Selasa, 02 Desember 2025

Panenteisme: Integrasi Ontologis antara Ketuhanan dan Dunia dalam Perspektif Metafisika

Panenteisme

Integrasi Ontologis antara Ketuhanan dan Dunia dalam Perspektif Metafisika


Alihkan ke: Aliran Metafisik dalam Filsafat.


Abstrak

Artikel ini membahas secara komprehensif aliran filsafat Panenteisme sebagai salah satu cabang penting dalam metafisika kontemporer yang berupaya menjembatani dikotomi antara teisme dan panteisme. Melalui pendekatan historis, ontologis, epistemologis, etis, dan aksiologis, tulisan ini menelusuri asal-usul, struktur konseptual, serta relevansi Panenteisme dalam konteks filsafat dan spiritualitas modern. Secara ontologis, Panenteisme menegaskan bahwa Tuhan dan dunia berada dalam relasi saling menembus—dunia berada di dalam Tuhan, namun Tuhan tetap melampaui dunia. Epistemologinya berakar pada gagasan partisipasi eksistensial, di mana pengetahuan tentang Tuhan bersifat relasional dan transformasional, bukan sekadar konseptual. Secara etis, Panenteisme melahirkan paradigma moral yang partisipatif dan ekologis, karena memandang seluruh ciptaan sebagai manifestasi dari kehadiran Ilahi.

Artikel ini juga meninjau kritik terhadap Panenteisme dari berbagai perspektif—teisme klasik, panteisme, dan rasionalisme modern—sekaligus menunjukkan bagaimana aliran ini menawarkan sintesis filosofis yang kreatif melalui ontologi relasional, epistemologi partisipatif, dan aksiologi kosmik. Dalam konteks kontemporer, Panenteisme terbukti relevan bagi dialog antara sains dan agama, krisis ekologis global, serta spiritualitas lintas agama, karena menawarkan paradigma integratif yang memandang Tuhan, manusia, dan dunia dalam satu kesatuan kosmoteandrik yang dinamis. Kesimpulannya, Panenteisme bukan sekadar sistem metafisik, melainkan suatu visi filosofis dan spiritual yang menegaskan bahwa keberadaan adalah relasi, pengetahuan adalah partisipasi, dan moralitas adalah perwujudan kasih kosmik dalam tatanan realitas yang sakral.

Kata Kunci: Panenteisme, Metafisika, Immanensi, Transendensi, Ontologi Relasional, Epistemologi Partisipatif, Teologi Proses, Kosmoteandrik, Etika Ekologis, Spiritualitas Global.


PEMBAHASAN

Panenteisme dalam Dialog antara Teisme, Panteisme, dan Naturalisme


1.           Pendahuluan

Panenteisme merupakan salah satu aliran penting dalam cabang metafisika yang berupaya menjembatani dua kutub ekstrem dalam filsafat ketuhanan, yakni teisme dan panteisme. Secara etimologis, istilah panenteisme berasal dari bahasa Yunani pan-en-theos, yang berarti “segala sesuatu berada di dalam Tuhan.” Berbeda dengan panteisme yang menyamakan Tuhan dengan alam semesta, serta teisme yang memisahkan Tuhan secara mutlak dari ciptaan-Nya, Panenteisme menegaskan bahwa dunia ada di dalam Tuhan, tetapi Tuhan tidak terbatas pada dunia. Dengan demikian, Panenteisme berupaya menghadirkan suatu kerangka metafisik yang menyatukan immanensi dan transendensi tanpa kehilangan keduanya dalam reduksi ontologis yang ekstrem.¹

Dalam sejarah pemikiran filsafat, gagasan Panenteistik memiliki akar yang panjang dan kompleks. Jejak awalnya dapat ditemukan dalam Neoplatonisme, khususnya pada pemikiran Plotinus yang menekankan emanasi—bahwa segala sesuatu berasal dari Yang Esa tanpa mengurangi keutuhan-Nya.² Tradisi ini kemudian menemukan bentuk teologisnya dalam berbagai sistem metafisika religius, baik dalam konteks Kristen, Hindu, maupun mistisisme Islam. Dalam tradisi Kristen modern, istilah panentheism pertama kali diperkenalkan oleh filsuf Jerman Friedrich Krause (1781–1832), yang berupaya menolak dualisme Cartesian sekaligus menghindari monisme panteistik ala Spinoza.³ Melalui gagasan bahwa Tuhan “melingkupi” dunia tanpa terserap di dalamnya, Krause dan para penerusnya seperti Alfred North Whitehead dan Charles Hartshorne menegaskan bahwa realitas ilahi bersifat dinamis, partisipatif, dan berhubungan secara imanen dengan ciptaan.⁴

Relevansi Panenteisme dalam konteks metafisika kontemporer semakin kuat karena ia menawarkan paradigma yang mampu menanggapi krisis spiritual dan ekologis zaman modern. Ketika modernitas menekankan dikotomi antara subjek dan objek, serta antara Tuhan dan dunia, Panenteisme hadir sebagai bentuk koreksi terhadap fragmentasi metafisik yang dihasilkan oleh dualisme tersebut.⁵ Dalam pandangan ini, dunia tidak sekadar benda pasif yang diciptakan, tetapi bagian integral dari keberadaan Tuhan yang senantiasa berproses menuju kesempurnaan. Hal ini sejalan dengan pandangan teologi proses, yang memahami Tuhan bukan sebagai entitas statis dan transenden secara absolut, melainkan sebagai realitas yang ikut berpartisipasi dalam dinamika dunia.⁶

Pendekatan Panenteistik juga membuka ruang bagi dialog antara filsafat dan sains modern. Dalam kosmologi kontemporer, misalnya, konsep keterhubungan dan ketergantungan sistemik dalam alam semesta—seperti yang ditemukan dalam fisika kuantum dan teori kompleksitas—menawarkan analogi empiris terhadap hubungan Tuhan dan dunia dalam Panenteisme.⁷ Dengan demikian, Panenteisme tidak hanya memiliki relevansi teologis, tetapi juga epistemologis dan ekologis, karena menegaskan sakralitas seluruh ciptaan sebagai manifestasi kehadiran ilahi.

Artikel ini bertujuan untuk mengkaji Panenteisme sebagai suatu sistem metafisik yang menyatukan dimensi transendensi dan immanensi Tuhan secara koheren. Melalui pendekatan historis, ontologis, epistemologis, dan etis, tulisan ini berupaya menelusuri akar pemikiran Panenteistik, menelaah struktur metafisiknya, serta mengkaji relevansinya bagi filsafat dan spiritualitas kontemporer. Dengan kerangka tersebut, diharapkan pembahasan ini dapat memberikan pemahaman yang mendalam dan sistematis tentang bagaimana Panenteisme berfungsi sebagai paradigma metafisika yang integratif dan terbuka bagi perkembangan pemikiran manusia tentang Tuhan dan dunia.⁸


Footnotes

[1]                Philip Clayton, Adventures in the Spirit: God, World, Divine Action (Minneapolis: Fortress Press, 2008), 45–47.

[2]                Plotinus, The Enneads, trans. A.H. Armstrong (Cambridge: Harvard University Press, 1966), 211–213.

[3]                Friedrich Krause, Vorlesungen über das System der Philosophie (Leipzig: Brockhaus, 1828), 52.

[4]                Charles Hartshorne, Man’s Vision of God and the Logic of Theism (Hamden: Archon Books, 1964), 98–101.

[5]                John Haught, The New Cosmic Story: Inside Our Awakening Universe (New Haven: Yale University Press, 2017), 122.

[6]                Alfred North Whitehead, Process and Reality, corrected ed. (New York: Free Press, 1978), 343–345.

[7]                John Polkinghorne, Science and Providence: God’s Interaction with the World (Philadelphia: Templeton Foundation Press, 2005), 67–70.

[8]                Jürgen Moltmann, God in Creation: A New Theology of Creation and the Spirit of God (San Francisco: Harper & Row, 1985), 15–17.


2.           Landasan Historis dan Genealogi Pemikiran Panenteisme

Landasan historis Panenteisme tidak dapat dilepaskan dari perjalanan panjang filsafat metafisika Barat yang berupaya menjelaskan hubungan antara Tuhan dan dunia. Sebelum istilah panenteisme dikenal secara formal, gagasan bahwa dunia berada “di dalam” Tuhan tetapi tidak identik dengan-Nya telah muncul dalam berbagai sistem pemikiran sejak zaman Yunani Kuno.¹ Akar awalnya dapat dilacak pada Plato dan murid-muridnya, terutama dalam dialog Timaeus, di mana Plato menggambarkan dunia sebagai ciptaan dari Demiurge—pengrajin kosmik yang mengatur materi sesuai dengan ide-ide abadi.² Walaupun Plato tidak menyamakan Tuhan dengan dunia, ia menegaskan bahwa keberadaan dunia partisipatif terhadap realitas ilahi, suatu pandangan yang kelak menjadi fondasi bagi konsep Panenteistik.

Tradisi Neoplatonisme yang berkembang melalui pemikiran Plotinus memperdalam relasi partisipatif ini. Plotinus memandang segala sesuatu sebagai emanasi dari The One atau Yang Esa, sumber tunggal segala realitas.³ Tuhan, dalam pengertian ini, tidak larut dalam dunia, melainkan mengekspresikan diri-Nya melalui keberadaan dunia yang bersifat hierarkis dan bertingkat. Dunia adalah pancaran dari Yang Esa, tetapi Yang Esa tetap melampaui segala sesuatu yang terpancar darinya.⁴ Gagasan ini kemudian diadaptasi oleh para Bapa Gereja awal, seperti Augustinus, yang menggabungkan prinsip Neoplatonik dengan teologi Kristen, menegaskan bahwa Tuhan berada di atas sekaligus di dalam segala ciptaan.⁵

Memasuki Abad Pertengahan, refleksi Panenteistik mengalami perkembangan baru melalui tradisi skolastik. Thomas Aquinas, dalam kerangka teologi naturalnya, menolak pandangan panteistik tetapi tetap mempertahankan relasi intim antara Tuhan dan ciptaan. Bagi Aquinas, Tuhan adalah actus purus—keberadaan murni yang menjadi dasar bagi segala sesuatu—dan dunia berpartisipasi dalam keberadaan-Nya tanpa mengurangi keilahian Tuhan.⁶ Meskipun Aquinas tidak menggunakan istilah panenteisme, pandangannya tentang partisipasi ontologis menjadi jembatan penting antara teisme klasik dan Panenteisme modern.

Pada masa modern awal, muncul pergeseran besar dalam metafisika Barat dengan kemunculan monisme Spinoza. Dalam sistem Spinoza, Tuhan dan alam (Deus sive Natura) dipahami sebagai satu substansi yang sama, suatu pandangan yang menimbulkan kritik karena menghapus batas antara yang Ilahi dan yang duniawi.⁷ Sebagai tanggapan terhadap ekstremitas panteistik tersebut, filsuf Jerman Friedrich Krause (1781–1832) memperkenalkan istilah panentheism secara eksplisit untuk menggambarkan bahwa dunia berada dalam Tuhan, tetapi Tuhan melampaui dunia.⁸ Krause berusaha mempertahankan transendensi Tuhan tanpa menolak immanensi-Nya, dengan menempatkan Tuhan sebagai “lingkungan universal” yang meliputi seluruh eksistensi.⁹

Pemikiran Krause ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Alfred North Whitehead dan Charles Hartshorne dalam konteks filsafat proses pada abad ke-20. Whitehead, melalui Process and Reality, memahami realitas sebagai proses yang saling berhubungan, di mana Tuhan berperan bukan sebagai penguasa statis, melainkan sebagai partisipan dalam dinamika dunia.¹⁰ Hartshorne melanjutkan gagasan ini dengan menegaskan bahwa Tuhan memiliki dua aspek: aspek abadi yang melampaui perubahan, dan aspek temporal yang turut berproses bersama ciptaan.¹¹ Dalam pandangan ini, Tuhan bukan entitas yang jauh dan tidak terlibat, melainkan realitas hidup yang berinteraksi dengan dunia secara terus-menerus.

Selain dalam tradisi Barat, gagasan Panenteistik juga ditemukan dalam berbagai sistem metafisika Timur. Dalam Vedānta, khususnya dalam ajaran Vishishtadvaita Ramanuja, Tuhan (Brahman) dipahami sebagai realitas tertinggi yang meliputi dan menjiwai seluruh alam semesta tanpa kehilangan keagungan-Nya.¹² Demikian pula dalam mistisisme Islam, khususnya melalui Ibn ‘Arabi, muncul gagasan wahdat al-wujud (kesatuan eksistensi) yang menekankan bahwa segala sesuatu merupakan manifestasi dari wujud Ilahi, meskipun Tuhan tetap melampaui seluruh ciptaan-Nya.¹³

Dengan demikian, genealogi Panenteisme menunjukkan kontinuitas ide mengenai hubungan yang dialektis antara immanensi dan transendensi Tuhan. Ia bukanlah doktrin baru yang muncul secara tiba-tiba, melainkan hasil evolusi panjang dari tradisi metafisik yang berusaha menghindari ekstremitas panteisme dan teisme. Panenteisme berupaya mengartikulasikan realitas di mana Tuhan dan dunia saling berhubungan secara dinamis, saling menembus, namun tidak menyatu secara identik.¹⁴ Dalam konteks inilah Panenteisme menjadi jembatan konseptual yang relevan bagi dialog antara filsafat, teologi, dan spiritualitas lintas tradisi.


Footnotes

[1]                Philip Clayton, The Problem of God in Modern Thought (Grand Rapids: Eerdmans, 2000), 12–15.

[2]                Plato, Timaeus, trans. Donald J. Zeyl (Indianapolis: Hackett Publishing, 2000), 27–31.

[3]                Plotinus, The Enneads, trans. A.H. Armstrong (Cambridge: Harvard University Press, 1966), 211–213.

[4]                John Dillon, The Middle Platonists: 80 B.C. to A.D. 220 (Ithaca: Cornell University Press, 1996), 347–350.

[5]                Augustine, Confessions, trans. Henry Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 1991), 278.

[6]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Brothers, 1947), I, q.3, a.2.

[7]                Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (London: Penguin Classics, 1996), I, Prop. 14.

[8]                Friedrich Krause, Vorlesungen über das System der Philosophie (Leipzig: Brockhaus, 1828), 52–55.

[9]                Karl Christian Friedrich Krause, Abriss des Systems der Philosophie (Leipzig: F. A. Brockhaus, 1825), 44–47.

[10]             Alfred North Whitehead, Process and Reality, corrected ed. (New York: Free Press, 1978), 343–345.

[11]             Charles Hartshorne, The Divine Relativity: A Social Conception of God (New Haven: Yale University Press, 1948), 101–104.

[12]             Ramanuja, The Vedanta Sutras with the Commentary of Ramanuja, trans. George Thibaut (Oxford: Clarendon Press, 1904), 121–123.

[13]             Ibn ‘Arabi, The Bezels of Wisdom, trans. R.W.J. Austin (New York: Paulist Press, 1980), 89–93.

[14]             Jürgen Moltmann, God in Creation: A New Theology of Creation and the Spirit of God (San Francisco: Harper & Row, 1985), 18–22.


3.           Ontologi Panenteisme

Ontologi Panenteisme berakar pada gagasan bahwa Tuhan dan dunia tidak identik, tetapi berada dalam relasi ontologis yang saling menembus dan melengkapi. Berbeda dengan panteisme yang menegaskan kesamaan substansial antara Tuhan dan alam semesta, serta teisme klasik yang memisahkan Tuhan secara absolut dari ciptaan-Nya, Panenteisme memandang realitas sebagai suatu kesatuan dinamis di mana Tuhan meliputi dunia, sementara dunia berpartisipasi dalam keberadaan Ilahi.¹ Dalam kerangka ini, Tuhan menjadi Ground of Being—dasar dari segala eksistensi—sementara dunia merupakan manifestasi aktual dari potensi ilahi.² Ontologi Panenteistik dengan demikian menolak baik dualisme yang rigid maupun monisme yang menyerap; ia berupaya menghadirkan “kesatuan dalam perbedaan,” suatu integrasi antara transendensi dan immanensi.³

3.1.       Struktur Ontologis Relasi Tuhan dan Dunia

Dalam Panenteisme, realitas terdiri atas dua dimensi yang tidak terpisah, yaitu dimensi ilahi dan dimensi duniawi. Tuhan meliputi dunia (the world is in God), namun melampaui dunia (God is more than the world).⁴ Hubungan ini bersifat asimetris: dunia bergantung sepenuhnya pada Tuhan, sedangkan Tuhan tetap memiliki keberadaan yang otonom dari dunia.⁵ Dengan kata lain, eksistensi dunia merupakan partisipasi dalam keberadaan Tuhan, tetapi tidak menambah atau mengurangi keilahian-Nya. Struktur ini menyerupai model ontologis partisipatif yang dikembangkan dalam tradisi skolastik, di mana makhluk memperoleh keberadaannya dari Esse Subsistens—keberadaan yang ada oleh diri-Nya sendiri, yaitu Tuhan.⁶

Relasi ontologis ini juga menegaskan bahwa Tuhan bukan sekadar penyebab pertama yang menciptakan dunia dan kemudian menarik diri darinya, tetapi terus-menerus hadir dalam proses keberadaan segala sesuatu. Dalam konteks ini, Panenteisme menolak pandangan deistik tentang Tuhan yang jauh dan pasif, serta menghindari pandangan panteistik yang menyamakan Tuhan dengan kosmos.⁷ Dunia dipahami sebagai tubuh simbolik Tuhan, dalam arti bahwa segala sesuatu memanifestasikan aspek-aspek Ilahi tanpa menghapus perbedaan ontologis antara Sang Pencipta dan ciptaan.⁸

3.2.       Immanensi dan Transendensi dalam Kesatuan Ontologis

Salah satu keunggulan ontologi Panenteistik adalah kemampuannya menjaga keseimbangan antara immanensi dan transendensi Tuhan. Dalam teisme klasik, transendensi Tuhan sering ditekankan sedemikian rupa sehingga jarak metafisik antara Tuhan dan dunia tampak tak terjembatani. Sebaliknya, panteisme meniadakan transendensi dengan meleburkan Tuhan ke dalam dunia. Panenteisme berupaya menghindari kedua ekstrem tersebut dengan menegaskan bahwa Tuhan “mengisi” dunia tanpa terbatas oleh dunia.⁹ Dalam terminologi Alfred North Whitehead, Tuhan memiliki dua sifat atau poles: primordial nature dan consequent nature.¹⁰ Primordial nature menandakan aspek transenden Tuhan yang kekal dan tidak berubah, sementara consequent nature menunjukkan aspek imanen Tuhan yang ikut berproses bersama dunia.¹¹ Dengan demikian, Tuhan dalam Panenteisme bukanlah entitas statis, melainkan realitas dinamis yang berelasi secara ontologis dengan seluruh ciptaan.

Dalam kerangka ini, keberadaan dunia menjadi bagian dari “tubuh kosmik” Tuhan.¹² Dunia tidak berdiri di luar Tuhan, tetapi eksistensinya merupakan partisipasi dalam Being Ilahi. Namun, relasi ini bukan identitas total, melainkan kesatuan yang berlapis: Tuhan mengandung dunia, tetapi melampaui dan menjiwai keberadaannya.¹³ Sebagaimana dikatakan Hartshorne, Tuhan bersifat “dipolar,” yakni menggabungkan aspek mutlak dan relatif, kekal dan temporal, sempurna dan berproses.¹⁴ Pandangan ini memperluas pengertian ontologis tentang keilahian, di mana kesempurnaan Tuhan bukan berarti ketidakberubahan mutlak, tetapi kemampuan untuk berelasi tanpa kehilangan keutuhan diri.¹⁵

3.3.       Dunia sebagai Partisipasi dalam Keberadaan Ilahi

Dalam Panenteisme, dunia bukan entitas yang berdiri sendiri, melainkan ekspresi konkret dari potensi ilahi. Setiap makhluk, dalam derajatnya masing-masing, mengandung unsur partisipatif terhadap Tuhan.¹⁶ Pandangan ini menggemakan konsep “partisipasi eksistensial” dalam metafisika Thomas Aquinas, di mana setiap makhluk memiliki esse (keberadaan) sejauh ia menerima pancaran dari Keberadaan Murni (Esse Ipsum Subsistens).¹⁷ Akan tetapi, Panenteisme melangkah lebih jauh dengan menegaskan bahwa partisipasi ini bukan hanya ontologis, melainkan juga relasional dan dinamis: dunia senantiasa berkembang menuju kesatuan yang lebih sempurna dengan Tuhan.¹⁸

Implikasi ontologis dari pandangan ini sangat luas. Jika dunia merupakan ekspresi dari Tuhan, maka setiap bentuk keberadaan memiliki nilai intrinsik yang sakral. Alam semesta bukan sekadar latar pasif bagi tindakan ilahi, melainkan medan partisipatif di mana Tuhan bekerja secara imanen.¹⁹ Oleh karena itu, Panenteisme melahirkan suatu metafisika yang ekologis dan spiritual, di mana realitas fisik dan spiritual tidak dipisahkan, melainkan dipahami sebagai dimensi berbeda dari satu kesatuan eksistensial.²⁰


Ontologi Relasional dan Prosesual

Panenteisme juga menolak konsep substansi statis yang mendominasi metafisika klasik. Dalam perspektif prosesual, realitas dipahami sebagai jejaring relasi yang terus berubah, di mana Tuhan dan dunia berinteraksi secara timbal balik.²¹ Tuhan tidak hanya penyebab, tetapi juga penerima; Ia menampung semua peristiwa dunia dalam kesadaran ilahi-Nya tanpa kehilangan kesempurnaan.²² Ontologi relasional ini berangkat dari gagasan bahwa keberadaan sejati adalah keberadaan-dalam-relasi (being-in-relation).²³ Dengan demikian, eksistensi tidak bersifat atomistik, melainkan holistik dan partisipatif, mencerminkan relasi antara Ilahi dan ciptaan yang bersifat dialogis dan dinamis.

Melalui kerangka ontologis ini, Panenteisme menghadirkan visi metafisika yang integratif: Tuhan bukan “yang lain” dari dunia, tetapi juga bukan “yang sama.” Tuhan adalah realitas yang meliputi, menjiwai, dan melampaui dunia dalam satu kesatuan ontologis yang terus berproses.²⁴ Dengan demikian, Panenteisme bukan hanya menawarkan konsep metafisik alternatif, tetapi juga suatu paradigma ontologis yang membuka ruang bagi pemahaman baru tentang keberadaan, kesadaran, dan spiritualitas.²⁵


Footnotes

[1]                Philip Clayton, Adventures in the Spirit: God, World, Divine Action (Minneapolis: Fortress Press, 2008), 45–47.

[2]                Paul Tillich, Systematic Theology, vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1951), 235.

[3]                John Haught, The New Cosmic Story: Inside Our Awakening Universe (New Haven: Yale University Press, 2017), 128.

[4]                Friedrich Krause, Vorlesungen über das System der Philosophie (Leipzig: Brockhaus, 1828), 52–55.

[5]                Alfred North Whitehead, Process and Reality, corrected ed. (New York: Free Press, 1978), 343.

[6]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Brothers, 1947), I, q.4, a.2.

[7]                John Polkinghorne, Science and Providence: God’s Interaction with the World (Philadelphia: Templeton Foundation Press, 2005), 71.

[8]                Jürgen Moltmann, God in Creation: A New Theology of Creation and the Spirit of God (San Francisco: Harper & Row, 1985), 19.

[9]                Clayton, The Problem of God in Modern Thought (Grand Rapids: Eerdmans, 2000), 63.

[10]             Whitehead, Process and Reality, 345–346.

[11]             Charles Hartshorne, Man’s Vision of God and the Logic of Theism (Hamden: Archon Books, 1964), 102.

[12]             Moltmann, God in Creation, 21.

[13]             Hartshorne, The Divine Relativity: A Social Conception of God (New Haven: Yale University Press, 1948), 106–108.

[14]             Ibid., 111.

[15]             Clayton, Adventures in the Spirit, 89.

[16]             Paul Fiddes, The Creative Suffering of God (Oxford: Clarendon Press, 1988), 57.

[17]             Aquinas, Summa Theologica, I, q.3, a.4.

[18]             Haught, The New Cosmic Story, 133–134.

[19]             Moltmann, God in Creation, 28–30.

[20]             Elizabeth Johnson, Ask the Beasts: Darwin and the God of Love (London: Bloomsbury, 2014), 95.

[21]             Whitehead, Process and Reality, 347–349.

[22]             Hartshorne, The Divine Relativity, 118–120.

[23]             Clayton, The Problem of God in Modern Thought, 79.

[24]             Tillich, Systematic Theology, 243–244.

[25]             Haught, The New Cosmic Story, 139.


4.           Epistemologi Panenteisme

Epistemologi Panenteisme berangkat dari keyakinan bahwa pengetahuan tentang Tuhan dan realitas tidak dapat direduksi pada satu bentuk rasionalitas tunggal. Pengetahuan dalam Panenteisme bersifat partisipatif, relasional, dan transformatif—manusia tidak hanya “mengetahui” Tuhan secara kognitif, tetapi “berpartisipasi” dalam keberadaan dan kesadaran Ilahi itu sendiri.¹ Dalam kerangka ini, epistemologi Panenteistik menolak dua ekstrem: pertama, rasionalisme teistik klasik yang menekankan pengetahuan deduktif tentang Tuhan melalui argumen logis dan natural theology; dan kedua, mistisisme panteistik yang menghapus perbedaan epistemik antara subjek dan objek dalam kesatuan mutlak. Panenteisme berupaya menjaga keseimbangan antara pengetahuan yang diperoleh melalui refleksi rasional dan pengetahuan yang dialami secara langsung dalam hubungan dengan Tuhan yang imanen sekaligus transenden.²

4.1.       Pengetahuan sebagai Partisipasi dalam Realitas Ilahi

Bagi Panenteisme, pengetahuan bukan sekadar representasi konseptual terhadap objek eksternal, melainkan bentuk partisipasi ontologis manusia dalam realitas Ilahi.³ Gagasan ini memiliki akar dalam filsafat Plato, yang memahami pengetahuan sejati (episteme) sebagai proses partisipasi jiwa terhadap dunia ide.⁴ Dalam konteks Panenteistik, manusia mengetahui Tuhan karena ia ada di dalam Tuhan dan Tuhan ada di dalam dirinya, sebagaimana ditegaskan oleh konsep mutual indwelling (inhabitasi timbal balik).⁵ Charles Hartshorne menggambarkan hubungan ini sebagai epistemologi “dipolar,” di mana subjek mengetahui Tuhan bukan melalui jarak intelektual, melainkan melalui relasi partisipatif yang terus berkembang.⁶

Dengan demikian, pengetahuan dalam Panenteisme bersifat eksperiensial dan refleksif sekaligus. Pengalaman religius tidak dianggap bertentangan dengan rasionalitas, tetapi sebagai dimensi pengetahuan yang melampaui reduksi empiris. Alfred North Whitehead menyebut proses ini sebagai prehension—suatu bentuk kesadaran di mana setiap entitas mengalami kehadiran entitas lain dalam dirinya.⁷ Maka, dalam setiap tindakan mengetahui, manusia berpartisipasi dalam proses ilahi yang lebih besar, di mana Tuhan menjadi sumber dan tujuan pengetahuan itu sendiri.⁸

4.2.       Hubungan antara Rasio, Pengalaman, dan Wahyu

Epistemologi Panenteisme mengakui keterbatasan rasio, tetapi tidak menolaknya. Rasio dipahami sebagai instrumen reflektif yang membantu manusia memahami struktur kosmos dan keberadaan Ilahi dalam dunia. Namun, karena Tuhan melampaui segala kategori konseptual, pengetahuan rasional hanya dapat menjangkau aspek parsial dari realitas Ilahi.⁹ Oleh karena itu, Panenteisme menggabungkan rasio dengan pengalaman eksistensial dan wahyu kosmik sebagai sumber pengetahuan yang saling melengkapi.

Friedrich Krause, yang pertama kali memformulasikan istilah panentheism, menegaskan bahwa pengetahuan tentang Tuhan mencakup tiga tahap: intuitive consciousness (kesadaran intuitif akan keberadaan Tuhan dalam diri), rational reflection (pemikiran sistematis tentang struktur ilahi), dan ethical realization (penerapan pengetahuan ilahi dalam tindakan moral).¹⁰ Pengetahuan bukanlah akumulasi proposisi, melainkan transformasi kesadaran manusia menuju kesatuan dengan Tuhan.¹¹

Dalam konteks modern, John Haught mengembangkan pendekatan ini dengan menegaskan bahwa wahyu tidak lagi dipahami semata-mata sebagai “pesan dari luar,” melainkan sebagai proses kosmik di mana Tuhan mengomunikasikan diri-Nya melalui evolusi, kesadaran, dan sejarah.¹² Maka, epistemologi Panenteistik tidak menempatkan wahyu sebagai peristiwa supernatural yang terpisah dari dunia, melainkan sebagai dinamika Ilahi yang menembus seluruh realitas empiris dan historis.¹³

4.3.       Keterbatasan Epistemik dan Relasi Dinamis antara Tuhan dan Manusia

Panenteisme menegaskan bahwa karena Tuhan bersifat tak terbatas sementara manusia terbatas, maka pengetahuan manusia tentang Tuhan selalu bersifat analogis dan terbuka.¹⁴ Pengetahuan tentang Tuhan tidak pernah final, melainkan berkembang seiring partisipasi manusia dalam proses ilahi yang dinamis. Hartshorne menyebut ini sebagai knowledge-in-process, di mana setiap tindakan mengetahui melibatkan baik aspek absolut (kebenaran yang bersumber dari Tuhan) maupun aspek relatif (pemahaman manusia yang terbatas).¹⁵

Hal ini menunjukkan bahwa epistemologi Panenteisme bersifat prosesual: pengetahuan tumbuh melalui interaksi terus-menerus antara manusia dan Tuhan dalam konteks dunia yang juga berproses.¹⁶ Oleh karena itu, kebenaran bukanlah entitas statis yang berada di luar pengalaman, melainkan hasil relasi dinamis antara subjek yang mengetahui dan Tuhan yang mengungkapkan diri-Nya.¹⁷ Pandangan ini sejalan dengan konsep co-creative epistemology dalam filsafat proses, di mana manusia dan Tuhan bersama-sama berpartisipasi dalam penciptaan makna dan kebenaran.¹⁸

4.4.       Dimensi Mistis dan Transformasi Kesadaran

Selain aspek rasional dan relasional, epistemologi Panenteistik juga menekankan dimensi mistis—yakni pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman kesatuan dengan Tuhan tanpa kehilangan perbedaan ontologis.¹⁹ Pengalaman mistik dalam Panenteisme bukanlah peleburan diri ke dalam Tuhan seperti dalam panteisme, melainkan kesadaran yang mendalam akan kehadiran Ilahi dalam seluruh eksistensi.²⁰ Hal ini tercermin dalam teologi Jürgen Moltmann yang menegaskan bahwa manusia mengetahui Tuhan bukan hanya dengan berpikir tentang-Nya, tetapi dengan hidup di dalam Tuhan dan membiarkan diri diubah oleh Roh-Nya.²¹

Dengan demikian, epistemologi Panenteisme bersifat integratif: ia menggabungkan akal, pengalaman, dan spiritualitas dalam satu kesatuan pengetahuan yang bersumber dari relasi timbal balik antara Tuhan dan dunia. Pengetahuan sejati tidak berhenti pada proposisi, tetapi mencapai puncaknya dalam transformasi kesadaran dan tindakan etis yang mencerminkan partisipasi dalam kehidupan Ilahi.²²


Konsekuensi Epistemologis bagi Filsafat dan Ilmu Pengetahuan

Dalam konteks kontemporer, epistemologi Panenteisme memiliki implikasi yang luas terhadap cara manusia memahami pengetahuan ilmiah dan metafisik. Jika dunia berada di dalam Tuhan, maka setiap penemuan ilmiah—baik dalam fisika, biologi, atau kosmologi—merupakan cara Tuhan menyingkapkan diri-Nya melalui keteraturan dan kompleksitas ciptaan.²³ John Polkinghorne menegaskan bahwa pengetahuan ilmiah tidak bertentangan dengan iman Panenteistik, karena keduanya merupakan dua cara manusia berpartisipasi dalam realitas ilahi yang sama.²⁴ Oleh karena itu, epistemologi Panenteisme membuka ruang bagi dialog antara sains dan agama dengan dasar ontologis yang menyatukan keduanya: dunia sebagai “peristiwa ilahi” yang sedang berlangsung.²⁵

Epistemologi Panenteisme dengan demikian menegaskan bahwa mengetahui Tuhan berarti ikut serta dalam gerak kosmik menuju kesadaran yang lebih tinggi, di mana rasio, pengalaman, dan spiritualitas tidak saling bertentangan, tetapi saling memperkaya dalam kesatuan eksistensial.²⁶


Footnotes

[1]                Philip Clayton, Adventures in the Spirit: God, World, Divine Action (Minneapolis: Fortress Press, 2008), 62–64.

[2]                John Haught, The New Cosmic Story: Inside Our Awakening Universe (New Haven: Yale University Press, 2017), 141.

[3]                Paul Tillich, Systematic Theology, vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1951), 235–237.

[4]                Plato, Timaeus, trans. Donald J. Zeyl (Indianapolis: Hackett Publishing, 2000), 27–31.

[5]                Jürgen Moltmann, God in Creation: A New Theology of Creation and the Spirit of God (San Francisco: Harper & Row, 1985), 21.

[6]                Charles Hartshorne, The Divine Relativity: A Social Conception of God (New Haven: Yale University Press, 1948), 109–111.

[7]                Alfred North Whitehead, Process and Reality, corrected ed. (New York: Free Press, 1978), 345.

[8]                Philip Clayton, The Problem of God in Modern Thought (Grand Rapids: Eerdmans, 2000), 73–74.

[9]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Brothers, 1947), I, q.12, a.4.

[10]             Friedrich Krause, Vorlesungen über das System der Philosophie (Leipzig: Brockhaus, 1828), 58–60.

[11]             Karl Christian Friedrich Krause, Abriss des Systems der Philosophie (Leipzig: F. A. Brockhaus, 1825), 44.

[12]             Haught, The New Cosmic Story, 144–146.

[13]             Moltmann, God in Creation, 30–32.

[14]             Paul Fiddes, The Creative Suffering of God (Oxford: Clarendon Press, 1988), 59–61.

[15]             Hartshorne, Man’s Vision of God and the Logic of Theism (Hamden: Archon Books, 1964), 103–104.

[16]             Whitehead, Process and Reality, 346–348.

[17]             Tillich, Systematic Theology, 240–242.

[18]             Clayton, Adventures in the Spirit, 85–87.

[19]             William James, The Varieties of Religious Experience (New York: Longmans, Green, and Co., 1902), 384–386.

[20]             Ibn ‘Arabi, The Bezels of Wisdom, trans. R.W.J. Austin (New York: Paulist Press, 1980), 91.

[21]             Moltmann, God in Creation, 35–38.

[22]             Haught, The New Cosmic Story, 150–152.

[23]             John Polkinghorne, Science and Providence: God’s Interaction with the World (Philadelphia: Templeton Foundation Press, 2005), 75–77.

[24]             Ibid., 83.

[25]             Clayton, The Problem of God in Modern Thought, 91–93.

[26]             Hartshorne, The Divine Relativity, 119–121.


5.           Etika dan Aksiologi Panenteisme

Etika dan aksiologi Panenteisme bertumpu pada pandangan bahwa seluruh realitas berada di dalam Tuhan, dan dengan demikian, setiap bentuk keberadaan memiliki nilai intrinsik yang bersumber dari partisipasinya dalam Keberadaan Ilahi.¹ Dalam perspektif ini, etika tidak hanya berkaitan dengan hubungan antar-manusia, tetapi juga dengan seluruh tatanan kosmos—dunia, makhluk hidup, dan alam semesta—karena semuanya merupakan ekspresi atau manifestasi dari kehadiran Tuhan.² Panenteisme dengan demikian melahirkan suatu etika relasional dan ekologis, yang menegaskan bahwa tindakan moral manusia harus didasarkan pada kesadaran akan keterikatan ontologis dengan Tuhan dan segala ciptaan.³

5.1.       Dasar Ontologis Etika Panenteistik

Landasan moral Panenteisme bersumber dari ontologinya sendiri: jika dunia berada “di dalam” Tuhan, maka segala sesuatu memiliki nilai yang melekat (inherent worth).⁴ Dalam kerangka ini, tindakan etis berarti menghormati struktur ilahi yang hadir dalam dunia. Tuhan bukan sekadar legislator moral eksternal, melainkan sumber nilai yang menjiwai seluruh keberadaan.⁵ Etika Panenteistik tidak bersandar pada perintah eksternal (divine command ethics), tetapi pada partisipasi eksistensial dalam kebaikan Ilahi.⁶

Konsep ini menandai pergeseran dari etika deontologis menuju etika partisipatif. Dalam teisme klasik, tindakan moral cenderung dipahami sebagai ketaatan terhadap hukum-hukum Tuhan yang transenden. Sebaliknya, Panenteisme memandang moralitas sebagai ekspresi spontan dari keterhubungan makhluk dengan Tuhan.⁷ Karena Tuhan menembus seluruh ciptaan, setiap tindakan yang menghormati, melindungi, dan menghidupkan realitas lain merupakan tindakan etis, sedangkan tindakan yang merusak kehidupan berarti menolak partisipasi dalam Keberadaan Ilahi.⁸

5.2.       Dimensi Relasional dan Cinta Ilahi

Etika Panenteisme bersifat relasional karena berpijak pada konsep kasih (agape) sebagai ekspresi tertinggi dari partisipasi dalam Tuhan.⁹ Charles Hartshorne menegaskan bahwa cinta bukan sekadar perasaan moral, tetapi prinsip ontologis yang menstrukturkan seluruh realitas.¹⁰ Tuhan mencintai dunia bukan dari luar, tetapi dari dalam, dan manusia dipanggil untuk meniru cinta Ilahi itu dalam relasi mereka dengan sesama dan dengan ciptaan.¹¹

Dalam konteks ini, cinta menjadi dasar dari segala kewajiban moral. Etika Panenteistik menolak pandangan moralitas sebagai kontrak sosial atau kewajiban eksternal, dan menggantikannya dengan model partisipatif di mana tindakan moral lahir dari kesadaran akan keterhubungan eksistensial dengan Tuhan dan dunia.¹² Kasih Ilahi bukan hanya norma, tetapi juga energi yang menopang keberadaan etis manusia—suatu cinta yang menyatukan transendensi Tuhan dengan immanensi ciptaan.¹³

5.3.       Etika Ekologis dan Kesadaran Kosmik

Karena Panenteisme memahami dunia sebagai bagian dari Tuhan, maka alam semesta bukanlah sekadar objek pemanfaatan manusia, melainkan locus theologicus—tempat kehadiran Ilahi yang nyata.¹⁴ Oleh sebab itu, Panenteisme melahirkan etika ekologis yang menuntut penghormatan terhadap kehidupan dalam segala bentuknya. Jürgen Moltmann menegaskan bahwa dalam perspektif Panenteistik, “penciptaan tidak terpisah dari Sang Pencipta, melainkan berada dalam Roh yang menjiwainya.”¹⁵ Dengan demikian, perusakan lingkungan bukan hanya tindakan tidak etis terhadap alam, tetapi juga penodaan terhadap tubuh Tuhan sendiri.¹⁶

Etika ekologis Panenteisme bersifat kosmoteandrik, yaitu melihat Tuhan, manusia, dan kosmos sebagai tiga unsur yang saling menembus dalam satu kesatuan dinamis.¹⁷ Raimon Panikkar menyebut hubungan ini sebagai cosmotheandric unity, di mana Tuhan tidak dapat dipahami tanpa dunia, dan dunia tidak dapat dipahami tanpa Tuhan.¹⁸ Dalam kerangka ini, tindakan moral manusia terhadap alam merupakan partisipasi dalam kasih penciptaan Tuhan itu sendiri. Etika Panenteistik dengan demikian bersifat spiritual sekaligus ekologis—menyatukan kesadaran religius dan tanggung jawab ekologis.¹⁹

5.4.       Aksiologi Panenteistik: Nilai sebagai Partisipasi dalam Keberadaan Ilahi

Aksiologi Panenteisme menegaskan bahwa nilai bukanlah kategori subyektif yang ditentukan oleh kesadaran manusia, tetapi sesuatu yang inheren dalam struktur realitas itu sendiri.²⁰ Setiap bentuk keberadaan memiliki nilai karena menjadi medium kehadiran Tuhan.²¹ Nilai tertinggi dalam sistem Panenteistik bukanlah kenikmatan, utilitas, atau otonomi, melainkan keterhubungan dan partisipasi dalam kehidupan Ilahi.²²

Charles Hartshorne mengembangkan konsep ini dalam The Logic of Theism, dengan menyatakan bahwa nilai moral dan estetik muncul dari kemampuan makhluk untuk berpartisipasi dalam kesadaran Tuhan.²³ Tuhan menjadi “penerima universal nilai” (the universal recipient of value), yang menyerap dan mengintegrasikan seluruh pengalaman makhluk dalam diri-Nya.²⁴ Oleh karena itu, setiap tindakan manusia yang menumbuhkan harmoni, kehidupan, dan cinta memiliki nilai kosmik karena turut memperkaya kesempurnaan pengalaman Tuhan.²⁵

Etika Panenteistik juga menolak dualisme antara sakral dan profan. Dalam pandangan ini, setiap tindakan yang menegaskan kehidupan adalah tindakan religius.²⁶ Moralitas bukan hanya urusan etika manusiawi, tetapi juga bagian dari dinamika kosmik di mana seluruh makhluk turut serta dalam proses penyempurnaan Ilahi.²⁷


Implikasi Sosial dan Spiritualitas Etis

Etika dan aksiologi Panenteisme memiliki implikasi sosial yang mendalam. Karena seluruh makhluk hidup berada di dalam Tuhan, maka tidak ada ruang bagi dominasi, eksploitasi, atau diskriminasi.²⁸ Prinsip kesatuan Ilahi menuntut solidaritas sosial yang melampaui batas etnis, agama, dan spesies.²⁹ Dalam konteks ini, Panenteisme mendorong terbentuknya spiritualitas kesalingterhubungan (spirituality of interbeing), yang mengakui bahwa keadilan sosial, perdamaian, dan keseimbangan ekologis merupakan ekspresi konkret dari iman terhadap Tuhan yang hidup di dalam segala sesuatu.³⁰

Etika Panenteisme dengan demikian bukan hanya seruan moral, tetapi panggilan untuk transformasi kesadaran. Manusia etis adalah manusia yang menyadari dirinya sebagai bagian dari tubuh kosmik Tuhan, yang tindakannya membawa konsekuensi tidak hanya sosial, tetapi juga teologis dan kosmologis.³¹ Dalam kerangka ini, etika Panenteistik berfungsi sebagai jembatan antara metafisika, spiritualitas, dan praksis kehidupan sehari-hari, menegaskan bahwa mencintai dunia sama dengan menghormati Sang Pencipta yang hidup di dalamnya.³²


Footnotes

[1]                Philip Clayton, Adventures in the Spirit: God, World, Divine Action (Minneapolis: Fortress Press, 2008), 95.

[2]                Paul Tillich, Systematic Theology, vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1951), 241.

[3]                John Haught, The New Cosmic Story: Inside Our Awakening Universe (New Haven: Yale University Press, 2017), 163–165.

[4]                Jürgen Moltmann, God in Creation: A New Theology of Creation and the Spirit of God (San Francisco: Harper & Row, 1985), 24.

[5]                Friedrich Krause, Vorlesungen über das System der Philosophie (Leipzig: Brockhaus, 1828), 62–63.

[6]                Charles Hartshorne, Man’s Vision of God and the Logic of Theism (Hamden: Archon Books, 1964), 121.

[7]                Paul Fiddes, The Creative Suffering of God (Oxford: Clarendon Press, 1988), 68.

[8]                Clayton, The Problem of God in Modern Thought (Grand Rapids: Eerdmans, 2000), 84–86.

[9]                Tillich, Systematic Theology, 243–244.

[10]             Hartshorne, The Divine Relativity: A Social Conception of God (New Haven: Yale University Press, 1948), 112.

[11]             Alfred North Whitehead, Process and Reality, corrected ed. (New York: Free Press, 1978), 346–347.

[12]             Haught, The New Cosmic Story, 167.

[13]             Moltmann, God in Creation, 32–33.

[14]             Elizabeth Johnson, Ask the Beasts: Darwin and the God of Love (London: Bloomsbury, 2014), 102.

[15]             Moltmann, God in Creation, 37.

[16]             Ibid., 38.

[17]             Raimon Panikkar, The Cosmotheandric Experience: Emerging Religious Consciousness (Maryknoll: Orbis Books, 1993), 55–58.

[18]             Ibid., 62–63.

[19]             John Cobb, A Christian Natural Theology: Based on the Thought of Alfred North Whitehead (Louisville: Westminster John Knox Press, 1965), 115.

[20]             Clayton, Adventures in the Spirit, 102.

[21]             Tillich, Systematic Theology, 247.

[22]             Hartshorne, The Logic of Theism (LaSalle: Open Court, 1948), 91.

[23]             Ibid., 94.

[24]             Hartshorne, The Divine Relativity, 119.

[25]             Clayton, The Problem of God in Modern Thought, 89.

[26]             Moltmann, God in Creation, 40.

[27]             Haught, The New Cosmic Story, 171–172.

[28]             Fiddes, The Creative Suffering of God, 77.

[29]             Panikkar, The Cosmotheandric Experience, 68.

[30]             Johnson, Ask the Beasts, 110–112.

[31]             Moltmann, God in Creation, 42.

[32]             Clayton, Adventures in the Spirit, 108.


6.           Kritik terhadap Panenteisme

Walaupun Panenteisme menawarkan kerangka metafisik yang kaya dan integratif, pandangan ini tidak luput dari berbagai kritik filosofis maupun teologis. Kritik terhadap Panenteisme biasanya datang dari tiga arah utama: (1) teisme klasik, yang menilai Panenteisme mengaburkan transendensi Tuhan; (2) panteisme dan monisme, yang menuduh Panenteisme terlalu mempertahankan dualitas; dan (3) rasionalisme modern dan ateisme, yang mempersoalkan validitas epistemik serta koherensi metafisiknya.¹ Kritik-kritik ini penting untuk ditelaah karena memperlihatkan batas sekaligus potensi konseptual dari Panenteisme dalam wacana metafisika dan teologi kontemporer.

6.1.       Kritik dari Perspektif Teisme Klasik

Dari sudut pandang teisme klasik—khususnya dalam tradisi Kristen, Yahudi, dan Islam—Panenteisme sering dianggap mengaburkan transendensi Tuhan.² Dalam teologi klasik, Tuhan dipahami sebagai actus purus (keberadaan murni) yang sepenuhnya sempurna, tidak berubah, dan tidak tergantung pada dunia.³ Sebaliknya, Panenteisme menggambarkan Tuhan sebagai realitas yang berproses, turut mengalami perubahan dan keterlibatan dalam sejarah dunia. Pandangan ini dianggap bertentangan dengan sifat immutabilitas (ketidakberubahan) dan aseitas (kemandirian) Tuhan yang menjadi fondasi teologi klasik.⁴

Thomas Aquinas, misalnya, menolak gagasan bahwa Tuhan dapat “berpartisipasi” dalam dunia secara ontologis, karena hal itu mengimplikasikan perubahan dalam keberadaan Ilahi.⁵ Dalam Summa Theologica, Aquinas menegaskan bahwa segala sesuatu bergantung pada Tuhan, tetapi Tuhan tidak bergantung pada apa pun di luar diri-Nya.⁶ Dengan demikian, bagi kaum teis klasik, Panenteisme berisiko merelatifkan kesempurnaan Tuhan dan menjadikan-Nya bagian dari proses kosmik yang terbatas.⁷

Lebih lanjut, teologi klasik juga mengkritik kecenderungan Panenteisme untuk mereduksi keilahian menjadi “immanensi aktif” dalam dunia.⁸ Bagi para teolog seperti Karl Barth, pandangan semacam ini melemahkan doktrin wahyu, sebab jika Tuhan hadir dalam segala sesuatu secara substansial, maka tidak ada lagi perbedaan antara tindakan ilahi dan realitas duniawi.⁹ Tuhan menjadi terlalu “dekat,” kehilangan keunikan transenden yang menjadikan-Nya objek iman dan penyembahan.¹⁰

6.2.       Kritik dari Perspektif Panteisme dan Monisme

Sebaliknya, dari arah yang lain, Panenteisme juga dikritik oleh para panteis dan monis metafisik karena dianggap terlalu mempertahankan dualitas antara Tuhan dan dunia.¹¹ Dalam sistem panteistik seperti Spinoza, realitas yang sejati hanyalah satu substansi: Deus sive Natura (Tuhan atau Alam).¹² Panenteisme, menurut para panteis, tidak konsisten karena mencoba mempertahankan baik kesatuan ontologis maupun perbedaan substansial antara Tuhan dan dunia.¹³ Hasilnya adalah ketegangan konseptual: Tuhan dikatakan “lebih besar dari dunia,” tetapi dunia tetap berada “di dalam Tuhan.”¹⁴

Kritik ini menyoroti ambiguitas struktural Panenteisme. Jika Tuhan meliputi dunia namun tidak identik dengannya, bagaimana mungkin keberadaan dunia tidak menambah atau mengubah Tuhan?¹⁵ Jika Tuhan benar-benar melampaui dunia, bagaimana Ia bisa imanen secara ontologis tanpa kehilangan transendensi-Nya?¹⁶ Para panteis menilai jawaban Panenteisme terhadap paradoks ini masih bersifat metaforis, bukan logis.¹⁷

Hartshorne menanggapi kritik ini dengan memperkenalkan konsep dipolar theism, di mana Tuhan memiliki dua aspek—yang kekal dan yang berubah.¹⁸ Namun, bagi para pengkritik, solusi ini justru menimbulkan problem baru: bagaimana mungkin dua sifat yang tampak kontradiktif (absolut dan relatif) dapat berkoeksistensi dalam satu realitas ilahi tanpa mengakibatkan paradoks logis?¹⁹

6.3.       Kritik dari Perspektif Rasionalisme dan Ateisme Modern

Dari perspektif filsafat modern yang rasionalistik dan empiris, Panenteisme dinilai tidak dapat diverifikasi secara epistemik.²⁰ Gagasan bahwa “dunia berada di dalam Tuhan” dianggap bersifat spekulatif dan tidak memiliki landasan empiris yang dapat diuji.²¹ Para pemikir positivis seperti A.J. Ayer menolak proposisi metafisik Panenteistik karena tidak memiliki makna kognitif yang dapat diverifikasi melalui pengalaman indrawi.²²

Selain itu, Panenteisme juga dikritik karena kesulitannya menjelaskan problem kejahatan (theodicy). Jika dunia berada di dalam Tuhan, bagaimana menjelaskan keberadaan penderitaan, kekacauan, dan kejahatan dalam realitas?²³ Apakah hal-hal tersebut juga merupakan bagian dari Tuhan?²⁴ Para kritikus menilai bahwa Panenteisme, dengan menempatkan dunia sebagai bagian dari keberadaan Ilahi, secara implisit menisbatkan kejahatan kepada Tuhan, yang bertentangan dengan pandangan moral tentang kesempurnaan Ilahi.²⁵

Beberapa filsuf seperti Richard Swinburne berargumen bahwa Panenteisme melemahkan tanggung jawab moral Tuhan terhadap dunia, karena jika Tuhan “menjadi” bersama dunia, maka Ia pun menjadi subjek proses yang tidak sepenuhnya dapat dikontrol oleh kehendak-Nya sendiri.²⁶ Dalam kerangka ini, Panenteisme tampak berisiko mengubah Tuhan dari creator ex nihilo menjadi entitas yang bergantung pada dinamika kosmik.²⁷

6.4.       Kritik dari Perspektif Logika Filsafat dan Ontologi Klasik

Dari sudut pandang logika metafisika, Panenteisme menghadapi tantangan koherensi ontologis.²⁸ Secara logis, jika Tuhan meliputi dunia, maka keberadaan dunia merupakan bagian dari keberadaan Tuhan; tetapi jika demikian, maka perubahan dalam dunia mengimplikasikan perubahan dalam Tuhan.²⁹ Hal ini menimbulkan kontradiksi dengan prinsip immutabilitas Dei.³⁰

Paul Tillich mencoba menjawab problem ini melalui konsep “Tuhan sebagai dasar keberadaan” (the Ground of Being), bukan sebagai entitas di antara entitas.³¹ Namun, para pengkritik seperti Alvin Plantinga menilai bahwa formulasi ini terlalu kabur dan cenderung mempersonifikasikan realitas metafisis yang tidak dapat dipahami secara proposisional.³² Dalam pandangan Plantinga, Panenteisme gagal membedakan antara eksistensi Tuhan sebagai pribadi yang rasional dan keberadaan Tuhan sebagai prinsip metafisis yang abstrak.³³

Selain itu, filsafat analitik juga mengkritik Panenteisme karena kurangnya konsistensi dalam penggunaan konsep “di dalam.”³⁴ Jika dunia berada “di dalam” Tuhan, maka istilah “di dalam” harus dimengerti secara metaforis, sebab tidak ada kerangka logis yang dapat menjelaskan hubungan spasial antara realitas non-material dan material.³⁵ Dengan demikian, Panenteisme dianggap menggunakan bahasa simbolis tanpa menyediakan klarifikasi konseptual yang memadai untuk membedakan antara metafora teologis dan deskripsi ontologis yang rasional.³⁶


Evaluasi Umum dan Kritik Konstruktif

Meskipun banyak dikritik, Panenteisme tetap memiliki kekuatan filosofis yang signifikan, terutama dalam upayanya menjembatani dikotomi antara transendensi dan immanensi.³⁷ Para pengkritiknya sering kali menilai Panenteisme dengan kriteria teisme klasik yang menekankan ketidakterlibatan Tuhan, padahal Panenteisme justru berupaya menawarkan paradigma baru tentang keilahian yang partisipatif dan dinamis.³⁸

Namun demikian, kritik-kritik tersebut menyoroti kebutuhan untuk memperjelas dimensi ontologis dan epistemologis Panenteisme. Agar dapat diterima secara filosofis, Panenteisme perlu menjelaskan bagaimana relasi antara Tuhan dan dunia dapat dipahami tanpa mengorbankan baik aspek transendensi maupun immanensi.³⁹ Dengan pengembangan konseptual lebih lanjut—seperti yang dilakukan oleh Moltmann dan Clayton dalam konteks teologi proses—Panenteisme dapat mempertahankan relevansinya sebagai sistem metafisika yang terbuka, dialogis, dan kontekstual.⁴⁰


Footnotes

[1]                Philip Clayton, Adventures in the Spirit: God, World, Divine Action (Minneapolis: Fortress Press, 2008), 109.

[2]                Karl Barth, Church Dogmatics II/1: The Doctrine of God, trans. G.W. Bromiley (Edinburgh: T&T Clark, 1957), 298.

[3]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Brothers, 1947), I, q.3, a.2.

[4]                Paul Helm, Eternal God: A Study of God without Time (Oxford: Clarendon Press, 1988), 55–58.

[5]                Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q.9, a.1.

[6]                Ibid., I, q.44, a.1.

[7]                Norman Geisler, Christian Apologetics (Grand Rapids: Baker Academic, 2013), 134.

[8]                Barth, Church Dogmatics II/1, 302.

[9]                Ibid., 309.

[10]             Alvin Plantinga, Does God Have a Nature? (Milwaukee: Marquette University Press, 1980), 21.

[11]             Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (London: Penguin Classics, 1996), I, Prop. 14.

[12]             Ibid., I, Prop. 15.

[13]             John Hick, An Interpretation of Religion: Human Responses to the Transcendent (New Haven: Yale University Press, 1989), 255.

[14]             Philip Clayton, The Problem of God in Modern Thought (Grand Rapids: Eerdmans, 2000), 112–113.

[15]             Charles Hartshorne, Man’s Vision of God and the Logic of Theism (Hamden: Archon Books, 1964), 122.

[16]             Ibid., 125.

[17]             Richard Swinburne, The Coherence of Theism (Oxford: Clarendon Press, 1993), 78.

[18]             Hartshorne, The Divine Relativity: A Social Conception of God (New Haven: Yale University Press, 1948), 105–107.

[19]             Swinburne, The Coherence of Theism, 80.

[20]             A.J. Ayer, Language, Truth and Logic (London: Dover Publications, 1952), 107.

[21]             Ibid., 110.

[22]             Antony Flew, “Theology and Falsification,” in New Essays in Philosophical Theology, ed. Antony Flew and Alasdair MacIntyre (London: SCM Press, 1955), 99–103.

[23]             Jürgen Moltmann, The Trinity and the Kingdom: The Doctrine of God (San Francisco: Harper & Row, 1981), 45–47.

[24]             Ibid., 48.

[25]             John Haught, The New Cosmic Story: Inside Our Awakening Universe (New Haven: Yale University Press, 2017), 182.

[26]             Richard Swinburne, Providence and the Problem of Evil (Oxford: Clarendon Press, 1998), 56–57.

[27]             Clayton, Adventures in the Spirit, 111.

[28]             William Lane Craig, The Only Wise God: The Compatibility of Divine Foreknowledge and Human Freedom (Grand Rapids: Baker, 1987), 67.

[29]             Paul Tillich, Systematic Theology, vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1951), 249–250.

[30]             Helm, Eternal God, 59.

[31]             Tillich, Systematic Theology, 251.

[32]             Alvin Plantinga, God and Other Minds (Ithaca: Cornell University Press, 1967), 178.

[33]             Ibid., 180.

[34]             Clayton, The Problem of God in Modern Thought, 118.

[35]             Craig, The Only Wise God, 71.

[36]             Helm, Eternal God, 64.

[37]             Clayton, Adventures in the Spirit, 114.

[38]             Moltmann, God in Creation: A New Theology of Creation and the Spirit of God (San Francisco: Harper & Row, 1985), 42.

[39]             Haught, The New Cosmic Story, 185.

[40]             Clayton, The Problem of God in Modern Thought, 121.


7.           Relevansi Kontemporer Panenteisme

Dalam konteks pemikiran filsafat dan teologi modern, Panenteisme muncul sebagai paradigma metafisik yang semakin relevan dalam menjawab krisis spiritual, ekologis, dan epistemologis manusia kontemporer. Ia menawarkan suatu visi dunia yang integratif, relasional, dan dinamis, yang berusaha mengatasi dikotomi lama antara transendensi dan immanensi, antara iman dan rasio, serta antara sains dan agama.¹ Dengan memandang Tuhan sebagai realitas yang meliputi sekaligus melampaui dunia, Panenteisme menjadi dasar konseptual bagi dialog lintas disiplin dan lintas tradisi spiritual, serta fondasi bagi etika ekologis dan spiritualitas global.²

7.1.       Relevansi dalam Teologi Proses dan Filsafat Ilahi Dinamis

Salah satu kontribusi utama Panenteisme dalam pemikiran modern ialah pengaruhnya terhadap teologi proses (process theology) yang dikembangkan oleh Alfred North Whitehead dan Charles Hartshorne.³ Dalam pandangan ini, Tuhan tidak dipahami sebagai penguasa statis dan absolut, melainkan sebagai realitas yang berproses bersama dunia—berpartisipasi dalam perubahan, penderitaan, dan penciptaan yang berlangsung di seluruh kosmos.⁴ Model ini merefleksikan pemahaman baru tentang keilahian sebagai “hubungan yang hidup,” bukan entitas yang terpisah dari dunia.

Teologi proses kemudian berkembang menjadi sebuah teologi partisipatif, di mana setiap entitas dalam kosmos mengambil bagian dalam kesadaran dan kehidupan Ilahi.⁵ Dalam konteks ini, Panenteisme menyediakan kerangka metafisik yang mendukung pemikiran teolog modern seperti John Haught dan Jürgen Moltmann, yang melihat dunia sebagai “tubuh” Tuhan yang sedang berproses menuju kepenuhan eskatologis.⁶ Relevansi Panenteisme terletak pada kemampuannya menjembatani antara pandangan teistik klasik yang hierarkis dan spiritualitas modern yang partisipatif.⁷

7.2.       Relevansi bagi Dialog antara Sains dan Agama

Dalam era sains modern, Panenteisme menawarkan paradigma alternatif terhadap konflik lama antara ilmu pengetahuan dan teologi.⁸ Dengan memahami dunia sebagai bagian dari Tuhan, Panenteisme memandang hukum-hukum alam bukan sebagai sistem tertutup yang otonom, tetapi sebagai ekspresi dari keteraturan ilahi yang rasional dan kreatif.⁹ John Polkinghorne dan Ian Barbour melihat Panenteisme sebagai model teologis yang paling koheren dengan pandangan kosmologi modern—terutama dalam kerangka teori evolusi, mekanika kuantum, dan sistem kompleks.¹⁰

Dalam sains kontemporer, kosmos dipahami bukan sebagai mesin deterministik, tetapi sebagai sistem terbuka yang kreatif dan saling terhubung.¹¹ Pandangan ini sejalan dengan prinsip Panenteistik bahwa Tuhan hadir dalam dinamika kosmik tanpa menghapus otonomi dunia.¹² Polkinghorne menyebut hal ini sebagai active providence, yaitu cara Tuhan bekerja di dalam hukum-hukum alam tanpa intervensi supranatural yang melanggar keteraturan rasional dunia.¹³ Dengan demikian, Panenteisme memungkinkan integrasi epistemologis antara ilmu dan iman, antara sains empiris dan kesadaran spiritual.¹⁴

7.3.       Relevansi dalam Krisis Ekologis dan Etika Global

Relevansi lain dari Panenteisme sangat nyata dalam konteks krisis ekologis global. Pandangan teistik tradisional yang memisahkan Tuhan dari dunia telah lama dituduh berkontribusi terhadap eksploitasi alam, karena dunia dipahami sebagai ciptaan yang terpisah dan tunduk sepenuhnya pada manusia.¹⁵ Panenteisme menolak pandangan ini dengan menegaskan bahwa dunia berada di dalam Tuhan, dan oleh karena itu, seluruh ciptaan memiliki nilai sakral.¹⁶

Dalam teologi ekologi, Panenteisme menjadi dasar bagi spiritualitas ekologis yang memandang pemeliharaan lingkungan bukan sekadar tanggung jawab moral, tetapi juga tindakan religius.¹⁷ Jürgen Moltmann menegaskan bahwa “roh kehidupan yang sama” berdiam dalam seluruh makhluk, sehingga setiap tindakan yang memelihara kehidupan adalah partisipasi dalam karya Roh Kudus.¹⁸ Elizabeth Johnson menambahkan bahwa Panenteisme menumbuhkan kesadaran akan kehadiran ilahi dalam keanekaragaman hayati, memotivasi manusia untuk menghormati bumi bukan hanya sebagai habitat, melainkan sebagai komunitas sakral yang hidup.¹⁹

Dalam kerangka ini, Panenteisme mendukung etika kosmik—suatu pandangan moral yang melampaui antroposentrisme menuju eco-theocentrism.²⁰ Tindakan etis tidak lagi hanya berfokus pada manusia, tetapi pada keseimbangan seluruh ekosistem yang menjadi bagian dari tubuh Ilahi.²¹ Dengan demikian, Panenteisme menjadi dasar teologis bagi gerakan keadilan ekologis dan solidaritas planet dalam menghadapi ancaman perubahan iklim dan kehancuran lingkungan.²²

7.4.       Relevansi dalam Dialog Antaragama dan Spiritualitas Global

Dalam dunia yang semakin plural dan terfragmentasi secara religius, Panenteisme memberikan dasar metafisik yang kuat bagi dialog antaragama.²³ Karena menegaskan kehadiran Tuhan di dalam segala sesuatu, Panenteisme membuka kemungkinan untuk memahami perbedaan keagamaan bukan sebagai oposisi, tetapi sebagai ekspresi beragam dari pengalaman manusia akan realitas ilahi yang sama.²⁴ Raimon Panikkar menyebut kerangka ini sebagai cosmotheandric unity, yaitu kesatuan kosmik antara Tuhan, manusia, dan dunia yang menjadi dasar bagi kesadaran spiritual universal.²⁵

Pandangan ini selaras dengan spiritualitas Timur seperti Advaita Vedānta dalam Hinduisme dan konsep wahdat al-wujud dalam sufisme, yang keduanya menekankan keterhubungan ontologis antara yang Ilahi dan ciptaan.²⁶ Dalam konteks Barat, Panenteisme dapat memperkaya teologi Kristen, Islam, maupun Buddhis modern dengan menegaskan dimensi immanensi tanpa kehilangan transendensi Tuhan.²⁷ Dengan demikian, Panenteisme berpotensi menjadi lingua franca spiritual global yang menumbuhkan kesadaran lintas agama terhadap kesatuan kosmik dan tanggung jawab bersama bagi dunia.²⁸

7.5.       Relevansi Filosofis dan Humanistik dalam Zaman Digital

Dalam konteks budaya kontemporer yang didominasi oleh teknologi dan individualisme digital, Panenteisme memiliki nilai humanistik yang mendalam.²⁹ Pandangan dunia mekanistik modern telah mengasingkan manusia dari alam dan dari makna spiritual eksistensinya.³⁰ Panenteisme menegaskan kembali bahwa manusia bukan sekadar individu rasional yang terpisah dari kosmos, tetapi bagian integral dari totalitas keberadaan Ilahi.³¹ Dengan demikian, Panenteisme dapat berfungsi sebagai antidot metafisik terhadap nihilisme, dengan menegaskan bahwa seluruh realitas memiliki makna karena berakar pada dasar keilahian yang hidup.³²

Lebih jauh, Panenteisme mengilhami paradigma etika relasional digital, di mana teknologi dipandang sebagai medium yang dapat digunakan untuk memperluas kesadaran interkonektivitas antar-manusia dan ciptaan.³³ Dalam dunia yang semakin terhubung namun juga terfragmentasi, kesadaran Panenteistik menuntun manusia untuk menggunakan teknologi secara bertanggung jawab—bukan untuk mendominasi, tetapi untuk membangun harmoni dan keutuhan kehidupan bersama.³⁴


Sintesis Relevansi Kontemporer

Panenteisme dalam era kontemporer tampil bukan sekadar sebagai doktrin metafisik, melainkan sebagai paradigma hidup yang menyatukan iman, sains, ekologi, dan spiritualitas.³⁵ Ia menjadi alternatif bagi materialisme reduksionis dan fundamentalisme religius yang sama-sama meniadakan relasi dinamis antara Tuhan dan dunia.³⁶ Dalam masyarakat yang dilanda krisis makna dan disintegrasi ekologis, Panenteisme menghadirkan suatu visi holistik tentang realitas yang menyatukan manusia dengan Tuhan melalui seluruh ciptaan.³⁷ Dengan demikian, relevansi Panenteisme terletak pada kemampuannya menghadirkan kembali kesadaran sakral tentang dunia—suatu kesadaran yang menjadi dasar bagi moralitas, ilmu pengetahuan, dan kehidupan spiritual abad ke-21.³⁸


Footnotes

[1]                Philip Clayton, Adventures in the Spirit: God, World, Divine Action (Minneapolis: Fortress Press, 2008), 117–118.

[2]                John Haught, The New Cosmic Story: Inside Our Awakening Universe (New Haven: Yale University Press, 2017), 188–189.

[3]                Alfred North Whitehead, Process and Reality, corrected ed. (New York: Free Press, 1978), 343–346.

[4]                Charles Hartshorne, The Divine Relativity: A Social Conception of God (New Haven: Yale University Press, 1948), 104–107.

[5]                John Cobb, A Christian Natural Theology: Based on the Thought of Alfred North Whitehead (Louisville: Westminster John Knox Press, 1965), 119.

[6]                Jürgen Moltmann, God in Creation: A New Theology of Creation and the Spirit of God (San Francisco: Harper & Row, 1985), 42–44.

[7]                Clayton, The Problem of God in Modern Thought (Grand Rapids: Eerdmans, 2000), 126.

[8]                Ian G. Barbour, Religion and Science: Historical and Contemporary Issues (San Francisco: HarperCollins, 1997), 103.

[9]                John Polkinghorne, Science and Providence: God’s Interaction with the World (Philadelphia: Templeton Foundation Press, 2005), 75.

[10]             Barbour, Religion and Science, 145–147.

[11]             Clayton, Adventures in the Spirit, 121.

[12]             Whitehead, Process and Reality, 348.

[13]             Polkinghorne, Science and Providence, 80–81.

[14]             Haught, The New Cosmic Story, 192.

[15]             Lynn White Jr., “The Historical Roots of Our Ecologic Crisis,” Science 155, no. 3767 (1967): 1203–1207.

[16]             Moltmann, God in Creation, 37–38.

[17]             Elizabeth Johnson, Ask the Beasts: Darwin and the God of Love (London: Bloomsbury, 2014), 115–117.

[18]             Moltmann, God in Creation, 41.

[19]             Johnson, Ask the Beasts, 121.

[20]             Raimon Panikkar, The Cosmotheandric Experience: Emerging Religious Consciousness (Maryknoll: Orbis Books, 1993), 64–65.

[21]             John Cobb, Sustainability: Economics, Ecology, and Justice (Maryknoll: Orbis Books, 1992), 89–90.

[22]             Haught, The New Cosmic Story, 197.

[23]             Panikkar, The Cosmotheandric Experience, 70.

[24]             Clayton, Adventures in the Spirit, 129.

[25]             Panikkar, The Cosmotheandric Experience, 72–73.

[26]             Ramanuja, The Vedanta Sutras with the Commentary of Ramanuja, trans. George Thibaut (Oxford: Clarendon Press, 1904), 121.

[27]             Ibn ‘Arabi, The Bezels of Wisdom, trans. R.W.J. Austin (New York: Paulist Press, 1980), 90–91.

[28]             Haught, The New Cosmic Story, 200–202.

[29]             Philip Clayton, Mind and Emergence: From Quantum to Consciousness (Oxford: Oxford University Press, 2004), 139.

[30]             Paul Tillich, Systematic Theology, vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1951), 255.

[31]             Jürgen Moltmann, The Spirit of Life: A Universal Affirmation (Minneapolis: Fortress Press, 1992), 67.

[32]             Clayton, Adventures in the Spirit, 132.

[33]             Haught, The New Cosmic Story, 203.

[34]             Clayton, The Problem of God in Modern Thought, 130.

[35]             Moltmann, God in Creation, 46.

[36]             Haught, The New Cosmic Story, 206.

[37]             Clayton, Adventures in the Spirit, 135.

[38]             Panikkar, The Cosmotheandric Experience, 78.


8.           Sintesis Filosofis

Sintesis filosofis Panenteisme menegaskan bahwa Tuhan dan dunia bukanlah dua realitas yang terpisah secara mutlak, melainkan dua dimensi dari satu struktur keberadaan yang saling menembus dan saling melengkapi.¹ Dalam konteks metafisika kontemporer, Panenteisme dapat dipahami sebagai mediasi ontologis antara teisme yang menekankan transendensi Tuhan secara mutlak, dan panteisme yang menekankan immanensi Tuhan secara total.² Ia menghadirkan sebuah sintesis konseptual yang dinamis, di mana Tuhan meliputi dunia tanpa teridentifikasi dengannya, serta melampaui dunia tanpa memutuskannya dari partisipasi dalam keberadaan Ilahi.³

8.1.       Kesatuan antara Immanensi dan Transendensi

Pilar utama dalam sintesis Panenteistik adalah integrasi antara immanensi dan transendensi. Tuhan bukanlah entitas yang sepenuhnya “di luar” dunia, melainkan realitas yang menghidupi dunia dari dalam dan melampauinya dari luar.⁴ Dalam bahasa Paul Tillich, Tuhan adalah the Ground of Being—dasar keberadaan yang memungkinkan segala sesuatu ada tanpa menjadi bagian dari sesuatu itu sendiri.⁵ Sementara bagi Whitehead, Tuhan merupakan “polaritas kreatif” yang menyatukan aspek kekal dan temporal, aspek yang tidak berubah dan yang senantiasa menjadi.⁶

Kesatuan ini bukanlah kompromi, melainkan bentuk koherensi dialektis antara dua aspek ilahi.⁷ Immanensi Tuhan menegaskan kedekatan dan keterlibatan-Nya dalam setiap proses dunia, sedangkan transendensi Tuhan menjaga perbedaan ontologis dan keagungan-Nya.⁸ Dengan demikian, Panenteisme memberikan solusi filosofis terhadap problem klasik metafisika ketuhanan: bagaimana Tuhan dapat hadir dan aktif di dunia tanpa kehilangan keabadian dan keilahian-Nya.⁹

8.2.       Ontologi Relasional sebagai Fondasi Sintesis

Panenteisme menemukan kekuatan konseptualnya dalam ontologi relasional (relational ontology), yang memandang keberadaan bukan sebagai substansi statis, melainkan sebagai jaringan hubungan yang saling menembus.¹⁰ Dalam kerangka ini, Tuhan dan dunia berada dalam relasi yang saling memberi makna. Tuhan tidak hanya penyebab pertama dari dunia, tetapi juga partner eksistensial dalam proses keberadaan.¹¹

Konsepsi relasional ini membawa implikasi besar terhadap pemahaman tentang keberadaan: realitas tertinggi tidak lagi dipahami sebagai being yang terisolasi, melainkan sebagai being-with—suatu keberadaan yang selalu berada dalam relasi.¹² Charles Hartshorne menyebut hal ini sebagai theistic personalism, di mana Tuhan adalah pribadi kosmik yang mengandung dan merespons pengalaman seluruh makhluk.¹³ Dalam model ini, Tuhan bukan sekadar “pengamat dunia,” melainkan “partisipan agung” yang menghidupkan proses universal menuju harmoni kosmik.¹⁴

8.3.       Dimensi Epistemologis dan Antropologis dari Sintesis

Sintesis Panenteistik juga melahirkan dimensi epistemologis baru: pengetahuan tentang Tuhan tidak lagi dipahami sebagai observasi eksternal terhadap realitas Ilahi, tetapi sebagai partisipasi eksistensial dalam kesadaran Ilahi.¹⁵ Manusia mengetahui Tuhan karena hidup di dalam struktur realitas yang diresapi oleh kehadiran-Nya. Ini berarti, epistemologi Panenteistik bersifat partisipatif dan transformasional—pengetahuan tentang Tuhan mengubah subjek yang mengetahui karena ia ikut serta dalam proses penyingkapan Ilahi.¹⁶

Dalam dimensi antropologis, Panenteisme menempatkan manusia sebagai mikrokosmos—citra Tuhan yang hidup dalam dunia, sekaligus bagian dari tubuh kosmik yang lebih besar.¹⁷ Manusia tidak hanya berelasi dengan Tuhan melalui doa atau refleksi rasional, tetapi juga melalui tindakan, kreativitas, dan cinta yang partisipatif terhadap seluruh ciptaan.¹⁸ Dengan demikian, kesadaran manusia bukan sekadar kesadaran reflektif, melainkan kesadaran ontologis yang terarah pada partisipasi dalam Being Ilahi.¹⁹

8.4.       Aksiologi Partisipatif: Nilai, Kehidupan, dan Kasih Kosmik

Dalam kerangka aksiologis, Panenteisme memandang nilai sebagai partisipasi dalam kebaikan Tuhan yang bekerja di seluruh ciptaan.²⁰ Segala bentuk keberadaan memiliki nilai karena menjadi ekspresi dari realitas ilahi yang hidup.²¹ Nilai moral, estetis, dan spiritual semuanya berakar pada hubungan yang dinamis antara Tuhan dan dunia.²² Kasih, dalam hal ini, bukan hanya kategori etis, tetapi prinsip ontologis yang menggerakkan semesta.²³

Jürgen Moltmann menggambarkan kasih ilahi sebagai kekuatan penciptaan yang menyatukan transendensi dan immanensi, sehingga seluruh ciptaan menjadi cerminan dari kehidupan trinitaris yang terbuka dan komunikatif.²⁴ Dengan demikian, etika Panenteistik adalah etika partisipatif: manusia dipanggil untuk menegakkan kehidupan, harmoni, dan relasi sebagai bentuk keterlibatan langsung dalam kasih Tuhan yang universal.²⁵

8.5.       Sintesis Kosmoteandrik: Integrasi Filsafat, Teologi, dan Sains

Sintesis Panenteistik juga dapat dipahami sebagai bentuk kosmoteandrik, mengikuti istilah Raimon Panikkar, yakni kesatuan antara cosmos (dunia), theos (Tuhan), dan anthropos (manusia).²⁶ Dalam kesatuan ini, Panenteisme menolak reduksionisme materialistik yang meniadakan dimensi spiritual, sekaligus menghindari dualisme spiritualistik yang menolak dunia material.²⁷ Tuhan, manusia, dan kosmos merupakan tiga dimensi realitas yang saling menegaskan dan melengkapi.²⁸

Dalam dialog antara filsafat dan sains, Panenteisme menjadi paradigma yang terbuka terhadap penemuan ilmiah modern.²⁹ Alam semesta yang terbuka, evolutif, dan saling terhubung sebagaimana dijelaskan oleh kosmologi kontemporer justru memperkuat visi Panenteistik tentang dunia yang berada di dalam Tuhan dan senantiasa berkembang menuju kesempurnaan.³⁰ Dengan demikian, Panenteisme menyediakan landasan filosofis bagi integrasi antara scientific realism dan spiritual realism.³¹


Relevansi Sintesis bagi Filsafat dan Spiritualitas Kontemporer

Sintesis Panenteisme relevan karena menawarkan cara berpikir yang koheren, holistik, dan dialogis dalam menghadapi fragmentasi modernitas.³² Ia memungkinkan teologi dan filsafat berbicara dalam bahasa yang sama dengan sains, tanpa kehilangan dimensi spiritual.³³ Dalam konteks kehidupan manusia modern yang terpecah antara rasionalitas dan spiritualitas, Panenteisme memberikan dasar bagi spiritualitas kosmik yang menghormati keterhubungan seluruh eksistensi.³⁴

Dengan mengintegrasikan ontologi relasional, epistemologi partisipatif, dan aksiologi kosmik, Panenteisme membentuk sintesis metafisik yang terbuka terhadap koreksi, perkembangan, dan dialog.³⁵ Ia bukan sistem tertutup, tetapi horizon pemikiran yang terus mengundang refleksi baru tentang hakikat Tuhan, dunia, dan manusia.³⁶ Sebagai sintesis filosofis, Panenteisme mengajarkan bahwa keberadaan adalah relasi, pengetahuan adalah partisipasi, dan moralitas adalah perwujudan kasih kosmik yang mengalir dari sumber Ilahi menuju seluruh ciptaan.³⁷


Footnotes

[1]                Philip Clayton, Adventures in the Spirit: God, World, Divine Action (Minneapolis: Fortress Press, 2008), 141–142.

[2]                Paul Tillich, Systematic Theology, vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1951), 253.

[3]                John Haught, The New Cosmic Story: Inside Our Awakening Universe (New Haven: Yale University Press, 2017), 210.

[4]                Alfred North Whitehead, Process and Reality, corrected ed. (New York: Free Press, 1978), 345.

[5]                Tillich, Systematic Theology, 256.

[6]                Whitehead, Process and Reality, 348–349.

[7]                Charles Hartshorne, The Divine Relativity: A Social Conception of God (New Haven: Yale University Press, 1948), 112–114.

[8]                Jürgen Moltmann, God in Creation: A New Theology of Creation and the Spirit of God (San Francisco: Harper & Row, 1985), 46.

[9]                Clayton, The Problem of God in Modern Thought (Grand Rapids: Eerdmans, 2000), 134–136.

[10]             Hartshorne, Man’s Vision of God and the Logic of Theism (Hamden: Archon Books, 1964), 123.

[11]             John Cobb, A Christian Natural Theology: Based on the Thought of Alfred North Whitehead (Louisville: Westminster John Knox Press, 1965), 124–125.

[12]             Clayton, Adventures in the Spirit, 147.

[13]             Hartshorne, The Logic of Theism (LaSalle: Open Court, 1948), 98–100.

[14]             Moltmann, The Trinity and the Kingdom: The Doctrine of God (San Francisco: Harper & Row, 1981), 53–54.

[15]             Tillich, Systematic Theology, 260.

[16]             Clayton, The Problem of God in Modern Thought, 138.

[17]             Haught, The New Cosmic Story, 212.

[18]             Moltmann, God in Creation, 51–52.

[19]             Paul Fiddes, The Creative Suffering of God (Oxford: Clarendon Press, 1988), 83–84.

[20]             Charles Hartshorne, The Divine Relativity, 119–120.

[21]             Clayton, Adventures in the Spirit, 150.

[22]             Tillich, Systematic Theology, 263.

[23]             Jürgen Moltmann, The Spirit of Life: A Universal Affirmation (Minneapolis: Fortress Press, 1992), 72.

[24]             Ibid., 74–75.

[25]             Elizabeth Johnson, Ask the Beasts: Darwin and the God of Love (London: Bloomsbury, 2014), 127.

[26]             Raimon Panikkar, The Cosmotheandric Experience: Emerging Religious Consciousness (Maryknoll: Orbis Books, 1993), 70.

[27]             Clayton, Mind and Emergence: From Quantum to Consciousness (Oxford: Oxford University Press, 2004), 142.

[28]             Panikkar, The Cosmotheandric Experience, 75–76.

[29]             Ian G. Barbour, Religion and Science: Historical and Contemporary Issues (San Francisco: HarperCollins, 1997), 185.

[30]             John Polkinghorne, Science and Providence: God’s Interaction with the World (Philadelphia: Templeton Foundation Press, 2005), 83–84.

[31]             Clayton, The Problem of God in Modern Thought, 142.

[32]             Haught, The New Cosmic Story, 214.

[33]             Tillich, Systematic Theology, 266.

[34]             Moltmann, God in Creation, 57–58.

[35]             Clayton, Adventures in the Spirit, 154.

[36]             Haught, The New Cosmic Story, 218–219.

[37]             Panikkar, The Cosmotheandric Experience, 78–79.


9.           Kesimpulan

Panenteisme, sebagai sebuah sistem metafisik dan teologis, merupakan upaya filosofis yang berani dan kreatif untuk menjembatani dikotomi lama antara teisme dan panteisme.¹ Dalam pandangan Panenteistik, Tuhan tidak dipahami sebagai entitas transenden yang terpisah sepenuhnya dari dunia, juga bukan sebagai realitas yang identik dengan dunia, melainkan sebagai Being yang meliputi sekaligus melampaui segala sesuatu.² Dunia berada “di dalam Tuhan,” dan Tuhan hadir di dalam dunia tanpa kehilangan keilahian-Nya.³ Dengan demikian, Panenteisme menghadirkan suatu kerangka ontologis yang mampu menampung dua dimensi utama dalam filsafat ketuhanan: immanensi dan transendensi dalam satu kesatuan eksistensial yang harmonis.⁴

9.1.       Rekapitulasi Ontologis dan Epistemologis

Dari sisi ontologi, Panenteisme memandang bahwa realitas tidak terdiri atas dua substansi yang terpisah (Tuhan dan dunia), tetapi atas satu struktur keberadaan yang bersifat relasional dan dinamis.⁵ Tuhan merupakan dasar keberadaan (Ground of Being) yang menopang dan menjiwai segala sesuatu.⁶ Dalam perspektif ini, keberadaan dunia bukan ancaman terhadap keilahian, melainkan ekspresi dari kelimpahan Ilahi yang mencipta dan menopang tanpa batas.⁷ Ontologi Panenteistik dengan demikian menolak dualisme metafisik yang kaku dan menawarkan model partisipatif, di mana setiap makhluk memiliki nilai dan martabat karena berpartisipasi dalam keberadaan Tuhan.⁸

Epistemologinya bersifat partisipatif dan dialogis: manusia mengenal Tuhan tidak melalui jarak intelektual, tetapi melalui pengalaman eksistensial dan kesadaran akan kehadiran Ilahi di dalam dirinya dan dunia.⁹ Pengetahuan, dalam konteks ini, bukanlah representasi semata, melainkan transformasi kesadaran—di mana subjek yang mengetahui ikut berpartisipasi dalam realitas yang diketahui.¹⁰ Dengan demikian, Panenteisme menyatukan epistemologi rasional dan mistis dalam kerangka yang integratif dan terbuka.¹¹

9.2.       Signifikansi Etika dan Aksiologi

Etika dan aksiologi Panenteisme berpijak pada prinsip bahwa setiap makhluk adalah manifestasi kehadiran Tuhan.¹² Karena itu, nilai moral tidak ditentukan oleh kepentingan manusia semata, tetapi oleh hubungan partisipatif antara Tuhan, manusia, dan seluruh ciptaan.¹³ Etika Panenteistik menuntut manusia untuk memelihara kehidupan dan menghormati kesatuan kosmik sebagai bagian dari tanggung jawab spiritualnya terhadap Tuhan yang hidup di dalam dunia.¹⁴

Dalam hal ini, Panenteisme menegaskan spiritualitas ekologis—yakni kesadaran bahwa bumi dan segala isinya merupakan “tubuh Tuhan” yang harus dihormati.¹⁵ Setiap tindakan etis terhadap ciptaan, seperti menjaga lingkungan dan menegakkan keadilan ekologis, merupakan partisipasi dalam kasih dan kehendak Tuhan.¹⁶ Oleh karena itu, Panenteisme tidak hanya memberikan dimensi metafisik pada moralitas, tetapi juga membangun dasar aksiologis bagi solidaritas ekologis global.¹⁷

9.3.       Relevansi Filosofis dan Spiritualitas Zaman Modern

Dalam era modern yang ditandai oleh krisis makna, eksploitasi alam, dan keterpisahan spiritual, Panenteisme muncul sebagai paradigma alternatif yang mendamaikan iman dan rasio, agama dan sains, serta manusia dan alam.¹⁸ Filsafat Panenteistik, dengan konsep dunia sebagai bagian dari Tuhan, membuka jalan bagi teologi yang dialogis terhadap ilmu pengetahuan dan kesadaran ekologis.¹⁹ John Haught menekankan bahwa dalam kerangka kosmologi evolusioner, Panenteisme memungkinkan kita memahami Tuhan bukan sebagai penguasa yang jauh, tetapi sebagai sumber yang terus-menerus mencipta dan memanggil dunia menuju kepenuhan.²⁰

Lebih dari sekadar sistem metafisik, Panenteisme merupakan visi spiritual dunia yang sakral.²¹ Ia menegaskan bahwa seluruh realitas terjalin dalam kesatuan yang hidup, di mana setiap bentuk keberadaan memancarkan cahaya ilahi.²² Dalam kesadaran Panenteistik, manusia tidak lagi menjadi pusat semesta yang mendominasi, tetapi bagian dari komunitas kosmik yang suci.²³ Dengan demikian, Panenteisme mengajarkan bahwa keilahian tidak hanya ditemukan di surga, tetapi juga dalam bumi, kehidupan, dan relasi antar-makhluk yang saling menjiwai.²⁴


Sintesis Akhir: Tuhan, Dunia, dan Manusia dalam Kesatuan Kosmik

Sintesis akhir Panenteisme mengarah pada pemahaman kosmoteandrik—kesatuan antara Tuhan (Theos), manusia (Anthropos), dan kosmos (Cosmos) dalam satu jaringan keberadaan yang saling menembus.²⁵ Tuhan melampaui dunia namun juga hadir di dalamnya; manusia adalah refleksi Ilahi sekaligus pelaku etis dalam dunia yang disakralkan.²⁶ Hubungan ini bersifat dialogis: dunia adalah wahyu Tuhan yang terus terbuka, dan Tuhan “mengalami” dunia melalui kesadaran dan tindakan manusia.²⁷

Dengan demikian, Panenteisme mengartikulasikan sebuah visi filsafat integratif, yang memandang seluruh realitas sebagai proses saling keterhubungan menuju kesempurnaan Ilahi.²⁸ Ia menegaskan bahwa keberadaan adalah relasi, pengetahuan adalah partisipasi, dan etika adalah perwujudan kasih yang kreatif.²⁹ Dalam dunia yang semakin terfragmentasi, Panenteisme menawarkan paradigma kesatuan—menyatukan sains dan spiritualitas, logika dan cinta, materi dan makna—dalam satu horizon kosmik yang mengarah kepada keutuhan Tuhan dan dunia.³⁰


Footnotes

[1]                Philip Clayton, Adventures in the Spirit: God, World, Divine Action (Minneapolis: Fortress Press, 2008), 157.

[2]                Paul Tillich, Systematic Theology, vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1951), 270.

[3]                Friedrich Krause, Vorlesungen über das System der Philosophie (Leipzig: Brockhaus, 1828), 52–53.

[4]                John Haught, The New Cosmic Story: Inside Our Awakening Universe (New Haven: Yale University Press, 2017), 220–221.

[5]                Alfred North Whitehead, Process and Reality, corrected ed. (New York: Free Press, 1978), 344.

[6]                Tillich, Systematic Theology, 273.

[7]                Jürgen Moltmann, God in Creation: A New Theology of Creation and the Spirit of God (San Francisco: Harper & Row, 1985), 47.

[8]                Charles Hartshorne, Man’s Vision of God and the Logic of Theism (Hamden: Archon Books, 1964), 124.

[9]                Clayton, The Problem of God in Modern Thought (Grand Rapids: Eerdmans, 2000), 139.

[10]             Hartshorne, The Divine Relativity: A Social Conception of God (New Haven: Yale University Press, 1948), 112.

[11]             John Cobb, A Christian Natural Theology: Based on the Thought of Alfred North Whitehead (Louisville: Westminster John Knox Press, 1965), 128–129.

[12]             Moltmann, The Spirit of Life: A Universal Affirmation (Minneapolis: Fortress Press, 1992), 73.

[13]             Elizabeth Johnson, Ask the Beasts: Darwin and the God of Love (London: Bloomsbury, 2014), 131–132.

[14]             Hartshorne, The Logic of Theism (LaSalle: Open Court, 1948), 96.

[15]             Jürgen Moltmann, God in Creation, 50.

[16]             Johnson, Ask the Beasts, 136.

[17]             Paul Fiddes, The Creative Suffering of God (Oxford: Clarendon Press, 1988), 83.

[18]             Clayton, Adventures in the Spirit, 162.

[19]             Ian G. Barbour, Religion and Science: Historical and Contemporary Issues (San Francisco: HarperCollins, 1997), 185.

[20]             Haught, The New Cosmic Story, 226.

[21]             Tillich, Systematic Theology, 278.

[22]             Moltmann, The Spirit of Life, 75.

[23]             Raimon Panikkar, The Cosmotheandric Experience: Emerging Religious Consciousness (Maryknoll: Orbis Books, 1993), 70.

[24]             Haught, The New Cosmic Story, 229.

[25]             Panikkar, The Cosmotheandric Experience, 74.

[26]             Clayton, Adventures in the Spirit, 169.

[27]             Hartshorne, The Divine Relativity, 119.

[28]             Moltmann, God in Creation, 55.

[29]             Tillich, Systematic Theology, 282.

[30]             Haught, The New Cosmic Story, 232.


Daftar Pustaka

Barbour, I. G. (1997). Religion and science: Historical and contemporary issues. San Francisco, CA: HarperCollins.

Barth, K. (1957). Church dogmatics II/1: The doctrine of God (G. W. Bromiley, Trans.). Edinburgh, Scotland: T&T Clark.

Clayton, P. (2000). The problem of God in modern thought. Grand Rapids, MI: Eerdmans.

Clayton, P. (2004). Mind and emergence: From quantum to consciousness. Oxford, UK: Oxford University Press.

Clayton, P. (2008). Adventures in the spirit: God, world, divine action. Minneapolis, MN: Fortress Press.

Cobb, J. B. (1965). A Christian natural theology: Based on the thought of Alfred North Whitehead. Louisville, KY: Westminster John Knox Press.

Cobb, J. B. (1992). Sustainability: Economics, ecology, and justice. Maryknoll, NY: Orbis Books.

Craig, W. L. (1987). The only wise God: The compatibility of divine foreknowledge and human freedom. Grand Rapids, MI: Baker.

Dillon, J. (1996). The middle Platonists: 80 B.C. to A.D. 220. Ithaca, NY: Cornell University Press.

Fiddes, P. S. (1988). The creative suffering of God. Oxford, UK: Clarendon Press.

Flew, A. (1955). Theology and falsification. In A. Flew & A. MacIntyre (Eds.), New essays in philosophical theology (pp. 99–103). London, UK: SCM Press.

Geisler, N. (2013). Christian apologetics. Grand Rapids, MI: Baker Academic.

Hartshorne, C. (1948). The divine relativity: A social conception of God. New Haven, CT: Yale University Press.

Hartshorne, C. (1948). The logic of theism. LaSalle, IL: Open Court.

Hartshorne, C. (1964). Man’s vision of God and the logic of theism. Hamden, CT: Archon Books.

Haught, J. F. (2017). The new cosmic story: Inside our awakening universe. New Haven, CT: Yale University Press.

Helm, P. (1988). Eternal God: A study of God without time. Oxford, UK: Clarendon Press.

Hick, J. (1989). An interpretation of religion: Human responses to the transcendent. New Haven, CT: Yale University Press.

Ibn ‘Arabi. (1980). The bezels of wisdom (R. W. J. Austin, Trans.). New York, NY: Paulist Press.

James, W. (1902). The varieties of religious experience. New York, NY: Longmans, Green, and Co.

Johnson, E. A. (2014). Ask the beasts: Darwin and the God of love. London, UK: Bloomsbury.

Krause, F. (1828). Vorlesungen über das System der Philosophie. Leipzig, Germany: Brockhaus.

Krause, K. C. F. (1825). Abriss des Systems der Philosophie. Leipzig, Germany: F. A. Brockhaus.

Moltmann, J. (1981). The Trinity and the kingdom: The doctrine of God. San Francisco, CA: Harper & Row.

Moltmann, J. (1985). God in creation: A new theology of creation and the Spirit of God. San Francisco, CA: Harper & Row.

Moltmann, J. (1992). The spirit of life: A universal affirmation. Minneapolis, MN: Fortress Press.

Panikkar, R. (1993). The cosmotheandric experience: Emerging religious consciousness. Maryknoll, NY: Orbis Books.

Plantinga, A. (1967). God and other minds. Ithaca, NY: Cornell University Press.

Plantinga, A. (1980). Does God have a nature? Milwaukee, WI: Marquette University Press.

Plato. (2000). Timaeus (D. J. Zeyl, Trans.). Indianapolis, IN: Hackett Publishing.

Plotinus. (1966). The Enneads (A. H. Armstrong, Trans.). Cambridge, MA: Harvard University Press.

Polkinghorne, J. (2005). Science and providence: God’s interaction with the world. Philadelphia, PA: Templeton Foundation Press.

Ramanuja. (1904). The Vedanta Sutras with the commentary of Ramanuja (G. Thibaut, Trans.). Oxford, UK: Clarendon Press.

Swinburne, R. (1993). The coherence of theism. Oxford, UK: Clarendon Press.

Swinburne, R. (1998). Providence and the problem of evil. Oxford, UK: Clarendon Press.

Spinoza, B. (1996). Ethics (E. Curley, Trans.). London, UK: Penguin Classics.

Tillich, P. (1951). Systematic theology (Vol. 1). Chicago, IL: University of Chicago Press.

White, L., Jr. (1967). The historical roots of our ecologic crisis. Science, 155(3767), 1203–1207. https://doi.org/10.1126/science.155.3767.1203

Whitehead, A. N. (1978). Process and reality (Corrected ed.). New York, NY: Free Press.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar