²⁸
Footnotes
[1]
Michael Levine, Pantheism: A Non-Theistic Concept of Deity
(London: Routledge, 1994), 209.
[2]
Arne Naess, Ecology, Community, and Lifestyle (Cambridge:
Cambridge University Press, 1989), 171.
[3]
Andrew Pyle, Encyclopedia of Philosophy (London: Routledge,
2000), 951.
[4]
Naess, Ecology, Community, and Lifestyle, 175.
[5]
Warwick Fox, Toward a Transpersonal Ecology (Albany: SUNY
Press, 1990), 99.
[6]
Pope Francis, Laudato Si’: On Care for Our Common Home
(Vatican City: Libreria Editrice Vaticana, 2015), 12.
[7]
Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor (Maryknoll:
Orbis Books, 1997), 45.
[8]
Fritjof Capra, The Tao of Physics (Boston: Shambhala, 1999),
82.
[9]
David Bohm, Wholeness and the Implicate Order (London:
Routledge, 1980), 140.
[10]
Albert Einstein, Ideas and Opinions, terj. Sonja Bargmann (New
York: Crown, 1954), 36.
[11]
Ibid., 38.
[12]
Galen Strawson, “Realistic Monism: Why Physicalism Entails
Panpsychism,” Journal of Consciousness Studies 13, no. 10–11 (2006):
8.
[13]
Rupert Sheldrake, The Rebirth of Nature: The Greening of Science
and God (Rochester: Park Street Press, 1994), 102.
[14]
Levine, Pantheism, 215.
[15]
Ursula Goodenough, The Sacred Depths of Nature (New York:
Oxford University Press, 1998), 67.
[16]
Paul Heelas, The New Age Movement (Oxford: Blackwell, 1996),
132.
[17]
Charles Hartshorne, Omnipotence and Other Theological Mistakes
(Albany: SUNY Press, 1984), 75.
[18]
Alfred North Whitehead, Process and Reality (New York: Free
Press, 1978), 92; Pierre Teilhard de Chardin, The Phenomenon of Man
(New York: Harper & Row, 1959), 190.
[19]
Gilles Deleuze, Difference and Repetition, terj. Paul Patton
(New York: Columbia University Press, 1994), 304.
[20]
Ibid., 306.
[21]
Val Plumwood, Feminism and the Mastery of Nature (London:
Routledge, 1993), 167.
[22]
Carolyn Merchant, The Death of Nature: Women, Ecology, and the
Scientific Revolution (San Francisco: Harper & Row, 1980), 241.
[23]
Donna Haraway, Staying with the Trouble: Making Kin in the
Chthulucene (Durham: Duke University Press, 2016), 102.
[24]
Sherry Turkle, Alone Together: Why We Expect More from Technology
and Less from Each Other (New York: Basic Books, 2011), 223.
[25]
Pierre Lévy, Collective Intelligence: Mankind’s Emerging World in
Cyberspace (Cambridge, MA: Perseus Books, 1997), 114.
[26]
N. Katherine Hayles, How We Became Posthuman: Virtual Bodies in
Cybernetics, Literature, and Informatics (Chicago: University of Chicago
Press, 1999), 289.
[27]
Copleston, A History of Philosophy, Vol. IV: Descartes to Leibniz
(New York: Doubleday, 1994), 242.
[28]
Levine, Pantheism, 220.
8.
Sintesis Filosofis
Sintesis filosofis
Panteisme merupakan upaya untuk mengintegrasikan seluruh dimensi metafisik,
epistemologis, dan etis dari pandangan bahwa Tuhan dan alam adalah satu
realitas yang tak terbagi. Dalam tradisi filsafat, Panteisme berfungsi sebagai
jembatan antara teisme transenden dan naturalisme
imanen, antara rasionalisme metafisik dan mistisisme
intuitif.¹ Ia menolak dikotomi yang memisahkan roh dan materi,
pencipta dan ciptaan, serta subjek dan objek pengetahuan. Melalui sintesis ini,
Panteisme berusaha mengungkapkan kesatuan fundamental dari segala yang ada,
tanpa meniadakan keanekaragaman manifestasinya.
8.1.
Integrasi Ontologis:
Kesatuan Substansi dan Pluralitas Fenomena
Pada tataran
ontologis, Panteisme mengajarkan bahwa substansi tunggal ilahi menjadi
dasar bagi seluruh realitas.² Segala sesuatu di dunia bukan entitas yang
berdiri sendiri, melainkan modus atau ekspresi dari substansi
yang sama, sebagaimana dijelaskan oleh Spinoza dalam Ethica.³
Ontologi ini bukanlah monisme statis, tetapi monisme dinamis, di mana
keanekaragaman fenomena merupakan bentuk emanasi dari kesatuan yang tak
terbagi.
Dengan demikian,
Panteisme berhasil mengatasi problem metafisik klasik antara pluralitas dan
kesatuan. Dunia tidak lagi dilihat sebagai ciptaan eksternal dari Tuhan, melainkan
sebagai tubuh hidup di mana Tuhan bekerja secara imanen.⁴ Kesatuan ini bukan
keseragaman, tetapi harmoni kosmik, tempat setiap
entitas memiliki fungsi dalam jaringan keberadaan universal.⁵ Dalam pandangan
ini, Tuhan bukanlah entitas terpisah yang mengatur dari luar, melainkan prinsip
ontologis yang mempersatukan semua eksistensi dari dalam.
Integrasi ontologis
ini juga memiliki implikasi kosmologis yang kuat: alam semesta tidak hanya
bernilai fisikal, tetapi juga spiritual.⁶ Alam adalah theophany—penampakan
Tuhan dalam bentuk ruang, waktu, dan materi. Kesadaran akan realitas ini
melahirkan rasa hormat eksistensial terhadap dunia, yang merupakan ekspresi
sakral dari keberadaan ilahi.
8.2.
Integrasi
Epistemologis: Rasionalitas dan Intuisi sebagai Jalan Menuju Keilahian
Epistemologi
Panteistik berupaya menyatukan rasio dan intuisi dalam satu kerangka
pengetahuan yang holistik. Dalam pandangan Spinoza, pengetahuan sejati (scientia
intuitiva) muncul ketika rasio mencapai kesadaran akan keteraturan
ilahi yang imanen dalam segala sesuatu.⁷ Rasionalitas tidak dihapuskan, tetapi
dipenuhi oleh intuisi metafisik yang melihat realitas “sub
specie aeternitatis”—dalam perspektif keabadian.⁸
Sintesis
epistemologis ini menolak reduksi kognitif terhadap data empiris semata dan
membuka ruang bagi kontemplasi sebagai cara mengetahui yang sah.⁹ Pengetahuan
sejati bukan sekadar representasi mental terhadap dunia, melainkan partisipasi
dalam struktur kosmik itu sendiri. Ketika akal memahami tatanan
niscaya dari hukum-hukum alam, ia sekaligus memahami Tuhan, karena alam adalah
manifestasi langsung dari rasionalitas ilahi.¹⁰
Melalui integrasi
ini, Panteisme memulihkan hubungan antara pengetahuan dan spiritualitas.
Epistemologi bukan lagi wilayah netral, tetapi sarana menuju pencerahan
ontologis: mengetahui berarti menjadi bagian dari yang diketahui, dan mengenal
Tuhan berarti mengenal keteraturan yang mendasari seluruh realitas.¹¹
8.3.
Integrasi Etis dan
Aksiologis: Harmoni Kosmik dan Cinta Intelektual
Etika dalam
Panteisme merupakan konsekuensi langsung dari kesadaran metafisik dan
epistemologis tersebut. Karena semua makhluk merupakan ekspresi dari substansi
yang sama, maka setiap bentuk kehidupan memiliki nilai
intrinsik.¹² Kebaikan moral berarti hidup selaras dengan
tatanan alam, sedangkan kejahatan merupakan bentuk ketidaktahuan terhadap
kesatuan kosmos.¹³
Puncak kehidupan
moral dalam Panteisme adalah amor Dei intellectualis—cinta
intelektual terhadap Tuhan.¹⁴ Cinta ini tidak bersifat emosional, tetapi
merupakan keadaan kognitif di mana manusia memahami dan mengafirmasi keharusan
ilahi dalam segala sesuatu. Dengan mencintai realitas sebagaimana adanya,
manusia mencintai Tuhan yang bekerja di dalamnya.¹⁵
Etika ini melahirkan
aksiologi yang kosmologis dan ekologis. Kesadaran akan kesatuan Tuhan dan alam
mendorong tanggung jawab moral untuk menjaga keberlanjutan kehidupan.¹⁶ Prinsip
ini menjadi dasar bagi etika lingkungan modern, di mana penghormatan terhadap
alam bukan sekadar kewajiban sosial, tetapi pengakuan terhadap keilahian yang
imanen dalam dunia.¹⁷ Dengan demikian, integrasi etis Panteisme menegaskan
bahwa spiritualitas sejati harus diwujudkan dalam tindakan konkret terhadap
sesama dan terhadap alam semesta.
8.4.
Sintesis Metafisik:
Kesatuan Transendensi dan Immanensi
Panteisme menawarkan
solusi dialektis terhadap ketegangan klasik antara transendensi dan immanensi.
Ia menolak dualisme yang memisahkan Tuhan dari dunia, namun juga menghindari
materialisme yang menafikan dimensi spiritual.¹⁸ Dalam pandangan ini, Tuhan
bersifat transenden secara modus, tetapi imanen secara
substansi. Artinya, Tuhan melampaui dunia bukan karena berada di
luar dunia, melainkan karena kedalaman keberadaan-Nya tak terbatas dalam dunia
itu sendiri.¹⁹
Dengan demikian,
Panteisme tidak meniadakan transendensi, melainkan menempatkan
transendensi di dalam immanensi.²⁰ Tuhan hadir dalam segala
hal, namun tetap melampaui setiap hal sebagai prinsip kesatuan yang tak
terhingga. Pandangan ini mendekati panenteisme prosesual dari
Whitehead, yang menafsirkan Tuhan sebagai kekuatan kreatif yang terus
berkembang dalam proses kosmos.²¹
Sintesis metafisik
ini memungkinkan Panteisme berfungsi sebagai paradigma filosofis yang terbuka
terhadap perkembangan ilmu dan spiritualitas, tanpa kehilangan fondasi
ontologisnya.²² Ia memperlihatkan bahwa keberadaan tidaklah statis, melainkan
gerak terus-menerus menuju kesadaran diri Tuhan melalui evolusi kosmos.²³
8.5.
Panteisme sebagai
Kesadaran Filosofis Universal
Pada tingkat
tertinggi, Panteisme dapat dipahami bukan hanya sebagai sistem filsafat, tetapi
sebagai kesadaran kosmik yang
menyatukan manusia dengan realitas total.²⁴ Ia mengatasi batas-batas teologi,
sains, dan budaya, dengan menegaskan bahwa seluruh bentuk eksistensi berasal
dari dan kembali kepada satu sumber yang sama.²⁵
Dalam dunia yang
diwarnai krisis spiritual dan ekologis, kesadaran Panteistik menghadirkan etos
baru yang menegaskan keterhubungan dan kesalingbergantungan.²⁶ Ia mengajarkan
bahwa keilahian tidak harus dicari di luar dunia, melainkan ditemukan dalam
keindahan, keteraturan, dan harmoni alam semesta itu sendiri.²⁷ Dengan
demikian, sintesis filosofis Panteisme menandai pertemuan antara pengetahuan
dan iman, antara rasio dan mistisisme, antara manusia dan Tuhan, dalam satu
horizon kesadaran universal yang hidup.
Kesimpulan
Sintesis
Sintesis filosofis
Panteisme memperlihatkan bahwa filsafat ini tidak berhenti pada metafisika
abstrak, tetapi berkembang menjadi pandangan dunia yang menyeluruh. Ia
mengintegrasikan ontologi kesatuan, epistemologi partisipatif, dan etika
harmoni menjadi kerangka berpikir yang konsisten dan hidup. Panteisme
menunjukkan bahwa segala sesuatu, dari partikel terkecil hingga galaksi
terbesar, merupakan ekspresi dari satu realitas ilahi yang sama.²⁸ Melalui
kesadaran ini, manusia tidak hanya memahami dunia, tetapi juga menemukan
tempatnya dalam keseluruhan kosmos yang suci.
Footnotes
[1]
Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. IV: Descartes to
Leibniz (New York: Doubleday, 1994), 241.
[2]
Baruch Spinoza, Ethica Ordine Geometrico Demonstrata, ed.
Edwin Curley (London: Penguin Classics, 1996), 42.
[3]
Ibid., 44.
[4]
Charles Hartshorne, Man’s Vision of God and the Logic of Theism
(Chicago: Willett, Clark & Company, 1941), 125.
[5]
Michael Levine, Pantheism: A Non-Theistic Concept of Deity
(London: Routledge, 1994), 93.
[6]
Pierre Teilhard de Chardin, The Phenomenon of Man (New York:
Harper & Row, 1959), 184.
[7]
Spinoza, Ethica, 121.
[8]
Edwin Curley, Behind the Geometrical Method: A Reading of Spinoza’s
Ethics (Princeton: Princeton University Press, 1988), 94.
[9]
Steven Nadler, Spinoza’s Ethics: An Introduction (Cambridge:
Cambridge University Press, 2006), 146.
[10]
Andrew Pyle, Encyclopedia of Philosophy (London: Routledge,
2000), 948.
[11]
Jonathan Bennett, A Study of Spinoza’s Ethics (Indianapolis:
Hackett, 1984), 79.
[12]
Hartshorne, Man’s Vision of God, 129.
[13]
Spinoza, Ethica, 128.
[14]
Ibid., 133.
[15]
Curley, Behind the Geometrical Method, 139.
[16]
Arne Naess, Ecology, Community, and Lifestyle (Cambridge:
Cambridge University Press, 1989), 175.
[17]
Warwick Fox, Toward a Transpersonal Ecology (Albany: SUNY
Press, 1990), 101.
[18]
Michael Levine, Pantheism, 205.
[19]
Hartshorne, Omnipotence and Other Theological Mistakes
(Albany: SUNY Press, 1984), 73.
[20]
Alfred North Whitehead, Process and Reality (New York: Free
Press, 1978), 91.
[21]
Ibid., 92.
[22]
Teilhard de Chardin, The Phenomenon of Man, 191.
[23]
Gilles Deleuze, Difference and Repetition, terj. Paul Patton
(New York: Columbia University Press, 1994), 307.
[24]
Levine, Pantheism, 215.
[25]
Ursula Goodenough, The Sacred Depths of Nature (New York:
Oxford University Press, 1998), 69.
[26]
Val Plumwood, Feminism and the Mastery of Nature (London:
Routledge, 1993), 171.
[27]
Teilhard de Chardin, The Future of Man (New York: Harper &
Row, 1964), 118.
[28]
Copleston, A History of Philosophy, Vol. IV, 243.
9.
Kesimpulan
Panteisme, sebagai
sistem metafisika yang mengidentifikasikan Tuhan dengan alam semesta,
menghadirkan pandangan dunia yang menyatukan seluruh dimensi eksistensi dalam
satu realitas ilahi yang tunggal dan abadi. Ia bukan sekadar teori ontologis,
tetapi juga ekspresi filosofis dari rasa kagum dan kesadaran akan kesatuan kosmos.¹
Melalui Panteisme, manusia diajak untuk memahami bahwa segala sesuatu yang
ada—batu, pohon, bintang, dan kesadaran manusia sendiri—merupakan bagian dari
manifestasi Tuhan.²
Dalam sejarah
pemikiran, Panteisme muncul sebagai tanggapan terhadap ketegangan antara
transendensi Tuhan dalam teisme dan penolakan Tuhan dalam ateisme. Ia
menawarkan jalan tengah yang menegaskan imanensi ilahi tanpa meniadakan
dimensi spiritual.³ Bagi Spinoza, Tuhan tidak berada di luar dunia, melainkan
hadir dalam struktur dan hukum alam itu sendiri (Deus sive Natura).⁴ Pandangan ini
menandai pergeseran radikal dari teologi personal menuju metafisika kesatuan,
di mana Tuhan bukan lagi pribadi antropomorfis, tetapi substansi
universal yang menjadi dasar segala sesuatu.⁵
9.1.
Dimensi Metafisik:
Kesatuan sebagai Dasar Realitas
Kesimpulan ontologis
dari Panteisme menegaskan bahwa realitas bukanlah himpunan entitas yang
terpisah, melainkan ekspresi dari substansi tunggal yang bersifat ilahi.⁶
Seluruh fenomena alam dan kehidupan hanyalah modus dari substansi itu. Dengan
demikian, keberagaman tidak meniadakan kesatuan, dan kesatuan tidak meniadakan
keberagaman. Dalam pengertian ini, dunia bukan sekadar ciptaan Tuhan, tetapi
Tuhan dalam bentuk yang termanifestasi.⁷
Pandangan ini
memulihkan rasa kesakralan terhadap alam. Jika Tuhan hadir di dalam dunia, maka
setiap elemen realitas mengandung nilai ontologis yang tak terhapuskan.⁸ Alam
tidak lagi sekadar objek untuk dieksploitasi, melainkan medan manifestasi ilahi
yang mengundang kontemplasi dan penghormatan. Inilah fondasi bagi etika
ekologis dan spiritualitas alam yang berkembang dalam dunia kontemporer.⁹
9.2.
Dimensi Epistemologis:
Pengetahuan sebagai Partisipasi dalam Keilahian
Epistemologi
Panteistik menolak pemisahan tajam antara subjek dan objek. Dalam kerangka ini,
mengetahui
berarti berpartisipasi dalam realitas yang diketahui, karena
keduanya merupakan ekspresi dari Tuhan yang sama.¹⁰ Pengetahuan sejati tidak
hanya bersifat intelektual, tetapi juga intuitif—menyadari keterhubungan antara
diri dan alam dalam satu kesadaran universal.¹¹
Spinoza menyebut
tahap pengetahuan tertinggi sebagai scientia intuitiva, yaitu
pengetahuan tentang segala sesuatu dalam perspektif keabadian (sub specie
aeternitatis).¹² Melalui bentuk pengetahuan ini, manusia menyadari
dirinya sebagai bagian dari tatanan kosmos, dan karenanya, mencapai kebebasan
sejati—bukan dengan menentang hukum alam, tetapi dengan memahaminya.¹³
Epistemologi ini
sekaligus menjadi jalan spiritual: mengetahui Tuhan berarti mengenal diri dan
dunia sebagai satu kesatuan. Dengan demikian, pengetahuan menjadi bentuk
penyatuan diri dengan yang ilahi, suatu pengalaman mistik-intelektual yang
melampaui dikotomi rasio dan iman.¹⁴
9.3.
Dimensi Etis-Aksiologis:
Cinta Intelektual dan Harmoni Kosmik
Secara etis,
Panteisme menegaskan bahwa segala tindakan manusia harus selaras dengan tatanan
kodrati realitas.¹⁵ Moralitas sejati bukanlah ketaatan pada
perintah eksternal, tetapi ekspresi dari kesadaran bahwa diri manusia adalah
bagian dari keseluruhan ilahi. Dengan memahami dirinya sebagai bagian dari
Tuhan, manusia akan bertindak dengan kasih sayang dan kebijaksanaan terhadap
semua makhluk.¹⁶
Spinoza menyebut
keadaan etis tertinggi sebagai amor Dei intellectualis—cinta
intelektual terhadap Tuhan—di mana individu mengalami kebahagiaan sejati (beatitudo)
melalui pengetahuan dan kesadaran akan kesatuan dengan alam semesta.¹⁷ Dalam
cinta ini, manusia mencintai Tuhan bukan karena takut atau harapan, tetapi karena
memahami bahwa segala sesuatu adalah Tuhan itu sendiri.¹⁸
Aksiologi Panteisme
memperluas cakupan nilai moral ke seluruh kosmos. Semua yang ada memiliki nilai
intrinsik karena menjadi ekspresi dari yang ilahi. Oleh sebab itu, penghormatan
terhadap kehidupan, perlindungan alam, dan solidaritas universal bukan sekadar
kewajiban etis, melainkan konsekuensi metafisik dari kesadaran Panteistik.¹⁹
9.4.
Dimensi Kontemporer:
Panteisme sebagai Filsafat Kesadaran Global
Dalam era modern
yang ditandai oleh krisis ekologi, materialisme ekstrem, dan fragmentasi
spiritual, Panteisme kembali relevan sebagai kerangka kesadaran global.²⁰ Ia
menawarkan alternatif terhadap sekularisme yang memisahkan manusia dari alam,
serta terhadap fundamentalisme yang menempatkan Tuhan jauh dari dunia.²¹
Pandangan ini
mendorong munculnya spiritualitas ekologis dan teologi bumi (eco-theology),
yang memandang alam sebagai komunitas moral dan spiritual.²² Melalui pandangan
Panteistik, manusia menemukan kembali rasa keterhubungan eksistensial dengan
seluruh makhluk hidup dan semesta.²³ Dalam dunia yang semakin mekanistik,
Panteisme menghadirkan visi holistik, humanistik, dan ekologis,
yang menegaskan bahwa hidup bermakna hanya ketika manusia sadar akan keutuhan
kosmos sebagai tubuh Tuhan itu sendiri.²⁴
Sintesis
Akhir: Tuhan, Alam, dan Manusia sebagai Satu Kesadaran
Kesimpulan filosofis
dari seluruh pembahasan ini dapat dirumuskan dalam satu prinsip: Tuhan,
alam, dan manusia adalah satu kesadaran universal yang mengekspresikan diri
dalam berbagai bentuk.²⁵ Ontologi kesatuan, epistemologi partisipatif, dan
etika harmoni berpadu dalam pandangan dunia yang integratif. Dalam kesadaran
Panteistik, tidak ada dikotomi antara iman dan rasio, antara sakral dan profan,
antara roh dan materi—semuanya merupakan manifestasi dari realitas yang sama.²⁶
Dengan demikian,
Panteisme menghadirkan paradigma yang mampu menjawab krisis spiritual dan
ekologis umat manusia. Ia mengajarkan bahwa keselamatan bukanlah pelarian ke
dunia supranatural, melainkan penyadaran diri akan keilahian yang sudah hadir
di dalam dunia.²⁷ Pandangan ini mengundang manusia untuk hidup
dalam rasa hormat, cinta, dan keterbukaan terhadap keberadaan sebagai
totalitas. Dalam arti terdalam, Panteisme bukan hanya sistem filsafat, tetapi metafisika
kasih dan kesatuan, di mana Tuhan tidak lagi jauh di langit,
melainkan bernafas dalam setiap denyut kehidupan.
Footnotes
[1]
Frederick Copleston, A History of Philosophy, Vol. IV: Descartes to
Leibniz (New York: Doubleday, 1994), 243.
[2]
Michael Levine, Pantheism: A Non-Theistic Concept of Deity
(London: Routledge, 1994), 88.
[3]
Charles Hartshorne, Man’s Vision of God and the Logic of Theism
(Chicago: Willett, Clark & Company, 1941), 118.
[4]
Baruch Spinoza, Ethica Ordine Geometrico Demonstrata, ed.
Edwin Curley (London: Penguin Classics, 1996), 45.
[5]
Edwin Curley, Behind the Geometrical Method: A Reading of Spinoza’s
Ethics (Princeton: Princeton University Press, 1988), 92.
[6]
Spinoza, Ethica, 47.
[7]
Andrew Pyle, Encyclopedia of Philosophy (London: Routledge,
2000), 945.
[8]
Pierre Teilhard de Chardin, The Phenomenon of Man (New York:
Harper & Row, 1959), 187.
[9]
Arne Naess, Ecology, Community, and Lifestyle (Cambridge:
Cambridge University Press, 1989), 176.
[10]
Steven Nadler, Spinoza’s Ethics: An Introduction (Cambridge:
Cambridge University Press, 2006), 147.
[11]
Sarvepalli Radhakrishnan, Indian Philosophy, Vol. I (London:
George Allen & Unwin, 1923), 81.
[12]
Spinoza, Ethica, 120.
[13]
Jonathan Bennett, A Study of Spinoza’s Ethics (Indianapolis:
Hackett, 1984), 72.
[14]
Copleston, A History of Philosophy, Vol. IV, 239.
[15]
Hartshorne, Man’s Vision of God, 125.
[16]
Levine, Pantheism, 96.
[17]
Spinoza, Ethica, 132.
[18]
Edwin Curley, Behind the Geometrical Method, 141.
[19]
Warwick Fox, Toward a Transpersonal Ecology (Albany: SUNY
Press, 1990), 105.
[20]
Thomas Dixon, Science and Religion: A Very Short Introduction
(Oxford: Oxford University Press, 2008), 52.
[21]
Ursula Goodenough, The Sacred Depths of Nature (New York:
Oxford University Press, 1998), 73.
[22]
Leonardo Boff, Cry of the Earth, Cry of the Poor (Maryknoll:
Orbis Books, 1997), 59.
[23]
Teilhard de Chardin, The Future of Man (New York: Harper &
Row, 1964), 122.
[24]
Michael Levine, Pantheism, 211.
[25]
Alfred North Whitehead, Process and Reality (New York: Free
Press, 1978), 93.
[26]
F.W.J. Schelling, System of Transcendental Idealism, terj.
Peter Heath (Charlottesville: University Press of Virginia, 1978), 119.
[27]
Teilhard de Chardin, The Phenomenon of Man, 193.
Daftar Pustaka
Aquinas, T. (1947). Summa Theologica (Vol.
I). Fathers of the English Dominican Province (Trans.). New York, NY: Benziger
Bros.
Ayer, A. J. (1946). Language, Truth, and Logic.
London, UK: Gollancz.
Barth, K. (1957). Church Dogmatics (Vol.
II). Edinburgh, UK: T&T Clark.
Bennett, J. (1984). A Study of Spinoza’s Ethics.
Indianapolis, IN: Hackett.
Boff, L. (1997). Cry of the Earth, Cry of the
Poor. Maryknoll, NY: Orbis Books.
Bohm, D. (1980). Wholeness and the Implicate
Order. London, UK: Routledge.
Burnet, J. (1920). Early Greek Philosophy.
London, UK: Adam and Charles Black.
Capra, F. (1999). The Tao of Physics.
Boston, MA: Shambhala.
Chittick, W. C. (1989). The Sufi Path of
Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination. Albany, NY: SUNY
Press.
Copleston, F. (1994). A History of Philosophy,
Vol. IV: Descartes to Leibniz. New York, NY: Doubleday.
Curley, E. (1988). Behind the Geometrical
Method: A Reading of Spinoza’s Ethics. Princeton, NJ: Princeton University
Press.
Dawkins, R. (2006). The God Delusion.
London, UK: Bantam Press.
De Chardin, P. T. (1959). The Phenomenon of Man.
New York, NY: Harper & Row.
De Chardin, P. T. (1964). The Future of Man.
New York, NY: Harper & Row.
Deleuze, G. (1994). Difference and Repetition
(P. Patton, Trans.). New York, NY: Columbia University Press.
Dennett, D. C. (2006). Breaking the Spell: Religion
as a Natural Phenomenon. New York, NY: Viking.
Dixon, T. (2008). Science and Religion: A Very
Short Introduction. Oxford, UK: Oxford University Press.
Einstein, A. (1954). Ideas and Opinions (S.
Bargmann, Trans.). New York, NY: Crown.
Ferré, F. (2001). Living and Value: Toward a
Constructive Postmodern Ethics. Albany, NY: SUNY Press.
Fox, W. (1990). Toward a Transpersonal Ecology.
Albany, NY: SUNY Press.
Goodenough, U. (1998). The Sacred Depths of
Nature. New York, NY: Oxford University Press.
Guthrie, W. K. C. (1962). A History of Greek
Philosophy, Vol. I: The Earlier Presocratics and the Pythagoreans.
Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Haraway, D. (2016). Staying with the Trouble:
Making Kin in the Chthulucene. Durham, NC: Duke University Press.
Hartshorne, C. (1941). Man’s Vision of God and
the Logic of Theism. Chicago, IL: Willett, Clark & Company.
Hartshorne, C. (1984). Omnipotence and Other
Theological Mistakes. Albany, NY: SUNY Press.
Hayles, N. K. (1999). How We Became Posthuman:
Virtual Bodies in Cybernetics, Literature, and Informatics. Chicago, IL:
University of Chicago Press.
Heelas, P. (1996). The New Age Movement.
Oxford, UK: Blackwell.
Heidegger, M. (1962). Being and Time (J.
Macquarrie & E. Robinson, Trans.). New York, NY: Harper & Row.
Hume, D. (1980). Dialogues Concerning Natural
Religion. Indianapolis, IN: Hackett.
Kierkegaard, S. (1941). Concluding Unscientific
Postscript (D. F. Swenson, Trans.). Princeton, NJ: Princeton University
Press.
Laertius, D. (1925). Lives of Eminent Philosophers
(R. D. Hicks, Ed.). Cambridge, MA: Harvard University Press.
Laozi. (1963). Tao Te Ching (D. C. Lau,
Trans.). London, UK: Penguin Classics.
Levine, M. (1994). Pantheism: A Non-Theistic
Concept of Deity. London, UK: Routledge.
Lévy, P. (1997). Collective Intelligence:
Mankind’s Emerging World in Cyberspace. Cambridge, MA: Perseus Books.
Long, A. A. (1974). Hellenistic Philosophy:
Stoics, Epicureans, Sceptics. London, UK: Duckworth.
MacKenna, S. (Trans.). (1991). Plotinus: The
Enneads. London, UK: Penguin.
Merchant, C. (1980). The Death of Nature: Women,
Ecology, and the Scientific Revolution. San Francisco, CA: Harper &
Row.
Naess, A. (1989). Ecology, Community, and
Lifestyle. Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Nadler, S. (2006). Spinoza’s Ethics: An
Introduction. Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Plumwood, V. (1993). Feminism and the Mastery of
Nature. London, UK: Routledge.
Plantinga, A. (1974). God, Freedom, and Evil.
Grand Rapids, MI: Eerdmans.
Plotinus. (1991). The Enneads (S. MacKenna,
Trans.). London, UK: Penguin.
Pope Francis. (2015). Laudato Si’: On Care for
Our Common Home. Vatican City: Libreria Editrice Vaticana.
Pyle, A. (2000). Encyclopedia of Philosophy.
London, UK: Routledge.
Radhakrishnan, S. (1923). Indian Philosophy,
Vol. I. London, UK: George Allen & Unwin.
Scheling, F. W. J. (1978). System of
Transcendental Idealism (P. Heath, Trans.). Charlottesville, VA: University
Press of Virginia.
Schopenhauer, A. (1969). The World as Will and
Representation (Vol. I). New York, NY: Dover.
Sheldrake, R. (1994). The Rebirth of Nature: The
Greening of Science and God. Rochester, VT: Park Street Press.
Spinoza, B. (1996). Ethica Ordine Geometrico
Demonstrata (E. Curley, Ed.). London, UK: Penguin Classics.
Strawson, G. (2006). Realistic monism: Why
physicalism entails panpsychism. Journal of Consciousness Studies, 13(10–11),
3–31.
Teilhard de Chardin, P. (1959). The Phenomenon
of Man. New York, NY: Harper & Row.
Teilhard de Chardin, P. (1964). The Future of
Man. New York, NY: Harper & Row.
Turkle, S. (2011). Alone Together: Why We Expect
More from Technology and Less from Each Other. New York, NY: Basic Books.
Whitehead, A. N. (1978). Process and Reality.
New York, NY: Free Press.
Yates, F. A. (1964). Giordano Bruno and the
Hermetic Tradition. Chicago, IL: University of Chicago Press.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar