Panenteisme
Integrasi Ontologis antara Ketuhanan dan Dunia dalam
Perspektif Metafisika
Alihkan ke: Aliran Metafisik dalam Filsafat.
Abstrak
Artikel ini membahas secara komprehensif aliran
filsafat Panenteisme sebagai salah satu cabang penting dalam metafisika
kontemporer yang berupaya menjembatani dikotomi antara teisme dan panteisme.
Melalui pendekatan historis, ontologis, epistemologis, etis, dan aksiologis,
tulisan ini menelusuri asal-usul, struktur konseptual, serta relevansi
Panenteisme dalam konteks filsafat dan spiritualitas modern. Secara ontologis,
Panenteisme menegaskan bahwa Tuhan dan dunia berada dalam relasi saling
menembus—dunia berada di dalam Tuhan, namun Tuhan tetap melampaui
dunia. Epistemologinya berakar pada gagasan partisipasi eksistensial, di mana
pengetahuan tentang Tuhan bersifat relasional dan transformasional, bukan
sekadar konseptual. Secara etis, Panenteisme melahirkan paradigma moral yang
partisipatif dan ekologis, karena memandang seluruh ciptaan sebagai manifestasi
dari kehadiran Ilahi.
Artikel ini juga meninjau kritik terhadap
Panenteisme dari berbagai perspektif—teisme klasik, panteisme, dan rasionalisme
modern—sekaligus menunjukkan bagaimana aliran ini menawarkan sintesis filosofis
yang kreatif melalui ontologi relasional, epistemologi partisipatif, dan
aksiologi kosmik. Dalam konteks kontemporer, Panenteisme terbukti relevan bagi
dialog antara sains dan agama, krisis ekologis global, serta spiritualitas
lintas agama, karena menawarkan paradigma integratif yang memandang Tuhan,
manusia, dan dunia dalam satu kesatuan kosmoteandrik yang dinamis.
Kesimpulannya, Panenteisme bukan sekadar sistem metafisik, melainkan suatu visi
filosofis dan spiritual yang menegaskan bahwa keberadaan adalah relasi,
pengetahuan adalah partisipasi, dan moralitas adalah perwujudan kasih kosmik
dalam tatanan realitas yang sakral.
Kata Kunci: Panenteisme, Metafisika, Immanensi, Transendensi,
Ontologi Relasional, Epistemologi Partisipatif, Teologi Proses, Kosmoteandrik,
Etika Ekologis, Spiritualitas Global.
PEMBAHASAN
Panenteisme dalam Dialog antara Teisme, Panteisme, dan
Naturalisme
1.
Pendahuluan
Panenteisme merupakan salah satu aliran penting
dalam cabang metafisika yang berupaya menjembatani dua kutub ekstrem dalam
filsafat ketuhanan, yakni teisme dan panteisme. Secara etimologis, istilah panenteisme
berasal dari bahasa Yunani pan-en-theos, yang berarti “segala sesuatu
berada di dalam Tuhan.” Berbeda dengan panteisme yang menyamakan
Tuhan dengan alam semesta, serta teisme yang memisahkan Tuhan secara
mutlak dari ciptaan-Nya, Panenteisme menegaskan bahwa dunia ada di dalam Tuhan,
tetapi Tuhan tidak terbatas pada dunia. Dengan demikian, Panenteisme berupaya
menghadirkan suatu kerangka metafisik yang menyatukan immanensi dan
transendensi tanpa kehilangan keduanya dalam reduksi ontologis yang ekstrem.¹
Dalam sejarah pemikiran filsafat, gagasan Panenteistik
memiliki akar yang panjang dan kompleks. Jejak awalnya dapat ditemukan dalam
Neoplatonisme, khususnya pada pemikiran Plotinus yang menekankan emanasi—bahwa
segala sesuatu berasal dari Yang Esa tanpa mengurangi keutuhan-Nya.² Tradisi
ini kemudian menemukan bentuk teologisnya dalam berbagai sistem metafisika
religius, baik dalam konteks Kristen, Hindu, maupun mistisisme Islam. Dalam
tradisi Kristen modern, istilah panentheism pertama kali diperkenalkan
oleh filsuf Jerman Friedrich Krause (1781–1832), yang berupaya menolak dualisme
Cartesian sekaligus menghindari monisme panteistik ala Spinoza.³ Melalui
gagasan bahwa Tuhan “melingkupi” dunia tanpa terserap di dalamnya,
Krause dan para penerusnya seperti Alfred North Whitehead dan Charles
Hartshorne menegaskan bahwa realitas ilahi bersifat dinamis, partisipatif, dan
berhubungan secara imanen dengan ciptaan.⁴
Relevansi Panenteisme dalam konteks metafisika
kontemporer semakin kuat karena ia menawarkan paradigma yang mampu menanggapi
krisis spiritual dan ekologis zaman modern. Ketika modernitas menekankan
dikotomi antara subjek dan objek, serta antara Tuhan dan dunia, Panenteisme
hadir sebagai bentuk koreksi terhadap fragmentasi metafisik yang dihasilkan
oleh dualisme tersebut.⁵ Dalam pandangan ini, dunia tidak sekadar benda pasif
yang diciptakan, tetapi bagian integral dari keberadaan Tuhan yang senantiasa
berproses menuju kesempurnaan. Hal ini sejalan dengan pandangan teologi proses,
yang memahami Tuhan bukan sebagai entitas statis dan transenden secara absolut,
melainkan sebagai realitas yang ikut berpartisipasi dalam dinamika dunia.⁶
Pendekatan Panenteistik juga membuka ruang bagi
dialog antara filsafat dan sains modern. Dalam kosmologi kontemporer, misalnya,
konsep keterhubungan dan ketergantungan sistemik dalam alam semesta—seperti
yang ditemukan dalam fisika kuantum dan teori kompleksitas—menawarkan analogi
empiris terhadap hubungan Tuhan dan dunia dalam Panenteisme.⁷ Dengan demikian,
Panenteisme tidak hanya memiliki relevansi teologis, tetapi juga epistemologis
dan ekologis, karena menegaskan sakralitas seluruh ciptaan sebagai manifestasi
kehadiran ilahi.
Artikel ini bertujuan untuk mengkaji Panenteisme
sebagai suatu sistem metafisik yang menyatukan dimensi transendensi dan
immanensi Tuhan secara koheren. Melalui pendekatan historis, ontologis,
epistemologis, dan etis, tulisan ini berupaya menelusuri akar pemikiran
Panenteistik, menelaah struktur metafisiknya, serta mengkaji relevansinya bagi
filsafat dan spiritualitas kontemporer. Dengan kerangka tersebut, diharapkan
pembahasan ini dapat memberikan pemahaman yang mendalam dan sistematis tentang
bagaimana Panenteisme berfungsi sebagai paradigma metafisika yang integratif
dan terbuka bagi perkembangan pemikiran manusia tentang Tuhan dan dunia.⁸
Footnotes
[1]
Philip Clayton, Adventures in the Spirit: God,
World, Divine Action (Minneapolis: Fortress Press, 2008), 45–47.
[2]
Plotinus, The Enneads, trans. A.H. Armstrong
(Cambridge: Harvard University Press, 1966), 211–213.
[3]
Friedrich Krause, Vorlesungen über das System
der Philosophie (Leipzig: Brockhaus, 1828), 52.
[4]
Charles Hartshorne, Man’s Vision of God and the
Logic of Theism (Hamden: Archon Books, 1964), 98–101.
[5]
John Haught, The New Cosmic Story: Inside Our
Awakening Universe (New Haven: Yale University Press, 2017), 122.
[6]
Alfred North Whitehead, Process and Reality,
corrected ed. (New York: Free Press, 1978), 343–345.
[7]
John Polkinghorne, Science and Providence: God’s
Interaction with the World (Philadelphia: Templeton Foundation Press,
2005), 67–70.
[8]
Jürgen Moltmann, God in Creation: A New Theology
of Creation and the Spirit of God (San Francisco: Harper & Row, 1985),
15–17.
2.
Landasan
Historis dan Genealogi Pemikiran Panenteisme
Landasan historis Panenteisme tidak dapat
dilepaskan dari perjalanan panjang filsafat metafisika Barat yang berupaya
menjelaskan hubungan antara Tuhan dan dunia. Sebelum istilah panenteisme
dikenal secara formal, gagasan bahwa dunia berada “di dalam” Tuhan
tetapi tidak identik dengan-Nya telah muncul dalam berbagai sistem pemikiran
sejak zaman Yunani Kuno.¹ Akar awalnya dapat dilacak pada Plato dan
murid-muridnya, terutama dalam dialog Timaeus, di mana Plato
menggambarkan dunia sebagai ciptaan dari Demiurge—pengrajin kosmik yang
mengatur materi sesuai dengan ide-ide abadi.² Walaupun Plato tidak menyamakan
Tuhan dengan dunia, ia menegaskan bahwa keberadaan dunia partisipatif terhadap
realitas ilahi, suatu pandangan yang kelak menjadi fondasi bagi konsep
Panenteistik.
Tradisi Neoplatonisme yang berkembang melalui
pemikiran Plotinus memperdalam relasi partisipatif ini. Plotinus memandang
segala sesuatu sebagai emanasi dari The One atau Yang Esa, sumber
tunggal segala realitas.³ Tuhan, dalam pengertian ini, tidak larut dalam dunia,
melainkan mengekspresikan diri-Nya melalui keberadaan dunia yang bersifat
hierarkis dan bertingkat. Dunia adalah pancaran dari Yang Esa, tetapi Yang Esa
tetap melampaui segala sesuatu yang terpancar darinya.⁴ Gagasan ini kemudian
diadaptasi oleh para Bapa Gereja awal, seperti Augustinus, yang menggabungkan
prinsip Neoplatonik dengan teologi Kristen, menegaskan bahwa Tuhan berada di
atas sekaligus di dalam segala ciptaan.⁵
Memasuki Abad Pertengahan, refleksi Panenteistik
mengalami perkembangan baru melalui tradisi skolastik. Thomas Aquinas, dalam
kerangka teologi naturalnya, menolak pandangan panteistik tetapi tetap
mempertahankan relasi intim antara Tuhan dan ciptaan. Bagi Aquinas, Tuhan
adalah actus purus—keberadaan murni yang menjadi dasar bagi segala
sesuatu—dan dunia berpartisipasi dalam keberadaan-Nya tanpa mengurangi
keilahian Tuhan.⁶ Meskipun Aquinas tidak menggunakan istilah panenteisme,
pandangannya tentang partisipasi ontologis menjadi jembatan penting antara
teisme klasik dan Panenteisme modern.
Pada masa modern awal, muncul pergeseran besar
dalam metafisika Barat dengan kemunculan monisme Spinoza. Dalam sistem Spinoza,
Tuhan dan alam (Deus sive Natura) dipahami sebagai satu substansi yang sama,
suatu pandangan yang menimbulkan kritik karena menghapus batas antara yang
Ilahi dan yang duniawi.⁷ Sebagai tanggapan terhadap ekstremitas panteistik
tersebut, filsuf Jerman Friedrich Krause (1781–1832) memperkenalkan istilah panentheism
secara eksplisit untuk menggambarkan bahwa dunia berada dalam Tuhan, tetapi
Tuhan melampaui dunia.⁸ Krause berusaha mempertahankan transendensi Tuhan tanpa
menolak immanensi-Nya, dengan menempatkan Tuhan sebagai “lingkungan
universal” yang meliputi seluruh eksistensi.⁹
Pemikiran Krause ini kemudian dikembangkan lebih
lanjut oleh Alfred North Whitehead dan Charles Hartshorne dalam konteks
filsafat proses pada abad ke-20. Whitehead, melalui Process and Reality,
memahami realitas sebagai proses yang saling berhubungan, di mana Tuhan
berperan bukan sebagai penguasa statis, melainkan sebagai partisipan dalam
dinamika dunia.¹⁰ Hartshorne melanjutkan gagasan ini dengan menegaskan bahwa
Tuhan memiliki dua aspek: aspek abadi yang melampaui perubahan, dan aspek
temporal yang turut berproses bersama ciptaan.¹¹ Dalam pandangan ini, Tuhan
bukan entitas yang jauh dan tidak terlibat, melainkan realitas hidup yang
berinteraksi dengan dunia secara terus-menerus.
Selain dalam tradisi Barat, gagasan Panenteistik juga
ditemukan dalam berbagai sistem metafisika Timur. Dalam Vedānta, khususnya
dalam ajaran Vishishtadvaita Ramanuja, Tuhan (Brahman) dipahami sebagai
realitas tertinggi yang meliputi dan menjiwai seluruh alam semesta tanpa
kehilangan keagungan-Nya.¹² Demikian pula dalam mistisisme Islam, khususnya
melalui Ibn ‘Arabi, muncul gagasan wahdat al-wujud (kesatuan eksistensi)
yang menekankan bahwa segala sesuatu merupakan manifestasi dari wujud Ilahi,
meskipun Tuhan tetap melampaui seluruh ciptaan-Nya.¹³
Dengan demikian, genealogi Panenteisme menunjukkan
kontinuitas ide mengenai hubungan yang dialektis antara immanensi dan
transendensi Tuhan. Ia bukanlah doktrin baru yang muncul secara tiba-tiba,
melainkan hasil evolusi panjang dari tradisi metafisik yang berusaha
menghindari ekstremitas panteisme dan teisme. Panenteisme berupaya
mengartikulasikan realitas di mana Tuhan dan dunia saling berhubungan secara
dinamis, saling menembus, namun tidak menyatu secara identik.¹⁴ Dalam konteks
inilah Panenteisme menjadi jembatan konseptual yang relevan bagi dialog antara
filsafat, teologi, dan spiritualitas lintas tradisi.
Footnotes
[1]
Philip Clayton, The Problem of God in Modern
Thought (Grand Rapids: Eerdmans, 2000), 12–15.
[2]
Plato, Timaeus, trans. Donald J. Zeyl (Indianapolis:
Hackett Publishing, 2000), 27–31.
[3]
Plotinus, The Enneads, trans. A.H. Armstrong
(Cambridge: Harvard University Press, 1966), 211–213.
[4]
John Dillon, The Middle Platonists: 80 B.C. to
A.D. 220 (Ithaca: Cornell University Press, 1996), 347–350.
[5]
Augustine, Confessions, trans. Henry
Chadwick (Oxford: Oxford University Press, 1991), 278.
[6]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans.
Fathers of the English Dominican Province (New York: Benziger Brothers, 1947),
I, q.3, a.2.
[7]
Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley
(London: Penguin Classics, 1996), I, Prop. 14.
[8]
Friedrich Krause, Vorlesungen über das System
der Philosophie (Leipzig: Brockhaus, 1828), 52–55.
[9]
Karl Christian Friedrich Krause, Abriss des
Systems der Philosophie (Leipzig: F. A. Brockhaus, 1825), 44–47.
[10]
Alfred North Whitehead, Process and Reality,
corrected ed. (New York: Free Press, 1978), 343–345.
[11]
Charles Hartshorne, The Divine Relativity: A
Social Conception of God (New Haven: Yale University Press, 1948), 101–104.
[12]
Ramanuja, The Vedanta Sutras with the Commentary
of Ramanuja, trans. George Thibaut (Oxford: Clarendon Press, 1904),
121–123.
[13]
Ibn ‘Arabi, The Bezels of Wisdom, trans.
R.W.J. Austin (New York: Paulist Press, 1980), 89–93.
[14]
Jürgen Moltmann, God in Creation: A New Theology
of Creation and the Spirit of God (San Francisco: Harper & Row, 1985),
18–22.
3.
Ontologi
Panenteisme
Ontologi Panenteisme
berakar pada gagasan bahwa Tuhan dan dunia tidak identik, tetapi berada dalam
relasi ontologis yang saling menembus dan melengkapi. Berbeda dengan panteisme
yang menegaskan kesamaan substansial antara Tuhan dan alam semesta, serta teisme
klasik yang memisahkan Tuhan secara absolut dari ciptaan-Nya, Panenteisme
memandang realitas sebagai suatu kesatuan dinamis di mana Tuhan meliputi dunia,
sementara dunia berpartisipasi dalam keberadaan Ilahi.¹ Dalam kerangka ini,
Tuhan menjadi Ground of Being—dasar dari segala
eksistensi—sementara dunia merupakan manifestasi aktual dari potensi ilahi.²
Ontologi Panenteistik dengan demikian menolak baik dualisme yang rigid maupun
monisme yang menyerap; ia berupaya menghadirkan “kesatuan dalam perbedaan,”
suatu integrasi antara transendensi dan immanensi.³
3.1. Struktur Ontologis Relasi Tuhan dan Dunia
Dalam Panenteisme,
realitas terdiri atas dua dimensi yang tidak terpisah, yaitu dimensi ilahi dan
dimensi duniawi. Tuhan meliputi dunia (the world is in God), namun
melampaui dunia (God is more than the world).⁴
Hubungan ini bersifat asimetris: dunia bergantung sepenuhnya pada Tuhan,
sedangkan Tuhan tetap memiliki keberadaan yang otonom dari dunia.⁵ Dengan kata
lain, eksistensi dunia merupakan partisipasi dalam keberadaan Tuhan, tetapi
tidak menambah atau mengurangi keilahian-Nya. Struktur ini menyerupai model
ontologis partisipatif yang dikembangkan dalam tradisi skolastik, di mana
makhluk memperoleh keberadaannya dari Esse Subsistens—keberadaan yang ada
oleh diri-Nya sendiri, yaitu Tuhan.⁶
Relasi ontologis ini
juga menegaskan bahwa Tuhan bukan sekadar penyebab pertama yang menciptakan
dunia dan kemudian menarik diri darinya, tetapi terus-menerus hadir dalam
proses keberadaan segala sesuatu. Dalam konteks ini, Panenteisme menolak
pandangan deistik
tentang Tuhan yang jauh dan pasif, serta menghindari pandangan panteistik
yang menyamakan Tuhan dengan kosmos.⁷ Dunia dipahami sebagai tubuh simbolik
Tuhan, dalam arti bahwa segala sesuatu memanifestasikan aspek-aspek Ilahi tanpa
menghapus perbedaan ontologis antara Sang Pencipta dan ciptaan.⁸
3.2. Immanensi dan Transendensi dalam Kesatuan Ontologis
Salah satu
keunggulan ontologi Panenteistik adalah kemampuannya menjaga keseimbangan
antara immanensi dan transendensi Tuhan. Dalam teisme klasik, transendensi
Tuhan sering ditekankan sedemikian rupa sehingga jarak metafisik antara Tuhan
dan dunia tampak tak terjembatani. Sebaliknya, panteisme meniadakan
transendensi dengan meleburkan Tuhan ke dalam dunia. Panenteisme berupaya
menghindari kedua ekstrem tersebut dengan menegaskan bahwa Tuhan “mengisi”
dunia tanpa terbatas oleh dunia.⁹ Dalam terminologi Alfred North Whitehead,
Tuhan memiliki dua sifat atau poles: primordial nature dan consequent
nature.¹⁰ Primordial nature menandakan aspek
transenden Tuhan yang kekal dan tidak berubah, sementara consequent
nature menunjukkan aspek imanen Tuhan yang ikut berproses bersama
dunia.¹¹ Dengan demikian, Tuhan dalam Panenteisme bukanlah entitas statis,
melainkan realitas dinamis yang berelasi secara ontologis dengan seluruh
ciptaan.
Dalam kerangka ini,
keberadaan dunia menjadi bagian dari “tubuh kosmik” Tuhan.¹² Dunia tidak
berdiri di luar Tuhan, tetapi eksistensinya merupakan partisipasi dalam Being
Ilahi. Namun, relasi ini bukan identitas total, melainkan kesatuan yang
berlapis: Tuhan mengandung dunia, tetapi melampaui dan menjiwai
keberadaannya.¹³ Sebagaimana dikatakan Hartshorne, Tuhan bersifat “dipolar,”
yakni menggabungkan aspek mutlak dan relatif, kekal dan temporal, sempurna dan
berproses.¹⁴ Pandangan ini memperluas pengertian ontologis tentang keilahian,
di mana kesempurnaan Tuhan bukan berarti ketidakberubahan mutlak, tetapi
kemampuan untuk berelasi tanpa kehilangan keutuhan diri.¹⁵
3.3. Dunia sebagai Partisipasi dalam Keberadaan Ilahi
Dalam Panenteisme,
dunia bukan entitas yang berdiri sendiri, melainkan ekspresi konkret dari
potensi ilahi. Setiap makhluk, dalam derajatnya masing-masing, mengandung unsur
partisipatif terhadap Tuhan.¹⁶ Pandangan ini menggemakan konsep “partisipasi
eksistensial” dalam metafisika Thomas Aquinas, di mana setiap makhluk memiliki esse
(keberadaan) sejauh ia menerima pancaran dari Keberadaan Murni (Esse
Ipsum Subsistens).¹⁷ Akan tetapi, Panenteisme melangkah lebih jauh
dengan menegaskan bahwa partisipasi ini bukan hanya ontologis, melainkan juga
relasional dan dinamis: dunia senantiasa berkembang menuju kesatuan yang lebih
sempurna dengan Tuhan.¹⁸
Implikasi ontologis
dari pandangan ini sangat luas. Jika dunia merupakan ekspresi dari Tuhan, maka
setiap bentuk keberadaan memiliki nilai intrinsik yang sakral. Alam semesta
bukan sekadar latar pasif bagi tindakan ilahi, melainkan medan partisipatif di
mana Tuhan bekerja secara imanen.¹⁹ Oleh karena itu, Panenteisme melahirkan
suatu metafisika yang ekologis dan spiritual, di mana realitas fisik dan
spiritual tidak dipisahkan, melainkan dipahami sebagai dimensi berbeda dari
satu kesatuan eksistensial.²⁰
Ontologi Relasional dan Prosesual
Panenteisme juga
menolak konsep substansi statis yang mendominasi metafisika klasik. Dalam perspektif
prosesual, realitas dipahami sebagai jejaring relasi yang terus berubah, di
mana Tuhan dan dunia berinteraksi secara timbal balik.²¹ Tuhan tidak hanya
penyebab, tetapi juga penerima; Ia menampung semua peristiwa dunia dalam
kesadaran ilahi-Nya tanpa kehilangan kesempurnaan.²² Ontologi relasional ini
berangkat dari gagasan bahwa keberadaan sejati adalah keberadaan-dalam-relasi (being-in-relation).²³
Dengan demikian, eksistensi tidak bersifat atomistik, melainkan holistik dan
partisipatif, mencerminkan relasi antara Ilahi dan ciptaan yang bersifat
dialogis dan dinamis.
Melalui kerangka
ontologis ini, Panenteisme menghadirkan visi metafisika yang integratif: Tuhan
bukan “yang lain” dari dunia, tetapi juga bukan “yang sama.” Tuhan adalah
realitas yang meliputi, menjiwai, dan melampaui dunia dalam satu kesatuan
ontologis yang terus berproses.²⁴ Dengan demikian, Panenteisme bukan hanya
menawarkan konsep metafisik alternatif, tetapi juga suatu paradigma ontologis
yang membuka ruang bagi pemahaman baru tentang keberadaan, kesadaran, dan
spiritualitas.²⁵
Footnotes
[1]
Philip Clayton, Adventures in the
Spirit: God, World, Divine Action
(Minneapolis: Fortress Press, 2008), 45–47.
[2]
Paul Tillich, Systematic Theology, vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1951),
235.
[3]
John Haught, The New Cosmic Story:
Inside Our Awakening Universe (New
Haven: Yale University Press, 2017), 128.
[4]
Friedrich Krause, Vorlesungen über das
System der Philosophie (Leipzig:
Brockhaus, 1828), 52–55.
[5]
Alfred North Whitehead, Process
and Reality, corrected ed. (New
York: Free Press, 1978), 343.
[6]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province
(New York: Benziger Brothers, 1947), I, q.4, a.2.
[7]
John Polkinghorne, Science and Providence:
God’s Interaction with the World
(Philadelphia: Templeton Foundation Press, 2005), 71.
[8]
Jürgen Moltmann, God in Creation: A New
Theology of Creation and the Spirit of God (San Francisco: Harper & Row, 1985), 19.
[9]
Clayton, The Problem of God in
Modern Thought (Grand Rapids:
Eerdmans, 2000), 63.
[10]
Whitehead, Process and Reality, 345–346.
[11]
Charles Hartshorne, Man’s
Vision of God and the Logic of Theism
(Hamden: Archon Books, 1964), 102.
[12]
Moltmann, God in Creation, 21.
[13]
Hartshorne, The Divine Relativity:
A Social Conception of God (New
Haven: Yale University Press, 1948), 106–108.
[14]
Ibid., 111.
[15]
Clayton, Adventures in the
Spirit, 89.
[16]
Paul Fiddes, The Creative Suffering
of God (Oxford: Clarendon Press,
1988), 57.
[17]
Aquinas, Summa Theologica, I, q.3, a.4.
[18]
Haught, The New Cosmic Story, 133–134.
[19]
Moltmann, God in Creation, 28–30.
[20]
Elizabeth Johnson, Ask the Beasts: Darwin
and the God of Love (London:
Bloomsbury, 2014), 95.
[21]
Whitehead, Process and Reality, 347–349.
[22]
Hartshorne, The Divine Relativity, 118–120.
[23]
Clayton, The Problem of God in
Modern Thought, 79.
[24]
Tillich, Systematic Theology, 243–244.
[25]
Haught, The New Cosmic Story, 139.
4.
Epistemologi
Panenteisme
Epistemologi
Panenteisme berangkat dari keyakinan bahwa pengetahuan tentang Tuhan dan
realitas tidak dapat direduksi pada satu bentuk rasionalitas tunggal.
Pengetahuan dalam Panenteisme bersifat partisipatif, relasional, dan transformatif—manusia
tidak hanya “mengetahui” Tuhan secara kognitif, tetapi “berpartisipasi”
dalam keberadaan dan kesadaran Ilahi itu sendiri.¹ Dalam kerangka ini,
epistemologi Panenteistik menolak dua ekstrem: pertama, rasionalisme
teistik klasik yang menekankan pengetahuan deduktif tentang
Tuhan melalui argumen logis dan natural theology; dan kedua, mistisisme
panteistik yang menghapus perbedaan epistemik antara subjek dan
objek dalam kesatuan mutlak. Panenteisme berupaya menjaga keseimbangan antara
pengetahuan yang diperoleh melalui refleksi rasional dan pengetahuan yang
dialami secara langsung dalam hubungan dengan Tuhan yang imanen sekaligus
transenden.²
4.1. Pengetahuan sebagai Partisipasi dalam Realitas
Ilahi
Bagi Panenteisme,
pengetahuan bukan sekadar representasi konseptual terhadap objek eksternal,
melainkan bentuk partisipasi ontologis manusia
dalam realitas Ilahi.³ Gagasan ini memiliki akar dalam filsafat Plato, yang
memahami pengetahuan sejati (episteme) sebagai proses
partisipasi jiwa terhadap dunia ide.⁴ Dalam konteks Panenteistik, manusia
mengetahui Tuhan karena ia ada di dalam Tuhan dan Tuhan ada di
dalam dirinya, sebagaimana ditegaskan oleh konsep mutual
indwelling (inhabitasi timbal balik).⁵ Charles Hartshorne
menggambarkan hubungan ini sebagai epistemologi “dipolar,” di mana
subjek mengetahui Tuhan bukan melalui jarak intelektual, melainkan melalui
relasi partisipatif yang terus berkembang.⁶
Dengan demikian,
pengetahuan dalam Panenteisme bersifat eksperiensial dan refleksif sekaligus.
Pengalaman religius tidak dianggap bertentangan dengan rasionalitas, tetapi
sebagai dimensi pengetahuan yang melampaui reduksi empiris. Alfred North
Whitehead menyebut proses ini sebagai prehension—suatu bentuk kesadaran
di mana setiap entitas mengalami kehadiran entitas lain dalam dirinya.⁷ Maka,
dalam setiap tindakan mengetahui, manusia berpartisipasi dalam proses ilahi
yang lebih besar, di mana Tuhan menjadi sumber dan tujuan pengetahuan itu
sendiri.⁸
4.2. Hubungan antara Rasio, Pengalaman, dan Wahyu
Epistemologi
Panenteisme mengakui keterbatasan rasio, tetapi tidak menolaknya. Rasio
dipahami sebagai instrumen reflektif yang membantu manusia memahami struktur
kosmos dan keberadaan Ilahi dalam dunia. Namun, karena Tuhan melampaui segala
kategori konseptual, pengetahuan rasional hanya dapat menjangkau aspek parsial
dari realitas Ilahi.⁹ Oleh karena itu, Panenteisme menggabungkan rasio dengan pengalaman
eksistensial dan wahyu kosmik sebagai sumber
pengetahuan yang saling melengkapi.
Friedrich Krause,
yang pertama kali memformulasikan istilah panentheism, menegaskan bahwa
pengetahuan tentang Tuhan mencakup tiga tahap: intuitive consciousness (kesadaran
intuitif akan keberadaan Tuhan dalam diri), rational reflection (pemikiran sistematis
tentang struktur ilahi), dan ethical realization (penerapan
pengetahuan ilahi dalam tindakan moral).¹⁰ Pengetahuan bukanlah akumulasi
proposisi, melainkan transformasi kesadaran manusia menuju kesatuan dengan
Tuhan.¹¹
Dalam konteks
modern, John Haught mengembangkan pendekatan ini dengan menegaskan bahwa wahyu
tidak lagi dipahami semata-mata sebagai “pesan dari luar,” melainkan
sebagai proses kosmik di mana Tuhan mengomunikasikan diri-Nya melalui evolusi,
kesadaran, dan sejarah.¹² Maka, epistemologi Panenteistik tidak menempatkan
wahyu sebagai peristiwa supernatural yang terpisah dari dunia, melainkan
sebagai dinamika Ilahi yang menembus seluruh realitas empiris dan historis.¹³
4.3. Keterbatasan Epistemik dan Relasi Dinamis antara
Tuhan dan Manusia
Panenteisme
menegaskan bahwa karena Tuhan bersifat tak terbatas sementara manusia terbatas,
maka pengetahuan manusia tentang Tuhan selalu bersifat analogis
dan terbuka.¹⁴ Pengetahuan tentang Tuhan tidak pernah final,
melainkan berkembang seiring partisipasi manusia dalam proses ilahi yang
dinamis. Hartshorne menyebut ini sebagai knowledge-in-process, di mana
setiap tindakan mengetahui melibatkan baik aspek absolut (kebenaran yang
bersumber dari Tuhan) maupun aspek relatif (pemahaman manusia yang terbatas).¹⁵
Hal ini menunjukkan
bahwa epistemologi Panenteisme bersifat prosesual: pengetahuan tumbuh
melalui interaksi terus-menerus antara manusia dan Tuhan dalam konteks dunia
yang juga berproses.¹⁶ Oleh karena itu, kebenaran bukanlah entitas statis yang
berada di luar pengalaman, melainkan hasil relasi dinamis antara subjek yang
mengetahui dan Tuhan yang mengungkapkan diri-Nya.¹⁷ Pandangan ini sejalan
dengan konsep co-creative epistemology dalam
filsafat proses, di mana manusia dan Tuhan bersama-sama berpartisipasi dalam
penciptaan makna dan kebenaran.¹⁸
4.4. Dimensi Mistis dan Transformasi Kesadaran
Selain aspek
rasional dan relasional, epistemologi Panenteistik juga menekankan dimensi mistis—yakni
pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman kesatuan dengan Tuhan tanpa
kehilangan perbedaan ontologis.¹⁹ Pengalaman mistik dalam Panenteisme bukanlah
peleburan diri ke dalam Tuhan seperti dalam panteisme, melainkan kesadaran yang
mendalam akan kehadiran Ilahi dalam seluruh eksistensi.²⁰ Hal ini tercermin
dalam teologi Jürgen Moltmann yang menegaskan bahwa manusia mengetahui Tuhan
bukan hanya dengan berpikir tentang-Nya, tetapi dengan hidup di dalam
Tuhan dan membiarkan diri diubah oleh Roh-Nya.²¹
Dengan demikian,
epistemologi Panenteisme bersifat integratif: ia menggabungkan
akal, pengalaman, dan spiritualitas dalam satu kesatuan pengetahuan yang
bersumber dari relasi timbal balik antara Tuhan dan dunia. Pengetahuan sejati
tidak berhenti pada proposisi, tetapi mencapai puncaknya dalam transformasi
kesadaran dan tindakan etis yang mencerminkan partisipasi dalam kehidupan
Ilahi.²²
Konsekuensi Epistemologis bagi Filsafat dan Ilmu Pengetahuan
Dalam konteks
kontemporer, epistemologi Panenteisme memiliki implikasi yang luas terhadap
cara manusia memahami pengetahuan ilmiah dan metafisik. Jika dunia berada di
dalam Tuhan, maka setiap penemuan ilmiah—baik dalam fisika, biologi, atau
kosmologi—merupakan cara Tuhan menyingkapkan diri-Nya melalui keteraturan dan
kompleksitas ciptaan.²³ John Polkinghorne menegaskan bahwa pengetahuan ilmiah
tidak bertentangan dengan iman Panenteistik, karena keduanya merupakan dua cara
manusia berpartisipasi dalam realitas ilahi yang sama.²⁴ Oleh karena itu,
epistemologi Panenteisme membuka ruang bagi dialog antara sains dan agama
dengan dasar ontologis yang menyatukan keduanya: dunia sebagai “peristiwa
ilahi” yang sedang berlangsung.²⁵
Epistemologi
Panenteisme dengan demikian menegaskan bahwa mengetahui Tuhan berarti ikut
serta dalam gerak kosmik menuju kesadaran yang lebih tinggi, di mana rasio,
pengalaman, dan spiritualitas tidak saling bertentangan, tetapi saling
memperkaya dalam kesatuan eksistensial.²⁶
Footnotes
[1]
Philip Clayton, Adventures in the
Spirit: God, World, Divine Action
(Minneapolis: Fortress Press, 2008), 62–64.
[2]
John Haught, The New Cosmic Story:
Inside Our Awakening Universe (New
Haven: Yale University Press, 2017), 141.
[3]
Paul Tillich, Systematic Theology, vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1951),
235–237.
[4]
Plato, Timaeus, trans. Donald J. Zeyl (Indianapolis: Hackett
Publishing, 2000), 27–31.
[5]
Jürgen Moltmann, God in Creation: A New
Theology of Creation and the Spirit of God (San Francisco: Harper & Row, 1985), 21.
[6]
Charles Hartshorne, The
Divine Relativity: A Social Conception of God (New Haven: Yale University Press, 1948), 109–111.
[7]
Alfred North Whitehead, Process
and Reality, corrected ed. (New
York: Free Press, 1978), 345.
[8]
Philip Clayton, The Problem of God in
Modern Thought (Grand Rapids:
Eerdmans, 2000), 73–74.
[9]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province
(New York: Benziger Brothers, 1947), I, q.12, a.4.
[10]
Friedrich Krause, Vorlesungen über das
System der Philosophie (Leipzig:
Brockhaus, 1828), 58–60.
[11]
Karl Christian Friedrich Krause, Abriss
des Systems der Philosophie
(Leipzig: F. A. Brockhaus, 1825), 44.
[12]
Haught, The New Cosmic Story, 144–146.
[13]
Moltmann, God in Creation, 30–32.
[14]
Paul Fiddes, The Creative Suffering
of God (Oxford: Clarendon Press,
1988), 59–61.
[15]
Hartshorne, Man’s Vision of God and
the Logic of Theism (Hamden: Archon
Books, 1964), 103–104.
[16]
Whitehead, Process and Reality, 346–348.
[17]
Tillich, Systematic Theology, 240–242.
[18]
Clayton, Adventures in the
Spirit, 85–87.
[19]
William James, The Varieties of
Religious Experience (New York:
Longmans, Green, and Co., 1902), 384–386.
[20]
Ibn ‘Arabi, The Bezels of Wisdom, trans. R.W.J. Austin (New York: Paulist Press,
1980), 91.
[21]
Moltmann, God in Creation, 35–38.
[22]
Haught, The New Cosmic Story, 150–152.
[23]
John Polkinghorne, Science and Providence:
God’s Interaction with the World
(Philadelphia: Templeton Foundation Press, 2005), 75–77.
[24]
Ibid., 83.
[25]
Clayton, The Problem of God in
Modern Thought, 91–93.
[26]
Hartshorne, The Divine Relativity, 119–121.
5.
Etika
dan Aksiologi Panenteisme
Etika dan aksiologi
Panenteisme bertumpu pada pandangan bahwa seluruh realitas berada di dalam
Tuhan, dan dengan demikian, setiap bentuk keberadaan memiliki nilai intrinsik
yang bersumber dari partisipasinya dalam Keberadaan Ilahi.¹ Dalam perspektif
ini, etika tidak hanya berkaitan dengan hubungan antar-manusia, tetapi juga
dengan seluruh tatanan kosmos—dunia, makhluk hidup, dan alam semesta—karena
semuanya merupakan ekspresi atau manifestasi dari kehadiran Tuhan.² Panenteisme
dengan demikian melahirkan suatu etika relasional dan ekologis,
yang menegaskan bahwa tindakan moral manusia harus didasarkan pada kesadaran
akan keterikatan ontologis dengan Tuhan dan segala ciptaan.³
5.1. Dasar Ontologis Etika Panenteistik
Landasan moral
Panenteisme bersumber dari ontologinya sendiri: jika dunia berada “di dalam”
Tuhan, maka segala sesuatu memiliki nilai yang melekat (inherent
worth).⁴ Dalam kerangka ini, tindakan etis berarti menghormati
struktur ilahi yang hadir dalam dunia. Tuhan bukan sekadar legislator moral
eksternal, melainkan sumber nilai yang menjiwai seluruh keberadaan.⁵ Etika
Panenteistik tidak bersandar pada perintah eksternal (divine
command ethics), tetapi pada partisipasi eksistensial dalam
kebaikan Ilahi.⁶
Konsep ini menandai
pergeseran dari etika deontologis menuju etika partisipatif. Dalam
teisme klasik, tindakan moral cenderung dipahami sebagai ketaatan terhadap
hukum-hukum Tuhan yang transenden. Sebaliknya, Panenteisme memandang moralitas
sebagai ekspresi spontan dari keterhubungan makhluk dengan Tuhan.⁷ Karena Tuhan
menembus seluruh ciptaan, setiap tindakan yang menghormati, melindungi, dan
menghidupkan realitas lain merupakan tindakan etis, sedangkan tindakan yang
merusak kehidupan berarti menolak partisipasi dalam Keberadaan Ilahi.⁸
5.2. Dimensi Relasional dan Cinta Ilahi
Etika Panenteisme
bersifat relasional karena berpijak pada konsep kasih (agape)
sebagai ekspresi tertinggi dari partisipasi dalam Tuhan.⁹ Charles Hartshorne
menegaskan bahwa cinta bukan sekadar perasaan moral, tetapi prinsip ontologis
yang menstrukturkan seluruh realitas.¹⁰ Tuhan mencintai dunia bukan dari luar,
tetapi dari dalam, dan manusia dipanggil untuk meniru cinta Ilahi itu dalam
relasi mereka dengan sesama dan dengan ciptaan.¹¹
Dalam konteks ini,
cinta menjadi dasar dari segala kewajiban moral. Etika Panenteistik menolak
pandangan moralitas sebagai kontrak sosial atau kewajiban eksternal, dan
menggantikannya dengan model partisipatif di mana tindakan moral lahir dari
kesadaran akan keterhubungan eksistensial dengan Tuhan dan dunia.¹² Kasih Ilahi
bukan hanya norma, tetapi juga energi yang menopang keberadaan etis
manusia—suatu cinta yang menyatukan transendensi Tuhan dengan immanensi
ciptaan.¹³
5.3. Etika Ekologis dan Kesadaran Kosmik
Karena Panenteisme
memahami dunia sebagai bagian dari Tuhan, maka alam semesta bukanlah sekadar
objek pemanfaatan manusia, melainkan locus theologicus—tempat kehadiran
Ilahi yang nyata.¹⁴ Oleh sebab itu, Panenteisme melahirkan etika
ekologis yang menuntut penghormatan terhadap kehidupan dalam
segala bentuknya. Jürgen Moltmann menegaskan bahwa dalam perspektif
Panenteistik, “penciptaan tidak terpisah dari Sang Pencipta, melainkan
berada dalam Roh yang menjiwainya.”¹⁵ Dengan demikian, perusakan lingkungan
bukan hanya tindakan tidak etis terhadap alam, tetapi juga penodaan terhadap
tubuh Tuhan sendiri.¹⁶
Etika ekologis
Panenteisme bersifat kosmoteandrik, yaitu melihat
Tuhan, manusia, dan kosmos sebagai tiga unsur yang saling menembus dalam satu
kesatuan dinamis.¹⁷ Raimon Panikkar menyebut hubungan ini sebagai cosmotheandric
unity, di mana Tuhan tidak dapat dipahami tanpa dunia, dan dunia
tidak dapat dipahami tanpa Tuhan.¹⁸ Dalam kerangka ini, tindakan moral manusia
terhadap alam merupakan partisipasi dalam kasih penciptaan Tuhan itu sendiri.
Etika Panenteistik dengan demikian bersifat spiritual sekaligus
ekologis—menyatukan kesadaran religius dan tanggung jawab ekologis.¹⁹
5.4. Aksiologi Panenteistik: Nilai sebagai Partisipasi
dalam Keberadaan Ilahi
Aksiologi
Panenteisme menegaskan bahwa nilai bukanlah kategori subyektif yang ditentukan
oleh kesadaran manusia, tetapi sesuatu yang inheren dalam struktur realitas itu
sendiri.²⁰ Setiap bentuk keberadaan memiliki nilai karena menjadi medium
kehadiran Tuhan.²¹ Nilai tertinggi dalam sistem Panenteistik bukanlah
kenikmatan, utilitas, atau otonomi, melainkan keterhubungan dan partisipasi dalam kehidupan
Ilahi.²²
Charles Hartshorne
mengembangkan konsep ini dalam The Logic of Theism, dengan
menyatakan bahwa nilai moral dan estetik muncul dari kemampuan makhluk untuk
berpartisipasi dalam kesadaran Tuhan.²³ Tuhan menjadi “penerima universal nilai” (the
universal recipient of value), yang menyerap dan mengintegrasikan
seluruh pengalaman makhluk dalam diri-Nya.²⁴ Oleh karena itu, setiap tindakan
manusia yang menumbuhkan harmoni, kehidupan, dan cinta memiliki nilai kosmik
karena turut memperkaya kesempurnaan pengalaman Tuhan.²⁵
Etika Panenteistik
juga menolak dualisme antara sakral dan profan. Dalam pandangan ini, setiap
tindakan yang menegaskan kehidupan adalah tindakan religius.²⁶ Moralitas bukan
hanya urusan etika manusiawi, tetapi juga bagian dari dinamika kosmik di mana
seluruh makhluk turut serta dalam proses penyempurnaan Ilahi.²⁷
Implikasi Sosial dan Spiritualitas Etis
Etika dan aksiologi
Panenteisme memiliki implikasi sosial yang mendalam. Karena seluruh makhluk
hidup berada di dalam Tuhan, maka tidak ada ruang bagi dominasi, eksploitasi,
atau diskriminasi.²⁸ Prinsip kesatuan Ilahi menuntut solidaritas sosial yang
melampaui batas etnis, agama, dan spesies.²⁹ Dalam konteks ini, Panenteisme
mendorong terbentuknya spiritualitas kesalingterhubungan
(spirituality
of interbeing), yang mengakui bahwa keadilan sosial, perdamaian,
dan keseimbangan ekologis merupakan ekspresi konkret dari iman terhadap Tuhan
yang hidup di dalam segala sesuatu.³⁰
Etika Panenteisme
dengan demikian bukan hanya seruan moral, tetapi panggilan untuk transformasi
kesadaran. Manusia etis adalah manusia yang menyadari dirinya sebagai bagian
dari tubuh kosmik Tuhan, yang tindakannya membawa konsekuensi tidak hanya
sosial, tetapi juga teologis dan kosmologis.³¹ Dalam kerangka ini, etika
Panenteistik berfungsi sebagai jembatan antara metafisika, spiritualitas, dan
praksis kehidupan sehari-hari, menegaskan bahwa mencintai dunia sama dengan
menghormati Sang Pencipta yang hidup di dalamnya.³²
Footnotes
[1]
Philip Clayton, Adventures in the
Spirit: God, World, Divine Action
(Minneapolis: Fortress Press, 2008), 95.
[2]
Paul Tillich, Systematic Theology, vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1951),
241.
[3]
John Haught, The New Cosmic Story:
Inside Our Awakening Universe (New
Haven: Yale University Press, 2017), 163–165.
[4]
Jürgen Moltmann, God in Creation: A New
Theology of Creation and the Spirit of God (San Francisco: Harper & Row, 1985), 24.
[5]
Friedrich Krause, Vorlesungen über das
System der Philosophie (Leipzig:
Brockhaus, 1828), 62–63.
[6]
Charles Hartshorne, Man’s
Vision of God and the Logic of Theism
(Hamden: Archon Books, 1964), 121.
[7]
Paul Fiddes, The Creative Suffering
of God (Oxford: Clarendon Press,
1988), 68.
[8]
Clayton, The Problem of God in
Modern Thought (Grand Rapids:
Eerdmans, 2000), 84–86.
[9]
Tillich, Systematic Theology, 243–244.
[10]
Hartshorne, The Divine Relativity:
A Social Conception of God (New Haven:
Yale University Press, 1948), 112.
[11]
Alfred North Whitehead, Process
and Reality, corrected ed. (New
York: Free Press, 1978), 346–347.
[12]
Haught, The New Cosmic Story, 167.
[13]
Moltmann, God in Creation, 32–33.
[14]
Elizabeth Johnson, Ask the Beasts: Darwin
and the God of Love (London:
Bloomsbury, 2014), 102.
[15]
Moltmann, God in Creation, 37.
[16]
Ibid., 38.
[17]
Raimon Panikkar, The Cosmotheandric
Experience: Emerging Religious Consciousness (Maryknoll: Orbis Books, 1993), 55–58.
[18]
Ibid., 62–63.
[19]
John Cobb, A Christian Natural
Theology: Based on the Thought of Alfred North Whitehead (Louisville: Westminster John Knox Press, 1965), 115.
[20]
Clayton, Adventures in the
Spirit, 102.
[21]
Tillich, Systematic Theology, 247.
[22]
Hartshorne, The Logic of Theism (LaSalle: Open Court, 1948), 91.
[23]
Ibid., 94.
[24]
Hartshorne, The Divine Relativity, 119.
[25]
Clayton, The Problem of God in
Modern Thought, 89.
[26]
Moltmann, God in Creation, 40.
[27]
Haught, The New Cosmic Story, 171–172.
[28]
Fiddes, The Creative Suffering
of God, 77.
[29]
Panikkar, The Cosmotheandric
Experience, 68.
[30]
Johnson, Ask the Beasts, 110–112.
[31]
Moltmann, God in Creation, 42.
[32]
Clayton, Adventures in the
Spirit, 108.
6.
Kritik
terhadap Panenteisme
Walaupun Panenteisme
menawarkan kerangka metafisik yang kaya dan integratif, pandangan ini tidak
luput dari berbagai kritik filosofis maupun teologis. Kritik terhadap
Panenteisme biasanya datang dari tiga arah utama: (1) teisme
klasik, yang menilai Panenteisme mengaburkan transendensi
Tuhan; (2) panteisme dan monisme, yang
menuduh Panenteisme terlalu mempertahankan dualitas; dan (3) rasionalisme
modern dan ateisme, yang mempersoalkan validitas epistemik
serta koherensi metafisiknya.¹ Kritik-kritik ini penting untuk ditelaah karena
memperlihatkan batas sekaligus potensi konseptual dari Panenteisme dalam wacana
metafisika dan teologi kontemporer.
6.1. Kritik dari Perspektif Teisme Klasik
Dari sudut pandang
teisme klasik—khususnya dalam tradisi Kristen, Yahudi, dan Islam—Panenteisme
sering dianggap mengaburkan transendensi Tuhan.²
Dalam teologi klasik, Tuhan dipahami sebagai actus purus (keberadaan murni) yang
sepenuhnya sempurna, tidak berubah, dan tidak tergantung pada dunia.³
Sebaliknya, Panenteisme menggambarkan Tuhan sebagai realitas yang berproses,
turut mengalami perubahan dan keterlibatan dalam sejarah dunia. Pandangan ini
dianggap bertentangan dengan sifat immutabilitas (ketidakberubahan)
dan aseitas
(kemandirian) Tuhan yang menjadi fondasi teologi klasik.⁴
Thomas Aquinas,
misalnya, menolak gagasan bahwa Tuhan dapat “berpartisipasi” dalam dunia secara
ontologis, karena hal itu mengimplikasikan perubahan dalam keberadaan Ilahi.⁵
Dalam Summa
Theologica, Aquinas menegaskan bahwa segala sesuatu bergantung pada
Tuhan, tetapi Tuhan tidak bergantung pada apa pun di luar diri-Nya.⁶ Dengan
demikian, bagi kaum teis klasik, Panenteisme berisiko merelatifkan kesempurnaan
Tuhan dan menjadikan-Nya bagian dari proses kosmik yang terbatas.⁷
Lebih lanjut,
teologi klasik juga mengkritik kecenderungan Panenteisme untuk mereduksi
keilahian menjadi “immanensi aktif” dalam dunia.⁸ Bagi para teolog seperti Karl
Barth, pandangan semacam ini melemahkan doktrin wahyu, sebab jika Tuhan hadir
dalam segala sesuatu secara substansial, maka tidak ada lagi perbedaan antara
tindakan ilahi dan realitas duniawi.⁹ Tuhan menjadi terlalu “dekat,” kehilangan
keunikan transenden yang menjadikan-Nya objek iman dan penyembahan.¹⁰
6.2. Kritik dari Perspektif Panteisme dan Monisme
Sebaliknya, dari
arah yang lain, Panenteisme juga dikritik oleh para panteis dan monis metafisik
karena dianggap terlalu mempertahankan dualitas
antara Tuhan dan dunia.¹¹ Dalam sistem panteistik seperti Spinoza, realitas
yang sejati hanyalah satu substansi: Deus sive Natura (Tuhan atau
Alam).¹² Panenteisme, menurut para panteis, tidak konsisten karena mencoba
mempertahankan baik kesatuan ontologis maupun perbedaan substansial antara
Tuhan dan dunia.¹³ Hasilnya adalah ketegangan konseptual: Tuhan dikatakan
“lebih besar dari dunia,” tetapi dunia tetap berada “di dalam Tuhan.”¹⁴
Kritik ini menyoroti
ambiguitas struktural Panenteisme. Jika Tuhan meliputi dunia namun tidak
identik dengannya, bagaimana mungkin keberadaan dunia tidak menambah atau
mengubah Tuhan?¹⁵ Jika Tuhan benar-benar melampaui dunia, bagaimana Ia bisa
imanen secara ontologis tanpa kehilangan transendensi-Nya?¹⁶ Para panteis
menilai jawaban Panenteisme terhadap paradoks ini masih bersifat metaforis,
bukan logis.¹⁷
Hartshorne
menanggapi kritik ini dengan memperkenalkan konsep dipolar theism, di mana Tuhan
memiliki dua aspek—yang kekal dan yang berubah.¹⁸ Namun, bagi para pengkritik,
solusi ini justru menimbulkan problem baru: bagaimana mungkin dua sifat yang
tampak kontradiktif (absolut dan relatif) dapat berkoeksistensi dalam satu
realitas ilahi tanpa mengakibatkan paradoks logis?¹⁹
6.3. Kritik dari Perspektif Rasionalisme dan Ateisme
Modern
Dari perspektif
filsafat modern yang rasionalistik dan empiris, Panenteisme dinilai tidak
dapat diverifikasi secara epistemik.²⁰ Gagasan bahwa “dunia
berada di dalam Tuhan” dianggap bersifat spekulatif dan tidak memiliki landasan
empiris yang dapat diuji.²¹ Para pemikir positivis seperti A.J. Ayer menolak
proposisi metafisik Panenteistik karena tidak memiliki makna kognitif yang
dapat diverifikasi melalui pengalaman indrawi.²²
Selain itu,
Panenteisme juga dikritik karena kesulitannya menjelaskan problem
kejahatan (theodicy). Jika dunia berada di dalam Tuhan,
bagaimana menjelaskan keberadaan penderitaan, kekacauan, dan kejahatan dalam
realitas?²³ Apakah hal-hal tersebut juga merupakan bagian dari Tuhan?²⁴ Para
kritikus menilai bahwa Panenteisme, dengan menempatkan dunia sebagai bagian
dari keberadaan Ilahi, secara implisit menisbatkan kejahatan kepada Tuhan, yang
bertentangan dengan pandangan moral tentang kesempurnaan Ilahi.²⁵
Beberapa filsuf
seperti Richard Swinburne berargumen bahwa Panenteisme melemahkan tanggung
jawab moral Tuhan terhadap dunia, karena jika Tuhan “menjadi” bersama dunia,
maka Ia pun menjadi subjek proses yang tidak sepenuhnya dapat dikontrol oleh
kehendak-Nya sendiri.²⁶ Dalam kerangka ini, Panenteisme tampak berisiko
mengubah Tuhan dari creator ex nihilo menjadi entitas
yang bergantung pada dinamika kosmik.²⁷
6.4. Kritik dari Perspektif Logika Filsafat dan Ontologi
Klasik
Dari sudut pandang
logika metafisika, Panenteisme menghadapi tantangan koherensi ontologis.²⁸
Secara logis, jika Tuhan meliputi dunia, maka keberadaan dunia merupakan bagian
dari keberadaan Tuhan; tetapi jika demikian, maka perubahan dalam dunia
mengimplikasikan perubahan dalam Tuhan.²⁹ Hal ini menimbulkan kontradiksi
dengan prinsip immutabilitas Dei.³⁰
Paul Tillich mencoba
menjawab problem ini melalui konsep “Tuhan sebagai dasar keberadaan” (the
Ground of Being), bukan sebagai entitas di antara entitas.³¹ Namun,
para pengkritik seperti Alvin Plantinga menilai bahwa formulasi ini terlalu
kabur dan cenderung mempersonifikasikan realitas metafisis yang tidak dapat
dipahami secara proposisional.³² Dalam pandangan Plantinga, Panenteisme gagal
membedakan antara eksistensi Tuhan sebagai pribadi yang rasional dan keberadaan
Tuhan sebagai prinsip metafisis yang abstrak.³³
Selain itu, filsafat
analitik juga mengkritik Panenteisme karena kurangnya konsistensi dalam
penggunaan konsep “di dalam.”³⁴ Jika dunia berada “di dalam” Tuhan, maka
istilah “di dalam” harus dimengerti secara metaforis, sebab tidak ada kerangka
logis yang dapat menjelaskan hubungan spasial antara realitas non-material dan
material.³⁵ Dengan demikian, Panenteisme dianggap menggunakan bahasa simbolis
tanpa menyediakan klarifikasi konseptual yang memadai untuk membedakan antara
metafora teologis dan deskripsi ontologis yang rasional.³⁶
Evaluasi Umum dan Kritik Konstruktif
Meskipun banyak
dikritik, Panenteisme tetap memiliki kekuatan filosofis yang signifikan,
terutama dalam upayanya menjembatani dikotomi antara transendensi dan
immanensi.³⁷ Para pengkritiknya sering kali menilai Panenteisme dengan kriteria
teisme klasik yang menekankan ketidakterlibatan Tuhan, padahal Panenteisme
justru berupaya menawarkan paradigma baru tentang keilahian yang partisipatif
dan dinamis.³⁸
Namun demikian,
kritik-kritik tersebut menyoroti kebutuhan untuk memperjelas dimensi ontologis
dan epistemologis Panenteisme. Agar dapat diterima secara filosofis,
Panenteisme perlu menjelaskan bagaimana relasi antara Tuhan dan dunia dapat
dipahami tanpa mengorbankan baik aspek transendensi maupun immanensi.³⁹ Dengan
pengembangan konseptual lebih lanjut—seperti yang dilakukan oleh Moltmann dan
Clayton dalam konteks teologi proses—Panenteisme dapat mempertahankan
relevansinya sebagai sistem metafisika yang terbuka, dialogis, dan
kontekstual.⁴⁰
Footnotes
[1]
Philip Clayton, Adventures in the
Spirit: God, World, Divine Action
(Minneapolis: Fortress Press, 2008), 109.
[2]
Karl Barth, Church Dogmatics II/1:
The Doctrine of God, trans. G.W.
Bromiley (Edinburgh: T&T Clark, 1957), 298.
[3]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, trans. Fathers of the English Dominican Province
(New York: Benziger Brothers, 1947), I, q.3, a.2.
[4]
Paul Helm, Eternal God: A Study of
God without Time (Oxford: Clarendon
Press, 1988), 55–58.
[5]
Thomas Aquinas, Summa Theologica, I, q.9, a.1.
[6]
Ibid., I, q.44, a.1.
[7]
Norman Geisler, Christian Apologetics (Grand Rapids: Baker Academic, 2013), 134.
[8]
Barth, Church Dogmatics II/1, 302.
[9]
Ibid., 309.
[10]
Alvin Plantinga, Does God Have a Nature? (Milwaukee: Marquette University Press, 1980), 21.
[11]
Baruch Spinoza, Ethics, trans. Edwin Curley (London: Penguin Classics,
1996), I, Prop. 14.
[12]
Ibid., I, Prop. 15.
[13]
John Hick, An Interpretation of
Religion: Human Responses to the Transcendent (New Haven: Yale University Press, 1989), 255.
[14]
Philip Clayton, The Problem of God in
Modern Thought (Grand Rapids:
Eerdmans, 2000), 112–113.
[15]
Charles Hartshorne, Man’s
Vision of God and the Logic of Theism
(Hamden: Archon Books, 1964), 122.
[16]
Ibid., 125.
[17]
Richard Swinburne, The Coherence of Theism (Oxford: Clarendon Press, 1993), 78.
[18]
Hartshorne, The Divine Relativity:
A Social Conception of God (New
Haven: Yale University Press, 1948), 105–107.
[19]
Swinburne, The Coherence of Theism, 80.
[20]
A.J. Ayer, Language, Truth and
Logic (London: Dover Publications,
1952), 107.
[21]
Ibid., 110.
[22]
Antony Flew, “Theology and Falsification,” in New Essays in Philosophical Theology, ed. Antony Flew and Alasdair MacIntyre (London: SCM
Press, 1955), 99–103.
[23]
Jürgen Moltmann, The Trinity and the
Kingdom: The Doctrine of God (San
Francisco: Harper & Row, 1981), 45–47.
[24]
Ibid., 48.
[25]
John Haught, The New Cosmic Story:
Inside Our Awakening Universe (New
Haven: Yale University Press, 2017), 182.
[26]
Richard Swinburne, Providence and the
Problem of Evil (Oxford: Clarendon
Press, 1998), 56–57.
[27]
Clayton, Adventures in the
Spirit, 111.
[28]
William Lane Craig, The
Only Wise God: The Compatibility of Divine Foreknowledge and Human Freedom (Grand Rapids: Baker, 1987), 67.
[29]
Paul Tillich, Systematic Theology, vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1951),
249–250.
[30]
Helm, Eternal God, 59.
[31]
Tillich, Systematic Theology, 251.
[32]
Alvin Plantinga, God and Other Minds (Ithaca: Cornell University Press, 1967), 178.
[33]
Ibid., 180.
[34]
Clayton, The Problem of God in
Modern Thought, 118.
[35]
Craig, The Only Wise God, 71.
[36]
Helm, Eternal God, 64.
[37]
Clayton, Adventures in the
Spirit, 114.
[38]
Moltmann, God in Creation: A New
Theology of Creation and the Spirit of God (San Francisco: Harper & Row, 1985), 42.
[39]
Haught, The New Cosmic Story, 185.
[40]
Clayton, The Problem of God in
Modern Thought, 121.
7.
Relevansi
Kontemporer Panenteisme
Dalam konteks
pemikiran filsafat dan teologi modern, Panenteisme muncul sebagai paradigma
metafisik yang semakin relevan dalam menjawab krisis spiritual, ekologis, dan
epistemologis manusia kontemporer. Ia menawarkan suatu visi dunia yang integratif,
relasional, dan dinamis, yang berusaha mengatasi dikotomi lama
antara transendensi dan immanensi, antara iman dan rasio, serta antara sains
dan agama.¹ Dengan memandang Tuhan sebagai realitas yang meliputi sekaligus
melampaui dunia, Panenteisme menjadi dasar konseptual bagi dialog lintas
disiplin dan lintas tradisi spiritual, serta fondasi bagi etika ekologis dan
spiritualitas global.²
7.1. Relevansi dalam Teologi Proses dan Filsafat Ilahi
Dinamis
Salah satu
kontribusi utama Panenteisme dalam pemikiran modern ialah pengaruhnya terhadap teologi
proses (process theology) yang dikembangkan
oleh Alfred North Whitehead dan Charles Hartshorne.³ Dalam pandangan ini, Tuhan
tidak dipahami sebagai penguasa statis dan absolut, melainkan sebagai realitas
yang berproses
bersama dunia—berpartisipasi dalam perubahan, penderitaan, dan
penciptaan yang berlangsung di seluruh kosmos.⁴ Model ini merefleksikan
pemahaman baru tentang keilahian sebagai “hubungan yang hidup,” bukan entitas
yang terpisah dari dunia.
Teologi proses
kemudian berkembang menjadi sebuah teologi partisipatif, di mana
setiap entitas dalam kosmos mengambil bagian dalam kesadaran dan kehidupan
Ilahi.⁵ Dalam konteks ini, Panenteisme menyediakan kerangka metafisik yang
mendukung pemikiran teolog modern seperti John Haught dan Jürgen Moltmann, yang
melihat dunia sebagai “tubuh” Tuhan yang sedang berproses menuju kepenuhan
eskatologis.⁶ Relevansi Panenteisme terletak pada kemampuannya menjembatani
antara pandangan teistik klasik yang hierarkis dan spiritualitas modern yang
partisipatif.⁷
7.2. Relevansi bagi Dialog antara Sains dan Agama
Dalam era sains
modern, Panenteisme menawarkan paradigma alternatif terhadap konflik lama
antara ilmu pengetahuan dan teologi.⁸ Dengan memahami dunia sebagai bagian dari
Tuhan, Panenteisme memandang hukum-hukum alam bukan sebagai sistem tertutup
yang otonom, tetapi sebagai ekspresi dari keteraturan ilahi yang rasional dan
kreatif.⁹ John Polkinghorne dan Ian Barbour melihat Panenteisme sebagai model
teologis yang paling koheren dengan pandangan kosmologi modern—terutama dalam
kerangka teori evolusi, mekanika kuantum, dan sistem kompleks.¹⁰
Dalam sains
kontemporer, kosmos dipahami bukan sebagai mesin deterministik, tetapi sebagai
sistem terbuka yang kreatif dan saling terhubung.¹¹ Pandangan ini sejalan
dengan prinsip Panenteistik bahwa Tuhan hadir dalam dinamika kosmik tanpa
menghapus otonomi dunia.¹² Polkinghorne menyebut hal ini sebagai active
providence, yaitu cara Tuhan bekerja di dalam hukum-hukum alam
tanpa intervensi supranatural yang melanggar keteraturan rasional dunia.¹³
Dengan demikian, Panenteisme memungkinkan integrasi epistemologis antara ilmu
dan iman, antara sains empiris dan kesadaran spiritual.¹⁴
7.3. Relevansi dalam Krisis Ekologis dan Etika Global
Relevansi lain dari
Panenteisme sangat nyata dalam konteks krisis ekologis global.
Pandangan teistik tradisional yang memisahkan Tuhan dari dunia telah lama
dituduh berkontribusi terhadap eksploitasi alam, karena dunia dipahami sebagai
ciptaan yang terpisah dan tunduk sepenuhnya pada manusia.¹⁵ Panenteisme menolak
pandangan ini dengan menegaskan bahwa dunia berada di dalam Tuhan, dan oleh
karena itu, seluruh ciptaan memiliki nilai sakral.¹⁶
Dalam teologi
ekologi, Panenteisme menjadi dasar bagi spiritualitas ekologis yang
memandang pemeliharaan lingkungan bukan sekadar tanggung jawab moral, tetapi
juga tindakan religius.¹⁷ Jürgen Moltmann menegaskan bahwa “roh kehidupan yang
sama” berdiam dalam seluruh makhluk, sehingga setiap tindakan yang memelihara
kehidupan adalah partisipasi dalam karya Roh Kudus.¹⁸ Elizabeth Johnson
menambahkan bahwa Panenteisme menumbuhkan kesadaran akan kehadiran ilahi dalam
keanekaragaman hayati, memotivasi manusia untuk menghormati bumi bukan hanya
sebagai habitat, melainkan sebagai komunitas sakral yang hidup.¹⁹
Dalam kerangka ini,
Panenteisme mendukung etika kosmik—suatu pandangan
moral yang melampaui antroposentrisme menuju eco-theocentrism.²⁰ Tindakan etis
tidak lagi hanya berfokus pada manusia, tetapi pada keseimbangan seluruh
ekosistem yang menjadi bagian dari tubuh Ilahi.²¹ Dengan demikian, Panenteisme
menjadi dasar teologis bagi gerakan keadilan ekologis dan solidaritas planet
dalam menghadapi ancaman perubahan iklim dan kehancuran lingkungan.²²
7.4. Relevansi dalam Dialog Antaragama dan Spiritualitas
Global
Dalam dunia yang
semakin plural dan terfragmentasi secara religius, Panenteisme memberikan dasar
metafisik yang kuat bagi dialog antaragama.²³ Karena
menegaskan kehadiran Tuhan di dalam segala sesuatu, Panenteisme membuka
kemungkinan untuk memahami perbedaan keagamaan bukan sebagai oposisi, tetapi
sebagai ekspresi beragam dari pengalaman manusia akan realitas ilahi yang
sama.²⁴ Raimon Panikkar menyebut kerangka ini sebagai cosmotheandric
unity, yaitu kesatuan kosmik antara Tuhan, manusia, dan dunia yang
menjadi dasar bagi kesadaran spiritual universal.²⁵
Pandangan ini
selaras dengan spiritualitas Timur seperti Advaita Vedānta dalam Hinduisme dan
konsep wahdat
al-wujud dalam sufisme, yang keduanya menekankan keterhubungan
ontologis antara yang Ilahi dan ciptaan.²⁶ Dalam konteks Barat, Panenteisme
dapat memperkaya teologi Kristen, Islam, maupun Buddhis modern dengan
menegaskan dimensi immanensi tanpa kehilangan transendensi Tuhan.²⁷ Dengan
demikian, Panenteisme berpotensi menjadi lingua franca spiritual global
yang menumbuhkan kesadaran lintas agama terhadap kesatuan kosmik dan tanggung
jawab bersama bagi dunia.²⁸
7.5. Relevansi Filosofis dan Humanistik dalam Zaman
Digital
Dalam konteks budaya
kontemporer yang didominasi oleh teknologi dan individualisme digital,
Panenteisme memiliki nilai humanistik yang mendalam.²⁹ Pandangan dunia
mekanistik modern telah mengasingkan manusia dari alam dan dari makna spiritual
eksistensinya.³⁰ Panenteisme menegaskan kembali bahwa manusia bukan sekadar
individu rasional yang terpisah dari kosmos, tetapi bagian integral dari
totalitas keberadaan Ilahi.³¹ Dengan demikian, Panenteisme dapat berfungsi
sebagai antidot metafisik terhadap nihilisme,
dengan menegaskan bahwa seluruh realitas memiliki makna karena berakar pada
dasar keilahian yang hidup.³²
Lebih jauh,
Panenteisme mengilhami paradigma etika relasional digital, di
mana teknologi dipandang sebagai medium yang dapat digunakan untuk memperluas
kesadaran interkonektivitas antar-manusia dan ciptaan.³³ Dalam dunia yang
semakin terhubung namun juga terfragmentasi, kesadaran Panenteistik menuntun
manusia untuk menggunakan teknologi secara bertanggung jawab—bukan untuk
mendominasi, tetapi untuk membangun harmoni dan keutuhan kehidupan bersama.³⁴
Sintesis Relevansi Kontemporer
Panenteisme dalam
era kontemporer tampil bukan sekadar sebagai doktrin metafisik, melainkan
sebagai paradigma hidup yang menyatukan
iman, sains, ekologi, dan spiritualitas.³⁵ Ia menjadi alternatif bagi
materialisme reduksionis dan fundamentalisme religius yang sama-sama meniadakan
relasi dinamis antara Tuhan dan dunia.³⁶ Dalam masyarakat yang dilanda krisis
makna dan disintegrasi ekologis, Panenteisme menghadirkan suatu visi
holistik tentang realitas yang menyatukan manusia dengan Tuhan
melalui seluruh ciptaan.³⁷ Dengan demikian, relevansi Panenteisme terletak pada
kemampuannya menghadirkan kembali kesadaran sakral tentang dunia—suatu
kesadaran yang menjadi dasar bagi moralitas, ilmu pengetahuan, dan kehidupan
spiritual abad ke-21.³⁸
Footnotes
[1]
Philip Clayton, Adventures in the
Spirit: God, World, Divine Action
(Minneapolis: Fortress Press, 2008), 117–118.
[2]
John Haught, The New Cosmic Story:
Inside Our Awakening Universe (New
Haven: Yale University Press, 2017), 188–189.
[3]
Alfred North Whitehead, Process
and Reality, corrected ed. (New
York: Free Press, 1978), 343–346.
[4]
Charles Hartshorne, The
Divine Relativity: A Social Conception of God (New Haven: Yale University Press, 1948), 104–107.
[5]
John Cobb, A Christian Natural
Theology: Based on the Thought of Alfred North Whitehead (Louisville: Westminster John Knox Press, 1965), 119.
[6]
Jürgen Moltmann, God in Creation: A New
Theology of Creation and the Spirit of God (San Francisco: Harper & Row, 1985), 42–44.
[7]
Clayton, The Problem of God in
Modern Thought (Grand Rapids:
Eerdmans, 2000), 126.
[8]
Ian G. Barbour, Religion and Science:
Historical and Contemporary Issues
(San Francisco: HarperCollins, 1997), 103.
[9]
John Polkinghorne, Science and Providence:
God’s Interaction with the World
(Philadelphia: Templeton Foundation Press, 2005), 75.
[10]
Barbour, Religion and Science, 145–147.
[11]
Clayton, Adventures in the
Spirit, 121.
[12]
Whitehead, Process and Reality, 348.
[13]
Polkinghorne, Science and Providence, 80–81.
[14]
Haught, The New Cosmic Story, 192.
[15]
Lynn White Jr., “The Historical Roots of Our Ecologic Crisis,” Science 155, no. 3767
(1967): 1203–1207.
[16]
Moltmann, God in Creation, 37–38.
[17]
Elizabeth Johnson, Ask the Beasts: Darwin
and the God of Love (London:
Bloomsbury, 2014), 115–117.
[18]
Moltmann, God in Creation, 41.
[19]
Johnson, Ask the Beasts, 121.
[20]
Raimon Panikkar, The Cosmotheandric
Experience: Emerging Religious Consciousness (Maryknoll: Orbis Books, 1993), 64–65.
[21]
John Cobb, Sustainability:
Economics, Ecology, and Justice
(Maryknoll: Orbis Books, 1992), 89–90.
[22]
Haught, The New Cosmic Story, 197.
[23]
Panikkar, The Cosmotheandric
Experience, 70.
[24]
Clayton, Adventures in the
Spirit, 129.
[25]
Panikkar, The Cosmotheandric
Experience, 72–73.
[26]
Ramanuja, The Vedanta Sutras with
the Commentary of Ramanuja, trans.
George Thibaut (Oxford: Clarendon Press, 1904), 121.
[27]
Ibn ‘Arabi, The Bezels of Wisdom, trans. R.W.J. Austin (New York: Paulist Press, 1980),
90–91.
[28]
Haught, The New Cosmic Story, 200–202.
[29]
Philip Clayton, Mind and Emergence:
From Quantum to Consciousness
(Oxford: Oxford University Press, 2004), 139.
[30]
Paul Tillich, Systematic Theology, vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1951),
255.
[31]
Jürgen Moltmann, The Spirit of Life: A
Universal Affirmation (Minneapolis:
Fortress Press, 1992), 67.
[32]
Clayton, Adventures in the
Spirit, 132.
[33]
Haught, The New Cosmic Story, 203.
[34]
Clayton, The Problem of God in
Modern Thought, 130.
[35]
Moltmann, God in Creation, 46.
[36]
Haught, The New Cosmic Story, 206.
[37]
Clayton, Adventures in the
Spirit, 135.
[38]
Panikkar, The Cosmotheandric
Experience, 78.
8.
Sintesis
Filosofis
Sintesis filosofis
Panenteisme menegaskan bahwa Tuhan dan dunia bukanlah dua realitas yang
terpisah secara mutlak, melainkan dua dimensi dari satu struktur keberadaan
yang saling menembus dan saling melengkapi.¹ Dalam konteks metafisika
kontemporer, Panenteisme dapat dipahami sebagai mediasi ontologis antara teisme
yang menekankan transendensi Tuhan secara mutlak, dan panteisme yang menekankan
immanensi Tuhan secara total.² Ia menghadirkan sebuah sintesis konseptual yang
dinamis, di mana Tuhan meliputi dunia tanpa
teridentifikasi dengannya, serta melampaui dunia tanpa memutuskannya
dari partisipasi dalam keberadaan Ilahi.³
8.1. Kesatuan antara Immanensi dan Transendensi
Pilar utama dalam
sintesis Panenteistik adalah integrasi antara immanensi dan transendensi.
Tuhan bukanlah entitas yang sepenuhnya “di luar” dunia, melainkan realitas yang
menghidupi dunia dari dalam dan melampauinya dari luar.⁴ Dalam bahasa Paul
Tillich, Tuhan adalah the Ground of Being—dasar
keberadaan yang memungkinkan segala sesuatu ada tanpa menjadi bagian dari
sesuatu itu sendiri.⁵ Sementara bagi Whitehead, Tuhan merupakan “polaritas
kreatif” yang menyatukan aspek kekal dan temporal, aspek yang tidak berubah dan
yang senantiasa menjadi.⁶
Kesatuan ini
bukanlah kompromi, melainkan bentuk koherensi dialektis antara dua
aspek ilahi.⁷ Immanensi Tuhan menegaskan kedekatan dan keterlibatan-Nya dalam
setiap proses dunia, sedangkan transendensi Tuhan menjaga perbedaan ontologis
dan keagungan-Nya.⁸ Dengan demikian, Panenteisme memberikan solusi filosofis
terhadap problem klasik metafisika ketuhanan: bagaimana Tuhan dapat hadir dan
aktif di dunia tanpa kehilangan keabadian dan keilahian-Nya.⁹
8.2. Ontologi Relasional sebagai Fondasi Sintesis
Panenteisme
menemukan kekuatan konseptualnya dalam ontologi relasional (relational
ontology), yang memandang keberadaan bukan sebagai substansi
statis, melainkan sebagai jaringan hubungan yang saling menembus.¹⁰ Dalam
kerangka ini, Tuhan dan dunia berada dalam relasi yang saling memberi makna.
Tuhan tidak hanya penyebab pertama dari dunia, tetapi juga partner
eksistensial dalam proses keberadaan.¹¹
Konsepsi relasional
ini membawa implikasi besar terhadap pemahaman tentang keberadaan: realitas
tertinggi tidak lagi dipahami sebagai being yang terisolasi, melainkan
sebagai being-with—suatu
keberadaan yang selalu berada dalam relasi.¹² Charles Hartshorne menyebut hal
ini sebagai theistic personalism, di mana Tuhan
adalah pribadi kosmik yang mengandung dan merespons pengalaman seluruh
makhluk.¹³ Dalam model ini, Tuhan bukan sekadar “pengamat dunia,” melainkan
“partisipan agung” yang menghidupkan proses universal menuju harmoni kosmik.¹⁴
8.3. Dimensi Epistemologis dan Antropologis dari
Sintesis
Sintesis
Panenteistik juga melahirkan dimensi epistemologis baru: pengetahuan tentang
Tuhan tidak lagi dipahami sebagai observasi eksternal terhadap realitas Ilahi,
tetapi sebagai partisipasi eksistensial dalam kesadaran Ilahi.¹⁵
Manusia mengetahui Tuhan karena hidup di dalam struktur realitas yang diresapi
oleh kehadiran-Nya. Ini berarti, epistemologi Panenteistik bersifat
partisipatif dan transformasional—pengetahuan tentang Tuhan mengubah subjek
yang mengetahui karena ia ikut serta dalam proses penyingkapan Ilahi.¹⁶
Dalam dimensi
antropologis, Panenteisme menempatkan manusia sebagai mikrokosmos—citra
Tuhan yang hidup dalam dunia, sekaligus bagian dari tubuh kosmik yang lebih
besar.¹⁷ Manusia tidak hanya berelasi dengan Tuhan melalui doa atau refleksi
rasional, tetapi juga melalui tindakan, kreativitas, dan cinta yang
partisipatif terhadap seluruh ciptaan.¹⁸ Dengan demikian, kesadaran manusia
bukan sekadar kesadaran reflektif, melainkan kesadaran ontologis yang terarah
pada partisipasi dalam Being Ilahi.¹⁹
8.4. Aksiologi Partisipatif: Nilai, Kehidupan, dan Kasih
Kosmik
Dalam kerangka
aksiologis, Panenteisme memandang nilai sebagai partisipasi dalam kebaikan Tuhan
yang bekerja di seluruh ciptaan.²⁰ Segala bentuk keberadaan memiliki nilai
karena menjadi ekspresi dari realitas ilahi yang hidup.²¹ Nilai moral, estetis,
dan spiritual semuanya berakar pada hubungan yang dinamis antara Tuhan dan
dunia.²² Kasih, dalam hal ini, bukan hanya kategori etis, tetapi prinsip
ontologis yang menggerakkan semesta.²³
Jürgen Moltmann
menggambarkan kasih ilahi sebagai kekuatan penciptaan yang menyatukan
transendensi dan immanensi, sehingga seluruh ciptaan menjadi cerminan dari
kehidupan trinitaris yang terbuka dan komunikatif.²⁴ Dengan demikian, etika
Panenteistik adalah etika partisipatif: manusia dipanggil untuk menegakkan
kehidupan, harmoni, dan relasi sebagai bentuk keterlibatan langsung dalam kasih
Tuhan yang universal.²⁵
8.5. Sintesis Kosmoteandrik: Integrasi Filsafat,
Teologi, dan Sains
Sintesis
Panenteistik juga dapat dipahami sebagai bentuk kosmoteandrik, mengikuti
istilah Raimon Panikkar, yakni kesatuan antara cosmos (dunia), theos
(Tuhan), dan anthropos (manusia).²⁶ Dalam
kesatuan ini, Panenteisme menolak reduksionisme materialistik yang meniadakan
dimensi spiritual, sekaligus menghindari dualisme spiritualistik yang menolak
dunia material.²⁷ Tuhan, manusia, dan kosmos merupakan tiga dimensi realitas
yang saling menegaskan dan melengkapi.²⁸
Dalam dialog antara
filsafat dan sains, Panenteisme menjadi paradigma yang terbuka terhadap
penemuan ilmiah modern.²⁹ Alam semesta yang terbuka, evolutif, dan saling
terhubung sebagaimana dijelaskan oleh kosmologi kontemporer justru memperkuat
visi Panenteistik tentang dunia yang berada di dalam Tuhan dan senantiasa
berkembang menuju kesempurnaan.³⁰ Dengan demikian, Panenteisme menyediakan
landasan filosofis bagi integrasi antara scientific realism dan spiritual
realism.³¹
Relevansi Sintesis bagi Filsafat dan Spiritualitas Kontemporer
Sintesis Panenteisme
relevan karena menawarkan cara berpikir yang koheren, holistik, dan dialogis
dalam menghadapi fragmentasi modernitas.³² Ia memungkinkan teologi dan filsafat
berbicara dalam bahasa yang sama dengan sains, tanpa kehilangan dimensi
spiritual.³³ Dalam konteks kehidupan manusia modern yang terpecah antara
rasionalitas dan spiritualitas, Panenteisme memberikan dasar bagi spiritualitas
kosmik yang menghormati keterhubungan seluruh eksistensi.³⁴
Dengan
mengintegrasikan ontologi relasional, epistemologi partisipatif, dan aksiologi
kosmik, Panenteisme membentuk sintesis metafisik yang terbuka terhadap koreksi,
perkembangan, dan dialog.³⁵ Ia bukan sistem tertutup, tetapi horizon pemikiran
yang terus mengundang refleksi baru tentang hakikat Tuhan, dunia, dan
manusia.³⁶ Sebagai sintesis filosofis, Panenteisme mengajarkan bahwa keberadaan
adalah relasi, pengetahuan adalah partisipasi, dan moralitas adalah perwujudan
kasih kosmik yang mengalir dari sumber Ilahi menuju seluruh ciptaan.³⁷
Footnotes
[1]
Philip Clayton, Adventures in the
Spirit: God, World, Divine Action
(Minneapolis: Fortress Press, 2008), 141–142.
[2]
Paul Tillich, Systematic Theology, vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1951),
253.
[3]
John Haught, The New Cosmic Story:
Inside Our Awakening Universe (New
Haven: Yale University Press, 2017), 210.
[4]
Alfred North Whitehead, Process
and Reality, corrected ed. (New
York: Free Press, 1978), 345.
[5]
Tillich, Systematic Theology, 256.
[6]
Whitehead, Process and Reality, 348–349.
[7]
Charles Hartshorne, The
Divine Relativity: A Social Conception of God (New Haven: Yale University Press, 1948), 112–114.
[8]
Jürgen Moltmann, God in Creation: A New
Theology of Creation and the Spirit of God (San Francisco: Harper & Row, 1985), 46.
[9]
Clayton, The Problem of God in
Modern Thought (Grand Rapids:
Eerdmans, 2000), 134–136.
[10]
Hartshorne, Man’s Vision of God and
the Logic of Theism (Hamden: Archon
Books, 1964), 123.
[11]
John Cobb, A Christian Natural
Theology: Based on the Thought of Alfred North Whitehead (Louisville: Westminster John Knox Press, 1965),
124–125.
[12]
Clayton, Adventures in the
Spirit, 147.
[13]
Hartshorne, The Logic of Theism (LaSalle: Open Court, 1948), 98–100.
[14]
Moltmann, The Trinity and the
Kingdom: The Doctrine of God (San
Francisco: Harper & Row, 1981), 53–54.
[15]
Tillich, Systematic Theology, 260.
[16]
Clayton, The Problem of God in
Modern Thought, 138.
[17]
Haught, The New Cosmic Story, 212.
[18]
Moltmann, God in Creation, 51–52.
[19]
Paul Fiddes, The Creative Suffering
of God (Oxford: Clarendon Press,
1988), 83–84.
[20]
Charles Hartshorne, The
Divine Relativity, 119–120.
[21]
Clayton, Adventures in the
Spirit, 150.
[22]
Tillich, Systematic Theology, 263.
[23]
Jürgen Moltmann, The Spirit of Life: A
Universal Affirmation (Minneapolis:
Fortress Press, 1992), 72.
[24]
Ibid., 74–75.
[25]
Elizabeth Johnson, Ask the Beasts: Darwin
and the God of Love (London:
Bloomsbury, 2014), 127.
[26]
Raimon Panikkar, The Cosmotheandric
Experience: Emerging Religious Consciousness (Maryknoll: Orbis Books, 1993), 70.
[27]
Clayton, Mind and Emergence:
From Quantum to Consciousness
(Oxford: Oxford University Press, 2004), 142.
[28]
Panikkar, The Cosmotheandric
Experience, 75–76.
[29]
Ian G. Barbour, Religion and Science:
Historical and Contemporary Issues
(San Francisco: HarperCollins, 1997), 185.
[30]
John Polkinghorne, Science and Providence:
God’s Interaction with the World
(Philadelphia: Templeton Foundation Press, 2005), 83–84.
[31]
Clayton, The Problem of God in
Modern Thought, 142.
[32]
Haught, The New Cosmic Story, 214.
[33]
Tillich, Systematic Theology, 266.
[34]
Moltmann, God in Creation, 57–58.
[35]
Clayton, Adventures in the
Spirit, 154.
[36]
Haught, The New Cosmic Story, 218–219.
[37]
Panikkar, The Cosmotheandric
Experience, 78–79.
9.
Kesimpulan
Panenteisme, sebagai
sebuah sistem metafisik dan teologis, merupakan upaya filosofis yang berani dan
kreatif untuk menjembatani dikotomi lama antara teisme dan panteisme.¹ Dalam
pandangan Panenteistik, Tuhan tidak dipahami sebagai entitas transenden yang terpisah
sepenuhnya dari dunia, juga bukan sebagai realitas yang identik dengan dunia,
melainkan sebagai Being yang meliputi sekaligus
melampaui segala sesuatu.² Dunia berada “di dalam Tuhan,” dan Tuhan hadir di
dalam dunia tanpa kehilangan keilahian-Nya.³ Dengan demikian, Panenteisme
menghadirkan suatu kerangka ontologis yang mampu menampung dua dimensi utama
dalam filsafat ketuhanan: immanensi dan transendensi
dalam satu kesatuan eksistensial yang harmonis.⁴
9.1. Rekapitulasi Ontologis dan Epistemologis
Dari sisi ontologi,
Panenteisme memandang bahwa realitas tidak terdiri atas dua substansi yang
terpisah (Tuhan dan dunia), tetapi atas satu struktur keberadaan yang bersifat
relasional dan dinamis.⁵ Tuhan merupakan dasar keberadaan (Ground
of Being) yang menopang dan menjiwai segala sesuatu.⁶ Dalam
perspektif ini, keberadaan dunia bukan ancaman terhadap keilahian, melainkan
ekspresi dari kelimpahan Ilahi yang mencipta dan menopang tanpa batas.⁷
Ontologi Panenteistik dengan demikian menolak dualisme metafisik yang kaku dan
menawarkan model partisipatif, di mana setiap makhluk memiliki nilai dan
martabat karena berpartisipasi dalam keberadaan Tuhan.⁸
Epistemologinya
bersifat partisipatif dan dialogis: manusia mengenal Tuhan tidak melalui jarak
intelektual, tetapi melalui pengalaman eksistensial dan kesadaran akan
kehadiran Ilahi di dalam dirinya dan dunia.⁹ Pengetahuan, dalam konteks ini,
bukanlah representasi semata, melainkan transformasi kesadaran—di mana subjek
yang mengetahui ikut berpartisipasi dalam realitas yang diketahui.¹⁰ Dengan
demikian, Panenteisme menyatukan epistemologi rasional dan mistis dalam
kerangka yang integratif dan terbuka.¹¹
9.2. Signifikansi Etika dan Aksiologi
Etika dan aksiologi
Panenteisme berpijak pada prinsip bahwa setiap makhluk adalah manifestasi
kehadiran Tuhan.¹² Karena itu, nilai moral tidak ditentukan oleh kepentingan
manusia semata, tetapi oleh hubungan partisipatif antara Tuhan, manusia, dan
seluruh ciptaan.¹³ Etika Panenteistik menuntut manusia untuk memelihara
kehidupan dan menghormati kesatuan kosmik sebagai bagian dari tanggung jawab
spiritualnya terhadap Tuhan yang hidup di dalam dunia.¹⁴
Dalam hal ini,
Panenteisme menegaskan spiritualitas ekologis—yakni
kesadaran bahwa bumi dan segala isinya merupakan “tubuh Tuhan” yang harus
dihormati.¹⁵ Setiap tindakan etis terhadap ciptaan, seperti menjaga lingkungan
dan menegakkan keadilan ekologis, merupakan partisipasi dalam kasih dan
kehendak Tuhan.¹⁶ Oleh karena itu, Panenteisme tidak hanya memberikan dimensi
metafisik pada moralitas, tetapi juga membangun dasar aksiologis bagi
solidaritas ekologis global.¹⁷
9.3. Relevansi Filosofis dan Spiritualitas Zaman Modern
Dalam era modern
yang ditandai oleh krisis makna, eksploitasi alam, dan keterpisahan spiritual,
Panenteisme muncul sebagai paradigma alternatif yang mendamaikan
iman dan rasio, agama dan sains, serta manusia
dan alam.¹⁸ Filsafat Panenteistik, dengan konsep dunia sebagai
bagian dari Tuhan, membuka jalan bagi teologi yang dialogis terhadap ilmu
pengetahuan dan kesadaran ekologis.¹⁹ John Haught menekankan bahwa dalam
kerangka kosmologi evolusioner, Panenteisme memungkinkan kita memahami Tuhan
bukan sebagai penguasa yang jauh, tetapi sebagai sumber yang terus-menerus
mencipta dan memanggil dunia menuju kepenuhan.²⁰
Lebih dari sekadar
sistem metafisik, Panenteisme merupakan visi spiritual dunia yang sakral.²¹
Ia menegaskan bahwa seluruh realitas terjalin dalam kesatuan yang hidup, di
mana setiap bentuk keberadaan memancarkan cahaya ilahi.²² Dalam kesadaran
Panenteistik, manusia tidak lagi menjadi pusat semesta yang mendominasi, tetapi
bagian dari komunitas kosmik yang suci.²³ Dengan demikian, Panenteisme
mengajarkan bahwa keilahian tidak hanya ditemukan di surga, tetapi juga dalam
bumi, kehidupan, dan relasi antar-makhluk yang saling menjiwai.²⁴
Sintesis Akhir: Tuhan, Dunia, dan Manusia dalam Kesatuan Kosmik
Sintesis akhir
Panenteisme mengarah pada pemahaman kosmoteandrik—kesatuan antara
Tuhan (Theos),
manusia (Anthropos),
dan kosmos (Cosmos) dalam satu jaringan
keberadaan yang saling menembus.²⁵ Tuhan melampaui dunia namun juga hadir di
dalamnya; manusia adalah refleksi Ilahi sekaligus pelaku etis dalam dunia yang
disakralkan.²⁶ Hubungan ini bersifat dialogis: dunia adalah wahyu Tuhan yang
terus terbuka, dan Tuhan “mengalami” dunia melalui kesadaran dan tindakan
manusia.²⁷
Dengan demikian,
Panenteisme mengartikulasikan sebuah visi filsafat integratif, yang
memandang seluruh realitas sebagai proses saling keterhubungan menuju
kesempurnaan Ilahi.²⁸ Ia menegaskan bahwa keberadaan adalah relasi, pengetahuan
adalah partisipasi, dan etika adalah perwujudan kasih yang kreatif.²⁹ Dalam
dunia yang semakin terfragmentasi, Panenteisme menawarkan paradigma
kesatuan—menyatukan sains dan spiritualitas, logika dan cinta,
materi dan makna—dalam satu horizon kosmik yang mengarah kepada keutuhan Tuhan
dan dunia.³⁰
Footnotes
[1]
Philip Clayton, Adventures in the
Spirit: God, World, Divine Action
(Minneapolis: Fortress Press, 2008), 157.
[2]
Paul Tillich, Systematic Theology, vol. 1 (Chicago: University of Chicago Press, 1951),
270.
[3]
Friedrich Krause, Vorlesungen über das
System der Philosophie (Leipzig:
Brockhaus, 1828), 52–53.
[4]
John Haught, The New Cosmic Story:
Inside Our Awakening Universe (New
Haven: Yale University Press, 2017), 220–221.
[5]
Alfred North Whitehead, Process
and Reality, corrected ed. (New
York: Free Press, 1978), 344.
[6]
Tillich, Systematic Theology, 273.
[7]
Jürgen Moltmann, God in Creation: A New
Theology of Creation and the Spirit of God (San Francisco: Harper & Row, 1985), 47.
[8]
Charles Hartshorne, Man’s
Vision of God and the Logic of Theism
(Hamden: Archon Books, 1964), 124.
[9]
Clayton, The Problem of God in
Modern Thought (Grand Rapids:
Eerdmans, 2000), 139.
[10]
Hartshorne, The Divine Relativity:
A Social Conception of God (New
Haven: Yale University Press, 1948), 112.
[11]
John Cobb, A Christian Natural
Theology: Based on the Thought of Alfred North Whitehead (Louisville: Westminster John Knox Press, 1965),
128–129.
[12]
Moltmann, The Spirit of Life: A
Universal Affirmation (Minneapolis:
Fortress Press, 1992), 73.
[13]
Elizabeth Johnson, Ask the Beasts: Darwin
and the God of Love (London:
Bloomsbury, 2014), 131–132.
[14]
Hartshorne, The Logic of Theism (LaSalle: Open Court, 1948), 96.
[15]
Jürgen Moltmann, God in Creation, 50.
[16]
Johnson, Ask the Beasts, 136.
[17]
Paul Fiddes, The Creative Suffering
of God (Oxford: Clarendon Press,
1988), 83.
[18]
Clayton, Adventures in the
Spirit, 162.
[19]
Ian G. Barbour, Religion and Science:
Historical and Contemporary Issues
(San Francisco: HarperCollins, 1997), 185.
[20]
Haught, The New Cosmic Story, 226.
[21]
Tillich, Systematic Theology, 278.
[22]
Moltmann, The Spirit of Life, 75.
[23]
Raimon Panikkar, The Cosmotheandric
Experience: Emerging Religious Consciousness (Maryknoll: Orbis Books, 1993), 70.
[24]
Haught, The New Cosmic Story, 229.
[25]
Panikkar, The Cosmotheandric
Experience, 74.
[26]
Clayton, Adventures in the
Spirit, 169.
[27]
Hartshorne, The Divine Relativity, 119.
[28]
Moltmann, God in Creation, 55.
[29]
Tillich, Systematic Theology, 282.
[30]
Haught, The New Cosmic Story, 232.
Daftar Pustaka
Barbour, I. G. (1997). Religion
and science: Historical and contemporary issues. San Francisco, CA:
HarperCollins.
Barth, K. (1957). Church
dogmatics II/1: The doctrine of God (G. W. Bromiley, Trans.).
Edinburgh, Scotland: T&T Clark.
Clayton, P. (2000). The
problem of God in modern thought. Grand Rapids, MI: Eerdmans.
Clayton, P. (2004). Mind
and emergence: From quantum to consciousness. Oxford, UK: Oxford
University Press.
Clayton, P. (2008). Adventures
in the spirit: God, world, divine action. Minneapolis, MN: Fortress
Press.
Cobb, J. B. (1965). A
Christian natural theology: Based on the thought of Alfred North Whitehead.
Louisville, KY: Westminster John Knox Press.
Cobb, J. B. (1992). Sustainability:
Economics, ecology, and justice. Maryknoll, NY: Orbis Books.
Craig, W. L. (1987). The
only wise God: The compatibility of divine foreknowledge and human freedom.
Grand Rapids, MI: Baker.
Dillon, J. (1996). The
middle Platonists: 80 B.C. to A.D. 220. Ithaca, NY: Cornell
University Press.
Fiddes, P. S. (1988). The
creative suffering of God. Oxford, UK: Clarendon Press.
Flew, A. (1955). Theology
and falsification. In A. Flew & A. MacIntyre (Eds.), New
essays in philosophical theology (pp. 99–103). London, UK: SCM
Press.
Geisler, N. (2013). Christian
apologetics. Grand Rapids, MI: Baker Academic.
Hartshorne, C. (1948). The
divine relativity: A social conception of God. New Haven, CT: Yale
University Press.
Hartshorne, C. (1948). The
logic of theism. LaSalle, IL: Open Court.
Hartshorne, C. (1964). Man’s
vision of God and the logic of theism. Hamden, CT: Archon Books.
Haught, J. F. (2017). The
new cosmic story: Inside our awakening universe. New Haven, CT:
Yale University Press.
Helm, P. (1988). Eternal
God: A study of God without time. Oxford, UK: Clarendon Press.
Hick, J. (1989). An
interpretation of religion: Human responses to the transcendent.
New Haven, CT: Yale University Press.
Ibn ‘Arabi. (1980). The
bezels of wisdom (R. W. J. Austin, Trans.). New York, NY: Paulist
Press.
James, W. (1902). The
varieties of religious experience. New York, NY: Longmans, Green,
and Co.
Johnson, E. A. (2014). Ask
the beasts: Darwin and the God of love. London, UK: Bloomsbury.
Krause, F. (1828). Vorlesungen
über das System der Philosophie. Leipzig, Germany: Brockhaus.
Krause, K. C. F. (1825). Abriss
des Systems der Philosophie. Leipzig, Germany: F. A. Brockhaus.
Moltmann, J. (1981). The
Trinity and the kingdom: The doctrine of God. San Francisco, CA:
Harper & Row.
Moltmann, J. (1985). God
in creation: A new theology of creation and the Spirit of God. San
Francisco, CA: Harper & Row.
Moltmann, J. (1992). The
spirit of life: A universal affirmation. Minneapolis, MN: Fortress
Press.
Panikkar, R. (1993). The
cosmotheandric experience: Emerging religious consciousness.
Maryknoll, NY: Orbis Books.
Plantinga, A. (1967). God
and other minds. Ithaca, NY: Cornell University Press.
Plantinga, A. (1980). Does
God have a nature? Milwaukee, WI: Marquette University Press.
Plato. (2000). Timaeus
(D. J. Zeyl, Trans.). Indianapolis, IN: Hackett Publishing.
Plotinus. (1966). The
Enneads (A. H. Armstrong, Trans.). Cambridge, MA: Harvard
University Press.
Polkinghorne, J. (2005). Science
and providence: God’s interaction with the world. Philadelphia, PA:
Templeton Foundation Press.
Ramanuja. (1904). The
Vedanta Sutras with the commentary of Ramanuja (G. Thibaut,
Trans.). Oxford, UK: Clarendon Press.
Swinburne, R. (1993). The
coherence of theism. Oxford, UK: Clarendon Press.
Swinburne, R. (1998). Providence
and the problem of evil. Oxford, UK: Clarendon Press.
Spinoza, B. (1996). Ethics
(E. Curley, Trans.). London, UK: Penguin Classics.
Tillich, P. (1951). Systematic
theology (Vol. 1). Chicago, IL: University of Chicago Press.
White, L., Jr. (1967). The historical
roots of our ecologic crisis. Science, 155(3767),
1203–1207. https://doi.org/10.1126/science.155.3767.1203
Whitehead, A. N. (1978). Process
and reality (Corrected ed.). New York, NY: Free Press.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar